SOLVE THE PROBLEM
Seperti apa yang Jevin sudah beritahukan kepada Eugene, bahwa ia menyuruhnya untuk datang ke rumah Opanya. Walaupun malas tapi tetap saja Eugene mengendarai motornya dan menuju ke rumah Opanya itu. Jeremy menunggu kedatangan Eugene tanpa memberitahu kepada Yoel, Jeremy bertingkah seakan tidak ada apa-apa dan seakan tidak ada yang berkunjung ke sana. Yoel masih asik bercengkrama dengan Jeremy dan Lea di ruang keluarga sambil menonton TV.
“Enak nggak pancakenya?” tanya Lea yang duduk di sebelah kanan Yoel yang tengah menikmati pancake yang Lea buatkan itu.
Yoel mengangguk antusias, mulut penuhnya masih sibuk mengunyah, ia mengacungkan ibu jarinya juga guna memuji kelezatan pancake buatan omanya itu. Lea hanya tersenyum dan mengusap kepala Yoel beberapa kali.
“Jadi, kenapa marahan sama kokomu?” tanya Lea tiba-tiba yang membuat Yoel tersedak saat itu juga. Lea geleng-geleng kepala, ia pun meraih gelas yang ada di meja di depannya untuk ia berikan kepada Yoel. Cucu Lea itu pun minum dan menaruh piring yang berisi pancakenya itu.
“Oma kok tiba-tiba nanya itu, sih?” tanya Yoel dengan nada lesu.
“Ya emang kenapa? Oma kan mau tahu cucu Oma kenapa,” balas Lea.
“Kenapa? Gelut kenapa? Lama-lama Opa beliin ring tinju kalian gelut aja di ring tinju, iya?” sahut Jeremy yang duduk di sofa sebelah Yoel.
“Nggak gelut, Yoel cuma diem aja di rumah ke Ko Eugene, nggak ada Yoel mukul Koko, nggak ada Yoel nendang Koko.” Yoel berkata dengan nada lemasnya sambil menyandarkan tubuhnya di sofa.
“Kenapa? Nggak mungkin tiba-tiba Kokomu kamu cuekin gitu aja, something happened, kan?” tanya Lea lagi.
“Oma, Opa… sebenernya tuh Yoel iri sama Koko. Ko Eugene tuh pinter, nilainya pas SMA bagus semua, anak IPA, lulus SMA aja nilainya nggak ada yang delapan, sembilan ke atas semua, nyaris sempurna. Sebenernya Koko juga nggak ngapa-ngapain, tapi kemarin-kemarin kayak kesel aja gitu si Ko Eugene ngingetin buat Les mulu. Yoel nggak budeg, mentang-mentang nilainya bagus-bagus apa ya, jadi Yoel diingetin les terus. Yoel nggak pikun.” Yoel mengangkat kedua kakinya ke atas sofa lalu memeluk lututnya.
“Kan bagus diingetin sama Koko, kan?” tanya Jeremy.
“Yoel les! Yoel belajar! Lu belajar dek main game mulu! Awas lo ya bolos les.. gitu terus, Opa. Males banget dengernya, huh… iya dah si paling pinter.” Yoel menghela napas kesal.
“Itu bagus dong Eugene ngingetin kamu,” ujar Jeremy sambil berpindah posisi duduk ke sebelah kiri Yoel sehingga kini Yoel ada di tengah Jeremy dan Lea.
“Ya karena Yoel nggak kayak koko kan? Yoel nggak bisa kayak koko. Yoel nggak naik kelas, makanya dia begitu kan, Opa? Yoel nggak bisa sepinter Ko Eugene.”
Jeremy mencubit lengan Yoel pelan, “emang Eugene pernah bilang dan ngungkit masalah kamu nggak naik kelas? Emang ngomongnya Yoel les sana biar naik kelas, gitu? Enggak kan?”
Yoel menggeleng pelan. Begitu seterusnya Lea dan Jeremy juga memberikan beberapa petuah bagi cucu mereka yang sedikit super ini. Tanpa mereka ketahui, ternyata Eugene sudah tiba dan berdiri di ambang pintu rumah tapi memilih melipir dan mendengar pembicaraan itu diam-diam. Sehingga, saat pembicaraan Yoel dan Jeremy serta Lea sudah mereda barulah Eugene melangkahkan kaki masuk ke sana.
“Eh, cucu oma!” seru Lea saat melihat Eugene masuk dan menenteng jaketnya. Maka seperti biasa, Eugene memberi salam dan mencium tangan Opa dan Omanya itu. Yoel kaget bukan main saat melihat kakak laki-lakinya ada di sana. Jeremy langsung berpindah posisi duduk dan menyuruh Eugene duduk di sebelah Yoel. Meskipun setelah itu Yoel berlagak seperti tidak melihat kakaknya, begitu juga dengan Eugene.
“Tuh, kokonya udah dateng, pulang sama Ko Eugene, ya?” kata Lea sambil mengusap pipi Yoel beberapa kali. Yoel hanya memejamkan mata sambil mengadahkan kepalanya lalu menggeleng cepat. Hal ini sebenarnya membuat Lea gemas ingin mencubit cucunya yang super ini tapi akhirnya Lea menangkup pipi Yoel dan mengarahkannya untuk menatap Lea.
“Pulang sama Ko Eugene atau nggak boleh main kesini lagi?” kata Lea.
Yoel langsung membuka mata dan terbelalak, “Yah kok gitu sih?” protesnya.
“Ya lo kenapa diemin gue kalo gue tanya nyolot pula, aneh,” gerutu Eugene.
“Ish,” Yoel mendengus kesal saja.
Jeremy pun menatap kedua cucunya itu bergantian, “nggak boleh ada yang pulang sebelum baikan. Sampai besok nggak baikan ya biarin nggak boleh pulang, mau seminggu nggak baikan juga biarin,” katanya lalu beranjak berjalan ke kamar.
Bahkan Lea pun sempat bingung mengapa Jeremy malah berjalan ke kamar? Tapi, Lea tetap di sana menemani Yoel dan Eugene.
Tapi tidak lama kemudian, Jeremy kembali lagi dengan membawa stick golf dan juga raket badmintonnya.
“Ngapain bawa begituan?” tanya Lea sambil menunjuk kedua barang yang suaminya bawa. Jeremy duduk lagi di sofa yang tadi lalu menunjukkan stick golf dan raket badminton yang masing-masing ia pegang di tangan kanan dan kiri, “buat properti kalau ada yang mau gelut, masih bagus-bagus kok ini.”
“Jer…” Lea mendelik menatap Jeremy, sementara Jeremy hanya mengedikkan bahu.
Yoel dan Eugene menjadi ketakutan sendiri, sampai akhirnya hening beberapa saat melanda dan akhirnya Eugene yang angkat bicara.
“Yoel, gue ngingetin lo les, belajar, nggak main game tuh biar lo nggak keteteran. Tugas jaman sekarang gue tahu numpuknya kayak gimana, makanya gue nggak mau time management lo berantakan. Lo boleh iri sama nilai-nilai akademik gue selama SMA. Berarti gue boleh iri juga dong sama lo, gue iri sama kegiatan non akademik lo yang hampir semua lo bisa. Ekskul musik lo bisa. Basket? Lo jadi kapten. Taekwondo? Lo ikut juga. Renang? Lo pinter juga. Gue? Nggak ada ikut begituan tuh gue selama SMA. Palingan kegiatan mandatory doang. Kalau lo iri sama gue karena nilai akademik, look at you, kemarin mid term lo ranking satu, kan? Kalau mau iri-irian mah gue iri banget sama lo,” kata Eugene yang benar-benar di luar dugaan dan berhasil membuat Jeremy, Lea ataupun Yoel terdiam.
“Fisik lo kuat nggak kayak gue,” kata Eugene lagi sambil menghela napas panjang.
“Ko….” Lirih Yoel.
“Gue gampang banget sakit, sejak kecil udah ada aja sakitnya. Yang flek lah, yang apa lah, walaupun lo kadang ada aja insidennya tapi lo tuh tetep kuat secara fisik, ngerti nggak sih? Banyak banget Tuhan kasih lo talenta, ngerti? Stop saying iri sama gue.” Eugene menatap Yoel tajam tapi dengan tatapan datar.
“Ngerti kaga?” Kata Eugene sambil menjitak kepala adiknya itu.
PLAK! satu tepukan keras dibalas Yoel di punggung kakaknya.
Ctaaakk! Eugene menyentil dahi Yoel hingga Yoel merengek kesakitan.
“Sakitttt koooo!!!” Protes Yoel sambil meninju lengan kakaknya berkali kali tapi Eugene malah merangkul Yoel dan langsung mengunci leher Yoel dengan lengannya sehingga Yoel kesulitan bergerak.
“Udahhh!!!” Pekik Lea sambil berusaha memisahkan kedua cucunya itu.
“Mau pakai stick golf apa raket? Heh!” Jeremy juga angkat bicara.
Akhirnya Lea berhasil memisahkan Yoel dan Eugene, keduanya terdiam.
“Yoel denger tuh kata Ko Eugene tadi, ternyata ada hal yang Yoel bisa dan Koko nggak bisa. Begitu juga sebaliknya, setiap anak itu ada Abilitynya masing-masing, cucu Oma yang ganteng, tapi jangan gelut,” bisik Lea lirih sambil mengusap punggung Yoel.
Yoel merasa bersalah, ia tertunduk dan tertegun sejenak sebelum membawa pandangannya ke arah kakak laki-lakinya itu lagi.
“Sekarang gimana? Mau pake atribut ini lanjutin gelutnya apa baikan? Papa sama Mama kalian pasti mumet juga kalau anak-anaknya cuek-cuekan. Mumet denger pada sahut sahutan pakai nada tinggi, nggak enak di telinga. Mau gimana sekarang?” ujar Jeremy seakan menantang.
“Ko… maafin gue. Gue nggak bermaksud⎯” belum selesai Yoel mengucapkan kalimatnya, Eugene sudah langsung memeluk adik laki-lakinya itu. Hati Lea dan Jeremy benar-benar menghangat melihat kejadian itu.
“Iya, nggak papa. Jangan tiba-tiba nyolot ke gue juga, kan gue nggak tahu apa-apa.” Eugene menepuk punggung adiknya yang tengah ia peluk itu.
Sebenarnya air mata Yoel hendak mengalir, hati Yoel memang sangat lembut tapi tertutupi dengan cover dan fisiknya yang lebih tinggi dari kakaknya itu. Saat keduanya sudah merenggangkan pelukan, Jeremy bergeser berpindah ke sebelah Eugene, jadi sekarang Yoel dan Eugene ada di tengah diapit oleh Opa dan Omanya.
“Nggak usah di tes DNA kalian berdua emang anak Jevin.” Jeremy berkata sambil bergantian mengacak pelan rambut Yoel dan Eugene.
“Opa, Oma… Papa dulu sama Om Mevin kayak gini juga? Atau lebih parah ributnya?” tanya Yoel sambil bergantian menatap Opa dan Omanya.
Lea hanya menautkan pandangannya dengan Jeremy dan menahan tawa sambil menggeleng pelan.
“Pokoknya ada ceritanya, mau itu Om Mevin sama Papa kalian, atau kalian pun sama-sama uniknya. Tapi itulah Tuhan kirim anak dan cucu yang bermacam-macam tingkahnya, setiap anak itu unik dan special. Walaupun kadang sama-sama bikin pening, tapi itu yang bikin semangat jadi orang tua. Menyelesaikan masalah-masalah yang bikin pening itu yang selalu jadi pembelajaran buat Opa dan Oma.” Lea tersenyum teduh dan menjawab dengan tenang serta lemah lembut pertanyaan Yoel itu. Jangan ditanya seberapa besar kesabaran Lea dan Jeremy diuji saat membesarkan anak-anaknya dulu. kalian yang sudah mengenal keluarga ini pasti tahu bagaimana Lea dan Jeremy harus bercucuran keringat dan air mata, bukan? Maaf, dan kita juga, kan? ?