hush ... hush
Renjun sampai di bandara dengan keadaan capek luar biasa. Tenaganya sudah hampir habis terkuras gara-gara harus mengepak seluruh barangnya dalam waktu yang amat singkat, satu minggu.
Sunbae sebenarnya melarang Renjun untuk buru-buru, tapi dia lagi-lagi terlalu takut akan banyak merepotkan orang lain. Padahal orang lain yang dia bilang akan 'repot' itu belum tentu merasa direpotkan.
Selepas memeluk erat keluarga Kim—sunbae dan si kecil Hazel, juga Chrissy yang datang bersama tunangannya mengantar Renjun, kakinya bergerak konstan menuju boarding gate. Dengan rasa familiar seperti berbulan-bulan lalu. Buat dia bertanya-tanya, kenapa ya dia harus kembali ke Seoul jika kemarin dia pergi dengan banyak luka? Tapi senyum tertahannya jadi jawaban untuk pertanyaannya sendiri.
Semua berawal ketika malam itu Jeno pulang, setelah—mungkin—lelah mengejar dan menunggu Renjun yang sama sekali tidak ingin peduli sama keberadaan dia di Auckland berminggu-minggu lamanya. And he felt really bad for Jeno.
Renjun bukan tidak tahu, dia sangat sangat sangat tahu bagaimana kacaunya Jeno tiap kali laki-laki itu mondar-mandir di depan rumah sunbae di sore hari. Menunggu Renjun menjemput Hazel dari sekolah. Renjun juga tahu, Jeno itu agak susah dengan komunikasi, dia sering malu tanpa alasan kalau harus ngomong sama stranger. Makanya pilihan dia buat jalan kaki dari hotel sampai ke kompleks rumah sunbae demi muncul di depan Renjun setiap sore jelas ada justifikasinya.
Selepas Jeno pamitan untuk pulang, dan juga sunbae yang begitu kukuh mau mengantar Jeno ke bandara malam itu, rasanya Renjun punya tujuan yang jauh lebih terarah setelah ini. Artinya begini, selama ini yang dia takutkan cuma ... Jeno marah karena tahu Renjun sudah punya hubungan sama orang lain ketika dia dan Jeno bahkan belum selesai. Ya kan ...? Bahkan mereka sama sekali belum bicara soal 'putus' selama ini.
Tapi ketika Jeno sudah mau bicara pakai otak sama sunbae, Renjun lega. Hipotesisnya tidak benar. Jeno tidak marah sama mereka berdua.
Jeno is just too kind, and Renjun takes it for granted.
Sulit untuk dia tidur bermalam-malam kemudian. Hmm, sebenarnya sebelum itu pun Renjun juga sudah sulit tidur. Mikirin Jeno, lagi-lagi Jeno, ada Jeno lari-lari di pikirannya. Begitu terus sampai rasanya Renjun mau dibikin hilang ingatan aja kalau bisa. Supaya Jeno cepetan pergi dari otaknya dan nyari tempat lain buat dihantui.
Keadaan di rumah yang dia tinggali bareng sunbae dan Hazel pun nggak membaik. Sunbae dengan segala pola pikirnya, tiba-tiba meletakkan bingkai besar foto yang berisikan fotonya dengan enam orang mantan anggota grupnya. Mereka berdiri bersisian di sana dengan cara dan dinamika masing-masing. Nggak terkecuali Renjun dan Jeno yang kelihatan begitu pantas duduk bersisian berdua. Warna baju senada, riasan tipis yang buat aura mereka makin bagus, dan bahasa tubuh yang seolah nggak menampik fakta kalau mereka itu dekat—lebih dekat dari apapun yang bisa dibayangkan orang lain.
Renjun hampir menitikkan air mata sih waktu pertama kali–bangun tidur dan mendapati foto besar itu dipasang di dekat frame foto milik Hazel kecil. Yang berhari-hari berikutnya memicu anak kelewat pintar itu buat selalu tanya siapa-siapa aja orang yang ada di foto itu.
Sampai pernyataan berbunyi, “dulu Renjunnie sama dia seperti Renjunnie sama Papa ya.” waktu Hazel menunjuk-nunjuk foto itu dengan telunjuk kecilnya—foto Renjun dan Jeno yang sedang duduk bersisian.
“Itu yang kemarin Hazel beri kue, namanya Jeno.”
Dan hari-hari berikutnya, Jeno ada di mana-mana.
Renjun tahu itu bukan ulah Hazel, jelas bukan. Tapi ulah papanya yang bersembunyi di balik, “itu Hazel yang minta”.
Sampai suatu malam, sunbae kayaknya udah mau terang-terangan bawa obrolan ini ke tengah hubungan mereka.
Gara-gara sekarang tiap pagi buta sebelum masakin sarapan buat Hazel, Renjun selalu berdiri liatin foto-foto Jeno yang secara sengaja dipasang papanya Hazel di ruang tengah. Diem, merenung, sendiri di tengah kesunyian pagi di Auckland. Mirip-mirip kayak tiap kali sunbae duduk bermenit-menit di depan lukisan, minus dia seringkali bawa notebook jeleknya buat nulis lirik lagu atau bikin coretan buat konsep album-album ciptaannya di kemudian hari.
“Jeno tuh dari dulu memang gitu ya?” sunbae unprovoked nanya ke Renjun yang lagi puk-puk pantat Hazel di pangkuannya, mereka lagi duduk di balkon rumah sambil nungguin Hazel tidur. Jeleknya anak bayi satu itu, dia masih suka digendong meskipun dikit lagi mau masuk SD.
“Kayak gitu gimana maksudnya?”
“Ya ... persisten sama apa yang dia mau.”
“In terms of karir sih, iya.” sejujurnya Renjun ngersain pahit banget di tenggorokannya waktu jawab gitu, dia keingetan kasus dating Jeno sama Jo kemarin. Memang Jeno segitunya sih sama kerjaan, terlalu mencintai pekerjaan dan terlalu all out sampe-sampe nggak bisa ngelakuin analisis risiko dengan baik.
“Kalau di urusan percintaan?”
Mata Renjun mendelik ke arah sunbae, dia pura-pura nggak lihat. Pura-pura sibuk nulis di notebooknya yang bahkan lebih jorok ketimbang buku gambarnya Hazel.
“Maksudku, dulu dia ngejar kamu kayak gimana?”
Bingung sih Renjun ini, dia bingung harus jawab gimana. Soalnya faktanya, Jeno nggak pernah ngejar Renjun. Renjun juga nggak merasa ngejar Jeno in any way, sih. Kayak ... yaudah tiba-tiba aja mereka bersatu. Nggak ada angin nggak ada hujan, mereka akhirnya bisa pacaran waktu masih labil-labilnya.
Along the way, baru deh merka belajar menyempurnakan langkah satu sama lain. Belajar toleransi, belajar memaklumi, belajar mengolah emosi, sampe belajar mengapresiasi. Intinya, dia sama Jeno tuh sama-sama dewasa karena pernah ada di hubungan amatiran yang nggak karuan semasa remaja.
“Nggak tahu, dia nggak pernah ngejar aku, akunya juga nggak ngejar dia.”
“Oh ... pasangan dari langit ternyata.” Celetukan sunbae emang kadang kedengeran agak ... gimana ya ngomongnya, kalau orang lain denger mungkin akan dibilang 'nggak ada empatinya' atau 'dia ngeledek ya?' gitu sih. Tapi kenyataannya, dia memang orangnya begitu aja.
“Hazel udah tidur belum?” Sunbae coba menengok Hazel yang kayaknya sih udah terlalu nyaman nyender di dada Renjunnie. Tapi biasanya kalo ditidurin pas belum nyaman-nyaman banget di kasur, dia bakal bangun.
“Merem sih udah, tapi kalo ditidurin juga nanti ngerengek lagi. Biarin dulu sampe mulutnya kebuka, kayak biasanya.” Saking hafalnya Renjun gendong nidurin kemana-mana badan bongsor si Hazel ini.
Sunbae tiba-tiba berdiri, simpen notebook dia di meja teh yang sedari tadi membatasi posisi duduk dia sama Renjun. Dia jalan mondar-mandir di balkon, sesekali mendongak natap langit yang bersih dari polusi sebelum duduk di bean bag yang langsung ada di hadapan Renjun, berbatasan sama rumput dan bunga-bunga taman rumahnya.
“Kalo misal, aku bilang, aku bisa rawat Hazel sendiri dan minta kamu buat kembali ke Jeno, kamu mau nggak?”
Sunbae nanyain pertanyaan itu dalam satu tarikan nafas, sama kayak dua kali pernyataan cinta dan permintaannya buat Renjun dampingin dia selamanya—yang dua kali juga digantungin sama Renjun—tapi Renjun perlu waktu bermenit-menit ditemani suara hewan malam kebun mereka buat mikir.
Dia tahu sih, sunbae nggak bermaksud sama sekali untuk ngusir dia, atau parahnya lagi menyuruh dia buat melakukan hal yang nggak dia suka—karena dilihat dari manapun, Renjun masih ingin kembali sama Jeno. Kalau enggak, udah dipastikan bahwa kejadian dia minta Jeno nunggu dua bulan itu nggak akan terjadi.
Dia tahu apa yang dia mau, cuma dia perlu orang yang mau seratus persen commit untuk meyakinkan dia bahwa he's doing the right thing, but if you fail, I'll be here for you.
Kedenger egois memang, tapi memangnya siapa yang mau dijatuhin dari ketinggian tanpa ada bantalan buat dia mendarat dengan selamat?
“Listen ... I've been thinking about it, like ... hundreds of time. Dan aku sampai ke satu kesimpulan bahwa, kayaknya kamu sama Jeno bukan lagi butuh closure, tapi kalian memang butuh mencoba buat kali kedua.”
It's all making sense.
“Satu, kamu belum denger cerita lengkap dari Jeno soal that dating arrangement. Kamu dengar saat kalian lagi berdua sama Jo, ada kemungkinan ... well, they made up their own stories supaya kamu lega saat itu. People tend to sugarcoat anything, you know?“
“Dua, you haven't told him yourself, what happened in New York, what happened in Honolulu. Well it may triggers you at some point, aku tahu, tapi kamu sekarang udah jauh lebih baik jadi ... aku pikir nggak ada salahnya buat coba me-recall masa itu, menceritakan ulang ke Jeno, dan bikin dia ngerti. Kalau terlalu berat buat diceritakan ulang, kamu record, atau tulis? Selalu ada jalan sih menurutku.”
Sunbae berhenti sejenak waktu sadar Hazel kayaknya udah mulai terusik tidurnya karena suaranya yang makin keras.
“I'll just ... put Hazel on his bed first.”
Renjun mau menghindar dari omongan ini, tapi laki-laki yang sedari tadi berbicara panjang lebar ini tahu gelagatnya. Ia buru-buru ambil alih Hazel sembari berkata, “let me do it for you.”
“Kamu di sini aja dulu, menimbang omonganku tadi.” lanjutnya sebelum berlalu dan mengusak rambut Renjun.
Ketimbang dua hal yang jadi pertimbangan utama sunbae—yang seharusnya jadi pertimbangan buat Renjun juga—tadi, Renjun lebih mikirin soal probabilitas apakah Jeno akan nangkep dia kalo dia jatuh lagi suatu saat nanti? Atau malah ninggalin kayak apa yang udah dia lakuin kemarin?
Tapi setelah ditimbang lagi, Renjun nggak merasa Jeno benar-benar pergi dari dia. Bahkan di saat dia harus berjuang setengah mati waktu lagi ngadepin episode-episode mengerikan di hidupnya pasca kejadian Honolulu kemarin.
Siapa yang sanggup nanggung pukulan dan serangan fisik kalau Renjun lagi nggak sadar? Ya Jeno.
Siapa yang mau bersihin badan dia waktu dia lagi bener-bener kacau? Jeno, of course.
Siapa yang rela ngabisin waktu, uang, dan tenaga buat mastiin dia bahagia dalam keadaan apapun? Lagi-lagi, ya Jeno.
Sekembalinya sunbae, Renjun udah hampir mengiyakan semua reasoning yang kedengar valid yang diberikan sunbae tadi. Karena semuanya masuk akal, karena semuanya cukup sanggup untuk dia jalankan sekarang, apapun risikonya.
Tapi ... Hazel gimana? Hidupnya sama sunbae di sini gimana?
Apa dia nggak terlalu egois kalau harus kembali ke Jeno dan ninggalin sunbae?
Apa dia nggak terlalu plin-plan?
Dulu aja dia pergi ninggalin Jeno karena ada sunbae yang seolah jadi safety net dia waktu Jeno nggak ada, tapi sekarang giliran Jeno udah minta dia buat kembali, dia ninggalin sunbae dan kehidupan mereka yang udah hampir matang di sini?
Dia ini waras nggak sih?
“Kamu ... sama Hazel, gimana?”
“Hah? Gimana apanya? Apanya yang gimana?” sunbae tiba-tiba duduk tegap dari posisinya yang sebelumnya tiduran di bean bag. Kacamata frame tebalnya juga dia benarkan buat menyimak jawaban Renjun berikutnya.
“Ya setelah ini, kalau aku pergi ... kamu ... sama Hazel gimana?”
“Kenapa kamu jadi mikirin aku sama Hazel?” tawanya kemudian terdengar tulus, nggak ada tendensi apa-apa.
“We will be doing great di sini. Ada mamanya Hazel, ada nenek-kakeknya Hazel, semua orang bisa bantu aku untuk rawat Hazel sama-sama di sini. Kalau kamu mau tetep jadi temen main Hazel juga masih sangat bisa, kok.”
“Tap-tapi aku ngerasa egois aja sih kalau harus balik ke Jeno sementara hidup kita di sini udah mau settle.”
“I'd be happy to live a great life di sini sama kamu, tapi jika dan hanya jika kamu juga happy menjalaninya.”
“Nah, sekarang aku tanya, kamu akan happy nggak tinggal di sini sama aku? Sementara di sana ada Jeno yang mungkin nunggu kamu kembali.”
Renjun menunduk, menjawab pertanyaan dari sunbae ini terlalu susah, perlu pemikiran panjang yang lagi-lagi cuma dia yang bisa jawab. Soalnya ini udah menyangkut perasaannya.
Selama ini, sunbae selalu jadi sosok yang bisa menyempurnakan kurangnya dia. Meskipun sunbae ini jauh dari kata sempurna, sih.
Tapi ada satu hal yang sampai sekarang belum bisa ditutup. Rasa kosong di hatinya waktu mereka melakukan hal-hal yang harusnya jadi membahagiakan kalau dilakukan sama pasangan yang bener-bener saling mencintai dan menggantungkan hatinya ke satu sama lain.
Lagi-lagi, akan terselip satu bisikan lembut yang begitu lirih serupa desiran angin. Jeno, harusnya itu Jeno.
Pada akhirnya, Renjun nggak bisa menolak.
***
Nggak ada perubahan berarti dari kediaman keluarga besar Lee di pinggiran Incheon sejak terakhir kali Renjun bertandang ke sini berbulan-bulan lalu.
Rumah keluarganya Jeno itu besar. Saat masih di luar pagar, mungkin semuanya nggak terlihat karena tertutup sama pagar tinggi dan tanaman hijau merambat di atas pagar. Tapi, kalau udah masuk lewat pagar samping, baru akan terlihat halaman depan yang lumayan luas. Ada dua kolam kecil di samping kanan dan kiri dekat pagar, di tengah-tengahnya ada jalanan setapak yang cukup untuk dua orang berjalan bersisian menuju perbatasan ruang terima tamu depan dengan halaman tengah yang ditanami pohon tinggi.
Ruang terima tamu depan mirip seperti ruang terima tamu di drama-drama zaman dulu. Alasnya dari kayu, juga ada meja kayu besar di tengah ruangan untuk menjamu tamu-tamu yang datang. Biasanya sih, ruangan ini dipakai kalau ada acara besar, seperti acara ulang tahun atau kalau teman-teman ayah Jeno berkunjung ke rumah.
Di halaman tengah, pohon berkayu keras tinggi itu kata Jeno sudah ada sejak dia kecil. Bahkan sejak ayah Jeno masih kecil. Dulu sering dipakai sepupu-sepupu Jeno untuk bermain di waktu mengunjungi nenek saat Chuseok, tapi sayang Jeno nggak punya banyak waktu untuk bermain seperti mereka. Jadi, memorinya soal pohon ini begitu samar.
Di bagian belakang, rumahnya sudah jauh lebih moderen. Beberapa bagian sengaja direnovasi ulang dengan menambahkan kaca bening sebagai pengantar masuknya cahaya matahari. Ruang keluarga, ruang tengah, dan juga ruang makan semuanya punya pintu geser besar yang dilapisi kaca tembus pandang, itu di bagian sayap kanan.
Di bagian kiri, ada ruangan kerja kecil milik ayah Jeno dan ruang bermain milik Minnie yang sekarang sudah jarang digunakan. Soalnya kakak perempuan Jeno dan Minnie sudah pindah ke rumah lain yang nggak jauh dari sini. Ruang kerja ayah Jeno dibatasi oleh pintu kayu besar, sementara ruang bermain Minnie sama dengan konsep ruangan di sisi kanan, terbuka dan terkesan minimalis.
Berhadapan langsung dengan ruang terima tamu di depan, ada pintu kaca besar yang menjadi pintu menuju rumah utama. Di dalam sana ada banyak ruangan yang dipakai sebagai kamar. Ruangannya saling bersisian namun tidak saling berhadapan dari pintu ke pintu. Kamar-kamar itu ditinggali oleh ayah dan ibu Jeno, kamar nenek di sisi paling belakang, dan kamar Jeno di bagian paling depan. Kamar tamu ada di sebelahnya.
Dapur ada di sisi belakang, terpisah dengan bagian utama rumah dan memiliki pintu sambung ke sayap kanan—ruang makan.
Hari itu Renjun datang dengan sambutan heboh ibu dan juga keponakan kecil Jeno. Mereka itu suporter Renjun nomor satu.
Ibu Jeno tanpa banyak bicara langsung bawa Renjun ke kamar, memintanya istirahat, dan langsung menyajikan gelas-gelas berisi teh, minuman herbal hangat, dan juga aromaterapi yang bisa dibalurkan ke tubuhnya saat mandi nanti.
Siang itu, Renjun belum melihat Jeno sama sekali. Tapi dia cukup terkesan dengan sikap semua anggota keluarga yang tidak berubah sama sekali selama ini. Meskipun Renjun dan Jeno sudah tidak bersama.
Acara ulang tahun Minnie akan dimulai esok hari. Sekitar jam 3 sore dengan mengundang teman-teman sekolah dan juga keluarga dekat mereka. Jadi, sebetulnya Renjun punya waktu semalaman penuh untuk istirahat sebelum besok pagi ikut membantu kakak perempuan Jeno menata dekorasi bersama tim dekor yang jauh-jauh mereka datangkan dari Seoul. Jangan heran, Minnie ini cucu dan buyut pertama dari keluarga mereka. Sudah pasti perlakuannya sebagus ini. Pun orang tua Jeno selama ini memang penyayang kok.
Waktu makan malam, kakak perempuan Jeno mengetuk pintunya untuk menawarkan Renjun mau makan bersama atau makan di kamarnya. Mengingat pasti perjalanan panjang itu mengganggu istirahat Renjun.
“Aku makan bareng aja, Kak. I'll be there soon, mau cuci muka dulu.”
Bukan tanpa alasan, wajah Renjun emang udah agak kusam. Sedari sampai tadi, dia cuma tidur. Dan ... masih ada keinginan kecil dari dasar hatinya untuk terlihat presentable di depan Jeno, meskipun dia nggak tahu apakah mantan pacarnya itu ada di meja yang sama dengan mereka nanti.
Nyatanya, Jeno telat datang makan malam bersama saat itu. Renjun sudah duduk di ujung meja, berhadapan langsung dengan kakak perempuan Jeno, bersebelahan dengan ibunya yang sudah hampir menandaskan separuh makanannya.
Ayah Jeno berdehem mengisyaratkan anak itu—yang sedang terlihat sedikit linglung—untuk duduk di samping kanan ibunya.
Suasana makan yang sebelumnya ramai karena Renjun banyak bercerita dengan kakak perempuan dan kakak ipar Jeno berangsur jadi hening ketika Jeno datang dan seolah menyadari ada presensi Renjun. Semua orang tahunya, Jeno masih marah sama Renjun—and vice versa.
Selepas makan malam, Renjun dan ibu Jeno mengangkut seluruh piring kotor ke dapur. Memastikan asisten rumah tangga akan membersihkan semuanya nanti.
Jeno masih seperti orang bodoh duduk di meja makan sendirian karena makanannya belum tandas. Kayaknya dia lebih mirip anak tiri karena semua orang melenggang pergi waktu dia masih makan. Ya ... salah dia sendiri sih karena datang ke meja makan lebih lambat dari yang lain.
Renjun terlihat sudah bermain (atau membantu Minnie belajar?) di tempatnya. Jeno bisa lihat dari tempat duduknya karena ruangan belajar dan bermain Minnie secara langsung berhadapan dengan ruang makannya sekarang.
Renjun beberapa kali menyuapkan potongan buah ke mulut Minnie, membantunya menulis, dan sesekali juga mengambilkan air minum di botol besar punya Minnie. Jeno rasanya mau makan lebih banyak sih, supaya punya alasan buat tetap duduk dan melamun lihat Renjun dari jauh begini.
Tapi ternyata dia harus buru-buru mencuci piringnya sendiri waktu asisten rumah tangga mereka sudah berpamitan pulang dan terlihat membungkuk berkali-kali pada ibunya yang mengantar dua wanita paruh baya itu keluar rumah. Alasannya, dia sudah melihat pelototan mata maminya saat melenggang lewat di depan pintu geser kaca itu.
Sebenarnya ya, kalau Jeno boleh jujur, Jeno terlalu bingung sama apa yang Renjun lakukan sekarang. Dia kemaren nyuruh Jeno pulang, minta waktu dua bulan buat mastiin perasaannya—yang Jeno yakin juga sama nggak karuannya kayak Jeno—, sekarang dateng ke sini sebelum dua bulan dan bersikap seolah mereka ... sejauh itu?
Acara nyuci piring Jeno jadi makin thoughtful sih malam ini gara-gara mikirin sign yang coba diberi sama Renjun.
Belum sempat Jeno naruh piringnya di wastafel, dia denger langkah kaki mendekat dan ternyata Renjun bawa piring bekas buah Minnie di tangan kanannya.
Jeno sempat diam nggak bereksi apapun waktu pandangannya ketemu sama Renjun. Cuma satu hal yang dia notis, Renjun udah nggak kayak sebelumnya. Dia udah lebih santai kali ini, pandangannya udah nggak berisi kebencian. Udah lebih netral dan cenderung ... penuh kehati-hatian?
“S-sorry,” Renjun berbisik lirih sebelum Jeno menggeser tubuhnya menjauh dari wastafel.
Jeno berpindah untuk duduk di bar stool sambil meminum air putihnya, mencoba buat menetralkan otaknya sebelum bertindak lagi setelah ini.
Renjun terlihat mencuci piring dengan agak buru-buru, mungkin karena sadar bahwa ngomong sama Jeno dalam keadaan kayak gini bukan seperti yang ada dalam bayangannya waktu memutuskan buat berangkat dari bandara kemarin sore.
“Renjun,” pergerakan tangannya tiba-tiba berhenti waktu mau menyimpan piring juga sendok yang selesai dicuci di pengering, bersebelahan dengan piring juga mangkok besar milik Jeno yang baru dicuci juga.
Jeno bisa dengar helaan nafas berat Renjun ketika tangannya sudah beranjak melepas dua sarung tangan karet di masing-masing tangannya.
“Katanya kamu mau nunggu di depan pintu, kenapa tiba-tiba aku lihat kamu di meja makan?”
Dari belakang, Jeno bisa lihat punggung Renjun naik turun akibat kekehannya sendiri. Juga gelengan kepala yang menandakan keheranannya atas pertanyaan Jeno yang sama sekali nggak berbobot itu.
Renjun berbalik pelan, menunduk sembari menggigit bibirnya akibat gugup. Ia berjalan untuk makin dekat dengan Jeno yang sedang bersandar pada meja tinggi serupa meja bar yang dipakai untuk menyimpan koleksi minuman milik ayah juga kakak iparnya.
“Terus? Kamu berharap lihat aku di mana?” suara Renjun agak serak waktu bertanya demikian.
“Di depan pintu apartemen.”
Lagi-lagi Renjun terkekeh.
“It was the original plan, tapi Mami kamu—”
“Ah, beneran kan.”
Renjun menaikkan sebelah alisnya, membasahi bibirnya, dan mengerjapkan mata sebelum melanjutkan pertanyaan, “kamu tahu Mami kamu akan ngundang aku ke ulang tahun Minnie?”
“Semua orang juga udah pasti tahu. Anak kandungnya kan kamu, aku anak pungut.”
Renjun dibikin melongo sama jawaban Jeno. Dia ini kenapa bersikap seolah nggak ada hal yang lebih penting untuk dibicarain ya ketimbang rasa iri dia ke Renjun karena perbedaan perlakuan orang tuanya? Lucu juga...
“Jadi? Udah ada jawabannya?” Jeno seolah nggak memberi Renjun jeda untuk mengistirahatkan jantungnya, padahal sedari tadi jantungnya nggak berhenti dag-dig-dug akibat berada di satu ruangan sama orang yang udah bikin hidupnya setahun terakhir kacau balau. Both in a good and a bad way, meskipun porsi negatifnya lebih besar.
“Ya ini jawabannya.”
“Hm?” gantian Jeno menaikkan alis waktu mendengar jawaban Renjun yang sekarang makin mendekat ke arahnya.
“Here I am.” katanya sambil merentangkan tangannya di hadapan Jeno. Mungkin berharap dipeluk sama Jeno, tapi sayangnya dia kalau kenyang jadi berubah agak bodoh.
Jeno sih nggak kaget ya waktu tahu jawabannya. Dan dia udah bisa memprediksi dari awal, Renjun pasti akan kembali sama dia. Apapun itu tantangannya.
“Well, Jen, aku belum denger banyak penjelasan dari kamu soal Jo, soal semuanya dari awal. Tapi aku langsung pergi gitu aja dan seolah nyari validasi ke orang lain.”
“And I'm so sorry for that.”
“Dan ... aku nggak bisa membiarkan kamu nggak pernah tahu kebenaran soal Honolulu hari itu. Makanya aku kembali.”
Mata Jeno membesar waktu sadar bahwa Renjun sudah bawa topik menyakitkan itu di antara mereka. Berarti ini sih ... udah sangat serius. Berarti ... dia dibohongin dong soal kebenaran cerita penyebab sakitnya Renjun kambuh hari itu?
“Satu lagi, uhm ... soal sunbae, aku sama dia ... kami—”
Jeno nggak sabaran sih memang, dan terlalu benci kalau harus nunggu sesuatu yang sebenernya nggak pengen-pengen amat dia denger.
Memang sih dulu dia merasa Renjun selingkuh dari dia, merasa dia ditipu karena Renjun begitu aja pergi dari dia dan memilih orang lain. Tapi semakin dirasain kok ... dia merasa kalau ini semua juga datang dari kesalahannya sendiri ya?
Dia yang nggak fully present buat Renjun, dia yang lupa buat terbuka sama Renjun, dan dia yang seolah mengabaikan keberadaan Renjun padahal mereka udah berdua dalam waktu lama.
Jeno raih dua telapak tangan Renjun yang menggantung di sisi badannya, dia genggam sebegitu erat, memberikannya senyum yang cukup hangat. Senyum yang boleh dibilang ... udah dikangenin dari lama sama Renjun.
Alih-alih balik menggenggam tangan Jeno, Renjun lepaskan genggaman itu untuk beralih mendekatkan dirinya pada Jeno juga menangkup rahang Jeno yang masih selembut terakhir dia menyentuhnya.
“Aku ... udah nggak bisa cerita lagi sekarang, udah terlalu kangen sama kamu.” ucap Renjun begitu tangannya sudah menemukan tempatnya, mengelus pelan rahang Jeno. Sembari merasakan hangat di pinggangnya saat Jeno meletakkan telapak tangannya di sana—seperti biasa.
Kemudian Renjun nyaris hilangkan kesadaran Jeno saat dia letakkan bibirnya untuk melumat lembut bibir Jeno.
Begitu lembut, ditemani senyum yang sama lembutnya, juga perasaan bahagia yang terlalu panjang kalau diwakili sama barisan kata.
Ciumannya begitu tulus, dibalas sama tulusnya oleh Jeno. Tidak menggebu, ritmenya seiring dengan detak jantung mereka yang agaknya semakin lama semakin naik temponya—akibat sudah berbulan-bulan tidak bersua.
Tangan Renjun mulai meremas kecil rambut pink cotton candy punya Jeno, yang kalau boleh jujur, sejak pertama kali melihat warna rambut baru Jeno waktu makan malam tadi ... Renjun penasaran bagaimana rasanya meremas rambut itu kalau kepala Jeno sedang ada di antara kedua kaki—oh, let's save the best for the last.
Tapi kalau boleh jujur, ini rasanya seolah seperti ciuman pertama mereka enam atau tujuh tahun lalu, debarannya sama. Cuma bedanya, kali ini mereka merasa lebih dewasa, dan ... nggak lagi takut ketahuan seperti du—
“Renjunnie, kamu di mana? Aku udah ngantuk!”
“Eh! Samchon kenapa makan Renjunnie?!”
Hush-hush ... semoga Minnie nggak ngadu ke mama dan nenek ya setelah ini.