awnyaii

Sebelum Jevin sampai di rumah, Letta sibuk seorang diri sambil mengurus Eugene yang sedang sakit. Awalnya, Letta kuatkan hatinya dan dirinya karena ia juga merasa kurang enak badan. Sekujur badannya sakit karena harus sering menggendong Eugene, tidak napsu makan, beberapa kali ia merasa mual dan tubuhnya lemas.

Entah apa lagi yang terjadi di antara Jevin dan Letta kali ini. Jevin juga tiba-tiba menjadi mudah marah walaupun di chat saja. Hal itu membuat Letta bertanya-tanya.

Kali ini, Letta tengah menyuapi Eugene di kamarnya, tapi Eugene masih susah makan.

“Ayo, Nak, dimakan dulu biar bisa minum obat. Jangan nggak makan, biar cepet sembuh,” kata Letta memohon.

“Nggak mau… Eugene nggak mau makan,” rengek Eugene.

“Kata uncle Mevin apa? Harus makan, kan?”

“Nggak enak, obat pahit, Eugene nggak suka, Ma…”

Letta menghela napas panjang, mulai menyerah dengan anaknya. Saat itu bersamaan dengan Jevin yang membuka pintu kamar, wajah Jevin juga tidak menunjukkan sukacita. Diri Jevin sekalipun sangat terlihat berantakan.

“Jev, boleh suapin Eugene sebentar? Aku siapin obatnya dulu,” kata Letta sambil berjalan mendekati Jevin. Tak ada suara dari Jevin melainkan hanya anggukan saja. Jevin menerima mangkok yang Letta berikan untuknya lalu berjalan dan duduk di kasur di sebelah Eugene yang bersandar. Letta pun keluar kamar dan mulai menyiapkan obat yang harus Eugene minum.

Tapi saat Letta sedang menyiapkan obat-obatan itu, ia merasa sedikit mual, dan pandangannya kabur. Letta berpegang pada tembok, ia tundukkan sedikit tubuhnya, rasa sakit di sekujur tubuhnya semakin menjadi, tubuhnya semakin lemas hingga Letta duduk di lantai dan bersandar di tembok tanpa sepenglihatan Jevin.

Keringat dingin mulai keluar dan membasahi wajah Letta, bersamaan dengan itu, Letta mendengar suara Jevin menggerutu di dalam.

“Dimakan dong, Eugene biar sembuh.” “Aduh jangan dimuntahin lagi.” “Dimakan dong, Nak.” “Aduh jangan kayak gitu, nurut sama Papa!”

Jevin belum memberitahu apa-apa tentang kondisi Papanya yang sedang berada di rumah sakit, tapi Jevin juga masih terbawa perasaan kalut karena masalah di kantor, papanya dan kini belum sempat ia bicara apa-apa kepada Letta ia harus mengurus anaknya. Sebenarnya, disinilah ketegaran hati Letta dan Jevin diuji. Sayangnya, Jevin memendam apa yang jadi pikirannya karena tahu Letta sudah lelah mengurus Eugene yang sakit, Letta juga memendam apa yang ia rasakan karena tahu seorang ibu harus kuat untuk anaknya, dan Letta pun belum mengetahui apa apa tentang masalah Jevin.

Akhirnya karena mendengar Eugene menangis, Letta mengumpulkan kekuatannya, menahan tangisnya, mencoba berdiri sekuat tenaga dan masuk ke kamar dengan membawa obat yang harus Eugene minum. Letta langsung duduk di sebelah kiri Eugene, tepat berseberangan dengan Jevin lalu tangan Letta meraih mangkok yang Jevin pegang.

“Biar sama aku aja, kamu istirahat aja beres-beres sana, anak lagi sakit jangan diomelin.” Letta berkata dengan nada ketus.

Jevin bangkit berdiri beranjak dari ranjang, melonggarkan kancing kemejanya, mengambil ponsel dari kantong celananya dan melempar pelan ke atas kasur begitu saja lalu melenggang ke kamar mandi. Jevin menutup pintu kamar mandi dengan sedikit kasar membuat Letta sebenarnya geram tapi Letta menyimpan segenap kekuatannya untuk mengurus Eugene daripada untuk membuang tenaga marah kepada suaminya itu.

Siapa yang sangka, Jevin yang baru saja masuk ke kamar mandi langsung bersandar di tembok perlahan terduduk dan mengacak rambutnya kasar berulang kali. Jevin menangis tanpa suara. Mengingat keadaan kantor yang kacau, keadaan Mamanya dan Papanya, juga Eugene. Terlalu banyak yang terjadi di saat yang bersamaan kali ini. Isakan Jevin ia bungkam sendiri, tak ada yang tahu, tak ada yang mendengar tangisan Jevin.

“Apa lagi, Tuhan? Setelah ini apa lagi yang terjadi?” lirihnya seorang diri.

Letta sedang berada di dekat jendela kamarnya, memandang ke luar melihat memandang langit malam yang bisa dilihat dari balkon ini. Jevin yang baru saja keluar dari kamar mandi pun berjalan mengendap mendekati Letta. Tak lama kemudian Letta merasakan ada yang memeluknya dari belakang dan menaruh dagunya di pundak Letta serta menghujam pipi Letta dengan beberapa ciuman.

Letta berkata, “Cium-cium, bayar!” Letta menjauhkan tubuhnya dari rengkuh Jevin. Namun Jevin masih menahan pinggang Letta dengan tangannya dan membuat Letta berbalik badan lalu Jevin menempelkan ujung hidung mereka.

“Bayarnya seumur hidup tinggal bareng nanti sama eugene dan adik-adiknya.”

“Mau anak berapa?”

“Sepuluh.”

“Buset!”

“Aku harus memperbanyak Jevin junior,” balas Jevin terbahak diikuti Letta. Tanpa kata Jevin melayangkan kecupan ke pipi wanita di depannya itu. Letta hanya mendengus geli sambil memukul pelan lengan Jevin.

“Letta―promise me that you will stay with me?” kata Jevin, Letta mengangguk dan tersenyum.

You don’t need any answer for this question, right?” kata Letta sambil mencolek hidung Jevin dengan jari telunjuknya. Kalimat itu tidak diindahkan Jevin karena pria itu langsung mengecup bibir Letta dan memeluk Letta lembut.

Jevin mencandu bibir ranum Letta laksana pawang yang punya kendali penuh atas wanitanya.

Pagutan lembut dibalas dengan lumatan sedikit dalam, Jevin memimpin pertukaran saliva kala itu dengan begitu manis. Tanpa ragu juga Letta kalungkan tangannya di leher Jevin. Tangan Jevin melingkar di perut Letta, Jevin melangkah maju sedangkan Letta memundurkan langkahnya hingga tubuhnya menempel di tembok, tak ada pergerakan lagi dari Letta, yang ada hanya penerimaan atas apa yang Jevin lakukan.

Jevin menurunkan ciumannya, lidah dan bibirnya menyapa di bagian leher dan telinga Letta dengan seduktif. Letta yang hanya menggunakan tanktop dan hotpants bisa dirajai oleh Jevin dengan mudah. Wanita dibawah kendali Jevin menggeliat saat lidah Jevin bermain di sela lehernya untuk menghisap dan menggigit sedikit hingga meninggalkan sedikit bekas disana. Kepalanya mengadah dan tangannya membelai tengkuk leher Jevin berulang kali.

“Kayak gini nanti Eugene tiba tiba nangis nggak lucu, sayang,” bisik Letta.

“Aman, udah nyenyak anaknya, hehe,” balas Jevin.

Jevin pun menggendong tubuh istrinya, membawa dan menidurkan tubuh istrinya itu di ranjang perlahan, dan KLIK! lampu dimatikan.

Letta sedang berada di dekat jendela kamarnya, memandang ke luar melihat memandang langit malam yang bisa dilihat dari balkon ini. Jevin yang baru saja keluar dari kamar mandi pun berjalan mengendap mendekati Letta. Tak lama kemudian Letta merasakan ada yang memeluknya dari belakang dan menaruh dagunya di pundak Letta serta menghujam pipi Letta dengan beberapa ciuman.

Letta berkata, “Cium-cium, bayar!” Letta menjauhkan tubuhnya dari rengkuh Jevin. Namun Jevin masih menahan pinggang Letta dengan tangannya dan membuat Letta berbalik badan lalu Jevin menempelkan ujung hidung mereka.

“Bayarnya seumur hidup tinggal bareng nanti sama eugene dan adik-adiknya.”

“Mau anak berapa?”

“Sepuluh.”

“Buset!”

“Aku harus memperbanyak Jevin junior,” balas Jevin terbahak diikuti Letta. Tanpa kata Jevin melayangkan kecupan ke pipi wanita di depannya itu. Letta hanya mendengus geli sambil memukul pelan lengan Jevin.

“Letta―promise me that you will stay with me?” kata Jevin, Letta mengangguk dan tersenyum.

You don’t need any answer for this question, right?” kata Letta sambil mencolek hidung Jevin dengan jari telunjuknya. Kalimat itu tidak diindahkan Jevin karena pria itu langsung mengecup bibir Letta dan memeluk Letta lembut.

Jevin mencandu bibir ranum Letta laksana pawang yang punya kendali penuh atas wanitanya.

Pagutan lembut dibalas dengan lumatan sedikit dalam, Jevin memimpin pertukaran saliva kala itu dengan begitu manis. Tanpa ragu juga Letta kalungkan tangannya di leher Jevin. Tangan Jevin melingkar di perut Letta, Jevin melangkah maju sedangkan Letta memundurkan langkahnya hingga tubuhnya menempel di tembok, tak ada pergerakan lagi dari Letta, yang ada hanya penerimaan atas apa yang Jevin lakukan.

Jevin menurunkan ciumannya, lidah dan bibirnya menyapa di bagian leher dan telinga Letta dengan seduktif. Letta yang hanya menggunakan tanktop dan hotpants bisa dirajai oleh Jevin dengan mudah. Wanita dibawah kendali Jevin menggeliat saat lidah Jevin bermain di sela lehernya untuk menghisap dan menggigit sedikit hingga meninggalkan sedikit bekas disana. Kepalanya mengadah dan tangannya membelai tengkuk leher Jevin berulang kali.

Jevin pun menggendong tubuh istrinya, membawa dan menidurkan tubuh istrinya itu di ranjang perlahan, dan KLIK! lampu dimatikan.

Sejak beberapa hari terakhir, kandungan Letta yang membesar dan beberapa kali Letta sudah merasakan kontraksi. Beberapa lenguhan dan rintihan sakit juga membuat Jevin panik yang akhirnya membuahkan hasil keputusan Jevin membawa Letta ke rumah sakit.

Rasa sakit di perut Letta di suatu malam tidak mau berhenti, ia sudah tidak tahan lagi. Jevin yang panik pun memanggil dokter untuk ke ruangan Letta. Seorang dokter ditemani seorang suster datang. Dokter itu memberikan suntikan perangsang pada Letta, wanita itu sudah merasa detak jantungnya tidak karuan. Letta merasa sakit dan nyeri di bagian pinggang dan perutnya, sakit bukan main. Tak lama, air ketuban Letta pecah dan Letta sudah mencapai bukaan sempurnanya.

Akhirnya, hari itu, pukul tujuh malam dilakukan proses persalinan. Saat mendapat telepon dari Jevin, Lea dan Jeremy bergegas ke rumah sakit saat itu juga. Proses persalinan berlangsung dengan persalinan normal dan Jevin menunggu di sebelah istrinya. Letta menangis menahan sakit dan merintih kala ia merasakan tulang-tulangnya seperti dipatahkan.

Seluruh rasa sakit yang Letta rasakan saat itu rasanya tidak bisa Letta deskripsikan dengan kata-kata. Dokter itu meminta Letta mengatur napasnya. Jevin yang mendampingi di sebelah Letta tak henti menggenggam tangan istrinya itu sambil sesekali mengecup kening istrinya itu. Terkadang Letta kesulitan bernapas. Ia mengejan sekuat tenaga saat ia merasakan sakit yang bukan main. Letta merasakan ada sesuatu yang keluar dari tubuhnya tapi seakan merobek dan mematahkan tubuhnya. Sementara Jevin tak henti membisikkan kalimat, “sayang, kamu bisa, kamu kuat buat anak kita.”

Dokter itu memberi arahan kepada Letta untuk lebih tenang dan mengatur napasnya. Beberapa kali Letta mengejan sekuat tenaganya sampai akhirnya usahanya yang terakhir berbuah manis, tangisan bayi mungilnya terdengar menggema di sana. Dokter itu berkata, “syukurlah, bayinya laki-laki. Selamat Ibu Letta dan Pak Jevin.” Sang dokter menyerahkan bayinya kepada suster di sebelahnya sebelum memberikannya untuk Letta baringkan di dadanya. Jevin dan Letta sama-sama menangis haru kala bayi mungil itu lahir ke dunia. “Thank, God, semua lancar. Kamu sama anak kita selamat dan kuat. Makasih, Sayang, udah kuat.” Kalimat itu dilafalkan Jevin dengan lirih dan terbata-bata karena tangisnya kala melihat perjuangan keras Letta untuk melahirkan sang buah hati.

Jevin mengecup bibir dan kening Letta bergantian, tak henti mengucapkan terima kasih dan betapa ia menyayangi Letta. Wanita itu juga meneteskan air mata kala melihat usahanya dan perannya sebagai seorang ibu sudah semakin sempurna karena kehadiran buah hatinya. Tepat hari ini, malam ini, bayi mungil bernama Aaron Eugene Geneva Adrian lahir ke dunia, menambah sempurna rumah tangga Letta dan Jevin. Bayi mungil yang sangat ditunggu oleh Jevin dan Letta, yang mematahkan vonis dokter, ternyata memang benar, hari-hari kemarin, Jevin dan Letta sedang dicobai untuk menjadi orang tua. Sekarang, sudah saatnya mereka menjadi orang tua sungguhan.

Pada mata Letta, bisa Jevin lihat raut bahagia dan lara di saat yang bersamaan. Jevin menahan kuat-kuat air matanya yang sudah mengantre, ia alihkan dengan mengecup istrinya lagi dan bayi kecilnya bergantian. Kebahagiaan keluarganya sudah lengkap. Jevin resmi menjadi seorang ayah, sementara Letta menjadi seorang ibu. Keduanya akan memerankan peran orang tua dengan sebaik mungkin setelah ini dan bersiap menghadapi misteri kehidupan yang akan terjadi lagi. Yang tersisa dari dua pasang netra yang saling memandang hanyalah titipan doa, harapan, dan asa agar semuanya menjadi lebih baik.

Akhir tahun yang cukup indah bagi keluarga Adrian. Lauren sudah menjalani persalinan, Grace dan Mevin sudah membaik keadaannya. Kesembuhan total sudah diberikan Tuhan kepada Mevin. Kehamilan Letta yang dalam keadaan baik juga jadi hal yang keluarga ini syukuri.Teduhnya langit Yogyakarta serta debur ombak di pantai ujung Yogyakarta yang berpasir putih ini menjadi saksi keluarga Adrian yang tengah menikmati liburan akhir tahun mereka. Ditambah kehadiran Grace saat itu yang ikut meramaikan liburan keluarga mereka. Suasana menjelang sore hari dan langit yang bersahabat, serta suasana pantai yang sepi menemani Lauren yang tengah berpose bersama anak pertamanya yang berusia beberapa bulan itu yang tengah diabadikan oleh Willy. Letta dan Jevin yang tengah menaiki canoe, atau Jeremy da Lea yang sedang berada di kedai tepi pantai untuk memilih menu makan siang.

Teman-teman Mevin pernah bercerita bahwa Yogyakarta mempunyai kesan tersendiri bagi insan-insan yang diraja cinta. Yogyakarta dan segala ceritanya menemani keluarga adrian beberapa hari ini. Mevin dan Grace tengah berjalan beriringan bersama di tepi pantai, membiarkan debur ombak menerpa kaki keduanya. Grace terlihat sangat sumringah dan bahagia, keduanya kadang saling mengejar, tak jarang juga Mevin menggendong Grace dan membiarkan tubuh keduanya diterpa ombak.

“Mevin, aku berat enggak?” tanya Grace yang tengah Mevin gendong di punggungnya itu.

“Berat banget, lah!” balas Mevin meledek.

“Ya udah, bagus! Aku enggak mau turun,” kata Grace sambil mengeratkan kaitan lengannya di leher Mevin dan menaruh dagunya di bahu Mevin.

“Haha, dasar, enggak berat ini mah nggak ada apa-apanya,” kata Mevin lalu berputar beberapa kali sambil masih menggendong Grace.

“Mevin!” pekik Grace.

Mevin sendiri tidak menghiraukan ocehan kekasihnya, ia sedikit berlari sambil masih menggendong Grace di punggungnya. Jeremy dan Lea yang melihat tingkah mereka hanya bisa tertawa sambil menggelengkan kepala.

“Mevin persiapan banget mau ajak Grace tunangan, dulu aku langsung ajak nikah, mana kabur ke Singapore, ck.” Jeremy berdecak sambil mengacak pelan rambut Lea. Wanita itu terkekeh sambil menepuk pelan lengan Jeremy.

“Itu lah bedanya kita sama Mevin, biar dalam satu keluarga ada cerita yang berbeda,” balas Lea. Kini, seluruh keluarga Mevin sudah mengerti bahwa Mevin akan melakukan sesuatu untuk Grace dan kelanjutan hubungan mereka. Mevin jatuh cinta kepada Grace bukan karena ketidaksengajaan, tapi cinta itu hadir karena dipupuk sejak lama selama kebersamaan yang terjalin.

Kini, Jeremy, Lea, Lauren, Willy yang tengah menggendong Shannon, Letta, Jevin, Grace serta Mevin tengah mengambil foto keluarga di tepi pantai dengan bantuan seorang fotografer. Beberapa pose diabadikan dengan suasana ceria dan hangat. Jauh dalam lubuk hati Grace, memiliki keluarga seperti ini adalah impiannya. Sedikit ringis haru dari Grace saat ia merasakan kehangatan di keluarga yang menerimanya apa adanya ini.

Saat sesi foto selesai, tidak ada yang beranjak dari sana. Semua memasang raut wajah yang menahan senyum, berbeda dengan Grace yang merasa tidak ada apa-apa. Maka, Lea berjalan mendekati Grace dan memegang kedua pundak Grace lalu merangkul anak perempuan itu.

“Grace, kamu suka nggak liburan kali ini?” tanya Lea.

“Suka, suka banget, Tante!” jawab Grace dengan nada bersemangat.

“Grace suka nggak kalau jadi bagian keluarga kita?” tanya Jeremy yang mendekat juga ke arah Grace. Sedangkan Mevin melangkah minggir dari sebelah Grace dan menghampiri Lauren seakan menerima sesuatu dari Lauren diam-diam.

“Eh, gimana, Om?” tanya Grace bingung.

“Jadi bagian keluarga Adrian, lah,” timpal Jevin sambil tersenyum lebar dan merangkul Letta yang tersenyum di sebelahnya.

“Jadi saudara kita, jadi keluarga kita,” tambah Letta.

“Udah, jangan dibikin bingung, waktunya Mevin ngomong,” kata Lea sambil melangkah minggir dari sana, Mevin berjalan mendekat. Dengan langkah pasti, Mevin meraih jemari Grace dan membawanya dalam genggaman.

“Grace, I know it is crazy, but this is from the deepest of my heart, aku bingung harus mulai dari mana,” kata Mevin sambil menghela napas, sementara Grace mendelik kaget, lidahnya kelu. Angin yang berembus, langit yang menyaksikan, serta banyak pasang mata orang terdekat Mevin dan Grace jadi saksi bagaimana Mevin sebentar lagi akan membuat perasaannya bermuara.

“Bernadetta Gracelline Courtney, I can’t promise I can supply everything that you want, but if you give me a chance, I’ll be everything that you need. I can’t ptomise that we’ll be together forever in this world, but I can promise that I’ll always love you that long. Grace, I can’t promise that you will always be happy, but I can promise that I’ll do anything to see you smile. I want in all my good and bad phases in this life, morning and night, you’re mine and will always be mine. It isn’t easy being so in love with you and ot being able to see you everyday. Every day without you reminds me of the joy you add to my life. Semua perjalanan kita selama ini yang nggak perlu aku jelasin satu-satu, itu semua bukti nyata kasih Tuhan buat aku dan kamu. Nggak peduli berapa kali aku ataupun kamu di ambang kehidupan atau kepergian tapi Tuhan kasih kesempatan buat kita. Aku nggak mau kesempatan itu sia-sia,” ucapan Mevin membuat Grace ditelan keheningan, tidak ada suara dari Grace namun matanya sedari tadi mengalirkan butiran kristal.

Begitu juga dengan Letta yang ada di rangkulan Jevin, keduanya terharu, Lea di pelukan Jeremy yang bangga serta tersenyum haru melihat Mevin dan Grace. Willy yang menggendong Shannon dan merangkul Lauren juga tersenyum mengiringi apa yang Mevin lakukan saat itu.

“We share an understanding, we share hopes and goals together. I wanna marry you because you’re the first person I wanna look at when I wake up and the only one I wanna kiss at night. I know, sometimes I mss up, I don’t even care, trust me that you’re my world. No matter how many times w fight, I’m never going to stop loving you. I will keep my promise and never give up on us. So, on this day I vow to be completely yours forever. I love you Bernadetta Gracelline Courtney, will you marry me?” tanya Mevin sekali lagi. Grace menatap semua anggota keluarga Adrian bergantian yang tak jauh dari mereka dengan mata yang basah karena air mata haru. Semuanya bergantian tersenyum dan mengangguk.

“Mevin, terima kasih buat semuanya, semua hal yang udah kamu lakukan untuk aku, semua hal yang udah kamu korbankan. Bahkan keluarga ini yang ada disampingku saat aku bener-bener merasa nggak punya keluarga sama sekali saat itu. Ada disini dan bisa mengenal keluarga ini adalah berkat Tuhan yang nggak ternilai. Terutama Mevin, dua kali, Vin .... dua kali kamu ada saat aku OD, di pelukan kamu, setiap saat aku inget hal itu aku mikir, aku sama kamu bisa nggak ya berlabuh, bisa nggak ya aku sama kamu bermuara, bisa nggak ya aku sama kamu ada di satu naungan janji suci. Aku doa setiap hari biar Tuhan tunjukin jalan. Kalau memang bukan aku jodohnya kamu, biar Tuhan tunjukin jalan lain dan rencanaNya yang lain buat aku ataupun kamu. Tapi sekarang aku paham, ini jawaban dari semua hal yang aku pertanyakan.” Grace berkata dengan suara yang bergetar. Mevin perlahan menghapus jejak air mata di pipi Grace lalu tersenyum kecil.

“So, the answer is?” tanya Mevin lagi.

“Yes, I will!” ucap Grace dengan suara bergetar, “I want you, I want you to be my husband.” Grace berkata dengan pasti dan penuh penekanan dalam setiap kata yang ia lontarkan dengan yakin.

Letta, dan Jevin berteriak girang dengan refleks, Lauren juga berteriak bahagia dan langsung memeluk Willy yang tengah menggendong Shannon, Lauren menghujam pipi Shannon dengan kecupan. Bayi mungil berusia satu tahun itu seakan mengerti euforia kebahagiaan yang tengah ada di sana, tangannya bergerak-gerak dan Shannon tertawa.

“Yes! Syukuran!” pekik Willy yang mengundang gelak tawa keluarganya. Mevin tidak bisa membendung matanya yang panas, ia berlutut dan ia ambil cincin di kotak di sakunya, mengerjapkan mata beberapa kali lalu memasangkan cincin itu di jari manis Grace.

Lalu, Mevin bangkit berdiri dan langsung membawa Grace dalam hangat dekapannya. Langit Yogyakarta hari ini menjadi saksi bagaimana perjuangan Mevin dan Grace. Langit Yogyakarta menaungi janji yang Grace dan Mevin buat saat ini dan berharap akan terjaga selamanya seperti halnya Lauren dan Willy juga Jevin dan Letta yang akhirnya bermuara.

Satu per satu keluarga Adrian memberi ucapan selamat untuk Grace dan Mevin saat itu. Sampai giliran Letta dan Jevin. Mevin dan Jevin saling memeluk, begitu juga Letta dan Grace. “Grace, makasih udah berjuang makasih udah balik ke sini dan makasih udah jadi wanita yang kuat. Selamat, ya! Doa terbaik untuk kamu sama Mevin,” kata Letta kepada Grace. Tak bisa pungkiri hati Grace juga berdesir terharu mendengar ucapan Letta itu. “Mev, bahagia terus ya, harus bahagia sampai akhir,” kata Jevin tak kalah membuat terharu. Mevin mengangguk dan memeluk Jevin sekali lagi. “Kalian juga, ya?” ucap Mevin sambil menatap Letta dan Jevin bergantian. Letta dan Jevin mengangguk dan tersenyum, maka saling meangkullah mereka di sana, hingga sebuah suara membuyarkan mereka berempat, “kembar, Letta, Grace lihat sini!” Ternyata itu adalah suara Willy yang memegang ponsel mengarahkan kepada Letta, Jevin, Mevin dan Grace, keempatnya tersenyum dan berpose saling merangkul bersebelahan, Klik! Willy mengabadikan moment adik-adik iparnya yang mengharukan itu.

“Jevin! Botol sauce kalau udah habis dibalik! Gula kalau satu bungkus nggak habis dikaretin masukin kulkas lagi habis diwadahin ke toples!” “Kalau bukan istrinya yang gantungin jas, digeletakin aja itu jas di tempat tidur, ck.” Celotehan perihal kehidupan rumah tangga yang kadang terlontar dari Letta kepada Jevin menambah riuh rumah tangga mereka.

“Lett, nggak shooting atau photoshoot? Cari uang gih,” kata Jevin meledek namun sambil menciumi pipi istrinya itu.

“Kamu juga, nggak kerja apa? Sana kerja, kalau nggak ya cari kerjaan. Bikin garis putih zebra cross pakai kutek putihku sana,” balas Letta sambil mengacak rambut suaminya. Keduanya terbahak, hal-hal kecil yang kadang tidak mereka hiraukan menjadi berarti saat sudah menjalin rumah tangga. Pagi ini Jevin baru saja terbangun dari tidurnya, Letta yang sedang membereskan dan merapikan isi lemari kamar terkejut dengan seseorang yang memeluknya dari belakang. Ia menoleh dan melihat suaminya ada di sana.

“Good morning sayang,” kata Jevin dengan suara berat. “Morning juga pak suami,” balas Letta. “Peluk dulu biar semangatkerja,” ucap Jevin manja, Letta tertawa melihat tingkah suaminya yang lucu dan manja itu, Letta segera berbalik badan lalu memeluk Jevin erat. Tangan Jevin mengacak pelan surai hitam Letta. Ia memegang kedua bahu Letta dan menatap istrinya lekat.

“Maaf ya aku lembur hari ini, pulangnya agak malem,” kata Jevin, Letta mengangguk. Jevin tersenyum lalu mengecup kening istrinya itu. “Yaudah aku mandi dulu,” kata Jevin. Wanita itu pun berjalan mengambil handuk dan memberikan kepada suaminya.

Tapi tiba-tiba Letta teringat sesuatu, Letta merenggangkan rengkuh dan merapikan rambut Jevin dengan satu tangannya. “Sebentar sayang, aku ambil sesuatu di kamar mandi dulu,” kata Letta lalu berlari kecil ke kamar mandi. Jevin masih diam di tempat, ia melihat pantulan dirinya di cermin yang ada di lemari sambil menyisir rambutnya ke belakang dengan jarinya, tak ada curiga, hingga sebuah teriakan yang memanggil nama Jevin ia dengar dari kamar mandi. Jevin kaget dan panik, Jevin pun langsung menuju ke kamar mandi. “Letta, kenapa?” tanya Jevin panik, ia mendapati istrinya termangu di depan wastafel, Letta hanya diam tidak menghiraukan kedatangan Jevin.

“I have something for you!” kata Letta sambil matanya berkaca-kaca, langkah Letta perlahan mendekat ke arah Jevin. Saat itu, Jevin mengernyitkan dahi sedikit bertanya-tanya, tangan Letta menyodorkan sesuatu kepada Jevin. Pria itu melihatnya dengan seksama, sebuah testpack dengan dua garis yang terpampang disana. Jevin menatap testpack itu dan menatap Letta bergantian seperti tidak percaya. Dilihatnya wajah Letta tersenyum tapi juga bulir kristal bening mengalir di pipi Letta.

“Letta...”

“Jev, ini bukan mimpi?”

“Am I going to be a daddy?!” tanya Jevin penasaran dan tidak percaya.

Letta mengangguk antusias. “Aku lupa aku udah naruh ini tadi tapi lupa buru buru siapin sarapan buat kamu. Dan baru aja inget! Kita mau jadi orang tua? Iya? Aku ngerasa aneh karena aku nggak haid, aku sering mual waktu kapan itu setiap makan muntah lagi, badan lemes, terus aku beli testpack, terus…” kata Letta lagi. Jevin masih bingung dengan apa yang ia lihat. Tapi dua garis di testpack itu memang terlihat jelas. Letta sudah membungkam mulutnya dengan telapak tangannya sendiri dan menangis haru. Tanpa babibu lagi Jevin mendekap Letta ke dalam pelukannya keduanya saling memeluk erat beberapa kali Jevin mencium bibir dan kening Letta bergantian keduanya sangat bahagia, tugas mereka sekarang menantikan kehadiran Letta dan Jevin junior! Kebahagiaan dua insan merekah sempurna menyambut buah hati mereka. “Letta, udah aku bilang kan, dokter dan tim medis masih kalah sama miracle from our mighty God!”

Letta tersenyum haru, “aku bisa punya anak, aku bisa, Jevin ...” Jevin tak kalah berkaca-kaca, ia kecup pipi istrinya itu lalu ia peluk erat, “aku selalu bilang kan kalau Tuhan akan kasih pada waktunya? Sekarang Tuhan jawab doa dan ketakutan kita, digantikan berkat, Letta aku seneng banget!” Jevin hanya mengecup puncak kepala Letta berkali-kali.

“Amen, aku percaya Tuhan akan kasih pada waktuNya.”

Keduanya saling bersinggungan dalam senyum, Jevin menarik tengkuk leher Letta dan menyatukan dahi serta ujung hidung mereka. Ketabahan mereka memang banyak dicobai tapi selalu, kekuatan itu hadir lagi. Cara kita mencintai seseorang adalah menunjukkan juga bagaimana kita ingin dicintai. Maka Jevin juga mencintai Letta dengan sepenuh hati, menjaga dengan segenap diri, juga memberikan apa yang ia bisa berikan hingga ujung nadi dan berjanji tidak akan lagi menyakiti. Keduanya teriakkan rasa bahagia lewat air mata haru yang jatuh di pipi keduanya. Ketabahan hati dan perjuangan tak bisa mendustai anugerah yang akan Tuhan siapkan. Hanya butuh percaya dan menunggu waktu yang tepat. Penantian Jevin dan Letta terjawab, untuk segala sakit dan vonis yang tim medis berikan, jika tangan Tuhan sudah bekerja maka tak ada yang bisa menghentikan.

Jevin memang merasakan sukacita besar setelah kembali dari Paris bersama Letta. Kesembuhan Mevin sudah keluarganya dapatkan. Sungguh rasa syukur tiada terhingga Jevin panjatkan kepada Sang Empunya kehidupan. Tapi, semuanya redup saat Mevin memberi kabar bahwa orang tua Grace, Mama Grace telah berpulang. Duka mendalam juga dirasakan oleh keluarga Adrian karena mereka tahu dan paham betul bagaimana kronologi dan kejadian yang dialami Grace. Tapi ini juga menjadi momen kepulangan Grace ke tanah air. Iya, Grace, kekasih saudara kembar Jevin yang Jevinn tolong sepenuh hati, sampai harus berkorban nyawa. Dimana Jevin hanya ingin menyelamatkan Grace agar Grace dan Mevin bisa terus bersama. Sungguh, Jevin selalu berdoa untuk kebahagiaan Grace dan Mevin seterusnya.

Malam ini rumah duka di tanah air langsung dipersiapkan untuk ibadah penghiburan atas kepergian Mama Grace. Sudah ada banyak orang berkumpul di sana. Hiruk pikuk dan suasana sedih serta mencekam sangat terasa. Papa tiri Grace ada di sana menyalami dan duduk bersama para tamu yang melayat, tak jarang beberapa orang juga datang menyalami dan memberikan kata-kata penguatan bagi keluarga Grace. Di peti berwarna putih itu sudah terbaring Mama Grace yang tidak bisa lagi melihat indahnya dunia, tidak bisa melihat suaminya serta ketiga anaknya berkumpul. Kita sebagai manusia juga tidak berhak mengatur garis takdir kapan harus bertemu dan kapan harus berpisah.

Tiba saatnya Grace bertemu dengan keluarga Adrian, semuanya hadir disini tanpa terkecuali. “Grace, anak baik, yang kuat ya nak, ya. Doa terbaik buat Mama dan keluarga yang ditinggalkan. Percaya rencana Tuhan nggak akan salah.” Kalimat yang Jeremy ucapkan saat itu untuk Grace jujur saja membuat Grace terharu tapi Grace tahan air matanya sekuat tenaga, Grace mengangguk dan tersenyum. Papanya dan Papa Mevin itu kembali duduk bersebelahan dan bercengkrama. Tiba saatnya Grace memberi salam dan diberi pelukan oleh Lea, Grace memeluk Lea erat, “Grace anak kuat, terima kasih udah pulang. Terima kasih juga Grace udah sembuh, Mama Grace pasti bangga banget. Jangan khawatir, hidup Grace seterusnya udah ada yang pegang. Tuhan pelihara kehidupan kamu sekeluarga.” Lea berkata sambil mengecup pipi kanan dan kiri Grace.

“Grace ....” Kini giliran Letta yang berdiri di sebelah Jevin memeluk Grace saat Grace berjalan menuju arahnya. “Makasih udah pulang, makasih udah berjuang. Kata sabar mungkin nggak akan cukup buat kamu saat ini, ikhlas ya, ikhlas.” Letta berkata sambil mengusap punggung Grace pelan. Jevin yang ada di sebelahnya juga ikut mengusap punggung Grace. Pelukan direnggangkan, Jevin dan Grace bersalaman dan Jevin mengusap punggung Grace lagi, “yang kuat,” kata Jevin sambil tersenyum.

“Jevin, aku belum sempat bilang terima kasih untuk waktu itu. Terima kasih udah nyelametin aku waktu itu, maaf kamu sampai harus―”

“I’m okay, I did that for you and my twins bro. That’s what brother for,” kata Jevin.

“Jevin, aku tahu gimana tulusnya kamu. Makasih udah jadi saudara yang baik buat Mevin. Letta, Jevin, terima kasih banyak,” kata Grace dengan suara berat sambil menahan tangis mati-matian.

Grace tidak henti berterima kasih. Kini, Grace tiba di hadapan Lauren dan Willy, Lauren yang datang dengan keadaan perut yang semakin besar itu juga memeluk Grace bahkan sempat meneteskan air mata saat memeluk Lauren.

“Yang kuat, ya. Masih ada keluarga, masih ada kita, masih ada Mevin, masih ada dan banyak yang nunggu senyum Grace balik lagi.” Willy berkata sambil mengusap pundak Grace yang tengah berada di pelukan Lauren itu. Lauren memeluk Grace erat, “di dunia ini nggak ada yang abadi, sekalipun kebersamaan dan kehadiran keluarga, Mama udah nggak sakit, Mama udah sembuh, tetep doain Mama, ya? Ada adek-adek, aku tahu gimana rasanya harus kuat disaat kita sendiri hancur, nggak papa kamu jadi kakak kalau di rumah harus kuat nggak papa. Kalau butuh tempat cerita sebagai kakak, just let me know, Grace. I’ll be there, I will always.” Lauren berkata sambil perlahan melepaskan pelukan dan menggenggam tangan Grace. “Makasih, Ko Willy, Ci Lauren. Makasih banyak, nanti boleh ya Grace curhat ke Ci Lauren,” kata Grace sambil memaksakan tersenyum disaat yang berat ini. Lauren mengangguk dan tersenyum, Willy juga memberikan penguatan untuk Grace sebelum Grace berjalan menuju kursi di belakangnya, Mevin di sana, berdiri menyambut Grace dengan senyuman.

Jujur saja, Mevin sudah hampir menangis tapi ia paksakan senyum terbaiknya ia berikan untuk sang kekasih. Grace sampai di hadapan Mevin dengan mata yang berkaca-kaca. Satu tngan Mevin meraih pipi Grace satu tangannya merapikan surai panjang Grace dan menyingkapkannya ke belakang telinga kekasihnya.

“Mevin―”

“Iya, aku disini.” Tangan Mevin pun bergerak turun menggenggam kedua tangan Grace yang dingin. “Makasih udah mau maafin Mama, makasih udah mau kasih tahu aku di Singapore,” kata Grace dengan suara yang mulai bergetar.

“Sayang sama Mama? Ikhlas Mama pulang ke rumah Tuhan?” pertanyaan Mevin membawa Grace melipat bibirnya, menahan dengan sedikit menggigit belah bibirnya yang sudah bergetar itu. Grace mengangguk, tanpa aba-aba Mevin menarik Grace ke dalam dekapannya, Mevin memeluk erat kekasihnya, Grace membalas pelukan itu erat. Hingga sesaat hening karena Mevin merasakan bajunya sedikit diremas oleh Grace.

“Nangis aja, aku disini, jangan ditahan,” kata Mevin berbisik lirih. Benar saja, punggung Grace langsung bergetar hebat, perempuan itu menangis keras di pelukan Mevin, hampir seluruh pelayat dan keluarga langsung menoleh ke arah Grace dan Mevin tapi dengan tatapan sendu. Lauren menggenggam tangan Willy saat mendengar raungan tangis Grace. Letta dirangkul Jevin, Lea sudah ada dalam dekapan Jeremy.

Suara tangisan Grace menggema, kali ini ia lepaskan semua duka dan kesedihan yang membelenggu. Sakit dan pedih hati Mevin, ia teringat ia juga kehilangan sosok Mamanya, bahkan sebelum ia bisa melihatnya dan merasakan kasih sayang Mamanya. Mereka adalah sepasang yang merasakan kehilangan, kehancuran, kerapuhan serta mencandu pilu seumur perjalanan kehidupan mereka. Mevin mencium pipi Grace dan membiarkan kekasihnya menangis sepuasnya dan sekeras-kerasnya di pelukannya.

“Mama .... Mama ....” Tangis Grace kala itu, hingga detik ini, Grace masih tak percaya dengan apa yang terjadi.

“Aku dandanin Mama, pertama dan terakhir kali seumur hidup. Aku beliin Mama dress pertama kali untuk kepulangan Mama selamanya ke rumah Tuhan di Surga ....”

“Mama bangga pasti sama kamu, persembahan terbaik anaknya untuk terakhir kali. Mama kamu pasti bangga, it’s enough sayang, it’s enough, Grace.”

Napas Grace semakin tersengal dan dadanya sesak, Mevin masih setia disana memeluk Grace yang masih membenamkan wajahnya di ceruk lehernya. Sesaat Mevin mengarahkan pandangannya ke peti putih di ruangan itu. Tangannya bergetar, juga kakinya, apakah seperti ini gambaran jika saat itu ia mengantarkan kepergian Mamanya? Bibir Mevin juga ikut bergetar, Mevin meneteskan air mata juga. Diatas apapun, bahkan diatas hari kepergian seseorang, yang lebih mengerikan adalah hari setelah kepergian itu sendiri.

“Nggak kuat, Mevin. Nggak kuat ....” Grace berkata lirih yang hanya bisa didengar oleh Mevin.

Dunia kita akan berubah, ada banyak hal-hal yang hilang. Tidak bisa kita jumpai lagi sosok itu, tidak bisa lagi kita sentuh raganya, kita hanya akan bisa melihat mereka dalam terawang jauh pikiran, bertemu dalam setiap pejam doa, merasakan kehangatan dan kenangan masa lalu itu sebatas saat menyebutkan namanya, tak ada lengan yang memeluk dan merengkuh. Tak ada suara bising yang membangunkan Grace di pagi hari seperti saat ia sekolah dulu, semua keadaan akan berubah, maupun dari hal kecil sekalipun.

Mevin mempererat pelukannya tapi tiba-tiba, BRUKKKK Tubuh lemah Grace jatuh pingsan membuat semua orang panik, tapi Mevin yang di sana langsung sigap menyangga tubuh Grace.

“Grace!” pekik Mevin panik saat itu. Mevin pun langsung membopong tubuh Grace untuk dibawa keluar ruangan.


Hari ini, ibadah pelepasan jenazah dan penutupan peti dilakukan. Saat itu semakin banyak orang berdatangan dengan pakaian nuansa putih dan hitam yang melambangkan dukacita. Keluarga Adrian datang tanpa terkecuali, Lea, Jeremy, Jevin, Letta, Lauren dan juga Willy duduk di kursi yang tak jauh dari Mevin.

Sebelum itu diberikan waktu untuk keluarga inti menyampaikan sesuatu, mulai dari Kevin, Grace dan Rafer. Mereka bertiga diberi waktu, Kevin menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua yang datang dan sudah menyampaikan rasa bela sungkawa untuk istrinya. Untuk semua pihak yang membantu, keluarga, rekan, dan sahabat-sahabat. Kini, tiba saatnya Grace yang berbicara, Grace meraih mic dan berdiri di sebelah peti Mamanya. Peti itu masih terbuka, Grace sempat melihat ke arah Mamanya sejenak sebelum menatap seluruh pelayat yang hadir.

“Saya Grace, putri dari Ibu Maureen. Mama yang melahirkan saya ini memang orang yang hebat dan kuat. Saya mengucapkan terima kasih kepada semua yang menunjukkan kasih untuk Mama saya dan keluarga saya. Masih seperti mimpi, saya masih ingat jelas saat Mama menyusul saya ke Singapore ingin menjemput saya yang melakukan pengobatan disana. Saya bersyukur kepada Tuhan karena disaat terakhir Mama, saya ada di sana, di pelukan Mama. Saya juga paham bagaimana keluarga menyayangi Mama―Papa Kevin, Rafer, juga Florence yang masih kecil. Terima kasih saya ucapkan kepada saudara semua yang sudah menunjukkan kasih kepada Mama saya disaat terakhir seperti ini. Terima kasih atas semua penguatan yang disampaikan. Saya sadar, Tuhan mau Mama pulang ke rumah abadi karena jika Mama tinggal lebih lama akan menyiksa Mama juga, sekarang Mama sudah sembuh. Mama sudah ada di rumah abadinya dimana tidak ada lagi sakit dan ratap tangis di sana. Saya juga yakin Mama melihat saya sekarang, terima kasih Ma... Terima kasih sudah melahirkan Grace, terima kasih sudah melahirkan Grace ke dunia dan menjadi Mama Grace yang kuat,” kata Grace lalu menghela napas dan menyeka air matanya sejenak. Semua yang ada di situ hampir menangis, tidak―sekarang Letta dan Lauren sudah menangis bahkan. Begitu juga dengan kekasihnya, Mevin. Grace mendekat ke arah peti, ia pegang tepian peti itu. “Saya percaya, semua terjadi karena Tuhan baik. Saya tidak khawatir akan kehidupan saya dan keluarga saya ke depannya karena Tuhan kirim orang-orang yang menguatkan saya dan meyakinkan bahwa pengharapan itu tidak akan hilang. Hidup saya dan keluarga saya sudah direnda dan direncanakan Tuhan sampai akhir. Tuhan akan pelihara dan jaga keluarga saya, Tuhan tidak akan biarkan kami semua kelaparan dan jatuh tersungkur. Saya juga bersyukur karena saya tidak ditinggalkan sendiri, ada Papa Kevin, Rafer dan Florence dimana setelah ini saya akan tinggal bersama mereka. Dari Mama saya belajar kekuatan, Mama sembunyikan semua sakitnya dari saya. But, God is good all the time so He takes Mama come back to everlasting home. Saya dan keluarga tidak takut menghadapi dunia ke depannya, Tuhan akan sediakan semua pada waktunya, sampai akhirnya, sampai kita semua kembali pada waktunya.” Grace menyentuh dan membelai rambut Mamanya yang ada di peti.

“Grace sayang Mama, God loves you so do I, Ma. Sampai ketemu di keabadian, Grace sayang Mama.” Kalimat terakhir Grace diucapkan dengan tenang, ia menaruh mic dan kembali duduk di sebelah Mevin, tangan Grace gemetar bukan main. Mevin langsung sentuh dan genggam, ia juga merangkul Grace, membiarkan Grace menangis di pelukannya. Meski tidak se histeris kemarin, tetap saja, itu adalah tangisan pilu.

Hingga ibadah selesai, Mevin jaga tangan Grace dalam tautannya, jemari mereka bersatu tidak Mevin lepaskan meskipun sedang berdoa. Ia paham bagaimana hancurnya hati Grace, saat terakhir melihat Mamanya adalah saat ini. Saat segala tata acara pelepasan jenazah dilakukan, tiba saatnya, momen terpilu yang harus dihadapi, penutupan peti. Saat dimana kita tidak bisa melihat lagi orang yang kita cinta untuk selamanya. Kevin ada di sebelah peti menggendong Florence yang mulai menangis, Rafer ada di sebelahnya, satu tangan Kevin merangkul Rafer. Grace ada di samping Rafer, beberapa petugas dari rumah duka tersebut membawa tutup peti dan mulai menutup peti itu, saat bagian atas hendak ditutup, Grace mencegahnya, tangannya menghalanginya.

“Grace ....” ujar Kevin lirih. Grace masih disana seakan menolak pergi.

“Sebentar, pak,” bisik Kevin kepada salah satu petugas. Sang petugas mengangguk dan menyingkir sesaat membiarkan Grace ada di sana mengamati wajah Mamanya lamat-lamat untuk terakhir kali. Grace menunduk dan terisak, sesaat, Rafer menarik Grace mundur, keduanya saling memeluk, peti ditutup, baut sudah dikencangkan. Tidak bisa lagi mereka lihat sosok Mamanya. Mereka semua yang menyaksikan hal itu juga tidak bisa memungkiri, bahwa kesedihan itu menjalar.

Mevin duduk sendiri terisak, ia teringat Petra, sosok Mamanya. Menyadari hal itu, Lea beranjak dari tempat duduknya, duduk di sebelah Mevin, langsung memeluk Mevin. Mereka berdua juga menangis saat itu. Lagu “God Can Do All Things” serta alunan keyboard lirih mengiringi momen pilu itu.

Mevin tidak berkata apa-apa. Mevin langsung memeluk Lea juga, punggung Mevin juga bergetar hebat. Tak ada kata-kata yang bisa Lea ucapkan lagi, ia salurkan lewat usapan lembut di tubuh Mevin untuk menenangkan anaknya itu.

“Mama Lea harus panjang umur, ya.” Mevin berkata lirih, hal itu justru membuat Lea juga menangis, sungguh, hatinya rapuh, Lea juga pernah mengalami kehilangan saat ia baru saja akan wisuda dan meraih gelar cumlaude. Bahkan gelar itu yang menjadi kado terakhir untuk kedua orang tuanya. Kecelakaan merenggut nyawa kedua orang tua Lea bersamaan, disaat esok harinya ia akan wisuda di universitas. Mevin yang belum pernah melihat sosok Mamanya, Petra, pun juga merasakan duka mendalam.

Ada hal lain yang nampaknya tidak tersorot banyak mata. Jevin yang duduk di sebelah Letta sudah gusar sejak tadi. Letta yang menyadari suaminya tidak bisa tenang pun langsung menggenggam tangan Jevin dan menatap Jevin, bersamaan dengan Jevin yang membawa wajahnya menoleh menatap Letta.

“Sayang, you okay?” tanya Letta pada Jevin. Yang diajak berbicara mencoba mengangguk pelan dan menghela napas panjang. Melihat Grace menangis saat peti ditutup membuat siapa saja yang melihatnya ikut terkoyak hatinya. Sebab, yang dahulu pernah Letta dan Jevin alami juga sama. Satu orang yang menyelamatkan nyawa Letta, juga membuat Jevin mengubah sikapnya yang lama menjadi lebih baik harus pergi selamanya, siapa lagi kalau bukan Eve? Hati setiap orang porak poranda hari ini. Melepas kepergian seseorang memang tidak semudah itu.

Jevin masih belum melepas genggaman tangan Letta, hingga saat peti benar-benar tertutup, Jevin merasa tenggorokannya tercekat, debar jantungnya sangat cepat, kepalanya pusing dan ia merasa sedikit tidak enak di tubuhnya, seperti mual tapi membuatnya lemas juga. Jevin pun bangkit berdiri dan langsung keluar dari ruangan. Jevin merasa sesak napas, langkahnya terseok dan Jevin pun terjatuh di dekat parkiran. Untuk bangun saja rasanya sulit, Jevin memejamkan matanya dan merasakan sesak di dadanya semakin menjadi. Setiap detail kenangan penutupan peti saat kepergian Eve jelas tergambar di pikirannya.

Jevin menangis sendirian, wajahnya memerah menahan rasa mual dan pusing di kepalanya. Letta sedikit kewalahan mencari suaminya itu. Hingga saat mendengar suara tangisan, Letta menghentikan langkah, menoleh ke kanan, diantara beberapa mobil ia melihat Jevin yang bersandar di badan mobil dan menangis sambil memukul dadanya sesekali namun menutup kedua telinganya dengan telapak tangannya. Letta seakan terpaku di tempat tapi ia paksa bawa kakinya sedikit berlari mendekati Jevin. “Sayang, ini aku, Letta. Sayang... kenapa?” tanya Letta lembut, tapi Jevin masih resah dan terus menggeleng cepat, menolak tangan Letta yang berusaha merangkul tubuhnya.

Letta yang berlutut di sebelah Jevin pun terduduk di tanah, menunggu beberapa detik hingga Jevin tenang, selama itu ia hanya mengusap punggung suaminya meski sekarang Letta juga sudah menangis.

“Calm down sayang, calm down, Jevin.” Kalimat itu berulang kali diucapkan Letta hingga akhirnya Jevin memberanikan diri mengangkat wajahnya menatap Letta. Benar saja, mata Jevin sudah merah dan sembab, hidungnya memerah, bibirnya pucat, sangat kacau.

“Lett....” Jevin berucap lirih.

“Ini aku, keinget Eve? Yang tenang, sayang. Yang tenang ya... berdoa dalam hati, it’s okay, it’s okay.” Letta mencoba memberikan senyuman bagi suaminya itu.

Jevin tidak bisa berucap apapun lagi, Jevin luruh dalam pelukan Letta, tak perlu hitungan detik, saat itu juga Jevin meledak dalam tangis. Lara dan duka hinggap di hati dan benak Jevin serta Letta hari ini.

“Aku udah lupa suaranya, aku udah lupa wajahnya, aku nggak bisa inget. Tapi bayangan waktu ibadah tutup peti itu tergambar jelas. Lett, aku takut, bahkan aku bisa denger jelas suara kamu nangis waktu itu. Sakit, takut, Lett aku takut! Letta, aku takut!!” Jerit Jevin sambil mencoba memberontak tapi Letta tetap jaga Jevin dalam dekapannya serta tangannya tak henti mengusap punggung dan kepala suaminya bergantian.

“Arghhh!!” Jevin menjerit lagi hingga dekapan Letta terlepas.

“Jevin!!” pekik Letta sambil berusaha meraih tangan Jevin lagi, keduanya bergelut satu sama lain, Jevin ingin lepaskan pelukan sedangkan Letta ingin jaga Jevin dalam dekapnya. Hingga akhirnya Letta menangkup kedua pipi Jevin dan keduanya saling bertatapan.

“Remember, Eve will always be in our heart.” Satu tangan Letta kini menyentuh dada Jevin. Jujur saja, telapak tangan Letta saja bisa merasakan degup jantung Jevin yang sangat cepat.

Namun, Jevin tak juga tenang, Letta juga merasa sesak dan tak bisa bendung tangisnya, hingga ia merasakan tangan Jevin meremas bajunya erat. “Jangan pergi ya, Lett... jangan tinggalin aku... aku nggak mau, jangan pergi.” Jevin menangis di hadapan Letta sambil mendongak perlahan, Letta tersenyum dan mengangguk, ia usap dahi Jevin dan wajah Jevin yang berpeluh itu lalu ia kecup dahi Jevin beberapa saat. Keduanya kini saling memeluk, pada akhirnya yang masih hidup saling menguatkan, yang sudah pergi akan selalu hidup dalam kenangan.

“Jangan pergi sebelum aku, Letta.” Ucap Jevin di sela tangis keduanya.

Mevin langsung menuju ke kamar untuk memastikan keadaan kekasihnya yang masih terpengaruh alkohol itu. Beberapa kali Mevin mengetuk pintu, akhirnya Grace membukanya. Mata sayu Grace menatap Mevin, Grace hanya langsung menghempaskan tubuh ke pelukan Mevin.

“Kenapa lama?” tanya Grace dengan nada manjanya itu.

“Udah ngebut, buset, kangen banget ya sama aku?” kata Mevin terkekeh.

Grace tersenyum sebentar, “Itu foto tadi, masa foto kita, kamu nggak bohong? Kamu ciuman kali sama mantan kamuuu?!!” raut wajahnya berubah kesal seketika, Grace menjauhkan tubuhnya sesaat namun tubuhnya terhuyung hingga Mevin sigap menangkapnya.

“Susah ngomong sama orang mabok, itu aku sama kamu, sayangku cintaku,” kata Mevin sambil meraih tubuh Grace langsung menggendong kekasihnya itu lalu menutup pintu kamar.

Grace hanya geleng-geleng pelan, tangannya melingkar di leher Mevin.

“Kamu kalau selingkuh aku gebuk kepala kamu pakai galon yaaa Mevinnnn!” nada Grace meninggi namun matanya memejam, sesaat kemudian ia terkekeh. Mevin hanya geleng-geleng dengan tingkah kekasihnya ini.

“Mau bukti?” tanya Mevin sambil menidurkan Grace di ranjang perlahan.

Grace mengangguk.

Maka saat itu juga Mevin langsung menundukkan wajahnya dan mengecup bibir Grace untuk beberapa detik.

“Gini, kan? Percaya?” tanya Mevin.

Such a sweet lips,” kata Grace sambil tersenyum. Kecupan Mevin sudah habis tapi hangatnya masih tersisa di jantung Grace. Membuat degup yang tidak biasa. Pada senyuman indah paras Mevin, Grace tenggelam.

“Mevin?”

“Ya?”

“Mevin, I love you so much,” kata Grace dengan nada lesu. Sedikit aneh rasa hati Grace, hingga kerutan dahi hiasi wajah Grace.

Love you more.

Maka saat hening melanda, Mevin tautkan jari mereka dengan sengaja. Membuat sang pemilik raga saling menatap satu sama lain.

“Mevin―” Grace berkata lirih, tidak ia selesaikan kalimatnya karena kini Grace meraih rahang Mevin dan ia kecup sejenak bibir sang tuan. Mevin saat itu tidak bisa membohongi diri bahwa ia juga terpancing. Lalu dengan sigap, tangan kanan Mevin langsung memegangi rahang Grace dan melanjutkan serta membalas lumatan sang puan. Seketika itu juga keriuhan tenggelam ditelan purnama dan kalah oleh lumatan yang menimbulkan desah yang dibagi berdua diantara cumbu panas keduanya.

“Udah percaya? Itu foto kita, bukan foto sama siapa-siapa, sayang,” ucap Mevin sambil membelai pipi Grace pelan lalu mengecup pipi Grace.

I’m sorry, aku sayang kamu, tapi awas yaaa.. selingkuh… aku bilang Papa Jo, Papa Jeremy, Mama Lea,” rengekan gemas dari Grace dibalas Mevin dengan mengambil posisi berbaring lalu memeluk istrinya itu.

“Iya aduin aja, ngapain selingkuh, istri satu nggak habis-habis.” Mevin berbisik di telinga Grace.

Grace yang masih terpengaruh alkohol terkekeh meracau tapi mencari kehangatan dalam dekapan suaminya itu. Semakin Mevin menjajaki setiap inchi tubuh Grace semakin ia tidak ingin melepaskan Grace. Begitu juga sebaliknya, semakin dirinya dijajak Mevin semakin Grace juga menautkan hati dan perasaannya kepada lelaki ini.

Ruang gerak antara keduanya semakin sempit menghantarkan Mevin mengecup dahi Grace beberapa kali secara singkat. Grace sedikit terkekeh, maka Mevin berikan kecupan di pipi dan ujung hidung Grace. Keduanya saling mengecup bibir untuk beberapa saat dan saling merengkuh dalam peluk. Bergulung di dalam satu selimut, bertukar peluk dan memejam serta menumpahkan semua kelelahan yang dibayarkan dengan satu rengkuhan paling nyaman. Pelukan satu sama lain adalah peraduan paling sempurna. Sang tuan dan puan enggan melepaskan jika sudah bersatu dalam sebuah pelukan. Meski badai silih berganti menemani kehidupan mereka dan perjalanan mereka.

Mevin langsung menuju ke kamar untuk memastikan keadaan kekasihnya yang masih terpengaruh alkohol itu. Beberapa kali Mevin mengetuk pintu, akhirnya Grace membukanya. Mata sayu Grace menatap Mevin, Grace hanya langsung menghempaskan tubuh ke pelukan Mevin.

“Kenapa lama?” tanya Grace dengan nada manjanya itu.

“Udah ngebut, buset, kangen banget ya sama aku?” kata Mevin terkekeh.

Grace tersenyum sebentar, “Itu foto tadi, masa foto kita, kamu nggak bohong? Kamu ciuman kali sama mantan kamuuu?!!” raut wajahnya berubah kesal seketika, Grace menjauhkan tubuhnya sesaat namun tubuhnya terhuyung hingga Mevin sigap menangkapnya.

“Susah ngomong sama orang mabok,” kata Mevin sambil meraih tubuh Grace langsung menggendong kekasihnya itu lalu menutup pintu kamar.

Grace hanya geleng-geleng pelan, tangannya melingkar di leher Mevin.

“Kamu kalau selingkuh aku gebuk kepala kamu pakai galon yaaa Mevinnnn!” nada Grace meninggi namun matanya memejam, sesaat kemudian ia terkekeh. Mevin hanya geleng-geleng dengan tingkah kekasihnya ini.

“Mau bukti?” tanya Mevin sambil menidurkan Grace di ranjang perlahan.

Grace mengangguk.

Maka saat itu juga Mevin langsung menundukkan wajahnya dan mengecup bibir Grace untuk beberapa detik.

“Gini, kan? Percaya?” tanya Mevin.

Such a sweet lips,” kata Grace sambil tersenyum. Kecupan Mevin sudah habis tapi hangatnya masih tersisa di jantung Grace. Membuat degup yang tidak biasa. Pada senyuman indah paras Mevin, Grace tenggelam.

“Mevin?”

“Ya?”

“Mevin, I love you so much,” kata Grace dengan nada lesu. Sedikit aneh rasa hati Grace, hingga kerutan dahi hiasi wajah Grace.

Love you more.

Maka saat hening melanda, Mevin tautkan jari mereka dengan sengaja. Membuat sang pemilik raga saling menatap satu sama lain.

“Mevin―” Grace berkata lirih, tidak ia selesaikan kalimatnya karena kini Grace meraih rahang Mevin dan ia kecup sejenak bibir sang tuan. Mevin saat itu tidak bisa membohongi diri bahwa ia juga terpancing. Lalu dengan sigap, tangan kanan Mevin langsung memegangi rahang Grace dan melanjutkan serta membalas lumatan sang puan. Seketika itu juga keriuhan tenggelam ditelan purnama dan kalah oleh lumatan yang menimbulkan desah yang dibagi berdua diantara cumbu panas keduanya.

“Udah percaya? Itu foto kita, bukan foto sama siapa-siapa, sayang,” ucap Mevin sambil membelai pipi Grace pelan lalu mengecup pipi Grace.

I’m sorry, aku sayang kamu,” rengekan gemas dari Grace dibalas Mevin dengan mengambil posisi berbaring lalu memeluk istrinya itu. Semakin Mevin menjajaki setiap inchi tubuh Grace semakin ia tidak ingin melepaskan Grace. Begitu juga sebaliknya, semakin dirinya dijajak Mevin semakin Grace juga menautkan hati dan perasaannya kepada lelaki ini.

Ruang gerak antara keduanya semakin sempit menghantarkan Mevin mengecup dahi Grace beberapa kali secara singkat. Grace sedikit terkekeh, maka Mevin berikan kecupan di pipi dan ujung hidung Grace. Keduanya saling mengecup bibir untuk beberapa saat dan saling merengkuh dalam peluk. Bergulung di dalam satu selimut, bertukar peluk dan memejam serta menumpahkan semua kelelahan yang dibayarkan dengan satu rengkuhan paling nyaman. Tanpa pikir panjang, Grace pun memeluk Mevin erat. Keduanya diam tanpa berkata sepatah kata pun. Pelukan satu sama lain adalah peraduan paling sempurna. Sang tuan dan puan enggan melepaskan jika sudah bersatu dalam sebuah pelukan. Meski badai silih berganti menemani kehidupan mereka dan perjalanan mereka, sebentar lagi keduanya akan bermuara. Mengisi hari-hari satu sama lain dengan kehadiran masing-masing.

Sudah hampir satu minggu Jeremy tidak pergi bekerja, bukan tanpa alasan, Jeremy mencabut posisi Jevin. Ia gantikan dengan orang lain untuk sementara. Kekecewaan mendalam mengendap di dalam hati Jeremy dan Lea sebagai orang tua yang membesarkan Jevin dengan sepenuh hati, memastikan agar Jevin tidak kekurangan kasih sayang, yang pernah dipatahkan oleh tingkah laku Jevin saat SMA.

Sekarang, harus terulang lagi kemarahan itu disaat Jevin sudah berkeluarga. Dengan orang yang sama, Stella. Kali ini, Jeremy dan Lea berniat mengunjungi Jevin ke rumahnya, pesan yang mereka kirimkan tidak dibalas oleh anaknya itu, hati orang tua mana yang tidak hancur dan cemas? Tiba di rumah Jevin, Letta memencet bel berulang kali tapi tak membuahkan jawaban apapun, akhirnya Jeremy bergerak membuka pintu rumah yang ternyata tidak dikunci itu. Sunyi senyap dengan kondisi lampu yang tidak menyala, berantakan, begitulah kira-kira keadaan kediaman Jevin saat ini.

“Jevin! Jevin!” pekik Lea sambil berjalan cepat mencari keberadaan anaknya itu di rumah Jevin. Saat Lea hendak menaiki tangga untuk menuju kamar Jevin di lantai atas, Jeremy menahan lengan istrinya itu, Jeremy pun berjalan pelan ke arah ruang makan.

Benar saja, Jeremy melihat juntaian kaki anaknya di lantai, Jevin duduk bersandar di tembok ruang makannya, pandangannya kosong ke depan, beberapa barang berserakan di dekatnya.

“Astaga, Jevin!” pekik Jeremy kaget, Jeremy dan Lea langsung mendekat dan menghampiri Jevin tapi anaknya itu masih memandang ke depan dengan tatapan kosong.

“Jevin!” kata Lea dengan nada tinggi, hal itu membawa Jevin menatap Mamanya yang berlutut di sebelah kanannya, Jevin memaksakan senyum, tapi ekor matanya mengeluarkan air mata, mata sembab dan merah tak terhindarkan. Jevin mencoba meraih tangan Mamanya itu, ia bawa punggung tangan Lea menempel di dahinya, tubuh Jevin membungkuk saat ini, hingga saat Jeremy yang di sebelah kiri Jevin mengusap punggung anaknya itu, menggemalah tangisan Jevin seketika, hal itu membuat Lea dan Jeremy kaget bukan main.

Semarah apapun mereka sebagai orang tua kepada Jevin, tapi melihat Jevin rapuh serapuh-rapuhnya seperti ini juga membuat Lea dan Jeremy merasa iba.

“Maafin Jevin, Ma. Maafin Jevin.” Jevin mengulang kalimat yang sama entah berapa kali.

“Angkat wajah kamu, Jev.” Lea bertitah tapi Jevin tetap di posisi itu.

“Jevin!” Nada Lea meninggi, Jevin dengan tubuh yang masih bergetar menangis mencoba memberanikan diri menatap Mamanya itu.

“Maafin Jevin, untuk kesekian kalinya Jevin nyakitin dan ngecewain keluarga, Letta dan juga... Eve...” Satu nama terakhir yang Jevin sebut membuat Lea luruh dalam tangis juga.

“Kamu niatnya aja baik, tapi nggak disertai tindakan yang benar, percuma, Jevin!” Jeremy berkata dengan nada tinggi.

“Jevin takut Pa. Jevin takut kalau Jevin jujur, Letta nggak bisa terima,” kata Jevin sambil menoleh menatap Papanya itu.

Never make assumptions towards someone’s feeling, kamu bahkan belum coba ngomong ke Letta!” bentak Jeremy sambil bangkit berdiri. Hal itu cukup membuat Lea dan Jevin kaget.

“Bayangin hancurnya Mama sama Papa, wanita yang udah pernah jatuh ke lubang dosa sama kamu datang lagi dan bikin orang lain terseret di masalah ini, Letta.” Jeremy menegaskan sekali lagi.

“Jevin, dalam hidup, biarlah kebenaran itu terbukti walaupun sakit. Begitu juga tentang kamu sama Letta, kamu harus jujur, apapun reaksi Letta nanti, yang penting kamu jujur, nggak menutupi semua dengan kebohongan yang berlipat.” Lea mencoba mengusap punggung anaknya itu.

“Papa besarin dan didik kamu bukan untuk jadi seorang pembohong! Bukan untuk hal seperti ini! Apa harus nunggu pergi dulu apa harus nunggu hilang dulu kayak gini biar kamu sadar? Kehilangan Eve belum cukup, nak? Kamu sakitin Letta lagi? Belum cukup?! Istri nggak dianter kontrol malah kemana kamu? Letta itu butuh ditemani, bukan ditinggal!” ujar Jeremy penuh kemarahan lalu menggebrak meja makan Jevin. Lea memejam dan tersentak kaget begitu juga dengan Jevin saat ini.

Kali ini Jevin berada di titik terendah dalam hidupnya lagi, benar adanya jika ia menyakiti Letta, berarti juga ia menyakiti mendiang Eve, yang sudah menitipkan Letta dan Jevin untuk menjaga satu sama lain. Jevin tidak bisa berbagi keluh kesah dengan Mevin karena keadaan Mevin yang masih terpukul atas keadaan yang menimpanya, Lauren yang sudah berumah tangga yang juga sedang fokus ke kehamilannya, saat itu juga Jevin teringat bagaimana keadaannya saat semua baik-baik saja. Bagaimana harmonisnya keluarga besarnya terutama pernikahannya dengan Letta.

“Apa yang udah hilang dari Jevin selama ini? Coba lihat, Letta, kepercayaan Mama dan Papa, kepercayaan Letta, moment berharga kamu sama Letta juga hilang, kan? Kurang banyak yang hilang, Jevin?!” kata Jeremy disertai amarah yang memuncak kali ini. Lagi dan lagi, Jevin berlutut di depan Papanya itu lalu meminta ampun, bersimpuh menangis tersedu hingga untuk berbicara saja ia terbata-bata.

“Harus apa lagi yang hilang?” kata Jeremy.

“Maaf Pa.. ma..af...” dalam simpuhnya, Jevin memohon ampun kepada Papanya.

“Kalau kamu jujur ke Letta mungkin nggak akan jadi begini, insiden Grace kemarin udah cukup bikin keluarga kita terpukul jangan ada lagi kalau bisa, tapi sekarang Tuhan tegur lagi kamu dengan kejadian ini. Kalau Jevin jujur ke Letta nggak akan pikiran Letta sesempit itu, asalkan Jevin jujur, Nak. Jevin, kamu bukan nggak percaya sama Letta tapi nggak percaya sama diri sendiri.” Kalimat Lea membuat Jevin mengangkat tubuhnya, ia berdiri di hadapan Lea dan langsung memeluk mamanya itu.

“Ma... Jevin salah, I admit that I’m totally wrong in this case,” tangis Jevin di pelukan Mamanya nyatanya membuat Jeremy juga meneteskan air mata. Lea tidak membalas pelukan anaknya, Lea masih mengatur napas dan menetralkan emosinya.

“Kamu tahu, Jevin, yang bawa Letta pergi siapa?” Suara Lea kini membuat Jevin merenggangkan pelukan. Jevin menggeleng pelan. “Kamu mau tahu siapa yang bawa Letta?” tanya Jeremy dengan ketus, Jevin pun menoleh ke arah Papanya itu, “Suaminya Stella, Jack yang ajak Letta kerjasama yang kasih kerjaan ke Letta, yang selalu nolongin Letta di Rumah Sakit selagi kamu nggak peduli sama istri kamu.”