awnyaii

Tw // self harm, suicidal thoughts, toxic family

Tidak usah pertanyakan bagaimana hancurnya perasaan Grace setelah Mamanya mengatakan bahwa Mamanya tidak akan peduli sama sekali kepada Grace. Malah mengatakan bahwa Grace adalah anak yang tidak tahu diri. Pesan yang seorang ibu kandung kirimkan malah membuat Grace terpuruk disaat ia ingin membuka lembaran baru untuk perjalanannya yang baru, ia malah dijatuhkan oleh kata-kata yang orang tuanya lontarkan. Ia semakin merasa dirinya kotor, untuk apa bertahan hidup kalau hanya diinjak-injak dan tidak dianggap oleh keluarganya? Untuk apa hidup kalau hanya dianggap aib dan durhaka. Padahal semua ini bukan kemauannya dan bukan keinginannya.

Grace menangis sendirian di kamarnya, tidak paham dengan apa yang sebenarnya terjadi. Kehilangan harga diri bahkan Grace kehilangan dirinya kali ini. Apa masih kurang semua hal yang ia terima selama ini? Merasa sesak, dua jam lebih sudah Grace habiskan untuk menangis di kamar, pesan dan panggilan dari Mevin tidak ia hiraukan barang sebentar. Beberapa barang-barang sudah berserakan di lantai karena Grace sudah menyerakkanya. Baru saja ia merasa senang bertemu Alicia yang ia anggap dan ia harap mungkin bisa membantunya sembuh tapi seorang ibu kandungnya datang menghancurkan ekspektasi itu.

Hari itu terasa sangat panjang dan melelahkan bagi batin dan hati Grace, gangguan kecemasan dan khawatir sepanjang hari yang Grace alami nyatanya bertambah memuncak hari ini. Grace diam sejenak, memandangi dirinya di cermin, kaos berlengan pendek dan celana pendek yang ia kenakan membuat luka cakaran dan sayatan di tubuhnya kembali terlihat, nyatanya luka cakaran dan sayatan itu mungkin akan bertambah setelah ini.

“Kotor! Bodoh!” umpatnya pada pantulan dirinya di cermin.

“Durhaka! Aib keluarga! Tidak tahu diri! Dijual ayah sendiri! Kamu itu dijual!” kata Grace dengan penuh penekanan, ia menyeringai tapi ada air mata yang jatuh di atas seringainya itu. Rambut Grace ia acak kasar dengan jarinya sendiri lalu ia menjerit di dalam kamarnya itu. Grace sekali lagi bercermin lalu meraih hoodienya. Hoodie Mevin lebih tepatnya. Ia pakai hoodie itu, ia berjalan menyusuri jalanan negeri Singapore seorang diri di malam hari kali ini.

Melihat hiruk pikuk dan gemerlap kota di malam hari nyatanya hanya membuat pikiran Grace tambah bising. Setiap langkah yang ia pijak selalu terbayang akan kata “mati”. Sungguh, lelah itu datang lagi, ketidakstabilan emosi itu datang lagi. Grace melayangkan pandangannya ke setiap orang yang lewat, meski tidak ada yang menatap Grace tetap saja ia merasa cemas. Grace pun memakai topi hoodienya agar menutupi wajahnya. Hingga akhirnya ia tiba di sebuah halte, ia duduk disana, sendirian.

Melihat kendaraan lalu lalang, bus yang melaju kencang di jalurnya, Grace melihat orang-orang yang masih sibuk berjalan, berkendara atau bahkan menelfon sambil menyetir. Grace juga memandang seorang ayah dan ibu yang berjalan beriringan menggandeng anak kecil berusia sekitar lima tahun dengan es krim di tangannya, nampak sangat bahagia.

“Mama sama Papa biarin aku hidup sendiri, nafkahin diri sendiri, aku dijual, udah kotor. Nggak pantas buat siapa-siapa. Sekarang mau apa?” batin Grace.

“Kalau ditanya mau apa nggak bisa jawab, mau nanya ke sesama manusia atau orang terdekat bahkan Mevin sekalipun nggak akan ada yang tahu. Kalau aku nanya ke orang nggak akan ada yang jawab. Nanya ke Tuhan langsung apa, ya?” suara hati kecil Grace masih mendominasi.

Tanpa disadari, Grace menundukkan kepalanya dan air mata mulai menetes membasahi pipinya dan tidak ada seorangpun yang melihat Grace. Ia menyeka air matanya dengan punggung tangannya sendiri. Bayangan sosok Papa, Mama dan Brandon datang lagi membuat Grace menggigit bibirnya menahan erangan hingga akhirnya Grace membuka mata dan menyeka kasar wajahnya yang basah karena air mata.

Ia menatap langit, gelap, tidak ada bintang ataupun sang rembulan malam. “Tuhan lagi marah hari ini? Rasanya gelap banget,” bisiknya dalam hati. Sebuah senyum yang dipaksakan kembali teruntai di wajah Grace, ia mendengus menghela napas panjang. Ia melihat beberapa bus yang melaju kencang berkali-kali lewat di hadapannya. Angin malam menerpa tubuh ringkih Grace, namun sama sekali tidak menggoyahkan Grace.

“Kalau orang di dunia nggak ada yang bisa jawab pertanyaanku tentang hidup ini apa harus tanya ke Tuhan langsung aja, ya? Tanya ke Tuhan langsung, ketemu Tuhan. Gitu aja, ya?” Grace melihat ke sekitarnya, memang, beberapa kendaraan bahkan bus melaju kencang.

“Kalau bus itu lajunya cepet, aku ada disana, tepat di depannya, tanpa ngerasa sakit bisa ketemu Tuhan setelah itu, ya? Daripada semua pertanyaan itu cuma berkutat di kepalaku, tanpa ada yang bisa kasih jawaban. Untuk menafsirkan isi kepalanya sendiri pun Grace tidak bisa untuk sekarang.

“Perpisahan tanpa selamat tinggal sounds good.

“Mevin...” Nama sang pemilik hati sekelebat lewat di pikiran Grace, membuatnya menghela napas panjang. Maka Grace bangkit berdiri dan berdiri tepat dipinggir jalan itu.

“Ketemu Tuhan, aja, ya? Kayaknya rumah Tuhan lebih indah dari dunia ini. Nanti bisa tanya-tanya ke Tuhan langsung tentang semua maksudNya. Maksud aku dilahirkan, maksud aku dijual, maksud aku diperkosa, maksud Mama sama Papa buang aku. Maksud semua hal yang terjadi di dunia ini.” Usai merapalkan kalimat itu di dalam hatinya, Grace menoleh, sebuah bus melaju kencang dari arah kanan Grace. Ia tersenyum, satu langkah maju. Bus itu mendekat, butuh sekitar tiga langkah lagi untuk sampai ke tengah dimana bus itu bisa menghantam tubuh Grace seketika. Grace pejamkan matanya.

“Grace ijin ketemu Tuhan, ya?”

“Grace mau nanya ke Tuhan langsung, boleh?”

“Grace boleh pulang?” Maka saat Grace membuka mata, ia merasakan seseorang memanggil namanya.

“Grace!”

Grace menoleh dan mendapati seorang pria paruh baya disana. Papa dari Tela ada disana, ya! Seseorang memanggil Grace dan menghentikan langkah Grace saat ia berpikir akan pergi dari dunia ini. Maka Grace berbalik badan dan melangkah satu langkah maju lalu terdiam. Grace biasa memanggil beliau Uncle. Maka saat itu juga Uncle duduk di bangku halte yang tadi Grace duduki, menepuk space kosong di sebelahnya mengisyaratkan agar Grace duduk disana―dengan tersenyum. Grace benar-benar tidak bisa mengekspresikan apa yang ia rasakan.

Dengan langkah gemetar ia dekati Uncle dan duduk di sebelahnya.

“Anak cantik mau kemana? Tadi Tela nyariin Grace, katanya kosong nggak ada di apart. Kok sendirian?” tanya Uncle yang berhasil membuat Grace langsung tertunduk dan terisak. Masih ada yang mencarinya, masih ada yang peduli, Tuhan belum ijinkan Grace pulang sekarang! Belum diijinkan! Barang sekian kali Grace meminta kepada Tuhan kalau belum diijinkan Sang Empunya kehidupan untuk pulang, maka belum.

Diantara jutaan luka yang Grace dapatkan, diantara jutaan rasa sakit yang membuatnya ingin segera bertemu Tuhan, masih ada yang ingin Grace tinggal. Belum saatnya. Maka Uncle hanya menepuk dan mengelus punggung Grace yang menangis di sebelahnya. Membiarkan gadis itu terisak dan berulang kali menyeka air matanya sebelum Uncle mengajaknya pulang.

Boleh Grace tanya Tuhan langsung?

Malam ini makan malam keluarga Adrian terasa lengkap. Jevin sudah kembali dari Rumah Sakit meski belum bisa bekerja seperti biasa. Lauren dan Willy juga datang ke makan malam kali ini.

Selama makan malam keluarga, sesekali Lea melihat ke arah Mevin yang nampak akrab dengan seluruh anggota keluarga, tak ada sedikitpun raut kesedihan di wajah Mevin. Pada binar mata Mevin yang Lea tatap selalu muncul bayangan Grace saat menangis, bagaimana anak lelakinya begitu tulus mencintai seorang wanita yang saat Lea melihatnya, ia bak berkaca pada dirinya dulu yang rapuh.

Kali ini rintik gerimis setelah hujan deras mengalun merdu menemani Lea, Jeremy, Lauren, Willy, Mevin, Letta dan Jevin menikmati makan malam.

“Grace gimana, udah di singapore?” tanya Jevin yang duduk berhadapan dengan Lea sambil menatap Mevin yang duduk di sebelah Mamanya.

Lea dan Jeremy saling menatap, takut kalau saja pertanyaan Jevin mengubah suasana.

“Udah, thanks God semua aman, dia udah ketemu seseorang yang nanganin dia disana, saran dari James. Doain ya, and also thank you for help her at that time,” kata Mevin tersenyum.

Jevin mengangguk-angguk dan terseyum juga, “that’s what brother for, take it easy bro.” Lea kembali menatap Jeremy, dan Jeremy mengangguk pelan sambil sedikit tersenyum mengisyaratkan bahwa semua akan baik-baik saja.

Lea menatap ke arah anaknya dan berkata, “Mama bersyukur punya kembar yang saling bantu, menantu kaya Willy yang sigap, Letta yang telaten ngurus rumah tangga waktu Jevin sakit,” katanya.

“Dan Lauren yang sat set sat set kalau ada apa-apa,” tambah Jeremy.

“Kadang tuh Lauren lebih sat set daripada si kembar, tahu, Pah.” Lauren berkata dengan nada mengejek.

“Lu ngomong gitu sekali lagi gue sundut lak-lakan lu ya.” Jevin membalasnya dengan nada kesal tapi hal itu membuat Lea dan Jeremy terkekeh.

“Jangan dilawan, Jevin, kata gue mah jangan,” kata Willy yang masih sibuk memotong daging di piringnya.

“Haha, Ci yang sabar ya ngadepin kaum adam di sini,” bisik Letta yang sebenarnya bisa di dengar oleh semua anggota keluarga.

“Ci kalau di rumah ini nggak ada yang berpihak sama lo, tenang aja, emang kaya gitu seharusnya,” kini giliran Mevin dengan celetukannya membuat semua anggota keluarganya terbahak.

Sungguh sebuah karunia bagi keluarga Lea dan Jeremy, perlahan keadaan keluarganya dipulihkan, setidaknya kedua anak kembar mereka baik-baik saja. Jevin kembali dengan sehat, Mevin menjalani hari dengan senyum, meski kita tidak pernah tahu apa yang di dalam hati Mevin tapi setidaknya sebagai keluarga kita bisa ada untuk satu sama lain.

Sekiranya tidak bisa membantu banyak, cukup dengan menjaga keadaan hati agar tidak terpuruk, namun ditengah kehangatan keluarga malam itu, Lea masih sempat memikirkan Grace dan khawatir dengan keadaan Grace. Sungguh naluri Lea sebagai seorang ibu tidak bisa berbohong. Kekuatan dan ketangguhan Lea dan Grace memang tidak jauh berbeda. Maka dari itu Lea selalu bisa memahami keadaan emosi Grace dan batin gadis yang dicintai Mevin itu.

Sesuai janji Tela hari ini, Tela akan membawa Grace ke Mount Elizabeth Hospital untuk bertemu ahli yang akan membantu proses penyembuhan Grace. Sepanjang perjalanan, Grace hanya duduk di bus dan menatap ke luar jendela melihat hiruk pikuk Singapore di depan matanya.

Masih menerawang jauh, pikiran Grace berkelana. Tidak pernah ia terbayang sedikitpun sampai di tempat ini, untuk pengobatan? Haha, lucu rasanya. Bahkan beberapa kali Grace sudah mempertanyakan takdir kepada Tuhan dan mempertanyakan kapan hidupnya berakhir. Setiap orang yang datang kepada Grace, termasuk seluruh anggota keluarga Mevin selalu berkata bahwa Grace pasti kuat.

Sayang sekali, Grace tengah berada di titik terendahnya. Kesulitan demi kesulitan selalu ia jumpai setelah ia membuka mata.

Paras yang mendesis di setiap sadar Grace adalah paras Mevin. Lalu saat seuntai senyum terbentuk, maka saat itu juga bayangan Brandon dan kedua orang tua Grace muncul dan datang membuat Grace ketakutan dan bertarung dengan dirinya sendiri. Tepat setelah ia melangkahkan kaki turun dari Bus, Tela menggandengnya, Grace sempat terhentak saat keduanya hendak menyebrangi jalanan, Grace memang masih sering tenggelam dalam lamunannya, kapanpun dan dimanapun.

“Udah siap?” tanya Tela. Grace mengangguk perlahan dan keduanya memasuki kawasan Mount Elizabeth Hospital. Tela tidak melepaskan gandengan tangannya dengan Grace, Tela memastikan Grace tetap dalam jangkauannya.

Setelah mereka tiba di ruang tunggu, Tela meraih jemari Grace dan berkata, “tenang aja, hari ini kenalan dulu sama orang yang akan nemenin lo, ya? Nggak bakalan diapa-apain, ngobrol santai aja, she is my friend, Alicia namanya,” kata Tela.

Grace mengernyitkan dahinya, “Temen lo? James sama Ave temen gue kenal sama lo, sekarang dokternya pun temen lo?”

“Temen gue sama James exactly,” jawab Tela sambil tersenyum yang membuat matanya menyipit dan gigi rapinya terlihat.

“Tuhan baik ternyata,” gumam Grace lirih.

“Dari dulu, sekarang, selamanya. Cuma suka nggak kira-kira kasih cobaannya, namanya juga cuma lakon kehidupan.” Kalimat itu disampaikan Tela dengan nada bercanda tapi Grace bisa menangkap bahwa kalimat itu sangat dalam artinya.

Akhirnya tak perlu lama menunggu, nomor antrian dan nama Grace dipanggil untuk memasuki sebuah ruangan. Tertulis nama di depan ruangan itu dr. Alicia Everton.

Langkah kaki Grace terpijak ke sana, di ruangan itu seseorang menyambut Grace dengan sumringah. Dari parasnya saja Grace bisa merasakan kehangatan. Maka Grace diminta untuk duduk di kursi yang berhadapan dengan dr. Alicia.

“Halo, Grace? Saya bisa bahasa Indonesia juga, jadi santai aja, ya?” senyuman ramah itu benar-benar menyentuh hati Grace. Keduanya berjabat tangan.

“I..iya,” balas Grace gugup.

“Saya nggak mau nanya aneh-aneh, saya cuma mau memastikan, Grace feel better saat pergi kesini?” pertanyaan pertama dari Alicia cukup membuat Grace merasa nyaman karena hanya pertanyaan biasa, tidak pertanyaan sensitif.

“Iya, sebenernya masih sama tapi yang ada dipikiran saya, pokoknya saya harus pergi jauh dari Indonesia tanpa Papa dan Mama saya tahu. Terlalu lama di Indonesia hanya bikin saya sakit hati.”

Alicia mencondongkan badannya sedikit maju, “okay, jadi menurut Grace sakit itu bisa hilang kalau jauh? Kalau ada jarak ya? The real distance. Padahal, enggak, sakit itu seperti bayangan, dia akan ikut kemanapun kita pergi. Grace mau ke Belanda sekalipun sakit itu akan tetap ada, karena sakit itu ada disini.” Alicia mengakhiri kalimatnya dan memegang bagian tengah dadanya dengan telapak tangannya.

Grace menelan ludah, tenggorokannya tercekat.

“Kamu udah punya bayangan, dan sakit yang kamu rasakan adalah bayangan kedua kamu, supaya bayangan kedua ini pergi, kamu sendiri yang bisa menghilangkan. Coba kamu tanya diri kamu sendiri, sudah di Singapore dan sampai di tempat ini, rasa sakitnya masih? Masih berasa nggak? Udah hilang? Really?” tanya Alicia yang membuat Grace berusaha menggigit bibirnya dan mencengkram ujung kemejanya.

Sepanjang usia, belum pernah ada yang menanyai Grace hal semacam ini.

“Belum, mau Papa saya atau Brandon berlutut di depan saya pun saya belum bisa maafin dan sakitnya belum hilang, dokter.” Grace menjawab dengan suara yang mulai parau. Kalian tahu apa yang lebih menyedihkan? Pergi sejauh mungkin menghindari sakit padahal sakit itu bermukim di dalam hati kita dan mengikuti kita di setiap langkah dan hela napas, dan kita tidak menyadarinya.

“Itu, yang harus kita selesaikan disini, itu, Grace.”

Sesuatu yang tidak pernah diharapkan kadang memang membuat kita berakhir pada kata sesal. Pada saat ini Grace sadar, bayangan sakit dan trauma itu ada di dalam dirinya, sejauh apapun Grace pergi kemanapun ia berkelana yang harus diselesaikan adalah masalah batinnya dan jiwanya.  

Fajar menyingsing, ini hari keberangkatan Grace ke Singapore. Mevin masih duduk di ruangannya, usai melakukan praktek dan visit pasien, ia masih berdiam diri menunggu keberanian dirinya menemui sang kekasih.

Bagaimana tidak takut? Setelah ini mereka akan terpisah jarak, belum tahu untuk berapa lama. Mevin memejamkan matanya, memijit keningnya dengan ibu jari dan telunjuknya, menghela napas panjang sebelum berkata dalam hati, “I’ll hug her.” Mevin menanggalkan jas putihnya, bangkit berdiri dan saat Mevin hendak keluar ruangan, betapa terkejutnya Mevin saat mendapati beberapa orang berdiri di depan pintu seakan bersamaan hendak mengetuk pintu saat Mevin keluar darir ruangannya.

“Koko Mevin!” seru Kenzie gadis kecil yang sudah menganggap Mevin seperti kakak laki-lakinya sendiri itu sambil mengangkat tangannya, di tangan kanannya menggenggam sebuah bouquet bunga.

Mevin tersenyum dan langsung menggendong Kenzie dan tersenyum. Disana ada Lea, dan juga Jeremy.

“Papa, Mama, kok bisa kesini?” tanya Mevin, sementara Kenzie sudah melingkarkan tangannya di leher Mevin.

“Iya, Grace berangkat hari ini, kan? Ada yang mau ketemu Cici Grace juga,” kata Lea sambil mencubit pelan pipi Kenzie yang membuat gadis kecil itu terkikik.

“Kita temuin Grace, ya, oke? Semangatin dia,” timpal Jeremy juga saat itu. Raut wajah penuh haru dari Mevin tidak bisa terhindarkan.

“Kenzie bawa bunga buat cici cantik, kata Tante Lea sekarang Kenzie boleh jenguk cici Grace,” ucap Kenzie dengan raut wajah girang.

Mevin mengangguk, “boleh banget,” ucapnya lalu mengecup pipi Kenzie maka gadis kecil itu menempelkan kepalanya dengan Mevin. Mereka pun berjalan menuju ruangan Grace dengan Kenzie yang masih di gendongan Mevin. Sesekali Mevin juga mengarahkan ujung hidungnya ke pipi Kenzie membuat gadis kecil itu terkikik gemas.

Memasuki ruangan Grace, Mevin menurunkan Kenzie, gadis kecil itu membuka pintu kamar rawat itu lalu berlari kecil masuk ke sana. Ada Grace disana sedang duduk di tepi tempat tidurnya, Grace terperanjak lalu bangkit berdiri.

“Om Jeremy, Tante Lea, Mevin...Ken―”

“Cici Grace!!” Kenzie langsung berlari dan menubrukkan dirinya kepada Grace, disambut pelukan hangat oleh Grace yang berlutut untuk mensejajarkan tubuhnya dan Kenzie.

“Makasih Kenzie udah dateng kesini,” kata Grace tersenyum, kedatangan anggota keluarga Mevin dan Kenzie bak penghibur bagi Grace saat ini.

“Ini, bunga buat cici cantik, semoga cici suka, hihi―” kata Kenzie dengan gemasnya. Grace pun menggendong Kenzie dan mendudukkan gadis kecil itu di tepi ranjang di sebelahnya, Grace mengambil bouquet bunga itu dan menunjukkan wajah bahagianya.

“Terima kasih ya, sayang.” Grace membelai rambut Kenzie. Jeremy dan Lea pun mendekat ke arah Grace, tak lupa Grace mencium tangan kedua orang tua kekasihnya itu.

“Tante, Om, terima kasih udah dateng, Grace jadi merasa punya keluarga, padahal Grace bukan siapa-siapa, sekali lagi terima kasih ya, Tante Lea dan Om Jeremy. Tuhan yang balas kebaikan keluarga Tante dan Om,” kata Grace diiringi mata yang berkaca-kaca.

“Keluarga tidak harus yang sedarah, kami keluarga kamu, anggap begitu, ya Grace, ya?” kata Jeremy sambil menepuk pundak Grace pelan.

“Grace, jalani pengobatannya, ya, semua ada jalannya. Kita semua dukung kamu,” lanjut Jeremy.

“Iya, Om, pasti.” Grace tersenyum. Lea pun berjalan mendekat dan memeluk Grace lagi.

“Jangan pernah ada kepahitan sama Mama atau Papa kamu, semua biar jadi urusan Tuhan, pembalasan itu bukan bagian kita, ya, nak?” bisik Lea yang membuat Grace mengeratkan pelukan sesaat dan mengangguk.

“Iya, tante. Doain Grace ya, Tante.”

“Pasti, nak.” Lea merenggangkan pelukan dan mencium pipi kanan dan kiri Grace, sungguh, ini adalah pelukan yang sudah lama Grace rindukan dari sosok ibu. Pelukan Lea hangat, tidak salah jika Grace hampir menangis di pelukan Lea.

“Koko Mevin kenapa disana terus?” celetuk Kenzie sambil memiringkan kepalanya berusaha melihat Mevin yang hanya berdiri mematung di ambang pintu. Jeremy dan Lea pun sedikit merenggangkan jarak, Mevin pun tersenyum kikuk lalu masuk ke sana, tiba di hadapan Grace, lidah Mevin kelu. Sungguh ia tidak tahu harus berkata apa.

“Cici Grace mau kemana? Nanti kalau Cici Grace udah pulang kita main bertiga sama Koko Mevin, ya!” kata Kenzie.

“Emang Kenzie mau main kemana sama Ko Mevin sama Cici Grace?” tanya Lea. Kenzie memanyunkan bibirnya sedikit seperti nampak sedang berpikir lalu mengacungkan jari telunjuknya, “Timezone!”

“Iya, boleh, tapi sabar nunggu cici Grace pulang, oke?” kata Grace sambil mengacungkan kelingkingnya kepada Kenzie, si kecil tersenyum dan mengangguk lalu mengaitkan jari kelingkingnya, Grace pun memeluk Kenzie sesaat.

“Yaudah, hati-hati, ya, hubungi Tante dan Om kapan saja, kalau butuh bantuan jangan segan,” kata Jeremy.

“Tuhan memberkati keluarga Om dan Tante berlipat-lipat.” Grace tersenyum haru. Maka Lea dan Jeremy yang menggendong Kenzie pun berpamitan dari sana.

“Ayo salam cicinya dulu, peluk cicinya, Kenzie pamit dulu,” perintah Lea kepada Kenzie yang langsung dituruti gadis kecil itu. Sekali lagi, Grace memeluk Kenzie, bahkan Kenzie mengecup pipi kanan dan kiri Grace sekarang.

Bye cici, Kenzie tunggu cici pulang ya!” kata Kenzie, Grace mengangguk lalu berlalu lah Jeremy yang menggendong Kenzie dan Lea yang berjalan sambil melingkarkan tangan di pinggang Jeremy, meninggalkan Mevin dan Grace disana.

“Aku mau jalanin apa disana aku pun nggak yakin, nggak yakin sama diriku sendiri, rasanya kaya berjalan sendiri, nggak tahu arah―” Pandangan Grace lurus ke depan tidak menatap Mevin yang kini duduk di sebelahnya.

Mevin tidak menjawab, ia hanya meraih tangan Grace lalu mengecup punggung tangannya, hal itu membawa Grace menatap pria yang ia sebut kekasih itu.

“Kamu belum capek sama perjalanan ke depannya?” tanya Grace, Mevin hanya menggeleng.

“Kalau kamu capek bilang, ya.”

“Aku yang harusnya nanya itu, udah capek sama keadaan? Perjalanan aku dan kamu masih panjang.” Grace melepaskan genggaman tangan Mevin.

“Udah sebenernya, tapi kalaupun pengen pulang ke rumah abadi belum dikasih sama Tuhan.”

“Grace!”

“Apa? Kenyataan, kan? Masih disuruh hadapin dunia yang jahat ini,” kata Grace sambil tersenyum diatas mata yang berkaca-kaca. Pada mata Grace, Mevin bisa melihat kegelisahan dan ketakutan yang sesungguhnya.

“Asalkan kamu nggak boleh jadi jahat kaya dunia jahat ke kamu, ke kita, ya?” Mevin membelai pipi Grace perlahan.

Grace hanya menggigit bibir bawahnya, butiran kristal itu sudah jatuh membentuk sungai kecil di wajah Grace. Mevin tidak menyekanya, Mevin malah menangkup pipi Grace dengan kedua tangannya, dikecupnya pipi kanan, kiri dan kening Grace.

Mevin menghadapkan wajahnya dengan Grace, hendak mengecup bibir wanita itu, namun saat netra keduanya bersua, Grace membuang pandangannya seakan ketakutan, Mevin pun merenggangkan jarak.

“Maaf, sayang. I won’t did that.” Mevin tersenyum sambil membelai rambut Grace.

“Aku pamit, sayang.” Grace mencoba tersenyum. Di hari kemarin Grace berjuang setengah mati melawan hati kecil dan isi pikirannya. Bekas cakaran dan sayatan itu masih ada menghiasi pipi, leher serta lengan Grace. Mevin pun menarik lengan baju Grace agar menutupi luka-luka itu yang ada di lengan Grace.

“Tunggu aku di sana. Akan ada waktunya aku kesana, memastikan kamu baik-baik aja.” Mevin berkata dengan nada teduhnya, seperti biasa.

“Sembuh itu bukan tentang menunggu kapan pulang ke rumah abadi, sembuh juga tentang perjuangan dan bagaimana menghargai hidup, sembuh adalah juga tentang bagaimana menemukan obat atas semua sakit yang kita rasa. Sebagian orang tidak bisa hanya berdiam diri menunggu obat yang ia cari datang, Grace.

Tapi, sebagian orang harus berjalan ke antah berantah, walaupun rasanya seperti tersesat di hutan belantara tanpa alas kaki. Terluka, lelah, itu proses untuk kita mencari obat itu, untuk fisik bahkan jiwa kita.” Mevin tidak hanya sekadar menggerakkan bibir, pikirannya menerawang jauh, hatinya sesak, mencoba tenang meski ingin menangis karena kini sang puan di hadapannya sudah tertunduk dan terisak.

Tak bisa berkata-kata lagi, tubuh lemah itu Mevin rengkuh, hitungan detik―sebuah tangisan pecah di pelukan Mevin, tangisan dari kekasihnya yang tengah berjuang menyembuhkan dirinya, mengampuni kedua orang tuanya, mencoba bertahan meski beberapa kali diambang kematian.

Mevin merasakan kemejanya di cengkeram erat Grace, kini Mevin juga memberikan balasan pelukan hangat untuk kekasihnya itu. “Bisa, sayang. Pasti bisa, believe in God.” Mevin berbisik di telinga Grace yang dibalas anggukan oleh Grace.

Sebagian orang tidak menghendaki perpisahan oleh jarak, sebagian orang juga tidak menghendaki perpisahan karena kematian, beberapa orang yang belum siap dipisahkan kadang harus menghadapinya, beberapa orang yang sudah mempersiapkan perpisahan dan memilih berpisah tapi masih disatukan dan diberi waktu kebersamaan. Kehidupan sejatinya sebuah misteri, hanya Sang perenda takdir yang tahu kapan perpisahan itu akan terjadi.

“Baik-baik di sana, aku selalu sebut nama kamu di setiap doa.” Mevin menutup kalimatnya lalu beberapa butir air mata juga membasahi pipi Mevin kali ini.

Hari-hari terasa begitu gelap bagi Mevin. Kabar dari James membawa Mevin kepada perasaan lega karena Grace bisa ditangani di Rumah Sakit yang lebih memadai di Singapore namun itu artinya Grace akan berpisah dengan Grace.

Dipisahkan jarak untuk waktu yang lama, Mevin tidak selalu bisa mengawasi Grace seperti saat di Indonesia. Entah apa jadinya Mevin setelah ini. Suasana rumah malam ini sepi. Satu-satunya anak yang masih tinggal bersama Jeremy dan Lea adalah Mevin.

Malam itu Jeremy belum tidur, ia hendak keluar kamar untuk duduk di ruang tamu, namun, tiba-tiba terdengar suara pecahan kaca dari dalam kamar Mevin, maka Jeremy langsung berlari dan langsung menuju pintu kamar Mevin. Jeremy berusaha membukanya namun Mevin menguncinya.

Berkali-kali Jeremy mengetuk pintu itu namun tidak ada jawaban. “Mevin! Buka pintunya, nak!” Jeremy panik dan mengetuk pintu dengan cemas.

“Mevin!” Jeremy kembali mengetuk pintu itu berkali-kali.

*Pranggg! *

Suara pecahan bertambah nyaring, Jeremy kini langsung mendobrak pintu itu.

Dobrakan pertama gagal.

Dobrakan kedua masih gagal.

Dobrakan ketiga membuat pintu kamar itu terbuka, Jeremy langsung masuk, mendapati Mevin dengan pecahan kaca di sekitarnya karena Mevin baru saja menghantamkan tangannya yang mengepal ke cermin kamarnya.

Jelas tercecer darah di mana-mana, tangan Mevin juga dialiri darah segar, matanya sembab bukan main. Dadanya naik turun masih mengatur napasnya.

Dengan langkah cepat, Jeremy berjalan dan langsung mencengkram bahu anaknya itu, Mevin bernapas dalam kesakitannya. Suara bising itu nyatanya juga membangunkan Lea kala itu. “Mevin, kenapa?!” tanya Jeremy cemas. Mevin hanya memalingkan wajah dan tidak menjawab apa-apa. Lea yang baru datang berdiri di ambang pintu kamar Mevin pun menutup mulutnya dengan kedua tangannya, “Nak...” katanya kaget, lutut Lea lemas bukan main, baru kali ini ia melihat Mevin sehancur ini.

Jeremy masih memaksa Mevin berbicara namun anak Jeremy itu masih belum membuka mulutnya. Lea berjalan mendekat meski kakinya sedikit gemetar. Mevin menautkan pandangannya ke arah Lea lalu ke arah Jeremy dan berhenti di netra Jeremy. Mevin menepis pelan tangan Jeremy dan tertawa pedih.

“Mevin nggak mau jalan hidup kaya gini, Mevin udah kehilangan Mama Petra, Mevin pernah hampir kehilangan Papa Jeremy dan Mama Lea. Mevin nggak mau kehilangan... la...gi...Grace...”

Mendengar penuturan Mevin yang tertunduk itu, Jeremy tidak mengatakan apapun, ia hanya memeluk anaknya itu. Tanpa kata-kata panjang, tanpa sanggahan apapun. Ia memeluk dan menenangkan anaknya itu.

“Besok Grace di bawa ke Singapore, lama kan pasti waktu penyembuhannya? Pa, nggak kuat―”

“Kuat, nak. Kuat. Mevin pasti kuat, kalau nggak kuat nanti Grace juga sedih. Berat memang, tapi harus, jadi kuat buat Grace juga, ya?” Jeremy merenggangkan pelukan dan mengelus kepala Mevin.

Lea mendekat dan merangkul Mevin dari samping lalu mengecup pipi anaknya itu. “Anak Mama hebat, kuat. Tuhan punya banyak rencana indah setelah ini, ya?” maka malam itu diakhiri sebuah pelukan hangat dari Jeremy dan Lea untuk Mevin. Pada kenyataannya, sebuah jarak yang membentang juga bisa menyakitkan. Meninggalkan seseorang dalam kesakitan dan kita tidak bisa berbuat apa-apa. Segala doa terbaik untuk pengobatan Grace kini Mevin panjatkan kepada Tuhan. Ia ingin Grace kembali seperti semula, hanya itu.

Malam ini, Mevin datang ke ruang rawat Grace karena lusa Grace akan berangkat ke Singapore. James sudah membantu menemukan ahli untuk pengobatan dan membantu Grace kembali pulih. Mount Elizabeth Singapore akan jadi tempat Grace menjalani pengobatan.

Dengan pelan, Mevin membuka pintu ruangan itu, dilihatnya Grace sedang tertidur pulas. Ia berjalan mendekat dan duduk di samping ranjang Grace. Wajah Grace yang masih tetap dengan paras ayunya, mesi kini bekas cakaran sudah menghiasi pipinya, lehernya dan masih di beberapa bagian lengan.

Dibelainya pelan pipi dan pundak Grace. Jauh dalam hati Mevin, tidak ada niatan berpisah sama sekali.

“Sayang, aku tahu kamu kuat. Aku tahu kamu bisa bertahan lewatin ini semua, kan? Sampai kapanpun aku nggak akan ninggalin kamu, Tuhan udah kasih kamu buat aku, tugasku jagain kamu, walaupun dari jauh, yang kuat ya sayang. Nanti balik Indonesia kita jadi Mevin dan Grace yang dulu, kamu yang ceria, kamu yang suka salting, ya, sayang?” Kalimat yang dirapalkan Mevin memang terdengar menyedihkan.

Grace bergerak berbalik badan, memunggungi Mevin. Ia langsung menggigit bibir kuat-kuat dan berusaha menahan air matanya meski percuma karena air mata itu langsung tumpah ruah.

“Grace, tau, nggak? Aku pernah nangis waktu tahu aku bukan anak kandung Papa Jeremy sama Mama Lea, aku nangis waktu kecelakaan menimpa Papa Jeremy waktu aku nggak disini, aku juga nangis waktu Mama Lea sakit nggak sadar beberapa lama. Dan aku lagi sering nangis karena berdoa sama Tuhan, aku nangis di hadapan Tuhan, Papa bahkan Mama. Bahkan juga di hadapan James sama Ave, setakut itu aku kehilangan kamu, serapuh itu aku di depan semua orang.” Seketika itu juga Mevin terisak, ia benar-benar meluapkan seluruh perasaannya.

Begitu juga dengan Grace. Sekuat apa pun Grace menahan tangis, tetap saja punggungnya bergetar. Mevin paham akan keadaan itu, ia pun mencoba duduk di tepi tempat tidur, melihat punggung Grace yang bergetar pelan, bahkan jika bertaruh, mata Grace sudah basah sekarang.

“Grace, do you hear me?” lanjut Mevin. Tubuh keduanya masih belum dibiarkan merengkuh satu sama lain. Mevin ikut tertunduk dan menahan air matanya. Ia berusaha menyentuh tangan Grace, berniat untuk menarik kekasihnya itu dalam rengkuh, tetapi Grace menepisnya.

Grace malah menarik selimut sampai ke dadanya dan tidak mengucapkan apa pun.

“Aku pastikan kamu setelah ini dapet pengobatan yang memadai,” ujar Mevin lalu mendaratkan satu kecupan di pipi Grace yang Mevin sadari juga sudah karena air mata.

Mevin menyentuh pundak Grace dan menggerakkan badan kekasihnya agar menghadapnya. Sekarang, tubuh Grace sudah terlentang, pandangan keduanya bertaut lagi. “Mevin...”

Mevin membantu kekasihnya untuk duduk, lalu digenggamnya tangan Grace erat dan dikecupnya punggung tangan Grace.

“Kamu tahu, kan, kamu berharga. Jangan disakitin lagi tangannya, lehernya, wajah cantiknya, jangan lagi, ya?” kata Mevin sambil mengusahakan senyuman terbaik.

Mevin memosisikan dirinya di sebelah Grace, pria itu menarik Grace dan membiarkan Grace bersandar di dada bidangnya. Tangan Grace melingkar di pinggang Mevin, tangisnya pecah.

“Tuhan masih kasih kesempatan aku hidup nggak, ya? Dunia terlalu kejam, aku takut, aku takut nggak kuat, aku takut semua berakhir sebelum Tuhan minta aku pulang” ujar Grace yang membuat Mevin sesak, dadanya sakit bukan main mendengar pembicaraan Grace itu.

Tangan Grace mengepal dan memukul pelan dada Mevin, tetapi pria itu membiarkannya. Ia malah mengecup puncak kepala Grace berkali-kali dan memeluk Grace lebih dalam lagi, Merengkuh tubuh satu sama lain kali adalah pilihan yang paling nyaman. Di antara dinginnya malam, kenangan indah milik keduanya terlintas di benak Mevin.

Keduanya pun merenggangkan pelukan. Mevin memegang bahu Grace dengan satu tangannya, sementara satu lagi tangannya ia gunakan untuk menyeka air mata Grace yang masih mengalir.

“Kalau belum waktunya pulang, Tuhan nggak akan biarin itu, Tuhan sayang sama kamu, sayang banget. Aku yakin Tuhan selalu nemenin kamu bahkan saat aku nggak disamping kamu, Dia paling mengerti kamu jauh melebihi siapapun, dokter dari segala dokter.” Satu kecupan mendarat di bibir dan kening Grace.

“Kenapa Tuhan kasih ini semua kalau sayang sama aku?”

“Wujud sayangnya Tuhan, naikin level iman kamu. Dan kamu special, nggak semua orang mengalami ini, Tuhan mau kamu jadi lebih kuat dari siapapun. Sayang, listen, nggak ada yang tahu rencana Tuhan buat hidup kita. Satu detik ke depan kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi, tapi yang harus jadi pegangan kamu, Tuhan itu lebih hebat dari segala dokter yang ada, yang akan menyediakan tepat pada waktunya, yang akan menguatkan lebih dari siapapun.”

“Mevin, aku takut―bahkan saat aku berdoa aku tutup mata, bayangan kejadian Brandon yang lewat, aku nggak bisa berdoa. Aku takut―”

Mevin pun mengubah posisinya menghadap Grace dan digenggamnya tangan sang puan, digenggam erat dan hangat. Mevin tersenyum dan berkata, “tutup mata kamu, sayang,” katanya. Grace bingung, Mevin memberi anggukan pelan, Grace menutup matanya.

“God, we thank you for your blessings through our life, we thank you for bring peace in our relationship, bless us with Your love that we may love each other. Bless us with your peace that we may bring calmness instead of confidence. We pray and put all of our trust to you because we believe that You will heal all of pain and wound in our heart, please strength our love, we will always lean on you hour by hour, day by day. And we pray for Grace that will through a treatment for herself in Singapore soon, may You bless her and take all of sickness from her. We believe that Your blessings and grace is like a river, may that river flow between us, You will wipe all of Grace’s fear, and she will get a complete recovery. You know how much I love her, and I want the best for her. We surrender all of our life to you and please forgive our sins, thank you God, Amen.”

Saat keduanya membuka mata, Mevin melihat jelas mata Grace merah dan sembab, maka Mevin usap air mata yang berjatuhan itu, Grace mengarahkan pandangannya ke depan, bukan ke arah Mevin―kosong, tapi air matanya terus mengalir, punggung tangan Grace kembali dikecup oleh Mevin lalu Mevin usap lembut.

“Jangan nangis, cantiknya Mevin.” Mevin tersenyum diatas hatinya yang pedih walau Grace pun tidak menatapnya sama sekali.

“Nggak usah pengobatan, bakalan percuma, lagian aku bakalan―” belum usai Grace mengucapkan kalimatnya, bibir Mevin sudah mendarat pipi Grace, maka mata Grace membulat saat itu. Tubuh Mevin perlahan memeluk Grace lagi sebelum menidurkan Grace perlahan.

Diusapnya kening dan pipi Grace perlahan, “Selamat tidur, sayang.” Mevin menutup malam itu dengan menyelimuti Grace dan tersenyum. Grace tidak menjawab apapun, Mevin perlahan keluar dari ruangan itu, sungguh ia tidak tahan melihat Grace yang putus asa. Kalau bisa Mevin ingin merengkuh tubuh Grace semalaman, menjaganya aman dalam dekap, tapi kenyataan berkata lain.  

Jaehyun Oneshot AU

written by : awnyaii / ruamhati

Dalam hidup ada kalanya kita meminta seseorang untuk tinggal dan pergi. Jangan menghalangi jika seseorang ingin pergi. Jangan menahannya dalam dekap kala ia tidak ingin lagi untuk menetap. Cuaca malam ini lebih dingin dari biasanya. Jeviere dan Patrice sudah bersepakat untuk bertemu di sebuah hotel malam ini, karena terjebak macet dan lembur Jeviere tiba sedikit lebih lama dari Patrice. Wanita berusia dua puluh lima tahun itu menunggu pria yang ia anggap dan menganggapnya FWB atau Friends With Benefits sambil memandang langit malam di balkon kamar hotel itu, walaupun mendung menggantung awan hitam menggulung menghalangi cahaya sang rembulan ia tersenyum sambil menghela napas panjang.

Patrice bergumam dalam hati, “Jeviere, nggak masuk akal kalau dipikir. Cuma kenal dari base alter awalnya gfrent lama lama cuddle care lama lama booking juga buat yang lain.”

Terkadang Patrice heran dengan apa yang ia alami. Pria dua puluh tujuh tahun semapan setampan Jeviere yang nyaris sempurna itu masih betah dalam kesendiriannya. Kebersamaan dalam hubungan FWB itu sudah terjalin selama dua tahun. Selama mengenal Patrice pun Jeviere tidak pernah berhubungan atau memamerkan kedekatan dengan wanita lain.

Patrice memang masih belum membuka pintu hatinya semenjak perpisahan dengan mantan pacarnya tiga tahun lalu. Kekasihnya meninggalkannya karena berselingkuh dengan wanita lain. Padahal keduanya sudah saling melakukan hubungan intim. Lagi, dengan embel-embel dan janji MENIKAH. Beberapa hari menuju pernikahan kekasihnya memutuskan sepihak dengan tidak baik-baik hubungan mereka yang sudah sangat serius. Semenjak saat itu Patrice menjadi hilang arah, hatinya sakit bukan main.

Tak lama kemudian Patrice merasakan ada yang memeluknya dari belakang dan menaruh dagunya di pundak Patrice serta menghujam pipi Patrice dengan beberapa ciuman. “Jeviere―” Patrice terkikik geli.

I miss you, capek banget tahu. Lembur terus tipes lama-lama,” gerutu Jeviere. Patrice mengelus punggung tangan Jeviere yang melingkar di perutnya lalu berbalik badan menghadap ke pria itu, dilihatnya wajah lelah dan sayu Jeviere. Satu tangan Patrice merapikan surai hitam Jeviere, satu tangannya ia gunakan mengelus pipi Jeviere.

“Masih mau ngeluh nggak? Ngeluh sama meluk mau?” Tanpa kata Jeviere melayangkan pandangan yang sumringah itu lalu mendaratkan beberapa kecupan ke pipi wanita di depannya itu. Patrice hanya mendengus kesal sambil memukul pelan lengan Jeviere.

“Kamu juga capek kan? Ayolah rebahin bareng lelahnya.” ucapan itu direspon senyuman dan anggukan kepala dari Patrice. Jeviere pun langsung membopong tubuh Patrice dan menidurkan Patrice di ranjang, “Aku mandi dulu ya?” kata Jeviere, Patrice mengangguk.

Jeviere melenggang masuk ke kamar mandi, Patrice dibuat bingung oleh perlakuan pria satu ini. Sudah kira-kira satu tahun Patrice tidak memiliki client lain, hanya Jeviere. Jeviere selalu mengajak Patrice bertemu seminggu sekali atau dua kali. Bayaran yang Jeviere berikan juga sangat amat cukup untuk Patrice. Terbiasa menggunakan aku―kamu kadang membuat Patrice juga dihujam damage yang Jeviere berikan kadang tanpa aba-aba. Tak lama Jeviere keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah, celana pendek dan tanpa kaos.

“Patrice cantik,” goda Jeviere dan merebahkan dirinya di sebelah patrice sambil mendekatkan rambut basahnya ke wajah Patrice.

“Ish, apaan sih geli, Jev haha,” kalimat itu tidak diindahkan Jeviere karena pria itu langsung mengecup bibir Patrice dan memeluk Patrice hangat. “Ayo, mana katanya mau ngeluh,” ujar Patrice sambil sedikit mendongakkan kepala menatap Jeviere, pria itu tersenyum lalu menghela napas.

“Capek aja kerja, capek juga nunggu,” katanya.

“Nunggu apaan?”

“Kamu. Nunggu kamu buka hati buat aku.”

“Ngaco!” Patrice mencubit pipi Jeviere keras-keras.

“Serius, kamu nggak pernah peka sih. Heran aku.” Jeviere tersenyum smirk menggoda sambil menarik Patrice mendekat kepadanya. Patrice memukul pelan dada Jeviere sambil tersenyum.

“Jev, kenapa sih kamu mau fwb an sama aku dan ngelarang aku buat ambil slot buat client lain?”

“Kan aku selalu bilang aku suka kamu.”

“Fuck you.” Patrice memanyunkan bibirnya.

“Sampai kapan kamu mau nutup hati? Satu orang nyakitin kamu bukan berarti semua laki-laki yang datang setelah dia bakalan nyakitin kamu juga, termasuk aku,” kata Jeviere. Patrice terbahak lalu mengubah posisinya menjadi duduk, Jeviere pun merubah posisinya tidur di paha wanita cantik itu. Patrice mulai merapalkan ceritanya sambil tangannya bermain di surai Jeviere dan wajah pria tampan itu.

“Jev, aku belum menemukan kata penerimaan yang aku cari, dengan semua keadaanku. Jujur, aku juga sedikit menyesal sama kejadian dulu, not about the having sex, but why did i met him. Kalaupun aku berikan semuanya setidaknya nggak sama bajingan, sex doesn’t make him stay i did it with love, he did it just to fulfill his lust. See the different? Kalau aja perpisahan kita baik-baik mungkin aku lebih bisa menerima keadaan. Kamu tahu sebelum aku sama dia pisah dia sempat bilang aku wanita yang sudah rusak dan murahan, no regret kok, tapi ya setelah itu aku merasa am I precious enough? Bahkan dia yang renggut semuanya dari aku pun ngatain aku rusak murahan makanya aku biarin aja hidupku rusak sekalian, there’s no place to go.”

“Waktu nggak bisa ditebak, aku nggak menyalahkan kamu melakukan itu I don’t even care kamu mau having sex sama siapa. Aku lihat kamu ya sebagai Patrice yang aku kenal. Yang ada dunia besar di isi kepalanya.” tangan Jeviere meraih dagu Patrice dan mengelusnya perlahan.

“Sejauh ini aku selalu gagal Jev menjalin hubungan.”

“Selama ini aku belum bisa ngomong berhasil atau gagal soalnya dia belum dalam genggaman,”

“Hah iya? Kenapa nggak minta kejelasan?”

“Patrice be mine? Biar jelas.”

“Apaan sih!” Patrice mendelik kaget lalu mencubit lengan Jeviere keras.

“Ish sakit,” Jeviere meringis kesakitan lalu mengubah posisinya menjadi duduk di sebelah Patrice. Wanita itu membuang pandangan ke sembarang arah tidak mau menatap Jeviere.

“Sini pangku, cepetan, aku maksa nih!” kata Jeviere menggoda Patrice. Tangan Jeviere meraih lengan Patrice membimbing wanita itu agar mau duduk di pangkuannya dan menghadapkan wajahnya kepada Jeviere.

“Apa sih kamu mah.” Patrice kesal namun tetap saja tangannya ia kalungkan di leher Jeviere.

Trust me, kamu nggak capek berkelana terus? Aku disini udah mau jadi rumah, dari dua tahun lalu pun aku siap jadi rumah buat kamu tapi kamunya aja nggak pernah anggep aku serius. Patrice, denger ya, jangan sama ratakan semua seperti mantan kamu yang biadab itu. Aku cemburu kalau kamu ada client lain makanya aku selalu booking kamu. Aku cemburu kalau kamu jalan sama laki-laki lain.”

“Jev...”

“Aku dan kamu nggak akan pernah tahu apa yang bakalan terjadi di masa depan, kita ada di bawah langit yang sama. Kenapa nggak memandangnya berdua untuk waktu yang lama? Kita berpijak di bumi yang sama kenapa nggak berjalan beriringan bersama untuk seterusnya? Pernah kamu lihat aku sama wanita lain? Pernah aku bilang suka sama wanita lain? Pernah aku bilang bosen sama kamu? Enggak kan?”

Patrice masih mencerna kalimat yang dirapalkan Jeviere, ia menatap wajah Jeviere nanar, matanya memerah dan panas. Namun tanpa aba aba Jeviere pun melumat bibir Patrice, tanpa penolakan Patrice membalasnya mesra. Kedua tangan Jeviere memegangi pipi Patrice menekannya pelan memperdalam ciumannya. Patrice melingkarkan tangannya di leher Jeviere. Pria itu membiarkan Patrice menduduki kejantanannya, kewanitaan Patrice digesek gesekkan di atas kejantanan Jeviere sambil terus melumat bibir pria itu. Patrice yang hanya memakai tanktop dan hotpants tak kalah membuat Jeviere tergoda, Sial! Patrice mengumpat dalam hati karena Jeviere memang selalu memperlakukannya seperti ini kala ia datang.

Namun Patrice masih terkejut dengan pengakuan Jeviere. Tangan Jeviere juga menuntun Patrice melepaskan tanktopnya sensual. Jeviere pun membiarkan Patrice menguasai permainan atas tubuhnya.

“Should we?” Jeviere menggoda disela ciumannya, Patrice mengiyakan ajakan pria tampan itu. Jeviere menidurkan Patrice di ranjang dan ia pun melepaskan semua yang Patrice kenakan melempar ke sembarang arah lalu ia juga melepaskan celana dan bra yang masih dipakai Patrice,

“Masa Cuma aku yang naked?”kata Patrice.

“Should I?” tanya Jeviere menggoda, wanita itu mengangguk dan menuntun Jeviere melepaskan celana yang Jeviere kenakan. Mereka berdua benar-benar naked sekarang. Jeviere pun mengungkung tubuh Patrice. Bibir mereka bersatu dalam satu pagutan, mereka menelusupkan lidah satu sama lain dan bertukar saliva. Jeviere memegangi tangan Patrice diatas kepala gadis itu dengan satu tangannya. Sebelah tangan Jeviere memainkan dan memilin payudara Patrice, keduanya tidak bisa menahan diri. hal ini sudah Jeviere dan Patrice lakukan sejak awal berhubungan namun hubungan mereka pun belum menemukan titik terang karena Patrice yang masih menutup diri dari Jeviere. Padahal pria itu serius dengan perkataannya. Deru napas Jeviere dapat Patrice rasakan di sekujur wajahnya. Satu lenguhan lolos dari mulut Patrice kala Jeviere memilin payudara Patrice dengan jarinya,

Nghh, Jev―” Tanpa babibu Jeviere menurunkan ciumannya ke leher Patrice, gadis itu sampai mendongakkan kepala kala bibir dan lidah Jeviere bermain di leher jenjangnya, menghisap dan menjilatnya membuat Patrice mabuk kepayang. Tak hanya itu Jeviere juga menghisap puncak payudara Patrice, memainkannya dengan lidahnya yang membuat Patrice menggelinjang bahkan meremas spreinya sesekali, tangan Patrice pun Jeviere lepaskan ia gunakan satu tangannya untuk meremas satu payudara Patrice dan tangan satunya ia gunakan untuk menyapa liang surgawi Patrice.

Say my name.” Jeviere menyeringai sebelum menjilat dan menciumi bagian leher Patrice. Lidah dan bibirnya sangat lihai bermain di payudara sintal milik Patrice. Tak berhenti disitu bibir dan lidah Jeviere turun mengeksplor perut Patrice, ia sedikit melirik wanitanya yang sedang menggelinjang disana. Jeviere juga membuka paha Patrice lebar -lebar, ia memberikan smirk kepada wanita dibawah kekuasaannya itu.

“Can I?” tanya Jeviere, Patrice mengangguk, Jeviere mengecup bagian dalam paha Patrice sampai ia di daerah kewanitaan Patrice, ia memainkan lidahnya disanam memainkan clit Patrice sambil menusuknya dengan lidahnya, menjilat dan menggigit nya kecil. Ia gunakan jarinya juga untuk membuat permainan itu semakin menyenangkan. Patrice sudah mabuk kepayang dibuat Jeviere akibat ulah lidah, bibir dan jari pria itu.

“Jeviere! Aahh...” diatas sana Patrice sudah menggila akibat perbuatan Jeviere. Patrice meremas remas rambut Jeviere tatkala menikmati permainan Jeviere. Beberapa kali Jeviere menyerang dengan lidah dan jarinya bagian sensitive Patrice. Gadis itu menahan napas kala Jeviere menggerak gerakkan lidahnya liar dibawah sana.

Ahhh hmph,” racau Patrice, Jeviere pun memasukkan satu jarinya dan menggerakkannya dibagian itu, Patrice semakin kacau, menggeliat dan menggelinjang hebat kala Jeviere memasukkan dua jari bahkan menggerakkan dengan cepat. Jeviere memainkan dua jarinya lagi sebelum meminta untuk bertukar posisi.

“Do you want to play with my lil bro?”

“Yas,” jawab Patrice sambil menggigit bibirnya. Jeviere bertukar posisi setengah bersandar di ranjang, tangan Patrice lihai bermain di kejantanan Jeviere yang sudah menegang itu. Dielusnya pelan dan dikecupnya ujung penis Jeviere dengan sensual.

“Come on,” jawab Jeviere, Patrice pun mulai memasukkan kejantanan Jeviere ke dalam mulutnya dan memainkan lidahnya dengan aktif.

Ahh, Patrice,” desah Jeviere yang sudah memejamkan mata dibuat Patrice. Wanita itu mempercepat gerakannya memasukkan kejantanan Jeviere sampai mengenai pangkal tenggorokannya.

Yeshh ahhh,” desah Jeviere. Beberapa menit berlalu hingga saat Jeviere merasa harus menyudahinya sebelum ia sampai di pelepasannya, ia berbisik.

Wanna try sixty nine?” tanya Jeviere nakal, Patrice mengangguk, mereka ubah posisi senyaman mungkin hingga akhirnya Jeviere bersiap melahap bagian sensitive Patrice lagi. Patrice langsung memasukkan kejantanan Jeviere ke dalam mulutnya lagi setelah mengatur posisi badannya dan Jeviere.

Nghh,” desah Jeviere kala Patrice mulai menjilat dan mengulum kejantanannya, begitu juga dengan Jeviere kala ia memainkan clit Patrice pun gadis itu meracau.

Sshhh―akhh!!” Patrice memaju mundurkan gerakan kepalanya dan mengulum milik Jeviere dan menyadari milik Jeviere semakin menegang ia menjilati bagian ujung penis Jeviere yang membuat pria itu menggila juga.

“Jeviere ahh...” Patrice mengulum kejantanan Jeviere dan memaju mundurkan kepalanya dan membiarkan lidahnya bermain di seluruh permukaan sesuatu yang memenuhi mulutnya itu.

Lalu saat keduanya menghentikan kegiatannya kala Jeviere dan Patrice semakin panas, kali ini Jeviere mengukung tubuh Patrice dibawah kuasanya, dengan satu kali hentakan miliknya bisa memasuki milik Patrice dengan sempurna. Gadis itu menggigit bibirnya, ia mengalungkan tangannya di leher Jeviere dan memberikan tatapan sayu, Jeviere menepis jarak antara tubuh keduanya lumatan itu dilayangkan Jeviere ke bibir Patrice lagi dan berlangsung lama, tangan Patrice meremas surai Jeviere, pria itu tidak memberikan ruang untuk Patrice menghela nafas

Nghh―Jeviere, ahhh,” desah Patrice kala Jeviere sesekali memaju mundurkan pinggulnya pelan. Sangat pelan bahkan sesekali namun bisa membuat guncangan dan hentakan hebat dalam diri Patrice, “Patrice, you are so fucking hot nghhh,” desah Jeviere.

“You can go faster, mmhhh please don’t stop ahhh, Jeviere...”

Jeviere memimpin permainan dan Patrice masih mengerang dibawah sana. Patrice terus meremas rambut Jeviere, membuat keduanya terbang dan hanyut dalam kenikmatan, Jeviere melepaskan cimannya, namun mempercepat tempo gerakan pinggulnya yang membuat Patrice memeluknya.

“Akhhh!” Jeviere langsung menelusupkan wajahnya di leher Patrice dan memainkan lidahnya disana dan di bagian telinga Patrice. Tak lama Jeviere meminta Patrice untuk berada diatas, Patrice berada diatas tubuh Jeviere dan memasukkan kejantanan Jeviere ke dalam miliknya, sekarang Patrice mulai menggoyangkan pinggulnya, keduanya dipenuhi kabut gairah, Patrice menggoyangkan pinggulnya yang membuat Jeviere merem melek.

Babe come on ahh,” semakin gila Patrice dibuatnya semakin mabuk juga Jeviere dalam kendalinya. Patrice puas melihat Jeviere yang terengah engah dibawah sana.

“Can I go faster?” tanya Patrice. Jeviere mengangguk, Patrice menggoyangkan pinggulnya naik turun dan kadang memutarnya membuat Jeviere meracau.

“Patrice sshh,” desahan Jeviere terdengar sangat merdu di telinga Patrice. Patrice tak berhenti disitu ia juga melumat bibir Jeviere namun Jeviere membalasnya kasar dan penuh nasu, Jeviere melumat dan menggigit bibir bawah Patrice, lidahnya menelusuri seluruh rongga mulut Patrice. Jeviere menghisap bibir atas dan bawah Patrice bergantian, Jeviere semakin gila dan mendesah kala merasa miliknya semakin diremat kuat dibawah sana. Jeviere memutar posisi membuat Patrice berada dibawah, ia menggerakkan pinggulnya maju mundur sedikit cepat sambil melahap payudara Patrice bahkan menggigit dan memilin secara bergantian.

“Jeviere!” bahkan kini Patrice memekik dalam desah, semakin membuat Jeviere kacau, ia menambah tempo gerakannya yang membuat Patrice gila, Jeviere menyangga tubuhnya dengan kedua tangannya agar bisa menatap wajah menggoda Patrice.

“Slow or fast?” tanya Jeviere.

“Jangan mainin aku, faster!” pekik Patrice kala Jeviere tiga kali menghentakkan pinggulnya kuat kuat hingga menyentuh bagian sensitive Patrice. Tempo gerakan pinggul Jeviere semakin brutal, peluh sudah membasahi dahi keduanya namun menambah kesan seksi, Jeviere mempermainkan Patrice habis-habisan kadang ia mempercepat gerakan kadang ia memperlambatnya yang membuat gadisnya semakin gila.

Don’t stop Jeviere―

Hentakan kasar dari Jeviere yang meminta Patrice mendesiskan namanya dituruti gadis itu namun Jeviere malah memperlambat tempo gerakan pinggulnya.

“Jev jangan gitu, nyiksa, jeviere!” rengek Patrice, Jeviere menghentikan gerakan pinggulnya dan kembali menyambar payudara sintal Patrice satu tangannya ia gunakan untuk meremas payudara Patrice, bibir dan lidahnya berputar di puting Patrice yang membuat gadis itu menggelinjang. Jeviere kadang menggigit sedikit lalu menyesap payudara itu lagi, meninggalkan bekas ciuman di dada dan payudara Patrice. Jeviere selalu bisa memuaskan Patrice begitu juga sebaliknya, akhirnya tanpa aba aba lagi Jeviere menggoyangkan pinggulnya dari tempo lambat menjadi semakin cepat.

I can’t hold again, babe,” desis Jeviere badan Patrice bergetar kala lelaki itu semakin gila dengan kecepatan temponya. Keduanya mengerang kala mendekati pelepasan.

It’s almost―

Together babe mmhhh...” tubuh Patrice menggelinjang dadanya membusung kala Jeviere memberi beberapa hentakan keras dengan tempo cepat.

Ahhhh!” keduanya mendesah bersamaan kala Patrice merasa ada cairan hangat yang memenuhi bagian bawahnya karena Jeviere menyemprotkan cum nya di dalam sana. Beberapa detik kemudian mereka berdua membaringkan tubuh bersebelahan, saling memeluk satu sama lain dan mengecup bibir satu sama lain untuk beberapa detik.

You’re so fucking hot, Patrice.” Bisik Jeviere. “Jev, baru kali ini kita nggak pakai pengaman, kalau aku hamil gimana?”

“Nggak papa biar lebih gampang nikahin kamunya, aku serius! FWB nya kita setelah ini Friends Wedding Beneran! I hope you're gonna having my child!”

“Jeviereee!!!” Jeviere menarik Patrice dalam dekapannya erat dan mengecup bibir Patrice berkali-kali.

END support link on https://trakteer.id/awnyaii

Untuk Bernadetta Gracelline Courtney

Sayang, apa kabar? Aneh nggak kalau aku nanya kabar? Aku merasa ada jarak antara kita, entah itu hati ataupun jarak yang nyata. Bukan jadi satu masalah kalau kamu nggak mau ketemu aku dulu. Aku paham gimana rasanya. Sayang, maaf kalau dunia jahat, ya? Maaf kalau dunia nggak adil, dan kasih kamu hal-hal yang nggak pernah kamu mau sebelumnya.

Maaf untuk semua keterbatasanku jagain kamu. Walaupun aku nggak bisa peluk kamu langsung, aku nggak bisa jagain kamu 24 jam secara penuh, ada satu pribadi yang selalu jaga kamu dan memperhatikan kamu. Our God, He will protect you and provide anything you need. Grace, walaupun kamu selalu nolak ketemu aku nggak papa, aku nggak akan bersepakat sama kata BOSAN untuk hubungan ini. Seneng, ya, udah dapet satu titik cerah untuk berobat di Singapore? Aku juga seneng banget, aku nggak berhenti berdoa dan bersyukur sama Tuhan.

Nggak usah peduliin kata orang, mau lama mau bertahun-tahun biarin aja, proses penyembuhan secara langsung itu cuma kalau kita berjumpa sama Tuhan. Ikuti prosesnya, aku temenin kamu sampai akhir nanti. Aku udah janji sama diriku sendiri dan setiap malam aku janji di hadapan Tuhan.

Grace, lemme tell you something... “You do not have to apologize for BEING you”

Aku terima kamu apa adanya. Memang aku siapa? Bisa-bisanya nolak kamu. Memangnga aku se sempurna apa kok harus ninggalin kamu? Berhenti minta maaf dan menyalahkan diri kamu sendiri. Ya?

Luka di wajah, luka di tubuh kamu, sayatan di tangan, cakaran di leher, di tangan, di paha, di kaki, dimanapun itu nggak akan bikin aku melangkah mundur sedikitpun dari kamu.

Luka di tubuh bisa sembuh dengan obat yang bisa kita temuin dimana mana. Tapi, luka di hati dan batin yang kadang susah kita temui, jangan minta obat itu datang ke kamu, tapi kadang kita harus mencarinya, mencari obat yang tepat untuk sakit yang kita rasa.

Sekarang kalau kamu belum nemu obat untuk hati kamu, bahkan jiwa kamu, kita cari bareng-bareng ya? Aku mau temenin kamu sampai kamu dapet obat itu. Nggak papa kalau lama, nggak papa kalau susah, nggak papa kalau bikin kita berjarak. Bukan jadi masalah buat aku.

Grace, aku mau kamu inget satu hal, kalau Tuhan belum mau pisahin kita, sekeras apapun kamu minta aku pergi dari hidup kamu, itu nggak akan terjadi. Karena walaupun kamu punya ratusan alasan untuk kita berpisah, Tuhan punya ribuan bahkan jutaan alasan untuk kita tetap bersama.

Ingat ya, sayang, keadaan kamu sekarang itu bukan salah kamu. Sudah ada garisnya, begitu juga dengan kisah hidupku yang udah terjadi, aku juga nggak pernah minta dilahirkan kalau hanya bikin Mama kandungku pergi selamanya. Sama kaya kamu, bukan salah kamu. Bukan salah kamu kalau Mama kamu tampar kamu, bukan salah kamu lahir ke dunia.

Justru kelahiran kamu itu adalah pembuka jalan ke depannya buat kamu biar kamu tahu apa alasan Tuhan ciptakan kamu. Belum nemu kan alasan kamu masih hidup sampai sekarang? Itu yang mau Tuhan tunjukin ke kamu. Hidup kita ini bukan milik kita, begitu juga mama kandungku, begitu juga kamu bahkan aku. Jangan terus-terusan nyakitin diri sendiri. Aku sedih, Tuhan pasti sedih juga, udah cukup rasa sakitnya, sayang. Aku juga bisa rasain itu.

Sayang... Kalau setelah ini kita berjarak, aku nggak peduli. Sejauh apapun dipisah jarak, nama kamu yang selalu aku bawa dalam doa. Aku nggak butuh siapapun lagi yang lain, aku mau kamu, aku mau nemenin kamu. For the rest of my life. Cantik, dengar baik-baik, ya. Dokter dan tenaga medis yang menangani itu bukan penyedia obat yang sesungguhnya, mereka membantu kamu nemuin jalan sampai kamu ketemu obat untuk diri kamu. Begitu juga aku, jadi kamu harus terima diri kamu, ayok kerjasama bareng aku, tenaga medis, dan dokter kamu nantinya, kita bantu kamu nemuin obat yang seharusnya, ya?

Bertahan sebentar lagi sayang, sebentar lagi... can you?

Jangan lupa, kamu punya Tuhan. Yang selalu memperhatikan kamu 24/7, nggak kaya aku. Kamu sampaikan semua sama Tuhan, minta semua sama Tuhan. Karena kami, manusia, orang-orang di sekitar kamu hanya makhluk ciptaanNya yang nggak bisa tahu isi hati kamu. But God knows. Dia nggak akan biarin kamu berjalan sendiri walaupun kami semua nggak ada secara nyata di samping kamu.

Terima diri kamu, buka hati kamu, karena kamu butuh hati kecil dan diri kamu sendiri setelah ini. Kalau buat manusia, di dalam kelemahan, kita pasti ngedown dan merasa ada di titik terendah. Tapi kalau kita berjalan bersama Tuhan, kita bakalan bisa rasain kuasa Tuhan itu nyata.

Cinta manusia bisa pudar, cintanya Tuhan nggak bisa. Janji sama diri kamu, janji sama Tuhan, jangan sama aku. Karena aku cuma manusia, janji untuk mencoba lihat dunia dari perspektif lain setelah ini, ya? Kamu akan lihat hal-hal yang nggak pernah kamu lihat sebelumnya.

Grace, aku sayang kamu. Aku nggak mau menghadapi perpisahan lagi, aku selalu minta sama Tuhan biar kita bisa hidup bersama. Bukan hal lain, mau apapun keadaannya, bagiku, lebih baik kalau kita hadapi berdua. Jangan pernah merasa kamu sendiri dan nggak ada yang peduli, ada aku, keluargaku, James bahkan Aveline. Sedikit? Nggak papa sayang, daripada banyak tapi hanya sekadar mau tahu bukan benar-benar peduli

Take a deep breath, jadi lemah itu wajar, jadi kuat itu perlu. Dan kamu wanita kuat yang aku tahu setelah Mama Lea. Jangan takut, ya? Aku disini. Selalu. Sampai akhir. Aku akan selalu jadi Mevin yang sama sampai akhir, yang mencintai kamu—sampai akhir.

Dari, Elleandru Mevinio Adrian

Jungwoo Oneshot AU

written by : awnyaii

You are brighter than this candle and your body driving me more crazy than this wine, love.

Sejak menikah, Lovina dan Arthur memang tinggal di satu rumah. Namun, atmosfer mungkin terasa berbeda bagi mereka. Lovina sebagai istri merasakan bahwa Arthur memanglah orang yang dingin. Pernikahan mereka memang dilandasi cinta karena keduanya sudah menjalin hubungan sejak di bangku kuliah.

Tapi, apapun keadaannya, Arthur ingin menjadi barisan sajak puisi yang Lovina senandungkan. Karena ia sadar bahwa Lovina lah yang mampu menerjemahkan keseluruhan dari isi kepalanya yang rumit bak hutan belantara.

Selama ini Lovina adalah seseorang yang menunggu Arthur dengan tangan terbuka dan menawarkan sebuah dekap. Sedangkan Arthur kadang terlalu gengsi untuk mengungkapkan perasaannya terhadap wanita yang sudah ia pilih untuk menjadi istrinya. Sedingin-dinginnya Arthur, tetaplah ia pemenang perjuangan untuk mendapat restu dari orang tua Lovina. Membangun kepercayaan itu tidak mudah, terlebih Arthur sempat bekerja di luar negeri untuk beberapa tahun. Semua itu ia lakukan untuk mendapatkan restu dari orang tua wanita pujaannya.

Penantian Lovina membuahkan hasil, meski jarak sempat menghiasi hubungan mereka berdua, pada akhirnya Lovi yang sempat terdiam dalam sepi tanpa kehadiran Arthur beberapa tahun menjemput tawa bahagia. Mereka berdua yang sempat menabung kerinduan bertahun-tahun kini berbuah manis dalam sebuah temu dan janji suci yang mengikat mereka berdua.

Beberapa kali Lovi menyinggung perihal memiliki momongan namun Arthur selalu menghindar dan mengalihkan pembicaraan. Setiap kali Lovi bertanya “Kenapa? Kamu enggak cinta sama aku atau karena apa?” yang Lovi dapatkan hanyalah pelukan dari Arthur. Sungguh hanya pelukan tanpa penjelasan. Kadang hal itu juga yang mengganggu pikiran Lovi, namun sebisa mungkin ia tepis jauh-jauh.


Suatu malam pukul delapan malam...

Lovi sedang menyiapkan makan malam dan menuangkan minuman hangat ke cangkir, ditatanya dengan begitu rapi makanan yang ada yang sudah ia masak. “Arthur pasti suka,” gumamnya. Tak lama Arthur yang baru saja selesai membasuh dirinya itu pun menuruni tangga dengan celana pendek, dan kaos polos berwarna hitam. Arthur menuruni tangga dengan semangat saat melihat Lovi tengah sibuk di meja makan. Sebuah senyum merekah di wajah Arthur ia menghentikan langkahnya sejenak di tangga untuk melihat sang puan yang dengan telaten menyiapkan makan malam.

Tanpa bahasa, dengan langakah mengendap, tangan Arthur melingkar memeluk Lovi dari belakang. Arthur mengecup pipi istrinya itu beberapa kali. Lovi terkikik sedikit geli lalu berbalik badan memeluk pinggang Arthur.

Are you tired?” tanya Lovi sambil sedikit mendongak menatap Arthur yang lebih tinggi darinya itu.

Yas, and I just want to hug my wife, can I?” Arthur tersenyum tipis. Gentian Lovi yang mencubit hidung Arthur.

Can I ask you something?” tanya Arthur mendadak. “Of course, what’s that? Sama duduk, yuk?”

Arthur menggeleng, “Enggak usah, mau nanya sebentar, gini aja dulu. I just want to see your face closer right now.”

“Apa?” tanya Lovi lagi sambil tersenyum.

“Aku terlalu dingin ya selama ini jadi suami? Enggak ada hal romantis yang aku lakuin buat kamu ya? Like another couple, like a husband and wife usually did, I never give something that special things for you, iya, kan?”

“Arthur, kenapa tiba-tiba nanya gitu? Duduk yuk, makan malam dulu.” Lovi terlihat sedikit kikuk lalu melonggarkan rengkuh, ia menarik lengan Arthur agar duduk bersama namun Arthur tidak bergerak, ia membeku di tempatnya membuat Lovi berbalik badan. Tangan gagah Arthur dengan lihai menarik Lovi lagi hingga tidak ada jarak diantara mereka. Tangan kanan Arthur bertengger pada tengkuk leher Lovi dan tangan kirinya bertengger di pinggang Lovi, dikikisnya jarak antara ia dan istrinya itu.

Meski Lovi sempat merasakan degup jantungnya lebih hebat dari biasanya dan menelan ludahnya dengan susah payah tapi tangan Lovi perlahan memeluk Arthur.

No matter how cold you are, babe. You’re still my husband, cara kamu nunjukin kalau kamu sayang sama aku juga pasti enggak akan sama seperti kebanyakan orang, kan?*” kata Lovi dengan nada lembutnya. Sebenarnya ada satu hal yang sangat Arthur sesali, ia masih ingin Lovi menunda memiliki buah hati, bukan karena apa tapi kesiapan setiap orang berbeda. Sudah hampir satu tahun dalam naungan pernikahan tapi belum juga diberi momongan. Bukan karena tidak bisa, tapi Arthur masih takut.

Kadang keraguan tidak hanya hadir dari sisi wanitanya saja dalam hal memiliki momongan, tapi juga bisa dari sisi pria atau suami. Kesiapan mental dan batin juga perlu.

“Kamu udah pengen punya baby ya?” tanya Arthur dengan lemas.

“I―Iya.” Lovi menjawab dengan sedikit terbata.

“Jujur, mungkin enggak masuk akal, tapi selama kehamilan, aku mau aku selalu ada buat kamu. Sekarang, aku masih harus kerja ke sana sini dan banyak project di luar kota. Aku enggak mau ninggalin kamu untuk waktu yang lama. Aku enggak tega harus ninggalin kamu misal kamu lagi ngerasain morning sickness, atau ada sesuatu yang sakit, perlu bantuan jalan, aku mau ada di samping kamu. Selalu. Aku juga udah janji sama orang tua kamu bakalan jaga anak satu-satunya mereka, kondisi hamil itu rentan dan butuh banyak pengawasan. Maafin aku, sayang.”

Mendengar penuturan sang tuan, Lovi tersenyum haru, matanya sedikit terasa panas karena selama ini jika menyangkut tentang memiliki anak, jawaban yang keluar dari mulut Arthur ternyata sepenuhnya memikirkan kebaikannya.

Senyuman Lovi bawa Arthur sedikit heran, “Kenapa cuma senyum?” tanya Arthur bingung.

“Bahkan jawaban kamu udah buktiin kalau kamu lebih hangat dan sweet daripada banyak pria di luaran sana yang memaksa istrinya hamil tanpe memperhatikan istri mereka. Setakut itu, ya, sayang? Makasih ya udah mau kuatir dan mikir jangka panjang. Kalau kita sudah sama-sama siap, nanti pasti ada jalannya, ya?” kata Lovi yang sangat menenangkan hati Arthur.

Arthur tersenyum haru sambil menarik Lovi mendekat kepadanya. Lovi membelai pelan pipi Arthur. Tanpa aba-aba Arthur pun melumat bibir Lovi, tanpa penolakan Lovi membalasnya mesra. Kedua tangan Arthur menangkup pipi Lovi menekannya pelan memperdalam ciumannya. Lovi mengalungkan tangannya di leher Arthur. Tubuh Arthur berjalan maju membuat tubuh Lovi bersandar pada tembok. Arthur menahan dua tangan Lovi di tembok dengan tangannya. Menjaga sang puan agar tidak bergerak atau beranjak barang sedikitpun.

Lumatan ringan berangsur menjadi pergolakan lidah satu sama lain yang lebih menuntut. Tangan Lovi dilepaskan Arthur, sehingga kini Lovi bebas menyentuh dan menekan tengkuk leher sang tuan lebih dalam.

I love you,” bisik Arthur dalam cumbuan mesra malam itu. Pada isyarat lenguhan Lovi setelahnya, Arthur tahu ada sebuah perasaan yang merekah, maka Arthur pun menggendong tubuh istrinya itu tanpa melepas pagutan dan membawanya ke sofa ruang tamu yang cukup besar. Membaringkan sang puan di sana dan mengukung tubuh Lovi di bawah kuasanya, keduanya saling menatap sejenak..

Cup! Cup! Cup! Tiga kali kecupan singkat didaratkan Arthur di bibir Lovi. Keduanya saling menatap dan melemparkan senyuman, saling membalas perasaan karena tanya Lovi sudah terjawab. Arthur adalah suami terhebatnya.

Wanna have some wine after dinner?” tanya Lovi, Arthur mengangguk tanpa ragu.

But let me eat you first,” Arthur menyeringai dan langsung menyambar birai Lovi lagi dan dibalas Lovi lebih brutal dari sebelumnya.


Bulan selanjutnya...

Arthur diam-diam menyiapkan sesuatu untuk Lovi. Di saat ia libur dari pekerjaannya ia mengajak Lovi untuk berlibur ke sebuah private villa dengan pemandangan langsung ke sebuah kolam renang yang menghadap ke laut. Sebuah Luxury Villa dengan fasilitas lengkap. Seakan mengulang lagi momen honeymoon mereka berdua. Sebenarnya ini adalah bagian dari rencana Arthur memberi kejutan kepada sang kekasih. Memutar otak agar tidak ada kecurigaan dari Lovi. Menjaga sikap agar tidak ada keanehan yang ditimbulkan. Senyum yang merekah tak kunjung hilang dari raut wajah Lovi saat Arthur mengajaknya berkeliling Villa ini. Sebuah Villa yang cukup besar untuk dihuni mereka berdua.

Satu kamar besar dan dengan kamar mandi di dalamnya, lengkap dengan tub yang berukuran besar bisa menampung dua orang mungkin, jika jendela di sebelahnya dibuka maka akan langsung menyuguhkan pemandangan birunya laut dan hamparan langit. Mata dan raga akan dimanjakan. Kesan tradisional dan modern yang bercampur menjadi satu. Fasilitas kitchen bar, mini bar, ruang tamu yang luas lengkap dengan sofa besar serta home teater juga nuansa cat berwarna putih yang menghiasi seluruh isi ruangan di sana.

Like a dream, kita ulang honeymoon apa gimana?” tanya Lovi saat keduanya sedang berada di kamar dan menikmati waktu santai. Arthur hanya tertawa dan mengacak pelan rambut Lovi.

“Iya, kalau suruh ulang tiga atau empat kali aku juga mau kok,” balas Arthur lalu setelahnya ia bergegas ke kamar mandi. Lovi sudah terlebih dahulu selesai mandi. Sembari menunggu suaminya selesai mandi, Lovi hanya berbaring di ranjang dan bermain handphone. Ia sebenarnya bingung untuk apa Arthur mengajaknya ke tempat ini dengan alibi staycation and rewards, tak lama Arthur keluar dari kamar mandi dengan hanya berbalut bathrobe, sambil menggosokkan handuk pelan ke rambutnya yang setengah basah. Arthur pun menaruh handuk itu di kursi lalu langsung menghampiri Lovi ia berniat mengganggu Lovi yang sedang fokus menonton. Arthur berjalan mengendap ke sebelah Lovi dan..

“Hap!” Arthur berhasil mengambil handphone Lovi yang sedang digenggam sang puan.

“Arthur!” Pekik Lovi lalu bangkit berdiri dan mengejar Arthur yang berlari keluar kamar. Arthur berlari ke arah taman belakang yang diikuti Lovi. Beberapa kali kaki Lovi terantuk dan tersandung hingga akhirnya Lovi terjatuh, ia tersungkur di dekat kolam renang.

“Aww!” rintih Lovi. Arthur tertawa namun segera membantu istrinya itu berdiri.

“Iseng banget, heran, nyebelin!” Lovi memukul lengan Arthur, pria itu hanya terbahak.

“Diem!” ucap Lovi singkat dan cuek lalu memukul lengan Arthur.

Arthur sesekali menatap wanita disampingnya, lalu mencubit kedua sisi pipi Lovi hingga Lovi merintih kesakitan. Arthur kembali menarik tangan Lovi dan sedikit berlari membuat Lovi mengikuti langkah kaki Arthur. Arthur mengajaknya duduk di tepi kolam renang.

Sekali lagi, Arthur menatap Lovi tajam, menggeser tubuhnya mendekati Lovi mendekatkan wajahnya kepada Lovi sambil berkata “Suka nggak sama suasananya?”

Lovi mengangguk pelan, bola matanya terbuka lebar menyadari wajahnya dan Arthur hanya berjarak beberapa cm. Wajah tampan Arthur memang bisa menghipnotisnya sekejap. Tiba-tiba rintik air dari langit perlahan turun. Membuat Arthur bergegas menutupi kepala Lovi dengan tangannya.

“Ayo masuk.” Arthur mengajak Lovi namun gadis itu hanya bangkit berdiri dan menahan Arthur disana.

“Kenapa? Mau kemana?” tanya Lovi.

“Masuk lah, hujan gini,” jawab Arthur. Lovi menggelengkan kepala.

“Aku suka hujan, aku suka kamu, sekarang ada dua hal yang aku suka disini.” Lovi tersenyum, Arthur pun mengurungkan niatnya kembali masuk ke dalam. Akhirnya keduanya menikmati hujan layaknya anak kecil. Berlarian kecil saling mengejar satu sama lain, meskipun beberapa kali tergelincir mereka tetap menikmatinya. Sesekali Arthur memeluk tubuh Lovi dan mengangkatnya serta berputar membuat Lovi memeluk erat tubuh suaminya itu.

“Kenapa kamu suka hujan?” tanya Arthur sambil merangkul pinggang Lovi membuat keduanya saling menatap di jarak yang dekat. “I just feel comfort, nangis tanpa ada yang tahu. Air mataku bisa luntur dibawah hujan, tapi hujan nggak bisa bikin luntur senyumku. Orang akan tetap tahu aku senyum dan bahagia tapi nggak akan pernah tahu berapa banyak air mataku yang udah jatuh.” Ucapan Lovi sangat menusuk hati Arthur, ia merasa sesuatu dialami Lovi dan membuatnya tidak baik-baik saja bahkan alasannya menyukai hujan pun menunjukkan kadang ia merasa sedih dan tidak pernah ada yang tahu. Termasuk Arthur.

“Sekarang jangan pernah main hujan sendiri, ajak aku, ya? Mau kamu sedih atau seneng harus aku yang nemenin kamu. Oke?” kata Arthur, Lovi tersenyum dan mengangguk. Rintik hujan yang turun memang tidak bisa melunturkan senyuman keduanya sekarang, Arthur meraih dagu Lovi dan langsung menarik wajah Lovi kepadanya. Ia memiringkan kepalanya lalu mengecup bibir Lovi lembut dan mesra. Lovi melingkarkan tangannya di leher Arthur, pria itu menggendong Lovi dan masih dengan menciumnya di bawah hujan. Keduanya semakin merasa berat melepas satu sama lain. Derasnya hujan yang turun pun tidak akan bisa menghapus dan membuat luntur perasaan satu sama lain diantara mereka.

Nama belakang mereka sudah sama, Lovi adalah apapun yang membuat Arthur ingin terus menjaganya. Memang benar, air mata bisa luntur di bawah hujan, namun tidak dengan senyuman dan perasaan. Arthur masih ingin menuliskan banyak kisah untuk Lovi, begitu juga sebaliknya. Semakin erat pagutan mereka, semakin liar lidah bergelut satu sama lain menginvasi rongga mulut satu sama lain.

“Masuk, yuk? Aku jadi basah lagi, mandi, ya?” ucap Arthur di sela pagutannya. Lovi merenggangkan rengkuh dan mencubit hidung.

“Ya, kamu, sih, nakal.” Lovi mencubit kencang hidung Arthur yang membuatnya meringis kesakitan.

Keduanya pun masuk ke Villa, Arthur harus mandi kedua kalinya, tapi siapa yang akan keberatan kalau harus mandi kedua kalinya namun bersama orang yang kita cinta? Toh mereka juga sudah sah dalam naungan pernikahan.

Akhirnya setelah itu Lovi dan Arthur masuk ke dalam satu bath-tub yang sama dimana keduanya berendam di dalam air hangat. Arthur senang, karena ia bisa memintal kebersamaan dalam keintiman suami istri lebih lama dengan Lovi.

Arthur dalam posisi bersandar sementara Lovi juga bersandar pada dada bidang Arthur. Jendela di sebelah bath-tub tersebut dibuka hingga bisa memperlihatkan suasana sore hari dan sendunya biru laut yang membentang.

“Lov, aku mau. Kamu mau enggak?” tanya Arthur tiba-tiba. Lovi bingung, ia memiringkan kepalanya dan sedikit mendongak.

“Apa? Tiba-tiba mau apa enggak, apa, sayang?” tanya Lovi lagi. Arthur malas mendebat dan menjelaskan panjang lebar, Arthur bergumam lirih.

Having a baby,” kata Arthur. “Apa?” tanya Lovi kaget lalu membenarkan posisinya tidak lagi bersandar pada dada bidang Arthur, kini Lovi menghadap ke suaminya sambil mengernyitkan dahi.

“Enggak papa,” Arthur tersenyum kikuk, jelas-jelas Lovi mendengar bahwa Arthur tadi mengatakan bahwa ia sudah ingin memiliki buah hati. Namun, lagi-lagi sisi dingin Arthur muncul. Lovi hanya memutar bola matanya dan kembali bersandar di dada bidang Arthur selagi keduanya saling mengusap tubuh satu sama lain.


Malam itu, Arthur sudah menyiapkan sesuatu yang spesial bagi sang puan. Tanpa sepengetahuan Lovi, Arthur sudah memesan Party planner guna menyiapkan sebuah Candle light dinner di Villa tersebut. Suasana malam yang syahdu dengan hamparan laut, dibelai angin yang menawan dan suasana romantis. Arthur menyiapkan sebuah Meja untuk mereka menikmati makan malam. Di desain sedemikian rupa dengan hiasan bunga serta tumblr lamp yang menambah kesan manis. Sangat romantis untuk mereka berdua. Arthur meminta Lovi menyusulnya ke halaman belakang, dekat kolam renang, dan disuguhkan langsung ke pemandangan laut di malam hari.

“Lovi pasti suka,” batin Arthur. Di dalam saku celananya, Arthur juga menyimpan sebuah amplop yang berisi pemindahan tempatnya bekerja. Arthur berharap ini akan menjadi suatu kabar bahagia untuk Lovi.

Rembulan mulai menggantung, Lovi pun bergegas keluar dari kamarnya dan menuju halaman belakang Villa. Betapa terkejutnya ia melihat sang tuan sudah berdiri di sana. Arthur berdiri di samping meja dan kursi yang sudah disiapkan untuk Candle light dinner. Pria itu merentangkan tangannya, membuka dekap mempersilakan sang puan untuk datang dan berkata, “These all for my lovely wife, come and hug me, Love.” Arthur berkata dengan alis yang terangkat dan senyum yang sumringah. Lovi tersenyum haru lalu bergegas menghampiri sang tuan. Didekapnya erat sang empunya seluruh ruang relung hati Lovi itu.

Kesederhanaan dan keunikan Lovi memang membuat daya tarik tersendiri untuk Arthur. Dalam hatinya, ia ingin keindahan ini hanya bisa Arthur nikmati sendiri. Ia menemukan rasa nyaman, bahagia, satu frekuensi saat bersama dengan Lovi. Ada rindu saat keduanya tidak menjadi satu dalam sebuah temu. Dari mata Lovi terpancar kecantikan paras dan hati, keceriaan, dan sebuah kebahagiaan tanpa tahu luka apa yang sebenarnya ada di dalam hatinya

“Kamu cantik banget,” puji Arthur saat keduanya sudah duduk berhadapan dan menikmati dinner.

“Apaan, sih, sayang. Kamu ngide banget ya bikin candle light dinner gini.” Lovi tersipu.

“Ya memang cantik, iya, I realized that I never gave something special for my wife, sorry.” Arthur meraih tangan Lovi dan digenggamnya erat, ibu jarinya mengusap punggung tangan Arthur hingga keduanya bertukar simpul di wajah mereka.

I have something for you,” ucap Arthur sambil merogoh sakunya lalu mengulungkan sebuah amplop untuk istrinya. Lovi menyilangkan sendok dan garpunya lalu meraih amplop yang diberikan Arthur itu.

“Jangan marah, ya.” Ucapan dari Arthur yang menerjang jantung Lovi membuat degup jantungnya tidak karuan karena ia sendiri belum melihat tulisan di dalam amplop itu. Dengan rasa penasaran, Lovi membuka amplop itu perlahan, bola matanya bergerak membaca tulisan yang ada di sana.

Pemindahan kepemilikan Bliss Villa kepada Arthur Rowen Cyrano

“Hah? Maksudnya apa?” Lovi bingung.

“Villa ini dikasih Ayah buat aku. Ayah minta aku kelola ini karena Ayah mau lepas tangan di hari tua, enggak mau urus bisnis lagi. So, this Villa is mine, doain aku, ya? Biar aku bisa jadi pemimpin yang wise, dan karena itu juga, berarti kamu bisa full di bawah pengawasanku. So, let’s have a baby after this, would you?

Are you serious?” tanya Lovi sekali lagi.

“Untuk apa aku bohong, sayang,” balas Arthur. Lovi masih mengatur degup jantungnya, saat yang ia tunggu akhirnya tiba. Arthur bangkit berdiri, “Boleh peluk?” Arthur merentangkan tangan sekali lagi dan Lovi langsung menghempaskan tubuhnya di pelukan Arthur. Kecupan bertubi-tubi menghujam pipi dan kening Lovi dari Arthur.

Arthur bawa raga yang ia dekap lebih dalam lagi dalam dekapannya. Arthur merenggangkan rengkuh dan menangkup pipi Lovi, Arthur kecup sekali dua kali atau mungkin tiga kali bibir sang puan dengan iringan letup bahagia cinta dalam hatinya. Lovi tertawa pelan, lalu membelai pipi sang tuan dengan jemarinya.

Yas, I will.” Lovi berkata lalu tersenyum dan menarik wajah yang ia tangkup itu mendekat dan daratkan sebuah kecup mesra bagi sang tuan yang langsung dibalas Arthur juga. Tanpa basa-basi Arthur membopong tubuh Lovi ala bridal style tanpa melepaskan pagutan, ia bawa sang puan ke dalam Villa. Jarak kamar masih perlu banyak langkah, Arthur dudukkan sang puan di kitchen bar.

What are you doing?” tanya Lovi heran.

I want you as my dinner tho,” balas Arthur lalu menyeringai.

Lovi mengusap pipi pria yang lebih tinggi darinya itu, kaki Lovi melingkar di sekitar paha Arthur dan menariknya mendekat, mengunci kaki Arthur agar sang tuan tidak beranjak kemana-mana. Kemudian keduanya saling memejamkan mata karena sudah tahu apa yang harus mereka lakukan selanjutnya. Ya. Bertukar saliva pada birai yang bertaut. Mini Dress yang Lovi kenakan bisa terlucuti dengan mudah pada bagian atasnya oleh tangan Arthur, begitu juga kemeja putih dengan lengan panjang yang Arthur tekuk hingga sampai siku, kancing atas dan selanjutnya Lovi buka perlahan.

Keduanya saling memberikan kenyamanan yang sungguh dari dalam hati masing-masing. Keduanya tenggelamkan berisik sepenuhnya, sisakan suara decapan bibir yang beradu untuk dinikmati sebelum keduanya hanyut dalam lelap malam ini. Arthur sudah berjanji pada dirinya akan berikan malam yang indah bagi Lovi. Kini, kemeja Arthur sudah tanggal, bahkan tangan lincah Lovi juga berhasil melonggarkan ikat pinggang Arthur. Sementara itu tangan arthur juga melucuti bagian atas dress Lovi.

Bagian atasnya terlucuti meninggalkan bralette yang Lovi kenakan, hal itu juga ditangkis Arthur dengan sekejap, dalam satu kali percobaan bralette itu berhasil tanggal. Bibir masih bertaut, lebih menuntut dari sebelumnya.

Nghh…” Sebuah lenguhan kecil keluar jadi salam pembuka singkat saat Arthur mengusap punggung Lovi yang sudah tidak tertutup perca sehelaipun.

Arthur iseng beri sebuah gigitan kecil, seakan minta ijin untuk menginvasi rongga Lovi lebih gencar dari sebelumnya, maka sebuah lenguhan dari Lovi mengudara. “Arthur, mmhh.” Maka lidah saling bertaut, saliva saling ditukar, Lovi masih didudukkan di meja kitchen bar, Arthur masih berdiri, tangan kanannya menjaga pinggang Lovi dan tangan kirinya menahan tengkuk leher Lovi. Sungguh, pagutan mereka jadi lebih intim.

Saat birai dan lidah Arthur turun ke leher jenjang Lovi, sang puan mengadahkan kepalanya serta menggigit bibirnya menahan nikmat.

“Jangan ditahan,” bisik Arthur.

Lidah Arthur lihai menggoda, menyesap dan membuat tanda kepemilikan di leher jenjang milik Lovi. “Ahh,” desah Lovi saat merasakan bahwa lidah Arthur sudah melesat ke belakang telinganya. Mati-matian menggoda dengan jilatan sensual yang memabukkan. Dada Lovi sempat membusung saat Arthur juga tiup telinga Lovi secara seduktif lalu kecupi telinganya berkali-kali.

Tangan Arthur kini menelusup di paha mulus Lovi dan berikan sentuhan dengan ujung jarinya bahkan meremasnya sesekali. Perlahan tapi pasti, perca itu ditanggalkan Arthur meski sedikit kasar, Arthur bayar dengan ciuman memabukkan. Tangan Lovi tidak tinggal diam, membuka resleting celana Arthur dan membuat sesuatu di dalam celana itu minta dipuaskan.

Tubuh yang tidak ditutupi apapun itu kini menjadi tempat Arthur bermuara dan bergerilya, tubuh Lovi hanya ditutupi oleh keringat dan kini, kabut gairah nafsu mengerumuni keduanya. Ingin saling setubuhi hingga esok pagi. Maka, detik selanjutnya tubuh polos Lovi di bagian atas dihujam lagi oleh serangan bibir nakal Arthur tanpa ampun. Dingin malam dihempas karena tatapan sayu Lovi malah membuat aliran darah pria di depannya kini mendidih oleh nafsu dan libido yang membuncah. Terlebih saat Lovi memberikan sentuhan pada pusaka milik Arthur.

Nghh, babe,” lenguhan Arthur melesat menusuk rungu Lovi, wanita itu menyeringai. Maka Lovi masih dengan sentuhannya, dan Arthur melepaskan segala kain yang menempel di tubuhnya dan Lovi. Keduanya naked sekarang, dan Arthur langsung menyambar gundukan kenyal di dada Lovi, satu tangannya meremas, satu tangannya masih menjaga punggung sang puan.

I love you, Arthur―nghh*,” lenguh Lovi terdengar nyaring akibat perlakuan bibir, lidah dan gigi sang tuan di puncak payudaranya. Desahan demi desahan masih lolos dari mulut Lovi namun tidak digubris oleh sang tuan. Arthur benar-benar meraup habis payudara Lovi tanpa ampun. Ia masih berkegiatan menyesap dan menikmati payudara sintal itu. Lovi benar-benar seakan-akan memberikan breastfeeding kepada pria yang tengah berkuasa atas dirinya itu. Lovi memberikan dirinya diraja tanpa henti, hal itu berlangsung lama dan membuat Lovi juga dikuasai nafsu, tidak bisa berbohong bahwa Lovi juga hanyut dalam permainan sang tuan. Kepala Arthur ditekan lebih dalam agar sang tuan semakin meraja di sana.

Ssshh, deeper babe, akhh!” Lovi memekik saat Arthur memilin payudara kanannya dan menyesap bruutal payudara kirinya tanpa henti.

Lenguhan semakin mengudara, kini Arthur menyapa bagian pusat tubuh Lovi dengan jari tangannya. Jari telunjuk dan jari manisnya membuka lipatan lembab di bawah sana dan jari tengahnya perlahan melesat masuk ke liang surgawi yang sudah ingin dimanjakan itu.

Ahh, Arthur slowly please,” rintih Lovi saat merasakan Arthur mulai mengoyak pelan liang surgawi itu. Birai Arthur bertaut dengan birai Lovi, membungkam sang puan agar menyalurkan nikmat lewat lumatan yang ditukar.

Perlahan lumatan dilepas, Arthur berlutut lalu mensejajarkan wajahnya dengan pusat tubuh sang puan, tersenyum menyeringai sesaat sebelum memberikan tiupan lembut yang membuat sekujur tubuh Lovi terasa bergidik.

Arthur tidak memberi aba-aba dan ia langsung memainkan liang surgawi milik Lovi dengan bibir dan lidahnya. “Hmphh―Arthur, how dare you! Ough―” Lovi kehilangan kata-kata saat pusat pertahanannya diserang bertubi-tubi oleh Arthur.

Keep saying my name, babe.” Arthur menyeringai sesaat sebelum bergelut lagi dengan pusat tubuh Lovi dengan memberikan gerakan nakal lidahnya menjilat, menusuk bahkan mengoyak dengan jarinya. Lovi terengah di atas sana. Arthur mengangkat kaki Lovi dan menaruh kedua kaki jenjang itu di pundaknya.

“Arthur... this is so mhh―” desahan Lovi malah membuat Arthur menambah kecepatan jari dan lidahnya yang bergantian, Lovi sibuk meremas surai Arthur guna menyalurkan nikmat.

Deeper... you can go deeper to lick it,” perintah yang ditunggu oleh Arthur kini menusuk rungunya. Ia pun menggunakan dua jarinya guna membuka lipatan pusat tubuh Lovi, ia buka dengan kedua jarinya agar mempermudah Arthur memanjakan sang puan. Dengan bantuan dua jari Arthur itu mempermudah Arthur mempermainkan Lovi habis habisan. Arthur memberikan serangan dengan lidah dan bibirnya yang menghisap dan meraup habis kenikmatan surgawi itu tanpa sisa.

“Arthur―nghh...” Lovi memejam sambil menggigit bibir. Sungguh Arthur seliar ini malam ini.

Sebuah gigitan kecil membuat tubuh Lovi sedikit tersentak, clit Lovi dalam kuasa Arthur diberi sapaan oleh lidah dan gigi bahkan bibir yang hampir bersamaan, sungguh membuat Lovi lemah dan meracau tanpa henti. Sudah berkedut ditambah perlakuan bertubi-tubi dari Arthur sungguh tidak ada kata selain nikmat dan terbang yang dapat Lovi utarakan.

Gerakan jari Arthur untuk mengoyak liang surgawi bertambah cepat hingga sang puan kewalahan, kaki jenjang Lovi juga ikut bergetar saat hampir mencapai pelepasannya. “Akh! Arthur―It’s close, mmhh―” Benar saja, Arthur kembali memberikan gerakan cepat disana dengan dua jarinya diselingi lidahnya hingga sang puan melenguh nyaring.

“Akh―hmphh, Arthur, ahh,” cairan bening dan hangat membasahi pusat tubuh Lovi, ia mencapai pelepasannya oleh ulah Arthur, secepat kilat Arthur meraup habis cairan pelepasan itu, lalu Arthur berikan kecupan penghargaan di bibir ranum Lovi dan membelai pipi Lovi lembut, ia sematkan kecupan untuk waktu yang lama di kening Lovi juga.

I love you,” bisik Arthur tepat di telinga Lovi lalu sesekali menjilat daun telinga kekasihnya yang membuat Lovi masih terus bergidik. Kalimat puja bagi sang puan juga ia sematkan.

Maka setelahnya, Arthur berikan tatapan penuh cinta kepada Lovi. “Kenapa, ih kok ngeliatin aku gitu?” tanya Lovi yang menatap heran Arthur yang terpana dengan sorot mata itu. “Kok kamu enggak pernah protes sama sikap cuekku?” tanya Arthur.

Lovi memutar bola matanya perlahan, lalu mengembalikan pandangannya lagi kepada sang tuan, “Karena nggak ada alasan untuk aku protes,” katanya.

“Kamu enggak iri sama yang lain?”

“Buat apa? Aku kan bilang aku suka cara kamu jaga aku, kalau kata orang kamu tuh tsundere. Haha.” “Lovi―”

“Iya, sayang?”

I love you, Lovi.” Arthur meraih tangan Lovi dan menautkan jemari mereka dalam satu genggaman lalu mengecup punggung tangan itu berkali-kali. Binar mata Lovi memang lebih terang daripada cahaya lilin yang menemani mereka makan malam. Pagutan yang mereka adu berdua lebih memabukkan daripada wine yang biasa mereka teguk berdua. Keintiman keduanya lebih menyenangkan daripada hujan yang mereka nikmati berdua.

Kini, Arthur membawa tubuh dalam dekapannya itu ke kamar, menidurkan sang puan perlahan di ranjang. Menjaga benar raga itu dengan sepenuh hati. Kali ini kedua tangan Arthur menjalankan tugasnya masing-masing dan lidah serta bibirnya memanjakan sang puan dengan sentuhan sensual yang ia buat. Bibir Arthur tidak berhenti membuat sang puan mabuk kepayang.Sela rambut Arthur setelahnya menjadi media bagi Lovi menyalurkan nikmat yang perlahan mulai ia rasakan, tak butuh waktu lama. Balasan lembut pagutan berangsur brutal untuk sang puan diberikan Arthur di detik selanjutnya, pagutan dan lumatan serta sapaan lembut di birai Lovi dengan lidahnya yang lihai membuat Lovi membuka mulutnya memberikan akses kepada Arthur untuk melakukan lebih.

Arthur dan Lovi membiarkan desiran lembut dalam diri mereka merajai tubuh keduanya, meraih puncak libido saat ciuman itu menjadi sangat menuntut lebih. Senandung merdu menjelma syair indah dalam desah Lovi yang melantunkan nama Arthur. Pertukaran kasih mereka dilanjutkan dengan mengubah posisi mereka. Lovi berada di bawah terlentang dan Arthur merajainya, kini kaki Lovi pun Arthur buka lebar.

Beberapa saat setelahnya, Arthur memosisikan pusakanya tepat di pusat tubuh Lovi.

Hold on babe,” bisik Arthur. Lovi menggelinjang kala ia merasakan perih dan satu kenikmatan saat Arthur memasukkan pusakanya yang membuatnya bersatu dengan liang surgawi milik Lovi.

“Arthur sshh...” Wanita itu mengerang dan mencengkram bahu Arthur.

Tell me if you’re ready, enggak papa, atur napas dulu sayang.” Arthur berkata dengan mesra dan lembut.

Lovi masih mengatur napasnya, ia memejamkan mata, Arthur yang melihat sang puan nampak sayu itu pun membelai dan mengusap dahi Lovi yang mulai berpeluh.

“Udah?” tanya Arthur lembut.

Lovi mengangguk perlahan.

Maka, Arthur mulai menggerakkan pelan pinggulnya, biarkan Lovi menyeimbangkan rasa dahulu. Lovi menggigit bibirnya dan mengernyitkan keningnya menahan sensasi yang sudah lama tidak ia rasakan itu. Arthur meredamnya dengan kecupan bertubi-tubi di pipi dan kening Lovi kadang membuat sang puan merasa lebih nyaman. Gemetar tubuh Lovi saat itu kadang diakibatkan oleh gerakan Arthur yang cepat kemudian memelan tak beraturan.

Ngh―slowlyy, please,” Lovi mengerang, hal itu diindahkan Arthur, kini Arthur bergerak perlahan.

Ahh,” lenguh Arthur saat merasakan bahwa liang surgawi Lovi menjepit miliknya sesekali.

“Aku mau di atas, let me ride you,”

Akhirnya mereka mengubah posisi, perlahan Arthur bawa tubuh Lovi meraja atasnya, Arthur bersandar di bantal yang ia susun untuknya bersandar di head board ranjang sehingga tubuh Arthur tidak terlalu terlentang dan tidak terlalu tegak, keduanya mendapat posisi ternyamannya.

Sekarang, Arthur sudah ada di bawah kuasa Lovi, bahkan Arthur melenguh nyaring saat Lovi memosisikan pusat tubuhnya sejajar dengan pusaka Arthur maka setelah itu Arthur membantu menghentakkan pinggulnya sehingga pusakanya masuk sepenuhnya ke dalam milik wanita itu bahkan mengenai titik sensitive Lovi. Lalu Lovi juga mulai bergerak mandiri, terkadang kewanitaan Lovi mengerut dan mengetat menjepit milik Arthur di sana.

Ahhh Lovi jangan diketatin sayang, nghhh,” desah Arthur.

“Ar― sshhh.”

Benar saja, Lovi mulai bergerak dan pinggulnya tek henti berikan gerakan naik turun Lovi membuat payudaranya juga bergerak seakan menggoda Arthur. Kembali Arthur melahapnya dan Lovi menekan tengkuk leher Arthur seakan menyuruh Arthur memperdalam permainannya di payudara Lovi. “Arthur ahh, stay there, deeper,” desah Lovi.

Tempo gerakan mereka semakin brutal. Keduanya saling mendesah. Kini gantian Lovi yang menarik dagu Arthur, ia lumat bibir Arthur dan berikan gigitan kecil. Sungguh, sisi liar Lovi menyala saat ini. Arthur pasrah dengan perlakuan Lovi yang memabukkan ini. Lovi juga menundukkan kepalanya menciumi bagian leher dan dada Arthur, lidahnya bergerak lihai di sana membuat Arthur memejam. setelah dirasa cukup, Lovi mulai mengalungkan tangannya di leher Arthur lagi. Kali ini biar Lovi yang berikan afeksi bagi sang tuan.

Lovi menggerakkan pinggulnya lagi bahkan masih dengan bantuan Arthur.

Mhh―Ar, ahhh,” “Ssshh mhh,” Arthur mengerang dan Lovi masih mencengkram bahu Arthur.

Oughh―ahhh!” lenguhan saling bersahutan.

Kepala Lovi mendongak, dadanya membusung, payudara diraup habis lagi, lidah Arthur semakin brutal berikan gerakan memutar di puncak payudara Lovi. Seonggok jantung seakan berpacu berlari kencang saat mendapat gerakan cepat dari Lovi, jantung Arthur berdegup kencang dan napasnya terengah-engah.

Babe, can we try another position?” bisik Arthur pelan.

What’s that?

Can you make your body move with the rear and higher than the front?

“Haha, my naughty husband,” balas Lovi namun ia menurutinya.

Maka Lovi mulai mengubah posisinya menungging sesuai permintaan Arthur, kini, Arthur mulai memasukkan dan menyatukan lagi milik mereka, lenguhan memecah hening saat keduanya menemui penyatuan.

Arthur menarik pinggang Lovi dan mengecupi punggung istrinya itu dan memeluknya sejenak.

Wanna bring heaven together?” tanya Arthur berbisik di telinga Lovi. Maka Lovi menoleh sedikit hingga ujung hidungnya bersentuhan dengan wajah Arthur lalu ia mengangguk. Hal itu diartikan sebagai persetujuan dan permintaan dari istrinya. Dan akhirnya Arthur mulai menegakkan badannya yang bertumpu pada lututnya itu. Menghela napas panjang sebelum mulai bergerak lagi.

Gerakan pinggul dengan tempo lambat berangsur stabil diberikan Arthur.

Mhh Arthur, faster?” kata Lovi sambil menoleh ke arah suaminya, satu alisnya terangkat membuat Arthur semakin terpancing memberikan gerakan lebih cepat dari sebelumnya.

Ahh, mmh as your wish,” lenguh Arthur bergantian terdengar dengan lenguhan Lovi. Tarian pinggul Arthur kini membakar gelenyar dalam tubuh Lovi, bagian mana yang belum Arthur kuasai di lekukan indah setiap inchi tubuh Lovi? Bahkan sudah tanpa terkecuali.

Maka, kini tinggalah mereka berdua sebagai sepasang sejoli yang bertaut janji agar saling melengkapi. Mata Lovi memejam.

Close your eyes, and I’ll bring this heaven, Lovi.” keduanya memejamkan mata setelah Arthur mengucapkan kalimat itu. Benar saja, sensasi nikmat terbang ke awan-awan memang Arthur sajikan bagi Lovi kala itu. Pergerakan yang menjemput nikmat malam kala itu membakar jiwa mereka, tak perlu menjaga degup karena detak jantung keduanya sudah tak beraturan sekarang, peluh juga sudah membanjiri tubuh keduanya maka bersatulah mereka dalam bising lenguh yang beradu lebih nyaring lagi saat itu, tubuh Lovi didekap Arthur sembari Arthur memberi hentakan lebih dalam kepada sang puan.

“Arthur, akhh!” pekik Lovi dan mencengkram bahu sang tuan. Memeluk tubuh kekar yang menyediakan pelukan paling hangat di dunia itu dengan erat.

Satu hentakan kencang diberikan lalu jeda dimunculkan. Keduanya saling memeluk sesaat. Satu hentakan kencang diberikan lagi lalu jeda―dua hentakan kencang setelahnya. Lovi memekikkan nama sang tuan hingga menggema, Arthur memejamkan matanya, meraup oksigen sebanyak mungkin, ia meremas pantat sintal milik Lovi juga. Berikan beberapa kecupan lagi di punggung mulus itu sebelum bergerak lagi―lebih cepat dan brutal dari sebelumnya.

“Arthur, slowly, mhh,” namun mendengar perkataan itu Arthur malah tidak menghiraukannya.

Coming out together, please?” pinta Lovi dalam bisik mesra di telinga Arthur, perintah dalam desah itu membuat sesuatu meledak dalam diri Arthur membuat ia menelan ludah lalu melakukan apa yang Lovi perintahkan. Hingga saat Arthur menggerakkan pinggulnya lagi, bunyi decapan bibir keduanya beradu dengan decitan ranjang, setelahnya menggema lagi sebuah lenguh.

Ahh―Arthur, sshh,”

“Lovi―I’ll move faster!” balas Arthur. Afeksi candu yang dibuai renjana malam itu hadir menemani keduanya dibuai gelora asmara yang saling beradu satu sama lain. Kini Arthur sudah bergerak lebih cepat dari sebelumnya

Lovi dan Arthur kembali merasakan tubuhnya dijalari sebuah gelenyar yang membawa mereka ke puncak tertinggi saat ini, detik-detik terlewati dengan rasa nikmat yang tak berujung. Mereka bergantian memekik dan melenguhkan nama dengan hingga tempo tak beraturan dan semakin cepat diberikan Arthur saat keduanya sudah ada di puncak hampir sampai pada pelepasan dan peleburan kasih yang bersatu.

“Arthur―mhh...”

Akhirnya pada detik selanjutnya, Arthur memberikan hentakan paling kencang dan penuh penekanan malam itu, Arthur berikan tumbukan itu berkali-kali dengan gerakan pinggul yang buat kepayang.

Almost, Arthur aaakkhh,” desah Lovi yang mengundang Arthur memberikan gerakan hentakan bertubi-tubi hingga membawa dan menjemput surga bagi keduanya.

“Arthur―”

“Lovi―ahh, together...”

Mhhh... Ahhh!” keduanya saling bersahutan saat Arthur menembakkan cairan kasihnya di dalam milik Lovi yang membuat tubuh Lovi bergetar dan menggelinjang untuk beberapa saat dan keduanya saling memeluk erat dalam penyatuan perasaan yang semakin mengadu satu sama lain.

Tubuh Lovi yang melemas kini Arthur rebahkan bersama dalam satu gulungan selimut.

“Semoga jadi Arthur junior ya.” Arthur berbisik di telinga wanita yang ada di dalam dekapannya itu. Menghangatkan dekap, merebahkan lelah, membagi cumbu serta meredam bising kepala adalah hal terindah yang semua pasangan ingin rasakan.


Lama waktu terlewati, kehidupan baru mereka jalani, tiba saatnya saat Arthur pulang mengurus Vila, Lovi menyambut sang tuan di ruang tamu, sebuah peluk mereka bagi berdua. Lovi merenggangkan rengkuh dan merapikan rambut Arthur dengan satu tangannya. “I have something for you!” katanya antusias.

Arthur mengernyitkan dahi sedikit bertanya-tanya, Lovi berbalik badan lalu menarik lengan Arthur masuk ke kamar dengan sedikit berlari, Arthur mengikutinya dengan bersemangat dan rasa penasaran, sampai di kamar, Lovi mengambil sesuatu dari laci meja riasnya, tangannya menyodorkan sesuatu kepada Arthur. Pria itu melihatnya dengan saksama. Sebuah testpack dengan dua garis yang terpampang di sana.

Arthur menatap testpack itu dan menatap Lovi bergantian, seperti tidak percaya. Dilihatnya wajah Lovi tersenyum manis dan antusias. “Am I going to be a daddy?!” tanya Arthur penasaran dan tidak percaya.

Lovi mengangguk antusias. “Aku lupa, aku udah naruh ini tadi pagi, tapi lupa, buru-buru siapin sarapan buat kamu, dan baru aja inget, Ar! Kita mau jadi orang tua!”

Tanpa babibu lagi, Arthur mendekap Lovi ke dalam pelukannya. Keduanya saling memeluk erat, beberapa kali Arthur mencium bibir dan kening Lovi bergantian. Keduanya sangat bahagia, tugas mereka sekarang menantikan kehadiran Lovi dan Arthur junior. Kebahagiaan dua insan merekah sempurna, menyambut buah hati mereka.

“Lovi, you are amazing lovely present for me!”

END

Semoga bahagia selalu Lovi dan Arthur! Haha <3 you can give me your support on https://trakteer.id/awnyaii/tip

kritik saran masukan request https://curiouscat.me/awnyaii