UUS
Tags: arranged marriage, set-up date, modern monarch, strangers to friends to lovers, uncertain feeling, minor jealousy, feelings realization, implicit sex scene, fast-paced narrative, boring-ass narrative, unhinged characterizations, they don't know they're falling deeply to e/o (they're dumbos)
***
Perjodohan Renjun dan Jeno sudah berlalu selama bertahun-tahun lamanya. Mungkin ... hampir delapan tahun? Meskipun secara hukum, mereka baru menikah dua tahun lalu. Sementara enam tahun sisanya, mereka hanya tampil sebagai pasangan sorotan publik mengingat adanya kebutuhan untuk saling menjaga reputasi antar keluarga.
Ayah Renjun itu raja. Tapi jangan pikirkan kerajaan di sini adalah kerajaan besar dengan penduduk ratusan juta jiwa yang akan siap membela kerajaan dengan pertaruhan nyawa mereka sekalipun. Kerajaan ini adalah kerajaan kecil yang bahkan hanya jadi sub-bagian dari sebuah negara berdaulat yang dipimpin oleh presiden. Meskipun presidennya juga bertingkah layaknya raja sih, alias semena-mena dan semau dia mengatur berapa lama ia akan menjabat. Berbanding terbalik dengan bentuk negara yang sudah dituangkan dalam piagam negara. Aneh memang.
Renjun mengenal Jeno sekitar delapan tahun lalu dari ayahhya juga. Lebih tepatnya, kedua ayah mereka saling kenal sejak sama-sama menempuh pendidikan di luar negeri dahulu. Dan bukan suatu hal spesial juga akhirnya ayah Renjun memantapkan pilihan untuk menjodohkan si anak laki-laki tunggal itu dengan Jeno. Soalnya, Jeno ini anak perdana menteri di negaranya. Mereka 'sepadan' dan 'sama-sama membutuhkan' begitu katanya.
Mereka memulai perkenalan bahkan saat masih sama-sama berada di tingkat terakhir sekolah menengah atas. Berkali-kali Renjun harus menjawab pertanyaan teman-temannya yang kelewat kaypoh saat melihat mobil berbendera resmi kedutaan negara tetangga mampir di parkiran sekolah mereka—yang ternyata berikutnya akan dimasuki Renjun—yang ternyata lagi, akan duduk di bangku penumpang bersama seorang anak laki-laki dengan suit mewah. Semua anak di sekolah Renjun percaya desas-desus kalau Renjun akan segera menikah setelah lulus SMA. Tentunya buat Renjun hampir gila pada masa itu.
Setahun kemudian, Renjun masuk ke sebuah perguruan tinggi sains terkemuka di negara asal Jeno. Alasannya klise banget, 'supaya mereka lebih dekat' padahal Renjun tahu sebenarnya ayah dan ibunya was-was kalau Renjun keburu punya permintaan untuk dikirim sekolah ke Amerika. Ada peraturan tidak tertulis sih di kerajaannya, katanya, 'anak-anak yang kuliah di Amerika itu cuma jago buang-buang uang untuk menutupi ketidakmampuannya bersaing mendapat tempat untuk pergi ke Inggris'. Sangat kolot, padahal dua-duanya sama-sama butuh effort kan?
Okay, singkat cerita, mereka akhirnya benar-benar 'lebih sering' menghabiskan waktu berdua. Jika dan hanya jika, ada orang tua Jeno atau kedua saudara sepupunya. Kalau tinggal mereka berdua? Huh, jangan harap mereka akan bicara, sekadar duduk berhadapan aja cuma betah lima menit!
Ironisnya, selama sekitar enam tahun berikutnya, mereka masih mempertahankan kebiasaan itu. Bicara dan berinteraksi seperti pasangan ketika ada orang tua, ketika ada di depan publik, dan ketika ada orang lain di sekitar mereka. Mungkin cuma Tomy, ikan koi kecil peliharaan Renjun yang tahu bagaimana tabiat pasangan harmonis itu setiap kali tidak ada orang di sekitar mereka. Hal terjauh yang pernah mereka lakukan berdua dengan inisiatif sendiri adalah ... makan ramyeon di apartemen Renjun saat hari ulang tahunnya yang ke dua puluh tiga.
Saat memasuki jenjang pernikahan, tidak ada satu hal-pun yang berubah. Bahkan di saat mereka harus saling mencium di penghujung acara holy matrimony, Jeno cuma mengecup sedikiiittt ujung bibir Renjun, itupun didasari oleh perjanjian yang ditulis diam-diam di kertas tisu toilet semalam sebelum acara pernikahan mereka. Bodoh memang.
Jangan harap juga akan ada cerita malam pertama panas dengan seks beronde-ronde yang begitu menggebu setelah pernikahan paksa seperti di novel-novel. Tidak ada. Mereka sengaja memesan kamar president suit dengan dua ranjang terpisah agar bisa tidur nyenyak tanpa perlu merasa awkward malam itu. Untungnya, orang tua mereka bukan tipikal orang tua yang banyak tanya. Jadi mereka masih bisa berkelit dengan aman keesokan harinya.
Di tahun kedua pernikahan pun, sepertinya tidak banyak hal yang berubah. Mereka sudah pindah ke rumah baru, by the way. Di negara asal Renjun karena sesuai kesepakatan awal, Renjun akan lebih banyak menghabiskan waktu di tanah kelahirannya karena komitmen turun-temurun yang akan diwarisinya suatu saat nanti. Melanjutkan tahta ayahnya sebagai raja.
Mereka diberikan rumah tinggal yang amat nyaman di pinggiran ibukota. Rumah itu dikelilingi kebun bunga, ada beberapa kandang hewan di bagian belakang jauh, dan sedikit lahan bertani yang dikelola oleh kerajaan. Rumahnya besar, sangat besar, ada belasan kamar tidur dan tiga ruang tamu, juga empat ruang pertemuan yang seringkali kosong melompong karena Renjun lebih senang menerima tamu-tamunya di rumah dinas yang tidak lain adalah salah satu paviliun kerajaan.
Renjun sempat sedikit menyesali keputusannya mengiyakan permintaan ibunya untuk tinggal di rumah besar itu bersama belasan pelayan yang ditugaskan khusus di sana. Meskipun mereka hanya bekerja sampai pukul tujuh malam. Alasannya jelas karena ia jadi tidak bisa leluasa dan harus selalu memakai topeng agar interaksinya dan Jeno tidak berubah, pun dibuat-buat.
Sejujurnya ia sudah cukup muak kalau setiap hari harus berpura-pura mencium pipi Jeno di pagi hari sebelum sarapan, mengecup bibir suaminya sekilas sebelum pergi kerja, dan bahkan harus pasrah dipeluk Jeno kalau mereka sedang berduaan—membahas pekerjaan sebenarnya—di teras samping dan tiba-tiba pelayan mereka lewat.
Tapi ya apa boleh buat? Semuanya udah terlanjur berjalan 'seperti ini'. Jadi ya baik Renjun maupun Jeno tidak bisa lari ke mana-mana, cuma bisa bermain peran sebaik mungkin sampai nanti saatnya tiba. Kapan? Tidak ada yang tahu pasti. Mungkin kalau mereka sudah bosan? Sudah mencapai titik tertinggi? Sudah bertemu dengan apa yang mereka mau? Uncertain.
Beberapa minggu lalu, musim semi mulai terasa hembusannya di sela-sela kolom ruangan kerja utama Renjun di rumah pribadinya bersama Jeno. Suasana rumah kebetulan sedang sangat sepi, para pelayan sedang sibuk mencuci linen di belakang, juga memulai kegiatan berkebun karena musim semi seharusnya akan mencapai puncaknya mulai akhir bulan Maret. Hanya menyisakan beberapa pelayan memasak di bagian utama rumah yang kebetulan tersambung dengan dapur dan ruang makan. Ada undangan spesial malam ini, sepupu jauh Renjun akan datang. Sayangnya, Renjun harus menerima kedatangan sepupu ini tanpa Jeno. Karena pagi tadi Jeno baru saja bertolak ke luar negeri untuk bertemu dengan business partnernya—meski Jeno sudah menikahi calon raja, tetap saja dia harus punya penghasilan di luar, dia sedang getol membangun bisnis konsultan keuangan dan pengadaan barang, by the way.
Ngomong-ngomong soal Jeno dan kesendiriannya ketika Jeno tidak ada, Renjun suka merasa geli kalau harus mengakui bahwa kadang dia 'ingin' menahan Jeno tiap kali suaminya itu akan pergi ke luar negeri. Tapi selalu urung sih, karena egonya lebih besar ketimbang rasa sepinya kalau harus bekerja, melakukan kunjungan kerajaan, atau bahkan sekadar menerima tamu dan makan malam di rumah pribadi. Setidaknya, kalau ada Jeno kan mereka masih bisa bicara yang ringan-ringan seperti perkembangan hewan ternak di belakang, model handphone flagship terbaru, atau film-film baru yang akan masuk watch list mereka. Boleh dibilang, mungkin mereka tidak dekat, tapi obrolan mereka nyaman untuk dilakukan.
Kadang, di tengah lamunan Renjun, ia juga sempat berpikir beberapa skenario sangat buruk seperti kemungkinan Jeno punya pasangan lain di belakangnya. Sumpah, Renjun bukan mengada-ada atau sok curiga sama Jeno. Tapi memang hal seperti ini sangat lazim ditemui dalam sebuah pernikahan yang tidak dilandasi cinta. Renjun sering kok melihat para tetua di keluarganya punya selir atau simpanan di luar kerajaan, dan rata-rata hubungan mereka akan tetap langgeng karena media tidak berani menguliti aib-aib para pemimpin terdahulu itu. Untungnya sih, Renjun tidak dibesarkan oleh orang tua yang seperti itu, ya. Jadinya dia tidak punya sebersit pikiran kotor untuk menduakan Jeno, meski secara personal, ia dan Jeno tidak saling cinta. Kalau sudah begitu, Renjun akan buru-buru mengenyahkan pikiran buruk itu karena tahu betul bahwa Jeno tidak suka banyak bicara dengan orang. Terlebih menjadi terlampau akrab dengan orang-orang yang tidak punya urusan khusus dengan dia.
Eh ... tapi kan ... bisa jadi Jeno bertemu teman lamanya kalau sedang kunjungan bisnis begini? Apalagi sepertinya banyak orang yang lebih kenal Jeno ketimbang dia?
Aih ... presumsi Renjun semakin diperkuat dengan tingkah-tingkah aneh Jeno selepas pulang dari bertemu rekan bisnis di awal bulan Maret ini. Jeno itu suka sekali bermain game di handphone, beberapa game bahkan membuat dia betah menatap layar selama perjalanan tiga jam non-stop dari negara asalnya ke rumah Renjun. Tapi dari kebiasaan itu, Renjun tahu jika ada sesuatu yang sudah bergeser dari tempatnya ketika Jeno mulai senyum-senyum miring saat menatap layar handphone-nya. Terlebih kalau malam, kadang Jeno akan melewatkan sesi deep-talk bersama Renjun yang tidur di ranjang seberang untuk terbenam dalam layar handphone yang seperti sengaja diredupkan. Mungkinkah Jeno selingkuh? Kalau iya, Renjun harus apa?
Belum sempat ia meredakan rasa cemas itu, beberapa hari menjelang upacara pembukaan musim semi di tanggal 19 Maret, Mark Lee dan Donghyuck Lee datang secara khusus ke rumah pribadinya. Sepertinya tanpa memberi tahu Jeno juga.
Sebagai background, mereka berdua ini saudara sepupu Jeno. Ayah Mark adalah seorang diplomat, sementara keluarga Donghyuck begitu dekat dengan keluarga inti bekas kerajaan dahulu. Mereka sama-sama masih keturunan ningrat, intinya. Jadi seharusnya mereka paham betul etika bertamu. Artinya begini, biasanya, Renjun akan menerima tamu sesuai dengan permintaan si tamu. Jika seorang tamu berasal dari utusan negara tetangga, utusan pemerintah, atau partner bisnis, mereka akan dijamu di paviliun kerajaan oleh Renjun. Terlepas dari apapun kepentingan mereka. Namun, jika tamu berasal dari keluarga inti, keluarga keturunan sedarah raja—ayah Renjun, keluarga inti dari sisi ibunya, hingga keluarga inti dari sisi suaminya, mereka akan diterima di paviliun kerajaan untuk urusan keluarga yang tidak genting, tetapi jika urusannya genting, maka perjamuan sebaiknya dilakukan di rumah utama.
Pertanyaannya, segenting apa berita yang dibawa Mark Lee dan Donghyuck?
Ternyata, tidak begitu genting. Tapi cukup membuat Renjun menimbang dan menimbang selama bermalam-malam berikutnya. Sampai-sampai pidato sakrnya di malam peringatan awal musim semi jadi cukup belepotan. Jeno pun heran, karena malam itu Renjun enggan memberikan tangannya ke Jeno untuk digenggam dalam perjalanan menuju taman parkir kerajaan.
Jeno sebetulnya heran, dan sudah mau mengkonfrontasi Renjun kalau sampai tiga hari ke depan si calon raja itu masih terus bungkam perihal perubahan sikapnya di malam upacara musim semi. Lebih-lebih Jeno juga ingat kalau semakin dekat dengan hari ulang tahun Renjun, tidak seharusnya mereka begini. Tapi untungnya, sehari sebelum Jeno buka suara dan—mungkin—akan diterima dengan sinyal yang salah oleh Jeno, Renjun sudah terlebih dahulu mengajaknya bicara saat sarapan.
“My birthday is in two days...” ucapnya dalam Bahasa Inggris, membuat Jeno mengerutkan kening saat mengoleskan selain kacang ke bagel miliknya.
“Uh-hm, iya. Ada yang ingin kamu terima sebagai hadiah?” Jeno terang langsung bertanya, karena tidak terlalu suka menerka apa yang ada di pikiran Renjun. Khawatir beda persepsi.
“Nggak ada, sih. Cuma aku kayaknya pengen pergi berdua sama Jeno.”
Wait—jangan merinding atau geli dulu. Memang begitu. Renjun lebih suka menyebut nama Jeno secara langsung ketimbang mengubahnya dengan kata ganti orang atau 'kamu', kata Renjun justru memanggil nama secara langsung akan jauh lebih nyaman.
Oh iya satu lagi, Jeno memang sengaja menggunakan bahasa yang cukup formal. Bukan karena kaku, tapi memang dia tahu mana yang dia mau.
Mereka berdua cukup serasi, 'kan? Dan keras kepala.
“Pergi berdua dengan aku? Ke mana? Aku selalu bisa, sih. Apalagi lusa kan sudah akhir pekan.”
Renjun terlihat gelisah di tempat duduknya. Hanya berjarak meja selebar 2.5 meter padahal, tapi pertanyaan itu rasanya membuat jarak mereka membesar sebanyak sepuluh kali lipat!
“Ke ... pulau tropis di perairan pasifik.”
Jeno hampir menjatuhkan pisau olesnya, tidak habis pikir dengan ide Renjun yang tiba-tiba mengajaknya pergi sejauh itu di hari ulang tahunnya.
“Perairan pasifik?” Jeno mengulang sekali lagi pernyataan Renjun. Yang cukup kurang masuk akal di telinganya.
“I ... ya... Jeno ... keberatan ya?” Wajar kalau Renjun berpikir demikian, ini akan jadi perjalanan berlibur mereka yang cukup jauh dari biasanya. Pun jika dibandingkan dengan kunjungan ke luar negeri, ini juga terhitung jauh dan tidak biasa, loh.
Tetapi semesta begitu memanjakan Renjun dan menjadikannya seolah jadi anak ibu bumi yang begitu dicinta. Karena Jeno begitu mudah mengiyakan ajakan Renjun dan langsung membereskan semua jadwal pekerjaannya di akhir minggu. Demi menuruti si pangeran kecil mendapatkan hari ulang tahun paling berkesannya seumur hidup itu.
Tidak ada yang lebih indah ketimbang menghabiskan hari-hari malas di bean bag dan hammock yang tergeletak langsung di atas pasir pantai—yang secara teritorial masih menjadi bagian dari resort sewaan mereka di sini. Air pantai biru jadi pandangan sehari-hari bahkan sejak menginjakkan kaki di negara kepulauan ini. Ah ... berenang di air asin dan berteman terik matahari awal tahun benar-benar membuat hari menuju ulang tahun Renjun begitu berkesan. Ditutup dengan hidangan malam dan api unggun yang seolah menjadikan malam begitu intim di antara Renjun dan Jeno—pertama bagi mereka pasca delapan tahun bersilang jejak.
Selepas api unggun mati, Renjun mempersilakan Jeno masuk ke kamar mereka lebih dahulu. Sementara ia masih bertahan di luar. Mencari hembusan angin, gugusan bintang di langit malam, sembari mengumpulkan keberanian untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar dan memulai sesuatu yang akan jadi langkah baru dalam hidup mereka.
Bukan, bukan, ini bukan langkah besar nan ekstrem nan berharga seperti meminta Jeno untuk belajar mencintainya, atau yang terburuk seperti meminta Jeno menceraikannya saja kalau merasa hubungan mereka sudah tidak tertolong. Tapi langkah 'besar' bagi Renjun ini adalah 'sekadar' menelanjangi dirinya di depan Jeno.
Telanjang. Secara literal.
Yang parahnya begitu didukung oleh semesta ketika Renjun tarik turun kemeja satin tipisnya di depan Jeno yang termangu di dalam bathtub—sama telanjangnya.
“Ke ... napa...?” Tanya Jeno begitu hati-hati, berusaha sekuat tenaga mengalihkan pandangannya dari kemaluan Renjun yang mengintip kedinginan. Sumpah, begini-begini Jeno masih polos, tidak mau juga dipanggil mesum karena langsung main terkam Renjun begitu saja.
“I-I-I've been thinking for so long,” Renjun beri jeda karena nyaris tersedak ludahnya sendiri.
”-tapi aku pikir kita memang harus ngelakuin ini. I wanna be your first, and I want you to be my first.”
Kerutan di kening Jeno makin tebal, sumpah ... dia nggak peka ya ternyata? Dia jadi merasa buruk karena membiarkan Renjun harus sampai begini. Jeno jadi menerka, selama apa ya Renjun menunggu momen ini tiba? Mengingat mereka sudah delapan tahun begini.
“Uh-m... Renjun ... uh-don't–don't do it kalau kamu masiu merasa belum siap. Kita bisa menunggu lebih lama kalau kamu mau.”
Oh no! Sepertinya Jeno salah bicara karena Renjun sepertinya mulai berkaca-kaca, Jeno takut membuat Renjun merasa tertolak. Benar!
Makanya dia buru-buru menambahkan, “tapi kalau kamu siap sekarang, come here, kita mulai pelan-pelan.”
Kalau Jeno ini bentuknya seperti anjing samoyed—seperti bagaimana orang-orang mengasosiasikannya dengan hewan berkaki empat itu selama ini—mungkin ekornya sudah bergerak ke kanan dan ke kiri. Untungnya sih tidak. Jadi ketika Renjun pelan-pelan ikut mencelupkan badan telanjangnya ke dalam bathtub berisi ekstrak teh hijau dan almond itu, Jeno akhirnya terbawa suasana dan mulai menyentuh bagian tubuh si 'pacar' delapan tahunnya dengan sangat hati-hati. Meskipun rona merah dan rasa panas tidak terelakkan terasa di tubuhnya.
Huh ... mereka berdua tidak percaya sebetulnya atas apa yang terjadi malam itu di hari ulang tahun Renjun. Bagaimana kecanggungan akibat delapan tahun terombang-ambing karena perasaan yang tidak pernah ditegaskan berubah jadi begitu cair ketika kedua tangan mereka saling bertaut. Tautan tangan jadi kecupan bibir, kali ini jadi sedikit lebih passionate. Lalu berubah lagi jadi ciuman panas dengan kecipak basah dan rabaan hangat tangan masing-masing di kulit panas mereka. Ujung-ujungnya? Yup, seks hebat tiga ronde sampai pagi, di kamar mandi, kamar tidur, dan di karpet lantai dekat perapian.
Oh and then, jangan kira besok pagi dan hari-hari setelahnya akan mereda. Justru lebih-lebih-LEBIH fenomenal!
Mulai dari dapur, meja makan, meja kerja utama, ruang baca, bahkan sampai ruang mencuci jadi sasaran empuk kegiatan tidak senonoh mereka ketika para pelayan sudah pulang. Kabar baiknya, pelayan pulang lebih sore sekarang. Pukul empat, jadi mereka punya malam lebih panjang untuk main-main dan jadi gila berdua.
Kalau sudah begini, tinggal tunggu tanggal mainnya aja sih sampai Jeno-Renjun junior hadir ke dunia. Nggak akan lama.