awnyaii

Sosok Jeremy selalu menjadi tempat Lauren pulang dan mengadu serta menjadi cinta pertamanya. Kokohnya punggung dan pundak Jeremy menjadi contoh dan teladan Lauren dalam menjalani kehidupan yang penuh misteri. Melihat senyum seseorang yang Lauren sebut Papa itu membawa tentram dalam jiwanya yang seringkali bising bahkan teriris. Ketangguhan Jeremy yang banyak teruji selama hubungan rumah tangga memang menjadi bukti nyata untuk Lauren bahwa sosok Papanya adalah laki-laki yang kuat.

Malam ini, Lauren termenung di ruang tamu, menunggu kedatangan Papanya yang berjanji akan datang ke sana. Jeremy yang terbangun dan hendak keluar kamar itu pun melihat anaknya tengah termangu sendiri. Saat Lauren mendengar suara mobil yang berhenti di rumahnya pun ia langsung tahu kalau itu adalah Papanya. Lauren menyambut Papanya di ambang pintu rumahnya dengan senyum cerah dan sorot mata yang berbinar. Jeremy yang keluar dari mobil pun mendekati Lauren dan mengelus puncak kepala Lauren lalu mengecupnya lalu memeluk anak pertamanya itu.

“Cici kangen Papa nggak?” tanya Jeremy.

“Kangen banget!” kata Lauren semangat. Akhirnya mereka berdua pun masuk ke ruang tamu, duduk bersebelahan, Jeremy mengambil posisi di sebelah Lauren duduk di kursi ruang tamu, kala hari kembali menemui malam berhias hawa dingin yang menyeruak, Lauren tersenyum dan menatap Papanya.

“Papa, sehat?” tanya Lauren.

“Iya, nak. Puji Tuhan sehat, Willy belum pulang?”

Lauren menggeleng.

“Anak perempuan Papa udah jadi Mama sekarang, ya? Tapi Lauren tetap putri kecilnya Papa.” Jeremy melantunkan kalimatnya yang membuat Lauren sedikit terkikik.

“Pa.” Lauren menolehkan kepalanya ke arah Jeremy.

“Apa, nak?”

“Papa, selamat hari Ayah, maafin Lauren yang kurang baik jadi anak pertama. Kurang baik jadi contoh buat kembar, maafin Lauren yang waktu itu kehadirannya bikin Papa sama Mama hampir pisah, semua fasilitas Papa disita.”

“Lauren tahu sedikit banyak perjuangan Papa dari Mama. Lauren nggak bisa bayangin gimana hancurnya Papa, setelah Papa milih Mama buat jadi istri, Papa tahu satu kebenaran kalau Papa diadopsi opa sama oma, terus Papa harus berjuang buat dapet restu, Papa sama Mama nikah tanpa kehadiran opa, Mama sama Papa hampir pisah, Papa sama Mama pindah ke kontrakan, Papa nggak kerja, cuma Mama yang kerja, Papa harus pinjem uang sana sini, Papa yang urus Lauren dan anter jemput Mama, Lauren tuh ... nggak kebayang gimana .. sakitnya .. Pa .. pa...” Lauren mulai terisak dan mencondongkan badannya ke arah Jeremy.

Jeremy tidak menjawab apapun selain melipat bibirnya dan menahan air matanya. Jeremy tak henti membelai puncak kepala anak sulungnya itu. “Makasih anak sulung Papa, makasih nak. Satu hal yang harus kamu tahu, kalau semua hal yang Papa sama Mama alami selama ini atau setelah kelahiran kamu itu bukan salah kamu, kalau nggak ada kejadian-kejadian itu mungkin Papa sama Mama udah beneran pisah sekarang. Tapi semua kejadian itu mendewasakan dan membawa buah yang baik, pada akhirnya semua bisa kembali bersama lagi, Nak. Kehadiran Lauren bahkan yang bikin papa sama mama kuat dan ada alasan untuk mempertahankan pernikahan. Lauren udah sangat baik jadi anak dan jadi sosok kakak buat kembar, sayang sama kembar kan?” ucapan Jeremy terhenti saat butiran kristal berjatuhan membentuk sungai kecil di wajah Jeremy terlebih saat mengingat sebuah cerita besar dibalik kedua anak kembarnya itu.

“Sayang, Lauren sayang Jevin, juga Mevin ...” Lauren memaksakan senyum terbaiknya saat menyebut nama Mevin, karena ia harus bergelut dengan air mata yang masih berjatuhan.

“Papa cinta pertama Lauren.” Lauren masih menyambung kalimatnya. Perlahan pundak Lauren diraih Jeremy dan Jeremy memeluk anaknya itu.

“Papa sayang Lauren, makasih udah lahir ke dunia, makasih udah jadi anak Papa. Maaf kalau Papa jarang nanya beban Lauren sebagai anak pertama, Papa tahu gimana beratnya Lauren. Tapi Lauren selalu kuat dan tutup semua air mata di depan Papa Mama, pernah Papa denger Lauren nangis malem-malem di kamar waktu Papa lagi keluar kamar dan lewat kamar kamu. Hancur hati Papa, karena Papa nggak tahu apa yang Lauren rasain, nggak bisa peluk Lauren. Makasih udah jadi anak sulung yang kuat.” Mendengar penuturan Papanya itu, Lauren mulai merasakan matanya panas, ia menutup matanya, tubuhnya masih memeluk erat Papanya, bahkan Lauren semakin mempererat pelukannya sekarang.

​“Selalu andalkan Tuhan dalam segala hal ya, Nak. Kalau Papa terbatas ngerti kondisi Lauren, ada Tuhan yang selalu denger apa yang Lauren doakan,” lanjut Jeremy.

“Ya Tuhan... semoga Papa Mama panjang umur, aku mohon ya, Tuhan, berikan Papa Mama sukacita dan panjang umur di masa tua mereka ...” dalam pejamnya kala itu Lauren masih sempat sampaikan doa di dalam batinnya kepada Tuhan. Setelahnya, Lauren menangis sejadinya di pelukan Papanya.

Seorang pria yang yang sudah beranjak dewasa dan berkeluarga bernama Jevin itu kini berdiri di ambang pintu rumah orang tuanya, ia berjanji akan menemui Papanya. Sungguh, ia belum pernah mengucapkan selamat hari Ayah secara langsung, terlebih tadinya Jevin hanya ingin membagikan apa isi pikirannya tentang kecemasan Jevin menjadi seorang ayah. Tapi, tiba-tiba pintu rumah itu terbuka, Jevin mendapati Papanya membukakan pintu untuknya.

“Papa!” Jevin tersenyum saat Papanya ada di depannya. Jeremy tersenyum lalu menepuk pundak Jevin sesaat.

“Anak Papa udah dateng?” tanya Jeremy. Jevin mengangguk, maka Jeremy memeluk sejenak anaknya itu.

“Yuk, masuk.”

Jevin pun mengikuti Ayahnya untuk masuk ke rumah itu dan duduk di sofa ruang tamu. Bahkan di atas meja ruang tamu sudah tersedia kopi kesukaan Jevin.

“Kopi kesukaan Jevin nih, minum dulu,” kata Jeremy sambil mengulungkan satu cup kopi itu yang diterima Jevin dengan sumringah. Jevin dan Jeremy hanyut dalam obrolan ringan sembari menikmati kopi yang ada. Hingga akhirnya Jevin menaruh cup kopi itu lalu berdeham, membuat Jeremy menghentikan kegiatannya juga.

“Pa ..” kata Jevin, Jeremy menatap anaknya heran.

“Pa, selamat hari ayah, kinda weird tapi selamat hari ayah, Papa hebat papa bos, Jevin sayang Papa, makasih udah jadi contoh figur ayah yang bijak, sabar, punya hati yang besar juga seseorang yang pinter sembunyiin kesedihan. Pa, panjang umur ya, biar bisa lihat anak cucu papa seterusnya nanti, biar Jevin bisa bikin Papa bangga.” Jevin melanjutkan penuturannya.

“Nak, selamat hari ayah juga, kan Jevin udah jadi ayah juga sekarang. Nak, papa belum se sempurna itu untuk jadi seorang ayah tapi kehadiran kalian ini keluarga ini yang menyempurnakan Papa, juga kehadiran Jevin.” Ucapan Jeremy membawa Jevin pada perasaan haru.

Kini Jevin tertunduk, mencoba menahan perasaan haru yang berkecamuk. Selama kehancurannya beberapa kali, Jevin hanya tinggal dan bermukim di dalam kesepian, tapi segalanya berubah karena ia menemukan turning point nya.

Jevin pun mengubah posisinya, ia yakinkan hatinya dan Jevin pun berlutut di depan Jeremy. Tak Jeremy sangka bahwa Jevin melakukannya. “Pa, terima kasih ya buat semuanya yang sudah Papa lakukan buat Jevin, bahkan saat Jevin nggak pantas ada di keluarga ini, dengan segala kesalahan yang Jevin lakukan di masa lalu, sekarang Jevin paham gimana ketakutan dan kehancuran seorang ayah. Jevin punya anak cowok, nggak menutup kemungkinan mungkin Eugene akan mewarisi sifat Jevin tapi Jevin hanya bisa mengusahakan yang terbaik dalam mendidik Eugene sama adiknya. Maaf ya Pa, kalau selama ini Jevin bejat banget jadi anak, mabok, ngerokok, balapan, sampai ada di tahap free sex. Hal itu teringat jelas di pikiran Jevin, giana Papa sama Mama marah dan nangis, gimana Cici sama Mevin juga nangis dan nggak tahu harus gimana karena jadi canggung di rumah. Pa... Jevin sadar banyak lagi kesalahan yang Jevin lakuin di masa lalu, tapi Jevin udah nemu turning point Jevin sejak saat itu. Pa ... di setiap doa Jevin, nama Papa Jeremy selalu Jevin sebut. Papa, terima kasih karena Papa selalu menerima bahkan memeluk Jevin saat Jevin nggak bisa menerima diri Jevin sendiri, Jevin tahu itu nggak mudah dan terima kasih sudah kasih Jevin yang terbaik sebagai seorang anak, Jevin nggak merasa kekurangan apapun. Semua yang Papa lakukan itu cukup, bahkan lebih dari cukup. Jevin nggak tahu seberapa sakit dan hancurnya Papa jalani hidup selama pernikahan bahkan setelah punya anak atau setelah kami semua menikah, maafin Jevin .... Jevin sayang Papa.” nada suara Jevin bergetar karena kini Jevin tak bisa membendung tangisnya, begitu juga dengan Jeremy yang melipat bibirnya kuat-kuat dan mengerjapkan mata beberapa kali.

Jeremy pun mengelus punggung Jevin, dan kini Jevin mengarahkan pandangannya lagi ke arah Jeremy. Sungguh, Jevin harus menahan mati-matian tangisannya yang hampir meledak saat itu juga. Bayi laki-laki Jeremy sudah dewasa dan membanggakan jika menilik semua perlajanan dan pengalaman hidupnya.

“Anak Papa, your future just begun as a father for Eugene and also Yoel. You will start your new journey, I believe that God will lead your way. God will provide everything you need. Setiap hari Papa juga selalu berdoa biar Jevin jadi ayah yang baik bahkan harus lebih baik dari Papa, maaf juga kalau Papa terlalu keras sama Jevin. Tapi Jevin harus ingat juga, selalu berikan yang terbaik saat mendidik Eugene, ingat ya nak, kekerasan fisik bukan jalan terbaik, jangan terlalu dikekang tapi jangan terlalu dibiarkan, jadi ayah, sahabat, teman buat anak kamu, the important one, teach and guide them in the right pathway that God tell us....” Jeremy juga membelai puncak kepala Jevin.

Keduanya merenggangkan pelukan, Jeremy tatap sejenak anaknya yang sangat mewarisi parasnya itu dan ia mengangguk lalu menyeka air matanya. Jeremy mungkin pernah hancur sehancur-hancurnya dengan sikap Jevin tapi semua tergantikan, didikannya dan ketabahannya sebagai seorang ayah membuahkan hasil. Doa selalu Jeremy lantunkan setiap malamnya, menyebut nama ketiga anak dan bahkan menantu dan cucunya satu per satu. Jevin dan Jeremy kembali memeluk lagi sesaat dan tersenyum haru.

Sedikit kekhawatiran menghinggapi relung hati Natasha kala Winston memberi kabar bahwa ia sakit. Natasha pun mengunjungi Winston yang sedang sakit dirumahnya. Seperti biasa Natasha memesan ojek online dan menuju rumah Winston. Ditengah perjalanan, hujan turun perlahan rintik lalu menjelma menjadi rinai yang membasahi tubuh Natasha. Dibawah kungkungan hujan yang menerpa Natasha sedikit bertanya-tanya tentang hubungan macam apa yang sedang ia jalani dengan Winston.

Natasha membiarkan hujan membasahi tubuhnya yang dibalut jaket hitam tebal sedikit demi sedikit. Sementara itu di kediaman Winston, handphone yang ada di sebelah Winston berdering tiba-tiba, Winston yang masih terlelap pun menggeliatkan badannya lalu mengerjapkan matanya beberapa kali sampai kesadarannya terkumpul, ia pun meraih handphone yang masih berdering di sebelah tempat tidurnya.

“Aku udah di depan rumah kamu,” ucap seseorang di sebrang sana. Winston langsung bangun dan terduduk.

“Tunggu, Nat. Aku keluar sekarang,” ucapnya lalu mematikan panggilan, kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyum simpul dan ia bersemangat keluar kamar dan menuruni tangga dengan perasaan tidak sabar. Winston membuka pintu rumahnya, benar saja orang yang ia tunggu sudah ada di sana.

“Hei!” ucap Winston lembut sambil tersenyum, gadis itu berbalik badan lalu menghampiri Winston. Ia langsung mendekati dan menempelkan tangannya di kening Winston dan pipi Winston berulang kali.

“Beneran demam,” ucap Natasha sambil sedikit memanyunkan bibirnya tapi malah membuat Winston semakin gemas. Winston menepis lembut tangan Natasha, menggenggamnya, lalu membelai pelan rambutnya yang terurai panjang.

“Karna kamu udah disini pasti aku cepet sembuh, yuk masuk.” Winston menggandeng tangan gadis itu dan mengajaknya masuk kerumahnya, keduanya duduk di sofa ruang tamu rumah Winston.

“Nih, buat kamu.” Natasha memberikan paper bag berisi buah buahan dan obat untuk Winston. Sekilas Winston melihat isinya.

“Haha, kenapa ada byebye fever?” tangannya menggenggam sebuah plester gel penurun panas yang biasa digunakan anak kecil untuk meredakan panas.

“Itu manjur tau aku aja kalau demam juga pake itu, ini for adult,” Natasha memanyunkan bibirnya. Winston meraih puncak kepala Natasha lalu mengacak pelan rambut Natasha. “Thank you, Nat. Sebenernya kamu kesini aja udah cukup.” Winston menaruh paper bag itu di meja di depannya.

“Klise banget haha, udah lagu lama,” goda Natasha. Tiba-tiba seorang wanita paruh baya menghampiri Natasha dan Winston, wanita itu tidak lain tidak bukan adalah mama Winston.

“Eh ada tamu kok Winston diem diem aja, nak.” Natasha langsung bangkit berdiri lalu mencium tangan Mama Winston dan tersenyum ramah.

“Halo, cantik lama nggak kesini ya?” tanya Mama Winston lembut.

“Iya nih tante.”

“Oh kalau gini Winston cepet sembuh ini mah.” mamanya tersenyum menggoda Winston sambil menyenggol lengan anaknya itu. Winston salah tingkah.

“Katanya Natasha udah kaya jamu manjur banget pokoknya.” ucapan mamanya itu disambut tawa renyah dari Winston dan Natasha.

“Mama parah banget, haha,” balas Winston.

“Nggak dong, katanya Natasha cantik baik, katanya calon mantu idaman gitu deh, pokoknya dia masa depanku, Ma.” mamanya menepuk pelan pundak Natasha. Gadis itu tersipu malu, begitu juga dengan Winston.

“Yaudah lanjutin ngobrolnya mama nggak ganggu deh, tante mau ke dalem dulu ya, Natasha. Kalau Winston nakal cabut aja rambutnya satu satu biar botak!”

“Haha tante lucu banget, iya tan nanti Natasha cabutin sampe pitak,” kekeh Natasha, mamanya tertawa kecil lalu meninggalkan mereka berdua.

“Ayah kamu nggak dirumah, Win?”tanya Natasha sambil melihat ke sekelilingnya sembari kembali duduk di sofa.

“Enggak, biasanya sih udah pulang tapi ini entah deh mungkin lembur,” jawab Winston lalu menyandarkan kepalanya di pundak Natasha. Gadis itu melingkarkan tangannya untuk mengelus punggung Winston dan kepala Winston itu, tiba-tiba Winston meraih tangan Natasha, menggenggamnya dengan satu tangannya.

“Kamu jangan sakit ya, jaga kesehatan, oke?” Winston mendongakkan kepalanya dan menatap kekasihnya tajam. Natasha mengiyakan omongan Winston dengan senyum manisnya. Winston memeluk tubuh Natasha manja. Memeluknya hangat dan dalam.

“Eh, kenapa deh tiba-tiba?” tanya Natasha sambil sedikit terkekeh dan heran dengan sikap Winston yang clingy.

“Sebentar aja, kaya gini, ya?” pinta Winston.

“As long as you want,” balas Natasha, ia membalas pelukan Winston. Tak lama mereka merenggangkan pelukan, Winston pun membuka buah potong yang dibawakan Natasha.

“Sini aku bukain.” Natasha mengambilnya dari tangan Winston dan membukanya perlahan.

“Thank you.” Winston tersenyum lebar.

“Open your mouth,” ucap Natasha sambil bersiap menyuapkan satu potong buah pear untuk Winston. Lelaki itu membuka mulutnya dan melahap potongan buah itu.

“Nat, kamu tau nggak?” Winston bertanya tiba-tiba.

“Enggak.”

“Berarti kita jodoh, soalnya jodoh nggak ada yang tau.” Winston tertawa kecil diikuti tawa Natasha.

“Nggak jelas banget deh lagi sakit makin nggak jelas cape deh.” Natasha meledek sambil menjulurkan lidahnya. Winston hanya tertawa sambil mencubit pipi Natasha. Entah, perasaan yang dimiliki keduanya sama. Tapi belum sama-sama bermuara, Winston masih menunjukkan kesungguhannya, sedangkan Natasha masih membuka hati dan kesempatan bagi Winston. Entah sampai kapan.

Malam itu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Clayton masih bersiap-siap menata untuk menutup warmindo kesayangannya. Tangan Clayton bergerak memasukkan beberapa bangku dan membersihkan meja, mengelapnya dengan telaten dan sabar sembari bersenandung lirih.

Usai semua tertata rapi, Clayton duduk di dekat pintu dimana ada bangku kayu panjang, ia mengangkat dan melipat kakinya bersila dan mengambil gitarnya. Jemari lihainya mulai memetik gitar dan menyanyikan beberapa lagu yang ada di pikirannya. Jangan bicara soal music dengan Clayton. Segala macam alat music bisa ia sikat untuk mainkan dengan lihai, mulai dari gitar, piano, drum, ataupun bass.

Tapi tiba-tiba Clayton yang masih tertunduk memperhatikan setiap senar gitar yang ia petik mendadak mendongakkan kepalanya karena melihat kaki yang melangkah mendekat ke arahnya.

“Lah, ngapain, neng?” tanya Clayton saat melihat Natasha disana.

“Ada nasi nggak sama apa kek, telur deh telur, laper banget belum makan malem.” Natasha berkata sambil memegangi perutnya yang kelaparan.

“Udah tutup,” kata Clayton lalu memainkan gitarnya lagi hingga Natasha memegangi dan menahan senar gitar itu dengan telapak tangannya.

“Udah tutup, neng natacong,” kata Clayton sambil mendengus.

Please, gue laper banget, tanggal tua, males gofood ayolah, ya?” Natasha ada di sana dengan tatapan memohon yang tanpa sadar membuat jantung Clayton berdebar.

“Tapi masak sendiri, bisa nggak? Saya capek banget, sumpah. Ada telur ada sosis, terserah mau masak apa,” kata Clayton.

“Iya, nggak papa, beneran ini? Boleh ya masak telur dadar gue irisin cabe sama sosis? Ya? boleh ya?”

“Iye, boleh deh karena langganan,” balas Clayton sambil nyengir.

“Semoga warmindo ini makin laris ...” Natasha melipat tangannya seakan berdoa dan menutup mata.

“Amin.” Clayton mengikuti Natasha.

“Semoga warmindo ini makin banyak varian menunya.”

“Amin.”

“Semoga warmindo ini go internasional. Warmindo mas Isa jaya jaya jaya! Amin.” Natasha melantunkan kalimatnya lalu membuka mata dan mengepalkan tangan seakan memberi semangat. Hal itu disambut tawa renyah dari Clayton.

“Orang laper biasanya galak, ini kok stress,” kata Clayton sambil geleng-geleng melihat Natasha yang mulai memasuki dapur.

“Eh, mas lo temenin ya, lo nyanyi kek biar nggak sepi amat!” teriak Natasha.

“Nyanyi apaan?” tanya Clayton.

“Apa aja.”

“Males ah, saya main petikan aja biar syahdu.” Perkataan Clayton tidak dibantah oleh Natasha karena kini Natasha sibuk memotong sosis, berkutat dengan bawang putih, cabai dan kompor.

Tapi tiba-tiba, “aawwww!” jerit Natasha dari sana yang membuat Clayton langsung menghampiri Natasha dan melihat keadaan Natasha. Clayton mendapati jari Natasha teriris dan darahnya menetes ke lantai.

“Kenapa?” tanya Clayton panic.

“Nggak papa, keiris hehe,” kata Natasha sambil tersenyum meringis menahan perih.

Clayton pun menggenggam tangan Natasha yang berdarah. Ia menariknya ke dekat wastafel lalu menyalakan keran air agar darah di jari Natasha bersih lalu mengusap tangan Natasha dengan tisu. Clayton juga langsung menyambar plester luka yang ada di laci tempat ia jualan lalu menempelkan di jari Natasha yang terluka.

“You okay?” tanya Clayton sambil menatap Natasha. Sedangkan gadis itu hanya mengangguk, Natasha masih terpaku karena bingung dengan sikap Clayton yang panic.

“Mas, kenapa panik banget? Kan cuma luka kecil,” kata Natasha.

Clayton terdiam menyadari tingkahnya, pikiran Clayton kembali ke beberapa tahun lalu dimana di masa lalu, kedua orang tuanya sempat marah besar karena Clayton dan Marcel ditinggalkan berdua di rumah dan Marcel terjatuh dari tangga luput dari perhatian Clayton. Sesaat Clayton terdiam dan memalingkan wajah lalu menggaruk tengkuk lehernya. Natasha justru malah melanjutkan kalimatnya, “Mas ketrigger atau ada trauma? Maaf ya.”

Clayton menatap Natasha nanar dan mengangguk, “iya, sedikit sih, karena dulu saya sama adek saya pernah ditinggal di rumah berdua, terus biasa lah anak laki, adek saya jatuh, ya begitulah, kepalanya bocor berdarah, disitu orang tua saya marah besarnya ya ke saya. Tapi saya juga lalai nggak perhatiin adek.” Clayton melanjutkan kalimatnya dengan kejujuran penuh.

Tapi tiba-tiba Clayton mengalihkan pembicaraan dan memerintahkan Natasha duduk di bangku kayu panjang tadi.

“Duduk sini aja, biar saya yang masakin,” kata Clayton dan Natasha menurutinya. Clayton beranjak ke dapur dan membuatkan makanan untuk Natasha. Ternyata Natasha juga bisa memainkan gitar, ia ambil gitar milik Clayton tadi dan mulai ia mainkan. Sebuah lagu berjudul “As long as you love me” Natasha senandungkan. Pada awalnya Clayton hanya menikmati petikan gitar Natasha, tapi lama kelamaan Clayton kagum dengan suara indah nan merdu dari Natasha. Senandung dari Natasha mengudara keduanya bahkan menyanyikan bagian refrain lagu itu bersamaan.

“I don’t care who you are ... where you’re from ... what you did, as long as you love me ... who you are ... don’t care what you did as long as you love me ...” Clayton dan Natasha menghabiskan lagu itu bersenandung bersama hingga masakan untuk Natasha selesai.

Clayton membawa piring berisi makanan itu kepada Natasha, perempuan itu menaruh gitarnya dan menerima piring dari Clayton dengan senyum sumringah, “makasih, Mas.” Yang tadinya saling mengolok kini ternyata bisa tersenyum kepada satu sama lain, menghabiskan satu lagu bersenandung bersama sampai ujung penghabisannya dan juga memuji suara satu sama lain.

Clayton melihat seseorang tengah berjalan diantara gerimis, ia membuat laju sepeda motor beatnya sedikit lebih cepat untuk mendapatkan posisi di sebelah seseorang yang ia lihat itu. Sedangkan Natasha masih menapaki jalan dengan langkah yang sedikit cepat tanpa payung.

Hingga akhirnya Clayton ada di sebelah Natasha dan membunyikan klakson motornya yang mengagetkan Natasha.

TIN!

“Setan!” Sontak Natasha kaget dan mengumpat menoleh ke arah Clayton, ia tidak tahu kalau Clayton atau yang ia kenal sebagai Mas Isa ada di sana.

Mata lelaki itu langsung membulat mendengar teriakan emosi dari Natasha tapi sedikit menahan tawa.

“Buset, kenceng amat, habis nelen bensin? Ngegas banget,” kekeh Clayton.

“Lo ya! Bener-bener, jantung gue mau copot!” Natasha ngomel dan menghentikan langkahnya begitu juga dengan Clayton yang menapakkan kakinya menghentikan motornya.

“Pasang lagi kalau copot.”

“Lo pikir portable nih organ vital gue?!” dengus Natasha kesal.

“Ayo,” kata Clayton lagi.

“Apaan?”

“Bareng sampe kos, saya anterin,” Clayton menawarkan. Natasha menggeleng lalu memakai hoodienya, Natasha langsung melanjutkan langkahnya lagi.

“Gerimis gini, biar cepet sampai, sini bareng, nggak bakalan saya culik lagian,” kata Clayton masih gigih menawarkan. Natasha mendengus kesal, ia kesal karena Clayton masih terus menaiki motornya dengan lambat bersamaan dengan langkahnya.

Lagipula kaki Natasha juga lelah, akhirnya ia terima ajakan Clayton.

“Ya udah, iya, Mas.”Natasha pun naik ke motor beat milik Clayton itu. Ia menaruh tas belanjaannya di tengah diantara tubuhnya dan Clayton lalu berkata, “udah.” Clayton melirik Natasha dari spion, memberikan senyum tapi Natasha malah melotot dan mengacungkan kepalan tangan seakan ingin memukul Clayton, lelaki itu memutar bola matanya dan melajukan motornya dengan kecepatan sedang.

Ternyata selain pandai memasak, mengkreasikan berbagai jenis makanan, Clayton juga baik, Isa maksudnya. Di mata Natasha, Isa namanya.

“Neng habis belanja apaan?” tanya Clayton.

“Gerimis!” balas Natasha.

“Iya belanja gerimis iya,” batin Clayton sambil terkekeh dalam hati.

“Belanja apaan, haji bolot!” ujar Clayton sekali lagi dengan suara yang lebih keras.

“Aduh gue budeg kalau di jalan gini, nanti aja tanya-tanyanya, Mas!” Hal itu disambut Clayton dengan tawa ringan lalu melajukan motornya sedikit lebih cepat dari sebelumnya.

Sesampainya di depan kos Natasha, Clayton menghentikan motornya dan Natasha turun dari sana.

“Makasih, Mas,” kata Natasha sambil tersenyum.

“Iya sama-sama, besok sarapan bubur apa roti bakar?” tanya Clayton.

“Bubur aja deh, lebih kenyang. Tapi inget ya nggak pakai kacang sama daun bawang.”

Clayton merespon dengan anggukan kepala dan acungan ibu jari.

“Emang neng Natacong kerja dimana?”

“Kantor perusahaan Sylv Group.”

“HAH?!” Clayton kaget dan membelalakkan matanya.

“Apaan sih, lo! Hah heh hoh, santai aja, anjir,” kata Natasha sambil menepuk keras pundak Clayton.

“Sakit anjir markonah!!” gerutu Clayton.

“Ya lo udah dua kali ngagetin gue ya iler tapir!”

“Diem lo cewek jadi-jadian!”

“Yeh, lo bungkus indomie diem aja deh!” Clayton hanya menjulurkan lidah lalu kembali melaju dengan motornya, lagi dan lagi Natasha dibuat kesal oleh kelakuan pemilik warung indomie itu.

Rasanya pukulan bertubi-tubi atau cubitan keras ingin Natasha layangkan kepada lelaki tadi. Tapi Natasha hanya mengedikkan bahu lalu kembali masuk ke kosnya.

Natasha menaruh belanjaannya di atas meja lalu ia menghempaskan tubuhnya di kasur. Menatap langit-langit kamar. Ia rindu suasana rumah, ia rindu Papa dan Mamanya. Ia rindu kakak dan adiknya.

Tapi, kadang Natasha terlalu gengsi untuk menyatakan kerinduannya. Akhirnya ia timbun lagi kerinduannya sendiri hingga nanti di saat libur ia bisa bertemu semua anggota keluarganya. Pandangan Natasha tertuju kepada sebuah foto yang bertengger di atas meja kecil di sebelah tempat tidurnya, fotonya yang tengah saling merangkul dan merengkuh raga seorang lelaki. “I miss you,* Winston,” kata Natasha lirih.

Mencintai adalah sebuah perayaan yang ingin Mevin kenang dan rayakan sepanjang usianya. Untuk kehilangan Mevin tidak ingin meski hanya membaca kata-katanya. Banyak waktu yang sudah dilewati Mevin dan Grace selama ini. Beberapa kali nyawa sebagai taruhan, ketidakpastian dalam hidup, namun keduanya tetap percaya bahwa Tuhan akan berikan jalan keluar dan segala sesuatu yang terjadi adalah yang terbaik.

Di dalam segala perkara dan keadaan, dua anak adam yang mulai saling bertanya akan arti pertemuan mereka. Sejauh apa pun mereka berdua menjajakan langkah, tanpa merasa lelah, masing-masing dari mereka makin enggan menjauh, malah lebih ingin menetap. Tidak saling melempar kesalahan untuk setiap masalah yang datang, tidak ada ujaran kebencian dalam setiap kesalahan yang dibagikan, segala salah paham diselesaikan berdua hingga temukan kebenaran dan titik terang.

“Grace, you must know that I love you so much, I have no regret after decide all those things.” Mevin meraih kedua tangan Grace lalu menyimpannya dalam satu genggaman keduanya kini saling berhadapan.

Me too, hari ke depannya nggak mudah tapi jalani bareng, ya?” Tanpa kata, Mevin melayangkan pandangan yang sumringah itu lalu mendaratkan beberapa kecupan ke bibir wanita di depannya itu. Grace hanya mendengus kesal sambil memukul pelan lengan Mevin. Dengan lelaki yang Grace pilih, ia bersedia menjatuhkan hati sejatuh-jatuhnya dan ia dekap seorang yang ia sematkan sebutan suami itu.

“Grace, maaf karena aku, kamu harus dapet banyak kesulitan selama ini, setelah ini aku bakalan lebih baik dalam menjaga kamu, waktu kamu koma, aku sempat mimpi buruk, buruk banget. Untung cuma mimpi, aku nggak akan pernah siap kehilangan kamu,” gumam Mevin yang masih memeluk wanitanya itu erat.

“Mevin,” Grace merenggangkan pelukan lalu meraih rahang Mevin dengan kedua telapak tangannya, lalu ia tatap lekat pria di depannya, “Don’t be afraid, I’m okay. And thank you for loving and protect me. Selama ini kamu udah jadi suami yang selalu mengusahakan yang terbaik, maaf kalua masih suka salah paham, setakut itu aku kehilangan kamu, saying.”

I will stay here no matter what happened. I will always did, I love you,” balas Mevin. Maka saat itu juga Grace menarik rahang tegas Mevin dan perlahan menyatukan birai mereka dalam sebuah pagutan yang berlangsung lembut untuk beberapa detik, lalu selanjutnya mereka bergantian menghisap belah bibir atas dan bawah masing-masing dari mereka.

Mevin dan Grace tidak lagi sembunyikan luka dan nelangsa, tapi berbagi kasih dan sayang lewat afeksi candu sebuah lumatan yang mereka bagi. Yang menyeruak adalah hanya kebahagiaan hati masing-masing yang ceritakan bagaimana hati tak akan pernah meninggalkan muaranya, untuk sesaat Mevin melepaskan pagutan dan mengusap bibir Grace lembut dengan ibu jarinya.

Grace, listen, our family is one of great blessings from God. Bahkan perjalanan kita, insiden yang terjadi sama kamu, kecelakaan yang bikin aku lumpuh, saat kamu keguguran, saat kamu koma dan semua kesulitan lain yang Tuhan ijinkan terjadi, nyatanya bikin level iman kita semakin kuat dan kita bisa ada di saat ini. Mujizat banget, kan? It’s a miracle from God, Panjang umur terus y akita, biar kita bisa lihat anak cucu kita terus, sehat terus kesayanganku.” Diucapkannya kalimat itu dengan penuh perasaan yang menghantarkan mata Grace untuk berkaca-kaca. Mevin dan Grace bagai mengurung diri dalam gelap dan saat ini mereka tidak akan pernah kehilangan pagi. Ketidaksanggupan mencintai ditiadakan karena dua tubuh itu saling merengkuh lagi. Mevin pun membopong tubuh Grace dan menidurkan sang puan di ranjang.

“Kamu yang terbaik, hadiah terbaik yang pernah ada di hidup aku, my everlasting love, i love you Gracelline,” kata Mevin lagi sambil membelai pipi Grace lalu mendaratkan kecup di kening Grace. Maka bersatulah dalam dekap kedua anak adam yang diraja cinta berdua dalam satu selimut. Memikirkan bagaimana pertama kali mereka bertemu, bagaimana keduanya harus mengalami kejatuhan memang tidak ada habisnya tapi takdir dan rencana Sang Kuasa memang tidak pernah ada yang tahu.

Hold me tight, Grace until morning comes,” kata Mevin, maka Grace kabulkan untuk memeluk lebih dalam lagi raga suaminya itu. Tak ada yang lebih nyaman dibanding pelukan penuh ketenangan dan penerimaan dari orang yang kita sayang.

“*You are the best husband, i love you.” Grace berbisik lirih. Keduanya berjanji akan Kembali merenda cerita kehidupan bersama hingga akhir usia. Sampai menutup mata.

END

Grace sudah kembali pulih dan kembali ke rumah, tapi rindu di hati Mevin masih menggebu. Mevin bisa kembali memeluk raga istrinya itu, begitu juga sebaliknya, Grace juga bisa kembali memeluk anaknya, Miracle kembali bisa merasakan kasih sayang seorang ibu kembali. Tapi sebuah postingan menghancurkan hati Grace hari ini. Memang, hari ini Mevin meminta ijin untuk keluar membeli kebutuhan rumah tangga, Grace tetap tinggal di rumah bersama Miracle. Tapi sebuah postingan itu tetap saja menghancurkan hati Grace, terlebih Mevin belum memberitahu apa yang terjadi selama Grace koma. Mevin bahkan belum sempat bercerita kalau Yemima membantunya, karena sesuai janji Yemima, ia akan menemui Mevin dan Grace juga sekaligus untuk berpamitan.

Grace menahan amarahnya, ia coba untuk kontrol emosinya. Ia coba alihkan pikirannya yang sudah kalut untuk mengurus Miracle dan menidurkan anaknya itu, meskipun ia sekuat tenaga tahan tangisnya. Hingga tak lama terdengar suara mobil yang memasuki halaman rumahnya. Grace langsung berdiri di ambang pintu rumahnya, tapi, tunggu … ada satu mobil lagi yang mengikuti mobil Mevin. Dilihatnya Mevin keluar dari mobilnya, juga seorang wanita dan pria yang juga keluar dari mobil menggandeng seorang anak perempuan. Anak itu adalah anak yang di foto di sebuah postingan yang Grace lihat tadi. Amarah Grace semakin menjadi, tidak memberi senyuman, melainkan tatapan sengit saat mereka semua datang.

“Grace,” kata Mevin mendekat. Grace hanya diam, hingga akhirnya dua orang tadi bersama anak perempuan itu juga mendekat ke arah Grace. Yemima tersenyum kepada Grace tapi Grace masih acuh.

“Apa yang mau dijelasin?” tanya Grace seakan menantang Mevin.

“Bukan aku yang mau jelasin, biar Yemima aja, biar semua dari Yemima biar kamu percaya.” Mevin berkata dengan nada tenang.

“Grace, aku yakin kamu udah kenal aku. Aku sama Mevin kenal sejak kuliah, aku juga yang urus fisioterapinya Mevin beberapa tahun lalu. Ini anakku, Ini mantan suamiku, Christo.” Yemima mempersilakan Christo untuk berjabat tangan dengan Grace, juga anaknya, Mabelle yang langsung memberi salam kepada Grace.

“Waktu kamu koma, aku memang bantu Mevin jaga Miracle karena Tante Lea yang masuk Rumah Sakit juga, nggak mungkin jaga Miracle, aku bakalan pindah dari sini, jadi kemarin banyak waktu free, itu alasan kenapa aku jagain Miracle, untuk kejadian tadi, foto yang mungkin kamu lihat tadi, itu Mevin nemuin Mabelle karena tadi Mabelle kepisah sama aku di Mall, kebetulan aku janjian sama Christo, bahkan aku nggak tahu Mevin ada di mall itu. Akhirnya Mevin yang nemuin Mabelle, selebihnya aku sama Mevin cuma teman. Aku ikhlas bantu Mevin jaga Miracle, aku tahu kesusahan dan kesulitan yang Mevin hadepin sendiri kemarin selama kamu sakit, Mevin bukan tipikal laki-laki yang nyakitin dengan cara rendahan kayak gitu, nggak mungkin. Sekali lagi, Mevin suami yang baik, sangat baik, dan kamu juga wanita yang kuat, aku ikut seneng kamu udah pulih.” Yemima mendekat dan menepuk pundak Grace, hal itu membuat Grace terharu dan memeluk Yemima. Keduanya saling memeluk, disaksikan Christo yang kini menggendong Mabelle dan juga disaksikan Mevin.

Amarah dileburkan oleh kejujuran dan keterbukaan. Semesta masih mempertemukan mereka pada satu titik temu dan titik baik kehidupan. Semua hanya kesalahpahaman.

Grace sudah kembali pulih dan kembali ke rumah, tapi rindu di hati Mevin masih menggebu. Mevin bisa kembali memeluk raga istrinya itu, begitu juga sebaliknya, Grace juga bisa kembali memeluk anaknya, Miracle kembali bisa merasakan kasih sayang seorang ibu kembali. Tapi sebuah postingan menghancurkan hati Grace hari ini. Memang, hari ini Mevin meminta ijin untuk keluar membeli kebutuhan rumah tangga, Grace tetap tinggal di rumah bersama Miracle. Tapi sebuah postingan itu tetap saja menghancurkan hati Grace, terlebih Mevin belum memberitahu apa yang terjadi selama Grace koma. Mevin bahkan belum sempat bercerita kalau Yemima membantunya, karena sesuai janji Yemima, ia akan menemui Mevin dan Grace juga sekaligus untuk berpamitan.

Grace menahan amarahnya, ia coba untuk kontrol emosinya. Ia coba alihkan pikirannya yang sudah kalut untuk mengurus Miracle dan menidurkan anaknya itu, meskipun ia sekuat tenaga tahan tangisnya. Hingga tak lama terdengar suara mobil yang memasuki halaman rumahnya. Grace langsung berdiri di ambang pintu rumahnya, tapi, tunggu … ada satu mobil lagi yang mengikuti mobil Mevin. Dilihatnya Mevin keluar dari mobilnya, juga seorang wanita dan pria yang juga keluar dari mobil menggandeng seorang anak perempuan. Anak itu adalah anak yang di foto di sebuah postingan yang Grace lihat tadi. Amarah Grace semakin menjadi, tidak memberi senyuman, melainkan tatapan sengit saat mereka semua datang.

“Grace,” kata Mevin mendekat. Grace hanya diam, hingga akhirnya dua orang tadi bersama anak perempuan itu juga mendekat ke arah Grace. Yemima tersenyum kepada Grace tapi Grace masih acuh.

“Apa yang mau dijelasin?” tanya Grace seakan menantang Mevin.

“Bukan aku yang mau jelasin, biar Yemima aja, biar semua dari Yemima biar kamu percaya.” Mevin berkata dengan nada tenang.

“Grace, aku yakin kamu udah kenal aku. Aku sama Mevin kenal sejak kuliah, aku juga yang urus fisioterapinya Mevin beberapa tahun lalu. Ini anakku, Ini mantan suamiku, Christo.” Yemima mempersilakan Christo untuk berjabat tangan dengan Grace, juga anaknya, Mabelle yang langsung memberi salam kepada Grace.

“Waktu kamu koma, aku memang bantu Mevin jaga Miracle karena Tante Lea yang masuk Rumah Sakit juga, nggak mungkin jaga Miracle, aku bakalan pindah dari sini, jadi kemarin banyak waktu free, itu alasan kenapa aku jagain Miracle, untuk kejadian tadi, foto yang mungkin kamu lihat tadi, itu Mevin nemuin Mabelle karena tadi Mabelle kepisah sama aku di Mall, kebetulan aku janjian sama Christo, bahkan aku nggak tahu Mevin ada di mall itu. Akhirnya Mevin yang nemuin Mabelle, selebihnya aku sama Mevin cuma teman. Aku ikhlas bantu Mevin jaga Miracle, aku tahu kesusahan dan kesulitan yang Mevin hadepin sendiri kemarin selama kamu sakit, Mevin bukan tipikal laki-laki yang nyakitin dengan cara rendahan kayak gitu, nggak mungkin. Sekali lagi, Mevin suami yang baik, sangat baik, dan kamu juga wanita yang kuat, aku ikut seneng kamu udah pulih.” Yemima mendekat dan menepuk pundak Grace, hal itu membuat Grace terharu dan memeluk Yemima. Keduanya saling memeluk, disaksikan Christo yang kini menggendong Mabelle dan juga disaksikan Mevin.

Amarah dileburkan oleh kejujuran dan keterbukaan. Semesta masih mempertemukan mereka pada satu titik temu dan titik baik kehidupan. Semua hanya kesalahpahaman.

Malam ini Mevin baru saja melewati hari yang melelahkan, ia baru saja menjemput Miracle dari rumah Yemima, suara tawa dan kekehan kecil dari Miracle jadi pengobat kelelahan Mevin. Dengan telaten Mevin membuatkan susu untuk Miracle, dekap Mevin juga tanggap dalam menjaga Miracle dalam pelukan dan gendongannya. Setiap menatap wajah Miracle, tak pernah sedetikpun Mevin tidak teringat Grace, mata Miracle sangat mewakili perawakan Grace.

Mevin masih menggendong Miracle di kamarnya, Miracle nampak tenang di gendongan Mevin dan tertidur pulas. Namun tiba-tiba, ponsel Mevin di atas ranjang berdering. Mevin berjalan mengambil ponselnya itu, nampak nama Jevin di layar ponselnya, Mevin pun mengangkat telepon itu. “Halo, Jev, kenapa?” tanya Mevin.

“Ke rumah sakit sekarang, Grace,” nada suara Jevin terdengar panik.

“Grace kenapa?!” tanya Mevin.

“Kesini aja, sekarang!” seru Jevin di seberang sana.

Jantung Mevin berdegup kencang, ia bisa mendengar suara Letta menangis di sana di dekat Jevin, tapi Mevin langsung tutup panggilan itu sepihak dan langsung mengambil gendongan Miracle dan menuju ke Rumah Sakit.

Perasaan Mevin sudah tidak karuan, baru saja Miracle sembuh dari sakitnya, jangan sampai ada hal-hal yang tidak Mevin inginkan terjadi kepada Grace. Ia ingin Grace pulang ke pelukannya, ia ingin Grace kembali ke rumah, ia ingin keluarga kecilnya utuh kembali. Tidak bisa berbohong, sepanjang mengemudikan mobil menuju rumah sakit, Mevin tak henti meneteskan air mata. Hingga akhirnya setelah hampir tiga puluh menit mengemudi, Mevin tiba di Rumah Sakit, Mevin gendong Miracle dan buru-buru berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit dengan langkah yang berat dan hati yang tidak karuan. Beberapa detik terlewati, Mevin berpapasan dengan Letta.

“Mevin!” seru Letta, Mevin terengah dan mengatur napasnya.

“Sini, Miracle biar gue yang gendong, langsung ke ruangan Grace!” kata Letta, Mevin langsung menyerahkan Miracle ke gendongan Letta dan Mevin langsung berlari sekuat tenaga menuju ruangan Grace. Tiba di satu koridor, langkah Mevin terhalang brankar rumah sakit yang didorong beberapa perawat.

“Stop!” sebuah suara memekik membuat para perawat menghentikan laju mereka, Mevin menoleh, ada Jevin berlari dari sebelah kanan, dengan mata yang memerah dan basah.

“Itu … Grace …” Jevin berkata lirih saat sampai di hadapan Mevin. Ruang pikir Mevin seketika kosong, kakinya lemas, perlahan ia menoleh melihat raga yang sudah tertutup kain putih itu.

“Mevin, ikhlas …” Jevin merangkul pundak Mevin tapi Mevin tepis kasar, perlahan Mevin maju dan membuka kain putih itu. Benar saja, raga belahan jiwanya ada disana, dengan mata tertutup dan wajah yang memucat. Mevin seakan tidak percaya, Mevin mendekat.

“Mevin, yang kuat,” kata Jevin, suara itu memelan di telinga Mevin namun Mevin masih disana, perlahan ia berlutut, memeluk erat raga istrinya itu. Tenggorokan Mevin terasa tercekat. Bibir Mevin kelu dan ia sulit bernapas. Dunianya seakan runtuh. Tak ada celah keheningan, yang ada tangisan Mevin langsung histeris dan semakin menjadi saat melihat Letta datang menggendong Miracle dari arah seberang.

“Grace!! Bangun!” Mevin meraung dalam tangisnya. Ia terus terisak, tangannya mengguncang pelan tubuh wanita itu yang tidak akan membalas dengan respon apapun itu. Jevin menarik tubuh Mevin menjauh.

“Mevin! Mevin!” Jevin menarik tubuh Mevin menjauh.

“Grace nggak boleh pergi! Ayo pulang, sayang! Ayo pulang! Aku sama Miracle ada disini!” Mevin meraih tangan istrinya itu yang sudah dingin, beberapa kali Jevin coba tenangkan tapi Mevin memberontak dan menjambak rambutnya. Jevin tidak bisa berkata apa-apa air mata akhirnya tumpah kala itu melihat kenyataan hari ini. Beberapa kali Mevin hendak mendekat dan meraih tubuh istrinya lagi namun Jevin menahannya hingga tubuh Mevin melemas, luruh di lantai bersandar di pelukan Jevin, ia memeluk dan mencengkeram baju Jevin dengan erat, meraung dalam tangis sejadinya di sana. Tidak pernah ada yang tahu, tidak pernah ada yang menyangka dan tidak ada seorangpun yang mampu menyingkap tabir kehidupan mendahului Tuhan, Sang Empunya seluruh kehidupan kita. Mungkin hari ini adalah sebenar-benarnya hari dimana Mevin harus membungkus pilu secara bersamaan dalam hatinya. Tangisan Mevin seakan bisa dirasakan Miracle saat itu, karena saat itu juga Miracle menangis di pelukan Letta, tepat saat brankar rumah sakit itu kembali didorong oleh para perawat dan perlahan meninggalkan Mevin yang masih menangis di sana.

“Grace!!!!” Mevin menjerit dan membuka matanya, Miracle yang tidur di sebelahnya masih terjaga dalam lelap dan tenang.. Mevin atur napasnya, peluh bercucuran di wajahnya, ia usap, menetralkan napasnya akibat mimpi buruk yang baru saja ia alami. Bahkan tanpa terasa, matanya basah, mengeluarkan air mata, ada kelegaan di dalam hati Mevin karena mendapati semuanya hanya mimpi, tapi secuil lara juga menilik dalam hatinya karena kerinduannya yang mendalam terhadap istrinya itu. Ia kembali merebahkan tubuhnya, menatap lekat buah hatinya yang tertidur di sebelahnya, Mevin kembali peluk dan kecup kening anaknya itu sebelum kembali memejamkan mata.

Berbicara perihal kehidupan, banyak hal yang mengiringi perjalanan setiap orang. Banyak hal yang sudah direncanakan harus gagal begitu saja, banyak juga hal yang tidak pernah kita rencanakan malah terlaksana diluar kendali kita. Malam ini, Mevin masih meratapi hal yang tidak pernah ia bayangkan yang terjadi kepada keluarga kecilnya. Grace terbaring koma karena mengalami kecelakaan saat mengurus resign dari Rumah Sakit. Mevin tengah menggendong Miracle, putra pertamanya dan Grace, Mevin berdiri di depan ruang ICU. Bayi mungil berusia enam bulan itu tertidur pulas di gendongan Mevin. Sementara Grace juga terpejam di dalam ruangan rawatnya.

Belum sadarkan diri dan juga belum tunjukkan tanda-tanda membaik. Samar-samar Mevin mengingat bagaimana kebahagiaan keluarga kecilnya beberapa waktu lalu. Kehadiran Miracle sangat membawa bahagia untuknya dan Grace, terlebih juga saat Miracle lahir banyak kejadian diluar dugaan yang harus terjadi. Memang, di kehidupan kita kadang kita butuh waktu untuk sendiri dan berkawan sepi, tapi untuk saat ini Mevin tidak bisa. Sebab, jauh di lubuk hatinya, ia membutuhkan Grace, Miracle membutuhkan sosok ibu. Grace berjanji akan memberikan ASI eksklusif untuk anak mereka karena Grace ingin yang terbaik, tapi sekarang malah hal lain menimpa Grace.

Yang menyeruak di sana hanyalah rasa pedih. Mevin pun duduk di bangku panjang, menunggu kedatangan Mamanya untuk menjemput Miracle. Mevin membiarkan Miracle tinggal bersama kedua orang tuanya untuk sementara karena Mevin juga masih harus bekerja. Ia kalang kabut, cemas saat meninggalkan Miracle tapi juga belum bisa tenang mengingat keadaan Grace. Perihal perkara rumah tangga yang memicu perpecahan, jauh, Mevin tidak sebrengsek itu untuk menyakiti atau mendua. Tapi, ujian rumah tangga Mevin dan Grace lebih cenderung ke hal-hal yang sulit diprediksi. Terlalu banyak insiden yang terjadi.

Akhirnya setelah lama menunggu, Mevin melihat kedua orang tuanya datang. Lea dan Jeremy berjalan cepat dan langsung menghampiri Mevin.

“Mama!” kata Mevin menyambut kedatangan Mamanya itu, Lea langsung mencium kening Mevin dan meraih Miracle untuk ia gendong. Jeremy memeluk Mevin sejenak juga, menanyakan keadaannya.

“Gimana? Kamu mau disini? Miracle biar tidur di rumah papa mama?” tanya Jeremy.

“Iya, sekalian besok kerja. Nggak papa, kan? Mevin titip Miracle, ya, Pa. Ini tasnya semua perlengkapan dan susu, segala macemnya ada disini.” Mevin mengambil tas yang berisi perlengkapan anaknya itu lalu menyerahkannya kepada Jeremy.

“Iya, yang kuat ya, Grace pasti sembuh.” Jeremy meraih tas itu dan mengelus punggung Mevin sejenak.

“Makasih, Pa. Makasih, Ma.” Mevin usahakan senyuman terbaik untuk kedua orang tuanya itu. Maka berpamitanlah kedua orang tua Mevin itu dari sana membawa Miracle bersama mereka dan meninggalkan Mevin di sana. Mevin kembali mendekat ke jendela kaca dimana ia bisa melihat Grace di sana.

“Grace, janji sembuh, ya?” tak disangka, air mata Mevin menetes begitu saja saat selarik kalimat penuh pilu itu ia ucapkan lirih.

YEMIMA JOSEPHINE

Seorang wanita bernama Yemima Josephine, yang kerap disapa Yemima itu pernah menyukai senyum simpul yang Mevin miliki. Bahkan ia sempat hampir memiliki dan menjadi ratu di hati sang tuan. Hanya hampir, tidak pernah terlaksana. Debar-debar yang Yemima rasakan kala itu hanya sementara, begitu juga dengan Mevin. Keduanya sempat dekat selama ada di bangku kuliah. Tapi kedekatan itu tidak berlangsung lama. Sangat dekat tapi tidak pernah bersatu, begitulah mereka saat itu. Lalu keduanya dipertemukan lagi di Indonesia. Beberapa tahun lalu saat Mevin mengalami kelumpuhan sementara, Yemima lah yang menjadi dokter dan yang menangani fisioterapi yang Mevin lakukan. Tapi rasa diantara Yemima dan Mevin benar-benar sudah hilang. Benar-benar tidak ada lagi, hanya sebagai rekan kerja secara profesional.

Hari ini, Yemima berjanji untuk bertemu Mevin di suatu café. Keduanya sudah membuat janji untuk bertemu, Yemima memang yang memintanya. Yemima tidak memberitahu terlebih dahulu kepada Mevin apa tujuannya mengajak Mevin bertemu. Siang itu, Yemima menunggu Mevin sembari menikmati segelas macchiato dan toast. Yang ditunggu datang, Mevin yang baru saja usai melakukan visit pasien datang menghampiri Yemima. Saat Yemima melihat kedatangan Mevin, Yemima sedikit melambaikan tangan agar Mevin melihatnya, benar saja Mevin langsung menghampiri wanita itu.

“Hey, sorry kalau lama,” kata Mevin.

“Enggak, santai aja, habis ini nggak ada acara, kan?” tanya Yemima, Mevin menggeleng.

“Nggak ada, cuma mau jemput Miracle di rumah Papa sama Mamaku. Ada apa?” tanya Mevin lagi.

“Aku pindah tugas, dan aku bakalan pindah dari Rumah Sakit ini, tapi aku masih nunggu sampai anakku libur semester. Gimana keadaan Grace?”

Mevin menyandarkan tubuhnya di kursi lalu menghela napas sejenak, “belum ada kemajuan,” tuturnya lesu.

“Aku aja pusing banget, nggak bisa selalu repotin Papa sama Mama. Banyak hal yang harus mereka urus juga, udah semingguan ini Mama nggak urus beauty barnya, terus Mama juga kayaknya lagi sakit, namanya orang tua, takut nular juga ke Miracle.” Mevin melanjutkan kalimatnya.

“Vin, kalau Miracle aku jagain dulu kalau Mama kamu nggak bisa, gimana? Anakku kan sekolah, kalau Mama kamu lagi nggak bisa jagain, aku bisa kok. Selagi aku masih disini,” ucap Yemima.

“Jangan, aku nggak mau repotin kamu.”

“Kamu lebih repot, Mevin. Beneran deh, aku juga nggak ada kerjaan, kan? Anak aku juga masih kelas satu, dia pasti seneng juga kalau ada temennya di rumah, ya walaupun sebentar aja sih, ada suster yang anter jemput anakku kadang, atau bisa juga nanti suster jaga Miracle, aku yang jemput anakku.” Yemima masih memberi penawaran, tapi Yemima benar-benar tulus melakukannya. Mevin nampak berpikir sejenak, setelah berunding lama akhirnya Mevin mengiyakan apa kata Yemima. Yang Mevin tahu, sejak kuliah dulu, Yemima memang perempuan yang baik. Untuk masa lalu yang sudah lewat biarlah itu jadi kenangan masa lalu, untuk kebaikan yang Yemima tawarkan saat ini, biarlah Tuhan yang membalas kebaikan hati Yemima.