Jukyu oneshoot AU!
slight milkyu, bbangkyu, nyukyu and sangju
Lee Juyeon
Ji Changmin
Content warning : one sided love, bxb / mxm, star tears syndrome, mention color blind and monokromasi, little bit hurt/ comfort, fluff, skinship, friendzone.
“Juyo suka warna apa?”
Sebagai anak berusia tujuh, tentu Juyeon ingin terlihat keren saat ditanyai begitu oleh ibu guru. Maka saat itu sebenarnya Juyeon akan menjawab warna hitam atau biru, sebelum telinganya menangkap bisikan teman sebangkunya, “kalau aku ditanya juga, aku akan jawab warna kuning” bisiknya dengan bibir mengerucut sambil tangan masih sibuk dengan crayon warna hijaunya.
Juyeon kecil sedikit melirik anak manis itu lalu ia tersenyum, “kuning, Bu guru”
Dapat juyeon lihat ada tatapan penuh minat dari Ji Changmin, anak manis sebangkunya itu saat Juyeon menjawab. Tersenyum dengan kaki bergoyang penuh rasa syukur sebab memiliki teman yang menyukai warna yang sama.
“Kenapa Juyeon suka warna kuning?”
“Bagus! Seperti matahari”
Dan Ji Changmin terlihat bertepuk tangan kecil. Setelah ibu guru pergi menjauh, Ji Changmin sibuk menoel badan anak bermata sipit itu penuh minat, “Juyo kok gak bilang suka warna kuning ke Camin?”
“Emangnya Camin gak tahu? Huuu payah”
“Juyo pernahnya bilang Juyo suka warna biru, jadi Camin tidak tahu”
“Itu sebelum Juyo sadar kalau matahari berwarna kuning itu indah. Juyo mau jadi matahari yang suka menyinari bumi”
Ji Changmin bertepuk tangan lagi. Mendengar jawaban dari sahabatnya yang ternyata menyukai warna kuning ini membuat hatinya gembira, “Camin juga suka warna kuning!”
“Oh ya? Kenapa?”
“Soalnya Spongebob warnanya kuning! Camin suka nonton Spongebob tiap pagi sebelum sekolah, lalu warna kuning juga seperti bunga matahari, Camin suka bunga matahari”
Bunga matahari ya?
Budaya China menganggap bunga matahari sebagai simbol umur panjang. Bunga matahari juga dikenal sebagai bunga yang identik dengan rasa bahagia, sehingga bisa menjadi hadiah yang sempurna untuk menyampaikan harapan atas hadirnya hari yang membawa kebahagiaan bagi seseorang. Filosofi bunga matahari ini melambangkan tentang kebersamaan, persahabatan, persaudaraan, dan persatuan. Ditambah lagi dengan warna kuningnya yang cerah dan penuh bahagia, maka diharapkan bahwa hubungan yang tengah dijalani saat ini akan selalu bahagia, terjalin dengan baik, dan panjang umurnya.
Bunga matahari itu berpusat. Demikian pula dalam sebuah hubungan, bunga dapat dikatakan sebagai lambang apresiasi tentang cinta, ketulusan, persahabatan, sukacita, dan lainnya. Sebagian orang mempercayainya. Memberikan bunga kepada sang terkasih, pasti akan meninggalkan kesan mendalam di hati, bahwa mereka dikasihi.
Maka setiap pagi di awal bulan, Juyeon akan mengetuk pintu rumah Changmin, memberinya setangkai bunga matahari. Mengundang tawa cerah yang renyah dari si pemilik senyum terindah.
“Bunga matahari untuk Changmin yang kemarin dapat nilai A ujian tulis sejarah” Juyeon menyerahkan bunga matahari itu yang disambut hangat oleh sahabatnya. “Makasih Juju, kamu juga hebat dapat B”
“Iya dong, kan belajarnya bareng. Ayo, jadi pergi gak?”
Dan demi Tuhan ini bukan kali pertama Ji Changmin memasang muka terkejut nan murung setelah melupakan janji pergi bersamanya. “Juyo maaf... Aku lupa banget. Gimana dong?”
“Mau pergi sama Kak Hyunjae ya?” Tanyanya hati-hati. Dan demi Tuhan ini bukan kali pertama Juyeon melihatnya mengangguk dan berceloteh minta maaf tentang melupakan janji pergi mereka. “Aku janji deh besok kita pergi bareng, hari ini gak bisa. Kok aku bisa lupa ya malah ngeiyain ajakan kak Hyunjae padahal janjinya duluan sama kamu” Ji Changmin yang saat itu berusia empat belas, sama sepertinya menunduk lesu. “Changmin, gak apa-apa. Pergi aja sama Kak Hyunjae. Aku bisa pergi sama Kevin kok.”
“Tapi kan kita udah janji pergi kesana, Juju juga mau banget kesana kan? Pasti bagus gak sih lihat bintang di bukit pake teleskop gitu? Tapi aku udah terlanjur iyain ajakan kak Hyunjae..”
“Kapan-kapan, kalau cuacanya cerah, kita pergi kesana ya. Jangan dibatalin janjinya sama kak Hyunjae ya, kasihan orangnya pasti udah seneng banget kamu mau ikut sama dia”
Dan Changmin memeluk Juyeon, berterimakasih sebab sahabatnya selalu mengerti.
Selalu.
Sahabat.
Juyeon yang saat itu berusia belasan tahun menangis saat malam. Melihat bagaimana seseorang yang ia dambakan pergi menghabiskan malam di acara ulangtahun orang yang disukainya. Dan Juyeon membenci fakta bahwa itu bukan dirinya.
That's should be him katanya malam itu. Yang seharusnya menggenggam tangan Changmin, yang memberikan sekuntum bunga mawar, memberikan kado kecil. Seharusnya ia yang juga menjadi sumber tawa Changmin malam itu. Seharusnya mereka pergi melihat bintang di bukit malam ini, berbagi pemandangan indah langit malam penuh bintang. Harusnya mereka menghabiskan malam bersama. Sebab hari ini, malam ulangtahunnya. Seharusnya tepat pukul dua belas, Juyeon menggenggam tangan Changmin dan mengucap doa panjang umur bersama. Seharusnya Juyeon dan Changmin. Bukan Juyeon yang menangis.
Dan sekali lagi saat Juyeon menangis, terdengar suara lonceng bersamaan dengan bintang yang jatuh. Beriringan dengan tangisnya. Beriringan dengan dengungan pelan dari rintihan kesakitannya. Malam itu beberapa bintang gugur bersama dengan harapannya.
Star tears syndrome adalah keadaan dimana penderita akan mengeluarkan bintang alih-alih air mata, dengan suara tetesan yang bagaikan lonceng saat menangis. Dan akan mengeluarkan air mata berwarna saat sakit yang dirasakan terlalu menyakitkan dan atau terlalu lama menangis. Hal ini menyebabkan penderita kehilangan kemampuan melihat warna. Dalam kata lain, penyakit ini menyebabkan penderita menjadi buta warna.
“Juyo selamat ulangtahun!!!!” Pagi ini hari Minggu, Juyeon merasakan badannya ditindih oleh benda berat saat masih terlelap, dan gendang telinganya menangkap suara khas yang penuh semangat. “Juyo ayo bangun, tiup lilinnya!”
Juyeon yang masih mengumpulkan nyawa itu membuka mata, mendapati Ji Changmin yang sepertinya masuk lewat jendela kamarnya itu tengah tersenyum girang dengan kue yang lilinnya menyala ditangannya. Juyeon bangun, mendudukkan dirinya dan mengepalkan tangan sambil berdoa. Di usia yang ke dua puluh ini, Juyeon hanya ingin semuanya baik-baik saja. Juyeon hanya ingin semuanya berjalan sempurna. Hanya ingin pria yang ada didepannya disampingnya setiap saat ia membutuhkannya.
“Berdoa juga buat kesembuhan ayah, Ju”
Oh iya ayah. Teruntuk ayah yang sedang berjuang melawan kankernya di rumah sakit, semoga Tuhan selalu melindunginya. Memberinya kesempatan hidup lebih panjang dan tidak meninggalkan keluarga yang disayanginya.
“Amin.” Dan saat Juyeon mengamini semua doa-doanya, ada lilin yang mati sebab ditiup oleh keduanya. Ji Changmin tersenyum manis sambil mengecup pipinya lembut, “Happy birthday Juju. Ini kado dari aku! Aku buat sendiri lho”
“Apa ini? Boleh dibuka sekarang?”
Ji Changmin mengangguk. Membiarkan Juyeon merobek bungkus kado yang melapisi hadiah spesial darinya. “Sweater rajut?”
“Aku rajut sendiri, dan ini warna kuning”
Baik Juyeon dan Changmin sama-sama tersenyum cerah. Juyeon mengusak surai Changmin dan mengecup dahinya, memberikan kata terimakasih yang sangat tulus atas pemberiannya. “Aku bisa lihat kok ini warna kuning, cuma ya harus fokus aja” katanya.
Juyeon, Lee Juyeon. Yang sejak kecil selalu berteriak ia menyukai warna kuning, selalu suka melihat bintang dilangit, selalu suka mewarnai bersama sahabatnya, beranjak dewasa dengan star tears syndrome yang dialaminya, yang mana perlahan merenggut kemampuannya melihat warna. Perlahan warna yang ia sukai terlihat begitu pudar hampir abu-abu dan hitam. Hampir putih dan sedikit kelam. Meski masih bisa melihatnya jika lebih fokus dan awas, tapi Juyeon cukup bersedih dengan kenyataan yang menamparnya.
“Happy birthday ya. All the best wishes for you, someday kalau aku udah kerja dan banyak uang, aku beliin kacamata khusus. Mau?”
Juyeon tertawa geli lalu mengangguk, “apa aja yang Camin kasih, aku mau”
Dan malam itu, sebab masih panjang, akhirnya keduanya berbagi peluk. Dalam satu selimut dan satu ranjang. Tidur dengan damai setelah berbagi peluk yang hangat dan nyaman. Changmin menelusupkan wajahnya pada dada bidang Juyeon, membiarkan Juyeon terlelap sambil menghirup aroma shampoo yang menguar dari rambutnya. Berbagi peluk yang hangat di bulan Januari yang masih dingin.
“Demi Tuhan Changmin angkat telfonnya!!!” Kevin sedikit merutuk dan mengumpat saat sambungan telfon itu kembali terputus sebab si empunya tak jua menerima sambungannya. Ia meninju dinding rumah sakit yang penuh dengan suara tangis dan jerit pilu itu sendirian. Diliriknya kembali Juyeon sahabatnya yang masih sibuk memeluk adik dan mamanya yang terlihat sangat terpukul atas perginya sang kepala keluarga tercinta. Ayahnya hari ini menghembuskan napas terakhirnya, tepat seminggu setelah ulangtahun Juyeon. “demi Tuhan Changmin please...”
Kevin menggigiti kuku dan bibirnya gusar, Kevin tahu bahwa Juyeon pasti sangat berharap bahwa sahabat sejak kecilnya itu ada disini. Sekedar memberi peluk agar ia bisa lebih kuat dan tegar. Namun mengapa Changmin tak jua mengangkat telfon darinya? Juyeon disini sangat hancur dan pasti sangat membutuhkannya.
“Ji Changmin demi Tuhan...”
Malam itu Changmin berlari terburu-buru dengan tangisan yang pecah tak terbendung. Seorang lelaki mengekor di belakangnya, menggenggam tangannya erat sekedar memberi kekuatan agar tetap tenang.
Disana, di rumah duka. Kepala keluarga Lee yang ia sayangi, yang sudah ia anggap ayahnya sendiri terbujur kaku didalam peti mati. Meninggalkan banyak orang yang ia sayangi. Terlebih Istri dan anak bungsu perempuannya yang terlihat menangis histeris.
“Uncle Lee..”
Baik Juyeon dan Kevin saat itu menoleh. Memperlihatkan bagaimana Changmin akhirnya menyesal sebab tadi sore tak bisa menjawab telfon dari Kevin untuk sekedar memberikan ucapan selamat tinggal. Changmin merunduk meremas ujung baju yang ia kenakan, tangisnya pecah kala pemuda yang sejak tadi mengekor di belakangnya memeluknya dan memberinya ucapan penenang.
Itu Kim Younghoon, gosipnya kekasih baru Changmin. Kakak tingkat di tempatnya kuliah. Dan malam itu, Juyeon kembali menangis. Menangis sebab hatinya yang hancur itu kembali diremukkan oleh keadaan.
Kevin yang saat itu memberinya peluk, berkata bahwa Juyeon pasti bisa.
Ia Juyeon bisa.
Bisa mati muda.
“Kenapa kamu gak angkat telfonnya sih? Aku ngasih kabar bahkan pas ayah Juyeon masih berjuang buat hidup”
“Maaf Kevin, maaf. Maaf aku gak bisa angkat telfonnya ㅡhiks aku hiks, aku lagi nonton Kevin. Handphonenya aku silent. Aku minta maaf, Kevin. Aku minta maaf. Aku minta maaf hiks aku minta maaf...”
Dan malam itu Juyeon bahkan tak sanggup untuk memberikan peluk. Sebab rasanya terlalu sakit dan hancur. Terlalu perih dan terlalu sering ia terluka.
Malam itu, pertama kali dalam hidupnya Juyeon membenci seseorang. Diusianya yang kini menginjak dua puluh empat, melihat sosok Changmin yang selama ini ia dambakan hancur berkeping seperti ini, membuatnya membenci seseorang. Seseorang yang telah menghancurkan mimpi dan harapan pemuda kecil dalam peluknya ini, memberikan rasa sakit tanpa harapan sebab begitu tega ditinggalkan.
“Demi Tuhan, Changmin. Kamu gak kurang, kamu gak salah apa-apa. Younghoon aja yang brengsek, Changmin” dihantarkannya sekali lagi kecup manis diatas dahi, berharap si kecil hari itu tak lagi kehilangan senyumnya. Tak lagi kehilangan cerianya. Tak lagi kehilangan semangatnya sebab hati dan cintanya yang dikhianati kekasihnya sendiri.
“Kenapa, Ju kenapa? Kenapa kak Hoon tega duain aku?”
Juyeon bungkam.
Mengapa dunia juga tak baik-baik saja untuk pemuda yang ia sayangi ini, pemuda yang selalu menyukai warna kuning ini. Juyeon telah kehilangan kemampuan melihat warnanya dengan sempurna. Berharap dengan pengorbanan yang ia lakukan akan mengantarkan kebahagian untuk pemuda yang selama ini hanya bisa ia genggam tangannya, tapi tidak hatinya.
Juyeon kira semua air mata dan rasa sakitnya akan berbuah indah untuk si tupai berdimple ini. Namun mengapa dunia masih tak adil pada keduanya?
“Changmin, you deserve better. Udah ya? Ikhlasin aja. Bukan cuma dia satu-satunya di dunia ini. Kamu bakalan ketemu lagi sama yang lebih bisa hargai kamu, yang lebih bisa cintai kamu. Yang gak akan pernah tinggalkan kamu sebab orang lain. Aku janji, aku yakin kamu pasti bahagia. Udah ya? Please jangan nangis lagi.”
Dan malam itu dengan lancangnya Juyeon memagut bibirnya. Memberikan cium lembut penuh kasih sayang pada pemuda yang ada dalam dekapannya.
Ji Changmin, kamu pantas bahagia. Aku bersumpah. Ujarnya dalam ciuman panjang malam itu.
i decided to write down
everything i felt
about you
the highs and lows
the melodic complexity
of it all
i wrote it all down
sealed it into a letter
and burned it.
*Her favorite colour is yellow, poetry by Edgar Holmes**
“Selamat ulangtahun Juyooo! Happy birthday to you happy birthday to you Happy birthday our Juyeonie happy birthday to you~”
Ji Changmin lagi-lagi dengan kue ditangannya yang menyusup melalui jendela kamar setiap tengah malam itu mengecup puncak kepala Juyeon sembari menyanyi guna membangunkan pemuda Januari itu. Juyeon terkikik geli sebab ada jari yang dengan sengaja menggelitik pinggangnya, “cepet bangun keburu lilinnya leleh kena kue”
Juyeon bangun, mengepalkan tangan, memejam untuk berdoa. Semoga diusianya yang ke dua puluh enam ini, bahagia terus mengiringinya. Semoga bahu dan punggungnya selalu kuat untuk keluarganya. Semoga hati dan selalu lapang dan dipenuhi sabar juga ikhlas.
“Semoga Juyeon cepet ketemu jodohnya, amin!”
Lalu keduanya meniup lilin. Dengan juyeon yang tertawa cukup kencang setelah mendengar doa terakhir yang sengaja diucapkan lantang oleh pemuda lucu itu. “iya lah! Sudah dua puluh enam masa masih sendiri?”
“Ya gak apa-apa, yang penting mama sama adikku bisa bahagia”
“Gak boleh begitu Juyeon, kamu juga harus hidup untuk diri kamu sendiri. Bukan untuk orang lain.”
“Meskipun alasan aku hidup itu orang lain?”
Ji Changmin mengangguk, lalu kembali terjadi. Malam yang masih panjang itu dihabiskan keduanya saling berbagi peluk. Berbagi kehangatan dan rasa sayang dibawah selimut yang sama.
Mengapa Juyeon tidak bisa ulangtahun setiap hari saja?
my heart
my life
my soul
my everything
you.
my love for you
is etched by fire
and seared with pain
Her favorite colour is yellow, poetry by Edgar Holmes
Malam itu sepulang kerja, Juyeon mendudukkan diri di sofa sendirian. Sambil menonton televisi yang menyajikan drama Korea romansa anak SMA. Dengan cemilan ditangannya, Juyeon menikmati malam damainya. Sampai ketukan buru-buru terdengar dari pintu ruang utama rumahnya. Kepala Ibu menyembul dari dapur, “itu siapa? Tolong buka pintunya”
“Biar aku aja kak yang buka!!!” Adik perempuan Juyeon berlari kencang membuka pintu, membiarkan matanya menangkap sosok pemuda seusia kakaknya tengah tersenyum bahagia dengan sebucket bunga dalam genggaman, “kak Juyeon! Kak Changmin mau ketemu”
Dan Juyeon melangkahkan kakinya buru-buru, menghampiri Changmin yang dengan sabar menunggu di pekarangan.
“Changmin kenapa gak masuk aja ㅡaduh! Astaga! Changmin astaga”
Tubuhnya ditubruk penuh antusias, ada peluk yang terlampau erat ia dapatkan dari pemuda November didepannya, badannya melompat mengajaknya berputar. “Juyeon! Juyeon! Aku seneng banget hari ini! Demi Tuhan Juyeon aku bahagia”
“Good for you, darling. Aduh berat jangan gelendotan gini aduh, Changmin aku gak bisa napas”
Changmin tertawa melepas pelukannya, menyodorkan bucket bunga yang sejak tadi ia genggam, “untuk aku?” Tanya Juyeon yang benar-benar bingung. Changmin menggeleng, digigitnya bibir merah itu salah tingkah. Dan lagi-lagi ia melompat kegirangan. “Juyeon!!! Aku dilamar! Chanhee lamar aku Juyeon, Chanhee tadi ke rumah sama orangtuanya, dia lamar aku Juyeon!”
Dan sekali lagi ada peluk yang terlampau erat yang ia dapati. Terlalu erat hingga ulu hati dan relung jiwanya sakit tak tertahankan. Jantungnya seakan berhenti sejenak. Memproses keadaan yang tiba-tiba.
Ternyata benar-benar tidak ada harapan.
“Chanhee lamar aku, Juyeon aku seneng banget! Demi Tuhan Chanhee lamar aku”
Juyeon menatap nanar rumput rumahnya. Ada hati yang telah patah kembali dihancurkan. Ada luka yang ditaburi garam. Ada air mata yang diiringi puluhan bintang turun dilangit malam. Ada suara lonceng yang terdengar beriringan dengan isakannya malam itu.
i want to tell you
all the small details
of my day
and listen
as you tell me
about yours
i want to be intimate
with you
verbally
spiritually
physically
i want
to be as much yours
as you are mine
so help me god.
“Jㅡjuju?”
Juyeon menghapus air matanya lalu tersenyum meski dengan keadaan hancur, “Aku ikut bahagia Changmin. Aku ikut bahagia. Akhirnya semua ketakutan kamu kalau Chanhee cuma main-main sama kamu selama ini berbuah hasil yang indah ya. Selamat ya Changmin aku senang”
Ada air mata yang menetes saat telapak tangan Juyeon yang besar itu mengelus pipinya dengan hangat.
“jㅡjuju? Juju selama ini... Juju bilang sama aku jadi star tear syndrome kamu selama ini terjadi karena... aku? Juju bilang sama aku kamu suka sama aku?!!!” Changmin sedikit berteriak. Mengguncang bahu Juyeon tak sabaran sebab pemuda itu hanya menangis sambil menunduk.
“Juyeon demi Tuhan jawab aku, ini semua gara-gara aku?” Air mata keduanya berlomba-lomba menetes menjadi saksi pilu malam dingin hari ini. Bintang masih berguguran dilangit malam saat itu dan Changmin semakin yakin bahwa selama ini dia sumber dari kesengsaraan pemuda yang menjadi sahabatnya selama ini.
“Juyeon demi Tuhan ini karena aku? Astaga aku jahat ㅡhiks aku jahat sama kamu... Juyeon aku minta maaf” Juyeon menggeleng, membawa Changmin dalam pelukan yang tak kalah erat dari yang ia berikan sebelumnya. Kini airmatanya sudah bukan bening lagi namun beberapa warna sebab kemampuan melihat warnanya sudah hilang sepenuhnya. Bintang masih berjatuhan, bersamaan dengan jeritan pilu keduanya di pekarangan rumah Juyeon kala itu.
“Aku minta maaf, aku minta maaf Juyeon aku minta maaf bikin kamu menderita ㅡhiks aku jahat, harusnya aku sadar hiks dari dulu hiks aku minta maaf“
Ji Changmin adalah sahabat Juyeon sejak kecil. Maka bukan rahasia jika saat Juyeon kehilangan kemampuan melihat warnanya, Changmin mengetahuinya. Changmin hari itu mengantar Juyeon ke rumah sakit. Dan jawaban dokter hari itu membuatnya terluka. Sahabatnya memendam rasa yang menimbulkan cinta tak berbalas terlalu lama hingga akhirnya semua kemampuannya melihat warna sirna. Dan bodohnya Ji Changmin, ia percaya saat Juyeon mengatakan bahwa ada orang lain yang ia cintai. Padahal selama hidupnya, Juyeon tak pernah terlihat mencintai seseorang, tak pernah berkeluh kesah dan bercerita bahwa ada orang lain yang merenggut hatinya. Changmin tidak sadar bahwa Juyeon adalah bunga matahari, yang selalu berpusat padanya.
Changmin merasa gagal dan jahat. Tangisnya malam itu begitu menyakitkan. Sebab telah menghancurkan hidup orang yang amat ia cintai.
“Changmin denger ini, iya. Aku sayang sama kamu, aku jatuh hati sejak dulu. Jauh sebelum kamu mengenal mantan-mantan kamu. Jauh sebelum kamu tahu dan sadar. Dan itu bukan salahmu, ini pilihan aku. Pilihan aku memendam perasaan ini sama kamu karena aku takut. Takut kehilangan kamu. Aku takut kalau aku jujur kamu bakalan pergi. Karena itu, tolong bahagia. Jangan hancur, karena kamu satu-satunya harapan hidup aku bahkan sampai sekarang. Kamu alasan aku masih ada disini, berdiri disini. Kamu, Changmin. Itu kamu...”
Changmin kembali memeluk Juyeonnya. Juyeon yang selama ini menjaganya, menemaninya, memberinya penuh kasih sayang dan cinta, penuh perhatian dan tak pernah meninggalkannya. Ji Changmin dipeluk penyesalan terbesarnya malam itu.
“Tolong bahagia... Tolong bahagia Changmin, tolong bahagia....”
“Kamu ganteng banget sayang. Selamat ya”
Itu mama Juyeon. Memberi salam dan peluk yang hangat juga ciuman penuh rasa sayang dipipi Changmin. “Kak Changmin selamat menempuh hidup baru ya!! Aku seneng banget akhirnya kak Changmin menikah” itu Jayoon, adik bungsu Juyeon yang kini juga sibuk memberi peluk. “Terimakasih, kalian baik banget. Makasih ya Tante, Jayoonie udah mau hadir.”
“Anything for you, honey. Semoga Tante cepet nyusul ya bisa rayain pesta pernikahan anak Tante sendiri” semua orang diruangan rias pengantin itu tertawa. Begitu juga dengan Kevin dan Juyeon diseberang sana yang masing-masing menggenggam bunga dengan pakaian rapi mereka.
“Juju ..” Changmin berkaca-kaca menatap sahabatnya tersenyum manis kearahnya, Juyeon mendekat memberi peluk yang nyaman dan mengecup puncak kepala Changmin penuh sayang,”akhirnya hari H pernikahan. Selamat ya”
Changmin menggenggam tangan besar Juyeon masih dengan hati yang hancur sejak malam itu. Changmin hampir membatalkan pernikahan ini sebab merasa terlalu jahat pada sahabatnya. Namun setelah perdebatan alot dengan Juyeon, akhirnya Changmin mau melanjutkan hidupnya. Melanjutkan perjalanan cintanya bersama kekasihnya selama ini, Choi Chanhee.
“Kevin, makasih banyak udah datang. Mana kak Jacob?”
“Kak Jacob gak sengaja ketemu salah satu temen SMAnya tadi didepan jadi ngobrol dulu”
“Oh ya? Siapa??”
“Gak tahu tapi kayaknya tamunya Chanhee. By the way honey, selamat ya akhirnya sampai pelaminan” Kevin menyerahkan bucket bunga digenggamannya dan berbagi peluk meski Changmin sedikit tak rela melepas tangan Juyeon yang tadi digenggamannya.
“Makasih Kevin, semoga kamu cepet nyusul ya sama kak Jacob.”
i almost wish
i had a narrator
of my life
who would expose
my inner thoughts
and feelings
and make them known
perhaps then you would known
there is not a shred of untruth
when i tell you
i love you
Her favorite colour is yellow, poetry by Edgar Holmes
Dengan iringan musik yang mengalun lembut, didepan sana, diatas altar pemuda itu berdiri tegap. Bersama orang yang ia kasihi. Yang selama satu tahun belakangan ini. Choi Chanhee pemuda yang selalu ada selain Juyeon sahabatnya. Yang bersedia memenuhi hatinya dengan cinta yang berlimpah. Choi Chanhee pemuda bertubuh kecil putih dan berkaki jenjang itu, malam itu datang ke rumah. Mematahkan pikiran-pikiran negatif Changmin terhadap hubungannya. Chanhee memiliki banyak teman disekitarnya dan Changmin tidak merasa lebih spesial dari mereka dilihat dari bagaimana Chanhee memperlakukan mereka sama dengan Changmin. Yang berbeda hanya Changmin kekasihnya, katanya. Dan malam itu, tentunya Changmin begitu bahagia sebab seorang Choi Chanhee datang ke rumahnya mengajaknya ke jenjang lebih serius.
Chanhee menggenggam tangan Changmin, keduanya tertawa geli. Mendengarkan pendeta berucap janji dan sumpah atas keduanya. “Ya, saya bersedia” Chanhee berujar penuh keyakinan. Matanya tak lepas dari mata bulat Changmin didepannya. Masih dengan senyum keduanya yang belum luntur.
“Silakan cium pasangannya” dan bibir itu memagutnya. Didepan banyak orang. Memberikan rasa hangat dengan kupu-kupu bergejolak diperutnya. Changmin harus bahagia, ia berjanji pada Juyeon atas segala pengorbanan yang ia lakukan selama ini.
“Changmin ganteng banget pake navy begitu”
“Oh itu navy” ujar Juyeon pada Kevin yang masih sibuk bertepuk tangan atas kebahagiaan sahabat mereka yang akhirnya resmi dipersunting.
“Chanhee juga pakai navy, keluarga Chanhee sama Changmin pakai hitam sama putih. Baju kita yang seragam ini juga navy, Ju. Keren pokoknya”
Cukup lama ia hanya melihat abu-abu dan hitam hingga rasanya sangat rindu dapat melihat banyak warna. Juyeon tak menyesal. Sebab cinta yang ia hantarkan begitu tulus adanya. Meski tak berbalas cinta yang sama konteksnya, Juyeon tak apa. Asal Changmin bahagia.
“*Kevin! Juyeon! Ayo maju itu Changmin mau lempar bunga!!” Mama Juyeon tampak heboh di belakang menyuruh keduanya maju untuk berebut bunga yang akan dilemparkan oleh pengantin bersama tamu-tamu lainnya.
Badan Juyeon ditarik cukup kuat oleh Kevin menuju barisan depan bersama banyak orang yang juga berebut bunga disana. Juyeon menatap sekitar. Akan sangat menyenangkan bila bisa kembali melihat warna. Pasti ruangan ini sangat indah, bisa juyeon dapati banyak sekali bunga-bunga yang sengaja menjadi hiasan ruangan. Banyak bunga matahari sebab Ji Changmin menyukainya. Juyeon merindukannya. Melihat warna-warna kesukaannya.
“Siap ya!!! Satu... Dua... Tiga! Hap!!!”
Juyeon dan Kevin hendak maju berebut bunga sebelum tak sengaja kakinya terinjak oleh orang lain. Dengan sigap badan oleng Juyeon ditangkap oleh tangan kekarnya. Mata mereka beradu pandang dan seketika mata Juyeon terpaku padanya. Sebab menatapnya, mengantarkannya melihat warna.
Warna yang selama ini ia rindukan.
Pluk!
Bucket bunga itu jatuh mengenai mereka, terdengar riuh sorak sorai tamu-tamu undangan berbahagia melihat bahwa Juyeon menggenggam bunga itu, ini takdir baik. Katanya.
“Maaf, maaf aku gak sengaja injak kaki kamu. Selamat ya bunganya mendarat di kamu”
Juyeon masih diam seribu bahasa. Terlalu terkejut dengan apa yang ia alami detik ini.
“Kuning...”
Juyeon bergumam.
“Ya? Sakit ya kakinya?” Juyeon menggeleng kencang, “enggak maksudnya itu bunga matahari disana warnanya kuning”
Pemuda itu tersenyum manis. “Aku Lee Sangyeon, kakak tingkat Chanhee saat kuliah.”
Juyeon menunduk menatap uluran tangan yang ada didepannya, sedikit terbata-bata menerimanya, “Lee Juyeon.. t-teman kecil Changmin.”
“Sekali lagi maaf ya, aku gak sengaja injak kamu”
Juyeon mengangguk dan buru-buru pergi. Menghampiri Kevin dan bercerita dengan penuh semangat. “Demi Tuhan ju??!!!”
“I-ini hijau kan kev? Kertas ini hijau, ini putih, ini merah muda? Serbet itu warnanya putih kan Kev? Itu balon anak itu, itu ungu kan Kev? Kevin!!! Aku bisa lihat warna.”
“Siapa Ju, siapa? Siapa tadi orangnya?”
“Namanya Lee Sangyeon, Kev. Lee Sangyeon”
Fin.
© Aquamarlynn