halfhumanhalfchocolate

UUS

Tags: arranged marriage, set-up date, modern monarch, strangers to friends to lovers, uncertain feeling, minor jealousy, feelings realization, implicit sex scene, fast-paced narrative, boring-ass narrative, unhinged characterizations, they don't know they're falling deeply to e/o (they're dumbos)

***

Perjodohan Renjun dan Jeno sudah berlalu selama bertahun-tahun lamanya. Mungkin ... hampir delapan tahun? Meskipun secara hukum, mereka baru menikah dua tahun lalu. Sementara enam tahun sisanya, mereka hanya tampil sebagai pasangan sorotan publik mengingat adanya kebutuhan untuk saling menjaga reputasi antar keluarga.

Ayah Renjun itu raja. Tapi jangan pikirkan kerajaan di sini adalah kerajaan besar dengan penduduk ratusan juta jiwa yang akan siap membela kerajaan dengan pertaruhan nyawa mereka sekalipun. Kerajaan ini adalah kerajaan kecil yang bahkan hanya jadi sub-bagian dari sebuah negara berdaulat yang dipimpin oleh presiden. Meskipun presidennya juga bertingkah layaknya raja sih, alias semena-mena dan semau dia mengatur berapa lama ia akan menjabat. Berbanding terbalik dengan bentuk negara yang sudah dituangkan dalam piagam negara. Aneh memang.

Renjun mengenal Jeno sekitar delapan tahun lalu dari ayahhya juga. Lebih tepatnya, kedua ayah mereka saling kenal sejak sama-sama menempuh pendidikan di luar negeri dahulu. Dan bukan suatu hal spesial juga akhirnya ayah Renjun memantapkan pilihan untuk menjodohkan si anak laki-laki tunggal itu dengan Jeno. Soalnya, Jeno ini anak perdana menteri di negaranya. Mereka 'sepadan' dan 'sama-sama membutuhkan' begitu katanya.

Mereka memulai perkenalan bahkan saat masih sama-sama berada di tingkat terakhir sekolah menengah atas. Berkali-kali Renjun harus menjawab pertanyaan teman-temannya yang kelewat kaypoh saat melihat mobil berbendera resmi kedutaan negara tetangga mampir di parkiran sekolah mereka—yang ternyata berikutnya akan dimasuki Renjun—yang ternyata lagi, akan duduk di bangku penumpang bersama seorang anak laki-laki dengan suit mewah. Semua anak di sekolah Renjun percaya desas-desus kalau Renjun akan segera menikah setelah lulus SMA. Tentunya buat Renjun hampir gila pada masa itu.

Setahun kemudian, Renjun masuk ke sebuah perguruan tinggi sains terkemuka di negara asal Jeno. Alasannya klise banget, 'supaya mereka lebih dekat' padahal Renjun tahu sebenarnya ayah dan ibunya was-was kalau Renjun keburu punya permintaan untuk dikirim sekolah ke Amerika. Ada peraturan tidak tertulis sih di kerajaannya, katanya, 'anak-anak yang kuliah di Amerika itu cuma jago buang-buang uang untuk menutupi ketidakmampuannya bersaing mendapat tempat untuk pergi ke Inggris'. Sangat kolot, padahal dua-duanya sama-sama butuh effort kan?

Okay, singkat cerita, mereka akhirnya benar-benar 'lebih sering' menghabiskan waktu berdua. Jika dan hanya jika, ada orang tua Jeno atau kedua saudara sepupunya. Kalau tinggal mereka berdua? Huh, jangan harap mereka akan bicara, sekadar duduk berhadapan aja cuma betah lima menit!

Ironisnya, selama sekitar enam tahun berikutnya, mereka masih mempertahankan kebiasaan itu. Bicara dan berinteraksi seperti pasangan ketika ada orang tua, ketika ada di depan publik, dan ketika ada orang lain di sekitar mereka. Mungkin cuma Tomy, ikan koi kecil peliharaan Renjun yang tahu bagaimana tabiat pasangan harmonis itu setiap kali tidak ada orang di sekitar mereka. Hal terjauh yang pernah mereka lakukan berdua dengan inisiatif sendiri adalah ... makan ramyeon di apartemen Renjun saat hari ulang tahunnya yang ke dua puluh tiga.

Saat memasuki jenjang pernikahan, tidak ada satu hal-pun yang berubah. Bahkan di saat mereka harus saling mencium di penghujung acara holy matrimony, Jeno cuma mengecup sedikiiittt ujung bibir Renjun, itupun didasari oleh perjanjian yang ditulis diam-diam di kertas tisu toilet semalam sebelum acara pernikahan mereka. Bodoh memang.

Jangan harap juga akan ada cerita malam pertama panas dengan seks beronde-ronde yang begitu menggebu setelah pernikahan paksa seperti di novel-novel. Tidak ada. Mereka sengaja memesan kamar president suit dengan dua ranjang terpisah agar bisa tidur nyenyak tanpa perlu merasa awkward malam itu. Untungnya, orang tua mereka bukan tipikal orang tua yang banyak tanya. Jadi mereka masih bisa berkelit dengan aman keesokan harinya.

Di tahun kedua pernikahan pun, sepertinya tidak banyak hal yang berubah. Mereka sudah pindah ke rumah baru, by the way. Di negara asal Renjun karena sesuai kesepakatan awal, Renjun akan lebih banyak menghabiskan waktu di tanah kelahirannya karena komitmen turun-temurun yang akan diwarisinya suatu saat nanti. Melanjutkan tahta ayahnya sebagai raja.

Mereka diberikan rumah tinggal yang amat nyaman di pinggiran ibukota. Rumah itu dikelilingi kebun bunga, ada beberapa kandang hewan di bagian belakang jauh, dan sedikit lahan bertani yang dikelola oleh kerajaan. Rumahnya besar, sangat besar, ada belasan kamar tidur dan tiga ruang tamu, juga empat ruang pertemuan yang seringkali kosong melompong karena Renjun lebih senang menerima tamu-tamunya di rumah dinas yang tidak lain adalah salah satu paviliun kerajaan.

Renjun sempat sedikit menyesali keputusannya mengiyakan permintaan ibunya untuk tinggal di rumah besar itu bersama belasan pelayan yang ditugaskan khusus di sana. Meskipun mereka hanya bekerja sampai pukul tujuh malam. Alasannya jelas karena ia jadi tidak bisa leluasa dan harus selalu memakai topeng agar interaksinya dan Jeno tidak berubah, pun dibuat-buat.

Sejujurnya ia sudah cukup muak kalau setiap hari harus berpura-pura mencium pipi Jeno di pagi hari sebelum sarapan, mengecup bibir suaminya sekilas sebelum pergi kerja, dan bahkan harus pasrah dipeluk Jeno kalau mereka sedang berduaan—membahas pekerjaan sebenarnya—di teras samping dan tiba-tiba pelayan mereka lewat.

Tapi ya apa boleh buat? Semuanya udah terlanjur berjalan 'seperti ini'. Jadi ya baik Renjun maupun Jeno tidak bisa lari ke mana-mana, cuma bisa bermain peran sebaik mungkin sampai nanti saatnya tiba. Kapan? Tidak ada yang tahu pasti. Mungkin kalau mereka sudah bosan? Sudah mencapai titik tertinggi? Sudah bertemu dengan apa yang mereka mau? Uncertain.

Beberapa minggu lalu, musim semi mulai terasa hembusannya di sela-sela kolom ruangan kerja utama Renjun di rumah pribadinya bersama Jeno. Suasana rumah kebetulan sedang sangat sepi, para pelayan sedang sibuk mencuci linen di belakang, juga memulai kegiatan berkebun karena musim semi seharusnya akan mencapai puncaknya mulai akhir bulan Maret. Hanya menyisakan beberapa pelayan memasak di bagian utama rumah yang kebetulan tersambung dengan dapur dan ruang makan. Ada undangan spesial malam ini, sepupu jauh Renjun akan datang. Sayangnya, Renjun harus menerima kedatangan sepupu ini tanpa Jeno. Karena pagi tadi Jeno baru saja bertolak ke luar negeri untuk bertemu dengan business partnernya—meski Jeno sudah menikahi calon raja, tetap saja dia harus punya penghasilan di luar, dia sedang getol membangun bisnis konsultan keuangan dan pengadaan barang, by the way.

Ngomong-ngomong soal Jeno dan kesendiriannya ketika Jeno tidak ada, Renjun suka merasa geli kalau harus mengakui bahwa kadang dia 'ingin' menahan Jeno tiap kali suaminya itu akan pergi ke luar negeri. Tapi selalu urung sih, karena egonya lebih besar ketimbang rasa sepinya kalau harus bekerja, melakukan kunjungan kerajaan, atau bahkan sekadar menerima tamu dan makan malam di rumah pribadi. Setidaknya, kalau ada Jeno kan mereka masih bisa bicara yang ringan-ringan seperti perkembangan hewan ternak di belakang, model handphone flagship terbaru, atau film-film baru yang akan masuk watch list mereka. Boleh dibilang, mungkin mereka tidak dekat, tapi obrolan mereka nyaman untuk dilakukan.

Kadang, di tengah lamunan Renjun, ia juga sempat berpikir beberapa skenario sangat buruk seperti kemungkinan Jeno punya pasangan lain di belakangnya. Sumpah, Renjun bukan mengada-ada atau sok curiga sama Jeno. Tapi memang hal seperti ini sangat lazim ditemui dalam sebuah pernikahan yang tidak dilandasi cinta. Renjun sering kok melihat para tetua di keluarganya punya selir atau simpanan di luar kerajaan, dan rata-rata hubungan mereka akan tetap langgeng karena media tidak berani menguliti aib-aib para pemimpin terdahulu itu. Untungnya sih, Renjun tidak dibesarkan oleh orang tua yang seperti itu, ya. Jadinya dia tidak punya sebersit pikiran kotor untuk menduakan Jeno, meski secara personal, ia dan Jeno tidak saling cinta. Kalau sudah begitu, Renjun akan buru-buru mengenyahkan pikiran buruk itu karena tahu betul bahwa Jeno tidak suka banyak bicara dengan orang. Terlebih menjadi terlampau akrab dengan orang-orang yang tidak punya urusan khusus dengan dia.

Eh ... tapi kan ... bisa jadi Jeno bertemu teman lamanya kalau sedang kunjungan bisnis begini? Apalagi sepertinya banyak orang yang lebih kenal Jeno ketimbang dia?

Aih ... presumsi Renjun semakin diperkuat dengan tingkah-tingkah aneh Jeno selepas pulang dari bertemu rekan bisnis di awal bulan Maret ini. Jeno itu suka sekali bermain game di handphone, beberapa game bahkan membuat dia betah menatap layar selama perjalanan tiga jam non-stop dari negara asalnya ke rumah Renjun. Tapi dari kebiasaan itu, Renjun tahu jika ada sesuatu yang sudah bergeser dari tempatnya ketika Jeno mulai senyum-senyum miring saat menatap layar handphone-nya. Terlebih kalau malam, kadang Jeno akan melewatkan sesi deep-talk bersama Renjun yang tidur di ranjang seberang untuk terbenam dalam layar handphone yang seperti sengaja diredupkan. Mungkinkah Jeno selingkuh? Kalau iya, Renjun harus apa?

Belum sempat ia meredakan rasa cemas itu, beberapa hari menjelang upacara pembukaan musim semi di tanggal 19 Maret, Mark Lee dan Donghyuck Lee datang secara khusus ke rumah pribadinya. Sepertinya tanpa memberi tahu Jeno juga.

Sebagai background, mereka berdua ini saudara sepupu Jeno. Ayah Mark adalah seorang diplomat, sementara keluarga Donghyuck begitu dekat dengan keluarga inti bekas kerajaan dahulu. Mereka sama-sama masih keturunan ningrat, intinya. Jadi seharusnya mereka paham betul etika bertamu. Artinya begini, biasanya, Renjun akan menerima tamu sesuai dengan permintaan si tamu. Jika seorang tamu berasal dari utusan negara tetangga, utusan pemerintah, atau partner bisnis, mereka akan dijamu di paviliun kerajaan oleh Renjun. Terlepas dari apapun kepentingan mereka. Namun, jika tamu berasal dari keluarga inti, keluarga keturunan sedarah raja—ayah Renjun, keluarga inti dari sisi ibunya, hingga keluarga inti dari sisi suaminya, mereka akan diterima di paviliun kerajaan untuk urusan keluarga yang tidak genting, tetapi jika urusannya genting, maka perjamuan sebaiknya dilakukan di rumah utama.

Pertanyaannya, segenting apa berita yang dibawa Mark Lee dan Donghyuck?

Ternyata, tidak begitu genting. Tapi cukup membuat Renjun menimbang dan menimbang selama bermalam-malam berikutnya. Sampai-sampai pidato sakrnya di malam peringatan awal musim semi jadi cukup belepotan. Jeno pun heran, karena malam itu Renjun enggan memberikan tangannya ke Jeno untuk digenggam dalam perjalanan menuju taman parkir kerajaan.

Jeno sebetulnya heran, dan sudah mau mengkonfrontasi Renjun kalau sampai tiga hari ke depan si calon raja itu masih terus bungkam perihal perubahan sikapnya di malam upacara musim semi. Lebih-lebih Jeno juga ingat kalau semakin dekat dengan hari ulang tahun Renjun, tidak seharusnya mereka begini. Tapi untungnya, sehari sebelum Jeno buka suara dan—mungkin—akan diterima dengan sinyal yang salah oleh Jeno, Renjun sudah terlebih dahulu mengajaknya bicara saat sarapan.

“My birthday is in two days...” ucapnya dalam Bahasa Inggris, membuat Jeno mengerutkan kening saat mengoleskan selain kacang ke bagel miliknya.

“Uh-hm, iya. Ada yang ingin kamu terima sebagai hadiah?” Jeno terang langsung bertanya, karena tidak terlalu suka menerka apa yang ada di pikiran Renjun. Khawatir beda persepsi.

“Nggak ada, sih. Cuma aku kayaknya pengen pergi berdua sama Jeno.”

Wait—jangan merinding atau geli dulu. Memang begitu. Renjun lebih suka menyebut nama Jeno secara langsung ketimbang mengubahnya dengan kata ganti orang atau 'kamu', kata Renjun justru memanggil nama secara langsung akan jauh lebih nyaman.

Oh iya satu lagi, Jeno memang sengaja menggunakan bahasa yang cukup formal. Bukan karena kaku, tapi memang dia tahu mana yang dia mau.

Mereka berdua cukup serasi, 'kan? Dan keras kepala.

“Pergi berdua dengan aku? Ke mana? Aku selalu bisa, sih. Apalagi lusa kan sudah akhir pekan.”

Renjun terlihat gelisah di tempat duduknya. Hanya berjarak meja selebar 2.5 meter padahal, tapi pertanyaan itu rasanya membuat jarak mereka membesar sebanyak sepuluh kali lipat!

“Ke ... pulau tropis di perairan pasifik.”

Jeno hampir menjatuhkan pisau olesnya, tidak habis pikir dengan ide Renjun yang tiba-tiba mengajaknya pergi sejauh itu di hari ulang tahunnya.

“Perairan pasifik?” Jeno mengulang sekali lagi pernyataan Renjun. Yang cukup kurang masuk akal di telinganya.

“I ... ya... Jeno ... keberatan ya?” Wajar kalau Renjun berpikir demikian, ini akan jadi perjalanan berlibur mereka yang cukup jauh dari biasanya. Pun jika dibandingkan dengan kunjungan ke luar negeri, ini juga terhitung jauh dan tidak biasa, loh.

Tetapi semesta begitu memanjakan Renjun dan menjadikannya seolah jadi anak ibu bumi yang begitu dicinta. Karena Jeno begitu mudah mengiyakan ajakan Renjun dan langsung membereskan semua jadwal pekerjaannya di akhir minggu. Demi menuruti si pangeran kecil mendapatkan hari ulang tahun paling berkesannya seumur hidup itu.

Tidak ada yang lebih indah ketimbang menghabiskan hari-hari malas di bean bag dan hammock yang tergeletak langsung di atas pasir pantai—yang secara teritorial masih menjadi bagian dari resort sewaan mereka di sini. Air pantai biru jadi pandangan sehari-hari bahkan sejak menginjakkan kaki di negara kepulauan ini. Ah ... berenang di air asin dan berteman terik matahari awal tahun benar-benar membuat hari menuju ulang tahun Renjun begitu berkesan. Ditutup dengan hidangan malam dan api unggun yang seolah menjadikan malam begitu intim di antara Renjun dan Jeno—pertama bagi mereka pasca delapan tahun bersilang jejak.

Selepas api unggun mati, Renjun mempersilakan Jeno masuk ke kamar mereka lebih dahulu. Sementara ia masih bertahan di luar. Mencari hembusan angin, gugusan bintang di langit malam, sembari mengumpulkan keberanian untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar dan memulai sesuatu yang akan jadi langkah baru dalam hidup mereka.

Bukan, bukan, ini bukan langkah besar nan ekstrem nan berharga seperti meminta Jeno untuk belajar mencintainya, atau yang terburuk seperti meminta Jeno menceraikannya saja kalau merasa hubungan mereka sudah tidak tertolong. Tapi langkah 'besar' bagi Renjun ini adalah 'sekadar' menelanjangi dirinya di depan Jeno.

Telanjang. Secara literal.

Yang parahnya begitu didukung oleh semesta ketika Renjun tarik turun kemeja satin tipisnya di depan Jeno yang termangu di dalam bathtub—sama telanjangnya.

“Ke ... napa...?” Tanya Jeno begitu hati-hati, berusaha sekuat tenaga mengalihkan pandangannya dari kemaluan Renjun yang mengintip kedinginan. Sumpah, begini-begini Jeno masih polos, tidak mau juga dipanggil mesum karena langsung main terkam Renjun begitu saja.

“I-I-I've been thinking for so long,” Renjun beri jeda karena nyaris tersedak ludahnya sendiri.

”-tapi aku pikir kita memang harus ngelakuin ini. I wanna be your first, and I want you to be my first.”

Kerutan di kening Jeno makin tebal, sumpah ... dia nggak peka ya ternyata? Dia jadi merasa buruk karena membiarkan Renjun harus sampai begini. Jeno jadi menerka, selama apa ya Renjun menunggu momen ini tiba? Mengingat mereka sudah delapan tahun begini.

“Uh-m... Renjun ... uh-don't–don't do it kalau kamu masiu merasa belum siap. Kita bisa menunggu lebih lama kalau kamu mau.”

Oh no! Sepertinya Jeno salah bicara karena Renjun sepertinya mulai berkaca-kaca, Jeno takut membuat Renjun merasa tertolak. Benar!

Makanya dia buru-buru menambahkan, “tapi kalau kamu siap sekarang, come here, kita mulai pelan-pelan.”

Kalau Jeno ini bentuknya seperti anjing samoyed—seperti bagaimana orang-orang mengasosiasikannya dengan hewan berkaki empat itu selama ini—mungkin ekornya sudah bergerak ke kanan dan ke kiri. Untungnya sih tidak. Jadi ketika Renjun pelan-pelan ikut mencelupkan badan telanjangnya ke dalam bathtub berisi ekstrak teh hijau dan almond itu, Jeno akhirnya terbawa suasana dan mulai menyentuh bagian tubuh si 'pacar' delapan tahunnya dengan sangat hati-hati. Meskipun rona merah dan rasa panas tidak terelakkan terasa di tubuhnya.

Huh ... mereka berdua tidak percaya sebetulnya atas apa yang terjadi malam itu di hari ulang tahun Renjun. Bagaimana kecanggungan akibat delapan tahun terombang-ambing karena perasaan yang tidak pernah ditegaskan berubah jadi begitu cair ketika kedua tangan mereka saling bertaut. Tautan tangan jadi kecupan bibir, kali ini jadi sedikit lebih passionate. Lalu berubah lagi jadi ciuman panas dengan kecipak basah dan rabaan hangat tangan masing-masing di kulit panas mereka. Ujung-ujungnya? Yup, seks hebat tiga ronde sampai pagi, di kamar mandi, kamar tidur, dan di karpet lantai dekat perapian.

Oh and then, jangan kira besok pagi dan hari-hari setelahnya akan mereda. Justru lebih-lebih-LEBIH fenomenal!

Mulai dari dapur, meja makan, meja kerja utama, ruang baca, bahkan sampai ruang mencuci jadi sasaran empuk kegiatan tidak senonoh mereka ketika para pelayan sudah pulang. Kabar baiknya, pelayan pulang lebih sore sekarang. Pukul empat, jadi mereka punya malam lebih panjang untuk main-main dan jadi gila berdua.

Kalau sudah begini, tinggal tunggu tanggal mainnya aja sih sampai Jeno-Renjun junior hadir ke dunia. Nggak akan lama.

Kotak Beledu

Nita itu anak pertama, wataknya sih terhitung keras ya. Semua keputusan yang diambil oleh keluarga, harus selalu lewat persetujuan Nita. Papanya aja yang alpha tulen itu udah kuwalahan mengatasi kerasnya kepala Nita kalau udah ambil keputusan. Tapi bisa dimengerti sih, Nita dilahirkan dari dua alpha yang kelakuannya juga mirip-mirip sama dia. Kalo dianalogikan lewat pelajaran Biologi, gen dari kedua orang tua laki-laki Nita itu terlalu dominan, sedangkan gen dari ibu penggantinya nggak ada sama sekali yang turun ke dia.

Hubungan romansa Nita dan Renjun dimulai secara tidak sengaja. Mereka 'tidak sengaja' jadian ketika masing-masing dari mereka selesai nyomblangin adik kandung Jenita—Jessica—dengan Donghyuck.

Sebagai gambaran, Nita itu nggak cocok banget sama kebiasaan Jessica buat menghamburkan uang. Apalagi cara menghamburkannya terbilang cukup nyebelin. Yakni lewat keikutsertaannya pada acara-acara auction.

Auction yang satu ini bukan auction untuk dapetin lukisan, sculpture, atau barang mahal lain yang dijadiin pajangan. Tapi, auction satu ini buat dapetin alpha ganteng yang siap nemenin Jessica kalo dia lagi pengen ditemenin. Sinting kan?!

Itulah kenapa akhirnya Jenita berusaha mati-matian nyariin alpha ganteng yang bisa ngimbangin si cegil Jessica-Jessica itu. Untungnya, dia kenal sama Donghyuck yang tidak lain adalah temen magang di salah satu subsidiary corporation punya orang tuanya.

Dan di peristiwa itulah akhirnya Nita ikut-ikutan kecantol sama omega berhati lembut a.k.a teman magangnya—Renjun.

Hubungan mereka udah jalan selama dua tahun. Selama dua tahun itu pula Nita merasa makin hari makin cocok aja sama Renjun. Gimana Renjun yang begitu menghormati personal space Nita, Renjun yang selalu support Nita terlepas dari peran normatif mereka dalam hubungan, sampai kecenderungan mereka yang saling melengkapi—Renjun yang notabene seorang omega penyayang ketemu sama Nita si alpha kuat yang sebenernya pengen disayang. Intinya, Nita merasa mereka harus cepet-cepet melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Dan sebenarnya, dari sisi Renjun pun, dia juga udah siap kalau harus berlutut di hadapan Nita dan meminta alpha cantik itu untuk jadi pendamping hidupnya selama-lamanya. Persetan sama anggapan bahwa omega nggak seharusnya bicara duluan. Kuno banget.

Namun, masalah muncul ketika ada perbedaan pandangan dari Nita dan Renjun soal bagaimana mereka akan menyikapi anggapan orang soal hubungan mereka. Jenita sadar, perannya jadi wanita alpha yang sering wara-wiri di media jelas nggak bisa menutupi keberadaan Renjun ketika nanti mereka sudah ada di hubungan yang lebih serius. Sementara itu, hal ini jelas bertentangan sama prinsip Renjun yang mati-matian ingin hubungan mereka nggak tersentuh sama spotlight. Keadaan hidup mereka jauh beda soalnya, Renjun nggak ingin mengorbankan reputasi Nita dan keluarganya.

Sekarang, kita tarik kembali cerita ini ke sebuah malam di hari Jumat yang cukup menyebalkan buat Renjun.

Kemarin, hari Kamis, ada request yang tanpa permisi masuk ke dalam backlog pekerjaannya. Gara-gara data faktur pajak yang nggak align di beberapa dokumen pembelian oleh customer. Sementara, mereka harus memastikan kalau data-datanya sama supaya pajak bisa dibebankan ke pihak-pihak yang bersangkutan dan nggak akan ada masalah di kemudian hari. Seharusnya nih ya, seharusnya, yang kerja bukan Renjun dong. Kan Renjun bukan orang tax ataupun sales. Tapi namanya juga mestakung, ya seolah semesta ini berkonspirasi mendukung Renjun menghabiskan malam weekend berharganya sambil ngantuk-ngantuk di kantor bikin template untuk cocokin data dari semua dokumen _sales\ yang udah dikeluarin sejak awal tahun.

Renjun dibantu Donghyuck udah hampir dapet separuhnya, udah berhasil tracing dan mastiin bahwa datanya nggak akan gerak atau berubah sehingga memudahkan tim tax buat revisi ulang dokumen-dokumennya atau nentuin strategi apa yang mau dipakai biar pihak customer dan company sebagai vendor nggak akan rugi dari sisi waktu dan biaya.

Belum sempat Renjun selesai sama targetnya hari ini, tiba-tiba pesan masuk dari Nita. Cuma kiriman gambar pacarnya lagi pake baju seksi sih, seharusnya udah biasa. Tapi karena saking lamanya mereka nggak catch up, Renjun jadi pengen kunjungin Nita malam ini. Sekalian sayang-sayangan. Gitu konsepnya.

Tepat jam 9 malam, Renjun udah lari-lari kecil ke halte terdekat dari gedung kantornya buat nyamperin bus yang akan lewat tiap 5 menit sekali. Berbaur sama barisan pekerja kerah putih lain yang menggantungkan hidupnya sama roda perekonomian di ibukota. Wajah-wajah lelah mereka serupa sama wajah lelah Renjun, yang lagi-lagi harus optimis kalau hari esok akan jadi lebih baik lagi.

Perlu waktu 25 menit untuk sampai ke apartemen mewah Nita yang sudah terlampau akrab sama Renjun sejak mereka pacaran dan menghabiskan rut Nita bersama. Dari yang dulunya Renjun disangka peliharaannya Nita, sampai satpam gedung udah hafal dan bestie banget sama Renjun sekarang.

Renjun melangkahkan kakinya dengan sangat ringan ke lantai 14 tempat Nita tinggal. Udah kebayang kalau malem ini akan jadi salah satu yang membahagiakan dan patut diberi apresiasi lebih karena udah berhasil bikin Renjun lupa sejenak sama ribuan dokumen sales yang belum kesentuh. Nyentuh Nita dulu pokoknya.

Dan benar aja, Nita langsung mengambur ke pelukan Renjun yang sedikit lebih pendek dari dia itu ketika Renjun buka pintu apartemen Jenita. Ah ... Renjun lega banget ketika bisa mencium perpaduan aroma serupa pepohonan hutan dari tubuh Nita bercampur dengan parfum mahalnya. Renjun merasa nyaman dan aman di dekat Nita.

Ciuman lembut Renjun di pipi dan perpotongan leher Nita berubah jadi ciuman bibir yang sangat memabukkan buat mereka berdua. Terlepas dari kondisi mereka yang masih sama-sama berdiri di balik pintu utama.

Selanjutnya, Renjun persilakan Nita untuk membimbingnya seperti biasa. Renjun bukan pasrah, tapi memang sulit untuk mengimbangi stamina dan dominansi Nita di atas Renjun. Jadi satu-satunya opsi, ya Renjun cuma bisa tunduk di bawah kendali Jenita sepenuhnya.

Renjun tidak keberatan sama sekali kok dengan ide itu. Sejak awal dia juga udah sadar bahwa ini hal yang normal untuk mereka. Malahan Renjun senang bisa mengagumi tiap lekuk badan Nita dari bawah si alpha. Kata orang, Nita punya banyak daya tarik, wajah cantiknya jelas jadi si nomor wahid, diikuti hidung mancung, bibir tipis, sampai dada besarnya juga sering jadi topik pembicaraan ngawur laki-laki—bawahannya—di kantor. Untungnya cuma Renjun yang bisa mengagumi seluruhnya sendirian, dan atas persetujuan Nita tentu saja.

Malam itu Renjun senang, dia bersama Nita sama-sama puas dan merasa cukup. Apalagi ditambah sama bumbu rindu selepas nggak ketemu berhari-hari, tentu peluh mereka nggak terbuang sia-sia.

Selepas membantu Nita membersihkan tubuhnya, Renjun bawa Nita bersandar di dada mungilnya. Sembari menyeka sisa keringat di dahi Nita yang buat poninya menempel. Matanya boleh jadi fokus ke tontonan dari streaming platform kenamaan favorit mereka, tapi pikiran Renjun sudah berkelana entah ke mana. Salah satu yang mengganggu pikirnya adalah sekotak cincin emas yang selalu dibawa Renjun ke manapun selama sebulan terakhir ini.

Cincin untuk Nita.

Nita seorang.

Hasil kerja kerasnya bertahun-tahun yang akhirnya menjadi sebuah barang berharga yang ia harap akan ia berikan pada orang yang tepat. Dan menurut versinya, orang itu adalah Nita.

Hari berganti tapi tanpa Nita di sisinya tentu beri Renjun kesempatan yang cukup lebar untuk berfikir. Menimbang dan meninjau banyak faktor termasuk kemungkinan penolakan yang bisa saja dilontarkan oleh Nita dari mulutnya. Hanya saja malam ini Renjun sampai pada suatu kesimpulan bahwa, apapun yang akan terjadi, dia harus mengutarakan niatnya pada Nita. Terlepas apapun nanti jawaban Nita.

Setelah memindahkan Nita dengan alasan ingin ke kamar mandi, Renjun bawakan sekotak cincin itu untuk Nita. Tanpa bunga, kudapan manis, atau hadiah mahal sebagai teman, malam itu Renjun berlutut di hadapan Nita dan memintanya untuk jadi pendamping hidupnya.

Dan sesuai dugaan Renjun, proposal itu diterima Nita dengan derai haru air mata membasahi pipi cantiknya. Doa dan harapan mereka rapalkan juga malam itu, selepas ungkapan penerimaan Nita.

Mereka ingin bahagia berdua.

forevermore: FAQ

Second gender itu apa? Second gender itu konsepnya hampir sama seperti gender pada umumnya, sebuah terminologi dan karakteristik yang dibangun oleh konstruksi sosial atas seseorang. Tapi di universe ini, tidak dibagi menjadi laki-laki, perempuan, atau non-biner, tetapi dibagi menjadi tiga untuk mengidentifikasi trait dan kelas sosial manusia: alpha, beta, dan omega.

Apa bedanya? Ada privilege untuk second gender tertentu? Alpha biasanya identik dengan kelas tertinggi, pekerjaannya dekat sama perputaran uang dan power, jelas punya privilege paling tinggi karena hidupnya penuh sama ambisi. Kelas kedua, beta, identik dengan orang-orang yang dinamis dan taktis, seringkali jadi jembatan antara kelas tertinggi dan kelas terendah. Lalu ada omega yang kerap digambarkan sebagai sosok yang lemah lembut, nurturing, dan jadi penyeimbang pada dinamika kehidupan alpha, privilegenya sedikit dan lebih sering dipandang sebelah mata sebagai penghasil keturunan saja.

Gimana membedakan second gender ini? Kapan munculnya? Secara umum, ketiga gender ini bisa dibedakan lewat feromon dan 'warna' yang mereka keluarkan. Alpha lekat dengan feromon kuat dan warna auranya ada pada palet warna bebatuan. Kalau beta, mereka tidak menghasilkan feromon dan palet warna auranya ada di warna-warna netral dan warm tone. Sedangkan omega, feromon yang dihasilkan identik dengan bau-bau bunga dan buah, warna aura mereka pun ada pada palet warna pastel pudar. Ketiga second gender ini biasanya muncul—ditandai dengan fase presenting—terjadi ketika seorang anak berusia sekitar 15-20 tahun.

Bagaimana mereka bereproduksi? Perkawinan dan mating antar second gender merupakan hal yang lazim ditemukan. Justru perkawinan dengan satu jenis second gender jarang ditemukan, kecuali pada alpha yang punya privilege tertinggi dan bebas memilih. Seorang alpha dan omega yang sudah cukup usia untuk melakukan mating, biasanya bisa menghasilkan keturunan berupa alpha atau omega. Begitu pula jika alpha mating dengan beta atau omega mating dengan beta. Tetapi, jika alpha melakukan mating dengan alpha, tentu probabilitas keturunan mereka hanya akan terdiri dari satu second gender—yakni alpha, atau enigma yang sangat jarang dilahirkan, kecuali oleh orang-orang istimewa dengan perbandingan 1:1.000.000 kelahiran dalam satu dasawarsa.

Apakah semua omega bisa hamil? Kalau beta? Lalu bagaimana dengan perempuan di tiap-tiap second gender, apakah bisa hamil juga? Omega—baik female omega maupun male omega bisa hamil dan melahirkan. Sementara itu, hanya female beta yang bisa hamil dan melahirkan. Sayangnya, female alpha mungkin untuk hamil tetapi tidak bisa melahirkan. Sehingga, jika female alpha ingin mengandung janin dalam dirinya, maka ada prosedur yang harus mereka jalani agar janin bisa berkembang dalam perut ibu kandungnya. Opsi lain, tentu dengan ibu pengganti yang bisa didapatkan dari female beta atau omega.

Ayah dan Papa

“Ayo, makan dulu.” Renjun buka suara ketika Chenle masih asik duduk di lantai dan mencoret-coret workbook-nya.

Selepas pulang graduation ceremony, Chenle bukannya langsung istirahat atau main game kayak biasanya. Tapi udah siap aja keluarin workbook dan mulai nanya-nanya materi yang dia nggak ngerti ke Jeno. Jeno juga masih sabar banget ngeladenin anaknya dari tadi. Meskipun dia sesekali jalan ke dapur buat ambil cemilan—sekaligus curi ciuman dari pipi Renjun—tanpa sepengetahuan Chenle.

“Makan dulu, nak. Itu kasian Jeno dia juga mau makan siang.”

Chenle menyerah, menaruh pensil kayunya dengan suara agak keras saat dibanting ke meja. Ia lalu meniup poninya yang sudah memanjang dan berjalan ke dapur untuk cuci tangan. Jeno mengikuti di belakangnya setelah membersihkan meja dari crumbs kue-kue kecil yang ia makan sambil mengajari Chenle belajar.

Renjun tidak tahu sih kesepakatan macam apa yang dibuat oleh Chenle dan Jeno saat mengambil makanan di dapur, tapi ketika Sungchan bilang, “heh udah gede makan sendiri dong.” Renjun langsung paham kalau pasti Chenle merayu Jeno supaya mereka makan sepiring berdua. Dengan Chenle yang akan disuapi Jeno tentu saja.

Renjun cuma bisa mengulum senyum. Anaknya ini bener-bener mirip dia. Bucinnya ke Jeno itu loh, udah nggak masuk akal. Padahal hitungan kasarnya, mereka baru empat bulan hidup bersama.

Aktivitas berikutnya antara Chenle dan Jeno sukses buat hati dan mata Renjun memanas. Jeno duduk di samping Chenle, berada di sisi lain meja dengan sepiring penuh makanan Asia buatannya—dan beberapa lagi hasil take away dari restoran Chinese di dekat dowtown. Chenle masih membuka workbook di tempatnya, tangannya juga sudah memegang pensil lagi, mencoret-coret kertas buram berisi soal matematika untuk anak-anak ilmu sains. Jeno sesekali menyuapkan makanan ke mulut Chenle, menyeka ujung bibir anaknya dengan tisu, lalu menyuapkan sesendok juga ke mulutnya. Sesekali berbicara dengan nada rendah penuh rasa sayang kalau Chenle punya pertanyaan tentang apa yang dikerjakannya.

Renjun jadi menyesal kenapa nggak menghadirkan Jeno sedari dulu padahal dia mampu. Kalau aja dulu dia bawa Jeno masuk lebih awal ke hidup Chenle, pasti anaknya akan punya perkembangan yang lebih baik. Selama SD mungkin Chenle akan selalu didampingi Ayah untuk belajar. Bukan Renjun yang bahkan tidak bisa jelaskan dengan gamblang mengapa pasir pantai berwarna putih, mengapa langit warnanya biru, bahkan mengapa gravitasi bumi itu ada.

Tapi kalau kata Jeno semalam sebelumnya, semua terjadi karena satu dan lain hal. Mungkin menyatunya Jeno dan Chenle saat Chenle sudah agak lebih besar begini akan bawa banyak kebaikan ketimbang keburukan. Jelas Chenle akan lebih bisa menerima keadaan dia ketika dia sudah bisa berpikir dengan logis, dan di usia saat ini sepertinya adalah usia ideal untuk dia bisa menerima itu.

Acara makan siang yang cukup mengharukan untuk Renjun itu diakhiri dengan Chenle yang minta secara khusus diantar oleh Jeno ke flatnya, setelah pemaksaan berantai dari Renjun yang bilang kalau dia nggak seharusnya merepotkan Jeno dengan berniat menginap di rumah ini sampai besok. Bahkan dia lebih peduli sama Jeno makan apa malam ini ketimbang dirinya sendiri, lucu banget anak tunggal satu ini.

Jam empat sore, Jeno sudah kembali dari mengantarkan Chenle ke flat. Kembali ke rumahnya—sebetulnya sih rumah Renjun ya untuk masa retirement mereka berdua—dan mendapati Sungchan baru saja mengeluarkan mobil operasionalnya dari carport. Artinya, dia dan Renjun di rumah berdua malam ini. Mungkin Sungchan akan jemput besok pagi-pagi sekali.

Renjun sedang menyaksikan acara TV sore sembari mengerjakan sesuatu dengan iPadnya. Langit di luar sudah cukup mendung, sebenarnya sudah jadi hal yang biasa di Inggris raya.

“Jaemin jadi berkunjung? Tadi kan waktu di sekolah Chenle dia bilang mau mampir.” Tanya Jeno sesaat setelah turun dari lantai dua selepas mengganti bajunya.

“Enggak, dia basa-basi doang itu. Dia tahu kalau Chenle udah punya cowok favorit sekarang.”

Wah, Jeno jadi berpikir, cowok yang mana? Anaknya udah punya pacar ya?

“Hah? Siapa? Dia punya pacar?” Jeno serius menatap Renjun yang perlahan mengulum senyumnya.

“Ya kamu lah favoritnya sekarang. Liat tuh tadi, di acara graduation juga maunya bunga-bunga yang dikasih temennya dibawain sama kamu, foto di depan photobooth juga maunya sama kamu dulu baru aku, di mobil juga maunya duduk di depan sebelah kamu, makan siang juga disuapin tuh sama ayah tercinta.”

Jeno curi kecupan di bibir Renjun yang mulai manyun selepas cerita berapi-api soal anaknya yang kelewat bucin ke dia. Benar kata Renjun, Chenle itu dia banget.

“Jangan cemburu sama anak sendiri.” Bisiknya sambil tertawa.

Renjun letakkan iPad miliknya di meja kaca seberang sofa yang ia duduki. Meregangkan badannya yang agak sedikit remuk karena banyak kegiatan selama seminggu terakhir, lalu menyandarkan tubuhnya ke bahu lebar Jeno yang secara natural memeluk bahunya juga tiba-tiba.

“Nggak nyangka,”

“Apa?”

“Anak kita udah besar.”

Jeno terkekeh dengar jawaban Renjun. Kalau boleh bilang sih, dia lebih nggak nyangka lagi akan ada di titik di mana dia akhirnya bisa duduk di sofa begini sama Renjun, dan bicara soal anak mereka. Jeno di masa-masa gelap itu tidak mungkin berani berpikir seperti ini. Yang ada malah kekhawatiran tidak berujung soal anaknya yang mungkin saja meninggal sebelum lahir, Renjun yang sama sekali tidak ingin melihatnya lagi, atau yang terburuk justru dia harus mengakhiri hidupnya sebelum sempat bertemu Renjun dan bayi mereka lagi.

Tapi di sini dia sekarang. Setelah tujuh belas tahun berlalu, duduk bersama Renjun selepas mengantar anak mereka ke acara kelulusannya. Sebentar lagi mungkin akan mengantar mereka masuk ke kampus impiannya. Nggak terasa, benar kata Renjun, anak mereka tiba-tiba udah sebesar ini.

“Chenle pasti sekolahnya hebat sih nanti, nggak usah khawatir. Selama aku bisa di sekitar dia, aku akan jagain dia. Kamu fokus aja mengejar semuanya yang belum bisa kamu kejar selama ini.”

Renjun mengeratkan pelukannya pada perut Jeno, “semua udah aku punya. Aku udah nggak punya ambisi lagi kayaknya selepas turun dari jabatan. Takut banget jadi orang penting.”

“Kenapa nggak kamu aja yang kejar cita-cita kamu?” Lanjut Renjun bertanya pada Jeno.

Jeno terkekeh dan tersenyum miring setelahnya, sedikit merasa miris karena kejadian tujuh belas tahun yang lalu itu benar-benar buat dia harus mengubur dalam-dalam semua mimpinya.

Dia cuma tamat SMA, pekerjaan yang dia ambil juga kebanyakan kerja kasar, mau kuliah juga dia sudah nggak punya muka untuk ambil beasiswa karena beasiswa perlu surat rekomendasi, tapi sekolahnya sudah mengusir kasar Jeno dari daftar alumninya. Mau kuliah pakai biaya sendiri juga lebih nggak mungkin lagi. Terlalu mahal untuk dibiayai Jeno dan mamanya yang cuma kerja serabutan jadi pekerja lepas laundry hotel. Apalagi dia tidak bisa mematikan mimpi kakaknya yang sedang berjuang mencari beasiswa untuk belajar di luar negeri.

Mimpinya harus dikubur dalam, sama seperti rasa sayangnya ke Renjun dan anak mereka saat itu. Lagi-lagi semua karena keadaan.

“Mimpiku udah jadi kenyataan semua kok. Ada di sini sama kamu dan anak kita. That's it. Aku nggak pernah punya mimpi muluk-muluk.”

Air mata yang sedari tadi ditahan Jeno akhirnya jatuh juga. Hidupnya berat sejak dulu, jadi hatinya sangat mudah tersentuh dengan kebaikan kecil dan sederhana bagi orang lain seperti ini.

Iya kan? Bagi orang lain, mungkin berkumpul dengan keluarga utuh—partner hidup tersayang dan anak-anak—adalah kebahagiaan yang sederhana. Tapi bagi Jeno, justru hal ini jadi puncak kebahagiaan yang selalu ia bayangkan di malam-malam panjangnya selama tujuh belas tahun.

Jeno tidak pernah merasakan peluk hangat tangan besar ayah sejak kecil, cuma mama, kakak, dan paman yang buat dia merasa aman. Jadi, ketika ia sadar bahwa Chenle akan tumbuh jadi anak yang bernasib tidak jauh dari dirinya, ia punya janji yang selalu ingin segera ia wujudkan.

Jadi ayah terbaik untuk anaknya. Sesederhana apapun caranya, sekecil apapun usahanya, dan sesulit apapun rintangannya.

Beruntung Renjun selalu menaruh percaya pada Jeno. Kalau tidak, mana mungkin ia bisa ada di titik ini?

Seoul — Tujuh Belas Tahun Lalu

Ketika bunga-bunga es akhirnya berubah menjadi bunga-bunga cherry blossom bermekaran, ketika itulah peringatan ulang tahun Renjun telah tiba.

Tujuh belas tahun bukan waktu yang singkat untuk Keluarga Huang membesarkan Renjun yang mereka bawa pergi jauh dari China daratan sekitar sebelas tahun lalu. Renjun kecil untungnya cepat sekali beradaptasi. Maklum, neneknya memang masih punya darah Korea. Jadi bicara Bahasa Korea bukan lagi hal asing buat Renjun di masa kecil yang seringkali ada di dekat nenek dan kakek.

Namun, tujuh belas tahun terasa cepat buat Renjun remaja yang harus lekas-lekas bergerak cepat menuju transisi ke usia dewasa yang identik dengan kerja keras dan pencapaian-pencapaian tidak masuk akal yang katanya akan bisa bahagiakan orang tuanya.

Beruntung Renjun tidak sendiri. Perkenalannya dengan Jeno—keponakan supir pribadi orang tuanya jadi titik balik hidup Renjun yang jadi penuh warna. Renjun kecil punya sedikit masalah serius soal berbaur dengan teman-temannya yang boleh dibilang lumayan kaya raya. Mereka seringkali tidak terlalu peduli dengan esensi pertemanan di masa sekolah, karena hidupnya hanya diisi dengan belajar-kursus-lomba-makan malam keluarga besar. That's it. Sementara menurut Renjun, anak kecil seharusnya bermain.

Renjun yang mulai jengah dengan kebiasaan aneh keluarga kaya di Korea Selatan, akhirnya bertemu dengan Jeno di usia sepuluh. Saat Jeno ikut pamannya untuk pertama kali menjemput Renjun dari sekolah. Kala itu Jeno juga baru pulang sekolah, tapi Renjun langsung tertarik karena bekas air mata di pipi Jeno serta plester dinosaurus hijau muda di lututnya. Kata samchon, Jeno baru saja jatuh saat lari-lari di lapangan sekolah. Suatu hal yang baru buat Renjun, yang otomatis langsung berpikir kalau sekolah dan teman-teman Jeno lebih asik daripada sekolah dan teman-temannya.

Berhari-hari kemudian, Renjun dapatkan plester dino kuning di lututnya. Dari Jeno. Penyebabnya sama, Renjun terjatuh saat lari-lari. Bedanya, dia lari-lari di pekarangan besar belakang rumahnya. Bersama Jeno.

Plester dino kuning berubah jadi gulali dari ahjumma baik dekat sekolah Jeno. Berubah lagi jadi layang-layang warna merah dan biru yang dibuat Jeno bersama kakak laki-lakinya. Di kesempatan lain berubah lagi jadi mainan dari pasar yang Jeno beli bersama Mama.

Dan untuk semuanya, Renjun suka!

Dia tidak perlu lagi perangkat game konsol yang dibeli mahal-mahal oleh Papanya dari Amerika. Atau seperangkat mainan penambah motorik yang pasti didapat Mama dari teman-teman dokternya. Renjun lebih suka mainan dan makanan ringan yang dibawa Jeno tiap hari libur saat ia pergi bermain ke rumah Renjun.

Boleh dibilang mereka tumbuh bersama, tertawa bersama, bahkan hadapi kerasnya perubahan usia bersama juga. Bagaimana Renjun jadi saksi bully kelas berat di SMP-nya pada anak-anak beasiswa karena tidak sanggup ikuti gaya anak-anak orang kaya, bagaimana Jeno dengan berat hati harus menertibkan teman-teman sebayanya yang ketahuan menyimpan video porno, hingga keluh kesah kecil akibat nilai mereka yang naik-turun dengan mengkhawatirkan—meskipun itu sesuatu yang biasa untuk anak-anak sekolah menengah.

Renjun punya rahasia sebetulnya jika menyangkut Jeno. Ada rahasia terdalam di mana hatinya sudah mulai berdegup kencang ketika mereka berada dalam jarak terlalu dekat dari satu sama lain. Misalnya, ketika mereka sedang duduk berdampingan di ujung kolam ikan rumah Renjun. Melepas penat setelah seharian belajar, biasanya di ujung minggu. Kaki mereka tercelup dalam air kolam, minuman segar warna-warni biasanya ada di antara mereka, sementara obrolannya sudah jauh lebih santai—biasanya seputar rencana di masa depan atau lelucon bodoh yang mereka dapatkan dari teman di sekolah. Melihat Jeno tersenyum bahkan tertawa karena candaannya, seringkali buat pipi Renjun menghangat. Ah, dia suka kalau Jeno bahagia.

Saat jarum jam hampir mendekat ke angka dua belas, tepat di pergantian tahun—akhir Desember dingin menuju Januari yang tidak kalah dingin, mereka sedang berpelukan hangat dengan segelas coklat panas dan marshmallow. Awalnya cuma pelukan hangat yang ditemani suara rendah tawa mereka—seakan takut keintiman ini didengar orang lain di luar. Tapi lama kelamaan pelukan itu berubah jadi kecupan kecil bibir merah Renjun pada ujung bibir Jeno.

Yang dikecup tentu terkejut. Pasalnya, Renjun ini suka nekat. Kalau Jeno tidak segera menarik diri, akan ada aksi berikutnya yang mungkin akan berakibat fatal pada diri mereka. Tapi kalau Jeno seakan menolak Renjun, pasti dia akan lebih bersalah karena sudah buat Renjun sakit hati.

Biarlah, besok-besok Jeno akan bicara ke Renjun soal batasan-batasan yang sebaiknya mereka hormati.

Namun, ketimbang memberanikan diri untuk bicara, hari-hari mereka berikutnya jadi semakin menegangkan. Renjun makin berani menghapus dan mengikis tembok yang dibuat Jeno mengingat perbedaan status mereka yang begitu ketara ini. Renjun makin sering menunggu Jeno selesai dengan pekerjaan part-time-nya di minimarket. Meski Renjun harus naik bus dua kali dari lokasi bimbel elitnya ke dekat pasar ikan di mana Jeno bekerja. Jika sudah begitu, Jeno mana mungkin tega menyuruh Renjun menjauh darinya? Yang ada Jeno cuma bisa pasrah menerima perlakuan Renjun yang makin berani—menggenggam tangan Jeno di bawah meja diam-diam, mengecup pipinya, mengelus pipinya di pinggir jalan, bahkan mengecup bibirnya ketika mereka berpisah di gerbang kayu besar rumah Renjun. Dada Jeno memberat, belum siap kalau Renjun harus menerima konsekuensi buruk dari semua ini. Jeno masih percaya kalau hubungan beda kasta tidak akan berjalan baik. Setidaknya itu yang dia dengar dari cerita neneknya.

Puncak penyesalan terbesar Jeno datang ketika pada hari valentine Renjun membawanya pergi ke villa keluarganya di Guri. Awalnya mereka pergi bersama supir keluarga Renjun—paman Jeno. Tapi panggilan tiba-tiba dari Seoul yang membuat ia harus kembali ke ibukota akhirnya buat Jeno dan Renjun hanya berdua di villa yang sangat hangat itu.

Siang hingga sore mereka berjalan cukup sempurna. Mereka menikmati udara segar, makan makanan enak yang dimasak oleh Renjun, hingga menonton acara televisi yang sanggup buat mereka menangis juga tertawa. Tapi kejadian malamnya begitu mengejutkan, tidak pernah terpikirkan oleh kepala Jeno yang biasanya pandai mengkalkulasi peluang.

Saat Renjun tiba-tiba tidak hanya mengecup bibir Jeno—tapi juga melumat bahkan menggigit di sana-sini, saat itulah Jeno tahu jika ini tidak akan berakhir baik. Tapi ironisnya Jeno tidak bisa ke mana-mana, jika ia pergi, maka Renjun akan merasa ditolak. Padahal buat hati Renjun kecewa adalah hal terakhir yang ingin Jeno lakukan di dunia.

Dia tahu kalau dia begitu mencintai Renjun, tidak ingin sakiti Renjun, dan akan berbuat apapun asal Renjun bahagia. Tapi waktu ia harus buat Renjun bahagia dengan cara ini, logikanya hampir menolak dan meminta Jeno untuk pergi.

Tapi memang apapun akan selalu jadi berkabut kalau sudah dikuasai perasaan. Lebih-lebih perasaan itu namanya cinta.

Jadi ketika Renjun melepas seluruh kemeja tidur dan celana panjangnya di hadapan Jeno, Jeno akhirnya hilang kendali. Dan seolah buta juga tuli dari pengaruh logikanya yang coba ingin ambil alih.

Malam itu jadi malam yang begitu panjang untuk mereka. Tanpa memprediksi bahwa malam ulang tahun Jeno, dua bulan kemudian, ternyata jauh lebih panjang.

Malam yang seharusnya jadi hari paling membahagiakan untuk Jeno—karena Renjun siapkan acara ulang tahun yang begitu intim dan damai, berubah jadi penuh air mata dan tetesan darah.

Renjun hamil. Tentu di luar prediksi siapapun, kecuali ia sendiri dan Jeno yang sadar betul jika malam valentine itu pasti akan hadirkan risiko sendiri di kemudian hari.

Semua berawal dari jatuh sakitnya Renjun beberapa hari selepas ulang tahunnya. Keluhan serupa mual, lemas, pusing berkunang-kunang, hingga naik-turunnya nafsu makan seolah jadi lampu kuning untuk Jeno. Dia boleh jadi adalah seorang anak pintar di sekolah, tapi ketika menghadapi hal serupa ini, rasanya berlembar-lembar nilai 9 yang selama ini ia usahakan tentu tidak bernilai.

Renjun pun tidak jauh berbeda. Kepanikan tentu tiba-tiba jadi teman akrabnya waktu sadar bahwa perubahan pada tubuhnya terasa begitu jelas akhir-akhir ini.

Menjelang hari ulang tahun Jeno, mereka berdua akhirnya tahu kalau sebentar lagi mereka akan jadi orang tua. Tapi masalahnya, mereka tidak pernah siap untuk skenario itu. Mereka terlampau muda, masih sibuk menyiapkan ujian masuk universitas yang begitu menguras energi, hingga pekerjaan tetap yang sama sekali mereka tidak punya.

They were so young and confused.

Dukungan semesta juga nampaknya tidak hadir di sana. Seolah tidak ingin ikut menjaga kebaikan ada di sisi mereka—setidaknya sampai mereka temukan jalan keluar dari semuanya—orang tua Renjun ternyata tahu perihal kehamilan ini dan tanpa rasa kasihan memaki-maki Jeno serta keluarganya.

Makian seperti “anak kurang ajar”, “orang miskin tidak tahu diuntung”, hingga sebutan “pemerkosa” didengar Jeno dengan penuh rasa sakit hati. Mau menyalahkan Renjun juga ia mana tega? Tangisan penuh penyesalan Renjun di pelukan mamanya buat Jeno hanya bisa pasrah. Renjun juga pasti sama sedihnya dengan dia.

Jeno tidak buka suara sedikitpun. Tidak ingin membela diri meskipun Mamanya berteriak di telinganya untuk angkat bicara menolak tuduhan keluarga Huang.

Mamanya menangis ketika makian kasar makin sering keluar dari mulut Ayah Renjun pada Paman juga Mamanya karena dinilai tidak becus besarkan Jeno.

Jeno sudah lupa bagaimana detail kisah malam itu hingga akhirnya ia dibanting ke lantai, berakhir harus bersimbah darah di depan rumah sewa kecil milik keluarganya, dan harus melihat tangisan Renjun yang dibawa pergi secara paksa oleh orang tuanya.

Malam itu, Jeno melihat Renjun untuk yang terakhir.

Setelahnya, Renjun hilang. Benar-benar hilang dari muka bumi, dan baru kembali bertahun-tahun setelahnya dengan suami kaya raya memeluk pinggangnya, juga seorang balita lucu tersenyum riang di gendongan hangatnya.

Itu Chenle. Anak mereka.

Dari Konser ke Konser

Malik itu sebenarnya pintar. Tapi, di kondisi tertentu, kadang aktivasi neuron otaknya memang agak lambat. In other words, iya dia lemot :)

Sejak awal tahun waktu Om Bara kasih dia informasi soal kemungkinan mampirnya Bono and friends ke negara tetangga untuk mengadakan konser memperingati empat puluh tahun(?) karir mereka di belantika musik, Malik udah ancang-ancang, tuh. Dia udah niat dari dasar hati buat bayarin seluruh rangkaian tur dia dan Om Bara ke Singapura. Tanpa mempertimbangkan kalo standar Om Bara dan standar dia itu beda.

Mari kita mulai dengan hal paling basic, pesawat. Kalau mindset anak seumuran Malik, naik pesawat ke Singapura dari Jakarta yang cuma perlu waktu sejam lebih dikit, nggak perlu tuh habisin uang banyak. Low-fare udah cukup. Akhirnya pesanlah dia dua tiket ekonomi pesawat low-fare yang terkenal suka delay dan kursinya bau apek itu. Alhasil, Om Bara agak mengernyitkan dahi waktu sadar kalau mereka lagi nunggu pesawat di gate yang bukan biasanya. Mind you, Om Bara ini salah satu anggota PPS Club. Dan Malik nggak tahu :)

Om Bara sih kelihatan fine aja ya selama perjalanan. Malik juga nggak sadar. Menurut dia, ya jalan berdua bareng pacar naik ekonomi tuh amat sangat wajar. Apalagi buat penerbangan jarak pendek begini.

Hal paling lucu berikutnya, transportasi dari airport ke hotel. Malik itu baru tiga kali ke Singapura. Dan sebagai kaum mendang-mending, Malik nggak mau habisin duit tiga puluh dolar untuk naik taksi dari Changi ke area dekat Raffles. Karena public transportnya udah sangat bagus di luar nalar, Malik memilih ajak Om Bara seret-seret koper naik bus goyang-goyang dari terminal 4 ke terminal 1, lalu lanjut naik kereta bawah tanah ke downtown. Om Bara senyum, senyum doang. Meski dalam hati mikir kalo dia lagi dikerjain sama Malik. Biasanya dia dijemput Rolls Royce padahal :)

Kebadutan Malik belum berhenti di sana, kawan-kawan. Kalau tadi Malik pilih lokasi hotel di sekitaran downtown, jangan harap mereka akan masuk lobi Mandarin Oriental, atau Fullerton yang dari luar kayak kerajaan, dan mungkin Ritz-Carlton yang rate semalamnya setara sama uang semesteran Malik. Dia masih ngajakin Bara geret-geret koper di tengah terik panas-lembab Singapura untuk jalan ke ... hostel.

Kamarnya lumayan—lumayan sempit maksudnya, bedsheetnya agak bau apek, plus kamar mandinya nggak ada bidet. Tapi saking capeknya Bara, akhirnya dia bisa tidur pulas siang itu. Bikin Malik gede rasa, ngiranya si Bara tidur nyenyak karena nyaman. Malik seneng.

Sorenya, mereka jalan-jalan kayak manusia normal keliling tempat-tempat turis yang sebenernya cukup bosenin buat Bara. Tapi karena Malik matanya terus-terusan berbinar waktu liat kerlip lampu malem ini, Bara jadi nggak tega kalau mau menginterupsi. Jadinya Bara cuma bisa gandeng erat tangan Malik dan fotoin dia dengan sangat penuh effort tiap kali Malik minta. Meskipun jiwanya udah pengen aja lari ke Marqueé dan mabok sampe pagi. Rutinitasnya dulu waktu masih jadi backburner.

Long story short, mereka akhirnya jalan berdua untuk menjemput ritual agung dalam hidup Bara selama puluhan tahun ia hidup di dunia: nonton Bono dan teman-temannya menghidupkan jiwa mudanya lagi.

Belum juga sampai di dalam stadion, seluruh bulu kuduk Bara merinding. Nggak sanggup nahan haru dan deg-degan waktu sayup-sayup bisa dia dengar intro ikonik dari Where The Streets Have No Name yang ditulis Bono sebagai bagian dari the almighty Joshua Tree. Soal cinta dan kedamaian—yang boleh jadi sangat disyukuri oleh Bara karena sekarang dua hal tersebut akrab dengannya. Lebih-lebih dengan kehadiran Malik yang begitu manja di sampingnya. Bayi besar Bara.

Berpikir soal Malik, Bara seolah dibawa menjelajahi kotak kehidupan baru yang asing untuknya. Malik punya pemikiran dan perspektif sederhana soal hidup, mungkin faktor usia. Dan buat Bara, hal-hal yang terjadi sejak kemarin jadi bukti konkret betapa ia dan Malik punya kesenjangan besar sekali dalam menjalani hidup.

Tapi justru karena itu, banyak hal bisa dia petik: Malik tulus ingin buat dia bahagia. Tanpa berharap macam-macam. Dan definisi bahagia Malik juga sederhana, polos, tapi sarat dengan ketulusan.

Malam itu, riuh teriakan penonton nyanyikan With Or Without You jadi penutup rangkaian paling sakral dalam hidup Bara. Yang sepertinya terlalu indah. Karena belasan kali ia ikuti langkah Bono, 'nyawa' lagu dari tangan jenius The Edge, hingga isian bass yang jadi penyempurna dan begitu eksepsional dari Adam Clayton seolah makin sempurna dengan hadirnya Malik yang matanya begitu berbinar saat berada di pelukannya—menatap panggung penuh haru meski lagunya begitu asing di telinga.

Bara begitu berterima kasih pada Malik, soal apapun bentuk kebahagiaan yang coba ia bagi pada Bara. Dalam ketidaksempurnaan rencana Malik, Bara ingin sempurnakan semuanya.

Malik tertawa geli waktu Bara sudah memeluk badan telanjangnya—skin to skin—menjelang pagi di atas kasur yang jauh lebih nyaman dan dingin—merasa bodoh karena tidak cukup pandai menyesuaikan diri dengan Bara. Terlepas dari sudah hampir dua tahun mereka bersama.

Untungnya sih, Bara kelewat peka dan terlampau baik hati, ya. Kalau bukan Bara, mana mungkin mereka bisa bergelung dalam selimut wangi dan mahal kamar hotel di lantai teratas—langsung memandang kerlip lampu Marina Bay.

Epilog

Pukul lima pagi, alarm kamar hotel membangunkan Renjun dari tidur tiga jam-nya. Matanya langsung cerah seketika waktu ingat kalau mungkin saja anak bungsunya sudah menunggu teleponnya.

Renjun buru-buru mencuci muka dan gosok gigi sebentar, sebelum beranjak menyalakan water heater untuk menyeduh teh paginya. Tangan kanannya sibuk menggulirkan chatroom di handphone, bermaksud mencari kontak Jeremy. Padahal, seharusnya dia bisa langsung mencari nama anaknya dan menekan tombol telepon. Tapi ya maklum, namanya juga masih linglung selepas bangun tidur.

Kurang lebih enam panggilan ia lakukan ke nomor Jeremy, tidak ada satupun yang diangkat pagi itu. Renjun pikir, mungkin Jerry akhirnya tidur lagi setelah kembali dari mengantarkan sarapan ke teman-temannya di camp site.

Renjun masih begitu gigih melayangkan panggilan ke nomor Jeremy. Juga pesan singkat supaya anaknya lekas menghubungi ketika sudah bangun atau sudah selesai melakukan apapun kegiatannya kala itu. Tapi hampir dua jam berjalan, tidak ada jawaban pasti dari anaknya itu.

Selepas mengaplikasikan tabir surya ke wajahnya dan mengepak barang-barang yang akan ia bawa ke lokasi wawancara pagi ini, Renjun punya ide cemerlang untuk menanyakan keberadaan Jerry pada anak pertama—juga mantan suaminya.

Baru saja Renjun hendak pergi ke lokasi wawancara dengan taksi, kepalanya pening karena satu gelembung pesan dari Jeno yang berkata bahwa Jerry jatuh, dan kemungkinan mengalami fraktur kaki sesaat setelah kecelakaan kecil di trek bukit.

Tanpa pikir panjang, perjalanan pagi itu yang seharusnya hanya perlu memakan waktu lima belas menit di ibu kota Polandia, harus berubah jadi perjalanan lima belas jam dari Warsawa ke Jakarta. Renjun pulang.

Mungkin orang-orang akan lantang mengglorifikasi kalimat ini, 'jangan terlalu sering menyalahkan diri sendiri' ketika ada suatu hal buruk terjadi dan penyebabnya adalah sesuatu yang secara logika berada di luar kendali diri kita. Tapi, Renjun berbeda. Sejak usianya belia, dia sudah terlalu akrab dengan usaha menyalahkan diri sendiri dalam hal apapun.

Kegagalannya masuk sekolah favorit, kurangnya rasa percaya diri saat SMA, perjodohannya dengan Jeno, pernikahannya yang akhirnya kandas, sampai rasa bersalah tidak berujung tiap melihat Jerry dan Calvin seolah merindukan hari-hari saat mereka bersama.

Tidak terkecuali hari ini saat melihat Jeremy tertidur lelap dengan penopang kaki terlilit di kaki kanannya. Wajahnya—untung saja—tidak terluka. Begitu pun bagian tubuh lainnya yang bersih dari luka.

Menurutnya, kesalahan terbesar yang buat Jeremy sampai begini adalah kepergiannya ke Eropa untuk liputan konferensi eksklusif tahun ini saat anaknya berada di masa liburan, dan fakta bahwa ia begitu ambisius mengejar sesuatu yang tidak nampak arahnya di depan sana—sampai-sampai sedikit melupakan Jerry dan Calvin yang masih butuh presensinya.

“Jadi gimana ceritanya?” tanya Renjun dengan nada bicara selembut mungkin pada Calvin dan seorang anak laki-laki tinggi—Shane, teman sekelas Calvin—yang sekarang sedang duduk melingkar di ruang tengah rumah lamanya—rumah Jeno sekarang.

“Maaf, Pa...” Calvin buka suara dan menatap Renjun takut dari ujung matanya. Shane di seberangnya hanya diam menunduk, karena merasa belum waktunya untuk angkat bicara.

“Gimana?”

“Sebetulnya Jerry nggak ada acara sama klub astronomi.” Suara Calvin melirih, membuat Renjun sedikit tertegun meski sudah punya firasat ini sejak awal. Praduganya separuh benar. Karena jika mereka datang ke Lembang untuk acara ekskul, pasti ada surat khusus yang ditujukan ke orang tua atau setidaknya guru pembina eksul akan memberikan pesan ke orang tua terkait agenda outing anak-anaknya. Tapi kala itu Renjun masih cukup percaya. Alasannya sangat sederhana, mantan suaminya ikut-ikutan memberi garansi kalau dia akan jaga Jerry.

Oke ... sampai di sini, sepertinya Renjun tahu siapa yang harus diberi pelajaran setelah ini.

“Jadi, Jerry pergi sama siapa dan dalam rangka apa kemarin?” Tembak Renjun tegas, berharap dua anak laki-laki ini memberikan jawaban yang memuaskan rasa penasarannya.

Shane tiba-tiba mengangkat kepala untuk menatap Renjun, tersirat sedikit rasa takut di matanya, “Om maaf, sebenernya Jerry itu pergi sama saya. Saya yang ajak Jerry ke Lembang untuk camping sekaligus mau—” Shane tiba-tiba diam, melirik Calvin dari ekor matanya yang seolah keberadaannya sama sekali tidak membantu di sana. Harusnya, Calvin pastiin supaya papanya nggak menatap Shane sebegininya. Jujur, Shane merasa diintimidasi dengan tatapan menelisik dari Om Renjun.

“Mau apa, Shane?”

“Mau lihat langit pakai teropong bintang dan saya juga ma—”

Guys, pesenan ayam kalian udah dateng. Tuh ditungguin sama abang delivery-nya di depan.” Jeno muncul dengan baju tanpa lengannya, masih berderai keringat akibat work out malamnya di private gym rumah ini. Renjun memberikan tatapan tajam ke Jeno seolah mantan suaminya itu baru saja kepergok selingkuh di depan matanya. Renjun marah banget, sih. Padahal Shane belum selesai cerita, tapi Jeno udah menginterupsi aja.

Selepas Calvin dan Shane pergi ke depan mengambil makanan, Jeno berlalu seolah tanpa dosa ke dapur. Sepertinya akan mengambil minum. Ngomong-ngomong soal minum, Renjun tiba-tiba merasa haus juga, sih. Jadi dia ikut beranjak ke dapur yang dulu akrab dengannya itu untuk mengambil air minum.

“Kalo mau makan, masak aja. Kamu kan belom makan sejak landing tadi sore, ini udah mau jam 7. Nanti diet kamu gagal kalo makannya kemaleman.”

Damn, Renjun mengutuk Jeno dalam hati. Bisa-bisanya dia masih inget diet routine Renjun padahal perceraian mereka sudah disahkan sejak lima tahun lalu?

Renjun berusaha menyembunyikan pipi serupa kepiting rebusnya sembari menandaskan segelas air dingin. Sekaligus berharap otaknya sedikit lebih waras untuk tidak lagi-lagi merasa terlena sama perangai Jeno yang kadang suka di luar nalar begini.

Selepas mengatakan itu, Jeno pergi. Sepertinya naik ke lantai dua untuk istirahat dan mandi. Anak-anak sedang ada di depan untuk makan ayam goreng pesanan mereka. Tersisa Renjun sendirian di dapur menatap interior dapur dengan pikiran yang begitu berkecamuk.

Dia khawatir soal Jerry, bagaimana ya setelah ini? Apa anaknya perlu waktu lama untuk recovery? Apa nanti mobilitasnya akan terganggu kalau sudah benar-benar sembuh? Dia akan baik-baik aja kan?

Lalu soal keberadaan Shane. Apakah anak ini bisa dipercaya? Masalahnya, Shane ini dekat dengan kedua anaknya, Calvin dan Jeremy. Kalau Shane punya kemungkinan untuk memberi pengaruh negatif, bukan tidak mungkin kan kedua anaknya akan terpengaruh secara bersamaan?

Kalau sudah agak pening begini, Renjun cuma punya dua obat paling mujarab. Memasak dan bersih-bersih.

Terlebih lagi, dapur rumah lamanya ini begitu berantakan. Mungkin secara visual bersih ya, karena setiap hari akan ada pembantu yang membersihkan semuanya. Tapi layout dan penataan barang, jauh di bawah standarnya. Banyak yang berubah dan tidak pantas dilihat selepas ia pergi dari rumah ini lima tahun lalu. Makanya, malam ini dia begitu lincah memindahkah dan menata ulang perabotan, alat masak, dan bahan makanan di seluruh bagian dapur. Tujuannya cuma biar hatinya puas setelah mencapai satu predikat “aesthetically pleasing”.

Acara bersih-bersih dapur tentu mendapat tatapan aneh dari anaknya, juga Jeno yang berkali-kali pindah dari dapur dan ruang tengah, berkacak pinggang menatap Renjun heran tapi tidak berani menginterupsi, lalu kembali duduk di sofa tengah sembari menatap Renjun heran. Begitu...

Lebih-lebih saat Renjun mulai mengeluarkan seluruh sayuran dan bahan makanan di kulkas untuk ia masak malam ini. Masakannya sederhana, lo mein dengan daging sapi. Tapi jelas dia tahu kalau makanan ini punya banyak makna, apalagi untuk laki-laki seumurannya yang sedang melamun menatapnya kosong di sofa ruang tengah.

“Makan.” Perintah Renjun pada Jeno yang masih tertegun melihat Renjun kembali unjuk kebolehan memasaknya di dapur yang pernah jadi saksi betapa mereka saling mencintai dulu.

Dan memangnya, siapa Jeno sampai-sampai dia berhak menolak? Tentu tidak ada penolakan, dia langsung bergegas mengambil garpu di dekat rak piring, lalu menikmati santapan lo mein dalam satu piring yang sama dengan Renjun.

Senyumnya jelas tidak bisa disembunyikan. Lima tahun berlalu, ini yang hilang dari hidupnya—makan apapun sepiring berdua dengan Renjun. Karena Renjun akan makan sedikit, dan tentu dia yang harus menandaskan semuanya—kalau tidak habis? Renjun merajuk, lah, mengatakan kalau Jeno tidak cinta dia lagi, tidak suka masakannya lagi. Sekarang sih, makannya masih sepiring berdua, tapi rajukan Renjun yang tidak ada.

“Shane itu suka Jerry.” Jeno memecah keheningan, sesaat setelah melihat Renjun selesai dengan acara makannya—kini beralih menatap Jeno yang meneguk air dingin dari gelas untuk kesekian kalinya selama makan.

“Oh ya?”

Jeno mengangguk, menyeka keringat di pelipisnya, lalu kembali menyuap potongan mie dari piring.

“Dia sebelum ajak Jerry ke Lembang udah sering pergi sama Jerry. That one guy yang pernah dilihat sama Jaemin keluar sama Jerry ya dia.” Lanjutnya.

Renjun mengernyit, “mereka udah pacaran?”

Gelengan Jeno jadi jawaban implisit kalau mereka memang belum pacaran, belum jadian, and to be exact, mungkin belum ada rencana ke sana, baru saling suka aja.

“Rencananya abis turun itu si Shane mau nembak Jerry. At least that's what I heard from Calvin.”

Jadi begitu, ya? Shane ini suka Jerry, Shane dan Jerry sudah kenal dan jalan bareng lumayan lama, lalu momentum melihat bintang kemarin seharusnya jadi hari anniversary mereka?

“Oh...” respon kering Renjun ditanggapi dengan kekehan oleh Jeno, tapi sambil berusaha menahan sesuatu sepertinya.

“Kamu ... huh ... merasa bersalah ... hah ... ya? Setelah ... huh ... being too hard to ... hah ... Shane?”

“Itu mie-nya kepedesan?” Alih-alih menjawab pertanyaan Jeno, Renjun malah beri Jeno pertanyaan lain di luar konteks.

“Masih bisa ... huh ... dimakan kok .... hah.”

Wajah Renjun bersemu panik, apalagi setelah melihat keringat besar-besar turun dari pelipis Jeno, juga wajahnya yang memerah, pun bibirnya yang sudah sangat merah.

Renjun hendak berdiri mengisikan air minum untuk Jeno ketika mantan suaminya itu tiba-tiba mengaduh, berdiri dari duduknya, lalu lari ke kamar mandi.

Mampus! Padahal rencana Renjun buat memberi pelajaran ke Jeno bukan lewat ini, tapi kenapa harus ada kejadian begini duluan sih?

Renjun kemudian terlihat mondar-mandir panik di depan kamar mandi menunggu Jeno selesai dengan urusannya. Tapi nampaknya benar, lo mein tadi terlalu pedas, karena setelah bermenit-menit dihabiskan Jeno duduk di atas kloset, ia keluar dengan wajah pucat pasi.

Are you okay?” Bisik Renjun lirih sembari ragu-ragu menyentuh lengan telanjang Jeno. Dia khawatir benar, Jeno lemas dan pucat.

“Minum ... lemes ... banget.” Renjun tidak mau ambil risiko harus mengangkat badan Jeno yang sebesar ini ke atas kalau dia pingsan, makanya Renjun buru-buru memapah Jeno—mengesampingkan egonya—ke sofa terdekat dan membiarkan Jeno rebah di atas sofa.

Dia buru-buru ambilkan air untuk diminum dan mencari-cari tasnya untuk mengambil kotak obat berisi obat diare yang selalu dibawanya ke manapun. Jeno juga seakan langsung tahu dan menenggak pil itu saat Renjun menyodorkannya.

Namun, belum lepas lima menit Jeno mengumpulkan kekuatannya yang sudah nyaris habis untuk duduk bertaruh nyawa di atas kloset, perutnya kembali bereaksi dan memaksanya kembali masuk ke kamar mandi.

Renjun? Hanya bisa duduk cemas di sofa panjang itu sembari berharap semoga kalau Jeno pingsan di atas kloset, Calvin dan Shane masih bangun dan mendengar teriakannya dari lantai bawah.

Belasan menit kemudian, Jeno keluar dari kamar mandi dan kembali mengistirahatkan tubuhnya di sofa. Benar ya, buang air besar dalam kondisi abnormal begini benar-benar menyerap energinya habis tak bersisa.

Melihat Jeno yang begitu kesakitan, begitu lemas, dan begitu kehabisan energi membuat Renjun tiba-tiba meruntuhkan egonya untuk ambil posisi duduk memangku kaki Jeno yang setengah basah lalu dengan ragu hendak menyingkap kaus hitam yang menutupi badan Jeno—bermaksud membalurkan minyak angin, seperti bagaimana dia memperlakukan Jeno dan kedua anaknya tiap mereka sakit perut, dulu ya.

Jeno memejamkan matanya, sama sekali tidak cukup aware dengan apa yang terjadi di sekeliling. Cuma ingin merasakan dirinya sendiri sekarang, yang harus menanggung sakit perut akibat sepiring lo mein kelewat pedas buatan Renjun.

Perlu waktu bermenit-menit untuk Renjun bertarung dengan ego dan logikanya. Sampai akhirnya ia beranikan kembali menyentuh perut Jeno yang masih keras, seperti dulu.

“Ini ... diolesin minyak ya.”

Renjun tidak tahu benar, Jeno sedang akting atau memang dia sudah terlampau kesakitan. Jeno cuma menjawab dengan anggukan.

Tangan Renjun bergetar saat minyak sudah membasahi ujung jari-jarinya, terlebih saat pertama kali menyentuh permukaan kulit Jeno yang hangat. Sumpah demi bumi dan seisinya, Renjun rasanya kembali muda. Ini dia nggak sedang cosplay jadi Jerry dan Shane yang dimabuk cinta kan?

Dengan jantung berdegup cukup kencang, Renjun kembali mengoleskan minyak angin dengan gerakan memutar di permukaan perut Jeno, sembari mengelus pelan perut keras Jeno—seperti yang biasa ia lakukan dulu. Bermenit-menit bertahan seperti itu.

Tapi, di sisi lain, saking menikmatinya, Jeno sampai kelepasan senyum-senyum sendiri sambil memejamkan mata.

Tiba-tiba pula, ia hembuskan nafas yang membuat Renjun memicingkan mata ke arah Jeno, menatap senyum tengil di wajah Jeno—meski kedua matanya terpejam.

“Turun dikit dong kalo bisa, elus sekalian bawah dikit.”

Mata Renjun melotot. Dasar orang gila!

Sekuat tenaga Renjun cubit kecil keras-keras bagian lembek di sisi kanan perut Jeno, membuat Jeno berteriak dan merintih kesakitan lalu memohon ampun.

“Aaahhh ... ampun ampun ampun ... iya maaf, maaf, maaf ....”

“Dasar cari kesempatan! Orang gila! Dibaikin ngelunjak ya!”

“Aduh aduh aduh iya maaf maaf ... maaf aduh, maaf Renjun ....” rintihan Jeno makin menjadi saat Renjun memelintir cubitannya di kulit perut Jeno. Kalau besok bekas cubitan itu berubah biru, Renjun tidak peduli. Salah sendiri usil!

Malam itu, setidaknya rumah nomor dua puluh tiga itu sedikit menghangat. Ada memori masa muda yang seolah dibangkitkan lewat kejadian absurd malam ini antara dua insan yang dipisahkan keadaan.

Juga benih-benih keseriusan Shane untuk jaga Jeremy di kemudian hari—berkat upayanya tidak meninggalkan Jerry barang sedetikpun. Sampai-sampai, tidur pun ia rela beralas karpet bulu. Asal dekat dengan Jerry.

Masa muda memang seringkali punya banyak cerita. Tidak bisa diulang, tentu saja. Tapi hangatnya selalu bisa dirasakan kembali jika masih dengan orang yang sama.

Semua orang tentu pernah muda, ya kan?

Intelligent Center, Seoul — 11 a.m.

Kim Doyoung datang dalam keadaan cukup berantakan. Bahkan sepertinya belum sempat mengganti bajunya dengan baju yang lebih formal untuk dipakai ke pertemuan formal seperti ini.

Sebelum ia masuk ke ruangan rapat utama, matanya yang mendapati Renjun baru saja keluar dari sebuah ruangan privat langsung mengisyaratkan Renjun untuk kembali masuk ke ruangan itu. Tatapan tajamnya pada Sungchan saat melewati lelaki tinggi itu di ambang pintu cukup jadi isyarat kalau Sungchan lebih baik bergabung dengan asisten pribadinya menunggu di luar sementara ia dan Renjun bicara empat mata di dalam ruangan tertutup itu.

“Sebelum lo ngomong aneh-aneh, let me tell you something, lo seharusnya kabarin gue sejak pagi tadi dan membiarkan gue ada di sini.”

Kening Renjun mengerut, matanya memandang tidak percaya pada Doyoung. Dia ini bercanda, ya? Renjun saja kemari dalam keadaan tidak tahu apa-apa, terlalu dini untuk Doyoung bisa memaknai bahwa Renjun sengaja tidak mengundangnya kemari.

“Gue nggak ambil andil apapun dalam penentuan siapa yang boleh dan siapa yang tidka boleh datang ke sini. Seharusnya lo tanya ke Senior Han.” nada bicaranya meninggi, jelas tidak terima kalau disangka menjadi dalang dari huru-hara yang Doyoung tidak tahu ini.

“Apa yang harus gue tahu soal ini?”

“Lo sama sekali belum terima briefnya? Unbelieveable.” Renjun sudah siap-siap membuka pintu dan mengajak Doyoung bergabung ke ruang rapat utama—tidak ingin membuang waktu—ketika Doyoung menjegal lengannya.

It has something to do with your Housing Act. Jaehyun dapet black mail soal anak kalian pagi ini.”

Renjun menelan dengan susah payah saliva yang terkumpul di pangkal tenggorokannya. Renjun mulai berpikir bahwa orang yang mengirimkan foto Chenle padanya tadi pagi memang serius dengan ucapannya.

“Gue juga.” ucapnya sambil menunjukkan pesan dari nomor tidak dikenal itu pada Doyoung. Gurat ketakutan terlihat di wajah Doyoung sekarang.

“Terus lo nunggu apa? Kenapa nggak segera lo batalin aja? Kenapa buru-buru banget mengesahkan draft aturan yang bahkan lo tahu benar akan disambut dengan tidak baik sama beberapa golongan.”

Renjun mendudukkan dirinya pada sofa rendah yang ada di sisi lain ruangan, berusaha menurunkan emosinya agar tidak meledak di depan Doyoung. Bagaimanapun juga, Doyoung bicara fakta.

“Nggak semudah itu, lo tahu. Udah terlalu banyak kerugian yang ditimbulkan selama ini karena regulasi yang terlalu longgar untuk pembangunan perumahan di kawasan yang tidak seharusnya ini. Pembebasan lahan juga melanggar banyak aturan dan seolah dilegalkan karena mereka mampu membayar kompensasi.”

Doyoung masih memberikan kesempatan Renjun untuk melanjutkan, “belum lagi ketika bangunan sudah berdiri. Banyak hak yang dilanggar, air bersih kacau, sanitasi kacau, pembuangan limbah apalagi, polusi suara, banyak masalah. Terlebih soal konsep keberlanjutan yang dicanangkan sama Blue House, dilanggar semua sama mereka. Belum soal pajak bangunan dan juga kebijakan sewa. Terlalu problematik untuk dibiarkan begitu aja.”

“Terus lo rela anak lo dan 237 orang yang punya keluarga jadi korbannya?”

Renjun lagi-lagi menghembuskan nafas besar lewat mulut. Bukan cuma Doyoung, dia sendiri sedari pagi berusaha merenung untuk mendapatkan jawaban soal ini. Tapi lagi-lagi, selalu menemui jalan buntu.

“Denger ya, mumpung ini masih draft, masih belum disahkan oleh parlemem, ada baiknya lo segera withdraw. Dengan withdraw, lo bisa bikin 237 orang ini landing dengan selamat di London, anak lo selamat dan bisa kuliah seperti impiannya, juga hubungan bilateral kita sama banyak negara di sana tetap baik karena nggak ada yang terluka atau dirugikan di sini. In parallel, setelah lo withdraw, lo bisa konsultasi ulang untuk buat draft aturan yang baru untuk menyenangkan orang-orang ini, Renjun.”

Renjun belum menjawab juga, kini memandang Doyoung yang juga sedang memandangnya penuh harap. Negosiasi internal begini saja sudah sangat alot, apalagi mereka mau negosiasi dengan orang lain yang bahkan tidak punya satu visi misi dengan mereka?

“Renjun, please, jangan naif.”

Nope. Nope.” Renjun berdiri dan menggelengkan kepalanya berkali-kali, jiwanya masih enggan untuk goyah. Tidak ada ruang buat mafia, dalam kamus hidupnya.

Not gonna make the call. Kita masih bisa negosiasi sama attacker itu, gue yakin bisa.”

“Lo nggak ngerti siapa yang kita hadapi, Renjun. UK aja nggak berani ambil risiko untuk negosiasi dengan mereka karena mereka pasti bersenjata, pasti bisa berbuat nekat, dan tentu time constraint untuk memberi keputusan terlalu sempit. Lo bisa mikir risiko itu, kan?” kini nada bicara Doyoung makin meninggi, seolah sudah muak dengan betapa keras kepalanya Renjun yang sulit sekali menjatuhkan pilihan pada ‘obey-the-rules’ dari mereka yang sudah seberani itu mengirim black mail ke Renjun juga mantan suaminya.

“Mereka salah target, mereka push gue karena Jaemin, nggak mempan. Mereka push Jaehyun dan gue karena Chenle, nggak mempan. Lo tahu orang tua gue siapa, dan lo tahu Chenle akan seaman apa di sana. Kalau UK mau nembak jatuh pesawat itu, mereka nggak akan berani karena kita dan negara yang punya warga negara di dalam sana kompak belum setuju. Kalau attacker ingin gue cabut aturan itu, setidaknya mereka harus menemukan satu alasan lagi yang lebih kuat soal kenapa gue harus menuruti mereka.”

Dan nyatanya, omongan Renjun benar.

Selepas Doyoung memohon dengan sangat lewat sambungan telepon ke sekelompok petinggi yang sama-sama berharap-harap cemas di London, Doyoung hanya memberi kabar bahwa perintah penembakan jatuh sudah dicabut. Benar kata Renjun, tidak ada risiko seberat mengorbankan dua ratus lebih jiwa demi apapun.

Tapi nampaknya memang mereka belum bisa bernafas lega. Hanya tiga puluh menit berselang, telepon Renjun kembali berdering. Kali ini panggilan masuk dari Jeong Jaehyun. Matanya melirik Doyoung dan sedikit bersyukur ketika rekan kerjanya itu sama sekali tidak menyadari apapun. Dia tidak ingin menggiring lebih banyak drama menghampirinya.

Buru-buru Renjun kembali ke ruangan privatnya untuk mengangkat panggilan dari Jaehyun.

“Udah, nggak usah banyak mikir, deh, Renjun. Cepat kamu batalkan aja itu. Baru draft kan bisa disusun ulang.”

Harusnya Renjun tidak terkejut, mungkin Jaehyun ikut mendapatkan update terbaru soal ini dari pacarnya—Doyoung.

Wait, kenapa jadi ngotot banget supaya dicabut? Ini nggak akan menguntungkan kamu juga, Jaehyun. Kamu udah tamat di real estate.”

Jeda panjang sedikit membuat Renjun merasa khawatir kalau omongannya menyakiti Jaehyun, tapi untungnya Jaehyun segera menjawab tidak lama kemudian, “kamu nggak mikirin nasib Chenle?”

“Lupa siapa kakeknya? Sebenci apapun orang tuaku sama masa lalu, mereka tetap cinta sama cucunya. Negosiasi akan berjalan kalau attacker itu mau menampakkan mukanya untuk bicara empat mata sama Home Secretary, bukan lewat pesan anonim kayak pengecut.”

Jaehyun terdengar mengembuskan nafasnya dalam di ujung telepon, dia harusnya sadar sedari awal kalau mempersuasi Renjun akan sulit mengingat sosok mantan suaminya itu benar-benar sekeras batu.

Listen, kalau Chenle nggak mengubah pendirian kamu, mungkin hal ini akan.”

Renjun merasa tertantang.

“Beberapa menit lalu, orang-orang mulai posting di SNS soal rumor pembajakan pesawat ini. Kamu nggak percaya? Christian sudah kirim semua buktinya ke asistenmu. Kedua, kamu masih ingat kan kalau keluarga kita masih punya saham cukup banyak di airlines? Yang artinya, kalau sahamnya turun jauh, otomatis semuanya selesai. Dan terakhir, public trust. Dalam banyak aspek. Kamu sendiri yang jadi taruhannya, Renjun. Think about, it.”

“The clock is ticking, make your choice, now, Mr. Secretary.”

Jaehyun menutup teleponnya setelah itu.

Intelligent Center, Seoul — 6 a.m.

Kalau biasanya, rutinitas pagi seorang Huang Renjun tidak bisa berubah urutan dan tatanannya—sangat terstruktur, olahraga pagi-baca berita-mandi-sarapan-pergi kerja, maka hari ini adalah sebuah pengecualian.

Matahari bahkan belum sepenuhnya naik dan memancarkan sinar yang selalu identik dengan warna kuning hangat kesukaan Renjun, tapi dia bahkan sudah selesai bersiap dengan kemeja resminya untuk menunggu Sungchan sampai di rumah dinasnya. Untungnya, tidak butuh waktu lama menunggu laki-laki dua puluh tujuh tahun itu datang. Hanya sekitar 3 menit selepas Renjun memasang sepatu kets-nya.

Memberi sapaan selamat tinggal buat dua kucingnya, Renjun bergerak pergi dengan sedan dinasnya ke Intelligent Center bahkan saat jarum pendek belum tepat menyentuh angka 6.

Report apapun yang lo dapet,” perintah Renjun sesaat setelah ia masuk ke kursi belakang pada Sungchan yang terlihat sibuk dengan laptop di pangkuannya di kursi penumpang depan.

“Belum ada perubahan dari update terakhir gue ke elo tadi. NE-131 lepas landas dari Incheon jam 11 malam lebih empat menit, masuk wilayah China aman banget. Kontak terakhir sama Yinchuan jam 2 lewat 10. Ketika udah masuk wilayah Mongolia, udah nggak ada kontak sama sekali. Dotted line.”

Renjun tidak mengerti sama sekali soal penerbangan. Dia bahkan bukan sosok orang yang tepat sebenarnya jika diminta untuk ikut-ikutan memberi pendapat mengenai hal ini. Tapi mungkin jelas ada benang merahnya kalau orang-orang dari KOCA sudah memberi perintah supaya Renjun datang.

Dotted line itu maksudnya apa? Mereka ada jelasin?” tanya Renjun lagi. Entah kenapa hatinya sedikit gelisah tiba-tiba. Mongolia itu kan luas, kalau dalam hampir empat jam belum ada informasi, kemungkinannya cuma dua, ‘kan? Pesawatnya jatuh, atau … no, no other way, pasti jatuh.

“Gue nggak tahu pasti, sih. Cuma tadi gue sempet searching katanya sinyalnya lemah atau bahkan hilang. Cuma ada dua cara buat identifikasi lagi lokasi pesawatnya, pakai sinyal radio yang bisa dikenali sama military base di sekitar, atau pakai record dari satelit.”

It’s all getting serious, Renjun pikir begitu. Dia makin nggak tenang.

“Nanti kita pastiin aja ke orang-orang di IC.” Sungchan paham kondisi bosnya, bingung, tidak punya gambaran mau apa, dan sama sekali tidak merasa seharusnya ikut andil urusan ini. Tapi di satu sisi, Sungchan masih berpikir kalau keterlibatan Renjun di sini erat kaitannya sama Jaemin. Walau bagaimanapun dia tahu isi hati bosnya, orang di luar sana punya pandangan berbeda. Yang mereka tahu, Jaemin dan Renjun selama ini bersama.

Tujuh belas menit perjalanan ke Intelligent Centre dari rumah dinas Renjun terasa sangat lama. Mungkin karena efek gugup yang kini menghampiri lelaki pertengahan tiga puluh itu.

Sungchan tetap berada di dekatnya selama menuju lantai sebelas, lokasi yang dijanjikan oleh KOCA bertemu. Dia bisa mengenali kalau Renjun sedang benar-benar tidak bisa berpikir jernih sekarang. Yah … kalau boleh jujur, dia juga sedang dalam kondisi yang sama. Dia saja baru tidur dua jam, sudah harus bangun gara-gara dengar informasi seperti ini. Apalagi ini hari Minggu, harusnya kan mereka punya waktu lebih banyak ya untuk keluarga.

Ketika sampai di lantai sebelas, Sungchan masih sempat membalas senyum dan bersalaman dengan beberapa wajah yang tidak familiar di sana. Semua orang punya air muka yang serius, bahkan kantung mata mereka juga tidak bisa disembunyikan.

Lain halnya dengan Renjun, alih-alih merasa khawatir, dia justru merasa kalau dia tidak seharusnya ada di sini sekarang. Terlalu banyak hal kompleks yang dia tidak tahu soal penerbangan. Apalagi kasus ini. Orang-orang ini tidak lagi berusaha menurunkan elektabilitas dia di pemerintahan kan dengan mengajak dia andil memutuskan sesuatu yang jelas-jelas dia tidak punya kompetensi di sana?

I’m glad you are here.” wajah familiar seorang seniornya di pemerintahan tiba-tiba menghampiri.

Belum sempat Renjun menjawab sapaannya, laki-laki itu sudah menggiringnya masuk ke ruangan pemantauan yang sudah penuh dengan banyak staf khusus yang ia kenal dari tag milik IC maupun KOCA.

“Jadi? Ada sesuatu yang saya harus bantu? Sampai saya harus diundang kemari.” Renjun enggan berbasa-basi begitu semua orang sudah duduk di posisinya masing-masing, begitupun Sungchan yang ambil posisi tepat di sisi kanannya.

“Kita punya banyak sekali hole di sini. Itulah kenapa kami butuh bantuan kamu, Renjun. Karena kami yakin, ini juga urusan dalam negeri karena menyangkut warga negara kita.”

“Tapi, sebelum ke sana, kita akan berikan brief singkat mengenai apa yang terjadi. Yang mungkin sudah kamu dengar dari Sungchan, tetapi perlu kami elaborasi di beberapa titik mengingat ada beberapa temuan baru.”

Nafas berat Renjun jadi penanda bahwa mungkin hari ini akan jadi salah satu yang cukup berat.

Slide di depannya berubah menampilkan peta perjalanan sebuah pesawat dengan nomor penerbangan NE-131. Ada juga informasi soal jenis pesawat, nama pilot, dan bahkan seri-seri yang Renjun tidak mengerti. Dia abaikan bagian itu, dan mulai mendengarkan penjelasan Senior Han soal permasalahan pagi ini.

“Pesawat ini lepas landas dari Incheon tepat di jam 11 malam, suhu udara luar normal, kecepatan angin normal, jarak pandang normal. Captain Kwon adalah pemimpin penerbangan NE-131 menuju London kali ini, dengan first officer perempuan—Kalsey Choi, warga negara Inggris yang jam terbangnya juga nggak kalah lama dari Captain Kwon. Everything was good, sampai ketika pesawat mulai memasuki barat laut Beijing di jam satu malam lewat tiga puluh sembilan menit, coba look back ke belakang—“ perintah Senior Han pada seorang asistennya untuk menarik kembali tracking pesawat menuju beberapa jam setelah lepas landas.

“Nah, lihat garis ini. Seharusnya, heading pesawat ketika melintasi perbatasan China dengan Mongolia adalah sekitar 290 derajat dengan drift angle atau perbedaan sudut tidak lebih dari plus minus 5 derajat. Itu kondisi idealnya. Tetapi, kalau kita lihat di sini, bahkan pesawat sudah hampir masuk ke heading angle 300 derajat, yang artinya pesawat terlalu berbelok ke arah utara sebanyak 10 derajat jauhnya. Kalau diasumsikan dengan cruising speed normal, ini jelas jadi anomali. Tapi ketika Peking berusaha untuk lakukan komunikasi terakhir sebelum NE-131 masuk wilayah Mongolia, untuk konfirmasi kenapa mereka keluar jalur, tidak ada jawaban dari 131 dan sinyal hilang begitu saja.”

Renjun merasa ini tidak masuk akal. Kalau sejak awal Peking mengindikasikan ada hal aneh tentang pesawat ini, seharusnya kan mereka segera menghubungi otoritas terkait soal ini?

“Kenapa Peking nggak langsung menghubungi otoritas terkait soal ini? Kenapa baru dihubungi ketika udah hilang sinyalnya?”

“Satu, there’s a queue there, Peking bandara tersibuk di Asia—salah satunya. Dua, thresholdnya sangat tipis, ketika mereka seharusnya masuk wilayah Mongolia, secara aturan Peking sudah tidak punya responsibility untuk tetap mengontak mereka. Peking sudah kirim laporan, by the way. Temuan pertama sekitar jam dua kurang lima belas menit.”

“Nah, tapi, berita bagusnya. Jam empat lewat empat puluh tadi, pesawat akhirnya masuk dengan selamat ke wilayah udara Kazakhstan. Everything was so normal, ground speed normal, altitude normal, heading kembali ke angka 270—normalnya memang di angka itu. Komunikasi lancar, kapten ada di tempat, tapi tidak cukup baik memberikan komunikasi karena sering putus-nyambung sinyalnya. Di situ, akhirnya KOCA sekitar jam 5 lewat 10 tadi memberikan instruksi bahwa ini hanya perkara kesalahan teknis dan sinyal, tetapi kita akan batasi critical time hingga pukul sembilan pagi ini.”

Tanpa bicara pun, Renjun sudah tahu kalau ini bukan cuma kejadian biasa. Karena layar bahkan menunjukkan kalau sinyal pesawat masih hilang timbul. Dotted line seperti yang dijelaskan Sungchan secara sekilas pagi tadi. Jadi, terang saja kalau ia berasumsi bahwa ini belum selesai, kan?

Dotted line, apa artinya?” Renjun yang tidak sabaran, berdiri dan menunjuk layar di mana jejak radar pesawat masih berupa garis putus-putus ketika melewati gurun di barat laut Kazakhstan, masuk ke laut Kaspia, hingga masuk ke wilayah Georgia—sepertinya.

“Di awal analisis, kami sepakat mengira ini karena posisi pesawat yang terlalu jauh dengan land-base receiver. Karena di sisi utara China itu dataran besar yang cukup jauh dari stasiun pengamatan atau bandara, otomatis sangat mungkin kalau tracking tidak berjalan dengan baik. Begitu juga dengan analisis yang didapat dari kondisi geografis di Kazakhstan Barat. Fair enough untuk bilang ini kesalahan teknis.”

Renjun mengembuskan nafasnya berat sekali, dia sama sekali tidak paham poin semua ini. Kalau baik-baik saja, kenapa wajah semua orang di ruangan ini tertekan banget?

“Tapi,” senior Han kembali mengisyaraktkan asistennya untuk memperbesar track pesawat.

Drift angle hampir mendekati tujuh derajat.” Renjun memicingkan matanya untuk melihat lebih jelas perbedaan sudut pada garis yang seharusnya diambil oleh pesawat. Benar, sedikit berbelok sebanyak tujuh derajat ke arah selatan.

“Kalau kita tarik garis secara konsisten ke arah selatan, sangat mungkin kalau pesawat akan berjalan menuju Afrika Utara.”

Renjun menopang dagunya dengan telapak tangan kanannya. Negara konflik, Renjun belum tahu ke mana arahnya semua ini. Sepertinya ini bukan cuma kesalahan teknis atau bahkan human error, it’s far beyond that, pikirnya.

Or worse, South America.” salah seorang staf perempuan dari IC tiba-tiba angkat bicara.

“Panama, Kolombia, Ekuador, Venezuela, sangat mungkin. Dan kita tidak punya perjanjian ekstradisi dengan mereka.”

“Esktradisi? Kenapa sampai perlu?” apakah akhirnya analisis Renjun benar?
 “Hijacking. Ada kemungkinan pilot berada dalam perintah seseorang. Cockpit pasti sudah tidak steril sejak masuk wilayah Mongolia. Anomalinya terlalu besar untuk disebut sebagai kesalahan teknis atau kelalaian pilot.”

Bahu Renjun turun. Ini jauh dari perkiraannya. Ini sama sekali tidak pernah ada dalam bayangannya, soal pembajakan pesawat, kriminal sebesar ini di atas udara.

“Tapi itu baru asumsi. Karena sepertinya bahkan bahan bakar pesawat akan habis duluan di atas Samudera Atlantik, jauh sebelum masuk ke wilayah Amerika Selatan.”

Renjun menatap Senior Han dengan tidak percaya. Terlalu mudah dan santai buat seniornya itu untuk mengatakan kalau pesawat bisa saja jatuh dan hancur di atas Samudera Atlantik dengan ratusan orang di dalamnya. Seolah ide bahwa pesawat jatuh akan lebih baik daripada pesawat yang dibajak.

“Ini nggak masuk akal. Rencana mitigasinya akan sangat sulit, di satu sisi kita harus menjaga banyak jiwa di atas pesawat, tapi di sisi lain juga harus memastikan kalau hubungan bilateral nggak hancur begitu saja. Ini di luar kendali home office.” Renjun berujar terus terang pada Senior Han. Dia jelas tidak bisa memutuskan sendiri, apalagi kalau setelah ini pesawat akan masuk ke wilayah Eropa atau kemungkinan terburuk—Afrika. Terlalu sulit nampaknya untuk berfikir logis dalam waktu sesingkat itu.

“Ada berapa penumpang di sana?” Renjun kembali ke kursinya dan berusaha untuk lebih tenang, berusaha jadi satu-satunya manusia yang sedikit waras untuk mengambil keputusan sebelum terjadi sesuatu pada warga negara tidak bersalah di sana.

“Dua ratus tiga puluh tujuh penumpang, manifest sudah dicek dengan database nasional maupun internasional. Sudah cross-checking dengan Kerajaan Inggris. Semua record tidak ada yang berisiko tinggi.”

Findings kalian soal orang paling berisiko dan patut dicurigai belum disampaikan.” Senior Han dengan nada bicara menjengkelkannya mengingatkan seorang staf IC yang kini balik menatapnya sinis.

“Dari 237 penumpang, ada 109 penumpang warga negara Inggris, 91 warga negara Korea, 11 warga negara Irlandia, 9 dari China, 7 dari Amerika Serikat, 7 dari Thailand, 2 warga negara Belgia. Dan satu orang punya data biometrik ganda.”

Pardon?”

“Johan Godfrey. Memiliki dua paspor, Korea dan Swedia. Di paspor koreanya bahkan punya kemiripan 97% biometric-print dengan nama lain. Tapi track recordnya selama enam tahun terakhir, lebih sering ke mana-mana menggunakan paspor Swedia. Kami kira itu hanya anomali.”

Ada banyak hal mengganggu pikiran Renjun pagi itu.

Fakta bahwa pesawat yang membawa sembilan puluh satu warga negaranya hampir berada di ujung tanduk sekarang.

Fakta bahwa ada Na Jaemin di sana—yang bahkan ia tidak tahu harus berkata apa kalau-kalau orang tua Jaemin mendengar kabar ini dan mengkonfirmasi semuanya ke Renjun.

Juga salinan foto paspor seseorang yang baru saja dikirimkan padanya lewat surel. Tiga titik pembentuk konstelasi terindah di bawah mata seseorang yang selalu jadi favoritnya memang terlalu mudah untuk dia kenali.

Harusnya dia tidak pernah datang kemari jika diminta membuat pilihan setelah ini.

New York, prolonged thrill

Kedatangan Saka ke New York nggak lantas bikin Bara bisa seenaknya log-off lebih awal dari rutinitas kantornya. Dia malah harus overtime sampe sekitar jam sembilan malem sebelum bisa keluar nembus dinginnya Manhattan di pertengahan autumn demi ngejar kereta ke JFK.

Saka akan landing sekitar jam sebelas malam. Itu artinya, Bara cuma punya waktu sekitar satu setengah jam untuk commute dari Manhattan ke JFK. Baju masih berantakan, perut kosong akibat belum makan, dan masih ada tanggungan buat kerja satu hari di Jumat besok.

Tapi bener memang kata orang, what you won't do for love, anyway?

Pertemuan sama Saka malam itu kerasa bener-bener berat buat hati Bara. Udah sekitar dua setengah tahun sejak mereka terakhir bertemu, tapi kayaknya rasa cinta yang dia pendam jauh-jauh buat Saka nggak ada matinya.

Pelukan mereka malam itu di JFK jadi pengobat rindu Bara, sih. Dia sampe nangis waktu bisa rasain lagi bau tubuh Saka yang selama ini dia nikmati diam-diam tiap kali mereka lagi tidur berdua di kasur dorm mereka yang sempit itu.

Saka tumbuh jadi laki-laki hampir matang yang bener-bener sanggup bikin Bara jatuh hati buat ke sekian kalinya. Rahang dan bentuk wajah Saka berusaha Bara rekam sebaik mungkin. Takut kalau-kalau ini jadi pertemuan mereka yang terakhir. Masa depan sangat kejam buat Bara.

Duduk sebelahan sama Saka sepanjang menyusuri metro dari Queens, Astoria, hingga Upper West di mana Bara mengadu nasibnya setahun ke belakang, benar-benar bawa Bara lupa dan lalai kalau Saka ini punya orang.

Haha, sedih ya? Saka datang ke Inggris bahkan tanpa diminta, rela ngabisin tabungannya demi Dewi. Kasian Bara, bahkan dia yang harus repot-repot ngurangin saldo tabungannya demi bawa Saka kemari buat dia.

Nggak apa-apa, senyum manis Saka waktu mereka makan di resto Jepang dekat apartemen Bara jadi penyemangat Bara kalau apa yang dia lakuin ini nggak sia-sia. At least, Saka akhirnya ada di sini.

Perjalanan pulang mereka ke apartemen masih dipenuhi sama tawa manis mereka yang saling bersahutan. Nggak heran, mereka udah lama nggak ketemu. Banyak yang harus mereka ceritain ke satu sama lain. Untungnya sih, Saka nggak banyak bawa obrolan soal dia dan Dewi. Sumpah, Bara nggak lagi pengen denger cerita soal Dewi. Biarin dia egois dulu buat semalaman ini, di samping Saka dan lupain eksistensi Dewi.

Setengah tiga pagi, mereka baru sampai di apartemen besar yang disewa sama Bara sejak enam bulan terakhir waktu dia akhirnya diangkat jadi karyawan tetap sama kantor tempat dia kerja sekarang. Lumayan, sih. Salary dia cukup buat bayar tempat ini selama setahun, penuh, di depan.

Saka cukup tercengang waktu tahu harga sewa apartemen yang kayaknya nggak sanggup dia bayar seumur hidup itu.

Well, Saka sih udah biasa hidup di sekitar orang kaya. Cuma di tempat ini, Saka baru sadar kalo Bara itu kadar kekayaannya udah di atas level semua orang yang pernah dia temui. Cuma dia kelewat humble juga makanya nggak keliatan.

Setengah tiga pagi, perlu waktu sejam buat mereka akhirnya mandi dan bisa mengkondisikan badan buat unwind dan beranjak tidur. Damn ... Bara kepikiran, gimana dia kerja nanti, ya? Bakal beler banget nggak sih?

Tapi pemandangan Saka serius ngetik di HP-nya dengan temaram cahaya lampu kuning kamar Bara nggak bisa disia-siakan. Meskipun Bara juga tahu, Saka pasti lagi chattingan sama Dewi yang mungkin udah bangun tidur di Britania Raya.

“Udah?” Saka merasa diperhatikan sedari tadi sama Bara, makanya dia tiba-tiba nyeletuk waktu ekor matanya nangkep Bara serius banget liatin dia.

“Apanya yang udah, Bret?”

“Liatin guenya?” kekehan manis dia selipin di akhir sebelum simpen HP-nya di meja dekat tempat tidur. Bersebelahan sama HP Bara yang lagi di-charge.

“Lo sadar gue liatin?”

Lagi-lagi Saka cuma mendengus dan ketawa karena tingkah laku Bara ini. Mereka belum berubah, dari waktu kuliah juga sama sukanya ngeledek gini.

Begitu Saka udah rebahan di samping Bara, atmosfernya langsung berubah buat Bara. Dadanya nggak karuan, berdetak lebih kenceng dari biasanya buat Saka. Dia nggak bisa sih begini. Saka yang terlalu deket sama dia beneran bikin bahaya.

Saka mulai nutup matanya ketika merasakan pendingin ruangan yang kerja ringan buat bikin kamar Bara sedikit lebih dingin. Meskipun lagi musim gugur, Bara emang udah kebiasa tidur pakai AC. Jangan heran, dia kayaknya terlahir dengan kulit setebal buku ensiklopedia. Makanya tahan banget sama dingin.

Sementara Saka udah hendak beranjak ke alam bawah sadar, Bara masih betah buat merhatiin pahatan sempurna Tuhan dalam bentuk Saka yang lagi tidur tenang di sampingnya.

Dulu, mereka sering begini. Tidur berdua di kasur sempit dorm, entah di kamar Saka atau di kamar Bara. Jauh sebelum Bara sadar kalau hatinya suka berdetak lebih kenceng buat Saka. Jauh sebelum Bara jatuh cinta.

Sekarang ketika semua udah jauh lebih jelas, Bara bisa rasain detak jantung itu lagi. Sayangnya, udah dihiasi juga sama rasa sakit dan pahit kalau inget siapa Saka sekarang.

Dia merasa kayak sampah, sih. Yang nggak mungkin lagi punya kesempatan buat deket-deket dan lancang biarin hatinya selalu berdetak lebih kencang tiap Saka ada.

Bara ngerasa nggak berguna. Ngerasa dirinya menjijikkan. Apalagi ketika berjuang sebegininya buat Saka, padahal dia yakin kalau Saka nggak akan segan pergi dari dia kalau udah bener-bener ketemu nyaman sama yang lain. Dewi contohnya.

Tapi sisi hatinya yang lain menolak, dia lebih ingin jadi realistis aja sekarang.

Ketika dia udah habisin sebanyak itu energi buat bawa Saka ke sini, ya dia harus maksimalin semuanya, dong.

Nggak ada lagi galau-galau. Dia cuma perlu mastiin kalau dia bahagia selama Saka di sini, begitupun Saka yang harus bahagia bareng dia di sini.

Supaya nggak ada penyesalan di akhir.