awnyaii

Benar saja, sore itu Jeremy dan Lea—kedua orang tua Mevin membawa Kenzie untuk menemani Mevin. Keduanya menikmati ice cream dan bercanda, Kenzie memang sangat dekat dengan Mevin, juga dengan Grace, kekasih Mevin. Entah mereka masih bisa disebut kekasih atau tidak saat ini.

Seumur hidup Mevin, hanya Grace yang membuatnya jatuh dan merasa luruh dalam setiap belaian kasih sayang yang diberikan sebagai dua insan yang memadu kasih. Keduanya sama-sama memiliki luka di keluarga. Mevin dengan latar belakang yang ditinggalkan sosok Mamanya sejak ia lahir, tidak diurus oleh Papa kandungnya, dibesarkan di keluarga yang lain. Serta Grace yang mengalami kehancuran keluarganya di saat ia sudah dewasa, diabaikan Mamanya, dijual oleh Papanya sendiri, menghidupi diri sendiri dan menafkahi diri sendiri dengan usaha sendiri.

Mereka berdua jauh dari kata baik-baik saja sebenarnya. Ketabahan Mevin dan Grace diuji, sama-sama diuji. Selalu ada rengkuh untuk berbagi lelah selama mereka berdua, tapi sudah beberapa lama ini keduanya berjalan masing-masing. Sibuk menata hidup dan hati mereka masing-masing. Sama-sama terluka ternyata juga bukan pilihan yang baik untuk bersama, sama-sama terluka juga bisa hanya menambah duka kala berdua dan menjatuhkan hati lebih dalam lagi.

Tak ada pilihan terbaik untuk saat ini.

Lama waktu berlalu hingga akhirnya Mevin meninggalkan Kenzie sendirian di ranjangnya karena Mevin merasa tidak enak dan ia pun tengah berada di kamar mandi, duduk di kursi rodanya sambil memegangi kepalanya yang sakit.

“Ko Mevin!” panggil Kenzie yang terdengar menusuk rungu Mevin tapi untuk menjawabnya saja Mevin tidak sanggup.

Mevin tengah berada di kamar mandi, masih dengan kursi rodanya, ia menatap dirinya di cermin wastafel yang ada, ia basuh wajahnya yang sayu lalu tatap dirinya di cermin lagi. Mevin seringkali melewatkan jam makannya dengan sengaja. Mevin tidak pernah melakukan kekerasan apapun kepada siapapun, tapi kepada dirinya sendiri, tanpa ia sadari yang ia lakukan membuatnya sakit dan rapuh.

Sekarang ia paham betul bagaimana rasanya ada di titik terendah seperti Grace selama ini, Mevin sakiti dirinya dengan pukul kaca yang menggantung atau langsung memukul tembok. Sengaja tidak makan, atau memang kehilangan nafsu makannya. Mevin kehilangan empat angka dari berat badannya, hal itu sangat terlihat jelas di perubahan di tubuh Mevin yang menjadi agak kurus.

Mevin sedikit memejam saat ia merasakan pusing di kepalanya karena sebenarnya ia berbohong kepada Mamanya mengatakan bahwa tadi malam dan tadi pagi sebelum ke rumah sakit ia sudah makan, kebohongan yang sering Mevin lakukan belakangan ini, bukan tanpa alasan, jelas psikis dan batin Mevin masih belum bisa seperti semula, bahkan mungkin sulit dikembalikan.

Kini Mevin merasa pusing semakin melanda bahkan hingga ke otot matanya, sesuatu di dalam perutnya seakan naik dan memaksa keluar, tubuhnya dingin, semua terasa berputar, dadanya sesak, ia dekatkan dirinya ke wastafel dan ia berpegang di sisi tepi wastafel. Sesuatu dalam perutnya seakan terasa sakit tapi sangat susah untuk ia keluarkan, beberapa kali Mevin mencoba membuka mulutnya memberikan akses agar semua isi perutnya keluar tapi tetap saja susah.

“Koko Mevin!” panggil Kenzie sambil mengetuk pintu kamar mandi. Tapi Mevin tidak menjawabnya, rasanya tidak karuan. Akhirnya karena keringat dingin mulai bercucuran, Mevin nekat membuka mulutnya dan memasukkan satu jarinya memasuki mulutnya hingga ke pangkal tenggorokannya.

Benar saja, saat itu Mevin mengeluarkan semua isi perutnya, beberapa kali muntah, ia menyalakan keran air, berkumur tapi lagi dan lagi ia memuntahkan semuanya, peluh semakin membasahi wajah dan tubuhnya terasa seperti hampir pingsan.

“Koko kenapa? Ko!!” panggil Kenzie sambil mengetuk pintu kamar mandi.

“Koko nggak―” “―arghh!” rintih Mevin, lagi, ia memuntahkan isi perutnya lagi lebih banyak dari sebelumnya, maka ia membasuh wajahnya, ia kehilangan keseimbangan, tubuh Mevin jatuh rebah, ia terjatuh dari kursi rodanya, kepalanya menghantam tepian wastafel sebelum jatuh keras ke lantai dan membuatnya mengeluarkan darah.

Suara jatuhnya tubuh Mevin membuat Kenzie kaget, karena saat itu juga Kenzie membuka kenop pintu kamar mandi dan melihat Mevin.

“KOKO MEVIN!! AAAAA!!” teriak Kenzie panik dan langsung menangis histeris karena yang ia lihat saat ini adalah Mevin yang tergeletak dengan darah yang bercucuran di lantai dan mengenai beberapa sisi wajah Mevin. Kenzie jatuh ke lantai dan menangis meraung yang membuat Lea dan Jeremy datang langsung.

Kepanikan melanda serta suasana mencekam kala teriakan Jeremy dan Lea terdengar hampir bersamaan meneriakkan nama anaknya itu, Lea langsung meraih tubuh Enzi yang masih gemetar dan menangis itu, Lea peluk erat Enzi dalam gendongannya.

“Mevin!” Lea masih meneriakkan nama Mevin, ia menangis juga disana.

“Koko Mevin... Koko Mevin kenapa? Enzi mau sama Koko!” teriak Enzi dalam tangisnya. Sementara Jeremy menyingkirkan kursi roda Mevin dengan kasar lalu meraih tubuh Mevin, tidak butuh waktu lama, Jeremy langsung membopong tubuh Mevin, “ke rumah sakit!” pekik Jeremy dengan wajahnya yang mulai memucat karena panik.

Lea mengikuti di belakang. Lea menyambar kunci mobil sambil masih menggendong Kenzie.

“Enzi, aunty anter pulang aja, ya?” kata Lea sambil mengusap air mata yang masih jatuh di pipi gadis kecil itu.

“Nggak mau, Aunty! Zi mau sama Koko Mevin, Zi mau temenin Ko Mevin. Zi mau ikut Uncle, mau sama Koko!” tangis Enzi, tangannya terulur seakan ingin meraih tubuh Mevin yang kini sedang diangkat oleh Papanya itu.

“Enzi...”

“Nggak mau, Zi mau sama Ko Mevin! Koko Mevinn!!” tangisan Enzi bahkan nafas yang sedikit tersengal itu membuat hati Lea sesak. Ia memeluk Enzi dan langsung membawa Enzi ke dalam mobil. Tubuh lemah Mevin ditidurkan di jok belakang, Lea mendudukkan Enzi di depan di sebelah Jeremy, memasangkan seat belt untuk gadis kecil itu dan Lea bergegas ke kursi belakang, menidurkan kepala Mevin dan menyadarkan kepala Mevin di tubuhnya.

Persetan dengan darah yang masih mengucur itu. Lea menangis tanpa suara, Jeremy mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Beberapa kali Kenzie menengok ke belakang dengan takut, ia meremas seat belt menahan tangis dan takut melihat kondisi Mevin. Lea berdoa sepanjang jalan, bibirnya bergerak tanpa suara tapi bergetar bukan main.

Ia rangkul tubuh Mevin bahkan genggam tangan Mevin yang dingin saat ini. Lea pejamkan mata, *“God, please protect my son... don’t ever let him go, please safe him.. please.. please...” *

“Ma...” rintih Mevin sesaat tanpa membuka mata, bibirnya memucat.

“Mama disini, Mama disini, sayang, Mevin bertahan nak...” Lea panik, ia tangkup pipi Mevin dengan satu tangannya, tangan satunya masih ia gunakan untuk menggenggam tangan Mevin erat.

“Jeremy! Cepet dikit, Jer!” kata Lea panik dengan suaranya yang parau. Jeremy tidak menjawab, sesekali satu tangannya ia gunakan untuk menyentuh pundak Kenzie agar gadis itu tenang, Jeremy juga mencoba menghubungi Hazel dan Shasha serta Jevin untuk menyusul ke Rumah Sakit. Hazel dan Shasha adalah orang tua Kenzie tapi hubungan dua keluarga yang tidak sedarah ini sudah seperti keluarga kandung.

Gadis sekecil Kenzie bisa menangis histeris melihat keadaan Mevin, ia bisa merasakan ketulusan yang Mevin berikan kepada setiap orang di sekitarnya. Lea masih kalut, ia hanya bisa menangis saat ini, air matanya jatuh tanpa henti dan tanpa komando.

Sungguh, hati ibu mana yang tidak hancur. Mevin yang ia rawat sejak lahir, menerima kasih sayangnya tanpa perbedaan dengan Lauren dan Jevin kini tengah hancur dan keadaannya menyayat hati Lea. Kalau Lea boleh memohon kepada Sang Kuasa, biar ia gantikan tempat Mevin dan semua kesakitan Mevin saat ini dengannya. Kini ia taruh punggung tangan Mevin di pipinya, Lea terisak bukan main karena kini Mevin tidak merespon apa-apa lagi Mevin benar-benar tidak sadarkan diri.

Tidak sampai hati Lea melihat anaknya bersimbah darah saat ini, tidak pernah ia bayangkan Mevin harus mengalami banyak hal yang sebenarnya tidak ia inginkan pastinya sejak lahir. Tapi begitulah cara kerja semesta. Tangan Mevin semakin dingin dan wajahnya memucat, pakaian Lea bahkan sudah berlumur darah yang terus mengucur dari kepala Mevin.

Sempat Lea rasakan Mevin seakan ingin genggam tangannya, bahkan sebelum benar-benar menggenggam, tangan Mevin sudah jatuh terkulai.

“Mevin!!” tangis Lea histeris sambil memeluk anaknya itu, ia menempelkan wajahnya dengan Mevin meski sudah terkena aliran darah, Lea tidak peduli.

“Mevin―nak, sebentar lagi, bertahan, ya, sayang... anak mama... anak Mama Lea... Mevin...”

“Mevin, bertahan, ya? Mama nggak akan pernah siap hadapi kehilangan, stay with us, please―jangan pergi, jangan pernah pergi sebelum Mama, jangan, Nak...”

—-

Lea dan Jeremy juga menghubungi Jevin dan juga Lauren memberitahu tentang keadaan Mevin. Keadaan Lauren yang sedang hamil tidak memungkinkan Lauren untuk menunggui adiknya dan menginap di Rumah Sakit. Maka Jevin yang banyak memiliki waktu kadang bergantian menunggui Mevin bergantian dengan kedua orang tuanya. Satu ketakutan besar memang bermukim di hati Jevin, terlebih saat Jevin mengingat terakhir sebelum kejadian Mevin jatuh, Mevin mengiriminya pesan untuk pulang dan menghabiskan waktu di rumah.

Betapa Jevin merasa sesak dan menyesal tiada henti. Harusnya saat itu ia pulang, harusnya saat itu ia mengikuti apa kata Mevin.

Hingga saat Jevin hanyut dalam lamunannya di sofa di ruangan Mevin, suara gelas yang pecah mengagetkan Jevin dan membuatnya terperanjak. Ia melihat Mevin berusaha meraih gelas di nakas sebelahnya. Maka, Jevin langsung bangkit berdiri dan menghampiri Mevin.

“Mbar! Mau ambil apa?” tanya Jevin perlahan sambil menahan tangan Mevin yang terulur.

“Mi…num…” jawab Mevin dengan suara yang berat. Maka Jevin pun mengambilkan botol air mineral yang ada di laci tak lupa dengan sedotannya agar memudahkan saat Mevin minum. Dengan telaten dan sabar Jevin membantu Mevin, memegangi botol air mineral bahkan sedotan itu saat Mevin minum. Tubuh Mevin memang masih terlalu lemah saat ini.

“Mau apa lagi, Mev?” tanya Jevin lagi.

“Bosen tiduran, mau duduk di sofa,” katanya. Jevin sedikit tersenyum, maka Jevin pun membantu Mevin duduk lalu Jevin menggendong tubuh saudara kembarnya itu dan mendudukkan Mevin di sofa serta membawakan infuse stand ke dekat Mevin.

Mevin hela napas panjang saat sudah duduk di sofa. Di kepala Mevin masih terdapat perban serta wajah Mevin masih pucat.

“Mev, tiduran aja sih. Ya?” kata Jevin sambil menepuk pelan pundak Mevin tapi Mevin menggeleng pelan sambil tersenyum ke arah Jevin.

“Maaf, harusnya gue waktu itu pulang, gue pulang waktu lo suruh.” Jevin terdengar lesu, “harusnya lo nggak sampai kayak gini,” lanjutnya.

“Nggak papa,” ujar Mevin sambil memaksakan senyumnya.

Namun tiba-tiba, Mevin merintih sambil memegangi kepalanya. Jevin panik seketika, “Mev.. kenapa? Mev?!” Jevin memegangi kedua pundak Mevin. Tapi, tubuh Mevin malah rebah di pangkuan Jevin. Menjadi semakin panik dan bingung Jevin saat itu.

“Sakit … argghh, sakit banget!” rintih Mevin saat itu.

“Mev…” sungguh, Jevin tidak tahu harus melakukan apa, Mevin hanya merebahkan kepalanya di paha Jevin dan memegangi kepalanya sambil merintih. Jevin tidak bergerak, rasanya sesak dan panik tapi bingung harus melakukan apa disaat seperti ini. Jevin pun merangkul tubuh saudara kembarnya itu, “gue panggilin dokter, ya? Lo tiduran dulu, gue bantu, ya?”

Tapi Mevin hanya menggeleng, sesaat berlalu hingga rintihan Mevin mulai mereda.

Jevin hanya menepuk dan mengusap pundak saudara kembarnya itu sambil menahan air mata.

“Gue seneng jadi saudara kembar lo, walaupun kita lahir dari rahim yang berbeda. Lo saudara kembar gue sampai kapanpun. Selamanya, Jev …” suara lirih Mevin itu membuat Jevin tertunduk diam.

“Maaf kalau gue ngerepotin,” lanjutnya.

“Apaan, sih?!”

“Gue baru kali ini ya lean on your lap, not bad, haha,” kata Mevin, tawanya jelas dipaksakan ditengah suaranya yang bergetar.

“Padahal kerjaan gue dulu hancurin mainan lo terus, ya? Lo jangan sakit lagi, sedih tahu lihatnya.”

“Nggak bisa ngatur takdir, Jev.”

Tangan Jevin terangkat hendak mengusap dahi Mevin tapi ia tahan, “nanti pasti sembuh,” katanya mencoba mencairkan suasana.

“Terus gue bisa jemput Grace ke Singapore, ya?”

“Iya, pasti bisa. Jemput Grace bawa pulang ke sini. Gue selalu berdoa biar kalian kembali satu sama lain.”

“Gue tidur bentar ya, Jev. Boleh?” tanya Mevin. Jevin melipat bibirnya rapat-rapat dan menggigit belah bibir bawahnya lalu mengangguk.

Mevin pun nampak memejamkan mata di pangkuan Jevin. Hingga beberapa menit berlalu.

“Mevin…” Suara Jevin mengudara tapi tidak mendapat jawaban dari saudara kembarnya itu.

“Makasih udah hadir ke dunia dan jadi saudara kembar gue. Sounds weird but i really love you. I really do. You are another half of me. Segala sakit yang Tuhan kasih ke lo pasti ada penawarnya, makasih udah jadi saudara kembar yang hebat dan gue belajar banyak dari kehidupan lo. Gue doain lo setiap hari, nama lo gue sebut dalam doa. Gue mau Tuhan kasih everlasting happiness buat lo yang udah kuat selama ini dengan segala cobaan yang ada. Mev, you are my best brother, the one and only.

Cairan di selang infus masih menetes, tubuh Mevin masih meringkuk di pelukan Jevin, tapi tidak ada pergerakan lagi dari Mevin. Tangan Jevin masih bergerak menepuk sesekali mengusap lengan dan pundak Mevin.

“Tidur aja, Mev. Tidur yang nyenyak, istirahat. Udah nggak sakit, ya?” Suara berat Jevin bergetar seketika.

Tubuh Mevin tidak merespon apapun. Hening—hingga akhirnya Jevin tertunduk, dahinya menempel di pundak Mevin yang masih ia peluk itu. Jevin merasakan tangan Mevin yang semula di lututnya terkulai lemah seketika. Masih hening sesaat—Jevin mengatur napasnya dan dadanya mulai sangat sesak, tenggorokannya tercekat, matanya terasa panas bukan main.

“MEVIN!!!” Raungan tangis histeris dari seorang Jevino Adrian langsung menggema di ruangan rawat itu. Pelukan Jevin terhadap raga kembarannya itu semakin erat, dada Jevin naik turun, tubuh Mevin ia goyangkan pelan pun tak mendapat respon apapun. Hingga akhirnya, Jevin melihat Mevin tersenyum, memejam, tak bisa lagi Jevin rasakan embusan napas saudara kembarnya itu.

“Mevin!!” Teriak Jevin histeris sambil memeluk tubuh Mevin erat-erat, tangisan Jevin masih menggema menyayat hati. Saat itu bersamaan dengan datangnya Lauren, dan kedua orang tua mereka.

Kepanikan dan suasana mencekam langsung terasa di sana. Saat Lea mendekat, ia melihat Jevin yang menatap nanar, Jeremy langsung hendak mengambil alih tubuh Mevin, tapi Jevin memberontak. Lauren langsung memanggil dokter, Lea mencoba meraih tubuh Mevin tapi Jevin masih memeluknya erat.

“Nak…” kata Jeremy parau. Lea sudah bertekuk lutut di sebelah anak anaknya itu, menggenggam tangan Mevin yang mulai dingin, Lea tertunduk sambil mencium punggung tangan Mevin berulang kali.

Hingga saat beberapa tenaga medis datang, Jevin berhasil dibujuk dan dibawa keluar dan menunggu Mevin untuk ditangani.

—-

Setelah itu…

Dokter yang menangani Mevin keluar dengan satu kalimat yang menyayat dan menohok ke palung hati siapapun yang mendengarnya.

“Kami memohon maaf—” bahkan saat kalimat dokter belum selesai, Jevin langsung menerobos masuk ke ruangan itu. Alat-alat dari tubuh Mevin sudah terlepas, Jevin langsung menubruk tenaga medis dengan sedikit kasar agar bisa menghampiri tubuh saudara kembarnya itu. Di luar sana, Lea sudah jatuh pingsan di pelukan Jeremy, sedangkan Lauren menyusul Jevin masuk ke ruangan rawat Mevin. Lauren memeluk Jevin dari belakang tapi Jevin memberontak. Beberapa kali tubuh Lauren terhuyung, tapi Lauren juga tidak bisa menahan tangisan derasnya.

“Mevin bangun! Mevin! Bangun!! Mev bangun … Mevin bangun…” tangis Jevin di sebelah tubuh Mevin, tangan Mevin yang mulai dingin digenggamnya erat, bahkan Jevin bangkit berdiri lalu menggoyangkan tubuh Mevin memegang kedua pundak saudara kembarnya itu.

“Mevin!! Lo denger gue, kan?!” Teriak Jevin lagi.

“Dek!” Pekikan dari Lauren seketika membuat Jevin memejamkan matanya, Jevin terjatuh terduduk di lantai, Lauren langsung memeluk Jevin dari belakang, menyandarkan tubuh adiknya di tubuhnya. Satu tangan Lauren melingkar di tubuh Jevin satu tangan Lauren menangkup pipi Jevin, menahan Jevin di pelukannya.

“Ikhlas, Mevin udah nggak sakit lagi, adek kita udah nggak sakit,” bisik Lauren lirih. Saat itu juga, Jevin meledak dalam tangis. Jevin mencengkeram lengan kakak perempuannya yang melingkar di tubuhnya. Jevin mencoba mengatur napasnya. Meski susah, meski rasanya seperti mimpi. Ya, mimpi buruk.

Lauren mengusap dahi Jevin yang berpeluh, Jevin merenggangkan pelukan, berbalik badan lalu menatap Lauren dengan mata yang sudah merah dan basah.

“Mevin udah bisa jalan ya, Ci? Udah nggak sakit lagi, kan? Mevin udah nggak ngerasain sakit sama sekali, kan? Tuhan sayang sama Mevin, kan?” kata Jevin sambil berusaha tersenyum meski dengan bibir yang bergetar dan air mata yang masih mengalir.

Lauren tertunduk sesaat dan terisak lalu mengangkat wajahnya dan menangkup kedua pipi Jevin lalu mengangguk, jemari Lauren menghapus air mata Jevin yang turun membasahi pipi adiknya itu.

“Iya. Mevin udah nggak sakit, Mevin udah bisa jalan.” Lauren berusaha tegar di hadapan Jevin.

“Mevin udah ketemu Mama Petranya, ya? Saat terakhirnya di pelukan gue, Ci. Di pelukan gue…” Kalimat itu jelas membuat hati Lauren remuk. Lauren mengangguk, tak bisa berkata apa-apa lagi, ia langsung memeluk Jevin. Keduanya menangis sambil memeluk, dan juga menyaksikan bagaimana tubuh Mevin ditutup kain putih.

END Mohon maaf inimah what if aja???

Di ruangan rawat Mevin, denting jam menemani Mevin yang baru saja usai menelpon kekasihnya, Grace. Saat itu tangan Mevin gemetar menutup telepon, ia berbohong akan keadaannya. Tangannya dingin, detak jantungnya tak beraturan, ia terpaksa berbohong pada Grace mengatakan bahwa ia harus menjalani terapi, padahal belum saatnya untuk terapi, Mevin menyerakkan selimut yang menutupi tubuhnya, ia mengangkat kakinya satu per satu dengan tangannya. Napasnya memburu, ia hendak meraih sebuah gelas yang ada di nakas sebelah tempat tidurnya, tangannya terulur, bisa menyentuh gelas itu tapi tidak bisa menggenggamnya, tubuh Mevin terjatuh ke lantai begitu juga gelas berisi air itu. Pecahan kacanya berserakan bahkan ada yang mengenai kulit Mevin di bagian kaki, menggores kulit Mevin menimbulkan luka yang mengeluarkan darah. Mevin mengerjapkan matanya berkali-kali karena harus menahan air mata. Jantungnya berdegup kencang, seakan cemas dan ketakutan serta sedikit mual bak diserang kepanikan berlebih saat Grace menelfon.

“Mevin!” teriak Jovian panik yang saat itu baru saja memasuki ruangan rawat Mevin. Bagaimana tidak panik? Jovian melihat anaknya sudah tersungkur di lantai dengan wajah pucat dan bercak darah di sekitarnya.

“Mevin, kamu kenapa?!” tanya Jovian khawatir, tapi Mevin tidak bisa menjawab, Mevin hanya seperti orang linglung. Jovian pun mengangkat tubuh anaknya itu dan ia baringkan lagi di tempat tidur lalu Jovian hendak memanggil dokter untuk menangani Mevin, tapi Mevin memekik “Papa!” hal itu membuat Jovian menghentikan langkahnya. Jovian berbalik dan menghampiri Mevin.

“Kenapa? Kamu butuh apa? Mau apa, nak?” Mevin menggeleng, napasnya masih tersengal, dadanya masih naik turun. Maka Jovian berikan belaian di punggung Mevin agar anaknya tenang dan memberikan minum juga untuk Mevin, anaknya itu meneguknya dan Jovian kini duduk di sebelah Mevin, mengusap darah akibat goresan pecahan kaca tadi di kaki Mevin.

“Grace nelfon Mevin, hancur denger suaranya.” Suara Mevin terdengar berat. “Mevin mau bisa jalan, bisa jemput Grace ke Singapore dan bawa dia pulang,” lanjutnya.

“Nanti, ya. Ada saatnya kalau sudah ditakdirkan dan digariskan pasti ada jalannya. Asalkan kalian sama-sama tulus, akan ada jalannya, jangan kaya Papa ke Mama Petra dulu. Papa mau kamu bahagia, Vin. It’s okay kamu stay disini seterusnya, sama Mama Lea dan Papa Jeremy. Tapi, batin kamu juga harus bahagia, kamu juga perlu pikirin diri kamu sendiri juga. Kuncinya di hati kamu, berdamai sama keadaan, berdamai sama diri sendiri.” Jovian membelai puncak kepala Mevin kala itu.

“Grace sakit, dia diperkosa, dijual sama Papanya, dia nggak bisa nerima dirinya, dia depresi, dia self harm. Grace sempat overdosis di depan mata Mevin, Grace sekarat di depan mata Mevin, di pelukan Mevin, Grace takut untuk ketemu orang, Mamanya datang hanya untuk nampar dia dan bilang kalau dia aib keluarga. Jevin sempat kritis juga karena Jevin yang pertama tolongin Grace, Mevin kaya gini, dunia kenapa nggak adil sama Mevin sama Grace?” tatapan nanar Mevin berhasil membuat hati Jovian pedih. Ternyata hal pelik yang dialami Grace dan Mevin sama peliknya, tidak, bahkan lebih pelik daripada yang ia alami saat bersama Petra. Tidak ada kata yang terucap dari Jovian, ia terlalu kaget dengan kenyataan yang Mevin katakan, ia hanya meraih pundak anaknya dan peluk anaknya itu. Untuk kali pertama, Mevin menangis keras di pelukan Jovian, Papa kandungnya. Hati Jovian rapuh dan tersayat.

“Nangis aja, Mevin. Nangis, nak. Maaf Papa nggak pernah tahu hal seperti ini dari Mevin, luapin semuanya ke Papa. Jangan bikin Papa menyesal seperti waktu sama Mama Petra, Nak...” Jovian merasakan pundaknya basah oleh air mata Mevin saat ini, ia peluk anaknya itu yang menangis semakin keras. Baru kali ini Jovian melihat Mevin sehancur ini.

“Nggak kuat, Pa―” tangis Mevin. Ternyata di balik ambang pintu berdiri Jevin dan Lauren yang tadinya hendak melihat keadaan Mevin tapi keduanya melihat keadaan itu. Jevin kembali tutup pintu ruangan rawat Mevin itu. Hendak beranjak dari sana, Lauren langsung menarik tangan Jevin.

“Lepas!” pekik Jevin sambil menghempaskan tangan Lauren, Jevin berjalan cepat menuju parkiran mobil dan masuk ke mobilnya, hari ini memang Lauren dan Jevin sengaja untuk datang kesana berniat membuat quality time yang sudah lama mereka tidak rasakan bertiga. Tidak bisa dipungkiri hati keduanya juga hancur melihat Mevin menangis rapuh seperti tadi.

Saat sudah berada di dalam mobil, Jevin menghantamkan kepalanya ke setir mobil dan mengepalkan tangannya menghantam setir mobil itu lagi. Lauren kaget bukan main.

“Jevin!” pekik Lauren sambil menahan tubuh Jevin.

“Jangan kaya gitu!” kata Lauren lagi. Jevin menatap Lauren dengan mata berkaca-kaca.

“Ci, lo nggak sakit lihatnya? Gue sakit banget, Ci! Selama ini gue iri sama Mevin, iri karena semua orang fokus ke dia, gue iri sama dia yang pinter bisa jadi dokter, gue pernah ngatain dia anak pungut. Gila ya, sejahat itu gue sama anak sebaik dia. Dia nggak pernah benci gue! Argh!” Jevin geram dan marah akan dirinya sendiri, kini ia tertunduk, mengacak rambutnya kasar, sementara Lauren menggigit bibirnya dan menelan ludah karena tenggorokannya seakan tercekat saat itu juga. Lauren baru kali ini melihat Jevin seperti ini. Lauren juga sakit melihat keadaan yang tidak baik-baik saja ini. Saat Lauren menempelkan telapak tangannya di punggung Jevin dan menggerakkannya pelan untuk menenangkan Jevin, yang terjadi adalah Jevin yang menangis tersedu. Lauren tidak tega, ia tarik tangan adiknya itu, Jevin luruh di pelukan Lauren, Jevin menangis di sana―Lauren juga.

“Udah, kesalahan di masa lalu udah terjadi, lupain.” Lauren berbisik pelan. Jevin pun memeluk kakaknya itu erat menumpahkan tangis di sana.

“Di depan Papa Mama jangan nangis, di depan Mevin juga, nangis ke gue, dek. Ya?” kata Lauren lembut.

“Gue udah jadi saudara yang kurang baik ya buat Mevin, Ci?” Tangis Jevin.

“Enggak, Jevin saudara kembar Mevin yang baik, nggak egois dan tulus sama Mevin.” Balasan kalimat dari Lauren nyatanya membawa Jevin semakin porak poranda.

“Kenapa harus Mevin, sih? Kenapa harus dia dengan semua cobaan berat ini? Anak Papa sama Mama yang brengsek itu gue bukan Mevin!”

“Sstt… nggak boleh bilang gitu, dek. Jangan gitu …” suara Lauren semakin melemah, ia semakin merasakan Jevin memeluknya erat. Sejak dahulu memang Lauren seringkali menahan semuanya sendiri. Menjadi anak pertama yang dari lahir sudah mendapat banyak kesulitan memang sangat membuat Lauren terbentuk menjadi pribadi yang dewasa. Jauh di dalam lubuk hati keduanya, walaupun sudah ada di usia yang dewasa seperti sekarang, mereka tetap ingin keluarganya utuh, anggota keluarganya utuh dan Mevin tetap disini.

Seorang Jevino adrian kini bak ditimpa nestapa dan dijejal hal yang kurang baik. Memang, Letta baru saja melakukan operasi dan semua berjalan dengan lancar. Tapi, tidak dengan Mevin dan kehadiran Stella yang tiba-tiba. Jevin pun bergegas ke rumah sakit dimana Mevin dilarikan, meninggalkan Letta dan mempercayakan istrinya agar dijaga oleh adik iparnya. Jevin kalang kabut, apa yang baru saja terjadi, ia paham betul bagaimana keadaan Mevin sebelum ke Singapore menemui Grace, kekasih Mevin yang juga sedang melakukan pengobatan. Dan ini bukan hal mudah bagi keluarganya. Entah hal apa lagi yang harus keluarganya hadapi kali ini.

Sesampainya di rumah sakit, Jevin melihat kedua orang tuanya menunggu di bangku ruang tunggu, Jevin langsung menghampiri kedua orang tuanya.

“Ma, kenapa? Mevin kenapa?” tanya Jevin yang membuat kedua orang tuanya itu langsung bangkit berdiri. Lea langsung menangis dan memeluk Jevin, Jeremy masih tertunduk tak bisa berkata apa-apa.

“Mevin lumpuh, nak. Papanya mau kesini, kalau Mevin mau mungkin akan dibawa ke Aussie.” Jeremy berucap lirih. Saat itu juga raungan tangis Lea menggema, semakin erat Lea memeluk Jevin. Koridor yang hening seketika beradu dengan isakan tangis Lea yang mengeras dan juga Jevin, Jeremy yang berusaha tegar dan hanya bisa mengusap punggung anak dan istrinya itu.

Hari ini adalah hari dimana operasi Letta dilakukan. Jevin masih setia menunggui Letta di ruang rawatnya sebelum melakukan operasi. Keduanya kini saling genggam tangan, Jevin yang duduk di sebelah Letta yang terbaring di tempat tidur tak henti memberikan guyonan kecil agar istrinya itu tidak terlalu takut.

“Lett, do you know the word LOVE?” tanya Jevin sambil menaruh punggung tangan yang ia genggam itu di pipinya. Letta mengernyit heran, “in a sudden? Haha,” tawanya.

“Jawab aja, ish.”

“Yas, I know.” Letta terkekeh kecil.

“The word Love start with ...?”

“L?”

“Yas, end with...?”

Letta memutar bola matanya, “E.”

“Salah, Lett,” kata Jevin.

“Kok salah?”

“End with you.” Jevin berhasil membuat rona merah di pipi istrinya itu. Letta terbahak dan Jevin tersenyum sambil mencium punggung tangan Letta. Sedikit tenang dalam hati Jevin melihat senyum istrinya kali ini, meski ia juga gugup Letta akan melakukan operasi hari ini.

“Tatakan gelas aku, semangat ya, semua bakalan baik-baik aja.” Jevin mengusap lembut punggung tangan Letta dengan ibu jarinya.

“Iya ganjel pintu, doain ya,” balasnya. Jevin terkekeh lalu mencium pipi Letta sejenak. Pandangan keduanya bertaut, tak ada suara yang menggema, hanya ada dua insan yang hatinya mungkin sedang saling berdesir untuk kali ini, Jevin mengerjapkan matanya lalu duduk di tempat tidur, Letta mengikuti Jevin dan bersandar di tubuh gagah suaminya itu, saling memeluk untuk sesaat nampaknya bukan hal buruk.

“Jev...” lirih Letta.

“Iya, sayang?”

“Kalau setelah operasi tetap nggak bisa punya anak, nggak papa, ya?”

Jevin mencium puncak kepala Letta, “In the name of God, biar yang terjadi kehendak Tuhan aja, manusia cuma bisa diagnosa dan berencana, semua ada di dalam kendali Tuhan. Yang penting kamu nggak sakit lagi, udah.”

“I love you, Jev.” Letta berbisik lirih. Maka pelukan keduanya kala itu membawa Jevin dan Letta saling mengucapkan doa bersama.


Beberapa jam terlewati, Jevin menunggu dengan cemas ditemani Lea, dan Jeremy. Saat dokter keluar dari ruang operasi, Jevin langsung bangkit berdiri dan menghampiri dokter itu guna menanyakan keadaan istrinya.

“Operasinya berjalan lancar, kistanya sudah diangkat.” Ucapan sang dokter dibubuhi senyuman tenang. Mengucap syukurlah Jevin dan kedua orang tuanya saat itu. Jevin langsung memeluk Mamanya, “Thank God semua lancar, Ma.” Ucapnya terharu. Jeremy yang ada di sebelahnya juga mengusap lembut punggung Jevin, “semua bakalan baik-baik aja, nak. Asalkan berserah, ya?” kata Jeremy. Jevin mengangguk dan tersenyum menatap Papanya itu.

Setelah menunggui Letta dan Jevin, saat hari mulai petang, Jeremy dan Lea pun berpamitan pulang. Mereka sudah memastikan anak dan menantunya dalam keadaan baik. Maka tinggallah hanya Jevin dan Letta di sana.

Jevin duduk di sebelah Letta lagi, mengusap pipi dan dahi istrinya. Letta yang terbaring menatap Jevin dan tersenyum, “makasih doanya,” kata Letta.

Jevin mengangguk, “setelah ini jangan takut tentang apa apa lagi, ya?” Maka kalimat Jevin dibalas dengan anggukan kepala Letta.

Jevin pun menunduk mendekatkan wajahnya ke wajah Letta, ia beranikan diti mengecup bibir istrinya itu sejenak. Tak ada bising yang menyeruak, bibir istrinya dilumat sejenak dan Jevin usap pipi Letta dengan ibu jarinya dengan lembut. Sejenak bertaut lalu cecapan dilepaskan, keduanya saling menatap dan teesenyum karena ponsel Jevin yang berdering.

“Ganggu aja, ah elah.” Jevin menggerutu.

“Haha, angkat dulu, telepon atau chat?” Tanya Letta. Jevin membuka ponselnya sebuah pesan dari Papanya terpampang di sana. Jevin kaget bukan main, matanya langsung memerah, ia panik bukan main.

Nak…Mevin kecelakaan pulang dari Singapore

Tak henti sampai disitu, pesan kedua masuk lagi ke ponsel Jevin. Bukan dari keluarganya melainkan nomor yang tidak ia kenal.

Jevin, aku di Indonesia. Aku mau ketemu kamu sebentar, bisa? -Stella

Jeremy dan Lea membiarkan Mevin di kediaman Jovian hari ini. Hari ini adalah hari terakhir Jovian ada di sini sebelum ia bergegas esok hari ke Bali untuk mengurus bisnisnya dan hari ini juga adalah hari ulang tahun Jovian. Nanti malam Jeremy dan Lea akan kembali menjemput Mevin kembali. Jovian dan Mevin menghabiskan waktu yang ada dengan kegiatan sederhana, tetapi berkesan untuk keduanya.

Membeli makanan di restoran cepat saji kesukaan Mevin serta berbelanja sepatu dan baju untuk Mevin lalu kembali lagi ke Villa. Keduanya kini sedang duduk berdua. Kala hari kembali menemui malam berhias rembulan dan hawa dingin yang menyeruak, Mevin dan Jovian duduk bersebelahan di bangku tepi kolam renang di villa.

Mevin menunjukkan kepiawaiannya memetik gitar yang menghasilkan melodi indah yang membuat sebuah lengkung senyum tergambar di wajah Jovian.

“Pa, mau denger lagu pertama yang Papa Jeremy ajarin ke Mevin waktu awal belajar gitar?” tanya Mevin. Pertanyaan itu disambut anggukan cepat dari sang ayah.

Tangan Mevin kembali memetik senar gitar yang mengalunkan melodi sebuah lagu. Suara merdu Mevin mulai mendominasi keheningan.

Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya, Ku terus berjanji tak kan khianati pintanya Ayah dengarlah.. betapa sesungguhnya ku mencintaimu Kan ku buktikan ku mampu penuhi maumu Andaikan detik itu kan bergulir kembali Ku rindukan suasana basuh jiwaku Membahagiakan aku yang haus akan kasih dan sayangmu ‘Tuk wujudkan segala sesuatu yang pernah terlewati..

Mata Jovian terasa panas mendengar lantunan lagu yang menyentuh hatinya itu. Jovian menyadari anak lelakinya itu tumbuh dengan baik, bahkan sangat baik. Salah satu hal besar dalam hidup Jovian, bayi mungilnya yang hanya bisa ia timang sebentar belasan tahun yang lalu, dibesarkan oleh sosok orang tua yang mendidik Mevin dengan baik.

Pilihan Petra memang tidak pernah salah. Kalau saja kala itu Mevin dibesarkan oleh Jovian, mungkin Mevin tidak tumbuh sebaik ini. Selepas kepergian mantan istrinya, Jovian mengalami keterpurukan finansial dan keterpurukan untuk hatinya sendiri. Hidup tidak terarah, butuh beberapa tahun untuk mengembalikan kehidupannya seperti semula. Tangan Jovian menyentuh puncak kepala Mevin dan membelainya beberapa kali.

Mevin tersenyum sumringah. Ia berkata, “Cita-cita Mevin apa?” tanya Jovian.

Mevin memutar bola matanya dan nampak berpikir sejenak, ia menaruh gitar di sebelahnya dan mengikis jarak antara ia dan ayahnya. “Dokter, Pa.”

Jovian tersenyum dan menghela napas. “Mama kamu dulu dokter. Dia dokter yang hebat, dia dokter yang menangani mama Lea waktu mama Lea sakit. Janji sama Papa Jo, kalau kamu bakalan jadi dokter yang hebat, ya, Nak?”

Mevin berhenti berucap sebentar, ia masih menelaah perkataan ayahnya, keinginannya menjadi dokter muncul beberapa tahun lalu. Entah hasrat apa yang menggerakkannya ingin menjadi dokter. Tanpa disadari, ternyata itu adalah profesi mendiang mamanya, Mevin terharu.

“Pa, Selamat ulang tahun, Mevin selalu berdoa biar Tuhan kasih Papa Jo panjang umur, kesehatan dan sukacita, terima kasih, ya, udah berkorban buat kebahagiaan Mevin. Terima kasih, ya, Pa. Mevin nggak tahu apa yang terjadi antara Papa Jo dan mama Lea di masa lalu. Tapi, Mevin beruntung punya dua papa dan dua mama yang semuanya sayang sama Mevin walaupun Mevin belum sempat ketemu mama kandung Mevin. Kata Mama Lea, malaikat baik yang melahirkan Mevin itu cantik dan hebat, bahkan sekalipun nyawa mama terenggut, semua itu bagian supaya mama Lea selamat. Mungkin, keinginan Papa punya foto keluarga sama Mevin dan Mama Petra sama persis seperti impian Mevin. Tapi kenyataan kan udah beda, tapi Mevin mau papa bahagia sama kehidupan Papa sekarang sama Mama Auryn dan Mikayla, Papa harus sehat dan panjang umur biar bisa lihat Mevin sukses, ya?” Mevin mendaratkan pernyataan yang menyentuh hati Jovian lagi.

“Nak, terima kasih, ya, sudah jadi anak yang baik. Please be a good son for mama Lea sama papa Jeremy. Both of them love you so much, so do I.” Pandangan mata Jovian belum berpindah dari paras anak lelakinya. Ia belum beranjak.

“Papa mau pindah ke Bali?”

“Mungkin menetap di sana dan balik ke sini untuk beberapa urusan aja. Mevin kalau main ke Bali kabarin Papa, ya?”

“Oh, iya, Pa? Live your happy family, ya, Pa!” Mevin memberikan senyum terbaiknya setelah berucap. Jovian mengangguk. Sejuk dan tenangnya pembicaraan kala itu menyuarakan kebahagiaan di hati masing-masing dari Mevin dan Jovian.

Mevin merogoh saku jaketnya, ia mengeluarkan sebuah kotak lalu memberikannya kepada Jovian.

“Ini apa, Vin?” Jovian mengernyitkan dahinya seraya tangannya menerima pemberian Mevin itu. Mevin hanya mengangkat kedua bahunya dan tersenyum, ia memberi isyarat agar Jovian membuka kotak tersebut. Jovian mulai bergerak membuka kotak kecil itu, wajahnya berbinar kala melihat sebuah jam tangan ada di sana dengan secarik kertas.

“Papa Jo, selama ini hari ayah ataupun ulang tahun Papa Jo berkali-kali Mevin nggak bisa ucapin ke Papa Jo. Now let me paid it all, this is a small gift from me. Happy birthday and happy blessed day, sorry for realized all things lately but I never regret it.” Mevin berkata mengiringi ayahnya yang memasang jam tangan itu di pergelangan kirinya.

The more I know you, the more I feel how great and how thankful I am to be your son. I know Papa try your best to dealing with a lot of hard condition. I know you still care with mama Lea and of course you love mama Petra so much. I love you, and once agai, happy birthday... Papa Jo!” Mevin menyelesaikan kalimat yang sangat ingin ia ucapkan kepada ayahnya itu selama belasan tahun yang tertahan mengingat Jovian dan Mevin yang baru saja bertemu setelah enam belas tahun.

What a great message, son! As a father, my heart so proud. I can’t say anything, Boy. Papa bangga sama Mevin.” Tanpa ada kecanggungan lagi dan untuk sekali lagi Jovian memeluk Mevin erat.

Tiba-tiba terdengar suara kaki yang melangkah mendekati mereka bersamaan dengan Mevin serta Jovian yang merenggangkan rengkuh. Benar saja, itu adalah Jeremy dan Lea.

“Wih asik banget, nih, habis pada main gitar, ya?” seru Jeremy yang berjalan mendekat sembari merangkul Lea. Mevin tersenyum sambil menggaruk kepalanya.

“Iya, Mevin hebat banget main gitarnya. Petikannya mantep. Papa Jeremy yang ajarin, katanya,” sahut Jovian. Jeremy terkekeh pelan. “Cuma ngajarin dikit aja, selebihnya Mevin otodidak YouTube.”

“Ya udah, yuk, pulang dulu udah malem. Besok papa Jo juga mau flight pagi, biar papa Jo istirahat. Besok kalau papa Jo ke sini lagi, kita mampir. Kalau kita ke Bali kita kabarin papa Jo, oke, Nak?” ujar Lea sambil membelai rambut Mevin.

Anak lelaki itu mengangguk tanda setuju.

“Ya udah, pamit dulu sama papa Jovian,” perintah Jeremy. Mevin mencium tangan dan langsung memeluk ayahnya.

“Pa, safe flight for tommorow. Kita harus ketemu lagi, ya.”

“Sure, we have to meet again after this. Baik-baik sama mama Lea dan papa Jeremy. Yang nurut, ya, nak.” Jovian mengecup puncak kepala anaknya.

Mevin pun bangkit berdiri sambil menenteng beberapa paper bag belanjaannya, tepatnya hadiah dari Jovian.

“Wih banyak banget itu. Dari kamu, Jov?” tanya Lea. Jovian mengangguk. “Rapelan hadiah ulang tahun Mevin. Anggap aja begitu.”

Jeremy dan Lea tersenyum. “Banyak, ya, Nak. Bisa, nih, buka toko di rumah, sama cici sama Jevin?” goda Lea. Mereka semua terkekeh sejenak.

“Ya udah Jov, thank you. Saya sama Lea pulang dulu. Kabarin kalau pulang lagi ke sini,” Kata Jeremy, ia mengulurkan tangan dan keduanya berjabat tangan.

“Pasti, Jer,” balas Jovian. Akhirnya, Jeremy dan Mevin berlalu dari sana. Kini hanya tinggal Lea dan Jovian.

“Jov.”

“Lea.” Keduanya merapalkan nama masing-masing secara bersamaan.

“Kamu duluan aja,” kata Jovian dengan nada teduh. Lea tidak memberikan penuturan panjang. “Terima kasih, Jov, untuk semuanya. Aku nggak akan pernah larang kamu ketemu Mevin, kok. Kapan aja kamu mau, just let me know and I pray the best for your family.”

Mevin deserve all those love from you and Jeremy. Aku bersyukur sama Tuhan setelah kehancuran yang aku kasih dulu, balasan kebahagiaan buat kamu sampai sekarang tergambar jelas. Terima kasih juga kamu sudah jadi sosok ibu hebat dan istri yang hebat. Aku beruntung pernah jadi bagian dari perjalanan kamu. Perpisahan kita kala itu membawa kamu menemukan rumah. Iya, kan?”

“Jov, semua yang pernah terjadi antara kita atau pun antara kamu dan siapa pun yang pernah hadir di hidup kamu, anggap itu sebuah berkat. Sekali pun itu kepergian atau luka karna kalau nggak ada itu semua, sulit untuk kita pulang dan menemukan rumah. Aku pamit, Jov.”

“Terima kasih, Lea. Titip Mevin, ya? Kamu dan Jeremy orang tua yang hebat.”

Perasaan sendu mengiba untuk ditiadakan. Lea mengangguk, ia tersenyum lalu berbalik badan, melangkah pergi dari sana sambil menyeka air matanya yang tumpah sesaat setelah membelakangi Jovian. Saat Jeremy, Lea dan Mevin sudah berada di mobil, Jovian masih berdiri di sebelah mobil Jeremy. Mevin dan semuanya menurunkan kaca mobil, Jovian menundukkan badannya agar sejajar dengan kaca mobil dimana tempat mevin duduk.

“Selamat ulang tahun, Papa. Mevin sayang Papa.” Kalimat itu dibisikkan Mevin meski dengan nada malu malu. Anak lelaki berusia enam belas tahun itu kini tersenyum. Jovian mengelus puncak kepala Mevin, lalu berbisik “Papa juga sayang Mevin. Sampai ketemu lagi ya, anak papa. Anak laki-laki Papa satu-satunya. Anaknya Papa Jovian dan Mama Petra.”

Keadaan sudah jauh berbeda, Jovian sudah temui perhentiannya yaitu di Petra. Meninggalkan Lea yang hanya bisa memeluk lukanya sendiri tanpa ada yang bisa menjadi penawar. Pernikahan Petra dan Jovian berlangsung tanpa dihadiri Lea. Waktu yang berjalan tak bisa diputar kembali, waktu yang sudah dilewati tak bisa diulang kembali. Jovian sudah masuk terlalu jauh di kehidupan Lea, tapi Jovian pergi dengan luka yang ia ukir sedalam perasaan Lea untuknya. Lea mungkin terlihat baik-baik saja, tapi siapa yang tahu isi hati seseorang dan luka hebat yang disembunyikan dibalik senyum atau tawa? Selepas kepergian kedua orang tua Lea, Jovian datang menemui Lea yang masih menjadi kekasihnya, bukan untuk bertukar peluk tapi mengeja pilu. Keputusan berpisah kala itu disampaikan Jovian, tak ada pilihan terbaik bagi Jovian saat itu. Tak ada pilihan yang menguntungkan dan tanpa menyakiti siapapun. Seperti janji Jovian kali ini, ia akan menemui Lea di hari ke tujuh setelah pernikahannya karena mendengar kabar kurang baik dari kakak laki-laki Lea, Timothy.

Rembulan sembunyi malu di balik awan yang sedikit mendung, tapi Lea masih berada di dalam mobilnya, ia parkirkan tak jauh dari keberadaan Jovian. Sebuah taman yang biasa mereka kunjungi berdua saat masih ada di satu hubungan kini jadi saksi bisu perpisahan mereka, mungkin untuk selamanya. Lea tak bisa menahan tangis, usai melepas seat beltnya, ia tertunduk, menghantamkan kepalanya ke setir mobil dan terisak bukan main. Jovian ada di sana, Jovian ada di sana bukan menunggu untuk mengucapkan kata cinta, bahkan kini sosok pria gagah itu sudah jadi hak milik orang lain, bukan Lea, tapi Petra. Hancur hati Lea tanpa sisa, kehilangan orang tua disusul kehilangan belahan jiwanya, dunia tidak adil rasanya untuk Lea. Semua yang ia cinta hilang tak kembali, kedua orang tuanya juga Jovian.

Setelah Lea menerima telepon dari Jovian, ia mematikan ponselnya, menghela dan mengatur napasnya, ia mulai mengusap air matanya sendiri, meski tak bisa dibohongi jejak air mata dan mata merah serta basah milik Lea adalah bukti bahwa Lea baru saja menangis.

Lea pun keluar dari mobilnya, berjalan dengan langkah berat dan langsung menghampiri Jovian, mengambil posisi duduk di sebelah Jovian. Tatapan Lea lurus ke depan, sementara Jovian masih terlalu gugup dan mengatur debar jantungnya. Jovian mencondongkan tubuhnya duduk ke arah Lea, desir angin malam itu seiringan dengan denyut jantung Lea dimana bukan debar jatuh cinta yang ia rasakan, melainkan denyut sakit di dalam dadanya.

“Lea,” kata Jovian lirih sambil meraih tangan Lea.

“Ngomong aja,” balas Lea lesu, pandangannya lurus ke depan, kosong, enggan menatap seseorang yang sudah menyakitinya.

“Lihat aku, Lea.”

Lea langsung menoleh, Jovian langsung melihat wajah Lea yang sayu, mata gadis itu yang sudah basah, juga hidung Lea yang memerah.

“Udah? Kamu udah lihat aku yang hancur? Kurang hancur nggak?” detik itu juga, usai ucapkan kalimatnya, Lea meneteskan air mata, Jovian hendak menyekanya tapi Lea tepis tangan Jovian kasar.

“Udah hancur sesuai kemauanmu belum, Jov?” tanya Lea dengan penuh penekanan.

Jovian menggeleng cepat dan satu tangannya meraih pipi Lea dan menangkupnya, Lea mengetatkan rahang, menahan emosinya, sekejap memejam meski bibirnya sudah bergetar menahan tangisan yang hendak pecah saat itu juga.

“Sebut aku bajingan, brengsek, apapun itu, silahkan benci aku sepuas kamu. Terserah kamu mau maafin aku atau enggak, yang aku mau kamu harus bahagia, dengan siapapun nantinya. Kamu harus bahagia, walaupun dengan membenci aku, nggak papa.”

Jovian berhenti mengeja kata, Lea mulai menuturkan isi hatinya, “Membenci orang yang selama ini aku cintai sepenuh hati? Susah, tapi lebih susah jalanin hidup ke depannya, tanpa siapapun. Kamu jelas tahu kan, Jov apa yang baru aku sama Abang Tim alami? Aku harus kehilangan Papa sama Mama, dan sekarang aku harus kehilangan kamu. Tapi kalau memang itu jalan kita, aku nggak bisa apa-apa. Jangan datang lagi ke hidupku, aku yakin Petra wanita yang baik, jangan jadi pecundang buat dia. Jangan jadi pecundang seperti sekarang ini.” Lea bangkit berdiri dan hendak pergi, tapi Jovian langsung menahan lengan Lea tapi Lea menghempaskan tangan Jovian. Lea berjalan meninggalkan Jovian lagi tapi Jovian tak kapok, ia kembali pekik nama sang puan dan ia tarik lengan Lea, tapi saat itu juga Lea menampar pipi Jovian.

“Stop! Lepasin aku!” bentak Lea sambil menangis. Dada Lea masih naik turun dan napasnya masih memburu, Jovian dan Lea kini berhadapan, tak ada kata yang terucap, tak ada rasa sakit di pipi yang Jovian rasakan karena ia yakin bahwa sakit di batin Lea jauh lebih dari yang ia rasakan.

“Lea, jangan nangis, Lea ...“Jovian nekat memeluk Lea, wanita itu memberontak di pelukan Jovian, Lea memaksa untuk melepaskan pelukan yang terasa sakit itu.

“Sebentar aja, terakhir. Terakhir biarin aku peluk kamu!” Nada bicara Jovian kini meninggi. Lea memukul dada Jovian berklai-kali tapi Jovian tetap jaga Lea di pelukannya. Hingga akhirnya pukulan itu memelan, yang Jovian dengar hanya isak tangis dari Lea, mantan kekasihnya.

“Aku memang bajingan, tapi jangan pernah air mata kamu itu kamu pakai buat nangisin aku,” kata Jovian. Keduanya tak lagi menangis sendirian, pelukan perpisahan ini terasa jauh lebih menyakitkan dari sebelumnya. Sisa kenangan diberingkus oleh kenyataan pahit bahwa keduanya resmi berpisah. Damai saat peluk dibagi berdua kini beralih menjadi sakit bukan main saat merengkuh tubuh satu sama lain.

“Aku lepas kamu, Jovian... aku lepas kamu ...” ucapan Lea mengiringi keduanya yang saling merenggangkan pelukan. Jovian tak henti ucapkan kata maaf, hingga akhirnya keduanya saling menatap, sama-sama menangis hingga Lea memilih hengkang dari sana. Jovian terdiam terpaku, bibir dan lidahnya terlalu kelu untuk berkata bahwa ia sangat mencintai Lea. Wanita setegar batu karang itu kini luruh dalam tangis di dalam mobil. Lea memandang Jovian yang berjalan memunggungi Lea, keduanya pernah saling mencintai dan menggenggam hingga kini saling melepaskan.

Setiap anak diciptakan istimewa dengan kehebatan dan keunikannya masing-masing, Juga dengan sifat dan karakter yang berbeda. Tapi setiap anak juga memiliki beban tersendiri, entah anak pertama, kedua atau ketiga, anak terakhir, anak tengah dan lainnya. Di keluarga Adrian, Lauren adalah anak perempuan pertama, cucu perempuan pertama.

Kedua adiknya memang bukan kembar secara kandung, banyak cerita di belakangnya. Tapi cinta Lauren sebagai seorang kakak adalah tulus adanya. Malam ini terasa dingin bagi Lauren meski ia masih mendengar hangatnya petikan gitar dari kedua adiknya. Jevin dan Mevin memang belum terlelap malam itu. Keduanya menghabiskan malam di halaman belakang rumah mereka sembari bermain gitar. Tapi, Lauren tak menunjukkan kehadirannya.

Bahkan saat makan malam pun Lauren hanya mengambil makan lalu masuk ke dalam kamarnya. Jevin dan Mevin merasa ada sesuatu yang aneh dan tidak berani bertanya kepada Lauren. Jika Lauren sudah diam, saudara kembar ini tidak ada yang berani menunjukkan tingkah aneh-anehnya. Terlebih, terakhir kali di sekolah, Jevin dan Mevin terlibat perkelahian dan Lauren yang melihatnya harus ikut ke ruangan BK juga sebelum Jeremy datang.

Sejak saat itu, Lauren lebih banyak diam, biasanya Lauren berangkat entah berboncengan dengan Mevin atau Jevin, tapi sudah beberapa hari ini Lauren memilih untuk naik ojek online, Lauren juga menolak diantar oleh Jeremy, papanya.

“Jev, Cici kenapa, sih?” tanya Mevin saat menaruh gitarnya lalu bersandar di sofa. Jevin yang masih sibuk memetik gitar hanya mengedikkan bahu.

“Coba gue lihat ke dalem bentar,” kata Mevin lalu beranjak. Jevin masih tetap di sana bersenandung lirih sementara Mevin beranjak ke dalam rumah mengecek keadaan Lauren. Mevin coba ketuk pintu kamar Lauren tapi tak ada jawaban, mata Mevin juga mengarah ke meja makan, makanan yang diambil Lauren hanya dimakan sedikit bahkan sangat sedikit tidak sampai separuh. Mevin mencoba berjalan mendekat ke arah kamar Lauren, Mevin menempelkan telinganya di pintu kamar kakaknya itu, Mevin tidak mendengar apa-apa hingga ia mendengar isakan pelan dari dalam sana. Mevin kaget, tapi ia langsung berlari ke halaman belakang dan menghampiri Jevin.

“Jev, Jev... Cici ...” kata Mevin sambil menepuk-nepuk pundak Jevin yang membuat jevin menaruh gitar dan berbalik badan menatap Mevin.

“Cici kenapa?”

“Kayaknya nangis deh, makanannya nggak dimakan, Jev. Coba lu ketuk pintunya deh, gue takut,” ucap Mevin.

“Aduh gue kok jadi takut juga, bareng aja deh, ya?” tanya Jevin yang akhirnya diiyakan oleh Mevin. Langkah demi langkah terpijak, meski dengan sedikit keraguan di dalam hati Jevin dan Mevin tapi keduanya yakinkan langkah sampai tiba di depan kamar Lauren. Jevin langsung menempelkan telinga di pintu, tapi ia tidak mendengar apa-apa.

“Kok sepi?” tanya Jevin dengan nada berbisik, Mevin pun mendekat, ia juga mendengarkan dengan saksama tidak ia dengar apapun dari dalam kamar kakaknya itu. Tapi tiba-tiba, kenop pintu kamar Lauren terbuka, Jevin dan Mevin kaget bukan main, mereka tersentak dan langsung salah tingkah saat Lauren keluar dari kamar, tapi Lauren tidak menggubris kedua adiknya itu, Lauren berjalan tanpa melirik Jevin ataupun Mevin. Lauren menuju halaman belakang, sedangkan Jevin dan Mevin masih di ambang pintu kamar lauren.

“Lo lihat muka Cici?” tanya jevin mendekat ke arah Mevin.

“Pucet, matanya sembab, hidungnya merah.“Mevin berkata dengan lesu.

“Samperin jangan?” tanya Mevin, keduanya saling bertatapan dan saling berpikir sejenak hingga akhirnya keduanya sepakat mengangguk, mereka pun berjalan mengendap menuju ke halaman belakang, tapi betapa terkejutnya Jevin dan Mevin saat melihat apa yang dilakukan Lauren di sana.

Suara tangisan seketika menggema, Lauren berjongkok sambil melipat tangannya di lututnya, Lauren menangis sampai punggungnya bergetar hebat. Jevin dan Mevin membeku di tempat, akhirnya setelah sekian detik, Jevin mengambil langkah dan mendekat ke arah Lauren diikuti Mevin. Jevin dan Mevin duduk di rumput sambil tangannya menyentuh pundak Lauren,, hal itu malah menambah kencang isakan Lauren.

“Ci, kenapa? Cici kenapa?” tanya mevin pelan.

“Ci, jangan nangis ...” Jevin kini angkat bicara, Lauren masih terisak hingga beberapa saat kemudian, Lauren mengangkat wajahnya, melihat kedua adiknya sudah duduk di sisi kanan dan kirinya.

“Ci ... kenapa?” tanya mevin lagi.

“Capek, gue capek!” Lauren berkata dengan penuh penekanan. Jevin dan Mevin langsung tertunduk.

“Kalian yang berulah gue yang kena marah kadang tuh, tapi gue juga sadar kadang gue kurang baik, kurang care sebagai kakak. Gue sendiri harus merhatiin lo berdua, tapi gue kadang lupa sama diri gue sendiri. Papa sering nanya ke gue tentang kalian, tapi Papa lebih sering nanyain tentang kalian daripada nanya keadaan gue. Kalau kalian bikin ribut yang ditanya pertama tuh gue, yang denger keluhan papa itu gue duluan bukan kalian yang bikin onar. GUE BOLEH CAPEK NGGAK SIH?!” Hal itu dikatakan Lauren dengan linangan air mata tanpa henti, Meski terbata-bata karena tangisan, tapi Lauren tetap selesaikan kalimatnya.

Mevin dan Jevin merasakan jantung mereka dihuns pedang bermata dua.

“yang nanya gue kadang cuma Mama, yang dipanggil guru pertama kalau kalian berulah di sekolah ya gue, BARU PAPA SAMA MAMA! YANG PEDULI SAMA GUE SIAPA? SIAPA?!” Lauren tertunduk lagi, Mevin dan Jevin merasakan mata mereka panas.

“Cici maafin gue maafin kita, ci... maaf, maaf kalau kita lalai, maaf kalau kita bikin cici capek.” Jeviin mencoba meraih tangan Lauren.

“Ci, maaf kalau kita bandel, maaf kalau kita nggak pernah peduli sama lo, ci ...” Mevin mengucapkan kalimatnya lalu memeluk sosok kakaknya itu. Lauren tambah menangis saat merasakan Jevin juga ikut memeluk dari sisi satunya. Tak bisa berbohong, Jevin dan Mevin juga menangis di sana. Akhirnya ketiganya saling memeluk,s aling mengcapkan kata maaf juga saling mencurahkan perasaan yang tulus bagi satu sama lain.

Tanpa disangka ternyata malam itu bersamaan dengan kedua orang tua mereka yang baru saja pulang. Kepulangan Jeremy dan Lea dipercepat karena semua urusan sudah selesai. Maka saat mereka memasuki rumah suasana terasa sepi, Jeremy dan Lea juga sempat heran. Biasanya ketiga anaknya berkumpul di ruang tengah. Tapi kali ini Jeremy dan Lea melihat ke setiap ruangan hingga mereka melihat ketiga anaknya sedang berada di halaman belakang, dengan posisi saling memeluk bertiga. Jeremy dan Lea dibuat kebingungan.

“Kenapa?” tanya Lea berbisik. Jeremy menggeleng pertanda tidak tahu hingga akhirnya kedua orang tua Lauren dan kembar itu pun mendekat ke arah anak mereka.

“Cici, Jevin, Mevin …” suara Jeremy langsung membuat ketiganya bangkit berdiri dan mengusap air mata mereka.

“Kenapa?” tanya Jeremy sambil memegang pundak Lauren dan sedikit menunduk menyejajarkan pandangannya. Sementara Lea ada di tengah Jevin dan Mevin.

“Anak-anak Mama kenapa?” tanya Lea tapi Mevin dan Jevin hanya menggeleng.

“Lauren kadang capek, Lauren mau ditanya juga keadaanya, mau diperhatiin juga kayak kembar. Apa lauren gagal jadi kakak?” kata Lauren dengan terbata-bata sambil menatap Jeremy.

“Maaf Lauren childish..” sambung Lauren lagi, tapi setelahnya Lauren menangis di hadapan papanya. Hal itu membuat Jeremy memeluk anaknya itu sigap.

“Maafin Papa, maaf kalau Papa kadang nggak perhatiin Lauren. Maafin Papa kalau kesannya cuma perhatiin kembar. Sayangnya Papa ke kalian itu sama. Sama, nak … Cici udah jadi kakak yang baik, terima kasih ya, nak, ya … Papa juga sayang banget sama Lauren.” Jeremy melafalkan kalimatnya yang membuat Lauren semakin menangis di pelukannya.

“Cici itu kakak terbaik, Ma,” ujar Mevin sambil memeluk Mamanya dari sisi kanan.

“Jevin yang kadang bandel bikin Cici capek,” ujar Jevin dan memeluk Lea dari sisi kiri. Lea pun memeluk kedua anaknya itu. Kepala Mevin dan Jevin diusap lembut, pipi Jevin dan Mevin dikecup lembut.

“Anak Mama baik semua, anak mama adalah anak anak terbaik yang Tuhan titipkan.” Lea berbisik sambil masih memeluk Jevin dan Mevin.


Pagi harinya, saat Lauren bangun, di meja belajarnya sudah terseda sepiring nasi goreng, segelas susu dan dua lembar kertas. Lauren beranjak untuk melihatnya.

Untuk Cici Ci, makasih udah jadi kakak terbaik. Ci, makasih udah peduli sama gue sama Mevin dan makasih udah mengesampingkan kepentingan dan kebahagiaan lo demi kita. Ci, gue selalu berdoa buat lo di setiap malem, buat keluarga kita, tapi khusus buat lo gue minta sama Tuhan lo nanti dikasih pasangan hidup yang seiman, sepadan, sejalan dan bisa atreat you like a queen, karena lo berhak atas itu semua. Semoga Tuhan kasih kebahagiaan berlimpah buat lo Ci. Semoga Tuhan juga ubah hati gue biar bisa kuat dan sebijak lo ya ci.. panjang umur, sukses terus, ci.. gue sayang lo hehe. With love, Jevin

For Cici Lauren

Ci, pernah denger nggak kalau pendidikan pertama yang kita dapet itu dari orang tua? Pendidikan yang utama kita dapetin di rumah. And i get it here, di keluarga ini, bukan cuma dari Papa sama Mama tapi dari lo. Ci, makasih udah ngajarin banyak hal ya, ci makasih udah jadi garda terdepan kalau gue sama Jevin berulah di sekolah. Ci, capek ya? Cici mau ngeluh nggak papa, ngeluh ke gue gapapa ci.... gue janji bakalan lebih baik ke depannya, jangan bose jadi kakak gue. Jangan pernah mikir gue ga apeduli sama lo, Ci.. gue takut kalau lo sakit atau lo kenapa-kenapa. Kalau lo udah kunci kamar, udah diem aja gue suka overthinking. maksi udah lahir dan jadi cici gue. Ci hehe gimana ya ngomongnya, sounds weird maybe for you but i love you so much cilau. God loves you so do I. Best sister!! From your bro, Mevin

Saat Lauren hendak menaruh surat itu, tiba-tiba Jevin dan Mevin masuk karena pintu kamar yang memang terbuka. Keduanya langsung menghampiri Lauren dan memberi pelukan untuk kakaknya itu.

We love you, Ci!” Jevin dan Mevin berkata dengan kompak. Lauren tersenyum haru lalu mengusap lengan Jevin dan Mevin dan membalas pelukan kedua adiknya itu.

“Gue juga sayang kalian, sayang banget!”

Selepas insiden yang menimpanya terakhir kali, Jevin bak dihimpit nestapa. Berlari dengan telanjang kaki diantara bebatuan. Jevin memang sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa, tapi raga dan jiwanya tidak seperti sedia kala, pagi itu Jevin hendak meraih gelas di nakas di samping tempat ia berbaring, saat ia bangkit dari tempat tidurnya di ruang rawat inap itu, tangan kanannya yang memegang gelas tiba-tiba ..

PYARR!

Ia merasakan gelas di tangannya lolos begitu saja, tangan Jevin bergetar hebat, Jevin tidak bisa menggenggam apapun. Ia pun berlutut hendak membereskan kepingan kaca yang berserakan, namun saat ia berlutut malah pecahan kaca itu mengenai lututnya yang membuat lututnya mengeluarkan darah.

Tangan yang Jevin gerakkan juga tidak bisa ia gunakan untuk menggenggam apapun, satu tangannya yang lain juga masih dipasang infus. Yang ia dapatkan hanyalah goresan kaca di beberapa bagian tubuhnya. Letta yang kebetulan baru saja ingin memasuki ruangan itu pun kaget dan Letta langsung bergegas menghampiri Jevin dan betapa terkejutnya ia melihat Jevin dengan banyak serakan pecahan kaca disana.

“Jevin!” pekik Letta, Jevin melongok menatap Letta dengan mata yang berkaca-kaca.

“Kamu kenapa?” Letta membantu Jevin berdiri sambil mengangkat tubuh mantan suaminya itu perlahan.

“Bentar, aku bantu kamu tiduran dulu aku panggil suster,” kata Letta sambil membantu Jevin berdiri dan membuat Jevin berada di posisi tidur terlentang di tempat tidur, Letta menaikkan kaki Jevin satu per satu juga ke tempat tidur meski sesekali Letta harus menahan sakit di perutnya, ia berjalan cepat untuk memanggil suster.

Letta paham betul ini efek dari cedera yang Jevin derita setelah insiden kala itu. Sedikit nyeri di hati Letta mengingat Jevin yang sangat selalu bersemangat dalam melakukan hal apapun kini geraknya terbatas dan sering didera rasa sakit. Dengan sepenuh hati Letta membantu membasuh luka di tangan dan lutut Jevin sedangkan seorang perawat. Kali ini Letta merasa benar-benar sesak dan merasa sedikit sedih.

Sakitnya dalam hati tak akan pernah bertepi jika melihat Jevin yang seperti ini. “Kalau mau apa-apa minta tolong, tunggu aku, ya?” tanya Letta penuh perhatian dan tangannya masih bergelut membersihkan darah di lutut Jevin.

“Maaf.”

“Nggak usah minta maaf, aku yang minta maaf ninggalin kamu tadi.”

“Kamu udah makan? Kamu baik-baik aja? Maaf aku ngerepotin kamu.”

Letta menghela napas panjang lalu menatap Jevin, “Stop bilang kayak gitu atau aku marah!” “Serius, aku ngerasa beberapa kali nggak bisa apa-apa. Dikit-dikit sakit kepala, dikit-dikit mau pingsan, kalau enggak kayak tadi, nggak bisa pegang apa-apa.”

“Proses penyembuhan, sayang.” Letta mencoba tersenyum di atas kepedihan.

“Makasih ya, Lett. Makasih banyak,” balas Jevin yang memancing senyum dari sang puan.

“Kamu udah makan, Lett?” tanya Jevin, Letta mengangguk. Letta mengambil segelas air yang ada di nakas samping tempat tidur Jevin, ia mengambil sedotan lalu membantu Jevin untuk minum, diusapnya bibir Jevin dengan tisu secara lembut oleh Letta. “Udah.” Letta mengangguk.

“Boleh peluk?” tanya Jevin lagi yang langsung diiyakan oleh Letta dan disambut dengan tangan terbuka yang siap merengkuh sang tuan dalam dekap. Jevin mengecup juga bagian pipi Letta dan menghirup aroma khas parfume kesukaan Letta. Sungguh, pelukan kali ini sehangat itu, rasanya sudah lama berpisah, padahal butuh waktu untuk menunggu Jevin sadar, tapi rasanya seperti dipisahkan untuk waktu yang lama.

Dalam palung rasa sakit yang Letta derita sekarang, ia kesampingkan vonis dokter terhadapnya. Yang ia tahu dan yang ia inginkan hanya kesembuhan Jevin dan Grace saja untuk saat ini. Ia sudah benar-benar ikhlas atas penerimaannya terhadap semua hal kurang baik yang terjadi kepadanya. Tapi harapannya tak pernah padam. Tapi harus menunggu berapa lama? Harus berapa lama lagi? Kalau memang vonis dokter untuk Letta tidak bisa memiliki keturunan, biarlah terjadi demikian, tapi Jevin harus sembuh. Jevin harus membuka matanya lagi. Itu harapan Letta untuk sekarang.

Hari ini, Letta masih bermonolog seorang diri di sebelah Jevin yang masih terpejam. Ia genggam tangan suaminya itu. Letta mulai cerita sepihaknya ditemani bunyi denting jam dan juga bunyi alat-alat yang ada di sana. “Jevin, kamu inget nggak waktu kita pacaran dulu kita suka makan di lamongan lesehan? Inget nggak kamu yang nggak romantis ini nembak aku kayak ngajak beli cilor. Oh iya kamu inget waktu kita setiap ulang tahun Eve ke makam Eve? Iya, Eve yang sekarang lagi lihat kita dari surga, Eve pasti udah bahagia ya sekarang. Dia sahabat terbaik aku, dan seseorang yang nggak akan pernah kamu lupain kan? Sayang, Mama Lea sama Papa Jeremy rajin banget kesini temenin aku, gantian jaga, Mevin juga nanyain keadaan aku padahal dia sendiri lagi nggak baik-baik aja, kok bisa ya dia setegar itu...” Kalimat Letta memelan, ia seka air matanya sejenak.

Letta mencium punggung tangan yang sedang ia genggam itu, ia tempelkan punggung tangan Jevin di pipinya, “Sayang, aku tunda operasi besarnya. Aku mau kamu bener-bener sembuh nggak ada sakit sama sekali, baru aku operasi. Berapa lama waktu yang dibutuhin kamu buat sembuh aku tunggu sayang, aku tunggu. Ci Lauren sama Ko Willy juga sering nemenin aku disini. Jevin sayang ... jangan pergi ... ya. Aku masih butuh kamu, aku butuh kamu, semua nunggu kamu bangun, yang kuat sayang.” Banyak hal yang Letta pendam tapi kini ia ceritakan pada raga Jevin yang masih terpejam itu.

Letta pun memejamkan matanya, ia menempelkan dahinya di punggung tangan Jevin yang ia pegang, ia menunduk, memanjatkan doa kepada Tuhan untuk sejenak, “Tuhan ... aku percaya Tuhan adalah dokter di atas segala dokter, apapun yang terjadi pasti itu yang terbaik untuk semuanya. I pray for my husband and also Grace, I surrender all to You. Give me strength to through this storm ... please God ... please.”

Letta juga tak lalai sebut nama Grace dalam doanya, karena Letta bisa melihat bagaimana Grace dan Mevin saling mencintai, juga perjalanan mereka yang tidak mudah. Tak ada rasa benci terhadap siapapun karena Letta tahu untuk setiap hal sudah digariskan dan direncanakan termasuk insiden ini. Usai berdoa dalam pejamnya, ia mengecup pipi Jevin. Namun, saat hendak kembali duduk, Letta melihat mata Jevin mengerjap dan Letta pun sempat kaget tapi ia meyakinkan dirinya. Suara lirih Letta memanggil lirih nama Jevin.

“Jevin? Sayang.. Jev?” Jantung Letta berdegup saat bola mata Jevin mengarah kepadanya.

“Sayang ... Letta ...” mendengar kalimat itu, Letta tak bisa bendung air matanya dan rasa haru yang menyeruak. Maka dahi Jevin jadi tempat bersemayam bibir Letta sejenak, lalu Letta menjauhkan sedikit wajahnya. Letta menekan bel untuk memanggil dokter, Letta masih hanyut dalam rasa haru, ia tak henti meneteskan air mata dan mengusap pipi Jevin. Maka, saat itu terdengar beberapa tenaga medis datang dibarengi Lea dan Jeremy, Letta diminta untuk menunggu di luar.

“Letta, Jevin kenapa?” tanya Jeremy panik.

“Jevin kenapa lagi?” tanya Lea juga. Letta menggigit bibirnya, terisak sesaat lalu memandangi kedua mertuanya bergantian, “Jevin sadar, Pa, Ma ...” Lea langsung memeluk Letta, Jeremy menghela napas panjang, beban di dadanya seakan terangkat hilang pudar begitu saja. Rasa syukur mereka panjatkan kepada Tuhan kala itu.

“Terima kasih Tuhan, terima kasih,” kata Jeremy lirih sambil memandangi Letta dan Lea yang tengah menangis dan saling memeluk.

Hari ini, Lea dan Jeremy menyusul Letta ke rumah sakit, sudah beberapa hari ini Letta menjaga Jevin di rumah sakit meski belum kunjung sadar. Lea dan Jeremy pun datang dan melihat keadaan Letta pun sangat jelas bahwa Letta tidak baik-baik saja. Wajahnya sedikit pucat, matanya berkantung, tubuhnya sangat lemas. Jadi hari ini, Lea mengajak Letta pulang ke rumahnya dan membiarkan Jeremy yang berjaga di sana untuk malam ini.

“Letta pulang ke rumah Mama dulu, ya? Tidur di rumah Mama, besok kesini lagi, sekarang biar Papa Jeremy yang disini. Oke, nak?” kata Lea sambil merangkul Letta yang masih berdiri di depan pintu memandangi Jevin dari kejauhan.

“Mau jagain Jevin, Ma ...”

“Nanti kamu sakit, Jevin lagi sakit, jangan sampai Letta sakit juga, ya? Pulang ke rumah Mama sebentar, besok kesini lagi, Mama janji.” Lea meyakinkan menantunya lagi.

“Biar Papa yang disini, ya? Letta pulang sama Mama, biar Mama yang nyetir. Letta istirahat.” Jeremy yang mendekat ke sana juga menambahkan kalimat yang berharap bisa membuat Letta luluh. Akhirnya Letta mengangguk, Letta memandangi kedua mertuanya itu sesaat, bergantian mengucapkan terima kasih kepada Jeremy dan Lea. Akhirnya malam itu Letta menurut untuk pulang ke rumah mertuanya.

Selama di dalam mobil, Lea fokus menyetir sesekali menoleh menatap Letta yang tertunduk dan juga menatap ke luar jendela.

“Letta, udah makan? Mau beli makan dulu?” tanya Lea.

“Udah, Ma. Nggak usah, langsung pulang aja nggak papa,” balasnya.

“Semua bakalan baik-baik aja, jangan putus doain Jevin juga Grace, ya?”

“Ma ...”

“Ya?”

“Semua lagi nggak baik-baik aja, ya?”

Lea memelankan laju mobilnya, ia tangkap sinyal kesedihan mendalam dari sorot mata Letta.

“Jevin belum sadar, Grace juga pasti Grace trauma banget, Letta nggak bisa bayangin gimana jadi Grace ... kenapa Papanya tega? Tapi Letta juga nggak sekuat itu ngadepin ini semua, Ma.” Kalimat Letta membuat Lea meraih pundak Letta dan mengusapnya pelan sebelum kembali memegang kemudi mobil.

“Mama disini, ada Papa, ada Lauren sama Willy juga, kita semua ada buat Letta.”

“Ma, Letta divonis bisa jadi nggak punya anak kata dokter, beberapa hari sebelum semua kejadian ini.” Kata-kata Letta membuat Lea menepikan mobilnya sigap, Lea langsung menoleh menatap Letta yang kini tertunduk.

“Letta, lihat Mama.” Suara Lea tidak diindahkan Letta karena Letta kini menangis sambil mengusap air matanya sendiri.

“Letta!”

Maka Letta menatap Mama mertuanya itu, matanya merah dan basah, hidung Letta memerah, pipinya sudah basah. Lea berdesir nyeri melihat raut wajah menantunya itu, Lea pun membingkai pipi Letta lalu mengucapkan kalimat dengan penekanan, “Letta kenapa?”

“Kista, Ma... harus operasi, dan Letta nggak mau kalau Jevin belum sehat, susah buat terima kenyataan kalau akan susah punya anak, tapi lebih susah lagi terima kenyataan keadaan Jevin yang kayak gini. Sakit, Ma ... sakit ...” Dari cara Letta berbicara sudah jelas terdengar nada putus asa, alunan elegi dibubuhi rasa sakit mendalam tak terelakkan. Tak ada yang bisa Lea ucapkan lagi kecuali memeluk menantunya itu.

Memeluk Letta erat membiarkan Letta menangis di pelukan Lea. Sungguh semuanya sangat pelik dan menyakitkan bagi keluarga Adrian. Mungkinkah semua keadaan akan membaik? Butuh waktu lama? Atau dalam waktu dekat? Atau tidak akan membaik sama sekali? Yang Letta rasakan hanya hancur, remuk, tapi di dalam hatinya, panjatan doa dan permintaan kepada Tuhan agar semua keadaan kembali membaik tak henti disampaikan Letta. Dalam setiap pejam dan lipatan tangan Letta terpanjat doa dengan segala ketulusan untuk Jevin dan Grace juga untuk kesehatannya.

—-

another day…

Letta yang biasa memastikan keadaan Jevin aman di rumah bahkan di dekapannya kini harus mendapati Jevin terbaring lemah sudah beberapa hari. Letta mendapati pengalaman yang tidak biasa. Tidak ada perkembangan yang Jevin tunjukkan selama ini. Tidak ada kemajuan kondisi yang Jevin tunjukkan. Seringkali Letta menangis ketika ia menunggui suaminya itu, tanpa diketahui siapapun. Hancur hatinya, remuk perasaannya, pria hebat yang ia tahu kini terkulai lemah tak sadarkan diri. Segala doa terbaik ia panjatkan untuk kesembuhan Jevin. Kadang Letta juga tak henti mengajak Jevin berkomunikasi sepihak, Letta tak lelah dan tak lengah.

Senja kali ini rasanya damai sekali, seperti damainya Letta terlelap saat menjagai Jevin. Namun senjanya selalu terasa gelap selama Letta mendapati keadaan Jevin yang belum kunjung sadar. Saat itu Letta terbangun setelah lama waktu berlalu Letta tertidur disana, membenamkan wajah di sebelah tangan Jevin.

Letta terbangun karena mendengar alat pendeteksi detak jantung yang berbunyi, dilihatnya angka yang menunjukkan denyut jantung Jevin menunjukkan angka yang semakin kecil dimana detak jantung Jevin melemah. Hal itu membuat Letta mengerjap dan mendongakkan kepalanya. Dadanya terasa sesak dilanda kepanikan, Letta langsung mendekat kepada Jevin dan menggoyangkan tubuh Jevin dengan sedikit terisak, di pelupuk mata Letta sudah mengantre butiran kristal yang sudah tertahan hendak mengalir.

“Sayang, kamu kenapa? Jevin!” kata Letta dengan suara parau. Setelah itu, dengan secepat kilat Letta pun langsung memencet bel. Saat beberapa perawat dan dokter datang ke ruangan itu, Letta dipaksa untuk menunggu di luar, Letta memberontak namun disaat yang bersamaan, Lea datang, Lea panik dan langsung menarik Letta agar membiarkan dokter yang hendak menangani Jevin masuk.

“Letta! Letta, kenapa, nak?!” cegah Lea sambil menahan lengan Letta. Lea bersandar di tembok lalu jatuh terduduk sambil melipat kakinya, mengepalkan tangan sambil memukuli lututnya sendiri, menangis disana.

“Jevin, Ma ... Jevin nggak boleh pergi! Jevinn! Jevin nggak boleh pergii!!!” Letta histeris dan memukul kepalanya sendiri.

“Sst, nggak ada yang akan pergi, Jevin nggak akan pergi!” Lea memeluk menantunya itu, Letta menangis sejadinya.

Saat dokter dan perawat keluar dari ruangan Jevin dirawat, Lea langsung menghampiri dokter tersebut. “Keluarga pasien Jevin?” tanya sang dokter.

“Saya Mamanya, ini istrinya,” kata Lea sambil satu tangannya merangkul Letta, dan satu tangannya lagi mengusap lengan Letta untuk menyalurkan ketenangan.

“Kondisi detak jantung pasien melemah, tapi ada satu hal yang harus diketahui... mungkin setelah sadar Jevin akan banyak mengalami keluhan menyakitkan seperti, hilang kesadaran, hilang kendali otot yang bisa mengakibatkan gangguan pada saraf saat bergerak, sakit kepala berkepanjangan, hal-hal lain yang mungkin akan dialami Jevin nantinya harap langsung dikonsultasikan kepada dokter. Namun kita semua berusaha semaksimal mungkin dan jangan pernah berhenti berdoa.” kata-kata sang dokter terangkai menyiratkan duka mendalam. Mimpi buruk apa yang baru saja Letta alami? Saat itu juga Letta dan Lea terdiam saat sang dokter berlalu. Letta tersenyum pedih di hadapan Lea namun sedetik kemudian Letta berjalan beberapa langkah membelakangi Lea, hingga Letta terjatuh terduduk di lantai tiba-tiba, Letta tertunduk dan menjerit sambil memukuli dadanya sendiri. Lea langsung berjalan secepat kilat dan berlutut memeluk Letta mencoba menenangkan Letta.

“Jevin! Jevinnn!” tangis Letta sambil memukuli dadanya, Lea mencoba menahan lengan Letta agar menghentikan apa yang dilakukan menantunya itu tapi Letta beberapa kali memberontak. Hingga akhirnya Lea sedikit mencengkeram pergelangan tangan Letta dan membawanya menatap matanya.

“Letta jangan kayak gini, Nak. Jangan ...” ucap Lea memohon masih mencoba menenangkan Letta, perlahan genggamannya terlepas, Letta hanya bisa terisak dan punggungnya masih bergetar hebat. Semuanya terjadi bak mimpi buruk sekarang untuknya.

Sakit di bagian perutnya ia tahan lagi, rasa sakit itu datang berkali lipat jauh lebih sakit dari sebelumnya. Letta menatap ruang Jevin dirawat sekejap, lalu menatap Lea lagi, “Ma, Letta nggak kuat ... Tuhan lihat Letta sekarang, kan? Tuhan lihat Jevin yang tadi ada di ambang kepergian, kan? Tuhan lihat juga vonis yang dokter kasih ke Letta kan, Ma?”

Lea melipat bibirnya yang bergetar sambil mengangguk dan mengusap pipi Letta yang basah oleh air mata, “apa Letta bakalan kuat. Ma?” Lea tertunduk sejenak terisak juga di hadapan menantunya itu, lalu ia paksakan senyum di wajahnya dan berkata kepada Letta, “Tuhan tahu, Tuhan lihat Letta dan Jevin, bahkan saat ini Tuhan ada dan lihat kita, Nak. Kuat, pasti Letta kuat, ada Mama, Papa, Ci Lauren sama Ko Willy, kita manusia hanya bisa berusaha untuk yang terbaik.” Sosok Mama mertua Letta itu kini membelai rambut Letta dan merapikannya, menyingkapkannya agar tidak menghalangi paras ayu Letta.

“Untuk setiap hal ada waktunya, waktu untuk kita nangis, waktu dapet cobaan, waktu untuk senyum, waktu untuk berjuang, waktu untuk menikmati sukacita, juga waktu untuk menuai setiap hal baik yang udah kita tabur. Letta anak baik, Tuhan nggak tutup mata sama ketegaran hati Letta, Mama yakin itu.” Sebuah untai senyum menyejukkan menghunus hati Letta, bagaimana ada sosok ibu sekuat ini? Setegar ini?

Pada saat itu juga, ada alasan untuk Letta jadi lebih kuat dan tangguh dari sebelumnya, saat itu juga Letta paham, meski diberikan banyak rasa sakit, akan ada orang-orang yang Tuhan kirim untuk bersama menanggung luka, meski tak sebanyak luka yang kita dapat, tapi mereka lah yang tulus sepenuh hati, dan akan menemani kita sampai akhir nanti.