Meaning Of Love ☑️

Jeong Jaehyun, Ruruhaokeai, Lee Juyeon

Setelah selesai pada kelas bahasanya, Yuno berniat untuk berjalan-jalan sebentar di sekitaran daerah sekolah bahasanya. Yuno sangat bersyukur ia bisa memiliki teman-teman yang baik. seperti saat ini, Yuno tengah duduk di taman bersama dengan Josep, Josep adalah siswa dari Thailand yang juga berkuliah di Jerman. Mereka satu kelas di kelas bahasa yang sama.

Sayangnya Josep tidak mengambil jurusan kedokteran seperti Yuno. Apartemen mereka pun hanya beda lantai saja, hari ini mereka sedang menunggu Rosseane atau yang kerap di sapa Ann. Ann ini berasal dari Indonesia juga, sama seperti Yuno.

Rencananya ketiga nya akan ke Mauerpark untuk duduk-duduk sembari menikmati hari menjelang weekend, setelah itu Yuno juga berencana untuk belanja karena stok makanannya sudah hampir habis.

Tanpa kedua laki-laki itu sadari, seorang perempuan mengendap-endap di belakang mereka. Perempuan dengan paras seperti blasteran Indo dan Jerman, itu Rosseane dengan rambut bloonde yang ia ikat asal.

“DOR!!!” pekiknya, yang berhasil membuat Yuno dan Josep terkesiap di kursi mereka.

Ann yang melihat reaksi kedua temannya itu yang terkejut akhirnya terkekeh, ia merangkul keduanya dengan gemas.

It's so funny,” ucap Ann sembari memegangi perutnya.

“Kalo jantung gue copot lo gue salahin yah?” Yuno menggeser duduknya, memberikan isyarat pada Ann untuk duduk di sebelahnya.

Watch out, I'll reply until you faint from shock,” balas Josep tidak terima, Ann hanya semakin tertawa apalagi saat melihat Josep mengusap-usap dada nya.

“Kita mau langsung jalan aja?” tanya Yuno.

“Iya sekarang aja gak sih?”

Setelah kedua cowok itu setuju, ketiganya langsung berjalan ke bus stop. Menunggu bus yang akan mengantarkan mereka ke Mauerpark. Di perjalanan mereka sempat bercerita tentang materi yang mereka pelajari hari ini, dan juga soal ujian minggu depan untuk kenaikan level bahasa mereka.

Sesekali Yuno memeriksa arloji miliknya, di Berlin hari ini sudah jam 4 sore. Itu artinya di Jakarta kini sudah jam 10 malam, Ara mungkin sudah tidur ketika Yuno pulang ke apartemen nya nanti. Jadi Yuno memutuskan untuk mengirimi Ara pesan dulu.

Mengatakan jika ia keluar sebentar dengan teman-temannya, dan Yuno akan menelfon Ara kembali jika cewek itu sudah pulang sekolah.

“Lo mau ke Asia mart, No?” tanya Ann yang duduk di kursi sebelah Yuno.

Yuno mengangguk, memperlihatkan daftar belanjaannya pada Ann. “Perut gue kalo gak makan-makanan Indo kaya ada yang kurang, lo mau belanja juga?”

“Kayanya sih, cuma mau beli bumbu aja. Sisa nya nanti gue bisa belanja di supermarket deket apart.”

“Lo udah bisa masak?” tanya Yuno, dia agak sedikit kaget karna terakhir kali Yuno dan Josep main ke apartemen Ann. Gadis itu membuatkan mie instan untuk Yuno dan Josep namun mie instan itu belum matang sempurna, makanya Yuno agak kaget waktu Ann bilang mau beli bumbu.

“Enggak, kebetulan sepupu gue lagi liburan. Jadi dia yang masak, terus ngirimin daftar bumbu apa aja yang harus gue beli, makanya bantuin yah.”

Yuno terkekeh, namun akhirnya ia mengangguk.

Begitu sampai di Manuerpark, ketiganya duduk di hamparan rerumputan, Josep sempat mentraktir Yuno dan Ann burger. dan Yuno mentraktir Josep dan Ann lemonade. Ann itu sudah biasa di Jerman, ia sering berlibur ke sini. Jadi Ann yang paling tahu jalanan-jalanan di Berlin.

Di antara Yuno dan Josep, Ann juga lah yang paling cepat naik level bahasa. Bahkan bulan depan Ann sudah bisa lulus dari sekolah bahasanya.

Sorry guys, I have to answer the phone from my girlfriend. I'll come back later” Josep memamerkan panggilan dari pacarnya itu pada Yuno dan Ann.

Ann hanya tertawa, kemudian mengangguk pelan. Dan tidak lama kemudian Josep agak sedikit menjauh dari mereka. Dan kini tinggal Yuno dan Ann yang masih menikmati gigitan terakhir burger milik mereka.

“Ann?” panggil Yuno.

“Hm?”

“Selain tempat-tempat yang udah kita kunjungin, ada lagi gak tempat yang menurut lo harus di datengin buat berdua?” Yuno mau menambahkan daftar tempat yang harus ia kunjungi bersama Ara selama gadis itu di Jerman nanti.

“Ada sih, kenapa emang?”

“Kemana tuh?”

“Heidelberg, Heidelberg Palace. Kampus kedokteran lo di sana juga kan?”

Yuno menjentikkan jarinya, ia sampai lupa kalau Heidelberg Palace bahkan di tandai sebagai simbol romantisme di Jerman. Kebetulan tempat itu juga dekat dengan kampus kedokterannya, Yuno hanya sekolah bahasa di Berlin selama 1 tahun. Dan kemudian ia akan pindah ke Heidelberg dan menetap di sana sampai lulus dari kampus kedokterannya.

“Gue sampe lupa, bener juga yah. Bahkan Heidelberg Palace juga di julikin sebagai simbol romantisme di Jerman. Kenapa gak kepikiran.” Yuno heran pada dirinya sendiri, bisa-bisa nya ia melupakan tempat itu. Ia sudah pernah ke sana, waktu Papa mengajak Yuno berkunjung jauh sebelum ia kelas dua belas.

“Lo mau ngajak siapa?” Ann menoleh ke arah Yuno setelah ia menghabiskan burger miliknya.

“Cewek gue, dia mau liburan di Jerman setelah kelulusan nanti.”

Ketika mendengar jawaban Yuno itu, Ann terdiam. Ia sedikit meringis, jujur saja Ann memang mengagumi Yuno dan tidak pernah berpikir jika Yuno sudah memiliki kekasih.

She is beautiful?” tanya Ann hati-hati.

Yuno mengangguk, cowok itu tersenyum dan matanya berbinar terang. Ann bahkan enggak pernah melihat pancaran kebahagiaan seperti itu sebelumnya dari wajah Yuno.

“Banget, dia baik, ceria dan paling mengerti gue, Ann. Ah, ngomongin dia gini jadi bikin gue tambah kangen. Bagi gue, dia itu kaya bunga mawar. Cantik, kadang kelihatan kasar dan menyeramkan karena ada duri di batanganya. Tapi itu justru cara dia melindungi diri,”

“Di mata gue dia kaya warna merah. Kelihatan elegan, berani dan jadi pusat perhatian. Meski dia suka warna pink,” Yuno terkekeh.

“Siapa namanya?”

“Arumi Naura Shalika, namanya bagus yah?”

Ann tidak menyahuti lagi, ia hanya mengangguk pelan dan membuang pandanganya ke arah lain. Dari pancaran matannya, dari bagaimana Yuno mendeskripsikan gadis itu. Semua menjelaskan betapa Yuno mencintai gadis bernama Arumi Naura Shalika itu.

Dalam hati Ann iri, ia juga ingin di cintai seperti itu oleh seorang laki-laki. Namun di sisi lain, gadis itu benar-benar beruntung bisa memiliki Yuno.


“Haiiii Kak Yuno!!” pekik Echa waktu Ara mengarahkan ponselnya ke Echa yang kebetulan lagi main di rumah Ara, ada Janu juga tapi cowok itu sedang ke kamar mandi.

hai, Cha. Gimana pacaran sama Janu nya?” ledek Yuno.

“Ahh Janu gak jelas, Kak. Suka cemburu buta enggak jelas, masih suka centil juga. Makan hati gue nih.”

Ara jadi terkekeh, Janu memang masih suka genit ke cewek lain. Terutama ke adik kelas, walau cowok itu bilang hanya bercanda saja tapi tetap saja itu membuat Echa cemburu.

getok aja kalo macem-macem mah. Di bilangin jangan mau sama Janu.

Tidak lama kemudian terdengar pekikan suara Echa dan Ara, ponsel yang tadinya wajah keduanya juga berubah dan kini di gantikan wajah Janu di layar ponsel milik Ara.

“Dih, songong Bang Toyib. Heh kapan balik lu, Bang? Cewek lu nih kemarin nangis-nangis gara-gara kangen.”

“Janu apaan sih ember banget mulut lo!!” pekik Ara, gadis itu juga melempar Janu dengan cushion yang ada di sofabed kamarnya.

“Tuh kan liat tuh, kelakuan cewek lu brutal banget,” Janu mengadu.

emang lo mah pantes buat di kasarin, eh mana Ara? Balikin HP nya gue mau ngomong sama cewek gue.

Tidak lama kemudian Janu memberikan ponsel itu ke Ara, dan Ara menjauh dulu dari teman-temannya itu. Ia yakin ada yang ingin Yuno bicarakan dengannya, dari tadi Yuno sibuk menyapa Echa dan Janu, mereka belum sempat berbicara berdua.

“Kak Yuno udah makan?” tanya Ara begitu ia sampai di balkon kamarnya.

udah kok, Sayang?

“Iya, Kak?”

yang di bilang Janu bener?

Ara tidak menjawab, ia hanya melihat ke arah lain. Ia memang sempat menangis kemarin sewaktu keram perut, Ara juga enggak cerita apapun tentang keram perutnya pada Yuno. Tidak ingin membuat cowok itu khawatir, apalagi kemarin Yuno sedang banyak bercerita tentang hari-harinya.

Ara?” panggil Yuno menintrupsi lamunan Ara akan harinya kemarin.

“Janu kok di percaya sih, Kak? Kaya gak tau aja dia kaya kompor bleduk,” sangkal Ara.

beneran? Kamu gak lagi bohong kan?

Ara hanya mengangguk, “aku kemarin keram perut, nangis nya karena itu kok. Tapi habis itu udah baikan, Echa yang beliin aku obat.”

Di sebrang sana Yuno menghela nafasnya pelan, Yuno tahu bagaimana Ara jika sedang datang bulan. Biasanya jika sedang merasakan keram perut, Yuno selalu membelikannya hot pack, jamu dan makanan-makanan yang Ara inginkan. Tapi karena jarak, kini ia tidak bisa melakukan itu untuk gadisnya.

sekarang masih sakit?

“Udah enggak kok, ini aku udah biasa aja malahan. Kak Yuno gak usah khawatir yah.”

aku tetap khawatir, maaf yah aku gak ada di sana waktu kamu butuh aku.” katakan Yuno egois, ia tidak ingin peran dirinya di gantikan oleh siapapun dan hanya bisa berharap Ara akan selalu baik-baik saja di sana.

“Kak Yuno, disini aku kan gak sendirian. Ada Bunda, Papa, Mas Yuda, Reno, Echa, Janu. Ah iya, Gita. Aku rencana nya mau main sama Gita minggu depan.”

kemana, sayang?

“Cuma ke Jakarta Aquarium. Mau liat biota laut. Sama teman-teman dia juga kok.”

have fun yah. Nanti pas aku pulang, kita ke sana berdua.

“Bener yah?”

Yuno mengangguk.

“Aku tagih!! Yaudah, Kak Yuno lanjut belajar buat test hari ini, semangat yah! Aku juga mau belajar buat Try Out.”

Setelah menutup panggilan video dari Kak Yuno, Ara kembali ke kamarnya. Gadis itu langsung menjambak rambut Janu hingga cowok itu mengeluh kesakitan.

“Anjirrr lu mak lampir, sakitt banget!! Rambut gue rontok tuh!” pekik Janu sembari memperlihatkan 2 helai rambutnya yang rontok karena Ara jambak.

“Lo nih, bikin Kak Yuno overthinking tau gak, kasian tau dia jadi ngerasa bersalah banget karena dia gak ada waktu gue butuh.”

“Tau lo, Nu. Lo tuh kebiasaan deh suka jadi kompor,” ucap Echa.

“Lah, kan emang bener kalo kemarin lo nangis karena kangen juga sama Bang Yuno. Bagus itu gue kasih tau biar dia peka, lagian nih yah, Ra. Lo tuh udah LDR sama Bang Yuno, komunikasinya kudu di kencengin. Lo gak takut apa kalo Bang Yuno di sana mmmphhh—”

Sebelum mulut Janu bicara semakin melantur lebih baik Echa membekapnya saja. Bukan hanya Ara yang kesal kalo Janu udah jadi kompor begini, tapi Echa pun juga.

“Gausah di dengerin, Ra. Anggep aja orang gila,” tukas Echa.

ada hari di mana Yuno pernah mengkhawatirkan banyak hal yang belum pernah terjadi, seperti saat ini. Saat ujian kenaikan level bahasanya sudah selesai, Yuno memutuskan untuk ke sebuah cafe yang tidak jauh dari sekolah bahasanya. Ia sudah berjanji untuk menghubungi Gita setelah ujiannya selesai.

Hari ini memang Yuno pulang lebih cepat, begitu sampai di cafe, Yuno memesan sebuah minuman dan cake untuknya. Ia sengaja memilih kursi di pojok karna hanya tempat itu yang ia pikir nyaman untuk melakukan panggilan video. Tidak ada orang berlalu lalang, hanya ada 4 orang saja yang sedang fokus pada laptop di depannya dan membaca buku.

Sebelum memulai panggilan video, Yuno sempat mengirimi Gita pesan dulu. Memastikan Adik sepupunya itu sudah siap, dan tidak lama kemudian keduanya melakukan panggilan video. Ternyata Gita sedang berada di kamarnya.

“Lo gak sekolah?” tanya Yuno, tanpa basa basi apapun.

salam dulu kek minimal, ini main langsung nanya gak sekolah aja.” di sebrang sana Gita terlihat menghela nafasnya dengan kasar, namun pada akhirnya ia menjawab pertanyaan itu.

di Jakarta tuh udah jam 7, sekolah apaan jam 7 malam. Ngaco!!

Yuno sampai lupa jika sekarang sudah jam 2 siang di Berlin, pantas saja Gita sudah berada di rumahnya. Tapi setahu Yuno, gadis itu juga sibuk. Bukan hanya dengan sekolah. Dari dulu, Gita banyak mengikuti berbagai macam kegiatan. Seperti balet, private biola dan segala macam bentuk kegiatan yang banyak ia ikuti.

Tapi walau begitu, Yuno senang karna Gita melakukan itu semua atas kemauannya sendiri. Berbeda dengan Yuno, ia tidak pernah bisa melakukan apa yang ia inginkan. Bahkan untuk sekedar bermain musik, pernah dulu Yuno ketahuan ikut ekstrakulikuler musik di sekolahnya.

Dan saat Papa nya tahu, Yuno di tentang habis-habisan dan di paksa keluar dari sana. Alih-alih bermusik, Papa lebih setuju Yuno bermain basket atau lebih baik fokus pada nilai akademiknya, Berbeda dengan kedua orang tua nya Gita yang membiarkan anak mereka mendapatkan apa yang di mau.

“Maksud gue, gak ada bimbel atau private apa gitu. Biasanya kan lo lebih sibuk dari gue.”

gak ada, hari ini gue mau istirahat. Capek lagi jadi kelas dua belas tuh.” di sebrang sana Gita memperhatikan Yuno, seperti Kakak sepupunya itu bukan sedang berada di apartemen miliknya.

lo dimana, Kak? Di cafe?

Yuno mengangguk, setelah pelayan mengantarkan pesanan miliknya. Yuno menyeruput kopi itu sedikit dan kembali fokus berbicara dengan Gita.

“Baru kelar ujian gue. Gimana sekolah lo? Lancar kan? Jangan kebanyakan pacaran sama Kevin.”

Ah iya, Gita sudah putus dengan Jo, seingat Yuno keduanya mengakhiri hubungan mereka atas kesalahan Jo, Gita hanya cerita pada Yuno kalau intinya ia sudah kecewa dengan Jo, namun saat di tanya kenapa, Gita lebih memilih merahasiakannya.

Namun pada akhirnya Jo sendirilah yang jujur pada Yuno dan meminta maaf padanya, karena ia sudah menyakiti Adik sepupu yang Yuno jaga selama ini. Meski begitu, hubungan Jo dan Yuno masih berteman baik.

siapa yang pacaran melulu, gue sama Kevin tuh bisa bagi waktu. Eh, gimana ujian lo tadi, Kak?

“Lancar, doain aja gue cepat naik level.”

tapi lo betah gak di sana?

“Betah, walau kadang banyak kagetnya. Oh, iya. Git, weekend ini lo jadi jalan sama anak-anak?” ucap Yuno terus terang, memang ia ingin menanyakan hal ini pada Gita dan meminta tolong sesuatu pada adik sepupunya itu.

iya jadi, Ara cerita ke lo yah?

Yuno mengangguk, “akhir-akhir ini gue kepikiran dia terus.”

kepikiran apa? Takut Ara selingkuh?” tebak Gita.

“Bukan, kepikiran aja kalo ada yang gantiin gue pas Ara lagi butuh.”

itu artinya lo kepikiran Ara selingkuh dodol, kok lo bisa sih mikir gitu, Kak? Yang Ara pikirin aja cuma lo tau, kemarin gue sempat main sama dia sebentar karena gak sengaja ketemu waktu lagi beli make up. Sepanjang main sama gue, dia selalu ngomongin lo terus. Ini lagi, lo malah kepikiran gini.

“Git, gue cuma takut Ara terbiasa tanpa gue..” nada suara Yuno memelan, itu yang sangat ia takuti. Meski liburan nanti ia akan pulang, meski ia terus menjaga komunikasinya dengan Ara. Tapi tetap saja itu semua terasa berbeda dengan ia yang biasanya selalu berada di sisi Ara.

Gita yang mendengar ucapan itu jadi agak terdiam, Yuno memang baru pertama kali pacaran. Dan Gita tahu bagaimana Yuno sangat mencintai dan memperlakukan pacarnya itu dengan baik.

Kak, gue bukanya mau bikin lo tambah kepikiran. Tapi menurut gue, bukanya bagus kalo Ara justru terbiasa tanpa lo? Gini, bagus kalo Ara mandiri, bagus kalo dia gak bergantung sama lo, lo bisa bayangin gak kalo Ara gak mandiri dan bergantung ke elo? Lo juga yang bakalan repot

Gita tau ini terdengar sedikit menyakitkan untuk Yuno, mungkin. Tapi bukankah bagus jika Ara tidak terlalu bergantung pada Yuno? Toh pacaran kan bukan harus selalu berdua, bayangkan serepot apa Yuno jika Ara selalu bergantung padanya. Lama kelamaan hubungan yang seperti itu akan menjadi hubungan yang tidak sehat.

selama kalian masih komunikasi dengan baik, menurut gue gak ada yang harus di permasalahin dari itu. Sekarang, gimana caranya kalian bisa saling jaga kepercayaan satu sama lain. Kak, kuncinya jalin hubungan itu tuh kepercayaan. Lagian yah, pacaran ketemu mulu terus bucin-bucinan mulu tuh bakal jadi bosen.

Yuno sempat diam sebentar, mencerna kata-kata Gita yang agak sedikit membuat dadanya sesak, seperti ia baru saja di tampar oleh sebuah kenyataan. Namun, Yuno tetap mendengarkan kata-kata Adik sepupunya itu, ucapan Gita benar. Ia harusnya bangga kalau Ara bisa mandiri dan tidak bergantung padanya.


Siang itu Ara ke toko buku sendirian, hari ini dia gak sama Echa, Cindy atau pun Kinan. Hari ini Echa pulang bareng Janu, sementara Cindy dan Kinan harus menyelesaikan tugas terakhirnya untuk menyelesaikan masa jabatan kedua nya di OSIS.

Ara sebenarnya gak berniat buat ke toko buku, karena tujuan utamanya jalan-jalan ke mall sendirian cuma buat beli lip tint. Tapi siapa sangka kalau kakinya justru melangkah masuk ke toko buku, jadi sekalian saja dia membeli buku untuk keperluan Ujian Nasional dan beberapa novel.

Ara tersenyum ketika ia menemukan buku yang ia cari, buku soal-soal Ujian Nasional terbaru yang paling laris. Hanya sisa 1 di rak buku dan ia langsung mengambil buku itu, namun siapa sangka kalau ada tangan lain yang ikut mengambil buku itu juga.

Dan Ara langsung menoleh ke arah orang yang berada di sampingnya itu, seorang laki-laki tinggi dengan jaket denim dan celana jeans kini menatap dirinya.

“Oh, sorry, Mas.” Ara menunduk, biarlah ia mengalah. Toh nanti ia masih bisa mencari di toko buku lain.

“Ambil aja, lo tadi duluan yang liat kan,” ucap laki-laki tinggi itu.

“Gapapa, Mas. Buat Mas nya aja, nanti saya bisa cari di toko lain. Lagi enggak buru-buru juga kok.”

“Serius nih?”

Ara mengangguk, “iya gapapa, Mas.”

“Makasih, yah.”

Ara hanya membalas ucapan itu dengan tersenyum kikuk, begitu ia ingin berjalan ke arah kasir. Laki-laki tinggi tadi menahan pundak Ara, membuat gadis kurus itu sedikit mundur dan berbalik ke arahnya. Jujur saja, laki-laki tadi agak sedikit mengintimidasi Ara.

“Eh jangan manggil Mas juga, gue masih SMA kok. Gue kelas dua belas juga.”

“Kelas dua belas?”

Laki-laki itu mengangguk, Ara sedikit malu karena salah memanggil, ternyata laki-laki itu seumuran dengannya.

“Lo anak BM400 kan?”

“Kok tahu?” pekik Ara.

“Ya lo kan pake seragam.”

“Bener juga sih.” Ara mengangguk-angguk. “sorry yah, gue gak tau lo kelas dua belas juga, gue pikir beli itu buat adek lo atau siapa gitu.”

“Gapapa.”

“Kalau gitu, gue duluan.” Ara menunjuk ke arah kasir, dan cowok itu mengangguk. Membiarkan Ara pergi lebih dulu untuk membayar novel-novel yang ia beli.

Ara gak pernah menyangka bermain bersama teman-teman Gita akan seasik ini, hari ini mereka pergi ke Aquarium besar yang ada di Jakarta. Sebelum berangkat, mereka bertemu dulu di rumah Januar dan memutuskan untuk pergi dengan 2 mobil, milik Echa dan juga milik Kevin.

Mereka pergi berdelapan, ada Echa, Janu, Ara, Kevin, Gita, Chaka, Kinan dan Cindy. Di perjalanan mereka sempat memutar lagu-lagu, bertukar cerita betapa sibuknya menjadi siswa kelas dua belas dan membuat rencana-rencana untuk acara kelulusan.

“Habis UN mending muncak gak sih?” celetuk Janu tiba-tiba. Dia udah kepikiran banget buat nyewa villa atau sekalian saja hiking gak usah naik gunung yang jauh-jauh, seperti Papandayan atau Gunung Gede di daerah Jawa Barat kan bisa. Yah, walau Janu belum pernah punya pengalaman naik gunung sih.

Di mobil yang di bawa Janu itu ada Echa, Janu, Ara, Kinan. Sementara di mobil yang di kendarai Kevin itu ada Gita, Chaka, Kevin dan Cindy.

“Mau ngecamp gak? Ke cikole aja gak sih? Tidur di capsul camp gitu kayanya asik juga deh,” imbuh Kinan.

“Eh boleh tuh, kayanya asik juga. Siapa yang boking?” tanya Echa.

“Mending ngobrolinnya nanti aja deh pas kita makan siang, ajak juga tuh rombongan sebelah biar tambah rame,” kata Kinan, kalau Kinan memang sudah sedikit akrab dengan siswa dari SMA Anggada. Saking seringnya ia dan tim nya bertanding melawan SMA itu.

Kinan itu ikut dalam tim cheerleader dan sering kali tim dari SMA BM400 melawan SMA Anggada, walau begitu Kinan memiliki banyak teman juga dari SMA Anggada. Mereka hanya menjadi lawan ketika sedang di bertanding saja.

“Iya tuh bener, ngobrolinya nanti aja. Gue bayangin udah bakalan seru banget deh kayanya!!” Echa udah bayangin aja kalau menginap ramai-ramai, sebelumnya ia belum pernah pergi ke luar kota sampai menginap. Yah banter-banter cuma menginap di rumah Ara aja.

“Lo ikut kan, Ra?” tanya Kinan tiba-tiba, habis dari tadi Ara enggak menimpali apa-apa.

“Gue gak tau, tapi kemungkinan besar sih enggak.”

“Yeee, kenapa?” Janu yang sedang mengendarai mobil itu menoleh ke kursi belakang, mereka sudah sering bersama kalau Ara enggak ikut rasanya akan ada yang kurang.

“Ih, iya kenapa, Ra?”

“Gue mau ke Jerman, gue mau jenguk Kak Yuno. Udah janji juga mau liburan berdua sama dia.”

“Mau honey moon yah lo berdua?” ledek Echa yang langsung mendapat sentilan di keningnya dari Janu.

“Pikiran lo, yang.”

“Janu kampret!! Berantakan poni gue anjir.” meski enggak kencang tapi sentilan Janu di keningnya membuat poni Echa jadi sedikit berantakan.

“Gak lah, gila kali. Gue cuma mau liburan aja, kangen banget soalnya sama dia.”

“Ihhhh so sweet.” pekik Kinan. “Tapi Kak Yuno baik-baik aja kan di sana, Ra?”

Ara mengangguk, “baik kok, dia masih sekolah bahasa juga.”

“Gue kepengen deh punya pacar kaya Kak Yuno, udah pinter, ganteng, baik, anak orang kaya, ramah duh.” Kinan jadi berandai-andai jika suatu hari punya pacar kaya Yuno.

Kinan bukan naksir Kak Yuno kok, dia cuma kepengen punya pacar setipe kaya gitu. Walau banyak sekali cowok-cowok yang menggandrungi Kinan, tapi enggak mudah bagi mereka mendapatkan perhatian apalagi hati dari seorang Kinan. Kinan itu kalau di dekati malah menghindar, gak jarang Kinan malah berujung ilfeel sama cowok yang lagi mendekatinya.

“Makanya kalo di deketin cowok tuh jangan gampang ilfeel!” Echa yang kesal jadi melempar pop corn yang sedang ia makan ke wajah Kinan saking sebalnya.

“Heh, gimana gue gak ilfeel kalo yang deketin kaya Azriel si pentolan futsal yang kerjaannya deketin banyak cewek, terus ada lagi Anwar yang kerjaannya minta foto terus biar tau gue lagi ngapain, terus lagi Deka yang kalo ngechat typing nya jelek dan sok puitis banget. Lo juga pasti gak mau kan di deketin sama orang-orang kaya gitu.”

Kinan kadang juga heran sendiri kenapa cowok yang mendekatinya tidak pernah ada yang cocok dengan kriteria nya, Sejujurnya Kinan enggak ada kriteria khusus sih, dia cuma kepengen punya pacar yang baik, pintar dan gak genit.

Ara dan Echa yang mendengar itu jadi tertawa, Kinan dulu pernah punya pacar, sekelas dengannya dulu. Namun karena orang tua dari pacarnya dinas di luar kota maka pacarnya Kinan pun harus pindah ke luar kota. Seingat Ara dulu, sampai kelas sebelas pun mereka masih menjalin hubungan jarak jauh. Makanya Ara juga heran kenapa bisa sampai tandas saat itu.

“Eh, Nan. Tapi lo dulu putus sama Jevon gara-gara apa sih?” tanya Ara penasaran, pasalnya Kinan enggak pernah cerita apa-apa.

“Jevon selingkuh, Ra. Dia deket sama cewek lain di sekolah barunya. Yah gitu deh, LDR emang berat apalagi kalo sama-sama belum dewasa. Makanya lo jagain tuh Kak Yuno jangan sampe dia selingkuh juga kaya Jevon, apalagi Kak Yuno banyak banget yang naksir dari dulu,” cerocos Kinan yang tanpa ia sadari begitu mendengar ucapannya wajah Ara langsung berubah menjadi masam.

“Yah lo tuh gak bisa nyamain Jevon sama Kak Yuno tau, Nan. Kak Yuno orangnya baik, dia juga sayang banget sama Ara. ya kan, Ra?” Echa yang sadar akan perubahan wajah temannya itu jadi menyangkal kata-kata Kinan.

“Yah semoga aja yah, soalnya dulu Jevon juga kelihatan sayang banget sama gue tapi apa? Buktinya dia tetap ahhhh—” pekik Kinan yang tiba-tiba tangannya di tepuk oleh Echa, Kinan sepertinya tidak bisa menangkap sinyal darinya yang menyuruhnya untuk berhenti berbicara seperti itu di depan Ara.

“Um, semoga Kak Yuno gak kaya Jevon yah, Nan.” Ara mengangguk, ia langsung mengalihkan pandanganya ke arah jalanan yang pagi itu agak sedikit lenggang. Walau begitu, ucapan Kinan barusan berhasil membuat pikirannya melayang. Memikirkan nasib hubungannya dengan Kak Yuno.

Begitu sampai di Aquarium, mood Ara yang semula berantakan kini kembali membaik berkat melihat atraksi-atraksi hewan yang ada di sana, bukan hanya menyuguhkan biota laut. Di tempat itu ada berbagai atraksi hewan lain juga seperti Berang-Berang, Binturong dan Pinguin.

Ara sempat merekam atraksi itu untuk ia tunjukan pada Kak Yuno nanti, tidak ketinggalan dengan atraksi ikan Pari dan juga hewan laut lainnya. Ara juga sempat menyentuh Ular, Kecoa Madagaskar, Bintang Laut dan Siput Turbo.

“Geli gak, Ra?” tanya Gita waktu seorang staff menaruh kecoa madagaskar di tangan Ara.

Ara bergidik, rasanya agak sedikit tidak nyaman. Tidak berbeda jauh dengan menyentuh kecoa pada umumnya, hanya bedanya kecoa madagaskar ini tidak memiliki bau seperti kecoa yang sering di jumpai di rumah-rumah. Dan yang jelas ukuranya jauh lebih besar dari kebanyakan kecoa.

“Geli, Git. Tajem-tajem gitu, tapi lucu juga cobain deh biar gak penasaran.”

“Gue mau coba nyentuh badannya aja.” Gita enggak mau pegang, udah kebayang di kepala dia kaya gimana tekstur nya. Dari pada nanti berakhir Kecoa nya dia lempar karena saking gelinya, lebih baik ia menyentuh bagian atas Kecoa itu dengan tangannya saja. Gita berani memegang Ular, Bintang Laut, Berang-Berang dan Siput Turbo tapi enggak dengan Kecoa yang satu ini, apalagi yang ukurannya besar.

“Habis ini liat atraksi Lumba-Lumba yuk!” pekik Cindy.

“Gak, kita ke Zona Gurun dulu gue mau kasih makan Meerkat,” sangkal Chaka tak mau kalah.

“Meerkat apaan?” tanya Janu.

“Itu loh, kalo lo pernah nonton Lion King. Meerkat itu si Timon,” jelas Kevin. Kalau soal gini-ginian Kevin tuh banyak tau deh.

“Ohhh, itu. Gue juga mau dong, ayo kita ke Zona Gurun dulu kalo gitu!!”

“Ihhh mau liat Lumba-Lumba dulu!” Cindy enggak mau kalah, tujuan utama Cindy ke Aquarium kan memang mau melihat pertunjukan Lumba-Lumba.

“Eh sumpah, kaya bocah lu berdua. Mending kita liat Macaw aja dulu!” agar menghentikan perdebatan Chaka dan Cindy, akhirnya Gita memutuskan untuk mengajak mereka melihat Macaw dulu saja.

Di sana agak sedikit ramai, tapi walau begitu teman-temannya semua antusias saat melihat aksi Burung Beo besar yang memiliki lama hidup hingga 50 tahun. Bulu dan warna nya cantik, Ara bahkan begitu takjub melihatnya. Ini untuk pertama kalinya ia melihat Macaw, karena memang habitat Macaw ini tidak ada di Indonesia.

“Eh, Echa?” pekik seseorang begitu melihat Echa, begitu pula dengan Echa yang membulatkan kedua matanya.

“Julian!!” Echa yang melihat teman lamanya itu langsung menghampirinya dan memukul bahunya dengan excited.

“Ahh sakit, anjir! Main mukul aja,” ucap cowok bernama Julian itu.

“Lo sama siapa?”

“Sama Naufal, tapi dia lagi ke toilet. Lo sama siapa?” tanya Julian, soalnya dia liat Echa dateng ramai-ramai.

“Sama teman-teman gue, ada cowok gue juga tuh yang paling tinggi,” Echa menunjuk Janu yang lagi melongok melihat pertunjukan Macaw itu.

Namun bukannya melihat Janu, ekor mata Julian justru tertuju sama Ara yang berada di sebelah Janu, yang kebetulan kini sedang melihat ke arah Julian juga. Ara tersenyum, begitu juga sama Julian yang kini mendekat ke arahnya.

“Lo temennya Echa juga?” tanya Julian.

Ara mengangguk, “lo kenal Echa?”

“Dia temen SMP gue.”

Echa yang bingung hanya mengernyit, pasalnya Ara gak pernah cerita kalau dia kenal sama Julian.

“Kalian kenal?” tanya Echa ke Julian dan Ara.

“Enggak, Cha. Belum sempet kenalan, kemarin gue ketemu dia di toko buku,” waktu itu ia ingin mengajak Ara untuk berkenalan, namun sayangnya selesai membayar bukunya, Ara sudah tidak ada lagi di sekitar toko buku. Namun siapa sangka jika ia justru bertemu Ara di sini, jadi biarkan kali ini Julian memberanikan diri untuk berkenalan dengan gadis itu.

“Nama gue Julian, anak SMA M.H Thamrin,” Julian mengulurkan tangannya dengan senyum manis mirip seperti seekor anak kucing.

“Ara, lo serius anak M.H Thamrin?” setahunya sekolah itu adalah sekolah unggulan negeri terbaik di Jakarta, kakak sepupunya Ara yang bernama Arial juga alumni sekolah itu. Lagi pula enggak mudah masuk sekolah itu, hanya murid terbaik yang bisa bersekolah di sana.

“Iya, kenapa emang?”

“Kakak sepupu gue alumni sana.”

“Siapa namanya? Kali aja gue kenal.”

“Mas Arial, ah, nama lengkapnya Arial Hazahfran. Kenal?”

“Ahhhh,” Julian mengangguk-angguk, siapa sih yang enggak kenal Arial? Murid akselerasi dengan segudang prestasi yang ia sabat untuk membuat harum nama sekolah. “Tahu, cuma enggak kenal. Bang Arial yang akselerasi kan?”

Ara mengangguk, sejak saat itu Julian dan Naufal memutuskan untuk bergabung dengan rombongan Echa dan teman-temannya. Mereka juga makan siang bersama sebelum akhirnya berpisah karena hari sudah semakin sore.

“Gita?!” pekik Ara, dia kaget banget waktu tiba-tiba Gita ada di depan pagar rumahnya. Gita datang sendiri, membawa buket berisi coklat dengan berbagai macam rasa.

“Gue mau nganter titipan Kak Yuno nih buat lo, Ra.” ucap Gita, gadis itu masuk setelah Ara membukakan pagar rumahnya.

“Sini, Git. Duduk dulu.”

Keduanya duduk di teras rumah Ara, di ruang tamu sedang ada Reno dan teman-temannya yang sedang kerja kelompok. Tadi Ara sedang bantu bunda bikin cookies untuk Reno dan juga teman-temannya.

“Lagi sibuk, Ra?” tanya Gita, dia ngasihin buket itu ke Ara. Setelah itu duduk di kursi yang ada di teras rumah Ara, rumahnya lumayan sejuk karena Bunda nya Ara menanam macam-macam tumbuhan. Ada kicauan burung milik Papa nya juga yang di gantung dengan sangkar di sana, bikin suasana rumah itu tampak asri.

“Enggak sih, Git. Ih ngomong-ngomong makasih, buketnya. Kenapa gak di antar sama kurir aja sih? Kak Yuno ngerepotin elo banget.”

Ara tersenyum kecil, begitu melihat ada coklat dengan berbagai macam rasa di sana. Terutama coklat rasa strawberry dan matcha, Ara suka banget sama kedua rasa itu. Dia juga gak nyangka kalau Yuno ngirimin buket ini pakai perantara Gita, cowok itu gak ngomong apa-apa.

Ah, lebih tepatnya Yuno dan Ara belum berkabar lagi sejak 2 hari yang lalu. Terakhir Yuno hanya bilang jika ia benar-benar sibuk di kampusnya, terlebih Yuno juga aktif di organisasi kampusnya. Cowok itu sedang menikmati tahun pertamannya sebagai mahasiswa baru.

“Santai aja, Kak Yuno emang ngerepotin sih, tapi gue juga sekalian mau main ke rumah lo sebentar, oh iya, di dalamnya ada surat buat lo, tapi bacanya nanti aja di kamar.”

Yuno yang mengetikkan kata-katanya sendiri, kemudian, Gita yang tulis ucapan itu di kartu ucapan. Dia gak nyangka kalau Kakak sepupunya itu bisa berubah jadi dangdut juga waktu sama Ara.

“Dia gak bilang ke gue kalo ngirimin ini,” Ara senyum, masih takjub dengan buket berisi coklat-coklat itu.

“Iya emang enggak, Ra. Kemarin dia ngerasa bersalah banget sama lo karena gak ngabarin lagi. Katanya ada acara di fakultasnya gitu,” Gita mengerutkan keningnya, berusaha mengingat cerita Yuno tempo hari. “party-party gitu gak paham deh, terus Kak Yuno mabuk jadi lupa deh tuh dia ngabarin lo.”

“Mabuk?” tanya Ara, keningnya berkerut bingung.

Seingatnya Yuno pernah bilang kalau dia enggak akan nyentuh alkohol, Yuno bilang ingin hidup sehat. Selain itu, tidak ada minuman alkohol juga di kulkas Yuno saat Ara datang. Tapi kenapa sekarang Ara mendapat kabar jika Yuno mabuk di acara fakultasnya? Apa memang budaya di Jerman seperti itu? Pikirnya.

Gita mengangguk, “iya, mabuk. Kak Yuno gak bilang apa gimana?”

Ara menggeleng pelan, suasana hatinya yang semula membaik itu menjadi tidak karuan setelah mendengar ucapan dari Gita barusan.

“Enggak, Git. Dia cuma bilang kalo emang ada acara di fakultasnya, tapi dia enggak bilang kalau sampai mabuk. Padahal dia udah janji sama gue, kalo enggak akan nyentuh alkohol. Dia bilang mau hidup sehat selama di sana,” jelas Ara, yang membuat Gita salah tingkah sendiri. Gita jadi enggak enak, dia jadi ngerasa kaya ngadu banget ke Ara tentang apa yang Yuno ceritakan padanya.

“Mungkin lupa kali, Ra. Emang budaya di luar tuh kaya gitu gak sih? Minum-minum itu udah biasa,” Gita tersenyum kikuk, dia berusaha menenangkan Ara.

“Ah, by the way sore ini pengumuman masuk SBM kan?” Gita mengalihkan pembicaraan mereka sebelumnya.

“Iya, makanya gue deg-degan banget nih.”

“Yakin aja udah, lo udah belajar.”

“Lo udah dapat kosan, Git?” tanya Ara.

Gita mengangguk, “udah kok, udah gue bayar juga. Tinggal cus pindah aja, rencana sih agak mepet pas ospek.”

Setelah mengantar buket berisi coklat untuk Ara, Gita langsung pulang. Dia gak bisa lama-lama karena harus ada beberapa barang yang ia beli untuk kebutuhannya selama di Bandung.

Sedangkan Ara, ia masuk ke dalam kamarnya. Memperhatikan buket itu dan terdiam di atas ranjangnya, dia benar-benar merasa Yuno telah berubah. Kadang Ara berpikir, bolehkan ia menaruh kecurigaan dengan gadis bernama Ann itu? Bagaimana jika Yuno menyukai gadis lain di sana? Bagaimana jika Ann yang merubah Yuno?

Sore nya, perasaan Ara semakin tidak karuan. Apalagi saat ia harus duduk di depan MacBook nya memperhatikan web yang menampilkan pengumuman penerimaan mahasiswa baru di kampus pilihannya. Di kursi meja belajarnya, Ara meremas jemarinya hingga buku-bukunya itu memutih.

Saking tegangnya, perutnya sedikit mual dan dadanya terasa panas. Ara setakut itu jika ia tidak di terima di kampus impiannya, meski jauh-jauh hari ia sudah menanamkan pada dirinya untuk tidak berekspektasi lebih, namun perasaanya tidak bisa di bohongi jika ia benar-benar mendambakan kampus itu.

Dan tibalah waktunya, web yang sedari tadi Ara tatap itu akhirnya menampakan nama-nama calon mahasiswa baru di kampus yang ia pilih, mata gadis itu tak ayal lepas dari layar MacBook di depannya. Mencari namanya di sana dengan telitih, satu persatu ia amati namun Ara sadar tidak ada namanya di sana.

Awalnya ia menyangkal, maka sekali lagi ia cari namanya di sana namun tak ia temukan. Saking kecewanya, Ara sampai sedikit mencakar jemarinya sendiri demi melampiaskan perasaan kesalnya.

“Kak? Gimana? Nama kamu ada gak?”

Itu suara Bunda, dan Ara tidak mampu menjawab panggilan Bunda itu. Ia luruh di bawah ranjangnya, memeluk lututnya sendiri dan menahan isaknya sendiri. Ara kecewa, hasil kerja kerasnya selama ini tidak membuahkan hasil yang ia inginkan. Segala usahanya menghianatinya, rasanya sore itu dunianya terasa runtuh.

Saat itu, Ara hanya memikirkan satu nama di kepalanya. Seseorang yang selalu menjadi tempatnya mengadu sebelum ia mengadu kepada Papa dan Bunda, Gadis itu mengambil ponselnya untuk menghubungi Yuno sembari menahan isakanya yang semakin menyesakkan.

Namun, di sebrang sana tak kunjung ia dapatkan jawaban. Ara hanya di hadapkan dengan suara sambungan telfon tanpa adanya suara barinton Yuno yang ingin ia dengar.

“Angkat, Kak. Aku butuh kamu...” gumamnya.

“Ara? Gimana, Kak? Buka dulu pintu nya sayang.”

Suara Bunda itu kembali mengintrupsi, namun Ara dengan frustasi justru melempar ponselnya ke ujung kamar karena tidak kunjung mendapatkan jawaban akan panggilannya pada Yuno.

Sore itu, Ara hanya bisa memeluk dirinya sendiri. Ia tidak keluar dari kamarnya bahkan sampai jam makan malam, Bunda dan Papa tentu saja khawatir. Namun kedua orang tua Ara itu tidak ada yang berhasil membujuk si tengah itu setidaknya untuk keluar makan malam.

Yang Ara lakukan di dalam kamarnya hanyalah meringkuk di atas ranjang, matanya sembab dan kepalanya pening di hantam kekecewaan bertubi-tubi.

“Kak? Apapun hasilnya, Bunda dan Papa enggak marah sama kamu, setidaknya Kakak udah bekerja keras, Nak.”

Tidak ada sahutan, Ara masih bergeming dan kembali memeluk selimutnya sendiri. Bahkan saking marahnya dengan Yuno karena tidak mengangkat telfonnya, Ara sampai menyingkirkan semua boneka pemberian cowok itu dari atas ranjangnya. Saat ini yang ia butuhkan hanya kesendirian, ia ingin menenangkan dirinya sendiri dulu.

Sejak hari dimana Julian dan Ara bertemu di toko buku kemudian bertemu kembali di Aquarium, Julian jadi menaruh rasa penasaran dan ketertarikan akan gadis bernama Ara itu. Sewaktu mereka makan bersama sehabis dari Aquarium, Julian dan Ara banyak mengobrol. Dan Julian sadari kalau ia dan Ara memiliki ketertarikan yang sama dengan film thriler.

Julian merasa nyambung banget ngobrol sama Ara, baginya Ara adalah gadis yang asik buat di ajak bicara, terlebih ia juga banyak merekomendasikan film-film yang bisa Julian tonton di kala waktu senggang.

Dan kini, cowok dengan tinggi 180cm itu tengah berbaring di ranjang kamarnya. Memandang langit-langit kamar sembari memikirkan hari dimana ia banyak berbicara dengan Ara, ada perasaan menyesal karena saat berpisah hari itu ia tidak sempat meminta kontaknya.

Tiba-tiba saja sekelebatan ide muncul di kepala Julian, ia rogoh saku celana seragam sekolahnya itu dan ia ambil ponsel miliknya, Julian mengetikkan sesuatu disana. Mencoba peruntungan dengan mencari sosial media milik Ara hanya bermodalkan memeriksa satu persatu pengikut di akun Twitter milik Echa.

Dan benar saja, Julian menemukan akun yang ia duga milik Ara. Dan sayangnya, akun itu di private. Akun milik Ara tidak terbuka untuk umum, dan Julian berakhir tidak bisa mencari tahu tentang gadis itu lebih dalam melalui akun sosial medianya.

“Apa gue follow aja kali yah?” gumamnya pada diri sendiri.

“Tapi kalo gak di accept gimana?”

Julian jadi sedikit meragu, mereka sudah saling mengetahui nama masing-masing, namun tetap saja bagi Julian ia masih seperti orang asing untuk Ara, hey, mereka baru 2 kali bertemu.

“Tapi kan gue udah kenalan yah? Gue juga kan temennya Echa, kelihatannya Ara juga bukan orang yang sombong apalagi sok ngartis kok.” Julian berusaha meyakinkan dirinya, sampai akhirnya pilihanya mantap untuk menekan opsi follow pada layar ponselnya.

Cowok itu tersenyum, kemudian bangun dari atas ranjangnya untuk membenahi tas dan berganti pakaian. Baru saja ia ingin keluar dari dalam kamarnya setelah berganti baju, tiba-tiba saja bunyi getar kecil dari ponsel yang ia taruh di atas lemari belajar kayu miliknya itu, mengintrupsi perhatian Julian.

Cowok itu mengambil ponselnya, dan betapa terkejutnya Julian ketika mendapatkan notifikasi jika Ara sudah menerima permintaan pertemananya di sosial media miliknya. Mata Julian berbinar, ia abaikan perut laparnya itu demi bisa mencari tahu tentang gadis yang akhir-akhir ini membuatnya penasaran.

Jadi Julian urungkan keluar kamar, ia memilih duduk di kursi belajarnya sembari menggulir layar ponselnya. Tidak ada yang aneh dari postingan yang Ara buat, hanya menuliskan lirik lagu yang sebagian Julian tahu, kemudian memposting ulang postingan yang di buat oleh artist favorite nya.

Sampai pada akhirnya Julian menemukan foto Ara dengan seorang laki-laki yang menurutnya tampak mesra itu, di postingan yang mendapatkan lebih dari 300 likes Ara menandai akun seseorang. Karena sudah kepalang penasaran, Julian mencoba mencari tahu siapa cowok bernama Aryuno itu.

Dan saat Julian melihat profil sosial medianya, sudah dapat Julian pastikan jika itu adalah kekasihnya Ara. Bahu tegap miliknya itu merosot, pupus sudah harapan Julian untuk mengenal Ara lebih dekat.

Ara dan cowok bernama Aryuno itu nampak mesra dan terlihat sebagai pasangan kekasih sekolah yang sangat terkenal. Julian hanya bisa meringis, dari pada terus mencari tahu lebih dalam dan berujung membuatnya sakit. Akhirnya Julian tutup aplikasi di ponselnya dan mencoba melupakan rasa penasaranya pada Ara.


kamu berani megang Kecoa?” tanya Yuno di sebrang sana.

Ara baru saja memperlihatkan video yang ia buat di Aquarium kemarin pada Yuno, supaya Yuno tahu apa saja yang Ara lakukan di sana. Ara juga ingin Yuno merasakan bahagia yang saat itu ia rasakan, terkadang Yuno juga suka buat video singkat tentang kesehariannya sebagai siswa sekolah bahasa dan ia bagikan ke Ara.

Kalau sudah begini, Ara jadi kepikiran buat bikin mini vlog. Tapi rasanya kepercayaan dirinya di kamera dan kemudian membagikkanya ke publik belum sebesar itu, belum lagi ia tidak memiliki waktu untuk mengedit video.

“Berani, karena Kecoa nya gak terbang. Seru deh, Kak. Aku juga liat Berang-Berang, terus Pingungin banyak deh pokoknya. Kalau Kak Yuno pulang kita Aquarium date yah.”

Yuno tersenyun kemudian mengangguk pelan, “boleh, sabar ya sayang. Nanti kalau kita ketemu kita puas-puasin deh berduaanya.

“Kak Yuno gimana disana?”

baik, lancar kok semuanya. Kemarin aku habis dari Heidelberg, ke kampus kedokteranku buat nyerahin berkas sama visit apart aku di sana.

“Oh ya? Bagus gak Kak kampusnya?”

bagus, nanti kalau kamu ke sini. Aku ajak ke kampus aku yah, oh iya sayang?

“Um?”

udah nentuin kamu mau ambil kampus mana aja?

Ara menarik nafasnya berat, wajah gadis itu agak sedikit murung. Kemarin malam, Ara sempat berdebat dengan Papa perihal kampus yang ingin Ara ambil. Ara kepikiran buat ambil kampus di luar Jakarta, seperti di Jogja, Malang atau Semarang. Ara ingin mencoba mandiri menjadi anak rantau, tapi Papa nampaknya tidak memberi izin untuk itu perihal Ara adalah anak perempuan. Dan dari kecil Ara pun enggak pernah jauh dari kedua orang tua nya.

Papa memang tidak pernah mengizinkan anak-anaknya untuk kuliah di luar kota, dengan alasan Papa dan Bunda akan sulit memantau anak-anaknya. Papa enggak mau anak-anaknya menjadi lebih bebas ketika harus hidup sendiri jauh dari kota asal dan juga orang tua.

Dulu Papa juga pernah berdebat seperti ini dengan Mas Yuda waktu Mas Yuda nekat ingin memilih kampus yang berada di Surabaya, akhirnya Papa tidak memberi izin dan Mas Yuda terpaksa memilih kampus swasta di Jakarta. Semua Papa turuti sekalipun Mas Yuda memilih kampus swasta dengan biaya kuliah yang cukup membuat tabungan Papa nyaris terkuras.

kenapa sayang? Kok lemes gitu?” tanya Yuno.

“Kemarin aku habsi debat sama Papa, soal kampus yang mau aku ambil.”

debat kenapa?

“Kak, Papa enggak setuju kalau aku ambil kampus di luar Jakarta. Padahal kan aku kepengen banget gitu hidup mandiri, jadi anak rantau, ngekost. Aku tuh bosen di Jakarta terus. Kan seru gitu kalo liat cerita-cerita mahasiswa rantau yang jauh dari orang tua.”

Yuno hanya meringis, sebagai orang yang hidup di perantauan meski baru beberapa bulan saja. Menurut Yuno ini enggak gampang, apalagi jika sudah terbiasa hidup bersama orang tua. Jujur saja, Yuno sempat sakit karena merindukan rumah dan kamarnya di Jakarta. Belum lagi ia harus beradaptasi dengan budaya, cuaca yang jauh berbeda seperti di Jakarta, makanan dan juga orang di sekitarnya.

Hei, jadi mahasiswa perantauan enggak semenyenangkan yang di bayangkan orang-orang, walau perlu Yuno akui jika hidupnya selama merantau jauh lebih bebas. Enggak ada lagi tuh Yuno yang harus belajar sampai tengah malam karena Papa mengawasinya, selama di Berlin. Jika Yuno sudah lelah belajar, ia akan mencari hiburan ia tidak memforsir dirinya sendiri.

mungkin karena Papa terlalu khawatir sama kamu, sayang. Kamu kan anak perempuan satu-satunya. Emang kamu mau ambil kampus dimana, hm?

“Aku punya pilihan di Jogja, Kak. Terus di Malang atau di Semarang.”

kalau kamu masih kepengen di kampus-kampus itu, masih ada waktu buat bujuk Papa kok. Aku pikir kamu cuma perlu yakinin Papa aja, tapi sayang? Kamu yakin mau ngerantau? Hidup di perantauan gak gampang loh.

Ara mengangguk, “yakin, Kak. Aku tuh mikir selama ini aku manja banget, makanya aku mau nantang diri aku sendiri buat hidup lebih mandiri dengan jauh dari orang tua.”

Ara cuma mikir selama ini dia cukup manja, ia juga ingin berubah menjadi gadis yang lebih mandiri lagi. Ia ingin menjadi dewasa dan lebih bertanggung jawab dengan diri sendiri.

Selain itu, Ara juga ingin mengksplore tempat-tempat lain, mengenal banyak budaya dan memiliki banyak teman di daerah lain. Ia ingin menjadi dewasa dengan caranya sendiri, dan Ara yakin ia bisa menjaga dirinya sebaik mungkin.

bagus kalau gitu, berarti tugas kamu nambah. Selain belajar buat ngejar kampus impian kamu, kamu juga harus bisa yakinin Papa.

“Kak?”

ya, sayang?

“Doain yah.” Ara mengerucutkan bibirnya, nada bicaranya merajuk dan membuat Yuno di sebrang sana menjadi gemas melihatnya, jika Ara saat ini berada di dekatnya. Mungkin Yuno sudah menangkup wajah gadis itu dan mengecupnya tanpa henti.

aku selalu doain kamu, sayang. Yaudah, tadi kita belajarnya sampai mana? Jadi keasikan sendiri kan tuh gara-gara kamu ngasih liat video di Aquarium kemarin.

Setelah banyak bercerita tentang kesehariannya dan juga perjuangan Ara membujuk Papa, Yuno kembali mengajari Ara beberapa materi ujian nanti. Meski dalam jarak jauh, Yuno enggak pernah kehilangan cara untuk mengajari Ara, ia ingin gadis itu juga pintar sama seperti dirinya.

Ujian Nasional tinggal terhitung sepuluh hari lagi, dan selama itu juga Ara benar-benar sibuk dengan segala macam bentuk latihan soal, test, belajar untuk masuk perguruan tinggi negeri dan juga les tambahan yang Bunda daftarkan untuknya.

Kadang saking sibuknya Ara tak jarang mengabaikan pesan singkat yang Yuno kirimkan padanya, Ara bukan benar-benar mengabaikanya kok. Hanya saja dia suka telat membalas pesannya, mereka juga jadi jarang melakukan panggilan video. Dan Yuno bisa paham atas semua kesibukan gadisnya, toh ia juga sibuk dengan test terakhir untuk sekolah bahasanya.

Siapa sangka jika masuk sekolah bahasa Yuno enggak sampai satu tahun, hanya hitungan bulan saja Yuno sudah mengantongi sertifikat B2. Itu artinya Yuno sudah bisa pindah ke Heidelberg dan mulai hidup barunya sebagai mahasiswa kedokteran.

Saat ini Ara tengah duduk di ruang tamu, ada Papa dan Bunda yang tengah menikmati secangkir teh, di temani oleh kue kering yang kemarin di antarkan oleh tetangga sebelah rumah mereka. Rencana nya pagi ini Ara akan kembali merayu Papa perihal kampus di luar kota yang akan ia ambil, ini kesempatan terakhirnya sebelum ia harus fokus untuk Ujian Nasional minggu depan.

“Pah, Bun?” panggil Ara, ia mengulum bibirnya sendiri menahan segala buncahan di hatinya. Takut-takut Papa tetap pada pendiriannya, melarang Ara untuk memilih kampus di luar kota.

“Kenapa, Kak?” tanya Bunda.

“Soal kampus Kakak..”

Papa mengangguk, “sudah dapat pilihan kampus di Jakarta atau kisaran Jabodetabek, Kak?”

Ara menggeleng, dia gak pernah sekalipun nyari tahu soal kampus di Jakarta yang membuatnya tertarik. “Kakak mau masuk jurusan psikologi di kampus yang ada di Malang, Pah.”

“Kak..” Papa menghela nafasnya, Ara ini memang keras kepala, walau Yuda juga agak sedikit keras kepala tapi setidaknya Yuda akhirnya pasrah pada ucapan Papa nya untuk tetap berkuliah di Jakarta, ya walau separuh dendam karena Yuda memilih kampus yang biayanya melejit.

please, Pah. Kakak janji gak aneh-aneh, Kakak juga bakalan belajar yang bener, IPK Kakak juga gak akan bikin Papa sama Bunda kecewa, Kakak cuma mau mandiri, Pah, Bun.”

Bunda hanya bisa melirik Papa, Bunda juga memiliki pendapat yang sama kaya Papa. Terlebih Bunda sangat mengkhawatirkan Ara, pernah dulu sekali Ara kecapekan saat mengikuti lomba paduan suara di sekolahnya. Alhasil asma yang dari kecil di derita Ara itu kambuh.

Dan yang membuat Bunda khawatir salah satunya adalah hal itu, siapa yang akan merawat putri sematawangnya itu jika sakitnya sudah kambuh? Apalagi Ara akan sangat berubah jadi sangat manja ketika sakit.

“Papa tuh paham, Kak. Anak seusia kamu nih lagi nyari jati diri. Tapi Papa juga paham jadi anak rantau di kota yang jauh itu gak mudah, kalau kamu enggak percaya, coba tanya pacarmu. Gimana dia di Jerman sekarang, gampang gak beradaptasi disana?”

“Kakak tau gak gampang, Pah. Tapi Kakak tuh kepengen eksplore—”

Belum sempat selesai menjelaskan, Papa sudah menggeleng dan mengibaskan tangannya.

“Gak ada gak ada, eksplore-eksplore emangnya kamu Dora The Explorer.”

“Aaaahhhh Papa....” kalau udah begini, kepala Papa sudah mulai pening. Pasalnya rengekan Ara ini melebihi anak kecil minta mainan, Ara bahkan gak perduli saat ini Reno menertawai nya dari meja makan. Kadang Papa ngerasa si bungsu Reno tampak lebih mudah di atur dan enggak neko-neko ketimbang Ara dan Yuda.

“Gak, Kak. Kamu nih mau nyari apa sih di Malang? Kalau buat liburan Papa kasih kalau buat tinggal. Enggak, Mas Yuda loh laki-laki aja gak Papa kasih, apalagi kamu.”

Karena Papa ingin berjalan ke teras untuk memandikan burungnya, jadi Ara langsung sigap berdiri dan memeluk lengan Papa nya itu demi menahannya agar tetap duduk di sofa.

“Aaahhh Pah, please Ara turutin deh maunya Papa, Kakak janji deh Kakak yang cuci mobil, nyikat WC, gak minta belanja-belanja lagi, bantuin Bunda masak sama mandiin Bejo tapi please bolehin Ara milih kampus di luar Jakarta, Pah...”

Urat malu Ara udah putus kayanya, bahkan Reno merekam dia dengan ponselnya sambil di tertawakan saja dia udah gak perduli. Yang penting bagi Ara sekarang gimana caranya Papa bisa luluh.

“Enggak, Papa bilang enggak. Kamu mau bangun jalan dari Jakarta sampe Panarukan atau bikin Candi kurang dari 24 jam buat ngerayu Papa juga gak akan mempan, Kak.”

“Emangnya Papa Roro Jonggrang, aaahhhh Pah please sekali ini aja, gapapa deh Papa kasih uang jajan nya dikit.” kedua mata Ara udah berlinang air mata aja, Papa sama sekali enggak membentak Ara. Tapi nada bicaranya menyebalkan sama kaya Mas Yuda.

“Lepas ah, Papa mau mandiin Bejo.”

“Gamau!!” alih-alih melepas tangan Papa nya Ara justru semakin kencang memeganginya. Seolah-olah ia lengah sedikit saja, Papa bisa menghilang entah kemana.

Papa akhirnya menghela nafasnya berat, kemudian menatap wajah putri satu-satunya itu. Sebenarnya Papa enggak tega, tapi melepas gadis yang selalu kecil di matanya itu juga enggak mudah. Papa akan selalu menganggap anak-anaknya masih kecil, meskipun mereka sudah beranjak dewasa sekarang.

“Papa gak larang kamu buat ambil kampus di luar kota, kalau kamu keterima.”

“BENER PAH?!!” pekik Ara girang.

“Papa belum selesai ngomong Arumi Naura Shalika.”

“Ayay, siap captain!”

“Tapi, ada tapi nya yah. Kalau kamu gak keterima di kampus-kampus pilihan kamu. Kamu harus ikutin kampus mana yang Papa pilih.”

“Tapi tetap di luar kota kan, Pah?”

“Kamu tuh mau kuliah atau mau bebas dari pengawasan Papa dan Bunda sih?” Papa jadi curiga kalau sudah begini, jangan-jangan Ara memilih kampus di luar kota hanya karena ingin hidup bebas dari kedua orang tua nya alih-alih mandiri.

“Ih gak gitu, Pah. Ara tuh mau ngerasain jadi anak kost yang mandiri, masak sendiri, nyuci baju sendiri, terus juga banyak ngenal tempat baru. Emangnya Papa sama Bunda mau Ara manja-manja terus?”

“Ya kamu masak sendiri aja di rumah, nyuci sendiri, anggap saja ngekost.”

“Beda ih, Papa mah.”

“Kalau kamu gak dapat perguruan tinggi negeri dan tetap pada pendirian kamu buat kuliah di luar Jakarta, pilihan kamu cuma satu.”

Bukan hanya Ara yang deg-deg an menunggu ucapan Papa selanjutnya, tapi ada Bunda dan juga Reno yang menunggu Papa melanjutkan ucapannya. Bunda bahkan gak nyangka Papa akhirnya menyetujui keinginan Ara untuk kuliah di luar kota.

“Apa, Pah?” tanya Ara kepalang penasaran.

“Kamu masuk universitas yang sama kaya Mas Arial di Bandung, kalau di Bandung Papa akan setuju. Toh ada Arial yang bisa jagain kamu kan,” jelas Papa.

“Ihhh Papa, masa di Bandung gara-gara ada Mas Iyal? Emang Mas Iyal baby sitter aku?”

“Yasudah kalau gitu kamu masuk di kampus nya Mas Yuda aja, di sana juga ada jurusan psikologi kan.”

Ara cemberut, menurutnya saat ini Papa benar-benar menyebalkan. Apalagi cengirannya, Ara jadi tau sekarang dari mana asal cengiran menyebalkan Mas Yuda berasal.

“Papa nyebelinnn,” rajuknya, karena sudah kepalang kesal akhirnya Ara masuk ke dalam kamarnya. Menyisakan Papa yang santai bersiul sembari memandikan burungnya di teras.

“Si Kakak ngambek loh, Pah.” ucap Bunda.

“Biarin lah, Bun. Kaya Ara gak pernah ngambek aja. Anakmu itu kan emang kerjaanya ngambek.”


Malamnya Ara baru sempat melakukan panggilan video dengan Yuno, matanya masih sembab akibat menangis karena kesal dengan Papa nya. Di sebrang sana, Yuno tengah mengemasi beberapa barangnya yang akan ia bawa ke Heidelberg. Mungkin sisa nya nanti akan ia jual dengan tetangga apartemennya yang lain, karna akan repot sekali membawa semua nya.

kok matanya sembab?” tanya Yuno di sebrang telfon sana.

“Kak Yuno lagi beres-beres mau pindahan?”

Yuno mengangguk, mengarahkan laptop miliknya ke penjuru ruangan di apartemennya. “minggu depan aku pindah, sayang. Makanya nyicil beres-beres sekarang.

Ara tidak menyahut, ia hanya mengangguk sambil sesekali menutupi wajahnya dengan rambut panjangnya. Ia tidak ingin membuat Yuno khawatir karna melihat wajahnya yang sembab.

kamu kenapa? Pertanyaan aku kok gak di jawab?

“Gapapa, habis bangun tidur.”

udah belajar sayang? 10 hari lagi UN kan?

“Capek, aku mau istirahat aja hari ini.”

Yuno menggeleng, bukan dia enggak tahu kalau Ara mungkin sedang tidak baik-baik saja sekarang. Dua tahun berkencan dengan gadis itu, Yuno sudah hafal sekali wajah Ara ketika sedang marah, bad mood dan juga sedih.

mau aku pijitin gak?” sembari melakban satu persatu kerdus, sesekali Yuno melirik ke arah laptopnya yang menampakan wajah cantik kesayangannya itu.

“Emangnya bisa? Emangnya tangan kamu sampai kamar aku apa?” cicit Ara malu-malu.

aku pesan tiket pulang ke Jakarta aja apa yah sekarang? Biar bisa mijitin kamu, habis itu balik lagi ke Jerman?

Ara yang mendengar itu jadi tersenyum malu-malu, “kak Yuno?”

yes princess?

“Aku lagi kesal sama Papa.” nada bicara Ara persis sekali seperti anak kecil yang tengah mengadu.

kenapa, sayang? Masih soal kampus yah?” tebak Yuno.

Ara mengangguk, ia mengubah posisinya yang tadinya tengkurap di atas ranjang. Menjadi duduk, Ara juga mengikat rambut panjangnya asal.

“Papa setuju aku ambil pilihan kampus di luar Jakarta kalau aku benar-benar keterima, tapi kalau aku enggak dapat PTN dan pilihan aku tetap buat gak kuliah di Jakarta, masa Papa mau daftarin aku di kampus nya Mas Iyal.”

Kampusnya Arial? Narawangsa University bukan sih?” Arial dan Yuno cukup dekat walau tidak sedekat itu, mereka hanya pernah berbicara beberapa kali saja sewaktu Yuno main ke rumah Ara.

“Iya kampus itu.”

Narawangsa juga univeritas bagus loh sayang. Kenapa emangnya hm?

“Masalahnya alasan Papa nyebelin, katanya kalau aku di Narawangsa dan aku kost di Bandung. Aku kan tetap ada yang ngawasin, Mas Iyal bisa jagain aku katanya. Emangnya Papa kira aku bocah ingusan apa yang harus di jagain terus.”

Yuno menahan tawanya, alasan Papa nya Ara bisa Yuno terima. Toh itu bukan alasan yang konyol menurutnya, tapi nada bicara Ara yang terdengar sangat lucu di telinganya yang membuat Yuno harus menahan tawanya mati-matian.

Papa itu khawatir banget sama kamu loh, Sayang. Menurut aku alasanya masih bisa di terima kok, toh Gita juga cerita ke aku. Kalo Papa nya sama-sama khawatir kaya Papa kamu waktu Gita milih buat kost di Bandung.

Mendengar nama Gita di sebut, Ara jadi mengerutkan keningnya. Apalagi Yuno bilang tadi kalau Gita juga akan kost di Bandung.

“Loh, Gita kost di Bandung? Dia kuliah di Bandung, Kak?”

baru rencana, dia bilang gak tau mau ke mana. Kemungkinan juga mau ambil kampus yang sama kaya Kevin walau beda fakultas,” jelas Yuno.

“Kevin? Kevin udah milih kampus?”

kamu tanya sendiri sama Gita gih, siapa tau Gita sama Kevin di Narawangsa juga. Kan kalian bisa cari kosan bareng nanti.

Ara mengulum bibirnya, kalau yang di bilang Kak Yuno benar. Bukankah itu adalah kabar baik? Jadi Ara kan gak pusing nyari teman baru. Tapi tetap kok, Ara akan mengusahakan dirinya tetap masuk di kampus pilihanya yang ada di Malang. Narawangsa dan Bandung hanya opsi kedua saja baginya.