blissfulqnew

Bunyi alunan piano berpadu indah dengan derap langkah kaki dua insan manusia berbeda umur yang sedang berjalan beriringan menuju altar.

Changmin menerima uluran tangan Chanhee yang diserahkan oleh Tuan Choi, tersenyum tulus ketika calon mertuanya itu membisikkan kalimat “tolong jaga anakku baik-baik” pada Changmin.

Di altar, Chanhee dan Changmin berdiri berhadapan dengan tangan yang bertautan. Sunwoo berdiri tak jauh dari mereka berdua, bersiap-siap dengan kotak beludru berwarna merah yang berada dalam genggamannya.

Janji sehidup semati diucapkan terlebih dahulu oleh Changmin, jawaban “yes, I do” dari Chanhee menyambut ucapannya. Hal ini kemudian disusul dengan penyematan cincin di jari manis Chanhee oleh Changmin.

Setelahnya, giliran Chanhee-lah yang mengucapkan janji sucinya. Mengikat Changmin menjadi miliknya selamanya, dalam keadaan susah maupun senang, dengan simbol cincin di jari manisnya.

Senyuman bahagia tidak luntur barang sedetikpun dari wajah Chanhee maupun Changmin. Dengan satu langkah penuh percaya diri, Changmin menghapus jarak diantara mereka. Menautkan bibir keduanya dalam satu ciuman lembut.

Tepukan tangan dan sorak-sorai mewarnai ruangan itu. Sunwoo adalah satu dari banyak orang yang ikut bertepuk tangan, senyuman penuh arti menghiasi wajahnya.

Selama ini, Sunwoo selalu bersikap posesif dan mengikat Changmin karena Sunwoo selalu merasa kalau dirinya adalah pelindung satu-satunya bagi Changmin.

Tapi kini, Sunwoo akhirnya tersadar.

Dua orang pelindung bagi Changmin, nyatanya lebih baik daripada hanya satu.

Seperti yang sudah Chanhee sampaikan kemarin, Chanhee akan datang menjemput Sunwoo di pagi hari.

Akan tetapi, Sunwoo sempat tertegun beberapa saat ketika berjalan keluar dari rumah.

Sunwoo tidak pernah menduga jika Chanhee akan datang menjemput dengan mobil sport hitam keluaran terbaru, yang Sunwoo yakini harganya jauh dari kata terjangkau.

Melihat Sunwoo yang berjalan ke arahnya, Chanhee segera membukakan pintu mobil untuk Sunwoo dan berjalan ke sisi lain dari mobil untuk duduk di kursi pengemudi.

Setelah keduanya duduk dengan manis di dalam mobil, Chanhee meregangkan badannya untuk mengambil sesuatu dari kursi belakang dan memberikannya pada Sunwoo.

Kotak bekal bergambar muka rakun kini berada di atas pangkuannya, membuat Sunwoo mengedipkan matanya beberapa kali.

“Kalau ngeliat dari ekspresi Nunu yang kaget kayak gini, kayaknya dugaan kakak semalem bener deh. Nunu belum sarapan, ya?”

Sunwoo mengalihkan pandangannya dari kotak bekal ke wajah Chanhee secara perlahan, gelengan lemah ia berikan pada sosok di sebelahnya.

“Nah, sekarang kita sarapan bareng dulu ya? Nunu sama kakak bakalan butuh energi yang banyak soalnya hari ini,” jelas Chanhee sambil mengangkat kotak bekal bergambar penguin miliknya.

Anggukan kecil tercipta dari kepala Sunwoo, tangannya mulai bergerak untuk membuka kotak bekalnya. Pergerakannya terhenti sejenak setelah melihat isi dari kotak bekal tersebut.

Nasi goreng tuna dengan potongan apel yang dipisahkan oleh sekat kotak bekal, menu sarapan kesukaan Sunwoo.

“Makasih.” cicit Sunwoo pelan, tetapi masih cukup kencang untuk dapat tertangkap oleh indera pendengaran Chanhee.

Sunwoo tak menghitung dengan pasti seberapa lama perjalanan mereka, tetapi ia tahu bahwa tempat tujuan mereka berada cukup jauh dari kota tempat mereka tinggal.

Memasuki arena parkir, Sunwoo menurunkan kaca jendela agar dapat melihat dengan lebih jelas nama tempat tujuan mereka.

Kebun binatang?

Setelah mobil terparkir dengan rapi di bawah pohon yang rindang, Chanhee kemudian mematikan mesin mobilnya. Dari dalam tas selempangnya, Chanhee mengeluarkan botol sun-block dan sebuah spray anti nyamuk.

“Siniin tangannya Nu, harus pake ini dulu sebelum masuk ke dalem.”

Seolah tersihir, Sunwoo menuruti perkataan Chanhee dengan begitu saja. Membiarkan Chanhee mengaplikasikan sun-block pada tangannya dan meniupinya hingga kering sebelum menyemprotkan spray anti nyamuk.

“Dah! Yuk kita turun?”

Kebun binatang.

Suatu tempat yang belum pernah Sunwoo kunjungi sebelumnya.

Pikirannya mendadak terbang jauh ke masa lalu, Sunwoo masih ingat bagaimana dirinya selalu merengek untuk pergi ke kebun binatang pada kedua orang tuanya di setiap akhir pekan. Rengekannya terus-menerus terulang karena kesibukan kedua orang tuanya membuat Sunwoo tidak bisa mendapatkan keinginannya.

Sekarang, Sunwoo merasa sedikit aneh.

Karena keinginan masa kecilnya malah dikabulkan oleh seseorang yang beberapa hari ke belakang ini selalu Sunwoo kirimkan sumpah-serapah.

Lambaian tangan Chanhee di depan wajahnya membuat Sunwoo terkesiap dan kembali ke alam sadarnya.

“Nunu? Kok bengong?”

“Nggak kok, gak bengong.”

Chanhee menghela napasnya, jemarinya kini melingkar dengan manis di pergelangan tangan Sunwoo.

“Yuk, kita mulai liat-liat.”

Dan dimulailah hari mereka di kebun binatang secara resmi.

Sebagai permulaan, Chanhee membawa Sunwoo untuk mengunjungi setiap kandang hewan yang ada. Awalnya, Sunwoo masih berusaha keras untuk memasang sifat defensifnya. Tapi lama-kelamaan, Sunwoo mulai menampakkan sifat aslinya pada Chanhee.

Ketika keduanya berada di wahana berfoto dengan orangutan, Sunwoo terus-menerus berteriak karena si orangutan tidak mau lepas dari badan Sunwoo bahkan setelah sesi berfoto selesai. Chanhee sampai sesak napas menahan tawa agar tidak meluncur keluar dari mulutnya.

Memasuki kandang terbuka, Sunwoo meminta Chanhee agar mereka berdua menuju kandang jerapah dan Chanhee langsung menuruti keinginannya. Berbekal wortel di tangan kirinya, Sunwoo melangkah maju mendekati si jerapah yang sedang bersantai. Dengan tangan yang bergetar, takut-takut Sunwoo mulai mengarahkan wortelnya pada si jerapah. Senyum kebahagiaan lantas terpancar dari wajahnya ketika si jerapah mulai memakan wortel yang Sunwoo angsurkan. Chanhee di sisi lain, mengeluarkan handphonenya dan mengambil video serta beberapa foto dari Sunwoo dan si jerapah.

Baik Sunwoo maupun Chanhee tertawa bersamaan ketika melihat hasil fotonya, keduanya setuju bahwa jerapah ini terlihat mirip dengan Changmin.

Berganti ke wahana selanjutnya, Sunwoo dan Chanhee memutuskan untuk memutari lapangan dengan menaiki unta. Pada awalnya, Chanhee memilih untuk menaiki unta yang berbeda karena takut akan canggung dengan Sunwoo. Tapi karena Sunwoo (lagi-lagi) berteriak ketakutan, akhirnya Chanhee mengalah dan menaiki untanya bersama dengan Sunwoo.

Perlahan, mentari mulai bergerak ke arah utara. Chanhee kemudian mengajak Sunwoo untuk duduk di tepi danau buatan dan membeli hotdog dari kedai kecil yang masih terletak di dalam kebun binatang. Keduanya menghabiskan makanan mereka dengan tenang, sesekali Sunwoo berkomentar tentang kawanan angsa yang berenang tak jauh dari tempat mereka.

“Ih, kok angsanya berenangnya mepet-mepet terus sih?”

“Kok bulu mereka gak basah pas kena air?”

“Angsa itu aslinya ada yang warna item gak sih?”

“Kalau angsa berantem sama bebek, kira-kira siapa ya yang bakal menang?”

Chanhee menanggapi celotehan Sunwoo dengan senang hati. Baginya, Sunwoo terlihat sangat menggemaskan di matanya sekarang ini.

Selesai mengisi perut, Chanhee memutuskan untuk mengecek handphonenya selama beberapa menit.

Sebuah tarikan kecil di ujung bajunya membuatnya kembali mengalihkan perhatiannya pada Sunwoo.

“Ya, Nunu? Ada apa?”

Yang ditanya menjulurkan tangannya, menunjuk ke suatu bangunan yang didominasi oleh warna biru.

“Mau masuk kesana...” ujar Sunwoo pelan sambil memainkan sisi celananya dengan tangan yang satunya.

Eh? Kemana perginya Sunwoo yang dingin?

Bangunan yang Sunwoo maksud adalah sebuah aquarium besar yang merupakan miniatur pesona laut dalam ruangan. Sejak memasuki tempat tersebut, Sunwoo tak henti-hentinya berlarian kesana-kemari; menempelkan wajahnya pada dinding akuarium dengan kedua matanya yang bergerak lincah mengikuti arah berenang ikan-ikan yang berada di balik dinding kaca.

Senyuman tipis kini menghiasi wajah Chanhee.

Chanhee mengajak Sunwoo pergi ke kebun binatang bukan tanpa alasan. Kala itu, Changmin pernah bercerita tentang bagaimana sang adik menaruh perhatian lebih pada dunia hewan sejak ia masih kecil.

Changmin juga terang-terangan memberitahu Chanhee tentang bagaimana sebagian besar dari masa kecil Sunwoo, direbut paksa oleh kejamnya realita semenjak kedua orangtuanya meninggal.

Tanpa kedua orangtuanya, Sunwoo dituntut oleh takdir untuk menjadi dewasa sebelum waktunya. Sunwoo juga diharuskan untuk menjadi lebih mandiri karena ia harus menjaga Changmin yang pada saat itu sudah mulai melemah kondisi fisiknya.

Cerita Changmin terus-menerus berputar dalam benak Chanhee. Rasa bersalah Changmin tersalurkan dengan jelas melalui ceritanya. Chanhee akhirnya paham alasan dibalik Sunwoo yang bersikap keras padanya.

Walau bergelimang oleh harta, Sunwoo tidak dapat menikmati masa remajanya dengan sepenuh hati.

Karenanya, paling tidak inilah yang dapat Chanhee berikan pada Sunwoo.

Satu hari dimana Sunwoo dari masa remaja, bisa kembali menikmati hidupnya.

Chanhee dan Sunwoo menghabiskan waktu mereka di kebun binatang hingga sore hari. Sebelum pulang, Chanhee menyempatkan untuk membelikan Sunwoo gulungan permen kapas besar berbentuk Mickey Mouse.

Perasaan canggung kembali menghiasi perjalanan pulang.

Sunwoo duduk di kursi penumpang sembari menikmati permen kapasnya dalam diam, beberapa kali ia melirik Chanhee yang fokus mengemudi dengan sudut matanya.

“Kenapa, Nu? Ada yang mau diomongin?”

Sunwoo terkesiap, niat hati memberikan jawaban bohong tapi dirinya sudah terlanjur kepalang basah.

“Mm, gue boleh nanya sesuatu?”

“Boleh kok. Nunu mau nanya apa?”

“Kenapa waktu itu.. lo nangis sampe segitunya pas tau abang harus dioperasi?”

Dengan tatapan yang masih terfokus pada jalanan, Chanhee menarik napas panjang sebelum memberikan jawabannya.

“Soalnya, kakak juga punya keluarga yang menderita penyakit jantung bawaan. Tepatnya, bundanya kakak. Waktu tau Changmin harus dioperasi, kakak panik bukan main.”

Sunwoo menegakkan duduknya, kedua telinganya terpasang dengan baik untuk mendengarkan jawaban Chanhee.

“Dulu, bunda juga harus dioperasi. Tapi.. Tuhan lebih sayang sama bunda, hari itu juga bunda pergi buat ketemu Tuhan.”

Mobil sport hitam milik Chanhee kemudian berhenti di lampu merah, kesempatan ini dimanfaatkan oleh Chanhee untuk menoleh ke arah Sunwoo.

“Kakak takut banget Tuhan juga bakalan ngambil Changmin dari kakak, itu sebabnya kakak gak bisa nahan diri buat gak nangis waktu itu.”

Sunwoo terdiam mendengar jawaban dari Chanhee.

Sunwoo memilih untuk menatap keluar jendela ketika mobil kembali melaju, rasanya ia tak sanggup jika harus kembali menatap Chanhee setelah mengetahui semua ini.

Sunwoo merasa malu pada dirinya sendiri karena sudah berprasangka jahat pada Chanhee.

Jika saja Sunwoo langsung percaya pada Changmin soal Chanhee, peristiwa-peristiwa di beberapa hari kebelakang tidak akan terjadi.

Chanhee memaklumi Sunwoo yang masih terdiam karena jawabannya. Memasuki komplek perumahan Sunwoo, Chanhee memutuskan untuk kembali membuka suara.

“Nu, mau bawa oleh-oleh buat Changmin?”

Sunwoo menggelengkan kepalanya.

“Abang lebih suka masakan rumahan,”

Perkataan Sunwoo terjeda sejenak.

“Boleh nggak kalau Kak Chanhee aja yang masak di rumah buat abang?”

Tunggu.

Barusan.. Chanhee tidak salah dengar, 'kan?

Kak Chanhee?

Sunwoo baru saja memanggilnya dengan “kakak”?

Tepukan ringan di pundak Sunwoo berhasil menariknya kembali dari alam mimpi. Sunwoo bahkan tidak sadar sejak kapan dirinya tertidur di bahu Kevin.

Setelah mengerjapkan matanya beberapa kali, Sunwoo mendongakkan kepalanya dan bertatapan langsung dengan Chanhee- orang yang barusan membangunkannya. Chanhee memiringkan kepalanya sedikit, memberi sinyal agar Sunwoo mengikutinya.

Sunwoo menggelengkan kepalanya kuat-kuat sebagai balasan. Sunwoo tidak mau meninggalkan Changmin yang masih terbaring lemah di ICU.

Menyadari ketegangan yang mulai terjadi, Kevin menepuk punggung Sunwoo beberapa kali. Memberikan senyuman tipis, menyuruh Sunwoo agar menuruti ajakan Chanhee, sekaligus meyakinkan Sunwoo bahwa Kevin tidak akan pergi kemana-mana untuk menjaga Changmin.

Dengan berat hati, akhirnya Sunwoo mau melangkahkan kakinya untuk mengikuti Chanhee ke taman belakang di rumah sakit tersebut.

Chanhee kemudian meminta agar Sunwoo duduk terlebih dahulu di bangku yang terletak di taman, sementara Chanhee pergi ke kantin untuk membeli kopi panas untuk mereka berdua. Ditemani udara pagi hari yang dingin, keduanya menikmati kopi masing-masing dalam keheningan.

Tak lama setelah kopi miliknya habis, Chanhee mengutarakan maksudnya tanpa banyak basa-basi.

“Changmin.. sakit ya, Nu?”

Sunwoo terdiam selama beberapa saat, berusaha menekan firasat buruknya.

“Buat apa gue kasih tau lo soal itu? Bukannya habis ini lo bakalan ninggalin abang gue karena udah tau soal penyakitnya?”

Chanhee mengerutkan keningnya, bingung dengan reaksi pedas yang Sunwoo berikan padanya.

“Siapa yang bilang sama kamu kalau aku bakalan ninggalin Changmin, Nu? Aku beneran pengen tau soal penyakitnya aja kok.”

Cukup lama Sunwoo menatap ke dalam netra lawan bicaranya, berusaha untuk mencari celah kebohongan yang mungkin ia tutupi.

Tetapi, semakin jauh Sunwoo mencari- semakin jelas baginya bahwa sosok di depannya telah mengatakan yang sebenarnya.

Sunwoo pun akhirnya menyerah, memilih untuk mengikuti hati nuraninya. Terlebih ketika memori Chanhee yang menangis karena Changmin terus-menerus berputar dalam pikirannya.

“Bang Changmin.. punya penyakit jantung bawaan,” mulai Sunwoo dengan ceritanya, tatapannya senantiasa terkunci pada wajah Chanhee; mengamati setiap perubahan ekspresi yang akan terjadi pada wajah itu.

“Penyakit ini baru ketauan pas abang kuliah. Tepatnya di tahun terakhir, di tengah-tengah pengerjaan skripsinya.”

“Waktu itu, abang sering ngeluh pusing dan ngerasa capek. Gue kira itu cuman karena skripsinya, karena banyak yang emang ngerasa stress pas skripsian 'kan?”

“Ternyata, masalahnya lebih serius dari sekedar stress.”

“Setelah itu, abang jadi sering pingsan dan sering sakit dada. Tapi sebagai anak SMP, gue gak ngerti apa-apa. Terlebih, waktu itu gue juga gak terlalu merhatiin abang karena kita berdua baru aja ditinggal sama mami papi.”

Netra Chanhee makin lama makin meredup. Changmin memang sudah bercerita tentang kedua orangtuanya yang meninggal karena kecelakaan pesawat terbang, tetapi ia tak pernah menyangka bahwa Sunwoo kehilangan keduanya di usia yang masih sangat muda.

“Akhirnya waktu itu, abang ngelakuin operasi di jantungnya dan terpaksa buat nunda pengerjaan skripsinya karena keadaan fisiknya juga udah gak mendukung. Selama 6 bulan lamanya, abang fokus buat proses pemulihan.”

“Abang baru bisa ngelanjutin skripsinya di semester selanjutnya, di saat temen-temen seangkatannya udah pada lulus duluan.”

Ah- jadi ini alasan mengapa ia dan Changmin lulus di tahun yang berbeda, batin Chanhee.

“Yang gue heranin, kenapa katup mitral abang bisa menebal lagi dan sampe harus diganti lagi? Setau gue penebalan katup mitral ini lebih banyak terjadi di perempuan.”

Chanhee lantas menggerakkan sebelah tangannya untuk meraih tangan Sunwoo.

“Nu, kamu gak tau ya kalau stress dan kelelahan juga bisa memperburuk penebalan katup mitral?”

Gelengan lemah Chanhee dapatkan dari Sunwoo.

“Nu, kamu pasti gak tau ya kalau udah seminggu ini abangmu selalu over-work di kantornya?”

Lagi, Sunwoo menggelengkan kepalanya.

Chanhee menghela napasnya, genggamannya pada tangan Sunwoo bertambah erat.

“Selama kamu gak balik ke rumah, kakak ngeliat gimana stressnya abang kamu. Sebagai pelampiasan dari rasa stressnya, abang kamu ini milih buat over-work biar gak kepikiran sama kamu terus.”

Sunwoo menggigit bibir bawahnya kuat-kuat setelah mencerna penjelasan dari Chanhee.

Tak pernah sekalipun ia menyangka bahwa dirinyalah yang membawa sang kakak hingga ke situasi seperti ini.

Bodoh, Sunwoo bodoh.

Jika setelah ini Changmin memutuskan untuk membencinya seumur hidup, Sunwoo akan menghargai dan menerima keputusan sang kakak dengan lapang dada karena ia merasa bahwa dirinya memang berhak untuk disalahkan.

Melihat Sunwoo yang tampak tersesat dalam pikirannya sendiri, Chanhee segera mengajak Sunwoo untuk kembali ke ICU.

Bertepatan dengan kembalinya mereka berdua ke ICU, dokter yang menangani Changmin berjalan menghampiri mereka. Memberikan kabar bahwa Changmin telah sadar kembali dan sedang diproses untuk dipindahkan ke ruang rawat inap yang biasa.

Sayangnya, dokter berkata bahwa hanya satu orang yang diperbolehkan untuk mengunjungi Changmin saat ini.

Mendengar hal ini, Sunwoo langsung mencuri pandang ke arah Chanhee.

“Sana masuk duluan, Nu. Pihak keluarga harus masuk lebih dulu,” ucap Chanhee dengan senyum manisnya.

Sekali lagi, Sunwoo kembali dibingungkan oleh Chanhee yang mengalah kepadanya.

Ragu-ragu, Sunwoo menggeser pintu kamar Changmin. Indra penglihatannya langsung bertabrakan dengan tatapan sayu yang terhalang oleh masker oksigen dari sang kakak yang terbaring di atas kasur.

Hampir 1 menit lamanya Sunwoo berdiri di depan pintu, tak berani melangkah mendekat pada Changmin.

Hingga kemudian, satu isyarat gerakan tangan dari Changmin membuat Sunwoo langsung menghambur ke arahnya bersamaan dengan tangisannya yang pecah.

Dengan penuh kehati-hatian, Sunwoo memberikan pelukan eratnya pada sang kakak. Melepaskan seluruh rasa rindu dan juga kalutnya.

Dada Changmin bergerak naik-turun perlahan, tertawa lemah melihat kelakuan sang adik. Dengan tangannya yang masih terbelit oleh selang infus, Changmin mengusap punggung Sunwoo perlahan. Berusaha semampunya untuk menenangkan sang adik.

“Udah-udah, jangan nangis lagi adek. Malu ih sama umur.”

Suara serak Changmin membuat Sunwoo mengangkat wajahnya. Mata bengkak dan hidung merahnya membuat Changmin kembali tertawa lemah dari balik masker oksigennya.

“Nu ah, lap dulu sana mukamu. Abang gak mau ya punya adek jelek.”

Tanpa terasa, akhir pekan kembali menyapa. Sepasang kakak adik ini memulai hari mereka dengan menonton TV bersama dalam posisi bersebelahan, dimana sang adik bersender dan mengistirahatkan kepalanya di bahu sang kakak.

“Bang.”

“Mhm?”

“Abang sekarang makin sedikit deh waktunya buat bareng-bareng sama adek.”

Tangan Changmin tergerak untuk mengelus pucuk kepala Sunwoo dengan gemas.

“Iya kah? Adek mau jalan keluar bareng abang hari ini?”

Dengan cepat, Sunwoo menegakkan tubuhnya dan berbalik untuk menghadap ke arah Changmin. Kepalanya mengangguk-angguk lucu beberapa kali.

“Mau!! Mau banget!!”

Changmin tersenyum simpul melihat reaksi sang adik yang kegirangan.

“Kalau gitu, sana siap-siap dulu gih. Kita nonton Black Widow di bioskop aja ya?”

Sunwoo lantas berdiri tegak di depan Changmin, memberinya hormat dengan wajah serius.

“Siap laksanakan, Komandan!”

Entah permainan takdir seperti apa yang Tuhan berikan pada Changmin, karena semakin lama- Changmin semakin bingung tetapi juga yakin dengan perasaannya di saat yang bersamaan.

Di dalam teater tempat pemutaran film Black Widow yang telah dipilih olehnya sebelumnya, Changmin kembali bertemu Chanhee.

Ekspresi terkejut tak dapat Chanhee sembunyikan tatkala netranya bertabrakan dengan iris gelap milik Changmin. Pandangannya kemudian turun kepada orang yang mengekor di belakang Changmin.

“Ah, kenalin Nu. Ini malaikat penolong-nya abang, yang waktu itu abang ceritain.”

Malaikat penolong.

Sunwoo pikir, abangnya ini benar-benar harus berhenti menjadi seseorang yang hiperbola. Tatapan sinis terpancar keluar dari bola mata Sunwoo, tangannya bergerak untuk menjabat tangan Chanhee dengan terpaksa karena barusan Changmin langsung menyikutnya cukup kencang.

Selama film diputar di layar putih besar yang berada di depan mereka, Changmin dan Chanhee malah sibuk mengobrol berduaan. Cekikikan tertahan dari keduanya dapat terdengar oleh Sunwoo secara jelas.

Membuat Sunwoo mendadak merasa diasingkan oleh kedua manusia di sebelahnya.

Selesai menonton, Changmin dan Sunwoo memutuskan untuk langsung pulang.

Namun selama di perjalanan pulang, Sunwoo terus-menerus berdiam diri. Tentunya Changmin sadar akan hal ini, karena normalnya Sunwoo mempunyai ratusan topik untuk dibicarakan bersama Changmin. Paham bahwa Sunwoo tidak akan bercerita jika tidak dipancing terlebih dahulu, Changmin memutuskan untuk membuka suara.

“Ada apa, Dek? Kenapa diem aja dari tadi?”

“Gak ada apa-apa kok, Bang.”

“Adek, abang tau kok kapan adek bohong dan kapan adek beneran ngomong jujur.”

Beberapa detik setelahnya, Sunwoo menyalakan lampu sen dan memberhentikan mobil mereka di tepi jalan.

“Bang, lo beneran harus hati-hati.”

Bingung, Changmin tidak mengerti ke arah mana percakapan ini menuju.

“Maksudnya, Dek? Hati-hati soal apa?”

Sunwoo memutar tubuhnya, menghadap ke arah Changmin dan menatap lekat ke dalam matanya.

“Soal orang yang tadi.”

“Chanhee? Kenapa soal Chanhee? Jelas-jelas Chanhee itu orang baik, adek gak liat emangnya tadi dia kayak gimana?”

“Bang, dulu juga lo bilang kalau Bang Hyunjae itu orang baik. Tapi apa abang gak inget? Dia dulu tiba-tiba ninggalin lo gitu aja, Bang. Tanpa kejelasan sama sekali.”

Sunwoo memberi jeda pada perkataannya untuk menghela napas sesaat.

“Gue rasa- cerita lo sama Chanhee juga bakalan berakhir sama kayak cerita lo sama Bang Hyunjae dulu, Bang.”

“Dia gak akan bertahan sama lo.”

Detik berikutnya, keduanya terdiam dalam keheningan.

Karena Changmin baru saja melayangkan tamparannya pada wajah Sunwoo.

Rasa sakit bercampur panas menjalar perlahan di wajah Sunwoo. Tanpa berlama-lama, Sunwoo kembali mengemudikan mobil dan melanjutkan perjalanan pulang mereka.

Dalam diam dan dengan napasnya yang memburu, Changmin turut merasakan rasa sakit. Tangannya meremas baju bagian atasnya, berusaha untuk melawan rasa sesak yang timbul di dadanya.

Setelah selesai makan malam bersama dengan tenang, Changmin mendadak meminta Sunwoo untuk diam sebentar di ruang tamu dan mengobrol dengannya.

Changmin bilang, ada hal serius yang ingin dia katakan.

Dengan hati-hati, Changmin menaruh dua buah cangkir berisi cokelat panas di atas meja lalu mendudukan dirinya di atas sofa. Sunwoo meraih cokelat panas miliknya, menyesapnya perlahan sembari menunggu Changmin untuk memulai percakapan.

“Mm, abang mau cerita soal beberapa hal.”

Sunwoo menghentikan kegiatannya, mengalihkan tatapannya pada wajah sang kakak.

“Di supermarket tadi waktu handphone abang low battery, abang bingung kan mau ngecharge dimana. Soalnya gak ada charging box.”

“Pas abang lagi muter-muter buat nyari charging box sambil megang charger, tiba-tiba bahu abang ditepuk dari belakang. Waktu abang ngebalik, ternyata abang udah disodorin powerbank sama cowok yang keliatannya seumuran sama abang.”

Sunwoo lantas meletakkan cangkir miliknya yang kini telah kosong, memasang kedua telinganya baik-baik untuk mencerna cerita yang lebih tua.

“Terus abang ngerasa familiar sama cowok ini.. dan bener aja, ternyata cowok ini adalah orang yang nolongin abang tempo hari.”

Sebelah alis milik Sunwoo tertarik ke atas.

Menolong, katanya?

Seseorang telah menolong kakaknya dari sesuatu?

“Jadi kemarin tuh waktu abang kelar rapat, abang tiba-tiba dideketin sama yang lagi mabuk-mabukan pas abang lagi jalan ke halte bus. Orang itu tiba-tiba meluk abang dari belakang, abang udah berusaha buat berontak tapi tenaga abang gak cukup- jadi akhirnya abang mutusin buat teriak minta tolong.”

“Nah, setelahnya.. munculah si orang ini. Orang yang sama dengan orang yang minjemin abang powerbank.”

Mendengar lanjutan cerita Changmin, jumlah kerutan di dahi Sunwoo bertambah banyak.

Bagaimana bisa Changmin ditolong oleh orang yang sama, yang sebelumnya tidak pernah Changmin kenal, hanya dalam kurun waktu kurang dari 24 jam?

Changmin menyadari raut wajah penuh kebingungan dari sang adik, ia kemudian bergerak mendekati Sunwoo dan meremat tangan Sunwoo pelan.

“Adek.. kalau abang bilang cowok ini tuh takdirnya abang, gimana?”

Dengan cepat, Sunwoo menghentakkan tangannya. Menyentak tangan Changmin hingga terlepas dari miliknya dalam sepersekian detik.

“Ringan banget sih mulut lo ngomongin soal ginian, Bang? Gue gak mau denger lagi soal ini ah. Gue tidur duluan aja ya Bang? Udah ngantuk gue.”

Sunwoo kemudian beranjak dari tempatnya dan memasuki kamarnya tanpa melihat kembali ke arah Changmin. Mood-nya mendadak hancur karena cerita sang kakak.

Little does Changmin know, rasa sedih dan kecewa bercampur aduk dalam benak Sunwoo.

Sedih karena ia tak bisa berada disana untuk turut melindungi sang kakak, serta kecewa karena dengan teganya sang kakak mulai merahasiakan yang terjadi pada dirinya dari Sunwoo.

Sabtu hadir dan menyapa lebih cepat dari yang Chanhee dan Changmin perkirakan.

Seratus orang mahasiswa berbeda jurusan itu berangkat menuju tempat tujuan menggunakan dua angkutan berbeda. Satu untuk mahasiswa kedokteran dan yang satunya lagi untuk mahasiswa kedokteran hewan. Setibanya mereka di kawasan camping, kedua jurusan segera menuju wilayahnya masing-masing dan mendirikan tendanya sebelum matahari bersinar tepat di atas kepala.

Walaupun judul acaranya adalah kegiatan “bonding”, kenyataan yang terjadi di lapangan adalah masing-masing jurusan sudah mempunyai timeline acaranya sendiri. Hal ini lantas membuat Chanhee dan Changmin dapat menghembuskan napas leganya.

Setidaknya.. hingga sebelum waktu malam tiba.

Tanpa Chanhee dan Changmin ketahui, kegiatan jurit malam berada di timeline kedua jurusan. Keduanya mendadak panik ketika mendengar bahwa jurit malam ini akan dilaksanakan secara berpasangan, dengan masing-masing 1 orang dari setiap jurusannya. Pasangan untuk kegiatan jurit malam ini nantinya didapatkan melalui proses pengundian nomor.

Dalam doanya, Chanhee terus-menerus berharap agar tidak mendapat nomor undian yang sama dengan nomor undian yang Changmin ambil.

Alangkah bahagianya Chanhee ketika mengetahui bahwa doanya telah terkabul dalam hitungan detik.

Orang yang menjadi pasangan jurit malam Chanhee adalah seseorang yang bernama Hyunjae. Pada awalnya, Chanhee merasa biasa saja. Akan tetapi, memasuki jalur lintasan yang lebih sepi dan gelap- Hyunjae tiba-tiba mempercepat langkahnya.

Membuat Chanhee tertinggal jauh di belakang sendirian.

Yang kini menjadi masalah lain bagi Chanhee adalah selain gelapnya jalur lintasan, dirinya juga tidak memegang peta untuk menuntunnya ke titik akhir.

Ketakutan mulai melahap dirinya perlahan. Chanhee memutuskan untuk diam di tempat, lantas berjongkok sambil menahan tangisannya. Tidak berani untuk melanjutkan perjalanan karena takut tersandung dan juga tersasar.

Sebelum Chanhee benar-benar menangis, sebuah cahaya dari lampu senter tiba-tiba menyoroti muka Chanhee. Membuat Chanhee otomatis menutup kedua matanya dengan telapak tangan karena merasa silau.

Cahaya senter itu bergerak mendekat ke arah Chanhee secara perlahan, hingga pada akhirnya orang tersebut mengarahkan senternya ke arah lain ketika dirinya telah berada tepat di depan Chanhee.

Chanhee kemudian dapat melihat dengan jelas bahwa sosok yang kini berada di depannya adalah..

Changmin.

Krik.

Krik.

Hening malam membuat suara jangkrik terkesan meledek pertemuan dua insan manusia ini.

Baik Chanhee maupun Changmin sama-sama terkejut dengan pertemuan mereka yang tak disangka-sangka. Keduanya merasa canggung dengan situasi tak terduga ini, terlebih ketika Changmin menyadari bahwa Chanhee terlihat seperti akan menangis.

Tak ingin berlarut-larut dalam kecanggungan, Chanhee memberanikan dirinya untuk membuka percakapan.

“Kok sendirian?”

“Lo juga kenapa sendirian?”

“Tadi gue bareng sama Kak Hyunjae, tapi dianya tiba-tiba jalan cepet dan jadinya gue ketinggalan disini.”

“Oh, gue sih emang dari awal sendirian soalnya pasangan jurit malam gue lagi sakit jadi dia diem doang di tenda.”

“Oh..”

Hampir 5 menit berlalu dalam keheningan (lagi), sebelum akhirnya Changmin kembali membuka suara.

“Yaudah, gue duluan ya?”

Tanpa sadar, Chanhee meraih lengan baju Changmin dan menariknya untuk berhenti.

“E-eh, gue ikut sama lo ya? Bukan jalan bareng sih, gue ngikutin aja di belakang lo soalnya peta sama senter tim gue dibawa sama Kak Hyunjae dua-duanya. Gapapa kan?”

“Okay.”

Walau rasa sebal dan tidak suka masih dapat Changmin rasakan, pada dasarnya Changmin adalah seorang makhluk sosial yang dapat merasakan empati serta simpati.

Setelahnya, mereka berdua melanjutkan perjalanan dengan posisi Changmin yang memegang senter dan memimpin di depan.

Meskipun begitu, lama-kelamaan keduanya malah berjalan secara bersebelahan karena langkah kaki Chanhee yang lebih lebar dibandingkan dengan langkah kaki Changmin.

“Yaelah, kalau lo emang takut sendirian di belakang ya sejajar aja jalannya. Sini maju, deketan sama gue.”

Chanhee memutuskan untuk tak menggubris omongan Changmin, sebab rasa malu dan gengsi terlampau tinggi sudah terlanjur bercampur aduk di dalam dirinya.

Walau pada akhirnya, Chanhee perlahan bergerak mendekat ke arah Changmin dan mensejajarkan langkahnya dengan Changmin di sisinya.

Tidak lama kemudian, setan-setanan yang menjadi bintang utama dari jurit malam kali ini menampakkan dirinya secara tiba-tiba di depan Chanhee dan Changmin.

Dikuasai oleh rasa kaget, Chanhee refleks merangkul tangan Changmin dan menyembunyikan mukanya di bahu Changmin.

Changmin pun turut merasakan kaget, jantungnya berpacu dengan cepat. Bukan karena rekan satu angkatannya yang berpura-pura menjadi setan, melainkan karena perlakuan Chanhee yang tanpa aba-aba.

Mereka berdua membeku di posisi setengah berpelukan untuk hampir 1 menit lamanya, dimana Chanhee memeluk tubuh Changmin dan membiarkan Changmin saling berpandangan dengan setan-setanannya dalam posisi canggung.

Entah karena muak dengan pemandangan di hadapannya atau karena sudah muncul terlalu lama, setan-setanan itu pada akhirnya berjalan kembali ke arah semak untuk bersembunyi.

Setelahnya, Changmin berdeham. Memberi sinyal pada Chanhee bahwa setan-setanannya sudah tak terlihat di sejauh mata memandang.

Chanhee celingukan selama beberapa detik, refleks bergerak mundur ketika sadar bahwa dirinya telah memeluk Changmin untuk beberapa saat.

Pergerakan mundurnya yang secara tiba-tiba membuat Chanhee nyaris tersandung ke belakang karena menginjak batu; Changmin refleks mengulurkan tangannya untuk menarik Chanhee.

Membiarkan lututnya yang terbuka (karena Changmin mengenakan celana pendek) tergesek oleh batu.

Kedua netra Chanhee seketika membesar dan menampakkan kepanikan tatkala melihat cairan merah mulai menetes keluar dari luka di lutut Changmin.

“E-eh, biasa aja dong ngeliatinnya. Lukanya gak sakit kok,” bela Changmin pada Chanhee, merasa tak enak karena raut wajah Chanhee mendadak berubah karenanya.

Sepertinya, Changmin lupa kalau dirinya sedang berusaha untuk membohongi seorang mahasiswa kedokteran.

Tanpa banyak bicara, Chanhee segera membantu Changmin untuk berdiri. Memintanya untuk mengalungkan sebelah lengannya di bahu Chanhee dan membopongnya menuju titik kumpul yang terletak di akhir jalur lintasan jurit malam.

Setibanya mereka di titik kumpul, Chanhee segera menanyakan soal kotak P3K pada temannya yang menjadi panitia jurit malam dan mendudukan Changmin di kursi terdekat.

“Eh, ini gue mau bersihin lukanya pake alkohol 70%. Bakalan perih dikit, lo bisa tahan kan?” tanya Chanhee, wajahnya terangkat untuk menatap reaksi Changmin.

Yang ditatap hanya menganggukan kepalanya, memberi izin pada Chanhee.

Berbekal izin dari Changmin, Chanhee segera membasuh luka Changmin dengan cairan alkohol secukupnya. Setelahnya, Chanhee membalut luka Changmin dengan kain kasa yang telah ditetesi cairan povidone-iodine dan memberinya plester agar dapat merekat. Semua hal tadi Chanhee lakukan dengan cekatan untuk meminimalisir rasa sakit yang Changmin rasakan.

“Dah, selesai. Pas pulang camping besok jangan lupa ganti kain kasanya ya?”

Senyuman tipis merekah di wajah Changmin.

“Siap, Pak Dokter.”

Chanhee tertegun dengan jawaban yang terlontar dari mulut Changmin, mati-matian ia berusaha untuk menahan bibirnya agar tidak tersenyum.

“Apaan sih, gajelas lo.”

Changmin tertawa kecil mendengar balasan dari Chanhee. Ia kemudian berdeham sebelum mengulurkan tangannya pada Chanhee.

“Gue baru inget kalau kita belum pernah kenalan secara bener ternyata. Kenalin, gue Changmin.”

Chanhee lantas mengulurkan tangannya juga untuk menjabat tangan Changmin.

“Chanhee. By the way, makasih juga ya udah ngebolehin gue buat jalan bareng sama lo pas jurit malem tadi.”

“Anytime, Chanhee.”

Setelahnya, keduanya terlarut dalam dunia mereka berdua. Membicarakan semua hal yang bisa mereka bicarakan.

Tak lupa, Chanhee membahas dan meminta maaf perkara anak anjing yang menjadi bahan praktikum Changmin kala itu. Changmin menanggapi hal itu dengan santai. Sebagai balasannya, Changmin juga meminta maaf untuk laporan praktikum Chanhee yang tak sengaja ia rusak. Chanhee menepuk-nepuk pundak Changmin pelan, mengatakan bahwa sudah terlewati biarlah dikenang sebagai masa lalu saja.

Tanpa terasa, malam itu mereka habiskan dengan mengobrol berduaan. Sinar matahari dan suara ayam berkokok lah yang menyadarkan keduanya, membuat keduanya memutuskan untuk berjalan kembali menuju tendanya masing-masing.

Tepat sebelum mereka berpisah untuk menuju tenda masing-masing, Changmin mendekatkan wajahnya pada telinga Chanhee untuk berbisik.

“Kalau habis ini aku chat kamu, ada yang marah nggak?”

Fin.

Orang-orang zaman dahulu pernah berkata, “semakin kita membenci seseorang, semakin susah pula bagi kita untuk menyingkirkan orang tersebut dari kehidupan kita”.

Perkataan ini benar adanya, setidaknya.. bagi Chanhee dan Changmin.

Seminggu setelah pertemuan pertama mereka, lagi-lagi Chanhee dan Changmin kembali berpapasan di gerbang masuk fakultas mereka.

Namun kali ini, situasi seolah berbalik untuk keduanya.

Siang itu, Chanhee datang ke kampus dengan tergesa-gesa. Laporan praktikum histologi mengenai pengamatan sel darah merah ia dekap erat dengan sebelah tangan, sedang tangan yang satunya sibuk berusaha membuka kaleng kopi yang ia bawa dari asrama.

Senyuman lebar terpatri di wajah Chanhee ketika dirinya berhasil membuka kaleng kopi tersebut. Dengan cepat, Chanhee mendekatkan kaleng kopi tersebut ke arah mulutnya.

Dan tepat pada saat itulah, insiden terjadi.

Dari arah berlawanan, seseorang tanpa sengaja menubruk badan Chanhee dengan cukup kencang. Membuat kaleng kopi terlepas dari tangannya, disusul dengan laporan praktikum miliknya yang jatuh tepat di atas genangan kopi.

Chanhee menatap ke arah laporan praktikum miliknya dengan tatapan tidak percaya untuk beberapa saat sebelum ia mengalihkan pandangannya, hanya untuk kembali bertatapan dengan sosok yang ditemuinya seminggu yang lalu.

Sosok yang menabraknya tadi, Changmin, sedang balik menatap ke arahnya dengan tatapan yang tak dapat Chanhee artikan.

Changmin di sisi lain, memilih untuk tetap membisu selama beberapa saat dan lantas melanjutkan untuk berjalan melewati Chanhee tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

Entah mengapa, lidah Chanhee pun mendadak mati rasa. Kedua matanya tak teralihkan dari punggung Changmin yang akhirnya menghilang di belokan.

Karma?

Chanhee tidak percaya pada karma.

Dengan hati yang berat, Chanhee berjongkok untuk meraih laporan praktikumnya yang kini telah berlumuran cairan gelap. Beragam sumpah serapah terlempar keluar dari mulutnya dengan suara kecil.

Chanhee kemudian membawa “korban insidennya” ke dalam kamar mandi, berusaha untuk membersihkannya dengan menggunakan belasan tissue kering yang selalu ia bawa di dalam tas punggung miliknya.

Sekarang, Chanhee hanya memiliki 2 pilihan di tangannya.

Pulang ke asrama, menulis ulang laporan praktikumnya, dan memakai jatah cutinya yang hanya 1 kali per semester.

Atau bergegas masuk ke dalam laboratorium, menyerahkan laporan tak layak miliknya, dan membiarkan dirinya dimarahi oleh dokter pembimbingnya dengan suara tinggi di depan semua orang.

Sekitar 30 detik Chanhee habiskan dengan berdiri menatap pantulannya di cermin kamar mandi, mencari wangsit mengenai pilihan mana yang harus diambilnya.

Setelah menguatkan hati, Chanhee membuka pintu kamar mandi dengan dramatis. Kaki jenjangnya melangkah lurus menuju laboratorium yang terletak hanya beberapa meter dari tempatnya kini berada.

Ya, Chanhee lebih memilih untuk mengorbankan harga diri dan telinganya daripada mengorbankan jatah liburnya.

Pagi itu, Chanhee datang ke kampus dengan suasana hati yang bahagia. Pasalnya, ia baru saja merampungkan materi tutorial bagiannya dan meskipun hal itu membutuhkan waktu yang tak sedikit- Chanhee bahagia karena hasilnya sesuai dengan yang diharapkan olehnya.

Dengan jarak hanya beberapa meter dari gerbang masuk fakultas, Chanhee mendadak dikejutkan dengan suara nyaring dari anjing yang menyalak. Buru-buru Chanhee mempercepat langkah kakinya hingga dirinya tiba di depan seekor anak anjing yang terikat pada gerbang dengan tali di lehernya.

Aneh, pikir Chanhee. Seingatnya, hari ini tidak ada jadwal kuliah untuk mahasiswa kedokteran hewan.

Merasa iba serta tak tega dengan anak anjing yang terus-menerus menggonggong kepadanya, dengan sigap Chanhee melepaskan tali yang melingkar di leher anak anjing itu. Menatap puas saat anak anjing tersebut berlari dengan riang menjauhi gerbang fakultas.

“WOI!”

Bak mendengar guntur di siang hari, Chanhee berjingkat dari posisinya. Setelahnya, Chanhee membalikkan badannya perlahan. Netranya kemudian bertabrakan dengan seseorang yang tampak sebaya dengannya.

Sosok tadi berjalan ke arah Chanhee dengan tergesa-gesa, kepanikan terlihat dengan jelas di raut wajahnya.

“Anak anjing yang tadi ada di sini kemana?”

“Hah?”

“Anak anjing yang tadi diiket ke gerbang? Itu buat praktikum gue?”

Mendadak, Chanhee dapat merasakan bagaimana irama jantungnya mulai berpacu dengan cepat. Kedua kakinya terasa lemas- seolah-olah darah di tubuhnya berhenti mengalir ke kakinya dalam seketika.

Chanhee merutuki dirinya sendiri karena telah bertindak sok tahu.

Jawaban yang Chanhee dapatkan membuatnya meringis, tangannya yang memegang tali ia sembunyikan secepat kilat ke belakang tubuhnya.

Sayangnya, pergerakan Chanhee masih terlihat dengan jelas oleh sosok di depannya.

Menyadari situasi yang sedang terjadi- lawan bicara Chanhee mulai mengepalkan tangannya kuat-kuat, disusul dengan bunyi gemeretak dari giginya.

Chanhee menelan ludahnya kasar, tersadar bahwa sosok di depannya sudah terbakar oleh api amarah.

Perlahan tapi pasti, Chanhee mengambil beberapa langkah mundur. Dalam hatinya, tentu saja ia ingin mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun apa daya, jam digital di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 07.15. Yang berarti hanya tersisa waktu 15 menit bagi Chanhee untuk berlari menuju kelasnya yang berada di lantai 3.

Dengan hati-hati, Chanhee akhirnya meletakkan tali yang sebelumnya berada di genggamannya ke tanah. Sosok itu masih terdiam di tempatnya, sorot matanya yang tajam memperhatikan setiap gerak-gerik Chanhee dengan lekat.

Sebelah tangan Chanhee bergerak menuju bagian belakang dari lehernya, menyeka keringat dingin yang mulai membasahi kerah kemejanya.

“Eh.. sori banget nih, jujur gue gatau itu anjingnya ada yang punya,”

Ucapan Chanhee terhenti sejenak untuk menarik napas dalam-dalam.

“Nanti gue bantu cariin deh, tapi kalau sekarang.. GUE CABUT KE KELAS DULU YA!”

Dan begitu saja, Chanhee melesat dengan cepat menuju kelasnya; tak menengok ke belakang barang satu kali pun.

Beruntung bagi Chanhee, sosok tadi tidak dapat membuntutinya karena mahasiswa kedokteran dan kedokteran hewan menggunakan bagian gedung yang berbeda.

“Juyeon!”

Suara itu membuat Juyeon menolehkan kepalanya, senyuman hangat diberikannya pada sosok yang berjalan lurus ke arahnya. Juyeon lantas menepuk tempat kosong di sebelahnya, memintanya untuk duduk.

Setelahnya, helaan napas panjang terdengar jelas oleh Juyeon.

Chanhee menjatuhkan kepalanya di bahu lebar milik Juyeon, membuat si tuan yang lebih tua beberapa bulan itu terkejut dibuatnya. Keheningan menyapa mereka berdua untuk beberapa saat, Juyeon dengan setia menunggu Chanhee untuk mengutarakan maksud dan tujuannya.

“Juyeon..”

“Mhm? Kenapa, Chanhee?”

“Aku kangen Younghoon hyung.”

Senyuman getir tercetak di raut wajah Juyeon. Lagi-lagi soal Younghoon, pikirnya.

Tak kunjung mendapat balasan dari Juyeon membuat Chanhee kemudian mengubah posisi duduknya menjadi setengah miring, guna dapat melihat lawan bicaranya dengan lebih leluasa.

“Juuuu! Kok kamu diem aja?”

Gelengan lemah Juyeon berikan pada Chanhee, entah sejak kapan senyuman getirnya digantikan oleh senyuman hangat yang sedari dulu hanya tercipta untuk Chanhee.

“Ya aku harus kasih reaksi apa, Chanhee? Kan emang bener kenyataannya kalau Younghoon hyung lagi sibuk syuting drama sekarang.”

Yang lebih muda malah menekuk bibirnya ke bawah, tak puas dengan tanggapan yang Juyeon berikan.

“Kalau aku dateng ke tempat syutingnya Younghoon hyung, gimana?”

Pertanyaan Chanhee membuat kebingungan terlukis di raut wajah Juyeon.

“Chanhee.. Kamu gak serius kan sama pertanyaanmu barusan?”

“Aku serius, Juyeon! Aku mau dateng kesana dan bawain makanan buat Younghoon hyung sama kru yang lain.”

Kali ini giliran Juyeon yang menghela napas, kedua tangannya mengusap wajahnya perlahan.

“Jangan impulsif kayak gitu, Chanhee. Selama beberapa minggu ke belakang ini kamu udah terlalu banyak engagement sama Younghoon hyung, sedangkan kita seharusnya punya bagian yang cukup rata sama masing-masing anggota yang lain buat ngasih fanservice otp ke fans.. kan?”

Chanhee membisu di tempatnya, dalam hatinya ia turut mengiyakan perkataan Juyeon. Tanpa tersadar, Chanhee mulai lupa akan batasannya.

Juyeon dapat merasakan hatinya bak teriris pisau tajam tatkala netranya menangkap pergerakan bahu Chanhee yang bergetar. Dengan cepat, Juyeon merengkuh Chanhee ke dalam pelukannya. Mengusap pucuk kepala Chanhee perlahan seraya berbisik di telinganya.

“Chanhee.. maaf. Omonganku kelewatan, ya?”

“Kalau kamu emang sekangen itu sama Younghoon hyung, sekarang kamu coba video call dia aja ya?”

Bukan balasan yang Juyeon dapatkan, melainkan kedua lengan yang melingkar dengan erat di pinggangnya.

Setelahnya, Chanhee menenggelamkan wajahnya di dada Juyeon.

“Boleh nggak kalau kita kayak gini untuk beberapa menit, Ju? Your hug does comfort me just like the way Younghoon hyung usually did to me.”

Juyeon memberikan anggukan tanpa suara sebagai jawaban. Karena tanpa diminta pun, Juyeon rela mempertaruhkan segalanya hanya untuk dapat memeluk Chanhee seperti ini.

Walau jauh di lubuk hatinya, Juyeon selalu berharap agar Chanhee dapat kembali pada dirinya secara seutuhnya- menjadi miliknya lagi.

Dan bukan hanya menjadikan Juyeon sebagai obat rindu pada kekasih barunya.

Fin.

Terhitung sudah hampir beberapa hari berlalu dari kali terakhir Changmin mengirimkan pesan singkatnya pada Chanhee. Selama rentang waktu itu, yang Changmin lakukan setiap harinya hanyalah menunggu balasan dari Chanhee.

Hingga pada akhirnya, Chanhee muncul di depan pintu apartemen Changmin. Memasang senyuman terbaiknya sebelum menghambur ke dalam pelukannya. Changmin membalas senyuman Chanhee sambil balik memeluknya tak kalah erat, api amarahnya telah sirna dan sakit rindunya sudah terobati.

Seharian itu, Chanhee menghabiskan waktunya di apartemen Changmin. Bercengkrama dan bertingkah layaknya kekasih yang sudah lama tak bersua.

+

Changmin pertama kali berkenalan dengan Chanhee ketika keduanya tak sengaja bertemu di sebuah ajang pencarian bakat. Keduanya merasa cocok dengan satu sama lain, hingga pada akhirnya mereka berdua memutuskan untuk saling bertukar kontak dan dengan cepat menjadi teman dekat.

Bahkan mungkin terlalu dekat untuk dapat dikatakan sebagai teman.

Tanpa terasa, pertemanan mereka berdua telah berjalan untuk waktu yang cukup lama. Hal ini kemudian diiringi dengan kelompok pertemanan mereka yang perlahan menjadi membesar. Changmin dan Chanhee mengajak teman mereka masing-masing (yang merupakan pemuda-pemuda berbakat lainnya) untuk bergabung ke dalam pertemanan mereka. Membentuk sebuah cover group dengan perkembangan yang fantastis di YouTube.

Kali ini, mereka bersebelas telah berdiri di depan kamera untuk membuat konten baru yang kemudian akan dirilis di channel YouTube mereka. Sangyeon, sang ketua, menyuruh mereka untuk membentuk lingkaran dan memberikan aba-aba agar semuanya (kecuali Younghoon) untuk bersiap memainkan permainan gunting-kertas-batu.

Konten yang sedang mereka ambil ini akan dirilis untuk para penggemar dalam rangka merayakan ulang tahun Younghoon. Dua orang yang kalah dalam permainan akan dipakaikan perona bibir berwarna merah terang, menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk Younghoon, lalu menghadiahinya sebuah ciuman di pipi sebagai penutup.

Karena hal inilah Changmin menjadi was-was. Berkali-kali ia melirik melalui sudut matanya, memastikan bahwa Chanhee tidak kalah dalam permainan.

Sayangnya, Dewi Fortuna sedang berada jauh dari jangkauan Changmin. Teriakan penuh rasa terkejut datang dari Chanhee, memberi tanda bahwa ia telah kalah dalam permainan. Changmin menyunggingkan senyuman pahit, memilih untuk memunggungi Chanhee ketika sang pujaan hati mendaratkan sebuah kecupan di pipi yang berulang tahun.

Changmin menggigit bibir bawahnya dengan kuat, menahan rasa sakit yang timbul di hatinya tatkala netranya menangkap pemandangan Younghoon mengembalikan kecupan yang Chanhee berikan.

Yang lain bersorak kegirangan, menggoda si sepasang kekasih tanpa sadar bahwa Changmin terluka karenanya.

Dalam benaknya, Changmin bertanya pada dirinya sendiri.

Masih bolehkah ia untuk meneruskan perasaannya pada Chanhee?

Pantaskah dirinya untuk menyimpan rasa cemburu ketika Changmin tahu betul bahwa Chanhee bukanlah miliknya?

Sanggup sampai kapankah Changmin berharap agar Chanhee dapat memutuskan ikatannya dengan Younghoon?

Changmin hanya bisa tersenyum nanar ketika dilihatnya Chanhee menatap balik ke arahnya, menggumamkan kata “maaf” berulang kali tanpa suara.

Anggukan lemah diberikan oleh Changmin. Menandakan bahwa ia memaklumi hal tersebut.

Karena bagaimanapun, Changmin masih belum siap untuk menghentikan hubungan terlarangnya dengan si teman dekat.

fin.