awnyaii

Jovian tahu ia ada di persimpangan jalan―bahagia karena pernikahan pura-pura ini yang ia lakoni dengan Petra. Dalam hatinya masih sering memekikkan nama Lea namun semua perhatian yang Petra berikan juga kadang membuat Jovian terenyuh. Malam ini karena kedua orang tua Petra menginap di kediaman Jovian dan Petra maka tidak ada pilihan lain untuk mereka kecuali tidur di satu ranjang untuk dua malam ini. Petra memosisikan diri memunggungi Jovian, malam ini hujan deras mengguyur dan hawa menjadi lebih dingin dari biasanya. Gemuruh di langit menyapa keduanya, Petra yang memiliki ketakutan dan kekhawatiran akan hujan dan gelap menjadi was-was.

“Petra, udah tidur?” tanya Jovian yang hanya dibalas gelengan kepala dari Petra.

Tiba-tiba kilat menyambar dan diiringi gemuruh di langit, lampu mati seketika.

“Aaaaa!” Petra memekik nyaring dan refleks membalikkan badannya yang langsung disambut Jovian, keduanya kini ada dalam satu rengkuh.

“Nggak papa, jangan takut, ya?” kata Jovian, Petra tidak berkutik ia hanya mendekap Jovian dan meremas sedikit kaos Jovian. Wanita itu membenamkan wajahnya di dada bidang Jovian saat bunyi guntur kencang terdengar, digenggamnya lebih erat baju pria yang tengah dalam pelukannya itu Petra nampak ketakutan, Jovian menggeser tubuhnya hingga tidak berjarak dengan Petra.

“Kalau kaya gini anggep aku suami kamu beneran yang bisa lindungin kamu. Daripada ketakutan,” ujar Jovian sambil mengecup puncak kepala Petra lalu mengelus punggung wanita dalam dekapnya itu.

“Hangat,” batin Petra.

“It’s okay I’m here,” kata Jovian. Diluar sana bunyi gemuruh petir dan hujan deras serta angin kencang beradu memecah hening.

“Kalau takut harus dilawan, lama-lama juga terbiasa,” lanjut Jovian

“Kalau sendiri takut, kalau ada kamu enggak.”

“Kok gitu?”

“Ya karena ada kamu.”

“Kalau besok-besok nggak ada aku gimana?” tanya Jovian.

“Nggak tahu,” balas Petra lirih.

“Ra, harus dilawan rasa takutnya, come on, sini coba,” Jovian berkata dengan lembut dan meraih tangan Petra yang masih meremat kaosnya, ia membawa jemari lembut itu ke wajahnya.

“Coba sebutin mana mata, hidung, pipiku, bisa nggak?” bisik Jovian, Petra bingung dibuatnya.

“Hah?” tanya Petra lirih.

“Cepet cobain, raba wajahku, mata kamu jangan merem, buka mata aja, toh kamu mau tutup atau buka mata tetep gelap,” perintah Jovian.

“Nggak mau, takut!”

“Yaudah bentar aku nyalain lilin dulu.”

“Jangan tinggalin akunya!”

Jovian terkekeh, “Serba salah, terus gimana? Sebentar aja.” “Y…yaudah.” Akhirnya Jovian beranjak mengambil lilin aromaterapi dan menyalakannya, dua lilin itu dibiarkan menyala di meja sebelah ranjang mereka. “Buka mata, Petra.” Perintah Jovian, sedikit demi sedikit Petra membuka matanya. Dalam remangnya ia bisa melihat Jovian berdiri di sana.

“Kok nyalain scented candle?”

“Biar enak, biar kamunya nyaman,” kata Jovian sambil merangkak ke tempat tidur lagi. Ia menghampiri Petra lagi dan memeluknya

“My first hug from you as husband and wife.” Suara itu menusuk telinga Jovian dan membuatnya melihat mata Petra yang sedikit berkaca kaca. Jovian mendekapnya lagi, pria itu bisa merasakan detak jantung Petra yang tidak karuan. Jovian menghela nafas lalu mendekap istrinya dan menepuk nepuk pundak Petra. Sedikit tertohok dengan ucapan Petra membuat Jovian dan pikirannya berkelana. Memang benar selama menjalin hubungan ini memang Jovian bahkan tidak pernah memberikan physical touch kepada Petra.

“Walaupun pura-pura tapi ini nyaman, Jov,” kata Petra lembut.

“Harus banget ada kata pura-puranya?” tanya Jovian dengan nada sedikit kesal.

“Kalau kura-kura nanti keras soalnya ada cangkangnya,” celoteh Petra.

Jovian menjitak kepala Petra, “Akh! Sakit, Jopian!” rintih Petra sedikit merengek, Jovian terkekeh lalu kembali melayangkan peluk lagi, tubuh Petra terengkuh sempurna dalam dekap Jovian.

“Lucu,” ucap Jovian lembut. Tangannya tidak berhenti menepuk punggung Petra pelan dan membelai surai Petra juga.

“Tapi aku bukan komeng,” balas Petra lagi. Ternyata semenyenangkan ini percakapan sederhana mereka.

“Sini coba lihat aku sekarang.” Jovian menarik dagu Petra dan menatap mata teduh itu dalam remang.

“Nggak jelas muka kamunya,” kata Petra.

“Tapi kamu masih ngerti kan mana mataku, pipiku, man―” belum sempat Jovian menyelesaikan kalimatnya, Petra dengan mata terpejam melayangkan tangannya ke wajah Jovian dan mendarat dengan lembut.

“Ini matanya Jo, ini pipinya...” kata Petra sambil bergantian menyentuh mata dan pipi pria yang mendekapnya.

“Ini hidungnya, ini bibirnya,” katanya lagi. Jovian menahan pergelangan tangan Petra.

“Gelap nggak semenakutkan itu kan?” tanya Jovian menghela napas lalu menatap Petra dalam pelukannya.

“Aku kan udah bilang, as long as ada kamu, aku maunya ada kamu, Jovian.” Jovian bergeming lalu tersenyum setelahnya.

“Jov, peluk lagi boleh?” pertanyaan Petra dibalas rengkuh yang langsung diberikan Jovian pada wanita itu.

“Jovian, I understand that this relationship was wrong but I want to you know that I never feel any regret because of this situation, even I know that you’re still thinking about Lea.”

“I just feel bad to her.”

“Are you afraid to hurt her or to loose her?” Jovian menghela napas panjang, “Keduanya aku udah rasain.”

“But you should move on from her.”

Still hurt and hard for me. Aku nyakitin kamu juga, Ra.” Tangan petra melingkar di perut Jovian dan sedikit menggeliatkan badannya lebih dekat dengan Jovian. “Yas, i know. We’d probably be just another stranger to each other after this.”

“Petra, aku juga lagi membiasakan diri tanpa Lea. Hubunganku sama Lea terjalin lama, and I leave her. And now I know dia juga udah punya pendamping hidup. Butuh waktu dan proses.”

“Yaudah aku bantu proses kamu lupain Lea.” Netra keduanya beradu disaat bersamaan Petra yang mendongak dan Jovian yang sedikit menunduk. Keduanya saling menatap mempertanyakan pertanyaan, kita memang tidak punya kuasa untuk menentukan kepada siapa hati ini berlabuh. Tubuh mungil Petra dalam pelukan Jovian sebenarnya meronta dalam hatinya, teriris batinnya, isi pikirannya berserakan. Sebuah senyum diberikan Jovian kepada Petra saat itu, tidak dengan gelengan ataupun anggukan kepala atas kalimat Petra sebelumnya. Rinai hujan di luar sana belum bisa menghapus bayang Lea nampaknya dari hati Jovian, akankah Petra menjadi bagian dari apa yang Jovian genggam?

“Jovian,” kata Petra lagi.

“Jangan pernah punya perasaan sama laki-laki brengsek kaya aku. Kalaupun harus punya perasaan, biar aku aja ke kamu, jangan habisin air mata dan perasaan kamu buat bajingan kayak aku, Ra.”

“Kamu nggak punya kuasa untuk larang kepada siapa aku menjatuhkan hati.” Petra membelai pipi Jovian. Karena memang Jovian tidak pernah tahu bagaimana berharganya ia untuk Petra. Namun jauh dari ketidakpedulian dan kecuekan Jovian terhadap Petra kadang Jovian merasa cemburu akan kehadiran Vedrick. Jauh di dalam diamnya kadang Jovian juga tidak bisa melakukan sesuatu tanpa bantuan Petra. Lisan dan hati kadang memang tidak pernah berkesinambungan.

Akhirnya malam itu Jovian dan Petra hanya hanyut dalam dekap untuk pertama kali selama ini. Tak ada kata yang mencuat dari keduanya. Ada perasaan yang disimpan dengan baik hingga tak pernah pudar. Petra memang tahu Jovian masih ada disana bermukim dalam rasa sesalnya terhadap Lea namun Petra juga tidak mau menyiksa dirinya sendiri. Ia bukan tipikal yang mengemis untuk meminta hati Jovian, ia hanya melakoni peran dalam pernikahan pura-pura ini. Setelah itu jika Jovian tidak mencintainya dan berujung perpisahan pun bukan masalah untuknya.

“Lah dipeluk doang bisa tidur, ck.” decak Jovian yang menyadari Petra sudah terlelap dalam pelukannya, namun sesaat kemudian ia tertawa. Ia membelai pipi Petra dan menyingkapkan rambut Petra agar tidak menutupi paras ayunya. Tangan Jovian bergerak membenarkan posisi tidur Petra. Jovian membaringkan tubuh Petra yang masih dalam dekapannya dan menidurkan kepala Petra di bantal dan menyelimuti Petra. Lambat tapi pasti Jovian mendekatkan wajahnya kepada Petra sampai deru napas Petra bisa ia rasakan di sekujur wajahnya.

“Thank you for all of your effort, you deserve whole happiness.” Jovian bergumam dalam hatinya sebelum mendaratkan kecup di kening wanita dalam dekapannya itu. Iya, Jovian sadar melakukannya, Jovian juga mulai sadar ada debar aneh yang ia rasakan saat bersama Petra. Tanpa Jovian sadari, malam itu ia dekap hangat Petra dan berbagi hangat tubuh sampai pagi.

“Letta bukain pintunya!” pekik Jevin dari luar apartemen Letta. Beberapa kali panggilannya tidak membuahkan jawaban, akhirnya Letta membuka pintu itu, Jevin langsung disuguhkan dengan pemandangan dimana Letta mengenakan baju yang sedikit sexy dan tersenyum. “Jadi kan, dugem?” suara Letta terdengar bersemangat. Tapi, Jevin masuk begitu saja dan menutup pintu dengan kakinya lalu menarik Letta hingga ke ruang tengah apartemennya.

“Siapa yang ngajarin dugem?” tanya Jevin ketus.

“Nggak ada, aku dapet invitation,” kata Letta sambil merogoh ponselnya yang ia simpan di saku rok mininya lalu membuka bagian direct messages dan memperlihatkannya kepada Jevin bagaimana ia mendapat banyak sekali undangan bahkan VVIP Invitation dari club yang mengundangnya itu.

“Nggak boleh dugem!” kata Jevin sambil menutup layar ponsel Letta dengan telapak tangannya.

“Terus ngapain?” rengek Letta sambil beberapa kali menghentakkan kakinya.

“Lihat bintang aja udah, di balkon kamu, nggak ada dugem-dugem, ya!” ujar Jevin ketus. Letta memutar bola matanya dan mendengus kesal lalu berjalan ke balkon. Malam itu, rembulan dan bintang tidak malu untuk menaungi Jevin dan Letta yang ada di balkon apartemen Letta. Saat Letta sudah berada di balkon, ia mengadahkan kepalanya dan menatap langit.

“Bener kata kamu, sayang. Hari ini bintangnya banyak, bagus.” Letta bergumam, tubuhnya direngkuh dalam rangkulan oleh Jevin, telapak tangan Jevin juga bergesekan dengan lengan Letta guna sedikit memberi kehangatan.

“Dibilangin juga apa.”

“Kamu nggak pernah dugem emangnya?” Letta menjauhkan diri dari rengkuh Jevin, ia menatap pria di sebelahnya lekat.

“Nggak lah, dulu nakalnya ngerokok, balapan, gitu-gitu.”

“Dimarahin Mama Lea nggak?”

“Ya iya, lah! Kamu jangan dugem-dugem ah, nggak usah, mending kita nonton disney, apa drakor, jajan deh jajan, kemana pun kamu minta, asal nggak dugem.”

Letta terkekeh, “oke, asal kamu jangan dugem juga, jangan ngerokok lagi, deal?”

“Deal!”

Jevin meraih tangan sang puan. Keyakinan Jevin untuk menangkup pipi Letta dan menatap wajah sang puan dari jarak dekat adalah karena rasa yang sama yang terbalas oleh sang puan. Hangatnya dekapan Jevin setelahnya membawa embusan napas Jevin dapat Letta rasakan di sekujur wajahnya karena Jevin kini mengikis jarak diantara mereka. Bilik hati Jevin sebenarnya tidak pernah kosong, karena selalu ada Letta di dalamnya meski kisah yang diukir tidak selalu indah.

“Mending habisin waktu berdua, kan?” Jevin mengangkat alisnya lalu tersenyum sedikit mengangguk, ia membawa Letta memberikan senyum simpul terbaik malam itu.

Kini, keduanya saling menatap langit lagi, memperhatikan taburan bintang yang serupa pasir di atas sana.

“Letta, even there are thousand stars there, your dazzling eyes brighter than them.” Jevin berkata lalu mengecup puncak kepala Letta sekali. Letta yang mendengarnya sedikit terkikik.

“Udah bisa gombal sekarang kamu, ya.”

Jevin tertawa kecil lalu memeluk sang puan yang masih bersandar di tubuhnya.

“Aku sayang kamu, sayang banget.”

Tangan Letta yang melingkar di perut pria gagah itu kini mendekap semakin erat juga. “Aku nggak pernah sekalipun pergi dari perasaan ini, perjalanan kita itu mahal, Jevin.”

Hari demi hari berlalu Jevin lakoni dengan berkawan gundah serta gelisah memikirkan Letta mati-matian, masih jelas di ingatan Jevin bagaimana ia mengalami berulang kali kehilangan dan dikhianati di masa lalu, namun semua itu sekarang tergantikan oleh gemuruh riuh perasaan yang berbalik kepada Letta dan Jevin. Seluruh hati Jevin terisi oleh sosok Letta. Akan Jevin buktikan bahwa ia mencintai Letta dengan seluruh hati dan perasaannya.

“Letta I love you!” teriak Jevin tiba-tiba sambil menengadah ke langit. Hal itu membuat Letta kaget namun tersentuh. Letta melepaskan rengkuh lalu mencubit lengan Jevin.

“Ah, sakit, apaan sih, Letta!” rintih Jevin sambil meringis kesakitan.

“Kamu ngapain teriak-teriak?”

“Because I love you.” Jevin menjulurkan lidah ke arah Letta.

“Nggak usah teriak, ish.” Letta terkekeh lalu menghujam Jevin dengan beberapa cubitan keras lagi. Kelakar mulai terdengar diantara keduanya yang bercanda saling memberi cubitan atau gelitik bagi satu sama lain. Hingga akhirnya tangan Jevin menahan kedua pergelangan tangan Letta, menatapnya dalam.

I love you, Letta. I really do.” mendengar perkataan itu, Letta mengangguk.

I love you too Jevin!!” kini Letta yang berteriak dengan lantang.

“Heh! Haha, dasar.” Jevin mengacak rambut Letta, maka ditariknya sang puan ke dalam dekapannya saat itu juga.

Jevin kini menarik lengan Letta, memegangi rahang sang puan dan menatapnya lekat. Sungguh benar, kerlingan mata Letta yang teduh menjadi tempat Jevin pulang. Menjadi tempat Jevin jatuh lebih dalam kepada perasaan yang seharusnya ia miliki sejak lama. Maka Jevin langsung menariknya perlahan dan menyatukan bibir mereka, Letta balas pagutan lembut. Jevin memberanikan diri untuk merajai pipi dan bibir Letta sejenak. “Jadi dugem?” tanya Jevin.

“Nggak, sama kamu aja disini, lebih candu dari dugem.”

Jevin kembali mencium bibir kekasihnya itu. Lumatan lembut berangsur menjadi sesuatu yang berkuasa diantara mereka, lidah saling beradu untuk bertukar saliva, tangan Letta juga menjalar diantara surai hitam Jevin bermain disana sesuai dengan tempo yang Jevin berikan. Di bawah taburan bintang suguhkan keindahan malam sebagai kawan mereka berdua. Jevin pun menggendong tubuh Letta bak koala dan masuk ke apartemen Letta lagi, duduk di sofa dengan posisi Letta menghadapnya dan Jevin yang bersandar di sofa. Decapan mereka bahkan bisa menjadi bising yang lebih dari keramaian di klub malam itu.

Sebagai seorang anak, kita tidak pernah bisa memilih orang tua seperti apa yang akan kita miliki saat lahir ke dunia, sebagai seorang anak yang semakin hari semakin tumbuh dewasa, yang bisa kita lakukan adalah memilih akan menjadi orang tua seperti apa nantinya.

Setiap perjalanan yang kita lewati, di masa remaja beranjak dewasa pasti mengajarkan banyak hal. Seperti layaknya Jevin dan Mevin, dua saudara kembar yang sebenarnya tidak kembar. Lahir dari rahim berbeda, tapi diizinkan untuk dibesarkan di keluarga yang sama.

Mevin dan Jevin memang memiliki kisah panjang di balik kelahiran mereka. Tapi, mereka tumbuh dengan baik, meski Jevin sempat salah jalan, berbeda dengan Mevin. Di keluarga Adrian yang bukanlah anak kandung adalah Mevin, tapi hal itu tidak membuat perbedaan kasih sayang yang diberikan. Ketiga anak di keluarga Adrian dibesarkan dengan didikan dan kasih sayang yang sama.

Saat ini, Jevin masih berada di dalam kelasnya, belum berani keluar ruangannya untuk menuju ke parkiran. Beberapa waktu lalu Jevin baru saja di skors karena beberapa tingkah yang ia buat. Ketahuan merokok, mabuk-mabukan dan melakukan hal yang tidak sepantasnya ia lakukan sebagai anak di bawah umur.

Hal itu sudah membuat Jevin depresi karena di rumah pun Papanya mendiamkannya, di sekolah pun teman-temannya menjauhinya juga. Saudara kembarnya, Mevin, berada di kelas yang berbeda karena jurusan mereka yang berbeda. Jevin yang terkenal jagoan dan langganan berkelahi kini menjadi Jevin yang pendiam dan tertutup.

Beberapa cibiran mulai menusuk telinga Jevin, ia pun memakai hoodienya dan memasang headset sembari menunggu pesan dari Mevin. “Si paling jagoan ternyata blangsak banget kelakuannya, saking jagoannya, saking beraninya sampai di skors, haha ...”

“Tonjokin lagi temennya yang rese, preman sekolah pensiun sekarang, haha...”

Jevin tidak mau membalas, Jevin tidak mau mendengarnya meskipun tangannya sudah gatal untuk menghantam setiap mulut itu.

Tapi Jevin setel lagu dari ponselnya sehingga menghalau kalimat-kalimat yang tidak ingin ia dengar. Tiba-tiba Jevin merasakan pundaknya ditepuk oleh sesseorang, Jevin mendongak, ia melihat Mevin di sana, Mevin langsung menarik tangan Jevin untuk keluar dari kelas itu.

Akhirnya, kini Jevin dan Mevin sudah ada di parkiran motor, Jevin melepas headsetnya, Mevin memberikan helm dan langsung menancap gas berboncengan untuk pulang, kali ini Jevin kehilangan fasilitas motornya karena Papanya menyitanya, alhasil, Jevin harus berangkat dan pulang bersama Mevin. Dengan ketentuan Mevin yang mengendarai, Jevin hanya boleh jadi penumpang saja.

Memang, semua hal yang biasa Jevin lakukan jadi terbatas, hal ini merupakan teguran keras untuknya. Sepanjang di perjalanan, Mevin dan Jevin tidak bicara sepatah kata pun, jarak sekolah dan rumah yang bisa ditempuh sekitar lima belas menit dengan motor itu membuat keduanya tiba di rumah dengan cepat.

Keadaan di rumah masih sepi, kedua orang tua Jevin dan Mevin masih bekerja, Lauren, kakak pertama mereka juga masih di kampus. Jevin dan Mevin hanya ada di rumah bersama Mbak Ana, yang membantu di rumah mereka. Keduanya langsung masuk ke kamar saat itu, Jevin menghempaskan tubuhnya di ranjang, sedangkan Mevin melempar tasnya ke atas tempat tidurnya lalu berdiri berkacak pinggang memandang Jevin yang tidak berkutik.

“Jev,” kata Mevin.

Hmmm...” jawab Jevin malas.

“Jevin!” nada Mevin meninggi seketika membuat Jevin menegakkan posisinya menjadi duduk menatap Jevin.

“Tadi kenapa diem aja?”

“Apaan?”

“Di kelas, waktu Leo sama temen-temennya ngatain lo.”

“Gue nggak denger, headsetan,” kata Jevin sambil nyengir.

“Gue hampir hajar si Leo, tapi gue tahan, lain kali kalau ada yang ngata-ngatain tapi lo nggak mau ribut ya lo cabut dari sana, jangan disana terus, mereka kesenengan ngehina-hina lo didenger yang lain juga, keluar dari kelas, keluar, jangan diem doang di tempat duduk lo!” Entah mengapa Mevin sangat berbeda kali ini, sedikit percikan amarah melingkupi dirinya sepertinya.

“Mev...”

“Lo dikatain nggak punya masa depan, lo jadi bahan ketawaan semua anak-anak di depan kelas, gue mau lawan tapi gue nggak mau ribut, nggak mau nambah ribet masalah, lagian nanti kalau gue hajar mereka yang ada nambah dikatain, anak angkat kok ikut-ikutan, kayak waktu itu.” Ucapan Mevin membuat Jevin tertegun.

Jevin menunduk, menghela napas panjang, “gue udah nggak punya temen, semua jauhin gue, semua orang bilang gue Cuma bawa dampak buruk, lo beda kelas, gue harus gimana, sih?” tanya Jevin pasrah. “Gue lagi bahan judge orang-orang, gue tuh sebangsat itu, Mev. Kesalahan gue udah banyak banget,” ujar Jevin lagi.

“Kalau kita kasih satu-satu anak di kelas lo batu, dan kita suruh mereka yang nggak pernah bikin kesalahan lempar batu ke lo, kira-kira ada nggak yang bakalan lempar batu ke lo?” tanya Mevin sambil mengambil posisi duduk di sebelah Jevin.

Jevin terdiam, “temen-temen yang ninggalin saat kita terpuruk tuh perlu dipertanyakan, bahkan mereka yang ngajarin lo ngerokok sama mabuk! Harusnya mereka juga dapet hukuman yang sama kayak lo!” ucapan Mevin itu membuat Jevin memejamkan mata sesaat.

“Mereka nggak ketahuan,” balas Jevin dengan mendengus pedih, “ternyata gini rasanya dijauhin orang-orang, kita lakuin satu hal yang jadi bahan bulan-bulanan, tapi mereka yang mungkin kesalahannya lebih banyak dari kita makin jatuhin kita, gue nggak masalah sih, mungkin emang Tuhan pengin tegur gue sekarang, Tuhan pengin semua kenakalan gue terbongkarnya sekarang, mereka belum biarin aja. Tapi kayak sedih aja gitu, waktu gue nakal bareng-bareng temennya banyak, terus giliran gue udah dapet hukuman, mereka ngejauh. Temen gue lo doang sekarang, tapi better sih daripada punya banyak temen tapi munafik,” Jevin berkata dengan diakhiri kalimat dengan nada lirih.

Mevin meraih pundak Jevin dan mengusapnya pelan. “Papa marah besar, diemin gue seminggu, Mama kecewa, nangis di depan gue,” kata Jevin.

“Cici juga nangis, waktu denger lo dimarahin dan dibentak Papa, gue sama Cici di kamar ini, kita nggak berani keluar, kita nggak bisa bantu lo, maaf, kita juga takut sama Papa. Tapi masalah lo dijauhin temen diemin aja, setiap hal ada masanya, begitu juga pertemanan, yang tulus bakalan ada di susah maupun senang. Bahkan, yang bener-bener tulus itu akan ada di titik terendah hidup kita, masih ada gue sama James, kan? Walaupun kelas kita beda semua tapi lo masih punya gue sama James, tenang aja, Jev. Dunia nggak berhenti saat temen-temen lo ninggalin lo, kok. Mereka yang dipengaruhi orang itu juga ada kan, pasti?”

“Iya, bahkan gue pernah denger waktu di toilet ada yang ngomongin gue, ada yang nanya kenapa kok ikut nggak suka sama Jevin. Katanya karena sirkel dia nggak suka sama gue jadi dia ikutan aja nggak suka, padahal mah sama gue ngobrol juga enggak, tapi ikut benci gue,” balas Jevin sambil mencoba tersenyum, “Jevin si musuh masyarakat kayaknya,” katanya sambil tertawa pedih.

“Nggak papa, kadang orang gitu, ikut benci sesuatu atau seseorang tanpa punya alasan, Cuma ikutan, padahal nggak ada masalah secara personal, bagus deh orang kayak gitu dijauhin dari hidup lo.” Mevin mencoba mencairkan suasana, tapi memang apa yang dikatakan oleh Mevin ada benarnya. Saat itu juga Jevin menoleh menatap saudara kembarnya itu.

“Bro, makasih ya. Buat semuanya, walaupun gue secara personal pun banyak salah sama lo tapi lo selalu jadi saudara gue yang bener-bener saudara.”

Mevin terkekeh pelan, “walaupun nggak kandung?”

“Bukan gitu, semprul!” Jevin meninju pelan lengan Mevin.

“Haha, iya.. iya ...” Mevin tertawa lalu merangkul Jevin.

“Jadi, lo masih mau pusingin orang-orang nggak jelas apa mau mabar sama gue sama James?” tanya Mevin lagi.

“Join sama lo sama James, lah!” ujar Jevin bersemangat.

“Inget ya, Jev... yang bener-bvener sahabat itu mereka yang menaruh kasih setiap waktu. Apalagi di titik terendah, gue sama James pun nggak menormalisasi kesalahan yang lo bikin, kan? Gue sama James marah juga sama lo, kan? Tapi kita nggak menghakimi, karena sadar kalau sama-sama makhluk ciptaan, yang nggak luput dari salah. Tuhan aja maafin anak-anakNya, masa kita yang anak nggak, sih?” ucapan Mevin membuat Jevin tanpa gengsi memeluk saudara kembarnya itu.

“Mev, I can see God’s love through your life and your good words, ingetin gue ya kalau gue salah,” kata Jevin terharu, Jevin bisa merasakan saudara laki-lakinya itu mengangguk.

Tanpa Jevin dan Mevin sadari, Lea yang baru saja pulang, melihat moment kedua anaknya itu. Lea tersenyum haru bahkan hampir menitikan air mata karena mendengar beberapa percakapan terakhir antara Jevin dan Mevin.

Lea tidak bisa membayangkan apa jadinya setelah ini, apakah ada yang berbeda dari keluarganya? Karena Lea mengingat pesan yang ia terima dari Jeremy bahwa Jovian, Ayah kandung Mevin ingin mengajak Mevin bertemu keluarga dair Mama kandung Mevin, hal itu membuat Lea sedikit takut akan hal-hal yang mungkin akan terjadi. Tapi Lea tepiskan itu sejenak.

Lea pun membuka pintu kamar anaknya itu, membuat kedua anaknya menoleh, Lea merentangkan tangan membuka lengannya, “peluk Mama dong, pengen dipeluk kembar juga, nih.” Jevin dan Mevin langsung bangkit berdiri dan berlari kecil memeluk Mamanya itu. “Nggak hanya sahabat yang menaruh kasih di suka ataupun duka, tapi saudara dan keluarga juga. Kompak terus ya kembarnya Mama. I love you,” kata Lea sambil bergantiann mencium pipi Jevin dan Mevin.

Jevin kali ini tengah berada di atas yacht yang tengah bersandar di dermaga. Ia mengulurkan tangan untuk sang juwita genggam, Nicholetta. Tangan yang saling menggenggam itu kini dibubuhi dengan tubuh yang saling merengkuh. Keduanya saling berhadapan dan saling ucapkan kekaguman satu sama lain.

Satu sama lain seakan temukan muara atas perjalanan kehidupan selama ini. Letta meraba mata Jevin yang membuat Jevin memejam, Letta mengecup sejenak kelop[ak mata yang tertutup itu. “Teman hidupku,” katanya.

Untuk wanita yang sudah Jevin pilih sebagai kawan sampai akhir usia itu, Jevin sematkan kecupan di dahi Letta untuk beberapa saat, makamkan segala cemas dan duka, “Separuh dari diriku,” kata Jevin. Langit cerah, debur ombak pelan, sepoi angin jadi saksi keduanya saling merengkuh.

Jika diminta melagukan Letta mungkin tak akan cukup waktu bagi Jevin menjabarkannya. Jika diminta mengisahkan perjalanan mereka, mungkin tak ada kata yang bisa menggambarkan bagaimana perasaan keduanya pada akhirnya. Rasanya sekarang seperti mengenang saat pertama mereka berjumpa dan bersepakat merenda kehidupan berdua.

“Kita udah lewati semuanya, sayang. You are my power and amazing present from God. You stay there by my side no matter what happened. Aku tepatin janji aku buat wujudin kemauan kamu, kita berdua ada di kapal yang lebih besar dari yang dulu pernah kita naikin. Dengan keadaan yang jauh lebih baik, dengan perjuangan yang nggak mudah dan dengan usaha juga doa kita selama ini, it’s only by God’s grace.” Jevin merapikan rambut istrinya dan menyingkapkan ke belakang telinga Letta.

“Iya, dan kamu sama aku tetap bersama, as we know it was never easy, we spend all time to smiled, cried and laughed together. I thank God that He gave you to me, Jevin. Love and care that I can get from you is one of my greatest blessings, and see? Makasih udah wujudin lagi keinginan kita berdua dan mimpi aku saat itu. Apapun cobaan yang Tuhan kasih, seberapa banyak celah keretakan rumah tangga kita, aku dan kamu selalu bisa lewatin itu tanpa ada kata pisah, we always can fix our broken vessel,” balas Letta.

“Kan apa yang dipersatukan Tuhan...” Jevin menggenggam tangan sang puan, “tidak bisa diceraikan dan dipisahkan manusia,” keduanya berkata bersamaan.

Hingga akhirnya pekikan suara yang memanggil nama Letta dan Jevin membuat keduanya menoleh. Jeremy menggendong Eugene, Lea menggendong Yoel, Lauren dan Willy yang menggandeng Shannon, juga Grace dan Mevin yang juga bersama Miracle dan Shallom melambaikan tangan kepada Jevin dan Letta. Tak lama juga datang Jordie dan Verica ke sana, keduanya tersenyum dan melambaikan tangan juga kepada Jevin dan Letta. Saat itu juga yacth yang mereka tumpangi melaju meninggalkan dermaga.

We love you Papa Mama!!” teriak Eugene sambil melambaikan kedua tangannya.

We love you too, all!” Jevin juga berteriak, tangan Jevin merangkul Letta yang ada di sebelahnya.

Sinar surya masih menemani mereka hingga hilang dari pandangan.

They fixed their broken vessel at the end, they love each other as God loved us. In our life sometimes blessing comes through raindrops and tears. All those trial make us stronger than before, we learn from our last mistake and repair all things. Letta and Jevin always have faith to believe in God and fix their broken vessel, until the end of time. There are so many great things in this world but remember the greatest thing that God gave to us is Love. Hugging and saying that you love your beloved person like God love His children. This is a new beginning from new journey. Put love in everything you do, forgive those people who hurt you, love each other and be thankful to God for what you have right now, especially for family and all those trials of this life. You are special, you deserve to be loved even you feel there's no one loved you, but God will always loving you more than anyone in this world, God's love is neverending and everlasting. With love, Jevin and Letta.

Letta tengah ada di luar ruangan rawat Jevin bersama Lauren dan Grace. Jevin belum juga kunjung membuka mata. Entah sudah berapa jam Letta menunggui suaminya dan tak henti panjatkan doa. Keadaan Letta yang sudah mendekati HPL tentu saja membuat semuanya cemas.

Masih teringat jelas di benak Letta bagaimana ia melihat lagi, untuk kedua kalinya Jevin bersimbah darah di hadapannya. Trauma peristiwa Jevin koma dulu belum hilang dari ingatan, hati istri mana yang tidak teriris?

“Jevin bakalan bangun, kan?” lirih Letta yang membuat Grace dan Lauren yang ada di sampingnya juga menjadi sedih, mereka pun terdiam sejenak, Grace merangkul Letta dan berkata, “pasti, nanti Jevin bisa balik lagi ke rumah sama kamu.”

Tapi, satu hal yang sudah dokter katakan kepada Letta, Jevin akan kehilangan kemampuan salah satu organ tubuhnya. Letta masih menyimpan hal itu seorang diri, untuk mengatakan kepada keluarganya saja Letta tidak sanggup. Sebenarnya Lauren dan Grace juga belum masuk melihat keadaan Jevin.

“Pokoknya apapun keadaannya, tetep ada buat Jevin, ya?” kata Grace lagi, Lauren pun berjalan mendekat ke arah kedua adik iparnya itu. “Aku jemput Mama dulu ya di depan, Papa sama Mama katanya kesini.” Lauren mengusap kedua pundak Grace dan Letta. Keduanya menoleh dan mengangguk.

“Aku temenin Letta, Ci,” kata Grace. Lauren pun berjalan beranjak dari sana.

“Kedua kalinya lihat Jevin kayak gitu, rasanya kayak mimpi buruk buat aku, Grace. Nggak kuat,” kata Letta lirih sambil meraih jemari suaminya. Grace pun bisa merasakan apa yang Letta rasakan, Grace merangkul Letta. Hati Grace juga ikut berdesir nyeri dan sakit. Kata sabar juga mungkin sudah terlalu basi untuk didengar, terlalu klise dan akan sulit dilakukan untuk saat ini.

“Grace, aku boleh jujur?” tanya Letta sambil menatap Grace.

“Boleh, you can tell me everything,” balas Grace. Akhirnya Letta tertunduk, seketika ia menangis tanpa suara, “Lett?” kata Grace lirih, tidak ada kata yang diucapkan Grace, punggung Letta bergetar hebat, Letta langsung memeluk Grace dan menangis di pelukan Grace, hal itu membuat Grace bingung setengah mati.

“Kenapa? Ada hal apa lagi? Kenapa, Lett?” tanya Grace panik.

“Jevin... Je..vin... kehilangan salah satu fungsi organ tubuhnya karena kecelakaan itu,” tangis Letta bahkan untuk merampungkan kalimatnya saja Letta terbata-bata.

“Maksudnya? Jevin kenapa?” tanya Grace sambil terus mengusap punggung Letta.

“Kata dokter, Jevin ada kemungkinan mengalami kebutaan.” Usai kalimat itu diucapkan Letta, Grace seketika membeku, tak bisa berkata apapun selain memeluk Letta erat-erat. Sementara Letta masih menangis, suasana yang terasa semakin sendu itu membuat Grace juga bertanya dalam hatinya, “Tuhan, apa semua bisa kembali ke keadaan semula?”

“Aku nggak sanggup...” tangis Letta lagi.


“Kak Jevin!” seru seseorang dari arah belakang Jevin. Hamparan bunga dan ilalang yang ada di sekitar Jevin membuat Jevin mendengar gema suara itu sekali lagi. Jevin menoleh ke kanan dan ke kiri tapi tidak ia jumpai siapapun.

“Kak Jevin!” Suara itu hadir lagi. Jevin berlari mengikuti arah datangnya suara itu. Berulang kali suara itu menggema. Di tengah hamparan luas bunga-bunga kali ini, Jevin melihat seorang gadis berambut panjang sedang memainkan piano, sebuah irama lagu yang tak asing baginya ia dengar kali ini.

Langkah Jevin terhenti saat sang pemain piano itu menoleh dan tersenyum ke arah Jevin. “Eve?”

“Kak Jevin,” kata Eve sambil beranjak dari tempat duduknya dan berjalan mendekat ke arah Jevin, kini Eve dan Jevin sudah saling berhadapan.

“Eve, kita ketemu lagi?” tanya Jevin.

“Iya, aku udah nggak harus pakai hearing aids,” kata Eve sambil menoleh sedikit memperlihatkan keadaan telinganya tanpa hearing aids.

“Ve...”

“Aku sayang kakak, Letta lebih sayang kakak, keluarga kakak juga sayang Kak Jevin.” Kalimat itu dilafalkan Eve dengan tenang dan senyuman yang teduh. Eve juga merapikan sedikit anak rambut Jevin yang berantakan.

“Terima kasih, kak Jevin udah mengabadikan aku di nama anak-anak kakak. Aku selalu berdoa biar anak-anak Kak Jevin dan Letta jadi berkat dan kebanggaan, sama seperti kak Jevin.” Eve mundur satu langkah, Jevin hendak maju mendekat tapi Eve menahan dada Jevin.

“Jangan dulu, kakak tetap di sana. Live your life after this with Letta and your family.”

“Eve...”

Everything is gonna be okay, God protect and make it all in His right time, Eve pamit ya, kak,” kata Eve sambil melambaikan tangan, Jevin hanya bisa diam terpaku sambil menahan tangis memandangi bayang Eve yang semakin memudar.


Jemari Jevin bergerak perlahan, hal itu dilihat jelas oleh Letta. Saat ini Lauren, Jeremy dan Lea tengah ada di luar menunggu sementara yang ada di dalam hanyalah Letta seorang, jemari Jevin sedikit terangkat dan Letta langsung memencet bel yang ada di dekat tempat tidur Jevin untuk memanggil dokter dan perawat.

“Jev, kamu denger aku? Jevin... aku disini, sayang, aku disini,” kata Letta lirih sambil menggenggam tangan Jevin.

Bibir Jevin seakan ingin mengatakan sesuatu tapi masih sulit, tangan Jevin merespon usapan lembut Letta. Tapi sebenarnya Letta masih menahan tangis sedari tadi. Hingga akhirnya dokter dan perawat masuk Letta menjauh sejenak membiarkan dokter dan para suster mengecek keadaan Jevin. Hal itu pun membuat Jeremy, Lea, dan Lauren juga melihat ke sana tapi hanya sebatas di ambang pintu. Lea langsung merangkul menantunya yang tengah hamil itu.

Letta cemas dan khawatir menunggu beberapa menit, Letta hanya bisa menggenggam tangan Lea. Sampai akhirnya Letta mendengar teriakan dari Jevin, “arrghhh!!” hal itu langsung membuat Letta, Lea, Jeremy mendekat ke sana, sementara Lauren yang sudah mengetahui keadaan yang sebenarnya pun menunggu di luar, Lauren menangis di luar ruangan bersandar di tembok sampai terduduk, Lauren menangis dalam posisi jongkok dan melipat lututnya, untuk kesekian kalinya Lauren anak pertama dari keluarga ini harus melihat keadaan adiknya yang tidak baik-baik saja.

“Jevin... jevin...” tangis Lauren seorang diri karena Jeremy dan Lea sudah ada di dalam bersama Letta. Lauren tersedu di sana sampai akhirnya ia merasakan seseorang mengusap punggungnya, Lauren perlahan mendongak, melihat seseorang dengan jas putih ada di sana. Mevin ada di sana di hadapan Lauren dengan mata yang berkaca-kaca.

“Ci...”

“Dek, Jevin...”

“Iya,” Mevin mengangguk dan mencoba mengerjapkan matanya agar air matanya tidak jatuh, tapi akhirnya tangisan Mevin pecah juga saat Lauren menghempaskan diri ke pelukan adiknya itu. Lauren dan Mevin saling memeluk, Mevin menangis tanpa suara, tapi Lauren tidak bisa tahan lagi emosi dalam hatinya.

Sementara di dalam ruangan, Jevin memberontak berteriak karena semua hanya gelap.

“Saya nggak bisa lihat, dok!” jeritnya.

Jeremy langsung sigap menahan dan duduk di sebelah Jevin untuk merangkul tubuh anaknya itu. Lea dan Jeremy memberi kode kepada dokter dan suster itu untuk berbicara setelah ini, akhirnya yang tersisa di sana hanyalah Lea, Letta dan Jeremy. Letta masih menangis di pelukan Lea, Jeremy masih mencoba menenangkan Jevin.

Letta perlahan berjalan mendekat meraih tangan Jevin, tapi Jevin menghempaskannya.

“Kenapa Jevin nggak bisa lihat? Perbannya udah dibuka, tapi semuanya masih gelap!!” kata Jevin sambil mengusap kasar matanya.

“Jangan gitu, nak, jangan diusap kasar,” kata Lea menenangkan.

“Pa, Ma? Letta? Kalian disini kan? Jevin nggak bisa lihat! Semuanya gelap! Cuma gelap!”

Jeremy yang menahan tubuh Jevin mengusap dahi Jevin yang berpeluh, menyandarkan tubuh Jevin di tubuhnya, semua kehabisan kata-kata termasuk Jeremy dan Lea, orang tua Jevin.

“Jevin buta, ya?” Jevin berkata diatas tawa pedih, mengiris hati siapapun yang mendengarnya saat itu, Letta mendekat mengusap tangan Jevin lalu mencium punggung tangan Jevin, “Everything is gonna be okay, Tuhan nggak tidur sama keadaan yang kita alami,” kata Letta. Hal itu membuat Jevin teringat mimpinya saat bertemu Eve. Persis seperti itu, Jevin merasakan dadanya sesak, yang bisa Jevin lakukan hanyalah menangis setelah itu.

Jevin menangis sejadi-jadinya, di pelukan Jeremy untuk pertama kalinya Jevin menangis dan mengatakan, “Papa maafin semua kesalahan Jevin, maafin Jevin, Pa..”

Jeremy tak bisa bendung air matanya, ia berbisik lirih, “iya, nak.. iya, Papa sayang Jevin.”

“Ma.. maafin Jevin,” tangan Jevin terulur seakan hendak meraih tangan Lea yang tidak bisa ia lihat, Lea mendekat meraih tangan anaknya itu, Jevin pun langsung dipeluk oleh Lea, berulang kali Lea mencium puncak kepala Jevin, Lea memeluk anaknya yang menangis di pelukannya itu. “Maafin Jevin kalau jadi anak yang nggak baik selama ini, Jevin minta maaf ya, Ma...” Pelukan itu direnggangkan, Lea usap jejak air mata di wajah Jevin dan cium pipi anaknya itu, “Mama selalu berdoa untuk Jevin, mama bersyukur punya Jevin di hidup Mama.” Jevin mengangguk dan mencoba tersenyum, pelukan direnggangkan, “Lett...” kata Jevin sambil mencari dimana tangan istrinya, akhirnya Letta mendekat, meraih tangan Jevin dan langsung memeluk Jevin. Tangan Jevin melingkar di perut Letta yang membesar itu, kepala Jevin bersandar di pelukan Letta.

“Maafin aku, maafin aku yang nggak pernah bisa bikin kamu bahagia, maafin aku yang kadang jadi pecundang. Aku sayang kamu, jangan tinggalin aku, jangan.. aku mohon..”

“Nggak ada yang bakalan ninggalin kamu, nggak akan ada, sayang...” balas Letta sambil terus memeluk suaminya itu, yang ada di sana hanyalah suasana mencekam, sakit dan pilu. Jevin mungkin memang kehilangan penglihatannya, tapi Jevin tidak kehilangan kasih sayang sedikitpun dari keluarganya. Hati semua orang terkoyak, tidak pernah menyangka hal seperti ini harus Jevin terima. Kita kadang mengutuk atas kehidupan yang berjalan tidak seperti apa yang kita mau. Tidak ada salahnya mengharap kehidupan serupa mimpi, meski kadang yang disuguhkan hanyalah diantara mimpi indah atau mimpi buruk, dimana keduanya harus sama-sama dijalani. Tidak ada kuasa sebagai makhluk ciptaan untuk menentang takdir, tidak ada kuasa sebagai manusia untuk mengatur garis hidup. Tapi, sebagai manusia kita bisa mengusahakan dan melakukan yang terbaik, karena Sang Pencipta kita yang akan mengatur seluruh kehidupan kita.

Kehidupan kita sudah direnda sedemikian rupa, dari saat kita lahir ke dunia, menjalani kehidupan di dunia, dan sampai raga kita terpendam di ujung usia.

Berbulan-bulan berlalu kandungan Letta semakin membesar dan dalam keadaan baik, kehidupan keluarga Jevin juga diberkati dengan sembuh dan pulihnya orang tua terkasih, Jeremy. Keadaan kantor sudah lebih baik dari sebelumnya, semua diselesaikan dengan jalur hukum, beberapa somasi dikeluarkan untuk memberi efek jera kepada karyawan yang melanggar tanggung jawab. Jevin kembali duduk di kursi pemimpin dan mungkin Jeremy akan menyerahkan kepengurusan seluruhnya kepada Jevin mengingat usia yang tak lagi muda dan lebih memilih fokus kepada urusan kesehatan.

Hari ini, sesuai janji Stella yang sudah dibuat, Stella menunggu Jevin dan Letta di sebuah tempat. Lama waktu berlalu, Letta yang sudah ada di bulan ke delapan kehamilannya berjalan bersama Jevin saling bergandengan untuk berjalan masuk ke sebuah restoran.

Letta dan Jevin menitipkan Eugene di kediaman Mevin dan memutuskan untuk menemui Stella berdua saja. Tiba di restoran, Jevin dan Letta langsung melihat Stella yang sudah berdiri di sebuah meja untuk menyambut mereka.

Jevin menggenggam tangan Letta semakin erat dan sesekali mengusap punggung tangan Letta dengan ibu jarinya. Letta merasa sedikit tenang walaupun kenangan buruk yang terjadi di masa lalu itu masih sering hadir.

Tiba di sana, Jevin dan Letta dipersilakan duduk di depan Stella. Suasana sedikit canggung hingga akhirnya Stella buka suara, “Jevin, Letta, aku janji ini pertemuan kita yang terakhir. Aku cuma mau bilang terima kasih, dan maaf. Maaf untuk semua hal yang terjadi, maaf untuk kelakuan rendahanku, maaf karena benar apa kata tante Lea kalau aku cum jadi antagonis di cerita kalian. Kata maaf juga mungkin nggak pantes buat aku. Tapi, dari pertemuan kita semua yang terakhir aku jadi sadar. Semua yang kalian omongin benar kok, semua yang Tante Lea bilang itu benar, pernikahan itu sakral karena kita udah janji di hadapan Tuhan.” Perkataan Stella terhenti sejenak karena kini ia mencoba tenangkan dirinya sendiri yang hendak menangis.

Stella mengangkat wajah lagi dan mencoba tersenyum di atas air mata, “aku dan Jack nggak jadi bercerai, semua yang Tante Lea bilang ke aku secara personal bener bener bikin aku terpukul. Dari sisi perempuan, istri dan juga seorang ibu. Aku yang kurang bersyukur, dan sekarang aku sama Jack nggak akan pisah karena Tuhan uji keluarga kita lagi, Cia sakit, ada masalah di jantungnya sejak kecil tapi aku sama Jack nggak aware. Aku sama Jack nggak mungkin berpisah disaat seperti ini. Kami akhirnya memutuskan buat bersama sama lagi, satu hal yang Jack bilang ke aku karena dia lihat gimana tulusnya Letta ke Jevin. Nggak goyah dengan apapun yang terjadi. Letta, thank you so much. Semua yang kamu bilang ke Jack semuanya menyadarkan dia dan aku. Maaf Jack kali ini harus nemenin Cia ke dokter jadi aku yang ketemu kalian. Sekali lagi, aku minta maaf dari lubuk hatiku yang terdalam dan makasih banyak buat semuanya,” kata Stella dengan penuh kesungguhan. Air mata Stella tak henti menetes sembari merapalkan kalimatnya dari awal hingga akhir.

Tak bisa berbohong, hati Letta sebagai wanita juga terketuk, tak hanya sebagai wanita, tapi juga sebagai istri dan seorang ibu juga seperti Stella. Hal ini jujur saja menusuk relung hati Jevin. Jika Jack dan Stella saja bisa mempertahankan pernikahan mereka demi anak, maka itu bukanlah suatu hal sulit untuk Jevin dan Letta juga, bukan? Lantas mengapa harus menyerah?

“Jevin, Letta, lewat keluarga kalian aku bisa lihat apa itu kasih dalam keluarga dan segala sesuatu yang baik yang Tuhan pengin umatNya lakukan. Semua aku temukan di keluarga kalian. Untuk itu, aku minta maaf sebesar-besarnya, aku selalu berdoa untuk keluarga kalian yang secara nggak langsung juga menegur aku selama ini. Maafin aku, Jev, Lett.” Usai Stella mengucapkan kalimatnya, ang tersisa sekarang hanyalah keheningan, Jevin kehabisan kata-kata, dan akhirnya Letta yang angkat bicara.

“Stella, coba pikir lagi berapa banyak hal yang nggak kamu syukuri selama ini. Coba kamu pikir lagi berapa banyak orang yang ikut jadi korban dan kamu sakiti secara nggak langsung? Tapi coba lihat juga lewat ini semua Tuhan mau suruh kamu buat apa? Tuhan tuh mau kamu jadi pribadi yang lebih baik, Cia dan Jack adalah berkat buat kamu. Bahkan Jack nggak meninggalkan kamu walaupun kalian berdua lakukan kesalahan, Tuhan baik ke kamu, Tuhan bikin Jack bertanggung jawab tanpa pernah sekalipun meninggalkan kamu, Stell. Hal itu yang harus kamu ingat, Cia juga pasti nggak mau orang tuanya berpisah, kan?” Karena pada dasarnya Letta yang berhati besar tidak sekedar memaafkan Stella tapi juga ingin Stella mengerti akan semua hal yang terjadi selama ini. Stella pun menyeka air matanya, menggiring tangannya untuk menggenggam tangan Letta dan Stella mengucapkan maaf berkali-kali tapi Stella kembali pecah dalam tangis.

“Live your better life after this, Stell.” Jevin berkata untuk menutup pertemuan kala itu.


Jevin dan Letta kembali ke mobil setelah bertemu Stella, saat Letta hendak memasang seatbeltnya, Jevin menahan tangan Letta sehingga membuat Letta menoleh ke arah Jevin.

“Kenapa, sayang?” tanya Letta.

Thank you, wonderwomanku.”

“*Thanks for what?”

“*Thanks for being wise and supportive wife. I love you, Nicholetta.” Tatapan tanpa pejam penuh kekaguman pun Jevin berikan untuk Letta, senyum Letta merekah seketika. Sejauh apapun Jevin melangkah, Letta memang rumahnya, miliknya, separuh dari dirinya.

Letta mengangguk dan usap pipi Jevin pelan, “kamu juga, makasih udah mau berubah,” kata Letta. Maka Jevin pun menarik dagu Letta lalu menangkup rahang Letta, menyatukan belah bibir sejenak, bertukar lumatan mesra penuh kasih. Lumatan dipagut beberapa saat hingga menjadi sedikit lebih memburu, Jevin tak henti-hentinya kagum dengan sang juwita. Hingga akhirnya pagutan ditutup dengan kecup lama tanpa melumat, kecup mesra tanpa lumatan yang mengakhiri hari itu.

I love you,” bisik Letta lirih lalu mencium pipi kanan dan kiri Jevin. Tak mau kalah, Jevin bisikkan kalimat cinta yang sama, lalu mencium kening, pipi, serta ujung hidung Letta.

Keduanya pun bergegas pulang, Jevin menuruti apa yang Letta minta kali ini, karena mungkin bagian dari masa-masa ngidam Letta. Sedari tadi, Letta selalu mengatakan kepada Jevin ia ingin menikmati salad buah, maka Jevin kembali memutar arah mobilnya menuju ke tempat yang Letta mau. Jevin semakin bertanggung jawab dan peka juga tanggap di kehamilan Letta yang kedua ini. Letta yang sedikit sensitif juga bisa diatasi oleh Jevin yang memberi perhatian dan pengertian bagi istrinya itu.

Keduanya saling bercengkerama dan bercanda ringan sepanjang perjalanan tanpa jeda. Berbahagialah mereka berdua kali ini, kehamilan Letta yang sudah mendekati HPL, keadaan yang membaik untuk semuanya, Jevin benar-benar belajar banyak lewat beberapa hal yang terjadi kemarin.

Tiba di suatu tempat, Jevin membiarkan Letta masuk dan memesan salad buah pesanannya, “kamu masuk aja duluan, aku mau beli sesuatu, mau dine in atau take away?” tanya Jevin sebelum keluar mobil.

“Kamu mau kemana? Take away aja, makan di rumah sama kamu sama Eugene, hehe,” balas Letta. Jevin pun mengangguk, “kunci mobil kamu aja yang bawa, kalau udah, tunggu di mobil dulu, ya,” kata Jevin. Keduanya keluar dari mobil, Letta berjalan menuju kedai, sementara Jevin menyebrang, entah apa yang hendak Jevin beli.

Setelah Letta membeli saladnya, ia berjalan kembali ke mobil tapi menunggu di luar, sembari menghirup udara segar sore hari usai hujan, bau khas tanah dipadukan dengan langit senja menambah sejuk suasana sore ini. Letta pun melihat Jevin yang membawa sesuatu yang Jevin sembunyikan di balik punggungnya, tapi Jevin nampak sedang sibuk menelepon seseorang, Letta melambaikan tangan ke arah Jevin dan tersenyum, memberi tanda bahwa ia menunggu Jevin, sang suami membalas dengan senyuman, Jevin masih terlihat berbicara di telepon.

Letta menunggu suaminya itu menyebrang jalan sembari menengadahkan kepalanya melihat langit yang berubah warna menjadi jingga, tapi saat itu juga Letta mendengar bunyi decitan mobil, suara seperti sesuatu yang dihantam besi membuat Letta langsung menoleh, kelopak bunga berceceran di jalan, kerumunan orang perlahan memenuhi jalan, jantung Letta berdegup cepat, dadanya nyeri bukan main, Letta berjalan perlahan ke sana. Ke tempat dimana seharusnya Jevin menyebrang jalan. Sebuah ponsel terlempar jauh sampai ke arah Letta berjalan. Ponsel yang tidak asing untuk Letta.

Langkah Letta semakin ia percepat meski semakin berat dan bergetar, Letta menerobos kerumunan orang itu dan langsung tersungkur, Jevin sudah tergeletak bersimbah darah. Cairan merah pekat dan kental mengalir dari kepala Jevin. Letta langsung menyandarkan Jevin di pangkuannya, “Jevin!!” teriakan Letta memecah kebisingan, guguran kelopak bunga tadi adalah guguran dari bouquet bunga yang Jevin hendak berikan bagi Letta.

Beberapa orang sudah langsung menelepon ambulance, sebuah mobil menghantam tubuh Jevin saat Jevin menyeberang jalan, tapi sang pengemudi melarikan diri, insiden itu terjadi saat Jevin ingin kembali menghampiri Letta dan memberi kejutan kecil darinya. Jevin terpejam, tak merespon apapun yang Letta katakan, persetan dengan baju Letta yang kini berlumur darah.

“Jevin ... sayang ... bangun,” tangis Letta histeris saat itu tapi Jevin tak membuka matanya meski Letta beberapa kali menggoyangkan pelan tubuh Jevin.

Beberapa orang mencoba menenangkan Letta yang menangis histeris. “Jevin! Kamu denger aku kan? Jevin!! Bertahan, please sayang, please, yang kuat, jangan tinggalin aku... Jevin!!” tangis Letta semakin menjadi sambil menggenggam tangan Jevin.

Berbulan-bulan berlalu kandungan Letta semakin membesar dan dalam keadaan baik, kehidupan keluarga Jevin juga diberkati dengan sembuh dan pulihnya orang tua terkasih, Jeremy. Keadaan kantor sudah lebih baik dari sebelumnya, semua diselesaikan dengan jalur hukum, beberapa somasi dikeluarkan untuk memberi efek jera kepada karyawan yang melanggar tanggung jawab. Jevin kembali duduk di kursi pemimpin dan mungkin Jeremy akan menyerahkan kepengurusan seluruhnya kepada Jevin mengingat usia yang tak lagi muda dan lebih memilih fokus kepada urusan kesehatan.

Hari ini, sesuai janji Stella yang sudah dibuat, Stella menunggu Jevin dan Letta di sebuah tempat. Lama waktu berlalu, Letta yang sudah ada di bulan ke delapan kehamilannya berjalan bersama Jevin saling bergandengan untuk berjalan masuk ke sebuah restoran.

Letta dan Jevin menitipkan Eugene di kediaman Mevin dan memutuskan untuk menemui Stella berdua saja. Tiba di restoran, Jevin dan Letta langsung melihat Stella yang sudah berdiri di sebuah meja untuk menyambut mereka.

Jevin menggenggam tangan Letta semakin erat dan sesekali mengusap punggung tangan Letta dengan ibu jarinya. Letta merasa sedikit tenang walaupun kenangan buruk yang terjadi di masa lalu itu masih sering hadir.

Tiba di sana, Jevin dan Letta dipersilakan duduk di depan Stella. Suasana sedikit canggung hingga akhirnya Stella buka suara, “Jevin, Letta, aku janji ini pertemuan kita yang terakhir. Aku cuma mau bilang terima kasih, dan maaf. Maaf untuk semua hal yang terjadi, maaf untuk kelakuan rendahanku, maaf karena benar apa kata tante Lea kalau aku cum jadi antagonis di cerita kalian. Kata maaf juga mungkin nggak pantes buat aku. Tapi, dari pertemuan kita semua yang terakhir aku jadi sadar. Semua yang kalian omongin benar kok, semua yang Tante Lea bilang itu benar, pernikahan itu sakral karena kita udah janji di hadapan Tuhan.” Perkataan Stella terhenti sejenak karena kini ia mencoba tenangkan dirinya sendiri yang hendak menangis.

Stella mengangkat wajah lagi dan mencoba tersenyum di atas air mata, “aku dan Jack nggak jadi bercerai, semua yang Tante Lea bilang ke aku secara personal bener bener bikin aku terpukul. Dari sisi perempuan, istri dan juga seorang ibu. Aku yang kurang bersyukur, dan sekarang aku sama Jack nggak akan pisah karena Tuhan uji keluarga kita lagi, Cia sakit, ada masalah di jantungnya sejak kecil tapi aku sama Jack nggak aware. Aku sama Jack nggak mungkin berpisah disaat seperti ini. Kami akhirnya memutuskan buat bersama sama lagi, satu hal yang Jack bilang ke aku karena dia lihat gimana tulusnya Letta ke Jevin. Nggak goyah dengan apapun yang terjadi. Letta, thank you so much. Semua yang kamu bilang ke Jack semuanya menyadarkan dia dan aku. Maaf Jack kali ini harus nemenin Cia ke dokter jadi aku yang ketemu kalian. Sekali lagi, aku minta maaf dari lubuk hatiku yang terdalam dan makasih banyak buat semuanya,” kata Stella dengan penuh kesungguhan. Air mata Stella tak henti menetes sembari merapalkan kalimatnya dari awal hingga akhir.

Tak bisa berbohong, hati Letta sebagai wanita juga terketuk, tak hanya sebagai wanita, tapi juga sebagai istri dan seorang ibu juga seperti Stella. Hal ini jujur saja menusuk relung hati Jevin. Jika Jack dan Stella saja bisa mempertahankan pernikahan mereka demi anak, maka itu bukanlah suatu hal sulit untuk Jevin dan Letta juga, bukan? Lantas mengapa harus menyerah?

“Jevin, Letta, lewat keluarga kalian aku bisa lihat apa itu kasih dalam keluarga dan segala sesuatu yang baik yang Tuhan pengin umatNya lakukan. Semua aku temukan di keluarga kalian. Untuk itu, aku minta maaf sebesar-besarnya, aku selalu berdoa untuk keluarga kalian yang secara nggak langsung juga menegur aku selama ini. Maafin aku, Jev, Lett.” Usai Stella mengucapkan kalimatnya, ang tersisa sekarang hanyalah keheningan, Jevin kehabisan kata-kata, dan akhirnya Letta yang angkat bicara.

“Stella, coba pikir lagi berapa banyak hal yang nggak kamu syukuri selama ini. Coba kamu pikir lagi berapa banyak orang yang ikut jadi korban dan kamu sakiti secara nggak langsung? Tapi coba lihat juga lewat ini semua Tuhan mau suruh kamu buat apa? Tuhan tuh mau kamu jadi pribadi yang lebih baik, Cia dan Jack adalah berkat buat kamu. Bahkan Jack nggak meninggalkan kamu walaupun kalian berdua lakukan kesalahan, Tuhan baik ke kamu, Tuhan bikin Jack bertanggung jawab tanpa pernah sekalipun meninggalkan kamu, Stell. Hal itu yang harus kamu ingat, Cia juga pasti nggak mau orang tuanya berpisah, kan?” Karena pada dasarnya Letta yang berhati besar tidak sekedar memaafkan Stella tapi juga ingin Stella mengerti akan semua hal yang terjadi selama ini. Stella pun menyeka air matanya, menggiring tangannya untuk menggenggam tangan Letta dan Stella mengucapkan maaf berkali-kali tapi Stella kembali pecah dalam tangis.

“Live your better life after this, Stell.” Jevin berkata untuk menutup pertemuan kala itu.


Jevin dan Letta kembali ke mobil setelah bertemu Stella, saat Letta hendak memasang seatbeltnya, Jevin menahan tangan Letta sehingga membuat Letta menoleh ke arah Jevin.

“Kenapa, sayang?” tanya Letta.

Thank you, wonderwomanku.”

“*Thanks for what?”

“*Thanks for being wise and supportive wife. I love you, Nicholetta.” Tatapan tanpa pejam penuh kekaguman pun Jevin berikan untuk Letta, senyum Letta merekah seketika. Sejauh apapun Jevin melangkah, Letta memang rumahnya, miliknya, separuh dari dirinya.

Letta mengangguk dan usap pipi Jevin pelan, “kamu juga, makasih udah mau berubah,” kata Letta. Maka Jevin pun menarik dagu Letta lalu menangkup rahang Letta, menyatukan belah bibir sejenak, bertukar lumatan mesra penuh kasih. Lumatan dipagut beberapa saat hingga menjadi sedikit lebih memburu, Jevin tak henti-hentinya kagum dengan sang juwita. Hingga akhirnya pagutan ditutup dengan kecup lama tanpa melumat, kecup mesra tanpa lumatan yang mengakhiri hari itu.

I love you,” bisik Letta lirih lalu mencium pipi kanan dan kiri Jevin. Tak mau kalah, Jevin bisikkan kalimat cinta yang sama, lalu mencium kening, pipi, serta ujung hidung Letta.

Keduanya pun bergegas pulang, Jevin menuruti apa yang Letta minta kali ini, karena mungkin bagian dari masa-masa ngidam Letta. Sedari tadi, Letta selalu mengatakan kepada Jevin ia ingin menikmati salad buah, maka Jevin kembali memutar arah mobilnya menuju ke tempat yang Letta mau. Jevin semakin bertanggung jawab dan peka juga tanggap di kehamilan Letta yang kedua ini. Letta yang sedikit sensitif juga bisa diatasi oleh Jevin yang memberi perhatian dan pengertian bagi istrinya itu.

Keduanya saling bercengkerama dan bercanda ringan sepanjang perjalanan tanpa jeda. Berbahagialah mereka berdua kali ini, kehamilan Letta yang sudah mendekati HPL, keadaan yang membaik untuk semuanya, Jevin benar-benar belajar banyak lewat beberapa hal yang terjadi kemarin.

Tiba di suatu tempat, Jevin membiarkan Letta masuk dan memesan salad buah pesanannya, “kamu masuk aja duluan, aku mau beli sesuatu, mau dine in atau take away?” tanya Jevin sebelum keluar mobil.

“Kamu mau kemana? Take away aja, makan di rumah sama kamu sama Eugene, hehe,” balas Letta. Jevin pun mengangguk, “kunci mobil kamu aja yang bawa, kalau udah, tunggu di mobil dulu, ya,” kata Jevin. Keduanya keluar dari mobil, Letta berjalan menuju kedai, sementara Jevin menyebrang, entah apa yang hendak Jevin beli.

Setelah Letta membeli saladnya, ia berjalan kembali ke mobil tapi menunggu di luar, sembari menghirup udara segar sore hari usai hujan, bau khas tanah dipadukan dengan langit senja menambah sejuk suasana sore ini. Letta pun melihat Jevin yang membawa sesuatu yang Jevin sembunyikan di balik punggungnya, tapi Jevin nampak sedang sibuk menelepon seseorang, Letta melambaikan tangan ke arah Jevin dan tersenyum, memberi tanda bahwa ia menunggu Jevin, sang suami membalas dengan senyuman, Jevin masih terlihat berbicara di telepon.

Letta menunggu suaminya itu menyebrang jalan sembari menengadahkan kepalanya melihat langit yang berubah warna menjadi jingga, tapi saat itu juga Letta mendengar bunyi decitan mobil, suara seperti sesuatu yang dihantam besi membuat Letta langsung menoleh, kelopak bunga berceceran di jalan, kerumunan orang perlahan memenuhi jalan, jantung Letta berdegup cepat, dadanya nyeri bukan main, Letta berjalan perlahan ke sana. Ke tempat dimana seharusnya Jevin menyebrang jalan. Sebuah ponsel terlempar jauh sampai ke arah Letta berjalan. Ponsel yang tidak asing untuk Letta.

Langkah Letta semakin ia percepat meski semakin berat dan bergetar, Letta menerobos kerumunan orang itu dan langsung tersungkur, Jevin sudah tergeletak bersimbah darah. Cairan merah pekat dan kental mengalir dari kepala Jevin. Letta langsung menyandarkan Jevin di pangkuannya, “Jevin!!” teriakan Letta memecah kebisingan, guguran kelopak bunga tadi adalah guguran dari bouquet bunga yang Jevin hendak berikan bagi Letta.

Beberapa orang sudah langsung menelepon ambulance, sebuah mobil menghantam tubuh Jevin saat Jevin menyeberang jalan, tapi sang pengemudi melarikan diri, insiden itu terjadi saat Jevin ingin kembali menghampiri Letta dan memberi kejutan kecil darinya. Jevin terpejam, tak merespon apapun yang Letta katakan, persetan dengan baju Letta yang kini berlumur darah.

“Jevin ... sayang ... bangun,” tangis Letta histeris saat itu tapi Jevin tak membuka matanya meski Letta beberapa kali menggoyangkan pelan tubuh Jevin.

Beberapa orang mencoba menenangkan Letta yang menangis histeris. “Jevin! Kamu denger aku kan? Jevin!! Bertahan, please sayang, please, yang kuat, jangan tinggalin aku... Jevin!!” tangis Letta semakin menjadi sambil menggenggam tangan Jevin.

Kali ini, Jevin menuju ke Rumah Sakit seorang diri. Usai menjemput Letta dan Eugene, Jevin membawa mereka pulang ke rumah untuk beristirahat dan berniat keesokan harinya mengajak anak dan istrinya untuk menjenguk Papanya. Tapi, saat Jevin tiba di Rumah Sakit, Lauren sudah menunggu di ambang pintu ruangan masuk Rumah Sakit. Pandangan Lauren tidak ramah dan tidak teduh, Jevin menghentikan langkah saat ada beberapa meter berjarak dari Lauren. Hingga akhirnya Lauren yang berjalan mendekati Jevin, menarik tangan Jevin ke sudut area parkir yang sepi.

“Ci, kenapa, sih?” tanya Jevin sedikit membentak. Lauren menghempaskan tangan Jevin kasar, menatap Jevin dengan mata yang memicing, lalu berjalan mendekat ke tubuh adiknya itu, “bikin ulah apa lagi?” katanya dengan nada penuh penekanan.

Jevin terbelalak, bagaimana kakaknya bisa mengetahui yang terjadi? Jevin masih diam seribu bahasa, sedikit kikuk saat Lauren mulai berkaca-kaca.

“Gila lo ya? Mama nangis waktu jagain Papa, untung ada gue yang dateng, gue lihat apa yang lo bilang ke Mama. Belum cukup? Selama ini belum cukup, Jev?!”

“Ci ...”

“Dari dulu, selalu bikin semua orang sedih. Dari waktu kita masih sekolah, lo hancurin hati Mevin dulu yang pertama, terus apa yang lo lakuin sama Stella dulu hancurin hati kita sekeluarga, terus setelah itu ulah lo yang lain. Setelah nikah, urusan sama Stella sampai sekeluarga harus turun tangan, gue kira itu yang terakhir. Sekarang apa lagi? Apa lagi ini, gue tanya sama lo! Letta kurang sabar apa sama lo? Letta kurang baik dan kurang tegar apa jadi istri? Kantor Papa lagi nggak baik-baik aja, kan? Something wrong sama jantungnya Papa yang bikin Papa perlu pengobatan khusus. Mama? Pasti udah hancur dan kepikiran Papa, jangan nambahin apa-apa lagi, jangan... bisa nggak sih, Dek?!” kali ini Lauren benar-benar marah, wajahnya merah padam, matanya sudah berair, sekalipun bibirnya pun bergetar dalam menyampaikan kalimatnya, Lauren berusaha mengatur emosinya yang sebenarnya sudah ingin meledak lebih dari ini.

Lauren melangkah sekali lagi mendekat ke arah Jevin yang masih tertunduk tanpa kata. “Gue ini kakak lo, gue ini kakak lo sama Mevin, gue kepikiran kalau ada apa-apa sama kalian. Gue nggak tahu mau ngadu ke siapa kalau ada apa-apa sama keluarga ini. Gue mohon sama lo, Jev ... gue mohon jangan ada hal buruk yang terjadi lagi,” kata Lauren lagi, kini ia tertunduk, memukul dada Jevin dengan kepalan tangan.

Yang diberi perlakuan tidak berkutik, tapi mata Jevin sudah panas karena air mata mengantre keluar dari pelupuk matanya.

“Ci, maafin gue ... Ci...” suara Jevin lirih terdengar. Tangan Lauren terangkat lagi hendak mendarat di dada Jevin, tapi seseorang menahan tangan Lauren, membuat Jevin dan Lauren menoleh saat itu juga.

“Jangan berantem, gue mohon.” Mevin pemilik suara itu, Mevin ada di sana menengahi kedua saudaranya.

“Ci, Jev, jangan kayak gini.” Mevin berkata dengan nada memohon. Lauren pun perlahan melepaskan tangannya yang Mevin genggam.

Mevin menatap satu per satu antara Jevin dan Lauren bergantian, “Cici jangan emosi, ya? Dan lo, Jev, please be wise when doing something, I beg you. Papa mau dirujuk ke Rumah Sakit lain besok. Cici, please pretend like nothing happened di depan Papa. Jevin, gue rasa lo cukup dewasa dan bijak untuk selesaikan semua sama Letta. Cici dan Jevin, dan gue juga, kita harus kuatin Mama juga, gue tahu kantor lagi nggak baik-baik aja, kan? Apalagi Mama, babak belur hatinya, jangan nambah beban apapun. Kesembuhan Papa penting sekarang, bisa kan?” katanya.

Lauren langsung menangis, seketika semua lupa cara tersenyum, Lauren menutup wajahnya dengan telapak tangannya, “gue nggak mau Papa kenapa-kenapa, Papa harus sehat lagi,” tangisnya. Jevin yang ada di depannya langsung menarik Lauren ke pelukan, saat itu juga Lauren pecah dalam tangis, disusul Mevin yang mengusap punggung Lauren. Mau bagaimanapun, ketiganya tetap saudara yang dibesarkan dari kecil dengan kasih sayang dan didikan yang sama. Luka dan suka dipikul bersama.

“Gue mau Papa sembuh, gue mau keluarga kita dan semua keadaan kita baik-baik aja,” kata Lauren di sela tangisnya.

“Maafin gue ya Mev, Ci. Gue yang paling banyak bikin masalah, even setelah dewasa pun gue banyak bikin keluarga ini capek,” ujar Jevin sambil menyeka air matanya sendiri dengan satu tangannya, sedang satu tangannya yang lain masih menepuk pelan punggung Lauren. Saat itu juga Mevin memeluk kedua saudaranya itu, memeluklah mereka bertiga dengan perasaan dan doa yang dipanjatkan dalam setiap bulir air mata yang jatuh.

“Kuat-kuat kita, buat Mama, buat Papa dan semuanya. Yang kuat, gue yakin Tuhan lagi uji keluarga kita, gue yakin juga setelah ini ada rencana Tuhan yang lain buat kita sekeluarga,” kata Mevin.

Kekhawatiran dan kesedihan mereka bertiga tepis sejenak, hapus air mata bersamaan tak menjamin mata mereka bisa berbohong usai menangis. Jevin, Mevin dan Lauren pun saling tersenyum haru satu sama lain lalu masuk ke Rumah Sakit bersamaan menuju ruang rawat Papa mereka.

Tiba di ruang rawat, Mama mereka sudah berdiri di ambang pintu, Lea langsung bergegas menghampiri ketiga anaknya, wajahnya sedikit pucat dan panik seakan menunggu sesuatu dengan perasaan tidak tenang.

“Mama kenapa?” tanya Lauren.

“Papa katanya mau ketemu Jevin,” kata Lea. Jantung Jevin langsung berdegup kencang, melihat raut wajah Mamanya yang mengisyaratkan bahwa keadaan tidak baik-baik saja membuatnya semakin cemas. Jevin melangkah cepat dan masuk ke ruangan itu sementara Lea, Mevin dan Lauren menunggu di luar.

Beberapa tahun lalu .... “Makasih kakak udah wujudin keinginan Eve buat punya buku sendiri.” Eve menarik kedua ujung bibirnya, matanya pun sama berkaca kaca dengan Jevin saat ini. Eve masih di posisi berbaring dengan beberapa alat menempel di tubuhnya. Eve mengalami kecelakaan saat di perjalanan, dan kali ini kondisi Eve memang tidak baik-baik saja. “Iya, you deserve it, sayang. Sembuh, ya? Kuat, ya?” Jevin mengecup kening Eve. “Kak,” kata Eve yang terhenti saat hearing aidnya terlepas begitu saja karena menoleh memandangi wajah Jevin. Eve menggerakkan satu tangannya perlahan, menaruhnya di depan dada, lalu menyilang, dan berakhir menunjuk Jevin. Aku sayang kamu, artinya. Jevin menangis terisak saat itu juga. Sign language yang Eve berikan membuat hati Jevin hancur. Ia pun memeluk kekasihnya seakan mengatakan semua akan baik-baik saja. “Aku juga sayang kamu, sayang banget, Eve hebat, Eve baik,” ucap Jevin diiringi suaranya yang parau meski hal itu tidak akan bisa didengar Eve. “Kak Jevin ...” Suara Eve bertambah lirih. Kalimat itu Eve rapalkan dengan napas yang semakin berat. “Please, bertahan, ya, Ve. Kali ini aku mohon.” Jevin merasakan Eve memeluknya sedikit lebih erat, “Kak Jevin―” “Iya, Sayang?” tanya Jevin. Kemudian hening. “Kenapa? Eve?” Jevin merasakan tangan Eve tidak memeluknya lagi. Perlahan Jevin merenggangkan pelukan. Dilihatnya Eve sudah menutup matanya. “Eve.” Jevin menggoyang pelan tubuh Eve, tetapi tidak ada respons. “Sayang? Ve?” Jevin menggenggam tangan kekasihnya, tangan itu mulai dingin. “Eve!!” Jevin tidak bisa menahan isak tangis histerisnya. Ia memeluk tubuh Eve yang sudah tidak berdaya dengan sesekali menggoyangkan tubuh itu. Air mata Jevin langsung tumpah tanpa komando. Air matanya baru tumpah kali ini, melepas kepergian dermaga hatinya untuk selamanya, bersama seluruh harap dan asa yang hanya akan menjadi semu belaka. Ayah, Bunda, Efraim bahkan Letta juga yang langsung menyusul ke sana yang berada di luar ruangan terkejut mendengar teriakan Jevin lalu mereka bergegas memasuki ruangan. Letta langsung menarik tubuh Jevin. Alex dan Anne kedua orang tua Eve melihat monitor di sebelah tubuh Eve menunjukkan garis lurus. Semua tidak bisa membendung air mata mereka. Alex teringat belasan tahun seakan tidak bisa menerima kehadiran Eve, memandang anaknya itu sebelah mata, Alex jelas mengingat bagaimana ia mengabaikan anak pertamanya itu. Sesal bermukim di dalam hati Alex kali ini. Anne langsung jatuh berlutut tersungkur di sebelah ranjang Eve, meraung menangis keras-keras bahkan hingga pingsan di pelukan Efraim. Sementara Alex masih berada di sana masih berlutut sambil menggenggam tangan anaknya yang sudah tak bernyawa itu. Sementara Jevin masih histeris meneriakkan nama Eve dan meminta wanita itu untuk membuka mata. Ia mengabaikan kehadiran Letta. “Eve, nggak boleh pergi! Nggak boleh!” Jevin masih berusaha meraih tubuh Eve, tetapi dihalangi oleh Letta yang menahannya. “Lett! Eve pasti bangun, kan?! Gue udah janji mau serius sama dia! Iya, kan Eve bangun kan?!” Jevin semakin menjadi dalam kenyataan yang harus ia terima ini. Ia bersimpuh di dekat brankar rumah sakit sambil terus memandangi tubuh kekasihnya yang tidak akan bangun lagi. Jevin luruh dalam tangisnya kala menyaksikan dokter dan suster melepas satu persatu alat yang menempel pada tubuh Eve. “Jev, yang ikhlas. Ikhlasin.” Letta merangkul Jevin dan menangis juga di sana. Jevin masih terus menangis memandangi tubuh kekasihnya yang sudah tidak bernyawa. Mata Eve sudah terpejam dan tidak akan pernah terbuka kembali. Tangisan Jevin dan Letta pecah di situ. Ayah, bunda dan Efra saling memeluk dan tidak bisa menahan tangis melihat Eve yang ceria sudah mengakhiri pertandingan dalam hidupnya di hari bahagia dalam hidupnya, hari yang sudah lama Eve nantikan. Jevin merasa seperti ditusuk pisau di sekujur tubuhnya. Hanya sakit yang ia rasakan. Kebahagiaan yang selama ini ia cari harus hilang. Jevin harus kehilangan setelah ia menemukan. Harapannya pupus semua mimpinya yang sudah ia rajut dengan Eve harus terhenti di sini. Tidak ada tangan yang bisa ia genggam lagi, tidak ada tawa yang menghiasi hari-harinya lagi, tubuh yang biasa ia peluk kini sudah pergi. Jevin harus menerima kenyataan, bahwa ia harus kehilangan seseorang yang berpengaruh dalam hidupnya, seperti ada sesuatu dari bagian hidupnya yang hilang dalam sekejap. Posisi Eve di hati Jevin dan yang lain tidak akan terganti. Semua momen kebersamaan bersama Eve terlintas dalam pikiran Jevin saat ini. Raga Jevin dan Eve tidak lagi bersama, tetapi mereka masih bisa bertemu dalam doa dan mimpi. Eve sudah mempunyai tempat tersendiri di relung hati Jevin. Kehilangan yang tiba-tiba, tidak ada yang siap menerimanya. Jevin menyayangi Eve dalam keadaan apa pun. Namun, setiap pertemuan pasti akan menghadapi perpisahan. Tidak ada yang abadi. Jevin melepaskan pelukan Letta, ia kembali mendekat memandangi kekasihnya yang tampak seperti sedang tertidur dengan senyum yang indah. Jevin hanya manusia biasa yang tidak bisa melawan takdir walaupun ia tidak bisa menerimanya. Sekali pun Jevin menginginkan kehadiran Eve kembali, itu tidak akan bisa. Jevin harus siap melepaskan dan merelakan. Mereka hanya sejauh doa. Hanya raga mereka yang terpisah. Bahkan, sampai napas terakhir Eve pun ia masih mencintai Jevin. Saat brankar rumah sakit itu didorong keluar dari ruangan itu oleh beberapa perawat, Jevin menghardiknya. Tangis dan teriakan Jevin beradu kala itu. Untuk terakhir kali dengan sepenuh hati. “Sampai jumpa di keabadian, Genevieve Agatha Elizabeth.” Jevin berkata lirih nyaris tak terdengar lalu mengecup punggung tangan yang sudah mulai dingin itu, luruh hancur seluruh dalam mengiring kepergian kala itu. Hati sungguh tak bisa mendustai, hancur saat itu, yang dicinta tak akan pernah kembali. Eve masih menjadi sebaik-baiknya tujuan hati Jevin bermuara, kemanakah hati Jevin harus berlabuh setelah ini? Kepada siapa Jevin harus mengadu rengkuh? Jevin mencintai Eve dengan cara yang tak biasa, begitu juga dengan Eve yang mencintai Jevin dengan luar biasa. Napas terakhir perempuan cantik bernama Genevieve Agatha Elizabeth, berembus hari ini. Selamat jalan, Eve.

Saat ini .... Jevin melangkah masuk melihat Papanya masih terbaring lemah, Jevin mendekat dan duduk di kursi tepat di sebelah tempat tidur Papanya. Jeremy langsung tersenyum saat melihat Jevin di sana. Jevin tak bisa sembunyikan kesedihan, matanya masih merah dan berair, Jevin juga membalas senyuman Papanya itu.

“Papa, cepet sembuh, ya. Papa jangan banyak pikiran.” Jevin berkata meski dengan sedikit malu. Malu karena selama ini ia adalah sumber masalah di keluarga ini, Jeremy belum menjawab apapun tapi Jevin sudah tertunduk, perlahan menangis tanpa suara.

“Kamu sama Letta baik-baik aja?” tanya Jeremy yang membuat Jevin mengangkat wajahnya menatap Papanya heran.

“Papa nggak mau ada perceraian di keluarga kita. Papa nggak mau kalau dengar kabar perpisahan dari keluarga anak-anak Papa,” kata Jeremy lagi.

“Pa...”

“Jevin anak baik, Papa berulang kali dibuat bangga sama perubahan baik Jevin. Papa selalu berdoa biar Jevin selalu diberkati dalam kehidupan, Jevin harus jadi pemimpin di kantor yang bijaksana ya. Jangan takut kalau Jevin nggak bikin salah, kebohongan sekecil apapun yang orang-orang sembunyikan pasti bakalan terbongkar. Semua orang, termasuk kita. Semua hal yang udah terjadi sama Jevin sampai detik ini semoga bikin kamu ngerti kalau kehidupan selalu berubah. Jangan sakiti siapapun lagi, ya?” ujar Jeremy dengan suara beratnya. Jevin tertunduk lagi, menggenggam tangan Papanya dan menangis terisak di sana.

“Jevin harus jadi Ayah yang baik buat anak-anak, harus jadi pemimpin yang baik di kantor, harus jadi saudara yang baik dan care satu sama lain buat Cici sama Mevin, juga suami yang bertanggung jawab buat Letta. Wanita yang udah kamu pilih buat jadi teman sepanjang usia, sampai maut memisahkan. Jaga kepercayaannya.” Kalimat Jeremy membawa Jevin turun dari kursinya, bersimpuh di sebelah Jeremy sambil menggenggam tangan Papanya.

“Maafin Jevin ... Maafin Jevin, Pa...” tangis Jevin yang sebenarnya bisa didengar Mevin, Lauren dan juga Lea di luar sana karena Jevin membiarkan pintu ruangan itu terbuka sedikit.

Lea sudah menangis di pelukan Mevin, lagi dan lagi ketegaran Lauren sebagai anak pertama diuji, tak Lauren biarkan air matanya menetes tapi matanya sudah berkaca-kaca lagi. Mevin tak henti menenangkan Mamanya meski hatinya juga hancur.

“Mama takut... Mama nggak mau Papa kenapa-kenapa,” kata Lea di sela tangisnya. “Papa pasti sembuh, Ma. Yakin, percaya semua yang terjadi itu baik kalau semua dari Tuhan.” Lauren masih terus coba tenangkan Mamanya itu.

“Jevin minta maaf sama Papa, Jevin minta maaf, Pa. Jevin selalu jadi yang bikin ulah di keluarga ini dari dulu. Papa harus sembuh, ya... ya, Pa?” kata Jevin dengan suaranya yang bergetar lalu menatap Papanya. Sementara itu yang Jevin lihat adalah satu tangan Papanya memegangi dada dan merintih sakit.

“Pa..” seketika Jevin gemetar bukan main teringat saat ia harus melepas kepergian Eve selamanya di pelukannya. Jevin langsung merasa sesak di dadanya, keringat juga bercucuran di wajah Jevin. Tak ragu, Jevin memencet bel yang ada di tembok.

“Papa, Pa,” Jevin juga menjadi panik. Saat itu juga bersamaan dokter yang menangani Jeremy datang, juga tangisan dan kepanikan Jevin membuat Lea, Mevin dan Lauren masuk ke sana.

“Sayang, kenapa? Sayang!” tangis Lea tak terbendung saat melihat suaminya merintih kesakitan. Perawat meminta semua menunggu di luar, akhirnya mereka berempat menunggu di luar. Jevin langsung menghantam tembok dengan kepalan tangannya, hal itu dicegah Mevin, saudara kembar Jevin itu langsung mencengkeram kedua bahu Jevin tapi Jevin terus memberontak, percobaan memberontak selanjutnya membuat Mevin geram dan Mevin memekik nama Jevin lantang.

“Jangan ribut.. udah, Jevin, Mevin, udah Nak, udah.” Lea memohon sambil melerai kedua anaknya itu.

Dada Jevin masih naik turun, saling memandang tajam dengan Mevin, sementara Lea berusaha menengahi dibantu Lauren.

Saat itu juga semuanya terdiam, hanya ada tangisan tanpa suara yang mereka masing-masing tahan.

“Nyesek banget rasanya setiap lihat ada orang terdekat yang sakit. Trauma gimana Eve pergi selamanya di pelukan Jevin itu masih teringat jelas. Setiap ada yang sakit di keluarga kita, sebenernya Jevin ketrigger, Jevin takut, banyak ketakutan. Dan tadi bener-bener bayangan kehilangan itu datengin Jevin lagi, Papa harus sembuh!” Jevin berkata dengan nada tinggi diiringi derai air mata, Jevin langsung berbalik badan dan membenturkan kepalanya ke tembok, hal itu langsung dicegah Lauren, Lea dan Mevin. Terutama Mevin yang ada di sana, Mevin langsung membekukan Jevin, menarik tubuh Jevin dan menghantamkan pelan punggung Jevin ke tembok. Sementara Lea ditahan Lauren di pelukannya.

“Lo denger ya, kita semua juga hancur, tapi gue mohon jangan nyakitin diri lo sendiri. Ya? Kita sama-sama harus kuat. Kenangan itu emang nggak menjamin bisa hilang bahkan sampai kita pergi selamanya nanti, tapi, dunia harus terus berjalan, semua rasa sakit harus dilawan pelan-pelan. Jangan nyakitin diri sendiri. Jev, kita semua butuh lo, Letta, Eugene, dan calon anak kedua lo. Inget itu,” kata Mevin, nyatanya itu membuat Jevin lumpuh seketika, Jevin terjatuh terduduk ke lantai, menangis sambil memeluk lututnya yang ia lipat sendiri. Tepukan pelan di punggung dan pundak Jevin bergantian nyatanya jadi sedikit penenang bagi Jevin. Tapi saat Jevin sudah sedikit tenang, tiba-tiba Lauren menjerit, “mama!” Mevin dan Jevin refleks menoleh, Lea sudah pingsan di pelukan Lauren.

Setelah mendapat pesan yang tidak mengenakkan dari Jevin, Letta memilih untuk pergi ke rumah adiknya, Verica. Ia pergi dengan menggendong Eugene yang masih rewel ke sana. Harusnya ia menyampaikan kabar bahagia atas kehamilannya yang kedua dengan sukacita juga kepada Jevin, tapi keadaan tidak berpihak kepadanya saat ini. Yang Letta dapatkan hanya keributan selama berinteraksi dengan Jevin.

Jevin dan Letta sama-sama pernah marah dan mengutuk atas nasib buruk mereka, tapi pada akhirnya mereka saling menyembuhkan dan saling memeluk. Lama keduanya menjalin hubungan terlebih dibawah naungan pernikahan, nyatanya membawa mereka merasakan lika liku perihal kehidupan yang belum pernah mereka jajaki sebelumnya.

Bagaimana mengatur keuangan rumah tangga, bagaimana akan memprioritaskan kebutuhan, bagaimana mendidik dan mengasuh buah hati mereka berdua, bagaimana menghadapi masalah kecil yang berdampak besar bagi kehidupan mereka. Dan kini, mereka kembali diperhadapkan kepada masalah internal yang membuat keduanya berjarak. Seperti kali ini, Jevin dengan segala emosinya mengutuk dirinya sendiri yang merasa kurang cakap menjadi seorang ayah dan suami.

Usai menerima pesan dari Letta, Jevin yang sudah ada di rumah tidak menjumpai Letta di sana bersama Eugene. Lalu Jevin berusaha menelepon Letta, tapi hasilnya nihil, Jevin juga coba menghubungi Cleo, tapi hasilnya juga nihil. Kali ini, Letta berniat pergi ke suatu tempat, Letta masih berada di pinggir jalan, menggendong eugene dan membawa sebuah tas jinjing. Badan Eugene yang masih panas sebenarnya juga membuat Letta khawatir membawa Eugene keluar rumah.

Tapi, jika bertemu Jevin mungkin pertengkaran hebat yang akan terjadi. Di sisi lain, Jevin sibuk melacak keberadaan Letta, Jevin juga berusaha terus untuk mengirim pesan kepada Letta dan menghubunginya, tapi Letta menolaknya. Akhirnya dengan petunjuk lokasi ponsel Letta, Jevin mengikutinya. Jevin paham betul bahwa Letta hendak menuju ke kediaman Verica dan Jordie. Tak butuh waktu lama untuk Letta naik taksi karena jarak yang tidak terlalu jauh, sekitar lima belas menit, Letta sudah tiba di kediaman Verica.

Adik ipar Letta itu langsung menyambut kedatangan Letta dan membantu membawakan tas jinjing Letta dan langsung mengajak Letta ke kamar untuk menidurkan Eugene yang sudah terlelap. Letta datang ke sana dengan kondisi sudah menangis. Maka setelah Letta menidurkan Eugene di tempat tidur, Verica dan Letta duduk di tepi tempat tidur dan berbicara empat mata.

“Kak, kenapa?” tanya Verica sambil mengusap lengan Letta. Sementara Letta terisak, dan susah untuk mengatur kata-katanya.

“Pelan-pelan ceritanya, nggak papa, Kak Letta sama Kak Jevin kenapa?” tanya Verica lagi. Hingga saat Letta sudah sedikit tenang, Letta mulai angkat bicara, “aku hamil lagi, and I thank God for this, tapi, aku sama Jevin akhir-akhir ini nggak baik-baik aja. Aku nggak tahu dia kenapa, aku nggak ngerti dia ada masalah apa, Eugene sakit dia ngomel, nanggepin chatku seakan-akan aku ganggu dia. Aku nggak paham, Ver. Lagi lagi, rumah tanggaku sama Jevin ada celah, ada yang retak diantara aku dan Jevin. Terakhir kali insiden antara aku, Jevin, Stella udah cukup bikin aku trauma, aku takut kalau ada perpisahan.”

Verica pun memeluk Letta, ia berkata, “kak, ada baiknya diomongin berdua kalau udah sama-sama berkepala dingin, komunikasi, Kak. Nggak boleh ada yang pisah, Tuhan nggak suka perceraian, Kak, inget itu. Kalau mau tenangin diri dulu disini nggak papa, aku beliin kakak makanan dulu sama Eugene ya.”

“Nggak usah, Ver.”

“Aku mau beliin bubur buat Eugene, sama buat kakak, santai aja, disini dulu nggak papa. Kakak istirahat, ya? Ada mbak Ana kok, kalau butuh apa-apa bilang aja ke mbak Ana,” kata Verica tersenyum, dibalas anggukan Letta, Verica keluar dari kamar itu. Mbak Ana adalah asisten rumah tangga di kediaman Verica yang tentu saja sudah mengenal Jevin dan Letta sejak dulu.

Sementara itu, Jevin mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi berharap belum terlambat sampai di kediaman Verica. Sesampainya di rumah Verica, keadaan sepi, tidak Jevin jumpai Letta dan Lea ataupun Eugene, bahkan Jordie ataupun Verica. Jevin hafal betul dimana Letta biasanya menginap jika ada di rumah ini.

“Eh, Mas Jevin,” sapa mbak Ana yang membukakan pintu kala itu.

“Mbak, Letta disini? Verica sama Jordie ada?” tanya Jevin.

“Non Letta di kamar biasa, ibu lagi keluar kalau bapak pulang malem nanti.”

“Oh, oke, makasih Mbak.” Jevin tersenyum sambil menganggukkan kepalanya lalu berjalan cepat menuju kamar yang dimaksud.

Tiba di ambang pintu kamar, ia sayup-sayup mendengar senandung Letta menyanyikan lagu, tidak lain pasti Letta tengah menidurkan Eugene. Maka Jevin buka pintu itu perlahan, dilihatnya Letta tengah bersandar di ranjang dan Eugene terlelap di sebelah Letta dengan posisi memeluk perut Letta.

“Lett... ” Lirih Jevin kala itu. Letta menoleh dengan tatapan yang datar, jauh dari kata ramah. Letta pun membenarkan posisi Eugene dan menyelimuti anaknya lalu berjalan keluar, diikuti Jevin, beberapa kali Jevin coba menarik lengan istrinya itu tapi Letta hempaskan kasar. Akhirnya keduanya berada di halaman belakang rumah Verica itu.

“Mau ngomong apa?!” tanya Letta ketus.

“Let, kamu hamil lagi? Control ur emotion, I'm sorry... Really sorry.” Jevin melihat Letta memalingkan wajah ke kanan tapi air matanya mengalir begitu saja dan Letta usap kasar dengan punggung tangannya.

“Pertama, aku minta maaf. Aku kebawa emosi waktu chat kamu. Aku cuma mau anak kita jadi mandiri nanti kalau besar, mungkin caraku salah, aku minta maaf. Tapi aku sibuk, alasanku Eugene punya kamar sendiri bukan pengen buang dia atau apa lah, tapi biar kamu juga punya waktu istirahat yang berkualitas. Toh selama ini juga baby monitor nya bekerja dengan baik, dan kamu juga sakit akhir-akhir ini, aku nggak bisa lihat kalian sakit, maafin aku, Sayang, maaf,” kata Jevin sambil meraih jemari Letta.

“Omonganmu nyakitin!”

“Lett, aku gagal sebagai kembaran Mevin. Kamu tau aku banyak kesalahan sama dia yang kalau diukur pakai nalar manusia aku nggak pantes dapet kata maaf, kebahagiaan Mevin banyak yang aku renggut, bukan gitu maksudku. Maaf aku kebawa emosi. Sayang, akhir-akhir ini aku...” Suara Jevin semakin lirih bahkan terdengar parau di kalimat terakhirnya yang belum usai itu.

“Lett, setiap ada anggota keluarga yang sakit aku nggak bisa lihatnya. Terlalu sering keluarga ini dapet cobaan yang hampir renggut nyawa. Papa, Mama, Mevin, bahkan kamu.” Jevin melanjutkan kalimatnya.

Letta mulai membawa pandangannya ke arah Jevin, “aku nggak pernah sakit.”

“Pernah, waktu harus dapet donor hati dari Eve,” kata Jevin yang membuat Letta mengingat kembali portal masa lalu beberapa tahun silam sebelum Letta menikah dengan Jevin. Memang benar, Letta memerlukan donor hati untuk sebagian bagian hatinya yang rusak.

“Mulai dari kamu, Mevin, Mama, Papa, semua pernah sakit dimana aku harus ada buat berdoa untuk hasil terbaik atau kemungkinan terburuk. Bukan aku nggak peduli sama Eugene, kamu juga sakit kan sekarang? Bahkan dalam keadaan hamil. Maaf, aku tuh takut, setakut itu kehilangan atau harus keulang lagi lihat anggota keluargaku di rumah sakit dengan kondisi yang nggak pernah aku bayangin sebelumnya. Kamu juga setelah menikah sama aku harus operasi kista, kena vonis nggak bisa punya anak, kamu depresi, aku lebih depresi, lihat kamu nangis aku nggak kuat. Sampai akhirnya Tuhan kasih Eugene buat kita. Untuk beberapa waktu ini... Aku udah ngerasa kalau kamu hamil anak kita, tapi aku belum berani nanya, maaf... Maafin aku. Aku pengen Eugene mandiri juga biar nggak brengsek kayak aku waktu muda dulu aku nggak mau anakku kayak aku, Lett. Maaf... ” Jevin mulai tertunduk dan akhirnya berlutut di hadapan Letta sambil masih menggenggam tangan istrinya itu.

“Nggak perlu bawa bawa masa lalu, apalagi tentang Mevin. Pada akhirnya hubungan antara aku dan Mevin yang pernah ada itu jembatan untuk akhirnya Mevin berlabuh sama Grace dan aku sama kamu, ngerti?” Letta berkata dengan tenang tapi Jevin tidak menjawab karena masih tertunduk dan menahan air matanya.

“NGERTI NGGAK, JEVIN?! JAWAB AKU!!” pekik Letta lantang sambil menghempaskan genggaman tangan Jevin, saat itu juga Jevin tersungkur lalu secepat kilat memeluk perut Letta dengan posisi masih berlutut. Punggung Jevin bergetar hebat, tangisannya pecah saat itu juga.

“Maafin aku... Maafin aku... Aku paham, aku ngerti, maaf... Aku sayang kamu, Lett, aku sayang kamu, Eugene dan calon anak kita... Maafin aku...” Bahkan suara tangis Jevin menambah pilu dan sayatan di hati Letta kala itu.

“Berapa kali bahtera rumah tangga kita retak? Kamu mau bikin hancur beneran atau gimana, Jev?!” bentak Letta sambil menangis. Ia merasakan Jevin menggeleng cepat sambil terus menangis memeluk perut Letta dan di posisi berlutut. Jevin bersimpuh menangis sejadi-jadinya. Mendengar tangisan Jevin yang semakin menjadi memang awalnya membuat Letta bertahan di posisi itu beberapa saat, tapi Letta mulai merendahkan tubuhnya saat ia sudah mengatur napasnya, mulai merengkuh tubuh Jevin yang membungkuk, Letta memeluk tubuh gagah suaminya yang masih bergetar karena tangisan itu.

“Tapi hal lain yang ganggu pikiran aku akhir-akhir ini karena Papa kena serangan jantung, semua nggak baik-baik aja, aku nggak tahu harus gimana,” bisik Jevin lirih.

“Kenapa kamu nggak bilang kalau Papa sakit?” kata Letta lirih sambil mencoba tenang walaupun sebenarnya ia juga terkejut. Jevin mendongak sejenak, menatap istrinya yang menangis lalu memeluknya erat.

“Aku takut, kita masih kayak perang dingin, aku kira satu hari itu udah dan Papa bisa pulang ternyata catatan medis kurang baik, Papa kena serangan jantung, ada yang ribut sama Papa karena Papa pecat dia karena korupsi uang kantor. Tapi Papa yang diancem sampai ribut besar, Papa sekarang masih di rumah sakit, maafin aku. Kamu sama Papa sakit, Eugene juga, Mama juga terpukul banget. Semua nggak baik-baik aja dan aku cuma bikin runyam. Maafin aku, Lett...” Keduanya saling memeluk dan mencurahkan tangisan dan saling mengucapkan maaf, tak lagi saling mengutuk tapi saling memeluk. Letta tidak bisa berkata apa-apa lagi.

“Papa udah sempat pesen ini itu ke aku, kayak ... aku nggak kuat dengernya, bayangan kehilangan Eve hadir lagi, Papa pesen-pesen ke aku waktu nggak ada siapa-siapa, Papa masih nanyain kamu dan Eugene walaupun kondisinya lemah, Papa juga sempat bilang kalau suatu saat Papa nggak ada...” Kalimat Jevin terhenti karena Jevin yang langsung menangis meraung saat itu juga. Bayangan Jevin saat harus melepas Eve selamanya di pelukannya memang tidak bisa dilupakan rasanya, melepas kepergian selamanya seseorang yang berharga, menjadi saksi bagaimana embusan napas terakhir orang yang kita sayang itu ada di pelukan kita memangs sesakit itu bahkan mungkin akan teringat sepanjang usia.

Jevin kembali tertrigger hal tersebut, ia menangis sejadi-jadinya, ia memukuli dadanya sendiri, membuat Letta juga teringat waktu itu, tangan Letta yang gemetar mencoba tahan tangan Jevin yang terus memukul dada dan kepala Jevin bergantian.

“Udah.. udah... Jevin...”

“Jevin!” ucap Letta lagi dengan nada tinggi yang membuat Jevin diam, air matanya mengalir deras tapi pandangannya terkunci di iris mata Letta. Bibir Jevin bergetar saat berkata, “jangan pergi... Jangan tinggalin aku,” Letta mengangguk lalu mengecup kening Jevin dan memeluklah mereka berdua lagi. Tak henti Jevin ucapkan kata maaf, tak henti Jevin ucapkan kata cinta tulus dari hati terdalamnya.

“Kalau aku nyakitin kamu, boleh untuk kamu ninggalin aku, Letta. Aku janji, aku janji,” kata Jevin seperti orang ketakutan. Letta meledak dalam tangis juga, keheningan dipecah oleh tangisan kedua insan yang saling merengkuh itu. Tiba-tiba Jevin dan Letta merasakan tangan kecil yang hinggap di punggung mereka, keduanya melihat Eugene kecil berjalan dan ada di sana, “Papa, Mama don't cry...” kata Eugene dengan mata yang berkaca-kaca. Tangan mungil Eugene meraih pipi Jevin seakan mengusap air mata Jevin membuat Jevin memegang tangan mungil itu, menahannya di pipinya untuk ia kecup sejenak.

Jevin pun bergerak beralih menangkup pipi anaknya itu, “I'm sorry... Papa love you so much, Papa sayang Eugene,” kata Jevin.

“Eugene juga sayang Papa sama Mama,” kata Eugene yang langsung memeluk sosok Papanya itu, diikuti Letta yang juga memeluk, keluarga kecil ini memang berbekal pengalaman hidup yang tidak mudah tapi berjanji akan saling memperbaiki ke depannya bersama, sekuat tenaga, sampai akhir, sampai raga keduanya terpendam. Kali ini Jevin berjanji sepenuh hati, kali ini tak akan ada lagi perpisahan atau celah keretakan dalam bahtera rumah tangga mereka. Berkat baru didapatkan Letta dan Jevin lagi kali ini, kehamilan kedua Letta adalah wujud nyata kasih Tuhan, vonis dokter dan tim medis yang berkata Letta akan sulit memiliki keturunan nyatanya dipatahkan oleh kuasa Tuhan, kehadiran Eugene dan calon adik Eugene adalah bukti bagaimana kita umatNya hanya perlu berserah, biar Tuhan yang bekerja. Dalam segala hal, dalam setiap langkah kehidupan, untuk setiap pergumulan akan ada titik terang, tapi tergantung kita berlari menjauh atau mendekat kepadaNya. Untuk setiap sakit akan sembuh pada waktu yang tepat, Tuhan tidak akan ijinkan “PULANG” sebelum waktunya. They promise to fix their broken vessel again.

Sebelum Jevin sampai di rumah, Letta sibuk seorang diri sambil mengurus Eugene yang sedang sakit. Awalnya, Letta kuatkan hatinya dan dirinya karena ia juga merasa kurang enak badan. Sekujur badannya sakit karena harus sering menggendong Eugene, tidak napsu makan, beberapa kali ia merasa mual dan tubuhnya lemas.

Entah apa lagi yang terjadi di antara Jevin dan Letta kali ini. Jevin juga tiba-tiba menjadi mudah marah walaupun di chat saja. Hal itu membuat Letta bertanya-tanya.

Kali ini, Letta tengah menyuapi Eugene di kamarnya, tapi Eugene masih susah makan.

“Ayo, Nak, dimakan dulu biar bisa minum obat. Jangan nggak makan, biar cepet sembuh,” kata Letta memohon.

“Nggak mau… Eugene nggak mau makan,” rengek Eugene.

“Kata uncle Mevin apa? Harus makan, kan?”

“Nggak enak, obat pahit, Eugene nggak suka, Ma…”

Letta menghela napas panjang, mulai menyerah dengan anaknya. Saat itu bersamaan dengan Jevin yang membuka pintu kamar, wajah Jevin juga tidak menunjukkan sukacita. Diri Jevin sekalipun sangat terlihat berantakan.

“Jev, boleh suapin Eugene sebentar? Aku siapin obatnya dulu,” kata Letta sambil berjalan mendekati Jevin. Tak ada suara dari Jevin melainkan hanya anggukan saja. Jevin menerima mangkok yang Letta berikan untuknya lalu berjalan dan duduk di kasur di sebelah Eugene yang bersandar. Letta pun keluar kamar dan mulai menyiapkan obat yang harus Eugene minum.

Tapi saat Letta sedang menyiapkan obat-obatan itu, ia merasa sedikit mual, dan pandangannya kabur. Letta berpegang pada tembok, ia tundukkan sedikit tubuhnya, rasa sakit di sekujur tubuhnya semakin menjadi, tubuhnya semakin lemas hingga Letta duduk di lantai dan bersandar di tembok tanpa sepenglihatan Jevin.

Keringat dingin mulai keluar dan membasahi wajah Letta, bersamaan dengan itu, Letta mendengar suara Jevin menggerutu di dalam.

“Dimakan dong, Eugene biar sembuh.” “Aduh jangan dimuntahin lagi.” “Dimakan dong, Nak.” “Aduh jangan kayak gitu, nurut sama Papa!”

Jevin belum memberitahu apa-apa tentang kondisi Papanya yang sedang berada di rumah sakit, tapi Jevin juga masih terbawa perasaan kalut karena masalah di kantor, papanya dan kini belum sempat ia bicara apa-apa kepada Letta ia harus mengurus anaknya. Sebenarnya, disinilah ketegaran hati Letta dan Jevin diuji. Sayangnya, Jevin memendam apa yang jadi pikirannya karena tahu Letta sudah lelah mengurus Eugene yang sakit, Letta juga memendam apa yang ia rasakan karena tahu seorang ibu harus kuat untuk anaknya, dan Letta pun belum mengetahui apa apa tentang masalah Jevin.

Akhirnya karena mendengar Eugene menangis, Letta mengumpulkan kekuatannya, menahan tangisnya, mencoba berdiri sekuat tenaga dan masuk ke kamar dengan membawa obat yang harus Eugene minum. Letta langsung duduk di sebelah kiri Eugene, tepat berseberangan dengan Jevin lalu tangan Letta meraih mangkok yang Jevin pegang.

“Biar sama aku aja, kamu istirahat aja beres-beres sana, anak lagi sakit jangan diomelin.” Letta berkata dengan nada ketus.

Jevin bangkit berdiri beranjak dari ranjang, melonggarkan kancing kemejanya, mengambil ponsel dari kantong celananya dan melempar pelan ke atas kasur begitu saja lalu melenggang ke kamar mandi. Jevin menutup pintu kamar mandi dengan sedikit kasar membuat Letta sebenarnya geram tapi Letta menyimpan segenap kekuatannya untuk mengurus Eugene daripada untuk membuang tenaga marah kepada suaminya itu.

Siapa yang sangka, Jevin yang baru saja masuk ke kamar mandi langsung bersandar di tembok perlahan terduduk dan mengacak rambutnya kasar berulang kali. Jevin menangis tanpa suara. Mengingat keadaan kantor yang kacau, keadaan Mamanya dan Papanya, juga Eugene. Terlalu banyak yang terjadi di saat yang bersamaan kali ini. Isakan Jevin ia bungkam sendiri, tak ada yang tahu, tak ada yang mendengar tangisan Jevin.

“Apa lagi, Tuhan? Setelah ini apa lagi yang terjadi?” lirihnya seorang diri.