awnyaii

Taeyong Oneshot AU written by : ruamhati/awnyaii

Dalam remang pagi hari, seorang wanita bernama Zefanya yang berprofesi sebagai Model dan sudah dikaruniai seorang putri berusia tiga tahun itu tengah menyiapkan seluruh keperluannya dan keperluan anaknya. Ia memasukkan beberapa baju yang anaknya butuhkan ke dalam sebuah tas. Lalu ia beranjak menyiapkan botol susu, dilanjutkan menyiapkan air hangat guna memandikan anaknya. Dengan telaten Zefanya melepas baju anaknya, memandikan dengan penuh kasih sayang. Tak lupa Zefanya juga menyiapkan sarapan bagi sang anak.

Mommy, I want chcolate sandwich for breakfast,” kata anak berusia tiga tahun itu saat Zefanya menyisir rambutnya, Zefanya menghentikan gerakannya lalu memberikan anggukan kepala.

“How about vanilla milk for drink?” Zefanya menawarkan menu kesukaan anaknya yang disambut dengan anggukan antusias dari sang anak. Zefanya membelai puncak kepala Jeanice sambil tersenyum.

“Okay, Mommy will prepare all things and please wait in dinning room, okay? Mommy will leave you in Grandma’s house, jangan nakal, jangan rewel, mommy kerja dulu, okay?” tanya Zefanya seraya beranjak berdiri sambil menangkup pipi anaknya menghadapnya, Jeanice mengangguk lalu berlari kecil menuju ruang makan. Sedangkan Zefanya mulai mengemasi barangnya dan memasukkan ke dalam handbagnya lalu berjalan menuju ruang makan menyusul anaknya.

Hari ini Zefanya memiliki jadwal photoshoot untuk kerjasama terbarunya dengan sebuah brand perhiasan. Ia harus meninggalkan anaknya di kediaman orang tuanya karena tidak mungkin membawa Jeanice untuk waktu yang lama. Hal itu sering Zefanya lakukan untuk mempermudah juga pekerjaannya.

Saat semua sudah siap, Zefanya menggandeng tangan Jeanice keluar rumah. Gadis kecil itu menghentakkan kakinya semangat dan mengepal gemas serta berkata, “After work, mommy will give me a cotton candy. Yeay!”

A big cotton candy, exactly!” timpal Zefanya sembari mengunci pintu rumahnya.

“Yeay! Yeay!” ucap sang anak bersemangat lagi lalu memeluk Zefanya, tinggi Jeanice yang hanya se pinggang Zefanya menambah kesan gemas saat sang anak memeluk ibunya. Zefanya terkekeh kecil, usai mengunci pintu rumah, ia menggendong Jeanice dan masuk ke mobil bersama anaknya. Berbagai candaan dan obrolan ringan terjalin diantara keduanya. Usia Jeanice yang sedang ingin tahu akan segala hal membuat Zefanya harus benar-benar menjawab semua pertanyaannya.

Mom, why don’t we ask Daddy to pick us this morning?” pertanyaan Jeanice diucapkan bersamaan dengan Zefanya yang menghentikan mobilnya di pekarangan rumah orang tuanya. Zefanya melepaskan seat beltnya lalu tangannya juga bergerak melepaskan seat belt anaknya.

Daddy still busy right now, but today Mommy will meet Daddy, I’ll tell him―”

“I miss Daddy.” Jeanice mengerucutkan bibirnya, Zefanya menangkup pipi anaknya lalu tersenyum dan mengangguk.

We’ll meet Daddy soon,” lanjut Zefanya. Jeanice girang langsung memeluk Zefanya, hal gemas yang dilakukan Jeanice membuat hati sang ibunda hangat saat itu juga.


Zefanya sedang menatap rinai hujan yang turun deras pada pukul sebelas siang kala itu. Baru saja ia selesai merias wajahnya dengan bantuan MUA andalannya. Photoshoot kali ini dilakukan di sebuah studio indoor yang cukup megah.

“Zee, udah siap?” suara seseorang menusuk rungunya, membuat Zefanya berbalik badan dan mengangguk menanggapi pertanyaan salah satu crew. Zefanya berjalan menuju tempat photoshoot dengan kostum long dress dengan belahan dada yang agak panjang namun juga off shoulder. Dress menjuntai panjang namun memiliki belahan di samping sebelah kanan hingga setengah paha lebih. Dikemas lagi dengan high heels penuh ornamen bak berlian yang menghiasi kaki jenjang dan indah milik Zefanya saat itu. Menambah kesan glamour dan elegan saat dikenakan.

“Ya! Posisi semua siap ya, lighting oke semua?” seru sang fotografer saat melihat Zefanya memasuki lokasi photoshoot. Pandangan mata Zefanya dan sang fotografer bertaut sesaat, pria itu memberikan sebuah senyuman dan acungan jempol melihat penampilan Zefanya. Sedangkan wanita itu hanya tersipu. Lalu sesi foto dilakukan, Zefanya melakukan beberapa pose yang menonjolkan beberapa perhiasan yang ia kenakan, anting-anting, kalung, cincin, bahkan gelang yang terpasang di tubuhnya sangat elegan dan membuatnya tampak anggun.

Netra sang fotografer tak bisa lepas memandang Zefanya dan mengabadikan pose Zefanya dalam foto-foto menakjubkan yang ia ambil. Zefanya memang nampak anggun dari segala sisi. Terkadang, tatkala sang fotografer mengambil gambar secara close up keduanya saling bertukar pandang sejenak sambil memberikan senyum. Sesi foto dua jam itu berlangsung lancar dan tanpa hambatan.

Great job! Thank you guys!” seru beberapa crew saat sesi foto selesai dilakukan.

“Zee!” seru sang fotografer saat Zefanya hendak keluar dari sana, akhirnya wanita itu menghentikan langkahnya. Ia membawa pandangannya menatap pria yang memanggilnya tadi.

Can we walk home together?” tanya pria itu sambil menutup lensa kameranya lalu menatap Zefanya lagi.

But you said that you have another schedule after this,” balas Zefanya.

“I was cancelled it. Would you?” Zefanya mengangguk, pria tadi mengelus pipi Zefanya sejenak, “Okay, I’ll wait you at lobby, but I will give some file to crew first,” lanjutnya sambil menepuk pundak Zefanya lalu berlalu dari sana.

Zefanya usai mengemasi barang dan berganti pakaian, ia berjalan ke lobby seorang diri. Benar saja, pria tadi sudah ada di sana menunggu Zefanya sambil memainkan ponselnya.

“Theo!” seru Zefanya dari jarak beberapa meter, Theo mendongak lalu bangkit berdiri menatap Zefanya. Theo menyambut Zefanya yang menghampirinya dengan tangan terbuka tanda memberi pelukan. Zefanya datang dan memberikan jawaban pada lengan yang terbuka lebar itu. Sebuah pelukan hangat diberikan Theo untuk Zee kala itu. Untuk beberapa detik, pelukan itu membuat Zee luruh dalam dekap hangat Theo. Bak sebuah zat yang meluruhkan semua lelah, bak sebuah penghilang letih.

Pick Jeanice up first, okay?” tanya Zee seraya merenggangkan pelukan. Theo menangkup pipi Zee dengan kedua telapak tangannya lalu mengangguk. Keduanya berjalan beriringan menuju parkiran, tangan Theo juga melingkar di pinggang Zee, keduanya saling menatap dan melemparkan senyuman kepada satu sama lain.


Malam ini, usai menjemput Jeanice di kediaman orang tua Zee, Theo dan wanita itu kembali pulang ke rumah Zee. Sebagai single parents, Zee merasa senang dan juga cemas saat menyadari anaknya mulai akrab dengan rekan kerjanya, Theo.

“Mommy, I want to play with uncle daddy before go to bed, can i? Can I uncle daddy?” binar mata Jeanice, gadis mungil itu menembus hati Zee. Theo yang berdiri di sebelah Zee yang masih bergelut dengan membuka kunci rumah pun meraih Jeanice dalam gendongannya.

“Sure, why not?” kata Theo lalu menghujam pipi Jeanice dengan satu kecupan. Jeanice mungil tersenyum senang. Mereka bertiga masuk ke kediaman Zefanya itu. Mereka langsung duduk di sofa ruang tamu saat itu, waktu sebenarnya sudah menunjukkan waktu tidur untuk Jeanice. Namun, gadis mungil itu masih terlalu senang karena kedatangan Theo.

Theo adalah rekan kerja, teman SMA sekaligus fotografer yang berada di satu naungan management dengan Zee. Theo bahkan sudah mengenal Zee sebelum wanita itu menikah, bahkan setelah bercerai pun Theo masih disana dengan perasaan yang sama. Perasaannya tak berubah sedikitpun untuk wanita ini, meski dengan keadaan Zee yang sudah bercerai dan dikaruniai seorang anak perempuan. Theo pun sudah sering mengungkapkan perasaannya kepada Zee, tapi tetap saja Zee tidak memberikan jawaban pasti. Sedangkan, Jeanice selalu memanggil Theo dengan sebutan uncle daddy karena kehadiran Theo yang terhitung lebih sering daripada ayahnya sendiri, Jordan. Zee dan Jordan bercerai sejak usia Jeanice masih beberapa bulan karena Jordan berselingkuh dengan sekertarisnya sendiri. hati Zee hancur, selingkuh dan mendua hati bukanlah kesalahan yang wajar untuk ditoleransi. Oleh karena itu, pilihan berpisah adalah yang terbaik yang bisa Zee pilih.

Hampir tiga tahun Zee lewati dengan berkawan sepi, mencari cara agar luka hatinya terobati. Melihat garis waktu namun belum juga temukan titik temu. Kehidupan ia jalani dengan pasrah, ada Theo yang lebih peduli dengannya dan Jeanice daripada Jordan, mantan suaminya yang hanya mengandalkan uang dan mengklaim dirinya selalu menghidupi dan memerhatikan Zee serta Jeanice.

Malam itu, Zee sibuk membereskan rumah, sedangkan Theo membacakan dongeng untuk Jeanice dan menemani Jeanice bermain di kamarnya sebentar.

Uncle daddy, why don’t you spend overnight here? I want to see you when I wake up tomorrow,” kata Jeanice sambil memeluk Theo yang berbaring di sebelahnya.

“If your mom give uncle permission, I’ll stay here tonight,”* balas Theo tersenyum.

Jeanice memanyunkan bibirnya, “I think mommy will say yes, I really want to have breakfast together with you and mommy. Because daddy is too busy, please stay here uncle,” lanjut Jeanice dengan menatap Theo penuh harap. Tak lama Zee masuk ke kamar itu lalu berjalan dan duduk di tepi ranjang sebelah Jeanice yang kosong.

What do you talk about with uncle Theo?” tanya Zee sambil mengelus kaki mungil anaknya.

Mommy, I want uncle Theo stay here for tonight, so tomorrow we can have breakfast together,” kata Jeanice lalu merangkak dan memeluk mamanya. Mata Theo dan Zee bertaut sesaat, Theo mengedikkan bahunya. Zee tersenyum lalu membelai rambut panjang Jeanice.

Okay, just for one day because uncle Theo also have another things to do and he must go to work.” mendengar perkataan Mamanya, si kecil Jeanice memeluk Zee sejenak lalu menghampiri Theo dan memeluk Theo juga. Mata Zee dan Theo bertaut lagi, keduanya menghela napas panjang dan tersenyum. Jujur saja, hati Zee juga bergetar hebat saat ini. Sedangkan Theo masih berada di ketidakpastian, walaupun belum mendapat sinyal lampu hijau dari Zee, ia tetap maju dengan mempertahankan perasaanya.


Theo masih sibuk membacakan dongeng untuk Jeanice. Sedangkan Zee sibuk di dapur menyiapkan minuman hangat untuknya dan Theo. Mungkin setelah Theo menidurkan Jeanice, kedengarannya baik untuk menikmati waktu utuk ngobrol. Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar membuyarkan konsentrasi Zee, ia beranjak berjalan menuju ruang tamu dan mengintip dari balik gorden, dilihatnya seseorang keluar dari mobil dan dengan langkah cepat Jordan menuju pintu rumah itu. Karena Zee tidak bisa melihat jelas orang tersebut, ia langsung membuka pintu.

“Zefanya!” seru Jordan saat mendapati mantan istrinya membukakan pintu.

“Mau apa?” tanya Zefanya ketus.

I just want to meet you and Jeanice,” kata Jordan namun Zee menepis tangan suaminya dengan kasar lalu beranjak masuk, Jordan mengikutinya sambil berusaha menghalangi jalan Zee, mantan istrinya itu mendelik ke arah Jordan namun dengan mata yang berkaca-kaca.

“Mending kamu pulang! Aku nggak mau lihat kamu lagi!” bentak Zee.

“Ada mobil siapa di depan? Bukan mobil kamu, bukan mobil mami papi kamu juga. Siapa?” Jordan malah menanyakan hal lain.

“Peduli apa kamu?” balas Zee dengan pandangan sinis.

“Pasti Theo kan? Pacaran kamu sama dia?!” Jordan geram meninggikan suaranya.

“Capek.” Zee berkata dengan suaranya yang parau, Jordan terdiam melihat Zee yang sudah hampir menangis.

Can you just be honest? Are you in relationship with him?” tanya Jordan, Zee menggelengkan kepalanya lalu menyeka air mata yang mulai jatuh.

“Bukan hak kamu, bukan ranah kamu buat tahu tentang kehidupanku lagi,” kata Zee dengan sebenar-benarnya, karena memang terlalu banyak yang harus ia jabarkan dalam wujud kalimat.

“Udah aku bilang kan kita pasti bisa―”

“Bisa apa?!”

“Balikan!” Jordan berkata dengan geram.

There’s no second chance for a cheater like you!” mendengar ucapan Zee itu, Jordan memegang kedua Pundak mantan istrinya dan menundukkan kepalanya sedikit agar pandangannya sejajar dengan pandangan Zee. Jejak air mata terbentuk di wajah ayu Zee, sungai air mata itu mengalir deras tanpa henti, mata Zee sudah basah.

“Kamu nggak ada hubungan, kan, sama Theo? Jawab aku!!” Zee memaksa melepaskan tangan Jordan dari pundaknya,

“Lepas!“ ucapnya lirih sambil melirik menatap tangan yang masih memegang pundaknya itu lalu mendelik lagi ke arah Jordan. Sedangkan, Jordan tidak melepasnya.

“Lepas, Jordan!” seru Zee dengan suara nyaring. Tanpa bergeming, Jordan tetap menahan Zee dalam dekap dan tidak melepaskan sama sekali.

“Pergi kamu, pergi!” Zee mendorong tubuh suaminya itu dengan sedikit kasar kali ini.

“Enggak, aku kangen kamu.”

“Pergi, bajingan!” Zee terisak dan mendorong tubuh Jordan paksa, wanita itu melayangkan satu pukulan pelan di dada Jordan sebelum ia menangis terisak sambil meremas baju mantan suaminya itu.

“Kamu biarin aku sama semua beban hidup aku, kamu enak-enakan selingkuh sama sekertaris kamu. Aku hamil, aku melahirkan pun kamu tahu dari keluarga karena lagi asyik sama selingkuhan kamu! Nggak cukup bikin aku tersiksa? Kita udah punya kehidupan sendiri-sendiri! Kenapa? Nyesel?” Zee tertawa, sedetik kemudian ia menangis, Jordan diam, Jordan tidak bisa menyanggah kalimat Zee, jantungnya berdetak kencang, ia mengepalkan tangan menahan emosinya, kali ini memang Jordan merasa sangat bersalah. Kini, Zee menjauhkan badannya dari Jordan, ia berjalan ke ambang pintu.

“You can go now,” kata Zee sambil menyeka air matanya sendiri.

“Enggak, aku mau ketemu Jeanice.” Jordan malah melangkah berbalik badan, menaiki tangga dengan cepat dan hendak menuju kamar anaknya, namun mati-matian Zee menarik lengan pria gagah itu namun tetap saja, pergulatan dua insan yang ingin menahan dan tidak ingin ditahan itu terjadi. Saat sampai di depan kamar Jeanice, Theo keluar dan langsung mengunci pintu kamar itu. Menahan dan memastikan Jordan tidak bisa masuk ke sana.

“Ini? Yang mau kamu kasih lihat ke aku? Tebakan aku bener, kan?” Jordan menatap Zee dan Theo bergantian. Zee seakan mati rasa, kondisi macam apa ini?

“Kenapa?” tanya Theo ketus.

“Lo ngapain disini?” balas Jordan.

“Jagain Zee sama Jeanice, kenapa? Mau marah? Lo punya hak apa emangnya?” balas Theo terkekeh seakan mengintimidasi Jordan. Mantan suami Zee itu kesal, ia mencengkeram kerah baju Theo dan menyeretnya paksa menuruni tangga dan menarik Theo ke teras rumah Zee.

“Theo! Jordan!” Zee panik dan berjalan mengikuti mereka, sesekali Zee melerai dan memisahkan mereka namun percuma.

Kerah baju Theo ditarik Jordan dan tangannya langsung berpindah menggenggam kerah baju bagian depan milik Theo.

“Jordan! Theo!” Zee memekik dan langsung menghampiri Jordan serta memaksa tangan Jordan lepas dari tubuh Theo namun Jordan menepisnya.

“Ngapain lo disini!?” kata Jordan mendelik.

“Lo yang ngapain? Kenapa marah? Lo nggak berhak atas Zee lagi!” Theo mengangkat alisnya.

BUG!

Satu pukulan mendarat di pipi Theo, Zee panik, berulang kali ia hendak memisahkan Jordan dan Theo namun hasilnya nihil.

“Jordan! Jangan gila ya!” bentak Zee, namun Jordan dan Theo tengah terjebak saling hantam sekarang.

“Can both of you just stop?” Zee menengahi dan sedikit lebih berteriak, hingga akhirnya Jordan melepaskan tubuh Theo dari kuasanya. Ia mendorong dan menghempaskan tubuh Theo ke lantai.

“Nggak usah sok peduli sama mantan istri orang!” kata Jordan lalu menendang sekali lagi kaki Theo, Zee menarik dan menahan tubuh kekar Jordan. Ia sudah menangis disana.

“Jordan, kamu gila ya?!” Theo terkekeh, “Sorry, kalau kesannya gue sok peduli tapi gue memang tulus peduli. Perempuan tulus kaya Zee berhak bahagia!” ucapan itu sebenarnya menyulut emosi Jordan lagi namun Zee menarik Jordan menjauh.

“Pergi atau aku nggak akan kasih kamu waktu ketemu Jeanice selamanya?” Zee menatap Jordan dengan mata yang sudah basah.

“Zee―”

“Pergi! Aku bilang pergi!!” Zee berteriak, maka dengan langkah gontai, Jordan hengkang dari sana. Saat mobil Jordan sudah meninggalkan pekarangan rumah itu, Zee terduduk lemas di lantai lalu menangis sejadinya. Theo langsung meraih tubuh lemah itu dan mengangkat tubuh Zee, ia memeluk Zee dan menenangkan sang puan. Zee tidak membenci pelukan Theo, tidak seperti pelukan Jordan yang menyakitkan. Zee balas pelukan hangat itu, ia menangis sejadinya disana.

Theo tidak pernah membenci Zee walaupun perlakuan Jordan sudah keterlaluan, malah keinginan Theo untuk melindungi Zee lebih menyeruak setelah melihat perilaku Jordan.

“Theo maaf,” isak Zee di pelukan Theo.

Isn’t your fault, I’ll protect you as much as I can.” kalimat penutup dari Theo membuat Zee semakin luruh dalam tangis kala itu. Theo ingin menjelma sebagai hujan yang bilurnya bisa menghapus luka di hati sang puan, ingin membuat kenangan indah yang bersemi di hati Zee. Bukan kenangan buruk seperti yang Jordan torehkan. Mungkin sabar dan sayang Theo seluas lautan tenang namun bisa menenggelamkan kapan saja. Tapi hatinya setegar karang, tak peduli berkali dipecah ombak, ia tetap disana, dengan perasaan yang semakin membumbung tinggi bagi Zee.


Zee dan Theo sedang duduk bersebelahan di ruang tv, tak ada kata, keduanya menggenggam cangkir berisi teh hangat saat itu. Zee baru saja selesai mengobati luka di wajah Theo akibat perbuatan Jordan tadi.

“Zee,” kata Theo membuka pembicaraan.

“Ya?”

“Perasaanku masih sama, can you just give me an answer?”

“Theo.” Theo menaruh cangkir yang ia pegang, ia juga meraih cangkir dalam genggaman Zee lalu menaruhnya di atas meja. Jemari tangan Zee digenggam Theo erat, netra keduanya bersua. Berkali-kali Zee mengerjap, berkali Zee membuang pandangannya dari Theo.

Zee, look in to my eyes, say no if you don’t love me, just hug me if you want. Or you can slapped me if you want me to go out from here.” setelahnya, Theo tertunduk, ia pasrah akan jawaban yang setelah ini akan Zee ucapkan. Pikirannya berkelana merajalela kemanapun, penolakan adalah hal yang tidak ingin ia dengar.

Tiba-tiba Zee menangkat tangannya, Theo memejam, ia tidak mau melihat wajah Zee, apakah tamparan yang akan ia terima? Tangan Zee sudah mengudara, namun tertahan. Saat Theo memejam, ia tidak merasakan tamparan melainkan sebuah pelukan. Zee memeluknya! Theo membuka mata, wanita di depannya sudah mendekapnya.

Yes, I wanna be with you, kamu lebih baik dalam menjaga aku sama Jeanice dibanding Jordan.” Bisikan itu menusuk pendengaran Theo.

“Serius? You aren’t kidding me, right?”

Zee menggeleng, Theo membalas pelukan itu. Ada sebuah cerita yang mudah terangkai, ada juga yang sulit terangkai. Ada cerita yang mudah usai ada juga yang sukar usai. Pada akhirnya, nestapa yang Jordan hadirkan kini Theo gantikan dengan sukacita. Kendati tiga tahun belakangan ini Theo harus terjebak beberapa perdebatan dan perkelahian dengan Jordan, itu bukan masalah.

Waktu memaksa Zee harus berpisah dengan Jordan. Waktu juga mengharuskan Zee kini menempuh perjalanan baru dengan Theo. Waktu tidak pernah salah untuk datang jika keduanya mau berjuang, memang, mungkin Theo harus berjuang lebih ekstra, namun semua itu kalah oleh jawaban penerimaan dari Zee saat ini.

Zee merasa cukup dengan luka yang Jordan berikan―maka pergilah ia dengan meninggalkan segala hal yang pernah di genggam dan diukir bersama Jordan. Namun, kini yang harus Zee genggam adalah ceritanya bersama Theo.


Usai Theo mandi dan membersihkan badan, ia mencari dimana keberadaan Zee, ternyata wanita tadi sedang berada di kitchen bar, menyiapkan cemilan malam. Akhirnya Theo mengendap perlahan dan memeluk Zee dari belakang.

“What are you doing, babe?” bisik Theo.

Oh my God, see... you call me babe, haha,” balas Zee sambil terkekeh kecil.

“I promise I want to protect you as much as I can.”

Promise to never leave? How about Jeanice?” Zee menghentikan kegiatannya, ia menyandarkan tubuhnya di tubuh gagah Theo dan mendongakkan kepalanya dengan sedikit miring agar bisa melihat paras sang tuan.

I love you and also Jeanice, no matter what happened. Jeanice is my daughter after this,” balas Theo lalu memberi satu kecupan singkat di bibir Zee. Keduanya merenggangkan pelukan, Theo membawa Zee menghadapnya

I love you, I always will. So please don’t ever leave me and Jeanice.” Kalimat itu membawa Theo memeluk Zee merat erat.

So, after this, Jeanice will call you daddy, just daddy, without uncle.” Zee terkekeh kecil. Keduanya merenggangkan pelukan dengan posisi berhadapan. Kini Theo menyeringai lalu mengangguk, “Daddy Theo,” katanya. Theo menarik tubuh Zee mendekat, perlahan namun pasti, kini bibir keduanya bersentuhan. Zee menjadi terharu, hatinya berdesir dan ia meneteskan air mata Bahagia. Theo yang merasakan ada bulir air mata lolos dari mata Zee pun merenggangkan pagutan sesaat.

“Are you crying?” tanya Theo. Zee mengerjap beberapa kali, membuang pandangan tapi Theo membawa wajah Zee menatapnya lagi.

I’m happy for this, like... I still can’t believe, kamu terima aku dengan segala kondisiku.” Theo pun mengecup lama kening wanitanya sebelum mendekapnya hangat. Tak ada yang lebih indah dari perasaan dua anak adam yang saling berpadu serta berjanji untuk saling mencinta dan menjaga. Butuh waktu bertahun-tahun bagi Theo untuk melabuhkan hati selamanya setelah ini. Elegi panjang terlewati dan kini, keduanya sigap menapaki langkah yang pasti akan lebih terjal dari sebelumnya, namun keduanya saling meyakinkan, untuk apa takut akan hari depan?

Perasaan dan hati Zee adalah sebenar-benarnya sesuatu yang ingin Theo jaga selama ini dengan segala kesungguhan. Maka berbagilah mereka berdua malam itu dalam balutan peluk yang mereka bagi berdua. Keinginan dari Theo untuk menutup luka lama yang Jordan ukirkan di hati Zee semakin menyeruak.

Dalam pelukan dan satu kecupan di puncak kepala Theo panjatkan harap agar menemukan satu titik temu, harapannya untuk hidup harmonis dengan Zee dan Jeanice ke depannya juga ia panjatkan. Bertukar peluk dan bertukar perasaan membuat malam itu terasa indah bagi mereka. Dada bidang Theo adalah tempat senyaman-nyamanya untuk Zee bersandar, keduanya masih saling mengadu dalam dekap dan mata yang memejam.

Detik selanjutnya cerita baru dibuka lagi dengan bibir keduanya yang menyatu dan lidah yang bertaut, tangan Theo yang memeluk erat pinggang Zee kala itu bergerak juga berperan sebagai yang menekan tengkuk leher Zee guna memperdalam ciumannya. Lumatan dan tempo yang mengalun untuk keduanya menjadi sebuah hal yang memancing keduanya lebih dalam lagi dalam afeksi candu malam itu. Nyanyian malam itu dibentuk oleh perpaduan cecapan bilah birai diantara keduanya yang menjelma bak syair indah yang terdengar bagi Theo maupun Zee.

Zee pun dengan sukarela membalas pagutan itu, maka terdiamlah mereka berdua tanpa suara untuk sesaat karena saling menghisap belah bibir untuk waktu yang lama dengan hati yang masih berdesir hangat. Bibir dicecap, dilumat, dilepas dan dicecap lagi. Bergantian meraja belah bibir yang diikuti liukan lidah yang bertaut satu sama lain yang menginvasi rongga mulut satu sama lain. Sungguh, setelah ini Theo akan lebih cakap dalam menjaga.

“Theo ahh,” mulut Zee kini merapalkan nama sang tuan dalam desahan merdu yang membuat Theo ingin melakukan lebih lagi.

“Zee―mmhh,” Theo juga sedikit melenguh saat sisi liar dari Zee menyala terlebih saat Zee menggigit sedikit bibir bawah Theo. Lumatan di bibir mereka menjadi agresif dan lebih menuntut. Lidah mereka saling beradu didalam rongga mulut Zee saat Zee memberi akses bagi Theo untuk mengeksplor setiap inci rongga mulutnya dengan mulut yang sedikit terbuka, kesempatan itu langsung dimanfaatkan Theo sebaik mungkin. Tak bisa lagi Zee sebut nama Theo hanya sebagai prakata dalam kisahnya namun sudah menjadi bagian dari keseluruhan kisah yang akan mereka torehkan berdua. Theo membawa sang puan, mengangkat tubuh sang puan dan mendudukkan di kitchen bar.

Tangan Zee dikalungkan di leher Theo. Keduanya saling memainkan lidah dengan lihai tak hanya saliva yang ditukar mungkin juga isi perasaan. Sepasang netra yang bertemu saat itu beradu tatap bertukar senyum, tatapan mata Zee selalu beri ketenangan bagi Theo, mereka pun memejamkan mata lagi. Pada sorot mata yang saling memberi isyarat agar tetap tinggal dan mencinta satu sama lain.

Tangan Theo perlahan bergerak melucuti long shirt berwarna putih yang Zee kenakan, tapi ia hentikan saat kedua tangan Zee menekan tengkuk leher Theo makin dalam. Theo tidak pernah menyangka akan jatuh cinta sedalam ini dengan Zee, begitu juga sebaliknya.

“Zee, can I do something? because you are too hot, I want to steal your body’s heat.” bisikan dari Theo membuat Zee mengangguk sukarela. Malam itu, keduanya dibalut api asmara yang baru saja dibakar lebih lagi setelah pengakuan dan penerimaan satu sama lain. Tangan Theo bergerak bermuara di dua gundukan kenyal di dada Zee. Dilakukan dengan penuh cinta, tanpa terburu, Zee membuat Theo semakin gencar melakukan gerakan tangan meremas payudaranya dari luar kain yang membalut.

Zee melenguh beberapa kali membuat Theo terangsang untuk melakukan lebih. Tangan gagah Theo malam itu adalah sebenar-benarnya penguasa tubuh indah milik wanita bernama Zefanya. Pusat tubuh keduanya sebenarnya juga bergesekan dari luar kain di bawah sana. Ada hati yang mulai ditinggali oleh sebuah ambisi. Permukaan pipi Zee sedikit tergenang air mata, namun hal itu membuat Theo menggendong Zee bak koala, Zee juga melingkarkan kaki di pinggang Theo. Pria gagah itu menggendong Zee menuju kamar wanitanya bak koala tanpa melepas pagutan, bahkan kadang ciumannya berpindah ke pipi dan leher jenjang Zee.

Bibir Theo bermuara pada wajah ayu Zee sebelum turun mengeksplor leher jenjang sang puan yang kadang membuat tubuh Zee bergetar disebabkan oleh perlakuan lembut dan brutal dari bibir dan lidah Theo. Tak ada api cinta yang padam, yang ada hanyalah api yang semakin membara. Keduanya sedang mencintai, bukan hanya satu pihak. Lidah licin Theo berhasil menjelajahi bagian leher Zee malam itu. Saat Theo mulai membantu Zee melucuti helai demi helai benang yang menempel di tubuh wanita itu, Zee juga menuntun Theo melepaskan semua yang ia kenakan. Dalam sekejap perca ditanggalkan, Theo mencumbu secara brutal lagi bibir sang puan bahkan beradu lidah dan bertukar saliva dengan sukarela.

Tangan Theo menyapa lipatan lembab di bawah sana. Digesekkan jarinya pelan, mencari dimana letak pertahanan sang puan lalu memberikan gerakan menekan dan memainkan dengan jarinya. “Akhh―Theo mmh,” racau Zee terbata-bata.

Can I do that?” tanya Theo yang langsung diiyakan Zee.

Wanita itu mengalungkan tangan di leher Theo dan memanggil nama sang tuan dalam desahnya. Theo melepaskan ciuman dan langsung menurunkan posisinya lalu menyejajarkan posisi wajahnya dengan pusat tubuh Zee. Theo tidak memberi aba-aba dan ia langsung memainkan liang surgawi milik Zee dengan bibir dan lidahnya. “Hmphh―Theo, Ough―” Zee kehilangan kata-kata saat pusat pertahanannya diserang bertubi-tubi oleh Theo dengan lembut.

“If you like my name just moan it, because I like your name too.*” Theo menyeringai sesaat sebelum bergelut lagi dengan pusat tubuh Zee dengan memberikan gerakan nakal lidahnya menjilat, menusuk bahkan mengoyak dengan jarinya. Zee terengah di atas sana. Theo mengangkat kaki Zee dan menaruh kedua kaki jenjang itu di pundaknya.

“Theo―ahh, I like your name,” Zee semakin meracau. Theo menambah sedikit kecepatan jari dan lidahnya yang bergantian, Zee sibuk meremas surai Theo guna menyalurkan nikmat. Keduanya hanyut dalam naungan kabut gairah malam itu. Hati Zee telah dijarah dan ia pasrah akan perlakuan Theo yan memabukkan ini.

Deeper, you can go deeper to lick it,” perintah yang ditunggu oleh Theo kini menusuk rungunya. Ia pun menggunakan dua jarinya guna membuka lipatan pusat tubuh Zee, ia buka dengan kedua jarinya agar mempermudah Theo memanjakan sang puan. Dengan bantuan dua jari Theo itu mempermudah Theo mempermainkan Zee habis habisan. Theo memberikan serangan dengan lidah dan bibirnya yang menghisap dan meraup habis kenikmatan surgawi itu tanpa sisa. Jari tangannya memberikan gerakan memutar di clit milik Zee beberapa kali.

“Theo―nghh,” Zee memejam sambil menggigit bibir. Sungguh Theo seliar ini, namun juga tidak bisa dipungkiri Zee hanyut dalam permainan Theo karena ia sudah lama tidak merasakannya.

Sebuah gigitan kecil membuat tubuh Zee sedikit tersentak, clit Zee dalam kuasa Theo diberi sapaan oleh lidah dan gigi bahkan bibir yang hampir bersamaan, sungguh membuat Zee lemah dan meracau tanpa henti.

Gerakan jari Theo untuk mengoyak liang surgawi bertambah cepat hingga sang puan kewalahan, kaki jenjang Zee juga ikut bergetar saat hampir mencapai pelepasannya. “Akh! Theo―It’s close, mmhh,” Theo tidak tahu bagian mana yang memabukkan dari seorang Zee. Yang ia tahu ia akan bawa bahagia dan nikmat bagi wanita pujaannya. Benar saja, Theo kembali memberikan gerakan cepat disana diselingi lidahnya hingga sang puan melenguh nyaring.

Akh―hmphh, Theo, ahh,” pekikan nyaring iringi Zee hampir capai puncaknya. Theo bawakan nikmat, gerakan dan hisapan serta permainan dengan lidah bawa Theo mendengar lagi suara dari sang puan.

“Theo, I want to―akhhh!” benar saja, Zee mencapai puncaknya, cairan bening dan hangat membasahi pusat tubuh Zee, ia mencapai pelepasannya oleh ulah Theo, secepat kilat Theo menghabisi cairan surgawi itu, kaki Zee bergetar dan dadanya membusung, napasnya terengah, kini, Theo beranjak dan memeluk lalu meraup ranum Zee dan membelai pipi Zee lembut, ia sematkan kecupan untuk waktu yang lama di kening Zee juga.

I want you tonight, would you spend this night with me?” bisik Theo tepat di telinga Zee lalu mengecup telinga Zee yang membuat wanita itu masih terus bergidik. Keduanya merenggangkan pelukan, Zee mengangguk lalu tersenyum dan mereka sematkan sebuah kecup bagi satu sama lain.

Theo jelma sebaik-baiknya tokoh malam itu, perlahan ia membuat Zee berbaring dengan lembut, ia jaga benar tubuh mungil dalam dekapannya itu dengan hati-hati. Saat sudah mendapatkan posisi terbaik dan menurut mereka paling nyaman untuk saling mengukung, maka bergeraklah lagi birai dan lidah Theo memimpin pemanasan kala itu.

Kini Theo mengukung lagi tubuh Zee memberikan kecupan dan mengeksplor bagian leher jenjang dan dada Zee. Ia gencar meraja dan Zee tidak lagi menghindar, bahkan saat Theo menghisap payudaranya, Zee memeluk erat leher Theo seakan memohon Theo memperdalam kegiatannya dan perlakuannya terhadap bagian sensitifnya itu.

Puncak payudara Zee diberi perlakuan terbaik malam itu, tangan Theo yang satu menangkup pipi Zee, sedangkan tangan satunya meremas payudara yang belum ia cecap. Satu jari Theo masuk ke mulut hangat Zee yang langsung dihisap oleh Zee sebagai media menyalurkan nikmatnya juga. Theo berada untuk waktu yang lama di bagian payudara Zee selagi menghisap dan memainkannya bak anak kecil yang kehausan. Menghisap dan mencecapnya, ia tak ingin berkisah, hanya ingin meraja. Kalaupun harus berkisah mungkin hanya ada Zee sebagai pemeran utamanya.

Mhh, Theo...” Zee hanya ungkapkan nikmat dalam setiap lenguh dan desahnya yang beradu lembut dengan bunyi decapan yang Theo berikan.

Lenguh keduanya beradu memecah sunyi dalam isyarat kenikmatan yang tidak bisa dibendung. Theo bak tidak memberikan Zee ruang untuk menghirup oksigen, walaupun bibirnya belum diraup habis oleh Theo namun napas Zee tersengal saat Theo melakukan dua kegiatan yang membuat Zee menggila sekaligus. Memberi sengatan di payudara Zee dan memainkan lagi pusat tubuh Zee yang sudah basah pasca pelepasan pertamanya tadi. Tangan Theo sesekali iseng mencubit dan memilin lalu meremas payudara Zee. Degup jantung kini tak beraturan, aliran darah Zee tak beraturan lebih dari detak jantungnya.

Setelah itu Theo kembali menyerang bibir Zee dengan lebih brutal, memberikan bungkaman oleh birainya yang hangat pada bibir ranum Zee yang manis bak candu bagi Theo itu. Bait puisi malam itu digantikan oleh larik dan sajak yang mereka ungkap dalam kalimat yang mendayu, tubuh Zee masih menggeliat. Ada nama Theo dalam setiap desahnya.

“Theo, ahh—” desah Zee kala merasakan bibir bawahnya sedikit digigit oleh Theo.

Theo kini mencumbu bagian leher gadisnya itu hingga Zee mendongakkan kepala dan meremas rambut Theo, tubuh Zee resah mulutnya terbuka menahan dan ingin menyalurkan segala nikmat yang ia rasakan. Kenikmatan semakin membumbung tinggi, kabut gairah semakin melingkupi.

Theo bisikkan kalimat lirih di telinga Zee, “Don’t ever leave me,” bisiknya, seketika Zee menoleh, netra kedua bersua maka sang puan mulai merasakan matanya panas namun disaat yang bersamaan ia menjatuhkan hati lebih dalam lagi kepada lelaki yang dititipkan seseorang untuknya, tidak mungkin semua ini Zee lakukan tanpa cinta. Gelora merasuki jiwa mereka, susunan cerita baru akan disusun setelah ini.

Untuk kali ini Zee menarik dagu Theo menyatukan bilah bibir mereka saat itu. Zee menahan mati-matian agar air matanya tidak tumpah. Zee memimpin pertukaran saliva kala itu dengan begitu manis dan epik hingga sang tuan kini berada di bawah kendali Zee. Tubuh Zee kini berada di atas tubuh Theo untuk menjalankan pergerakannya, Zee menurunkan ciumannya ke belakang telinga Theo dan menjilat serta mengulum bagian sensitif telinga Theo.

“Zee, ahh,” Rongga mulut yang sedikit terbuka itu kini menjadi terbuka seluruhnya. Sentuhan seduktif jari-jari Zee membuat tembok pertahanan Theo runtuh juga, ia hanyut dalam perlakuan sang puan. Lirih lenguh mengalun bersama.

“Mhh, Zee,” lenguh Theo saat merasakan lidah hangat Zee menyentuh bagian belakang telinganya bahkan menjalari lehernya dan kembali lagi mengulangi perbuatannya. Tubuh yang terasa panas kini menjadi tempat senyaman-nyamannya mereka memadu kasih.

Perut sempurna Theo diraba dengan berbagai gerakan sensual oleh Zee. Ciuman kembali Zee daratkan di bibir Theo selagi lidah mereka saling menginvasi satu sama lain, semesta seakan berhenti berputar saat keduanya memadu kasih. Bertukar hangat perasaan dan keinginan serta janji meraja satu sama lain untuk seterusnya dalam ikatan cinta.

“Your arms and hands look heavy, can I hold that?” bisik Theo sambil menyeringai.

“Sure, can I borrow your lips? I promise to give my lips back then,” saat itu juga Theo membawa kedua pergelangan tangan Zee yang sudah disatukan dalam genggamannya ke atas kepala Zee hingga ia bergerak bebas dan Zee tidak akan melawan, ia menyatukan lagi milik mereka hingga keduanya saling bersentuhan dalam senggama yang membawa hasrat nikmat malam itu, seketika bunyi decitan beradu dengan desahan lirih yang lolos kala lidah keduanya bertaut dan juga Theo yang bersiap memimpin penyatuan di bawah sana. Theo melepaskan genggaman tangannya yang menahan kedua pergelangan tangan Zee. Maka bergeraklah bebas tangan Zee kemanapun ia mau.

Pusaka milik Theo kini sudah menegang meminta untuk diberi perlakuan lebih. Terbelenggu oleh nikmat buaian malam yang indah, kini, Theo menuntun tangan Zee agar mulai memainkan kejantanannya dan memberikan gerakan disana dengan tangannya. Benar saja, Zee memberikan gerakan mengurut naik turun perlahan, keduanya saling menatap namun gerakan itu bak sebuah candu hingga Theo memejamkan matanya dan menggigit bibir bawahnya. Renjana malam membuang sisa tangis Zee dan gantikan dengan sebuah asa memikat dua isan dalam penyatuan lalu dalam sekali hentakan Theo menyatukan pusakanya ke dalam liang surgawi milik Zee saat itu.

“Zeee―ngh.”

“Theo―mhh,”

“Theo, akhh!” pekik nyaring menusuk rungu Theo saat ia benar-benar menyatukannya. Napas keduanya beradu , berburu kabut gairah kenikmatan, hal ini dilakukan Theo dan Zee penuh cinta yang membuat keduanya saling ingin meninggali dan ditinggali.

Gerakan pinggul naik turun dan memutar yang Zee berikan tak kalah jelma adiktif bagi Theo. Dua gundukan kenyal yang menggantung di dada Zee tak Theo biarkan begitu saja. Tangan gagah Theo jelma sang penguasa yang bebas memberikan gerakan apapun bagi sang puan. Kini, Zee mengalungkan tangannya di leher Theo lagi, lumatan brutal berlangsung lebih lama hingga kedua tangan Theo menjalankan tugasnya masing-masing dan lidah serta bibirnya memanjakan sang puan dengan sentuhan sensual yang ia buat. Dikecup dan sedikit dihisapnya bagian leher dan berpindah ke puncak payudara membuat sang empu merasakan gelenyar dalam dirinya sedari tadi. Namun dibawah sana keduanya masih menyatu, kadang milik Theo terasa terjepit karena milik Zee yang seakan mengetat.

Keduanya menikmati malam panjang itu bersama, perlahan namun pasti, Theo mulai menggerakkan pinggulnya.

I’ll go slowly, can I?” tanya Theo, kedua netra bersinggungan maka mengangguklah Zee dengan segala ingin yang mengangguk sepakat. Theo benar-benar jelma penawar pilu. Saat ini Theo mulai berikan gerakan dalam muara asa namun tetap menyanjung satu sama lain dalam puja di lisan balutan lenguh dan desah malam itu.

I love you Zee.” Bibir Zee menjadi muara bersemayamnya birai Theo yang melahap habis ranum Zee saat itu. Saling memeluk hingga tak ada beda dan jarak, mungkin yang berbeda hanya nama yang disenandungkan dan hanya beda sejauh deru napas yang berembus―sedekat itu mereka berdua saat itu. Sisa tangis di pipi Zee kini berubah menjadi tempat beradunya butiran peluh yang mengalir. Balasan lembut pagutan berangsur brutal untuk sang puan diberikan Theo di detik selanjutnya, pagutan dan lumatan serta sapaan lembut di birai Zee dengan lidahnya yang lihai membuat Zee membuka mulutnya memberikan akses kepada Theo untuk melakukan lebih. Theo dan Zee membiarkan desiran lembut dalam diri mereka merajai tubuh keduanya, meraih puncak libido saat ciuman itu menjadi sangat menuntut lebih. Senandung merdu menjelma dalam desah Zee yang melantunkan nama Theo. Pertukaran kasih mereka dilanjutkan, sang penawar pilu yang Zee cari selama ini sudah ia temukan. Dibalut nikmat malam, Zee dengan sukarela melingkarkan kakinya di pinggang Theo memberi akses agar Theo lebih melakukan lagi dan memberi kenikmatan lagi.

Gerakan yang Theo berikan bak afeksi pengukir rindu, bukan pilu seperti Jordan. Wanita yang dipeluk luka itu kini bisa memeluk suka. Yang biasanya meringkuk luka sendiri kini bisa memeluk dan merengkuh berbagi dekap.

Hingga saat Theo menggerakkan pinggulnya lagi, bunyi decapan bibir keduanya beradu dengan decitan ranjang, setelahnya mengudaralah lagi sebuah lenguh.

“Ahh―Theo, sshh,”

“Zee―I’ll move faster, please hold,” balas Theo.

“Sure.” balasan dari Zee dan tatapan sendu yang ia berikan kini menghipnotis Theo. Percikan cinta dan kasih malam itu semakin pekat bagi keduanya. Afeksi candu yang dibuai renjana malam itu hadir menemani keduanya dibuai gelora asmara yang saling beradu satu sama lain. Kini Theo sudah bergerak lagi, Zee melebarkan pahanya, kadang kakinya menukik menahan nikmt. Zee melingkarkan kedua kakinya di pinggang Theo agar mempermudah Theo melakukan gerakannya, rahang Theo ditarik Zee agar bersatu dalam pagutan brutal yang memabukkan.

Zee dan Theo kembali merasakan tubuhnya dijalari sebuah gelenyar yang membawa mereka ke puncak tertinggi saat ini, detik-detik terlewati dengan rasa nikmat yang tak berujung. Mereka bergantian memekik dan melenguhkan nama dengan hingga tempo tak beraturan dan semakin cepat diberikan Theo saat keduanya sudah ada di puncak hampir sampai pada pelepasan dan peleburan kasih yang bersatu.

Theo―mhh,

Akhirnya pada detik selanjutnya, Theo mengangkat sedikit tubuhnya, saling berikan nikmat dan candu satu sama lain dalam satu buaian di malam yang dingin, meski pikiran Zee berkelana entah kemana. Sebisa mungkin keduanya menyisihkan selisih. Hati yang awalnya kehilangan harap dan berteman dengan luka yang meringis kini bisa pergi dan bangkit serta semua luka itu akan Zee tangkis dengan kehadiran Theo. Karena Theo adalah wujud nyata ilusi paling liar yang mengundang Zee semakin jatuh cinta semakin dalam kepadanya. Dentuman dalam hati semakin mengudara saat setiap inchi tubuh Zee dijaga dan benar-benar diperlakukan bak juwita oleh sang tuan.

Zee mulai memejamkan mata. Dan detik selanjutnya sebuah sanjungan lewat lisan yang memekikkan nama Theo bersamaan dengan beberapa kali gerakan hentakan oleh pusaka dan pinggul Theo menusuk rungu pria itu dan saat itulah mereka berdua menyatukan segala sesuatunya malam itu. Dahi Zee mengernyit, ia sedikit mengerang, sungguh sesuatu memenuhi tubuhnya. Bahu Theo jadi media penyalur rasa nikmat. Kenang hari ini tak akan pernah pergi, ada kebanggaan di senyum Theo. Kasih suci ia berikan di setiap belaian. Bahkan pada bibir yang dipagutnya, Theo sematkan janji untuk jaga Zee dan Jeanice sampai ujung nadi.

Tubuh keduanya yang sudah basah oleh peluh itu tak henti berjuang sampai membawa surga malam bagi keduanya. “I want to coming out, Theo mhh,” desah Zee yang mengundang Theo memberikan gerakan hentakan bertubi-tubi hingga membawa dan hendak menjemput surga bagi keduanya. Luka gagap gempita berubah menjadi puing hati yang perlahan disusun lagi. keduanya ingin saling mencintai dan membagi hati. Untuk mencintai Zee pun Theo melakukannya tanpa karena. Alasan Theo bertahan hanya karena mencintai, itu saja.

“Theo―”

“Zee―”

Gerakan Theo semakin cepat, telinga keduanya tak jenuh mendengar bisikan lenguh yang memecah hening. Keduanya tak bosan beri afeksi jelma sebuah adiktif bagi satu sama lain. Perlahan namun pasti, Theo hujami liang surgawi Zee dengan beberapa hentakan hingga, “*Ahhh!” keduanya saling bersahutan saat Theo menembakkan cairan kasihnya di dalam milik Zee yang membuat tubuh Zee bergetar untuk beberapa saat dan keduanya saling memeluk erat dalam penyatuan perasaan yang semakin mengadu satu sama lain.

Keduanya saling memeluk sesaat seakan tak ingin dilepas. Hati Zee terlalu agung untuk diberi rasa sakit. Kebahagiaan tak akan pernah pergi setelah ini, keduanya hanya harus belajar berjalan bersama lagi. Langkah Zee yang pernah rapuh kini akan dibuat utuh oleh Theo. Janjikan Zee tak akan pernah sendiri, Theo janji tak akan melepas. Maka dikecupnya lagi untuk waktu yang lama bibir dan kening sang puan bergantian.

I’ll make our marriage ASAP, I love you wholeheartedly.” Bisikan Theo bawa keduanya mengubah posisi saling bersebelahan dan saling memeluk. Tak usah tanya hati lagi, karena keduanya janji tak akan pernah pergi.

“Aku sayang kamu,*” gumam Zee saat memeluk Theo erat dalam satu gulungan selimut. Puncak kepala Zee dihujam kecupan dari Theo. Namun, saat keduanya saling memeluk, tiba-tiba terdengar suara tangisan.

“Mommy, Uncle daddy! I can’t open the door, I want to pee, I can’t hold it again, Jeanice want to pee!” suara tangisan Jeanice menggema. Theo dan Zee bertatapan sejenak karena teringat belum membuka kunci pintu kamar selepas kedatangan Jordan tadi.

Maka Theo dan Zee buru-buru memakai bathrobe lalu Theo duluan yang berlari keluar kamar sambil berkata dengan nyaring, “Wait for daddy!” Zee menghela napas sejenak seakan terharu, “Daddy? Without uncle?” Zee tersenyum lagi lalu menyusul Theo ke kamar Jeanice. Pada akhirnya sajak rumpang dalam hati dan kehidupan Zee, kini digantikan dan diselesaikan oleh kedatangan Theo yang bangunkan ia dari mimpi buruknya. Sungguh, semesta mungkin akan berhenti berputar jika Zee kehilangan Theo. Sekarang Zee tersenyum lega melihat Jeanice sudah ada di gendongan Theo dan Theo juga mendekap erat anaknya itu. Sajak dan majas yang masih rumpang itu kini benar-benar dirampungkan oleh Theo.

END

Support link and access password on https://trakteer.id/awnyaii

Repeat again, please?

Jovian adalah lelaki yang tidak tahu menahu bagaimana rasanya memiliki seorang Petra. Begitu juga dengan Petra tidak tahu rasanya diperhatikan oleh seseorang yang memperlakukannya bak putri, ia ingin diperlakukan seperti itu oleh Jovian. Kerinduan Jovian akan celotehan Petra benar-benar menghinggapinya sekarang. Relung hatinya kosong setelah ia kehilangan Mamanya dan saat ini ia masih menunggu hasil keputusan sidang perceraiannya dengan Petra. Tidak bisa dipungkiri, ada rindu yang menyapa. Kebersamaan keduanya yang sempat terasa hangat, rindu yang menggebu dapat dengan mudah diwujudkan dalam sebuah temu. Jovian benar-benar merasa setengah waras saat ini, harusnya ia hirup lebih lama aroma tubuh Petra, harusnya ia dekap Petra lebih lama kala mereka berdua.

Keduanya bersepakat mengakhiri cerita dan berpisah menjadi masing-masing aksara yang berdiri sendiri. Ada yang pernah hilang namun ada lagi yang datang, ada yang menghempaskan ada yang menyambut dengan penu kasih sayang. Ada yang mencoba dipertahankan namun akan tetap dihempaskan. Bukankah kehidupan selalu seperti itu? Cinta bukan hanya saat merelakan pergi yang selalu menyakiti, semakin banyak menemui kehilangan dan penyesalan, Jovian tidak lagi bisa merasakan cinta yang sesungguhnya. Untuk rindu yang terselip Jovian titipkan dalam rapalan doa. Satu minggu setelah kepergian Mamanya, ia belum bertemu dengan Petra.

Terlebih keduanya sudah berpisah tidak dalam satu naungan atap lagi. Cinta bukan hanya sekedar perihal memberi bunga tanpa disadari bunga yang diberikan adalah mawar berduri. Pada malam ini Jovian hanya terduduk di ruangannya, ruangan yang awalnya tidak boleh dimasuki siapapun. Fotonya dan Lea sudah dibakar habis, kini tinggal foto dirinya dan Petra disana. Bahkan banyak foto-foto Petra seorang diri yang Jovian ambil secara diam-diam. Jovian ditemani beberapa botol alkohol, beberapa bungkus rokok yang sudah ia habiskan hari ini. Lebih dari tiga bungkus mungkin, ia tidak makan, hanya merutuki dirinya sendiri. tak henti menyalahkan dirinya dan membenci keadaan, menangis? Tentu. Matanya memerah dan sembab, tubuhnya lemas. Beberapa kali Jovian muntah namun tidak menghentikannya untuk tetap meminum beberapa botol alkohol lagi, ia mengunci rumahnya tidak membiarkan siapapun masuk kesana. Beberapa gelas kaca dan pecahannya ada di dekat Jovian, berserakan. Bahkan beberapa pecahan kaca itu sudah mendarat juga di kulit lengan tangannya.

Malam itu Jovian pikir ia akan menyusul Mamanya, ia sudah menorehkan goresan luka di lengannya sendiri. Amarahnya terjejal di rinai yang mengalir di pipinya. Namun tiba-tiba Jovian mendengar suara pintu yang terbuka. Ia tidak beranjak karena ia berpikir mungkin itu hanya halusinasinya saja. Hingga ia tersentak kaget mendengar suara nyaring yang menembus telinganya.

“Jovian!” Seorang wanita berdiri di ambang pintu dengan tatapan nanar. Sungguh? Bukan bayangan? Wanita itu berjalan perlahan menghampiri Jovian, perlahan berlutut dan meraih tangan Jovian, botol alkohol yang Jovian genggam diambilnya dan dibuang ke sembarang arah hingga terdengar bunyi nyaring pecahannya.

“Jov, kenapa kaya gini sih?” kata Petra perlahan. Iya, Petra disana.

“Petra, ini kamu?” tanya Jovian lirih.

“Jov, nggak gini caranya. Kamu jang―” belum usai Petra dengan kalimatnya, Jovian langsung mendekap wanita di depannya.

“Ra, kamu pulang? Kamu beneran pulang, Ra? Kita nggak jadi pisah? Aku bakalan bilang sama Mama kita nggak akan pisah!” dalam pelukan Jovian, Petra hanya bisa meneteskan air mata sambil membalas pelukan itu.

“Jov...”

“Makasih kamu udah dateng, Ra. Makasih, Ra...”

Tak ada yang bisa Petra jabarkan saat itu. Perlahan Petra merasakan Jovian mulai melemah dan kehilangan kesadarannya.

“Jovian!” ia berteriak panik.


Petra duduk di sebelah Jovian yang terbaring di ranjang, ia membasuh wajah dan tangan Jovian dengan air hangat. Hingga pandangan Petra terarah kepada goresan luka di lengan Jovian. Malam ini Petra biarkan dirinya datang ke rumah ini lagi karena kekhawatirannya terhadap keadaan Jovian. Rindu itu selalu menyelinap ke hati Petra, ia tidak bisa membendungnya. Namun luka masih tertenun apik di puncak hati dan perasaannya oleh karena Jovian. Hatinya memang pedih, tapi lebih pedih lagi melihat keadaan Jovian seperti sekarang.

Akhirnya Petra perlahan melonggarkan kancing baju Jovian. Namun, tangan Jovian malah sigap menggenggam tangan wanita itu, lalu menariknya mendekat membuat jarak wajah antara keduanya terkikis, napas Jovian yang berembus dapat Petra rasakan dengan jelas serta bau alkohol yang menyengat. Mata Jovian terbuka, mata yang memerah itu menatap Petra dengan sayu. “Kamu pulang? Disini aja ya? Jangan pergi.” Jovian berkata dengan suara beratnya.

“Jov.” Petra menjauhkan tubuhnya.

Can you just stay here? Ra, aku kosong, hampa tanpa siapa-siapa. Aku bener-bener sendiri, Ra.”

“Kamu yang nggak pernah memperbolehkan aku masuk, akhirnya kamu tetap dengan kekosongan itu sampai sekarang.” Balas Petra sambil melepaskan genggaman tangan Jovia.

“Aku butuh kamu, aku butuh kamu...” kata Jovian sambil berusaha duduk,

“Apa? Butuh aku buat apa?” tanya Petra ketus.

“Aku mau kamu disini,” balas Jovian dengan tatapan nanar. Lalu ia menarik tangan Petra dan memeluknya.

I know it’s too late but I need you.”

You just need me, kamu bukan cinta sama aku.” Petra merenggangkan rengkuh, Jovian menangkup pipi Petra dan menatapnya dengan mata yang mulai panas sambil mengangkat satu alisnya.

I’ll try!!” suara Jovian meninggi membuat Petra memejam dan hampir menangis.

“Jangan kaya gini, Jov. Jangan nyakitin diri kamu sendiri.” Petra tertunduk, ia terisak disana.

“Aku nggak pernah dapet kebahagiaan. Semuanya pergi, aku sendiri. pada akhirnya aku sendiri!” Jovian berkata dengan nada tinggi.

“Kenapa baru sekarang? Kenapa baru sekarang minta aku stay? Kenapa dari kemarin nggak peduli? Kamu harusnya sad―” seketika itu juga, Jovian menarik pinggang Petra mendekat, satu tangannya menarik tengkuk leher Petra dan membungkam bibir Petra dengan bibirnya. Jovian menggunakan lidahnya untuk menyapu bibir Petra. Wanita itu belum membalasnya, Petra masih melipat bibirnya, tak mau memberi balasan. Bahkan ia memberontak namun tak kunjung dilepas oleh Jovian. Bau alkohol dan rokok tercium dari jarak dekat saat Petra menyatukan birai dengan Jovian.

Namun Petra kembali memberontak, ia mendorong tubuh Jovian menjauh dan menghempaskannya ke ranjang. Petra beranjak dari sana dengan langkah cepat namun, lagi dan lagi Jovian menarik pergelangan tangan Petra, membuat Petra dalam dekapannya dalam sedetik dan melumat bibir Petra lagi. Jovian benar-benar menunggu kedatangan sang puan, tidak semudah itu ia biarkan hadirnya Petra pergi dan berlalu begitu saja.

“Jovian!!” Petra sekali lagi menjauhkan tubuhnya namun tangan Jovian masih melingkar di pinggangnya.

“Aku datang kesini karena kamu terluka, kamu masih berduka. Bukan karena apa-apa. Sekarang lepasin aku!”

“Sebegitu nyakitinnya aku selama ini ya? Ra, maaf kalau aku Cuma bisa kasih luka, bahkan waktu peluk kamu, pasti rasanya sakit ya, Ra?” seketika mendengar ucapan Jovian itu Petra tersedu saat itu juga. Tak habis pikir dengan satu kalimat yang amat menusuk hatinya, tapi memang benar adanya.

Petra terduduk di ranjang, menangis terisak perlahan berangsur mengeras. Bahkan Jovian juga menyadari bahwa selama ini hanya luka yang diberikan. Sikap Jovian benar-benar berbeda hari ini. Jovian mengulur harap yang nyata. Namun hanya menimbulkan ragu lain dalam hati Petra. Kini tangan Jovian menarik dagu Petra lalu kembali menyatukan birai dengan wanita yang masih menangis itu. Namun kini, Petra melingkarkan tangan di tubuh Jovian juga. Jovian tak berhenti disana ia menekan tengkuk leher Petra lidahnya bergerak lembut yang akhirnya membuat Petra membalas ciuman itu, saat rongga dibiarkan terbuka, lidah Jovian melesat masuk menginvasi setiap inci bagian dalam rongga mulut Petra dan menautkan lidahnya disana membiarkan keduanya bertukar saliva dan saling membalasnya. Keduanya saling memainkan lidah dengan lihai tak hanya saliva yang ditukar mungkin juga isi perasaan.

Petra mulai hanyut begitu juga dengan Jovian yang mungkin masih terpengaruh alkohol, bibir mereka masih dibiarkan bertaut. Jovian menuntun dan mulai menidurkan Petra lagi di ranjang. Dengan lembut, dan dengan pancara mata yang sepenuhnya mengisyaratkan duka, pandangan Petra dan Jovian beradu. Keduanya sama-sama menitikan air mata.

“Aku terlambat ya, Ra? Nggak mungkin ada kesempatan buat aku?” tanya Jovian yang kini mengukung tubuh Petra di bawahnya.

“Mau kamu apa, sih?”

“Saat ini aku mau... kamu.”

Kokohnya hati Petra saat itu lebur juga, Jovian menahan beban tubuhnya dengan kedua siku dan lengan yang menjadi tumpuannya. Ia kembali menyatukan kedua belah bibirnya dengan bibir Petra. Perlahan ia rasakan tangan Petra melingkar di lehernya. Jovian langsung melesatkan lidahnya lagi guna menginvasi rongga mulut Petra. Lumatan dan pagutan berlangsung mesra―dan menyakitkan. Saat ciuman keduanya mulai saling menuntut lebih, perlahan tangan Jovian mulai melucuti semua yang menempel di tubuh Petra. Teringat Jelas di benak Petra saat ia melakukan itu pertama kali dengan Jovian. Nama Lea yang ia dengar, bukan namanya.

Apakah hari ini akan berakhir sama? Jovian mengukung tubuh Petra dibawah kendalinya, segala yang menempel di tubuhnya juga ia lucuti dengan bantuan tangan Petra yang bergerak secara sensual. Keduanya sudah ada dalam keadaan naked sekarang. Jovian belum melepaskan pagutan, Petra menjelma bak juwita malam dengan segala keindahannya dan luka yang setia menemaninya. Kenangan kala bersama lewat di benaknya beriringan dengan lumatan yang Jovian berikan. Selama ini rasanya tak berbalas, ia sibuk berjuang dan Jovian sibuk menghempaskan.

Pada menit selanjutnya sisi liar keduanya menyala saat cumbu dipagut lebih dalam oleh sang tuan yang memeluknya dan saat jemari Jovian menjalari seluruh bagian tubuh Petra, mereka pernah melewati masa yang mereka sebut indah walau hanya sesaat. Kini, jemari Jovian bergerak menuju pusat tubuh sang puan dan bermain disana. Sapaan lembut pertama untuk beberapa detik Jovian berikan, gerakan membuka lipatan lembab di bawah sana, hingga gerakan menekan yang ia berikan membuat Petra melenguh dan membusungkan dadanya sesaat.

“Ngh―Jovian, ahh...” lenguhnya hingga saat jari panjangnya ia biarkan melesat masuk dan memberikan gerakan memutar dan menekan clit milik Petra, lenguhan selanjutnya tidak bisa ditahan lagi.

“Ngh, Jovian.” Petra menggeliat kala bagian pusat tubuhnya disapa oleh jari Jovian yang memberikan banyak gerakan di bawah sana, Petra luluh seluruh. Bagian yang menjadi titik tumpu dan menyalanya sisi lain dari Petra berhasil dikuasai Jovian saat ini. Membuat Petra sedikit menggeliat, dan melenguh walau diatas hati yang rapuh. Kepala Petra sedikit mendongak saat pergerakan jemari Jovian dibawah sana semakin liar.

Can you say my name? Again, please?.” Jovian berbisik dalam lirih. Tidak ada perlawanan dan penolakan.

“Jovian, mhh...”

Kini tubuh keduanya saling bersentuhan dan bergesekan menambah gelenyar nikmat yang memabukkan bagi keduanya. Jovian masih terus mencumbu bibir Petra, bahkan Petra juga memagutnya semakin dalam membiarkan lidahnya bertaut dan beradu. Membiarkan gigitan kecil Jovian berikan kepada Petra lewat penyatuan dua belah birai yang sudah lama tak bertemu itu. Jovian yang masih mabuk bertambah kepayang, sesekali memandang wajah Petra yang memejam di bawah kendalinya.

I miss you,” batinnya. Kini Jari panjang Jovian kembali masuk dan melesat masuk serta mengobrak abrik milik Petra di bawah sana dengan gerakan cepat. Membuat sang puan kewalahan. Nama Jovian nyaring terdengar bak candu dalam setiap lenguhannya. Kepala Petra yang mendongak diambil Jovian untuk mengecup dan mencumbu mesra bagian leher sang puan. Bibir dan lidahnya lihai menjalari bagian leher Petra memanjakan dengan sentuhan sutra membuat sang puan seakan terbang ke awan-awan. Tangan Jovian yang satu lagi bergerilya memainkan payudara sang puan, gundukan kenyal dibiarkan Petra untuk dikuasai tangan gagah Jovian yang memanjakan dengan pijatan dan rematan lembut yang bisa membuatnya semakin sukarela dikuasai pria yang tengah bersamanya.

Kali ini kedua tangan Jovian menjalankan tugasnya masing-masing dan lidah serta bibirnya memanjakan sang puan dengan sentuhan sensual yang ia buat. Dikecup dan sedikit dihisapnya bagian leher dan berpindah ke puncak payudara membuat sang empu merasakan gelenyar dalam dirinya sedari tadi. Petra terpejam namun mengalir butir kristal dari mata wanita cantik itu. Sela rambut Jovian setelahnya menjadi media bagi Petra menyalurkan nikmat yang perlahan mulai ia rasakan, tak butuh waktu lama. Balasan lembut pagutan berangsur brutal untuk sang puan diberikan Jovian di detik selanjutnya, pagutan dan lumatan serta sapaan lembut di birai Petra dengan lidahnya yang lihai membuat Petra membuka mulutnya memberikan akses kepada Jovian untuk melakukan lebih.

Jovian kembali beraksi, Jovian mengukung tubuh Petra dan menyentuh lembut pipi Petra. Memberikan tatapan syahdu pengantar sembilu yang menyatu dengan tatapan sendunya, ia tahu tatapan dengan penuh harap agar sang puan tetap tinggal itu tidak akan terbalas, tanpa ada kata terucap hanya dua netra beradu dalam satu titik temu. Saling bertukar pilu dalam bulir air mata yang sempat jatuh.

“Jangan cerai, kita mulai dari awal, mau?” Jovian menawarkan suatu hal yang mustahil dikabulkan oleh Petra.

Petra hanya tersenyum diatas air matanya dan menggeleng, “Kosong, Ra. Bener-bener kosong.” Jovian membelai wajah Petra. Mata Petra berkaca-kaca saat menatap sang tuan dimana keduanya sempat menyematkan sebutan kepemilikan untuk satu sama lain. Jemari Jovianmentuh menyapu lembut bilah birai Petra lembut memberikan sapaan setelah lama tidak menjamah. Petra tersenyum dan menangkup pipi Jovian, dirapikannya rambut sang tuan dengan jemarinya.

“Kamu nggak seharusnya jadi seberantakan ini, aku hanya mengimbangi sikap kamu selama ini. Dan aku udah ada di puncaknya, Jovian.” Mungkin kalimat itu Petra rapalkan dengan berat hati karena sebenarnya masih ada waktu lima bulan yang tersisa namun ia tidak mau harga diri dan dirinya sendiri terluka.

“Sejahat itu ternyata aku buat kamu, ya?” tanya Jovian lagi dengan lirih. Petra membuang pandangannya ke samping. Jovian paham bahwa bukan sekarang saat yang tepat untuk menanyakan hal ini kepada Petra. “Sorry, jangan dijawab, sayang.” Petra mengembalikan pandangannya kepada Jovian.

“Apa kamu bilang?”

“Sayang.”

“Apa?”

“Jangan dijawab, sayang.” Pria itu tersenyum lalu mendaratkan kecup dan mulai memagut mesra bibir sang puan. Lumatan lembut perlahan brutal beradu dengan lidah yang saling berpadu di dalam rongga mulut dibarengi dengan gigitan kecil yang mereka berikan satu sama lain. Jovian tak henti mencium dan memainkan bibir Petra dengan bibirnya. Bertukar saliva satu sama lain, tangan Petra tidak bisa ia gerakkan karena Jovian menguncinya diatas sana. Petra masih tidak menyangka untuk pertama kalinya kata SAYANG keluar dari mulut pria itu. Hatinya berdesir tidak beraturan. Sungguh. Petra tak ingin beranjak rasanya. Selama ini Petra bak dihinggapi langit mendung saja, termangu meratapi diri. namun belakangan ini Jovian sibuk meminta dan memohon, bukankah itu terlambat?

“Jov mhh,” satu lenguhan lolos dari Petra. Jovian melepaskan pagutannya, ia berbisik di telinga Petra, “Aku sadar dengan ucapanku tadi. Asal kamu tahu, Ra.” Katanya berbisik di telinga Petra sebelum ia memainkan lidah dan bibirnya di bagian leher dan telinga Petra dengan seduktif. Menjilat bagian telinga Petra dan bagian belakangnya yang membuat sisi liar Petra menyala. Wanita dibawah kendali Jovian menggeliat saat lidah Jovian bermain di sela lehernya untuk menghisap dan menggigit sedikit walaupun tanpa meninggalkan bekas disana. Suasana panas, dan bergairah melingkupi keduanya, meraja di hati dan tubuh keduanya. Kini kegiatan itu berlangsung tanpa paksaan sama sekali.

Cumbuan dari Jovian turun ke setiap inchi tubuh Petra, “Jovian ahh,” Petra mendesah dan membusungkan badannya, tangan Petra meremas sprei yang ada disana menahan nikmat yang tidak bisa ia tahan lagi. Pusat tubuh Petra kembali mendapat jamahan yang semakin dalam dari Jovian. Petra langsung meraih rahang Jovian dan menariknya memagutnya dengan sensual, keduanya berbalas rasa.

Seluruh bagian bibir Petra dicecap dan dijamah oleh bibir Jovian hingga kini payudara Petra juga menjadi tempat yang didiami bibir Jovian untuk bermukim. Ada rasa haru yang mencuat di benak Petra, ada rasa tidak ingin kehilangan yang tiba-tiba hadir menghinggapi hati Jovian. Dan mungkin kebersamaan keduanya cukup menunjukkan bagaimana mereka tidak ingin kehilangan satu sama lain sebenarnya.

Sudah lama terhitung sejak pertama mereka melakukan ini pertama kali setelah pernikahan, kini leher dicecap, dada dijajah, payudara dipilin lalu dihisap dan diremas bergantian oleh Jovian. Pria itu menggunakan satu tangannya untuk memilin payudara sebelah Petra yang belum ia cecap dan satu tangannya ia gunakan untuk membelai dan memberikan sentuhan sensual di tubuh Petra hingga wanita itu menggeliat dibuatnya. Lidah Jovian juga tidak kalah diam, dibiarkan lidahnya menjilati bagian payudara Petra dengan rata, puncak payudara dijilat dan dimainkan dengan lihai tanpa henti. Kadang Petra juga memeluk erat kepala Jovian meminta sang tuan memperdalam dan merajainya. Gerakan lidah naik turun dan memutar, puncak payudara Petra diperlakukan begitu hati-hati oleh Jovian, lembut dan mesrra.

“Mmhh—Jov, again... I want it again,”

Tangan Petra menarik tubuh Jovian semakin dekat dengannya hingga payudaranya menempel dengan dada Jovian. Sang tuan menyentuh bagian paha Petra dengan sentuhan menggelikan dan memancing nafsu. Tubuh Petra menggelinjang kala bibir mereka bersatu Jovian menciumnya dengan sedikit lebih bernafsu dan dua jari Jovian berhasil memasuki pusat tubuh Petra dan bergerak liar dibawah sana lagi. Petra meracau tak henti mendesahkan nama Jovian. Petra menggelinjang kala ia merasakan perih dan satu kenikmatan saat Jovian melakukannya dengan cepat lalu menambah satu jari lagi untuk dimainkan di pusat tubuhnya dan memainkan clitnya. Petra menggigit bibirnya dan mengernyitkan keningnya menahan sensasi yang sudah lama tidak ia rasakan itu. Jovian meredamnya dengan kecupan bertubi tubi di pipi dan kening Petra kadang membuat sang puan merasa lebih nyaman.

“Jovian ahh,” Wanita itu mengerang dan mencengkram bahu Jovem ysesekali. Jovian melepaskan jarinya dari pusat tubuh Petra. Ia mulai mencumbu pusat tubuh Petra, lidah dan bibir ia mainkan disana, gerakan menusuk dan naik turun lihai Jovian berikan di bagian sensitive Petra. Ingin Petra ungkap pilu dalam hatinya yang sudah membiru namun terlalu terbuai dengan cumbu yang Jovian berikan. Peluh mulai membasahi keduanya. Mereka melakukan ini tanpa paksaan dan dalam kesadaran penuh. Membagi rasa dan rindu yang saling beradu karena sudah lama terpisah. Bagaimana mungkin yang pernah berbagi ranjang menjadi musuh yang saling berperang? “Mhh, Jov, ahh,” desahan dan lenguhan Petra menjadi pemandangan yang indah bagi Jovian. Badan yang menggelinjang, kepala yang mendongak, mata yang terpejam membuat Jovian juga mabuk kepayang. Sungguh, ia ingin meraja dan memiliki wanita dibawah kendalinya ini tanpa terlewat satu detik pun.

Jovian yang mengukung Petra pun semakin hanyut dalam permainan yang ia buat. Petra mengalungkan tangannya di leher Jovian.

Ahh,” desahan lolos lagi dari mulut Petra membuat Jovian semakin bergairah. Jari Jovian masih sibuk bermain dibawah sana dan ia melepaskan pagutannya untuk melihat pemandangan paras ayu Petra dibawah kendalinya.

Kini dirasa pusat tubuh Petra telah siap, Jovian menghentikan gerakan jarinya disana. Kini bagian dari pusat tubuh Petra diisi oleh milik Jovian dalam dua kali hentakan yang menghantarkan Petra melenguhkan nama Jovian nyaring dan juga Jovian yang mengerang. “Jovian―akhh!” Petra benar-benar memejamkan mata dan keningnya mengernyit. Jovian mengecupi bibir dan pipi Petra bergantian.

“Relax, sayang.” Pintanya.

Apa? Sayang? Untuk kedua kalinya Petra kaget dengan ucapan Jovian. Namun belum sempat Petra meminta Jovian untuk mengulang ucapanya detik selanjutnya Jovian sudah mulai menggoyangkan pinggulnya dengan perlahan membuat Petra mulai menikmatinya. Keduanya hanyut dalam gelenyar buaian renjana guna membasuh rindu dan menunda perpisahan yang sebenar-benarnya ada. Lisan mengumandangkan nama masing-masing.

“Petra ahh,” Jovian bergerak pelan memastikan sang puan tidak merasa kesakitan sama sekali. Ia benar-benar ingin saling menikmati. Rasanya berbeda seperti yang pertama kali mereka lakukan. Gerakan pinggul Jovian diimbangi geliat tubuh Petra dan juga lumatan antar bibir mereka bagi satu sama lain.

“Petra ngh, can you just stay here, can you?” Mata Jovian memejam namun ia mengerang dengan kalimatnya yang terdengar sangat pilu itu. Keduanya menyatu dalam keindahan buaian malam, merebakkan perasaan yang sudah lama ingin dipadu dengan asa bersama bukan pilu yang dibiarkan melebam di hati masing-masing.

Lidah dan lumatan saling beradu dengan bunyi decitan ranjang yang ditimbulkan keduanya. “Ahh, mhh,” “Jovian―ngh”

Can I move faster?” tanya Jovian, pandangan keduanya bertaut. Petra menggeleng,

Slowly please, aku kangen, aku kangen kamu.” Petra mengucapkan kalimatnya dengan kesungguhan. Hati Jovian berdesir nyeri. Nikmat senggama tubuh keduanya tidak hanya menghadirkan rasa nikmat saat diraja namun juga sendu saat kedua netra bersua.

“Ra, aku lebih. Aku lebih kangen kehadiran kamu disini.” Balas Jovian, untuk sesaat Jovian mengecup kening Petra untuk waktu yang lama.

Sial! Air mata lolos dari ekor mata Petra saat ini. Jovian yang merasakannya pun kembali menyangga tubuhnya lagi, menatap wanita dalam dekap dan dibawah kendali tubuh kekarnya.

“Jangan nangis, Ra. Jangan nangisin bajingan dan orang brengsek kaya aku.” Katanya sambil membelai lembut pipi Petra berulang kali guna menenangkan jiwa yang rapuh itu. Tangan Petra bergerak meraih pipi dan satu tangannya meraih rahang Jovian, ditatapnya lekat pria itu. Dipandanginya seluruh bagian detail wajah Jovian saat itu.

“Jovian, untuk sekalipun aku nggak pernah menyesal pernah menjatuhkan hati sama kamu.” Dibawanya wajahnya mendekat dan disatukan bibirnya dengan bibir Jovian saat itu. Pagutan menyayat hati dirasakan keduanya namun pagutan itu semakin enggan dilepas. Dibawah sana Jovian kembali memberi gerakan pelan mengimbangi tempo pagutan yang bertaut. Petra dan Jovian curahkan segala resah dan segala yang ada di hati mereka lewat penyatuan kali ini.

Keduanya masih bergantian meracau dan mendesahkan nama satu sama lain. “Jovian, you can do it,” kata Petra lirih. Petra memeluk leher Jovian, membiarkan suaminya menelusupkan wajahnya di sela leher Petra. Ia rasakan Jovian mengangguk. Ketidaktahuan Jovian tentang orang-orang yang menyakiti dan merendahkan Petra membawanya kepada senya yang merambat kala itu padahal ia tahu ada luka yang tersayat lebar di hati istrinya. “Petra mhh,” Jovian mendesah saat merasakan kejantanannya dijepit oleh pusat tubuh Petra saat itu yang semakin bertambah ketat. “Move Jovian, you can do it right now,” bisik Petra lirih. Hal itu diindahkan Jovian dengan menggerakkan pinggulnya pelan namun pasti. Segala kenikmatan menyatu dan menjalar di dalam diri mereka. Menyatu dalam sebuah senggama yang membuai keduanya dibarengi libido yang kian memuncak meletupkan suasana berbeda dari sebelumnya.

Napas Petra dan gerakan pinggul Jovian yang semakin bergerak cepat tidak bisa seimbang dan beriringan dan saling berlomba saling mendahului. Jovian kembali melahap payudara Petra sesaat sebelum naik lagi ke bibir Petra. Menahan dan membungkam Petra yang mendesah.

“Petra mhh, this is so.. ahh..” Lenguhan Jovian bertambah nyaring saat ia sendiri menggerakkan pinggulnya dengan gerakan maju mundur sesekali memutar membuat keduanya sama-sama gila. Senggama nikmat dan syahdu membelenggu keduanya saat ini. Mereka sudah hampir mencapai puncaknya lagi. Beberapa pergerakan pinggul Jovian membuat keduanya hampir mencapai puncaknya.

Petra, can we do it together?” Jovian berbisik mesra dan sensuual di telinga Petra dan setelah itu mengecupi telinga Petra. Wanita itu memejamkan mata saat merasakan sesuatu yang berkedut dibawah sana. Jovian yang merasakan miliknya semakin menegang pun menggerakkan pinggulnya lebih cepat hingga tubuh Petra bergetar merasa sesuatu hendak keluar dari dalam tubuhnya. Keduanya sama-sama disanjung lewat desahan merdu yang menjelma candu.

Can you repeat it again? Can you say and moan my name, Jov?” perkataan Petra dibalas gerakan pinggul yang sedikit lebih cepat.

“Petra mhh... don’t leave me alone, I beg you hmpph” detik selanjutnya Jovian meraup payudara Petra, menghisapnya dalam dan menciumi bagian puncaknya. Hisapan yang dalam dan lekat itu membuat Petra merasakan nikmat bertubi-tubi. “Petra ngh.” “Jovian mhh,” “It is almost Jov sshhh” Jovian yang mendengar hal itu pun tak tinggal diam, ia jemput kenikmatan bersama sang puan. “Together, babe,” pinta Jovian, rintihan dan lenguhan keduanya beradu memecah hening melawan bunyi denting jam. Perlakuan Jovian kali ini adalah sebaik-baiknya perlakuan suami yang memberikan hak sebenar-benarnya kepada Petra yang masih menjadi istrinya. Nama Petra dikumandangkan dalam lenguh. Bukan nama wanita lain.

“Petra―ahh,” kini gerakan Jovian semakin cepat hingga tubuh sang puan bergetar, dan keduanya merasakan surga bersama dalam satu penyatuan intens malam itu.

“Ahhhh―” keduanya mendesah bersama saat tubuh Petra bergetar beberapa kali saat menerima curahan cairan penuh kasih dan saat Jovian berhasil mengeluarkannya disana.

“Petra mhh..” Jovian mengerang untuk kali terakhir saat ia berhasil melepaskan seluruhnya di dalam milik Petra, Jovian tak berhenti disana, ia berikan kecupan lama di bibir Petra sembari Petra masih bergelut mengatur napasnya yang terengah.

Petra tersenyum haru, Jovian merenggangkan lumatannya. Ditatapnya wanita di bawahnya yang masih berkaca-kaca.

“*I call out your name, wholeheartedly, Petra. Valerie Petra Alexa.”

Petra tersenyum dan mengangguk. Jovian mencium kening Petra lagi. Tanpa sadar tangan Petra memeluk Jovian erat. Kini keduanya merebahkan diri bersamaan dan bersebelahan lalu memeluk satu sama lain untuk terakhir kali dan melayangkan kecup untuk satu sama lain. Bergulung dalam satu selimut sembari masih belum bisa memercayai apa yang baru saja terjadi. “Semua yang kamu ajarin ke aku, bermakna. Kecuali perpisahan yang akan kita hadapi sebentar lagi.” kata Jovian yang memastikan tubuh mungil Petra itu sempurna dalam pelukannya Tak ada kata yang mencuat dari keduanya setelahnya, Petra bak langit temaram yang selalu terhantam dan karam. Keduanya saling menatap kala Petra mendongakkan kepalanya, bibir Petra bergetar melihat suaminya yang memejam. Saat itu juga air mata Petra menetes dan ia melipat bibirnya, entah angin apa yang merasuki Jovian, seakan bisa merasakan sang puan menangis, Jovian menepuk-nepuk punggung Petra lembut dan mengecup kening Petra, tak dibiarkan bibirnya lekang dari sana. Mereka bergulung dalam satu selimut, kegelisahan perihal perpisahan belum reda, terlebih bagi Jovian. Pelukan Jovian bertambah erat saat merasakan Petra yang memeluknya lebih dalam lagi dan menelusupkan wajahnya di dada bidang Jovian. Pria itu sadar tidak mungkin baginya untuk membuat sang puan tinggal disana sebab terlalu dalam luka yang ia goreskan. Terlalu banyak duka yang ia berikan kala bersama. Demi apapun, Jovian tenggelam dalam lautan penyesalan terdalamnya.

“Dua minggu lagi keputusan sidang keluar, would you stay here for the rest of our time?” tanya Jovian.

“Jovian..”

Pria itu menunduk menatap wanita dalam dekapannya.

“Boleh, Ra? Dua minggu aja.”

“Iya. Boleh.”

Segelintir lega dan selaksa ketakutan bersamaan hinggapi hati Jovian. Ia tidak menyangka kebersamaan yang awalnya palsu itu membawanya merasakan pilu yang sebenar-benarnya ada. Tak ada guna menghapus segala jejak yang terukir, hati Jovian lantang menyerukan kegagalannya sebagai seorang pria yang dianugerahi sosok wanita hebat yang sang empunya hadirkan. Dua minggu dari saat mereka saling memeluk kali ini. Apakah membawa keduanya kembali dalam dekap atau perpisahan yang hanya akan menghasilkan kenangan yang pernah hinggap?

NICHOLETTA

Pada genggam tangan Letta―kekasih Jevin, dititipkan rapalan doa agar sang tuan segera membuka matanya. Pada diri yang tertegun dititipkan harap agar sang tuan kembali bersamanya merajut asa, kepalanya tertunduk lalu mendekatkan wajahnya ke wajah sang suami yang masih terpejam lantas mendaratkan kecup di pipi yang tercinta. Jevin adalah satu diantara berjuta lelaki yang memenangkan hati Letta.

Hatinya yang hancur menjadi kepingan ingin kembali dibuat utuh. Matahari yang tenggelam terganti oleh dinginnya malam membawa Letta kepada ingatan satu tahun silam dimana kisahnya dan Mevin harus berakhir dan pada akhirnya ia harus menjatuhkan hati kepada Jevin.

Cukup lama Letta dan Mevin menjalin hubungan namun harus berakhir. Ia sebenarnya memiliki ketakutan sejak awal, bagaimana bisa ia berpisah dengan Mevin lalu menjalin hubungan dengan Jevin? Walaupun dengan jangka waktu dan selang waktu yang lama. Ketakutan memeluk diri Letta lebih erat, belum ada kemajuan kondisi Jevin, dadanya sesak hatinya pedih. Tak lama Letta dengar seseorang melangkah masuk kesana, Letta buru-buru bangkit berdiri dan menoleh. Didapatinya Mevin berjalan mendekati Letta. “Letta?”

“Mevin?”

“Kamu udah dari tadi? Papa suruh aku jagain Jevin, kamu pulang aja nggak a” Letta menghela napas dan memeluk anaknya itu sesaat lalu merenggangkannya.

“Iya, Mevin.”

Letta pun hendak meninggalkan ruangan itu namun Mevin meraih tangan mantan kekasihnya itu, sekilas beradu tatap lalu melepaskan genggamannya, “Jangan sampai sakit, ada Jevin yang harus kamu jaga. Dia nggak mau kamu sakit.”

“Kamu juga, ya. Jaga kesehatan, makasih udah jadi kembaran yang baik buat Jevin. Makasih banyak donor darahnya, kamu bener-bener―”

“Itu gunanya kembaran, right?” Mevin mengangkat alisnya dan tersenyum dibalas oleh Letta yang juga tersenyum.

Mevin menggigit bibirnya, seakan ingin berucap namun tertahan. Letta yang paham pun bertanya dengan nada teduh, “Kenapa, Vin?”

“I just feel bad to Jevin sometimes.” Letta mengelus pundak Mevin, “Kamu adalah versi terbaik sebagai kembaran buat dia, perselisihan itu wajar, namanya juga keluarga.”

Mevin merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah foto polaroid. Foto di air terjun yang diambil Mevin dengan kameranya saat masih menjadi sepasang kekasih dengan Letta. Dan di foto itu juga ada Jevin. Tangan Letta sedikit bergetar saat meraih foto itu. Melihatnya lamat-lamat dan foto itu membawa ingatannya kembali, ingatan saat masih memadu kasih bersama Mevin untuk waktu yang lama. Dengan kekasih pertamanya itu.

“In the end kamu berlayar sama Jevin. Aku harap kalian sama-sama jadi yang terakhir. Ya? Aku udah gagal jagain kamu.”

“Mevin...”

“Kamu dunianya Jevin.” Letta mengajak Mevin keluar dari ruangan itu untuk duduk di bangku panjang di depan ruangan Jevin dirawat. Keduanya duduk bersebelahan, Letta menggenggam tangan Mevin, dibawanya pandangannya menatap iris gelap yang menyiratkan keteduhan.

“Jevin sering cerita, dia banyak iri sama kamu. Tentang papa mama kalian yang dia anggap membedakan perlakuan, dan banyak lagi” Kalimat itu membawa Mevin menghela napas dan tersenyum.

“Aku tahu, aku paham. Tapi memang bener, aku kan cuma anak angkat, yang anak kandung kan Jevin.” Mendengar hal itu Letta menangkup pipi Mevin.

“Kamu lebih pantas sama Jevin daripada sama aku.” Lanjut Mevin.

Letta terisak disana, Mevin melepaskan tangan yang memegang pipinya dan melepaskannya namun membawanya dalam genggam.

“Maafin aku, kita pisah karena memang udah jalannya. Bukan karena faktor apapun, aku nggak peduli latar belakang kamu...” Bisik Letta lirih.

“Iya, makanya kamu harus bahagia sama Jevin, ya?” kata Mevin sekali lagi. Letta terisak tak ada yang lebih menyakitkan dari melihat keadaan Jevin dan mendengar perkataan Mevin saat ini. Sekali lagi Letta menatap jendela ruangan di depannya. Menitipkan doa agar Jevin lekas membuka matanya.

BROTHER

Kalau semua hal yang ada di dunia itu adalah takdir, semua pasti sudah digariskan sejak awal. Dengan apa pilu harus direngkuh? Entah apa yang direncanakan sang empunya kehidupan dengan segala pertemuan dan hal-hal yang dititipkan. Kondisi Jevin ternyata lebih parah dari Jeremy. Lea, Lauren dan Mevin nampak sangat gusar.

“Keluarga pasien Jevin dan Jeremy?” tanya sang dokter.

“Saya Mamanya,” kata Lea sambil bergegas mendekati sang dokter. Sebuah ketakutan besar bermukim di pandangan mata Lea.

“Kondisi pasien Jeremy bisa ditangani, kita bisa pindahkan ke ruang rawat inap. Untuk Jevin dia kehilangan banyak darah, apakah ada yang golongan darahnya sama dengan pasien? Kantong darah kami kekurangan stok untuk golongan darah Jevin,” kata-kata sang dokter terangkai menyiratkan duka mendalam. Mimpi buruk apa yang baru saja Lea alami?

“Saya aja dok, saya Mamanya golongan darah saya sama dengan Jevin.” Kata sang dokter.

“Ma, aku juga sama kaya Jevin kan? Aku bisa kan ma?” sanggah Mevin.

“Mama kan lagi sakit,” kata Lauren.

“Kondisi pendonor harus sehat.” Ucapan sang dokter membuat mereka terdiam.

“Saya aja, Dok.” Kata Mevin sambil berjalan mendekati sang dokter.

Temaram sedikit terang saat itu, walaupun perputaran detik waktu seakan berjalan lambat karena Lea, Lauren dan Mevin dihinggapi ketakutan, namun ada sedikit kelegaan saat mendengar Mevin bisa mendonorkan darahnya untuk Jevin. Akhirnya saat itu Lea ditemani Lauren menunggu di ruang tunggu dengan sedikit harap yang beradu dalam kecemasan. Doa terbaik mereka panjatkan untuk kesembuhan kedua anggota keluarganya.

“Lo harus bangun lagi, nggak papa buat lo benci gue karena mungkin lo ngerasa gue terlalu dibanggakan padahal lo yang anak kandung Mama Papa. Itu bener kok, bahkan gue belum pernah lihat langsung wajah Mama yang melahirkan gue. Tapi asal lo tahu, Jevin gue beruntung banget ada dan dibesarkan di keluarga ini. Jadi kembaran lo walaupun sebenernya enggak, tapi gue nggak bisa lihat lo sakit. Setelah ini bangun ya, Vin?” bisik Mevin dalam hatinya sebelum berjalan mengikuti suster yang memandunya menuju ruangan untuk menjalani tranfusi darah untuk Jevin.

KECELAKAAN

Sejak selesai meeting di kantor, Jeremy sudah menjanjikan akan mengajak Jevin makan siang bersama. Setelah Jevin meminta maaf dengan segala penyesalannya, hal itu membuat Jeremy ingin mempunyai waktu khusus dengan Jevin. Udara sore hari yang menyeruakkan hawa dingin dan hujan deras serta gemuruh petir di langit menambah mencekam keadaan sore ini. Kali ini Jeremy tengah berada di dalam mobil bersama Jevin untuk pergi ke suatu restoran pilihan Jevin.

“Pa, kenapa Cici sama Mevin nggak diajak?” tanya Jevin. Jeremy menoleh sambil tangannya masih ada di kemudi mobil.

“Nggak papa, cici masih kuliah, Mevin ada kerja kelompok katanya. Mama masih harus ke rumah tante kamu.” Jawabnya sambil tersenyum.

Namun tiba-tiba ponsel Jeremy berdering saat ditengah perjalanan, ia menekan ear budsnya yang terpasang di telinganya. Menjawab panggilan dari Lea,

“Sayang aku pulang jam tujuh kayaknya, kamu jadi pergi sama Jevin? Hujan deras banget, kamu udah dimana?” suara Lea terdengar di seberang sana.

“Iya sayang jadi, ini aku lagi sama Jevin.”

“Ya udah kalau gitu hati-hati,”

“Oke ma, see you di rumah!” kata Jevin nyaring lalu sedikit terkekeh.

Okay anak mama, have fun sama papa ya!”

“Yang akur sama Jevin ya sayang..”

“Iya,”

“Sorry kalau aku kurang sempurna jadi ibu untuk anak kandungku sendiri.”

“No, jangan bilang gitu.”

hm.. i’ll call you later,

“See you, tunggu aku pulang ya, love you.” “I love you more, take care sayang.” Telepon pun diputus setelahnya. Jeremy dengan perasaannya yang masih kalut mengendarai mobil dengan kecepatan yang tidak menentu ditambah derasnya hujan yang kadang membuatnya menyipitkan matanya sesekali. Akhirnya Jevin dan Jeremy hanyut dalam pembicaraan ringan selama perjalanan. Tapi tanpa Jeremy sadari jauh dari depan datang sorot lampu terang, semakin mendekat ke arah mobil Jeremy walaupun ia sudah menyalakan dan mengedipkan lampu mobilnya. Pandangan Jeremy kadang terhalang, silau oleh sorot lampu dari arah depannya, tepat ketika kendaraan dari depan sudah mendiam lampunya dan akan berpapasan,

“Papa awas!!” teriak Jevin. Jeremy membanting stir dan menabrak pembatas jalan dan tak dapat ia kontrol lagi pergerakan mobilnya yang melaju tak beraturan karena jalanan yang licin juga,

BRAKK!!!

Angin keras menghempas dan hantaman dari mobil box lain menyambar mobil yang Jeremy kendarai, Jeremy sempat berteriak sebelum mobilnya berputar beberapa kali sampai akhirnya menabrak lampu jalan, suara tabrakan besi dan besi nyaring terdengar menambah gaduh padatnya jalan yang seketika menghentikan laju mereka dan Jeremy masih ada di dalam mobilnya, kepalanya terantuk stir mobil berkali kali dan jendela sebelah kanan membuat kepalanya terantuk dan terbentur keras juga, sebelu pecahan kaca mengenai beberapa bagian wajahnya. Darah segar mengalir tanpa komando, cairan merah kental keluar dari luka di kening Jeremy, kepala bagian belakang, lengan dan hidungnya.

Sedangkan Jevin langsung tidak sadarkan diri saat kepalanya terbentur beberapa kali. Jevin langsung terpejam namun darah mengalir tanpa henti. Beberapa pecahan kaca kecil menancap serta menggores wajahnya. Riuh jalanan bertambah kala pengguna jalan sekitar menolong Jeremy dan Jevin, saat itu juga Jeremy dengan sisa kekuatan dan kesadarannya.

MAAFIN JEVIN, PA

Kecanggungan antara Jeremy dan Jevin masih terasa sampai hari ke tujuh Jevin di skors. Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Jeremy sedang berkutat dengan laptopnya suasana rumah tampak lengang karena Lauren yang sedang membantu Mevin mengerjakan tugas dan Lea yang tengah membereskan kamar. Jevin berjalan mengendap lalu duduk di sofa kosong sebelah Jeremy. Jantung Mevin berdegup kencang saat duduk bersebelahan dengan ayahnya itu. Tidak ada kata yang keluar dari mulut Jeremy. Akhirnya Jevin berinisiatf untuk membuka percakapan. Diantara Jevin dan Jeremy bagaikan ada pembatas yang diiringi rintik sedu yang mengundang gemuruh dalam hati dan kepala Jevin, akankah Papanya memberi maaf untuknya?

“Pa..” Jevin menatap ayahnya yang masih fokus ke layar laptop. Jeremy hanya berdeham saja menanggapi kalimat yang dilontarkan Jevin.

“Pa, maafin Jevin ya. Jevin mau dihukum apa aja asal papa maafin Jevin. Tapi yang bikin Jevin paling sedih didiemin papa kaya gini. Jevin bener-bener nyesel.” Mendengar perkataan anaknya itu, Jeremy menghentikan kegiatannya dan menoleh menatap Jevin, anak lelaki itu tertunduk takut.

“Alkohol iya, ngerokok iya, having sex iya. Apa yang kamu kejar dari hal-hal itu?” Jeremy menatap tajam Jevin.

“Lihat Mevin, dia nggak pernah sentuh hal-hal itu. Ngerti?” Mendengar hal itu, Jevin mendongak dan menatap mata Papanya tajam.

“Yang anak kandung papa itu Jevin, kenapa yang selalu dilihat Mevin?” Ucapan Jevin membuat Jeremy terbelalak.

“Ulangi sekali lagi!” suara Jeremy meninggi.

“Mevin terus yang dibanggain, Jevin nggak pernah! Jevin anak kandung papa!” saat itu juga satu tamparan hendak melayang ke pipi Jevin namun tangan Jeremy yang sudah terangkat di udara terhenti sejenak lalu mengepal dan ia mengatur napasnya. Ia sudah tidak sanggup berkata-kata sepertinya.

“Kalian bertiga itu sama, stop bahas anak kandung dan bukan! Gimana kalau kamu di posisi Mevin? Papa Cuma mau kamu sadar dan lihat contoh nyata dari cici dan Mevin!”

Jevin terkekeh diatas tangisnya, “Karena Mevin pinter dan nggak brengsek kaya Jevin?” kalimat itu terdengar sangat nelangsa. Udara malam itu terasa berbeda karena seakan ada lara yang menyapa mereka berdua.

“Kalau Jevin ada di posisi papa gimana rasanya? Kamu ngerti kamu itu udah kelewat batas?” kata Jeremy datar lalu bangkit berdiri.

“Tapi Mevin terus yang dibanggain!” Suara Jevin gemetar.

“Papa nggak bangga-banggain Mevin. Cuma setidaknya kamu lihat dia, lihat! Bukan untuk menjadi seperti Mevin karena nggak akan bisa, Mevin dengan keadaan batin yang beda dari kamu. Dia nggak pernah tahu sosok mamanya siapa. Papa dan Mama cuma jembatan untuk Mevin bertahan hidup. Papa sama Mama sebisa mungkin ingin anak-anak ada di jalan yang seharusnya, lihat dari sisi lain jangan dari sisi ego kamu!”

“Tapi memang Mevin yang diutamakan kan?”

“Ada nggak hal yang Mevin dapet tapi kamu nggak dapet selama ini? Papa always try to treat all of you fair, not equal..”

Jevin terdiam, lambat laun ia terisak. Ia mulai menyadari bahkan kadang ia merasa mendapatkan lebih dari apa yang Mevin dapatkan karena Mevin tidak pernah protes dan meminta lebih dari apa yang kedua orang tuanya berikan. Seketika kenangan dan segala pemberian untuknya dari kedua orang tuanya lewat di pikirannya.

Jevin tertunduk, Jeremy merapalkan kalimatnya lagi, “Dimana letak nggak adilnya Papa dan Mama, nak? Papa sama Mama nggak minta balas apa-apa, tapi jangan hancurin hati Papa dan Mama dengan hal kaya gini.” Jeremy mengerjapkan mata beberapa kali menahan air matanya.

“Jevin nyesel Jevin udah hancurin perasaan Mama sama Papa, nggak ada satu orang yang mau anaknya lakuin hal-hal yang enggak-enggak. Dan ini murni salah Jevin, Papa sama Mama udah didik Jevin dengan baik selama ini memang Jevin yang brengsek.” Ketika mendengar Jevin berbicara dengan suara yang parau, pikiran Jeremy menerawang jauh sampai ia tidak bisa lagi berkata-kata. Ia sangat menyayangi anaknya itu tapi hatinya dibuat hancur oleh Jevin. Jeremy pun melepas kacamatanya lalu memijit keningnya dengan ibu jari dan telunjuknya sambil menunduk lalu menghela napas.

“Papa nggak ngerti harus gimana lagi, Vin.” Suara Jeremy memelan. Jevin langsung mengubah posisinya bersimpuh di depan Jeremy dan membenamkan wajahnya di salah satu lutut ayahnya itu. Jeremy sontak kaget,

“Maafin Jevin, nggak ada kalimat selain Jevin minta maaf sama papa. Please forgive me, Pa,” lanjut Jevin dengan nada penuh penyesalan. Napas Jevin memburu, tubuhnya bergetar dan tangisnya tiba-tiba pecah. Jeremy merasakan matanya panas, ia memegang kedua bahu Jevin agar tegak namun anaknya itu menolak. Jevin masih kekeuh dengan posisinya agar Papanya itu memaafkannya.

“Mama yang notabenenya dengan latar belakang yang kalian tahu sendiri pun bisa menjaga dirinya sampai menikah dengan Papa, apa yang bikin Jevin seberani itu? Pernah Papa suruh kamu jadi berandalan aja? Pernah?! Jevin, papa malu dan kecewa. Bukan malu karena kamu, tapi diri papa sendiri yang masih kurang mumpuni sebagai seorang ayah dan suami, nak.”

“Jadi laki-laki harus angkat kepala jangan lemah. Nggak boleh nangis!” kata Jeremy sedikit membentak. Perlahan Jevin mengangkat wajahnya dan membawa pandangannya kepada ayahnya. Sesekali Jevin menyeka air matanya. Jevin mengumpulkan keberanian menatap ayahnya, masih teringat jelas bagaimana satu tamparan mendarat di pipinya untuk pertama kali.

“Maafin Jevin, Pa..”

“Nyesel?”

“Jevin nyesel banget. Kalau sekali lagi Jevin lakuin kesalahan yang sama Papa boleh usir Jevin dari rumah ini,” bisa diartikan kalimat Jevin disampaikan dengan kesungguhan hatinya. Jeremy menempelkan tangannya di pundak anaknya itu memajukan dan mencondongkan badannya sedikit mendekat kepada Jevin.

“Usir? Bisa papa usir kamu sekarang kok nggak usah nunggu kamu ulang kesalahan kamu.” Tangan Jevin tergenggam erat-erat dan menahan diri agar tidak meledak dalam tangis. Ia sangat takut dengan perkataan Papanya itu.

“Papa memang bisa usir kamu, tapi papa nggak mau. Kenapa harus ngusir anak sendiri?” perlahan sembirat senyum terbentuk di wajah Jeremy. Senyum yang teduh saat iris cokelatnya memandang anaknya. Jeremy menyadari anak lelakinya itu sudah menyesali perbuatannya, bahkan sangat menyesalinya. Salah satu hal besar menyakitkan dalam hidup Jeremy―melihat Jevin memilih jalan yang seharusnya tidak anak lelaki itu pilih. Tangan Jeremy menyentuh puncak kepala Jevin dan membelainya beberapa kali. Jeremy tersenyum. Ia berkata,

“Maafin Papa juga ya?” Jevin tersenyum dan menghela napas sebelum ia benar benar meledak dalam tangisnya dan langsung memeluk erat Papanya itu.

“Pa, terima kasih ya. Terima kasih udah mau maafin Jevin. Pa.. pa..”

“Hancur nak hati papa saat itu. Hancur sekali melihat Jevin hancur, lihat mama juga hancur, Papa yang paling hancur lihat orang yang papa sayang terluka.” Jeremy mengeratkan pelukannya.

“Papa tetap papanya Jevin dan Jevin anaknya papa apapun yang terjadi, seburuk apapun yang terjadi. Buat ke depannya jangan lagi ya, Nak. Papa mohon, ya?” Jeremy bisa merasakan Jevin mengangguk di pelukannya. Tanpa disadari Lauren dan Mevin sedikit mengintip dari balik pintu kamar,

“Akhirnya Papa sama Jevin akur ya, Ci?” kata Mevin lirih sambil menoleh ke kakaknya yang berada di sebelahnya. Lauren mengangguk, “seneng ya lihat pemandangan kaya gini?” tanya Lauren, Mevin mengangguk sambil masih memandangi Jevin dan Papanya yang masih ada di ruang tamu.

“Makanya jangan pernah tinggalin kita ya? Disini aja ya, dirumah ini aja, please..” gumam Lauren lirih. Mevin refleks menoleh ke arah kakak perempuannya itu dengan wajah sendu. Sejatinya keluarga adalah tempat kita pulang dan mengadu sejauh apapun kita pergi. Tidak akan pernah ada istilah “Mantan orang tua” ataupun “Mantan Anak”. Tuhan memberikan kita kehendak bebas untuk hidup di dunia, memilih diantara banyak persimpangan jalan yang kita temui, namun setidaknya kita juga diberi akal budi untuk melakukan dan memilih hal apa yang harus dan tidak harus kita lakukan. Berbagai hal yang kita pilih untuk mengukir peristiwa kehidupan sejatinya adalah buah dari apa yang kita lakukan. Sekiranya itu menghancurkan bukankah lebih baik ditinggalkan?  

PELUKAN MAMA

Sudah beberapa hari berlalu, hubungan Jeremy sebagai ayah dengan Jevin anaknya sejak perdebatan terakhir kali masih belum membaik. Jeremy masih tidak mau mengajak Jevin berbicara begitu juga sebaliknya. Hanya Lea yang mau mengajak Jevin berbicara. Padahal Jeremy menunjukkan sikap yang biasa saja terhadap Lauren dan Mevin tapi kali ini tidak dengan Jevin. Kebijaksanaan dan kelembutan hati Lea membawa hubungannya dan Jevin kembali menjadi hangat seperti biasanya bahkan Lea memberi perhatian khusus untuk Jevin saat ini.

Karena sejak saat itu terakhir kali Jeremy marah kepada Jevin, anaknya itu tidak mau makan, ditambah keadaan Jevin yang di skors membuat Jevin sebenarnya juga tertekan. Bak tersesat di belantara kabut menemukan secercah sinar yang membuat pandangan kabur menjadi larut. Lea dengan mata yang basah tersenyum memandangi pemandangan di depan matanya dimana Jevin, Lauren dan Mevin saling memeluk satu sama lain, Lea mengintip dari balik pintu kamar Jevin karena mendengar sepertinya Lauren dan kedua adiknya sedang berbicara serius. Akhirnya Lea berinisiatif untuk mengetuk pintu dan menghapus air matanya,

“Mama!” seru Lauren, Lea memasuki kamar anaknya itu dan duduk di sebelah mereka. Walaupun duduk beralas karpet namun suasana kehangatan diantara ketiganya bisa Lea rasakan. Tidak ada yang memaksa untuk saling bersalah, tidak ada yang saling membantah untuk meluapkan amarah.

“Mama mau ngomong sama Mevin, sama kalian juga deh Cici sama Jevin,” kata Lea.

“Apa, Ma?” tanya Mevin. Lea menggeser badannya mendekat ke arah Mevin dan merangkulnya dengan tangan kanannya namun mata Lea bergantian menatap Jevin dan Lauren.

“Kalian kalau lihat sosok Mama gimana sih? Mama masih banyak kekurangannya ya?” ujar Lea lembut.

“Loh kenapa Mama nanya kaya gitu?” tanya Lauren. Lea menatap Jevin sekilas yang seakan kaget mendengar ucapannya itu,

“Jawab aja, coba Mama mau denger dari Lauren, Jevin sama Mevin.” satu tangan Lea membelai rambut Lauren. Jevin dan Lauren mengangguk mengiyakan perkataan mamanya itu.

“Mama walaupun sangar, dengan tatto dan penampilan mama yang kadang bikin orang takut lihatnya, tapi buat Lauren, Mama segalanya, mama itu udah jadi versi terbaik dari diri Mama sendiri. Mama itu bukti kebaikan Tuhan ditengah dunia yang menyakitkan. Waktu Mama cerita gimana hidup Mama selama Lauren kecil atau bahkan Lauren masih di kandungan bikin hati Lauren hancur banget, kenapa orang-orang sejahat itu sama Mama? Tapi mama bisa bertahan sampai sekarang, Mama bukti nyata malaikat baik yang ada di dunia yang Tuhan kirim, Mama harus ada di ambang perceraian sama Papa waktu Lauren baru lahir, dengan segala kecelakaan dan omongan orang, Ma.. nggak ada kata yang bisa ungkapin gimana beruntungnya Lauren lahir di keluarga ini.”

Sedikit perasaan haru menyeruak di dalam hati Lea kala mendengar perkataan Lauren.

“Mevin?”

“Mevin nggak pinter merangkai kata, tapi kalau saat itu Mevin nggak dibesarkan di keluarga ini mungkin keberadaan Mevin juga masih dipertanyakan di dunia ini. Walaupun Mevin lahir bukan dari rahim Mama, kalau setiap ditanya siapa Mama Mevin Cuma wajah Mama Lea yang Mevin ingat. Mevin bahkan nggak pernah tahu muka dan wajah Mama Petra, Mama adalah sebenar-benarnya kasih Tuhan buat Mevin.” Mendengar perkataan Mevin dan melihat kebersamaan ketiga anaknya ini tidak bisa Lea bayangkan jika suatu saat Mevin hilang dari tengah-tengah Jevin dan Lauren, ia menahan air matanya sekuat tenaga.

“Maafin mama ya sayang―mama belum bisa jadi mama yang baik buat kalian,” ujar Lea memecah hening.

“Mama itu mama terbaik di dunia, tapi Jevin anak terbangsat di dunia. Maafin Jevin...” suara Jevin memelan dan ia perlahan tertunduk.

“Jevin, mama mnta maaf, mama nggak cukup cakap dalam merawat, sebisa mungkin Mama udah memberikan semua perhatian secara adil. Maaf sayang, mama belum sempurna,” ujar Lea sambil terisak, air matanya tumpah tanpa komando.

“Kesalahan besar yang Jevin buat bukan salah Mama, karena itu Jevin lakukan sendiri. bukan karena Mama, nggak pernah sekalipun Mama nyuruh Jevin lakuin suatu hal yang diluar batas. Ini murni kesalahan Jevin, bukan salah Mama. Bukan salah Mama...”

“Aku sama Cici udah tahu apa yang terjadi,” sela Mevin.

“Mama stop minta maaf, mama nggak salah,” lanjut Lauren

“Mama sadar, banyak hal dari masa lalu mama yang nggak bisa diterima orang biasa. Mama tahu juga itu menyulitkan Cici, Jevin sama Mevin. Pandangan tentang seorang ibu yang masa lalunya kelam. Mama pengen kalian lebih baik dan jauh lebih baik dari mama. Ya?” kalimat itu seketika menembus hati ketiga anaknya dan membuat mereka menahan rasa sedih.

“Jev, Mev.. maafin gue juga kalau kadang sebagai kakak nggak peka, nggak inisiatif nanya mau kalian atau apa yang kalian rasain.” Lauren menahan kuat-kuat air mata yang hampir keluar.

“Jujur, gue juga sakit dan sedih kalau kalian kenapa-kenapa atau ada hal yang terjadi sama kalian. Sedih dan ngerasa gagal jadi kakak,” lanjutnya.

Tangan Jevin bergerak menepuk pelan pundak Lauren. Lauren menunduk sedih, Jevin juga ikut tertunduk menyesali perbuatannya. Bahkan secara tidak sadar apa yang ia lakukan sudah menyakiti hati anggota keluarganya.

“Jevin minta maaf, sebenernya disini yang paling salah Jevin apalagi sampai bikin papa semarah itu, Jevin udah hancurin perasaan papa sama mama.. Jevin juga sedih karena sampai sekarang papa belum mau ngomong sama Jevin.” Kali ini Jevin yang berkata-kata dengan sekuat tenaga menahan emosinya agar tidak meledak dalam tangis.

“Maafin Jevin, Ma.” Katanya berulang-ulang, ia menunduk lesu tak lama punggung Jevin bergetar hebat. Lea langsung sigap memeluk anaknya itu, Jevin menangis sejadinya di pelukan Lea. Air matanya membasahi lengan Lea. Mevin dan Lauren yang melihat kejadian itu juga ikut menitikan air mata.

“Jangan pernah diulang ya? Mau bagaimanapun anak apapun yang dilakukan Jevin tetap anak mama sama papa dan seburuk apapun masa lalu mama, tetap mama ini mamanya Jevin. Yang perlu kita lakukan hanya berdamai dengan diri sendiri dan jangan mengulangi kesalahan. Ya sayang? Mama sayang Je..vin. mama sayang kalian..” Lea yang tengah memeluk Jevin itu juga menangis,

“Maafin Jevin..”

“Jangan diulang ya sayang? Janji sama mama?” Jevin mengangguk, anggukannya nyaris tersamarkan karena tubuhnya yang berguncang hebat karena isak tangisnya.

“Besok kalau kamu udah siap Jevin mau coba minta maaf sama papa? Nanti mama coba bujuk papa juga.” ujar Lea sambil membantu Jevin duduk dengan tegak. Perlahan Jevin mengangguk. Lauren dan Mevin tidak bisa mengatakan apapun selain air mata yang keluar dari pelupuk mata mereka. Memang takdir tak pernah berjanji seusai hujan ada pelangi, tapi setidaknya hujan selalu menemukan reda, bukan?  

AKU ANAK YANG MENGECEWAKAN

Kenalkan, aku Aku, anak dari Papa Papa dan Mama Mama. Kalau boleh dibilang mungkin aku anak paling brengsek diantara Cici dan Mevin, hari ini, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam tapi aku masih berada di depan gerbang rumahku. Aku menunggu segenap keberanianku terkumpul untuk mengakui suatu hal yang menghancurkan hati keluargaku. Sungguh, aku merasa seperti sampah. Dosa apa yang belum aku jajal di usia tujuh belas tahun ini? Merokok? Kenal dengan alkohol? Membolos? BK sudah jadi seperti tempat rutin untuk aku kunjungi. Melakukan hubungan sex dengan kekasihku? Ya. Aku melakukannya. Sejak pulang sekolah Aku memang sudah mengingatkan Mama agar menunggunku pulang karena ada hal penting yang ingin aku katakan. Aku harap kekhawatiran Mama dan kecemasannya itu sirna kala matanya melihatku memasuki garasi. Mama menghela napas lega, aku melepas helm dan menenteng jaket serta tasn dan memasuki rumah. Mama menyambut aku dan juga memelukku lalu mengajakku duduk di ruang tamu, namun ada yang berbeda dariku dan aku yakin Mama menyadarinya. Aku pulang dengan mata sembab dan mata yang sayu.

“Vin kamu kenapa?” tanya Mama sambil mendekati dan duduk di sebelahku, tangan Mama bergerak memeriksa wajah Aku dan memegang daguku lalu menggesernya ke kanan dan kiri guna melihat keadaan anaknya yang pasti sedang tidak baik-baik saja ini.

“Jevin jujur ke mama.” Saat Mama berkata dengan lirih saat itu juga Papa keluar dari kamar dan melihatku serta Mama yang nampak serius di ruang tamu, Papa pun melangkah mendekati kami berdua. Papa geram karena aku pergi tanpa ijin dan baru saja kembali bahkan pesan dan telepon dari Papa tidak digubris olehku seharian tadi.

“Dari mana kamu?!” kata Papa dengan nada membentak. Aku bangkit berdiri melihat Papa yang mendekatiku, Papa berjalan hingga ia kini ada di hadapanku yang menunduk.

“Ditanyain itu dijawab! Pergi malem terus, mau ngapain sih? Berantem di sekolah kan tadi? Bisa nggak sehari aja nggak bikin masalah?!” Aku bergidik tersentak mendengar ucapan Papa,

“Jangan keras-keras, Lauren sama Mevin nanti denger.” Lerai Mama.

“Kamu jangan belain dia terus, kebiasaan!” nada Papa semakin meninggi.

“Jagoan kamu ya? Bonyok terus berantem terus, mau jadi jawara? Udah hebat sih ya?” Papa berkacak pinggang. Aku tidak menjawab, aku pun merogoh saku jaketku dan mengeluarkan secarik surat, tanpa aku sadari ada benda lain yang keluar saat aku mengeluarkan surat tadi yang ku berikan kepada Mama namun Papa menyambarnya. Bola mata Papa mendelik tajam ke arahku sebelum bergerak membaca barisan kalimat yang tertuang dalam surat dari sekolahku itu.

“Jevin!” pekik Papa lalu membuang surat tadi ke sembarang arah. Papa mencengkeram bahuku erat, sangat erat. Aku sontak menggigit bibir bawahku dan memejamkan mata. . “Skors? Sebulan? Apa lagi? Nggak DO sekalian?!”

“Jeremy udah! Nggak usah kasar!” pekik Mama.

“Kamu bikin ulah apalagi sih? Papa capek, Jevin!” teriak Papa kepadaku, sungguh untuk menatap mata papa aku tidak sanggup, aku masih tercekat, aku sudah terlampau jauh.

“Maaf.. maafin Jevin, papa mama berhak marah sama Jevin,” Ucapku, lalu dengan secepat kilat aku berlutut memeluk kaki Papa. Pandangan Papa tertuju kepada benda kecil di sebelahku yang berlutut, saat Papa hendak mengambilnya, Mama sudah mendahuluinya. Aku hendak merebutnya, namun Mama mengangkatnya tinggi-tinggi agar Aku tidak bisa meraihnya. Mama menurunkan benda itu tepat di hadapanku.

“Jevin, ini apa nak..” suara Mama bergetar. Aku semakin terisak,

“Jawab pertanyaan mama yang bener!” bentak Papa sambil mencengkeram bahuku.

“Itu punya pacar Jevin.. tapi dia hamil bukan sama aku.”

“Nak..” Mama langsung pecah dalam tangis. Mama duduk di sofa dan memijit keningnya dengan jarinya.

“Ulangi sekali lagi, kamu bilang apa? Lihat mata papa kalau ngomong lihat wajah lawan bicara kamu!” nada Papa masih emosi. Aku mendongakkan kepala dan menatap Papa dengan mata yang sudah basah,

“Pa.. pacar Jevin hamil, dia di DO dari sekolah tapi bukan hamil sama aku, Pa.”

PLAK!

Satu tamparan keras mendarat di pipiku dari Papa.

“Jer!” Mama bangkit berdiri dan menengahi Papa dan aku dalam keadaan masih menangis.

“Apa? Kamu mau belain dia?!” bentak Papa kepada Mama. Sebisa mungkin Mama mengendalikan dirinya walaupun ada sungai kecil yang mengalir di pipinya.

“Jangan pernah pakai kekerasan fisik ke anak, please.”

“Dia keterlaluan! Secara nggak langsung dia ngakuin juga kalau dia having sex sama pacarnya! Iya kan?! Iya kan, Jevin?!” tanya Papa dengan amarah yang membara. Aku kembali berlutut di hadapan Papa dan tidak bisa berkata apa-apa hanya terisak, punggungku bergetar hebat.

Saat itu gemuruh riuh di langit beradu dengan amarah Papa kepadaku. Satu hal paling menyakitkan didengar Mama dan Papa kali ini, aku yakin hati Papa dan Mama adalah ada di posisi sehancur-hancurnya saat ini. Tak ada kalimat lain yang Papa ucapkan selain “Papa kecewa.” kepadaku. Saat itu seakan ada sebuah jarak semu yang terbentang antara aku dan Papa serta Mama.

“Nggak usah kaya gitu! Papa bilang bangun!” Papa memaksaku bangun,

“Jer!” sergah Mama,

“Kenapa sih Jev? Kenapa bisa? Kenapa bisa sampai sejauh itu?!! Papa pernah ngajarin itu? Enggak kan? Kenapa bisa kamu berani sejauh itu?!” tanya Papa yang membuatku ketakutan.

“Maafin Jevin, Pa.” Aku hendak meraih tangan Papa namun Papa menepisnya kasar.

“Papa kecewa sama kamu! Atur hidupmu sendiri kalau nggak bisa diarahin orang tua! Papa kurang apa ke kamu? Lihat itu Mevin! Pernah dia lakuin hal-hal kaya gini?!” selesai mengucapkan kalimat itu, Papa berlalu dari sana meninggalkan Aku yang terisak terduduk di lantai, Mama masih ada berdiri disana namun aku yakin mama juga hancur ia menangis dan membelakangiku.

“Mama, maafin Je..vin.” sesalku sambil menunduk dan mengepalkan tangan erat karena aku tidak tahu lagi harus berbuat apa.

“Dalam hati Mama.. sekarang mama Cuma bisa mengutuki diri mama sendiri, Mama merasa gagal menjadi seorang ibu. Hati Mama sakit denger Jevin kaya gitu, nak. Mama kecewa, sangat kecewa tapi mama juga kecewa, apa mama masih ada kelalaian sebagai seorang ibu? Kasih tahu Mama, nak.” Mama semakin terisak, bahkan gelengan kepalanya tersamarkan oleh getaran punggungnya yang hebat.

“Kamu renungin apa kesalahan kamu, think twice before you act, Jevin. Mama kecewa sama kamu, sangat kecewa. Walaupun kalian semua tahu bagaimana masa lalu mama, tapi mama nggak pernah membenarkan melakukan sex before marriage, Jevin. Mama tahu mama bukan berasal dari latar belakang yang baik sebagai seorang wanita tapi mama mencoba memperbaiki semuanya dan menghindari hal-hal seperti itu. Sekarang mama sadar betapa gagalnya mama dalam mendidik dan kamu masih tujuh belas tahun. Can you imagine how broke my heart right now as your mom?

“Ma..” Aku menarik tangan Mama namun Mama menepisnya dan meninggalkanku sendirian disana. Rasa dalam hati berubah menjadi hampir habis tertikam rasa yang sia-sia. Hanya aku sendiri di ruang tamu ditemani riuh detak jantung dan raungan dalam tangis. Aku sadar tak ada yang lebih mengecewakan daripada peranku sebagai anak dalam keluarga ini.  

SELAMAT TINGGAL

Setelah mendengar kondisi Mamanya yang kritis, Jovian bergegas ke rumah sakit meninggalkan studio fotonya dengan segera. Kali ini Petra yang menangani Mama Jovian, dan Petra langsung menelfon Jovian kala keadaan wanita yang masih menjadi mertuanya itu memburuk. Lama menunggu di depan ruangan rawat Mama mertuanya, Petra pun lega saat Jovian datang. Petra pun yang melihatnya langsung bangkit berdiri. Jovian langsung menghampiri Petra.

“Mama mana?” tanya Jovian panik, Petra meraih bahu Jovian dan mengelusnya pelan memberi sedikit ketenangan namun Jovian masih terengah disana.

Calm down, Jovian. Listen, your mom need you right now.” Jovian pun menepis tangan Petra dan membawanya dalam genggaman, iris gelap dengan tatapan keteduhan itu menusuk hati Petra.

Namun, Jovian merasakan sesuatu saat ia menggenggam jemari tangan Petra. Jovian menatap sebentar jemari tangan Petra yang ia genggam itu.

“Ra, cincin nikah kita kamu nggak pakai lagi?” tanya Jovian pelan. Petra mengerjap beberapa kali sebelum melepaskan sepihak genggaman tangan itu, ia berjalan dan membukakan pintu ruangan dimana Mama Jovian dirawat.

“Mama nungu kamu,” kata Petra lagi. Jovian tertunduk sesaat sebelum berjalan dengan langkah kalut dan jantung yang berdebar tidak karuan. Jovian langsung masuk ke dalam ruangan dan menemui Mamanya. Dilihatnya Mamanya terkulai lemah dengan selang oksigen serta infus disana. Jovian berjalan dengan langkah gemetar mendekati Mamanya. Petra menemani dan mengikuti Jovian berdiri di sebelah Jovian.

“Jov..” Mamanya melafalkan nama sang anak dengan lirih hampir tidak terdengar.

“Iya, Ma. Ini Jovian, ini Jovian disini nemenin Mama, sama Petra.” Lalu Jovian mengecup punggung tangan malaikat baik dengan sebutan Mama untuknya itu.

“Petra, Jovian...” ucap Mama sambil menatap Petra yang membawa Petra berjalan mendekat juga disana.

“Kalian..” tangan Mama membawa tangan Jovian disatukan dengan jemari Petra.

“Harus bahagia, dengan siapapun hati kalian bertaut dan dengan bagaimanapun cara yang kalian pilih.” Ucapan Mama membuat Jovian dan Petra terbelalak dan menatap satu sama lain. Jovian si payah dalam berbohong, Petra si payah dalam mengendalikan air mata agar tidak tumpah.

“Berpisah lebih baik daripada saling menyiksa, walaupun Tuhan sendiri tidak menghendaki perpisahan, tapi biar kalian sama-sama bahagia tanpa saling menyakiti.” Ucapan Mama membuat Jovian dan Petra menumpahkan air mata tanpa komando. Petra masih betah menyembunyikan tangisnya dan melipat bibirnya kuat-kuat.

“Ma...”

“Kalau kalian nggak bahagia, Mama sedih.” Wanita itu tersenyum. Tangan Jovian terulur menyentuh pipi wanita di depannya, Jovian membungkukkan badannya dan tertunduk di dekat wajah Mamanya dan menangis terisak sejadinya. Petra membawa tangannya untuk mengelus punggung Jovian yang ada di pipinya dan membiarkan tangan itu tetap menyentuh pipinya.

“Jovian anak baik, Petra juga wanita baik, mama sayang kalian.” kalimat Mamanya selesaikan namun Jovian masih terisak.

“Jovian boleh peluk mama?” Mamanya membawa pandangannya ke wajah Jovian. Tanpa aba-aba Jovian langsung memeluk mamanya itu erat.

“Maafin mama kalau belum bisa lindungin Jovian, Ayah sebenarnya nggak sejahat itu, Ayah peduli sama kamu.” Air mata yang Jovian tahan kini tumpah bersamaan dengan suaranya yang bergetar, dadanya sesak tidak ada lagi yang bisa ia lakukan sekarang.

“Enggak, Ma. Enggak, Jovian yang minta maaf.” pipi Jovian sudah dibanjiri oleh air mata.

“Jovian anak mama...” suara itu memelan di telinga Jovian namun Jovian masih disana memeluk erat. Tanpa Jovian sadari tiba-tiba monitor detak jantung menunjukkan garis lurus. Tenggorokan Petra dan Jovian terasa tercekat. Bibir Jovian kelu dan ia sulit bernapas. Dunianya seakan runtuh. Tangan yang menyentuh punggung Jovian tidak ia rasakan lagi disana, ia tahu tangan itu terkulai lemas. Tak ada celah keheningan, tangisan itu beradu dengan tangisan Jovian yang semakin menjadi. Tak lama dokter diikuti beberapa perawat datang dan memasuki ruangan itu, tubuh Jovian melemas kala itu, tenggorokannya tercekat.

“Mama! Maa! Bangun!” Jovian meraung dalam tangisnya. Ia terus terisak, tangannya mengguncang pelan tubuh wanita itu yang tidak akan membalas dengan respon apapun itu. Petra menarik tubuh Jovian menjauh,

“Jov! Jovian!” Petra menarik tubuh Jovian menjauh agar perawat dan dokter lain bisa melepas segala alat yang menempel di tubuh Mamanya.

“Mama nggak boleh pergi!” Jovian menjambak rambutnya. Petra tidak bisa berkata apa-apa air mata akhirnya tumpah kala itu melihat kenyataan hari ini. Beberapa kali Jovian hendak mendekat dan meraih tubuh mamanya lagi namun Petra menahannya hingga tubuh Jovian melemas, luruh di lantai bersandar di pelukan Petra dan meraung dalam tangisannya, Jovian memeluk dan mencengkeram jas putih Petra dengan erat, meraung dalam tangis sejadinya di sana. Di pelukan wanita yang sebentar lagi akan melepas sebutan dan sematan ISTRI bagi Jovian. Mungkin hari ini adalah sebenar-benarnya hari dimana Jovian harus membungkus pilu secara bersamaan dalam hatinya.  

Vedrick Petra

Sore ini Petra nampak terdiam di bangku taman rumah sakit, Jovian yang beberapa waktu lalu sempat mengantar dan menjemputnya dengan rutin kini tidak ada lagi semenjak ia mengajukan gugatan cerai terhadap Jovian. Keadaan sore ini sedikit mendung dan Petra masih bertahan disana membiarkan dirinya ditemani kesedihan dan kekecewaan yang berkecamuk dalam hatinya, namun beberapa saat kemudian ia merasakan ada seseorang yang menepuk pundaknya dari arah belakang, ia mendongakkan kepala, tangan seorang pria yang ia mendarat dan mengacak pelan rambutnya.

“Vedrick,” kata Petra lalu bangkit berdiri,

“Ditelfon nggak digubris sengaja ngehindar?” tanya Vedrick.

“Lo...” Petra menatap heran Vedrick,

“Udah nggak usah heran, pulang yuk?”

“Nggak usah, gue pulang sendiri aja nanti.”

“Mau disini?” Wanita itu mengangguk, Vedrick pun duduk bersebelahan dengan Petra,

“Kalau mau pulang duluan nggak papa.” sela Petra

“Gue mau nemenin lo. Dangdut nggak tuh?” senyum simpul terbentuk di wajah Vedrick.

“Apaan sih,” Petra mendengus sesaat.

“Jangan nyiksa batin sendiri. sini cerita,” Vedrick mencondongkan badannya kepada Petra

“Vedrick.” wanita itu menatap Vedrick nanar tersirat kesedihan di sorot matanya.

“Apa, Ra?”

“Gue nggak tahu mau cerita gimana,” kalimat itu terlontar dari mulut Petra. Tanpa menjawab apapun, Vedrick merentangkan tangannya.

“Butuh peluk kalau udah nggak sanggup bicara?” katanya, Petra menatap Vedrick dan perlahan pecah dalam tangis. Perlahan Vedrick menarik Petra ke dalam dekapannya.

“Vedrick gue takut,”

“Jangan takut, ada gue. Jangan khawatirin hal yang belum tentu terjadi, jangan terpaku sama hal yang udah terjadi juga.” Petra hanya menangis, keduanya hanyut dalam dekapan yang mengisyaratkan lara kala itu.

“Jangan diceritain kalau belum sanggup, Ra. Nanti aja, ya? Nangis aja dulu.” Vedrick menepuk pelan punggung wanita di pelukannya itu, Petra langsung terisak punggungnya bergetar kala tiba di pelukan Vedrick.

“Nangis aja sepuas lo, luapin semua.” Petra membenamkan wajahnya di sela leher Vedrick, Sebuah perasaan gelisah dan risalah menyelinap di hati Petra.

“Sakit, Vedrick, sakit...” mendengar ucapan itu ada desiran nyeri di hati Vedrick, tangan Vedrick masih menepuk pelan punggung Petra.

“Dateng ke gue kalau lagi sakit dan sedih ya, Ra.” Petra merenggangkan pelukan, Vedrick menggenggam jemari Petra dalam genggamannya, dilihatnya wanita di depannya masih terisak dan tersedu. Vedrick menarik pelan dagu Petra hingga wanita itu mendongakkan kepalanya menatap pria di depannya ini, satu tangan Vedrick mengusap air mata yang jatuh di pipi Petra. Langit abu yang menggulung menyaksikan dua insan itu kembali memeluk satu sama lain. Vedrick memang selalu bisa meredakan gundah yang Petra rasakan. Tanpa melakukan apapun, Vedrick selalu datang di waktu yang tepat.

Sekali lagi―kuat-kuat Petra menatap Vedrick dan memejam menahan air matanya yang mulai berdesakan keluar dari pelupuk matanya,

“Gue udah ajuin gugatan cerai, Jovian udah tanda tangan. Ternyata perpisahan gue sama dia lebih cepat dari satu tahun yang kita targetin.” Petra bertutur dengan suara parau. Memang benar, kenyataan pahit harus Petra hadapi saat ini.

“Kenapa secepat ini?” tanya Vedrick lagi, Petra hanya menggeleng dan tersenyum diatas tangisnya.

“Belum bisa cerita.”

“Nggak papa, jangan diceritain.” Lagi Petra sudah menahan mati-matian air matanya, Vedrick memeluk wanita yang menangis itu itu dengan hangat diantara senja yang akan berganti temaram. Tangan Petra meremas kemeja yang Vedrick kenakan,

“Gue sakit banget liat lo rapuh.” Saat itu keadaan yang tidak biasa menyelimuti kebersamaan Petra dan Vedrick. Petra merasakan sedikit ketenangan di dalam dekapan Vedrick. Kesamaan frekuensi diantara keduanya mengantarkan keduanya saling mengerti dan memahami. Saat itu juga Vedrick benar-benar sadar bahwa Petra sudah mengisi ruang kosong dihatinya hingga penuh seluruh.