HARDEST GOODBYE FOR US
Benar saja, sore itu Jeremy dan Lea—kedua orang tua Mevin membawa Kenzie untuk menemani Mevin. Keduanya menikmati ice cream dan bercanda, Kenzie memang sangat dekat dengan Mevin, juga dengan Grace, kekasih Mevin. Entah mereka masih bisa disebut kekasih atau tidak saat ini.
Seumur hidup Mevin, hanya Grace yang membuatnya jatuh dan merasa luruh dalam setiap belaian kasih sayang yang diberikan sebagai dua insan yang memadu kasih. Keduanya sama-sama memiliki luka di keluarga. Mevin dengan latar belakang yang ditinggalkan sosok Mamanya sejak ia lahir, tidak diurus oleh Papa kandungnya, dibesarkan di keluarga yang lain. Serta Grace yang mengalami kehancuran keluarganya di saat ia sudah dewasa, diabaikan Mamanya, dijual oleh Papanya sendiri, menghidupi diri sendiri dan menafkahi diri sendiri dengan usaha sendiri.
Mereka berdua jauh dari kata baik-baik saja sebenarnya. Ketabahan Mevin dan Grace diuji, sama-sama diuji. Selalu ada rengkuh untuk berbagi lelah selama mereka berdua, tapi sudah beberapa lama ini keduanya berjalan masing-masing. Sibuk menata hidup dan hati mereka masing-masing. Sama-sama terluka ternyata juga bukan pilihan yang baik untuk bersama, sama-sama terluka juga bisa hanya menambah duka kala berdua dan menjatuhkan hati lebih dalam lagi.
Tak ada pilihan terbaik untuk saat ini.
Lama waktu berlalu hingga akhirnya Mevin meninggalkan Kenzie sendirian di ranjangnya karena Mevin merasa tidak enak dan ia pun tengah berada di kamar mandi, duduk di kursi rodanya sambil memegangi kepalanya yang sakit.
“Ko Mevin!” panggil Kenzie yang terdengar menusuk rungu Mevin tapi untuk menjawabnya saja Mevin tidak sanggup.
Mevin tengah berada di kamar mandi, masih dengan kursi rodanya, ia menatap dirinya di cermin wastafel yang ada, ia basuh wajahnya yang sayu lalu tatap dirinya di cermin lagi. Mevin seringkali melewatkan jam makannya dengan sengaja. Mevin tidak pernah melakukan kekerasan apapun kepada siapapun, tapi kepada dirinya sendiri, tanpa ia sadari yang ia lakukan membuatnya sakit dan rapuh.
Sekarang ia paham betul bagaimana rasanya ada di titik terendah seperti Grace selama ini, Mevin sakiti dirinya dengan pukul kaca yang menggantung atau langsung memukul tembok. Sengaja tidak makan, atau memang kehilangan nafsu makannya. Mevin kehilangan empat angka dari berat badannya, hal itu sangat terlihat jelas di perubahan di tubuh Mevin yang menjadi agak kurus.
Mevin sedikit memejam saat ia merasakan pusing di kepalanya karena sebenarnya ia berbohong kepada Mamanya mengatakan bahwa tadi malam dan tadi pagi sebelum ke rumah sakit ia sudah makan, kebohongan yang sering Mevin lakukan belakangan ini, bukan tanpa alasan, jelas psikis dan batin Mevin masih belum bisa seperti semula, bahkan mungkin sulit dikembalikan.
Kini Mevin merasa pusing semakin melanda bahkan hingga ke otot matanya, sesuatu di dalam perutnya seakan naik dan memaksa keluar, tubuhnya dingin, semua terasa berputar, dadanya sesak, ia dekatkan dirinya ke wastafel dan ia berpegang di sisi tepi wastafel. Sesuatu dalam perutnya seakan terasa sakit tapi sangat susah untuk ia keluarkan, beberapa kali Mevin mencoba membuka mulutnya memberikan akses agar semua isi perutnya keluar tapi tetap saja susah.
“Koko Mevin!” panggil Kenzie sambil mengetuk pintu kamar mandi. Tapi Mevin tidak menjawabnya, rasanya tidak karuan. Akhirnya karena keringat dingin mulai bercucuran, Mevin nekat membuka mulutnya dan memasukkan satu jarinya memasuki mulutnya hingga ke pangkal tenggorokannya.
Benar saja, saat itu Mevin mengeluarkan semua isi perutnya, beberapa kali muntah, ia menyalakan keran air, berkumur tapi lagi dan lagi ia memuntahkan semuanya, peluh semakin membasahi wajah dan tubuhnya terasa seperti hampir pingsan.
“Koko kenapa? Ko!!” panggil Kenzie sambil mengetuk pintu kamar mandi.
“Koko nggak―” “―arghh!” rintih Mevin, lagi, ia memuntahkan isi perutnya lagi lebih banyak dari sebelumnya, maka ia membasuh wajahnya, ia kehilangan keseimbangan, tubuh Mevin jatuh rebah, ia terjatuh dari kursi rodanya, kepalanya menghantam tepian wastafel sebelum jatuh keras ke lantai dan membuatnya mengeluarkan darah.
Suara jatuhnya tubuh Mevin membuat Kenzie kaget, karena saat itu juga Kenzie membuka kenop pintu kamar mandi dan melihat Mevin.
“KOKO MEVIN!! AAAAA!!” teriak Kenzie panik dan langsung menangis histeris karena yang ia lihat saat ini adalah Mevin yang tergeletak dengan darah yang bercucuran di lantai dan mengenai beberapa sisi wajah Mevin. Kenzie jatuh ke lantai dan menangis meraung yang membuat Lea dan Jeremy datang langsung.
Kepanikan melanda serta suasana mencekam kala teriakan Jeremy dan Lea terdengar hampir bersamaan meneriakkan nama anaknya itu, Lea langsung meraih tubuh Enzi yang masih gemetar dan menangis itu, Lea peluk erat Enzi dalam gendongannya.
“Mevin!” Lea masih meneriakkan nama Mevin, ia menangis juga disana.
“Koko Mevin... Koko Mevin kenapa? Enzi mau sama Koko!” teriak Enzi dalam tangisnya. Sementara Jeremy menyingkirkan kursi roda Mevin dengan kasar lalu meraih tubuh Mevin, tidak butuh waktu lama, Jeremy langsung membopong tubuh Mevin, “ke rumah sakit!” pekik Jeremy dengan wajahnya yang mulai memucat karena panik.
Lea mengikuti di belakang. Lea menyambar kunci mobil sambil masih menggendong Kenzie.
“Enzi, aunty anter pulang aja, ya?” kata Lea sambil mengusap air mata yang masih jatuh di pipi gadis kecil itu.
“Nggak mau, Aunty! Zi mau sama Koko Mevin, Zi mau temenin Ko Mevin. Zi mau ikut Uncle, mau sama Koko!” tangis Enzi, tangannya terulur seakan ingin meraih tubuh Mevin yang kini sedang diangkat oleh Papanya itu.
“Enzi...”
“Nggak mau, Zi mau sama Ko Mevin! Koko Mevinn!!” tangisan Enzi bahkan nafas yang sedikit tersengal itu membuat hati Lea sesak. Ia memeluk Enzi dan langsung membawa Enzi ke dalam mobil. Tubuh lemah Mevin ditidurkan di jok belakang, Lea mendudukkan Enzi di depan di sebelah Jeremy, memasangkan seat belt untuk gadis kecil itu dan Lea bergegas ke kursi belakang, menidurkan kepala Mevin dan menyadarkan kepala Mevin di tubuhnya.
Persetan dengan darah yang masih mengucur itu. Lea menangis tanpa suara, Jeremy mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Beberapa kali Kenzie menengok ke belakang dengan takut, ia meremas seat belt menahan tangis dan takut melihat kondisi Mevin. Lea berdoa sepanjang jalan, bibirnya bergerak tanpa suara tapi bergetar bukan main.
Ia rangkul tubuh Mevin bahkan genggam tangan Mevin yang dingin saat ini. Lea pejamkan mata, *“God, please protect my son... don’t ever let him go, please safe him.. please.. please...” *
“Ma...” rintih Mevin sesaat tanpa membuka mata, bibirnya memucat.
“Mama disini, Mama disini, sayang, Mevin bertahan nak...” Lea panik, ia tangkup pipi Mevin dengan satu tangannya, tangan satunya masih ia gunakan untuk menggenggam tangan Mevin erat.
“Jeremy! Cepet dikit, Jer!” kata Lea panik dengan suaranya yang parau. Jeremy tidak menjawab, sesekali satu tangannya ia gunakan untuk menyentuh pundak Kenzie agar gadis itu tenang, Jeremy juga mencoba menghubungi Hazel dan Shasha serta Jevin untuk menyusul ke Rumah Sakit. Hazel dan Shasha adalah orang tua Kenzie tapi hubungan dua keluarga yang tidak sedarah ini sudah seperti keluarga kandung.
Gadis sekecil Kenzie bisa menangis histeris melihat keadaan Mevin, ia bisa merasakan ketulusan yang Mevin berikan kepada setiap orang di sekitarnya. Lea masih kalut, ia hanya bisa menangis saat ini, air matanya jatuh tanpa henti dan tanpa komando.
Sungguh, hati ibu mana yang tidak hancur. Mevin yang ia rawat sejak lahir, menerima kasih sayangnya tanpa perbedaan dengan Lauren dan Jevin kini tengah hancur dan keadaannya menyayat hati Lea. Kalau Lea boleh memohon kepada Sang Kuasa, biar ia gantikan tempat Mevin dan semua kesakitan Mevin saat ini dengannya. Kini ia taruh punggung tangan Mevin di pipinya, Lea terisak bukan main karena kini Mevin tidak merespon apa-apa lagi Mevin benar-benar tidak sadarkan diri.
Tidak sampai hati Lea melihat anaknya bersimbah darah saat ini, tidak pernah ia bayangkan Mevin harus mengalami banyak hal yang sebenarnya tidak ia inginkan pastinya sejak lahir. Tapi begitulah cara kerja semesta. Tangan Mevin semakin dingin dan wajahnya memucat, pakaian Lea bahkan sudah berlumur darah yang terus mengucur dari kepala Mevin.
Sempat Lea rasakan Mevin seakan ingin genggam tangannya, bahkan sebelum benar-benar menggenggam, tangan Mevin sudah jatuh terkulai.
“Mevin!!” tangis Lea histeris sambil memeluk anaknya itu, ia menempelkan wajahnya dengan Mevin meski sudah terkena aliran darah, Lea tidak peduli.
“Mevin―nak, sebentar lagi, bertahan, ya, sayang... anak mama... anak Mama Lea... Mevin...”
“Mevin, bertahan, ya? Mama nggak akan pernah siap hadapi kehilangan, stay with us, please―jangan pergi, jangan pernah pergi sebelum Mama, jangan, Nak...”
—-
Lea dan Jeremy juga menghubungi Jevin dan juga Lauren memberitahu tentang keadaan Mevin. Keadaan Lauren yang sedang hamil tidak memungkinkan Lauren untuk menunggui adiknya dan menginap di Rumah Sakit. Maka Jevin yang banyak memiliki waktu kadang bergantian menunggui Mevin bergantian dengan kedua orang tuanya. Satu ketakutan besar memang bermukim di hati Jevin, terlebih saat Jevin mengingat terakhir sebelum kejadian Mevin jatuh, Mevin mengiriminya pesan untuk pulang dan menghabiskan waktu di rumah.
Betapa Jevin merasa sesak dan menyesal tiada henti. Harusnya saat itu ia pulang, harusnya saat itu ia mengikuti apa kata Mevin.
Hingga saat Jevin hanyut dalam lamunannya di sofa di ruangan Mevin, suara gelas yang pecah mengagetkan Jevin dan membuatnya terperanjak. Ia melihat Mevin berusaha meraih gelas di nakas sebelahnya. Maka, Jevin langsung bangkit berdiri dan menghampiri Mevin.
“Mbar! Mau ambil apa?” tanya Jevin perlahan sambil menahan tangan Mevin yang terulur.
“Mi…num…” jawab Mevin dengan suara yang berat. Maka Jevin pun mengambilkan botol air mineral yang ada di laci tak lupa dengan sedotannya agar memudahkan saat Mevin minum. Dengan telaten dan sabar Jevin membantu Mevin, memegangi botol air mineral bahkan sedotan itu saat Mevin minum. Tubuh Mevin memang masih terlalu lemah saat ini.
“Mau apa lagi, Mev?” tanya Jevin lagi.
“Bosen tiduran, mau duduk di sofa,” katanya. Jevin sedikit tersenyum, maka Jevin pun membantu Mevin duduk lalu Jevin menggendong tubuh saudara kembarnya itu dan mendudukkan Mevin di sofa serta membawakan infuse stand ke dekat Mevin.
Mevin hela napas panjang saat sudah duduk di sofa. Di kepala Mevin masih terdapat perban serta wajah Mevin masih pucat.
“Mev, tiduran aja sih. Ya?” kata Jevin sambil menepuk pelan pundak Mevin tapi Mevin menggeleng pelan sambil tersenyum ke arah Jevin.
“Maaf, harusnya gue waktu itu pulang, gue pulang waktu lo suruh.” Jevin terdengar lesu, “harusnya lo nggak sampai kayak gini,” lanjutnya.
“Nggak papa,” ujar Mevin sambil memaksakan senyumnya.
Namun tiba-tiba, Mevin merintih sambil memegangi kepalanya. Jevin panik seketika, “Mev.. kenapa? Mev?!” Jevin memegangi kedua pundak Mevin. Tapi, tubuh Mevin malah rebah di pangkuan Jevin. Menjadi semakin panik dan bingung Jevin saat itu.
“Sakit … argghh, sakit banget!” rintih Mevin saat itu.
“Mev…” sungguh, Jevin tidak tahu harus melakukan apa, Mevin hanya merebahkan kepalanya di paha Jevin dan memegangi kepalanya sambil merintih. Jevin tidak bergerak, rasanya sesak dan panik tapi bingung harus melakukan apa disaat seperti ini. Jevin pun merangkul tubuh saudara kembarnya itu, “gue panggilin dokter, ya? Lo tiduran dulu, gue bantu, ya?”
Tapi Mevin hanya menggeleng, sesaat berlalu hingga rintihan Mevin mulai mereda.
Jevin hanya menepuk dan mengusap pundak saudara kembarnya itu sambil menahan air mata.
“Gue seneng jadi saudara kembar lo, walaupun kita lahir dari rahim yang berbeda. Lo saudara kembar gue sampai kapanpun. Selamanya, Jev …” suara lirih Mevin itu membuat Jevin tertunduk diam.
“Maaf kalau gue ngerepotin,” lanjutnya.
“Apaan, sih?!”
“Gue baru kali ini ya lean on your lap, not bad, haha,” kata Mevin, tawanya jelas dipaksakan ditengah suaranya yang bergetar.
“Padahal kerjaan gue dulu hancurin mainan lo terus, ya? Lo jangan sakit lagi, sedih tahu lihatnya.”
“Nggak bisa ngatur takdir, Jev.”
Tangan Jevin terangkat hendak mengusap dahi Mevin tapi ia tahan, “nanti pasti sembuh,” katanya mencoba mencairkan suasana.
“Terus gue bisa jemput Grace ke Singapore, ya?”
“Iya, pasti bisa. Jemput Grace bawa pulang ke sini. Gue selalu berdoa biar kalian kembali satu sama lain.”
“Gue tidur bentar ya, Jev. Boleh?” tanya Mevin. Jevin melipat bibirnya rapat-rapat dan menggigit belah bibir bawahnya lalu mengangguk.
Mevin pun nampak memejamkan mata di pangkuan Jevin. Hingga beberapa menit berlalu.
“Mevin…” Suara Jevin mengudara tapi tidak mendapat jawaban dari saudara kembarnya itu.
“Makasih udah hadir ke dunia dan jadi saudara kembar gue. Sounds weird but i really love you. I really do. You are another half of me. Segala sakit yang Tuhan kasih ke lo pasti ada penawarnya, makasih udah jadi saudara kembar yang hebat dan gue belajar banyak dari kehidupan lo. Gue doain lo setiap hari, nama lo gue sebut dalam doa. Gue mau Tuhan kasih everlasting happiness buat lo yang udah kuat selama ini dengan segala cobaan yang ada. Mev, you are my best brother, the one and only.”
Cairan di selang infus masih menetes, tubuh Mevin masih meringkuk di pelukan Jevin, tapi tidak ada pergerakan lagi dari Mevin. Tangan Jevin masih bergerak menepuk sesekali mengusap lengan dan pundak Mevin.
“Tidur aja, Mev. Tidur yang nyenyak, istirahat. Udah nggak sakit, ya?” Suara berat Jevin bergetar seketika.
Tubuh Mevin tidak merespon apapun. Hening—hingga akhirnya Jevin tertunduk, dahinya menempel di pundak Mevin yang masih ia peluk itu. Jevin merasakan tangan Mevin yang semula di lututnya terkulai lemah seketika. Masih hening sesaat—Jevin mengatur napasnya dan dadanya mulai sangat sesak, tenggorokannya tercekat, matanya terasa panas bukan main.
“MEVIN!!!” Raungan tangis histeris dari seorang Jevino Adrian langsung menggema di ruangan rawat itu. Pelukan Jevin terhadap raga kembarannya itu semakin erat, dada Jevin naik turun, tubuh Mevin ia goyangkan pelan pun tak mendapat respon apapun. Hingga akhirnya, Jevin melihat Mevin tersenyum, memejam, tak bisa lagi Jevin rasakan embusan napas saudara kembarnya itu.
“Mevin!!” Teriak Jevin histeris sambil memeluk tubuh Mevin erat-erat, tangisan Jevin masih menggema menyayat hati. Saat itu bersamaan dengan datangnya Lauren, dan kedua orang tua mereka.
Kepanikan dan suasana mencekam langsung terasa di sana. Saat Lea mendekat, ia melihat Jevin yang menatap nanar, Jeremy langsung hendak mengambil alih tubuh Mevin, tapi Jevin memberontak. Lauren langsung memanggil dokter, Lea mencoba meraih tubuh Mevin tapi Jevin masih memeluknya erat.
“Nak…” kata Jeremy parau. Lea sudah bertekuk lutut di sebelah anak anaknya itu, menggenggam tangan Mevin yang mulai dingin, Lea tertunduk sambil mencium punggung tangan Mevin berulang kali.
Hingga saat beberapa tenaga medis datang, Jevin berhasil dibujuk dan dibawa keluar dan menunggu Mevin untuk ditangani.
—-
Setelah itu…
Dokter yang menangani Mevin keluar dengan satu kalimat yang menyayat dan menohok ke palung hati siapapun yang mendengarnya.
“Kami memohon maaf—” bahkan saat kalimat dokter belum selesai, Jevin langsung menerobos masuk ke ruangan itu. Alat-alat dari tubuh Mevin sudah terlepas, Jevin langsung menubruk tenaga medis dengan sedikit kasar agar bisa menghampiri tubuh saudara kembarnya itu. Di luar sana, Lea sudah jatuh pingsan di pelukan Jeremy, sedangkan Lauren menyusul Jevin masuk ke ruangan rawat Mevin. Lauren memeluk Jevin dari belakang tapi Jevin memberontak. Beberapa kali tubuh Lauren terhuyung, tapi Lauren juga tidak bisa menahan tangisan derasnya.
“Mevin bangun! Mevin! Bangun!! Mev bangun … Mevin bangun…” tangis Jevin di sebelah tubuh Mevin, tangan Mevin yang mulai dingin digenggamnya erat, bahkan Jevin bangkit berdiri lalu menggoyangkan tubuh Mevin memegang kedua pundak saudara kembarnya itu.
“Mevin!! Lo denger gue, kan?!” Teriak Jevin lagi.
“Dek!” Pekikan dari Lauren seketika membuat Jevin memejamkan matanya, Jevin terjatuh terduduk di lantai, Lauren langsung memeluk Jevin dari belakang, menyandarkan tubuh adiknya di tubuhnya. Satu tangan Lauren melingkar di tubuh Jevin satu tangan Lauren menangkup pipi Jevin, menahan Jevin di pelukannya.
“Ikhlas, Mevin udah nggak sakit lagi, adek kita udah nggak sakit,” bisik Lauren lirih. Saat itu juga, Jevin meledak dalam tangis. Jevin mencengkeram lengan kakak perempuannya yang melingkar di tubuhnya. Jevin mencoba mengatur napasnya. Meski susah, meski rasanya seperti mimpi. Ya, mimpi buruk.
Lauren mengusap dahi Jevin yang berpeluh, Jevin merenggangkan pelukan, berbalik badan lalu menatap Lauren dengan mata yang sudah merah dan basah.
“Mevin udah bisa jalan ya, Ci? Udah nggak sakit lagi, kan? Mevin udah nggak ngerasain sakit sama sekali, kan? Tuhan sayang sama Mevin, kan?” kata Jevin sambil berusaha tersenyum meski dengan bibir yang bergetar dan air mata yang masih mengalir.
Lauren tertunduk sesaat dan terisak lalu mengangkat wajahnya dan menangkup kedua pipi Jevin lalu mengangguk, jemari Lauren menghapus air mata Jevin yang turun membasahi pipi adiknya itu.
“Iya. Mevin udah nggak sakit, Mevin udah bisa jalan.” Lauren berusaha tegar di hadapan Jevin.
“Mevin udah ketemu Mama Petranya, ya? Saat terakhirnya di pelukan gue, Ci. Di pelukan gue…” Kalimat itu jelas membuat hati Lauren remuk. Lauren mengangguk, tak bisa berkata apa-apa lagi, ia langsung memeluk Jevin. Keduanya menangis sambil memeluk, dan juga menyaksikan bagaimana tubuh Mevin ditutup kain putih.
END Mohon maaf inimah what if aja???