awnyaii

# PERANTARA LUKA MASA LALU

Pada sore hari menuju senja di hari ke tujuh bulan tujuh, langit dengan sorot sinar jingga menemani langkah kaki seorang lelaki yang menggenggam bouquet bunga berwarna putih, sosok seorang pria berjalan dengan langkah pasti menuju sebuah pusara di kompleks peristirahatan terakhir itu. Dwinetra Jevin kini menatap lamat-lamat pusara di depannya, ia merindukan iris legam coklat gelap milik sang puan yang namanya terukir disini. Bibir Jevin mulai bergetar, ia berkata lirih, “selamat ulang tahun, sayangku. Udah bahagia ya? Udah bisa denger aku kan? Selamat ulang tahun, Eve.”

Hati Jevin porak poranda saat menaruh bouquet bunga berwarna putih itu, bulan ini punya kesan tersendiri untuk Jevin. Bulan kelahiran sosok yang sudah mengubah kehidupannya yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, bulan lahirnya Eve, wanita yang sudah membuat hati Jevin sempat bermuara meski sesaat. Jevin mendongak menatap langit lalu memejamkan mata, lalu perlahan menunduk, punggungnya bergetar pelan tapi bulir air mata sudah membasahi pipinya. Sukmanya rindu, raganya ingin memeluk sang puan. Sedih tak berkesudahan harus dibalut dengan rasa ikhlas yang harus diadakan.

Jevin yang berlutut itu kini menunduk hingga dahinya menyentuh gundukan pusara itu, tangannya meremas rerumputan hijau yang tumbuh rapih di sana, “Eve ... eve ... pulang, pulang ...” nyatanya rasa sakit itu masih hinggap, tangan Jevin gemetar dan dingin seketika itu juga, tangisannya meraung, langit mendadak mendung seakan tahu jika Jevin menangis.

Karena sesungguhnya, kepergian Eve bersifat selamanya, bukan sementara. Memang mengundang lara dan duka, melupakan dan melepaskan tidak semudah itu. Jevin ikhlas atas kepergian Eve. Jevin tidak bisa menyangkal takdir, baik di bulan ini atau bulan yang lain teka teki kehidupan tidak pernah ada yang tahu. Kepergian, kedatangan, bahkan kelahiran.

Rintik hujan turun hingga semakin deras, sedangkan Jevin masih di sana tertunduk dan seakan memeluk pusara itu. Tak lagi Jevin rasakan dingin yang menusuk tulang, tidak Jevin rasakan bajunya dan tubuhnya yang kini basah kuyup. Tangisannya memang luntur oleh air hujan, tapi antrean air mata di pelupuk matanya terus mengalir. Kerinduan Jevin kini sudah membumbung tinggi meledak dalam tangisan. Dalam pejam tangisnya, baying Eve muncul jelas, bayangan saat ia memeluk Eve, bayangan saat ia dan Eve menyenandungkan lagu bersama di ruang recital, bayangan saat Jevin memeluk Eve kala ia menangis, bayangan saat Eve mengajarinya sign language.

Tak lama, Jevin rasakan air hujan tak lagi membasahi tubuhnya, ia mulai menegakkan posisinya dan mendongakkan kepalanya. Seorang wanita berdiri disana dengan paying yang ia gunakan untuk memayungi Jevin dan membiarkan tubuhnya diterpa hujan.

“Letta?” ucap Jevin, pandangannya mengikuti Letta yang juga akhirnya berlutut di sebelahnya serta membuang paying yang tadi ia pegang.

“Jangan nangis terus, nanti Eve sedih,” kata Letta sambil menepuk pundak Jevin.

“Gue kangen dia,” jawab Jevin.

“Gue juga,” kata Letta sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Di antara rintik hujan itu, Letta menaruh sebuah figura foto berukuran kecil di sebelah bouquet bunga yang Jevin bawa. Fotonya bersama Eve ada di sana.

Happy birthday, Eve.” Letta tersenyum tipis setelahnya.

“Gue juga sedih tapi gue tahu, bagian penting dari hidupnya ada di gue, hati Eve juga ada di gue, Jevin. Kalau nggak ada Eve saat itu mungkin gue nggak ada disini sekarang. Eve yang selalu ada saat gue sakit, entah fisik atau hati. Dia udah kayak keluarga buat gue. Gue nggak akan bisa bernapas hari ini kalau nggak karena Eve,” lanjut Letta hingga yang tersisa hanya tangisan penuh kerinduan dari dua orang itu yang kian menggema.

“Eve pernah bilang ke gue, kalau Kak Jevin yang dia kenal sama Kak Jevin masa SMA itu sama, hanya hatinya yang beda, Eve bangga sama perubahan lo, Eve mau lo lulus dari Bussiness School dengan predikat baik, jadi ketua choir yang baik, dan jadi Jevin yang Eve kenal terus. Eve sayang banget sama lo,” kata Letta yang membuat Jevin meraung lagi sambil terus memeluk pusara itu.

Letta hanya bisa melingkarkan tangannya di punggung Jevin dan mengelus punggung Jevin berulang kali. Tangisan Letta juga tak terhindarkan, hanya tanpa suara. Raga Eve sudah terpendam, tapi jiwa Eve akan hidup selamanya. Segala asa dan harap tidak akan tenggelam dimakan waktu, meski berteman kepedihan. Kepergian tanpa pamit dan pertanda memang menghadirkan luka mungkin sepanjang usia. Yang perlu dilakukan hanyalah ikhlas. Lagipula kematian dan kepergian selamanya tidak akan mengakhiri cinta yang Jevin dan Letta punya untuk Eve. Tidak akan pernah.

Tujuh Juli kala itu Genevieve Agatha Elizabeth lahir. Tujuh Juli yang lain, Eve jatuh cinta kepada sang tuan pemilik hati.

Tujuh Juli selanjutnya, Eve dan Jevin sudah saling memiliki.

Di tanggal dan bulan yang lain, Eve mendapatkan kembali kasih sayang dari Ayahnya yang tidak bisa menerima kehadirannya.

Tujuh Juli tahun yang lain, Eve merayakan ulang tahunnya bersama orang-orang kesayangannya.

Tujuh Juli yang lain, Eve sudah mewujudkan keinginannya untuk memiliki buku hasil tulisannya sendiri. Tujuh Juli hari yang lain, Eve berulang tahun lagi. Tidak akan pernah ada keriput di wajahnya, tidak akan pernah ada rambut putih di kepalanya, karena Eve kekal dalam keabadian.

— Tujuh Juli tahun selanjutnya—

Jevin dan Letta memang selalu mengunjungi pusara Eve di setiap tanggal ulang tahun Eve seperti hari ini. Usai mengunjungi makam Eve, Letta dan Jevin mampir sebentar di apartemen Letta. Dengan tanpa maksud apapun, Letta juga membuatkan Jevin minuman hangat agar pria yang bersamanya itu merasa sedikit tenang karena mengingat Jevin yang tadi menangis di pusara Eve.

“Gue jadi lemah banget gini, belum terbiasa. Terlalu takut sama perpisahan,” kata Jevin. Setiap kalimat yang terucap dari lisan Jevin seakan mengandung lara yang juga Letta bisa rasakan.

“Butuh waktu buat terbiasa dengan ketidakhadiran seseorang, Eve udah kayak keluarga buat gue,” balas Letta.

“Eve titip lo ke gue, kalau ada apa-apa, please let me know, ya?” Letta mengangguk dan tersenyum haru. Saat netra keduanya bersinggungan, maka keduanya mendayung jauh ke portal masa lalu.

“Waktu gue putus sama Mevin, Eve yang bawel ke gue tapi guenya aja ngeyel, ngedrunk nggak pakai aturan,” ucap Letta penuh sesal.

“Eve sayang sama lo bukan cuma sebagai sahabat tapi keluarga.”

Letta mengangguk, “I know, kalau saat itu Eve nggak jadi pendonor gue, mungkin saat ini gue yang udah nggak disini.”

Jevin menaruh gelasnya lalu meraih jemari Letta, “semua udah ada yang atur,” Jevin usap sesaat punggung tangan Letta lalu ia kembali menyesap minumannya lagi.

Tapi, saat Letta melihat ruas jari Jevin, ia merasa aneh karena terdapat beberapa luka dan bekas memar disana. Secepat kilat Letta menarik tangan Jevin dan ia amati, Jevin sempat hendak menarik beberapa kali lengannya tapi Letta menahannya.

“Lo pikir Eve seneng lihat lo kayak gini?!” kata Letta dengan penuh penekanan. Jevin terdiam hanya menelan ludah, seketika itu sejuta bayang kenangan lewat di pikiran Jevin. Bagaimana Eve selalu mengingatkan agar Jevin menjaga diri.

Jevin pun menghempaskan tangannya dari genggaman Letta, bangkit berdiri dan hendak beranjak keluar.

“Jevin!” pekik Letta yang menghentikan langkah Jevin. Pijakan langkah Jevin berhenti, disusul Letta yang menghampiri pria itu.

“Sorry,” kata Jevin dengan suara beratnya. “Don't ever hurt yourself, Vin... please ...”

“Tapi terlalu sakit! Semua beban pikiran nggak cuma tentang Eve, tapi keluarga dan semuanya lagi ngumpul jadi satu.” Jevin berkata dengan nyaring sambil berbalik badan.

“Lo pikir gue nggak kehilangan? Gue juga kehilangan, keluarga gue nggak peduli sama gue, malah Eve yang jadi keluarga buat gue. Setidaknya lo nggak usah bikin Eve sedih lihat kita yang masih dikasih kesempatan hidup ini, Jev. Perjalanan lo masih panjang, jangan pernah nyakitin diri sendiri!” Perjalanan berlalu menuju tahun kedua pasca kepergian Eve tapi sakitnya masih terasa di relung hati. Tidak ada yang tahu bagaimana kesedihan Jevin, kecuali Letta. Jevin cenderung tertutup di rumah. Maka saat itu Jevin luluh, Letta menarik lengan Jevin dan mengajaknya untuk duduk lagi, Letta mengambil kotak obat lalu mengobati luka di jemari Jevin itu.

“Mukul kaca? Besok mukul apa lagi?” tanya Letta yang seakan bisa tahu apa yang Jevin lakukan.

“Kok lo tahu?”

“Feeling,” balas Letta sambil masih fokus mengobati luka lecet di tangan Jevin. Memang tidak semudah itu berdamai dengan keadaan, setiap manusia butuh waktu yang berbeda untuk berdamai dengan masa lalu dan trauma serta perpisahan. Jevin sudah pernah dikecewakan oleh Stella, mantan kekasihnya yang juga dimana saat itu Jevin juga bersalah dan menghancurkan hati keluarganya atas apa yang ia lakukan. Saat ia menemukan sosok Eve, Jevin harus dihadapkan dengan perpisahan selamanya. Menuju tahun kedua kepergian Eve, Jevin hampir putus asa, entah ia akan temukan sosok pengganti Eve atau tidak. Saat Jevin menunduk, tanpa terasa air matanya jatuh lagi.

“Jev, nangis aja nggak papa, mending Eve lihat lo nangis daripada nyakitin diri sendiri.” Ucapan Letta seakan menghunus hati Jevin dan diri Jevin yang tidak bisa lagi membendung tangis, maka pecahlah tangisan Jevin di sana. Perlahan tertunduk dan terisak hebat, hingga Letta yang tidak tega coba untuk mengusap punggung Jevin, perlahan Jevin menyandarkan tubuhnya di pundak Letta, hati wanita mana yang tidak ikut sakit melihat seseorang menangis tersedu di depannya? Letta yang merasakan kehancuran itu pun merengkuh Jevin dan coba mengatur napasnya.

“Ikhlas, Jev, ikhlas ...” bisik Letta lirih.

HARDEST GOODBYE

Seorang wanita yang pernah mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan bayi kembar yang salah satunya harus pergi kini tengah menemani seorang anak lelaki yang menggantikan posisi mendiang anaknya itu. Lea semalam suntuk menunggui Mevin dengan sabar dan membuahkan hasil. Anaknya sadar pada pukul tujuh pagi, tepat dimana hari ini adalah hari kedatangan Jovian, Ayah kandung Mevin ke Indonesia. Entah kenyataan apa yang harus Lea dan Jeremy terima setelah ini, tidak tahu akan sehancur apa kalau Mevin mengiyakan ajakan Jovian untuk tinggal bersama di Australia, walaupun sebenarnya itu juga untuk melakukan pengobatan. Lea tidak siap ditinggal lagi oleh Mevin.

Tapi hal itu Lea tepis sejenak, semua demi kebaikan dan kesembuhan Mevin. Hal itu yang utama sekarang, bukan ego untuk siapa yang berhak mengurus dan merawat Mevin. Karena, pada dasarnya yang paling berhak adalah Jovian. Lea menangis haru saat mendapati Mevin membuka matanya, Jeremy yang saat itu sedang dalam perjalanan ke kantor memutar balik mobilnya dan langsung kembali menuju rumah sakit.

Lea genggam tangan anaknya itu serta belai kening Mevin yang masih terbalut perban akibat ada luka di kepalanya.

“Anak Mama, akhirnya Mevin bangun, ya, Nak ....” Lea berkata dengan suara paraunya, tangannya membelai pipi anaknya itu matanya berkaca-kaca, ia mendekatkan dirinya kepada Mevin dan mengecup pipi anaknya itu.

“Mama jangan nangis,” kata Mevin lirih nyaris tak terdengar. Lea mengerjapkan matanya berusaha menahan air mata yang hendak jatuh. Lea tidak ingin memperlihatkan sisi lemahnya. Tangan Mevin terulur bergerak perlahan menyeka air mata yang jatuh di pipi Lea.

“Ma, jangan nangis, Mevin sedih. Mevin masih disini.” Hal itu nyatanya malah membuat Lea menangis begitu saja disana. Hal itu membuat Lea menangis tersedu disana sambil memeluk Mevin. Lea tidak bisa membendung air matanya lagi.

“Mama takut, Nak. Mama takut, Mama belum siap kalau ada apa-apa sama Mevin. Mama sayang Mevin, Mama sayang Me... Vin ....” Bahkan untuk berkata-kata pun Lea terbata karena tangisnya.

“Kemarin Mevin kira juga itu akhir dari kehidupan Mevin. Ma, Mevin juga takut, tapi Mevin tahu, Tuhan baik. Belum saatnya Mevin pulang, kan?”

Mendengar hal itu, Lea mengangkat wajahnya, menatap setiap inchi wajah Mevin, membelainya, ia mengangguk, “iya, belum saatnya, belum, sayang,” katanya. Kekuatan mereka teruji tapi terbukti, ketabahan mereka dicobai tapi selalu temui jalan keluar lagi.

Suasana haru saat itu dibuyarkan oleh suara ketukan pintu, Lea menegakkan badannya dan berbalik badan melihat dua pria ada di sana. Jovian dan Jeremy―keduanya adalah sosok Papa bagi Mevin. Lea sempat kaget bahwa mendapati Jovian sudah ada di sana, tidak peduli mengapa mereka datang di saat yang bersamaan. Mevin pun kaget mendapati Papa kandungnya ada di sana. Lea berjalan mundur, seakan mempersilakan Jovian mendekat ke arah anaknya. Sementara Jeremy berjalan mendekati Lea dan merangkulnya. Jeremy dan Lea menyaksikan momen haru saat itu dimana Jovian memeluk Mevin, keduanya tumpah ruah dalam tangis. Jovian maupun Mevin saling memberi pelukan erat.

“Maafin Papa baru dateng, maafin Papa.” Jovian berkata lirih.

“Mevin nggak bisa jalan, nggak bisa, Pa ....” Tangisan Mevin terdengar menggema. Lambat laun yang awalnya samar kini mulai pecah dan terdengar lagi, apa lagi kalau bukan tangisan Lea di pelukan Jeremy. Wanita itu menyaksikan pertemuan Jovian dan Mevin untuk yang kesekian kali tapi rasanya masih sama, terharu dan takut beradu menjadi satu.

Maka setelahnya, Jovian membantu Mevin untuk duduk di tempat tidur, mengangkat tubuh anaknya perlahan lalu Jovian duduk di sebelah anaknya itu. Jeremy dan Lea mendekat ke sana, berdiri di sebelah tempat tidur Mevin.

“Nak, ada yang mau Papa Jo omongin ke Mevin,” kata Lea saat itu yang membuat Jovian membulatkan matanya.

“Sekarang, Lea?” tanya Jovian, Lea mengangguk. Mevin nampak bingung, sedangkan Jeremy hanya bisa merangkul dan memberikan usapan bak penenang di bahu Lea.

“Kedatangan Papa Jo kesini mungkin terlambat, tapi hancurnya Papa Jo, Papa Jeremy bahkan Mama Lea itu sama. Mama Auryn di Aussie juga sama, khawatir dan sedih. Makanya Papa datang kesini mau ajak Mevin ke Aussie, untuk berobat disana, pengobatan disana lebih memadai. Kalau Mevin mau, sampai Mevin sembuh, Nak. Tapi semua keputusan ada di kamu, Papa nggak maksain.” Ucapan Jovian membuat Mevin tertunduk lesu.

“Ikuti apa kata hati Mevin, nggak ada salahnya juga Mevin ikut Papa Jo, tim medis disana dan pengobatan disana lebih memadai juga, Nak. Semua buat kebaikan Mevin.” Jeremy berkata dengan suara beratnya. Mevin pun bergantian melihat satu per satu orang tuanya. Pada setiap binar mata Lea, Jeremy bahkan Jovian tersirat sebuah harap besar agar Mevin tinggal. Mevin tertunduk merasa hatinya nyeri dan pedih.

“Mevin senang Papa Jo ada disini, Mevin juga selalu bahagia kalau setiap hari bisa lihat senyum Papa Jeremy dan Mama Lea.” Kalimatnya terhenti karena saat ini Lea menatapnya nanar dengan mata yang basah, Lea memaksakan senyum kepada Mevin sekuat tenaganya.

“Papa Jo, Mevin sendiri belum bisa menerima keadaan Mevin sekarang, jujur aja. Mevin disini aja belum bisa berdamai sama diri sendiri. Obat untuk fisik Mevin memang ada banyak, dengan berbagai kualitas dan jaminan kesembuhan serta tim medis yang menangani. Tapi yang nggak kalah penting juga obat untuk diri Mevin sendiri, jiwa dan hati Mevin. Kalau ditanya, Mevin mau atau nggak tinggal sama Papa Jo, Papa kandung Mevin. Jawabannya, mau. Kalau ditanya apa Mevin nggak sayang Papa Jeremy sama Mama Lea, jawabannya, sayang. Apa Mevin nggak sayang Ci Lauren atau Jevin, jawabannya, sayang. Semuanya Mevin sayang tanpa alasan. Semuanya keluarga, susah untuk milih salah satu.” Kalimat Mevin terhenti sejenak, Jovian hanya menunduk sambil mengelus kaki anaknya itu.

“Sekarang semua keputusan di Mevin, Papa Jo nggak akan maksa. Semua keputusan ada di Mevin,” kata Jovian sambil tersenyum. Sejenak Mevin menatap Mamanya yang kini tengah membenamkan wajahnya di dada bidang Jeremy. Dan Jeremy juga menggiring tubuh Lea dalam dekapnya. Mevin tersenyum menatap Jovian, Papa kandungnya sambil tersenyum, Jovian membelai kepala Mevin pelan sambil tersenyum.

“Mevin mau ikut Papa Jo ke aussie aja.” Lea dan Jeremy tertegun mendengar perkataan Mevin itu. Bak disayat belati tapi harus terjadi karena bagaimanapun ini pilihan Mevin dan tidak ada larangan untuk Mevin tinggal bersama ayah kandungnya Hal itu ternyata didengar oleh Jevin dan Lauren yang ternyata juga ada di luar ruangan di balik pintu ruang rawat Mevin.

“Nggak!” Jevin membuka kasar pintu ruangan itu, tapi terlihat juga Lauren yang coba mencegah Jevin tapi Jevin mengempaskan tangan Lauren beberapa kali.

“Jevin!” pekik Jeremy. Jevin mendelik menatap Jeremy dengan mata yang memerah dan ia mengetatkan rahangnya serta mengepalkan tangannya menahan amarah.

“Mevin disini, sama Jevin. Kembar nggak ada yang boleh pisahin!”

“Jevin!” seru Jeremy nyaring. Mevin hanya bisa memejamkan mata dan tertunduk, sementara Lauren kehilangan kata-kata di pelukan Lea.

“Jevin ...” kata Jovian menengahi.

“Om, jangan bawa Mevin, Jevin mohon... Om Jo ...” Jevin berkata dengan mata yang berkaca-kaca sambi meraih tangan Jovian.

“Jev!” pekik Mevin. Semua terdiam, menatap ke arah Mevin.

“Sorry, Jev. Udah jadi keputusan gue, disini pun gue cuma kebayang Grace terus. Lo tahu sendiri gue sama Grace gimana kondisinya. Maafin gue, bukan nggak sayang sama keluarga ini, gue sayang kalian semua. Tapi kali ini gue bener-bener mau fokus buat sembuh. Maafin gue ...” kalimat Mevin dirapalkannya dengan nada yang semakin pelan, hingga Mevin tertunduk dan terisak. Semuanya terdiam, Jevin bergerak dan berlutut di depan Jovian. refleks Jovian kaget melihat apa yang Jevin lakukan itu, Jovian pun membantu Jevin untuk berdiri tapi Jevin menolaknya.

“Om Jo ...” kata Jevin lirih.

“Jevin jangan kayak gini, nak ...” kata Jovian hendak membantu Jevin berdiri tapi Jevin menolak lagi, Jeremy yang menarik tubuh Jevin juga ditepis Jevin kasar, “Papa lepasin Jevin!” pekik Jevin yang sudah menangis tidak karuan.

“biarin Jevin mohon sama Om Jo! Jevin mohon.. Jevin nggak memaksa Mevin stay disini, tapi Jevin mohon pastiin Mevin baik-baik aja.” akhirnya Jovian mengalah dan berlutut sehingga ia bisa sejajar dengan Jevin. Maka, Jevin mengangkat sedikit wajahnya, “Om, jagain Mevin ya.. pastiin Mevin sembuh, ya, Om?” perkataan Jevin membuat Jovian meneteskan air mata. Maka secepat kilat, Jovian memeluk Jevin. Jeremy hanya bisa tertunduk sambil menyeka air matanya sendiri.

“Iya, Om janji sama Jevin, janji.” Jovian membalas pelukan Jevin itu erat. Lalu, Jevin merenggangkan pelukan dan beranjak ke sebelah Mevin, meraih tangan kembarannya itu lalu dalam sepersekian detik raungan Jevin menggema. Raungan tangisan pilu dari Jevin mengisi keheningan ruangan itu. Hati semua orang yang ada di sana tersayat mendengarnya. Mevin yang hanya bisa terduduk perlahan mengusap punggung Jevin, saat Jevin mendongak, Jevin langsung memeluk saudaranya itu, menepis segala malu dan gengsi untuk meluapkan air mata di sana.

“Maafin gue ... maafin gue selama ini banyak salah sama lo, Mev ...” tangis Jevin.

“Doain gue terus ya, Jev.”

“Mev ...” Jevin meremas kaos Mevin, begitu juga dengan Mevin yang sama-sama menangis kala itu. Jovian sebagai ayah kandung Mevin juga terasa sesak melihat kejadian itu, maka Jovian mendekat dan mengusap punggung Jevin dan Mevin bergantian.

“Adek Lauren ada dua, Ma...” bisik Lauren yang sudah menangis di pelukan Lea.

“Iya, selamanya adeknya cici ada dua, Jevin sama Mevin, biarin kali ini Mevin ke Aussie ya, nggak papa ya? Demi Mevin.” Lea berusaha tegar, Jeremy sudah kehabisan kata-kata, hanya air mata yang dapat berbicara. Setelah saling memeluk, Jevin dan Mevin mengarahkan pandangan mereka ke arah Lauren. Sementara Lauren masih dalam rangkulan Lea, ia hanya menggigit belah bibirnya yang bergetar hebat serta air mata yang tak henti mengalir.

“Ci ...” lirih Mevin sambil mencoba tersenyum.

“Dipeluk adek-adeknya,” kata Jeremy lirih lalu dibubuhi senyuman haru. Lauren juga mendekat ke arah Jevin dan Mevin di ranjang Mevin dan saling memeluklah ketiga saudara itu. Keluarga bukan hanya karena ikatan darah, tapi mereka yang selalu membersamai dalam segala keadaan. Seperti keluarga ini. Keluarga Adrian selamanya akan jadi keluarga Mevin. Meski raga akan terpisah ruang dan waktu, mereka masih bisa sampaikan rindu dalam pejam doa setiap malam.

Lagi dan lagi, Clayton dan Natasha tengah menikmati waktu berdua, kali ini keduanya duduk di atas rumput di tepi danau buatan yang sepi. Diiringi kagum tak berkesudahan, Clayton melihat hasil foto di ponsel Natasha dengan wajah sumringah. Natasha tengah bahagia karena ia mendapat kesempatan untuk diangkat menjadi kepala bagian finance di kantor.

Thank God sekarang gaji aku lumayan, aku tabung sama kasih ke Papa sama Mama, ke Jona juga buat kuliah, hehe.” Natasha yang tengah menyandarkan tubuhnya di dada bidang Clayton yang masih fokus ke layar ponsel Natasha.

Good girl, gitu dong,” balas Clayton lalu merenggangkan pelukannya. Ia mengembalikan ponsel kekasihnya itu lalu merogoh saku jaket jeansnya dan mengeluarkan sesuatu.

“I have something, close your eyes,” kata Clayton yang membuat Natasha kebingungan.

“Hah? Apa, sih?”

“I said close your eyes, Natasha Archie Rivera.” Hal itu pun dituruti Natasha, bahkan sang puan pun tidak mengerti rencana apa yang hendak Clayton lakukan. Saat Clayton memerintahkan Natasha membuka mata, hal itu dilakukan oleh Natasha.

“Natasha...” Clayton mengeluarkan sebuah kota kecil untuk kekasihnya itu, Clayton membuka kotak kecil yang berisi cincin itu. “Nat, is this relationship seems like a joke for you? I’ll make love to us, will not let you go, are you ready to through the rest of our life together? Mau jadi tunangan aku, mau jadi calon istri aku? Maaf nggak romantis tapi aku bakalan dateng ke rumah kamu buat lamar kamu, kok,” ucap Clayton, Natasha terkejut dan tidak menyangka. “Maaf banget aku nggak romantis jadi pacar, tapi siniin tangan kamu.”

Gadis itu masih tidak bergeming ia masih heran akan sikap Clayton. Tanpa pikir panjang Clayton memasangkan cincin itu di jari manis Natasha. “Minggu depan aku ke rumah kamu, terus kita cari tempat buat tunangan terus selanjutnya kita bahas sama keluarga, oke?” tanya Clayton sambil tersenyum sambil membelai surai panjang Natasha, gadis itu akhirnya tersenyum dan mengangguk, “I will Clayton, I will be yours forever, Clayton Isaiah Sylvester!” maka Clayton menarik Natasha dalam dekapnya, dekap hangat yang membuat Natasha jatuh hati, sepasang sejoli yang memadu kasih itu memang menautkan hati di satu tempat. Natasha dengan segala ketulusan, Clayton dengan segala kasihnya dan kejujuran hatinya.

Mata Natasha tidak lagi berkaca-kaca tapi sudah mengeluarkan bulir air mata, Clayton tidak pernah memberikan puisi-puisi atau bualan, tapi Clayton bisa membuat Natasha tersesat pada pancaran sorot mata dan kasih sayang yang memenjaranya, “be my last, Natasha,” kata Clayton sambil menangkup pipi Natasha lalu mengusap lembut jejak air mata di pipi Natasha dengan ibu jarinya.

Dunia yang luas tersedia di paras ayu Natasha yang tengah menangis haru. Paras ayu yang sayu itu berhasil menenggelamkan Clayton pada iris legam wanitanya. Maka bertemulah sorot netra mereka pada satu titik temu yang menghantarkan Natasha mengangguk sudi, sungguh. Clayton belai surai panjang wanitanya itu perlahan lalu memberikan senyumannya. Detik berikutnya sudilah Clayton untuk menjajah seluruh inci dan paras Natasha dengan bibirnya.

Dikecupnya pipi, kening dan bibir wanitanya itu. Sebuah scene baru dibuka lagi karena Clayton menghantarkan deru napasnya bisa dirasakan oleh Natasha lalu bibir keduanya kini sudah menyatu dan lidah mereka bertaut, tangan Clayton yang memeluk erat pinggang kekasihnya serta tangan Natasha yang menekan tengkuk leher Clayton memperdalam ciumannya. Lumatan dan tempo perlahan tanpa terburu mengalun untuk menemani keduanya, menjadi sebuah hal yang memancing keduanya lebih dalam lagi dalam afeksi candu kala itu.

DALEM, DEK?

Natasha sedang membereskan meja makan setelah makan malam berdua dengan kekasihnya itu di kontrakan Clayton. Kini, Clayton tengah berada di ruang tengah bergelut dengan laptopnya dan ditemani pukul tujuh malam. Natasha memperhatikan kekasihnya yang tengah serius itu, ia pun membuatkan secangkir minuman hangat untuk Clayton, Natasha berjalan menghampiri kekasihnya itu dan duduk di sofa bersebelahan dengan Clayton.

“Banyak yang dikerjain, ya?” tanya Natasha saat netranya melihat layar laptop Clayton dimana terpampang banyak sekali setting dari beberapa software yang harus dikerjakan. Clayton mengangguk lalu menyesap minuman hangat yang Natasha buatkan itu.

“Nyebelin dan ribet, exactly, segala pakai rusak ini laptop,” ucap Clayton dan direspon dengan tawa renyah Natasha. Wanita yang masih menjadi kekasih Clayton itu menaruh dagunya di pundak Clayton dan ikut memperhatikan apa yang kekasihnya kerjakan, tangannya melingkar di tubuh Clayton, di bahu dan ia kaitkan tangannya di leher Clayton, pipi Natasha ia sandarkan di pundak kekar itu. Clayton pun menghentikan kegiatannya lalu duduk bersandar sambil merangkul kekasihnya itu.

“Natasha,”

“Dalem?” tanya Natasha, yang artinya apa dalam bahasa jawa halus.

“Udah nggak sakit, perutnya?” ujar Clayton, Natasha tersenyum lalu membelai pipi kekasihnya itu dan mengangguk.

“Iya, aku udah urus ijin, kata dokter juga suruh jaga kesehatan rutin minum obat dulu, biar siklus haid juga lancar, aku belum haid,” ujar Natasha yang dibalas pelukan Clayton.

“Tapi kita belum ngapa-ngapain.”

“Ya jangan ngapa-ngapain dulu sebelum nikah, stress!” gerutu Natasha. Natasha menelusupkan wajahnya di sela leher Clayton dan menghirup aroma khas tubuh kekasihnya itu, beberapa saat berlalu mereka hanyut dalam peluk dan diam dalam seribu bahasa. Tak ada kata yang tercuat, hanya ada dua hati yang saling berdesir.

“Makasih ya, Clay.”

“Makasih buat apa?”

“Semuanya. Perhatian kamu dan cara kamu jagain aku.” Clayton pun merenggangkan pelukan dan menyingkapkan rambut Natasha ke belakang telinganya sehingga paras ayu kekasihnya itu dapat terlihat jelas.

“That’s my responsibility, latihan jadi calon suami, right?

Natasha menggeleng dan berkata, “I love you, Clayton.” Clayton pun Natasha meraih tangan Clayton dan ia letakkan salah satu telapak tangan kekar itu di dadanya.

“Rasanya kalau lagi sama kamu, dipeluk aja kayak gini.” Benar saja, jantung Natasha berdegup sedikit cepat saat itu. Clayton pun gantian meraih telapak tangan Natasha dan membawa tangan Natasha ke dadanya, “Dan aku belum pernah rasain debar ini sebelumnya, my first girlfriend.” Lalu setelahnya Clayton membawa kedua tangan Natasha untuk ia genggam dan ia kecup punggung tangan Natasha itu. Memang benar, Natasha adalah yang pertama bagi Clayton untuk disebut kekasih tapi Clayton bukan yang pertama bagi Natasha. Sebelumnya, Natasha pernah menjalin hubungan sekali dengan seseorang tapi tidak senyaman dengan Clayton. “Bareng terus, ya?” kata Natasha. Detik setelahnya Clayton menarik tubuh wanita di depannya dalam dekap dan kehangatan, berulang kali ia mencium pipi Natasha, dan mendekap seakan tak ingin melepaskannya.

“Clayton,” bisik Natasha.

Dalem, sayang?”

“Aaaaaaaaaaaaaa, gemes.....” jerit Natasha lirih di pelukan Clayton yang membuat Clayton sedikit terkekeh tapi Clayton hujam puncak kepala Natasha dengan kecupan dari bibirnya.

DALEM, DEK?

Natasha sedang membereskan meja makan setelah makan malam berdua dengan kekasihnya itu di kontrakan Clayton. Kini, Clayton tengah berada di ruang tengah bergelut dengan laptopnya dan ditemani pukul tujuh malam. Natasha memperhatikan kekasihnya yang tengah serius itu, ia pun membuatkan secangkir minuman hangat untuk Clayton, Natasha berjalan menghampiri kekasihnya itu dan duduk di sofa bersebelahan dengan Clayton.

“Banyak yang dikerjain, ya?” tanya Natasha saat netranya melihat layar laptop Clayton dimana terpampang banyak sekali setting dari beberapa software yang harus dikerjakan. Clayton mengangguk lalu menyesap minuman hangat yang Natasha buatkan itu.

“Nyebelin dan ribet, exactly, segala pakai rusak ini laptop,” ucap Clayton dan direspon dengan tawa renyah Natasha. Wanita yang masih menjadi kekasih Clayton itu menaruh dagunya di pundak Clayton dan ikut memperhatikan apa yang kekasihnya kerjakan, tangannya melingkar di tubuh Clayton, di bahu dan ia kaitkan tangannya di leher Clayton, pipi Natasha ia sandarkan di pundak kekar itu. Clayton pun menghentikan kegiatannya lalu duduk bersandar sambil merangkul kekasihnya itu.

“Natasha,”

“Dalem?” tanya Natasha, yang artinya apa dalam bahasa jawa halus.

“Udah nggak sakit, perutnya?” ujarny Clayton, Natasha tersenyum lalu membelai pipi kekasihnya itu dan mengangguk.

“Iya, aku udah urus ijin, kata dokter juga suruh jaga kesehatan rutin minum obat dulu, biar siklus haid juga lancar, aku belum haid,” ujar Natasha yang dibalas pelukan Clayton.

“Tapi kita belum ngapa-ngapain.”

“Ya jangan ngapa-ngapain dulu sebelum nikah, stress!” gerutu Natasha. Natasha menelusupkan wajahnya di sela leher Clayton dan menghirup aroma khas tubuh kekasihnya itu, beberapa saat berlalu mereka hanyut dalam peluk dan diam dalam seribu bahasa. Tak ada kata yang tercuat, hanya ada dua hati yang saling berdesir.

“Makasih ya, Clay.”

“Makasih buat apa?”

“Semuanya. Perhatian kamu dan cara kamu jagain aku.” Clayton pun merenggangkan pelukan dan menyingkapkan rambut Natasha ke belakang telinganya sehingga paras ayu kekasihnya itu dapat terlihat jelas.

“That’s my responsibility, latihan jadi calon suami, right?

Natasha menggeleng dan berkata, “I love you, Clayton.” Clayton pun Natasha meraih tangan Clayton dan ia letakkan salah satu telapak tangan kekar itu di dadanya.

“Rasanya kalau lagi sama kamu, dipeluk aja kayak gini.” Benar saja, jantung Natasha berdegup sedikit cepat saat itu. Clayton pun gantian meraih telapak tangan Natasha dan membawa tangan Natasha ke dadanya, “Dan aku belum pernah rasain debar ini sebelumnya, my first girlfriend.” Lalu setelahnya Clayton membawa kedua tangan Natasha untuk ia genggam dan ia kecup punggung tangan Natasha itu. Memang benar, Natasha adalah yang pertama bagi Clayton untuk disebut kekasih tapi Clayton bukan yang pertama bagi Natasha. Sebelumnya, Natasha pernah menjalin hubungan sekali dengan seseorang tapi tidak senyaman dengan Clayton. “Bareng terus, ya?” kata Natasha. Detik setelahnya Clayton menarik tubuh wanita di depannya dalam dekap dan kehangatan, berulang kali ia mencium pipi Natasha, dan mendekap seakan tak ingin melepaskannya.

“Clayton,” bisik Natasha.

Dalem, sayang?”

“Aaaaaaaaaaaaaa, gemes.....” jerit Natasha lirih di pelukan Clayton yang membuat Clayton sedikit terkekeh tapi Clayton hujam puncak kepala Natasha dengan kecupan dari bibirnya.

DALEM, DEK?

Natasha sedang membereskan meja makan setelah makan malam berdua dengan kekasihnya itu di kontrakan Clayton. Kini, Clayton tengah berada di ruang tengah bergelut dengan laptopnya dan ditemani pukul tujuh malam. Natasha memperhatikan kekasihnya yang tengah serius itu, ia pun membuatkan secangkir minuman hangat untuk Clayton, Natasha berjalan menghampiri kekasihnya itu dan duduk di sofa bersebelahan dengan Clayton.

“Banyak yang dikerjain, ya?” tanya Natasha saat netranya melihat layar laptop Clayton dimana terpampang banyak sekali setting dari beberapa software yang harus dikerjakan. Clayton mengangguk lalu menyesap minuman hangat yang Natasha buatkan itu.

“Nyebelin dan ribet, exactly, segala pakai rusak ini laptop,” ucap Clayton dan direspon dengan tawa renyah Natasha. Wanita yang masih menjadi kekasih Clayton itu menaruh dagunya di pundak Clayton dan ikut memperhatikan apa yang kekasihnya kerjakan, tangannya melingkar di tubuh Clayton, di bahu dan ia kaitkan tangannya di leher Clayton, pipi Natasha ia sandarkan di pundak kekar itu. Clayton pun menghentikan kegiatannya lalu duduk bersandar sambil merangkul kekasihnya itu.

“Natasha,”

“Dalem?” tanya Natasha, yang artinya apa dalam bahasa jawa halus.

“Udah nggak sakit, perutnya?” ujarny Clayton, Natasha tersenyum lalu membelai pipi kekasihnya itu dan mengangguk.

“Iya, aku udah urus ijin, kata dokter juga suruh jaga kesehatan rutin minum obat dulu, biar siklus haid juga lancar, aku belum haid,” ujar Natasha yang dibalas pelukan Clayton.

“Tapi kita belum ngapa-ngapain.”

“Ya jangan ngapa-ngapain dulu sebelum nikah, stress!” gerutu Natasha. Natasha menelusupkan wajahnya di sela leher Clayton dan menghirup aroma khas tubuh kekasihnya itu, beberapa saat berlalu mereka hanyut dalam peluk dan diam dalam seribu bahasa. Tak ada kata yang tercuat, hanya ada dua hati yang saling berdesir.

“Makasih ya, Clay.”

“Makasih buat apa?”

“Semuanya. Perhatian kamu dan cara kamu jagain aku.” Clayton pun merenggangkan pelukan dan menyingkapkan rambut Natasha ke belakang telinganya sehingga paras ayu kekasihnya itu dapat terlihat jelas.

“That’s my responsibility, latihan jadi calon suami, right?

Natasha menggeleng dan berkata, “I love you, Clayton.” Clayton pun Natasha meraih tangan Clayton dan ia letakkan salah satu telapak tangan kekar itu di dadanya.

“Rasanya kalau lagi sama kamu, dipeluk aja kayak gini.” Benar saja, jantung Natasha berdegup sedikit cepat saat itu. Clayton pun gantian meraih telapak tangan Natasha dan membawa tangan Natasha ke dadanya, “Dan aku belum pernah rasain debar ini sebelumnya, my first girlfriend.” Lalu setelahnya Clayton membawa kedua tangan Natasha untuk ia genggam dan ia kecup punggung tangan Natasha itu. Memang benar, Natasha adalah yang pertama bagi Clayton untuk disebut kekasih tapi Clayton bukan yang pertama bagi Natasha. Sebelumnya, Natasha pernah menjalin hubungan sekali dengan seseorang tapi tidak senyaman dengan Clayton. “Bareng terus, ya?” kata Natasha. Detik setelahnya Clayton menarik tubuh wanita di depannya dalam dekap dan kehangatan, berulang kali ia mencium pipi Natasha, dan mendekap seakan tak ingin melepaskannya.

“Clayton,” bisik Natasha.

Dalem, sayang?”

“Aaaaaaaaaaaaaa, gemes.....” jerit Natasha lirih di pelukan Clayton yang membuat Clayton sedikit terkekeh tapi Clayton hujam puncak kepala Natasha dengan kecupan dari bibirnya.

Malam itu, Clayton sedang menunggu kekasihnya selesai mandi, hujan turun lagi bersamaan dengan hujan di pipi Clayton usai ia membaca chat dari orang tuanya, tak ada yang mengetahui Clayton menangis awalnya. Sampai saat Natasha melangkah mendekati Clayton, ia melihat punggung sang tuan sedikit bergetar dan Clayton terisak di sana. Tak ada aba-aba, Natasha langsung menempatkan dirinya di sebelah Clayton dan merangkul kekasihnya itu.

“Sayang, kenapa?” tanya Natasha, cepat-cepat Clayton mengusap wajahnya kasar dan menghapus air matanya, ia tidak ingin terlihat lemah di depan Natasha. Namun, tangan Natasha mencegah dan memegang kedua tangan Clayton.

Natasha menatap lekat pria di depannya itu, “jangan dihapus air matanya, kalau mau nangis silahkan, kalau mau cerita silahkan.” Natasha tersenyum yang membuat matanya menyipit. Clayton sedikit tersenyum lalu ia membelai rambut panjang kekasihnya itu dan berakhir dengan menggenggam tangan sang puan.

“Nggak papa,” kata Clayton berbohong, bagaimana bisa pria satu ini berkata seperti itu sedangkan matanya sembab dan merah, juga hidungnya memerah, ah, Clayton memang pernah menjadi pemain teater tapi kali ini ia tidak bisa membohongi Natasha, ini bukan akting.

“Ah, males sama tukang bohong,” kata Natasha ketus lalu melepaskan genggaman tangan Clayton lalu ia bersandar di headboard ranjangnya itu sambil menyilangkan tangannya di depan dada juga memasang wajah cuek.

Tapi Clayton malah menidurkan kepalanya di paha Natasha.

“Aku lagi marah, jangan manja ke aku!” kata Natasha sambil memanyunkan bibirnya, Clayton masih terus menatap kekasihnya itu, ia masih menatap sang puan hingga jari telunjuknya ia gunakan untuk menyentuh bibir kekasihnya, “kamu kalau marah aku cium, ya.” Clayton mengancam.

“Nggak mau!”

“Ya udah jangan marah.”

“Ya kamu kenapa?”

“Inget nggak kalau aku nolak abis-abisan permintaan Papi buat nerusin kantor?”

“Inget, dong, kenapa?”

Perlahan, Natasha mulai luluh, ia menyisir surai legam Clayton yang mulai memanjang itu ke belakang dan mengusap dahi Clayton lembut dan menatap wajah Clayton selagi ia berbicara, “ternyata pandanganku ke orang tuaku selama ini salah, aku sendiri nggak pernah ngomong dengan jelas mauku apa, Papi sama Mami nerima juga keputusanku buat wirausaha, kantor bakalan diserahin ke Marcell nantinya kalau dia udah beres pendidikan. Papi Mami nambahin modal aku, selama ini beberapa kali Mami sama Papi sakit tapi nggak kasih tahu aku juga. Aku akhirnya janji bakalan do my best di keputusanku kali ini, aku bakalan bikin Papi sama Mami bangga, selama ini aku emosian kalau diajak ngobrol mereka, nggak tahu, ah. Melow.”

Mata Natasha mendelik saat itu juga, “Udah dibilang, ngomong sama orang tua itu kepala dingin, jangan kabur-kaburan, orang tua sakit itu nggak keitung sedihnya, apalagi kalau kita selalu bikin onar, nyesel banget kalau tahu ortu sakit, jangan bikin Papi Mami kamu pusing lagi, Clayton.”

Clayton mengubah posisinya menjadi duduk dan mencubit kedua pipi Natasha hingga Natasha meringis kesakitan,“iya bawelku sayang, aku gigit juga pipi kamu!”

“Gigit aja!” kata Natasha kesal.

Tanpa aba-aba Clayton malah mencium pipi Natasha berulang kali dan menyerangnya dengan kecupan bertubi-tubi. Rasanya ingin Clayton habisi saja pipi kekasihnya ini.

“Clayton! Udah! Udah! Aaaaa!” rengek Natasha yang malah dibalas Clayton dengan pelukan erat hingga kekasihnya itu sulit bernapas tapi Clayton lepaskan dalam beberapa detik.

“Gemes banget gue sama lo, ah elah!” kata Clayton sambil mengepalkan tangan gemas.

Watch your language, gue, lo, ciihhhh,” cibir Natasha.

“Ya udah maaf.”

“Maaf, maaf. Sorry!”

Clayton mendengus kesal, “ya udah, Sorry!”

Natasha melirik ke arah Clayton, “sorry, sorry. Mian!”

“Iya mian iyaaaa!”

“Mian .. mian .. Mianhae!!” pekik Natasha sambil menahan tawa.

Clayton yang kesal pun bangkit berdiri di depan Natasha lalu menyenandungkan lagu yang tak asing, “mianhae mianhae hajima ...” tingkah Clayton pun menirukan penyanyi aslinya, Taeyang. Hal itu mengundang gelak tawa Natasha yang sedari tadi ia tahan.

“Wuaaahh!! Peyang oppa! Clayton peyang!” kata Natasha heboh seakan sedang menonton konser, padahal meroasting kekasihnya.

Clayton langsung lesu lalu mengempaskan tubuhnya di sofa lalu menyandarkan kepalanya di pundak Natasha. “Capek, yang. Engap nih oppa.”

“Najis!” cibir Natasha lagi.

“Ya udah buruan cerita lagi!” Suara nyaring Natasha kembali menusuk rungu Clayton.

“Aku pikir selama ini orang tuaku yang nggak sayang aku, ternyata aku yang terlalu bodoamat dan nggak peduli. Udah keburu negative thinking duluan.” Clayton terdengar putus asa. Natasha menatap Clayton dengan tatapan sendu, Clayton yang menyadari kekasihnya itu menatapnya sedikit aneh pun mengubah posisi menjadi mendekatkan wajahnya dengan Natasha.

“Kenapa?” tanya Clayton.

“Sedih,” balas Natasha.

Tangan Clayton bergerak mengacak pelan rambut sang puan di sebelahnya, “nggak usah sedih, aku aja,” katanya.

“Aku jadi inget Papa sama Mamaku..”

“Kita harus bisa bikin orang tua kita bangga pokoknya, oke? Doain mereka panjang umur, biar orang tuaku jadi orang tua kamu, dan orang tua kamu jadi orang tuaku juga. Nat, aku belum pernah pacaran dan jatuh cinta sedalam ini. Sederhananya kamu dan koplaknya kamu, juga recehnya kamu bikin aku yakin kalau kamu bener-bener sigaraning nyawaku, Nat. Janji ya panjang umur, biar aku bisa bahagiain kamu sama orang tua kita?” Mata Clayton memerah lagi, tanpa kata-kata apapun Natasha langsung memberikan pelukan dan tepukan pelan di punggung Clayton, tubuh Clayton melemah, perlahan kepalanya menunduk dan kini ia sudah mendaratkan kepalanya di ceruk leher Natasha. Sekarang Natasha merengkuhnya dalam hangat dekapannya. Di penghujung pekatnya malam kala itu, Natasha menyadari bahwa sekuat-kuatnya lelaki pasti ada sisi lemahnya, dan kehidupan Clayton tidak sebahagia perkiraannya.

Saat pelukan direnggangkan, Clayton membingkai pipi Natasha lalu mengecup dahi, ujung hidung, dan kedua pipi Natasha lalu berakhir di bibir sang puan untuk beberapa detik. Saat ciuman direnggangkan kini gantian Natasha yang melakukan hal yang sama.

“I’ll always be there for you, Clayton. We’ll through this life together.” Natasha menutup kalimatnya dengan untai senyum yang menenangkan bagi kekasihnya itu. Maka saat itu, Clayton mulai menarik dagu Natasha mendekat, ia memiringkan kepalanya perlahan, Natasha yang berdebar bukan main nyatanya mengerti maksud Clayton kali ini.

“Clay ....”

Can I?” tanya Clayton. Natasha telan ludah dengan kasar lalu ia memantapkan dirinya untuk mengangguk. Clayton pun membungkam bibir Natasha dengan bibirnya. Awalnya hanya belah bibir yang saling menempel, hingga Clayton mengawali permainan dengan mencium dan melumat bibir Natasha. Sang puan pun mengimbanginya, lalu, Clayton menggunakan lidahnya untuk menyapu bibir Natasha. Wanita itu belum membalasnya, Natasha masih melipat bibirnya, Clayton tak berhenti disana ia menekan tengkuk leher Natasha lidahnya bergerak lembut yang akhirnya membuat Natasha membalas ciuman itu, saat rongga mulut Natasha dibiarkan terbuka, lidah Clayton melesat masuk mengeksplor setiap inci bagian dalam rongga mulut Natasha dan menautkan lidahnya disana membiarkan keduanya bertukar saliva dan saling membalasnya. Clayton berikan lagi pagutan lembut bagi sang puan dengan memegangi dan menahan rahang Natasha hati-hati.

Natasha mulai hanyut begitu juga dengan Clayton yang mulai menuntun dan mulai menidurkan Natasha di ranjang. Jiwa keduanya terbakar saat Clayton mulai menggigit bibir bawah Natasha. Keduanya jadi satu karena nikmat yang sama-sama disajikan membuat mereka terbang melupakan luka sejenak. Natasha masih luruh dalam dekap dan membalas pagutan mesra dengan sukarela. Natasha adalah seorang yang mengajarkan Clayton cara tertawa, dan Clayton adalah seseorang yang menangkap Natasha dengan sigap agar sang puan tidak jatuh ke dalam lubang duka. Seketika jagat raya semesta berhenti saat sesuatu di bawah sana menjadi berbeda, Clayton tahan dirinya agar tidak melakukan lebih lagi, perlahan juga mereka sudah saling terengah. Lalu selanjutnya, Clayton dengan tubuh gagahnya mulai mengukung Natasha pun berkata, “you are good kisser ternyata, Nat.”

​Natasha mendelik sesaat, “so, this is your first kiss?” tanya nya.

“Iya, bibir ini cuma punya kamu.”

So, can I taste it again?

Clayton tersenyum smirk, “let me taste yours first,” kata Clayton lalu memeluk Natasha lalu berguling membuat posisi Natasha berada di atas. Sungguh, ciuman pertama mereka dibuka dengan sepenggal cerita dengan taburan sajak elegi, ditutup dengan kecup dan lumatan mesra yang hanya ingin mereka bagi berdua dengan menahan hasrat agar tidak melakukan lebih dari itu. Clayton janji untuk jaga wanitanya hingga janji suci terucap nanti.

Clayton kaget bukan main saat mendapat kabar bahwa Natasha mengalami kecelakaan. Mungkin karena baru pertama kali menjalin hubungan, saat Clayton menghubungi Natasha tapi hasilnya nihil bahkan Clayton meneteskan air mata karena kepanikannya. Clayton pun menghubungi Marcell adiknya untuk menjemputnya dan mengantar ke rumah sakit. Clayton benci pada keadaan semacam ini. Ia merasa tidak cakap dalam menjaga Clayton.

“Dek, cepetan!” kata Clayton yang duduk di sebelah Marcell yang mengemudi mobil.

“Sabar! Gue mau suruh lo nyetir tapi kalau lo panik suka kayak setan bawa mobilnya,” balas Marcel sewot.

Beberapa kali Clayton ngomel perihal Marcell yang menginjak rem dadakan, atau jalanan yang memang macet.

Akhirnya saat sampai di Rumah Sakit, Clayton langsung keluar dari mobil dan lari meninggalkan Marcell. Setiap koridor Rumah Sakit dilewati Clayton bahkan beberapa kali ia hampir menabrak beberapa orang. Hingga saat sampai di ruang IGD, Clayton bertanya pada perawat disana dan Clayton pun diantarkan ke tempat Natasha masih terbaring tak berdaya. Tapi, betapa terkejutnya Clayton saat sampai di sana karena melihat kedua orang tuanya sudah berada di sana.

“Papi? Mami?” kata Clayton heran. Langkahnya terhenti, tubuhnya beku seketika. Tapi, Papi Clayton itu malah menghampiri Clayton dan langsung memeluknya. Sementara Maminya masih duduk di tepi tempat tidur di sebelah Natasha.

“Juragan warmindo ini nggak pernah bilang kalau pacarnya pegawai teladan,” bisik Papi Clayton yang membuat Clayton terbelalak seketika. Papinya terkekeh lalu menepuk pundak Clayton, begitu juga dengan Maminya, wanita paruh baya itu menghampiri Clayton lalu memeluknya, “calon mantu cuantik pol, pekerja keras dan nggak menye-menye. Udah siap kamu ngajak dia hidup bareng?” tanya Maminya yang semakin membuat Clayton bingung.

“Tunggu.. ini Papi sama Mami kenapa disini? Nat, Papi sama Mami aku nggak ngapa-ngapain kamu, kan?” tanya Clayton dengan wajah kebingungan.

“Ditanya-tanya banyak hal tapi aku cerita banyak hal juga. Kenapa?” jawab Natasha enteng meski dengan perban di kepala dan tangannya, juga dengan luka lecet di beberapa bagian.

Clayton berjalan mendekat ke arah Natasha dan memastikan keadaan kekasihnya tidak separah pikirannya. “Aku keserempet mobil di depan kantor, terus Papi sama Mami kamu lewat, Papi sama Mami kamu yang bawa aku kesini. Terus foto kita jatuh dari tasku, nggak bisa ngelak lagi deh waktu ditanya, hehe ...” Natasha tersenyum tipis dengan wajah tanpa dosa.

“Nat, inget pesan om tadi, ya? Natasha bantu handle semuanya, ya, oke?” kata Papi Clayton.

“Hah? Apaan nyuruh Natasha ngapain?!” sergah Clayton.

“Buat bantu monitoring progress warmindo kamu, Papi mau kasih renov, nanti perkembangannya Natasha lapor ke Papi karena kamu sendiri kalau Papi hubungi susah banget. Mending Natasha, cepat dan tanggap.” Papi Clayton mengatakan kalimat yang tidak pernah Clayton duga.

“Ya, orang staffnya, masa nggak mau angkat, bisa di cut si Natasha, haha,” kekeh Clayton.

“Natasha, titip anak Om yang buandel ini, ya?”

Natasha mengangguk, “siap, Pak.”

“Om aja kalau di luar kantor, berasa lagi mau rapat,” bisik Clayton.

“Clayton, mau warmindo apa kantor Papi?” tanya Mami Clayton.

“Warmindo, lah!”

Kala itu Pricil memang langsung bergegas menghampiri Natasha dan berniat mengantarkan Natasha ke apotek. Tapi, betapa terkejutnya Natasha saat ia membuka gerbang kosnya, Clayton sudah ada disana berdiri duduk di motornya sambil memainkan handphone nya. Saat menyadari Pricill dan Natasha keluar dari gerbang Clayton langsung mengantongi handphone nya dan menghampiri Pricill dan Natasha.

“Natasha!” Clayton langsung menghalangi jalan Natasha.

Natasha menghela nafas dan memalingkan wajahnya, “Nat, kita cancel aja dulu apa ke apoteknya?” kata Pricil berbisik pada Natasha. Tapi Natasha menatap Pricil sedikit mendelik tapi isyaratkan sebuah pinta agar Pricil tetap di sana.

Tangan Clayton meraih tangan Natasha, digenggamnya tangan Natasha, namun Natasha itu menepisnya kasar dan langsung memberikan tatapan tajam ke Clayton.

“Aku mau ngomong sama kamu, Natasha.”

“Nggak ada waktu!” balas Natasha ketus.

“Gue tinggal aja, ya? Urusan rumah tangga gini takut gue,” timpal Pricill.

“Please, I beg you,” pinta Clayton, kali ini ia terlihat benar-benar serius, Natasha melirik kearah Pricill memberikan kode agar Pricill menunggu di dalam. Pricill pun masuk meninggalkan Clayton dan sahabatnya disana walaupun dengan perasaan cemas.

“Mau apa?” Natasha melepaskan genggaman tangan Clayton dengan paksa. Pria itu menatap mata Natasha lamat-lamat.

“Kamu pasti lihat berita julid di sosmed, ya? Terus kamu berubah gini? Nat, itu sahabat aku.” ucapan Clayton membuat Natasha sedikit kaget.

Bagaimana Clayton bisa tahu?

“ Natasha, please. Jangan diemin aku, lah, nggak kangen apa kita yang sering bercandaan?” suara Clayton menjadi sedikit lesu.

Clayton pun menggenggam tangan Natasha erat. “Clayton! Apaan sih!” kata Natasha lalu berniat melepaskan tangan Clayton.

“Aku nggak akan pergi dari sini sebelum kamu mau terima permintaan maafku,” balas Clayton, Natasha tidak tahu harus bagaimana, bahkan sebenarnya kalau cemburu pun Natasha tidak berhak.

“Yang sama kamu kayaknya lebih selevel, aku mah enggak.” ucapan Natasha itu membuat Clayton semakin kaget, dan saat itu pun hujan turun seketika.

“Nat jangan ngomong gitu,” ucap Clayton dengan nada tinggi.

Mereka berdua masih berada di bawah hujan, saling terdiam. Clayton berusaha meraih jemari tangan Natasha.

“Apa lagi sekarang? udah, ah.” Dan setelah itu Natasha meninggalkan Clayton disana, ia kembali masuk kerumahnya dan meninggalkan Clayton bersama hujan yang menemaninya.

“Eh lo kenapa? Natasha!” Pricill yang kaget melihat sahabatnya itu masuk ke kamar dengan keadaan basah pun langsung menghampiri Natasha yang langsung duduk di tepi tempat tidur, Pricill mengambil handuk dan menyelimuti punggung dan pundak Natasha dengan handuk.

“Nggak tahu, males.” Natasha menyeka air matanya dengan punggung tangannya.

“Kenapa nggak lo dengerin dia? Lihat keseriusan dia, pelan pelan, coba terima Clayton lo bisa tinggalin dia kalau emang dia nggak serius sama ucapannya,” kata Pricill. Hujan diluar pun bertambah deras. Natasha pun hanya mengacak rambutnya kasar dan mendengus kesal, perasaannya sendiri pun tidak ia pahami.

“Udah lo mendingan sekarang ganti baju dulu, basah tuh nanti lo sakit,” ucap Pricill. Natasha pun menuju kamar mandi dan mengganti bajunya. Natasha membasuh wajahnya di wastafel, ia menatap cermin di depannya, menatap bayangan dirinya.

“Pantes nggak sih lo sama Clayton? Bahkan untuk suka sama Clayton tuh lo pantes nggak sih, Natasha?” ujar Natasha pada diri sendiri. Natasha pun bersandar pada dinding dan beberapa tetes air mata lolos juga dari matanya pada akhirnya. Namun ketukan pintu dari luar membuyarkan tangisan Natasha.

“Natasha, keluar, Natasha please!” pekik Pricill dari balik pintu. Natasha langsung membasuh wajahnya di wastafel dan keluar dari kamar mandi.

“Apa?” tanya Natasha datar pada Pricill, namun Pricill lagsung menarik tangan Natasha, membawanya kearah jendela kamar, membuka gorden kamar itu.

“See, I think he is serious, why don’t you try to trust him for now? Hujannya makin deres dan dia masih di sana, Nat, jangan gitu lah. Nggak kasihan tuh anak orang?” telunjuk Pricill menggantung menunjuk Clayton yang ada di luar diterpa hujan deras sambil terus mengetuk pintu gerbang kos Natasha. Tubuhnya basah kuyup padahal air hujan deras mengguyur, Clayton tetap di sana. Tubuhnya bergetar karena sedikit kedinginan.

“Natasha.” Pricill berbisik lirih dan menepuk pundak Natasha. Keduanya bertukar tatap, Pricill menggerakkan kepalanya seakan memberi isyarat bagi Natasha agar menghampiri Clayton.

Natasha pun langsung mengambil payung yang tergeletak di sebelah mejanya lalu keluar dari kamar, Pricill menghela nafas lega. Clayton kaget saat menyadari Natasha keluar dari gerbang dan memayunginya.

“Lo gila ya?!” kata Natasha ketus. Clayton tersenyum lembut, kali ini Natasha menatapnya tajam, mata Clayton terlihat sayu tapi senyuman kelegaan itu terlihat jelas di raut wajahnya.

“Nat, aku nggak ada hubungan sama siapa-siapa. Nat, aku cuma suka sama kamu.”

DEG! “Jangan ngaco,” sanggah Natasha, Clayton tertunduk, lalu Clayton mendekat kearah Natasha, meraih tangan Natasha. Clayton juga memandang gadis yang di depannya ini tajam.

“Nat, aku suka sama kamu, kagum sama kamu, aku nggak butuh waktu bertahun-tahun untuk cinta sama kamu. Lihat kamu nangis aja aku nggak bisa, Nat. Kepedulianku selama ini nggak bercanda, aku suka humor kita, aku suka kamu yang nemenin aku masak, aku suka semua tentang kamu.” Clayton berkata dengan penuh ketulusan, lalu ia menundukkan kepalanya, air hujan yang turun pun tahu bahwa air mata juga mengalir di pipi Clayton saat ini. Natasha mendekat dan mengepalkan tangannya, namun ia terhenti.

“Pukul aku sepuas kamu, pukul aku sampai bikin kamu puas luapin semuanya lewat pukulan pukulan kamu aku nggak akan ngelawan, tapi maafin aku, jangan diemin aku,” ucap Clayton sambil memejamkan matanya membiarkan gadis di depannya ini memukulnya.

BUG!

Satu pukulan yang tidak terlalu kencang mendarat di dada bidang Clayton. BUG! Pukulan itu semakin pelan. BUG! Terulang untuk ketiga kalinya namun semakin pelan. Dan tangan Natasha tidak beranjak dari dadanya itu. Clayton membuka matanya, dilihatnya Natasha seakan menangis, hidungnya memerah, tanpa aba-aba Clayton langsung menarik tangan Natasha dan mendekapnya erat, erat sekali. Natasha berusaha memberontak namun Clayton tetap menahannya dalam pelukan. Perlahan payung di genggaman Natasha jatuh, keduanya membiarkan diri mereka dibasahi oleh rinai hujan yang jatuh.

“Aku tuh ngerasa nggak pantes sama kamu, ngerti nggak?! Aku takut perasaanku ini malah bikin kita jauh, aku trauma disakitin cowok tapi di satu sisi ada suara dari hati kecilku yang bilang kalau kamu nggak akan kayak Winston, tapi kita banyak perbedaan latar belakang, aku tuh nggak ada apa-apanya dibanding kamu, bahkan untuk punya perasaan sama kamu aja aku takut,” tangis Natasha berubah menjadi lebih kencang, tangannya masih memukul mukul dada Clayton. Ia terisak bukan main namun Clayton tetap diam membiarkan Natasha tetap memukulnya melampiaskan semuanya kepadanya.

“Maafin aku, maafin aku yang nggak pernah jujur sama kamu... Tapi nggak ada larangan untuk setiap orang punya perasaan ke siapapun, Nat. Termasuk aku dan kamu, jangan pernah merasa nggak pantes, Nat.. aku serius sama kamu, aku beneran punya perasaan sama kamu, Nat.” Clayton memeluk gadis itu seakan tak ingin melepaskannya lagi.

“Aku mau kamu jadi ujung ceritaku, aku pengen jadi rumah buat kamu, aku mau ada satu perempuan yang bener bener aku perjuangkan, maaf kalau menurut kamu aku jauh dari kata sempurna, bahkan jauh banget dari kata cukup. Aku bakalan sayang sama kamu sepenuhnya, enggak masalah buat kamu kalau kamu sayang sama aku seadanya. Aku akan tetep sama kamu selamanya, walaupun kamu cuma ingin sama aku sampe kemarin, boleh Nat?” kata Clayton dengan nada penuh ketulusan. Clayton mencium kening Natasha dan memeluknya sekali lagi. Sejak saat itu ada rasa yang tak biasa yang Clayton hadirkan, Natasha mendongak menatap Clayton lalu tersenyum haru.

Be mine? Aku tahu, nggak pas banget hujan gini, habis ini kita masuk angin tapi aku mau ngomong ini sekali lagi, would you be mine, Natasha Archie Rivera?”

Natasha tertawa tapi juga mengeluarkan air mata. Natasha mengangguk, lalu Clayton menempelkan dahinya dan dahi Natasha, tangan Clayton menangkup kedua pipi Natasha. Persetan dengan air hujan yang membasahi tubuh keduanya, kini Clayton nekat menggendong dan mengangkat tubuh Natasha memutar bak anak kecil, “NATASHA PACAR GUE SEKARANG!!” kata Clayton kegirangan.

“Clay, apaan sih. Hahaha ... Habis ini wedang jahe ini,” bisik Natasha yang dibalas tawa kelakar dari Clayton.

Dibawah hujan, dengan segala ketulusan dan air mata yang beradu dengan rinai yang turun,perasaan keduanya membuncah. Natasha resmi menjadi milik Clayton hari ini.

Jika harus mendapat predikat, mungkin Clayton saat ini menyandang predikat juara satu mengagumi dalam diam. Kadang kalimat yang ia sampaikan kepada Natasha pun kesannya ambigu, ia merasa belum pantas mengungkapkan perasaannya. Tapi jika ditanya apa yang Clayton inginkan, ia hanya ingin Natasha. Hanya Natasha. Bersama Natasha, Clayton bisa merasa lebih hidup dan memaknai hidup lewat kesederhanaan begitu juga dengan Natasha.

Tapi, belum tentu hal itu juga berlaku untuk Natasha, belum tentu Natasha juga merasakan hal yang sama, bukan?

Kali ini Natasha dan Clayton sedang berboncengan dengan motor matic Clayton, diam-diam Clayton menunggu Natasha pulang kerja dengan alibi tidak sengaja lewat hanya untuk mengantarkan Natasha.

“Nih, pakai dulu,” kata Clayton sambil memberikan helm kepada Natasha. Helm itu diterima Natasha lalu ia memakainya, sedikit kesusahan saat memasang pengait helm, Clayton yang sudah duduk di motor menarik tangan Natasha mendekat, “sini,” katanya, lalu Clayton memasangkan pengait helm yang dipakai Natasha.

Tidak bisa bohong, Natasha memandang wajah Clayton sedekat ini dan juga sebaliknya membuat Clayton merasa sedikit gugup.

“Makasih,” ujar Natasha sambil tersenyum yang membuat gigi rapinya terlihat jelas.

“Dah, naik, gih.” Natasha pun naik ke motor, sore itu cuaca seakan mendukung Clayton dan Natasha untuk menikmati sore di atas motor.

Lagi dan lagi, berhenti di lampu merah, Clayton mengarahkan spionnya ke arah Natasha, di saat yang bersamaan Natasha juga melihat ke arah spion melihat Clayton juga hingga keduanya bertukar tatap dan Natasha menjulurkan lidahnya seakan meledek. Tapi Clayton malah menoleh dan memandang Natasha dari jarak dekat, “jangan gemes-gemes,” katanya.

Natasha melipat bibirnya lalu berusaha sebisa mungkin mengontrol salah tingkahnya. Belum usai dengan jantung yang berdegup kencang, Clayton menarik tangan Natasha yang semula hanya memegang jaketnya kini Clayton tuntun untuk melingkar di pinggang dan perutnya.

“Pegangan.” Clayton berkata lewat spion yang bisa dibaca oleh Natasha. Sadar. Keduanya sadar. Keduanya paham bahwa ini nyata, begitu juga saat lampu merah padam digantikan lampu hijau, saat itu juga Natasha menaruh dagunya di pundak Clayton.

DEG!

Hati pria mana yang tidak berantakan? Tapi Clayton hanya tersenyum dari spion lalu menempelkan helm mereka beberapa kali sedikit bergurau dengan Natasha, “Jangan bercanda di jalan!” omel Natasha. Clayton mengangguk dan tangan kirinya mengelus lengan yang melingkar di perutnya itu. Apakah mereka sedang berlomba membuat satu dan yang lain salah tingkah?

Di tengah jalan, tiba-tiba hujan turun agak deras dan Clayton langsung menepikan motornya ke sebuah minimarket yang ada di pinggir jalan lalu memerintahkan Natasha untuk menunggu sejenak.

“Nat, tunggu disini ya bentar aku beli sesuatu dulu,” kata Clayton saat keduanya sudah berdiri di teras minimarket karena hujan, Natasha mengangguk sambil merapatkan jaketnya guna menahan agar dingin tidak menusuk tubuhnya. Langit gelap, gemuruh di langit dan angin yang berembus sesekali menambah dingin suasana saat itu. Tak lama Clayton keluar dengan membawakan dua cup kopi hangat.

“Nih, diminum dulu biar nggak dingin baru nanti kita jalan lagi, aku bawa jas hujan tap cuma satu nanti kamu pake aja,” kata Clayton seraya mengulungkan satu cup kopi hangat pada Natasha. Gadis itu menerimanya dan berkata, “Kamu gimana? Tunggu reda aja deh,”

“Enggak papa, pakai aja nanti udah capek juga kan pulang kerja? Maaf ya Nat, kamu jadi kena hujan,” kata Clayton.

“Yaelah mana tau juga bakalan hujan santai aja sih.” Natasha memberikan senyum termanisnya, tak lama setelah dua cup kopi milik mereka kosong keduanya melanjutkan perjalanan, seperti yang Clayton katakan, ia mengambil mantel hujan di motornya dan memberikannya kepada Natasha. Ia membawakan helm yang Natasha pakai kala Natasha mengenakan jas hujannya. Setelah itu Clayton memasangkan helm untuk gadis di depannya mata keduanya sempat beradu lagi beberapa saat.

“Clay,” Natasha merapalkan nama Clayton lirih.

“Apa, Nat?” tanya Clayton.

“Makasih ya, kamu sampai segininya, kamu bakalan basah itu, nggak papa?”

“Santai, anak laki nggak boleh menye menye. Hujan doang ini hehe,” balas Clayton, Natasha tersenyum simpul lalu naik ke motor matic Clayton, benar saja hujan belum reda dan Clayton membiarkan tubuhnya diterpa hujan demi mengantarkan Natasha pulang. Hati Natasha berdesir sedikit kala itu melihat segala perhatian kecil yang Clayton berikan. Frekuensi yang sama, perhatian kecil yang bermakna, itulah yang mereka jalani saat ini. Merasakan debar tak biasa, merasakan kenyamanan yang tidak mereka dapatkan dimanapun tapi masih bergelut dengan logika satu sama lain, apakah perasaan ini masuk akal?