Sore itu, Chanhee kecil sudah siap sedia dalam balutan kemeja putih yang dipadukan dengan celana hitam miliknya. Sejak siang tadi, Chanhee telah sibuk memilah-milih pakaian apa yang harus dikenakannya untuk acara kelulusan kelas 6 sore ini yang diadakan di aula sekolahnya. Chanhee bahkan meminta sang Bunda untuk turut membantunya memadu-padankan pakaiannya.
Semua ini, Chanhee lakukan hanya untuk Sangyeon.
Ya, Sangyeon.
Seseorang yang telah mencuri perhatiannya semenjak beberapa bulan yang lalu.
Menjelang hari kelulusan Sangyeon, Chanhee sudah mulai mengirimkan surat cinta tanpa identitas yang setiap paginya ditaruh sendiri oleh Chanhee di kolong meja sang kakak kelas.
Chanhee yakin, usahanya selama ini akan membuahkan hasil yang manis. Chanhee percaya diri bahwa Sangyeon telah memahami semua clue yang Chanhee taruh pada suratnya dan akan menjadi pasangan dansanya malam ini.
Akan tetapi, bukan main sakit hatinya ketika netra Chanhee menangkap sosok Sangyeon yang sedang menggandeng lengan seorang perempuan.
Setelah meremat kemejanya kuat-kuat, Chanhee membalikkan badannya dan berlari keluar dari dalam aula sekolah. Meninggalkan lantai pesta dansa dengan penglihatan yang buram karena air mata yang terbendung, hingga tanpa sengaja menubruk seseorang.
“Maaf!” seru Chanhee tanpa melihat sosok tersebut.
Langkah kakinya baru terhenti di depan kolam ikan yang terletak tak jauh dari aula, Chanhee lantas mendudukkan diri di depan kolam ikan dan membiarkan air matanya tumpah dengan bebas.
Tanpa Chanhee sadari, orang yang ditabraknya tadi mengikuti langkahnya dan kini turut mendudukkan diri di sebelah Chanhee.
“Kamu.. nangis kenapa?”
Perlahan, Chanhee mengangkat kepalanya yang sebelumnya tertunduk untuk menatap sosok di sebelahnya. Awalnya Chanhee sempat enggan untuk menjawab, tapi ketika iris gelap di hadapannya itu menyiratkan rasa khawatir yang besar- Chanhee otomatis membuka mulutnya.
“Orang yang aku kira bakalan jadi pasangan nari aku malem ini, malah gandengan sama orang lain.”
“Haaaaah? Kok bisa gitu?”
“Kayaknya karena orang itu nggak ngerti soal clue-clue yang aku taruh di surat cinta buat dia.”
“Kenapa harus pake surat cinta? Kamu gak bisa kalau langsung ngomong aja sama dia?”
Chanhee menggelengkan kepalanya pelan.
“Dia.. kakak kelas, aku gak berani buat ngajak dia ngobrol.”
“Kamu kelas berapa emangnya?”
“Aku kelas 4.”
“Eh, aku juga loh! Kenalin nama aku Changmin!”
Sosok ceria bernama Changmin itu memamerkan deretan gigi putihnya sambil mengulurkan sebelah tangan, menunggu untuk Chanhee jabat tangannya.
“Chanhee.. salam kenal ya, Changmin.”
“Mhm, salam kenal Chanhee!”
Setelahnya, keduanya larut dalam keheningan. Hanya suara gemericik air dari kolam ikan yang menemani mereka berdua. Mendadak, Changmin kembali mendengar suara isakan tertahan dari Chanhee.
Panik, Changmin berusaha untuk memancing Chanhee kembali mengobrol dengannya agar perhatiannya teralihkan.
“C-Chanhee, aku boleh tau gak orang jahat yang bikin kamu nangis ini siapa?”
Berhasil, isakan itu terhenti untuk kedua kalinya.
“Kenapa kamu mau tau?”
“Kamu pasti gak tau ya kalau aku ini jago berantem?”
Lagi, Chanhee menggelengkan kepalanya.
“Nanti aku bantu pukulin orang yang jahat sama kamu!”
“Makanya ayo kasih tau dulu siapa namanya,” lanjut Changmin sambil menepuk dadanya bangga.
Chanhee merasa konyol dengan sosok di depannya ini, tapi tetap menjawab pertanyaannya.
“Sangyeon, Kak Sangyeon. Dia yang bikin aku nangis.”
Melihat Changmin yang membeku di tempatnya, Chanhee mengedipkan matanya beberapa kali.
“Kenapa? Kok diem aja?”
Changmin meringis, sebelah tangannya bergerak untuk menggaruk bagian tengkuknya yang tidak gatal.
“Hehe.. Kak Sangyeon itu sepupuku aku..”
“Dia lebih jago berantem dari aku.”
Chanhee lantas menganga selama beberapa saat, sebelum akhirnya tertawa kencang karena jawaban Changmin.
Changmin dapat merasakan sebuah perasaan asing di dada dan perutnya.
Geli, rasanya seperti belasan kupu-kupu berterbangan secara beramai-ramai.
Changmin tak paham soal perasaan ini, tapi Changmin hanya paham kalau dirinya suka melihat Chanhee tertawa seperti ini. Changmin ingin selalu melihat Chanhee tertawa karena dirinya.
“Chanhee, udahan kan nangisnya? Mau masuk lagi ke dalem aula?”
Gelengan ketiga Changmin dapatkan sore itu.
“Gak mau.”
Changmin lantas memiringkan kepalanya sambil menatap sang lawan bicara.
“Kenapa?”
“Aku gak mau liat Kak Sangyeon sama orang lain.”
Bibir Changmin membulat karena jawaban Chanhee, merasa belum puas- Changmin kembali mengajukan pertanyaan lainnya.
“Terus? Kamu mau kemana?”
Yang ditanya malah mengangkat bahunya, tak tahu harus menjawab apa sebab bingung.
Namun tiba-tiba, netranya menangkap sesuatu; dengan penuh semangat Chanhee mengacungkan telunjuknya ke udara- menunjuk pada partikel-partikel putih yang melayang di udara.
“Changmin! Liat, salju pertama!”
Dan pada detik berikutnya, tanpa dikomando, kedua siswa kelas 4 itu menghambur ke arah lapangan yang terletak tepat di samping kolam ikan.
Keduanya berlarian kesana-kemari, teriakan dan pekikan penuh kegembiraan bercampur aduk. Tanpa terasa, keduanya menghabiskan waktu berdua hingga malam tiba. Ditemani dengan kepingan kristal es rapuh yang turun ke bumi.
Setelahnya Changmin dan Chanhee dengan cepat menjadi akrab, bahkan melabeli hubungan di antara mereka berdua dengan sebutan “sahabat” walaupun berada di kelas yang berbeda.
Setiap pulang sekolah, Changmin dan Chanhee selalu bergantian menunggu satu sama lain di depan kelas yang lain. Lalu berduaan menghabiskan waktu di taman dengan bermain atau saling bertukar cerita tentang kejadian di sekolah sambil bertelanjang kaki, berbaring bersebelahan di atas rumput sambil menatap langit biru.
Hanya ada Changmin dan Chanhee berdua di taman.
Selalu, seperti itu.
♡
Well, I found a boy, beautiful and sweet
Oh, I never knew you were the someone waiting for me
♡
Dan tanpa terasa, 2 tahun berlalu begitu saja. Changmin dan Chanhee kini sudah berada di kelas 6, di penghujung hari-hari Sekolah Dasar mereka.
Di hari kelulusan, Chanhee senang bukan main. Sedikit banyak karena merasa tidak sabar untuk cepat-cepat berstatus sebagai siswa Sekolah Menengah Pertama.
Berkebalikan dengan Chanhee, Changmin malah bersikap tidak seperti biasanya. Senyuman lebar yang dihiasi dengan sepasang lesung pipit itu mendadak menghilang.
Chanhee dapat melihat perbedaannya dengan jelas.
Changmin-nya, yang setiap harinya secerah mentari di musim panas- kini murung bak dihinggapi oleh awan kelabu.
Setelah acara kelulusan mereka selesai, Chanhee mendengar namanya dipanggil oleh sang Bunda. Dilihatnya, sang Bunda sedang berdiri bersebelahan dengan orangtua Changmin.
Karena Changmin juga ada di sana, Chanhee menyudahi obrolannya dengan teman sekelasnya dan berlari menghampiri mereka berempat.
Bersamaan dengan Chanhee yang mendekat, Changmin membuka suaranya.
“Chanhee, besok siang aku bakal pergi.”
Niat awal ingin merangkul Changmin seperti biasanya, mendadak Chanhee urungkan karena perkataan Changmin.
“Pergi? Kemana?”
“Jepang.”
Ah, ternyata cuman ke Jepang- pikir Chanhee.
“Mau liburan ya, Changmin? Sampe kapan perginya? Gak akan lama, 'kan? Kita kan harus siap-siap buat masuk-”
“Aku pindah ke Jepang, Chanhee.”
Chanhee menelan kembali kata-kata yang tertahan di ujung lidahnya.
Changmin? Pindah?
“Ih, apaan sih Changmin. Tante Ji, Changmin bercanda 'kan?”
”...Iya 'kan, tante?”
Hening.
Chanhee tak mendapatkan jawaban yang diharapkannya. Dengan suara yang bergetar, Chanhee memaksakan bibirnya untuk bergerak.
“Kenapa..?”
“Kita udah janji buat selalu bareng, Changmin.”
“Kenapa kamu malah ingkarin janji kamu?”
Tangisan Chanhee menyusul setelahnya, ia jatuh terduduk dengan air mata yang berderai. Kedua tangannya mengepal kuat, berulang kali melayangkan tinjuan menuntut pada kaki Changmin.
Ibunda Chanhee perlahan membungkuk untuk memeluk anak semata wayangnya, sedang orangtua Changmin memalingkan mukanya karena turut merasakan rasa sakit setelah melihat Chanhee hancur seperti itu karena kabar yang Changmin sampaikan.
Changmin ikut berjongkok di depan Chanhee, kemudian memberikan komando pada Bunda Chanhee dan kedua orangtuanya agar meninggalkan mereka berdua terlebih dahulu.
“Chanhee.”
“Chanhee liat aku dulu.”
Sakit.
Changmin ikut terluka ketika melihat bagaimana wajah teman terkasihnya itu penuh dengan keputus asaan. Sorot mata Chanhee seolah terus-terusan meneriakinya “penghianat”.
Setelah menguatkan hati, Changmin mencoba untuk mengembalikan senyumnya pada Chanhee. Kedua tangannya bergerak untuk menangkup pipi Chanhee, mengusap jejak air mata dengan kedua ibu jarinya.
“Aku bakalan balik buat kamu, Hee.”
Ucapan Changmin terputus sesaat, Chanhee menantikan lanjutannya dalam diam.
“Tapi, selama apapun aku pergi- kamu harus nungguin aku.”
Kernyitan heran Chanhee berikan pada Changmin, kedua tangannya bergerak untuk melepaskan tangan Changmin yang menempel pada wajahnya.
“Kenapa aku harus percaya sama omongan kamu? Jelas-jelas hari ini kamu sendiri yang ngerusak janjimu.”
Changmin menghela napasnya, bulir air mata kini juga mulai terbentuk di pelupuk matanya.
“Chanhee, kamu bisa pegang janjiku. Kalau soal pindah ke Jepang, aku emang gak bisa ikut campur karena Ayah sama Bunda udah nentuin ini dari lama.”
“Tapi kalau soal kamu, soal kita, aku yakin aku bisa nepatin janjiku.”
Cukup lama Chanhee terdiam, bimbang harus menjawab apa pada Changmin.
Akan tetapi, akhirnya Chanhee memilih untuk menuruti bisikan hatinya. Untuk mempercayai ucapan Changmin.
“Janji ya, kamu bakal balik buat aku?”
Changmin menautkan kelingkingnya pada kelingking Chanhee.
“Janji.”
Di hari keberangkatan Changmin, Chanhee bersama sang Bunda turut mengantarkan mereka ke bandara. Di perjalanan pulang menuju rumah, Chanhee dapat melihat salju turun dari jendela mobilnya.
Dalam diam, Chanhee dapat merasakan pipinya memanas karena tangisannya.
Salju pertama, terasa berbeda tanpa kehadiran Changmin di sisinya.
♡
Waktu terus berlalu, tumbuh tanpa Changmin terasa berat dan menyakitkan bagi Chanhee.
Alasan utamanya adalah karena Changmin absen dari hidupnya.
Changmin- seorang teman yang selalu ada untuk menghiburnya di kala sedih, seorang teman yang selalu menutup telinganya ketika salah satu penghuni sekolah tak berperasaan melayangkan komentar buruk pada Chanhee, seorang teman yang selalu menjaganya dari rundungan tangan-tangan nakal.
Sekolah Dasar, tentunya lebih mudah untuk dijalani bagi Chanhee jika dibandingkan dengan kehidupannya di Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas.
Berkali-kali, Chanhee diolok-olok karena gaya pakaiannya yang berbeda dari kebanyakan lelaki.
Berkali-kali, Chanhee dicemooh karena lebih menyukai pelajaran kesenian dibanding dengan pelajaran olahraga.
Berkali-kali juga, Chanhee dicibir karena mayoritas dari temannya berjenis kelamin perempuan.
Semua yang telah terjadi itu memang sulit, tetapi Chanhee berhasil bertahan dari semuanya.
Setiap malam- sebelum Chanhee pergi tidur, Chanhee selalu duduk di sisi ranjangnya. Menghabiskan waktu beberapa menit sekadar untuk menatap pigura berisikan fotonya dengan Changmin yang diambil ketika liburan musim panas di kelas 5.
Hanya dengan itu, Chanhee bisa meneruskan hidupnya.
♡
Memasuki masa kuliah, tekanan dan rundungan yang Chanhee dapatkan dari lingkungan sosialnya mulai berkurang. Chanhee sendiri memilih untuk meneruskan pendidikannya di jurusan seni.
Puberty, hits him hard.
Tak dapat dipungkiri, perubahan yang cukup drastis terjadi pada fisik Chanhee. Membuat ini lantas menjadi salah satu hal yang membuatnya menjadi terkenal di seantero kampus.
Dari semester ke semester, banyak yang menyatakan cintanya pada Chanhee. Perempuan dan laki-laki, semuanya Chanhee tolak secara halus dengan alasan klise, “aku lagi fokus kuliah”.
Padahal Chanhee sendiri tahu kalau alasan yang dia gunakan adalah sebuah kebohongan.
Jauh di lubuk hatinya, Chanhee masih menunggu kepulangan Changmin.
Chanhee baru sadar akan perasaannya pada Changmin setelah bertahun-tahun lamanya. Dulu, Chanhee tidak mengerti tentang apa itu cinta.
Kini, Chanhee mengerti bahwa definisinya mengenai cinta adalah Ji Changmin.
Walau terkadang, Chanhee ingin menertawai dirinya sendiri karena masih percaya dengan sebuah janji masa kecil. Janji yang perlahan akan tergerus oleh waktu.
Chanhee bahkan tidak bisa membayangkan ada di mana Changmin-nya itu sekarang.
Dan waktu, terus berputar. Tak akan pernah berhenti untuk menunggu manusia.
♡
'Cause we were just kids when we fell in love
Not knowing what it was
I will not give you up this time
♡
Akhir dari Bulan Desember kini berada di depan mata.
Jurusan Chanhee memutuskan untuk mengadakan pesta natal bersama di suatu restoran di pusat kota. Sebagai primadona jurusan (dan juga kampus), keberadaan Chanhee sangat diharapkan oleh semua orang. Sehingga mau tak mau, Chanhee menuruti permintaan mereka.
Ketika yang lain sedang terlarut dalam permainan Truth or Dare, Chanhee mengalihkan pandangannya ke arah jendela.
Salju pertama tahun itu, mulai turun untuk mewarnai bumi dengan warna putihnya.
Dengan sigap, Chanhee berdiri dari tempatnya, mengenakan jaketnya, dan berpamitan pada teman-temannya sebelum berjalan keluar dari restoran.
Chanhee tidak bisa melewatkan momen kesukaannya.
Chanhee melangkahkan kakinya menuju sebuah pohon mistletoe besar yang menarik perhatiannya bahkan dari kejauhan. Sesampainya ia di depan pohon, helaan nafas bercampur rasa takjub dan kagum keluar dari mulutnya. Derasnya salju yang turun, membuat pohon besar itu dapat tertutupi dengan cepat oleh warna putih.
Chanhee berbisik pada dirinya sendiri, andai saja Changmin ada disini untuk menyaksikan pemandangan indah ini.
Sejak tadi, netra Chanhee terfokus pada bintang kuning yang bersinar terang di atas pohon. Perlahan- pandangannya turun dari puncak.
Hingga ketika pandangannya menatap lurus ke depan, Chanhee terdiam mematung.
Seseorang berdiri di seberang sana dengan wajah yang familiar.
Perlahan-lahan, wajah itu memunculkan senyumnya. Lesung pipit yang lama terkubur dalam ingatan Chanhee- kini tercetak jelas di wajah sosok di hadapannya.
Pelan tapi pasti, keduanya berjalan mendekat.
Kini hanya tersisa beberapa langkah.
“Changmin?” tanya Chanhee untuk memastikan kedua matanya.
Senyuman yang kian mengembang tampak pada sosok itu, Chanhee sedikt terhempas ke belakang karena pelukan erat yang ia dapatkan kemudian.
Masih berusaha untuk mencerna situasi, mulut Chanhee terkatup rapat.
Sampai akhirnya, Changmin bergerak untuk melepas pelukannya. Terkejut bukan main karena dilihatnya air mata Chanhee sudah mengalir dengan deras. Bak kaset rusak, adegan Changmin yang mengusap air mata Chanhee kembali terulang.
Tiba-tiba, hujaman pertanyaan bertubi-tubi keluar dari mulut Chanhee.
“Kamu kemana aja, Min?”
“Kenapa kamu pergi lama banget?”
“Kenapa kamu baru muncul sekarang?”
“Sejak kapan kamu udah balik ke Korea?”
“Darimana kamu tau kalau aku ada disini?”
Changmin menahan tawanya, Chanhee-nya ternyata masih secerewet ini.
Chanhee-nya, masih sama seperti dahulu.
“Hey, hey. Pelan-pelan dong nanyanya. Gimana kalau kita obrolin sambil minum cokelat panas? Dingin Hee, kalau ngobrolnya di luar kayak gini.”
Dan di sanalah mereka berdua sekarang. Di pojok sebuah restoran dengan dua mug keramik berisi cokelat panas.
Bertukar kabar, melepas rindu.
Bagi Chanhee, waktu di dunianya kembali berjalan setelah Changmin kembali ke dalamnya.
Karena keduanya mengobrol hingga larut, Changmin menawarkan untuk menemani Chanhee berjalan pulang. Persis seperti apa yang dulu biasa mereka lakukan sepulang sekolah.
Setibanya di depan rumah, Chanhee menatap Changmin dalam-dalam. Yang ditatap malah kebingungan.
“Ada apa?”
“Aku gamau bilang dadah. Aku takut kalau kamu pergi lagi.”
Perkataan tak terduga dari Chanhee mengundang tawa renyah keluar dari belah bibir Changmin.
Changmin kemudian bergerak maju, menghapus jarak diantara mereka berdua sambil menarik tengkuk Chanhee. Menciumnya lembut selama beberapa detik.
“Aku gak akan pergi lagi, Chanhee. Aku udah janji 'kan, sama kamu?”
Jemari Chanhee bergerak untuk meraba bibirnya, otaknya korslet karena tindakan mendadak yang Changmin lakukan.
“Terlebih lagi, gimana caranya aku bisa pergi setelah tau soal bibir manis kamu?”
“Gak mungkin aku relain bibir itu buat dikecup sama yang lain.”
Udara di akhir bulan Desember biasanya cukup dingin.
Tapi mengapa Chanhee kini malah tak bisa berkata-kata sambil mengipasi wajahnya yang memanas?
Fin.