antjoo

Dengusan kesal terdengar dari deru napas milik pria manis di dalam studio latihan. Donghyun, pria itu menatap layar ponsel yang sudah gelap. Tadi sebuah pesan singgah ke gawainya. Joochan, sang kekasih meminta waktu untuk merayakan ulang tahunnya. Sayangnya, mereka tidak bisa bersama. Kesibukan Donghyun berlatih dance membuat waktu kebersamaan terenggut.

“Maaf, Joo ...”

Hatinya berusaha ditenangkan. Lusa memang hari peringatan kelahirannya. Namun, kesibukannya tidak bisa disingkirkan. Donghyun dilarang untuk bersantai dan berbagi romansa karena sebentar lagi perlombaan akan digelar.

“Donghyun! Ayo, latihan!” suara Bomin menggelegar memecah lamunan.

Dengan langkah lunglai, Donghyun menyeret kakinya. Menggerakkan lagi tubuhnya sesuai dengan irama dan musik. Melepaskan pikiran kacau dengan perasaan bersalah yang menggelayut terutama pada Joochan.


“Woy! Ngelamun aja!” tepukan di bahu membuat Joochan agak gemetar. “Mikirin apa, sih?” imbuhnya berlanjut.

“Donghyun sibuk banget, padahal lusa ulang tahunnya dia. Salah gak kalo aku minta buat barengan sama dia? Ya, masa dia ulang tahun masih aja latihan, sih? Gak dikasih libur dulu gitu?” keluhnya kesal.

“Resiko, bro!” Jibeom kembali menepuk bahu sang sahabat. “Suruh siapa pacaran sama orang yang super sibuk? Coba cari waktu yang pas. Emang ulang tahunnya gabisa diulang, tapi bisa dirayain lain hari, kan?” lanjutnya.

“Mana bisa? Gak usah ngasal, deh!”

“Terus mau gimana? Kalo maksain juga percuma aja, malah jadi berantem, kan?”

Betul sekali. Sikap Donghyun selalu diliputi amarah jika keinginannya tak sejalan. Jika mereka malah saling membisu, tidak mungkin dapat merayakan ulang tahun bersama. Akan tetapi, jika tidak memaksa maka moment ulang tahun yang hanya satu tahun sekali pun akan musnah. Joochan enggan merayakan ulang tahun Donghyun di hari lain walaupun berdekatan.

“Tau, ah! Pusing!”

Joochan meninggalkan begitu saja sahabatnya. Berlari ke taman untuk menenangkan diri. Berpangku dagu dengan imajinasi tertuju pada hari ulang tahun kekasihnya. Semua rencana yang sudah dipikirkan matang, gagal total bahkan sebelum dilaksanakan. Miris sekali!

Dalam bayang lamunan, Joochan berkerut kening. Bola matanya terus bergulir sembarang. Menggelinding ke kanan dan kiri dengan sorot yang tajam. Selesai bergelut dengan pikiran sendiri, Joochan menatap jam tangannya.

“Masih banyak waktu!”

Dia langsung menarik diri dari taman. Sebuah inspirasi tetiba saja datang dalam benaknya. Jika rencana awalnya gagal, maka tidak ada salahnya membuat rencana lain. Dia hanya ingin berusaha memberikan yang terbaik ketika peringatan kelahiran kekasihnya tiba. Selain itu, semuanya harus berkesan baik, tanpa ada amarah dan kekesalan.

Sebuah mall yang cukup ternama berhasil dipijak. Joochan langsung berkelana sendirian mencari barang untuk diberikan pada kekasihnya. Dia berniat untuk mencari beberapa barang untuk menggantikan dirinya saat hari ulang tahun nanti. Tidak bisa dipungkiri, nanti memang mereka tak diizinkan bersua.

Senyuman tersungging beserta dengan beberapa tas jinjing. Posturnya kembali berlari karena dia tengah bersemangat untuk merangkai kadonya seorang diri. Rencananya terus dipikirkan dalam perjalanan pulang. Dengan waktu yang menghimpit, dia ingin agar keinginannya berjalan sempurna.

Keesokan harinya, fajar sudah menyapa. Alarm memekikkan telinga tetapi tubuh Joochan tak bergerak. Kasurnya habis berantakan oleh kertas kado dan perekat. Jangan lupakan pita yang terlihat masih menggulung di tangannya.

“Joochan, bangun! Itu alarm daritadi nyala!”

Joochan melenguh. Teriakan sang ibunda akhirnya jadi alarm terampuh untuk membangunkan dirinya. Bukan tanpa alasan alarmnya tak terdengar. Dia rela begadang demi mempersiapkan kado terindah untuk Donghyun.

Seiring mata yang mengerjap, Joochan menyipit. Perlahan matanya terbelalak karena ternyata waktu sudah mencekik. Pagi ini seharusnya dia bertemu dengan Bomin, sahabat kekasihnya. Jika tidak bertemu, rencananya bisa saja gagal.

“Gawat! Telat, nih! Semoga aja Bomin belum berangkat.”

Kakinya bergerak bak kilat. Bersiap dan bersolek kemudian menyabet kunci kendaraannya. Melaju kencang ke rumah Bomin tanpa janji terlebih dahulu. Hal itulah yang membuat jantungnya berdegup. Dia takut kehilangan waktu bertemu dengan Bomin karena paginya yang terlambat.

“Bomin!”

Bodoh sekali, Joochan. Dia berteriak saat sepeda motor Bomin sudah menjauhi rumah. Joochan datang sedikit terlambat. Bomin sudah terlanjur mengendarai sepeda motornya dan meninggalkan rumahnya.

“Sial!”

Klakson terus dibunyikan. Sayangnya, Bomin tidak sadar jika rengekan klakson itu tertuju padanya. Dia terus saja bersiul menikmati perjalanan paginya untuk berlatih. Tak ingin terlalu lebar jarak, Joochan mempercepat laju mobilnya dan menahan motor Bomin.

“Woy!” rem diinjak sigap karena jalannya dihalangi oleh mobil asing.

Si pengemudi memperlihatkan batang hidungnya. Joochan menghampiri dengan box besar di tangannya. Berlari dengan napas yang terengah karena dia takut jika malah kecelakaan yang terjadi. Syukurlah, kenekatannya tidak berbuah bencana.

“Ada apa, sih? Gak harus kayak gini caranya! Bisa telpon, kan?” Bomin geram.

“Gak kepikiran, maaf ...” Joochan merasa bersalah.

“Ada apa? Aku telat, nih!” Bomin cukup kesal. “Mau ketemu Donghyun? Ke studio, lah! Bukan malah ngehalangin jalan orang lain!” sambungnya ketus.

“Titip ini buat Donghyun”

Joochan mengulurkan box yang cukup besar. Bomin menerimanya tetapi benaknya tak henti berpikir.

“Ini apa?”

“Donghyun besok ulang tahun. Dia bilang hari ini latihannya sampe malem, jadi aku titip aja kadonya. Kamu tau sendiri kalo lagi capek Donghyun suka gak mau ketemu.”

“Aku kasih besok?” serunya kebingungan.

“Jangan!” Joochan mengulurkan tangannya. “Kasih selesai latihan aja, tapi bilang sama dia bukanya pas tengah malem, okay?” anggukan diberikan dan membuat Joochan tersenyum.

Misi pertama selesai. Selanjutnya dia akan mengunjungi rumah sang pacar. Joochan sangat yakin jika Donghyun sudah meluncur untuk berlatih. Tapi, tak apa, dia memang tidak berencana untuk bertemu Donghyun. Rencana lainnya harus segera dioperasikan pada si pembawa misi. Target selanjutnya adalah Minchan, adik Donghyun.

Perjalanan masih berusaha ditempuh. Setelah tadi susah payah bertemu Bomin, mobilnya masih diberikan tugas untuk pergi ke rumah Donghyun. Untung saja kali ini tidak terlalu banyak tantangan. Jalan raya cukup bersahabat dengannya karena kemacetan tidak melanda.

Selepas berpenat dengan aspal dan debu jalanan, Joochan akhirnya sampai. Dia mengetuk pintu beberapa kali sampai terlihat salah satu penghuni rumah. Kedua sudut bibir langsung ditarik manis kala Minchan menampakkan diri.

“Eh, Kak Joochan?” rautnya kebingungan. “Kak Donghyun udah pergi daritadi,” tambahnya mengingatkan.

“Gapapa, kakak mau ketemu kamu, kok ...”

“Aku? Ada apa, Kak?”

Joochan segera merogoh tasnya. Memberikan kotak indah lainnya untuk diberikan pada Donghyun. Setelah kadonya berpindah tangan, Minchan agak kebingungan.

“Kenapa?”

“Ini buat Kak Donghyun?”

“Iya, besok kakak kamu ulang tahun, kan?” Minchan hanya mengangguk. “Terus? Kok, bingung gitu?” sambungnya kebingungan.

“Aku mau pergi, Kak. Kebetulan ada acara di kampus nanti sore. Tapi, di rumah juga gaada siapa-siapa. Ini kadonya gimana, dong? Aku gak pulang soalnya, Kak ...”

“Ayah sama bunda kemana?” tanya Joochan penasaran.

“Ke rumah nenek, Kak. Katanya nenek kangen pengen ketemu, aku sama kakak juga disuruh ikut cuma kita gak bisa, jadinya cuma ayah sama bunda aja yang pergi,” jawabnya detail. “Makanya tadi pagi kita sekalian kasih kejutan aja buat Kak Donghyun,” ungkapnya kemudian.

Mencermati pernyataan tadi, Joochan kembali dilanda kegalauan. Rencananya harus berhasil. Namun, jika Minchan tidak dapat bertemu Donghyun. Maka kadonya tidak akan bisa sampai dengan selamat.

“Kenapa kakak gak kasih sendiri, sih? Kak Donghyun pasti seneng kalo kakak kasih langsung.”

Joochan menggeleng, “kakak kamu gak mau ketemu dulu. Kakak juga gak mau ganggu, sih. Nanti konsentrasinya malah buyar. Kakak juga gak mau kalo ketemu cuma sebentar.”

“Dasar bucin!” lirih Minchan dalam hati. “Terus ini gimana, Kak?” tanyanya lantang.

“Kakak kamu pulang malem, kan? Simpen aja di kamarnya. Semoga besok dia nyadar kalo ada kado dari kakak, okay?”

“Yaudah, aku langsung simpen di kamarnya Kak Donghyun aja kalo gitu.”

Usai berpamitan, Joochan beristirahat sejenak. Kali ini saatnya menunggu. Segenap perasaan dan kerinduannya telah diungkapkan semua dalam kado dan kartu ucapan. Dia hanya tinggal menunggu respons baik dari Donghyun. Harapnya terpanjat supaya Donghyun menyukai kejutan dari Joochan walaupun mereka tak bertemu.


Donghyun membanting tubuhnya di lantai. Kedinginan keramik tak mengalahkan dirinya karena keringat habis membasahi tubuhnya. Napas berusaha diatur dahulu sembari mengulurkan tangan menuju ponsel. Layar ditekan dua kali supaya menyala, tetapi tak ada satu pesan atau panggilan apapun dari Joochan.

“Kamu marah, ya, Joo?” lirihnya pilu.

Ulang tahunnya tinggal satu jam lagi. Namun, dia dan Joochan masih belum berkomunikasi. Kerinduan mulai menyeruak, tetapi Donghyun tak berdaya melakukan apapun. Tubuhnya terlalu remuk untuk berlari menemui Joochan. Lagipula dia juga enggan mengganggu waktu istirahat kekasihnya.

“Hyun!”

Bomin mendekat. Kado dalam dekapan cukup mencurigakan tetapi Donghyun enggan terlalu percaya diri. Dia hanya menunggu sampai sahabatnya mendekat.

“Apa?”

“Nih!” bungkusan cukup besar diberikan pada sang empunya. “Dari Joochan ...” lanjutnya memberitahu.

“Joochan? Kapan kalian ketemu?”

“Tadi pagi, aku cuma disuruh ngasih ini, sih. Katanya buka aja pas tengah malem.” Donghyun tersenyum pilu. “Btw, happy birthday, ya ...” sambungnya sembari menepuk pundak Donghyun.

Niat untuk pulang diurungkan. Dengan penuh penasaran, Donghyun menunggu hingga hari ulang tahunnya tiba. Duduk termenung sendirian di pojok studio yang sepi. Tatapannya penuh rasa penasaran dengan atensi penuh pada kado besar dari Joochan.

00.00 Tepat tengah malam. Donghyun menarik napas pelan sembari memejamkan mata. Umurnya kini sudah bertambah. Selepas memanjatkan doa dan harapan, tangannya bergerilya menyentuh kado demi membunuh rasa penasaran.

Box terbuka. Isinya belum terlihat. Hanya ada bubble foam sepanjang pandang. Sebelum merogoh isi kadonya, Donghyun terpikat pada sehelai kartu. Epilognya cukup manis, dia merasakan kehangatan Joochan walaupun berjauhan.

Happy Birthday, sayang Gimana kabarnya? Baik, kan? Maaf aku gak bisa kasih kadonya sendiri. Kamu juga sibuk, aku gak mau ganggu kamu, sayang

Donghyun, kamu tahu? Kata orang Februari itu bulan penuh kasih sayang. Awalnya aku gak mau percaya itu, tapi perlahan aku setuju. Februari memang penuh rasa sayang karena sudah mengirimkan pria manis untuk berbagi kasih sayang sama aku. Iya, itu kamu. Terima kasih sudah rela berbagi kasih sayang hanya denganku. Bahagia terus sama aku, ya, sayang ...

Bukan tanpa alasan kamu lahir tanggal 23. Katanya nomor 23 itu pembawa hoki. Aku percaya banget, kamu memang pembawa keberuntungan, apalagi buat aku. Beruntung banget semesta kasih kamu buat aku.

Donghyun, katanya 23 juga membawa aura yang positif. Angka itu membawa pesan untuk mendorong bakat yang lebih kreatif. Pantes aja kamu suka ngedance, ya? Ternyata memang aura itu nyampe ke kamu. Aku selalu dukung apapun yang kamu suka, sayang.

Oh iya, aku punya sesuatu buat kamu. Khusus buat kamu, sayang. Sekali lagi, happy birthday and I Love You.

With Love, Hong Joochan

Air mata tiba-tiba saja menetes. Donghyun tidak menyangka jika Joochan bisa melakukan hal manis seperti ini. Dalam ribuan bubble foam warna warni, tangan Donghyun langsung menerobos. Mengambil barang pertama yang segera diangkat agar terlihat.

Parfum, barang pertama yang berhasil dirogoh. Senyumnya tersungging ketika melihat notes tertempel disana.

“Kamu tau ini parfum aku, kan? Jangan lupa dipake biar inget terus sama aku,” lirihnya membaca kartu ucapan dari Joochan.

Setelah menyemprotkan sedikit parfumnya, Donghyun kembali mencari kado dalam butiran bubble foam. Dia menemukan kembali kado yang memiliki tempelan kartu.

“Dompet? Kamu ngasih lagi dompet, Joo?” tetiba saja protes menggelegar.

Kartu yang tertempel hanya mengirimkan pesan untuk membuka dompet. Ternyata, di dalamnya terdapat salah satu foto kebersamaan mereka berdua. Amarah Donghyun langsung mereda. Joochan memang sangat manis.

“Masih ada lagi gak, ya?”

Donghyun kembali mencari harta karun yang terkubur. Ternyata masih ada kado untuknya. Tangannya segera menyergap dan menampakkan di depan matanya.

“Pake jaketnya, sayang! Kamu suka lupa bawa jaket, jangan sampe sakit!” tawa meledak ketika Donghyun membaca kembali ucapan dari sang kekasih.

“Makasih, Joo ...”

Melihat waktu yang semakin gelap, Donghyun membereskan terlebih dahulu harta karunnya. Membawa semuanya tanpa tersisa. Mendekap dengan hangat seakan memberikan pelukan untuk Joochan.

Niat hatinya ingin sekali bertemu dengan Joochan. Tetapi, waktu tidak memungkinkan. Ini sudah tengah malam, Joochan sepertinya sudah terlelap. Biarlah, Donghyun berusaha untuk bersabar sampai waktu bisa melenyapkan kesibukannya.

Setelah beberapa menit menempuh perjalanan, Donghyun tiba di rumahnya. Sepi, begitulah keadaannya. Jelas saja, Minchan memang tidak pulang. Begitu juga dengan kedua orang tuanya.

“Ah! Akhirnya bisa rebahan juga ...” teriaknya lega.

Sambil menggeliat, Donghyun mengarahkan pandangnya ke nakas. Dia melihat bungkusan yang asing. Padahal sedaritadi dia berada dalam kamar, tapi tak menyadari jika bungkusan tersebut mematung disana.

Catatan yang tertempel di meja dilepas. Tulisannya dibaca saksama hingga membuatnya menaikkan alis terkejut.

Kak, ini ada titipan dari Kak Joochan. Maaf, aku simpen disini. Aku buru-buru. Happy birthday, Kak. -Minchan-

Kado yang terbungkus rapi diputar dulu berulang kali. Donghyun tak mengira jika kejutannya masih berlanjut. Tak menunggu lama, Donghyun perlahan menyobek kertas yang menyelimuti kadonya.

Ada lagi kartu ucapan yang manis dan wangi.

Sayaang, kaget gak kadonya ada lagi? Aku cuma mau bilang makasih kamu sudah dilahirkan ke dunia. Makasih banget sudah mau berbagi romansa sama aku. Makasih sudah menyingkirkan ribuan orang yang mengharapkan kamu dan memilih aku. Makasih, sayang

Ini ada hadiah terakhir buat kamu. Gak spesial mungkin, tapi semoga aja cocok sama kamu.

Jam tangannya aku beli khusus buat kamu, sayang.

Donghyun, can I have your time forever? I want to be with you always, I Miss You.

Donghyun tertegun. Pesan dari kekasihnya seakan menamparnya dengan lembut. Jam tangan pemberian Joochan langsung dipakai. Pun dengan jaket yang tadi dijadikan hadiah untuknya. Donghyun berlari kembali ke kendaraannya. Membelah jalanan untuk bertemu dengan Joochan.

Waktu udah semakin malam. Dingin semakin menyergap. Sesampainya di rumah Joochan, tangannya langsung terangkat untuk mengetuk pintu. Mengabaikan waktu istirahat yang sebenarnya sangat dia butuhnya. Namun, kekasihnya pun tidak bisa diabaikan begitu saja. Tak bisa dipungkiri, Donghyun pun ingin bersama dengan Joochan saat ulang tahunnya.

“Donghyun?”

Setelah pintu terbuka, Joochan terkejut. Dia tidak menyangka reaksi Donghyun malah nekat menemuinya tengah malam. Tak memberikan diksi apapun, Donghyun langsung memberikan pelukan erat.

“Sayang? Kenapa gak ngabarin aku?” ucapnya lembut dengan elusan pelan di surai Donghyun.

“Aku ganggu kamu, ya? Maaf ...”

“Engga, sayang. Masuk, yuk?”

Mereka sudah berada berdua di dalam kamar. Sialnya, Joochan tidak menyiapkan kue ulang tahun. Dugaannya meleset, dia tidak menyangka jika Donghyun akan menemuinya saat malam buta. Tadinya dia akan memberikan kue saat matahari tersenyum.

“Aku belum beli kue, sayang. Aku kira kamu mau ngechat aku kalo kadonya udah diterima. Eh, malah kesini ...”

“Gapapa. Aku kangen ...” lirihnya manja.

Joochan mengusak pipi kenyal Donghyun. Mencium habis kedua sisi wajah kekasihnya tanpa ampun. Si pria manis hanya tersenyum kegelian hingga melupakan kepenatan yang terjadi saat harus bergelut dengan waktu berlatih.

“Maaf, Joo ...” ujarnya setelah kecupan berakhir. “Aku terlalu sibuk sampe kita jarang ketemu,” imbuhnya menyesal.

Joochan menggeleng sambil tersenyum, “Aku dukung apapun yang kamu suka, sayang. Ya, aku kesel, sih, soalnya kamu nolak ketemu aku hari ini. Cuma memang kamunya juga sibuk, aku ngerti, sayang.”

Donghyun enggan terlalu banyak memberikan permohonan maaf. Dia langsung bergerak memberikan bukti jika dia menyesal. Kepalanya perlahan mendekat dan menempel di bilah bibir kekasihnya. Matanya pun terpejam menikmati kehangatan yang telah lama tak dia rasakan.

Joochan tersenyum. Ciuman manis itu memang sudah lama dia rindukan. Kala Donghyun hendak mengakhiri ciumannya, Joochan sigap menahan tengkuk Donghyun. Suasana panas langsung menyeruak. Joochan memberikan lumatan lembut yang membuat Donghyun melambung.

“Happy birthday, Donghyun sayang ...” ucapnya di tengah kecupan.

Donghyun tersenyum manis. Meraup oksigen sejenak kemudian melanjutkan kembali kecupan manis nan indah. Mengelus setiap inchi tubuh kekasih yang dirindukannya. Tengah malam yang dingin, tak akan mampu mengusik kebersamaan mereka.

FIN

Natal tak menjadikan hatinya tentram. Tak menjadikan bahagia tersemat. Tak jua mengirimkan keindahan romansa. Semuanya sirna, terhalang pengkhianatan busuk pria tak bertanggung jawab.

Di dalam gereja, seorang pria mungil malah tertunduk lesu. Malam natal yang seharusnya membuat lengkung senyum semakin manis, malah mengirimkan mimpi buruk tak berujung. Hatinya retak atau mungkin sudah berbentuk potongan tak berbentuk.

Pria yang dicintainya malah menikamkan benda tajam tepat di jantung. Melumpuhkan nadi cintanya dan menusuk tepat di gundukan penuh cairan. Membuatnya tumpah dan membasahi kedua pipi kenyal. Ketika kepala tertunduk, tangisnya makin saja terisak.

“Emang bener kata mereka, Bomin brengsek!” batinnya menggerutu.

Sembari menyeka air matanya, pria manis itu berdiri. Memberikan sorotan tajam pada Tuhan yang dia percayai. Merutuki nasibnya sendiri yang sangat payah dalam urusan percintaan. Kepalannya melulu tertuju di dada, sesaknya sangat terasa.

“Sekali aja! Tolong...” lirihnya memelas. “Biarkan aku bahagia!” lanjutnya pelan.

Tubuhnya tak bisa lagi menopang diri sendiri. Kakinya terlipat hingga menduduki keramik yang dingin. Wajah nan mungil ditutup telapak agar isak tertahan. Beruntunglah dia karena gereja sudah sepi.

“Aku juga mau bahagia kayak orang lain...” ucapnya susah payah dengan tenggorokan yang sakit karena menahan tangisan. “Apa aku diciptakan untuk tidak bahagia? Hah?” teriaknya melengking.

Setelah mengadu kisah menyesakkan dengan Tuhan, Donghyun berdiri. Mencoba tegar di tengah kegetiran kehidupannya. Berjalan lunglai menuju celah pintu agar desir angin sedikit menerpa. Dia sangat membutuhkan oksigen lebih banyak agar hatinya agak menenang.

Sayangnya, kemalangan kembali menimpa dirinya. Seorang pria tinggi datang tanpa berikrar dengannya. Berjalan tergesa dengan raut menyeramkan. Lajunya semakin cepat kala Donghyun berada dalam jarak pandangnya. Ayunan tangan nan keras mengenai wajah mulus Donghyun sesaat setelah jarak menipis.

“Kurang ajar!” teriaknya gemetar.

Tak ada pergerakan apapun, Donghyun hanya menangis. Satu telapaknya menutupi merah di pipi. Tamparan itu seharusnya bukan ditujukkan padanya, melainkan Bomin.

“Jauhin Bomin! Kita udah tunangan!” si pria jangkung itu memperlihatkan cincinnya tepat di wajah Donghyun. “Gak usah kegatelan, deh! Cari cowok lain, jangan Bomin!” sambungnya sembari mendorong Donghyun hingga tersungkur ke aspal.

“Bomin yang salah! Bukan aku!” teriaknya tak terima.

“Ngeyel banget, sih?”

Satu tamparan hendak menyapa kembali pipi kenyal Donghyun. Namun, kali ini keberuntungan agak mendekat. Seorang pejalan kaki menyelamatkannya dari huru hara romansa yang tak berkesudahan. Kedua mata yang terpejam perlahan terbuka karena penasaran dengan kenyataan yang terjadi.

“Kamu siapa?” geramnya penuh emosi.

“Aku?” hempasnya sambil menjatuhkan tangan si pria. “Pacarnya dia...” lanjutnya enteng.

“Oh! Jadi selama sama Bomin kamu juga pacaran sama bocah ini?” tuduhnya tak beralasan.

“Kak Youngtaek, cukup!” amarahnya memuncak. “Aku gak pernah tau kalo Bomin ternyata udah tunangan, Kak! Dia bilang sendiri kalo dia masih sendiri! Dia bahkan gak ngakuin kakak sebagai tunangannya dia! Jangan nyalahin aku terus, dong!” sambungnya kesal.

“Gak usah banyak alesan!” Youngtaek kembali kehabisan stok sabar hingga tubuhnya mendekati Donghyun dengan laju tak santai.

“Eits!” Joochan tetiba saja berada di antara mereka. “Pergi!” ancamnya tegas.

“Kamu...”

Joochan mengangkat tangannya tegas, “pergi! Jangan ganggu pacar aku!”

Youngtaek melempar kepalannya kesal. Rautnya masih merah. Emosinya semakin mendidih, terlihat dari gertakan giginya yang gemetar. Donghyun bisa menarik napas panjang. Walaupun sepercik, keberuntungan datang menghampirinya.

“Are you okay?” Joochan menunduk agar sejajar dengan pria yang baru pertama kali ditemuinya.

Donghyun hanya mengangguk. Cengkraman di bahunya malah ditepis kasar. Kakinya langsung berjalan lunglai. Jangan lupakan telapak tangannya yang terangkat guna memberitakan jika dia ingin sendirian. Bantuan tersebut lenyap tanpa ucapan terima kasih.

Kira-kira sepekan telah berlalu. Donghyun berusaha membangunkan tubuhnya. Sudah terlalu lama dia membusuk di kasurnya, tanpa aktivitas dan perbincangan basa-basi. Kali ini untuk pertama kalinya dia akan memperlihatkan kembali dirinya pada semesta.

Gerbang raksasa yang merupakan awal mula belenggu ilmu sudah dilewati. Laju dibuat sangat pelan karena belum siap bertemu dengan banyak sosok. Pipinya mendadak berwarna merah lantaran malu yang tertahan. Bayangan buruk perseteruan dirinya dan Youngtaek pernah dipertontonkan di depan fakultasnya. Tentu saja dengan teman-temannya sebagai penonton.

Donghyun masih mengingat dengan jelas tamparan keras yang membuat pipinya lebam. Sumpah serapah tak berakal serta tuduhan tanpa bukti yang meruntuhkan harga dirinya. Padahal Donghyun tidak melakukan kesalahan apapun. Pikat rayu Bomin berhasil memperdaya, dia juga melabeli dirinya sebagai single tanpa seseorang dalam hati.

“Donghyun!”

Lambaian dari sahabatnya menghentikan laju. Senyumnya melengkung tipis sementara tubuh menanti sahabatnya mendekat. Rangkulan tersemat seiring menipisnya celah. Langkah dan sudut pandang mereka kali ini sama.

“Kamu baik-baik aja, kan?” sang sahabat berucap dengan nada khawatir.

“Udahlah, Jibeom! Gak usah dibahas!”

Anggukan setuju diperlihatkan, Jibeom enggan menggores kembali luka yang belum mengering. Kembalinya Donghyun cukup membuatnya bahagia. Urusan percintaan disingkirkan terlebih dahulu.

Namun, harap tinggallah harap. Kaki mereka tak lagi mengarungi jalanan. Keduanya terpaku pada sosok antagonis dalam kehidupan Donghyun. Pria menyebalkan dengan berbagai alibi yang menyesatkan menghadang Donghyun dan Jibeom.

“Hyun, dengerin aku dulu!” sergapnya sigap.

“Stop! Urusin Kak Youngtaek aja! Kita gak pernah kenal, Bomin!” sanggahnya sembari berlalu.

Sayangnya, Bomin dan Donghyun bernaung di kampus yang sama. Walaupun hati menolak, pertemuan tak akan bisa dielakkan. Terlebih jika perjuangan Bomin sangat membara. Alhasil, Donghyun harus menelan pil pahit karena beradu pandang kembali dengan Bomin.

“Aku sayang sama kamu...”

“Cukup!” teriakannya melengking. “Aku gak mau sama kamu!” penekanannya tegas.

“Hyun!”

Genggaman dihempaskan, “apa, sih?”

Kepergian Bomin dihentikan oleh Jibeom. Penghentian waktu dimanfaatkan oleh Donghyun untuk melarikan diri. Proses mengelak tak berjalan mulus, dia malah menabrak seorang pria yang juga sedang kehilangan fokus karena mencari sebuah tempat.

“Aw!”

Donghyun tersungkur. Badannya terhempas di jalanan karena postur pria tersebut agak lebih besar darinya, pun dengan kekuatannya. Mujurnya dia, pria tersebut cekatan mengulurkan bantuan. Sehabis jemari bergenggaman, pandangan mereka bertemu hingga saling berkerut dahi.

“Kamu?” Donghyun menyadari raut yg tak asing.

“Oh?” telunjuknya ikut menyadari pertemuan. “Kita ketemu lagi,” sambungnya antusias.

Senyuman melentur manis. Donghyun tentu saja tak asing dengan pria yang memberikannya bantuan saat terhimpit bersama Youngtaek. Sepercik perasaan pun terasa karena terima kasih belum sempat terlontar.

“Makasih,” lanjutnya manis.

Joochan melebarkan sudut bibirnya, “nyantai aja.”

Kembali terulang, Donghyun berusaha menjauhkan diri dari Joochan. Kali ini karena memang waktu menghantuinya. Jika tetap diam bersama Joochan, Bomin pasti akan menemukannya dengan cepat.

“Eh, tunggu!”

Donghyun berbalik karena panggilan yang menurutnya menyebalkan, “ada apa?”

“Aku Joochan...”

Uluran tangan hanya ditatap canggung. Beberapa detik dihabiskan hanya untuk bergelut dengan pikiran. Berbagai peristiwa menaburkan kecemasan, padahal situasi tersebut belum tentu terjadi.

“D-Donghyun...” gagapnya ketakutan karena Bomin menemukan keberadaan dirinya hingga membuatnya berlari.

“Eh, kamu kenapa?” sergapnya.

Bak menemukan jalan buntu, Donghyun tak dapat melaju. Masih dengan genggaman erat di jemarinya, Donghyun menyembunyikan kemungilannya pada postur Joochan. Paham dengan isyarat yang diberikan, Joochan langsung menjadikan tubuhnya sebagai garda depan.

“Minggir!” usir Bomin.

“Ada urusan apa sama pacar aku?” ucap Joochan seenaknya.

“Pacar?” jawabnya terkejut. “Gak usah bohong, deh. Dia punya aku! Minggir!” tambahnya berapi-api.

Keterkejutan melebar, bukan hanya Bomin tetapi Jibeom pun merasakannya. Namun, dia hanya diam. Lebih tepatnya menunggu penjelasan dari sahabatnya. Selain itu, dia juga masih berusaha menyingkirkan keberadaan Bomin di hadapan Donghyun.

Perseteruan semakin memanas. Joochan dan Bomin seakan bersiap naik ring. Keduanya bak petinju profesional yang sudah menggunakan sarung tangan keberuntungannya. Mereka akan memperebutkan Donghyun sebagai reward utama yang sangat berharga.

Pertikaian itu hampir saja terjadi jika Youngtaek tidak datang. Napas ketenangan telah didapat, tetapi umpatan dan cacian pasti akan menaungi Donghyun kembali. Beradanya Bomin di dekat Donghyun akan menjadikan percikan api yang berbahaya, apalagi Youngtaek yang memergoki secara langsung.

“Bomin! Ngapain kamu disini? Aku udah bilang, kan? Tinggalin Donghyun!” imbuhnya tegas.

“Kok, bisa disini?” ujarnya terkejut.

“Kalo kamu masih disini kita putus!” bola mata Youngtaek hampir keluar. “Kamu gak liat dia udah sama cowok lain, hah?” terusnya meninggi.

Joochan sepertinya sudah mengerti dengan berbagai tanda dan isyarat yang diberikan Donghyun. Pertengkaran Youngtaek dan Bomin juga menjadi kode terbesar baginya. Masalah yang dihadapi masih sama, begitu kiranya kesimpulan yang diambil Joochan.

Beralih pada Bomin dan segala keterkejutannya. Genggaman sang tunangan dihempas lembut dengan lesatan kaki mendekati Donghyun. Sengatan ketajaman bola matanya menusuk pandangan. Namun, Joochan tetap menjadi garda terkuat bagi Donghyun.

“Hyun, sejak kapan kamu sama dia?” tuturnya tanpa basa-basi.

Sembari berlindung di belakang Joochan, Donghyun mencengkram ujung pakaian Joochan. Bernapas penuh beban dengan jemari agak gemetar. Mantan kekasihnya enggan diberikan alihan perhatian. Donghyun bak tahanan yang ingin segera melarikan diri.

“Gak usah ikut campur! Urusin dia aja! Okay?” cakap Joochan penuh penekanan.

“Hyun! Kamu gak mau jelasin ini semua?” emosi mengelilingi hati Bomin sekarang.

“Jelasin kamu bilang?” Joochan melangkah sedikit. “Pergi! Gak usah ikut campur urusan aku sama Donghyun,” katanya membahana.

Tanpa berpeluh diksi, Youngtaek menyeret Bomin kembali. Menariknya menjauh bahkan dari kehidupan Donghyun. Untuk saat ini, Donghyun dapat kembali menghirup kebebasan. Sekali lagi, Joochan berhasil menyelamatkan hidupnya.

Bomin dan Donghyun sudah berjarak ribuan kilometer. Mustahil mereka dapat berdekatan kembali karena Youngtaek pasti akan sigap mengawasi. Berbagai ucapan terima kasih telah diberikan untuk Joochan. Pertemuan kedua ini mungkin menjadi keberuntungan lain bagi Donghyun.

“Kamu kuliah disini?” kali ini Jibeom yang penasaran.

Joochan mengangguk, “ya, kebetulan baru pindah. Ini kebetulan lagi nyari fakultas seni, kalian tau?”

Dengan senang hati mereka mengantar Joochan. Sang penyelamat diantarkan ke tujuan tanpa kekurangan. Dalam perjalanan, tatapannya melulu tertuju pada Donghyun. Sudah terduga, pria itu berhasil merenggut kekosongan hati Joochan. Tak bisa dipungkiri, pertolongan awalnya adalah awal penyemaian benih romansa.

Setelah sampai di destinasi, Joochan membungkuk. Memberikan penghormatan terakhir dan senyuman manis. Donghyun dan Jibeom pun tak banyak beretika formalitas. Mereka hanya berpisah sembari memberikan kesan positif.

“Padahal dulu aku cuma liat kamu di gereja, ya...” batinnya bercerita manis seiring kepergian dua sahabat. “Sampai ketemu lagi, Hyun,” imbuhnya senang.

Joochan, pria yang memberikan keberuntungan bagi Donghyun, cukup memberikan kesan awal yang kuat. Pertolongan kedua hari ini semakin meyakinkan Donghyun bahwa harapan natalnya segera terkabul. Walaupun hanya sandiwara, dia yakin jika Bomin tidak akan memiliki keberanian mendekat. Berkat Joochan, dia bisa menghirup oksigen dengan sangat bebas.

“Makasih, Joochan...” lirihnya saat menjauh.

Donghyun, awal pertemuannya tak sengaja di sebuah gereja. Sayangnya, saat itu Bomin menggenggam erat tangannya. Waktu berjalan cukup cepat, sampai akhirnya Joochan melulu melihat Donghyun dan kesendiriannya. Entah sihir apa yang dimiliki Donghyun, tetapi pria itu berhasil membuat romansa bersemi di hati Joochan.

Tegur sapa penuh basa-basi tak berani dilayangkan. Berbagai drama berkedok modus pun enggan dilakukan. Joochan merasa jika Donghyun bukanlah pria sembarangan. Akhirnya dia memutuskan memilih waktu yang tepat untuk mendekati Donghyun.

Datanglah perseteruan hebat antara Donghyun dan Youngtaek. Bukan waktu yang tepat, tetapi Joochan merasa dia harus melindungi pria manisnya. Tangisan tak berhak mengalir di pipinya. Walaupun hanya drama tak berkelas, Joochan berhasil berada di sisi Donghyun.

“Sampai bertemu lagi, Donghyun...”

Kisah romansa baru akan segera tertulis. Lembaran baru kehidupan percintaan Donghyun akan dipenuhi dengan bunga yang bermekaran. Setiap hari dia akan mendengarkan biola merdu yang mesra. Joochan siap menjadi pria yang akan mewujudkan semua harapan natalnya.

FIN

Bergabung dengan bangsa manusia cukup membuat Hong Joochan tenang. Tidak ada perseteruan yang membuat kepala meledak. Hatinya terlalu bersih untuk bergabung bersama kaumnya. Berbagai alibi ditumpahkan demi mendapatkan izin dari sang penguasa kaum. Akhirnya, dia berhasil keluar dari berbagai tatanan kehidupan sebagai bangsa serigala.

Jika bisa memilih takdir, sebetulnya dia enggan menjadi bangsa serigala. Hatinya terlalu lembut, bahkan berburu pun enggan. Bangsanya memang tidak pernah mengganggu ketentraman manusia. Namun, jika keberadaan mereka terhimpit tentu saja jalan kekerasan yang diambil.

“Joochan, inget!” ujaran terhenti karena rasa sakit masa lalu yang belum usai. “Jangan pernah jatuh cinta sama bangsa Nar! Kenal juga jangan! Inget apa yang pernah mereka lakukan sama bangsa kita, kan?” lanjutnya.

“Iya, Kak Dae. Bawel, ah!” jawabnya malas karena mendengar perkataan yang berulang.

“Sering-sering main kesini!” pekiknya.

Tak ada respons, Joochan hanya mengacungkan ibu jarinya sembari berlalu. Dia sudah selesai menengok sanak saudaranya. Bangsa Ilma tentu saja sangat merindukan kedatangan Joochan, maklumlah dia merupakan salah satu putra dari sang raja. Selain itu, sifatnya yang lembut dan gemar menolong pun dirindukan oleh pengikutnya.

Alasan terbesar bangsa Ilma dan Nar tidak bisa bersatu adalah dendam masa lalu. Dahulu bangsa Nar pernah melakukan pembantaian di salah satu desa. Nahasnya, terdapat beberapa bangsa Ilma disana. Kematian tidak bisa dihindari hingga akhirnya balas dendam merupakan jalan terakhir.

Sebetulnya beberapa tahun terakhir ini kedua bangsa itu hanya mematung. Mereka tak pernah menyulut atau bahkan melemparkan genderang perang. Semua hal mereka lakukan masing-masing, tak pernah bersenggolan. Namun, berbagai petuah terus didengungkan agar terus menjauh. Jika bersenggolan sedikit saja, perang pasti akan dimulai.

Serupa dengan arti namanya, Ilma berarti air dan Nar artinya api. Kedua bangsa ini tidak akan pernah bisa bersatu. Mereka seakan tidak mengenal diksi maaf dan pengampunan. Jika berurusan, tentu saja hanya emosi dan dendam yang menyembul.

“Donghyun!”

Satu kepala berputar karena sapaan yang memekik. Donghyun, pria paling manis seantero kampus, sedang duduk ditemani bunga berseri yang semerbak. Senyumnya terlukis sesaat setelah si pemanggil mendekat.

“Katanya kamu pulang, Joo? Kok, udah balik ke kampus aja?”

“Jangan lama-lama, lah. Nanti kamu kangen,” godanya sembari menempelkan telunjuk di hidung Donghyun.

“Engga, lah. Mana ada kangen...” godanya balik. “Eh, keluarga kamu gimana kabarnya?” sambung Donghyun.

“Ayah baik, kakak juga baik... terus...”

“Kapan aku mau diajak ketemu mereka?” ujarnya memotong.

Joochan membisu sejenak, biji matanya menelisik ke arah manik sang kekasih. Mereka sudah berhubungan sangat lama, tetapi memang belum pernah dikenalkan dengan keluarga kedua belah pihak. Setelah waktu melamun cukup menyita, Joochan perlahan menarik kedua sudut bibirnya melukiskan senyuman manis. Jemarinya juga dieratkan dengan sang kekasih untuk memberikan energi baru.

“Hyun, aku pasti ngenalin kamu ke ayah sama kakak. Tapi, ga sekarang, ya?”

“Kenapa?”

“Karena kita beda, Hyun...” pekiknya dalam hati.

“Kok, diem, Joo?” serunya bingung. “Kenapa? Masih tetep mau ketemu keluarga aku dulu?” sambungnya.

Itulah alibi yang selalu diutarakan oleh Joochan. Jika Donghyun meminta untuk dikenalkan dengan keluarganya, kebisuan akan langsung menyeruak. Tanda tanya besar selalu ada dalam benak Donghyun. Sayangnya, tidak pernah terjawab.

“Nanti Kak Sungyoon katanya mau main ke kampus, aku tadinya mau jenguk mereka aja ke rumah. Tapi, kata kakak mau nengokin aku aja disini. Mau ketemu?” Joochan hanya mengangguk menanggapi ujaran tersebut. “Tapi, kamu janji, ya? Selesai ketemu kakak, ajak juga aku ketemu keluarga kamu!” rengeknya.

“Iya, Hyun... Aku janji.”

Ikrar diucapkan walaupun sudah pasti ingkar. Joochan belum siap kehilangan Donghyun jika wujud aslinya terbongkar. Sebenarnya, keluarga Joochan pun sudah menagih temu dengan Donghyun. Hubungan mereka sudah diketahui oleh semua bangsa Ilma, hanya saja mereka belum pernah bertemu dengan wujud manis Donghyun.

Surya berganti bulan, kuning berganti jingga. Beberapa waktu telah dilewati cukup panjang. Janji yang pernah Donghyun katakan ternyata dipenuhi, kakaknya datang untuk menjenguk. Hari ini tanpa ditemani Joochan yang masih berada di kelas, sang adik sangat antusias menemui kakaknya.

“Kak!” serunya lantang dengan tangan yang terus melambai.

Pelukan haru dilakukan, rasanya sangat hangat. Pertemuan kali ini sungguh menyenangkan. Donghyun yang jarang pulang hanya bisa menangis ketika saudara kandungnya berada di depan mata.

“Kamu, tuh, ya, pulang makanya. Gak kangen sama yang lain emang?”

Donghyun masih berbalut keharuan, suaranya tercekik karena isak yang ditahan. “Maaf, Kak...”

“Pacar kamu mana? Katanya mau dikenalin sekalian? Kok, sendiri?”

”“Joochan masih di kelas, Kak. Kita diem dulu di taman gimana? Nanti aku suruh dia nyusul, deh.”*

“Boleh,” sahutnya tak kalah antusias.

Berbagai canda tawa dituangkan oleh saudara kandung ini. Rindu yang bergejolak dikeluarkan semuanya berharap tak ada yang tersisa. Tiga puluh menit berlalu, mata Donghyun menyipit karena sadar dengan kedatangan kekasihnya. Baru saja akan menunjuk Joochan, sang kakak langsung menariknya untuk bersembunyi di balik pohon.

“Apa, sih, Kak?”

“Sssttt!” serunya dengan tatapan tajam.

“Itu ada Joochan, Kak. Ngapain kita disini?”

“Joochan?” Sungyoon mengintip dari balik pohon. “Itu pacar kamu?”

“Iya, Kak...” tangannya menghempaskan jemari milik sang kakak. “Ayo, ketemu Joochan,” sambungnya.

“Gak!” teriaknya lantang dengan tarikan yang memaksa hingga tubuh si mungil menempel kembali dengan pohon. “Putusin Joochan sekarang juga!” perintahnya.

“Maksud kakak? Salah Joochan apa?”

“Dia bukan manusia, Donghyun! Kamu gak liat tanda air di pergelangan tangan kirinya?” Sungyoon menyingkap bajunya, memperlihatkan tanda yang serupa dengan Joochan. “Dia sama kayak kita! Dia bangsa Ilma, Hyun! Jauhin dia! Kamu tau bangsa Ilma dendam sama bangsa Nar, kan?” lanjutnya.

“Bangsa Ilma? Kok, Joochan gak bilang?”

“Dia tau kamu dari bangsa Nar?”

Donghyun menggeleng. Mereka berdua ternyata saling menutupi wujud satu sama lain. Mereka sebetulnya memiliki tanda air, untuk bangsa Ilma, dan tanda api, untuk bangsa Nar, di pergelangan tangan kirinya. Hanya saja, ada sesuatu yang membuat semua itu pudar dan tak terlihat.

“Joochan gak bisa liat tanda api di tangan kamu, Hyun. Karena apa? Karena gen kamu sebagian besarnya manusia, bukan serigala!” Sungyoon diam sejenak. “Kamu juga gak bisa liat tanda punya Joochan, soalnya kamu gak punya kekuatan buat itu!” lanjutnya menggebu.

“Kalo Joochan tau aku dari bangsa Nar? Berarti...”

Sungyoon mencengkram bahu adiknya, lalu menatap pupil matanya yang gemetar. “Dia pasti bunuh kamu, Hyun. Mulai sekarang, jauhin Joochan! Kakak gak mau kamu dalam bahaya! Bangsa Ilma itu bahaya, mereka terus ngincer kita gara-gara kejadian dulu.”

“I-iya, Kak...” jawabnya gugup.

Tubuh mungil Donghyun masih disembunyikan oleh pohon dan kakaknya. Di balik kekarnya batang, si mungil mengintip sang kekasih. Joochan masih celingukan karena tak dapat menemukan Donghyun. Beberapa dering pun terdengar di ponsel Donghyun, syukurlah bunyinya tak lantang jadi persembunyiannya aman. Rasa takutnya semakin meresap, Donghyun takut jika Joochan malah membahayakan dirinya.

Hari terus berlanjut, tak ada sedikit pun pergesekan yang terjadi antara kedua makhluk tersebut. Donghyun selalu saja menghindar ketika Joochan mendekat. Dia merasa jika keadaan sangat tidak aman jika Joochan berada bersamanya. Tak ada diksi penjelasan, Joochan dibuat pusing ketika kekasihnya berubah sikap.

Tanpa ingin membuka rahasia tentang wujud aslinya, Joochan berencana mengenalkannya dengan Daeyeol. Walaupun sikap kekasihnya masih berbeda, Joochan berharap semuanya akan berubah ketika dia bertemu dengan kakaknya. Sang serigala berpikir jika perubahan sikap kekasihnya itu akibat Joochan yang terlalu lama mengenalkan keluarganya.

“Joo, lepas! Aku mau pulang!” bentaknya kasar.

“Kamu kenapa, sih? Kamu marah gara-gara belum dikenalin sama keluarga aku?”

“Aku mau pulang!”

“Donghyun!”

Bahu yang diteriaki gemetar. Manik mereka saling berhadapan. Donghyun ketakutan setengah mati. Nyawanya ibarat akan segera dicabut oleh Joochan. Mata terus dibuat terpejam seiring kepala Joochan yang terus mendekat.

“Maaf, Hyun...” serunya lembut.

Matanya mendadak terbuka. Kelembutan suara Joochan menyapa telinganya hingga hatinya meleleh. Kini bahunya sudah menjadi sandaran bagi Joochan. Perasaan Donghyun mendadak sakit, kekasihnya sangat terpuruk karena perubahan sikap drastis dirinya.

“Joo, aku mau pulang...” ujarnya tak kalah lembut.

“Aku anter, ya?”

“Gak usah!” jawabnya singkat.

“Ikut aku dulu, yuk? Ketemu Kak Dae, biar kamu ga marah terus sama aku, Hyun.”

Tidak ada tanggapan apapun yang diberikan. Jika dia bertemu dengan saudaranya Joochan, tentu saja keselamatannya semakin di ujung tanduk. Ketakutan semakin terasa dalam jiwa, Donghyun segara memberontak hingga berhasil menjauhi kekasihnya.

“Donghyun!” teriaknya lantang.

Lajunya makin cepat seiring teriakan yang lantang. Joochan bisa saja menggunakan kekuatannya, tapi kondisinya tidak memungkinkan. Manusia mengintai di sekelilingnya, jika wujud sebenarnya diketahui, dia akan menjadi sasaran amuk massa yang tidak menyukai makhluk seperti dirinya.

“Akh!” tubuhnya terhempas ke aspal panas. Isi tasnya terurai hingga tak sadar memperlihatkan liontin berbentuk api khas bangsa Nar.

“M-maaf, aku gak sengaja...” ringisnya pelan.

“Kamu dari bangsa Nar?”

Kepalanya mendongak, tangan yang tadi terulur untuk menolong ditarik kembali. Ternyata Donghyun bertabrakan dengan Daeyeol. Tubuhnya melulu diseret karena Daeyeol terus mendekat. Sampai akhirnya, Joochan datang dan mendekati mereka berdua.

“Kamu kenapa, Hyun?” elusan di kepalanya dihempaskan begitu saja. “Kamu kenapa, sih? Utang aku lunas, ya? Kamu udah ketemu kakak...” serunya bersemangat.

“Kakak?”

“Iya, tuh!” telunjuknya mengarah pada Daeyeol. “Kak... Ini Donghyun...” lanjutnya.

“Jadi orang yang sering kamu ceritain sama kakak itu dia?”

“Kakak kenapa?” Joochan kebingungan dengan perubahan emosi saudaranya.

“Liat ini! Liat! Kakak bilang jangan berurusan sama bangsa Nar!”

Daeyeol menarik paksa liontin yang sedang dilindungi oleh Donghyun. Pupil mata sang serigala berkutat pada liontin berbentuk api yang memang hanya dimiliki oleh bangsa Nar. Dia tidak menyangka ternyata selama ini kekasihnya pun menyembunyikan wujud aslinya.

“Kamu gak sadar dia dari bangsa Nar, hah?” amarah semakin meluap.

“Dia gak punya tanda api di tangannya, Kak! Bisa tenang dulu, gak? Siapa tau itu bukan punya dia, Kak!”

“Gak mungkin! Cuma bangsa Nar yang punya ini, Joochan!” pertengkaran malah terjadi antara kedua kakak beradik tersebut.

Donghyun tidak mau semakin tersudut. Tubuhnya diangkat seraya menghempaskan debu di sekitar pakaiannya. Jemari mungilnya langsung menyabet liontin yang digenggam oleh Daeyeol. Tatapnya sendu dan melulu menunduk.

“Aku pergi, Joo...”

“Donghyun!”

“Joochan! Gak usah dikejar!” cegahnya.

“Tapi, Kak, aku butuh penjelasan dari Donghyun...”

“Tinggalin Donghyun! Kalo kamu masih nekat ketemu sama dia, biar kakak sendiri yang bunuh dia!”

“Kak Dae! Kita harus cari tau dulu dia dari bangsa Nar atau bukan. Jangan langsung nyimpulin gitu aja, Kak!” serunya tak setuju.

“JAUHIN DONGHYUN! GARA-GARA BANGSA NAR, DULU BANGSA KITA BANYAK YANG JADI KORBAN,” suaranya semakin tinggi. “Sekali lagi kakak liat kamu sama dia... Donghyun gaakan selamat, ingat itu!” ancamnya kasar.

“Dia gak salah apa-apa, Kak!”

“Dia bisa aja ngincer kamu, Joochan! Jangan bodoh, deh! Jangan pernah percaya sama bangsa Nar!”

Daeyeol meninggalkan adiknya dengan amarah dalam dada. Joochan semakin kebingungan. Pria yang sangat dia cintai ternyata berasal dari bangsa yang sangat dibenci oleh bangsanya sendiri. Dia sebenarnya tak pernah mencari masalah, bahkan menganggap jika bangsa Nar pun bisa dijadikan teman atau bahkan lebih. Sayangnya, dendam leluhur terlalu berpengaruh hingga menambah runyam keadaannya saat ini.

Sepekan terakhir ini tak ada interaksi apapun antara Joochan dan Donghyun. Hati mereka direnggangkan karena balas dendam tak berujung. Amarah turun temurun membuat romansa harus rehat sejenak. Namun, Joochan enggan memutuskan romansa yang sedang mekar. Dia memutuskan untuk melanggar janji pada saudaranya. Saat ini juga dia akan menemui kekasihnya, tentu saja dengan cara tersembunyi mengingat Daeyeol masih berada di dekatnya.

Dalih bertemu teman diutarakan pada Daeyeol. Susah payah Joochan berusaha meyakinkan kakaknya. Alhasil, perjuangannya membuahkan secercah harapan. Izin digenggam tanpa perlu lebih banyak beradu diksi.

Pintu diketuk tanpa suara. Si pemilik rumah belum bersedia membukakan pintu untuk sang tamu. Joochan masih bersabar, tetapi tidak dengan laju ketukannya. Suara yang diperdengarkan semakin meninggi dan sepertinya akan mengganggu tetangga sekitar.

Pintu terbuka, manik mereka pun beradu pandang. Beberapa detik dilakukan Donghyun dengan membeku. Sampai akhirnya, dia bersiap membanting pintu di hadapan kekasihnya.

“Hyun!”

Tangannya yang perkasa berusaha mendorong kembali pintu yang hendak tertutup. Sudah dapat diduga, Joochan pemenangnya. Kekuatannya digunakan untuk menerobos masuk ke rumah kekasihnya. Donghyun terhempas seiring suara pintu yang ditutup kembali dengan keras.

“Pergi, Joo!”

“Kamu kenapa gak jujur sama aku, Hyun?” sorot matanya berubah tajam.

“Joochan, pergi!” ujarannya serak karena tenggorokan semakin tercekat.

Tubuhnya terus diseret menggunakan kekuatan yang tersisa. Joochan terus berjalan bak serigala yang siap menerkam. Melihat mangsanya semakin terhimpit, Joochan bergerak hingga menindih kekasihnya. Kedua tangan mencengkram dengan kuat, Donghyun tak bisa lagi lepas.

“Joochan!”

“Kenapa? Kamu takut?”

“Pergi, Joo... Kak Sungyoon mau kesini,” lirihnya pilu.

Bukannya pergi, Joochan malah semakin menjatuhkan dirinya pada Donghyun. Memberikannya dekapan dan menyimpan kepala di ceruk leher mulus kekasihnya. Tak lama kemudian, tangisnya terdengar.

“Aku sayang sama kamu, Hyun...” deru napasnya kentara terasa karena kehangatan masih dibagikan. “Tapi... kenapa kamu harus dari bangsa Nar?” lanjutnya terisak.

Donghyun mendorong kekasihnya kasar. Mereka tak lagi bersentuhan bak angka satu. “Kenapa? Kamu gak terima, Joo? Setelah tau semuanya kamu mau apa? Mau bunuh aku? Iya?”

Joochan menggeleng sekuat tenaga. Bukan pertumpahan darah yang diinginkan oleh Joochan. Justru sebaliknya, dia ingin sekali bersatu dengan Donghyun. Mungkin saja dengan bersatunya mereka berdua akan menjadi langkah awal bersatunya bangsa Ilma dan Nar.

“Hyun, cerita sama aku semuanya. Kenapa aku gak bisa liat tanda api di tangan kamu? Terus kenapa kamu juga gabisa liat tanda punya aku?” gumamnya penasaran.

“Gak usah, Joo! Tinggalin aku! Kita gabisa barengan terus!”

“Hyun...” jemari perlahan dipersatukan. “Masih ada cara lain selain pisah, aku yakin. Cerita semuanya sama aku, ya?” sambungnya.

Berbagai kelembutan yang diberikan membuat Donghyun kembali luluh. Dia menceritakan semuanya tanpa menyelipkan rahasia. Perlahan Joochan mengerti semua hal tentang kekasihnya.

“Kasih aku waktu, Hyun. Aku janji bisa ngeyakinin keluarga aku...”

“Terus keluarga aku?” sergapnya sigap.

“Itu urusan aku, Hyun. Aku yakin kita bisa tetep barengan.”

“Gak bisa segampang itu, Joo...”

“Aku tau, Hyun... Aku tau! Makanya kasih aku waktu, jangan tinggalin aku, okay?”

Romansa mereka sudah tidak dapat diredam. Walaupun sulit, Donghyun berusaha untuk bertahan demi kekasihnya. Kebersamaan yang telah lama direnggut masa, mereka tumpahkan dalam dekapan sarat emosional. Namun, suara nyaring di luar membuat kehangatan buyar.

“Apa itu, Joo?”

“Tunggu di sini, Hyun!”

Perintah telah lemparkan. Donghyun tak diperbolehkan mendekati area pintu. Firasat Joochan menunjuk ke arah tidak beres. Sang serigala takut jika kekasihnya akan menjadi mangsa.

“Kak Dae, stop!”

Firasatnya berakhir buram. Murka Daeyeol tak dapat ditahan ketika bertemu Sungyoon. Ternyata diam-diam Daeyeol mengekor perjalanan Joochan. Amarahnya melesat ketika dibohongi, ditambah lagi ketika bertemu dengan Sungyoon. Akibatnya, pertempuran tak bisa dielakkan.

Ringisan dan teriakan Joochan membuat pikiran Donghyun teralih. Mengabaikan dirinya yang lemah tanpa kekuatan, Donghyun muncul. Berusaha menarik saudaranya untuk masuk, tak lupa memberikan kode pula pada sang kekasih agar menjauhkan kakaknya dari lokasi kejadian.

“Donghyun!” kecemasan kentara terdengar.

Tubuh mungil terhempas karena kekuatan super dahsyat milik Daeyeol. Postur tak tinggi itu dibanting tanpa ampun hingga tulang hampir saja rontok. Sungyoon bertambah geram, Joochan juga semakin terhimpit karena kebingungan memberikan pembelaan.

“Kak, cukup!”

Joochan berusaha menghalangi kakaknya yang sudah sangat emosi. Dengan susah payah, Daeyeol diseret guna menjauhi kediaman kekasihnya. Kecemasan semakin menyeruak, tetapi Joochan tiada daya. Jika nekat melindungi Donghyun, maka kekasihnya akan semakin jadi bulan-bulanan.

Purnama membuat situasi sempurna. Para bangsa serigala memiliki tambahan kekuatan jika terjadi perselisihan. Daeyeol sudah pasti tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan purnama. Dirinya yang sudah berkumpul dengan bangsa Ilma, malah berdiri dan berniat kembali menyerang Donghyun.

“Kak! Kak Dae, tunggu!” Joochan berusaha menahan dengan postur tubuhnya.

“Minggir!”

“Jangan kayak gini, Kak.”

“Kamu lebih belain pacar kamu?”

“Bukan gitu, Kak... tapi semuanya bisa selesai tanpa berantem, kan?”

“Gak bisa! Bangsa Nar pasti nanti nyerang duluan kalo kita cuma diem aja.”

Joochan kebingungan. Dia ingin mempertahankan romansanya tanpa mengabaikan keluarga. Benaknya berpikir serius. Berbagai liku solusi dipikirkan matang dalam waktu yang sempit. Hingga akhirnya, Joochan memilih keputusan yang sangat sulit.

“Biar aku yang bunuh Donghyun, Kak!”

Laju Daeyeol terhenti begitu juga dengan pasukannya. Sorot matanya masih merah dan berbalik arah. Pernyataan sang adik tidak begitu saja dipercaya. Daeyeol membutuhkan bukti nyata, kebohongan tidak akan diterima olehnya.

“Kamu ikut kakak, kita bunuh Donghyun barengan.”

“Gak!”

“Kenapa?”

“Kalo kakak nyerang bangsa Nar bukan cuma Donghyun yang mati, Kak. Pasti ada korban lain dari bangsa kita. Kakak mau ada korban lagi gara-gara kita nyerang bangsa Nar?”

“Mereka bisa jaga diri! Kamu gak usah ngurusin pasukan kakak!”

“Gak bisa, Kak!” Joochan menolak. “Ini lagi purnama, kekuatan bangsa Nar juga makin meningkat. Inget, Kak... mereka pernah bantai bangsa kita dulu. Jangan sampe keulang lagi.” sambungnya.

Setelah bergelut dengan beribu keputusan, Daeyeol mendekati adiknya. Mencengkram pakaian yang digunakan dengan sangat erat. Sorot mata mereka pun saling menusuk.

“Kakak butuh bukti, Joochan!” gumamnya kasar.

“Aku bunuh Donghyun sekarang, Kak! Nanti aku bawa buktinya!” ucapnya tanpa ragu.

Keputusan tak masuk akal sudah dilayangkan pada kakaknya. Para bangsa Ilma pun sudah mendengarnya. Bagi Joochan, Donghyun adalah segalanya. Namun, keluarganya pun harus dijadikan prioritas.

Berbekal kekuatan serigalanya, Joochan berlari bak percikan kilat. Hanya butuh waktu beberapa detik saja, Joochan sudah berhasil sampai di kediaman kekasihnya. Situasi aman, ternyata semudah itu Sungyoon meninggalkan adiknya.

Tangannya bergetar, entah sejak kapan dia sudah menggenggam sebilah pisau. Mengingat kekasihnya yang memiliki sedikit gen serigala, Joochan enggan menyakitinya dengan kekuatan. Pisau tajam pun bisa membunuh Donghyun dengan sangat mudah, Joochan tidak usah bersusah payah mengeluarkan kekuatannya. Selain itu, dia juga berharap tidak akan terlalu menyakiti Donghyun di saat terakhirnya.

Pintu didobrak paksa. Pisau sudah diacungkan sembari melajukan langkah. Sasaran Joochan tertuju pada kamar milik kekasihnya. Setelah mangsa didapatkan, emosinya berusaha keras mengalahnya romansa dalam jiwa. Pisau sudah mengacung, Donghyun dengan manisnya terlelap dalam mimpi indah. Pisaunya siap menggores kulit putih si pria manis. Joochan enggan memberikan rasa sakit terlalu dalam.

“Donghyun, maaf...”

Telapak tangannya bergetar. Sedaritadi bola matanya hanya tertuju pada telapak yang bersimbah darah. Kabar sudah dilayangkan, Joochan tinggal menunggu kakaknya datang. Liontin milik Donghyun dengan darah bercucuran berhasil digenggam. Joochan akan mempersembahkan benda yang paling berharga dari bangsa Nar tersebut.

“Kamu yakin udah bunuh Donghyun?”

Joochan melemparkan liontin yang sedaritadi digenggam erat, “kurang buktinya, Kak?”

“Kamu yakin?” tanyanya dengan sorot mata mengintimidasi.

“Aku capek, Kak... Minggir!”

Bahu sang kakak ditabrak kasar. Isaknya terus terdengar sepanjang perjalanan. Joochan terus meraung seakan menyesali perbuatannya. Tubuhnya mulai lunglai dan terhempas ke lantai.

“Joochan...”

“Apalagi, Kak?” jawabnya geram.

“Makasih udah nepatin janji. Kakak tau ini sulit, tapi sampai kapanpun kita gaakan bisa bersatu sama bangsa Nar.”

“Beres, kan, Kak? Gak usah ngerecokin aku lagi. Cukup! Kakak gak usah ikut campur lagi urusan aku apalagi nyuruh aku bunuh lagi bangsa Nar.”

“Masih banyak orang yang lebih baik buat kamu, Joochan...”

“Aku maunya Donghyun, Kak! Awas, ah!”

Joochan membutuhkan waktu sendiri. Sang kakak pun tidak terlalu membahas pekerjaan yang dia lakukan. Liontin tadi hanya dikembalikan pada adiknya. Anggap saja sebagai kenangan, jika rindu Joochan bisa menatap liontin berdarah tersebut dengan bebas tanpa ancaman.


EPILOG

Joochan menatap sendu telapaknya sendiri. Perban berhasil membalut luka yang dia dapatkan ketika bertikai dengan kekasihnya. Tubuhnya direbahkan sekaligus mencari posisi nyaman. Kasurnya terasa lebih nyaman dari sebelumnya, maklum saja dia sudah memiliki kediaman yang baru.

Dia sengaja meninggalkan bangsa Ilma. Tanpa persetujuan, Joochan lari begitu saja tanpa jejak. Tidak ada pencegahan yang berarti, bangsa Ilma mengerti dengan kondisi Joochan, kehilangan orang yang paling dikasihi tentu saja tidak bisa sembuh dalam waktu singkat.

“Hey, kok, ngelamun. Nih, tadi bilang mau teh anget, kan?” serunya manis sembari memberikan secangkir teh pesanan Joochan.

“Donghyun, maaf...”

“Gak usah minta maaf, Joo...” seru Donghyun sembari berjalan ke belakang Joochan. Tangannya terangkat lalu mengalung ke leher kekasihnya, menyimpan dagunya di lekuk bahu milik Joochan. “Maaf, jadinya harus bohong sama keluarga kamu...”

Joochan menggeleng, “aku cuma mau tenang, Hyun. Semuanya bisa selesai tanpa ada korban, kan?”

“Tapi, tangan kamu gapapa, kan?” Donghyun mengelus perban yang masih membalut luka kekasihnya.

Jadi ketika hari pembantaian dulu, bukan Donghyun yang ditusuk. Dengan berbagai pertimbangan, Joochan malah menggores telapaknya sendiri dan membasuh darahnya pada liontin milik Donghyun. Sesuai kesepakatan, Joochan akan mengambil liontin tersebut sebagai bukti. Walaupun sulit, Joochan berusaha meyakinkan kakaknya agar mendapatkan kepercayaan.

“Sini, Hyun...” Donghyun menurut dan duduk di pangkuan Joochan. Mata Joochan tertuju pada liontin yang sudah dikembalikan pada si empunya. Tak ada lagi bercak darah, Joochan sudah membasuhnya.

“Kakak kamu gimana?”

“Kak Sungyoon? Entahlah, aku juga udah lama gak pulang. Lagian semenjak kita memutuskan buat kabur, aku gak pernah kasih kabar ke mereka. Biarin, lah...”

“Maaf, malah bikin renggang kamu sama keluarga...”

Giliran Donghyun yang menggeleng, “gak usah bahas mereka, Joo... Aku capek, mereka terus aja ngurusin balas dendam padahal itu kejadiannya udah lama banget. Biarin aja mereka dengan dendamnya, aku cuma butuh kamu, Joo...”

Joochan menyatukan jemarinya, “fokus aja sama hubungan kita, Hyun...”

Joochan mengecup lekuk leher putih kekasihnya. Di sela kecupan, Donghyun kegelian dan agak tersenyum. Berbagai sentuhan Joochan membuatnya merinding. Rasa sayangnya tak bisa lagi dibendung. Semesta sudah menyatukan mereka dan tidak akan ada yang dapat memisahkan. Balas dendam terus berlanjut. Namun, romansa mereka tidak akan padam dengan mudah.

FIN

Bintang sudah bertaburan. Langit tak lagi hampa. Bulan dan bintang senantiasa berdampingan. Mereka seolah enggan berjauhan demi melukiskan keindahan langit malam.

Keadaan langit bertolak belakang dengan salah satu penghuni bumi. Geraknya layu menyapu arus semilir. Tengkuknya seakan berbobot ratusan kilogram karena melulu tertunduk. Pipinya pun habis basah oleh kucuran isak di pelupuk.

Kakinya mulai lunglai hingga meruntuhkan ketahanan raganya. Aspal trotoal jalanan sudah menjadi pijakan baru. Tak peduli banyak orang yang berhamburan, pria manis itu terus menangis. Beban hidupnya mungkin tak seberat orang lain, tetapi hatinya terlalu rapuh hingga terpuruk seperti sekarang.

Bola netranya yang hitam tetiba menuju ke sebuah jembatan. Jeruji putihnya melambai sekaligus menarik postur kecil pria tersebut untuk mendekat. Bak terhipnotis, lajunya tidak dibuat lamban. Dia gesit berlari lalu kini jemarinya sudah mencengkram penyangga putih nan dingin.

“Kim Donghyun!”

Nama indah memekik di telinga karena sang empunya panggilan hendak mengakhiri hidupnya. Buana masih menaungi denyut jantungnya. Hasrat menghabisi nyawa sendiri terhalang genggaman erat sahabatnya.

“Kamu udah gila, hah? Maksudnya apa, sih?”

“Pergi, Joo! Gaada gunanya aku hidup! Aku capek!” Ucapnya lantang.

“Donghyun!”

Bak angka satu, tubuh mereka saling bersentuhan. Joochan, sahabat yang tadi berhasil menghentikan percobaan pencabutan nyawa, memberikan dekapan erat. Walaupun pemberontakan terus dilepaskan, Joochan terus mengeratkan jemarinya.

“Kamu kenapa?” ucapnya lembut.

Tak ada jawaban sedikit pun. Hanya tiupan angin yang memberikan tanggapan. Terpaannya tidak membuat beku, kehangatan dekapan mengalahkan segalanya. Bahkan perlahan Donghyun mulai sedikit menenang.

“Kita pulang, ya?” pertanyaan terlontar kembali.

“Kamu aja yang pulang, Joo. Jangan bikin Kak Jangjun salah paham. Aku bisa pulang sendiri.”

Joochan menggeleng, “gak! Aku mau anter kamu pulang, yuk!”

Kegalauan menerba kalbu. Baru saja dia memergoki kekasihnya sendiri berselingkuh dengan pria lain. Bukan hanya prasangka, Donghyun melihat dengan jelas jika Jibeom mencium Jaehyun di salah satu cafe. Pikir melayang cukup jauh, dia juga sempat dicurigai berselingkuh dengan Joochan, walaupun tak terbukti. Jika keinginan Joochan dituruti, Donghyun enggan berurusan dengan kekasih sahabatnya.

“Aku pulang sendiri aja.”

“Ikut!”

Joochan tentu saja enggan jika nyawa sahabat tersayangnya melayang begitu saja. Seenaknya saja Donghyun memberikan nyawanya secara gratis tanpa perjuangan dari sang Agung untuk memberikan malapetaka. Sekuat tenaga Joochan menahan, rasa kasihnya terlalu membungbung pada Donghyun.

Tunggangan besi sudah diduduki berdua. Donghyun berhasil dipaksa untuk duduk di kursi penumpang. Netra Joochan fokus pada jalanan. Namun, benaknya hanya tertuju pada Donghyun.

“Hyun?” ucapnya tak berbalas. “Donghyun?” sambungnya kembali.

Tidak kehilangan akal, Joochan hanya menyangga motornya dengan satu tangan. Tangan kirinya meraih jemari yang terkulai di samping. Kesadaran si penumpang terkumpul paksa. Lengannya mengalung di pinggang Joochan seraya tuntunan pada jemarinya tadi.

“Cerita sama aku, Hyun. Ada apa?” ucapnya sembari melambatkan laju tunggangan.

“Jibeom...”

“Jibeom kenapa lagi?”

“Tadi aku gak sengaja mergokin dia jalan sama Jaehyun.”

Joochan menggeleng, “cuma temenan aja kali, Hyun. Jangan curigaan, ah!”

Tangan yang mengalung ditarik seiring ketidakpercayaan sahabatnya, “aku mau turun!”

“Jangan ngambek, dong...”

“Masih dibilang temenan kalo aku liat mereka ciuman?”

Tangan yang terkulai diraih kembali agar mengalung di pinggang sang pengemudi, “kalo mau nangis, boleh. Pake bahu aku aja buat sandaran. Nangis aja sepuasnya, Hyun.”

Donghyun terkulai. Dia lemah setelah ujaran memerintah tadi tertuju padanya. Isaknya langsung tercurah membasahi pundak sang sahabat. Sepanjang perjalanan, tangannya digenggam erat oleh Joochan. Laju kembali dibuat lamban karena Joochan hanya berkendara dengan satu tangan.

Selepas berdebu ria di jalanan, dua orang sahabat itu sampai di tujuan. Rumah Joochan dijadikan pilihan karena Donghyun enggan pulang. Tak ada tegur sapa yang terdengar. Kabar yang diberikan semesta tadi masih mengejutkan bagi Donghyun. Punggungnya masih menjadi pemandangan bagi Joochan. Dia sedang asyik memandang langit tak berpenghuni.

Dering telepon mengganggu keheningan. Satu panggilan masuk tapi diabaikan oleh sang pemilik. Joochan berdiri seraya mengulurkan tangan untuk meraih ponsel sahabatnya.

“Jibeom nelpon, nih” ucapnya sembari mengulurkan ponsel.

Donghyun meraihnya lalu segera mematikan layar ponselnya, “biarin aja, gak penting!”

Joochan semakin mendekat. Tangannya mengalung sempurna di pinggang mungil sahabatnya. Tak lupa dagunya pun disimpan di lekukan leher Donghyun. Suaranya memecah keheningan yang daritadi menyergap.

“Lepasin semuanya, Hyun. Kita cuma berdua aja disini. Lupain Jibeom! Jangan pikirin Kak Jangjun. Hari ini aku cuma buat kamu. Jangan sedih lagi, ya?”

Baru saja menyampaikan titah, ponsel Joochan berdering. Lee Jangjun terpampang di layar handphone. Sepertinya Jangjun tengah merindukan kekasihnya. Atensi melekat di ponsel sang sahabat. Tanpa pikir panjang, Donghyun melepaskan dekapan Joochan seakan memberikan ruang untuk berpadu kasih.

“Jangan, Hyun. Aku udah bilang tadi, kan? Gak ada Kak Jangjun sama Jibeom. Malam ini cuma ada kita. Aku cuma buat kamu, kamu juga cuma buat aku.”

“Tapi, Joo...”

“Ssstttt!” telunjuknya disimpan di bibir Donghyun. “Aku tau kamu lagi gak baik-baik aja, Hyun. Lupain semuanya, malem ini cuma ada kita. Okay?” sambungnya.

Dekapan terlepas seiring perintah yang tadi dibisikkan. Donghyun tercengang karena kembali merasakan kehampaan. Padahal kehangatan dekapan itu ingin dia rasakan lebih lama. Namun, pria tampan yang tadi melepaskan pelukan bukan bermaksud meninggalkan Donghyun. Dia malah mengulurkan tangannya.

“Apa, Joo?”

“Handphone kamu.”

“Handphone?”

“Iya, sini!” jemarinya bergerak menagih ponsel milik Donghyun.

Sembari kebingungan, Donghyun memberikan gawainya, “buat apa?”

Enggan untuk merespons, Joochan langsung menyabet gawai yang tadi diberikan. Dia mematikan dayanya tanpa izin dari Donghyun. Selepas itu, Joochan beranjak sekejap untuk menyimpan dua buah ponsel di nakas.

“Aku udah bilang, kan? Cuma ada kita, Hyun. Kamu bebas luapin semuanya ke aku. Kalo mau nangis, nangis aja sepuasnya. Tapi, aku gaakan rela kalo kamu masih maafin Jibeom. Besok langsung ngomong sama dia, minta putus! Jangan mau dibohongin!” telunjuknya digerakkan di hadapan wajah Donghyun.

Donghyun tersenyum simpul. Saran sahabatnya ini sudah jarang lagi terdengar olehnya. Semenjak memiliki pasangan masing-masing, mereka seakan memilih jalan yang berbeda. Sebetulnya Donghyun selalu berusaha untuk berada di dekat Joochan. Sayangnya, Jangjun melulu memperlihatkan kecemburuan.

“Joo, aku boleh nginep sini, kan?”

“Boleh,” jawabnya singkat sembari memberikan pelukan kembali dari arah belakang.

“Mau tidur sekarang?”

Giliran Donghyun yang menggeleng, “aku mau kayak gini dulu.”

“Boleh banget, Hyun.”

Donghyun dan Joochan bergerak sedikit. Mereka saling mencari posisi nyaman. Tubuh mereka saling bersentuhan dengan sudut pandang ke langit. Mereka seakan mengejek langit yang kesepian. Malam ini hanya ada mereka berdua, tidak ada siapapun yang boleh mengganggu.

Kebimbangan serta kesedihan yang dialami sudah dibuang sangat jauh. Malam ini mereka benar-benar hanya menyajikan diri sendiri satu sama lain. Kurang lebih setengah jam, mereka terus berdekapan. Beberapa kali pun Joochan mengecup leher Donghyun seakan terbawa suasana.

“Joo, aku ngantuk...”

“Kita tidur, ya?”

Dekapan beralih genggaman. Joochan menuntun sahabatnya menuju ranjang. Sudah tertebak jika mereka akan berada dalam satu kasur hari ini. Kedinginan yang merasuk bak tidak berguna karena kehangatan yang selalu mereka pancarkan.

Disinilah mereka, terbaring saling berhadapan dalam satu kasur empuk. Netra silih berganti memberikan atensi satu sama lain. Enggan membuang waktu, Joochan kembali menipiskan jarak di antara mereka.

“Sini, aku peluk.”

Kepala si pria manis sudah dilekatkan pada dada bidang Joochan. Aroma tubuh yang semerbak sungguh sangat dirindukan oleh Donghyun. Kini tangis kembali mengalir, bukan kesedihan karena Jibeom. Dia menangis karena sahabatnya sendiri.

“Nangis aja, Hyun. Ada aku disini.”

“Kita bisa kayak gini terus ga, Joo?”

Pertanyaan tersebut meluap. Joochan dilanda kegalauan. Kekasihnya tidak memiliki kesalahan apapun, tetapi seenaknya saja dia bersama dengan Donghyun malam ini tanpa kabar. Bukan egois, Joochan hanya ingin membuat nyaman sahabatnya.

“Aku selalu ada buat kamu, Hyun. Kalo ada apa-apa bilang aja.”

“Aku gak enak sama Kak Jangjun.”

“Aku bisa atur semuanya. Yang penting kamu harus selalu bahagia, ya? Kalo lagi sedih kayak gini, aku janji selalu ada buat kamu.”

Ikrar tersebut entah bisa digenggam atau hanya dibiarkan bergabung saja dengan udara. Donghyun tidak yakin esok akan dilewati bersama dengan Joochan lagi. Jangjun terlalu posesif, Donghyun enggan berurusan dengannya terlalu dalam. Selain itu, masalah Jibeom pun harus dia selesaikan. Beruntung bagi Donghyun, rasa sayangnya tidak terlalu meluap. Perselingkuhan ini masih bisa dia selesaikan dengan kepala dingin. Karena sebetulnya rasa sayang tanpa imitasinya hanya untuk Joochan.

Kecupan tengah malam dari Joochan berhasil menyeret Donghyun dari lamunan. Kepalanya yang masih tersimpan di dada Joochan langsung mendongak. Senyum manis dari Donghyun akhirnya terlukis kembali. Dahi Donghyun kembali diberikan kecupan. Moment pertemuan kedua bola mata tidak disia-siakan oleh Joochan.

“Aku mau kamu selalu bahagia, Hyun. Kalo ada masalah langsung kabarin aku. Jangan bikin khawatir kayak tadi. Masih banyak cowok lain yang sayang sama kamu. Tinggalin Jibeom!”

Di sela senyuman, Donghyun memberikan anggukan kepastian. Tingkah menggemaskan seperti ini selalu sukses membuat Joochan gila. Sikap ini tidak dia dapatkan dari Jangjun. Itulah salah satu hal yang dia rindukan ketika berjauhan dengan Donghyun.

Andai ada cara agar matahari bisa ditahan untuk tidak kembali menduduki singgasana, mungkin saja kedua orang ini akan melakukannya. Joochan dan Donghyun terkungkung dalam ikatan pertemanan dengan berbagai rasa. Sebetulnya mereka saling menyayangi tetapi tembok atas nama pertemanan terlalu tinggi dan sulit diruntuhkan. Cara teraman yang mereka ambil adalah berusaha nyaman dengan pria lain. Padahal nyatanya perasaan tidak bisa dibohongi. Sekuat apapun mereka melekat dengan pria lain, ujung-ujungnya pasti akan kembali bersatu jua.

Malam ini mereka memutuskan untuk tidak terpejam. Semua kekhawatiran dan kerinduan mereka luapkan sampai fajar datang. Kenyamanan perlahan menyeruak. Bincang dari hati ke hati malah membuat mereka ingin melarikan diri dari kehidupan. Rasa tak ingin kehilangan makin melambung. Namun, tembok persahabatan pula yang akhirnya memisahkan. Mereka harus kembali pada realita dan menyingkirkan perasaan tulus itu lagi.

FIN

ᴴᵃʳᵃᵖᵃⁿ ᵗᵉʳᵏᵃᵇᵘˡ ⁱᵗᵘ ᵇᵃᵏ ˢᵉᶜᵉʳᶜᵃʰ ᶜᵃʰᵃʸᵃ ʸᵃⁿᵍ ᵐᵉʳᵉⁿᵍᵍᵘᵗᵐᵘ ᵈᵃʳⁱ ᵈᵃˢᵃʳ ᵏᵉᵍᵉˡᵃᵖᵃⁿ. ᴺᵃᵐᵘⁿ, ʲⁱᵏᵃ ᶜᵃʰᵃʸᵃ ᵗᵉʳˢᵉᵇᵘᵗ ᵃᵏʰⁱʳⁿʸᵃ ᵐᵉᵐⁱⁿᵗᵃ ⁱᵐᵇᵃˡᵃⁿ, ᵃᵖᵃᵏᵃʰ ᵏᵃˡⁱᵃⁿ ᵃᵏᵃⁿ ᵗᵉᵗᵃᵖ ᵇᵉʳʰᵃʳᵃᵖ?

Gemerisik dedaunan membuat bising penghuni hutan. Sepinya suasana membuat denting jarum jatuh pun terdengar. Kali ini napas tersengal berulang kali memekik di telinga. Laju pijak di tanah pun tak kalah bising mengganggu.

Satu anak manusia terdampar tak berdaya di tengah hutan. Bukan hutan biasa melainkan hutan terlarang. Ketika tubuh lemasnya bangkit dari ketidaksadaran, dia memilih melaju walaupun harus melewati labirin yang sulit.

“Akh!”

Dalam kaki pria tersebut menyusup dedaunan hijau misterius. Bentuknya serupa tali hingga berhasil mengalung kuat dan menyeret manusia tak berdaya tersebut. Kedua tangannya susah payah merengkuh tanah, tapi tak berhasil. Dia terus terseret dan terbanting masuk ke rumah yang amat menyeramkan.

Sekelebat laju mendorong tubuhnya dan membentur tembok. Sorot tajam itu menakutkan, mereka bertemu pandang. Seringai menakutkan diperlihatkan bersamaan dengan sorot tajam khas binatang buas. Dalam keadaan terhimpit, hanya harapan yang dapat dilirihkan.

“Kim... Dong... Hyun...”

Raut wajah yang dipanggil berubah. Dadanya semakin kembang kempis ketakutan. Dia khawatir jika nyawanya akan melayang hari ini seperti ramalan yang pernah dituliskan untuknya dahulu.

“Kamu siapa?”

“Hong Joochan!” Sergapnya sigap. “Salam kenal!” Lanjutnya sembari merenggangkan jarak dan mengulurkan tangan.

“Hah?”

Donghyun enggan mengulurkan tangannya. Terlepas dari sergapan menakutkan, dia malah mendekap dirinya sendiri. Keningnya pun berkerut kebingungan, sikap makhluk di hadapannya sungguh sulit dimengerti.

“Kita harus kenalan biar sayang, kan?”

“Eum?” Donghyun makin kebingungan.

“Itu yang aku tau dari dunia manusia, katanya...” Joochan berputar sejenak sembari berpikir. “Tak kenal maka tak sayang, kan?” Sambungnya.

Donghyun makin tak mengerti dengan makhluk asing di hadapannya, yang jelas dia bukan manusia. Melihat celah pintu yang terbuka lebar, Donghyun tentu saja enggan melepaskannya. Lajunya langsung melesat bagai kilat, walaupun akhirnya terperangkap lagi.

“Mau kemana, sayang?”

“Sayang?”

“Sebentar, sayang!”

Tubuhnya dilempar tanpa iba dan seakan kembali membuat banyak tulang retak. Dari sudut pandang kecil, Donghyun memicingkan matanya. Laki-laki yang tadi melemparnya terlibat pertengkaran sengit dengan makhluk sejenisnya. Berbagai cakaran dan tendangan dikeluarkan. Untuk saat ini, Donghyun hanya berharap jika Joochan dapat meraih kemenangan.

Berbagai kekuatan dikeluarkan sampai juara didapat. Kilatan dan sambaran membuat luka semakin menyayat. Benturan demi benturan terlihat jelas hingga menimbulkan ringisan. Pertempuran ini cukup lama seakan memperjuangkan hal yang tak sepele.

Kedua katup segera tertutup. Kegelapan menyergap sepertinya lebih baik karena Donghyun sangat ketakutan. Jika salah satu diantara makhluk tadi menang, bukan tidak mungkin dia yang akan menjadi sasaran selanjutnya. Ketakutan semakin merasuk dan tubuhnya mulai gemetar.

“Donghyun!”

“AAAAAAAA!”

Tubuhnya hampir saja menjadi santapan keramik keras jika tak disergap oleh Joochan. Pandangan mereka kembali bersatu dalam posisi Donghyun yang hampir terjatuh. Jantung Donghyun masih tak santai apalagi ketika melihat tubuhnya yang hampir terbentur kembali.

“Kok bisa tiba-tiba disini?” Tanyanya gagap.

“Kamu gapapa?” Donghyun langsung menggelengkan kepalanya. “Kamu laper, kan? Mau makan?” Tawarnya.

“Makan?”

Joochan kembali menarik kedua sudut bibirnya bak boneka polos tak berdosa. Namun, Donghyun kehabisan akal. Dia kebingungan dengan tawaran tersebut. Rumah di tengah hutan seperti ini mustahil jika memiliki stok makanan untuk manusia seperti dirinya.

“Tadi itu siapa? Terus kenapa aku bisa di hutan ini? Ini maksudnya apa?” Pertanyaannya bertubi hingga membuat Joochan mendekat dan menyimpan telunjuknya di bibir milik Donghyun. “IH! JAUH-JAUH, AH!” Dorongnya kasar.

Sorot mata tajam diperlihatkan kembali hingga Donghyun merasa terhimpit. Kedua mata sendu hanya bisa tertunduk tanpa tahu tujuan yang harus dilakukan. Keberadaan dirinya masih menjadi misteri. Pertemuan kali ini pun tak kalah misterius.

“Stop!” Donghyun mengulurkan tangannya agar Joochan berhenti mendekat. “STOP!” Suaranya makin melengking tetapi hasilnya nihil.

Kedua tangan Joochan berhasil memerangkap tubuh mungil Donghyun. Lagi, mata mereka beradu. Semilir aneh terasa oleh kedua makhluk tersebut, tetapi maksudnya masih sulit untuk diartikan.

“M-mundur! Mau apa kamu?”

“Kamu....” Tubuh Joochan semakin menghimpit. “Kalo gak aku seret kesini...” Jemarinya mengapit wajah Donghyun hingga terangkat. “Mungkin sekarang udah mati!” Bisiknya pelan.

“Tapi... Tapi gak harus kayak tadi juga, kan? Bisa ngomong baik-baik atau....”

“Atau apa? Keadaan kamu lagi panik kayak gitu terus ketemu orang yang gak kenal, emang kamu bisa langsung percaya? Emang semua orang yang ngajak baik-baik hasilnya juga baik? Hah? Aku bawa kamu pake cara tadi aja masih ketauan apalagi aku bawa sendiri. Mikir, dong!” Telunjuknya ditempelkan di kepala Donghyun.

“Maksud kamu?”

“Sssttt!”

Jarak mereka semakin menempel. Bahkan di antara kedua wajah, sepertinya akan saling menempel jika telunjuk Joochan tak berada di bibir Donghyun. Kode tadi membuat Donghyun kembali ketakutan. Sinyal bahaya seakan diberikan oleh Joochan agar Donghyun menurut sepenuhnya.

“Ikut aku!”

Jemari mereka bergenggaman dan langsung melesat bak meteor. Kekuatan tak disia-siakan lagi. Joochan memilih kabur dan menyembunyikan mangsanya di tempat yang aman. Aroma manusia pasti akan selalu tercium di hutan penuh bangsa serigala.

Melesat seperti roket membuat kepala Donghyun pening. Apalagi kondisi tubuhnya habis remuk karena berbagai pertempuran yang bahkan tak tahu latar belakangnya. Ditambah perut pun kosong lantaran cadangan makanan yang menipis.

Joochan kini berlagak seperti peri. Sisi baiknya diperlihatkan segera pada Donghyun. Kebetulan di tempat baru yang dia pijak, makanan ternyata melimpah. Syukurlah makanan tersebut bisa dikonsumsi oleh Donghyun. Bak chef profesional, Joochan meracik semuanya dan menyajikannya di hadapan Donghyun.

“M-makasih...”

Kedua alis matanya diangkat genit. Senyum manis pun diperlihatkan. Joochan menunduk seakan mempersilakan tamunya untuk makan tanpa mempedulikan keberadaan dirinya.

Kegiatan menyantap dihentikan sejenak ketika netra memandang lukisan indah. Berbagai gambar indah tersebut seakan mendeskripsikan suatu peristiwa. Potret tersebut diteliti dengan sangat baik, tetapi tak memberikan isyarat apapun.

“Kenapa?”

Joochan kembali mengendap tanpa suara. Kini posisinya sudah berada di samping Donghyun. Suara tadi dia suarakan dengan cara berbisik hingga manusia tersebut kembali terkejut.

“Kalo mau nanya tuh bisa kasih tanda dulu gak? Hobi banget bikin kaget, sih!”

“Kamu tau itu artinya apa?” Telunjuknya mengarah pada lukisan indah tersebut. Jawaban yang diberikan hanya menggeleng. “Takdir kita berdua....” Jawabnya.

“Hah? Ngaco!”

“Kata itu juga yang pertama kali aku keluarin pas dikasih tau tentang arti lukisan itu sama kakak.”

“Kakak?” Pria mungil itu kebingungan.

“Eum! Kak Yoon, tapi gausah dibahas, gak penting!” Joochan mendekatkan kembali kepalanya. “Mau aku ceritain kenapa kamu bisa disini?” Sambungnya.

Donghyun mengangguk kecil berbalut ragu. Pria di hadapannya ini entah bisa diberikan kepercayaan atau tidak. Akan tetapi, benaknya selalu saja memerintahkan untuk setuju. Alhasil, Donghyun menurut dan menempati ruang kosong di sebelah Joochan.

Mereka melakukan perjalanan masa lalu bersama. Kembali untuk mengetahui peristiwa yang belum terungkap. Dalam ceritanya, Donghyun sempat sesekali teralihkan fokus karena ketampanan Joochan. Namun, segera dia alihkan kembali untuk mengetahui alasan keberadaannya di hutan terlarang ini.


Pada zaman dahulu, hiduplah satu pasangan sederhana di desa. Mereka amat bahagia dan saling melengkapi satu sama lain. Sayangnya, pernikahan mereka tersandung oleh satu kerikil tajam. Satu-satunya yang belum mereka miliki adalah seorang anak.

Kabar tersiar sejak lama mengenai satu mitos di desa tersebut. Jauh di pedalaman hutan pinggir desa, terdapat satu hutan terlarang yang bisa mewujudkan sebuah harapan termasuk untuk memiliki momongan. Di dalam sana terdapat Geum, rumah berlapis emas yang dihuni oleh makhluk serigala menyeramkan. Cukup masuk dan temukan Geum tersebut, jika berhasil maka harapan pun akan terwujud.

Namun, tentu saja harapan tersebut harus digapai dengan perjuangan ekstra. Desas desus lain pun terdengar. Semua orang yang masuk ke hutan larangan tersebut, ketika pulang hanya tinggal nama saja. Itu menjadi satu-satunya alasan hutan tersebut tak pernah diinjak manusia. Hutan tersebut dihuni oleh para bangsa serigala yang tentu aja akan dengan senang hati menyantap semua manusia yang datang sebelum mereka bisa menemukan Geum.

Singkat cerita, pasangan tersebut memberanikan diri untuk masuk ke hutan larangan. Memanjatkan harapan setinggi langit dengan sepercik keajaiban untuk menyelamatkan nyawa mereka. Apapun syarat yang diajukan, akan dipenuhi selama masuk akal dan tergapai. Begitulah kira-kira perjanjian yang akan mereka tawarkan ketika berhasil menemukan Geum.

Keberuntungan dan keajaiban ternyata memayungi pasangan tersebut. Mereka berhasil menemukan Geum dan melemparkan perjanjian sengit. Anak pria yang gemas dan lucu berhasil dilahirkan dengan selamat. Namun, kebahagiaan mereka harus kembali terenggut karena syarat yang pernah disetujui.

Bayi menggemaskan yang akhirnya diberikan nama Kim Donghyun itu harus mengabadikan dirinya ketika berumur 20 tahun pada bangsa serigala. Siap ataupun tidak, pemilik harapan akan mengambil paksa Donghyun. Orang tuanya sempat melarikan Donghyun ke tempat terpencil tetapi nihil. Donghyun tetap saja menghilang dan tak bisa ditemukan.


“Jadi... Ayah sama bunda berhasil nyari Geum?” Joochan mengangguk. “Terus apa hubungannya kamu sama aku?” Lirihnya kesal.

“Aku sama kamu? Hhhmmm gini....”

Donghyun langsung menyela, *“jangan-jangan kamu makhluk jahat yang mau bunuh aku? Iya, kan?” Tinju mungil dihadapkan ke arah Joochan untuk berjaga-jaga.

Joochan tentu saja tidak akan merasa terintimidasi dengan ancaman kecil tersebut. Lengannya langsung menahan kepalan lalu mendorongnya dengan kuat hingga terbaring. Joochan sukses berada di atas Donghyun dan tak lupa sorot tajam khas serigala mengintimidasi.

“Kalo aku niat bunuh kamu, mana mungkin sekarang kamu masih hidup, Donghyun...”

“Terus?”

“Liat itu...”

Kini sudut pandang mereka sama, bola mata tertuju pada arah telunjuk Joochan. Suatu gambar anak pria remaja dengan makhluk serigala di sampingnya. Salah satu rangkaian cerita tersebut memberi isyarat bahwa mereka adalah pasangan yang tak dapat dipisahkan apapun. Rangkaian tersebut tak usai, kisahnya bagai rahasia semesta yang meminta segera dipecahkan.

“Gambar itu alur cerita kita berdua, Donghyun. Perjuangan orang tua kamu, sampai akhirnya kamu diambil paksa dari mereka, terus kita ketemu... Liat baik-baik!” Ucapnya penuh penekanan. “Kita diciptakan untuk saling melindungi, Donghyun. Aku lahir cuma buat kamu, begitu juga sebaliknya.” Lanjut Joochan.

“Itu maksudnya aku sama kamu?”

“Pinter!” Seru Joochan sambil mengelus rambut Donghyun gemas. “Aku udah nungguin kamu lama, loh. Setia pula! Hebat, kan?”

“Terus kenapa gambarnya berhenti? Gaada ending ceritanya? BERARTI KITA BUKAN JODOH DONG, NGAREP AJA NIH MAKHLUK SATU!” Suaranya memekik menuju akhir.

“Ssstttt!” Kepala mereka semakin mendekat. Donghyun agak tidak nyaman karena harus menopang tubuh manusia serigala di atasnya. “Itu rahasia, Donghyun. Kamu tau lawan aku siapa? GEUM! Penghuni Geum gaakan mungkin rela kamu diambil orang lain. Jadi, semesta aja gak tahu gimana endingnya. Tergantung perjuangan kita.... Lawan atau nyerah!” Tegasnya.

“Bohong!”

“Kalo kamu gak percaya, yaudah!” Joochan langsung berdiri. “Pergi dari sini sekarang! Kalo kamu dalam bahaya, gak usah minta tolong sama aku! Paling kamu mati di hutan, kalo gak dibunuh Geum, ya dibunuh serigala lain.” Jawabnya enteng.

Tubuhnya dibangunkan kembali. Debu di sekitar pakaiannya dipukul agar melayang. Matanya terus melihat pada seseorang yang sudah dituliskan takdir untuknya. Donghyun kebingungan dengan keputusan yang akan diambil.

“Donghyun! Mau pergi atau tetep disini sama aku?”

Pilihan dilemparkan secara buas. Joochan sudah membuka pintu, tetapi Donghyun masih diam. Si serigala tampan itu mengangkat dagunya angkuh. Satu tangannya kini tak lagi menyangga pintu tetapi disimpan di pinggang.

“Kamu mau pergi?” Tawarnya kembali.

“A-aku...”

“Kamu lebih milih tinggal menderita di luar sana dibanding sama aku?”

“Gimana caranya aku bisa percaya sama kamu?”

“Ini buktinya! Aku kalo niat jahat sama kamu, dari awal aja aku bunuh atau makan kamu sekalian!” Erang Joochan kesal.

Donghyun membulatkan kedua matanya. Sinyal bahaya terdeteksi tetapi anehnya Joochan tidak merasakannya. Badannya gemetar, sayang sekali lidahnya berubah kelu. Dia hanya bisa menunjuk ke arah makhluk yang sedang datang dengan sorot mata sangat tajam.

“Donghyun!” Pekiknya kasar. “Arghh! Sial! Kenapa gak ketauan datengnya, sih!” Kesalnya makin membara.

Joochan melesat seperti makhluk yang mengambil paksa Donghyun. Pergerakan mereka melebihi kecepatan angin dan butiran debu. Semua penghalang dihancurkan tanpa ampun. Ranting, dedaunan, bahkan makhluk sejenis didobrak sangat kasar.

“JOOCHAAAAAN!”

Pekik ketakutan Donghyun membuat laju semakin cepat. Sempat kehilangan jejak, akhirnya Joochan memaksa otaknya berpikir. Tidak ada makhluk serigala yang berani mengambil Donghyun kecuali penghuni Geum. Tidak ada pilihan lain, Joochan akan segera menuju ke tempat tersebut.

“Donghyun!” Berbagai tirai dan pintu yang terdapat di dalam rumah berlapis emas tersebut disingkap. “Kim Donghyun!” Teriaknya terus menggema seisi ruangan.

“Akh!”

Joochan terkapar. Makhluk tadi menyikutnya dari belakang. Donghyun yang masih dalam cengkraman tak bisa bergerak karena lengan makhluk menyeramkan tengah mencekiknya.

“Lepasin Donghyun!”

Matanya berubah menyala. Tantangan didengungkan karena dia pun tidak menginginkan Donghyun diambil orang lain. Tangannya semakin gemetar seiring penekanan di leher Donghyun. Di sudut lain, Joochan tidak dapat berkutik karena kekuatannya tak sepadan.

Oksigen yang melimpah tak bisa dihirup bebas oleh Donghyun. Akses bernapas ditutup dengan cekikan luar biasa. Perlahan pening dirasakan hingga pandangannya kabur. Tubuhnya lunglai disertai dengan wajah yang berubah pucat.

“Donghyun!”

Joochan tetap berusaha memanggil agar manusia tersebut tetap berada bersamanya. Namun, harapannya sirna. Matanya jelas sekali melihat tubuh mungil tersebut terkapar. Postur yang kecil terhempas ke lantai yang dingin. Nyawanya bersiap untuk melayang dari raga.

“Donghyun! Kim Donghyun! Bangun!”

Tubuh lemas itu masih digoyangkan dengan hebat. Joochan tidak mau perjuangannya selesai begitu saja karena kematian Donghyun. Dalam kepanikan, Joochan terus memanggil nama manusia mungil tersebut.

Keajaiban datang tanpa dugaan. Kehidupan terlihat dari pergerakan kecil jemari mungil milik Donghyun. Ringisan terlihat jelas dari raut wajah pucatnya. Setelah itu, matanya mengerjap hingga Joochan menunjukkan pengharapan.

“Donghyun?”

Jemari mereka saling bertaut kembali. Nyawanya tak jadi menghilang. Semesta seakan memberikan kesempatan kedua pada pasangan yang baru saja dipertemukan tersebut. Situasi sedang tenang, tidak ada yang memangsa karena menganggap jika nyawa tak lagi di tubuh Donghyun.

“Kita pergi sekarang, ya?”

Tubuh Joochan mendadak memiliki energi penuh. Lengannya melingkar pada pinggang yang masih lemas. Jalannya tertatih karena kesakitan yang menumpuk. Perlahan Joochan terus memberikan atensi agar prianya mendapatkan sepercik kenyamanan.

“Sial!”

Joochan menyimpan terlebih dahulu Donghyun di tempat aman. Kemalangan kembali mendekat, pintu keluar dari berbagai akses ternyata tertutup. Penghuni Geum bagai menerka jika pasangan tersebut akan lari ketika fokus tak diberikan.

“JOOCHAAAAAN!”

Kepala menengok seraya teriakan melengking dari Donghyun. Rautnya kesal sekaligus marah. Keputusannya tidak berjalan dengan baik. Joochan malah menjerumuskan Donghyun dalam jurang kesakitan.

Pertempuran kembali terjadi di ruangan berpetak tersebut. Keindahan emas terlupakan begitu saja karena ceceran darah di lantai. Berbagai luka di tubuh pun memperlihatkan sengitnya pertikaian hari ini.

“Donghyun, pergi!”

Joochan berhasil menyingkirkan mahkluk terkutuk dari tubuh Donghyun. Titah itu seperti pudar di pendengaran di pria mungil. Dia malah menatap pilu seperti enggan meninggalkan Joochan. Jika ditilik kembali, perseteruan ini didapatkan karena dirinya. Tidak mungkin jika tidak bertanggung jawab.

“PERGI!” Suaranya semakin lantang.

Sorot mengenaskan bertemu dengan Donghyun. Dia berhasil menghempaskan Joochan yang sudah kehabisan energi. Langkah semakin mundur lalu dipercepat. Namun, kakinya seperti terbelit dan menjatuhkan dirinya ke lantai.

Donghyun tidak lagi bisa melarikan diri. Tubuhnya kembali menjadi sasaran empuk penghuni Geum. Luka dilukiskan semakin beragam. Perih dan sakit datang silih berganti.

Tubuh yang tak berenergi susah payah dibangkitkan. Bersamaan dengan semilir angin yang menusuk kulit, Joochan berdiri sembari mengumpulkan kekuatannya kembali. Menantang lagi si pembuat onar seakan dirinya memiliki cadangan kekuatan.

Memanfaatkan situasi lawan yang terkapar, Joochan menarik Donghyun untuk mencari tempat yang aman. Menyelinap dan mengunci ruangan berpetak berbalut kedinginan. Dari arah luar, lawan melulu memberikan dobrakan karena akses yang tertutup. Di tengah kesempitan, Donghyun melamun sampai akhirnya menemukan ide yang menurutnya bisa menjadi solusi.

“Joochan!”

“Eum?”

“Gigit aku!” Titahnya teguh.

“Apa?”

“Buruan!”

“Kamu udah gila?”

“Kamu lebih milih aku mati disini? Hah?”

Amarah tersebut membuat Joochan berkerut kening. Keputusan Donghyun benar-benar tidak terpikirkan olehnya. Joochan hanya ingin memberikan perlindungan, bukan membawa Donghyun ke dunianya. Perlu diingat, seorang manusia yang berubah menjadi manusia serigala pasti akan sulit mengendalikan kekuatannya karena belum terbiasa. Donghyun pasti akan tersiksa dengan berbagai perubahan dalam dirinya.

Lamunan Joochan ditarik kenyataan setelah suara dobrakan semakin brutal. Mereka semakin terhimpit. Akses keluar pun tak ditemukan. Jalan satu-satunya adalah melawan.

“Joochan, aku masih pengen kumpul sama orang tua. Seenggaknya kalo kamu gigit aku, kita bisa lawan dia barengan, kan? Terus aku juga masih bisa tinggal sama orang tua walopun udah beda sama mereka.”

“Semuanya gak segampang yang kamu bayangkan, Donghyun. Kekuatan yang kamu punya pasti susah dikontrol. Kamu....”

Diksi penjelas yang diungkap Joochan dipotong paksa. “Masih ada kamu. Aku percaya sama kamu. Kamu bilang kita ditakdirkan buat barengan, kan? Kamu mau bantu aku, kan? Kalo kayak gini, kamu ngelawan sendirian, bukan gak mungkin kita berdua bakalan mati, Joochan!”

Saat sedang terhimpit, dia sangat membutuhkan saran dari kakaknya. Namun, jarak yang sangat berjauhan tidak mungkin mempertemukan dirinya. Sorot mata Donghyun makin tajam, dia memberikan isyarat jika siap seutuhnya untuk berubah wujud. Akan tetapi, Joochan tetap tidak sampai hati jika harus menggigit takdirnya.

“Joochan, cepetan!”

Kepalanya sengaja diarahkan ke samping. Bola mata tertutup erat dengan raut yang sudah meringis. Kepalan tangannya mencengkram ujung pakaian yang digunakan Joochan. Seluruh raganya telah siap menerima perubahan.

“Donghyun...”

“Aku gapapa, cepetan!”

Joochan mendekat. Mengikis sela yang terbuka luas di hadapan mereka. Memberikan kalungan di pinggang hingga kulit mereka bergesekan. Terlebih dahulu Joochan menghembuskan napas beratnya di lekuk indah Donghyun. Bahunya terangkat karena merasakan sensasi kegelian.

“Maaf, Donghyun...”

Di sela kepiluan, hanya permintaan maaf yang bisa terlontar. Gigi taringnya menancap utuh serta memberikan bekas luka yang khas. Tubuh Donghyun mendadak gemetar, Joochan tetap mempertahankan posisinya karena enggan takdirnya kesakitan lagi. Lenguhan tertahan karena perih yang terus ditahan. Ternyata tubuh Donghyun pun tak siap mendapatkan perubahan drastis.

“Jooch...”

Kegiatan terhenti. Pandang mereka segera bersatu. “Donghyun?” Tanyanya khawatir.

Telapak tangan mungil meraba bekas luka yang ditinggalkan Joochan. Bola matanya tak lagi getir, warnanya berubah perlahan menjadi merah membara. Beberapa sensasi aneh terasa dalam tubuhnya. Donghyun masih terdiam, berusaha membiasakan diri pada berbagai perubahan wujud yang akan mengubah kehidupannya.

Adaptasi tidak dibiarkan lama. Pintu keburu terbuka paksa bahkan rusak. Kekuatan lawan masih penuh, berbeda dengan mangsanya yang hanya menyisakan kerak kekuatan.

Joochan berusaha menyimpan takdirnya di belakang postur tubuh, tetapi Donghyun enggan. Berbekal kekuatan baru, dia melesat dan memberikan perlawanan sengit. Manusia serigala baru memang selalu memiliki kekuatan yang tidak dapat dikendalikan dengan baik. Joochan takjub melihat takdirnya bisa bertempur seperti itu.

Berbagai kilatan, sayatan, cakaran, bahkan bantingan diperlihatkan oleh Donghyun. Dia benar-benar menjadi pribadi lain yang tak dikenali oleh Joochan. Setelah lawan terkapar, sayangnya kini Joochan yang menjadi sasaran. Ingat, kekuatan Donghyun belum sepenuhnya bisa dikontrol. Dia bisa menyerang siapapun tanpa pandang bulu.

“Donghyun, akh!”

Tubuhnya melayang bagai kapas tertiup angin. Raganya terhempas kembali mengapungkan debu yang berserakan. Tulangnya seakan rontok menerima berbagai pukulan dari Donghyun. Tetapi, perlawanan tak bisa diberikan. Joochan enggan membuat luka di tubuh pria yang disayangi.

“Donghyun, sadar! Ini Joochan!” Satu tangkisan diterima lalu pandang ditajamkan. “Kim Donghyun!” Suaranya semakin lantang.

Lantang yang merambat membuat tubuh gemetar. Kesadaran didapatkan lalu membuat tinju melunak. Donghyun terjatuh, lebih lemas lagi ketika melihat sasarannya pun terkapar. Telapak tangannya gemetar dan hanya ditatap pilu.

“Joochan, maaf...”

“Gak ada waktu buat minta maaf! Kita pergi dari sini dulu, ayo!”

Mereka melesat kembali, berpijak di lantai kediaman Joochan yang agak aman. Donghyun masih belum sepenuhnya menyesuaikan diri. Keanehan demi keanehan dalam tubuhnya berusaha ditahan sendirian, bahkan terkesan disembunyikan dari Joochan. Lamunan tak jadi merenggut kesadaran, Donghyun heran karena lukisan yang ditatapnya malah menggambar rangkaian peristiwa sendirian.

“Joochan, i-itu lukisannya...”

Telunjuk Donghyun menjadi petunjuk arah. Tubuh lemas Joochan ikut mengistirahatkan diri di lantai sembari menatap lukisan tersebut. Pergerakannya cepat sekali, gambarnya pun sesuai dengan berbagai peristiwa yang mereka alami.

Donghyun tercengang, apalagi melihat dengan mata kepalanya sendiri jika peristiwa tersebut benar-benar dia alami. Bola matanya agak bergetar ketika gambar dirinya dilukiskan ketika sedang digigit oleh Joochan. Namun, lukisan terhenti kembali karena belum mendapatkan seorang pemenang. Kelelahan menerjang, jika dilanjutkan mungkin saja akan memberikan kekalahan.

“Kita istirahat dulu, aku gak mau kamu...”

Donghyun langsung memberikan dekapan sarat emosi, “Makasih, Joochan...”

Balasan pelukan diberikan sembari menyimpan kepala di lekuk indah Donghyun. Sebelum berucap, Joochan mengecup bekas luka gigitan yang ditorehkan olehnya. “Aku pasti bantu kamu, perjuangannya gak mudah. Kita harus selalu barengan, Donghyun...”

Donghyun hanya mengangguk sendu. Perjuangan mereka belum menemukan titik akhir. Perjalanan masih panjang bahkan berliku. Satu keputusan sudah diambil walaupun sulit. Perlahan Donghyun yakin jika pria yang didekapnya memang tercipta untuknya.

Kedua mata mereka tertutup erat. Panjat harapan diteriakkan batin untuk meminta kemenangan serta keajaiban. Hati mereka sudah bersatu, walaupun belum merasakan keyakinan. Namun, perjuangan yang dilakukan bersama akan mengubah semuanya menjadi romansa. Hubungan mereka akan semakin kuat, bahkan takdir pun hanya akan mengikuti keinginan mereka. Malam ini, mereka akan mengumpulkan sisa kekuatan yang hilang demi pertempuran lebih menyakitkan esok hari.

FIN

?????'?, ????????? ???? ??????? ?????? ??????? ???? ?????? ????????? ?? ????? ??? ??????? ???? ?????.

Penjelasan berbagai diksi dari beberapa orang mahasiswa membuat Joochan terhanyut. Pria tersebut malah bernostalgia dengan teman kecilnya, Kim Donghyun. Pria manisnya itu sangat mengagumi Dewi Bulan tersebut.

??????? ????? ???? ?????, ?????? ??????? ???? ???????? ?????????? ????? ????????. ?????, ????????? ?????? ?????????? ?????? ?????'? ???????? ?????????? ??? ????????? ?? ?????.

Anggukan demi anggukan diperlihatkan, menandakan jika Joochan setuju dengan pernyataan mahasiswanya. Cerita itu pun sering dia dengar semenjak kecil. Ayahnya Donghyun rajin sekali menceritakan tentang Chang'e. Maka dari itu, Donghyun seakan berharap tinggal di bulan agar dapat bertemu dengan dewi bulan tersebut.

????? ?????'?, ??? ?? ?????? ???????? ?????? ????? ???????? ?????? ????????. ???????? ??? ????????? ????? ??????? ?????? ???????????, ????? ??????? ?????? ??? ????? ????? ????????? ????????. ??????????? ??? ???????????? ?????? ????? ?????? ?????? ????? ?????? ????, ????? ??????? 15 ????? ?? ??????? ???????? ?????. ???? ?????'? ???? ????? ????????? ????????? ????? ????? ????? ?????? ?????? ????? ??????? ???????? ????? ???????.

Senyuman serta gemuruh tepuk tangan diberikan selesai melaksanakan presentasi. Dia tidak menyangka jika ada mahasiswanya yang akan membahas tentang Chang'e. Ah, rasanya dia jadi merindukan Donghyun.

“Pak, hari ini momennya pas, loh. Bulan lagi deket sama bumi, kebetulan kampus kita juga ada festival. Barangkali Bapak mau dateng juga? Ada kue bulan, loh, Pak. Siapa tau mau dikasih ke seseorang yang Bapak sayang.”

“Ya, nanti saya mampir sebentar mau nyoba kue bulan juga. Sekian untuk hari ini, terima kasih.”

Perkuliahan selesai. Presentasi penarik masa lalu tadi membuatnya merindukan Donghyun. Teman masa kecil yang sangat dia sayangi. Kakinya melaju dengan larian menendang angin, rasanya rindu yang terasa semakin tinggi.

Sesuai janjinya tadi, dia akan mengunjungi festival sebentar. Hari ini hanya terjadi satu tahun sekali, sayang jika dilewatkan. Selain itu, ini merupakan saat yang Joochan nantikan. Kerinduannya pada Donghyun bisa diluapkan dengan leluasa.

Di pertengahan laju, dering ponsel memekik. Suaranya seakan meminta atensi sang tuan. Segera tangannya merogoh saku untuk meraih ponsel pintarnya. Satu senyuman tersungging, pesan manis dari suaminya.

“Joo, aku buatin kue bulan, loh. Hari ini pulang cepet, kan?” Begitulah sekiranya isi pesan yang membuat senyumannya terlukis indah.

“Makasih, Hyun... Tapi, maaf kayaknya aku pulang agak malem. Aku usahain urusannya cepet selesai.”

Langkahnya kembali menelusuri jalanan sesaat setelah pesan dibalas. Tujuannya untuk membeli beberapa kue bulan yang tadi ditawarkan mahasiswanya. Setelah sampai, beberapa lembar mata uang diberikan agar kue tersebut segera berpindah tangan padanya. Tak ada yang dilakukan lagi, Joochan akan segera menyelesaikan urusannya dan bertemu suaminya.

“Tunggu aku, Hyun...” gumamnya sendiri seakan meminta lebih banyak waktu untuk menanti.

Seringai manisnya tersungging kembali. Melihatnya seperti ini, bahkan semesta pun ikut tersenyum. Entah romansa seperti apa yang akan dipancarkan Joochan kali ini, rasa cintanya untuk Donghyun memang sangat dalam.

Matahari telah mengalah, dia memberikan tahtanya pada bulan untuk membuat bumi bersinar lebih sendu dan temaram. Di sekitarnya bersinar terang ribuan bintang agar nuansanya semakin indah. Kegelapan yang terpancar, tak menakutkan. Bahkan lebih indah dibanding biru yang terpancar karena mentari.

“Hai, Hyun... Kamu baik-baik aja, kan?”

Satu sapaan kecil terucap kala tujuan telah dipijak. Joochan menyimpan bungkusan yang tadi dia bawa. Kue bulan dengan beberapa cemilan lain yang disukai Donghyun.

“Donghyun, inget waktu kecil dulu, gak? Dulu ayah kamu sering cerita tentang Dewi Chang'e, pas suaminya rindu, dia bawa kue bulan ini buat persembahan terus nyebut nama istrinya berulang kali...” Joochan mulai bernostalgia. “Terus lucunya, kamu juga pengen kayak gitu kalo ada yang kangen sama kamu. Kamu pernah nyuruh aku nyari kue bulan terus nyebut nama kamu berulang kali... Lucu banget emang kamu.” Sambungnya geli.

Kedua kakinya ditekuk. Pelukan erat mendekap lututnya agar tak terjatuh. Kedua sorot mata segera ditujukkan ke atas. Memandang bulan yang memang terasa sangat dekat.

“Donghyun, gimana rasanya sekarang? Gak sakit lagi, kan? Kamu udah ketemu Dewi Chang'e di atas sana? Dulu waktu kecil kamu sampe nangis pengen ke bulan...” Tawanya bercampur tangis. “Aku kangen sama kamu, Hyun.”

Katup yang sudah mengeluarkan binar kesedihan ditutup erat. Harapannya dipanjatkan setinggi mungkin. Hati dan pikirannya hanya terpusat untuk Donghyun. Ya, teman masa kecilnya telah tiada. Ketika mereka menempuh pendidikan menengah, Donghyun harus meninggal karena penyakit yang dimilikinya.

“Joo...”

“Donghyun?” Joochan menggunakan kedua tangan untuk menggosok kedua matanya. “Donghyun, ini beneran kamu?” Sambungnya sembari menggoyangkan bahu yang berhasil dia genggam setelah sekian lama.

“Kamu baik-baik aja, kan, Joo?”

Tak ada jawaban yang diberikan. Joochan langsung memberikan pelukan erat sarat emosi. Pria kesayangannya, yang dulu pernah direnggut paksa oleh semesta akhirnya bisa bertemu kembali. Beberapa kecupan manis di wajah Donghyun pun diberikan. Joochan memang sangat merindukan Donghyun.

“Joo, ngapain kamu kayak gini?” Donghyun tertawa karena perilaku yang dilakukan Joochan. “Kamu udah jadi dosen, masih aja percaya mitos?” Kekehnya geli.

“Itu juga gara-gara kamu.” Telunjuknya menyentuh hidung Donghyun hingga mengernyit.

“Makasih, Joo... Makasih kamu masih inget sama aku, bahkan kamu sampe ngelakuin ini segala.” Kedua tangannya menghangatkan jemari Joochan dengan genggaman. “Tapi, kamu lebih baik ngelakuin ini sama keluarga kecil kamu. Jaehyun pasti nunggu kamu, Joo...” Lirihnya pelan.

“Aku sayang sama kamu, Hyun...”

“Aku juga ribuan kali lebih sayang sama kamu, Joo... Tapi, kita gak mungkin bersatu. Aku tau alesan kamu nikah sama Jaehyun itu gara-gara aku. Tapi, seiring berjalannya waktu aku yakin kamu bisa tulus sayang sama Jaehyun.”

“Jangan nyuruh aku buat ngelupain kamu, Hyun. Aku gak mau, aku gaakan bisa.” Dekapan erat diberikan kembali. Kali ini harunya lebih terasa.

Dekapannya sangat erat. Lengannya mengalung sempurna seakan tak memperbolehkan semesta untuk mengambil Donghyun kembali. Apapun akan dia berikan, asalkan Donghyun kembali menjadi miliknya. Pertemuan ini sulit digambarkan dan enggan untuk dilupakan.

Donghyun adalah pria manis pecinta cerita dongeng. Cerita favoritnya adalah tentang perjuangan Chang'e dan Hou Yi. Kisah romansa tersebut berhasil menghipnotis Donghyun, dia bahkan sempat berpikir untuk meminum ramuan panjang umur agar dapat diangkat ke bulan.

Dia memang berada di atas sekarang. Mungkin saja sudah berteman dengan langit, bulan, bahkan matahari. Berbagai pil penyembuh yang dia teguk tiap hari bahkan tak kuasa memberikan kesehatan lagi. Donghyun berjuang habis-habisan untuk merenggut kembali kejayaannya, tetapi waktu berkata lain.

Profesi Joochan saat ini pun bukan tanpa alasan. Salah satu alasan dia menjadi dosen di Jurusan Sastra China adalah untuk mendengar kembali mitologi tentang Chang'e. Cerita tersebut berhasil mempersatukan dia dengan teman kecilnya. Masa kecilnya amat berwarna karena keindahan cerita tersebut. Sayangnya, masa remajanya sempat terpuruk karena kepergian Donghyun.

Singkat cerita, Joochan secara mengejutkan melamar Jaehyun. Seseorang yang bahkan belum dia kenal lama. Benak Joochan seperti enggan melepaskan Jaehyun sebentar saja. Ketika dua sorot mata beradu, binar air mata langsung berlinang di kedua kelopaknya.

“Donghyun... Donghyun....” Kepalanya menggeleng beberapa kali dengan kegelisahan yang amat kentara. “Kim Donghyun!” Serunya keras hingga terbangun dari tidur.

“Kenapa, Joo?” Sapa lembut seorang pria yang terus menggenggam tangannya. “Siapa Donghyun?” Lanjutnya curiga.

“Jaehyun?” Dia terpaku karena tiba-tiba saja berada di kasur empuk miliknya sendiri. Padahal jelas terasa jika tadi dia bersama dengan Donghyun.

“Istirahat, ya, Joo... Kamu pasti kecapean banget. Tadi mahasiswa kamu yang anter pulang, katanya kamu pingsan.” Jaehyun berhenti sejenak lalu menenteng tas keresek yang mencurigakan. “Terus ini apa? Aku bikinin buat kamu, kenapa harus beli, sih?” Amarahnya mulai meluap.

“Maaf, Hyun...”

“Terus Donghyun siapa?” Kedua mata mereka akhirnya beradu. Jaehyun tengah mencari bongkahan kejujuran dari suaminya.

“Makasih selalu bikin Donghyun tetap hidup. Sehat terus, ya?” Batinnya menangis lalu mengecup kedua mata Jaehyun hingga dia menutup mata sejenak.

“Donghyun itu cuma temen... Dia suka kue bulan juga, jadi...”

“Kamu beliin buat dia?” Sergapnya penuh amarah.

“Pengennya gitu, Hyun... Cuma gak mungkin...”

“Kenapa? Dia udah nikah? Kamu juga udah nikah sama aku, Joo!” Cemburunya makin terasa.

“Dia udah gak ada, dia udah gak ada disini, Hyun...”

Kepalanya didaratkan pada dada Jaehyun. Mimpi yang dia rasakan tadi seakan nyata. Donghyun berhasil datang kembali padanya walau hanya dalam hitungan menit. Bahkan, Joochan dapat memeluk dan menyesap kembali aroma tubuh milik Donghyun yang telah lama tak ia rasakan.

“M-maaf, Joo...”

Kepala kembali menengadah. Dia kembali menatap dalam dua bola mata indah milik Jaehyun, bukan itu milik Donghyun. Dulu kecelakaan hampir merenggut nyawa Jaehyun hingga pengelihatannya terganggu. Singkat cerita, Donghyun terdaftar sebagai pendonor kornea dan cocok dengan Jaehyun.

Semuanya menjadi rahasia, Jaehyun pun tidak mengetahuinya. Namun, Joochan susah payah menemukan pria yang menerima donor dari Donghyun agar rasa rindunya terobati. Hanya dengan bersama Jaehyun, dia bisa merasakan jika teman masa kecilnya masih hidup.

Senyumnya manis sampai-sampai membuat matanya menyabit, indah sekali. Donghyun pun begitu, dia akan tersenyum sangat manis hingga matanya menyipit. Joochan melihat dengan jelas kehidupan Donghyun dalam netra suaminya. Bulan mungkin saja menjadi tempat tinggal baru bagi Donghyun, tetapi sepercik tersisa di pelupuk mata milik Jaehyun.

“Aku yang harusnya minta maaf, Hyun...”

Panggilan itu, enggan sekali dia bedakan. Jika memanggilnya, maka dia juga akan merasa jika Donghyun masih hidup. Semua karena Jaehyun, Joochan bertekad akan menjaga Jaehyun sepenuh hatinya agar Donghyun tetap hidup bersamanya.

“Gausah minta maaf, Joo... Kamu ganti baju dulu, ya? Mau makan? Nanti aku siapin.”

“Kamu udah bikin kue bulan, kan? Kita makan bareng, ya?”

Jaehyun tersenyum. Menyunggingkan kedua sudut bibirnya hingga memperlihatkan sabit di kedua matanya. Joochan menyukainya, sangat menyukainya karena akan mengingatkannya pada Donghyun.

“Udah siap di meja makan, yuk...”

Joochan menggeleng, “kita makan di teras aja, ya? Atau di taman belakang? Aku pengen liat bulan.”

“Boleh banget, Joo... Bentar aku siapin dulu, ya?”

Jaehyun berjalan sesuai arahan suaminya. Dia menyiapkan berbagai makanan yang diinginkan oleh Joochan. Membereskannya kembali di meja yang terletak di taman belakang rumahnya. Senyuman manis kembali tersungging, dia bersiap memanggil suaminya dan menyantap makanan bersama.

“Kok, tumben mau makan disini, Joo?”

Telunjuknya menunjuk bulan yang temaram. “Aku mau liat bulan.”

“Iya, sih. Bulannya lagi bagus banget.”

Joochan mengalihkan atensinya. Menatap dalam kedua netra suaminya yang juga dipaksa untuk dialihkan pada dirinya. Kerinduannya pada Donghyun semakin membuat layu, Joochan akhirnya memberikan kecupan berulang di kedua netra Jaehyun.

“Sejak kapan kamu suka bulan, Joo? Kok, aku gak tau?” Tanyanya sinis.

Joochan beralih posisi, dia menyergap Jaehyun dari belakang agar sudut pandang mereka sama. Bulan kembali dipandang dengan tatapan yang berbeda.

“Kamu tau? Dewi Chang'e tinggal di bulan, makanya kita bisa merasakan keindahan malam hari kayak gini.”

Jaehyun menengok dengan tatapan mencurigakan, “mulai, deh bawa-bawa mitos kayak gitu. Dosen Jurusan Sastra China beda, ya obrolannya...”

Tawa terselip di tengah bincang hangat mereka. Joochan kembali mengecup suaminya dan menatap bulan yang tak tergapai olehnya walaupun posisinya sudah dekat dengan bumi.

“Liat, deh, Hyun... Liat bulannya, teliti baik-baik pasti kamu bakalan liat garis bayangan kelinci yang lagi numbuk. Coba, deh!”

“Ngaco kamu!” Sikutnya kecil pada perut sang suami.

“Bener, Hyun... Itu hewan yang nemenin Dewi Bulan. Dia tinggal di bulan bareng kelinci itu. Namanya Kelinci Giok, kamu tau itu lambang dari apa?” Jaehyun menggeleng sangat menggemaskan. “Lambang ketulusan, berbakti, dan rela berkorban. Jadi jangan anggap remeh mitos, Hyun. Selama ada hal yang bisa kita petik, kenapa enggak, kan?”

“Satu lagi, itu sama banget kayak Donghyun, dia sangat tulus dan bahkan rela mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Makasih, Hyun... Makasih banyak...” Lirihnya dalam batin.

Pertama kalinya Jaehyun mendengar cerita dari Joochan. Biasanya mereka hanya akan bercakap tentang keseharian dan selesai. Jika masa lalu diungkap, maka hanya Jaehyun yang bercerita. Joochan seakan enggan membuka cerita lalu, padahal mereka sudah resmi menikah.

“Aku laper, Joo... Kita makan, ya?”

Joochan hendak melepaskan pelukannya tetapi jemarinya dikejutkan dengan genggaman erat. Kedua matanya langsung membulat ketika melihat sosok tersayangnya kembali. Donghyun berada bersamanya dan bahkan menyatukan jemari dengannya.

“Ini aku gak mimpi, kan, Hyun?”

Donghyun menggeleng, Jaehyun yang berseru. “Mimpi apa, Joo? Lepas dulu, aku mau makan!”

Joochan melepas dekapannya dengan raut kebingungan. Dia masih merasakan jika Donghyun masih menggenggam tangannya sangat erat. Sudut pandangnya bahkan tak dialihkan sedikit pun dari Donghyun.

“Jangan nangis, Joo...” Lirih Donghyun pelan.

“Hyun...”

“Apa, Joo? Makan cepet, nanti aku abisin, loh. Jangan minta dibikinin lagi, ya?” Ancamnya menggemaskan.

“Hyun...”

“Joochan! Kamu liat apa, sih?”

Netranya kembali menelisik lebih jauh, sesekali juga melirik untuk memastikan jika Donghyun masih bersamanya. Joochan tersenyum bahagia tetapi berlinang. Dia tidak menyangka, waktu yang disukai Donghyun menjadi momen pertemuan mereka kembali.

“Aku selalu sama kamu, Joo.” Suara Donghyun yang sangat dirindukan kembali terdengar.

“Hyun...” Lirihnya terisak.

“Joo? Kamu nangis?” Ucapnya khawatir

Jaehyun segera menyeka buliran air mata. Selain itu, dekapan hangat pun diberikan lagi. Air mata yang tumpah bahkan membasahi pakaian Jaehyun. Kekhawatiran terasa kentara sekali.

“Hyun...”

“Iya, Joo... Aku disini. Kamu tenang dulu, kenapa? Ada apa, sih?” Jaehyun mengelus punggung suaminya berulang kali.

Pertanyaan itu tak memiliki jawaban. Joochan mempertahankan isaknya karena senyuman sabit yang dirindukan masih dalam pengelihatannya. Donghyun masih di hadapannya dan menyatukan jemari.

“Aku sayang sama kamu, Hyun...”

“Aku juga, Joo...” Jawab Jaehyun dan Donghyun bersamaan.

“Udah, ah! Jangan nangis, kenapa jadi melow gini, kamu kenapa?” Jaehyun kebingungan.

“Aku udah lama gak kayak gini, Hyun. Boleh diem dulu?”

Jaehyun merelakan tubuhnya menjadi sandaran bagi sang suami. Seberapa lama pun akan dia berikan, asal suasana hati suaminya membaik. Isak semakin kuat terasa dari pakaian Jaehyun yang diremas sangat kuat. Jika sudah seperti ini, Jaehyun tidak bisa memaksa. Dia harus menunggu hingga suaminya berkeinginan untuk mengungkap hal tersebut.

FIN

Beberapa panggilan masuk terabaikan hingga membuat si penelepon kalang kabut. Langkah bulak balik melulu dilajukan karena kecemasan yang semakin tinggi. Ponsel yang digenggam hampir saja menyentuh lantai jika amarahnya tak sanggup ditahan. Hatinya bersatu dengan gemuruh guntur di langit, cemas karena sang suami tak kunjung memberikan kabar.

“Kak Yoon mana, sih? Kok, pulangnya lama banget mana hujannya deres pula.”

Kali ini kukunya habis digigiti. Bertemankan hujan deras, dia rela menunggu suami tercintanya di teras. Percikan air membasahi pakaian yang menempel, tapi tak apa. Dia hanya membutuhkan kedatangan suaminya.

“Kak, kasih kabar, dong. Biar aku gak khawatir kayak gini.” Gumamnya sendirian.

Satu jam berlalu. Waktu yang dijanjikan sudah terlewati sejak lama. Seharusnya mereka sudah dalam perjalanan penuh romansa menuju sebuah villa yang sudah dipesan oleh Sungyoon. Salah satu alasannya tak lain karena besok merupakan ulang tahun Seungmin, pria kesayangannya. Selain itu, dia juga ingin melakukan quality time karena akhir-akhir ini kesibukan merenggutnya dari Seungmin.

Kantuk datang seiring penantian tak usai. Seungmin menyangga kepalanya sendiri agar dapat tidur sekaligus menunggu kedatangan suaminya. Posisinya agak diturunkan dari kursi agar punggungnya menyandar dengan nyaman. Penantian babak baru dimulai, dia menunggu sambil membawa kecemasannya ke dalam mimpi.

“Sayang?”

Sentuhan di pipi membuat kedua mata mengerjap. Netranya terbuka perlahan dengan terlebih dahulu diusak karena masih berat. Ketika tubuh diposisikan seperti semula, rautnya berubah. Seungmin langsung berdiri melihat suaminya sudah berada di hadapannya.

“Kakak kemana aja? Kenapa gak ngabarin aku?” Pekiknya dengan pelukan di tubuh basah sang suami.

“Maaf, sayang...”

“Kok, basah gini, Kak?” Tanyanya cemas.

“Tadi mobil kakak mogok, sayang. Terus kakak benerin sendiri biar cepet, cuma hujan jadinya basah gini.”

“Ih, kenapa ga nelpon bengkel aja, sih? Gak harus hujan-hujanan, kan, Kak!”

“Biar cepet, sayang. Kakak udah janji sama kamu, gaenak juga kalo kamu nunggu lama, sayang. Mana ketiduran di luar pula, kita masuk dulu, ya?”

Semilir angin seakan mendorong pasangan tersebut masuk. Pintu tertutup agar kedinginan juga tak ikut merasuk. Kedua laju sangat pelan menuju bilik pribadi, mengganti pakaian kemudian membincangkan kembali rencana selanjutnya yang sempat tertunda.

Tubuh Sungyoon yang sudah hangat dijadikan sandaran baru bagi Seungmin. Kehangatannya menyesap dan mendatangkan kenyamanan bagi pria dalam dekapan. Telapak tangan Sungyoon terus bergerak seirama untuk menepuk punggung pria kesayangannya. Hanya beribu diksi penyesalan yang terlontar di bibir ranum Sungyoon.

“Maaf, sayang... Rencananya jadi gagal gara-gara kakak. Besok kita langsung berangkat, ya?”

Seungmin menggeleng. “Gapapa, Kak. Asal kakak baik-baik aja udah cukup buat aku. Tau gak? Aku khawatir setengah mati tau! Kakak gak ngabarin aku banget, jahat!” Rajuknya manja.

Kecupan manis lagi dan lagi mendarat di puncak kepala Seungmin. “Maaf, sayang. Kita tidur, ya? Biar besok seger, gimana?”

Senyuman manis diperlihatkan seiring kepala yang dinaikkan. Kegemasan yang terlihat di depan mata tak kuasa didiamkan begitu saja. Tengkuk pria yang tengah dalam pelukan ditarik pelan hingga bibir mereka saling bersentuhan. Senyuman dilukiskan kembali dipertengahan ciuman manis, kemudian semangat semakin membara hingga tautan mereka pun memanas.

Katup mata terbuka bersamaan dengan tubuh pasangannya yang gemetar hebat. Hujan yang tadi mengguyur sepertinya menyisakan kesakitan yang belum usai. Padahal obat-obatan pereda nyeri telah habis diminum, tetapi kondisi sang suami malah diserang demam hebat.

“Kak? Kak? Denger aku, kan?” Seungmin khawatir hebat.

Tubuh kecilnya terbangun untuk menyibak selimut. Dirinya seakan tak membutuhkan kehangatan. Prioritasnya kali ini hanya kesehatan suaminya. Kakinya pun kembali menapak pada keramik dingin untuk mengambil kompresan beserta obat.

Kesigapan Seungmin membuat kondisi Sungyoon membaik, gemetarnya pun hilang. Napas berat dihembuskan perlahan seirama dengan turunnya tubuh di kasur. Satu tangan menyangga kepala agar atensi selalu tertuju pada suaminya. Kondisinya benar-benar buruk, wajahnya pucat pasi, demamnya juga tinggi.

Irama dari ponsel suaminya membuat Seungmin kembali terjaga. Nada tersebut segera diberikan atensi karena takut jika hal penting yang datang. Namun, tetes air mata malah membasahi kedua sisi wajahnya. Ternyata, itu adalah pengingat hari ulang tahunnya. Ya, sudah tengah malam, Seungmin sudah bertambah usia. Akan tetapi, rencana manis yang pernah dilontarkan Sungyoon sirna karena semesta tak mendukung.

“Kak Yoon sembuh, ya? Aku gak mau kado apapun, maunya kakak sembuh.”

Pelukan diberikan hingga kantuk kembali menyapa. Suasana dingin yang masih menyelimuti membuat Seungmin pun agak menggigil. Tidak mau mengikuti kondisi suaminya, Seungmin ikut bersembunyi di bawah naungan selimut hangat. Jika dia juga sakit, tak akan ada orang yang akan menjaga suaminya.

Mentari terbit dengan senandung merdu kicauan burung. Seungmin menggeliat sedikit karena sinar yang lolos masuk ke sela tirai dan jendela. Kepalanya tak mau diam hingga membangunkan sang suami. Sungyoon mengerti jika fajar mengganggu kualitas tidur Seungmin.

Akhirnya tubuh agak dimiringkan agar sinar tertutupi tubuh kekar. Seungmin didekap lebih erat dan tak melupakan juga kecupan selamat pagi di bibir ranum yang menggemaskan. Tatapan sendu melulu ditujukan, Seungmin tepat bertambah usia tetapi semua agenda gagal satu per satu.

“Maaf, ya, sayang...”

Jemarinya bergulir mulus di pipi Seungmin. Tidurnya kembali tenang sesaat setelah Sungyoon menghalangi sinar yang menelusup. Rasa bersalah kembali muncul, Sungyoon tidak bisa berbuat apapun karena kondisinya masih belum membaik.

“Eh, Kak, udah bangun? Aku bikinin sarapan, ya?”

Sungyoon menarik kembali pria manisnya dalam pelukan, “diem aja, sayang. Kakak butuhnya kamu bukan sarapan.”

“Ih, Kak, minum obat dulu nanti nambah sakit.”

“Engga, sayang...” Kedua tangannya melingkar sempurna di tubuh Seungmin. “Kayak gini aja, nyaman.” Sambungnya lembut.

“Kak...”

“Apa, sayang?”

Kepalanya menyembul dari pelukan Sungyoon. Bibirnya merenggut karena merasakan suhu suaminya masih tinggi. Akhirnya, Sungyoon menangkupkan kedua tangannya di pipi Seungmin. Menyatukan kening dan hidung hingga Seungmin mengernyit.

“Selamat ulang tahun, sayang. Maaf, kejutannya gagal total. Kakak gak nyangka bakalan sakit. Semoga besok mendingan, ya? Kita langsung pergi ke villa.”

Lagi dan lagi kepalanya menggeleng pelan. Seungmin seakan enggan memikirkan berbagai perjalanan menarik tersebut. Dia tidak peduli jika semuanya kandas, kesehatan suaminya yang dia butuhkan.

“Kita nunggu sampe kakak sembuh total! Gak usah mikirin yang lain, ulang tahun aku masih ada taun depan! Gapapa, Kak. Kakak harus sehat dulu.”

Raut wajahnya melukiskan seringai manis kembali karena kegemasan yang diperlihatkan oleh Seungmin. Semesta ternyata memberikan kebahagiaan lain melalui sakit yang diderita Sungyoon. Dia merasakan ketulusan pria manisnya yang belum tentu didapatkan dari orang lain. Seungmin rela melakukan apapun asalkan mereka tetap bersama.

“Sayang...”

Kehangatan terlepas karena jemari menopang tubuh untuk terbangun, Seungmin mengikutinya. Ia dengan telaten membantu sang suami agar bisa duduk dengan posisi yang nyaman. Setelah itu, raut wajah Seungmin kebingungan. Pria manis itu menagih perkataan yang sempat terputus.

Telapak tangan sang suami terulur walaupun hampa. Tangannya diposisikan seakan membawa kue ulang tahun beserta lilin cantik di atasnya. Lantunan lagu pengiring juga disuarakan bak penyanyi profesional. Tanpa diduga, suaminya memberikan hal di luar nalar.

“Ngapain, sih, Kak?”

*“Anggap aja ada kuenya, sayang. Make a wish dulu baru tiup lilinnya.”*

Kedua matanya terpejam seiring harapan yang terucap. Tangannya pun bergenggaman pada jemari sendiri. Harapannya cukup memakan waktu lama, tetapi membuat Sungyoon malah larut dalam pemandangan indah. Seungmin sangat cantik dari sudut pandangnya hari ini, bahkan beribu kali lebih cantik.

“Udah!” Serunya sembari mengembalikan kesadaran Sungyoon yang daritadi mengagumi kecantikannya.

“Tiup lilinnya, sayang...”

Tangannya disodorkan seperti membawa sebuah kue. Seungmin agak menunduk lalu melakukan postur untuk meniup lilin. Di akhir tiupan, mereka juga bertepuk tangan. Ulang tahun hari ini sangat berkesan, padahal semuanya biasa saja.

“Mau kado apa, sayang?”

“Kamu, Kak!”

“Eummm?” Jawabnya kebingungan.

“Kamu sembuh, Kak... Aku gak mau liat kamu sakit. Aku siapin sarapan dulu, ya? Biar bisa minum obat.”

“Gak usah, sayang!” Mangsa diterkam dan ditidurkan di bawahnya. “Kakak sarapan yang lain aja.” Sambungnya licik.

“Ih, Kak! Lagi sakit juga, ah!”

“Biar kakak sembuh, sayang...”

Kegiatan mereka berlanjut penuh peluh. Sarapan yang dilakukan tak kalah lezat dibandingkan dengan makanan apapun. Jangan dilupakan, kado yang diberikan Sungyoon pun merupakan hal terindah dalam romansa yang mereka lalui bersama. Kebersamaan akan selalu terjalin karena rasa sayang yang masih tertanam di hati. Mereka selalu mempertahankannya, hanya itu yang bisa membuat keromantisan mereka bertambah hari demi hari.

FIN

Embusan angin perlahan mulai membekukan ruang berpetak besar ini. Perlahan kebekuannya ditularkan pada beberapa pengunjung hingga tak jarang mereka enggan melepaskan jaket yang tersemat di tubuh. Dinginnya semakin menusuk karena cuaca di luar sedang rintik. Perpustakaan yang biasanya sepi mendadak ramai, entah memang mereka berniat membaca buku atau hanya sekedar berteduh.

Dari beragam mahasiswa yang berkunjung, terdapat satu pria pendiam tengah terlelap sendirian. Projek lomba yang sedang digarap belum juga rampung, padahal dia baru berniat mengedit proposalnya saja. Namun, rasa kantuk tiba-tiba saja bertamu. Dia memutuskan untuk tidur barang sejenak saja agar kantuknya terusir. Buku yang tadinya dijadikan sebagai sumber informasi proposalnya, berubah menjadi bantal tidur.

Tubuh mungil yang digerakkan membuat tidurnya terganggu. Matanya mengerjap lalu kedua tangannya terangkat untuk menggeliat. Setelah pandang bertemu, ia terkejut bukan main. Pria incaran sejak tahun lalu ternyata berada di hadapannya.

“Bukunya udah selesai? Boleh aku pinjem?” Tanyanya sopan.

“Hah?” Gelagatnya gugup. “Ah, ini?” Lanjutnya sembari mengacungkan buku sumber yang tadi malah ia jadikan bantal.

“I-iya, masih dipake gak?”

Pria manis tersebut hanya menggeleng. “Bawa aja.”

Bincang singkat basa-basi tadi cukup untuk membuat hatinya melayang ke langit. Walaupun terjatuh karena dia ditinggalkan tanpa berkenalan, tak masalah. Awan masih menampung hingga rasa sakitnya tak terlalu menyesakkan. Senyuman manis yang mengiringi perpisahan mereka semakin membuat salah tingkah. Jelas saja, Donghyun telah lama mengincar Joochan dan secara ajaib semesta membawakan pria tersebut padanya. Ya, walaupun masih sekedar berbasa-basi.

Donghyun dan Joochan sebetulnya berada di jurusan yang sama. Sayangnya, mereka terpisahkan karena tak belajar di kelas yang sama. Donghyun hanya bisa menatap ketampanan pria pujaannya dari jauh. Sikapnya yang terlalu pendiam tak bisa menjadikannya agresif. Terlebih Joochan merupakan salah satu pria tampan di kampus. Tentu saja akan sulit mendapatkan pujaannya. Jadi, Donghyun hanya bisa pasrah dan memutuskan untuk menjadi pengagum rahasia saja.

“Udah sore, nih. Aku balik aja, deh.” Gumamnya dalam hati.

Kakinya sudah kembali berpijak pada keramik dingin. Namun, langkahnya terhenti karena tak sengaja menendang satu buku di lantai. Buku misterius tersebut tergeletak begitu saja tanpa seorang pemilik. Sebagai seorang mahasiswa yang baik, Donghyun mengambil bukunya dan menelisik. Membulak-balik buku asing tersebut berharap ada seseorang yang mengakui.

“Magic?” Serunya pada diri sendiri. “Emang disini ada jurusan sulap? Kok, ada buku kayak gini?” Lanjutnya heran.

Dia kembali duduk. Buku tersebut bak memberikan sihir pada Donghyun. Sama seperti judulnya, Donghyun seperti terhipnotis untuk membuka lembar demi lembar buku tersebut. Padahal dia tidak memiliki antusias sedikitpun pada dunia sulap.

???????? ????? ??? ??????? ?????? ?????????? ????????? ???? ???? ???????. ???? ??? ????????????, ???? ??? ?????? ??????? ??????.

Rangkaian diksi ajaib berhasil menarik atensi Donghyun. Kata tersebut tak terlalu panjang tapi cukup menghabiskan banyak waktu untuk membacanya. Bukan sekedar membaca, Donghyun mencerna dengan akal sehatnya. Ia berpikir jika hal tersebut tidak mungkin terjadi. Apalagi jika dia memikirkan nama Joochan dan meniup lilin tersebut. Mustahil Joochan akan datang begitu saja di hadapannya tanpa alasan jelas.

“Udahlah, Donghyun! Cukup halunya, mending balik aja. Besok masih ada kuliah.”

Perjalanan menuju kosan tak terlalu jauh. Pria manis itu hanya perlu melangkahkan kakinya sekitar lima belas sampai dua puluh menit saja. Di kosan, dia tak sendirian. Walaupun pendiam, Donghyun masih memiliki dua sahabat karib. Jaehyun dan Bomin memang tak berada satu kamar dengannya. Mereka berada di samping kamar kosan Donghyun. Dahulu ketika masih menjadi mahasiswa baru, mereka berjanji akan selalu menjaga satu sama lain. Selain itu, alasan mereka berada dalam satu naungan tempat tinggal adalah agar ketika saling membutuhkan tak susah untuk mencari dan menghubungi.

Kosan merupakan tempat paling nyaman bagi makhluk tak pandai beradaptasi seperti Donghyun. Area ini cocok untuk dijadikan bahan imajinasinya ketika menulis berbagai tugas, apalagi dia dipaksa untuk mengikuti satu perlombaan. Otaknya pasti akan bekerja lebih keras dan tentu saja membutuhkan keheningan kosannya untuk berpikir.

“Ah, sial! Kenapa harus mati lampu pas lagi kayak gini, sih?” Rutuknya kesal.

Donghyun terpaksa berjalan dengan bantuan senter di ponselnya. Dia baru saja akan membuka kembali laptopnya untuk memperbaiki proposal lomba yang akan diajukan. Kondisinya diperparah karena ponselnya hampir kehabisan daya. Dengan penuh pengharapan, dia berjalan ke kamar sebelah mencari bantuan sebelum senter di telepon genggamnya mati.

“Bomin? Ada di dalem, kan?” Tangan yang bebas mengepal lalu mengetuk pintu kamar sahabatnya. “Punya lilin gak? Minta, dong!” Lanjutnya agak lantang.

Sahabat memang selalu bisa diandalkan saat apapun. Senyuman manis diperlihatkan ketika pintu terbuka. Donghyun sengaja melakukannya agar sahabatnya itu memberikan bantuan. Sayangnya, Bomin malah menanggapi dengan sangat dingin.

“Ganggu tidur aja, sih? Gak ada! Tanya Jaehyun sana.”

“Yaudah!”

Bomin mungkin kesal karena tidurnya terganggu. Namun, Donghyun juga kesal karena kehadirannya justru ditanggapi tak elok oleh sahabatnya. Kesal yang masih menggunung mendampingi kepergian langkah kecil ke kamar Jaehyun. Bingo! Pintunya tak tertutup. Sepertinya Jaehyun baru kembali dari warung atau mungkin sudah mengerjakan hal lain.

“Jaehyun!” Serunya agak lantang.

“Hhhmmm?”

Binar mata Donghyun bersinar terang bagai cahaya lilin yang sedang dinyalakan Jaehyun. “Ih, minta lilin, dong. Males ke warung, nih.”

“Sudah kuduga!” Jaehyun merogoh satu batang lilin dari dalam kresek. “Nih, kalo kurang balik lagi aja. Tapi, semoga gak lama, sih.”

“Makasih, Jaehyun...”

Getaran manjanya kentara sekali terdengar. Jaehyun yang sudah biasa mendengarkan hanya membalasnya dengan raut canggung dan agak kesal. Perilaku manis tersebut hanya terlihat jika mereka saling membutuhkan saja. Selebihnya mereka gemar sekali bertengkar. Akan tetapi, itulah bumbu persahabatan mereka. Aneh sekali bukan?

Setelah kembali ke kamar, ponselnya pun tak lagi bersinar. Barang kesayangannya kehilangan daya dan belum bisa digunakan. Donghyun pasrah dan hanya bisa menunggu sampai lampu kembali menyala. Niatnya untuk mengerjakan proposal pun diurungkan. Bekerja ditemani kegelapan tentu bukan ide yang bagus.

Akhirnya, dia hanya bisa merebahkan tubuhnya di kasur. Menatap langit kamar dengan pikiran yang masih tertuju pada Joochan. Hanya untuk sekedar informasi, Donghyun tak pernah memberitahukan jika dia memiliki perasaan untuk Joochan. Termasuk pada Bomin dan Jaehyun. Mereka memang bersahabat, tetapi sikap pendiam membuat semuanya juga tersembunyi.

“Aku tidur aja, deh.” Serunya pelan.

Sebelum tidur, Donghyun malah memainkan api dalam sumbu lilin di hadapannya. Sinarnya temaram tapi cukup memberikan cahaya hingga pengelihatannya kembali jelas. Sejenak lamunan menyergap, dia memutar waktu. Kembali pada diksi ajaib dari buku asing yang tadi dibaca. Mungkinkah Joochan adalah belahan jiwanya? Jika hal tersebut benar, apakah mungkin Joochan akan datang mendatanginya setelah cahaya lilin dia padamkan melalui tiupan bibirnya? Entahlah, Donghyun tak terlalu mengharapkan hal tersebut terjadi.

Pikirnya masih melulu berkutat pada Joochan. Pria tersebut memang selalu membuat Donghyun salah fokus. Enggan terlalu larut dalam imajinasi liar, Donghyun hanya meniup lilin dengan sedikit harapan agar Joochan menemuinya.

Dua puluh menit berlalu. Tak ada tanda apapun dari luar. Pintu pun tak kunjung terketuk. Apakah ini menjadi jawaban semesta jika mereka tidak ditakdirkan bersama? Donghyun hanya menepuk kepalanya sendiri. Dia terlalu percaya pada hal magis yang mustahil terjadi di dunia nyata.

“Stop! Berhenti mikirin Joochan, Hyun! Tidur aja.” Dia menghentikan dirinya sendiri.

Selimut akhirnya ditarik agar kehangatannya merebak ke seluruh tubuh. Mata dipejamkan agar besok bisa kembali terbangun dengan kondisi lebih baik. Perlahan dunia nyata ditinggalkan, Donghyun menyelami mimpi dengan raut yang sangat tenang. Sayang sekali, beberapa kali ketukan membuatnya tertarik kembali ke dunia nyata.

“Ada apa, sih? Ganggu orang lagi tidur aja!” Selimutnya tersibak. Donghyun berjalan kecil sampai tak menyadari jika cahaya lampu telah kembali. “Pasti Jaehyun atau Bomin, nih. Awas aja kalo mereka ngebangunin aku cuma nanya hal gak penting. “ Ancamnya kesal.

Seraya pintu terbuka, Donghyun sudah siap merutuk pada sahabatnya. “Ada ap...” Nyatanya, suara malah tercekat.

“Kim Donghyun?”

Matanya terbelalak ketika mendengar nama lengkapnya dipanggil. Kalian bisa menebak siapa yang datang? Ya, Joochan, dia benar-benar datang menemui Donghyun secara ajaib. Hal tersebut tentu saja membuat si pria manis malah menampar dirinya sendiri.

“Eh? Eh? Kok ditampar?” Joochan kebingungan.

“Aku gak mimpi, kan?” Tanyanya polos.

“Engga...”

“Bentar!” Donghyun berlari memasuki kamarnya kembali. Dia berniat melihat gambar dirinya mengingat ia baru saja bangun.

Setelah dirasa baik-baik saja, Donghyun kembali ke hadapan Joochan sembari mengatur napasnya. Buku yang tadi dia baca benar-benar membawa Joochan ke hadapannya. Donghyun semakin yakin jika mereka memang ditakdirkan bersama.

“Maaf lama.”

“Ah, gapapa. Aku cuma mau ngasih ini.” Joochan memberikan satu berkas kertas yang tak asing.

Tangan mungil terulur untuk mengambil berkas tersebut. “Ini apa?” Suaranya penasaran.

“Proposal kamu, aku disuruh Pak Daeyeol buat ngasih ke kamu. Katanya kamu gak bisa dihubungi, jadi aku, deh yang disuruh kesini. Maaf jadi malah ganggu kamu tidur.”

“Pak Daeyeol?” Pertanyaan itu hanya dijawab anggukan oleh Joochan.

Ternyata pertemuan mereka kembali hanya sekedar sebuah kebetulan. Donghyun sejenak melupakan kemagisan dari tiupan lilin yang sudah dilakukan. Tidak ada sedikitpun romansa yang terasa, padahal buku tersebut mengatakan jika ini merupakan bukti jika mereka adalah belahan jiwa. Mungkin memang lebih baik jika Donghyun tetap diam di dunia nyata. Dunia sihir dan magis tak cocok untuknya.

“Makasih, ya. Kebetulan tadi handphonenya mati. Mau masuk dulu?” Tawar Donghyun.

Hatinya berdegup kencang. Celah kecil di hatinya berharap jika Joochan akan bersedia berkunjung. Jika kaki mereka berpijak pada lantai keramik yang sama, mungkin saja Donghyun akan percaya dengan buku magis tersebut. Nyatanya, tidak. Donghyun bagai dilemparkan dari langit ke tujuh karena Joochan menolak.

“Ah, gak usah. Jangjun nunggu di depan. Gak enak juga kalo dia nunggu lama. Pak Daeyeol bilang katanya itu proposal harus selesai besok. Duluan, ya?”

“Besok?” Serunya terkejut sambil melambaikan tangan pada Joochan yang perlahan menghilang.

Daeyeol memang salah satu dosen yang dikenal sama memperhatikan hal detail. Dunianya perlahan menjadi neraka karena ternyata projek lomba yang diikutinya malah mempertemukannya dengan dosen galak tersebut. Tak ada pilihan lain, Donghyun kembali membuka laptopnya. Lembar per lembar dia teliti dengan baik. Melihat berbagai coretan yang dibubuhkan Daeyeol, detail sekali. Donghyun sampai menggelengkan kepalanya berulang kali karena mengagumi kemampuannya yang sangat menakjubkan.


Donghyun terburu-buru karena pagi ini harus bertemu dengan Daeyeol. Dia sampai meninggalkan Jaehyun dan Bomin karena pertemuan pagi ini. Tak apa, paling nanti dia harus bersiap dengan berbagai sumpah serapah sahabatnya karena tidak memberikan kabar.

“Permisi, Pak?” Suaranya lembut sekali, sangat tak biasa. Setelah mendapat persetujuan, ia menekan kenop pintu agar terbuka.

“Duduk!” Perintahnya dijawab dengan anggukan kecil. Langkahnya sangat cepat dengan kedua tangan memeluk berkas yang sudah diedit semalam.

Keheningan menyeruak. Donghyun hanya diam di salah satu kursi yang berada di ruangan Daeyeol. Perlahan suasana hatinya nyaman karena aroma wangi yang dihirup. Jelas saja, dosennya ini memang pecinta lilin aromaterapi, aroma itu pasti berasal dari sana.

Donghyun masih belum membuka berkasnya sama sekali. Beberapa lembar kertas hanya tergeletak begitu saja di atas meja milik Daeyeol. Sang pemilik ruangan masih sibuk dengan pekerjaannya di meja yang lain, dia sibuk mengendalikan komputer di hadapannya.

“Sebentar!” Diksi singkat tersebut mau tak mau harus dituruti Donghyun. Entah berapa lama dia harus menunggu sang dosen menyelesaikan pekerjaannya. Sudahlah, turuti saja daripada diterkam.

Kebosanan lama kelamaan ternyata hinggap di bahu si mahasiswa mungil. Dia akhirnya tidak tahan jika harus melulu duduk di kursi panas. Bokongnya terangkat seiring langkah mengeliling untuk melihat keadaan. Lagi dan lagi atensinya dicuri pada salah satu lilin. Pikirnya bagai dihipnotis agar segera mendekat.

Perasaannya masih tertuju pada Joochan. Kejadian tadi malam bisa saja hanya sebuah kebetulan karena titah Daeyeol. Dirinya enggan mempercayai berbagai remeh temeh tentang magis yang sempat dibaca, tetapi hatinya mengatakan hal lain. Tak ada salahnya untuk mencoba kembali, jika Joochan datang bisa jadi tingkat kepercayaan dirinya untuk mendapatkan Joochan lebih meninggi.

Lilin aromaterapi milik dosennya dimainkan begitu saja. Api kecilnya dimainkan menggunakan telunjuk. Sorot matanya tak bernyawa, Donghyun ragu harus meniupnya atau tidak. Jangan melupakan Daeyeol, jika lilinnya tertiup bisa saja dia akan memarahi Donghyun.

Pekerjaan yang dikerjakan Daeyeol sepertinya sangat menyita waktu. Dia sampai tidak menyadari jika mahasiswanya malah bermain dengan salah satu barang di dalam ruangannya. Situasi aman tetapi Donghyun masih ragu. Jika dia meniupnya dan Joochan tak datang, pasti hatinya akan sakit bukan kepalang.

Entah ditunggangi hantu macam apa, tetapi Donghyun akhirnya yakin untuk meniup lilin tersebut. Matanya terpejam dan tertuju pada Joochan. Napasnya ditarik panjang lalu meniupkan udara perlahan sampai lilinnya padam. Selesai dengan hal tersebut, dia kembali membuka matanya. Semenjak membaca buku tempo lalu, sikap Donghyun memang sedikit aneh.

“Donghyun! Saya sudah baca proposal kamu.”

Kesadarannya kembali bagai kilat karena ujaran sang dosen, Donghyun segera berbalik dan meninggalkan lilin yang masih mengeluarkan asap kecil karena tiupannya. “Iya, Pak. Bagaimana? Masih ada yang harus saya perbaiki?” Lanjutnya sopan.

“Eeeuummm... Kamu sudah pilih rekan? Saya suruh pilih satu rekan, kan? Kenapa masih datang sendirian?”

“Gaada yang minat, Pak. Saya juga bingung mau ajak siapa.”

Sebetulnya bukan seperti itu. Donghyun terlalu enggan berurusan dengan orang lain. Dia hanya mengajak Jaehyun dan Bomin, tetapi mereka tidak berminat. Alhasil, dia masih seorang diri mengunjungi Daeyeol.

“Kebetulan ada satu orang yang ikut juga lomba ini, dia juga sendirian. Kamu gabung sama dia aja, ya?”

Keinginan untuk menolak sangat tinggi. Akan tetapi, jika keinginan Daeyeol tidak dituruti, tamatlah riwayatnya. Belum diperkenalkan dengan orang tersebut, bayangan Donghyun sudah menakuti. Dia sangat meyakini jika akan sulit untuk beradaptasi dengan orang tersebut.

“Sebentar lagi orangnya dateng, kamu tunggu aja.”

“Baik, Pak.” Jawabnya pelan.

“Kamu pernah ketemu sama dia, kan? Semalem saya suruh dia ke kosan kamu soalnya kamu gak bisa saya hubungi.”

Kening segera berkerut. Seseorang yang dia temui tadi malam hanyalah Joochan. Pria yang dia kagumi tersebut pun yang memberikan berkas revisi dari Daeyeol. Jantungnya berdegup kencang, ajaibnya dia dapat mendengar dengan jelas derap langkah seseorang dari luar. Jika benar Joochan yang memasuki ruangan, mungkin saja Donghyun akan mempercayai kemagisan.

“Ya, masuk!”

Pandang menggelap seiring langkah mendekat. Donghyun tidak menoleh sedikitpun. Dia menunggu hingga pria tersebut duduk di sampingnya. Rencananya membuka mata tak diindahkan, Donghyun malah menunduk ketika merasakan kehangatan karena keberadaan orang di sampingnya.

“Donghyun, ini Jangjun. Kalian pernah ketemu, kan?”

Satu tengokan berhasil membuat sorot mata bertemu. Bukan, bukan dia yang ditemuinya semalam. Keningnya berkerut kembali, sihir bagai mempermainkannya. Saat ini bahkan harapan bertemu Joochan semakin sirna. Dia malah bertemu dengan orang terdekat Joochan.

“Semalem Joochan yang kasih, Pak. Jadi kita belum ketemu.” Selanya sopan.

“Joochan? Dia jadi ikut projek sama kamu?” Tanya sang dosen keheranan.

Percakapan yang tidak melibatkannya hanya dicerna seadanya. Jika tidak salah mendengar, seharusnya memang Joochan yang berada dalam perahu bersama Jangjun. Namun, dengan alasan lain Joochan harus meninggalkan perlombaan hingga Jangjun harus mencari rekan baru.

“Proposalnya tidak harus kalian ubah semua, satukan pemikiran kalian dan jadikan projek baru. Proposal kalian hampir mirip, jadi saya yakin kalian bisa bekerja sama.”

Berserah, hanya itu yang bisa Donghyun lakukan. Bekerja sama dan diskusi bukan merupakan bagian rencananya ketika mengikuti lomba. Namun, dia sudah tenggelam dan orang yang bisa membantu hanyalah Jangjun. Donghyun tidak mungkin merelakan perlombaan karena tidak memiliki rekan.

“Kita bertemu lusa, ya? Proposal kalian harus sudah selesai.”

Deadline dan masalah baru muncul. Dia hanya mengangguk saja sembari berpamitan. Bahkan ketika laju langkah beriringan, basa-basi enggan disuarakan oleh Donghyun. Bibir dan lidahnya seakan kelu, sulit sekali mengeluarkan diksi pendobrak tembok tebal di antara mereka.

“Nih, tulis nomor handphone kamu. Nanti kita bisa janjian.”

Sudut pandangnya hanya tertuju pada wallpaper. Betapa kagetnya Donghyun karena rekan barunya memasang foto bersama dengan Joochan. Hatinya hancur, semua reruntuhan langit seakan menimpa dirinya. Mereka terlihat sangat dekat dan bisa jadi sedang menjalin hubungan.

“Kok, ngelamun?”

“A-ah, maaf.”

Tangannya merenggang, dia langsung meraih ponsel milik rekannya dan menuliskan kontak agar mereka bisa saling menghubungi. Kala jemari sedang menekan layar handphone, suara yang sangat dikenal menusuk di gendang telinga.

“Jangjun! Udah beres?”

Sejenak dia menghentikan gerakan jarinya. Joochan memang datang menemuinya, tapi bukan untuk berdekatan dengannya. Semesta sedang menertawakannya, salah sendiri dia mempercayai hal magis yang tak masuk akal.

“Udah?” Ujar Jangjun tak sabar.

Ponsel dalam genggamannya menghilang. Jangjun melambaikan tangan sembari menyatukan jemari dengan Joochan. Sudah pasti sudut pandang Donghyun langsung tertuju pada tautan tersebut. Sesekali Joochan menarik tangannya, mungkin saja dia malu menjadi pusat perhatian. Namun, Jangjun sepertinya tak kenal malu, dia masih saja mempertahankan genggamannya sampai jejak mereka tak terlihat lagi.


Donghyun masih diapit dua sahabat terbaiknya, jelas saja terbaik karena dia tidak memiliki siapapun lagi selain mereka berdua. Santapan di kantin menyumbat mulut mereka hingga tak bercakap apapun tapi, makanan Donghyun tidak disentuh sedikitpun. Dia masih tegang karena akan bertemu dengan Jangjun setelah ini. Entah suasana canggung seperti apa yang nanti akan tercipta ketika mereka bersama, Donghyun terlalu banyak memikirkan hal buruk tak berguna.

“Gimana projek kamu, Hyun?” Bomin berbasa-basi.

“Gak usah sok-sokan nanya, deh. Aku ajakin gabung aja gamau kalian.”

“Bukan gak mau, Hyun. Kamu kalo ngajaknya kita berdua, percuma. Nanti cape sendiri, kita mana mau kerja.” Jaehyun ikut menimpali.

“Mending kerja sendiri, deh daripada harus kerja sama orang yang gak kenal. Jahat emang kalian, tuh!”

“Gak usah baperan, ah! Udah makan lagi, nanti temen barunya dia keburu dateng.” Goda Bomin.

Donghyun tak berkutik, rasanya semua godaan tadi sudah biasa dia dengarkan. Sakit hati tak guna dipikirkan, yang melulu mengelilingi otaknya hanyalah pertemuan dengan Jangjun hari ini. Situasinya pasti akan sangat canggung, Beban berat ini malah membuatnya pusing.

Selesai bersantap, Donghyun ditinggalkan karena mereka akan bertemu di perpustakaan. Lajunya sangat pelan hanya untuk mempermainkan waktu. Selain itu, dia juga berharap agar pertemuannya gagal, apapun itu alibinya.

Gedung perpustakaan yang amat besar tak dimasuki. Tubuhnya masih beku dan memutuskan untuk duduk dahulu di teras perpustakaan. Beberapa orang lalu lalang diabaikan saja, dia cukup menunggu hingga Jangjun datang menemuinya.

Waktu menunggu sangat lama. Kakinya digerakkan berulang kali seiring waktu tunggu yang terbuang. Telinganya bagai dibisikkan sesuatu tak masuk akal. Berbagai diksi magis yang dulu pernah dibaca masih saja menghantui dirinya.

“Okay, sekali aja. Sekali lagi aja. Kalo dia gak dateng, aku gak percaya!”

Ada-ada saja memang ulah Donghyun. Idenya tidak habis walaupun tak mendapatkan lilin di sekitar. Ponselnya digunakan dengan sangat baik, dia akhirnya mengunduh lilin virtual hanya untuk mengikuti hasratnya.

Unduhan selesai, Donghyun segera menyalakan lilin di layar gawainya. Sikapnya ini sangat tak masuk akal, tetapi dia masih berusaha. Ponsel pintarnya disandarkan pada botol minuman yang sering dia bawa. Layarnya terarah berhadapan dengannya lalu kedua tangannya bertautan erat. Joochan kembali datang dalam ingatan lalu embusan napas berhasil memadamkan api tak nyata.

“Hai!”

Pejaman terbuka karena sapaan. Donghyun agak bergidik, tiba-tiba Joochan berada di hadapannya. Semuanya bagai mimpi. Magisnya bekerja secara instan, kini dia tinggal menenangkan hati dan perasaannya.

“Kok, kamu yang disini?”

“Pertanyaan bagus!” Joochan duduk di sampingnya sembari menyimpan berkas proposal. “Jangjun gak bisa dateng, ada urusan. Aku yang gantiin dia. Tenang aja, dulu dia barengan sama aku, tiap detail proposalnya aku hafal banget.”

“Okay.” Jawabnya singkat dan sedikit agak menyakitkan karena dia ternyata mendatangi Donghyun untuk membantu pacarnya. Ya, Donghyun kini mengetahui jika mereka berdua menjalin hubungan. Buktinya banyak sekali dan terlihat jelas dengan mata kepalanya sendiri.

Diskusi berjalan sangat lancar. Di luar dugaan, ternyata dia bisa klop secepat ini dengan Joochan. Senyumnya melulu terukur di bibir tipis Donghyun. Namun, setelah mereka berpisah, senyum itu menghilang.

Joochan meninggalkannya karena Jangjun sudah datang. Sebelum mereka pergi, Jangjun menghampiri dan meminta maaf karena urusannya tidak dapat ditinggalkan. Donghyun memakluminya karena dia dapat berduaan dengan Joochan. Namun, perlahan benaknya menelisik jauh. Kedatangan Joochan ini masih suatu kebetulan atau merupakan suatu jawaban jika mereka memang ditakdirkan satu sama lain?

Projek terus saja dikerjakan oleh Joochan. Sekejap dia kebingungan. Jika tidak salah dengar, dulu dosennya pernah berkata jika Joochan memutuskan untuk meninggalkan perlombaan. Nyatanya, dia masih saja menggantikan Jangjun untuk sekedar membicarakan tentang perlombaan.

Hal magis tentang lilin dan soulmate perlahan dia lupakan. Dia memutuskan mengubur dalam kepercayaan dan hanya menjalani kehidupannya di dunia nyata. Sihir, sulap, dan kemustahilan dilenyapkan perlahan dari benaknya. Lagipula, Joochan sudah memiliki tambatan hati. Haram hukumnya mendekati seseorang yang sudah menjadi milik orang lain.

Sepekan berlalu, Joochan dan Donghyun semakin dekat. Dia sangat yakin jika romansanya hanya dirasakan seorang diri. Sepanjang perkenalan yang dilakukan, Jangjun dan Joochan memang menjalin hubungan. Jawaban menohok didapatkan, Donghyun tak lagi mendapatkan kesempatan.

Kebimbangan dirasakan setiap harinya. Rasa cinta yang terlanjur merasuk membuat Donghyun mencari kembali buku yang dulu sempat dia temukan. Tetapi, hasilnya nihil. Dia tidak menemukan apapun, bukunya menghilang secara misterius. Merasa sudah mengitari perpustakaan selama berjam-jam, Donghyun memutuskan untuk pulang.

Matahari mulai menghilang digantikan senja jingga yang indah. Langit belum meredup tetapi cahayanya tak lagi perkasa. Dalam lajunya,Donghyun merasakan semilir kesejukan dari angin petang, dingin tapi tak menusuk. Namun, kejadian tak disangka terpotret matanya sendiri. Kecelakaan terjadi tepat di depan matanya. Yang lebih membuatnya terkejut, korban kecelakaan tersebut dikenal baik olehnya.

“Jangjun?”

Postur tubuhnya yang berat melayang begitu saja tak jauh dari posisi Donghyun berdiri. Setelah itu, dengan sadis tubuhnya dihempaskan hingga membentur aspal jalanan. Darah berceceran tetapi Donghyun tak bisa berteriak. Tubuhnya bagai terlilit tali hingga berlari saja sulit. Begitupun dengan orang lain yang melihat, tidak ada satupun yang berinisiatif menolongnya. Mereka malah asyik mengabadikan peristiwa tersebut.

“Heh!” Teriaknya kesal karena mobil tadi malah melarikan diri.

Donghyun kesal terlebih ketika melihat rekannya terbujur kaku. Matanya bergetar karena kondisi mengenaskan Jangjun, tetapi jemarinya masih bergerak sedikit. Nyawanya masih bisa tertolong jika dia menelpon ambulance segera.

Donghyun segera membuka telepon genggamnya. Menekan layar handphone tergesa kemudian bersiap menelepon ambulance.

“Kalo aku nelpon ambulance, terus Jangjun selamet, dia pasti balik ke Joochan...” Gumamnya pada diri sendiri. “Kalo dia gak tertolong, jalan aku dapetin Joochan bisa mulus.” Lanjutnya kejam.

Alhasil, Donghyun hanya membeku. Pikiran jahatnya merasuk hingga memerintahkan otak untuk terdiam. Kedekatannya dengan Joochan bisa lebih terjalin jika Jangjun menghilang.

“Kamu kenal sama dia?” Sebuah pertanyaan singkat dari seorang pejalan kaki menyadarkan lamunan.

“K-kenal...” Jawabnya gemetar.

“Kenapa diem aja? Buruan telepon ambulance, aku tau kamu kaget tapi kasian temen kamu!”

Tangis meluncur dari kelopak sebelah kanan. Tindakan jahatnya bisa jadi menghilangkan nyawa seseorang. Jangjun mungkin masih bisa diselamatkan jika pertolongannya datang tepat waktu. Bertemankan lengan gemetar, Donghyun menghubungi ambulance agar Jangjun bisa diselamatkan.


Sebulan berlalu, waktu memang selalu memperdaya hingga tak terasa lewat begitu saja. Kedekatan antara Joochan dan Donghyun pun semakin terjalin. Hanya saja, Donghyun selalu berusaha menghindari Joochan. Semua itu tak lain karena dia merasa bersalah atas kematian Jangjun.

Projek selesai, Donghyun sudah mengenal Joochan kurang lebih dua bulan. Akhirnya, Joochan menggantikan Jangjun untuk menyelesaikan projek tersebut. Tentu saja Joochan mau, kekasihnya meninggal tak wajar dan dia ingin melanjutkan perjuangannya yang belum tuntas.

Namun, seiring waktu berjalan ternyata Joochan merasakan romansa dalam hatinya. Kebersamaan intens dengan Donghyun membuat benih cinta tumbuh. Memang benar kata pepatah, ????? ?????? ?????? ????????.

Secara tak terduga ternyata Donghyun malah menjauhi Joochan. Rasa bersalah terhadap Jangjun terus saja menghantui. Jikalau dulu dia sigap menelpon ambulance, pasti Jangjun akan tetap bersama dengan mereka sampai hari ini. Nyatanya, keadaan berkata lain. Jangjun pergi untuk selamanya ke dunia yang berbeda karena penolongan yang terlambat.

“Kamu kok aneh, sih? Ada cowok yang suka sama kamu, loh. Jangan dicuekin, dong. Kasian, kan? Yakin gak suka sama Joochan?” Goda Jaehyun.

“Berisik, ah!”

Godaan demi godaan melulu dilemparkan padanya. Semua orang beranggapan jika Donghyun sangat bodoh karena menolak perasaan Joochan. Namun, Donghyun tidak berdaya. Jika dia memutuskan untuk menerima Joochan, maka bayangan Jangjun akan terus menghantui.

“Aku duluan!” Sambungnya kemudian sembari menenteng tas di bahunya.

Jaehyun dan Bomin hanya membiarkannya. Mereka bukan mengabaikan, tetapi hanya memberikan ruang ketenangan bagi Donghyun. Semenjak diincar oleh Joochan hidupnya memang tidak tenang. Ruang pribadinya hancur karena banyak sekali orang yang mengorek kehidupannya. Jelas saja, dia diincar oleh salah satu pria paling tampan di kampus.

Donghyun akhirnya kembali bersembunyi. Pergi di kediaman berpetaknya, sendirian. Sengaja mematikan lampu padahal aliran listrik masih tersedia. Kedua matanya berlinang, menahan derasnya air mata yang akan terjun bebas. Tak lupa, dia juga menyalakan lilin sekedar untuk memberikan cahaya dan bayangan.

Sorot matanya tertuju pada bayangan sendiri. Bayangan hitam tersebut mengikuti kemana pun dia pergi. Sama halnya seperti rasa bersalah pada Jangjun. Dia sangat membencinya hingga hampir setiap hari mengutuk diri sendiri.

Kala dirundung rasa bersalah, Donghyun pasti selalu memikirkan Joochan. Pria tampan itu sebenarnya masih memiliki ruang di hati terdalam Donghyun. Tapi, bayangan masa lalu kematian Jangjun melunturkan segalanya.

Suara ketukan pintu terdengar beberapa kali. Donghyun bergegas membukanya dan meniup temaram lilin di hadapannya. “Sebentar!” Lantangnya menyeruak karena sang tamu tak sabaran.

Lampu tak dinyalakan hingga jarak pandangnya menipis. Si tamu tak nampak rautnya, Donghyun hanya mengerutkan dahinya kebingungan. Sesaat kemudian, cahaya dari korek berhasil menyemai.

“Joochan?”

“Kok, gelap, Hyun?” Serunya sembari tetap mempertahankan cahaya dari koreknya.

“Belum aku nyalain lampunya, tunggu!”

Satu tekanan pada tombol lampu membuat sinar kembali terang. Jelas sekali wajah tampan sang tamu. Kegelapan tak lagi menyembunyikannya, Donghyun leluasa menatap lawan bicaranya.

“Ngapain kesini?” Lanjutnya ketus.

“Kamu kenapa, sih, Hyun? Ada yang salah sama sikap aku? Salah kalo aku sayang sama kamu?”

Berada di bawah tekanan membuat Donghyun hanya menunduk. Tak lupa telapaknya menempel pada daun telinga agar suara tak merambat masuk. Gelengan kepala juga terlihat beberapa kali. Pernyataan romansa tadi seakan memberikan mimpi buruk karena dia kembali dibayangi oleh Jangjun.

“Pergi!”

“Hyun...” Lirihnya sendu.

“Kita gak bisa barengan, Joochan. Bisa berhenti, gak, sih? Masih banyak orang yang sayang sama kamu.”

“Gak bisa barengan? Maksud kamu?”

Desakan terus saja ditujukkan untuk Donghyun. Akhirnya pertahanannya jebol, semua rahasia yang dipendam tumpah begitu saja. Batinnya menumpahkan semua peristiwa yang luput dari pengawasan Joochan. Donghyun pasrah, jika akhirnya dia akan dibenci oleh Joochan.

“Jangjun meninggal gara-gara aku, Joochan. Berhenti deketin aku. Kalo dulu aku engga telat telepon ambulance, mungkin aja kalian masih bersatu.”

“Hyun, liat aku!” Joochan memberikan cengkraman kuat pada bahu Donghyun. “Ini bukan salah kamu, Hyun. Aku juga lalai gak bisa jagain Jangjun. Dia meninggal bukan karena ambulance yang terlambat datang, bukan! Semuanya udah ditulis takdir, Hyun. Jangan nyalahin diri sendiri.”

Cengkraman dilepaskan paksa, “tapi kalo aku cepet dikit aja, Jangjun pasti...”

“Hyun!” Serunya lantang. “Kematian itu takdir, kita gak bisa ngelawan. Jangan ngerasa bersalah terus kayak gini. Kalopun dulu ambulancenya cepet dateng, gak menjamin Jangjun masih hidup, Hyun. Semuanya udah ditakdirkan kayak gitu, jangan ngerasa bersalah.”

Berdekatan dengan Joochan membuat Donghyun runtuh, dia langsung menjatuhkan kepalanya di bahu Joochan. Menangis sejadi-jadinya sekaligus meluapkan kekesalan dan rasa bersalah yang dipendam sangat lama. Tangan Joochan tak diam. Melihat pria yang disayanginya rapuh, dia langsung mengelus punggungnya lembut disertai dekapan erat agar kondisinya segera membaik.

“Hyun...” Mendengar isak menghilang, Joochan menangkup kedua pipi Donghyun agar kembali bertemu pandang dengannya. “Mau buka hati buat aku, kan? Aku pasti nunggu sampe kamu siap. Inget, Hyun! Jangan ngerasa bersalah tentang Jangjun. Dia udah tenang disana. Aku sayang sama kamu, Hyun.” Lirihnya sangat lembut.

Air mata kembali berurai. Donghyun berusaha menyingkap segala rasa bersalah yang dia rasakan selama ini. Bersama dengan Joochan, dia akan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Setelah napas ditarik panjang, Donghyun mengangguk dan kembali merangsek dalam pelukan Joochan.

“Makasih, Hyun.”

Senyum mereka merekah bersama. Dalam dekapan erat, mereka bertekad bersama untuk saling menjaga satu sama lain. Rekam jejak masa lalu pun akan dijadikan sebagai bahan pelajaran. Selain itu, Donghyun berjanji pada Jangjun untuk menjaga kekasihnya dengan sangat baik. Bahkan, melebihi penjagaan pada dirinya sendiri.

Joochan memang melulu meyakinkan Donghyun jika kematian Jangjun bukan kesalahannya. Takdir sudah bertindak dan tak bisa dibantah. Namun, Joochan tidak mengetahui jika sebenarnya memang Donghyun masih memiliki kesempatan untuk membuat nyawa Jangjun tertolong. Hanya saja saat itu tubuhnya kelu dan terlalu egois, hingga hanya menyimak rasa sakit yang dialami Jangjun.

Satu lilin kehidupan telah padam, tetapi Donghyun berhasil menyalakan lilin lain untuk Joochan. Kehidupan baru dirintis bersama menjadi pribadi yang lebih baik. Introspeksi melulu dilakukan agar kesalahan di masa lalu tak lagi terulang. Romansa akhirnya menambah manis kisah hidup pria pendiam tersebut. Tanpa dia sadari, lilin yang ditiup memang mendatangkan Joochan sebagai belahan jiwanya. Joochan memang ditakdirkan untuknya, begitupun sebaliknya.

FIN

Kegelapan menaungi satu petak kecil ruangan pribadi. Bias sinar bersumber dari layar handphone membuat wajah sang pemilik bersinar. Sorot mata masih memberikan tatapan kosong. Selain itu, gambar diri juga hanya menelungkup tanpa gerakan.

Donghyun memandangi undangan pesta ulang tahun dengan pilu. Joochan yang mengirimkan undangan tersebut. Di dalamnya tertulis nama seseorang yang akan merayakan hari bahagianya. Tepat hari ini, Bomin berulang tahun. Pria jangkung itu sangat beruntung memiliki Joochan karena telah dibuatkan pesta ulang tahun yang sangat meriah.

Senja ini Donghyun harus menginjakkan kakinya di tempat pesta. Dia sebetulnya bisa saja mengabaikan undangan tersebut. Namun, tentu saja Joochan akan sangat marah. Donghyun dan Joochan memang telah lama bersahabat, jika satu saja permintaan tak dipenuhi maka kemarahan akan menggebu.

Diri yang lemas sudah terpaku di depan lemari. Sorot mata bergantian ke kanan dan kiri hanya untuk mencari pakaian yang menarik hatinya. Tiba-tiba tangan terulur pelan, mengambil setelan santai dan nyaman di tubuhnya. Lalu menghilang di balik tirai kamar mandi.

Detak waktu di ponsel miliknya mulai menunjukkan keterlambatan. Bukannya terburu-buru, dia malah berjalan sangat pelan hanya untuk keluar kamar. Tepat ketika diri berada di ruang tengah, kepala ditengokkan pada suasana kegagalan pesta ulang tahun. Kue ulang tahun, balon, dan hiasan dinding semuanya menjadi sia-sia. Bomin pasti akan lebih menikmati pesta meriah dibandingkan kejutan kecil darinya.

“Apa aku bilang aja ke Joochan gak bisa dateng ya?” Donghyun meraih telepon genggamnya. “Eh, tapi... Aku kangen Bomin.” Serunya sendu.

Rindu pada kekasih sahabat sendiri tentu saja tidak masuk akal. Namun, Donghyun sedikit memiliki hak untuk merasakan rindu tersebut karena dia memiliki sebagian hati Bomin. Ya, Bomin dan Donghyun diam-diam menjalin kasih. Walaupun Joochan dan Bomin telah resmi menjadi sepasang kekasih.

Itulah alasannya Donghyun enggan pergi ke pesta ulang tahun. Selain menyesakkan, dia juga takut tidak kuasa menahan air mata karena menyaksikan kemesraan Joochan dan Bomin. Sayangnya, jika kedatangannya dibatalkan maka Joochan akan mengutuknya berhari-hari. Alhasil, Donghyun terpaksa datang ke pesta tersebut.

Taksi sudah berhasil mengantarkan pria manis ke sebuah pesta yang akan menyakiti hatinya. Seorang selingkuhan memang akan selalu mendapatkan ganjaran menyesakkan. Donghyun mengetahui semuanya dengan jelas, hanya dia tidak menyangka akan menusuk seperti ini.

Ketika pintu dibuka, Donghyun memejamkan matanya. Dia sadar diri jika keterlambatannya akan menjadi bahan ocehan Joochan. Akan tetapi, suasananya hening dan sangat di luar espektasi. Akhirnya dengan sangat pelan Donghyun mengembalikan pengelihatannya. Pestanya ternyata belum sama sekali dimulai.

“Joo, kok masih sepi? Malah ada yang pulang. Acaranya udah beres emang?” Tanyanya kebingungan.

“Kamu pulang aja!”

“Maksud kamu?”

“Bomin gak dateng! Dia gak bisa dihubungin. Di rumah, kampus, kosan temennya juga gaada. Dia gaada kabar, gak ngabarin kakaknya juga, terus temen dia juga gatau apa-apa. Aku khawatir dia kenapa-kenapa, Hyun...”

Bukan hanya Joochan yang khawatir. Kabar menyedihkan seperti ini tentu saja membuat Donghyun tak kuasa menahan tangisnya. Tetapi, jika air matanya mengalir Joochan pasti akan curiga. Sesak di dada dan sakit di tenggorokan terasa karena tangisan yang tertahan, keadaannya menjadi serba salah.

“Mau aku temenin nyari Bomin? Kamu pasti khawatir banget, deh...”

“Gausah, Hyun... Aku udah ada yang bantu cari, kok. Aku yakin dia pasti ketemu, kesel aja kenapa tiba-tiba ilang. Padahal dia lagi ulang tahun, kan!” Nadanya meninggi.

Penolakan tersebut membuat perasaannya makin tak karuan. Donghyun bersyukur pesta ulang tahunnya batal, tetapi tak dengan kepergian Bomin. Dia sangat mengkhawatirkan pria kesayangannya itu. Jadi, Donghyun memutuskan akan ikut mencarinya tanpa sepengetahuan Joochan.

“Kalo gitu, aku pulang, ya? Gapapa?” Ungkap Donghyun ragu.

“Gapapa, Hyun...”

Tanpa persetujuan Joochan, dia akan berusaha mencari keberadaan Bomin. Sebelum berkeliaran, dia akan kembali ke rumah. Niatnya hanya untuk berganti pakaian yang lebih santai karena dia sadar mencari orang hilang itu tak semudah yang dibayangkan. Terlebih jika tidak bisa dihubungi.

Dalam perjalanan pulang, kaki terus bergerak tak karuan. Paras menggemaskan hilang seketika karena kekhawatiran yang semakin memuncak. Tanpa kabar dan berita Bomin tiba-tiba menghilang. Padahal Donghyun ingin memberikan ucapan termanis walaupun harus melihatnya merayakan bersama dengan Joochan.

Pintu taksi ditutup kasar seraya ucapan terima kasih. Kakinya melaju sangat kencang hingga sempat tersandung kecil beberapa kali. Semakin banyak menghabiskan waktu, jantungnya berdegup kencang. Donghyun takut jika Bomin berada dalam bahaya.

Kerutan di dahi terlihat seiring langkah yang semakin pelan. Kepalanya celingukan melihat seseorang yang sangat dikenal. Pria itu duduk manis bersilang kaki pada kursi yang tersedia di teras. Tepat ketika pandangan mereka bertemu, pria tampan tersebut menyunggingkan senyum manisnya.

“Bomin?”

Masih menyunggingkan senyum manis, Bomin merenggangkan kedua tangannya sangat lebar. Air mata si pria manis jatuh. Pergerakannya kembali melaju hanya untuk masuk dalam pelukan hangat kekasihnya. Lidahnya masih sangat kelu, Donghyun terkejut dengan kabar yang dia dengar.

“Kamu kemana aja, sih? Joochan bilang gak bisa dihubungin? Aku panik tau!”

“Ssstttt!” Bomin masih mencoba menenangkan Donghyun. Mengelus punggung dan mengeratkan pelukannya. “Aku maunya disini, ketemu kamu. Bukan sama Joochan.” Lanjutnya lembut.

“Apa?” Lirihnya pelan.

Bomin melepaskan pelukannya, mengangkat kedua pipi pria di hadapannya hingga mereka saling beradu pandang. “Aku maunya disini sama kamu, bukan sama Joochan. Maaf bikin kamu khawatir.”

Selesai berkata, Donghyun memejamkan matanya karena Bomin mulai menyatukan bibir mereka. Air mata tiba-tiba saja jatuh karena perlakuan Bomin yang sangat manis. Selama mereka berpacaran, Donghyun harus menahan rasa cemburunya ketika Bomin bersama Joochan. Sekali lagi, status sebagai seorang selingkuhan memang selalu menyakitkan.

“Kita masuk, ya? Kamu masih kaget, kan? Maaf, sayang.”

Bomin tersipu dan semakin tersenyum lebar ketika memasuki ruang tengah. Dia melihat sebuah pemandangan yang sangat manis. Donghyun memang sudah menyiapkan kejutan ulang tahun untuk dirinya. Namun, niatnya terhalang karena pesta ulang tahun yang dimiliki oleh Joochan.

“Kamu kalo ketauan Joochan gimana? Nanti dia marah.” Lirih Donghyun khawatir.

“Berulang kali aku bilang, aku sayangnya sama kamu bukan sama Joochan. Kita pacaran cuma gara-gara orang tua, gak lebih. Aku juga masih usaha buat putus sama dia, Hyun. Mau nunggu aku, kan?”

Pernyataan itu melulu diutarakan oleh Bomin. Jika boleh memilih, dia sebenarnya sudah muak dengan berbagai diksi tersebut. Telinganya sudah lelah mendengar, mulutnya pun ingin berteriak sangat kencang. Donghyun lelah tetapi tidak bisa berbuat apapun.

“Gak usah ngomongin Joochan, aku kangen sama kamu.” Nadanya manja, persis seperti yang disukai Bomin.

“Aku juga kangen sama kamu, sayang.”

“Maaf, aku gak bisa ngasih pesta meriah kayak Joochan. Aku cuma bisa ngasih kayak gini aja. Itu juga gagal gara-gara...” Suaranya tertahan.

“Hey, jangan nangis...” Bomin memberikan kembali pelukannya.

“Maaf...”

“Aku sengaja ga dateng ke acaranya Joochan cuma buat kamu, sayang. Jangan nangis, ah!” Kali ini kedua tangannya sudah tertangkup di pipi. “Gak mau ngomong apa-apa sama aku, nih?”

“Selamat ulang tahun, sayang...”

Bomin tersipu, pernyataan yang dia dengar tidak akan bisa tergantikan oleh kado istimewa apapun. Jarak dibuat mendekat hanya untuk menyatukan dahi mereka. Selepas itu senyum manis sama-sama tersungging.

“Makasih, sayang...”

Bomin menarik kembali pria kesayangannya. Menempelkan kepala Donghyun ke dada bidangnya agar dia dapat merasakan sendiri detakan jantung yang tak santai. Begitulah memang, Bomin selalu bergairah ketika bertemu dengan Donghyun. Hal ini tidak dia dapatkan ketika bersama dengan Joochan.

“Aku masak buat kamu, mau makan sekarang?”

Bomin menggeleng. Pelukan dilepas tetapi tidak dengan genggaman tangan. Sorot mata penuh cinta mereka beradu kembali. Bomin tidak bisa lagi menahan semua gejolak kerinduan dalam hatinya. Dia lalu menarik pinggang Donghyun hingga jarak mereka semakin menipis.

“Aku gak laper, sayang... Eeuummm kamu pernah janji mau kasih apapun kalo aku lagi ulang tahun, kan?”

Donghyun hanya mengangguk pelan. “Kamu mikir aku gak nyiapin kado, kan? Udah aku siapin kok, bentar...”

“Gak usah, sayang...” Lengan Donghyun kembali ditarik. “Aku cuma mau kamu, gak mau yang lain.”

Donghyun mengangkat kedua alisnya dengan kedipan mata kebingungan. Bomin mulai meraih tengkuk kekasihnya dan memberikan sensasi baru ketika mereka bersama. Bibir mereka bertautan dengan sangat lembut. Bomin mengambil alih ciuman hingga membuat Donghyun sangat nyaman.

“Aku gak mau nunggu lebih lama lagi! Kamu buruan putus sama Joochan!” Kekesalan itu akhirnya terlontar ketika tautan mereka terlepas.

“Iya, sayang. Gak usah marah-marah, ah! Aku lagi ulang tahun, kan...”

“Iya, maaf...” Donghyun berjinjit untuk dapat mengecup pipi Bomin. “Tapi, aku masih penasaran... Kamu kok lebih milih kesini? Pestanya Joochan lebih meriah, loh...”

“Denger, sayang...” Bomin menatap kedua mata kekasihnya dengan lembut. “Hidup yang aku jalanin ini ibarat...”

Donghyun menunggu kekasihnya melanjutkan perkataan, “Ibarat apa? Kok lama banget, sih?”

“Kayak ujian, sayang. Kalo pilihan ganda... Pas sreg sama jawabannya ya dipilih kalo engga ditinggal. Ya, aku juga gitu... Pilihan aku ya cuma kamu, jadi Joochan ya aku tinggal aja.”

“Kalo soalnya essay gimana?” Goda Donghyun.

“Kalo soalnya essay, aku pilih nulis narasi hidup aku sama kamu aja. Bukan yang lain.” Goda balik Bomin sembari menempelkan bibirnya ke bibir manis Donghyun.

“Gombal!”

“Gombal juga ke pacar sendiri, biarin aja.”

Donghyun dan Bomin kembali menikmati kebersamaan. Melewati hari special Bomin dengan senyuman keceriaan yang tulus. Menyingkap keraguan dan kecemasan yang melulu mereka rasakan ketika berada di publik. Semuanya dilupakan sejenak, kebersamaan mereka lebih penting dari apapun. Begitupun dengan rasa sayang yang diberikan satu sama lain.

FIN

Ruangan dipenuhi kaca hanya menggemakan suara hentakan serentak. Keringat bercucuran seakan tak kering walaupun ditiup kipas angin. Alunan musik cepat seirama dengan pergerakan beberapa anak muda di dalam ruangan. Mereka seakan dikejar waktu untuk menyelesaikan berbagai gerakan yang cocok dengan musik.

“Istirahat sepuluh menit!”

Bom waktu masih dilemparkan oleh sang pemimpin, Lee Daeyeol. Pria ini sangat tegas dengan berbagai perintah yang telah dilontarkan. Apalagi jika perkumpulannya sedang mempersiapkan perlombaan seperti saat ini. Semua ucapan dan perintahnya bak titah wajib yang harus diikuti semua anggota, termasuk Donghyun.

“Sayang!”

Paras berkeringat menengok pelan sembari memicing. Ternyata kekasihnya rela menyusul dirinya yang sedang melakukan latihan super ketat. Donghyun terlebih dahulu melihat sekeliling kemudian beranjak dari lantai yang dingin.

“Ngapain kesini, Joo?” ucapnya ketus.

“Gak boleh?”

Donghyun diam dulu sejenak, “bukan gitu!” Ucapnya merajuk.

“Terus?”

“Aku lagi latihan, kamu kayak gak tau Kak Daeyeol aja, sih! Kalo ada yang ganggu latihannya nanti ngamuk, apalagi kita mau ikutan lomba.”

“Lagi istirahat, kan?”

“Iya, sih. Tapi cuma sepuluh menit doang.”

“Gapapa, lah! Aku kangen!”

Joochan langsung menyerbu tubuh penuh peluh tersebut. Donghyun langsung menciutkan tubuhnya sembari memejam kuat karena tak nyaman dengan pelukan yang diberikan kekasihnya. Gerakan kecil pun mengganggu kedekatan mereka hingga Joochan terpaksa melepaskan dekapannya.

“Kenapa, sih?”

“Aku keringetan, Joo! Gerah, ah! Sana pulang! Aku masih lama latihannya.”

Tidak menunggu Joochan memberikan jawabannya, Donghyun sudah menajamkan pandangan menuju salah satu teman satu grupnya yang baru saja melewati sepasang kekasih itu. Choi Bomin, pria tampan yang tertusuk karena pandangan menyakitkan Donghyun hanya bisa menundukkan pandangannya dan mengabaikan Donghyun.

“EEUUHHH!!!” Tangannya terkepal sambil menggerakkan gigi penuh emosi.

“Kok tumben gak akur sama Bomin, sayang?”

“Bukan urusan kamu!” Jawabnya makin ketus.

Suara tepuk tangan tiga kali tiba-tiba menggema seisi ruangan. Helaan napas Donghyun tambah berbeban. Dengan sangat terpaksa kebersamaan mereka harus dihentikan sejenak. Donghyun menggenggam tangan kekasihnya hangat sebelum berpamitan untuk kembali berlatih.

“Aku latihan lagi, ya? Maaf, Joo...”

“Eh, tunggu!” Joochan sigap mendekatkan bibirnya pada Donghyun. Lalu memberikan kecupan yang sangat manis.

“Joochan! Malu diliat orang!”

“Nanti aku jemput, sayang.”

“Gak usah! Aku bisa pulang sendiri!” Lirihnya sembari merenggut dan menggerakkan kakinya berulang kali.

“Aku lagi gaada kegiatan apapun, sayang. Aku nunggu kamu, kok. Sana latihan lagi.”

“Terserah!”

Langkah kakinya berbalik dan terseret. Bibirnya dimajukan karena tidak nyaman dengan situasi yang sedang terjadi hari ini.

“Sayang!”

Panggilan tersebut membuat Donghyun kembali menghentikan langkahnya. “Apa?”

“Kamu gak lupa sesuatu?”

Dengan polos, Donghyun hanya menggeleng dan kembali pada kerumuman orang yang bersiap berlatih. Jawaban yang diberikan oleh pria manis tersebut, membuat hati Joochan agak kesakitan. Sejak tadi malam, Joochan sudah menunggu kejutan manis dari kekasihnya. Ya, hari ini Joochan berulang tahun. Selain itu, kakak kandung Donghyun pun berulang tahun di hari yang sama. Namun, sampai detik ini tidak ada persiapan apapun yang membuat Joochan curiga.

“Kamu lupa ya, sayang? Apa terlalu sibuk sama lomba? Jangan lupa istirahat, sayang,” Lirihnya sangat pelan.

Joochan melanjutkan langkahnya tanpa arah. Dia masih setia menunggu kekasihnya selesai berlatih. Mungkin saja Donghyun akan memberikan kejutan tak terduga untuknya, walaupun lebih baik Joochan tak mengharapkan hal tersebut. Donghyun tidak akan pernah melupakan hari ulang tahun kekasih dan kakak kandungnya, tetapi kesibukan merenggut segalanya. Hanya pemakluman yang bisa diberikan demi hubungan mereka.

Suasana kompetitif masih terasa di studio. Donghyun seperti biasa selalu mencurahkan semua atensinya pada latihan yang sedang dilakukan. Tepat ketika tubuhnya bergeser, bahunya bertabrakan dengan Bomin. Sahabatnya itu salah melakukan perpindahan posisi hingga membuat Donghyun semakin marah.

“FOKUS BOMIN!”

Merasa pernah melakukan kesalahan, Bomin hanya diam saja ketika dirinya dimarahi Donghyun. Kesalahannya memang sangat fatal sampai-sampai mengancam keberlangsungan persahabatan mereka. Namun, untunglah Donghyun hanya menyelesaikan masalah dengan makian saja. Dewi Fortuna masih menaungi Bomin kali ini.

Latihan selesai. Senja jingga mulai menyapa dengan utuh, tak lagi malu-malu. Sinarnya menyemaikan keteduhan ke bumi. Semilir angin pun menambah sejuk suasana petang yang indah. Selain itu, hujan juga tak turun. Berbagai aktivitas manis dan hangat bisa dilakukan di bawah naungan senja nan indah.

Keindahan senja tak berhasil disampaikan dengan baik pada Donghyun. Selesai berlatih, dirinya hanya berbaring di lantai dengan kedua tangan menutupi paras manisnya. Langkah pelan sedikit demi sedikit mendekat dengan harapan mendapatkan maaf juga iba dari sahabat terbaik. Bomin menggoyangkan tubuh Donghyun agar segera mendapatkan atensi.

“APA?”

“Maaf, Hyun...”

Bomin menundukkan pandangan. Dirinya seakan siap untuk dimaki sepanjang hari asalkan maaf berhasil didapatkan. Keadaan tak nyaman antara dua sahabat tentu saja tak ingin berkelanjutan. Bomin pun tak rela kedekatannya bertahun-tahun hilang karena kesalahan setitik saja.

“Kamu! Ah! Gak tau, ah!” Suara Donghyun menggelegar. Amarahnya semakin memuncak ketika melihat wajah Bomin di dekatnya.

“Namanya kesalahan, Hyun. Aku juga gak tau kenapa bisa berantakan kayak gini.”

“Berisik! Sana pergi!”

“Hyun!” Tubuhnya dibangunkan paksa hanya agar pandang mereka bertemu. Yang ditarik hanya mengangkat dagunya dengan memasang wajah tak bersahabat. “Aku tanggung jawab, kok. Kita ganti rencana lain bisa, kan? Mumpung ulang tahunnya Joochan sama Kak Sungyoon masih bisa dirayain. Ini belum malem, kan?”

“Males, ah!”

“Tunggu dulu, dong! Aku dimaafin, kan? Suruh aku apa aja, Hyun... Asal aku dimaafin, aku juga gak tau kenapa rencananya bisa berantakan kayak gini. Maaf, Hyun.”

Napasnya berhembus sangat berat. Benaknya memberikan pemikiran jika kemarahannya tak akan mungkin menyelesaikan masalah. Justru dengan emosi tak tertahan bisa menyebabkan kesulitan baru. Donghyun menghela napasnya kembali, menatap sahabatnya sangat tajam lalu memukul bahunya cukup keras.

“Gak usah minta maaf! Aku cuma kesel aja ulang tahunnya Kak Sungyoon sama Joochan jadi berantakan. Aku bisa handle semuanya, gak usah ngerasa gak enak. Makasih udah bantuin.”

“Maaf...” Lirihnya masih terdengar penuh penyesalan. “Mau dianter pulang?”

“Gak usah! Joochan mau jemput katanya. Aku duluan, mau nunggu di depan aja biar gak lama.”

Mereka berpisah, genggaman Bomin sudah mendapatkan kembali kepercayaan Donghyun. Akan tetapi hatinya masih bergelut dengan penyesalan. Semua persiapan ulang tahun sudah sangat matang, tetapi keteledorannya membatalkan segalanya.

Donghyun beranjak dari studio. Dia malas berinteraksi berlebihan dengan suasana hati panas seperti ini. Selepas berada di luar, keningnya dibenturkan beberapa kali pada tembok. Donghyun seakan bersiap memaki dirinya sendiri karena tidak berhasil menyelesaikan rencana manis untuk kejutan ulang tahun kakak dan kekasihnya.

“Kak Sungyoon, maaf... Maaf, Joo...”

Kening masih dibenturkan pada tembok dingin yang polos. Mata pun dipejamkan dengan bibir yang melulu menggumamkan penyesalan untuk kedua orang yang sangat disayangi. Isak berusaha ditahan, dia tidak mau kesedihannya diabadikan juga oleh orang lain, memalukan sekali.

“Sayang! Ngapain, sih?” Joochan yang datang langsung berlari melihat kekasihnya melakukan sikap yang aneh.

“Joo...”

Isak tak bisa lagi ditahan. Donghyun segera merangsek ke dalam pelukan hangat sang kekasih. Mengalungkan tangannya dengan sangat kuat pada tubuh Joochan yang sedikit lebih tinggi darinya.

“Kenapa, sayang?”

“Aku capek!” Lirihnya tipis.

“Latihannya bikin capek ya, sayang? Mau nyari makan dulu? Atau mau nyari minuman dingin?” Jawaban dari pria mungil hanya menggeleng. “Mau pulang sekarang? Istirahat, sayang. Besok kamu pasti latihan lagi, kan?”

Tanggapan kali ini mengangguk dengan lirih penuh penyesalan, “Maaf, Joo...”

“Kenapa minta maaf, sayang? Kamu gak salah, kok. Kalo mau nangis, gapapa aku temenin. Gak usah minta maaf, aku ngerti kok.”

Joochan melepaskan berbagai pemikiran tentang Donghyun yang melupakan ulang tahunnya. Pemaklumannya segera naik tingkat karena harus menenangkan Donghyun yang kelelahan berlatih. Kompetisi yang akan diikuti tentu saja menguras waktu kekasihnya.

Lain halnya dengan Donghyun. Pria manis ini masih kesal dengan dirinya sendiri. Rencana lain memang sudah terpikirkan. Namun, Donghyun bak patung yang tak bisa bergerak. Baik rencana awal maupun baru tidak ada yang terlaksana. Dia hanya bisa menangis karena meratapi kegagalan kejutannya untuk Joochan dan Sungyoon.

“Kita pulang, ya?” Sebelum memberikan genggaman, Joochan mendaratkan kecupan manis di kening, menangkup kedua pipinya serta menyeka air mata yang masih tersisa. “Jangan nangis lagi, aku tau latihannya pasti bikin kamu capek. Tapi, kamu harus tetep semangat. Semua perjuangan kamu sama temen-temen kamu pasti hasilnya baik.”

Donghyun hanya tersenyum tipis. Kesedihannya bukan karena jadwal latihan yang padat. Dia justru sedih karena tidak bisa melewati hari bahagia Joochan dan Sungyoon bersama. Hari ini hanya terjadi satu kali saja selama setahun. Jika berniat menebus kesalahan, Donghyun harus menunggu setahun. Tidak ada apapun yang bisa dia lakukan selain memberi ucapan.

Sepanjang perjalanan pulang, sebuah ucapan belum kunjung dilontarkan oleh Donghyun. Dia terlalu sesak jika hanya memberikan sebuah ucapan ketika Joochan sedang berulang tahun. Pun ketika nanti di rumah, Donghyun harus merasakan sesak yang sama karena harus melakukan hal tersebut pada kakaknya. Tangisnya masih berusaha ditahan. Donghyun memutuskan untuk berpura-pura melupakan hari special tersebut.

“Sayang, nyampe. Kamu kenapa? Kok ngelamun, sih?”

Gerakan lunglai diperlihatkan oleh Donghyun. Tangannya melepaskan penyangga dari tubuh. Lalu membuka pintu mobil tanpa menjawab pertanyaan kekasihnya.

“Hyun!”

Panggilan yang terdengar asing membuat kepalanya menengok, “Apa, Joo?”

“Kenapa, sih?” Emosinya tidak dapat lagi dikontrol. Joochan sudah berusaha menutupi kekecewaannya terhadap Donghyun, tetapi sikapnya yang aneh membuat Joochan tak tahan.

“Maaf, Joo...”

Ujung pakaian dimainkan dengan kuat. Pandangannya ditundukkan dan kembali menangis. Seseorang yang tadi memperlihatkan amarahnya, membuka kembali tangannya, lalu memberikan dekapan hangat. Punggungnya dielus hanya untuk menenangkan kekasihnya. Joochan masih tidak mengerti dengan sikap misterius Donghyun.

“Kita masuk, ya? Latihannya pasti capek banget, deh. Istirahat, sayang...”

Kelelahan memang menyertai tubuh Donghyun, tetapi alasan terkuat tangisannya bukan hal tersebut. Pria manis ini masih susah mengucapkan kata-kata manis di hari ulang tahun kekasihnya. Dia seperti menjadi pacar terburuk bagi Joochan karena tidak mempersembahkan hal terbaik saat dirinya bertambah umur.

Tanpa berkata, Donghyun turun dan melangkah pelan. Di belakangnya, Joochan mengekor dengan setia sembari memikirkan kondisi kekasihnya yang masih berbinar sedih. Bersamaan dengan kedatangan dua insan di depan pintu masuk, Jangjun menampakkan diri seakan mengetahui kedatangan mereka.

“Kak Jangjun? Ngapain disini?” Ucap Donghyun kebingungan.

“Mau ngasih kejutan buat kakak kamu, dong.”

Tubuhnya bak dihantam beban berat, lemas dan penuh beban. Lirikan kecil melulu diperlihatkan pada Joochan. Donghyun hanya membisu. Ide di otaknya seakan menghilang bersamaan dengan hembusan angin.

“Kok malah bengong?” Jangjun kebingungan hingga menggaruk kepalanya yang tak gatal.

“Kak Sungyoon mana?”

“Kakak suruh ke mini market tadi, nanti pas pulang langsung kakak kasih kejutan.”

Masih memalingkan pandangan dari Joochan, pria manis itu langsung mengalihkan posisinya ke dalam rumah. Seraya lampu dimatikan, Donghyun hanya memejamkan matanya karena merasa bersalah pada Joochan. Kedua tangan yang mengambil alih kue ulang tahun pun terus bergetar dan merasakan sesak yang tak kunjung menghilang.

Tepat ketika pintu terbuka, Jangjun menyalakan konfeti. Cahaya lampu kembali bersinar ketika Joochan menekan tombolnya. Nyanyian ulang tahun menggema seisi ruangan. Masih dengan binar kesedihan mendalam, Donghyun menipiskan jarak dan menyuguhkan kue ulang tahun untuk kakaknya.

“Selamat ulang tahun, Kak...”

“Makasih, Dek...” Donghyun hanya bisa menelan ludahnya sendiri. Bibir bawahnya digigit kuat demi menahan isak yang melulu ingin terjun.

“Sayang, makasih... Pantesan kamu nyuruh aku keluar. Taunya malah bikin kayak gini. Makasih, ya...”

Tangan mereka bergenggaman. Sudut pandangnya semakin menyakitkan. Joochan pun sudah kembali ke sebelah Donghyun.

“Ada Joochan juga?” Joochan hanya mengangguk dengan senyuman sangat tipis. “Selamat ulang tahun, ya...”

“Makasih, Kak...”

Ucapan yang terdengar membuat Donghyun kesulitan menahan tangis. Kepalanya terus tertuju ke bawah dan tanpa disadari bahu pun gemetar.

“Dek, kok nangis?”

Jangjun segera mengangkat kue yang masih dalam genggaman calon adik iparnya. Setelah terbebas, Donghyun langsung merangsek masuk dalam dekapan hangat sang kakak. Bahunya terus naik turun beriringan dengan suara isak yang tak lagi tertahan.

“Kamu kenapa, Dek?”

“Sayang, kamu kenapa lagi?” Joochan mendekat untuk mengelus punggung kekasihnya.

“Maaf...”

“Maaf? Buat apa, Dek?”

Cengkraman tangan makin kuat, Donghyun tidak bisa mengendalikan dirinya. Tangisan semakin terisak dan membuat suaranya agak gemetar.

“Bomin ngeselin!”

Semua orang saling memandang. Pertama kalinya Donghyun kecewa pada sahabatnya sendiri. Terakhir, Sungyoon melirik Joochan. Namun, Joochan pun hanya mengangkat kedua bahunya.

“Bomin kenapa, Dek?”

Sembari terus terisak, Donghyun melepaskan pelukan sejenak. “Aku udah siapin semuanya baik-baik, Kak! Udah belanja bahan buat bikin kue, capek aku bikin sendiri kuenya, eh malah dijatohin Bomin! Aku udah mohon-mohon biar jadwal komunitas kakak sama Joochan dikosongin, tapi....” Suaranya tertahan sebentar karena tangis yang terus berderai. “Tapi villa yang aku sewa malah keduluan diambil orang, Kak! Aku udah suruh Bomin urus semuanya, tapi malah kayak gini. Maaf...”

Joochan menarik lengan kekasihnya dengan tatapan yang sangat tajam. “Kamu daritadi minta maaf cuma gara-gara gak bisa kasih kejutan ulang tahun buat aku, sayang?”

Dengan polosnya Donghyun hanya menggerakkan kepalanya ke atas dan bawah. Senyuman merekah malah diperlihatkan Joochan, lalu kembali menyembunyikan Donghyun dalam dekapannya.

“Maaf, Joo... Maaf, Kak... Aku... Aku udah berusaha buat kejutannya... Tapi semuanya gagal...”

“Sayang... Gapapa, kok. Lagian kamu kenapa nyuruh Bomin siapin semuanya?”

Dengan wajah yang merajuk, dekapan dilepaskan sembari memberikan dorongan kecil di dada Joochan. “Aku tiap hari sama kamu, Joo! Kak Sungyoon juga bawel banget kalo aku telat pulang! Gimana caranya aku bebas dari kalian berdua, hah? Mana mungkin aku bisa bikin kejutan ulang tahun kalo lagi sama kalian. Ya, pilihan satu-satunya cuma nyuruh Bomin. Tapi, malah jadi kayak gini. Biasanya kan engga!”

Kegemasan makin diperlihatkan oleh Donghyun padahal amarah tengah diperlihatkan olehnya. Dua orang yang sedang berulang tahun tak kuasa menahan tawanya. Donghyun semakin terpuruk dan hanya bisa menutup paras manisnya dengan kedua telapak tangan.

“Sayang... Kamu gak usah kecewa gitu. Semuanya udah kamu usahakan dengan baik. Aku seneng, makasih.”

Donghyun menggeleng kuat, “Aku juga gak nyiapin kado apapun hari ini, padahal aku udah berusaha bikin kue ulang tahun buat kalian berdua...”

“Dek... Kakak sama Joochan ngerti maksud kamu... Gak usah nangis gini. Kita juga gak mungkin marah sama kamu.” Punggung adik kecilnya dielus lembut ketika masih didekap hangat oleh kekasihnya.

Joochan semakin tak tahan dengan kegemasan kekasihnya. Dekapan segera dihentikan lalu menyentuh lembut kedua pipi Donghyun yang masih basah. Kedua ibu jarinya bergerak untuk mengeringkan pipi tersebut kemudian menempelkan bibir mereka cukup lama. Donghyun hanya membulatkan kedua matanya karena perlakuan langka ini. Inilah pertama kalinya mereka memperlihatkan kemesraan di hadapan Sungyoon.

“Joo! Ada kakak...” Lirihnya ketakutan.

“Untung kamu lagi ulang tahun, kalo engga...”

“Sayang.... Sayang.... Tahan!” Jangjun menarik tubuh kekasihnya yang hampir menipiskan jarak dengan Joochan. “Kita masuk kamar aja! Kasih waktu mereka berdua, aku juga pengen berduaan sama kamu.” Bujukan berhasil. Sungyoon luluh dan membiarkan adiknya menikmati kebersamaan dengan kekasihnya.

Setelah pintu kamar kakaknya tertutup, Donghyun menyatukan giginya geram dan memberikan beberapa pukulan di dada kekasihnya. Memberikan ancaman kecil agar Joochan tidak melakukan hal itu lagi, atau Sungyoon akan memberikan peringatan keras padanya.

“Happy birthday, Joo... Maaf, semuanya gagal. Maaf juga aku malah ngehindar terus pura-pura lupa ulang tahun kamu. Aku malu, Joo. Liat tadi, Kak Jangjun ngasih kejutan buat kakak, aku ngiri tau!”

Tangan Joochan mengalung kuat di pinggang Donghyun. “Makasih, sayang... Tiap tahun kamu selalu berusaha kasih yang terbaik buat aku sama Kak Sungyoon. Aku yakin, kalo kejutannya berhasil pasti acaranya berkesan banget. Tapi, dengan kamu inget aja itu udah cukup, sayang... Makasih, ya.”

Donghyun menyelesaikan pernyataan Joochan dengan kecupan hangat di kedua pipi kekasihnya. Tersenyum manis lalu menyimpan kepalanya di dada milik Joochan. Tangan Joochan bergerak untuk mengusak rambut Donghyun, dia juga tak mau kalah dan akhirnya memberikan kecupan manis di puncak kepala kekasihnya.

Waktu terbatas memang membuat terperangkap. Tidak ada yang bisa dilakukan selain berlari dan mencari jalan keluar. Pilihannya hanya maju tanpa bisa memikirkan jalan berputar. Waktu memang kejam, tapi dia memberikan keindahan ketika perjuangan muncul ke permukaan.

Begitupun dengan Donghyun. Dirinya bak terperangkap oleh waktu yang sempit. Pikiran untuk menyerah sempat membelenggu tapi tak berguna. Tangis dan kebisuan justru menambah suram suasana. Keterbukaan akhirnya memberikan senyuman manis dan menyingkap kesalahpahaman. Joochan dan Sungyoon mengerti dengan maksud yang hendak disampaikan Donghyun, walaupun semuanya tak terlaksana dengan baik.

FIN