awnyaii

Pisah Tanpa Kisah?

Seorang wanita siang itu tengah berada di halaman rumahnya, tangannya dan tubuhnya bergerak memindahkan pot-pot yang ada di sana, menata dan merapikannya dengan telaten. Sudah hampir satu minggu ini Petra berada di kediaman kedua orang tuanya mengingat perselisihan yang terjadi antara ia dan Jovian. Walaupun bibirnya tersenyum namun, tak bisa dipungkiri aura sedih terpancar dari dirinya. Hingga ia menyadari sebuah mobil berhenti di depan gerbang yang masih terbuka itu. Petra menegakkan badannya dan melihat ke arah sang pengemudi yang datang melangkah masuk. Mata Petra terbelalak melihat Jovian berjalan cepat menghampirinya. Sesegera mungkin Petra langsung berlari dan menutup pintu rumahnya.

“Petra!” Jovian mengetuk pintu rumah itu.

“Petra bukain pintunya!” pekik Jovian lagi, namun tidak dihiraukan Petra. Rasa hati Petra seakan tak bertuan lagi, sakit masih merajai hatinya yang rapuh. Setelah beberapa kali pekikan dari Jovian, akhirnya Petra membuka pintu itu, matanya menatap Jovian dengan nanar.

“Kenapa?” suara Petra datar.

“Ra, pulang, ya?”

“Nggak, kamu silahkan pulang sendiri!” Petra geram meninggikan suaranya.

“Aku butuh kamu, semuanya lagi nggak baik-baik aja.” Petra berkata dengan suaranya yang parau, Jovian terdiam melihat Petra yang sudah hampir menangis. Diraihnya jemari Petra namun wanita itu menepisnya pelan.

You think I’m in a good condition selama ini? Kam―”

“Please dengerin aku, sebentar.” Pinta Jovian.

“Kalau memang Lea yang ada di hidup kamu, go and get her, jangan bertahan sama aku. Cerai sekarang juga!” mendengar ucapan Petra itu, Jovian memegang kedua pundak wanita di depannya dan menundukkan kepalanya sedikit agar pandangannya sejajar dengan pandangan Petra. Jejak air mata terbentuk di wajah ayu Petra, sungai air mata itu mengalir deras tanpa henti, mata Petra sudah basah.

“Nggak gitu, waktu itu aku bener-bener nggak sadar, Ra. Please forgive me.” Namun Petra memaksa melepaskan tangan Jovian dari pundaknya,

“It is too hurt, really hurt. Jovian... aku capek.” Jovian tidak menjawab malah ia menarik Petra kedalam pelukannya.

“Lepas!“ ucapnya lirih. Jovian tidak melepasnya,

“Kali ini aku mohon kamu ngertiin aku, ya?” Jovian dengan suaranya yang memelan menghantarkan jarak yang membatasi tubuh keduanya namun kening mereka dibiarkan bertaut, Jovian memejamkan mata, sesaat kemudian ia memberanikan diri menatap Petra dan menjauhkan wajahnya sedikit.

“Gimana aku mau ngertiin kamu kalau kamu nggak pernah ngomong apa apa ke aku! Nama Lea, Jo yang keluar dari mulut kamu. That was our first time!” nada Petra sedikit meninggi, wanita itu melayangkan satu pukulan pelan di dada Jovian sebelum ia menangis terisak sambil meremas baju lelaki di depannya itu.

“Nangis aja, Ra nggak papa.”

“Sakit Jovian... sakit ...” Lelaki itu membiarkan Petra meluapkan seluruh perasaannya dan menumpahkan air matanya.

“Ra, mamaku koma.” Suara itu masuk di telinga Petra dan menghantarkan Petra mendongakkan kepalanya. Lidahnya kelu sesaat, tenggorokan Petra tercekat. Ia memandang wajah Jovian yang memerah dan mata yang mulai basah. Bola mata Petra membesar mendengar perkataan Jovian. Bagaimana bisa, dunia Jovian pasti sudah hancur lebur namun begitu juga dengan hatinya yang belum sembuh.

Betapa bodohnya sikapnya yang baru saja ia tunjukkan. Tanpa aba-aba, melihat Jovian yang mulai berkaca-kaca, Petra langsung menarik Jovian ke dalam pelukannya. Jovian menangis sejadi-jadinya dan memeluk Petra erat, sangat erat. Sekarang Jovian yang meluapkan semua kesedihannya. Mendung yang menggantung membawa rinai hujan turun saat itu. Ada sebuah cerita yang mudah untuk disampaikan, ada juga cerita yang harus disimpan untuk disampaikan. Petra dan Jovian sama-sama dihadapkan pada kehancuran saat ini, namun bagi Petra, dunia Jovian pasti sudah runtuh.

“Ra, maafin aku ...” tangis Jovian tak bisa dibendung. Petra tidak sanggup berkata, air mata tumpah ruah, hawa dingin menyeruak kalah dengan tangis yang berderu. Punggung Jovian bergetar hebat merapalkan kalimat yang sama. Ketangguhan keduanya teruji saat ini. Jika ada kata yang mengungkapkan perasaan yang lebih dari hancur itulah perasaan Jovian saat ini. Tak butuh kata-kata pereda, hanya butuh peluk dan sebuah dekap, sudah lebih dari cukup untuk menuangkan semua perasaannya. Hal-hal yang sudah digariskan juga bukan tanpa alasan. Rapalan pilu dari keduanya membuat Jovian dan Petra justru saling menguatkan, dalam luka yang sedalam palung.

“Ra, semuanya bertubi-tubi. Aku minta maaf, pulang ya, Ra? Aku butuh kamu di rumah.” Sang tuan memohon dalam pelukan Petra, perlahan Petra mulai mengesampingkan kesalahan yang Jovian buat, kini Jovian luruh ke lantai, memeluk kaki Petra. Dengan sigap Petra menahan tubuh pria di depannya, ia berlutut di hadapan Jovian dan memeluk tubuh yan bergetar karena tangis itu. Jovian adalah sebenar-benarnya seseorang yang bisa menenangkan dan menyenangkan dalam asa sebelum ada kehancuran dan perpisahan yang harus dihadapi.


Petra gelisah tatkala ia mengajak Jovian masuk ke rumah itu, Petra juga membuatkan secangkir minuman hangat untuk pria yang masih ia sematkan sebutan SUAMI itu. Jovian nampak hancur, namun hati Petra juga tidak kalah hancur. Jovian yang semula tertunduk, kini angkat bicara setelah menaruh cangkir dalam genggamannya di meja. “Petra..” Jovian menoleh lamat-lamat istrinya itu, Petra membuang pandangan enggan menatap Jovian.

Pria itu tidak siap untuk melewatkan malam-malam yang berbeda tanpa Petra dan entah mengapa ia tidak siap menghadapi hari dengan cerita baru tapi tidak ada Petra di dalamnya. Petra tidak menggubris namun Jovian menarik tangan Petra dan mendekapnya dalam peluk.

“Maafin aku, pulang, ya?” bisik Jovian lirih. Petra hanya menghela napas pelan dan panjang. Jovian merenggangkan rengkuhnya, merapikan rambut Petra dengan jemarinya, netra keduanya bertemu dalam satu titik tumpu, sembari Jovian menangkup pipi Petra.

“Aku maafin, tapi aku nggak lupa.” Jovian menangkup kedua pipi Petra lalu berkata, “Aku akan perbaiki semuanya, Ra ...”

“Apa? Yang mau diperbaiki itu apa?” Petra menggeleng, dan melepaskan tangan Jovian dari pipinya.

“Sifat dan perlakuanku,” kata Jovian, namun Petra terkekeh setelahnya.

“Nggak akan bisa, kamu belum mau.”

“Lima bulan lagi, aku masih bisa perbaiki semua.”

“Nggak perlu karena aku mau kit―” belum sempat Petra menyelesaikan kalimatnya, sepersekian detik kemudian Jovian malah mendaratkan kecup di bibir istrinya. Air mata mengalir dari ujung mata Petra yang bisa Jovian rasakan. Ciuman kala itu terasa menyakitkan dan menyayat hati. Setelah ini tugas besar Jovian menanti di depan―menyisihkan selisih dan memohon agar Petra kembali. Entah mengapa, Jovian ingin Petra kembali ke rumah mereka. Bahkan sebenarnya Jovian sudah membakar semua foto yang ada di ruangannya, fotonya bersama Lea. Entah apa yang menggerakkannya, ia mengganti semua dengan foto Petra yang ia ambil secara diam-diam.

Air mata mereka jatuh dalam rengkuh yang bersatu karena kekecewaan kepada masing-masing dari mereka berdua air mata kepedihan itu mengalir karena keadaan yang belum berpihak kepada mereka berdua. Perselisihan yang bukan murni dari keinginan hati mereka menjelma menjadi bentangan jarak antara mereka berdua. Petra juga sadar betul dengan Jovian selama ini ia menjalin hubungan tidak seindah cerita yang terukir seperti yang ada di bayangannya. Kini pagutan itu bertambah dalam bahkan tangan Petra sudah berada melingkar di pinggang Jovian. Tangan Jovian menekan tengkuk leher Petra dan satu tangannya lagi meraih pinggang wanita itu dan mengikis jarak diantara mereka. Jovian merasakan pipinya ikut basah, ia melumat bahkan menyapa bibir Petra dengan lidahnya yang membuat wanita itu membuka rongga mulutnya dan lidah Jovian berhasil menginvasi di dalam sana. Bergerak liar, cumbuan semakin menuntut hingga akhirnya Petra menjauhkan wajahnya, duduk menjauh dari Jovian dan menghapus air matanya dengan buru-buru.

“Petra...” cegah Jovian, namun Petra beranjak berdiri dan mengambil sesuatu di rak buku di ruang tamu itu dan mengambil sebuah map yang selanjutnya ia berikan kepada Jovian. Petra membanting map itu di depan Jovian. Pria itu bingung setengah mati, ia meraih map itu dan menatap Petra dengan tatapan bingung dan melanjutkan membaca isi map tersebut.

“Jovian, aku udah gugat kamu. Aku penggugatnya, aku mau cerai lebih cepat dari satu tahun yang kita sepakati.”  

Their First Night

Petra sedari tadi memperhatikan suaminya yang tengah meracau di atas ranjang. Bibir sang tuan tak henti berkata dan merapalkan kalimat demi kalimat, Jovian mencurahkan semua isi hatinya tentang peliknya perasaannya saat ini. Petra hanya diam mematung lalu mendekat dan mulai melepaskan dasi, ikat pinggang dan melonggarkan kancing kemeja yang Jovian kenakan, mengusap kening pria yang penuh peluh itu.

“Jov, jangan ngedrunk terus,” katanya dengan suara parau.

“Lea.. aku mau Lea..” kalimat itu dirapalkan Jovian mungkin dibawah alam sadarnya.

“Nggak ada Lea disini.” Petra berkata sedikit ketus namun tangannya sudah berhasil melucuti ikat pinggang dan dasi Jovian, kini ia membuka beberapa kancing kemeja suaminya itu.

“Nggak!” Balas Jovian masih dalam racaunya. Petra kesal, ia bangkit berdiri namun Jovian menarik lengan wanita itu, ia membuat Petra terlentang di tempat tidur sekarang.

Jovian pun mengukung tubuh Petra di bawahnya, wajahnya berdekatan dengan wajah Petra hingga embusan napas mereka bisa mereka rasakan satu sama lain.

“Jov...” Petra terbelalak saat Jovian menempelkan ujung hidungnya dengan ujung hidung Petra.

So pretty,” kata Jovian sambil membelai pipi Petra.

“Mirip Lea,” katanya lagi.

Can you just stop talking about her? Aku istri kamu!” pekik Petra, wajah sayu Jovia berubah menjadi datar, matanya memerah.

“Aku nggak akan pernah jadi Lea!” balas Petra dengan nyaring ia sedikit memberontak namun Jovian menahannya,

Forget her! She is other man’s wife now!” perkataan Petra itu yang membuat Jovian sedikit geram lalu menekan kedua pipi Petra dengan tangannya.

“Jangan pernah punya perasaan sama aku! Satu tahun nikah kita udahin semuanya.” Jovian mengatur napasnya yang berderu.

“Punya perasaan atau enggak itu urusanku, urus masa lalu kamu yang belum selesai! Kamu pecundang yang belum bisa beranjak padahal kamu yang menghempaskan, ngerti?” kekeh Petra. Jovian yang mendengar perkataan itu langsung melumat bibir Petra kasar,

“Jovian, hmphh―” Petra memekik sambil meremas baju Jovian saat suaminya itu melumat bibirnya dengan tempo terburu-buru. Jovian mengunci kedua kaki Petra dengan kakinya, tak dibiarkannya Petra memberontak. Beberapa botol alkohol memang ambil andil untuk perilaku Jovian saat ini. Beberapa kali Petra melawan tidak membuahkan hasil hingga akhirnya tak ada perlawanan lagi dari Petra hingga saat itu juga Jovian melumat kasar kedua belah bibir Petra dan menggigitnya. Petra pun menekan dan sedikit mendorong tubuh Jovian hingga sedikit terbentang jarak diantara mereka.

“Apaan sih, Jov?!” pekik Petra. Jovian menjauh, Petra buru-buru bangkit dari tempat tidur namun saat hendak keluar kamar, Jovian menahannya menarik dan membenturkan tubuh Petra ke tembok.

I need you right now,” ucap Jovian dengan suara beratnya, tubuh Petra terpenjara diantara dua lengan yang menahan di sisi kanan dan kirinya. Jovian kembali melumat bibir Petra namun kali ini dengan sedikit lembut,

“Jov...” bisik Petra dalam lumatannya.

Don’t go, please don’t,” kata Jovian lembut. Pria dengan sejuta misteri yang sulit diterka itu memang membuat Petra terombang ambing dalam perasaannya. Akhirnya permohonan itu dikabulkan Petra. Seiringan dengan wajah keduanya yang mendekat, bibir Petra sudah membalas lumatan dan aksi dari Jovian. Petra yang hanya menggunakan lingerie sexy dress saat itu pun mulai melepaskan semua kancing kemeja Jovian. Keduanya saling melucuti helaian benang yang menempel di tubuh mereka. Hingga saat ini tidak ada lagi sehelai benang pun yang menutupi tubuh keduanya.

Jari panjang Jovian meraba seluruh lekuk tubuh Petra, bergerak cepat di bawah sana di pusat pertahanan tubuh Petra, wanita itu melemah. Petra mulai kehabisan tenaga ia hanya bisa pasrah, ia membiarkan sang tuan merajai tubuhnya, terlalu lelah hati dan fisik Petra saat ini. Akhirnya Jovian pun mengangkat dan menggendong tubuh Petra dan membaringkan wanita itu di tempat tidur, Jovian menahan tubuhnya dengan sikunya dan tidak melepaskan pagutan dan lumatan yang mulai terjalin lembut walaupun masih saling membalas itu.

Petra sempat menahan sejenak tubuh Jovian sebelum ia mengambil napas dan akhirnya sang puan yang sudah dibuai renjana nikmat kala itu menarik dagu Jovian lagi dan meraih bibir sang tuan, diusapnya lembut dengan telunjuknya sebelum dibiarkan bertaut dan bertukar saliva. Jovian masih memimpin permainan. Tidak ada lagu yang disenandungkan, hanya ada nama dalam setiap lenguhan. Nama masing-masing dalam setiap desahan. Peluh bercucuran menemani dua sejoli yang merasakan gelenyar panas dalam tubuh masing-masing.

Tangan Jovian mulai lihai memainkan dua gundukan kenyal yang ada di dada Petra, meremas dan membuat kepuasan satu sama lain, permainan Jovian menjadi lembut setelahnya. Kepala Petra sempat menengadah dan ia melenguh saat jari Jovian bergerak sensual memutar dan memilin puncak payudara Petra. Ciuman Jovian kini berpindah ke leher jenjang Petra. Dan jari Jovian kembali bermain di pusat tubuh Petra membuat wanitanya mengerang dan mendesah.

Nama Jovian yang terucap di setiap lenguhan Petra, kini keduanya sudah hanyut dalam buaian nikmat malam, tak ada yang melawan, menolak atau memberontak. Gerakan jari Jovian di bawah sana semakin cepat, bibirnya kini berpindah ke payudara Petra meraup dan melahapnya tanpa henti, gerakan lidah memutar dan menekan membuat Petra semakin menggila di bawah sana.

“Jov, ngh..

Moan my name, louder, as long as you want,” balas Jovian Saat itu juga Jovian sedikit menggigit puncak payudara Petra hingga membuat tubuh Petra membusung namun kembali diraupnya payudara itu tanpa henti. Lidah Jovian juga menjelajah dada dan perut Petra memberikan kenikmatan di setiap inchi nya. Kini Jovian membuka paha Petra lebar, mengecup setiap jengkal hingga kini ia ada di depan pusat tubuh Petra,

Don’t ever do that kalau kamu belum, akkhhh mhhhh―” belum sempat Petra menyelesaikan kalimatnya pertahanan Petra di bawah sana sudah diserang oleh lidah dan bibir Jovian. Jovian benar-benar membuat tubuh Petra bergetar saat itu, lidahnya bermain di bawah sana dan bergerak naik turun dan menekan dengan cepat, dihisap dibukanya bibir vagina Petra dan dimainkannya lidah Jovian disana dengan cepat, rematan diberikan Petra di rambut dan punggung Jovian.

Mhhh Jovian you can take all of mine nnghhh” lenguhan Petra diabaikan Jovian karena ia masih asik bermain dengan pertahanan Petra. Jari dan lidah Jovian bergantian bermain di bawah sana. Dada Petra beberapa kali membusung hingga ia mabuk kepayang.

“Jovian ahhh” Petra melenguh, saat Jovian sudah merasakan pusat tubuh Petra yang basah, Jovian kembali naik menguasai tubuh Petra, diarahkannya pusakanya dengan milik Petra hingga Jovian memberi tiga kali hentakan agar miliknya masuk dengan sempurna.

“Ahhh!” pekik Petra saat merasakan sesuatu robek di bawah sana. Sakit dan perih di saat yang bersamaan. Petra meneteskan air mata, Jovian terbelalak saat menyadari hal itu, ia benar-benar mengambil mahkota Petra malam itu. Mereka sama-sama menjadi yang pertama untuk mengambil harta kepemilikan satu sama lain.

“Petra, I did it, can I?” tanya Jovian.

Just take it, I want you, I’m yours, love.” Petra sudah memejamkan matanya disana walaupun air mata mengalir. Jovian membelai lembut pipi Petra dan mengecupnya berkali-kali. Jovian memang tengah mabuk hingga mungkin ia akan lupa atas apa yang mereka lakukan. Dibungkamnya mulut Petra dengan belah bibir Jovian, agar wanita itu tidak merintih. Rasa sakit berusaha Jovian redam, Petra memeluk leher Jovian erat hingga ia menyadari Jovian sudah menggerakkan pinggulnya disana. Sensasi rasa sakit dan perih perlahan sirna, Petra mengatur napasnya dan mulai menikmati rasa nikmat yang membuainya saat ini. Desahan Petra semakin sering terdengar dan nama Jovian satu-satunya tuan yang merajai hatinya lah yang terucap merdu. Bak candu bagi Jovian.

Jovian adalah pemain lihai yang berhasil meredam rasa sakit yang Petra baru kali ini rasakan, dimanjakannya wanita yang tidak Jovian cintai dengan kecup lembut dan memabukkan di setiap jengkal tubuh Petra, pipi, dahi, telinga, leher dan dada tidak lepas dari kendali dan kuasa Jovian dengan lembut dan lihai, Petra tidak melawan malah menyerahkan diri seutuhnya untuk pria yang merajai tubuhnya kali ini. Petra semakin melenguh dan mendesah di sana, sungguh ini yang pertama kali bagi keduanya.

“Jov pelan ahh mhh,” desah Petra, akhirnya Jovian memberikan gerakan pelan dan lembut tapi memabukkan untuk Petra dan tak bisa dipungkiri Jovian kini juga merasakan hal yang sama. Jovian memberi sela untuk Petra mengambil napas setelahnya,

“Akhh! Jovian!” Kedua mata sayu Petra menatap mata tajam Jovian yang sedang menyeringai usai memberi satu hentakan hebat. Jovian memasukkan jari telunjuk dan jari tengahnya agar dikulum oleh mulut hangat Petra.

I want your lips, I want your mmmpphh―” rengek Petra, Jovian langsung menuruti menyerahkan bibirnya untuk dikuasai Petra. Tangan Jovian meraih gundukan payudara Petra dan meremasnya sensual. Tangan Petra masih meremas rambut Jovian mengikuti tempo ciumannya agar rasa nikmatnya tersalurkan.

Kehidupan kebersamaan mereka tautkan dalam setiap cecapan dan setiap tanda di tubuh Petra saat itu menjadi saksi bahwa Jovian masih ingin Petra ada disana walaupun sering ia tiadakan. Sedikit resah tubuh Petra kala itu hingga akhirnya Jovian memberikan beberapa hentakan hebat yang menjemput pelepasan Petra. “Jov I wanna ahh coming out nghh

Ahh you’re so tight mhhh, Lea I wanna cum ahh nghh, together mhh” desah Jovian kala itu membuat Petra membuka matanya. Jovian masih terpejam, melumat brutal bibir Petra, namun mengapa nama Lea yang disebutkan Jovian dalam desahnya?

“Jov, aku...” belum sempat Petra berkata, Jovian sudah menumbuk miliknya keras-keras, Jovian juga memberikan gerakan lebih cepat hingga akhirnya Jovian masih bergerak namun ia membuka matanya dan melihat mata yang terpejam di bawah sana. Ia kembali bergerak menjemput agar keduanya menjemput pelepasan bersama, Jovian meredam rasa asing dan perih yang mungkin di rasakan Petra saat itu dengan peluk dan kecupan berkali-kali di bibir dan kening Petra.

Namun, ada alasan lain mengapa Petra saat ini meneteskan air mata, nama yang terucap bukan namanya. Saat ini Jovian tidak ingin egois, melakukannya bersama maka kenikmatan itu harus dirasakan berdua, bukan sendiri. Akhirnya beberapa gerakan brutal setelah itu membuat keduanya sampai pada puncaknya dan Jovian melepaskan cairan asmaranya di dalam milik Petra yang membuat Petra menggelinjang dan merasakan nikmat yang dijemput bersamaan, dipeluknya erat tubuh kekar yang menguasai tubuhnya dengan penuh kasih dan dengan tubuh Petra yang bergetar, namun air mata kala itu lolos lagi dari pelupuk mata Petra.

“Hey, why? kenapa nangis?” tanya Jovian sambil menyangga beban tubuhnya dengan kedua sikunya dan membelai pipi Petra pelan lalu mengecup bibir Petra sesaat.

“Aku Petra, Jov! Aku Petra...” jawab Petra dengan penuh penekanan namun suaranya parau.

Jovian sedikit terdiam sebentar, ia mengernyitkan dahi, bingung dengan apa maksud Petra.

“Aku bukan Lea, Jov. You moan her name when you having sex with me, this is our first time! This is our first night after married and when you take all of mine as a woman as your wife and then you moan her name, not mine, how can...” Petra menangis setelahnya, Jovian dan Petra merubah posisi berbaring bersebelahan. Jovian yang menyadari kesalahannya terdiam, Petra berbalik badan memunggungi Jovian, ia menangis disana membiarkan air mata tumpah ruah membasahi bantalnya. Punggung Petra bergetar membuat Jovian terbelalak dan merasa bersalah.

SIAL! BODOH! Jovian tak henti merutuki dirinya. “Petra.. maaf...” kalimat itu diucap Jovian lirih, Jovian meraih tubuh yang meringkuk itu, menariknya, mengecup bagian punggung yang terekspos disana. Dengan sepersekian rasa yang masih membara, Jovian mengerti ia telah menyakiti hati Petra, ia pun membuat Petra berbalik badan, Petra sudah menangis, Jovian menarik selimut dan mendekap Petra hangat dalam gulungan selimut.

“Aku bukan Lea, aku bukan Lea!” tangis Petra semakin keras. Jovian masih mempertahankan ucapan maafnya, ia memeluk Petra erat malam itu, wanita itu menangis di dada bidang Jovian setelahnya. Kali ini hati Petra hancur luruh, bahkan disaat seperti ini, saat pertamanya dengan Jovian harus nama Lea yang terlontar? Memang cinta tak pernah ingkar pada pemiliknya, namun Jovian adalah miliknya, suami sah Petra sekarang. Hati wanita mana yang tidak perih dengan hal seperti ini? Sedih, amarah, tidak ingin kehilangan bersatu membingkai perasaan Petra sekarang.

“Maaf, maafin aku, sayang.” bisik Jovian lirih di telinga Petra, wanita itu hanya bisa memeluk tubuh Jovian erat saat sang tuan merajainya dalam peluk. Apa? Sayang? Petra mendongak sesaat, “Apa kamu bilang?”

“Maafin aku, Petra.” Saat itu juga Petra menggigit bibir bawahnya menyadari dingin malam berembus bukan dari udara dan hawa di malam itu melainkan dari hati dan sukma Jovian yang menyokong kesunyian dalam hati Petra.

“Kamu nggak akan bisa buka hati buat aku juga, kamu masih stuck disana.”

“Aku butuh waktu, maaf, maafin aku.” Setelah itu puncak kepala Petra dihujam kecupan berkali-kali dan pelukan itu bertambah hangat, dekapnya bertambah dalam, tepukan pelan di punggung Petra membawa Petra melingkarkan tangan di tubuh Jovian, akhirnya dibuai dinginnya malam saat itu atmosfer tenang setelahnya berkuasa, menemani dua insan yang baru saja bersatu dalam keintiman suami istri itu hingga pagi menjelang walaupun dengan pilu yang meradang di hati Petra.

PETRA & VEDRICK

Malam dingin kala itu membuat Petra harus buru-buru bergegas ke minimarket di dekat apartemennya tinggal. Kebiasaannya untuk makan roti di pagi hari dan juga kebiasaannya membuat bekal untuknya tidak bisa terhindarkan, Petra memang mandiri selepas ia menjadi dokter, ia tinggal di apartemen di dekat klinik yang ia buka.

Alih-alih tinggal bersama orang tua dan adiknya laki-lakinya ia memilih hidup mandiri. Petra masih asyik memilih beberapa roti dan kue yang akan ia beli, pada koridor minimarket itu berdiri seorang pria yang memperhatikan Petra sedari tadi. Ia berdiri di ujung dan sedikit bersembunyi di balik rak makanan, pandangannya tak lepas dari Petra. Ia pun berjalan mendekat ke arah Petra yang menenteng barang belanjaan pada sebuah keranjang. Tubuh mungil Petra sedikit menunduk meraih sebuah roti tawar kemasan. Hingga saat Petra menegakkan tubuhnya lagi ia merasakan menyenggol seseorang.

Matanya membulat melihat seseorang tepat di belakangnya,

“Hai, ibu dokter.” Sapa seorang pria yang sedari tadi memperhatikan Petra itu.

Oh my God, how can? Vedrick!”

Keduanya terkekeh setelah Petra mengatur napasnya dan mengelus dadanya saat terkejut.

“Udah beli rotinya?” tanya Vederick sambil tersenyum simpul. Petra mengangguk sambil menunjukkan keranjang yang tengah ia tenteng.

“Okay, sekalian curhat di sini mau? Atau mau kemana?” tanya Vedrick saat keduanya berjalan beriringan menuju kasir. Petra tersenyum dan menggeleng, “Disini aja, sama ngemil nih haha.” Balasnya. Vedrick mengangguk tanda setuju.


So, what kind of things that you want to share?” tanya Vedrick sambil membuka satu botol cola dan bersandari di kursi di depan Petra. Keduanya memilih menikmati udara malam yang sejuk kala itu di depan minimarket itu.

I’ll married soon,” kata Petra sambil bersandar di kursi dan melipat tangannya di depan dada.

Okay, I know, fotografer handal dan ternama, sounds great,” Vedrick mengangkat kedua bahunya lalu mengangkat satu alisnya dan tersenyum smirk. Mungkin Vedrick kagum tapi dalam hati Petra kini hanya merasa berserakan dalam hatinya.

Thank you, but you have to know one thing,” kata Petra, Vedrick mencondongkan tubuhnya dan mendengarkan Petra dengan seksama sambill melahap satu potong kecil tiramisu cakenya.

“*Jovian baru aja mutusin pacarnya akhir-akhir ini, gue jadi ngerasa bersalah, you know, seems like gue rebut Jovian nggak sih?” kata Petra.

“Gimana ceritanya mau nikah tapi dia ada pacar?” nada Vedrick meninggi.

“Gue ataupun Lea juga nggak tahu pasti alasan Jovian apa. Kita sama-sama nggak tahu.” Kata Petra lesu.

“Dan kalian sama-sama terluka, right?”

“Vedrick...”

It’s hurt for both of you.”

“Gue nggak punya kuasa lebih buat minta penjelasan Jovian.” Vedrick hanya mengangguk sambil tersenyum yang membuat lesung pipinya nampak jelas, “I see, so... does it matter for you? Jovian’s reason yang nggak diketahui siapapun itu?” Petra mengangguk cepat, “Hell yeah, it matters.

But how if the reason ...” Vedrick diam sejenak,

“Vedrick!” Petra sedikit kesal dan mencubit lengan sahabatnya itu.

“Haha, okay, gimana kalau ternyata alasannya adalah alasan yang terbaik buat kalian. Buat lo sama Lea?” Petra mengernyitkan alisnya.

“Nggak mungkin, dia pasti cuma mikirin Lea.” Petra terkekeh setelahnya. Vedrick menatap gadis di depannya tajam tanda serius. Petra menghadap ke pelataran minimarket, “Bisa aja Jovian tahu perasaan lo yang lo simpen rapet sejak SMA?”

Petra yang tengah minum menjadi tersedak, dan langsung mengatur napasnya. “Lo, ngaco!” Petra menepuk-nepuk lengan Vedrick setelahnya. Pria di depan Petra itu hanya tersenyum dan sedikit terkikik.

“Pokoknya happy wedding! Doa gue semoga lo bahagia, lo harus bahagia!” kata Vedrick tersenyum sebelum menunduk sedikit sambil mengaduk minumannya sambil menghela napas.

MEMELUK DURI TAJAM

Usai Petra menangani Lea yang dibawa Jovian ke klinik miliknya, Petra melangkah keluar setelah membiarkan Lea disana dengan keadaan yang belum sadar dan dengan selang infus yang menancap di tangannya. Untung saja keadaannya tidak terlalu parah, Petra menangani Lea secara professional bukan sebagai masa lalu dari pria yang akan menikahinya namun sebagai dokter dan pasien pada umumnya.

Petra melihat Jovian yang terlihat membalas sebuah pesan di ponselnya namun sedetik kemudian pria itu tertunduk sambil mengacak rambutnya sendiri, Jovian terlihat sangat kacau dan terisak. Hal itu mendorong Petra berjalan melangkah mendekati Jovian.

“Jov,” gumam Petra lirih. Jovian mendongak mengangkat wajahnya hingga Petra bisa melihat dengan jelas mata dan pipi yang sudah basah dengan air mata itu. Jovian buru-buru menyeka air matanya dan mengedalikan emosinya, ia mencoba tersenyum di depan Petra.

“Aku boleh duduk disini?” tanya Petra, pertanyaan itu dibalas anggukan oleh Jovian dan Petra pun mengambil posisi duduk tepat di sebelah Jovian.

“Terima kasih udah buat keputusan.” Jovian tersenyum walaupun ia paksakan dan mengangguk,

“Setelah ini aku nggak akan ketemu Lea lagi.” Pernyataan Jovian itu mengundang tanya di kepala Petra.

“Aku nggak ngelarang kamu ketemu dia.”

“Tetap aja, kita menikah nantinya.”

“Semoga aku konsisten dengan keputusanku, aku nggak mau nyakitin Lea lebih dalam lagi.” Jovian berkata dengan nada yang semakin memelan. Jika mempertanyakan perihal bosan pasti jawabannya tidak. Bahkan jika sampai saat ini juga tidak pernah ada kata bosan di kamus Jovian tentang Lea. Malam itu, Petra pikir ia akan merutuki nasibnya karena Jovian yang ia pikir tidak akan mengakhiri hubungan dengan Lea, namun ternyata Jovian mengakhirinya.

“Ya udah, semua tergantung kamu.” Petra menghela napas lalu bangkit berdiri.

“Aku mau bikinin resep obat buat Lea dulu, ya? Kamu mau disini? Apa mau nungguin Lea di dalam?” tanya Petra lembut.

“Disini aja,” balas Jovian singkat. Petra mengangguk lalu berjalan meninggalkan Jovian. Larut malam ini Jovian berjanji pada dirinya sendiri akan berada disana hingga pagi menjelang karena ia sudah menghubungi Timothy, kakak Lea yang akan menjemput Lea esok hari. Sebongkah nelangsa sebenarnya dirasakan ketiganya, Petra atau Jovian maupun Lea.

Namun, mereka kini sedang berada di posisi tidak bisa menyeka luka masing-masing. Usai membuatkan resep obat untuk Lea, Petra berniat ingin kembali menghampiri Jovian di ruang tunggu, namun yang ia lihat adalah keadaan Jovian yang sangat kalut.

BUG!

Jovian mengepalkan tangannya dan menghantam tembok lalu ia juga membenturkan kepalanya sendiri ke tembok setelahnya. Hal itu membuat Petra bergerak cepat menghalangi Jovian melakukan hal lain. Ia menarik tubuh Jovian dan mencoba menenangkan Jovian.

“Jovian!” Petra memekik dan menarik tubuh Jovian menjauh dari tembok dan membuat Jovian menghadapkan wajahnya kepada Petra. Jovian menangis disana, keadaanya kacau. Petra dan Jovian saling mengenal sejak SMA bukan hal yang sebentar. Petra paham betul bagaimana kacaunya perasaan Jovian.

“Jangan putus kalau emang belum mampu, jangan maksain diri!” kata Petra dengan memegangi kedua bahu Jovian, mata keduanya beradu.

“Kamu nggak paham keadaannya.” Suara Parau Jovian menelusup telinga Petra dan membuat hatinya berdesir nyeri.

“Tapi jangan nyakitin diri kamu juga, Jov,” jawab Petra sambil membelai pipi Jovian. Jovian bergeming―hening. Bagaimana mungkin Lea dan Jovian tidak berada pada satu titik sakit yang sama? Bahwasanya dua sejoli yang pernah bersama, melewati masa indah dan berbagi rengkuh harus usai ditengah perjalanan yang tidak mereka kehendaki. Dalam hati Jovian pasti tidak berniat menyerah dan tak ingin melepas namun tak ada lagi ruang yang bisa dipertahankan.

Malam itu hujan turun lagi bersamaan dengan hujan di pipi Jovian, Petra mengajaknya duduk di bangku panjang, tubuh Jovian melemah, perlahan kepalanya menunduk dan kini ia sudah mendaratkan kepalanya di ceruk leher Petra.

Tubuh Petra bak mendapat sengatan, ini pelukan pertama Jovian untuknya. Pelukan dimana Jovian menangisi wanita yang ia cintai dan itu bukan Petra. Jovian mungkin tidak tahu bahwa wanita dengan segala peluk yang ia sediakan sekarang adalah sebenar-benarnya perasaan yang tidak pernah beranjak pergi sejak ada di bangku sekolah. Wajah Jovian bak langit mendung yang sulit untuk diselami, hingga akhirnya sang tuan membuka suaranya,

“Lea baru aja kehilangan Mama Papanya karena kecelakaan beberapa minggu lalu, sekarang aku tinggalin dia tanpa alasan jelas. Aku nggak bisa tahan dia di hubungan ini, Ayah terlalu kejam sama Lea,” suara berat Jovian beradu dengan tangisnya sekarang.

Hati Petra remuk, sungguh. Ia termangu mendengarkan Jovian dengan segala penuturannya namun tangannya meraih tubuh Jovian dan merengkuhnya dalam hangat dekapannya. Di penghujung pekatnya malam kala itu, Petra menyadari bahwa ada dua hati yang masih saling bertaut. Tangisan Jovian menggema, kini Petra mempererat pelukannya dan menempelkan pipinya di kepala Jovian.

“Nangis, nangis aja, Jov,” kata Petra pelan, hal itu membuat Jovian memeluk Petra erat, namun pelukan menyakitkan ini membuat Petra bak memeluk duri tajam. Selama ini Petra yang diacuhkan hingga rengkuh itu datang perlahan melahap harap di hati Petra, Jovian memeluk Petra tanpa paksaan.

Ada rasa yang terpatri disana, di hati Petra sudah dipatri nama Jovian namun di hati Jovian―entah. Ia masih bermukim pada ketidaktahuan, berdiam diri didalam penyesalan tiada henti, dinginnya malam itu mengikis dinding sanubari yang awalnya kokoh―Petra akui sekarang ia runtuh dalam tembok pertahanannya. Rasa mengiba menolak untuk ditiadakan, bohong jika Petra tidak merasakan sakit, apa daya sang tuan harus memutuskan satu hati untuk tinggal sebagai pemilik.

Johnny Oneshot AU written by awnyaii

Petra sedari tadi memperhatikan suaminya yang tengah meracau di atas ranjang. Bibir sang tuan tak henti berkata dan merapalkan kalimat demi kalimat, Jovian mencurahkan semua isi hatinya tentang peliknya perasaannya saat ini. Petra hanya diam mematung lalu mendekat dan mulai melepaskan dasi, ikat pinggang dan melonggarkan kancing kemeja yang Jovian kenakan, mengusap kening pria yang penuh peluh itu.

“Jov, jangan ngedrunk terus,” katanya dengan suara parau.

“Lea.. aku mau Lea..” kalimat itu dirapalkan Jovian mungkin dibawah alam sadarnya.

“Nggak ada Lea disini.” Petra berkata sedikit ketus namun tangannya sudah berhasil melucuti ikat pinggang dan dasi Jovian, kini ia membuka beberapa kancing kemeja suaminya itu.

“Nggak!” Balas Jovian masih dalam racaunya.

Petra kesal, ia bangkit berdiri namun Jovian menarik lengan wanita itu, ia membuat Petra terlentang di tempat tidur sekarang. Jovian pun mengukung tubuh Petra di bawahnya, wajahnya berdekatan dengan wajah Petra hingga embusan napas mereka bisa mereka rasakan satu sama lain.

“Jov...” Petra terbelalak saat Jovian menempelkan ujung hidungnya dengan ujung hidung Petra.

So pretty,” kata Jovian sambil membelai pipi Petra.

“Mirip Lea,” katanya lagi.

Can you just stop talking about her?! Aku istri kamu!” pekik Petra, wajah sayu Jovian berubah menjadi datar, matanya memerah.

“Aku nggak akan pernah jadi Lea!” balas Petra dengan nyaring ia sedikit memberontak namun Jovian menahannya,

Forget her! She is other man’s wife now!” perkataan Petra itu yang membuat Jovian sedikit geram lalu menekan kedua pipi Petra dengan tangannya.

“Jangan pernah punya perasaan sama aku! Satu tahun nikah kita udahin semuanya.” Jovian mengatur napasnya yang berderu.

“Punya perasaan atau enggak itu urusanku, urus masa lalu kamu yang belum selesai! Kamu pecundang yang belum bisa beranjak padahal kamu yang menghempaskan, ngerti?” kekeh Petra. Jovian yang mendengar perkataan itu langsung melumat bibir Petra kasar,

“Jovian, hmphh―” Petra memekik sambil meremas baju Jovian saat suaminya itu melumat bibirnya dengan tempo terburu-buru. Jovian mengunci kedua kaki Petra dengan kakinya, tak dibiarkannya Petra memberontak. Beberapa botol alkohol memang ambil andil untuk perilaku Jovian saat ini. Beberapa kali Petra melawan tidak membuahkan hasil hingga akhirnya tak ada perlawanan lagi dari Petra hingga saat itu juga Jovian melumat kasar kedua belah bibir Petra dan menggigitnya. Petra pun menekan dan sedikit mendorong tubuh Jovian hingga sedikit terbentang jarak diantara mereka.

“Apaan sih, Jov?!” pekik Petra. Jovian menjauh, Petra buru-buru bangkit dari tempat tidur namun saat hendak keluar kamar, Jovian menahannya menarik dan membenturkan tubuh Petra ke tembok.

I need you right now,” ucap Jovian dengan suara beratnya, tubuh Petra terpenjara diantara dua lengan yang menahan di sisi kanan dan kirinya. Jovian kembali melumat bibir Petra namun kali ini dengan sedikit lembut,

“Jov...” bisik Petra dalam lumatannya.

Don’t go, please don’t,” kata Jovian lembut. Pria dengan sejuta misteri yang sulit diterka itu memang membuat Petra terombang ambing dalam perasaannya. Akhirnya permohonan itu dikabulkan Petra. Seiringan dengan wajah keduanya yang mendekat, bibir Petra sudah membalas lumatan dan aksi dari Jovian. Petra yang hanya menggunakan lingerie sexy dress saat itu pun mulai melepaskan semua kancing kemeja Jovian. Keduanya saling melucuti helaian benang yang menempel di tubuh mereka. Hingga saat ini tidak ada lagi sehelai benang pun yang menutupi tubuh keduanya.

Jari panjang Jovian meraba seluruh lekuk tubuh Petra, bergerak cepat di bawah sana di pusat pertahanan tubuh Petra, wanita itu melemah. Petra mulai kehabisan tenaga ia hanya bisa pasrah, ia membiarkan sang tuan merajai tubuhnya, terlalu lelah hati dan fisik Petra saat ini.

Akhirnya Jovian pun mengangkat dan menggendong tubuh Petra dan membaringkan wanita itu di tempat tidur, Jovian menahan tubuhnya dengan sikunya dan tidak melepaskan pagutan dan lumatan yang mulai terjalin lembut walaupun masih saling membalas itu.

Petra sempat menahan sejenak tubuh Jovian sebelum ia mengambil napas dan akhirnya sang puan yang sudah dibuai renjana nikmat kala itu menarik dagu Jovian lagi dan meraih bibir sang tuan, diusapnya lembut dengan telunjuknya sebelum dibiarkan bertaut dan bertukar saliva. Jovian masih memimpin permainan. Tidak ada lagu yang disenandungkan, hanya ada nama dalam setiap lenguhan. Nama masing-masing dalam setiap desahan. Peluh bercucuran menemani dua sejoli yang merasakan gelenyar panas dalam tubuh masing-masing. Tangan Jovian mulai lihai memainkan dua gundukan kenyal yang ada di dada Petra, meremas dan membuat kepuasan satu sama lain, permainan Jovian menjadi lembut setelahnya.

Kepala Petra sempat mengadah dan ia melenguh saat jari Jovian bergerak sensual memutar dan memilin puncak payudara Petra. Ciuman Jovian kini berpindah ke leher jenjang Petra. Dan jari Jovian kembali bermain di pusat tubuh Petra membuat wanitanya mengerang dan mendesah. Nama Jovian yang terucap di setiap lenguhan Petra, kini keduanya sudah hanyut dalam buaian nikmat malam, tak ada yang melawan, menolak atau memberontak.

Gerakan jari Jovian di bawah sana semakin cepat, bibirnya kini berpindah ke payudara Petra meraup dan melahapnya tanpa henti, gerakan lidah memutar dan menekan membuat Petra semakin menggila di bawah sana.

“Jov, ngh..

Moan my name, louder, as long as you want,” balas Jovian Saat itu juga Jovian sedikit menggigit puncak payudara Petra hingga membuat tubuh Petra membusung namun kembali diraupnya payudara itu tanpa henti. Lidah Jovian juga menjelajah dada dan perut Petra memberikan kenikmatan di setiap inchi nya.

Kini Jovian membuka paha Petra lebar, mengecup setiap jengkal hingga kini ia ada di depan pusat tubuh Petra,

Don’t ever do that kalau kamu belum, akkhhh mhhhh―” belum sempat Petra menyelesaikan kalimatnya pertahanan Petra di bawah sana sudah diserang oleh lidah dan bibir Jovian. Jovian benar-benar membuat tubuh Petra bergetar saat itu, lidahnya bermain di bawah sana dan bergerak naik turun dan menekan dengan cepat, dihisap dibukanya bibir vagina Petra dan dimainkannya lidah Jovian disana dengan cepat, rematan diberikan Petra di rambut dan punggung Jovian.

Mhhh Jovian you can take all of mine nnghhh” lenguhan Petra diabaikan Jovian karena ia masih asik bermain dengan pertahanan Petra. Jari dan lidah Jovian bergantian bermain di bawah sana. Dada Petra beberapa kali membusung hingga ia mabuk kepayang.

“Jovian—mmhhh…” Petra melenguh, saat Jovian sudah merasakan pusat tubuh Petra yang basah, Jovian kembali naik menguasai tubuh Petra, diarahkannya pusakanya dengan milik Petra hingga Jovian memberi tiga kali hentakan agar miliknya masuk dengan sempurna.

“Ahhh!” pekik Petra saat merasakan sesuatu robek di bawah sana. Sakit dan perih di saat yang bersamaan. Petra meneteskan air mata, Jovian terbelalak saat menyadari hal itu, ia benar-benar mengambil mahkota Petra malam itu. Mereka sama-sama menjadi yang pertama untuk mengambil harta kepemilikan satu sama lain.

“Petra, I did it, can I?” tanya Jovian.

Just take it, I want you, I’m yours, love.” Petra sudah memejamkan matanya disana walaupun air mata mengalir. Jovian membelai lembut pipi Petra dan mengecupnya berkali-kali. Jovian memang tengah mabuk hingga mungkin ia akan lupa atas apa yang mereka lakukan. Dibungkamnya mulut Petra dengan belah bibir Jovian, agar wanita itu tidak merintih. Rasa sakit berusaha Jovian redam, Petra memeluk leher Jovian erat hingga ia menyadari Jovian sudah menggerakkan pinggulnya disana. Sensasi rasa sakit dan perih perlahan sirna, Petra mengatur napasnya dan mulai menikmati rasa nikmat yang membuainya saat ini. Desahan Petra semakin sering terdengar dan nama Jovian satu-satunya tuan yang merajai hatinya lah yang terucap merdu. Bak candu bagi Jovian.

Jovian adalah pemain lihai yang berhasil meredam rasa sakit yang Petra baru kali ini rasakan, dimanjakannya wanita yang tidak Jovian cintai dengan kecup lembut dan memabukkan di setiap jengkal tubuh Petra, pipi, dahi, telinga, leher dan dada tidak lepas dari kendali dan kuasa Jovian dengan lembut dan lihai, Petra tidak melawan malah menyerahkan diri seutuhnya untuk pria yang merajai tubuhnya kali ini. Petra semakin melenguh dan mendesah di sana, sungguh ini yang pertama kali bagi keduanya.

“Jov pelan… ahh mhh,” desah Petra, akhirnya Jovian memberikan gerakan pelan dan lembut tapi memabukkan untuk Petra dan tak bisa dipungkiri Jovian kini juga merasakan hal yang sama. Jovian memberi sela untuk Petra mengambil napas setelahnya,

“Akhh! Jovian!” Kedua mata sayu Petra menatap mata tajam Jovian yang sedang menyeringai usai memberi satu hentakan hebat. Jovian memasukkan jari telunjuk dan jari tengahnya agar dikulum oleh mulut hangat Petra.

I want your lips, I want your mmmpphh―” rengek Petra, Jovian langsung menuruti menyerahkan bibirnya untuk dikuasai Petra. Tangan Jovian meraih gundukan payudara Petra dan meremasnya sensual. Tangan Petra masih meremas rambut Jovian mengikuti tempo ciumannya agar rasa nikmatnya tersalurkan. Kehidupan kebersamaan mereka tautkan dalam setiap cecapan dan setiap tanda di tubuh Petra saat itu menjadi saksi bahwa Jovian masih ingin Petra ada disana walaupun sering ia tiadakan. Sedikit resah tubuh Petra kala itu hingga akhirnya Jovian memberikan beberapa hentakan hebat yang menjemput pelepasan Petra.

Jov I wanna ahh coming out nghh

Ahh you’re so tight mhhh, Lea I wanna cum ahh nghh, together mhh” desah Jovian kala itu membuat Petra membuka matanya. Jovian masih terpejam, melumat brutal bibir Petra, namun mengapa nama Lea yang disebutkan Jovian dalam desahnya?

“Jov, aku...” belum sempat Petra berkata, Jovian sudah menumbuk miliknya keras-keras, Jovian juga memberikan gerakan lebih cepat hingga akhirnya Jovian masih bergerak namun ia membuka matanya dan melihat mata yang terpejam di bawah sana. Ia kembali bergerak menjemput agar keduanya menjemput pelepasan bersama, Jovian meredam rasa asing dan perih yang mungkin di rasakan Petra saat itu dengan peluk dan kecupan berkali-kali di bibir dan kening Petra.

Namun, ada alasan lain mengapa Petra saat ini meneteskan air mata, nama yang terucap bukan namanya. Saat ini Jovian tidak ingin egois, melakukannya bersama maka kenikmatan itu harus dirasakan berdua, bukan sendiri. Akhirnya beberapa gerakan brutal setelah itu membuat keduanya sampai pada puncaknya dan Jovian melepaskan cairan asmaranya di dalam milik Petra yang membuat Petra menggelinjang dan merasakan nikmat yang dijemput bersamaan, dipeluknya erat tubuh kekar yang menguasai tubuhnya dengan penuh kasih dan dengan tubuh Petra yang bergetar, namun air mata kala itu lolos lagi dari pelupuk mata Petra.

“Hey, why? kenapa nangis?” tanya Jovian sambil menyangga beban tubuhnya dengan kedua sikunya dan membelai pipi Petra pelan lalu mengecup bibir Petra sesaat.

“Aku Petra, Jov! Aku Petra...” jawab Petra dengan penuh penekanan namun suaranya parau. Jovian sedikit terdiam sebentar, ia mengernyitkan dahi, bingung dengan apa maksud Petra.

“Aku bukan Lea, Jov. You moan her name when you having sex with me, this is our first time! This is our first night after married and when you take all of mine as a woman as your wife and then you moan her name, not my name, Jov! how can...” Petra menangis setelahnya, Jovian dan Petra merubah posisi berbaring bersebelahan. Jovian yang menyadari kesalahannya terdiam, Petra berbalik badan memunggungi Jovian, ia menangis disana membiarkan air mata tumpah ruah membasahi bantalnya. Punggung Petra bergetar membuat Jovian terbelalak dan merasa bersalah. SIAL! BODOH! Jovian tak henti merutuki dirinya.

“Petra.. maaf...” kalimat itu diucap Jovian lirih, Jovian meraih tubuh yang meringkuk itu, menariknya, mengecup bagian punggung yang terekspos disana. Dengan sepersekian rasa yang masih membara, Jovian mengerti ia telah menyakiti hati Petra, ia pun membuat Petra berbalik badan, Petra sudah menangis, Jovian menarik selimut dan mendekap Petra hangat dalam gulungan selimut.

“Aku bukan Lea, aku bukan Lea!” tangis Petra semakin keras. Jovian masih mempertahankan ucapan maafnya, ia memeluk Petra erat malam itu, wanita itu menangis di dada bidang Jovian setelahnya. Kali ini hati Petra hancur luruh, bahkan disaat seperti ini, saat pertamanya dengan Jovian harus nama Lea yang terlontar? Memang cinta tak pernah ingkar pada pemiliknya, namun Jovian adalah miliknya, suami sah Petra sekarang. Hati wanita mana yang tidak perih dengan hal seperti ini? Sedih, amarah, tidak ingin kehilangan bersatu membingkai perasaan Petra sekarang.

“Maaf, maafin aku, sayang.” bisik Jovian lirih di telinga Petra, wanita itu hanya bisa memeluk tubuh Jovian erat saat sang tuan merajainya dalam peluk. Apa? Sayang? Petra mendongak sesaat, “Apa kamu bilang?”

“Maafin aku, Petra.” Saat itu juga Petra menggigit bibir bawahnya menyadari dingin malam berembus bukan dari udara dan hawa di malam itu melainkan dari hati dan sukma Jovian yang menyokong kesunyian dalam hati Petra.

“Kita pisah aja, Jov. Kamu nggak akan bisa buka hati buat aku juga, kamu masih stuck disana.”

“Aku butuh waktu, maaf, maafin aku.” Setelah itu puncak kepala Petra dihujam kecupan berkali-kali dan pelukan itu bertambah hangat, dekapnya bertambah dalam, tepukan pelan di punggung Petra membawa Petra melingkarkan tangan di tubuh Jovian, akhirnya dibuai dinginnya malam saat itu atmosfer tenang setelahnya berkuasa, menemani dua insan yang baru saja bersatu dalam keintiman suami istri itu hingga pagi menjelang.

END Support and Vip access for all password pvt on : https://trakteer.id/awnyaii/tip

STOP BLAMING YOURSELF

Lea meyakinkan dirinya bahwa Jeremy dalam keadaan baik-baik saja. Angin malam membelai langkah Lea memasuki gedung kantor Jeremy yang nampak lengang. Lea melihat suasana kantor Jeremy yang memang sudah sepi. Pikiran Lea sudah berisik karena ia selalu takut jika sesuatu membuat Jeremy merasa ter-trigger. Jeremy memang tidak pernah melihat sosok yang melahirkannya karena sosok yang melahirkannya pergi selamanya saat melahirkannya, ayahnya tidak mau mengurusnya, oleh karena itu ayah kandung Jeremy menitipkannya di panti asuhan dan pada akhirnya Jeremy di adopsi oleh orang tuanya sekarang, Papa Doni dan Mama Jessica yang sudah menjadi mertua Lea. Semilir angin yang menerpa cuma-cuma serupa senyuman tipis Lea saat memasuki ruangan Jeremy. Kebisingan kota di luar sana Lea redam saat sudah melihat suaminya. Jeremy sedang fokus ke laptopnya disana, Lea mengendap berjalan memeluk Jeremy dari belakang dan menciumi rambut Jeremy.

“Sayang,” kata Jeremy lalu mengadahkan kepalanya, disambut Lea dengan kecupan di bibir Jeremy sedetik.

“Are you okay?” tanya Lea, Jeremy mengangguk dan tersenyum. Jeremy merenggangkan pelukan Lea dan mengisyaratkan Lea agar duduk di pangkuannya. Lea mengiyakannya dan duduk di pangkuan Jeremy, kali ini ia yang mengambil alih mouse dan membiarkan jari-jarinya menari diatas keyboard.

“Good job, girl,” kata Jeremy sambil memeluk Lea dari belakang dan menyandarkan wajahnya di punggung sang puan. Jeremy memeluk Lea dan menemukan kenyamanannya disana selama beberapa saat Lea membiarkan suaminya memeluknya.

“Jer,” panggil Lea lirih sambil masih terus fokus ke monitor.

“Hmm?” Jeremy hanya berdeham menanggapi istrinya itu sambil menciumi punggung Lea.

“Stop blaming yourself, hm.. about your mom.”

“Lea,” Jeremy menjauhkan wajahnya dari punggung Lea, istri Jeremy itu menoleh menatap wajah sendu suaminya. Bertukar tatap barang sesaat,

“Mama kandungku pergi waktu aku lahir, karena aku lahir kan? Dan anak kita salah satunya pergi karena aku nggak jagain kamu, selama kita menikah juga kamu dapet banyak cobaan dn hal-hal yang mengerika, karena apa? Aku, semua berpusat di aku.”

“Jer, kalau kamu ngomong gitu lagi aku keluar dari sini,” Lea bangkit berdiri namun Jeremy menahan pergelangan tangan Lea.

Wanita itu menatap Jeremy sesaat, pandangannya mengikuti pergerakan Jeremy yang saat ini berdiri di hadapan Lea. Jeremy sedikit menunduk lesu, Lea meraih dagu Jeremy dan membuatnya sedikit mendongak. Tangan kanan Lea membelai pipi Jeremy lembut, tangan kirinya merapikan rambut Jeremy yang sedikit berantakan.

“Maaf,” ucap Jeremy lirih.

“Dalam hidup, semuanya udah ada yang atur, semua udah ada dalam kendali Tuhan, kehilangan, kepergian bukan salah kamu.”

“Tapi setelah kamu sama aku, buktinya hidup kamu nggak baik-baik aja.” Jeremy melingkarkan tangannya di perut Lea, “Iya kan?” lanjutnya.

“Sebelum sama kamu hidupku lebih hancur, kehilangan Papa, Mama, ditinggalin Jo, he is married with other girl, and then you came, you safe me, Jer.” “Tapi setelah itu―” belum selesai Jeremy dengan kalimatnya, Lea sudah memeluknya, erat.

“Udah, ya? Jangan kaya gini terus, sama-sama berdamai, anak kita yang harus pergi ikhlasin, aku ibunya, udah ada Mevin, ya? Can you?” Lea membenamkan wajahnya di dada bidang Jeremy.

“Aku sayang kamu,” kata Jeremy lalu menciumi kepala Lea beberapa kali. Akhirnya Lea dan Jeremy kembali ke meja kerja Jeremy dan dalam posisi Lea ada di pangkuan Jeremy. Kepada siapa lagi Jeremy harus melontarkan duka yang gugur bak daun jatuh kalau bukan dengan bertukar rengkuh dengan Lea? Kepada siapa Jeremy bisa tinggal dan mengadu seluruh lara dan bertukar nestapa jika bukan dengan Lea―wanita yang sudah ia pilih untuk sama-sama menjatuhkan hati. Sembari Lea berkegiatan mengolah data di laptop, jemari nakal Jeremy menyingkapkan kain yang menutupi paha Lea itu. Jeremy membelai lembut paha Lea. ia membuat Lea sedikit menggeliat geli

“Jeremy..”

“Apa?”

“Jangan sayang” rengek Lea namun rengekan itu dibalas Jeremy dengan rematan tangan di payudara Lea yang membuat sang puan mendesah kala tangan Jeremy meremas payudaranya secara perlahan dan sensual.

“Jer mmhh,” Lea berusaha menyingkirkan tangan Jeremy dari sana tapi suaminya itu malah lebih memberi gerakan lagi disana.

“Jeremy nghh” desah Lea lagi yang tak tertahankan. Lea melepaskan jemarinya dari laptop dan memegang pergelangan tangan Jeremy berniat menghentikan kegiatan suaminya itu namun Jeremy malah menelusupkan wajahnya di sela leher Lea membuat sang puan mendongak lalu dengan sigap Jeremy mendaratkan kecup di seluruh bagian leher Lea dan tangannya masih gencar bermain di payudara Lea.

“Ahh, Jer pleasee mhh,” Lea sedikit menggeliat kala Jeremy mulai bermain dengan lidahnya disana. Jeremy pun meminta Lea menghadap Jeremy dan memeluknya bak anak kecil.

“Jer kenapa kamu masih stay sama aku―setelah semua hal buruk yang terjadi, kenapa?” Lea menatap suaminya itu tajam. Jeremy tersenyum manis, sesaat hening untuk beberapa detik hingga hanya terdengar dentingan jam di ruangan itu.

“Karena keping hati diciptakan berpasangan, i find in you, no one else.” Keduanya memang pada awalnya tidak berencana untuk saling jatuh cinta namun keduanya bersedia sukarela bertukar kepingan hati dan membuatnya berpasangan, bukan dengan percabangan. Pada langkah kaki Jeremy dan Lea dititipkan sebuah harap bahwa keduanya ingin berjalan bersama hingga akhir usia.

“Jeremy..”

“Ya sayang?”

“Hidup kamu sempurna nggak sama aku?” Jeremy diam sejenak sebelum berkata, “Belum sempurna, tapi sangat indah.”

“Terima kasih ya udah jadi suami yang baik. Aku memang nggak salah pilih pendamping hidup.” Jeremy menyisir surai hitam Lea dengan jarinya lalu turun ke pipi Lea menangkupnya dengan satu tangannya dan berkata,

“Kamu juga istri yang hebat, kamu punya cara sendiri buat memamerkan kecantikan. Bukan semata kecantikan paras tapi hati dan pola pikir. Aku dan kamu itu ibarat aku punya banyak sajak barisan sajak yang belum disuarakan, nah hanya kamu yang bisa suarakan.” Mendengar itu Lea merasa pipinya hangat, disertai detik berikutnya, bibir Jeremy sudah menyapu bibir Lea yang halus. Lea mulai mengubah posisinya menjadi menghadap Jeremy dan dengan leluasa mengalungkan tangannya di leher sang tuan Lea kini sudah duduk balik arah meghadap kepada sang tuan dan mengikis jarak diantara mereka.

Bibir menyatu dan lidah yang bertaut, tangan Jeremy yang memeluk erat pinggang istrinya serta tangan Lea yang menekan tengkuk leher Jeremy memperdalam ciumannya. Tangan Jeremy tak tinggal diam. Bergerak dengan sensual dari tengkuk turun ke pinggang.

“Mhh— Jer,” Lea melenguh saat Jeremy menggesekkan jarinya di luar celana dalam Lea. istri Jeremy itu mulai menyebutkan nama Jeremy di antara desahnya. Ciuman bertambah lekat, pagutan bertambah intim keduanya kadang terengah dan mendesah bersamaan. Tak perlu waktu lama ciuman Jeremy turun ke bagian leher Lea. wanita itu sampai mendongak dan membusungkan dadanya kala lidah Jeremy bergerak brutal disana. Lea seakan menyerahkan seluruh tubuhnya untuk dikuasai Jeremy.

“Jer, ini di kantor,” Lea sedikit menjauh sambil menekan dada Jeremy menjauh.

“Should we go to apart now?” Lea mengangguk, Jeremy mendekap lagi wanitanya itu dan bersiap membereskan barang-barangnya. Jeremy dan Lea keluar dari gedung itu bergandengan dan kembali masuk ke mobil. Keduanya melewati beberapa menit perjalanan untuk memarkirkan mobil di basement sebuah apartemen yang tidak jauh dari kantor Jeremy. Sepanjang jalan satu tangan Jeremy ia gunakan untuk menyetir satu tangan lainnya ia gunakan untuk memencet tombol remote control vibratornya, niat awalnya hanya ingin mengetes apakah Lea memakainya atau tidak. Benar saja Lea memang memasang vibratornya di bagian sensitivenya. Ia memasang benda itu di pusat tubuhnya seperti apa yang Jeremy biasa lakukan sebelum mereka “have fun”. Sesekali Jeremy memencet tombol itu dan membuat Lea mendesah.

Percobaan pertama Jeremy membuat Lea menggeliat dan resah di posisinya, percobaan kedua membuat Lea meremas seat beltnya, percobaan ketiga Lea mati-matian menahan namun satu lenguhan lolos dari mulutnya,

“Don't please Jeremy how dare you mhh,” rengek Lea kala getaran itu muncul secara tiba-tiba. Ia hanya menggeliat di jok mobil sambil meremas seat belt yang terpasang di tubuhnya. Jeremy tersenyum puas. Satu tangan Jeremy ia gunakan untuk menyetir satu tangannya lagi ia gunakan untuk mengelus paha istrinya dan sesekali meremas remas payudara Lea dari luar bajunya. Wanita itu semakin gila dibuat Jeremy. Tak henti sampai disitu, Jeremy menambah dan mengurangi tempo kecepatan getaran vibrator tak beraturan. Lea sudah kacau mendesah tak terhitung berapa kali. Lagi, Jeremy terus meremas dan memberikan rangsangan berlebih di payudara Lea sambil menyetir. Ia beberapa kali memencet dan mempermainkan wanitanya dengan remote itu. Sesuatu dibawah tubuh Lea bergetar hebat ia tidak bisa mengatasinya sendiri. Lea melebarkan pahanya membuat pahanya terekspos sempurna. Ia menggeliat dan mendesahkan nama kekasihnya sepanjang jalan.

“Moan my name!” perintah Jeremy “Jeremyhh mhhh I can't pleasee aahhh,” racau Lea.

Akhirnya tak berselang lama Jeremy dan Lea tiba di parkiran basement apartemen yang lengang. Jeremy, menghentikan kegiatannya, ia melepaskan seat belt Lea lalu tersenyum dan berkata, “Ayo, sayang.” Lea tersenyum lalu keluar dari mobil bersama dengan Jeremy, setelah dari receptionist dan menerima kunci kamar mereka berjalan beriringan menuju kamar tujuan, sebuah kamar dengan nuansa putih yang luas, dengan fasilitas lengkap seperti pantry, ranjang besar, pemandangan dari jendela yang langsung menyuguhkan suasana kota di malam hari, bathup besar, sofa besar, memanjakan mereka malam ini.


Lea sedang berada di dekat jendela, memandang ke luar melihat hiruk pikuk ibukota yang masih ramai. Pada awalnya Jeremy adalah ombak dan Lea adalah karang. Sedikit kontras karena saling bertabrakan namun karang tak pernah kalah oleh ombak, begitu juga ombak yang tak pernah lelah untuk membuat deburan pada karang yang berdiri tegar, namun tidak pernah sekalipun ombak membuat sang karang hancur lebur. Begitu juga Jeremy dan Lea yang salig dihantam keyataan pahit dari sisi masing-masing namun masih bersedia menanggung beban bersama setelah apa yang sudah terjadi.

Jeremy yang baru saja keluar dari kamar mandi pun berjalan mengendap mendekati Lea. Tak lama kemudian Lea merasakan ada yang memeluknya dari belakang dan menaruh dagunya di pundak Lea serta menghujam pipi Lea dengan beberapa ciuman. Lea berkata, “Jer, udah?” Lea menjauhkan tubuhnya dari rengkuh Jeremy. Namun Jeremy masih menahan pinggang Lea dengan tangannya dan menempelkan hidung mereka.

“Why you look so sad, kenapa diem disini?” tanya Jeremy. Lea mengelus punggung tangan Jeremy yang melingkar di perutnya lalu berbalik badan menghadap ke pria itu, Jeremy melihat wajah lelah dan mata sayu Lea.

“Nggak papa sayang. Suka sedih kalau sama-sama menyalahkan keadaan karena kita.” mendengar ucapan Lea itu pun tanpa kata Jeremy melayangkan kecupan ke pipi wanita di depannya itu. Lea hanya mendengus geli sambil memukul pelan lengan Jeremy.

“Berat, ya? Kita manusia biasa, nggak ada yang bisa mengelak takdir.” ucapan itu direspon senyuman dan anggukan kepala dari Lea. Jeremy pun langsung membopong tubuh Lea dan menidurkan Lea di ranjang, Lea melihat di meja kecil di sebelah ranjang Jeremy sudah menyalakan scented candle beraroma rose yang menambah kesan romantis malam itu. Beberapa alunan nada instrumental piano menghiasi memecah keheningan kala itu. “Lea―promise me that you won’t leave?” kata Jeremy, Lea mengangguk dan tersenyum. “You don’t need any answer for this question, right?” kata Lea sambil mencolek hidung Jeremy dengan jari telunjuknya. Kalimat itu tidak diindahkan Jeremy karena pria itu langsung mengecup bibir Lea dan memeluk Lea hangat.

“Setiap kehilangan yang kita alami. Mama kamu, atau salah satu dari anak kembar kita, bukan salahku ataupun kamu, kalau bisa tukar posisi aku mau gantiin posisi anak kita yang harus pergi kala itu, tapi, kita nggak punya kuasa atas hidup ini. Diberi kesempatan setelah ujung kematian, bikin aku sadar masih banyak tugasku yang belum selesai, entah jadi ibu ata istri. Atau kedua tugasku sebagai ibu dan istri di saat yang bersamaan,” ujar Lea sambil sedikit mendongakkan kepala menatap Jeremy, pria itu tersenyum lalu menghela napas.

“Aku masih dan akan terus jatuh cinta sama kamu, sampai kali ke sekian, Lea.” katanya terharu mendengar jawaban Lea.

“Pinter gombalnya sekarang.” Lea mencubit pipi Jeremy keras. Jeremy tersenyum smirk menggoda sambil menarik Lea mendekat kepadanya. Lea memukul pelan dada Jeremy sambil tersenyum. Lea terkekeh lalu merubah posisinya menjadi duduk, Jeremy pun merubah posisinya tidur di paha wanita cantik itu. Lea mulai merapalkan pemikiranya sambil tangannya bermain di surai Jeremy dan wajah pria tampan itu.

“Am i precious enough? Am i deserve all these love from you?”

“Sure, why not?” tangan Jeremy meraih dagu Lea dan mengelusnya perlahan.

“Setelah ini jalani kehidupan yang masih jadi misteri, ya? Yang kuat, ya? Tapi semua bakalan baik-baik aja kan?”

“Enggak,” kata Jeremy menggoda Lea.

“Heh kok enggak?!” tanya Lea sedikit tersentak. Ia mencubit keras lengan Jeremy yang membuat pria itu terperanjak dan mengubah posisinya menjadi duduk bersandar di ranjang di sebelah Lea.

“Setelah ini semua enggak cuma baik-baik aja tapi bakalan sangat baik!” kata Jeremy tersenyum lalu mengacak pelan rambut Lea. Wanita itu mendengus lalu terkikik sambil menggeleng pelan dan membuang pandangan ke sekitar kamar. Perlahan tangan Jeremy meraih lengan Lea membimbing wanita itu agar mau duduk di pangkuannya dan menghadapkan wajahnya kepada Jeremy.

“Apa sih kamu mah,” Lea kesal namun tetap saja tangannya ia kalungkan di leher Jeremy.

“Trust me,”

“Jer,”

“Ya?”

“Saat semua orang anggap aku sampah karena masa laluku, kamu datang dan anggap aku sebagai anugerah, kamu pernah ngerasa lelah nggak sih, Jer?” pada kalimat sang puan tercatat beberapa kenangan pahit saat Lea harus menghadapi kejamnya kecaman sekitar hanya karena masa lalunya sebagai anak alter yang membuka jasa cuddle care dan gfrent, yang tubuhnya sudah dijamah beberapa client. Pikiran Lea kadang masih terasa tersesat dan bersekat untuk hidup bersama Jeremy namun semua ditepis Jeremy dengan sebuah dekap.

“Kamu berharga, kamu hebat, masih banyak yang lebih penting dari sekedar masa lalu. Nilai wanita bukan atas dasar bagaimana masa lalunya dan pakaian seperti apa yang mereka kenakan, tapi bagaimana pandangan mereka terhadap dunia, bagaimana mereka meninggalkan hal-hal yang sulit untuk ditangkis, tangguhnya perempuan melebihi apa yang dilihat, budi dan hati melampaui itu semua. Kamu salah satunya dari jutaan wanita di dunia ini.” Jawaban Jeremy berhasil memporak porandakan hati dan pertahanan Lea, pria dengan sejuta cinta yang mampu mengerti dan menerjemahkan setiap isi kepala Lea yang seluas semesta yang menganggap kehadiran Lea nyata, bukan fana. Pun pada akhirnya mereka memiliki satu sama lain, menerka setiap tanya perihal takdir dan kehidupan ke depannya, derai tawa ditukar bersama menjalin kelakar bersama.

“I love you,” Jeremy bisikkan lirih di telinga Lea, maka sang puan mulai terlena dalam puja yang sang tuan berikan pada sapaan lembut pada bilah bibir Lea saat itu. Pagutan lembut dibalas dengan lumatan sedikit dalam, Jeremy memimpin pertukaran saliva kala itu dengan begitu manis.

Tak lama ciuman mesra Jeremy mulai turun,

“Katanya mau bikin tatto kan?” goda Jeremy di sela pagutan mereka.

“You can, but don’t ever make it on my neck haha, nanti anak-anak lihat gimana?” Jeremy hanya mengangkat alis lalu memainkan lidah dan bibirnya di bagian leher dan telinga Lea dengan seduktif. Wanita dibawah kendali Jeremy menggeliat saat lidah Jeremy bermain di sela lehernya untuk menghisap dan menggigit sedikit hingga meninggalkan sedikit bekas disana.

Leher dicecap, dada dijajah, payudara dipilin lalu dihisap dan diremas. Tidak dibiarkan tangan Jeremy hanya diam, pria itu menggunakan satu tangannya untuk memilin payudara sebelah Lea yang belum ia cecap dan satu tangannya ia gunakan untuk membelai dan memberikan sentuhan sensual di tubuh Lea hingga wanita itu menggeliat dibuatnya. Lidah Jeremy juga tidak kalah diam, dibiarkan lidahnya menjilati bagian payudara Lea dengan rata, puncak payudara dijilat dan dimainkan dengan lihai tanpa henti. Kadang Lea juga memeluk erat kepala Jeremy.

“Ngh—Jer mhh,” sang tuan menghentikan kegiatannya kala mendengar permintaan sang puan memberikan jeda barang sebentar untuk Lea bernapas. Foreplay lembut kembali mereka lakukan. Sentuhan di bibir, sentuhan kulit mereka, saling menelanjangi lalu mencumbui dengan gairah bercinta.

Tubuh keduanya saling bersentuhan dalam senggama yang membawa hasrat denting jam beradu dengan desahan lirih yang lolos kala lidah keduanya bertaut. Tangan Lea menarik tubuh Jeremy semakin dekat dengannya hingga payudaranya menempel dengan dada Jeremy, bak sebuah zat adiktif bagi Jeremy saat ini.

Sang tuan menyentuh bagian paha Lea dengan sentuhan menggelikan dan memancing nafsu. Tubuh Lea menggelinjang kala bibir mereka bersatu lagi, Jeremy menciumnya dengan sedikit lebih bernafsu dan satu jari Jeremy berhasil memasuki pusat tubuh Lea dan bergerak liar dibawah sana. Lea meracau tak henti mendesahkan nama suaminya itu. Lea menggelinjang kala ia merasakan perih dan satu kenikmatan saat Jeremy melakukannya dengan cepat lalu menambah satu jari lagi untuk dimainkan di pusat tubuhnya dan memainkan clitnya. Bibir keduanya masih bertaut

“Jeremy ahh,” racau Lea kala menyadari gerakan jari Jeremy semakin brutal. Lidah Jeremy masih asik mencumbu dan bernafsu seakan memaksa untuk masuk ke dalam rongga mulut Lea. Wanita itu mengerang dan mencengkram bahu Jeremy sesekali. Jeremy melepaskan jarinya dari pusat tubuh Lea. Ia biarkan miliknya bergesekan dengan milik Lea.

“Ahh,” desahan lolos lagi dari mulut Lea membuat Jeremy semakin bergairah. Jari Jeremy masih sibuk bermain dibawah sana dan ia melepaskan pagutannya untuk melihat pemandangan paras ayu Lea dibawah kendalinya.

“Mhh, Jeremy.. ahh,” desahan dan lenguhan Lea menjadi pemandangan yang indah bagi Jeremy saat ini. Badan yang menggelinjang, kepala yang mendongak, mata yang terpejam membuat Jeremy juga mabuk kepayang.

Wanita itu mendesah saat Jeremy menggunakan lidahnya untuk menggodanya, lidah Jeremy menari juga di bagian leher dan dadanya turun menjelajahi setiap inchi perut Lea meninggalkan banyak bekas merah disana. Dengan tangan meraba, dan memilin puting Lea.

“As you said before, here you go, your tatto, Madame,” Jeremy menyeringai, ia sisipkan rasa kagumnya pada wanita yang tengah jadi miliknya itu, tubuh indahnya menyimpan sejuta luka namun ditepisnya dengan tawa yang memesona. Jeremy mulai menjalari pinggang dan perut Lea dengan bibir dan lidahnya serta meninggalkan beberapa jejak disana. Tubuh Lea yang dikukung Jeremy dengan sempurna kini melemah dan pasrah atas apa yang dilakukan Jeremy.

Tak butuh waktu lama Jeremy yang melihat dan merasakan bahwa wanita dalam kendalinya sudah risau pun mengelus perlahan pusat tubuh Lea, perlahan helai demi helai benang dalam tubuh keduanya tanggal dengan sensual, Jeremy pun mulai menyapa kewanitaan Lea sudah meminta untuk diberikan perlakuan kala itu, Jeremy membuka paha Lea lebar dan ia kembali merendahkan tubuhnya, mendekati pusat tubuh Lea dan memainkan lidah dan tangannya disana,

“Mmhh” desah Lea saat merasakan tubuhnya seakan terbang ke awan-awan. Sang puan dipasung dalam kenikmatan yang Jeremy berikan kala itu.

Gerakan lidah Jeremy memabukkan Lea, membuat Lea menggelinjang, menggeliat dan sedikit menekan kepala Jeremy meminta sang tuan berada disana lebih lama dan sela rambut Jeremy sebagai media penyalur gelenyar nikmat setelahnya. Afeksi yang diberikan Jeremy membuat sang puan tak kunjung temukan muara atas kenikmatan malam itu. Lea juga kadang membelai surai Jeremy sebelum meremasnya, ketahuilah, hujan di luar turun deras namun keduanya tidak merasakan dingin, yang hanya adalah kehangatan pada titik kenikmatan untuk keduanya. Wanita itu tidak bisa menahan rasa nikmatnya, tidak bisa dipungkiri. Lea mendongakkan kepalanya dan membusungkan dadanya kala rasa dan gelenyar nikmat itu memenuhi tubuhnya.

Akhirnya setelah dirasakan Lea hampir mencapai puncaknya, Jeremy beranjak dari sana, pekikan Lea tidak diindahkan Jeremy meraih jasnya, Jeremy menunjukkan sebuah benda untuk Lea, wanita itu terbelalak melihatnya. Pria itu mulai merangkak di ranjang dan memasangkan Leather Handcuffs ke kedua pergelangan tangan Lea sebelum membawa tangan sang puan ke atas kepala. Jeremy menyeringai,

“Prepare your self.” Lalu Jeremy pun membuka paha Lea lebar-lebar lalu mengecupnya di beberapa bagian sebelum memasukkan benda tadi ke pusat tubuh Lea . Sebuah benda kecil lain yang digunakan untuk mengontrol kecepatan vibrator itu digenggam Jeremy.

“Jer?” Lea mengernyit,

“Apa, sayang?”

“Ini..” belum usai Lea bicara Jeremy sudah menyalakan benda itu dengan kecepatan sedang. Lea langsung membusungkan tubuhnya kala itu karena kaget ia menggeliat juga, nama Jeremy berulang kali ia sebut dalam desahnya.

Dengan posisi vibrator yang masih menyala, Jeremy mencumbu bibir ranum Lea. Wajah sayu Lea membuat Jeremy semakin gencar dan libidonya meningkat.

“Nghh—” Lea mendesah kala ia memainkan jemarinya meremas surai Jeremy menyalurkan kenikmatannya sesuai dengan temponya. Setelah itu ciuman Jeremy turun ke dada dan payudara sintal nan kenyal milik istrinya. Menyesap habis dengan lembut perlahan brutal. Dengan erat Lea memeluk leher Jeremy agar sang tuan dengan leluasa memperdalam hisapan di bagian sensitive payudaranya. Dipilin oleh Jeremy puncak payudara Lea saat itu, dimainkannya dengan lidah, bibir dan gigi. Lea merasa sedikit perih dalam nikmatnya saat itu.

Akhirnya Lea menggerakkan tangannya, ia gunakan untuk menekan bagian belakang Jeremy agar bibir mereka bertaut. Jeremy memang senang mempermainkan wanitanya ini. Jeremy menjadi semangat ia mencecap dan genca menyesap bibir sang puan. Ciuman Jeremy berpindah ke leher dan belakang telinga sang puan memanjakan dengan lidah yang menyentuhnya dengan sensual. Lenguhan lain lolos saat Lea merasakan lehernya dimainkan Jeremy dengan lidah dan gigi bergantian.

“Mhh Jeremy, ahhh,” Benda dibawah sana masih bergetar, Jeremy kembali memainkan lidahnya di leher Lea ,

“Ahhh―yashh sshh Jeremy , mmhhh,” Lea memeluk erat leher Jeremy dan membalas permainan lidah di leher Jeremy membuat sang tuan juga mabuk kepayang.

Payudara bak satu hal menyenangkan untuk Jeremy mainkan, padahal sang puan sudah mengenjang dan meremat sprei membusungkan badan serta menggeliat mendesahkan nama Jeremy. Lidah Jeremy ia gunakan untuk menggoda serta menjilati bagian payudara Lea . Melihat sang puan sudah meracau dan menggelinjang, Jeremy kembali mendaratkan cumbu di bibir ranum Lea .

“Mhh, it’s closer ahh sshh i wanna mhhh,”

“Just let it be, after this we still have another round,” bisik Jeremy di telinga Lea lalu menjilat bagian belakang telinga Lea . Sang puan memeluk erat tubuh Jeremy. Dengan iseng sekali lagi Jeremy menaikkan kecepatan vibrator.

“Ahhh Jeremy―i wanna, mmhh shhh little bit more ughh,” Lea memeluk Jeremy semakin erat.

“Ahhh!”

“Mhhh aahhh! It’s enough, hah...mhh,” Lea menelan ludah dan memejamkan mata. Jeremy mencabut benda tadi dari pusat tubuh Lea lalu mengukung tubuh Lea , dilihatnya peluh sudah membasahi kening Lea , dengan lembut Jeremy mengusapnya lembut lalu mengecup kening, kedua pipi dan hidung Lea . Dan memeluknya beberapa saat.


Kini Jeremy meminta Lea untuk memanjakannya, ia pun menyandarkan dirinya di tempat tidur lalu Lea pun merangkak mendekati Jeremy. Lea mulai memosisikan dirinya di depan Jeremy yang sedang mengelus kejantanan yang mulai tegang itu. Lea meraihnya dan mengelusnya pelan sedetik kemudian gerakan tangannya bertambah sedikit cepat.

“Ahh, go ahead, terus babe,” desah Jeremy. Lea tersenyum sambil terus menggerakkan tangannya mengocok pusaka milik Jeremy. Setelah melihat Jeremy memejam dan membuka mata berulang kali, Lea pun memasukkannya ke dalam mulutnya.

“Mhh,” Jeremy meremas rambut Lea yang ada di bawahnya. Untuk menyalurkan semua rasa nikmatnya. Jeremy sudah mendesahkan nama Lea beberapa kali. Terlebih saat pusaka milik Jeremy terasa dihisap dan mengenai pangkal tenggorokan Lea, ia semakin mengadahkan kepalanya dan menahan Lea agar tidak melakukannya lagi guna menghindari pelepasan.

“Ngh—Lea stop,” sang puan menghentikan kegiatannya kala mendengar permintaan Jeremy.

Penat jua nelangsa kini sirna dari hati keduanya digantikan oleh bahagia buaian nikmat suara-suara desah dan lenguh yang bertukar Kini Jeremy membiarkan sang puan berada di atasnya, Lea memosisikan pusaka Jeremy tepat di depan kepemilikannya, dalam sekali hentakan berlawanan dari Jeremy, milik Jeremy sudah memenuhi milik Lea, dua gundukan yang menggantung di dada Lea tidak Jeremy biarkan begitu saja, pun tatkala Lea menggerakkan pinggulnya bak sebuah hal yang memantik libido Jeremy menyala lebih gencar lagi.

Mula-mula gerakan pelan dari Lea membuat Jeremy hanya memejamkan mata, senggama selanjutnya membuat Jeremy meraih pinggang Lea dan menggerakkannya lagi, bunyi decapan bibir keduanya setelahnya menggema lagi saat Lea menghentikan gerakan pinggulnya sesaat. Afeksi candu yang dibuai renjana malam itu hadir menemani keduanya dibuai gelora asmara yang saling beradu satu sama lain. Dua sejoli yang menghabiskan energi untuk saling mencumbui dan menelanjangi masa lalu serta hal-hal yang sudah di lewati,, panggilan nama dalam desah dan lenguhan menjelma bak puisi pengantar tidur dari sang pujangga untuk yang dicinta. Napas yang mulai terengah membuat keduanya menghentikan kegiatan intim sesaat, ditempelkannya kening masing-masing dari mereka menatap satu sama lain dengan sayu namun penuh asa yang menggebu.

“I love you,” ucap Jeremy dengan napas yang terengah, “I love you more than i can say,” balas Lea yang masih tidak membiarkan kejantanan Jeremy lepas dari miliknya. Diluar memang hujan, namun ada hujan lain yang turun di pipi Lea, sang pemeran utama jalan cerita meneteskan bulir kristal yang bening. Jeremy menyekanya,

“Kenapa?”

“Dunia memang jahat ya, kita sama-sama kehilangan banyak hal tapi dipertemukan,”

“Iya, untuk saling menyempurnakan, paham?” kata Jeremy setelahnya, Lea yakin sepenuhnya bahwa ini adalah perannya dan Jeremy yang sempurna sebagai pasangan, nyanyian desah dan decapan keduanya mengalun lagi menjelma raung yang syahdu, senggama antara tubuh keduanya membawa keduanya ke surga nikmat malam itu.

Jeremy memang menarik Lea dari dunia kelamnya dan kejamnya dunia alter, Lea membuat Jeremy berlabuh untuk menemani menjadi pendamping menjalani kehidupan yang liar bak bercinta ditengah belantara. Sempat tertatih diperhadapkan kepada perpisahan berulang kali namun nostalgia akan hal hal itu bagai neraka yang sudah mereka jajaki, kehilangan semengerikan itu.

Detik setelahnya tubuh Lea direbahkan dan dikukung sempurna oleh Jeremy, bibir Lea diraup dan dibabat habis, beberapa tetes air mata bahagia menetes di pipi Lea, sedikit menikam hati Jeremy, namun diusapnya lembut, ciuman mereka menjadi semakin menuntut.

“Sebelum coming out i want to ride you first.” kata Jeremy. Saling menelanjangi lalu mencumbui dengan gairah bercinta. Badan keduanya saling bersentuhan dalam senggama yang membawa hasrat denting jam beradu dengan desahan lirih yang lolos kala lidah keduanya bertaut. Tangan Lea menarik tubuh Jeremy semakin dekat dengannya hingga payudaranya menempel dengan dada Jeremy.

Isi kepala Lea yang penuh sejuta bengis ditepis Jeremy dalam desis dan sentuhan yang mendarat di klitoris Lea saat itu. Tanpa aba-aba Jeremy dengan dua kali hentakan keras memasukkan pusakanya ke pusat tubuh Lea.

“Jeremy! Akhh!!” cengkeraman tangan Lea dirasakan Jeremy erat di bahunya. Suara erangan dan desahan terdengar di ruangan yang sudah tertutup itu. Peluh sudah membasahi dan membanjiri tubuh keduanya namun mereka tidak tinggal diam. Keduanya mendesah bersamaan, Lea merasakan ada sesuatu yang melesat masuk ke dalam tubuhnya, kejantanan Jeremy sudah masuk dengan sempurna. Jeremy menggerakkan pelan pinggulnya serta mencumbu bibir ranum Lea lagi. Gelenyar nikmat menjalari tubuh Lea dan Jeremy serta membakar keduanya dalam api cinta. Tangan Lea juga tidak dibiarkan diam, Lea memberikan sentuhan di tubuh Jeremy yang sempurna untuk meraba dan menyentuh bagian dada, perut dan leher Jeremy. Sementara Jeremy terus menggerakkan pinggulnya kadang pria itu juga mencium puncak payudara Lea menghisapnya dengan brutal membuat Lea menggelinjang. Ciuman Jeremy naik lagi ke leher Lea.

“Jer―mhh sshh ahh,” desahan Lea terdengar merdu di telinga Jeremy. Untuk beberapa saat selanjutnya Jeremy merasa kepunyaannya semakin menegang. Keduanya saling menatap dan mengatur napas. “Say my name,”

“Jeremy mhh”

“Yas, Lea mhh” Keduanya sama sama mengejar kenikmatan hingga puncaknya. Saat Jeremy menggerakkan pinggulnya lebih cepat Lea merasakan sesuatu dalam tubuhnya yang hendak keluar, “Jeremy please slowly, ngh,” Jeremy menuruti permintaan sang puan. Ia memelankan gerakannya ia tahu sang puan sudah hampir ada di puncaknya. Gerakan pinggul memutar dan maju mundur membuat Lea semakin gila. Jeremy menumpu badannya dengan kedua lengannya memandangi Lea yang masih terengah disana, Jeremy mendekatkan wajahnya dan wajah Jeremy namun tidak langsung menciumnya hal itu membuat Lea kesal. Lea langsung menarik dagu Jeremy dan melumat bibirnya menyalurkan kenikmatan bersama mengingat pinggul Jeremy yang tidak berhenti bergerak. Jeremy juga semakin dikuasai nafsu, ia merenggangkan ciuman ia mengangkat lebar kaki Lea dan menaruhnya diatas pundaknya dan menggengcarkan gerakan pinggulnya lagi hingga Lea meremat sprei dan menggelinjang hebat ditambah satu tangan Jeremy kadang memainkan klitoris Lea bahkan payudara Lea bergantian.

“Jeremy mhh ahh,”

“Lea you are fucking hot nghh,” desah Jeremy kala merasa miliknya sudah seperti dijepit dibawah sana.

“Jeremy I wanna mhhh nghh,”

“Hold on,” Jeremy mengembalikan kaki Lea ke posisi semula, dibukanya lebar, ia kembali menggerakkan pinggulnya dengan tempo cepat. Bising desah mengalahkan bising derai hujan di luar sana.

“Jeremy ahhh!” Lea memejamkan matanya dan memeluk Jeremy erat. Jeremy masih bergerak disana dengan cepat.

Sekali hentakan “Ahhh! It’s closee mmhhh shhh!” Beberapa kali hentakan dari Jeremy lagi menyiksa Lea dalam nikmat bukan dalam nestapa.

“Akhhh!”

“Together babe” desah Jeremy, keduanya akhirnya sama sama sampai dipucaknya.

“Ahhh mhhh”

“Jeremyy mhh”

“Lea shhh ahh,”

“Ahhhh mmhh” mulut keduanya tak berhenti merapal desah berperang memecah hening tengah malam, keduanya bergatian kala sudah sama sama mencapai puncaknya dan melepaskan cairannya paduan asmara di dalam milik istrinya yang membuat tubuh Lea bergetar. Jeremy rebah dan langsung memeluk Lea, ia menidurkan Lauen di sebelahnya lalu memeluk wanitanya itu menelusupkan wajahnya di leher Lea. Jeremy rebah di samping Lea bibir keduanya kembali bertaut. Keduanya dibuai kenikmatan yang tak terhindarkan malam ini ditutup dengan sempurna. Dibuai cinta, bukan duka, bertukar rasa bukan luka. Saling memeluk bertukar kehangatan dan cinta utuh dalam suatu rengkuh.


Malam itu Lea memutuskan untuk berendam di bathup dengan air hangat, ia memejamkan mata seraya menenggelamkan tubuhnya di bathup dengan scented candle untuk menemaninya. Saat Lea sedang berada di bathup betapa terkejutnya ia saat sang tuan menyusulnya masuk kesana.

“Jeremy please ngapain kamu?” tanya Lea, Jeremy tidak menjawab, ia melepaskan bathrobenya dan membuat tubuhnya terekspos sempurna tanpa sehelai benang pun. Mata Lea hanya mengikuti pergerakan Jeremy yang menuju ke bath up nya.

“Majuan dikit dulu aku mau di belakang kamu jadi kamu nyender ke aku,” kata Jeremy sambil tersenyum.

“Eh?”

“Cepetan malah hah heh hoh kamu mah,”

“I..Iya,” Lea pun menggeser maju posisinya lalu Jeremy masuk juga ke bathup tersebut, pria itu duduk dan bersandar diikuti Lea yang menyandarkan badannya di badan Jeremy. Tangan Jeremy juga bermain dengan air di bathup lalu juga mengusap beberapa bagian tubuh istrinya itu.

Dengan leluasa Lea menyandarkan tubuhnya―nyaman. Lea membiarkan tubuhnya dijamah oleh jemari sang tuan. Jeremy memeluknya dan melingkarkan tangannya di perut Lea dan bergerak kemanapun, jari nakalnya bergerak menuju pusat tubuh sang kekasih dan bermain disana. Membuat Lea sedikit menggeliat, kesempatan saat kepala Lea mendongak diambil Jeremy untuk menciumi bagian leher sang puan. Bibir dan lidahnya lihai menjalari bagian leher Lea. Tangan Jeremy yang satu lagi bergerilya memainkan payudara sang kekasih, kedua tangan Jeremy menjalankan tugasnya masing-masing dan lidah serta bibirnya memanjakan sang puan dengan sentuhan sensual yang ia buat.

Dikecup dan sedikit dihisapnya bagian leher Lea membuat sang empu merasakan gelenyar dalam dirinya ditambah jari Jeremy yang belum bisa tenang sedari tadi.

“Mhh Jeremy nghh,” desah Lea saat payudaranya diremas dan dengan jari Jeremy ia memilinnya beberapa kali. Jeremy menghentikan kegiatannya saat sang puan sudah menggeliat tidak karuan.

“Terima kasih ya, udah jadi istri dan ibu yang hebat di saat yang bersamaan. Berat, ya?” tanya Jeremy berbisik, Lea menghela napas panjang menenangkan dirinya. “Di samping istri dan ibu yang hebat ada suami yang bijak, itu kamu,” kata Lea dengan sebenar-benarnya.

Berkali-kali berujar, berulang kali mereka bercumbu, hati keduanya bersua tenggelam dalam renjana cinta keduanya yang saling berlomba, peron kenangan menggigil kedinginan mengais setiap kenangan buruk atas perlakuan buruk yang Lea terima selama ini.

“Intimacy time gini emang perlu banget ya, ternyata, Jer.” Lea sedikit menoleh mendongak ke arah suaminya, Jeremy membelai pipi Lea pelan. “Iya, sayang. Perlu banget,” balas Jeremy.

Tak ada sesal dalam hati karena akhirnya keduanya saling menjadikan masing-masing dari mereka adalah semesta. Tanpa Jeremy mungkin Lea hanya seorang hawa yang menunggu kepergian dalam kehidupannya, tanpa Lea, Jeremy adalah adam yang dalam hidupnya hanya menunggu mata terpejam.

Pada detik selanjutnya Jeremy melingkarkan tangan di perut Lea, “It’s been since I saw you, we spend our time together, our kiss, hug and our deep talk, there will always be you. I love you, Cecilia Praise Elleanor.” Bisik Jeremy. Pada saat selanjutnya Lea berbalik badan, saling berhadapan dengan Jeremy dan menangkup pipi suaminya, ia tersenyu dan mengangguk lalu menarik wajah Jeremy lalu melayangkan ciuman yang panas untuk permulaan. Mereka sadar betul mereka berdua adalah sajak yang tidak akan pernah usai hingga akhir usia, hingga mata terpejam dan mengusahakan kebahagiaan hingga raga terpendam.

I Can't Give You Child

Jeviere beberapa hari ini sudah menghabiskan waktunya sendiri di rumah setelah Jesse memintanya untuk tidak mencarinya, memilih untuk membersihkan rumah terlebih dahulu. Ia merapikan segala sesuatu dan melakukan apa yang biasa Jesse lakukan. Biasanya ia dan Jesse berbagi tugas untuk membersihkan rumah saat libur, tetapi kali ini harus Jeviere sendiri. Tidak ada ocehan Jesse dan gelak tawa Jesse, kelakar mereka berdua yang saling beradu memecah keheningan. Jeviere mendorong vacum cleaner dan merapikan segala sesuatu yang ada di meja. Sampai Jeviere tiba di depan figura besar yang menggantung di tembok―foto pernikahannya dengan Jesse—ia mendekat dan jemarinya bergerak menyentuh figura tersebut. “Jess aku kangen, bahkan aku masih belum paham apa alasan kamu pulang ke rumah papa mama kamu,” gumamnya dalam hati.


Jesse meyakinkan dirinya bahwa Jeviere masih bertahan dan tidak akan sekalipun beranjak dari perasaan keduanya yang saling beradu padu serta menyatu dalam naungan pernikahan yang mungkin dijalani tanpa cinta di awal. Seiring berjalannya waktu, perasaan yang terjalin pun membuat keduanya saling mempertanyakan perasaan dan kelanjutan hubungan, segala agreement dan kesepakatan yang sudah dibuat ingin Jeviere singkirkan jauh-jauh agar tidak ada yang menghalangi perasaannya kepada Jesse.

Kali ini Jesse sudah berada di ambang pintu kediamannya dengan Jeviere, ia sempat mengatur napasnya yang berderu sebelum membuka kenop pintu rumah itu, ia mengumpulkan keberaniannya lalu masuk ke rumah itu. Ia melangkahkan kaki dan melihat seisi rumahnya karena ia tidak langsung mendapati Jeviere disana. Ia berjalan menuju ke kamarnya namun masih saja Jeviere tidak ada disana. Lalu Jesse berjalan menaiki tangga dan menuju ruang kerja Jeviere. Benar saja, disana ada Jeviere dengan keadaannya yang hancur dan berantakan. Buku-buku berserakan, vas bunga yang pecah, lantai yang berantakan dengan beberapa lembar kertas berserakan, Jeviere tertunduk dan terduduk di lantai di depan rak bukunya, punggungnya bergetar. Jesse berjalan mendekat ke arah pria yang masih menjadi suaminya itu. Tangan Jesse bergerak pelan dan bergetar saat menyentuh kepala Jeviere, pria itu langsung mendongakkan kepalanya. Mata merah dan basah milik Jeviere mengerjap beberapa kali melihat satu sosok yang ia rindukan ada di depannya sekarang.

“Jesse!” serunya dan langsung memeluk erat wanita di depannya.

“Kamu pulang, Jess? Kamu pulang?” Jeviere mengecup pipi Jesse beberapa kali namun Jesse masih diam.

“Jess, jangan tinggalin aku. Aku nggak butuh perjanjian apapun itu, aku butuh kamu.”

“Lepas.”

“Nggak akan, aku nggak mau lepasin kamu,” jawab Jeviere lalu merenggangkan rengkuh dan menangkup kedua pipi Jesse saat itu.

“Jangan nunggu aku,” Jesse hendak menyingkirkan tangan Jeviere namun Jeviere menahannya.

“Kenapa?”

“Aku nggak akan kembali, nggak ada yang diharapin lagi dari aku.”

“Ada, hubungan kita.”

“Stop it, Jev.” Jesse menepis kasar tangan Jeviere lalu bangkit berdiri namun Jeviere dengan sigap memeluk Jesse dari belakang. Tentang Jesse dan Jeviere memang belum menemui ujung, dipertemukan lalu dijauhkan saat sama-sama bersedia menjatuhkan hati membuat mereka berusaha sekuat mungkin mempertahankan. Namun ada satu hal yang Jeviere belum tahu tentang Jesse.

Jeviere menahan Jesse, ia menaruh dagunya di pundak Jesse memeluk Jesse seakan tak ingin ditinggalkan lagi. Ibu jari Jeviere beberapa kali mengusap jemari Jesse yang ia sentuh sekarang lalu mengecup pundak Jesse berkali-kali.

“Jangan pergi lagi, aku nggak bisa.”

“Jev, ada hal yang kamu nggak ngerti!” tutur Jesse sedikit membentak lalu melepaskan paksa tangan yang melingkar di perutnya lalu berbalik badan menatap Jeviere.

“Kamu nggak pernah ngomong dan kamu paksa aku ngerti?! Kamu nggak pernah ngomong!” nada Jeviere meninggi, Jesse memejamkan matanya kaget. Jeviere berbalik badan dan berkacak pinggang namun enggan menatap Jesse.

“Ngomong sama aku, alasannya apa.” Jeviere memelankan nada bicaranya.

“Kamu nggak akan ngerti, yang harus kamu lakukan cuma tinggalin aku,” Jesse bergumam lirih.

Jeremy langsung mengepalkan tangannya dan menghantam sebuah cermin yang menggantung di dinding.

PRANGG!

Cermin itu retak, darah segar langsung mengalir di jari tangan Jeviere yang mengepal tadi.

“Jev!” Jesse berteriak sambil menutup kedua telinganya dengan tangannya. Jeviere masih memberi beberapa hantaman lagi ke kaca tadi. Jesse sudah menangis tersedu.

“Udah, Jev. Udah!”

PYAR!!

Cermin itu jatuh ke lantai,

“Jeviere! Don't be stupid, stop, udah!” teriak Jesse yang membuat Jeviere menghentikan kegiatannya yang diluar kendali itu.

“Jeviere udah! udah, sayang, please” Jesse berlari dan memeluk Jeviere dari arah depan pria itu, memeluk Jeviere erat.

“Jangan, Jev. Jangan.. jangan ya...” Jesse berkata sambil menangis keras di pelukan Jeviere. Tangan Jeviere masih sedikit bergetar, tetesan darah berjatuhan ke lantai, rasa perih di tangan Jeviere belum ada apa-apanya dibandingkan rasa perih dalam hatinya.

“Maafin aku, Jess. Aku nggak becus jadi suami,” kata Jeviere. Jesse menggeleng cepat beberapa kali sambil masih memeluk Jeviere erat.

“Bukan salah kamu, bukan,” katanya.

Akhirnya Jeviere membalas pelukan Jesse erat. Setelah itu Jesse mengajak Jeviere ke kamar mereka dan duduk di sofa yang ada di kamar mereka untuk mengobati tangan Jeviere.

Jesse mengambil obat dan kapas, dioleskannya perlahan ke bagian tangan Jeviere yang luka. Jesse menggigit bibirnya seakan menahan sesuatu yang ingin keluar dari mulutnya. Jeviere tidak melepaskan pandangan lekatnya dari Jesse. Ia memerhatikan setiap pergerakan Jesse. Wanita di depannya ini adalah senyaman-nyamannya tempat ia pulang dan beradu dekap.

Saat Jesse ingin menempelkan plester ke tangan Jeviere, pria itu menahannya. Jesse menatap Jeviere bingung, namun tanpa kata Jeviere mendekatkan dirinya, mengikis jarak yang ada. Jantung Jesse dan Jeviere saling berdetak kencang hingga detik selanjutnya Jeviere memeluknya dan melingkarkan tangannya di perut Jesse dan menarik tengkuk leher Jesse dan langsung melumat bibir Jesse lembut dan perlahan.

Jesse tidak melawan, kecupan dan lumatan yang Jeviere berikan dibalas Jesse juga saat itu, perlahan keduanya semakin menuntut lebih, bibir Jeviere memanjakan birai Jesse dengan lembut, saat disapa lembut bibir Jesse dengan lidah Jeviere, Jesse membuka sedikit mulutnya dan langsung digunakan Jeviere untuk melesatkan lidahnya e dlam sana dan bergerak brutal, badan mereka semakin menempel. Tangan Jeviere bergerak kemanapun ia mau, jari nakalnya bergerak menuju paha lalu naik, Jesse yang hanya menggunakan rok pendek sedikit menggelinjang saat itu. Jari Jeviere memberi sapaan di pusat tubuh Jesse dan bermain disana bergesek pelan masuk menelusup ke panties Jesse. Membuat Jesse sedikit menggeliat, kesempatan saat kepala Jesse mendongak diambil Jeviere untuk menciumi bagian leher Jesse. Bibir dan lidahnya lihai menjalari bagian leher Jesse. Tangan Jeviere yang satu lagi bergerilya menanggalkan kemeja yang Jesse gunakan, hanya menyisakan bra hitam disana. Dikecup dan sedikit dihisapnya bagian leher Jesse membuat sang empu merasakan gelenyar dalam dirinya ditambah jari Jeviere yang belum bisa tenang sedari tadi.

“Mhh Jeviere nghh, stophh,” desah Jesse saat pusat tubuhnya dimainkan habis-habisan oleh jari Jeviere yang bergerak cepat disana.

“Don’t ever leave me mhh,” pinta Jeviere dalam desahnya. Napas Jesse tidak beraturan, sungguh, sebenarnya Jesse sudah jatuh dengan teramat dalam kepada Jeviere.

“Jeviere lepas sshh,” Jesse mulai tidak bisa mengatur napasnya. Jeviere tidak menghentikan kegiatannya, wanita dalam pelukan Jeviere sudah menangis tidak karuan namun Jeviere masih kehilangan kendali atas dirinya.

Dikecupnya bergantian leher dan bagian dada Jesse, sang puan mulai kehabisan tenaga melawan Jeviere. Akhirnya,Jesse sedikit menjauh, membuat jarak sedikit membentang diantaranya dan Jeviere.

“Stop it, there’s no reason for you to stay with me. Ada hal besar yang bakalan jadi pertimbangan kamu buat tetep sama aku.” Kalimat yang terdengar pilu itu Jesse ucapkan lirih di sela pagutan mereka yang terasa menyakitkan itu. Jeviere menggeleng.

“Jeviere! Cari aja istri yang sempurna buat kamu! Aku nggak sempurna, nggak akan pernah bisa!” pekikan Jesse terdengar nyaring, jantungnya sendiri pun berdegup kencang tak beraturan. Perasaan Jesse tidak bisa digambarkan saat itu, ia menjauhkan diri dari Jeviere dan beranjak hendak keluar kamar. Namun dengan sigap Jeviere mencegatnya, mengunci pintu dengan cepat dan melemparkan kunci itu ke atas lemari.

“Jeviere! Buka nggak?!” teriak Jesse nyaring. Jeviere hanya menggeleng. “Buka!”

“Jangan pergi, Jess.” Digenggamnya tangan Jesse erat saat itu namun ditepis Jesse seketika. Tangan mereka saling bergelut yang satu ingin menahan yang satu ingin menghempaskan.

“Apa susahnya lepasin aku?” Jesse mendelik menatap Jeviere. Sorot mata pria itu membawa keteduhan, “Mempertahankan kamu lebih berarti daripada dengan gampangnya aku lepasin kamu. kamu―satu yang tersemat dalam hidupku, Cuma kamu yang aku punya saat ini, hidupku mau jadi apa, Jess kalau nggak ada kamu?”

Jesse terduduk di lantai, Jeviere masih disana berdiri mematung, Jesse menangis namun suaranya memohon tersamarkan oleh getaran tubuhnya kala itu. Pada mata Jeviere semakin ia menatap wanita yang ia cintai semakin ia menelanjangi diri sendiri dengan setiap perbuatan tak acuhnya selama ini terhadap Jesse. Ia kurang peka bahkan tak jarang menganggap Jesse tidak ada. Mata Jesse yang lebih terang dari sorot bintang menjadi redup oleh tangisan malam itu.

Jeviere pastikan malam ini Jesse tetap disana, ada di dalam dekap Jeviere. Pria itu berjalan mendekat, meraih tubuh Jesse membantunya berdiri. Jeviere menggendong Jesse dan mendudukkan Jesse di tempat tidur. Ia satukan kening mereka tanpa jarak, hidung mereka saling bersentuhan, bibir Jeviere mulai merapal kalimat permohonan agar sang puan dapat tinggal.

Pernah ada nada rumpang yang Jesse nyanyikan dan dirampungkan oleh Jeviere, ketidaksengajaan kebersamaan membuat keduanya hidup bersama.

“Kamu bakalan kecewa sama aku, Jev. Seumur hidup.” Jesse bergumam.

“Perlu terluka dan kecewa dalam hidup, Jess. Agar kita tahu makna kehidupan.” Balas Jeviere singkat lalu tanpa aba-aba Jeviere kembali melumat bibir Jesse,

“Jeviere, aku hmphh―” Jesse memekik sambil meremas baju Jeviere saat suaminya itu melumat bibirnya dengan tempo terburu-buru. Tak ada perlawanan dari Jesse hingga saat jari panjang Jeviere bergerak cepat di bawah sana di pusat pertahanan tubuh Jesse, wanita itu melemah. Jesse mulai kehabisan tenaga ia hanya bisa pasrah, ia membiarkan sang tuan merajai tubuhnya, terlalu lelah hati dan fisik Jesse saat ini.

Akhirnya sang puan yang sudah dibuai renjana nikmat kala itu menarik dagu Jeviere dan meraih bibir sang tuan, diusapnya lembut dengan telunjuknya sebelum dibiarkan bertaut dan bertukar saliva. Jesse memimpin permainan. Tidak ada lagu yang disenandungkan, hanya ada nama dalam setiap lenguhan. Nama masing-masing dalam setiap desahan.

Kehidupan kebersamaan mereka tautkan dalam setiap cecapan dan setiap tanda di tubuh Jesse saat itu menjadi saksi bahwa Jeviere masih ingin memiliki Jesse seutuhnya bahkan sepanjang usia. Sedikit resah tubuh Jesse kala itu hingga akhirnya Jeviere menidurkannya di tempat tidur, keduanya saling melucuti setiap helai benang yang mereka kenakan.

Sedih, amarah, tidak ingin kehilangan bersatu membingkai sorot mata yang saling bertaut itu.

“Jangan pergi, Jess. Jangan pernah tinggalin aku,” bisik Jeviere lirih di telinga Jesse, wanita itu hanya bisa memeluk leher Jeviere erat saat sang tuan merajainya dan memainkan lidah dan birai di ceruk lehernya membawa Jesse ke nikmat dalam pejamnya.

Dibiarkannya pusaka milik Jeviere bergesekan dibawah sana dengan milik Jesse yang tidak terbalut apapun lagi. Sela rambut Jeviere setelahnya menjadi media bagi Jesse menyalurkan nikmat yang perlahan mulai ia rasakan, tak butuh waktu lama. Balasan lembut untuk sang tuan diberikan Jesse di detik selanjutnya, pagutan dan lumatan serta sapaan lembut di birai Jesse dengan lidahnya yang lihai membuat Jesse membuka mulutnya memberikan akses kepada Jeviere untuk melakukan lebih.

Resah yang mengganggu kini terasa menakutkan saat Jeviere membayangkan hari setelah perpisahan dengan Jesse. Namun, keduanya sudah dikuasai perasaan yang saling hanyut satu sama lain. Lumatan dan pagutan Jeviere artikan sebuah perasaan tidak ingin kehilangan. Menaruh kepercayaan kadang menuai kecewa, mempertahankan agar utuh kadang mendapatkan hancur luruh. Mencintai Jesse menuai rasa bersalah untuk Jeviere namun pada decapan dan lidah yang bertaut serta saliva yang tertukar Jesse artikan sebagai penyatuan dua hati yang setelah ini harus berjuang lebih walau masih mempertanyakan takdir. Jeviere tanpa ragu menambah dalam lumatannya dan kini Jeviere dengan tubuh kekarnya mengungkung Jesse di antara dua lengannya, mata keduanya saling terpejam, namun ada bulir air mata yang lolos lewat ekor mata Jesse.

“Aku nggak bisa punya―” belum selesai Jesse menyelesaikan kalimatnya, Jeviere sudah berada di bawah Jesse dan membuka lebar paha Jesse lalu meraup pusat tubuh Jesse dan memainkan lidahnya dibawah sana di bagian sensitif Jesse.

“Jev, don’t pretend like mmhh ahh, you just need to leave me akhh!” Suara sang puan yang bergetar membawa hati Jeviere diiris nyeri. Untuk sesaat, Jeviere tidak memedulikan racauan Jesse. Ia membawa Jesse ke awan-awan, dicecap dan dimainkan dengan lidah, jilatan yang membuat Jesse menggila kala itu diberikan Jeviere dengan hujaman tanpa henti. Jari panjang Jeviere masuk saat Jesse sudah melenguh berulang kali.

“Mmmhh, Jeviere I love you nghh” jari Jeviere bergerak cepat saat itu, Jesse meracau, meremas rambut Jeviere bahkan membusungkan dadanya, ia hampir sampai.

“Don’t stophh ahh Jeviere mhhh,”

“As your wish, as long as you stay with me, Jess.” Jeviere menggerakkan jarinya cepat membuat pertahanan Jesse runtuh.

“Akhh, ahhh! Jev i wanna cum ahhh!”

“Just let it,”

“Ahhhhh!” nafas Jesse masih tersengal namun Jeviere menarik tubuh Jesse membantunya duduk di tepi tempat tidur, Jeviere memosisikan pusakanya di depan wajah Jesse. Jesse mengatur napasnya dan menghela napas panjang, Jeviere membelai lembut puncak kepala Jesse lalu tanpa aba-aba Jesse memasukkan kejantanan Jeviere ke dalam mulut hangatnya, tak lama setelah Jesse mengulum kejantanan Jeviere, pria itu mengubah posisi, Jeviere duduk di tepi ranjang dan Jesse berlutut di depannya dengan masih mengulum milik Jeviere.

“Ahh Jess you are so mmhhh” desah Jeviere kala itu. Sunyi dipecah decapan, hening dilawan dengan suara desah dan lenguh yang beradu. Jeviere menggigit bibir bawahnya membiarkan miliknya bersemayam di mulut Jesse. Gerakan Jesse yang semakin brutal membuat Jeviere semakin tidak karuan. Dijilatnya dengan gerakan memutar lalu dikulumnya lagi milik Jeviere hingga ke pangkal tenggorokannya. Membuat sang tuan terbang. Ia tidak ingin menjemput pelepasannya dulu, ia tahan tubuh Jesse ia membuat Jesse terlentang di tempat tidur lagi, sang puan masih memenjarakan dirinya dalam kukungan Jeviere. Sang puan masih bersedia memberikan napas yang bahkan sebenarnya sudah dibungkam kenyataan jahat, ia paksakan dirinya tetap bernapas di antara kenyataan yang menggerogoti kekuatannya.

Memadu kasih memagut rindu dalam dua birai yang saling bertaut memanjakan mereka berdua malam itu. Tangan Jeviere tidak henti meremas dua gundukan kenyal di dada Jesse. Wanita itu membiarkan tangan Jeviere menjalar pada pinggang, dada dan perutnya berurutan dengan sentuhan lembut yang membawanya terbang. Sebuah sapaan halus pada bagian pinggang dan rematan yang disusul setelahnya membuat lenguhan pada diri Jesse lolos dan melenguhkan nama Jeviere dengan merdu. Jeviere meraup payudara Jesse bak anak kecil yang kehausan, gigitan dan permainan lidah yang brutal diberikan Jeviere saat itu, sebuah tanya berbisik di telinga Jeviere saat itu,

“Kamu cinta sama aku?” tanya Jesse. Jeviere kembali mengukung tubuh Jesse dan menatapnya lekat.

“Kalau enggak, aku udah pergi, sejak awal pernikahan kita.” Jeviere mengucapkan kalimat dengan semangat yang hampir patah. Sang tuan penuntun permainan saat itu sempat gelisah sebelum meraup lagi birai Jesse saat itu, jarinya melesat ke bawah sana menjajak milik Jesse yang sudah basah. Namun tetap ia mainkan habis-habisan. Jesse sudah semakin mendesah makin brutal saat seluruh perasaannya luruh di dalam pagutan hebat yang lebih berapi daripada sebelumnya―selaras beriringan dalam sebuah lenguh, keduanya jatuh lebih dalam lagi.

Mendesah, suara decitan, kegiatan saling melumat―berlangsung di waktu yang bersamaan menjajak langkah kebersamaan mengikis kemungkinan perpisahan. Kini Jeviere menurunkan bibirnya yang sudah basah ke sela leher Jesse. Mampir disana untuk waktu yang lama serta bermain menggoda Jesse memberikan kenikmatan untuk Jesse, menjilat dan mempermainkan Jesse dengan lidah dan bibirnya hingga sang puan mendongak dan meremat punggung Jeviere menahan kenikmatan.

Senggama kulit keduanya membawa sebuah hentakan pada diri Jesse saat merasakan miliknya bersentuhan dengan milik Jeviere dibawah sana. Puncak dada Jesse juga bersentuhan dengan Jeviere membuat Jeviere tergoda untuk melanjutkan kegiatannya di bagian dada Jesse.

“Jev, babe ahhh don’t ssh,” Badan Jesse bagaikan tersengat listrik saat merasakan gigitan dan tarikan kecil di puncak payudaranya, rematan di payudara satunya yang berangsur, kepala mendongak, badan menggeliat membiarkan sang tuan merajai tubuhnya sekarang. Ia berikan seluruh akses kepemilikan atas tubuhnya kepada Jeviere.

“Jeviere―mmhh” lenguhan lain lolos dan diantara surai hitam Jeviere tangan Jesse sibuk meremat menyalurkan sebuah kenikmatan yang tidak bisa ia tahan lagi saat milik Jeviere memasuki milik Jesse membuat wanita itu merasa penuh.

“Jeviere, sayanghh mhhh” Mata sayu itu memejam, Jesse melenguh nyaring.

Jeviere menyeringai tatkala mendengar sang puan membisik lirih dan diikuti panggilan sayang yang menggetarkan jiwa. Gerakan apapun yang diberikan Jeviere bak candu untuk Jesse, membuat keduanya mau melakukannya dengan sukarela. Pada senggama selanjutnya dengan gairah penuh cinta dan api yang membakar keduanya, Jesse memeluk erat tubuh yang bergerak diatasnya. Jeviere bergerak pelan disana, desahan keduanya bersahutan, lenguhan keduanya berlomba memenangkan libido. Hati keduanya yang tak terarah mungkin akan bertumpu pada satu arah malam ini, keduanya memang tidak siap untuk kehilangan satu sama lain. Netra keduanya beradu sesaat. Peluh membasahi kening Jesse, diusap Jeviere dengan lembut.

“Just leave me if you don’t love me.” bisik Jeviere.

“Bilang ke aku kalau kamu nggak cinta sama aku, Jess.” Kalimat itu dikatakan Jeviere saat ia menggoyangkan pinggulnya dengan pelan, Jesse yang mengalungkan tangan di leher Jeviere hanya menatap nanar, karena memang ia mencintai Jeviere.

“Say that you don’t love me anymore.” Kata Jeviere lagi. Jesse meneteskan air mata, tidak menjawab malah melingkarkan kedua kakinya di pinggang Jeviere agar mempermudah Jeviere melakukan gerakannya, rahang Jeviere ditarik Jesse agar bersatu dalam pagutan brutal. Cengkraman kadang Jesse berikan di pundak dan punggung Jeviere, pria itu juga tak henti menghujam Jesse dengan kecupan di bibir dan leher bergantian.

Decit ranjang, nama masing-masing yang didesahkan, bunyi cecap dan kecipak terdengar menggema setelahnya. Jeviere kembali bergerak pelan bahkan memberikan beberapa hentakan untuk Jesse rasakan dan membuat wanita itu tersentak namun kembali memeluk Jeviere erat.

Sakit dibungkam pagutan birai dan lesatan lidah Jeviere maupun Jesse lembut, akses bebas itu membawa Jesse dibuai malam itu. Jeviere kadang menggoda bagian sensitif Jesse juga dengan jemarinya lalu menggerakkan pinggulnya lagi dengan cepat lalu memelan, sedikit memutar barang sebentar, tak dibiarkannya sang puan tenang barang hanya sesaat. Ia benar-benar ingin hanya ada kenikmatan dan sebuah keindahan malam bagi sang puan sekarang. Tempo dan gerakan pinggul dari Jeviere membawa Jesse terbang ke awan-awan.

Jesse kembali merasakan tubuhnya dijalari sebuah gelenyar yang membawanya ke puncak tertinggi saat ini. Memekik dan melenguhkan nama Jeviere dengan bebas begitu juga dengan Jeviere yang melakukan hal yang sama. Tempo tak beraturan dan semakin cepat diberikan Jeviere saat keduanya sudah ada di puncak hampir sampai pada pelepasan dan peleburan semesta yang bersatu.

“Jeviere mmhh, jangan berhenti ahh”

“Jesshh”

“Mhhh don’t ever stop loving me, Jev, i beg you.. ahhh,” penyatuan senggama menjadi tempat Jesse mengadu, entah ia sadar atau tidak mengatakan kalimat itu dalam desahnya. Suara lenguhan disertai permohonan Jesse membuat Jeviere mengangkat wajah dan menetapkan tatap pada wanitanya itu. Mata sayu Jesse penuh permohonan. Menyelami iris mata gelap Jesse membuat Jeviere semakin luruh, ia tidak ingin ada di ujung perpisahan.

Jeviere mendengarnya dengan sedikit nyeri di hatinya namun ia berikan lagi hujaman lumatan di bibir Jesse peredam gerakan pinggulnya yang brutal saat ini.

“Together Jess,” desah Jeviere lagi dengan gerakan tempo cepat beberapa kali menumbuk bagian terdalam milik Jesse sampai akhirnya keduanya merasakan sesuatu luruh dan menyatu dalam tubuh keduanya, pelukan erat Jesse tidak lepaskan. Jeviere mengecup lagi bibir ranum Jesse lalu memberikan kecupan dua kali berturut-turut setelahnya. Lengkung simpul di wajah masing-masing mengisyaratkan kepuasan dan kebahagiaan. Jesse mengangguk, mengusap peluh Jeviere yang penuh peluh.

“I love you mmhh” bisik Jesse kala itu, entah sadar atau tidak Jesse mengatakannya. Namun Jeviere yang mendengarnya langsung menelusupkan wajah di sela leher Jesse dan memeluk wanitanya erat menjaganya dalam dekap.


Pukul setengah tiga dini hari

Jesse membuka matanya, didapatinya Jeviere masih mendekapnya hangat, namun perlahan ia menepisnya, ia beranjak dari ranjangnya, menyelimuti Jeviere agar suaminya masih terjaga dalam lelap. Ia raih bathrobenya dan menuju meja riasnya, ia mengambil sebuah kertas dan mulai menuliskan barisan kalimat disana.

“Untuk Jeviere, maaf sayang untuk semuanya, but you better leave me, aku nggak bisa punya anak. Dokter udah vonis aku, kamu berhak dapat wanita yang utuh dan sempurna. Bukan aku, Jeviere, terima kasih, sama kamu hariku nggak pernah kelabu. Cahaya cinta yang lahir dari hati dan sikap kamu adalah sebenar-benarnya bukti dari cinta yang aku cari. Aku nggak bisa punya anak, kamu bebas pergi cari kebahagiaan kamu, cari wanita yang bisa kasih kamu semua yang kamu cari. Dari aku, yang sudah mencintaimu―Jessenia Allegra Evangeline.”

Ditatapnya surat itu sebelum ia taruh di atas ponsel Jeviere, di meja itu juga ada foto pernikahan Jesse dan Jeviere, dilepaskannya dari figura yang ada di atas meja itu lalu ia genggam, ia masukkan ke dalam saku jaket yang setelah ini akan ia kenakan. Pada kalimat yang Jesse titipkan dalam secarik surat itu mungkin akan menjadikan Jesse pribadi jahat di mata Jeviere.

Jesse pun mengganti bajunya, mengenakan perca yang ia raih, menjinjitkan kaki hingga meraih bagian atas lemari mencari kunci kamar yang Jeviere lempar malam tadi. Yap! Ia mendapatkannya.

Dengan mengendap, Jesse membuka pintu itu, berjalan mengendap dan menutup pintu itu perlahan. Jesse menuruni tangga dengan santai karena yakin Jeviere masih terlelap. Namun saat ia ingin keluar dari rumah itu sebuah pekikan keras menggema meneriakkan nama Jesse. Beradu dengan suara hujan di luar sana, Jesse menengok mendapati Jeviere sudah ada di tangga dengan baju piyamanya.

“Jess jangan pergi!” pekik Jeviere namun dengan cepat Jesse membuka kunci pintu dengan tangan gemetar, ia berlari tanpa alas kaki, keluar dari pekarangan rumah Jeviere dengan buru-buru, membiarkan tubuhnya dibasahi hujan deras. Langit gelap dan cahaya yang minim membuat langkahnya terseok, Jesse merapatkan jaketnya yang sudah basah, berlari dengan tenaganya yang tersisa, sementara itu Jeviere masih mengejar Jesse sekuat tenaga.

Jesse tiba di perempatan yang sepi hanya ada lampu jalan dengan cahaya redup, guyuran hujan sudah membasahi tubuhnya, Jesse bingung hendak berlari ke mana karena tenaganya sudah habis dan Jeviere masih mengejarnya. Ditengah derasnya hujan dengan lampu jalan yang sesekali berkedip, Jesse kembali berlari seorang diri dengan bayangannya. Langkah kakinya terseok saat bunyi klakson mobil menderunya. Setiap jejak yang ia tapaki juga ia berdoa dalam hatinya menyerahkan semua ketakutannya. Detak jantungnya tak beraturan, ia kembali berlari namun karena jalanan yang licin ditengah-tengah Jesse jatuh tersandung yang membuatnya tersungkur namun ia kembali bangkit berdiri, saat ia berbalik badan ia mendengar pekikan teriakan Jeviere memanggil namanya keras. Jesse melihat sebuah mobil dengan sorot lampu yang semakin mendekatinya. Jesse terlalu lemas dan hanya bisa pasrah. Mobil itu semakin mendekat ke arah Jesse.

“Jesse!” teriak Jeviere histeris.

“Aaaaa!” Jesse memejamkan matanya dalam sepersekian detik pun terdengar bunyi decit mesin nyaring diantara derasnya hujan. Suara dentuman tabrakan antara besi dan daging memecah hening menemani gemuruh riuh hujan dan gemuruh di langit saat itu.

Braakk!!

Tubuh Jesse terkulai saat dihantam mobil. Jeviere berlari sekuat tenaga, dengan langkah bergetar ia mendekati tubuh yang sudah terkulai di bawah hujan itu. Tangisan Jeviere meraung menggema beradu dengan gemuruh dan deras hujan. “Jesse!!” Jeviere berteriak sekencang yang ia bisa, ia luruh dan merangkak menuju beberapa orang yang mulai berkerumun itu. Air hujan membawa hanyut cairan merah kental yang berasal dari tubuh wanita yang Jeviere cintai. Seperti kunang-kunang yang selalu mendekat ke arah cahaya tanpa ia sadari cahaya lampu dapat membakarnya.

Mungkin Jeviere salah memaksa Jesse menaruh hati kepadanya tanpa ia sadari semesta bisa membawa pergi ia kapan saja. Jeviere meraih tangan yang berlumur darah itu, beberapa saat mata Jesse masih mengerjap. Jeviere menyandarkan tubuh penuh darah itu di pangkuannya. Air mata Jesse dan Jeviere luruh oleh hujan. Seuntai senyum terbentuk di bibir Jesse yang penuh darah, Jeviere tak henti menangis dan memeluk tubuh ringkih itu.

Tangisan Jeviere semakin menggema saat Jesse menunjukkan foto pernikahan yang masih ia genggam walaupun sudah berlumur darah segar. “Su..rat..” kata Jesse terbata-bata.

“Aku udah baca, aku nggak peduli. Aku mau kamu menetap bukan karena kasihan aku mau kamu, kita bisa adopsi anak. Apapun kekurangan kamu, aku terima. Karena kamu, Cuma kamu yang memanusiakan aku selama ini. Kamu yang menganggap aku manusia saat semua menganggap aku sampah. Jesse, please stay..”

“Kita pulang, ya? Bertahan ya, Jess?” lanjut Jeviere lirih.

Jesse tersenyum, matanya mengerjap sebelum tertutup, genggaman tangannya lepas dari genggaman Jeviere. Mata Jesse tertutup, namun bibirnya seakan masih tesenyum untuk Jeviere, tubuh bersimbah darah itu Jeviere peluk erat diantara kerumunan dan dibawah derasnya hujan di hari yang masih gelap itu.

Fight

Ada sesuatu yang dibidik oleh Jevin kali ini―Nicholetta. Perasaannya terhadap sang kekasih tidak bisa pudar lagi sepertinya. Kali ini Jevin sedang berada di kamarnya, berulang kali ia memekik nama Mevin namun tidak ada sahutan dari kembarannya itu. Namun tak lama ia mendengar suara shower yang mengalir, ia paham Mevin sedang mandi. Jevin berniat ingin meminjam kamera milik Mevin, akhirnya Jevin berinisiatif untuk mencari di laci dimana Mevin biasa menyimpan barang-barangnya. Tangan dan mata Jevin bergerak mencari kamera di laci Mevin, namun ia tidak kunjung temukan barang yang ia cari.

“Mevin!” pekik Jevin sambil mengetuk pintu kamar mandi.

“Apaan?” tanya Mevin berteriak.

“Pinjem kamera!”

“Ya! Cari sendiri!”

“Iye!” Keduanya bersahutan keras, Jevin kembali merogoh laci di meja Mevin. Akhirnya ia menemukan kamera itu, diambilnya sebuah kamera SLR itu oleh Jevin namun saat ia mengambilnya, ada sebuah kertas yang ikut terambil lalu jatuh ke lantai.

Saat itu juga Jevin mengambilnya dan tertegun untuk waktu yang lama, sementara Mevin masih bersenandung di kamar mandi. Jevin buru-buru keluar dari kamar dan membuka kertas itu di ruang tamu. Jevin duduk di sofa dan ia mengamati lamat-lamat kertas tersebut. Sebenarnya itu adalah sebuah amplop berukuran sedang yang agak tebal. Jari Jevin terhenti saat melihat dua nama yang tertera disana dan tidak asing untuknya.

Napas Jevin berderu, jantungnya berdetak kencang. Ia berulang kali membaca kalimat yang ada disana namun tetap saja ini tidak bisa ia percayai. Tambatan hatinya―nama Nicholetta Christine tertulis disana. Ada nama Mevin juga, Jevin mengeluarkan seluruh isi amplop itu,

Tangan Jevin mendadak dingin membaca barisan tulisan The Engagement of Elleandru Mevinio Adrian and Briggita Nicholetta Christine

Ada beberapa lembar foto disana, jelas sudah itu photoshoot couple yang Mevin dan Letta lakukan. Jevin menggigit bibirnya dan mencengkeram kertas dalam genggamannya.

“Rancangan undangan tunangan? Kenapa mereka putus? Letta sama Mevin sembunyiin apa dari gue?” batin Jevin. Tak lama Jevin mendengar suara pintu kamar yang terbuka, ia menaruh kameranya lalu berdiri menghardik Mevin yang hendak keluar dari kamar. Jevin langsung mencegat jalan Mevin,

“Kenapa?” tanya Mevin bingung. Jevin enggan menjawab, namun Jevin langsung menarik kerah baju Mevin menuju ke halaman belakang rumahnya. Mevin melepaskan paksa tangan Jevin dari kerah bajunya.

“Apaan sih lo?!” tanya Mevin dengan nada tinggi,

“Lo yang apaan! Ini apa maksudnya?” Jevin membanting undangan itu ke tanah, Mevin memijit keningnya sendiri dan membuang pandangan ke sembarang arah.

“Jawab gue!” bentak Jevin.

“Itu cuma design yang gue bikin, belum sepenuhnya gue cetak lagian Letta nggak tahu juga. Udah lewat.” kata Mevin lalu hendak melenggang dari sana.

“Mevin!” pekik Jevin lagi.

“Apa? Lo mau apa?!”

“Kenapa lo nggak pernah bilang ke Letta?! Dia nggak tahu kan masalah ini?!”

“Nggak ada yang tahu, gue doang. Udah lah, dia udah jadi milik lo juga sekarang, mau apa lagi?! bukannya itu yang lo mau?” perkataan Mevin memicu emosi Jevin dan membuat Jevin langsung melayangkan satu pukulan ke wajah Mevin.

“Apa sih maksudnya?!” Mevin tidak terima dan

BUG!

Satu pukulan dari Mevin mendarat di wajah Jevin.

“Kenapa lo sejauh ini dan lepasin Letta gitu aja? Bego lo ya!”

“Ngapain digenggam kalau udah nggak bisa, gue ninggalin dia buat waktu yang lama juga. Ada lo juga kan yang nemenin dia? So what, i want you and the person that i love happy together.”

“Lo nggak pernah kasih tau ini! Kenapa?!”

“Ya karena semuanya udah bahagia, biarin gue sendiri yang pendem ini sendiri! Masih nanya?! Lo juga mau kan sama Letta?” Mevin mendelik berjalan mendekat ke arah kembarannya itu.

“Tolol! Harusnya lo perjuangin dia!” Jevin kembali mencengkeram kerah baju Mevin, kembaran Jevin itu terkekeh, matanya memerah. Tenaga Mevin sebenarnya sudah habis untuk melaju diantara perdebatan dan tumpukan kisah masa lalunya. Sia-sia tenaganya untuk menjelaskan apa yang terjadi pada masa lalu.

“Lo aja yang perjuangin.” Mevin menyeringai. Jevin diam.

“Itu yang lo mau kan?” kata Mevin lagi. BUG!

Satu kepalan mendarat di rahang Mevin, tak terima, Mevin membalasnya lagi, keduanya terjebak perkelahian kala itu.

“Harusnya lo ngomong kalau belum bisa lepasin Letta! Jangan bikin gue jadi orang jahat gini!” bentak Jevin, Mevin menendang perut Jevin hingga kembaranya itu tersungkur.

“Terus semua salah gue? Iya? Lo nggak pernah tahu apa yang gue alami selama ini! Letta juga nggak tahu!”

“Lo nggak pernah ngomong!” Jevin mengepalkan dan menghantam pipi Mevin hingga lelaki itu tersungkur, kepala Mevin terantuk tepi keramik hingga mengeluarkan darah, Mevin terkekeh.

“Masih lo permasalahin? Jalanin aja apa yang ada, be happy with her, ngapain dibahas lagi kegagalan gue, lagian udah gue simpen rapat-rapat.” Mevin bangun dengan sempoyongan, mendengar keributan dari halaman belakang, Lea datang melerai kedua anak mereka,

“Jevin! Mevin! Apa-apaan sih kalian?!” teriak Lea histeris. Mata Lea langsung berkaca-kaca melihat kedua anaknya dalam keadaan tidak baik-baik saja. Jevin dan Mevin hanya berusaha mengatur napas yang terengah, keduanya tidak mau saling menatap.

“Jawab mama!” bentak Lea.

“Nggak ada yang perlu dijelasin kok, Ma.” Kata Mevin tersenyum lalu melirik Jevin sesaat.

“Ini kenapa bisa kaya gini? Jevin, Mevin kalian kenapa sih?” tanya Lea lagi saat melihat ujung bibir Jevin mengeluarkan darah, pelipis Mevin yang mengalirkan darah segar juga. Tidak ada yang menjawab.

Lea terisak disana.

“Mevin yang salah, semua salah Mevin, maaf, Ma.” Mevin melenggang pergi,

“Mevin!” pekik Lea namun tidak dihiraukan anaknya itu. Sekarang tinggal Jevin disana. Lelaki itu tertunduk, Mamanya menghampiri Jevin, meraih kedua pipi Jevin.

“Kenapa, nak? Ngomong sama mama..” Jevin hanya memejam, ia ingin hengkang dari hadapan Mamanya saat ini kalau bisa. Namun ia menatap Mamanya lalu memaksakan dirinya tersenyum dan menggeleng pelan.

“Sedih, nak. Mama sedih banget lihat kalian kaya gini, kalau Papa tahu gimana? Hm?”

“Maaf, Ma.”

“Kenapa sampai berdarah gini? Kenapa Mevin sampai berdarah juga tadi keningnya? Both of you are brother for each other, jangan kaya gini, Nak.”

“I know, Ma.”

“Terus kenapa masih kaya gini?”

“Banyak yang nggak bisa dijelasin, Ma. Jevin juga belum nemu jawabannya. Maaf, maafin Jevin, Ma.” Jevin tertunduk, Lea langsung memeluk anaknya itu. Jevin sedikit terisak di pelukan Lea.

“Maafin Jevin udah nyakitin Mevin juga,” katanya.

“Nak, jangan kaya gini, mama sedih. Kalau masih bisa dibicarakan baik-baik bicarain, jangan kaya gini.” Lea rasakan Jevin mengangguk.

“Kalau keduanya sakit saat menggenggam, lepasin, dua-duanya. Jangan ada yang tinggal daripada semua jadi runyam, bukan lagi keduanya yang hancur, ketiganya, tiga orang yang terjebak di rasa yang sama. Itu lebih menyakitkan.” Ucapan Lea membuat Jevin termangu, Jevin memeluk mamanya erat karena mengerti apa maksud perkataan mamanya itu.

“Maafin Jevin, Ma.”

How Jevin Treat Me

Angin kerinduan membawa Jevin menemui Letta malam ini, kendati dirinya yang sedikit kelelahan usai bekerja bukan jadi masalah yang berarti untuk Jevin, ditemuinya kekasihnya di apartemen Letta pukul tujuh malam. Letta menyambut kedatangan kekasihnya dengan sumringah, memberi pelukan selamat datang lalu saling merangkul untuk duduk di sofa. Keduanya duduk bersebelahan,

“Kamu lagi ngapain sih?” tanya Jevin. Letta meraih laptop di depannya dan mematikannya jari – jarinya menari diatas keyboard sesaat sebelum mematikannya.

“Tesis, biasa.” Jawab Letta lalu menutup laptopnya dan bergelayut manja di pelukan Jevin.

“Jevin,”

“Apa?”

“Kalau aku pergi suatu saat kamu sedih nggak?” tanya Letta secara tiba-tiba. Gadis itu memeluk pinggang Jevin dan menyandarkan kepalanya di dada bidang Jevin lalu menghela napas.

“Kenapa nanya gitu?” Jevin berusaha menyingkirkan tangan Letta dari pinggangnya berniat agar bisa melihat sang puan dengan jelas namun Letta menghalanginya.

“Jangan, mau peluk dulu.” cegah Letta.

“Ya kamu kenapa, kok nanya begitu?” tanya Jevin lagi lalu mengecup puncak kepala Letta.

“Nggak, cuma nanya aja kok, hehe.” Jemari Jevin mulai membelai lembut rambut panjang Letta.

“Jangan suka berandai yang nggak akan pernah terjadi, ngerti? Kenapa sih emangnya?” tanya Jevin lagi namun Letta hanya menggeleng.

“Jangan kaya gitu, aku nggak suka.” Balas Jevin. Letta mengangguk, Letta mendongakkan kepala menatap sang tuan dengan tatapan nanar. Jevin pun meminta Letta duduk di pangkuannya menghadap Jevin dan memeluknya bak anak kecil.

“Jev udah lama tapi pelukan kamu masih sama―hangat. Bahkan lebih hangat selalu tambah hangat setiap harinya.” Letta menatap kekasihnya itu tajam. Jevin tersenyum manis, sesaat hening untuk beberapa detik hingga hanya terdengar dentingan jam di ruangan itu.

“Aku mau peluk kamu buat aku, cuma aku. Egois nggak sih aku? Tapi aku nggak mau rasain kehilangan lagi. aku nggak mau kamu diambil siapapun termasuk orang terdekatku.” Jawaban gamblang dari seorang Jevin menembus ke dalam hati Leatt.

“Jevin..”

“Nggak kok, nggak papa. Asal ngomong.” Bantah Jevin. Letta tidak menjawab―hatinya masih berdesir.

“Jevin..”

“Ya sayang?” “Aku nggak akan pergi, tapi kamu juga jangan pernah berantem lagi ya?” Jevin menyisir surai panjang Letta dengan jarinya lalu turun ke pipi Lea menangkupnya dengan dua tangannya.

“Kamu tahu ya? Maaf, setakut itu aku dibayangi kehilangan dan perpisahan.” Mendengar itu Letta merasa pipinya hangat, disertai detik berikutnya, air matanya jatuh.

“Aku memang brengsek, aku nggak pernah tahu apa yang saudara kembar aku sendiri rasain, jahat? Terserah, tapi nggak ada niatku sedikitpun rebut kamu dari Mevin, bahkan semuanya terjadi waktu kamu sama Mevin udah pisah, right? Aku―”

“Jevin, stop, udah.” Letta tertunduk, tangannya masih dikalungkan di leher Jevin. Letta terisak, ia bangkit berdiri lalu menuju balkon untuk mengatur napasnya dan menenangkan dirinya, ia menangis disana menggigit bibir sekuat-kuatnya, namun air matanya tumpah tanpa komando.

Ia memang pernah memadu kasih dengan saudara kembar Jevin, ceritanya panjang―tapi mereka sudah berpisah. Ada kisah panjang dibalik itu semua. Jevin berjalan menghampiri Letta yang berdiri disana, punggung Letta nampak bergetar. Jevin memeluk kekasihnya dari belakang. Jevin melingkarkan tangannya di perut Letta, gadis itu hendak berbalik badan namun Jevin menahannya.

“Sorry, maafin aku. Maafin aku,” ucap Jevin lirih di telinga Letta. Seketika hening lalu suara isakan Letta beradu dengan suara isakan Jevin. Keduanya lebur dalam tangis bersama, Jevin menaruh dagunya di pundak Letta lalu mencium pipi Letta lalu menelusupkan wajahnya di sela leher Letta.

Gadis itu bisa merasakan Jevin yang terisak dengan jelas.

“Jevin, jangan gini terus, sayang.”

“Aku egois ya? Aku jahat ya?”

“Enggak, sayang, enggak. Stop it.”

Letta merenggangkan rengkuh, berbalik badan menatap kekasihnya dengan mata merah yang basah lalu ia merapikan rambut Jevin sambil tersenyum.

Jemari lembut Letta mengusap pipi Jevin lalu detik selanjutnya bibir Jevin sudah menyapu bibir Lea yang halus.

Bibir Letta masih terkatup saat itu hingga Jevin menarik tubuh Letta hingga tidak ada jarak sama sekali. Tangan Jevin menarik pinggang Letta dan satu tangannya menekan tengkuk leher Letta. Tak lama Letta mulai memberikan akses dan membalas lumatan yang diberikan kekasihnya, pagutan lembut dan cecapan berulang kali menghantarkan keduanya untuk saling membalas pagutan itu. Bibir menyatu dan lidah yang bertaut, tangan Jevin yang memeluk erat pinggang kekasihnya serta tangan Letta yang bermain ditengah helai rambut Jevin seiringan dengan tempo yang diberikannya. Tangan Jevin tak tinggal diam. Bergerak dengan sensual dari tengkuk turun ke pinggang lalu membawa kedua kaki Letta ke bagian pinggulnya lalu mengangkat tubuh kekasihnya dan menggendongnya menuju kamar, lantas Jevin membaringkan gadisnya di tempat tidur dan mengukung tubuh Letta dibawah tubuhnya. Air mata memang sempat menetes dari mata Jevin dan Letta. Letta mulai menyebutkan nama Jevin di antara desahnya. Ciuman bertambah lekat, pagutan bertambah intim keduanya kadang terengah dan mendesah bersamaan.

Ciuman Jevin turun ke leher, Letta memejam dan mendongakkan kepala membiarkan Jevin merajai tubuhnya. Letta masih berusaha mengatur napasnya yang terengah dan detak jantung yang tak beraturan. Mengingat masa lalu Jevin dan Stella membuatnya gelisah jika Jevin melakukan hal yang sama kepadanya seperti apa yang dilakukan Jevin dan Stella di masa lalu.

“Mhh—Jevh,” Letta melenguh saat Jevin memainkan lidahnya di bagian leher Letta memberikan sentuhan dan godaan yang membuat tubuh Letta berdesir. Letta juga hanyut dalam permainan itu ia menarik dagu Jevin lalu memberikan lumatan kepada sang kekasih, tangannya menekan kepala Jevin memperdalam ciuman hingga dibalas brutal oleh Jevin, tangan Letta masuk melalui kaos Jevin dan memberikan beberapa sapaan lembut di bagian perut kekasihnya itu. Mata Letta masih terpejam, namun, Jevin membuka matanya sesaat melihat kekasihnya yang masih terpejam menikmati permainannya. Tangan Jevin mulai bergerak menuju pundak kekasihnya berniat hendak menurunkan tali baju Letta, namun ia kembali teringat tentangnya dan Stella dulu dimana ia tidak bisa mengendalikan nafsunya. Ciuman kembali Jevin bawa ke bibir ranum Letta membungkam Letta yang hendak mendesah, ciuman panas dan berapi membawa keduanya dipenuhi kabut gairah dan terlena.

Lantas saat Letta sudah mulai terengah dan melepaskan pagutannya, Jevin menjauhkan tubuhnya, ia berusaha sekuat dan sebisa mungkin tidak mengulangi hal yang sama seperti apa yang ia lakukan di masa lalu dulu. Jevin pun menatap mata sendu Letta, lalu mengecup kening Letta beberapa detik. Keduanya saling tersenyum.

“Makasih ya udah ajarin aku gimana cara nahan diri dan emosi,” ucap Jevin sambil membelai pipi Letta, Jevin dan Letta sama-sama bangkit dan duduk berhadapan di tempat tidur, Jevin meraih tangan Letta lalu mengecup punggung tangannya.

“Ajari aku juga banyak hal, asal jangan ajari aku buat tanpa kamu, Vin.” Kata Letta selanjutnya. Jevin langsung memeluk Letta tanpa aba-aba, Letta membalas pelukan itu erat. Namun pandangan Jevin tertuju kepada sebuah hoodie yang digantung Letta di kamarnya, tangan Jevin masih membelai rambut Letta dan menepuk pelan punggung Letta. Namun, pandangannya tak henti menatap hoodie yang tidak asing untuknya itu.

“I Love you, no matter what happened, sayang.” Jevin berbisik lirih. Sebuah gelenyar perih berdesir di hati Jevin melihat barang yang sangat ia kenal itu.

“Letta masih simpen hoodie punya Mevin?” batinnya.

How Jevin Treat Me

Angin kerinduan membawa Jevin menemui Letta malam ini, kendati dirinya yang sedikit kelelahan usai bekerja bukan jadi masalah yang berarti untuk Jevin, ditemuinya kekasihnya di apartemen Letta pukul tujuh malam. Letta menyambut kedatangan kekasihnya dengan sumringah, memberi pelukan selamat datang lalu saling merangkul untuk duduk di sofa. Keduanya duduk bersebelahan,

“Kamu lagi ngapain sih?” tanya Jevin. Letta meraih laptop di depannya dan mematikannya jari – jarinya menari diatas keyboard sesaat sebelum mematikannya.

“Tesis, biasa.” Jawab Letta lalu menutup laptopnya dan bergelayut manja di pelukan Jevin.

“Jevin,”

“Apa?”

“Kalau aku pergi suatu saat kamu sedih nggak?” tanya Letta secara tiba-tiba. Gadis itu memeluk pinggang Jevin dan menyandarkan kepalanya di dada bidang Jevin lalu menghela napas.

“Kenapa nanya gitu?” Jevin berusaha menyingkirkan tangan Letta dari pinggangnya berniat agar bisa melihat sang puan dengan jelas namun Letta menghalanginya.

“Jangan, mau peluk dulu.” cegah Letta.

“Ya kamu kenapa, kok nanya begitu?” tanya Jevin lagi lalu mengecup puncak kepala Letta.

“Nggak, cuma nanya aja kok, hehe.” Jemari Jevin mulai membelai lembut rambut panjang Letta.

“Jangan suka berandai yang nggak akan pernah terjadi, ngerti? Kenapa sih emangnya?” tanya Jevin lagi namun Letta hanya menggeleng.

“Jangan kaya gitu, aku nggak suka.” Balas Jevin. Letta mengangguk, Letta mendongakkan kepala menatap sang tuan dengan tatapan nanar. Jevin pun meminta Letta duduk di pangkuannya menghadap Jevin dan memeluknya bak anak kecil.

“Jev udah lama tapi pelukan kamu masih sama―hangat. Bahkan lebih hangat selalu tambah hangat setiap harinya.” Letta menatap kekasihnya itu tajam. Jevin tersenyum manis, sesaat hening untuk beberapa detik hingga hanya terdengar dentingan jam di ruangan itu.

“Aku mau peluk kamu buat aku, cuma aku. Egois nggak sih aku? Tapi aku nggak mau rasain kehilangan lagi. aku nggak mau kamu diambil siapapun termasuk orang terdekatku.” Jawaban gamblang dari seorang Jevin menembus ke dalam hati Leatt.

“Jevin..”

“Nggak kok, nggak papa. Asal ngomong.” Bantah Jevin. Letta tidak menjawab―hatinya masih berdesir.

“Jevin..”

“Ya sayang?” “Aku nggak akan pergi, tapi kamu juga jangan pernah berantem lagi ya?” Jevin menyisir surai panjang Letta dengan jarinya lalu turun ke pipi Lea menangkupnya dengan dua tangannya.

“Kamu tahu ya? Maaf, setakut itu aku dibayangi kehilangan dan perpisahan.” Mendengar itu Letta merasa pipinya hangat, disertai detik berikutnya, air matanya jatuh.

“Aku memang brengsek, aku nggak pernah tahu apa yang saudara kembar aku sendiri rasain, jahat? Terserah, tapi nggak ada niatku sedikitpun rebut kamu dari Mevin, bahkan semuanya terjadi waktu kamu sama Mevin udah pisah, right? Aku―”

“Jevin, stop, udah.” Letta tertunduk, tangannya masih dikalungkan di leher Jevin. Letta terisak, ia bangkit berdiri lalu menuju balkon untuk mengatur napasnya dan menenangkan dirinya, ia menangis disana menggigit bibir sekuat-kuatnya, namun air matanya tumpah tanpa komando.

Ia memang pernah memadu kasih dengan saudara kembar Jevin, ceritanya panjang―tapi mereka sudah berpisah. Ada kisah panjang dibalik itu semua. Jevin berjalan menghampiri Letta yang berdiri disana, punggung Letta nampak bergetar. Jevin memeluk kekasihnya dari belakang. Jevin melingkarkan tangannya di perut Letta, gadis itu hendak berbalik badan namun Jevin menahannya.

“Sorry, maafin aku. Maafin aku,” ucap Jevin lirih di telinga Letta. Seketika hening lalu suara isakan Letta beradu dengan suara isakan Jevin. Keduanya lebur dalam tangis bersama, Jevin menaruh dagunya di pundak Letta lalu mencium pipi Letta lalu menelusupkan wajahnya di sela leher Letta.

Gadis itu bisa merasakan Jevin yang terisak dengan jelas.

“Jevin, jangan gini terus, sayang.”

“Aku egois ya? Aku jahat ya?”

“Enggak, sayang, enggak. Stop it.”

Letta merenggangkan rengkuh, berbalik badan menatap kekasihnya dengan mata merah yang basah lalu ia merapikan rambut Jevin sambil tersenyum.

Jemari lembut Letta mengusap pipi Jevin lalu detik selanjutnya bibir Jevin sudah menyapu bibir Lea yang halus.

Bibir Letta masih terkatup saat itu hingga Jevin menarik tubuh Letta hingga tidak ada jarak sama sekali. Tangan Jevin menarik pinggang Letta dan satu tangannya menekan tengkuk leher Letta. Tak lama Letta mulai memberikan akses dan membalas lumatan yang diberikan kekasihnya, pagutan lembut dan cecapan berulang kali menghantarkan keduanya untuk saling membalas pagutan itu. Bibir menyatu dan lidah yang bertaut, tangan Jevin yang memeluk erat pinggang kekasihnya serta tangan Letta yang bermain ditengah helai rambut Jevin seiringan dengan tempo yang diberikannya. Tangan Jevin tak tinggal diam. Bergerak dengan sensual dari tengkuk turun ke pinggang lalu membawa kedua kaki Letta ke bagian pinggulnya lalu mengangkat tubuh kekasihnya dan menggendongnya menuju kamar, lantas Jevin membaringkan gadisnya di tempat tidur dan mengukung tubuh Letta dibawah tubuhnya. Air mata memang sempat menetes dari mata Jevin dan Letta. Letta mulai menyebutkan nama Jevin di antara desahnya. Ciuman bertambah lekat, pagutan bertambah intim keduanya kadang terengah dan mendesah bersamaan.

Ciuman Jevin turun ke leher, Letta memejam dan mendongakkan kepala membiarkan Jevin merajai tubuhnya. Letta masih berusaha mengatur napasnya yang terengah dan detak jantung yang tak beraturan. Mengingat masa lalu Jevin dan Stella membuatnya gelisah jika Jevin melakukan hal yang sama kepadanya seperti apa yang dilakukan Jevin dan Stella di masa lalu.

“Mhh—Jevh,” Letta melenguh saat Jevin memainkan lidahnya di bagian leher Letta memberikan sentuhan dan godaan yang membuat tubuh Letta berdesir. Letta juga hanyut dalam permainan itu ia menarik dagu Jevin lalu memberikan lumatan kepada sang kekasih, tangannya menekan kepala Jevin memperdalam ciuman hingga dibalas brutal oleh Jevin, tangan Letta masuk melalui kaos Jevin dan memberikan beberapa sapaan lembut di bagian perut kekasihnya itu. Mata Letta masih terpejam, namun, Jevin membuka matanya sesaat melihat kekasihnya yang masih terpejam menikmati permainannya. Tangan Jevin mulai bergerak menuju pundak kekasihnya berniat hendak menurunkan tali baju Letta, namun ia kembali teringat tentangnya dan Stella dulu dimana ia tidak bisa mengendalikan nafsunya. Ciuman kembali Jevin bawa ke bibir ranum Letta membungkam Letta yang hendak mendesah, ciuman panas dan berapi membawa keduanya dipenuhi kabut gairah dan terlena.

Lantas saat Letta sudah mulai terengah dan melepaskan pagutannya, Jevin menjauhkan tubuhnya, ia berusaha sekuat dan sebisa mungkin tidak mengulangi hal yang sama seperti apa yang ia lakukan di masa lalu dulu. Jevin pun menatap mata sendu Letta, lalu mengecup kening Letta beberapa detik. Keduanya saling tersenyum.

“Makasih ya udah ajarin aku gimana cara nahan diri dan emosi,” ucap Jevin sambil membelai pipi Letta, Jevin dan Letta sama-sama bangkit dan duduk berhadapan di tempat tidur, Jevin meraih tangan Letta lalu mengecup punggung tangannya.

“Ajari aku juga banyak hal, asal jangan ajari aku buat tanpa kamu, Vin.” Kata Letta selanjutnya. Jevin langsung memeluk Letta tanpa aba-aba, Letta membalas pelukan itu erat. Namun pandangan Jevin tertuju kepada sebuah hoodie yang digantung Letta di kamarnya, tangan Jevin masih membelai rambut Letta dan menepuk pelan punggung Letta. Namun, pandangannya tak henti menatap hoodie yang tidak asing untuknya itu.

“I Love you, no matter what happened, sayang.” Jevin berbisik lirih. Sebuah gelenyar perih berdesir di hati Jevin melihat barang yang sangat ia kenal itu.

“Letta masih simpen hoodie punya Mevin?” batinnya.