awnyaii

Michelle kali ini hanya diam sambil memandangi kakak laki lakinya yang tengah tertidur. Michelle duduk di ranjang Yoel sambil menyentuh perut Yoel lalu memejamkan matanya, ia mulai bergumam pelan, sangat pelan, Michelle merasa mungkin hanya ia yang bisa mendengarnya, “God, please protect my brother, tadi koko muntah muntah, semoga perut koko nggak papa, and give him strength and new healthy, in the name of God, amen.”

Setelahnya ia hendak menyentuh tangan Yoel, tapi ia urungkan lagi. Perlahan Michelle pun mengambil selimut dan mulai menyelimuti kakak laki-lakinya yang masih terpejam itu. “Koko cepet sembuh, aneh banget lihat koko sakit rasanya.” Michelle berkata lirih sebelum menutupkan selimut hingga menutupi bagian dada Yoel. Akhirnya, Michelle beranjak dari sana dengan langkah mengendap dan menutup pintu kamar Yoel.

Saat Michelle keluar kamar, “Dor!” kata Jevin yang tiba-tiba sudah ada di sana saat Michelle berbalik badan.

“Papa!” kata Michelle kaget sambil menepuk beberapa kali lengan Papanya itu. Lalu ia mengerucutkan bibirnya dan berjalan dengan sedikit menghentakkan kakinya lalu duduk di sofa ruang tamu.

“Eh, kok cemberut. Kenapa?” tanya Jevin sambil menyusul Michelle duduk di sebelahnya.

Michelle enggan menatap Jevin, “Michelle?” panggil Jevin lagi, barulah Michelle menoleh ke arah Jevin.

“Papa lama banget pulangnya, Icel bingung tadi harus gimana. Takut tahu, Papa.” Michelle berkata dengan berkaca-kaca. Jevin menjadi bingung, mengapa tiba-tiba anaknya hendak menangis.

“Loh, kenapa? Kok nangis?” tanya Jevin lagi. Tapi, pertanyaan itu malah membuat Michelle meledak dalam tangis keras, tanpa basa-basi lagi Jevin pun memeluk anaknya itu. Michelle memeluk Jevin dan meluapkan tangis di pelukan Papanya itu bahkan sampai punggungnya bergetar hebat.

“Koko tadi muntahnya ada darahnya, Icel takut… kenapa Koko Yoel kayak gitu …” kalimat itu diucapkan Michelle dengan terbata-bata.

“Aduh anak papa… iya nanti Koko Yoel kita bawa ke dokter, ya? Sayang banget ya sama koko ya?”

Michelle mengangguk, “koko Eugene udah sibuk kuliah, cuma koko Yoel yang di rumah terus karena masih sekolah kayak Icel, nanti kalau ko Yoel udah kuliah juga Icel sendirian. Tapi selama ini Icel lebih sering main sama ko Yoel karena ko Eugene juga harus kerja kadang,” balas Michelle sambil perlahan merenggangkan pelukan. Jevin pun mengusap air mata anaknya itu perlahan dan lembut dengan jarinya. Mungkin perkataan Michelle tadi adalah kejujuran dari seorang anak terakhir yang juga takut kalau sesuatu terjadi kepada kakak-kakaknya.

“Koko Yoel masih lama kuliahnya, masih bisa main sama kamu, masih bisa temenin kamu, tapi kalau koko sakit, gantian ya kamu temenin koko, kayak tadi. Papa seneng lihatnya, Michelle adik yang baik buat koko, makasih ya nak, ya…” ucapan Jevin ditutup dengan sebuah kecupan di kening Michelle. Sekali lagi, Ayah dan anak itu saling memeluk.

Sementara, di dalam kamar, Yoel sebenarnya belum tidur. Sedari tadi ia hanya memejamkan mata karena ia merasa sangat pusing. Jadi, setiap hal yang Michelle lakukan ia tahu, bahkan saat Michelle bergumam lirih mendoakannya, Yoel tahu, Yoel mendengarnya. Yoel masih terbaring sambil memegangi perutnya, ia merasa terharu saat mendengar doa sederhana tapi sangat terasa ketulusannya itu dari adiknya. Sampai akhirnya ia memilih untuk keluar kamar, tapi saat ia hendak keluar dan sudah membuka pintu kamarnya pelan, bahkan sangat pelan, yang ia lihat adalah adiknya sedang menangis di pelukan Papanya. Ternyata seperti ini, ya? Meski mereka kadang berdebat tapi tetap saja kakak dan adik juga perasaan sayang di antara mereka tidak bisa berbohong.

Hujan di luar turun beradu dengan turunnya air mata Yoel. Anak lelaki itu tengah terduduk di kamar mandi di bawah shower dengan seragam sekolahnya, membiarkan air dari shower membasahi tubuhnya. Keadaan rumah sepi karena tidak ada siapapun di sana. Masih teringat jelas saat Michelle menangis, Yoel yang tahu, saat Yoel menangis tak ada seorangpun yang tahu. Tapi, tanpa Yoel ketahui, Eugene sudah memasuki area rumah. Eugene baru saja memasukkan motornya ke garasi dan berjalan memasuki rumahnya.

Keadaan sepi, tapi motor Yoel sudah terparkir di garasi. Jelas artinya bahwa adik lelaki Eugene itu sudah berada di rumah. Eugene masuk ke kamarnya, melempar tas punggungnya ke kasur dan keluar lagi untuk mencari keberadaan Yoel. Beberapa kali Eugene memekik nama adiknya itu tapi tidak membuahkan hasil. Ruang makan, dapur, ruang tamu, halaman belakang, didatangi Eugene tapi ia tidak menemukan adiknya di sana.

Akhirnya langkah Eugene tertuju pada kamar Yoel. Pintunya tertutup tapi tidak dikunci, Eugene pun membukanya, tak ada siapapun di sana, tapi ada suara air shower yang menyala. Eugene pun mengetuk pintu kamar mandi adiknya itu dan berkata, “Dek, lo di dalem?”

Tidak ada jawaban.

“Dek? Yoel?!” ketuk Eugene lagi.

Masih hening, hanya suara shower yang mengalir.

“Yoel?! Lo denger gue nggak?!” tanya Eugene dengan suara nyaring.

Perasaan Eugene menjadi tidak enak ia membuka paksa pintu kamar mandi adiknya itu, mata Eugene terbelalak dan kakinya bergetar melihat adiknya terduduk di bawah shower dengan keadaan basah masih dengan seragam sekolahnya. Eugene langsung berlari mematikan shower dan berlutut di depan Yoel serta mencengkeram kedua bahu adiknya itu. Kepala Yoel masih tertunduk hingga saat Eugene memekik nama Yoel beberapa kali, Yoel mendongakkan kepalanya menatap Eugene dan sedikit menarik sudut bibirnya.

“Lo kenapa kayak gini, dek?!” tanya Eugene panik. Yoel hanya menggeleng beberapa kali, Eugene pun menanyakan hal yang sama lagi, tapi Yoel tetap menggelengkan kepalanya. Yoel masih menangis dan di kepala Yoel yang terlintas hanyalah saat beberapa orang mencemoohnya, bagaimana Jevin dan Letta bertengkar, juga fakta yang Yoel ketahui tentang keadaan orang tuanya saat ia lahir, terlebih keadaan Jevin saat itu. Hal itu membuat Yoel gemetar bukan main, bibirnya yang hendak memanggil nama kakaknya saja terasa tidak bisa digerakkan.

“Dek!” Nada tinggi Eugene menggema pada akhirnya.

“Ko, sakit… malu…” setelah mengucapkan dua kata itu, Yoel terisak menangis sejadi jadinya, sekeras-kerasnya. Untuk pertama kalinya Yoel menangis di hadapan kakak laki-lakinya itu, untuk pertama kalinya juga Eugene melihat adiknya seperti ini. Tangan Yoel bergetar, punggung Yoel juga, bahkan napasnya tersengal. Yoel benar-benar menangis sejadinya kali ini. Tangisan dari anak lelaki yang selalu membuat kedua orang tuanya menghela napas panjang dan mengelus dada dengan tingkah lucu dan anehnya, Yoel yang selalu bertingkah kali ini melemah, kali ini rapuh. Entah kepada siapa nantinya Yoel akan mengadu segala perasaan yang ia rasakan. Yang Yoel tahu, kali ini ia menangis di pelukan kakak laki-lakinya, Eugene.


Eugene pun membiarkan Yoel untuk berganti pakaian, tanpa Yoel ketahui, Eugene sudah menunggu di halaman belakang rumah dengan secangkir minuman hangat untuk adiknya itu. Tak lama, Yoel pun berjalan dengan langkah gontai menghampiri kakaknya itu, dengan handuk yang masih ia gunakan untuk menggosok rambutnya yang basah, ia pun mengambil posisi duduk di sebelah Eugene.

“Nih, diminum,” kata Eugene sambil menggeser cangkir ke dekat Yoel. Adik laki-laki Yoel itu menghela napas sejenak sebelum meraih cangkir itu dan menyesap minuman yang sudah kakaknya buatkan itu.

“Makasih, Ko.” Yoel tersenyum tipis. Handuk yang masih bertengger di kedua pundak Yoel itu diraih Eugene lalu ia gosokkan lagi di rambut adiknya perlahan dan ia singkirkan sejenak.

“Kenapa tadi kayak gitu?” ucap Eugene tiba-tiba sambil mengacak rambut Yoel dengan tangannya, Yoel sedikit mengerucutkan bibirnya lalu bersandar di kursi yang mereka duduki berdua.

“Kayak gini ya Ko rasanya ketrigger?” kata Yoel.

“Hah? Maksudnya?” tanya Eugene kebingungan. Senyum Yoel perlahan menjadi masam, Yoel menatap kakaknya yang ada di sebelahnya dan menggeleng pelan setelahnya.

“Nggak papa, Ko. Makasih ya,” kata Yoel setelahnya.

Yoel yang sedari tadi tertidur di sofa di rumah Jeremy dan Lea, Opa dan Omanya kini terbangun saat ia merasakan belaian di rambutnya beberapa kali. Yoel merentangkan tangan dan mengerjapkan matanya dan menoleh mendapati Lea ada di sana. Yoel kaget bukan main, ia langsung terperanjat duduk, “Oma?” tanya Yoel.

Lea pun duduk di sebelah Yoel lalu merangkul cucunya itu, “Oma boleh tanya sama Yoel?” tanyanya. Yoel mengangguk sambil berulang kali mengucek matanya dan sesekali menguap, tidak ada kecurigaan dari Yoel terhadap omanya kali ini.

“Yoel merokok?” pertanyaan yang langsung membuat degup jantung Yoel tidak karuan, laju aliran darahnya seakan berhenti begitu saja, Yoel menelan ludah dengan kasar dan tidak tahu harus mengatakan apa.

“Jujur sama Oma, sebelum Papa kamu kesini.” Lea mencengkeram pelan pundak cucunya yang ia rangkul itu. Yoel tertunduk belum mau menjawab.

“Yoel, Oma nanya sama kamu.” Lea mengatakan kalimatnya dengan menekankan nama cucunya itu. Lalu Yoel mengangguk.

“Oh, ngerokok beneran.” Lea berkata dengan nada santai lalu bersandar di sofa dan menyilangkan tangannya di depan dada.

“O.. Oma, maaf …” Yoel sebenarnya takut untuk jujur, karena saat ia di rumah tadi pun Letta sudah marah terhadapnya.

“Siapa yang ajarin Yoel merokok?” tanya Lea.

“Te.. temen …”

“Enak nggak?” pertanyaan Lea tentu saja membuat Yoel bingung setengah mati. Yoel pun hanya menggelengkan kepalanya.

“Ya udah, kalau udah tahu nggak enak mah. Besok mau coba lagi?” tanya Lea yang membuat Yoel menoleh dan menggelang, Lea kembali mencondongkan tubuhnya dan menyejajarkan posisi duduknya dengan Yoel.

“Dulu papa kamu juga pernah merokok diem-diem, tapi Oma tahu, bahkan Oma pun pernah coba waktu muda dulu, ya sama kayak kamu, lihat orang, kepengin terus nyoba. Tapi udah tahu rasanya ya udah, nggak mau lagi. Yoel, umur Yoel sekarang enam belas tahun kayaknya memang lagi masa-masanya pengin coba ini dan itu. Tapi Oma mohon sama Yoel kalau memang itu nggak penting dan nggak baik jangan diikutin. Untungnya merokok apa, sih? Nggak ada untungnya buat Yoel kan? Cucu oma yang ganteng, nanti kecanduan merokok, nanti paru-parunya bermasalah. Kira-kira bawa keuntungan nggak merokok tuh?” Lea benar-benar membuat Yoel terperangah, Yoel kira hari ini ia akan habis oleh amukan Lea tapi nyatanya cara Lea bertutur kata benr-benar bisa membuat Yoel membuka pikirannya. Belum sempat Yoel menjawah, langkah kaki Jeremy terdengar mendekati mereka.

“Serius banget nih, Oma sama cucu yang energinya nggak habis-habis,” kata Jeremy lalu duduk di sofa di sebelah Yoel juga hingga kini Yoel ada di posisi di tengah antara Jeremy dan Lea.

“Papa sama Uncle kamu dulu Opa marahin kalau ada yang merokok, biar Opa pindahin aja sekolahnya kalau merokok. Apa sih enaknya merokok gitu? Nanti tuanya sakit baru tahu rasa. Kalau hanya masalah gaul-gaulan atau diajakin temen nggak usah ikutan, dibilang cupu atau nggak gaul bodoamat. Tapi ya balik lagi ke kamunya, udah bisa belum menentukan mana yang baik dan nggak harus diikutin? Ngerti, Yoel? Opa sama Oma nggak akan ngomel dengan nada tinggi, pening juga denger ribut-ribut. Tapi Yoel silahkan pilih sendiri mau gimana, marahin anak udah nggak jaman sekarang. Yang ada nanti anak membangkang terus malahan nunggu orang tua marah dan terus bikin ulah. Yoel masih mau ulangin nggak? Kalau masih mau, Opa bro nggak mau main sama Yoel lagi, males, bau rokok, Opa nggak suka,” kata Jeremy yang kini membuat Yoel sedikit mengerucutkan bibirnya.

“Yoel diajakin temen, katanya suruh coba, tapi sekali aja, beneran. Terus keburu ketahuan Mama di jaket, rasanya juga biasa aja, nggak seenak masakan Mama. Nggak bikin kenyang. Opa, Oma, maafin Yoel ya. Yoel janji nggak akan sentuh rokok lagi, kalau Yoel sentuh rokok lagi nggak usah kasih Yoel thr natalan nanti.” Yoel bergantian menatap Opa dan Omanya. Lea yang ada di sisi kanan yoel pun merangkul dan mencium pipi cucunya yang special itu.

“Mau diulangin nggak? Kalau diulangin, Yoel nggak boleh nginep sini lagi. Oma nggak akan jewer, ngomel pakai nada tinggi atau apapun, tapi oma nggak suka asap dan bau rokok, your choice masih mau ngerokok apa enggak.” Lea mengangkat alisnya yang membuat sedikit kesan sinis dan sangar.

“Ampun Oma, nggak lagi-lagi, janji.” Yoel mengacungkan jari kelingkingnya kepada Omanya itu, Lea pun menautkan jarinya dengan Yoel lalu tersenyum.

“Dulu Opa merokok nggak?” tanya Yoel setelahnya lalu menoleh ke arah Jeremy.

“Nggak Opa, mah.” Jeremy menggeleng.

“Bener Oma?” tanya Yoel kepada Lea, dibalas anggukan dari Lea.

“Opa nggak pernah ngerokok sekalipun, masa kamu kalah sama Opa.”

“Beneran dari jaman sekolah nggak pernah Opa Bro?” tanya Yoel dengan nada masih tidak percaya.

“Iya, bocah ngeyel banget, emang muka Opa nggak meyakinkan?” Jeremy berkata sambil mengacak pelan rambut cucunya itu. Yoel masih terperangah dan menggeleng pelan.

“Yah, nggak percaya ya udah.” Jeremy berkata dengan mengangkat kedua alisnya.

Tiba-tiba bel rumah Jeremy dan Lea berbunyi, “noh, pasti Papa kamu.” Lea bangkit berdiri sambil menatap Yoel sejenak sebelum melangkah meninggalkan Jeremy dan Yoel.

“Aduh, Opa… Yoel takut diamuk Papa, aduh, gimana ya.. aduh …” Yoel cemas dan ketakutan sendiri. Sedangkan Jeremy hanya terkekeh dengan tingkah cucunya yang sedang berusaha mencari tempat persembunyian.

“Duduk aja udah,” ujar Jeremy santai sambil bersandar di sofa.

“Nanti Yoel diamuk Papa Jev gimana?”

“Nggak akan, sini.” Jeremy menepuk space kosong di sebelahnya. Yoel pun menurut lalu memeluk tangan Jeremy dan membenamkan wajahnya di lengan Jeremy persis seperti anak kecil yang ketakutan.

Lalu langkah kaki Lea dan Jevin mulai mendekat, membuat Yoel gusar tapi masih enggan mendongakkan kepala meski Jeremy sudah berkata, “noh, Papa Jev dateng.”

“Papa ampun Pa, ampun!” kata Yoel masih menyembunyikan wajah di lengan Opanya itu.

Tangan Jevin terulur menyentuh telinga Yoel dan menjewernya pelan, bahkan hanya akan membuat sedikit rasa kaget bagi Yoel.

“Kuping tuh buat dengerin orang tua, masuk kuping kiri keluar di tol semarang bawen, sih,” kata Jevin yang membuat Yoel perlahan mendongak, Jevin sudah ada di sana berdiri di depan Yoel di samping Lea.

“Minta maaf sama Mama jangan lupa. Jangan main kabur aja, ya? Papa nggak akan ngoceh panjang lebar, kalau kamu aneh-aneh, Opa sama Oma nggak mau bukain pintu rumah ini buat kamu lagi, mau?” tanya Jevin, Yoel langsung meraih tangan Jevin dan mencium tangan Jevin, menempelkan punggung tangan Jevin di dahinya berkali-kali.

“Ampun Pa Jev, nggak mau, ampun, maaf …” Yoel berulang kali mengulang kalimatnya. Jevin pun terkekeh lalu memeluk anaknya itu, “Papa juga pernah bandel, tapi Papa nggak mau anak-anak Papa bandel juga, jangan, ya? Katanya mau jadi menpora?” kata Jevin lagi.

“Iya, Christiano Yoel Geneva Adrian calon menpora yang baik hati dan jadi panutan!” kata Yoel sambil mengepalkan tangan bersemangat.

“Amin!” seru Lea, Jeremy dan Jevin hampir bersamaan.

Semua terbahak kala itu apalagi melihat Yoel yang tersenyum lebar, anak tengah Jevin dan cucu Jeremy serta Lea ini memang sedikit lebih esktra dibanding kakak dan adiknya, tapi begitulah setiap anak diciptakan dengan berbagai keunikan yang ada. Memberi tahu agar anak jera juga tidak selalu dengan bentakan atau kemarahan, setiap kita nantinya pasti bisa menjadi orang tua terbaik versi diri kita masing-masing.

Selang waktu berlalu Petra berhenti bekerja di klinik dan fokus bekerja di Rumah Sakit baru tempatnya bekerja saat ini. Petra juga sudah menjadi istri sah Jovian. Mereka tinggal di satu rumah bersama, walaupun Jovian masih ngotot untuk tidur di kamar yang berbeda. Semua itu Petra jalani dengan biasa saja karena ia tidak ingin memaksakan kehendak. Bahkan pernikahan ini mungkin hanya akan bertahan satu tahun, setelah itu mereka akan mengurus perceraian.

Petra melirik jam tangannya sejenak sambil berdiri di ambang pintu Rumah Sakit tempatnya bekerja. Kota ini memang mengukir banyak kenangan, suara rayuan hiruk pikuk lalu lalang kendaraan dan kesibukan menghiasi setiap hari. Belaian gemerlap lampu kota menambah setiap orang terbuai untuk hanyut di dalamnya. Petra melangkahkan kakinya menuju mobil yang ia parkir. Pintu mobil dikatupkannya pelan sebelum ia menyalakan mobilnya.

Namun, seseorang mengetuk kaca mobilnya saat ia memasang seat beltnya. Petra pun menghentikan kegiatannya, ia membuka kaca mobilnya. Ia disambut seuntai senyum yang tidak asing untuknya.

“Jovian?” Petra memandang sepasang mata yang menatapnya sekarang itu, mata dengan iris cokelat gelap menatapnya balik dengan sumringah.

Let’s have a dinner together,” kata Jovian, Petra masih termangu tidak percaya dengan apa yang ia dengar barusan.

I’ll drive for us,” lanjut Jovian, Petra gelagapan mencoba menelaah kalimat Jovian barusan sambil menelan ludahnya.

Setelah satu jentikan jari diberikan Jovian, Petra sadar dari lamunannya. “Mobil kamu kemana?” tanya Petra pada akhirnya.

“Di rumah, aku naik taksi online kesini, biar bisa satu mobil sama kamu.” Setelah mendengar perkataan Jovian, Petra pun melepas seat beltnya dan pindah ke kursi penumpang. Jovian masuk dan mengambil alih kemudi mobil istrinya itu.

Saat ini Petra dan Jovian hanya saling diam di mobil, tidak banyak percakapan antara mereka. Petra sibuk melayangkan pandangannya ke luar jendela menatap hiruk pikuk kota yang masih ramai. Tidak biasanya Jovian mengajak Petra untuk makan malam, Petra menatap Jovian sejenak sebelum bertanya,

“Tumben, dalam rangka apa?” tanya Petra.

“Udah tiga bulan married,” jawabnya sambil menoleh dan tersenyum.

“Nggak biasanya, bukannya pernikahan ini hal yang kamu hindari?”

Jovian menghentikan mobilnya di lampu merah.

“I’ll try, nurutin Ayah juga.” Sungguh, Petra mengingat segala perasaan yang hanya sepihak, mengingat segala hal yang penuh sesak pedih yang ia balut tangis, terlebih ia paham dan tahu betul hati Jovian masih berpusat di Lea. Pandangan Petra menerawang dalam remang, paras Jovian masih bisa terlihat disana.

“Kamu habis nangis?” tanya Petra.

Jovian melongok menatap wanita di sampingnya, ia menggeleng lalu jemarinya ia ketuk-ketukkan di kemudi mobil dan membuang pandangan ke luar jendela. Sebenarnya, Jovian tidak bisa membohongi Petra.

“Kamu habis ketemu Lea?” pertanyaan Petra membuat Jovian mengangguk pada akhirnya.

Petra tersenyum, Jovian nampak kikuk.

“Nggak papa, selesaikan dulu masa lalu kamu, buat kamu juga mungkin Lea sajak yang nggak akan pernah usai, kan?” Petra membuang pandangan ke luar jendela.

“Aku udah putus juga sama Lea sebelum kita menikah, tadi aku ketemu cuma buat kembalikan semua barang dia yang masih ada di aku, di rumah kita.” perkataan Jovian dengan suara beratnya membuat Petra sedikit terbelalak.

“Kita pulang aja kalau suasana hati kamu nggak baik,” kata Petra sambil meraih jemari Jovian yang mulai bergerak di setir mobil lagi. Jovian memaksakan satu senyum lalu menggeleng.

“Nggak usah, kita dinner aja,” katanya lagi.

“Ya udah, asal jangan jelek moodnya.”

“Enggak kok. I’m good as long as with you. Tapi nanti malem boleh tidur sama peluk kamu nggak?” tanya Jovian yang membuat mata Petra terbelalak.

“I..iya...” kata Petra mengiyakan meski degup jantungnya sudah sangat cepat sekarang ini.

Ego yang saling berselisih dan berlomba untuk menang yang kian menjelma tembok pemisah antara keegoisan masing-masing kini menyeruak diantara keduanya. Petra memang mempertahankan perasaannya terhadap Jovian sedangkan Jovian hanya bagaikan sukarelawan yang tidak akan pernah menetap di hati dan perasaan Petra. Jutaan detik yang terlewati kala bersama menjadi saksi atas lika-liku perjalanan mereka. Tetapi jutaan detik tidak ada andil dalam mengubah jalan cerita Petra dan Jovian.

Mereka tidak sanggup berkisah tentang bagaimana goresan demi goresan didapati tatkala mencoba untuk menapak. Bagaimana cara tersenyum? Petra bahkan sudah lupa karena ia terlalu akrab dengan tangis dalam jalan cerita yang penuh ironis. Menghadapi kenyataan dimana Jovian sejatinya tidak akan pergi dari titik masa lalu bersama Lea.

Hari ini Petra menyadari bahwa bilamana menjalin hubungan dengan lelaki yang ia cintai belum tentu ia akan dicintai juga. Namun Petra juga tidak bisa membiarkan Jovian melenggang begitu saja tanpa meninggalkan jejak langkah sepanjang perjalanan mereka. Bagaimana mungkin Petra bisa bernapas saat menghela udara namun tak ada Jovian disampingnya? Ia merasa sesak saat Jovian tidak ada di sampingnya. Tapi mungkin bagi Jovian semua biasa saja.

Petra masih berharap Jovian dapat merubah haluannya. Berharap Jovian akan menghampiri saat melihat Petra menangis sendiri, nyatanya tidak. Petra dan Jovian awalnya adalah dua manusia yang tidak saling jatuh cinta, tak bisa untuk saling menyapa kala mereka bersama, karena setiap sapaan yang Petra berikan tak pernah terbalas oleh Jovian, sikapnya terlalu dingin terhadap Petra.

Petra tidak akan pernah menemui kata “Siap” jika nanti Jovian harus pergi dari hidupnya, akankah Jovian kembali kala melihat Petra menangis sendiri? Yang ada selama ini hanyalah Jovian yang berlari menghampiri Lea, bukan Petra. Tapi apakah akan ada yang berubah setelah berakhirnya hubungan Lea dan Jovian beberapa bulan ini? Bukankah butuh waktu untuk hengkang dari masa lalu?

Mungkin tak usah dipertanyakan lagi siapa yang paling tersakiti. Petra paham benar bahwa melupakan tak semudah saat kita jatuh cinta. Jovian masih ada di sana, belum beranjak. Bukan tidak bisa, tapi Jovian belum mau. Etahlah, mungkin masih menata pijakan dan langkah. Pada langit malam berwarna kelabu, dituliskan Petra segala hal yang membuatnya menyerah namun juga diiringi hal-hal yang membuatnya ingin bertahan dengan pernikahan atas dasar bukan cinta ini. Mungkin saat ini posisi Petra masih menjadi juara kedua dan Lea masih menempati tempat pertama, entah sampai kapan ia akan bertahan. Entah sampai kapan mereka akan temui ujung cerita.

Jovian memarkirkan mobilnya di sudut parkiran rumah sakit yang lenggang itu. Sudut gelap yang hampir tidak terlihat siapapun. Ia sudah menunggu di mobil ia menyalakan puntung rokoknya sembari menunggu Petra datang. Asap ia biarkan mengepul di udara, ia marah saat mendengar Petra akan pulang bersama Vedrick rekan sesama dokter di Rumah Sakit tempat Petra bekerja.

Tak lama Jovian melihat Petra keluar bersama Vedrick, nampak akrab saling bercengkrama. Jovian merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia keluar dari mobil, menggilas puntung rokok yang ia jatuhkan dengan sepatunya lalu ia berjalan cepat menghampiri mereka sebelum Petra dan Vedrick masuk ke dalam mobil. Sepanjang langkah yang ia tapaki Jovian menggiring delusi tentang dirinya dan Lea serta Petra. Perasaan apa yang tengah berkecamuk dalam hatinya. Hatinya masih berusaha beranjak dari masa lalu Bersama Lea namun melihat Petra bersama pria lain pun ia tidak menghendaki.

Sreekk

Kerah baju Vedrick ditarik Jovian dan tangannya langsung berpindah menggenggam kerah baju bagian depan milik Vedrick.

“Jo!” Petra memekik dan langsung menghampiri Jovian serta memaksa tangan Jovian lepas dari tubuh Vedrick namun Jovian menepisnya.

“Lo ngerti kan kalau wanita yang jalan sama lo udah punya suami?” kata Jovian mendelik.

“Dan lo harusnya ngerti kan, kalau istri lo punya perasaan? Oh, iya sebagai istri juga harus mendapat hak dari suami dalam hal apapun itu, right?” Vedrick mengangkat alisnya.

BUG! satu pukulan mendarat di pipi Vedrick, Petra panik, berulang kali ia hendak memisahkan Jovian dan Vedrick namun hasilnya nihil.

“Jov, jangan gila ya!” bentak Petra, namun Jovian dan Vedrick tengah terjebak saling hantam sekarang.

“Can both of you just stop?!” Petra menengahi dan sedikit lebih berteriak, hingga akhirnya Jovian melepaskan tubuh Vedrick dari kuasanya. Ia mendorong dan menghempaskan tubuh Vedrick ke tanah,

“Nggak usah sok peduli sama istri orang!” kata Jovian lalu menendang sekali lagi kaki Vedrick, Petra menarik dan menahan tubuh kekar Jovian. Ia sudah menangis disana.

“Jov, udah!”

Vedrick terkekeh, “Sorry, kalau kesannya gue sok peduli tapi gue memang tulus peduli. Perempuan tulus kaya Petra berhak bahagia!” ucapan itu sebenarnya menyulut emosi Jovian lagi namun Petra menarik Jovian dan keduanya masuk ke dalam mobil Jovian.


Selama di perjalanan keduanya saling diam, tenggelam dalam sunyi perasaan. Petra masih teringat saat ia melakukan hubungan suami istri dengan Jovian malah nama Lea yang terucap. Sekarang saat Petra ingin sendiri, Jovian malah mengusik dan membuat keributan. Sesak sebenarnya sudah berkoar di dalam dada Petra saat ini. Jiwanya terhanyut dalam perasaan yang berkecamuk hingga membuatnya menangis tanpa bersuara.

Jovian tetap cuek ia melajukan mobilnya seakan kehadiran Petra dan isak tangis Petra tak ia dengarkan. Jovian masih abai, selalu seperti itu. Hingga akhirnya Jovian tergerak untuk mengambil tissue dan menyerahkannya kepada Petra. Wanita di sebelah Jovian itu menerimanya. Jiwanya sempat terhanyut tatkala Jovian meraih jemarinya dan menatapnya lekat sesaat.

“Jangan nangis, aku ngerasa bajingan banget. Harusnya kamu nggak dianter laki-laki lain.”

Detik selanjutnya hanya hening dan sunyi yang menyeruak.

Sesampainya di rumah, Jovian memarkirkan mobilnya di garasi. Keduanya tidak langsung turun, Petra masih terisak disana.

“Udah nangisnya?” tanya Jovian.

Petra menggeleng, sebenar-benarnya rasa adalah sesuatu yang bisa berubah sewaktu-waktu begitu juga dengan Jovian yang merasa iba dan terenyuh melihat Petra menangis kala itu. Keduanya terdiam, hanya melepas seat belt namun tak kunjung keluar dari mobil.

“Maafin aku, Petra.” Jovian bergumam lirih.

“Jangan berantem, nggak semua hal harus diselesaikan dengan berantem, jangan selalu ngedrunk kalau lagi stres. Aku ini istri kamu, kalau kamu menganggap. Setidaknya bagiin ke aku setiap lara atau duka yang kamu rasain, setidaknya aku berguna walaupun sedikit.” Hingga akhirnya Petra meledak dalam tangis selesai mengucapkan kalimatnya. Jovian meraih tangan Petra lalu mengecup punggung tangannya berkali-kali.

“Aku nggak pantes nerima cinta kamu, Petra. I don’t deserve it at all,” bisik Jovian lirih, Petra menangis tersedu sambil menggeleng.

“Aku nggak bisa maksain kamu punya perasaan sama aku juga, Jov.” Petra mencoba mengatur napasnya, namun dadanya semakin sesak saat Jovian menyediakan sebuah rengkuh dan pelukan hangat disana, saat itu juga. Genggaman tangan Petra di bagian belakang jaket yang Jovian kenakan mengencang semakin erat.

“Nangis aja, nangis sepuas kamu.” Jovian berbisik di telinga Petra.

“Lea udah bahagia dengan hidupnya, Lea udah bahagia sama Jeremy, can you just move on from her? jangan stuck disana terus. Aku bantu sampai kamu bangkit, walaupun bukan sama aku, tapi aku mau bantu kamu berproses, Jov. Jangan bermukim dalam rasa sakit terus, aku lebih sakit.” Seketika mendengar ucapan Petra itu, Jovian merenggangkan pelukan. Menatap Petra tajam, sedari awal memang perilaku bejatnya dan jahatnya Jovian membuat semua yang Petra lakukan sia-sia, bahkan Petra sudah merasa pupus sebelum memulai. Serabut lara merampas keheningan mulai berirama dengan derai air mata Petra. Hingga sepersekian detik kemudian Jovian menangkup kedua pipi Petra, memegangi bagian rahang Petra dan mendekatkan wajahnya, Jovian memberanikan diri mengecup pipi dan bibir Petra. Lumatan lembut berangsur menjadi sesuatu yang berkuasa diantara mereka, lidah saling beradu untuk bertukar saliva, tangan Petra juga menjalar diantara surai hitam Jovian bermain disana sesuai dengan tempo yang Jovian berikan.

Kali ini Petra benar-benar mencumbu Jovian dalam sadarnya, bukan dalam pejamnya. Mencumbu dengan gelora dan kesadaran bukan mencumbu kesunyian dalam sepi yang bermukim dalam relung jiwanya. Jovian dan Petra memang baru saja kehilangan akal mereka. Petra masih berharap suatu saat nanti bayang akan Lea memudar tersibak perasaan yang mulai tumbuh diantaranya dan Jovian. Bising isi kepala Petra tentang bayang Lea untuk Jovian ia tepis karena memang ia yang menjadi istri sah Jovian sekarang. Teganya jarak membentang diantara dua insan yang selalu bersama untuk beberapa bulan ini, menciptakan sekat perantara yang menggiring perselisihan yang sering terjadi hanya karena keping kenangan “Malem ini tidur sama kamu, boleh?” tanya Jovian yang dibalas belaian lembut di pipi Jovian dan anggukan dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

(inget ya ini what if doang)

Perpisahan Jevin dan Letta bertahun-tahun lalu nyatanya memang membuat Letta jauh lebih tegar dari siapapun. Hubungan baik masih Letta jalin dengan keluarga Jevin. Meski pilu harus ia genggam setiap melihat mata setiap anak-anaknya, ia tetap harus jadi sosok ibu juga sosok ayah bagi ketiga anaknya. Eugene, Yoel, dan Michelle adalah anak kandungnya dengan Jevin, buah cintanya dan Jevin. Anugerah yang Letta dan Jevin syukuri, tapi satu hal besar menghancurkan semuanya. Letta mendapati Jevin menghubungi Stella lagi yang sudah berpisah dengan Jack, suami dari Stella. Kebohongan kesekian yang Jevin simpan rapat-rapat terbongkar juga karena Letta sendiri yang mencari tahu.

Saat perpisahan itu, Eugene ad di bangku kelas 1 SMA, Yoel ada di kelas 2 SMP dan Michelle masih SD. Ketiga anak Jevin dan Letta itu diasuh oleh Letta, Jevin hanya bisa menemui ketiga anaknya di waktu tertentu. Hingga sekarang Eugene sudah ada di bangku kuliah, Yoel ada di bangku kelas 2 SMA dan Michelle masih ada di kelas 3 SMP. Memang, Jevin masih ambil andil dalam membiayai sekolah ketiga anaknya, tapi untuk mendidik secara langsung, memberikan pendidikan yang utama di rumah, Jevin nihil.

Tidak pernah ada kata CERAI diantara mereka, yang Letta tahu, berpisah. Tidak satu atap dengan Jevin, cintanya sudah berubah untuk Jevin, Letta tidak mau ada kata-kata broken home bagi ketiga anaknya, mungkin keputusannya ini memang menyakiti semuanya tapi ia tidak pernah mau ada kata CERAI, apalagi sang penggoda dan sang pembuka celah akan tertawa terbahak diatas perpisahannya dengan Jevin. Biarlah ada jarak membentang diantara Jevin dan Letta. Meski awalnya perpisahan itu sangat membuat ketiga anak mereka terpukul, tapi lambat laun mereka mengerti, karena berpisah belum tentu tidak bisa mengejar bahagia dan bersama belum tentu tidak saling menyakiti.

Letta hanya ingin menyelamatkan anak-anaknya, perasaannya ia kesampingkan, prioritasnya adalah ketiga anaknya sekarang. Setiap kenangan dan foto yang Letta lihat hanya membawanya pada luka lama yang sulit diterjemahkan dengan lisan. Foto pernikahan dengan Jevin? Tenang saja, masih ia simpan, di kamarnya. Foto keluarga? Pasti dan akan selalu terpajang rapi menggantung di tembok ruang tamu kediamannya.

Malam ini, hari khusus untuk Yoel, anak kedua Letta dan Jevin dimana Yoel merayakan ulang tahun dan makan malam special dan sederhana sudah Letta siapkan bagi mereka. Letta memesan sebuah room di sebuah restoran, Letta sudah berada di sana bersama Eugene, Yoel dan Michelle. Ketiga anak Letta tidak mengetahui kalau Jevin akan datang, semua berjalan seperti tidak ada apa-apa, Letta dan ketiga anaknya menikmati makanan pembuka dan disertai obrolan ringan. Hingga saat seorang pelayan membawa masuk sebuah kue ulang tahun dan menaruhnya di meja, raut wajah Yoel berubah, sebenarnya Letta juga sedikit cemas karena Letta sudah menginformasikan kepada Jevin agar tidak terlambat tapi Jevin belum juga datang.

“Mau potong kue sama tiup lilin sekarang?” tanya Letta dengan senyum. Yoel menggeleng.

“Lah, kenapa?” tanya Eugene.

“Kalau ada Papa pasti gue seneng banget, sih.” Ucapan Yoel nyatanya membuat semua tertegun terutama Michelle, si bungsu tidak bisa menyembunyikan raut wajah sedihnya.

Sejenak keheningan melanda semua yang ada di sana, sampai akhirnya tiba-tiba suara pintu ruangan itu dibuka oleh seseorang. Wajah orang tersebut tertutup bouquet uang yang berukuran agak besar itu. Beberapa lembar uang seratus ribuan yang ditata sedemikian rupa menjadi sebuah bouquet besar membuat semua terperangah. Letta sudah paham, itu adalah suaminya hingga saat bouquet itu diturunkan membuat wajah pria disana terlihat, refleks ketiga anaknya langsung menjerit girang, Jevin ada di sana.

“Papa!!” ketiga anak Jevin langsung berlari menghampiri Jevin dan memeluk sosok ayah mereka itu. Pelukan Jevin berikan bagi mereka, bouquet bunga itu diterima Letta dan disingkirkan sejenak ke kursi kosong yang ada.

“Papaaaa…” Michelle langsung menangis memeluk Papanya itu. Eugene si sulung hanya bisa tersenyum meski sebenarnya tangisnya juga hampir pecah karena sudah beberapa bulan ia tidak bertemu dengan Papanya itu. Yoel? Jangan ditanya, yang bertambah usia hari ini seakan mendapat hadiah terbesar, kehadiran Papanya. Kehadiran Jevin memang seperti kado untuk semuanya, semua mengharapkan itu. Letta tidak pernah membenci Jevin, hanya perasaannya sudah berubah, hanya itu, berulang kali dikecewakan membuatnya selalu terbentur hingga hati dan perasaannya babak belur.

“Papa dateng, Yoel seneng banget!” kata Yoel yang ikut memeluk juga. Eugene hanya mendongak sedikit menatap Papanya dan bertukar tatap dan tersenyum kepada sosok Papanya itu. “Iya, Papa disini.” Jevin berkata dengan lembut sambil bergantian mengecup puncak kepala ketiga anaknya.

Akhirnya mereka kembali duduk bersama, Jevin duduk di sebelah Letta, Yoel berada di seberang Jevin dan Letta, ada di antara Eugene dan Michelle. Semuanya pun menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk Yoel, mengiringi Yoel yang meniup lilin dengan tepuk tangan dan bergantian mengucapkan birthday wish untuk Yoel.

“Papa, makasih udah dateng di ulang tahun Yoel. Makasih udah luangin waktu setelah kita lama nggak ketemu. Yoel dari kemarin berdoa kalau pengin ketemu Papa di hari special ini dan ternyata Tuhan jawab doa Yoel. Makasih ya, Pa.” Yoel berkata dengan tak lepaskan tautan pandangannya dengan sosok Papanya itu yang tentu saja membuat Jevin terharu dan kehilangan kata-kata. Akhirnya malam itu mereka berfoto dan berdoa bersama yang dipimpin oleh Jevin, doa bersama yang sudah lama tidak mereka lakukan setelah perpisahan Letta dan Jevin, doa yang biasa mereka lakukan setiap malam sebelum tidur, kebiasaan yang Jevin dan Letta tanamkan sejak kecil. Sebenarnya, tanpa sepengetahuan Letta diantara ketiga anaknya, Michelle lah yang paling sering menjalin komunikasi dengan Jevin, Michelle bahkan hampir setiap malam berdoa bersama Papanya itu meski hanya perantara chat, video call, dan voice note.

Malam itu terasa sangat haru dan sendu bagi semuanya, hingga saat Jevin harus berpamitan, rasanya sangat berat. “Pa, kalau ada waktu main ke rumah, ya?” Eugene berkata dengan tenang.

“Iya, pasti.”

“Pa, kapan-kapan ambil rapot Yoel, ya?” tambah Yoel. Jevin tersenyum dan mengangguk. Hingga saat Jevin bangkit berdiri, ketiga anaknya itu menghampiri Jevin dan bergantian memeluk Jevin. “Papa sehat terus, ya. Eugene selalu berdoa buat Papa,” kata Eugene saat memeluk Papanya itu.

“Eugene juga ya, jadi koko yang baik buat adik-adiknya.” Jevin menepuk dan mengusap punggung anaknya itu saat Eugene memeluknya.

Giliran Yoel, “Papa, janji ya, rapot mid-term Papa yang ambil, ya?” katanya.

“Iya, pasti. Itu bouquet uangnya nanti dicopot sendiri, ya? Haha, buat beli sepatu yang katanya Yoel pengin kemarin.” Jevin berkata sambil sedikit mengacak rambut anak tengahnya itu. Yoel girang bukan main dan tak henti mengucapkan terima kasih.

Giliran si bungsu, yang langsung menangis menubrukkan tubuhnya untuk memeluk Papanya itu. “Papa…. Michelle juga mau sama Papa Jevin, Michelle kangen Papa…” tangisan Michelle seketika membuat semua terdiam, terlebih Letta yang sedari tadi sudah menahan tangis.

“Iya, sayang, iya. Papa juga selalu kangen Michelle… dan keluarga ini.” Tiga kata terakhir Jevin ucapkan sambil membawa pandangannya bertumpu pada manik mata Letta yang berkaca-kaca.

Tangisan Michelle mengeras, pelukan Michelle semakin erat, Jevin menangis, air matanya benar-benar mengalir deras. Yoel yang tertunduk hanya bisa dirangkul oleh Eugene.

“Michelle kangen, ka… ngen … kita berlima,” kata Michelle terbata-bata. Jevin memeluk anaknya erat dan mencium kening anaknya itu.

“Maafin Papa, maafin Papa, ya.”

Akhirnya saat pelukan Michelle dan Jevin direnggangkan, giliran Letta yang mendekat, “Can I hug you?” tanya Jevin, Letta tidak menjawab, tapi langsung memeluk Jevin. Mereka adalah bait puisi yang saling menyelaraskan satu sama lain selama ini, mereka adalah rumah bagi satu sama lain sebelum salah satu menyakiti dan mengubah serta merusak rumah tempat pulang itu. Dan bahtera yang mereka tumpangi berdua benar-benar retak dan hancur. They can’t fix their broken vessel. Meski Letta dan Jevin gagal dalam hubungan, mereka tidak ingin gagal sebagai orang tua bagi Eugene, Yoel dan Michelle. Akhirnya malam itu ditutup dengan mereka berlima yang saling memeluk bersama. Pelukan yang sudah lama tidak dirasakan, pelukan yang sudah lama hilang.

Selamat Ulang Tahun, Christiano Yoel Geneva Adrian From : Papa Jevin Halo anak Papa, selamat ulang tahun ya, Nak! Semoga semakin diberkati Tuhan dalam segala hal terutama sekolah dan cita-cita Yoel. Nak, maaf kalau Papa banyak kurangnya sebagai sosok Papa, tapi di hari yang khusus ini, Papa mau berdoa yang terbaik buat Yoel. Papa mau Yoel kejar cita-cita Yoel, apapun itu akan Papa dukung. Nak, maaf kalau Yoel harus lihat perpisahan Papa dan Mama, yang mungkin nggak pernah Yoel harapkan. Papa selalu berdoa buat kalian, Papa selalu kangen dan sayang sama kalian. Mama, Eugene, Yoel, Michelle adalah hartanya Papa paling berharga. Yoel, kalau kamu udah dewasa jangan jadi pecundang seperti Papa, ya? Yoel harus jauh lebih baik dari Papa. Jagain Mama sama Adek kalau Koko Eugene lagi kuliah dan repot urus ini itu, ya? Yoel anak baik, Papa bangga sama Yoel. Tuhan memberkati Yoel dan masa muda Yoel. Papa sayang Yoel!

Miracle yang tengah mengemasi baju-bajunya di kamar menoleh saat ia mendengar suara pintu kamarnya yang terbuka. Ia menoleh, mendapati adik perempuannya di sana, Shallom berjalan masuk sambil membawa sesuatu yang ia sembunyikan di punggungnya. Miracle pun menghentikan kegiatannya, ia yang tengah duduk di tepi ranjangnya mendongak menatap Shallom sambil berkata, “apa, dek?” tanyanya lembut.

Shallom seakan bingung harus berkata apa, tapi akhirnya Shallom mengulungkan sebuah kotak untuk kakaknya itu, Miracle menerimanya dan sayup terdengar Shallom yang berkata, “ini buat koko, Shallom nggak tahu koko suka atau enggak, tapi semoga koko suka. Biar koko inget sama Shallom terus kalau koko lihat dan pakai ini.”

Miracle pun penasaran dan langsung membuka isi kotak itu, sebuah jam tangan berwarna hitam diberikan Shallom untuk Miracle. “Bukan jam mahal, tapi Shallom nabung untuk beli ini.” Shallom berkata sambil menunduk. “Dek, ini bagus banget, makasih ya. Makasih udah nabung buat beliin koko jam tangan ini,” kata Miracle tersenyum. Shallom mengangguk, tapi ia menoleh ke kanan dan kiri seakan risau.

“Sini, duduk,” ujar Miracle sambil menyingkirkan kopernya sejenak lalu menepuk space kosong di sebelahnya, Shallom menurutinya dan duduk di sebelah kakaknya itu.

“Kok kayak sedih gitu?” tanya Miracle. Shallom menggeleng pelan, tapi masih enggan menatap kakaknya.

“Dek?” panggil Miracle lirih.

“Shallom?” panggil Miracle untuk kedua kalinya dan Shallom mengangkat wajahnya membawa pandangannya menatap kakak lelakinya dengan mata berkaca-kaca dan bibirnya yang sedikit melengkung ke bawah.

“Eh, kenapa? Jangan nangis, kamu kenapa?” tanya Miracle.

“Koko mau kuliah di luar kota, empat tahun itu lama, Shallom sama siapa? Sepi banget rumah ini nanti,” katanya dengan raut wajah sedih, kalau mau bertaruh, tidak sampai satu menit juga Shallom akan meledak dalam tangisnya.

Hati Miracle menjadi sedih mendengar penuturan adiknya itu. Tangan Miracle pun bergerak mengusap lembut punggung Shallom, benar saja Shallom melanjutkan penuturannya dengan tangisannya yang beradu, “Shallom sendirian dong di rumah, lama banget empat tahun…”

“Dek, kan setiap libur koko bisa pulang,” ujar Miracle.

“Iya, tahu, tapi sedih… Shallom tuh sedih langsung ditinggal koko jauh, sedih, nanti Shallom sama siapa di rumah?”

“Papa sama Mama, hehe,” balas Miracle yang membuat Shallom memukul lengan Miracle.

“Haha, sorry… sorry …” Miracle meringis kesakitan sambil mengacak rambut adiknya itu.

“Koko nggak sedih, ya?” tanya Shallom. Miracle menghela napas panjang dan tersenyum.

“Sedih lah, dek. Masa enggak sedih, ini juga pertama kalinya koko merantau, pasti juga kangen sama keluarga. Kamu yang nurut sama Mama sama Papa, jangan ngeyel kalau dibilangin Papa sama Mama, jangan keseringan main, nggak ada koko yang anter jemput kamu. Belajar yag bener, ya?” Miracle masih menuturkan kalimatnya, tapi air mata Shallom masih terus mengalir.

“Sedih… sedih banget … koko…” tangisan Shallom mengeras, Miracle pun langsung memeluk adiknya itu. Sebenarnya Miracle juga sedih harus berpisah jauh dengan keluarganya apalagi adik perempuannya ini, tapi demi menuntut pendidikan semua harus dijalani. Ternyata, tangisan Shallom itu terdengar hingga ke luar kamar Miracle dimana pintu kamar Miracle juga terbuka. Hal itu diketahui Mevin dan Grace, kedua orang tua mereka. Mevin dan Grace berdiri di depan pintu kamar Miracle itu dan menyaksikan bagaimana kedua kakak beradik itu tengah saling memeluk dan tangisan Shallom yang belum mereda.

“Nggak tega, ikut sedih jadinya,” kata Grace lirih sambil menatap Mevin.

“Samperin?” tanya Mevin balik, Grace mengangguk, akhirnya keduanya berjalan mendekat ke arah Miracle dan Shallom. Mevin duduk di sebelah Miracle dan Grace duduk di sebelah Shallom. Pelukan keduanya belum dilepaskan. Grace pun mencoba menenangkan Shallom dan Mevin hanya mengusap pundak dan punggung anak lelakinya itu.

“Shallom…” bisik Grace lirih yang membuat Shallom merenggangkan pelukan.

“Shallom kenapa nangis?” tanya Grace sekali lagi. Shallom pun menyeka air matanya dengan punggung tangannya lalu mengatur napasnya dan berkata, “sedih, koko mau kuliah, harusnya seneng tapi sedih, ya Shallom seneng, tapi banyak sedihnya…” kata Shallom diakhiri isakan di akhirnya, akhirnya Grace merangkul anaknya itu dan mengecup pipi Shallom lalu menenangkan anak perempuannya itu.

“Shallom, listen to papa, koko kan kuliah, dan kuliah ada liburnya kok. Nanti libur semester juga koko bisa pulang, atau kita yang jenguk koko juga bisa. Iya, kan? Shallom masih bisa video call koko, nanti kalau Shallom udah kuliah juga gini, malah dua tahun lagi Shallom kuliah, dimana koko juga masih kuliah, gimana tuh nanti Papa sama Mama sedihnya? Semua ada masanya nak, sekarang didukung ya kokonya buat kuliah. Bisa telepon sama video call koko kan?” kini Mevin yang angkat bicara.

“Tuh, nggak usah nunggu koko yang pulang, kamu bisa jenguk ke sana juga sama Papa sama Mama, kan? Jangan nangis ah, dek. Jadi sedih, hehe,” kata Miracle.

Shallom mengangguk meskipun punggungnya masih bergetar, akhirnya mereka berempat saling merangkul.

God please protect and bless koko, give him strength and wisdom, until we meet again,” bisik Shallom lirih.

Amen,” kata Mevin, Miracle dan Grace hampir bersamaan. Mereka saling menatap satu sama lain, memberikan senyum dan merangkul lagi. Begitulah kehidupan keluarga Mevin, doa adalah jadi yang utama dalam kehidupan keluarga Mevin. Bagaimanapun kita semua masih ingat perjalanan dan gelombang badai apa saja yang dihadapi Mevin dan Grace, juga bagaimana Mevin juga Grace berjuang untuk sembuh dari lukanya masing-masing. Masih teringat jelas juga bagaimana Mevin dan Grace sadar bahwa di dalam kehidupan ini yang memegang kendali adalah Tuhan, maka hal sekecil apapun itu selalu mereka serahkan kepada Sang Empunya kehidupan lewat doa, didikan Mevin dan Grace tidak pernah salah dan bukti nyatanya adalah Miracle dan Shallom yang memang mengikuti apa yang diajarkan Mevin dan Grace. Sepelik apapun kehidupan kita, seterjal apapun kehidupan kita, setidaknya kita tidak pernah lupa kalau ada yang memegang kendali dalam kehidupan kita semua.

Petra baru saja mengerjapkan matanya tapi ia raih ponselnya untuk mengirimkan pesan tadi kepada Jovian. Matanya masih ia kucek beberapa kali untuk memastikan pandangannya jelas, ia masih mengumpulkan kekuatannya untuk bangun. Setelah ia mengucap syukur kepada Sang Kuasa atas hari baru dimana ia bisa bangun, Petra duduk di tepi tempat tidurnya, ia melihat ponselnya lagi, belum ada balasan dari Jovian malah yang ada dimana pesannya tidak terkirim.

“Jovian block aku?” ujarnya dalam hati dengan lesu.

Petra melempar ponselnya ke atas bantalnya lagi lalu ia berjalan ke meja riasnya meraih testpack dan ia lihat lagi dan pastikan dua testpack berbeda itu sama-sama menunjukkan dua garis yang mana artinya adalah positif hamil, Petra memang hamil anak Jovian. Akhirnya Petra simpan lagi testpack itu dan ia menuruni tangga menuju ke dapur untuk membuat minuman hangat, ia menikmati secangkir teh hangat sendirian. Ia hanyut dalam lamunan dan pikirannya yang menerawang jauh, memikirkan bagaimana kalau nanti Jovian tidak mau mengakui kehadiran anak ini. Bagaimana kalau Jovian memang tidak mau anak ini? Tapi setelah sekitar lima belas menit Petra melamun sendirian, suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Petra.

Dengan langkah cepat ia membukakan pintu rumahnya, rumah yang ia huni sendiri. Betapa terkejutnya Petra saat mendapati Jovian ada di sana, dengan wajah yang berkeringat dan napas yang terengah-engah. “Jov??” Petra kebingungan karena baru beberapa saat tadi Petra mengiriminya pesan dan kali ini Jovian sudah ada di sana.

You okay? Kenapa keringetan?” tanya Petra.

Jovian menelan ludah, memegangi kedua pundak Petra lalu berkata, “are you pregnant? Answer me, honestly...”

Am I a joke to you?” balas Petra.

Oh...God..” Jovian tertunduk, lalu menarik Petra ke dalam dekapannya.

“Jawab aku, kamu kenapa sampai keringetan gini?”

“Aku lari, tadi mobilku mogok, aku memang mau kesini, tapi malah mogok, akhirnya aku telepon temen aku dan aku naik ojol, macet banget akhirnya aku turun di tengah jalan terus lari kesini,” balas Jovian lalu mengecup puncak kepala Petra.

Jovian merenggangkan pelukan lalu merendahkan tubuhnya berlutut dengan satu kakinya, memeluk perut Petra, menyentuhnya lembut dan berkata, “hi, baby, thank you for being here, boy or girl, Papa Jo and Mama Petra love you already.” Lalu Jovian bangkit berdiri lagi dan menggenggam tangan Petra. Jangan ditanya, Petra langsung meneteskan air mata haru saat Jovian melakukan itu. Ditatapnya kedua netra Jovian yang memerah itu.

“Anak kita, anak aku dan kamu,” kata Petra. Jovian mengangguk, “tunggu aku ya, Ra. Aku akan ada di samping kamu waktu kamu melahirkan, sebagai ayah dari anak ini, sebagai suami kamu lagi. Aku berjuang dulu perbaiki kehidupanku secara mental dan finansial. Aku sayang kamu.”

“Aku tunggu, Jov... aku tunggu ...” Petra tidak pernah berbohong kepada Jovian, tentang apapun itu, termasuk tentang perasaannya yang masih sama walaupun keduanya sudah berpisah dan sama-sama menata kehidupan sebelum lebih siap untuk bersama lagi tanpa ada yang bisa memisahkan.

Petra baru saja mengerjapkan matanya tapi ia raih ponselnya untuk mengirimkan pesan tadi kepada Jovian. Matanya masih ia kucek beberapa kali untuk memastikan pandangannya jelas, ia masih mengumpulkan kekuatannya untuk bangun. Setelah ia mengucap syukur kepada Sang Kuasa atas hari baru dimana ia bisa bangun, Petra duduk di tepi tempat tidurnya, ia melihat ponselnya lagi, belum ada balasan dari Jovian malah yang ada dimana pesannya tidak terkirim.

“Jovian block aku?” ujarnya dalam hati dengan lesu.

Petra melempar ponselnya ke atas bantalnya lagi lalu ia berjalan ke meja riasnya meraih testpack dan ia lihat lagi dan pastikan dua testpack berbeda itu sama-sama menunjukkan dua garis yang mana artinya adalah positif hamil, Petra memang hamil anak Jovian. Akhirnya Petra simpan lagi testpack itu dan ia menuruni tangga menuju ke dapur untuk membuat minuman hangat, ia menikmati secangkir teh hangat sendirian. Ia hanyut dalam lamunan dan pikirannya yang menerawang jauh, memikirkan bagaimana kalau nanti Jovian tidak mau mengakui kehadiran anak ini. Bagaimana kalau Jovian memang tidak mau anak ini? Tapi setelah sekitar lima belas menit Petra melamun sendirian, suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Petra.

Dengan langkah cepat ia membukakan pintu rumahnya, rumah yang ia huni sendiri. Betapa terkejutnya Petra saat mendapati Jovian ada di sana, dengan wajah yang berkeringat dan napas yang terengah-engah. “Jov??” Petra kebingungan karena baru beberapa saat tadi Petra mengiriminya pesan dan kali ini Jovian sudah ada di sana.

You okay? Kenapa keringetan?” tanya Petra.

Jovian menelan ludah, memegangi kedua pundak Petra lalu berkata, “are you pregnant? Answer me, honestly...”

Am I a joke to you?” balas Petra.

Oh...God..” Jovian tertunduk, lalu menarik Petra ke dalam dekapannya.

“Jawab aku, kamu kenapa sampai keringetan gini?”

“Aku lari, tadi mobilku mogok, aku memang mau kesini, tapi malah mogok, akhirnya aku telepon temen aku dan aku naik ojol, macet banget akhirnya aku turun di tengah jalan terus lari kesini,” balas Jovian lalu mengecup puncak kepala Petra.

Jovian merenggangkan pelukan lalu merendahkan tubuhnya berlutut dengan satu kakinya, memeluk perut Petra, menyentuhnya lembut dan berkata, “hi, baby, thank you for being here, boy or girl, Papa Jo and Mama Petra love you already, Amen.” Lalu Jovian bangkit berdiri lagi dan menggenggam tangan Petra. Jangan ditanya, Petra langsung meneteskan air mata haru saat Jovian melakukan itu. Ditatapnya kedua netra Jovian yang memerah itu.

“Anak kita, anak aku dan kamu,” kata Petra. Jovian mengangguk, “tunggu aku ya, Ra. Aku akan ada di samping kamu waktu kamu melahirkan, sebagai ayah dari anak ini, sebagai suami kamu lagi. Aku berjuang dulu perbaiki kehidupanku secara mental dan finansial. Aku sayang kamu.”

“Aku tunggu, Jov... aku tunggu ...” Petra tidak pernah berbohong kepada Jovian, tentang apapun itu, termasuk tentang perasaannya yang masih sama walaupun keduanya sudah berpisah dan sama-sama menata kehidupan sebelum lebih siap untuk bersama lagi tanpa ada yang bisa memisahkan.

Duduk di sofa apartemen Letta, tak ada kata kata apapun yang keluar entah dari Jevin ataupun Letta. Keduanya hanyut dalam keheningan hingga Jevin menawarkan telapak tangan untuk digenggam oleh Letta.

“Apa?” tanya Letta.

Your hands,” balas Jevin, Letta menggeleng seakan tidak mau, tapi Jevin tersenyum dan mengangkat alisnya akhirnya Letta luluh juga, jemari mereka sudah saling bertaut sekarang.

Why?” tanya Letta sambil mengernyitkan dahinya.

You said, nggak ada pegangan di hidup lagii, masih ada, Lett. Aku bisa,” balas Jevin sambil berkata sungguh-sungguh.

“Bisa apa?”

“Bisa pegang tangan kamu, kuatin kamu, pegang tangan kamu buat jalan bareng lewatin ini semua. Bisa jadi temen kamu berdoa bareng, bisa jadi temen kamu sampai ujung usia.” Jevin berkata sambil mempererat genggamannya di tangan sang puan yang ia genggam.

“Aku datang dari keluarga yang nggak jelas, kedua orang tuaku ninggalin aku sama adikku, keluarga kamu harusnya dapet anggota keluarga baru yang memang dari keluarga baik-baik, apalagi buat pendamping hidup kamu, Elleandru Jevino Adrian.” Letta hendak melepaskan genggaman tangannya tapi Jevin masih tahan di sana.

“Lett, aku nggak peduli latar belakang dan apapun itu, yang merasakan kan aku sendiri, aku nyaman aku seneng ada di deket kamu. Lett, semenjak kehilangan Eve selamanya aku nggak mau lagi kenal yang namanya cinta. Capek, tapi kamu, Letta… kamu yang bikin aku ngerti kalau cinta itu nggak hanya tentang take and give but also heal each other, and you are my healer, Nicholetta. Kamu yang sabar ngadepin aku yang sering panic attack, kamu yang ngerti gimana harus ngomong ke aku, kamu yang ngerti gimana keras kepalanya aku, dan kamu Lett, kamu yang bikin aku bisa ngerasain cinta lagi setelah kehilangan bertubi-tubi dan luka terdalamku.” Jevin mengucapkan kalimatnya dengan mengunci pandangannya kepada Letta, tanpa lepas sedikitpun, bahkan mata Jevin berkaca-kaca sekarang.

Kemudian Letta mendengarkan Jevin menuturkan kalimat lagi, “Letta, salah nggak kalau aku punya perasaan sama kamu setelah beberapa tahun ini? Aku juga nggak mungkin stuck di kesakitan itu, kamu sendiri yang bilang kalau kehidupan terus berjalan, kan? Lett, Cuma kamu yang bisa bikin aku melihat jauh ke depan, nggak hanya mikir buat hari ini tapi berpikir panjang. I love you more than I can say, Nicholetta. Would you be mine? Aku memang nggak romantis dan nggak seperti orang lain, aku nggak mau janji tapi aku mau usahain. Usaha buat kehidupan lebih baik ke depannya sama kamu, selamanya. Punya anak cucu dan menua bersama sama kamu, Letta.” Sejatinya Jevin sudah pendam ini sejak lama, Jevin juga tidak ada persiapan untuk mengutarakan perasaannya, tapi kali ini ia beranikan diri untuk mengutarakan segalanya kepada Letta. Sementara sang puan masih mengatur detak jantungnya dan juga matanya yang panas, Letta mengerjap ke kanan dan kiri, melepaskan genggaman tangan Jevin lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke dekat jendela yang terbuka, menghirup oksigen dalam-dalam.

“Aku siap sama jawaban kamu, apapun itu, sekalipun itu penolakan.” Jevin berkata dengan lesu, perasaan Jevin sudah tidak karuan bahkan ia sudah mempersiapkan kemungkinan terburuk, yaitu ditolak lalu akan menjadi orang asing.

“Jev, aku nggak bisa,” kata Letta lirih, Letta masih berdiri di sana tanpa menoleh ke arah Jevin. Benar saja, beberapa tetes air mata jatuh dari pelupuk mata Jevin. Jika diingat, aspek kehidupan mana dari Jevin yang tidak lepas dari Letta? Dalam mengerjakan segala tugasnya kadang Jevin meminta bantuan Letta, jika bosan siapa yang Jevin hubungi untuk menemaninya pergi sejenak? Letta. Siapa di kalangan teman Jevin yang paham alergi Jevin? Letta. Siapa yang paling sering Jevin ajak ke rumahnya? Letta. Siapa yang paling sering melihat Jevin menangis? Letta.

“Iya, nggak papa, aku nggak maksa, aku hanya mau jujur aja,” kata Jevin sambil memaksakan senyum, “aku pamit.” Jevin berkata sambil beranjak dari sofa hendak berjalan keluar. Dua langkah Jevin ambil, ia merasakan seseorang memeluknya dari belakang.

“Aku nggak bisa nolak kamu, aku nggak bisa juga kalau nggak ada kamu.” Letta memeluk Jevin dari belakang yang menghentikan langkah Jevin.

“Aku butuh kamu, aku butuh tangan kamu buat aku gandeng jalanin kehidupan ke depannya yang aku masih nggak tahu akan seperti apa. I need you, Jevin, aku butuh kamu buat nemenin aku berdoa, aku butuh kamu buat peluk aku kalau aku nangis, jadi yang terakhir buat aku, Jev…. Please…” Suara Letta parau seketika, bergetar di kalimat terakhirnya lalu membuat Jevin berbalik badan, memegangi kedua pundak Letta lalu menundukkan wajahnya menatap wajah Letta yang ayu. Letta pun menatap Jevin dan tersenyum haru, beginilah Jevin dan Letta saling mencandu hal-hal yang mungkin bagi sebagian orang terlihat kecil dan sederhana tapi sangat bawa bahagia bagi mereka berdua.

So, you’re mine? Right?” tanya Jevin.

I’m yours, Elleandru Jevino Adrian, If you ask me to be yours, let me ask you to be the last for me.” Letta berkata sambil melingkarkan tangannya di perut Jevin dan mendekat ke arah Jevin. Keduanya tersenyum dan saling memeluk dalam hitungan detik, menjatuhkan hati bersama-sama setelah perjalanan penuh air mata selama ini ternyata tidak seburuk itu, maka Jevin selalu berdoa agar Tuhan selalu ijinkan ia untuk jaga Letta selamanya, memberkati setiap langkah perjalanan mereka.

“Jalan kehidupan kadang terlalu sulit dimengerti, Lett. Tapi, cara kamu menyikapi semuanya bikin aku ngerti kalau aku butuh penolong seperti kamu. I always pray to God, biar Tuhan berkati kita terus,” kata Jevin lalu melayangkan kecup di kepala Letta. Nyatanya hal itu membuat Letta terisak seketika di pelukan Jevin. Hanya rasa haru yang terasa di ruangan itu, hanya rasa bahagia dan air mata haru yang ada, cinta keduanya yang saling berpadu serta janji yang saling diucapkan untuk menjalani kehidupan berdua seterusnya.