blissfulqnew

Hi, hi!

First of all, I'd like to apologize for using my writing account to write this.. (MAAF YA ternyata lagi pada closereg buat bikin akun baru di wordsmith dan di writeas -3-)

And second, thank you for being honest with me. About the confession and everything that lies around it.

I'm just gonna make this one short, the rest should be talked between the two of us later on.

After reading your confession thoroughly, I found myself agreeing with the conclusion you made in there. Yes, I do think that I need more time for myself too before we jumped into another chapter of our stories. Hence, starting a prologue (together, with you) would be such a pleasure for me.

As what you've stated in your message, you need more time to get to know about me better. Thus, feel free to ask me about anything. I'm more than willing to share my stories with you (which I hope that it could goes both way).

There's no need to rush, anyway. You already know who got the key to my heart, right? c;

From Summer, To Autumn.

CW : Alcohol consumption.

Musim panas, setelah bel pulang sekolah berbunyi.

Chanhee melonggarkan ikatan dasi yang melingkar di kerah bajunya, berusaha mendapatkan sedikit kesejukkan serta membebaskan diri dari terkaman hawa panas yang menyengat.

Satu persatu teman kelasnya keluar dari dalam ruangan, hingga pada akhirnya hanya tersisa Chanhee sendirian yang masih setia menduduki bangkunya. Sesaat kemudian, Chanhee bangkit dari mejanya dan berjalan menuju jendela yang berada tepat di sampingnya. Netranya menatap lurus keluar, menyaksikan pemandangan puluhan murid berseragam sama dengannya yang sedang berteriak riuh rendah menyambut libur musim panas.

Hela napas meluncur keluar dari belah bibir tipisnya, Chanhee lantas memutar tubuhnya untuk kembali ke arah bangkunya; menyampirkan tas ransel di bahunya lalu meninggalkan ruang kelas.

Jikalau biasanya Chanhee langsung menuju rumahnya setiap pulang sekolah, kali ini sebuah bisikan kecil di dalam hatinya membuat Chanhee membelokkan langkahnya. Menjauhi jalan menuju rumah dan bergerak menuju sebuah bukit kecil yang terletak tak jauh dari sekolahnya itu.

Sembari memacu langkahnya, pikiran Chanhee melayang jauh menerobos angkasa. Bayangan dirinya yang akan dapat menikmati tidur siang ditemani semilir angin sejuk di bawah pohon rindang sungguh menggoda jiwanya.

Akan tetapi, alangkah terkejut dirinya ketika mendapati seorang remaja lelaki yang berbaring di bawah pohon yang biasa Chanhee tempati dahulu. Ya, sudah lama sejak kali terakhir Chanhee mengunjungi bukit kecilnya. Seingat Chanhee, musim semi 3 tahun yang lalu adalah kunjungan terbarunya ke bukit kecil ini.

Chanhee berdiri diam di tempatnya, menatap tajam pada sosok yang sudah mengambil alih tempat kesukaannya tanpa izin. Melihat sosok di hadapannya yang tak kunjung bergerak dan membuka matanya, Chanhee memposisikan dirinya untuk duduk di sebelah sosok tersebut. Jari telunjuknya bergerak untuk menusuk pinggang si manusia lainnya.

Buah manis bagi Chanhee, sosok di sebelahnya langsung membelalakkan matanya dan bergerak untuk duduk. Beberapa detik sosok itu habiskan untuk mengumpulkan nyawanya yang masih berserakan di alam mimpi, sebelum ia menoleh dan menatap ke arah Chanhee dengan ekspresi kesal bercampur bingung.

Ditatap seperti itu, Chanhee jadi kelabakan. Tapi di sisi lain, Chanhee juga masih kesal karena spot kesukaannya malah ditempati oleh yang lain.

“Apa liat-liat?” ujar Chanhee, galak.

Sosok di hadapan Chanhee terlihat semakin kesal.

“Kau duluan yang liat-liat. Kenapa? Naksir?” balasnya tak kalah sewot.

Balasan yang Chanhee dapatkan lantas membuatnya mengerutkan wajahnya.

Orang di depannya ini kenapa sih? Kenapa malah Chanhee yang dikira naksir sama dia?

Entah mendapat keberanian dari mana, Chanhee menoyor kepala si lawan bicara- membuatnya sedikit terhuyung ke belakang.

Sebab tersulut api emosi, si lawan bicara tak tinggal diam karena ulah Chanhee.

“EH! Gak usah main fisik ya, kamu mau ngerasain pukulanku?”

Ditantang seperti itu, Chanhee mulai merasa ciut. Memang sih sosok di hadapannya ini berperawakan tak jauh beda dengan Chanhee, tapi kalau urusan adu fisik.. Chanhee sadar betul kalau ia akan kalah dalam cepat atau lambat karena Chanhee memang tak pernah terlibat perkelahian sebelumnya.

Oleh karenanya, Chanhee memutuskan untuk membuang muka. Berpura-pura membersihkan tangannya lalu mengangsurkan tangan kanannya pada sosok yang sebelumnya ia toyor.

“Maaf, aku cuman emosi karena kamu malah nempatin spot kesukaanku.”

Perkataan Chanhee yang tulus, membuat sosok di hadapannya melunak seketika.

“Oh.. maaf juga kalau gitu.”

Chanhee melirik lawan bicaranya dengan sudut matanya, anggukan kepala ia berikan setelahnya.

“Mhm, gapapa.”

Kemudian, keheningan datang menyambut. Baik Chanhee maupun sosok di sebelahnya tak mengeluarkan sepatah kata apapun, keduanya terdiam sambil memandang ke depan.

Selang beberapa menit, sosok di sebelah Chanhee mendadak berdiri dari duduknya. Chanhee memutar lehernya, menatap sosok yang sedang bersiap untuk meninggalkan bukit tersebut.

“Mau kemana?” tanya Chanhee.

Nampaknya, sosok tadi tak menduga akan mendengar pertanyaan seperti itu dari Chanhee. Raut wajah bingung bercampur terkejut tercetak jelas pada wajahnya.

“Pergi..? Kamu bilang ini spot favoritmu, 'kan? Kalau gitu pasti kamu mau disini sendirian?”

“Enggak, gapapa. Kamu di sini aja sama aku.”

Sang lawan bicara sempat terdiam untuk beberapa saat, sebelum melemparkan tasnya asal dan kembali duduk di sebelah Chanhee. Sejenak, Chanhee terhenyak. Bingung kenapa ia memilih untuk ditemani oleh sosok asing yang sebelumnya nyaris adu jotos dengan dirinya itu.

“Changmin.”

Lamunan Chanhee buyar seketika, jabatan tangan ia berikan seraya tersenyum tipis sambil turut memperkenalkan dirinya sendiri.

“Chanhee.”

Senyuman tipis yang Chanhee berikan disambut dengan baik oleh Changmin, entah karena tingginya suhu pada hari itu atau karena senyuman Changmin- Chanhee dapat merasakan kedua pipinya memanas.

Hari itu, Chanhee habiskan sisa siangnya bersama Changmin. Ditemani angin segar dan sinar oranye dari mentari yang berpulang- Chanhee dan Changmin hampir lupa dengan waktu. Nada dering yang berbunyi dari handphone Chanhee berhasil menariknya kembali pada realita, menyadarkan dirinya bahwa hari mulai gelap.

Sebelum beranjak dari tempatnya, Chanhee dan Changmin beradu tatap.

“Besok.. mau kesini lagi?”

“Boleh.”

Changmin dan bukit kecil menjadi sebuah perpaduan yang Chanhee sukai di libur musim panas kali ini. Setelah mengerjakan PR liburan musim panas dari sekolahnya, Chanhee akan langsung berlari keluar dari rumahnya untuk menemui Changmin di bukit kecil mereka.

Ya, bukit kecil mereka.

Karena semenjak pertemuan pertama mereka, Chanhee akhirnya berbagi tempat kesukaannya dengan Changmin. Demi menjadikan tempat pertemuan mereka lebih nyaman, Chanhee bekerjasama dengan Changmin untuk mendirikan sebuah tenda untuk dua orang di bukit kecil itu. Setiap harinya, masing-masing dari Chanhee dan Changmin akan membawa barang dari rumah mereka untuk mengisi tempat kosong di dalam tenda tersebut.

Sama halnya dengan Chanhee dan Changmin yang setiap harinya mengisi tenda mereka berdua dengan beragam barang, hari-hari keduanya pun turut diisi dengan beragam kenangan yang berbeda.

Seiring berjalannya waktu, Chanhee dan Changmin mulai membuka diri dan menampakkan sifat serta watak aslinya masing-masing. Pernah di suatu waktu, Chanhee terkejut bukan main karena kelakuan Changmin.

Ketika Chanhee datang ke tenda mereka di siang hari itu, pemandangan dua buah botol minuman keras dengan dua gelas plastik kosong berukuran kecil menyapa indera penglihatan Chanhee. Di belakangnya, Changmin hanya memamerkan senyuman tanpa dosanya.

Gelar “anak baik” yang telah Chanhee jaga sepanjang hidupnya, terpaksa harus ia lepaskan pada hari itu untuk mengikuti permainan Changmin. Akan tetapi, baru di tegukan kedua- Chanhee sudah mulai kehilangan kesadarannya. Sembari meneguk minuman beralkohol itu, Chanhee dan Changmin bercengkrama kesana kemari; tawa lepas silih berganti terdengar dari kedua remaja lelaki itu.

Setelah meneguk isi gelasnya yang kelima, Chanhee merasakan rasa pusing yang hebat di kepalanya. Pandangannya mulai mengabur dan tepat sebelum ia benar-benar kehilangan kesadarannya, Chanhee dapat merasakan sapuan hangat pada bibir kenyalnya. Bibir Changmin menempel dan mengunci bibir Chanhee dengan pas, seolah-olah bibir keduanya tercipta sebagai sepasang.

Pagutan demi pagutan Chanhee berikan pada bibir Changmin, tak ada satupun dari mereka yang tampak keberatan dengan pertautan bibir yang mendadak ini. Saat dirasa pasokan udara miliknya mulai menipis, Chanhee mendorong dada Changmin untuk menjauh. Lantas tertidur karena efek alkohol dari minuman yang Changmin bawa untuk mereka.

Tanpa Chanhee ketahui, Changmin terus terjaga hingga mentari terbenam di ufuk barat. Dalam diam, Changmin memperhatikan Chanhee yang tertidur pulas. Ibu jarinya ia letakkan pada bibirnya sendiri, menelusuri jejak bibir Chanhee yang tadi datang menyapa; tersenyum penuh kemenangan selagi memori pertautan mereka terus-menerus diputar dalam kepalanya.

Hari ini, Chanhee membawa sebuah tas besar dari rumahnya sebelum pergi ke tenda mereka. Alasannya adalah karena Chanhee berniat untuk bermalam di tenda bersama dengan Changmin, dalam rangka menikmati hari terakhir libur musim panas mereka. Sesampainya di sana, Chanhee segera merapikan isi tenda dan menggelar kasur lipat beserta selimut miliknya, lalu mengeluarkan bantal dan juga boneka penguin yang ia bawa bersamanya.

Changmin datang beberapa menit setelahnya. Mengikuti Chanhee, Changmin juga menggelar alas tidurnya dan turut mengeluarkan boneka gajah yang ia bawa. Changmin juga mengeluarkan sebuah lampu cadangan untuk menerangi tenda mereka di malam hari nanti. Setelahnya, Chanhee dan Changmin bercengkrama seperti hari-hari sebelumnya. Menikmati senja sebelum bintang malam bermunculan di langit.

Di tengah kegelapan malam, Chanhee menatap langit malam bersama dengan Changmin yang berbaring di sebelahnya. Kerlap-kerlip cahaya bintang nampak sangat indah malam itu, membuat Chanhee benar-benar memfokuskan atensinya pada hamparan kanvas hitam yang berada di atas mereka.

Hingga kemudian, suara Changmin membuat perhatiannya teralihkan.

“Chanhee, aku boleh tanya tentang sesuatu?”

“Tentang apa, Changmin?”

Cukup lama tak terdengar balasan dari Changmin, hanya suara jangkrik dan serangga lain yang mengisi keheningan di antara mereka.

“Soal.. ciuman kita waktu itu. Kamu masih inget 'kan, Hee?”

Chanhee sempat membeku untuk sepersekian detik, sebelum tawa hambar ia keluarkan untuk menutupi rasa paniknya.

“Yang mana ya, Min? Kok aku gak inget?”

Mendengar jawaban Chanhee, Changmin segera bangkit dari tidurnya dan merubah posisinya menjadi duduk. Chanhee menyusul setelahnya, kini mereka duduk berhadapan.

“Kamu.. beneran gak inget, Hee?”

Tatapan Changmin yang penuh selidik membuat Chanhee berjuang keras untuk menelan ludahnya, ujung jari tangan dan kakinya kini mulai terasa dingin bersamaan dengan jantungnya yang berdegup lebih cepat.

“Aku gak inget, Changmin.”

Bohong.

Chanhee ingat tentang semuanya. Rekaman adegan ciuman mereka malah tak pernah absen dari kepala Chanhee setiap saat Changmin berada di dekatnya.

“Tapi Chanhee.. aku tau kamu masih sadar waktu kita ngelakuin itu. Harusnya kamu inget soal itu, Hee.”

Changmin masih bersikukuh pada pendapatnya, sedang Chanhee mulai terpojok di tempatnya.

“Maaf, Min. Aku beneran gak inget.. kita tidur aja, yuk? Aku ngantuk nih.”

Melarikan diri, Chanhee memilih untuk menggantungkan percakapan mereka pada malam itu. Dengan penuh paksaan, Chanhee menutup erat kedua matanya dan memaksa dirinya untuk dapat terlelap.

Membuatnya tak sempat mendengarkan pengakuan suka yang Changmin lakukan di malam itu.

Pagi hari datang secara tiba-tiba bagi Chanhee. Suara ayam jantan yang berkokok di kejauhan berhasil membangunkannya. Sebelah tangan Chanhee terangkat untuk mengusak matanya, sedang yang sebelah lagi refleks meraba ke tempat pembaringan di sebelahnya.

Dingin dan kosong adalah dua hal yang Chanhee rasakan berikutnya. Kosong karena Changmin tak ada di sana dan dingin menandakan bahwa Changmin telah pergi sejak lama.

Panik, Chanhee langsung menyibak selimutnya dan mengedarkan pandangannya di seluruh tenda. Barang-barang milik Changmin sudah tak terlihat di sana. Segera saja Chanhee melompat keluar dari dalam tenda, berharap Changmin akan menyambutnya dengan senyuman jahil dan menenangkan Chanhee yang panik melalui pelukan hangatnya.

Nihil. Sejauh mata memandang, tak terlihat keberadaan dari sosok yang telah mengisi liburan musim panasnya itu.

Buru-buru Chanhee mengepak barang-barangnya dan meraih handphonenya untuk menghubungi Changmin. Namun alih-alih mendengarkan suara Changmin dari ujung sana, Chanhee malah terus-menerus terhubung dengan suara operator.

Bingung, panik, dan juga cemas bercampur aduk dalam diri Chanhee. Berkebalikan dengan hari sebelumnya, Chanhee pulang ke rumah dengan langkah yang lunglai.

Changmin mendadak hilang dalam semalam dan Chanhee rasa ia menjadi gila karenanya.

Musim panas kini telah berganti menjadi musim gugur, pencarian Changmin yang dilakukan oleh Chanhee akhirnya berhenti.

Di pusat kota, Chanhee melihat Changmin untuk pertama kalinya lagi setelah sekian lama. Keduanya bertukar tatap dari kejauhan, hanya untuk beberapa detik lamanya karena Changmin memutuskan kontak mata mereka secara sepihak.

Changmin terlihat bahagia. Jauh lebih bahagia dari kali terakhir mereka bertemu.

Chanhee hendak berjalan mendekat dan menyapa Changmin, namun niatnya ia urungkan ketika dilihatnya seorang pria lain yang muncul dari dalam sebuah restoran.

Pria itu, melingkar lengannya di bahu Changmin. Menarik Changmin mendekat, lalu mencium pipinya.

Dari kejauhan, Chanhee dapat melihat Changmin yang merona. Binar kebahagiaan Changmin pancarkan pada lelaki di sampingnya. Chanhee terpaku dibuatnya, rasa sakit yang perlahan menjalar di dadanya membuat Chanhee lantas memalingkan mukanya.

Chanhee memutuskan untuk berjalan menjauh dengan kedua tangan yang mengepal menahan emosi di dalam saku hoodienya, merutuki kebodohannya sendiri.

Menyesali perbuatannya.

Dan berharap suatu saat ia akan dapat memutar waktunya, kembali di malam dimana ia seharusnya berkata jujur tentang perasaannya untuk Changmin.

“I should've told you what you meant to me,”

“Cause now, I pay the price.”

Fin.

Ratusan kupu-kupu yang mendadak muncul dan berkerumun di pojok taman berhasil memancing rasa penasaran Changmin, dengan cepat ia segera merubah dirinya ke dalam wujud bonekanya dan bersembunyi di balik pohon yang terletak tak jauh dari tempat kemunculan kawanan kupu-kupu itu.

Changmin menatap ke arah jam 12 dengan seksama, kedua iris berwarna biru terangnya bergerak cepat dan tak berkedip sama sekali ketika kawanan kupu-kupu itu perlahan berubah menjadi sesosok pria dalam balutan gaun putihnya.

Pria yang awalnya menutup matanya itu, kini menatap ke sekelilingnya- dengan tatapan kosong yang terlihat kebingungan. Pada detik itu juga Changmin tersadar, sosok di hadapannya adalah “pendatang baru” di tempat itu.

Masih terdiam di tempatnya, Changmin dapat melihat sorot nanar yang terpancar dengan jelas dari kedua bola mata si pendatang baru. Detik berikutnya, Changmin dapat mendengar sosok itu menghela napasnya kemudian jatuh terduduk- lantas menangis tersedu-sedu setelahnya.

Cukup lama Changmin memperhatikan sosok tersebut dari balik pohon, akan tetapi sosok tersebut masih betah di tempatnya dan isak tangisnya tampak jauh dari kata usai. Rasa penasaran semakin membuncah dalam perasaan Changmin, tanpa sengaja ia memanjangkan lehernya- hanya untuk mendapati kepala (dalam wujud bonekanya) bergerak menggelinding menuju sosok tersebut akibat dari ulahnya sendiri.

Tangisan yang sebelumnya terdengar sangat menyayat hati itu perlahan berhenti ketika kepala Changmin berhenti tepat di depan kaki si pria bergaun putih. Pria itu kemudian mengangkat kepalanya perlahan-lahan, tak menunjukkan raut wajah terkejut sama sekali ketika melihat kepala tak berbadan yang kini berada di hadapannya.

Kening Changmin berkerut keras, sekarang malah dirinya yang dibuat kebingungan oleh reaksi tak biasa yang didapatkannya.

Changmin kemudian menjetikkan jarinya, mengubah wujudnya ke dalam fisik manusianya. Lagi, sosok di hadapannya tidak tampak terkejut maupun terkesan dengan perubahan wujud yang baru saja Changmin lakukan.

Sambil bertopang tangan dan berdiri menjulang di hadapan sosok tersebut, Changmin membuka mulutnya untuk melontarkan pertanyaan.

“Siapa kau?”

Bukannya menjawab, sosok di hadapan Changmin malah menjulurkan sebelah tangannya pada Changmin dan menatapnya lurus pada matanya.

“Bantu aku untuk berdiri dulu, baru akan ku jawab pertanyaanmu setelahnya.”

Changmin terdiam beberapa saat ketika dirinya menyadari penampilan sosok di hadapannya. Tatapannya terfokus pada sebelah lengan dan tungkai dari si pria yang tinggal tersisa tulang putihnya, Changmin kemudian segera meraih tangan dari lawan bicaranya setelah itu.

Tetapi tampaknya Changmin menggunakan terlalu banyak dari tenaganya karena kini, lengan dari sang lawan bicara malah tercabut dari bahunya dengan begitu saja.

Changmin mengedipkan matanya berulang kali, berusaha untuk mencerna yang baru saja terjadi. Tawa ringan meluncur keluar dari si pria bergaun putih, tampaknya ia menganggap bahwa situasi ini lucu baginya.

Dengan menggunakan satu tangan, sosok itu kemudian berdiri dan meraih lengan miliknya dari genggaman Changmin; memasangkan lengannya kembali pada tempatnya.

“Chanhee,” ujarnya pelan.

“Apa?”

“Namaku Chanhee, kau tadi menanyakan tentang identitasku 'kan?” balas sosok itu lagi dengan sebuah pertanyaan.

Changmin menganggukkan kepalanya pelan, belasan pertanyaan kini mulai bermunculan di dalam pikirannya. Chanhee- si pria bergaun putih, menyadarinya dari raut wajah Changmin.

“Kenapa? Ada lagi yang mau kau tanyakan padaku?”

Wajah Changmin berpendar dalam sepersekian detik, anggukkan kepala yang lebih semangat ia berikan pada Chanhee.

Dan setelahnya, mereka berdua memutuskan untuk duduk berdampingan di bangku panjang yang menghadap ke sebuah sungai. Chanhee bercerita bahwa sebelum tiba di tempat ini, dirinya baru saja melepaskan suaminya untuk menikah dengan lelaki lain.

Alis Changmin terangkat sebelah, bagaimana mungkin seseorang bisa merelakan suaminya sendiri untuk orang lain?

Jika bukan karena tatapan sendu Chanhee yang berpadu dengan senyuman pahitnya, Changmin pasti sudah memotong perkataan Chanhee dengan pertanyaannya.

Jadi untuk pertama kalinya, Changmin hanya duduk diam dan memasang telingan untuk mendengarkan baik-baik.

Chanhee kemudian melanjutkan ceritanya, mengungkapkan bahwa suaminya ini menikahinya karena suatu ketidaksengajaan. Chanhee seharusnya menikahi pria yang lain, yang dulu pernah ia cintai teramat sangat ketika semasa hidupnya.

Akan tetapi, pria yang sangat dicintainya itu malah merenggut nyawanya dan membawa lari seluruh harta kekayaan milik Chanhee. Semenjak saat itu, Chanhee hanya dapat berbaring di dalam tanah dan menunggu seseorang untuk mengajaknya menikah.

Sedihnya, sosok manusia lain yang membangkitkannya dari tidur panjang dengan sebuah ajakan pernikahan- tidak benar-benar mencintainya. Hatinya sudah tertaut pada manusia lain, yang masih hidup dengan jantung yang berdetak.

Perlahan, Changmin dapat memahami rasa sakit yang Chanhee rasakan melalui ceritanya walaupun pasti tak sebanding dengan apa yang sesungguhnya Chanhee rasakan.

Selesai bercerita, Chanhee menolehkan kepalanya pada Changmin.

“Kalau kamu? Kenapa kamu bisa ada di sini dengan semua luka di wajah dan badanmu itu?”

Changmin mendadak meringis, lidahnya terasa kelu dan tak dapat digerakkan. Changmin bingung harus berkata apa, karena dalam kisahnya- hampir semua orang berpikir bahwa Changminlah si lakon jahatnya.

Menyadari Changmin yang terus terdiam, Chanhee lantas berdeham dan berdiri dari tempatnya.

“Boleh ajak aku berkeliling di tempat ini, Changmin?”

Changmin memfokuskan pandangannya pada Chanhee, sebuah senyuman perlahan terukir di wajahnya.

“Tentu, Chanhee!”

Detik berganti menjadi menit, menit berganti menjadi jam, dan jam berganti menjadi hari. Tanpa terasa Chanhee telah menghabiskan waktu yang cukup lama di tempat barunya ini.

Pada awalnya, Chanhee berpikir bahwa ia akan tersesat dalam kesepiannya untuk sekali lagi. Terlebih karena di tempat barunya ini tidak ada sosok-sosok lain yang dulu pernah menemaninya di bawah tanah.

Namun yang terjadi bagi Chanhee adalah kebalikannya.

Semenjak pertemuan pertama mereka, Changmin tak pernah barang sedetik pun pergi dari sisi Chanhee. Kemanapun Chanhee melangkah, Changmin akan selalu berada di sisinya.

Terdapat alasan yang jelas tentang mengapa Changmin selalu menemani Chanhee setiap saat.

Alasan itu adalah karena ketika rohnya masuk ke dalam wujud boneka, Changmin tidak pernah diperlakukan dengan baik oleh sang pemilik untuk waktu yang lama. Nasib Changmin sebagai boneka selalu diawali dengan diperlakukan sebagai benda kesayangan dan berakhir dengan dibuang ke tempat sampah karena hal-hal yang Changmin lakukan.

Padahal, yang Changmin perbuat hanyalah mendengarkan dan menuruti permintaan pemiliknya.

Lantas mengapa ketika Changmin mencuri, melukai, dan membunuh- Changmin malah dikatai sebagai “boneka rusak yang tidak berguna”?

Changmin hanya ingin dianggap dan diperlakukan selayaknya teman baik.

Dan beruntung bagi Changmin, akhirnya ia menemukan jawaban atas doanya pada Chanhee.

Karena sejatinya, Chanhee dan Changmin hanyalah dua jiwa yang sama-sama terpuruk dalam kesepian.

Seiring berjalannya waktu, Chanhee dan Changmin menjadi semakin dekat dengan satu sama lain. Menghabiskan waktu berdua dari ketika sinar terang berada di atas kepala hingga gelap datang menyapa.

Tanpa mereka sadari, perlahan fisik keduanya berubah ke dalam wujud manusia pada umumnya. Membuat keduanya seolah-olah “hidup kembali”.

Belakangan, Changmin bahkan sering mendapati Chanhee yang menatap ke arahnya untuk periode waktu yang tidak bisa dibilang sebentar; cukup lama untuk membuat Changmin merasakan debaran aneh di dadanya.

Ada kalanya Changmin ingin bertanya pada Chanhee mengenai pria brengsek mana yang berbuat setega itu pada sosok indah di hadapannya ini. Changmin ingin membuat perhitungan pada sosok itu, ingin membuatnya merasakan derita yang lebih lama karena telah melukai Chanhee.

Akan tetapi, niatnya itu selalu Changmin urungkan karena Changmin tak ingin mengungkit masa lalu Chanhee dan membawa rasa sakit itu kembali.

Jadi, yang bisa Changmin lakukan untuk saat ini dan mungkin seterusnya hanyalah berada di sisi Chanhee- menemani sembari memendam rasanya untuk Chanhee.

Dengan pemikirannya yang seperti itu, nampaknya akan susah bagi Changmin untuk menyadari sesuatu.

Yaitu, bahwa Chanhee juga sudah memendam rasa yang sama untuknya.

Fin.

Kedua insan manusia itu kini duduk berdampingan, netra terpaku pada televisi di depan mereka- tetapi dengan pikiran yang telah berjalan jauh entah kemana.

Sama seperti sekarang, raganya berdekatan- tetapi dengan perasaan yang bahkan sudah lama tak saling bersinggungan.

Tak ada satupun dari mereka yang tahu kapan tepatnya ini mulai terjadi, juga tak ada satupun dari mereka yang tahu mengapa ini terjadi.

Walau demikian, keduanya tampak seperti berusaha untuk saling mempertahankan hubungan. Berusaha menyelamatkannya sebelum terpisah selamanya.

Namun jauh di lubuk hatinya, mereka berdua tahu bahwa mereka hanya sedang menunda perpisahan.

Perpisahan.

Satu dari banyak kata yang tak pernah gagal untuk menakuti umat manusia. Kata yang seringkali diikuti dengan tangisan, amarah, dan keputus asaan.

Dalam banyak hal, perpisahan hampir selalu memiliki denotasi negatif. Membuatnya menjadi sebuah kata yang acapkali ingin dihindari.

Dan Chanhee serta Changmin, juga berusaha semampu mereka untuk melawan perpisahan.

Chanhee adalah yang pertama untuk mengalihkan pandangannya dari televisi ke wajah Changmin. Detik berikutnya, Changmin melakukan hal serupa- membuat mereka saling berpandangan.

Dulu, keduanya pasti salah tingkah jika berada dalam situasi seperti ini.

Kini, keduanya hanya mampu menyunggingkan senyum tanpa arti. Sama-sama menyadari bahwa api asmara mereka telah padam seutuhnya.

Ketika keduanya saling menatap ke dalam iris masing-masing, kilas balik kisah cintanya terputar secara cepat di hadapan mereka. Hingga tiba-tiba saja itu terhenti, karena salah satu dari mereka lantas memalingkan mukanya.

Changmin benci karena air matanya kembali jatuh di hadapan Chanhee.

Changmin benci karena sekuat apapun ia mencoba untuk kembali mencintai Chanhee, rasanya tak pernah sama seperti dulu.

Seperti biasa, Chanhee membawa Changmin ke dalam pelukannya dan membiarkan bahunya basah oleh tangisan Changmin.

Seperti biasa, Chanhee membisikkan kalimat-kalimat penenang di telinga Changmin- berharap agar usahanya dapat membuahkan hasil.

Setelah Changmin kembali tenang, perlahan Chanhee melepaskan pelukannya.

Menatap wajahnya dalam-dalam sekali lagi, karena Chanhee tahu setelah ini ia tak akan bisa melihatnya seperti ini lagi.

Walau perasaannya pada Changmin kini sudah tak sama lagi, Chanhee tahu bahwa ia akan merindukan Changmin.

Tawa candanya, sikapnya, dan juga rutinitasnya bersama Changmin.

Chanhee mengeluarkan kedua tangannya dari saku bajunya untuk menggenggam tangan Changmin, yang dibalas dengan erat oleh sosok di hadapannya.

Perlahan, keduanya bergerak mendekat.

Melebur dalam pertautan bibir yang cukup lama.

Menyegel kenangan indah mereka berdua melalui sebuah ciuman perpisahannya.

Ya.

Chanhee dan Changmin sama-sama menyetujui keputusan ini, untuk berpisah secara baik-baik karena mereka berdua sadar tak ada lagi yang tersisa untuk dapat mereka pertahankan.

Fin.

Sore itu, Chanhee kecil sudah siap sedia dalam balutan kemeja putih yang dipadukan dengan celana hitam miliknya. Sejak siang tadi, Chanhee telah sibuk memilah-milih pakaian apa yang harus dikenakannya untuk acara kelulusan kelas 6 sore ini yang diadakan di aula sekolahnya. Chanhee bahkan meminta sang Bunda untuk turut membantunya memadu-padankan pakaiannya.

Semua ini, Chanhee lakukan hanya untuk Sangyeon.

Ya, Sangyeon.

Seseorang yang telah mencuri perhatiannya semenjak beberapa bulan yang lalu.

Menjelang hari kelulusan Sangyeon, Chanhee sudah mulai mengirimkan surat cinta tanpa identitas yang setiap paginya ditaruh sendiri oleh Chanhee di kolong meja sang kakak kelas.

Chanhee yakin, usahanya selama ini akan membuahkan hasil yang manis. Chanhee percaya diri bahwa Sangyeon telah memahami semua clue yang Chanhee taruh pada suratnya dan akan menjadi pasangan dansanya malam ini.

Akan tetapi, bukan main sakit hatinya ketika netra Chanhee menangkap sosok Sangyeon yang sedang menggandeng lengan seorang perempuan.

Setelah meremat kemejanya kuat-kuat, Chanhee membalikkan badannya dan berlari keluar dari dalam aula sekolah. Meninggalkan lantai pesta dansa dengan penglihatan yang buram karena air mata yang terbendung, hingga tanpa sengaja menubruk seseorang.

“Maaf!” seru Chanhee tanpa melihat sosok tersebut.

Langkah kakinya baru terhenti di depan kolam ikan yang terletak tak jauh dari aula, Chanhee lantas mendudukkan diri di depan kolam ikan dan membiarkan air matanya tumpah dengan bebas.

Tanpa Chanhee sadari, orang yang ditabraknya tadi mengikuti langkahnya dan kini turut mendudukkan diri di sebelah Chanhee.

“Kamu.. nangis kenapa?”

Perlahan, Chanhee mengangkat kepalanya yang sebelumnya tertunduk untuk menatap sosok di sebelahnya. Awalnya Chanhee sempat enggan untuk menjawab, tapi ketika iris gelap di hadapannya itu menyiratkan rasa khawatir yang besar- Chanhee otomatis membuka mulutnya.

“Orang yang aku kira bakalan jadi pasangan nari aku malem ini, malah gandengan sama orang lain.”

“Haaaaah? Kok bisa gitu?”

“Kayaknya karena orang itu nggak ngerti soal clue-clue yang aku taruh di surat cinta buat dia.”

“Kenapa harus pake surat cinta? Kamu gak bisa kalau langsung ngomong aja sama dia?”

Chanhee menggelengkan kepalanya pelan.

“Dia.. kakak kelas, aku gak berani buat ngajak dia ngobrol.”

“Kamu kelas berapa emangnya?”

“Aku kelas 4.”

“Eh, aku juga loh! Kenalin nama aku Changmin!”

Sosok ceria bernama Changmin itu memamerkan deretan gigi putihnya sambil mengulurkan sebelah tangan, menunggu untuk Chanhee jabat tangannya.

“Chanhee.. salam kenal ya, Changmin.”

“Mhm, salam kenal Chanhee!”

Setelahnya, keduanya larut dalam keheningan. Hanya suara gemericik air dari kolam ikan yang menemani mereka berdua. Mendadak, Changmin kembali mendengar suara isakan tertahan dari Chanhee.

Panik, Changmin berusaha untuk memancing Chanhee kembali mengobrol dengannya agar perhatiannya teralihkan.

“C-Chanhee, aku boleh tau gak orang jahat yang bikin kamu nangis ini siapa?”

Berhasil, isakan itu terhenti untuk kedua kalinya.

“Kenapa kamu mau tau?”

“Kamu pasti gak tau ya kalau aku ini jago berantem?”

Lagi, Chanhee menggelengkan kepalanya.

“Nanti aku bantu pukulin orang yang jahat sama kamu!”

“Makanya ayo kasih tau dulu siapa namanya,” lanjut Changmin sambil menepuk dadanya bangga.

Chanhee merasa konyol dengan sosok di depannya ini, tapi tetap menjawab pertanyaannya.

“Sangyeon, Kak Sangyeon. Dia yang bikin aku nangis.”

Melihat Changmin yang membeku di tempatnya, Chanhee mengedipkan matanya beberapa kali.

“Kenapa? Kok diem aja?”

Changmin meringis, sebelah tangannya bergerak untuk menggaruk bagian tengkuknya yang tidak gatal.

“Hehe.. Kak Sangyeon itu sepupuku aku..”

“Dia lebih jago berantem dari aku.”

Chanhee lantas menganga selama beberapa saat, sebelum akhirnya tertawa kencang karena jawaban Changmin.

Changmin dapat merasakan sebuah perasaan asing di dada dan perutnya.

Geli, rasanya seperti belasan kupu-kupu berterbangan secara beramai-ramai.

Changmin tak paham soal perasaan ini, tapi Changmin hanya paham kalau dirinya suka melihat Chanhee tertawa seperti ini. Changmin ingin selalu melihat Chanhee tertawa karena dirinya.

“Chanhee, udahan kan nangisnya? Mau masuk lagi ke dalem aula?”

Gelengan ketiga Changmin dapatkan sore itu.

“Gak mau.”

Changmin lantas memiringkan kepalanya sambil menatap sang lawan bicara.

“Kenapa?”

“Aku gak mau liat Kak Sangyeon sama orang lain.”

Bibir Changmin membulat karena jawaban Chanhee, merasa belum puas- Changmin kembali mengajukan pertanyaan lainnya.

“Terus? Kamu mau kemana?”

Yang ditanya malah mengangkat bahunya, tak tahu harus menjawab apa sebab bingung.

Namun tiba-tiba, netranya menangkap sesuatu; dengan penuh semangat Chanhee mengacungkan telunjuknya ke udara- menunjuk pada partikel-partikel putih yang melayang di udara.

“Changmin! Liat, salju pertama!”

Dan pada detik berikutnya, tanpa dikomando, kedua siswa kelas 4 itu menghambur ke arah lapangan yang terletak tepat di samping kolam ikan.

Keduanya berlarian kesana-kemari, teriakan dan pekikan penuh kegembiraan bercampur aduk. Tanpa terasa, keduanya menghabiskan waktu berdua hingga malam tiba. Ditemani dengan kepingan kristal es rapuh yang turun ke bumi.

Setelahnya Changmin dan Chanhee dengan cepat menjadi akrab, bahkan melabeli hubungan di antara mereka berdua dengan sebutan “sahabat” walaupun berada di kelas yang berbeda.

Setiap pulang sekolah, Changmin dan Chanhee selalu bergantian menunggu satu sama lain di depan kelas yang lain. Lalu berduaan menghabiskan waktu di taman dengan bermain atau saling bertukar cerita tentang kejadian di sekolah sambil bertelanjang kaki, berbaring bersebelahan di atas rumput sambil menatap langit biru.

Hanya ada Changmin dan Chanhee berdua di taman.

Selalu, seperti itu.

Well, I found a boy, beautiful and sweet Oh, I never knew you were the someone waiting for me

Dan tanpa terasa, 2 tahun berlalu begitu saja. Changmin dan Chanhee kini sudah berada di kelas 6, di penghujung hari-hari Sekolah Dasar mereka.

Di hari kelulusan, Chanhee senang bukan main. Sedikit banyak karena merasa tidak sabar untuk cepat-cepat berstatus sebagai siswa Sekolah Menengah Pertama.

Berkebalikan dengan Chanhee, Changmin malah bersikap tidak seperti biasanya. Senyuman lebar yang dihiasi dengan sepasang lesung pipit itu mendadak menghilang.

Chanhee dapat melihat perbedaannya dengan jelas.

Changmin-nya, yang setiap harinya secerah mentari di musim panas- kini murung bak dihinggapi oleh awan kelabu.

Setelah acara kelulusan mereka selesai, Chanhee mendengar namanya dipanggil oleh sang Bunda. Dilihatnya, sang Bunda sedang berdiri bersebelahan dengan orangtua Changmin.

Karena Changmin juga ada di sana, Chanhee menyudahi obrolannya dengan teman sekelasnya dan berlari menghampiri mereka berempat.

Bersamaan dengan Chanhee yang mendekat, Changmin membuka suaranya.

“Chanhee, besok siang aku bakal pergi.”

Niat awal ingin merangkul Changmin seperti biasanya, mendadak Chanhee urungkan karena perkataan Changmin.

“Pergi? Kemana?”

“Jepang.”

Ah, ternyata cuman ke Jepang- pikir Chanhee.

“Mau liburan ya, Changmin? Sampe kapan perginya? Gak akan lama, 'kan? Kita kan harus siap-siap buat masuk-”

“Aku pindah ke Jepang, Chanhee.”

Chanhee menelan kembali kata-kata yang tertahan di ujung lidahnya.

Changmin? Pindah?

“Ih, apaan sih Changmin. Tante Ji, Changmin bercanda 'kan?”

”...Iya 'kan, tante?”

Hening.

Chanhee tak mendapatkan jawaban yang diharapkannya. Dengan suara yang bergetar, Chanhee memaksakan bibirnya untuk bergerak.

“Kenapa..?”

“Kita udah janji buat selalu bareng, Changmin.”

“Kenapa kamu malah ingkarin janji kamu?”

Tangisan Chanhee menyusul setelahnya, ia jatuh terduduk dengan air mata yang berderai. Kedua tangannya mengepal kuat, berulang kali melayangkan tinjuan menuntut pada kaki Changmin.

Ibunda Chanhee perlahan membungkuk untuk memeluk anak semata wayangnya, sedang orangtua Changmin memalingkan mukanya karena turut merasakan rasa sakit setelah melihat Chanhee hancur seperti itu karena kabar yang Changmin sampaikan.

Changmin ikut berjongkok di depan Chanhee, kemudian memberikan komando pada Bunda Chanhee dan kedua orangtuanya agar meninggalkan mereka berdua terlebih dahulu.

“Chanhee.”

“Chanhee liat aku dulu.”

Sakit.

Changmin ikut terluka ketika melihat bagaimana wajah teman terkasihnya itu penuh dengan keputus asaan. Sorot mata Chanhee seolah terus-terusan meneriakinya “penghianat”.

Setelah menguatkan hati, Changmin mencoba untuk mengembalikan senyumnya pada Chanhee. Kedua tangannya bergerak untuk menangkup pipi Chanhee, mengusap jejak air mata dengan kedua ibu jarinya.

“Aku bakalan balik buat kamu, Hee.”

Ucapan Changmin terputus sesaat, Chanhee menantikan lanjutannya dalam diam.

“Tapi, selama apapun aku pergi- kamu harus nungguin aku.”

Kernyitan heran Chanhee berikan pada Changmin, kedua tangannya bergerak untuk melepaskan tangan Changmin yang menempel pada wajahnya.

“Kenapa aku harus percaya sama omongan kamu? Jelas-jelas hari ini kamu sendiri yang ngerusak janjimu.”

Changmin menghela napasnya, bulir air mata kini juga mulai terbentuk di pelupuk matanya.

“Chanhee, kamu bisa pegang janjiku. Kalau soal pindah ke Jepang, aku emang gak bisa ikut campur karena Ayah sama Bunda udah nentuin ini dari lama.”

“Tapi kalau soal kamu, soal kita, aku yakin aku bisa nepatin janjiku.”

Cukup lama Chanhee terdiam, bimbang harus menjawab apa pada Changmin.

Akan tetapi, akhirnya Chanhee memilih untuk menuruti bisikan hatinya. Untuk mempercayai ucapan Changmin.

“Janji ya, kamu bakal balik buat aku?”

Changmin menautkan kelingkingnya pada kelingking Chanhee.

“Janji.”

Di hari keberangkatan Changmin, Chanhee bersama sang Bunda turut mengantarkan mereka ke bandara. Di perjalanan pulang menuju rumah, Chanhee dapat melihat salju turun dari jendela mobilnya.

Dalam diam, Chanhee dapat merasakan pipinya memanas karena tangisannya.

Salju pertama, terasa berbeda tanpa kehadiran Changmin di sisinya.

Waktu terus berlalu, tumbuh tanpa Changmin terasa berat dan menyakitkan bagi Chanhee.

Alasan utamanya adalah karena Changmin absen dari hidupnya.

Changmin- seorang teman yang selalu ada untuk menghiburnya di kala sedih, seorang teman yang selalu menutup telinganya ketika salah satu penghuni sekolah tak berperasaan melayangkan komentar buruk pada Chanhee, seorang teman yang selalu menjaganya dari rundungan tangan-tangan nakal.

Sekolah Dasar, tentunya lebih mudah untuk dijalani bagi Chanhee jika dibandingkan dengan kehidupannya di Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas.

Berkali-kali, Chanhee diolok-olok karena gaya pakaiannya yang berbeda dari kebanyakan lelaki.

Berkali-kali, Chanhee dicemooh karena lebih menyukai pelajaran kesenian dibanding dengan pelajaran olahraga.

Berkali-kali juga, Chanhee dicibir karena mayoritas dari temannya berjenis kelamin perempuan.

Semua yang telah terjadi itu memang sulit, tetapi Chanhee berhasil bertahan dari semuanya.

Setiap malam- sebelum Chanhee pergi tidur, Chanhee selalu duduk di sisi ranjangnya. Menghabiskan waktu beberapa menit sekadar untuk menatap pigura berisikan fotonya dengan Changmin yang diambil ketika liburan musim panas di kelas 5.

Hanya dengan itu, Chanhee bisa meneruskan hidupnya.

Memasuki masa kuliah, tekanan dan rundungan yang Chanhee dapatkan dari lingkungan sosialnya mulai berkurang. Chanhee sendiri memilih untuk meneruskan pendidikannya di jurusan seni.

Puberty, hits him hard.

Tak dapat dipungkiri, perubahan yang cukup drastis terjadi pada fisik Chanhee. Membuat ini lantas menjadi salah satu hal yang membuatnya menjadi terkenal di seantero kampus.

Dari semester ke semester, banyak yang menyatakan cintanya pada Chanhee. Perempuan dan laki-laki, semuanya Chanhee tolak secara halus dengan alasan klise, “aku lagi fokus kuliah”.

Padahal Chanhee sendiri tahu kalau alasan yang dia gunakan adalah sebuah kebohongan.

Jauh di lubuk hatinya, Chanhee masih menunggu kepulangan Changmin.

Chanhee baru sadar akan perasaannya pada Changmin setelah bertahun-tahun lamanya. Dulu, Chanhee tidak mengerti tentang apa itu cinta.

Kini, Chanhee mengerti bahwa definisinya mengenai cinta adalah Ji Changmin.

Walau terkadang, Chanhee ingin menertawai dirinya sendiri karena masih percaya dengan sebuah janji masa kecil. Janji yang perlahan akan tergerus oleh waktu.

Chanhee bahkan tidak bisa membayangkan ada di mana Changmin-nya itu sekarang.

Dan waktu, terus berputar. Tak akan pernah berhenti untuk menunggu manusia.

'Cause we were just kids when we fell in love Not knowing what it was I will not give you up this time

Akhir dari Bulan Desember kini berada di depan mata.

Jurusan Chanhee memutuskan untuk mengadakan pesta natal bersama di suatu restoran di pusat kota. Sebagai primadona jurusan (dan juga kampus), keberadaan Chanhee sangat diharapkan oleh semua orang. Sehingga mau tak mau, Chanhee menuruti permintaan mereka.

Ketika yang lain sedang terlarut dalam permainan Truth or Dare, Chanhee mengalihkan pandangannya ke arah jendela.

Salju pertama tahun itu, mulai turun untuk mewarnai bumi dengan warna putihnya.

Dengan sigap, Chanhee berdiri dari tempatnya, mengenakan jaketnya, dan berpamitan pada teman-temannya sebelum berjalan keluar dari restoran.

Chanhee tidak bisa melewatkan momen kesukaannya.

Chanhee melangkahkan kakinya menuju sebuah pohon mistletoe besar yang menarik perhatiannya bahkan dari kejauhan. Sesampainya ia di depan pohon, helaan nafas bercampur rasa takjub dan kagum keluar dari mulutnya. Derasnya salju yang turun, membuat pohon besar itu dapat tertutupi dengan cepat oleh warna putih.

Chanhee berbisik pada dirinya sendiri, andai saja Changmin ada disini untuk menyaksikan pemandangan indah ini.

Sejak tadi, netra Chanhee terfokus pada bintang kuning yang bersinar terang di atas pohon. Perlahan- pandangannya turun dari puncak.

Hingga ketika pandangannya menatap lurus ke depan, Chanhee terdiam mematung.

Seseorang berdiri di seberang sana dengan wajah yang familiar.

Perlahan-lahan, wajah itu memunculkan senyumnya. Lesung pipit yang lama terkubur dalam ingatan Chanhee- kini tercetak jelas di wajah sosok di hadapannya.

Pelan tapi pasti, keduanya berjalan mendekat.

Kini hanya tersisa beberapa langkah.

“Changmin?” tanya Chanhee untuk memastikan kedua matanya.

Senyuman yang kian mengembang tampak pada sosok itu, Chanhee sedikt terhempas ke belakang karena pelukan erat yang ia dapatkan kemudian.

Masih berusaha untuk mencerna situasi, mulut Chanhee terkatup rapat.

Sampai akhirnya, Changmin bergerak untuk melepas pelukannya. Terkejut bukan main karena dilihatnya air mata Chanhee sudah mengalir dengan deras. Bak kaset rusak, adegan Changmin yang mengusap air mata Chanhee kembali terulang.

Tiba-tiba, hujaman pertanyaan bertubi-tubi keluar dari mulut Chanhee.

“Kamu kemana aja, Min?”

“Kenapa kamu pergi lama banget?”

“Kenapa kamu baru muncul sekarang?”

“Sejak kapan kamu udah balik ke Korea?”

“Darimana kamu tau kalau aku ada disini?”

Changmin menahan tawanya, Chanhee-nya ternyata masih secerewet ini.

Chanhee-nya, masih sama seperti dahulu.

“Hey, hey. Pelan-pelan dong nanyanya. Gimana kalau kita obrolin sambil minum cokelat panas? Dingin Hee, kalau ngobrolnya di luar kayak gini.”

Dan di sanalah mereka berdua sekarang. Di pojok sebuah restoran dengan dua mug keramik berisi cokelat panas.

Bertukar kabar, melepas rindu.

Bagi Chanhee, waktu di dunianya kembali berjalan setelah Changmin kembali ke dalamnya.

Karena keduanya mengobrol hingga larut, Changmin menawarkan untuk menemani Chanhee berjalan pulang. Persis seperti apa yang dulu biasa mereka lakukan sepulang sekolah.

Setibanya di depan rumah, Chanhee menatap Changmin dalam-dalam. Yang ditatap malah kebingungan.

“Ada apa?”

“Aku gamau bilang dadah. Aku takut kalau kamu pergi lagi.”

Perkataan tak terduga dari Chanhee mengundang tawa renyah keluar dari belah bibir Changmin.

Changmin kemudian bergerak maju, menghapus jarak diantara mereka berdua sambil menarik tengkuk Chanhee. Menciumnya lembut selama beberapa detik.

“Aku gak akan pergi lagi, Chanhee. Aku udah janji 'kan, sama kamu?”

Jemari Chanhee bergerak untuk meraba bibirnya, otaknya korslet karena tindakan mendadak yang Changmin lakukan.

“Terlebih lagi, gimana caranya aku bisa pergi setelah tau soal bibir manis kamu?”

“Gak mungkin aku relain bibir itu buat dikecup sama yang lain.”

Udara di akhir bulan Desember biasanya cukup dingin.

Tapi mengapa Chanhee kini malah tak bisa berkata-kata sambil mengipasi wajahnya yang memanas?

Fin.

Arsip kelima (dan harapannya, ini arsip yang terakhir).

Setelah 3x jatuh hati di benua Eropa, kali ini aku kembali jatuh hati di benua Asia.

Bukan, bukan di Korea.

Melainkan di Indonesia, tepatnya, di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Alasanku pergi kesana karena apa, ya? Jujur aku juga udah gak inget, hehe.

Yang kuingat, hanyalah tentang kamu- Ji Changmin.

Kali pertama kita bertemu, hatiku seolah berbisik padaku.

Kali kedua kita bertemu, mulutku tak henti-hentinya menyunggingkan senyum.

Kali ketiga kita bertemu, tanganku mendadak gemetaran karena bersentuhan dengan milikmu.

Setelahnya, kamu mendadak hilang selama beberapa hari. Membuatku merasakan kesepian, bahkan di tengah keramaian.

Pertemuan selanjutnya, aku tak ingin lagi berpisah darimu.

Kamu itu, kayak paket lengkap, Changmin.

Pertemuan pertama kita, kamu bertindak sebagai penerjemah kegiatan transaksiku dengan penjual setempat.

Pertemuan selanjutnya, kamu menyelamatkanku dari rasa malu karena aku yang ceroboh dan tidak menukarkan uang lebih banyak.

Pertemuan ketiga, aku terkesima dengan tubuh atletismu yang tersembunyi dalam baju kebesaran yang selalu kau kenakan.

Rasanya seperti aku dapat melihat sosok Juyeon, Younghoon, dan Hyunjae secara sekaligus dalam dirimu.

Sampai saat ini, aku masih sering memikirkanmu ketika aku sedang sendirian- memikirkan tentang seorang Ji Changmin.

Apakah ini yang dinamakan dengan cinta, Changmin?

Tapi.. kalau benar ini namanya cinta..

Kenapa waktu itu, kau tidak menepati janjimu untuk mengantarku pulang ke Kanada di bandara?

Kenapa waktu itu, kau malah menghilang lagi?

Kenapa waktu itu, kau mengabaikan semua panggilan dan pesan singkatku?

Karena seorang Ji Changmin, aku bertanya-tanya tentang arti cinta.

Karena seorang Ji Changmin juga, aku akhirnya menemukan arti dari cinta.

Tapi karena seorang Ji Changmin juga, aku tak ingin merasakan yang namanya jatuh cinta lagi.

Karena terjatuh sendirian ketika mencintai seseorang itu, sangatlah menyakitkan.

Arsip keempat dan kali ini, nggak berkaitan sama pekerjaanku.

Pantai Chia di Sardinia, Italia.

Sebuah destinasi yang benar-benar indah, menurutku.

Dengan hadirnya kamu disana, liburanku menjadi sesuatu yang benar-benar tak terlupakan.

Aku gak tau apakah aku harus bersyukur atau bersedih karena aku nyaris tenggelam di laut waktu itu.

Di satu sisi, aku sedih karena banyaknya jumlah air asin yang nggak sengaja aku telan.

Tapi di sisi lain, aku juga bersyukur karena aku jadi bisa merasakan bibir kenyalmu dari pernapasan buatan yang kamu berikan.

Kalau kamu mau melakukan teknik pernapasan buatanmu untukku lagi, Sardinia akan menjadi destinasi favoritku untuk liburan.

Dan bibirmu itu, mungkin akan menjadi destinasi favoritku juga.

Sebentar, jangan salah paham dulu.

Bukan hanya bibirmu yang aku sukai, sejujurnya, semua tentangmu benar-benar mudah untuk disukai olehku.

Terlebih lagi, aku juga sangat menyukai kedua lengan kekar serta perut kerasmu.

Ups.

Hyunjae. Itu kan, namamu?

Aku mau tanya, deh. Waktu kau melakukan pernapasan buatan padaku, kau juga turut memasukkan ramuan cinta lewat mulutku- ya?

Karena setelahnya, yang ada di pikiranku hanyalah kamu seorang.

Bahkan sempat terlintas dalam benakku untuk pura-pura tenggelam lagi, hanya untuk mendapatkan seluruh perhatianmu tertuju padaku.

Hyunjae, apakah kau tidak ada niatan untuk pergi ke tempatku?

Kanada juga punya banyak pantai bagus, Hyunjae. Kapan-kapan kalau kamu kesini, aku akan membawamu melihat seluruh pantai itu.

Tapi, bukan untuk gratisan.. sih.

Jadilah kekasihku sebagai bayarannya, Hyunjae.

Yayaya?

Ayo pacaran sama aku, aku MAKSA loh Hyunjae! :(

Wah, udah nyampe arsip ketiga ya?

Arsip kali ini, aku tujukan untuk seseorang yang aku temui di London.

Beberapa bulan setelah balik dari workshop di Paris, ketua divisiku bilang kalau aku harus pergi ke luar negeri lagi.

Kali ini, sekedar buat nyari inspirasi sekaligus ngehadirin London Fashion Week.

Pulang dari London Fashion Week, aku mutusin untuk mampir ke toko roti yang letaknya gak jauh dari situ. Wangi harum kayu manis dan mentega menyeruak sampai ke bagian belakang dari kepalaku.

Tanpa banyak pikir, aku langsung menuhin keranjang belanjaanku dengan tumpukan beragam jenis roti.

Setelah selesai milih dan muterin toko roti, aku langsung jalan ke kasir buat bayar belanjaanku.

Tapi siapa sangka..

Dompetku hilang dari tas selempangku.

Padahal seingetku, jelas-jelas dompetku masih ada waktu ngehadirin London Fashion Week tadi.

Di depan kasir, mukaku mendadak sepucat ubin lantai. Hari itu, suhu di London cukup rendah.. tapi bulir keringat bisa aku rasain mulai membasahi bajuku.

Tiba-tiba dari belakangku, ada sebuah tangan yang nyodorin kartu debitnya ke kasir. Otomatis, aku puterin badanku untuk ngeliat siapa yang ngelakuin ini.

Ternyata, ada cowok ganteng yang bayarin aku.

Hihi.

TAPI SERIUS, dia emang beneran seganteng itu.

Cowok tadi cuman senyum aja ngeliat aku yang bengong, aku juga ngerasa gak enak sama dia karena ternyata harga total dari roti yang aku bayar..

Mahal banget.

Tapi dengan santainya, dia bilang gapapa. Dia juga jelasin kalau dulu dia pernah kehilangan dompet juga di London.

Sebelum pisah, aku sempet kenalan dan bertukar nama sama orang itu.

Kim Younghoon, makasih banyak ya udah bayarin aku waktu itu.

Kalau kamu baca ini, aku harap kamu baik-baik aja.

Ah, kalau bisa.. tolong kirimin nomor rekeningmu ya? Aku mau ganti semua uangmu yang kamu keluarin untuk bayarin aku hari itu (sekalian kenalan lebih lanjut sama kamu, kalau emang boleh.. hehe).

Oh! Satu lagi, semua roti dari hari itu ternyata rasanya enak banget.

Ternyata bener ya perkataan soal “ada harga ada kualitas”. Huft.

Arsip kedua, Paris dan Lee Juyeon.

Dan semuanya berawal dari aku yang diminta untuk menghadiri workshop dadakan di kota menara Eiffel, dengan kemampuan bahasa Inggrisku yang pas-pasan.

Workshop kala itu pasti akan terasa seperti sebuah acara ramah-tamah dengan para alien, jika saja kamu tidak mendatangiku.

Ya, kamu.

Kamu, Juyeon.

Entah berapa kali lagi kamu harus mendengar ini dariku, tapi, aku benar-benar bersyukur kamu muncul kala itu untuk membantuku menerjemahkan perkataan mereka.

Dengan iris gelap tajam yang menawan, senyuman semanis permen kapas, dan bahasa Inggris dengan logat Korea yang kental- sosok malaikat penolong tak mungkin lebih baik dari itu.

Juyeon, kamu tau gak sih kalau dari kali pertama kita ketemu.. kamu udah berhasil buat menyihir aku?

Kenapa ya, workshop waktu itu cuman seminggu? Jujur rasanya terlalu sebentar buat aku yang pengen menghabiskan waktu lebih banyak sama kamu, Ju.

Kalau waktu bisa diulang, aku pengen banget buat ketemu lagi sama kamu.

Juyeon, kamu tau lagu Paris in The Rain punyanya Lauv?

Selama seminggu penuh pas aku di Paris, aku terus-terusan ngeplay lagu ini di kamar hotelku sambil ngebayangin kamu.

Lirik, “anywhere with you feels right, anywhere with you feels like Paris in the rain” ternyata bener adanya.

Kamu masih inget waktu kita hujan-hujanan?

Dengan gagahnya, kamu pakai jas-mu buat ngelindungin kita berdua dari dinginnya guyuran air hujan.

Tanpa sadar, sebelah tanganmu ngelingkar di bahuku; narik aku biar berdiri lebih deket ke kamu.

Juyeon, kalau suatu saat kamu baca tulisan ini.. aku minta kamu buat jawab jujur pertanyaanku ya.

Waktu itu, kamu bisa ngerasain debaran jantungku 'kan?

Waktu itu, kamu juga ngerasain hal yang sama kayak aku 'kan?

Hai, ini Chanhee.

Ini adalah pertama kalinya aku nulis disini tentang sebuah tulisan yang bakal aku tujukan untuk orang pertama yang pernah bertahta di hatiku.

Namanya, Kim Sunwoo.

Sunwoo dan aku kenal secara tak langsung lewat ospek jurusan kita berdua. Waktu itu, Sunwoo masih berumur 18 tahun sedangkan aku sendiri udah menginjak kepala dua.

Rangkaian acara terakhir dari ospek jurusan adalah pembacaan surat cinta dari mahasiswa baru untuk para kakak tingkat yang tergabung ke dalam panitia.

Dan.. ya..

Sunwoo tulis suratnya untuk aku.

Semenjak saat itu, entah bagaimana- hubunganku dan Sunwoo malah makin dekat.

Bahkan mungkin, terlalu dekat?

(Soalnya beberapa dari temen-temenku sampe bilang kalau aku dan Sunwoo ini lebih cocok dipanggil TTM, alias Teman Tapi Mesra. Hehehe.)

Tapi kalau boleh jujur, ada beberapa hal dari Sunwoo yang bener-bener aku suka.

Yang pertama, walaupun Sunwoo lebih muda dari aku- ada banyak kalanya dimana dia malah bersikap lebih dewasa dari aku.

Yang kedua, walaupun Sunwoo sering usil sama aku- Sunwoo gak pernah gagal buat bikin aku senyum. Bahkan di saat aku badmood karena tugas di luar nalar dari dosenku.

Yang ketiga, walaupun Sunwoo nggak punya kendaraan pribadi- dia selalu ngeusahain buat ngajak aku jalan-jalan keluar tiap minggunya. Sekalian buang stress, katanya.

Hal-hal kecil yang kayak gini dari Sunwoo, bikin aku semakin kasmaran dibuatnya. Walaupun nyatanya, Sunwoo dan aku nggak pernah secara terang-terangan nyatain perasaan kita ke satu sama lain.

Setelah aku resmi lulus dan dapat gelar sarjanaku, aku dipanggil untuk kerja di luar negeri. Di sebuah tempat dengan zona waktu yang berbeda dari Sunwoo.

Awalnya, kita berdua masih bisa nyempatin sedikit dari waktunya untuk sekedar ngobrol lewat video call.

Tapi lama-kelamaan, aku ngerasa gak tega sama Sunwoo karena LDR thingy ini.

Lingkar mata yang kian hari kian menghitam, terlihat jelas di wajah Sunwoo yang terus-menerus begadang tiap malam hanya untuk bertukar kabar denganku. Sunwoo juga gak jarang malah kena flu dan sakit tenggorokan karena semalaman gak tidur nungguin balasan dari aku.

Jadi pada akhirnya.. ceritaku sama Sunwoo, terpaksa kandas di tengah jalan.

Aku gak bisa terus-menerus mengikat Sunwoo dan ngasih dia harapan palsu, karena aku sendiri gak tau kapan aku bisa kembali ke Korea untuk nemenin Sunwoo di-sisinya lagi.

Kim Sunwoo, kalau suatu saat tulisan ini bisa nyampe ke kamu.. kakak cuman pengen bilang makasih buat semua yang udah kamu lakuin buat kakak.

Although I love you, we both know that you deserve better, Nu.