My First And Last✔

Jeong Jaehyun, Ruruhaokeai, Lee Jaehyun, Kim Jungwoo, Kevin Moon, Ji Changmin, Choi Yoonji

kamu beneran gapapa nih pergi sendirian, sayang?

Yuno kembali meyakinkan Istrinya itu sekali lagi, hari ini adalah hari pernikahan Januar dan Elara. Tapi sayangnya Yuno harus membiarkan Istrinya itu pergi sendiri karena Yuno enggak bisa pulang ke Indonesia lagi, ia harus fokus pada koas nya sudah hampir setengah jalan.

“Iya gapapa, Mas. Lagian di sana aku kan enggak sendiri, ada Mas Iyal, Gita, Chaka, Teh Niken, Kevin sama Yves katanya juga datang terus ada Mas Yuda sama Mba Ola juga kok.”

Setelah selesai menggulung rambutnya, Ara memasang anting di kedua telinganya, memastikan dirinya sudah tampak rapih dengan riasan sederhana ala dirinya sendiri. Semenjak Hana lahir, Ara enggak pernah lagi bikin konten. dia juga sudah menyelesaikan semua kerja sama nya dengan brand-brand yang sudah bekerja dengannya.

Ara mau fokus merawat Hana, mungkin sebulan lagi Ara akan kembali ke kampus untuk menyelesaikan study S2 nya lagi. Selama ini Ara ngurus Hana enggak sendirian kok, Ara di bantu sama orang tua Yuno dan juga orang tua nya. Umur Hana pun sekarang sudah 4 bulan, bayi itu sekarang tidur nya sudah lebih lama saat malam, jadi Ara jarang terbangun saat tengah malah. Kecuali kalau Hana benar-benar haus atau buang air besar saja.

maaf yah,” gumam Yuno.

Hey, it's okey, Mas. Kok minta maaf sih?” Ara senyum, dia ambil ponselnya dan natap wajah Suaminya itu yang ada di layar ponselnya.

Yuno itu masih sama, masih suka merasa bersalah tiap kali enggak bisa nemenin Ara ke acara-acara yang memang biasanya di hadiri bersama pasangannya. Atau enggak bisa nemenin Ara check up kesehatan Hana.

Gapapa, ngerasa bersalah aja gak bisa nemenin kamu. Tapi sayang?

“Iya, Mas?”

kamu cantik banget. Itu dress yang waktu itu aku beliin pas hari ulang tahun kamu ya?” waktu mereka baru menikah, Yuno memang sempat membelikan Ara dress berwarna dusty pink yang agak kelonggaran di tubuhnya. Tapi sekarang Ara mengenakan dress itu yang tampak pas di tubuhnya, Ara jauh lebih berisi sekarang. Kalau dulu beratnya hanya 42 kg, sekarang beratnya sudah mencapai 47 kg.

“Iya, jadi bagus yah.” Ara berdiri, dia liatin keseluruhan dress itu pada Yuno.

banget, Istriku selalu cantik. Malah tambah cantik.

“Ra.. Udah selesai belum? Jadi bareng sama Mas Yud gak?” teriak Yuda dari luar kamar Ara, hari ini Ara lagi menginap di rumah orang tua nya. Kalau Yuda sih enggak menginap, dia memang datang buat menjemput Ara karena katanya Adiknya itu ingin pergi ke pernikahan Januar bareng dengannya.

“Iya jadi sebentar!” teriak Ara dari dalam kamarnya. “Yaudah, Mas. Aku jalan ke resepsinya Janu dulu yah, nanti aku kabarin lagi.”

hati-hati yah, sayang. Salam buat Januar dan Elara.

Ara mengangguk. “Iya, Mas.”

Setelah panggilan video itu terputus, Ara langsung turun dari lantai dua kamarnya berada. Hana juga sudah rapih dengan setelan baju berwarna pink, enggak lupa Ara juga masangin Hana bando berbentuk pita. Bayi berumur 4 bulan itu sedang terlelap di gendongan Mbak Ola.

“Cantik banget sih Adiknya, Mbak.” ucap Ola waktu Ara baru turun. Mbak Ola ini emang suka nya muji, beda banget sama Mas Yuda yang kalau muji enggak mau kelihatan muji, Namanya juga Mas Yuda orangnya gengsian.

“Makasih, Mbak juga cantik banget.”

aunty tadi dedek Hana bobo nya sambil senyum-senyum.” si kembar Alissa dan Alea ini emang senang banget sama anak kecil, kadang Mbak Ola sampai kuwalahan kalau si kembar merengek minta ketemu sama Hana, padahal mereka sedang persiapan untuk pindah ke Surabaya tahun ini.

“Oh, ya? Mimpi apa yah dia sampai senyum-senyum gitu?” Ara ngusap pucuk kepala keponakannya itu.

“Mimpi main sama Kakak Alea kali yah aunty.”

Ara tuh senang banget bisa punya keponakan kembar, sewaktu si kembar baru lahir. Ara tuh sering banget beliin baju dan mainan buat si kembar, apalagi mereka perempuan jadi banyak banget asesoris yang Ara beliin buat mereka, pokoknya Ara paling excited deh selain Bunda waktu itu.

Makanya waktu Mbak Ola tahu anak Ara dan Yuno juga perempuan, Mbak Ola gantian belanja banyak asesoris dan baju bayi buat Hana.

Di perjalanan menuju ballroom hotel tempat Januar melangsungkan resepsi, Ara sempat mengirimkan foto dirinya dan Hana di kursi belakang mobil ke Yuno. Yuno juga sempat membalasnya dengan rengekan dan emoticon menangis, dia bilang kalau dia mau teleportasi agar bisa tiba di Jakarta detik itu juga.

Yuno juga bilang kalau dia enggak tahan buat gak senyum-senyum sendiri karena Ara dan Hana terlihat cantik hari itu. Begitu sampai di ballroom hotelnya tamu-tamu sudah tampak memadati, Ara juga sempat lihat beberapa alumni SMA Bakti Mulya 400 mulai dari angkatannya, angkatan kakak kelas nya sampai angkatan adik kelasnya.

Ada anak-anak dari Universitas Narawangsa juga, tapi kebanyakan dari jurusan Teknik, ya tahu sendiri lah Januar ini memang terkenal banget di jurusannya. Kayanya tiap angkatan ada aja yang kenal Januar, kadang Ara heran tapi sekaligus salut sama Januar karena cowok itu pandai bergaul dengan siapa saja.

“El, Nu, congrats ya, langgeng-langgeng kalian berdua, bahagia terus pokoknya doa terbaik buat kalian berdua.” Ara menyalami kedua pengantin itu. Januar sama Elara tampak serasi, Ara diam-diam juga mengagumi konsep pernikahan mereka.

thank you, Ra. Makasih banyak udah datang.” Elara meluk Ara, gak lama setelahnya di juga nepuk-nepuk kecil kaki Hana, nyapa bayi itu yang masih tidur di gendongan Ibu nya. Sebenarnya Elara kepengen banget megang pipi Hana atau cium bayi itu, tapi dia enggak berani karena dia habis menyalami banyak orang.

“Bobo yah dia? Gemas banget sih, makin gembul pipinya.”

Ara mengangguk, “pules, kenyang dia, El. Sebelum kesini aku susuin dulu biar enggak rewel. Soalnya habis imunisasi.”

“Ahhh.” Elara mengangguk pelan. “Sehat-sehat terus ya sayang.”

“Doain gue juga dong biar cepet punya kaya gitu juga biar anak elu sama Bang Ril gak main bertiga doang nanti,” celetuk Januar asal.

“Iyaaa gue doain. Semoga kalian berdua cepat nyusul juga momongannya.” Ara terkekeh.

“Ah elu mah,” Elara mulai pengen misuh-misuh tapi dia tahan karena banyak orang yang mau menyalaminya.

Setelah selesai bersalaman dengan kedua mempelai, Ara duduk di meja yang sudah di sediakan khusus untuk anak-anak kosan Abah oleh Januar dan Elara. Ada teman-temannya yang lain juga sedang mengobrol, Ara sudah selesai makan, di sebelahnya juga ada Gita yang sedang sibuk membersihkan sela bibir Elios yang habis makan cake itu.

Bukan Gita enggak memperhatikan sedari tadi kalau Ara beberapa kali terlihat memendarkan pandangannya ke seluruh penjuru ballroom, dia tampak mencari seseorang.

“Dia enggak datang, Ra.” ucap Gita tiba-tiba, ucapan Gita juga lah yang berhasil membuat Ara menoleh ke arah wanita itu.

“Hah?” Ara terkesiap, dia kaget banget tiba-tiba Gita nyeletuk kaya gitu. Emang dia kelihatan banget kalau lagi nyariin orang yah? Pikir Ara.

“Ijul kan?” tanya Gita.

Ara enggak jawab, dia cuma nunduk aja sambil liatin Hana yang masih tidur di dalam stroller nya. Gita sadar ternyata kalau dia nyari Julian, Ara cuma merasa enggak enak saja karena dirinya persahabatan mereka jadi hancur dan Julian juga benar-benar menjauhi teman-temannya. Padahal Julian sama Januar itu dekat tapi Julian rela enggak datang ke acara pernikahan Januar, mungkin cowok itu benar-benar tidak ingin bertemu lagi dengannya, pikir Ara.

“Juleha udah bilang ke Janu kalau enggak bisa datang, dia sekarang kerja di luar kota. dia juga cuma titip salam aja.”

Sebelum hari resepsi Januar, Julian memang sudah menelfon Januar dan mengirimi hadiah untuk pernikahan Januar dan Elara. Karena pekerjaannya yang menumpuk, Julian memang enggak bisa pulang ke Jakarta dan menghadiri resepsi pernikahan Januar.

Januar awalnya agak kecewa karena dia sempat menduga kalau Julian memang benar-benar enggan bertemu Ara, dan memakai alasan itu untuk tidak menghadiri pernikahannya. Tapi Julian akhirnya menjelaskan bahwa dia benar-benar sibuk dan memang sedang berada di luar kota.

Julian sedang si tugaskan ke daerah Sulawesi, Julian itu kerja di sebuah perusahaan riset. Jadi kadang ada beberapa tugas yang mengharuskan Julian melakukan perjalanan keluar kota.

“Gue enggak nyariin Julian, Git.” Ara ngeles. Walau kenyataanya memang mencari Julian, tapi dia berusaha menutupi itu. Dia enggak mau Gita mikir yang enggak-enggak ya walaupun Ara tahu Gita bukan orang seperti itu, tapi tetap saja enggak enak. Biar bagaimana pun juga Gita adalah sepupu dari Suaminya.

“Nyariin juga gapapa, Ijul kan temen kita.”

“Gue paham selain mungkin karena kerja, Julian enggak mau datang juga karna gue. Gue sadar kok, Perasaan dia mungkin emang bukan tanggung jawab gue. Gue cuma ngerasa gak enak aja karena gue persahabatan kita jadi pecah gini.” Ara tersenyum miris.

“Julian lagi belajar berdamai sama keadaan, Ra. Gue yakin dia gak akan kaya gini selama nya, ada waktunya kok kita bisa balik kumpul-kumpul kaya dulu lagi.”


Di tempatnya Julian tersenyum waktu dia lagi buka sosial media miliknya dan mendapati foto-foto pernikahan Januar terdapat di beranda paling atas sosial media miliknya. Januar yang mengunggahnya, ada foto-foto teman-teman mereka juga.

Hari itu semuanya tampak tersenyum, membawa pasangan mereka masing-masing dan hanya kurang dirinya saja. Tapi yang membuat hati Julian menghangat adalah, ketika Chaka membawa tablet yang menampilkan foto Julian. Foto itu seolah-olah menggantikan ketidakhadiran Julian di sana, ternyata teman-temannya itu masih perduli dengannya dan tidak melupakannya meski sekarang Julian sedang kabur.

Di foto itu, Julian juga melihat Ara dan bayi perempuan yang di gendongnya. Ara sudah melahirkan teryata, Julian lega karena semua tampak baik-baik saja tanpa dirinya.

Jika di tanya Julian sudah berdamai dengan keadaan atau belum, tentu saja dia sedang berusaha untuk itu. Ada malam-malam berat dimana dia merindukan Jakarta, Bandung dan teman-temannya.

Tapi baginya, biar saja sekarang seperti ini. Hati nya lebih banyak tenang dan Julian merasa perlahan-lahan luka nya mulai mengering, ya. Julian harap akan ada hari dimana dia berani pulang ke Jakarta dan berkumpul bersama teman-temannya kembali.

Sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya, Julian menekan tanda hati di sana sebanyak dua kali. Dia menyukai unggahan Januar meski tidak ada dia di sana, Julian juga bisa ikut merasakan kebahagiaan mereka.

Semoga hari dimana dia bisa berdamai dengan semuanya bisa segera tiba.

Selesai

Pasca melahirkan Ara sempat di rawat selama dua hari di rumah sakit, setelah itu karena Ara dan Hana kondisinya stabil dan baik-baik saja, dokter Bagas akhirnya memperbolehkan keduanya untuk pulang ke rumah. Yuno pun enggak sempat ke rumah sakit karena begitu ia tiba di Indonesia Ara dan Hana sudah ada di rumahnya.

Sudah dua hari Yuno berada di rumahnya, dia benar-benar menepati janjinya untuk merawat Istri dan menjaga bayi mereka. Terutama di malam hari, Yuno rela kurang tidur atau bahkan enggak tidur demi menyusui Hana dari botol ASI, menggantikan baju nya ketika anaknya itu muntah karena kekenyangan, mengganti popoknya waktu Hana pipis dan pup, bahkan ketika Hana nangis hanya karena ingin di gendong.

Kalau susu di botolnya masih ada Yuno enggan membangunkan Ara, dia gak tega kalau Ara harus kurang tidur. Padahal Ara sudah bilang kalau dia enggak masalah harus bangun karena menyusui Hana.

Di jam dua malam, Ara mengerjabkan matanya. Meraba ranjang sebelahnya yang tadinya ada Suaminya itu yang baru tidur, lampu kamar mereka masih menyala. biasanya kalau Yuno tidur agak di redupkan sedikit. Enggak sampai gelap kok, bahkan masih terlihat terang.

“Mas?” panggil Ara.

“Di kamar mandi, Sayang. Hana habis pup,” ucap Yuno dari dalam kamar mandi mereka.

Mendengar itu Ara senyum, dia menumpuk bantal yang ia pakai jadi satu agar bisa bersandar. Lagi-lagi Yuno yang harus bangun, Ara sebenarnya senang Suaminya itu membantunya merawat Hana. Tapi enggak tega juga, karena Yuno pasti lelah, begitu selesai koas dia langsung melakukan penerbangan panjang dan begitu sampai Yuno langsung di sibukkan untuk menjaga Hana ketika malam.

Begitu selesai menggantikan popok anaknya itu, Yuno keluar dari kamar mandi dan tersenyum melihat Istrinya yang sedang bersandar di headboard ranjang mereka.

“Ibu kebangun yah?” cicitnya menirukan suara anak kecil.

“Kebangun nyariin cantiknya Ibu sama gantengnya Ibu.”

Yuno duduk di ranjang mereka, memberikan Hana pada Ara untuk ia susui. Kebetulan stok ASI yang Ara pompa sudah menipis, jadi mau enggak mau Ara harus memberikan ASI ke Hana secara langsung.

“Haus banget yah sayangnya Ibu?” Ara ngusap-ngusap kepala Hana yang sedang menyusu itu, benar-benar kehausan ternyata.

“Dia rambutnya tebal banget yah, sayang.”

“Kata Mama kaya kamu waktu bayi, rambutku juga dulu tebal. Cuma enggak selebat punya Hana.” rambut bayi Hana tuh benar-benar tebal dan hitam untuk seukuran bayi baru lahir, Bunda bilang kalau Hana sudah lepas tali pusarnya nanti rambutnya bisa di cukur sedikit saja supaya enggak timbul ruam di area keningnya.

“Bulu matanya lentik kaya kamu,” ucap Yuno. Dia gak pernah gak senyum kalau lihat Hana, bahkan enggak ada rasa lelah karena penerbangan panjang dan kurang tidur hanya untuk merawat anaknya.

Yuno benar-benar sedang menikmati perannya sebagai seorang Ayah. Rasanya dia mau terus-terusan menjaga Hana dan menemani Istrinya itu saja tanpa harus kembali ke Jerman.

“Bulu mata kamu panjang tapi turun yah.” Ara merhatiin bulu mata Yuno itu, bulu matanya memang panjang tapi sayangnya turun, berbeda dengan Ara yang memang lentik alami. Makanya Ara jarang banget pakai maskara atau penjepit bulu mata.

“Alisnya mirip siapa?”

“Kamu.”

Keduanya terkekeh pelan, oh iya. Hana itu punya lesung pipi persis kaya Yuno tapi sayangnya cuma sebelah saja enggak ada di kedua pipinya, karena pipinya yang tembam kalau Hana tersenyum sedikit saya lesung pipinya sudah terlihat jelas.

“Kamu tidur, Mas. Istirahat kamu tuh capek. Gantian sama aku jagain Hana nya, kan aku juga udah tidur lumayan lama.” bagi Ara, semenjak Hana lahir tidur 3 jam itu udah lumayan banget buat dia. Apalagi sejak kehadiran Yuno, dia bisa tidur lebih lama dari itu.

“Enggak ngantuk sama sekali, sayang. Aku kalo ngantuk pasti tidur kok, kamu tau kan aku gampang banget tidur?”

“Paksain, aku takut kamu sakit karna kecapekan.”

“Enggak akan, aku kan jarang sakit.” Yuno senyum, imun tubuhnya memang bagus. Yuno dari kecil pun jarang sekali sakit, kalau sakit pun paling cuma batuk, demam dan pusing aja.

“Kamu lagi menyombongkan diri?” Ara menaikan satu alisnya.

“Kedengarannya kaya gitu?”

Ara mengangguk. “Tidur yah, sebentar aja gapapa. Hana juga udah mulai ngantuk kayanya, udah merem lagi dia walau masih minum.”

“Aku tidur yah.”

“Iya, Mas.”

Yuno akhirnya mencoba untuk tidur, dia berbaring di samping Istrinya itu tapi urung memejamkan matanya. Dia malah masih betah mandangin Ara yang masih menyusui Hana, tangan kurusnya itu beringsut menepuk-nepuk pelan punggung bayi mereka.

Pernah merasa bahagia sampai-sampai untuk tidur pun sulit karena perutmu terisi kupu-kupu? Nah itu dia yang di rasakan Yuno sekarang, rasanya seperti itu. Seperti semua susah, sedih dan semua pengorbanan Yuno terbayarkan dengan Tuhan memberikannya seorang putri yang benar-benar cantik.


“Ahh, ini mah Ara enggak kebagian apa-apa Bang Yuno banget ini sih,” pekik Chaka. Waktu pertama kali liat Hana, dia takjub banget sama bayi mungil itu.

“Ya namanya juga anaknya jir, masa mirip elu, si Ara juga ogah kalau anaknya mirip elu,” sahut Kevin.

“Dih, gue mah ganteng.”

Anak-anak kosan hari ini bersama-sama menjenguk Ara dan Hana, ada Gita, Arial, Januar, Elara, Kevin, Chaka dan juga Teh Niken. Mereka semua datang bersama dan memberi hadiah untuk Ara dan juga Hana, enggak cuma Hana aja kok yang dapat hadiah tapi Ara juga. Terutama barang-barang yang dia butuhin banget sebagai Ibu baru.

Gita yang sedang asik gendong Hana itu jadi kesal sendiri dengar perdebatan Kevin dan Chaka, kalau enggak ada si kembar sekarang. Pasti tangan Gita udah melayang buat nabok bibir Kevin sama Chaka biar diam.

“Ganteng tapi kaya dukun mah buat apa,” celetuk Gita karena kesal.

Chaka yang di bilang gitu cuma prengat prengut kesal aja, gak berani ngelawan Gita. Takut dia gak di bolehin menginap lagi atau gak di kasih kesempatan buat ngeluh tentang hubungannya lagi.

“Hana beratnya berapa, Ra?” tanya Elara, karena mau nikah tahun depan. Selain mengurus pernikahan, Elara juga jadi sedikit-sedikit nanya tentang merawat bayi, ya siapa tahu kan dia sama Januar di kasih anaknya cepat kaya Yuno dan Ara.

“Beratnya 4 kg, El. Tingginya 51 cm.”

“Pantes endut banget, gemes banget. Pengen punya yang kaya gini juga,” gumam Elara.

“Kan kita udah sering bikin, makanya jadiin!!” samber Janu yang langsung di hadiahi cubitan di pinggangnya, tangan Elara masuk ke dalam kaus yang Janu pakai supaya si kembar Elios dan Eloise enggak liat.

“Hehehe, jangan ngomong gitu ah,” ucap Elara di sela-sela cubitannya.

“Pasti proses nya panjang banget yah, Ra? Sakit gak sih melahirkan normal?” tanya Niken. Dia belum pernah melihat orang melahirkan langsung, tapi bayangin kepala bayi yang sebesar itu keluar dari dalam dirinya aja bulu kuduk Niken udah berdiri semua rasanya.

“Lumayan lama, Teh. Aku mulai kontraksi itu subuh gitu jam 3 an. Tapi udah ngerasa mulas dari jam 1, terus Hana lahir jam 10 pagi. Kalau di tanya sakit, yah sakit banget Cuma recovery nya cepat kok.”

“Tuh dengerin, makanya elu kalau udah pada punya bini tuh nanti di sayang bini nya jangan macem-macem tingkahnya, jadi Ibu tuh susah, hamil tuh enggak enak dan melahirkan tuh sakit. Minta maaf lu pada sama Nyokap,” Gita ceramah, yang bikin cowok-cowok jadi pada nunduk karena ngebayangin gimana perjuangan orang tua mereka dulu.

“Cil, lo kok jahat. Gue kan gak punya Mama..” gumam Chaka, Chaka udah berdamai sama keadaan kok tenang aja.

“Yaudah jadi anak yang bener biar Mama lo bangga liat lo sekarang. Jangan sibuk jadi dukun aja.”

“Itu sampingan,” Chaka ngeles.

“Tapi Bang Yuno keren loh, dia cekatan banget jadi Papa muda. Udah bisa mandiin Hana juga, gue aja kayanya takut buat gendong pun.” Kevin sebenarnya pengen banget gendong Hana, waktu Elios sama Eloise lahir pun Kevin kepengen banget gendong tapi dia enggak berani. Dia baru berani gendong si kembar anaknya Gita dan Arial waktu umur mereka sudah 11 bulan.

Di mata Kevin bayi tuh ringkih, takut banget dia salah-salah gendong dan bikin bayinya sakit atau ngerasa gak nyaman. Makanya dia cuma ngeliatin aja, lain hal nya sama Chaka yang sebenarnya berani. Tapi apesnya setiap kali ingin menggendong bayi, bayinya langsung menangis begitu dekat dengannya. Enggak tahu deh, aura Chaka emang jelek banget kayanya. Kebanyakan main sama setan kalau kata Januar mah.

“Mas Yuno banyak nanya juga sama Mas Ril, Kev. Waktu Hana belum lahir dia juga banyak baca-baca cara merawat bayi baru lahir, makanya lo kalo nanti nikah sama Yves juga gitu yah. Punya anak tuh di urusnya berdua.” oiya, selain menjenguk Ara dan Hana. Ini juga menjadi kumpul-kumpul sama Kevin sebelum cowok itu pergi ke London. Kevin akan melanjutkan S2 nya di sana bersama dengan Yves.

“Pasti lah.”

“Jangan mau bikinnya doang lu, Kev.” sambar Janu.

“Itu mah elu.” karena kesal, Kevin lempar Januar pakai cushion yang tadi ada di pangkuannya.

“Gak sia-sia lo, No. Berguru sama gue,” Arial menepuk pundak Yuno dengan bangga.

“Lo dulu gini juga gak sih, Ril?” tanya Yuno, matanya enggak berpidah dari Hana yang masih terlihat nyaman dalam gendongan Gita.

“Gini gimana? Repot?”

Yuno menggeleng, “gak bisa tidur saking senangnya dan nikmatin ngurus anak lo sendiri?”

“Gitu juga sih, tapi ya lo tau sendiri anak gue langsung dua. Tetap capek banget, apalagi kalau nangisnya barengan. Kepala gue pusing aja rasanya bisa sembuh sendiri, tapi yah benar kata lo. Justru nikmat nya di situ jadi orang tua baru.”

Waktu anaknya baru lahir, Arial dan Gita juga sempat kuwalahan kok, apalagi kalau si kembar nangisnya bersamaan dan dua-dua nya minta menyusu. Kadang buat Arial dan Gita tidur satu jam saja sudah sangat bersyukur, enggak jarang Arial suka mengantuk dan ketiduran di kantor kalau sedang jam istirahat.

“Ra, gue boleh nyium pipinya Hana gak?” kata Januar.

“Ihhh gak boyehh.. uncle bau kokok kata aunty El..” pekik Elois, bocah itu menghalangi Janu agar tidak mendekat ke Hana.

“Hahaha udah di jawab yah, Nu. Sama keponakan gue,” jawab Yuno sambil terkekeh.

Sudah dua bulan sejak Ara kembali ke Indonesia, sejak itu juga Yuno hanya bisa berkabar dengan Istrinya melalui ponselnya saja. dokter Bagas sudah memberi tahu hari perkiraan Ara akan melahirkan, namun siapa sangka jika itu meleset dari perkiraan. Ara justru sudah kontraksi seminggu sebelum tanggal yang sudah di perkirakan.

Sejak semalam kedua orang tua Yuno membawa Ara ke rumah sakit setelah mengeluh sakit perut, begitu di bawa ke rumah sakit ternyata menantunya itu sudah memasuki pembukaan ke 3, bahkan Yuno sendiri yang di kabari kaget, pasalnya dia sudah mengajukan izin ke fakultasnya minggu depan. Dan hanya 4 hari saja, Yuno enggak bisa izin lama-lama karna itu akan berpengaruh ke masa koas nya yang nantinya akan lebih lama.

Pagi ini di temani Bunda, Ara jalan-jalan keliling kamar rawatnya supaya pembukaan nya lancar, kadang dia merintih dan menangis juga karena rasa sakit yang mendera nya. Hanya ada Bunda saja, tadi ada Papa nya tapi sekarang Papa pulang buat ambil baju Bunda, karena malam ini Bunda yang nemenin Ara di rumah sakit.

Karena besok pagi Mama Lastri masih harus praktik, makannya pagi ini kedua orang Yuno itu pulang dan kembali lagi setelah menyelesaikan praktiknya. Ara sudah memasuki pembukaan ke 7 nyeri perutnya juga semakin sering dan bikin dia cuma bisa duduk di ranjangnya.

“Bun..” Ara merintih, pegangin tangan Bunda nya sembari menahan rasa sakitnya.

“Minum yah? Dari tadi Kakak belum minum loh.”

Ara menggeleng, dia meringkuk di ranjangnya sembari memejamkan matanya. Enggak nyangka kalau melahirkan normal seperti ini akan sangat menguras tenaga nya, enggak lama kemudian ponsel Ara yang ia taruh di atas nakas berdering. Itu panggilan dari Yuno, Yuno baru pulang dari rumah sakit sepertinya.

Karena enggak tega liatin Ara merintih terus, akhirnya Bunda yang angkat telfon dari menantunya itu. “Hallo, No.”

Bun, Ara gimana? Yuno kepikiran banget. Maaf Yuno baru bisa telfon lagi, karena baru sampai di rumah.” di sebrang sana Yuno tampak gusar, dia belum ganti baju dengan wajah kusut dan sembabnya.

“Sudah pembukaan 7, No. Doain lancar yah, masih ngerintih aja dia.” Bunda ngarahin ponsel Ara itu ke Ara yang lagi meringkuk sembari merintih, dia memegangi perutnya.

sayang??” panggil Yuno, suaranya bergetar. Dia gak tega banget ngeliatin Ara kesakitan kaya gitu, rasanya tuh Yuno pengen langsung nyamperin Istrinya itu aja dan ngambil seluruh sakit yang di rasain. Yuno bersedia kalau memang dia bisa menggantikannya.

“Mas.. Kamu kapan pulang?”

Ara nangis, dia jadi super sensitif rasanya. Walau di temani orang tuanya tapi tetap saja yang Ara butuhkan itu Yuno, dia mau Yuno ada di sebelahnya nemenin dia sampai anak mereka lahir.

rabu depan aku pulang yah, kamu yang kuat ya. Aku doain kamu dari sini.

“Pulang Mas.. Pulang. Aku mau nya kamu disini sekarang.” tangis Ara semakin pecah, di benar-benar ngerasa cuma butuh Yuno aja.

“Kak.. Jangan ngomong gitu, kasian nanti Yuno jadi kepikiran di sana. Jadi enggak tenang dia,” Bunda menasihati sembari ngusap-ngusap pinggang putrinya itu.

Bunda tahu apa yang Ara rasain karena dulu Bunda juga pernah ngalamin, tapi di posisi seperti ini Bunda juga mikirin menantunya. Bunda takut Yuno kepikiran sampai berdampak sama pekerjaannya di rumah sakit, Makanya Bunda berusaha nenangin Ara sebisa mungkin.

iya, nanti aku pulang yah. Kamu mau di bawain apa?” Yuno ngalahin pembicaraan ke topik lain, liat Ara nangis dia juga jadi kepengen nangis rasanya.

“Aku maunya kamu! Kamu aja, gak usah bawa apa-apa lagi. Kamu pulang aja.”

iya, nanti aku pulang yah. Sabar ya sayang, aku juga kan maunya sama kamu. Mau nya juga nemenin kamu sampai Hana lahir.

Ara gak jawab lagi, dia masih nangis tapi dengar suara Yuno lumayan bikin hatinya tenang. “Perutku sakit.. Hana gerak terus di dalam, Mas. Sakit banget.”

Hana lagi cari jalan keluarnya, kan udah enggak sabar mau ketemu sama Ibu sama Papa nya juga. Kamu makan yah, biar punya tenaga. Nanti kalau aku udah sampai sana, aku yang jagain Hana. Ya?

Ara ngangguk, dia jadi enggak tega karena nyuruh Yuno cepat-cepat pulang. Tapi ngeliat Yuno di sebrang sana nangis dengan mata yang memerah, Ara jadi ngerasa bersalah banget.

“Mas jangan nangis..”

kepikiran kamu, kasian liat kamu kesakitan tapi aku enggak ada di sana, aku minta maaf yah, sayang.

Liat Yuno nangis Ara jadi ikutan nangis, Bunda pun juga nangis karena kasihan liat anak dan menantunya itu yang di pisahin sama jarak, Bunda cukup memaklumi Yuno. Dia enggak nyalahin Yuno karena sering ninggal-ninggalin Ara waktu hamil dan gak ada waktu Ara melahirkan.

Bunda tahu Yuno anak yang baik, Yuno juga sempat menyuruh Ara untuk melahirkan di Jerman supaya Yuno bisa nemenin Istrinya itu. Tapi ada banyak hal juga yang harus di pertimbangkan, terutama dari keluarga Yuno yang ingin Ara melahirkan di Indonesia saja. Bunda juga cukup memaklumi karena Hana menjadi cucu pertama di keluarga mereka, karena sepupu-sepupu Yuno yang lain juga belum menikah.

“Kamu jangan nangis.”

Yuno kelihatan ngusap air matanya habis itu senyum, dia harus semangatin Istrinya itu. “jelek yah?

“Masih ganteng kok.”

kalo Hana udah lahir nanti, liat yah dia ada lesung pipi nya atau enggak.” Yuno terkekeh, dia godain Ara kaya gitu supaya Ara enggak stress dan gak membuat persalinannya lebih lama.

“Kalo enggak ada gimana?”

kalo enggak ada lesung pipi nya, mau aku kasih punyaku.

“Kalau ada?”

berarti kamu punya dua orang yang kamu sayang, yang punya lesung pipi. Jadi kamu enggak nusukin pipi aku terus.” Jelas Yuno, keduanya terkekeh pelan. Ucapan Yuno barusan juga bikin hati Ara menghangat, membayangkan Hana besar nanti punya lesung pipi yang di warisi sama Papa nya.

Setelah sambungan telefon mereka terputus, waktu berlalu dengan sangat cepat bagi Ara. dokter Bagas juga sudah memberi tahu kalau air ketuban Ara sudah pecah, Ara juga sudah masuk ke ruang bersalin di temani sama Bunda dan Mama Lastri.

10 menit berlalu Ara masih berusaha mengejan sekuat tenaga nya, tentu nya di bantu sama oksigen karena dokter Bagas itu tahu soal riwayat penyakit Ara dari kecil.

“Mengejan lagi yah, Ra. 1.. 2..” dokter Bagas ngarahin Ara supaya bayi nya enggak masuk lagi, Ara enggak bisa istirahat lama-lama dia harus terus mengejan karena bayi nya sudah dekat.

“Mmmh.....” Ara mengejan sekuat tenaga yang dia bisa, beneran rasanya kaya tulang rusuknya lagi di patahin secara bersamaan dan nafasnya terasa pendek.

Di sampingnya Mama Lastri ngusap kening Ara pakai tissue karena keringatnya itu terus bercucuran, kalau tadi Ara nangis waktu nunggu pembukaan justru saat mengejan dia gak nangis sama sekali. Fokusnya adalah dia harus melahirkan bayi nya, bayi nya harus selamat.

“Sekali lagi yah, kepala nya sudah semakin dekat, Ra.”

“Mah.. Mas Yuno kemana..” yang di pikiran Ara waktu lagi mengajan kaya gini cuma Yuno, dia butuh Suaminya.

“Sabar yah, sayang. Dikit lagi Yuno sampai di Indo yah. Nanti Mama suruh dia cepat kesini.”

“Ara?? Mengajan lagi yaaa, tarik nafas..”

Ara mengejan cukup panjang, sampai rasanya nafasnya tersenggal. Ia juga sedikit mengangkat kepalanya dan meremas selimut yang menutupi perut hingga kakinya. Melihat Ara yang sudah sangat lemas dengan keringat yang bercucuran, dokter Bagas melepas masker yang menutupi separuh wajahnya.

distosia bahu, Buk.” dokter bagas menatap Mama nya Yuno dengan wajah paniknya.

“Masih bisa di tarik kan dokter Bagas? Atau kita bisa vacum saja.”

makrosomia, Buk. Bayi nya besar.”

Mamanya Yuno memejamkan matanya, bayi yang di kandung menantunya itu besar sedangkan panggul Ara kecil. Ini adalah kehamilan pertamanya dan sialnya bahu bayinya itu menyangkut. Satu-satunya cara adalah menarik bayi nya itu atau dengan cara di vakum.

“Mas Yuno...” Ara merintih, dia berusaha ngantur nafasnya lagi walau terkadang ia masih suka terisak.

“Mbak ada apa sama Ara?” tanya Bunda nya Ara itu, Bunda gak paham dokter Bagas ngomong apa sama Mama nya Yuno tapi perasaan Bunda saat ini enggak enak, Bunda takut Ara dan bayi nya kenapa-kenapa.

“Mbak, tolong tetap pantau Ara supaya tetap sadar yah.”

“Ara.. Dengarkan saya yah, pada hitungan ketiga mengajan sekuat mungkin yah. Saya akan bantu tarik bayi kamu,” dokter Bagas memberi intruksi pada Ara, sesekali ia juga menepuk kaki Ara agar tetap sadar. “Ara dengar saya kan?”

Ara hanya mengangguk, pandangannya sudah buram tapi ia harus tetap sadar. Ia harus melahirkan bayinya dulu. “Bun.. Mas Yuno..”

“Sabar sayang, dikit lagi Yuno sampai yah..”

“Ara.. Tarik nafas..” Mama memberikan instruksi pada menantunya itu. Ara harus segera mengejan sebelum kepala bayinya itu kembali masuk ke dalam.

“Uhhh....” Ara mengangkat kepalanya, ia mengejan sekuat tenaganya. Namun sayangnya nafasnya semakin sesak, ia menitihkan air mata nya melawan rasa sakit yang saat ini sedang dia rasakan.

“Kuat, nak. Anak Bunda kuat!” Bunda mengangkat kepala Ara dan menepuk-nepuk bahu anaknya itu dan mengusapi keringat Ara yang bercucuran di sekitar kening hingga ke leher nya.

“Sekali lagi yah, Ra.”

“Ngh....” Ara kembali mengejan, ia meremas selimut yang menutupi setengah tubuhnya. Sampai akhirnya suara bayi mungil nya itu terdengar, Ara menangis penuh haru. Ia bisa melihat Dokter Bagas mengangkat bayi mungil nya itu yang masih berlumuran darahnya.

“Anak kamu sama Yuno sudah lahir, Ra..” bisik Mama Lastri.

“Hana udah lahir, Mah..”

“Iya, Hana.”

Ara berusaha mengatur nafasnya yang rasanya kaya di ujung lehernya. Dengan tubuh yang masih lemas, dia liatin bagaimana dokter Bagas motong tali pusar bayi nya itu sampai Hana di mandikan.

Begitu Hana sudah selesai di mandikan dan di balut dengan selimut barulah Ara bisa menggendongnya, Hana lahir dengan berat 4,0 kg dan panjangnya 51 cm. Pipinya tembam dengan sedikit kemerahan, rambutnya tebal dan kulitnya putih. Persis kaya Yuno waktu bayi kalo kata Mama Lastri.

“Hana..” panggil Ara, Hana masih tidur di gendongannya. Bibir mungilnya itu sedang sibuk meminum ASI pertama nya.

Enggak lama kemudian Bunda masuk kembali ke ruang bersalin, Bunda melakukan panggilan video dengan Yuno dan memberi tahu Yuno kalau anaknya sudah lahir. Di dalam gendongan Ara, walau jarak sangat jauh memisahkan mereka. Yuno mengadzani telinga anak mereka melalui panggilan video itu.

Ara yang masih lemas cuma bisa liatin aja, dari suaranya Yuno agak sedikit bergetar seperti sedang menahan tangisnya sendiri. Tangis karena haru karena anaknya sudah lahir. Setelah Yuno selesai mengadzani Hana, dia senyum waktu Bunda ngarahin ponselnya ke arah Hana yang ada di gendongan Ara.

Hana, tunggu Papa pulang yah..

“Mirip kamu banget, No. Sampai ke pipi nya pun kaya kamu banget,” ucap Bunda.

Ara enggak kebagian apa-apa yah, Bun?” di sebrang sana Yuno terkekeh, dari jauh pun Yuno bisa lihat Hana benar-benar mirip dengannya walau matanya lebih sipit seperti mata Ara. Kalau Yuno itu agak sedikit besar apalagi kalau lagi melotot.

“Kebagian hikmahnya aja,” sahut Ara.

Bun, maaf sebelumnya. Yuno boleh ngobrol sama Ara dulu gak, Bun?

“Iya, boleh kok, Nak.” Bunda memberikan ponselnya ke Ara dan beralih menggendong Hana, Hana sudah selesai menyusu dan tertidur pulas. Kebetulan sudah ada suster juga yang datang untuk membawa Hana ke ruang bayi.

sayang?” panggil Yuno.

“Iya, Mas?”

terima kasih yah.

Ara mengangguk. “Iya, Mas.”

“*terima kasih udah kuat, udah sabar dan ngelahirin anak kita. Aduh, aku sampai nangis lagi kan. Kenapa jadi cengeng gini,” Yuno ngusap mukanya sambil terkekeh. Rasanya perasaan dia tuh campur aduk banget, sedih, senang dan ingin cepat-cepat pulang buat nemenin Ara dan melihat anaknya.

“Mas juga udah jadi Suami yang baik buat aku, jadi Papa yang baik yah buat Hana juga.”

pasti, aku berusaha terus jadi Suami dan Papa yang baik buat Hana sama anak-anak kita nanti.

Ara ngangguk, lemas banget rasanya dia enggak punya tenaga lagi dan cuma bisa mandangin wajah Suaminya itu. “Sayangi aku terus yah, Mas.”

Sayang aku justru bertambah 50 kali lipat kayanya. Atau kurang yah?

Ara terkekeh pelan, hari itu rasanya dunia hanya milik Yuno dan Ara. Bahagia hanya milik mereka berdua karena lahirnya Hana.

Waktu Ara di Jerman gak terasa udah memasuki dua bulan, besok kedua orang tua Yuno juga sudah terbang ke Jerman untuk menjenguk keadaan Yuno sekaligus menjemput Ara, jadi libur Yuno hari ini ingin Yuno dan Ara manfaatkan untuk jalan-jalan ke luar rumah, mereka sih niatnya enggak kepengen keluar jauh, selain udaranya cukup panas, besok pagi juga Yuno sudah harus kembali koas, Ara gak mau Suaminya itu kecapekan.

Pagi ini Ara udah sibuk banget di depan meja rias di kamar Yuno, sibuk memilih liptint mana yang cocok untuknya hari ini. dia cuma pakai midi dress berwarna putih dengan motif bunga sakura, di balut dengan cardigan berwarna kuning, ah enggak lupa Ara juga pakai bandana yang senada dengan cardigan miliknya.

Ara jarang banget dandan centil kaya gini, kalau kata Gita tuh. Dia lebih tertarik pakai pakaian yang simpel saja seperti jeans, hoodie, atau kaos biasa saja yang di balut dengan cardigan oversize. Tapi berhubung perutnya udah susah pakai jeans dan suasananya cocok untuk mengenakan midi dress jadilah Ara pakai midi dress.

“Sayang, udah belum?” tanya Yuno, Suaminya itu muncul dari balik pintu. tadi dia ada di ruang tengah sedang asik menonton televisi sembari makan sisa rujak yang kemarin Ara minta.

“Udah kok.” Ara senyum, dia puas banget sama hasil make up nya hari ini. Enggak menor dan enggak kelihatan kaya gak make up juga, pokoknya pas banget. Karena sering gabut di apartemen, Ara jadi banyak belajar teknik make up.

Ara berdiri dan memastikan penampilannya sudah rapih kemudian menghampiri Yuno, kalau Yuno sih cuma pakai kemeja dengan dalaman tanpa lengan, ia bahkan sengaja tidak mengancingi kemejanya dan celana pendek aja, toh mereka pergi enggak jauh hanya sepedahan kemudian memakan gelato di taman.

Begitu Ara menghampirinya Yuno senyum, agak sedikit salah tingkah karena Istrinya cantik banget ya walau hari-hari biasa Ara juga tetap cantik di mata Yuno kok.

“Kenapa kok senyum-senyum kaya gitu? ada yang aneh ya sama bajuku?” Ara mastiin penampilannya lagi, dia tuh kalau di liatin kaya gitu sama Yuno jadi mikir apa bajunya ada yang aneh atau berlebihan.

“Enggak papa, emang gak boleh senyum-senyum liatin Istri aku?” tanya Yuno.

“Ya boleh aja, aku pikir dandanan aku heboh banget padahal kita cuma mau sepedahan habis itu makan gelato.”

“Enggak kok, cantik, yuk jalan.” Yuno mengambil tangan Ara dan menggandengnya untuk keluar dari apartemen mereka.

keduanya turun dari lantai sepuluh apartemen Yuno berada, ada beberapa mahasiswa lain juga yang ikut turun di lift dan menyapa Yuno. teman-teman Yuno di apartemen ini emang kebanyakan orang asingnya lebih banyak berasal dari Asia Tenggara malahan, makanya enggak jarang Yuno suka bertegur sapa.

Kalau sama orang Jerman asli justru mereka jarang negur kalau enggak dekat-dekat banget. begitu sampai di parkiran sepeda, Ara senyum sumringah banget apalagi waktu liat sepeda yang boleh Yuno sewa itu. ada keranjang di depannya dan kursi penumpang di belakang yang tampak empuk sekali joknya.

Ah enggak lupa, Yuno membelikan Ara bunga yang sengaja ia taruh di keranjang sepedanya. Itu bunga lily yang indah dengan campuran warna kuning dan putih, Yuno sengaja membeli bunga lily meski Ara sangat menyukai bunga mawar. Menurutnya mawar lebih cocok di berikan saat mereka melakukan makan malam romantis.

“Untuk Istri aku yang paling cantik.” Yuno ngasih bucket berisi bunga lily itu ke Ara.

“Kok tumben beli lily?” Ara ambil bucket itu dan senyum, dia bukan enggak suka kok. Dia suka banget sama semua hal yang di kasih Yuno untuknya, dia cuma nanya gitu karena biasanya Yuno kasih bunga mawar ke dia.

“Ada artinya.”

“Apa?” Ara senyum, dia gak nyangka Yuno nyari tahu tentang arti bunga seperti ini.

“Bunga lily dengan warna putih dan kuning itu melambangkan kesucian, kepolosan, kegembiraan dan penuh syukur,” jelas Yuno. Dia nyari tahu banyak hal ini dari internet, meski lebih suka mengutarakan rasa sayangnya dengan perbuatan. Yuno juga ingin menunjukan rasa sayangnya melalui kata-kata.

Ara dulu itu pernah salah paham sama Yuno, dia pernah bilang sikap Yuno terkadang membuatnya bingung dan membuat Ara merasa jika Yuno tidak benar-benar mencintainya hanya karena Yuno jarang memberikan kata-kata yang manis untuknya, waktu itu Yuno cuma mikir, tanpa ia utarakan itu semua melalui kata-kata ia yakin Ara sudah tahu.

“Manis banget Suami aku, makasih yah, Mas.”

“Sama-sama sayangku.”

“Oh iya, Mas. kamu nyewa nya dimana sepedanya?, lucu warna nya pink gini.” bukanya naik Ara justru jalan mengitari sepedanya dulu, takjub banget karena sepedanya begitu manis karena berwana pink, warna kesukaan Ara banget kan.

“Aku bukan nyewa ke rental gitu sih sayang, aku nyewa punya pacarnya Josep inget gak teman sekolah bahasaku dulu?” Yuno berusaha ingatin Ara sama Josep, teman sekolah bahasanya dulu yang sekarang tinggal di Hamburg. cowok itu masuk salah satu universitas teknik yang ada di sana, sebelum pindah ke Heidelberg Yuno itu pernah sekolah bahasa di Berlin.

“Ingat, jadi ini punyanya Alice?” Ara pernah ketemu sekali sama Alice, pacarnya Josep itu emang orang Jerman asli dia enggak ketemu Josep di sekolah bahasa, melainkan Alice ini adalah tetangga Josep di apartemennya.

“Yup, dia sekarang ada di Heidelberg apartnya ada di dekat kampus aku. dia kebetulan lagi ambil S2 di kampus aku.”

“Kamu kok baru cerita?” biasanya Yuno tuh suka cerita tentang teman-temannya, waktu mereka LDR dan masih pacaran pun kaya gitu.

Makanya walau Ara enggak tahu banyak teman Yuno di Jerman secara langsung tapi dia tahu nama-namanya, ya Yuno juga gitu sih. tapi teman Ara di kampusnya juga kebanyakan teman dari SMA nya.

“Baru sempat sayang, yuk. nanti keburu panas.”

Mereka berdua naik sepeda mengelilingi jalanan Heidelberg yang pagi itu lumayan ramai, banyak orang-orang yang menikmati waktu musim panas dengan berjalan-jalan, di atas sepeda sembari berpegangan dengan pinggang Yuno, Ara sempat videoin jalanan sekitar, dia juga sempat videoin Yuno dengan ekspresi konyolnya itu.

Selama dua bulan di Jerman baru hari ini Ara dan Yuno keluar rumah berdua kaya gini, biasanya tuh lebih banyak Yuno yang keluar buat koas, belanja atau nyari makanan yang lagi Istrinya itu kepengin. ya walau kadang hal itu juga yang cukup bikin kepala Yuno berdenyut nyeri, karena kadang makanan yang Ara minta itu susah banget di dapatin. Ara tuh lebih banyak ngidam makanan Indonesia terutama rujak, sementara di Heidelberg itu makanan Indonesia jarang banget kalau pun ada itu pun cuma makanan sekelas soto ayam, bakso, pecel ayam, atau nasi Padang.

Yuno memberhentikan sepeda nya di depan sebuah kedai gelato yang cukup ramai, yup, antrean yang cukup panjang itu membuktikan kalau rasa gelato di kedai itu memang enak. Ini kedua kalinya Ara makan gelato di tempat itu, sebelumnya Ara pernah mencicipinya waktu mereka pacaran tapi saat musim dingin.

“Kamu duduk di sini sebentar ya, aku aja yang antre, kamu mau rasa apa?” Yuno narik salah satu kursi di sana buat Ara duduk, dia takut Ara capek karena duduk di kursi sepeda.

“Mau rasa strawberry aja kayanya, Mas.”

Yuno mengangguk, “udah itu aja?”

“Iya itu aja.”

baru saja Ara mau mengeluarkan ponselnya untuk foto-foto keadaan sekitar tapi Yuno yang tadinya sudah mengantre itu kembali lagi ke meja mereka dan bikin Ara bingung, “kenapa, Mas? ada yang ketinggalan?

“Enggak, sayang kaki kamu pegal gak? kalau pegal nanti kita naik taksi aja, aku takut kamu enggak nyaman atau pegal naik sepeda.”

mendengar ucapan itu hati Ara menghangat, Yuno kembali ke meja mereka hanya ingin memastikan jika ia baik-baik saja. Yuno benar-benar sayang dan seperduli itu dengan Istrinya, memang semenjak menikah Yuno selalu memprioritaskan Ara di banding dirinya sendiri. hal itu juga yang memberatkan Yuno ketika sadar dia enggak bisa selalu di samping Istrinya itu karena harus menyelesaikan study nya.

Ara terkekeh, lucu karena muka Yuno yang tampak khawatir tapi juga terdengar manis di telinganya, “enggak, Mas. aku gapapa kok, malahan sepedanya tuh nyaman banget jok nya juga empuk, aku tuh lagi nikmatin banget tau udaranya walau angin nya lumayan kencang.”

“Bener?” tanya Yuno memastikan lagi.

“Yup.”

Yuno mengangguk, “Yaudah kalau gitu aku antre lagi yah.” sebelum pergi mengantre, Yuno mengusap pucuk kepala Ara dengan gemas.

Ara yang nunggu Yuno antre gelato buat mereka berdua akhirnya cuma mainin ponselnya aja, dia juga sempat foto Suaminya itu dari jauh dan bikin story di akun sosial media miliknya.

Setelah mendapatkan dua gelato mereka berdua jalan pelan-pelan ke taman yang tidak jauh dari kedai gelato nya. dulu waktu Ara pertama kali ke Jerman dia gak di ajak Yuno ke taman Neckarwiese karena saat itu memang sedang musim dingin, jadi mereka cuma jalan-jalan ke sekitaran kastil dan sungi Neckar saja.

Di taman itu cukup ramai, banyak anak-anak sampai orang lansia yang menikmati indahnya cuaca hari itu, Ara baru tahu kalau disekitaran taman ada orang yang berjualan juga. mulai jualan roti, ice cream, pizza, hotdog sampai buah-buahan. tamannya indah dengan aliran sungai yang cukup tenang dan burung-burung yang berterbangan.

Ara dan Yuno memilih untuk duduk di hamparan rumput dengan alas seadanya yang Yuno bawa di keranjang sepeda mereka. Sembari memakan gelato, Yuno yang merasa gerah itu membuka kemeja yang ia pakai dan menyampirkannya di bahu nya saja.

“Mas, pakai bajunya ih.” Ara ambil kemeja milik Yuno itu dan memberikannya ke Suaminya itu untuk di pakai.

“Gerah sayang, nanti kalau udah pulang aku pakai lagi.”

“Ish kamu mah.” Ara cemberut. Sebel banget kalau Yuno udah pamer-pamer badan kaya gini.

“Sayang banget yah aku waktu ke sini malah pas winter, jadi enggak bisa main-main ke taman deh,” gumam Ara sembari makan gelato nya, main di taman dengan suasana seperti ini tuh bikin Ara ngerasa dia lagi ada di negeri dongeng deh. soalnya memang benar-benar terlihat fairytale banget.

“Tapi kan sekarang udah aku ajak sayang, bonus bertiga sama Hana pula.” Yuno terkekeh.

“Kalau nanti Hana udah lahir kita ke sini lagi yuk, Mas?” Ara menoleh ke arah Yuno bayangin mereka bisa piknik seperti ini lagi sama anak mereka kelak tuh bikin hati Ara menghangat banget rasanya.

“Pasti, nanti aku ajak kamu ke sini lagi ya. Nanti kita piknik yang lebih niat lagi, bawa makanan sama main layangan juga kayanya asik deh.” mereka tuh emang enggak niat buat piknik, cuma mau jalan-jalan keliling aja makan gelato dan makan siang di luar.

Ara mengangguk, mereka sempat mengambil foto berdua dan bergantian. sembari memotret Ara, Yuno diam-diam jadi kepikiran soal dirinya yang masih merintis karir dan menyelesaikan study nya, kadang ada dimana Yuno malu sama Ara karena Istrinya itu sudah punya penghasilan sendiri.

Ada lebih mandiri darinya, bahkan Ara sudah punya penghasilan sendiri sejak kuliah. Penghasilan yang dia dapat dari endorse dan menjadi model brand make up, selain itu Ara juga pandai mengelola keuangannya. Bahkan Ara daftar S2 kuliahnya itu pakai biayanya sendiri.

“Sayang?” panggil Yuno yang membuat Ara menoleh ke arahnya, tadi dia sedang melihat-lihat hasil foto mereka.

“Kenapa, Mas?”

“Kamu pernah malu gak karena aku belum punya penghasilan sendiri?” Yuno mengecilkan suaranya, andai dia di beri kesempatan untuk mengambil pekerjaan paruh waktu mungkin Yuno enggak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.

“Kok Mas nanya kaya gitu?” Ara cuma heran aja kenapa tiba-tiba Yuno nanya kaya gitu, ya Ara tahu kok Yuno belum punya penghasilan sendiri. dan Yuno menafkahinya juga dari orang tua nya, dari uang saku yang Yuno terima dan di bagi dua untuknya juga.

“Gapapa, aku kadang suka malu aja sama kamu. kamu Istri aku, udah punya penghasilan sendiri lebih besar dari aku pula. Aku kayanya lagi malu aja karna nafkahin kamu dari uang saku yang Papa dan Mama kasih ke aku. Aku bukan anak yang mandiri.” Yuno nunduk dan terkekeh menertawakan dirinya, Yuno ngerasa pecundang banget.

Ara senyum, dia naruh mangkuk gelato miliknya dan meluk Yuno dari samping, Suaminya itu sedang tidak merasa percaya diri sekarang. “Aku enggak pernah malu kok, aku paham kamu masih ngelanjutin study kamu, aku bisa ngerti itu. aku justru bangga sama kamu.”

“Bangga?”

Ara mengangguk, “iya bangga, soalnya kamu udah ngorbanin cita-cita kamu demi jadi dokter kaya yang orang tua kamu mau, kamu udah kuat banget bertahan sampai sekarang ini, yang aku tau pasti itu semua gak mudah, kamu sendirian di negeri orang, belajar keras banget sampai bisa kaya sekarang ini.”

“Mas, semua yang Papa dan Mama kasih untuk kamu itu nanti akan terbayarkan sama pengabdian kamu. Mereka naruh harapan besar di pundak kamu supaya kamu bisa mengelola rumah sakit kelak, aku mungkin kalau jadi kamu enggak sanggup deh.”

Ara gak pernah merasa malu sama sekali sama Suaminya itu, Ara tahu hidup sebagai Yuno itu enggak mudah, baginya rezeki itu bisa di cari sama-sama dan Ara pun sama sekali enggak merasa keberatan harus nemenin Yuno sampai jadi dokter. Dia mau jadi wanita yang ada di balik kesuksesan Suaminya.

Mendengar hal itu bikin perasaan gak percaya diri Yuno itu hilang, perasaanya lega dan enggak ada hentinya dia bersyukur karena bisa memiliki Ara yang nerima dia apa adanya. Ara udah banyak ngalah dan sabar buat hubungan mereka, kadang Yuno mikir, kalau bukan bersama Ara pasti perempuan lain pun enggak akan bertahan di situasi seperti ini.

“Makasih yah, sayang. Tuhan tuh beneran baik banget udah kasih kamu di hidup aku.” Yuno meluk Ara gemas dan cium kening Istrinya itu.

“Gombal yah kamu?”

“Enak aja, aku tuh serius tau!” karena gemas akhirnya Yuno maju buat nyium bibir Istrinya itu, namun Ara memilih menghindar karena dia malu banget ada beberapa lansia yang melihat ke arah mereka walau sambil tersenyum. Lagi pula banyak anak kecil juga, walau ada beberapa pasangan juga di sana.

“Mas, ih malu tau!!” pekik Ara.

“Biarin, orang kamu Istri aku juga.”

“Tapi kan mereka enggak tahu. Kalau kita di sangka pasangan mesum gimana?” Ara melirik ke sekitar dengan semburat merah di pipinya.

“She's my wife!!” teriak Yuno yang bikin Ara mencubit pinggang Suaminya itu dengan gemas.

“Mas!!” rajuk Ara.

“Itu sekarang mereka udah tahu kamu Istri aku.”

Betah yah lo di sana, sampe nggak pulang-pulang. Gimana jadi baby moon gak?

Pagi ini Ara lagi masak sambil di temenin Gita lewat panggilan video, tadi nya dia masak sambil nonton drama Korea tapi enggak lama kemudian Gita telfon. Dia bilang si kembar Eloise dan Elios kangen banget sama aunty nya.

“Betah lah, ada Suami gue di sini soalnya. Tapi gue tuh belum jadi baby moon tau, Git.” Ara menghela nafasnya, boro-boro baby moon. Bisa seharian berduaan sama Suaminya itu aja rasanya Ara udah sangat bersyukur.

Kak Yuno masih sibuk banget yah?” di sebrang sana Gita lagi jagain anak-anaknya yang lagi main, tadi sih si kembar full ngobrol sama Ara. Tapi sekarang dua bocah itu udah agak bosan dan lebih milih bermain, walau kadang tiba-tiba muncul di layar ponsel Gita waktu Gita lagi ngobrol sama Ara.

“Banget, kalo libur pun kadang dia udah tepar atau di pakai buat belajar. Yah paling cuma manja-manjaan doang, udah. Tapi gapapa lah asalkan dia di deket gue.”

Karena biasa jauh dari Yuno, Yuno di rumah walau tidur pun rasanya itu udah cukup buat Ara. Makanya dia enggak ngomongin soal baby moon sama Yuno lagi, biar nanti lah gampang di Jakarta dia bisa baby moon sendirian. Emang ada yah yang begitu? Pikirnya.

kasian resiko punya Suami kaya Bang Toyib yah, Ra.

“Lo gimana sama Mas Iyal di Bandung, sehat kan?”

sehat kok, Chaka juga baru balik dari rumah gue. Semalem dia nginep di sini.” Chaka emang suka nginap di rumah Gita kadang, terutama kalau lagi galau perkara berantem sama Niken pacarnya pasti merengek nya ke Gita. Kadang Ara suka mikir, Gita sama Arial ini udah kaya punya peran orang tua selama di Bandung.

Ya gimana enggak, waktu mereka liburan ke Malang. Gita sama Arial juga yang sibuk ngurus tiket, pesan villa, nyari destinasi wisata. Belum lagi kalau anak kosan banyak request kaya Chaka, dia ngotot banget harus dapat vila yang view nya bagus dan instagramable katanya buat kepentingan feeds Instagramnya dia.

Waktu ke Korea juga gitu, walau yang pesan tiket pesawat, hotel dan destinasi wisata itu Kevin sama Chaka. Begitu sampai di Korea juga Gita yang lebih banyak peran buat jagain anak-anak kosan, belum lagi soal Chaka sama Janu yang hampir aja di culik sama perempuan asing yang ngajakin dia masuk komunitas enggak jelas gitu.

“Kenapa lagi dia?” Ara terkekeh, udah bisa menebak kok Chaka kenapa tapi bingung aja kali ini masalahnya apa.

Chaka tuh cerita kalau Aa nya Teh Niken udah ada rencana nikah, tapi yah gak dalam waktu dekat. Gak 1-2 tahun lagi gitu loh, Ra. Chaka udah ketemu kok sama Aa nya Teh Niken, waktu di tanya kenapa dia ngebet banget ngajak Teh Niken nikah yah gitu. Jawaban dia gak bisa bikin Aa nya Teh Niken yakin buat ngelepas Teh Niken nikah duluan, dia kayanya sih nyesel aja sama jawaban yang dia kasih,” jelas Gita.

“Emang dia jawab apa deh?”

Sembari mengangkat ayam yang sudah matang, Ara sesekali melirik ke arah jam yang ada di dekat kulkas. Sudah jam setengah sembilan pagi, 30 menit lagi mungkin Suaminya itu sudah pulang. Yuno itu kedapatan shift malam jadi pulangnya pagi kalau enggak terlambat sih seharusnya Yuno sudah sampai jam sembilan pas nanti.

jadi Chaka tuh awalnya kelihatan mikir gitu loh, sampe akhirnya Aa nya Teh Niken ini nyeletuk apa karna temen-temannya Chaka udah nikah makanya dia kepengen nikah juga, terus lo tau gak? Si Chaka loyo itu bilang, karena itu juga.

“Hah? Serius lo, Git?”

iya serius, dia sih ngomong ke gue keceplosan yah. Tapi gatau juga deh, karena itu Teh Niken jadi kesel sama Chaka terus mereka berantem deh.

Ara geleng-geleng aja, Chaka emang paling muda di antara mereka enggak jarang kadang mereka semua kaya manjain Chaka, ngemong cowok itu supaya lebih dewasa lagi. Padahal Chaka itu punya adek cewek, tapi menurut Ara justru lebih dewasaan Cherry adiknya Chaka ketimbang Chaka sendiri.

Enggak lama kemudian bunyi bip kecil dari pintu apartemen Yuno itu terdengar, ternyata itu Yuno, Suaminya Yuno pulang lebih awal ternyata.

“Hm, Git. Mas Yuno udah pulang. Gue lanjutin masak dulu yah, nanti gue telfon lagi.”

oke deh, bye, Ra..

Setelah sambungan telfon itu mati, Ara ngecilin api kompor nya. Dia lagi masak soto ayam buat sarapan mereka, Ara juga sudah buat teh manis hangat buat Yuno kok, karena tiap pulang dari rumah sakit pasti Yuno selalu minum teh manis hangat.

Kalau biasanya Yuno pulang dengan senyum dan langsung memeluknya, kali ini Suaminya itu tampak lesu dengan raut muka yang kalut. Enggak ada sapaan untuk Ara, Yuno langsung melempar tasnya ke sofa kemudian duduk di sana.

“Mas udah pulang?” sapa Ara, dia ambil teh manis hangat punya Yuno dan naruh cangkir itu di atas meja. Ara juga duduk di samping Yuno karena suaminya itu tampak enggak baik-baik aja.

“Mas?” panggil Ara.

Tidak ada sahutan dari bibir Yuno, namun bahu lebarnya itu bergetar dan terdengar isakan keluar dari bibir nya. Hal itu juga yang membuat Ara bingung, tapi dari reaksi yang di tunjukan Yuno ia bisa tahu kalau Suaminya itu sedang tidak baik-baik saja.

Tapi Yuno kenapa? Atau dia buat kesalahan di rumah sakit? Apa dia di marahi seniornya? Atau Yuno lelah karena pasien yang terlalu banyak? Atau Yuno gagal dalam presentase koas nya? Setahu Ara minggu depan Yuno sudah melanjutkan ke stase berikutnya.

“Sayang, kenapa?” Ara naruh kepala Yuno di bahunya, meluk Suaminya itu dan mengusap punggungnya supaya Yuno jauh lebih tenang.

“Ak..aku gak..bisa—” Yuno enggak sanggup melanjutkan kata-katanya, dia terisak sampai-sampai meluk Ara kenceng banget.

“Sssttt...”

Ara biarin Yuno numpuhin seluruh berat badannya, dia enggak nanya Yuno kenapa lagi. Dia malah biarin Yuno lampiasin semua kesedihannya di pundak Ara, ya walau itu bikin bajunya agak basah karena air mata Suaminya itu.

Dulu Yuno pernah nangis kok, Ara pernah lihat. Itu pun waktu mereka putus, tapi tangis Yuno kali ini benar-benar terdengar menyakitkan sekali. Seperti ia habis di tinggal mati seseorang. Setelah di rasa cukup tenang, Yuno melonggarkan pelukannya itu. Memejamkan kedua matanya ketika Ara menghapus jejak air mata yang tersisa di pelupuk matanya.

“Kamu kenapa?” tanya Ara sekali lagi.

“Sayang, aku gak bisa selamatin pasien...” ucap Yuno lirih. Dia menggeleng pelan dan ngusap wajahnya gusar. “Ada korban kecelakaan beruntun subuh tadi, ada anak kecil yang sekarat pas udah datang. Aku sama dokter yang lain berusaha nolong dia, tapi dia meninggal waktu dalam perjalanan ke ruang operasi. Dia meninggal megang tanganku kaya gini.”

Yuno nunjukin cara pasien nya itu megang tangannya, dan itu bikin air matanya mengalir lagi. Ara bisa lihat ada kekecewaan di mata Yuno dan juga penyesalan, tapi menurutnya dokter itu bukan Tuhan. Dokter hanya bisa berusaha menyelamatkan tapi umur seseorang itu tetap Tuhan yang menentukan.

“Aku ngerasa bersalah banget sama dia, tatapan mata dia tuh, dia lihat ke aku seolah-olah dia minta tolong, sayang..”

Ara mengangguk pelan, dia ngusap-ngusap bahu Yuno lagi. Yuno memang paling enggak bisa kalau sudah menyangkut soal anak kecil dan lansia, makanya waktu itu Yuno pernah berencana untuk mengambil spesialis anak, saking suka nya dia sama anak-anak.

“Aku bukan dokter yang baik..”

Ara bukan diam aja kok, dia cuma lagi dengarin semua curahan hati Yuno dan keluh kesahnya hari ini. Karena dia tahu hari ini hari yang enggak mudah buat Yuno lalui, dan ini juga pertama kalinya Yuno melihat pasien yang ia tangani bersama senior nya yang lain tidak selamat, makanya ini jadi penyesalan pertama untuk Yuno.

Di rumah sakit pun teman-teman sesama dokter koas dan senior nya sudah menasihati Yuno kalau ini bukan salahnya, anak itu juga mengalami gagal jantung setelah kecelakaan yang menyebabkannya meninggal.

“Minum dulu yah.” setelah di rasa jauh lebih tenang, Ara nyuruh Yuno minum. Suaminya itu juga sudah bersandar pada sofa sekarang.

“Mas udah berusaha nyelamatin nyawanya, tapi kalau Tuhan berkata lain mau gimana lagi? Dokter itu bukan bukan Tuhan, Mas.”

“Aku cuma keinget gimana dia megang tangan aku sama liatin aku, sayang. Aku cuma ngebayangin gimana kalau itu anak kita.”

Ara senyum, tuh kan. Kalau sudah soal anak kecil Yuno pasti gak tegaan kaya gini. Apalagi sekarang dia sudah menjadi seorang Ayah, naluri kebapakan nya semakin muncul walau itu bukan sama anaknya sendiri.

“Dia pasti masih kecil banget yah?” tanya Ara.

“Umur nya baru 5 tahun, cantik banget.”

“Kamu sama dokter yang lain udah cukup berusaha nyelamatin nyawanya, dia pasti tahu kalian berusaha keras buat itu.”

Yuno diam aja, dia genggam tangan Ara karena itu bikin dia nyaman. Walau masih sedikit terbayang sama wajah anak itu, tapi perasaan Yuno sudah cukup membaik.

“Makasih yah, sayang. Maaf pulang-pulang bikin kamu bingung.” Yuno ngusap punggung tangan Ara yang ada di genggamannya.

“Gapapa dong, Mas. Mandi yah, habis itu sarapan terus istirahat.”

“Aku udah mandi di rumah sakit.”

“Ganti baju kalau gitu.”

“Sayang?”

“Hm?”

“Mau peluk lagi,” ucap Yuno yang bikin Ara terkekeh. Manja Suaminya itu kumat ternyata setelah menangis.

Akhirnya Ara memeluk Yuno dengan gemas, menciumi telinga Suaminya itu sampai Yuno terkekeh karena geli. “Hana, kamu bisa rasain gak Papa nya manja banget nih.”

“Aku mau puas-puasin manja sama kamu sebelum kamu pulang pokoknya!” rajuknya.

Sudah sekitar 3 minggu Ara berada di Jerman dan selama itu juga lah waktunya lebih banyak di habiskan di apartemen, ya walaupun kadang-kadang Ara suka pamit sama Yuno buat jalan-jalan atau sekedar belanja bahan makanan buat stok di kulkas. Selain itu, karena lebih banyak waktu luang. Ara juga jadi sering take video buat kontennya, tentang Heidelberg, tentang ceritanya mengikuti banyak kelas sampai take video buat brand yang endorse dia.

Sampai ada satu konten dia sama Yuno yang nyeritain bagaimana sulitnya masuk jurusan psikologi dan kedokteran waktu itu, dan siapa sangka kalau sejak konten itu Ara upload subcribes nya langsung naik drastis hingga 10 juta subcribers. Sejak itu juga kolom komentarnya langsung di banjiri sama permintaan Ara buat bikin vlog lagi sama Yuno, emang dasar yah cewek-cewek enggak bisa liat manusia ganteng dikit.

Oiya, Reno udah pulang 3 hari yang lalu. Yuno juga masih koas kaya biasanya, kalau lagi dapat jatah shift malam. Biasanya pagi mereka akan jalan-jalan sebentar atau kadang menghabiskan waktu di rumah buat ngobrol. Kalau Yuno lagi dapat shift pagi biasanya mereka akan lebih banyak waktu di malam hari.

Dan begitu pun seterusnya, yang agak merepotkan paling kalau Yuno dapat shift siang, kadang Yuno pulang larut banget dan bisa tidur sampai siang, sampai waktunya dia mau berangkat lagi. walau Yuno sibuk banget, Ara enggak pernah sekalipun ngerasa di cuekin kok, karna Yuno masih menyempatkan waktu buat bikinin Ara susu, pijitin pinggangnya atau bahkan jemur pakaian mereka. Yuno dan Ara masih melakukan pekerjaan rumah berdua, enggak ada tuh yang namanya jadi raja dan ratu pokoknya mereka kerjain berdua.

Pagi ini Ara bangun agak telat, Yuno kemarin libur dan hari ini kedapatan shift malam. Jadi paginya Yuno masih ada di rumah, kebiasaan Yuno tiap pagi tuh kalau bangun duluan adalah bukain korden kamarnya biar sirkulasi udaranya lancar bertukar sama udara baru.

Biasanya dia juga suka matiin AC tapi kali ini enggak, soalnya di Jerman sedang musim panas jadi matahari nya pun terik banget. Ara yang tadinya masih tidur itu mengerjapkan matanya, dia ngeraba ranjang sebelahnya buat nyari Yuno.

“Mas Yuno..” gumam nya dengan mata tertutup.

Begitu tidak mendapati jawaban dari Suaminya itu, Ara membuka matanya. Melihat jam dinding yang di pasang Yuno di dekat pintu yang sudah menunjukan jam 8 pagi.

“Ihh gak bangunin,” gerutunya.

Sembari menguap Ara bangun dan iket rambutnya asal. Dia enggak lupa buat beresin tempat tidurnya dan langsung berjalan keluar kamar, Suaminya itu lagi masak ternyata. Waktu Ara buka kamar pun wangi harum dari masakan Yuno sudah menyebar ke seluruh ruangan.

“Pagi..” sapa nya waktu liat Ara keluar dari kamar. Yuno nuangin air putih buat Ara dan kasih gelas itu ke Istrinya, katanya minum air putih di pagi hari pas perut masih kosong tuh sehat banget. “Minum dulu sayang.”

“Mas bangun jam berapa?” Ara minum air yang di kasih Yuno itu hingga tandas setengah dari gelasnya.

“Jam 6 kayanya, kebelet, mules banget terus enggak bisa tidur lagi.”

Setelah minum Ara justru jalan mendekati Yuno dan memeluk Suaminya dari belakang, Yuno udah mandi ternyata. Ara baru sadar Suaminya itu udah berganti baju dari baju yang ia pakai semalam.

Yuno yang di peluk dari belakang sama Istrinya itu senyum, dia masak pakai satu tangan sementara tangan lainnya mengusap punggung tangan Ara yang melingkari pinggangnya.

“Lagi manja banget, sayangku.” walau biasanya manja, tapi jarang banget Ara tiba-tiba meluk kaya gini pas Yuno lagi masak. Semalam Ara memang susah tidur, dia bolak balik ke kamar mandi terus buat buang air kecil dan ngeluh pinggangnya sakit.

Terkadang sambil ngantuk-ngantuk Yuno mijitin pinggang Istrinya itu, walau kalau berhenti Ara suka ngambek dan nyubit dia. Tenang aja, enggak kencang kok malah cubitannya di pinggang Yuno itu lebih terasa geli karna itu titik sensitif Yuno.

“Kangen sama Mas..”

“Kan aku disini dari kemarin juga, mau jalan-jalan? Atau mau di rumah aja hm?” Yuno cuma takut Ara ngerasa jenuh sering dia tinggal, makanya walau sudah serumah dengan Yuno pun kadang Ara masih suka ngerasa kangen karena dia sering banget enggak ada di rumah.

“Mau di rumah aja, Mas. Kaki aku pegel banget soalnya.” Ara tuh kadang suka ngerasa sedih karena semenjak hamil badannya benar-benar ringkih, kaya ada aja yang dia rasain. Entar mual lah, pusing lah, sakit pinggang lah, pegal-pegal lah pokoknya beda-beda tiap harinya sampai kadang bisa tidur dengan mudah aja suatu keajaiban banget buat dia.

“Yaudah, nanti aku pijitin lagi yah. Kayanya di kotak obat aku ada koyo deh, ambil gih, aku selesain masak dulu sebentar.” Yuno nepuk punggung tangan Ara yang masih ada di pinggangnya.

Yuno pagi ini cuma masak beef brokoli saus tiram sama mopo tahu, yang simpel-simpel aja pokoknya biar bisa cepat sarapan. Buat siang nanti dia sebenarnya kepengen buatin Ara sup merah, ada larutan tomat nya dengan toping ayam, kacang polong, sosis dan wortel. Yuno pernah makan di kantin rumah sakit waktu itu, makanya dia jadi sering buat karna rasanya cocok di lidahnya.

“Mas?”

“Ya sayang?”

“Nanti pas mau kerja baju yang ini jangan di cuci yah.”

Yuno terkekeh, tapi dia juga bingung kenapa enggak boleh di cuci? Pikirnya. “Kenapa emangnya?”

“Nanti malam kan aku tidur sendiri ih, gak ada kamu. Biar berasa di temenin ini baju nya kan udah bau kamu nanti.” bukan cuma Yuno aja kok yang ngerasa Ara pagi ini manja banget, Ara sendiri pun ngerasa begitu. Tapi tuh rasanya dia beneran kangen dan gak mau lepas dari Suaminya itu.

“Iya, nanti enggak aku cuci. Apa lagi sayangku.”

“Gapapa itu aja.” Ara lepasin pelukannya dan merhatiin Suaminya itu dari samping, Yuno kalau lagi masak itu serius banget sampai-sampai dia sendiri enggak perduli sama kacamatanya yang berembun.

“Mas itu kaca mata nya berembun ihhh..”

“Tolong elap sayang.” Yuno agak sedikit membungkuk biar Ara enggak perlu berjinjit biar bisa ngambil kacamatanya, namun setelah kacamata itu di lepas oleh Istrinya. Yuno malah mencuri ciuman dari Istrinya itu sampai Ara jadi salah tingkah sendiri.

“Ihhh, Mas. Aku belum mandi!” rengeknya.

“Kenapa emangnya? Aku suka nyiumin kamu belum mandi.”

“Belum sikat gigi juga ih.”

“Biarin.”

Ara cemberut, tapi sedetik kemudian dia senyum-senyum akting nya buat pura-pura ngambek itu enggak bisa ternyata, akhirnya dia pergi dari dapur. Niatnya cuma mau cuci muka habis itu nonton TV sambil nunggu Suaminya itu masak.

“Sayang?” panggil Yuno dari dapur.

“Apa?”

“Di laci kecil lemari baju, paling bawah. Kan ada tempat kaus kaki, di sana ada paper bag. Ambil deh, itu ada sesuatu yang aku beli buat Hana.” Yuno baru ingat soal baju bayi yang pertama kali dia beli, saking sibuknya dia sampai lupa kasihin itu ke Ara buat di pakai anak mereka.

“Mas beli apa?” Ara yang tadinya mau duduk di sofa jadi balik lagi nyamperin Yuno.

“Di liat dong.”

Ara akhirnya kembali ke kamar, mencari paper bag yang Yuno maksud itu di lemari pakaiannya. Begitu mendapati paper bag itu, Ara membuka nya. Ternyata itu adalah baju bayi perempuan berwarna merah muda. Modelnya jumpsuit, ada topi juga berbentuk kuping kelinci. Ara langsung buru-buru keluar dari kamar dan nunjukin baju buat bayi mereka itu ke Yuno.

“Mas beli ini kapan?” tanya Ara, karna selama Ara di Jerman enggak pernah lihat Yuno pulang bawa paper bag dari toko baju, seringan juga bawa kotak berisi makanan yang Ara idam-idamkan.

“Aku belinya udah agak lama sayang, jauh sebelum aku tau kalau bayi kita perempuan. Kayanya pas usia kandungan kamu masih 3 bulan deh.”

“Ihhh, Mas. Ini lucu banget, kok kamu bisa beli yang ini? Ini tuh cewek banget, kalau ternyata anak kita laki-laki gimana?” Ara cuma heran aja, kenapa Yuno bisa beli baju bayi perempuan padahal dia sendiri belum tahu jenis kelamin anaknya. Bahkan Ara pun baru belanja baju bayi pas dia sudah tahu jenis kelamin anaknya, kemarin-kemarin cuma Mama dan Bunda nya yang sibuk belanja peralatan bayi, itu pun yang warna nya netral.

“Gatau sayang, kaya feeling aja kalo anak kita perempuan. Terus juga sebenernya baju itu lucu banget, makanya aku beli.” Yuno terkekeh, malu banget kalau di ingat kekonyolannya beli baju bayi perempuan hanya karena modelnya lucu. “Kalau anak kita laki-laki yah gapapa, kan bisa kita pakain nanti ke Adik nya. Siapa tahu adiknya perempuan kan?”

Mendengar ucapan Yuno barusan pipi Ara langsung merona, apa dia bilang Adiknya? Tapi Ara jadi penasaran Yuno punya rencana buat memiliki anak berapa, karena terus terang Ara enggak ada planing buat punya anak berapa yah pokoknya sedikasihnya aja.

Ara udah pernah nanya sih soal ini dulu, tapi siapa tahu kan Yuno berubah pikiran setelah liat dia hamil yang jadi super manja ini.

“Tapi, Mas. Kamu mau kita punya anak berapa deh? Atau jawabnnya masih sama?” Ara duduk di meja makan sembari ngelipat baju bayinya tadi.

“Hhm... Aku sebenarnya kepengen punya anak 2 tapi enggak tega liat kamu selama hamil, apalagi aku jarang nemenin.”

“Jadi?” Ara menaikan satu alisnya. “Katanya kamu gak mau anak kita kesepian, kan kamu udah ngerasain jadi anak tunggal.”

“Tapi gak tega liat kamu, sayang. Kalau kamu sendiri gimana?”

“Sedikasihnya aja, kalau Tuhan kasih kita anak 2 atau bahkan 4 juga ya gapapa.”

“Bener??” Yuno menyeringai, dia naikin alisnya satu yang bikin Ara jadi panik sendiri, kayanya dia salah ngomong deh. Yuno kalau pikirannya lagi dirty tuh beneran bikin kepala Ara pening.

“Eng...mak..sud aku.”

“Nanti malam kita kerjain kisi-kisinya.”

“Ihhhh Mas!” rengek Ara.

Malam ini Ara duduk di pinggir jendela kamar Yuno berada, menyesap teh yang ia buat sembari melihat rintik hujan yang masih turun namun tidak sederas tadi. Yuno baru pulang, Suaminya itu sudah makan dan sekarang sedang mandi. Dari earphone yang ia selipkan di telinganya, Ara bisa mendengarkan lagu-lagu yang cocok di dengarkan ketika sedang hujan.

Sampai-sampai dia enggak sadar kalau Yuno sudah selesai mandi, Suaminya itu sudah rapih dengan kaos oblong dan celana pendek sedengkul miliknya. Ia kemudian memeluk bahu Istrinya itu dari belakang sembari mengecupi pucuk kepalanya, hal itu juga yang membuat Ara tersenyum dan melepas earphone yang ia pakai.

“Udah wangi,” gumam Ara, ia dapat mencium aroma jasmine yang menyeruak masuk ke hidungnya yang berasal dari tubuh Yuno. Itu wangi sabun yang biasa Ara pakai, kayanya Yuno pakai sabun punyanya deh.

“Mau cium gak hm?” Yuno menaikan satu alisnya menggoda.

“Mau, tapi tunggu sebentar aku punya sesuatu buat kamu.”

“Apa?”

“Sebentar yah.” Ara bangun dari kursinya, mengambil amplop berwarna merah muda dan memberikannya ke Yuno.

Kursi yang Ara duduki tadi kini di ambil alih oleh Yuno, setelah mengambil amplop itu Yuno menepuk paha nya, memberi isyarat pada Istrinya itu untuk duduk di atas paha nya. Tentu saja Ara langsung nurut, dia duduk di pangkuan Yuno dan mengalungkan tangannya di bahu Suaminya itu.

“Buka deh, itu isinya bagus tau.”

“Aku buka yah.”

Ara mengangguk, membiarkan Yuno membuka amplop darinya. Amplop itu berisi foto USG nya, ada keterangan jenis kelamin bayi mereka juga di sana serta nama lengkap yang Ara janjikan pada Yuno di telepon waktu itu.

Waktu melihat fotonya Yuno tersenyum, wajah anaknya sudah terlihat jelas karena itu USG 4D Dan waktu dia membaca keterangan yang ada di balik fotonya Yuno tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca, firasatnya selama ini benar. Anaknya berjenis kelamin perempuan pantas saja rasanya Yuno ingin membeli sesuatu yang berwarna cerah terus, terutama warna merah muda. Yuno mikirnya ini mungkin cuma feeling yang kuat dari seorang Ayah.

“Sayang ini serius? Anak kita perempuan?” tanya Yuno, suaranya bergetar dengan mata yang berkaca-kaca. Namun dengan sigap Yuno menghapus air mata di ujung matanya sebelum jatuh ke pipinya.

Ara mengangguk, “serius, Mas. Ayura Hana Putri Wijaya. Nama anak kita, bagus gak?”

Yuno mengangguk dengan cepat, perpaduan nama yang indah terdengar di telinganya. “Ayura? Cantik?”

“Itu juga termasuk kok, tapi Ayura itu singkatan nama kita. Aryuno dan Ara,” Ara senyum dan Yuno terkekeh pelan, dia gak kepikiran kalau Ara bikin nama depan anak mereka pakai singkatan nama mereka yang terdengar cocok.

“Lucu sayang, kok kamu kepikiran aja sih?”

“Kepikiran lah, tapi kamu suka gak namanya?”

“Suka, suka banget malahan. Yang nambahin Putri di tengahnya juga kamu?”

“Bunda, katanya biar artinya semakin bagus Hana anak dari Aryuno dan Ara yang cantik dan putri dari keluarga Wijaya.”

Mengetahui nama dan jenis kelamin anaknya itu bikin perasaan Yuno menghangat, rasa lelah sehabis seharian koas di rumah sakit rasanya hilang gitu aja, apalagi waktu lihat senyum Istrinya itu. Rasanya kaya seluruh dunia berserta isinya sedang memeluknya, Yuno jadi makin enggak sabar buat ketemu sama anaknya itu. Walau kemungkinan terburuknya adalah ia tidak bisa menemani Ara sat proses persalinan.

“Makasih yah, udah kasih keluarga kecil buat aku.” bisik Yuno, tangannya mengusap-usap pinggang Ara dan kini beralih ke perutnya.

Ara senyum, rasanya bahagia banget bisa kumpul kaya gini lagi sama Suaminya itu. Rasa rindu yang hampir 6 bulan ia pendam itu benar-benar terbayarkan. Kalau udah kaya gini rasanya Ara jadi semakin berat buat ninggalin Yuno lagi, apalago waktu dia datang pertama kali tuh Yuno agak kurus dari yang terakhir dia lihat, mungkin juga karena kesibukan Yuno jadwal makannya jadi enggak teratur.

“Makasih juga udah jadi Suami yang baik yah, Mas.” Ara menyatukan keningnya dengan Yuno, hidung mereka saling bertabrakan dan dengan jahilnya Yuno menggesek nya.

“Kamu tau gak kenapa aku bisa sayang banget sama kamu?”

“Kenapa?”

“Karena kamu wanita paling care lebih dari siapapun, Istriku lebih sukses dari aku dan aku bangga, aku suka fotoin kamu diam-diam kalau kamu lagi makan dan lagi tidur karena kamu tau kenapa?”

Ara menggeleng, jantungnya berdebar banget waktu Yuno jelasin itu semua. Dia bisa ngerasain seluruh cinta yang Yuno punya dan dia berikan itu semua buat Ara.

“Karena di saat itu kamu benar-benar lagi cantik, sayang?”

“Iya, Mas?”

“Aku selalu bawa notes kecil yang kamu kasih ke aku waktu pertama kali aku ke Jerman, walau notes itu udah habis kertasnya karena udah aku isi sama catatan-catatan aku, tapi aku bisa lebih semangat dan ngerasa di temanin kamu kalo bawa notes itu. Kamu wanita yang paling baik, paling hebat yang itu semua gak ada di wanita manapun.”

Ara tersenyum, rasanya bahagia dan ada perasaan sedih sedikit. Ah, lebih tepatnya dia terharu banget dengar ucapan Yuno itu. Suaminya memang romantis, tapi Yuno lebih suka mengungkapkan itu semua dengan bentuk aksi dan perhatian alih-alih ucapan.

“Aku sayang kamu, Ara.” bisik Yuno, ia mendekatkan wajahnya ke Istrinya itu.

Ara memejamkan matanya, ia bisa merasakan sapuan hangat nafas Suaminya itu menyapu wajahnya. Perhalahan-lahan Yuno mengecup bibir Istrinya itu, memberi jeda sebentar sebelum akhirnya kembali mengecup bibir mungil itu lagi.

Dengan gerakan terbata-bata dan rasa malu yang masih selalu hinggap pada dirinya, Ara membalas kecupan-kecupan yang Suaminya berikan itu. Tanganya yang berada di bahu Yuno itu sedikit meremas bahu Suaminya, kecupan yang perlahan-lahan itu membuat Ara merasa sangat di sayang dan di hargai sebagai Istrinya.

Masih sembari mengecup dan melumati bibir bawah Istrinya itu, tangan besar milik Yuno kini mengusap pinggang Ara hingga ke perut buncitnya. Membuat gerakan berputar sampai akhirnya ia menemukan resleting gaun tidur yang di kenakan Ara, ia turunkan resleting itu hingga kini tanganya bersentuhan dengan kulit punggung Ara yang mulus.

Ciuman Yuno yang semula hanya di bibir itu kini turun mengecup pipi Istrinya itu hingga ke leher jenjangnya, membuat Ara memejamkan matanya tiap bibir Suaminya itu mengecupi setiap jengkal kulit lehernya.

“Aahh..”

Desahan yang baru saja di loloskan dari bibir mungil Istrinya itu membuat tubuh Yuno meremang, rasanya sudah lama sekali ia mendambakan saat-saat seperti ini. Perlahan-lahan ia turunkan gaun tidur itu hingga kini hanya menyisakan bra berwarna merah maroon yang Ara kenakan.

“Mas?”

“Hm?” Yuno mendongak, ia menghentikan aksinya sebentar. “Apa sayang?”

“Kunci dulu pintunya.”

Yuno tersenyum, ia hampir saja lupa kalau saat ini Reno masih tinggal di apartemen miliknya. Untung saja Ara mengingatkannya, jadi dengan sigap Yuno gendong Istrinya itu dan ia tidurkan pelan-pelan ke ranjang mereka.

“Sayang?”

“Ya, Mas?”

“Sama dokter udah boleh kan?” waktu mengatakan hal ini telinga Yuno merah, ia tersipu malu meski bicara pada Istrinya sendiri.

Ara mengangguk, waktu terakhir kali check up sama dokter Bagas. Dokter Obgyn nya itu memang sudah memberi tahu kalau ia sudah boleh melakukan aktifitas Suami Istri dengan Yuno asalkan di lakukan hati-hati agar tidak menganggu bayi mereka.

“Boleh kok.”

Mendengar itu Yuno tersenyum, ia kemudian dengan segera mengunci pintu kamarnya dan kembali ke ranjangnya lagi. Malam itu menjadi malam yang panjang bagi keduanya, di temani suasana yang semakin dingin karena habis turun hujan keduanya saling mencurahkan kerinduan dengan saling bersentuhan.

Ara berusaha mengatur nafasnya, mulutnya terbuka kecil dengan tangan yang bertengger di bahu Suaminya itu ia remas. Gerakan Yuno di atas tubuhnya memang pelan, tapi itu berhasil membuat Ara di mabuk kepayang.

“Mas Yu..no” Ara terus mendesah tak karuan dengan posisinya yang di bawah Yuno itu.

i love you. aaahh..” Yuno menatap mata sayu Ara, tubuh keduanya sudah menyatu di bawa sana dengan rasa gerah yang tergambar di titik kening keduanya.

Bisikan dari suara berat Yuno itu berhasil menggelitik telinga kanan Ara, membuat bulu kuduknya seketika meremang. Membuat kepalanya mendadak pening dan tubuhnya yang semakin mendambakan Yuno lebih dalam lagi. Ara tancapkan kuku-kukunya di punggung Suaminya itu, gerakan Yuno yang pelan itu justru membuatnya seperti menggelitik.

please, im gonna come, Mas..”

Di bawah rengkuhan tubuh Suaminya itu, Ara berani bersumpah kalau Yuno jauh lebih tampan dari malam pertama mereka. Dengan rambut yang setengah basah karena habis keramas, tubuh atletisnya dan bibirnya terbentuk sempurna itu ia gigit menahan seluruh nikmat yang ia ciptakan.

“Ahh.. Tahan, sayang. Aku belum selesai.” Yuno mendongakkan kepala nya, kedua tangannya berusaha menahan bobot tubuhnya dengan gerakan pinggangnya yang masih terus bergerak di atas tubuh Istrinya itu.

Ara mati-matian menahan desahannya agar tidak lolos, ia kencangkan otot-ototnya dan mencium bibir Suaminya itu dengan gerakan yang cukup agresif. Sampai di rasa gerakan Yuno yang tadinya lembut itu kini agak sedikit dia tergesa-gesa Yuno tengah mengejar pelepasannya.

“Hah...”

“Sayang—”

Saat di rasa pelepasannya semakin dekat, Yuno keluarkan miliknya. Ia memakai pengaman karena tidak ingin benihnya membuat Ara mengalami kontraksi palsu. Kedua anak manusia itu saling mengatur nafas mereka, menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.

are you okay hm? ada yang sakit gak? Aku kasar yah?” Yuno memeriksa tubuh istrinya itu, takut-takut ia kelepasan hingga menyakiti Istri dan calon bayi mereka.

Ara yang masih tiduran itu menggeleng, ia ambil bantal yang tadi ia pakai di bawah tubuhnya sebagai penyangga agar pinggangnya tidak sakit saat berhubungan tadi.

“Enggak, Mas. i'm fine.” Ara mengusap-usap lengan Yuno.

Setelah memastikan Istrinya tidak kenapa-kenapa, Yuno tiduran di sebelah istrinya itu. Menarik selimut untuk menutupi tubuh polos mereka, dan ia kecupi pucuk kepala Istrinya itu.

“Mas?”

“Hmm?”

Ara mengambil tangan Yuno dan mengarahkannya ke atas perutnya, bayi mereka bergerak dan itu membuat Yuno tersenyum hingga bolongan di pipinya itu muncul.

“Hana? Sayang? Ini Papa nak..” bisik Yuno.

Yuno enggak tahu rasanya mengandung itu seperti apa, tapi ia yakin enggak mudah. Apalagi hormon di tubuh Ara pasti kacau banget, belum lagi dia harus mengalami perubahan bentuk tubuh yang drastis dan rasa tidak nyaman akibat bayi mereka mulai bisa bergerak.

“Mas Julian, besok menu makan siangnya apa?”

“Sayur capcay, ayam kalasan, sambel bawang sama buah nya ada pisang, Buk.” jelas Julian.

Seperti yang Julian bilang kalau dia bakalan fokus sama catering Ibu nya setelah mengundurkan diri dari Ruby Jane, Julian masih nunggu lamaran pekerjaan nya di terima di perusahaan yang ia lamar. Setiap hari yang Julian lakukan adalah belanja bahan-bahan, mengantar catering ke kantor-kantor untuk makan siang karyawan dan sore nya dia ambil lagi kotak makanan nya itu.

Akhir-akhir ini Julian juga nampak hidup kembali dan menikmati harinya, kadang kalau ada waktu dia sempatkan mengajak Ibu dan Andra jalan-jalan keliling Jakarta atau sekadar makan malam di luar. Ngomong-ngomong soal Bianca, Julian udah nyari tahu soal wanita itu ke temannya dulu di Ruby Jane tapi keduanya juga enggak tahu Bianca pindah ke mana.

Mereka bilang Bianca enggak pamitan dan bahkan sejak kejadian fotonya tersebar itu Bianca berhenti mengotak teman-temannya, perasaan Julian memang belum lega. Dan yang hanya bisa dia lakukan saat ini adalah berdoa, semoga dimana pun Bianca berada wanita itu tetap bertemu dengan orang-orang baik.

Setelah sampai rumah, Julian naruh tempat makan kosong dan menaruhnya di tempat cuci piring belakang agar karyawan Ibu nya itu bisa mencuci nya nanti.

“Mas, kayanya harus cari karyawan lagi deh.” Ibu yang duduk di meja makan itu tadi lagi megang catatannya, akhir-akhir ini memang hectic. Catering Ibu banyak yang memesan untuk acara pernikahan dan banyak kantor yang ingin bekerja sama untuk membuatkan makan siang karyawannya, makanya Julian juga kadang suka meeting keluar mewakilkan Ibu.

“Keteter yah, Buk?” Julian duduk di sebelah Ibu dan nuang air di gelas miliknya, haus banget habis ngambil box makanan ke kantor-kantor.

“Iya, terus Buk ijah yang biasa masak juga lagi sakit makanya Ibu bingung.”

“Yaudah, nanti Mas cari yah, Buk. Karyawannya.”

“Makasih yah, Mas.”

Julian mengangguk, “Mas ke kamar dulu yah, Buk. Capek banget.”

Julian masuk ke kamarnya, dia buka baju nya dan gantung baju itu di belakang pintu nya. Julian baru ingat seharian dia enggak buka surel miliknya, siapa tahu kan ada surel masuk dari perusahaan yang ingin merekrutnya.

Sembari bersiul Julian periksa satu persatu pesan di surel miliknya, ternyata masih banyak pesan masuk dari orang yang mau melamar pekerjaan di Ruby Jane, padahal lowongan itu sudah kadaluarsa, Julian sendiri enggak tahu kenapa. Tapi ada satu pesan balasan yang membuat Julian melongok kaget, itu adalah pesan balasan dari perusahaan yang menerima lamaran pekerjaan nya.

2 hari yang lalu memang Julian sempat interview, namun perusahaan yang ingin merekrutnya itu bilang bahwa nanti ia akan di kabari lagi. Julian sempat pesimis jika ia di tolak, namun siapa sangka kalau besok Julian sudah bisa mengambil surat dinas ke kantor nya.

“Buk.. Ibu..” Julian buru-buru keluar dari kamarnya buat nyari Ibu, berita baik ini harus Ibu dulu yang mendengarnya.

“Kenapa, Mas?”

Ternyata Ibu sedang ada di dapur, lagi memilah sayuran yang bagus untuk besok di olah. Dan begitu melihat Julian masuk dengan wajah sumringah sembari langsung memeluknya, Ibu jadi bingung ada apa dengan si sulungnya itu.

“Buk, Mas di terima di perusahaan yang waktu itu Mas lamar, besok Mas udah bisa ambil surat jalannya dan siap-siap ke Semarang,” jelas Julian.

alhamdulillah selamat yah, Mas. Ibu ikutan senang.” Ibu lepasin pelukan si sulung itu dan memegang wajahnya. “Pesan Ibu cuma 1 jangan aneh-aneh lagi yah, baik-baik di sana, jaga diri, jaga omongan kamu tinggal di kampung orang yah.”

“Iya, Buk. Siap, yang kemarin itu hari terakhir Ijul aneh-aneh kok.”

Julian harap ini bisa menjadi awal mula yang baik untuk dia, lagi pula dia bisa selalu pulang ke Jakarta buat jenguk Ibu. Di hari-hari terakhir ia di Jakarta, sejujurnya Julian ingin bertemu dengan teman-temannya. Ia ingin berkumpul sama Janu, Kevin, Chaka dan Gita. Tapi rasanya akan lebih baik kalau dia enggak menemui mereka, Julian takut semua memori tentang Bandung dan Ara akan terputar lagi di kepala nya.


Hari ini karena Yuno ada shift pagi, jadi Ara nemenin Reno keliling-keliling Heidelberg alih-alih gabut di apartemen. Gak lupa Reno juga yang merengek-rengek minta di temenin buat nyari jastip orang yang udah dia catat.

Awalnya Ara enggak mau, tapi tiba-tiba dia jadi teringat kalau dia mau beli baju bayi juga. Kayanya beli 1 atau 2 pasang enggak masalah, sebelum nanti dia belanja banyak baju bayi nya di Jakarta. Lagi pula udara di Heidelberg segar sekali, cuaca nya sedang cantik-cantiknya karena sudah memasuki musim panas.

“Yang ini sama ini emang beda nya apa, Kak? Perasaan sama aja deh.” Reno megang dua lipstik dari brand asli Jerman yang ada ditangannya, dia lagi nyari jastipannya Karina buat kado ulang tahun temannya bulan depan.

“Beda lah, yang ini nude yang ini berry kamu swatch di tangan juga warna nya kelihatan beda,” jelas Ara.

Selain nemenin Reno belanja, dia juga jadi ikutan milih lipstik kan tuh. Padahal tadinya Ara sama sekali enggak niat beli make up, dia cuma mau beli baju bayi dan baju untuk dirinya saja setelah itu mampir ke kedai gelato. Udaranya panas jadi pasti akan segar sekali kalau makan gelato siang-siang.

“Kalau ini juga sama kan sama yang ini.” Reno ambil satu lipstik dengan warna peach itu dan nunjukin ke Ara, dia bandingin warna nude sama peach yang ada di tangannya itu.

“Ish, beda Reno. Ini tuh nude lebih pucat dari pada peach, itu Karin nyuruhnya warna apa? Jangan nanya-nanya terus ah, kan Kakak udah bilang kalau itu warna nya beda.” Ara jadi dongkol sendiri soalnya Reno kebanyakan nanya dan ngeyel banget kalau di kasih tau.

“Ish galak banget!!”

Ara jalan ke lorong berisi foundation dan juga cushion, dia ambil satu foundation merk Dior di sana karna lagi diskon walau cuma 5% tapi kan lumayan. Sekalian dia mau review buat konten, akhir-akhir ini jadwal konten chanel Youtube nya jadi berantakan karna Ara hectic banget.

Padahal dia udah nyiapin materi apa saja yang mau di sampaikan buat konten nya, ah iya, dia lupa bawa tripod dan segala macam alat-alat penunjang bikin video. Biar lah nanti dia bisa suruh Reno bantuin.

“Kak?” tiba-tiba saja Reno nyamperin Ara, Ara udah mutar bola matanya malas aja karena pasti Reno mau nanya-nanya lagi.

“Kenapa?”

“Ternyata tinggal di Jerman enak juga yah, pantes aja Mas Yuno betah.”

Ara nyengir aja waktu Reno bilang gitu, ya memang nyaman untuk di tinggali. Tapi kalau awal-awal memang berniat tinggal dalam jangka waktu yang lama, bakalan banyak kesulitan juga kok salah satunya adalah budaya, bahasa, makanan dan kebiasaan orang Jerman yang sangat individualitas. Yuno pernah cerita soal kendala nya tinggal di Jerman waktu awal-awal pindah ke sana, apalagi waktu itu bahasa Jerman Yuno enggak sebagus sekarang.

Kalau Ara pribadi sih dia emang gak ada niatan buat merantau jauh ke negeri lain, dia udah cukup nyaman tinggal di negara nya dengan budaya yang beragam serta makanannya yang selalu cocok di lidah Ara.

“Ya kalau pertama kali kaya kamu tuh emang enak kelihatannya, tapi kalau kata Mas Yuno tuh sebenarnya agak susah juga terutama kalau ada kendala bahasa. Mas Yuno juga bilang kalau sampai sekarang lidah dia masih belum terbiasa sama makanan di Jerman.” jelas Ara, dia masih milih-milih shade cushion yang cocok sama kulitnya, ini kenapa jadi kalap belanja make up gini sih?

“Ya itu mah pasti, tapi seru aja lagi, Kak. Jadi anak rantau. Coba aja dulu Papa setuju Reno kuliah di Jogja pasti sekarang udah jadi anak rantau nih.” Papa emang gak setuju anaknya merantau jauh dari rumah, Ara merantau ke Bandung pun itu semua berkat Arial. Karna kalau enggak ada Arial enggak akan tuh Ara masuk ke kampus nya dulu.

“Ntar LDR sama Karin emang sanggup?” Ara noleh ke arah Reno yang tampak mengikuti langkahnya perlahan-lahan, Reno sudah selesai belanja lebih dulu tinggal bayar ke kasir aja tapi nunggu Kakaknya itu selesai belanja biar sekalian.

“Gatau deh, gak pernah LDR sama Karin. Emang LDR sesusah itu yah, Kak?”

“Susah banget, makanya dulu Kakak sama Mas Yuno sempat putus kan. Apalagi perbedaan waktunya yang cukup jauh. Tapi kalau cuma Jakarta Jogja sih yah kayanya enggak masalah.”

Reno menghela nafasnya pelan, dia jadi ingat waktu asma kakak nya itu kambuh gara-gara putus sama Yuno. Reno sempat kesal sama Kakak Iparnya dulu karena sudah bikin Kakak nya sakit, tapi waktu dengar kabar mereka balikan Reno ikut senang kok. Karena cowok yang bisa mengerti Kakaknya dan bikin Kakaknya bahagia itu cuma Yuno.

“Sebenarnya habis lulus kuliah juga Reno masih bingung mau ngapain, Kak.” Reno jadi curcol sama ke gundah gulana hatinya ini akhir-akhir ini, dia memang sudah memasuki semester tua. Berbeda dengan Karina yang sudah punya plan untuk lanjut S2, Reno ini masih bingung sama apa yang mau dia lakuin.

Kalau orang-orang di internet tuh nyebut ini fase quarter life crisis. Ara yang paham sedikit tentang hal ini tuh ngerti kok sama apa yang sedang Reno alami, karena ini semua wajar. Ara juga pernah berada di posisi ini dulu.

“Kenapa enggak kembangin Kulacino aja sama Karin? Kali aja bisa jadi toko bakery kan. Atau kerja sama Papa, kasian loh bisnis Papa kalau enggak ada yang nerusin. Kamu tau kan Mas Yuda udah jelas nolak karna alasan bisnis bukan passion dia?”

Reno juga sempat mikir gitu sih, buat bantu bisnis Papa nya itu. Soalnya Mas Yuda sendiri enggak pandai berkecimpung di dunia bisnis, toh di kampus Reno juga belajar tentang bisnis sedikit-sedikit. Tapi dia tuh cuma ngerasa kalau melanjutkan usaha Papa nya, sama saja dia enggak bisa berdiri di kakinya sendiri kan sama saja dia cuma melanjutkan aja enggak merintis dari nol.

Reno ngerasa kaya cuma dia yang di suapi, sedangkan Ara dan Yuda itu pandai di bidang mereka masing-masing. Mereka punya cita-cita yang mereka gapai karna usahanya sendiri yang di mulai dari nol.

“Iya sih, tapi takut jadi omongan karna cuma nerusin bisnis Papa. Kan Reno juga kepengen punya sesuatu yang Reno rintis dari nol, Kak.”

Ara berhenti sebentar dan noleh ke arah Reno, tumbenan banget adiknya itu curhat panjang lebar kaya gini. Biasanya Reno itu gengsian, anaknya lebih suka mendam atau lebih banyak cerita ke Bunda. Reno dan Ara itu lebih dekat sama Bunda, kalau Mas Yuda lebih dekat sama Papa tapi tetap aja Ara dan Reno kalau merengek meminta sesuatu pasti sama Papa, karna pasti langsung di kasih beda sama Bunda yang proses setuju nya lama banget.

“Yaudah, kembangin Kulacino sama Karin. Kakak lihat tuh usaha kamu sama Karina tuh bisa gede loh, Ren. Kalau di seriusin.”

“Emang iya, Kak?” Reno cuma enggak yakin aja, soalnya niat dia open PO brownies yang di beri nama Kulacino itu cuma buat tambahan budget dia ke Jepang liburan sama Karina.

“Beneran Reno, kamu tuh kenapa sih gak yakin banget? Karin aja sering keteteran bikin PO nya kan, apalagi kalo punya toko offline sendiri. Siapa tau dari usaha kecil-kecilan yang kamu bilang sementara itu bisa punya banyak cabang nantinya.”

“Iya juga sih yah, Kak. Tapi kalau Reno sama Karin niat seriusin, Kakak mau bantuin kan?”

“Iya, nanti Kakak bantuin promosi di instagram.”

Mendengar itu Reno jadi ketawa, dia sampai melupakan kalau Kakaknya itu influencer yang pengaruhnya besar banget. Bisa di bayangin kalau Ara promosikan Kulacino bakalan se membludak apa pesanannya.

“Bakalan Reno remember.” ucap Reno.

Dering dari ponsel Yuno yang ia taruh dimeja sebelah ranjangnya itu membangunkan Yuno dari tidurnya, dia raba benda persegi panjang panjang itu dan dia geser tombol hijau nya ke atas.

“Hallo?” gumamnya, Yuno masih mengantuk. Matanya juga masih terpejam, bahkan dia sendiri enggak tahu siapa yang menelponnya sepagi ini, yang terpenting ia angkat dulu saja Kalau-kalau itu telfon penting.

Mas, aku udah sampai di Berlin yah. Kamu mau jemput, apa aku naik taksi aja ke apart kamu?

Begitu mendengar suara Istrinya di sebrang sana, mata Yuno yang tadinya lengket banget enggak bisa kebuka saking mengantuknya itu langsung terbuka lebar dan membulat. Dia liat jam di ponselnya yang sudah menunjukan jam 9 pagi.

“Eng..gak usah aku jemput aja sayang.” Yuno bangun dari ranjangnya, di samping ranjang tidur Yuno itu ada lemari kayu dengan cermin setengah badan di sana. Setelah melihat pantulan dirinya di cermin, Yuno kaget bukan main waktu mendapati rambutnya berubah warna jadi blonde. Seingatnya dia gak pernah cat rambut.

“HAH???!” pekik Yuno kaget.

Mas, kenapa?

Yuno memejamkan matanya, dia mencoba untuk terdengar biasa saja supaya Ara enggak bingung. Karna dia sendiri pun bingung tapi sudah dapat Yuno pastikan biang kerok mana yang mengubah rambutnya menjadi blonde seperti ini.

Jeff sialan, awas aja gak akan gue biarin lo belanja-belanja lagi.

“Ng..gak papa, Sayang. Hm.. Kamu kok gak landing di Frankfurt? Kan lebih dekat dari sana ke Heidelberg kenapa ke Berlin?” dulu waktu Ara ke Heidelberg pertama kali itu dia langsung landing di Frankfurt jadi Yuno enggak jauh jemputnya.

aku pesan yang transit di singapur, Mas. Mau ada yang di beli, terus juga kan aku berangkatnya dari Soekarno Hatta enggak dari Bali.

Memang ada yang mau di beli dulu di Singapur, Ara kangen makan mie yang sangat terkenal di sana. Dulu dia pernah sekali ke Singapur waktu jaman SMA kelas 11, sama Echa. Berdua doang karena cuma bermodalkan nekat, itu pun mereka ngirit setengah mati karena bawa uang pas-pasan.

Yuno mengangguk, “yaudah, kabarin aku kalau sudah sampai stasiun yah. Nanti aku jemput.”

see you, Mas. I love you.

love you too my wife

Setelah memutuskan sambungan telfonnya, Yuno buru-buru mencari buku penghubungnya dengan Jeff. Ternyata di buku itu memang Jeff menuliskan sesuatu, Jeff bilang dia mengambil alih diri Yuno ketika Yuno sedang istirahat dan tertidur di ruang istirahat dokter. Jeff benci Yuno masih mau di suruh-suruh sama Senior nya di rumah sakit dan sebagai hukuman karena Yuno enggak bisa tegas, Jeff mengubah rambut nya dengan warna blonde.

Membaca tulisan tangan Jeff itu bikin Yuno mengepalkan tangannya, masih pagi saja alter nya itu sudah membuatnya dongkol setengah mati. Kalau begini caranya dia harus segera ke salon untuk mengembalikan rambut hitamnya sebelum Ara tiba di Heidelberg.

Jeff tahu soal seniornya itu karena Jeff membacanya di buku penghubung mereka, selain itu ingatan Yuno saat Jeff mengambil alih tubuhnya itu di rasakan oleh Jeff seperti mimpi atau de javu, makanya Jeff bisa tahu itu semua.

Jadi buru-buru Yuno mandi dan setelah itu pergi mencari salon terdekat, ini akan membutuhkan waktu lama karena rambut nya tebal. Sebenarnya selama Yuno di Jerman, intensitas Jeff menguasai dirinya itu sudah sedikit jarang apalagi di masa ia sudah kembali bersama Ara.

Jeff lebih sering muncul ketika Yuno pertama kali menginjakan kakinya ke Jerman, apalagi waktu dia masih mengikuti kelas bahasanya. Jujur saja, Agak sedikit bersyukur karena Ara landing di Berlin bukan di Frankfurt, kalau Ara melihatnya begini bisa bingung setengah mati dia. Ara bisa nanya-nanya dan Yuno enggak punya jawaban untuk itu. Karena dia enggak pernah ada niatan bahkan rencana sekalipun buat mengubah warna rambutnya.

Setelah rambut nya sudah kembali hitam, Yuno langsung bergegas kembali ke apartemen nya sebentar. Membersihkan apartemen nya yang sedikit berantakan karena kertas-kertas dan buku-buku bekasnya belajar kemarin.

Dan tidak lama kemudian ada pesan masuk dari ponselnya, itu dari Reno. Dia bilang sudah sampai di Heidelberg, jadi buru-buru lah Yuno menyambar kunci mobil miliknya dan pergi menjemput Ara dan Reno. Oh iya, Yuno memang membeli mobil di Jerman. Papa yang suruh dari pada Yuno harus ke kampus naik transportasi umum terus katanya.

Begitu melihat Istrinya sedang duduk di stasiun, Yuno langsung berlari kecil, ia tersenyum dan begitu dekat ia langsung membawa Ara ke pelukannya. Menghirup banyak-banyak aroma yang sangat ia rindukan berbulan-bulan itu, dan Yuno sadar ada yang menghalangi di antara pelukannya dengan Ara, perut Istrinya itu yang bertambah buncit dari foto yang Ara kirimkan 2 bulan yang lalu.

“Gemes, sekarang kalau pelukan udah gak bisa rapet lagi. Udah ada yang ngehalangin,” Yuno terkekeh pelan sembari mengusap perut buncit Istrinya itu.

“Kan jadi meluk dua orang, Mas.”

Yuno mengangguk pelan, “Reno kemana?”

Yuno celingak-celinguk soalnya dia enggak melihat Reno padahal Ara duduk di antara dua koper besar dan juga paper bag yang Yuno sendiri enggak tau apa isinya.

“Lagi ke toilet, Mas. Nanti juga balik kok.”

Malam nya Yuno banyak ngobrol sama Reno, mulai dari kuliah anak itu, usaha kecil-kecilan Reno sama Karina, tentang bola ah, apa saja. Kalau keduanya sudah bertemu memang pasti ada saja yang bisa di bicarakan. Selain akrab sama Yuda karena memang mereka berteman, Yuno itu juga akrab banget sama Reno dan Papa mertua nya. Mereka seperti perkumpulan orang-orang yang satu frekuensi kalau sudah mengobrol, sampai lupa waktu kadang.

Sementara Ara sibuk nyiapin sup ayam yang lagi dia buat, tadi mereka sempat belanja. Yuno sudah bilang kalau mereka bisa makan di luar saja tapi Ara ngotot buat masak aja, enggak mau Yuno bantu pula. Padahal Yuno khawatir banget, takut istrinya itu kecapekan karena perjalanan dari Jakarta ke Heidelberg itu 25 jam kalau di total.

“Nih, Mas jeruknya. Tadi aku sempat ke toko buah-buahan di Berlin.” Ara naruh piring berisi jeruk yang udah dia kupas bersih biar Yuno bisa langsung makan, sup nya dia tinggal dulu karena ayam nya belum begitu empuk.

“Suapin, sayang.”

Sebelum nyuapin Yuno, Ara ngelirik Reno dulu yang lagi fokus sama ponselnya. Bocah itu lagi sibuk sama daftar belanjaan yang sempat dia beli seadanya dulu di Berlin. Setelah memastikan Reno gak perduli sama apa yang di lakuin Ara dan Yuno, barulah Ara menyuapi Suaminya itu jeruk yang dia udah kupas.

Yuno senyum, tapi enggak lama kemudian rasa ngilu menyerang pipi hingga rahangnya akibat rasa jeruk yang begitu asam. Tapi sebisa mungkin Yuno menjaga ekspresi wajahnya biar enggak kelihatan mengernyit.

“Manis gak, Mas?” tanya Ara.

“Manis kok. Enak, mau lagi sayang.”

Ara senyum, dia senang banget Yuno suka sama jeruknya dan ngerasa bangga karena udah berhasil milih-milih buah. Selama ini Ara tuh kalau milih buah payah banget sering banget dia milih buah yang belum matang lah, busuk lah, sampai rasanya yang asam.

Ara nyuapin satu jeruk lagi buat Yuno tapi pas dia mau cobain sendiri Yuno malah nahan tangannya dan masukin jeruk yang Ara pegang ke mulutnya sendiri.

“Ihh Mas aku kan juga mau,” rengek Ara.

“Kamu makan apel aja gih, di kulkas aku ada apel enak deh.”

Yuno naikin satu alisnya, deg-deg an banget takut Ara nyobain jeruk yang dia beli yang asam nya sampe bikin orang yang ngantuk berat kayanya langsung melek seketika.

“Aku mau cek sup nya dulu deh biar kita bisa cepat makan malam.” Ara berdiri dan ninggalin ruang tengah, dia balik lagi ke dapur buat memeriksa sup yang tadi dia tinggal.

“Aku bantuin ya sayang.” Yuno akhirnya menyusul, dia mau nyiapin makanan yang sudah matang itu ke meja makan. Biar Ara enggak kecapekan nyiapin semuanya sendiri.

Tapi di ruang tengah, Reno yang tadinya lagi asik memeriksa catatan jastip nya itu mengambil satu jeruk yang tadi Ara taruh di meja. Begitu satu suapan masuk, wajah cowok itu mengernyit dan memegangi wajahnya yang tampak linu.

“Kakak... Yang bener aje, ini jeruknya asem banget. Yang makan juga bisa kena asam lambung ini mah,” teriak Reno.

“Loh, Mas. Tadi kata kamu manis?” Ara natap Yuno yang sekarang sedang nyengir ke dia.

“Manis kok, sayang. Reno kayanya lagi apes aja sampai dapat yang asam deh.” alibi Yuno aja ini sih. Padahal dia tahu kalau Ara ngupas jeruknya cuma satu dan emang ukurannya lumayan besar sayang aja rasanya asam.

“Jangan di makan lagi ah kalau gitu, aku tuh emang gak bakat kayanya milih buah.”

Melihat Ara yang cemberut gitu bikin Yuno ngerasa gak nyaman, dia gak suka ngeliat Istrinya ngerasa enggak percaya diri karna suatu hal kecil yang gagal ia lakukan. Menurut Yuno itu wajar kok, hal-hal yang enggak bisa Ara lakukan lagi pula menjadi hal yang bisa Yuno lakukan. Yuno ngerasa pernikahan mereka itu saling melengkapi.

“Nanti aku ajarin yah caranya milih buah yang bagus tuh gimana, jangan cemberut gitu dong.” Yuno meluk Ara dari belakang yang lagi sibuk nyicipi rasa sup yang lagi dia masak, takut ada yang kurang. Tangannya mengusap lembut perut buncit Istrinya itu.

“Tapi tuh harusnya kamu gak usah makan tau kalau jeruknya asam kaya gitu, kalau sakit perut gimana?”

“Ini sekarang gak sakit, baik-baik aja.”

“Ih sekarang, kalo sakitnya nanti gimana?” Ara mengulum bibirnya sendiri, nyaman banget lagi masak di peluk sama Suaminya kaya gini.

“Ya jangan doain gitu dong.” Yuno senyum, dagu nya yang tadi dia tumpukan di atas kepala Ara itu kini pindah ke ceruk leher Istrinya. Menghirup aroma yang selalu bisa menyenangkan bagi Yuno itu dan mengecup lehernya.

“Ihh.. Geli, Mas. Centil banget sih.”

“Biarin, kan lagi nepatin janji kalau kamu udah disini mau aku ciumin terus.”

Keduanya terkekeh pelan, tapi enggak lama kemudian Reno masuk ke dapur buat ambil minum. Pantulan Reno yang masuk ke dapur itu kelihatan dari kaca yang ada di depan kompor listrik, dapur Yuno memang ada kacanya. Seketika pelukan itu terlepas, Yuno juga jadi sibuk ngambil-ngambilin piring dan dia taruh di meja.

Reno juga lihat kok apa yang tengah di lakukan Kakak dan Ipar nya itu, dia juga canggung tapi berusaha buat terlihat biasa aja. Lagi pula wajar saja kalau keduanya ingin bermesraan, sudah lama juga tidak bertemu dan lagi pula mereka adalah pengantin baru. Reno kan sudah dewasa, dia sudah bisa memaklumi apa yang keduanya lakukan kok, ya walaupun enggak lihat tempat sih. Mungkin ini juga jadi alasan awalnya Kakaknya itu enggak mau di antar siapa-siapa.

“Makan, Ren.” Yuno basa basi, soalnya Reno sekarang duduk di meja makan.

“Iya, Mas.”

Julian masih diam berdiri di pagar depan kosan Bianca berada, dia parkirkan motornya begitu saja di depan sana dan menimang-nimang pikirannya untuk tetap masuk ke dalam atau tidak. Julian bukan takut di usir, tidak sama sekali. Kalau pun nantinya Bianca mau mengusirnya itu tidak menjadi masalah untuk Julian. Dia pantas mendapatkan itu, hanya saja.

Julian takut kalau ia akan merusak suasana hati Bianca dengan kembali muncul di depannya, pasalnya terakhir kali mereka bertemu kan Bianca meminta Julian untuk tidak pernah menemuinya lagi. Julian mencabut kunci motornya dan menghela nafasnya, masih memandang pintu kamar kost Bianca tanpa mencobanya masuk, pengecut memang. Julian merasa dirinya juga seperti itu saat ini.

Tidak lama kemudian karena merasa ada orang asing mencurigakan berdiri depan pagar, seorang penghuni keluar untuk bertanya pada Julian. Takut-takut Julian adalah rampok yang sedang membaca situasi keadaan kosan saat lengah.

“Cari siapa, Mas?” tanya Ibu-Ibu paruh baya yang memang di tugaskan untuk menjaga kosan.

Kosan tempat Bianca tinggal itu memang agak sedikit bebas, kosan campuran yang berbentuk leter U dengan sisi kanan di isi oleh kosan laki-laki dan sisi kiri di isi oleh kosan perempuan. Penghuni nya juga di perbolehkan untuk menerima tamu walau tetap saja ada jam malam yang harus di patuhi.

“Cari Mbak Bianca, penghuni baru yang belum lama pindah.”

“Oh.. Mbak Bianca udah pindah, Mas. Di usir sama Ibu.”

Kedua mata Julian membulat, apa katanya? Di usir? Dia enggak salah dengar kan? “Di usir? Kenapa, Buk?”

“Iya, Mas. Soalnya Mbak Bianca bikin gak nyaman penghuni lainya, akhir-akhir ini banyak laki-laki kaya pengawal mondar mandir naruh makanan di depan pintu nya, Mbak Bianca juga enggak mau ngambil sampai pada basi terus bau. Terus ada lagi, waktu itu laki-laki yang agak tua ngetuk-ngetuk rumahnya. Pas di tanya katanya itu Ayah nya Mbak Bianca,” jelas Ibu-Ibu itu yang bikin Julian makin tercengang.

Ayah Bianca? Bukanya Bianca yatim piatu? Julian masih ingat banget bagaimana Bianca cerita kalau dia besar di panti asuhan, apa Ayah yang di maksud ini adalah orang tua yang mengadopsinya? Tapi kenapa baru muncul sekarang? Pikir Julian.

“Te..terus sekarang Mbak Bianca pindah ke mana?” setidaknya Julian harus tahu kemana Bianca pergi, wanita itu enggak punya siapa-siapa lagi. Lalu, kemana Bianca pergi?

“Aduh.. Saya juga enggak tau, Mas. Enggak bilang dia.”

Kedua bahu Julian merosot, sekarang dia kehilangan jejak Bianca. Ah, tidak dia masih bisa menghubungi wanita itu. Ia masih menyimpan nomer Bianca, kalau pun Bianca tidak menjawabnya. Mungkin dua teman Bianca itu tahu kemana Bianca pergi, setidaknya Bianca pasti berpamitan pada keduanya kan.

“Ya..yaudah, makasih banyak, Buk.”

“Sama-sama, Mas.” begitu mendapatkan penjelasan tentang siapa laki-laki yang sedari tadi berdiri di depan kosan. Ibu penjaga nya masuk kembali, tidak lupa ia mengunci pagar kosan kembali.

Sementara Julian masih tetap di sana, ia merogoh kantong celana nya dan mengambil ponselnya dari sana, mencari nomer telfon Bianca dan mencoba menghubunginya lagi. Tapi sayangnya nomer Bianca enggak aktif, di kirimi pesan singkat pun tidak terkirim bahkan sosial media milik wanita itu juga menghilang. Julian jadi tambah lemas, kayanya kalau enggak dapat maaf dari Bianca. Setidaknya dia tahu dimana Bianca berada dan memastikan wanita itu baik-baik saja.


Hari yang di tunggu-tunggu Ara akhirnya tiba, hari ini dia akan pergi ke Jerman untuk menyusul Yuno. Mungkin Ara agak sedikit lama di sana, sekitar 1 sampai 2 bulan mungkin. Ara enggak sendirian kok dia di temani sama Reno. Karena sejak insiden asma nya kambuh orang tua, mertua serta Suaminya itu jadi tambah overprotektif sama dia.

Pagi ini Ara berangkat dari Bandara Soekarno Hatta sama Arial yang kebetulan juga lagi ada di Jakarta, Arial lagi dinas di Jakarta sekaligus jenguk kedua orang tua nya. Ada Gita juga sebenarnya, tapi Gita enggak ikut antar karena pagi ini kedua anak kembarnya itu sedang rewel.

“Pokoknya kalau udah sampai di Singapur kamu harus kabarin, kalo flight lagi juga kabarin. Termasuk kalau udah sampai di Heidelberg,” oceh Arial panjang lebar di ruang tunggu, karena berangkat dari Soekarno Hatta, Ara harus transit dulu di Singapur dan keesokannya baru melanjutkan perjalananya ke Jerman.

“Iya, Mas iya.. Kan aku juga pergi nya sama Reno.”

“Mas Ril mau nitip sesuatu gak sama Reno? Mau open jastip nih,” tanya Reno.

Reno ini ngide buat open jastip buat teman-teman kampus nya kata dia uangnya lumayan buat tambahan dia pergi ke Jepang. Ara sih terserah saja, soalnya nanti pun Reno yang akan pulang duluan. Dia mungkin di Jerman hanya seminggu sampai sepuluh hari, pulang ke Indonesia nya nanti Ara akan di jemput sama orang tua Yuno, sekalian keduanya menjenguk keadaan Yuno di Heidelberg.

“Gaya amat bocil,” ledek Arial.

“Yeee serius ini, Reno buka jastip. Lumayan buat tambah-tambah ke Jepang, abis Papa gak mau nambahin lagi, katanya Reno harus usaha sendiri karna Papa udah bikinin passport sama visa.”

Sebenarnya buat nambahin budget Reno ke Jepang Papa masih sanggup kok, hanya saja Papa mau lihat bagaimana usaha Reno buat dapatin apa yang dia mau. Kadang Reno inisiatif buat bantu Papa kantor biar dapat gaji, bikin usaha brownies sama Karina sampai opsi sekarang ini nih. Buka jastip barang, skincare, make up sama makanan dari Jerman. Kayanya apapun Reno bakalan lakuin supaya bisa nabung ke Jepang deh.

Oh iya, Reno sama Karina itu punya usaha kecil-kecilan. Keduanya open PO brownies, ya tentunya Karina yang buat Reno bantuin kok kadang, walau Reno lebih sering promosiin dan ngatar brownies-brownies buatan Karina. Nama brownies nya tuh Kulacino, yang artinya genangan air yang ada di atas meja ketika minuman dingin di letakan dan embun nya berubah menjadi air.

Reno yang kasih nama, katanya dia dapat ide itu waktu lagi minum kopi dan lihat ada genangan air nya terus tiba-tiba aja jadi punya ide buat buka PO brownies sama karina dan nabung buat ke Jepang. Gak tau deh kenapa Reno pengen banget ke Jepang, apa yang mau dia lihat di sana, pikir Ara.

“Gausah, Mas pesen brownies aja buat teman-teman kantor Mas.”

“Ahhh itu sih pesan nya sama Karin, tapi nanti Reno bilangin. Mau pesan berapa?”

“10 kotak aja gausah banyak-banyak,” jawab Arial enteng, teman-teman kantor nya itu pasti nodong oleh-oleh tiap kali Arial dalam perjalanan dinas.

“Gilaaa, Mas mau jualin? Tapi oke deh. Noted, nanti Karin, Reno suruh ngehubungin Mas buat nanya mau variant apa aja.”

Di perjalanan Ara lebih banyak diam, dia tuh udah nyiapin kejutan buat Yuno nanti. Salah satunya adalah soal gender anak mereka, Papa, Mama, Bunda dan Papa nya sudah tahu karena kemarin Ara USG dan dokter Bagas ngasih tau kalau bayi nya perempuan.

Waktu dengar itu Ara bahagia bukan main, walau gender apapun yang di beri Tuhan, Ara tetap syukuri kok. Dia jadi sering bayangin dan ngajak ngobrol bayi nya akhir-akhir ini. Kaya mikirin lebih dominan dengan siapa nanti wajahnya atau bakalan punya lesung pipi atau engak kaya Yuno. Mikirin itu semua bikin Ara jadi senyum, dia jadi bisa ngerasain anaknya di dalam sana mulai bergerak menendangnya.

“Aw..”

“Kenapa, Kak?” rintihan Ara barusan bikin Reno yang lagi sibuk ngelist jastipan teman-temannya itu menjatuhkan ponselnya ke pangkuannya.

“Gapapa.” Ara menggeleng. “Ini keponakan kamu nendang.”

“Kirain kenapa, bikin kaget aja.”

Mendengar omongan Reno yang nyebelin di telinga Ara itu bikin Ara jadi sensi sendiri, apa katanya? Kirain kenapa? Dia pikir ada bayi di perutnya terus nendang itu enggak bikin risih apa, Pikir Ara.

“Kok gitu? Kamu pikir enak di tendang kaya gitu?” Ara sewot.

“Ih, bukan gitu maksud Reno, Kak.” Reno menggaruk belakang kepalanya yang enggak gatal itu, Kakaknya yang udah demen ambekan itu jadi tambah sesitif semenjak hamil, Reno jadi serba salah. “Maksud Reno tuh—”

“Udah lah, nyebelin kamu. Awas minta jajan di sana gak bakalan Kakak jajanin. Gak bakalan Kakak anterin nyari jastip nya juga.” Ancam Ara.

“Dih, Kakak. Jangan gitu Kakkk.. Usaha Reno ini.”

“Bodo amat.”