awnyaii

Hari ini, Lea dan Jeremy menyusul Letta ke rumah sakit, sudah beberapa hari ini Letta menjaga Jevin di rumah sakit meski belum kunjung sadar. Lea dan Jeremy pun datang dan melihat keadaan Letta pun sangat jelas bahwa Letta tidak baik-baik saja. Wajahnya sedikit pucat, matanya berkantung, tubuhnya sangat lemas. Jadi hari ini, Lea mengajak Letta pulang ke rumahnya dan membiarkan Jeremy yang berjaga di sana untuk malam ini.

“Letta pulang ke rumah Mama dulu, ya? Tidur di rumah Mama, besok kesini lagi, sekarang biar Papa Jeremy yang disini. Oke, nak?” kata Lea sambil merangkul Letta yang masih berdiri di depan pintu memandangi Jevin dari kejauhan.

“Mau jagain Jevin, Ma ...”

“Nanti kamu sakit, Jevin lagi sakit, jangan sampai Letta sakit juga, ya? Pulang ke rumah Mama sebentar, besok kesini lagi, Mama janji.” Lea meyakinkan menantunya lagi.

“Biar Papa yang disini, ya? Letta pulang sama Mama, biar Mama yang nyetir. Letta istirahat.” Jeremy yang mendekat ke sana juga menambahkan kalimat yang berharap bisa membuat Letta luluh. Akhirnya Letta mengangguk, Letta memandangi kedua mertuanya itu sesaat, bergantian mengucapkan terima kasih kepada Jeremy dan Lea. Akhirnya malam itu Letta menurut untuk pulang ke rumah mertuanya.

Selama di dalam mobil, Lea fokus menyetir sesekali menoleh menatap Letta yang tertunduk dan juga menatap ke luar jendela.

“Letta, udah makan? Mau beli makan dulu?” tanya Lea.

“Udah, Ma. Nggak usah, langsung pulang aja nggak papa,” balasnya.

“Semua bakalan baik-baik aja, jangan putus doain Jevin juga Grace, ya?”

“Ma ...”

“Ya?”

“Semua lagi nggak baik-baik aja, ya?”

Lea memelankan laju mobilnya, ia tangkap sinyal kesedihan mendalam dari sorot mata Letta.

“Jevin belum sadar, Grace juga pasti Grace trauma banget, Letta nggak bisa bayangin gimana jadi Grace ... kenapa Papanya tega? Tapi Letta juga nggak sekuat itu ngadepin ini semua, Ma.” Kalimat Letta membuat Lea meraih pundak Letta dan mengusapnya pelan sebelum kembali memegang kemudi mobil.

“Mama disini, ada Papa, ada Lauren sama Willy juga, kita semua ada buat Letta.”

“Ma, Letta divonis bisa jadi nggak punya anak kata dokter, beberapa hari sebelum semua kejadian ini.” Kata-kata Letta membuat Lea menepikan mobilnya sigap, Lea langsung menoleh menatap Letta yang kini tertunduk.

“Letta, lihat Mama.” Suara Lea tidak diindahkan Letta karena Letta kini menangis sambil mengusap air matanya sendiri.

“Letta!”

Maka Letta menatap Mama mertuanya itu, matanya merah dan basah, hidung Letta memerah, pipinya sudah basah. Lea berdesir nyeri melihat raut wajah menantunya itu, Lea pun membingkai pipi Letta lalu mengucapkan kalimat dengan penekanan, “Letta kenapa?”

“Kista, Ma... harus operasi, dan Letta nggak mau kalau Jevin belum sehat, susah buat terima kenyataan kalau akan susah punya anak, tapi lebih susah lagi terima kenyataan keadaan Jevin yang kayak gini. Sakit, Ma ... sakit ...” Dari cara Letta berbicara sudah jelas terdengar nada putus asa, alunan elegi dibubuhi rasa sakit mendalam tak terelakkan. Tak ada yang bisa Lea ucapkan lagi kecuali memeluk menantunya itu.

Memeluk Letta erat membiarkan Letta menangis di pelukan Lea. Sungguh semuanya sangat pelik dan menyakitkan bagi keluarga Adrian. Mungkinkah semua keadaan akan membaik? Butuh waktu lama? Atau dalam waktu dekat? Atau tidak akan membaik sama sekali? Yang Letta rasakan hanya hancur, remuk, tapi di dalam hatinya, panjatan doa dan permintaan kepada Tuhan agar semua keadaan kembali membaik tak henti disampaikan Letta. Dalam setiap pejam dan lipatan tangan Letta terpanjat doa dengan segala ketulusan untuk Jevin dan Grace juga untuk kesehatannya.

—-

another day…

Letta yang biasa memastikan keadaan Jevin aman di rumah bahkan di dekapannya kini harus mendapati Jevin terbaring lemah sudah beberapa hari. Letta mendapati pengalaman yang tidak biasa. Tidak ada perkembangan yang Jevin tunjukkan selama ini. Tidak ada kemajuan kondisi yang Jevin tunjukkan. Seringkali Letta menangis ketika ia menunggui suaminya itu, tanpa diketahui siapapun. Hancur hatinya, remuk perasaannya, pria hebat yang ia tahu kini terkulai lemah tak sadarkan diri. Segala doa terbaik ia panjatkan untuk kesembuhan Jevin. Kadang Letta juga tak henti mengajak Jevin berkomunikasi sepihak, Letta tak lelah dan tak lengah.

Senja kali ini rasanya damai sekali, seperti damainya Letta terlelap saat menjagai Jevin. Namun senjanya selalu terasa gelap selama Letta mendapati keadaan Jevin yang belum kunjung sadar. Saat itu Letta terbangun setelah lama waktu berlalu Letta tertidur disana, membenamkan wajah di sebelah tangan Jevin. Letta terbangun karena mendengar alat pendeteksi detak jantung yang berbunyi, dilihatnya angka yang menunjukkan denyut jantung Jevin menunjukkan angka yang semakin kecil dimana detak jantung Jevin melemah. Hal itu membuat Letta mengerjap dan mendongakkan kepalanya. Dadanya terasa sesak dilanda kepanikan, Letta langsung mendekat kepada Jevin dan menggoyangkan tubuh Jevin dengan sedikit terisak, di pelupuk mata Letta sudah mengantre butiran kristal yang sudah tertahan hendak mengalir.

“Sayang, kamu kenapa? Jevin!” kata Letta dengan suara parau. Setelah itu, dengan secepat kilat Letta pun langsung memencet bel. Saat beberapa perawat dan dokter datang ke ruangan itu, Letta dipaksa untuk menunggu di luar, Letta memberontak namun disaat yang bersamaan, Lea datang, Lea panik dan langsung menarik Letta agar membiarkan dokter yang hendak menangani Jevin masuk.

“Letta! Letta, kenapa, nak?!” cegah Lea sambil menahan lengan Letta. Lea bersandar di tembok lalu jatuh terduduk sambil melipat kakinya, mengepalkan tangan sambil memukuli lututnya sendiri, menangis disana.

“Jevin, Ma ... Jevin nggak boleh pergi! Jevinn! Jevin nggak boleh pergii!!!” Letta histeris dan memukul kepalanya sendiri.

“Sst, nggak ada yang akan pergi, Jevin nggak akan pergi!” Lea memeluk menantunya itu, Letta menangis sejadinya.

Saat dokter dan perawat keluar dari ruangan Jevin dirawat, Lea langsung menghampiri dokter tersebut. “Keluarga pasien Jevin?” tanya sang dokter.

“Saya Mamanya, ini istrinya,” kata Lea sambil satu tangannya merangkul Letta, dan satu tangannya lagi mengusap lengan Letta untuk menyalurkan ketenangan.

“Kondisi detak jantung pasien melemah, tapi ada satu hal yang harus diketahui... mungkin setelah sadar Jevin akan banyak mengalami keluhan menyakitkan seperti, hilang kesadaran, hilang kendali otot yang bisa mengakibatkan gangguan pada saraf saat bergerak, sakit kepala berkepanjangan, hal-hal lain yang mungkin akan dialami Jevin nantinya harap langsung dikonsultasikan kepada dokter. Namun kita semua berusaha semaksimal mungkin dan jangan pernah berhenti berdoa.” kata-kata sang dokter terangkai menyiratkan duka mendalam. Mimpi buruk apa yang baru saja Letta alami? Saat itu juga Letta dan Lea terdiam saat sang dokter berlalu. Letta tersenyum pedih di hadapan Lea namun sedetik kemudian Letta berjalan beberapa langkah membelakangi Lea, hingga Letta terjatuh terduduk di lantai tiba-tiba, Letta tertunduk dan menjerit sambil memukuli dadanya sendiri. Lea langsung berjalan secepat kilat dan berlutut memeluk Letta mencoba menenangkan Letta.

“Jevin! Jevinnn!” tangis Letta sambil memukuli dadanya, Lea mencoba menahan lengan Letta agar menghentikan apa yang dilakukan menantunya itu tapi Letta beberapa kali memberontak. Hingga akhirnya Lea sedikit mencengkeram pergelangan tangan Letta dan membawanya menatap matanya.

“Letta jangan kayak gini, Nak. Jangan ...” ucap Lea memohon masih mencoba menenangkan Letta, perlahan genggamannya terlepas, Letta hanya bisa terisak dan punggungnya masih bergetar hebat. Semuanya terjadi bak mimpi buruk sekarang untuknya. Sakit di bagian perutnya ia tahan lagi, rasa sakit itu datang berkali lipat jauh lebih sakit dari sebelumnya. Letta menatap ruang Jevin dirawat sekejap, lalu menatap Lea lagi, “Ma, Letta nggak kuat ... Tuhan lihat Letta sekarang, kan? Tuhan lihat Jevin yang tadi ada di ambang kepergian, kan? Tuhan lihat juga vonis yang dokter kasih ke Letta kan, Ma?” Lea melipat bibirnya yang bergetar sambil mengangguk dan mengusap pipi Letta yang basah oleh air mata, “apa Letta bakalan kuat. Ma?” Lea tertunduk sejenak terisak juga di hadapan menantunya itu, lalu ia paksakan senyum di wajahnya dan berkata kepada Letta, “Tuhan tahu, Tuhan lihat Letta dan Jevin, bahkan saat ini Tuhan ada dan lihat kita, Nak. Kuat, pasti Letta kuat, ada Mama, Papa, Ci Lauren sama Ko Willy, kita manusia hanya bisa berusaha untuk yang terbaik.” Sosok Mama mertua Letta itu kini membelai rambut Letta dan merapikannya, menyingkapkannya agar tidak menghalangi paras ayu Letta. “Untuk setiap hal ada waktunya, waktu untuk kita nangis, waktu dapet cobaan, waktu untuk senyum, waktu untuk berjuang, waktu untuk menikmati sukacita, juga waktu untuk menuai setiap hal baik yang udah kita tabur. Letta anak baik, Tuhan nggak tutup mata sama ketegaran hati Letta, Mama yakin itu.” Sebuah untai senyum menyejukkan menghunus hati Letta, bagaimana ada sosok ibu sekuat ini? Setegar ini? Pada saat itu juga, ada alasan untuk Letta jadi lebih kuat dan tangguh dari sebelumnya, saat itu juga Letta paham, meski diberikan banyak rasa sakit, akan ada orang-orang yang Tuhan kirim untuk bersama menanggung luka, meski tak sebanyak luka yang kita dapat, tapi mereka lah yang tulus sepenuh hati, dan akan menemani kita sampai akhir nanti.

Malam ini, Letta masih berada di rumah sakit, Grace dipindahkan ke ruang rawat dan Jevin masih ada di ruang ICU, keduanya sama-sama belum sadarkan diri. Hanya ada Letta yang menunggui Jevin di ruang tunggu ruang ICU. Maka sembari menunggu Grace sadar, Mevin berjalan menghampiri Letta yang ada di sana. Saat Mevin tiba di depan ruang ICU, ia melihat Letta yang berdiri dari luar ruangan sambil memandangi Jevin yang masih tergeletak memejamkan matanya.

Mevin berjalan mendekat dan menepuk pundak Letta. Wanita itu tidak berkutik, ia tahu itu Mevin. Jemari Letta menempel di kaca ruang ICU ia bisa melihat Jevin terbaring tidak sadarkan diri disana.

“Jevin belum bangun, Mev,” kata Letta dengan suara parau.

“Maafin aku.” Mendengar penuturan Mevin itu Letta membawa pandangannya serta matanya yang basah untuk menatap Mevin.

It isn’t your fault, both of you already did the right thing and choose the right way.”

“Aku nggak nyangka Jevin bakalan nyusul Grace. Letta, aku―”

Belum usai Mevin dengan kalimatnya, Letta memotongnya, “kamu nggak salah, yang perlu kamu tahu, kamu ataupun Jevin sama-sama saudara yang baik untuk satu sama lain.”

Mevin mengernyitkan dahinya menatap Letta bingung, “aku nemu ini di mobil Jevin,” kata Letta sambil menyerahkan dua lembar foto polaroid milik Jevin yang memang ada di dashboard mobilnya. Mevin menerimanya, menatapnya dengan seksama.

“Ada tulisan dibaliknya,” kata Letta. Mevin pun membacanya dengan seksama. Bola matanya bergerak mengikuti setiap kalimat yang tertulis di sana.

Dari Jevin This photo took when we were in high school. Dimana saat itu gue iri irinya sama Mevin, he is smart and can get a lot of attention from our family. Sedangkan gue cuma bisa berantem, bikin mama dipanggil BK, ngerokok, balapan, having sex before marriage, and then gue jatuh sejatuh-jatuhnya. Gue adalah anak paling bodoh yang melakukan itu semua secara sadar. Gue sadar, haha But then, I find my turning point and it's really broke my heart into a pieces. Mama nangis, Papa nangis, even Cici sama Mevin juga. Semua nangis dalam satu waktu saat gue ngaku semua dosa yang gue lakuin diem diem. Sakit banget hancurin empat hati orang di rumah secara bersamaan. Tindakan apalagi kalau bukan tindakan bodoh gue kebongkar? Papa diemin gue untuk waktu yang lama, Mama Lea selalu reach out gue setiap saat tapi gue aja yang nggak tau diri. Mevin, Ci Lauren juga selalu nanya ke gue tapi gue yang menutup diri. Gue takut sama Papa, gue malu sama keluarga. Gue malu sama Mevin, gue malu sama Mevin karena banyak hal. Dia bisa bersyukur dan jalanin hidup dengan sewajarnya bahkan dengan keadaan yang saat itu belum pernah ketemu orang tua kandungnya belum pernah ketemu papanya. Gue yang dilahirkan dari rahim Mama Lea dan dengan keluarga utuh nggak bisa menghargai hidup yang Tuhan kasih. How stupid I am. Sekarang gue sadar, Mevin hatinya besar, lihat gue sama Letta bahagia dia nggak dendam. Gue tau, I know exactly rasanya, bayangin aja dia sama Letta pacaran dan putus karena LDR. Mevin harus putus dan ngalah karena jarak. Diem diem dia udah nyiapin undangan tunangan, dan Letta nggak tau. Nggak ada yang tau sampai akhirnya gue yang nemu undangan itu. Jauh hari setelah mereka putus. Hancur nggak hati lo kalau di posisi gue? Gue lebih dari hancur. Ada nggak yang lebih jahat dari gue? Rumah sepi tanpa Mevin, setelah Mevin ikut Papa Jo nya di Aussie, Mama Lea sakit, Cici nangis, Papa juga. Mama sakit nggak cuma sehari, bahkan ada di ambang kepergian. Gue mulai paham kenapa Mevin dikirim Tuhan di tengah-tengah keluarga Adrian. Because he safe our family, he is the source of our happiness, gue nggak pernah nggak nyebut Mevin kembaran gue. Dia tetap kembaran gue sampai kapanpun, persetan orang mau ngomong apa tentang gue sama Mevin. Sekarang Mevin udah nemu dermaganya, Grace. Gue bisa lihat dari sorot mata mereka. Nggak bisa bohong, mereka butuh satu sama lain. Mereka melengkapi satu sama lain, mereka digariskan untuk hidup bersama. Mereka bukan bersatu karena hobi yang sama, tapi luka yang sama. I can see how deep Mevin loves her, jauh melebihi apapun. They are soulmate for each other. That's why gue mau bayar semua yang udah Mevin lakuin ke gue. I'll make sure that Grace is in a good condition sampai ketemu Mevin. Kali ini Mevin harus bahagia, dia berhak dan dia yang paling berhak bahagia. I'll do my best as much as I can, so, dear God please protect Grace and Mevin especially Grace for now. I want them to life happily ever after, their life full of joy, I want the best for them.

Gue janji bakalan bawa Grace ke pelukan Mevin lagi. I'll do my best for my twin bro. Gue mau Mevin bahagia sama Grace. Gue mau dia bahagia, karena selama ini kebahagiaannya udah gue renggut. Kata maaf mungkin nggak akan cukup. Tapi gue selalu berdoa buat dia setiap hari bahkan gue kadang malu kepergok nangis sama Mama Lea waktu berdoa buat dia. Selama dia di Aussie dan udah putus sama Letta gue merasa jadi bajingan banget. Saudara kembar macem apa gue ini? Disebut saudara nggak pantas. Kayaknya gue bahagia ya? Big no. Setiap saat hati gue hancur dan penyesalan itu datang. Kaca di kamar nggak tau udah berapa kali ganti karena ulah tangan gue yang nggak tau harus nyalurin emosi dimana.

Mama Lea told me, “Jevin, berdamai sama diri kamu. Percuma kamu maaf maafan sama Mevin kalau kamu nggak bisa menerima diri kamu. Penerimaan akan keadaan yang utama itu dari diri kamu.”

Gue mulai menerima keadaan dan mulai melakukan apapun dari awal. Gue mulai berdamai sama diri sendiri. Gue lihat Mevin juga udah mulai move on dan fokus ke karirnya. I thanks God for this, dari situ gue lihat sisi lain Mevin yang kuat. Gue malu sama diri gue sendiri, sampai sekarang bahkan detik ini nggak pernah sekalipun gue lupa sebut nama Mevin dalam doa. Ya, semua keluarga gue doain tapi khusus Mevin gue punya permintaan special buat Tuhan. Gue mau yang terbaik, paling baik dari yang terbaik buat Mevin. Tanpa luka, tanpa air mata, tanpa kehilangan. Jangan lagi, jangan ada yang hilang dan pergi. Semua harus bahagia sampai akhir. Buat Mevin kalau lo baca ini, maaf gue jadi kembaran yang nyusahin, nggak becus, nggak guna, kerjanya cuma renggut kebahagiaan lo aja. Gue pernah nyakitin lo secara langsung dan nggak langsung, perdebatan paling besar antara kita waktu SMA inget kan? Waktu itu gue dengan brengseknya ungkit masalah lo bukan anak kandung Papa sama Mama. Gue akui itu kesalahan terbodoh dalam hidup gue. Tapi waktu gue minta maaf lo dengan lapang dan ikhlas peluk gue, said that everything is fine. Hati lo bener bener kaya hati Mama Lea dan Mama kandung lo. You deserve all those blessings! Mevin, biarin gue tebus semuanya ya dengan apapun yang gue bisa, dengan apapun yang gue mampu selama hidup gue.

Semoga lo baca surat ini suatu saat, waktu nggak ada gue. Sorry bro, gue masih terlalu gengsi kalau lo tahu gue nulis beginian haha Anjir kan? Emang anjir gue tuh, but really. You are the best brother, and bestfriend in this world! Geli nggak lo gue bilang gini? Tapi serius, mau lo percaya apa enggak salah satu anugerah dalam hidup gue ya bisa jadi saudara lo. Semoga lo baca ini dan gue lagi nggak disana. Thanks, haha. Elleandru Jevino Adrian

Usai membaca tulisan yang ada di balik foto-foto itu, Mevin pun menyandarkan tubuhnya ke tembok dan perlahan luruh ke lantai, Mevin melipat lututnya dan melipat kedua lengannya lalu membenamkan wajahnya.

“Mevin, aku tahu Jevin punya banyak kesalahan di masa lalu ke kamu, tapi kalian sama-sama butuh satu sama lain, tetep doain Jevin ya? Aku juga nggak berhenti berdoa buat Grace, biar Grace cepet pulih lagi, aku tahu Grace sama kamu saling mencintai, cinta Grace ke kamu bahkan lebih besar daripada aku dulu. Kalian saling melengkapi, kalian butuh satu sama lain. Mevin kita jangan pernah putus berdoa sama Tuhan, ya? Believe in miracle? Semua yang terjadi udah kehendak yang kuasa, kamu pernah bilang kita cuma lakon di skenario kehidupan ini, kan?” Tangan Letta sudah bergerak mengelus punggung Mevin yang bergetar.

Namun Mevin tidak menghiraukannya. Tangisan Mevin perlahan terdengar lagi, kini Letta membungkam mulutnya dengan telapak tangannya, bibirnya bergetar, seketika tubuhnya juga bergetar terisak bukan main melihat Mevin menangis dan sesekali menoleh melihat Jevin. Andai saja Jevin sekarang bisa membuka mata, pasti Jevin dan Mevin saling memeluk sebagai dua saudara yang memang saling mendukung dan membutuhkan.

“I believe that God will show the miracle for Jevin and Grace, dan aku percaya cinta Jevin ke kamu juga jauh lebih besar. Yang kuat, ya?” jawab Mevin sambil perlahan mendongakkan kepalanya menatap Letta. Maka Letta mengangguk dan memberikan senyuman mengiyakan perkataan Mevin. Keduanya pun bangkit berdiri, Mevin membantu Letta berdiri, tapi saat Letta meraih tangan Mevin, ia merintih lagi, rasa sakit di perutnya datang lagi.

“Lett, kenapa?” tanya Mevin, Letta hanya memejam dan merintih, Mevin juga membantu Letta untuk duduk di kursi. Letta langsung bersandar di kursi dan memegangi perutnya.

“Lett, jangan bohong, kenapa?” tanya Mevin sekali lagi. Letta perlahan mengatur napasnya, ia memandang Mevin di sebelahnya.

“Aku divonis kista, rasa sakitnya dan semua gejalanya suka datang tiba-tiba. Perut bagian bawah aku sakit banget, udah ada rencana operasi tapi sekarang keadaan lagi kayak gini. Aku nggak mau operasi sebelum Jevin sehat ...”

“Lett, udah parah? Sejak kapan?”

Letta tersenyum pasrah, “udah, aku udah di tahap divonis bakalan susah punya anak, Mev. Aku bener-bener nggak tahu lagi, Jevin dan Grace lagi kayak gini, aku sendiri juga nggak baik-baik aja, semua lagi nggak baik-baik aja, Mevin ...” Letta tertunduk, membenamkan wajahnya di telapak tangannya. Hati Mevin juga berdesir nyeri, Mevin raih punggung Letta lalu ia usap perlahan, isakan Letta semakin keras tapi Mevin tak henti berikan usapan di punggung Letta sambil berkata, “kuat ya ... kuat ... jangan lupa berserah sama Tuhan.”

Mendapat kabar dari Mevin, semua anggota keluarga yang ada langsung menuju ke Rumah sakit. Sesampainya Lea di rumah sakit bersama Letta, menantunya, bersamaan dengan Lauren yang juga baru sampai.

“Mama, Letta!” pekik Lauren yang membuat Letta dan Lea berhenti sejenak dan berbalik badan.

“Lauren!” balas Lea, Lauren melihat Letta yang sudah menangis, matanya merah dan wajahnya pucat.

“Jevin, Ci.. Jevin..” ucap Letta dengan suara bergetar. Maka Lauren merangkul adik iparnya itu lalu berjalan bersama Lea dan Letta dengan langkah cepat. Saat melewati koridor rumah sakit, beberapa tenaga medis mendorong brankar dan diikuti beberapa dokter.

“Jevin!” Letta menjerit saat melihat tubuh suaminya ada di sana, dengan darah dimana-mana dan mata yang terpejam. Lea merasa jantungnya berdegup sangat cepat, dadanya sesak, ia pernah mengalami ini disaat Jeremy kecelakaan beberapa tahun lalu. Letta langsung berlari menyusul para tenaga medis itu diikuti Lauren. Sedangkan Lea mematung di tempat, ia melihat tubuh anaknya yang berlumur darah di depan matanya. Pandangan Lea mulai kabur karena terhalang air mata yang mengantre hendak keluar dari pelupuk matanya.

Tangannya gemetar, kakinya lemas, ia berjalan dengan langkah gontai menuju IGD. Letta menangis histeris disana, meraung saat pintu ruang IGD ditutup dan Letta ditarik paksa oleh Lauren.

Letta tersungkur di lantai rumah sakit dan Lauren memeluknya, menyandarkan tubuh Letta di pelukannya, “Jevin! Jevin! JEVINNNN!” teriak Letta diatas tangisnya, tangannya terulur seakan hendak membuka pintu yang ditutup itu, namun Lauren memeluknya dan coba menenangkannya.

“Biar ditangani dulu Jevinnya, okay?” Lauren coba menenangkan Letta. Sesekali Letta memberontak, tapi akhirnya Letta luruh juga dalam pelukan kakak iparnya itu.

Lea berjalan lagi dengan langkah beratnya, sampai di sana ia tidak sanggup mendekat ke arah Letta dan Lauren, menyadari Lea yang hanya berdiri berjarak beberapa meter darinya, Lauren melihat mamanya sudah menangis, duduk di bangku panjang sambil membenamkan wajahnya di telapak tangannya. Sungguh, hati semua orang hancur hari ini.

Tiba-tiba suara riuh gemuruh beberapa orang terdengar lagi. Lea, Lauren dan Letta menoleh dan menepi saat sebuah brankar kembali melewati mereka, kali ini Grace disana. Dengan luka di beberapa bagian yang mengeluarkan darah, wajah pucat dan mata yang memejam.

Lauren pun membawa Letta untuk duduk di bangku yang ada, Lea menoleh melihat tiga orang pria yang ia kenal berada tak jauh darinya. Lea berjalan mendekat saat mendengar suara tangisan anak lelakinya, Mevin. Mevin memberontak berkali-kali saat Willy dan Jeremy mencoba menahannya. Bahkan, Mevin menghantam tembok rumah sakit dengan kepalan tangannya yang langsung dicegah oleh Jeremy.

“Mevin!” Pekik Jeremy saat anaknya melakukan hal itu. Jeremy dibantu Willy mencoba menarik tubuh Mevin, di sana, Mevin sudah menangis, memekik nama Grace berulang kali. Keadaan sangat kacau dan mencekam.

“Mevin! Jangan kaya gitu, nak!” Bentak Jeremy dengan nada tinggi sambil mencengkeram kedua bahu Mevin. Sejenak Mevin tatap ayahnya itu, “Jevin sama Grace kaya gitu, gara-gara Mevin telat dateng, kan, Pa?” katanya dengan tawa pedih diatas air mata.

“Bukan salah kamu!” balas Jeremy.

“Kita udah usaha yang terbaik, jangan nyalahin diri lo, nggak akan mengubah keadaan, fokus dulu sama Grace dan Jevin. Oke?” Willy menepuk-nepuk punggung Mevin guna menenangkan.

Jeremy menatap Mevin dan memberi anggukan, hingga akhirnya pandangan Mevin tertuju kepada Lea yang mendekat.

“Mama...” Mevin bergumam lirih, ia gigit bibirnya menahan tangis yang sebenarnya percuma karena air mata sudah membasahi pipinya, Jeremy menyingkir, membiarkan Lea memeluk anak lelakinya itu. Mevin langsung menghempaskan dirinya ke dalam pelukan Lea dan menangis disana. Tidak peduli pipi atau baju Lea menjadi terkena percikan darah dari tubuh Mevin, ia dekap Mevin dengan hangat.

Keduanya menangis, Lea dan Mevin. Jeremy bersandar di tembok dan memejamkan mata, ia membungkukkan badannya mencoba mengatur napasnya. Willy langsung menyusul Lauren yang masih menenangkan Letta.

“Semua salah Mevin, semua gara-gara Mevin, Ma,” kata Mevin yang masih menangis di pelukan Lea.

“Bukan salah Mevin, sayang, bukan.”

“Jevin, Grace, harusnya Mevin aja yang disana gantiin tempat mereka.” suara Mevin bertambah berat. Ia membenamkan wajahnya di ceruk leher mamanya, Lea tidak bisa menahan tangisnya, Lea juga meledak dalam tangisan.

“Ci, Jevin sama Grace bakalan baik baik aja, kan?” kata Letta sambil menggenggam tangan Lauren.

“Iya, Jevin bakalan baik baik aja. Berdoa ya, berdoa buat mereka berdua.”

Letta malah tertunduk dan secepat mungkin Lauren memeluk adik iparnya itu. Raungan semakin keras, Letta merasa hancur berkeping-keping.

“Ci… aku kista, harus operasi, ada kemungkinan susah punya anak, sekarang malah Jevin yang kayak gini, kenapa semua bertubi-tubi? Sakit ci … sakit …” kalimat Letta itu membuat Lauren kaget bukan main.

“Let, kamu kista? Sejak kapan? Letta …” Lauren merenggangkan pelukan, mencengkeram kedua pundak adik iparnya itu, Letta masih menangis dan hanya mengangguk. Tak ada jawaban lagi, yang terpenting sekarang adalah keselamatan Jevin dan Grace. Letta hancur luruh seluruhnya, tak bisa berkata-kata lagi selain berdoa di dalam hatinya untuk menyelamatkan suaminya dan Grace.

Sesampainya di kediaman mereka, usai Jevin menjemput Letta di studio. Jevin menunggu istrinya itu mandi Jevin pun berjalan dan duduk di kursi piano yang ada di rumahnya itu, menghela napas lalu jarinya mulai menari di tuts piano yang ada disana, kini alunan nada merdu menggema di sana. Sebuah instrumen yang Jevin mainkan, menusuk rungu Letta yang baru saja usai membasuh tubuhnya. Akhirnya dengan langkah gontai, ia hanya mengenakan bathrobe, karena mendengar instrumen piano, Letta keluar dari kamarnya. Benar saja, ia melihat Jevin disana tengah memainkan pianonya.

Dengan langkah perlahan ia hampiri sang tuan dan duduk di sebelah Jevin. Pria itu menoleh mengecup pipi Letta lalu melanjutkan lagi instrumennya, nada teduh namun terdengar manis di telinga. Membuat siapa saja yang mendengarnya hanyut dalam setiap irama. Sampai pada penghabisannya, Jevin hanya beradu tatap dengan Letta saja.

Such a sweet and great instrument,” kata Letta sambil tersenyum diiringi kagum tak berkesudahan. Iramanya sudah habis tapi hangatnya masih tersisa di jantung Letta. Membuat degup yang tidak biasa. Sebenarnya ada satu hal yang Letta sembunyikan, ada suatu hal yang sebenarnya Letta tahan untuk katakan. Karena pasti akan menyakitkan dan membuat khawatir bagi Jevin. Pada senyuman indah paras Jevin, Letta tenggelam.

I want to give you this,” balas Jevin lalu meraih sebuah benda di sebelahnya, setangkai bunga mawar putih untuk sang puan. Letta membelalak kaget dan tangannya bergerak menerima bunga itu perlahan.

In a sudden?” tanya Letta.

Yas, haha. Enggak sih, tadi kan udah jawab pertanyaan teka teki aku haha, yang candi borobudur itu,” balas Jevin.

“Jevin?”

“Ya?”

“Jevin, I love you so much,” kata Letta dengan nada lesu. Sedikit aneh rasa hati Letta, hingga kerutan dahi hiasi wajah Letta.

Don’t take it too much, I just want to tell you what’s inside my heart.

Keduanya sempat hening karena Letta masih larut dalam kekagumannya akan setangkai bunga mawar itu.

“Ke balkon yuk?” tanya Letta menawarkan, maka Jevin mengangguk lalu menuruti ajakan sang puan. Letta menaruh bunga mawar tadi diatas piano, keduanya berjalan menuju balkon kediaman mereka itu. Mungkin Jevin ingin teriakkan betapa ia mencintai sang puan, mungkin juga Jevin ingin teriakkan betapa ia ingin Letta untuk tinggal bersamanya selamanya. Maka saat hening melanda, Jevin tautkan jari mereka dengan sengaja. Membuat sang pemilik raga saling menatap satu sama lain.

“Jevin―”

You okay? Kalau ada apa-apa ngomong, aku lihat kamu beberapa kali suka bengong sendirian. Kamu tuh punya suami, jangan dipendem sendiri,” balas Jevin dengan nada memohon walaupun awalnya ia tidak percaya diri.

Ada harap yang dititipkan dalam setiap ruas jari yang bertaut diantara mereka, tak ada sanggahan dari sang puan, Letta balas genggaman itu erat. Jevin kaget, dadanya berdebar tapi ia berusaha kontrol dirinya.

Letta tidak membalas ucapan Jevin, ia hanya menaruh kepalanya di dada bidang Jevin sehingga debar dada Jevin bisa ia dengar.

“Kenapa deg-degan?” tanya Letta lagi dengan tangan yang perlahan melingkar di perut Jevin.

“Nggak tahu, rasanya beda, aku kayak sedih aja, tapi bukan karena aku ... kayak aku ngerasa ada sesuatu sama kamu tapi kamu bilang kamu baik-baik aja.” Jevin membalas pelukan itu dan mendaratkan kecupan di puncak kepala Letta untuk beberapa detik. Kemudian Jevin di selimuti oleh hampir seluruh memorinya bersama Letta. Tiba-tiba Letta mendongakkan kepala yang membuat keduanya saling bertatapan.

Jevin menyalurkan perasaan lewat usapan halus dari jempol yang kini mengusap pipi Letta, keduanya masih rasa nyaman dalam sebuah rengkuh yang sudah lama tidak mereka bagi berdua. Mata keduanya masih bertaut, Jevin menatap dengan tatapan yang sendu, sama dengan sang juwita.

Kemudian tautan tatapan itu membawa birai Jevin yang berlabuh pada birai Letta saat itu juga. Letta tinggalkan segala ketakutan, satukan pagut dengan sang adam, tapi ditengah pagutan mesranya, Letta melepaskan pagutan tiba-tiba. Letta langsung memegangi perutnya dan membungkuk kesakitan.

“Arghh... sakit ...” rintih Letta. Jevin langsung sigap memegangi tangan dan tubuh Letta.

“Sayang, kamu kenapa? Letta?”

“Perut aku sakit, sakit banget ... ...” Letta hampir ambruk tapi Jevin sigap menahan, Jevin langsung membopong tubuh istrinya itu lalu ia bawa dan tidurkan di tempat tidur mereka. Jevin mengambilkan secangkir minuman hangat dan juga beberapa obat yang ada di kotak obat.

“Minum anget dulu, atau mau minum obat? Yang mana sayang obat kamu?” tanya Jevin panik, Letta yang sudah terbaring hanya meringkuk memegangi perutnya dan menggeleng.

“Enggak, bentar, sakit banget.” Sudah jelas Letta tahu kenapa ia merasa sakit, tapi Jevin masih bermukim dalam ketidaktahuannya karena Letta yang belum mengatakan yang sebenarnya kepada Jevin. Akhirnya Jevin menaruh semua yang ia bawa, ia berlutut di lantai dan mengusap lembut pipi istrinya itu, satu tangannya digenggam Letta untuk menahan rasa sakit. Satu tangan Jevin bergantian mengusap perut dan lengan Letta.

“Lett, ke rumah sakit, yuk? Aku gantiin baju ya. Aku takut kamu kenapa-kenapa ...” kata Jevin. Letta sudah tidak ada tenaga untuk menjawab, akhirnya Jevin menggantikan baju istrinya itu lalu membopong Letta lagi ke dalam mobil dan mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi.

Sepanjang jalan, Jevin kadang genggam tangan istrinya yang semakin dingin. Letta sesekali masih merintih kesakitan, hingga saat berhenti di lampu merah genggaman tangan Letta terlepas, Jevin menoleh, wajah Letta sudah pucat dan mata Letta memejam.

“Letta!”  

Bagaimana mendefinisikan cinta bagi sebagian orang? Membawa keadaan yang baik atau kurang baik? Sejatinya, dalam segala keadaan, baik ataupun kurang baik, sehat maupun sakit, cinta itu tetap ada di sana. Diuji keberadaannya, apakah dalam sebuah hubungan masih dilandasi rasa cinta atau hanya bertahan sebentar saja? Sejak menikah, Letta dan Jevin memang tinggal di satu rumah. Namun, atmosfer mungkin terasa berbeda bagi mereka. Letta sebagai istri merasakan bahwa Jevin memanglah orang yang sedikit dingin. Pernikahan mereka memang dilandasi cinta karena keduanya sudah menjalin hubungan lulus kuliah.

Tapi, apapun keadaannya, Jevin ingin menjadi barisan sajak puisi yang Letta senandungkan. Karena ia sadar bahwa Letta lah yang mampu menerjemahkan keseluruhan dari isi kepalanya yang rumit bak hutan belantara, terlebih jika mengingat masa lalu yang mungkin bagi sebagian orang nyaris mustahil untuk mendapatkan toleransi, tapi Letta terima Jevin dengan segala kondisinya.

Selama ini Letta adalah seseorang yang menunggu Jevin dengan tangan terbuka dan menawarkan sebuah dekap. Sedangkan Jevin kadang terlalu gengsi untuk mengungkapkan perasaannya terhadap wanita yang sudah ia pilih untuk menjadi istrinya. Sedingin-dinginnya Jevin, tetaplah ia pemenang perjuangan untuk mendapatkan seorang Letta. Membangun kepercayaan itu tidak mudah, terlebih Jevin adalah mantan kekasih mendiang sahabat Letta, dan Jevin juga saudara kembar mantan kekasih Letta. Mevin, saudara kembar Jevin sudah berpisah dengan Letta jauh sebelum Jevin harus menghadapi kepergian mantan kekasihnya, Eve. Tapi semua itu berproses, butuh waktu bertahun-tahun bagi Jevin untuk bisa merasakan cinta itu hadir ditengahnya dan Letta. Bukan tanpa alasan, dalam kondisi apapun Letta dan Jevin saling menguatkan dan saling mengajarkan banyak hal bagi satu sama lain. Tidak ada yang bisa membuat Jevin merasa hidup lagi seperti Letta dan sebaliknya. Luka sama sama ditutup, digantikan tangan yang saling berpegangan untuk berjalan bersama.

Usia sembilan belas tahun, Jevin harus ditinggalkan Eve untuk selamanya karena kecelakaan yang merenggut nyawa Eve. Hingga lulus kuliah, dan pada usia dua puluh empat Jevin dan Letta terikat di satu hubungan yang keduanya jalin berdua. Pada usia Jevin yang ke dua puluh delapan, Jevin memutuskan meminang Letta dan mengikat Letta dalam hubungan pernikahan.

Beberapa kali Letta menyinggung perihal memiliki momongan namun Jevin selalu menghindar dan mengalihkan pembicaraan. Setiap kali Letta bertanya “Kenapa? Kamu enggak cinta sama aku atau karena apa?” yang Letta dapatkan hanyalah pelukan dari Jevin. Sungguh hanya pelukan tanpa penjelasan. Kadang hal itu juga yang mengganggu pikiran Letta, namun sebisa mungkin ia tepis jauh-jauh. Sebagai suami istri, memang keduanya juga berusaha, tapi mungkin belum saatnya. Selalu belum berhasil dan itu kadang membuat Letta berkecil hati. Tapi Jevin selalu datang lagi dengan pelukan dan kata-kata menenangkan.

Suatu malam pukul delapan malam...

Letta sedang menyiapkan makan malam dan menuangkan minuman hangat ke cangkir, ditatanya dengan begitu rapi makanan yang ada yang sudah ia masak. “Jevin pasti suka,” gumamnya. Tak lama Jevin yang baru saja selesai membasuh dirinya itu pun menuruni tangga dengan celana pendek, dan kaos polos berwarna hitam. Jevin menuruni tangga dengan semangat saat melihat Letta tengah sibuk di meja makan. Sebuah senyum merekah di wajah Jevin ia menghentikan langkahnya sejenak di tangga untuk melihat sang puan yang dengan telaten menyiapkan makan malam.

Tanpa bahasa, dengan langakah mengendap, tangan Jevin melingkar memeluk Letta dari belakang. Jevin mengecup pipi istrinya itu beberapa kali. Letta terkikik sedikit geli lalu berbalik badan memeluk pinggang Jevin.

Are you tired?” tanya Letta sambil sedikit mendongak menatap Jevin yang lebih tinggi darinya itu.

Yas, and I just want to hug my wife, can I?” Jevin tersenyum tipis. Gentian Letta yang mencubit hidung Jevin.

Can I ask you something?” tanya Jevin mendadak.

Of course, what’s that? Sama duduk, yuk?” Jevin menggeleng, “Enggak usah, mau nanya sebentar, gini aja dulu. I just want to see your face closer right now.”

“Apa?” tanya Letta lagi sambil tersenyum.

“Aku terlalu dingin ya selama ini jadi suami? Enggak ada hal romantis yang aku lakuin buat kamu ya? Like another couple, like a husband and wife usually did, I never give something that special things for you, iya, kan?”

“Jevin, kenapa tiba-tiba nanya gitu? Duduk yuk, makan malam dulu.” Letta terlihat sedikit kikuk lalu melonggarkan rengkuh, ia menarik lengan Jevin agar duduk bersama namun Jevin tidak bergerak, ia membeku di tempatnya membuat Letta berbalik badan. Tangan gagah Jevin dengan lihai menarik Letta lagi hingga tidak ada jarak diantara mereka. Tangan kanan Jevin bertengger pada tengkuk leher Letta dan tangan kirinya bertengger di pinggang Letta, dikikisnya jarak antara ia dan istrinya itu.

Meski Letta sempat merasakan degup jantungnya lebih hebat dari biasanya dan menelan ludahnya dengan susah payah tapi tangan Letta perlahan memeluk Jevin. “No matter how cold you are, babe. You’re still my husband, cara kamu nunjukin kalau kamu sayang sama aku juga pasti nggak akan sama seperti kebanyakan orang, kan?” kata Letta dengan nada lembutnya. Sebenarnya ada satu hal yang sangat Jevin sesali, ia masih ingin Letta menunda memiliki buah hati, bukan karena apa tapi kesiapan setiap orang berbeda. Sudah hampir satu tahun dalam naungan pernikahan tapi belum juga diberi momongan. Bukan karena tidak bisa, tapi Jevin masih takut.

Kadang keraguan tidak hanya hadir dari sisi wanitanya saja dalam hal memiliki momongan, tapi juga bisa dari sisi pria atau suami. Kesiapan mental dan batin juga perlu.

“Kamu udah pengen punya baby ya?” tanya Jevin dengan lemas.

“I―Iya.” Letta menjawab dengan sedikit terbata.

“Jujur, mungkin enggak masuk akal, tapi selama kehamilan, aku mau aku selalu ada buat kamu. Sekarang, aku masih harus kerja ke sana sini dan banyak project di luar kota. Aku enggak mau ninggalin kamu untuk waktu yang lama. Aku enggak tega harus ninggalin kamu misal kamu lagi ngerasain morning sickness, atau ada sesuatu yang sakit, perlu bantuan jalan, aku mau ada di samping kamu. Selalu. Aku juga udah janji sama orang tua kamu dan orang tuaku bakalan jaga anak kamu, kondisi hamil itu rentan dan butuh banyak pengawasan. Maafin aku, sayang.”

Mendengar penuturan sang tuan, Letta tersenyum haru, matanya sedikit terasa panas karena selama ini jika menyangkut tentang memiliki anak, jawaban yang keluar dari mulut Jevin ternyata sepenuhnya memikirkan kebaikannya.

Senyuman Letta bawa Jevin sedikit heran, “Kenapa cuma senyum?” tanya Jevin bingung.

“Bahkan jawaban kamu udah buktiin kalau kamu lebih hangat dan sweet daripada banyak pria di luaran sana yang memaksa istrinya hamil tanpa memperhatikan istri mereka. Setakut itu, ya, sayang? Makasih ya udah mau kuatir dan mikir jangka panjang. Kalau kita sudah sama-sama siap, nanti pasti ada jalannya, ya?” kata Letta yang sangat menenangkan hati Jevin.

Jevin tersenyum haru sambil menarik Letta mendekat kepadanya. Letta membelai pelan pipi Jevin. Tanpa aba-aba Jevin pun melumat bibir Letta, tanpa penolakan Letta membalasnya mesra. Kedua tangan Jevin menangkup pipi Letta menekannya pelan memperdalam ciumannya. Letta mengalungkan tangannya di leher Jevin. “I love you,” bisik Jevin dalam cumbuan mesra malam itu. Pada isyarat lenguhan Letta setelahnya, Jevin tahu ada sebuah perasaan yang merekah, maka Jevin pun menggendong tubuh istrinya itu tanpa melepas pagutan dan membawanya ke sofa ruang tamu yang cukup besar. Membaringkan sang puan di sana dan mengukung tubuh Letta di bawah kuasanya, keduanya saling menatap sejenak..

Cup! Cup! Cup! Tiga kali kecupan singkat didaratkan Jevin di bibir Letta. Keduanya saling menatap dan melemparkan senyuman, saling membalas perasaan karena tanya Letta sudah terjawab. Jevin adalah suami terhebatnya. “Wanna have some wine after dinner?” tanya Letta, Jevin mengangguk tanpa ragu.

But let me eat you first,” Jevin menyeringai dan hendak menyambar bibir Letta lagi, tapi Letta tahan bibir Jevin dengan jari telunjuknya.

“Makan dulu, butuh tenaga, kan? Haha,” kekeh Letta lalu diikuti kekehan Jevin. Akhirnya Jevin hanya melayangkan kecupan lama di dahi Letta dan di kedua pipi Letta bergantian di sisi kanan dan kiri.

Aku mengendarai motorku diantara riuh hujan dan gemuruh petir dibawah langit senja, di persimpangan ini aku berhenti, berteduh dibawah naungan bangunan kosong dimana ada beberapa orang berteduh juga bersamaku. Kepulan asap aku keluarkan dari mulutku yang menghisap pod sebelum sejenak langsung hilang di antara dinginnya udara sore itu. Untuk sesaat aku tercekat, seseorang mengambil pod yang kuhisap, membantingnya ke tanah.

Aku geram, wajahnya tidak bisa ku lihat dengan jelas, seorang wanita menarikku. Ia menarikku jauh dari kebisingan tepi jalan, menyebrang hiruk pikuk yang ramai. Digenggamnya tanganku melalui kendaraan yang berlalu lalang, tanpa menoleh. Aku pun tidak mengeluarkan kata apapun.

Wanita ini terus menarikku menuju sebuah hamparan rumput luas, sampai di sana ia berbalik badan, tersenyum, memberikan senyum terbaiknya dan membelai rambutku perlahan.

“Stop kayak gitu, Mevin. Mama enggak suka lihat Mevin merokok atau sejenisnya, ya?” Dia―malaikat yang paling baik dalam rupa seorang Mama, sosok yang melahirkanku.

“Mama?” Aku mendekat ke arahnya, ia merentangkan tangannya membuka lengan lebar-lebar. Ini bukan Mama Lea, bukan.

“Mevin butuh peluk, nak? Sini peluk Mama Petra.” Ucapannya tidak sempat aku jawab karena aku langsung merubuhkan pertahananku di pelukannya, aku menangis sejadinya. Aku menangis keras-keras, tidak peduli dengan apapun, persetan bagi siapapun yang berkata seorang pria tidak boleh menangis. Bagiku ini manusiawi.

“Jaga diri, jangan lakuin sesuatu yang menyakiti dan merugikan diri kamu sendiri. Kejar bahagia Mevin, keluarga Adrian sayang sama Mevin.” Ucapan mama diiringi usapan lembut di punggungku. Mama juga mengecup pipi dan dahiku berulang kali.

“Terima kasih juga Mevin sama Papa Jovian udah akur, terima kasih Mevin udah mau mengampuni, bukan hanya sekedar memaafkan. Terima kasih anak Mama sudah jadi pribadi yang jauh lebih baik, Mama bangga sama Mevin. Anak Mama, Elleandru Mevinio Adrian. Anak lelaki mama satu satunya yang sudah tumbuh dewasa dan dipaksa dewasa oleh keadaan, yang tidak membalas apapun kesakitan yang ia terima selama hidup. Anak Mama hebat.” Mama merenggangkan pelukan setelah mengucapkannya. Aku tidak bisa membendung air mata sialan ini, aku terlihat rapuh di depan Mama, aku terlihat hancur―aku sungguh hancur. Seperti ini rasanya dipeluk sosok yang melahirkan kita?

“Boleh Mevin ikut Mama Petra?” tanyaku, tangan Mama menyentuh pipiku lembut.

“Mevin mau?”

Aku mengangguk setuju sambil menyeka air mataku. Mama tersenyum.

“Belum saatnya sayang, belum. Mevin harus sembuh dan bikin bangga Papa Jovian, Mama Lea sama Papa Jeremy.”

“Tapi Mevin butuh Mama.”

“Belum saatnya, Nak.” Aku tertunduk lesu, Mama menyentuh tanganku, diusapnya lenganku pelan, lalu diusapnya kepalaku juga perlahan.

“Mama pergi dulu, udah cukup lihat Mevin. Udah jadi penawar kangen Mama. Mevin lanjutin hidup dengan baik, ya?” Aku menggeleng cepat, menahan pergelangan tangan Mama agar tetap ada di pipiku. Mama tersenyum lagi, Mama mengangguk pelan. Aku kehabisan kata-kata, aku meraung dalam tangis lagi.

“Maa!!” Perlahan bayangan sosok Mama pudar, perlahan Mama tidak bisa lagi aku lihat. “Ma! Mama! Jangan pergi! Mama Petra! Mama!” teriakanku bahkan membuat leherku tercekat.

Mevin membuka matanya, napasnya tersengal-sengal, Mevin menyadari ia ada di rumah sakit sekarang. Air matanya lolos dari ekor matanya. Mevin mengatur napasnya lalu memejamkan matanya.

“Mevin bakalan inget pesan Mama.” Mevin bergumam dalam hati. Jeremy yang tidur di sofa yang tak jauh dari Mevin terbangun dan langsung menghampiri anaknya itu.

“Mevin? Kenapa, nak? Mevin kenapa?” tanya Jeremy panik yang memegang kedua pundak Mevin. Anak lelaki itu memandang Jeremy dengan mata yang berkaca-kaca dan sekuat tenaga menahan bibirnya yang bergetar.

“Mevin kenapa?” tanya Jeremy sekali lagi.

“Mevin mimpi ketemu Mama Petra, Mevin mau ikut Mama Petra tapi kata Mama belum saatnya. Mama...” Mevin langsung pecah dalam tangis, hati Jeremy teriris bukan main, Jeremy pun langsung mendekap anaknya itu. Mevin pecah dalam tangis di pelukan Jeremy. Tak bisa bohong, mata Jeremy sudah basah oleh air mata, tapi ia dekap erat dan hangat anak lelakinya itu.

“Mevin!” suara pekikan itu membuat Mevin yang sedang hendak bangkit dari tempat tidurnya dan meraih infusnya pun terhenti.

“Mama? Papa?!” Mevin terkejut melihat kedua orang tua (angkat)nya di sana.

“Mevin kenapa nggak jujur sama Mama sama Papa?” kata Lea mendekati Mevin tapi berkata dengan penuh penekanan.

“Sayang..” bisik Jeremy lirih dan menarik tangan Lea agar lebih sabar.

“Ma..maafin Mevin ...” kata Mevin terbata-bata.

“Mevin kenapa, nak?” tanya Jeremy lirih.

Mevin tertunduk, tapi ketiganya terhentak dengan kedatangan seseorang, siapa lagi kalau bukan Jovian? Kini, Jovian ada di hadapan Lea, Jeremy dan Mevin.

“Kalau mau bawa Mevin nggak gini caranya, Jo! Aku tahu aku bukan Mama kandung Mevin dan kamu yang paling berhak atas Mevin, tapi bukan gini caranya pisahin aku sama Mevin!”

Tak bisa sanggah cercaan pertanyaan dari Lea, Jovian pun akhirnya akui keadaan yang sebenarnya.

“Mevin yang minta,” kata Jovian.

“Mevin minta Papa Jo buat nggak bilang sama Mama Lea sama Papa Jeremy. Maafin Mevin tapi Mevin cuma nggak mau jadi beban buat keluarga Adrian, Mevin udah ngerepotin terus, maaf ... Pa ...Ma...”

Lea mendekat ke arah anaknya itu, pundak Mevin diraih Lea dan Lea bawa Mevin ke dalam pelukannya. Perlahan Lea terisak di sana, mencium puncak kepala Mevin lalu memeluk anaknya itu tanpa berkata apapun, perlahan Lea merasakan Mevin memeluknya juga.

“Penyakit jantung bawaan, Petra dulu juga punya penyakit yang sama,” kata Jovian memecah hening.

Jeremy mendekat ke arah Jovian lalu merangkul Jovian, “makasih, Jo... makasih udah jagain Mevin,” kata Jeremy dengan berbesar hati. Jovian membalas tepukan di punggung Jeremy, “makasih udah jadi Papanya Mevin juga,” katanya. Dua orang pria dengan hati yang besar itu saling terharu memandang Mevin yang menangis di pelukan Lea.

Lar memang akhir-akhir ini gemar merasuk dalam hati Lea terlebih saat harus mengetahui kenyataan bahwa Mevin sakit. Air mata undang isakan mulai mengalun terdengar merebak riuh di ruangan rawat Mevin kala itu.

“Mevin jangan sakit ya, kalau sakit bilang ke Papa Jo, Papa Jeremy, Mama Lea, jangan dipendem aja, ya?” bisik Lea, di pelukan Lea ia bisa merasakan Mevin memeluknya dan mengangguk.

Lalu keduanya renggangkan pelukan, binar mata teduh yang tak pernah redup dari Lea dan Jeremy itu memandang Mevin dengan penuh kasih. Lea usap pipi Mevin yang basah oleh air mata. Belum sempat menghapus semua jejak air mata, terdengar suara beberapa orang datang ke ruanan itu.

“Adek!” “Mbar!” Kedua suara itu sungguh tidak asing bagi Mevin, maka ia menoleh benar saja ada Lauren dan Jevin di sana. Lea langsung berjalan mundur, Jovian, Jeremy dan Lea pun juga terkejut kedua anak itu bisa menyusul ke sana. Sampai di hadapan Mevin, kedua saudara Mevin itu langsung menghempaskan diri memeluk Mevin.

“Lo jangan diem aja kalau sakit,” kata Jevin.

“Dek.. ngomong kalau sakit jangan diem aja ... ngomong ke gue ...” tambah Lauren.

Suasana haru tumpah ruah di sana, keluarga Adrian selalu memberikan ketulusan di setiap pelukan dan ucapan mereka.

“Jer ... Lea ... didikan kalian yang terbaik, sekali lagi terima kasih.” Jovian mengakhiri kalimatnya dengan bibir yang bergetar dan ia lipat serta mata yang berkaca-kaca. Lea mengangguk, sementara Jeremy langsung memeluk Jovian.

Sungguh, Mevin bisa rasakan kasih sayang dan kehangatan keluarganya disaat senang, sedih, sehat maupun sakit. Semuanya berhati besar, semuanya tabah, semuanya memiliki rasa sayang yang sama untuk anak lelaki yang kehadiran dan kelahirannya sangat istimewa, Elleandru Mevinio Adrian. Bukti nyata keikhlasan, ketegaran, kasih Tuhan itu nyata baginya, bagi keluarganya. Meski harus ditinggalkan Jovian untuk bertahun-tahun, juga Petra yang harus pergi selamanya, semuanya Tuhan gantikan dengan sukacita dan berkat dari orang-orang yang Dia kirimkan untuk Mevin. Kasih sayang tak terhingga dari semua yang menyayangi Mevin.

Semua sayang Mevin <3

Cinta orang tua kepada anak bukanlah sesuatu yang menuntut timbal balik. Begitulah Jovian kepada Mevin. Juga Lea dan Jeremy kepada Lauren, Jevin dan Mevin. Juga meski Mevin bukan anak kandung Lea dan Jeremy, Jovian jalani hidupnya dengan penuh penyesalan dan akhirnya beranikan diri untuk menemui Mevin kala usia Mevin genap tujuh belas tahun.

Jovian datang dengan posisi sudah menikah lagi dengan seorang wanita bernama Auryn dan memiliki seorang puteri dari pernikahannya kali ini bernama Mikayla. Mungkin benar kata orang, sebutan Mantan istri dan Mantan Suami itu memang ada, tapi tidak dengan mantan anak ataupun mantan orang tua. Sejauh apapun dan selama Jovian pergi, saat ia kembali ia tetap ayah kandung Mevin. Meski butuh waktu belasan tahun untuk Jovian berani mengakui semuanya.

Jovian tidak lepas tanggung jawab, ia tetap memperhtikan tumbuh kembang Mevin dari sosial media milik Lea atau Jeremy. Mevin juga seorang anak lelaki yang tumbuh dengan baik juga berhati besar dan mau menerima kehadiran ayah kandungnya lagi. Bukan hal mudah bagi Mevin tapi Mevin tetaplah Mevin yang lahir dari seorang wanita yang hatinya dan sabarnya seluas samudera serta dibesarkan di keluarga Adrian yang mengajarkan banyak hal. Seperti kabar yang diterima Jovian hari ini bahwa Mevin pingsan saat di sekolah dan harus dilarikan ke rumah sakit.

Jovian pun langsung menuju ke Rumah Sakit kala itu. Saat Jovian sampai di sana, menemui Mevin di IGD. Di sana ada seorang teman Mevin bernama James dan homeroom Mevin. Setelah beberapa lama mengobrol dengan homeroom Mevin pun mereka berpisah di sana karena sang guru harus kembali ke sekolah. Sedangkan Jovian setuju untuk memilih rawat inap bagi Mevin. Setelah mengurus beberapa hal, Mevin dipindahkan ke ruang rawat inap, Jovian ada di sana, saat perawat sudah meninggalkan ruangan itu, Jovian mendekat ke arah Mevin. Sedangkan Mevin tak bereaksi apapun saat Jovian mengusap dahi Mevin lembut, karena Mevin memalingkan wajahnya Jovian meraih jemari tangan anaknya itu.

“Pa, jangan kasih tahu Mama Lea, Papa Jeremy, Cici sama Jevin.”

“Kenapa? Nanti Mevin dicariin.”

“Papa udah baca hasil observsi dan pemeriksaan?” tanya Mevin. Jovian menghela napas panjang, “iya, jantung bawaan dari Mama Petra, makanya itu Mevin gampang capek, dada sesak, keringat dingin sampai pingsan, Mevin juga sering ngerasa nyut-nyutan di jantung, kan? Mevin harus cek rutin, makanya sekarang rawat inap dulu aja karena tadi Mevin pingsan, ya?” Jovian menjelaskan.

Perkataan Jovian membawa Mevin menatapnya sendu, “Makanya jangan sampai keluarga Adrian tahu, Mevin nggak mau jadi beban.” Mevin seakan memohon lewat tatapan matanya dan tangan yang digenggam Jovian itu semakin erat.

“Iya, Papa nggak akan bilang kamu opname kali ini,” kata Jovian. Mevin tersenyum dan berterima kasih, tanpa air mata ataupun gerutu.

Untuk semua wanita yang membaca ini,

Terima kasih sudah membaca kisahku. Aku dan kamu adalah wanita dengan sejuta kisah kelam yang hanya akan membuatmu lelah jika terus kamu selam, diantara kita mungkin datang dari jutaan kisah kelam yang berbeda. Aku yakin, kita semua juga pecandu lara dalam setiap perpisahan yang kita hadapi di dunia ini. Percaya atau tidak lara dan duka seiringan menggiring dalam setiap musim kehidupan.

Terkadang tak ada tempat untuk merebahkan lelah untuk kita para wanita dengan sejuta angan yang sulit diwujudkan dan diungkapkan, bahkan hampir tidak ada seorangpun yang mampu menerjemahkan. Aku dan kamu juga adalah wanita dengan isi kepala yang sulit diterka, yang sering dihadapkan pada pilihan dalam kehidupan yang kadang kedua pilihan hanya membawa pada air mata namun harus kita ulaskan sebuah senyuman pada paras ayu kita. Sadarkah kalau kita semua ayu dengan cara kita masing-masing?

Wanita dengan gambar di tubuh mereka seperti aku, wanita yang selalu memegang puntung rokok setiap harinya, wanita yang bekerja membanting tulang, wanita yang harus melakoni peran sebagai ibu dan istri atau wanita yang harus melakoni peran sebagai seorang pasangan dan seorang anak, atau bahkan menjadi orang tua tunggal.

Peran yang beragam―alangkah indahnya jika kita satukan sebuah asa dalam sebuah genggam.

Pada senyumanmu akan berlabuh sorot mata teduh yang memandangmu penuh cinta dan akan menyambut dengan sebuah rengkuh. Pundak setegar karang itu berhak untuk mendapat tempat ternyaman, hati yang luas itu layak untuk mendapatkan sebuah dekap.

Luka bak hujan abadi akan sirna pada waktu yang sudah dijanjikan sang pemberi hidup ini. Cara aku dan kamu, kita para wanita mengambil sikap dan ketulusan atas setiap hal yang kita lakukan jauh melampaui materi dan apapun standar di dunia ini.

Kita pasti pernah ada di masa saat kita menjajaki kehidupan di dunia yang dipandang sebelah mata, menjajal setiap luka dalam perjalanan dimana memanusiakan manusia adalah dianggap sebagai suatu hal yang dikesampingkan―masa bodoh.

Aku adalah contoh nyata dimana aku tidak dimanusiakan saat aku mengalami kehancuran, dunia seakan runtuh dan tak ada peluk yang merengkuh. Lontaran kata-kata serta kalimat yang mematikan perasaan yang tercuat dari bibir manusia lain hanya menambah perasaan tak berguna bersarang dalam hati dan perasaan.

Jangankan untuk dimanusiakan, dipandang saja aku jarang merasakan. Kadang aku berpikir apa yang diharapkan dari wanita sepertiku? Cacian? Makian? Buruknya penilaian? Jangan bicara masa depan denganku kalau kamu masih menganggapku wanita rendahan karena tubuhku sudah direngkuh dan dijamah banyak pria.

Mungkin kalian juga mengalami hal yang sama, seberapa keras aku mencoba membela diri bahwa aku tidak pernah menjual diri tetap saja dipatahkan oleh argumen mereka yang membenciku.

Sebelum melangkahkan kaki setiap harinya ada ketakutan terbesar dalam diriku. Ada gelisah yang menembus hingga selalu hadir dalam sadar dan pejamku.

Aku tidak menuntut sebuah tingginya pengakuan dan sanjungan, sejatinya wanita juga berhak atas keadilan dan masa depan. Dunia semakin jahat dan perasaanku semakin dikikis dan dikeruk kenyataan mengenaskan, aku selalu menantikan seseorang yang bisa memanusiakan aku saat semua orang berlomba meniadakan aku. Ia yang sudi memeluk kala semua orang berlomba mengutuk.

Aku tidak butuh pengakuan, dianggap ada sudah lebih dari cukup. Setiap pribadi, aku dan kalian berhak memilih jalan hidup dan bagaimana cara kita menyikapi suatu hal. Disuap harap tanpa diberi dekap, diperkenalkan dengan mereka yang singgah dan meninggalkan luka. Untuk bermimpi pun seakan tak sanggup, tapi bukankah tak ada mimpi yang tidak berkesempatan untuk diwujudkan?

Terkadang perasaan iri itu hadir melihat mereka yang selalu mendapatkan peluk, kecup dan janji yang bertaut hingga suatu kebahagiaan. Mereka yang selalu mendapatkan kehangatan seakan disuguhkan cahaya bulan yang menuntun langkah menuju kebahagiaan yang tidak pernah aku dapatkan. Untuk kita semua yang masih berjuang merenda takdir, namun pada akhirnya harus berakhir pada kepulan asap kenangan karena cerita yang terenda terpaksa henti dan terbakar habis, percayalah bahwa senja akan selalu menghadirkan temaram namun esok ia akan datang lagi. Akan ada seseorang hadir menjadi yang terakhir. Aku ingin aku dan kamu, kita semua panjang umur supaya aku bisa melihat kamu mencapai segala hal yang kamu inginkan. Boleh aku melihat celah diantara lebam dan pilu hatimu? Aku ingin kamu tahu bahwa ada aku, jangan pernah merasa sendiri. setidaknya sediakan jalan setapak agar aku bisa datang merengkuh pilu hatimu sebelum membiru, sebagai sesama wanita yang ingin dimanusiakan. Sebagai seorang manusia yang mendamba kebahagiaan.

Mereka berkata aku jalang, mereka berkata aku pelacur, mereka bilang aku sampah. Mungkin diantara kalian ada yang merasakan sama, percayalah, sayang―membiarkan mereka tenggelam dalam spekulasi mereka sendiri itu menyenangkan. Mereka sibuk merendahkan sedangkan kita sibuk membuktikan dan melakukan apa yang tidak mereka ketahui kebenarannya.

Mereka hanya sibuk berdalih dengan kebenaran mereka sendiri tanpa mau tahu tentang kesalahan mereka, dan mereka belum sadar bagaimana mereka suatu saat akan mendapatkan balas akan segala hal yang mereka lakukan dan semua ucapan yang mereka lontarkan. Ditipu oleh segala kenyataan yang kita dambakan, dihancurkan oleh segala ekspektasi yang kita inginkan. Selama ini mungkin tawa yang kalian hadirkan hanyalah sandiwara menutupi luka dan beban bahkan aku tidak tahu kapan kalian benar-benar tertawa bahagia atau sekedar menutupi luka.

Mungkin bagi beberapa dari kita sering menangis sendiri saat semua orang dirumah tidak tahu menahu. Aku dan kamu, kita semua dengan semua beban yang kita tanggung masing-masing pribadi. Kuatmu dan tawamu bahagia untuk orang yang melihatmu.

Terima kasih sudah selalu menyediakan bahu untuk orang sekitarmu bersandar, terima kasih untuk telinga yang selalu mendengar segala keluh kesah disaat isi otakmu sudah tidak bisa lagi dijabarkan.

Terima kasih sudah mengesampingkan ego demi kebahagiaan orang sekitar. Lukamu jangan dipendam, temukan seseorang untuk berbagi tawa serta luka, tahun-tahun penuh luka akan terbayar dengan tawa dan bahagia, percaya kan? Beristirahatlah selagi kamu lelah, berjuang selagi kamu kuat, jangan pernah katakan aku menyerah.

Hidup ke depannya selalu menuntut lebih, sudah biasa kan dituntut untuk menjadi lebih? Terima kasih sudah ikhlas untuk segala sesuatu yang hilang dan pergi. Lelahmu akan terbayar dengan senyum orang terdekatmu.

Sesekali lepaskan tangismu, jangan ditahan dibalik bantal atau guling yang kamu peluk jangan menangis saat kamu menyalakan shower atau keran air saat kamu membasahi tubuhmu. Sebuah peluk dan telinga yang mau mendengar juga pantas kamu dapatkan.

Terima kasih sudah ikhlas saat hak dan kebahagiaanmu dirampas. Terima kasih sudah memaafkan dan mengampuni setiap mereka yang menyakiti. Terima kasih sudah membuat ilusi yang diimpikan orang tersayangmu menjadi nyata dan tetap merangkai mimpi yang belum sempat kamu wujudkan sendiri. Banyak yang tidak bisa diwakilkan dengan kata dan suara, sampaikan semuanya kepada sang kuasa untuk kalian semua agar selalu bahagia.

Aku dan kamu, kita semua adalah setiap pribadi dengan kesusahan serta kesulitannya masing-masing bukankah indah jika bisa saling menguatkan?  

Untuk setiap kisah yang harus berakhir dengan tidak bahagia kelak kita semua mengukir asa penuh cinta hingga akhir usia. Wanita dengan cara mereka menunjukkan isi kepala yang seluas semesta berhak bahagia dengan seseorang yang bisa menafsirkan setiap bahasanya.

Aku menjalani lakonku dalam sebuah kisah besar yang tersaji dimana di dalamnya aku bisa melawan orang-orang yang berlomba meniadakan aku dari dunia. Jangan pernah lupa akan siapapun yang menyakiti serta ucapan tajam yang mencuat dari birai banyak orang yang membenci. Mengampuni―jangan hanya memaafkan. Bisa aku berbangga hati untuk sekali? Aku lepas dari perbudakan orang-orang yang tidak mempunyai hati.

Beberapa kesedihan memang sejatinya kawan dalam mengarungi kehidupan sebelum dua manusia yang saling menjatuhkan hati sudi menjadi kawan sepenanggungan. Setelah bersepakat dalam dekap bersama. Aku tidak lagi merasa seperti sampah karena aku yakin hidup yang ku jalani sekarang akan menjadi anugerah. Setiap wanita berhak untuk dicintai dan mencintai. Terlepas dari apapun yang pernah terjadi.

Tak apa-apa untuk berjalan seorang, tak apa untuk berani berangan dan melawan mereka yang mencoba menghancurkan. Mencandu pilu dalam setiap langkah kehidupan, disakiti dan ditusuk berkali-kali bahkan pada akhirnya hanya akan membawa kita menghela napas karena terlalu banyak dan terlalu sering kita disakiti. Tak ada kehidupan tanpa kesedihan, namun ada kebahagiaan yang bisa diwujudkan lewat suatu perjuangan.

Kalau mereka berkata bahwa kamu adalah sampah, tolong dengarkan... aku menganggapmu anugerah.

Kalau mereka berkata kamu jalang, tolong dengarkan... aku menganggap kamu pemenang.

Kalau mereka berkata kamu lahir karena kesalahan, sekali lagi tolong dengarkan, kamu adalah sebenar benarnya bukti nyata seorang perempuan hebat yang bertahan!

Bertahanlah, paling tidak untuk dirimu sendiri. Sekali lagi aku katakan, tentang nilai diri seorang wanita, bukan karena standar kecantikan paras dan rupa. Tidak ditentukan oleh bagaimana cara mereka berpakaian. Namun, jauh melampaui itu semua―budi dan hati, serta terlepas dari segala latar belakang yang ada. Ketangguhan dan cara menjalani kehidupan serta menikmati proses jauh berarti melampaui segala dalih yang ada. Kehidupan ke depannya adalah sebuah misteri. Bahkan satu detik ke depan pun kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi, namun percayalah ada satu pribadi yang memegang kendali atas semua hal yang terjadi.

Mau bergandengan dengan wanita sepertiku? Mau mencurahkan semua perasaanmu? Mau untuk melangkah tanpa takut karena kita sepenanggungan? There will always be a goodness in every sadness I’ll be there for you supply all of your support need I’m grateful to know you Aku juga bukan sosok wanita sempurna, sejuta kegagalan dan ribuan luka yang bisa aku suguhkan. Namun akan tetap aku suguhkan jka itu menenangkanmu dan membuatmu tidak merasa sendiri lagi. Sekali lagi, terima kasih sudah hadir di dunia. Terima kasih sudah bertahan sampai sekarang, tidak ada kehidupan yang serupa dongeng. Kalau mau, kita tulis kehidupan dengan segala perjuangan yang sudah kita lakukan, ya?

With Love,

Cecilia Praise Elleanor

Pada sore hari menuju senja di hari ke tujuh bulan tujuh, langit dengan sorot sinar jingga menemani langkah kaki seorang lelaki yang menggenggam bouquet bunga berwarna putih, sosok seorang pria berjalan dengan langkah pasti menuju sebuah pusara di kompleks peristirahatan terakhir itu. Dwinetra Jevin kini menatap lamat-lamat pusara di depannya, ia merindukan iris legam coklat gelap milik sang puan yang namanya terukir disini. Bibir Jevin mulai bergetar, ia berkata lirih, “selamat ulang tahun, sayangku. Udah bahagia ya? Udah bisa denger aku kan? Selamat ulang tahun, Eve.”

Hati Jevin porak poranda saat menaruh bouquet bunga berwarna putih itu, bulan ini punya kesan tersendiri untuk Jevin. Bulan kelahiran sosok yang sudah mengubah kehidupannya yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, bulan lahirnya Eve, wanita yang sudah membuat hati Jevin sempat bermuara meski sesaat. Jevin mendongak menatap langit lalu memejamkan mata, lalu perlahan menunduk, punggungnya bergetar pelan tapi bulir air mata sudah membasahi pipinya. Sukmanya rindu, raganya ingin memeluk sang puan. Sedih tak berkesudahan harus dibalut dengan rasa ikhlas yang harus diadakan.

Jevin yang berlutut itu kini menunduk hingga dahinya menyentuh gundukan pusara itu, tangannya meremas rerumputan hijau yang tumbuh rapih di sana, “Eve ... eve ... pulang, pulang ...” nyatanya rasa sakit itu masih hinggap, tangan Jevin gemetar dan dingin seketika itu juga, tangisannya meraung, langit mendadak mendung seakan tahu jika Jevin menangis.

Karena sesungguhnya, kepergian Eve bersifat selamanya, bukan sementara. Memang mengundang lara dan duka, melupakan dan melepaskan tidak semudah itu. Jevin ikhlas atas kepergian Eve. Jevin tidak bisa menyangkal takdir, baik di bulan ini atau bulan yang lain teka teki kehidupan tidak pernah ada yang tahu. Kepergian, kedatangan, bahkan kelahiran.

Rintik hujan turun hingga semakin deras, sedangkan Jevin masih di sana tertunduk dan seakan memeluk pusara itu. Tak lagi Jevin rasakan dingin yang menusuk tulang, tidak Jevin rasakan bajunya dan tubuhnya yang kini basah kuyup. Tangisannya memang luntur oleh air hujan, tapi antrean air mata di pelupuk matanya terus mengalir. Kerinduan Jevin kini sudah membumbung tinggi meledak dalam tangisan. Dalam pejam tangisnya, baying Eve muncul jelas, bayangan saat ia memeluk Eve, bayangan saat ia dan Eve menyenandungkan lagu bersama di ruang recital, bayangan saat Jevin memeluk Eve kala ia menangis, bayangan saat Eve mengajarinya sign language.

Tak lama, Jevin rasakan air hujan tak lagi membasahi tubuhnya, ia mulai menegakkan posisinya dan mendongakkan kepalanya. Seorang wanita berdiri disana dengan paying yang ia gunakan untuk memayungi Jevin dan membiarkan tubuhnya diterpa hujan.

“Letta?” ucap Jevin, pandangannya mengikuti Letta yang juga akhirnya berlutut di sebelahnya serta membuang paying yang tadi ia pegang.

“Jangan nangis terus, nanti Eve sedih,” kata Letta sambil menepuk pundak Jevin.

“Gue kangen dia,” jawab Jevin.

“Gue juga,” kata Letta sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Di antara rintik hujan itu, Letta menaruh sebuah figura foto berukuran kecil di sebelah bouquet bunga yang Jevin bawa. Fotonya bersama Eve ada di sana.

Happy birthday, Eve.” Letta tersenyum tipis setelahnya.

“Gue juga sedih tapi gue tahu, bagian penting dari hidupnya ada di gue, hati Eve juga ada di gue, Jevin. Kalau nggak ada Eve saat itu mungkin gue nggak ada disini sekarang. Eve yang selalu ada saat gue sakit, entah fisik atau hati. Dia udah kayak keluarga buat gue. Gue nggak akan bisa bernapas hari ini kalau nggak karena Eve,” lanjut Letta hingga yang tersisa hanya tangisan penuh kerinduan dari dua orang itu yang kian menggema.

“Eve pernah bilang ke gue, kalau Kak Jevin yang dia kenal sama Kak Jevin masa SMA itu sama, hanya hatinya yang beda, Eve bangga sama perubahan lo, Eve mau lo lulus dari Bussiness School dengan predikat baik, jadi ketua choir yang baik, dan jadi Jevin yang Eve kenal terus. Eve sayang banget sama lo,” kata Letta yang membuat Jevin meraung lagi sambil terus memeluk pusara itu.

Letta hanya bisa melingkarkan tangannya di punggung Jevin dan mengelus punggung Jevin berulang kali. Tangisan Letta juga tak terhindarkan, hanya tanpa suara. Raga Eve sudah terpendam, tapi jiwa Eve akan hidup selamanya. Segala asa dan harap tidak akan tenggelam dimakan waktu, meski berteman kepedihan. Kepergian tanpa pamit dan pertanda memang menghadirkan luka mungkin sepanjang usia. Yang perlu dilakukan hanyalah ikhlas. Lagipula kematian dan kepergian selamanya tidak akan mengakhiri cinta yang Jevin dan Letta punya untuk Eve. Tidak akan pernah.

Tujuh Juli kala itu Genevieve Agatha Elizabeth lahir. Tujuh Juli yang lain, Eve jatuh cinta kepada sang tuan pemilik hati.

Tujuh Juli selanjutnya, Eve dan Jevin sudah saling memiliki.

Di tanggal dan bulan yang lain, Eve mendapatkan kembali kasih sayang dari Ayahnya yang tidak bisa menerima kehadirannya.

Tujuh Juli tahun yang lain, Eve merayakan ulang tahunnya bersama orang-orang kesayangannya.

Tujuh Juli yang lain, Eve sudah mewujudkan keinginannya untuk memiliki buku hasil tulisannya sendiri. Tujuh Juli hari yang lain, Eve berulang tahun lagi. Tidak akan pernah ada keriput di wajahnya, tidak akan pernah ada rambut putih di kepalanya, karena Eve kekal dalam keabadian.

— Tujuh Juli tahun selanjutnya—

Jevin dan Letta memang selalu mengunjungi pusara Eve di setiap tanggal ulang tahun Eve seperti hari ini. Usai mengunjungi makam Eve, Letta dan Jevin mampir sebentar di apartemen Letta. Dengan tanpa maksud apapun, Letta juga membuatkan Jevin minuman hangat agar pria yang bersamanya itu merasa sedikit tenang karena mengingat Jevin yang tadi menangis di pusara Eve.

“Gue jadi lemah banget gini, belum terbiasa. Terlalu takut sama perpisahan,” kata Jevin. Setiap kalimat yang terucap dari lisan Jevin seakan mengandung lara yang juga Letta bisa rasakan.

“Butuh waktu buat terbiasa dengan ketidakhadiran seseorang, Eve udah kayak keluarga buat gue,” balas Letta.

“Eve titip lo ke gue, kalau ada apa-apa, please let me know, ya?” Letta mengangguk dan tersenyum haru. Saat netra keduanya bersinggungan, maka keduanya mendayung jauh ke portal masa lalu.

“Waktu gue putus sama Mevin, Eve yang bawel ke gue tapi guenya aja ngeyel, ngedrunk nggak pakai aturan,” ucap Letta penuh sesal.

“Eve sayang sama lo bukan cuma sebagai sahabat tapi keluarga.”

Letta mengangguk, “I know, kalau saat itu Eve nggak jadi pendonor gue, mungkin saat ini gue yang udah nggak disini.”

Jevin menaruh gelasnya lalu meraih jemari Letta, “semua udah ada yang atur,” Jevin usap sesaat punggung tangan Letta lalu ia kembali menyesap minumannya lagi.

Tapi, saat Letta melihat ruas jari Jevin, ia merasa aneh karena terdapat beberapa luka dan bekas memar disana. Secepat kilat Letta menarik tangan Jevin dan ia amati, Jevin sempat hendak menarik beberapa kali lengannya tapi Letta menahannya.

“Lo pikir Eve seneng lihat lo kayak gini?!” kata Letta dengan penuh penekanan. Jevin terdiam hanya menelan ludah, seketika itu sejuta bayang kenangan lewat di pikiran Jevin. Bagaimana Eve selalu mengingatkan agar Jevin menjaga diri.

Jevin pun menghempaskan tangannya dari genggaman Letta, bangkit berdiri dan hendak beranjak keluar.

“Jevin!” pekik Letta yang menghentikan langkah Jevin. Pijakan langkah Jevin berhenti, disusul Letta yang menghampiri pria itu.

“Sorry,” kata Jevin dengan suara beratnya. “Don't ever hurt yourself, Vin... please ...”

“Tapi terlalu sakit! Semua beban pikiran nggak cuma tentang Eve, tapi keluarga dan semuanya lagi ngumpul jadi satu.” Jevin berkata dengan nyaring sambil berbalik badan.

“Lo pikir gue nggak kehilangan? Gue juga kehilangan, keluarga gue nggak peduli sama gue, malah Eve yang jadi keluarga buat gue. Setidaknya lo nggak usah bikin Eve sedih lihat kita yang masih dikasih kesempatan hidup ini, Jev. Perjalanan lo masih panjang, jangan pernah nyakitin diri sendiri!” Perjalanan berlalu menuju tahun kedua pasca kepergian Eve tapi sakitnya masih terasa di relung hati. Tidak ada yang tahu bagaimana kesedihan Jevin, kecuali Letta. Jevin cenderung tertutup di rumah. Maka saat itu Jevin luluh, Letta menarik lengan Jevin dan mengajaknya untuk duduk lagi, Letta mengambil kotak obat lalu mengobati luka di jemari Jevin itu.

“Mukul kaca? Besok mukul apa lagi?” tanya Letta yang seakan bisa tahu apa yang Jevin lakukan.

“Kok lo tahu?”

“Feeling,” balas Letta sambil masih fokus mengobati luka lecet di tangan Jevin. Memang tidak semudah itu berdamai dengan keadaan, setiap manusia butuh waktu yang berbeda untuk berdamai dengan masa lalu dan trauma serta perpisahan. Jevin sudah pernah dikecewakan oleh Stella, mantan kekasihnya yang juga dimana saat itu Jevin juga bersalah dan menghancurkan hati keluarganya atas apa yang ia lakukan. Saat ia menemukan sosok Eve, Jevin harus dihadapkan dengan perpisahan selamanya. Menuju tahun kedua kepergian Eve, Jevin hampir putus asa, entah ia akan temukan sosok pengganti Eve atau tidak. Saat Jevin menunduk, tanpa terasa air matanya jatuh lagi.

“Jev, nangis aja nggak papa, mending Eve lihat lo nangis daripada nyakitin diri sendiri.” Ucapan Letta seakan menghunus hati Jevin dan diri Jevin yang tidak bisa lagi membendung tangis, maka pecahlah tangisan Jevin di sana. Perlahan tertunduk dan terisak hebat, hingga Letta yang tidak tega coba untuk mengusap punggung Jevin, perlahan Jevin menyandarkan tubuhnya di pundak Letta, hati wanita mana yang tidak ikut sakit melihat seseorang menangis tersedu di depannya? Letta yang merasakan kehancuran itu pun merengkuh Jevin dan coba mengatur napasnya.

“Ikhlas, Jev, ikhlas ...” bisik Letta lirih.