awnyaii

Lemme explain, Lea.” Jeremy sedikit berlari saat mendapati kekasihnya yang hendak menutup pintu rumah saat ia tiba di kediaman Lea.

“Lea!” Jeremy berhasil menggenggam tangan Lea kali ini. Tapi Lea berbalik badan dan menghempaskan tangan Jeremy kasar.

Go away, Jeremy!” pekik Lea dengan mata memicing namun berkaca-kaca.

“Kamu bahkan nggak biarin aku jelasin semuanya!” Jeremy tak kalah memekik nyaring.

Lea mendengus pedih, “it’s all about Patricia. Who’s her? Your ex? Someone else in our relationship? Aku lihat pakai mata kepalaku sendiri. Semua barang-barang itu untuk Patricia. Dengan ucapan I love you, nggak mungkin sahabat aja, kan?”

Okay, fine. Udah? You done? Can I speak?” tanya Jeremy sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada melepaskan sentuhannya di tangan Lea.

Jeremy pun membimbing Lea untuk duduk di sofa. Duduk bersebelahan pun nyatanya tidak membuat Lea melihat ke arah kekasihnya itu. Memang, hubungan mereka baru berjalan dua bulan. Tapi rasanya, sakit yang Lea rasakan ini tidak seharusnya dirasakan untuk hubungan yang kata orang masih dalam fase mesra-mesranya. Rasanya itu tidak berlaku bagi Lea sekarang. Lea pun mulai mendengarkan penuturan Jeremy

Flashback Jeremy Patricia…

Seiring dengan kebersamaan yang telah terbentuk di antara dua anak adam yang memadu kasih, Jeremy dan Patricia mulai paham dan melengkapi satu sama lain. Jeremy adalah pria dengan peluk paling nyaman dan senyuman paling hangat untuk Patricia. Mereka sudah bersepakat untuk melabuhkan hati satu sama lain.

Pada sore hari yang lain, dua sejoli yang sudah siap untuk melakukan sesi photoshoot untuk pre wedding, tengah mempersiapkan diri, berganti pakaian dan merias wajah. Jeremy yang selesai terlebih dahulu menunggu kekasihnya keluar dari ruang ganti ditemani sahabatnya, Doneil dan Yoseph.

Jeremy tidak bisa mengungkapkan sebuah semangat yang ia rasakan hari ini. Hubungan yang sudah ia jalin selama dua tahun akan berlayar lalu berlabuh sebentar lagi. Perihal cintanya dengan Patricia, ada dua hal yang bisa Jeremy rasakan, bertahan sejak bersemi hingga membuatnya berlabuh sebentar lagi. Hubungan jarak jauh selama Jeremy menuntut ilmu di Singapura terbayar dengan kesetiaan keduanya.

Tidak ada celah perpisahan sama sekali. Perdebatan kecil yang terjadi menjadi bumbu kebersamaan mereka berdua selama ini. Tidak ada perselingkuhan atau pihak ketiga. Keduanya bisa menjaga hati dan komitmen. Mereka berdua sudah bersepakat untuk saling menjadi orang pertama yang dilihat kala membuka mata dan orang terakhir yang dilihat sebelum mata mereka terpejam.

“Sana lo berdiri, gue fotoin. Cepetan,” ujar Doneil sambil menarik Jeremy ke tengah.

“Nanti juga difotoin fotografernya, nunggu Patrice,” balas Jeremy sambil tertawa kecil, ia merapikan kancing jasnya.

“Cewek lama ganti bajunya. Udah, lo buruan sana, gue jepret dulu sekali-kali, lapor ke papi sama mami lo.” Doneil kembali ke tempatnya dan bersiap mengabadikan momen sahabatnya. Akhirnya Jeremy berpose beberapa kali yang berhasil diabadikan pada kamera Doneil.

“Eh, kita nyusulin Patricia aja, yuk,” ajak Tere pada Natha. Natha pun mengiyakan. Yoseph, Doneil, dan Jeremy pun menghabiskan waktu bertiga untuk berfoto sembari menunggu.

Sementara itu, Natha dan Tere menghampiri Patricia yang masih bersama MUA-nya. “Cantik bener buset,” ujar Natha saat menghampiri temannya itu, diikuti oleh Tere dengan pandangan kagum.

“Eh kalian!” seru Patricia dengan sumringah. Wanita yang sedang dipakaikan aksesoris oleh MUA dan hair stylist-nya tersenyum ketika melihat kedua temannya datang. “Gue nervous banget, sumpah,” ucap Patricia lalu bangkit berdiri saat sudah selesai memakai semua pernak perniknya.

“Sumpah, lo cantik banget.” Natha kagum dan memandang sahabatnya ini dari rambut sampai ujung kaki. Patricia sedikit tersipu.

Princess banget, deh, sumpah!” timpal Tere. “Let's take a picture, kita bertiga!” ajak Tere.

Patricia pun menyempil ke tengah-tengah Tere dan Natha lalu melingkarkan tangannya di lengan kedua temannya itu. Mereka pun beberapa kali mengambil foto bertiga.

Untuk sekali lagi, Patricia berdiri di depan cermin besar, memandangi dirinya yang bagai seorang putri untuk hari ini. Ia benar-benar bahagia. Jeremy benar-benar menjaga janjinya dan membuatnya bahagia. Tidak pernah sekali pun Jeremy mengingkari janjinya.

Cuaca hari ini sangat cerah dan sangat mendukung untuk melakukan photoshoot. Patricia sedikit gugup dan grogi. Perasaan dalam hatinya sangat campur aduk: bahagia, senang, terharu, dan masih sedikit tidak percaya ia bisa sampai di momen ini bersama dengan Jeremy.

Patricia, Natha, dan Tere pun keluar dari ruang ganti. Kedua temannya membantu Patricia memegang ekor gaunnya yang menjuntai panjang. Jeremy, Doneil dan Yoseph yang sudah ada di luar pun mendadak kagum dan tercengang saat Patricia datang.

“Anjir cakep banget lo!” seru Doneil.

“Kanjeng Nyai hari ini, nih, haha,” tambah Yoseph. Semuanya terkekeh kecil. Jeremy mendekat ke arah Patricia,

“Cantik banget calon istri,” ucapnya sambil mengelus pelan pipi Patricia dan meraih tangan wanita itu.

Wanita itu hanya tersipu malu ketika Jeremy memandangi Patricia dari ujung kepala sampai kaki.

“Ya udah, sono buruan,” suruh Doneil. Jeremy pun menggandeng Patricia untuk menuju tempat mereka photoshoot indoor dan outdoor.

“Yang mesra dong, woy, elah mau kawin masa kaku amat,” goda Yoseph sambil terkikik.

“Deketan wajahnya, deketan, woy, buset!” tambah Natha yang kala itu menjadi kekasih Yoseph dengan suara lantang. Doneil dan Tere hanya tertawa kecil. Sementara Patricia dan Jeremy mengikuti arahan teman-temannya dan juga fotografer mereka.

“Iya wajahnya deketin lagi nggak apa-apa,” pinta sang fotografer sambil mengambil beberapa gambar untuk Jeremy dan Patricia.

Tiba-tiba, Jeremy memegang kedua pipi kekasihnya dan mengecup bibirnya sejenak. Sang fotografer tidak ingin kehilangan momen itu dan mengabadikannya.

“Yah, yah, males, nih, gue begini, nih, kan, jadi pengin, ya, Beb?” ujar Doneil sambil merangkul Tere.

“Kagak, sih, biasa aja,” ledek Tere yang disambut tawa renyah dari Yoseph dan Natha.

Jeremy mengubah posisinya menjadi memeluk Patricia dari belakang dengan tangannya yang melingkar pada pinggang wanita itu. Patricia pun sedikit menengok ke arah Jeremy, pose yang sempurna. “I love you,” ucap Jeremy lirih di sela pemotretan.

Patricia hanya tertawa kecil. Tatapan keduanya bertemu dalam satu titik temu, sorot mata keduanya menjadi sorot mata bahagia. “Makasih, Jer, udah jadi yang terakhir,” bisik Patricia lirih. Matanya berkaca-kaca dan Jeremy mempersilakan sebutir kristal bening jatuh di pipi wanita itu kemudian pria itu menyekanya dengan jemari tangannya.

Jeremy menggenggam tangan Patricia dan genggaman tangan itu menjadi semakin hangat dan erat.

“Kita nggak mau kayak gitu apa, Nath?” tanya Yoseph sambil merangkul kekasihnya.

“Mau, sih, tapi kalau kamu udah berhenti main Dota!” balas Natha ketus, tetapi tersenyum kecil. Ada kebahagiaan terselip di hati Natha, Doneil, Yoseph, dan Tere melihat dua sejoli yang kini tengah berbahagiaJeremy dan Patricia. Mereka semua tahu bahwa Jeremy memang mencintai Patricia. Hubungan keduanya bisa terbilang lancar dan langgeng walaupun sempat menjalani hubungan jarak jauh.

Kini sesi photoshoot sudah selesai. Semuanya kembali dengan pasangan dan mobil masing-masing. Doneil bersama Tere, Yoseph bersama Natha, dan Jeremy bersama Patrice.

Hari ini Jeremy sudah mempersiapkan dinner romantis untuknya dan Patricia. Mobil Jeremy melenggang pergi dari tempat photoshoot, menuju ke tempat yang sudah ia reservasi untuk dirinya dan kekasihnya melangsungkan dinner. Namun, naas, takdir berkata lain. Mungkin kala itu, langit cerah merindukan hujan dan membuat semua yang berbahagia menangis. Di tengah jalan, mobil yang dikendarai Jeremy bertabrakan dengan mobil lain sampai menabrak pembatas jalan karena hujan yang sangat deras. Kecelakaan itu menyebabkan keduanya tidak sadarkan diri, tetapi kondisi Patricia lah yang lebih parah, kepalanya terbentur keras sehingga wanita itu kehilangan banyak darah, sementara Jeremy mengalami luka berat.

Flashback off


Sesampainya di rumah sakit, Jeremy dan Patricia langsung ditangani tim medis. Yoseph, Natha, Doneil, dan Tere tidak lupa menyusul ke rumah sakit. Betapa terkejutnya mereka mendengar kabar kecelakaan itu. Tadinya saat dinner, Jeremy sudah mempersiapkan surprise untuk Patricia yang dibantu Doneil dan Yoseph. Namun, Yoseph berulang kali menghubungi Jeremy karena tidak kunjung sampai. Akhirnya malah pihak rumah sakit lah yang mengangkat panggilan dari Yoseph. memberitahu kejadian yang menimpa Jeremy dan Patrice.

Tak lama, Jeremy yang sudah sadar dan melihat sekelilingnya bingung karena ia hanya menjumpai Yoseph dan Doneil yang tertidur di sofa. Ingatannya kembali ke kejadian kecelakaan itu. Masih jelas di ingatan Jeremy kala ia melihat calon istrinya bersimbah darah sebelum semuanya menjadi gelap. Jeremy panik dan ingin mengetahui keadaan calon istrinya, ia melepas dan mencabut infus yang menancap di tangannya. Jeremy yang gusar pun membangunkan kedua sahabatnya. Doneil dan Yoseph panik, mereka berusaha mencegah Jeremy, tetapi Jeremy tetap nekat mencari keberadaan Patricia.

Dengan langkah berat dan gontai Jeremy berniat keluar dari ruangan rawatnya.

“Jer, tenang, Jer, udah lo tenang dulu! Lo mau ke mana?!” pekik Doneil lalu menahan pintu kamar yang dicegat olehnya.

Jeremy memberontak dan memaksa Doneil dan Yoseph membukakan pintu, tetapi kedua sahabatnya itu menahannya.

“Gue mau liat Patrice! Minggir lo semua!” pekik Jeremy sambil mendelik tajam.

“Lo lihat dong, keadaan lo juga masih kayak gitu!” Yoseph emosi.

Patricia sebenarnya ada di ruang ICU dan ditunggui oleh Natha dan Tere.

“Gue mau ketemu Patrice, dia di mana?!” Jeremy menggerutu

“Patrice di ICU,” jawab Yoseph lirih.

Jeremy yang mendengar perkataan sahabatnya itu pun merasakan tenggorokannya tercekat dan langsung beberapa kali membenturkan kepalanya ke tembok.

“Jer!” Yoseph dan Doneil mencegah dan menahan tubuh Jeremy yang sudah hilang kendali.

“Mana bisa tenang, sih?!” suara Jeremy meninggi. Doneil mencengkeram kedua pundak sahabatnya itu.

“Terus lo ngapain nyakiti diri lo gitu? Mau tambah susah?” tambah Yoseph yang ada di sebelah Jeremy juga.

Jeremy hanya terisak sambil terduduk di lantai. “Gue nggak akan bisa maafin diri gue sendiri kalau ada apa-apa sama Patrice!”

“Ya, terus, lo mau gimana?!” tanya Doneil. Jeremy membenamkan wajahnya di telapak tangannya. Tak lama, ada yang mengetuk pintu kamar rawat itu. Yoseph membukakan pintu, dilihatnya seorang dokter sudah ada di sana. “Patrice mau bertemu yang namanya Jeremy,” ucap sang dokter.

Jeremy melihat ke arah teman-temannya. Mereka mengangguk tanda memberikan kode agar Jeremy masuk menemui Patricia. Dengan langkah gontai, Jeremy memasuki ruangan ICU. Kedua sahabatnya hanya menunggu di luar. Perlahan Jeremy memasuki ruangan itu sendirian, dilihatnya Patrice tergeletak lemas. Jeremy mendekati kekasihnya yang masih terkulai di tempat tidur dengan beberapa alat terpasang di tubuhnya.

Tangan Jeremy yang gemetar meraih tangan kekasihnya yang disambut hangat oleh genggaman Patricia. Wanita itu membuka mulut seakan ingin mengatakan sesuatu. Hal tersebut membuat Jeremy mendekatkan wajahnya ke wajah kekasihnya.

Sementara semua orang yang menunggui Jeremy dan Patricia menunggu di luar.

“Mereka bakalan baik-baik aja kan?” Natha menggenggam tangan Yoseph dan menggoyangkannya pelan, sementara Yoseph menatap kekasihnya lalu memeluknya. Doneil yang duduk terdiam dengan tatapan kosong pun merasakan kesedihan itu. Tere merangkulnya dan menyandarkan kepalanya di pundak Doneil.

“Jer,” ucap Patricia lirih.

“I’m here,” jawab Jeremy sambil berusaha memberikan senyum yang sangat berat untuk ia lakukan.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Patricia. Mata Jeremy berkaca-kaca karena di saat seperti ini pun Patricia masih mengkhawatirkannya. Jeremy mengangguk dan memberikan senyum untuk Patricia. Jeremy membelai rambut Patricia. “Aku bahagia banget udah sampai di sesi photoshoot sama kamu, nggak sabar buat wedding kita.” Patricia menarik kedua ujung bibirnya, matanya pun sama berkaca kaca.

“Iya, nanti kita pilih gaun yang paling cantik buat wanitaku yang paling spesial.” Jeremy mengecup kening Patricia.

“Jer, makasih, ya, udah menyempurnakan semua kekurangan aku.”

Ucapan Patricia membuat hati Jeremy hancur. Ia pun memeluk kekasihnya seakan mengatakan semua akan baik-baik saja. “Kamu orang yang pengin aku bahagiain. I want to spend the rest of my life with you. Aku pengin lihat kamu waktu bangun dan mau tidur,” ucap Jeremy diiringi suaranya yang parau.

“Kamu hebat kamu bertahan sejauh ini sama aku tanpa pernah ninggalin aku. Aku sayang kamu, Jer, sayang banget.” Suara Patricia bertambah lirih. Kalimat itu Patricia rapalkan dengan napas yang semakin berat.

Please, bertahan, ya, Pat. Kali ini aku mohon.” Patricia yang mendengar ucapan Jeremy itu pun tak bisa menahan air mata. Ia membenamkan wajahnya di tubuh kekasihnya, memeluknya erat sekali lagi.

“Jeremy.”

“Iya, Sayang?” tanya Jeremy. Kemudian hening. “Kenapa? Patrice?”

Jeremy merasakan tangan Patricia tidak memeluknya lagi. Perlahan wanita itu merenggangkan pelukan. Dilihatnya Patricia sudah menutup matanya. “Patrice.” Jeremy menggoyang pelan tubuh Patricia, tetapi tidak ada respons. “Sayang? Kamu denger aku, kan? Kamu bisa jawab aku, kan?” Jeremy menggenggam tangan kekasihnya, tangan itu mulai dingin.

“Patrice!!” Jeremy tidak bisa menahan isak tangis histerisnya. Ia memeluk tubuh Patricia yang sudah tidak berdaya dengan sesekali menggoyangkan tubuh itu. Air mata Jeremy langsung tumpah tanpa komando. Air matanya baru tumpah kali ini, melepas kepergian dermaga hatinya untuk selamanya, bersama seluruh harap dan asa yang hanya akan menjadi semu belaka.

Yoseph, Natha, Tere, dan Doneil yang berada di luar ruangan terkejut mendengar teriakan Jeremy lalu mereka bergegas memasuki ruangan. Doneil dan Yoseph menarik tubuh Jeremy. Natha dan Tere melihat monitor di sebelah tubuh Patricia menunjukkan garis lurus. Semua tidak bisa membendung air mata mereka. Tere dan Natha berlutut tersungkur di sebelah ranjang Patricia.

Sementara Jeremy masih histeris meneriakkan nama Patricia dan meminta wanita itu untuk membuka mata. Ia mengabaikan kehadiran sahabat-sahabatnya dan tetap tak henti menggoyang tubuh tak bernyawa itu. “Patricia, nggak boleh pergi! Enggak!” Jeremy masih berusaha meraih tubuh Patricia, tetapi dihalangi oleh Yoseph dan Doneil yang menahannya.

Mereka semua tidak bisa membendung air mata karena kehilangan salah satu sahabat. Baru saja Doneil dan Yoseph melihat Jeremy bahagia untuk melaksanakan pernikahan, tetapi kebahagiaan itu hilang dalam sekejap.

“Yoseph! Doneil! Patrice pasti bangun, kan?! Gue udah janji mau married! Iya, kan?!” Jeremy semakin menjadi dalam kenyataan yang harus ia terima ini. Ia bersimpuh di dekat brankar rumah sakit sambil terus memandangi tubuh kekasihnya yang tidak akan bangun lagi. Jeremy luruh dalam tangisnya kala menyaksikan dokter dan suster melepas satu persatu alat yang menempel pada tubuh Patricia.

“Jer, yang ikhlas. Ikhlasin.” Doneil memeluk Jeremy. Jeremy masih terus menangis memandangi tubuh kekasihnya yang sudah tidak bernyawa. Patiricia, matanya sudah terpejam dan tidak akan pernah terbuka kembali. Tangisan Jeremy pecah di situ. Natha dan Tere saling memeluk dan tidak bisa menahan tangis melihat Patricia yang ceria sudah mengakhiri pertandingan dalam hidupnya.

Jeremy merasa seperti ditusuk pisau di sekujur tubuhnya. Hanya sakit yang ia rasakan. Kebahagiaan yang selama ini ia cari harus hilang. Jeremy harus kehilangan setelah ia menemukan. Harapannya pupus semua mimpinya yang sudah ia rajut dengan Patricia harus terhenti di sini. Tidak ada tangan yang bisa ia genggam lagi, tidak ada tawa yang menghiasi hari-harinya lagi, tubuh yang biasa ia peluk kini sudah pergi.

Jeremy harus menerima kenyataan, bahwa ia harus kehilangan seseorang yang berpengaruh dalam hidupnya, seperti ada sesuatu dari bagian hidupnya yang hilang dalam sekejap. Posisi Patricia di hati Jeremy dan yang lain tidak akan terganti. Semua momen kebersamaan bersama Patricia terlintas dalam pikiran Jeremy saat ini.

Raga Jeremy dan Patricia tidak lagi bersama, tetapi mereka masih bisa bertemu dalam doa dan mimpi. Patricia sudah mempunyai tempat tersendiri di relung hati Jeremy. Kehilangan yang tiba-tiba, tidak ada yang siap menerimanya. Jeremy menyayangi Patricia dalam keadaan apa pun. Namun, setiap pertemuan pasti akan menghadapi perpisahan. Tidak ada yang abadi.

Jeremy melepaskan pelukan sahabatnya ia kembali mendekat memandangi kekasihnya yang tampak seperti sedang tertidur dengan senyum yang indah. Jeremy hanya manusia biasa yang tidak bisa melawan takdir walaupun ia tidak bisa menerimanya. Sekali pun Jeremy menginginkan kehadiran Patricia kembali, itu tidak akan bisa. Jeremy harus siap melepaskan dan merelakan. Mereka hanya sejauh doa. Hanya raga mereka yang terpisah. Bahkan, sampai napas terakhir Patricia pun ia masih mencintai Jeremy.

Saat brankar rumah sakit itu didorong keluar dari ruangan ICU oleh beberapa perawat, Jeremy menghardiknya, tetapi ditahan oleh Yoseph dan Doneil. Tangis dan teriakan Jeremy beradu kala itu. Untuk terakhir kali dengan sepenuh hati. “Aku ikhlas.” Jeremy berkata lirih.

Perpisahan memang ditakuti, tetapi lebih menakutkan menjalani hari ke depannya karena tidak lagi sama. Luka di hati Jeremy sulit sembuh. Telah gugur, dan hancur lebur perasaan Jeremy melihat kekasihnya yang akan ia gandeng saat pernikahan sudah terbujur kaku. Jeremy bersimbah air mata. Cerita cinta yang dibina tinggal cerita. Pilar kokoh Jeremy tidak bisa lagi menahan luka dan duka. Yang ia jadikan pelabuhan sudah tiada. Harus ke manakah ia berlayar? Jeremy sudah terbiasa bersama. Sekarang ia putus asa. Ia merasa sebagian dari dirinya hilang, bibirnya tak mampu tersenyum, penyesalannya menggerogoti hati dan jiwa Jeremy saat ini dan mungkin ke depannya. Ia selalu menyalahkan diri akibat kecelakaan yang merenggut nyawa calon istrinya, Patricia. Namun, ia kembali sadar bahwa semua hal yang terjadi dalam hidup sudah menjadi kendali sang penulis cerita, yang kuasa sang empunya hidup. Mimpinya dengan Patricia tidak lagi memiliki kesempatan untuk diwujudkan dalam kenyataan.


Kehilangan yang Jeremy rasakan memang sangat membekas. Oleh karena itu saat ia menemukan Lea sebagai pendampingnya, ia seakan mendapat harapan baru. Oleh karena itu, Jeremy tidak ingin ada salah paham. Ia harus menyelamatkan hubungannya dengan Lea. Termasuk menceritakan hal yang ia simpan ini, memang bukan tentang perselingkuhan atau apapun. Tapi lebih tentang kesiapan hati Jeremy juga untuk menceritakan hal yang berat ini.

Jeremy tiba di ujung kalimatnya dengan tangis, hal itu tentu saja membuat Lea langsung memeluk kekasihnya.

“Maaf, maafin aku. Aku nggak tahu kamu punya cerita sebesar ini, maaf kalau aku malah nuduh kamu yang enggak-enggak. Jer… please be strong, Patrice pasti mau kamu kuat.” Lea berkata sambil memeluk Jeremy dan mengusap punggung Jeremy.

Pria di pelukan Lea itu membalas pelukan Lea erat, ia membenamkan wajahnya di antara pundak dan ceruk leher Lea.

“Maaf juga, bukan aku mau bohong. Aku butuh waktu aja buat cerita semuanya dan aku belum siap. Tapi aku bersyukur kamu mau ngerti. Lea… maafin aku, jangan marah lagi, ya? Lambat laun aku pasti akan singkirin semua yang berhubungan dengan masa lalu aku, kok.” Jeremy merenggangkan pelukan, Lea pun meraih tangan Jeremy dan menggenggamnya. Membuat Jeremy menatap Lea lekat-lekat.

“Jer, nggak perlu terlalu keras. Aku nggak marah, ditinggal selamanya sama orang yang kita sayang itu nggak mudah. Ada beberapa hal yang harus disimpan, ada yang harus ditinggalkan, tapi itu biar jadi urusanmu dan hatimu. Aku yakin Patrice pun nggak ingin kamu memaksakan diri. Tapi, aku mau kamu nggak stuck disitu terus. Jalanin ini semua bareng sama aku, ya?” ucapan Lea benar-benar membuat Jeremy ingin menangis lagi. Sebut saja Jeremy lemah, tapi ia benar-benar kehabisan kata-kata kali ini. Patrice dan Lea memang berbeda dalam segala hal, tapi yang Jeremy tahu sekarang, Lea penghuni relung hatinya. Lea yang harus ia jaga, Lea yang harus jadi kawannya sampai akhir usia.

Jeremy pun menangkup kedua pipi Lea dan mendekatkan wajah Lea lalu mengecup dahi kekasihnya itu, “makasih sayang, makasih. Panjang umur ya aku sama kamu, biar bisa lakuin semua hal yang udah kita rancang. Aku mau sama kamu terus.” Jeremy berkata dengan raut wajah sendu.

“Kapan-kapan ajak aku ke tempat Patrice dong, boleh?” tanya Lea sambil tersenyum tipis. Jeremy mengangguk antusias dan tanpa ragu, “boleh banget,” katanya.

“Aku mau berterima kasih juga sama Patrice karena udah bantu kamu survive sampai sekarang, aku yakin kehidupan kamu di Singapore dulu juga nggak gampang. Dan kamu bisa lewatin itu semua.” Lea berkata sambil menahan tangan Jeremy agar tetap di pipinya.

“Tahu dari mana?” Jeremy bingung.

“Kamu temen abang Tim, please, pikun haha, aku tahu semua tentang pacar aku,” kata Lea sambil mencubit pelan hidung Jeremy. Pria itu dibuat gemas oleh kekasihnya, air mata Jeremy diusap Lea, diseka lembut oleh jemari lentik seorang Elleanor. Lalu saat hening melanda dan keduanya hanya saling tersenyum dan bertukar perasaan lewat intuisi, Lea memeluk Jeremy lagi.

“Aku janji, akan jadi yang terakhir buat kamu. Kamu juga bisa janji buat hal ini, kan? Trauma kamu pasti bisa dilawan, pelan-pelan. Aku temenin, aku bantuin, bagiin semua hal ke aku, Jer. I’m yours, mau itu tawa atau duka sekalipun,” bisik Lea. Jeremy menghujam puncak kepala Lea dengan kecupan, “bisa, sayang. Aku Cuma mau kamu, dalam segala keadaanku. I love you more than I can say, Cecillia Praise Elleanor.”

Sedari tadi memang Yoel berada di kediaman Opa dan Omanya. Ia masih haus penasaran terhadap hal yang sempat ia pertanyakan kepada Papanya tapi tidak membuahkan jawaban. Sampai di hari libur ini ia nekat berkunjung ke rumah Jeremy dan Lea hanya untuk mengetahui semua tanya di kepalanya. Yoel dari tadi mengikuti kemana kaki Lea melangkah.

“Oma, ayo ceritain ke Yoel,” kata Yoel manja sambil memegangi lengan Lea.

“Apa, sih, nak?” tanya Lea.

“Mau diceritain Oma…”

Lea memutar bola matanya, “cerita film kartun?”

“Omaa…” Yoel merajuk lagi.

Embusan napas panjang terdengar dari sosok Oma dari Yoel itu yang tengah membuatkan cucunya segelas susu hangat, “minum dulu, nih.” Lea memberikan secangkir susu cokelat hangat yang baru saja ia buat untuk Yoel. Anak lelaki itu menerimanya lalu keduanya pun duduk di sofa ruang tamu lagi bersebelahan. Lea memainkan ponselnya sejenak sambil menunggui Yoel yang masih asik menyesap susu hangat itu.

“Omaa….” Yoel merengek lagi setelah menaruh gelasnya di atas meja.

Lea memutar bola matanya, menaruh ponselnya di atas meja lalu mencubit kedua sisi pipi Yoel, “apa Yoel, apa nak, kenapa, hm?” katanya.

Tell me the truth, Oma.”

Truth about what?

Papa and uncle Mevin.

Lea terkekeh sejenak lalu membelai puncak kepala Yoel dan menatapnya lekat, “Yoel, apa yang bakalan Yoel lakuin kalau udah tahu cerita sebenernya?”

Yoel melirik ke kanan dan kiri seakan berpikir lalu menumpukan lagi pandangannya kepada sosok Omanya itu, “nothing change, Oma. I just want to know the truth because Papa won’t tell me.”

Tapi tiba-tiba Jeremy keluar dari kamar dan duduk di sofa tunggal yang berseberangan dengan Yoel dan Lea, “Om Mevin sama Papa kamu itu anak kandung Oma, yang bukan anak kandung itu kamu, Yo.” Jeremy berkata sambil sesekali menatap Lea yang sudah mendelik dan memiringkan kepalanya.

“Hah?” Yoel terperanjak kaget.

“Iya, kamu tuh anak angkatnya Papa Jevin sama Mama Letta.” Jeremy berkata santai sambil menahan tawa.

Yoel menatap Lea dengan mata berkaca-kaca, “gimana, sih, Oma? Kok jadi Yoel yang bukan anak kandung? Emang iya?”

“Iya, kamu aja paling beda tingkahnya sama ko Eugene sama Icel. Iya kan? Kamu bikin gebrakan mulu, Koko sama Icel nggak pernah.” Jeremy menyambar lagi membuat Yoel semakin ingin menangis.

“Emang iya, Opa? Yoel bukan anak Papa Jevin sama Mama Letta?” tanya Yoel lagi, bahkan kini air matanya sudah menetes. Lea yang tidak tega langsung menarik Yoel dan menyandarkan kepala Yoel di tubuhnya lalu Lea merangkul cucunya itu.

“Jangan dengerin Opamu, ah, bercanda.” Lea berkata sambil melotot ke arah Jeremy. Pria paruh baya itu terkekeh lalu bergerak berpindah duduk di sebelah Yoel lalu mengacak rambut Yoel pelan.

“Jelas-jelas kamu itu mirip Papa Jevin banget. Hidung mancung, rahang tajem banget, badan tinggi, berulah? Jangan ditanya, sama udah kamu sama Papamu itu. Semua anak Papa Jevin anak kandung, Opa bercanda doang.” Jeremy tidak bisa menyembunyikan tawanya lagi, ia berhasil mengerjai cucunya paling super ini.

“Bener nggak, Oma… Yo.. Yoel anak Papa Jevin sama Mama Letta kan?” tanya Yoel yang menangis sampai terbata-bata mengucapkan kalimatnya. Lea mencium pipi kanan Yoel lalu memeluk dan mengusap punggung cucunya itu, “iya, sayang, iya. Itu Opa kamu minta dijewer banget emang. Tunggu bentar Oma jewer, nih!” kata Lea sambil merenggangkan pelukan lalu tangannya terulur dari belakang tubuh Yoel dan meraih telinga Jeremy lalu menjewernya pelan.

“Aduh!” rintih Jeremy sambil terkekeh.

“Opa pranknya nggak asik,” gerutu Yoel sambil memanyunkan bibirnya.

“Hahaha, maaf, maaf,” kata Jeremy lalu merangkul cucunya itu, “ini kamu tuh nggak usah tes DNA juga orang udah tahu kamu anak Jevin,” lanjut Jeremy.

Yoel pun mengusap air matanya, Lea mulai meraih tangan Yoel dan menatap Yoel, “Yoel beneran mau denger cerita Oma?” tanya Lea, Yoel mengangguk mantap tanpa ragu. Jeremy masih di sana, di sebelah Yoel, ia juga ingin mendengar apa yang akan Lea ceritakan.

“Jadi, dulu Oma sama Opa punya teman, namanya Jovian dan Petra. Mereka baik banget, Petra ini dokter dan beberapa kali nanganin Oma waktu sakit. Singkatnya, waktu itu Oma hampir celaka, dan yang dateng nyelametin Oma ya Petra ini. Tapi kita sama-sama harus dibawa ke Rumah Sakit waktu itu. Petra sama Oma sama-sama dalam keadaan hamil, tapi HPL Petra masih agak jauh sementara Oma memang sudah dekat waktu melahirkannya. Operasi darurat dilakukan, bayi kami berdua lahir. Bayi kembar Oma salah satunya harus pergi, nggak bisa diselamatkan… yang selamat Papa Jevinnya Yoel.” Lea menghela napas panjang setelah merapalkan kalimatnya.

“Tuhan ternyata punya kehendak lain, Petra harus pergi selamanya. Tapi, sebelum pergi, Petra pesan sama Opa agar merawat anaknya, agar Opa bersedia mengangkat anak Petra jadi anak Opa. Rasanya hari itu campur aduk nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata, nggak ada yang bisa menggambarkan keadaan saat itu. Petra berpulang, anak itu Opa rawat sama Oma.” Jeremy menyambung ceritanya.

“Anak itu, Om Mevin? Anak kembar Oma yang selamat itu Papa, dan kembaran Papa meninggal? Jovian itu Opa Jo … Opanya Shallom?” Yoel mulai bisa menyimpulkan cerita Opa dan Omanya. Ia bergantian menoleh menengok Opa dan Omanya yang sama-sama mengangguk.

“Selama ini Yoel tahu Opa Jo, selama ini Yoel tahu Shallom punya Opa ada Opa Jeremy, Opa Kevin dan Opa Jo. Tapi setiap Yoel tanya Papa Jevin, kenapa bisa Shallom punya tiga Opa dan kenapa Yoel nggak pernah ketemu Opa Jo. Kata Papa selalu ‘panjang ceritanya, pokoknya Opa Jo itu Opanya Shallom juga, kalian harus panggil Opa Jo juga.’ Kata Papa selalu kayak gitu.” Yoel merangkai kalimatnya.

Lea membelai puncak kepala Yoel, “Om Mevin yang bukan lahir dari rahim Oma, tapi semua anak Oma. Tante Lauren, Papa kamu, Om Mevin. Mereka dibesarkan dengan kasih sayang yang sama dari Oma sama Opa. Mereka semua anak Oma, tanpa embel-embel apapun.”

Yoel menatap Lea, “Oma Petra udah di surga ya, Oma?” Lea mengangguk kemudian.

“Terus kenapa Om Mevin nggak diasuh Opa Jo?” Pertanyaan Yoel kali ini membuat Lea dan Jeremy sama sama bungkam.

“Opa? Oma?” Yoel menggoyangkan lutut Opa dan Omanya pelan.

“Nggak bisa, waktu itu nggak bisa.” Lea berkata lirih sambil tersenyum tipis.

“Opa Jo tega Om Mevin diasuh Opa sama Oma gitu aja?” tanya Yoel lagi.

“Bukan masalah tega atau nggak tega. Tapi harus, keadaan nggak memungkinkan Om Mevin dibawa Opa Jo juga saat itu.” Jeremy membelai puncak kepala Yoel.

“Yoel sempet ngerasa, Papa sama Om Mevin kembar tapi beda banget mukanya, tapi Papa selalu bilang mereka kembar yang nggak identik, and I trust Papa. ternyata ada cerita besar di belakang itu semua. Oma sama Opa hebat, hebat banget. Yoel jadi ngaca ke kehidupan Yoel. Papa sama Om Mevin aja bisa akur gitu, masa Yoel sama Ko Eugene ribut terus. Astaga… nggak kebayang gimana waktu itu Opa sama Oma… dan gimana Om Mevin… semua sih nggak kebayang, tapi… ini… se… sedih banget, aaahh… sedih….” Yoel pecah dalam tangis di kata terakhirnya. Lea dan Jeremy malah tersenyum gemas, Lea meraih cucunya itu dan memeluknya dan menenangkan Yoel.

“Ini kenapa anak ganteng malah tambah nangis?” tanya Lea.

“Nggak kebayang gimana Opa Oma kehilangan waktu itu, besarin semua anak-anak … dan … aahhh nggak tahu, sedih banget,” kata Yoel diatas tangisannya.

Jeremy dan Lea saling menatap dan tersenyum sambil menggeleng pelan, “makanya, kamu sama Ko Eugene yang akur. Cerita hidup Papa kamu itu panjang banget.”

“Cerita hidup keluarga ini, bukan Papa aja!!” tangis Yoel.

“Iya, keluarga ini, iya.” Jeremy mengusap punggung Yoel. Jeremy menatap Lea lalu mengatakan “I love you.” Tanpa suara yang membuat Lea tersenyum haru. Saat Yoel sudah sedikit tenang, Lea menangkup kedua pipi cucunya itu.

“Semua udah tahu tentang ini, Oma?” tanya Yoel.

“Yang belum tahu kamu sama Icel aja, sih. Shallom mah udah tahu, tapi Icel kayaknya masih terlalu kecil ya buat mencerna ini semua,” balas Lea. Yoel hanya mengangguk-angguk sambil menetralkan napasnya. Ia menatap Opa dan Omanya bergantian lalu berkata, “semoga nanti waktu udah gede, Yoel jadi orang tua kayak Opa sama Oma. Pokoknya Opa sama Oma harus panjang umur, ya? Yoel mau berdoa sama Tuhan terus biar Opa sama Oma sehat terus dan panjang umur, bisa lihat Yoel dewasa, dan semua cucu Opa Oma tumbuh dewasa…”

Akhirnya Lea dan Jeremy pun merangkul cucunya itu dari sisi kanan dan kiri, keduanya kehabisan kata-kata kali ini. Nyatanya, segala hal yang sudah terlewati di keluarga ini membawa pelajaran baik bagi semuanya. Yoel sadar, Yoel bersyukur tiada terhingga terlahir di tengah keluarga ini.

“Udah jangan nangis lagi.” Lea mencubit pelan pipi Yoel.

“Tapi sedih banget!” Yoel masih merengek.

“Iya sedih iya, tapi jangan nangis mulu dong calon menpora,” goda Lea.

Yoel menghapus air matanya lagi.

“Tapi kamu bukan anak Papajev loh,” bisik Jeremy iseng lalu beranjak pergi.

“OPAAAA!!” Yoel mengejar Opanya itu.

“JEREMYYYY!!!” Teriak Lea saat itu juga.

Hari itu, mentari tak malu untuk menerangi langkah Shannon dan Raymond, dua sejoli yang mungkin bisa dibilang sedang menjajaki masa perkenalan lebih jauh dari sebelumnya. Sehangat itu hubungan mereka berdua, sedamai itu hari-hari yang mereka lewati sekarang ini.

Pada sore hari menuju senja kali ini, sejak selesai mengurus urusannya di kampus, Shannon sudah berjanji akan mengantarkan Raymond ke suatu tempat sesuai dengan permintaan Raymond. Sepanjang perjalanan, Raymond hanya diam selama Shannon menanyakan hendak kemana mereka berdua.

“Kak, kita mau kemana? You okay?” tanya Shannon saat Raymond masih fokus menyetir.

Pria di sebelah Shannon itu menoleh menatap sang puan sebentar, “sure, emang kenapa? Mau kemana, yaa…. Kamu maunya kemana?” tanya Raymond sambil tersenyum.

Where will we go?” tanya Shannon merengek.

Somewhere,” jawab Raymond sambil mengedikkan bahunya.

I need to know,” balas Shannon lagi.

Tapi apa yang dilakukan Raymond? Ia membawa tangan Shannon itu untuk ia usap sebentar, “ikut aja, nggak akan aku culik,” katanya. Shannon memutar bola matanya lalu mencubit lengan Raymond, “Kak, aku serius, kita mau kemana?”

Saat lampu merah menyala, Raymond menghentikan mobilnya, satu tangannya ia gunakan untuk mengusap pipi Shannon lembut, “Jengukin adikku, Justin masuk Rumah Sakit, sebentar aja, ya?”

DEG! Jantung Shannon berdebar.

“Kak kenapa nggak ngomong? Kan aku bisa bawain buah, atau apa gitu, astaga kak Raymond! Masa iya jengukin Justin tangan kosong gini, kakkkkk…” Shannon merajuk. Tapi Raymond malah terkekeh gemas melihat Shannon.

“Justin lagi nggak boleh makan aneh-aneh, udah nggak papa, kita ke Rumah Sakit aja juga dia pasti udah seneng banget,” kata Raymond.

“Kak.”

“Nggak usah bawa apa-apa, Shannon cantik. Udah banyak makanan di sana disediain Mamiku.”

“Hmm…” Shannon mengangguk.

“Senyum dulu dong,” kata Raymond, Shannon menoleh dan tersenyum, tangan Raymond yang bertengger di satu tangan Shannon itu kini berpindah menepuk pelan puncak kepala Shannon beberapa kali yang tentu saja membuat degup jantung Shannon semakin berlomba dengan laju aliran darahnya.


Sesampainya di rumah sakit, Raymond mengajak Shannon masuk ke ruangan dimana Justin dirawat. Ruangan VIP itu hanya diisi oleh Justin saja, tidak ada yang menemani karena baru saja Maminya pulang karena tahu kalau Raymond hendak kesana dan ada beberapa hal yang harus diurus Maminya itu. Mata Justin mendelik saat melihat Raymond masuk ke ruangannya dengan bersama seorang perempuan.

Shannon pun langsung memberi senyum dan menyapa Justin saat tiba di sana. “Halo Justin,” kata Shannon ramah. Justin masih terperangah.

“Salaman buru!” tegur Raymond membuyarkan Justin.

Justin menggeleng cepat lalu berjabat tangan dengan Shannon.

“Abang pakai pelet ya?” tanya Justin tiba-tiba.

“Orang nyapa lo tadi disapa balik dulu, halo juga kak Shannon, gitu. Malah ngatain gue pakai pelet, apa sih kambing.” Raymond ngomel sambil duduk di tempat tidur Justin di dekat kaki adiknya itu sementara Shannon duduk di kursi yang ada di sebelah tempat tidur Justin.

“Halo kak Shannon, aku Justin adeknya Abang, hehe,” kata Justin sambil meringis.

“Kak Shannon pacarnya abang?” tanya Justin lagi.

Shannon mendelik, Raymond langsung menepuk keras kaki adiknya itu.

“Mulut lo di rem atau minimal diayak dulu, anjir,” omelnya.

“Aku adik tingkatnya Abang kamu, hehe,” kata Shannon malu-malu.

“Oh, kirain pacaran,” balas Justin.

“Belum.” Raymond berkata enteng sambil memandang kesana kemari menghindari pandangan mata Shannon.

“Belum berarti akan, ya?” Justin tersenyum menggoda.

Belum sempat Raymond menjawab, Shannon mengalihkan pembicaraan, “Justin maaf aku nggak bawa apa-apa soalnya tadi Kak Raymond nggak ngomong kalau mau kesini, jadi nggak ada persiapan.”

Justin terkekeh, “hati-hati loh kak,” katanya.

Shannon mengernyitkan dahinya, “hati-hati kenapa?”

“Dibawa kesini aja diem-diem, nanti diem-diem diakuin pacar, hahaha,” kelakar Justin menggema.

“Lo tuh sakit masih ngeroasting gue, Tuhan males mau nyembuhin lo nanti,” cibir Raymond. Sungguh, Shannon tidak mengerti lagi dengan kedua kakak beradik yang ada di hadapannya kali ini. Melihat Raymond telaten membantu Justin meminum obat, mengambilkan minum, mengatur infus yang melambat tetesannya, mengambilkan ini itu, membuat Shannon tanpa sadar menarik sudut bibirnya. Dibalik tingkah Raymond yang gas-gasan ternyata ia sangat peduli terhadap anggota keluarganya terutama Justin.

“Kalian pasti akur banget, ya?” tanya Shannon.

“ENGGAK!” jawab keduanya bersamaan.

Shannon menatap Raymond dan Justin bergantian, “enggak, tapi kompak ya… hehe…”

“Enakan diurusin abang, kalau sama Papi suka dimarahin, kalau sama Mami apa-apa nggak boleh, parnoan kalau Mami. Kalau sama Abang lebih santuy tapi emang agak nyebelin aja, hehe,” elak Justin.

Shannon terkekeh, “Abang kamu emang agak nyebelin,” bisinya kepada Justin.

“I can hear you,” ucap Raymond tersenyum paksa.

“Roasting aja orangnya nggak usah bisik-bisik, kak,” kata Justin kepada Shannon. Hari itu, Justin benar-benar merasa terhibur dan senang dengan kedatangan Raymond dan Shannon, begitu juga dengan Shannon, meski ia bukan siapa-siapa bagi Raymond, tapi jujur saja semua sikap Raymond membuat Shannon berdebar dan tanpa sadar tersenyum begitu saja.

Usai menengok Justin, saat keluar dari ruangan Justin, Raymond memberanikan diri bertanya, “Shan, boleh gandengan nggak, sih?”

Shannon membeku seketika, ia hanya menelan ludah dan menatap Raymond yang sepuluh senti lebih tinggi darinya itu.

“Shan?” Raymond menjentikkan jarinya di depan wajah Shannon.

“Boleh?” tanya Raymond dengan malu-malu dan mengangkat alisnya seakan memohon.

Shannon mengangguk, sungguh, Shannon membuka telapak tangannya seakan mempersilakan Raymond menggenggamnya. Benar saja, Raymond langsung menggenggam jemari Shannon dan menyatukan dalam tautan genggaman, keduanya berjalan beriringan sampai di parkiran tanpa melepaskan tangan, sampai di depan mobil Raymond, sebelum Raymond membukakan pintu mobil bagi Shannon, ia menahan Shannon sebentar. Shannon bersandar di body mobil Raymond dan Raymond tepat ada di depan Shannon dengan jarak dekat. Jantung Shannon benar-benar hampir melompat dari tempatnya!

“Shan,” kata Raymond lirih.

“Y…ya?”

“Makasih ya, udah mau ikut jenguk adikku.”

“Tapi ini aku diculik karena aku nggak dikasih tahu mau jenguk Justin,” kata Shannon sambil memanyunkan bibirnya. Raymond tersenyum tipis, ia membungkukkan tubuhnya sedikit dan mendekatkan wajahnya ke Shannon, sungguh, Shannon sudah ketakutan bukan main, ia langsung memejamkan mata, “maaf ya, cantik.” Raymond berkata tepat di telinga Shannon dan dengan suara yang berat. Shannon langsung membuka mata, mendapati Raymond sudah di tempat semula dan tersenyum membuat mata Raymond menyipit. Shannon menghela dan mengembuskan napas panjang, untung tidak terjadi hal lain.

“Iya, dimaafin. Ya udah, ayo pulang,” kata Shannon salting sambil berbalik badan dan membuka pintu mobil, tapi Raymond lagi-lagi menahannya, ia menarik tangan Shannon lagi lalu membuat Shannon menghadapnya.

“Bentar,” kata Raymond.

“Apa lagi, kak?”

“Ini,” kata Raymond sambil menarik pergelangan tangan Shannon lalu memberikan sebuah hair clip yang dihias dengan manik-manik menyerupai mata berlian. Bentuknya hanya lurus tapi warna emasnya membuat kesan elegan saat dipakai nanti.

“Buat kamu,” kata Raymond lagi.

Shannon heran, “dalam rangka apa? Tapi ini bagus banget, lucu banget!” katanya girang.

“Sini aku pakein,” ujar Raymond sambil memasangkan hair clip itu di sisi rambut Shannon sebelah kanan dengan rapi. Shannon pun bergeser mendekat ke arah spion mobil Raymond dan tersenyum bahagia, “bagus banget, makasih Kak Raymond!” katanya antusias. Raymond mengangguk dan tersenyum, ia membelai surai panjang Shannon juga sesaat lalu membukakan pintu mobil untuk Shannon. Tak hanya itu, Raymond membantu memasangkan seat belt, lalu juga kembali menggenggam tangan Shannon sesekali saat mereka berada di dalam mobil. Bukan hanya jantung Shannon yang berdegup kencang tapi juga jantung Raymond saat ini. Entah perasaan macam apa kali ini yang mereka miliki. Perlahan tapi pasti, sepertinya mereka sudah menerka dan mengartikan apa arti perasaan mereka kali ini.

Untuk Papa Jevin dan Mama Letta Papa, Mama… makasih ya udah selalu dukung Yoel dalam segala hal, bahkan Papa sama Mama tetap peluk Yoel dan usap kepala Yoel walaupun Yoel nggak naik kelas.

Papa sama Mama juga tetap ajak Yoel liburan waktu Yoel nggak naik kelas, Papa sama Mama juga pretend like nothing happened walaupun Yoel sendiri aja malu karena Yoel nggak naik kelas, apalagi Papa sama Mama. Tapi… Yoel nggak pernah denger ungkapan malu itu sendiri dari Papa atau Mama.

Papa, Mama… maaf untuk semua hal yang mengecewakan yang pernah Yoel lakuin, ya… Yoel pernah rusakin barang di rumah, pernah nggak naik kelas, pernah masuk BK, pernah berantem sama temen, pernah rusakin motor, banyak deh..

Semua prestasi yang Yoel raih sekarang nggak lepas dari keinginan Yoel bikin Papa sama Mama bangga, nggak lepas dari gimana Papa sama Mama ngingetin Yoel buat belajar, berusaha dan berdoa. Ketiga hal itu harus balance nggak bisa satu aja, nggak bisa ngandelin kekuatan diri sendiri. Karena semua hal yang kita dapetin juga kita dapet dari Tuhan yang kasih kita kehidupan dan kemampuan buat raih semua itu.

Papa sama Mama selalu kasih tahu Yoel biar Yoel lakuin hal yang bikin Yoel sukacita IN A GOOD WAY OF COURSE, and I did… Yoel ikut renang, ikut kegiatan non akademik yang bikin Yoel sukacita dan senang. Tanpa Yoel sadari ternyata hal itu bikin Yoel juga semangat jalanin kegiatan akademik Yoel.

Pa, Ma… mungkin Yoel nggak sepintar Koko ataupun Michelle yang nggak pernah gagal dalam studi mereka sejauh ini. Tapi, Yoel akan terus berusaha untuk selalu lakuin yang terbaik dan bikin Papa sama Mama senyum. Maaf kalau Yoel sering bandel, maaf kalau Yoel sering bikin Papa sama Mama kesel atau capek sama semua hal yang Yoel lakuin. Mungkin Yoel terlalu gengsi ngomong ini kalau langsung, tapi… Papa sama Mama, I Love you so much, I promise to be a better person and thank you for helping me to learn and grow up, thank you for listening and hearing me out. Thank you for caring about me and always making sure that I’m okay. Being your son is my biggest blessing. Thank you for always remind me to surrender all things to God.

I always wishper your name in my pray, I pray to God and ask for wisdom to do a lot of things after this. Papa, Mama, semua hal yang udah Mama dan Papa lewati bikin Yoel bangga punya orang tua seperti Mama Letta dan Papa Jevin yang hebat.

Papa Jevin, Mama Letta panjang umur ya <3 With Love, Christiano Yoel Geneva Adrian


Letta dan Jevin membaca surat yang diberikan anaknya itu bersama, tanpa terasa air mata Letta mengalir deras dan Jevin juga menitikan air mata yang ia usap dengan punggung tangannya. Hal semanis ini baru mereka dapati dari Yoel anak tengah paling super dengan segala gebrakannya. Letta dan Jevin saling bertatapan sejenak, mereka saling tersenyum, Letta memang tersenyum tapi air matanya terus mengalir.

Jevin pun menyekanya lalu memeluk Letta erat.

“Cetakan kamu sama aku yang sukanya gebrak keluarga bisa manis juga ternyata, ya?” bisik Jevin, ia merasakan Letta mengangguk di pelukannya.

Letta pun sedikit merenggangkan pelukan, “aku nggak bisa diginiin anak-anak, apalagi ini Yoel, enam belas tahun aku jadi Mamanya, baru kali ini baca beginian, dan… pecah banget rasanya… nggak bisa,” kata Letta terbata-bata sambil membungkam mulutnya sendiri dengan telapak tangannya. Sekali lagi Jevin memeluk istrinya itu dan mengecup puncak kepala Letta.

“Anak kita itu special, semua special. Tapi kali ini tingkahnya bener-bener bikin speechless.” Jevin berkata sambil terus membelai rambut panjang Letta.

“Bahkan sejak dia lahir,” kata Jevin lagi. Letta merenggangkan jarak, ia sedikit mendongak menatap Jevin, bibir bawahnya sedikit maju dan bergetar, air matanya mengalir lagi dan Letta terisak lagi. Ia teringat akan kejadian sebelum bahkan sampai Yoel lahir ke dunia. Hal yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya.

“Udah, jangan diingetin lagi.” Letta menangis tersedu. Jevin tersenyum lalu menenangkan istrinya itu, ia paham bagaimana perasaan Letta bertahun-tahun lalu itu. Saat sudah sedikit tenang, Jevin mengajak Letta keluar dari ruangan kerjanya itu. Dan saat mereka hendak keluar ruangan, tiba-tiba Yoel datang dan melangkah mendekat ke arah mereka.

“Papa… Mama…” Yoel berkata dengan menunduk dan mengulum bibirnya sendiri.

Tapi yang Letta lakukan adalah langsung memeluk Yoel, diikuti Jevin.

“Yoel makasih ya sayang ya udah jadi anak baik, Mama sayang Yoel.” Letta berkata sambil mencium pipi anaknya itu. Jevin juga ikut memeluk, ia sudah kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan rasa harunya. Namun tiba-tiba Yoel malah terisak, lagi dan lagi, Letta dan Jevin sekuat tenaga menahan air mata mereka.

“Papa, Mama, please forgive my mistakes, Yoel janji akan jadi anak baik, dan nggak akan bikin Papa sama Mama malu lagi.” Yoel berkata di atas tangisnya.

No need to say sorry, nak. Mama bersyukur sama kehadiran Yoel dan semua hal yang udah Yoel lakukan sejauh ini, Yoel anak baik.” Letta mengusap punggung Yoel yang sedikit bergetar itu.

“Terima kasih udah selalu doain Papa sama Mama. I believe that God will cover you with God’s hands and lead you in the right pathway.” Jevin berkata sambil mencium kening Yoel. Saat itu juga tangisan Yoel menggema, rasa haru, bangga dan bahagia terselip di sana. Atmosfer ruangan itu seketika berubah menjadi sedikit sendu tapi lebih banyak rasa haru.

“Yoel sayang Papa Jevin sama Mama Letta,” ucap anak lelaki yang tengah menangis di pelukan kedua orang tuanya itu.

Tinnn!! Klakson mobil mengagetkan Shannon yang sedang berdiri di pinggir jalan, ia memang sedang hendak memesan taksi online tapi sebuah mobil berhenti di depannya dan menglaksonnya. Shannon hampir memaki si pengendara tapi saat jendela mobil itu terbuka dilihatnya Vanessa di sana, duduk di bangku depan dan yang memegang kemudi siapa lagi kalau bukan Jacob.

“Gue minta maaf banget, tadi gue udah larang si curut ini nglakson tapi tetep dipencet klaksonnya. Nih, gue jambak aja orangnya,” kata Vanes menatap Shannon sambil menjambak kekasihnya di sebelahnya.

Shannon hanya geleng-geleng kepala, ia berjalan mendekat ke arah Vanes lalu mencubit pipi sahabatnya itu. “Kalian berdua sama aja!” kata Shannon.

“Bareng, yuk. Lunch dulu bisa kali,” ajak Jacob.

“Iya ayok!” seru Vanes bersemangat. Shannon sempat berpikir sejenak sebelum masuk ke mobil itu, betapa terkejutnya Shannon saat ia membuka pintu dan mendapati seseorang di bangku belakang, di belakang Jacob lebih tepatnya. Raymond ada di sana sambil menahan tawa.

“Kak Raymond?” Shannon kikuk.

“Buruan masuk,” kata Raymond, Shannon pun langsung masuk dan menutup pintu mobil itu. Kini, Shannon dan Raymond duduk bersebelahan di bangku belakang dan Jacob mulai mengendarai mobilnya lagi.

“Kok ada kak Raymond?” tanya Shannon.

“Mobilnya beliau tuh mogok, makanya nebeng gue, nah tadi ada lo juga di pinggir jalan jadi gue angkut sekalian aja ya, kan?” kata Jacob sambil menyenggol lengan Vanessa.

Vanessa menoleh ke belakang, “silahkan ngobrol, nanti saya beritahu baginda raja dan baginda ratu kalau sudah sampai tujuan untuk kita makan siang,” kata Vanessa sambil menganggukkan kepala pelan, mereka pun terbahak.

“Tumben kak Raymond nggak bawa motor?” tanya Shannon.

“Dipinjem adikku, kamu setiap hari pulang sendiri?”

Shannon mengangguk.

“Bareng aku terus aja, nggak papa.”

Shannon menggeleng, “nggak, nanti ngerepotin kalau setiap hari, hehe.”

“Shannon tidak peka akan maksud dan tujuan Raymond,” kata Jacob tanpa menoleh ke belakang tapi ia menahan tawanya.

“Lo diem apa gue bikin jalan kutu di rambut lo?” sahut Raymond.

“Shannon mah ada yang mau barengin malah nggak mau, ojek gratis itu,” tambah Vanes. Shannon menjadi malu, mungkin pipinya memerah sekarang, ia pun memalingkan wajah ke arah jendela di sebelahnya.

“Gimana? Nggak dijawab nih?” tanya Raymond lagi.

“Ya udah kalau malu nanti aku aja yang nawarin, tunggu chat dari aku yang bakalan menghiasi room chat kita dengan kalimat ‘shan, bareng nggak?’ gitu,” kata Raymond sambil terkekeh. Shannon melipat bibirnya menahan salah tingkah. Ia hanya mengangguk dan tersenyum.

“Ya kalau spam chat mah kudu bayar.”

“Bayar berapa?”

“Bayarnya pakai jalan bareng dong kak Raymond, gitu aja nggak peka, hahaha,” ledek Vanessa lagi. Shannon menghela napas panjang lalu memajukan badannya sedikit dan mencubit pipi Vanessa dari samping untuk sesaat hingga Vanessa merintih kesakitan.

“Haha, salting apa Shan?” tanya Vanessa lagi.

“Bodoamatttt!” balas Shannon lalu bersandar di tempatnya. Raymond hanya tersenyum dan geleng-geleng saat melihat tingkah dua perempuan itu. Sementara Jacob jangan ditanya, bagian tertawa paling kencang meski sambil menyetir.

Akhirnya saat Vanessa dan Jacob hanyut dalam obrolan lagi, Raymond sesekali curi-curi pandang terhadap Shannon yang sedang tampak membuka ponselnya dan sedikit serius. Perangai wajah Shannon dari samping saja sudah cukup menghipnotis Raymond. Hingga saat Shannon tak sengaja menoleh, ia mendapati manik mata raymond yang menatapnya lekat sehingga keduanya sempat beradu pandang sesaat, sampai akhirnya Raymond menggeleng cepat dan mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Jangankan Raymond, Shannon pun salah tingkah. Ia membuang muka dan melipat bibirnya serta memejamkan matanya, tidak bisa dibohongi, jantungnya berdegup kencang saat ini.


Jacob, Vanessa, Shannon dan Raymond akhirnya tiba di salah satu Mall dan mereka berempat mampir ke restoran sushi dan menikmati makan bersama di sana. Tapi, setelah selesai makan, Jacob berkata, “gue mau cari sesuatu sama Vanessa bentar, kalian kalau mau disini ngobrol boleh, kalau mau jalan-jalan boleh. Nanti call aja mau ketemu dimana. Ya?” kata Jacob dengan sedikit buru-buru dan menggandeng kekasihnya itu.

“Cari apaan? Berdua banget, barang haram ye?” tanya Raymond.

“Gundulmu!” Vanessa sewot. Shannon terkekeh, “ya udah nanti gue telepon kalau udah. Kalian juga kabarin kalau udah, oke?” kata Shannon. Vanessa dan Jacob mengacungkan ibu jari mereka dan berlalu dari sana. Keduanya terkekeh saat sudah keluar dari restoran sushi itu.

“Mereka pdkt-an, kita pacaran, yeyyy!” kata Vanessa girang, Jacob merangkul kekasihnya itu, “siapa tau bisa jadian, terus double date sama kita,” kata Jacob berbisik.

“Pacar aku pinter banget!” kata Vanes sambil mengacak rambut kekasihnya itu. Maka berlalulah Vanessa dan Jacob dari sana. Sementara itu, Raymond dan Shannon juga keluar dari restoran sushi itu.

“Mau beli apa?” tanya Raymond membuka pembicaraan. Shannon mengedarkan pandangannya, melihat apa yang bisa dibeli atau dikunjungi.

“Coffee or something?” Shannon mengangkat alisnya.

“Sounds good, mau kopi apa? Kenangan? Jco? Starbucks? Janji jiwa?” tanya Raymond.

“Starbucks boleh,” kata Shannon sambil mengangguk pelan. Akhirnya mereka berdua pun berjalan menuju Starbucks yang ada di Mall itu, memesan serta mengambil tempat duduk untuk berdua. Raymond sigap membawakan minuman itu untuk Shannon bahkan Raymond juga membukakan sedotan dan memberikannya kepada Shannon. Tak hanya itu, sepanjang berjalan tadi juga jika keduanya sambil mengobrol, dan ada orang yang hampir menabrak Shannon, tangan Raymond sigap menarik Shannon mendekat kepadanya. Sebelum makan tadi juga Raymond membersihkan sumpit Shannon dengan tissue, saat Shannon meminta Vanessa memesankan air mineral juga yang langsung beranjak untuk mencarikan air mineral juga Raymond. Sebenarnya dari tadi keadaan jantung Shannon sangat amat tidak aman karena perlakuan dan perhatian kecil Raymond kali ini.

“Makasih, kak.”

Raymond hanya tersenyum tipis lalu mengangguk.

“Shan, ada audisi ambassador kampus, kamu nggak ikut?” tanya Raymond setelahnya.

“Ikut, Papa sama Mama aku suruh aku coba hehe, dukung buat coba gitu, kalau kakak?” tanya Shannon sambil menoleh menatap Raymond. Raymond menghela napas panjang, ia mengedarkan pandang lalu membawanya kembali menatap Shannon, sempat terpaku sejenak pandangan Raymond karena melihat senyum Shannon dan rambut Shannon yang tergerai, “ikut juga, sama dong, hehe” jawab lelaki itu lembut. Shannon hanya tersenyum sambil mengangguk-angguk menanggapinya.

“Tapi bedanya aku nggak ada yang dukung kayak kamu, hehe,” kata Raymond yang sempat membuat Shannon melongok.

“Kenapa nggak ada yang dukung?” tanya Shannon.

“Ya, karena aku nggak cerita ikut ini itu, nggak pernah cerita kalau ikut kegiatan atau apapun, Papi sama Mami aku tahunya ya aku kuliah, udah.” “Emang kakak nggak cerita tentang gimana di kampus sama Papi Mami kakak?” Raymond menggeleng, “Nggak bisa selalu ketemu Papi Mami. Kadang sama Mami kadang sama Papi.” Mata Shannon menyipit bingung, “bingung ya? tanya Raymond. Shannon mengangguk.

“Papi Mami divorce, pisah rumah, aku sama adik aku kadang di rumah Papi kadang di rumah Mami. Tapi baru-baru ini aku di acc buat ngekos sendiri di deket kampus, gitu deh. Ribet, pelik, kehidupan ini emang pelik.” Raymond berkata dengan sedikit menertawai dirinya sendiri lalu meneguk minumannya lagi.

“Maaf, aku nggak tahu,” kata Shannon sedikit tidak enak.

“Santai, nggak papa. Biar kamu tahu dan bisa mikir mikir lagi buat besok besok.”

“Mikir? Buat apa?”

“Bolehin aku yang keluarganya rumit ini atau enggak bolehin aku⎯”

“⎯buat apa?” tanya Shannon.

“Kenal kamu lebih jauh.”

DEG! Mendengar penuturan Raymond itu, jantung Shannon seakan dipacu begitu cepat. Ditambah Raymond yang tersenyum membuat matanya menyipit. Shannon meneguk minumannya untuk mengalihkan salah tingkah tapi ia malah tersedak sampai terbatuk-batuk. Lagi dan lagi, Raymond sigap mengambilkan tisu dan menepuk pelan punggung Shannon. Kalau Shannon bisa berteriak mungkin ia akan meneriakkan “KAK RAYMOND UDAH KAK ACT OF SERVICENYA UDAH” Haha. Minuman Shannon yang menetes di meja juga di lap oleh Raymond begitu saja, kalau begini terus Shannon bisa kewalahan menghadapi serangan-serangan dari Raymond, entah dari tutur kata, sikap dan perhatian kecilnya.

“Boleh kok, kak.” Shannon berkata saat ia sudah usai dengan urusan tersedaknya tadi.

“Hah? Apa?” Raymond membulatkan matanya.

“Yang kakak tanyain tadi, jawabanku …. Boleh.” Keduanya saling menatap dan tersenyum, bertukar senyum yang mungkin berbeda dari sebelumnya, senyum yang akan mengantarkan masing-masing dari mereka membuka gerbang pengenalan dan gerbang hati mereka mungkin bagi satu sama lain.

Yoel menuruti apa yang dikatakan kakak laki-lakinya itu, ia mengendarai motornya dengan sedikit lebih cepat hingga sampai di rumah. Pintu rumah sudah terbuka tapi Yoel masih berada di motornya yang terparkir di garasi. Ia melepas helm dan jaketnya lalu menaruhnya di atas motornya. Tak langsung masuk, baru dua langkah menjauh dari motornya, ia mundur lagi berbalik badan dan mengacak rambutnya kasar. “Mampus, gimana ya nanti, dimarahin nggak ya?” ia bergumam sendiri dengan cemas. Yoel mondar mandir di dekat motornya tidak sadar kalau sudah ada Eugene di belakangnya.

“Heh!” Eugene menepuk punggung adiknya itu dan membuat Yoel terperanjat.

“Anjir, kaget!” kata Yoel sambil mengelus dadanya.

“Buruan masuk,” kata Eugene dengan nada datar. Tangan Eugene pun diraih Yoel lalu Yoel berkata, “gue nggak naik lagi, ya? Anjir… jangan cuek cuek sama gue, Ko.”

“Masuk buruan nggak usah berisik,” ujar Eugene sambil menepis tangan adiknya itu pelan dan berbalik badan.

“Ko!” pekik Yoel lalu menarik tangan Eugene lagi, Eugene pun melayangkan tatapan malas ke adiknya itu membuat Yoel tertunduk, “masuk nggak?” kata Eugene sekali lagi dengan tegas. Yoel tidak mengatakan apapun, ia hanya tertunduk lesu dan berjalan masuk ke rumahnya. Saat menginjakkan kaki di rumah itu, Yoel melihat kedua orang tuanya yang duduk di sofa juga Michelle, adiknya. Tapi saat Michelle melihat Yoel datang, Michelle langsung masuk ke kamarnya dengan sedikit berlari. Sementara Jevin dan Letta, langsung menatap tajam Yoel. Jevin bangkit berdiri saat Yoel mendekatinya, tak lupa Yoel memberi salam dan mencium tangan kedua orang tuanya itu.

“Malah kemana tadi Mama ditinggal?!” kata Letta dengan tegas.

“Kabur.” Yoel menunduk tidak berani menatap Mamanya.

“Bagus kayak gitu?” tanya Jevin dengan tegas.

Yoel menggeleng, “enggak, maaf ya Pa, Ma…”

Eugene hanya bersandar di pintu sambil menyilangkan tangan di depan dadanya tidak sabar melihat reaksi adiknya kali ini.

“Tahun kemarin gimana rapotnya?” tanya Letta.

“Nggak naik kelas.” Yoel berkata dengan lesu.

“Menurutmu gimana sekarang rapotnya?” tanya Jevin.

Yoel menggeleng pelan, bahkan untuk menatap kedua orang tuanya saja ia tidak berani.

“Nih, buka, baca sendiri!” Jevin berkata sambil menyerahkan rapot milik Yoel, anak lelaki itu menerimanya dengan tangan gemetar dan membuka rapotnya. Bola mata Yoel bergerak perlahan mengamati setiap angka yang tertulis juga catatan tambahan yang ada. Jelas, rapot itu milik Christiano Yoel Geneva Adrian. Mata Yoel membulat saat membaca nilai yang ia dapatkan, didominasi angka sembilan dan setiap nilainya nyaris menyentuh skor sempurna. Yoel mengangkat wajahnya menatap kedua orang tuanya yang kini saling merangkul itu.

“Christiano Yoel Geneva Adrian, peringkat satu dan udah jelas naik ke kelas sebelas!” kata Eugene yang datang dari belakang Yoel lalu merangkul adiknya itu.

“Anak Papa sama Mama naik kelas! Yoel besok kelas sebelas!” seru Letta girang. Yoel masih bingung, tidak percaya, ia menatap Eugene, Jevin dan Letta bergantian.

“Naik kelas? Beneran? Ranking satu?” tanya Yoel lagi dengan mata berkaca-kaca.

Tanpa kata, Jevin langsung menghampiri anaknya itu dan memeluk Yoel, “Ranking satu Christiano Yoel Geneva Adrian anak Papa, naik kelas ke kelas sebelas!” katanya. Yang terjadi selanjutnya adalah Yoel yang langsung menangis di pelukan Papanya itu. Letta dan Eugene terharu melihatnya.

“Yoel ranking satu beneran? Na… naik kelas? Nggak prank, kan? Beneran kan?” tangis Yoel sambil berkata dengan terbata-bata.

Eugene mengacak rambut adiknya itu pelan, “iya bocil, naik kelas, rangkingnya juga bukan prank!”

Jevin melepaskan pelukan, membiarkan Yoel bergantian dipeluk Letta dan Eugene. Sungguh, Jevin terharu bukan main.

“Udah gue bilang lo pasti naik kelas!” kata Eugene lagi sambil memeluk adiknya itu girang.

“Nggak percaya tahu, Ko. takut banget pas mau terima rapot,” ujar Yoel sambil menyeka air matanya.

“Gue aja optimis kalau lo bisa naik kelas, masa lo malah pesimis, buktinya sekarang lo ada di titik ini. Hebat cil!”

Letta juga beranjak memeluk Yoel dan mencium pipi anaknya itu, “Yoel kelas sebelas, yeayyy!!” serunya bahagia. Yoel masih sibuk menyeka air mata dan memandangi rapot yang masih tidak bisa ia percaya kala itu.

“Kayak mimpi, hehe, tapi… ta… tapi beneran naik…Paaa… Maaa…” ucap Yoel yang awalnya berusaha tertawa tapi menangis lagi di ujung kalimatnya. Hal itu membuat Letta dan Jevin gemas, sekali lagi, Letta dan Jevin memeluk Yoel sesaat. Hingga selanjutnya saat Michelle keluar dari kamar, gadis itu membawa sebuah paper bag lalu berlari kecil menghampiri kakak laki-lakinya itu.

“Koko selamat! Koko hebat, Koko pinter! Yeayyyyy!” kata Michelle saat berpelukan dengan kakaknya itu. Lalu Michelle menyerahkan paper bag itu.

“Kado sesuai janji Papa, selamat ya.” Jevin berkata sambil tersenyum. Yoel berlutut di lantai, menaruh paper bag itu lalu membuka isinya, wajah Yoel langsung sumringah mendapati sepatu Nike Jordan yang ia inginkan diberikan Papanya. Yoel langsung melompat lompat girang di tempatnya lalu memeluk Jevin dan Letta.

“Makasih, Pa.. Ma… makasih banyak!” katanya.

Letta dan Jevin memeluk Yoel juga. Rasanya terharu dan bahagia bercampur jadi satu.

“Peluk Ko Yoel!” seru Michelle sambil mendekat ke arah Yoel dan kedua orang tuanya itu. Maka saling memeluklah Yoel, Jevin, Letta, Eugene dan Michelle saat itu.

“Lo nggak boleh insecure lagi, Yo. Banyak banget hal yang bisa dibanggain dari lo.” Eugene berkata sambil menepuk punggung Yoel, jujur ia sebagai kakak juga bangga karena ia juga mengerti bagaimana selama ini Yoel belajar, tidak pernah membolos les dan lain sebagainya. Yoel sadar dan mengerti, bahkan sejak ia tidak naik kelas sekalipun orang tuanya tidak akan membencinya atau memarahinya habis-habisan yang membuatnya trauma atau lain sebagainya. Yoel juga membuktikan bahwa ia bisa berubah, tahun ini Yoel capai prestasinya, peringkat dan nilai terbaik, prestasi lain dan kali ini Yoel naik kelas dengan usahanya dan keringatnya. Seluruh keluarga Jevin bahagia dan lega, yang paling menegangkan di semester ini sudah terlewati. Tidak ada kata terlambat untuk pendidikan, meski harus mengulang satu tahun di semester kemarin tidak jadi masalah. Karena Yoel benar-benar menunjukkan perubahan dan berbagai prestasi baru. Yoel naik ke kelas sebelas!

Siang hari yang terik, Shannon berada di pinggir jalan dan hendak menyebrang. Lampu hijau menyala tinggal lima detik lagi, Shannon sempat bingung apakah ia harus menyebrang dan berlari sekarang atau nanti. Akhirnya Shannon pun nekat melangkahkan kakinya. Tinn! Klakson mobil terdengar nyaring saat Shannon hendak menyeberang, tapi sigap ada tangan yang menariknya ke tepian lagi sehingga mobil yang hendak menabrak Shannon tadi berjalan berlalu begitu saja sementara Shannon masih memejamkan matanya ketakutan, tapi sekarang Shannon ada di pelukan seseorang. Ia masih ketakutan bahkan wajahnya memucat seketika.

“Shan, you okay? Shannon?” tanya seseorang yang mendekap Shannon kali ini. Mata Shannon perlahan terbuka, ia sedikit mendongak, mendapati Raymond ada di sana. Kaki Shannon langsung terasa lemas, tubuh Shannon hampir terjatuh terduduk begitu saja, tapi sigap Raymond menyangganya dan menahan tubuh Shannon.

“Duduk disitu dulu, ayo.” Raymond pun menuntun dan menggandeng Shannon untuk duduk di sebuah bangku di depan toko buku di depan kampus mereka itu. Raymond mengeluarkan sebotol air mineral dari tasnya dan membukakannya lalu memberikannya kepada Shannon.

“Diminum dulu, tenangin diri dulu. Netralin napas kamu.” Raymond berkata lembut sambil menepuk pundak Shannon beberapa kali. Shannon pun menuruti apa yang Raymond katakan. Shannon meneguk minuman itu lalu menetralkan dan mengatur napasnya.

“Kaget banget pasti tadi, ya?” tanya Raymond, Shannon hanya mengangguk. Raymond melihat jelas peluh membasahi wajah Shannon, ia pun mengeluarkan sapu tangannya dan menyeka wajah Shannon yang berpeluh.

“You’re safe now, nggak papa.”

Tangan Shannon pun refleks memegang pergelangan tangan Raymond dan membuat gerakan tangan Raymond terhenti. “Makasih kak, aku aja,” kata Shannon sambil meraih sapu tangan itu dan menyeka keringat yang membasahinya.

“Lain kali hati-hati, ya?” Shannon mengangguk.

“Belum sempat ketemu buat balikin ini, tapi malah sekarang ketemunya jadi aku kembaliin sekarang, ini.” Raymond mengeluarkan sebuah gantungan kunci, milik siapa lagi kalau bukan Shannon. Gadis itu menerimanya dengan senyum sumringah dan mengucapkan terima kasih lalu memasukkan gantungan kunci itu di tasnya.

“Kok tadi bisa ada kak Raymond, kakak mau kemana emang? Once again, thank you so much, Kak,” kata Shannon.

“Mau ke KOI, terus lihat kamu mau nekat lari nyebrang jalan,” kata Raymond tersenyum. Shannon hanya mengangguk dan tersenyum.

“Makasih, kak.”

“Sekali lagi bilang makasih dapet piring.”

Keduanya pun terbahak dan ngobrol untuk beberapa saat sampai Shannon sedikit lebih tenang.

“Kamu mau pulang?” tanya Raymond, Shannon mengangguk.

“Aku anterin aja, ya?” Raymond nekat menawarkan diri.

“Katanya mau ke KOI?”

“Ke KOI bisa kapan aja, kalau nggak sengaja ketemu kamu nggak bisa setiap saat,” katanya.

Shannon menahan senyum sambil memalingkan wajahnya ke sisi yang lain.

“Mau nggak?” tanya Raymond. Shannon kembali memusatkan pandangannya kepada Raymond lalu mengangguk meski malu di awal ia memantapkan dirinya.

Akhirnya hari itu untuk pertama kalinya Raymond mengantarkan Shannon pulang. Keduanya pun menuju ke parkiran dan Raymond mengantarkan Shannon pulang dengan motornya.

“Naik motor nggak papa kan?” tanya Raymond sambil mengulungkan satu helm untuk Shannon pakai.

“Ya nggak papa, emang kenapa?”

Raymond hanya tersenyum. Akhirnya keduanya naik ke motor Raymond dan Raymond mengendarainya dengan kecepatan sedang.

“Nanti kasih tahu beloknya jangan dadakan.” Raymond berkata sambil masih fokus ke jalanan.

“Okeeee!” balas Shannon sedikit berseru. Akhirnya motor beat Raymond berhenti di lampu merah. Beberapa kali Raymond melirik spion bertukar senyum tipis dengan Shannon membuat Shannon sedikit salah tingkah.

“Kalau capek nanti bilang, ya? Nanti mampir minimarket dulu kalau capek duduk di motor hehe,” kata Raymond sambil menoleh. Shannon hanya mengangguk, sepertinya Raymond tidak menyadari tingkahnya itu membuat jantung Shannon berdegup cepat. Hingga saat lampu hijau menyala, “pegangan, Shan.” Suara Raymond menusuk rungu Shannon dan membuat Shannon refleks berpegangan pada jaket Raymond. Saat ini juga Raymond sadar, degup jantungnya sama seperti saat ia bertatapan dengan Shannon setelah bertemu papanya kala itu. Ia merasakan lagi degup jantung yang seakan berpacu dengan denting jam. Sungguh, sangat berbahaya untuk hatinya.

Cw // mention of blood

Hari ini, pukul sepuluh lebih tiga puluh menit pagi menjelang siang hari, Raymond tengah berlari di antara laju kendaraan yang berlalu lalang. Debu jalanan membuat Raymond kadang terbatuk-batuk, ia menyeberangi jalan dan melipir di antara beberapa kendaraan.

Kakinya ia gunakan berlari secepat mungkin untuk menuju kampusnya, laju kendaraan seakan berpacu dengan kecepatan kaki Raymond berlari.

“Mampus, telat kelas gue,” kata Raymond sedikit menggerutu saat melirik arlojinya. Motornya yang mogok di tengah jalan ia tinggal di bengkel, ia memesan taksi online dan harus terjebak macet.

Akhirnya, Raymond memilih turun dan berlari ke kampusnya. Peluh sudah membasahi wajah Raymond dan ia seka dengan punggung tangannya sendiri. Ia menggendong tas punggung yang sedikit lebih berat dari biasanya karena ia membawa laptop kali ini.

Rencana kelas hari ini memang diadakan jam setengah sebelas tapi kali ini waktu Raymond berlari saja sudah memakan lima belas menit. Raymond tidak sanggup jika di antara lelahnya ia masih harus mendengar ocehan dosen yang memarahinya lantaran terlambat datang.

Akhirnya Raymond tiba di depan gerbang kampus, ia membungkukkan tubuhnya dan memegang kedua lututnya, merenggangkan otot-otot tubuhnya sejenak, ia mengambil botol air mineral di tasnya dan meneguknya sebentar lalu ia berjalan lagi ke dalam area kampus. Ia langsung menuju ke gedung dimana ia akan bertemu sang dosen.

Raymond melihat antrean lift di lantai satu terlalu banyak, ia pun menaiki tangga dengan sedikit berlari menuju lantai dua. Raymond harus menuju kelas di lantai tujuh. Tiba di lantai dua masih setengah antrean lantai satu sepertinya. Raymond menaiki tangga lagi sampai lantai tiga dimana di sana sangat sepi, akhirnya Raymond juga sudah lelah ia mencoba menunggu lift di lantai tiga ini, siapa tahu gerombolan tadi turun di lantai dua atau lantai tiga ini.

Raymond memencet tombol lift lalu menunggu dengan cemas. Saat lift tiba, pintu lift terbuka dan Raymond hendak melangkahkan kakinya masuk ke sana, “misiii!” pekik seorang gadis yang menerobos Raymond begitu saja, gadis berambut panjang, menggunakan masker dan menenteng laptop serta membawa handbag.

“Eh!” kata Raymond. Sementara gadis itu sudah masuk ke lift dan pintu lift hendak tertutup, tapi Raymond menahannya dan masuk ke lift. Sialnya, saat Raymond masuk, pintu lift tidak bisa tertutup hingga mengundang beberapa orang bergunjing menyuruh salah satu antara Raymond atau gadis itu turun.

Raymond mendengus kesal lalu ia keluar, tapi sebelum ia keluar dari sana, ia menarik hoodie gadis tadi lalu membuat gadis tadi keluar dari lift, “eh, apaan?!” protes sang gadis.

“Silahkan naik aja,” kata Raymond sambil tersenyum saat pintu lift tertutup.

Gadis tadi menggerutu kesal, “lo apa-apaan sih?!” katanya dengan nada tinggi.

“Lo yang apaan! Kan gue duluan kenapa lo nyerobot?!” tanya Raymond tak kalah kesal. Gadis di depan Raymond itu memutar bola matanya kesal lalu membuka masker penutup mulut yang ia kenakan.

Betapa terkejutnya Raymond saat melihat salah satu lubang hidung gadis itu ditutup tisu yang disumpal dan terdapat darah di sana, wajahnya juga sudah pucat, “toilet lantai ini penuh, gue mau ke toilet lantai atas, gue mimisan! Puas lo?!”

Raymond langsung merasa tidak enak hati, sementara gadis itu langsung beranjak dari sana tapi Raymond mengejarnya, menahan dan menghalangi langkahnya, “s… sorry,” kata Raymond menyesal.

“Bodoamat!” omel gadis itu membuka tisu yang ia taruh untuk menutup salah satu lubang hidungnya lalu membuangnya di tempat sampah sebelah Raymond lalu menabrak tubuh Raymond dan berjalan begitu saja. Raymond sempat terdiam, entah dengan cara apa ia harus meminta maaf, sampai akhirnya sebuah suara mengagetkan Raymond, Bruukkk!

Raymond menoleh, didapatinya gadis tadi terkulai pingsan, “eh!!!!” Raymond panik bukan main, ia menghampiri gadis tadi lalu menyandarkan tubuhnya di pangkuannya, Raymond menoleh ke kanan dan kiri tapi sekelilingnya sepi, akhirnya tanpa pikir panjang, Raymond memasukkan semua bawaan gadis tadi ke dalam tasnya lalu ia gendong tasnya di depan dada dan Raymond menggendong gadis tadi di punggungnya, ia menuruni anak tangga darurat dan membawa gadis tadi ke klinik yang kebetulan ada di gedung itu di lantai satu.  

Grace berjalan mengendap dan mengintip dari balik gorden jendela rumah, Grace melihat Mevin duduk di kursi teras sambil melipat kakinya bersila, di meja terdapat dua cup kopi yang biasa kami berdua beli. Ah, sial! Sebenarnya Grace juga ingin ada di sana menemani Mevin ngobrol santai dan menikmati kopi itu berdua. Tapi Grace masih terlalu kesal karena bisa-bisanya Mevin lupa akan janji yang sudah mereka berdua buat sebelumnya.

Ddrrttt! Ponsel Grace bergetar, panggilan suara dari Mevin, Grace langsung menekan tombol merah. Begitu seterusnya sampai empat kali. Grace pun melihat Mevin beranjak dari duduknya, Grace cepat-cepat bersembunyi dibalik pintu yang tidak akan bisa Mevin lihat.

“Grace… sayang! Bukain pintunya!” serunya sambil terus mengetuk pintu rumah.

“Grace! Maafin Grace, ya? Bukain, ya? Kamu tega Grace dikerubutin nyamuk disini?” nada suaranya sudah menjadi sedikit merengek sekarang. Tanpa Grace sadari Grace menarik satu sudut bibirnya, tak bisa dibohongi, rengekan Mevin adalah salah satu hal yang bisa memancing wanita itu tersenyum. Wajahnya yang kadang masih seperti anak kecil ditambah rengekannya kalau sudah merasa bersalah memang kadang membuat Grace gemas.

“Grace, dingin… sayang… dingin tahu di luar,” kata Mevin lagi sambil masih mengetuk pintu rumah. Arghh!! Tidak bisa, Grace pun membuka pintu rumah dan Mevin jelas nampak terkejut karena Grace tiba-tiba saja membukanya.

“Sayang!” seru Mevin sambil tersenyum sumringah. Tapi, Grace masih memasang muka cuek.

Grace berjalan terlebih dahulu untuk duduk di sofa sementara Mevin berbalik sebentar meraih dua cup kopi yang ia bawa tadi, menutup pintu rumah dan langsung menyusul Grace ke sofa. Mevin menaruh dua cup kopi itu di meja di depan Grace lalu Mevin duduk dengan posisi sedikit serong menghadap ke istrinya itu.

“Sayang,” kata Mevin sambil meraih tangan Grace. Sementara Grace hanya menoleh menatap Mevin datar tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Maaf,” katanya lagi dengan nada penuh penyesalan.

“Bodoamat!”

“Grace…”

“Bodoamat!” kata Grace lagi sambil menyilangkan tangan di depan dadanya.

“Maafin, ya.. ya … ya…?” Mevin memohon lagi.

“Aku udah beli pizza sama cemilan lain, tahu nggak?” Grace masih kesal.

“Ya udah sekarang aja, kita kan besok off day, iya kan?”

“Ah palingan habis ini kamu baru nonton sebentar terus tidur,” ujar Grace sambil bangkit berdiri hendak berjalan ke kamar tapi Mevin langsung sigap bangkit berdiri dan memeluk Grace dari belakang.

“Janji, aku pesen double espresso, dijamin melek. Mau sampai pagi juga ayok aku jabanin, jangan marah. Gracelline… don’t be mad please …” pinta Mevin, Grace ingin melepaskan lengan yang melingkar di pinggangnya itu tapi tidak bisa.

Please forgive me, babe. I promise turutin kamu malem ini,” kata Mevin lagi sambil menaruh dagunya di pundak Grace. Sebuah ide pun muncul di otak Grace kali ini.

“Janji? Turutin mau aku?” tanya Grace, Mevin pun melepaskan pelukan dan membawa tubuh Grace menghadapnya, Mevin mengangguk dan tersenyum.

Netflix and chill, oh ya… and also show me your abs, katanya sibuk ngegym sampai lupa janji sama istri, ada hasilnya nggak? Kalau nggak ada nggak usah ngegym lagi,” kata Grace. Saat itu juga Mevin berdecih, tanpa aba-aba Mevin membuka kaos yang ia kenakan di depan Grace.

“MEVIN!!!” pekik Grace nyaring sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

“Udah nikah, please, look at this, ada hasilnya nggak?” kata Mevin, Grace perlahan membuka matanya, ia mengamati perut atletis Mevin, betapa terkejutnya Grace mendapati perut Mevin yang sudah sixpack. Mevin juga menunjukkan otot bisepnya yang sudah terbentuk itu. Grace menahan senyumannya sampai akhirnya Mevin menarik Grace ke dalam dekapannya.

“Maafin ya? Maafin aku, ya? Tadi beneran lupa,” ujar Mevin menyesal. Grace pun menghela napas lalu membalas pelukan Mevin itu.

“Ya udah mandi sana, dimaafin kalau udah mandi,” balas Grace.

Mevin pun tersenyum bangga lalu berlari ke kamar mandi dan Grace pun menunggu di sofa di depan TV sambil menata makanan yang sudah ia beli tadi.

—-

Setelah beberapa saat, akhirnya Mevin kembali lagi dengan celana pendek dan kaos oblongnya ia langsung mengambil posisi duduk di sebelah Grace dan merangkul istrinya itu. Tangan Mevin yang satunya meraih remote televisi lalu mulai menyetel film yang hendak mereka tonton.

“Mau nonton apa dulu, princess?” tanya Mevin.

“Cek Toko Sebelah 2 dulu aja.”

Mevin pun langsung memilihkan film yang hendak mereka tonton itu.

“Udah dimaafin belum?” tanya Mevin sambil berbisik di telinga Grace. Istri Mevin itu pun menoleh dan mengangguk sambil tersenyum. Mevin juga tersenyum puas. Akhirnya malam itu mereka melanjutkan rencana mereka untuk menonton film. Persetan dengan waktu tengah malam, kalaupun harus berjaga sampai pagi sudah pasti ada rengkuh Mevin yang menjaga Grace sampai mentari terbit nanti, kalau tidak ya pasti ada kegiatan lain yang mereka lakukan… mungkin.

Grace menyandarkan kepalanya nyaman di dada bidang Mevin selama menonton, tangan Mevin tak henti mengusap lengan, kepala, atau mencubit pipi Grace.

“Mev, diem ah tangannya!” kata Grace. Tapi Mevin tetaplah Mevin yang kadang ngeyel, tangannya malah bergerak ke pinggang Grace dan memberi usapan lembut di sana.

“Mevin!” Pekik Grace sambil menegakkan posisi duduknya.

Mevin yang menatap Grace hanya tersenyum smirk lalu mencium pipi Grace secepat mungkin.

“Mevinnnnn!!”

CUP! Mevin mencium ujung hidung Grace.

“Mevinio Adrian!!!”

Cup! Kening Grace jadi sasaran kali ini.

Grace kehabisan kata-kata, matanya memicing menatap Mevin tapi Mevin menangkup kedua pipi Grace dan memainkan pipi istrinya itu dengan gemas, “Wanna do something fun tonight?” kata Mevin.

DEG! Jantung Grace berdegup terlebih saat Mevin mulai mendekatkan wajahnya dan Grace bisa merasakan hembusan napas Mevin di wajahnya.

Grace berjalan mengendap dan mengintip dari balik gorden jendela rumah, Grace melihat Mevin duduk di kursi teras sambil melipat kakinya bersila, di meja terdapat dua cup kopi yang biasa kami berdua beli. Ah, sial! Sebenarnya Grace juga ingin ada di sana menemani Mevin ngobrol santai dan menikmati kopi itu berdua. Tapi Grace masih terlalu kesal karena bisa-bisanya Mevin lupa akan janji yang sudah mereka berdua buat sebelumnya.

Ddrrttt! Ponsel Grace bergetar, panggilan suara dari Mevin, Grace langsung menekan tombol merah. Begitu seterusnya sampai empat kali. Grace pun melihat Mevin beranjak dari duduknya, Grace cepat-cepat bersembunyi dibalik pintu yang tidak akan bisa Mevin lihat.

“Grace… sayang! Bukain pintunya!” serunya sambil terus mengetuk pintu rumah.

“Grace! Maafin Grace, ya? Bukain, ya? Kamu tega Grace dikerubutin nyamuk disini?” nada suaranya sudah menjadi sedikit merengek sekarang. Tanpa Grace sadari Grace menarik satu sudut bibirnya, tak bisa dibohongi, rengekan Mevin adalah salah satu hal yang bisa memancing wanita itu tersenyum. Wajahnya yang kadang masih seperti anak kecil ditambah rengekannya kalau sudah merasa bersalah memang kadang membuat Grace gemas.

“Grace, dingin… sayang… dingin tahu di luar,” kata Mevin lagi sambil masih mengetuk pintu rumah. Arghh!! Tidak bisa, Grace pun membuka pintu rumah dan Mevin jelas nampak terkejut karena Grace tiba-tiba saja membukanya.

“Sayang!” seru Mevin sambil tersenyum sumringah. Tapi, Grace masih memasang muka cuek.

Grace berjalan terlebih dahulu untuk duduk di sofa sementara Mevin berbalik sebentar meraih dua cup kopi yang ia bawa tadi, menutup pintu rumah dan langsung menyusul Grace ke sofa. Mevin menaruh dua cup kopi itu di meja di depan Grace lalu Mevin duduk dengan posisi sedikit serong menghadap ke istrinya itu.

“Sayang,” kata Mevin sambil meraih tangan Grace. Sementara Grace hanya menoleh menatap Mevin datar tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Maaf,” katanya lagi dengan nada penuh penyesalan.

“Bodoamat!”

“Grace…”

“Bodoamat!” kata Grace lagi sambil menyilangkan tangan di depan dadanya.

“Maafin, ya.. ya … ya…?” Mevin memohon lagi.

“Aku udah beli pizza sama cemilan lain, tahu nggak?” Grace masih kesal.

“Ya udah sekarang aja, kita kan besok off day, iya kan?”

“Ah palingan habis ini kamu baru nonton sebentar terus tidur,” ujar Grace sambil bangkit berdiri hendak berjalan ke kamar tapi Mevin langsung sigap bangkit berdiri dan memeluk Grace dari belakang.

“Janji, aku pesen double espresso, dijamin melek. Mau sampai pagi juga ayok aku jabanin, jangan marah. Gracelline… don’t be mad please …” pinta Mevin, Grace ingin melepaskan lengan yang melingkar di pinggangnya itu tapi tidak bisa.

Please forgive me, babe. I promise turutin kamu malem ini,” kata Mevin lagi sambil menaruh dagunya di pundak Grace. Sebuah ide pun muncul di otak Grace kali ini.

“Janji? Turutin mau aku?” tanya Grace, Mevin pun melepaskan pelukan dan membawa tubuh Grace menghadapnya, Mevin mengangguk dan tersenyum.

Netflix and chill, oh ya… and also show me your abs, katanya sibuk ngegym sampai lupa janji sama istri, ada hasilnya nggak? Kalau nggak ada nggak usah ngegym lagi,” kata Grace. Saat itu juga Mevin berdecih, tanpa aba-aba Mevin membuka kaos yang ia kenakan di depan Grace.

“MEVIN!!!” pekik Grace nyaring sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

“Udah nikah, please, look at this, ada hasilnya nggak?” kata Mevin, Grace perlahan membuka matanya, ia mengamati perut atletis Mevin, betapa terkejutnya Grace mendapati perut Mevin yang sudah sixpack. Mevin juga menunjukkan otot bisepnya yang sudah terbentuk itu. Grace menahan senyumannya sampai akhirnya Mevin menarik Grace ke dalam dekapannya.

“Maafin ya? Maafin aku, ya? Tadi beneran lupa,” ujar Mevin menyesal. Grace pun menghela napas lalu membalas pelukan Mevin itu.

“Ya udah mandi sana, dimaafin kalau udah mandi,” balas Grace.

Mevin pun tersenyum bangga lalu berlari ke kamar mandi dan Grace pun menunggu di sofa di depan TV sambil menata makanan yang sudah ia beli tadi.

—-

Setelah beberapa saat, akhirnya Mevin kembali lagi dengan celana pendek dan kaos oblongnya ia langsung mengambil posisi duduk di sebelah Grace dan merangkul istrinya itu. Tangan Mevin yang satunya meraih remote televisi lalu mulai menyetel film yang hendak mereka tonton.

“Mau nonton apa dulu, princess?” tanya Mevin.

“Cek Toko Sebelah 2 dulu aja.”

Mevin pun langsung memilihkan film yang hendak mereka tonton itu.

“Udah dimaafin belum?” tanya Mevin sambil berbisik di telinga Grace. Istri Mevin itu pun menoleh dan mengangguk sambil tersenyum. Mevin juga tersenyum puas. Akhirnya malam itu mereka melanjutkan rencana mereka untuk menonton film. Persetan dengan waktu tengah malam, kalaupun harus berjaga sampai pagi sudah pasti ada rengkuh Mevin yang menjaga Grace sampai mentari terbit nanti, kalau tidak ya pasti ada kegiatan lain yang mereka lakukan… mungkin.

Grace menyandarkan kepalanya nyaman di dada bidang Mevin selama menonton, tangan Mevin tak henti mengusap lengan, kepala, atau mencubit pipi Grace.

“Mev, diem ah tangannya!” kata Grace. Tapi Mevin tetaplah Mevin yang kadang ngeyel, tangannya malah bergerak ke pinggang Grace dan memberi usapan lembut di sana.

“Mevin!” Pekik Grace sambil menegakkan posisi duduknya.

Mevin yang menatap Grace hanya tersenyum smirk lalu mencium pipi Grace secepat mungkin.

“Mevinnnnn!!”

CUP! Mevin mencium ujung hidung Grace.

“Mevinio Adrian!!!”

Cup! Kening Grace jadi sasaran kali ini.

Grace kehabisan kata-kata, matanya memicing menatap Mevin tapi Mevin menangkup kedua pipi Grace dan memainkan pipi istrinya itu dengan gemas, “Wanna do something fun tonight?” kata Mevin.

DEG! Jantung Grace berdegup terlebih saat Mevin mulai mendekatkan wajahnya dan Grace bisa merasakan hembusan napas Mevin di wajahnya.