Kali ini, Jevin menuju ke Rumah Sakit seorang diri. Usai menjemput Letta dan Eugene, Jevin membawa mereka pulang ke rumah untuk beristirahat dan berniat keesokan harinya mengajak anak dan istrinya untuk menjenguk Papanya. Tapi, saat Jevin tiba di Rumah Sakit, Lauren sudah menunggu di ambang pintu ruangan masuk Rumah Sakit. Pandangan Lauren tidak ramah dan tidak teduh, Jevin menghentikan langkah saat ada beberapa meter berjarak dari Lauren. Hingga akhirnya Lauren yang berjalan mendekati Jevin, menarik tangan Jevin ke sudut area parkir yang sepi.
“Ci, kenapa, sih?” tanya Jevin sedikit membentak.
Lauren menghempaskan tangan Jevin kasar, menatap Jevin dengan mata yang memicing, lalu berjalan mendekat ke tubuh adiknya itu, “bikin ulah apa lagi?” katanya dengan nada penuh penekanan.
Jevin terbelalak, bagaimana kakaknya bisa mengetahui yang terjadi? Jevin masih diam seribu bahasa, sedikit kikuk saat Lauren mulai berkaca-kaca.
“Gila lo ya? Mama nangis waktu jagain Papa, untung ada gue yang dateng, gue lihat apa yang lo bilang ke Mama. Belum cukup? Selama ini belum cukup, Jev?!”
“Ci ...”
“Dari dulu, selalu bikin semua orang sedih. Dari waktu kita masih sekolah, lo hancurin hati Mevin dulu yang pertama, terus apa yang lo lakuin sama Stella dulu hancurin hati kita sekeluarga, terus setelah itu ulah lo yang lain. Setelah nikah, urusan sama Stella sampai sekeluarga harus turun tangan, gue kira itu yang terakhir. Sekarang apa lagi? Apa lagi ini, gue tanya sama lo! Letta kurang sabar apa sama lo? Letta kurang baik dan kurang tegar apa jadi istri? Kantor Papa lagi nggak baik-baik aja, kan? Something wrong sama jantungnya Papa yang bikin Papa perlu pengobatan khusus. Mama? Pasti udah hancur dan kepikiran Papa, jangan nambahin apa-apa lagi, jangan... bisa nggak sih, Dek?!” kali ini Lauren benar-benar marah, wajahnya merah padam, matanya sudah berair, sekalipun bibirnya pun bergetar dalam menyampaikan kalimatnya, Lauren berusaha mengatur emosinya yang sebenarnya sudah ingin meledak lebih dari ini.
Lauren melangkah sekali lagi mendekat ke arah Jevin yang masih tertunduk tanpa kata.
“Gue ini kakak lo, gue ini kakak lo sama Mevin, gue kepikiran kalau ada apa-apa sama kalian. Gue nggak tahu mau ngadu ke siapa kalau ada apa-apa sama keluarga ini. Gue mohon sama lo, Jev ... gue mohon jangan ada hal buruk yang terjadi lagi,” kata Lauren lagi, kini ia tertunduk, memukul dada Jevin dengan kepalan tangan.
Yang diberi perlakuan tidak berkutik, tapi mata Jevin sudah panas karena air mata mengantre keluar dari pelupuk matanya.
“Ci, maafin gue ... Ci...” suara Jevin lirih terdengar.
Tangan Lauren terangkat lagi hendak mendarat di dada Jevin, tapi seseorang menahan tangan Lauren, membuat Jevin dan Lauren menoleh saat itu juga.
“Jangan berantem, gue mohon.” Mevin pemilik suara itu, Mevin ada di sana menengahi kedua saudaranya.
“Ci, Jev, jangan kayak gini.” Mevin berkata dengan nada memohon. Lauren pun perlahan melepaskan tangannya yang Mevin genggam.
Mevin menatap satu per satu antara Jevin dan Lauren bergantian, “Cici jangan emosi, ya? Dan lo, Jev, please be wise when doing something, I beg you. Papa mau dirujuk ke Rumah Sakit lain besok. Cici, please pretend like nothing happened di depan Papa. Jevin, gue rasa lo cukup dewasa dan bijak untuk selesaikan semua sama Letta. Cici dan Jevin, dan gue juga, kita harus kuatin Mama juga, gue tahu kantor lagi nggak baik-baik aja, kan? Apalagi Mama, babak belur hatinya, jangan nambah beban apapun. Kesembuhan Papa penting sekarang, bisa kan?” katanya.
Lauren langsung menangis, seketika semua lupa cara tersenyum, Lauren menutup wajahnya dengan telapak tangannya, “gue nggak mau Papa kenapa-kenapa, Papa harus sehat lagi,” tangisnya. Jevin yang ada di depannya langsung menarik Lauren ke pelukan, saat itu juga Lauren pecah dalam tangis, disusul Mevin yang mengusap punggung Lauren. Mau bagaimanapun, ketiganya tetap saudara yang dibesarkan dari kecil dengan kasih sayang dan didikan yang sama. Luka dan suka dipikul bersama.
“Gue mau Papa sembuh, gue mau keluarga kita dan semua keadaan kita baik-baik aja,” kata Lauren di sela tangisnya.
“Maafin gue ya Mev, Ci. Gue yang paling banyak bikin masalah, even setelah dewasa pun gue banyak bikin keluarga ini capek,” ujar Jevin sambil menyeka air matanya sendiri dengan satu tangannya, sedang satu tangannya yang lain masih menepuk pelan punggung Lauren. Saat itu juga Mevin memeluk kedua saudaranya itu, memeluklah mereka bertiga dengan perasaan dan doa yang dipanjatkan dalam setiap bulir air mata yang jatuh.
“Kuat-kuat kita, buat Mama, buat Papa dan semuanya. Yang kuat, gue yakin Tuhan lagi uji keluarga kita, gue yakin juga setelah ini ada rencana Tuhan yang lain buat kita sekeluarga,” kata Mevin.
Kekhawatiran dan kesedihan mereka bertiga tepis sejenak, hapus air mata bersamaan tak menjamin mata mereka bisa berbohong usai menangis. Jevin, Mevin dan Lauren pun saling tersenyum haru satu sama lain lalu masuk ke Rumah Sakit bersamaan menuju ruang rawat Papa mereka.
Tiba di ruang rawat, Mama mereka sudah berdiri di ambang pintu, Lea langsung bergegas menghampiri ketiga anaknya, wajahnya sedikit pucat dan panik seakan menunggu sesuatu dengan perasaan tidak tenang.
“Mama kenapa?” tanya Lauren.
“Papa katanya mau ketemu Jevin,” kata Lea. Jantung Jevin langsung berdegup kencang, melihat raut wajah Mamanya yang mengisyaratkan bahwa keadaan tidak baik-baik saja membuatnya semakin cemas. Jevin melangkah cepat dan masuk ke ruangan itu sementara Lea, Mevin dan Lauren menunggu di luar.
Beberapa tahun lalu ....
“Makasih kakak udah wujudin keinginan Eve buat punya buku sendiri.” Eve menarik kedua ujung bibirnya, matanya pun sama berkaca kaca dengan Jevin saat ini. Eve masih di posisi berbaring dengan beberapa alat menempel di tubuhnya. Eve mengalami kecelakaan saat di perjalanan, dan kali ini kondisi Eve memang tidak baik-baik saja.
“Iya, you deserve it, sayang. Sembuh, ya? Kuat, ya?” Jevin mengecup kening Eve.
“Kak,” kata Eve yang terhenti saat hearing aidnya terlepas begitu saja karena menoleh memandangi wajah Jevin.
Eve menggerakkan satu tangannya perlahan, menaruhnya di depan dada, lalu menyilang, dan berakhir menunjuk Jevin. Aku sayang kamu, artinya. Jevin menangis terisak saat itu juga. Sign language yang Eve berikan membuat hati Jevin hancur. Ia pun memeluk kekasihnya seakan mengatakan semua akan baik-baik saja. “Aku juga sayang kamu, sayang banget, Eve hebat, Eve baik,” ucap Jevin diiringi suaranya yang parau meski hal itu tidak akan bisa didengar Eve.
“Kak Jevin ...” Suara Eve bertambah lirih. Kalimat itu Eve rapalkan dengan napas yang semakin berat.
“Please, bertahan, ya, Ve. Kali ini aku mohon.”
Jevin merasakan Eve memeluknya sedikit lebih erat,
“Kak Jevin―”
“Iya, Sayang?” tanya Jevin. Kemudian hening. “Kenapa? Eve?”
Jevin merasakan tangan Eve tidak memeluknya lagi. Perlahan Jevin merenggangkan pelukan. Dilihatnya Eve sudah menutup matanya. “Eve.” Jevin menggoyang pelan tubuh Eve, tetapi tidak ada respons. “Sayang? Ve?” Jevin menggenggam tangan kekasihnya, tangan itu mulai dingin.
“Eve!!” Jevin tidak bisa menahan isak tangis histerisnya. Ia memeluk tubuh Eve yang sudah tidak berdaya dengan sesekali menggoyangkan tubuh itu. Air mata Jevin langsung tumpah tanpa komando. Air matanya baru tumpah kali ini, melepas kepergian dermaga hatinya untuk selamanya, bersama seluruh harap dan asa yang hanya akan menjadi semu belaka.
Ayah, Bunda, Efraim bahkan Letta juga yang langsung menyusul ke sana yang berada di luar ruangan terkejut mendengar teriakan Jevin lalu mereka bergegas memasuki ruangan. Letta langsung menarik tubuh Jevin.
Alex dan Anne kedua orang tua Eve melihat monitor di sebelah tubuh Eve menunjukkan garis lurus. Semua tidak bisa membendung air mata mereka. Alex teringat belasan tahun seakan tidak bisa menerima kehadiran Eve, memandang anaknya itu sebelah mata, Alex jelas mengingat bagaimana ia mengabaikan anak pertamanya itu. Sesal bermukim di dalam hati Alex kali ini. Anne langsung jatuh berlutut tersungkur di sebelah ranjang Eve, meraung menangis keras-keras bahkan hingga pingsan di pelukan Efraim. Sementara Alex masih berada di sana masih berlutut sambil menggenggam tangan anaknya yang sudah tak bernyawa itu.
Sementara Jevin masih histeris meneriakkan nama Eve dan meminta wanita itu untuk membuka mata. Ia mengabaikan kehadiran Letta. “Eve, nggak boleh pergi! Nggak boleh!” Jevin masih berusaha meraih tubuh Eve, tetapi dihalangi oleh Letta yang menahannya.
“Lett! Eve pasti bangun, kan?! Gue udah janji mau serius sama dia! Iya, kan Eve bangun kan?!” Jevin semakin menjadi dalam kenyataan yang harus ia terima ini. Ia bersimpuh di dekat brankar rumah sakit sambil terus memandangi tubuh kekasihnya yang tidak akan bangun lagi. Jevin luruh dalam tangisnya kala menyaksikan dokter dan suster melepas satu persatu alat yang menempel pada tubuh Eve.
“Jev, yang ikhlas. Ikhlasin.” Letta merangkul Jevin dan menangis juga di sana.
Jevin masih terus menangis memandangi tubuh kekasihnya yang sudah tidak bernyawa. Mata Eve sudah terpejam dan tidak akan pernah terbuka kembali. Tangisan Jevin dan Letta pecah di situ. Ayah, bunda dan Efra saling memeluk dan tidak bisa menahan tangis melihat Eve yang ceria sudah mengakhiri pertandingan dalam hidupnya di hari bahagia dalam hidupnya, hari yang sudah lama Eve nantikan.
Jevin merasa seperti ditusuk pisau di sekujur tubuhnya. Hanya sakit yang ia rasakan. Kebahagiaan yang selama ini ia cari harus hilang. Jevin harus kehilangan setelah ia menemukan. Harapannya pupus semua mimpinya yang sudah ia rajut dengan Eve harus terhenti di sini. Tidak ada tangan yang bisa ia genggam lagi, tidak ada tawa yang menghiasi hari-harinya lagi, tubuh yang biasa ia peluk kini sudah pergi.
Jevin harus menerima kenyataan, bahwa ia harus kehilangan seseorang yang berpengaruh dalam hidupnya, seperti ada sesuatu dari bagian hidupnya yang hilang dalam sekejap. Posisi Eve di hati Jevin dan yang lain tidak akan terganti. Semua momen kebersamaan bersama Eve terlintas dalam pikiran Jevin saat ini.
Raga Jevin dan Eve tidak lagi bersama, tetapi mereka masih bisa bertemu dalam doa dan mimpi. Eve sudah mempunyai tempat tersendiri di relung hati Jevin. Kehilangan yang tiba-tiba, tidak ada yang siap menerimanya. Jevin menyayangi Eve dalam keadaan apa pun. Namun, setiap pertemuan pasti akan menghadapi perpisahan. Tidak ada yang abadi.
Jevin melepaskan pelukan Letta, ia kembali mendekat memandangi kekasihnya yang tampak seperti sedang tertidur dengan senyum yang indah. Jevin hanya manusia biasa yang tidak bisa melawan takdir walaupun ia tidak bisa menerimanya. Sekali pun Jevin menginginkan kehadiran Eve kembali, itu tidak akan bisa. Jevin harus siap melepaskan dan merelakan. Mereka hanya sejauh doa. Hanya raga mereka yang terpisah. Bahkan, sampai napas terakhir Eve pun ia masih mencintai Jevin.
Saat brankar rumah sakit itu didorong keluar dari ruangan itu oleh beberapa perawat, Jevin menghardiknya. Tangis dan teriakan Jevin beradu kala itu. Untuk terakhir kali dengan sepenuh hati. “Sampai jumpa di keabadian, Genevieve Agatha Elizabeth.” Jevin berkata lirih nyaris tak terdengar lalu mengecup punggung tangan yang sudah mulai dingin itu, luruh hancur seluruh dalam mengiring kepergian kala itu. Hati sungguh tak bisa mendustai, hancur saat itu, yang dicinta tak akan pernah kembali. Eve masih menjadi sebaik-baiknya tujuan hati Jevin bermuara, kemanakah hati Jevin harus berlabuh setelah ini? Kepada siapa Jevin harus mengadu rengkuh? Jevin mencintai Eve dengan cara yang tak biasa, begitu juga dengan Eve yang mencintai Jevin dengan luar biasa.
Napas terakhir perempuan cantik bernama Genevieve Agatha Elizabeth, berembus hari ini. Selamat jalan, Eve.
Saat ini ....
Jevin melangkah masuk melihat Papanya masih terbaring lemah, Jevin mendekat dan duduk di kursi tepat di sebelah tempat tidur Papanya. Jeremy langsung tersenyum saat melihat Jevin di sana. Jevin tak bisa sembunyikan kesedihan, matanya masih merah dan berair, Jevin juga membalas senyuman Papanya itu.
“Papa, cepet sembuh, ya. Papa jangan banyak pikiran.” Jevin berkata meski dengan sedikit malu. Malu karena selama ini ia adalah sumber masalah di keluarga ini, Jeremy belum menjawab apapun tapi Jevin sudah tertunduk, perlahan menangis tanpa suara.
“Kamu sama Letta baik-baik aja?” tanya Jeremy yang membuat Jevin mengangkat wajahnya menatap Papanya heran.
“Papa nggak mau ada perceraian di keluarga kita. Papa nggak mau kalau dengar kabar perpisahan dari keluarga anak-anak Papa,” kata Jeremy lagi.
“Pa...”
“Jevin anak baik, Papa berulang kali dibuat bangga sama perubahan baik Jevin. Papa selalu berdoa biar Jevin selalu diberkati dalam kehidupan, Jevin harus jadi pemimpin di kantor yang bijaksana ya. Jangan takut kalau Jevin nggak bikin salah, kebohongan sekecil apapun yang orang-orang sembunyikan pasti bakalan terbongkar. Semua orang, termasuk kita. Semua hal yang udah terjadi sama Jevin sampai detik ini semoga bikin kamu ngerti kalau kehidupan selalu berubah. Jangan sakiti siapapun lagi, ya?” ujar Jeremy dengan suara beratnya. Jevin tertunduk lagi, menggenggam tangan Papanya dan menangis terisak di sana.
“Jevin harus jadi Ayah yang baik buat anak-anak, harus jadi pemimpin yang baik di kantor, harus jadi saudara yang baik dan care satu sama lain buat Cici sama Mevin, juga suami yang bertanggung jawab buat Letta. Wanita yang udah kamu pilih buat jadi teman sepanjang usia, sampai maut memisahkan. Jaga kepercayaannya.” Kalimat Jeremy membawa Jevin turun dari kursinya, bersimpuh di sebelah Jeremy sambil menggenggam tangan Papanya.
“Maafin Jevin ... Maafin Jevin, Pa...” tangis Jevin yang sebenarnya bisa didengar Mevin, Lauren dan juga Lea di luar sana karena Jevin membiarkan pintu ruangan itu terbuka sedikit.
Lea sudah menangis di pelukan Mevin, lagi dan lagi ketegaran Lauren sebagai anak pertama diuji, tak Lauren biarkan air matanya menetes tapi matanya sudah berkaca-kaca lagi. Mevin tak henti menenangkan Mamanya meski hatinya juga hancur.
“Mama takut... Mama nggak mau Papa kenapa-kenapa,” kata Lea di sela tangisnya.
“Papa pasti sembuh, Ma. Yakin, percaya semua yang terjadi itu baik kalau semua dari Tuhan.” Lauren masih terus coba tenangkan Mamanya itu.
“Jevin minta maaf sama Papa, Jevin minta maaf, Pa. Jevin selalu jadi yang bikin ulah di keluarga ini dari dulu. Papa harus sembuh, ya... ya, Pa?” kata Jevin dengan suaranya yang bergetar lalu menatap Papanya. Sementara itu yang Jevin lihat adalah satu tangan Papanya memegangi dada dan merintih sakit.
“Pa..” seketika Jevin gemetar bukan main teringat saat ia harus melepas kepergian Eve selamanya di pelukannya.
Jevin langsung merasa sesak di dadanya, keringat juga bercucuran di wajah Jevin. Tak ragu, Jevin memencet bel yang ada di tembok.
“Papa, Pa,” Jevin juga menjadi panik. Saat itu juga bersamaan dokter yang menangani Jeremy datang, juga tangisan dan kepanikan Jevin membuat Lea, Mevin dan Lauren masuk ke sana.
“Sayang, kenapa? Sayang!” tangis Lea tak terbendung saat melihat suaminya merintih kesakitan. Perawat meminta semua menunggu di luar, akhirnya mereka berempat menunggu di luar. Jevin langsung menghantam tembok dengan kepalan tangannya, hal itu dicegah Mevin, saudara kembar Jevin itu langsung mencengkeram kedua bahu Jevin tapi Jevin terus memberontak, percobaan memberontak selanjutnya membuat Mevin geram dan Mevin memekik nama Jevin lantang.
“Jangan ribut.. udah, Jevin, Mevin, udah Nak, udah.” Lea memohon sambil melerai kedua anaknya itu.
Dada Jevin masih naik turun, saling memandang tajam dengan Mevin, sementara Lea berusaha menengahi dibantu Lauren.
Saat itu juga semuanya terdiam, hanya ada tangisan tanpa suara yang mereka masing-masing tahan.
“Nyesek banget rasanya setiap lihat ada orang terdekat yang sakit. Trauma gimana Eve pergi selamanya di pelukan Jevin itu masih teringat jelas. Setiap ada yang sakit di keluarga kita, sebenernya Jevin ketrigger, Jevin takut, banyak ketakutan. Dan tadi bener-bener bayangan kehilangan itu datengin Jevin lagi, Papa harus sembuh!” Jevin berkata dengan nada tinggi diiringi derai air mata, Jevin langsung berbalik badan dan membenturkan kepalanya ke tembok, hal itu langsung dicegah Lauren, Lea dan Mevin. Terutama Mevin yang ada di sana, Mevin langsung membekukan Jevin, menarik tubuh Jevin dan menghantamkan pelan punggung Jevin ke tembok. Sementara Lea ditahan Lauren di pelukannya.
“Lo denger ya, kita semua juga hancur, tapi gue mohon jangan nyakitin diri lo sendiri. Ya? Kita sama-sama harus kuat. Kenangan itu emang nggak menjamin bisa hilang bahkan sampai kita pergi selamanya nanti, tapi, dunia harus terus berjalan, semua rasa sakit harus dilawan pelan-pelan. Jangan nyakitin diri sendiri. Jev, kita semua butuh lo, Letta, Eugene, dan calon anak kedua lo. Inget itu,” kata Mevin, nyatanya itu membuat Jevin lumpuh seketika, Jevin terjatuh terduduk ke lantai, menangis sambil memeluk lututnya yang ia lipat sendiri. Tepukan pelan di punggung dan pundak Jevin bergantian nyatanya jadi sedikit penenang bagi Jevin. Tapi saat Jevin sudah sedikit tenang, tiba-tiba Lauren menjerit, “mama!”
Mevin dan Jevin refleks menoleh, Lea sudah pingsan di pelukan Lauren.