awnyaii

Seperti apa yang Jevin sudah beritahukan kepada Eugene, bahwa ia menyuruhnya untuk datang ke rumah Opanya. Walaupun malas tapi tetap saja Eugene mengendarai motornya dan menuju ke rumah Opanya itu. Jeremy menunggu kedatangan Eugene tanpa memberitahu kepada Yoel, Jeremy bertingkah seakan tidak ada apa-apa dan seakan tidak ada yang berkunjung ke sana. Yoel masih asik bercengkrama dengan Jeremy dan Lea di ruang keluarga sambil menonton TV.

“Enak nggak pancakenya?” tanya Lea yang duduk di sebelah kanan Yoel yang tengah menikmati pancake yang Lea buatkan itu.

Yoel mengangguk antusias, mulut penuhnya masih sibuk mengunyah, ia mengacungkan ibu jarinya juga guna memuji kelezatan pancake buatan omanya itu. Lea hanya tersenyum dan mengusap kepala Yoel beberapa kali.

“Jadi, kenapa marahan sama kokomu?” tanya Lea tiba-tiba yang membuat Yoel tersedak saat itu juga. Lea geleng-geleng kepala, ia pun meraih gelas yang ada di meja di depannya untuk ia berikan kepada Yoel. Cucu Lea itu pun minum dan menaruh piring yang berisi pancakenya itu.

“Oma kok tiba-tiba nanya itu, sih?” tanya Yoel dengan nada lesu.

“Ya emang kenapa? Oma kan mau tahu cucu Oma kenapa,” balas Lea.

“Kenapa? Gelut kenapa? Lama-lama Opa beliin ring tinju kalian gelut aja di ring tinju, iya?” sahut Jeremy yang duduk di sofa sebelah Yoel.

“Nggak gelut, Yoel cuma diem aja di rumah ke Ko Eugene, nggak ada Yoel mukul Koko, nggak ada Yoel nendang Koko.” Yoel berkata dengan nada lemasnya sambil menyandarkan tubuhnya di sofa.

“Kenapa? Nggak mungkin tiba-tiba Kokomu kamu cuekin gitu aja, something happened, kan?” tanya Lea lagi.

“Oma, Opa… sebenernya tuh Yoel iri sama Koko. Ko Eugene tuh pinter, nilainya pas SMA bagus semua, anak IPA, lulus SMA aja nilainya nggak ada yang delapan, sembilan ke atas semua, nyaris sempurna. Sebenernya Koko juga nggak ngapa-ngapain, tapi kemarin-kemarin kayak kesel aja gitu si Ko Eugene ngingetin buat Les mulu. Yoel nggak budeg, mentang-mentang nilainya bagus-bagus apa ya, jadi Yoel diingetin les terus. Yoel nggak pikun.” Yoel mengangkat kedua kakinya ke atas sofa lalu memeluk lututnya.

“Kan bagus diingetin sama Koko, kan?” tanya Jeremy.

“Yoel les! Yoel belajar! Lu belajar dek main game mulu! Awas lo ya bolos les.. gitu terus, Opa. Males banget dengernya, huh… iya dah si paling pinter.” Yoel menghela napas kesal.

“Itu bagus dong Eugene ngingetin kamu,” ujar Jeremy sambil berpindah posisi duduk ke sebelah kiri Yoel sehingga kini Yoel ada di tengah Jeremy dan Lea.

“Ya karena Yoel nggak kayak koko kan? Yoel nggak bisa kayak koko. Yoel nggak naik kelas, makanya dia begitu kan, Opa? Yoel nggak bisa sepinter Ko Eugene.”

Jeremy mencubit lengan Yoel pelan, “emang Eugene pernah bilang dan ngungkit masalah kamu nggak naik kelas? Emang ngomongnya Yoel les sana biar naik kelas, gitu? Enggak kan?”

Yoel menggeleng pelan. Begitu seterusnya Lea dan Jeremy juga memberikan beberapa petuah bagi cucu mereka yang sedikit super ini. Tanpa mereka ketahui, ternyata Eugene sudah tiba dan berdiri di ambang pintu rumah tapi memilih melipir dan mendengar pembicaraan itu diam-diam. Sehingga, saat pembicaraan Yoel dan Jeremy serta Lea sudah mereda barulah Eugene melangkahkan kaki masuk ke sana.

“Eh, cucu oma!” seru Lea saat melihat Eugene masuk dan menenteng jaketnya. Maka seperti biasa, Eugene memberi salam dan mencium tangan Opa dan Omanya itu. Yoel kaget bukan main saat melihat kakak laki-lakinya ada di sana. Jeremy langsung berpindah posisi duduk dan menyuruh Eugene duduk di sebelah Yoel. Meskipun setelah itu Yoel berlagak seperti tidak melihat kakaknya, begitu juga dengan Eugene.

“Tuh, kokonya udah dateng, pulang sama Ko Eugene, ya?” kata Lea sambil mengusap pipi Yoel beberapa kali. Yoel hanya memejamkan mata sambil mengadahkan kepalanya lalu menggeleng cepat. Hal ini sebenarnya membuat Lea gemas ingin mencubit cucunya yang super ini tapi akhirnya Lea menangkup pipi Yoel dan mengarahkannya untuk menatap Lea.

“Pulang sama Ko Eugene atau nggak boleh main kesini lagi?” kata Lea.

Yoel langsung membuka mata dan terbelalak, “Yah kok gitu sih?” protesnya.

“Ya lo kenapa diemin gue kalo gue tanya nyolot pula, aneh,” gerutu Eugene.

“Ish,” Yoel mendengus kesal saja.

Jeremy pun menatap kedua cucunya itu bergantian, “nggak boleh ada yang pulang sebelum baikan. Sampai besok nggak baikan ya biarin nggak boleh pulang, mau seminggu nggak baikan juga biarin,” katanya lalu beranjak berjalan ke kamar.

Bahkan Lea pun sempat bingung mengapa Jeremy malah berjalan ke kamar? Tapi, Lea tetap di sana menemani Yoel dan Eugene.

Tapi tidak lama kemudian, Jeremy kembali lagi dengan membawa stick golf dan juga raket badmintonnya.

“Ngapain bawa begituan?” tanya Lea sambil menunjuk kedua barang yang suaminya bawa. Jeremy duduk lagi di sofa yang tadi lalu menunjukkan stick golf dan raket badminton yang masing-masing ia pegang di tangan kanan dan kiri, “buat properti kalau ada yang mau gelut, masih bagus-bagus kok ini.”

“Jer…” Lea mendelik menatap Jeremy, sementara Jeremy hanya mengedikkan bahu.

Yoel dan Eugene menjadi ketakutan sendiri, sampai akhirnya hening beberapa saat melanda dan akhirnya Eugene yang angkat bicara.

“Yoel, gue ngingetin lo les, belajar, nggak main game tuh biar lo nggak keteteran. Tugas jaman sekarang gue tahu numpuknya kayak gimana, makanya gue nggak mau time management lo berantakan. Lo boleh iri sama nilai-nilai akademik gue selama SMA. Berarti gue boleh iri juga dong sama lo, gue iri sama kegiatan non akademik lo yang hampir semua lo bisa. Ekskul musik lo bisa. Basket? Lo jadi kapten. Taekwondo? Lo ikut juga. Renang? Lo pinter juga. Gue? Nggak ada ikut begituan tuh gue selama SMA. Palingan kegiatan mandatory doang. Kalau lo iri sama gue karena nilai akademik, look at you, kemarin mid term lo ranking satu, kan? Kalau mau iri-irian mah gue iri banget sama lo,” kata Eugene yang benar-benar di luar dugaan dan berhasil membuat Jeremy, Lea ataupun Yoel terdiam.

“Fisik lo kuat nggak kayak gue,” kata Eugene lagi sambil menghela napas panjang.

“Ko….” Lirih Yoel.

“Gue gampang banget sakit, sejak kecil udah ada aja sakitnya. Yang flek lah, yang apa lah, walaupun lo kadang ada aja insidennya tapi lo tuh tetep kuat secara fisik, ngerti nggak sih? Banyak banget Tuhan kasih lo talenta, ngerti? Stop saying iri sama gue.” Eugene menatap Yoel tajam tapi dengan tatapan datar.

“Ngerti kaga?” Kata Eugene sambil menjitak kepala adiknya itu.

PLAK! satu tepukan keras dibalas Yoel di punggung kakaknya.

Ctaaakk! Eugene menyentil dahi Yoel hingga Yoel merengek kesakitan.

“Sakitttt koooo!!!” Protes Yoel sambil meninju lengan kakaknya berkali kali tapi Eugene malah merangkul Yoel dan langsung mengunci leher Yoel dengan lengannya sehingga Yoel kesulitan bergerak.

“Udahhh!!!” Pekik Lea sambil berusaha memisahkan kedua cucunya itu.

“Mau pakai stick golf apa raket? Heh!” Jeremy juga angkat bicara.

Akhirnya Lea berhasil memisahkan Yoel dan Eugene, keduanya terdiam.

“Yoel denger tuh kata Ko Eugene tadi, ternyata ada hal yang Yoel bisa dan Koko nggak bisa. Begitu juga sebaliknya, setiap anak itu ada Abilitynya masing-masing, cucu Oma yang ganteng, tapi jangan gelut,” bisik Lea lirih sambil mengusap punggung Yoel.

Yoel merasa bersalah, ia tertunduk dan tertegun sejenak sebelum membawa pandangannya ke arah kakak laki-lakinya itu lagi.

“Sekarang gimana? Mau pake atribut ini lanjutin gelutnya apa baikan? Papa sama Mama kalian pasti mumet juga kalau anak-anaknya cuek-cuekan. Mumet denger pada sahut sahutan pakai nada tinggi, nggak enak di telinga. Mau gimana sekarang?” ujar Jeremy seakan menantang.

“Ko… maafin gue. Gue nggak bermaksud⎯” belum selesai Yoel mengucapkan kalimatnya, Eugene sudah langsung memeluk adik laki-lakinya itu. Hati Lea dan Jeremy benar-benar menghangat melihat kejadian itu.

“Iya, nggak papa. Jangan tiba-tiba nyolot ke gue juga, kan gue nggak tahu apa-apa.” Eugene menepuk punggung adiknya yang tengah ia peluk itu.

Sebenarnya air mata Yoel hendak mengalir, hati Yoel memang sangat lembut tapi tertutupi dengan cover dan fisiknya yang lebih tinggi dari kakaknya itu. Saat keduanya sudah merenggangkan pelukan, Jeremy bergeser berpindah ke sebelah Eugene, jadi sekarang Yoel dan Eugene ada di tengah diapit oleh Opa dan Omanya.

“Nggak usah di tes DNA kalian berdua emang anak Jevin.” Jeremy berkata sambil bergantian mengacak pelan rambut Yoel dan Eugene.

“Opa, Oma… Papa dulu sama Om Mevin kayak gini juga? Atau lebih parah ributnya?” tanya Yoel sambil bergantian menatap Opa dan Omanya.

Lea hanya menautkan pandangannya dengan Jeremy dan menahan tawa sambil menggeleng pelan.

“Pokoknya ada ceritanya, mau itu Om Mevin sama Papa kalian, atau kalian pun sama-sama uniknya. Tapi itulah Tuhan kirim anak dan cucu yang bermacam-macam tingkahnya, setiap anak itu unik dan special. Walaupun kadang sama-sama bikin pening, tapi itu yang bikin semangat jadi orang tua. Menyelesaikan masalah-masalah yang bikin pening itu yang selalu jadi pembelajaran buat Opa dan Oma.” Lea tersenyum teduh dan menjawab dengan tenang serta lemah lembut pertanyaan Yoel itu. Jangan ditanya seberapa besar kesabaran Lea dan Jeremy diuji saat membesarkan anak-anaknya dulu. kalian yang sudah mengenal keluarga ini pasti tahu bagaimana Lea dan Jeremy harus bercucuran keringat dan air mata, bukan? Maaf, dan kita juga, kan? ?

Raymond dan Shannon kini ada di karpet di ruang tengah rumah Shannon, seperti biasa kehidupan anak tunggal seperti Shannon sangat membosankan jika berada di rumah sendiri, tapi kali ini Raymond menemani Shannon di rumahnya. Seperti biasa, canda tawa ringan serta obrolan penuh tawa mereka tukar sebelum masuk ke pembicaraan inti yang mungkin akan menguras emosi, kadang menyuapi satu sama lain juga saat menikmati cemilan. Seperti janji Shannon bahwa ia akan mendengarkan apapun yang Raymond akan bagikan kepadanya, cerita apapun itu. Hubungan Shannon dan Raymond memang berjalan seperti ini, saling menjadi telinga bagi satu sama lain dan menyediakan peluk penenang bagi satu sama lain.

“Sayang, kamu mau cerita apa?” tanya Shannon sambil menggenggam tangan Raymond. Mata Raymond yang sedang menatap televisi di depannya kini mengarahkan pandangannya kepada kekasihnya itu dan mencondongkan tubuhnya ke arah Shannon.

“Mumet sedikit,” kata Raymond sambil tersenyum.

“Kenapa?” tanya Shannon.

“Masa aku disuruh pilih mau ikut Mami atau Papi. Kocak ya? Selama in aja nggak jelas aku lontang lantung kesana sini terus, udah paling bener kan aku di apartku sendiri. Iya kan? Toh, aku juga kerja disini nggak mungkin aku ikut mereka lah, kerjaanku gimana? Walaupun mereka janji bisa kasih chanel kerjaan tapi aku nggak mau. Udah pisah aja masih suka ribut mereka tuh,” kata Raymond sambil menggaruk kepalanya.

Shannon kini menggenggam kedua tangan Raymond, “kalau ikut Mami kemana? Kalau ikut Papi kemana?” tanyanya.

“Ikut Mami ke Jogja sama adekku, ikut Papi ke Bali. Dan aku nggak mau LDR sama kamu, aku udah kerja aku bisa hidup sendiri.”

Hati Shannon berdesir mendengar penuturan Raymond itu, “Ray...”

“Aku nggak mau ldr, titik. I'll be fine here, trust me.” Raymond tersenyum lalu satu tangannya membelai puncak kepala Shannon.

“Tapi kamu juga harus tetep kunjungi Papi atau Mami kamu, jangan lost gitu aja, kamu masih anak mereka,” kata Shannon lagi, Raymond mengangguk lalu menarik tubuh Shannon ke dalam pelukannya.

“Ray...” kata Shannon lirih.

“Ya?”

“Ternyata banyak hal hal baru tentang keluarga yang aku lihat dari kamu, awalnya aku iri karena kamu punya adek tapi ternyata kalian diperhadapkan sama pilihan sulit, aku anak tunggal nggak ada saudara di rumah ini, setiap keluarga punya cerita ya sayang,” kata Shannon dengan suara yang melemas.

Raymond pun merenggangkan pelukan lalu menangkup kedua pipi Shannon, “iya, setiap keluarga dan setiap orang lebih tepatnya.”

Tapi tiba-tiba ponsel Shannon berdering dan Shannon nampak membalas beberapa pesan, dari siapa lagi kalau bukan Papa Willy.

“Ray, ke balkon aja yuk?” ajak Shannon sambil bangkit berdiri dan menarik tangan kekasihnya itu, Raymond sempat kebingungan tapi akhirnya ia pasrah dan menurut saja mengikuti Shannon menaiki tangga dan menuju ke balkon. Keduanya duduk di lantai dan melanjutkan pembicaraan mereka tadi yang terjeda.

“Kenapa disini?” tanya Raymond sambil duduk bersila berhadapan dengan Shannon.

“Biar kalau ciuman nggak kelihatan cctv,” kekeh Shannon.

CTAKKK! Raymond menyentil dahi Shannon, “piyikkkkkk!! Sakittt!!” protes Shannon.

“Keciduk Om Willy baru tahu rasa,” kata Raymond.

“Udah tadi waktu pelukan udah keciduk cctv makanya aku ajak kamu kesini,” ujar Shannon sambil tersenyum lebar. Raymond hanya geleng-geleng kepala dengan tingkah kekasihnya itu.

“Ray, jadi kamu pasti berat banget ya? Kamu sama adek kamu akur kan?” tanya shannon yang dibalas anggukan kepala Raymond.

“At least kalian jangan ribut ribut juga, ya...”

“Enggak kok, aman kita berdua mah,” balas Raymond tersenyum.

“Aku belum siap kalau orang tua kamu tahu latar belakang keluargaku,” kata Raymond lesu.

“Nggak perlu buru buru cerita, jalanin aja hubungan kita, kalau udah waktunya nanti baru cerita, oke sayang?” ujar Shannon dengan senyum sumringah. Raymond mengangguk dan tersenyum melihat keceriaan kekasihnya itu. akhirnya keduanya hanyut lagi dalam canda tawa, saling mencubit satu sama lain, menggelitiki satu sama lain dan saling memeluk satu sama lain juga. Tapi saat Raymond menggelitiki pinggang Shannon tubuh Shannon terhuyung ke samping dan Raymond sigap menahan pinggang kekasihnya itu hingga keduanya kini berhadapan dan wajah mereka berjarak sangat dekat. Shannon ataupun Raymond sama sama menelan ludah saat saling berhadapan seperti itu. Jantung Raymond jangan ditanya, sudah berpacu dengan laju darahnya, ini pertama kalinya keduanya sedekat ini. Hingga Raymond membantu Shannon duduk tegak lagi, Keduanya lalu tersenyum kikuk, Shannon menggaruk tengkuk lehernya yang sebenarnya tidak gatal, sementara Raymond mencoba mengatur degup jantungnya yang masih tidak karuan.

“Shan,” “Ray,” Keduanya berkata bersamaan lalu keduanya terkekeh sejenak.

“Salting, hehe,” kata Raymond. Shannon hanya tersenyum, wajahnya memerah.

“Shan,” kata Raymond lagi, Shannon menaikkan alisnya seakan bertanya ada apa, kini Raymond memajukan tubuhnya mendekat menarik pinggang Shannon dan satu tangannya menyangga rahang Shannon dengan satu tangannya, ibu jari Raymond mengusap pipi Shannon lembut.

“Do it if you want, babe..” bisik Shannon lirih.

Mata Raymond terbelalak dengan ucapan Shannon itu, sungguh ini yang pertama bagi Shannon ataupun Raymond. Maka saat Raymond mulai memiringkan kepalanya, Shannon memejam, dan sedetik kemudian Shannon merasakan bibir Raymond yang sudah mendarat di bibirnya, kecupan lembut itu bisa Shannon rasakan, beberapa detik berlalu sampai akhirnya keduanya merenggangkan ciuman. Jemari Raymond merapikan rambut Shannon agar tidak menghalangi paras ayu sang puan. Keduanya saling tersenyum, “ini first kiss aku,” kata Shannon.

“Ini juga first kiss aku,” kata Raymond.

“Kamu sama mantan kamu emang nggak pernah????” Shannon kaget.

“Pacaran sekali doang, dua bulan, mentok cium pipi aja, you take my first juga sayang, dan seterusnya cuma mau sama kamu aja,” kata Raymond. Sungguh, jantung Shannon tidak berhenti berdetak, pipinya menghangat.

“Serius?” tanya Shannon, Raymond mengangguk tanpa ragu. Shannon pun meraih pipi Raymond juga, kini dengan sadar keduanya mendekatkan wajah, menyatukan bibir mereka lagi, kecupan di beberapa detik pertama dilanjutkan dengan pagutan ringan dimana keduanya saling membalas. Ada getar tak biasa yang dirasakan Raymond dan Shannon saat itu. Ada perasaan cinta yang semakin membuncah saat pagutan ditukar. Ciuman pertama Shannon diambil Raymond begitu juga sebaliknya. Berharap akan jadi kawan bertukar kecup dan rengkuh sampai akhir. Akhirnya keduanya merenggangkan jarak dan Raymond tak memalingkan wajahnya dari sang puan. Keduanya saling tersenyum dan merasa ada satu kebahagiaan hari ini.

“Shan, ini nggak ada cctv kan?” tanya Raymond.

“Nggak ada, makanya aku ajakin kesini, hehe,” Shannon nyengir.

Tiba-tiba, Cup! Cup! Cup! Raymond memberi kecupan singkat tiga kali berturut turut lagi kepada kekasihnya itu. Shannon terbelalak dan salah tingkah.

“Rayyyy!” katanya sambil menepuk lengan Raymond.

“Haha, sorry, yaudah ayok turun!” ajak Raymond.

“Gendongggg!” rengek Shannon, akhirnya Shannon mengambil posisi jongkok, “sini naik, gendong belakang,” perintah Raymond, Shannon girang dan naik ke punggung Raymond. Keduanya menuruni tangga dengan posisi Raymond menggendong Shannon, dagu Shannon ia taruh di pundak Raymond, “i love you, i love you, i love you,” bisik Shannon di telinga Raymond yang membuat Raymond gemas sampai geleng-geleng. Tak henti sampai disitu, Shannon juga mencium pipi Raymond menghujamnya dengan kecupan kecupan kecil yang membuat Raymond semakin gemas.

Tiba di ruang tengah, Raymond memerintahkan Shannon untuk turun lagi tapi Shannon merengek bak anak kecil yang tidak mau turun. Akhirnya Raymond berputar beberapa kali membuat Shannon berpegangan erat memeluk Raymond dan keduanya terkekeh, tapi tiba-tiba, “Aduh sweet banget,” kata seseorang yang ternyata itu adalah Willy. Kedua orang tua Shannon baru saja tiba dan Raymond ataupun Shannon tidak menyadarinya. Maka Raymond membeku di tempat sedikit salah tingkah.

“Shan turun, Shan.” Raymond berkata sambil berbisik. Shannon menggeleng, “turun Shan itu Raymond berat gendong kamu astaga,” ujar Willy. Shannon memanyunkan bibirnya lalu turun dari gendongan Raymond setelah itu. Raymond pun langsung berjalan memberi salam mencium tangan Lauren dan Willy setelahnya.

“Makasih ya, Ray udah nemenin bocah yang agak bar bar ini di rumah,” kata Willy meledek.

“Papaaaaaaa!” Protes Shannon.

“Cctv nyala, cuma ngingetin,” ujar Lauren sambil menahan tawanya. Shannon dan Raymond hanya tersenyum kikuk salah tingkah.

Raymond dan Shannon kini ada di karpet di ruang tengah rumah Shannon, seperti biasa kehidupan anak tunggal seperti Shannon sangat membosankan jika berada di rumah sendiri, tapi kali ini Raymond menemani Shannon di rumahnya. Seperti biasa, canda tawa ringan serta obrolan penuh tawa mereka tukar sebelum masuk ke pembicaraan inti yang mungkin akan menguras emosi, kadang menyuapi satu sama lain juga saat menikmati cemilan. Seperti janji Shannon bahwa ia akan mendengarkan apapun yang Raymond akan bagikan kepadanya, cerita apapun itu. Hubungan Shannon dan Raymond memang berjalan seperti ini, saling menjadi telinga bagi satu sama lain dan menyediakan peluk penenang bagi satu sama lain.

“Sayang, kamu mau cerita apa?” tanya Shannon sambil menggenggam tangan Raymond. Mata Raymond yang sedang menatap televisi di depannya kini mengarahkan pandangannya kepada kekasihnya itu dan mencondongkan tubuhnya ke arah Shannon.

“Mumet sedikit,” kata Raymond sambil tersenyum.

“Kenapa?” tanya Shannon.

“Masa aku disuruh pilih mau ikut Mami atau Papi. Kocak ya? Selama in aja nggak jelas aku lontang lantung kesana sini terus, udah paling bener kan aku di apartku sendiri. Iya kan? Toh, aku juga kerja disini nggak mungkin aku ikut mereka lah, kerjaanku gimana? Walaupun mereka janji bisa kasih chanel kerjaan tapi aku nggak mau. Udah pisah aja masih suka ribut mereka tuh,” kata Raymond sambil menggaruk kepalanya.

Shannon kini menggenggam kedua tangan Raymond, “kalau ikut Mami kemana? Kalau ikut Papi kemana?” tanyanya.

“Ikut Mami ke Jogja sama adekku, ikut Papi ke Bali. Dan aku nggak mau LDR sama kamu, aku udah kerja aku bisa hidup sendiri.”

Hati Shannon berdesir mendengar penuturan Raymond itu, “Ray...”

“Aku nggak mau ldr, titik. I'll be fine here, trust me.” Raymond tersenyum lalu satu tangannya membelai puncak kepala Shannon.

“Tapi kamu juga harus tetep kunjungi Papi atau Mami kamu, jangan lost gitu aja, kamu masih anak mereka,” kata Shannon lagi, Raymond mengangguk lalu menarik tubuh Shannon ke dalam pelukannya.

“Ray...” kata Shannon lirih.

“Ya?”

“Ternyata banyak hal hal baru tentang keluarga yang aku lihat dari kamu, awalnya aku iri karena kamu punya adek tapi ternyata kalian diperhadapkan sama pilihan sulit, aku anak tunggal nggak ada saudara di rumah ini, setiap keluarga punya cerita ya sayang,” kata Shannon dengan suara yang melemas.

Raymond pun merenggangkan pelukan lalu menangkup kedua pipi Shannon, “iya, setiap keluarga dan setiap orang lebih tepatnya.”

Tapi tiba-tiba ponsel Shannon berdering dan Shannon nampak membalas beberapa pesan, dari siapa lagi kalau bukan Papa Willy.

“Ray, ke balkon aja yuk?” ajak Shannon sambil bangkit berdiri dan menarik tangan kekasihnya itu, Raymond sempat kebingungan tapi akhirnya ia pasrah dan menurut saja mengikuti Shannon menaiki tangga dan menuju ke balkon. Keduanya duduk di lantai dan melanjutkan pembicaraan mereka tadi yang terjeda.

“Kenapa disini?” tanya Raymond sambil duduk bersila berhadapan dengan Shannon.

“Biar kalau ciuman nggak kelihatan cctv,” kekeh Shannon.

CTAKKK! Raymond menyentil dahi Shannon, “piyikkkkkk!! Sakittt!!” protes Shannon.

“Keciduk Om Willy baru tahu rasa,” kata Raymond.

“Udah tadi waktu pelukan udah keciduk cctv makanya aku ajak kamu kesini,” ujar Shannon sambil tersenyum lebar. Raymond hanya geleng-geleng kepala dengan tingkah kekasihnya itu.

“Ray, jadi kamu pasti berat banget ya? Kamu sama adek kamu akur kan?” tanya shannon yang dibalas anggukan kepala Raymond.

“At least kalian jangan ribut ribut juga, ya...”

“Enggak kok, aman kita berdua mah,” balas Raymond tersenyum.

“Aku belum siap kalau orang tua kamu tahu latar belakang keluargaku,” kata Raymond lesu.

“Nggak perlu buru buru cerita, jalanin aja hubungan kita, kalau udah waktunya nanti baru cerita, oke sayang?” ujar Shannon dengan senyum sumringah. Raymond mengangguk dan tersenyum melihat keceriaan kekasihnya itu. akhirnya keduanya hanyut lagi dalam canda tawa, saling mencubit satu sama lain, menggelitiki satu sama lain dan saling memeluk satu sama lain juga. Tapi saat Raymond menggelitiki pinggang Shannon tubuh Shannon terhuyung ke samping dan Raymond sigap menahan pinggang kekasihnya itu hingga keduanya kini berhadapan dan wajah mereka berjarak sangat dekat. Shannon ataupun Raymond sama sama menelan ludah saat saling berhadapan seperti itu. Jantung Raymond jangan ditanya, sudah berpacu dengan laju darahnya, ini pertama kalinya keduanya sedekat ini. Hingga Raymond membantu Shannon duduk tegak lagi, Keduanya lalu tersenyum kikuk, Shannon menggaruk tengkuk lehernya yang sebenarnya tidak gatal, sementara Raymond mencoba mengatur degup jantungnya yang masih tidak karuan.

“Shan,” “Ray,” Keduanya berkata bersamaan lalu keduanya terkekeh sejenak.

“Salting, hehe,” kata Raymond. Shannon hanya tersenyum, wajahnya memerah.

“Shan,” kata Raymond lagi, Shannon menaikkan alisnya seakan bertanya ada apa, kini Raymond memajukan tubuhnya mendekat menarik pinggang Shannon dan satu tangannya menyangga rahang Shannon dengan satu tangannya, ibu jari Raymond mengusap pipi Shannon lembut.

“Do it if you want, babe..” bisik Shannon lirih.

Mata Raymond terbelalak dengan ucapan Shannon itu, sungguh ini yang pertama bagi Shannon ataupun Raymond. Maka saat Raymond mulai memiringkan kepalanya, Shannon memejam, dan sedetik kemudian Shannon merasakan bibir Raymond yang sudah mendarat di bibirnya, kecupan lembut itu bisa Shannon rasakan, beberapa detik berlalu sampai akhirnya keduanya merenggangkan ciuman. Jemari Raymond merapikan rambut Shannon agar tidak menghalangi paras ayu sang puan. Keduanya saling tersenyum, “ini first kiss aku,” kata Shannon.

“Ini juga first kiss aku,” kata Raymond.

“Kamu sama mantan kamu emang nggak pernah????” Shannon kaget.

“Pacaran sekali doang, dua bulan, mentok cium pipi aja, you take my first juga sayang, dan seterusnya cuma mau sama kamu aja,” kata Raymond. Sungguh, jantung Shannon tidak berhenti berdetak, pipinya menghangat.

“Serius?” tanya Shannon, Raymond mengangguk tanpa ragu. Shannon pun meraih pipi Raymond juga, kini dengan sadar keduanya mendekatkan wajah, menyatukan bibir mereka lagi, kecupan di beberapa detik pertama dilanjutkan dengan pagutan ringan dimana keduanya saling membalas. Ada getar tak biasa yang dirasakan Raymond dan Shannon saat itu. Ada perasaan cinta yang semakin membuncah saat pagutan ditukar. Ciuman pertama Shannon diambil Raymond begitu juga sebaliknya. Berharap akan jadi kawan bertukar kecup dan rengkuh sampai akhir. Akhirnya keduanya merenggangkan jarak dan Raymond tak memalingkan wajahnya dari sang puan. Keduanya saling tersenyum dan merasa ada satu kebahagiaan hari ini.

“Shan, ini nggak ada cctv kan?” tanya Raymond.

“Nggak ada, makanya aku ajakin kesini, hehe,” Shannon nyengir.

Tiba-tiba, Cup! Cup! Cup! Raymond memberi kecupan singkat tiga kali berturut turut lagi kepada kekasihnya itu. Shannon terbelalak dan salah tingkah.

“Rayyyy!” katanya sambil menepuk lengan Raymond.

“Haha, sorry, yaudah ayok turun!” ajak Raymond.

“Gendongggg!” rengek Shannon, akhirnya Shannon mengambil posisi jongkok, “sini naik, gendong belakang,” perintah Raymond, Shannon girang dan naik ke punggung Raymond. Keduanya menuruni tangga dengan posisi Raymond menggendong Shannon, dagu Shannon ia taruh di pundak Raymond, “i love you, i love you, i love you,” bisik Shannon di telinga Raymond yang membuat Raymond gemas sampai geleng-geleng

Berulang kali Yoel mengetuk pintu kamar Eugene tapi tidak membuahkan jawaban apapun. Berkali-kali juga sebelum Eugene mengunci diri di kamar, Yoel menegur dan mengajak kakak laki-lakinya itu bicara tapi hasilnya tetap nihil. Yang Yoel dapatkan hanyalah bentakan dari Eugene. Kali ini Yoel dan Michelle tak henti-henti memohon agar Yoel menyudahi usahanya mendobrak kamar Eugene.

“Ko, udah … nanti berantem lagi, jangan…” pinta Michelle sambil mencoba menarik tangan Yoel untuk menjauh dari pintu kamar Eugene.

“Kamu sendiri cium bau rokok kan? Nanti kalau Mama sama Papa pulang gimana?!” bentak Yoel.

“Tapi Michelle nggak mau lihat Ko Yoel sama Ko Eugene berantem lagi!” jerit Michelle, akhirnya saat itu juga Yoel melepaskan genggaman tangan adiknya dan menarik tangan Michelle mengantarkan Michelle ke kamarnya.

“Diem di kamar, jangan keluar sampai koko yang samperin kamu kesini!” perintah Yoel lalu menutup pintu kamar Michelle lalu kembali lagi mendobrak kamar Eugene. Sementara Michelle yang ditinggalkan di dalam kamar hanya bisa menangis dan ketakutan.

“Ko! Buka pintunya anjir! Ko Eugene!!” pekik Yoel nyaring. Tapi hasilnya tetap percuma, tidak ada jawaban dan pergerakan dari Eugene. Hingga akhirnya Yoel sudah ada di puncak emosinya kini ia benar-benar membiarkan menghantamkan tubuhnya ke pintu itu. Ia mendobrak pintu itu sekuat tenaga lalu ia mendapati kakak laki-lakinya itu yang tengah membereskan sesuatu yang berserakan di lantai.

“Itu apa, bangsat?!” Yoel menghampiri Eugene dan melihat beberapa batang rokok berserakan di lantai.

“Lo goblok apa bego?!” teriak Yoel sampai tenggorokannya tercekat. Eugene masih sibuk memasukkan batang rokok itu ke kotaknya, sementara Yoel sudah berdiri di belakang Eugene menahan emosi dan air matanya. Karena tidak berkutik, akhirnya Yoel menarik kerah belakang baju Eugene dan membuat rokok-rokok itu berceceran lagi.

BUG! Satu pukulan langsung mendarat di pipi Eugene dari Yoel. Tapi apa yang terjadi? Eugene hanya mendengus dan menatap Yoel picing, matanya merah dan basah, wajahnya sedikit pucat, bahkan saat berdiri saja ia sedikit terhuyung tapi Eugene tidak melawan Yoel sama sekali.

Kini Yoel sudah mencengkeram kerah baju Eugene dengan kedua tangannya, “lo kenapa anjir, lo mau bikin Papa sama Mama marah lagi?!” kata Yoel dengan penuh amarah. Eugene menggenggam kedua pergelangan tangan Yoel dan berusaha melepaskannya, tapi Yoel masih bersikukuh mencengkeramnya.

“Jawab anjir, Ko!! Lo lupa lo pernah sakit? Lo maunya apa, sih? Hah?!” bentak Yoel lagi, tapi yang Eugene lakukan, ia melepaskan genggamannya terhadap adiknya itu.

“Pukul gue, El… sekarang…” ujarnya lirih.

Yoel terkejut bukan main, ia terdiam tapi Eugene menatapnya tajam, “pukul gue sekarang!!” kata Eugene dengan nada tingginya. Tapi, tangan Yoel menjadi gemetar, ia tidak tahu harus melakukan apa. Bahkan kini air mata sudah mengalir begitu saja di pipi Eugene.

“Cepet pukul gue sepuas lo!” gertak Eugene lagi, bahkan Eugene mengarahkan tangan Yoel ke pipinya tapi Yoel melawan dan enggan melakukannya.

“Gue bukan lo yang ngelakuin suatu hal tanpa alasan, kasih gue alasan kenapa gue harus mukul lo!”

“Pukul gue cepet... pukul...” paksa Eugene tapi suaranya melirih. Hingga akhirnya Yoel melepaskan genggamannya dan mendorong kasar tubuh Eugene menjauh dan membuat Eugene tersungkur di lantai.

“Lo kenapa, sih, Ko?! Kenapa?!” tanya Yoel membentak, jangan kira teriakan-teriakan itu tidak didengar oleh Michelle di kamarnya, ia jelas mendengar suara kedua kakak laki-lakinya itu saling membentak dan Michelle tidak berani untuk melangkah keluar dari kamar.

Eugene yang terduduk di lantai, kini menyeret tubuhnya bersandar di lemari, ia terkekeh sambil menghapus air matanya, “lo nggak akan ngerti,” katanya.

“Lo nggak pernah cerita, lo nggak ngomong ke gue gimana gue bisa ngerti?!” sanggah Yoel.

“Percuma gue cerita juga, sekarang pilihannya cuma dua, lo mau disini dan silahkan tampar gue dan pukul gue, atau lo keluar dari kamar gue?” kata Eugene sambil menata rokoknya lagi ke dalam kotak.

“Gue nggak ngerti sama lo, sumpah!”

“Emang di dunia ini ada yang ngerti gue? Nggak ada juga,” kata Eugene dengan nada pasrah.

Yoel menyeka air matanya dan mengacak rambutnya sendiri dengan kasar, “lo nggak pernah cerita ke gue, lo nggak pernah jelasin ke gue kenapa lo kayak gini, gue nggak akan ngadu ke mama sama papa, tapi kalau papa sama mama tahu sendiri, itu bukan dari gue. Inget itu, ko!” kata Yoel setelahnya lalu keluar dari kamar Eugene itu dan menutup pintunya dengan kasar.

Di sisi lain, ternyata Yoel sempat meraih secarik kertas yang bertengger di meja belajar Eugene sebelum ia keluar dari kamar kakaknya itu. Saat sampai di luar kamar Eugene, Yoel duduk di sofa ruang tamu dan membaca goresan tinta Eugene itu perlahan.

hari ini, gue ketemu seseorang, namanya Felicia, anak dari mantan pacar Papa dulu, tepatnya wanita yang udah jadiin Papa selingkuhan, wanita yang pernah jadi penyebab rumah tangga papa sama mama retak dan bercelah. Dia bilang dia benci setiap lihat gue ataupun anggota keluarga gue. Papanya felicia pernah culik mama dan bikin papa sama mama hampir pisah, tapi dia malah kayak benci banget sama gue, haha dunia lucu ya? Mama nggak salah tapi mamanya felicia jahat banget udah jadi antagonis di cerita kehidupan papa sama mama. Gue nggak ngerti kenapa mereka kayak gitu, jangan tanya gue tau dari mana, jangan panggil gue Eugene kalau nggak tahu apa-apa tentang keluarga ini, gue masih punya tenaga buat cari tau semuanya, gue masih punya tenaga buat lindungi keluarga gue. Semua terjadi sebelum kelahiran gue, sebelum lahir ternyata gue udah bikin susah papa mama ya? Setelah lahir gue sakit sakitan, gunanya gue apa di dunia ini? Sekarang gue nggak berani lihat mata papa ataupun mama, gue nggak ngerti kenapa jalan hidup kayak gini, gue nggak ngerti kenapa sampai kayak gini, kenangan masa kecil juga nggak hilang gitu aja, masih jelas banget gimana waktu Yoel lahir dan keadaan keluarga lagi nggak baik-baik aja, masih jelas di ingatan gue gimana gue gandeng tangan papa dan nunjukin jalan buat papa, itu sakit banget. Gue harap Yoel ataupun Michelle nggak ada yang kayak gue, gagal jadi anak. Maafin Eugene, Pa.. Ma…

Eugene yang masih duduk di lantai bersandar di lemarinya itu hanya bisa tertunduk dan menutup kotak rokoknya lagi, ia menyimpan lagi kotak itu di tasnya, tapi sebelumnya ia ambi dulu satu batang dan ia mainkan dengan jarinya, ia putar-putar dan ia amati satu batang rokok itu. Eugene menyulut lagi rokok yang ada di sela jarinya itu, rokok yang sudah diracik dicampur dengan obat terlarang pemberian temannya.

Eugene sebenarnya sudah berada di depan sekolah Yoel sedari tadi. Usai membaca pesan yang dikirimkan Axel, Eugene pun langsung menuju ke sekolah adiknya itu tapi yang terjadi adalah kesalahpahaman yang membuat keduanya berdebat. Eugene pun mengalah, kalaupun ia menghampiri adiknya ke UKS sekolah, pasti akan lebih ribut lagi apalagi ini di lingkungan sekolah. Tidak ingin menambah keruh keadaan, akhirnya Eugene pulang.

Sesampainya di rumah pun sedang tidak ada siapapun, kedua orang tua mereka masih bekerja dan Michelle, adik Eugene dan Yoel masih harus les dan kemungkinan kembali lagi ke rumah menjelang sore nanti. Akhirnya Eugene pun berjalan ke dapur, membuka kulkas mencari air dingin untuk ia minum. Tapi, saat membuka kulkas, ia melihat sebuah cup kopi, ia mengambilnya. Tepat di cup itu tertulis “Buat Ko Eugene, semangat begadang” tangan Eugene sedikit gemetar saat membaca tulisan itu. Ia langsung menaruh cup kopi itu di atas meja makan dan ia duduk di kursi yang ada di sana.

Eugene memijit keningnya dengan jarinya sendiri, sungguh ia merasa bersalah terhadap Yoel. Eugene juga teringat tadi ia sempat mengirim kata-kata kasar kepada adiknya itu. Sungguh, Eugene terbakar emosi tadi dan sekarang ia menyesal. Setengah mati Eugene memikirkan dengan cara apa ia harus meminta maaf kepada adiknya itu. Belum sempat menemukan cara, ia melihat Axel dan Yoel yang datang. Yoel berboncengan dengan Axel dan saat turun dari motor hendak memasuki rumah pun Yoel masih harus dituntun. Maka Eugene pun cepat-cepat menghampiri Yoel dan Axel.

“Axel, makasih ya udah anterin Yoel.” Eugene yang kini berdiri di ambang pintu rumah membuat Axel tersenyum dan mengangguk.

“Iya ko, sama-sama. Kalau gitu gue pamit ya, Ko.” Axel tidak lupa menunjukkan sopan santunnya sebagai sahabat Yoel dengan memberi salam dan berpamitan kepada Eugene.

“Yo! Hati-hati, nggak usah ngebut!” kata Eugene.

“Makasih, bray!” kata Yoel juga sambil mengacungkan jempol kepada Axel yang sedang memakai helmnya. Axel mengangguk dan tersenyum sebelum melajukan motornya dari sana.

Yoel pun langsung masuk ke rumah tanpa menoleh menatap kakak laki-lakinya itu. Eugene menghela napas panjang sebelum berjalan menyusul Yoel, ia meraih tangan adiknya itu karena melihat langkah Yoel yang masih terseok tapi yang Yoel lakukan adalah menghempaskan tangan Eugene.

“Lepas!” kata Yoel kasar. Tapi yang Eugene lakukan adalah meraih tangan Yoel dan membuat satu tangan Yoel bertengger di pundaknya dan berniat memapah Yoel. Dengan cepat Yoel melepaskannya lagi, tas yang ia gendong ia lepas dan banting ke lantai begitu saja, hal itu membuat Eugene tercengang.

“Lo kenapa sih?!” bentak Yoel.

“Kenapa? Gue Cuma peduli sama adek gue, salah? Iya?” tanya Eugene.

“Stop peduli sama gue karena Cuma bikin gue ngerasa jadi anak yang lemah nggak bisa apa-apa!” Yoel menatap tajam Eugene dengan mata yang memerah.

“Gue kakak lo! Gue berhak buat lindungin adek gue sendiri! Salahnya dimana?!” nada bicara Eugene pun kini meninggi. Eugene jelas melihat ujung bibir Yoel yang berdarah, kaki kiri Yoel yang masih harus di fisioterapi juga sesekali diusap Yoel dengan tangannya sendiri, wajah Yoel pun menyiratkan bahwa ia kesakitan.

“Salah karena gue jadi ngerasa nggak bisa apa-apa! Nggak berguna! Itu yang gue rasain! Biarin gue berdiri di atas kaki gue sendiri sekarang, toh gue kan ngerepotin lo doang, ngerepotin keluarga ini kan?!”

“DEK!” Bentak Eugene seketika, Yoel langsung enggan menatap wajah kakaknya itu, Yoel langsung berjalan dengan sedikit menyeret kaki kirinya yang sakit tapi ia hampir terjatuh, sigap Eugene langsung meraih tubuh adiknya itu tapi Yoel langsung menolak dan menghempaskan tubuh kakaknya hingga Eugene terhuyung tapi Yoel malah jatuh ke lantai.

Tas yang ada di dekat Yoel ditendang Yoel dengan kaki kanannya, “STOP BIKIN GUE MERASA NGGAK BISA APA-APA!” jerit Yoel sampai suaranya serak, sedetik ia tenang, sedetik kemudian ia mulai terisak. Jujur, hati Eugene sakit melihatnya. Yoel memang beberapa kali sempat dibully karena tidak naik kelas di semester lalu hal itu beberapa kali mengganggu Yoel dan keadaan batin Yoel, dan sekarang ia sampai terlibat perkelahian padahal keadaan kesehatan fisiknya belum pulih sepenuhnya. Eugene merasakan sesak di dadanya, benar-benar sesak melihat adiknya menangis seperti itu. Akhirnya Eugene kesampingkan egonya, ia berjalan mendekat ke arah Yoel dan berlutut di depan Yoel.

“Lo kenapa nggak ngelawan mereka? Axel bilang lo diem aja, kenapa??!” Eugene bertanya dengan nada tinggi.

Yoel masih tertunduk, “mereka bilang gue bodoh, dan gue merasa nggak bodoh, jadi gue nggak ngelawan. Tapi mereka nyerang gue duluan, omongan itu beneran lebih nyakitin dari pukulan yang gue terima. Gue dikatain tolol, malu-maluin, haha… banyak…” ia tertawa pedih.

“Pernah keluarga kita bilang malu karena lo? Enggak kan?”

“Tapi orang lain malu.”

“Mereka bukan siapas-siapa, Yoel!”

Yoel mendongak, menarik satu sudut bibirnya, tertawa di atas air mata yang terus jatuh, “mereka itu yang gue temuin setiap hari di sekolah dimana waktu gue di rumah pun lebih sedikit, kan? Tapi omongan nyakitin dari orang-orang tuh ngebekas banget. Lo nggak ngerti kan? Ya nggak lah, kan lo selalu perfect dalam hal apapun.”

“Siapa bilang? Lo pernah tahu emang berapa mata kuliah yang gue harus ulang? Lo pernah tau nggak gue pernah sakit apa aja makanya gue nggak bisa banyak olahraga kayak lo. Bebas basket, renang, futsal, itu lo sebut gue perfect?” kini Eugene lebih menghaluskan cara bicaranya. Yoel terdiam, ia tertegun tak mengalihkan pandangan dari kakak laki-laki di hadapannya itu.

“Karena gue bangga sama lo, gue nggak akan biarin satu orang pun hancurin lo dan ngebully lo yang udah bikin gue bangga jadi kakak. Lo boleh nggak naik kelas kemarin, but see, previous mid term you can get first rank, I’m a proud brother… all of our family so proud of you.” Kalimat Eugene ditelaah baik-baik oleh Yoel, anak lelaki itu tidak bisa menyanggah apapun dan tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Tangan Eugene bergerak mengusap pergelangan pelan kaki kiri Yoel, “fisioterapi lagi, biar ini sembuh, biar bisa basket, futsal, renang, biar nggak sakit lagi. Karena gue nggak bisa lakuin itu semua, lo aja yang lakuin, gue lihatnya udah seneng banget, beneran. Ya?” katanya.

Yoel ingin meledak dalam tangis saat ini juga, tapi ia tahan mati-matian. Air matanya masih terus mengalir dan ia masih mendengarkan penuturan Eugene, “gue nggak se sehat lo, gue nggak sekuat lo karena waktu kecil gue sempat sakit yang cukup serius dan harus konsumsi obat jangka waktunya pun hitungan tahun, bukan hari doang. Gue bangga, gue seneng kalau lo bisa lakuin apa yang lo mau. Gue nggak pernah merasa terbebani, gue nggak pernah merasa lo malu-maluin, nggak berguna atau nggak bisa apa-apa. Malah gue ngerasa lo udah nunjukin sisi terbaik diri lo. Tapi satu hal yang gue nggak mau lihat… gue nggak mau lihat adik gue terluka dan down, itu. Siapapun yang mau jatuhin adik gue, hadepin gue langsung.”

Seketika menggema lah tangisan Yoel, ia tidak bisa menahannya lagi, ia melipat lututnya dan melipat tangannya di atasnya lalu membenamkan wajahnya di sana. Punggung Yoel bergetar bukan main. Eugene mendekat dan mengusap punggung Yoel pelan.

“Maaf kalau gue tadi kasar banget sama lo, maaf kalau omongan gue juga nyakitin lo, Dek… maaf ya…” ujar Eugene menyesal. Eugene pun duduk di sebelah adiknya itu lalu merangkul Yoel dari samping sesekali mengusap kepala adiknya dan mengacak rambut Yoel pelan.

“Jagoan jangan nangis gitu, ah. Mana gebrakannya?” Eugene mencoba mencairkan suasana.

Yoel perlahan menjadi lebih tenang, Yoel menoleh dan menatap kakaknya itu. “Ko…” katanya. Eugene mengangkat alisnya seakan bertanya.

“Jangan bilang Papa sama Mama, ya,” kata Yoel lirih. Eugene tersenyum dan mengangguk.

“Anyway, ada kopi di kulkas gue beli buat lo, Ko. Diminum ntar ya,” kata Yoel sambil tersenyum tipis.

“Makasih ngab!” kata Eugene sambil terkekeh yang membuat Yoel juga terkekeh meski dengan harus menyeka air matanya sendiri. “Once again please remember that I’m so proud of you,” kata Eugene sekali lagi sambil merangkul adiknya itu. Yoel tersenyum haru, ia mengangguk, “I’ll make this family proud of me,” katanya bersemangat. Eugene mengacungkan ibu jarinya lalu mengacak lagi rambut adiknya itu.

“Kayak gembel banget tapi ini kita ngemper nyender di belakang sofa gini,” celetuk Eugene, Yoel terbahak, “ya udah simulasi diusir Mama Papa kalau kita berulah,” balas Yoel.

“Nah, kalau bagian diusir gue nggak dulu,” kata Eugene sambil menyentil jidat Yoel pelan.

“Ko!!!” rengek Yoel.

Sudah sekitar setengah jam Yoel berada di rumah Opanya dan Omanya itu tapi belum juga anak lelaki itu menjawab pertanyaan Lea ataupun Jeremy mengapa ia nampak sedih. Pertanyaan lain di jawab, tapi tidak dengan pertanyaan, “Yoel kenapa sama orang rumah?” pasti Yoel langsung mengalihkan pembicaraan.

“Yoel mau makan nggak?” tanya Lea yang duduk di sofa tempat Yoel berbaring dan memainkan ponselnya, Yoel menatap Lea dan menggeleng.

“Mau ke timezone nggak?” timpal Jeremy yang sedang lewat membawa gelas hendak mengambil air.

“Mauuu!!” seru Yoel girang sambil mengangkat kedua tangannya.

“Tapi bulan depan, hehe,” tawa Jeremy sambil menuangkan air ke dalam gelas yang ia pegang. Yoel kembali mendengus kesal.

Lea pun mengusap kepala cucunya itu, menyisir rambut Yoel ke belakang dengan jarinya dan bertanya, “ini cucu oma kenapa sih mukanya ditekuk gitu? Bilang ke oma aja, nggak usah ke opa. Yoel kenapa?”

Sementara Jeremy pun mendekat ke sana duduk di sofa yang berhadapan dengan sofa tempat Lea dan Yoel duduk. Jeremy menyandarkan tubuhnhya sambil memandang cucunya itu, sesekali Yoel menatap Jeremy dan Jeremy menggoda cucunya dengan meledek menaikkan alisnya sambil tersenyum smirk.

“Omaaa, itu opa ngeledekin Yoel.” Yoel mengadu kepada Lea.

Ishhh!” Lea melempar bantal ke arah Jeremy yang membuat Jeremy malah terkekeh.

“Yoel kenapa nak? Yoel ganteng kenapa ngambekan kayak Omanya, hm?” kata Jeremy yang membuat Letta semakin melotot menatap suaminya itu.

“Ampun baginda ratu, ampun!” balas Jeremy sambil mengatupkan kedua telapak tangannya dan menundukkan kepalanya seperti meminta ampun kepada Lea.

“Sebel aja, sebel dikit, segini sebelnya, envy exactly.” Yoel memosisikan jari telunjuk dan ibu jarinya menempel dan jarinya ia dekatkan ke depan matanya. Hal itu sedikit membuat Lea dan Jeremy terkekeh. Lea pun menarik lengan Yoel dan memintanya duduk di sebelahnya. Akhirnya Yoel duduk bersebelahan dengan Omanya itu dan Lea merangkul Yoel.

“Kenapa? Sebel kenapa? Envy sama siapa?” tanya Lea lembut.

“Udah punya cewek ya kamu? Envy karena cewek?” tanya Jeremy tiba-tiba.

Yoel menghela dan mengembuskan napas panjang dan memutar bola matanya, “bukan pacar, cemburu sama koko hehe.”

“Lah? Kenapa?” tanya Jeremy.

“Nggak cemburu yang gimana gimana sih, cuma tadi Papa upload foto berdua sama Ko Eugene terus captionnya manis banget, tapi Papa sama Koko bajunya hampir samaan gitu, Yoel nggak diajak. Nggak punya baju yang kayak gitu juga. Udah sih, itu aja, nggak penting kan, hehe.” Yoel berkata diakhiri senyumannya. Jeremy pun berpindah posisi di sebelah kiri Yoel, kini Yoel ditengah di antara Opa dan Omanya. Jeremy mencubit hidung Yoel pelan, “lucu amat cemburu sama kokonya sama papanya,” kata Jeremy.

“Ya Yoel belum pernah digituin,” kata Yoel cemberut.

“Haha, kemarin katanya Papa kembaran sepatu sama Yoel, kan? Yang jordan itu?” ujar Lea yang membuat Yoel memutar kembali memorinya.

“Minggu kemarin kan Yoel kesini sama Papa pake sepatu samaan, beli jordan samaan, kan? Koko dibeliin nggak? Enggak kan?” tanya Lea.

“Koko dibeliinnya sepatu basket, sih,” jawab Yoel.

“Nah itu, satu sama dong, kamu sama Papa kembaran jordan, Koko sama Papa kembaran baju, right?” Jeremy mengacak rambut Yoel pelan. Yoel mengangguk pelan, “iya sih, Opa.”

“Nah, nggak usah ngambek-ngambek.” Lea mencubit pelan pipi cucunya itu.

“Lupa kalau kemarin udah kembaran jordan sama Papa, hehe,” ujar Yoel sambil menggaruk kepalanya.

“Nggak perlu iri, nggak perlu kesel, setiap anak ada porsinya masing-masing. Status WhatsApp Papa kamu juga lebih banyak posting tingkah kamu daripada koko, jadi nggak papa kan kalau Papa upload foto sama koko? Hampir tiap hari itu muka kamu ada di story Papa kamu. Iya nggak?” kata Lea lagi yang membuat Yoel mengangguk.

“Iya, sih, Oma. Hehe… tadi cemburu dikit aja,” jawab Yoel sambil tersenyum lebar.

“Opa juga cemburu ah sama kamu,” ledek Jeremy. Yoel kembali memutar bola matanya lalu menyenggol lengan Opanya itu.

“Nggak usah cemburu cemburuan lagi, Papa sama Mama kamu tuh sayang sama semua anak-anaknya sama porsinya. Nggak ada yang lebih nggak ada yang kurang, Opa tahu gimana Papa sama Mama kamu mendidik kalian. Sifat setiap anak, karakter setiap anak, itu semua berbeda. Cara orang tua kamu menunjukkan bangganya mereka ke anak-anak juga beda. Eugene itu tipikal anak yang cuek kan kalau di rumah? Kalau kamu sama Icel cenderung lebih banyak aktifnya, Eugene nggak bisa yang diajak ngobrol terus dipuji di depannya atau di depan orang-orang gitu, jadi mungkin cara Papa kamu nunjukin bangganya ke Eugene ya begitu. Kalau Papa kamu banggain kamu di depan orang jangan ditanya, calon menpora yang bisa ranking satu kemarin waktu mid term, temen kantor kalau nanyain kamu diceritain semua tuh, gitu.” Perkataan Jeremy benar-benar membuat Yoel mengerti kalau cara orang tua menunjukkan rasa bangga terhadap setiap anak itu berbeda.

“Iya, ya, Opa…” Yoel mengangguk-angguk.

Saat ketiganya sedang lanjut mengobrol, tiba-tiba pintu rumah diketuk seseorang. Lea pun beranjak membukakan pintu sementara Jeremy dan Yoel masih di sana saling bercanda ringan. Tapi seseorang masuk bersama Lea, Yoel mengadahkan kepalanya melihat sosok yang datang, Papanya di sana.

“Papa?” Yoel kaget.

“Kenapa ngambek? Kata Opa mukanya ditekuk tadi?” tanya Jevin sambil duduk di sebelah Yoel.

“Tadi katanya cem⎯” Jeremy hendak berbicara tapi Yoel menatap Jeremy dan kontak mata yang dilakukan seakan memohon agar tidak mengatakannya.

“Nggak tau tuh, kalah mabar sama temen kali,” tukas Lea sambil menahan tawa.

“Mabar mulu, sekolah, cil.” Jevin berkata sambil mencubit pelan pipi Yoel, anaknya itu hanya meringis sambil terkekeh. Tapi, tiba-tiba Yoel memeluk Papanya itu sebentar, sepersekian detik lalu melepaskannya.

“Kenape nih, kenape nih? In a sudden banget?” ledek Jeremy.

Yoel menyandarkan kepalanya di pundak papanya itu lalu menjulurkan lidah ke arah Jeremy, “ayo opa kembaran jordan, hehe,” kata Yoel.

“Nggak ada beli jordan lagi buorroooss!” timpal Lea dari meja makan yang sedang membuatkan minum untuk Jevin.

Yoel, Jeremy dan Jevin tertawa setelahnya. Jevin merangkul anaknya itu, “kenapa tadi ngambek terus ngungsi kesini?” tanya Jevin berbisik. Yoel hanya menggeleng, Jeremy paham, ia pun beranjak dari sana meninggalkan Jevin dan Yoel agar bicara berdua.

“Ngambek ngungsi ke rumah Opa Oma adalah lagu wajib Christiano Yoel Geneva Adrian, ya?” ledek Jevin sambil menyandarkan tubuhnya di sofa diikuti Yoel.

“Pa,” panggil Yoel lirih sambil menoleh menatap Papanya itu.

“Apa? Minta duit?”

Yoel menggeleng, “Papa bangga nggak sama Yoel?” tanyanya.

Jevin sempat menatap heran anaknya ini, dan Jevin pun memberanikan diri menjawab, “bangga lah, udah bisa level up ke ranking satu, aktif ikut kegiatan sekolah, kepilih turnamen basket, ikut choir. Gimana papa nggak bangga sama kamu?”

Yoel tersenyum dan mengangguk, “makasih Papa,” katanya. Jevin pun merangkul anaknya itu setelahnya. Lea dan Jeremy yang melihat dari kejauhan pun saling berbisik betapa Jevin sangat berbeda saat masih remaja dan saat sudah berumah tangga. Jeremy dan Lea sangat bangga akan sikap anaknya itu. Meskipun tingkah Jevin di masa muda sangat membuat setiap orang mengelus dada dan meminta ampun kepada Tuhan, tapi perubahan sikap Jevin sekarang dan pola pikir Jevin serta bagaimana bijaknya Jevin sebagai seorang ayah memang patut diacungi jempol, Jeremy dan Lea bersyukur tiada terhingga. Senyum yang merekah di wajah Jeremy dan Lea adalah wujud kebanggaan orang tua terhadap anaknya juga, sama seperti senyum bangga Jevin kepada Yoel.

Yoel beranjak dari tempat tidurnya, meraih meja di sebelah ranjangnya untuk berpegangan, ia mencoba untuk tidak menggunakan tongkatnya. Perlahan, Yoel menapakkan kakinya di lantai, kaki kanannya berhasil memijak dengan aman di lantai. Kini giliran kaki kirinya yang cidera, Yoel perlahan mendaratkan telapak kakinya, tapi tiba-tiba, “Argggghhh,” rintihnya saat ia terjatuh begitu saja ke lantai. Hal itu membuyarkan Eugene yang ternyata sedang mengerjakan tugas kuliahnya di ruang tamu.

Secepat kilat Eugene berlari dan membuka pintu kamar adik laki-lakinya itu, ia mendapati Yoel terduduk di lantai sambil memegangi pergelangan kakinya. Eugene pun langsung berlutut di depan Yoel dan bertanya dengan sedikit panik, “lo kenapa, anjir, kok begini?”

Yoel hanya meringis, “sakit hehe, tadi coba berdiri gitu aja, nggak bisa ternyata,” katanya.

Ctaakkk! Eugene menyentil dahi Yoel yang membuat Yoel semakin merintih dan merengek kesakitan.

Plakk! Yoel gantian menepuk lengan kakaknya itu, “lo kejam banget sumpah, sakit tahu, Ko!”

“Makanya jangan suka ngide sendiri, jatuh, kan?” Eugene sedikit ngomel tapi tetap saja, tangan Yoel ia lingkarkan taruh di pundaknya dan ia membantu Yoel untuk duduk di tempat tidur lagi.

“Diem disini, kalau mau apa-apa bilang, gue di ruang tamu.” Eugene hendak beranjak dari sana tapi Yoel menarik tangan kakaknya itu membuat Eugene menoleh lagi, “kenapa?” tanyanya.

“Duduk bentar, Ko.” Yoel memohon. Akhirnya Eugene duduk di ranjang Yoel tepat di sebelah adiknya. Yoel meraih sesuatu yang ia sembunyikan di balik bantal di sebelahnya. Sebuah kotak ia berikan kepada Eugene yang membuat Eugene kebingungan, “apaan, nih?” tanya Eugene.

Yoel menghela napas panjang dan berkata dengan sedikit menunduk, entah karena malu atau canggung karena baru kali ini ia memberikan hadiah untuk kakaknya itu.

“Ko, gue malu sih sebenernya, but this is a small gift for you, makasih buat lo karena selalu ada waktu gue butuh, walaupun lo galak tapi lo baik, walaupun lo cuek kadang tapi lo perhatian. Walaupun kita jarang punya waktu tapi gue selalu berdoa biar apapun yang lo kerjain diberkati Tuhan. Semangat ya, Ko... kuliah sama kerja part timenya, jangan sampai sakit. Gue nggak pernah kasih kado ke lo selama lo ulang tahun selama ini, tapi tenang aja ini gue nabung sendiri kok belinya, hehe. Semoga lo suka ya, Ko.” Ucapan Yoel direspon baik oleh Eugene.

Eugene pun membuka kotak itu, matanya berbinar melihat jam tangan berwarna hitam di sana dan ia langsung memasangnya di pergelangan tangannya, senyumnya tidak luntur. Usai memasangnya, ia menunjukkan pergelangan tangannya kepada Yoel dimana jam yang Yoel beli sudah terpasang dengan pas.

“Cocok banget di lo!” kata Yoel sambil mengacungkan jempol.

Eugene mengacak rambut Yoel lalu menepuk pundak Yoel beberapa kali, “makasih ya, dek. Walaupun mungkin di mata lo tuh gue cuek, sibuk, galak dan apapun itu, tapi kalau lihat lo sakit gue juga nggak tega, kali. Denger lo cerita kalau ada yang bully lo juga gue nggak terima. Makasih ya, terharu loh gue,” kata Eugene. Sementara Yoel hanya tersenyum dan mengangguk-angguk. Tapi, saat itu Eugene memeluk Yoel dan mengusap punggung adiknya itu.

“Makasih ya, I'm proud to be your brother, jangan pernah mikir gimana-gimana because that what's brothers do,” kata Eugene lalu merenggangkan pelukan.

“Malu nggak Ko, punya adek kayak gue?” tanya Yoel.

Eugene menggeleng cepat, “I said I'm proud.”

“Makasih ya, Ko. Udah jadi kakak yang baik dan ngasih contoh yang baik. Lo jangan sakit ye, nanti yang ngejitak gue sama nyentil jidat gue siapa,” goda Yoel. Eugene terkekeh tapi langsung mendekat ke arah Yoel mengacak lagi rambut Yoel lalu merangkul adiknya itu, perlahan rangkulannya berubah menjadi lengannya yang mengunci leher Yoel sampai Yoel tertawa dan merengek bersamaan.

“Lo mau berterima kasih apa ngejekin, hah,” kata Eugene sambil menjitak kepala Yoel lalu melepaskannya. Keduanya terbahak saat menyadari rambut Yoel yang sudah berantakan bukan main.

“Dua duanya, hehe,” balas Yoel.

Tanpa mereka sadari Jevin ternyata ada di balik pintu kamar Yoel, hendak masuk tapi Jevin melihat kedua anaknya itu sedang berbicara serius sampai Jevin tidak beranjak dari sana. Melihat Eugene dan Yoel seperti ini cukup menenangkan hati Jevin. Beda cerita kalau sudah ada keributan, Jevin hanya bisa geleng-geleng kepala.

Yoel beranjak dari tempat tidurnya, meraih meja di sebelah ranjangnya untuk berpegangan, ia mencoba untuk tidak menggunakan tongkatnya. Perlahan, Yoel menapakkan kakinya di lantai, kaki kanannya berhasil memijak dengan aman di lantai. Kini giliran kaki kirinya yang cidera, Yoel perlahan mendaratkan telapak kakinya, tapi tiba-tiba, “Argggghhh,” rintihnya saat ia terjatuh begitu saja ke lantai. Hal itu membuyarkan Eugene yang ternyata sedang mengerjakan tugas kuliahnya di ruang tamu.

Secepat kilat Eugene berlari dan membuka pintu kamar adik laki-lakinya itu, ia mendapati Yoel terduduk di lantai sambil memegangi pergelangan kakinya. Eugene pun langsung berlutut di depan Yoel dan bertanya dengan sedikit panik, “lo kenapa, anjir, kok begini?”

Yoel hanya meringis, “sakit hehe, tadi coba berdiri gitu aja, nggak bisa ternyata,” katanya.

Ctaakkk! Eugene menyentil dahi Yoel yang membuat Yoel semakin merintih dan merengek kesakitan.

Plakk! Yoel gantian menepuk lengan kakaknya itu, “lo kejam banget sumpah, sakit tahu, Ko!”

“Makanya jangan suka ngide sendiri, jatuh, kan?” Eugene sedikit ngomel tapi tetap saja, tangan Yoel ia lingkarkan taruh di pundaknya dan ia membantu Yoel untuk duduk di tempat tidur lagi.

“Diem disini, kalau mau apa-apa bilang, gue di ruang tamu.” Eugene hendak beranjak dari sana tapi Yoel menarik tangan kakaknya itu membuat Eugene menoleh lagi, “kenapa?” tanyanya.

“Duduk bentar, Ko.” Yoel memohon. Akhirnya Eugene duduk di ranjang Yoel tepat di sebelah adiknya. Yoel meraih sesuatu yang ia sembunyikan di balik bantal di sebelahnya. Sebuah kotak ia berikan kepada Eugene yang membuat Eugene kebingungan, “apaan, nih?” tanya Eugene.

Yoel menghela napas panjang dan berkata dengan sedikit menunduk, entah karena malu atau canggung karena baru kali ini ia memberikan hadiah untuk kakaknya itu.

“Ko, gue malu sih sebenernya, but this is a small gift for you, makasih buat lo karena selalu ada waktu gue butuh, walaupun lo galak tapi lo baik, walaupun lo cuek kadang tapi lo perhatian. Walaupun kita jarang punya waktu tapi gue selalu berdoa biar apapun yang lo kerjain diberkati Tuhan. Semangat ya, Ko... kuliah sama kerja part timenya, jangan sampai sakit. Gue nggak pernah kasih kado ke lo selama lo ulang tahun selama ini, tapi tenang aja ini gue nabung sendiri kok belinya, hehe. Semoga lo suka ya, Ko.” Ucapan Yoel direspon baik oleh Eugene.

Eugene pun membuka kotak itu, matanya berbinar melihat jam tangan berwarna hitam di sana dan ia langsung memasangnya di pergelangan tangannya, senyumnya tidak luntur. Usai memasangnya, ia menunjukkan pergelangan tangannya kepada Yoel dimana jam yang Yoel beli sudah terpasang dengan pas.

“Cocok banget di lo!” kata Yoel sambil mengacungkan jempol.

Eugene mengacak rambut Yoel lalu menepuk pundak Yoel beberapa kali, “makasih ya, dek. Walaupun mungkin di mata lo tuh gue cuek, sibuk, galak dan apapun itu, tapi kalau lihat lo sakit gue juga nggak tega, kali. Denger lo cerita kalau ada yang bully lo juga gue nggak terima. Makasih ya, terharu loh gue,” kata Eugene. Sementara Yoel hanya tersenyum dan mengangguk-angguk. Tapi, saat itu Eugene memeluk Yoel dan mengusap punggung adiknya itu.

“Makasih ya, I'm proud to be your brother, jangan pernah mikir gimana-gimana because that what's brothers do,” kata Eugene lalu merenggangkan pelukan.

“Malu nggak Ko, punya adek kayak gue?” tanya Yoel.

Eugene menggeleng cepat, “I said I'm proud.”

“Makasih ya, Ko. Udah jadi kakak yang baik dan ngasih contoh yang baik. Lo jangan sakit ye, nanti yang ngejitak gue sama nyentil jidat gue siapa,” goda Yoel. Eugene terkekeh tapi langsung mendekat ke arah Yoel mengacak lagi rambut Yoel lalu merangkul adiknya itu, perlahan rangkulannya berubah menjadi lengannya yang mengunci leher Yoel sampai Yoel tertawa dan merengek bersamaan.

“Lo mau berterima kasih apa ngejekin, hah,” kata Eugene sambil menjitak kepala Yoel lalu melepaskannya. Keduanya terbahak saat menyadari rambut Yoel yang sudah berantakan bukan main.

“Dua duanya, hehe,” balas Yoel.

Tanpa mereka sadari Jevin ternyata ada di balik pintu kamar Yoel, hendak masuk tapi Jevin melihat kedua anaknya itu sedang berbicara serius sampai Jevin tidak beranjak dari sana. Melihat Eugene dan Yoel seperti ini cukup menenangkan hati Jevin. Beda cerita kalau sudah ada keributan, Jevin hanya bisa geleng-geleng kepala.

Yoel yang hari ini memang pulang bersama Shallom memilih untuk mampir ke sebuah cafe untuk membeli minuman sejenak.

“Shall, take away kan?” tanya Yoel saat keduanya berdiri di depan kasir. Shallom yang sedang memainkan ponselnya mengangkat wajah sejenak lalu mengangguk. Sembari menunggu pesanan mereka dibuat, keduanya duduk di bangku yang ada di sana dan Axel mengirimkan pesan kepada Yoel. Setelah membaca pesan dari Axel itu, Yoel refleks menepuk jidatnya.

“Astagaaaa!” Kata Yoel.

“Kamu kenapa?” tanya Shallom.

“Shall, hari ini Sammy ulang tahun. Kamu udah ngucapin belum?” tanya Yoel. Shallom tidak kalah terkejut, karena ia sendiri belum mengetahuinya.

“Aku nggak tahu. Tadi di kelas juga diem diem aja, ih astaga…”

“Ini Axel chat aku. Dia lagi sama Sammy di deket sini, mau surprisein Sammy nggak? Kita beli slice cake atau cupcake disini aja, udah nggak keburu banget ini kalau mau ke mall cari tart.” Yoel memberikan usul yang langsung disetujui Shallom. Yoel pun langsung memesan cupcake dan dua minuman lagi untuk Sammy dan Axel. Mungkin dengan kejutan sederhana ini bisa menghibur Sammy yang sedang merayakan hari specialnya. Akhirnya setelah beberapa menit menunggu, pesanan mereka datang dan mereka beranjak dari sana.

“Sammy sama Axel dimana?” tanya Shallom yang berjalan di sebelah Yoel keluar dari cafe itu.

“Di deket cafe ini. Motor biar disini dulu ya, kita kesana jalan aja. Deket banget soalnya, mau?”

Shallom tersenyum dan mengangguk antusias. Maka Yoel dan Shallom pun berjalan menuju tempat yang diberitahukan Axel kepada Yoel. Tak butuh waktu lama untuk menyusuri jalanan. Mereka tiba di sebuah taman yang tidak ramai sama sekali kala itu, langit jam empat sore masih terlihat cerah menemani Yoel dan Shallom yang menyiapkan lilin di atas cake yang mereka beli tadi. Sementara Yoel sudah memberitahu Axel lewat chat agar mengalihkan perhatian Sammy entah dengan mengajaknya mengobrol atau mengulur waktu agar tidak beranjak dari sana.

Sembunyi di balik pohon, Shallom dan Yoel bersiap siap memberikan memberikan kejutan. Keduanya berjalan mengendap dan Shallom sudah bertukar kontak mata dengan Axel dan memberi kode agar bersiap-siap. Tak ada curiga dari Sammy hingga akhirnya, “SURPRISEEEE!! Happy birthday!!” Seru Yoel, Shallom dan Axel hampir bersamaan. Betapa terkejutnya Sammy saat melihat kedua sahabatnya yang lain ada di sana Mata Sammy langsung berkaca-kaca seketika melihat Yoel dan Shallom membawa sebuah kue dan lilin di atasnya. Saat itu juga Shallom, Yoel dan Axel langsung menyanyikan lagu Happy Birthday untuk Sammy.

Tapi seperti apa yang Mevin katakan tadi, Papa dari Shallom itu melihat mereka. Mevin yang tak sengaja ada di dekat sana pun turun dari mobilnya. Mengamati dari jarak beberapa meter. Mevin bisa melihat betapa bahagianya Shallom bersama Yoel, Sammy dan Axel. Selama ini Mevin belum pernah mendapat cerita yang kurang baik dari anak anak ini. Mevin melihat bagaimana Sammy sangat bahagia dan nampak sumringah meniup lilin dan berfoto bersama ketiga sahabatnya itu. Mevin melihat bagaimana satu per satu dari mereka memeluk Sammy dan mengucapkan doa serta harapan untuk Sammy di ulang tahun kali ini. Meskipun Mevin melihat Shallom memeluk Sammy, ia biarkan saja, Mevin paham bagaimana mereka bersahabat selama ini. Akhirnya saat mereka berempat tengah berfoto bersama, Mevin berjalan ke arah mereka.

“Om Mevin?” kata Sammy yang pertama kali menyadari kehadiran Mevin di sana. Maka Shallom, Yoel dan Axel juga ikut menoleh. Benar saja Mevin sudah ada di sana tersenyum kepada mereka. Maka cepat cepat Yoel, Sammy dan Axel memberi salam mencium tangan Mevin.

“Papa ngapain kesiniiii…” Shallom protes.

“Emang papa kesini nyamperin Shallom? Orang mau ngucapin selamat ulang tahun buat Sammy,” balas Mevin. Yoel dan Axel hanya menahan tawa, sementara Shallom mendelik bingung dengan sikap Papanya itu. Mevin memegangi kedua pundak Sammy lalu berkata, “Sammy, Happy birthday ya. Om doakan yang terbaik buat Sammy. Panjang umur dan sehat selalu ya anak baik, semoga di usia sekarang kamu semakin jadi kebanggaan keluarga dan diberi Tuhan kebahagiaan. Nggak usah takut sama masa depan karena udah dipegang sama Tuhan, ya?” Mevin berkata sambil mengusap kepala Sammy. Jujur saja jangankan Sammy, Yoel, Shallom dan Axel yang mendengar ucapan Mevin pun merasa terharu. Terlebih mereka semua tahu bagaimana keadaan keluarga Sammy. Terlebih saat Sammy dipeluk oleh Mevin. Sammy menahan tangisnya kuat-kuat. Sosok Mevin memang sangat baik kepadanya.

“Om terima kasih banyak, lagi dan lagi saya nggak tahu gimana harus berterima kasih sama Om Mevin. Terima kasih banyak, Om.” Sammy terharu bukan main saat Mevin memeluknya.

Saat pelukan direnggangkan, Mevin menatap Sammy, “sama-sama, harus bahagia ya hari ini pokoknya!” Sammy mengangguk dan tersenyum.

“Axel, ya?” tanya Mevin saat menatap Axel. Lelaki itu mengangguk dan tersenyum, “iya om, saya Axel,” katanya.

“Axel terima kasih sudah nolongin Shallom waktu itu katanya sampai luka dan jatuh, ya? Gimana? Udah mendingan kan?” tanya Mevin.

“Aman kok, Om! Sama sama, kami berdua baik baik aja kok, that’s what bestfriend for,” balas Axel. Mevin tersenyum lalu gantian menatap Yoel, “Yoel makasih ya udah jagain Shallom juga, makasih udah jadi sahabat dan saudara yang ngertiin Shallom. Yoel, Sammy, Axel, Shallom, semoga persahabatan kalian awet terus ya,” ujar Mevin.

“Iya om,” kata mereka bertiga hampir bersamaan sementara Shallom hanya tersenyum haru melihat bagaimana Papanya melakukan hal yang membuatnya tersentuh apalagi saat memeluk Sammy tadi.

“Sini Om fotoin kalian, dari tadi fotonya gantian terus, gih foto berempat.” Mevin memerintahkan mereka berempat mengatur posisi foto dan langsung dituruti oleh anak anak itu. Akhirnya beberapa pose diabadikan dengan formasi lengkap, Yoel, Shallom, Sammy dan Axel. Pose saling merangkul, saling menunjuk, pose candid sekalipun Mevin abadikan.

Saat Mevin berpamitan dari sana dan sudah mengambil langkah beberapa meter, Sammy mengejar Mevin menahan langkah Mevin. “Ada apa, Sam?” Tanya Mevin ramah.

“Om, terima kasih udah peluk saya. Beneran, saya tadi pengen nangis karena inget mendiang Ayah. Di ulang tahun saya yang kesekian setelah ditinggal Papa akhirnya saya bisa ngerasain pelukan Ayah. Walaupun Om Papanya Shallom tapi udah cukup bikin saya bahagia. Makasih sekali lagi doa dan ucapannya, Om.” Sammy berkata dengan sungguh.

“Sama-sama, Om juga doakan kamu biar kamu merasakan kasih dari orang-orang sekitar kamu. Papa kamu pasti bangga sama kamu.” Mevin mengacak pelan rambut Sammy sebelum berpamitan lagi dari sana.

Sammy berlari kecil kembali menuju ke bangku dimana Yoel, Shallom dan Axel berkumpul.

Sementara saat Mevin sudah ada di dalam mobilnya, ponselnya berbunyi tanda sebuah pesan Shallom kirimkan, “papa mevin itu papa terbaik sedunia, papa bisa jadi sosok papa, superhero, teman, sahabat. Bukan hanya buat Shallom sama Koko aja tapi buat orang sekitar Shallom juga. Papa makasih buat hari ini. I love you so much Papa!! Even one day i’ll find my prince, you will always be my king!❤️”

Tanpa Mevin sadari air matanya menetes membaca pesan dari Shallom, ia tersenyum setelahnya lalu berkata dalam hati, “anak papa udah besar, but you will always be my little princess, Imanuella Shallom Gravianne Adrian.”

Yoel yang hari ini memang pulang bersama Shallom memilih untuk mampir ke sebuah cafe untuk membeli minuman sejenak.

“Shall, take away kan?” tanya Yoel saat keduanya berdiri di depan kasir. Shallom yang sedang memainkan ponselnya mengangkat wajah sejenak lalu mengangguk. Sembari menunggu pesanan mereka dibuat, keduanya duduk di bangku yang ada di sana dan Axel mengirimkan pesan kepada Yoel. Setelah membaca pesan dari Axel itu, Yoel refleks menepuk jidatnya.

“Astagaaaa!” Kata Yoel.

“Kamu kenapa?” tanya Shallom.

“Shall, hari ini Sammy ulang tahun. Kamu udah ngucapin belum?” tanya Yoel. Shallom tidak kalah terkejut, karena ia sendiri belum mengetahuinya.

“Aku nggak tahu. Tadi di kelas juga diem diem aja, ih astaga…”

“Ini Axel chat aku. Dia lagi sama Sammy di deket sini, mau surprisein Sammy nggak? Kita beli slice cake atau cupcake disini aja, udah nggak keburu banget ini kalau mau ke mall cari tart.” Yoel memberikan usul yang langsung disetujui Shallom. Yoel pun langsung memesan cupcake dan dua minuman lagi untuk Sammy dan Axel. Mungkin dengan kejutan sederhana ini bisa menghibur Sammy yang sedang merayakan hari specialnya. Akhirnya setelah beberapa menit menunggu, pesanan mereka datang dan mereka beranjak dari sana.

“Sammy sama Axel dimana?” tanya Shallom yang berjalan di sebelah Yoel keluar dari cafe itu.

“Di deket cafe ini. Motor biar disini dulu ya, kita kesana jalan aja. Deket banget soalnya, mau?”

Shallom tersenyum dan mengangguk antusias. Maka Yoel dan Shallom pun berjalan menuju tempat yang diberitahukan Axel kepada Yoel. Tak butuh waktu lama untuk menyusuri jalanan. Mereka tiba di sebuah taman yang tidak ramai sama sekali kala itu, langit jam empat sore masih terlihat cerah menemani Yoel dan Shallom yang menyiapkan lilin di atas cake yang mereka beli tadi. Sementara Yoel sudah memberitahu Axel lewat chat agar mengalihkan perhatian Sammy entah dengan mengajaknya mengobrol atau mengulur waktu agar tidak beranjak dari sana.

Sembunyi di balik pohon, Shallom dan Yoel bersiap siap memberikan memberikan kejutan. Keduanya berjalan mengendap dan Shallom sudah bertukar kontak mata dengan Axel dan memberi kode agar bersiap-siap. Tak ada curiga dari Sammy hingga akhirnya, “SURPRISEEEE!! Happy birthday!!” Seru Yoel, Shallom dan Axel hampir bersamaan. Betapa terkejutnya Sammy saat melihat kedua sahabatnya yang lain ada di sana Mata Sammy langsung berkaca-kaca seketika melihat Yoel dan Shallom membawa sebuah kue dan lilin di atasnya. Saat itu juga Shallom, Yoel dan Axel langsung menyanyikan lagu Happy Birthday untuk Sammy.

Tapi seperti apa yang Mevin katakan tadi, Papa dari Shallom itu melihat mereka. Mevin yang tak sengaja ada di dekat sana pun turun dari mobilnya. Mengamati dari jarak beberapa meter. Mevin bisa melihat betapa bahagianya Shallom bersama Yoel, Sammy dan Axel. Selama ini Mevin belum pernah mendapat cerita yang kurang baik dari anak anak ini. Mevin melihat bagaimana Sammy sangat bahagia dan nampak sumringah meniup lilin dan berfoto bersama ketiga sahabatnya itu. Mevin melihat bagaimana satu per satu dari mereka memeluk Sammy dan mengucapkan doa serta harapan untuk Sammy di ulang tahun kali ini. Meskipun Mevin melihat Shallom memeluk Sammy, ia biarkan saja, Mevin paham bagaimana mereka bersahabat selama ini. Akhirnya saat mereka berempat tengah berfoto bersama, Mevin berjalan ke arah mereka.

“Om Mevin?” kata Sammy yang pertama kali menyadari kehadiran Mevin di sana. Maka Shallom, Yoel dan Axel juga ikut menoleh. Benar saja Mevin sudah ada di sana tersenyum kepada mereka. Maka cepat cepat Yoel, Sammy dan Axel memberi salam mencium tangan Mevin.

“Papa ngapain kesiniiii…” Shallom protes.

“Emang papa kesini nyamperin Shallom? Orang mau ngucapin selamat ulang tahun buat Sammy,” balas Mevin. Yoel dan Axel hanya menahan tawa, sementara Shallom mendelik bingung dengan sikap Papanya itu. Mevin memegangi kedua pundak Sammy lalu berkata, “Sammy, Happy birthday ya. Om doakan yang terbaik buat Sammy. Panjang umur dan sehat selalu ya anak baik, semoga di usia sekarang kamu semakin jadi kebanggaan keluarga dan diberi Tuhan kebahagiaan. Nggak usah takut sama masa depan karena udah dipegang sama Tuhan, ya?” Mevin berkata sambil mengusap kepala Sammy. Jujur saja jangankan Sammy, Yoel, Shallom dan Axel yang mendengar ucapan Mevin pun merasa terharu. Terlebih mereka semua tahu bagaimana keadaan keluarga Sammy. Terlebih saat Sammy dipeluk oleh Mevin. Sammy menahan tangisnya kuat-kuat. Sosok Mevin memang sangat baik kepadanya.

“Om terima kasih banyak, lagi dan lagi saya nggak tahu gimana harus berterima kasih sama Om Mevin. Terima kasih banyak, Om.” Sammy terharu bukan main saat Mevin memeluknya.

Saat pelukan direnggangkan, Mevin menatap Sammy, “sama-sama, harus bahagia ya hari ini pokoknya!” Sammy mengangguk dan tersenyum.

“Axel, ya?” tanya Mevin saat menatap Axel. Lelaki itu mengangguk dan tersenyum, “iya om, saya Axel,” katanya.

“Axel terima kasih sudah nolongin Shallom waktu itu katanya sampai luka dan jatuh, ya? Gimana? Udah mendingan kan?” tanya Mevin.

“Aman kok, Om! Sama sama, kami berdua baik baik aja kok, that’s what bestfriend for,” balas Axel. Mevin tersenyum lalu gantian menatap Yoel, “Yoel makasih ya udah jagain Shallom juga, makasih udah jadi sahabat dan saudara yang ngertiin Shallom. Yoel, Sammy, Axel, Shallom, semoga persahabatan kalian awet terus ya,” ujar Mevin.

“Iya om,” kata mereka bertiga hampir bersamaan sementara Shallom hanya tersenyum haru melihat bagaimana Papanya melakukan hal yang membuatnya tersentuh apalagi saat memeluk Sammy tadi.

“Sini Om fotoin kalian, dari tadi fotonya gantian terus, gih foto berempat.” Mevin memerintahkan mereka berempat mengatur posisi foto dan langsung dituruti oleh anak anak itu. Akhirnya beberapa pose diabadikan dengan formasi lengkap, Yoel, Shallom, Sammy dan Axel. Pose saling merangkul, saling menunjuk, pose candid sekalipun Mevin abadikan.

Saat Mevin berpamitan dari sana dan sudah mengambil langkah beberapa meter, Sammy mengejar Mevin menahan langkah Mevin. “Ada apa, Sam?” Tanya Mevin ramah.

“Om, terima kasih udah peluk saya. Beneran, saya tadi pengen nangis karena inget mendiang Ayah. Di ulang tahun saya yang kesekian setelah ditinggal Papa akhirnya saya bisa ngerasain pelukan Ayah. Walaupun Om Papanya Shallom tapi udah cukup bikin saya bahagia. Makasih sekali lagi doa dan ucapannya, Om.” Sammy berkata dengan sungguh.

“Sama-sama, Om juga doakan kamu biar kamu merasakan kasih dari orang-orang sekitar kamu. Papa kamu pasti bangga sama kamu.” Mevin mengacak pelan rambut Sammy sebelum berpamitan lagi dari sana.

Sammy berlari kecil kembali menuju ke bangku dimana Yoel, Shallom dan Axel berkumpul.

Sementara saat Mevin sudah ada di dalam mobilnya, ponselnya berbunyi tanda sebuah pesan Shallom kirimkan, “papa mevin itu papa terbaik sedunia, papa bisa jadi sosok papa, superhero, teman, sahabat. Bukan hanya buat Shallom sama Koko aja tapi buat orang sekitar Shallom juga. Papa makasih buat hari ini. I love you so much Papa!! Even one day i’ll find my prince, you will always be my king!❤️” Tanpa Mevin sadari air matanya menetes membaca pesan dari Shallom, ia tersenyum setelahnya lalu berkata dalam hati, “anak papa udah besar, but you will always be my little princess, Imanuella Shallom Gravianne Adrian.”