BERTEMU MAMA
Grace merasa heran, masih pagi benar, pukul lima pagi hari. Ia mendapati seseorang mengetuk pintu apartemennya. Grace menguap dan menggeliatkan badannya sejenak. Ia kaget mendapati banyak pesan singkat dari Om Kevin yang mengatakan bahwa ia berada, ia adalah suami dari Mama Grace saat ini.
Seorang duda yang ditinggalkan istrinya meninggal karena sakit. Om Kevin memiliki seorang anak laki-laki yang baru saja lulus SMA. Setelah menikah dengan Mama Grace, beliau juga memiliki seorang anak yang sekarang berusia lima tahun.
Grace berjalan dengan gontai dan membuka pintu apartemennya. Betapa terkejutnya Grace saat mendapati Om Kevin ada di sana.
“Om Kevin?” mata Grace membulat tak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini.
“Grace, ini kamu, nak? Bener ini Grace?” tanya Kevin sambil memeluk anak perempuan di depannya itu. Grace sempat terdiam, ia menelan ludah dan masih heran dengan apa yang terjadi. Sejenak ia memaksa melepaskan pelukan. Ia lihat mata Om Kevin yang sembab.
“Kenapa bisa kesini? Siapa yang kasih tahu kalau aku disini?” tanya Grace ketus. Pria di depan Grace itu menghela napas sejenak, lalu beranikan tatap mata Grace yang juga anaknya itu. “Mama kamu ada disini,” katanya.
Grace terkekeh, “ngaco.” “Tutup dulu pintu apartnya, ganti baju dulu, kita ketemu Mama, ya?” ucapan Om Kevin membuat Grace semakin bingung.
“Ngapain ketemu Mama, Om mau lihat Grace ditampar? Om mau lihat Grace dimaki-maki?” tanya Grace dengan tegas.
“Kali ini aja, ikut Om. Kalau Mama kamu sampai lakuin itu ke kamu, Om nggak akan diam aja, Om janji.” Kalimat Kevin itu membuat Grace mendengus kesal, ia mengambil jaket hoodienya, menutup pintu apartemennya lalu ia mengikuti langkah Om Kevin. Grace masih heran dengan sikap Om Kevin itu, Kevin mengendarai mobil dengan kecepatan agak tinggi.
“Om, kita mau kemana?” tanya Grace. Kevin hanya menjawab dengan senyuman, membuat banyak pertanyaan di kepala Grace.
“Ketemu Mama kamu.”
“Om, Grace takut―”
“Jangan takut,” kata Om Kevin sambil menyentuh tangan Grace sejenak. Grace pasrah, meski ia tidak tahu Om Kevin akan membawanya ke mana. Sebuah tanya besar dan ketakutan besar bermukim di benak Grace.
Tapi ia coba tepis perlahan, sepanjang jalan Grace mengamati, ini jalan yang ia kenal. Jalan menuju Rumah Sakit Mount Elizabeth. Grace semakin bingung. Matahari bahkan belum menunjukkan sinarnya dengan sempurna. Tak banyak kata yang keluar dari Grace ataupun Om Kevin saat itu. Saat Om Kevin memarkirkan mobilnya di area parkir Rumah Sakit itu pun, Grace tidak bertanya apapun karena detak jantungnya yang sudah tidak karuan.
“Ayo, Grace,” ajak Om Kevin kepada Grace. Om Kevin pun berjalan beriringan dengan Grace masuk ke Mount Elizabeth Hospital, mereka berjalan melewati koridor demi koridor. Langkah Grace terhenti saat ia melihat panah penunjuk ruang ICU. Om Kevin menghampiri Grace dan merangkul anak itu. Grace memundurkan langkahnya, ia melepas dan menepis rangkulan Kevin dengan kasar.
“Ngapain kesini?” tanya Grace dengan mata memicing.
“Mama kamu, kita mau ketemu Mama.”
“Iya, kenapa disini? Kenapa ke ruang ICU?” tanya Grace dengan nada yang meninggi. Segenap asa Grace kumpulkan, napasnya mulai memburu, Kevin tertunduk, Kevin meraih lengan Grace dan menariknya mengajaknya berjalan. Grace sempat memberontak dan menolak.
“Grace, come on,” pinta Kevin. Hingga pada akhirnya Grace pasrah, tangannya mulai dingin. Di atas apapun yang melandasi kebenciannya kepada Mamanya selama ini, Grace tetap saja takut jika terjadi sesuatu saat ini. Dan mereka berdua pun tiba di ruangan itu. Grace melihat Mamanya terkulai lemas.
Grace melangkah dengan sedikit gemetar tapi Kevin sigap menjaga tubuh Grace yang sempat terhuyung itu. Tiba di sebelah tempat tidur tempat Mamanya terkulai lemah, Grace bertanya, “Mama kenapa disini?”
“Papa kamu dipenjara, Mama kamu yang laporin. Mama kamu belain kamu mati-matian di depan keluarga. Alasan Mama nggak mau ajak kamu ketemu karena pihak keluarga Mama ataupun Papa kamu menyalahkan dan menyudutkan Mama kamu terus. Menyalahkan katanya Mama kamu bukan ibu yang baik, tidak seharusnya bercerai dan yang lainnya. Mama kamu merasa bersalah, kata-kata kasarnya selama ini dan perlakuan kasarnya ia sengaja. Om sudah bilang bukan seperti itu caranya, tapi Mama kamu berpegang sama pendiriannya. Biar Grace benci aku aja asal dia nggak pernah tahu kelakuan keluarga dan perkataan keluarga tentang dia, biar dia nggak pulang karena kasihan anak itu harus nanggung semua sendiri. Kata Mama seperti itu. Mama sempat beberapa kali minta kamu pulang, kan akhir-akhir ini? Mama kamu pengen ditemenin kamu, karena kamu yang blokir nomor Mama, segala info Mama cari lewat rumah sakit lama tempat kamu kerja, termasuk ke Mevin. Mama kamu kenal Mevin, Mama dan Mevin juga sudah saling minta maaf karena kejadian waktu itu.” Ucapan Kevin terhenti, ia menyeka air matanya sebentar. Grace perlahan melangkah maju dan meraih tangan Mamanya itu.
“Mama paksa Om untuk ke Singapore, Mama mau cari kamu. Tapi, selama ini Mama sakit, ada tumor ganas di tubuhnya.” Kalimat itu membuat Grace jatuh berlutut di sebelah ranjang rumah sakit itu. Grace menunduk dan terisak.
“Segala pengobatan Om berikan buat Mama, dari kemoterapi, radioterapi bahkan konsumsi obat yang nggak pernah terlambat. Dokter bilang makin tinggi stadium, makin sulit penyembuhannya. Selama ini Mama kamu sembunyikan, bahkan Papa kamu nggak tahu masalah ini, Grace. Hanya setelah menikah dengan Om Kevin, Mama kamu kasih tahu semuanya. Tumor Mama berkembang dan ganggu organ lain dan menyebar ke sel jaringan lain. Semakin Mama kamu bertambah usia semakin cepat penyakit itu berkembang. Waktu sampai disini, Mama kamu kondisinya lagi lemah. Mama drop, kritis. Seperti sekarang, Grace, Om tahu susah untuk memaafkan Mama. Tapi untuk kali ini Om mohon sama Grace, ya? Boleh?” Usai Kevin melafalkan kalimatnya, Grace membawa pandangannya mendongak menatap Kevin.
Mata gelap dengan tatapan penuh duka itu menusuk hati Kevin. Dan Kevin pun membantu Grace untuk bangkit berdiri. Grace tertunduk sesaat, jantungnya berdebar tidak karuan. Sejenak, Kevin menarik Grace ke dalam pelukannya. Grace menangis untuk kali pertama di pelukan Kevin. Grace menangis sejadinya di sana.
Kevin memberikan pelukan seorang ayah yang sudah lama tidak Grace dapatkan. Nampaknya seakan terlambat mungkin, tapi Kevin benar-benar tulus menyayangi Grace. Tanpa sepengetahuan Grace, Kevin melakukan banyak hal. Tak banyak yang bisa Grace nilai dari Kevin saat ini sebagai seorang ayah. Semua terasa menyedihkan.
“Grace ....” suara lirih itu membuat Kevin dan Grace kaget. Mama Grace melafalkan nama sang anak dengan lirih hampir tidak terdengar.
“Iya, Ma. Ini Grace, ini Grace disini nemenin Mama, sama Om Kevin.” Grace mendekat menyentuh punggung tangan Mamanya itu.
“Kevin, Grace ....” ucap Mama sambil menatap Kevin yang membawa Kevin berjalan mendekat juga disana.
“Maafin Mama.” Ucapan Mama membuat Grace dan Kevin terbelalak dan menatap satu sama lain. Grace si payah dalam berbohong, Kevin si payah dalam mengendalikan air mata agar tidak tumpah.
“Mama minta maaf sama Grace kalau Mama nggak pantas dapat sebutan ibu. Grace nggak perlu takut, Papa sudah dapat hukumannya, begitu juga dengan Brandon, Papa Kevin yang urus semuanya buat bantu Mama.” Ucapan Mama membuat Grace kaget, sejenak ia menoleh menatap Ayah tirinya di sebelahnya itu dan Grace lihat Om Kevin menumpahkan air mata tanpa komando. Om Kevin masih betah menyembunyikan tangisnya dan melipat bibirnya kuat-kuat.
“Ma...”
“Jangan benci Om Kevin.” Wanita itu tersenyum. Tangan Grace terulur menyentuh pipi wanita di depannya, Grace membungkukkan badannya dan tertunduk di dekat wajah Mamanya dan menangis terisak sejadinya. Kevin membawa tangannya untuk mengelus punggung Grace yang bergetar karena tangisan.
“Grace anak baik, Grace anak kuat, maafin Mama ya. Mama sudah tahu ketulusan Mevin ke kamu, Mama sudah tahu apa aja yang kamu lewati disini. Maaf kalau Mama udah kurang ajar sama Grace, Mama salah, Mama pengen Grace benci Mama tapi ternyata itu menyiksa Mama. Mama pernah berpikir kalau Grace membenci Mama, suatu saat Mama pergi, Grace nggak akan sedih. Tapi Mama ingin ada Grace di waktu-waktu terakhir Mama. Maafin Mama, Mama menyesal. Grace bertahan, ya? Grace mau pulang ke Indonesia setelah ini? Anterin Mama.” kalimat Mamanya selesaikan namun Grace masih terisak, entah apa yang dimaksud oleh Mamanya, mengantar Mamanya? Grace sempat merasa hidupnya sangat menyedihkan karena sikap kedua orang tuanya. Selama ini Grace diam dan bungkam, Grace merasa kedua orang tuanya membuangnya tapi nyatanya Mamanya berkorban banyak hal. Grace tidak bisa berkata-kata lagi, dadanya sesak, ia menangis sejadi-jadinya. Pengorbanan seorang ibu nyata adanya. Meski, pernah jatuh dalam kesalahan dalam melakukan dan memperlakukan Grace sebagai anak. “Grace boleh peluk mama?” Mamanya membawa pandangannya ke wajah Grace. Tanpa aba-aba Grace langsung memeluk mamanya itu erat.
“Maafin mama kalau belum bisa lindungin Grace. Jangan benci Mama, ya ...” tangan Mamanya memberi usapan yang kian memelan di punggung Grace.
“Grace nggak benci Mama ... enggak ....” Air mata yang Grace tahan kini tumpah bersamaan dengan suaranya yang bergetar, dadanya sesak tidak ada lagi yang bisa ia lakukan sekarang.
“Grace bukan aib keluarga, Grace is Grace, you are blessing in my life, beloved daughter, Mama sayang Grace, setiap hari Mama berdoa agar Grace cepat sembuh dan mendapat kebahagiaan jauh melebihi siapapun juga. Maafin Mama ....”
“Enggak, Ma. Enggak, Grace yang minta maaf.” pipi Grace sudah dibanjiri oleh air mata.
“Grace anak mama...” suara itu memelan di telinga Grace namun Grace masih disana memeluk erat. Tanpa Grace sadari tiba-tiba monitor detak jantung berbunyi dan menunjukkan garis lurus. Tenggorokan Kevin dan Grace terasa tercekat. Bibir Grace kelu dan ia sulit bernapas. Dunianya seakan runtuh. Tangan yang menyentuh punggung Grace tidak ia rasakan lagi disana, ia tahu tangan itu terkulai lemas.
Tak ada celah keheningan, yang ada tangisan Grace semakin menjadi. Tak lama dokter diikuti beberapa perawat datang dan memasuki ruangan itu, tubuh Grace melemas kala itu, tenggorokannya tercekat.
“Mama! Ma! Bangun!” Grace meraung dalam tangisnya. Ia terus terisak, tangannya mengguncang pelan tubuh wanita itu yang tidak akan membalas dengan respon apapun itu. Kevin menarik tubuh Grace menjauh.
“Grace! Grace” Kevin menarik tubuh Grace menjauh agar perawat dan dokter lain bisa melepas segala alat yang menempel di tubuh Mamanya. “Mama nggak boleh pergi! Grace udah maafin Mama! Grace mau pulang sama Mama!” Grace menjambak rambutnya. Kevin tidak bisa berkata apa-apa air mata akhirnya tumpah kala itu melihat kenyataan hari ini.
Beberapa kali Grace hendak mendekat dan meraih tubuh mamanya lagi namun Kevin menahannya hingga tubuh Grace melemas, luruh di lantai bersandar di pelukan Kevin, ia memeluk dan mencengkeram baju Kevin dengan erat, meraung dalam tangis sejadinya di sana. Di pelukan sosok Ayah yang pernah ia benci padahal punya kasih yang besar untuknya. Grace dipeluk Kevin erat, sebagai seorang ayah dan suami, Kevin sangat merasakan duka mendalam.
Terlebih anaknya ada yang masih berusia lima tahun. Grace masih histeris di pelukan Kevin, Grace masih mengulurkan tangannya hendak meraih Mamanya, tapi Kevin raih lengan itu dan ia bawa dalam genggam serta dekap. Pada dasarnya, Mama Grace ingin melindungi anaknya dari kerasnya hujatan keluarga. Meminta Grace untuk tidak kembali saat itu adalah agar hanya Mamanya saja yang menerima kata-kata tajam itu.
Permintaan Mamanya untuk Grace agar pulang akhir-akhir ini adalah sebenar-benarnya kerinduan seorang ibu kepada anaknya. Perihal dendam dan benci sirna sesaat, Grace tidak menyimpannya lagi. Satu rahasia kehidupan yang dibukakan oleh Sang Pencipta.
Grace yang sempat beberapa kali hampir pergi dan ada di ambang kehidupan, masih diberi kekuatan sampai sekarang. Mamanya yang tampak sehat ternyata menyimpan sakit yang begitu hebat hingga akhirnya Tuhan panggil pulang, pada saatNya. Tidak pernah ada yang tahu, tidak pernah ada yang menyangka dan tidak ada seorangpun yang mampu menyingkap tabir kehidupan mendahului Tuhan, Sang Empunya seluruh kehidupan kita. Mungkin hari ini adalah sebenar-benarnya hari dimana Grace harus membungkus pilu secara bersamaan dalam hatinya.