awnyaii

Surprise For Sammy

Yoel yang hari ini memang pulang bersama Shallom memilih untuk mampir ke sebuah cafe untuk membeli minuman sejenak.

“Shall, take away kan?” tanya Yoel saat keduanya berdiri di depan kasir. Shallom yang sedang memainkan ponselnya mengangkat wajah sejenak lalu mengangguk. Sembari menunggu pesanan mereka dibuat, keduanya duduk di bangku yang ada di sana dan Axel mengirimkan pesan kepada Yoel. Setelah membaca pesan dari Axel itu, Yoel refleks menepuk jidatnya.

“Astagaaaa!” Kata Yoel.

“Kamu kenapa?” tanya Shallom.

“Shall, hari ini Sammy ulang tahun. Kamu udah ngucapin belum?” tanya Yoel. Shallom tidak kalah terkejut, karena ia sendiri belum mengetahuinya.

“Aku nggak tahu. Tadi di kelas juga diem diem aja, ih astaga…”

“Ini Axel chat aku. Dia lagi sama Sammy di deket sini, mau surprisein Sammy nggak? Kita beli slice cake atau cupcake disini aja, udah nggak keburu banget ini kalau mau ke mall cari tart.” Yoel memberikan usul yang langsung disetujui Shallom. Yoel pun langsung memesan cupcake dan dua minuman lagi untuk Sammy dan Axel. Mungkin dengan kejutan sederhana ini bisa menghibur Sammy yang sedang merayakan hari specialnya. Akhirnya setelah beberapa menit menunggu, pesanan mereka datang dan mereka beranjak dari sana.

“Sammy sama Axel dimana?” tanya Shallom yang berjalan di sebelah Yoel keluar dari cafe itu.

“Di deket cafe ini. Motor biar disini dulu ya, kita kesana jalan aja. Deket banget soalnya, mau?”

Shallom tersenyum dan mengangguk antusias. Maka Yoel dan Shallom pun berjalan menuju tempat yang diberitahukan Axel kepada Yoel. Tak butuh waktu lama untuk menyusuri jalanan. Mereka tiba di sebuah taman yang tidak ramai sama sekali kala itu, langit jam empat sore masih terlihat cerah menemani Yoel dan Shallom yang menyiapkan lilin di atas cake yang mereka beli tadi. Sementara Yoel sudah memberitahu Axel lewat chat agar mengalihkan perhatian Sammy entah dengan mengajaknya mengobrol atau mengulur waktu agar tidak beranjak dari sana.

Sembunyi di balik pohon, Shallom dan Yoel bersiap siap memberikan memberikan kejutan. Keduanya berjalan mengendap dan Shallom sudah bertukar kontak mata dengan Axel dan memberi kode agar bersiap-siap. Tak ada curiga dari Sammy hingga akhirnya, “SURPRISEEEE!! Happy birthday!!” Seru Yoel, Shallom dan Axel hampir bersamaan. Betapa terkejutnya Sammy saat melihat kedua sahabatnya yang lain ada di sana Mata Sammy langsung berkaca-kaca seketika melihat Yoel dan Shallom membawa sebuah kue dan lilin di atasnya. Saat itu juga Shallom, Yoel dan Axel langsung menyanyikan lagu Happy Birthday untuk Sammy.

Tapi seperti apa yang Mevin katakan tadi, Papa dari Shallom itu melihat mereka. Mevin yang tak sengaja ada di dekat sana pun turun dari mobilnya. Mengamati dari jarak beberapa meter. Mevin bisa melihat betapa bahagianya Shallom bersama Yoel, Sammy dan Axel. Selama ini Mevin belum pernah mendapat cerita yang kurang baik dari anak anak ini. Mevin melihat bagaimana Sammy sangat bahagia dan nampak sumringah meniup lilin dan berfoto bersama ketiga sahabatnya itu. Mevin melihat bagaimana satu per satu dari mereka memeluk Sammy dan mengucapkan doa serta harapan untuk Sammy di ulang tahun kali ini. Meskipun Mevin melihat Shallom memeluk Sammy, ia biarkan saja, Mevin paham bagaimana mereka bersahabat selama ini. Akhirnya saat mereka berempat tengah berfoto bersama, Mevin berjalan ke arah mereka.

“Om Mevin?” kata Sammy yang pertama kali menyadari kehadiran Mevin di sana. Maka Shallom, Yoel dan Axel juga ikut menoleh. Benar saja Mevin sudah ada di sana tersenyum kepada mereka. Maka cepat cepat Yoel, Sammy dan Axel memberi salam mencium tangan Mevin.

“Papa ngapain kesiniiii…” Shallom protes.

“Emang papa kesini nyamperin Shallom? Orang mau ngucapin selamat ulang tahun buat Sammy,” balas Mevin. Yoel dan Axel hanya menahan tawa, sementara Shallom mendelik bingung dengan sikap Papanya itu. Mevin memegangi kedua pundak Sammy lalu berkata, “Sammy, Happy birthday ya. Om doakan yang terbaik buat Sammy. Panjang umur dan sehat selalu ya anak baik, semoga di usia sekarang kamu semakin jadi kebanggaan keluarga dan diberi Tuhan kebahagiaan. Nggak usah takut sama masa depan karena udah dipegang sama Tuhan, ya?” Mevin berkata sambil mengusap kepala Sammy. Jujur saja jangankan Sammy, Yoel, Shallom dan Axel yang mendengar ucapan Mevin pun merasa terharu. Terlebih mereka semua tahu bagaimana keadaan keluarga Sammy. Terlebih saat Sammy dipeluk oleh Mevin. Sammy menahan tangisnya kuat-kuat. Sosok Mevin memang sangat baik kepadanya.

“Om terima kasih banyak, lagi dan lagi saya nggak tahu gimana harus berterima kasih sama Om Mevin. Terima kasih banyak, Om.” Sammy terharu bukan main saat Mevin memeluknya.

Saat pelukan direnggangkan, Mevin menatap Sammy, “sama-sama, harus bahagia ya hari ini pokoknya!” Sammy mengangguk dan tersenyum.

“Axel, ya?” tanya Mevin saat menatap Axel. Lelaki itu mengangguk dan tersenyum, “iya om, saya Axel,” katanya.

“Axel terima kasih sudah nolongin Shallom waktu itu katanya sampai luka dan jatuh, ya? Gimana? Udah mendingan kan?” tanya Mevin.

“Aman kok, Om! Sama sama, kami berdua baik baik aja kok, that’s what bestfriend for,” balas Axel. Mevin tersenyum lalu gantian menatap Yoel, “Yoel makasih ya udah jagain Shallom juga, makasih udah jadi sahabat dan saudara yang ngertiin Shallom. Yoel, Sammy, Axel, Shallom, semoga persahabatan kalian awet terus ya,” ujar Mevin.

“Iya om,” kata mereka bertiga hampir bersamaan sementara Shallom hanya tersenyum haru melihat bagaimana Papanya melakukan hal yang membuatnya tersentuh apalagi saat memeluk Sammy tadi.

“Sini Om fotoin kalian, dari tadi fotonya gantian terus, gih foto berempat.” Mevin memerintahkan mereka berempat mengatur posisi foto dan langsung dituruti oleh anak anak itu. Akhirnya beberapa pose diabadikan dengan formasi lengkap, Yoel, Shallom, Sammy dan Axel. Pose saling merangkul, saling menunjuk, pose candid sekalipun Mevin abadikan.

Saat Mevin berpamitan dari sana dan sudah mengambil langkah beberapa meter, Sammy mengejar Mevin menahan langkah Mevin. “Ada apa, Sam?” Tanya Mevin ramah.

“Om, terima kasih udah peluk saya. Beneran, saya tadi pengen nangis karena inget mendiang Ayah. Di ulang tahun saya yang kesekian setelah ditinggal Papa akhirnya saya bisa ngerasain pelukan Ayah. Walaupun Om Papanya Shallom tapi udah cukup bikin saya bahagia. Makasih sekali lagi doa dan ucapannya, Om.” Sammy berkata dengan sungguh.

“Sama-sama, Om juga doakan kamu biar kamu merasakan kasih dari orang-orang sekitar kamu. Papa kamu pasti bangga sama kamu.” Mevin mengacak pelan rambut Sammy sebelum berpamitan lagi dari sana.

Sammy berlari kecil kembali menuju ke bangku dimana Yoel, Shallom dan Axel berkumpul.

Sementara saat Mevin sudah ada di dalam mobilnya, ponselnya berbunyi tanda sebuah pesan Shallom kirimkan, “papa mevin itu papa terbaik sedunia, papa bisa jadi sosok papa, superhero, teman, sahabat. Bukan hanya buat Shallom sama Koko aja tapi buat orang sekitar Shallom juga. Papa makasih buat hari ini. I love you so much Papa!! Even one day i’ll find my prince, you will always be my king!❤️” Tanpa Mevin sadari air matanya menetes membaca pesan dari Shallom, ia tersenyum setelahnya lalu berkata dalam hati, “anak papa udah besar, but you will always be my little princess, Imanuella Shallom Gravianne Adrian.”

Surprise For Sammy

Yoel yang hari ini memang pulang bersama Shallom memilih untuk mampir ke sebuah cafe untuk membeli minuman sejenak.

“Shall, take away kan?” tanya Yoel saat keduanya berdiri di depan kasir. Shallom yang sedang memainkan ponselnya mengangkat wajah sejenak lalu mengangguk. Sembari menunggu pesanan mereka dibuat, keduanya duduk di bangku yang ada di sana dan Axel mengirimkan pesan kepada Yoel. Setelah membaca pesan dari Axel itu, Yoel refleks menepuk jidatnya.

“Astagaaaa!” Kata Yoel.

“Kamu kenapa?” tanya Shallom.

“Shall, hari ini Sammy ulang tahun. Kamu udah ngucapin belum?” tanya Yoel. Shallom tidak kalah terkejut, karena ia sendiri belum mengetahuinya.

“Aku nggak tahu. Tadi di kelas juga diem diem aja, ih astaga…”

“Ini Axel chat aku. Dia lagi sama Sammy di deket sini, mau surprisein Sammy nggak? Kita beli slice cake atau cupcake disini aja, udah nggak keburu banget ini kalau mau ke mall cari tart.” Yoel memberikan usul yang langsung disetujui Shallom. Yoel pun langsung memesan cupcake dan dua minuman lagi untuk Sammy dan Axel. Mungkin dengan kejutan sederhana ini bisa menghibur Sammy yang sedang merayakan hari specialnya. Akhirnya setelah beberapa menit menunggu, pesanan mereka datang dan mereka beranjak dari sana.

“Sammy sama Axel dimana?” tanya Shallom yang berjalan di sebelah Yoel keluar dari cafe itu.

“Di deket cafe ini. Motor biar disini dulu ya, kita kesana jalan aja. Deket banget soalnya, mau?”

Shallom tersenyum dan mengangguk antusias. Maka Yoel dan Shallom pun berjalan menuju tempat yang diberitahukan Axel kepada Yoel. Tak butuh waktu lama untuk menyusuri jalanan. Mereka tiba di sebuah taman yang tidak ramai sama sekali kala itu, langit jam empat sore masih terlihat cerah menemani Yoel dan Shallom yang menyiapkan lilin di atas cake yang mereka beli tadi. Sementara Yoel sudah memberitahu Axel lewat chat agar mengalihkan perhatian Sammy entah dengan mengajaknya mengobrol atau mengulur waktu agar tidak beranjak dari sana.

Sembunyi di balik pohon, Shallom dan Yoel bersiap siap memberikan memberikan kejutan. Keduanya berjalan mengendap dan Shallom sudah bertukar kontak mata dengan Axel dan memberi kode agar bersiap-siap. Tak ada curiga dari Sammy hingga akhirnya, “SURPRISEEEE!! Happy birthday!!” Seru Yoel, Shallom dan Axel hampir bersamaan. Betapa terkejutnya Sammy saat melihat kedua sahabatnya yang lain ada di sana Mata Sammy langsung berkaca-kaca seketika melihat Yoel dan Shallom membawa sebuah kue dan lilin di atasnya. Saat itu juga Shallom, Yoel dan Axel langsung menyanyikan lagu Happy Birthday untuk Sammy.

Tapi seperti apa yang Mevin katakan tadi, Papa dari Shallom itu melihat mereka. Mevin yang tak sengaja ada di dekat sana pun turun dari mobilnya. Mengamati dari jarak beberapa meter. Mevin bisa melihat betapa bahagianya Shallom bersama Yoel, Sammy dan Axel. Selama ini Mevin belum pernah mendapat cerita yang kurang baik dari anak anak ini. Mevin melihat bagaimana Sammy sangat bahagia dan nampak sumringah meniup lilin dan berfoto bersama ketiga sahabatnya itu. Mevin melihat bagaimana satu per satu dari mereka memeluk Sammy dan mengucapkan doa serta harapan untuk Sammy di ulang tahun kali ini. Meskipun Mevin melihat Shallom memeluk Sammy, ia biarkan saja, Mevin paham bagaimana mereka bersahabat selama ini. Akhirnya saat mereka berempat tengah berfoto bersama, Mevin berjalan ke arah mereka.

“Om Mevin?” kata Sammy yang pertama kali menyadari kehadiran Mevin di sana. Maka Shallom, Yoel dan Axel juga ikut menoleh. Benar saja Mevin sudah ada di sana tersenyum kepada mereka. Maka cepat cepat Yoel, Sammy dan Axel memberi salam mencium tangan Mevin.

“Papa ngapain kesiniiii…” Shallom protes.

“Emang papa kesini nyamperin Shallom? Orang mau ngucapin selamat ulang tahun buat Sammy,” balas Mevin. Yoel dan Axel hanya menahan tawa, sementara Shallom mendelik bingung dengan sikap Papanya itu. Mevin memegangi kedua pundak Sammy lalu berkata, “Sammy, Happy birthday ya. Om doakan yang terbaik buat Sammy. Panjang umur dan sehat selalu ya anak baik, semoga di usia sekarang kamu semakin jadi kebanggaan keluarga dan diberi Tuhan kebahagiaan. Nggak usah takut sama masa depan karena udah dipegang sama Tuhan, ya?” Mevin berkata sambil mengusap kepala Sammy. Jujur saja jangankan Sammy, Yoel, Shallom dan Axel yang mendengar ucapan Mevin pun merasa terharu. Terlebih mereka semua tahu bagaimana keadaan keluarga Sammy. Terlebih saat Sammy dipeluk oleh Mevin. Sammy menahan tangisnya kuat-kuat. Sosok Mevin memang sangat baik kepadanya.

“Om terima kasih banyak, lagi dan lagi saya nggak tahu gimana harus berterima kasih sama Om Mevin. Terima kasih banyak, Om.” Sammy terharu bukan main saat Mevin memeluknya.

Saat pelukan direnggangkan, Mevin menatap Sammy, “sama-sama, harus bahagia ya hari ini pokoknya!” Sammy mengangguk dan tersenyum.

“Axel, ya?” tanya Mevin saat menatap Axel. Lelaki itu mengangguk dan tersenyum, “iya om, saya Axel,” katanya.

“Axel terima kasih sudah nolongin Shallom waktu itu katanya sampai luka dan jatuh, ya? Gimana? Udah mendingan kan?” tanya Mevin.

“Aman kok, Om! Sama sama, kami berdua baik baik aja kok, that’s what bestfriend for,” balas Axel. Mevin tersenyum lalu gantian menatap Yoel, “Yoel makasih ya udah jagain Shallom juga, makasih udah jadi sahabat dan saudara yang ngertiin Shallom. Yoel, Sammy, Axel, Shallom, semoga persahabatan kalian awet terus ya,” ujar Mevin.

“Iya om,” kata mereka bertiga hampir bersamaan sementara Shallom hanya tersenyum haru melihat bagaimana Papanya melakukan hal yang membuatnya tersentuh apalagi saat memeluk Sammy tadi.

“Sini Om fotoin kalian, dari tadi fotonya gantian terus, gih foto berempat.” Mevin memerintahkan mereka berempat mengatur posisi foto dan langsung dituruti oleh anak anak itu. Akhirnya beberapa pose diabadikan dengan formasi lengkap, Yoel, Shallom, Sammy dan Axel. Pose saling merangkul, saling menunjuk, pose candid sekalipun Mevin abadikan.

Saat Mevin berpamitan dari sana dan sudah mengambil langkah beberapa meter, Sammy mengejar Mevin menahan langkah Mevin. “Ada apa, Sam?” Tanya Mevin ramah.

“Om, terima kasih udah peluk saya. Beneran, saya tadi pengen nangis karena inget mendiang Ayah. Di ulang tahun saya yang kesekian setelah ditinggal Papa akhirnya saya bisa ngerasain pelukan Ayah. Walaupun Om Papanya Shallom tapi udah cukup bikin saya bahagia. Makasih sekali lagi doa dan ucapannya, Om.” Sammy berkata dengan sungguh.

“Sama-sama, Om juga doakan kamu biar kamu merasakan kasih dari orang-orang sekitar kamu. Papa kamu pasti bangga sama kamu.” Mevin mengacak pelan rambut Sammy sebelum berpamitan lagi dari sana.

Sammy berlari kecil kembali menuju ke bangku dimana Yoel, Shallom dan Axel berkumpul.

Sementara saat Mevin sudah ada di dalam mobilnya, ponselnya berbunyi tanda sebuah pesan Shallom kirimkan, “papa mevin itu papa terbaik sedunia, papa bisa jadi sosok papa, superhero, teman, sahabat. Bukan hanya buat Shallom sama Koko aja tapi buat orang sekitar Shallom juga. Papa makasih buat hari ini. I love you so much Papa!! Even one day i’ll find my prince, you will always be my king!❤️” Tanpa Mevin sadari air matanya menetes membaca pesan dari Shallom, ia tersenyum setelahnya lalu berkata dalam hati, “anak papa udah besar, but you will always be my little princess, Imanuella Shallom Gravianne Adrian.”

Jevin mengendarai mobilnya dengan panik, kalau sudah menyangkut Yoel pikirannya pasti sudah berkelana kemana-mana. Jevin sudah tahu betul biasanya anak tengahnya itu selalu memberikan gebrakan tidak terduga, ada saja tingkah yang mungkin menggelitik perut atau bahkan menguji tekanan darah Jevin semakin tinggi. Sesampainya di rumah, ia memarkirkan mobil dan langsung buru-buru keluar, ia melangkah masuk ke dalam rumahnya dan mendapati Letta, Eugene, Michelle dan tentu saja Yoel ada di sana. Tapi satu hal yang Jevin rasakan sedikit aneh, raut wajah mereka tidak menunjukkan kesedihan. Yang Jevin lihat adalah Eugene dan Michelle yang memeluk Yoel dan Letta yang mengabadikan momen itu dengan ponselnya.

“Yoel kenapa?” tanya Jevin saat ia sudah di ambang pintu.

Letta langsung berbalik badan, Jevin jelas melihat mata Letta yang masih sembab, jelas Letta baru saja menangis, tapi saat Jevin melihat ke arah Yoel, ia mendapati hal yang sama, mata Yoel juga sembab, sementara Eugene dan Michelle menunjukkan raut wajah bahagia dan haru.

“Yoel kenapa? Yoel bikin ulah apa?” tanya Jevin lagi sambil berjalan mendekat ke arah mereka.

“Yoel aja yang kasih tahu Papa,” kata Letta sambil mengusap lembut lengan Jevin dan tersenyum menatap Yoel. Akhirnya Yoel meraih sesuatu dari atas meja, lalu menyerahkannya kepada Papanya itu. Letta tadi sudah membaca hasil mid term yang Yoel bawa, begitu juga dengan Eugene dan Michelle.

Eugene tersenyum melihat Papanya yang membaca hasil laporan nilai adiknya itu, “jangan kaget, jangan marah pokoknya, Pa,” katanya.

Jevin masih membaca dengan seksama, bola matanya bergerak mengikuti setiap kalimat yang ia baca.

“Pa, above average semua, puji Tuhan… I got the highest score for this mid term in my classroom,” kata Yoel dengan sedikit malu-malu. Jevin berulang kali melihat ke arah anaknya dan ke hasil mid term yang ia baca.

“Papa kok diem aja, say congrats to Ko Yoel papaaaa,” protes Michelle. Jevin menaruh benda yang sedang ia pegang itu di atas meja lagi, Letta pun berbisik, “Yoel ranking satu kali ini,” katanya.

Jevin kehabisan kata kata, anaknya yang sempat tidak naik ini dan beberapa kali membuat ulah di luar dugaan, dan hampir tidak memiliki kata lelah ini nyatanya menunjukkan progress, Yoel benar-benar berjuang, ia tepati perkataan dan janjinya.

“Yoel kan udah janji sama keluarga ini, kemarin Yoel nggak naik karena kesalahan Yoel sendiri, Yoel mau buktiin kalau Yoel bisa berubah. Yoel juga selalu berdoa sama Tuhan biar Tuhan jaga Yoel, I mean protect me and guide me to walk in the right pathway as God tell us. Ternyata juga cacian anak-anak yang pernah ngejek Yoel nggak naik kelas bikin Yoel termotivasi kalau Yoel bisa jadi lebih dari mereka. Ternyata bener, kalau kita berusaha dan berdoa and it must be balance, kita juga dapet hasil terbaik.” Perkataan Yoel benar-benar membuat semua terperangah.

“Michelle makasih udah selalu hibur koko, Mama makasih udah selalu ingetin Yoel dan kasih tahu mana yang harus Yoel lakuin dan mana yang jangan, Papa, Mama makasih untuk nggak pernah malu sama Yoel yang nggak naik kelas. Koko, makasih udah mau ngajarin, walaupun di tengah kesibukan kuliah lo, tugas sama kerja part time tapi kalau gue nggak bisa, lo selalu ajarin. Makasih banyak, Papa, Mama, Ko Eugene, Michelle.” Ucapan tulus dari Yoel ia sampaikan dengan memandang satu per satu anggota keluarganya, mata Yoel kembali berkaca-kaca lagi. Tanpa basa-basi, Jevin langsung memeluk anak tengahnya itu, Jevin memeluk Yoel dengan rasa haru yang tumpah ruah. Yoel membalas pelukan Papanya itu erat-erat.

“Makasih ya nak, makasih udah mau berjuang. Papa bangga sama Yoel, jangan pernah mikir kalau Yoel malu-maluin atau yang lainnya. Enggak sama sekali. Mau gimanapun kalian, tetap kalian tuh anak Papa sama Mama. Gimanapun kami sebagai orang tua juga ya inilah Papa Jevin sama Mama Letta orang tua kalian. Papa bangga sama Yoel, bangga sama Eugene sama Michelle juga yang udah dukung Yoel.” Jevin pun merenggangkan pelukan dan menangkup kedua pipi Yoel.

“Bersyukur sama Tuhan, dipertahankan, kalau bisa ditingkatkan, Tuhan nggak pernah tidur Tuhan selalu lihat usaha anak-anakNya. Jangan nyerah ya, nak. Once again, I’m so proud of you, Papa feels blessed beyond measure!” kata Jevin sekali lagi lalu mengacak rambut Yoel pelan lalu mengecup puncak kepala anaknya itu.

“Iya, Pa. Makasih banyak, Yoel bakalan belajar lebih lagi. Bener-bener Yoel aja nggak nyangka bisa dapet posisi ini, Tuhan baik banget sama Yoel walaupun Yoel nakal, hehe,” katanya.

“Anak mama nggak ada yang nakal, anak mama anak yang baik. Koko Eugene kakak yang baik buat Yoel dan Michelle. Yoel juga anak yang baik, kakak yang baik buat Michelle dan adik yang baik buat Ko Eugene. Michelle juga anak manis dan baik, adik kesayangan Ko Eugene dan Ko Yoel, kan? Mama bangga sama kalian.” Letta berkata dengan senyum haru di wajah ayunya. Kini, Eugene dan Michelle dari samping kanan dan kiri merangkul Jevin dan Yoel, mereka saling memeluk. Letta yang melihat hal itu mengucap syukur dalam hatinya tanpa henti. Air matanya menetes saat mendengar ucapan selamat dan bangga dari Michelle dan Eugene untuk Yoel.

Akhirnya mereka saling memeluk bersama, mengabadikan momen itu dalam beberapa foto yang diambil. Yoel berfoto dengan Letta dan Jevin sambil menunjukkan hasil nilainya dengan bangga, Yoel juga mengambil gambar dengan Eugene juga Michelle, juga mereka berlima. Jevin tidak pernah sekalipun memarahi atau berkata malu dan lain sebagainya karena Yoel yang tidak naik kelas. Jevin juga menilik masa mudanya dulu yang jauh dari kata baik. Yoel belum ada apa-apanya dibanding Jevin dulu, tapi Jevin selalu menekankan kepada anak-anaknya untuk menikmati setiap proses yang ada, berusaha, dan juga mengandalkan Tuhan.

Calvin Peter Abraham, anak lelaki berusia dua puluh tahun yang bekerja di rumah Jeremy dan Lea sebagai supir Lea dan Jeremy. Yang pertama kali bertemu Calvin adalah Lea, saat Lea hendak pulang seorang diri dari Beauty Bar miliknya, seseorang hendak mengambil tas Lea secara paksa tapi Calvin datang dan membuat sang pencopet kabur dan berhasil menyelamatkan tas milik Lea.

Calvin yang saat itu datang dengan keadaan rapi membuat Lea kebingungan, akhirnya singkat cerita Lea mengajak Calvin untuk makan siang sebagai wujud tanda terima kasih dan menelepon Jeremy untuk menyusul juga.

Saat mereka bertiga saling mengobrol ternyata Calvin memang sedang mencari pekerjaan. Ijazahnya hanya ijazah SMA, tapi ia juga sedang menempuh pendidikan di bangku kuliah. Lebih tepatnya bekerja dan menempuh pendidikan, dengan hasil keringat dan jerih payahnya sendiri.

Akhirnya Jeremy menawarkan pekerjaan kepada Calvin yaitu sebagai supirnya dan Lea, kebetulan Calvin juga bisa mengendarai motor dan mobil, jadi bukan suatu masalah bagi Calvin. Bahkan Jeremy berkata kalau Calvin sudah selesai menempuh pendidikan Sarjananya, jika ada lowongan pekerjaan yang Jeremy tahu, mungkin Jeremy bisa memberikan infonya kepada Calvin.

Hal itu sangat disyukuri Calvin ditengah keterpurukannya. Hidupnya mungkin bisa dibilang jauh dari kata beruntung, berbagai perlakuan kasar orang tua sudah ia terima. Bahkan beberapa hal yang orang tuanya lakukan seperti memukul, melemparkan vas bunga, atau bahkan memaki Calvin membuat Calvin sering dilarikan ke rumah sakit. Siapa yang mengantar? Bukan orang tuanya tentu saja.

“Calvin,” kata Jeremy saat Calvin hendak meninggalkan ruang tamu.

“Ya, Pak?” Calvin berbalik badan dan menganggukkan kepala.

“Masih tinggal di kos-kosan?” tanya Jeremy yang membuat Calvin kikuk. Tapi, setelahnya Calvin mengangguk.

“Besok pindahin barang-barang kamu kesini, satu kamar di belakang sebelah kamar suster, itu buat kamu.” Ucapan Jeremy dibarengi dengan Jeremy yang bangkit berdiri berjalan mendekat ke arah Calvin.

“Pak… nggak usah nggak papa,” kata Calvin segan.

“Kamu nggak ada rumah lagi, kan? Nggak seharusnya seusia kamu sudah hidup dan cari nafkah sendiri. Sembilan belas tahun kan usia kamu?” Calvin mengangguk lagi.

“Tapi saya memang nggak punya rumah lagi, nggak ada keluarga lagi, saya memutuskan tinggal sendiri sejak lama.

Keluarga saya juga nggak peduli sama saya,” ujar Calvin.

Akhirnya Jeremy mengajak Calvin duduk lagi di ruang tamunya.

“Kalau mau cerita boleh,” kata Jeremy dengan tenang.

“Saya malu,” kata Calvin sambil menggaruk kepalanya.

“Kenapa harus malu?” Akhirnya Calvin menghela napas lalu mulai bercerita, “sebelumnya saya minta maaf ya pak kalau saya kadang teledor. Saya suka lupa, karena saya short term memory, karena dulu sering ada insiden yang langganan mampir ke kepala saya. Setelah berobat, ternyata kata dokter ya semacam syndrome dory.” Perkataan Calvin itu membuat Jeremy mengernyitkan alisnya.

“Maksudnya? Cidera kepala?” tanya Jeremy kebingungan.

“I… iya, saya sering dipukul, kepala saya jadi sasaran orang rumah buat lempar barang. Dan berujung ke rumah sakit karena udah luka. Eh, maksudnya kalau udah luka. Kalau belum ya dirasain sendiri aja sakitnya,” ujar Calvin yang benar-benar membuat Jeremy kaget. Ternyata ini alasan selama ini Calvin sering lupa.

“Kenapa kamu yang jadi sasaran?”

Calvin mengedikkan bahunya, “karena saya nggak diinginkan, karena kelahiran saya sangat amat tidak diinginkan kayaknya, Pak.” Kalimat itu diucapkan Calvin dengan tenang, Jeremy mulai paham keadannya.

“Vin, gini aja, saya beliin kamu handphone baru, dipake ya? Jangan ditolak, kamu bisa catat hal penting, bikin reminder, dan lain-lain. Uang kamu nanti disimpen aja. Tenang aja, gaji tetap saya kasih, dan satu lagi, Vin. Tempat tinggal. Saya kasih kamu tempat tinggal di rumah ini. Saya kalau ngobrol sama kamu gini berasa ngobrol sama anak-anak saya. Saya ngebayangin kalau yang di posisi kamu itu mereka, jangankan mereka, denger kamu aja udah hancur hati saya sebagai seorang ayah.” Jeremy mengusap pundak Calvin sambil menuturkan kalimatnya.

“Ko Jevin sama Ko Mevin ya, Pak? Namanya Vin juga hehe, jangan sedih, Pak. Nanti ibu nyonya sedih kalau bapak sedih, hehe,” tawa ringan Calvin dengan tujuan mencairkan suasana yang sempat sedikit tegang.

“Vin, kamu tinggal disini aja, kamu bisa anter saya atau ibu tanpa terlambat, tanpa kamu harus keluar ongkos. Makan juga bareng aja sama kita sama sus, jangan tinggal sendiri. Saya tahu rasanya gimana hidup sendiri tanpa siapapun. Setidaknya kamu punya rumah, walaupun saya bukan keluarga kandung kamu, tapi kalau ditanya rumahnya dimana atau tinggal di mana kamu bisa jawab, Vin. Tuh, kan saya sedih, kayak lagi ngomong ke anak-anak saya,” kata Jeremy sambil mengerjapkan matanya yang mulai terasa panas. Calvin bahkan sudah meneteskan air mata sekarang, air mata itu ia usap dengan punggung tangannya dan ia kembali menatap bosnya kali ini. Hati Calvin menjerit, merasakan ia seperti sedang dinasihati oleh sosok ayah. Duduk bersebelahan dengan Jeremy dan dengan obrolan seperti ini membuat Calvin berdesir hatinya.

“Boleh, pak, saya tinggal disini?” tanya Calvin.

Jeremy terkekeh sejenak, “bukan boleh, tapi saya yang minta.”

Calvin langsung meraih tangan Jeremy dan menempelkan punggung tangan Jeremy di dahinya.

“Terima kasih, sekali lagi terima kasih, Pak, dan Bu nyonya Lea,” katanya sambil tersenyum.

“Kamu nih, besok kita bawa barang-barang kamu ke sini ya? Besok saya aja yang samperin ke kos kamu. Oke?” Calvin mengangguk dan tersenyum girang, ia begitu antusias dan bersyukur. Ia tidak pernah menjual kesedihan kepada siapapun, tidak ada yang tahu latar belakangnya, tapi kepada Jeremy karena ia ingin menceritakannya maka berceritalah Calvin. Bukan karena paksaan, bukan karena desakan. Tapi karena ada telinga yang mau mendengar, ada seseorang yang bersedia mendengarkan, ada yang mau mengerti. Apakah ini awal yang baik untuk kehidupan baru Calvin?

Siang yang panas dan terik ini, Mevin tengah berada di parkiran rumah sakit ia menunggu di mobil dan berniat langsung mengendarai mobilnya menghampiri Shallom jadi Shallom tidak perlu menyusulnya ke area parkir. Sementara Shallom masih berada di dalam karena setelah menebus resep obat yang ia butuhkan, ia berkata hendak ke toilet terlebih dahulu, hal itu pun disetujui Mevin. Tapi, saat Mevin menunggu di mobilnya, ia melihat seseorang yang tak asing. Area parkir ini terbuka jadi siapa saja bisa lewat di sana.

Mata Mevin tertuju kepada seorang anak lelaki yang sudah sangat ia kenal wajahnya, dengan wajah sayu, berjalan dengan sedikit tertunduk dengan beberapa luka di wajahnya, dan juga perban di kepalanya.

“Sammy?” batin Mevin. Kala itu, saat Mevin keluar dari mobil, ia melihat Sammy yang berjalan dengan sedikit terhuyung hingga tubuhnya hampir ambruk, Mevin pun langsung berlari menghampiri anak lelaki itu.

“Sam? Kamu kenapa?” tanya Mevin.

Sammy masih memegangi kepalanya dan beberapa kali memejamkan matanya lalu menatap sosok pria yang membantunya itu, “Om Mevin?”

“Sini, Om bantu, kita ke mobil Om aja dulu,” kata Mevin lalu meraih satu tangan Sammy dan ia bantu memapah Sammy berjalan dan Mevin membantu Sammy masuk ke mobilnya dan mencoba menghubungi Shallom, benar saja, ternyata Shallom menunggu pesan dari Papanya itu. Tapi Mevin sudah memberitahu agar Shallom langsung menuju ke parkiran ke mobilnya.

Sementara itu, Mevin pun membiarkan pintu mobil terbuka dan sedikit memundurkan jok mobil tengahnya, ia mendudukkan Sammy di sana yang masih merintih kesakitan. “Sam, kenapa bisa kayak gini?” tanya Mevin sambil mencoba memeriksa keadaan Sammy.

“T.. tadi berantem sama adek,” kata Sammy terbata-bata.

“Terus? Kok bisa separah ini?”

“Tadi sampai pukul-pukulan sama adek, tapi saya sempat jatuh dari tiga atau empat anak tangga gitu setelah adek keluar dari rumah. Jadi tadi langsung ke sini aja karena deket sama rumah sebelum Mama lihat, karena tadi kepala saya berdarah dan jadi pusing.” Sammy berkata lirih.

Hati Mevin berdesir ikut merasakan sakit, apalagi ia mengetahui bagaimana keadaan keluarga Sammy dari apa yang Shallom ceritakan.

“Sam, ke rumah Om dulu, ya? Nanti Om yang anterin kamu pulang, ya?” tanya Mevin lirih.

Sammy menggeleng, “nggak usah, Om, nggak papa.”

Tapi tiba-tiba seseorang datang dengan berlari dan menubruk tubuh Mevin dari belakang, sigap Mevin menoleh, mendapati Shallom di sana. Mevin mengedikkan kepala memberi isyarat kepada Shallom agar melihat ke dalam mobil. Shallom pun mendekat dan betapa terkejutnya gadis itu saat melihat Sammy dengan keadaan luka di ujung bibir, dan di kepala.

“Astaga, Sam!” Shallom membungkam mulutnya sendiri.

“Shall, duduk di sebelah Sammy ya, kita ke rumah dulu aja, oke?” kata Mevin. Shallom pun mengangguk, sementara Sammy sudah seperti kehabisan tenaga yang membuatnya hanya bisa menurut dan sesekali memegangi perut dan kepalanya. Akhirnya Shallom pun masuk dan menutup pintu mobil, ia duduk di sebelah Sammy, Mevin duduk di bangku kemudi dan langsung mengendarai mobilnya menuju ke rumahnya.


Sesampainya di rumah, Mevin membantu membukakan pintu mobil untuk Shallom dan Sammy. Mevin juga mengambil alih menuntun Sammy sementara Shallom langsung bergerak mengambil tas Sammy dan membuka pintu rumah. Saat itu bersamaan dengan Grace yang baru saja keluar dari kamar.

“Eh anak mama udah pulang?” tanya Grace lembut. Shallom mengangguk tapi tanpa tersenyum, wajahnya sudah menyiratkan kepanikan.

“Kenapa?” tanya Grace menghampiri Shallom yang menaruh beberapa barang di meja dan menata bantal yang ada di kursi.

Saat itu juga Mevin masuk ke sana dengan membantu Sammy berjalan, “Sammy?” Grace bingung tapi ia mengenal sahabat laki-laki anak gadisnya itu. “Grace, sayang, ambilin minum ya,” kata Mevin sambil membantu Sammy duduk. Grace pun langsung menuju ke dapur dan membawakan minuman hangat dan kembali ke ruang tamu.

Sammy kini duduk di sofa di antara Mevin dan Shallom. Mevin juga langsung mengambil obat untuk ia oleskan di bagian wajah Sammy yang terdapat luka terbuka. Sementara Shallom terdiam, ia terlalu takut, baru kali ini ia melihat Sammy terluka seperti ini, kalau boleh jujur bahkan Shallom hendak menangis sebenarnya.

Tak lama, Grace kembali dengan secangkir minuman hangat, Shallom pun membantu Sammy untuk minum dan ia letakkan lagi gelas itu di atas meja, sementara Grace duduk di sofa yang ada berhadapan dengan mereka.

“Sammy kenapa bisa kayak gini?” tanya Grace. Sammy masih tertunduk. “Sam?” tanya Shallom sambil menyentuh pundak Sammy.

Sammy menoleh menatap Mevin sejenak, lalu Mevin mengangguk dan tersenyum memberi isyarat agar Sammy menceritakannya.

“Saya berantem sama adik di rumah, Tante. Terus tadi jatuh dari tangga makanya kepala saya diperban, karena jarak rumah sakit yang nggak terlalu jauh, saya langsung ke rumah sakit karena tadi takut banget udah berdarah dan ngerasa pusing.” Sammy berkata dengan sedikit ketakutan. Grace dan Shallom kaget bukan main.

“Adik kamu nggak nganterin? Nggak ada orang di rumah?” tanya Grace khawatir.

“Adik saya keluar dari rumah sebelum saya jatuh, Mama lagi kerja jadi nggak ada orang di rumah. Ya jadinya saya ke rumah sakit sendiri, nggak papa kok, Tan. Tadi ketemu Om Mevin juga, terima kasih banyak ya, Om, Tante, Shallom. Keluarga Om Mevin selalu bantuin saya, keluarga ini selalu baik sama saya. Sekali lagi… terima.. ka…sih,” kata Sammy dengan sedikit terisak. Shallom dan Mevin hampir bersamaan mengusap punggung Sammy.

“Kenapa berantem sama adik? Hansen kan? Kenapa, Sam?” tanya Shallom pelan.

“Beda pendapat tentang keputusan Mama yang mau menikah lagi, aku belum bisa bilang setuju, karena aku nggak mau. Tapi Hansen bilang aku egois. Dan ada hal lain yang aku tahu dari dia, kalau hansen pernah bolos, beberapa kali. Tadi aku omongin sekalian ke dia, kalau dia bolos lagi aku bakalan aduin ke Mama, karena aku kasih tahu udah nggak mempan,” kata Sammy. Shallom menghela napas panjang, mendengarkannya saja terasa sesak.

“Mama belum tahu kalau Hansen bolos bolosan, ya?” tanya Mevin.

“Belum, Om. Mau ngobrol sama Mama aja kayak ada jarak, karena saya nggak pernah bilang iya sama permintaan mama untuk menikah lagi. Jadi saya di rumah kebanyakan diem, sekalinya ngomong malah ribut sama Hansen, I just did my best as brother, Om, Tante.” Sammy tertunduk lagi setelahnya, jelas ia menghapus air matanya yang berjatuhan.

“Menerima anggota keluarga baru apalagi orang tua nggak segampang itu buat saya, banyak ketakutan dan ini terlalu cepat untuk saya. Tapi selalu saya dibilang nggak dukung kebahagiaan Mama. Tapi kalau saya nggak bahagia, itu egois juga ya? Kalau kayak gitu apa saya masih egois, Om, Tante?” Bahkan saat mengucapkan kalimatnya dan menatap Grace dan Mevin bergantian pun Sammy masih menangis. Shallom? Diam seribu bahasa, hatinya ikut terasa sakit dan sesak, buliran kristal bening sudah jatuh di pipi Shallom saat ini.

“Selama ini juga saya memikirkan mereka, tapi tetap saja saya di cap egois. Bukannya dalam keluarga itu harus saling mengerti, ya, Om, Tante?” tanya Sammy sambil menatap Mevin dan Grace dengan mata yang memerah.

“Sam, kamu nggak egois. Terima kasih ya, Nak udah mikirin keluarga selama ini, apalagi anak pertama yang punya adik. Pasti nggak mudah kan? Nanti coba diobrolin lagi sama Mama sama Hansen, tapi tanpa emosi ya nak, ya? Diobrolinnya kalau udah mendingan aja. Sekarang fokus ke keadaan kamu dulu.” Mevin berkata dengan tulus.

“Menerima anggota baru di keluarga memang nggak mudah, tante pernah ada di posisi itu. Tante paham betul gimana perasaan Sammy. Apalagi sosok ayah, sama, tante dulu juga nggak langsung bisa menerima sosok ayah baru bagi tante, dulu juga tante selalu menentang keputusan Mama tante. Tapi, semua berlangsung bertahun-tahun, penerimaan itu berlangsung setelah bertahun-tahun sampai ke pernikahan mereka pun tante nggak mau dateng. Tapi, setelah bertahun-tahun berlalu, rasa sayang dan penerimaan itu mulai bisa muncul. Tante juga bergumul dan berdoa sama Tuhan selama itu. Pokoknya Sammy berdoa terus buat keluarga dan keputusan Mama Sammy ya, so God can give your mom a wisdom, buat hansen juga, nggak boleh benci dan dendam sama siapapun. Ingat, ini keluarga sendiri, ya?” Grace kini mengutarakan kalimatnya sesuai dengan kenyataan hidup yang sudah ia lewati. Sesuai dengan apa yang ia alami dan ia hadapi.

Sammy langsung terisak saat itu juga, tak sanggup melihat Sammy menangis seperti ini, Shallom juga ikut menangis, ia mengusap lengan Sammy perlahan. Mevin? Ia tidak diam saja, sebuah peluk ia berikan bagi anak laki-laki yang ada di sampingnya. Mevin seperti menilik ke masa lalu, ia seperti melihat Grace di masa lalu, Grace yang akhirnya ia pilih untuk jadi kawan sepenanggungan selama hidupnya. Sesaat mata Grace dan Mevin saling beradu. Grace mengangguk dan tersenyum terharu melihat Mevin merangkul dan membiarkan Sammy menangis di pelukannya. Hati Sammy antara hancur dan terenyuh, hancur karena keadaan keluarganya, terenyuh karena ia merasakan pelukan dari sosok seorang ayah meski bukan ayah kandungnya.

“Makasih Om, makasih Tante, makasih Shallom. Maaf kalau Sammy merepotkan, makasih buat semua bantuan dan petuahnya. Mata hati dan pikiran Sammy benar-benar terbuka. Tapi satu yang pasti, kasih sayang di keluarga ini benar-benar ia rasakan meski ia bukan anggota keluarga ini. Tapi selama berteman dengan Shallom dan mengenal keluarganya, Sammy sadar dan paham bahwa keluarga Shallom pasti sudah melalui banyak hal berat tapi tetap mengutamakan Tuhan di setiap langkah. Akhirnya saat Sammy merenggangkan pelukan dan merasa sedikit tenang ia bisa tersenyum lagi, tangisnya sudah pecah memberi kelegaan bagi Sammy sendiri.

“Ya udah, Sammy istirahat dulu disini ngobrol ditemenin Shallom. Habis ini Tante siapin makan, kita makan bareng, ya?” kata Grace.

“Iya. Nanti om yang anterin Sam pulang, nanti om bawain obat luar juga biar lukanya cepet kering, ya?” Mevin mengusap lembut puncak kepala Sammy.

“Iya Om, Tante. Terima kasih banyak, maaf kalau saya ngerepotin. Tuhan yang balas kebaikan Om Mevin sama Tante Grace, ya. God bless this family.” Sammy tersenyum sambil mengusap pipinya yang basah.

“Amen, makasih anak baik.” Grace tersenyum lalu beranjak dari sana bersama Mevin.

Kini, tinggal Shallom dan Sammy yang ada di sana. Keduanya masih diam karena Shallom masih sibuk menyeka air matanya.

“Shall?” tanya Sammy. Shallom memalingkan muka, dan masih menggerakkan punggung tangannya menyeka butiran air mata yang jatuh.

“Shallom, you okay?” tanya Sammy. Shallom menoleh, “kamu kenapa nggak pernah cerita? Sampai kayak gini, pasti sakit, ya? Sakit banget, ya?” tanya Shallom sambil menahan tangis, tangannya terulur menyentuh kepala Sammy.

“Enggak, udah nggak sesakit tadi waktu sendirian, makasih ya. Udah membuka pintu buat aku, aku selalu berdoa buat keluarga kamu, makasih udah baik ke aku.” Sammy tersenyum tipis.

“Kalau ada apa-apa kamu bisa sharing ke aku, ya? Janji ya kalau ada apa-apa cerita aja, ya?” kata Shallom sambil mengacungkan jari kelingking. Sammy mengangguk dan mengaitkan jari kelingkingnya dengan Shallom. Keduanya tersenyum. Sammy juga melihat gelang yang ia berikan untuk Shallom masih terpasang di tangan gadis itu.

“Makasih udah selalu pakai gelangnya,” kata Sammy.

“Nggak akan pernah aku lepas karena ini dari kamu,” balas Shallom sambil tersenyum dan menunjukkan lengannya dimana gelang itu terpasang disana.

“Shall, kenapa kamu selalu mau dengerin keluh kesahku?” tanya Sammy tiba-tiba.

Because you deserve, I also can learn a lot of things from you. Sam, it’s okay to cry, sometimes blessings can come through raindrops and tears, sometimes we need to cry in anger to explain all of our feelings. Aku bersedia jadi tempat kamu luapin itu semua.” Shallom berkata tanpa melepaskan tautan pandangannya dari mata Sammy. Samuel Greyson, anak laki-laki dengan sejuta beban di pundak dan dengan sejuta hal yang sulit untuk diselami. Tapi bersama Sammy, Shallom merasa nyaman dan bisa menjadi diri sendiri, begitu juga sebaliknya.

“Kamu juga, ya? Jadiin aku tempat kamu cerita dan luapin semua perasaan kamu. Aku mau jadi orang itu.” Sammy menarik satu sudut bibirnya.

Shallom mengangguk, “you are the only one, you are the one for me to share, exactly.”

Jantung Sammy sempat berdegup saat mendengar perkataan Shallom. Hingga akhirnya keduanya sedikit salah tingkah, terlebih Sammy. Sempat membeku saat Shallom mengusap pipi Sammy pelan guna mengeringkan jejak air mata yang ada.

“Bareng-bareng terus, ya, Sam?” ujar Shallom lagi. Sammy sempat terdiam, melipat bibirnya, hingga beberapa detik belum memberikan jawaban atas pertanyaan Shallom.

“Samuel Greyson, answer me, please?” kata Shallom lagi. Sammy menatap manik mata teduh di depannya itu, menarik napas panjang dan mengembuskannya. “Iya, Imanuella Shallom Gravianne Adrian anak Om Mevin dan Tante Grace adiknya Ko Miracle.” Sammy membubuhi senyuman di akhir kalimatnya.

Mevin baru saja memarkirkan mobilnya di area parkir sekolah Shallom, saat Mevin baru saja keluar dari mobil ternyata Shallom sudah berlari kecil diikuti seseorang di belakangnya. Siapa lagi kalau bukan Sammy?

“Papa!!” seru Shallom girang menghampiri papanya itu.

“Baru juga mau disamperin ke dalem,” kata Mevin. Akhirnya Shallom dan Sammy sampai di hadapan Mevin. Seperti biasa, Sammy memberi salam mencium tangan Mevin dengan sopan.

“Eh, Sammy.” Mevin menyapa ramah.

“Halo Om Mevin, selamat malam.” Sammy berkata sambil tersenyum membuat matanya semakin sipit.

“Makasih ya udah nemenin Shallom sampai om jemput, Sam pulang sama siapa?” tanya Mevin. Sammy nampak sempat bingung sebelum menjawab, “naik ojol, Om.”

Mevin pun melihat Shallom sudah dengan tas dan bawaannya, sementara Sammy belum. Akhirnya Mevin berkata, “Shallom temenin Sammy ambil tasnya, sana. Sammy pulangnya om sama Shallom anterin aja, udah malem. Ya?”

Sammy kaget, ia sempat melongok heran, “nggak papa, Om. Sam naik ojol aja, udah malem takut ngerepotin.”

“Bahaya udah malem, nggak papa. Anggap ucapan terima kasih dari Om karena udah nemenin Shallom, ya?” kata Mevin sekali lagi yang membuahkan hasil anggukan setuju dari Sammy. Shallom juga tersenyum girang, akhirnya Mevin mengambil tas dan totebag yang Shallom bawa lalu Mevin memberikan kode kepada Shallom untuk menemani Sammy mengambil tas lagi.

Keduanya pun berjalan beriringan, baru beberapa langkah, keduanya saling mengejar seperti anak kecil. Begitulah kebersamaan Shallom dan Sammy.

Mevin pun memasukkan tas Shallom ke tempat duduk depan di sebelahnya, dan Mevin menunggu di dalam mobil, akhirnya Sammy dan Shallom tiba lagi di sana, tapi saat Shallom hendak masuk ke mobil di bagian depan di sebelah Mevin, Papanya itu memberikan kode agar ia duduk di belakang bersama Sammy. Shallom sempat kaget, tercengang hingga akhirnya Mevin berkata dengan berbisik, “temenin Sam di belakang,” hal itu disambut Shallom yang menahan senyumannya.

Jelas, anak Mevin salah tingkah kali ini. Akhirnya Sammy dan Shallom sama-sama masuk dan duduk bersebelahan. Mevin pun mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Mevin sering curi-curi pandang dari kaca yang ada di mobilnya untuk melihat Shallom dan Sammy. Keduanya asik bercanda dan ngobrol selayaknya sahabat pada umumnya. Tapi Mevin tahu, senyum dan tawa Shallom adalah senyum dan tawa yang tak biasa kalau sedang bersama Sammy.

“Kamu suka pakai gelang nggak, Shall?” tanya Sammy. Shallom mengangguk antusias.

“Suka bangett!” kata Shallom girang.

“Besok aku kasih gelang ya, aku punya dua, bentuknya sama, nanti yang satu aku pakai yang satu kamu, oke?”

“Kok tiba-tiba kasih gelang?” tanya Shallom.

Sammy mengangguk dan tersenyum tipis, “tanda persahabatan, sama biar kalau lagi jauh bisa inget satu sama lain.”

“Emang ada yang mau pergi jauh?” Shallom sedikit mengerucutkan bibirnya.

“Kalau, Shall, Hehe.” Shallom memicingkan matanya menatap Sammy sedikit curiga, “kamu nggak mau pergi kan?” hal itu hanya dibalas senyuman tipis oleh Sammy.

“Sammy, makasih ya udah sering ngajarin Shallom kalau belajar, makasih udah sering nemenin Shallom kalau belum dijemput.” Mevin berkata saat ia menghentikan mobilnya di lampu merah dan sedikit menoleh untuk memberikan senyum ramahnya kepada Sammy.

“Sama-sama Om Mevin, dengan senang hati.” Sammy membalasnya sangat sopan.

“Kalian kalau di kelas duduknya jejer juga apa gimana?” tanya Mevin tiba-tiba.

“Papaaaa!” Shallom langsung merengek tapi membuat Mevin menahan tawanya. Sementara Sammy hanya tersenyum kikuk.

“Loh, Papa nanya, karena kalian akrab banget gitu sahabatannya, nanya doang, Nak,” tutur Mevin lembut.

“Enggak, Om. Beda tempat duduk, tapi satu kelas.” Sammy menjawab pertanyaan papa Shallom itu. Mevin pun mengangguk-angguk. Akhirnya tak berapa lama menempuh perjalanan, Sammy memberitahukan agar diturunkan di gang masuk saja, Mevin pun menurutinya. Ketiganya pun keluar dari mobil.

“Om Mevin terima kasih banyak, udah nganter saya pulang.” Sammy berkata sambil berpamitan mencium tangan Mevin.

“Iya sama-sama, Nak.” Mevin berkata ramah sambil menepuk pundak Sammy.

“Shallom makasih, ya.” Sammy menatap Shallom dan tersenyum. Shallom mengangguk, tersenyum dan berkata, “sama-sama!”

“Sam,” sela Mevin.

“Iya, Om?”

“Foto berdua tadi lucu, loh,” goda Mevin. Hal itu berhasil membuat Shallom mencubit pinggang Papanya itu sampai Mevin meringis. Sammy malu, mukanya sedikit memerah dan ia hanya bisa tersenyum.

“Hehe, maaf ya, Om. Tadi Shallom ngajak foto tiba-tiba, ternyata dikirim ke Om Mevin,” kata Sammy, tangannya bergerak menggaruk lehernya yang sebenarnya tidak gatal itu.

“Kalian baik-baik terus ya sahabatannya, jangan berantem-berantem. Saling support satu sama lain, oke? Om tidak larang kalian spend time berdua untuk belajar dan kerjakan tugas, kok. Asal untuk hal yang baik and of course in the right pathway ya?” kata Mevin sambil bergantian menatap Shallom dan Sammy.

“Siap Om Mevin. Jadi terharu,” kata Sammy sambil tersenyum haru.

“Kok terharu?” tanya Shallom.

“Belum pernah denger kalimat itu dari sosok Ayah,” kata Sammy sambil berusaha tersenyum. Mevin menjadi benar-benar terenyuh, tapi Mevin tak ingin hadirkan suasana sedih malam ini. Mevin sudah mengetahui keadaan keluarga Sammy dari Shallom jadi Mevin bisa mengatur apa yang hendak ia katakan.

“Ya udah, biar Om yang kasih semangat itu buat Sammy. Toh, Ayah kamu pasti bangga juga sama kamu. Kata Shallom kan kamu sama Shallom rankingnya balapan, tapi lebih sering kamu ranking satunya, it means that you’re smart, Sam. Ayah kamu pasti bangga, deh! Semangat ya, Sam, ya?” Mevin memegangi kedua pundak Sammy dan tersenyum menatap anak lelaki itu. Sammy benar-benar tersentuh. Sammy bahkan merasakan matanya panas kali ini.

“Sekali lagi terima kasih banyak Om Mevin, Sammy pamit ya, hati-hati di jalan.” Sammy mencium tangan Mevin lagi. Mevin juga sempat mengelus kepala Sammy dan memberikan senyuman teduhnya.

Sammy juga mengucapkan terima kasih kepada Shallom, “thanks ya, Shall. See you besok!” katanya lalu melakukan tos yang hanya mereka yang tahu, sampai Mevin tersenyum sendiri melihat tingkah gemas keduanya itu.

“Sama-sama! See you!” kata Shallom sambil melambaikan tangan mengiringi Sammy yang mulai berjalan pergi.

“Yuk, pulang,” ajak Mevin.

“Papa,” kata Shallom yang membuat Mevin menghentikan gerakannya yang sedang membuka pintu mobil.

“Ya? Ada yang ketinggalan apa kenapa?”

Tapi Shallom malah menghampiri Mevin dan memeluk papanya itu, Mevin heran, ia membalas pelukan Shallom sejenak.

“Papa makasih ya udah ngomong gitu ke Sammy. Tadi pengin nangis dengernya. Sammy really needs that, makasih Papa.” Shallom juga mencium pipi Papanya itu. Mevin membalas pelukan Shallom dan mencium puncak kepala anaknya itu.

“Iya, sama-sama. Sammy anaknya baik banget, yang Papa bisa lakukan hanya itu, baik-baik terus ya sama dia ya.” Kalimat penutup dari Mevin benar-benar membuat hati Shallom tenang.

Mevin baru saja memarkirkan mobilnya di area parkir sekolah Shallom, saat Mevin baru saja keluar dari mobil ternyata Shallom sudah berlari kecil diikuti seseorang di belakangnya. Siapa lagi kalau bukan Sammy?

“Papa!!” seru Shallom girang menghampiri papanya itu.

“Baru juga mau disamperin ke dalem,” kata Mevin. Akhirnya Shallom dan Sammy sampai di hadapan Mevin. Seperti biasa, Sammy memberi salam mencium tangan Mevin dengan sopan.

“Eh, Sammy.” Mevin menyapa ramah.

“Halo Om Mevin, selamat malam.” Sammy berkata sambil tersenyum membuat matanya semakin sipit.

“Makasih ya udah nemenin Shallom sampai om jemput, Sam pulang sama siapa?” tanya Mevin. Sammy nampak sempat bingung sebelum menjawab, “naik ojol, Om.”

Mevin pun melihat Shallom sudah dengan tas dan bawaannya, sementara Sammy belum. Akhirnya Mevin berkata, “Shallom temenin Sammy ambil tasnya, sana. Sammy pulangnya om sama Shallom anterin aja, udah malem. Ya?”

Sammy kaget, ia sempat melongok heran, “nggak papa, Om. Sam naik ojol aja, udah malem takut ngerepotin.”

“Bahaya udah malem, nggak papa. Anggap ucapan terima kasih dari Om karena udah nemenin Shallom, ya?” kata Mevin sekali lagi yang membuahkan hasil anggukan setuju dari Sammy. Shallom juga tersenyum girang, akhirnya Mevin mengambil tas dan totebag yang Shallom bawa lalu Mevin memberikan kode kepada Shallom untuk menemani Sammy mengambil tas lagi.

Keduanya pun berjalan beriringan, baru beberapa langkah, keduanya saling mengejar seperti anak kecil. Begitulah kebersamaan Shallom dan Sammy.

Mevin pun memasukkan tas Shallom ke tempat duduk depan di sebelahnya, dan Mevin menunggu di dalam mobil, akhirnya Sammy dan Shallom tiba lagi di sana, tapi saat Shallom hendak masuk ke mobil di bagian depan di sebelah Mevin, Papanya itu memberikan kode agar ia duduk di belakang bersama Sammy. Shallom sempat kaget, tercengang hingga akhirnya Mevin berkata dengan berbisik, “temenin Sam di belakang,” hal itu disambut Shallom yang menahan senyumannya.

Jelas, anak Mevin salah tingkah kali ini. Akhirnya Sammy dan Shallom sama-sama masuk dan duduk bersebelahan. Mevin pun mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Mevin sering curi-curi pandang dari kaca yang ada di mobilnya untuk melihat Shallom dan Sammy. Keduanya asik bercanda dan ngobrol selayaknya sahabat pada umumnya. Tapi Mevin tahu, senyum dan tawa Shallom adalah senyum dan tawa yang tak biasa kalau sedang bersama Sammy.

“Kamu suka pakai gelang nggak, Shall?” tanya Sammy. Shallom mengangguk antusias.

“Suka bangett!” kata Shallom girang.

“Besok aku kasih gelang ya, aku punya dua, bentuknya sama, nanti yang satu aku pakai yang satu kamu, oke?”

“Kok tiba-tiba kasih gelang?” tanya Shallom.

Sammy mengangguk dan tersenyum tipis, “tanda persahabatan, sama biar kalau lagi jauh bisa inget satu sama lain.”

“Emang ada yang mau pergi jauh?” Shallom sedikit mengerucutkan bibirnya.

“Kalau, Shall, Hehe.” Shallom memicingkan matanya menatap Sammy sedikit curiga, “kamu nggak mau pergi kan?” hal itu hanya dibalas senyuman tipis oleh Sammy.

“Sammy, makasih ya udah sering ngajarin Shallom kalau belajar, makasih udah sering nemenin Shallom kalau belum dijemput.” Mevin berkata saat ia menghentikan mobilnya di lampu merah dan sedikit menoleh untuk memberikan senyum ramahnya kepada Sammy.

“Sama-sama Om Mevin, dengan senang hati.” Sammy membalasnya sangat sopan.

“Kalian kalau di kelas duduknya jejer juga apa gimana?” tanya Mevin tiba-tiba.

“Papaaaa!” Shallom langsung merengek tapi membuat Mevin menahan tawanya.

“Loh, Papa nanya, karena kalian akrab banget gitu sahabatannya, nanya doang, Nak,” tutur Mevin lembut.

“Enggak, Om. Beda tempat duduk, tapi satu kelas.” Sammy menjawab pertanyaan papa Shallom itu. Mevin pun mengangguk-angguk. Akhirnya tak berapa lama menempuh perjalanan, Sammy memberitahukan agar diturunkan di gang masuk saja, Mevin pun menurutinya. Ketiganya pun keluar dari mobil.

“Om Mevin terima kasih banyak, udah nganter saya pulang.” Sammy berkata sambil berpamitan mencium tangan Mevin.

“Iya sama-sama, Nak.” Mevin berkata ramah sambil menepuk pundak Sammy.

“Shallom makasih, ya.” Sammy menatap Shallom dan tersenyum. Shallom mengangguk, tersenyum dan berkata, “sama-sama!”

“Sam,” sela Mevin.

“Iya, Om?”

“Foto berdua tadi lucu, loh,” goda Mevin. Hal itu berhasil membuat Shallom mencubit pinggang Papanya itu sampai Mevin meringis. Sammy malu, mukanya sedikit memerah dan ia hanya bisa tersenyum.

“Hehe, maaf ya, Om. Tadi Shallom ngajak foto tiba-tiba, ternyata dikirim ke Om Mevin,” kata Sammy, tangannya bergerak menggaruk lehernya yang sebenarnya tidak gatal itu.

“Kalian baik-baik terus ya sahabatannya, jangan berantem-berantem. Saling support satu sama lain, oke? Om tidak larang kalian spend time berdua untuk belajar dan kerjakan tugas, kok. Asal untuk hal yang baik and of course in the right pathway ya?” kata Mevin sambil bergantian menatap Shallom dan Sammy.

“Siap Om Mevin. Jadi terharu,” kata Sammy sambil tersenyum haru.

“Kok terharu?” tanya Shallom.

“Belum pernah denger kalimat itu dari sosok Ayah,” kata Sammy sambil berusaha tersenyum. Mevin menjadi benar-benar terenyuh, tapi Mevin tak ingin hadirkan suasana sedih malam ini. Mevin sudah mengetahui keadaan keluarga Sammy dari Shallom jadi Mevin bisa mengatur apa yang hendak ia katakan.

“Ya udah, biar Om yang kasih semangat itu buat Sammy. Toh, Ayah kamu pasti bangga juga sama kamu. Kata Shallom kan kamu sama Shallom rankingnya balapan, tapi lebih sering kamu ranking satunya, it means that you’re smart, Sam. Ayah kamu pasti bangga, deh! Semangat ya, Sam, ya?” Mevin memegangi kedua pundak Sammy dan tersenyum menatap anak lelaki itu. Sammy benar-benar tersentuh. Sammy bahkan merasakan matanya panas kali ini.

“Sekali lagi terima kasih banyak Om Mevin, Sammy pamit ya, hati-hati di jalan.” Sammy mencium tangan Mevin lagi. Mevin juga sempat mengelus kepala Sammy dan memberikan senyuman teduhnya.

Sammy juga mengucapkan terima kasih kepada Shallom, “thanks ya, Shall. See you besok!” katanya lalu melakukan tos yang hanya mereka yang tahu, sampai Mevin tersenyum sendiri melihat tingkah gemas keduanya itu.

“Sama-sama! See you!” kata Shallom sambil melambaikan tangan mengiringi Sammy yang mulai berjalan pergi.

“Yuk, pulang,” ajak Mevin.

“Papa,” kata Shallom yang membuat Mevin menghentikan gerakannya yang sedang membuka pintu mobil.

“Ya? Ada yang ketinggalan apa kenapa?”

Tapi Shallom malah menghampiri Mevin dan memeluk papanya itu, Mevin heran, ia membalas pelukan Shallom sejenak.

“Papa makasih ya udah ngomong gitu ke Sammy. Tadi pengin nangis dengernya. Sammy really needs that, makasih Papa.” Shallom juga mencium pipi Papanya itu. Mevin membalas pelukan Shallom dan mencium puncak kepala anaknya itu.

“Iya, sama-sama. Sammy anaknya baik banget, yang Papa bisa lakukan hanya itu, baik-baik terus ya sama dia ya.” Kalimat penutup dari Mevin benar-benar membuat hati Shallom tenang.

Mevin baru saja memarkirkan mobilnya di area parkir sekolah Shallom, saat Mevin baru saja keluar dari mobil ternyata Shallom sudah berlari kecil diikuti seseorang di belakangnya. Siapa lagi kalau bukan Sammy?

“Papa!!” seru Shallom girang menghampiri papanya itu.

“Baru juga mau disamperin ke dalem,” kata Mevin. Akhirnya Shallom dan Sammy sampai di hadapan Mevin. Seperti biasa, Sammy memberi salam mencium tangan Mevin dengan sopan.

“Eh, Sammy.” Mevin menyapa ramah.

“Halo Om Mevin, selamat malam.” Sammy berkata sambil tersenyum membuat matanya semakin sipit.

“Makasih ya udah nemenin Shallom sampai om jemput, Sam pulang sama siapa?” tanya Mevin. Sammy nampak sempat bingung sebelum menjawab, “naik ojol, Om.”

Mevin pun melihat Shallom sudah dengan tas dan bawaannya, sementara Sammy belum. Akhirnya Mevin berkata, “Shallom temenin Sammy ambil tasnya, sana. Sammy pulangnya om sama Shallom anterin aja, udah malem. Ya?”

Sammy kaget, ia sempat melongok heran, “nggak papa, Om. Sam naik ojol aja, udah malem takut ngerepotin.”

“Bahaya udah malem, nggak papa. Anggap ucapan terima kasih dari Om karena udah nemenin Shallom, ya?” kata Mevin sekali lagi yang membuahkan hasil anggukan setuju dari Sammy. Shallom juga tersenyum girang, akhirnya Mevin mengambil tas dan totebag yang Shallom bawa lalu Mevin memberikan kode kepada Shallom untuk menemani Sammy mengambil tas lagi.

Keduanya pun berjalan beriringan, baru beberapa langkah, keduanya saling mengejar seperti anak kecil. Begitulah kebersamaan Shallom dan Sammy.

Mevin pun memasukkan tas Shallom ke tempat duduk depan di sebelahnya, dan Mevin menunggu di dalam mobil, akhirnya Sammy dan Shallom tiba lagi di sana, tapi saat Shallom hendak masuk ke mobil di bagian depan di sebelah Mevin, Papanya itu memberikan kode agar ia duduk di belakang bersama Sammy. Shallom sempat kaget, tercengang hingga akhirnya Mevin berkata dengan berbisik, “temenin Sam di belakang,” hal itu disambut Shallom yang menahan senyumannya.

Jelas, anak Mevin salah tingkah kali ini. Akhirnya Sammy dan Shallom sama-sama masuk dan duduk bersebelahan. Mevin pun mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Mevin sering curi-curi pandang dari kaca yang ada di mobilnya untuk melihat Shallom dan Sammy. Keduanya asik bercanda dan ngobrol selayaknya sahabat pada umumnya. Tapi Mevin tahu, senyum dan tawa Shallom adalah senyum dan tawa yang tak biasa kalau sedang bersama Sammy.

“Kamu suka pakai gelang nggak, Shall?” tanya Sammy. Shallom mengangguk antusias.

“Suka bangett!” kata Shallom girang.

“Besok aku kasih gelang ya, aku punya dua, bentuknya sama, nanti yang satu aku pakai yang satu kamu, oke?”

“Kok tiba-tiba kasih gelang?” tanya Shallom.

Sammy mengangguk dan tersenyum tipis, “tanda persahabatan, sama biar kalau lagi jauh bisa inget satu sama lain.”

“Emang ada yang mau pergi jauh?” Shallom sedikit mengerucutkan bibirnya.

“Kalau, Shall, Hehe.” Shallom memicingkan matanya menatap Sammy sedikit curiga, “kamu nggak mau pergi kan?” hal itu hanya dibalas senyuman tipis oleh Sammy.

“Sammy, makasih ya udah sering ngajarin Shallom kalau belajar, makasih udah sering nemenin Shallom kalau belum dijemput.” Mevin berkata saat ia menghentikan mobilnya di lampu merah dan sedikit menoleh untuk memberikan senyum ramahnya kepada Sammy.

“Sama-sama Om Mevin, dengan senang hati.” Sammy membalasnya sangat sopan.

“Kalian kalau di kelas duduknya jejer juga apa gimana?” tanya Mevin yang tiba-tiba.

“Papaaaa!” gerutu Shallom.

“Loh, Papa nanya, karena kalian akrab banget gitu sahabatannya, nanya doang, Nak,” tutur Mevin lembut.

“Enggak, Om. Beda tempat duduk, tapi satu kelas.” Sammy menjawab pertanyaan papa Shallom itu. Mevin pun mengangguk-angguk. Akhirnya tak berapa lama menempuh perjalanan, Sammy memberitahukan agar diturunkan di gang masuk saja, Mevin pun menurutinya. Ketiganya pun keluar dari mobil.

“Om Mevin terima kasih banyak, udah nganter saya pulang.” Sammy berkata sambil berpamitan mencium tangan Mevin.

“Iya sama-sama, Nak.” Mevin berkata ramah sambil menepuk pundak Sammy.

“Shallom makasih, ya.” Sammy menatap Shallom dan tersenyum. Shallom mengangguk, tersenyum dan berkata, “sama-sama!”

“Sam,” sela Mevin.

“Iya, Om?”

“Foto berdua tadi lucu, loh,” goda Mevin. Hal itu berhasil membuat Shallom mencubit pinggang Papanya itu sampai Mevin meringis. Sammy malu, mukanya sedikit memerah dan ia hanya bisa tersenyum.

“Hehe, maaf ya, Om. Tadi Shallom ngajak foto tiba-tiba, ternyata dikirim ke Om Mevin,” kata Sammy, tangannya bergerak menggaruk lehernya yang sebenarnya tidak gatal itu.

“Kalian baik-baik terus ya sahabatannya, jangan berantem-berantem. Saling support satu sama lain, oke? Om tidak larang kalian spend time berdua untuk belajar dan kerjakan tugas, kok. Asal untuk hal yang baik and of course in the right pathway ya?” kata Mevin sambil bergantian menatap Shallom dan Sammy.

“Siap Om Mevin. Jadi terharu,” kata Sammy sambil tersenyum haru.

“Kok terharu?” tanya Shallom.

“Belum pernah denger kalimat itu dari sosok Ayah,” kata Sammy sambil berusaha tersenyum. Mevin menjadi benar-benar terenyuh, tapi Mevin tak ingin hadirkan suasana sedih malam ini. Mevin sudah mengetahui keadaan keluarga Sammy dari Shallom jadi Mevin bisa mengatur apa yang hendak ia katakan.

“Ya udah, biar Om yang kasih semangat itu buat Sammy. Toh, Ayah kamu pasti bangga juga sama kamu. Kata Shallom kan kamu sama Shallom rankingnya balapan, tapi lebih sering kamu ranking satunya, it means that you’re smart, Sam. Ayah kamu pasti bangga, deh! Semangat ya, Sam, ya?” Mevin memegangi kedua pundak Sammy dan tersenyum menatap anak lelaki itu. Sammy benar-benar tersentuh. Sammy bahkan merasakan matanya panas kali ini.

“Sekali lagi terima kasih banyak Om Mevin, Sammy pamit ya, hati-hati di jalan.” Sammy mencium tangan Mevin lagi. Mevin juga sempat mengelus kepala Sammy dan memberikan senyuman teduhnya.

Sammy juga mengucapkan terima kasih kepada Shallom, “thanks ya, Shall. See you besok!” katanya lalu melakukan tos yang hanya mereka yang tahu, sampai Mevin tersenyum sendiri melihat tingkah gemas keduanya itu.

“Sama-sama! See you!” kata Shallom sambil melambaikan tangan mengiringi Sammy yang mulai berjalan pergi.

“Yuk, pulang,” ajak Mevin.

“Papa,” kata Shallom yang membuat Mevin menghentikan gerakannya yang sedang membuka pintu mobil.

“Ya? Ada yang ketinggalan apa kenapa?”

Tapi Shallom malah menghampiri Mevin dan memeluk papanya itu, Mevin heran, ia membalas pelukan Shallom sejenak.

“Papa makasih ya udah ngomong gitu ke Sammy. Tadi pengin nangis dengernya. Sammy really needs that, makasih Papa.” Shallom juga mencium pipi Papanya itu. Mevin membalas pelukan Shallom dan mencium puncak kepala anaknya itu.

“Iya, sama-sama. Sammy anaknya baik banget, yang Papa bisa lakukan hanya itu, baik-baik terus ya sama dia ya.” Kalimat penutup dari Mevin benar-benar membuat hati Shallom tenang.

“Cuma perkara makan, makan sama adek sama kakak lo doang, Yoel, nggak usah pakai ngotot!” Kalimat Eugene diucapkan nyaring dan mendapat balasan kekehan dari Yoel.

Yoel bertepuk tangan lalu mendekat lagi ke arah kakanya itu, “biasanya juga gue yang di rumah sama Michelle, gue yang anter jemput dia, gue yang makan nemenin dia. Lo kan sibuk part time terus ngerokok nggak jelas, jangan pikir gue tolol ya! Gue tahu, Ko!” bentak Yoel.

Eugene terdiam, ia tidak tahu bagaimana Yoel mengetahui bahwa ia merokok. “Lo part time biar nggak ketahuan ngerokok, kan? Sampai rumah tengah malem, habis itu langsung masuk kamar, ya nggak ketahuan. Tapi gue cowok, gue juga pernah coba ngerokok tapi akhirnya Papa, Oma sama Opa yang kasih tahu gue. Emang sih ngerokok bukan dosa tapi keluarga kita nggak suka. That’s your choice,” kata Yoel sambil berkacak pinggang lalu berdecih.

“Bagus deh kalau lo tahu, karena kadang gue ngerasa terbebani ada di rumah ini!” kata Eugene sambil berbalik badan. Tapi, yang Yoel lakukan adalah berjalan cepat ke ruang tengah dan menyambar jaket Eugene. Yoel merogoh saku jaket itu, mengeluarkan sekotak rokok yang ada, membuka dan mengeluarkan semua isi rokok yang tersisa sampai berserakan di lantai.

“YOEL!” pekik Eugene hendak menahan tindakan Yoel tapi percuma, batang rokok yang berjatuhan itu sudah digilas oleh kaki Yoel hingga hancur, dan pada akhirnya Yoel membanting kotak rokok itu.

“Apa?! Mau marah? Yang ada harusnya kita yang marah karena lo segala coba ngerokok, ngapain sih?!” balas Yoel. Eugene sudah naik pitam, tangannya mengepal menahan amarah. Mereka lupa kalau ada Michelle di dalam kamar yang mendengar mereka.

“Gue pernah lihat lo kumpul sama temen-temen lo yang ngerokok, some of them bawa alkohol, right? Gue nggak goblok, gue tahu mana minuman biasa mana yang alkohol, dan lo ada di sana! Gue selama ini diem ya, Ko! Selama ini gue tahu tapi gue diem, karena lo yang selalu bantuin gue dan selalu ada buat gue disaat gue butuh. Lo yang selalu ada waktu gue ketrigger, lo yang ada waktu gue nangis di bawah shower. Lo yang bawa gue ke Rumah sakit waktu sakit gue kambuh, ITU KO EUGENE YANG GUE KENAL! BUKAN YANG EMOSIAN, NGEROKOK DAN MABOK-MABOKAN DAN MARAH MARAH NGGAK JELAS GINI!” Jerit Yoel hingga tenggorokannya tercekat, Yoel menangis saat itu juga, tidak tersedu tapi matanya merah dan mengeluarkan air mata.

Michelle yang mendengar hal itu langsung menuju ke ambang pintu kamarnya, ia melihat Eugene membanting beberapa buku kuliahnya. “Lo sadar dong lo yang jarang ada di rumah! Lo pergi pagi, pulang malem, dengan segala hal yang lo lakuin tanpa sepengetahuan mama sama papa. Pulang, tidur, besok paginya gitu lagi. Gue juga pengin ngobrol sama lo! Michelle juga pengin ngobrol dan makan bareng sama lo. Gue tahu kapan lo shift, gue tahu kapan lo harus ke tempat lo kerja part time itu. Tapi yang gue tahu, lo pergi setiap hari, yang nggak gue tahu banyak. Gue nggak tahu apa yang lo lakuin!”

Eugene mengetatkan rahangnya lalu berkata dengan suara beratnya, “lo nggak usah kepo sampai ke tempat kerja gue, ngapain? MAU APA GUE TANYA! NGGAK USAH RECOKIN KEHIDUPAN GUE! GUE TUH CAPEK!” Botol minum yang ada di atas meja diraih Eugene lalu dibantingnya ke lantai.

“KO EUGENE! KO YOEL UDAH!” Michelle memberanikan diri mendekat ke sana dan berteriak guna melerai kedua kakaknya itu. Sementara Yoel dan Eugene masih saling menatap sengit, meski keduanya menangis. Ya, keduanya menangis tanpa suara sama sekali. Ada air mata mengalir dari pelupuk mata keduanya, mata yang saling menatap tajam itu.

“Cuma gara-gara Michelle minta makan bareng aja jadi kayak gini, udah dong, Ko…” Michelle yang menangis tidak digubris oleh kedua kakaknya.

“Gue capek, gue capek sama perkuliahan, sampai di rumah, yang Papa sama Mama tanya ya lo berdua, gue nggak iri atau kenapa-kenapa. Tapi gue cuma ngerasa nggak dikasih ruang. Semua selalu tentang adik-adik, semua ten⎯” ucapan Eugene belum selesai tapi Yoel memotongnya, “gue juga capek, kakak dan adik gue pinter, gue nggak naik kelas, gue dibully, gue gampang ketrigger, gue ngerasa gue cemen banget, gue nggak bisa jadi kalian! Jangan pikir gue nggak terbebani sama ini semua ya, gue bikin malu, kan? Lo sama Michelle perfect selalu dapet juara, gue? Haha… nggak ada yang dibanggain!” Yoel mendengus pedih.

“Michelle juga capek, Michelle anak terakhir, Michelle nggak pernah punya waktu sama Ko Yoel atau Ko Eugene buat cerita. Michelle takut ganggu kalian, Michelle ngerasa masih terlalu kecil untuk masuk ke dunia kalian. Michelle pengin punya quality time sama Ko Yoel dan Ko Eugene! Kangen kayak waktu Ko Eugene belum kerja, ada waktu sama kita buat main ke timezone atau ke …Es Teh Indonesia bertiga…” Michelle menangis keras setelahnya.

“Lagian lo mending fokus kuliah, Ko! Papa juga udah bilang kalau sekiranya ganggu kuliah lo nggak usah part time segala! Biar apa? Biar gaul nyobain hal-hal yang Papa Mama larang?” nada suara Yoel terdengar lebih pelan daripada sebelumnya, ia berjalan menghampiri Michelle dan merangkulnya.

Akhirnya hanya denting jam yang terdengar, sayup tangisan Michelle perlahan mereda meski Yoel masih harus beberapa kali menyeka air matanya sendiri.

“Gue yang paling tua, gue ngerasa banyak banget beban di pundak gue. Pengin cerita, pengin sharing my pain tapi gue sadar, usia kalian belum saatnya mikirin hal yang pelik, gue nggak tahu harus cari pelampiasan apa kadang. Gue kadang ngerasa kosong… bener bener.. kosong, gue nggak tahu mau jadi apa ke depannya!” ujar Eugene dengan suara seraknya karena bercampur kekuatannya yang sudah minim untuk menahan ledakan tangis di depan adik-adiknya itu.

“Tapi nggak dengan cara lo coba hal yang negatif!” kata Yoel berteriak lagi.

“Gue nggak ngerugiin lo!” Eugene tidak mau kalah sambil menyerakkan buku-bukunya yang bertengger di atas meja.

Saat itu juga, ternyata Mevin dan Shallom ada di sana. Ada di ambang pintu rumah mereka, Mevin yang baru saja mengantar Shallom membeli sesuatu diminta Shallom untuk mampir sebentar karena rindu kepada ketiga saudaranya itu. Tapi, betapa terkejutnya mereka saat tiba di sana melihat suasana yang mencekam dan sengit itu. Mevin langsung berjalan cepat menengahi mereka diikuti Shallom di belakangnya.

“Eugene! Yoel! Michelle!” pekik Mevin yang membuat ketiganya kaget. Mevin tiba di hadapan mereka, sementara Michelle melepaskan pelukan Yoel dan langsung berlari menghampiri Shallom dan menangis di pelukan Shallom.

“Kalian tuh kenapa?!” tanya Mevin sedikit meninggikan nadanya. Keduanya tidak menjawab, hanya diam dan menyeka air mata mereka masing-masing lalu membuang pandangan satu sama lain. Tapi pandangan Mevin tertuju pada rokok yang sudah hancur di lantai.

“Siapa yang ngerokok?” tanya Mevin sambil bergantian menatap kedua keponakannya itu.

“Jawab, siapa yang ngerokok?” tanya Mevin sekali lagi.

“Ko Eugene,” kata Yoel.

Mevin mendelik kaget, “Eugene, kamu?” tanya Mevin sambil memegangi kedua pundak Eugene, anak lelaki itu mengangguk.

“Astaga nak, jangan, ya? Kan dulu⎯” Mevin menggantung kalimatnya.

“Dulu Eugene kena flek paru-paru kan, uncle? Harus minum obat selama dua tahun, kan?” Eugene menjawab. Hal itu membuat Yoel dan Michelle langsung menatap Eugene.

“Uncle, emang iya? Koko pernah sakit?” tanya Yoel mendekat ke arah Mevin, “Uncle,” kata Yoel lagi. Mevin menoleh ke arah Yoel lalu mengangguk.

“Eugene pernah kena flek paru-paru, setiap hari harus minum obat untuk waktu yang lama. Makanya tadi uncle kaget, siapa yang berani ngerokok. Ternyata Eugene? You know that it’s dangerous for your health, right? Eugene, look at uncle,” kata Mevin dengan lembut.

“Kenapa masih ngerokok? Kalau Papa sama Mama kamu tahu, kira-kira khawatirnya kayak gimana? Udah berapa lama ngerokok?” tanya Mevin lagi.

“Sejak masuk kuliah, udah dua setengah tahun.”

“KO, LO GILA YA?!” Yoel tersulut lagi emosinya tapi Mevin mencoba menenangkan Yoel dulu lalu melanjutkan bicara dengan Eugene.

“Setiap hari?” tanya Mevin lagi, Eugene mengangguk. Mevin langsung menghela napas panjang, kehabisan kata kata.

“Kenapa nggak pernah ngomong sih, ko?” tanya Yoel lirih.

“Udah gue bilang, kan. Gue tuh capek, tapi gue nggak tahu harus cerita apa, lo pikir lihat lo dibully gue diem aja? Gue kepikiran, lihat lo sakit gue diem aja? Gue kepikiran! Gue tahu rasanya sakit waktu kecil dan harus minum obat mulu, sedangkan gue punya dua adik yang masih kecil. Gue inget banget gimana masa kecil gue dulu banyak hal yang terjadi diluar dugaan gue ataupun mama sama papa. Gue tuh juga mikirin kalian berdua tau nggak, sih? Gue nggak mau gagal jadi kakak!” Eugene meninggikan suaranya lagi membuat Michelle ketakutan di pelukan Shallom.

“Ko Eugene, udah ko..” lirih Shallom.

“Masih mau berantem? Jangan salah-salahan, udah! Ya? Eugene, uncle minta sama kamu, udah nak, udah, jangan ngerokok lagi, lemme ask you one more, you drunk?” tanya Mevin.

Eugene mengangguk, “iya, semua Eugene coba. Silahkan kalau mau ngadu ke papa,” kata Eugene pasrah lalu duduk di sofa sambil menunduk, ia menghapus air matanya. Sementara itu, Mevin berdiri di depan Eugene, “bukan ranah uncle buat ngadu ke Papa kamu, disini uncle Cuma mau pesen sama Eugene karena uncle inget gimana dulu Eugene waktu kecil. Kan uncle yang nanganin kamu, uncle inget gimana khawatirnya Papa sama Mama kamu. Jangan kayak gini lah, Eugene … kesehatan kamu yang utama, nak. Ya? Bahaya, Eugene,” dengan sabar Mevin mencoba memberikan pengertian kepada Eugene. Tiba-tiba Yoel berlutut di lantai dan membersihkan sisa rokok yang ia hancurkan tadi tanpa perintah siapapun, “Yoel…” panggil Mevin lirih.

“Uncle ngomong aja sama Koko, terusin aja, Yoel bersihin ini… biar Koko nggak dimarahin Papa sama Mama.” Ucapan Yoel benar-benar membuat Eugene yang tertunduk kini menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Mevin pun merasa terenyuh dengan sikap Yoel itu. Benar saja, dengan tisu yang ada, Yoel membersihkan kotak rokok dan rokok yang berserakan hingga tidak bersisa lalu ia buang ke luar rumah dan kembali lagi ke sana.

“Eugene, Yoel, Michelle, jangan pada marah-marahan, kalian kan saudara kandung. Uncle sama Papa kalian bukan saudara kandung, tapi sampai umur segini kami masih dan akan selalu akur. Kalau ditanya pernah muda dan marahan nggak, jawabanya pernah. Karena pernah, uncle makanya bisa ngomong gini ke kalian. Rumah, tempat pulang, yang ada di rumah siapa? Ya keluarga, keluarga disini siapa? Papa Jevin, Mama Letta, Eugene, Yoel, Michelle. Kita kalau pulang ke rumah pengin ngerasa apa sih? Seneng kan? Rehat dari semua kegiatan yang ada, feel comfort in family, right? kalau kayak tadi, rumah itu sendiri jadi nyaman nggak? Enggak kan?” tanya Mevin. Semua terdiam, Shallom tak henti memandangi Papanya kali itu, Shallom tahu bahwa memang Papanya bukan anak kandung dari omanya sekarang, tapi sejak lahir, Papanya sudah ada di keluarga ini. Shallom juga tahu bagaimana perjuangan papanya sampai di titik ini.

“Uncle tahu gimana Papa sama Mama kalian, mereka bukan orang tua yang menuntut kalian untuk jadi apa yang mereka mau, tapi, mereka adalah orang tua yang mau anaknya menjadi diri mereka sendiri. Jadi diri Eugene sendiri, jadi diri Yoel sendiri dan jadi diri Michelle sendiri. Jadi yang terbaik versi kalian masing-masing.” Kalimat Mevin ini menghantarkan Yoel dan Eugene menatap satu sama lain.

“Michelle tuh sedih lihat Ko Yoel sakit kayak kemarin, Michelle juga sedih denger Ko Eugene pernah sakit kayak gitu, Michelle sedih kalau kalian sakit. Udah dong Ko, jangan saling marahan lagi.” Michelle yang sedari tadi terdiam kini membuka suara.

“Denger adiknya bilang apa?” tanya Mevin kepada kedua keponakan laki-lakinya itu.

“Maafin gue ya, Ko.” Yoel berkata lirih sambil duduk di sebelah kanan Eugene, “lo tuh nggak boleh sampai sakit lagi, lo harus sehat. Jauhin lah hal-hal nggak guna itu, Ko.”

Eugene menangis tapi ia mencoba tersenyum.

“Eugene minta maaf juga sama adiknya,” titah Mevin lirih.

“Maafin gue ya,” kata Eugene sambil menoleh menatap Yoel. Saat Yoel mengangguk, Eugene gantian menatap Michelle yang masih dirangkul oleh Shallom.

“Disamperin kokonya, gih,” bisik Shallom pada Michelle. Akhirnya Eugene merentangkan tangan membuka lengan lebar, Michelle yang melengkungkan bibirnya langsung menangis dan memeluk kakak laki-lakinya itu. Memeluklah Michelle dan Eugene, “maaf ya kalau koko tadi marah-marah,” bisik Eugene pada Michelle.

“Takut, tadi Michelle takut banget,” balas Michelle. Tapi sejenak Eugene rasakan, Yoel memeluknya dari sisi yang lain, maka tangan Eugene bergerak berubah menjadi merangkul kedua adiknya yang sama-sama memeluknya itu. Shallom duduk di sofa sebelahnya dan mengusap punggung Michelle lembut, sempat beradu tatap dengan Eugene, Shallom berikan senyum terbaiknya dan acungan jempol kepada Eugene.

“Nah, begini dong.” Mevin bisa mengembuskan napas lega setelahnya. Saat keadaan sudah membaik, suara mobil terdengar, tentu saja suara mobil Letta dan Jevin. Benar saja, Jevin dan Letta masuk ke sana dan melihat ketiga anaknya yang sedang saling merangkul.

“Eugene! Yoel! Michelle!” pekik Jevin panik yang langsung berlari ke dalam.

“Mevin? Shallom?” Letta berjalan di belakang Jevin dan kebingungan bagaimana bisa ada Mevin dan Shallom disini.

“Siapa tadi yang⎯” ucapan Jevin dipotong oleh Mevin yang langsung memberi isyarat kepada Jevin.

“Sstt, diemin dulu. Jangan sekarang,” kata Mevin lirih. Yoel, Eugene dan Michelle pun merenggangkan pelukan lalu menatap kedua orang tuanya dan mereka bertiga pun langsung memeluk Jevin dan Letta.

In a sudden?” Letta sedikit heran tapi ia tersenyum kagum karena sikap ketiga anaknya ini.

“Michelle sayang Papa, Mama, Ko Eugene, Ko Yoel, uncle, aunty, semua keluarga besar Adrian.” Michelle berkata dengan gemasnya yang mengundang kekehan ringan dari semua yang ada di sana.

—-

Akhirnya setelah Mevin dan Shallom berpamitan dari sana, Jevin, Letta, dan ketiga anaknya masih ada di ruang tamu. Jevin berulang kali menanyakan apa yang terjadi tapi ketiganya masih tertunduk dan diam.

“Tadi kenapa? Kenapa berantem?” tanya Jevin sambil memandangi satu per satu anak-anaknya.

Akhirnya Eugene berdeham lalu memberanikan diri menatap Papanya itu, “maaf, Eugene tadi emosi, Eugene yang mancing keributan tadi. Maaf ya, Pa,” katanya.

“Kenapa sampai banting-banting barang? Kenapa sampai nangis?” tanya Letta kali ini, “jangan bohong,” lanjut Letta.

“Belum mau jujur?” tanya Jevin.

“Eugene yang salah, Pa, Ma, sorry ya, Eugene nakal coba ngerokok sama ngedrunk, dan Yoel tahu,” kata Eugene dengan suara yang bergetar.

Jevin dan Letta kaget bukan main, “Apa?!” kata mereka hampir bersamaan.

“Eugene, kamu lupa kalau kamu pernah—” ucapan Jevin dipotong oleh anggukan kepala Eugene dan suara nyarng Eugene, “tahu, Pa, Eugene tahu. Eugene pernah sakit kan paru-parunya? I know, maafin Eugene, ya. Pa... Ma...”

“Siapa yang ngajarin kamu?!” Tanya Letta dengan sedikit emosi karena kaget, maka Jevin menggenggam tangan istrinya itu dan coba memberi isyarat untuk sabar.

My mistake, my own mistake, sorry, Pa.. Ma… Eugene janji nggak akan ulangi lagi, beneran, Eugene nyesel banget, maafin Eugene.”

Jevin dan Letta yang melihat anak sulungnya menangis menjadi tidak tega, bagaimanapun mereka sangat khawatir karena Eugene mempunyai riwayat penyakit flek paru-paru. Dan sekarang Eugene sudah mengakui kesalahannya.

Letta pun angkat bicara, “Nak, mama nggak mau nyalahin atau apa. Tapi makasih kamu udah mau jujur, janji sama papa sama mama, janji sama Tuhan dan janji sama diri kamu sendiri kalau nggak akan ulangin hal-hal itu. Mama masih inget banget gimana kesiksanya kamu harus minum obat setiap hari, hangan kayak gitu lagi.” Nada bicara Letta lebih halus dari sebelumnya.

“Papa harus gimana sih, Eugene? Kamu tahu sendiri keadaan kesehatan kamu kan? Kenapa masih dicoba, nak? Astaga..” Jevin kewalahan. Eugene tidak menjawab apa-apa, bahkan tidak menatap kedua orang tuanya itu.

“MAU DIULANG LAGI?!” Kali ini malah Jevin yang tersulut emosi.

“Jangan marahin Koko,” ujar Yoel yang mengangkat wajahnya sedikit menatap Papanya meski ketakutan.

“Jangan marahin Ko Eugene sama Ko Yoel, Papaa..” sanggah Michelle.

Eugene pun beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Jevin juga Letta, berlutut di depannya dan memeluk kedua orang tuanya itu.

“Maaf ya Pa, Ma. Maaf udah jadi anak sulung yang nggak kasih contoh yang baik.” Mendengar Eugene mengucapkan hal itu, Letta dan Jevin kehabisan kata-kata. Yoel dan Michelle yang melihatnya langsung menghampiri dan langsung memeluk Eugene, Jevin juga Letta.

Mereka berlima saling memeluk. Pelukan hangat itu kembali lagi, tak ada amarah juga ego lagi.

“Maaf kalau Papa jadi orang tua yang kurang perhatian, jangan pada marah-marahan sampai kayak tadi. Ya? Harus bijak, harus bisa jaga diri, harus jujur apapun yang terjadi. Papa sayang sama kalian, tanpa terkecuali,” kata Jevin.

“Sayangnya Mama sama Papa ke Eugene, Yoel sama Michelle itu sama.” Letta menambahkan. Tak ada amarah yang bergejolak lagi, yang ada hanya kasih sayang diantara mereka saat ini.

Cairlah suasana malam itu, emosi dan amarah diredam, Mevin datang tepat waktu, bisa menjadi penengah untuk keponakannya itu. Nyatanya, amarah anak bisa diredam dengan petuah yang tanpa dibumbui emosi dan amarah juga. Nyatanya pengertian kepada anak bisa diberikan tanpa kemarahan. Kalau ada kasih di sana pasti tidak akan ada kemarahan yang lebih memuncak, bertindak dengan kepala dingin ternyata memang sangat diperlukan di dalam keluarga. Setiap anak memiliki bebannya masing-masing, anak pertama, kedua, ketiga dan yang lainnya. Tidak perlu jadi yang terbaik hanya demi pengakuan, tapi jadilah versi diri sendiri yang menurut kita baik. Jika anak melakukan kesalahan, kadang bukan karena orang tua yang salah mendidik, setiap anak pasti memiliki rasa ingin tahu, bukan berarti didikan orang tua salah. Dalam hidup, orang tua tidak selalu benar, dan anak tidak selalu salah. Tapi dalam keluarga, harus saling mengasihi. Jevin dan Letta tidak pernah salah mendidik anak, begitu juga Jeremy dan Lea tidak pernah salah mendidik dan membesarkan Jevin, Mevin maupun Lauren.

Halo, kenalkan aku Samuel Greyson, seorang anak laki-laki dari dua bersaudara. Anak pertama lebih tepatnya. Ayah dan Mamaku berpisah, dipisahkan maut lebih tepatnya. Ayah dipanggil Tuhan saat aku duduk di bangku SMP. Karena aku anak pertama, aku mempunyai seorang adik. Usianya dua tahun dibawahku. Kami hanya tinggal bersama Mama. Ya, Mama kami yang berjuang seorang diri, menghidupi kedua anak laki-lakinya yang masaih duduk di bangku sekolah. Mama bekerja sebagai karyawan di sebuah kantor, kami bukan dari keluarga yang berada tapi sampai sekarang kami merasa cukup. Segala sesuatu cukup, tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Adik laki-lakiku bernama Hansen, kami tidak terlalu dekat karena sifatnya yang cenderung tertutup.

Oh iya, tentang Shallom, aku dan Shallom sudah berteman lama. Sampai akhirnya kami ada di kelas yang sama sekarang. Kedekatan kami adalah sebagai sahabat, bukan tanpa alasan, Shallom lawan bicara yang baik, dalam hal apapun kerjasama pun terasa baik. Project group? Berjalan lancar, walaupun dalam group hanya kami berdua anggotanya, haha, begitulah.

Bertemu Shallom adalah salah satu hal yang membuka mataku, beberapa perbedaan di antara kami juga tidak membuat kami berada di dua kubu yang selalu bertentangan. Tapi, malah membuat kami masing-masing saling bertukar sudut pandang. Pertama, Shallom adalah anak terakhir dan aku anak pertama, kadang sudut pandang kami berbeda tapi jika disatukan maka akan muncul sudut pandang baru gabungan dari kacamata kami masing-masing. Misalkan saja tentang bagaimana Shallom harus berada di rumah sendiri karena kakak laki-lakinya yang harus merantau. Shallom pernah mengeluh bahwa ia kesepian dan lain sebagainya, saat itu aku menempatkan diriku sebagai anak pertama juga, dari kacamataku, anak pertama ada baiknya menjadi contoh bagi adik-adiknya, mungkin yang ditinggalkan akan merasa kesepian atau kesal, tapi anak pertama adalah harapan pertama orang tua saat beranjak dewasa.

Aku pernah berkata kepada Shallom, bertanya lebih tepatnya, apakah dia senang atau tidak kalau kakaknya berhasil. Ia menjawab dengan gamblang, senang dan bahagia. I told her, semua anak pertama ingin menjadi contoh yang baik juga bagi aadik-adiknya. Dukunglah cita-cita yang ia kejar. Bukan berarti anak pertama juga tidak mendukung adik-adiknya, bahkan dalam keluarga pasti akan bahagia kalau anggotanya mencapai kesuksesan. Setiap kakak pasti ingin yang terbaik bagi adiknya. Setiap kakak pasti tidak ingin gagal di mata adik dan keluarga. Maka setelah itu kami berbincang, kadang pembicaraan kami cukup berat. Membahas ketakutan akan masa depan, ketakutan akan kegagalan. Tapi bukankah selama matahari masih bersinar dan dunia masih berputar semua ada dalam kendali Tuhan? Iya, kan? Bahkan Tuhan juga tidak akan ingkar janji, hanyaa.. kita tidak pernah tahu kapan janji itu akan terjadi dalam hidup kita.

Keluarga Shallom kadang membuat aku iri, kadang aku berdebat dengan Mama karena beberapa kali Mama mengajukan pertanyaan kepadaku dan Hansen, “bagaimana kalau Mama menikah lagi?” sampai saat ini, aku dan Hansen pun belum pernah mengangguk setuju, lagipula Mama juga sudah jarang menanyakan itu, entah di hari yang akan datang apakah akan menanyakan lagi atau tidak.

Keluarga Shallom yang hangat, serta penerimaan yang aku rasakan cukup sering membuat aku berandai, bagaimana rasanya memiliki anggota keluarga lengkap yang saling menyayangi. Bahkan saat aku berada di sana pun (meski sedikit malu) tapi Tante Grace dan Om Mevin sangat ramah dan hangat. Tidak heran jika gen itu mengalir deras di diri Shallom yang sangat baik, tidak memilih teman dan juga untukku secara pribadi aku nyaman mengenalnya.

Kalau boleh meminta, aku pun berharap akan menjalin hubungan pertemanan ini untuk jangka waktu yang lama dengan Shallom. Ada di dekatnya cukup membuatku tenang dan bisa bebas menjadi diri sendiri. Tawanya yang khas atau rengekannya saat merasa ketakutan, juga hari kelahirannya sudah aku hafalkan di luar kepala, terngiang begitu saja. Imannuella Shallom Gravianne Adrian, nama yang indah untuk sang pemilik. Sama indahnya dengan senyum tulusnya yang ia berikan kepada setiap orang. Semoga aku selalu bisa melihat senyum indahnya, semoga suatu saat nanti aku juga bisa lebih banyak tersenyum seperti Shallom. Semoga saja jika suatu saat nanti Shallom mengetahui bagaimana latar belakang dan keadaanku, ia masih menjadi Shallom yang aku kenal sekarang. Tapi memang benar, kan, kalau senyum Shallom indah?