Patah Hati (2)
Selepas menaruh beberapa belanjaan untuk pesanan Ibu nya pagi ini, Julian langsung masuk ke kamarnya. Cowok itu sempat melirik ke arah jam dinding yang ada di kamarnya, sekarang sudah pukul 9, jam 11 nanti dia masih harus membantu Ibu nya mengirim beberapa pesanan catering ke kantor yang sudah bekerja sama dengan Ibu.
Julian duduk di ranjangnya, ia ingin bersantai sebentar. Namun matanya justru bertemu dengan undangan pernikahan yang beberapa minggu lalu ia dapatkan. Belum sempat Julian baca, melihatnya saja tidak sanggup. Namun pada akhirnya ia ambil undangan itu dan ia baca nama cewek yang ia sayangi disana.
Julian tersenyum miris, nama cewek itu bersanding dengan nama laki-laki yang pernah menyakitinya. Sudah sering kali ia dengar nasihat dari teman-temannya jika ia harus ikhlas, yup. Memang harus begitu, tapi memangnya semudah itu? Julian memang menyukai Ara, dia juga menghargai keputusan cewek itu untuk menolak perasaanya dan memutuskan untuk tetap berteman.
Hanya saja, Julian tidak bisa terima ketika Ara memutuskan untuk kembali bahkan menikah dengan laki-laki yang pernah membuatnya sakit. Selama ini Julian berusaha untuk menjadi obat bagi luka cewek itu, namun Ara justru memberikan kesempatan pada laki-laki itu untuk menyakitinya lagi, ya, Julian tidak berharap Ara sakit hati lagi sebenarnya, hanya saja ia tidak bisa begitu percaya pada Yuno.
“Mas Ijul!!” pekik Andra dari ruang tamu. Membuat Julian sedikit terkejut dan segera menaruh undangan itu kembali ke laci yang ada di nakasnya.
“Kenapa?”
Dari pada Andra yang ke kamarnya, lebih baik Julian saja yang menghampiri bocah itu. Oh iya, Andra sudah lulus SMA anak itu juga sudah berkuliah sekarang namun berbeda dengan Julian. Andra mendapatkan perguruan tinggi di daerah Depok, ia juga memutuskan untuk tidak merantau. Andra tetap tinggal sama Ibu dan memilih pulang pergi dari Jakarta ke Depok, lagi pula tidak jauh juga kan jika mengenakan kereta.
“Jalan yok? Temenin gue beli sepatu di Taman Anggrek,” kata Andra dengan cengiran, bocah itu sedang makan mie rupanya.
“Kapan?” Julian duduk di sebrang meja makan tempat Andra dan menuangkan segelas air ke mug miliknya.
“Habis lo anter pesanan Ibu.”
“Lo bantuin gue sekalian lah. Biar langsung jalan.” Julian malas banget kalau harus mundar mandir jemput Andra di rumah. Lebih baik Andra sekalian ikut kan.
“Yaudeh.” jawabnya setuju.
“Lagian tumben amat minta temenin gue, biasanya kemana-mana juga sendiri Manja amat dah.” Julian cuma heran aja, pasalnya Andra dari SMP pun terbiasa beli apa-apa sendiri. Yah sebenarnya semua anak Ibu sudah mandiri sejak SD bahkan. Bapak dan Ibu menyayangi anak-anak mereka, namun tidak memanjakannya juga.
“Disuruh Ibu ngajak elu,” Jawab Andra enteng.
“Lah, tumben. Kenapa?” tanya Julian heran.
“Yah, kata Ibu kasian aja liat elo keseringan bengong di kamar gara-gara di tinggal nikah Mbak Ara. Lagian udah kenapa sih, Mas. move on dong masa lo masih galauin Istri orang? Gak baik loh, kalo Bapak tau pasti kepala lo udah di keplak,” ceramah Andra panjang lebar.
Julian cuma bisa menghela nafasnya dengan berat, kalau boleh jujur Julian memang masih sering mikirin Ara. Katakan ia brengsek, namun mengikhlaskan gadis itu menikah dengan laki-laki yang sudah menyakitinya juga tidak semudah itu untuk Julian.
“Anak kecil tau apa sih, kaya lo udah pernah di tinggal nikah aja.”
“Yeeeee, batu kalo di kasih tau. Ya gue gak mau lah di tinggal nikah, tapi mikirin bini orang juga gak baik kali, Mas.”
“Mungkin ceritanya bakal beda kalo Ara bukan nikah sama orang itu, Dra.”
“Ya tapi takdir kan berencana lain? Mereka emang berjodoh, Mas.” Julian agak sebal dengar ceramah Andra. Sok tua banget, tapi juga Julian gak bisa denial sama ucapan Adiknya itu karena yang di katakan Andra benar. Bisa apa dia kalau yang di lawan itu takdir?
“Haaa..” Julian enggak menjawab, ia hanya menghela nafasnya untuk yang kesekian kalinya. Kemudian menyandarkan punggungnya di kursi sembari menatap air yang ada di mug bening miliknya.
“Lo gak bakalan nungguin janda nya Mbak Ara kan, Mas? Beneran sinting sih kalo kaya begitu.” ucap Andra asal-asalan.
Tapi itu justru membuat Julian terkekeh, “kayanya ide bagus, gue tungguin aja Ara sampai jadi janda kali ya?”
Andra yang dengar itu sampai-sampai tersedak mie instan yang sedari tadi ia makan, namun itu justru mengundang gelak tawa Julian mengudara walau tetap saja ia menuangkan air ke gelas milik Andra dan memberikannya ke bocah itu.
“Bangke lu, Mas. Jangan gila ah!!” hardik Andra setelah batuknya itu mereda.
“Lo yang kasih gue ide.”
“Gak anjir!! Gue cuma nebak-nebak aja.”
“Tapi tebakan lo bener.”
Andra melotot, “Mas serius?”
Dari pada menjawab Andra yang kepo, Julian justru kembali ke kamarnya. Ia akan bersiap untuk segera mengantar pesanan-pesanan catering Ibu, Membiarkan Andra panik dengan jawabannya barusan.
“Mas!! Mas Ijul!” panggil Andra dari meja makan walau Julian tidak menggubrisnya. “IBUUUU MAS JULIAN UDAH GILAAAAA NIH,” teriak Andra panik.
Tok tok tok tok
Bunyi dari suara yang berasal dari balkon dekat ruang tamu apartement Yuno dan Ara itu membuat Ara mengerjapkan matanya, kepalanya jadi pusing gara-gara kebangun tapi udah dengar suara bising kaya gini.
“Suara apa sih?” gerutu Ara, ia meraba ranjang di sebelahnya untuk membangunkan Yuno, namun tidak lama kemudian matanya yang agak sayu karena baru bangun tidur itu membulat setelah ia sadari tidak ada Yuno di sebelahnya.
“Mas Yuno kemana?” gumam nya.
Ara bangun sembari mengucak matanya sendiri, menjepit rambutnya dengan asal karena beberapa helai masih berjatuhan mengenai leher jenjangnya, kemudian membenarkan baju tidur yang ia kenakan. Agak sedikit menggerutu ketika ia sadar kalau bra yang ia kenakan kaitannya terlepas, ini pasti ulah Suaminya itu.
Setelah itu ia keluar dari kamarnya dan mendapati Yuno sedang bergulat dengan papan-papan serta beberapa paku dan palu yang ada di sana.
“Mas Yuno lagi ngapain?” tanya Ara heran.
Yuno menoleh, kemudian secercah senyum hadir di wajahnya yang sekarang tampak lebih gembul itu. “Enggg, Istri aku udah bangun.” ucapnya.
“Karena berisik, kamu ngapain sih? Berisik tau, kalo tetangga dari unit lain komplain ke management gimana?”
“Berisik banget?”
Ara memutar bola matanya malas, ia kemudian duduk di dekat suaminya itu yang masih sibuk sama peralatan tukang nya.
“Mas mau buat rak?” tanya Ara.
“Iya, mau bikin rak buat naruh sepatu. Tapi dari tadi gak jadi-jadi, padahal udah ngikutin instruksinya.” Yuno mengambil selembar kertas berisi gambar serta instruksi merangkai rak sepatu kayu, cowok itu juga mendesah putus asa.
“Nyuruh tukang aja lah, kamu gak bisa bikinnya deh kayanya.”
“Ah masa gampang gini nyuruh tukang?”
“Ya tapi dari pada enggak jadi-jadi?”
“Kamu bantuin aja sini,” Yuno mengambil beberapa papan dan memberikannya ke Ara.
“Ihh gak mau, aku mau mandi terus bikin sarapan. Jam 10 nanti aku ada kelas.” Ara melenggang dari sana, namun sedetik kemudian langkahnya terhenti karena Yuno menghalangi langkahnya.
“Mas Yuno mau ngapain?”
“Mandi,” jawab Yuno enteng.
“Ihhh, dari tadi bukannya mandi. Aku mau mandi duluan.”
“Yaudah ayo bareng aja.”
“Gak mau!!” pekik Ara.
“Ihhh kenapa sih sayang?” rengek Yuno, Ara udah sebel banget liatnya. Gak nyangka juga setelah menikah Yuno jadi lebih clingy kaya gini.
“Ihhh malu, Mas.”
“Malu apanya? Kan udah biasa.”
“Ya tapi gak mau, pasti lama kalo mandinya berdua.” Ara mau menghindari Yuno namun cowok itu masih mengekorinya, Ara jadi kesel sendiri lama-lama. Belum aja dia aduin kelakuan Yuno ini ke Mama Lastri.
“Gak lama suerrrrr,” Yuno menunjukan jari nya membentuk peace. “sayangggg, beneran gak lama.”
Ara menahan nafasnya pelan, sebel banget kalo liat Yuno udah minta-minta begini. “Awas yah lama, nanti aku telat ke kampus gimana?”
“Iya janji.”
“Yaudah ayo!!” kata Ara, ia langsung menyambar handuk yang tergantung di depan kamar mandi dan masuk ke dalamnya. Begitu pula dengan Yuno, dia udah gak perduli sama rak yang mau dia buat tadi begitu permintaanya ia kabulkan.
Di dalam kamar mandi, keduanya benar-benar mandi kok. Enggak ada aktifitas lain selain saling menggosok tubuh satu sama lain. Walau kadang Yuno suka iseng megang-megang yang lain juga.
“Mas?”
“dalem sayangku?”
Ara jadi senyum sendiri, masih suka salting kalau Yuno ngomong gitu. Tadinya dia cuma mau bahas soal tiket pesawat yang sudah ia pesan semalam, minggu depan Yuno akan kembali ke Jerman. Ia harus bersiap untuk masa koas nya, dan mereka akan kembali menjalin hubungan jarak jauh.
Ara udah mikirin ini kok, mereka juga sudah membicarakan hal ini sebelum menikah. Setelah pendidikan Yuno di Jerman selesai, cowok itu akan pulang dan mengabdi di negaranya sendiri. Ah, lebih tepatnya akan mengambdi di rumah sakit milik Eyang nya.
“Aku udah pesanin tiket pesawatnya semalam,” lanjut Ara.
“Makasih yah.” Yuno tersenyum, ia melanjutkan menggosok punggung istrinya itu.
“Kok aku jadi sedih yah, Mas?”
“Kenapa um?” Yuno menghentikan gerakkanya, ia justru beringsut memeluk pinggang ramping istrinya itu dan mengecup singkat pipinya.
“Gapapa, sedih aja. Nanti gak bisa makan masakan kamu lagi, terus juga gak ada yang nemenin aku di apart lagi, gak bisa manja-manja lagi.”
“Kamu ikut aku aja yuk?” ucap Yuno.
“Ihhh, Mas. S2 ku aja belum selesai.”
Yuno menghela nafasnya pelan, ia juga berat meninggalkan Ara lagi. Apalagi mereka baru saja menikah, rasanya ia ingin membawa Ara kemanapun ia pergi. Dengan sekali gerakan, Yuno memutar tubuh mungil itu dan mengusap pipinya, walau ada busa yang berasal dari tanganya itu menempel di wajah Ara.
“Aku janji bakalan selesain koas nya dengan cepat, terus selesai study aku di sana biar bisa cepat pulang ke sini. Nanti kalau kamu libur, kan kamu bisa nyamperin aku.” Yuno berusaha menghibur Ara, gak pernah tega liat wajah cantik kesayanganya itu terlihat sendu setiap kali mereka harus kembali di pisahkan oleh jarak.
“Tapi lama...” gak tau kenapa tapi rasanya sedih banget, dan mata Ara berkaca-kaca. Rasanya dia pengen banget ikut Yuno.
“Sayang...” Yuno yang sadar Ara menangis itu langsung menarik tubuh istrinya itu kepelukannya. Membiarkan Ara menenggelamkan wajahnya di dada bidangnya itu. “sabar yah, aku janji ini gak akan lama. Aku bakalan lebih semangat lagi selesainnya.”
“Janji yah, Mas?”
“Janji dong. Jangan nangis ah, kan aku masih di sini masa udah di tangisin.” Yuno terkekeh, melepaskan pelukan itu dan mengusap mata Ara dengan jemarinya. Namun bukanya berhenti menangis, Ara justru semakin kejar. “Sayang udah dong nangis nya, nanti kalo telat dan gak sempat sarapan gimana?”
“Mass..... Aku bukan nangisin kamu lagi, mata aku perih ihhh tangan kamu masih ada sabun nya..” rengek Ara.
“Astagaaaa!!” pekik Yuno, dia baru sadar tangannya masih wangi sabun, bahkan saat Yuno membasuhnya di keran pun busa masih keluar dari sela-sela jarinya.