antjoo

Cuitan burung berulang kali memekik di telinga. Angin pun meniupkan desiran kedinginan yang menusuk. Namun, hal tersebut tidak membangunkan Donghyun yang terlelap. Matanya enggan mengerjap karena mengambil kesempatan beristirahat lebih lama ketika libur tiba.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Joochan mengendap sekaligus memerhatikan sekitar. Lirikannya di tengok ke kanan dan kiri, cemas jika seseorang memergoki kedatangannya di kamar Donghyun.

“Sayang!” suaranya pelan dan tak menggerakkan tubuh kekasihnya sedikitpun.

“Donghyun sayang...” nada yang dikeluarkan semakin manja sekaligus menggoyangkan tubuh yang terpejam. Joochan juga masih terus memeriksa keadaan sekitar.

Masih belum melihat pergerakan dari kekasihnya, Joochan berinisiatif untuk mengambil langkah lain. Jarak perlahan didekatkan sekaligus menempelkan bibir mereka berdua.

Donghyun terkejut dan mendorong tubuh kekasihnya, “Kamu ngapain, sih? Kalo orang lain liat, gimana?”

“Jangan berisik! Aku kesini diem-diem malah kamu yang teriak. Nanti yang lain pada tau!”

Hubungan mereka belum dipublikasikan dengan luas. Peraturan asrama yang sangat ketat menyebabkan romansa mereka terhalang. Risiko yang harus diambil sangat menyakitkan, tetapi mereka tak dapat memilih apapun. Asrama yang mereka tempati sangat taat peraturan. Jika tersilap sedikit, bahaya akan langsung mengintai.

“Keluar!”

“Aku tunggu di taman biasa jam 10, sayang. Bye!”

Kecupan di pipi menjadi saksi bisu perpisahan mereka. Guling yang berada di dekatnya melayang sampai ke pintu karena perbuatan Joochan yang membuat jantungnya berolahraga. Donghyun tidak mau menanggung akibat jika hubungan mereka diketahui banyak orang.

Berhubung hari libur, semua penghuni asrama tak diinterogasi mendalam jika akan meninggalkan asrama. Pihak asrama memberikan kebebasan ketika libur telah tiba, tetapi dengan syarat harus kembali tepat waktu. Maka dari itu, Donghyun dengan leluasa mendapatkan izin untuk bertemu Joochan. Tentu saja izin yang diucapkan bukan karena Joochan, cari mati jika Donghyun memberitahukan kejujuran.

“Mau ngapain, sih?” tanya Donghyun ketus ketika kondisi sudah sangat aman.

“Anter aku beli parfum, udah abis!” deretan gigi putih terpampang beriringan dengan senyuman yang manis.

“Yaudah, ayo!”

“Ih, tunggu!” gerak kekasihnya dihentikan karena Joochan menarik ujung pakaian yang dikenakan Donghyun.

“Apalagi?”

Joochan membuka lebar telapak tangannya, “Ayo!”

“Gausah macem-macem, Joo. Nanti kalo ketauan gimana?”

“Sayaaaaaang, ini jauh banget dari asrama, loh. Gausah takut.”

“Gak mau!”

Langkah terus melaju di depan Joochan. Menyadari keinginannya diabaikan, Joochan berusaha merajuk. Namun, sifat dingin kekasihnya masih sulit dirobohkan. Donghyun terus saja pergi hingga mereka sampai di tujuan.

Toko parfum langganannya telah dipijak. Joochan mengusak rambut kekasihnya terlebih dahulu karena gemas melihatnya hari ini. Donghyun hanya menepis tangannya karena takut jika tiba-tiba seseorang melihat kemesraan mereka berdua.

“Sayang, gak usah khawatir, sih. Kita cuma berdua aja, gak ada yang bakalan tau.”

“Iya, iya! Udah buruan pilih, udah tau mana yang harus dibeli, kan?”

“Aku mau ganti, ah! Bosen parfumnya itu mulu.”

Modus dimulai, Donghyun hanya melihat miris tingkah kekanakan kekasihnya. Namun, dalam hati terdalamnya, Donghyun bersyukur karena akhirnya dia bisa merasakan kebersamaan lagi dengan kekasihnya.

“Sayang, ini gimana?” Joochan mengacungkan satu botol parfum pada kekasihnya.

“Ciumlah!”

Joochan menurut. Kepalanya mendekat dan mengecup salah satu sisi dari pipi menggemaskan milik Donghyun.

“Ih! Kok malah cium-cium?” kakinya bergerak geram. Ekspresinya juga tak kalah terkejut.

“Lah, kamu yang nyuruh. Aku sih nurut aja.”

“Parfumnya, Joo. Bukan aku!” serangnya sangat geram.

Gelak tawa mengisi ruangan dengan bau wewangian yang beragam. Joochan sukses menggoda kekasihnya setelah sekian lama bersandiwara di asrama. Enggan mendapatkan ocehan lebih lama, Joochan segera membuka tutup parfum dan mengisap baunya.

“Kok gak kecium ya, sayang?”

“Yaampun, Joo! Kamu belajar dari siapa nyium parfum kayak gitu?”

Modus dimulai kembali. Sembari memberikan wajah naif, Joochan hanya mengerutkan dahinya. Tak lama kemudian, Donghyun memberikan tatapan menyeramkan.

“Nyantai aja, sayang. Jangan marah-marah, ah!”

Joochan menyemprotkan parfum ke udara. Mendekatkan hidungnya ke semprotan yang beterbangan di udara.

“Aw! Aaaarrgghh!”

“Kenapa?”

“Perih! Tolongin aku, sayang.”

Melihat kekasihnya kesakitan, Donghyun ikut panik. Kedua ibu jarinya segera mengusap sepasang mata Joochan yang masih terpejam. Bibirnya juga meniupkan udara agar perihnya segera menghilang.

“Makasih, sayang” sahutnya ketika mata terbuka.

Donghyun otomatis memundurkan kepalanya karena jarak mereka semakin menipis. “Eeuuhh! Modus!”

Donghyun menyabet parfum yang dipilih Joochan. Menyemprotkannya pada pergelangan tangan Joochan kemudian menempelkannya pada hidung kekasihnya.

“Tuh, suka gak wanginya?”

“Kok aneh, ya? Cium coba, sayang.”

Pergelangan tangannya didekatkan pada Donghyun. Tanpa curiga, Donghyun meraihnya dan menghisap bebauan yang menempel.

“Enak wanginya, kok. Aneh sebelah mananya?”

“Aku gak suka, kita cari yang lain, sayang.”

Bola matanya berputar kesal. Kekasihnya sedang mengulur waktu lebih lama agar kebersamaan terus terjalin. Setelah waktu memberikan ruang bersama lebih lama, Donghyun lebih berani memberikan genggaman pada jemari kekasihnya.

Joochan hanya tersenyum tipis. Keberanian kekasihnya patut diberikan penghargaan. Jarinya tidak mungkin hanya diam, Joochan membalas genggaman agar lebih kuat.

“Aku mau nyoba ini, sayang.”

Tanpa berkomentar banyak, Donghyun memberikan anggukan. Setelah memutar botol parfum berulang kali, Joochan akhirnya menyemprotkan parfum untuk menyesap wanginya. Kali ini dengan sangat berani Joochan menyemprotkannya pada pakaian yang dikenakan Donghyun. Letaknya tepat di bahu.

“Ih, kenapa disemprot kesitu!”

“Diem, sayang!”

Suaranya bagai menghipnotis pergerakan Donghyun. Tepat ketika Joochan mendekat, Donghyun menahan napasnya. Mata dipejamkan karena Joochan cukup lama menghirup wangi parfum yang tadi dikenakan. Tahap terakhir, Joochan memberikan kecupan di bahu dan tersenyum manis.

“Joo!”

“Harumnya enak, sayang. Tapi, aku masih mau nyari yang lain lagi.”

“Semprot di baju kamu aja, kenapa harus ke aku, sih?”

“Daripada aku cobain di baju orang lain?”

“Awas aja sampe kayak gitu!”

Joochan mengernyitkan hidungnya lalu menarik kembali kekasihnya. Berkeliling kembali sekaligus mencari parfum yang menarik perhatian.

“Ini bagus kayaknya, sayang.”

Botol baru telah diraih. Donghyun hanya melirik tajam dan mengantisipasi jika Joochan melakukan hal yang lebih aneh.

“Diem, sayang!”

“Mau ngapain?”

Protes yang diteriakkan tak menghentikan perbuatan Joochan. Dia menarik kekasihnya mendekat dan menyemprotkan parfumnya tepat di area belakang telinga. Tanpa menghabiskan waktu, mendekati area tersebut dan memainkan napasnya beberapa kali.

“Joo!”

Donghyun malah mengeratkan pegangan. Memejamkan mata kembali dan sedikit menaikan bahunya. Setelah kembali berhadapan, Donghyun melepaskan genggamannya.

“Modus mulu! Buruan pilih parfumnya mau yang mana!”

“Yang awal deh, sayang.”

Langkah mendahului Donghyun. Di belakang Joochan, dia mengepalkan kedua tangannya karena kesal. Jika pilihan pertama membuatnya jatuh cinta, menurut Donghyun tidak perlu repot untuk mencoba aroma lain seperti tadi.

“Bayar buruan!”

“Jangan bete gitu dong, sayang.”

“Lagian kamu, sih. Kalo udah suka dari awal kenapa gak diambil aja? Kenapa harus muter-muter, sih?” nadanya lantang.

“Maaf, aku kangen aja sama kamu, sayang. Kalo di asrama mana bisa kita kayak gini? Mau deket aja kamu gamau, kan? Maaf kalo gak suka.”

“Bukan gak suka, Joo...”

Joochan enggan mendengar pembelaan dan langsung menuju kasir. Donghyun merasa sikapnya terlalu berlebihan. Rautnya masih cemas dan menatap Joochan yang sedang melakukan transaksi.

“Joo!”

“Apa?”

“Parfumnya mana? Tadi kamu bilang di awal gak suka, loh!”

“Peka dikit dong. Aku cuma pengen lama-lama sama kamu!”

“Sini parfumnya, aku mau nyoba.”

Tangannya terulur. Joochan membuka tas belanjaannya dan memberikan botol parfum pada Donghyun. Dengan sigap, pergelangan tangan Joochan diraih hanya untuk disemprotkan parfum yang digenggam. Setelah itu, Donghyun membalik tangannya dan mengecup punggung tangan kekasihnya.

Kecupan tadi membuat kedua alis Joochan terangkat, “Kamu ngapain, sayang? Yang disemprot pergelangan tangan kenapa malah nyiumnya beda?”

“Aku suka...”

“Tuh, kan... Kamu aja suka wanginya.”

“Suka kamu, Joo.”

Tawa membahana di seisi toko. Joochan tak menyangka jika Donghyun akan menggodanya sejauh ini. Kedua tangannya menangkup di pipi Donghyun dan menyatukan dahi bersama.

“Makasih, sayang.”

Donghyun hanya mengangguk dan mengalungkan tangannya dengan kuat. Mengajak kekasihnya kembali berjalan-jalan untuk menghabiskan hari. Kebersamaan mereka bagai memberikan tanda pada semesta jika hubungan romansa yang terjalin tak mungkin dihentikan oleh apapun.

FIN

Jadwal tour dimulai. Hari ini, delapan pria tampan akan menghibur para penggemarnya di belahan dunia yang berbeda. Melakukan aksi panggung terbaik setelah berlatih sangat keras.

Beberapa menit berlalu, kedua kendaraan akhirnya sampai di bandara. Joochan sudah turun terlebih dahulu sambil menyapa beberapa flash kamera dengan senyuman manisnya. Tak lupa tangannya juga ikut dilambaikan. Lirikan tertuju pada mobil yang baru saja terbuka. Joochan mendekat sambil terus membuat tangannya melambai. Kacamatanya dimainkan dengan membuka sisi warna hitam ke arah atas.

Sebenarnya Joochan melakukan hal tersebut bukan tanpa alasan. Dia hanya mengulur waktu menunggu kekasihnya keluar mobil. Setelah ekor mata menangkap sosok terkasih, langkah dilanjutkan sambil tetap menjaga jarak agar tidak terlalu menjauh.

Sebelum melanjutkan perjalanan, delapan orang pria tampan diminta untuk melakukan kembali sapaan. Donghyun sudah berada di posisi terapit oleh Bomin dan kekasihnya. Ketika semua atensi diberikan pada mereka, Joochan melulu menunjuk gelang couple yang dia miliki dengan Bomin. Tangan mereka bergenggaman hingga sesekali membuat fokus Donghyun teralihkan pada genggaman tersebut.

“Sayang, tuker posisi, dong” bisiknya pelan kemudian menggeser lembut bahu Donghyun.

Ekspresi datar hanya diberikan dan lanjut melambaikan tangan pada puluhan reporter di bandara. Beberapa menit setelahnya, Donghyun berjalan terlebih dahulu hingga tak sadar melebarkan jarak dengan kekasihnya.

“Kak!”

“Oy!” Joochan melihat ke samping tempat Bomin berdiri.

“Kak Donghyun kayaknya marah, deh. Lagian main pindahin tempat aja, terus pamer-pamer gelang. Udah tau Kak Donghyun sensian!”

“Masa, sih?”

“Liat! Jalannya aja ngejauh, kan? Ngambek, tuh!”

Perkataan Bomin membuat Joochan khawatir. Otaknya dibuat berputar cepat untuk mencari cara agar emosi Donghyun secepatnya diredam. Jarinya mengurut kepala hingga tak sengaja menyentuh kacamata yang sedang dia pakai.

“Ah! Kacamata!”

Joochan berlari kecil mendekati kekasihnya. Tersenyum manis kemudian mengangkat kedua alisnya. Donghyun hanya mengerutkan dahinya tak mengerti dan berniat meninggalkan Joochan. Namun, kepergiannya tentu saja ditahan.

“Sayang, mau kemana?”

“Masuk, lah!”

“Mau pake, gak?” modus dimulai.

Anggukan diberikan lalu membuat pergerakan tangan Joochan kembali lihai. Kacamata dibuka dan dipakaikan pada kekasihnya. Sesaat senyumnya melebar melihat Donghyun memainkan kacamata miliknya. Ditemani Seungmin, kekasihnya terus menaik turunkan bagian hitam dengan diselingi gelak tawa.

“Lucu!” atensinya diberikan pada sang kekasih.

“Kacamatanya?”

“Kamu, lah...” tanggapannya masih dingin. Padahal Joochan berusaha mencairkan suasana canggung dengan sang kekasih.

Donghyun mengembalikan kacamata milik kekasihnya dengan tetap mempertahankan raut datarnya. Joochan merengut manja tetapi tak berakibat apapun pada Donghyun. Kekasihnya kembali melebarkan jarak dan meninggalkan Joochan di belakang.

Donghyun sudah sampai terlebih dahulu. Di depannya sudah mengantri Jaehyun dan Seungmin. Satu tangannya menggenggam erat tas ransel yang hanya terkait sebelah. Menundukan pandangan untuk menunggu gilirannya tiba.

Pandangannya tertuju pada tas hitam yang tersimpan di sebelahnya. Setelah itu, bahunya merasakan sentuhan yang tak asing. Sang pemilik tas, Hong Joochan, seakan memberikan tanda jika Donghyun tidak boleh meninggalkannya. Bahunya terus digenggam erat karena Joochan tak mau lagi berjauhan dengan kekasihnya.

“Sayang?” bisiknya pelan.

“Euumm?” jawabnya singkat.

“Marah?”

Jawabannya hanya menggeleng sembari menajamkan tatapan. Tangan yang masih di bahunya sesekali berusaha dihempaskan lembut tapi Joochan tak mau. Pria manis ini bukan tidak mau berdekatan dengan kekasihnya. Dia hanya tidak mau menjadi objek perhatian banyak orang di bandara.

Selesai melakukan berbagai pengecekan, semua orang telah bersantai dan masuk pesawat. Pun dengan Joochan dan Donghyun yang secara kebetulan duduk sebelahan. Donghyun masih asyik dengan dunianya sendiri. Enggan melulu berselimutkan keheningan, Joochan menyatukan bahunya dengan Donghyun hingga atensi diberikan.

“Apa, sih?”

“Maaf, sayang...” dengan manja, Joochan mengalungkan tangannya di pinggang Donghyun. Tak lupa, kepalanya juga disandarkan di bahu sang kekasih.

“Maaf? Maksudnya?” bahu tempat bersandar digerakan agar Joochan menaikan kepalanya.

“Kamu marah, kan?”

Pertanyaan kedua kalinya terdengar oleh Donghyun. “Marah? Siapa yang marah?”

“Kamu! Ya, masa aku, kan aku yang nanya!”

“Gak jelas!” Perhatian langsung dialihkan. Donghyun menatap jauh ke arah jendela.

“Tuh, kan!”

“Apa, sih, Joo? Aku gak marah! Marah kenapa pula? Kamu gak salah apa-apa.”

“Soal gelang tadi? Eeuummm maaf, aku gak maksud geser posisi kamu. Maaf, sayang. Jangan marah lagi, abisnya kamu jalannya ngejauh banget. Aku ajak becanda, gak mempan. Aku deketin malah terus ngejauh. Kan, bete. Maaf, sayang.”

Donghyun hanya terdiam. Dia tidak menyangka jika kekasihnya akan berpikiran aneh seperti sekarang, padahal Donghyun tidak bermaksud seperti itu. Tawa tertahan, Donghyun hanya mengusak kedua pipi kekasihnya.

“Aku gak marah, kok. Cuma males aja jadi tontonan orang banyak, Joo. Hubungan kita, ya kita aja yang tau. Orang lain gak usah ngerecokin. Kamu kayak baru sebentar aja pacaran sama aku! Aneh!”

“Takut aja kamu ngambek. Nanti baikannya lama, aku kesepian!”

Tanggapannya hanya menggeleng saja. Kekasihnya memang terlalu khawatir dengan hal yang belum tentu terjadi. Sebagai bukti bahwa dirinya tidak marah, Donghyun membalas pelukan Joochan sekejap.

“Udah! Aku gak marah, kok.”

Kali ini giliran Joochan yang mengusak pipi kenyal kekasihnya. Kecupan juga diberikan disana. Hatinya sudah tenang karena ternyata hubungan mereka masih dijaga semesta. Joochan semakin menyayangi Donghyun.

“Mau foto gak, sayang?”

“Gak!” jawabnya ketus.

Pertanyaan itu sebetulnya tak perlu lagi diajukan. Joochan sudah paham betul jika kekasihnya sulit sekali diajak untuk mengabadikan moment bersama. Namun, Joochan enggan mengabaikan kebersamaan begitu saja. Diam-diam, Joochan memotret gambar dirinya bersama sang kekasih. Setelah itu, tersenyum dan diam-diam memamerkannya pada para penggemar.

“Joo!”

Dilarang melanjutkan suaranya, Joochan segera menyimpan telunjuk di bibir Donghyun. Dia tahu sekali jika kekasihnya akan menggerutu karena postingan terbaru yang dibagikan.

“Satu aja, sayang! Pamer aja ke orang kalo aku duduk sama kamu! Janji, cuma upload satu! Jangan marah.” kecupan manis di pipi diberikan. Joochan menundukan pandangan sembari menenggelamkan diri dalam dekapan Donghyun. Untung saja, Donghyun tidak memperpanjang hal tersebut. Joochan sangat menikmati kebersamaannya dengan Donghyun saat ini. Kesibukannya tidak akan terasa lelah selama dia bisa melihat wajah manis kekasihnya.

Dalam ruang milik pribadi, seorang pria terbaring murung sembari menaikan satu tangannya. Pandangannya mengarah pada tiga tiket pertunjukan musical yang sedang digenggam erat. Kecerahan pagi ini tak mempengaruhi suasana hati pemilik kamar. Jantungnya berdebar cukup kencang diiringi pemikiran cemas tentang suatu hal.

Joochan, sang penguasa kamar, lalu mengubah posisinya. Memiringkan badan dan berakhir dengan hembusan napas kasar. Dua tiket yang tersisa belum memiliki pemilik. Niatnya akan dia berikan pada pacarnya, Kim Donghyun. Satunya lagi, siapapun temannya yang mau ikut, dia berikan secara gratis.

Sabtu malam disebut sebagai hari special bagi kaula muda yang dimabuk asmara, tak terkecuali Joochan dan Donghyun. Jauh di lubuk hati terdalam, Joochan hanya ingin bepergian berdua saja. Namun, Donghyun pasti menolak. Hatinya belum mengizinkan jika hubungan mereka dikonsumsi oleh publik. Joochan menghargai hal tersebut.

Tidak mau semakin larut dalam pemikiran yang mendalam, Joochan beranjak. Pergi menuju ruangan kekasihnya tepat di sebelah kamarnya. Berjalan pelan, takut jika derap langkahnya mengganggu penghuni lain.

“Sayang? Udah bangun?” lirihnya lembut sembari mengetuk pintu.

Tidak butuh waktu lama, Donghyun membukakan pintu dengan senyum tipis manisnya. Mengangkat dagu dengan iringan sorot mata teduhnya, tanda jika dia membutuhkan alasan dari Joochan karena mengganggunya sejak pagi.

“Sore jalan, yuk. Aku ada tiket nonton musicalnya Kak Sungyoon.” tiga tiket diperlihatkan di hadapan sang kekasih.

“Satu lagi buat siapa?”

Joochan hanya mengangkat bahunya, “Siapa aja yang mau. Kamu pasti gak mau kalo cuma jalan berdua doang, kan?”

Sambil diterpa hembusan udara pagi menyegarkan, Donghyun hanya mengangguk. Raut wajahnya berubah menjadi binar kecemasan.

“Maaf, Joo. Aku bukannya gak mau jalan berdua sama kamu, tapi...”

Surai seseorang di depan matanya diusak lembut hingga pernyataannya terhenti, “Aku ngerti, sayang. Tenang aja.”

“Makasih, Joo...”

Mereka berpelukan cukup lama. Saling menumpahkan kerinduan karena pertemuan yang jarang terjadi. Kamar mereka memang sebelahan, tetapi Joochan memiliki kesibukan menggunung sehingga menguras ruang bagi mereka berdua.

“Aku ngajak yang lain dulu, sayang. Atau Bomin mau ikut?”

“Bomin masih tidur, Joo. Ajak yang lain aja dulu, kasian kalo diganggu.”

“Okay, aku ajak yang lain dulu.”

Sebuah anggukan diberikan sekaligus menjadi tanda perpisahan bagi pasangan kekasih tersebut. Donghyun menatap hingga Joochan menjauh lalu menutup kembali pintu kamarnya pelan.


Donghyun keluar kamar setelah selesai bergulat dengan permainan kesukaannya. Tak terasa waktu sudah mendekati senja, Donghyun sengaja keluar untuk mengecek keadaan. Kerutan di dahi diperlihatkan ketika melihat Jangjun telah siap dengan setelan putih hitamnya.

“Kakak mau kemana?” tanyanya sambil duduk di sofa untuk mengambil alih remote televisi.

“Diajak Joochan nonton musical, kamu juga ikut, kan?”

Tidak menanggapi, langkahnya langsung dibuat laju menuju kamar Joochan tanpa mengetuk.

“Yaampun, sayang... Kaget tau!” tangannya menutup kembali handuk yang tadinya sempat akan dibuka. Joochan baru saja selesai mandi, “Bisa ketuk pintu dulu, kan?”

“Kamu ngajak Kak Jangjun?”

Sebelum menjawab, Joochan duduk di tepian kasur dan menepuk tempat sebelahnya yang kosong. Donghyun mendekat dengan emosi yang masih meluap.

“Kenapa, sayang?”

“Gak bisa ngajak yang lain?”

“Bomin gak mau, Jaehyun juga pengen istirahat katanya, Jibeom sama Kak Seungmin kan udah nonton duluan, terus aku ngajak siapa lagi? Kak Youngtaek juga masih harus istirahat, kan, belum bisa diajak.”

“Aku gak mau kalo sama Kak Jangjun!”

Joochan hanya menghela napasnya. Sebentar lagi keributan akan terjadi karena dia harus meladeni ribuan argumen dari pacarnya. Jika ditilik dari sudut pandang Donghyun, alasan dia tidak menyetujui karena ingin sabtu malamnya tenang. Jika harus diributi oleh Joochan, Donghyun akan berusaha menahannya. Namun, ketika ditambahi dengan Jangjun, tenaganya tidak cukup menampung keaktifan dua orang sekaligus.

“Jadi kamu gak mau pergi, sayang?”

“Gak mau!”

“Sayang! Sayang!” berusaha menahan kekasihnya pergi, Joochan berlari mengejar sampai berdebat kembali di depan pintu kamar Donghyun.

“Aku gak mau, Joo...”

“Yaudah, aku ajak Bomin aja! Awas!”

Secepat kilat tangan Donghyun langsung mencegah keinginan Joochan. Sorot pandangnya menajam pertanda kemarahan yang terpendam.

“Kok jadi ngajak Bomin, sih?”

“Kamu katanya gak mau pergi... Yaudah aku ajak aja Bomin, kalo dia gak mau juga, aku berdua aja deh sama Kak Jangjun!”

“Tadi kamu bilang sendiri Bomin gak mau ikut, Joo...”

“Emang! Aku coba aja bujuk lagi, siapa tau berubah pikiran!”

Kedua tangannya mendorong tubuh Joochan menjauh, “Bukannya bujuk aku, malah bujuk yang lain! Nyebelin!”

Pintu tertutup cukup kuat. Membuat kedua mata Joochan tertutup diiringi dengan bahu yang gemetar. Tidak lupa kepalanya juga menggeleng karena perilaku kekasihnya.

“Sayang...” sambil mengetuk, Joochan menempelkan telinga dan pipinya ke pintu kamar Donghyun.

“Pake baju dulu sana! Aku mau siap-siap. Kamu kalo berani jalan berduaan aja sama Kak Jangjun, jangan harap aku mau ngomong sama kamu!”

Pandangan diturunkan ketika menyadari kondisinya yang masih belum berbusana. Dia terlupa karena Donghyun merajuk tadi. Tangannya mengeratkan handuk sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal, Joochan menjauh dan kembali ke kamarnya untuk bersiap.


Joochan, Donghyun, dan Jangjun telah sampai di tempat pertunjukan. Mengikuti penonton lainnya, mereka masuk ke ruang pertunjukan karena musical akan segera dimulai. Joochan jalan di barisan terdepan, diikuti Jangjun dan Donghyun. Tatapan Joochan melirik ke kanan kiri, mencari tempat yang strategis untuk menonton.

Joochan tersenyum sambil duduk di tempat yang dia pilih. Jangjun mengikuti dan Donghyun di paling belakang. Tepat ketika Jangjun akan duduk di sebelah Joochan, tangannya menahan. Dengan raut memelas, Joochan memohon agar memberikan jalan bagi Donghyun. Sepanjang pertunjukan Joochan ingin duduk berdampingan dengan Donghyun.

“Yaampun, cuma tempat duduk aja ribet banget, sih!”

“Ya, siapa orangnya yang mau dipisahin sama pacar sendiri, Kak...”

Jangjun mengalah, memberikan ruang langkah bagi Donghyun. Tanpa penolakan, Donghyun duduk dan disambut dengan senyum kemenangan dari Joochan.

“Sayang...”

Donghyun menengok. Suaranya langsung menghentikan ucapan orang di sampingnya, “Sepanjang show jangan komentar apapun, Joo! Aku mau nonton! Jangan ganggu!”

“Iya, sayang”

Lampu menggelap, meninggalkan cahaya hanya pada set panggung pertunjukan. Suara musik perlahan mulai terdengar. Terlihat dua orang pemain disana, pertunjukan dimulai.

Baru adegan awal, tangan Joochan bergerak. Memberikan genggaman erat pada tangan Donghyun walaupun pandangan tetap berpusat pada panggung.

Donghyun berbalik, “Joo...”

“Sssttt! Nonton aja, sayang. Apa salahnya cuma megang tangan doang.”

“Terserah!”

Pandangan pasangan kekasih kembali berpusat pada pertunjukan. Joochan melukiskan kembali senyuman lalu menarik tangan Donghyun dan mengecupnya.

“Makasih, sayang.”

Sepanjang pertunjukan genggaman tangan tak terlepas. Bahkan saat pertunjukan selesai pun, Joochan bertepuk tangan sambil menarik tangan kekasihnya yang masih digenggam.

“Lepas dulu kali, Joo...”

Sambil memberikan seringai canggung, Joochan mengembalikan tangan pada pemiliknya. Tidak lupa mereka juga berteriak sambil memberikan standing ovation.

“Kita foto dulu bareng Kak Sungyoon, yuk.”

Saran Jangjun tentu saja disetujui. Namun, ketika akan bergerak, Joochan menahan kekasihnya dan membuat Donghyun hampir saja merengek.

“Kak, duluan aja. Nanti kita nyusul.”

“Mau apalagi, sih?”

“Bentar, sayang!”

Kembali, tangan Donghyun digenggam erat. Jangjun hanya menggeleng dan pergi terlebih dahulu menemui Sungyoon.

“Mau ngapain, Joo? Kak Jangjun udah pergi, buruan!”

“Foto dulu berdua, ya?”

“Gak mau!”

*“Sekali aja, please. Janji sekali doang, sayang”*

“Jangan di...”

Ucapan Donghyun langsung dipotong, Joochan sudah hafal betul dengan kebiasaan kekasihnya, “Gak akan aku upload, sayang. Aku rela menuhin memori aku cuma sama foto kamu doang, kok. Sini!”

Bahu Donghyun digenggam erat agar semakin mendekat. Joochan berhasil mengabadikan kebersamaannya dengan Donghyun lewat jepretan kamera di handphonenya.

“Lagi, sayang...”

“Tadi katanya sekali doang, banyak maunya, nih!”

“Sekali lagi...”

Tidak mau beradu argumen dengan Joochan akhirnya Donghyun menyetujui. Tubuhnya kembali dibuat bergeser agar semakin dekat. Kesempatan bagus tidak dilewatkan begitu saja, sambil mengarahkan handphone, Joochan mengecup pipi Donghyun.

“Joochan...”

Omelan Donghyun tak dihiraukan. Joochan senang karena hasil jepretannya bagus. Bahkan dengan bangganya memperlihatkan hasil tersebut pada Donghyun, “Bagus, kan, sayang?”

Mata Donghyun ditujukan pada layar ponsel milik sang kekasih. Gambaran diri mereka berdua terpampang dengan Joochan yang sedang mengecup pipi Donghyun.

“Iya, iya. Udah, ayo nyusul Kak Jangjun...” baju yang dikenakan Joochan ditarik dengan tujuan agar keinginannya segera dipenuhi. Namun, Joochan malah melipat kedua tangannya di sisi kursi sambil menempatkan atensi pada paras menggemaskan kekasihnya.

“Joochan!”

“Makasih, sayang!” satu kecupan lagi berhasil mendarat di pipi Donghyun. Kedua mata Donghyun kembali membulat dan refleks mengacungkan kepalan di hadapan Joochan. “Jangan galak-galak, dong.” lanjutnya.

“Mau pergi sekarang atau aku tinggal?”

“Sekarang, sayang. Ayo...”

Joochan berdiri terlebih dahulu. Mengulurkan tangannya dan menunggu sambutan dari Donghyun. Melihat kondisi ruangan yang sudah sepi, Donghyun mengangkat tangannya dan membalas uluran tangan Joochan. Mereka saling menggenggam kembali di perjalanan menemui Jangjun dan Sungyoon.


Pertemuan di belakang panggung hanyalah sebatas ucapan selamat dan foto bersama. Para pemain yang sudah bekerja keras tidak mungkin diganggu dengan berbagai basa basi yang tak perlu, mereka membutuhkan istirahat. Setelah selesai mengapresiasi, Joochan, Donghyun, dan Jangjun pamit pulang.

Selesai berpamitan, mereka bertiga bergegas menuju mobil yang sudah siap menjemput. Jangjun menuju kursi paling depan, sedangkan pasangan kekasih mengambil kursi di belakang.

Perjalanan dimulai, Joochan meraih ponselnya dan mengabaikan Donghyun yang tengah menatap jalanan lewat jendela. Sepi merasuki mobil yang melaju di jalanan ramai. Hingga tak terasa, kantuk mulai menyapa.

“Sayang, tadi gimana? Ceritanya bagus, kan? Lain kali kalo aku ajak nonton lagi mau, ya?”

Mata kembali meringan karena rentetan pertanyaan yang diajukan Joochan. Sembari mengucek kedua mata, Donghyun membangunkan tubuhnya guna memberikan atensi bagi kekasihnya.

“Iya.” jawabnya singkat.

“Jangan lupa nonton equal, sayang. Aku beliin tiketnya nanti. Kasih tau aja jadwal kosong kamu kapan.”

“Iya, Joo...” pertanyaan kembali ditanggapi singkat.

“Sayang, lagu mana yang kamu suka?”

“Semuanya bagus, kok.”

“Aku nyanyiin, ya?”

Dengan sigap tangan Donghyun langsung menutup mulut kekasihnya, “Gak usah, Joo! Aku tau suara kamu bagus, tapi gak usah nyanyi. Berisik!”

Tangan yang menutup mulut dilepaskan dengan raut kekecewaan. Donghyun tak mau ambil pusing, dia segera menyampingkan tubuh dan pandangannya. Menutup matanya perlahan.

Dalam perjalanan menuju mimpi, Donghyun dikejutkan gumaman berirama dari Joochan. Kekasihnya itu melantunkan irama tanpa lirik. Indah sekali tetapi Donghyun cukup terganggu.

Pandangan segera beralih kembali. Dibuat sangat tajam agar kekasihnya menghentikan semua suara yang dikeluarkan. Joochan tersenyum lebar, tangannya disatukan tanda jika dia menyesal telah mengganggu ketentraman Donghyun.

Perbuatannya dimaafkan, Donghyun kembali mencoba tertidur. Sayangnya, tidak bisa. Suara indah Joochan terdengar kembali, kali ini lebih lantang.

“Joo!”

“Eh, maaf, sayang. A-aku cuma mau ngerekam suara aku, kok. Dengerin aja, sih. Kamu bilang suara aku bagus, kan?”

Donghyun membiarkan sang pacar merekam suaranya sendiri. Begitulah Joochan, sangat antusias dengan semua yang dia rasakan. Satu lagi, Joochan juga tak pernah lupa untuk membaginya kepada siapapun. Contohnya seperti saat ini.

Lirikan diberikan sekejap, Joochan tersenyum setelah berhasil merekam dengan baik suaranya, menyanyikan salah satu lagu bagian dari musical tadi. Merasa sudah aman, Donghyun mencoba kembali tertidur. Kali ini, Joochan bertingkah lagi.

“La la la la la ~~~” bibirnya kembali terbuka menyanyikan nada yang teringat di otaknya.

Donghyun tentu saja tidak tinggal diam, tangannya mengepal dan memukul bahu kiri milik Joochan. “Berisik!”

Bahu yang kesakitan diusap perlahan dengan wajah yang masih meringis. Joochan berbalik memandang Donghyun yang terus membelakanginya.

“Ngantuk, sayang?”

Respons yang diberikan hanya anggukan. Dengan lembut, Joochan mengulurkan tangannya untuk dijadikan bantal bagi Donghyun. Satu tangan yang bebas menuntun kepala Donghyun agar tertidur di bahu Joochan. Tubuh mereka secara otomatis mendekat, saling memberikan kenyamanan dalam perjalanan pulang.

Pejaman mata mulai mengerat. Joochan beraksi dengan mengelus rambut Donghyun penuh kelembutan. Bayangan irama musical yang indah masih terngiang di pikirannya, hingga Joochan kembali bersenandung.

Donghyun tak melakukan protes. Dia hanya mengusak kepalanya agar lebih tenggelam dalam dekapan Joochan. Senandung tak dihentikan, suara dikeluarkan semakin lembut dan memanjakan telinga. Donghyun menyukainya.

“Good night ~~~”

Donghyun tersenyum. Joochan memberikan ucapan selamat malam persis dengan irama yang diucapkan Seo Haena, pemeran wanita dalam musical tadi. Kedua tangan mungil sengaja merangsek agar lebih menghangatkan pelukan. Setelah memberikan kecupan di puncak kepala, Joochan melanjutkan bersenandung hingga keduanya terlelap bersama.

Malam ini indah karena dilalui bersamamu. Terima kasih.

FIN

Hujan itu menyenangkan, apalagi ketika dirasai bersamamu.

“Joo...”

“Kenapa sayang?” suara lembutnya semakin sempurna dengan genggaman manis di lenganku.

“Ayo main hujan!”

“Di pinggir aja, Hyun. Jangan hujan-hujanan nanti sakit!”

Aku tersenyum hingga menyembunyikan kedua mata. Joochan sudah berada di belakangku dengan dekapan eratnya. Mengangkat kedua tanganku dan membuatnya basah. Merasakan rintik yang turun tak terlalu deras.

Aku menyukai hujan, karenamu.

Hujan. Ribuan tetes air yang tak pernah lelah membasahi bumi. Membuat tanah beraroma khas ketika terbasahi. Menggelitik dunia dengan nuansa dingin. Menyemaikan kasih-Nya untuk berbagai makhluk semesta.

Pandanganku terus dinaikan, memberikan perhatian pada tiap tetes yang membuat tanganku basah. Tak terasa dingin, Joochan sedang bersamaku dengan dekapan terhangatnya. Aku suka.

“Kamu kok suka banget sama hujan, sih, sayang?”

Aku menengok, tersilap jika alasan tersebut belum sempat aku sampaikan padanya. “Hujan tuh bikin aku inget sama kamu, makanya aku suka hujan.”

Mataku terpejam ketika satu kecupan mendarat di bahu. Kecupan kedua membuat kepalaku tak mau diam. Tangannya masih erat menuntunku memainkan tetesan hujan yang turun.

“Apa yang bikin kamu mikir kalo aku dan hujan itu sama?”

Aku tersenyum. Baiklah, saatnya aku menceritakan persepsiku padanya.

Meski jatuh berkali-kali, hujan tidak akan pernah menyerah.

Begitu pun denganmu.

Jika menelusuri perjalanan masa lalu, kisah romansa kami tidak berawal dengan mulus. Berbagai penolakan sering aku berikan pada Joochan. Namun, dia tidak pernah menyerah. Joochan selalu memperjuangkan sayangnya untukku.

“Kamu inget, Joo? Dulu aku sering nolak kamu, kan?”

Pertanyaanku hanya dijawab dengan anggukan kepalanya yang ringan. Sesekali tangan jahilnya mencipratkan air hujan ke wajahku.

“Joo, jangan kayak gitu!”

“Maaf, sayang. Lanjut ceritanya.”

Satu kecupan mendarat di sisi kanan parasku hingga membuatku melengkungkan senyuman manis.

“Kamu tuh gak pernah nyerah walaupun udah ribuan kali aku tolak, Joo. Sama kayak hujan. Hujan juga gak pernah nyerah walaupun udah jatuh berkali-kali, kan?”

Kutengokan wajahku hingga bertatapan dengannya. Kembali saling memberikan senyuman manis di manik masing-masing.

“Ya, namanya sayang. Harus berjuang, dong. Masa nyerah, sih?”

Aku mengangguk, tanda jika aku sangat setuju dengan pemikirannya.

“Eh, tapi...”

dia terdiam sampai aku menatap dan mengangkat daguku. “Tapi apa, Joo?”

“Alesan kamu nolak aku apa, sih?”

Kakiku digoyangkan ke depan dan belakang sekaligus menurunkan pandanganku karena malu, “Awalnya aku risih aja sama kamu, Joo. Kok ada orang seagresif kamu.”

“Kalo sekarang risih gak?”

Kunaikan kembali pandanganku dan menggeleng pasti, “Gak, dong. Kalo aku masih risih, kita gaakan pacaran, Joo!”

Kalungan tangannya di pinggangku dipererat seiring cerita yang mengalun dari mulutku. Menambah intim suasana kedekatan kami bersama hujan.

“Terus apa lagi?”

Kepala dibuat menyamping terlebih dahulu karena Joochan menyimpan dagunya di bahuku.

Hujan turun karena tahu jika bumi membutuhkannya.

Joochan, lelaki tampanku ini bagai terlahir hanya untukku. Kami seperti memiliki radar yang terhubung satu sama lain dengan sangat kuat. Kapanpun dan dimanapun aku membutuhkan bantuan, dia akan selalu datang dan membantuku sepenuh hati.

“Awalnya aku kira cuma perasaan aku doang, Joo. Tapi, kamu tuh selalu ada kalo aku lagi butuh bantuan.”

“Maksudnya?”

“Tiap kali aku kesusahan, butuh bantuan, atau butuh tempat curhat... Kamu pasti selalu ada, Joo. Sampe sekarang. Bahkan kadang aku gak mau bilang sama kamu takut ngerepotin, tapi kamu selalu ada buat aku, Joo.”

Pelukannya terlepas. Dia menggenggam bahuku dengan kuat sambil memberikan tatapan tegasnya, “Kamu gak pernah ngerepotin aku, Hyun. Kalo ada apa-apa tuh bilang. Aku cuma berusaha selalu ada saat kamu butuh. Kamu juga suka kayak gitu sama aku, kan?”

Aku mengangguk. Joochan kembali pada posisi awalnya, memberikan pelukan dari arah belakang.

“Terus apa hubungannya sama hujan?” lanjutnya.

“Aku yakin, hujan itu turun karena memang bumi membutuhkannya. Sama kayak kamu. Kamu selalu ada buat aku karena emang aku butuh kamu. Makasih selalu ada buat aku, Joo.”

“Kamu juga, sayang. Makasih selalu ada buat aku.”

Semoga kalian tidak merasa muak mendengar kisah cintaku dengan Joochan. Tapi, aku selalu bersemangat ketika menceritakan Joochan-ku. Dia terbaik.

Rasanya aku membutuhkan pemandangan baru. Tidak lagi bersudut pandang hujan, kubalik tubuhku hingga berhadapan dengan Joochan. Mengalungkan kedua tanganku di lehernya dan kembali memberikannya pelukan. Menyesap aroma khas tubuh kekasihku yang perlahan menjadi wangi favoritku.

Bau hujan itu menyenangkan, sederhana, dan menenangkan.

“Mau tau apalagi yang bikin kamu mirip sama hujan, Joo?”

“Apa, sayang?”

Kuubah posisi kepalaku, bersandar di dadanya yang bidang. Akhir-akhir ini dia rajin sekali berolahraga, membuatku semakin nyaman jika memeluknya.

“Wangi kamu, Joo. Aku suka. Sama kayak aku suka bau tanah ketika hujan turun. Tenang banget rasanya”

“Yang pake parfume ini bukan cuma aku, kan?”

Aku merajuk dan melepaskan pelukan. Merengut dan memberikan tatapan tajam. “Beda lah! Parfumenya sama tapi kalo dipake sama orang lain belum tentu aku suka!”

“Iya, sayang. Gitu doang ngambek, sih? Sini peluk lagi”

Tangannya terbuka lebar, tidak mungkin aku menolaknya. Terlebih hujan semakin deras, membuat suasana menjadi sangat dingin.

“Masuk, yuk, sayang. Hujannya makin deres, kelamaan di luar nanti sakit.”

Sebelum menyetujuinya, mataku dibuat terpejam sembari menguatkan pelukan. Menghirup terlebih dahulu aromanya yang membuat tenang. Menitipkan harapan pada ribuan rintik hujan.

Aku ingin selalu bersamanya.

April, bulan keempat yang membawa banyak keindahan. Saat bunga bermekaran setelah lama membeku. Keelokannya mampu menyihir suasana hati agar terus membaik. Terlebih untuk pria jangkung dengan paras tampan, Son Youngtaek. April sangat bermakna baginya. Saat itulah dirinya dilahirkan. Dia lahir ketika bumi sedang sangat indah.

Beberapa hari ini ada hal aneh yang sedang dirasakan Youngtaek. Di saat yang tak terduga, dia akan dikirimi barang dari seseorang misterius. Terdapat sebuah pesan memang, namun pengirimnya anonim.

Dia pernah mendapatkan bunga ketika baru saja masuk ke kelas. Bunga cantik itu tergeletak tak bertuan di atas meja belajar yang biasa digunakan Youngtaek. Sebuah susu kotak, kopi hangat, air mineral, dan coklat pernah mendarat di tangannya melalui perantara teman sekelasnya. Sayangnya ketika ditanya mengenai pengirim, tak ada satu pun yang bersuara.

Awalnya Youngtaek menyangka jika semua hal manis ini dilakukan kekasihnya, Kim Jibeom. Akan tetapi ketika diselidiki lebih dalam, prediksinya salah. Hal itu yang menyebabkan Youngtaek merahasiakan semuanya dari Jibeom. Dia berjanji jika sudah mengetahui pengirim misterius tersebut, kekasihnya juga akan diberikan kabar.

Satu hari tersisa sebelum Youngtaek berulang tahun. Kegiatan di kampusnya telah lama selesai. Sengaja perpustakaan dijadikan tempat untuk menunggu. Kekasihnya belum menjemput, sulit memang jika memiliki pasangan lintas fakultas.

“Kak, ada titipan. Katanya buat Kak Youngtaek.” mahasiswa baru yang cukup asing tersebut langsung berlari setelah memberikan sebungkus jelly untuknya.

Terjadi lagi. Dia mendapatkan kiriman misterius yang membuatnya penasaran. Tidak ada yang mengganggu. Semua yang di lakukan orang tersebut di luar dugaan membuat Youngtaek nyaman. Dia sangat mengetahui semua hal yang membuatnya nyaman.

Lamunan dihentikan getaran handphone berisikan panggilan dari Jibeom. Tangannya dengan sigap langsung menerima panggilan tersebut. Menyambungkan komunikasi jarak jauh dengan pujaan hatinya.

“Aku di perpus, kamu kok lama, sih?”

“Maaf, sayang. Ini otw perpus, kok. Tadi dosennya malah keenakan ngobrol di kelas, jadinya lama. Tunggu bentar.” Suara Jibeom tergesa.

“Gak usah lari-lari, aku tungguin. Santai aja.”

Sambungan telepon tersebut tak lama. Selesai dengan itu, Youngtaek membereskan semua barangnya. Jelly yang tadi dikirimkan pun sudah terdapat di dalam tasnya.

Kekasihnya akan sampai sebentar lagi, dia harus bergegas keluar dari perpustakaan.

“Sayang, maaf. Nunggu lama, ya?”

Suara memelas itu diiringi dengan pelukan hangat. Youngtaek tentu saja membalasnya. Dia tahu pasti jika kekasihnya tidak mungkin berbohong.

“Kita mau kemana hari ini?” Pertanyaan tersebut terlontar dengan posisi masih saling memberikan dekapan hangat.

“Biasanya aku yang diajak, sayang. Aku sih ngikut aja kamu mau kemanapun.” Jawaban biasa jika pertanyaan tadi diajukan Youngtaek.

“Aku gak ada rencana apapun, sih. Kita pulang aja gimana?”

“Yakin?”

Youngtaek mengangguk tanpa ragu, “Aku ngantuk.”

“Bukan marah gara-gara aku lama, kan?”

“Engga, kok. Kalo marah mungkin aku udah pergi dari sini. Ayo, pulang!”

Keinginan Youngtaek sudah seperti perintah seorang raja yang wajib dipenuhi Jibeom. Dalam hitungan detik, Jibeom akan langsung menurutinya.


Sendirian. Youngtaek sudah sendirian di dalam kamar yang dua tahun ini dia sewa selama kuliah. Merasa tidak ada lagi yang akan dikerjakan, tubuhnya direbahkan dan memejamkan mata.

Sampai akhirnya sebuah ketukan pintu mengganggu, “Yaampun, baru mau tidur. Ada aja yang ganggu.”

Langkahnya malas. Diseret dengan kekuatan tersisa menuju pintu masuk. Ketika terbuka, tidak ada seorang pun yang nampak.

“Ngeselin!”

Badannya akan dibuat berbalik, secara kebetulan netranya melirik sesuatu mencurigakan di bawah sana. Terdapat sebuah kotak berbentuk persegi panjang. Sengaja disimpan berdiri dengan pita yang terikat kuat.

“Ini apa?” Gumam Youngtaek sambil masuk kembali.

Pita yang mengunci segera dibuka simpulnya. Membuka dengan sangat pelan dan penuh kelembutan. Sedetik kemudian, sebuah botol berukuran sedang terlihat. Berisi susu segar yang memang biasanya dia minum sebelum tidur.

“Siapa sih yang kirim semua ini? Aneh, deh.”

Tanpa ragu, Youngtaek meminum susu tersebut sampai habis tak tersisa. Entah mengapa, dia merasa jika tidurnya akan sangat lelap dan dinaungi mimpi indah.


Sudah tengah malam, secara tidak sengaja pejamannya terbuka kembali. Terganggu karena tamu yang seenaknya saja mengetuk pintu saat tengah malam.

“Udah jam segini yaampun! siapa, sih?”

Jalannya dibuat setengah berlari agar suara ketukannya segera berhenti. Sesaat setelah terbuka, tidak ada lagi sosok yang terlihat. Sama seperti tadi, buket bunga cantik dengan kue ulang tahun indah tersimpan disana.

“Dia sampe tau hari ulang tahun aku? Ini siapa, sih?” Rasa penasarannya semakin tinggi, tapi otaknya tidak terbayang sama sekali tentang sosok pengirim tersebut.

“Siapapun kamu, makasih. Aku gak yakin Jibeom inget hari ini ulang tahun aku. Hubungan kita aja baru membaik dua bulan terakhir ini. Kita masih perlu banyak adaptasi. Sekali lagi makasih udah jadi orang pertama yang ngucapin. Kayaknya lebih seru kalo kita ngerayain barengan, deh.” Harapan disuarakan. Lilin ditiup setelahnya.


“Sayang, mau nonton?” Ajakan yang tidak buruk. Youngtaek hanya mengangguk manis.

Dugaannya tepat sekali, Jibeom memang melupakan hari ulang tahunnya. Tapi, tak apa. Youngtaek tidak mau hubungan mereka merenggang saat hari istimewanya.

“Tunggu sini, aku beli tiket dulu.”

Mengabaikan perintah Jibeom, kaki Youngtaek malah bergerak menjauhi bioskop. Netranya menangkap sosok yang sangat tak asing. Dengan langkah terburu-buru, Youngtaek mengejar pria yang dia yakini sangat dikenalnya.

“Kak Jangjun!” Suaranya bergema. Menghentikan pria dengan beberapa jinjingan belanjaan itu. Memanfaatkan langkah yang terhenti, Youngtaek berlari mendekat.

“YOUNGTAEK?” Respons yang diberikan lebih terkejut.

Sembari menahan air mata, yang lebih muda semakin berlari dan berakhir dengan sebuah pelukan kuat.

“Kakak kemana aja? Kenapa gak pernah ada kabar? Salah aku apa, Kak?”

“Kamu gak bersalah. Kakak aja yang gak pantes buat kamu.”

Pelukan dilepas dengan pipi yang basah, “Kok kakak ngomongnya gitu?”

“Balik sama Jibeom, ya. Kasian nanti dia nyariin kamu.”

Jarak tak jadi melebar karena jemari menahan pergerakan, “Kakak tau Jibeom?”

“Hubungan kalian baru aja membaik, kan? Kamu pasti bahagia sama dia. Kakak yakin.”

“Jelasin semuanya sama aku, Kak!”

Jangjun menggeleng dan malah memberikan semua belanjaannya pada pria yang sedang berulang tahun itu, “Selamat ulang tahun Youngtaek. Kakak selalu sayang sama kamu. Bahagia terus, ya.” Bilah bibir mereka menempel beberapa detik.

“KAK!”

Jangjun pergi dan mengabaikan semua panggilan. Beberapa belanjaan yang tadi diberikan sudah terbungkus kado yang indah. Matanya memicing ketika mendapati sebuah kartu pesan yang tidak asing.

Youngtaek tersentak, “Jadi selama ini Kak Jangjun yang ngirim? Ini maksudnya apa, sih, Kak?”

Tubuhnya melemas terlebih dia tidak mendapatkan informasi apapun ketika Jangjunnya kembali. Pria yang dicintainya menghilang lagi dan meninggalkan tanpa kabar.

“Kak Jangjun jahat!”


Dulu, Jangjun dan Youngtaek menjalin hubungan tak terpisahkan. Cinta mereka sangat dalam dan tulus. Keduanya tidak pernah sedikit pun terlihat bertengkar.

Ternyata orang tuanya Youngtaek diam-diam tidak merestui hubungan mereka. Jangjun terus saja diancam dan diteror untuk meninggalkan anaknya. Keputusan sulit akhirnya diambil Jangjun. Dia rela meninggalkan Youngtaek, asal pria manisnya selalu bahagia.

Jangjun pergi tanpa kabar apapun. Hubungan diputuskan begitu saja tanpa kejelasan. Youngtaek dipaksa untuk memikirkan sendiri alasan kepergian Jangjun. Bahkan, Jangjun rela dibenci oleh orang terkasihnya.

Kerinduannya akhir-akhir ini terasa kembali, apalagi hari ulang tahun Youngtaek akan segera tiba. Itulah alasannya Jangjun mengirimkan semua barang yang dibutuhkan dan disukai Youngtaek. Kebahagiaan Youngtaek adalah segalanya bagi Jangjun. Sebenarnya dia berkeinginan merayakan ulang tahun Youngtaek bersama. Tapi, semuanya hanya khayal belaka. Jibeom pasti akan marah jika mengetahui keinginan tersebut.

Jangjun tidak mau merusak hubungan yang baru saja terjalin manis. Awalnya, hubungan mereka tidak berjalan baik. Youngtaek dan Jibeom dipaksa untuk saling mencintai. Orang tua mereka bersahabat sejak lama dan tidak mau hubungan tersebut terputus begitu saja. Akhirnya, timbul ide untuk menjodohkan Youngtaek dan Jibeom.

Youngtaek belum bisa melupakan Jangjun. Makanya hubungan itu sulit sekali menemui titik terang. Namun sebagai anak yang berbakti pada orang tuanya, baik Jibeom atau Youngtaek berusaha menumbuhkan rasa cinta tersebut walaupun sulit. Dan akhirnya, mereka perlahan mulai membuka hati satu sama lain. Itulah alasannya, Jibeom melupakan hari ulang tahun Youngtaek. Mereka berdua memang tidak pernah memiliki rasa penasaran dalam dirinya tentang pasangan masing-masing.


Semua rahasia manis terungkap, tapi rahasia kepergian terkasihnya tersilap. Roman baru perlahan terjalin, melepaskan ketulusan cinta yang susah payah terangkai.

Mekarnya bunga saat April menggambarkan kebahagiaan Youngtaek saat ini. Kakinya menggantung sembari digoyangkan perlahan. Sebuah kursi kayu berwarna coklat menjadi teman menunggunya.

Semesta memang sangat indah. Terlebih saat bulan keempat tiba. Bunga bermekaran menghiasi seluruh kota. Memanjakan pandangan yang lelah setelah beraktivitas.

Satu hembusan ditarik kuat. Lirikan netranya tertuju pada waktu yang ditunjukan ponselnya. Perlahan kekhawatiran tercuat, kekasihnya belum juga datang. Tak biasanya dia terlambat.

Akhirnya, senyuman manis terlukis di paras laki-laki berulang tahun. Betul sekali, hari ini Youngtaek berulang tahun dan memiliki sebuah pertemuan manis dengan pujaan hatinya, Bae Seungmin.

Tubuhnya dibuat berdiri sambil melekatkan pandangan jauh. Seungmin terlihat berlari kencang. Yang menunggu terus tersenyum sambil meregangkan tangannya.

Mereka berpelukan. Hangat sekali di tengah bunga mekar nan indah. Dimanjakan hembusan angin lembut yang menerpa. Disempurnakan oleh keindahan romansa yang dimiliki.

Sesaat setelah tautan terlepas, Seungmin menyesal. Keterlambatannya pasti membuat kacau.

“Maaf jadi nunggu lama, tadi...”

Youngtaek tidak memberikan waktu beralibi. Bibirnya langsung disergap dengan kecupan manis nan lembut. Dia mengerti sekali, pasti akan ada hal penting yang membuatnya terlambat.

Tak apa, asal kau selalu bersamaku.

Ketenangan sudah didapatkan. Jemari mereka bersatu cukup erat. Langkah bergerak serempak, pelan dan berirama. Sudut pandang berputar melulu pada keindahan taman yang sedang mereka pijak.

Seungmin berhenti di tengah ribuan bunga yang merekah. Sejenak Youngtaek berkutat dengan khayalnya, pria kesayangannya itu sangat manis. Tak kalah manis dengan ribuan bunga yang mengelilinginya. Dialah bunga terindah dalam kehidupan Youngtaek. Bunga yang akan selalu dijaga agar mekar setiap waktu, bukan berdasarkan musim yang diatur semesta.

Sepasang tangan mungil memamerkan sebuah kotak kecil dari dalam saku. Pemberiannya disambut hangat dengan sudut bibir yang terus terangkat. Sekarang, mereka berdua menggenggam kado bersama.

“Makasih, sayang.” Suara indah itu, akan sangat dirindukan oleh Seungmin.

Tangisan tak dapat lagi dibendung, Seungmin harus meninggalkan dunia indahnya.

Kedua tangannya melepaskan kado yang tadi tergenggam. Beralih menjadi pelukan sarat kesedihan. Tangisannya bahkan semakin terisak hingga pelukan dikuatkan.

“Kenapa, sayang? Kok nangis?”

Masih dalam kehangatan dekapan dunia yang akan dilepaskannya, Seungmin menggeleng. Mengucapkan kalimat pengharapan sebelum terpaksa pergi.

“Selamat ulang tahun, sayang.” Pelukan sama-sama dieratkan.

Dan selamat tinggal. Maaf


Satu jam sebelum bertemu Youngtaek. Seungmin merasa pertahanannya diruntuhkan paksa. Kekasihnya memberikan tenggat waktu yang menyiksa. Kebimbangan terpancar tegas di raut wajah cantiknya.

“Aku pasti ninggalin Youngtaek, tapi gak hari ini, Kak! Dia ulang tahun hari ini. Sekali ini aja, aku mau nemenin dia dulu. Boleh, ya, Kak?”

Jangjun, pria yang lebih dulu menjadi dunia indah Seungmin tak setuju dengan semua keinginan itu, “Mau sampe kapan? Sampe kapan kakak nunggu? Kakak kasih kalian waktu terlalu banyak. Mana bisa kakak lepasin kamu gitu aja buat dia.”

Beberapa langkah kecil mendekat dan meminta sebuah atensi berlebih dari sosok yang lebih tua, “Aku beribu kali lebih sayang sama kakak. Aku janji ninggalin Youngtaek. Kasih waktu sebentar lagi, Kak. Gak sekarang. Gak pas ulang tahunnya dia.”

Bohong, sebenarnya dia jauh lebih menyayangi dunia keduanya. Bodoh memang.

“Hari ini kamu ketemu Youngtaek?” Jelas sekali jika jawabannya mengangguk pelan.

“Kamu janji gak akan ninggalin kakak?” Anggukan kembali diberikan.

“Kakak bakal nunggu kamu sampe kapanpun, sayang. Waktu itu, kakak kasih kalian izin buat deket cuma biar Youngtaek lupa sama masa lalunya. Bukan buat jadiin kamu dunia barunya, sayang.”

Pelukan diberikan, “Maaf, Kak. Maaf.”

Kesempatan menjadi salah makna. Dunia baru yang diberikan terlalu memesona hingga melupakan keteduhan dunia yang memberikan ketulusan berlimpah

“Kamu janji mau ninggalin Youngtaek?” Tak bersuara, Seungmin hanya mengangguk.

Sepasang kaki berjinjit demi meraih bibir merona kekasihnya. Seungmin mengecup manis dengan harap diberikan kepercayaan baru.

“Kamu boleh pergi, sayang. Tapi, jangan lama-lama.” Kembali, Seungmin hanya mengangguk.

“Maaf, Kak.”

Jangjun menggeleng kuat, “Kamu gak salah, sayang. Kakak yang bodoh, seenaknya aja ngasih kesempatan buat kamu deket sama Youngtaek. Kakak cuma mau bantu biar Youngtaek gak selamanya terpuruk sama kisah cintanya. Tapi, kakak gak mau kamu diambil sama dia. Kakak sayang sama kamu.”

Kali ini, giliran Jangjun yang menyapa bibir manis kekasihnya. Menempelkannya sangat lembut dan tidak menuntut.

Dunia memang melulu menawarkan sesuatu yang memabukan, tapi tidak terbayangkan sama sekali jika dia harus meninggalkan salah satu dunia yang membuatnya nyaman.

Tidak ada pilihan lain. Maaf, Son Youngtaek.

Untuk sebagian orang sebuah pernikahan adalah gerbang menuju kebahagiaan. Sayangnya, tidak untuk Youngtaek. Pernikahannya tak seperti orang lain. Hanya diisi oleh kesunyian tanpa senyuman.

Salah satu faktor pernikahan tersebut bertahan adalah motto hidup seorang Youngtaek. Penderitaan diperoleh dengan gratis tapi kebahagiaan harus didapatkan dengan kerja keras. Di kedalaman batinnya Youngtaek selalu berusaha keras mendapatkan kebahagiaan melalui suaminya.

Sudah satu tahun Youngtaek menjalankan mahligai pernikahan. Semua sikap dingin suaminya ditelan bulat. Pekerjaan yang sangat mapan membuat Youngtaek tak pernah kekurangan uang. Jelas saja, dia dan suaminya, Lee Jangjun merupakan seorang model profesional yang sangat termahsyur. Banyak sekali yang mengelu-elukan mereka.

Pernikahan mereka terjadi kurang lebih karena pernyataan netizen. Para warganet berasumsi bahwa Youngtaek dan Jangjun adalah pasangan serasi dan tak bisa dipisahkan. Memiliki paras tampan dan mapan di masa muda. Pasangan yang sangat sempurna.

Sayangnya, kebahagiaan tersebut hanya menyapa ketika semua kamera menyala dan menyorot kehidupan mereka. Sesaat ketika kamera menyala, Jangjun dengan berbagai sikap manisnya bagai memanjakan Youngtaek bak ratu di istana megahnya. Akan tetapi, tepat ketika kamera mati sikapnya berubah drastis. Tidak ada lagi keromantisan yang dia rasakan.


Hari ini mereka akan melaksanakan pemotretan bersama. Alam mimpinya terganggu dengan suara percikan air. Ketika mengerjap, Jangjun tidak ada di sampingnya. Tengah mandi karena waktu untuk bersiap semakin pendek.

Sudah menjadi kebiasaan, Youngtaek akan menyiapkan semua kebutuhan Jangjun terlebih dahulu. Pakaian, sarapan, hingga tas kerjanya selalu disiapkan dengan sepenuh hati.

“Mandi sana!”

Tepat ketika suaminya menyelesaikan mandi, Youngtaek juga sudah selesai menyiapkan kebutuhan Jangjun. Tidak banyak berkomentar, Youngtaek menarik handuk miliknya dan langsung membasahi tubuhnya dengan air dingin yang menusuk kulit.

Langkah terakhir yang akan dilakukan Youngtaek selesai mandi adalah mengenakan kemejanya. Tubuh atasnya masih terbuka. Tetapi dia merasakan hal aneh yang membuat tubuhnya ambruk ke lantai. Jangjun yang jelas-jelas melihat kejadian tersebut hanya diam saja.

“Gak usah sok cari perhatian, deh! Buruan nanti kita telat! Sarapan udah siap, kan?”

“Udah”

Dengan suara bergetarnya, Youngtaek berusaha berdiri walaupun kepalanya sangat sakit. Masih dalam keadaan lemas, tangannya pelan sekali merapatkan semua kancing di kemejanya. Berdiam diri sejenak untuk memulihkan kondisinya.

“Masuk angin apa ya? Mana kemarin cuma makan pas sarapan doang. Jangan sampe sakit, deh. Bisa gawat nanti kerjaan keteteran”

Istirahat yang dilakukan tidak bisa lebih lama. Jangjun sudah berteriak sangat kencang. Waktu yang tersisa memang sudah sangat menipis.

“Buruan! Kita udah telat, nih!”

Raganya yang sangat lemas langsung ditarik dengan kasar.

“Boleh sarapan dulu bentar gak? Lemes banget”

“Gausah manja, deh! Nanti aku beliin roti di jalan. Gak liat udah jam berapa nih? Buruan! Lelet banget sih!”

Padahal keterlambatan Youngtaek juga sedikit banyaknya terjadi karena Jangjun. Jika bukan karena menyiapkan semua keperluan Jangjun, mungkin Youngtaek bisa lebih sempurna menyiapkan dirinya untuk bekerja.


Sepanjang kegiatan memoles paras tampan pasangan tersebut, kepala Youngtaek makin berat. Semua kosmetik yang menempel pun tak bisa menyembunyikan pucat di wajah tampannya.

“Kak? Lagi sakit, ya? Pucet banget kayaknya. Perlu sesuatu? Mau dibawain makanan atau air anget?”

Sambil meringis Youngtaek hanya menggeleng. Isyarat diberikan agar staff yang memoles wajahnya segera menyelesaikan pekerjaannya agar Youngtaek bisa segera beristirahat.

“Makasih, ya”

Walaupun lemas, sikap sopan dan santunnya masih tetap dipertahankan. Masih banyak waktu sebelum pemotretan dimulai. Youngtaek harus memejamkan matanya barang sebentar saja.

“Heh! Jangan males-malesan! Bangun! Kita ada interview dulu berdua nih. Buruan!”

Napasnya berat. Baru saja terbangun, matanya kembali tertutup sambil mengerutkan dahi. Efek belum terisi makanan sepertinya. Tubuh Youngtaek lemas dan sedikit gemetar.

“Awas ya jangan nyari masalah! Kita harus keliatan akur depan kamera! Jangan sampe ada kesalahan!”

“Iya! Udah tau kok”

Padahal semua orang yang melihat Youngtaek pasti selalu khawatir dengan keadaannya yang sangat lemas dan pucat. Hanya Jangjun yang tidak menyadari jika pasangannya sedang sangat menahan rasa sakit.

Interview dimulai. Sepanjang kamera dinyalakan, senyum terus saja terlukis di wajah Jangjun. Di tengah interview yang dilakukan, Youngtaek meremas ujung pakaian Jangjun dengan kuat. Menundukan kepala sambil meringis. Sakitnya sudah tidak bisa ditahan.

“Kamu kenapa sayang?”

Ingat, kamera sedang menyala. Jangjun pasti akan bersikap sangat manis.

“Sayang? Sayang!”

Tubuh Youngtaek tak sanggup lagi menahan rasa sakit. Pria jangkung tersebut akhirnya ambruk dan tak sadarkan diri. Masih mempertahankan nama baiknya, Jangjun mengangkat tubuh lemas suaminya dan dengan sigap melakukan pertolongan pertama.


Pemotretan mereka batal dilaksanakan. Rumah sakit yang terus menerus disarankan oleh para staff tidak menjadi tujuan selanjutnya. Youngtaek memilih beristirahat di rumahnya.

Bukannya memberikan obat pereda sakit, Jangjun malah memarahi pasangannya yang terlihat berbaring lemas di kasur.

“Kamu tuh kenapa sih! Aku bilang jangan bikin malu, kan? Gara-gara kamu, pemotretan kita sampe batal! Orang lain mikir apa nanti? Mereka mikir aku gabisa jagain kamu! Kalo sakit tuh bilang, gausah manja!”

Tubuhnya dibalikan ke arah sebaliknya. Perlahan air matanya mengalir. Entah karena sakit yang semakin terasa atau perbuatan Jangjun yang sudah sangat keterlaluan. Hatinya bukan batu yang sangat keras. Youngtaek juga memerlukan kasih sayang yang tulus. Dia mengira sikap Jangjun akan berubah seiring perlakuan manis dan ketulusan yang diberikan Youngtaek. Nyatanya tidak!


Jangjun sudah menghilang dari pandangannya. Meninggalkannya dalam kesepian dan kesunyian. Rumah yang besar juga bergelimang harta saja tak cukup membuat bahagia. Youngtaek merasa jengah dengan perlakuan suaminya.

Dengan tatapan kosongnya, Youngtaek memainkan handphonenya tanpa arah. Mengelus dan menekan berbagai aplikasi tanpa keperluan yang jelas.

Kedua alisnya terangkat ketika panggilan masuk ke ponselnya. Menampilkan nama sahabat kecilnya, Kim Jibeom.

“Udah di depan? Sebentar, aku ke depan sekarang. Titipan aku dibeliin kan?”

Setelah jawaban didengar, langkahnya berlari sambil membawa koper besar serta dua tas kecil yang memuat semua barang miliknya. Senyuman diperlihatkan pada sahabatnya yang sudah menunggu di depan mobilnya.

“Sini aku bawain”

“Makasih, Jibeom”

Selesai dengan barangnya, Youngtaek mengulurkan kedua tangannya. Titipan berbagai barang yang dibutuhkan langsung ditagih. Jibeom langsung memberikannya tanpa berkomentar apapun.

“Suratnya jangan lupa”

“Itu yang paling penting, Jibeom. Tenang aja, gaakan lupa kok”

Surat apa? Surat cerai tentunya. Youngtaek lelah berpura-pura. Jangjun yang sangat mementingkan ego tak mungkin berani memutuskan hubungan pernikahan mereka.

Setelah menyimpan sebuah barang yang sangat manis di nakas kamar, Youngtaek pergi. Tak lupa meletakan juga surat dengan bolpoin yang tertidur di atasnya. Mengamati rumah yang sudah lama dia tempati. Tersenyum sebentar lalu segera menemui Jibeom.

Pijakan tangga terakhir sudah dilewati. Ada sesuatu yang tersilap. Pandangannya tertuju pada jari manisnya yang masih memiliki cincin tanda ikatan pernikahan mereka.

Dengan terpaksa Youngtaek melepasnya. Berlari sambil menaiki tangga kemudian menyimpannya di atas surat cerai bersandingan dengan bolpoin. Walaupun masih sangat menyayangi suaminya, Youngtaek harus mengambil keputusan sulit ini. Satu tahun diperlakukan secara tidak wajar sangat melelahkan.


Selesai dengan kehidupan foya-foyanya, Jangjun pulang. Menggebrak pintu lalu berteriak seperti biasanya.

“Youngtaek! Siapin air anget, mau mandi nih. Buruan!”

Dirinya masih berkutat di dapur dengan segelas air mineral untuk melepaskan dahaga. Keanehan dirasakan karena suaminya tak sama sekali membalas teriakan yang tadi diserukan. Tangannya bertolak pinggang kemudian langsung berlari menuju kamar.

“Youngtaek! Kamu tuh...”

Suaranya tertahan karena suasana kamar yang kosong. Suaminya menghilang. Semakin melangkah maju, pria yang biasa memberikan ketulusan itu tak terlihat. Ekor mata milik Jangjun menangkap sesuatu yang aneh di nakas. Badannya berbalik dan langsung mengecek semuanya.

Hari ini Jangjun berulang tahun. Namun, Youngtaek tidak memiliki kesempatan sama sekali untuk merayakannya. Pagi-pagi sekali, pasangannya tersebut sudah pergi entah kemana. Pun ketika tengah malam, Jangjun tidak mau diganggu.

Kue ulang tahun terpampang manis di nakas. Hiasannya sederhana tapi terlihat mewah. Buket bunga yang masih sangat segar juga tergeletak manis. Di dalamnya terdapat sepucuk surat yang cukup mengalihkan atensinya.

Jangjun, selamat ulang tahun. Semoga semua kebahagiaan selalu menyertai. Maaf, di hari bahagia kayak gini aku gaada. Rasanya lelah, terus berusaha menjadi pasangan terbaik buat kamu nyatanya tidak ada balasan. Maaf, harus buat kamu menyiapkan semua kebutuhan sendiri. Mulai sekarang, gausah pura-pura lagi. Aku udah gaada. Kita harus pisah, memang bukan takdirnya untuk bersama. Surat cerai sudah ku tanda tangan, tinggal butuh tanda tangan kamu dan kita bisa bebas menjalani kehidupan masing-masing. Maaf, Jangjun. Sekali lagi, Selamat ulang tahun suamiku.

Suratnya digenggam sangat erat. Melangkah sangat pelan menuju surat yang akan memisahkannya dengan Youngtaek. Benar-benar di luar dugaan, hari bahagianya sekaligus menjadi hari menyakitkan. Diam-diam hatinya teriris, meratapi keegoisan dirinya yang berakibat fatal. Pernikahannya gagal begitu saja.

Cincin yang tergeletak di atas sana juga sudah sangat dingin. Youngtaek sudah lama meninggalkan rumah. Menyingkirkan cincinnya dengan halus, Jangjun lalu mengangkat surat cerai tersebut. Sudah terpampang tegas tanda tangan pria manisnya dengan tinta hitam yang pekat.

“Aku keterlaluan banget, ya? Aku kira kamu gak bakal seberani ini”

Kertas dalam genggamannya langsung diremas dengan kuat. Melemparkannya sambil berteriak. Setahun menjalani pernikahan, nyatanya tidak bisa menyatukan perasaan mereka. Perpisahan yang sudah di depan mata membuatnya kebingungan. Keputusan suaminya harus disetujui atau tidak. Sebenarnya dari lubuk hati yang paling dalam, Jangjun sangat membutuhkan Youngtaek.

GUARDIANSHIP 37

Kegelapan sudah menyelimuti bumi. Kesepian juga mulai terasa. Semua telah terlelap kecuali mereka yang masih harus melakukan pekerjaannya. Pekerjaan di malam hari tidak terlalu banyak, karena suntuk perawat tersebut memutuskan untuk berjalan sambil memeriksa kondisi semua pasiennya.

Lorong demi lorong dilewati. Semuanya telah berada di alam mimpi dengan skenario yang berbeda. Tiba-tiba di depannya telah menunggu seorang pria sambil memainkan boneka hasil buatannya.

“Joochan? Kok belum tidur?”

Pantas Donghyun bertanya seperti itu, karena sudah tengah malam.

“Ikut aku!”

Tangannya langsung ditarik kemudian diajak masuk ke kamar yang sudah lama dia huni.

“Kenapa Joochan?”

Tangannya langsung mengulurkan boneka hasil buatan tangannya sendiri. Mengembangkan senyumnya lalu mengucapkan kata yang sangat manis.

“Selamat ulang tahun”

Sekejap pikiran Donghyun terhenti. Tidak percaya jika Joochan mengatakan hal tersebut.

“Ulang tahun?”

“Iya! Sekarang udah tengah malem kan? Udah tanggal 23 kan?”

Pikirannya berkutat dengan semua yang dikatakan Joochan. Pria di hadapannya mengingatkan jika hari ini dia berulang tahun. Pantas saja kekasihnya berniat mengajaknya pergi bersama.

“Ah, kamu kok bisa inget?”

Yang ditanya malah menaikan kedua bahunya.

“Gatau. Yang Joochan inget cuma tanggal 31 Juli, 24 Agustus, sama 23 Februari. Ulang tahun Joochan, Bomin, satu lagi pasti Donghyun, kan?”

Entah respons apa yang harus diberikan saat ini. Donghyun senang akhirnya Joochan dapat mengingat dirinya walaupun sekejap.

“Makasih Joochan”

“Sama sama. Joochan dikasih hadiah juga gak? Biasanya Bomin...”

Perkataannya terputus. Dengan sigap Donghyun langsung meraih tangan Joochan dan menempelkan bibirnya bersama. Tak tahu pikiran apa yang berada di otaknya, tapi Donghyun ingin melakukan hal tersebut pada Joochan.

Ciuman yang diberikan tak lagi lembut. Bukan lagi Donghyun yang mendominasi. Joochan langsung membalas ciuman tersebut dan berakhir semakin panas. Merasa jika perbuatannya salah, Donghyun tersentak. Tangannya mendorong Joochan dengan halus.

“Selamat ulang tahun, Kim Donghyun”

Senyuman manis langsung terlukis di wajah Donghyun. Kebahagiaan ini walaupun hanya setitik patut untuk dia rayakan.

“Makasih Joochan, soal ciuman tadi...”

Donghyun merasa perbuatannya sudah keterlaluan hingga dia berniat meminta maaf. Akan tetapi, pernyataan itu tertahan karena Joochan memotong pembicaraan.

“Gapapa kok, Joochan suka”

Dahinya berkerut, tak mengerti maksud yang disampaikan.

“Bomin juga selalu kayak gitu kalo Joochan atau dia ulang tahun”

“Bomin lagi?”

Kebahagiaan yang tadi dirasakan langsung runtuh seketika. Keyakinannya sudah pasti, memang Joochan tidak akan pernah melupakan Bomin.

“Sekarang istirahat ya, makasih kadonya”

“Sama sama”

Perkataannya dituruti dengan segera. Sepertinya memang kantuk sudah sangat dia rasakan. Sambil menenteng boneka yang diberikan, Donghyun berjalan dengan tatapan kosong. Meratapi nasibnya yang kembali merasakan sakit karena perasaannya yang tak terbalas oleh orang yang sama.

“Sayang!”

Panggilan tersebut membuat Donghyun terkejut. Ternyata kekasihnya juga datang menemuinya malam ini. Tangannya dengan sigap langsung menyembunyikan boneka yang tadi diberikan Joochan. Jangan sampai kadonya diketahui oleh Jangjun.

“Kakak disini? Kirain mau kesini pas aku selesai kerja”

“Masa kejutan dikasih tau sih?”

Bunga yang daritadi disembunyikan langsung terulur manja di hadapan Donghyun.

“Selamat ulang tahun sayang”

Masih berusaha menyembunyikan boneka yang tadi didapatkan dari Joochan. Satu tangannya yang bebas mengambil buket bunga yang indah tersebut.

“Makasih, kak”

“Kamu beneran lupa hari ini ulang tahun?”

Donghyun hanya mengangguk.

“Padahal nanti pagi juga bisa ngucapin kan, kak. Gausah repot-repot kesini tengah malem”

“Pengen aja jadi orang pertama yang ngucapin”

Donghyun terkejut. Dia sangat menghargai maksud baik kekasihnya. Sayangnya, Jangjun bukan orang pertama yang mengatakan hal tersebut.

“Aku izin buat istirahat dulu, kak. Biar kita bisa ngobrol”

Jangjun langsung menyetujui saran pacarnya. Mengulurkan tangannya agar dapat saling menyilangkan jemari satu sama lain. Tidak lupa mereka juga melukiskan senyum di wajah masing-masing.

Izin sudah didapatkan. Hari yang sudah sangat larut membuat kesulitan untuk mencari tempat yang nyaman. Tempat yang tersisa hanyalah sebuah ruangan khusus pegawai yang tersedia disana. Jangjun tidak merasa keberatan jika harus berada disana, terlebih bersama dengan kekasihnya.

“Kita cuma bisa disini, kak. Gapapa?”

Pertanyaan itu bukan dijawab. Jangjun langsung memberikan kekasihnya sebuah pelukan yang sangat hangat di tengah kedinginan malam yang menyelimuti.

“Makasih udah nyempetin waktu kesini, kak”

“Hyun, maaf kalo akhir-akhir ini kita jadi sering berantem. Maaf”

Tangan Donghyun bergerak semakin melingkar di tubuh orang tersayangnya. Suaranya masih ditahan. Dia hanya ingin merasakan kenyamanan dalam pelukan Jangjun.

“Maaf juga kalo kakak udah nyangka yang aneh-aneh soal kamu sama Joochan”

“Gausah bahas Joochan, kak!”

“Soal Seungmin, kakak gaada hubungan apapun sama dia. Terlepas dia punya perasaan atau engga sama kakak, Hyun. Kakak cuma sayang sama kamu”

Pelukan mereka terlepas dalam sekejap mata. Jangjun ingin mencari ketulusan dalam binar indah netra milik Donghyun.

“Kamu sayang sama kakak, kan?”

Donghyun mengangguk.

“Aku sayang sama kakak. Maaf juga kalo aku terlalu egois terus emosian. Aku cuma gamau kalo hubungan kita selesai gitu aja, kak”

Mereka saling memberikan kehangatan kembali. Dalam kehangatan tersebut terselip sebuah janji yang telah diikrarkan. Janji untuk selalu saling menyayangi dan mempercayai satu sama lain. Tentunya tanpa mempedulikan orang lain termasuk Joochan dan Seungmin. Hubungan yang sudah susah payah mereka jalin tidak boleh kandas begitu saja karena masalah sepele. Mereka berjanji untuk tetap saling menyayangi dan bersatu.

  • FIN -

GUARDIANSHIP 34

Jangjun sudah berjanji akan menginap dan menjaga kekasihnya sampai sembuh. Langit yang sudah gelap menuntut mereka untuk segera terlelap. Dengan rangkulan yang hangat Donghyun berhasil terpejam dengan sangat mudah.

Tak disangka, matanya kembali terbuka saat tengah malam. Pandangannya diberikan pada sang kekasih yang masih menemaninya terlelap. Masih setia mengeratkan dekapannya agar Donghyun merasakan kenyamanan berlebih.

Beberapa permasalahan mengganggu kejernihan pikirannya. Segera pelukan hangat itu dilepaskan tanpa mengganggu tidur lelap pacarnya. Kakinya melangkah dengan sangat pelan menuju balkon yang sudah diselimuti hawa dingin. Lamunannya semakin dalam. Memikirkan kelanjutan hubungannya dengan Jangjun.

Merasa hanya mendekap angin, pejaman mata Jangjun langsung terbuka. Mengerjap lalu mengucek kedua matanya sebentar. Mencari sosok orang terkasih yang mendadak hilang dari kunciannya. Setelah terlihat, tangannya mengambil sebuah jaket lalu menghampiri ke balkon.

“Dingin sayang, ngapain di luar?”

Jaket yang tadi diambilnya langsung tersemat di kedua bahu Donghyun. Kegiatan tersebut membuat lamunan terhenti. Raganya terfokus pada sang kekasih yang berdiri di hadapannya.

“Kakak sayang sama Seungmin?”

“Kakak sayang sama kamu, bukan Seungmin”

Jawaban yang tidak memerlukan waktu lama.

“Kalo Seungmin sayang sama kakak gimana?”

“Kita cuma temenan doang sayang”

Matanya mengarah ke atas seperti menahan butiran air yang terjatuh. Kemudian menujukan kembali perhatian pada wajah tampan kekasihnya.

“Kak? Nyadar gak sih? Seungmin tuh sama posisinya kayak aku”

Jangjun tak mengerti.

“Kak, Seungmin sayang banget sama kakak. Aku bisa ngerasain itu. Posisi kita sama kak.”

“Maksudnya apa?”

“Joochan, Bomin, Donghyun. Posisinya sama kayak Jangjun, Donghyun, Seungmin. Nyadar gak sih kak? Seungmin sayang sama kakak tapi dia nyadar kalo kita pacaran. Apa bedanya sama yang aku rasain dulu kak? Joochan pacaran sama Bomin saat aku juga sayang sama Joochan. Bedanya cuma satu, kak. Aku rela ngelepas Joochan buat Bomin. Tapi, Seungmin engga! Dia tetep mau di samping kakak! Kakak sayang sama Seungmin?”

“Hyun, masalahnya jangan dibuat makin rumit dong”

“Tapi emang ini kenyataannya, kak. Posisi kita sama. Rasa sakitnya juga sama! Makanya aku nanya sama kakak! Jawab kak! Kakak sayang sama dia? Sayang sama Seungmin?”

“Kakak sayangnya sama kamu”

Kedua pipi Donghyun sembari dielus dengan lembut oleh Jangjun.

“Tapi, kak...”

“Kamu mau ngelakuin hal yang sama kayak dulu? Ngerelain orang yang kamu sayang gitu aja, Hyun? Atau kamu masih sayang sama Joochan?”

Tak disangka Donghyun mengangguk. Perasaannya memang masih menggebu untuk Joochan.

“Aku gak bisa lupain Joochan gitu aja, kak. Gak bisa! Tapi, aku sayang sama kakak. Aku berusaha banget ngejaga perasaan kakak tapi semuanya sia-sia pas aku liat kakak jalan sama Seungmin! Sakit, kak!”

“Dengerin kakak, sayang. Kakak cuma sayang sama kamu. Kamu mau ngejauhin kakak sekalipun kakak pasti balik sama kamu, Hyun. Soal kakak sama Seungmin, iya kakak salah. Tapi, bukan berarti kakak lebih milih Seungmin daripada kamu”

Donghyun mengalihkan pandangannya. Namun, Jangjun langsung menariknya kembali dalam pelukan.

“Gausah bahas Joochan atau Seungmin lagi. Yang harus kita inget cuma satu, Hyun. Kita sama-sama saling sayang dan gaakan ada yang bisa misahin kita. Kakak sayang sama kamu”

Donghyun membalas pelukan kekasihnya. Mencoba menenangkan hatinya yang sangat rapuh. Lewat Jangjun, dia berusaha menemukan kembali keteguhan hatinya yang sempat menghilang.

GUARDIANSHIP 31

Kondisi tubuhnya masih belum membaik akibat perutnya yang kosong. Hanya roti tadi saja yang berhasil mengganjal perutnya. Selain itu, tidak ada lagi. Pekerjaannya yang lumayan melelahkan juga menambah staminanya menurun. Kondisi Donghyun tidak bisa dianggap baik hari ini.

Mengingat hal tersebut, Donghyun beranjak dari tempat tidur yang disediakan oleh tempat kerjanya. Melangkah dengan malas sambil menyiapkan kepulangannya. Mencoba menahan sakitnya lebih lama sampai nanti bisa diobati sendiri ketika berada di apartement.

Rasa pusing masih terasa bahkan semakin menyiksa. Perutnya yang sangat kosong menimbulkan rasa perih yang seakan mengikis bagian dalam tubuhnya. Senyuman seadanya diberikan pada rekan kerjanya yang lain sebagai sebuah formalitas perpisahan.

“Hyun!”

Langkahnya dihentikan. Di hadapannya sudah berdiri dengan sangat tegak seorang pria yang sedang bersitegang dengannya karena suatu masalah pelik tentang percintaan. Raut wajahnya bahkan semakin khawatir karena manik Donghyun yang putih tersebut sangat pucat pasi.

“Sayang? Kamu kenapa?”

Tubuh mereka sudah saling mendekat.

“Aku gapapa, kak. Ini mau pulang!”

“Kakak anter ya?”

“Gausah!”

Penolakan tersebut membuat tubuh mungilnya ditarik paksa ke sebuah pelukan yang sangat erat. Donghyun berusaha memberontak tapi kuncian yang diberikan sang kekasih lebih kuat.

“Maaf, Hyun. Maaf kakak baru bisa kesini. Kerjaan kakak lagi gabisa ditinggal”

Kali ini dengan satu dorongan jarak mereka langsung merenggang.

“Kerjaan? Kerjaan apa, kak? Kerjaan sama Seungmin?”

“Hyun! Kakak mau jelasin semuanya sama kamu. Kita...”

Obrolan mereka terhenti karena terdengar suara teriakan dari salah satu kamar pasien. Donghyun mengerutkan dahinya. Mendengarkan dengan saksama suara pasien yang sangat terdengar tidak asing.

“Joochan?”

Tanpa sadar langkahnya langsung bergerak sebelum kemudian dihentikan paksa oleh Jangjun.

“Joochan udah ada yang handle, kan? Kita bisa ngobrol?”

Tidak mau terus menerus berkutat dengan kesalah fahaman akhirnya persetujuan diberikan. Mereka akan segera pergi untuk menyelesaikan masalah. Kini langkah mereka terhenti karena teriakan Jaehyun yang cukup mengganggu.

“Kak, maaf. Maaf banget kali ini Joochan bener-bener butuh Donghyun.”

Tak ada jawaban apapun dari Donghyun. Matanya hanya melirik tajam ke arah sang kekasih.

“Kita mau pergi. Bisa handle Joochan tanpa Donghyun, kan?”

Teriakan Joochan yang semakin kencang membuat Donghyun tidak bisa tinggal diam. Dengan atau tanpa persetujuan kekasihnya, dia harus segera membantu menenangkan Joochan.

“Hyun!”

Langkahnya ditahan kembali.

“Joochan butuh aku, kak! Maaf. Tapi, kakak denger sendiri sampai sekarang Joochan belum tenang. Kakak mau nunggu boleh, engga juga gapapa. Atau mau pergi ke Seungmin karena aku lebih milih Joochan? Terserah kakak!”

Tangannya ditarik dengan paksa. Menyisakan Jangjun dengan kehampaannya karena ditinggal Donghyun. Jam kerja yang telah selesai nyatanya masih belum bisa membuat Donghyun beristirahat. Tugas tetap adalah sebuah tugas. Donghyun harus menyelesaikannya dengan baik.


Ketika datang, Joochan dengan kekuatannya terus berteriak sambil melemparkan semua barang yang berada di dekatnya. Semua yang berusaha menenangkan langsung mundur sesaat setelah melihat kedatangan Donghyun. Memberikan ruang pribadi untuk mereka berdua.

Tubuh Donghyun yang sangat lemas langsung menjadi sasaran pukulan bagi Joochan. Wajahnya langsung meringis karena rasa sakit baru yang harus susah payah dia tahan.

“Joochan!”

Pukulannya masih kasar dan bertubi-tubi mengarah pada sang perawat di hadapannya.

“JOOCHAN! KENAPA SIH?”

“Kenapa bohong?”

“Bohong? Siapa yang bohong sama Joochan? Hhhmmm?”

Setelah sedikit tenang, tubuhnya ditarik dalam pelukan yang penuh kehangatan.

“Bomin ninggalin aku, kan? Dia ninggalin Joochan, kan? Joochan inget semuanya. Inget kecelakaan itu!”

Bola mata Donghyun langsung membulat sempurna karena terkejut dengan ingatan yang menghampiri Joochan. Pelukannya masih berusaha dilepaskan dengan kasar. Kekuatannya yang masih tersisa berusaha terus memberikan pelukan untuk Joochan dan menguncinya lebih dalam.

“Bomin sakit gara-gara aku kan?”

“Engga”

“Kenapa aku ditinggal? Kenapa gak sekalian ikut Bomin aja?”

“Joochan!”

Pelukan dilepas. Mereka saling berpandangan. Jari milik Donghyun mengusap terlebih dahulu air mata yang mengalir membasahi pipi sahabatnya.

“Bomin pasti selalu jagain kamu, Joochan”

“Bohong! Buktinya Bomin gak pernah dateng sampe sekarang. Bomin kemana?”

Ingatannya kembali memudar.

“Kamu tidur dulu, ya? Istirahat dulu”

“Gamau! Nanti ditinggal juga”

“Ditinggal?”

“Kalo aku tidur nanti pas bangun pasti sendirian lagi. Joochan kenapa selalu aja ditinggal sih?”

“Gaakan ditinggal, janji”

Raut wajah Joochan mengabaikan janji yang diberikan Donghyun. Mengeluarkan kembali air matanya yang sudah sempat menghilang.

“Kenapa lagi?”

“Masih sakit, ya? Joochan juga bikin Donghyun sakit?”

Wajahnya yang pucat tentu tidak bisa disembunyikan. Donghyun akhirnya mengaku karena rasa sakitnya sudah tidak tertahan.

“Hhmmm sedikit. Tapi, bukan gara-gara Joochan, kok. Jadi sekarang tidur, ya. Biar bisa sama-sama istirahat. Janji, besok kita ketemu lagi”

Tatapan mereka terus bersatu. Tubuh mereka yang masih berhadapan memudahkan Joochan mendekatkan kepalanya. Menempelkan bibirnya dengan bibir milik Donghyun hingga membuat sang perawat tersentak.

Penolakan sempat diberikan. Sayangnya, Joochan langsung menahan tengkuknya hingga ciuman mereka semakin dalam. Tangisan dikeluarkan Donghyun seiring sentuhan demi sentuhan yang diberikan Joochan. Donghyun sangat merindukan Joochan.

Setelah terlepas, Donghyun menunduk sejenak dan menenangkan napasnya terlebih dahulu. Mengajak Joochan duduk di kasurnya yang masih dingin karena lama tak ditempati.

“Bomin selalu kayak gitu sama aku kalo lagi sakit. Joochan salah, gak? Jadi lebih baik, kan?”

“Bomin?”

Rasa sesak di dadanya tak terelakan. Semua perlakuan Joochan pada Donghyun hanyalah bentuk kerinduannya terhadap Bomin.

“Kok nangis? Makin sakit, ya?”

Donghyun tidak bisa lagi menurunkan egonya. Dia hanya ingin segera terlepas dari Joochan.

“Istirahat, ya? Biar besok bisa ketemu lagi”

Joochan langsung mengangguk dan mengecup kembali pipi Donghyun.

“Cepet sembuh. Jangan tinggalin Joochan lagi!”

Matanya hanya bisa terpejam menahan semua perasaan yang kenyataannya masih juga bertepuk sebelah tangan.

Joochan tertidur. Dengan tergesa kamarnya langsung ditinggalkan. Tidak mau terus menerus terkunci dalam masa lalu yang menyakitkan.

“Joochan udah tenang, Hyun?”

Ternyata sang kekasih masih setia menunggunya tepat di depan kamar Joochan. Donghyun hanya menganggukan kepalanya sambil memberikan tatapan kosong. Jangjun melangkahkan kakinya mendekat. Sadar bahwa kondisi kekasihnya semakin tidak baik.

“Kakak anter pulang, ya?”

Tidak ada jawaban. Donghyun malah memberikan pelukan pada Jangjun. Menumpahkan kembali rasa sakit yang dia rasakan karena kebersamaannya dengan Joochan.