The Dead of Winter
Tiga ketukan pintu secara teratur membuat Renjun buru-buru melepaskan kaca mata bacanya dan turun ke lantai satu untuk membukakan pintu.
“Siapa bertamu malam-malam begini?” batinnya dalam hati selepas melirik singkat jam besar usang di ujung ruang tamu.
Saat ia membuka pintu, terlihat seorang laki-laki bertubuh tinggi besar menenteng tas kanvas berwarna hitam di tangan kirinya serta sebuah map dokumen, entah, Renjun tidak yakin juga.
“Ya?” tanyanya sedikit takut, masalahnya ini sudah hampir pukul sembilan. Sangat jarang ada orang bertamu ke rumah orang tuanya di waktu semalam ini. Apalagi rumah ini ada di ujung desa, orang-orang juga terlalu malas pergi kemari. Jika bukan karena hal yang sangat penting dan mendesak.
“Selamat malam, saya Kim Jungwoo, utusan dari Earl. Datang kemari ingin menyerahkan dokumen dan memberikan sedikit informasi untuk Huang Renjun.”
Oh!
Renjun melongok dan menyipitkan matanya ke arah belakang tamunya, ada sebuah mobil yang cukup mewah di antara mobil-mobil milik tetangga desa yang biasa ia lihat. Sepertinya orang ini benar-benar orang penting.
”...ada?” tanya laki-laki itu lagi.
“Aku Huang Renjun. Ada yang bisa ... kubantu?” Renjun masih berhati-hati.
Laki-laki ini seperti terlihat gelisah. Mungkin sebenarnya dia ingin meminta masuk ke rumah, tapi sepertinya ini terlalu malam untuk dia memaksa masuk ke rumah orang lain hanya untuk menyampaikan berita yang bisa diucapkan dalam satu-dua menit.
“Saya kemari untuk mengantarkan surat perjanjian kerja Anda. Selamat, Anda diterima untuk bekerja di manor milik Earl. Mungkin besok pagi kita bisa berdiskusi lebih jauh lagi mengenai ini pukul 9 di ruang yang sama seperti minggu lalu Anda datang untuk menemui kepala pelayan. Mohon maaf bertamu malam-malam.” Jungwoo memberikan senyum manisnya pada Renjun yang malah mematung terpaku, dan masih berusaha mencerna banyak informasi baru saja.
“Anda bisa membaca surat perjanjian ini sebelum datang dan berdiskusi besok. Sampai jumpa besok pagi, Huang Renjun. Senang Anda bergabung bersama kami.”
Renjun menerima dokumennya, berterima kasih dalam suara lirih, dan menyaksikan Jungwoo yang pergi dengan mobil bagusnya menjauhi jalanan kerikil desa.
***
Renjun menggigiti bibirnya cemas. Tumpukan roti dan keju buatan ibunya tidak pernah terlihat se-tidak menarik ini. Hatinya gelisah sekali, seolah dia akan melakukan hal yang sangat menakutkan, seolah dia akan menghadapi sesuatu yang lebih menegangkan daripada ujian akhir SMA-nya yang berakhir baik 3 bulan lalu.
Ibunya datang dari belakang, mengusap rambut halusnya sembari berkata, “kenapa cemas sekali, sih? Kan kamu di sana bekerja jadi perawat saja, kamu bisa kok. Lakukan saja seperti kamu mengurus nenek. Tetap bersabar apapun permintaannya, tetap hormati juga siapapun yang akan kamu rawat itu.”
Renjun hanya bisa meringis mendengar penuturan ibunya. Iya ya, seharusnya dia cuma perlu datang-bekerja dengan baik-pulang. Toh juga dia sendiri yang kemarin ngotot mau ikut mendaftar ke pekerjaan ini setelah mendengar penuturan Yangyang bahwa dia akan digaji besar dengan jam kerja yang tidak terlalu berat.
Setelah menghabiskan sarapannya, Renjun mengayuh sepedanya untuk sampai ke manor milik Earl. Tentu perasaannya tidak karuan. Padahal seharusnya ini sangat mudah, bahkan lebih mudah dari pekerjaannya selama ini membantu Ibu dan Ayahnya berjualan keju ke kota.
Setelah melewati lorong panjang yang menghubungkan gerbang depan manor dengan halaman tengah, kedatangan Renjun disambut oleh Jungwoo beserta seorang perempuan berusia seumuran ibunya. Rambutnya ditata rapi seperti halnya para bangsawan biasanya tampil di depan publik, bajunya juga bagus dan tidak mencolok. Sorot matanya teduh tapi tetap tidak melunturkan aura bangsawannya.
“Selamat pagi, Renjun. Kalau kamu datang kemari, artinya kamu sudah membaca semua dokumennya dengan baik dan setuju untuk bekerja mulai besok.” sapaan Jungwoo memang cerah, tapi rasa hati Renjun masih sama saja gelisah.
“Terima kasih atas sambutannya, Tuan Kim. Saya begitu bersyukur menjadi salah satu yang terpilih. Saya akan berusaha sebaik mungkin.” Renjun sedikit membungkuk untuk menujukkan rasa sopannya kepada dua orang di hadapannya ini.
“Aih, kamu bukan salah satunya, kamu satu-satunya, Renjun. Kami jarang sekali begini, tapi karena ini tugas khusus, makanya kami hanya memilih satu yang terbaik. Berbanggalah!” Jungwoo menepuk bahunya pelan sambil bercanda. Renjun tersipu.
“Oh, perkenalkan juga, ini Ibu Lim, kepala urusan perawatan anggota keluarga kerajaan. Hari ini beliau yang akan memberikan semua informasi mengenai apa yang akan kamu lakukan mulai besok. Semuanya. Jadi aku harap kamu mengingat atau bahkan mencatatnya, ya. Nanti di akhir juga kamu akan dipertemukan dengan orang yang akan kamu rawat selama beberapa waktu ke depan.”
Renjun lagi-lagi memberi penghormatan sopan pada wanita di depannya. Ketakutan Renjun makin bertambah besar karena Ibu Lim terlihat sangat sempurna. Ia takut kalau-kalau tidak sanggup memenuhi ekspektasinya. Apalagi kalau titel dia adalah kepala, wah pasti orang yang akan dia rawat bukan orang sembarangan.
Pelajaran pertama yang Renjun dapat adalah memahami denah dan susunan ruangan di manor ini. Setiap harinya, Renjun akan masuk lewat gerbang depan yang dijaga oleh beberapa petugas keamanan itu, lalu setelah melewati lorong panjang, ia akan bertemu dengan halaman tengah di mana ia bertemu dengan Kim Jungwoo dan Ibu Lim. Di sisi kanan dan kiri, ada kolam ikan dan kursi taman yang biasa diduduki saat ingin bersantai sore. Tepat di ujung halaman tengah, ada tangga menuju pintu utama dari manor.
Ini baru kali pertama Renjun menginjakkan kaki ke dalam manor melalui pintu utama. Matanya begitu berbinar, menatap norak ke arah lukisan-lukisan dinding yang sangat besar dan indah. Jiwanya seperti dibawa ke waktu ratusan tahun lalu saat lukisan-lukisan ini dibuat. Pasti nilainya saat ini sudah mahal sekali.
Ibu Lim dan Jungwoo mengarahkannya ke sayap kanan manor yang isinya pintu-pintu kamar tamu yang memang disediakan untuk acara besar tahunan yang seringkali diadakan kerajaan di manor ini. Di ujung sayap kanan, ada ruang kerja milik kepala pelayan juga beberapa gudang penyimpanan alat-alat perawatan rumah. Renjun pernah datang kemari sebelumnya.
Berpindah ke sayap kiri dari manor, kurang lebih isinya sama, hanya pintu-pintu milik kamar tamu. Bedanya, di ujung ada tangga menuju lantai dua dan tangga menuju ruang bawah tanah. Mereka menanyakan pilihan Renjun, hendak pergi ke bawah tanah, atau naik ke lantai dua. Renjun dengan ragu menjawab bawah tanah.
Maka di sinilah mereka sekarang, berada di ruangan besar yang penuh dengan peralatan memasak serta lemari pendingin modern di ujung ruangan. Dapur utama manor.
Beberapa pelayan terlihat sibuk menyiapkan frosting kue dan beberapa lainnya sibuk mencuci sayur serta buah. Mungkin bersiap menyambut sosok yang akan dirawat Renjun mulai besok. Ibu Lim menuturkan bahwa terkadang orang yang akan dirawat Renjun ini akan meminta dibuatkan kudapan kecil. Ibu Lim berpesan bahwa sebaiknya Renjun melakukannya sendiri, karena ia lebih suka sesuatu yang personal. Renjun hanya mengiyakan, sedikit jengkel karena sebenarnya ia tidak begitu pandai memasak, juga sedikit malas.
Ketika semua telah selesai ditunjukkan oleh Ibu Lim, mereka bertiga bergegas naik kembali ke lantai dasar, di mana tiba-tiba Ibu Lim baru mengingat ada akses elevator khusus yang harus ia tunjukkan pada Renjun.
“Dia akan datang kemari dengan kursi roda, jadi pasti akan sulit untuk melewati anak tangga. Maka dari itu saat kau datang kemari beberapa waktu lalu, sayap kiri masih ditutup karena ada penambahan akses elevator ke lantai dua. Nantinya kalian bisa menggunakan akses ini untuk naik ke lantai dua.” jelas Ibu Lim sambil menempelkan kartu aksesnya ke depan tombol naik di elevator. Elevator terbuka, mereka masuk dan menekan tombol naik, dan voila, mereka sampai di lantai kedua manor ini.
Masih sama megahnya, tetapi tidak banyak lukisan dan ornamen warna-warni seperti halnya di lantai satu. Suasananya pun dibuat cukup minimalis dan redup. Belum sempat Renjun bertanya mengapa dibuat demikian, Ibu Lim sudah menjelaskan, “dia sangat suka kesunyian. Dia bahkan seringkali akan duduk diam di dekat perapian sambil mendengarkan lagu-lagu sedih ketimbang pergi keluar melampiaskan rasa sedihnya.”
'Melankolis sekali', batin Renjun.
Di salah satu sisi ruangan lantai dua ini, ada sebuah French doors berwarna putih, Ibu Lim membuka pintu itu dan seperti dugaan Renjun, ada kamar besar yang isinya perabotan-perabotan mewah. Tempat tidur beserta bedding set yang mewah, walk-in closet, kamar mandi dengan bathub besar dan didesain untuk ramah difabel, meja komputer dengan perangkat mahal, rak buku tinggi yang isinya sangat lengkap, lemari es kecil berisi minuman dan makanan ringan, dan beberapa benda yang Renjun yakini harganya sangat mahal.
“Ini ruangan yang akan menjadi tempat tidurnya. Dia cukup menjunjung tinggi privasi, sebisa mungkin masuk kemari jika diminta saja. Selebihnya bisa dilakukan di tempat lain.” Ibu Lim mengatakannya dengan senyum, tapi Renjun tentu gelisah dan bertanya-tanya apa arti dari perkataan wanita itu baru saja.
Setelah mengitari kamar, ruang baca, dan ruang makan di lantai dua, mereka masuk ke sebuah ruang kecil dekat dengan elevator. Ada tempat tidur ukuran queen di sana, beserta lemari kecil berwarna putih di dekat jendela, toilet, serta satu set meja-kursi.
“Ini ruang istirahat milikmu, Renjun. Kamu bisa berdiam di sini jika sedang tidak ada yang dikerjakan, jam istirahat resminya adalah saat makan siang dan saat makan malam. Tentu setelah menyiapkan keperluan beliau.” jelas Jungwoo yang ditimpali dengan anggukan lembut dari Ibu Lim.
Mereka mempersilakan Renjun untuk melihat-lihat sebentar ruang istirahatnya. Kim Jungwoo ada di sofa luar kamar, sementara Ibu Lim sepertinya berjalan ke balkon untuk mengangkat telepon.
“Jungwoo, Renjun, ayo. Tuan Lee sudah datang.” kata Ibu Lim sesaat setelah masuk dari luar balkon.
Mereka bertiga bergegas turun ke lantai dasar dan mendapati beberapa pelayan sudah bersiap di posisinya masing-masing, termasuk sekumpulan koki yang sedang berlalu lalang menata kue-kue kudapan serta makanan berat di ruang makan utama dekat sayap kiri manor.
Renjun berpikir, memangnya Tuan Lee ini siapa sih? Kenapa orang-orang sampai begitu sibuk menyambutnya?
Rasa penasarannya langsung terjawab ketika Ibu Lim beserta beberapa orang yang terlihat penting dan berpakaian resmi seperti Kim Jungwoo membukakan pintu mobil paling bagus di antara hampir setengah lusin mobil kerajaan, well terlihat seperti mobil kerajaan, datang beriringan memenuhi halaman tengah melalui pintu samping yang Renjun baru tahu jika bisa dibuka.
Dari mobil itu, turun seorang yang berpakaian mirip seperti Jungwoo tetapi memiliki emblem warna perak di dada kirinya. Renjun punya penglihatan yang buruk, jadi dia tidak bisa mengenali emblem apakah itu. Selepas laki-laki itu turun, ia mengambil kursi roda yang telah dibuka oleh pengawal lain. Kemudian, seorang laki-laki berbadan tegap, berambut kecoklatan hingga menutupi mata, turun dari mobil dan berpindah ke kursi roda tersebut.
Semua orang tiba-tiba membungkuk seolah memberi hormat. Mau tak mau, Renjun juga ikut-ikutan. Meskipun dia tidak begitu tahu untuk apa semua orang sampai sebegininya.
Suasananya berubah jadi sendu, si pemilik acara hari ini, yang nantinya akan menjadi tuannya, juga sama sendunya. Sweater kasmirnya berwarna coklat dengan sedikit aksen hijau tua, ujung sepatunya terlihat mengkilat meski bagian kakinya ditutup oleh selimut rajut warna abu-abu yang terlihat mahal. Renjun tidak bisa melihat mata maupun wajahnya. Matanya ditutupi rambut yang memanjang, wajahnya ditutup masker hingga hidung.
Sebenarnya dia ini kenapa? Apakah dia malu dengan keadaannya saat ini?
Laki-laki dengan emblem silver kemudian mendorong Tuan Lee melewati kerumunan para pelayan, masuk ke dalam rumah diikuti dengan Ibu Lim dan beberapa orang berpakaian resmi lainnya secara berpasang-pasangan. Jungwoo memberi isyarat agar Renjun berjalan bersamanya di barisan yang agak belakang. Mengekori sang tuan.
“Jadi Tuan Kim, Tuan Lee itu ... siapa?” Renjun bertanya dengan suara selirih mungkin, takut orang lain mendengarnya dan mengira pertanyaannya kelewat bodoh.
“Orang yang akan kamu rawat, Renjun.” Kim Jungwoo menambahkan kekehan halus setelahnya.
Renjun belum puas dengan jawaban Jungwoo kemudian bertanya lagi, “maksudku dia ini apa? Raja? Anak raja? Anak Earl kita? Calon Earl, atau siapa?”
“Nanti juga kamu akan tahu.”
Renjun menggerang frustasi dalam hatinya. Dia takut tidak bisa menempatkan diri saat berinteraksi dengan Tuan Lee. Salah langkah sedikit, bisa-bisa kepalanya bolong ditembak.
Hal yang berikutnya terjadi terasa begitu cepat. Tiba-tiba saja Jungwoo berbisik, “kamu nikmati makan saja sebelum Ibu Lim memberikanmu kuliah panjang soal Tuan Lee. Aku pergi dulu, ada rapat penting dengan petinggi.”
Jungwoo kemudian meninggalkannya, semua pelayan berhamburan melanjutkan pekerjaannya, Ibu Lim dan rombongan Tuan Lee masuk ke ruang kerja di sayap kanan.
Tinggal Renjun sendirian dengan beberapa pelayan berseragam resmi yang terlihat mengamatinya sinis dari atas ke bawah. Matilah Renjun! Ini sesuatu yang mengerikan. Meskipun dia terlahir extrovert, tapi berkumpul dengan orang yang jelas berbeda kasta dengannya cukup bikin dia ingin pulang saja dan mengadu pada ibunya.
***