halfhumanhalfchocolate

hush ... hush

Renjun sampai di bandara dengan keadaan capek luar biasa. Tenaganya sudah hampir habis terkuras gara-gara harus mengepak seluruh barangnya dalam waktu yang amat singkat, satu minggu.

Sunbae sebenarnya melarang Renjun untuk buru-buru, tapi dia lagi-lagi terlalu takut akan banyak merepotkan orang lain. Padahal orang lain yang dia bilang akan 'repot' itu belum tentu merasa direpotkan.

Selepas memeluk erat keluarga Kim—sunbae dan si kecil Hazel, juga Chrissy yang datang bersama tunangannya mengantar Renjun, kakinya bergerak konstan menuju boarding gate. Dengan rasa familiar seperti berbulan-bulan lalu. Buat dia bertanya-tanya, kenapa ya dia harus kembali ke Seoul jika kemarin dia pergi dengan banyak luka? Tapi senyum tertahannya jadi jawaban untuk pertanyaannya sendiri.

Semua berawal ketika malam itu Jeno pulang, setelah—mungkin—lelah mengejar dan menunggu Renjun yang sama sekali tidak ingin peduli sama keberadaan dia di Auckland berminggu-minggu lamanya. And he felt really bad for Jeno.

Renjun bukan tidak tahu, dia sangat sangat sangat tahu bagaimana kacaunya Jeno tiap kali laki-laki itu mondar-mandir di depan rumah sunbae di sore hari. Menunggu Renjun menjemput Hazel dari sekolah. Renjun juga tahu, Jeno itu agak susah dengan komunikasi, dia sering malu tanpa alasan kalau harus ngomong sama stranger. Makanya pilihan dia buat jalan kaki dari hotel sampai ke kompleks rumah sunbae demi muncul di depan Renjun setiap sore jelas ada justifikasinya.

Selepas Jeno pamitan untuk pulang, dan juga sunbae yang begitu kukuh mau mengantar Jeno ke bandara malam itu, rasanya Renjun punya tujuan yang jauh lebih terarah setelah ini. Artinya begini, selama ini yang dia takutkan cuma ... Jeno marah karena tahu Renjun sudah punya hubungan sama orang lain ketika dia dan Jeno bahkan belum selesai. Ya kan ...? Bahkan mereka sama sekali belum bicara soal 'putus' selama ini.

Tapi ketika Jeno sudah mau bicara pakai otak sama sunbae, Renjun lega. Hipotesisnya tidak benar. Jeno tidak marah sama mereka berdua.

Jeno is just too kind, and Renjun takes it for granted.

Sulit untuk dia tidur bermalam-malam kemudian. Hmm, sebenarnya sebelum itu pun Renjun juga sudah sulit tidur. Mikirin Jeno, lagi-lagi Jeno, ada Jeno lari-lari di pikirannya. Begitu terus sampai rasanya Renjun mau dibikin hilang ingatan aja kalau bisa. Supaya Jeno cepetan pergi dari otaknya dan nyari tempat lain buat dihantui.

Keadaan di rumah yang dia tinggali bareng sunbae dan Hazel pun nggak membaik. Sunbae dengan segala pola pikirnya, tiba-tiba meletakkan bingkai besar foto yang berisikan fotonya dengan enam orang mantan anggota grupnya. Mereka berdiri bersisian di sana dengan cara dan dinamika masing-masing. Nggak terkecuali Renjun dan Jeno yang kelihatan begitu pantas duduk bersisian berdua. Warna baju senada, riasan tipis yang buat aura mereka makin bagus, dan bahasa tubuh yang seolah nggak menampik fakta kalau mereka itu dekat—lebih dekat dari apapun yang bisa dibayangkan orang lain.

Renjun hampir menitikkan air mata sih waktu pertama kali–bangun tidur dan mendapati foto besar itu dipasang di dekat frame foto milik Hazel kecil. Yang berhari-hari berikutnya memicu anak kelewat pintar itu buat selalu tanya siapa-siapa aja orang yang ada di foto itu.

Sampai pernyataan berbunyi, “dulu Renjunnie sama dia seperti Renjunnie sama Papa ya.” waktu Hazel menunjuk-nunjuk foto itu dengan telunjuk kecilnya—foto Renjun dan Jeno yang sedang duduk bersisian.

“Itu yang kemarin Hazel beri kue, namanya Jeno.”

Dan hari-hari berikutnya, Jeno ada di mana-mana.

Renjun tahu itu bukan ulah Hazel, jelas bukan. Tapi ulah papanya yang bersembunyi di balik, “itu Hazel yang minta”.

Sampai suatu malam, sunbae kayaknya udah mau terang-terangan bawa obrolan ini ke tengah hubungan mereka.

Gara-gara sekarang tiap pagi buta sebelum masakin sarapan buat Hazel, Renjun selalu berdiri liatin foto-foto Jeno yang secara sengaja dipasang papanya Hazel di ruang tengah. Diem, merenung, sendiri di tengah kesunyian pagi di Auckland. Mirip-mirip kayak tiap kali sunbae duduk bermenit-menit di depan lukisan, minus dia seringkali bawa notebook jeleknya buat nulis lirik lagu atau bikin coretan buat konsep album-album ciptaannya di kemudian hari.

“Jeno tuh dari dulu memang gitu ya?” sunbae unprovoked nanya ke Renjun yang lagi puk-puk pantat Hazel di pangkuannya, mereka lagi duduk di balkon rumah sambil nungguin Hazel tidur. Jeleknya anak bayi satu itu, dia masih suka digendong meskipun dikit lagi mau masuk SD.

“Kayak gitu gimana maksudnya?”

“Ya ... persisten sama apa yang dia mau.”

In terms of karir sih, iya.” sejujurnya Renjun ngersain pahit banget di tenggorokannya waktu jawab gitu, dia keingetan kasus dating Jeno sama Jo kemarin. Memang Jeno segitunya sih sama kerjaan, terlalu mencintai pekerjaan dan terlalu all out sampe-sampe nggak bisa ngelakuin analisis risiko dengan baik.

“Kalau di urusan percintaan?”

Mata Renjun mendelik ke arah sunbae, dia pura-pura nggak lihat. Pura-pura sibuk nulis di notebooknya yang bahkan lebih jorok ketimbang buku gambarnya Hazel.

“Maksudku, dulu dia ngejar kamu kayak gimana?”

Bingung sih Renjun ini, dia bingung harus jawab gimana. Soalnya faktanya, Jeno nggak pernah ngejar Renjun. Renjun juga nggak merasa ngejar Jeno in any way, sih. Kayak ... yaudah tiba-tiba aja mereka bersatu. Nggak ada angin nggak ada hujan, mereka akhirnya bisa pacaran waktu masih labil-labilnya.

Along the way, baru deh merka belajar menyempurnakan langkah satu sama lain. Belajar toleransi, belajar memaklumi, belajar mengolah emosi, sampe belajar mengapresiasi. Intinya, dia sama Jeno tuh sama-sama dewasa karena pernah ada di hubungan amatiran yang nggak karuan semasa remaja.

“Nggak tahu, dia nggak pernah ngejar aku, akunya juga nggak ngejar dia.”

“Oh ... pasangan dari langit ternyata.” Celetukan sunbae emang kadang kedengeran agak ... gimana ya ngomongnya, kalau orang lain denger mungkin akan dibilang 'nggak ada empatinya' atau 'dia ngeledek ya?' gitu sih. Tapi kenyataannya, dia memang orangnya begitu aja.

“Hazel udah tidur belum?” Sunbae coba menengok Hazel yang kayaknya sih udah terlalu nyaman nyender di dada Renjunnie. Tapi biasanya kalo ditidurin pas belum nyaman-nyaman banget di kasur, dia bakal bangun.

“Merem sih udah, tapi kalo ditidurin juga nanti ngerengek lagi. Biarin dulu sampe mulutnya kebuka, kayak biasanya.” Saking hafalnya Renjun gendong nidurin kemana-mana badan bongsor si Hazel ini.

Sunbae tiba-tiba berdiri, simpen notebook dia di meja teh yang sedari tadi membatasi posisi duduk dia sama Renjun. Dia jalan mondar-mandir di balkon, sesekali mendongak natap langit yang bersih dari polusi sebelum duduk di bean bag yang langsung ada di hadapan Renjun, berbatasan sama rumput dan bunga-bunga taman rumahnya.

“Kalo misal, aku bilang, aku bisa rawat Hazel sendiri dan minta kamu buat kembali ke Jeno, kamu mau nggak?”

Sunbae nanyain pertanyaan itu dalam satu tarikan nafas, sama kayak dua kali pernyataan cinta dan permintaannya buat Renjun dampingin dia selamanya—yang dua kali juga digantungin sama Renjun—tapi Renjun perlu waktu bermenit-menit ditemani suara hewan malam kebun mereka buat mikir.

Dia tahu sih, sunbae nggak bermaksud sama sekali untuk ngusir dia, atau parahnya lagi menyuruh dia buat melakukan hal yang nggak dia suka—karena dilihat dari manapun, Renjun masih ingin kembali sama Jeno. Kalau enggak, udah dipastikan bahwa kejadian dia minta Jeno nunggu dua bulan itu nggak akan terjadi.

Dia tahu apa yang dia mau, cuma dia perlu orang yang mau seratus persen commit untuk meyakinkan dia bahwa he's doing the right thing, but if you fail, I'll be here for you.

Kedenger egois memang, tapi memangnya siapa yang mau dijatuhin dari ketinggian tanpa ada bantalan buat dia mendarat dengan selamat?

Listen ... I've been thinking about it, like ... hundreds of time. Dan aku sampai ke satu kesimpulan bahwa, kayaknya kamu sama Jeno bukan lagi butuh closure, tapi kalian memang butuh mencoba buat kali kedua.”

It's all making sense.

“Satu, kamu belum denger cerita lengkap dari Jeno soal that dating arrangement. Kamu dengar saat kalian lagi berdua sama Jo, ada kemungkinan ... well, they made up their own stories supaya kamu lega saat itu. People tend to sugarcoat anything, you know?

Dua, you haven't told him yourself, what happened in New York, what happened in Honolulu. Well it may triggers you at some point, aku tahu, tapi kamu sekarang udah jauh lebih baik jadi ... aku pikir nggak ada salahnya buat coba me-recall masa itu, menceritakan ulang ke Jeno, dan bikin dia ngerti. Kalau terlalu berat buat diceritakan ulang, kamu record, atau tulis? Selalu ada jalan sih menurutku.”

Sunbae berhenti sejenak waktu sadar Hazel kayaknya udah mulai terusik tidurnya karena suaranya yang makin keras.

I'll just ... put Hazel on his bed first.”

Renjun mau menghindar dari omongan ini, tapi laki-laki yang sedari tadi berbicara panjang lebar ini tahu gelagatnya. Ia buru-buru ambil alih Hazel sembari berkata, “let me do it for you.”

“Kamu di sini aja dulu, menimbang omonganku tadi.” lanjutnya sebelum berlalu dan mengusak rambut Renjun.

Ketimbang dua hal yang jadi pertimbangan utama sunbae—yang seharusnya jadi pertimbangan buat Renjun juga—tadi, Renjun lebih mikirin soal probabilitas apakah Jeno akan nangkep dia kalo dia jatuh lagi suatu saat nanti? Atau malah ninggalin kayak apa yang udah dia lakuin kemarin?

Tapi setelah ditimbang lagi, Renjun nggak merasa Jeno benar-benar pergi dari dia. Bahkan di saat dia harus berjuang setengah mati waktu lagi ngadepin episode-episode mengerikan di hidupnya pasca kejadian Honolulu kemarin.

Siapa yang sanggup nanggung pukulan dan serangan fisik kalau Renjun lagi nggak sadar? Ya Jeno.

Siapa yang mau bersihin badan dia waktu dia lagi bener-bener kacau? Jeno, of course.

Siapa yang rela ngabisin waktu, uang, dan tenaga buat mastiin dia bahagia dalam keadaan apapun? Lagi-lagi, ya Jeno.

Sekembalinya sunbae, Renjun udah hampir mengiyakan semua reasoning yang kedengar valid yang diberikan sunbae tadi. Karena semuanya masuk akal, karena semuanya cukup sanggup untuk dia jalankan sekarang, apapun risikonya.

Tapi ... Hazel gimana? Hidupnya sama sunbae di sini gimana?

Apa dia nggak terlalu egois kalau harus kembali ke Jeno dan ninggalin sunbae?

Apa dia nggak terlalu plin-plan?

Dulu aja dia pergi ninggalin Jeno karena ada sunbae yang seolah jadi safety net dia waktu Jeno nggak ada, tapi sekarang giliran Jeno udah minta dia buat kembali, dia ninggalin sunbae dan kehidupan mereka yang udah hampir matang di sini?

Dia ini waras nggak sih?

“Kamu ... sama Hazel, gimana?”

“Hah? Gimana apanya? Apanya yang gimana?” sunbae tiba-tiba duduk tegap dari posisinya yang sebelumnya tiduran di bean bag. Kacamata frame tebalnya juga dia benarkan buat menyimak jawaban Renjun berikutnya.

“Ya setelah ini, kalau aku pergi ... kamu ... sama Hazel gimana?”

“Kenapa kamu jadi mikirin aku sama Hazel?” tawanya kemudian terdengar tulus, nggak ada tendensi apa-apa.

We will be doing great di sini. Ada mamanya Hazel, ada nenek-kakeknya Hazel, semua orang bisa bantu aku untuk rawat Hazel sama-sama di sini. Kalau kamu mau tetep jadi temen main Hazel juga masih sangat bisa, kok.”

“Tap-tapi aku ngerasa egois aja sih kalau harus balik ke Jeno sementara hidup kita di sini udah mau settle.”

I'd be happy to live a great life di sini sama kamu, tapi jika dan hanya jika kamu juga happy menjalaninya.”

“Nah, sekarang aku tanya, kamu akan happy nggak tinggal di sini sama aku? Sementara di sana ada Jeno yang mungkin nunggu kamu kembali.”

Renjun menunduk, menjawab pertanyaan dari sunbae ini terlalu susah, perlu pemikiran panjang yang lagi-lagi cuma dia yang bisa jawab. Soalnya ini udah menyangkut perasaannya.

Selama ini, sunbae selalu jadi sosok yang bisa menyempurnakan kurangnya dia. Meskipun sunbae ini jauh dari kata sempurna, sih.

Tapi ada satu hal yang sampai sekarang belum bisa ditutup. Rasa kosong di hatinya waktu mereka melakukan hal-hal yang harusnya jadi membahagiakan kalau dilakukan sama pasangan yang bener-bener saling mencintai dan menggantungkan hatinya ke satu sama lain.

Lagi-lagi, akan terselip satu bisikan lembut yang begitu lirih serupa desiran angin. Jeno, harusnya itu Jeno.

Pada akhirnya, Renjun nggak bisa menolak.

***

Nggak ada perubahan berarti dari kediaman keluarga besar Lee di pinggiran Incheon sejak terakhir kali Renjun bertandang ke sini berbulan-bulan lalu.

Rumah keluarganya Jeno itu besar. Saat masih di luar pagar, mungkin semuanya nggak terlihat karena tertutup sama pagar tinggi dan tanaman hijau merambat di atas pagar. Tapi, kalau udah masuk lewat pagar samping, baru akan terlihat halaman depan yang lumayan luas. Ada dua kolam kecil di samping kanan dan kiri dekat pagar, di tengah-tengahnya ada jalanan setapak yang cukup untuk dua orang berjalan bersisian menuju perbatasan ruang terima tamu depan dengan halaman tengah yang ditanami pohon tinggi.

Ruang terima tamu depan mirip seperti ruang terima tamu di drama-drama zaman dulu. Alasnya dari kayu, juga ada meja kayu besar di tengah ruangan untuk menjamu tamu-tamu yang datang. Biasanya sih, ruangan ini dipakai kalau ada acara besar, seperti acara ulang tahun atau kalau teman-teman ayah Jeno berkunjung ke rumah.

Di halaman tengah, pohon berkayu keras tinggi itu kata Jeno sudah ada sejak dia kecil. Bahkan sejak ayah Jeno masih kecil. Dulu sering dipakai sepupu-sepupu Jeno untuk bermain di waktu mengunjungi nenek saat Chuseok, tapi sayang Jeno nggak punya banyak waktu untuk bermain seperti mereka. Jadi, memorinya soal pohon ini begitu samar.

Di bagian belakang, rumahnya sudah jauh lebih moderen. Beberapa bagian sengaja direnovasi ulang dengan menambahkan kaca bening sebagai pengantar masuknya cahaya matahari. Ruang keluarga, ruang tengah, dan juga ruang makan semuanya punya pintu geser besar yang dilapisi kaca tembus pandang, itu di bagian sayap kanan.

Di bagian kiri, ada ruangan kerja kecil milik ayah Jeno dan ruang bermain milik Minnie yang sekarang sudah jarang digunakan. Soalnya kakak perempuan Jeno dan Minnie sudah pindah ke rumah lain yang nggak jauh dari sini. Ruang kerja ayah Jeno dibatasi oleh pintu kayu besar, sementara ruang bermain Minnie sama dengan konsep ruangan di sisi kanan, terbuka dan terkesan minimalis.

Berhadapan langsung dengan ruang terima tamu di depan, ada pintu kaca besar yang menjadi pintu menuju rumah utama. Di dalam sana ada banyak ruangan yang dipakai sebagai kamar. Ruangannya saling bersisian namun tidak saling berhadapan dari pintu ke pintu. Kamar-kamar itu ditinggali oleh ayah dan ibu Jeno, kamar nenek di sisi paling belakang, dan kamar Jeno di bagian paling depan. Kamar tamu ada di sebelahnya.

Dapur ada di sisi belakang, terpisah dengan bagian utama rumah dan memiliki pintu sambung ke sayap kanan—ruang makan.

Hari itu Renjun datang dengan sambutan heboh ibu dan juga keponakan kecil Jeno. Mereka itu suporter Renjun nomor satu.

Ibu Jeno tanpa banyak bicara langsung bawa Renjun ke kamar, memintanya istirahat, dan langsung menyajikan gelas-gelas berisi teh, minuman herbal hangat, dan juga aromaterapi yang bisa dibalurkan ke tubuhnya saat mandi nanti.

Siang itu, Renjun belum melihat Jeno sama sekali. Tapi dia cukup terkesan dengan sikap semua anggota keluarga yang tidak berubah sama sekali selama ini. Meskipun Renjun dan Jeno sudah tidak bersama.

Acara ulang tahun Minnie akan dimulai esok hari. Sekitar jam 3 sore dengan mengundang teman-teman sekolah dan juga keluarga dekat mereka. Jadi, sebetulnya Renjun punya waktu semalaman penuh untuk istirahat sebelum besok pagi ikut membantu kakak perempuan Jeno menata dekorasi bersama tim dekor yang jauh-jauh mereka datangkan dari Seoul. Jangan heran, Minnie ini cucu dan buyut pertama dari keluarga mereka. Sudah pasti perlakuannya sebagus ini. Pun orang tua Jeno selama ini memang penyayang kok.

Waktu makan malam, kakak perempuan Jeno mengetuk pintunya untuk menawarkan Renjun mau makan bersama atau makan di kamarnya. Mengingat pasti perjalanan panjang itu mengganggu istirahat Renjun.

“Aku makan bareng aja, Kak. I'll be there soon, mau cuci muka dulu.”

Bukan tanpa alasan, wajah Renjun emang udah agak kusam. Sedari sampai tadi, dia cuma tidur. Dan ... masih ada keinginan kecil dari dasar hatinya untuk terlihat presentable di depan Jeno, meskipun dia nggak tahu apakah mantan pacarnya itu ada di meja yang sama dengan mereka nanti.

Nyatanya, Jeno telat datang makan malam bersama saat itu. Renjun sudah duduk di ujung meja, berhadapan langsung dengan kakak perempuan Jeno, bersebelahan dengan ibunya yang sudah hampir menandaskan separuh makanannya.

Ayah Jeno berdehem mengisyaratkan anak itu—yang sedang terlihat sedikit linglung—untuk duduk di samping kanan ibunya.

Suasana makan yang sebelumnya ramai karena Renjun banyak bercerita dengan kakak perempuan dan kakak ipar Jeno berangsur jadi hening ketika Jeno datang dan seolah menyadari ada presensi Renjun. Semua orang tahunya, Jeno masih marah sama Renjun—and vice versa.

Selepas makan malam, Renjun dan ibu Jeno mengangkut seluruh piring kotor ke dapur. Memastikan asisten rumah tangga akan membersihkan semuanya nanti.

Jeno masih seperti orang bodoh duduk di meja makan sendirian karena makanannya belum tandas. Kayaknya dia lebih mirip anak tiri karena semua orang melenggang pergi waktu dia masih makan. Ya ... salah dia sendiri sih karena datang ke meja makan lebih lambat dari yang lain.

Renjun terlihat sudah bermain (atau membantu Minnie belajar?) di tempatnya. Jeno bisa lihat dari tempat duduknya karena ruangan belajar dan bermain Minnie secara langsung berhadapan dengan ruang makannya sekarang.

Renjun beberapa kali menyuapkan potongan buah ke mulut Minnie, membantunya menulis, dan sesekali juga mengambilkan air minum di botol besar punya Minnie. Jeno rasanya mau makan lebih banyak sih, supaya punya alasan buat tetap duduk dan melamun lihat Renjun dari jauh begini.

Tapi ternyata dia harus buru-buru mencuci piringnya sendiri waktu asisten rumah tangga mereka sudah berpamitan pulang dan terlihat membungkuk berkali-kali pada ibunya yang mengantar dua wanita paruh baya itu keluar rumah. Alasannya, dia sudah melihat pelototan mata maminya saat melenggang lewat di depan pintu geser kaca itu.

Sebenarnya ya, kalau Jeno boleh jujur, Jeno terlalu bingung sama apa yang Renjun lakukan sekarang. Dia kemaren nyuruh Jeno pulang, minta waktu dua bulan buat mastiin perasaannya—yang Jeno yakin juga sama nggak karuannya kayak Jeno—, sekarang dateng ke sini sebelum dua bulan dan bersikap seolah mereka ... sejauh itu?

Acara nyuci piring Jeno jadi makin thoughtful sih malam ini gara-gara mikirin sign yang coba diberi sama Renjun.

Belum sempat Jeno naruh piringnya di wastafel, dia denger langkah kaki mendekat dan ternyata Renjun bawa piring bekas buah Minnie di tangan kanannya.

Jeno sempat diam nggak bereksi apapun waktu pandangannya ketemu sama Renjun. Cuma satu hal yang dia notis, Renjun udah nggak kayak sebelumnya. Dia udah lebih santai kali ini, pandangannya udah nggak berisi kebencian. Udah lebih netral dan cenderung ... penuh kehati-hatian?

S-sorry,” Renjun berbisik lirih sebelum Jeno menggeser tubuhnya menjauh dari wastafel.

Jeno berpindah untuk duduk di bar stool sambil meminum air putihnya, mencoba buat menetralkan otaknya sebelum bertindak lagi setelah ini.

Renjun terlihat mencuci piring dengan agak buru-buru, mungkin karena sadar bahwa ngomong sama Jeno dalam keadaan kayak gini bukan seperti yang ada dalam bayangannya waktu memutuskan buat berangkat dari bandara kemarin sore.

“Renjun,” pergerakan tangannya tiba-tiba berhenti waktu mau menyimpan piring juga sendok yang selesai dicuci di pengering, bersebelahan dengan piring juga mangkok besar milik Jeno yang baru dicuci juga.

Jeno bisa dengar helaan nafas berat Renjun ketika tangannya sudah beranjak melepas dua sarung tangan karet di masing-masing tangannya.

“Katanya kamu mau nunggu di depan pintu, kenapa tiba-tiba aku lihat kamu di meja makan?”

Dari belakang, Jeno bisa lihat punggung Renjun naik turun akibat kekehannya sendiri. Juga gelengan kepala yang menandakan keheranannya atas pertanyaan Jeno yang sama sekali nggak berbobot itu.

Renjun berbalik pelan, menunduk sembari menggigit bibirnya akibat gugup. Ia berjalan untuk makin dekat dengan Jeno yang sedang bersandar pada meja tinggi serupa meja bar yang dipakai untuk menyimpan koleksi minuman milik ayah juga kakak iparnya.

“Terus? Kamu berharap lihat aku di mana?” suara Renjun agak serak waktu bertanya demikian.

“Di depan pintu apartemen.”

Lagi-lagi Renjun terkekeh.

It was the original plan, tapi Mami kamu—”

“Ah, beneran kan.”

Renjun menaikkan sebelah alisnya, membasahi bibirnya, dan mengerjapkan mata sebelum melanjutkan pertanyaan, “kamu tahu Mami kamu akan ngundang aku ke ulang tahun Minnie?”

“Semua orang juga udah pasti tahu. Anak kandungnya kan kamu, aku anak pungut.”

Renjun dibikin melongo sama jawaban Jeno. Dia ini kenapa bersikap seolah nggak ada hal yang lebih penting untuk dibicarain ya ketimbang rasa iri dia ke Renjun karena perbedaan perlakuan orang tuanya? Lucu juga...

“Jadi? Udah ada jawabannya?” Jeno seolah nggak memberi Renjun jeda untuk mengistirahatkan jantungnya, padahal sedari tadi jantungnya nggak berhenti dag-dig-dug akibat berada di satu ruangan sama orang yang udah bikin hidupnya setahun terakhir kacau balau. Both in a good and a bad way, meskipun porsi negatifnya lebih besar.

“Ya ini jawabannya.”

“Hm?” gantian Jeno menaikkan alis waktu mendengar jawaban Renjun yang sekarang makin mendekat ke arahnya.

Here I am.” katanya sambil merentangkan tangannya di hadapan Jeno. Mungkin berharap dipeluk sama Jeno, tapi sayangnya dia kalau kenyang jadi berubah agak bodoh.

Jeno sih nggak kaget ya waktu tahu jawabannya. Dan dia udah bisa memprediksi dari awal, Renjun pasti akan kembali sama dia. Apapun itu tantangannya.

Well, Jen, aku belum denger banyak penjelasan dari kamu soal Jo, soal semuanya dari awal. Tapi aku langsung pergi gitu aja dan seolah nyari validasi ke orang lain.”

And I'm so sorry for that.”

“Dan ... aku nggak bisa membiarkan kamu nggak pernah tahu kebenaran soal Honolulu hari itu. Makanya aku kembali.”

Mata Jeno membesar waktu sadar bahwa Renjun sudah bawa topik menyakitkan itu di antara mereka. Berarti ini sih ... udah sangat serius. Berarti ... dia dibohongin dong soal kebenaran cerita penyebab sakitnya Renjun kambuh hari itu?

“Satu lagi, uhm ... soal sunbae, aku sama dia ... kami—”

Jeno nggak sabaran sih memang, dan terlalu benci kalau harus nunggu sesuatu yang sebenernya nggak pengen-pengen amat dia denger.

Memang sih dulu dia merasa Renjun selingkuh dari dia, merasa dia ditipu karena Renjun begitu aja pergi dari dia dan memilih orang lain. Tapi semakin dirasain kok ... dia merasa kalau ini semua juga datang dari kesalahannya sendiri ya?

Dia yang nggak fully present buat Renjun, dia yang lupa buat terbuka sama Renjun, dan dia yang seolah mengabaikan keberadaan Renjun padahal mereka udah berdua dalam waktu lama.

Jeno raih dua telapak tangan Renjun yang menggantung di sisi badannya, dia genggam sebegitu erat, memberikannya senyum yang cukup hangat. Senyum yang boleh dibilang ... udah dikangenin dari lama sama Renjun.

Alih-alih balik menggenggam tangan Jeno, Renjun lepaskan genggaman itu untuk beralih mendekatkan dirinya pada Jeno juga menangkup rahang Jeno yang masih selembut terakhir dia menyentuhnya.

“Aku ... udah nggak bisa cerita lagi sekarang, udah terlalu kangen sama kamu.” ucap Renjun begitu tangannya sudah menemukan tempatnya, mengelus pelan rahang Jeno. Sembari merasakan hangat di pinggangnya saat Jeno meletakkan telapak tangannya di sana—seperti biasa.

Kemudian Renjun nyaris hilangkan kesadaran Jeno saat dia letakkan bibirnya untuk melumat lembut bibir Jeno.

Begitu lembut, ditemani senyum yang sama lembutnya, juga perasaan bahagia yang terlalu panjang kalau diwakili sama barisan kata.

Ciumannya begitu tulus, dibalas sama tulusnya oleh Jeno. Tidak menggebu, ritmenya seiring dengan detak jantung mereka yang agaknya semakin lama semakin naik temponya—akibat sudah berbulan-bulan tidak bersua.

Tangan Renjun mulai meremas kecil rambut pink cotton candy punya Jeno, yang kalau boleh jujur, sejak pertama kali melihat warna rambut baru Jeno waktu makan malam tadi ... Renjun penasaran bagaimana rasanya meremas rambut itu kalau kepala Jeno sedang ada di antara kedua kaki—oh, let's save the best for the last.

Tapi kalau boleh jujur, ini rasanya seolah seperti ciuman pertama mereka enam atau tujuh tahun lalu, debarannya sama. Cuma bedanya, kali ini mereka merasa lebih dewasa, dan ... nggak lagi takut ketahuan seperti du—

“Renjunnie, kamu di mana? Aku udah ngantuk!”

“Eh! Samchon kenapa makan Renjunnie?!”

Hush-hush ... semoga Minnie nggak ngadu ke mama dan nenek ya setelah ini.

romance is not dead

Katanya malam-malam musim dingin di Paris akan selalu romantis. Lebih-lebih jika kerlip lampu kuning dan basah jalanan akibat hujan tipis seolah jadi pemanis.

Tapi Jeno tidak setuju. Untuk kali, ini dia ingin menolak ide itu.

Semua berawal ketika Jaemin begitu antusias mengajaknya bertemu mantan pacar—oh, bisakah Jeno bilang begitu? mereka kan belum secara resmi putus?

Renjun. Iya, Renjun aja. Semua orang juga sudah tahu soal ini kan?

Jaemin begitu antusias mengajaknya bertemu Renjun. Bunga hatinya yang sudah lama layu, tapi tidak pernah diganti oleh bunga baru.

Malam itu, mereka berjanji untuk bertemu di sekitaran Palais. Jaemin akan berpura-pura pergi mencari kopi, meninggalkan Renjun yang biasanya akan senang ditinggal sendiri karena bisa menikmati kesendirian sembari memandang Seine yang permukaannya berpendar akibat kerlip lampu jalanan.

Semua terasa begitu sempurna untuk Jeno, figur Renjun dari belakang—begitu lembut, masih begitu segar dalam ingat dan peluk imajinya, masih begitu mengagumkan—termangu menatap lalu lalang manusia di seberang sungai, juga menikmati angin sejuk di penghujung musim dingin.

Jeno hanya perlu berdiri di sampingnya, lalu mulai bicara seperti layaknya laki-laki di usia mereka. Tujuannya jelas, menuntaskan apa yang seharusnya belum tuntas. Cerita-cerita mereka yang mungkin bisa dipintal kembali? Ah, atau ... kalau terlalu dalam sih, mungkin mereka cuma butuh bicara dari hati ke hati. Supaya setidaknya tidak ada lagi mimpi buruk yang bangunkan Jeno di penghujung tiga pagi.

Alih-alih berusaha menjadi lelaki sejati seperti kicauan Jaemin tempo hari lewat telepon, Jeno malah pergi. Lari. Lari sejauh-jauhnya waktu tatapan matanya bersirobok dengan sepasang bola mata yang bahkan lebih terang dari pendaran lampu-lampu jalan Kota Paris.

Matanya boleh jadi terang, matanya boleh jadi bening, tapi deru amarah dan benci sepertinya sudah cukup bisa menjadi pengingat agar Jeno tahu posisinya. Pergi, lari.

Sudah, sudah, sudah. Perkara Renjun bukan waktunya dipikirkan sekarang. Jeno terlalu takut merusak apa yang sudah Renjun sembuhkan berbulan-bulan terakhir. Belum lagi, memikirkan skenario pesimis yang paling ia benci di kemudian hari, harus menerima kenyataan kalau Renjun enggan pilih dia selepas ini.

Jeno ingin menangis waktu otaknya jauh berkelana memutar memori masa lalu yang seolah berputar acak seperti episode-episode drama yang suka ditontonnya. Renjun dan pertemuan pertama mereka. Renjun dan gurat rona merah di pipinya. Renjun dan segala tutur kata penghiburnya. Renjun dan kesan baik yang selalu dibuatnya. Renjun, wajah, dan aroma tubuhnya. Renjun, rasa sayang, hangat gandeng tangan, juga pelukan selamat malamnya. Renjun dan semua yang begitu sempurna melekat pada dirinya.

Yang hancur, karena Jeno dan buah pikirnya yang jauh dari kata rasional.

Boleh dibilang Jeno marah dan terluka akibat tingkahnya sendiri. Boleh dibilang dia sudah muak memikirkan betapa rendahannya tingkah polah yang dia buat sedemikian rupa demi mengejar ambisinya. Dan mengorbankan jiwa Renjun yang seharusnya jadi komitmen yang dia jaga.

Dia sadar, tidak sepenuhnya itu tanggung jawabnya. Tapi janji diri tidak pernah semudah itu Jeno ingkari.

Pintu apartemen sewaannya berbunyi sejurus kemudian. Ketukannya pelan, tidak menggebu, begitu halus sampai-sampai ia hampir tidak mendengar.

Yang ada di balik pintu sontak membuat mata sayunya kembali melebar.

Renjun kembali sudi ketuk pintu tempat tinggalnya.

Senyumnya masih sama seperti terakhir Jeno mencumbu Renjun sebelum ia pergi ke Jepang dan menjemput masa kelamnya.

Renjun tidak banyak berkata, justru tanpa ragu peluk erat badan Jeno yang akhirnya limbung dengan beban baru. Ini terlalu nyata untuk jadi mimpi.

Pintu di belakang Renjun tertutup seolah menjadi aba-aba untuk Renjun juga menutup racauan rindu dari bibirnya dengan ciuman mesra.

Hatinya membuncah, kalau serupa balon, mungkin sekarang sudah pecah. Lumatan Renjun serupa viagra yang digadang-gadang jadi pembangkit gairah untuk lelaki seusianya.

Jeno selalu biarkan Renjun memimpin, selalu biarkan Renjun mencumbunya, melumat bibirnya seolah mereka akan terpisah jauh ribuan mil keesokan harinya.

Gerakan sensual jemari lentik Renjun sampai ke perutnya, naik pelan ke dada, meremas dan menggerayangi di sana. Turun kembali dan bermain di atas lapisan jins pada paha dalamnya. Tiupan dan gigitan kecil pada telinganya makin buat Jeno merasa ingin segera membawa Renjun ke atas ranjang. Tapi tentu Renjun tidak akan lantas senang dengan ini, Renjun itu kelewat senang bermain-main.

Puncaknya sudah hampir dekat, makin tidak karuan waktu Renjun gigit bibirnya sendiri, menatapnya dengan tatapan memohon—meminta—memelas kala berlutut di antara kedua kakinya.

Gesper ditarik, celana ditanggalkan. Semudah itu Jeno merasa membumbung naik ke langit ke tujuh, menengadahkan kepalanya membentur dinding, waktu merasakan sapuan lidah dan bibir sensual itu pada batang kemaluannya.

Pening. Pening. Pening!

Tapi Jeno suka rasa pening ini. Juga rasa lemas pada kedua kaki yang menopang tubuhnya ketika Renjun masukkan milik Jeno lebih dalam ke mulut hangatnya. Sebentar saja, Jeno sudah sampai ke puncak. Bukan tanpa alasan, lima tahun jadi waktu yang lebih dari cukup untuk Renjun mampu sebegininya buat Jeno kelimpungan hanya dengan satu tarikan.

Belum selesai di situ, Jeno kembali dibuat takjub kala lagi-lagi seolah meneteskan liur imajiner di hadapan Renjun. Waktu melihat betapa kulit putih mulus itu seolah mengundang untuk dicumbu dari tiap inci ke inci. Wajah sayu dan bibir memerah basah juga jadi simbol pesona sensual Renjun di mata Jeno malam ini.

Tubuh telanjang mereka semakin dekat bersentuhan, gesekan dan friksi kulit lembut masing-masing jadi penanda bahwa malam panas mereka segera memasuki puncaknya.

Bibir Jeno bergerak menciumi tiap inci kulit sosok bunga hatinya, berhenti lama di kedua sisi dada Renjun di bawahnya, melumat penuh gairah sampai-sampai merasakan rintihan kecil Renjun masuk ke telinganya, juga remasan tiba-tiba pada rambut juga gerakan refleks kedua paha Renjun tuk membuka.

Gerakan Jeno makin berjalan ke bawah, menyusuri perpotongan dada dan perut Renjun, mencium perut kembang kempis Renjun dengan hati-hati, sampai begitu lama tenggelam di antara kedua kaki Renjun yang setelah ini akan beri dia kenikmatan di atas rata-rata.

Saat penyatuan tubuh mereka terjadi, rintihan dan erangan seksi dari mulut Renjun jadi pemacu Jeno memberikan nikmat untuk mereka berdua. Mengejar nikmat berdua seolah jadi hal baru untuk mereka yang sudah beradu di atas ranjang bermenit-menit lamanya itu. Gerakan demi gerakan makin membuat tubuh mereka panas, sungguh kontras dengan semilir dingin angin malam yang menyapa lewat celah jendela.

Pelukan Jeno pada tubuh polos Renjun yang sudah lemas tidak berdaya jadi penanda mereka akhirnya menjemput puas mereka.

Jeno tidak bisa menukar ini dengan apapun. Konklusinya, dia sudah terlalu jauh sayang dan jatuh sama Renjun. Paten. Tidak ada jalan putar balik lagi setelah ini.

Penyatuan mereka dilepaskan, lelehan cairan tubuh keluar begitu intens dari sana, buat pipi Jeno memerah karena mengingat Renjun pernah menggodanya—Jeno ini punya potensi creampie fetish kalau selalu-makin-terlihat puas ketika keadaan seperti ini mampir di matanya saat mereka berhubungan seks.

Malam itu, Jeno tutup dengan kecup dan bisikan cinta di telinga Renjun—yang kini nampak sudah lelah pasrah dalam kungkungan badan Jeno.

Terlalu nyata untuk dibilang cuma mimpi.

kamu dan aku: perkara sepintas lalu

“Hai, Jo. You look amazing,” Renjun peluk hangat badan Jo siang itu, pertama kali mereka bertemu lagi pasca kabar dating Jo dan pacarnya menyeruak ke media dan bikin semua orang di penjuru Korea seolah menanti kapan pasangan ideal ini naik ke pelaminan.

Jeno berdiri awkward di samping Renjun yang lagi menuntun Jo berjalan ke kursi panjang restoran milik saudara jauh Jeno ini. Beberapa pegawai menatap kepo dari ujung matanya.

Renjun dan Jeno duduk bersisian pada sofa panjang berlapis kulit coklat tua, sementara Jo duduk di seberang mereka sendirian.

“Rok kamu bagus, Jo. Punya Loro Piana ya? Aku pernah liat di Milan waktu nganterin Jeno fashion week 8 bulan lalu.”

Jo sama sekali nggak mengantisipasi pertanyaan ini dari Renjun, jujur dia udah lebih siap untuk dimaki-maki atau disebut perebut pacar orang ketimbang mendapati Renjun yang malah nanya soal ... roknya.

“I-iya, kamu ... punya ingatan yang bagus juga ya, Renjun.” Jo bingung banget mau jawab apa.

Renjun cuma senyum bangga lalu lanjut bicara, “aku selalu ingat semua yang aku incar sih, Jo. Cuma sayangnya waktu itu kan nggak mungkin ya aku beli rok? Memangnya siapa yang mau make? Ya aku mau aja sih, cuma Jeno pasti bilang 'jangan berlebihan' hahaha” sambil menirukan nada bicara Jeno.

Jeno semakin awkward di samping Renjun, dia cuma tenggelam di upayanya membolak-balikkan buku menu sambil berusaha supaya mood Renjun tetep gini-gini aja sehingga mereka akan aman dari jepretan handphone pengunjung bistro sampai selesai nanti.

“Eh pesen Jo, pesen. Ada banyak yang enak di sini, kamu udah pernah ke sini selama ngedate sama Jeno?”

Perut Jeno jujur kayak lagi ditonjok sama seseorang yang pake sarung tinju dengan ayunan tenaga yang kuat banget. Pertanyaan Renjun satu ini benar-benar bikin hatinya nggak enak. Dia mulai berpikir kayaknya salah deh nemuin Jo sama Renjun di satu tempat begini.

Sulit membaca raut muka Jo, dia cuma senyum sungkan sambil geleng-geleng kepala, menyiratkan kalau ini kali pertama dia ke sini.

Nggak butuh waktu lama bagi mereka untuk memesan ke salah satu pelayan bistro milik Jaehyun ini, pelayan pergi, mereka kembali bertiga duduk dalam awkward silence yang kembali dipecah oleh Renjun.

So ... gimana? Progress kalian? Udah sejauh apa? Apa kemajuannya? Jeno tuh nggak pernah cerita tau, Jo. Padahal aku juga berharap denger informasi soal kalian.”

Perut Jeno mules, kayak diremes-remes, dia merasa pertanyaan Renjun ini halus dan nggak disampaikan dengan nada menggebu. Tapi nusuk dia di tempat yang tepat.

Nggak beda dengan Jo, dia bener-bener merasa semua perangai Renjun ini jebakan. Jadi perlu waktu sekian detik untuk dia hendak buka suara menjawab, tapi lagi-lagi diinterupsi sama Renjun yang hari ini sangat hiperaktif.

“Ah iya, mungkin Jo udah ada kemajuan? Mulai ... suka gitu sama Jeno?” pertanyaan yang menurut Renjun harmless ini ditutup dengan tawanya yang melengking. Tanpa berpikir kalo Jeno udah ngerasa, Renjun di sini cuma pengen nyindir dia habis-habisan.

Sementara Jo keliatan reluctant buat jawab, Renjun beralih ke mangsa satunya alias Jeno, dia nanya hal yang sama. Yang otomatis cuma bisa dijawab gelagapan sama Jeno.

“Loh ya suka dong! She's ... nice! Kayak kata kamu tadi.”

Terus Renjun beralih natap Jeno tepat di matanya selepas minum air putih dari gelas, “you surely know what I meant, Mr. Lee.”

Senyum Renjun kerasa kayak bukan Renjun di mata Jeno.

Ketegangan dan pertanyaan-pertanyaan mematikan dari Renjun bikin pertemuan siang ini yang seharusnya cuma berdurasi dua jam kerasa kayak dua minggu bagi Jo ataupun Jeno. Mereka seringkali dibikin nggak berkutik ketika Renjun udah nanya dengan tatapan tajam dan judging-nya soal hubungan fabricated mereka.

Tapi pada akhirnya, ada satu momentum di mana Jeno sadar bahwa ... mungkin, hanya mungkin ... Renjun sebenernya udah tahu duluan soal semua ini. Jauh lebih dulu ketimbang huru-hara di Hawaii beberapa waktu lalu.

Kata-kata seperti 'ya udah bisa diprediksi' atau 'aku udah ngira' bahkan 'i knew it from the start' seringkali dilontarkan Renjun tiap menanggapi cerita Jo atau dirinya soal public stunt ini. Cuma untuk memastikan kalau Renjun akan terus baik-baik aja sampai nanti, Jeno nggak nanya lebih jauh. Dia main aman, sih. Nggak pengen pacarnya tiba-tiba tantrum dan malah bikin dia kesulitan.

Yang penting, Renjun seolah kasih approval ke Jeno dan Jo untuk menjalani satu dari dua agenda penting terakhir mereka sebelum kabar kandasnya hubungan mereka dirilis di akhir tahun. Jeno senyum-senyum sendiri bayangin kalau di tahun baru, dia akan pergi ke Iceland bareng Renjun untuk lihat aurora di musim dingin.

It's all gonna be worth it.

***

Sementara semua orang pulang ke rumah selepas turun dari pesawat dan harus mempertahankan diri dari kerumuman fans juga wartawan di airport, Jeno justru pergi ke rumah sakit untuk menemui keluarganya. Satu lagi hasil kebodohan dan keteledoran Jeno.

Mami punya riwayat vertigo akut, sering tiba-tiba kambuh kalau habis melakukan pekerjaan berat atau syok. Makanya Mami berhenti kerja selepas umur 50 karena memang seharusnya di rumah aja dan membiarkan dua anaknya bekerja. Toh, investasi dia di properti yang disewakan di Ilsan juga udah lebih dari cukup untuk nambah uang belanja. Apalagi Papa juga masih akan terus kerja sebelum pensiun di umur 70 nanti.

Wajah bermasker Jeno sebenarnya sangat mudah dikenali oleh banyak orang di rumah sakit, apalgi seharian penuh dia yakin semua stasiun televisi menayangkan berita tentangnya gara-gara kasus semalam. Cuma ya mau gimana? Risiko kan.

Waktu dia sampai di kamar VVIP paling ujung, ada dua orang yang menjaga Mami. Papa dan kakak iparnya. Papa masih buka-buka buku teks dan di depannya ada laptop yang masih menyala, kayaknya masih nyiapin materi untuk mengajar besok. Sementara kakak iparnya lagi duduk santai nonton siaran sepakbola di sofa.

Maminya tidur tenang banget di atas tempat tidur. Tapi Jeno dari jauh udah bisa lihat bagaimana wajah Mami begitu pucat dan kelihatan nggak sehat.

“Dari tadi nungguin kamu. Cuma kayaknya udah capek, makanya ketiduran.” kakak iparnya buka suara sambil mengecilkan volume televisi.

“Gimana perkembangan kasusnya?” gantian papanya yang tanya ke Jeno, sambil mempersilakan anak bungsunya duduk di antara dia dan menantunya—di sofa rumah sakit yang lumayan kecil.

Jeno membuka masker dan topinya bergantian, menghela nafas, menyenderkan kepalanya di dinding rumah sakit yang dingin. Perlahan mengurut pangkal hidungnya dengan tekanan, berharap rasa pening di kepalanya hilang selaras dengan pijatan kecil itu.

“Kasus yang mana? Ada 3 yang lagi jalan.”

“Ngapain kamu mikirin urusan pejabat satu itu?” papanya bertanya dengan kelakar di akhir. Iya juga ya, Jeno nggak seharusnya ikut mikirin dia. Tapi karena dia udah ikut terjun di masalah itu, jadi ya ... mau nggak mau kan dia ikut mikirin?

“Kalo masalahku sih belum tau, terakhir kemarin yang bisa dilakuin ya diem dulu. Belum berani escalate karena sebenernya ini nggak akan jadi problem kalo nggak seolah ditayangkan dengan sengaja pas ada Jo sama aku. Rencananya abis ini sih agensi mau bikin press conference.”

“Emangnya itu barang hadiah dari siapa sih? Fans kamu ya?” gantian kakak iparnya tanya lagi, sekarang sambil mengunyah buah-buahan yang dia potong untuk Jeno.

“Bukan. Aku nggak tau, tapi masa fans setega itu sama aku?” iya, Jeno lagi bohong. Nggak mungkin kan dia bilang itu dari Renjun?

“Terus kalo soal Renjun? Udah keluar hasil tes urinnya?”

Kakak ipar Jeno menyodorkan sepiring apel potong pada Jeno, diterima dengan senang hati dan mulai memasukkan irisan demi irisan ke mulutnya.

“Nggak tau juga, belum nanya lagi. Tapi kata orang yang dari tadi bareng sama Renjun, dia nggak minum atau konsumsi apapun sebelum nyetir pulang itu—eh, dia bukan yang nyetir juga sih,” jelasnya.

“Terus? KMJ itu siapa sih? Kim ... Kang ... Kwon ... siapa? Temen kalian juga?” papanya nanya lagi.

“Bukan. Mereka baru ketemu di club beberapa kali, terus kebetulan kemarin ketemu lagi.”

Kakak ipar Jeno menghela nafas, ikutan sedih denger banyak hal yang bertubi-tubi harus dirasakan sama adik iparnya satu ini. Padahal kemarin hidup keluarga mereka baik-baik aja.

“Mami tuh panik, sedih, takut kemarin. Paniknya jangan-jangan Renjun ada niatan buruk malam itu dan kepikiran kalo dia bener-bener lagi mabuk.”

“Sedihnya tuh kamu sama Renjun kok ada aja ya ujiannya akhir-akhir ini? Belum lagi abis ini harus beresin semuanya.”

“Takut juga kalo ternyata yang pergi sama Renjun itu selingkuhannya atau gimana. Mami takut Renjun ninggalin kamu.”

Awalnya Jeno sama sekali nggak pernah kepikiran probabilitas itu. But now that kakaknya bilang hal ini, dia jadi kepikiran. Apa iya ya Renjun mau pergi dari dia? Apa Renjun udah capek harus begini sama dia?

“Papa dan Mami nggak bisa ngasih banyak pertimbangan buat kamu, terlalu banyak variabel yang masih abu-abu di sini. Yang penting selesaiin masalah kamu dulu, baru bantu orang lain. Renjun juga udah dewasa buat bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.” Papanya melepas kacamata sebelum berkata demikian.

Tangan keriputnya dia arahkan untuk mengelus pundak Jeno yang—seolah tegar, tapi sebenernya juga butuh banyak sekali tepukan lembut yang bilang kalau dunia bakal baik-baik aja setelah ini.

“Kalau memang udah nggak bisa dicari jalan keluarnya di antara kalian berdua, nggak papa. Pisah aja dulu.”

At that very moment, Jeno tahu. Dia yang bikin semuanya jadi serunyam ini.

***

Badan Jeno masih lelah, belum juga istirahat setelah siang sampai sore ada di rumah sakit, just to see his mom sleeping soundly sampai jam 4 sore waktu dia harus segera jalan ke kantor dan dateng ke pertemuan yang dijadwalkan jam 5 sore dengan para directors.

Sesuai dugaan, supir agensi nggak nurunin Jeno di tempat biasa karena di sana udah banyak banget wartawan yang nungguin. Ada beberapa fans juga yang keliatan bawa puffer dan tas-tas besar, mungkin bakal bermalam di sana. Juga ada truk pakai LED berjalan yang tulisannya kurang lebih belain Jeno sama Renjun dan nuntut perusahaan buat segera ngasih penjelasan ke fans soal mereka.

Rasa pening balik lagi hampiri Jeno, capek banget asli. Dia butuh hari tenang yang nggak ada satu orangpun bakal intervensi aktivitas dia. Udah terlalu banyak hal yang mengganggu pikirannya.

Jeno diturunin di parkiran lantai 4 dan langsung disambut sama muka marah Manager Yoo. Untuk sekadar nyapa aja, perempuan itu nggak sudi. Dia cuma jalan lewatin Jeno buat pergi ke mobilnya. Manager Yoo berarti nggak akan dateng di meeting sore ini, harusnya Jeno aman.

Setelah sampai di lantai 19, Jeno ketemu sama Jaemin dan Chenle yang lagi sama-sama duduk diem di lounge yang sepi. Lounge yang sering mereka pakai buat santai-santai liat matahari terbenam.

Sinar matahari sore ngenain wajah Jaemin, siluet wajahnya yang punya kadar tampan di atas rata-rata makin bersinar. Sementara Chenle yang nggak suka matahari, memilih buat tiduran santai di pangkuan Jaemin. Tangannya mainin HP yang layarnya mati di atas dadanya.

Jeno berdehem bermaksud ngalihin pandangan Jaemin dari barisan gedung di depan sana. Alih-alih berpindah lihat Jeno, Jaemin cuma diem. Malah Chenle yang bangun dari posisi tidurnya dan langsung mendengus lega waktu Jeno dateng.

“Lo pasti nggak baca grup.”

“Gimana bisa? Pikiran gue nggak di sini.” Jeno jawab sekenanya sambil lepas maskernya.

Meeting dipercepat 30 menit, barusan kelar. Semua orang udah pergi.”

Jeno mengumpat dalam hati. Kenapa juga ya ini harus kejadian ke dia? Padahal dia masih punya kesempatan buat lakuin yang terbaik untuk dirinya sendiri dan Renjun, tapi masa iya gagal lagi hari ini?

“T-terus? Hasilnya?”

“Banyak hal, Dear Dream bakal hiatus dulu satu tahun. Udah terlalu banyak problem, harus balikin image dulu sambil fokus jalan sendiri-sendiri. Terus ... masa depan gege. Sulit, tapi konsekuensinya jelas. Dan mau nggak mau dia harus ambil konsekuensi itu.”

Konsekuensi gimana maksudnya? Seinget Jeno, ada banyak pasal yang ditulis di surat kontrak mereka. Banyak banget. Saking banyaknya, mungkin kalo dulu Jeno nggak didampingi sama Papanya yang luar biasa teliti itu juga dia nggak akan ngerti ini arahnya ke mana.

“Konsekuensi?”

Chenle bermaksud nelen ludah sebelum jawab pertanyaan Jeno dengan satu kata pahit yang sudah ada di ujung lidah, tapi Jaemin udah keburu menyambar, jawab dengan tatapan mata kosong, “dipecat.”

***

Mark dan Haechan udah pengen banget meluk badan kecil Renjun sekarang. Tapi rasanya ada belenggu berat banget yang bikin mereka nggak bisa melakukan itu.

Wajah Renjun udah sangat sangat sangat lelah. Kantung matanya menghitam, rambutnya udah berantakan, sinar wajahnya juga nggak ada. Beda jauh sama Renjun yang selama ini mereka kenal.

Manager Yoo narik nafas dalam. Natap Renjun dengan penuh amarah, penuh rasa benci. Nggak ada yang bisa nandingin kebencian dia ke Renjun sekarang.

Di matanya, Renjun nggak lebih dari sekadar penghancur portfolio karir orang-orang sekitarnya. Renjun dan tingkah laku dia yang nggak akan pernah bisa diterima sama otak Yoo Ji Hyun.

“Puas kamu sekarang?” Renjun bener-bener udah kehilangan charm di wajahnya, biasanya dia akan sanggup natap lawan bicaranya tepat di mata. Tapi hari ini cuma sisa penyesalan yang keliatan dari wajah lelahnya.

“Jawab! Puas kamu sekarang?”

Renjun masih menunduk, bentakan Manager Yoo sebenar-benarnya bikin hati Mark dan Haechan ikutan teriris. Apalagi melihat Renjun di depan mereka harus menunduk dalam menyesali semuanya waktu dimaki-maki sama manajer mereka.

“Kamu hancurin karir Jeno, kamu hancurin hidup dia—aku masih bisa terima. Kamu sakit hati aku tahu. Itu hak kamu, kamu memang punya hubungan sama dia. Tapi kamu hancurin grup kamu sendiri, orang-orang yang udah bikin kamu ada di sini sekarang. Kamu hancurin mereka. Kamu orang jahat, Renjun.”

Renjun sadar akhirnya. Ini semua salahnya. Ini semua terlalu runyam untuk dibilang sebagai kesalahan sepihak atau secara penuh menyalahkan Jeno. Padahal dia juga tahu kalau dia nggak bertindak gegabah, ini semua nggak jadi.

“Kamu denger ya, kalau kamu nggak pura-pura gila dan sakit jiwa, nggak akan kejadian Jeno mati-matian belain kamu dan mengorbankan dirinya sendiri sampe sejauh ini. Hidup ini nggak cuma berputar di kamu, Renjun. Ada banyak orang yang menggantungkan hidupnya ke perusahaan, ada banyak orang yang ikutan rugi kalau kamu bertingkah.”

“Kamu bikin Jeno dapet image penyuka sesama jenis? Directors masih maklum, kalian masih muda saat itu. Kamu bikin dongeng khayalan seolah kamu sakit dan jiwa kamu nggak sehat? Semua orang maklum karena tingkat toleransi sakit orang berbeda-beda.”

“Tapi sekarang, kamu pikir pakai otak kamu yang udah rusak itu, apa kita masih bisa maklum kalau kamu bikin perusahaan harus ngeluarin lebih banyak uang di kondisi yang kayak begini, cuma buat nanganin ketantruman otak gila kamu itu hanya karena marah Jeno dan Jo dikabarkan dating? Toh kamu udah tahu dari awal kalau mereka pura-pura. Pikir, kamu itu manusia dewasa, otak kamu harusnya udah berkembang. Tapi kelakuan kamu nggak jauh beda sama ketantruman anak umur empat tahun. Kamu bodoh! Lebih cocok disebut idiot bahkan.”

Denger semua yang keluar dari mulut Manager Yoo, Haechan sebenernya udah nggak kuat. Rasanya dia pengen saat itu juga nampar mulutnya supaya nggak terlalu jauh marahin Renjun, apalagi bisa aja Renjun tiba-tiba akan naik emosinya dan malah ngelakuin hal-hal nekat. Tapi saking sakitnya, dia cuma bisa nangis nahan emosi.

Renjun nggak menarik pandangannya barang seincipun untuk lihat wajah Yoo Ji Hyun, dia masih menunduk dalam seolah seperti budak dipersekusi tuannya.

“Selama ini perusahaan terlalu baik hati masih terus-terusan nerima kamu dengan segala masalah yang kamu buat. Kamu nggak menjual, Renjun. Kamu nggak membantu kami untuk jadi lebih baik. Sama sekali. Kamu cuma bisa buang-buang uang yang seharusnya keluar cuma untuk hal-hal bermanfaat.”

“Kamu sadar kan kalau kamu itu nggak berguna? Bahkan kalau kamu pikir ya, dengan atau tanpa kamu, Dear Dream juga akan terus relevan. Kamu yang nggak relevan untuk siapapun.”

Kalimat itu jadi ucapan terakhir Yoo Ji Hyun sebelum pergi ninggalin mereka bertiga di ruangan besuk. Tangis Haechan pecah setelahnya, beringsut dia peluk Renjun yang sama sekali nggak bersuara, nggak berekspresi apapun, nggak menangis. Dan di situ, Mark tahu kalau semua ini nggak akan berakhir baik.

***

Ruangannya mungkin boleh baru, furniturnya juga. Tapi memori di otak Jeno selalu berkelana memintal memori lama. Diam-diam memotret semua gerakan, semua ucapan, dan semua kejadian yang melibatkan dia dan Renjun. Sejak awal, di ruang latihan.

Hari itu akhir musim gugur, wajah bersungut-sungut Jeno ketika harus berangkat lebih pagi ke kantor agensi seolah menambah kesan kelabu di musim gugur yang terasa lebih dingin dari biasanya ini. Sepatu kets hadiah dari Papa sudah jelek, Jeno berharap bisa beli yang lebih bagus dari ini nanti kalau dia sudah debut.

Setiap keluar dari stasiun yang ramai dengan ribuan orang dewasa yang hendak beraktivitas, Jeno harus menunggu sekian menit untuk Jaemin. Rumahnya berlawanan arah dengan rumah Jeno, dan subway yang melewati sekitar rumah Jaemin selalu jadi yang paling ramai di Seoul.

“Kamu kok nggak pakai baju bagus sih? Hari ini kan ada yang mau dikenalin ke kita.”

Jeno selalu ketawa kalau ingat omongan Jaemin yang satu itu. Jaemin hari itu memang pakai baju paling bagus yang dia punya, biar kelihatan keren di depan 'anak baru' yang katanya dari luar negeri itu. Sementara Jeno kayak nggak peduli, menurut dia kalau mau berteman nggak perlu banyak gaya!

Namanya Huang Renjun, nggak banyak yang menyita perhatian Jeno yang memang jarang sekali bisa punya first impression yang remarkable ke orang baru. Ya Renjun berbakat, bisa dance dengan bagus, suaranya juga oke. Tapi yaudah, impresi Jeno cuma sampai di situ.

Renjun selalu kelihatan takut tiap kali harus berdekatan sama Jeno. Tiap ada pair dance, dia selalu berusaha milih Jaemin yang punya persona lebih hangat daripada Jeno. Sampai Jeno merasa dikhianati karena Jaemin juga suka dekat-dekat sama Renjun.

Mereka juga nggak sering banyak bicara tiap lagi latihan. Jeno itu orangnya fokus banget kalau udah melakukan sesuatu, and to have such conversations with Renjun, jelas bukan ada di A-list dia.

Sampai suatu ketika, oksigen di ruang latihan kerasa habis waktu Renjun dan dia bisa ada di situasi seperti itu.

Sabtu sore, biasanya anak-anak trainee ini akan jalan-jalan keluar gedung kantor untuk main. Jajan street food, main sepeda, atau sekadar jalan-jalan sore nunggu sunset.

Penghujung musim semi hari itu, Doyoung yang memang selalu in-charge untuk mengajak 6 anak kecil ini jalan-jalan harus dibuat kerepotan karena Jeno dan Jaemin jatuh dari tangga waktu lagi jalan sore di dekat sungai. Jaemin punya luka cukup serius, makanya Doyoung harus segera bawa anak itu ke rumah sakit dan menelepon ibunya.

Jeno yang nggak terlalu parah akhirnya kembali ke kantor sama teman-temannya. Padahal sebenernya sama aja sih, kayaknya kakinya terkilir, tapi Jeno is just so good at hiding it.

And there goes Renjun, yang meruntuhkan semua rasa gengsi dan takutnya ke Jeno buat bersihin luka di kaki Jeno yang lumayan parah itu. Mereka nggak terlibat obrolan apapun selama itu, cuma berdua di ruang latihan yang kosong, berteman deru mesin AC kuno di gedung lama kantor agensi mereka. Dekat dengan Renjun, buat Jeno lebih atentif. Ada tanda lahir yang mirip luka di punggung tangan Renjun, ada tahi lalat kecil-kecil di lengan bawahnya, dan ada gingsul yang ternyata cocok juga untuk menambah ceri merah pada senyum Renjun.

Sore itu, jadi kali pertama Jeno dan Renjun bicara panjang berdua. Jadi kali pertama juga Jeno pulang bersama Renjun meski harus berpisah di stasiun dengan rona merah di pipi masing-masing.

Tanpa dia sadari kalau bertahun-tahun berikutnya, Jeno akan selalu jadi yang pertama untuk Renjun dan Renjun akan selalu jadi yang pertama untuk Jeno.

Cinta pertama, hmm mungkin. Karena Jeno selalu bisa merasakan pipinya merah dan panas, hatinya juga menghangat tiap kali Renjun ada di dekat dia. Beri perhatian yang nggak lazim dia berikan ke orang lain.

Pacar pertama. Waktu Renjun cium pipinya secara impulsif di malam halloween party lima tahun silam, sambil berbisik kalau dia nggak sanggup mikir masa depan tanpa Jeno di sana.

Ciuman pertama, bahkan sebelum mereka pacaran. Di ulang tahun ke tujuh belas Jeno yang berlangsung sebulan setelah milik Renjun, harus terputus dengan paksa di tengah karena tiba-tiba pintu emergency dekat tangga kantor mereka terbuka. Efek detak jantung nggak karuan itu bahkan masih kerasa sampai berhari-hari berikutnya mereka ketemu.

Sampai mungkin sekarang ini ... patah hati pertama dan terbesar Jeno. Akumulasi dari semua perasaan khawatir dan bersalah tiap kali melihat Renjun diam merenung dengan mata yang kosong. Semua gara-gara tingkah ceroboh Jeno mengiyakan tawaran yang secara nilai pun nggak pernah sebanding dengan kesialan dan keburukan yang seolah datang bertubi-tubi untuk dia dan Renjun saat ini.

Terlebih lagi, soal sebuah foto buram dari CCTV lapangan parkir klub yang dikirim Yangyang. Renjun di sana, senyum lebar dan mata sayu terlihat di wajahnya. Mengalungkan tangannya ke pundak seseorang, bersandar lemas di mobil mewah dengan baju yang dihadiahkan Jeno untuk ulang tahunnya di tahun lalu. Bersama laki-laki lain yang terlihat begitu bernafsu mencium lehernya.

Jeno mungkin bisa menoleransi segala bentuk sakit hatinya, sakit fisiknya, dan kerugian materiil yang harus dia tanggung sendirian waktu semesta seperti berkompromi mulai menghakimi dan menghukumnya.

Tapi yang jelas, Jeno tidak pernah bisa menoleransi perselingkuhan.

to keep you warm

Seminggu terakhir nggak semelelahkan seminggu sebelumnya buat Jeno. Di minggu ini dia bisa pergi kerja dengan nyaman, makan juga teratur 3 kali sehari, tidur juga nyenyak di kasur lama dormnya—sama pacarnya.

Semua kerasa normal banget. Dia masih latihan ke kantor, masih makan siang sama temen-temennya—dia udah civil sama Haechan by the way, terus kalo sore masih hangout sama Jo di sekitaran kantor. Malemnya ya bisa pulang di jam normal lalu cuddle sama pacarnya, setelah sekitar 3 bulan ke belakang kehidupan percintaannya kacau balau.

Dia sadar kok kalau semua ini muaranya dari kebodohan dia sendiri. Kebodohan yang terus-terusan dia pelihara atas nama empati ke keluarga Jo dan keinginan buat dapetin posisi lebih baik di agensi demi lindungi Renjun lebih kuat lagi.

Bukan rahasia umum, siapa yang lebih deket sama tim directors, suatu saat akan dapet promosi yang mereka harapkan. Jeno selalu belajar dari Papanya untuk jadi pegawai loyal, makanya dia udah kepikiran kalau setelah sepuluh tahun karirnya, dia akan tetap ada di sini dan coba eksplorasi hal-hal yang sebelumnya nggak pernah dia rasakan. Termasuk mungkin coba belajar soal manajemen dan leadership. Nggak ada kata terlambat buat belajar sih menurut Jeno.

Tawaran menggiurkan (yang akhirnya lebih banyak sisi negatifnya itu) datang ke Jeno di saat yang memaksanya untuk berpikir cepat dan taktis. Kondisi keuangan agensi lagi nggak baik-baik aja, entah kenapa sepeninggal tangan dingin sang maestro rasanya kualitas musik dan entertainment di tempatnya bernaung selalu jadi yang nomor tiga atau nomor empat. Kalah saing sama perusahaan-perusahaan lain yang seolah bisa menjangkau banyak pasar dan nggak cukup idealis untuk mempertahankan ciri khas yang boleh jadi sudah nggak cocok sama tren zaman sekarang.

Belum lagi, grupnya nggak terlalu dapat respon positif di comeback terakhir. Ditambah mereka nggak terlalu gencar promosi di TV—imbas kondisi keuangan company juga. Sales nggak bagus, lagunya cuma berputar di dalam fandom aja, dan parahnya mereka sendiri juga mulai sadar kalo mereka udah terlalu sibuk sama jadwal personal dan lupa sama komitmen untuk saling nurunin ego ketika udah masa promosi. Hal yang biasa sebenernya di kalangan coworkers, tapi kan fans nggak akan menolerir itu, dan malah berasumsi macem-macem sampe bikin kekompakan fandom terjun ke jurang.

Tawarannya simpel saat itu: dating news muncul, cukup tiga bulan perkenalan, berita naik selama maksimal lima bulan, kasus Menkes selesai, mereka akan dikabarkan putus. Jeno dapat bagian 18% dari investasi Pak Yeon Joo, Jo dan keluarganya dapet 20% sekaligus pengangkatan Ibunya jadi kepala rumah sakit, Dear Dream mendapat bagian 20%, Butterfly juga kecipratan 5%, sementara sisanya masuk sebagai suntikan dana untuk perusahaan mereka. Cukup fair buat Jeno. Uangnya bisa dia puter lagi untuk biaya pensiun dia dan Renjun beberapa tahun lagi. Menarik.

Tapi dia melupakan satu aspek penting yang selalu diajarkan Papanya. Ada harga yang harus dibayar untuk integritas.

Dia lupa kalau dia sudah bermain dengan yang namanya kebohongan, bisa aja kerugian intangible-nya lebih besar daripada kemungkinan munculnya kerugian tangible dari nominal 18% yang akan didapatkan Jeno kelak.

Dia jadi salah satu yang tidak tersentuh—artinya, basis penggemarnya udah cukup dewasa dan bisa berpikir matang untuk nggak ikut campur urusan pribadinya. Jadi kabar dating kemarin bukan suatu hal yang dipusingkan sama orang-orang yang selalu mendukung Jeno sejak debut itu.

Justru, banyak komentar mengarah ke Renjun yang seolah mendapat label parasit akibat seringnya kabar mereka diam-diam berkencan jadi buah bibir di sosial media. Cuma selama ini, dia sama Renjun sama sekali nggak pernah memusingkan itu. Mereka udah cukup dewasa untuk tahu kalau rasa cinta mereka terlalu kuat buat digoyahkan 'cuma' karena omongan pahit warganet.

Jeno pikir kesialannya berhenti di situ. Tapi ternyata ada berbagai ujian yang kembali muncul di hari-hari berikutnya. Kabar datingnya yang seolah dengan sengaja diterbitkan untuk menyanggah kabar pacarannya dengan Renjun—sialan siapapun yang mengusulkan tanggal 23 Juli jadi hari anniversary palsu dan penerbitan kabar datingnya harus sengsara seumur hidup.

Harapan Jeno hari itu, dia akan selesai final fitting dan runway di malam hari, pergi tidur, dan besoknya di tanggal 23 akan mengajak Renjun jalan-jalan virtual keliling New York. Selagi masih belum memungkinkan untuk mereka pergi ke sana in flesh.

Tapi bajingan. Semua orang bajingan—di hari Sabtu, justru Jo datang ke lokasi fittingnya dengan didampingi sama manajernya, seolah tanpa dosa—Jo cium pipi Jeno dan kemudian baru ngabarin kalau mereka harus bikin public stunt di New York.

Titik balik semua kekacauan yang bikin berat badan Jeno turun drastis 5 kilogram dalam waktu 3 minggu.

Public stunt sialan itu bikin Jeno harus merapal doa dalam hati minta pengampunan, minta kelapangan hati Renjun kalau suatu saat dia sudah harus jujur ke Renjun—waktu dia harus pura-pura peluk mesra pinggang Jo, waktu dia harus pura-pura menggandeng jari jemari Jo keliling New York, waktu dia harus dengan awkward meletakkan dagunya di pundak telanjang Jo yang sedang duduk di pangkuannya.

Dia merasa buruk karena seolah udah menjual kepercayaan Renjun demi uang dan ambisinya sendiri. At that very moment, dia sadar kalau Renjun nggak seharusnya memaafkan dia.

Makanya setelah kejadian yang bikin jantungnya hampir berhenti berdetak, dia udah tahu kalau apapun itu, dia cuma pengen ada di samping Renjun meskipun ada kemungkinan terburuk Renjun nggak sudi disentuh sama dia.

Selepas orang tuanya ngasih izin agar dia bawa Renjun ke Seoul, Jeno seolah diberikan tanggung jawab satu lagi—yang dengan senang hati dia lakukan—yakni ngerawat Renjun yang sebenernya masih terlihat bugar dan aktif kayak biasanya.

Jadi secara teknis bukan merawat ya, tapi menjaga dia biar selalu punya pikiran cerah dan positif. Supaya kabut mendung yang pernah bikin Jeno khawatir setengah mati di awal-awal berlayarnya grup mereka tidak kembali lagi dan bikin Renjun terpuruk.

Setiap pagi, dia akan mastiin kalau Renjun makan makanan sehat, tentu dengan mengandalkan kehandalan tangan imo di dorm mereka untuk memasak. Memastikan Renjun minum obat dan suplemennya, sampai memastikan Renjun punya kegiatan menarik hari itu selama dia nggak ada. Thanks to teman-teman dan kakak perempuannya, dia merasa sangat terbantu sama hadirnya mereka.

Setelah dia pulang, dia akan nemenin Renjun makan malem berdua, lanjutin meditasi 10 menit setelah makan malem, terus diselesaikan dengan nonton film atau baca buku—dia yang baca, Renjun yang denger, soalnya Renjun punya fokus yang mudah kepecah—dan mereka akan tidur kalau udah ngantuk.

Very normal.

Tapi malam itu, waktu Jisung ngabarin dia lewat sebaris pesan teks yang bilang kalau Renjun tidur seharian dan melempar botol minum ke muka Jisung, dia udah tahu kalau minggu ini akan lebih berat dari minggu berikutnya.

Dia harus mempercepat proses photoshoot dia untuk produk peralatan golf yang baru menggaetnya bulan lalu itu. Dia udah kayak orang kesetanan buat cepet-cepet sampe di dorm, untuk akhirnya ngerasa kena serangan jantung waktu liat Renjun udah berantakin kamarnya sendiri pakai cat lukis punya dia.

Wajahnya yang masih puffy—hasil dari tidur berjam-jam menurut pengakuan Jisung—kena coretan cat air di sana-sini. Sorot matanya juga nggak hidup, kosong banget, dingin banget.

Dia nggak ngalihin pandangan sama sekali dari robekan foto mereka di genggaman tangannya.

Jeno berusaha sehati-hati mungkin memegang tangan Renjun dan tidak secara tiba-tiba mengalihkan perhatian dan ngasih efek kejut ke emosi Renjun yang mungkin bisa naik tiba-tiba.

Tapi Jeno juga bukan ahli di sini, makanya ketika dia baru pegang tangan Renjun, secepat kilat Renjun malah jambak rambut Jeno dan benturin kepalanya ke sisian rak kayu yang di atasnya penuh sama makanan ringan punya Renjun.

Jangan tanya rasanya, Jeno kaget, ngerasain sakit luar biasa juga di kepalanya. Dan makin parah dari waktu ke waktu karena benturan itu nggak cuma terjadi sekali, mungkin sampai lima kali?

Jeno bisa aja bales mengungkung Renjun karena tenaga dia jelas lebih besar, tapi itu pasti akan bikin Renjun makin brutal nyerang Jeno dan bisa aja bikin dirinya sendiri terluka. Makanya Jeno cuma liatin dari jauh waktu Renjun beringsut ke atas kasur dan meluk bantal sambil nangis.

Jeno mengusap pelipisnya, cuma keringat, bukan darah. Untungnya.

Badan Renjun gemetaran di atas kasur, bantal masih dia pegang erat, gemelatuk giginya juga kedenger kenceng. Jeno masih diam dan nggak berusaha mendekat, emosi Renjun masih belum stabil. Penting buat jaga emosinya stabil dulu, baru berusaha masuk dan comfort dia.

Jeno bertahan cukup lama duduk di lantai, badannya capek, tapi harus dealing sama Renjun yang lagi dalam kondisi begini juga nggak kalah bikin capek. Tapi lagi-lagi dia mikir, mungkin ini memang cara buat dia nebus semua kesalahannya ke Renjun.

Hampir satu jam Renjun nangis teredam bantal di pangkuannya. Waktu dia udah kembali stabil, dia perlahan usap air matanya di pipi pakai tangan yang udah belepotan cat, dan berusaha grasp anything yang dia lihat di sekelilingnya. Di situ, baru Jeno berani masuk dan pegang ujung tangan Renjun.

Dia berusaha kasih senyuman paling hangatnya, ngelus tangan Renjun senyaman mungkin, dan berharap semoga emosi dia jauh berangsur membaik.

Untungnya sih nggak butuh waktu lama buat Renjun nggak berontak waktu Jeno meluk pundaknya dan bisikin kata-kata 'Renjun sama Jeno, Renjun baik, Renjun tenang' berulang kali. Meski sambil nahan nangis meratapi keadaan mereka yang harus sebegininya sekarang.

Setelah Renjun nafas dengan tenang, Jeno bawa Renjun ke kamar mandi untuk bersihin segala jenis kotoran baik dari cat, darah yang nggak sengaja keluar dari lengan dalamnya, sampai debu-debu yang bisa aja nempel di wajah cakep Renjun.

Dia dengan sabar basuh badan Renjun pakai air hangat, bantu Renjun sikat gigi, bahkan sisir rambut dan makein baju hangat ke Renjun.

Tapi Renjun seolah nggak bergeming, nggak sadar atas semua yang barusan dilakuin sama Jeno. Tatapannya kosong, nggak ada nyawanya. Air mata Jeno nggak bisa ditahan waktu dia kecup puncak rambut Renjun.

Sembari dia rapiin kamar mereka yang udah berantakan nggak karuan, dia minta Renjun buat nonton Moana. Satu-satunya yang mungkin bikin suasana hati Renjun membaik—tapi melihat kondisi dia sekarang yang sama sekali nggak senyum dan nggak berekspresi hidup lewat matanya, Jeno cuma berharap kalau tontonan itu bikin dia seenggaknya tenang sebentar. Jeno perlu waktu buat beresin kamar ini.

Yang pasti sih dia mastiin buat ganti alas kasur mereka dengan yang baru. Soalnya yang lama udah belepotan cat di sana-sini. Masang fabric perfume supaya tidur Renjun lebih tenang, terus beralih masang humidifier juga aromaterapi.

Sebelum nuntun Renjun tidur, Jeno cepet bersihin semua barang yang berserakan di bawah. Dia baru akan ngepel lantai nanti setelah Renjun tidur.

Jam dinding udah condong ke angka 1, 3 jam pasca Jeno pulang dan harus bergelut dengan kekacauan yang dibikin pacarnya tanpa istirahat barang sebentarpun. Renjun nggak menampakkan raut wajah kelelahan, susah juga baca raut mukanya karena ekspresi dia bahkan sama sekali nggak dikenal sama Jeno.

Yang dia bisa cuma baringin Renjun di sampingnya, mastiin suhu udara cukup buat Renjun, dan ngelus punggungnya naik turun supaya Renjun cepat tidur. Dan berhasil karena cuma perlu waktu lima belas menit untuk bikin Renjun tidur.

Selepas ngasih kecupan selamat malam dan ucapan maaf berkali-kali di telinga Renjun, Jeno harus kembali beres-beres dan mengabaikan punggungnya yang udah capek setengah mati minta istirahat.

Udah dia bilang sejak awal memutuskan buat bawa Renjun kembali ke Seoul, semuanya bakal dia lakuin asalkan semua peluh dan keluhnya bisa jadi bayaran yang setimpal untuk sakit hati yang dirasain Renjun gara-gara dia. Semoga sih setara, ya.

Meskipun setelah malam itu, lagi-lagi dia harus mendapati serangan fisik dari Renjun seperti ditampar dan dipukuli berkali-kali keesokan siangnya, wajahnya secara sengaja dimuntahin Renjun pakai seisi makanan yang baru dia kunyah, sampai kepalanya disiram sup kepiting karena Renjun marah waktu Jeno minta dia sarapan. Kedenger brutal dan bisa jadi alasan untuk Jeno lari dari Renjun, kan?

Tapi dia nggak bisa sih merelakan lima tahun mereka yang berharga, cuma karena satu fase yang sebentar lagi juga bakal lewat ini.

Buat sekarang, Jeno cuma mau nebus kesalahannya, meskipun harus dalam kondisi begini.

Dia cuma perlu sabar sebentar lagi.

hunusan anak panah itu namanya cinta

Kilas balik malam dengan hujan deras.

Air laut meninggi, tangannya sudah mendingin di ujung-ujung jari. Buku-buku jarinya memutih, logam tajam terasa ada di genggaman tangan kanannya.

'Tolong,'

'... tolong,'

Dingin.

'... tenggelam,'

Semua mengabur.

'Kita coba selamatkan dia'

'Terlalu malam,'

Dingin. Sepi.

'Darahnya tidak berhenti'

'Dingin...'

Bangun!

'Mati! Sudah habis.'

Mungkin benar, malam terakhir selalu terasa sepi.

***

Senyumnya sumringah, setara matahari New York di siang hari dua puluh tiga Juli yang selalu sakral. Kata sahabatnya, dia terlalu bersemangat. Terlalu naif untuk sebegitu bangganya merayakan tanggal dua puluh tiga kelima dalam hidup yang sebenarnya tidak selalu layak dirayakan dengan sebegini bahagianya. Mengingat, situasi sulit sekarang sudah cukup jadi alasan konkret kenapa ribuan kilo avtur harus dia korbankan demi menjemput sang tercinta lima belas jam jauhnya akan benar jadi sia-sia.

Hatinya selalu berbisik—dalam bayang prasangka—kalau semua ini tidak akan sia-sia. Bersama si kekasih hati, hidupnya pasti terasa lengkap. Seburuk apapun itu.

Lagian, ini New York!

Hal terburuk yang mungkin terjadi mungkin cuma menginjak ekor tikus di subway atau kecopetan saat keluar dari stasiun.

Bayangannya sudah terlalu kuning, cerah, merekah dengan rentetan gedung tinggi mahsyur sebagai backdrop jembatan Brooklyn. Tangan pun sudah ia pegang berkali-kali, tidak sabar merasakan indahnya bergandengan tangan lagi dengan si pujaan hati sambil bercerita banyak soal angan masa depan.

Kuning ... kuning .... kuning ... cerah ... mendung ... menghitam.

Denting dua belas kali memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu, air mata jatuh seperti tentara diteriaki pemimpin komandonya, diberi aba-aba.

Breaking: Ditulis langsung dari New York, konfirmasi dating terpanas tahun ini! Nation's princess, Jo Marh dan pendamping sempurnanya, Jeno Lee.

Lima tahun bersama, tanpa sorotan kamera, tanpa ekspos media. Begitu kuatnya tali cinta Jo dan Jeno, yang digadang-gadang menjadi pasangan paling sempurna di industri musik pada tahun ini.

Mengawali pandang cinta di ruang latihan, kini dengan bangga memeluk-cium mesra di depan awak media. Oh, New York jadikan mimpi mereka nyata!

Simak editorial lengkap berikut!

***

Terpaan angin dingin di tengah musim panas yang menyengat jadi teman Renjun melangkahkan kakinya yang begitu berat untuk pergi. Tapi apa boleh buat? Rencananya rusak total. Tidak bisa ditolong lagi.

Dia sudah nggak menangis. Sudah terlalu lelah buat beradu argumen sama isi kepalanya yang bahkan sama sekali nggak memperbaiki keadaan.

Handphone miliknya mati, mati total. Dibanting ke meja 8 kali dan ke lantai—ah cuma Tuhan yang tahu berapa kali.

Koper besarnya diseret dengan langkah gontai masuk ke gerbang keberangkatan domestik. Kaca mata hitam selalu ia pakai tuk menutup mata bengkak dan luka di bawah matanya pasca dengan sengaja ia benturkan wajah tampannya ke ujung meja.

Seperti psikopat.

Kalau bisa, dia bahkan ingin menguliti hidup-hidup dirinya sendiri. Mengiris lembar demi lembar kulit tubuhnya saat ia masih sadar betul presensinya di dunia. Untuk membandingkan, apakah sakit hatinya setara dengan menguliti dirinya hidup-hidup?

Sayangnya, pisau buah di kamar hotel tidak cukup tajam sih untuk bantu dia melakukan itu. The least he can do, merusak meja hotel dengan pisau itu.

Bangsat!

Perjalanan ke Honolulu sangat buruk. Nggak semua orang Amerika ternyata punya pikiran maju. Banyak yang masih kolot dan bodoh.

Selama sebelas jam perjalanan, Renjun harus rela menahan amarah akibat desakan badan om-om bau tanah di sebelah kanan dan kirinya. Terbang pakai ekonomi di saat mendesak memang tidak seharusnya jadi pilihan Renjun.

Ingatkan Renjun buat melampiaskan amarah ini pada orang yang benar. Nanti, kalau sudah ditakdirkan membalas rasa sakitnya.

Honolulu pada musim panas—dalam imajinasi Renjun—terdiri dari birunya laut seperti apa yang selalu dia lihat di film Moana, kombinasi cocktail memabukkan dan menyegarkan yang disajikan oleh bartender berkulit seksi yang mungkin bisa ia mintai tolong menciumnya di satu malam jika beruntung, juga potongan buah-buahan segar yang ia harap dapat mengembalikan rasa nafsu makannya setelah seharian penuh muntah tiap kali memasukkan makanan ke mulutnya selama di New York.

Tapi apa yang Renjun dapat?

Masih gumpalan awan hitam yang seolah menggantung tepat di atas kepalanya. Siap untuk jatuhkan ribuan titik air hujan padanya.

Kamar hotel yang dia pesan bukan kamar hotel biasa-biasa saja. Keberadaan jacuzzi jadi indikator seberapa mahalnya kamar hotel itu.

Mata Renjun tidak bisa terpukau pada apa yang terhampar di depan balkon kamarnya. Baik itu birunya air laut seperti di film Moana, klub pantai besar yang mungkin bisa ia kunjungi malam ini, maupun bayangan menenggak sebotol rum bersama anggur-anggur segar petang ini di tepi pantai, menanti sunset.

Justru, sebilah logam tajam yang disimpan di dekat replika apel merah merekah yang jadi landasan arah pandangnya.

Nafasnya tenang, tenang banget. Kalau boleh dibilang, setara air biru turkis tenang yang sedikit lebih jauh dari bibir pantai di depan kamarnya.

Renjun duduk di perbatasan serambi kamarnya dengan pasir pantai putih bersih. Panas. Renjun malas jika harus jauh-jauh duduk di tepi pantai untuk mengambil tenangnya.

Dia langkahkan kembali kakinya ke sisian kamar besar ini. Jacuzzi duduk teronggok di tengah replika bebatuan, Renjun masuk dan mengistirahatkan kepalanya di ujung jacuzzi yang keras.

Iseng dia coba ketuk-ketukkan belakang kepalanya di sana.

Sakit.

Lebih keras.

Ah iya, sakit.

Sedikit lebih keras.

Oh, sakit...

Senyumnya terkembang. Iya, sakit, ya. Tapi levelnya belum sama seperti sakitnya dia di New York kemarin.

Rasa sakit mungkin butuh dihilangkan, pikir pendek Renjun begitu. Makanya dia segera meraih gagang telepon di sisi kasur kamarnya.

Menelepon resepsionis dengan nada kelewat cerah, kelewat bersemangat. Bagaimana enggak? Setelah ini, rasa sakitnya hilang!

Benar dugaannya, berbotol-botol minuman keras disajikan dengan sumringah oleh seorang pelayan perempuan berkulit hitam. Tidak ada interaksi lebih, Renjun cuma mencium pipinya, mengucap terima kasih karena sudah datang membawa kebahagiaan padanya sore ini.

Sayang, si pelayan malah memberi tatapan iba dan khawatir. Padahal, Renjun cuma ingin berbagi kesenangan kok!

Kembali ke jacuzzi, Renjun sebenernya tertarik untuk menuang semua minuman yang dipesen sama dia ke dalam jacuzzi. Lalu berendam, mungkin minum juga campurannya? Tapi ... kelihatan agak sia-sia nanti uangnya. Lebih baik dia minum sampai kembung, sampai kenyang!

Momen ini nggak ingin dia sia-siakan. Kapan lagi bisa bebas?

'Cowok kok lemah banget?'

Dia jadi ingat, harusnya dia ke gym. Perlu latihan otot ya sepertinya?

'Kasian banget keluarganya, harus minjem uang demi anak manjanya bisa debut jadi artis.'

Oh iya, utang dia ke agensi udah lunas. Habis ini dia bisa beliin mamanya satu set tas terbaru punya Celine. Ah ... mamanya akan bangga deh. Nggak sabar.

'Udah debut tapi kok dandanannya selalu gitu-gitu aja ya? Masih kayak anak ingusan. Padahal bayarannya milyaran.'

Harusnya dia beli sepatu sama tas baru ya kemarin di New York? Terus ... tweed blazer juga boleh! Chanel baru rilis koleksi baru! Pasti dia cakep pakai itu.

'Kasian banget, padahal neneknya selalu ke kuil, loh. Tapi kok dia berani sih pacaran sama cowok? Salah pergaulan sih...'

'Aduh Jeno, Jeno, udah ada pilihan sama cewek-cewek cantik, eh milih dia yang nyanyi aja remed. Jualan apa sih dia? Suara nggak bagus, badan kurus, wajah so-so. Jauh-jauh deh dari Jeno.'

'Jeno memang nggak seharusnya pacaran sama kamu sih dari awal. Karir dia masih bagus, beda sama kamu...'

'Jeno sama Jo memang serasi!'

'Jeno lucu banget meluk Jo kayak gitu! Udah bisa pelukan di tempat umum sekarang. Selamat!'

'Jo duduk di pangkuan Jeno sambil suapin cookies tuh manis banget! Pasti kalau off-cam lebih seru lagi hahaha!!'

'Akhirnya Jeno punya masa depan. Bisa menikah, punya anak, dan pensiun dengan tenang sama istri secantik Jo.'

Harusnya dia perempuan. Harusnya dia cantik. Harusnya dia punya rambut panjang. Harusnya dia tidak di sini. Harusnya dia bukan Huang Renjun.

Horizon sebentar lagi akan menyimpan panasnya matahari yang sudah bertugas seharian. Sudah waktunya istirahat.

Panasnya sudah berganti jadi sejuk, tapi Renjun masih ingin merasakan panas itu.

Panas sampai sakit, sampai sanggup menguliti tubuhnya, sampai membuat dia menangis-merintih kesakitan mohon ampun.

Kepalanya sudah berkunang-kunang, berbotol brandy-rum-gin-vodka-dan tequila pelaku utamanya.

Air menyentuh kakinya. Angin sore membelai rambut pirangnya. Tangannya menggenggam logam dingin di tangan kanan dan sisa pecahan botol brandy di tangan kiri.

Pedih, sakit, Jeno hilang. Nggak masalah, dia nggak menyesal. Cuma sementara, nanti ketemu lagi.

***

Renjun tidak ingat betul apa yang terjadi seminggu terakhir.

Buram banget.

Dia ada di New York di sebuah siang yang cerah.

Pergi ke Honolulu sendirian, memesan banyak alkohol, terus tiba-tiba dia di rumah sakit. Orang asing di sekitarnya.

Dua hari kemudian, kembali ke Korea didampingi seseorang yang sama sekali tidak ia ajak bicara sepanjang perjalanan ke Incheon.

Sampai di Korea, kembali masuk rumah sakit. Tidak ingat apa yang terjadi sama dia, dokter keluar lagi ninggalin ruang rawat dia.

Hari ini, cuma makan, nonton Moana, tidur. Nggak ada satu orangpun yang jenguk. Sepi.

Manager Park datang di hari kedua, membawa bunga dan makanan rumahan yang katanya bikinan mamanya—Bibi Park yang kerja jadi guru TK. Senyum Renjun jelas langsung terkembang lega. Seenggaknya ada satu orang yang ingat sama dia. Pun Manager Park langsung memberikan HP baru buat dia, katanya HP Renjun yang lama udah hancur. Ah pasti jatuh, deh.

Sorenya, teman-teman dan seniornya datang.

Kak Taeyong datang bersama Kak Doyoung, juga Kak Mark yang seperti terluka di ujung bibirnya. Ada Donghyuk yang sama sekali nggak ngajakin ngobrol pacarnya, malah langsung meluk Renjun dan ngajakin Renjun berantem sengit kayak biasa.

Anehnya, waktu Renjun tanya dia kenapa sampai masuk rumah sakit? Semua orang masang wajah bingung. Tapi Haechan langsung jawab dengan ngeselin, “lo abis disengat ubur-ubur. Tuh! Liat tangan lo kena sengat tentakel. Makanya jangan keseringan nonton Spongebob.”

Hmm, kayaknya semua orang kasihan deh sama Renjun, disengat ubur-ubur doang aja sampe masuk rumah sakit.

Malemnya, Chenle yang masih bau lapangan basket datang. Dia cuma sebentar, nggak berani meluk Renjun karena badannya kena keringat. Cuma nitipin pesan dari Mamanya, terus pulang setelah ngasih harapan supaya Renjun cepet sembuh.

Setelah lihat teman-temannya, Renjun senang. Tidurnya lebih nyenyak daripada berhari-hari tidur di Honolulu yang berasa dikejar hantu.

Besok pagi, siapa lagi ya yang datang?

for you i'd bleed myself dry

Deru mesin air conditioner sudah berhenti, digantikan sama suara berisik air purifier milik Jeno yang dihadiahkan oleh Mark waktu pertama dia pindah ke apartemen ini dua tahun lalu.

Renjun yang matiin AC, badan dia sih nggak masalah, tapi dia takut badan telanjang Jeno yang nggak selimutan di sampingnya yang kenapa-napa. Mereka masih harus jaga kondisi badan buat menyambut banyak aktvitas. Dia udah lebih dari hafal kalau Jeno nggak sekuat dia kalo soal suhu dingin.

Masih jam tiga pagi, seharusnya dia capek. Seharusnya dia tidur karena semalaman nggak tidur setelah sesi intim dia sama Jeno.

Otaknya yang nggak bisa diajak tidur. Otaknya yang nggak bisa diajak istirahat. Padahal kalau boleh jujur, latihan dari siang udah beneran bikin remuk badan dia. Belum lagi harus taking control di sesi seks dia sama Jeno, udah jelas capek berlipat-lipat.

Biasanya sih kalau udah capek dan dalam kondisi bahagia karena teori ahli soal suntikan serotonin pasca seks memang benar adanya, dia akan bisa langsung tidur nyenyak. Meskipun badan dia lengket kena sperma di sana-sini, bisa aja dia tidur nyenyak.

Tapi dinihari ini, susah banget buat tidur. Bahkan bikin pikiran dia rileks, lalu merem, dan jalan menjemput rasa ngantuk aja susah banget. Terlalu banyak yang jalan-jalan di kepala dia.

Renjun mengubah posisinya, dari yang awalnya tidur menyamping menghadap wajah Jeno yang tenang banget, jadi duduk bersandar.

Kalau diibaratkan sama visual top-tier film-film hollywood, siluet tulang selangka Renjun akan jadi highlight. Cahaya lampu kekuningan dari balkon kamar Jeno masuk lewat sela-sela kaca bening, tepat menyorot rambut lepek berantakan dan badan kurus Renjun yang mempertegas bentuk tulang selangkanya.

Kegelisahan di wajah tirusnya juga boleh jadi visual pendukung malam ini. Gerakan tangannya yang abstrak menyugar rambut lembut Jeno—yang sudah mulai berjalan jauh dalam mimpinya—juga silakan jadi pusat perhatian.

Gambaran ini mendukung suasana hati Renjun. Kekhawatirannya, prasangka-prasangkanya, semua nggak lain ya tentang laki-laki yang sedang tidur nyenyak di sebelahnya ini.

Sikap-sikap dinginnya, perubahan raut wajahnya yang seringkali membawa sekelebat memori buruk kemarahan Jeno di masa lalu, sampai gestur enggan yang dia lontarkan semalaman ini saat Renjun menyentuhnya—iya … semua kegelisahan Renjun ada dalam diri Jeno yang terlihat kacau berminggu-minggu terakhir.

Gerakan tangan Renjun padahal udah dia buat sepelan mungkin, dia nggak berniat bangunin Jeno, malahan berniat ngelus kepala pacar kesayangannya supaya tidurnya lebih nyenyak, lebih dalam. Berharap kalau dia bangun nanti, pikirannya udah lebih dari fresh untuk bicara dari hati ke hati sama Renjun—membahas kejadian berminggu terakhir. Eh, tapi ternyata Jeno kebangun juga setelah bermenit-menit Renjun diam sambil elus rambutnya.

Sifat mereka boleh dibilang lumayan bertentangan. Renjun itu selalu suka menyelesaikan masalah saat itu juga. Menurut dia, omongan pahit, bahkan teriakan nada tinggi pun rela dia denger dari lawan bicaranya asalkan masalah yang lagi mereka hadapi bisa settled down saat itu juga.

Di sisi lain, Jeno punya kebiasaan untuk diam dan pendam masalah dia sampai dia lupa apa duduk perkaranya. Dia nggak terlalu suka konflik, plus dia juga nggak terlalu suka marah berapi-api. Kalau dia diem dan mulai bergerak nggak peduli, artinya dia udah ada di titik tertinggi kemarahannya.

Terus sekarang, gimana?

Jeno udah keliatan kalau dia memang lagi marah. Tapi karena Renjun bukan dukun yang bisa membaca pikiran pacar gantengnya itu, dia nggak bisa menyelesaikan masalah pakai caranya sendiri.

Well, okelah, bertahun-tahun dia pacaran sama Jeno, dia sedikit banyak udah belajar gimana handle perubahan mood Jeno kalau dia lagi upset. Cuma selama ini, pertengkaran mereka nggak pernah sebesar itu. Salah paham, Renjun langsung ngerti karena hint yang dia dapet jelas, maksimal sih seminggu juga udah baikan.

Kalau ini … sumpah, Renjun suka dibikin bingung karena Jeno diem, tapi dia masih peduli, dan dia masih mau nerima sentuhan-sentuhan Renjun yang bikin pusing itu.

Renjun berhenti ngelus rambut Jeno ketika laki-laki itu duduk dengan posisi yang mirip sama Renjun, tangannya terjulur ke meja di sebelah kasur dan mengambil air minum dari sana. Sekitar tiga tegukan berlalu, dia taruh lagi gelasnya.

“Nggak tidur?” suaranya sedikit serak, mungkin akibat berhari-hari dia sering teriak-teriak ngikutin koreo dan proses recording juga ikutan berpengaruh.

Renjun cuma senyum, berusaha nyari ketulusan dari tanya hambar Jeno. Yang ironis nggak dia temukan di mata sayu Jeno malam ini.

“Nggak bisa tidur.” Tangan Renjun bergerak untuk ngelus punggung tangan Jeno yang ada di dekat pahanya. Untungnya, Jeno nggak menghindar, dan berusaha buat menikmati itu.

Kelopak mata Jeno pelan-pelan menutup, kepalanya dia sandarin di tembok keras kamarnya yang berbatasan langsung sama headboard. Mencari sunyi yang dihias sama suara mesin mobil di kejauhan dan hembusan penyaring udara.

“Kalau ngantuk tidur lagi aja, don’t mind me. Aku lagi … kangen aja sama kamu.”

Jeda ucapan Renjun jadi alert untuk Jeno. Renjun nggak biasa begini. Sentuhan dia bisa lebih intens dari ini, tapi dia memilih untuk jaga intensitas itu. Jeno nyakitin Renjun, lebih awal daripada yang dia kira.

Jeno tarik tangannya dari elusan jari jemari panjang milik Renjun. Dia berdiri, memunguti celana dan baju-bajunya di lantai, kemudian masuk ke kamar mandi.

Dingin air dia harapkan bisa bantu Jeno bangun, bisa bantu Jeno lebih rileks dan sekilas akan lupa banyak hal yang selama ini jadi puncak kekhawatirannya. Padahal sama sekali belum kejadian.

Sayangnya nihil. Sama sekali nggak ada efeknya. Kepalanya malah makin berdenyut karena ingat lamat-lamat wajah desperate Renjun mendapatkan pelepasannya malam tadi, yang harus ia paksakan demi buat Jeno bahagia—padahal Jeno paham banget kalau Renjun pasti kesakitan. Fisik juga hatinya.

Jeno kembali ke kamarnya waktu kepalanya sudah mendingin, untuk mendapati Renjun sudah memakai kimono miliknya yang sudah dua tahun tinggal di lemari Jeno. Wajahnya kelihatan penat, bukan cuma penat karena kelelahan kerja, tapi juga penat karena harus berkompromi sama perubahan dalam diri Jeno.

Jeno duduk di sebelah Renjun, di ujung ranjang, menghadap kaca tembus pandang terbuka yang membingkai kerlip lampu gedung tinggi di sisi lain Sungai Han.

“Kamu bisa cerita kapan aja kamu merasa siap.” Renjun nggak lagi initiate skinship sama Jeno, cuma bicara sambil ngasih tatapan teduhnya buat Jeno.

Tatapan teduh itu dibalas sama tatapan sedih Jeno yang lebih mirip tatapan polos Daegal—anjingnya Chenle—tiap kali keberadaannya diabaikan sama orang-orang di sekitar—minta diperhatikan. Jeno mengalihkan pandangan ke ujung kakinya waktu dia rasa dadanya sesak tiba-tiba.

“Kita udah jalan … lama. Jadi, kamu minta waktu sepanjang apapun untuk berpikir, asalkan kita bisa selesaiin masalahnya dengan cara yang lebih baik, aku akan kasih. Aku akan nunggu. Aku bakal sabar.”

Di saat-saat begini, Jeno baru sadar kalau Renjun mungkin seumuran sama dia. Tapi jiwanya seolah datang dari era orang-orang seusia mamanya lahir ke dunia. Dia punya tendensi untuk jadi lebih dewasa dibandingkan Jeno.

Jeno tarik nafasnya dalam, berusaha memastikan supaya suaranya nggak bergetar ketika bicara.

“Aku …”

Jeno diam lagi. Terlalu marah sampai rasanya dia nggak sanggup bicara lagi.

“Ak-aku, kita, kita … kayaknya.”

“Aku nggak bisa beri kamu kepastian apa aku akan selesaiin masalah ini sama kamu atau justru biarin masalah ini berlarut sampai kamu benci ke aku.” getar iris mata Jeno jadi hal pertama yang Renjun tangkap menyiratkan kebohongan.

Renjun cuma sanggup senyum getir. Ini … dia terlalu bodoh untuk ngerti ke mana arahnya semua ini. Terlalu abu-abu buat dia.

“Kenapa?”

Renjun tanya tapi nggak berniat untuk natap wajah Jeno sebagaimana biasanya dia ngobrol serius sama laki-laki pujaan hatinya. Dia terlalu sulit untuk bisa baca situasi. Semua ini di luar prediksi akal sehatnya.

“Kenapa kamu gini?”

Jeno diam nggak menjawab. Otaknya sendiri juga terlalu sulit buat diajak berpikir soal ‘dia kenapa?’.

“Bosen?”

“Capek?”

“Udah nggak cinta sama aku?”

Alasan berikutnya, jujur lebih menakutkan buat Renjun. Dia bener-bener nggak bisa membayangkan ada orang lain yang bisa semudah itu gantiin dia di hati Jeno.

“Ada orang lain yang kamu suka?”

Suaranya bergetar, dadanya juga bergemuruh ketika harus ngomong sesuatu yang paling dia benci. Nggak adil untuk Renjun nuduh Jeno begini. Tapi semua tandanya terlalu sulit dipecahkan sama otak Renjun.

“Serendah-rendahnya aku, aku nggak akan tega begini ke kamu. Perjalanan kita nggak sesepele itu buat aku tinggalin demi ngejar orang lain yang—yang mungkin bahkan nggak selayak kamu untuk dikejar.”

Harusnya Renjun pongah, harusnya dia seneng, harusnya dia bangga denger ini keluar dari mulut Jeno. Karena artinya dia nggak setara sama apapun di luar sana, apapun yang berpotensi bikin Jeno ninggalin dia. Tapi malam ini, sebaris kalimat itu seolah setara sama bualan kosong yang ironisnya keluar dari mulut laki-laki yang paling dia sayang sekarang.

“Terus kenapa?” Renjun kira suaranya masih bisa dia kontrol, tapi trait buruknya kali ini mengambil alih. Suaranya meninggi, seolah menghardik Jeno karena Renjun nggak bisa percaya penjelasan Jeno yang terlanjur terdengar bohong di telinganya.

“Nggak semua hal bisa kamu tau. Seenggaknya bukan sekarang.”

Kalimat itu jadi kalimat terakhir Jeno sebelum dia pergi ke kamar mandi dan ganti bajunya.

Renjun ditinggalkan lagi, ditolak lagi. Untuk ketiga kalinya malam ini.

***

Renjun pikir, untaian kalimat

‘Maaf tadi aku teriakin kamu, mungkin aku memang salah soalnya berasumsi terlalu jauh. Kalau udah baikan, aku tunggu buat ngomongin ini ya? Aku sayang kamu. Jangan lupa sarapan masakan aku.’

akan jadi titik balik di mana Jeno mengejarnya ke dorm saat dia pulang dari acara kaburnya beberapa hari lalu. Pasca Renjun mengkonfrontasi dia di ranjang kamarnya malam itu.

Ternyata dia salah, soalnya semakin hari tingkah Jeno makin kusut. Bahkan jauh lebih buruk ketimbang berhari-hari sebelum kejadian malam itu.

Kadang di hari-harinya yang rasanya makin sepi, Renjun mikir, “apa lebih baik mereka putus aja ya?” tapi waktu ingat sebegitunya mereka berjuang hampir lima tahun barengan, nggak adil rasanya.

Kusutnya hidup dia karena tingkah Jeno juga seolah didukung sama semesta buat jadiin Renjun makin jongkok moodnya. Tiap hari ada banyak tantangan baru yang harus dia lalui di kantor. Ada makin banyak acara yang harus dia isi, ada makin banyak pekerjaan menjelang comeback.

Sampai suatu malem dia janji sama Jisung—waktu abis minum—buat jalan berdua bareng adik kesayangannya itu ke pantai tropis setelah comeback selesai nanti. Ya kalo udah baikan sama Jeno sih mungkin bertiga ya.

Belum lagi panggilan dari Manager Yoo buat ngobrol empat mata di sela filming konten hari ini bikin Renjun nyaris gila. Sumpah, ini kalo dia minta ketemu, pasti nggak jauh-jauh dari pembahasan masalah ‘kode etik’ yang suka dia gembor-gemborin itu.

Sejak awal dia datang ke agensi ini, Renjun udah ngerasa kalo Manager Yoo nggak terlalu suka sama dia. Di beberapa kesempatan waktu dia sama beberapa foreign member di grup lain ketemu, mereka juga ngomongin satu topik yang sama—Manager Yoo yang selalu beda-bedain treatment ke orang lain.

Lalu semua makin panas waktu dia dan Jeno ketahuan pacaran. Dia selalu memanfaatkan keadaan jelek Renjun sebagai bahan bakar kemarahan dia atau directors lain, pokoknya seolah tujuan hidup dia adalah membenci Renjun.

Apalagi kemarin waktu kejadian Paris. Dia jadi sosok yang seakan-akan paling dirugikan atas kejadian ini. Padahal damage controlnya kalo dijalanin juga segampang itu, bahkan finance dan PR director mereka yang hari itu ada di meeting juga nggak banyak komentar. Soalnya emang masih mudah buat ditanganin.

Apapun itu, Renjun cuma berharap hari ini acara ceramah dia nggak terlalu lama. Udah muak. Pengen istirahat.

Ketukan stiletto bisa didenger Renjun menggema di sepanjang koridor waiting room, bersamaan dengan suara menggelegar Manager Yoo yang sedang ngobrol sama orang lain. Renjun udah siap-siapin mentalnya kalau-kalau dia dipermaluin hari ini. Dia nggak bakal ngelawan, percuma ngabisin energi.

“Tumben nggak harus dicari-cari dulu langsung ke sini sesuai jadwal?”

Sarkas. Biasa. Padahal emang dia yang suka nggak becus bikin jadwal, bisa-bisanya nyalahin Renjun yang udah usaha selalu tepat waktu.

“Kalian lagi syuting apa?” tanyanya sambil buka-buka dokumen yang Renjun nggak pengen tahu juga apa isinya.

“Syuting konten reaction video, Bu.”

“Terus? Udah selesai?”

“Baru setengah take, buat saya dan tim udah. Tapi tim satunya belum.”

Dia ngangguk-ngangguk sebelum bubuhin tanda tangan dan nutup map plastik di hadapannya.

“Kamu satu tim sama siapa?”

Ini kenapa jadi banyak basa-basinya sih, Renjun udah nggak tahan sejujurnya. Auranya jelek.

“S-satu tim sama Kak Mark dan Jisung.”

“Oh, tumben nggak sama Jeno? Kamu sadar diri ya akhirnya kalo kebersamaan kalian jadi bad publicity buat grup?”

Hah? Seriously? Dia mau ngomongin ini lagi?

“Uhm … sebenernya kami—“

“Ah, kita nggak seharusnya basa-basi sejauh ini, sih. Saya punya sesuatu yang lebih penting buat disampein ke kamu.”

Dia membenarkan posisi duduknya dan jepit rambut panjangya supaya lebih ringkas.

“So, kalian lagi banyak konten kan sekarang. Lagi promosi ke sana ke mari, banyak interaksi sama orang, banyak juga disaksikan sama orang.”

Renjun ngangguk-ngangguk menanggapi pembukaan cerita Manager Yoo. Belum bisa baca arahnya ke mana omongan ini.

“Terus posisinya, ada dua hubungan yang lagi jalan di grup kalian. Mark sama Donghyuk, dan kamu sama Jeno. Ah, saya sih aware, namanya orang pacaran pasti pengen deket-deket terus. Dulu saya juga gitu sama mantan suami pas masih pacaran. Tapi … ada tapinya nih,”

She clears her throat.

“… jangan suka berlebihan.”

Gimana gimana? Emang selam ini Renjun sama Jeno sering ngapain sih? Mereka kan nggak making out di depan kamera anyway.

“M-maksudnya, Bu?”

“Kamu jangan deket-deket sama Jeno. Dia lagi ada project gede yang bisa jadi bumerang kalo ada satu aja bad publicity soal dia. Lebih-lebih kalo bad publicity itu kaitannya sama kamu, emang kamu mau tanggung jawab? Denda kemaren aja belum lunas.”

Damn. Renjun seolah diguyur pake air es. Omongannya terlalu nyakitin.

Tapi dibandingkan mikir gimana Manager Yoo nginjak-nginjak harga diri dia soal utang ke agensi, dia jauh lebih penasaran sama project besar yang dimaksud buat Jeno? Apa ini ada hubungannya sama perubahan sikap Jeno akhir-akhir ini?

Emangnya Jeno mau ngapain? Jenis project macam apa sih yang sampe bikin sifat seseorang berubah sejauh itu?

Apa coba? Drama? Film? Solo album? Nggak masuk akal rasanya.

“Bu, tapi—kalo saya boleh tahu, projectnya itu—“

Renjun sekilas bisa lihat senyuman miring Manager Yoo terkembang di sudut bibirnya.

“Oh, jadi Jeno belom ngobrol sama kamu? Ckckck, katanya terbuka satu sama lain, masa yang krusial gini nggak dibicarain sih?”

Renjun sadar kok sebenernya, Manager Yoo lagi dalam mode nuangin bensin ke amarahnya, ke rasa terkhianatinya dari Jeno. Tapi dia nggak bisa memungkiri juga kalau omongan Manager Yoo ada benernya. Dia seharusnya paham kalo Jeno punya pilihan untuk jujur, punya pilihan untuk ngomong yang sebenarnya ke Renjun sebelum Renjun dengar dari orang lain. Tapi kalau ternyata Jeno memilih buat nutupin, berarti ini—

“Nih, kamu tau dia kan?” Manager Yoo nyodorin HP mahalnya ke hadapan Renjun. Nampilin wajah cantik seorang perempuan yang akrab banget sama pandangan mata Renjun tiap kali dia turun ke lantai 8 buat pakai ruang latihan di sana.

Wajah salah seorang rekan satu agensi mereka.

Oke, otak Renjun mulai bekerja buat nempelin kepingan puzzle yang sangat kecil—mikroskopis—itu.

Jeno, project besar, cewek ini, nation’s sweetheart, project, bareng, harus sempurna—what? Apa? Mereka jadi lawan main di drama? Terus apa masalahnya? Renjun nggak keberatan, Jeno udah bekali-kali punya lawan main cewek. Dia profesional kok. Semua orang tahu itu.

“Calon pacar Jeno.”

Kalian pernah nggak mengalami perasaan yang bener-bener bikin syok—in a way seluruh bulu kuduk kalian meremang, jantung kalian berpacu cepet banget, oksigen di sekitar kalian menipis, sampai paru-paru kalian panas, merembet ke mata yang ikutan panas dan mati rasa. Mungkin waktu kalian denger orang yang kalian sayangi pergi, nilai kalian yang udah diusahain sebegitunya ternyata turun jauh dari ekspektasi, atau waktu kalian harus nelen kekalahan pahit dari kompetisi yang paling kalian tunggu kemenangannya.

Renjun sekarang ada di kondisi itu.

Perlu sekian detik untuk Renjun kembali ke kondisi normalnya. Perlu sekian detik untuk Renjun kembali bisa ambil nafas sebanyak yang dia mau setelah oksigen di paru-parunya seolah disedot habis oleh satu kalimat serupa hunusan pisau dari mulut Manager Yoo.

Media play doang, kok. Nggak lama, paling 6 bulan. Titipan dari orang yang lumayan influencing di pemerintahan. Maksimal awal tahun depan juga udah kelar, nggak bakal kerasa lah. Masa cuma nahan selama itu aja kamu nggak bisa?”

Renjun jujur nggak sanggup untuk bales apapun. Badan dia terlalu kaku dan malfunctioning selama sekian menit.

“Intinya, kamu tuh jangan terlalu lengket sama Jeno. Bersikap biasa aja lah, kayak dulu sebelum deket atau sebelum pacaran sama dia. Kayak kamu ke yang lain aja gitu. Soalnya Jeno masih punya embel-embel image gay gara-gara kamu ajakin keluar pas di Paris dulu. Di 2-3 bulan ke depan dia akan ngilangin image itu dulu. Baru nanti kalo udah, kita bakal build image dia yang sayang sama pacarnya ini.”

Renjun udah nggak berminat lagi buat denger ocehan Manager Yoo yang semakin bikin kepala dia berkabut pekat. Dia nggak peduli, hatinya udah terlanjur sakit.

“Apa untungnya buat saya?”

“Oh? Apa-apaan? Wow, tega juga ya kamu jual pacar kamu sendiri demi keuntungan? Seriously, Renjun?”

Renjun mengutuk mulutnya sendiri yang tiba-tiba ngeluarin pertanyaan itu tanpa mikir. Dia takut kalau ini akan jadi bumerang buat hubungan dia dan Jeno ke depan kalau Manager Yoo twist omongan dia untuk neken Jeno.

“Tapi saya paham sih, emang susah buat kamu hidup sok borju dengan background yang gini-gini aja. Well, keuntungannya buat grup, kok. Grup kalian kan lagi susah funding, jadi harapannya kalo ada suntikan dana hasil media play ini, kalian bisa lebih lancar lah ya promosinya. Semoga bisa boosting sales yang nggak bagus-bagus amat itu.”

Renjun cuma gigit bibir bawahnya dalem-dalem, berusaha nahan supaya nggak ngeluarin setetespun air mata di depan Manager Yoo. Dia nggak bisa kelihatan lemah di depan orang jahat ini.

“Udah ah, balik lagi aja sana. Ntar saya ngomong makin banyak, kalo ada apa-apa kamu bisa aja kan ngelaporin saya ke directors. Jangan kurang ajar loh ya. Ini saya udah baik mau ngabarin kamu duluan, daripada pas berita muncul kamu baru tahu. Hayo?”

Renjun masih syok. Masih nggak bisa mencerna semuanya meskipun sampai Manager Yoo mulai beres-beresin barangnya dan beranjak dari waiting room.

“Eh, iya, meskipun ini media play, ati-ati yah. Banyak kasus akhirnya jadi cinta beneran. Good luck ya sama Jeno.”

Senyum mengejek perempuan awal empat puluh pada bibir berpoles lipstik merah jadi figur yang mampir ke penglihatan Renjun sebelum dikaburkan air mata.

290 miles of us

Kalau biasanya selepas perform kita capek dan seolah nggak punya tenaga, malam ini ceritanya berbeda buat Renjun.

Saat semua orang terlihat begitu menikmati—savouring—jamuan makan malam mereka yang kedua di London, Renjun cuma sedikit-sedikit mengambil buah-buahan segar dan sesekali ngambil salad tanpa dressing untuk dia makan.

Bukan tanpa alasan, dia cuma pengen kelihatan bagus di depan Jeno, all the time. Apalagi besok dia mau berhari-hari jalan sama Jeno. Dia mau kelihatan presentable, at least perutnya nggak boleh membuncit soalnya dia sering insecure sama perut rata Jeno yang keras dibantalin otot.

Dari pagi buta, Renjun udah nggak bisa tidur. Padahal dia baru aja nyampe kamar hotel waktu jarum jam pendek menyentuh angka 2.

Dari jam 6, Renjun udah mondar-mandir buat dressed up. Ujung-ujungnya ngeberantakin isi koper yang seharusnya malem ini dibawa pulang sama Manager Park ke Seoul while dia akan bawa 1 koper kabin buat 3 hari di Paris.

Setelah sarapan bareng Jeno, mereka pamitan dengan ngetuk satu per satu kamar teman-teman grup mereka. Ya ada sih yang mau bukain, Jisung yang udah bangun dari jam 7 sama Mark yang kayaknya belum tidur. Selebihnya nggak gubris sama sekali. Biarin, nanti Renjun mau tiba-tiba pamer aja sih kalo udah nyampe Paris.

Tepat jam 9 pagi, ada dua orang Korea yang tiba-tiba nyamperin Jeno di lobby hotel. Ngobrol akrab sama Jeno as if mereka udah kenal lama, terus mereka serahin kunci mobil ke Jeno yang bikin senyum Renjun ikut-ikutan terkembang. Ah … akhirnya. Salah satu bucket list dia bakal kecoret juga.

Road trip sama Jeno!

Pergi berdua sama Jeno, di negara di mana nggak akan terlalu banyak orang yang kenal mereka, jalan dengan santai—hands intertwined—bikin hati Renjun nggak karuan.

Demi seluruh isi alam semesta, dia mau kalau harus menukar semua popularitas dan harta dia demi ini. Ini yang dia mau.

Mereka masuk-masukin koper dibantu sama Manager Park yang nggak henti-hentinya minta Jeno buat selalu ngabarin dia kalau ada apa-apa, termasuk selama tujuh jam perjalanan dari London ke Paris nanti. Dia khawatir banget, soalnya ini baru kali pertama kan Jeno nyetir di luar negeri. Mana nggak bisa tandeman sama Renjun soalnya Renjun nggak punya license buat nyetir mobil setir kanan.

Jeno sih janji buat nyetir dengan santai dan ati-ati. Toh, acara sama brand ke fashion week juga baru akan dimulai besok malem. Masih ada banyak waktu buat istirahat.

Jeno jalanin mobil untuk meninggalkan jalanan sempit Soho waktu suara merdu Ariana ngisi void di antara pagi berembun downtown London yang dibelah sama mobil yang ternyata dipinjam Jeno dari mantan mahasiswa ayahnya yang sekarang tinggal di London. Jalan dengan tempo santai begini, Jeno di sampingnya, lagu kesukaan mereka diputer berurutan, dan aroma kopi hangat, cukup bikin Renjun ngerasain bahagia luar biasa.

Seumur hidup juga dia nggak pernah kepikiran akan ada di titik ini sama Jeno.

Jalanan ramai downtown berubah jadi pemandangan hutan dengan daun menghijau menyambut musim panas, tiba-tiba berubah jadi hamparan rumput luas berbukit-bukit dengan segerombolan domba di kejauhan, tiba-tiba berganti sama barisan truk kontainer yang jalan pelan masuk ke tunnel. Di ujung Folkstone.

Begitu cahaya matahari hangat di daratan Eropa menyapa mereka, Renjun—as the other people would probably do—langsung keluarin handphone dan kamera yang sengaja dia bawa untuk mengabadikan momen kali pertamanya menghirup segar udara sisi utara Eropa.

Sepanjang jalan, nggak ada ceritanya mereka diam. Suara ketawa rendah sampai melengking pun akrab banget sama mereka. Semua hal bisa mereka ketawain, semua hal bisa bikin mereka bahagia. Mereka beneran merasa kayak orang normal sekarang. Kayak orang-orang yang lagi seneng-senengnya menghabiskan waktu berharga sama orang yang paling mereka sayangi.

Mereka ambil banyak foto, mereka putar banyak lagu, mereka record banyak video. Sebanyak mungkin mereka coba buat kenangan mumpung lagi berdua dan nggak ada yang ganggu begini. Oh, mereka bahkan pamer ke dua sisi orang tua kalau mereka lagi pacaran di Eropa!

Papa Jeno tentu jadi sosok yang paling berjasa di sini, Pak Dosen dengan seabrek koneksi dan pengetahuannya. Renjun bersyukur banget karena beliau sebegini suportifnya sama hubungan mereka.

Nggak beda jauh, kedua orangtuanya pun juga sebegitu senangnya waktu denger akhirnya Jeno sama Renjun punya kesempatan buat healing berdua kayak gini. Mereka jelas udah sering denger keluhan Renjun, anaknya itu terbuka banget soal rasa sebelnya nggak bisa pacaran sama Jeno karena schedule yang nggak pernah match.

Intinya, semua orang senang sama keadaan mereka sekarang.

Sampai ketika jam digital mau beranjak ke angka tujuh di malam hari, akhirnya mereka sampai di kota yang katanya jadi simbol rasa cinta manusia. Kota yang paling romantis kabarnya.

Ini bukan kali pertama sih Renjun menginjakkan kaki di Paris, tapi … kali ini spesial soalnya dia bisa gandeng tangan Jeno dengan sangat natural, tanpa takut apa-apa, tanpa takut dapet tatapan menelisik yang mengerikan dari orang.

Check in hotel berjalan mulus. Nggak ada kendala bahasa karena Jeno udah jaaauuuhhhh lebih percaya diri dibandingkan Jeno beberapa tahun lalu. Semakin dia dewasa, kayaknya makin banyak pelajaran yang dia dapat dari prosesnya bersosialisasi sama orang dari berbagai kalangan itu.

Suite mereka beneran dipisah. Jeno pakai kamar yang lebih lebar, memang khusus dipesankan sama brand. On the other hand, Renjun ada di kamar sebelahnya. Cuma berisi satu king-sized bed, walk-in closet yang nggak terlalu lebar, dan kamar mandi marmer mewah yang selama ini seringnya cuma jadi angan buat dia.

Satu hal lagi yang bikin Renjun seolah dibawa naik ke langit ke tujuh. Invitation buat makan malam yang sengaja Jeno buat di luar complimentary brand untuk dia. Makan malam privat dengan view kerlip Eiffel dan romantisnya Paris malam ini. A cherry on top.

Renjun benar dibikin terkesima sama apa yang coba Jeno bawa ke hidupnya sekarang. If it’s not him, Renjun nggak tahu lagi apa mungkin dia akan ngerasain naik turun kehidupan seindah ini. Kalau bukan Jeno, apa mungkin dia bisa sejatuh ini?

Belum sempat dia sadar sepenuhnya dari lamunan, Jeno udah datang dari pintu utama dan peluk Renjun dari belakang.

Friksi sentuhan jari-jari panjang Jeno, bersambut dengan kecupan ringan Jeno di leher lengket dan daun telinganya seolah jadi cue untuk dia pasrah malam ini.

Jatuh dan pasrah, dua kata yang bisajadi berkesinambungan di sini, mengingat sinyal tubuh Renjun yang sering terlalu lemah kalau soal Jeno.

Kalau soal sentuhan dan kecupan Jeno di tempat yang tepat.

Kalau soal bagaimana rintihan nikmat dia berbaur sama kecipak basah bibir Jeno di permukaan kulitnya, juga bisikan sensual Jeno memuji tiap lekuk tubuhnya.

Kalau soal bagaimana piawainya si laki-laki pengambil hatinya, ikut serta mengambil kewarasannya kala matanya sudah memutih terlalu banyak akibat kewalahan menerima rangsang nikmat.

Soal semua itu, Renjun kelewat rela.

MHW40 – akujenoo

“Mark, psst, psst …” Jaehyun terdengar berbisik memanggil Mark Lee yang lagi sibuk menyumpal kupingnya dengan earphone selepas mendengar argumen non-sense dari seseorang yang sedang ikut conference call dengan mereka di ujung lain bumi siang ini.

Mark buru-buru melepas satu sisi earphone miliknya dan melebarkan kedua matanya menatap Jaehyun.

“Ini tuh nggak masuk akal, turnover rate kita tahun ini udah kegedean, nggak achieve KPI. Jangan ngide lah pake acara gini-gini.” Jaehyun berucap berapi-api, oh, technically bukan berucap, karena suara dia nggak keluar, dia cuma gerak-gerakin bibirnya aja. Untungnya sih, Mark bisa ngerti apa yang coba Jaehyun omongin.

Mark menarik nafas dalam, iya, anjir, iyaaaa, dia tuh paham. Tapi Jaehyun lagi-lagi ikut andil bikin dia naik pitam gara-gara seolah didikte akan sesuatu yang dia nggak paham.

Mark meletakkan telunjuknya di depan bibir, mengisyaratkan supaya Jaehyun berhenti bicara. Dia tahu kok apa yang harus dia lakukan.

“Ehm, Pak Jo, kalau saya boleh kasih advice, dari tadi kan kita muter-muter mulu nih ngomongin soal employee engagement program yang sama terus dari tahun-tahun lalu. Sementara kalau dari survei tahun ini, kita tahu kalau turnover rate bukan datang dari incapability kita menghadirkan suasana yang nyaman dan program-program bagus buat employee.” seseorang yang dipanggil ‘Pak Jo’ oleh Mark di ujung sana terlihat mengangguk mengerti di layar begitu Mark memberi jeda omongannya untuk kemudian melanjutkan bicara.

“Yang jadi masalah justru karena employee merasa comp-ben yang kita beri untuk mereka kurang kompetitif kalau dibanding sama keadaan job market di luar sana. So, the most possible way sekarang, ya kita harus setidaknya merombak aturan soal employee benefit, itu dulu—sebelum kita jump in ke keputusan buat meninjau lagi salary yang diberi perusahaan buat employee.” Mark menutup penjelasannya sembari tersenyum—padahal jiwanya udah terguncang karena pagi-pagi harus berhadapan sama isu krusial: enam manajer dan dua c-level di headquarters mengajukan resignation letter secara tiba-tiba kemarin sore.

“Mark, di sana … ada papa?” Pak Jo merendahkan suaranya sebelum bertanya, seolah orang lain bisa ikut mendengar suaranya—padahal jelas-jelas earphone bisa terlihat terpasang di telinga Mark Lee.

“Um … beliau sedang ada janji breakfast dengan teman lama, Pak. Hari ini saya baru akan berkunjung ke rumah setelah pulang kerja untuk report semuanya.”

“Good.” Johnny Seo menghembuskan nafasnya lega.

“Kamu tahu kan keadaan cashflow kayak gimana? I guess sebelum ini juga kamu udah ketemu sama CFO dan jajarannya buat denger kondisi kita sekarang gimana. We’re lagging behind, Mark, tiap masa QPR juga kita sama-sama denger gimana keadaannya.”

Gurat sedih di wajah Johnny jelas Mark paham betul dari mana. Boleh dibilang, hal itu juga jadi salah satu alasan pipinya makin tirus akhir-akhir ini, ikut mikir mau dibawa ke mana bisnis keluarga ini?

“Sorry, saya sama Mark mau ada meeting lagi Pak jam 9 pagi. Boleh drop dulu nggak ya diskusi ini? Nanti disambung lagi deh jam 1 siang. Gimana?” katakan Jaehyun lancang, tapi sumpah deh, dia ini temen terbaik yang tahu gimana cara buat menyelamatkan Mark di waktu-waktu kritis kayak gini. Jaehyun paham banget, Mark nggak seharusnya dapet beban seberat ini alias ikut mikirin gimana cara balikin cashflow perusahaan biar lancar lagi. Harusnya sih semua orang di board of directors ikut andil, termasuk Johnny Seo yang dinilai Jaehyun keseringan mangkir nggak ikut mikir selama ini.

“Oh, okay, okay … if that’s the case, kita lanjut jam 1 siang after lunch kalian ya.”

“T-tapi Pak, kalau Bapak nanti masih ada kegiatan atau terlalu malam, kayaknya kita bisa push ke malam waktu Jakarta aja, Pak.”

Johnny terlihat menimbang di ujung sana, sementara Jaehyun sudah meringis menahan kesal sama Mark yang nggak sadar kalau dia lagi berusaha diselamatin sama Jaehyun.

“We’ll see first deh, Mark. Nanti sekretarisku yang akan arrange. Kita udah dulu aja deh, have a good day, guys!”

And with that, zoom call selesai. Jaehyun dateng ke meja Mark buat gebrak meja temennya—yang sebenernya posisinya lebih tinggi dari dia—sampai-sampai bikin beberapa pasang mata di kubikel sekitar mereka ikut menatap takut.

“Dasar nggak tahu diri. Udah dibantuin malah nawarin meeting malem.” Jaehyun beneran meluapkan kekesalan ke Mark. Sumpah, dia nggak salah. Nggak seharusnya kan kerja sebegini jor-jorannya.

“Dude, ini kita lagi ada di kondisi kritis. Nggak bisa lagi kita tuh mikirin is it the right time buat meeting atau enggak. Kalau ada waktu, yaudah kita selip-selipin aja.”

Jaehyun begitu frustrasi melihat Mark pasrah banget dikerjain kerjaan sebegininya.

“Also … gue berhutang banyak ke Kakek, means gue nggak bisa egois di keadaan kayak gini.” ujar Mark lirih sembari memilin kabel earphone miliknya yang masih tersambung ke laptop.

Bahu Jaehyun turun, iya ya, bener juga. Kalau buat dia, mungkin pekerjaan ini cuma buat dapet duit, cuma biar dia dan keluarganya hidup dalam kondisi berkecukupan di ibukota. Tapi buat Mark, it’s far beyond that.

Duh … dia jadi rada nyesel udah kayak gini ke Mark.

“Sorry, bro. Harusnya gue bisa nempatin diri gue buat paham posisi lo.”

“Nggak apa-apa, nggak usah dipikirin. Lanjut aja deh kita meeting sama orang branch, kasian kalo ntar kita telat mereka nggak kerja-kerja.” Mark beranjak memasang earphone miliknya, dan Jaehyun juga bergegas kembali duduk ke kursinya.

Belum sempat Mark menyapa semua orang yang sudah ada di room, ponsel miliknya berbunyi, menampilkan satu pesan singkat dari ‘Kakek’.

‘Nanti sore kakek mau bicara.’

———

Berdasarkan sensus penduduk di tahun 2000, total kelahiran anak-anak laki-laki dan perempuan di Indonesia saat itu adalah pada angka lima juta jiwa.

Sementara itu, di tahun 2023, Kementerian Luar Negeri mencatat ada enam puluh enam ribu warga negara Indonesia yang tinggal dan menetap di Amerika. Sepertiga di antaranya, tinggal di New York.

Dan … ended up here, living with my bestfriend, my only friend, sejak TK, adalah salah satu misteri terbesar dalam hidup gue yang sampai sekarang sulit dipecahkan.

“Oh Goddamn, Chan! Your dad called me up again this morning.” rambut brunette dia berantakan, tanda kalo dia bener-bener stress nggak tertolong sore ini.

“Papa? Atau daddy?”

“Your papa! Definitely your Papa! Your beloved Papa!!” dia berapi-api banget. Gue udah biasa sih tapi, nggak kaget. Makanya waktu dia ngomel-ngomel keliling apartemen, gue santai aja duduk di sofa sambil nonton YouTube.

“‘Least tell him you will go home this Sunday! Lo tega sama gue? Tiap pagi, Chan, gue harus ngangkat telfon bokap lo buat ngabarin if you’re doing okay di sini. Come on?!” bibirnya maju-maju, grasak-grusuk dia ngelepas tweed blazer tiga ribu dolarnya. Kasihan, gerah pasti.

“Lo kan nggak perlu angkat. Emang gue nyuruh lo ngangkat?”

“Heh!”

Sesuai tebakan, dia ngerampas iPad di tangan gue. Dia berkacak pinggang dan ngasih tatapan nyalang mematikannya ke gue.

“Lo kira gue nggak berusaha ignore? Udah. Udah berkali-kali. Tapi dia nelfon nyokap gue dan start asking her about me and you. Whether we’re doing great here, whether we’re okay yadda yadda.”

“Sekarang. Telfon bokap lo, gue sita iPad lo sampe lo mau nelfon bokap lo. Bye, gue mau pacaran!”

“Njun!”

Brak. Pintu dibanting sama si Huang mini dari luar.

Kenalin, namanya Huang Renjun. Sumbu pendek, tukang marah-marah, tapi anehnya gue betah temenan sama dia dari umur 4 tahun sampe nyaris 24 tahun sekarang.

Sepeninggal Renjun dari apartemen, gue akhirnya memberanikan diri buat buka handphone yang udah sekitar sembilan hari gue matiin. Sengaja. Biar nggak diganggu.

Waktu gue nyalain, ada banyak sekali notifikasi yang masuk.

Dari grup WhatsApp temen-temen gue di sini.

Berbagai grup belanja yang sebenernya nggak sering gue buka tapi dipaksa Renjun buat join.

Dari sepupu-sepupu gue yang tinggal di US dan sering chit-chat sama gue.

Sampai dari Papa

… dan Daddy.

As well as Kakek.

Tiga orang yang paling gue hindari keberadaannya sejak mama meninggal dua bulan lalu.

Tentu mereka berlomba-lomba ngirim pesan singkat yang nanyain kabar gue. Ya kurang lebih sama lah dengan apa yang diomelin Renjun dengan kecepatan 80 kmph tadi.

Oh ya, sedikit background ya soal gue, karena mungkin kalian merasa aneh waktu denger gue sebut Daddy, Mama, dan Papa di satu konteks cerita keluarga gue.

Dari gue kecil, keluarga gue emang punya banyak permasalahn kompleks yang bahkan gue udah muak buat keep up sama masing-masing dari permasalahan itu.

Mulai dari kakek yang punya banyak istri sampe akhirnya ditinggalin satu per satu.

Daddy dan Mama yang cerai ketika umur gue baru delapan tahun.

Daddy yang akhirnya nikah lagi di empat tahun setelahnya, dan menetap di Canada sama suami barunya—Papa.

Sampai Mama yang ninggalin gue—for good—dua bulan lalu.

Seumur hidup sih, gue kesannya kayak hidup sendiri ya jatohnya.

Mama nggak pernah secara harfiah present dalam hidup gue. Dia model dan aktris papan atas, kerjaannya banyak. Harus mobile ke sana ke mari selama dia masih sehat dan bugar.

Daddy wasn’t any good. Habis cerai, dia cuma empat tahun ngurusin gue. Setelahnya ya pergi gitu aja ke Canada sama Papa buat memulai hidup yang nggak pernah direstui sama Kakek. Cuma sesekali aja pulang untuk jenguk gue yang akhirnya dirawat sama salah satu asisten Mama.

Ketika gue lulus kuliah, I don’t know, mungkin Daddy akhirnya terbuka pintu hatinya. Hahaha

Dia mulai cari-cari cara buat deket sama gue, as well as ngajakin Papa pelan-pelan masuk ke hidup gue.

He’s a nice guy, I can tell, tapi nggak mengubah fakta bahwa tetep aja, gue merasa dibiarin hidup sendiri bertahun-tahun.

Well, anyway, sesuai perintah Renjun. Plis jangan anggep gue takut ya sama si mini itu, gue cuma nggak mau denger dia wasweswos nggak jelas di saat-saat gue nggak lagi dalam mood yang baik kayak gini.

Makanya gue akhirnya hubungin Papa, beruntung baru diangkat di dering ke delapan (atau sembilan?). Jadi gue ada waktu buat ngatur nafas dan nyusun alasan kalau dia nanya macem-macem.

“Hai. Gimana kabarnya?”

Suaranya cerah banget, kayak baru ketimpa lotere.

“Hai, Pa. Doing great, Papa sendiri?”

“Baik, kok. Masa nggak kedengeran nyampe situ bahagianya Papa pas kamu akhirnya telfon?”

Damn…gue cuma bisa bales pake kekehan.

“Kata Renjun HP kamu rusak ya abis jatoh pas banjir kemarin?”

Duh, jago banget itu manusia ngarang…

“I-iya, Pa. Baru selesai fixing semalem, baru aku nyalain siang ini.”

“I see, good for you akhirnya bisa dibenerin. Padahal kemaren Daddy kamu udah saranin mending beli baru aja, tapi Renjun bilang kamu nggak mau kehilangan data. Di-backup makanya, Chan, datanya ke cloud.”

Sedetail itu dia boongin bokap gue? Pengen nangis … kelakuan temen gue astaga…

“Iya Pa, will do.”

“Nice, nice.”

“So … kapan rencana kamu ke sini?”

Kan, tebakan gue selalu bener. Papa pasti nyuruh gue datengin dia sama Daddy.

“Ke Vancou?” sengaja gue ngeles biar ada waktu buat mikir alasan paling masuk akal.

“Mm-hm, kan Papa udah janji mau ngajakin kamu hiking.”

“Iya, udah nyicil cardio juga buat persiapan.”

“Naaahh bagus tuh. Yaudah cepetin aja ke sininya, mumpung masih summer jadi nggak akan terlalu dingin. Ya?”

“We’ll see first deh, Pa. Soalnya aku juga masih ada beberapa pentas yang belom selesai. Nanti aku kabarin.”

I can hear him giggling.

“Iya, iya, Papa udah liat semalem jadwalnya opera kamu. Papa tuh pengen nonton, tapi visa Amerikanya udah expired. Kapan-kapan deh ya?”

Sebenernya, ada satu poin positif dari Papa yang selama ini bisa gue rasain. Tingkat perhatiannya yang di luar perkiraan. Kayak gini nih…

“Iya, Pa…”

Selepas itu, ada jeda waktu yang cukup lama sebelum Papa angkat bicara lagi.

“Chan, it might be hard for you. Tapi, kalau ada apa-apa, boleh selalu minta pertimbangan Papa kok. Sekarang kalau belum biasa, nggak masalah. But as you grow older, kalau kamu udah ngerasa pengen ngeluh tapi nggak bisa ngeluh ke orang lain, atau merasa segan sama Daddy, ada Papa yang mau denger kamu.”

And with that, I cried the whole night sampe melupakan agenda ngambil iPad ke apartemen si Huang mini yang cuma satu blok jauhnya dari tempat gue.

Dan seperti yang sudah gue duga, paginya dia nyamperin gue, brutally bangunin gue dari tidur yang nyenyak.

Demi melontarkan satu gosip dari Mamanya yang akhirnya bikin gue nggak bisa fokus seharian di studio.

“Kata nyokap gue, lo mau dijodohin sama sekretaris di kantor kakek lo!”

——

Mark meneguk sedikit demi sedikit cognac Hennessy pemberian salah satu VP kolega kakek minggu lalu. Ya memang mau dikasih ke siapa lagi? Kakek sekarang cuma punya Mark, and vice versa.

Bising bunyi klakson di bawah sana belum berhenti juga. Mark melongok dari pembatas balkon apartemennya, same shit all over again, Jakarta … Jakarta …

Buku bacaannya sudah habis halamannya. Memang cuma sisa tujuh halaman sih, belum sempat dia selesaikan pagi ini sebelum bertandang ke kantor. Untungnya selepas makan malam dari tempat kakek, ada sedikit waktu untuk membaca sembari menunggu matanya memberat.

Tapi ya, alih-alih memberat, malah semakin lebar waktu ingat omongan kakek sore tadi saat makan malam berdua sama Mark.

Mungkin ada baiknya kita tarik ke belakang dulu. Ke pukul lima lebih dua puluh sore, waktu Mark tergesa-gesa membereskan barang-barangnya di meja karena supir pribadi kakek sudah datang menjemput.

Jaehyun tentu jadi yang pertama protes. Karena tumben-tumbenan, jadwal makan malam tidak disisipkan Mark di kalendernya. Padahal mereka ada janji untuk meeting sama Johnny selepas office hours.

Mark agak sedikit berantakan waktu sampai di restoran tempat ia dan kakek biasa makan. Telat sepuluh menit dari waktu yang disepakati Mark dengan kakek tadi siang. Seharusnya mereka bisa makan tepat lima belas menit sebelum jam 6.

“Kakek, maaf ya, tadi aku bener-bener masih lumayan banyak kerjaan. Jadi—“

“It’s okay, duduk.” Kakek selalu tenang, selalu teduh, selalu hangat.

Tangan-tangan keriputnya tidak pernah absen membelai rambut hitam berkilau punya Mark tiap kali mereka bertemu. Meski cuma waktu sedang di luar kantor.

Mark released his heavy sighs. Kemudian dia teguk setengah gelas rendah air putih yang selalu dipesankan kakek untuk Mark. Mark tidak terlalu suka minuman berperisa.

“Minggu ini belum apa-apa, Mark. Still a long way to go. Hahaha,” kekehan kakek disertai tepukan hangat di punggung Mark selalu berhasil buat Mark merasa tidak butuh yang lain. Mark punya kakek, semua masalah dan penat hidup dia selesai.

“Gimana kabarnya mantan pacar kamu?”

Mantan pacar itu … nggak sebenar-benarnya mantan pacar yang seperti ada di benak kalian. Itu cuma akal-akalan Mark biar nggak sering-sering dijodohin kakek sama anak atau cucu dari kolega bisnisnya. Jadinya terpaksa Mark ngaku-ngaku belum bisa move-on dari mantan pacarnya.

Di bayangan Mark sih, mantannya itu cowok keturunan Jepang, umurnya mungkin ya … sekitar 4-5 tahun di atas dia? Punya rambut agak panjang, tatoan nggak masalah, pekerja seni, dan pastinya punya soft spot buat dia.

Nggak nyata sih, tapi Mark selalu keinget sosok pemain film action Jepang tiap bayangin dia. Untungnya si kakek percaya kalau Mark emang pernah ngedate sama cowok ini meski ujungnya harus putus.

Well, anyway, kembali ke kenyataan.

Mark cuma terkekeh jawab pertanyaan kakek. Sudah buntu juga sebenarnya dia mau jawab apa. Jadi ya satu-satunya kalimat yang keluar ya, “same old, kek.”

Kakek ketawa lagi setelahnya, jujur bikin Mark happy karena di minggu lalu bahkan dia barely bisa bicara selancar sekarang. Minggu lalu bahkan kakek masih berbaring lemah di rumah sakit, tentu bikin Mark kelimpungan karena harus ngurus kakek sendirian—well, not really—dan ngurusin kantor yang task-nya udah mulai out of hands.

Jadi keadaan kakek yang sekarang cukup bikin Mark lega. Kakek udah bisa makan enak lagi dan udah bisa bercanda sebaik ini sama Mark.

Salmon rillette sudah dicolek, masuk ke mulut kakek. Sementara Mark menyuapkan salad buah bit. Ambiens menenangkan jadi teman Mark dan kakek memulai makan malam mereka berdua. Dengan obrolan-obrolan ringan seputar pekerjaan, anjing-anjing punya kakek yang kembali dibawa ke rumah setelah dua minggu dititipkan, sampai ke rencana kakek mengajak Mark mengunjungi sahabat lama di Vientiane akhir tahun nanti.

Hampir pukul tujuh, creme brulee sudah ditandaskan oleh Mark. Lambungnya sibuk mencerna semua makanan yang masuk selama sejam terakhir, sembari menunggu kakek selesai dengan souffle kelapa miliknya.

“Mark,” panggil kakek mengalihkan perhatian Mark dari upayanya memperhatikan kedip lampu jauh di luar gedung.

“Ya?”

“Mau lebih cepet move on nggak?”

Mark dibuat kaget bukan main. Sepintar apapun dia, jelas dia tidak bisa menebak ke mana arah pembicaraan kakek kali ini. Soalnya selama ini sikap dia udah jelas, dia malas kalau dijodoh-jodohkan sama anak atau cucu dari kolega kakek. Mereka itu akan balik kanan begitu tahu Mark ini cuma cucu angkat kakek yang diambil dari panti asuhan berpuluh tahun lalu.

Mark cuma terkekeh dan geleng-geleng kepala, kakek tentu bisa mengerti. Pasti Mark menganggap kakek cuma omong kosong.

“Lho, ini bener, Mark. Kakek bukannya mau jodohin kamu sama anak-anak atau cucu dari teman kakek.”

“Terus?” tanya Mark masih dengan senyum terkembang dan tawa yang ditahan.

“Kalo ini, Kakek yakin kamu pasti mau. Tapi sayang, dia jauh. Harus kamu samperin.”

Oh no, it’s getting serious…

Senyum dan tawa Mark pelan-pelan hilang waktu kakek merogoh saku kemeja lengan pendek miliknya. Pelan-pelan ia keluarkan sebuah kertas foto, yang secara visual belum terlalu usang, dan menyodorkannya tepat di meja kayu di hadapan Mark.

“Donghyuk Seo, cucuku.”

Mark dibuat tercekat.

Matanya makin lebar kala mendapati sosok laki-laki yang ia taksir sedikit lebih muda darinya di dalam foto itu. Figur tubuhnya begitu proposional. Warna kulitnya apalagi, lebih dari cantik buat disebut cantik. Ada sorot yang begitu sensual saat Mark menatap manik mata yang seharusnya tidak sedang berusaha berpose menggoda dalam foto itu. Bajunya juga sederhana, tapi jelas tidak menutup fakta bahwa dia ini jumlah uangnya di atas rata-rata orang kaya.

Intinya cuma satu: Mark sudah suka. Semudah itu.

Mulut Mark tidak bisa terkatup, memandang bergantian foto cucu kandung kakek dengan kakek yang sedang tersenyum bersahaja di depannya. Kakek selalu bisa memprediksi, kalau ini, Mark pasti suka. Pun tidak akan menolak.

“Tap-tapi, dia ini—“

“Anaknya Johnny. Tapi tinggal terpisah sama ayahnya, makanya kamu nggak pernah dengar kan soal dia?”

Ah, pantas aja…

“Dia itu anak Johnny dari pernikahan pertama. Cantik kayak ibunya, tapi jiwanya setegas daddy-nya. Sejak umur 17 udah tinggal di New York, nggak mau pulang sampai sekarang. Hampir 7 tahun, dia kira kakeknya nggak kangen?” kakek selipi tawa di akhirnya. Tawa miris sebenarnya, tapi terdengar sebagai tugas berat bagi Mark.

“Tugasmu sekarang tambah satu, bawa Donghyuk pulang. Bilang kakeknya kangen dan ingin lihat dia menikah cepat-cepat.”

Oh, menikah ya?

Sebentar tapi, Mark bingung, menikah … Donghyuk … Mark diminta buat jemput Donghyuk untuk menikah tapi kok …

“Satu lagi, kalau dia bingung soal jodoh, nggak perlu khawatir. Udah disiapkan sama kakeknya.”

Mata Mark menatap kakek penuh harap. Semua omongan kakek sebenarnya masih terlalu cryptic buat dipahami oleh Mark. Meskipun kata teman-temannya semasa SMA, Mark ini pintar, tapi jujur kadang omongan kakek masih terlalu berat untuk dicerna dalam satu kali duduk.

“Ya kamu Mark, masa udah di depan mata begini kamu belum sadar?”

Kelakar kakek jadi penutup acara makan malam hari itu.

Meninggalkan Mark bersama secarik foto Donghyuk Seo di tangannya dan beban berat menjemput Donghyuk di pundaknya.

‘606 Hudson Square, Manhattan’

ASTYR Spin off

Cerita ini berlatar di beberapa tahun setelah si Huang Renjun pengusaha UMKM swasembada pangan Pasar Baru Tangerang itu ketemu sama keluarga Jeno Lee. Tapi ... jangan harap ceritanya mulus. Namanya juga multiverse, apa aja bisa terjadi. Writernya memang agak obsessed sama kisah sedih dan multiverse (alias a life that someone has never really lived).

Aku kebangun di sebuah rumah kecil yang kayaknya adalah rumah lamaku. Kali ini nggak kaget, soalnya udah semingguan ini aku berkelana di seluruh side of the world buat datengin 'Renjun' yang punya 'Jeno'-nya dengan berbagai versi.

Suatu hari, ketemu sama Renjun yang jadi musuh abadinya Jeno. Nggak pacaran tapi diem-diem suka saling ngasih perhatian yang dibalut sama gemes-gemes syahdu anak SMP.

Di lain hari, Renjun jadi si tukang marah yang punya suami Jeno si manusia dengan kesabaran level 2000. Yang mana jadi sangat kaget pas ketemu aku di hari itu—Renjun yang kalem dan sama sabarnya kayak dia. Yaiyalah, aku udah di-training buat ngadepin kulkas freezer Kim Kardashian selama setahun di London. Gimana nggak sabar?

Terus yang paling berkesan sih ketemu Renjun si mahasiswa nggak lulus-lulus yang punya anabul temuan gemes. Nggak taunya, kalo malem, si anabul berubah jadi manusia segede dia. Iya, Jeno lagi. Tapi nggak bisa ngomong, cuma bisa ngangguk dan geleng dan natap Renjun pake matanya yang bulet gemes kayak biji kelengkeng itu. Ini ... jujur bikin aku susah move-on sih. Andaikan Jeno punyaku kayak gini.

Perjalanan antar-universe ini kayaknya jadi salah satu yang terpanjang di tahun ini. Udah sering kejadian kok, menjelang hari ulang tahun aku selalu gitu.

Secara medis, nggak ada sesuatu yang harus aku khawatirkan. Aku paling cuma 'tidur' selama delapan jam di universe nyataku, dan begitu pagi dateng ya aku bangun seolah nggak terjadi apa-apa. To sum up everything, perjalanan yang kerasa panjang dan berhari-hari ini sebenernya sama dengan delapan jam mimpi. Udah gitu doang.

Aku cuma berharap, yang kali ini ... jadi yang terakhir. Udah capek mau bangun aja:(

Oke, kembali ke universe yang lagi ditapaki sama Renjun sekarang. Rumah lama.

Tapi bentar deh, kok tumben ya datengnya ke rumah lama? Ini ... ngulang masa lalu? Atau gimana?

Soalnya interior kamar juga masih Renjun remaja banget. Ada tumpukan kaset-kaset band yang sebenernya dikasih sama tukang kaset di pasar gara-gara sering dateng ke toko godain aku. Terus ada juga boneka lumba-lumba gede yang udah barengan sama aku dari umur sepuluh. Ih, jadi kangen sama boneka kumal itu. Bisa nggak ya aku bawa ini balik ke universe-ku?

Dari jendela berangka kayu yang ada di atas tempat tidur aku bisa lihat kalau matahari udah mau naik, di luar lagi cerah banget. Kayaknya hari ini bakalan panas.

Kalau biasanya aku perlu adjust dan mikir dulu mau ngapain, buat kali ini aku udah hafal luar kepala dan beranjak ke kamar mandi buat buang air kecil dan cuci muka sebelum bantu Ibu nyiapin bekelku.

Pas mau ke kamar mandi, aku nggak lihat Ibu ada di dapur. Bahkan nggak ada tanda-tanda Ibu abis masak atau mau masak.

I just shrug it off dan mikir kalau mungkin Ibu masih belanja. Makanya aku langsung aja ke kamar mandi tanpa nyari jawaban atas keganjilan kenapa Ibu nggak ada di dapur.

Cuma setelah aku balik dari kamar mandi, aku denger Ibu lagi muntah-muntah di kamar. Ada suara Ayah juga yang kayaknya lagi bantuin Ibu.

“Yah? Ibu kenapa?” muka Ibu pucat banget, badannya juga bau minyak angin. Sebenernya aku tahu sih kalau ibu lagi sakit, cuma kan mau mastiin aja.

“Masuk angin kayaknya, dari tadi pagi begini.”

Di dalam baskom udah ada genangan muntah Ibu yang warnanya kuning banget. Baunya juga menyengat, tapi ayah yang sabar megangin baskom sambil ngelus tengkuk ibu bikin air mataku mau turun. Ternyata ada hal-hal kecil yang jarang aku perhatiin di masa lalu kalau menyangkut dinamika hubungan ayah sama ibu. Singkatnya, aku terlalu ngeremehin.

“T-terus udah ... beli obat?”

Ayah udah mau buka suara waktu Ibu tiba-tiba cengkeram lengannya dan gelengin kepala. Aku nggak bisa mengambil kesimpulan atas tindakan ibu barusan. Aku nggak ngerti.

“Nanti abis ini kita ke bidan kok. Udah kamu masak dulu aja, abis itu buka toko ya.” Ayah kelihatan buru-buru dan nada suaranya bikin aku curiga. Gimanapun aku udah bukan Renjun umur 20, please. Aku udah lebih pinter membaca situasi.

Ini tuh ya, kalo di sinetron-sinetron, biasanya si orang tua bakal nyembunyiin sakit kerasnya dari anaknya. Cuma jujur, aku nggak kebayang. Karena seingetku dulu ibu kalau sakit ya tetep kerja, dan jarang ada riwayat aneh-aneh. Not even darah tinggi atau asam urat. Makanya ini rada bikin bingung sih, soalnya ayah di universe ini juga keliatan sangat-lebih-sehat dibandingkan ayah yang ada di universe asliku.

Buat ngehormatin mereka—yang mungkin kisah hidupnya agak beda sama kisah hidupku yang beneran—aku jalan ke dapur belakang buat nyari-nyari apa yang bisa aku masak buat hari ini. Seenggaknya masak sedikit buat ayah sama ibu dan sedikit buat aku bawa ke pasar.

Hari ini menunya nggak aneh-aneh. Ikan asin dioseng sama bawang dan cabe, plus tempe satu papan yang udah agak menguning aku goreng buat tambahan lauk. Sedih juga ya ternyata hidup kayak gini. Balik-balik nanti aku kayaknya harus makin banyak bersyukur karena hidupku udah jauh lebih baik.

Selesai masak, ngepack bekal, dan mandi, aku pamitan sama ayah yang lagi mijitin kaki ibu. Ibu keliatan udah setengah tidur, dan aku nggak mau ganggu. Jadinya aku cuma cium tangan ayah dan langsung keluar dari rumah, jalan kaki ke pasar.

Selama jaga toko, jujur aku banyak nostalgia. Soalnya di universe-ku, tokonya udah dijual ke orang lain pas lagi krisis beberapa bulan setelah aku pulang dari London. Dan aku juga makin sibuk jualan jajan pasar kan waktu itu, makanya nggak bisa bantuin ayah atau Ko Hendery buat jagain toko.

Hari ini tokonya sih agak sepi. Orang-orang yang dagang di sekitar juga heran karena tumben-tumbenan toko nggak buka dari pagi buta. Setelah aku jelasin kalau ibu sakit, mereka malah ngasih bingkisan macem-macem buat ibu. Sekaligus ngucapin simpati supaya ibu cepet sembuh.

Belum juga tengah hari, tiba-tiba Ko Dery nelfon aku. Suaranya panik banget di ujung sana. Ternyata bener dugaanku, sakitnya ibu udah agak lebih serius ketimbang masuk angin doang.

Ibu masuk rumah sakit.

Jadinya jam 12 aku buru-buru nutup toko dan naik angkot ke rumah sakit terdekat yang juga rumah sakit tempat ibu kerja.

Beberapa orang di sana familiar buat aku, soalnya dulu aku sering ke sini nganterin ibu kalau lagi bawa titipan jajan buat ditaro di kantin. Cuma kali ini, mereka nyapa aku dengan tatapan simpatik yang beda banget dengan yang mereka kasih saat dulu aku ke sini nganterin ibu.

Begitu aku nyampe di ruangan tempat ibu dirawat—ibu baru aja dipindah dari IGD, by the way—aku kaget bukan main karena ada beberapa alat yang keliatan serius banget kepasang di badan ibu. Jujur, meskipun ini bukan bener-bener 'ibu'ku, aku sedih sih...

Nggak kebayang gimana susahnya jadi Renjun kecil yang harus sebegininya hidup di tempat dia. Semoga sih, dia ada kesempatan yang sama kayak aku buat jalan-jalan ke berbagai versi hidup dia. Supaya dia ngerasain gimana bahagianya hidup dengan masalah yang nggak seberapa.

Ayah kelihatan lesu banget di sebelah ranjang ibu. Pasrah juga mungkin, tapi tetep coba buat senyum ke aku. Senyuman penuh penyesalan.

“Ternyata sakitnya kambuh lagi, Ren.”

Nah, ini yang nggak aku suka dari shifting universe. Aku nggak ngerti background cerita hidupku di sini kayak gimana. Jadi aku nggak bisa banyak nanggepin selain bilang, “yaudah, Yah. Mau gimana lagi? Dijalanin aja.”

Padahal aku juga lumayan kepo sama sakitnya ibu ini kenapa.

“Kamu pulang dulu aja gih, ambil tikar sama rebusin singkong. Nanti ada Tante Lee yang mau jenguk ibu.”

Jeda ucapan ayah jadi waktu aku berpikir ... Tante ... Lee?

Air mataku udah mau jatuh saking seseknya inget gimana masa-masa buruk itu pernah aku lewatin juga. Kalau ini nanti jadi hari pertama aku ketemu sama dia lagi, ah ... nggak kebayang. Andaikan aku bisa ngajak Jeno ke sini buat ketemu sama Maminya lagi.

“Tante Lee udah berkali-kali bantuin biaya periksa ibu. Ini tadi pas ayah ngabarin kalau ibu masuk rumah sakit juga dianya maksa mau ke sini. Yah semoga nanti ada jalan terbaik aja biar nggak semua biaya rumah sakit beliau yang nanggung.”

Maminya Jeno kenapa ya selalu sebaik itu di manapun? Aku ngerasa berdosa karena di tempatku sana, aku udah jahatin dia, udah bikin dia merasa bersalah setelah aku nggak bisa dewasa nyikapin semuanya. Aku ngerasa udah jahat juga sama Jeno. Gara-gara aku, dia harus kehilangan Maminya. Satu-satunya orang yang beneran sayang—tanpa syarat—ke dia.

I Had the Time of My Life With You

Pair: Renjun/Jeno Tags: Hurt-comfort, strangers-to-lovers, 1st person POV, slice of life

Ayo coba, sebutin mimpi buruk versi kalian. Nanti kita mulai adu nasib.

'Suka dibeda-bedain sama saudara kandung?'

Ya ... hampir tiap hari, lah.

'Nggak betah di rumah karena nggak kondusif?'

Dari kecil udah begitu.

'Ditinggalin orang yang kita sayang?'

Gue sih ditinggal Mami pas masih SMA dulu.

'Dapet ranking paling belakang?'

Sekolah, kuliah, bahkan kerjaan pun gue selalu di belakang kok.

'Diputusin sama cinta pertama?'

Oh ... kalo ini ... jangan sampe.

Cerita bermula ketika seorang perempuan umur tiga puluh mendekati empat puluh melahirkan anak ketiga dari tiga bersaudara yang sebenernya nggak sebegitunya diharapkan. Apalagi dua anak yang sebelumnya udah cowok, ketambahan satu cowok lagi (meskipun later on gue bersyukur udah ada di titik ini).

Di usia TK, gue udah biasa mendengar pertengkaran Mami dan suaminya (which is Papa tiri gue) karena mereka dengan sangat sengaja marah-marah di depan ketiga anaknya berharap bahwa anak-anak ini suatu saat akan cukup mindful buat nyari duit sendiri dan nggak nyusahin keluarga seperti yang selalu mereka omongin dan permasalahin.

Selepas dua tahun di TK dan selalu nangis tiap sore karena diejekin anak haram dan bencong, gue pindah rumah ke kota yang jauh dari kota kelahiran yang ngasih Jenita kecil memori jelek dan paling menyakitkan.

Tapi ternyata, harapan Jenita kecil seolah menguap gitu aja. Her primary days weren't any better. Dia masih terus dipanggil 'bencong' dan 'ngondek'. Juga masih harus menghadapi temperamentalnya Mami yang seringkali ngelampiasin marahnya ke Jenita. Karena dua abangya masing-masing udah ada di jenjang yang lebih tinggi makanya jarang ada di rumah.

Kalaupun mereka pulang, justru itu jadi mimpi buruk buat gue di masa itu. Mereka mana pernah bantuin Mami ngerjain pekerjaan rumah. Bisanya cuma makan, tidur, sama berak.

Eh, ada satu lagi deh, ngabisin duit.

Mami kerja serabutan waktu itu. Bikin gue sekarang ngerasa sedih dan miris padahal kalau gue denger cerita dari tante atau temen-temen Mami yang masih cukup care untuk stay in touch sama gue sampai sekarang, Mami itu di masa mudanya luar biasa loh. Sayang aja kawin sama orang yang salah.

Oke jadi, Mami kerja serabutan. Sangat nggak mudah, sangat menyedihkan, dan sangat susah buat ngasilin cukup uang untuk ketiga anaknya yang semuanya masih sekolah.

Untungnya, masih bisa sekolah karena dapet duit beasiswa. Untungnya...

Meskipun sepulang sekolah, kadang gue harus nahan laper sampe malem karena kalau Mami nggak balik, gue pun juga nggak bisa makan. Apalagi kami tinggal di ruko pinggir jalan yang terkenal banyak premannya, kalo gue keluar, emang gue berani nanggung risiko kalo diapa-apain?

Umur lima belas, gue nggak hanya berjibaku sama urusan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah yang makin tinggi makin berantakan. Tapi juga kenyataan bahwa gue nggak nyaman sama semua orang yang manggil gue 'banci', 'cowok jadi-jadian', 'si ngondek' atau insults lain yang nggak pantas didengar. Telinga gue udah kebal sih sebenernya dari dulu, cuma ada satu titik di mana gue udah muak dan rasanya pengen aja cepet-cepet pergi dari keadaan ini dan dapetin identitas baru gue sebagai individu yang gue suka dan gue terima sepenuh hati.

Individu baru yang gue panggil Jenita. Jenita yang dalam bayangan gue punya kebebasan buat makan apapun, buat beli apapun, buat menikmati hidup selayaknya anak usia 15 yang nggak seharusnya punya hidup seberat itu. Jenita yang suka warna baby blue, Jenita yang punya rambut panjang, dan Jenita yang suka dandan juga dipanggil cantik.

Jenita ... Jenita ... A life that I never really lived...

Kesialan hidup di umur 15 nggak berhenti di situ. Mami meninggal dengan diagnosis kelelahan setelah lima belas jam non-stop kerja di salah satu hotel ternama di kota tempat tinggal kami. Beliau meninggal tepat dua hari sebelum hari ulang tahunnya.

Gimana rasanya jadi gue? Berantakan. Nggak punya harapan hidup juga. Pengen ikutan Mami mati aja.

Nggak mudah. Nggak pernah mudah.

Kedua kakak kandung gue berusaha untuk bangkit cepet-cepet dari keterpurukan. Mungkin mereka bisa dan berusaha untuk bisa karena usia mereka udah cukup matang kala itu. Jadi, seolah nggak ada hal yang mereka khawatirkan lagi karena mereka udah bisa cari uang sendiri dan udah punya prinsip serta pengalaman hidup.

Sementara gue? Rasanya kayak jatuh ke lubang yang nggak ada ujungya. Gelap. Dalam. Dingin.

Ironisnya, gue sendirian selama menghadapi setahun paling berat di hidup gue itu.

Gue seolah nggak kenal sama yang namanya matahari. Gue cuma kenal hujan-hujan-hujan, petir, awan hitam. Nggak karuan.

Kehilangan Mami, dibully semua orang, dikatain banci, nggak merasa punya ownership atas tubuh gue sendiri, falling behind ... semuanya nyiksa gue.

Jangan tanya udah berapa kali gue coba buat mati. Gue bahkan nggak inget, karena setelah capek nangis selama berpuluh-puluh bulan, merasa nggak sanggup jalanin hidup yang semakin berat.

Hidup gue berjalan, berjalan setidaknya sesuai sama standar hidup 'normal' yang ditentukan sama orang-orang di lingkungan sosial gue.

Lulus SMA (walaupun terseok-seok).

Dapet kampus yang lumayan buat tempat belajar (seenggaknya gue nggak harus di-bully selama kuliah, meskipun harus DO di tahun kedua).

Dan dapat pekerjaan yang masuk kategori 'pantas' meski cuma berbekal ijazah SMA.

Dan akhirnya, di titik ketika gue bisa membelanjakan uang hasil jerih payah gue untuk menghidupkan fantasi keberadaan seorang 'Jenita', gue beneran sadar bahwa ... mungkin uang nggak bisa membeli kebahagiaan, tapi dengan uang gue bisa punya akses ke kebebasan.

Mungkin itu yang dulu dirasain sama abang-abang gue sepeninggal Mami. Suatu hal yang paling gue benci di masa itu karena anggapan gue, mereka bisa semudah itu lupain perjuangan Mami. Padahal, mereka cuma pengen hidup dengan lebih baik dan kenang Mami jauh di dalam lubuk hati mereka.

Saat akhirnya gue berhasil berdamai dengan diri sendiri dan menemukan sosok Jenita dalam perayaan kecil-kecilan yang tiap hari selalu gue adakan dengan mandiri, gue ... akhirnya menemukan definisi cinta.

Cinta yang satu ini ibarat matahari yang udah lama nggak bersinar di hari-hari gelap gue. Juga ibarat hujan gerimis menenangkan yang selalu gue suka sejak kecil.

Kami ketemu dengan cara yang terlalu mirip sama plot cerita-cerita sinetron yang dulu suka ditonton sama Mami. Caranya bener-bener receh. Gue beli sarapan di minimarket gedung kantor gue, lupa nggak bawa uang, dan ujung-ujungnya dia yang bayar.

Apalah gue kalo dibandingin sama dia. Gue cuma pegawai administrasi biasa yang kerjaannya ngangkut surat dari tiap lantai di office building, ya apa yang mau diharepin dari lulusan SMA minim skill kayak gue?

Seenggaknya kalau bisa dipake buat beli bedak, lipstik, sama eye-shadow buat dandan cantik (untuk diri gue sendiri), ya kenapa enggak?

Jauh kalau dibandingkan sama dia. Cowok dengan senyum paling manis dan suara paling lembut yang pernah gue kenal.

Namanya Rendra. Baik banget, hatinya juga seluas samudera.

Pertemuan pertama sama Pak Rendra (kali itu gue manggil dia seperti itu, tanpa tahu kalau kita cuma beda setahun) bermuara ke pertemuan kedua, ketiga, keempat, bahkan scene yang paling nggak gue duga selama gue menjadi manusia: tiap malem bisa tidur lelap di pelukan Rendra.

Ketemu sama Rendra jadi salah satu highlight paling membahagiakan seumur hidup gue. Setelah mengalami penolakan, kesedihan, kekecewaan, dan kepahitan yang kayak nggak ada habisnya.

Gue inget di pertemuan kedua, Rendra datang bawa sekotak permen yang kata dia 'nggak sengaja beli tadi di supermarket', padahal gue yakin dia merhatiin gue ketika beberapa kali papasan di dekat pantry dan gue lagi sibuk ngunyah permen kesukaan gue itu.

Dari situ aja, gue udah positif jatuh cinta.

Pertemuan-pertemuan dengan hadiah dan kejutan kecil dari Rendra yang bagi gue nilainya luar biasa itu berubah jadi pertemuan rutin kami selama seminggu sekali. Rendra akan kirim pesan teks ke gue di jam empat sore—dua jam sebelum pekerjaan dia selesai—dan gue akan senyum bahagia layaknya orang idiot selama nunggu dia selesai kerja.

Bareng Rendra, gue ngerasain definisi hidup yang sesungguhnya. Bikin gue kadang sedih kalau bayangin Jenita kecil nggak pernah seberuntung orang-orang di luar sana.

Rendra punya segudang cara untuk bikin gue merasa istimewa. Dia selalu tahu apa yang bisa bikin gue bahagia, pakai cara-cara yang mungkin menurut dia sederhana, tapi menurut gue justru jadi sesuatu yang mewahnya nggak terkira.

Fun-fact, Rendra adalah orang pertama yang sangat bangga manggil gue 'Jenita' tiap harinya. Plus ada bonus senyuman manis Rendra yang sanggup bikin siapapun langsung terdiagnosis diabetes.

Malam itu sebenernya sama kayak hari Jumat malam pada umumnya. Rendra ngajakin gue jalan untuk beli makanan Thailand favorit dia yang katanya untuk dateng ke sana aja, perlu booking beberapa bulan sebelumnya.

Naik mobil bagus Rendra, kita berangkat dari parkir basement kantor menyusuri jalanan besar yang dulu cuma sering mampir di angan gue—tanpa ngerti bahwa beberapa tahun berikutnya—si Jenita kecil yang udah hopeless itu, bisa jadi bagian dari penyumbang kemacetan di sana.

Aduh ... rasanya mau puk-puk Jenita kecil sambil bilang, 'sedikit lagi, ya. Kamu udah keren bisa terus-terusan kuat gini.'

Kita balik ke Rendra. Setelah memastikan gue makan dengan kenyang malam itu, memastikan juga bahwa gue udah dianterin dengan selamat balik ke kosan kecil gue, Rendra tiba-tiba kasih kecupan lama di pucuk kepala gue.

Gue nggak tahu apa yang terjadi sama gue saat itu ya, cuma yang gue tahu, gue tiba-tiba nangis. Tiba-tiba merasa emosional karena baru kali itu, gue ngerti betapa indahnya dicintai sama seseorang.

“Selama ini jalan bawa beban sendirian pasti berat banget buat kamu. Mulai sekarang bagi-bagi sama aku ya?” mata Rendra juga memerah malam itu.

Tanpa gue jawab pun, sebenernya Rendra juga pasti udah tahu kalau gue akan sangat mau untuk membagi semuanya bareng dia. Semuanya. Tanpa terkecuali.

Begitulah hingga akhirnya kami hidup tentram di apartemen Rendra sekarang, tiga setengah tahun dari malam itu. Dengan cinta yang masih sama gedenya kayak dulu, dengan semua cinta kasih Rendra yang seolah nggak ada habisnya untuk gue.

Gue nggak pernah tahu kapan semua ini selesai.

Bisa jadi, gue akan dibangunkan dari mimpi indah yang terlampau indah ini. Buat kembali ke hari-hari kelam Jenita kecil yang penuh racun pahit.

Bisa jadi, memang jatah bahagia gue cuma sebentar. Mungkin beberapa saat lagi, Rendra harus udah diambil dari gue untuk pergi sama orang lain yang lebih pantas bergandengan tangan dan berbagi resah sama dia.

Atau mungkin, Rendra nggak pernah ada. Dan Jenita cuma jadi angan-angan semu yang nggak pernah bener-bener gue nikmati hadirnya. Cuma imajinasi teman melamun siang hari seorang Jeno yang udah berpuluh tahun jadi penghuni rumah sakit jiwa nunggu hari kematiannya.

Untuk Rendra, gue cuma berharap kalau memang dia beneran ada, kalau gue bener-bener pernah jadi bagian berarti dari hidup dia, semoga suatu saat ada hal baik yang bisa dia ceritakan ke anak-anaknya tentang gue yang pernah jadi alasan dia senyum bahagia di masa mudanya.