My First Love Story! [The End]

Jung Jaehyun, Ruruhaokeai, Nakamoto Yuta, Lee Jeno, Lee Jaehyun, Kim Jungwoo

Setelah mendapat izin dari kedua orang tua Ara, Yuno kini berhasil membawa gadis itu ke puncak. Begitu selesai dengan ujian semester mereka, keduanya langsung pergi meninggalkan sekolah, Yuno sengaja bawa mobilnya. Toh ia sudah kelas sebelas, Yuno sudah berani membawa kendaraan miliknya yang di berikan oleh Papa. Kalau waktu kelas sepuluh sih dia enggak berani.

Di kursi kemudinya Yuno sesekali melirik Ara yang tampak antusias di kursi sebelahnya, gadis itu kadang bersenandung sembari sesekali mengomentari apa saja yang ia lihat, kadang Ara juga menceritakan bahwa ia pernah ke tempat-tempat yang belum pernah Yuno kunjungi di puncak.

Gadis itu benar-benar cerewet, membuat Yuno sesekali terkekeh dengan ucapan asal-asalanya.

“Kita tuh masih lama ya, Kak?” tanya Ara sembari menoleh ke arah Yuno.

“Dikit lagi sampe kok, aku cuma mau ngajak kamu ke kebun teh,” jawab Yuno.

“Mau metik teh?”

Yuno hanya terkekeh menanggapi ucapan asal Ara, rasanya gemas saat gadis itu asal bicara. Yuno gak tahu kalau gadis itu sedikit ceriwis, padahal kalau di sekolahan dia terlihat seperti gadis yang tidak banyak bicara. Kata orang, jika seseorang tidak terlihat banyak bicara, namun akan sangat banyak bicara jika dengan beberapa orang, berarti orang itu yang bisa membuatnya nyaman, apa itu artinya Ara sudah mulai nyaman dengannya?

“Tadi pas Kak Yuno izin ke Bunda sama Papaku, mereka bilang apa?” tanya nya lagi.

“Katanya, iya gapapa Yuno ajak aja si Ara tapi jangan kaget yah kalo dia makanya banyak atau minta ini itu. Gitu doang sih.” Yuno menahan senyumnya, sebenarnya dia cuma ngarang aja kok.

Papa dan Bunda nya Ara cuma bilang mereka enggak boleh pulang lewat dari jam delapan malam, setelah itu hanya mengatakan hati-hati. Yuno senang orang tua Ara sebaik itu denganya, gadis itu benar-benar tumbuh di keluarga yang hangat.

“Ih bohong yah? Masa Bunda sama Papaku bilang gitu?”

“Beneran.”

“Ihhh bohong ah, aku kan makanya sedikit. Kecuali kalo di beliin nasi padang,” jawabnya sembari terkekeh.

Mereka akhirnya pun sampai, di sebuah perkebunan teh. Yuno memarkirkan mobilnya sedikit ke pinggir, tidak ada mobil lain selain mobil miliknya. Beruntung hari ini udara cukup cerah, ya walau tetap dingin. Yuno bahkan sampai memberikan jaket miliknya untuk Ara pakai, karena gadis itu hanya memakai luaran cardigan yang bahanya agak sedikit tipis.

Hari ini Yuno bawa gitar miliknya, gitar yang ia beli dari uang saku nya sendiri. Gitar itu juga gitar pertama miliknya, yang ia sembunyikan dari Papa. Tapi hari ini, Yuno bawa gitar itu. Ia ingin menunjukan sisi dirinya yang tidak banyak orang tahu.

“Wahhh... Kak Yuno bawa gitar? Kakak bisa main gitar?” tanya Ara excited.

Yuno hanya mengangguk, mereka duduk di sebuah ayunan berbahan dasar kayu yang ada di sana. Ada rumah pohon juga di dekat sana yang masih terlihat kokoh meski sudah berdiri lama.

“Bisa, kamu mau aku nyanyiin lagu apa?” tanya Yuno.

“Hhmm.. Apa ya,” Ara terlihat menimang-nimang pertanyaan itu, memikirkan beberapa lagu yang akhir-akhir ini ia sukai.

“Gimana kalau Mine?”

“Mine?” Yuno mengulangi ucapan Ara, “lagunya Petra Sihombing?”

“Yup, aku lagi suka sama lagu itu.”

Yuno mengangguk pelan, “boleh.”

Cowok itu kemudian memangku gitarnya, memetikkan nada lagu milik Petra Sihombing itu. Untung saja dia hapal lagunya, akhir-akhir ini Yuno juga lumayan sering mendengarkan lagu itu. Genta pernah bilang bahwa lagu itu cocok di nyanyikan olehnya, selain Mama dan Ara yang kini tahu hobi bermusiknya, Genta juga jadi satu-satunya orang yang tahu dirinya. Genta bahkan orang yang mendukung Yuno bermusik, pernah saat obrolan random mereka, Genta mengajaknya membentuk sebuah band sekolah. Namun Yuno menolak, dia bisa di marahi habis-habisan oleh Papa nya kalau Papa nya itu tahu Yuno masih main musik.

Girl your heart, girl your face is so different from them others I say, you're the only one that I'll adore 'Cause every time you're by my side My blood rushes through my veins And my geeky face, blushed so silly yeah, oh yeah

And I want to make you mine

Ara sempat salah tingkah, waktu kedua matanya bertemu dengan mata Yuno. Cowok itu tersenyum, masih dengan iringan gitar dan bibirnya yang masih bernyanyi. Saat kedua netra mereka bertemu, rasanya seperti Ara hanyut ada desiran halus di hatinya yang membuatnya semakin mengagumi cowok di sebelahnya itu.

Oh, baby, I'll take you to the sky Forever you and I, you and I, you and I And we'll be together 'til we die Our love will last forever and forever you'll be mine, you'll be mine

Girl your smile and your charm Lingers always on my mind I'll say You're the only one that I've waited for

And I want you to be mine

Oh, baby, I'll take you to the sky Forever you and I, you and I, you and I And we'll be together 'til we die Our love will last forever and forever you'll be mine, you'll be mine

Bukan Yuno enggak tahu kalau wajah Ara sudah memerah, cowok itu cukup tahu. Tidak ada bedanya dengan Ara, Yuno juga merasakan jantungnya berdegub gila-gilaan, jujur, Yuno akan menyatakan soal perasaanya pada Ara hari ini, gadis itu sudah banyak melihat sisi nya yang lain, yang tidak dia tunjukan oleh banyak orang.

Ara sudah mengenal dirinya, dan sekarang Yuno semakin yakin untuk menyatakan perasaanya. Persetan di tolak atau di terima, ia akan menerima semua jawaban yang gadis itu kasih.

Sejujurnya Yuno ingin menyatakanya dengan cara yang paling manis, tapi Yuno gak tahu caranya, dia terlalu buta untuk tahu hal-hal manis untuk mengajak seorang gadis berkencan. Hidupnya selama ini hanya mengenal hitam dan putih.

And I want you to be mine And I want you to be mine

Oh, baby, I’ll take you to the sky Forever you and I, you and I, you and I And we’ll be together 'til we die Our love will last forever and forever you’ll be mine, you’ll be mine

Oh, baby, I’ll take you to the sky Forever you and I, you and I, you and I And we’ll be together 'til we die Our love will last forever and forever you’ll be mine, you’ll be mine

Begitu Yuno selesai menyanyikan lagunya, Ara bertepuk tangan. Pertunjukan kecil-kecilan itu berhasil membuat dirinya bahagia. Sungguh, ini pertama kalinya Ara di nyanyikan lagu favorite nya seperti ini oleh seorang laki-laki.

“Bagus banget, Kak Yuno keren banget!!!” pekiknya excited.

“Makasih ya, Ra?”

“Ya, Kak?”

“Gak banyak yang tahu kalau aku bisa main alat musik dan nyanyi,” Yuno menunduk, mengusap gitar kesayangan miliknya yang baru berumur 4 bulan itu.

“Oh ya? Kenapa? Padahal suara Kak Yuno bagus banget, main gitarnya juga keren banget.”

Untuk ukuran seorang yang bermain gitar dengan cara otodidak, Yuno ini memang keren. Cara bermain gitarnya tidak beda dengan seseorang yang di ajari oleh guru musik.

“Papa gak suka liat aku main musik,” ucapnya.

Mata teduh itu berubah menjadi sedih, Ara yang tadinya tersenyum jadi memudarkan senyumnya. Ia bisa merasakan kekecewaan atas penolakan yang Kak Yuno rasakan hanya dari mata teduh itu.

“Aku beli gitar ini diam-diam, pakai uang tabunganku sendiri. Gitarnya aku sembunyiin di kamarnya Budhe, Mbak yang kerja di rumahku. Kalau Papa tahu aku punya gitar, aku yakin Papa pasti udah marah besar,” jelasnya.

“Makanya Kak Yuno gak nunjukin soal ini ke orang lain?” tanya Ara.

Yuno mengangguk, “aku mau jadi penyanyi, Ra. Tapi Papa dan Mama nyuruh aku jadi dokter, aku selalu tertekan sama keinginan mereka, aku kadang capek harus belajar mati-matian dan pergi ke bimbel demi nurutin maunya mereka, aku juga capek harus jadi yang pertama biar enggak bikin mereka kecewa.”

Suara Kak Yuno bergetar, dan itu membuat kedua mata Ara memanas, ia merasa bersimpati dengan cerita Kak Yuno, awalnya Ara ragu, namun saat kedua bahu itu bergetar, tangannya begitu saja terulur mengusap punggung cowok yang ia cintai dalam diam itu.

Yuno selalu ingat bagaimana dulu nilainya turun dan menjadikanya juara kedua di kelas, kedua orang tua nya marah, Papa bahkan memaki wali kelas Yuno karena tidak terima Yuno menjadi yang nomer dua. Padahal waktu itu Yuno sempat sakit, ia mengalami anemia karena belajar terus-terusan. Tapi bahkan orang tua nya tidak memperdulikan sakitnya saat itu.

“Pasti rasanya berat yah, Kak? Kak Yuno selama ini udah kerja keras, aku yakin orang tua Kak Yuno pasti bangga sama apa yang Kak Yuno lakuin selama ini. Kak Yuno cuma manusia biasa, Kakak boleh capek, Kakak boleh istirahat, Ara selalu mau dengerin Kak Yuno kalau Kakak butuh tempat cerita.”

Ini pertama kalinya Yuno menangis di depan seorang gadis, cowok itu pun langsung menaruh gitarnya dan memeluk Ara erat, seperti menumpahkan segala kerisauannya akhir-akhir ini. Bukan hanya takut membuat orang tuanya kecewa saja akhir-akhir ini, Yuno juga takut ada sesuatu yang terjadi padanya, hingga ia melupakan sedikit ingatannya akhir-akhir ini, makanya setiap habis melakukan sesuatu, ia akan menulisnya di sebuah buku yang ia taruh di meja belajarnya.

Setelah Yuno merasa sedikit lebih lega, barulah cowok itu melepaskan pelukan Ara. Yuno baru sadar jika Ara juga ikut menangis, waktu pelukan itu terurai, Ara sempat mengusap wajahnya, menyeka sisa-sisa air mata dari pelupuk matanya.

“Aku cengeng yah, Ra?” tanya Yuno, dan gadis itu hanya menggeleng.

“Nangis itu normal, Kak. Aku salut selama ini Kak Yuno begitu tabah.”

“Sekarang aku bisa jauh lebih tabah berkat kamu,” ucapnya sembari tersenyum. “Ra?”

“Hm?”

“Makasih ya.”

“Untuk?”

“Semuanya, makasih karna udah hadir di hidup aku, bikin aku ngerasain perasaan yang belum pernah aku rasain sebelumnya.”

Yuno menarik nafasnya pelan, jantungnya yang tadinya berdegub normal kembali menggila setelah ia memutuskan untuk menyatakan perasaanya pada Ara saat ini juga. Tidak ada keraguan lagi sekarang, apalagi setelah Ara memeluk luka-lukanya itu.

“Aku sayang kamu, Ra. Untuk pertama kalinya aku ngerasa aku suka sama perempuan lebih dari sekedar teman, aku ngerasa nyaman sama kamu, sampai bikin aku mau cerita soal masalahku di rumah dan apa yang aku rasain akhir-akhir ini, sama kamu bikin aku lupa sama semua tekanan yang orang tua aku kasih. Dan aku bisa ngerasa bahagia cuma sama Kamu, Ra.”

“Kak Yuno...”

Dengan segenap keberanianya, Yuno membawa jemari Ara ke dalam genggamanya, ia sudah tidak perduli lagi pada degub jantungnya yang menggila.

“Jadi pacarku, Ra.”

Kebahagiaan di rongga dada Ara rasanya meletup-letup. ia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaanya karna mengetahui perasaanya dan Yuno sama, ia bisa merasakan cinta dan kasih sayang yang cowok itu utarakan dari kata-kata dan tatapan matanya. Ia tidak jatuh cinta sendirian.

Ara mengangguk, “aku mau, Kak. Ara juga sayang banget sama Kak Yuno.”

Dan hari mengharukan sekaligus membahagiakan itu menjadi hari jadi mereka, Yuno dan Ara resmi menjadi sepasang kekasih.

SELESAI

Ini sudah jam sembilan malam dan Yuno masih harus belajar setelah ia pulang dari bimbel nya, saat sedang asik belajar tiba-tiba ia berhenti ketika sadar ada tetesan darah yang jatuh ke buku miliknya. Yuno langsung meraba hidungnya dan benar saja dugaannya, itu adalah darah miliknya. Yuno mimisan lagi untuk kedua kalinya hari ini.

Besok adalah hari terakhir ujian semester, Yuno sudah cukup merasa percaya diri jika ia bisa mempertahankan peringkatnya tapi nyatanya, Yuno tidak bisa berhenti memikirkan kemarahan Papa nya jika nantinya prediksinya itu meleset.

“Mimisan lagi,” ucapnya sembari menahan darah yang keluar itu dengan tissue di kamarnya.

Jika sudah begini, kepala Yuno akan semakin sakit. Konsentrasinya juga menurun, apalagi ketika ia membaca sticky note yang di tempel di meja belajarnya. Yuno tahu itu tulisan siapa, hanya sticky note bertuliskan 'Yuno tolol' dan itu berhasil membuat pertahanannya sedikit lagi runtuh.

“Gue udah gak butuh lo lagi,” kata Yuno, dengan kesal dia merobek sticky note itu dan membuangnya ke tempat sampah.

Yuno sempat berbaring di ranjangnya sebentar, kemudian menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong. Kepalanya yang tadinya sedikit berdenyut itu semakin sakit rasanya, kemudian terbesit satu nama yang akhir-akhir ini bisa mengalihkan rasa sakitnya.

Di ambil nya ponsel miliknya dan Yuno ketik nama Ara di sana, ya. Yuno menelfon Ara. Semoga saja gadis itu belum tidur karna malam ini rasanya Yuno benar-benar butuh seseorang untuk ia ajak bicara. Mama sedang berada di luar kota untuk sebuah seminar di fakultas kedokteran, makanya Yuno tidak ada teman ngobrol yang cukup mengerti dirinya.

halo?

Begitu mendengar suara Ara di sebrang sana, Yuno tersenyum. Hatinya lega ketika Ara mengangkat panggilan nya.

“Ra, kamu belum tidur?”

belum, Kak. Aku habis siapin seragam buat besok, kenapa Kak Yuno?

“Gapapa.. Aku lagi belajar, tapi lagi istirahat dulu.”

“Kak Yuno gak istirahat? Ini kan udah hampir jam sepuluh

Di tempatnya Yuno bisa mendengarkan jika suara Ara sedikit menjauh, kadang juga ada bunyi-bunyi lain di sana selain suaranya. Yuno tebak, gadis itu mungkin sedang memakai skincare sebelum tidur.

“Aku harus ngulang pelajaran yang aku dapat di bimbel, Ra.”

hmm.. Kenapa gak besok pagi lagi aja, Kak? Kalo aku di ajarin sama Mas Iyal gitu, bangun lebih pagi buat ngulang pelajaran yang semalam di pelajarin, katanya biar enggak lupa, Mas Yuda malah gak belajar lagi.” di sebrang sana Yuno mendengar Ara terkekeh.

“Kamu juga gitu?”

yapp, kalo Kak Yuno mau sama kaya aku, besok pagi setelah subuh aku bangunin.

Yuno tersenyum, Ara terlalu mengerti dirinya. Jujur saja Yuno memang sudah lelah, akhir-akhir ini ia selalu memforsir dirinya sendiri. Terkadang juga Papa suka memeriksa kamarnya. Jika sebelum jam sepuluh Yuno sudah tidur dan tidak berada di meja belajarnya, Papa bisa marah.

“Boleh, tolong telfon aku besok yah.”

oke deh, yaudah kalau gitu Kak Yuno tidur gih, aku gak mau Kak Yuno sakit lagi.

“Ra?”

“Ya Kak? Besok ujian hari terakhir, kamu mau pergi bawa aku lari gak?”

maksud Kakak?

“Kita pergi besok, habis pulang sekolah.”

kemana, Kak?

Yuno tidak menyahut, cowok itu hanya tersenyum kecil kemudian melirik jam di atas nakas nya. Sudah jam sepuluh, ia tidak ingin Ara tidur terlalu larut karena dirinya. Lagi pula, sakit di kepalanya sudah sembuh, mimisan nya juga sudah berhenti.

“Besok juga tahu, yaudah, aku tutup yah besok pagi kan kita harus bangun pagi buat belajar lagi.”

hhmm.. Oke, sampai besok Kak Yuno.

Begitu sambungan telfonnya terputus, Yuno memejamkan matanya. Ia tersenyum lega, Ara benar-benar bisa mengalihkan pikirannya. Kini Yuno lebih baik, setelah itu ia membereskan semua buku-buku miliknya dan mematikan lampu kamarnya, ia harus segera tidur.

Begitu sampai di depan gerbang SMA Anggada, Ara langsung mengetikkan pesan pada Genta agar menjemputnya. Dan benar saja tidak membutuhkan waktu lama bagi Ara, Echa, Cindy dan Kinan. Genta langsung muncul di depan mereka, Genta memberikan akses untuk ke empat gadis itu masuk, maklum tuan rumah hanya memberikan beberapa akses masuk untuk SMA BN400.

Begitu mereka masuk ke lapangan, semua penonton sudah bersorak. Pertandingan belum mulai, namun para pemain sudah memasuki lapangan. Di dalam Ara juga melihat Janu, Arino dan beberapa alumni SMA BN400 seperti Kak Tio dan Kak Jo, Mas Yuda enggak hadir di sana karena dia sedang sibuk dengan perkuliahannya.

“Cielah Ara.. Liat noh calon cowok lo,” pekik Cindy menggoda Ara begitu gadis itu memotret Kak Yuno dari kursinya.

“Eh, tapi lo sama Kak Yuno tuh belum jadian yah, Ra?” kali ini Kinan yang bertanya, ya siapa sih yang enggak tahu kedekatan mereka? Ara pun kini seperti menjadi buah bibir di sekolah.

Ara hanya menggeleng pelan, “baru deket doang kok.”

“Eh, eh tandingnya di mulai anjir!!” pekik Echa.

Mereka pun berdiri untuk menyayikan lagu Indonesia Raya untuk pembukaan pertandingan, kemudian ada beberapa anak cheer yang ikut merayakan pembukaan pertandingan itu. Semua penonton bersorak, di kursinya Ara sibuk memperhatikan Kak Yuno, yang tampak gugup di pinggir lapangan. Cowok itu bahkan terlihat beberapa kali memilin ujung celana basketnya dan berkeringat. Padahal main saja belum tapi Kak Yuno sudah berkeringat sebanyak itu.

“Kak Yuno kenapa yah..” gumam Ara pelan.

Begitu pertandingan di mulai, semua kembali bersorak. Apalagi saat sang bintang lapangan berhasil memberikan point pertama di babak pertama, itu Kak Yuno. Walau tampak terlihat gugup di awal, tapi cara bermain Yuno cukup baik. Kini cowok itu juga tampak lebih tenang.

“KAK YUNO SEMANGATTTTTT!!” teriak Ara.

Walau Ara yakin Yuno tidak mendengarnya, tapi ia beberapa kali menyerukan nama cowok itu. Kemudian di kursi belakang para siswa dari SMA nya menyanyikan yel yel demi menyemangati tim basket mereka, begitu pula dengan Ara dan teman-temanya.

“Kok mereka mainya mulai loyo sih?” ucap Cindy yang mulai khawatir, skor SMA BN400 mulai menurun.

“Tenang aja, kita pasti menang kan ada Kak Yuno!” pekik Kinan yakin.

“Tapi liat deh Kak Yuno aja mulai kuwalahn kaya gitu,” ucap Cindy.

Di kursinya Echa hanya melirik Ara sebentar, gadis itu juga tampak khawatir. Apalagi beberapa kali Kak Yuno terlihat kelelahan, bahkan cowok itu seperti kehilangan konsentrasinya di tengah-tengah permainan.

“Eh, Ra.. Ra.. Kak Yuno kenapa tuh?” tanya Echa.

Ara yang panik jadi reflek berdiri, dia juga kaget waktu liat Kak Yuno duduk dan megangin kepalanya. Cowok itu kelihatan enggak baik-baik aja, wasit yang berada di sana juga menyuruh tim kesehatan untuk membawa Yuno keluar dari lapangan, dan kemudian di gantikan oleh pemain cadangan yang lain.

“Cha, gue harus ke sana sekarang. Gue khawatir banget sama Kak Yuno,” ucap Ara.

Echa hanya mengangguk, “yaudah, Ra. Gue sama anak-anak disini yah.”

Begitu berpamitan pada Echa, Ara langsung lari keluar dari lapangan dan berlari kecil menuju UKS. Di sana ada Kak Genta juga yang nampak khawatir dengan keadaan Kak Yuno, cowok itu berada di ranjang. Masih tampak berkeringat sembari memegangi kepalanya yang sakit.

“Kak Gen, Kak Yuno kenapa?” tanya Ara panik begitu ia sampai di sana.

“Kepalanya Yuno sakit, Ra,” jawab Kak Genta.

Tidak lama kemudian, seorang wanita dengan penampilan anggun datang. Beliau langsung masuk dan menghampiri Kak Yuno yang masih berbaring, Ara gak bisa masuk mendekat, tim kesehatan menyuruhnya untuk menunggu di depan saja sampai dokter selesai memeriksa Yuno.

“Itu Nyokapnya Yuno, Ra,” bisik Kak Genta pada Ara.

“Ma..Mama?”

Kak Genta mengangguk pelan, “Mama nya Dokter.”

Ara sempat menunggu di depan UKS, menunggu dokter atau siapapun itu keluar dari sana. Hatinya belum cukup tenang kalau belum tahu bagaimana keadaan Kak Yuno sekarang, sedang asik melamun tiba-tiba saja pintu UKS terbuka, itu adalah orang tua Kak Yuno. Wanita itu tersenyum ramah pada Ara. Senyumnya begitu menenangkan sama seperti Kak Yuno ketika cowok itu tersenyum.

“Ara?” panggilnya.

“Ya..ya Tante?”

“Sini masuk, Yuno nyariin kamu.”

Ara mengangguk, kemudian mengikuti Mama Kak Yuno masuk ke dalam ruang UKS. Saat Ara masuk, Kak Yuno sudah jauh lebih tenang. Cowok itu duduk di ranjangnya walau dalam keadaan pucat.

“Kak Yuno kenapa?” tanya Ara khawatir.

“Kepalaku cuma sedikit sakit, Ra. Gapapa.”

“Sekarang masih sakit?”

Yuno tersenyum, kemudian menggeleng kepalanya pelan. “Udah enggak kok, Ra?”

“Hm?”

“Maaf yah, Maaf aku gak bisa kasih kemenangan buat sekolah kita, buat kamu, dan buat Mama juga,” ucap Kak Yuno penuh penyesalan, di tengah-tengah sakitnya ia masih sempat-sempatnya memikirkan pertandingan?

Kak Yuno juga sepertinya sudah tahu jika SMA BN400 kalah telak, SMA Anggada jauh lebih unggul kali ini. Benar-benar bukan lawan yang bisa di remehkan, jujur, Yuno menyesal. Ia benci kalah, namun rasa sakit di kepala dan gumpalan ketidaknyamanan di hatinya juga terus mengamggunya.

“Kak Yuno, gapapa. Kalah dan menang dalam pertandingan kan wajar, lagian siapa sih yang mau sakit, aku yakin, pelatih, anak-anak, Mama Kak Yuno dan juga aku. Juga lebih mentingin kesehatan Kak Yuno dulu dari pada kemenangan, ya kan Tante?” tanya Ara pada orang tua Yuno itu.

Namanya Tante Lastri, wanita itu tersenyum dan mengusap bahu Ara penuh kehangatan. “Benar apa yang Ara bilang, Yuno. Mama lebih mementingkan kesehatan kamu dulu dari pada kemenangan. Toh, selama ini juga sudah banyak piala yang kamu bawa pulang untuk sekolah.”

Begitu sampai di depan gerbang SMA Anggada, Ara langsung mengetikkan pesan pada Genta agar menjemputnya. Dan benar saja tidak membutuhkan waktu lama bagi Ara, Echa, Cindy dan Kinan. Genta langsung muncul di depan mereka, Genta memberikan akses untuk ke empat gadis itu masuk, maklum tuan rumah hanya memberikan beberapa akses masuk untuk SMA lawan.

Begitu mereka masuk ke lapangan, semua penonton sudah bersorak. Pertandingan belum mulai, namun para pemain sudah memasuki lapangan. Di dalam Ara juga melihat Janu, Arino dan beberapa alumni SMA BN400 seperti Kak Tio dan Kak Jo, Mas Yuda enggak hadir di sana karena dia sedang sibuk dengan perkuliahannya.

“Cielah Ara.. Liat noh calon cowok lo,” pekik Cindy menggoda Ara begitu gadis itu memotret Kak Yuno dari kursinya.

“Eh, tapi lo sama Kak Yuno tuh belum jadian yah, Ra?” kali ini Kinan yang bertanya, ya siapa sih yang enggak tahu kedekatan mereka? Ara pun kini seperti menjadi buah bibir di sekolah.

Ara hanya menggeleng pelan, “baru deket doang kok.”

“Eh, eh tandingnya di mulai anjir!!” pekik Echa.

Mereka pun berdiri untuk menyayikan lagu Indonesia Raya untuk pembukaan pertandingan, kemudian ada beberapa anak cheer yang ikut meramaikan pembukaan pertandingan itu. Semua penonton bersorak, di kursinya Ara sibuk memperhatikan Kak Yuno yang tampak gugup di pinggir lapangan. Cowok itu bahkan terlihat beberapa kali memilin ujung celana basketnya dan berkeringat. Padahal main saja belum tapi Kak Yuno sudah berkeringat sebanyak itu.

“Kak Yuno kenapa yah..” gumam Ara pelan.

Begitu pertandingan di mulai, semua kembali bersorak. Apalagi saat sang bintang lapangan berhasil memberikan point pertama di babak pertama, itu Kak Yuno. Walau tampak terlihat gugup di awal, tapi cara bermain Yuno cukup baik. Kini cowok itu juga tampak lebih tenang.

“KAK YUNO SEMANGATTTTTT!!” teriak Ara.

Walau Ara yakin Yuno tidak mendengarnya, tapi ia beberapa kali menyerukan nama cowok itu. Kemudian di kursi belakang para siswa dari SMA nya menyanyikan yel yel demi menyemangati tim basket mereka, begitu pula dengan Ara dan teman-temanya.

“Kok mereka mainya mulai loyo sih?” ucap Cindy yang mulai khawatir, skor SMA BN400 mulai menurun.

“Tenang aja, kita pasti menang kan ada Kak Yuno!” pekik Kinan yakin.

“Tapi liat deh Kak Yuno aja mulai kuwalahn kaya gitu,” ucap Cindy.

Di kursinya Echa hanya melirik Ara sebentar, gadis itu juga tampak khawatir. Apalagi beberapa kali Kak Yuno terlihat kelelahan, bahkan cowok itu seperti kehilangan konsentrasinya di tengah-tengah permainan.

“Eh, Ra.. Ra.. Kak Yuno kenapa tuh?” tanya Echa.

Ara yang panik jadi reflek berdiri, dia juga kaget waktu liat Kak Yuno duduk dan megangin kepalanya. Cowok itu kelihatan enggak baik-baik aja, wasit yang berada di sana juga menyuruh tim kesehatan untuk membawa Yuno keluar dari lapangan, dan kemudian di gantikan oleh pemain cadangan yang lain.

“Cha, gue harus ke sana sekarang. Gue khawatir banget sama Kak Yuno,” ucap Ara.

Echa hanya mengangguk, “yaudah, Ra. Gue sama anak-anak disini yah.”

Begitu berpamitan pada Echa, Ara langsung lari keluar dari lapangan dan berlari kecil menuju UKS. Di sana ada Kak Genta juga yang nampak khawatir dengan keadaan Kak Yuno, cowok itu berada di ranjang. Masih tampak berkeringat sembari memegangi kepalanya yang sakit.

“Kak Gen, Kak Yuno kenapa?” tanya Ara panik begitu ia sampai di sana.

“Kepalanya Yuno sakit, Ra,” jawab Kak Genta.

Tidak lama kemudian, seorang wanita dengan penampilan anggun datang. Beliau langsung masuk dan menghampiri Kak Yuno yang masih berbaring, Ara gak bisa masuk mendekat, tim kesehatan menyuruhnya untuk menunggu di depan saja sampai dokter selesai memeriksa Yuno.

“Itu Nyokapnya Yuno, Ra,” bisik Kak Genta pada Ara.

“Ma..Mama?”

Kak Genta mengangguk pelan, “Mama nya Dokter.”

Ara sempat menunggu di depan UKS, menunggu dokter atau siapapun itu keluar dari sana. Hatinya belum cukup tenang kalau belum tahu bagaimana keadaan Kak Yuno sekarang, sedang asik melamun tiba-tiba saja pintu UKS terbuka, itu adalah orang tua Kak Yuno. Wanita itu tersenyum ramah pada Ara. Senyumnya begitu menenangkan sama seperti Kak Yuno ketika cowok itu tersenyum.

“Ara?” panggilnya.

“Ya..ya Tante?”

“Sini masuk, Yuno nyariin kamu.”

Ara mengangguk, kemudian mengikuti Mama Kak Yuno masuk ke dalam ruang UKS. Saat Ara masuk, Kak Yuno sudah jauh lebih tenang. Cowok itu duduk di ranjangnya walau dalam keadaan pucat.

“Kak Yuno kenapa?” tanya Ara khawatir.

“Kepalaku cuma sedikit sakit, Ra. Gapapa.”

“Sekarang masih sakit?”

Yuno tersenyum, kemudian menggeleng kepalanya pelan. “Udah enggak kok, Ra?”

“Hm?”

“Maaf yah, Maaf aku gak bisa kasih kemenangan buat sekolah kita, buat kamu, dan buat Mama juga,” ucap Kak Yuno penuh penyesalan, di tengah-tengah sakitnya ia masih sempat-sempatnya memikirkan pertandingan?

Kak Yuno juga sepertinya sudah tahu jika SMA BN400 kalah telak, SMA Anggada jauh lebih unggul kali ini. Benar-benar bukan lawan yang bisa di remehkan. jujur, Yuno menyesal. Ia benci kalah, namun rasa sakit di kepala dan gumpalan ketidaknyamanan di hatinya juga terus mengganggunya.

“Kak Yuno, gapapa. Kalah dan menang dalam pertandingan kan wajar, lagian siapa sih yang mau sakit, aku yakin, pelatih, anak-anak, Mama Kak Yuno dan juga aku. Juga lebih mentingin kesehatan Kak Yuno dulu dari pada kemenangan, ya kan Tante?” tanya Ara pada orang tua Yuno itu.

Namanya Tante Lastri, wanita itu tersenyum dan mengusap bahu Ara penuh kehangatan. “Benar apa yang Ara bilang, Yuno. Mama lebih mementingkan kesehatan kamu dulu dari pada kemenangan. Toh, selama ini juga sudah banyak piala yang kamu bawa pulang untuk sekolah.”

Setelah itu, Ara berpisah dengan Echa, Kinan dan Cindy. Dia di ajak Tante Lastri untuk main ke rumah Kak Yuno. Sungguh, Ara enggak pernah menyangka jika ia akan di sambut sebaik ini oleh orang tua dari laki-laki yang dekat dengannya. Rumah Kak Yuno itu besar, rapih dan banyak foto keluarga, piala serta piagam milik orang tua Kak Yuno dan juga milik Kak Yuno.

“Ini foto Yuno waktu umur 4 tahun, lucu yah. Pipi nya chubby banget. Yuno kecil tuh hobi nya ngambek, Ra. Apalagi waktu Papa nya motong rambut dia kependekan,” jelas Tante Lastri yang membuat Ara terkekeh.

Gadis itu mengambil bingkai foto Kak Yuno kecil yang sedang cemberut duduk di atas kursi dengan sebelah kakinya naik ke atas meja, wajah Kak Yuno kala itu dan sekarang tidak berbeda jauh. Hanya saja, Kak Yuno yang sekarang terlihat sedikit tirus.

“Lucu, Kak Yuno kaya enggak puber yah. Mukanya gak jauh beda sama yang sekarang,” gumam Ara.

“Nah, kalau yang ini. Waktu dia masuk SD waktu itu Yuno pernah ngajakin guru bimbel nya buat enggak belajar, dia malah ngajak guru nya buat main basket sama dia.”

Ara melirik Kak Yuno, cowok yang duduk di sebelahnya itu hanya terkekeh sembari mengusap belakang kepalanya yang tidak gatal.

“Mama nih, jangan jelek-jelekin Yuno depan Ara dong,” rajuknya.

Tante Lastri hanya tertawa, kemudian menepuk pundak anak laki-laki kesayangannya itu dan berdiri dari tempatnya duduk.

“Mama mau ambil cookies sama teh dulu buat Ara, temani dia ya Yuno.”

“Ah, Tante Lastri?” panggil Ara.

“Iya, sayang?”

“Aku boleh gak punya satu permintaan?”

Tante Lastri melirik Yuno sebentar, anak itu hanya menggedikan bahu nya kemudian melirik Ara sebentar.

“Apa?” tanya Tante Lastri.

“Ara boleh manggil Tante pakai sebutan Bunda gak?”

Awalnya Tante Lastri terlihat bingung, namun sedetik kemudian wanita itu tersenyum dan mengangguk mengiyakan. “Boleh, Tante justru senang bisa di panggil dengan sebutan itu.”

Ara tersenyum, dia senang banget dengarnya. Apalagi waktu wanita itu merentangkan tangannya dan menyuruh Ara memeluknya, gadis itu langsung berhamburan memeluk wanita yang kini di panggilnya Bunda selain orang tua kandungnya itu.

“Bunda...”

“Mas Iyal?” panggil Ara, gadis itu mengintip ke kamar Arial.

“Masuk aja, Dek.”

Begitu Arial menyuruhnya masuk, Ara langsung masuk ke dalam kamar cowok itu, ternyata Arial sedang belajar juga. Cowok itu belajar sembari mendengarkan lagu, Arial memasang earphone di telinganya. Hanya sebelah, yang satu lagi tidak pakai karena ia takut ada orang yang memanggilnya dan Arial tidak dengar.

“Kenapa?” tanya Arial.

“Mau minta ajarin PR, Mas Iyal sibuk gak?”

Arial menggeleng pelan, dia sudah menyelesaikan tugas-tugasnya. Arial hanya sedang sedikit belajar saja, biasanya jika sedang suntuk atau mengalihkan pikiran dari masalah orang tua nya, Arial akan mencari pelampiasan dengan belajar sekeras mungkin.

Arial tidak merasa belajar menjadi suatu beban untuknya, ia malah menjadikan itu sebagai pengalihan dari rasa kesepian dan kecewa dengan orang tua nya. Makanya gak heran kalau Arial ini pintar banget, bahkan orang tua nya sudah sering menawarinya untuk bimbel, tapi Arial menolak dengan mengatakan ia lebih nyaman belajar sendiri.

“Enggak kok, lagi gabut aja terus belajar. Tadi Reno juga habis ngerjain PR nya disini,” jelas Arial.

Ara hanya mengangguk, memperhatikan setumpuk buku-buku tebal milik Arial yang ada di atas meja.

“Ada tugas apa? Coba sini Mas Iyal liat.”

Ara memberikan buku pelajaran miliknya, kemudian menarik kursi dan duduk di sebelah Arial. Ada beberapa soal matematika yang tidak Ara mengerti. Sembari mendengarkan Arial menjelaskan, terkadang Ara mencuri-curi waktu untuk memikirkan Kak yuno.

Sekelebatan ingatan akan Kak Yuno hari ini juga terus menyita pikirannya, rasanya Ara tidak sabar ingin cepat-cepat minggu depan demi bisa melihat Kak Yuno bertanding di SMA Anggada.

“Ra? Dengerin gak sih? Dari tadi cengar cengir,” Arial menggerutu, dia ngerasa Ara enggak konsentrasi saat ia menjelaskan soal pada Adik sepupunya itu.

“Mas Iyal?”

“Hm?”

“Mas tau gak, tadi pagi ada yang salah paham sama aku gara-gara Mas Iyal anterin aku ke sekolah.”

Arial mengerutkan dahinya bingung, “salah paham? Siapa? Kamu punya pacar?”

“Enggg, salah!” Ara menyilangkan tangannya di depan wajah, kemudian menghela nafasnya pelan. “Belum jadi pacar sih, masih PDKT.”

“Cih, masih kelas sepuluh udah cinta-cintaan.”

“Ihhh emang kenapa sih? Kan ini tuh biar aku semangat sekolahnya, lagian emang Mas Iyal gak punya pacar atau gebetan apa di sekolah? Kayanya gak mungkin banget,” Ara melirik Arial, memperhatikan wajah Kakak sepupunya itu.

Ara cuma mikir aja dengan wajah yang nyaris sempurna, otak yang pintar dan tinggi badan yang menjulang. Rasanya enggak mungkin Arial enggak punya pacar atau minimal gebetan di sekolah, apa jangan-jangan Arial hanya mengenal belajar saja dalam hidupnya? Boring banget gak sih? Pikir Ara.

“Gak ada, Mas Iyal mana sempet mikirin gituan.”

“Kebanyakan belajar sih, makanya Mas Iyal kadang ngebosenin,” Ara mencibir. “Tapi serius deh, Mas. Mas gak naksir satu cewek pun di sekolah?”

Arial yang awalnya tidak memusingkan pertanyaan Adiknya itu jdi terdiam sebentar, dia jadi ingat gadis manis yang akhir-akhir ini baik padanya, ah tidak, gadis itu selalu baik. Bukan hanya padanya, tapi pada semua orang.

“Enggak, udah belajar lagi ah, malah ngomongin cewek lagi.”

“Ihhh Mas Iyal, mah.”

“Lagian, kaya apa sih cowok yang lagi kamu taksir itu? Emang dia lebih keren dari Mas Iyal apa?”

Ara mendengus, dia gak menyangkal jika Arial memang sekeren itu. Ara lebih mengakui Arial memang keren dari pada Mas Yuda, ya meskipun Mas Yuda juga keren, tapi Ara terlalu gengsi mengatakan itu secara terang-terangan.

“Namanya Kak Yuno, dia tuh pinter banget. Kelas sebelas. Seumuran Mas Iyal, terus tinggi, terus jago main basket lagi, ahhh.. Yang jelas dia ganteng terus baik,” jelas Ara.

“Cih,” Arial mencibir. “Awas yah dia sampe bikin kamu nangis, Mas samperin dia awas aja!!”

“Ihhh Mas Iyal, Kak Yuno tuh gak gitu orangnya.”

Setelah Ara keluar dari kamarnya, Arial jadi memikirkan kata-kata Adiknya itu. Ara benar, kadang hari-hari nya sedikit terasa membosankan. Tidak ada hal yang membuat Arial merasakan debaran jantung seperti orang jatuh cinta. Ah, tidak. Arial tidak memikirkan itu.

Dia terlalu takut untuk jatuh cinta, dia takut sakit hati. Dia takut memiliki hubungan yang buruk seperti kedua orang tua nya, lebih baik untuk saat ini dia fokus pada dirinya sendiri dulu alih-alih memikirkan percintaan.

Setelah bel pulang berbunyi, Ara langsung berlari keluar kelas lebih dulu. Bahkan gadis itu mengabaikan teriakan Kinan dan Januar yang mengajaknya untuk pulang bersama. Masa bodo dengan dua temanya itu, ia harus segera sampai ke parkiran motor dan menemui Kak Yuno lebih dulu. Saat jam istirahat ke satu dan kedua ia tidak sempat bertemu dengan Kak Yuno, Ara tuh beneran ngerasa ada yang enggak beres sama sikap Kak Yuno yang kaya enggak biasanya.

“Eh, Ra. Nunggu siapa lu di situ?” tanya Bandi, si cowok kelas sepuluh IPS dua yang kelasnya bersebelahan dengannya.

“Nunggu... Nunggu..” Ara mengulum bibirnya sendiri, dia bingung harus jawab apa. Gak ingin jadi bahan omongan anak-anak lain saat dirinya menunggu Kak Yuno.

“Nunggu siapa anjir nungga nunggu nungga nunggu,” jawab Bandi sewot.

“Ihhh udah ah nunggu siapa kek kepo amat, lo ngapain juga disini?”

“Lah, ini motor gue. Minggir lu!”

Ara kaget, ternyata motor yang ia sandari bersebelahan dengan motor Kak Yuno ternyata motor Bandi, gadis itu akhirnya menyingkir dari sana. Dan tidak lama kemudian Kak Yuno datang, wajah cowok itu sudah tidak se masam saat pagi tadi. Begitu melihat Ara juga ia langsung tersenyum.

“Udah lama?” tanya Kak Yuno.

Ara menggeleng pelan, “belum kok.”

“Hmm, tadi aku sempat ke kelas kamu, terus ketemu Januar di tangga. Kata dia kamu udah lari duluan keluar, ternyata udah sampe parkiran aja.”

“I..iya, tadi aku kebelet makanya lari duluan. Terus langsung ke parkiran motor deh,” Ara enggak jujur sama yang sebenarnya kalo dia sedikit takut di tinggal Kak Yuno, dia gak mau kelihatan begitu. Biar gimana pun, Ara ini adalah gadis yang memiliki gengsi yang cukup besar.

“Kak Yuno?”

“Ya?”

Yuno yang tadinya sedang melepaskan dua helm yang ia sangkutkan di jok motornya itu berhenti, ia menatap Ara yang kini tengah memilin ujung dasi nya sendiri.

“Aku boleh tanya sesuatu gak?”

Yuno mengangguk, “boleh, mau tanya apa?”

“Tadi pagi.. Aku panggil Kak Yuno, tapi Kak Yuno—”

“Hhmm...” Yuno mengangguk, dan sedikit terkekeh pelan. Kalau di pikir-pikir sikapnya tadi pagi sedikit kekanakan juga.

“Aku sempat,” Yuno menahan kata-katanya sebentar, malu dan ragu berkecamuk di hatinya. Tapi otaknya berkata ia harus jujur agar semua kebingungan di kepala nya terjawab. “Aku sempat sedikit kecewa tadi pagi, Ra.”

“Ke..kecewa? Sama aku?”

“Iya, soal ajakan semalam, yang kamu bilang kalau kamu mau berangkat bareng sama Echa. Ternyata tadi pagi aku lihat kamu berangkat sama cowok lain, Ra, kalau kamu lagi dekat sama cowok lain, tolong kasih tau aku ya, biar aku—” belum selesai Yuno menyelesaikan kalimatnya, Ara justru tertawa ngakak. Saking gelinya tertawa, wajah gadis itu sampai memerah.

“Ra, kok ketawa sih?”

“Aduh, Kak Yuno, sumpah. Jadi Kakak marah karena itu?”

“Gak marah, aku kecewa aja. Apalagi pas aku tau kalau ternyata Echa gak masuk hari ini, aku jadi mikir kamu bilang mau berangkat sama dia cuma alasan aja karena mau berangkat sama cowok yang tadi pagi antar kamu.”

“Kak Yuno, yang tadi pagi itu Kakak sepupu aku. Namanya Mas Iyal, dia anterin aku karna searah. Tadinya emang aku mau berangkat bareng Echa, tapi subuh-subuh dia chat aku bilang gak masuk karena perutnya nyeri banget. Jadi deh aku berangkat bareng Mas Iyal,” jelas Ara yang membuat Yuno terdiam seketika, Yuno malu setengah mati.

“Ka..Kak sepupu?”

Ara mengangguk.

“Mau aku telfon orangnya biar Kak Yuno percaya?”

“Ga..gak, gak usah.”

Saat Yuno kembali membuka pengait helm nya dan mengeluarkan motornya dari parkiran, diam-diam Ara mengulum senyumnya sendiri. Walau dia khawatir Kak Yuno marah, tapi setidaknya sekarang dia tau kalau Kak Yuno ternyata cemburu.

Mereka akhirnya meninggalkan sekolah, Yuno sempat mengajak Ara berkeliling sebentar, membicarakan banyak hal di atas motor yang siang menjelang sore itu tampak cerah. Sampai akhirnya Yuno mengajaknya ke lapangan tempatnya biasa latihan basket sendiri.

“Jadi Kak Yuno kalau latihan basket disini?” tanya Ara, gadis itu duduk di pinggir lapangan sambil sesekali memotret Kak Yuno yang asik latihan sendirian.

“Iya, kadang sama Yuda juga sih. Tapi kan sekarang Yuda udah jadi MABA.”

Yuno kembali melempar bola nya, dan bola itu berhasil masuk ke ring basket, memecahkan teriakan takjub Ara dan tepukan tangan dari gadis itu.

“Kak Yuno keren banget,” pekiknya.

“Kamu mau aku ajarin gak? Sini!”

Ara menggeleng pelan, dia agak sedikit trauma sama bola sejak SMP kelas sembilan, kepalanya pernah kena bola basket sampai pusing. Sejak itu Ara gak berani dekat-dekat sama bola.

“Aku liatin Kak Yuno aja.”

Yuno tersenyum, cowok itu kemudian menghampiri Ara dan duduk di sebelahnya. “Kenapa gak mau?”

“Aku takut sama bola?”

“Takut?”

“Um,” Ara mengangguk pelan. “Kepalaku pernah kena bola di sekolah dulu, sampai pusing kayanya mau pingsan juga deh.”

“Oh ya?”

“Sejak itu aku gak mau dekat-dekat sama bola.”

“Kalau main skuter mau?” Yuno menunjuk ke deretan skuter yang terparkir rapih di taman itu, ada rental penyewaan skuter untuk berkeliling taman di sana.

“Mauuu!” pekik Ara girang.

Keduanya langsung menyewa skuter sore itu, berkeliling di taman sembari sesekali Yuno mengajak Ara untuk balapan dengannya. Sore itu bisa di bilang menjadi hari terbahagia sekaligus bebas untuk Yuno, sampai tidak terasa langit semakin gelap dan bulir hujan pun turun, mereka sempat berteduh di sebuah warung es kelapa. Namun sayangnya seragam yang di pakai Ara sudah sedikit basah, hingga menampakan tank top yang gadis itu pakai. Karena tidak nyaman melihatnya dan khawatir Ara kedinginan, akhirnya Yuno melepaskan hoodie miliknya dan memakaikannya ke Ara.

“Makasih ya, Kak,” ucap Ara sedikit canggung.

“Kita nunggu hujan nya reda dulu yah, baru habis itu pulang. Gapapa kan?”

Ara mengangguk, dia sempat memeriksa ponselnya sebentar. Ara ingin menelfon Bunda. Takut Bunda khawatir karena sudah jam enam sore, tapi Ara belum pulang juga. Namun sayang, ponselnya mati.

“Kenapa, Ra?”

“HP ku ternyata mati, Kak. Lowbat kayanya sih, baru aja aku mau nelpon Bunda.”

“Aku udah izin sama Yuda mau ajak kamu jalan-jalan sebentar, aku lupa minta nomer Bunda kamu. Lain kali aku izinnya sama Bunda yah.”

Ara gak pernah kepikiran jika Kak Yuno sudah meminta izin lebih dulu sama Mas Yuda, hari ini Ara benar-benar di buat takjub sama Kak Yuno. Dan hatinya juga semakin mantap untuk bisa menafsirkan jika Kak Yuno memiliki perasaan yang sama dengannya. Setelah hujan reda, Yuno langsung mengantar Ara pulang. Dan ia pun langsung bergegas pulang ke rumahnya, Yuno sempat berpikir jika Papa belum pulang. Namun ia salah, Papa dan Mama nya sudah pulang.

“Dari mana saja kamu, Yuno?” tanya Papa begitu melihat Yuno pulang. Papa dan Mama sedang mengobrol di ruang tamu.

“Yuno kan bimbel, Pah.”

“Bimbel?”

Papa mendengus, kemudian memperlihatkan ponselnya kepada Yuno. Ada nomer guru di tempat Yuno bimbel yang menelfon ke ponsel Papanya.

“Guru mu hari ini telfon Papa kalau sudah 3 hari kamu enggak ke bimbel. Kemana sebenarnya kamu, Yuno?”

Yuno menunduk, ia tidak berani menjawab lagi. Ia sudah ketahuan berbohong.

“Maafin Yuno, Pah.”

“Papa sedang bertanya kamu sebenarnya kemana? Bukan nyuruh kamu minta maaf, kamu tau kan Yuno. Nilai-nilai kamu enggak boleh turun kalau kamu mau daftar di fakultas kedokteran nanti. Papa daftarkan kamu di banyak bimbel itu untuk kebaikan kamu sendiri, Nak.”

“Yuno... Emang bolos bimbel, Pah. Yuno harus latihan basket karena minggu depan Yuno ada tanding sama SMA tempat Gita sekolah,” jelas Yuno. Ia memang bolos bimbel untuk latihan, dan baru hari ini ia bolos bimbel dan bolos latihan demi bisa berduaan sama Ara.

Papa menghela nafasnya pelan, kemudian mengangguk pelan. Berusaha memaklumi Yuno saat ini. “Yasudah kalau begitu, masuk kamar kamu. Ganti baju, makan, kemudian belajar. Papa gak ingin pertengahan semester nanti Papa lihat nilai kamu turun, mengerti Yuno?”

Yuno hanya mengangguk pasrah, kemudian menaiki tangga menuju kamarnya. Begitu sampai di kamar, Yuno melempar tasnya ke atas ranjang dan mengepalkan tangannya sekuat tenaga. Ia ingin sekali memiliki keberanian untuk menunjukan marahnya, namun Yuno tidak bisa. Ia tidak bisa melakukanya.

“Mama sama Papamu masih ributin soal kamu, Ril?”

Sayup-sayup Ara mendengar suara Bunda dari bawah yang tengah mengobrol dengan seseorang, Ara sudah selesai belajar dan mengerjakan tugasnya. Jadi, gadis itu menutup buku dan merapihkan jadwal pelajaran yang besok mau dia bawa, kemudian bergegas turun ke lantai satu. Bersamaan dengan Ara yang membuka pintu, tiba-tiba saja Reno juga membuka pintu kamarnya. Reno baru saja mau turun, bocah laki-laki itu menghampiri Ara dengan wajah yang sama penasarannya kaya Ara.

“Ada siapa, Dek?” tanya Ara.

“Kayanya Mas Iyal deh, Kak. Tadi aku dengar ada suara motor Mas Iyal.”

Mas Arial itu sepupu Ara, keluarga dari Bunda, Mama nya Mas Arial ini adalah Tante nya Ara. Ara dan Arial hanya berbeda satu tahun, ah, tidak satu tahun juga. Hanya empat bulan saja karena Arial lahir di bulan september tahun 1997 sedangkan Ara lahir di bulan febuari 1998.

Tapi karena Ara menganggap Arial lahir lebih dulu darinya, makanya ia tetap memanggil Arial dengan sebutan 'Mas Arial.' Ara dan Reno kemudian turun dari lantai dua dan benar saja, ada Mas Arial yang duduk di ruang tamu. Tertunduk lemas dengan dua koper besar di sebelahnya dengan wajah kesal sekaligus kecewanya. Kalau sudah begini, Ara sudah sangat paham apa penyebab Mas Arial seperti itu.

“MAS IYALLLL...” pekik Ara, gadis itu berlari kecil ke Arial dan duduk di sebelahnya, memeluk Arial dari samping dengan gemas.

Ara ini lebih dekat dengan Arial ketimbang Yuda, mungkin karena hanya berbeda beberapa bulan mereka jadi sering sejalan. Arial juga lebih memahami Ara yang manja ketimbang Yuda terkadang.

“Kakak, Mas mu lagi gak mood jangan di peluk-peluk dulu,” ucap Bunda memeringati.

“Ihhh, Bunda,” Ara melepaskan pelukannya ke Arial dengan wajah cemberut. Sementara Arial hanya terkekeh canggung sembari mengusap pucuk kepala Adik sepupunya itu.

“Mas Iyal mu bakalan tinggal disini sampai lulus sekolah, sekarang Iyal udah kelas dua belas kan?” tanya Papa pada Arial.

“Iya, Pah.”

Oh iya, Arial ini memang kelas dua belas. Cowok itu adalah siswa akselerasi, Arial pintar sekali di bidang akademik. Dulu waktu SD Arial juga pernah tinggal bersama di rumah keluarga Ara, Om dan Tante sering sekali menitipkan Arial.

“Fokus dulu saja sama sekolahmu ya, Yal. Urusan Papa dan Mama biar nanti Bunda sama Papa yang urus, sana istirahat masuk ke kamarmu,” ucap Bunda.

Arial hanya mengangguk, kemudian memberi isyarat pada Ara untuk ikut bersamanya ke kamar Arial, kamar Arial itu ada di lantai satu. Dekat dengan kamar Papa dan Bunda nya Ara. Begitu sampai kamar Arial gadis itu langsung membantu Kakak sepupunya itu membereskan pakaiannya.

“Mas Iyal kenapa sih harus langsung kelas dua belas? Kenapa gak kelas sebelas aja? Jadi kan bisa disini terus, kata Tante Riani. Mas Iyal bakalan kuliah di Bandung nanti yah?” tanya Ara, gadis itu merajuk.

Arial sering banget ngajarin Ara dari dulu, bukan cuma Ara tapi Reno juga. Kadang Ara bingung kenapa Arial bisa sejenius itu, padahal cara belajar cowok itu terkesan santai. Ah ini sih Arialnya saja yang sudah pintar dari sana nya.

“Mas juga gak tau, tapi Mas senang bisa kelas dua belas terus kuliah, malah pengen cepat-cepat tinggal di Bandung,” ucap Arial yang membuat Ara berhenti menyusun pakaian Arial di lemarinya.

“Mas senang karna mau ninggalin aku sama Reno?”

“Bu..bukan gitu,” Arial ngerasa dia salah ngomong, maka dari itu dia menghampiri Ara untuk menjelaskannya. “Ara paham kan kondisi keluarga Mas Iyal? Mama Papa, Mas?”

Ara mengangguk.

“Mas udah capek di jadiin objek rebutan mereka, Mas bukan senang karna sebentar lagi ninggalin Ara sama Reno, Mas senang karna kalau Mas kuliah di Bandung, Mas bisa berhenti jadi objek rebutan mereka lagi,” jelas Arial.

Ara menghela nafasnya pelan, dia cukup paham dengan penjelasan Arial barusan. Ara yakin, Arial juga pasti sangat lelah melihat kedua orang tua nya bertengkar, dulu, Papa dan Bunda pernah bertengkar setelah itu Reno demam tinggi hingga di rawat di rumah sakit, iya, Reno lihat pertengkaran Papa dan Bunda, sejak itu Papa dan Bunda enggak pernah bertengkar lagi.

“Ara mau lihat Mas Iyal bahagia.”

Arial mengangguk, kemudian merentangkan tangannya yang di sambut pelukan oleh Ara.

“Nanti kalau Ara minta ajarin, Mas Iyal pasti bantuin kan kalo udah kuliah nanti?”

“Pasti!!”

Paginya Yuno baru saja tiba di sekolahan, pagi ini ia membawa motornya lagi ke sekolah. Yuno sudah janji ingin mengantar Ara pulang, sebenarnya semalam ia sudah mengajak Ara untuk berangkat sekolah bersama nya, namun Ara bilang dia berangkat sekolah dengan Echa.

Baru saja Yuno ingin pergi dari parkiran untuk masuk ke dalam kelasnya, tiba-tiba langkahnya terhenti begitu ia melihat Ara datang, namun bukan itu yang membuat Yuno sedikit terkejut. Ara datang bukan bersama dengan Echa, melainkan dengan seorang cowok, Yuno gak lihat wajah cowok itu karena tertutup helm, namun sepertinya mereka begitu akrab, terlihat dari bagaimana cowok itu mengusap pucuk kepala Ara.

siapa cowok itu? pikir Yuno.

Jujur, hatinya panas, Yuno cemburu. Jadi Ara membohonginya? Jika ingin berangkat dengan cowok lain, kenapa Ara harus membohonginya?

“Kak Yuno!!” pekik Ara.

Gadis itu berlari kecil menghampiri Yuno, namun bukanya menunggu Ara hingga mendekat, Yuno malah menoleh dengan cepat kemudian langsung berlari kecil menaiki tangga menuju kelasnya. Meninggalkan Ara yang mematung di tempatnya dengan pertanyaan kenapa Yuno bersikap dingin dengannya.

“Jasmine, sorry,” Yuno melepaskan rangkulan tangan Jasmine di lengannya, dia baru sadar kalau ternyata Ara sudah tidak ada di tempatnya berdiri tadi.

“No.. Kenapa sih?”

Mau gak mau Jasmine jadi melepaskan rangkulan tangannya di lengan Yuno, gadis itu tampak tidak mood waktu sadar Yuno mulai mengabaikannya. Cowok itu terlihat bingung memendarkan seluruh pandanganya ke seluruh area, Jasmine tebak Yuno pasti mencari gadis yang tadi datang bersamanya.

“Kamu cari siapa sih, No?” tanya Jasmine pada akhirnya.

“Ara.”

“Ara? A..Ara siapa?”

“Cewek yang tadi sama aku.”

Jasmine mendengus, benar kan dugaannya barusan.

“Dia pergi kali, ya udah lah gak penting juga emang dia siapa kamu sih sampe kamu panik kaya gitu? Disini itu ada aku, No. Kita baru aja ketemu lagi.”

“Tapi aku punya tanggung jawab karna bawa dia ke sini. Jasmine, sorry aku harus nyari Ara dulu,” ucap Yuno, cowok itu kemudian pergi meninggalkan Jasmine yang masih mematung di tempatnya.

Tidak lama kemudian teman-temanya kembali menghampirinya, Jasmine ini tadinya siswi di SMA yang sama dengan Yuno dan Ara. Mereka dulu satu kelas dan sama-sama siswa yang famous, pintar dan tentunya cantik dan ganteng. Gak heran kalau banyak yang menjodoh-jodohkan Jasmine dengan Yuno, sayangnya saat kenaikan kelas Jasmine harus pindah ke Surabaya karena Papa nya harus dinas di kota itu.

“Cewek tadi tuh siapa sih?” tanya Jasmine pada Siska temanya.

“Anak kelas sepuluh, kalo enggak salah dia Adiknya Kak Yuda deh.”

“Mereka pacaran?”

Siska menggedikan bahunya, “kayanya sih enggak yah, tapi mereka deket. Yuno bahkan udah sering merhatiin itu cewek dari dia masih MOS.”

Jasmine yang mendengar itu jadi semakin tidak mood gadis bernama Ara itu bisa menjadi ancamannya dengan Yuno. Karena sering di jodoh-jodohkan, Jasmine jadi menaruh hati lebih dulu ke Yuno. Anggap saja dia baper, makanya mendengar kali ini ada gadis yang Yuno dekati. Jasmine jadi merasa keberadaan Ara mengancamnya.

Sementara itu, Yuno masih berkeliling ke penjuru rumah Baby yang cukup luas. Bertanya pada satu persatu teman-temanya apakah ada yang melihat Ara atau tidak, jika kalian bertanya kenapa Yuno tidak menelfon Ara saja, cowok itu sudah menelponnya namun Ara tidak menjawab panggilan darinya itu.

Yuno hanya takut, Ara salah paham. Dia juga takut Ara merasa ia abaikan begitu ia bertemu dengan Jasmine, padahal kenyataanya sama sekali enggak, Jasmine terus mengajaknya bicara dan merangkulnya, membawa Yuno perlahan menjauh dari tempatnya bersama Ara tadi.

so..sorry, Do, lo liat Ara gak?” tanya Yuno pada Ido yang sedang asik duduk sendirian.

“Dia udah balik,” jawab Ido ketus, ah, cowok itu memang selalu begitu.

“Ba..balik? Sendiri?”

“Sama Genta.”

“Genta?”

Ido mengangguk, “karena lo lagi asik sama cewek lain, dia mungkin jadi ngerasa di cuekin.”

“Gue tadi—”

“Lo gak perlu ngejelasin apa-apa sama gue, No. Gue bukan cewek yang lo bawa ke sini.”

Yuno hanya diam, cowok itu mematung di tempatnya. Namun setelahnya Yuno mengetikkan pesan singkat untuk Ara, kemudian berlalu dari sana. Sejujurnya Yuno ingin sekali menyusul Ara ke rumahnya dan menjelaskan pada gadis itu secara langsung, namun Papa nya sudah menyuruhnya untuk pulang.


Paginya Yuno pergi ke sekolah lebih awal, ia bahkan melewatkan jam sarapannya demi bisa sampai di sekolah lebih dulu. Yuno tidak bisa tidur, dia merasa bersalah dan merasa ia punya hutang penjelasan pada Ara. Dan pagi ini, cowok jangkung itu sudah berada di tangga menuju kelas sepuluh berada. Biasanya Ara datang jam enam lewat lima belas menit, itu artinya lima menit lagi seharusnya gadis itu tiba.

“Dih, Bang Yuno. Ngapain lo diri disitu udah kaya patung selamat datang aja,” ledek Janu, cowok itu memang selalu datang pagi. Janu sudah datang dari tadi dan cowok itu baru saja dari kantin menuju kelasnya.

“Gue nungguin Ara.”

“Dih, Ara? Anaknya udah di kelas noh, ngapain lo nungguin disini.”

Yuno membulatkan matanya, jadi gadis itu sudah datang dari tadi? “di kelasnya? Kenapa lo baru ngomong?”

“Dih, gue juga baru liat elu dan elu baru ngomong kalo nungguin Ara.”

Mengabaikan ocehan Januar yang bagikan dengungan nyamuk di telinganya, Yuno sedikit berlari menaiki tangga menuju kelas Ara berada. Dan benar saja ucapan Janu barusan, Ara sudah datang. Gadis itu ada di kursinya, sedang duduk bersama Echa namun dengan wajah yang ia sembunyikan di atas meja. Di sebelahnya Echa menepuk-nepuk pundak Ara.

Yuno enggak tahu kenapa, tapi melihat Ara yang seperti itu, perasaan bersalahnya menjadi berlipat-lipat. Ia takut gadis itu menangis karena perlakuannya semalam.

“Ada apaan sih, Bang? Elu bukanya masuk juga. Katanya nyariin Ara,” Ucap Janu menepuk pundak Yuno.

“Ara kenapa ya, Nu?”

“Mana gue tau, gue mau dengerin dia cerita ke Echa aja gue malah di usir. Makanya gue ke kantin aja makan, kalo elu penasaran. Mending samperin aja terus tanya kenapa, udah sampe disini juga masa cuma bengong diri di sini.”

Yuno menimang-nimang sebentar ucapan Janu, sampai akhirnya keraguannya itu untuk menghampiri Ara memudar. Benar kata Janu, ia sudah sampai disini. Lebih baik ia hampiri Ara dan menjelaskan semuanya. Meninggalkan Janu, akhirnya Yuno masuk ke dalam kelas Ara. Semua anak kelas sepuluh di kelas itu bingung sekaligus kaget waktu Yuno berhenti di kursi milik Ara dan Echa.

“Ra,” Echa menepuk pundak Ara membuat gadis itu mendongakkan kepalanya menatap Echa, kemudian ia sedikit terkejut mengetahui Yuno ada di depannya.

“Bisa kita ngomong sebentar gak, Ra? Aku harus ngejelasin sesuatu ke kamu,” ucap Yuno.

Ara menatap Echa sebentar, setelah mendapat anggukan kecil oleh temanya itu akhirnya Ara berdiri dan mengajak Yuno keluar dari kelasnya. Enggak enak bicara di kelas, ada banyak telinga yang pasti penasaran kenapa Yuno datang ke kelas dan menghampirinya. Mereka bicara berdua di depan perpustakaan, kelas sepuluh itu ada di lantai empat bersama dengan perpustakaan dan lab komputer berada.

“Kak Yuno mau ngomong apa?” tanya Ara, mata gadis itu sayu. Tidak seperti biasanya yang selalu berbinar ketika berbicara dengan seseorang.

“Soal semalam,” Yuno menghela nafasnya pelan. “Aku minta maaf.”

“Kenapa minta maaf?”

“Karena.. Mungkin kamu ngerasa aku cuekin waktu aku ketemu sama Jasmine, yang kedua, karena aku gak sadar kamu pulang. Aku di kasih tau Ido kalo kamu semalam di antar sama Genta,” jelas Yuno penuh penyesalan.

“Gapapa, aku bisa maklumi kok, Kak Yuno cuma mau ngomong ini aja kan? Kalo udah selesai, boleh aku balik ke kelas?”

Yuno menggeleng, cowok itu menahan tangan Ara agar tidak pergi meninggalkannya. “Jasmine bukan siapa-siapa aku, Ra. Dia cuma teman sekelas aku dulu.”

Penjelasan Yuno barusan membuat Ara terpaku di tempatnya, dia sama sekali enggak nyangka kalau Kak Yuno bakalan jelasin siapa gadis bernama Jasmine itu.

“Kak Yuno kenapa harus jelasin ini ke aku?”

Yuno tidak menjawab, cowok itu belum mau mengakui perasaanya pada Ara. Dia mau pastiin dulu bagaimana perasaan Ara padanya, jujur. Ini pertama kalinya Yuno jatuh cinta, dan dia takut jika perasaanya itu tidak berbalas. Yuno belum siap sakit hati.

“Aku cuma gak mau kamu salah paham,” ucap Yuno.

Dalam hati Ara lega, namun sekaligus bingung bagaimana ia harus memberi reaksi terhadap jawaban Kak Yuno ini.

“U..um,” Ara mengangguk.

Tidak lama kemudian bel masuk pun berbunyi, Ara sedikit lega karena ia tidak harus memberikan jawaban apa-apa lagi oleh Yuno. Setelah kembali ke kelas masing-masing, hati Ara sedikit lega. Setidaknya dia tahu kalau gadis bernama Jasmine itu bukan gebetan Kak Yuno.

Malam ini Yuno berhasil membawa Ara ke pesta ulang tahun Baby temanya, Yuno dengan gentle menjemput Ara di rumahnya, meminta izin kepada kedua orang tua gadis itu dan juga pada Yuda. Yuno senang bertemu orang tua Ara, keduanya baik dan hangat. Pantas saja Ara memiliki kepribadian yang hangat, lembut dan sedikit pemalu. Gadis itu besar di keluarga yang baik-baik.

Mereka sudah tiba di rumah Baby, rumahnya besar dan ramai di datangi oleh siswa yang di dominasi kelas sebelas dan beberapa kelas dua belas. Hanya Ara saja yang berasal dari kelas sepuluh, ah iya, semua tamu undangan yang datang wajib membawa pasangan.

Di sebelah Yuno, Ara dengan gelisah meremas ujung dress yang ia kenakan, jujur saja. Ara sedikit malu dan cemas karena tidak ada orang lain yang ia kenal selain Kak Yuno, Kak Genta dan tentunya laki-laki berwajah jutek yang Ara sendiri malas menyebutkan namanya. Siapa lagi kalo bukan Kak Ido, ah iya, ngomong-ngomong hanya cowok itu saja yang datang sendiri. Kayanya juga, Ido gak perduli dengan bagaimana sang pemilik acara menceramahinya karena tidak membawa pasangan.

“Baby, happy birthday ya,” ucap Yuno, cowok itu menjabat tangan Baby dan memberikan kotak kado yang kemarin ia beli bersama Ara.

“Ahhh Yuno,” Baby tersenyum, menyambut uluran tangan itu dan kemudian melirik Ara yang berdiri di belakang Yuno. “by the way lo dateng sama siapa?”

“Ah iya,” Yuno menarik pelan tangan Ara, membawa gadis itu untuk berdiri sejajar dengannya. “Kenalin, ini Ara. Adik kelas kita, dia anak sepuluh IPS satu,” jelas Yuno mengenalkan Ara pada Baby.

“Ha..hi Kak Baby, happy birthday ya Kak.” sama seperti Yuno, Ara juga menyalami Baby, jujur, Ara gak berekspektasi jika Baby akan seramah dan sehangat ini padanya.

“Hai, Ara. Makasih banyak yaah udah datang, by the way gak usah canggung gitu ah, nikmatin aja yah, eh, No. Ajak ke sana gih, ambil cake sama minuman.”

Yuno terkekeh pelan, kemudian mengangguk kecil. “Kalo gitu. Gue ke sana dulu yah, sekali lagi. happy birthday, By.”

Setelah berpamitan pada Baby, Yuno menggandeng Ara melewati kerumunan siswa dan siswi lainya. Semua mata tertuju pada Yuno dan Ara, jujur saja Ara canggung dan benci menjadi pusat perhatian. Meskipun ia merasa sedikit nyaman dengan bagaimana Kak Yuno menggandeng tangannya, sepertinya Kak Yuno tahu kalau Ara tidak begitu nyaman berada di sana.

Semua orang yang dilewati Yuno dan Ara memperhatikan mereka berdua, sesekali mereka juga berbisik, bingung kenapa Yuno justru membawa Ara untuk menghadiri pesta ulang tahun Baby malam itu. Tentunya Ara sudah bisa menebak, jika setelah ini ia akan menjadi bahan gosip di sekolah.

“Minum dulu yah.” Yuno memberikan segelas cola untuk Ara dan satu slice cheese cake untuk gadis itu, mereka berdiri di dekat kolam renang. Area itu yang agak sedikit sepi.

“Makasih ya, Kak.”

Ara meminum sedikit cola nya, setelah itu, Gadis itu menghela nafasnya pelan, ia baru bisa sedikit bernafas lega waktu mereka berhasil lolos dari kerumunan teman-teman Kak Yuno. Dan ekspresi Ara yang seperti itu membuat Yuno terkekeh pelan, baginya wajah Ara ketika tegang tadi sedikit lucu.

“Kok ketawa Kak?” tanya Ara.

Yuno menggeleng, “gapapa, lucu aja.”

“Emangnya aku badut apa.”

“Ra?”

“Ya, Kak?”

“Kamu enggak nyaman yah?”

Ara meringis, namun demi menghargai Kak Yuno gadis itu menggeleng pelan. “Enggak, Kak. Cuma sedikit canggung aja.”

Yuno tersenyum, memperhatikan wajah cantik yang berada di depannya itu yang sedang mencicipi cheese cake yang tadi ia ambil.

“Tapi aku suka lihat kamu malam ini, Ra.”

“Su..suka?” untung saja Ara tidak tersedak mendengar ucapan Kak Yuno barusan.

“Iya, suka. Kamu cantik banget.”

Ara yakin, wajahnya saat ini pasti sudah seperti kepiting rebus. Ia juga merasakan udara di sekitar mereka sedikit memanas saat Kak Yuno mengatakan jika ia cantik malam ini.

“Ak..aku sempat gak percaya diri padahal.”

“Kenapa?”

Ara menghela nafasnya pelan, mengingat satu jam yang lalu ia sempat mematung di depan kaca. Ia masih merasa asing dengan make up natural mahakarya Cindy di wajahnya. Tapi siapa sangka, jika hasil make up Cindy di wajahnya membuahkan pujian dari Kak Yuno.

“Karena aku gak pernah pakai make up sebelumnya, Kak.”

“Tapi kamu nyaman?”

Ara mengangguk. “Aku cuma takut kelihatan aneh.”

“Ra, lain kali. Jangan maksa apapun itu yang bikin kamu enggak nyaman, aku lebih suka kamu jadi diri kamu sendiri.”

Setelah mengatakan itu Kak Yuno tersenyum, mata mereka bertemu beberapa saat dan itu membuat degup jantung Ara berdegup tidak karuan. Namun sedetik kemudian beberapa gadis menghampiri Yuno dan Ara yang masih asik mengobrol di dekat kolam renang. Gadis asing, dan beberapa siswi kelas sebelas yang Ara kenal.

“Haii Yuno!!” gadis berambut panjang yang wajahnya asing itu tiba-tiba saja memeluk Yuno. Membuat Ara yang berada di sana merasa tidak nyaman.

“Jasmine..” ucap Yuno bingung.

“Aku kangen banget sama kamu.”

Mendengar ucapan gadis bernama Jasmine tadi, hati Ara merasa sakit. Jujur saja Ara cemburu, dan rasanya matanya sedikit memanas. Desiran bagai kembang api di hatinya tadi berubah menjadi sebuah rasa pedih.

“Ka..kamu kok bisa disini?” tanya Yuno lagi.

Yuno tidak memeluk balik gadis itu, namun tidak melepaskan pelukannya juga. Ia hanya mematung menatap gadis-gadis lain kelas sebelas dengan bingung, namun tidak lama kemudian gadis bernama Jasmine tadi melepaskan pelukannya.

“Aku di undang Baby. Aku juga kangen sama kamu, makanya aku datang ke Jakarta.”

Ara tidak sanggup lagi melihat pemandangan di depannya, jadi gadis itu menyingkir dari sana. Ara enggak tahu mau kemana dan mengajak bicara siapa, dia bingung. Yang terpenting baginya saat ini adalah, lari saja dulu dari sana. Sedang berjalan sedikit cepat menghindari kerumunan di sana, tiba-tiba saja bahu Ara menabrak orang lain hingga Ara limbung dan jatuh.

“EH HATI-HATI KEK LO! JALAN TUH LIAT-LIAT!” bentak seseorang yang tidak sengaja Ara tabrak.

“Ma..maaf, Kak.”

“Eh apaan sih lo, jelas-jelas lo yang nabrak pake marahin dia lagi,” itu adalah suara yang Ara kenal, Ara mendongak demi melihat orang yang membelanya. Dan benar saja dugaan Ara, itu adalah suara Kak Genta.

Kak Genta ini adalah Kakak kelas Ara di SMP dulu, dan mereka bertemu lagi di SMA. Mereka dulu dekat, Kak Genta banyak membantu Ara, terutama waktu mereka masih satu ekskul dulu.

“Kak Gen?” ucap Ara.

Kak Genta menghela nafasnya pelan, kemudian membantu Ara berdiri dan membersihkan kotoran di dress yang di kenakan gadis itu.

“Kamu kok bisa di sini? Sama siapa ke sini?” tanya Kak Genta.

Ara tidak menjawab, ia hanya menunduk dan melirik Kak Yuno yang masih di monopoli oleh gadis bernama Jasmine tadi.

“Kak Genta bisa anterin aku pulang gak? please Kak, Ara mohon..” ucapnya lirih.

Siang menjelang sore itu, Ara dan Echa akhirnya memutuskan untuk mengunjungi sebuah mall, mendatangi satu persatu toko baju dan mencoba beberapa baju yang di rasa cocok untuk Ara. Sudah sekitar 1 jam mereka berkeliling namun rasanya Ara urung menemukan baju yang cocok untuknya.

Dalam hati, ia juga jadi bingung sendiri. Enggak biasanya dia kaya gini. Ara itu terkesan cuek, dia percaya diri-percaya diri aja pakai baju yang dia punya asalkan itu membuatnya nyaman dan sopan. Tapi kali ini berbeda, dia ingin beda dari hari-hari biasa. Setelah memakai midi dress yang Echa pilihkan gadis itu keluar dari fitting room untuk melihat reaksi temannya itu.

“Gimana, Cha?” tanyanya dengan wajah murung, Ara sudah lelah dan sedikit bingung dengan dirinya sendiri.

“Ra, kayanya jangan deh. Ini terlalu terbuka, ganti deh cari yang lain aja,” ucap Echa, alih-alih masuk kembali ke dalam fitting room Ara malah berjongkok di depannya dan menghela nafas keputusasaannya itu.

“Ih lo kenapa?”

Ara hanya menggeleng pelan, menatap setumpukkan baju yang tadi mereka ambil di tempat-tempat yang berbeda.

“Gue bingung, Cha.”

“Bingung kenapa ih? Ini kan gue bantuin, Ra.”

“Bukan itu.”

“Terus?” Echa akhirnya ikut berjongkok di depan Ara.

“Gue kaya enggak biasanya begini.”

“Emang biasanya lo kaya gimana?” Echa emang belum mengenal Ara sepenuhnya, maklum aja mereka baru 2 bulan kenal jadi wajar aja kan dia belum tau Ara orangnya kaya gimana, meskipun mereka udah merasa sedekat ini.

“Gue biasanya cuek aja mau pake baju apa aja, tapi kenapa kali ini rasanya beda. Apa gue udah kehilangan diri gue sendiri yah, sejak suka sama Kak Yuno?”

Ara masih belum sadar, dia masih terlalu buta kalau dirinya sedang jatuh cinta. Untuk pertama kalinya Ara menyukai laki-laki, makanya dia ngerasa ingin selalu terlihat sempurna di depan orang yang ia sukai.

“Ra, lo sadar gak sih sebenarnya lo lebih dari suka sama seseorang?” Echa memejamkan matanya sebentar, di rasa kalimat itu kurang tepat untuknya. “Gini, maksud gue, lo tuh lagi jatuh cinta, Ra. Jadi wajar aja kalau mau kelihatan perfect terus. Ya.. Apalagi gebetan lo Kak Yuno,” jelas Echa.

“Emang iya ya, Cha?” Ara natap Echa dengan pandangan bingung, dan itu sontak membuat echa terkekeh. Dia gemas sendiri karena Ara sepolos itu, Echa jadi penasaran, apa temannya itu sebelumnya gak pernah menyukai seseorang?

“Lo tuh udah pernah pacaran belum sih?”

Ara menggeleng.

“Pantesan,” Echa mendengus. “Gini yah, Ra. Sepengalaman gue yang udah pernah suka sama orang dan pacaran, gue tuh paham banget elo lagi di fase falling in love.

“Emang iya ya, Cha? Jadi gue gak kehilangan diri gue sendiri sebenernya?”

“Gini, lo cantik gini buat Kak Yuno atau buat kepuasan diri lo sendiri?”

Ara diam, tapi dia menunjuk dirinya sendiri dengan kedua mata yang berkedip polos.

“Nah!!! Berarti lo dandan dan mau merubah diri jadi lebih baik karena emang lo mau kelihatan cantik dan bikin diri lo sendiri puas, lagian selain itu. Kita kan juga lagi puber gak sih? Kalo kata Kak Jo, masa SMA gini kita lagi nyari jati diri.”

“Lo kok tau segala hal sih, Cha?”

Echa cuma senyum-senyum sendiri, gadis itu kemudian membantu Ara berdiri dan menyerahkan pakaian selanjutnya yang harus Ara cobain. Waktu mereka enggak banyak, mereka juga harus segera ke toko make up dan kemudian ke rumah Cindy.

“Udah, gausah galau lo, sekarang mendingan lo cobain lagi nih baju-bajunya. Waktu kita enggak banyak, kita kudu beli make up sama ke rumah Cindy.”


Setelah selesai ke mall kemudian ke rumah Cindy, Ara langsung pulang. Dia gak mampir lagi ke rumah Echa karena sudah malam, Ara juga harus belajar dan mengerjakan PR nya. Dan saat ini, gadis itu tengah bingung. Gimana caranya dia membawa paper bag berisi belanjaannya itu masuk ke dalam kamarnya. Bunda pasti belum tidur, biasanya jam segini Bunda itu sedang menjahit di ruang tamu.

Sedang sibuk memikirkan bagaimana ia bisa masuk, tiba-tiba saja suara motor milik Mas Yuda menginterupsinya, Ara berdiri dengan muka panik. Lain halnya dengan Mas Yuda yang justru cengar-cengir dan Reno yang terlihat bingung, iya, Reno. Mas Yuda pulang jemput Reno dari bimbel nya.

“WAHHH ABIS BELANJA-BELAN—MMMMPPPH” belum sempat Mas Yuda menyelesaikan ucapannya, Ara langsung membekap mulut kakaknya itu agar tidak melanjutkan ucapannya.

“Mas Yuda please jangan berisik anjir nanti ketahuan Bunda.”

“HUH!” Mas Yuda melepaskan tangan Ara, kemudian kembali dengan cengiran jahil menyebalkannya itu. “Parah di transfer duit jajan lebih sama Papa malah belanja baju sama make up. Gue cepuin luh,” ancamnya.

“Kakak di transfer duit jajan lebih sama Papa?” tanya Reno dengan wajah irinya.

“Sssstttttt!” Ara berdesis, gadis itu menaruh telunjuknya di depan bibir agar Adik dan Kakaknya itu diam. “please jangan ember, Kakak juga minta lebihan gini tuh jarang.”

“Ihhh Reno juga mau.”

“MAS YUDA SIH AHHHH.”

Kalau sudah cemberut gini, Yuda jadi ketar ketir sendiri. Masalahnya Ara kalau ngambek itu pasti nangis, nanti kalau ketahuan Bunda sudah pasti yang jadi target sasaran di omeli itu Yuda.

“Udah-udah, ini kenapa kamu gak buruan masuk? Bukanya masuk terus belajar juga,” ucap Yuda pada akhirnya.

“Takut di tanya-tanya sama Bunda,” ucap Ara lirih.

“Gitu tuh kalau jajan gak bagi-bagi Adiknya,” samber Reno, bocah itu masih enggak terima Kakaknya dapat uang jajan lebih.

“Udah nanti kalau ditanya-tanya jawab jujur aja, lagian kamu kan emang di ajak ke party nya Kakak kelas. Mas Yuda juga kenal sama Baby kok.”

“Bukan itu Mas Yud masalahnya.”

“Terus?” Yuda mengangkat satu alisnya bingung.

“Bunda pasti marahin aku, apalagi kalau beli make up.”

“Ya emang kenapa? Kan kamu cewek, emangnya aneh? Kecuali Mas Yuda yang beli make up baru aneh, Udah buruan masuk ah.”

Dan benar saja ucapan Yuda, Bunda mereka enggak marah, Bunda cuma meriksa apa aja yang Ara beli. Bunda juga cuma nanya Ara beli baju dam make up sebanyak itu dalam rangka apa, setelah itu Bunda justru mengajari Ara make up yang simpel sesuai dengan umur Ara. Bunda cuma enggak ingin, Ara terlihat dewasa dari pada anak seusianya. Apalagi Bunda tahu kalau Ara baru kelas sepuluh.

“Kakak tuh lagi suka sama seseorang yah?” tebak Bunda, waktu Bunda lagi nyisirin rambut Ara di depan meja rias anaknya itu.

“Kelihatan banget yah, Bun?” tanya Ara.

Bunda hanya tersenyum, kemudian duduk di ranjang Ara sembari memperhatikan anaknya itu.

“Sama siapa, Kak?”

“Kakak kelasku, Bun. Mas Yuda juga kenal kok.”

“Namanya?”

Ara tersipu, alih-alih hanya memberitahu nama Yuno. Ara justru mengambil ponselnya dan menunjukkan foto Yuno pada Bunda.

“Namanya Kak Yuno, Bun.”

Bunda memperhatikan foto Yuno, kemudian tersenyum dan mengangguk pelan. “Ganteng, kelihatanya anak baik yah.”

“Baik banget, Bun. Kak Yuno juga gentle banget terus pinter lagi.”

“Oh yah?”

Ara mengangguk pelan, “dia pernah juara 1 O2SN catur, terus di gadang-gadang bakalan jadi ketua osis sama kapten basket juga. Hebat yah. Bunda kalo masih muda kira-kira bakalan suka gak sama Kak Yuno?”

“mungkin..”

Bunda tersenyum, kemudian mengusap pucuk kepala anak perempuan satu-satunya itu. Ara jarang bercerita kalau enggak di tanya, beda sama Reno yang selalu cerita kesehariannya di sekolah dan di bimbelnya. kalau Yuda, si sulung itu kadang cerita kadang enggak, Yuda itu cuek dan lebih sering bercanda dari pada seriusnya.

“Bunda gak larang Kakak buat suka sama lawan jenis, udah seharusnya. tapi Bunda cuma pesan Kakak harus bisa jaga diri dan yang paling penting,” Bunda menjeda kata-katanya sebentar. “prestasi Kakak di sekolah enggak boleh menurun, paham?”

“SIAP!!!”