JEREMY AND HIS TRAUMA
“Lemme explain, Lea.” Jeremy sedikit berlari saat mendapati kekasihnya yang hendak menutup pintu rumah saat ia tiba di kediaman Lea.
“Lea!” Jeremy berhasil menggenggam tangan Lea kali ini. Tapi Lea berbalik badan dan menghempaskan tangan Jeremy kasar.
“Go away, Jeremy!” pekik Lea dengan mata memicing namun berkaca-kaca.
“Kamu bahkan nggak biarin aku jelasin semuanya!” Jeremy tak kalah memekik nyaring.
Lea mendengus pedih, “it’s all about Patricia. Who’s her? Your ex? Someone else in our relationship? Aku lihat pakai mata kepalaku sendiri. Semua barang-barang itu untuk Patricia. Dengan ucapan I love you, nggak mungkin sahabat aja, kan?”
“Okay, fine. Udah? You done? Can I speak?” tanya Jeremy sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada melepaskan sentuhannya di tangan Lea.
Jeremy pun membimbing Lea untuk duduk di sofa. Duduk bersebelahan pun nyatanya tidak membuat Lea melihat ke arah kekasihnya itu. Memang, hubungan mereka baru berjalan dua bulan. Tapi rasanya, sakit yang Lea rasakan ini tidak seharusnya dirasakan untuk hubungan yang kata orang masih dalam fase mesra-mesranya. Rasanya itu tidak berlaku bagi Lea sekarang. Lea pun mulai mendengarkan penuturan Jeremy
Flashback Jeremy Patricia…
Seiring dengan kebersamaan yang telah terbentuk di antara dua anak adam yang memadu kasih, Jeremy dan Patricia mulai paham dan melengkapi satu sama lain. Jeremy adalah pria dengan peluk paling nyaman dan senyuman paling hangat untuk Patricia. Mereka sudah bersepakat untuk melabuhkan hati satu sama lain.
Pada sore hari yang lain, dua sejoli yang sudah siap untuk melakukan sesi photoshoot untuk pre wedding, tengah mempersiapkan diri, berganti pakaian dan merias wajah. Jeremy yang selesai terlebih dahulu menunggu kekasihnya keluar dari ruang ganti ditemani sahabatnya, Doneil dan Yoseph.
Jeremy tidak bisa mengungkapkan sebuah semangat yang ia rasakan hari ini. Hubungan yang sudah ia jalin selama dua tahun akan berlayar lalu berlabuh sebentar lagi. Perihal cintanya dengan Patricia, ada dua hal yang bisa Jeremy rasakan, bertahan sejak bersemi hingga membuatnya berlabuh sebentar lagi. Hubungan jarak jauh selama Jeremy menuntut ilmu di Singapura terbayar dengan kesetiaan keduanya.
Tidak ada celah perpisahan sama sekali. Perdebatan kecil yang terjadi menjadi bumbu kebersamaan mereka berdua selama ini. Tidak ada perselingkuhan atau pihak ketiga. Keduanya bisa menjaga hati dan komitmen. Mereka berdua sudah bersepakat untuk saling menjadi orang pertama yang dilihat kala membuka mata dan orang terakhir yang dilihat sebelum mata mereka terpejam.
“Sana lo berdiri, gue fotoin. Cepetan,” ujar Doneil sambil menarik Jeremy ke tengah.
“Nanti juga difotoin fotografernya, nunggu Patrice,” balas Jeremy sambil tertawa kecil, ia merapikan kancing jasnya.
“Cewek lama ganti bajunya. Udah, lo buruan sana, gue jepret dulu sekali-kali, lapor ke papi sama mami lo.” Doneil kembali ke tempatnya dan bersiap mengabadikan momen sahabatnya. Akhirnya Jeremy berpose beberapa kali yang berhasil diabadikan pada kamera Doneil.
“Eh, kita nyusulin Patricia aja, yuk,” ajak Tere pada Natha. Natha pun mengiyakan. Yoseph, Doneil, dan Jeremy pun menghabiskan waktu bertiga untuk berfoto sembari menunggu.
Sementara itu, Natha dan Tere menghampiri Patricia yang masih bersama MUA-nya. “Cantik bener buset,” ujar Natha saat menghampiri temannya itu, diikuti oleh Tere dengan pandangan kagum.
“Eh kalian!” seru Patricia dengan sumringah. Wanita yang sedang dipakaikan aksesoris oleh MUA dan hair stylist-nya tersenyum ketika melihat kedua temannya datang. “Gue nervous banget, sumpah,” ucap Patricia lalu bangkit berdiri saat sudah selesai memakai semua pernak perniknya.
“Sumpah, lo cantik banget.” Natha kagum dan memandang sahabatnya ini dari rambut sampai ujung kaki. Patricia sedikit tersipu.
“Princess banget, deh, sumpah!” timpal Tere. “Let's take a picture, kita bertiga!” ajak Tere.
Patricia pun menyempil ke tengah-tengah Tere dan Natha lalu melingkarkan tangannya di lengan kedua temannya itu. Mereka pun beberapa kali mengambil foto bertiga.
Untuk sekali lagi, Patricia berdiri di depan cermin besar, memandangi dirinya yang bagai seorang putri untuk hari ini. Ia benar-benar bahagia. Jeremy benar-benar menjaga janjinya dan membuatnya bahagia. Tidak pernah sekali pun Jeremy mengingkari janjinya.
Cuaca hari ini sangat cerah dan sangat mendukung untuk melakukan photoshoot. Patricia sedikit gugup dan grogi. Perasaan dalam hatinya sangat campur aduk: bahagia, senang, terharu, dan masih sedikit tidak percaya ia bisa sampai di momen ini bersama dengan Jeremy.
Patricia, Natha, dan Tere pun keluar dari ruang ganti. Kedua temannya membantu Patricia memegang ekor gaunnya yang menjuntai panjang. Jeremy, Doneil dan Yoseph yang sudah ada di luar pun mendadak kagum dan tercengang saat Patricia datang.
“Anjir cakep banget lo!” seru Doneil.
“Kanjeng Nyai hari ini, nih, haha,” tambah Yoseph. Semuanya terkekeh kecil. Jeremy mendekat ke arah Patricia,
“Cantik banget calon istri,” ucapnya sambil mengelus pelan pipi Patricia dan meraih tangan wanita itu.
Wanita itu hanya tersipu malu ketika Jeremy memandangi Patricia dari ujung kepala sampai kaki.
“Ya udah, sono buruan,” suruh Doneil. Jeremy pun menggandeng Patricia untuk menuju tempat mereka photoshoot indoor dan outdoor.
“Yang mesra dong, woy, elah mau kawin masa kaku amat,” goda Yoseph sambil terkikik.
“Deketan wajahnya, deketan, woy, buset!” tambah Natha yang kala itu menjadi kekasih Yoseph dengan suara lantang. Doneil dan Tere hanya tertawa kecil. Sementara Patricia dan Jeremy mengikuti arahan teman-temannya dan juga fotografer mereka.
“Iya wajahnya deketin lagi nggak apa-apa,” pinta sang fotografer sambil mengambil beberapa gambar untuk Jeremy dan Patricia.
Tiba-tiba, Jeremy memegang kedua pipi kekasihnya dan mengecup bibirnya sejenak. Sang fotografer tidak ingin kehilangan momen itu dan mengabadikannya.
“Yah, yah, males, nih, gue begini, nih, kan, jadi pengin, ya, Beb?” ujar Doneil sambil merangkul Tere.
“Kagak, sih, biasa aja,” ledek Tere yang disambut tawa renyah dari Yoseph dan Natha.
Jeremy mengubah posisinya menjadi memeluk Patricia dari belakang dengan tangannya yang melingkar pada pinggang wanita itu. Patricia pun sedikit menengok ke arah Jeremy, pose yang sempurna. “I love you,” ucap Jeremy lirih di sela pemotretan.
Patricia hanya tertawa kecil. Tatapan keduanya bertemu dalam satu titik temu, sorot mata keduanya menjadi sorot mata bahagia. “Makasih, Jer, udah jadi yang terakhir,” bisik Patricia lirih. Matanya berkaca-kaca dan Jeremy mempersilakan sebutir kristal bening jatuh di pipi wanita itu kemudian pria itu menyekanya dengan jemari tangannya.
Jeremy menggenggam tangan Patricia dan genggaman tangan itu menjadi semakin hangat dan erat.
“Kita nggak mau kayak gitu apa, Nath?” tanya Yoseph sambil merangkul kekasihnya.
“Mau, sih, tapi kalau kamu udah berhenti main Dota!” balas Natha ketus, tetapi tersenyum kecil. Ada kebahagiaan terselip di hati Natha, Doneil, Yoseph, dan Tere melihat dua sejoli yang kini tengah berbahagiaJeremy dan Patricia. Mereka semua tahu bahwa Jeremy memang mencintai Patricia. Hubungan keduanya bisa terbilang lancar dan langgeng walaupun sempat menjalani hubungan jarak jauh.
Kini sesi photoshoot sudah selesai. Semuanya kembali dengan pasangan dan mobil masing-masing. Doneil bersama Tere, Yoseph bersama Natha, dan Jeremy bersama Patrice.
Hari ini Jeremy sudah mempersiapkan dinner romantis untuknya dan Patricia. Mobil Jeremy melenggang pergi dari tempat photoshoot, menuju ke tempat yang sudah ia reservasi untuk dirinya dan kekasihnya melangsungkan dinner. Namun, naas, takdir berkata lain. Mungkin kala itu, langit cerah merindukan hujan dan membuat semua yang berbahagia menangis. Di tengah jalan, mobil yang dikendarai Jeremy bertabrakan dengan mobil lain sampai menabrak pembatas jalan karena hujan yang sangat deras. Kecelakaan itu menyebabkan keduanya tidak sadarkan diri, tetapi kondisi Patricia lah yang lebih parah, kepalanya terbentur keras sehingga wanita itu kehilangan banyak darah, sementara Jeremy mengalami luka berat.
Flashback off
Sesampainya di rumah sakit, Jeremy dan Patricia langsung ditangani tim medis. Yoseph, Natha, Doneil, dan Tere tidak lupa menyusul ke rumah sakit. Betapa terkejutnya mereka mendengar kabar kecelakaan itu. Tadinya saat dinner, Jeremy sudah mempersiapkan surprise untuk Patricia yang dibantu Doneil dan Yoseph. Namun, Yoseph berulang kali menghubungi Jeremy karena tidak kunjung sampai. Akhirnya malah pihak rumah sakit lah yang mengangkat panggilan dari Yoseph. memberitahu kejadian yang menimpa Jeremy dan Patrice.
Tak lama, Jeremy yang sudah sadar dan melihat sekelilingnya bingung karena ia hanya menjumpai Yoseph dan Doneil yang tertidur di sofa. Ingatannya kembali ke kejadian kecelakaan itu. Masih jelas di ingatan Jeremy kala ia melihat calon istrinya bersimbah darah sebelum semuanya menjadi gelap. Jeremy panik dan ingin mengetahui keadaan calon istrinya, ia melepas dan mencabut infus yang menancap di tangannya. Jeremy yang gusar pun membangunkan kedua sahabatnya. Doneil dan Yoseph panik, mereka berusaha mencegah Jeremy, tetapi Jeremy tetap nekat mencari keberadaan Patricia.
Dengan langkah berat dan gontai Jeremy berniat keluar dari ruangan rawatnya.
“Jer, tenang, Jer, udah lo tenang dulu! Lo mau ke mana?!” pekik Doneil lalu menahan pintu kamar yang dicegat olehnya.
Jeremy memberontak dan memaksa Doneil dan Yoseph membukakan pintu, tetapi kedua sahabatnya itu menahannya.
“Gue mau liat Patrice! Minggir lo semua!” pekik Jeremy sambil mendelik tajam.
“Lo lihat dong, keadaan lo juga masih kayak gitu!” Yoseph emosi.
Patricia sebenarnya ada di ruang ICU dan ditunggui oleh Natha dan Tere.
“Gue mau ketemu Patrice, dia di mana?!” Jeremy menggerutu
“Patrice di ICU,” jawab Yoseph lirih.
Jeremy yang mendengar perkataan sahabatnya itu pun merasakan tenggorokannya tercekat dan langsung beberapa kali membenturkan kepalanya ke tembok.
“Jer!” Yoseph dan Doneil mencegah dan menahan tubuh Jeremy yang sudah hilang kendali.
“Mana bisa tenang, sih?!” suara Jeremy meninggi. Doneil mencengkeram kedua pundak sahabatnya itu.
“Terus lo ngapain nyakiti diri lo gitu? Mau tambah susah?” tambah Yoseph yang ada di sebelah Jeremy juga.
Jeremy hanya terisak sambil terduduk di lantai. “Gue nggak akan bisa maafin diri gue sendiri kalau ada apa-apa sama Patrice!”
“Ya, terus, lo mau gimana?!” tanya Doneil. Jeremy membenamkan wajahnya di telapak tangannya. Tak lama, ada yang mengetuk pintu kamar rawat itu. Yoseph membukakan pintu, dilihatnya seorang dokter sudah ada di sana. “Patrice mau bertemu yang namanya Jeremy,” ucap sang dokter.
Jeremy melihat ke arah teman-temannya. Mereka mengangguk tanda memberikan kode agar Jeremy masuk menemui Patricia. Dengan langkah gontai, Jeremy memasuki ruangan ICU. Kedua sahabatnya hanya menunggu di luar. Perlahan Jeremy memasuki ruangan itu sendirian, dilihatnya Patrice tergeletak lemas. Jeremy mendekati kekasihnya yang masih terkulai di tempat tidur dengan beberapa alat terpasang di tubuhnya.
Tangan Jeremy yang gemetar meraih tangan kekasihnya yang disambut hangat oleh genggaman Patricia. Wanita itu membuka mulut seakan ingin mengatakan sesuatu. Hal tersebut membuat Jeremy mendekatkan wajahnya ke wajah kekasihnya.
Sementara semua orang yang menunggui Jeremy dan Patricia menunggu di luar.
“Mereka bakalan baik-baik aja kan?” Natha menggenggam tangan Yoseph dan menggoyangkannya pelan, sementara Yoseph menatap kekasihnya lalu memeluknya. Doneil yang duduk terdiam dengan tatapan kosong pun merasakan kesedihan itu. Tere merangkulnya dan menyandarkan kepalanya di pundak Doneil.
“Jer,” ucap Patricia lirih.
“I’m here,” jawab Jeremy sambil berusaha memberikan senyum yang sangat berat untuk ia lakukan.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Patricia. Mata Jeremy berkaca-kaca karena di saat seperti ini pun Patricia masih mengkhawatirkannya. Jeremy mengangguk dan memberikan senyum untuk Patricia. Jeremy membelai rambut Patricia. “Aku bahagia banget udah sampai di sesi photoshoot sama kamu, nggak sabar buat wedding kita.” Patricia menarik kedua ujung bibirnya, matanya pun sama berkaca kaca.
“Iya, nanti kita pilih gaun yang paling cantik buat wanitaku yang paling spesial.” Jeremy mengecup kening Patricia.
“Jer, makasih, ya, udah menyempurnakan semua kekurangan aku.”
Ucapan Patricia membuat hati Jeremy hancur. Ia pun memeluk kekasihnya seakan mengatakan semua akan baik-baik saja. “Kamu orang yang pengin aku bahagiain. I want to spend the rest of my life with you. Aku pengin lihat kamu waktu bangun dan mau tidur,” ucap Jeremy diiringi suaranya yang parau.
“Kamu hebat kamu bertahan sejauh ini sama aku tanpa pernah ninggalin aku. Aku sayang kamu, Jer, sayang banget.” Suara Patricia bertambah lirih. Kalimat itu Patricia rapalkan dengan napas yang semakin berat.
“Please, bertahan, ya, Pat. Kali ini aku mohon.” Patricia yang mendengar ucapan Jeremy itu pun tak bisa menahan air mata. Ia membenamkan wajahnya di tubuh kekasihnya, memeluknya erat sekali lagi.
“Jeremy.”
“Iya, Sayang?” tanya Jeremy. Kemudian hening. “Kenapa? Patrice?”
Jeremy merasakan tangan Patricia tidak memeluknya lagi. Perlahan wanita itu merenggangkan pelukan. Dilihatnya Patricia sudah menutup matanya. “Patrice.” Jeremy menggoyang pelan tubuh Patricia, tetapi tidak ada respons. “Sayang? Kamu denger aku, kan? Kamu bisa jawab aku, kan?” Jeremy menggenggam tangan kekasihnya, tangan itu mulai dingin.
“Patrice!!” Jeremy tidak bisa menahan isak tangis histerisnya. Ia memeluk tubuh Patricia yang sudah tidak berdaya dengan sesekali menggoyangkan tubuh itu. Air mata Jeremy langsung tumpah tanpa komando. Air matanya baru tumpah kali ini, melepas kepergian dermaga hatinya untuk selamanya, bersama seluruh harap dan asa yang hanya akan menjadi semu belaka.
Yoseph, Natha, Tere, dan Doneil yang berada di luar ruangan terkejut mendengar teriakan Jeremy lalu mereka bergegas memasuki ruangan. Doneil dan Yoseph menarik tubuh Jeremy. Natha dan Tere melihat monitor di sebelah tubuh Patricia menunjukkan garis lurus. Semua tidak bisa membendung air mata mereka. Tere dan Natha berlutut tersungkur di sebelah ranjang Patricia.
Sementara Jeremy masih histeris meneriakkan nama Patricia dan meminta wanita itu untuk membuka mata. Ia mengabaikan kehadiran sahabat-sahabatnya dan tetap tak henti menggoyang tubuh tak bernyawa itu. “Patricia, nggak boleh pergi! Enggak!” Jeremy masih berusaha meraih tubuh Patricia, tetapi dihalangi oleh Yoseph dan Doneil yang menahannya.
Mereka semua tidak bisa membendung air mata karena kehilangan salah satu sahabat. Baru saja Doneil dan Yoseph melihat Jeremy bahagia untuk melaksanakan pernikahan, tetapi kebahagiaan itu hilang dalam sekejap.
“Yoseph! Doneil! Patrice pasti bangun, kan?! Gue udah janji mau married! Iya, kan?!” Jeremy semakin menjadi dalam kenyataan yang harus ia terima ini. Ia bersimpuh di dekat brankar rumah sakit sambil terus memandangi tubuh kekasihnya yang tidak akan bangun lagi. Jeremy luruh dalam tangisnya kala menyaksikan dokter dan suster melepas satu persatu alat yang menempel pada tubuh Patricia.
“Jer, yang ikhlas. Ikhlasin.” Doneil memeluk Jeremy. Jeremy masih terus menangis memandangi tubuh kekasihnya yang sudah tidak bernyawa. Patiricia, matanya sudah terpejam dan tidak akan pernah terbuka kembali. Tangisan Jeremy pecah di situ. Natha dan Tere saling memeluk dan tidak bisa menahan tangis melihat Patricia yang ceria sudah mengakhiri pertandingan dalam hidupnya.
Jeremy merasa seperti ditusuk pisau di sekujur tubuhnya. Hanya sakit yang ia rasakan. Kebahagiaan yang selama ini ia cari harus hilang. Jeremy harus kehilangan setelah ia menemukan. Harapannya pupus semua mimpinya yang sudah ia rajut dengan Patricia harus terhenti di sini. Tidak ada tangan yang bisa ia genggam lagi, tidak ada tawa yang menghiasi hari-harinya lagi, tubuh yang biasa ia peluk kini sudah pergi.
Jeremy harus menerima kenyataan, bahwa ia harus kehilangan seseorang yang berpengaruh dalam hidupnya, seperti ada sesuatu dari bagian hidupnya yang hilang dalam sekejap. Posisi Patricia di hati Jeremy dan yang lain tidak akan terganti. Semua momen kebersamaan bersama Patricia terlintas dalam pikiran Jeremy saat ini.
Raga Jeremy dan Patricia tidak lagi bersama, tetapi mereka masih bisa bertemu dalam doa dan mimpi. Patricia sudah mempunyai tempat tersendiri di relung hati Jeremy. Kehilangan yang tiba-tiba, tidak ada yang siap menerimanya. Jeremy menyayangi Patricia dalam keadaan apa pun. Namun, setiap pertemuan pasti akan menghadapi perpisahan. Tidak ada yang abadi.
Jeremy melepaskan pelukan sahabatnya ia kembali mendekat memandangi kekasihnya yang tampak seperti sedang tertidur dengan senyum yang indah. Jeremy hanya manusia biasa yang tidak bisa melawan takdir walaupun ia tidak bisa menerimanya. Sekali pun Jeremy menginginkan kehadiran Patricia kembali, itu tidak akan bisa. Jeremy harus siap melepaskan dan merelakan. Mereka hanya sejauh doa. Hanya raga mereka yang terpisah. Bahkan, sampai napas terakhir Patricia pun ia masih mencintai Jeremy.
Saat brankar rumah sakit itu didorong keluar dari ruangan ICU oleh beberapa perawat, Jeremy menghardiknya, tetapi ditahan oleh Yoseph dan Doneil. Tangis dan teriakan Jeremy beradu kala itu. Untuk terakhir kali dengan sepenuh hati. “Aku ikhlas.” Jeremy berkata lirih.
Perpisahan memang ditakuti, tetapi lebih menakutkan menjalani hari ke depannya karena tidak lagi sama. Luka di hati Jeremy sulit sembuh. Telah gugur, dan hancur lebur perasaan Jeremy melihat kekasihnya yang akan ia gandeng saat pernikahan sudah terbujur kaku. Jeremy bersimbah air mata. Cerita cinta yang dibina tinggal cerita. Pilar kokoh Jeremy tidak bisa lagi menahan luka dan duka. Yang ia jadikan pelabuhan sudah tiada. Harus ke manakah ia berlayar? Jeremy sudah terbiasa bersama. Sekarang ia putus asa. Ia merasa sebagian dari dirinya hilang, bibirnya tak mampu tersenyum, penyesalannya menggerogoti hati dan jiwa Jeremy saat ini dan mungkin ke depannya. Ia selalu menyalahkan diri akibat kecelakaan yang merenggut nyawa calon istrinya, Patricia. Namun, ia kembali sadar bahwa semua hal yang terjadi dalam hidup sudah menjadi kendali sang penulis cerita, yang kuasa sang empunya hidup. Mimpinya dengan Patricia tidak lagi memiliki kesempatan untuk diwujudkan dalam kenyataan.
Kehilangan yang Jeremy rasakan memang sangat membekas. Oleh karena itu saat ia menemukan Lea sebagai pendampingnya, ia seakan mendapat harapan baru. Oleh karena itu, Jeremy tidak ingin ada salah paham. Ia harus menyelamatkan hubungannya dengan Lea. Termasuk menceritakan hal yang ia simpan ini, memang bukan tentang perselingkuhan atau apapun. Tapi lebih tentang kesiapan hati Jeremy juga untuk menceritakan hal yang berat ini.
Jeremy tiba di ujung kalimatnya dengan tangis, hal itu tentu saja membuat Lea langsung memeluk kekasihnya.
“Maaf, maafin aku. Aku nggak tahu kamu punya cerita sebesar ini, maaf kalau aku malah nuduh kamu yang enggak-enggak. Jer… please be strong, Patrice pasti mau kamu kuat.” Lea berkata sambil memeluk Jeremy dan mengusap punggung Jeremy.
Pria di pelukan Lea itu membalas pelukan Lea erat, ia membenamkan wajahnya di antara pundak dan ceruk leher Lea.
“Maaf juga, bukan aku mau bohong. Aku butuh waktu aja buat cerita semuanya dan aku belum siap. Tapi aku bersyukur kamu mau ngerti. Lea… maafin aku, jangan marah lagi, ya? Lambat laun aku pasti akan singkirin semua yang berhubungan dengan masa lalu aku, kok.” Jeremy merenggangkan pelukan, Lea pun meraih tangan Jeremy dan menggenggamnya. Membuat Jeremy menatap Lea lekat-lekat.
“Jer, nggak perlu terlalu keras. Aku nggak marah, ditinggal selamanya sama orang yang kita sayang itu nggak mudah. Ada beberapa hal yang harus disimpan, ada yang harus ditinggalkan, tapi itu biar jadi urusanmu dan hatimu. Aku yakin Patrice pun nggak ingin kamu memaksakan diri. Tapi, aku mau kamu nggak stuck disitu terus. Jalanin ini semua bareng sama aku, ya?” ucapan Lea benar-benar membuat Jeremy ingin menangis lagi. Sebut saja Jeremy lemah, tapi ia benar-benar kehabisan kata-kata kali ini. Patrice dan Lea memang berbeda dalam segala hal, tapi yang Jeremy tahu sekarang, Lea penghuni relung hatinya. Lea yang harus ia jaga, Lea yang harus jadi kawannya sampai akhir usia.
Jeremy pun menangkup kedua pipi Lea dan mendekatkan wajah Lea lalu mengecup dahi kekasihnya itu, “makasih sayang, makasih. Panjang umur ya aku sama kamu, biar bisa lakuin semua hal yang udah kita rancang. Aku mau sama kamu terus.” Jeremy berkata dengan raut wajah sendu.
“Kapan-kapan ajak aku ke tempat Patrice dong, boleh?” tanya Lea sambil tersenyum tipis. Jeremy mengangguk antusias dan tanpa ragu, “boleh banget,” katanya.
“Aku mau berterima kasih juga sama Patrice karena udah bantu kamu survive sampai sekarang, aku yakin kehidupan kamu di Singapore dulu juga nggak gampang. Dan kamu bisa lewatin itu semua.” Lea berkata sambil menahan tangan Jeremy agar tetap di pipinya.
“Tahu dari mana?” Jeremy bingung.
“Kamu temen abang Tim, please, pikun haha, aku tahu semua tentang pacar aku,” kata Lea sambil mencubit pelan hidung Jeremy. Pria itu dibuat gemas oleh kekasihnya, air mata Jeremy diusap Lea, diseka lembut oleh jemari lentik seorang Elleanor. Lalu saat hening melanda dan keduanya hanya saling tersenyum dan bertukar perasaan lewat intuisi, Lea memeluk Jeremy lagi.
“Aku janji, akan jadi yang terakhir buat kamu. Kamu juga bisa janji buat hal ini, kan? Trauma kamu pasti bisa dilawan, pelan-pelan. Aku temenin, aku bantuin, bagiin semua hal ke aku, Jer. I’m yours, mau itu tawa atau duka sekalipun,” bisik Lea. Jeremy menghujam puncak kepala Lea dengan kecupan, “bisa, sayang. Aku Cuma mau kamu, dalam segala keadaanku. I love you more than I can say, Cecillia Praise Elleanor.”