halfhumanhalfchocolate

The Dead of Winter

Tiga ketukan pintu secara teratur membuat Renjun buru-buru melepaskan kaca mata bacanya dan turun ke lantai satu untuk membukakan pintu.

“Siapa bertamu malam-malam begini?” batinnya dalam hati selepas melirik singkat jam besar usang di ujung ruang tamu.

Saat ia membuka pintu, terlihat seorang laki-laki bertubuh tinggi besar menenteng tas kanvas berwarna hitam di tangan kirinya serta sebuah map dokumen, entah, Renjun tidak yakin juga.

“Ya?” tanyanya sedikit takut, masalahnya ini sudah hampir pukul sembilan. Sangat jarang ada orang bertamu ke rumah orang tuanya di waktu semalam ini. Apalagi rumah ini ada di ujung desa, orang-orang juga terlalu malas pergi kemari. Jika bukan karena hal yang sangat penting dan mendesak.

“Selamat malam, saya Kim Jungwoo, utusan dari Earl. Datang kemari ingin menyerahkan dokumen dan memberikan sedikit informasi untuk Huang Renjun.”

Oh!

Renjun melongok dan menyipitkan matanya ke arah belakang tamunya, ada sebuah mobil yang cukup mewah di antara mobil-mobil milik tetangga desa yang biasa ia lihat. Sepertinya orang ini benar-benar orang penting.

”...ada?” tanya laki-laki itu lagi.

“Aku Huang Renjun. Ada yang bisa ... kubantu?” Renjun masih berhati-hati.

Laki-laki ini seperti terlihat gelisah. Mungkin sebenarnya dia ingin meminta masuk ke rumah, tapi sepertinya ini terlalu malam untuk dia memaksa masuk ke rumah orang lain hanya untuk menyampaikan berita yang bisa diucapkan dalam satu-dua menit.

“Saya kemari untuk mengantarkan surat perjanjian kerja Anda. Selamat, Anda diterima untuk bekerja di manor milik Earl. Mungkin besok pagi kita bisa berdiskusi lebih jauh lagi mengenai ini pukul 9 di ruang yang sama seperti minggu lalu Anda datang untuk menemui kepala pelayan. Mohon maaf bertamu malam-malam.” Jungwoo memberikan senyum manisnya pada Renjun yang malah mematung terpaku, dan masih berusaha mencerna banyak informasi baru saja.

“Anda bisa membaca surat perjanjian ini sebelum datang dan berdiskusi besok. Sampai jumpa besok pagi, Huang Renjun. Senang Anda bergabung bersama kami.”

Renjun menerima dokumennya, berterima kasih dalam suara lirih, dan menyaksikan Jungwoo yang pergi dengan mobil bagusnya menjauhi jalanan kerikil desa.

***

Renjun menggigiti bibirnya cemas. Tumpukan roti dan keju buatan ibunya tidak pernah terlihat se-tidak menarik ini. Hatinya gelisah sekali, seolah dia akan melakukan hal yang sangat menakutkan, seolah dia akan menghadapi sesuatu yang lebih menegangkan daripada ujian akhir SMA-nya yang berakhir baik 3 bulan lalu.

Ibunya datang dari belakang, mengusap rambut halusnya sembari berkata, “kenapa cemas sekali, sih? Kan kamu di sana bekerja jadi perawat saja, kamu bisa kok. Lakukan saja seperti kamu mengurus nenek. Tetap bersabar apapun permintaannya, tetap hormati juga siapapun yang akan kamu rawat itu.”

Renjun hanya bisa meringis mendengar penuturan ibunya. Iya ya, seharusnya dia cuma perlu datang-bekerja dengan baik-pulang. Toh juga dia sendiri yang kemarin ngotot mau ikut mendaftar ke pekerjaan ini setelah mendengar penuturan Yangyang bahwa dia akan digaji besar dengan jam kerja yang tidak terlalu berat.

Setelah menghabiskan sarapannya, Renjun mengayuh sepedanya untuk sampai ke manor milik Earl. Tentu perasaannya tidak karuan. Padahal seharusnya ini sangat mudah, bahkan lebih mudah dari pekerjaannya selama ini membantu Ibu dan Ayahnya berjualan keju ke kota.

Setelah melewati lorong panjang yang menghubungkan gerbang depan manor dengan halaman tengah, kedatangan Renjun disambut oleh Jungwoo beserta seorang perempuan berusia seumuran ibunya. Rambutnya ditata rapi seperti halnya para bangsawan biasanya tampil di depan publik, bajunya juga bagus dan tidak mencolok. Sorot matanya teduh tapi tetap tidak melunturkan aura bangsawannya.

“Selamat pagi, Renjun. Kalau kamu datang kemari, artinya kamu sudah membaca semua dokumennya dengan baik dan setuju untuk bekerja mulai besok.” sapaan Jungwoo memang cerah, tapi rasa hati Renjun masih sama saja gelisah.

“Terima kasih atas sambutannya, Tuan Kim. Saya begitu bersyukur menjadi salah satu yang terpilih. Saya akan berusaha sebaik mungkin.” Renjun sedikit membungkuk untuk menujukkan rasa sopannya kepada dua orang di hadapannya ini.

“Aih, kamu bukan salah satunya, kamu satu-satunya, Renjun. Kami jarang sekali begini, tapi karena ini tugas khusus, makanya kami hanya memilih satu yang terbaik. Berbanggalah!” Jungwoo menepuk bahunya pelan sambil bercanda. Renjun tersipu.

“Oh, perkenalkan juga, ini Ibu Lim, kepala urusan perawatan anggota keluarga kerajaan. Hari ini beliau yang akan memberikan semua informasi mengenai apa yang akan kamu lakukan mulai besok. Semuanya. Jadi aku harap kamu mengingat atau bahkan mencatatnya, ya. Nanti di akhir juga kamu akan dipertemukan dengan orang yang akan kamu rawat selama beberapa waktu ke depan.”

Renjun lagi-lagi memberi penghormatan sopan pada wanita di depannya. Ketakutan Renjun makin bertambah besar karena Ibu Lim terlihat sangat sempurna. Ia takut kalau-kalau tidak sanggup memenuhi ekspektasinya. Apalagi kalau titel dia adalah kepala, wah pasti orang yang akan dia rawat bukan orang sembarangan.

Pelajaran pertama yang Renjun dapat adalah memahami denah dan susunan ruangan di manor ini. Setiap harinya, Renjun akan masuk lewat gerbang depan yang dijaga oleh beberapa petugas keamanan itu, lalu setelah melewati lorong panjang, ia akan bertemu dengan halaman tengah di mana ia bertemu dengan Kim Jungwoo dan Ibu Lim. Di sisi kanan dan kiri, ada kolam ikan dan kursi taman yang biasa diduduki saat ingin bersantai sore. Tepat di ujung halaman tengah, ada tangga menuju pintu utama dari manor.

Ini baru kali pertama Renjun menginjakkan kaki ke dalam manor melalui pintu utama. Matanya begitu berbinar, menatap norak ke arah lukisan-lukisan dinding yang sangat besar dan indah. Jiwanya seperti dibawa ke waktu ratusan tahun lalu saat lukisan-lukisan ini dibuat. Pasti nilainya saat ini sudah mahal sekali.

Ibu Lim dan Jungwoo mengarahkannya ke sayap kanan manor yang isinya pintu-pintu kamar tamu yang memang disediakan untuk acara besar tahunan yang seringkali diadakan kerajaan di manor ini. Di ujung sayap kanan, ada ruang kerja milik kepala pelayan juga beberapa gudang penyimpanan alat-alat perawatan rumah. Renjun pernah datang kemari sebelumnya.

Berpindah ke sayap kiri dari manor, kurang lebih isinya sama, hanya pintu-pintu milik kamar tamu. Bedanya, di ujung ada tangga menuju lantai dua dan tangga menuju ruang bawah tanah. Mereka menanyakan pilihan Renjun, hendak pergi ke bawah tanah, atau naik ke lantai dua. Renjun dengan ragu menjawab bawah tanah.

Maka di sinilah mereka sekarang, berada di ruangan besar yang penuh dengan peralatan memasak serta lemari pendingin modern di ujung ruangan. Dapur utama manor.

Beberapa pelayan terlihat sibuk menyiapkan frosting kue dan beberapa lainnya sibuk mencuci sayur serta buah. Mungkin bersiap menyambut sosok yang akan dirawat Renjun mulai besok. Ibu Lim menuturkan bahwa terkadang orang yang akan dirawat Renjun ini akan meminta dibuatkan kudapan kecil. Ibu Lim berpesan bahwa sebaiknya Renjun melakukannya sendiri, karena ia lebih suka sesuatu yang personal. Renjun hanya mengiyakan, sedikit jengkel karena sebenarnya ia tidak begitu pandai memasak, juga sedikit malas.

Ketika semua telah selesai ditunjukkan oleh Ibu Lim, mereka bertiga bergegas naik kembali ke lantai dasar, di mana tiba-tiba Ibu Lim baru mengingat ada akses elevator khusus yang harus ia tunjukkan pada Renjun.

“Dia akan datang kemari dengan kursi roda, jadi pasti akan sulit untuk melewati anak tangga. Maka dari itu saat kau datang kemari beberapa waktu lalu, sayap kiri masih ditutup karena ada penambahan akses elevator ke lantai dua. Nantinya kalian bisa menggunakan akses ini untuk naik ke lantai dua.” jelas Ibu Lim sambil menempelkan kartu aksesnya ke depan tombol naik di elevator. Elevator terbuka, mereka masuk dan menekan tombol naik, dan voila, mereka sampai di lantai kedua manor ini.

Masih sama megahnya, tetapi tidak banyak lukisan dan ornamen warna-warni seperti halnya di lantai satu. Suasananya pun dibuat cukup minimalis dan redup. Belum sempat Renjun bertanya mengapa dibuat demikian, Ibu Lim sudah menjelaskan, “dia sangat suka kesunyian. Dia bahkan seringkali akan duduk diam di dekat perapian sambil mendengarkan lagu-lagu sedih ketimbang pergi keluar melampiaskan rasa sedihnya.”

'Melankolis sekali', batin Renjun.

Di salah satu sisi ruangan lantai dua ini, ada sebuah French doors berwarna putih, Ibu Lim membuka pintu itu dan seperti dugaan Renjun, ada kamar besar yang isinya perabotan-perabotan mewah. Tempat tidur beserta bedding set yang mewah, walk-in closet, kamar mandi dengan bathub besar dan didesain untuk ramah difabel, meja komputer dengan perangkat mahal, rak buku tinggi yang isinya sangat lengkap, lemari es kecil berisi minuman dan makanan ringan, dan beberapa benda yang Renjun yakini harganya sangat mahal.

“Ini ruangan yang akan menjadi tempat tidurnya. Dia cukup menjunjung tinggi privasi, sebisa mungkin masuk kemari jika diminta saja. Selebihnya bisa dilakukan di tempat lain.” Ibu Lim mengatakannya dengan senyum, tapi Renjun tentu gelisah dan bertanya-tanya apa arti dari perkataan wanita itu baru saja.

Setelah mengitari kamar, ruang baca, dan ruang makan di lantai dua, mereka masuk ke sebuah ruang kecil dekat dengan elevator. Ada tempat tidur ukuran queen di sana, beserta lemari kecil berwarna putih di dekat jendela, toilet, serta satu set meja-kursi.

“Ini ruang istirahat milikmu, Renjun. Kamu bisa berdiam di sini jika sedang tidak ada yang dikerjakan, jam istirahat resminya adalah saat makan siang dan saat makan malam. Tentu setelah menyiapkan keperluan beliau.” jelas Jungwoo yang ditimpali dengan anggukan lembut dari Ibu Lim.

Mereka mempersilakan Renjun untuk melihat-lihat sebentar ruang istirahatnya. Kim Jungwoo ada di sofa luar kamar, sementara Ibu Lim sepertinya berjalan ke balkon untuk mengangkat telepon.

“Jungwoo, Renjun, ayo. Tuan Lee sudah datang.” kata Ibu Lim sesaat setelah masuk dari luar balkon.

Mereka bertiga bergegas turun ke lantai dasar dan mendapati beberapa pelayan sudah bersiap di posisinya masing-masing, termasuk sekumpulan koki yang sedang berlalu lalang menata kue-kue kudapan serta makanan berat di ruang makan utama dekat sayap kiri manor.

Renjun berpikir, memangnya Tuan Lee ini siapa sih? Kenapa orang-orang sampai begitu sibuk menyambutnya?

Rasa penasarannya langsung terjawab ketika Ibu Lim beserta beberapa orang yang terlihat penting dan berpakaian resmi seperti Kim Jungwoo membukakan pintu mobil paling bagus di antara hampir setengah lusin mobil kerajaan, well terlihat seperti mobil kerajaan, datang beriringan memenuhi halaman tengah melalui pintu samping yang Renjun baru tahu jika bisa dibuka.

Dari mobil itu, turun seorang yang berpakaian mirip seperti Jungwoo tetapi memiliki emblem warna perak di dada kirinya. Renjun punya penglihatan yang buruk, jadi dia tidak bisa mengenali emblem apakah itu. Selepas laki-laki itu turun, ia mengambil kursi roda yang telah dibuka oleh pengawal lain. Kemudian, seorang laki-laki berbadan tegap, berambut kecoklatan hingga menutupi mata, turun dari mobil dan berpindah ke kursi roda tersebut.

Semua orang tiba-tiba membungkuk seolah memberi hormat. Mau tak mau, Renjun juga ikut-ikutan. Meskipun dia tidak begitu tahu untuk apa semua orang sampai sebegininya.

Suasananya berubah jadi sendu, si pemilik acara hari ini, yang nantinya akan menjadi tuannya, juga sama sendunya. Sweater kasmirnya berwarna coklat dengan sedikit aksen hijau tua, ujung sepatunya terlihat mengkilat meski bagian kakinya ditutup oleh selimut rajut warna abu-abu yang terlihat mahal. Renjun tidak bisa melihat mata maupun wajahnya. Matanya ditutupi rambut yang memanjang, wajahnya ditutup masker hingga hidung.

Sebenarnya dia ini kenapa? Apakah dia malu dengan keadaannya saat ini?

Laki-laki dengan emblem silver kemudian mendorong Tuan Lee melewati kerumunan para pelayan, masuk ke dalam rumah diikuti dengan Ibu Lim dan beberapa orang berpakaian resmi lainnya secara berpasang-pasangan. Jungwoo memberi isyarat agar Renjun berjalan bersamanya di barisan yang agak belakang. Mengekori sang tuan.

“Jadi Tuan Kim, Tuan Lee itu ... siapa?” Renjun bertanya dengan suara selirih mungkin, takut orang lain mendengarnya dan mengira pertanyaannya kelewat bodoh.

“Orang yang akan kamu rawat, Renjun.” Kim Jungwoo menambahkan kekehan halus setelahnya.

Renjun belum puas dengan jawaban Jungwoo kemudian bertanya lagi, “maksudku dia ini apa? Raja? Anak raja? Anak Earl kita? Calon Earl, atau siapa?”

“Nanti juga kamu akan tahu.”

Renjun menggerang frustasi dalam hatinya. Dia takut tidak bisa menempatkan diri saat berinteraksi dengan Tuan Lee. Salah langkah sedikit, bisa-bisa kepalanya bolong ditembak.

Hal yang berikutnya terjadi terasa begitu cepat. Tiba-tiba saja Jungwoo berbisik, “kamu nikmati makan saja sebelum Ibu Lim memberikanmu kuliah panjang soal Tuan Lee. Aku pergi dulu, ada rapat penting dengan petinggi.”

Jungwoo kemudian meninggalkannya, semua pelayan berhamburan melanjutkan pekerjaannya, Ibu Lim dan rombongan Tuan Lee masuk ke ruang kerja di sayap kanan.

Tinggal Renjun sendirian dengan beberapa pelayan berseragam resmi yang terlihat mengamatinya sinis dari atas ke bawah. Matilah Renjun! Ini sesuatu yang mengerikan. Meskipun dia terlahir extrovert, tapi berkumpul dengan orang yang jelas berbeda kasta dengannya cukup bikin dia ingin pulang saja dan mengadu pada ibunya.

***

Untitled, 220523

Jeno tidak pernah tahu bagaimana ia mengartikan dorongan dari dasar hatinya untuk mengunjungi rumah lamanya menjelang kembalinya ia ke California setelah liburan musim dingin selesai.

Hari keempat di tahun baru, salju tipis masih terlihat menumpuk di pekarangan rumah yang dulu penuh bunga-bunga carnation itu.

Kemarin padahal ia sudah mengirim pesan singkat untuk Chenle dan juga Papanya. Bunyinya, “Papi besok flight jam 4 sore. Mungkin nggak bisa mampir ke rumah karena ada makan siang bareng sama temen-temen kuliah.”

And there he is, berdiri ragu-ragu di seberang rumah mantan suaminya setelah meminta supir pribadi keluarganya menunggu sebentar di seberang jalan.

Ia belum sempat mengetuk pintu, tapi tiba-tiba Renjun keluar dengan setelan rumahannya dan kantung sampah besar di tangan kanannya yang terbalut sarung tangan.

Renjun terkejut, sebelum pipinya berubah memerah ketika Jeno dengan kikuk mengucap, “hai” tepat di depannya.

Ia buru-buru mempersilakan Jeno masuk ke rumah sementara ia secepat yang ia bisa lari ke depan untuk membuang sampah.

Chenle tidak ada di rumah.

Begitu informasi yang ia terima dari Renjun ketika laki-laki yang tidak lebih tinggi darinya itu kembali ke dalam rumah lalu mencuci tangannya di kamar mandi dekat dapur.

Senyum Jeno terkembang lagi ketika Renjun mengambil duduk di sebelahnya.

“Kirain nggak mampir, soalnya kan kamu bilang kemarin akan langsung aja ke airport.”

Ia menggaruk tengkuknya dengan kikuk.

“Iya. Eh … tadi acara lunch batal, jadinya aku bisa mampir dulu.”

Ini bukan Jeno mengada-ada, kok. Acaranya memang batal, makanya dia bisa mampir ke rumah lamanya untuk berpamitan ke anak dan mantan suaminya.

Take care, ya? Jangan lupa pake sunscreen, kulit kamu belang, nih.”

Keringat dingin jatuh dari punggung Jeno ke bawah. Alasannya sesepele karena Renjun tiba-tiba mengusap tipis rahangnya yang punya warna berbeda dengan lehernya.

Logikanya selalu menolak dan sebisa mungkin menahan Jeno untuk tidak—lagi-lagi—melakukan kesalahan fatal dengan menjadi terlalu dekat dan malah menginisiasi hal-hal intim terjadi di antara ia dan Renjun.

Tapi mungkin benar kata Chenle, rumah ini banyak setannya.

Karena tiba-tiba Jeno terdorong untuk menahan tangan Renjun di sana dan mencium telapak tangan yang dulu selalu mengusap pucuk kepalanya sampai ia terlelap itu.

Sebelum akhirnya—seperti yang sudah diprediksi—dengan berani membawa Renjun dalam ciuman hangat di siang hari yang tidak begitu hangat.

Yang terakhir, sebelum Jeno pergi lagi dan entah kapan bisa kembali.

***

Mimpi di dalam pesawat itu sayup-sayup mampir ke ingatan Jeno. Membuatnya tersenyum bodoh seolah seperti sedang ketahuan memikirkan hal-hal jorok mengenai pujaan hatinya di masa sekolah dulu.

Lebih-lebih saat 'pujaan hati semasa sekolah' itu tengah berada di sampingnya.

Ya Renjun, siapa lagi memang?

Undangan Renjun kembali ia sampaikan ke Jeno secara lisan saat ia mengendarai EV Car-nya di lajur lambat jalan tol sepulang dari bandara.

Jeno duduk di kursi penumpang di sampingnya. Sementara Chenle ada di belakang, sibuk dengan tayangan langsung NBA minggu ke-10.

Seingatnya, hari itu Jeno dengan antusias bilang kalau ia pasti akan datang. Dan sebisa mungkin akan berusaha ‘kabur’ dari acara makan malam keluarga besar.

Renjun yang merasa tidak enak jika harus menginterupsi acara bonding keluarga Lee juga sebenarnya sudah meminta Jeno mempertimbangkan kembali ajakannya dan Chenle.

Maksudnya … mungkin mereka bisa pergi makan malam di lain hari. Meskipun Renjun sebenarnya juga merasa tidak enak hati ke Chenle, sudah hampir lima kali natal mereka hanya makan berdua.

Tapi Renjun lebih tidak enak lagi jika harus ikut ajakan Jeno untuk ‘pergi Christmas dinner bersama semua anggota keluarga Lee’. Karena demi apapun, mereka sudah berpisah hampir tujuh tahun!

Mana mungkin Renjun masih punya muka untuk datang ke sana sebagai plus one-nya Jeno? Mungkin mantan Ibu dan Ayah mertuanya tidak masalah dengan ide itu, pun dengan Kak Jihyo yang selalu suportif ke Renjun meskipun dia dan Jeno sudah berpisah bertahun-tahun lalu.

Tapi bagaimana dengan anggota keluarga lain? Para tante yang seakan bersorak gembira waktu Jeno dan Renjun cerai? Saudara-saudara jauh yang sedari dulu ingin dekat dengan Jeno?

Bukan ide bagus untuk kewarasan Renjun. So, he will go with a solid ‘no’.

Tapi mungkin pilihan itu juga menjadi sumber kekhawatiran Renjun. Karena sekarang, di tanggal 24 Desember, di malam natal yang seharusnya menjadi waktu di mana Renjun, Jeno, dan Chenle makan bersama, sepertinya harus dilupakan pelan-pelan.

Masakan sudah siap sedia sejak mereka pulang dari gereja jam enam sore tadi.

Renjun bahkan belum sempat mengucapkan ‘Selamat Natal’ yang cukup proper untuk Haechan dan Jaemin yang sedang sibuk dengan restoran mereka saat mengambil pesanannya tadi.

Karena yang ada di bayangannya, jalanan akan sangat macet dan Jeno akan datang tepat waktu jam tujuh lewat tiga puluh menit.

Tapi nyatanya, hingga waktu menunjukkan pukul sembilan kurang lima belas, Jeno belum datang ke rumah mereka.

“Kamu kalau laper makan dulu aja, mau? Papa panasin lagi pestonya.” Renjun memecah keheningan di ruang tamu—yang isinya cuma Chenle yang sedang tidur tengkurap di sofa, sambil menatap sendu pintu depan yang belum diketuk sejak sore tadi.

“Nunggu Papi.” singkat jawaban Chenle benar-benar mengiris hati Renjun.

To be fair, ini juga sebenarnya yang dulu menjadi salah satu pertimbangan ia dan Jeno berpisah padahal mereka sudah bersama hampir lima belas tahun lamanya. Jeno yang kurang bisa menghargai Renjun sebagaimana ia benar-benar menghargai keluarga besarnya.

Cukup kompleks sebenarnya masalah mereka, hanya saja Renjun selalu menjadi outsider di sana. Ada banyak hal yang ia rasa seperti menjadi jurang pemisah antara pribadinya dengan keluarga besar Jeno.

Hampir Renjun menyerah dan beres-beres meja makan, ia dikejutkan dengan ketukan konstan di pintu rumah. Yang membuat Chenle langsung sumringah dan membuka pintu.

Dan ternyata benar, teriakan nyaring Chenle berikutnya teredam mantel Jeno.

Jeno datang, satu setengah jam lebih lambat dari janji mereka.

“Maaf Papi telat, maaf banget. Papi nggak bisa kabur dari acara di rumah. Chenle marah nggak sih sama Papi?”

Renjun mendengus geli, gaya bicara Jeno seolah-olah Chenle ini masih sekecil itu—sekecil Chenle usia SMP yang terakhir kali manja-manja begini.

Jawaban Chenle malu-malu terdengar di telinga Renjun. Geli juga ya lihat Chenle selengket itu sama Papinya.

“Hai, Jun.” sapaan lembut Jeno yang padahal bulan ini sudah tiga kali didengar oleh Renjun secara langsung, masih sama terus-terusan membuat darahnya berdesir.

Ada satu rasa yang tidak bisa Renjun utarakan. Pokoknya, ada hal familiar yang dulu sempat hilang, sekarang kembali lagi—nah, begitu rasanya.

“Hai. Gimana tadi acaranya?” basa-basi Renjun berlanjut dengan sedikit membahas acara makan malam yang ternyata sesuai dugaannya.

Lagi-lagi Jeno dikenalkan ke banyak orang baru oleh saudara-saudaranya. Sebenarnya ada perasaan tidak rela, sih, di hati Renjun. Tapi ya dia mau apa? Mereka juga sudah lama berpisah. Kurang etis rasanya kalau Renjun mau ikut campur.

Jadi, dia hanya menanggapi sekenanya. Toh, kalaupun akhirnya Jeno memilih salah satu dari banyak orang lain yang dikenalkan oleh keluarganya, berarti artinya Jeno sudah benar-benar ingin menutup buku masa lalu bersama Renjun, dan itu juga seharusnya berlaku ke Renjun.

Tapi, oh God, kalau Renjun terus-terusan memikirkan kemungkinan-kemungkinan Jeno akan pergi kencan dengan orang lain … sepertinya seminggu ke depan Renjun akan benar-benar sulit tidur.

Ditambah lagi, sekarang, ia melihat pemandangan paling familiar yang sekaligus membuat perut dan dadanya penuh sekali. Penuh sesak.

Jeno duduk di ujung meja makan, di tengah, di kursi yang dulu—selama bertahun-tahun menjadi tempat Jeno duduk setiap kali mereka makan pagi atau makan malam.

Semuanya terasa begitu familiar, dengan Chenle yang masih banyak sekali bercerita dari A sampai Z, dan Renjun yang begitu atentif mendengarkan di sisi meja makan lainnya.

“Oke, kita doa dulu yuk?” Jeno memecah lamunan Renjun yang sedang berkelana ke hari-hari baik di masa lalu mereka.

Chenle dan Jeno sudah berpegangan tangan dengan erat, hanya saja ia ragu-ragu ketika hendak meletakkan tangannya di atas telapak tangan Jeno.

Jeno yang begitu pandai membaca situasi sudah hendak menelungkupkan tangan di dekat piring makan Renjun—untuk menggantikan gestur berpegangan tangan saat berdoa, sebelum Renjun buru-buru meletakkan tangannya di atas tangan Jeno.

Renjun bisa lihat bibir Jeno sedikit terangkat, sebelum memulai melantunkan doa-doa yang diamini dengan cukup kencang oleh Chenle.

Sementara Renjun? Jangan tanya. Hatinya sepertinya sudah pindah dari tempat yang seharusnya. Saking banyak sekali perasaan-perasaan berkecamuk di dadanya.

Ini semua … benar-benar mungkin membuat hatinya rusak setelah ini.

Saat Jeno akhirnya menutup doa dengan frasa latin yang bahkan Renjun tidak tahu artinya, mereka akhirnya memulai acara makan malam.

Tidak banyak pembicaraan berat di meja makan, hanya menanggapi pertanyaan dan pernyataan yang keluar dari mulut Chenle. Sesekali juga Jeno bercerita tentang pekerjaannya dan hal-hal kecil soal kehidupan di Amerika untuk Chenle.

Rasa syukur hinggap di hati Renjun. Barang sebentar, akhirnya Chenle bisa kembali merasakan bagaimana serunya makan malam natal dengan keluarga kecilnya yang masih utuh. Setidaknya tahun ini mereka bisa begini, tidak tahu lagi jika tahun depan Chenle harus sudah rela Papinya tidak hanya mengunjungi Chenle saat pulang ke Korea—melainkan harus berbagi juga dengan adiknya? Tidak ada yang tahu ‘kan?

Acara makan mereka selesai waktu sudah sangat larut. Jeno hanya makan sedikit, bukan karena tidak suka, tapi karena ia sudah sempat makan saat bersama keluarga besarnya tadi.

Renjun menawarkan Jeno untuk membawa pulang makanan-makanan yang ia suka, Jeno mengiyakan karena jujur sudah sangat sangat sangat rindu beberapa masakan spesifik yang selalu dihidangkan Renjun di hari-hari besar. Meskipun itu bukan masakannya sendiri, sih.

Acara berikutnya adalah tukar kado.

Jeno menyerahkan kotak warna merah-hijau yang cukup besar untuk Chenle—tapi Renjun sudah bisa tahu apa isinya.

Dan benar, Chenle berteriak kencang saat mendapati ada sepasang sepatu incarannya dan merch dari klub basket favoritnya di dalam kotak.

Big strike!

Chenle dan Jeno berkelakar heboh kemudian. Renjun tersenyum karena Chenle lagi-lagi bisa mendapatkan kebahagiaannya saat bersama Jeno.

Sekarang gantian, Chenle yang memberikan hadiah untuk Papinya.

Kotaknya kecil, hanya seukuran handphone yang membuat kening Jeno berkerut.

Kerutannya hilang waktu mendapati sebuah polaroid dengan fotonya dan Chenle di sana. Jeno, belasan tahun lalu, menggendong bayi kecil Chenle.

Renjun yang mengambil fotonya, dan saat tahu Chenle menghadiahkan ini untuk Jeno, semalaman Renjun menangis. Merasa bersalah karena tidak benar-benar bisa menjaga keluarga kecil mereka untuk Chenle.

Sekarang juga masih ingin menangis, karena Jeno membuat mereka bertiga mendengarkan perpaduan instrumen dan lirik lagu yang begitu menyayat hati—lagu khusus yang ditulis dan dinyanyikan oleh Chenle untuk Jeno.

“Aku dibantuin sama Om Kun,” senyum lebar Chenle mungkin bisa menutupi kesedihan dan keharuannya sekarang, tapi Renjun tidak akan terkejut jika nanti malam ada suara tangis teredam dari kamar Chenle.

Selepas Jeno menyudahi pelukannya pada tubuh anak semata wayangnya, gantian Renjun yang memberikan kotak seukuran buku tulis untuk Jeno.

“California biasanya panas, ya? Tapi kamu bisa pakai itu kalau lagi traveling ke New York atau ke east coast waktu musim dingin.” senyum Renjun yang begitu teduh dan sederhana ia tampakkan saat menyerahkan scarf sewarna wine untuk Jeno.

Jeno tersenyum juga sambil menelusuri rajutan rapi scarf yang diberikan oleh Renjun. Lebih-lebih ketika tangannya berhenti pada rajutan huruf J berwarna silver yang diletakkan Renjun di salah satu ujung scarf.

“Ini … kamu rajut sendiri?” mata Jeno terlihat berkaca-kaca ketika mengalihkan pandangannya ke Renjun yang juga sedang menatapnya penuh harap.

“Iya.” jawaban singkat Renjun benar-benar ingin membuat Jeno membawanya ke pelukan hangat, tapi rasanya bisa jadi sangat salah kalau ia melakukannya sekarang.

Saat acara buka kado sudah selesai, denting jam di ruang tengah memperingkatkan mereka kalau sekarang ini sudah hampir larut. Sudah jam sebelas malam.

Renjun kembali membereskan bekas makan malam mereka, sementara Jeno dan Chenle masih mengobrol asyik di ruang tamu. Sebelum akhirnya Jeno mengintip ke dapur ketika Chenle sudah naik ke kamarnya. Khawatir susah bangun besok pagi.

“Jun?”

“Hey…” Renjun masih melanjutkan kegiatannya menggosok bekas grill ayam yang dipakainya sore tadi ketika Jeno melangkahkan kaki ke dapur, mengambil beberapa piring bekas yang masih ada di meja makan dan membawanya ke dekat wastafel.

“Mau dibantuin?” kaki Renjun lemas begitu sekarang berdiri sedekat ini dengan Jeno di sampignya.

It’s okay, kurang dikit kok.”

Sebelum Jeno sempat menjawab, Renjun sudah angkat bicara lagi, “kamu mau pulang? Tapi aku belum sempet panasin lauknya. Tunggu bentar abis ini aku panasin lauk yang mau dibawa pulang.”

Jeno mengulum senyumnya, tidak mau menjawab karena jujur ia sangat menikmati ini semua. Kembali mendengar Renjun yang begitu banyak bicara, dan begitu gemar direpotkan oleh orang lain, lebih-lebih di hari besar seperti ini.

Renjun sudah selesai dengan cucian piringnya sekitar lima belas menit kemudian, dan selama itu mereka juga tidak bicara. Jeno hanya mengedarkan pandangannya ke dapur kecil yang dulu pernah jadi saksi betapa mereka begitu mencintai satu sama lain. Tidak tahu juga apa yang sedang berkecamuk di otak Renjun malam itu.

“Mau minum teh dulu?”

Renjun menurunkan gelas warna lilac miliknya dari cabinet dapur, dan ragu-ragu ketika hendak menurunkan gelas bening satu lagi untuk Jeno, meskipun akhirnya tersenyum lega waktu Jeno mengiyakan tawarannya.

Renjun cekatan sekali meracik teh untuk mereka berdua, lebih-lebih ketika sedari tadi ia sudah menyediakan rebusan air di water heater.

“Kamu beneran jadi pindah ke Texas, ya?” suasananya sudah sangat awkward malam itu, buat Renjun mau tidak mau buka suara sambil mengoperkan segelas teh ke Jeno.

“Iya, mulai bulan April nanti kayaknya.” Jeno menyesap tehnya kemudian, “hm, enak, masih jago aja kamu bikin teh.”

Renjun berdecih, Jeno tertawa kecil setelahnya.

“Chenle bilang katanya dia nggak keberatan kok kalo harus ikut kamu ke Amerika setelah ini buat kuliah.” kata Renjun lagi, sambil memasukkan sekotak makanan ke microwave dan mengatur waktu pemanasannya.

“Iya, tadi dia udah bilang juga ke aku. Cuma aku aja kepikiran buat balik ke sini,” alis Renjun terangkat sembari menyesap tehnya, “for good.”

Hah? Apa tadi katanya? Jeno mau kembali? For good?

“Karena?” Renjun hati-hati bertanya ke Jeno soal ini. Karena dulu, Jeno benar-benar akan bereaksi sensitif jika sudah menyangkut pekerjaan dan pilihannya untuk bekerja sejauh itu dari rumah tanpa membawa serta Renjun dan Chenle.

“Ya … aku akhirnya menemukan satu alasan aja untuk tinggal di sini.”

‘And that wouldn’t be us.’ batin Renjun tiba-tiba mengambil alih untuk melanjutkan omongan Jeno. Mengingat salah satu dari sekian banyak alasan mereka berpisah kan juga ini.

“Kamu sendiri gimana akhir-akhir ini? Ada yang lagi kamu pikirin nggak?”

Ini kali pertama sejak perpisahan mereka, di mana Jeno menanyakan perasaan Renjun.

Rasa-rasanya seperti tembok tebal di sekeliling mereka berusaha dirobohkan pelan-pelan oleh Jeno. Setidaknya ini langkah awal.

Renjun pelan-pelan bercerita soal kekhawatirannya. Mostly, soal Chenle yang makin tumbuh besar dan sepertinya punya ketertarikan berlebih ke musik, yang mana mungkin agak sulit diwujudkan Renjun karena pekerjaannya sebagai admin customer service di salah satu bank besar di Korea agaknya kurang menjamin masa depan Chenle.

Jeno pun setuju. Cukup realistis karena untuk jadi penyanyi profesional, ada banyak hal di luar bakat yang perlu dipertimbangkan.

Ia juga sedikit merasa bersalah karena tidak bisa ada di samping Renjun untuk berbagi keresahan soal Chenle di saat-saat seperti ini.

“Kamu … nggak ada rencana buat nyari pasangan lagi?”

Alih-alih menganggap pertanyaan Jeno seperti halnya air dingin yang disiram ke atas kepalanya, Renjun justru lega karena Jeno bertanya soal ini.

Egonya sedikit diberi makan malam ini. Karena setelah perceraian mereka dan melihat Jeno bersikap sangat santai seolah tidak terjadi apa-apa, Renjun acap kali merasa, mungkin ia yang selama ini cinta sendirian.

Seluruh keberanian dalam dirinya ia kumpulkan, untuk mendekat ke arah Jeno yang sedari tadi dipisahkan oleh kompor induksi di antara mereka.

Ia letakkan tangannya di atas punggung tangan Jeno yang sedari tadi berada di atas meja dapur.

You know what?”

Mata Renjun menatap intens mata Jeno yang sekarang benar-benar sulit diartikan apa isinya sebelum melanjutkan, “no matter where you are, mau sejauh apapun kamu pergi, kayaknya kalau ditanya siapa orang yang paling aku tunggu untuk pulang, jawabannya cuma kamu.”

Tiba-tiba saja air mata turun tanpa diminta dari bola mata kanan Renjun.

Jeno tercekat, begitu sulit mengartikan perasaan yang tidak masuk akal sekarang ini.

Tangannya ia alihkan untuk menggenggam tangan Renjun, mengelusnya pelan dengan ibu jarinya, sembari membiarkan Renjun yang tiba-tiba pundaknya naik turun akibat menangis di depannya.

Kedua tangannya kemudian ia bawa untuk mengangkat kepala Renjun agar matanya sejajar dengan mata Jeno.

Elusan ringan di pipi Renjun sembari menghapus air mata Renjun menjadi upaya terakhir Jeno mendekatkan wajah mereka, untuk selanjutnya ia bawa bibirnya mengecup bibir basah Renjun.

Rasanya masih sama seperti ciuman pertama mereka di toilet sekolah puluhan tahun lalu.

Renjun juga masih suka tersenyum dan terkekeh ketika Jeno menciumnya semakin terburu-buru seperti sekarang. Sepertinya Renjun suka jika Jeno seakan takut kehilangan momen bersama dengannya. Takut kalau besok, ia kembali dan tidak menemui Renjun lagi di sini.

Mereka kesulitan bernafas, tapi setelah mengambil nafas selama tiga detik, Jeno kembali menggigit bibir bawahnya yang sudah membengkak untuk membelitkan lidah mereka kembali satu sama lain.

Jeno hendak memperdalam ciumannya dan mengangkat Renjun ke pangkuannya yang kokoh itu ketika tiba-tiba kepalanya terantuk kabinet dapur, membuat tawa kecil keluar dari dua belah bibir mereka berdua.

Bedroom.” satu kata dari mulut Renjun itu jadi perintah untuk Jeno.

Jeno bersyukur karena pekerjaan beratnya di oil rig, di usia empat tahun menuju empat puluh, ia masih bisa menggendong sambil menciumnya begitu brutal malam ini.

Dan semoga, Renjun juga masih bisa mengimbangi energi Jeno ya malam ini.

Heaven Struck #5

Renjun turun dari mobilnya dengan keadaan bersungut-sungut, mendidih luar biasa. Jeno nggak tergerak sedikitpun buat balas perkataannya soal ajakan berpisah tadi.

Mungkin dari sini, semua orang bakal bilang kalo Renjun ini childish banget. Tapi apa yang dia lakukan sebenernya bisa dimengerti. Dia cuma sebel kalau Jeno nggak bisa tegas memisahkan mana hubungan dia dan Renjun dan mana hubungan dia beserta keluarganya dengan Renjun. Membingungkan, Renjun tahu itu.

Dia sampai di kubikel tempat duduknya ketika semua orang sudah sibuk bekerja. Dia nggak ragu buat membanting tumbler mahalnya di atas meja, begitu pula dengan barang bawaan lain yang memenuhi kedua tangannya. Beberapa mata terlihat melirik dia dengan tatapan penuh selidik. Tidak berbeda dengan Sungchan yang duduk di seberangnya dan menatap dia penuh rasa takut kala itu.

“Kenapa sih?” Gumam Sungchan saat mendekati Renjun.

Renjun menghembuskan nafas berat, membenarkan ujung blazer hitamnya, lalu menatap Sungchan.

Please, jangan ganggu gue hari ini. Gue lagi nggak mood.”

Sungchan memberi gestur menarik resleting menutup mulutnya. Kemudian pelan-pelan mundur teratur untuk duduk di kursinya. Dia ngerti, Renjun sedang dalam mode galak.

Renjun sudah hendak beranjak membuka lokernya dan mengambil laptop ketika si pujaan hati masuk melalui pintu yang tepat ada di samping lokernya. Tanpa ba-bi-bu, si CIO melemparkan pandangan pada Renjun dan menginstruksikannya supaya mengikuti Jeno ke ruangannya. Renjun mau tidak mau menurut, meski dadanya benar-benar bergemuruh karena kesal.

Saat pintu di belakangnya tertutup, Renjun memilih menatap tajam Jeno sembari bersedekap di tengah ruangan. Tatapannya sepertinya cukup untuk melubangi kaca pelindung yang memisahkan ruangan Jeno dengan udara panas di luar sana.

Setelah melepas jas abu-abu tuanya, Jeno menatap Renjun dari tempatnya berdiri. Tatapan memohon supaya Renjun melunakkan hatinya. Jeno masih ingin mencoba banyak hal dengan Renjun, bukan tiba-tiba berhenti di tengah jalan seperti ini.

“Aku nggak bisa kalau kamu minta aku ngerti ngerti terus.” Renjun buka suara untuk memecah keheningan.

Bunyi pendingin ruangan mengambil alih sekian menit kemudian, mereka berdua sama-sama terdiam.

“Terus maunya gimana? Kita pisah?” Jeno seolah memperjelas pesan terakhir dari Renjun.

Renjun tidak menjawab. Dia juga bimbang, dia mau terus ada di samping Jeno, tapi di saat yang sama juga tidak cukup sanggup untuk punya hubungan dengan banyak hal yang harus ditoleransi di depan seperti ini.

“Menurutku, kamu perlu banyak belajar dulu, Renjun. Dan aku bisa nunggu kok kalau kamu mau belajar. Aku bisa nunggu...”

Renjun tidak bergeming. Otaknya masih memutar berbagai kemungkinan acak yang bisa saja terjadi kalau dia menjawab dengan langkah yang salah.

“Kamu tuh egois tau nggak?”

Jeno menghela nafas dan menunduk setelahnya.

“Kamu minta aku buat belajar ini belajar itu, toleransi ini toleransi itu, memahami Hannah, memahami kamu dan masa lalu kamu yang aneh itu, sampe harus terima-terima aja kalau kamu mau tetep sama mantan kamu padahal ada aku di sini. Itu tuh gila tau nggak? Mana ada orang yang sabar kalau digituin? Nggak ada, Jen.”

Air muka Jeno berubah. Dia sepertinya juga udah muak kalau harus menoleransi tingkah dan pemikiran Renjun yang begitu.

“Nggak ada juga yang minta kamu ngertiin aku sejauh itu. Aku cuma pengin kamu paham kalau aku punya Hannah dan ada banyak hal yang harus aku dahulukan ketika itu soal Hannah.”

“Termasuk pakai nama dia buat alasan kamu pengin ngunjungin ibunya Hannah?”

Jeno menatap Renjun tidak percaya, “gimana bisa kamu mikir kayak gitu ketika kamu udah denger semua hal tentang Sab dari aku?”

Dia berjalan mendekat ke arah Renjun yang mukanya sudah mulai memerah.

“Tuduhan kamu tuh nggak masuk akal, Renjun. Aku sama Sab udah beneran nggak bisa diselamatkan, aku nggak serendah itu buat jadiin Hannah tameng, kok.”

“Tapi kamu nggak tahu kan gimana pemikiran dia kalau kamu masih bela-belain ketemu dia?! Sekalipun karena Hannah? Kalau dia mau ambil kamu lagi buat hidup bareng sama dia, terus kamu mau?”

“Ya lebih baik aku balik sama dia daripada aku hidup sama kamu yang nggak pernah bisa menghargai anak aku.”

Semua terjadi begitu cepat. Tidak ada yang tahu bagaimana Renjun bisa dengan cepat melempar gelas kaca ke arah Jeno. Gelasnya pecah mengenai dinding, sekian sentimeter pecahannya menggores pelipis Jeno hingga berdarah-darah.

Air mata sudah hendak jatuh dari pelupuk mata Jeno. Perih dan sakit di pelipisnya adalah salah satu penyebabnya, tapi keterkejutannya akan emosi tidak terkontrol Renjun jadi salah satu penyumbang terbesar mengapa air mata itu berkumpul di sana.

Mungkin suara pecahannya terlalu besar hingga terdengar ke luar, sampai akhirnya Jaemin masuk, menyuarakan keterjekutannya dengan nada marah—pada Renjun sepertinya, lalu pandangan Jeno mengabur seiring dengan makin derasnya darah kental turun dari pelipisnya.

Haruskah Jeno berpikir ulang jika ingin melanjutkan semuanya?

Heaven Struck #4

Minggu ini jadi Minggu yang cukup melelahkan buat gue. Bukan cuma karena kerjaan di kantor yang ugal-ugalan, tapi juga karena hubungan gue sama Jeno yang lagi terombang-ambing. Gue merasa Jeno nggak bener-bener genuine untuk menjalani hubungan ini. Dia cuma peduli sama anaknya, bukan sama gue.

At some point, itu nyebelin. Tapi kerasa lebih menyedihkan buat gue karena lagi-lagi gue nggak merasa dicintai atas siapa gue. Lagi-lagi ini cuma soal apakah gue memberikan benefit untuk orang lain atau enggak. Mungkin emang takdirnya gue harus hidup sendirian terus kali ya?

Pagi ini gue sengaja bikin capek diri gue sendiri dengan bersih-bersih kamar mandi, nyuci baju, ngepel rumah, serta beresin dapur. Cuma kurang jalan keluar buat buang sampah dan ke supermarket aja sih. Tapi cuaca yang agak mendung bikin gue males jalan keluar. Pengen gelung di selimut aja.

Sekiranya jam 1 siang, gue udah tepar dan berniat tidur siang. Kalau kebablasan, mungkin bakal bangun nanti sore. Kalau enggak, mungkin jam 2 udah bangun dan gue udah membulatkan tekad untuk pergi ke supermarket setelahnya. Gue udah bikin list barang yang mau gue beli juga sih.

Belum sempat gue duduk di atas tempat tidur, tiba-tiba ada suara ketukan pintu. Gue udah mikir kayaknya itu Donghyeok atau Kun-ge yang mampir abis shift malam. Kalau Donghyeok, gue udah berniat nendang dia pergi karena males banget direcokin sama dia hari ini. Not today. Kalau Kun-ge, mungkin dia cuma mau mampir nganterin makanan yang dia beli atau minjem sesuatu. Dia pasti bakal mampir sebentar doang terus pulang, aman lah.

Gue buka pintu dalam keadaan pakai piyama belel yang dibeliin Mama sekitar enam atau tujuh tahun lalu. Bodo amat sih, toh tamunya palingan cuma mereka.

To my surprise, ternyata ada Jeno di depan pintu. Sendirian. No Hannah in sight. Dia ganteng banget pakai kemeja item yang dipadukan sama jeans biru muda—jarang dia pakai kayaknya, rambutnya ditata rapi kayak kalau dia lagi ngantor, parfum yang dia pakai hari ini agak beda, seger banget wanginya. Dia bawa tas jinjing di tangan kanan, dan sebuket bunga lily kuning di sisi kiri. Di bahunya tersampir tas kulit mahal yang katanya hadiah dari mantan rekan kerjanya di Bay Area dulu.

Dia senyum waktu gue natap dia horor. Dia rentangkan tangannya lebar-lebar tanpa melepaskan barang bawaannya—mengisyaratkan gue buat menghambur peluk dia.

Males banget.

Gue cuma berdecak malas, buka pintu lebih lebar dan menyuruh dia masuk.

Waktu dia masuk dan gue mulai nyalain lampu ruang tamu yang sebelumnya mati, dia agak kaget.

“Kamu kalo ngambek suka gelap-gelapan gini, sayang?”

Merinding badan gue. Belum biasa dipanggil sayang secara langsung sama dia. Mimpi apa coba semalem?

“Nggak. Hemat listrik.” Jawab gue asal-asalan.

Dia berjalan mengekori gue yang sebenernya kikuk mau ngapain ketika dia ada di sini sekarang. Rasa sebel gue ke dia belum kelar. Tapi dia udah ada di sini bawa makan dan hadiah. Bingung banget harus gimana.

“Ini makanannya ditaruh mana, yang? Tadi mama nitip masakan dari rumah kami, sama blueberry muffin bikinan dia.”

Kayaknya gue akan sangat bahagia kalau punya mama mertua kayak mamanya Jeno.

“Masukin lemari es dulu aja lah.” Kata gue sembari mengambil alih paper bag di tangan kanannya untuk dibongkar lalu dimasukin ke lemari es. Jujur gue belum ada niatan makan. Masih kenyang sama yogurt bowl tadi pagi.

“Bunganya?” Dia tanya lagi ketika gue baru aja nutup pintu lemari es.

“Sini.” Gue ogah-ogahan ngambil bunga dari dia, beranjak ngambil vas kaca kosong yang gue taruh di atas cabinet, lalu jalan ke wastafel untuk ngisi air dan motong tangkai bunganya.

Gue bisa menyadari Jeno mendekat ke arah gue, tapi perlakuan dia berikutnya sangat nggak terprediksi.

Dia tiba-tiba peluk badan gue dari belakang, cium pipi kiri gue lamaaaa banget. Sambil bergumam, “maaf ya udah bikin sebel dari kemaren.”

Kami masih bertahan di posisi itu sampai gue selesai arrange bunga yang dibawa Jeno ke dalam vas. Bedanya, Jeno udah mindahin kepalanya untuk bertumpu di bahu kiri gue. Sesekali ciumin pipi, pelipis, bahkan leher gue.

Kalau boleh jujur, hati gue udah nggak berbentuk. I do forgive him, my heart beats faster for him, tapi otak gue masih mengambil alih ego dengan bilang, “don't fall too easy, stupid.” gitu. Jadinya gue cuma bertingkah sok cool padahal pengen aja balik badan, cup his face, shower his puppy-like figure pakai ciuman-ciuman gemas.

“Geser, bentar.” Gue berusaha mati-matian menetralkan suara gue yang agak bergetar sebelum pindah buat menaruh vas bunga di ruang tamu.

Setelah bunganya rapi, gue balik badan dan cukup bingung mau apa lagi setelah ini? Mau dari mana gue settle down masalah gue sama Jeno? Sebagai manusia yang baru pertama kali punya hubungan serius, bagian paling susah dari semua ini adalah menyelesaikan masalah yang muncul di tengah-tengah kita.

Gue akhirnya ngide masuk ke kamar dan coba bersihin muka gue pakai gel cleanser. Gue berniat mandi, membiarkan Jeno sendirian dulu tidak berinteraksi sama gue. Sebuah langkah yang menurut gue tepat karena gue butuh waktu buat berpikir.

Tanpa gue prediksi ternyata si Jeno ngikut masuk ke kamar gue.

“Mau ngapain?”

“Mandi.” Gue menjawab tanpa mengalihkan fokus pada cleanser yang lagi gue ratain di muka gue.

“Hmm ... ngapain mandi?”

Tangan gue berhenti sejenak, “ya karena aku belum mandi seharian.”

“Beneran mau mandi? Nanti ujungnya mandi lagi.”

Kepala gue nengok ke Jeno lebih cepat dari prediksi gue sendiri.

“Hah?”

“Um ... are you ... probably in the mood?” Alisnya naik-turun sambil nanya gitu. Mengisyaratkan sesuatu—kayaknya.

“Hah?”

Well I thought I was being obvious, sayang.” Dia bergerak mendekat ke arah kursi di samping tempat tidur. Caging me there.

“Serius?” Dia memastikan lagi.

Ada jeda bermenit-menit di sana. Gue berusaha mencerna 'ini orang maunya apa sih?'

Jujur ... make up sex was never on my bingo list. Gue kira dia akan memilih melakukan hal yang lebih rasional dan masuk akal.

Tapi gue juga nggak bisa terlalu dini menganggap ini adalah bentuk dari dia caper ke gue untuk minta maaf. Karena bisa aja dia cuma mau cairin suasana dulu, lalu akan mulai bicara tentang masalah kita berdua setelahnya.

But what the fuck? Orang macam apa yang mau cairin suasana lewat seks? Nggak masuk akal!

Kalau ujung-ujungnya gue mengiyakan ajakan Jeno dengan mengerling ke arah tempat tidur sambil bergumam, “bed.”

Artinya mungkin otak gue udah terkontaminasi sama posisi spesial Jeno dalam hidup gue saat ini.

Let God do the rest. Semoga aja besok gue bisa datang ke kantor tepat waktu dan tidak mencurigakan. Poin terakhir yang terpenting.

Oh! Dan masalah gue sama Jeno bisa selesai malam ini. Hopefully...

Heaven Struck #3

Setiap hari Sabtu pagi, gue bakalan jadi kukang pemalas yang kerjaannya cuma golar-goler di kasur sampai jam 12 siang, keluar cari makan bentar, lalu balik bergelung lagi di kasur sampai jam 4 sore, makan cemilan sambil nonton series, keluar cari makan jam 7 malam, lalu ditutup dengan mandi dan kembali tidur. Tapi, hari Sabtu ini sepertinya sungguh bakalan beda.

Waktu gue buka mata, ada seonggok manusia tidur di samping gue. Oh, jantung gue beneran dag-dig-dug-der kalau inget gimana bisa dia ada di sini dari semalem. Tapi gara-gara ada dia, pagi ini gue jadi semangat buat turun dari kasur lebih pagi dan jalan ke dapur buat bikin teh dan masak sarapan.

Pilihan teh pagi ini jatuh pada dua kantong teh yingde—favorit mendiang ah ma yang gue padukan sama sepiring toast plus tomat ceri serta daging sapi asap. Gila banget, nggak pernah gue se-totalitas ini masak sarapan.

Tepat jam delapan, gue bangunin Jeno dari tidurnya yang kayaknya nyenyak banget. Ternyata dia bukan light-sleeper kayak gue, jadi selama gue ribut di dapur, ya dia nggak sadar. Thankfully, dia mengapresiasi kerja keras gue pagi ini dengan tersenyum takjub waktu tahu meja udah penuh sama makanan. Ya meskipun belum tau sih rasanya akan sehancur apa.

“Kamu memang selalu serajin ini apa gimana?” Tanya Jeno selepas menyeka mulutnya dengan handuk—dia habis cuci muka dan sikat gigi.

Gue mengulum senyum, menyeka tangan pakai kain lap yang tergantung di dekat kulkas, lalu jalan mendekat ke meja makan.

“Enggak sih, gara-gara kamu ke sini aja jadi begini.”

“Oh ... kalau gitu aku ke sini terus aja tiap weekend, biar kamu masak terus.” Katanya sambil mendengus geli.

“Boleh aja, kalau nggak sungkan nitip Hannah ke mama kamu aja sih tapi.” Realistis dong, kan emang gue seneng dia di sini. Tapi risikonya ya Hannah harus dititip ke orang tuanya terus. Moreover, gue emang suka aja masak, tapi nggak suka lama-lama di dapur.

Dia ketawa renyah dan tidak menjawab. Terus lanjut ambil duduk berhadapan sama gue untuk memulai menyantap sarapan.

Kami sempat saling memandang wajah masing-masing sebentar. Nggak nyangka bisa ada di sini dan bisa begini. Terlalu unreal, sih. Kayak nggak mungkin terjadi, tapi nyatanya bisa terjadi.

Jeno maju mendekat ke wajah gue, kemudian mengecup singkat ujung hidung serta bibir gue.

Thank you ... for the breakfast.” Gumamnya kemudian.

Hidup gue nggak pernah terasa sesempurna ini, sih.

Jujur waktu Jumat malam Jeno ngajakin gue ketemu dan mau ngomong serius, bayangan gue nggak begini sih. Gue kira bakalan ada opera sabun dadakan yang mampir ke hidup kami. Udah jelek lah isi kepala gue.

Soalnya Jeno impulsif banget, tiba-tiba jam setengah delapan udah nongol aja di taman apartemen. Terus ngajakin makan tapi jalan kaki. Praktis sebagai duta mager nasional, gue persuade dia abis-abisan buat naik mobil aja. Toh biaya charge mobilnya juga udah satu paket sama biaya rental apartemen gue. Untungnya sih dia mengiyakan, ya.

Kita makan enak di salah satu resto Perancis favorit gue. Pemiliknya lahir dan besar di Lyon, lalu merantau ke sini. Sehingga, rasa makanan di sini bisa dibilang cukup otentik sih. Meskipun harganya juga agak sedikit mahal kalau dibandingkan sama resto-resto lainnya yang selevel.

Selama makan, Jeno belum buka suara mengenai apapun. Dia cuma cerita-cerita tentang perjalanan hidupnya, pekerjaannya di Amerika dulu, sampai sesekali nyinggung soal anaknya si Hannah—kebiasaan dia, makanan favorit dia, dia yang akhir-akhir ini suka nagging kalau mau ditinggal papanya kerja, gitu-gitu lah.

Sampai di saat hidangan penutup dikeluarkan, gue memberanikan diri buat bertanya, “emang gimana ceritanya kamu bisa ketemu sama Sab?”

Yang membawa kami ke acara nongkrong fase kedua di bar kecil deket resto ini—yang sebenarnya nggak enak-enak banget minumannya.

Dari cerita Jeno malam itu, akhirnya gue tahu kalau mereka ini memang campus couple dari dulu banget. Sab itu blasteran, papanya keturunan Denmark yang udah lama merantau ke Newcastle, makanya dia sekarang pulang ke sana for good setelah berpisah sama Jeno. Selama kuliah, Jeno itu sebenarnya nggak pengin punya hubungan yang terlalu bebas untuk ukuran orang timur. Tapi di sisi lain, dia juga sadar kalau banyak orang pengin ada di posisi dia—macarin Sab. Makanya dia insist untuk ngajakin Sab tinggal bareng di apartemen yang diberi sama orang tua Jeno sebagai hadiah.

Ketika hidup bareng sama Sab selama 2 tahun terakhir kuliah, Jeno sadar kok kalau hubungan mereka semakin intim. Seks bagi mereka juga bukan sesuatu yang tabu. Toh mereka sudah sama-sama dewasa dan sadar sama konsekuensinya. Makanya karena merasa belum prepared, mereka selalu pakai alat kontrasepsi. Menurut gue itu bijak banget sih untuk ukuran anak baru gede kala itu.

Selama mereka tinggal bareng di sini, orang tua Jeno surprisingly sama sekali nggak tahu. Hebat kan??!! Iya, soalnya kata Jeno, mama-papanya jarang sekali nengokin dia di apartemen. Seringkali Jeno yang pulang ke rumah atau mereka ketemu di tengah. Toh orang tuanya lebih sering menghabiskan waktu ngurusin aset keluarga di Busan ketimbang di sini.

Ketika Jeno pindah ke Amerika buat kerja, Sab ngikut. Dia cukup capable sih untuk cari kerja di sana, dan ujungnya bisa tetep make money juga dengan baik, tanpa numpang hidup ke Jeno. Udah bisa dibilang mereka sama-sama functioning. Dan seperti sebelum-sebelumnya, mereka tinggal bareng. Dari Virginia, ke Seattle, jadi New Yorkers setahun doang, dan cukup lama tinggal di San Fransisco. Di mana Sab akhirnya hamil dan melahirkan Hannah.

Berita mereka tinggal bersama waktu di Amerika jadi hal yang bikin hubungan Jeno dan orang tuanya renggang. Selama sebelas tahun pindah ke states, orang tua Jeno cuma nemuin dia empat atau lima kali aja. Padahal dalam setahun, mereka bisa travel ke US sebanyak dua sampai tiga kali. Not even reaching 25%. Seburuk itu hubungannya.

Sampai ketika Sab melahirkan Hannah, orang tua Jeno juga masih enggan buat nengokin cucunya. Karena bagi mereka ya anak yang lahir tanpa restu orang tua otomatis bukan cucu mereka juga. Jujur di sini hati gue mencelos, nggak kebayang gimana sedihnya mereka berdua waktu anak mereka segitunya nggak diakuin sama kakek-neneknya.

Hubungan Jeno dan Sab mulai retak ketika mereka punya pandangan berbeda tentang masa depan. Sab nggak pernah memandang sebuah hubungan sebagai hitam dan putih. Menurut dia, pernikahan itu bukan sesuatu yang bakalan jamin kalau mereka bisa bahagia. Dan dia nggak suka sama ide itu. Lebih-lebih keluarga Jeno masih terhitung sangat konservatif. Sab khawatir kalau dia nggak bisa bahagia hidup di tengah keluarga seperti itu.

Sementara Jeno, on the other hand, ingin hubungan mereka jadi lebih baik. Pun dia juga mau banget memperbaiki hubungan sama orang tuanya, lewat pernikahan.

Sab awalnya setuju untuk ikut Jeno kembali ke Seoul dan menata hidup di sana. Tapi mereka terlanjur masuk ke fase di mana hubungan mereka sama sekali nggak menggairahkan. Nggak ada yang bisa dieksplorasi lagi karena keduanya sama-sama udah merasa cukup atas banyaknya perbedaan pandangan hidup. Apalagi hari-hari mereka udah disibukkan juga sama pekerjaan dan mengasuh Hannah. Akhirnya Jeno menuruti kemauan Sab buat punya open relationship—yang sebenarnya Jeno benci.

Selama dua-tiga tahun terakhir, Sab selalu pergi kencan sama orang lain. Tapi Jeno nggak bisa dan nggak berhak marah karena itu semua atas kesepakatan mereka berdua. Pun dia juga udah nggak punya rasa cemburu ke Sab, rasanya udah nggak di situ lagi dan fokus dia cuma besarin Hannah.

Kadang-kadang, Sab minta Jeno buat nyari pasangan lain. Entah itu untuk short-term ataupun untuk long-term. Mungkin karena dia nggak mau merasa berkhianat sendirian kali ya? Cuma Jeno being Jeno, akhirnya ya menguap gitu aja karena dia sama sekali nggak tertarik, not even kepikiran cari pasangan lain.

Ya meskipun orang tuanya kadang kirim-kirim portfolio orang buat dijodohin ke Jeno juga.

Nah, itulah gimana ceritanya dia ngelihat gue si Huang Renjun cungpret yang sekarang lagi dia suapin daging sapi asap ini.

Kata dia sih, waktu itu dia belum tertarik. Makanya dia simpen-simpen aja tuh portfolio kenalan orang tuanya buat dibuka lagi nanti kalau dia sudah membuka hati atau sudah butuh buat dikenalin. Meskipun risikonya mungkin si calon udah punya calon lain ya...

Ketika hubungan dia dan Sab memburuk, Jeno berusaha mencari-cari dan terus mencari. Secara harfiah dan figuratif.

Dia cari teman ngobrol yang berpotensi nyambung, menghiraukan gender dan preferensi seksual mereka. Dia juga kadang nyari hook-up lewat dating apps, tapi most likely nggak akan berlanjut ke mana-mana.

Usut punya usut, dalam dua tahun terakhir Jeno menemukan fakta kalau dia cuma tertarik ke orang lewat romansa. Bukan sesuatu yang mengarah pada seksualisme. Dia suka dan enjoy punya hubungan dekat dengan orang, terlepas dia laki-laki atau perempuan—it doesn't matter, tapi dia sama sekali nggak bisa enjoy jika itu sudah masuk dalam ranah intercourse—hubungan badan. Dia begitu gamblang bilang bahwa dia nggak bisa merasakan nikmatnya di mana. Bahkan sejak dulu masih sama Sab.

Dia cuma berusaha menuruti Sab, berusaha menyenangkan mantan pacarnya itu. Kala itu mungkin dia belum benar-benar kenal sama dirinya sendiri, dan menurut gue itu wajar. Sampai akhirnya ada jeda waktu dua tahun untuk dia berpikir dan refleksi diri, lebih-lebih dengan kejadian Sab memutuskan untuk cari orang lain, dia malah bisa merasakan kalau dia fine sama keadaan dan dinamika hubungan seperti itu.

Gue nggak banyak berkomentar saat Jeno cerita, lebih tertarik buat mendengarkan cerita dia dengan seksama. Sesekali merefleksi ke diri gue sendiri—barangkali gue juga sama seperti dia? Atau ada sesuatu yang perlu gue kenali lebih dalam supaya bisa match sama dia? Gue masih mencari.

Kami pulang waktu jam udah menunjukkan pukul satu malam, untungnya kami sama-sama nggak mabuk dan nggak konsumsi alkohol. Makanya bisa langsung pulang naik mobil dan saling menggenggam tangan selama perjalanan.

Entah kenapa semua mengalir begitu normal dan tenang. Jeno bilang dia bersyukur dapat teman cerita kayak gue, katanya dia lega karena udah membuka kisah hidupnya ke gue yang notabene akan jalani banyak fase hidup di masa depan sama dia. Kalau cocok, ya.

Gue pun juga seneng sih karena bisa menguliti satu per satu kisah hidup Jeno yang luar biasa. Gue menjanjikan akan buka cerita hidup gue ke dia setelah ini.

“Pelan-pelan, aku nggak ke mana-mana”, kata dia.

Dia bilang, dia mau tidur di rumah gue. Kami ketawa geli waktu sadar dia berusaha meyakinkan gue mati-matian kalau nggak akan ada seks malam ini. Padahal kalau ada pun, gue nggak akan keberatan.

Setelah mandi, dia pakai baju papa yang ditinggalin di lemari gue. Lucu banget dia jadi kayak bapak-bapak chinese tapi versi ganteng dan berotot. Malam itu penuh sama tawa sih sejujurnya.

Termasuk ketika gue harus lari ke supermarket yang jaraknya 6 menit jalan kaki—sendirian—karena pasta gigi di rumah habis dan supermarket bawah lagi tutup karena perbaikan instalasi listrik.

Kami gosok gigi sambil ketawa-ketawa atas perjuangan gue beli pasta gigi saat dini hari. Ditutup dengan ciuman gue di kedua pipi dan bibir Jeno malam itu. Sebelum kami tidur lelap sampai pagi.

Heaven Struck #2

Sebenarnya Pak Jeno udah nggak gitu mabuk malem ini. Waktu gue dan Jaemin mapah dia ke mobilnya, dia udah setengah sadar, kok. Dia juga masih bisa bantuin gue masukin alamat rumahnya di maps. Cuma ya nggak mungkin aja biarin dia pergi sendiri untuk pulang ke rumah. Satu bahaya, dua nggak sopan aja kalau nggak ngikutin perintah Jaemin tadi sore.

Sepanjang perjalanan dari Grandé menuju ke kompleks apartemen punya Pak Jeno, nggak ada obrolan berarti di antara kami. Pak Jeno cuma senderan lemes di kursi penumpang, gue fokus jalanin mobil supaya selamat sampai tujuan despite mata gue udah ngantuk banget.

Selama ada di bar, kami nggak ikut-ikutan party seolah masih seumur anak baru gede yang lagi heboh di dance floor. Selayaknya manusia-manusia berumur mid 30s, kami duduk-duduk aja sambil ngobrol santai di VIP seats yang agak jauh dari keramaian. Mesen minum, mesen makan, nyalahin cigs beberapa kali kalo pengen, udah gitu doang. Ya meski sesekali harus nolak halus kalau ada yang nyamperin. Tau lah ya maksudnya...

Obrolannya juga ringan banget. Nggak jauh dari pekerjaan juga dinamika kantor yang masih baru banget untuk Pak Jeno. Dari obrolan malam tadi gue jadi tahu kalau Pak Jeno ini ternyata lebih hebat dari yang gue kira. Portfolionya udah kejauhan lah buat gue gapai kalau gue baru mau mulai merintis semuanya di usia sekarang. Apalagi didukung sama latar belakang keluarganya yang bukan keluarga sembarangan. Kakeknya aja mantan menteri, semua aspek hidup dia terlalu prime lah kalau dibandingin sama orang biasa kayak gue.

Duh ... makin insecure ;)

Rasa-rasanya, setelah berjam-jam nungguin dia dan Jaemin minum bergelas-gelas—which they usually avoid, gue baru sadar kalau mungkin alove language_nya Pak Jeno itu beneran acts of service mentok. Beneran mentok di ujung.

Even at his tipsy times, dia masih bisa beresin tas gue dan Jaemin waktu kami lagi ribet mau close bill dan nyari mobil dia. Sebelum itu, bahkan dia adalah orang yang paling aktif nuangin minum buat Jaemin dan bolak-balik manggil waiter untuk restock air mineral kita. Yang paling bikin gue blushing, dia selalu sisihin bawang putih goreng dan daun seledri di semua makanan yang datang ke meja kami. Dia tahu dan masih ingat kalau gue nggak suka bawang sama seledri. Padahal kita baru makan semeja satu kali waktu lunch hari itu.

I might just ... kms :)

The second building on the right...” gumaman Pak Jeno di sebelah membuyarkan lamunan gue. Bisa-bisanya gue nyetir sambil ngelamun? Untung sepi dan selamat.

Gue baru sadar kalau apartment block yang dia tunjuk beneran keliatan mewah dari luar. Udah bisa dipastiin kalau harga sewanya nggak kurang dari sepuluh juta.

Ketika memasuki basement parking, gue makin deg-degan karena takut ketemu sama istrinya Pak Jeno secara face-to-face. Pasti akan banyak pertanyaan yang dilontarkan sama istrinya. Mungkin dia nggak akan langsung mengkonfrontasi aneh-aneh seperti yang gue bayangkan. Tapi tetep aja, gue akan semakin bersalah karena udah punya perasaan suka ke Pak Jeno, padahal tahu dia udah jadi ayah dan suami orang.

Sesaat setelah gue menarik tuas rem tangan—tanda bahwa parkir sudah pas—gue menghembuskan nafas kasar. Jantung gue beneran berdetak kenceng banget. Saking takutnya.

Dari sebelah, gue bisa denger suara dengusan tawa Pak Jeno. Mungkin dia lagi ngigau, entahlah.

Saat gue mau melepaskan seatbelt di badan gue sebelum membantu Pak Jeno, tiba-tiba dia sentuh pergelangan tangan gue.

“Kamu khawatir ya nganter saya pulang dalam keadaan kayak gini?”

Dia ini jago banget baca pikiran orang. Gue jujur nggak pengin keliatan konyol aja sih, makanya gue coba berdehem dan menjawab, “tapi lebih khawatir kalau Bapak pulang sendiri dan kenapa-napa di jalan.” Gue sunggingkan senyum tipis di akhir, meski dia nggak bisa lihat.

No, no, bukan itu. Kamu takut kalau pacar saya ngira macem-macem, kan?”

Bentar ... ada dua hal yang ganjal di sini. Pertama, gimana bisa dia tahu kalau itu adalah kekhawatiran gue sejak tadi? Dan dua, what the fuck was that? Pacar?

P-pardon...?”

“Hmm?” Dia mencondongkan badannya ke dekat badan gue. Di otak gue, udah nggak ada skenario lain selain mikir jorok jangan-jangan-dia-mau-cium-gue. Soalnya apa aja bisa keluar dari refleks seorang manusia yang abis mabuk berat kayak beliau ini. Gue udah mikir kalau setelah ini gue akan sujud di kaki istri-pacar-partner-whatever pokoknya ibu dari anak beliau ketika kami ketemu di atas nanti. Tapi ternyata perkiraan gue salah, dia cuma ketawa kecil sebelum bicara lagi, “don't tell anyone, not even Jaemin. Nggak perlu sungkan sama Sab, dia sering bawa orang lain pulang. Mungkin dia akan mengira saya balas dendam kalau pulang sama kamu. Tapi—”

Dia berhenti sejenak, mengusap wajahnya tiba-tiba, sebelum kembali bersandar di kursi penumpang sambil mijit pangkal hidungnya.

Jujur gue tahu kok maksud racauan dia. Meski berikutnya dia nggak melanjutkan omongannya.

Tapi yang lebih bikin gue terkejut adalah waktu kami udah sampai di unit apartemen dia dan perempuan yang dia panggil 'Sab' itu muncul di hadapan kami. Tentu Sab yang bukain pintu, dia pakai baju tidur yang dilapisi sama kardigan warna abu-abu. Ruang tamu kelihatan remang-remang dengan berbagai mainan bayi masih berserakan di salah satu sudutnya.

“Ini ... Pak Jeno ... kami baru minum bersama dengan beberapa teman kantor, lalu saya insist untuk antar Pak Jeno pulang. Khawatir ada apa-apa kalau pulang sendiri.” Gue menjelaskan dengan rasa deg-degan setengah mati, sambil berusaha menahan beban tubuh Pak Jeno di samping gue.

Sab mempersilakan gue membawa Pak Jeno masuk ke dalam rumah. Tepatnya ke dalam kamar yang nggak bisa gue identifikasi milik siapa karena kelihatan plain dan kosong banget. Mungkin memang kamar Pak Jeno, atau bisa jadi kamar tamu.

Ketika Pak Jeno sudah duduk di kasur, dia masih sempat bilang, “you can stay here if you want, Sab akan tetap mikir aneh-aneh soal kita, baik kalau kamu tinggal ataupun pulang.” sambil memejamkan matanya.

Gue memang terkejut, tapi memilih untuk nggak gitu menggubris apapun yang keluar dari mulut Pak Jeno. Nggak ingin lebih jauh terlibat apapun di dalam urusan rumah tangga dia sama Sab. Gue nggak punya waktu buat itu.

Setelah menutup pintu kamar tempat Pak Jeno tidur, gue mendapati Sab lagi memunguti boneka-boneka kecil yang tercecer di dekat ruang TV, bisa gue dengar ada bunyi kettle mendesis di atas kompor. Sepertinya Sab lagi mau siapin sesuatu untuk Pak Jeno. Gimana bisa mereka hidup seperti ini? Seolah jadi keluarga yang functioning, padahal kalau dengar cerita Pak Jeno sekilas, mereka jauh dari kata baik-baik saja.

“Er ... saya izin pamit. Kunci mobil Pak Jeno saya letakkan di dekat tempat tidur, begitu pula dengan tas dan jas beliau. Maaf mengganggu di pagi buta begini.”

Sab sempat menilik gue dari atas ke bawah. Melebarkan matanya sebentar, lalu berkata, “saya kira kamu akan tinggal. Enggak ya?”

Mungkin ini yang Pak Jeno maksud tadi.

Gue cuma berusaha tersenyum sopan, padahal menurut gue pertanyaan Sab ini udah cukup menghina.

“Iya. Saya cuma kolega kantor yang kebetulan pergi sama-sama.”

Dia kelihatan menimbang, menyunggingkan senyum sebelum bicara lagi, “glad to know that you won't be his another mistakes.”

Hah? Apa maksudnya?

“Nggak mudah memang buat menghindar dari Jeno. Dia memang punya charm yang luar biasa. Tapi kalau mungkin kamu udah tahu ceritanya, kamu harusnya sadar buat nggak jalan lebih dekat ke arah dia. Jangan buang waktu kamu buat dia, ya? Soalnya kamu nggak akan tahu sampai kapan dia akan ... you know, fight for you, sebelum akhirnya dia nyerah sendiri. I've been there ... and I can tell it was ... worst.”

Sab meletakkan boneka-boneka anaknya di keranjang mainan selepas menyudahi perkataannya.

“Saya mau lanjut bikin chicken soup untuk Jeno, lalu pumping. Make yourself at home kalau memang mau stay, jangan berisik ya kalau mau berdua sama Jeno di kamar. Anak kami light-sleeper. In case beneran mau pulang, buka saja kunci pintunya. Good night.”

Tanpa perlu pamitan sama Sab ataupun Jeno, gue keluar dari rumah itu dan telfon Kun-ge minta dijemput. Gue nggak pernah merasa se-miserable ini selama gue hidup dan punya perasaan ke orang.

Baru kali ini.

Heaven Struck #1

Gue turun ke lantai dasar tanpa ekspektasi apapun. Tujuannya hanya nemuin orang dari vendor buat bawa mereka ke salah satu ruangan meeting di bawah. Biasanya sih meeting begitu nggak akan lama, paling lama ya satu jam. Karena yang dibahas pun biasanya ringan banget.

Sembari menunggu Pak Jeno datang dari–entah dari mana, kami ngobrol sedikit soal cuaca dan traffic hari ini. Mereka cukup friendly juga sehingga obrolan kita masih ada terus meskipun waktu udah berjalan cukup lama tanpa tanda-tanda Pak Jeno dateng. Gue sesekali buka HP untuk ngecek apakah Pak Jeno ada kirim pesan ke gue untuk memulai acaranya duluan, tapi ternyata nggak ada sama sekali.

Bukannya gue lancang sih, tapi kalo acaranya nggak dimulai sampe kelamaan, takutnya selesainya pun molor kan. Padahal bisa aja mereka punya agenda lain yang harus dilakukan. Sama dengan gue yang ada janji buat ngerjain kerjaan lain setelah makan siang.

Sekitar dua puluh menit meeting berjalan tanpa Pak Jeno. Sampai akhirnya dia masuk ke ruangan dengan tergopoh-gopoh. Dia minta maaf dengan tulus ke orang-orang yang udah hadir sejak tadi. Cuma ya orang-orang ini jauh lebih segan lagi ke Pak Jeno. Menurut gue, beliau ini bukan orang sembarangan makanya meski dia telat, orang lain yang ngerasa nggak enak.

“Oke, lanjut aja.” katanya sambil mengambil duduk di samping gue yang tiba-tiba gemeteran karena harus berada di ruang yang sedekat ini sama dia. Pak Jeno beneran definisi cowok matang yang selalu diidam-idamkan siapapun. Dia cakep banget, parfumnya wangi, suaranya enak didenger, isi kepalanya menarik, tingkah lakunya juga sopan, udahlah ... nggak ada alasan buat nggak suka dia.

Cuma ya gara-gara pesan malam itu gue jadi ngerasa nggak enak udah segitu suka sama dia–apalagi belum pernah ketemu waktu itu. Dia udah punya anak, udah punya keluarga. Ya kali gue ngebet sama suami orang?

Empat puluh menit kemudian, paparan dari meeting ditutup sama ajakan Pak Jeno untuk makan siang bareng di kafe dekat kantor. Kami berdua jalan beriringan sama tiga orang lain yang hadir pagi menuju siang itu. Sebenarnya selama meeting dan perjalanan menuju kafe, Pak Jeno nggak banyak ngajakin gue bicara, justru lebih sering ngobrol sama sales executive dari consulting ternama itu. Tapi ketika sampai di kafe, entah kenapa gue makin gila.

Lagi-lagi Pak Jeno ambil posisi untuk duduk di sebelah gue–out of all places yang bisa dia dudukin di meja makan besar berisi 6 orang ini.

“Kamu mau pesan apa?” Gue nyaris keselek ludah sendiri waktu Pak Jeno nanyain hal itu ke gue setelah menanyakan hal yang sama ke orang-orang lain di meja.

“B-bapak dulu aja, Pak. Nanti saya bantu pesen.”

“It's okay, saya tulisin sekalian.”

Tulisan dia memang bagus sih, cuma kayaknya tulisan gue juga nggak hancur-hancur amat buat nulis di buku menu doang...

Setelah membacakan pilihan makan siang gue buat ditulis Pak Jeno, akhirnya dia manggil waitress untuk menerima pesanan kami. Dilanjutkan dengan ngobrol santai sama orang-orang di meja.

Gue nggak tahu apakah gue udah kepalang jatuh cinta atau secara default Pak Jeno itu baik ke semua orang, tapi gestur sederhana dia kayak mempersilakan gue mesen makanan duluan, nuangin air ke gelas gue, sampai ngelap sendok serta sumpit sebelum dikasih ke gue—sambil tetap ngobrol elegan sama orang-orang di meja, bikin gue makin yakin untuk mempertimbangkan mengikuti jejak Donghyuck selama ini.

Selepas makan siang, para tamu berpisah sama kami. Mereka jalan berlawanan arah untuk pergi ke stasiun. Sementara gue dan Pak Jeno kembali ke kantor untuk lanjut kerja.

“Maaf ya, tadi bikin semuanya nunggu dan kamu harus lead meetingnya.” Kata dia sesaat setelah kita jalan menjauhi kafe.

Gue ngangguk sedikit sebelum senyum tipis dan menjawab, “nggak apa-apa, Pak.”

“Tadi menurut kamu gimana makanannya? Saya denger dari Jaemin, yang paling sering nyari tempat makan kan kamu. Maaf tadi saya langsung impulsif ajakin ke situ, soalnya deket.”

Ini orang minta maaf mulu...

“Iya, Pak, nggak apa-apa. Lumayan enak kok, cuma kalau lain kali mau makan yang lebih proper, perlu jalan agak jauh.”

“Okay, I'll let you decide lain kali.” Kata dia sambil senyum tanpa natap gue.

By the way, senyum dia bikin mati, sih.

“Oh iya, lain kali kalau kita ada meeting bareng waktu pagi gitu, kamu bener mulai aja kayak tadi. I appreciate that, Renjun.”

Dia beri jeda sejenak sebelum melanjutkan, “soalnya kadang kalo pagi saya harus drop anak saya di day care dulu.”

Hold ... fucking ... on. Timingnya jelek banget. Ketika gue lagi mengagumi dia–bukan sebagai bos tapi sebagai laki-laki–dia bawa obrolan soal anaknya lagi :)

It feels morally wrong, ngerti nggak sih?

“Oh ... iya, Pak.” Gue udah nggak tahu lagi sih harus jawab gimana. Akhirnya cuma itu yang keluar dari mulut gue.

Sebenernya gue penasaran sih, apa yang bikin dia harus nitipin anaknya ke day care? Apakah dia dan partnernya sama-sama working parents? Kenapa nggak nyewa baby sitter padahal secara materi harusnya Pak Jeno udah lebih dari cukup? Terus lagi ... ke mana partner Pak Jeno sampai-sampai dia harus repot nganterin sendiri anaknya ke day care? Bukan maksud seksis ya, tapi kan kalau ngeliat posisi Pak Jeno sekarang, kayaknya seharusnya partnernya ngerti sih mana yang harus diduluin sama Pak Jeno. Eh tapi gue ngerasa pemikiran ini juga bias sih, soalnya mungkin selama ini yang mampir ke mata gue adalah orang tua yang absen dari hidup anak-anaknya. Mungkin aja Pak Jeno dan partner nggak ingin begitu.

“Renjun? Ngelamun ya?”

“Hah?”

“Ya ampun, bisa ya jalan sambil ngelamun? Astaga.” Pak Jeno tiba-tiba ngomong begitu sambil ketawa-ketawa. Kayaknya abis ngajakin gue ngomong tapi guenya nggak ngerespon gara-gara abis mikirin dia dan kompleksitas keluarganya.

“Maaf, Pak, tadi Bapak nanya apa?”

Dia terkekeh ganteng sebelum jawab, “lusa malam, kamu kosong nggak? Kalau kosong, yuk minum bareng.”

Anjir? Ngajakin minum bareng? Bukannya dia nggak minum?

Seolah bisa membaca kebingungan gue, tiba-tiba dia menjelaskan, “saya sih biasanya nggak minum, jadi kalau ada saran tempat yang nggak cuma jualan liquor lebih baik, sih. Kalau enggak, ya mungkin saya minum sedikit aja.”

Tapi, woi? Diajakin minum?

“Iya ... boleh, Pak. Nanti saya cariin tempat.” Jawab gue sambil masih kebingungan.

“Good. Nanti kabarin saya aja, ya. Kita pergi sama Jaemin juga kalau dia mau.”

“Iya, Pak.”

“Eh ... tapi, anak Bapak aman? Kalau ditinggal minum?” Gue nggak ada intensi aneh-aneh ya, beneran concerned karena selama ini kan Pak Jeno keliatan protect anaknya banget. Ke day care aja dibelain sampe ketinggalan meeting. Kalau ditinggal minum gimana coba?

“Ooh, bakal baik-baik aja, kok. Mamanya lagi balik dari Norway, jadi saya bisa pulang terlambat.”

Awalnya gue mau senyum sopan, tapi beneran itu senyum nggak bisa keluar. Menguap jadi ratapan dalam akibat menerima fakta kalau Pak Jeno beneran udah berkeluarga. Beranak dan beristri.

“Di ... Norway ngapain, Pak?” Supaya tetap terlihat sopan dan nggak aneh, gue pura-pura aja penasaran. Padahal mah nggak tau juga nggak papa.

“Lagi ngambil doktoral di sana, sama ngajar composing juga di sekolah seni.”

Keselek.

Ini mah udah jelas susah buat ditandingin. Gue nggak ada seujung kukunya.

Udahlah, nggak jadi ngikutin jejak Donghyuck. Peluang gagalnya jelas lebih besar ketimbang peluang berhasilnya.

Manhattans and our nights

Banyak selentingan yang lewat di telinga Jeno selama kurang lebih tiga bulan berada di kantor barunya. Tidak terkecuali kabar soal ‘suaminya Bu Corsec yang ganteng’ atau ‘Pak VP udah punya anak tetep ganteng ya’—stuffs like that.

Jeno bukan nggak mau bergaul dan ikutan ngerumpi sama mbak-mbak senior dari unit sebelah sih, tapi ya jiwa-jiwa dia sebenernya resisten kalo udah mendengar kabar aneh gitu. Dia selalu ingat nasihat mamanya kalo ngomongin orang kantor itu bahaya banget, karena bakal bikin pandangan dia berubah ke orang itu, or even worse, bikin kinerja dia jadi kepengaruh sama persepsi yang dia bikin sendiri.

Akibat antipati sama pergosipan lantai 11 selama 3 bulan terakhir, Jeno bener-bener jaw-drop waktu liat the-so-called-Pak VP dateng ke kantor bawa anaknya yang ternyata beneran ada. Small creature seusia keponakan Jeno di kota asalnya, mungkin baru masuk TK. Yang lebih bikin hati dia dag-dig-dug nggak beraturan adalah the way dia lihat si Bapak lagi menyeka mulut anaknya selepas si bocil makan. Lalu dengan telaten serta sabar nyuapin anaknya.

Jeno seolah-olah dibawa pergi ke lubang nggak berbatas di mana dia ingin banget ngerasain hal itu—sebelum keinginan dia yang kedua datang: nyampe ke titik itu sebagai seorang ayah. Mungkin gestur seperti itu sangat sederhana. Sangat normal. Dan jauh dari kata mengagumkan. Tapi mempertimbangkan keadaan si lelaki di hadapannya ini adalah seorang vice president, plus sekarang posisinya lagi di kantin karyawan yang pengap dan ribut, Jeno makin ngerasa apa yang barusan dia lihat sangat jauh dari kata ‘sederhana’ sih. Moreover, dia nggak pernah melihat ayahnya begitu ke dia.

Jeno makin intens curi-curi pandang ke pasangan ayah dan anak yang lagi duduk bersebrangan sama meja dia itu, sambil berpikir ‘how lucky they are to have each other’. Oh, Jeno juga pengin begitu.

“Jadi berapa, Bu? Nasi sama sayur sama ayam lengkuas. 23 ya kayak biasa? Nggak pake teh panas kok, Bu.” katanya sambil fokus membuka aplikasi pembayaran di HP-nya.

“Udah dibayar, Mas Jen—“ si ibu kantin tengak-tengok sebelum mencondongkan badannya ke Jeno yang masih dalam posisi kaget, “—sama Pak Direktur.”

He’ll be Goddamned.

Seminggu berlalu, Jeno masih uring-uringan perkara makan siang telatnya yang dibayar sama Pak VP. Dia nggak punya keberanian buat sekadar nyapa dan bilang makasih, atau bahkan mengganti uang dua puluh tiga ribu itu. Pertama, dia nggak punya nyali. Kedua, susah banget ketemu Pak VP satu itu yang sering banget keluar kantor dan seringkali malah ada di kantor in an ungodly hour. Ketiga, dia takut si Bapak tersinggung kalo dia balikin uang recehan itu.

Jeno juga nggak berani cerita ke siapa-siapa karena emang menurut dia nggak semua orang di unitnya bisa jaga rahasia dengan baik. Meskipun cuma ditraktir secara tidak langsung, dia takut aja kalo cerita itu malah melebar ke mana-mana tanpa implikasi yang jelas. Meski cuma remeh temeh kayak gitu.

Tapi jujur, setelah kejadian kantin hari itu, Jeno jadi ngerasa tiap kali nggak sengaja ketemu Pak VP, beliau keliatan curi-curi pandang ke arah Jeno. Nggak ya, dia nggak GR, emang kerasa kok kalo lagi diliatin meski cuma sekilas.

Butuh waktu sekitar sembilan bulan buat Jeno sedikit lupa sama kejadian kantin. Tapi tepat di bulan ke dua belas dia kerja, dia dibikin kaget lagi. Oleh orang yang sama.

Pagi itu dia dateng ke kantor tanpa ekspektasi apapun. Dia nggak inget kalo setahun lalu dia datang ke kantor pake seragam super formal yang jatohnya salah kostum itu. Dia nggak inget juga kalo setahun lalu dia bawa bekal nasi goreng setengah basi yang semalemnya dia beli dari abang-abang di pengkolan. Yang dia inget cuma hari itu dia akan ada meeting di luar kantor dari jam sepuluh sampe jam tiga sore.

Eh, nggak taunya, waktu dia baru selesai tap-in, ada senior-senior ceweknya yang lagi antre lift tiba-tiba nyapa dia dengan sumringah dan girang. Sambil sebut-sebut 'happy anniversary' sampe orang ngiranya lagi ada yang ulang tahun. Dan semua kejadian itu mereka lakukan tanpa rasa malu di lobby kantor. Jeno cuma meringis awkward karena kelakuan senior-senior yang dia sayangi itu.

Jeno (dan senior-seniornya) nggak sadar kalo ada seseorang yang mencuri dengar, mengulum senyum, masuk ke lift khusus direksi, lalu secara impulsif menelepon sekretaris pribadinya untuk memesan buket bunga juga sepaket makanan berat.

Nggak ada yang tahu Jeno dapet surprise dari siapa. Karena selepas makan siang, buket bunganya sudah sampai di meja Jeno. Tanpa catatan yang jelas soal pengirimnya. Nggak ada juga yang berani menyentuh dus-dus makan siang yang diletakkan di meja pantry. Padahal dua belas orang senior Jeno sedari pagi udah recet banget minta ditraktir.

Sore itu, Jeno beneran dibikin bingung sih ketika mau naik ke lantai sebelas setelah lari-lari dari taksi. Akibat foto-foto dari seniornya yang baru dia cek karena meeting dia baru selesai.

_‘Sumpah, aku nggak punya pacar. Lagian mana mungkin pacarku mau banget nraktir orang sekantor?’ _adalah sebaris bubble chat Jeno yang dikirim ke grup unitnya setelah dapet ledekan dari temen-temennya soal kiriman bunga dan makan siang. Saat itu, dia beneran nggak ngerti siapa yang mau-maunya ngirim hadiah anniversary kerja yang seremeh itu.

Rasa penasaran Jeno akhirnya terjawab waktu dia berhasil decode ‘catatan’ di buket bunga daisy sore itu.

Tulisannya, ’Bet you love 23. Even your typical lunch meal costs 23k. Enjoy your special 23s.’

Tanpa ba-bi-bu, Jeno keluar dari ruangannya dan beranjak masuk ke lift untuk berniat menuju lantai 19. Menemui Pak VP, niatnya.

Tapi ya namanya juga cungpret, mana mungkin dapet akses ke lantai khusus direksi? Mimpi apa dia? Lol.

Jadinya sisa kerjaan dia sore itu dia habiskan di lobi sambil ngelirik, barangkali Pak VP pulang lewat lobi utama dan bisa dia mintain penjelasan atas apa yang kejadian siang tadi. Soalnya menurut dia itu semua nggak masuk akal dan udah cukup berlebihan. Dia anti banget jujur sama yang namanya treatment spesial.

Ya mungkin emang hari apes tidak mengenal momen ya, si Jeno beneran nggak nemuin Pak VP lewat lobi sampai hampir semua orang pulang dari kantor. It’s either Pak VP udah balik dari siang, atau dia masih di atas sampai waktu yang nggak bisa ditentuin.

Cuma Jeno kan udah terlanjur janji sama dirinya sendiri kalo bakal nunggu Pak VP apapun itu, jadi ya dia sabar aja lah apapun yang terjadi. Pokoknya dia harus ketemu.

“Mas, belom pulang?” satpam lantai 11 yang biasa jaga malem di lantai 11-20 itu heran waktu lihat Jeno masih berkeliaran di lobi padahal udah lewat jam 8 malem.

“Iya nih, Pak, masih nunggu orang.” jawab Jeno asal.

Si satpam cuma celingukan ke parkiran di luar, “lah Pak GM aja udah pulang, mobilnya udah nggak ada tuh, Mas Jeno nunggu siapa? Tumben amat.”

Nggak salah sih, selama ini kan yang bikin Jeno pulang malem-malem kan GM-nya yang suka ngajak meeting atau minta anak buahnya nunggu dia selesaiin kerja sampe malem-malem itu. Si GM lagi cuti buat liburan ke Jepang btw, jadi technically Jeno aman.

“Bukan GM sih. Ada lah, Pak.”

“Eh, Bapak mau ke lantai 19 nggak Pak malem ini?” Jeno niatnya cuma minta sedikit info sih, supaya at least dia bisa pulang kalo emang lantai 19 udah kosong.

“Iya sih, ini saya mau naro tas dulu terus ngontrol dari lantai 20 ke bawah. Kenapa, Mas?”

Jeno coba beranikan diri buat nanya, “kalo biasanya, jam segini lantai 19 udah kosong belom sih? Direksi udah pada balik ya?”

“Tadi barusan di grup satpam sih diinfoin kalo lantai 19 masih ada orang. Beberapa VP masih pada meeting, Pak Direktur sama Bu Corsec doang yang nggak ada.”

Ya ampun. Untung Jeno masih nunggu. Kalo enggak, nggak kelar-kelar lah urusan dia sama VP satu itu.

Setelah berterima kasih, Jeno balik ke tempat duduknya sambil berinisiatif bales-bales email yang sebenernya bisa dia lakuin besok.

Untungnya sih cuma berselang sejam sejak Jeno nunggu, rombongan pertama VP Procurement sama IT yang terkenal bestie sejak lahir itu turun dan udah disambut mobil masing-masing. Duh, Jeno cuma berharap orang yang dia cari turun sendiri sih. Ngeri-ngeri sedap kalo barengan sama orang lain.

Jeno kira sih perjuangan dia nunggu Pak VP bakalan berakhir waktu rombongan lain berangsur-angsur turun. Ternyata perlu waktu sampe sekitar jam 10 malem buat akhirnya orang yang dia tunggu turun dari lantai 19.

Dia udah ngantuk-ngantuk nunggu di lobi. Beneran sengantuk itu sampai matanya sesekali merem. Padahal plan awalnya dia bakalan langsung nyamperin Pak VP begitu kelar tap-out, nggak taunya gara-gara ngantuk, malah Pak VP duluan yang nyamperin dia.

“Nungguin saya ya?”

Muka cengo si cowok Taurus itu beneran selaras sama isi hati juga otaknya yang curiga jangan-jangan VP Marketing satu ini punya bakat jadi cenayang. Ya antara berbakat jadi cenayang atau kepedean beda tipis sih memang.

“Kalau boleh jujur sih, iya, Pak. Saya nunggu Bapak. Ada yang mau saya sampaikan sebentar.”

Senyumnya sedikt dikulum waktu Jeno terlihat begitu nervous saat berbicara secara in-person dan dari dekat dengan dia begini.

“Mau sambil minum? Saya bawa driver, kok.”

Jeno sebenernya udah berniat melongo lagi, tapi dia tahan-tahan karena nggak sopan aja cengo terus di depan orang penting.

“Saya nggak minum sih, Pak, kalo boleh sih mungkin … ngopi?” tawarnya sambil berusaha menggulung kabel charger laptopnya yang kusut—buru-buru karena takut ada yang ngeliat, entah kenapa Jeno cautious banget, takut banget entahlah.

“Ngobrol di tempat saya aja kalo gitu.”

‘Astaga, enteng banget ngomongnya.’ batin Jeno ngajakin cengo part 3 malem ini.

Cengo part 4 muncul ketika Jeno sadar laki-laki mapan di depannya ini bertingkah di luar nalar lagi. He grabs Jeno’s big-ass-bag!

“Ayo.” katanya—lebih ke perintah sih—sambil bawa tas Jeno keluar dari lobi, menuju mobilnya yang udah dinyalain sama drivernya di seberang lobi.

“Eh, anyway, jangan panggil Pak kalo udah keluar kantor. Renjun would suffice.

His little grin is alarming.

This Renjun-guy is truly up to something, Jeno fears.

Baskara menutup mata, mengembuskan nafas kasar, lalu kembali mengunyah potongan sosis di mulutnya sesaat setelah mendengar desahan Naz yang disengaja di ujung telepon.

“Udah dong, jangan gitu. Aku lagi di kantor, Naz...” ujarnya begitu selesai menelan nasi dan potongan sosis. Naz yang sedang bertelanjang dada di kamar gelapnya cuma tertawa geli—tanpa rasa kasihan ke Baskara—lalu menjawab, “Nggak sengaja.” diikuti juluran lidah dan gulungan selimut yang dinaikkan sampai ke dagu.

“12 menit lagi Valentine di sini, lo nggak mau menghibur gue apa?” kalau kalian ingat bentuk emoji cemberut yang ada di iOS, persis. Sekarang Naz menampilkan ekspresi itu ke Baskara. Baskara memutar bola matanya, lalu terkekeh sebelum menjawab, “aku juga butuh dihibur kali. Emangnya kamu doang?”

Naz mengerucutkan bibir, lalu melanjutkan, “emangnya lo nggak ada Valentine's date malem ini? Galentine gitu? Jangan kerja terus, ih.“—yang langsung diratapi oleh Baskara. Soalnya dia memang tidak punya rencana apa-apa malam ini, cuma mau ngegym lalu masak. Terus sebelum tidur akan nelfon Bapak ngabarin kalo akhir minggu ini dia bakal kunjungin beliau di Gianyar. Sama satu lagi, beliin coklat anaknya Hugo yang udah nagih minta coklat sejak seminggu lalu.

“Hmm ada sih, ntar abis balik kerja juga mau mampir beli coklat.” Baskara lagi pengin jahil aja. Eh, Naz percaya dong. Air muka dia udah berubah cemberut lagi, kali ini cemberutnya lebih dalam dari yang tadi. “Ih, sama siapa?” tanyanya pakai suara yang diimut-imutin, bikin Baskara gemes. “Sama Catherine.”

“Catherine? Maksudnya siapa sih? Gue ada kenal Catherine tapi kayaknya bukan dia nggak sih yang lo maksud? Ih Baskara! Jangan cryptic gitu dong, Bas, gue takut nih...” Baskara udah pengen ngakak soalnya Naz ini aneh, tadi katanya nyuruh Baskara buat cari pacar atau temen deket, giliran dipancing dikit gini mukanya udah kayak orang kebelet berak.

“Bentar ya, aku cariin foto dia dulu. Cantik banget, deh.” Baskara melirik layar handphone dia sebentar, melihat Naz yang mulai gigitin kukunya cemas, lalu kembali membuka iPad—dilama-lamain—untuk cari foto si Catherine.

“Gila lo, jatuh cinta bener ya sama Catherine? Sampe udah disimpen di iPad yang kata lo sacred itu.” lagi-lagi beneran rupanya, si Naz udah kepancing. Asiikk, masuk perangkap, nih ye!

“Nih, ini Catherine. My Valentine's date.” muka Naz langsung berubah pengen menerkam Baskara saat itu juga tapi nggak bisa karena kehalang sekian mil jarak Jakarta-Los Angeles.

“Baskara, anjing! Gue kirain beneran lo punya pacar!” Naz marah-marah, as expected, setelah melihat wajah Catherine anaknya Hugo yang masih TK besar itu di layar iPad. Ya iya sih, dia manusia, nyata bentuknya, namanya Catherine. Tapi maksud Naz tuh ... Baskara bakalan ngedate sama the other 'Catherine' gitu loh.

“Memangnya kalau aku punya pacar, mau diapain sih, Naz?” Baskara melanjutkan obrolan setelah menutup iPadnya, juga melanjutkan makan siang yang tertunda.

“Ya enggak diapa-apain. Biar bisa double date gitu sama gue dan Dave.” bibirnya mengerucut saat nama Dave kembali disebut. Alasan kenapa Naz menelepon Baskara tengah malam begini di LA—Dave tiba-tiba pergi dan bikin Naz harus menghabiskan malam menuju hari Valentine sendirian, tanpa ucapan, tanpa hadiah, dan harus berjauhan dengan pacarnya.

Menit-menit menuju Valentine dihabiskan mereka dengan hening. Naz cuma liatin Baskara menandaskan makan siangnya di pantry kantor, sesekali mengomentari orang-orang yang lalu lalang di belakang Baskara. Menyedihkan. Dua-duanya menyedihkan.

Panggilan video itu ditutup dengan ucapan 'selamat valentine' ke satu sama lain. Dan sedikit harapan yang dipupuk sama Baskara kalau di tahun berikutnya, mungkin dia akan bisa merayakan valentine bersama Naz di samping dia. Secara harfiah dan secara kiasan.

Belum sempat Baskara menutup boto minumnya, tiba-tiba office boy masuk ke pantry, membawa kotak warna merah marun dan seikat bunga poppy.

“Mas Baskara dicariin ke mana-mana taunya di sini. Ini, Mas, ada kiriman tadi. Barusan banget.”

Setelah mengucap terima kasih, Baskara buka secarik surat yang ditulis florist dengan pulpen silver di kertas warna biru tua. Senyum mengembang selepas itu. Ah ... datang lagi satu alasan buat dia terus memupuk harapan itu.

...and you started it

Pena berwarna biru sudah ada di tangan kanannya. Senyum terkembang mengawali bubuhan tinta pertama di atas kertas kosong berwarna kekuningan.

Hi Abby,

Aku menulis surat ini karena ingat kamu pernah janji kalau aku boleh cerita apapun ke kamu.

Suara batuk seseorang di belakangnya membuat sedikit berjingkat, memalingkan kepalanya dari kertas, melihat laki-laki tersayangnya masih tidur di atas tempat tidur cukup buatnya lega. Senyum tipis terkembang lagi di bibirnya sebelum melanjutkan tulisannya.

Abby, aku sudah bertemu lagi dengan dia. Empat bulan terakhir terasa sangat singkat dan menyenangkan. Benar katamu Abe, dia laki-laki yang begitu menakjubkan!

Angannya berlayar ke memori empat bulan lalu di saat pergantian tahun datang. Saat musim dingin membuatnya hampir mati kedinginan di hari-hari sendirinya datang dan pergi ke pasar natal. Meski bajunya sudah berlapis-lapis, rasanya tetap saja dingin itu masih menusuk-nusuk tanpa ampun. Kalau saja suaminya tidak egois terus-terusan melakukan pelayanan pasca natal, dia bisa pergi mencari coklat-coklat dan manisan favoritnya dengan menumpang Chevy milik suaminya. Sayangnya, tidak semua hal berjalan sesuai keinginannya.

Di tengah keadaan yang tidak pernah kubayangkan, aku bertemu lagi dengan dia, Abby. Padahal aku pikir dia sudah tidak mengenaliku, ternyata masih. Dan masih begitu hangat juga seperti saat kami masih hidup bersama di Seoul.

Memang tidak terbayangkan buat dia kok. Tempatnya berdiri sore itu sungguh jauh dari Seoul—tempat mereka bertemu dan merajut mimpi belasan tahun. Kampung halaman suaminya, bayangkan. Tempat yang hampir tidak mungkin dikunjungi oleh orang-orang Asia Timur untuk menghabiskan waktu luang di puncak musim dingin. Anehnya, mereka dipertemukan di sana, di ujung sore menjelang matahari terbenam.

Aku kira dia juga akan marah, Abby. Marah karena perlakuanku di masa lalu ke dia yang jauh dari kata baik. Ternyata dia sama sekali tidak marah! Dia malah peluk aku dan langsung ajak aku minum teh. Padahal aku tahu sebenarnya dia lebih suka minum kopi tanpa gula. (Lagipula siapa orang gila yang mau minum teh di sore hari musim dingin?)

Kejadiannya begitu cepat, begitu singkat. Tapi sepertinya rasa sakitnya akan sulit ditoleransi dan hilang dalam hitungan bulan. Bahkan dia masih merasa tidak nyaman setelah hampir sembilan tahun berlalu dan baru bertemu lagi. Rasanya ... tidak adil bersikap biasa-biasa saja pasca meninggalkan seseorang setelah lantang dia mengucap kalau dia sayang. Tapi mau dikata apa? Faktanya di masa itu memang hidup mereka dan respon lingkungan tidak bisa sebaik sekarang. Kalau dipaksakan, bisa-bisa mereka makin terpuruk. Untungnya pertemuan sore itu—yang begitu mendebarkan—tidak melibatkan dendam dan rasa benci yang repot-repot dibawa dari masa lalu. Hanya keinginan untuk memperbaiki apa yang seharusnya berjalan dengan baik.

Seymour selepas sore itu entah mengapa jadi terasa hangat, Abby. Padahal biasanya tidak begitu, meksipun suamiku sering mengatur perapian rumah kami dengan baik. Titik baliknya hari itu. Rumah–secara harfiah masih terasa sangat dingin akibat suhu udara yang terus-terusan menurun, tapi di sisi lain, udara di luar rumah terasa menghangat. Aku jadi lebih sering berada di luar rumah. Suamiku heran.

Memang begitu faktanya. Seolah semua kejadian yang pernah dia lakukan di Seoul saat berada di masa muda kembali diulang. Begitu luar biasa dan bisa dinikmati. Padahal selepas pernikahannya sembilan tahun lalu, dia seolah tidak punya banyak energi untuk pergi keluar dan bersosialisasi. Temannya di rumah hanya tanaman merambat yang ia besarkan di taman belakang, atau tupai-tupai liar yang suka sekali mengganggu yoga paginya saat musim semi dan musim gugur. Tapi sekarang? Ia malah begitu menikmati kegiatan pagi-siang-sore di luar rumah. Pergi belanja, ke pasar bunga berjam-jam, memasak ikan di pinggir danau di awal musim semi, bahkan menyelesaikan beberapa set alat makan keramik di pondok kerajinan tangan sepi milik nenek-nenek tukang marah tepian Seymour. Sesuatu yang sangat jauh dari bayangannya selama sembilan tahun terakhir usia pernikahannya.

Selama tinggal di Seymour, semua orang mengenalku dan suamiku dengan baik. Ketika akhirnya aku lebih sering berada di luar rumah tanpa suamiku, mereka jadi heran. Beberapa malah lancang menanyakan perihal ini semua ke suamiku. Untung saja suamiku tidak banyak protes. Dia tahu betul kalau aku tidak akan pergi dari dia.

Ada banyak alasan untuk cemburu sebenarnya. Apalagi mereka pernah hidup bersama selama belasan tahun. Ditambah fakta bahwa dia pernah begitu jatuh cinta pada laki-laki yang akhirnya kembali setelah sembilan tahun. Terlalu naif kalau kita percaya bahwa cintanya sudah benar-benar hilang. Pesonanya, kehangatan berbeda yang pasti masih ada, dan kebiasaan lama yang belum berubah jadi nilai tambah dari risiko terburuk kembalinya mereka jadi satu pasca pertemuan di pasar natal.

Meski sekarang aku jadi cukup merasa bersalah pada suamiku, sih. Karena beberapa hari terakhir aku merasa sedikit terlalu menikmati kehadiran dia ketimbang kehadiran suamiku sendiri. Aku terlalu suka genggaman tangannya yang dingin itu, apalagi ciuman manisnya kalau kami akan berpisah di malam hari.

Entahlah itu termasuk kesalahan fatal atau tidak. Tapi dia mulai merasa presensi lelaki dari masa lalu ini semakin bisa ia nikmati. Tidak bisa dipungkiri, sembilan tahun jadi waktu yang cukup lama untuk mengembalikan debaran jantung yang suka berlebihan dan kurang ajar kalau mereka sudah kembali bergandengan tangan begini. Telapak tangannya masih sama nyamannya, lebih-lebih sekarang ia tidak harus takut dipersekusi orang-orang jahat ketika menggenggamnya. Debaran jantungnya juga terasa sama seperti saat ciuman tidak sengaja mereka berdua terjadi hampir dua puluh tahun lalu di kasur sempit asrama tinggal mereka. Bedanya, ciuman kali ini disengaja oleh mereka di tepian danau selepas mereka berendam sore.

Aku ingin kembali bersama dia, Abby. Bukan karena tiba-tiba menemukan kenyamanan yang pernah hilang sebelumnya. Tapi karena aku merasa masa laluku belum selesai. Toh, aku rasa suamiku akan baik-baik saja tanpa aku. Dia kan sudah begitu taat dengan Sang Pencipta. Dia pasti hanya akan menganggap ini cobaan dan kemudian pasrah saja.

Angan-angannya sudah dipenuhi guratan warna-warna pastel di masa depan. Dia sudah bisa membayangkan bagaimana hidup akan begitu bahagia jika ia memilih untuk melanjutkannya dengan orang yang tepat menurutnya. Bukan orang yang pernah mengulurkan tangan saat ia benar-benar ada di posisi terendahnya. Ia begitu terbuai dengan ingatan masa lalu–cinta yang menggebu pada seseorang yang ia temui di Seoul saat masih begitu belia. Tidak salah kalau cinta pertama sulit dikalahkan. Semuanya fakta. Apalagi kalau cinta pertamanya kembali dan terus-terusan menawarkan kehangatan yang sama seperti di saat-saat mereka remaja. Tiap pagi selalu akan ada rasa membuncah, ingin bertemu, ingin menghabiskan waktu berdua sepanjang hari sambil merasakan adrenalin berpacu.

Menurutmu aku jahat tidak ya, Abby?

Sebetulnya, dia sudah tahu jawabannya. Apalagi ketika bibir merah yang tadi pagi ia pakai untuk mencium suaminya kembali ia pakai lagi untuk mencium laki-laki pujaan hatinya malam tadi. Sebelum pergumulan intim mereka membuatnya nyaris gila.

Beri aku kabar jika kamu kembali ke Seymour.

Dengan penuh cinta, Renjun.