Jevin memang merasakan sukacita besar setelah kembali dari Paris bersama Letta. Kesembuhan Mevin sudah keluarganya dapatkan. Sungguh rasa syukur tiada terhingga Jevin panjatkan kepada Sang Empunya kehidupan. Tapi, semuanya redup saat Mevin memberi kabar bahwa orang tua Grace, Mama Grace telah berpulang. Duka mendalam juga dirasakan oleh keluarga Adrian karena mereka tahu dan paham betul bagaimana kronologi dan kejadian yang dialami Grace. Tapi ini juga menjadi momen kepulangan Grace ke tanah air. Iya, Grace, kekasih saudara kembar Jevin yang Jevinn tolong sepenuh hati, sampai harus berkorban nyawa. Dimana Jevin hanya ingin menyelamatkan Grace agar Grace dan Mevin bisa terus bersama. Sungguh, Jevin selalu berdoa untuk kebahagiaan Grace dan Mevin seterusnya.
Malam ini rumah duka di tanah air langsung dipersiapkan untuk ibadah penghiburan atas kepergian Mama Grace. Sudah ada banyak orang berkumpul di sana. Hiruk pikuk dan suasana sedih serta mencekam sangat terasa. Papa tiri Grace ada di sana menyalami dan duduk bersama para tamu yang melayat, tak jarang beberapa orang juga datang menyalami dan memberikan kata-kata penguatan bagi keluarga Grace. Di peti berwarna putih itu sudah terbaring Mama Grace yang tidak bisa lagi melihat indahnya dunia, tidak bisa melihat suaminya serta ketiga anaknya berkumpul. Kita sebagai manusia juga tidak berhak mengatur garis takdir kapan harus bertemu dan kapan harus berpisah.
Tiba saatnya Grace bertemu dengan keluarga Adrian, semuanya hadir disini tanpa terkecuali.
“Grace, anak baik, yang kuat ya nak, ya. Doa terbaik buat Mama dan keluarga yang ditinggalkan. Percaya rencana Tuhan nggak akan salah.” Kalimat yang Jeremy ucapkan saat itu untuk Grace jujur saja membuat Grace terharu tapi Grace tahan air matanya sekuat tenaga, Grace mengangguk dan tersenyum. Papanya dan Papa Mevin itu kembali duduk bersebelahan dan bercengkrama. Tiba saatnya Grace memberi salam dan diberi pelukan oleh Lea, Grace memeluk Lea erat, “Grace anak kuat, terima kasih udah pulang. Terima kasih juga Grace udah sembuh, Mama Grace pasti bangga banget. Jangan khawatir, hidup Grace seterusnya udah ada yang pegang. Tuhan pelihara kehidupan kamu sekeluarga.” Lea berkata sambil mengecup pipi kanan dan kiri Grace.
“Grace ....” Kini giliran Letta yang berdiri di sebelah Jevin memeluk Grace saat Grace berjalan menuju arahnya.
“Makasih udah pulang, makasih udah berjuang. Kata sabar mungkin nggak akan cukup buat kamu saat ini, ikhlas ya, ikhlas.” Letta berkata sambil mengusap punggung Grace pelan. Jevin yang ada di sebelahnya juga ikut mengusap punggung Grace. Pelukan direnggangkan, Jevin dan Grace bersalaman dan Jevin mengusap punggung Grace lagi, “yang kuat,” kata Jevin sambil tersenyum.
“Jevin, aku belum sempat bilang terima kasih untuk waktu itu. Terima kasih udah nyelametin aku waktu itu, maaf kamu sampai harus―”
“I’m okay, I did that for you and my twins bro. That’s what brother for,” kata Jevin.
“Jevin, aku tahu gimana tulusnya kamu. Makasih udah jadi saudara yang baik buat Mevin. Letta, Jevin, terima kasih banyak,” kata Grace dengan suara berat sambil menahan tangis mati-matian.
Grace tidak henti berterima kasih. Kini, Grace tiba di hadapan Lauren dan Willy, Lauren yang datang dengan keadaan perut yang semakin besar itu juga memeluk Grace bahkan sempat meneteskan air mata saat memeluk Lauren.
“Yang kuat, ya. Masih ada keluarga, masih ada kita, masih ada Mevin, masih ada dan banyak yang nunggu senyum Grace balik lagi.” Willy berkata sambil mengusap pundak Grace yang tengah berada di pelukan Lauren itu. Lauren memeluk Grace erat, “di dunia ini nggak ada yang abadi, sekalipun kebersamaan dan kehadiran keluarga, Mama udah nggak sakit, Mama udah sembuh, tetep doain Mama, ya? Ada adek-adek, aku tahu gimana rasanya harus kuat disaat kita sendiri hancur, nggak papa kamu jadi kakak kalau di rumah harus kuat nggak papa. Kalau butuh tempat cerita sebagai kakak, just let me know, Grace. I’ll be there, I will always.” Lauren berkata sambil perlahan melepaskan pelukan dan menggenggam tangan Grace.
“Makasih, Ko Willy, Ci Lauren. Makasih banyak, nanti boleh ya Grace curhat ke Ci Lauren,” kata Grace sambil memaksakan tersenyum disaat yang berat ini. Lauren mengangguk dan tersenyum, Willy juga memberikan penguatan untuk Grace sebelum Grace berjalan menuju kursi di belakangnya, Mevin di sana, berdiri menyambut Grace dengan senyuman.
Jujur saja, Mevin sudah hampir menangis tapi ia paksakan senyum terbaiknya ia berikan untuk sang kekasih. Grace sampai di hadapan Mevin dengan mata yang berkaca-kaca. Satu tngan Mevin meraih pipi Grace satu tangannya merapikan surai panjang Grace dan menyingkapkannya ke belakang telinga kekasihnya.
“Mevin―”
“Iya, aku disini.” Tangan Mevin pun bergerak turun menggenggam kedua tangan Grace yang dingin.
“Makasih udah mau maafin Mama, makasih udah mau kasih tahu aku di Singapore,” kata Grace dengan suara yang mulai bergetar.
“Sayang sama Mama? Ikhlas Mama pulang ke rumah Tuhan?” pertanyaan Mevin membawa Grace melipat bibirnya, menahan dengan sedikit menggigit belah bibirnya yang sudah bergetar itu. Grace mengangguk, tanpa aba-aba Mevin menarik Grace ke dalam dekapannya, Mevin memeluk erat kekasihnya, Grace membalas pelukan itu erat. Hingga sesaat hening karena Mevin merasakan bajunya sedikit diremas oleh Grace.
“Nangis aja, aku disini, jangan ditahan,” kata Mevin berbisik lirih. Benar saja, punggung Grace langsung bergetar hebat, perempuan itu menangis keras di pelukan Mevin, hampir seluruh pelayat dan keluarga langsung menoleh ke arah Grace dan Mevin tapi dengan tatapan sendu. Lauren menggenggam tangan Willy saat mendengar raungan tangis Grace. Letta dirangkul Jevin, Lea sudah ada dalam dekapan Jeremy.
Suara tangisan Grace menggema, kali ini ia lepaskan semua duka dan kesedihan yang membelenggu. Sakit dan pedih hati Mevin, ia teringat ia juga kehilangan sosok Mamanya, bahkan sebelum ia bisa melihatnya dan merasakan kasih sayang Mamanya. Mereka adalah sepasang yang merasakan kehilangan, kehancuran, kerapuhan serta mencandu pilu seumur perjalanan kehidupan mereka. Mevin mencium pipi Grace dan membiarkan kekasihnya menangis sepuasnya dan sekeras-kerasnya di pelukannya.
“Mama .... Mama ....” Tangis Grace kala itu, hingga detik ini, Grace masih tak percaya dengan apa yang terjadi.
“Aku dandanin Mama, pertama dan terakhir kali seumur hidup. Aku beliin Mama dress pertama kali untuk kepulangan Mama selamanya ke rumah Tuhan di Surga ....”
“Mama bangga pasti sama kamu, persembahan terbaik anaknya untuk terakhir kali. Mama kamu pasti bangga, it’s enough sayang, it’s enough, Grace.”
Napas Grace semakin tersengal dan dadanya sesak, Mevin masih setia disana memeluk Grace yang masih membenamkan wajahnya di ceruk lehernya. Sesaat Mevin mengarahkan pandangannya ke peti putih di ruangan itu. Tangannya bergetar, juga kakinya, apakah seperti ini gambaran jika saat itu ia mengantarkan kepergian Mamanya? Bibir Mevin juga ikut bergetar, Mevin meneteskan air mata juga. Diatas apapun, bahkan diatas hari kepergian seseorang, yang lebih mengerikan adalah hari setelah kepergian itu sendiri.
“Nggak kuat, Mevin. Nggak kuat ....” Grace berkata lirih yang hanya bisa didengar oleh Mevin.
Dunia kita akan berubah, ada banyak hal-hal yang hilang. Tidak bisa kita jumpai lagi sosok itu, tidak bisa lagi kita sentuh raganya, kita hanya akan bisa melihat mereka dalam terawang jauh pikiran, bertemu dalam setiap pejam doa, merasakan kehangatan dan kenangan masa lalu itu sebatas saat menyebutkan namanya, tak ada lengan yang memeluk dan merengkuh. Tak ada suara bising yang membangunkan Grace di pagi hari seperti saat ia sekolah dulu, semua keadaan akan berubah, maupun dari hal kecil sekalipun.
Mevin mempererat pelukannya tapi tiba-tiba,
BRUKKKK
Tubuh lemah Grace jatuh pingsan membuat semua orang panik, tapi Mevin yang di sana langsung sigap menyangga tubuh Grace.
“Grace!” pekik Mevin panik saat itu. Mevin pun langsung membopong tubuh Grace untuk dibawa keluar ruangan.
Hari ini, ibadah pelepasan jenazah dan penutupan peti dilakukan. Saat itu semakin banyak orang berdatangan dengan pakaian nuansa putih dan hitam yang melambangkan dukacita. Keluarga Adrian datang tanpa terkecuali, Lea, Jeremy, Jevin, Letta, Lauren dan juga Willy duduk di kursi yang tak jauh dari Mevin.
Sebelum itu diberikan waktu untuk keluarga inti menyampaikan sesuatu, mulai dari Kevin, Grace dan Rafer. Mereka bertiga diberi waktu, Kevin menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua yang datang dan sudah menyampaikan rasa bela sungkawa untuk istrinya. Untuk semua pihak yang membantu, keluarga, rekan, dan sahabat-sahabat. Kini, tiba saatnya Grace yang berbicara, Grace meraih mic dan berdiri di sebelah peti Mamanya. Peti itu masih terbuka, Grace sempat melihat ke arah Mamanya sejenak sebelum menatap seluruh pelayat yang hadir.
“Saya Grace, putri dari Ibu Maureen. Mama yang melahirkan saya ini memang orang yang hebat dan kuat. Saya mengucapkan terima kasih kepada semua yang menunjukkan kasih untuk Mama saya dan keluarga saya. Masih seperti mimpi, saya masih ingat jelas saat Mama menyusul saya ke Singapore ingin menjemput saya yang melakukan pengobatan disana. Saya bersyukur kepada Tuhan karena disaat terakhir Mama, saya ada di sana, di pelukan Mama. Saya juga paham bagaimana keluarga menyayangi Mama―Papa Kevin, Rafer, juga Florence yang masih kecil. Terima kasih saya ucapkan kepada saudara semua yang sudah menunjukkan kasih kepada Mama saya disaat terakhir seperti ini. Terima kasih atas semua penguatan yang disampaikan. Saya sadar, Tuhan mau Mama pulang ke rumah abadi karena jika Mama tinggal lebih lama akan menyiksa Mama juga, sekarang Mama sudah sembuh. Mama sudah ada di rumah abadinya dimana tidak ada lagi sakit dan ratap tangis di sana. Saya juga yakin Mama melihat saya sekarang, terima kasih Ma... Terima kasih sudah melahirkan Grace, terima kasih sudah melahirkan Grace ke dunia dan menjadi Mama Grace yang kuat,” kata Grace lalu menghela napas dan menyeka air matanya sejenak. Semua yang ada di situ hampir menangis, tidak―sekarang Letta dan Lauren sudah menangis bahkan. Begitu juga dengan kekasihnya, Mevin. Grace mendekat ke arah peti, ia pegang tepian peti itu.
“Saya percaya, semua terjadi karena Tuhan baik. Saya tidak khawatir akan kehidupan saya dan keluarga saya ke depannya karena Tuhan kirim orang-orang yang menguatkan saya dan meyakinkan bahwa pengharapan itu tidak akan hilang. Hidup saya dan keluarga saya sudah direnda dan direncanakan Tuhan sampai akhir. Tuhan akan pelihara dan jaga keluarga saya, Tuhan tidak akan biarkan kami semua kelaparan dan jatuh tersungkur. Saya juga bersyukur karena saya tidak ditinggalkan sendiri, ada Papa Kevin, Rafer dan Florence dimana setelah ini saya akan tinggal bersama mereka. Dari Mama saya belajar kekuatan, Mama sembunyikan semua sakitnya dari saya. But, God is good all the time so He takes Mama come back to everlasting home. Saya dan keluarga tidak takut menghadapi dunia ke depannya, Tuhan akan sediakan semua pada waktunya, sampai akhirnya, sampai kita semua kembali pada waktunya.” Grace menyentuh dan membelai rambut Mamanya yang ada di peti.
“Grace sayang Mama, God loves you so do I, Ma. Sampai ketemu di keabadian, Grace sayang Mama.” Kalimat terakhir Grace diucapkan dengan tenang, ia menaruh mic dan kembali duduk di sebelah Mevin, tangan Grace gemetar bukan main. Mevin langsung sentuh dan genggam, ia juga merangkul Grace, membiarkan Grace menangis di pelukannya. Meski tidak se histeris kemarin, tetap saja, itu adalah tangisan pilu.
Hingga ibadah selesai, Mevin jaga tangan Grace dalam tautannya, jemari mereka bersatu tidak Mevin lepaskan meskipun sedang berdoa. Ia paham bagaimana hancurnya hati Grace, saat terakhir melihat Mamanya adalah saat ini. Saat segala tata acara pelepasan jenazah dilakukan, tiba saatnya, momen terpilu yang harus dihadapi, penutupan peti. Saat dimana kita tidak bisa melihat lagi orang yang kita cinta untuk selamanya. Kevin ada di sebelah peti menggendong Florence yang mulai menangis, Rafer ada di sebelahnya, satu tangan Kevin merangkul Rafer. Grace ada di samping Rafer, beberapa petugas dari rumah duka tersebut membawa tutup peti dan mulai menutup peti itu, saat bagian atas hendak ditutup, Grace mencegahnya, tangannya menghalanginya.
“Grace ....” ujar Kevin lirih. Grace masih disana seakan menolak pergi.
“Sebentar, pak,” bisik Kevin kepada salah satu petugas. Sang petugas mengangguk dan menyingkir sesaat membiarkan Grace ada di sana mengamati wajah Mamanya lamat-lamat untuk terakhir kali. Grace menunduk dan terisak, sesaat, Rafer menarik Grace mundur, keduanya saling memeluk, peti ditutup, baut sudah dikencangkan. Tidak bisa lagi mereka lihat sosok Mamanya. Mereka semua yang menyaksikan hal itu juga tidak bisa memungkiri, bahwa kesedihan itu menjalar.
Mevin duduk sendiri terisak, ia teringat Petra, sosok Mamanya. Menyadari hal itu, Lea beranjak dari tempat duduknya, duduk di sebelah Mevin, langsung memeluk Mevin. Mereka berdua juga menangis saat itu. Lagu “God Can Do All Things” serta alunan keyboard lirih mengiringi momen pilu itu.
Mevin tidak berkata apa-apa. Mevin langsung memeluk Lea juga, punggung Mevin juga bergetar hebat. Tak ada kata-kata yang bisa Lea ucapkan lagi, ia salurkan lewat usapan lembut di tubuh Mevin untuk menenangkan anaknya itu.
“Mama Lea harus panjang umur, ya.” Mevin berkata lirih, hal itu justru membuat Lea juga menangis, sungguh, hatinya rapuh, Lea juga pernah mengalami kehilangan saat ia baru saja akan wisuda dan meraih gelar cumlaude. Bahkan gelar itu yang menjadi kado terakhir untuk kedua orang tuanya. Kecelakaan merenggut nyawa kedua orang tua Lea bersamaan, disaat esok harinya ia akan wisuda di universitas. Mevin yang belum pernah melihat sosok Mamanya, Petra, pun juga merasakan duka mendalam.
Ada hal lain yang nampaknya tidak tersorot banyak mata. Jevin yang duduk di sebelah Letta sudah gusar sejak tadi. Letta yang menyadari suaminya tidak bisa tenang pun langsung menggenggam tangan Jevin dan menatap Jevin, bersamaan dengan Jevin yang membawa wajahnya menoleh menatap Letta.
“Sayang, you okay?” tanya Letta pada Jevin. Yang diajak berbicara mencoba mengangguk pelan dan menghela napas panjang.
Melihat Grace menangis saat peti ditutup membuat siapa saja yang melihatnya ikut terkoyak hatinya. Sebab, yang dahulu pernah Letta dan Jevin alami juga sama. Satu orang yang menyelamatkan nyawa Letta, juga membuat Jevin mengubah sikapnya yang lama menjadi lebih baik harus pergi selamanya, siapa lagi kalau bukan Eve? Hati setiap orang porak poranda hari ini. Melepas kepergian seseorang memang tidak semudah itu.
Jevin masih belum melepas genggaman tangan Letta, hingga saat peti benar-benar tertutup, Jevin merasa tenggorokannya tercekat, debar jantungnya sangat cepat, kepalanya pusing dan ia merasa sedikit tidak enak di tubuhnya, seperti mual tapi membuatnya lemas juga. Jevin pun bangkit berdiri dan langsung keluar dari ruangan. Jevin merasa sesak napas, langkahnya terseok dan Jevin pun terjatuh di dekat parkiran. Untuk bangun saja rasanya sulit, Jevin memejamkan matanya dan merasakan sesak di dadanya semakin menjadi. Setiap detail kenangan penutupan peti saat kepergian Eve jelas tergambar di pikirannya.
Jevin menangis sendirian, wajahnya memerah menahan rasa mual dan pusing di kepalanya. Letta sedikit kewalahan mencari suaminya itu. Hingga saat mendengar suara tangisan, Letta menghentikan langkah, menoleh ke kanan, diantara beberapa mobil ia melihat Jevin yang bersandar di badan mobil dan menangis sambil memukul dadanya sesekali namun menutup kedua telinganya dengan telapak tangannya. Letta seakan terpaku di tempat tapi ia paksa bawa kakinya sedikit berlari mendekati Jevin.
“Sayang, ini aku, Letta. Sayang... kenapa?” tanya Letta lembut, tapi Jevin masih resah dan terus menggeleng cepat, menolak tangan Letta yang berusaha merangkul tubuhnya.
Letta yang berlutut di sebelah Jevin pun terduduk di tanah, menunggu beberapa detik hingga Jevin tenang, selama itu ia hanya mengusap punggung suaminya meski sekarang Letta juga sudah menangis.
“Calm down sayang, calm down, Jevin.” Kalimat itu berulang kali diucapkan Letta hingga akhirnya Jevin memberanikan diri mengangkat wajahnya menatap Letta. Benar saja, mata Jevin sudah merah dan sembab, hidungnya memerah, bibirnya pucat, sangat kacau.
“Lett....” Jevin berucap lirih.
“Ini aku, keinget Eve? Yang tenang, sayang. Yang tenang ya... berdoa dalam hati, it’s okay, it’s okay.” Letta mencoba memberikan senyuman bagi suaminya itu.
Jevin tidak bisa berucap apapun lagi, Jevin luruh dalam pelukan Letta, tak perlu hitungan detik, saat itu juga Jevin meledak dalam tangis. Lara dan duka hinggap di hati dan benak Jevin serta Letta hari ini.
“Aku udah lupa suaranya, aku udah lupa wajahnya, aku nggak bisa inget. Tapi bayangan waktu ibadah tutup peti itu tergambar jelas. Lett, aku takut, bahkan aku bisa denger jelas suara kamu nangis waktu itu. Sakit, takut, Lett aku takut! Letta, aku takut!!” Jerit Jevin sambil mencoba memberontak tapi Letta tetap jaga Jevin dalam dekapannya serta tangannya tak henti mengusap punggung dan kepala suaminya bergantian.
“Arghhh!!” Jevin menjerit lagi hingga dekapan Letta terlepas.
“Jevin!!” pekik Letta sambil berusaha meraih tangan Jevin lagi, keduanya bergelut satu sama lain, Jevin ingin lepaskan pelukan sedangkan Letta ingin jaga Jevin dalam dekapnya. Hingga akhirnya Letta menangkup kedua pipi Jevin dan keduanya saling bertatapan.
“Remember, Eve will always be in our heart.” Satu tangan Letta kini menyentuh dada Jevin. Jujur saja, telapak tangan Letta saja bisa merasakan degup jantung Jevin yang sangat cepat.
Namun, Jevin tak juga tenang, Letta juga merasa sesak dan tak bisa bendung tangisnya, hingga ia merasakan tangan Jevin meremas bajunya erat. “Jangan pergi ya, Lett... jangan tinggalin aku... aku nggak mau, jangan pergi.” Jevin menangis di hadapan Letta sambil mendongak perlahan, Letta tersenyum dan mengangguk, ia usap dahi Jevin dan wajah Jevin yang berpeluh itu lalu ia kecup dahi Jevin beberapa saat. Keduanya kini saling memeluk, pada akhirnya yang masih hidup saling menguatkan, yang sudah pergi akan selalu hidup dalam kenangan.
“Jangan pergi sebelum aku, Letta.” Ucap Jevin di sela tangis keduanya.