awnyaii

Grace merasa heran, masih pagi benar, pukul lima pagi hari. Ia mendapati seseorang mengetuk pintu apartemennya. Grace menguap dan menggeliatkan badannya sejenak. Ia kaget mendapati banyak pesan singkat dari Om Kevin yang mengatakan bahwa ia berada, ia adalah suami dari Mama Grace saat ini.

Seorang duda yang ditinggalkan istrinya meninggal karena sakit. Om Kevin memiliki seorang anak laki-laki yang baru saja lulus SMA. Setelah menikah dengan Mama Grace, beliau juga memiliki seorang anak yang sekarang berusia lima tahun.

Grace berjalan dengan gontai dan membuka pintu apartemennya. Betapa terkejutnya Grace saat mendapati Om Kevin ada di sana.

“Om Kevin?” mata Grace membulat tak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini.

“Grace, ini kamu, nak? Bener ini Grace?” tanya Kevin sambil memeluk anak perempuan di depannya itu. Grace sempat terdiam, ia menelan ludah dan masih heran dengan apa yang terjadi. Sejenak ia memaksa melepaskan pelukan. Ia lihat mata Om Kevin yang sembab.

“Kenapa bisa kesini? Siapa yang kasih tahu kalau aku disini?” tanya Grace ketus. Pria di depan Grace itu menghela napas sejenak, lalu beranikan tatap mata Grace yang juga anaknya itu. “Mama kamu ada disini,” katanya.

Grace terkekeh, “ngaco.” “Tutup dulu pintu apartnya, ganti baju dulu, kita ketemu Mama, ya?” ucapan Om Kevin membuat Grace semakin bingung.

“Ngapain ketemu Mama, Om mau lihat Grace ditampar? Om mau lihat Grace dimaki-maki?” tanya Grace dengan tegas.

“Kali ini aja, ikut Om. Kalau Mama kamu sampai lakuin itu ke kamu, Om nggak akan diam aja, Om janji.” Kalimat Kevin itu membuat Grace mendengus kesal, ia mengambil jaket hoodienya, menutup pintu apartemennya lalu ia mengikuti langkah Om Kevin. Grace masih heran dengan sikap Om Kevin itu, Kevin mengendarai mobil dengan kecepatan agak tinggi.

“Om, kita mau kemana?” tanya Grace. Kevin hanya menjawab dengan senyuman, membuat banyak pertanyaan di kepala Grace.

“Ketemu Mama kamu.”

“Om, Grace takut―”

“Jangan takut,” kata Om Kevin sambil menyentuh tangan Grace sejenak. Grace pasrah, meski ia tidak tahu Om Kevin akan membawanya ke mana. Sebuah tanya besar dan ketakutan besar bermukim di benak Grace.

Tapi ia coba tepis perlahan, sepanjang jalan Grace mengamati, ini jalan yang ia kenal. Jalan menuju Rumah Sakit Mount Elizabeth. Grace semakin bingung. Matahari bahkan belum menunjukkan sinarnya dengan sempurna. Tak banyak kata yang keluar dari Grace ataupun Om Kevin saat itu. Saat Om Kevin memarkirkan mobilnya di area parkir Rumah Sakit itu pun, Grace tidak bertanya apapun karena detak jantungnya yang sudah tidak karuan.

“Ayo, Grace,” ajak Om Kevin kepada Grace. Om Kevin pun berjalan beriringan dengan Grace masuk ke Mount Elizabeth Hospital, mereka berjalan melewati koridor demi koridor. Langkah Grace terhenti saat ia melihat panah penunjuk ruang ICU. Om Kevin menghampiri Grace dan merangkul anak itu. Grace memundurkan langkahnya, ia melepas dan menepis rangkulan Kevin dengan kasar.

“Ngapain kesini?” tanya Grace dengan mata memicing.

“Mama kamu, kita mau ketemu Mama.”

“Iya, kenapa disini? Kenapa ke ruang ICU?” tanya Grace dengan nada yang meninggi. Segenap asa Grace kumpulkan, napasnya mulai memburu, Kevin tertunduk, Kevin meraih lengan Grace dan menariknya mengajaknya berjalan. Grace sempat memberontak dan menolak.

“Grace, come on,” pinta Kevin. Hingga pada akhirnya Grace pasrah, tangannya mulai dingin. Di atas apapun yang melandasi kebenciannya kepada Mamanya selama ini, Grace tetap saja takut jika terjadi sesuatu saat ini. Dan mereka berdua pun tiba di ruangan itu. Grace melihat Mamanya terkulai lemas.

Grace melangkah dengan sedikit gemetar tapi Kevin sigap menjaga tubuh Grace yang sempat terhuyung itu. Tiba di sebelah tempat tidur tempat Mamanya terkulai lemah, Grace bertanya, “Mama kenapa disini?”

“Papa kamu dipenjara, Mama kamu yang laporin. Mama kamu belain kamu mati-matian di depan keluarga. Alasan Mama nggak mau ajak kamu ketemu karena pihak keluarga Mama ataupun Papa kamu menyalahkan dan menyudutkan Mama kamu terus. Menyalahkan katanya Mama kamu bukan ibu yang baik, tidak seharusnya bercerai dan yang lainnya. Mama kamu merasa bersalah, kata-kata kasarnya selama ini dan perlakuan kasarnya ia sengaja. Om sudah bilang bukan seperti itu caranya, tapi Mama kamu berpegang sama pendiriannya. Biar Grace benci aku aja asal dia nggak pernah tahu kelakuan keluarga dan perkataan keluarga tentang dia, biar dia nggak pulang karena kasihan anak itu harus nanggung semua sendiri. Kata Mama seperti itu. Mama sempat beberapa kali minta kamu pulang, kan akhir-akhir ini? Mama kamu pengen ditemenin kamu, karena kamu yang blokir nomor Mama, segala info Mama cari lewat rumah sakit lama tempat kamu kerja, termasuk ke Mevin. Mama kamu kenal Mevin, Mama dan Mevin juga sudah saling minta maaf karena kejadian waktu itu.” Ucapan Kevin terhenti, ia menyeka air matanya sebentar. Grace perlahan melangkah maju dan meraih tangan Mamanya itu.

“Mama paksa Om untuk ke Singapore, Mama mau cari kamu. Tapi, selama ini Mama sakit, ada tumor ganas di tubuhnya.” Kalimat itu membuat Grace jatuh berlutut di sebelah ranjang rumah sakit itu. Grace menunduk dan terisak.

“Segala pengobatan Om berikan buat Mama, dari kemoterapi, radioterapi bahkan konsumsi obat yang nggak pernah terlambat. Dokter bilang makin tinggi stadium, makin sulit penyembuhannya. Selama ini Mama kamu sembunyikan, bahkan Papa kamu nggak tahu masalah ini, Grace. Hanya setelah menikah dengan Om Kevin, Mama kamu kasih tahu semuanya. Tumor Mama berkembang dan ganggu organ lain dan menyebar ke sel jaringan lain. Semakin Mama kamu bertambah usia semakin cepat penyakit itu berkembang. Waktu sampai disini, Mama kamu kondisinya lagi lemah. Mama drop, kritis. Seperti sekarang, Grace, Om tahu susah untuk memaafkan Mama. Tapi untuk kali ini Om mohon sama Grace, ya? Boleh?” Usai Kevin melafalkan kalimatnya, Grace membawa pandangannya mendongak menatap Kevin.

Mata gelap dengan tatapan penuh duka itu menusuk hati Kevin. Dan Kevin pun membantu Grace untuk bangkit berdiri. Grace tertunduk sesaat, jantungnya berdebar tidak karuan. Sejenak, Kevin menarik Grace ke dalam pelukannya. Grace menangis untuk kali pertama di pelukan Kevin. Grace menangis sejadinya di sana.

Kevin memberikan pelukan seorang ayah yang sudah lama tidak Grace dapatkan. Nampaknya seakan terlambat mungkin, tapi Kevin benar-benar tulus menyayangi Grace. Tanpa sepengetahuan Grace, Kevin melakukan banyak hal. Tak banyak yang bisa Grace nilai dari Kevin saat ini sebagai seorang ayah. Semua terasa menyedihkan.

“Grace ....” suara lirih itu membuat Kevin dan Grace kaget. Mama Grace melafalkan nama sang anak dengan lirih hampir tidak terdengar.

“Iya, Ma. Ini Grace, ini Grace disini nemenin Mama, sama Om Kevin.” Grace mendekat menyentuh punggung tangan Mamanya itu.

“Kevin, Grace ....” ucap Mama sambil menatap Kevin yang membawa Kevin berjalan mendekat juga disana.

“Maafin Mama.” Ucapan Mama membuat Grace dan Kevin terbelalak dan menatap satu sama lain. Grace si payah dalam berbohong, Kevin si payah dalam mengendalikan air mata agar tidak tumpah.

“Mama minta maaf sama Grace kalau Mama nggak pantas dapat sebutan ibu. Grace nggak perlu takut, Papa sudah dapat hukumannya, begitu juga dengan Brandon, Papa Kevin yang urus semuanya buat bantu Mama.” Ucapan Mama membuat Grace kaget, sejenak ia menoleh menatap Ayah tirinya di sebelahnya itu dan Grace lihat Om Kevin menumpahkan air mata tanpa komando. Om Kevin masih betah menyembunyikan tangisnya dan melipat bibirnya kuat-kuat.

“Ma...”

“Jangan benci Om Kevin.” Wanita itu tersenyum. Tangan Grace terulur menyentuh pipi wanita di depannya, Grace membungkukkan badannya dan tertunduk di dekat wajah Mamanya dan menangis terisak sejadinya. Kevin membawa tangannya untuk mengelus punggung Grace yang bergetar karena tangisan.

“Grace anak baik, Grace anak kuat, maafin Mama ya. Mama sudah tahu ketulusan Mevin ke kamu, Mama sudah tahu apa aja yang kamu lewati disini. Maaf kalau Mama udah kurang ajar sama Grace, Mama salah, Mama pengen Grace benci Mama tapi ternyata itu menyiksa Mama. Mama pernah berpikir kalau Grace membenci Mama, suatu saat Mama pergi, Grace nggak akan sedih. Tapi Mama ingin ada Grace di waktu-waktu terakhir Mama. Maafin Mama, Mama menyesal. Grace bertahan, ya? Grace mau pulang ke Indonesia setelah ini? Anterin Mama.” kalimat Mamanya selesaikan namun Grace masih terisak, entah apa yang dimaksud oleh Mamanya, mengantar Mamanya? Grace sempat merasa hidupnya sangat menyedihkan karena sikap kedua orang tuanya. Selama ini Grace diam dan bungkam, Grace merasa kedua orang tuanya membuangnya tapi nyatanya Mamanya berkorban banyak hal. Grace tidak bisa berkata-kata lagi, dadanya sesak, ia menangis sejadi-jadinya. Pengorbanan seorang ibu nyata adanya. Meski, pernah jatuh dalam kesalahan dalam melakukan dan memperlakukan Grace sebagai anak. “Grace boleh peluk mama?” Mamanya membawa pandangannya ke wajah Grace. Tanpa aba-aba Grace langsung memeluk mamanya itu erat.

“Maafin mama kalau belum bisa lindungin Grace. Jangan benci Mama, ya ...” tangan Mamanya memberi usapan yang kian memelan di punggung Grace.

“Grace nggak benci Mama ... enggak ....” Air mata yang Grace tahan kini tumpah bersamaan dengan suaranya yang bergetar, dadanya sesak tidak ada lagi yang bisa ia lakukan sekarang.

“Grace bukan aib keluarga, Grace is Grace, you are blessing in my life, beloved daughter, Mama sayang Grace, setiap hari Mama berdoa agar Grace cepat sembuh dan mendapat kebahagiaan jauh melebihi siapapun juga. Maafin Mama ....”

“Enggak, Ma. Enggak, Grace yang minta maaf.” pipi Grace sudah dibanjiri oleh air mata.

“Grace anak mama...” suara itu memelan di telinga Grace namun Grace masih disana memeluk erat. Tanpa Grace sadari tiba-tiba monitor detak jantung berbunyi dan menunjukkan garis lurus. Tenggorokan Kevin dan Grace terasa tercekat. Bibir Grace kelu dan ia sulit bernapas. Dunianya seakan runtuh. Tangan yang menyentuh punggung Grace tidak ia rasakan lagi disana, ia tahu tangan itu terkulai lemas.

Tak ada celah keheningan, yang ada tangisan Grace semakin menjadi. Tak lama dokter diikuti beberapa perawat datang dan memasuki ruangan itu, tubuh Grace melemas kala itu, tenggorokannya tercekat.

“Mama! Ma! Bangun!” Grace meraung dalam tangisnya. Ia terus terisak, tangannya mengguncang pelan tubuh wanita itu yang tidak akan membalas dengan respon apapun itu. Kevin menarik tubuh Grace menjauh.

“Grace! Grace” Kevin menarik tubuh Grace menjauh agar perawat dan dokter lain bisa melepas segala alat yang menempel di tubuh Mamanya. “Mama nggak boleh pergi! Grace udah maafin Mama! Grace mau pulang sama Mama!” Grace menjambak rambutnya. Kevin tidak bisa berkata apa-apa air mata akhirnya tumpah kala itu melihat kenyataan hari ini.

Beberapa kali Grace hendak mendekat dan meraih tubuh mamanya lagi namun Kevin menahannya hingga tubuh Grace melemas, luruh di lantai bersandar di pelukan Kevin, ia memeluk dan mencengkeram baju Kevin dengan erat, meraung dalam tangis sejadinya di sana. Di pelukan sosok Ayah yang pernah ia benci padahal punya kasih yang besar untuknya. Grace dipeluk Kevin erat, sebagai seorang ayah dan suami, Kevin sangat merasakan duka mendalam.

Terlebih anaknya ada yang masih berusia lima tahun. Grace masih histeris di pelukan Kevin, Grace masih mengulurkan tangannya hendak meraih Mamanya, tapi Kevin raih lengan itu dan ia bawa dalam genggam serta dekap. Pada dasarnya, Mama Grace ingin melindungi anaknya dari kerasnya hujatan keluarga. Meminta Grace untuk tidak kembali saat itu adalah agar hanya Mamanya saja yang menerima kata-kata tajam itu.

Permintaan Mamanya untuk Grace agar pulang akhir-akhir ini adalah sebenar-benarnya kerinduan seorang ibu kepada anaknya. Perihal dendam dan benci sirna sesaat, Grace tidak menyimpannya lagi. Satu rahasia kehidupan yang dibukakan oleh Sang Pencipta.

Grace yang sempat beberapa kali hampir pergi dan ada di ambang kehidupan, masih diberi kekuatan sampai sekarang. Mamanya yang tampak sehat ternyata menyimpan sakit yang begitu hebat hingga akhirnya Tuhan panggil pulang, pada saatNya. Tidak pernah ada yang tahu, tidak pernah ada yang menyangka dan tidak ada seorangpun yang mampu menyingkap tabir kehidupan mendahului Tuhan, Sang Empunya seluruh kehidupan kita. Mungkin hari ini adalah sebenar-benarnya hari dimana Grace harus membungkus pilu secara bersamaan dalam hatinya.

Pada akhir bulan ini, Alicia melihat banyak perkembangan dari Grace. Alicia merasa emosi Grace mulai stabil dan tidak ada hal yang membuat trigger seperti perdebatan dengan Mevin ataupun pihak keluarga yang menghubunginya.

Sedari tadi, Grace hanya menghabiskan waktu menonton pertunjukan bersama Alicia di Gardens by the Bay. Alicia menoleh memandangi Grace yang tersenyum bahagia. Sudah berbulan-bulan Grace ada di Singapore, sepertinya memang titik terang kesembuhan Grace mulai terlihat.

“Grace,” kata Alicia sambil menyenggol lengan Grace.

“Ya?” tanya Grace.

Are you happy now? Feel better than before?”

“Seperti yang kamu bilang, I find myself, a new me. Aku sadar, perlahan aku ngerti kalau semua luka itu akarnya di aku. Daripada aku lari, lebih baik aku disini sembuhin semuanya satu per satu dan berdamai pelan-pelan. Kalau aku ngehindar terus dan lari terus gimana mau selesai. And here I am, the new Grace, thank you for guiding me and show the pathway for me.” Ucapan Grace mengundang rasa haru di dalam diri Alicia.

“Aku cuma bantu kamu, kamu yang nyari jalan itu, kamu yang hebat dan kuat bisa nemuin jalan dan obat untuk hati kamu itu. Terima kasih ya, Grace udah bertahan. Tapi aku sedih, nggak lama lagi kamu pulang ke Indonesia. Jangan lupa sama aku ya nanti, jangan lupa perjalanan kamu disini juga nggak gampang, Grace ... aku bangga sama kamu, sama perjuangan kamu.” Alicia memelankan suaranya.

Ia meraih tangan Grace, “ini, jangan disakiti lagi, ya?” ucapnya lagi. Grace mengangguk dan matanya berkaca-kaca. Ia langsung memeluk Alicia, tidak bisa bohong, Grace menangis di pelukan Alicia.

“Terima kasih juga udah sabar dan selalu bantu aku. Makasih udah nggak pernah kasih judgement ke aku. Makasih udah memanusiakan aku. Kamu bukan hanya dokter, tapi sahabat, juga kakak yang baik buat aku. Sampai aku mati pun aku nggak akan lupa sama kamu. You have a special part in my life, Alicia.”

“Jangan aku dengar kamu sakit lagi, ya. Kalaupun kamu ada di titik terendah kamu, please let me know, just call me and share your pain with me. Dan aku berterima kasih sama kamu karena kamu ada di sini aku bisa lihat dunia yang belum pernah aku lihat sebelumnya, permasalahan krusial yang kamu hadapi dan segala beban yang kamu bagi sama aku. Kuat, ya ke depannya. Ya?” Mendengar ucapan Alicia itu Grace mengangguk dan memeluk Alicia lebih erat lagi.

Selama tiga jam lebih Alicia dan Grace menghabiskan waktu malam itu untuk membicarakan banya hal. Rencana Grace ke depannya untuk pindah tempat kos, rencana Grace yang ingin bekerja lagi, serta banyak hal lagi. Mereka asyik bercengkrama dan tertawa, jangan ada lagi air mata. Grace tahu ia memang dibuang oleh keluarganya, Grace tahu dan paham betul sebagian orang menganggap dirinya aib atau sampah tapi masih ada banyak orang yang menganggapnya anugerah dan berkat, sesuai namanya―Grace.  

Sore hari saat Jena ada disana, ia menghabiskan waktu dengan menunggui Papanya di Rumah Sakit bersama Mamanya. Senja kali ini rasanya damai sekali, seperti damainya Jena terlelap saat menjagai Papanya. Namun senjanya selalu terasa gelap selama Jena mendapati keadaan Papanya yang belum kunjung sadar.

Saat itu Jena terbangun setelah lama waktu berlalu Jena tertidur disana, membenamkan wajah di sebelah tangan Papanya. Jena terbangun karena mendengar alat pendeteksi detak jantung yang berbunyi, dilihatnya angka yang menunjukkan denyut jantung Jeffrey menunjukkan angka yang semakin kecil dimana detak jantung Jeffrey melemah. hal itu membuat Jena mengerjap dan mendongakkan kepalanya. Dadanya terasa sesak kepanikan, Jena langsung mendekat kepada Papanya.

“Pa, Papa kenapa? Papa!” kata Jena dengan suara parau. Setelah itu, dengan secepat kilat Jena pun langsung memanggil dokter untuk memeriksa papanya.

Saat beberapa perawat dan dokter datang ke ruangan itu, Jena dipaksa untuk menunggu di luar, Jena memberontak namun disaat yang bersamaan, Eilene datang, Eilene panik dan langsung menarik Jena agar membiarkan dokter yang hendak menangani Jeffrey masuk.

“Jena! Jena, kenapa, nak?!” cegah Eilene sambil menahan lengan Jena. Anaknya bersandar di tembok lalu jatuh terduduk sambil melipat kakinya, mengepalkan tangan sambil memukuli lututnya sendiri, menangis disana.

“Ma, Jena nggak mau Papa Jeff kenapa-kenapa, Papa nggak boleh pergi.”

“Sst, nggak ada yang akan pergi, Papa Jeff nggak akan pergi!” Eilene memeluk anaknya itu, Jena menangis sejadinya.

“Papa Theo udah pergi, Papa Jeffrey nggak boleh pergi! Jena belum sempat bilang terima kasih dan maaf,” tangis Jena semakin melirih namun semakin mengisyaratkan sebuah sakit dan pedih yang mendalam.

“Iya nak, iya. Papa Jeffrey gonna be okay.” Eilene menenangkan anaknya walaupun ia didera kepanikan dan kekhawatiran luar biasa hebat. Kekosongan dan kehampaan bermukim saat itu juga di benak Eilene, memporak-porandakan keadaan hatinya.

Saat dokter dan perawat keluar dari ruangan Jeffrey dirawat, Eilene langsung menghampiri dokter tersebut. Di sana sudah ada Jena, Eilene dan juga Dave.

“Keluarga pasien Jeffrey?” tanya sang dokter.

“Saya istrinya!” kata Eilene di sebelahnya sudah ada Jena dan Dave. Sebuah ketakutan besar bermukim di pandangan mata Eilene.

“Kondisi detak jantung pasien melemah, namun Bapak Jeffrey bisa melewatinya, kemungkinan sadar sangat banyak, jangan pernah berhenti berdoa.” kata-kata sang dokter terangkai menyiratkan duka dan sedikit harap. Eilene tersenyum menunggu sang dokter yang berlalu, Eilene berjalan beberapa langkah membelakangi anak-anaknya dengan langkah gontai, dadanya sesak, ia mengambil posisi duduk di bangku panjang. Hal itu membuat kedua anaknya bergerak cepat menghampiri Eilene. Dave dan Jena menarik tubuh Eilene dan mencoba menenangkan Eilene meski Eilene sempat memberontak saat tangan Jevin dan Jena menahannya.

“Ma!” pekik Dave dan Jena hampir bersamaan. Jena hanya menutup mulutnya dengan telapak tangannya karena terlalu sakit melihat keadaan Mamanya sekarang yang menangis sejadinya di pelukan Dave. Sekuat apapun Eilene menabahkan dirinya saat ini tak akan bisa membuatnya tenang.

“Mama, jangan nangis ....” kata Jena, Eilene melemah di pelukan Dave. Mimpi buruk ini nyatanya memang realita bagi keluarga Eilene. Jena mendekat ke arah Eilene dan Dave, Eilene pun memeluk kedua anak itu.

“Kalau aja Jena nggak jahat sama Papa,” gumam Jena lirih, kenyataan di depannya sekarang bak lara mendarah untuknya, ia kira saat itu ia bisa memeluk Papanya untuk mengucapkan terima kasih tapi ternyata keadaan berbeda. Ia tak kuasa, sungguh. Setiap malam ia habiskan untuk berandai tentang keluarga utuhnya yang kembali bahagia namun semua dihempas kenyataan―jauh.

Eilene merenggangkan pelukan, ia menatap kedua anaknya bergantian, ada Dave di sisi kanan Eilene dan Jena di sisi kiri Eilene. Eilene raih jemari mereka, satu tangan Eilene menggenggam jemari Jena dan satu tangan Eilene menggenggam jemari Dave.

“Anak-anak Mama, jangan pernah benci Papa Jeffrey, ya?”

“Dave nggak pernah benci Papa Jeffrey.” Dave berkata dengan nada teduh.

“Jena yang selama ini benci sama Papa,” kata Jena sambil tertunduk dan terisak. “Jena keterlaluan sama Papa Jeff, Jena yang kurang ajar,” lanjut gadis itu.

“Dek, walaupun gue cuek, tapi gue paham gimana sayangnya Papa ke lo, Papa Theo memang Papa kandung kita, kepergian Papa Theo juga bukan karena Papa Jeff kok, lo buang pikiran jelek lo itu ke Papa Jeff, dek.” Mendengar penuturan Dave itu, Eilene merasa sesak. Mungkin ini saatnya Eilene harus memberitahu kebenarannya.

“Bukan Papa Jeffrey yang bikin Papa Theo pergi. Papa Theo pergi karena udah waktunya, bahkan Papa Jeffrey yang bantu bawa Papa Theo ke Rumah Sakit tapi semuanya terlambat, Papa Theo pergi selamanya. Mereka berdua sahabat sejak SMA, dulu Mama mantan pacar Papa Jeffrey karena satu dan lain hal kami berpisah, Papa Theo datang jadi pengobat luka Mama. Akhirnya Papa Theo sama Mama melahirkan anak-anak hebat seperti kalian. Sampai akhirnya Tuhan panggil Papa Theo lebih dulu karena serangan jantung. Papa Theo bilang dan pesan ke Papa Jeff kalau titip Mama dan kalian, Tuhan Maha membolak balikkan hati manusia, hingga akhirnya kami dipersatukan lagi. Bertahun-tahun kami berdua berusaha biar kalian menerima keadaan, Jena jangan kerasin hati Jena terus. Papa Jeffrey itu sayang sama Jena.” Ucapan Eilene pun terhenti sesaat ia menangis.

“Gue walaupun cuek, gue paham dan gue masih sering chat dan telfon sama Papa Jeff, jangan pikir gue sama Mama nggak tahu masalah rokok, dek. Lo kan yang ngerokok sampai Papa harus bohong di depan Mama. Sampai disaat urgent kaya gitu Papa dateng buat lo, sekalipun nyawa Papa taruhannya. Lo mau kehilangan sosok Papa untuk kedua kalinya?” Kata-kata Dave terhenti saat Eilene menggenggam tangan Dave erat.

“Dave,” bisik Eilene lirih.

“Biar, Ma. Biar Adek sadar kalau sikapnya udah keterlaluan. Jena, coba bayangin kalau Papa Jeff kenapa-kenapa, bisa bayangin hancurnya keluarga kita? Bisa bayangin hancurnya Mama kedua kalinya? Bisa nggak?” Nada Dave meninggi. Sontak Jena melepaskan genggaman Mamanya itu Jena langsung berlutut di depan Mamanya dan membenamkan wajahnya di lutut Mamanya.

“Jena, bangun, Nak. Jena!” Eilene memaksa Jena bangun tapi Jena menolak ia masih bersikukuh. Dave yang melihat keadaan itu pun hanya bisa ikut menangis.

“Maafin Jena, Ma, maaf―” kata Jena dengan isak tangisnya.

Eilene tidak bisa berkata apa-apa lagi, akhirnya Eilene menegakkan badan anaknya itu lalu memeluknya, keduanya tumpah ruah dalam tangis.

“Jena nggak mau kehilangan lagi, nggak mau, Ma!” tangis Jena keras.

“Janji jadi anak yang baik, ya? Jangan nyalahin Papa Jeff lagi, ya? Janji sama Mama?”

Eilene merasakan Jena mengangguk di pelukannya. Maka saat Eilene melepaskan pelukan, Eilene menghapus jejak air mata di pipi Jena, ia tersenyum lalu mencium dahi Jena, “terima kasih anak Mama,” katanya.


Suatu sore yang lain, Jena menunggui Papanya seorang diri saat ini, Jena tak henti rapalkan doa dan harap agar Papanya kembali membuka mata. Lama waktu berlalu Jena tertidur disana, membenamkan wajah di sebelah tangan Papanya. Sedangkan Dave sedang tertidur juga di luar ruangan itu. Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Jena yang masih terlelap merasakan sebuah sentuhan lembut di punggungnya yang berulang kali ia rasakan. Hal itu membuat Jena mengerjap dan mendongakkan kepalanya.

“Abang?” Jena menguap dan mengerjapkan matanya sambil merentangkan tangannya sedikit merengangkan tubuhnya.

“Ini, dari Papa Jeff, sebenernya kemarin mau kasih tapi lupa, gue pulang dulu karena pagi jam lima harus ke luar kota. Jagain Papa, ya?” Dave mengulungkan sebuah amplop untuk Jena yang langsung diterima adiknya itu.

“Abang hati-hati.” Jea berkata sambil tersenyum. Dave pun memeluk dan mengecup puncak kepala adiknya itu lalu meninggalkan ruangan.

Perlahan, Jena buka amplop itu yang ternyata adalah surat dari Jeffrey, Papanya.

Untuk Jena, anak cantik yang dibesarkan dengan baik sama Papa Theo dan Mama Eilene. Jena... Papa Jeff minta maaf kalau kehadiran Papa di tengah Jena, Mama Eilene dan Abang Dave nggak bisa diterima Jena. Belum bisa diterima mungkin sama Jena, Papa nggak akan berhenti berdoa biar suatu saat Jena bisa terima kehadiran Papa. Dalam doa Papa setiap malam tetap Papa doakan Jena, Papa nggak putus asa biar Jena bisa terima Papa, karena Papa yakin masih ada harapan. Jena mirip banget sama Papa Theo, ya? Papa Jeff juga kehilangan waktu Papa Theonya Jena pergi selamanya, Papa juga menyesal harusnya Papa datang lebih awal. Jena nggak usah khawatir, sebenci-bencinya Jena ke Papa, kalau Jena butuh sesuatu please kasih tahu Papa biar Papa merasa berguna walau sedikit. Papa mau di kehidupan Jena, Papa juga punya peran seperti Papa Theo. Papa nggak mau rebut tempat Papa Theo, enggak sama sekali, Nak. Suatu saat nanti Papa pengen Jena bisa peluk Papa, erat dan tulus. Papa pengen rasain itu, suatu saat, ya, Nak? Papa sedih kalau lihat Jena sakit, sedih dan hancur waktu tahu Jena ngerokok saat itu. Jangan lagi, ya, nak? Itu bahaya. Jena jangan lari ke pergaulan yang salah, kalau Jena butuh temen cerita bilang ke Papa, Nak. Barang sekali, nggak papa. Jena, Papa sayang Jena dan Abang Dave. Kalau Papa Jeff ada salah maafin Papa ya, nak. Papa Jeffrey sayang banget sama Jena, Abang Dave dan Mama Eilene.

Jena menangis sejadinya di sana menenggelamkan wajahnya di samping tangan Papanya yang masih terkulai.

“Maafin Jena, Papa .... Maafin Jena ....” “Papa Bangun ....” “Jena minta maaf ....” Rentetan kalimat pilu itu dirapalkan Jena dengan diiringi tangisan dirinya. Jena menyadari sikapnya yang keterlaluan terhadap Papanya itu. Ia tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya kalau sampai terjadi apa apa dengan Papanya kali ini. Saat Jena tengah menangis, ia merasakan sebuah belaian lembut di kepalanya yang nyaris tak berasa. Jena mendongakkan kepalanya.

“Papa?” ucap Jena lirih.

Sebuah senyum teruntai di wajah Jena saat melihat sang ayah yang membuka matanya pelan. Dadanya terasa sesak akan perasaan bahagia. Jena langsung mendekat kepada ayahnya. Netra keduanya bersinggungan, air mata lolos dari ujung mata Jeffrey.

“Pa, ini Jena, Papa bisa denger Jena? Papa udah sadar?” tanya Jena dengan suara parau. Tapi Jeffrey hanya memberikan tatapan kosong.

“Pa, ini Jena!”

“Jena?” tanya Jeffrey sambil mengernyitkan dahi. Hati Jena bak dihujam pisau tajam, inikah kenyataan yang harus ia hadapi? Memori Papanya hilang? Ingatan Papanya hilang termasuk tentang dirinya? Tangan Jena menggenggam tangan dingin Papanya. Tatapan kosong dan bingung diberikan Jeffrey kepada Jena, tapi Jena memberikan tatapan sendu dan pilu disertai harap sambil berkata,

“Iya, Jena ... anak Papa. Jena tahu Papa bakalan datang saat itu buat Jena, karena Jena tahu, Papa selalu pegang janji Papa. Terima kasih ya, Pa. Jena sayang Papa Jeffrey.”

Janji itu memang Jeffrey tepati, untuk menyelamatkan anaknya, tapi Janji untuk memeluk anaknya belum bisa Jeffrey tepati, kehilangan ingatan adalah hal yang tidak pernah Jena bayangkan akan terjadi kepada Papanya, sekuat tenaga Jena paksakan diri tersenyum meski air mata sudah mengalir.

“Jena sayang Papa, sama seperti Jena sayang ke Papa Theo.” Usai ucapkan kalimat itu, Jena memeluk erat Papanya dan menangis di sana. Hari-hari selanjutnya Jena berjanji kepada dirinya sendiri bahkan di hadapan Tuhan bahwa ia akan mengubah sikapnya, ia akan memberikan kasih kepada Papanya itu sebagaimana seharusnya dilakukan seorang anak. Sebuah kelopak harapan merekah, Jena masih punya harapan untuk membalas semua perbuatannya kepada Papanya. Ia akan mengubah sikapnya sebisa mungkin, asalkan ia tidak kehilangan sosok Papa lagi, perlahan Jena merasakan usapan lembut di punggungnya. Jena mengeratkan pelukannya ia memeluk Papanya sekali lagi.

“Jena sayang Papa Jeffrey.”

Di Rumah Sakit...

Sesampainya di Rumah Sakit, ingatan Jena kembali ke kejadian yang terjadi kepada keluarganya yang membawa pergi ayah kandungnya selamanya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jika itu terjadi saat ini kepada Papanya sekarang. Eilene dan Jena ada di depan ruang icu sekarang jemari Jena menempel di kaca ruang ICU ia bisa melihat Papana terbaring tidak sadarkan diri disana.

“Bangun, Pa ... bangun, maafin Jena,” kata Jena dengan suara parau.

“Ma,” Jena mendongakkan kepalanya menatap mamanya yang merangkulnya dari sebelah.

“Kita duduk dulu ya,” Eilene dengan mata yang sudah basah dan hati yang hancur berusaha mengajak Jena barang sebentar untuk duduk. Namun Jena tidak menghiraukannya. Eilene menarik tangan Jena untuk duduk di bangku yang ada disana namun Jena menolak. Tangisan Jena perlahan terdengar lagi namun ia membungkam mulutnya dengan telapak tangannya, bibirnya bergetar, seketika tubuhnya juga bergetar terisak bukan main.

“Sayang, udah,” Eilene memeluk anaknya yang mulai memberontak pelan.

“Papa bangun!” tangisan Jena pecah saat itu, tubuhnya lemas rebah ke pelukan Eilene yang menyandarkan Jena di pelukannya.

“Papa nggak boleh pergi! Papa bangun! Maafin Jena!” tangis Jena sambil memukul-mukul dadanya. Tak lama ada seorang suster yang menghampiri Jena dan Eilene.

“Permisi dengan keluarga pasien Jeffrey? Ini beberapa barang yang ditemukan di TKP,” kata suster tersebut yang menyerahkan handphone, dompet, serta foto yang berlumur darah. Eilene menerima dengan tangan gemetar dan tangisnya semakin pecah saat melihat foto keluarganya yang berlumur darah itu, keluarganya yang utuh dan tentu saja ada Jena dan Jeffrey di foto itu. Jena menyadari sesuatu, ia meraih foto yang Mamanya pegang, Jena semakin menangis menyadari ternyata sebesar itu rasa sayang Jeffrey kepada keluarga ini, meski Jena dan Dave bukan anak kandungnya.

Hancur perasaan keduanya melihat keadaan Jeffrey yang masih terkulai di tempat tidur itu dengan beberapa alat terpasang di tubuhnya, dan infus serta selang oksigen. Kepanikan dan ketegangan serta kesedihan terasa sangat mencekam kala itu.

  Sore hari saat Jena ada disana, ia menghabiskan waktu dengan menunggui Papanya di Rumah Sakit bersama Mamanya. Senja kali ini rasanya damai sekali, seperti damainya Jena terlelap saat menjagai Papanya. Namun senjanya selalu terasa gelap selama Jena mendapati keadaan Papanya yang belum kunjung sadar.

Saat itu Jena terbangun setelah lama waktu berlalu Jena tertidur disana, membenamkan wajah di sebelah tangan Papanya. Jena terbangun karena mendengar alat pendeteksi detak jantung yang berbunyi, dilihatnya angka yang menunjukkan denyut jantung Jeffrey menunjukkan angka yang semakin kecil dimana detak jantung Jeffrey melemah. hal itu membuat Jena mengerjap dan mendongakkan kepalanya. Dadanya terasa sesak kepanikan, Jena langsung mendekat kepada Papanya.

“Pa, Papa kenapa? Papa!” kata Jena dengan suara parau. Setelah itu, dengan secepat kilat Jena pun langsung memanggil dokter untuk memeriksa papanya.

Saat beberapa perawat dan dokter datang ke ruangan itu, Jena dipaksa untuk menunggu di luar, Jena memberontak namun disaat yang bersamaan, Eilene datang, Eilene panik dan langsung menarik Jena agar membiarkan dokter yang hendak menangani Jeffrey masuk.

“Jena! Jena, kenapa, nak?!” cegah Eilene sambil menahan lengan Jena. Anaknya bersandar di tembok lalu jatuh terduduk sambil melipat kakinya, mengepalkan tangan sambil memukuli lututnya sendiri, menangis disana.

“Ma, Jena nggak mau Papa Jeff kenapa-kenapa, Papa nggak boleh pergi.”

“Sst, nggak ada yang akan pergi, Papa Jeff nggak akan pergi!” Eilene memeluk anaknya itu, Jena menangis sejadinya.

“Papa Theo udah pergi, Papa Jeffrey nggak boleh pergi! Jena belum sempat bilang terima kasih dan maaf,” tangis Jena semakin melirih namun semakin mengisyaratkan sebuah sakit dan pedih yang mendalam.

“Iya nak, iya. Papa Jeffrey gonna be okay.” Eilene menenangkan anaknya walaupun ia didera kepanikan dan kekhawatiran luar biasa hebat. Kekosongan dan kehampaan bermukim saat itu juga di benak Eilene, memporak-porandakan keadaan hatinya.

Saat dokter dan perawat keluar dari ruangan Jeffrey dirawat, Eilene langsung menghampiri dokter tersebut. Di sana sudah ada Jena, Eilene dan juga Dave.

“Keluarga pasien Jeffrey?” tanya sang dokter.

“Saya istrinya!” kata Eilene di sebelahnya sudah ada Jena dan Dave. Sebuah ketakutan besar bermukim di pandangan mata Eilene.

“Kondisi detak jantung pasien melemah, namun Bapak Jeffrey bisa melewatinya, kemungkinan sadar sangat banyak, jangan pernah berhenti berdoa.” kata-kata sang dokter terangkai menyiratkan duka dan sedikit harap. Eilene tersenyum menunggu sang dokter yang berlalu, Eilene berjalan beberapa langkah membelakangi anak-anaknya dengan langkah gontai, dadanya sesak, ia mengambil posisi duduk di bangku panjang. Hal itu membuat kedua anaknya bergerak cepat menghampiri Eilene. Dave dan Jena menarik tubuh Eilene dan mencoba menenangkan Eilene meski Eilene sempat memberontak saat tangan Jevin dan Jena menahannya.

“Ma!” pekik Dave dan Jena hampir bersamaan. Jena hanya menutup mulutnya dengan telapak tangannya karena terlalu sakit melihat keadaan Mamanya sekarang yang menangis sejadinya di pelukan Dave. Sekuat apapun Eilene menabahkan dirinya saat ini tak akan bisa membuatnya tenang.

“Mama, jangan nangis ....” kata Jena, Eilene melemah di pelukan Dave. Mimpi buruk ini nyatanya memang realita bagi keluarga Eilene. Jena mendekat ke arah Eilene dan Dave, Eilene pun memeluk kedua anak itu.

“Kalau aja Jena nggak jahat sama Papa,” gumam Jena lirih, kenyataan di depannya sekarang bak lara mendarah untuknya, ia kira saat itu ia bisa memeluk Papanya untuk mengucapkan terima kasih tapi ternyata keadaan berbeda. Ia tak kuasa, sungguh. Setiap malam ia habiskan untuk berandai tentang keluarga utuhnya yang kembali bahagia namun semua dihempas kenyataan―jauh.

Eilene merenggangkan pelukan, ia menatap kedua anaknya bergantian, ada Dave di sisi kanan Eilene dan Jena di sisi kiri Eilene. Eilene raih jemari mereka, satu tangan Eilene menggenggam jemari Jena dan satu tangan Eilene menggenggam jemari Dave.

“Anak-anak Mama, jangan pernah benci Papa Jeffrey, ya?”

“Dave nggak pernah benci Papa Jeffrey.” Dave berkata dengan nada teduh.

“Jena yang selama ini benci sama Papa,” kata Jena sambil tertunduk dan terisak. “Jena keterlaluan sama Papa Jeff, Jena yang kurang ajar,” lanjut gadis itu.

“Dek, walaupun gue cuek, tapi gue paham gimana sayangnya Papa ke lo, Papa Theo memang Papa kandung kita, kepergian Papa Theo juga bukan karena Papa Jeff kok, lo buang pikiran jelek lo itu ke Papa Jeff, dek.” Mendengar penuturan Dave itu, Eilene merasa sesak. Mungkin ini saatnya Eilene harus memberitahu kebenarannya.

“Bukan Papa Jeffrey yang bikin Papa Theo pergi. Papa Theo pergi karena udah waktunya, bahkan Papa Jeffrey yang bantu bawa Papa Theo ke Rumah Sakit tapi semuanya terlambat, Papa Theo pergi selamanya. Mereka berdua sahabat sejak SMA, dulu Mama mantan pacar Papa Jeffrey karena satu dan lain hal kami berpisah, Papa Theo datang jadi pengobat luka Mama. Akhirnya Papa Theo sama Mama melahirkan anak-anak hebat seperti kalian. Sampai akhirnya Tuhan panggil Papa Theo lebih dulu karena serangan jantung. Papa Theo bilang dan pesan ke Papa Jeff kalau titip Mama dan kalian, Tuhan Maha membolak balikkan hati manusia, hingga akhirnya kami dipersatukan lagi. Bertahun-tahun kami berdua berusaha biar kalian menerima keadaan, Jena jangan kerasin hati Jena terus. Papa Jeffrey itu sayang sama Jena.” Ucapan Eilene pun terhenti sesaat ia menangis.

“Gue walaupun cuek, gue paham dan gue masih sering chat dan telfon sama Papa Jeff, jangan pikir gue sama Mama nggak tahu masalah rokok, dek. Lo kan yang ngerokok sampai Papa harus bohong di depan Mama. Sampai disaat urgent kaya gitu Papa dateng buat lo, sekalipun nyawa Papa taruhannya. Lo mau kehilangan sosok Papa untuk kedua kalinya?” Kata-kata Dave terhenti saat Eilene menggenggam tangan Dave erat.

“Dave,” bisik Eilene lirih.

“Biar, Ma. Biar Adek sadar kalau sikapnya udah keterlaluan. Jena, coba bayangin kalau Papa Jeff kenapa-kenapa, bisa bayangin hancurnya keluarga kita? Bisa bayangin hancurnya Mama kedua kalinya? Bisa nggak?” Nada Dave meninggi. Sontak Jena melepaskan genggaman Mamanya itu Jena langsung berlutut di depan Mamanya dan membenamkan wajahnya di lutut Mamanya.

“Jena, bangun, Nak. Jena!” Eilene memaksa Jena bangun tapi Jena menolak ia masih bersikukuh. Dave yang melihat keadaan itu pun hanya bisa ikut menangis.

“Maafin Jena, Ma, maaf―” kata Jena dengan isak tangisnya.

Eilene tidak bisa berkata apa-apa lagi, akhirnya Eilene menegakkan badan anaknya itu lalu memeluknya, keduanya tumpah ruah dalam tangis.

“Jena nggak mau kehilangan lagi, nggak mau, Ma!” tangis Jena keras.

“Janji jadi anak yang baik, ya? Jangan nyalahin Papa Jeff lagi, ya? Janji sama Mama?”

Eilene merasakan Jena mengangguk di pelukannya. Maka saat Eilene melepaskan pelukan, Eilene menghapus jejak air mata di pipi Jena, ia tersenyum lalu mencium dahi Jena, “terima kasih anak Mama,” katanya.

Kala hujan telah turun malam ini, ditemani langit temaram yang menemani rembulan di atas sana, Jeffrey melamun di teras rumahnya seorang diri. Jeffrey khawatir karena waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam namun Jena tak kunjung pulang.

Perasaannya sebagai seorang Ayah sangat merasakan kekhawatiran kali ini, beberapa kali Jeffrey menelfon Jena namun tidak ada jawaban sama sekali. Namun kecemasannya itu sirna kala matanya melihat Jena memasuki pekarangan rumah. Jeffrey menghela napas lega, Jena menenteng jaket serta tasnya memasuki rumah. Jeffrey menyambut Jena lalu mengajak anaknya duduk di ruang tamu, namun ada yang berbeda dari raut wajah Jena. Matanya sembab dan wajahnya sayu. Jena tidak merespon ucapan Jeffrey.

“Jena, kamu kenapa?” tanya Eilene yang keluar kamar, melihat anaknya yang menghempaskan tubuhnya di sofa. Eilene mengambil posisi di sebelah kanan Jena dan Jeffrey duduk di sebelah kiri Jena.

Eilene memegangi kedua pundak jena, tangan Eilene bergerak memeriksa wajah Jena dan memegang dagu Jena menggesernya ke kanan dan kiri guna melihat keadaan anaknya yang pasti sedang tidak baik-baik saja ini.

“Jena, jujur ke mama.”

“Jena, kenapa?” tanya Jeffrey juga.

“Kenapa? Jangan diem aja!” kata Eilene dengan nada membentak.

“Eilene―” Jeffrey menengahi, ia membuat keadaan sedikit lebih tenang sejenak. Benar-benar sejenak dan sesaat sampai Eilene melihat sebuah benda di saku jaket Jena yang sedikit menganga. Tangan Eilene bergerak perlahan, meraih benda tersebut.

Betapa terkejutnya Eilene saat mendapati satu bungkus rokok di saku jaket Jena. “Ini apa?!” Eilene geram, ia bangkit berdiri, Jena kaget melihat Mamanya yang sudah menggenggam bungkus rokoknya.

“Ma!”

“Mau kamu apa, sih? Ngapain ngerokok-ngerokok? Siapa yang ngajarin kamu?” tanya Eilene dengan penuh emosi. Jena tidak bisa menjawab. “Ditanyain itu dijawab! Pergi malem terus, mau ngapain sih? Bisa nggak sehari aja nggak bikin masalah?!” Jena bergidik tersentak mendengar ucapan Mamanya itu.

Jeffrey juga kaget bukan main, Jena sudah pasang muka ketakutan dan pucat, bahkan jemari tangan Jena gemetar sekarang, Jeffrey bisa melihat dengan jelas. Eilene masih berdiri sambil mengacungkan bungkus rokok itu. Memang, bau rokok yang menyengat tercium jelas di tubuh Jena. Sudah habis akal Jena, harus berbohong dengan cara apa lagi sekarang? Jena hanya tertunduk, Jeffrey melihat jelas ketakutan yang mendalam bermukim didalam diri Jena sekarang.

Jeffrey yang sempat bingung kini bangkit berdiri, merampas bungkus rokok di tangan Eilene yang membuat Jena dan Eilene kaget.

“Punyaku, Jena pasti nemu di mobilku, maaf.” Jeffrey berbohong saat itu. Jena membelalak kaget atas perilaku Papanya kali ini. “Jangan bohong!” Eilene memicingkan matanya ke arah Jeffrey.

“Bener, punyaku. Jena pasti enggak mau aku ngerokok lagi, maaf, sayang. Aku lagi pusing banget. I promise, enggak akan lagi.” Jeffrey berbohong lagi.

“Aku tahu kamu, Jeff. Kamu anti sama rokok dan alkohol.” Eilene masih tidak percaya.

Jeffrey berikan tatapan tajamnya kepada Eilene, “Ini punyaku, maaf, aku kelepasan. Aku bakalan buang ini.”

“Jena, maafin Papa, makasih ya, Jena udah mau umpetin ini biar Papa enggak ngerokok lagi, Jena masuk kamar, gih.” Jeffrey berkata lagi sambil membelai kepala Jena. Eilene masih tidak percaya dengan ucapan Jeffrey, sedangkan pria itu sudah beranjak masuk ke kamar, mau tidak mau Eilene mengikutinya. Tatapan mata Jena mengikuti kedua orang tuanya hingga tidak terlihat lagi dan menutup pintu kamar. Sungguh, Jena tidak percaya dengan apa yang dilakukan Papanya. Sedikit desir nyeri di hati Jena, Papanya rela berbohong demi dirinya. Bersalah? Apa bisa dikatakan Jena merasa bersalah?

Hari ini, tanpa sepengetahuan Jena, Jeffrey sudah ada di depan kampus Jena, berencana menjemput anaknya itu. Tanpa sepengetahuan Eilene juga. Sedikit keraguan mengintip namun Jeffrey tepiskan jauh-jauh. Sepanjang perjalanan Jeffrey sibuk mengatur napasnya dan detak jantung yang tidak beraturan.

Tak lama setelah perjalanan sekitar dua puluh menit dengan mobil, Jeffrey tiba di kampus Jena dan matanya mengamati setiap mahasiswa yang keluar.

Matanya mengamati lamat-lamat setiap siapa saja yang keluar dari sana. Jeffrey beberapa kali melirik arlojinya dan mengarahkan pandangan kepada beberapa mahasiswa yang berhamburan keluar sampai netranya tertuju kepada Jena yang tengah berjalan sendirian sambil memainkan ponselnya.

Jantung Jeffrey berdegup tidak beraturan, tenggorokannya terasa tercekat ia pun memantapkan langkah mendekati anaknya itu, sebenarnya ia cemas jika harus mendapat penolakan lagi dari anaknya.

Jeffrey berdiri menghalangi jalan saat anak perempuannya itu hendak lewat hingga ia menghentikan langkahnya lalu mendongakkan kepalanya melihat Jeffrey dengan tatapan heran.

“Halo, Nak.” kalimat pembuka percakapan antara Jeffrey dan anak perempuannya yang sudah tumbuh besar itu dilontarkan Jeffrey sedikit gugup.

Jena mendengus kesal dan mengerutkan dahi dan menatap Jeffrey heran, “Ngapain?”

“Ikut Papa sebentar, yuk? Jena suka pantai kan? Ke pantai sama Papa sebentar mau, nak?” tanya Jeffrey, Jena sadar bahwa kini semua mata tertuju kepadanya, memang selama ini Jeffrey tidak pernah mengantar atau menjemput Jena kuliah sekalipun karena Jena tidak memperbolehkannya.

Dan hari ini adalah hari dimana Jeffrey nekat, sudah terlalu lama kerenggangan antaranya dan Jena dibiarkan, maka ini saatnya mengikis renggangnya jarak antara ia dan anaknya.

“Ish, ya udah buruan, enggak enak dilihat yang lain. Dikiranya nanti sama siapa lagi.” Jena berjalan melengos meninggalkan Jeffrey terlebih dahulu. Akhirnya Jena menuruti apa kata Jeffrey, meski entah hasilnya akan seperti apa.

Tak banyak pembicaraan selama perjalanan, Jeffrey juga menjadi canggung karena memang selama ini Dave lebih bisa menerimanya dibandingkan Jena. Apalagi Jena, sepanjang perjalanan mukanya masam. Sampai di lampu merah, Jeffrey menghentikan mobilnya. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya.

“Hujan, enggak usah ke pantai. Kapan-kapan aja, sama Mama sama Abang Dave juga,” ucap Jena.

Jeffrey menoleh, “Mau makan di luar aja? Gantinya ke pantai, gimana, Nak?” Jeffrey mengajukan penawaran lain.

“Enggak, mau pulang aja.”

“Jena deh yang pilih restonya.”

“Aku enggak mau,” kata Jena dengan penuh penekanan, Jeffrey mengangguk pelan tanda paham bahwa anaknya tidak bisa dipaksa. Hari itu harapan Jeffrey untuk memiliki quality time bersama anaknya pupus, sedikit nyeri dan lelah dalam hati Jeffrey entah harus dengan cara apa lagi ia melakukan pendekatan kepada Jena. Ia hanya ingin kehidupan keluarga yang sewajarnya.

Sarapan pagi kali ini terasa berbeda dari hari biasanya. Semua nampak bercengkerama satu sama lain tapi tidak dengan Jena. Ia hanya memberikan senyum masam kala Papanya mengajaknya berbicara, menjawab dengan anggukan dan gelengan kepala saja. Eilene pun menjadi bingung dengan sikap salah satu anaknya itu.

“Jena sakit, nak?” tanya Eilene, Jena hanya mendengus sesaat lalu menarik satu ujung bibirnya untuk dipaksa tersenyum dan menggeleng untuk menjawab pertanyaan mamanya itu.

“Lo kenapa sih nggak kaya biasanya,” sahut Dave, anak pertama Eilene, kakak kandung Jena.

“Kalau sakit nggak usah kuliah, Jena. Papa anter ke dokter, ya?” Jeffrey angkat bicara. Jena hanya menatap anggota keluarganya bergantian sekilas lalu menyambar tasnya dan hendak hengkang dari ruang tamu.

“Jena, pamit sama orang tua!” Eilene sedikit meninggikan nada suaranya. Jena menghentikan langkah dan berbalik menghampiri Eilene mencium tangan mamanya itu, Eilene sempat menangkup dua sisi pipi Jena dan menatap anaknya lekat.

“Nggak sakit kan?” ucap Eilene, anaknya menggeleng dan tersenyum. Jena mendekati papanya raut wajah Jena langsung berubah masam.

“Biasain mau berangkat tuh pamit nak, ya? Hati-hati anak Papa.” Jeffrey membelai pelan puncak kepala Jena namun Jena hanya melirik sesaat.

“Anak? Bukan anak kandung, inget.” Nada suara ketus Jena membuat Jeffrey mendengus sambil tersenyum.

“Dek!” tegur Dave dengan nada tinggi.

“Iya, anak Papa Theo, anak Papa Jeff juga, terserah Jena mau anggep Papa seperti apa. Jena sama Dave anak Papa Jeffrey juga.”

“Maksudnya apa sih Jena?” tanya Eilene dengan nada kesal. Sarapan pagi hari ini ditambah dengan ketegangan diantara keluarga ini di pagi hari kali ini. Jena tidak menyahut dan langsung keluar rumah. Jeffrey sempat terpaku sesaat lalu mengejar anaknya ke luar rumah. Jeffrey menahan Jena yang sudah hendak melangkah keluar gerbang.

“Nanti pulang kuliah mau bareng Papa?” kata Jeffrey, Jena menoleh menatap Jeffrey datar.

“Enggak butuh jemputan. Jena mau ke makam Papa Theo, Papa Jena.” Jena berkata singkat lalu melanjutkan langkahnya lagi, detik itu juga Jeffrey merasa tertohok, nafasnya berderu kala Jena memberikan tatapan sinis dan menghela napas lalu melangkah keluar gerbang.

“Jeff, sayang kenapa?” tanya Eilene yang tiba-tiba sudah ada di sebelah Jeffrey yang masih terdiam.

Jeffrey kikuk, “E―nggak papa,” jawab Jeffrey kepada istrinya itu.

“Kamu marahin Jena? Jena bikin ulah? Jeffrey? Sayang?” komunikasi seperti terjalin sepihak saja saat Eilene mengajukan pertanyaan.

Jeffrey tertunduk lesu, “Sayang!” pekik Eilene, Jeffrey buyar, ia menatap sesaat istrinya itu lalu mendekap Eilene ke pelukannya.

“Jeff, kamu kenapa sih aneh banget? Ada apa?” Eilene hendak merenggangkan pelukan namun Jeffrey tetap menahanya dalam dekap meminta agar Eilene tidak beranjak dari sana.

Ada harap yang tersirat pada setiap tatapan mata Jeffrey kepada Jena, anak bungsunya. Harap agar sang anak bisa menerimanya sebagai sosok ayah. Sejak kepergian Theo, ayah kandung Jena, memang dunia seakan berhenti bagi Jena, Dave dan Eilene. Tapi, Theo janji titipkan keluarganya kepada Jeffrey. Karena memang Jeffrey juga adalah sebenar-benarnya rumah bagi Eilene.

Terkadang Jeffrey menangis sendiri saat Jena menolaknya mentah-mentah atau tidak menganggapnya ada.

“Selamat, ya, Jena buat graduationnya. Papa bangga sama Jena, terima kasih udah jadi anak yang hebat.” Jeffrey menyambut Jena di depan pintu rumah sambil mengulungkan sebuah bouquet bunga untuk anaknya itu.

Jena hanya memberikan tatapan sinis kepada ayah tirinya itu. Memutar bola matanya dengan malas lalu meraih bouquet bunga itu lalu berjalan masuk ke rumah dengan sedikit menghentakkan kaki.

Jeffrey hanya menghela napas panjang sambil memejamkan mata, hingga selanjutnya pekikan Eilene terdengar nyaring, “Jena! Yang sopan sama Papa!”

Jena berbalik badan, mengangkat bouquet bunga itu lalu tersenyum sambil mengangkat alisnya, “Makasih,” katanya dengan nada datar dan senyum yang dipaksakan lalu melanjutkan langkahnya masuk ke dalam rumah.

“Jena!” teriak Eilene kesal dan hendak menghampiri Jena, namun, dengan sigap Jeffrey menahan lengan Eilene dan langsung menarik Eilene ke dalam pelukannya.

“Jangan dimarahin, udah. Tugasku buat bikin Jena terima aku, bukan dengan selalu dimarahin. Aku sadar kepergian Theo ada campur tanganku juga. Maafin aku, Eilene.” ucapan Jeffrey menusuk rungu Eilene dan membuat sang puan dalam pelukan Jeffrey itu memejamkan mata dan membenamkan wajahnya di dada bidang Jeffrey, membalas pelukan Jeffrey erat. Untuk kesekian kalinya dalam hidup Jeffrey, ia doakan dan titipkan harap agar Jena bisa membuka hati untuk menerima kehadirannya.

BERTAUT LAGI

Hari kedua, hari dimana sebelum kepulangan Mevin ke Indonesia. Ia berjanji akan menunggui Grace di Rumah Sakit. Perlahan sebuah senyum mulai merekah meski wajah Grace masih pucat. Ia merasakan kebahagiaan itu hadir dan hinggap lagi di benaknya setelah kedatangan Mevin. Keduanya bersepakat untuk menjalin hubungan kembali. Kedatangan Mevin ke Singapore kedua kalinya menjadi bukti bahwa dunia akan baik-baik saja jika dilalui bersama, bukan berjalan masing-masing. Meski Mevin ada disini hanya untuk hitungan hari, semuanya terasa cukup bagi Grace karena mengingat keadaan Mevin yang belum terlalu baik juga membuat Grace juga khawatir akan keadaan kekasihnya.

Keduanya sakit, keduanya perlu penyembuhan, but they have a faith. Mevin mungkin bukan pria dengan rangkaian kata setiap saat yang meluluhkan hati kekasihnya, mungkin Mevin juga tidak cakap dalam menuliskan perasaannya, tapi Mevin menunjukkan bukti nyata lewat perbuatannya. Kala matahari belum genap menunjukkan kehadirannya, masih pagi benar, Lea dan Jeremy mengantarkan Mevin ke Rumah Sakit untuk menemui Grace.

Saat masuk ke ruangan rawat Grace, kebetulan Grace sudah bangun dan sebuah senyum sumringah langsung tergambar jelas di wajah Grace karena kedatangan Mevin dan kedua orang tua kekasihnya itu.

“Grace!” seru Lea sumringah yang langsung menghampiri Grace dan memeluk anak perempuan itu. Jeremy masih membantu Mevin berjalan. Lea langsung mengecup pipi Grace dan mendekap perempuan itu lagi.

“Tante, makasih banyak, Tante. Terima kasih.” Ucapan Grace dibalas pelukan lebih erat dari Lea.

“Berterima kasih sama Tuhan, jangan sama Tante, berterima kasih juga sama diri Grace sendiri. Jeremy masih berdiri di dekat ranjang Grace bersama Mevin, Jeremy dan Mevin saling bertatapan dan seakan memberi isyarat bahwa keduanya juga senang melihat momen antara Lea dan Grace saat itu. Saat Lea melepaskan pelukan ia pegang kedua pundak Grace dan tatap anak perempuan yang hendak menangis itu.

“Janji sama Tante, nanti ada saatnya Grace pulang ke Indonesia dengan utuh, hati, jiwa dan raga Grace utuh seluruhnya. Tante bakalan tunggu Grace pulang, seluruh keluarga kita nunggu Grace pulang. Oke?”

Grace mengangguk dan tersenyum haru. Setelahnya Jeremy mendekat, Grace tidak lupa memberi salam dan mencium tangan dengan sopan.

“Om juga tunggu Grace, kalau ada apa-apa bilang ke Mevin aja nanti Om dan Tante juga bantu, jangan pernah merasa sendiri, jangan disakitin lagi dirinya Grace. Ya?” Jeremy juga menepuk pelan punggung Grace. Hal itu membuat Grace menunduk dan terisak.

“Grace?” Lea meraih tangan Grace dan menggenggamnya.

“Grace nggak dapetin ini semua dari kedua orang tua Grace. Nggak sama sekali, tapi Om dan Tante sekeluarga memanusiakan Grace, nggak mandang masa lalu dan keadaan Grace mau sehancur apapun itu. Grace janji kalau Grace nggak akan sakitin diri sendiri lagi karena Grace mau cepat sembuh dan pulang ke Indonesia.” Perkataan Grace membuat desir haru di hati Lea serta Jeremy juga saat itu.

“Grace, seperti yang tante pernah bilang, keluarga bukan hanya karena ikatan darah saja, tapi yang selalu ada disaat apapun, terutama di saat terendah di hidup kita. Ingat itu, ya?” kata Lea yang membuat Grace mengangguk dan tersenyum.

“Ya udah, Om sama Tante mau beli kebutuhan dulu, Mevin disini nemenin Grace, ya?” ujar Jeremy.

“Iya, Om, sekali lagi terima kasih, Om, Tante,” kata Grace tersenyum manis. Jeremy dan Lea mengangguk, maka setelah berpamitan Lea dan Jeremy merangkul Mevin sejenak dan membantu Mevin untuk duduk di tepi ranjang di sebelah Grace baru kedua orang tuanya itu berlalu.

Grace yang dalam posisi duduk bersandar kini menggenggam erat tangan Mevin dan keduanya saling bertatapan tanpa sepatah kata pun. Mevin mendekatkan punggung tangan Grace ke bibirnya dan mengecupnya beberapa kali lalu ia bawa dalam genggam lagi.

“Mevin―” Grace hela napas sejenak sebelum lanjutkan penuturannya, “why God gives us those kind of struggle and burdens? Healing itu belum aku dapat sejauh ini, my life just full of tears and raindrops and also a big storm that I can’t handle alone.”

Pada isyarat ketakutan lewat perkataan Grace itu, Mevin hadir sebagai insan yang menyerbakkan sebuah penenang dan harap bagi Grace. Perihal berkata-kata, Mevin memang tidak cukup cakap. Tapi kadang kalimatnya bak mantra penenang bagi siapapun yang mendengarnya. Maka Mevin belai tangan Grace yang masih dalam genggamannya, “What if your healing come through all those raindrops and what if your healing comes through all of your tears? Sayang, God’s love overflowing in you. Our human heart can’t contain God’s love and God’s plan. Semua hal yang kamu alami, nggak aku alami. Aku berani bilang level iman kamu lebih tinggi dari aku makanya Tuhan kasih semua hal itu ke kamu, bukan ke aku. Buktinya kamu ada dan bertahan sampai sekarang, itu artinya kamu bisa handle itu semua, sayang.” katanya.

To be honest, aku pernah marah sama Tuhan di awal-awal.I doubt His goodness I doubt His love but, again, Tuhan hadirkan orang-orang kaya kamu, keluarga kamu, Alicia, Tela, James also Ave yang bikin aku percaya kalau we have faith to believe God. Mevin, kamu pernah malu punya pacar dengan segala kisah gelap kaya aku?” pertanyaan Grace membawa Mevin menatap Grace dalam-dalam. Mevin menggeleng.

“Kamu pernah punya pikiran hubungan kita berakhir selamanya?” tanya Grace lagi, Mevin menggeleng.

“Kamu pernah nyerah sama keadaan kita? Keadaan satu sama lain, pernah?” tanya Grace dengan penuh penekanan lebih dari sebelumnya.

“Pernah, tapi aku nggak mengimani itu,” kata Mevin sambil memberikan senyumnya untuk menenangkan hati Grace.

“Aku pernah mikir nyerah sama keadaan waktu aku habis kecelakaan, dimana aku nggak bisa jalan, aku nggak bisa terima diriku sendiri. Aku mikir, aku bisa apa untuk jagain kamu, aku terbatas dalam segala hal. Aku juga pernah lukain diriku sendiri sebelum kesini, tapi, lagi dan lagi, Tuhan baik sama kita. Kamu harus tahu itu, hilangin semua pikiran jelek, kita jalanin bareng lagi, ya?” ucap Mevin sambil ia gerakkan ujung jari telunjuknya untuk mencolek ujung hidung Grace.

I love you with all my heart, Elleandru Mevinio Adrian.” Ucapan Grace menghipnotis Mevin. Maka saat itu keduanya terdiam, saling menatap, Mevin pegang satu sisi pipi Grace dengan tangannya dan membelainya lembut. Jika rindu diungkapkan dalam jatuhnya rinai hujan, maka pasti keduanya sudah basah kuyup terguyur derasnya arus kerinduan itu. Jika rasa cinta diungkapkan dalam bentuk duri tajam, maka tangan keduanya pasti sudah bersimbah darah karena menggenggamnya.

Lantas keduanya saling tersenyum, maka Mevin juga bergerak memiringkan kepalanya dan langsung menyatukan birainya dan milik Grace. Tak ada penolakan dari sang puan karena ini bibir mereka saling beradu dan helaan napas terdengar memecah sunyi di ruangan kamar saat itu.

Mevin dan Grace tersenyum di tengah pagutan mereka, Grace pun membawa kedua tangannya melingkar pada tubuh Mevin, sementara Mevin mengusap tengkuk leher Grace dengan satu tangannya dan memperdalam pagutannya. Sementara itu pinggang Grace didekap dan dirangkul erat oleh satu tangan Mevin yang lain dibiarkan tak ada jarak dengan tubuh Mevin.

“Mevin―I love you,” desah Grace disela pagutan mesra yang bertambah dalam itu.

Pagutan terakhir berangsur lama sebelum Mevin menautkan dahi mereka dan keduanya merenggangkan ciuman. Bibir mereka disatukan lagi tanpa lumatan, hanya saling menempel tapi sangat menenangkan.

“I love you more than I can say, Bernadetta Gracelline Courtney.” Mevin tutup kalimatnya saat itu dengan kecupan di kedua pipi Grace.

Dengan sabar dan telaten, Mevin menunggui Grace, menyuapi kekasihnya itu dan membantu Grace meminum obatnya. Grace benar-benar merasa seperti mimpi saat ini. Grace yakin dan percaya ia tidak akan temukan pribadi Mevin di sosok lain. Mevin juga percaya bahwa ia tidak akan merasakan kenyamanan itu di raga dan jiwa yang lain. Sudah lama menjalin hubungan pun nyatanya masih membuat Grace berdebar saat mendapat perlakuan dan afeksi lebih dari Mevin. Kekasihnya ini bak memborong semua Love language yang ada.

“Aku bisa makan sendiri, sayang.” Grace berkata sambil sedikit terkikik karena Mevin yang bersikukuh untuk menyuapinya. Mevin menggeleng, ia akan tetap menyuapi kekasihnya itu. Mevin juga mengambilkan minum yang ada di nakas sebelah ranjang Grace dan memberikan gelas minuman itu untuk Grace. Tanpa Mevin sadari, Grace melihat bekas jahitan di ujung dahi kekasihnya itu. Grace menaruh gelasnya di nakas, bersamaan saat Mevin menaruh piring makanan Grace.

Grace menahan tubuh Mevin, ia menarik dagu Mevin dan memiringkannya ke sebelah kanan, ia mengamati, benar itu luka jahitan.

“Mevin, kamu kenapa?” tanya Grace sambil tangannya berusaha menyentuh perlahan bagian itu tapi Mevin buru-buru menjauhkan wajahnya, seakan kikuk, tapi Grace kembali bertanya sambil menatap Mevin tajam.

“Kamu kenapa?” tanya Grace lagi.

“Nggak papa.”

“Mau kamu sendiri yang cerita atau aku tanya Mama Papa kamu?”

“Grace,” kata Mevin dengan nada lesu.

“Cerita. Aku nggak mau ada kebohongan! Apa lagi yang aku nggak tahu tentang kamu?” Nada bicara Grace sedikit ketus sekarang.

“Beberapa waktu lalu, kamu inget waktu aku nanya gimana keadaan kamu dan kamu bilang kalau keadaan kamu hancur? Setelah itu aku ngilang bukan karena aku sengaja, bukan. Aku lagi sama Kenzie waktu itu, aku nemenin dia nonton, waktu aku lihat chat kamu bilang gitu, aku sakit nyesek bukan main. Aku pengen nangis, aku ke toilet, keadaanku lagi nggak fit juga, aku lagi nggak enak badan, aku mau muntah nggak bisa, aku mau nangis nggak bisa, aku paksa sampai aku muntah dan sekalinya kaya gitu rasanya kaya semuanya keluar, lemes dan sakit, nyesek dan keinget kamu. Semua kaya gelap pelan-pelan, aku lupa gimana, aku jatuh kepalaku ngehantam wastafel aku jatuh. Udah aku nggak inget lagi. Aku sempet inget waktu di mobil, aku udah dipangkuan Mama Lea, aku denger suara Kenzie nangis, dan aku baru sadar besokannya, setelah hari itu, keadaanku nggak mudah. Aku kehilangan kamu, aku kehilangan diriku,” kata Mevin sambil berusaha mati-matian menahan air matanya, tapi di sisi lain Grace sudah meneteskan air mata.

“Sejak saat itu aku banyak cekcok sama keluarga, aku mulai gampang emosi, duniaku udah hancur. Aku nggak berani ngomong atau hubungin kamu, aku takut. Saat-saat paling ngeri di kehidupanku, saat keluargaku ada buat aku dan nerima aku tapi aku sendiri nggak bisa menerima diriku sendiri. Aku marah ke semua orang, aku bikin Papa, Mama, Jevin sama Ci Lauren nangis. Sikapku nyakitin semua orang, aku mulai ignore kamu, aku nggak mau kamu stay sama aku karena kasihan,” ujar Mevin, kini sambil menyeka air matanya, Grace masih menggenggam tangan Mevin erat dan mengelusnya dengan ibu jarinya yang bergerak lembut.

“Kamu takut hubungi aku atau kamu memang nggak mau?” tanya Grace.

“Takut, aku belum siap sama sebuah penolakan.”

“Penolakan atas dasar apa?”

“Kekurangan fisik dan semua keadaanku, keseluruhan dari hidupku.”

Grace melepaskan genggamannya, ia membelai bagian lutut Mevin, “nanti ini sembuh, dua-duanya sembuh, kamu bilang ke aku Tuhan itu dokter di atas segala dokter, kamu bilang kita harus punya faith, lemme say this, bahkan kamu yang mengubah semua mindset burukku. Kita tunggu sampai Tuhan dengar semua yang kita doakan ya? Biar Tuhan sembuhkan lebih cepat dari perkiraan tim medis, in His right time, Mevin, would you survive these things with me?

“Grace―” Perkataan Mevin tidak dijawab oleh Grace tapi membuat Grace menarik lengan Mevin dan mendekap tubuh kekasihnya itu, Grace usap punggung Mevin lembut dan penuh kasih. Grace juga mengecup pipi Mevin lalu mendekap Mevin erat lagi. Mevin menangis di pelukan Grace saat itu juga.

“Maafin aku, sayang. Maaf udah jadi pecundang.” Bisikan dengan suara rendah itu didengar Grace dan kini, Grace menegarkan dirinya memaksa dirinya agar tetap tegar, biarkan Mevin menunjukkan sisi rapuhnya sesekali.

“Bukan, kamu bukan pecundang, kamu hanya mau semuanya bahagia,” kata Grace. Keduanya adalah sepasang yang saling enggan mengungkapkan ketakutan dan kegelisahan karena tahu dan paham bahwa keduanya sama-sama sedang terluka. Mevin membalas pelukan itu, ia sembunyikan wajahnya di sela leher Grace, pelukan nyaman ini sudah lama ia rindukan, pelukan ini sudah lama ia nantikan.

“Aku juga mikir kalau saat itu aku pergi selamanya kamu gimana, Papa Jeremy sama Mama Lea, juga Papa Jo gimana ya, aku udah nggak kuat waktu di mobil, nggak kuat banget, aku pasrah sama Tuhan, aku bener-bener berserah,” kata Mevin lagi. Grace yang mendengar kalimat itu pun sedikit meremas baju Mevin dan mengatur napasnya.

“Maaf kalau aku sempat jadi pribadi yang berbeda, semua karena keadaan dimana aku sempat nggak kuat, sekarang aku berusaha kuat karena aku tahu untuk siapa aja aku bertahan.” Mevin pun melepaskan pelukan lalu memegangi kedua bahu Grace dan menatap kekasihnya itu.

“Salah satunya kamu.” Di atas apapun juga sosok Grace memang sudah menjadi sesuatu yang mengubahkan hidup Mevin. Melampaui apapun juga, Mevin dan Grace memang menjadi alasan bertahan satu sama lain. Pelajaran kecil dan pelajaran besar mereka dapatkan kala bersama, mengarungi jatuhnya kehidupan, mengarungi lautan luka yang disajikan luas. Grace pun menepis tangan Mevin perlahan, “sekali lagi kamu self harm, aku bilangin ke Tante Lea,” katanya.

“Jangan dong,” balas Mevin sambil mencubit pipi Grace pelan. Grace pun menangkup kedua pipi Mevin dan mengecup dahi dan kedua pipi Mevin bergantian hingga mengecup ujung hidung Mevin juga.

“Jangan ada lagi aku lihat ada luka di wajah pacarku,” kata Grace lembut. Mevin menangkup kedua pipi Grace dan melakukan hal yang sama, mencium dahi, pipi kanan dan kiri, bibir serta ujung hidung Grace.

“Jangan aku lihat lagi bekas cakaran di wajah calon istri aku.” Perkataan Mevin membuat pipi Grace menghangat, dadanya berdesir, senyum malu-malu tersungging di wajah Grace.

“Jadi mulai sekarang udah bisa doa bareng lagi?” tanya Grace. Mevin tersenyum dan mengangguk antusias, ia kecup lagi punggung tangan Grace sesaat.

Grace saat itu tersenyum sumringah dan langsung memejamkan matanya, masih dengan saling menggenggam tangan dengan Mevin, “dear God―” Mevin yang mengerti maksud kekasihnya itu langsung memejamkan mata dan menggenggam tangan Grace juga.

Thank you for giving us blessing in our relationship, thank you for giving us strength and ability to love and care for each other. May You help us stay committed each other, guide our future decisions for your glory, we believe that love heals all wounds in our heart. Let us trust that You can heal and change us. You bring us together again, even sometimes it is hard and difficult, You are redeemer for the broken relationship, restore hopes, heal the sick and the weak, we believe that You will heal me and Mevin at the right time.” Ucapan Grace terhenti saat ia menghela napas, tapi Mevin menyambungnya, “God, You know our struggles, we lift up ourself who are facing illness and weakness, please calm our fears, your healing and mighty hands upon us and we humbly ask that You have compassion on who are suffering and You will deliver us from our circumstances. Please bless us, bless our family and remind us that your plans for us are better than what we think. In the name of God we surrender all to Your hands.

Amen.” kata pamungkas penutup doa dirapalkan keduanya bersamaan, mereka saling menatap, Mevin kembali daratkan sebuah kecupan lembut di bibir wanitanya lalu memeluk Grace, “I love you, calon ibu dari anak-anakku, semoga jemurannya nggak ambruk lagi.” Mevin bisikkan kalimat menggelitik itu di telinga Grace, saat Grace memaksa hendak melepaskan pelukan karena terkekeh, Mevin menahannya. Keduanya saling memeluk dan berbagi seluruh rasa yang ada, hanya berdua, karena yang hilang dan berpisah sudah kembali bersama.

Grace selama ini menjadi wanita mandiri dan menangis adalah sebuah pantangan untuknya. Tapi setelah kejadian ia dijual oleh Ayahnya, tangis menjadi temannya, rasa sakit menjadi kawannya, kesepian adalah nama tengahnya. Ia tidak memiliki siapapun untuk berbagi. Tidak ada kakak ataupun adik, menjadi anak tunggal tidak selamanya indah. Kadang rasa sepi datang menghampiri dan entah harus berbagi kepada siapa, tidak ada telinga untuk membagikan kisah, ditambah disaat keadaan keluarga tidak baik. Seperti Grace saat ini.

Namun, hidup harus terus berjalan. Grace tidak memikirkan kebahagiaan, ia hanya memikirkan kesembuhan. Ia hanya ingin sembuh, hanya itu saja. Ia ingin dimanusiakan, tidak meminta hidup dalam kemewahan. Selama ini bahu Grace sudah sekuat baja dan hatinya setegar karang, apapun ia hadapi sendiri. Untuk mengeluh pun ia urungkan, karena tidak ada yang mau mendengar, kecuali Mevin dan kedua sahabatnya, James dan Aveline. Kali ini, Grace duduk bersandar di tembok dan memeluk kakinya yang terlipat itu sangat erat.

Grace yang tadinya pribadi yang ceria mulai diam-diam sering menangis sendiri di kamarnya. Ia harus menanggung semua beban sendiri. Kuat dan tawa bahagianya pun entah ia persembahkan untuk siapa. Entah ia harus membahagiakan siapa. Setiap anak memiliki bebannya sendiri-sendiri. Anak pertama, anak kedua, anak ketiga, anak keempat bahkan anak tunggal yang tidak memiliki siapapun untuk berbagi keluh kesah dan lelah.

Grace sudah sering mengenyampingkan ego demi kebahagiaan orang sekitar, bahkan demi orang tua yang menjual dan memperlakukannya tidak seperti manusia. Luka ia dipendam, susah untuk temukan seseorang untuk berbagi tawa serta luka. Tahun-tahun penuh luka itu entah kapan akan terbayar dengan tawa dan bahagia, namun Grace selalu mengingat perkataan Mama Mevin, bahwa Tuhan tidak menjawab semua doa kita, tapi Ia akan berikan hal yang kita butuhkan di waktu yang tepat.

Hidup ke depannya selalu menuntut lebih, menuntut lebih kuat, menuntut lebih tangguh dari sebelumnya. Grace lepaskan tangis yang sedari tadi ia tahan bahkan saat ia memeluk bantal dan gulingnya. Grace menangis dan langsung menuju ke kamar mandi, ia menangis ketika menyalakan shower dan membasahi tubuhnya yang masih terbalut pakaian di bawah aliran air itu. Yang Grace butuhkan saat ini hanya sebuah peluk dan telinga yang mau mendengar.

Perkataan Mamanya yang melabeli Grace adalah Anak tidak tahu diri, ungreatful daughter, memilih keluarga lain daripada keluarga sendiri, aib, durhaka dan lain sebagainya membuat Grace kembali merasa tertrigger oleh ucapan-ucapan Mamanya. Ia menangis bersandar di tembok kamar mandi, ia menangis keras-keras, ia merasa cemas, jantungnya kembali berdegup kencang, napasnya sesak, dadanya sakit, kaki dan tangannya gemetar.

ARRGHHHH!” teriaknya di kamar mandi itu.

“Mama jahat! Grace nggak minta dilahirkan! Grace nggak minta!!” teriaknya dengan frustrasi dan menghantamkan kepalanya ke tembok beberapa kali.

“Kenapa harus aku, ya Tuhan? Kenapa?!!” Grace mematikan shower, ia berjalan gontai keluar dari kamar mandi, Grace mengatur napasnya yang mulai tidak stabil, Grace menuju ke laci yang ada di kamarnya, kakinya terlalu gemetar, ia sampai terjatuh dan tersungkur. Kepalanya mulai terasa berputar, ia mencari obatnya, obat yang bisa menenangkannya, apa lagi kalau bukan Benzodiazepine.

Grace memejamkan matanya. bahkan ia menyeret dirinya sendiri karena sudah tidak sanggup berjalan, beberapa kali tersungkur karena licin akibat tubuhnya yang basah. Grace meraih laci yang ada di sebelah tempat tidurnya. Grace membuka dan langsung meraih obat yang ia cari. Grace langsung meneguknya beberapa butir, bukan satu butir seperti dosis yang ditentukan. Grace meneguknya dengan paksa. Ia memejamkan mata dan menjambak rambutnya sendiri, bersamaan dengan itu, bel apartemennya berbunyi beberapa kali, Grace tidak menghiraukannya lagi.

Saat Grace memejam, bayangan wajah Mamanya muncul dan membuatnya semakin ketakutan, dalam sadar maupun pejamnya, bayangan dan suara Mamanya jelas tergambar di pikirannya. Grace tidak bisa mengontrol dirinya, ia merasa dunianya berputar, tangannya dingin dan gemetar, kakinya pun sama. Sesuatu di dalam tubuhnya mengoyak perutnya, keringat mulai membasahi wajahnya. Ia ingin menjerit tapi tidak bisa, ia ingin berteriak sekeras-kerasnya tapi sangat sulit. Grace mulai merasakan matanya berkunang-kunang. Bel apartemen masih berbunyi, bahkan ia mendengar suara beberapa orang memanggil namanya.

“To ... long ....” Bahkan ucapan Grace nyaris tidak bisa terdengar, Grace menahan sakit di dalam tubuhnya dengan menggigit lengannya sendiri, ia mengeluarkan air mata dan dadanya semakin sesak. Dalam kesakitannya, ia hanya berteriak dalam hatinya, “ambil aku Tuhan, ambil aku ... ambil ....” Karena bahkan saat ia ada di titik terendahnya bahkan ia pergi selamanya sekalipun mungkin kedua orang tuanya tidak akan pernah peduli atau merasa kehilangan. Untuk apa juga ia dilahirkan, bahkan ia tidak pernah meminta dilahirkan jika hanya akan dijual oleh orang tuanya dan dianggap sampah serta aib. Grace mengatur napasnya, ia berusaha meraih gelas yang bertengger di atas nakas. Ia meraihnya tapi tangannya terlalu gemetar, ia menjatuhkan gelas itu ke lantai dan membuatnya jatuh ke lantai dan hancur berkeping-keping. Nyatanya suara pecahan gelas itu terdengar dan membuat beberapa orang yang ada di luar tadi menjadi mengetuk pintu apartemen Grace lagi dan meneriakkan nama Grace panik.

Grace berusaha beranjak dan bangkit, tapi kakinya malah menginjak pecahan kaca itu. Ia terjatuh lagi dan menangis, ia meringkuk, memegangi perutnya, rasa sakit di kakinya bercampur rasa perih di perutnya membuat Grace menangis sejadinya tapi tidak bisa bangkit lagi, ia berusaha meraih meja kecil di sebelahnya untuk tumpuan tapi yang terjadi meja kecil itu mengguling membuat beberapa barang dan figura yang ada di atasnya jatuh berserakan. Beberapa barang juga malah mengenai kepalanya. Grace semakin tersungkur, Grace semakin sesak dan memejam erat-erat saat sesuatu dari dalam tubuhnya terasa hendak keluar lagi.

Saat itu bersamaan dengan dua orang yang masuk karena mendobrak pintu apartemen Grace. Mevin dan Tela ada di sana! “Grace!” teriak Tela dan Mevin yang hampir bersamaan. Keduanya terkejut melihat Grace yang sudah tersungkur di lantai. Mevin yang berjalan dengan satu tongkat masih sedikit kesusahan dibantu Tela untuk langsung menghampiri Grace, bercak darah ada di lantai karena kaki Grace yang terkena pecahan kaca. Keringat dingin keluar dari tubuh Grace, Mevin langsung duduk di lantai, membuang tongkatnya ke sembarang arah lalu menyandarkan tubuh Grace di pangkuannya lagi. Ini kedua kalinya, Grace overdosis di pangkuan Mevin. Padahal Mevin datang kesini untuk memberi kejutan kepada Grace dan mengajaknya kembali menjalin hubungan meski diperantarai banyak kekurangan. Tela yang panik langsung menelfon ambulans. Tangan Mevin bergetar menyentuh permukaan wajah kekasihnya yang memucat itu.

“Grace, ini aku, Mevin. Ini aku―” kata Mevin parau. Grace sudah dalam keadaan kejang-kejang dan matanya memejam, tubuhnya didekap Mevin yang menangis. Tak peduli berapa kali Mevin bisikkan dan panggil nama Grace, kekasihnya itu tidak mendengarnya. Mevin hanya bisa menangis sambil memeluk tubuh kekasihnya itu. Untuk menggendong tubuh Grace ia sudah tidak bisa lagi, keterbatasannya mempengaruhi gerak tubuhnya dan kekuatannya. Tidak peduli cairan yang keluar dari mulut Grace membasahi baju Mevin, ia tetap jaga kekasihnya di dekapannya. Beberapa kali Tela mencoba menenangkan Mevin tapi pria itu menepisnya.

“Grace, jangan ... jangan, sayang ....” Mevin masih memeluk raga yang mengejang beberapa kali itu. Mevin rapuh dan menangis sejadinya, hatinya sakit, penuh sesak, hancur luruh seluruh melihat keadaan kekasihnya yang tengah ia dekap itu. Mevin sudah memimpikan memeluk Grace berbagi rengkuh dan rindu yang sudah ia racik penuh cinta. Pada kenyataannya yang ia dapatkan duka untuk kesekian kalinya. Satu malam yang lalu Mevin masih membayangkan raut wajah sumringah Grace jika ia ada di hadapannya. Mevin sudah memikirkan hendak memeluk Grace dengan perasaan rindu yang beradu. Tapi yang ia dapatkan hanyalah luka dan duka saat memeluk kekasihnya sekarang. Kedua kalinya Mevin mendapati Grace overdosis, rasa sakit dan sesaknya semakin menjadi lebih dari yang pertama kali. Dibungkam waktu, Mevin hanya bisa menangis dan memejam, setiap hela napasnya ia titipkan doa kepada Tuhan agar Grace masih bisa diselamatkan kali ini.


Semua hal yang terjadi sudah digariskan oleh Sang Empunya kehidupan. Segala hal yang terjadi pasti akan ada hulu yang dituju, hanya aliran yang kadang deras dan kadang tenang membuat kita kadang enggan melawan arus dan membiarkan diri kita tenggelam. Mevin masih berada di Rumah Sakit Mount Elizabeth di sebuah ruang rawat, Mevin menggenggam tangan kekasihnya itu. Grace masih terpejam, Mevin masih terjaga. Tela masih mencoba mencari Alicia untuk ia bawa ke sana. Sekarang, hanya ada Mevin dan Grace di sana.

Mevin mempertanyakan banyak hal, mengapa harus ia? Mengapa harus wanita yang ia cintai? Mengapa harus mereka berdua yang mendapatkan duka sebesar ini? Hati dan kekuatan keduanya tidak hanya retak tapi sudah roboh dan rapuh. Mevin kecup untuk beberapa saat punggung tangan kekasihnya itu.

I’m here, Grace.” Mevin merapalkan kalimat pilunya. Ia melihat lengan kekasihnya dimana masih ada bekas cakaran, entah itu sayatan atau cakaran, bekas gigitan yang menimbulkan bekas darah, sungguh Mevin tidak menyangka ia harus kembali melihat keadaan kekasihnya seperti ini lagi. Mevin masih belum mengerti mengapa semesta membuat kisahnya dan Grace seperti ini, yang ia tahu, ia mau sampai akhir dengan Grace. Ia mau selamanya, sampai akhir usia.

Ketidakmampuan dan keterbatasan Mevin saat ini kadang ia sesali juga. Harusnya ia ada di sana, harusnya ia tidak membiarkan Grace sendirian, harusnya ia datang lebih awal. Air mata Mevin tumpah ruah saat itu.

“Jaga Grace, ya Tuhan, kembalikan dia, aku mohon. We know that You create the world, take and pick your children up into your everlasting home, but for now, I pray to You for Grace, please safe her. Into your mighty hand we surrender all things, please God ... please―” Kalimat penuh harap Mevin sampaikan dalam pejamnya sambil menempelkan punggung tangan Grace di pipinya. Beberapa kali ponsel Mevin berbunyi, beberapa panggilan dari Mama dan Papanya ia abaikan. Mevin menyeka air matanya lalu mencium lagi punggung tangan Grace. Lama ia menangis di sana, perlahan jemari Grace mulai bergerak dalam genggamannya, Mevin membulatkan matanya.

“Grace?” ucapnya seakan tak percaya. Ia melihat Grace yang mulai mengerjapkan matanya, Mevin melihat Grace yang mulai sadar dan membuka matanya. “Grace ini aku,” kata Mevin.

Grace menoleh ke arah Mevin, perlahan ia mengerjap beberapa kali seakan tidak percaya dengan apa yang ia lihat, sang tuan pemilik hati ada di sana. Masih ada sepi dan duka yang disorotkan oleh binar mata Grace yang sayu, Grace seakan tak percaya, ia gerakkan perlahan jemari yang ada digenggaman Mevin, ia perlahan menyentuh pipi Mevin, tanpa pikir panjang, Mevin raih jemari Grace dan tempelkan di pipinya.

“Ini aku, Mevin, aku disini.”

“Mevin?” Suara lirih Grace membuat Mevin mengangguk cepat.

“Bukan mimpi?” tanya Grace lagi, Mevin menggeleng, Mevin pun bangkit dengan bantuan tongkatnya, ia mengubah posisinya menjadi duduk di sebelah Grace.

“Bukan, sayang. Ini aku, maaf aku datang terlambat,” kata Mevin dengan mata yang berkaca-kaca. Grace menggeleng, ia langsung meneteskan air matanya saat itu juga. Mevin langsung memeluk kekasihnya itu. Awalnya hening hingga suara Grace menusuk telinga Mevin, “aku kira Tuhan minta aku pulang, aku dikasih kesempatan kedua, dan ada kamu disini. Ternyata, lagi dan lagi, belum waktunya pulang. Aku takut, Mevin, aku takut ....”

“Nggak perlu takut, aku disini, aku ada disini sama kamu sekarang.” Mevin tidak bisa bereaksi lagi, hatinya juga sakit mendengar penuturan Grace itu. Keduanya saling memeluk, dibalut luka dan elegi duka. Sajak yang mereka senandungkan menyayat hati satu sama lain. Harapan untuk hidup ke depannya lahir bersama air mata yang tercurah saat itu.

“Sakit, Mevin. Sakit .... takut ....” Suara Grace yang gemetar sukses membuat Mevin kehilangan kata-kata. Ia tidak bisa lagi mengucapkan apapun, hanya peluk yang bisa ia berikan, Grace terisak di pelukan Mevin, kerinduan dan kehancuran lebur jadi satu. Keduanya tidak bisa menolong diri mereka sendiri-sendiri, tapi keduanya bisa untuk meyakinkan bahwa keduanya akan tetap bersama seterusnya.

“Jangan takut, aku disini, aku temenin beberapa hari ke depan.” Mevin berkata sambil merenggangkan pelukan dan membelai surai panjang Grace dan menyeka air mata yang membasahi pipi kekasihnya itu.

“Kamu disini sebagai apa?” pertanyaan Grace membuat Mevin terhentak, mengingat terakhir kali memang hubungan mereka tidak bisa dikatakan sebagai sebuah hubungan kekasih, ajakan dan kesepakatan untuk break cukup menyiksa dan membuat keduanya bertanya-tanya.

Mevin genggam tangan Grace, ia melihat gelang yang ia berikan kepada Grace saat mengutarakan perasaannya dulu masih Grace kenakan di lengan yang penuh luka itu. Mevin tertunduk dan menyeka air matanya.

“Kamu nanya aku disini sebagai apa? Sebagai siapanya kamu?” tanya Mevin, Grace mengangguk ragu, tatapan mata Grace bak lautan luas yang selalu siap untuk Mevin selami.

“Aku disini sebagai Mevin. Mevinmu, yang sayang sama kamu, punya kamu, yang selalu nunggu pulang ke pelukan kamu. Maaf untuk semua yang udah aku lakuin, maaf udah ninggalin kamu, aku sadar kalau kita bareng saat-saat ini sama-sama sakit, ternyata berjalan masing-masing lebih sakit dari dugaanku. Jauh lebih sakit, sayang. Aku mau buang tembok pembatas antara kita, kalau memang sakit harus bersama, nggak papa, tapi aku bakalan pastikan kamu baik-baik aja. Sehancur itu aku tanpa kamu, dan sehancur itu aku lihat kamu rapuh. Maaf kalau aku terbatas dalam segala hal sekarang. I’m still yours, wanna be mine again?” kalimat bak mantra teduh dari Mevin sukses membuat dada Grace seakan dilepaskan dari belenggu. Air mata terharu dan anggukan dari Grace dibalas pelukan dan kecupan di dahi, pipi dan bibir Grace sesaat.

“Kita lewatin ini bareng, ya? Janji nggak kaya tadi lagi? Jangan, ya?” ucapan Mevin berhasil membuat Grace terisak sejadi-jadinya. Tuhan dan segala cara serta rencanaNya yang ajaib memang kadang tidak sampai di nalar manusia. Hujan air mata digantikan senyum bahagia. Sang tuan dan puan kembali merengkuh dalam dekap bersama. Keduanya kembali pada kata utuh. Mevin merenggangkan pelukan, ia dekatkan wajahnya dengan wajah Grace, Mevin satukan birai mereka berdua, lembut, hanya disatukan tanpa lumatan, pipi keduanya basah dan mereka sama-sama bisa merasakannya. Sakit dan bahagia menjadi satu, Mevin tangkup pipi Grace dengan satu tangannya lalu perlahan ia lumat bibir kekasihnya itu, sejenak namun penuh arti. Keduanya kembali memiliki satu sama lain. Atmosfer haru terasa pekat disana, keduanya kembali menjadi sepasang kekasih. Keduanya kembali saling memeluk walaupun dengan keadaan terpuruk. Waktu yang tepat memang Tuhan sediakan. Tak banyak yang bisa diucapkan karena sudah diwakili pelukan dan air mata yang tumpah ruah bersama. Saat pagutan direnggangkan, Mevin memegang lengan Grace dan mengecupnya di beberapa bagian yang terdapat luka.

“Jangan dilukain lagi, ya?” katanya.

“Jelek ya? Fisikku nggak sempurna, bagian manapun itu.”

“Kamu sempurna, kamu cantik. Grace cantik, punya Mevin. Kamu sempurna dan menyempurnakan aku.” Kalimat penutup dari Mevin memang sebenar-benarnya isi hati Mevin kepada kekasihnya itu.

Special untuk update malam ini narasinya agak panjang karena nggak nyangka bisa ada di tahap ini and thank you for 10k likes, still crying and sobbing, nggak percaya ada di sini sampai saat ini. 10k mungkin bagi sebagian orang nggak ada apa-apanya, but the process, my process to get 10k and to be here with you guys. Nggak gampang nulis cerita ini dan nggak gampang diterima masyarakat. Banyak yang masih menganggap tabu dll Terima kasih kalian sudah bertahan bahkan mempercayakan untuk berbagi kisah sama aku. Kisah Mevin dan Grace banyak yang nggak suka dan nggak bisa baca, karena nggak cocok, nggak kuat dan lain-lain. Terima kasih buat kalian yang masih mau baca sampai saat ini. Nemenin Grace dan Mevin sampai saat ini, kisah mereka belum berakhir, masih ada perjalanan dan babak baru. Semoga masih pada kuat, sampai end, sampai novel mereka bisa dipeluk bisa sampai di pelukan kalian. Peluk dan sayangku serta doa terbaikku selalu untuk kalian, grace di luaran sana atau Mevin di luaran sana yang senasib dan sepenanggungan. Kalian nggak sendiri, ada aku dan yang lain. Jangan putus asa, perjalanan kalian masih panjang. Aku mau kalian kuat sampai pada akhirnya, aku mau lihat kalian bahagia pada akhirnya, nikmati prosesnya, Tuhan nggak tidur, ingat, ya? Selalu baik kalian semua! with <3, Caroline