How To Stay ✔️

Jung Jaehyun, Ruruhaokeai, Lee Juyeon, Lee Sangyeon, Lee Naeun, Kang Hyewon

Hari ini Ara mengajak Hana untuk menemaninya belanja bulanan di supermarket, biasanya hal ini dia lakukan berdua sama Yuno. Apalagi kebutuhan yang mereka beli itu lumayan banyak, biasanya Yuno yang akan mendorong troli dan Hana yang Ara gandeng. Yuno setia mengikuti langkah Ara menyusuri lorong demi lorong di supermarket demi membeli kebutuhan mereka.

Tapi hari ini Ara justru sendirian, ia menyusuri lorong demi lorong hanya bersama dengan Hana. Kadang Ara merasa beruntung memiliki putri yang jauh lebih dewasa dari anak seusianya, Hana enggak banyak minta ini itu kaya anak-anak lain kalau di supermarket. Anak itu hanya bertanya untuk hal yang ia lihat dan tidak ia ketahui.

Seperti saat ini, Ara sedang memilih deterjen yang ada di rak lorong detergen dan sabun-sabun. Hana di gandengannya itu memperhatikan Ibu nya membaca satu persatu kelebihan detergen di sana, dan membandingkan aroma nya.

“Ibu lagi milih apa sih?” mata bocah itu berkedip penuh rasa ingin tahu, membuat Ara tersenyum menahan rasa gemasnya itu.

“Ini detergen, sayang.”

“Detergen itu apa, Buk?”

“Untuk cuci baju, biar baju Hana wangi terus lembut dan nyaman di pakai.” Ara mengambil 3 detergen cair ukuran besar dan menaruhnya di troli yang sudah hampir penuh itu.

“Semacam sabun yah, Buk?”

“Ya fungsinya sama kaya sabun.” Ara menggandeng tangan Hana lagi, satu tangannya ia pakai untuk mendorong troli belanjaannya.

“Hana mau jajan apa lagi sayang? Mau beli susu coklat, um? Atau mau rasa strawberry? Kan susu kotak Hana di rumah udah mau habis.”

Keduanya beralih menyusuri lorong snack-snack, biasanya setiap menonton TV atau belajar. Yuno itu suka banget ngemil, Hana juga. Jadi Ara mengambil beberapa cemilan kesukaan Suami dan anaknya itu dan menaruhnya ke dalam troli.

“Hana mau susu strawberry aja nanti, Buk.” bocah itu kemudian berjalan ke rak berisi berbagai macam coklat, ia kemudian mengambil 1 batang coklat di sana dan melihat ke arah Ibu nya dengan wajah penuh harapan.

“Ambil, Kak. Kalau Kakak mau, Ibu gak larang. Ambil secukupnya yah.”

Hana mengangguk, wajahnya ceria sekali saat Ibu nya mengizinkannya mengambil coklat. “Makasih, Buk.”

Setelah memastikan semua kebutuhannya sudah masuk ke dalam troli, Ara kemudian menuju ke kasir. Kebetulan hari itu supermarket agak sedikit ramai, bahkan antreannya sampai ke lorong bagian daging beku dan ikan segar.

Saat sedang mengantre, sesekali Ara menimpali cerita Hana tentang temannya yang memiliki kucing yang baru saja melahirkan, tapi lama kelamaan Ara menyadari kepalanya sedikit berdenyut dan peluh membanjiri keningnya. Ara ngerasa sekelilingnya berputar, tapi dia enggak mau menunjukan apa yang sedang ia rasakan karena takut Hana khawatir.

“Sayang? Kita duduk di sebelah sana sebentar yuk, Ibu agak sedikit capek.” Ara menggandeng Hana ke kursi yang kebetulan ada di dekat counter kosmetik. Ada staff yang berjaga juga di sana dan petugas kasir yang memang di tugaskan untuk berjaga di counter kosmetik.

“Ibu kok keringetan?” tanya Hana, bocah itu mengusap keringat di kening Ibu nya dengan tangannya.

“Ibu agak sedikit capek, kan Ibu sambil bawa adik Nathan,” alibi Ara.

“Oh, iya. Hana lupa,” ia terkekeh, kemudian duduk di sebelah Ibu nya. Tangannya enggak melepaskan gandengan Ibu nya itu.

“Hana cerita lagi soal kucingnya Brian dong, Sayang. Ibu kan belum dengar semuanya tadi, Kakak kan belum selesai cerita.” Ara mau mengalihkan pikiran Hana, dia gak mau Hana curiga kalau ia sakit. Sembari mendengarkan Hana cerita, Ara mencoba menghubungi Jeff ke ponsel Yuno. Ara berharap Jeff mengangkatnya dan setidaknya menjemputnya ke supermarket.

“Iya, Buk. Terus anak kucingnya ada 4 warna nya sama kaya induknya, kata Brian kalau kucingnya sudah bisa jalan. Brian mau kasih anak kucingnya ke Kakak 1, Hana boleh rawat anak kucingnya gak, Buk?”

Ara gak menjawab pertanyaan Hana itu, ia sibuk memejamkan mata karena tidak tahan dengan sekelilingnya yang tampak berputar, peluh di keningnya juga terus menetes hingga ke leher dan membasahi baju yang Ara kenakan.

Hana yang sadar tidak ada sahutan dari bibir Ibu nya itu menoleh ke arah Ibu nya, Ara sudah memejamkan matanya dan merintih kesakitan.

“Ibu? Ibu kenapa?” tanya Hana, bocah itu berdiri dan menepuk-nepuk pipi Ibu nya dengan wajah yang tampak khawatir.

“Ibu... Ibu kenapa..” Hana mulai panik, apalagi saat Ibu nya enggak menjawab pertanyaannya. Hana mulai menangis, ia mencoba mencari bantuan orang dewasa yang melewatinya untuk membantu Ibu nya.

“Tolong... Om, Tante. Tolongin Ibu nya aku... Hiks.. Tolongin Ibu, Ibu pingsan..” ucap Hana.

Beruntungnya orang-orang yang ada di sekitar sana langsung menolong Hana, beberapa orang berkerubung. Ada yang mencoba untuk memeriksa kondisi Ara dengan memberikan minyak angin, dan sebagian lagi menenangkan Hana yang masih menangis.

“Mbak?? Telfon Suaminya, Mbak. Biar saya yang bicara,” ucap salah satu Ibu-Ibu yang memakaikan Ara minyak angin, Ara belum membuka matanya. Tapi dia juga enggak pingsan, setiap kali Ara membuka matanya. Semua yang ada di depannya selalu nampak berputar, membuat kepalanya semakin pusing dan perutnya mual.

“Tolong tenangin anak saya, Buk..” bisiknya lirih. Samar-samar Ara mendengar Hana menangis, ia ingin membuka matanya namun kepalanya masih terasa berputar.

“Permisi, bisa minggir sebentar, maaf.” ucap seseorang di sana. “Loh, Ara?” pekiknya, laki-laki itu langsung memeriksa kondisi Ara. Memeriksa denyut nadi nya untuk memastikan kondisi wanita itu.

“Mas? Mas nya kenal?” tanya salah satu Bapak-Bapak di sana.

“Saya dokter, wanita ini pasien saya, saya dokter obgyn nya.” jelas laki-laki itu, itu adalah Dokter Bagas. Kebetulan Dokter Bagas juga sedang membeli beberapa kebutuhan di supermarket, begitu ia ingin membayar belanjaannya. Ia justru mendapati kerubungan orang yang kelihatan nampak panik, ternyata ada wanita hamil pingsan. Dokter Bagas yang seorang dokter itu tergerak untuk memeriksa kondisi wanita itu, dan siapa sangka jika wanita itu adalah Ara pasiennya.

“Bu, tolong bantu saya bawain barang-barangnya, Mbak Ara. Saya yang akan bawa dia ke rumah sakit, kebetulan Suaminya dokter. Mungkin beliau sedang sibuk makanya telfon dari Istrinya enggak di angkat.”

Ara akhirnya di bawa ke rumah sakit oleh Dokter Bagas ke rumah sakit terdekat, sesampainya di rumah sakit pun Dokter Bagas yang menjadi wali untuk Ara dan sampai Ara di tangani oleh dokter pun Yuno tidak menjawab panggilan dari Istrinya itu.

Ada rasa marah ketika Bagas mencoba menelfon Yuno dengan ponselnya namun berakhir dengan penolakan, yup. Yuno menolak panggilan darinya. Saat Bagas mencoba mengiriminya pesan pun, Yuno enggak membaca pesan darinya. Di kursi ruang tunggu Bagas bertanya-tanya sesibuk apa laki-laki itu sampai mengabaikan panggilan sebegitu banyak dari Istrinya?

Selama Ara di tangani di UGD, Bagas juga menemani Hana. Bocah itu sudah tidak menangis, tapi wajahnya masih terlihat cemas memikirkan Ibu nya, membuat Bagas jadi enggak tega sendiri melihatnya.

“Hallo, putri cantik ini namanya siapa? Om belum kenalan sama putri cantik ini.” Bagas jongkok di depan Hana, mengusap jejak-jejak air mata bocah itu dengan sapu tangan yang selalu ia bawa di saku nya.

“Hana, Om.” cicit Hana, ia masih menunduk memegangi ponsel Ibu nya itu. Berharap sang Papa menghubunginya dan menjemputnya di rumah sakit.

“Namanya bagus, Hana tau gak arti dari namanya Hana itu apa?”

Hana hanya menggeleng, Bagas berhasil mengalihkan perhatian Hana. Wajahnya juga sudah tidak terlihat begitu cemas, malahan kali ini hanya terlihat sirat ingin tahu dari kedua matanya yang bulat.

“Hana itu artinya kebahagiaan dan berkat, kalau dalam bahas Korea artinya satu. Namanya bagus, Hana anak pertama yang membawa kebahagiaan.” Dokter Bagas jelas tahu Hana adalah anak pertama Yuno dan Ara, karena dulu Dokter Bagas yang menangani langsung proses persalinannya.

“Kalau Om namanya siapa?”

“Nama Om?” Bagas menunjuk dirinya sendiri, kemudian Hana mengangguk. “Nama Om, Bagas. Panggil Om Bagas aja yah, Hana gak perlu takut. Om ini temannya Papa dan dokternya Ibu.”

“Tapi Hana khawatir sama Ibu, Hana takut Ibu sama Adik bayi sakit.” wajah anak itu kembali murung, membuat Bagas juga ikut sedih melihatnya.

“Hana, hey. Gapapa, Sayang. it's okey wajar Hana khawatir kalau Ibu dan Adik bayi kenapa-kenapa, itu kan artinya Hana sayang sama mereka, tapi Sayang, Ibu dan Adik bayi pasti baik-baik aja. Kan ada dokter di dalam yang lagi periksa Ibu. Tugas Hana di sini berdoa supaya Ibu cepat membaik, Yah.” Bagas mengusap pucuk kepala Hana.

Tidak lama kemudian dokter yang memeriksa Ara keluar dari UGD, Bagas langsung menghampiri dokter tersebut untuk menanyakan kondisi Ara, sementara Hana, Bagas memintanya untuk tetap menunggu di kursi ruang tunggu. Karena anak di bawa umur di larang masuk ke dalam UGD.

“Gimana sama keadaan Ara, dok? Hyper tensi nya kambuh yah?” tanya Bagas.

Dokter itu mengangguk, “tekanan darahnya 170/100. Cukup tinggi, saya sudah berikan obat karena tadi pasien sempat mengeluh terkena vertigo. Sepertinya pasien sedang banyak pikiran atau melakukan kegiatan berat, saya yakin Dokter Bagas pasti paham kemungkinan terburuk dari hyper tensi ini apa.”

“Preeklamsia, kaki nya juga ada pembengkakan,” sambung Bagas.

Dokter itu mengangguk, “kondisi pasien saat ini sudah cukup stabil, saya bisa berikan resep dan Mbak Ara bisa istirahat di rumah.”

Setelah kondisi Ara cukup membaik, Bagas mengantar Ara dan Hana pulang ke rumah. Di mobil Ara gak ada hentinya berterima kasih sama Bagas atas bantuannya, begitu mobil yang Bagas kendarai sampai di pekarangan rumah Ara. Kebetulan juga Jeff baru saja turun dari mobilnya, laki-laki itu baru pulang dan dia sedikit terkejut karena Ara pulang di antar oleh Bagas.

“Kamu habis dari mana?” tanya Jeff begitu Ara turun dari mobil.

Ara bungkam, dia justru memanggil Budhe Ani yang tadi baru saja membukakan pagar rumah untuk mobil Jeff masuk ke halaman rumah, dan menyuruh Budhe Ani untuk membawa Hana masuk ke dalam rumah lebih dulu.

“Aku habis belanja bulanan, tapi sempat drop dan di bawa ke rumah sakit. Untung ada Dokter Bagas yang bawa aku ke rumah sakit,” jawab Ara begitu Hana sudah masuk ke dalam rumah bersama Budhe Ani.

“Belanja bulanan?” Jeff mendengus, ia menggelengkan kepalanya pelan. “Kemarin kamu masih hyper tensi, Ra. Darah kamu tuh tekanannya masih tinggi dan bisa-bisa nya hari ini kamu malah belanja bulanan?”

sorry, No. Ara baru aja drop, dia sempat ngehubungin lo buat minta jemput karena dia kena vertigo, tapi lo gak jawab panggilannya dan malah marah-marahin dia? Lo khawatir gak sih sebenernya sama Istri lo?” ucap Bagas menyela obrolan antara Jeff dan Ara.

“Diem, gue gak lagi ngomong sama lo, gue lagi ngomong sama Istri gue!” sentak Jeff, ia juga menunjuk wajah Bagas. Membuat laki-laki itu sedikit kaget dengan sikap Yuno yang enggak terlihat seperti biasanya.

Meski enggak berteman dekat, Yuno dan Bagas itu saling kenal. Yuno adalah juniornya di kampus dulu waktu mereka masih berkuliah di Jerman, dan Yuno sangat menghargai Bagas sebagai seniornya. Makanya Bagas kaget banget sama sikap Yuno yang berubah drastis, tapi disini Bagas berpikir karna mungkin ini menyangkut masalah personalnya, Makanya Yuno bisa berubah sedrastis ini.

“Mas, jangan gitu. Kalo gak ada Dokter Bagas, pasti aku tadi udah—”

“Masuk, aku minta kamu masuk sekarang!” ucap Jeff tegas.

Ara yang gak ingin memperkeruh keadaan akhirnya menurut, setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih sekali lagi pada Dokter Bagas, ia masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamarnya, Hana ada di lantai bawah kebetulan. Ara juga sempat meminta Budhe Ani untuk menemani Hana sebentar karena ada hal yang harus Ara bicarakan dengan Jeff.

“Gue peringati sama lo, buat enggak deket-deket sama Istri gue. Paham?” Jeff ngerasa ini aneh, dia marah banget waktu tahu Ara pulang di antar bagas. Tapi disini Jeff masih berpikir jika ia hanya membela Yuno, mewakilkan rasa cemburu laki-laki itu karena Istrinya di antar oleh laki-laki lain.

“No, siapa yang deketin Istri lo? Gue cuma nolongin Ara, lo bisa bayangin gak kalo gue gak ada di sana? Gimana nasib Ara sekarang dan Hana? Yang harusnya gue tanya itu lo, kemana lo waktu Ara ngehubungin lo buat ngasih tau kalo dia sakit?” ucap Bagas tegas, kedua rahangnya itu mengeras.

Dia gak nyangka kalau Yuno sekasar ini sama Istrinya sendiri. Padahal dari yang terakhir Bagas temui saat Yuno mengantar Ara, Yuno itu terlihat seperti Suami yang siaga. Yuno juga terlihat sangat sayang dan menjadi sosok suami yang lembut dan baik pada Istrinya, sampai Bagas pernah berpikir jika hidup Yuno begitu sempurna. Kehidupan karir, pendidikan dan rumah tangganya berjalan beriringan.

Berbeda dengan Bagas yang memiliki kisah percintaan yang rumit, sampai-sampai saking frustasinya Bagas. Ia akhirnya memutuskan untuk menata karirnya sebaik mungkin dan menomor duakan tentang pernikahan.

“Oh, terima kasih kalau gitu. Sekarang udah ada gue yang jagain Ara, lo bisa pulang kalau gitu!” ucap Jeff tegas, laki-laki itu langsung masuk ke dalam rumahnya.

Begitu masuk ke dalam kamar Yuno dan Ara, Jeff langsung melempar tas yang tadi ia bawa ke atas kasur. Matanya menyalang menatap Ara penuh kemarahan, ada sirat kecemburuan juga di sana. Ah, mungkin itu milik Yuno. Sirat kecemburuan itu, Jeff yang mewakilkannya.

“Gue udah bilang kemarin buat tetap di rumah, kenapa lo gak mau dengerin omongan gue?!” bentak Jeff.

“Jeff..” Ara menarik nafasnya pelan. “Kebutuhan rumah udah hampir habis, aku harus keluar. Aku juga gak kepikiran kalau aku bakalan drop kaya tadi.”

“Gak kepikiran?” Jeff tertawa. Jeff pikir Ara adalah wanita pintar yang paham kondisi tubuhnya, Jeff yakin Ara enggak akan membahayakan diri dan kandungannya dengan nekat keluar rumah di saat tekanan darahnya belum stabil.

“Gue udah peringati lo, Ra!! Karena gue tahu kondisi lo kaya gimana, dasar bodoh. Bisa-bisa nya lo egois dengan mentingin belanja, ini bisa bahayain lo dan bayi lo!!”

Kali ini emosi Ara kesulut, dia enggak lagi nangis. Ia yang tadi duduk di ranjang itu kini bangun dan menghampiri Jeff. “Terus aku harus diam aja di rumah liat kebutuhan rumah udah hampir habis? Kamu pernah mikir gak kalo aku drop kaya gini karena ulah siapa? Itu karena kamu! Kemana kamu waktu aku telfon tadi?”

“Lo pikir gue cuma ngeladenin lo aja? Lo pikir gak, apa yang gue lakuin sekarang buat Yuno? Gue yang beresin semua kekacauannya. Gue yang bantuin laki lo supaya dia bisa cepat nyelesain studi nya!! Lo tau gak Yuno di rumah sakit dia perlakuin kaya gimana? Enggak kan? Itu karena Yuno enggak mau Istrinya yang manja ini kepikiran!”

“Semua ini gak akan terjadi kalo lo dengerin apa kata gue!! Oh, atau karena gue bukan Yuno. Makanya lo jadi seenaknya sendiri kaya gini? Iya?!”

“STOP!!” sentak Ara, nafasnya tersengal-sengal karena menahan amarahnya, Ara berusaha buat enggak meledak saat ini. Dia gak mau membuat Hana takut dan semakin membahayakan dirinya.

“Ak..aku salah, Jeff. Aku minta maaf..” ucap nya lirih, pertahannya benar-benar runtuh. Ara menahan isaknya yang menyesakan, biarkan kali ini ia kembali mengalah. Dia gak ingin teriakan Jeff terdengar sampai bawah dan membuat Hana takut apalagi sampai membenci Papa nya.

“Puas lo, Ra? Puas bikin Bagas mikir kalau Yuno enggak bisa jagain lo!”

“Aku minta maaf, Jeff. please berhenti. Maaf, karena aku egois, maaf karena aku gak tahu apa yang terjadi sama Mas Yuno. Aku minta maaf..” ucap nya lirih, Ara masih menangis sembari memegangi dadanya yang terasa sesak itu.

Setelah dirinya jauh lebih tenang, Ara keluar dari kamarnya. Ia masuk ke kamar Hana dan mendapati anak itu sedang meringkuk di tempat tidurnya sembari memeluk boneka Teddy Bear kesayangannya.

“Kakak, belum tidur, Nak?” tanya Ara, dia duduk di ranjang Hana dan mengusap-usap kepala putri kecilnya itu.

Hana hanya menggeleng pelan, kemudian berbalik dan memeluk Ibunya.

“Ibu gapapa, Kak. Ibu udah baik-baik aja, Kakak mau Ibu dongengin gak, Um? Papa kayanya lagi capek banget, jadi enggak bisa dongengin Kakak.”

“Hana mau bobo di peluk Ibu aja,” rengeknya.

Ara mengangguk, ia memposisikan dirinya tidur menyamping sembari memeluk Hana. Ia usapi kepala anaknya itu berharap Hana sedikit tenang dan tertidur, Ara tahu Hana mungkin masih shock karena kejadian di supermarket tadi.

Ara bangun lebih pagi kali ini, subuh ia sudah bangun untuk memeriksa kamarnya dan Yuno. Ara pikir Jeff masih tidur, tapi siapa sangka jika Jeff tidak ada di kamarnya. Ara enggak tahu Jeff kemana, setahunya hari ini Yuno hanya ada shift pagi di jam 7. Seharunya Jeff enggak berangkat ke rumah sakit sepagi ini kan?

Ara akhirnya turun ke lantai 1, berharap Jeff ada di sana. Sedang menonton TV atau berolahraga kecil, namun sayangnya harapannya pupus. Jeff enggak ada di lantai 1, di dapur hanya ada Budhe Ani yang tengah membuat sarapan pagi ini.

“Budhe, Maaf. Budhe liat Bapak keluar pagi ini?” tanya Ara.

“Bapak pergi jam 4 tadi, Buk. Budhe pikir Bapak udah pamitan sama Ibu.”

Ara menghela nafasnya dengan kasar, wajahnya tampak bingung memikirkan kemana Jeff pergi. “Bapak gak bilang apa-apa sama Budhe sebelum pergi?”

“Bapak cuma bilang titip Hana sama Ibu. Gitu aja sih, Buk.”

Lagi-lagi Ara harus menelan kekecewaan pagi ini. Semalam ia banyak berpikir untuk merenungkan kesalahannya, Ara berpikir ia memang salah. Jeff jelas sudah memberi ultimatum padanya untuk enggak keluar rumah karena tensi nya yang belum stabil, namun Ara justru nekat keluar rumah untuk pergi ke supermarket bersama dengan Hana.

Waktu itu Ara mikirnya dia mungkin butuh sedikit refreshing sebentar dengan berjalan-jalan keluar, karena biasa bekerja. Saat sudah tidak bekerja seperti ini Ara jadi banyak waktu, dan kadang ia suka merasa bosan di rumah. Apa lagi, saat Jeff mengambil alih Yuno. Ara sering sekali merasakan ketegangan di rumah dan kesepian, hanya itu pikirannya waktu itu. Namun siapa sangka itu justru memperburuk kondisi kesehatanya dan keadaanya bersama Jeff.

“Ya Udah, makasih yah, Budhe.”

Ara berjalan ke ruang TV. Ia mengetikan pesan pada Jeff ke ponsel Yuno. Ara hanya bisa berharap Jeff mau memaafkannya, atau setidaknya Jeff mau membicarakan banyak hal tentang obralan semalam yang terkesan adu mulut secara baik-baik kali ini.

Jam 9 pagi setelah selesai sarapan, Gita datang untuk bermain ke rumah Ara bersama anak-anaknya. Ara sedikit lega karena kehadiran si kembar bisa menghalau kekhawatiran Hana akan kejadian semalam, anak itu tampak ceria kembali bermain bersama anak-anaknya Gita dan Arial di taman belakang.

Sementara itu Ara dan Gita mengobrol di taman, sesekali mereka juga memperhatikan anak-anak mereka bermain. Pagi ini Gita melihat wajah Ara sedikit pucat, wanita itu tampak enggak baik-baik aja. Selain pucat, wajah Ara itu selalu kelihatan bingung dan sedih. Gita sudah pasti tahu penyebabnya. Namun yang ia khawatirkan kali ini adalah kesehatan Ara dan kandungannya.

“Lo sakit, Ra? Muka lo pucat banget,” ucap Gita.

Ara hanya bisa mengangguk pelan, dia gak mau berbohong mengatakan jika dirinya baik-baik saja padahal kenyataanya jauh dari kata itu.

“Gue emang lagi sakit, Git. Semalam gue ngedrop banget.”

“Lo mau istirahat di dalam aja? Udah sarapan belum sih?” Gita menggeser duduknya, ia sedikit memijat tangan Ara yang pagi itu terasa agak sedikit dingin.

“Udah, udah kok. Tadi gue sarapan sama Hana. Semalam gue juga udah di bawa ke rumah sakit.”

Ara kembali melamun setelah mengucapkan itu, Gita jadi enggak tega sendiri melihatnya. Dia memang datang sepagi ini untuk memeriksa kondisi Ara dan Hana, sampai saat ini belum ada orang lain yang tahu soal Jeff yang mengambil alih Yuno lagi. Bahkan Gita juga enggak cerita soal ini sama Mama Lastri dan Arial.

“Ra?”

“Hm?” panggilan Gita itu memecahkan lamunan Ara, wanita itu jadi melihat ke arahnya.

“Ada masalah lagi sama Jeff yah?” tebak Gita.

Ara mengangguk, susah payah ia menelan saliva nya. Gumpalan ketidaknyamanan di hatinya itu seperti menjadi beban yang kini berkumpul menjadi satu di kedua bahu Ara, nafasnya setiap hari terasa berat dan pikirannya enggak pernah tenang sedetik pun.

Hidup yang dulu Ara pikir terlalu sempurna itu kini seperti luruh begitu saja, tergantikan dengan kekacauan yang bahkan Ara sendiri bingung bagaimana cara membenahinya. Mungkin ini salahnya, salah karena terlalu menyombongkan diri dengan segala kemurahan Tuhan yang ia anggap terlalu sempurna menulis jalan hidupnya.

“Gak ada satu hari pun gue sama Jeff enggak ribut kayanya, Git.”

Gita terdiam, dia mengusap lengan Ara dengan raut wajah prihatinnya.

“Salah gue juga kayanya kali ini,” Ara terkekeh, kekehan yang hambar. Seperti ia tengah menertawakan situasinya saat ini. “Kemarin gue emang sempat pergi ke supermarket buat belanja kebutuhan rumah, waktu itu gue cuma mikir. Gue butuh keluar supaya enggak jenuh, gue juga ngerasa akhir-akhir ini emang lagi tegang aja di rumah.”

“Malam sebelum gue pergi, Jeff emang udah kasih tau gue buat enggak kemana-mana, gue harus bed rest karena tekanan darah gue belum stabil, gue enggak dengerin ucapan dia, Git. Gue drop di supermarket sampe kena vertigo. Yah.. Untungnya ada obgyn gue, Dokter Bagas. Dia bawa gue ke rumah sakit dan anterin gue pulang, gue udah coba hubungin Jeff, Git. Tapi Jeff gak angkat telfon dari gue,”

“Waktu di rumah, Jeff marah banget ke gue. Dia bentak-bentak gue, dan bilang gue egois sampe bahayain diri dan bayi gue. Gue tau gue salah, gue minta maaf soal itu sama dia. Karena gue emang salah, Jeff juga bilang kalau dia gak bisa selalu ngurusin gue karena ada kekacauan yang lagi dia beresin. Gue gak paham yang dia maksud kekacauan apa, Git.”

Suara Ara sudah bergetar, ia bersiap untuk menumpahkan air matanya lagi kali ini. Tapi sebisa mungkin Ara tahan, kepalanya sudah pening karena menangis semalam dan memikirkan kemana Jeff pergi sepagi ini. Jujur saja, Ara punya pikiran kalau Jeff mungkin sering bertukar kabar dengan perempuan yang sedang dekat dengannya, Sampai hari ini Ara masih mencari tahu soal siapa perempuan itu.

Ara udah enggak bisa buka-buka ponsel Yuno lagi karena Jeff mengganti password nya.

“Mungkin, Git. Mungkin Jeff ada cerita ke lo apa yang dia maksud sama kekacauan di rumah sakit? Karena Jujur, gue enggak tahu apa-apa, Git. Gue ngerasa bodoh banget, gue enggak tahu apa yang Mas Yuno alami.”

Gita mengangguk pelan, ia menghela nafasnya. “Ada, Ra. Jeff emang cerita soal gimana kacaunya rumah sakit memperlakukan Kak Yuno sampe bikin Jeff ambil alih dia.”

Ara memejamkan matanya pelan, bersamaan dengan bulir air mata yang jatuh membasahi pipinya. Ternyata ada yang Suaminya itu sembunyikan darinya, Ara cukup menyesal, dia tahu banyak masalah orang lain yang konseling dengannya. Membantu orang-orang itu untuk tetap tenang hingga bisa berpikir jernih untuk memikirkan jalan keluarnya.

Tapi disisi lain, Suaminya justru menutupi apa yang di alaminya dan apa yang dirasakannya. Ara merasa dia gagal menjadi psikolog rasanya, seharunya dia lebih bisa perduli lagi dengan Yuno kan?

“Jeff cerita, banyak rekan sesama dokter dan perawat yang gak suka sama Kak Yuno, Ra. Lo tau sendiri kan, Kak Yuno satu-satunya pewaris tunggal Harta Wijaya Hospital? Banyak dari mereka yang mikir nepotisme ke Kak Yuno, banyak yang bilang Kak Yuno enggak kompeten sampe ada omongan kalo kemampuan Kak Yuno sama kaya dokter coas, itu yang di maksud kekacauan sama Jeff,” jelas Gita.

Selama ini Yuno enggak pernah cerita soal ucapan-ucapan yang menyakitkan seperti ini, Ara jadi berpikir mungkin hal ini juga yang menjadi salah satu beban untuknya. Sampai-sampai Yuno merasa marah dan tertekan dengan keadaanya yang terjepit seperti tidak punya pilihan.

Yuno itu enggak pandai mengekspresikan amarahnya, ia cenderung akan diam memendamnya sendiri. Berbeda dengan Jeff yang selalu menunjukan pada semua orang jika ia marah.

“Mas Yuno enggak pernah cerita ke gue, Git. Gak pernah...” ucap Ara lirih.

Wanita itu menutupi wajahnya dan menangis menyesakan, sementara Gita hanya bisa mengusapi punggung Ara yang bergetar karena tangisnya.

“Kak Yuno mungkin enggak mau bikin lo kepikiran, Ra. Apalagi dia tau lo gak bisa kena banyak pikiran yang berat, karena ini pasti berimbas ke lo dan bayi lo kan. Makanya dia pendam ini sendirian, ini bukan salah lo kok.”

Ara masih terisak, dadanya terasa semakin sesak membayangkan Yuno yang menanggung semuanya sendirian. Pantas saja setiap kali pulang bekerja, Yuno selalu tampak kelelahan dan seperti menyimpan beban yang enggak pernah bisa ia bagi dengan siapapun itu.

“Gue harus gimana yah, Git. Kenapa hidup gue jadi berantakan kaya gini.”


Setelah Gita pulang dari rumahnya, siang menjelang sore nya Ara nekat untuk pergi ke rumah sakit. Ara mau mengikuti kemana Jeff pergi, setidaknya ia harus tahu kemana Jeff kalau enggak pulang ke rumah, dimana laki-laki itu bermalam.

Ara enggak ajak Hana, Ara menitipkan Hana sama Mbak Ulfa dan juga Budhe Ani di rumah. Kondisi Ara juga sudah sedikit membaik, tensi nya sudah turun walau belum di katakan normal. Tapi Ara cuma mikir dia harus memperbaiki keadaan, dengan berjuta-juta rasa bersalah pada bayi nya. Ara tetap nekat pergi ke rumah sakit.

Cukup lama Jeff keluar dari rumah sakit, bahkan ia sedikit telat pulang dari shift yang sudah di tentukan. Ara cuma berpikir mungkin masih ada pasien yang harus Jeff tangani dulu sampai ada dokter lain yang menggantikannya.

Tidak lama kemudian Jeff keluar, laki-laki itu masuk ke dalam mobilnya dan Ara langsung bersiap untuk segera mengikuti Jeff kemana ia pergi. Ternyata Jeff pergi ke sebuah cafe, laki-laki itu enggak turun. Tapi tidak lama setelahnya ada perempuan yang keluar dari cafe itu dan masuk ke mobil Yuno.

Ara kaget bukan main waktu dia sadar siapa perempuan yang masuk ke dalam mobil Suaminya, ternyata itu adalah Shanin. Pasien yang sering konseling dengannya, mobil yang di tumpangi Jeff dan Shanin melaju. Membuat Ara juga harus melaju mengikuti kemana keduanya pergi.

Sungguh, Ara sama sekali enggak menyangka kalau mungkin perempuan yang akan menonton konser dengan Jeff itu adalah Shanin. Dan dugaannya semakin kuat ketika mobil yang Jeff kendarai, masuk ke dalam parkiran sebuah venue konser.

Kedua nya turun dari mobil dengan sedikit terburu-buru, membuat Ara juga sedikit berlari kecil mengikuti mereka yang jalannya lebih cepat. Keduanya masuk ke dalam venue, sementara Ara di tahan oleh petugas yang berjaga di sana.

“Boleh saya lihat tiketnya, Mbak?” tanya petugas itu.

“Saya.. Belum beli tiket, saya bisa beli tiket disini gak yah, Mbak? Saya butuh masuk banget.”

“Maaf yah, Mbak. Kami enggak menjual tiket di venue, tiket konsernya juga sudah di jual online di website dari bulan kemarin dan sudah terjual habis.”

Ara hanya mengangguk, memohon untuk masuk pun percuma. Petugas-petugas itu hanya sedang menjalankan tugasnya, ia akhirnya kembali ke mobilnya. Ara menangis semakin menyesakkan di dalam mobilnya, bahkan beberapa kali ia memukuli stir mobilnya itu.

Ara benar-benar sefrustasi itu dalam menghadapi masalahnya, lagi-lagi ia mencoba untuk menelfon Jeff. Namun sayang, kali ini ponsel Yuno mati. Ara yakin Jeff sengaja yang mematikannya.

Ara berusaha menenangkan pikirannya, ia menarik nafasnya pelan dan mengusap wajahnya itu. Rasanya dia udah enggak sanggup sama semua yang Jeff lakukan padanya, apalagi saat mengingat ucapan Jeff bahwa Jeff enggak akan pergi. Jeff akan tetap berada di tubuh Yuno, Jeff itu enggak pernah main-main sama ucapannya. Jadi Ara berpikir kalau itu juga bukan ancaman.

Katakan pikiran Ara dangkal, tapi malam itu ia benar-benar berpikir untuk melepaskan pernikahannya dengan Yuno. Masih di dalam mobilnya, Ara mencari tahu tentang perceraian melalui ponselnya.

Ara juga sempat mengirimkan pesan pada Yves Istrinya Kevin untuk membantunya mencari pengacara, waktu itu Ara enggak bilang untuk dirinya. Melainkan untuk temannya yang ingin menggugat cerai Suaminya.

To Be Continue

“Kita mau nginap di rumah Kakak Elios, Buk?” tanya Hana.

“Iya sayang, kan Hana libur. Kak Eloise sama Kak Elios juga libur sekolahnya, jadi Kita nginap di sana yah.”

Ara masih sibuk menata baju-baju di dalam tas nya, rencana nya Ara akan menitipkan Hana pada Gita dan Arial dulu untuk sementara waktu, Ara juga akan menginap di sana untuk beberapa hari ini sambil memikirkan keputusannya untuk berpisah dengan Yuno.

Ara bukan udah gak sanggup hidup bersama Yuno, Ara cuma enggak sanggup menghadapi Jeff. Dia cuma berpikir kalau dia enggak setegar itu untuk meladeni Jeff, Ara merasa kalau ia terus bersama Yuno dan selama Jeff masih terus mengambil alih Yuno.

Ara takut Hana akan tau semuanya, tentang Jeff yang ia pikir adalah Yuno. Dengan sikap yang kasar, pemarah dan arogan itu. Ara enggak mau Hana membenci Yuno, Ara juga gak mau tumbuh kembang Hana terganggu karena sering melihat kedua orang tua nya yang selalu bertengkar.

Ara tahu ini terkesan gegabah, tapi ia seperti sudah tidak punya pilihan lain selain berpisah.

“Papa ikut kan, Buk?” tanya Hana, membuat Ara berhenti memasukan baju-baju anak itu ke dalam tas.

Ara berbalik, ia jongkok di depan Hana yang saat itu tengah duduk di ranjangnya. Ia memegang kedua tangan kecil putri nya itu, sungguh, rasanya saat ini alasan Ara untuk tetap bertahan hanya Hana dan Nathan saja. Ara enggak tahu gimana jadinya hidupnya tanpa Hana dan Nathan.

“Papa...” Ara menunduk, ia memikirkan alasan yang tepat untuk membuat Hana enggak mencurigakan sesuatu terjadi di antara kedua orang tua nya.

“Papa lagi kerja di luar kota, sayang. Papa harus sembuhin pasiennya yang jauh dari rumah kita,” alibi Ara pada putrinya itu.

“Berarti Papa enggak ikut yah, Bu?”

“Kita berdua aja yah?”

Kedua bahu Hana merosot, wajahnya kembali sendu dan enggan menatap Ibu nya lagi. Boneka Teddy Bear yang Yuno berikan dan hasil bermain mesin capit itu Hana peluk. Ara tahu Hana merindukan Ayahnya, karena bagaimana pun Yuno dan Jeff itu berbeda. Mereka berbeda dalam memperlakukan Hana, meski Ara tahu kalau Jeff juga sangat menyayangi Hana.

“Sayang? Hey? Kok sedih gitu mukanya?” Ara mengusap pipi Hana.

“Hana kangen Papa.. Kenapa sekarang Papa jadi jarang pulang ke rumah sih, Buk? Apa karena Hana nakal?”

“Sayang, no. siapa yang bilang Kakak nakal, Nak?” Ara bangun dan berpindah menjadi duduk di samping Hana, ia pangku anak itu dan ia peluk agar Hana enggak merasa sendirian.

“Kakak enggak nakal, sayang. Kakak kan selalu jadi anak baiknya Papa sama Ibu.”

“Terus kenapa Papa jadi jauh dari kita sih, Buk? Kenapa Papa enggak pernah dongengin Hana lagi?” Hana itu punya sikap seperti Yuno, anak itu sering menyalahkan dirinya untuk hal-hal yang bukan salahnya. Ara bisa tahu itu, terlalu banyak sikap dan paras yang Hana warisi dari Yuno.

“Nanti malam kita telfon Papa yah? Hana bilang kalau Hana kangen Papa, ya?”

Hana mengangguk, setelah selesai membereskan baju-baju Hana dan baju miliknya. Ara langsung berpamitan pada Budhe Ani, selama Ara enggak ada di rumah. Budhe Ani yang akan menjaga rumah seorang diri, Ara juga memberi tahu Budhe Ani untuk mengabari jika Yuno pulang ke rumah.

Di rumah Arial dan Gita, Hana sudah nampak riang kembali. Apalagi setelah kedua anak Gita dan Arial mengajaknya bermain, di ruang tengah. Gita, Arial dan Ara minum teh bersama. Dari awal Ara bilang untuk menginap di rumahnya, sebenarnya Arial sudah mencurigai jika ada sesuatu yang Ara dan Gita tutupi darinya.

“Tapi Yuno tau kamu bakalan nginap beberapa hari disini, Dek?” tanya Arial pada Ara.

Ara menggeleng, “Ara belum bilang sama Mas Yuno, Mas.”

“Kenapa gak bilang?” Arial mengangkat sebelah alisnya, jawaban Ara barusan menambah kecurigaannya itu. “Kamu baik-baik aja kan sama Yuno?”

Gita melirik ke Ara, mata mereka sama-sama bertemu dan ini menambah kecurigaan Arial jika benar ada yang Istri dan Adik sepupunya itu sembunyikan darinya. Arial mendengus, ia tahu keduanya sedang berbohong saat ini dan itu sangat terlihat jelas.

“Kalian berdua tuh nyembunyiin apa sih dari Mas?” tanya Arial to the point.

Tidak ada yang menjawab satu pun juga, baik Gita maupun Ara hanya saling diam. Gita bukan enggak mau cerita ke Arial soal masalah Adik sepupunya itu, Gita cuma melakukan apa yang Ara minta untuk merahasiakan apa yang terjadi pada rumah tangga nya dan Yuno.

“Ra? Git? Ini beneran kalian gak ada yang mau cerita? Ini pasti ada yang gak beres ini, Mas Yakin.”

“Ra?” panggil Gita.

Ara mengusap wajahnya, Ara sudah kepalang basah karena berjalan di kubangan. Jadi pada akhirnya ia akan jujur pada Arial, tentang apa yang terjadi pada dia dan Yuno.

“Jeff ambil alih Mas Yuno, Mas.” ucap Ara pada akhirnya.

Wajah Arial nampak khawatir, pasalnya Arial tahu bagaimana sikap alter ego Yuno itu. Karena Arial juga pernah bertemu dengannya langsung, tidak, Arial bahkan sempat di hajar habis-habisan waktu itu. Mungkin jika tidak ada Gita di sana, Arial bisa mati di tangan Jeff.

“Sejak kapan?”

“Sejak Mas Yuno ambil studi spesialisnya, Mas.”

“Kamu tau hal ini, Git? Kenapa gak cerita ke aku?” tanya Arial pada Gita, Arial sedikit kesal karena Gita merahasiakan hal ini padanya. Padahal Gita sendiri tahu betapa enggak sukanya Jeff ada Ara, Yuno hanya mengkhawatirkan Adik sepupunya itu.

“Mas, jangan salahin Gita. Aku cerita ke Gita dan bilang ke dia buat gak bilang ke siapa-siapa tentang hal ini.”

“Terus gimana sekarang? Pasti Jeff lakuin sesuatu ke kamu kan?” Arial berdiri, Arial ingin mengambil ponselnya untuk menelfon Jeff ke ponsel Yuno. Namun Gita menahannya, jadi Arial kembali ke posisinya untuk duduk.

“Aku sama Jeff berantem, Mas. Gak ada satu hari pun aku gak ribut sama dia, kemarin aku sempat drop. Ya.. Emang salah aku juga karena gak dengerin apa yang Jeff bilang, Jeff udah kasih tau aku buat enggak pergi kemana-kemana karna tensi aku masih belum stabil. Tapi aku nekat buat pergi,” jelas Ara.

“Terus sekarang dia kemana?”

“Jeff masih di rumah sakit, tapi aku gak tau dia bermalam ke mana kalau gak pulang ke rumah.”

Arial menghela nafasnya, “ya Tuhan, Ra. Kenapa kamu malah gak cerita apa-apa sama, Mas? Jadi ini alasan kamu nyuruh Hana nginap di sini untuk sementara waktu?”

Ara mengangguk pelan, “sampai setidaknya urusan aku sama Jeff selesai, Mas. Ada yang harus aku urus sebelum semuanya semakin kacau.”


Sore ini Ara mencoba menemui Shanin untuk membicarakan soal Yuno pada perempuan itu, mereka bertemu di sebuah cafe yang tidak jauh dari tempat Shanin tinggal. Hana enggak Ara ajak, anak itu masih tinggal di rumah Arial dan Gita.

Sudah terhitung 3 hari ini Ara enggak pulang ke rumahnya dan Yuno, Jeff hanya bertanya Hana di mana pada Ara, namun setelah mengetahui Hana berada di rumah Gita. Jeff enggak bertanya apa-apa lagi, tidak lama kemudian Shanin datang. Shanin enggak terlambat kok, hanya saja Ara datang lebih dulu dari pada Shanin.

“Mbak, maaf yah aku telat,” ucap Shanin.

Ara sempat berdiri dan berpelukan pada Shanin, jujur saja. Ara sedikit lega Shanin tampak lebih baik dari yang terakhir ia temui, bahkan Shanin sudah memakai riasan di wajahnya. Perempuan itu terlihat semakin cantik saat ini.

“Enggak, Nin. Aku emang datang duluan kok, kebetulan tadi habis ada urusan di sekitar sini. Jadi langsung sekalian aja ketemu sama kamu.”

“Aku pikir aku terlambat, enggak enak banget jadinya, ah iya, Mbak gimana kabarnya?” tanya Shanin.

“Baik, kamu sendiri gimana? Aku lihatnya lebih baik kayanya yah? Gimana konsul sama Dokter Amreiza nya? Nyaman sama beliau?”

Setelah memesan minuman dan dessert Shanin tersenyum, jujur saja banyak kemajuan saat Shanin konseling, terapi dan meminum obat dari Dokter Amreiza. Ia sudah tidak pernah bermimpi buruk lagi, sudah tidak pernah kepikiran kejadian itu lagi dan waktu tidurnya juga jadi lebih teratur.

“Mbak, aduh. Aku gak tau gimana caranya berterima kasih lagi sama Mbak Ara karena udah nyaranin aku buat konseling sama Dokter Amreiza, beliau baik banget, Mbak. Aku jauh lebih baik setelah minum obat dari beliau dan terapi,” jelas Shanin.

Ara tersenyum, dia sungguh lega mendengarnya. Ara akui jika kepribadian Shanin sangat menyenangkan, anak itu mudah bergaul dan gak pernah kehabisan topik untuk bicara dengan orang lain. Ara tahu ini dari beberapa test yang pernah Shanin jalani waktu konseling bersamanya.

“Saya lega dengarnya, Nin.” Ara meminum lemon tea yang tadi ia pesan, ia memikirkan bagaimana cara memulai obrolan pada Shanin untuk membicarakan tentang Jeff.

“Mungkin di tambah aku di kelilingi orang baik juga kali yah, Mbak? Ini ngaruh juga kan ke kesembuhan aku?”

Ara mengangguk, ia pikir ia di beri celah dari Shanin untuk membicarakan soal Jeff padanya, Ara akan memakai kesempatan ini untuk membicarakan hal itu.

“Sangat berpengaruh, Nin. Lingkungan yang mendukung, akan cepat membuat kamu pulih dari trauma. Apalagi kalau di tambah support dari orang-orang terdekat kamu.”

“Akhir-akhir ini aku juga lagi happy banget, Mbak. Karena aku dapat kenalan baru yang bikin aku nyaman banget ngobrol sama dia, yah walau agak sedikit galak sih,” Shanin terkekeh.

Sementara Ara merasakan nyeri di hatinya, jika ia boleh menebak. Apakah seseorang yang di maksud Shanin ini adalah Jeff? Pikir Ara.

“Dia dokter yah?” tanya Ara to the point dia sudah gak tahan untuk tidak membicarakan hal ini pada Shanin.

“Kok, Mbak tau?” Shanin kaget, jujur saja dia enggak tahu bagaimana caranya Ara bisa tahu kalau ia sedang dekat dengan seorang dokter? Pasalnya Shanin hanya bercerita hal ini pada Vera.

Ara hanya tersenyum, bukan senyuman yang tulus. Melainkan senyum yang Shanin sendiri sulit mengartikannya, di tengah kebingungan Shanin. Ara mengeluarkan ponselnya dan menunjukan foto Yuno, Ara serta seorang anak perempuan di sana.

“Jeff?” tanya Ara pada Shanin, gadis itu hanya mengangguk dengan raut wajah yang bingung.

“Namanya Aryuno Abidzar Wijaya, Nin. Anak dari pemilik Harta Wijaya Hospital. Yuno itu Suami saya.”

“Mbak, Tapi. Jeff—” Shanin menarik nafasnya pelan, “tapi dia mengaku namanya Jeff sama aku, Mbak.”

“Boleh aku cerita tentang Yuno dan Jeff?”

Ragu-ragu namun pada akhirnya Shanin mengangguk pelan, ia bisa melihat air wajah tenang dari wanita di depannya itu berubah. Menyiratkan kesedihan yang tergambar jelas di balik suara tenang yang sedang menjelaskan tentang siapa itu Yuno dan Jeff.

“Yang kamu temui itu Suami saya Yuno, Nin. Mas Yuno,” Ara mengigit bibir terdalamnya itu. “Mas Yuno memiliki alter ego bernama Jeff, dan laki-laki yang bersama kamu di venue konser waktu itu adalah Jeff, alter ego nya Mas Yuno.”

Shanin menahan nafasnya sebentar, dia gak habis pikir sama penjelasan Ara tentang Suaminya, bahkan Shanin masih enggak paham kenapa bisa seorang dokter memiliki alter ego seperti ini?

“Mereka seperti dua sisi koin yang berbeda, Mas Yuno itu lembut, baik dan sangat sayang sama saya dan Hana anak kami. Tapi, Jeff. Dirinya yang lain belum bisa menerima saya di hidup Mas Yuno,”

“Selama ini Mas Yuno sedang menjalani hari yang berat, dia juga baru aja ambil studi spesialisnya lagi. Dan itu cukup membuatnya terbebani dan tertekan sampai akhirnya Jeff datang menggantikannya, seseorang yang punya gangguan DID ini gak akan ingat apa yang ia lakukan selama dirinya di ambil alih oleh alter egonya,” jelas Ara.

Di kursinya Shanin mendengarkan semua penjelasan dari Ara, perlahan ia bisa paham apa yang Ara maksud tentang Jeff dan Yuno suaminya. Dalam hati, Shanin jadi enggak enak hati karena sudah memiliki sedikit perasaan pada Jeff, apalagi saat mendengar cerita Ara bahwa wanita itu sempat mengikutinya ke venue konser.

Disini Ara sama sekali enggak marah ke Shanin, karna tujuannya hanya untuk memberi tahu Shanin siapa itu Jeff. Shanin bilang dia cukup prihatin sama apa yang tengah di alami sama Ara, gadis itu cukup dewasa dan bijaksana dalam menanggapi hal ini. Padahal Ara tahu Shanin cukup awam mengenai gangguan yang Yuno derita.

“Mbak, aku minta maaf karena aku gak tahu kalo Dokter Jeff itu adalah Dokter Yuno, Mbak. Maaf, aku gak berniat ngerebut Suami kamu, Mbak,” jelas Shanin.

Ara menggeleng pelan, dia bersyukur banget Shanin bisa mengerti keadaanya. “Gapapa, Nin. Kamu disini gak tahu apa-apa, dan maaf. Aku harus bilang ini ke kamu, aku sama sekali gak ada niat buat melabrak kamu kok. Aku disini cuma mau kasih tau yang sesungguhnya supaya di kemudian hari kamu enggak salah paham sama semua ini. Karena kalau Mas Yuno kembali, dia gak akan ingat sama kamu. Dia gak akan ingat apa yang kalian berdua lakuin.”

Shanin gak bisa membayangkan bagaimana hancurnya perasaan Ara mengetahui Suaminya pergi bersama perempuan lain, yah meskipun Shanin tahu Ara pasti paham jika itu alter ego dari Suaminya.

“Mbak, aku janji aku bakalan jaga jarak sama Dokter Jeff, ah.. Maksud aku Dokter Yuno,” Shanin memegang punggung tangan Ara, “aku bakalan jauhi Suamimu, Mbak.”

Setelah selesai berbicara dengan Shanin, Ara langsung pulang ke rumah Arial dan Gita. Dia cukup lega mendapat respon baik dari Shanin, Ara tahu Shanin perempuan baik. Waktu Ara masuk ke kamar tamu ia pikir Hana sudah tidur, ternyata anak itu sedang melakukan panggilan video dengan Jeff yang ia pikir itu adalah Yuno, Papanya.

Hana menoleh, Anak itu tersenyum dan menunjukan wajah Jeff yang ada di layar ponsel milik Arial. Hana tadi menangis, ia bilang kalau ia merindukan Papa nya. Hana juga minta Papanya untuk segera menjemputnya.

“Papa, Buk. Papa di rumah..” ucap Hana, ia memberikan ponsel itu pada Ibunya.

Di sebrang sana Ara dapat melihat wajah Jeff di ponsel milik Arial, wajah Yuno yang tampak terlihat lelah itu. Hana belum punya ponsel pribadi, anak itu tadi meminjam ponsel milik Pamannya.

“Kamu udah makan?” tanya Ara.

Jeff hanya mengangguk, “kamu gak bilang kalau di rumah Gita juga? katanya nginap di rumah Bunda?

“Bunda lagi sibuk ngurus venue pernikahan Reno.”

Istirahat yah, jangan capek-capek. Kondisi kamu gimana?

Ara menunduk, entah Jeff memang perhatian padanya atau ia hanya bersandiwara sebagai Yuno saja di depan Hana.

“Baik, yaudah kalau gitu. Udah malam, yah. Hana juga udah ngantuk, kamu istirahat yah.”

Ra..

Belum sempat Jeff berbicara lagi, Ara sudah memutuskan sambungan itu dan menyimpan ponsel Arial di meja samping rajang tidurnya dan Hana. Hana sempat bercerita tentang Arial yang mengajaknya jalan-jalan tadi sore, dan Ara juga bercerita tentang apa yang ia lakukan barusan. Sampai akhirnya Ara menyuruh Hana untuk tidur karena memang sudah malam.

“Ibu?”

“Hm?”

Ara masih mengusap-usap pucuk kepala Hana, ia melamun setelah selesai membacakan bocah itu dongeng. Ia pikir Hana sudah tidur, tapi ternyata anaknya nya itu belum kunjung tidur.

“Ibu sayang gak sama Papa?” tanyanya, setiap malam, Hana selalu menanyakan Yuno, tapi hingga saat ini Papa nya juga belum kunjung kembali.

“Sayang dong Kak, kenapa Kakak nanya gitu?”

“Kakak kangen Papa. Kita kan keluarga, kenapa bobo nya misah? Hana bobo di rumah Uncle Iyal tapi Papa bobo di rumah sendiri. Kita kenapa enggak pulang sih, Bu? Papa kenapa gak jemput kita, katanya Papa mau di bantuin Hana buat bikin kamar untuk Adik bayi.”

Ara enggak bisa menjawab, terlalu sulit menjelaskan pada Hana bagaimana kondisi keluarganya saat ini. Yang Ara pikirkan adalah, Ara gak ingin Hana melihat apa yang seharusnya anak itu tidak lihat, seperti Ara dan Jeff yang selalu adu mulut tiap kali bertemu.

Setelah selesai dengan konselingnya ke poli kejiwaan, Shanin menyempatkan diri untuk mencari tahu soal Dokter Jeff, ah tidak. Ara bilang nama aslinya adalah Aryuno Abidzar Wijaya, jadi dia adalah Dokter Yuno. Shanin harus tanamkan fakta itu dalam kepalanya sekarang.

Menyusuri lorong demi lorong poli, Shanin berjalan ke pintu utama Harta Wijaya Hospital, kalau tidak salah di sana ada profil dan bagan jabatan dokter di rumah sakit ini. Dan benar saja, di sana terpampang jelas, Shanin agak menyesal kenapa selama ini ia tidak mencari tahu soal Jeff ini? Pikirnya.

Harta Wijaya hospital di pimpin oleh Yudi Harta Wijaya sebagai direktur utama rumah sakit, selanjutnya Shanin mencari wajah yang sangat ia kenali. Sampai akhirnya matanya menemukan sosok laki-laki yang ia cari, dan benar yang Ara bilang. Jeff yang selama ini ia tahu itu bernama Aryuno Abidzar Wijaya, di sana juga tertulis jelas kalau Dokter Yuno adalah dokter umum.

Dia juga di gadang sebagai calon pemimpin Harta Wijaya hospital menggantikan posisi Ayahnya kelak, Shanin sudah siap menghadapi kenyataan ini. Namun rasanya tetap saja seperti ada belati yang menghunus dadanya, kupu-kupu di perutnya kemarin menghilang di gantikan rasa kecewa yang enggak pernah dia bayangkan sebelumnya.

Shanin berjalan ke rumah sakit dengan gontai, ia berharap tidak akan pernah bertemu dengan Jeff lagi. Ya, Jeff. Jika tubuh Dokter Yuno masih di singgahi olehnya. Bahkan di perjalanan Shanin sempat berpikir untuk pindah rumah sakit, dia bingung seperti apa dia bersikap saat tidak sengaja bertemu dengan Jeff atau Dokter Yuno.

Shanin memang sudah jatuh hati pada Jeff, namun setelah mengetahui fakta ini. Ia membuang perasaanya jauh-jauh, ia tidak ingin menyukai milik orang lain, ia juga perempuan ia tidak bisa membayangkan jika suatu hari nanti merasakan posisi Ara saat ini.

Hari ini Shanin enggak pulang ke rumahnya, gadis itu malah keliling-kelilinh di mall. Entah apa yang ia cari, dia sendiri enggak tahu. Shanin hanya mencoba mengisi kekosongan di hatinya saja dengan berada di tengah keramaian.

Ketika sudah selesai makan di sebuah restoran, Shanin masih merasakan hampa dan bingung mau melakukan apalagi. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk menonton sebuah film di bioskop, filmnya baru akan mulai 15 menit lagi. Jadi Shanin menunggu pintu theater di buka di depannya.

“Mbak Shanin?” ucap seseorang, membuat Shanin yang sedang fokus pada ponselnya itu mendongakkan kepalanya demi melihat siapa orang yang menyapanya.

“Mas Julian?” Shanin berdiri, dia tersenyum.

“Mau nonton juga?” tanyanya.

Shanin mengangguk, “iya nih, gabut banget abisnya ke mall sendirian. Mau pulang bosen, akhirnya nonton aja deh.”

“Kebetulan banget, saya juga mau nonton. Mbak theater berapa?”

“3,” Shanin menunjukan tiket bioskop miliknya yang tadi ia beli. “Wah sama ya!!”

“Kursi kita juga sebelahan, barengan aja yah.”

Shanin mengangguk, keduanya kembali duduk untuk menunggu pintu theater di buka. Shanin dan Julian ini saling mengenal karena Shanin membeli tiket konser band indie pada Julian, yup, Julian sempat mau menonton konser tapi ternyata di hari yang sama dia harus di tugaskan di luar kota sampai 3 hari. Alhasil Julian menjual tiket konser miliknya melalui akun sosial medianya, dan itulah cara Shanin dan Julian saling mengenal.

“Gimana konser kemarin?” tanya Julian.

“Seru,” Shanin tersenyum, ia memang bahagia sekali hari itu. Konser pertamanya bersama orang yang waktu itu Shanin pikir akan menjadi kekasihnya juga.

“Seru banget malahan, banyak lagu lama juga yang mereka bawain. Ah, sebentar.” Shanin mengeluarkan ponselnya kembali dan menunjukan foto-foto yang ia ambil saat konser berlangsung.

“Ini foto-foto kemarin dari cat 2, gak nyangka juga sih stage nya bakalan semegah ini.”

“Dari cat 2 lumayan juga yah, dengar-dengar mereka spoiler lagu barunya juga di next comeback?” tanya Julian, walau enggak sempat menonton.

Dia sempat membaca update tentang konser band indie favorite nya melalui sosial media, ya walau dengan hati yang sedikit sedih sih. Pasalnya Julian sudah mengidamkan konser itu sangat lama, ia juga bela-belain war tiket sendiri di tengah-tengah hectic nya pekerjaan.

Namun ketika persiapannya tinggal 80% lagi ia justru kehilangan kesempatan itu karena perusahaan tempatnya bekerja menunggaskannya di luar kota sampai 3 hari ke depan, waktu itu Julian sempat frustasi sekali harus menjual kembali tiket konsernya pada orang lain. Namun itu terdengar lebih baik, dari pada dia harus merasa rugi kehilangan uang yang enggak cukup sedikit di tambah gak bisa menonton pula.

“Yup, katanya pakai tema summer, yah emang udah masuk summer juga sih yah di sana. Makanya saya gak sabar banget mau cepet-cepet dengerin lagu barunya.” Shanin tersenyum.

“Mereka enggak ada ngomong tahun depan bakalan balik ke sini lagi?”

“Ah,” Shanin menjentikkan jarinya, ia hampir saja lupa. “Lois, dia spoiler kalau tahun depan bakalan ada konser lagi. Yah berdoa aja semoga mereka balik ke sini lagi yah, Mas Julian sendiri tahu kan. Penggemar mereka di sini tuh banyak banget, jadi gak mungkin sih gak ke sini lagi.”

Julian terkekeh, semoga saja begitu. Dan semoga saja saat mereka kembali Julian bisa menonton band kesukaannya itu tanpa halangan dan drama pekerjaan apapun itu lagi.

“Semoga yah.”

“Semoga juga Mas Julian bisa nonton, harus banget tuh ajuin cuti waktu mereka announce mau konser ke sini. Biar gak bentrok jadwalnya terus gak di ganggu gugat sama kerjaan deh,” jelas Shanin menyemangati. Ia tahu banget betapa patah hatinya Julian saat gagal dengan konsernya.

Pasalnya saat menulis surat kuasa untuk Shanin agar dapat menukarkan tiket dan mendapatkan Wristband, kedua mata Julian sempat berkaca-kaca. Shanin tahu pasti laki-laki itu sedikit tidak rela dengan konser impiannya yang harus batal.

“Yah, semoga aja yah. Kayanya lebih sakit saya gagal nonton konser deh, dari pada liat cewek yang saya sukain nikah sama orang lain,” Julian terkekeh, ini hanya guyonannya saja kok. Padahal sakitnya lebih sakit di tinggal nikah.

Shanin yang mendengar itu tertawa, ucapan asal dari cowok di sebelahnya berhasil membuat kekosongan di hati Shanin sedikit terisi, ia merasa terhibur.

“Jadi pernah di tinggal nikah nih?” ledek Shanin.

“Pernah, ah tapi sama aja sih sakitnya,” Julian terkekeh. Masih sakit, tapi ia jadikan rasa sakit itu sebagai bahan candaan saja biar hidupnya gak kelihatan se menyedihkan itu. “Semoga kamu gak ngerasain yah.”

Shanin tersenyum miris mendengarnya, gadis itu menghela nafasnya pelan. Membuat Julian menoleh ke arahnya.

“Kok gitu nafasnya? Jangan-jangan kita senasib lagi?” tebaknya.

no!! haha astaga, Mas Jul. Nasib saya kayanya lebih miris lagi deh.”

“Loh kenapa?”

“Cowok yang saya beliin tiket konser itu, yang saya pikir jadi gebetan saya. Justru ternyata udah punya Istri, ya.. Saya juga gak tau sih, dan dia—” Shanin terdiam, dia ngerasa gak berhak menceritakan kekurangan Yuno pada orang lain, apalagi Julian masih menjadi orang asing bagi Shanin karena mereka baru beberapa kali bertemu saja.

“Yah.. Gitu lah, ceritanya panjang.”

Julian mengangguk, ia menghargai pilihan Shanin untuk tidak melanjutkan ceritanya. Mungkin terlalu menyakitkan atau dia sendiri malu menceritakannya, tidak lama kemudian pintu theater 3 di buka. Mereka pun akhirnya masuk bersama dan menikmati film yang tadinya keduanya pilih secara random.


Malam ini Ara kembali ke rumahnya dan Yuno, ia hanya ingin memeriksa keadaan rumahnya saja dan mengambil baju miliknya. Mungkin ia akan menginap di rumah kedua orang tua nya untuk membahas keinginannya untuk berpisah dengan Yuno.

Ara gak menyangka kalau Jeff ada di rumah, jadi setelah berbicara sebentar dengan Budhe Ani, Ara langsung naik ke lantai 2 tempat kamarnya dan Yuno berada. Ternyata Jeff ada di kamarnya, laki-laki itu sedang belajar.

Dan waktu Ara membuka pintu, Jeff menoleh ke arahnya. Namun sedetik kemudian ia kembali fokus pada buku-buku yang ada di atas meja belajarnya itu.

“Hana ke mana?” tanya Jeff, waktu Ara membuka lemari bajunya.

“masih di rumah Gita sama Mas Arial.”

Mendengar itu, Jeff langsung berdiri. Dia memperhatikan Ara yang tengah mengemasi beberapa potong bajunya ke dalam tas.

“Lo mau ke mana?” tanya Jeff lagi.

Ara diam sebentar, dia menatap Jeff dengan wajah datarnya yang masih sedikit pucat itu. “Kenapa nanya? Emang kamu perduli aku mau ke mana?”

Jeff mendengus, Ara selalu saja berhasil menyalakan alarm kemarahan di kepalanya. “Gue nanya baik-baik yah, Ra. Gue nanya kaya gini karna gue perduli sama lo dan anak-anak gue—”

“Yakin?”

Ara tertawa, “terus kalau kamu perduli, seharusnya kamu gak nyakitin Hana, Jeff. Seharusnya kamu juga gak jalan sama perempuan lain buat nonton konser sama dia.”

Jeff kaget, dia gak nyangka Ara tahu soal konser dan Jeff yang bersama dengan perempuan lain. Wajah keterkejutan itu juga enggak bisa ia sembunyikan, apalagi saat Ara berhasil memergokinya jika ia terkejut.

“Gak usah kaget gitu, Jeff. Cewek yang kamu ajak nonton konser itu,” Ara menahan nafasnya, “aku tahu siapa dia dan aku kenal.”

“Oh,” Jeff menyeringai, “pantas akhir-akhir ini Shanin berubah, lo labrak dia?”

“Aku gak pernah ngelabrak orang, Jeff. Aku ngomong baik-baik ke dia kalau laki-laki yang dia ajak nonton konser itu Suami aku Mas Yuno.”

“Gue bukan Yuno!!” bentak Jeff.

Ara dan Jeff sempat terdiam saat Jeff berteriak barusan, nafas keduanya tersengal-sengal menahan amarah yang sedang memuncak itu.

“Aku udah tahu, kalau ngomong sama kamu, aku bakal selalu di teriakin kaya gini, makanya percuma juga kita ngobrol kan?”

“Lo harus bisa bedain gue sama Yuno, Ra. Dia gak selingkuh, cowok yang jalan sama Shanin itu gue,” Jeff menunjuk dirinya sendiri. “Jeff, bukan Yuno.”

“Oh, iya jelas. Mas Yuno emang gak selingkuh dan mungkin gak akan pernah selingkuh. Tapi kamu yang ngebuat dia seolah-olah dia selingkuh, kamu hampir bikin Shanin salah paham sama semuanya, Jeff!!” bentak Ara, sungguh kesabarannya sudah menipis. Meski sakit rasanya berbicara sekencang itu dengan Suaminya.

“Gue sama Shanin cuma nonton konser, kita teman, dan setelah itu juga enggak terjadi apa-apa antara gue sama dia.”

“Kamu gak perlu jelasin itu, Jeff. Aku gak mau tahu soal itu.”

“GUE JELASIN GINI KARENA GUE GAK MAU LO SALAH PAHAM!!” Jeff kembali berteriak, bahkan kali ini suaranya lebih kencang dari biasanya.

Ara sudah tidak lagi menangis seperti kemarin-kemarin, yang ada di hatinya kali ini hanya rasa kesal dan cemburu.

“Gak salah paham? Buat apa? Kan kamu sendiri yang bilang kalau aku gak perlu jadi Istri yang baik karena kamu bukan Mas Yuno, kamu juga yang bilang kalau aku Istri Mas Yuno dan yang menikah sama aku itu Mas Yuno. Bukan kamu, jadi buat apa, Jeff? Buat apa aku salah paham dan mikir kamu selingkuh, gitu? Iya?” jelas Ara, dia tertawa, sungguh Ara benar-benar tertawa. Meski Jeff tahu tertawa wanita di depannya itu terasa kosong, tidak ada hal konyol yang mereka bahas saat ini yang harusnya membuat Ara tertawa.

Jeff hanya diam kali ini, dia benar-benar kehabisan kata-katanya. Saat Ara kembali ingin membereskan baju-bajunya, di saat itu lah Jeff menahan lengan wanita itu dan membuat Ara jatuh di ranjang tempat mereka berdua duduk tadi.

“Lo MAU KEMANA SIH HAH?!” bentak Jeff lagi.

“Aku mau pulang ke rumah orang tua aku,” jawab Ara, air matanya mengalir tanpa ia sadari. Bahkan kalimat menyakitkan itu belum terucap dari bibirnya, namun Ara sudah merasakan jutaan pisau menusuki hatinya.

“Aku mau pisah sama Mas Yuno.”

Kedua mata Jeff membulat, pegangan tangan di lengan Ara itu mengendur. Dia gak menyangka Ara akan mengatakan itu saat ini.

“Aku mau cerai, biar kamu.” Ara menunjuk dada Suaminya itu. “Jeff, bisa bahagia. Bisa nyari bahagia kamu sendiri. Kamu bilang kan, kalau kamu juga menginginkan kehidupan seperti Mas Yuno? Kamu juga bilang kan kalau Mas Yuno gak akan pernah kembali lagi?”

Sungguh, rasanya sesak. Dadanya seperti di tiban batu besar yang membuat Ara sulit bernafas, ini mungkin bukan hanya menyakiti hati Yuno. Tapi juga hatinya sendiri, ah tidak. Anak-anaknya kelak akan menjadi korban yang paling tersakiti.

“Cari bahagia kamu, Jeff. Lakuin apa yang mau kamu lakuin.”

To Be Continue

Malam itu Jeff kembali melakukan pelariannya, setelah Ara pergi meninggalkan rumah. Jeff juga pergi dengan mobil milik Yuno, Jeff enggak punya tujuan. Ia hanya bisa melampiaskan segala bentuk amarahnya dengan cara mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi.

Jeff enggak perduli bagaimana jika ia kecelakaan, yang terpenting saat ini ia bisa menyalurkan seluruh emosinya. Tidak terhitung berapa kali kendaraan lain mengklaksonnya dengan sangat keras. Memberikan peringatan pada mobil yang ia kendarai jika yang sedang ia lakukan sangat membahayakan dirinya dan orang lain.

“ARRGHHGHHHH.” teriak Jeff, ia meninju stir mobilnya dengan keras.

Bayangan akan perdebatannya dengan Ara barusan masih terus terngiang di kepalanya, entah kenapa Jeff merasa kecewa, sedih dan marah seperti ini. Ada bagian dari dirinya yang tidak siap merasakan kehilangan.

Ia ingin bahagia, ia ingin di cinta. Jeff ingin keluarga dan menginginkan seseorang menganggapnya ada. Sesederhana itu saja, namun tidak ada yang bisa memberikan itu.

Mobil yang Jeff kendarai akhirnya berhenti di tepi laut yang selalu menjadi tempatnya mengadu, Jeff keluar dari mobilnya. Langkahnya gontai, ia seperti kehilangan separuh dirinya saat Ara mengatakan ia ingin berpisah dengan Yuno.

Kalau Jeff tidak mencintai Ara, seharusnya ia tidak akan sesakit dan semarah ini kan? Apa itu artinya ia kecewa dengan keputusan Ara? Apa itu artinya ia tidak siap dengan sebuah kehilangan untuk hal yang belum pernah ia miliki? Saat ini di kepala Jeff hanya bisa bertanya-tanya akan itu semua.

“AAAARRRGHHHHHHH.” Jeff berteriak kencang, tubuhnya jatuh di antara hamparan pasir laut dengan kaki telanjang yang sudah basah karena deburan ombak yang menyapu bibir pantai malam itu.

Di temani gelap, angin dan ombak kala itu Jeff menangis sejadi-jadinya. Ia merasa takut kehilangan, hatinya sakit. Harus Jeff akui ia tidak menginginkan sebuah perpisahan. Tapi Jeff juga menyadari jika sikapnya selama ini terlalu keras, apakah ini adalah sebuah bentuk hukuman untuknya?

Jeff masih menangis, ia memukul-mukul dadanya sendiri. Setengah bajunya sudah basah, tapi Jeff enggak perduli jika nantinya ia akan sakit.

“Gue gak mau kehilangan lo, Ra.. Gue gak mau lo pergi,” cicitnya, Jeff juga gak menyangka ia akan mengatakan hal itu.

“Bukan ini yang gue mau..” lirihnya.

Katakan Jeff terlalu munafik untuk setiap hal yang ia akui keluar dari mulutnya, bukan bahagia dengan orang lain yang ia inginkan. Bukan bentuk bahagia mirip seperti Yuno dengan orang lain yang ia dambakan, bukan itu. Jeff hanya menginginkan Ara juga mencintainya sama seperti wanita itu mencintai Yuno.

Jeff menginginkan Ara, sangat. Bentuk marah dan ucapan benci yang Jeff utarakan pada wanita itu adalah bentuk protes karena Ara tidak pernah tahu apa yang Jeff inginkan, Jeff enggak pernah mengakuinya. Tapi Jeff sangat mencintai Ara sama seperti Yuno.

“Jangan tinggalin gue, Ra.. Tolong jangan...” lirihnya.

Semua bermula di malam saat Jeff tiba-tiba berada dalam tubuh Yuno, Yuno sedang baik-baik saja kala itu, waktu itu Jeff memilih berpura-pura menjadi Yuno karena Ara nampak begitu cantik di matanya. Ara juga enggak tahu saat itu Yuno yang ada di depannya ada Jeff, malam panjang itu menghadiahi Jeff kenangan akan manisnya mendapatkan hujaman cinta.

Sampai Jeff akhirnya terbuai dan tanpa ia sadari ia jatuh cinta dengan Ara, hal ini juga yang menjadi keinginan kuat Jeff untuk mengambil alih Yuno kembali. Karena ia ingin melihat sudah sebesar apa cintanya bersama Ara saat ini, ia ingin di sana saat anak itu lahir, Jeff juga ingin di panggil dengan sebutan Papa.

“Aku sayang kamu, Ra.. Aku juga mau di cintai sebesar kamu mencintai Yuno..”

Andai saat ini ia memiliki keberanian untuk mengatakan hal itu pada Ara, andai Ara memberinya kesempatan padanya untuk menunjukan betapa Jeff sangat cemburu jika Ara terus melihatnya sebagai Yuno.

Semua yang Jeff lakukan pada Shanin awalnya hanya sebagai bentuk pelarian, ia ingin Ara juga merasakan cemburu seperti yang selama ini ia rasakan, namun nampaknya sikapnya kali ini kelewatan. Jeff enggak kepikiran hal ini akan terjadi, sangat tidak terbayangkan di benaknya sama sekali.

Menjelang pagi kala itu, Jeff masih melamun di tepi laut. Bersandar pada batuan besar, menikmati semilir angin yang meniup tubuhnya yang sudah menggigil subuh itu. Jeff enggak tahu harus bagaimana, tapi ia juga tidak ingin kehilangan Ara, Hana dan anak yang di kandung Ara.

“Aku masih mau disini, sampai kamu bisa lihat aku, Ra.” gumam Jeff.


Gita dan Arial saling pandang satu sama lain, mereka bingung harus mengatakan apa saat Ara pulang ke rumah mereka dan mengatakan ia akan berpisah dengan Yuno. Jujur saja, Gita gak kepikiran Ara akan berpikir sejauh itu untuk meninggalkan Kakak sepupunya.

Bahkan Gita gak bisa membayangkan sehancur apa Yuno jika ia kembali ke tubuhnya, dan mengetahui fakta jika ia akan di gugat cerai dengan Istri yang sangat ia cintai atas kesalahan yang Yuno sendiri tidak merasa memperbuatnya.

“Kamu yakin, Dek? Kamu gak bisa bicarain ini sama Yuno. Karena dia Jeff,” ucap Arial.

Ara menggeleng kepalanya, sungguh kepalanya sudah sangat sakit memikirkan hal ini. “Gak tau, Mas. Ara bingung harus gimana.. Tapi Ara udah gak kuat sama sikap Jeff.”

Arial menghela nafasnya pelan, Arial paham. Ia juga tidak bisa mencegah itu karena Ara yang menjalani pernikahan ini. Yang Arial takutkan adalah, kelak Ara akan menyesal dengan keputusannya jika Yuno kembali. Arial tahu betapa keduanya saling mencintai, secara harfiah, Yuno dan Ara enggak punya masalah apa-apa.

Yang Ara tuduhkan selingkuh juga bukan Yuno, melainkan Jeff. Mereka masih saling mencintai dan perpisahan, Ara anggap bentuk dari betapa ia mencintai Yuno dengan melepaskan pernikahannya. Tapi itu juga sangat menyakitkan bukan hanya untuk Ara dan Yuno, tapi untuk anak-anak mereka juga.

“Kamu yakin, Ra? Kamu gak mau nunggu sampai anak kamu lahir? Setidaknya sampai saat itu kamu masih bisa mikir-mikir lagi.” Arial benar-benar gak mau Ara salah langkah, masih ada kemungkinan Yuno kembali.

“Pengadilan pasti nanya apa alasan kamu mau cerai sama Yuno, terus kamu mau bilang apa? Karena dia punya alter ego, iya?”

Ara hanya diam, ia menunduk dan menopang kepalanya dengan kedua tangannya. Saat ini ketiganya ada di ruang kerja Arial, di ruang TV ada anak-anak mereka. Ara juga gak ingin Hana dengar obrolan menyakitkan ini.

Sementara itu, di tempatnya Gita hanya diam. Dia enggak tahu harus melakukan apa, Gita masih sangat sulit mencerna situasi ini. Selain memikirkan kondisi Ara, Gita juga sangat kecewa dengan sikap Jeff. Mungkin nantinya Gita akan mencoba menghubungi Jeff untuk berbicara lebih dulu dengan laki-laki itu, ah tidak. Gita ingin sekali memaki Jeff saat ini.

“Git, kamu juga kenapa diam aja? Kamu kan sepupunya Yuno, bantu dia biar rumah tangga nya gak berantakan dong,” ucap Arial sedikit sewot.

“Aku harus apa? Yang ngejalanin itu Ara, aku diam karena aku tahu gimana sikap Jeff ke Ara, Mas. Kalau aku di posisi Ara, aku juga gak yakin bakalan sanggup berhadapan sama Jeff. Nyuruh Ara bertahan di saat aku sendiri gak yakin kalau aku bisa jadi dia itu terdengar egois tau gak?” jelas Gita.

Ara jadi merasa enggak enak, karena dirinya, Arial dan Gita jadi ribut seperti ini. Ara sudah mengambari orang tua Yuno, meraka bilang akan bertemu dengan Ara di rumah Gita untuk membicarakan hal ini besok.

“Git, Mas Ril, please jangan ribut kaya gini karena aku.” suara Ara terdengar serak, ia ingin sekali menangis lagi. Tapi rasanya air matanya sudah sangat kering.

“Aku mau istirahat dulu di kamar, tolong jangan ribut lagi yah. Aku titip Hana.” Ara berdiri, ia meninggalkan ruang kerja Arial dan berjalan ke kamar tamu untuk beristirahat di sana.

Saat sepi menghadang, saat di ruangan itu hanya ada dirinya. Tubuh Ara merosot di belakang pintu dan pertahanannya luruh kembali, ah tidak. Ara sudah tidak punya pertahanan apapun. Setiap harinya air matanya selalu keluar, hatinya tidak pernah tenang bahkan saat ia memejamkan mata sekalipun.

“Aku kangen kamu, Mas.. Aku kangen kamu..” lirihnya.

Keesokan harinya kedua orang tua Yuno datang ke rumah Gita dan Arial setelah kemarin Ara memberi tahu jika Jeff telah mengambil alih Yuno, pagi ini juga Gita dan Arial mengajak anak-anak mereka dan Hana keluar agar obrolan mengenai rumah tangga Yuno dan Ara ini tidak terdengar sampai ke telinga Hana.

“Tensi kamu masih agak tinggi, Ra. Pagi ini udah makan belum?” tanya Mama, mereka belum memulai obrolan serius itu. Yang pertama kali Mama lakukan saat datang adalah memeriksa kondisi Ara.

“Udah, Mah. Ara udah makan kok.”

“Mama tadi bawain kamu semangka sama pisang, di makan nanti yah. Itu bagus buat nurunin tensi kamu.”

Mama mengusap rambut panjang menantu kesayangannya itu, Ara nampak tidak sehat. Bagian bawah matanya juga menghitam dan itu menambah kekhawatiran Mama, tidak lama kemudian Papa juga datang dan duduk di ruang tamu rumah Arial dan Gita itu.

Tadi Papa keluar untuk menelfon Jeff ke ponsel Yuno, tapi laki-laki itu tidak menjawabnya. Sampai saat ini enggak ada yang tahu keberadaan Jeff dimana, tadi pagi Ara juga sudah menghubungi ke rumah tapi Budhe Ani bilang Jeff enggak pulang ke rumah semalam.

“Sejak kapan, nak? Sejak kapan Jeff muncul?” tanya Papa membuka obrolan di antara mereka.

“Sejak Mas Yuno mulai studinya, Pah.”

Papa memijat keningnya, Papa merasa bersalah akan hal ini. Tindakannya yang dinilai gegabah itu menjadi malapetaka untuk rumah tangga anaknya dan menyakiti hati menantu kesayangannya itu.

“Papa dan Mama minta maaf, Ara. Terutama Papa, karena Papa Yuno jadi begini. Papa sama sekali gak mengira hal ini terjadi, Papa cuma berusaha menjadikan Yuno yang lebih baik lagi,” ucap Papa lirih, Ara bisa mendengar suara Papa bergetar karena tangisnya yang ia tahan.

“Pah...” Ara menggeleng, ia enggak tega melihat Papa terlihat hancur dan merasa bersalah begini. “Ini bukan salah Papa..”

“Kalau Papa gak menekan Yuno untuk melanjutkan studinya, mungkin Jeff enggak akan kembali, kamu juga gak akan tersiksa seperti ini, Ra. Maafkan Papa..”

Ara menoleh ke arah Mama, Mama mertua nya itu juga menangis membuat hati Ara menjadi ikut menjerit melihat mertua nya itu merasa bersalah atas rumah tangga nya dan Yuno.

“Papa akan coba bicara sama Jeff. Tapi untuk setiap keputusan Ara, Papa dan Mama serahkan semua yang terbaik menurut Ara. Papa dan Mama gak mau memaksakan kamu harus tetap bersama Yuno di saat Jeff berada dalam tubuh Yuno, Papa gak mau batin kamu dan Hana tersiksa, Nak.”

Kedua orang tua Yuno nampak pasrah dengan keputusan yang Ara ambil, keduanya sejalan dengan Gita yang juga menyerahkan semua keputusan pada Ara. Keduanya enggak menahan Ara untuk tetap bertahan pada Yuno karena mereka tahu seberapa kerasnya Jeff, bahkan gak ada yang bisa membantah ucapannya sedikit pun.

Bahkan Jeff pun berani melawan kedua orang tua Yuno untuk hal-hal yang menurutnya bertentangan dengan keinginannya, seberani itu Jeff. Semakin ia di tentang akan semakin keras sikap Jeff dengan orang yang menentangnya.

“Orang tua kamu udah tahu soal ini, Nak?” tanya Mama.

Ara menggeleng, ia mengusap pipi nya yang sudah basah karena air matanya itu. “Belum, Mah. Rencananya Ara baru akan cerita ke Bunda sama Papa besok.”

Mama mengangguk, “kami serahkan keputusannya sama kamu, tolong pikirin ini baik-baik yah. Mama dan Papa hanya bisa membantu untuk bicara dengan Jeff saja.”

Ara mengangguk, setelah kedua orang tua Yuno pulang. Ara masih berdiam diri di kamar tamu, kebetulan Arial dan Gita juga belum pulang. Di kamar, Ara banyak merenungi tentang keputusannya untuk berpisah. Berat baginya juga untuk mengambil keputusan ini, ia sangat mencintai Yuno. Ara bahkan gak bisa bayangin hari-harinya tanpa Yuno nanti.

Ara bahkan gak bisa bayangin Yuno akan kembali merasa sendiri, dengan segala beban yang orang tua nya berikan. Baru membayangkannya saja sudah berhasil membuat Ara kembali menangis.


Sinar cahaya pagi matahari serta denyutan di kepalanya yang terasa nyeri itu membuat laki-laki yang tengah terbaring di kamar itu mengerjapkan matanya, ia merasa seluruh tubuhnya remuk dan badannya menggigil, Yuno kaget saat mendapati dirinya tertidur bukan di kamarnya dan Ara.

Ya, Yuno telah kembali. Ia sudah berhasil mengambil alih dirinya lagi, ia bangun dari ranjang dan mencari ponselnya sendiri. Namun saat ingin membuka ponsel miliknya untuk menelpon Istrinya itu. Yuno bingung karena password yang sudah ia setting pada ponselnya tiba-tiba saja di ganti.

“Jeff.. Si brengsek itu,” gumam Yuno.

Tidak memperdulikan badanya yang demam, Yuno bangkit dari tempat tidur dan mencari buku yang menjadi penghubung antara dirinya dan Jeff itu di laci sebelah ranjangnya. Sembari mencari password baru ponselnya, Yuno sembari membaca hal-hal yang terjadi dan di lakukan Jeff selama laki-laki itu mengambil alih dirinya.

Tidak ada yang aneh, hanya kegiatan biasa serta materi-materi dari studinya yang Jeff tulis di sana. Setelah menemukan kode ponselnya yang baru, Yuno langsung bergegas menelpon Ara kembali. Tapi sayangnya Istrinya itu tidak mengangkat panggilannya.

“Kamu kemana sayang...” ucap Yuno lirih

Karena tidak kunjung mendapatkan jawaban atas panggilannya, Yuno akhirnya merampas jaket yang Jeff gantung di belakang pintu masuk apartemen milik Yuno. Ia langsung berlari keluar untuk bergegas pulang menemui Istri dan anaknya, beberapa hari tidak melihat keduanya membuat Yuno sangat-sangat merindukan keluarga kecilnya itu.

Saat Yuno sampai di rumah, ia di buat bingung ketika melihat tidak ada mobil Ara terparkir di halaman rumah mereka, waktu itu pikiran Yuno hanya, mungkin Ara sedang mengantar Hana sekolah atau sedang pergi sebentar. Maka dari itu Yuno tetap masuk ke dalam rumahnya dengan langkah yang terburu-buru.

“Budhe, Ibu sama Hana kemana?” tanyanya.

Budhe Ani yang di tanya begitu hanya bisa mengerutkan keningnya bingung, pasalnya beberapa hari yang lalu Suami Istri itu pulang ke rumah. Dan mereka pergi di waktu yang hampir bersamaan, Budhe Ani pikir Yuno tahu kemana Istrinya itu pergi.

“Loh, Ibu sama Hana kan menginap di rumahnya Ibu Gita dan Pak Arial, Pak. Sudah beberapa hari ini malahan. Bukanya Bapak tahu? Kan Budhe sudah cerita waktu itu.”

Yuno terdiam, dia jadi semakin bingung kenapa Ara dan Hana harus menginap di rumah Gita dan Arial. Dalam rangka apa? Pikirnya, Tapi dari pada terus bertanya-tanya, Yuno akhirnya pergi menyusul Istri dan anaknya itu.

Begitu sampai di rumah Gita dan Arial, Yuno langsung buru-buru masuk. Di sana ia bertemu Arial lebih dulu, Yuno bingung kenapa Arial menatapnya penuh dengan kebencian tidak seperti biasanya, dengan senyum atau dengan sapaan nyeleneh khas laki-laki itu.

“Ril, Ara sama Hana disini?” tanya Yuno.

Arial masih belum paham kalau yang berdiri di depannya itu adalah Yuno bukan Jeff, tapi laki-laki itu justru menyeringai dengan tatapan penuh kemarahan, jika ini bukan di rumahnya, dan jika tidak ada anak-anak di rumahnya. Mungkin Arial sudah menghajar laki-laki di depannya itu karena sudah berani menyakiti Adik nya lagi.

“Masih perduli lo sama Ara? Mendingan lo pergi deh, Jeff.” ucap Arial.

Yuno menggeleng, perasaanya sudah tidak enak. Iya yakin ada sesuatu yang buruk yang di lakukan Yuno pada Istri dan anaknya.

“ini gue, Ril. Ini gue Yuno.”

“PAPA...”

Hana yang mendengar suara Papa nya itu berlari, ia menghampiri Yuno dan memeluk Papa nya itu erat, begitu juga dengan Yuno yang langsung menghampiri Hana dan memeluk putri kecilnya itu. Sungguh, Yuno sangat merindukan Hana.

Arial yang melihat Yuno memeluk Hana itu akhirnya menyingkir dari sana, membiarkan Hana bersama dengan Yuno dahulu. Mereka sudah tidak bertemu setelah beberapa hari, dan Arial tahu betapa Hana merindukan Ayahnya itu.

“Papa mau jemput Hana sama Ibu yah?” tanya Hana.

Yuno nampak bingung harus menjawab apa, pasalnya dia juga tidak tahu alasan Ara membawa Hana untuk menginap di rumah Gita dan Arial sementara waktu.

“Nanti kita tunggu Ibu dulu yah, Papa harus bilang ke Ibu dulu.”

“Um,” Hana mengangguk, “Papa jangan pergi-pergi lagi, Hana kangen sama Papa.”

Yuno belum mendapatkan penjelasan apa-apa atas apa yang terjadi pada dirinya selama Jeff mengambil alih, Gita bilang, dia akan menjelaskannya nanti setelah Hana tidur. Karena menurut Gita ini akan menjadi penjelasan yang cukup panjang dan rumit.

Setelah mendongengkan Hana, Yuno pikir Hana sudah tidur tapi ternyata anak itu menangis dalam diamnya, membuat Yuno jadi khawatir apa yang Hana rasakan sampai membuat anak itu harus menangis.

“Sayang, hey? why are you crying, um?” tanya Yuno, ia mengusap air mata anaknya itu dengan ibu jarinya. “are you sad? Hana?”

“Papa kenapa sekarang berubah? Papa udah lupa sama Hana yah? Papa juga suka marah sama Ibu dan buat Ibu sedih.”

Yuno bingung apa yang tengah Hana bicarakan, namun mendengar suara anaknya itu yang bergetar karena tangisnya. Membuat hati Yuno terasa di sayat-sayat.

“Mungkin, Papa sedang emosi. Sampai Papa gak sengaja marah sama Ibu yah? Nanti Papa minta maaf yah kalau Ibu pulang.”

“Kata Brian, kalau sering marah-marah itu artinya Papa udah sayang sama Ibu. so you don't love Ibu anymore?” Hana menatap mata Yuno yang nampak berlinang air mata itu. Yuno tidak bisa menahan kesedihannya.

“Hey, Of course i love her, i always do, okay? yang di ucapin Brian itu gak benar, Hana. Kakak harus percaya sama Papa dan Ibu, yah?”

Hana mengangguk, Yuno memeluk anaknya itu erat dan menciumi pucuk kepalanya. Ia juga cepat-cepat mengusap air matanya yang jatuh ke kedua pipinya itu waktu Hana ia peluk, Yuno gak ingin melihatnya menangis.

”“Papa, I miss you so much, i still really love papa. Walau kadang kalau melihat Ibu sedih karena Papa, Hana juga enggak bisa menyembunyikan kalau kasih sayang Hana ke Papa sedikit berkurang. i want Papa to know, when Papa hurt Ibu, Papa also hurt me. I wish there was something i could do to get Papa back with us. Hana berharap Papa minta maaf sama Ibu, Hana dan adik bayi karena udah bikin sedih, tapi kalau Papa enggak minta maaf, Hana still love Papa.

Mendengar Hana yang bicara seperti itu dalam pelukannya, Yuno menahan dirinya mati-matian untuk tidak menangis dan terisak, Yuno gak tahu apa saja yang Jeff lakukan pada Istri dan anaknya, mimpi buruk bagi Yuno jika suatu hari Hana tahu keberadaan Jeff di dirinya. Tapi cepat atau lambat, Hana pasti akan paham dengan kondisinya. Yuno cuma berharap, jika hari itu tiba. Hana bisa mengerti dirinya.

“Papa minta maaf, do you want to forgive Papa, hm?”

Hana mengangguk, setelah memastikan Hana tidur. Yuno keluar dari kamar tamu, Gita bilang malam ini Ara enggak tidur di rumahnya. Ara pulang ke rumah kedua orang tua nya itu karena ada hal yang harus Ara bicarakan.

Begitu Yuno keluar, Gita menghela nafasnya dengan kasar. Dia prihatin banget sama keadaan Yuno saat ini yang tidak tahu apa-apa. Begitu Yuno duduk di sebelahnya, Gita menepuk pundak Kakak sepupunya itu. Gita bisa melihat kedua mata Yuno sembab, sudah jelas sekali Yuno habis menangis.

Badan Yuno masih sedikit demam, dia gak tau kenapa dia bisa sakit kaya gini. Tapi Yuno sama sekali enggak perduli pada kesehatannya, yang ia khawatirkan sekarang ini adalah Ara dan juga Hana.

“Hana banyak cerita soal perlakuan gue ke Ara akhir-akhir ini, Git.” ucap Yuno.

Ia menggelengkan kepalanya, jika Jeff ada di depannya. Mungkin Yuno akan menghajar laki-laki itu karena telah berani menyakiti Istri dan anaknya, padahal Yuno sudah menuliskan pesan pada Jeff jika ia mengambil alih dirinya. Jeff tidak boleh menyakiti Ara dan Hana.

“Sebenarnya apa yang gue lakuin, Git? Apa yang Jeff lakuin ke Ara dan Hana?”

“Kak Yuno—”

“Jelasin semuanya, Git. Gue mau tahu dan gue mau perbaiki kekacauan yang udah Jeff perbuat.”

Gita mengangguk, “Jeff banyak bicara kasar ke Ara, Kak. Awalnya Ara masih sabar aja sama semua perlakuannya, sampai akhirnya Jeff ketahuan jalan sama perempuan lain.”

“Perempuan lain?!” pekik Yuno kaget.

“Um,” angguknya. “Tapi Ara udah ketemu sama perempuan itu dan jelasin semuanya, Jeff tahu soal ini dan ada yang aneh. Jeff marah banget kata Ara waktu Ara ketahuan ketemu sama perempuan yang jalan sama Jeff. Mereka ribut besar, Ara juga sempat drop waktu itu. Tapi kayanya kesabaran Ara udah habis buat ngehadapin Jeff, Kak.”

Kedua tangan Yuno terkepal dengan kuat, bahkan buku-buku tangannya itu sampai memutih saking kencangnya ia mengepalnya.

“Kak, ada hal yang lo harus tahu. Tapi gue enggak tega ngomongnya.”

“Apa?” Yuno menengadahkan kepalanya menoleh ke arah Gita. “Bilang, Git. Cerita semuanya, tolong jangan ada yang lo sembunyiin.”

Gita jadi enggak tega sendiri, mendengar penjelasannya tentang apa yang Jeff lakukan saja sudah membuat Yuno marah dan dan hancur, Gita gak bisa bayangin bagaimana jika dia memberi tahu kalau Ara ingin pisah darinya?

“Git? Ada apa?” tanya Yuno sekali lagi karena Gita enggak kunjung bicara.

“Ara minta pisah, Kak.”

Kali ini pertahanan Yuno benar-benar runtuh, Yuno menangis karena kesal yang tidak bisa tersalurkan pada si pembuat masalah dan merasa bersalah kepada anak dan Istrinya. Yuno benar-benar menangis menyesakan, Gita ingat Yuno pernah menangis seperti ini juga sewaktu ia dan Ara putus dahulu, dan kali ini Yuno menangis untuk alasan yang sama, Yaitu kehilangan Ara.

To Be Continue

“Pagi, Kak.” sapa Bunda di meja makan begitu Ara turun dari kamarnya.

“Pagi, Bun.”

Dari kemarin Ara menginap di rumah kedua orang tua nya, dia sangat merindukan kamarnya di rumah itu. Rencananya pagi ini Ara juga akan mengatakan sebuah kejujuran jika ia ingin berpisah dengan Suaminya kepada kedua orang tua nya itu.

Ara menoleh ke teras, Papa nya ada di teras. Sedang memandikan burung hias kesayangannya di sana, di meja makan, hanya ada Bunda dan Reno yang sedang sarapan dan akan pergi bekerja. Ara duduk di samping Reno, melihat anak itu makan dengan begitu lahapnya sambil melihat ke tab yang ada di sebelahnya.

“Makan tuh jangan sambil ngurus kerjaan, Dek.” Ara mengingatkan Reno, laki-laki itu menoleh dan tersenyum ke Kakaknya.

“Pagi, Kak.” sapanya.

“Hm.. Taruh dulu tab nya, makan yang benar.” Ara enggak suka banget ada kegiatan lain selain makan di atas meja, bukan hanya Reno saja yang ia tegur jika makan sambil bekerja. Yuno juga dulu begitu, makan sambil belajar dan Ara akan menegurnya. Mengatakan ia harus menyelesaikan makannya dulu baru bisa melakukan kegiatan lain.

“Iya kak,” Reno mendengus, meski begitu ia tetap menaruh tab miliknya di dalam tas dan melanjutkan makannya.

“Papa enggak sarapan, Bun?”

“Papa udah duluan, Kak.” Bunda menoleh ke arah Suaminya itu, “Baru beli burung baru dia, makanya tiap pagi ditimang-timang mulu.” Bunda terkekeh.

Ara mengangguk, ia mulai sarapannya pagi ini. Pagi ini Bunda bikin toast, ada nasi goreng udang juga di sana. Tapi Ara memilih sarapan dengan toast, nasi goreng itu biasanya yang makan Reno. Anak itu gak bisa sarapan kalau hanya dengan toast, kata Reno itu bukan makan namanya tapi ngemil.

Sambil sarapan, Ara sambil melamun. Semalaman ponsel milik Yuno menelponnya tapi Ara enggak mengangkat telpon itu, Ara udah lelah berdebat dengan Jeff. Dia mau menenangkan dirinya dulu sebelum menyiapkan segala berkas-berkas keperluannya untuk ke pengadilan agama.

“Kak?” panggil Bunda, membuat lamunan Ara akan rencanannya itu buyar begitu saja.

“Um?”

“Makan kok sambil ngalamun sih? Pamali, Kak.”

Ara tersenyum, “maaf yah, Bun.”

Reno yang sudah selesai makan itu langsung berdiri dan memakai ranselnya, sudah hampir jam 8 pagi, jika telat 5 menit saja jalanan akan sangat padat nantinya.

“Bun, Kak. Reno berangkat yah, mau meeting pagi ini sama klien jam 10,” ucapnya. Laki-laki tinggi itu menyalami Bunda nya dan Kakaknya.

“Yaudah, hati-hati loh, dek. Jangan skip makan siang nanti yah.”

“Yah. Bun, Kak, Reno jalan yah.”

Ara hanya tersenyum dan mengangguk, begitu Reno berangkat Papa juga masuk ke dalam rumah dan bergabung dengan Bunda dan Ara yang sedang sarapan sembari saling bertukar cerita.

Bunda cerita banyak hal, termasuk soal persiapan pernikahan Reno, coffee shop milik Papa dan juga Bunda yang sudah membuat baju bayi untuk Nathan. Bunda juga cerita bulan depan Mas Yuda dan Istrinya akan berlibur ke Jakarta.

“Berarti Hana sama Arial dan Istrinya, Kak?” tanya Papa.

“Iya, Pah. Hana lagi nginap di sana, Hana kan dekat banget sama si kembar. Kemarin juga Mas Iyal sama Gita sempat ajak mereka jalan-jalan.”

Papa mengangguk, “Yuno masih sibuk yah berarti sama studi dan jadwal praktiknya?”

“Um, iy..yah, Pah.”

Sebenarnya dari Bunda datang ke rumah Ara kemarin, perasaanya selalu tidak enak. Firasatnya selalu mengatakan ada yang tidak beres dengan Ara dan Yuno, tapi Bunda enggak menceritakan tentang perasaanya itu ke siapa-siapa. Bunda gak mau pemikiran buruknya itu terwujud karena ia bercerita.

“Kak?” panggil Bunda.

“Hm?”

“Kakak sama Mas Yuno baik-baik aja kan, Kak?”

Dan disini Ara hanya bisa menunduk, menatap piring bekasnya makan yang sudah kosong itu tanpa berniat menjawab pertanyaan dari Bunda nya itu. Sementara itu Papa dan Bunda saling tatap, seperti bisa membaca gelagat tidak wajar dari anak tengahnya itu.

“Kakak sama Mas Yuno..” Ara mengigit bibir terdalamnya, “Bun, Pah. Ara kepikiran mau berpisah sama Mas Yuno.”

Awalnya Papa dan Bunda hanya diam, sampai akhirnya Papa menggelengkan kepalanya tidak menyangka.

astagfirullah, Ra. Nyebut kamu, Kak.” ucap Papa kaget bukan main.

“Kak.. Kenapa, Nak?” Bunda yang tadinya duduk di depan Ara itu berpindah menjadi di samping anak perempuannya itu. “Kakak kan lagi hamil, gimana sama anak-anak nanti? Emang Kakak ada masalah apa sama Mas Yuno sampai mau pisah sih, Kak?”

Ara tidak menjawab, ia hanya menunduk sembari menutupi wajahnya dengan kedua tangannya itu. Ara sudah tahu kedua orang tua nya pasti akan memberi respon seperti ini, dulu waktu Ara enggak sengaja mendengar kedua orang tua Arial akan bercerai. Respon Papa dan Bunda juga sama persis seperti saat ini.

“Cerita sama Papa dan Bunda, Kak. Kenapa sama rumah tanggamu dan Yuno,” kata Papa.

“Kakak ada masalah? Mas Yuno selingkuh, Nak?” karena terlalu banyak mengikuti kisah rumah tangga selebriti, Bunda jadi berpikir Ara ingin berpisah dengan Yuno karena menantunya itu selingkuh.

Ara menggeleng, saat kedua tangannya itu ia lepas dari wajahnya. Kedua mata Ara sudah memerah, menahan tangisnya yang ingin sekali ia pecahkan untuk sekian kalinya. Namun rasanya Ara udah gak memiliki tenaga lagi, bahkan untuk sekedar nangis sekalipun.

“Gak, Bun, Pah. Mas Yuno gak selingkuh.”

“Yah, terus kenapa, Kak?” tanya Bunda.

Papa yang tadinya tenang itu kini berdiri dan duduk di samping Ara, Papa mengambil satu tangan putrinya itu dan memeriksanya. Ara awalnya bingung, namun akhirnya ia paham jika Papa nya hanya memeriksa untuk memastikan Yuno melakukan kekerasan dalam rumah tangga dengan putrinya atau tidak.

“Gak, Pah. Mas Yuno gak mukul Ara, dia baik. Mas Yuno Suami yang baik,” ucap Ara sembari menarik tangannya. Ia juga sudah menangis menyesakan, air matanya sudah tidak sanggup Ara bendung lagi.

“Terus kenapa, Kak? Kalo dia Suami yang baik, kenapa Kakak minta pisah? Ada apa?”

“Kakak udah gak sayang sama Mas Yuno.”

“Bohong, Papa gak percaya kalau itu alasan kamu!!” pekik Papa nyaris emosi.

“Mas...” Tapi Bunda memperingatkan Papa untuk tidak berbicara dengan nada tinggi di depan Ara yang sedang merasa kalut.

“Jujur, Kak. Papa dan Bunda gak pernah ajarin Kakak bohong.”

Ara masih menangis sesegukkan, Bunda sempat memberi Ara minum agar jauh lebih tenang. Setelah tangisnya sudah mereda, Ara berpikir jika ia memang harus jujur tentang apa yang terjadi sebenarnya dengan rumah tangga nya dan Yuno.

“Mas Yuno..” Ara memejamkan matanya, ia harap kedua orang tua nya bisa cepat paham apa yang akan ia ceritakan ini. Karna jujur saja, kedua orang tua Ara juga hanya orang awam tentang kesehatan mental.

“Mas Yuno itu punya gangguan DID, Pah, Bun.”

“Kakak bisa gak jelasin pakai bahasa yang Papa dan Bunda mengerti?” ucap Papa.

“Kepribadian ganda, dengan kata lain Mas Yuno memiliki 2 kepribadian. Ini di sebut alter ego, Mas Yuno dan Jeff.”

“Jeff?” Bunda mengerutkan keningnya.

Ara mengangguk, “Jeff ini adalah diri Mas Yuno yang lain, Pah, Bun. Dia laki-laki dewasa berumur 25 tahun yang punya sikap bertolak belakang sama Kak Yuno. Jeff itu kasar, emosian dan keras kepala. Dari dulu Jeff enggak pernah suka sama Kakak, dan Jeff bisa muncul kalau Mas Yuno ngerasa tertekan sama keadaan.”

Papa dan Bunda masih bingung dengan hal-hal baru seperti ini, namun karena Ara adalah psikolog. Papa dan Bunda percaya saja dengan apa yang Ara katakan barusan. Papa juga enggak menyangka kalau menantunya akan memiliki gangguan kepribadian seperti ini yang membuat putrinya ingin berpisah.

“Akhir-akhir ini Jeff yang ambil alih Mas Yuno, Jeff sering banget adu mulut sama Ara bahkan sampai Hana dengar. Dan ada masalah-masalah lain yang enggak bisa Ara ceritain ke Papa dan Bunda—”

“Kenapa Kak? Papa kan bilang buat jujur sama semuanya?!” ucap Papa tegas. Papa sudah mulai emosi dengan semua cerita Ara.

“Pah..”

“Alasan Ara berpisah sama Yuno enggak masuk akal, Bun. Papa enggak setuju kalian berpisah!”

“Kakak gak kuat, Pah. Kakak gak sanggup kalau harus berhadapan sama Jeff dengan semua sifat kerasnya. Kakak gak mau Hana benci sama Mas Yuno kalau begini terus, Kakak juga lakuin ini semua buat Mas Yuno.”

“Kalau kamu sayang sama Yuno, harusnya kamu gak minta pisah sama dia, Ra. Kamu bayangin gak gimana kalau kalian pisah? Yuno akan makin hancur, kamu mau anak kamu gak punya Papa? Kamu mau anak kamu jadi korban perceraian?”

Mendengar jawaban Papa nya itu membuat Ara semakin menangis, yang Papa katakan tidak semuanya salah. Tapi tidak benar sepenuhnya juga, Ara setuju dengan Papa mengatakan bagaimana jika Yuno akan semakin hancur karena ia meninggalkannya, Ara juga berpikir begitu. Tapi untuk saat ini Ara hanya berpikir berpisah adalah jalan terbaik karena dirinya sudah tidak sanggup lagi.

“Kak, dulu waktu Kakak di lamar Yuno. Papa selalu tanya ke Kakak, apa Kakak siap berumah tangga, apa Kakak udah siap jadi Istrinya Yuno, apa Kakak udah bisa menerima semua kekurangan dia? Kakak jawab apa? Kakak udah siap, kalau begini artinya Kakak gak bisa menerima kekurangan Yuno.”

“Gak gitu, Pah.. Gak gitu..” tangis Ara semakin menyesakan di sana, Bunda gak bisa berucap apa-apa lagi. Karena semua yang ingin bunda katakan sudah di wakilkan oleh Papa. Bunda hanya bisa memeluk Ara dan menenangkan putrinya itu.

“Orang tua nya Yuno tahu soal ini, Kak?” tanya Bunda.

Ara mengangguk, “mereka bilang, mereka nyerahin semuanya ke Kakak, Bun. Mereka gak bisa nahan Kakak untuk tetap tinggal.”

“Mereka juga sama saja, itu artinya orang tua Yuno mendukung perceraian anaknya.”


Ara kembali ke rumahnya dan Yuno karena Jeff bilang dia ingin bertemu dengan Ara, kedua orang tua Ara masih sama. Mereka masih tidak setuju jika Ara akan berpisah dengan Yuno, mereka bilang akan bertemu dengan kedua orang tua Yuno dulu untuk membahas masalah anak-anak mereka.

Waktu Ara sampai, Jeff sedang di ruang TV. laki-laki itu sedang minum kopi, Begitu melihat Ara pulang, ia langsung menghampiri Ara. Sorot matanya sudah tidak setajam kemarin, Jeff kini memandangnya dengan tatapan yang Ara sendiri bingung mengartikannya.

“Kita ngobrol di atas?” ucapnya memecahkan hening di antara mereka.

“Budhe Ani kemana?”

“Aku suruh dia keluar sebentar, aku mau bicarain banyak hal berdua aja sama kamu di rumah.”

Ara kaget dengan ucapan Jeff barusan yang menyebut dirinya sendiri dengan sebutan 'aku' tapi itu benar-benar Jeff. Sorot matanya cukup membuat Ara tahu jika itu bukan Yuno Suaminya, Yuno memang menginap di rumah Gita kemarin. Tapi begitu bangun, Yuno sudah tidak ada lagi dan di gantikan oleh Jeff.

Hari ini Jeff mau mengatakan semua kebenaranya, dengan harapan Ara mau mendengarkannya dan mengubah keputusannya untuk tidak berpisah dengan Yuno.

Ara mengangguk, mereka berdua akhirnya naik ke lantai 2 dan masuk ke dalam kamar. Di dalam kamar, Ara duduk di ranjang mereka sementara Jeff berdiri. Begitu Ara menatapnya, laki-laki itu langsung berjongkok di depan kaki Ara dan mengambil kedua tangan wanita itu.

“Aku minta maaf..” ucapnya kemudian.

“Buat apa? Semuanya juga udah kejadian kok.”

“Ra..”

Ara menepis tangan Jeff dengan kasar, ia tidak mau melihat laki-laki itu ada di tubuh Suaminya. Yang Ara butuhkan saat ini adalah Yuno, bukan Jeff.

“Aku tau liat aku sekarang kamu juga pasti benci dan muak, tapi aku mau kamu tau alasan semua yang aku lakuin ke kamu—”

“Aku mau kamu berhenti pura-pura jadi Mas Yuno, bisa?” yang Ara maksud disini adalah Ara meminta Jeff berhenti menggunakan kata 'aku' 'kamu' untuk mewakilkan dirinya dan Ara seperti yang di lakukan oleh Yuno.

Jeff diam, tenggorokannya terasa tercekat. Sekarang Ara akan benar-benar membencinya. Dan ini semua adalah salahnya dari awal yang membuat Ara berakhir membencinya, tidak, seharusnya tidak seperti ini. Bukan ini yang Jeff mau dari wanita itu.

“Aku sayang kamu, Ra.” lirihnya, membuat Ara yang tadinya memalingkan wajahnya ke arah lain itu kini menatap Jeff.

“Aku cinta sama kamu sebesar cinta Yuno ke kamu. Aku sadar, selama ini aku bukan benci kamu. Semua sikap keras yang aku lakuin ke kamu itu buat nunjukin kalau aku cemburu, Ra. Aku cemburu lihat betapa kamu mencintai Yuno.”

Ara menatap Jeff, entah ini perasaan apa. Tapi saat mendengar laki-laki itu mengutarakan perasaanya, Ara merasa kaget, tidak menyangka sekaligus benci. Ada rasa cinta dan benci saat ia mendengarkannya.

“Yang aku mau, aku cuma mau kamu juga cintai aku sebesar kamu mencintai Yuno, aku mau di cintai sebagai diri aku sendiri bukan karena Yuno. Yang aku mau itu, Ra. Tapi aku dengan gobloknya malah bersikap kasar ke kamu yang bikin kamu makin takut dan benci sama aku.”

Ini untuk pertama kalinya Ara melihat Jeff menangis, laki-laki yang terlihat keras itu kini begitu rapuh. Ia tidak berani menatap Ara, ia hanya menunduk dengan posisi masih duduk di depan kakinya.

“Omongan kamu gak make sense, Jeff.” Ara mengusap air matanya, “kalo apa yang tadi kamu bilang? Sayang? Cinta?” Ara terkekeh.

“Kalo kamu beneran sayang dan cinta sama aku, kamu gak mungkin jalan sama perempuan lain. Kamu seharusnya bisa berusaha lebih keras gimana caranya supaya aku bisa liat kamu sebagai diri kamu sendiri, itu yang di lakuin Mas Yuno ke aku.”

“Itu.. Itu salah aku, Ra. Awalnya aku dekat sama Shanin cuma buat pelampiasan. Shanin aku anggap cara terbaik buat nunjukin kalau aku cemburu, dan aku mau kamu tahu gimana rasanya cemburu lihat orang yang kamu sayang berduaan sama orang lain—”

PLAK

tangan Ara melayang dan menampar wajah Suaminya itu hingga wajahnya terhuyung ke samping, Ara marah banget waktu Jeff bilang dia dekat sama Shanin buat balas rasa cemburunya waktu Ara bersama Yuno.

“Ra, Aku—”

PLAK

Sekali lagi Ara menampar wajah itu, dia berdiri dan hendak pergi dari sana karena enggak menginginkan sebuah perdebatan. Namun Jeff dengan cepat menahan tangan Ara, sampai keseimbangannya itu sedikit oleng dan Ara hampir saja jatuh jika Jeff tidak menahannya.

“Lepasin!!” Ara menjerit.

“Gak, Ra. Jangan tinggalin aku, aku mohon. Maafin aku, Ra.”

“Lepasin!! Aarrghhhh.” kali ini Ara benar-benar kelepasan, ia menarik kaus yang Jeff pakai dan memukul dada Suaminya itu dengan keras. Ara benar-benar meluapkan seluruh emosi yang selama ini ia tahan.

“Pukul, Ra. Pukul aku sampai kamu puas!!” teriak Jeff.

“Bajingan kamu, Jeff... Bajingan, kamu jahat!!” ucap Ara di setiap pukulannya.

“Maafin aku, Ra.”

Ara lama kelamaan lemas, ia lelah menangis dan berakhir memeluk Jeff. Ah tidak, yang Ara peluk itu tubuh Yuno. Keduanya saling berpelukan dan menangis menyesakan di sana.

“Aku benci kamu, Jeff... Kenapa kamu jahat? Kenapa kamu hancurin hidup aku, Jeff. Kenapa kamu hancurin rumah tangga aku sama Mas Yuno..” ucap Ara lirih.

“Aku minta maaf, Ra.” hanya kalimat itu yang bisa Jeff ucapkan.

Tidak lama kemudian Ara terdiam, kepalanya terasa berdenyut nyeri dan sekelilingnya mulai berputar kembali, perutnya juga sedikit mual dan sakit.

“Aahhh..” lirihnya, Jeff buru-buru melepaskan pelukannya pada tubuh Ara dan panik waktu melihat Ara merintih kesakitan.

“Ra.. Kamu kenapa?”

Ara tidak menjawab, ia hanya memejamkan matanya sembari meremas rambutnya dengan sangat kencang seperti kesakitan. Tanpa menunggu apa-apa lagi, Jeff langsung membawa Ara ke rumah sakit.

Di rumah sakit, Jeff hanya mundar mandir di depan IGD menunggu dokter yang memeriksa Ara keluar dari sana. Jeff belum mengabari siapa-siapa, ia masih terlalu panik, ia takut Ara dan bayi nya kenapa-kenapa. Dalam hati, Jeff tidak berhenti mengutuk dirinya sendiri karena sudah membuat Ara sakit.

Bahkan Jeff berjanji ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika sesuatu yang buruk terjadi pada Ara dan bayinya. Tidak lama kemudian Dokter Bagas, sebagai obgyn yang menangani Ara keluar dari ruang UGD.

“No,” panggilnya.

Jeff langsung berdiri dan menghampiri Bagas. “Gimana keadaan Istri gue, bang?”

Dokter Bagas menggeleng kepalanya dengan raut wajah menyedihkan,membuat pertahanan Jeff runtuh seketika ketika Dokter Bagas mengatakan.

“Ara kena preklamsia, No. Gue udah meriksa janin yang ada di kandungan nya, gak ada pergerakan sama sekali, detak jantungnya juga gak kedengeran. Kemungkinan janin nya enggak selamat, No.” jelas Dokter Bagas sembari menepuk pundak Jeff pelan. Ikut merasakan kesedihan yang menimpa Junior nya itu.

Di ruang operasi, Jeff ngotot untuk masuk menemani Ara meski Bagas melarangnya. Namun akhirnya Dokter Bagas mengizinkannya, mengingat Yuno juga seorang dokter meski tidak praktik di rumah sakit tempatnya bekerja.

Di ruang operasi, Ara di temani Jeff. Ia hanya diam saja, menyimak obrolan dari dokter yang tengah menanganinya. Tubuhnya hanya di anestesi separuh dan Ara tetap sadar, ia juga tahu kalau Nathan tidak selamat. Tidak ada raut sedih di wajahnya, hanya pandangan kosong melamun sembari sesekali menatap wajah Suaminya itu.

Di sebelahnya Jeff menangis, apalagi saat bayi mungil itu berhasil di keluarkan. Masih sangat kecil dari ukuran bayi normal karna Nathan baru berumur 7 bulan.

“Nathan kok gak nangis?” bisik Ara yang berhasil membuat Jeff menoleh.

“Ra..” suara Jeff bergetar, karena tidak sanggup melihat tatapan kosong wanita itu. Jeff akhirnya keluar dari ruang operasi itu, menangis sejadi-jadinya di dekat kursi ruang tunggu yang malam itu sudah sepi.

Siang itu Papa dan Mama Yuno bertemu dengan kedua orang tua Ara untuk membahas rumah tangga anak-anak mereka, mereka bertemu di sebuah private room di restoran yang sudah Papa Yuno pesan.

Keinginan Papa nya Ara masih sama, pria itu tetap pada pendiriannya yang tidak akan pernah setuju jika Ara dan Yuno berpisah untuk hal yang menurutnya kurang masuk akal. Di tambah Ara yang kini tengah mengandung, dulu sewaktu kedua orang tua Arial akan berpisah, Papa juga sempat menasihati keduanya.

Namun sayangnya pasangan Suami Istri itu sepakat untuk tetap berpisah karena sudah tidak ada kecocokan lagi di antara mereka, Papa benci perceraian, Papa juga tidak ingin cucu nya menjadi korban karena keegoisan dan emosi sesaat saja.

“Ara pasti sudah cerita kan sama Jeng Rahmi tentang apa yang terjadi sama rumah tangga anak-anak kita?” kali ini Mama memulai obrolan terlebih dahulu.

Bunda mengangguk, “kemarin Ara sudah jelaskan semuanya sama kami, Jeng. Jujur saja, Saya sama Mas Ardian belum bisa mencerna semuanya betul-betul. Menurut kami alasan Ara meminta berpisah dengan Yuno sama sekali tidak masuk akal.”

“Kami tahu, hal seperti ini memang asing di telinga orang awam. Tapi, Mbak. Apa yang Ara ceritakan itu benar. Anak kami, Yuno. Memang memiliki kepribadian lain yang bernama Jeff.”

“Tunggu, Mas. Kenapa dari awal enggak ada yang ngasih tau saya sama Istri saya soal kekurangan Yuno ini?” Papanya Ara kali ini menyela, ia merasa kedua orang tua Yuno juga tidak mendiskusikan hal ini dahulu hingga mereka gak tahu kalau Yuno punya gangguan yang sangat asing di telinga mereka.

“Waktu itu kami ingin sekali memberi tahu Mas dan Mbak kalau Yuno memang memiliki gangguan, tapi Ara melarang kami. Mereka bilang Mbak dan Mas gak perlu tahu hal ini,” jelas Mama.

Mendengar hal itu, Papanya Ara memejamkan matanya. Ia tidak menyangka jika ini sudah Ara tutup-tutupi dari lama.

“Apa Yuno enggak bisa sembuh, Jeng?”

Mama menunduk, ia berharap juga Yuno bisa segera sembuh dan hidup normal seperti laki-laki seusianya. Tanpa bayang-bayang Jeff yang kerap kali merusak keadaan, tapi sayangnya Yuno sendiri seperti melindungi Jeff. Sudah sering kali Mama dan Papa menyuruh Yuno untuk kembali terapi, tapi Yuno juga menolaknya.

Yuno selalu menolak dengan alasan, ia bisa mengendalikan Jeff. Tapi nyatanya, Yuno lah yang seperti di kendalikan oleh Jeff. Saat ini menurut Papa dan Mama, Yuno dan Jeff akan sulit untuk di pisahkan.

“Hypnotherapy, Jeng. Dulu Yuno sering melakukan Hypnotherapy, memang bukan untuk menyembuhkan. Terapi ini di peruntukan agar 2 kepribadian Yuno yang terpecah bisa menjadi 1,” jelas Mama.

“Terus sekarang gimana? Kalian setuju anak-anak kita berpisah?” tanya Papa Ara.

“Mas, gini. Kami sangat menyayangi Ara, Ara bukan lagi seperti menantu bagi saya dan Lastri. Ara sudah seperti putri kami juga, memaksa Ara untuk tetap bersama Yuno dengan kondisi Jeff sedang menguasai anak kami hanya akan membuat batin Ara terluka, kami gak ingin memaksa Ara untuk tetap bertahan karena kami mengenal seberapa kerasnya Jeff. Kami serahkan semua keputusan pada Ara,” jawab Papa Yuno.

Papa Ara mendengus, beliau menggelengkan kepalanya dengan perasaan kecewa terhadap respon besannya itu. Papa Ara beranggap jika kedua orang tua Yuno terkesan pasrah dengan keadaan, tidak ada upaya apapun untuk menyatukan rumah tangga anak mereka.

Ah, setidaknya membuat Ara bertahan dengan Yuno dan mengusir pemikiran buruknya untuk berpisah.

“Dengan kata lain kalian setuju dengan keputusan Ara untuk berpisah dengan Yuno, begitu? Kalian sama saja mendukung perceraian anak kalian!!” sentak Papa begitu emosi.

“Pah...” Bunda memperingatkan Suaminya itu, biarpun berada di private room. Tapi tetap saja suara Papa tadi lumayan kencang hingga terdengar keluar karena ini bukan ruangan kedap suara.

“Bukan begitu, Mas. Kami sama sekali bukan mau mendukung perceraian. Hanya saja, saya dan Mas Yudi tidak mau Ara bertahan untuk hal yang dia sendiri tidak sanggupi, kami memilih untuk menyerahkan semua kembali pada Ara karena kami sayang anakmu, Mas.”

Papa Ara berdiri, ia sudah kecewa dengan segala respon kedua orang tua Yuno. Menurutnya sudah tidak ada lagi yang perlu di bicarakan, ia sudah tahu inti dari obrolan mereka jika keduanya setuju Ara dan Yuno berpisah.

“Ayo kita pulang, Bun. Percuma berbicara dengan orang yang mendukung anaknya bercerai!” ucap Papa tegas.

Pria itu keluar lebih dulu dari private room, sementara Bunda berpamitan dengan besannya itu dulu, Bunda juga merasa tidak enak karena Suaminya begitu emosi.

“Jeng Lastri, Mas Yudi. Maafkan Suami saya yah, Mas Ardian memang agak sedikit sensitif jika bicara tentang perceraian,” ucap Bunda.

“Kami mengerti, Jeng. Saya dan Mas Yudi juga meminta maaf karena anak kami telah menyakiti hati putri kalian.”


“Masih sakit yah?” tanya Jeff pada Ara.

Ara baru saja selesai melakukan operasi caesar untuk mengeluarkan bayi yang ada di kandungannya, bayi itu tidak selamat. Nathan meninggal di usia kandungan Ara yang baru berjalan 7 bulan, saat ini hanya ada Ara dan Jeff saja di ruang rawat.

Ara masih melamun dan meringkuk di ranjangnya, tadi Ara bilang bekas jahitannya sakit. Jeff hanya berpikir jika mungkin reaksi anestesinya sudah hilang sehingga sayatan di perutnya itu terasa nyeri. Ara yang di tanya begitu, mengangguk. Masih dengan tatapan kosongnya.

“Aku ambilin minum yah?”

“Mas Yuno?” panggil Ara.

Jeff yakin Ara tahu jika ia bukan Yuno, namun Jeff tetap memilih berpura-pura menjadi Yuno demi Ara. Ia menyesal, sangat menyesal karena tindakan konyolnya itu mereka harus kehilangan bayi mereka.

“Kenapa, Ra?”

“Aku boleh lihat Nathan gak yah?” gumamnya, Ara tahu Nathan meninggal dan ia tidak menangis sama sekali. Ara hanya melamun dan lebih banyak diam, tapi itu justru yang membuat Jeff khawatir.

“Nathan udah di bawa pulang sama Arial dan Gita, mau lihat fotonya aja?”

Ara mengangguk, ia membiarkan Jeff duduk di sebelahnya sembari menunjukan foto-foto Nathan di ponselnya, Jeff sebisa mungkin menahan dirinya untuk tidak menangis di depan Ara.

“Ganteng,” gumam Ara, ia tersenyum dan mengusap layar ponsel Yuno yang menunjukan foto-foto bayi yang sudah tidak bernyawa itu. “Mirip kamu yah, Mas.”

Jeff mengangguk, air mata yang ia tahan dari tadi akhirnya terjun juga. “I..iya..”

Ara yang mendengar suara Jeff bergetar itu menoleh, wajah yang dingin dengan tatapan kosong tanpa ekpresi itu melihat ke arahnya, tangan kurusnya itu terangkat untuk mengusap wajah Jeff dengan ibu jarinya.

“Mas Yuno kenapa nangis?”

“Ara, maafin aku.” Jeff memeluk Ara erat, ia menangis menyesakan memeluk Ara. Jeff benar-benar menyesal, bahkan rasanya ia tidak sanggup berada di depan Ara. Bahkan untuk menyentuh tubuhnya sekalipun, tapi saat ini Ara benar-benar membutuhkannya.

“Nathan udah pergi ke tempat yang jauh, kenapa Nathan ninggalin kita yah, Mas?”

Mendengar pertanyaan Ara itu, Jeff semakin menangis menyesakan. Ia berkali-kali meminta maaf dengan Ara dan menciumi kepalanya itu. Ara tidak menangis, ia hanya terus melamun dan memeluk tangan Suaminya itu.

Jeff sudah mengabari kedua orang tua Yuno dan juga orang tua Ara, keduanya sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit. Setelah menelpon Arial untuk keperluan pemakaman bayinya, Jeff baru saja ingin masuk ke ruang rawat Ara kembali.

Namun ia melihat di ujung lorong kedua orang tua Yuno dan juga kedua orang tua Ara datang bersamaan, Jeff sempat menyalami kedua orang tua Yuno. Namun begitu menyalami kedua orang tua Ara, Jeff justru di tampar dengan kencang oleh Papa nya Ara.

PLAKK

“Pah,” ucap Bunda memperingati, rasanya tidak etis Papa marah di rumah sakit dan dalam keadaan berkabung seperti ini.

Orang tua Yuno sebenarnya tidak terima anaknya di pukul seperti itu, tapi keduanya bisa memahami jika Papa nya Ara benar-benar emosi dan terpukul atas apa yang menimpa putrinya. Mereka berusaha menempatkan dirinya sebagai orang tua dari pihak perempuan, mereka berpikir jika kejadian itu menimpa mereka. Mungkin Papa Yuno juga akan melakukan hal yang sama dengan yang Papa Ara lakukan.

“Om.. Maafin say—”

PLAKK

“Pah!!” sentak Bunda, wanita itu menahan Suaminya agar tidak memukul menantunya lagi.

“Pergi kamu, Yuno!! Pergi! Ara tidak butuh kamu disini!! Bajingan kamu Yuno.” ucap Papa.

Jeff tidak melawan sedikit pun, ia hanya menunduk dan menahan pedih di pipi kiri nya karena tamparan dari Papa nya Ara, kedua orang tua Ara masuk ke ruang rawat putrinya. Sementara kedua orang tua Yuno menunggu di luar bersama dengan Jeff.

Di dalam, Ara sempat bangun dari tidurnya begitu sang Bunda datang memeluk Ara dan menangis, Bunda ikut merasakan sedih meski ia belum pernah kehilangan seorang anak. Bunda tahu ini pasti berat untuk Ara.

“Bunda..” gumam Ara, ia menatap Bunda nya itu dengan tatapan kosongnya. “Kenapa nangis?”

“Maafin Bunda yah, maaf Bunda gak bisa lindungin Kakak. Sampai Nathan pergi ninggalin kita.”

Ara menggeleng kepalanya, ia mengusap-usap punggung tangan Bunda nya itu. “Bukan salahnya Bunda..”

Papa yang melihat Ara tampak hancur itu ikut menangis, ia menyesal karena telah menentang keputusan Ara untuk bercerai dengan Yuno. Membuat Ara merasa jika kedua orang tua nya tidak ada di pihaknya, tapi Papa sembunyikan tangisnya itu dengan menatap ke jendela di ruang rawat Ara yang menyuguhkan pemandangan kota yang hari itu di guyur hujan.

“Mas Yuno kemana, Bun?” tanya Ara begitu ia menyadari Suaminya tidak ada di sana.

“Kakak gak butuh Yuno, Kak. Jangan cari laki-laki itu lagi,” kata Papa.

“Yang Ara butuhin itu Mas Yuno, Pah. Mas Yuno kemana?” nada bicara Ara bergetar, ia nampak frustasi karena tidak mendapati Yuno di sana.

“Mas Yuno di depan, Nak. Yuno di depan sama kedua orang tua nya.”

Setelah mengetahui keberadaan Yuno yang hanya duduk di depan ruang rawatnya, barulah Ara bisa sedikit lebih tenang. Ia belum bisa di ajak ngobrol banyak, karena Ara hanya bisa melamun dan tidak banyak bicara.

To Be Continue

Setelah kondisi Ara membaik, Dokter Bagas mengizinkan Ara untuk pulang ke rumah. Dengan total 5 hari di rawat, kini kondisi Ara sudah lebih stabil. Tekanan darahnya juga sudah stabil, namun wanita itu masih sering melamun sendirian dan belum mau banyak bicara.

Tadinya, Papa dan Bunda menyuruh Ara untuk tinggal di rumah setidaknya sampai Ara pulih. Namun Ara bilang dia baik-baik saja, dia ingin pulang ke rumah. Dan sampailah ia, Hana dan Jeff di rumah mereka. Sampai hari ini pun, Ara masih memanggil Jeff dengan sebutan Yuno.

Tapi Jeff enggak masalah sama hal itu, selama Ara baik-baik saja. Ia berpura-pura harus menjadi Yuno pun akan dia lakoni, Jeff membantu Ara untuk beristirahat di kamar mereka. Hana juga ikut menemani Ibu nya di sana, Hana sudah tahu kalau Adik nya meninggal, anak itu juga jauh lebih pendiam. Bahkan Gita bilang Hana sering diam-diam menangis sembari memeluk guling bayi.

“Kakak mau di kamar aja atau mau di sini jagain Ibu, Um?” tanya Jeff.

“Kakak mau di sini jagain Ibu.”

“Papa ke bawah sebentar yah, Papa mau beresin koper punya Ibu dan Hana dulu. Nanti Papa ke atas lagi.”

Hana mengangguk, ia duduk di ranjang bersama Ibu nya sembari memperhatikan wajah tenang Ibunya itu. Ara sudah mau mengobrol kadang-kadang, di depan Hana pun ia bersikap seolah ia baik-baik saja.

“Kakak mau makan malam pakai apa, Nak?” tanya Ara, ia memeluk anaknya itu yang kini tiduran di sebelahnya.

“Pakai sup udang yah, Buk?”

“Boleh, sayang. Nanti Ibu buatin yah.”

Hana menggeleng, ia memeluk Ibu nya itu. “Budhe Ani aja yang masak, Ibu kan lagi sakit.”

i'm fine, Kak. Emangnya Kakak gak kangen masakan Ibu, Um?”

“Kangen...”

“Nanti malam Ibu masakin, Yah.”

Hana akhirnya mengangguk, setelah kehilangan Nathan. Ara tidak ingin kehilangan kekuatan lagi, saat ini yang ia miliki hanya Hana sebagai sumber kekuatan terbesarnya. Sampai hari ini, Ara belum tahu dimana Nathan di makamkan.

Arial sudah memberi tahu alamat makam Nathan, namun Ara belum mengunjungi makam anaknya itu. Setelah kehilangan Nathan, Ara justru belum bisa menangis, tapi ia benar-benar merasakan kehilangan dan kekosongan. Rasanya seperti, kamu sudah kebal dengan semua rasa sakit sampai mati rasa.

Perasaan seperti ini jauh lebih tidak enak dari pada perasaan sedih yang selama ini ia rasakan, Ara ingin menghilangkan perasaan seperti ini, tapi dia sendiri enggak tahu bagaimana cara mengatasinya.

“Ibu?”

“Iya, Kak?”

Where do you think passed away babies go?” Hana menatap Ibu nya, kedua matanya itu berlinang air mata. Hana belum pernah melihat Nathan secara langsung, saat jenazah Nathan sampai di rumah. Arial gak mengizinkan Hana untuk melihat jenazah adiknya itu.

Lagi pula, jenazah Nathan juga tidak lama di rumah. Mereka hanya menunggu tamu-tamu melayat dan menunggu administrasi pemakaman selesai, setelah itu Nathan langsung di kebumikan tanpa kehadiran Ibu nya. Jeff tentu saja hadir di pemakaman anaknya dan bersandiwara sebagai Yuno, waktu itu Ara di jaga oleh kedua orang tua nya.

“Hhmm.. I thought, babies who passed away must go to heaven.

Hana kemudian kembali diam, ia memainkan jari Ibu nya itu sembari memikirkan apa yang sedang Nathan lakukan di surga, apa Adiknya itu baik-baik saja, dan apa Nathan di jaga oleh para malaikat. Hanya itu yang setiap hari Hana pikirkan ketika tahu Adiknya itu telah meninggal.

“Kak? Kok Kakak sedih?” Ara mengusap kepala anaknya itu penuh kasih sayang.

“Kakak sedih karena enggak bisa jaga Adik Nathan, Buk..”

Ara menggeleng, “no, gak gitu sayang, Hana udah menjadi Kakak yang baik untuk Adik Nathan. Kakak gak salah, Nak. Kakak gak boleh nyalahin diri Kakak sendiri, Yah?”

Hana tidak menjawab lagi, ia justru menangis dan memeluk Ibunya itu. Hana itu senang sekali waktu tahu akan punya Adik sebentar lagi, Hana begitu mendambakan seorang Adik yang bisa ia jaga dan ia ajak bermain bersama. Namun keinginannya itu kini hilang dalam sekejap.

Di depan pintu kamar, Jeff tertegun mendengar obrolan Ara dan Hana di dalam kamar. Ia yang ingin masuk ke kamar itu jadi mengurungkan niatnya, Jeff justru berakhir menutup pintu kamar itu kembali dan masuk ke dalam kamar bayi.

Di dalam kamar bayi, Jeff menangis menyesakan di sana. Jeff masih bisa membayangkan wajah mungil itu pucat dengan mata yang tertutup rapat belum pernah melihat dunia, anaknya dan Ara. Bahkan Jeff masih ingat bagaimana ia menggendongnya, dan memakamkannya sendiri.

“Maafin Ayah Nathan, maafin Ayah, Sayang..” ucap Jeff di sela-sela isak tangisnya.

Kamar bayi yang penuh harap dan doa itu kini hanya tinggal kenangan saja, kamar yang sudah di hias itu tidak akan pernah di tempati, tidak akan pernah ada suara bayi di sana, tidak akan pernah ada tangisan bahagia dan tidak akan pernah ada ucapan selamat ulang tahun setiap tahunnya untuk Nathan.

Dengan sisa-sisa tenaga yang Jeff miliki, ia mencoba untuk merakit ranjang bayi yang waktu itu belum Yuno selesaikan. Jeff merakitnya sembari menangis dan memukuli dadanya yang terasa sesak itu.

Jeff sudah pernah merasakan sakit karena sebuah penolakan, tapi ia tidak pernah merasakan sakit yang begitu luar biasa karena merasakan kehilangan anaknya.

“Nathan...” Jeff tersungkur di lantai, ia meremas bagian dari ranjang kayu itu dengan sangat kencang.

Setelah selesai merakit ranjang bayinya, Jeff turun ke lantai 1. Ara sedang menyiapkan makan malam di sana di bantu oleh Budhe Ani dan juga Hana yang sedang duduk di depan meja pantry memperhatikan Ibu nya memasak.

“kok kamu masak? Kamu gak boleh kecapean loh,” ucap Jeff mengingatkan.

“Cuma masak sup udang, Mas.” jawab Ara, masakannya sudah matang. ia menata makanan nya itu di meja makan dan duduk di sana.

“Makan malam, Yuk?”

Jeff masih mematung di tempatnya, Ara memang sudah jauh lebih baik, tapi Jeff masih merasa ada sesuatu yang mengganjal dengan sikap Ara yang seperti ini. Pandangan wanita itu juga kerap kali kosong.

“Mas?” panggil Ara.

“Um?”

“Makan.”

Jeff mengangguk, ia duduk di kursi meja makan setelah menurunkan Hana dari kursi meja pantry yang lumayan tinggi itu. Ketiganya makan malam di meja makan, hanya ada obrolan kecil saja di sana seperti besok Hana ingin sarapan apa. Dan cerita Hana tentang anak-anak Arial dan Gita yang berusaha untuk menghiburnya.

Setelah selesai makan malam, Ara masih betah melamun di depan ruang TV. Sementara Hana sedang berganti baju dengan Budhe Ani untuk siap-siap tidur.

“Aku mau ke rumah Mama sama Papa dulu setelah ini, Ra. Kamu gak kenapa-kenapa aku tinggal sendiri?” tanya Jeff setelah mereka selesai makan malam.

“Ada Budhe Ani di rumah, Mas.”

Jeff mengangguk pelan, ia kemudian mengambil jaket miliknya dan kunci mobil milik Yuno. Begitu hendak akan berpamitan dengan mencium kening Ara seperti yang biasa di lakukan oleh Yuno, Ara menjauhkan kepalanya dari Jeff dan menatap laki-laki itu dingin.

“Kamu tahu apa yang aku butuhin sekarang?” ucap Ara.

Jeff hanya diam di tempatnya dengan pandangan bingung, kemudian menggeleng pelan.

“Yang aku butuh itu Mas Yuno, Jeff. Bukan kamu.” jawab Ara ketus.

Jeff cukup tertohok dengan kalimat itu, Ara sudah sadar jika ia bukan Yuno, ah tidak. Dari awal Ara sepertinya sadar jika ia memang Jeff, tapi wanita itu berusaha menutupinya dengan bersandiwara ia mengira Jeff itu adalah Yuno.

Jeff hanya mengangguk, ia berharap setelah ini Yuno bisa datang mengambil alih tubuhnya. Jeff juga merasa tidak pantas berada di depan Ara setelah ia menyakiti hati wanita itu dan membuat separuh hidup nya hancur.

“Aku pergi dulu, yah.” pamit Jeff.

Jeff kemudian pergi ke rumah kedua orang tua Yuno, memang sejak kemarin mereka menelpon Jeff untuk meminta bertemu, mereka bilang, Ada banyak hal yang mau mereka bicarakan tentang Ara. Dan malam ini Jeff baru memiliki waktu untuk bertemu mereka.

Setelah memarkirkan mobilnya di halaman rumah, Jeff masuk ke dalam rumah megah milik keluarga Wijaya itu. Papa Yuno ternyata sudah menunggunya di ruang tengah bersama dengan Mama nya Yuno.

Jeff yang baru datang itu langsung duduk dan melempar kunci mobilnya ke atas meja yang ada di sana, ia duduk dan menatap kedua orang tua Yuno itu dengan sorot mata tegas khas seorang Jeff.

“Saya minta, ini untuk yang terakhir kalinya kamu mengacaukan hidup Yuno, Jeff.” ucap Papa.

Jeff yang mendengar itu justru tertawa, Jeff tetap lah Jeff. Ia seorang pembangkang yang akan terus kontra dengan setiap ucapan orang tua Yuno itu. Menurut Jeff, yang menghancurkan hidup Yuno itu adalah Papa nya sendiri, bukan dirinya.

“Papa gak salah bilang itu ke saya? Bukan saya yang hancurin hidup Yuno. Tapi justru Papa yang hancurin hidup dia, Papa bikin Yuno seolah-olah Yuno adalah thropy Papa, hanya karena Yuno anak laki-laki satu-satunya di keluarga Wijaya,” ucap Jeff santai.

“Jaga bicara kamu Jeff!! Saya melakukan itu semua demi kebaikan Yuno!!”

“Kebaikan Yuno atau ego Papa?”

“Jeff,” Mama memperingati, membuat Jeff menoleh ke arahnya dengan tatapan acuh.

“Saya tahu yang saya lakukan salah, kalian pikir saya enggak merasa berdosa dengan semua ini? Saya merasa berdosa!! Nathan itu anak saya sama Ara, dia anak saya bukan anak Yuno. Dan yang paling kehilangan itu saya.” pekik Jeff, nada suara yang selalu tegas dan terdengar berat itu kini bergetar.

“Jangan gila kamu, Jeff. Nathan itu anaknya Yuno!” Papa sempat kaget dengan penuturan Jeff barusan, namun benar kan, bagaimana pun juga Nathan tetap anaknya Yuno.

“Kalau gitu jangan pernah datang lagi,” lanjutnya.

“Saya harap begitu, Pah. Saya enggak akan datang kalau Papa tidak pernah menekan Yuno sampai dia stress.”

Jeff menarik nafasnya pelan, “ini untuk terakhir kalinya saya bicara sama Papa dan Mama untuk mewakilkan semua yang Yuno rasakan,” ucap Jeff.

Ia berharap setelah ini, Yuno bisa kembali pada tubuhnya. Jeff juga berharap setelah ini kedua orang tua Yuno itu tidak menuntut Yuno untuk selalu sempurna seperti keinginan mereka. Ya, Jeff harap begitu.

“Yuno capek untuk menjadi anak yang sempurna, Yuno bukan thropy kalian. Yuno seorang anak yang juga ingin di tanya apa yang ia inginkan dalam hidupnya. Setelah ini, tolong jangan paksa Yuno untuk hal-hal yang tidak ingin dia lakukan. Yuno sudah cukup mengikuti kemauan kalian, dan sekarang biarkan dia bahagia dengan pilihan-pilihan hidup yang ingin ia ambil,” jelas Jeff.

Ucapan Jeff itu cukup membuat kedua orang tua Yuno terdiam, mereka merasa yang berbicara itu Yuno meski sorot mata tegas itu tetap milik seorang Jeff. Papa bahkan kehilangan kata-katanya, setelah mengatakan itu, Jeff pergi. Dia enggak berpamitan lagi pada kedua orang tua Yuno.

Sebelum pulang ke rumahnya, Jeff sempat menuliskan semua yang dia lakukan dan surat untuk Yuno baca ketika laki-laki itu nanti kembali. Jeff juga meminta maaf atas semua yang dia lakukan.

Ara enggak pernah menyangka dalam hidupnya ia akan sampai pada titik di mana ia tidak bisa merasakan perasaan apapun pada dirinya, bahkan Ara sendiri susah mengenali perasaanya. Dia hanya merasa ada lubang besar di hatinya yang membuatnya merasa kosong dan kebal akan semua rasa sakit yang akhir-akhir ini ia alami.

Ia masih sering melamun sendiri, tidak ada yang di pikirkan. Pikirannya kosong, hanya saja menatap objek di depannya tanpa memikirkan apapun membuat dirinya merasa sedikit ringan. Sore itu Ara melamun di teras rumahnya, sesekali ia tersenyum saat Hana memanggilnya.

Anak itu sedang main di teras depan bersama seekor kucing liar yang Hana dan Yuno suka beri makan. Tidak lama kemudian sebuah mobil sedan berhenti di depan pagar rumahnya, itu adalah mobil Reno.

Reno datang bersama Karina calon Istrinya, saat melihat Om nya itu datang. Hana yang sedang memberi makan kucing itu langsung berdiri dan menghampiri Reno dengan berlari kecil.

“Om Reno!!” pekik Hana.

Reno yang sangat merindukan keponakannya itu langsung membawa Hana ke dalam gendongannya, bahkan Reno menciumi pipi Hana. Sewaktu pemakaman Nathan kemarin, selain Arial dan Gita. Ada Reno dan Karina juga yang menemani Hana.

“Kak, gimana kabarnya?” sapa Karina sewaktu mereka sampai di depan teras rumah Ara.

“Gini-gini aja, Rin. Kalian habis dari mana?”

Setahu Ara, ini masih hari kerja. Karina dan Reno harusnya masih bekerja sekarang tapi saat ini keduanya malah datang ke rumah Ara.

“Karina cuma ada meeting tadi siang, Kak. Terus langsung pulang karna ada yang mau di urus, kalo Reno sih emang WFH dia kok,” jelas Karina.

Ara tersenyum kecil, “masuk yuk, kalian mau minum apa?”

Ara menggandeng Karina untuk masuk ke dalam rumahnya, di ikuti dengan Reno yang menggendong Hana di belakang mereka. Sore itu, Ara hanya di rumah bersama Hana, Mbak Ulfa dan juga Budhe Ani. Jeff sedang keluar, laki-laki itu kebetulan sudah kembali bekerja sejak kemarin.

Ara yang menyuruhnya, Ara enggak ingin melihat Jeff di rumah terlalu lama. Setelah kemarin menganggap Jeff adalah Yuno, kali ini Ara kembali mengenali Jeff sebagai dirinya sendiri. Dan sejak itu juga, Ara enggak mau banyak mengobrol dengan Jeff. Bahkan ia juga tidak mau tidur satu ranjang dengan laki-laki itu, Jeff tidur di sofa kamar sementara Ara di ranjangnya. Ini semua Ara lakukan agar Hana tidak sedih melihat kedua orang tua nya tidur di kamar yang terpisah lagi. Walau terkadang, Jeff lebih sering ketiduran di kamar bayi.

“Nanti Karin sama Reno ambil sendiri aja gapapa, Kak.” ucap Karin.

“Jangan dong, sebentar yah.” Ara mengetuk ruangan untuk menyetrika, Budhe Ani kebetulan lagi nyetrika baju di sana. “Budhe, bisa minta tolong gak yah?”

“Bisa, Buk. Sebentar.” tidak lama kemudian Budhe Ani keluar dan tersenyum pada Reno dan Karina. “Ada Reno sama Karin, tolong bikinin minum yah, Budhe.”

“Baik, Buk.”

“Ah, Iya. Mbak Ulfa kemana yah?”

“Ulfa lagi beresin kamar Kakak, Buk.”

Ara mengangguk, ia kemudian mengajak Reno dan Karina untuk duduk di ruang tengah. Karina dan Ara mengobrol, sementara Reno bermain dengan Hana.

“Sepi banget, Kak? Mas Yuno kemana?” tanya Reno.

“Kerja,” Ara tersenyum. “Kalian udah pada makan belum? Mau makan apa? Nanti biar Kakak pesanin aja yah.”

“Ah, ga usah, Kak. Kebetulan Karin sama Reno ke sini mau ngajak Hana pergi.”

Dari kemarin Reno selalu kepikiran sama Hana, karena saat menemaninya sewaktu pemakaman Nathan. Hana banyak diam, anak itu juga sering nangis sendirian. Reno gak mau Hana punya trauma atau merasa sedih yang berkepanjangan karena kehilangan Adiknya.

Selain itu, mendengar kondisi Kakaknya yang belum stabil. Reno juga takut Kakaknya belum bisa menjaga Hana sepenuhnya, ya walau di rumah mereka pun Hana enggak akan sendirian karena ada Budhe Ani dan Mbak Ulfa yang menjaganya.

Tapi tetap saja, Reno ingin sedikit menghibur anak itu dengan mengajaknya jalan-jalan keluar. Berharap hal kecil yang ia lakukan bisa mengobati luka di hati Hana.

“Kemana, Rin?”

“Cuma makan di luar aja, Kak. Kak Ara ikut juga yuk?” melihat kondisi Ara yang banyak diam, Karin jadi sedikit khawatir jika meninggalkan Ara di rumah.

“Kakak di rumah aja, ajak Hana aja gak papa. Kakak mau istirahat, Rin.”

“Bekas operasinya masih sakit yah, Kak?” tanya Reno.

Sebenarnya luka sayatan di perutnya sudah tidak nyeri, ah tidak. Ini hanya Ara yang merasa kebal akan rasa sakit sampai ia tidak bisa merasakan apa-apa lagi, tapi memang waktu Jeff memeriksanya. Luka itu sudah kering, tidak ada komplikasi apa-apa di lukanya yang mengkhawatirkan.

Namun Ara tetap mengangguk sebagai bentuk alibi agar Reno dan Karina tetap membiarkannya di rumah.

“Um, masih sakit.”

“Kakak gapapa sendiri di rumah?” Karin memastikan, dia benar-benar khawatir melihat Kakak dari Reno itu tidak seperti biasanya. Tapi yang Karin pikirkan saat itu adalah, Ara masih dalam suasana berkabung dan kehilangan jadi wajar jika masih agak berdiam diri.

“Gapapa, Rin. Ada Budhe Ani sama Mbak Ulfa juga kok.”

“Kakak mau titip apa gitu? Kakak lagi kepengen apa? Nanti Reno beliin.”

Ara tersenyum, ia menarik nafasnya panjang. Ia sendiri bahkan sudah tidak menginginkan apa-apa lagi rasanya, semua yang Ara inginkan sudah menghilang bersamaan dengan rasa sakit yang hinggap di dirinya sampai saat ini.

“Apa yah.. Kakak kepengen..” Ara kelihatan menimang-nimang ucapannya sebentar kemudian terkekeh, “ga usah, Kakak gak kepengen apa-apa.”

“Kak? Beneran?” tanya Karina memastikan.

“Yup.” Ara mengangguk. “Kakak, siap-siap dulu yuk sayang, Kakak mau di ajak keluar sama Om Reno dan Aunty Karin.” Ara memanggil Hana, ia ingin menggantikan baju anak itu dan merapihkan sedikit rambutnya sebelum Reno dan Karina mengajaknya pergi.

“YEAYYYY!!” Hana menghampiri Ibunya itu. “Om Reno, kita mau kemana?” tanya Hana pada Reno yang kebetulan duduk di sebelah Ibunya.

“Jalan-jalan tapi masih rahasia..”

“Ihhh Ibu, Om Reno nih main rahasia-rahasiaan,” Hana mengadu pada Ibunya dengan wajah cemberut dan bibir yang mengerucut, sangat menggemaskan. Sampai-sampai Ara, Reno dan Karina terkekeh melihatnya.

“Om, jangan main rahasia-rahasiaan sama Hana dong,” Ara memperingati Adiknya itu, membuat Hana merasa di bela oleh Ibu nya.

Setelah menggantikan baju Hana dan merapihkan rambut panjang anak itu, Reno dan Karina langsung berpamitan. Keduanya pergi dan kini Ara sendirian di lantai 2, di depan pigura pernikahannya dengan Yuno, Ara menarik nafasnya pelan. Ia kembali memikirkan keputusannya untuk berpisah dengan laki-laki yang ia cintai dalam hidupnya.

Ara gak tahu ini akan menjadi keputusan yang baik atau tidak, namun sejak merasa kehilangan Nathan. Ara hanya ingin sendirian seperti ini, berdiam diri dan merenungkan banyak hal. Dengan langkah gontainya itu, ia masuk ke dalam kamar bayi yang masih rapih itu.

Namun Ara baru menyadari jika ranjang yang waktu itu belum selesai di rakit oleh Yuno, kini sudah selesai di rakit. Ara enggak tahu siapa yang merakitnya, tapi ranjang itu berdiri tegap dan rapih. Lengkap dengan kasur kecil, guling, bantal bayi dan selimut.

Bahkan sudah terpasang kelambu di sana dan mainan yang bisa di putar untuk mengeluarkan lagu, Ara tersenyum. Pedih, sangat pedih rasanya mengetahui jika kamar ini mungkin tidak akan pernah berpenghuni. Tidak akan ada bayi yang tidur di sana, tidak akan ada tangisan dari bibir kecil di sana saat tengah malam.

Ara masih ingat bagaimana pagi itu ia, Hana dan Yuno menghias dan merapihkan kamar bayi ini. Kala itu hidupnya masih baik-baik saja, seratus persen baik-baik saja. Sangat berbeda dengan hidupnya yang sekarang, Ara duduk di depan ranjang bayi itu.

Ia mengambil 1 guling kecil di saja dan memeluknya seolah-olah itu adalah bayi nya. Saat Nathan lahir, Ara bahkan belum melihat wajahnya secara langsung dan menggendongnya. Ara gak tahu seberapa besar Nathan jika dalam dekapannya.

Tanpa Ara sadari, air matanya menetes begitu saja menjatuhi kedua pipinya. Itu untuk pertama kalinya Ara menangis setelah merasa kehilangan Nathan, ia memeluk guling itu erat, menciuminya seolah-olah yang ada di gendonganya adalah Nathan, anaknya.

“Maafin Ibu, Nathan...” Ara menangis sesenggukan di sana, hatinya benar-benar sakit saat ini.

Masih menggendong guling kecil itu, Ara membuka laci berisi baju-baju bayi disana. Ada jaket rajut yang belum sempat ia selesaikan.

“Baju kamu, belum Ibu selesain sayang. Nanti Nathan pakai ini biar gak kedinginan yah.” gumam Ara dengan air mata mengalir di pipinya.

Namun tidak lama kemudian, saat Ara melihat dari jendela kamar bayinya. Di luar sudah hampir gelap karena sore, itu memang sudah menjelang magrib. Entah apa yang Ara pikirkan, tapi ia menaruh guling yang sedang ia bawa dan berlari keluar dari kamar bayi itu untuk mengambil tas miliknya.

Tanpa berpamitan pada 2 pekerja di rumahnya, Ara menyetop taksi yang memang melintas di depan rumahnya dan mengarahkan taksi itu untuk menuju ke pemakaman umum. Ini untuk pertama kalinya Ara menginjakan kakinya di depan makam Nathan anaknya.

Tidak sulit menemukan makam Nathan, Arial sudah memberikan alamat lengkap berserta blok tempat Nathan di makamkan. Begitu sampai di makam itu, Ara mengusap nisannya. Masih banyak bunga di atas makam yang masih basah itu.

Dalam hati, Ara membaca nama di makam itu. Memastikan bahwa bayi yang di kandungnya selama 7 bulan itu benar-benar berada di sana. Namanya Abiyan Nathan Putra Wijaya, ada nama Yuno juga di sana sebagai Ayahnya.

“Nathan...” panggil Ara, ia kembali menangis.

“Ini Ibu, sayang...”

Ara tidak perduli dengan hari yang semakin menggelap itu, ia tidak takut pada apapun lagi. Ia hanya ingin di sana bersama Nathan sebentar saja.

“Nathan belum ketemu Ibu, Papa sama Kakak Hana.”

Di usapnya kembali nisan anaknya itu, seolah-olah itu adalah Nathan anaknya. Saat ini Ara baru bisa merasakan rasa sakit kembali setelah berhari-hari mati rasa.

Di tengah isak nya yang menyesakkan, Ara mengeluarkan foto dari dalam dompetnya. Itu adalah fotonya, Yuno dan Hana di sebuah studio saat mereka sedang foto keluarga. Ara taruh foto itu di makam Nathan, berharap anaknya itu tidak akan merasakan kesepian dan berharap di atas sana Nathan bisa melihat foto ini.

“Ini, Ibu, Papa dan Kakak Hana,” Ara menunjuk satu persatu siapa saja yang ada di foto itu. “Nathan udah sering dengar suara Ibu kan?”

“Ibu belum sempat gendong kamu, sayang...” tangis Ara semakin pecah, ia memeluk dirinya sendiri di sana dan menyembunyikan wajahnya di antara kedua kakinya itu dan menangis menyesakkan.

Tanpa Ara sadari, sedari tadi langkahnya memasuki pemakaman dengan terburu-buru. Ada seseorang yang mengikutinya, laki-laki itu juga berdiri tidak jauh di belakangnya. Ia menyaksikan apa yang terjadi dan apa yang Ara katakan.

Laki-laki itu kemudian semakin mendekat pada Ara, ikut berjongkok di depan makam itu dan membaca namanya di sana. Ara masih belum sadar ada orang lain selain dirinya di sana, ia masih sibuk menangisi bayinya.

Setelah membaca makam itu milik siapa, laki-laki itu menoleh ke arah Ara. Tangannya mengusap pundak Ara, ia ingin sekali merengkuh wanita itu dan mendekapnya erat, membiarkan wanita yang ia cintai itu mengadu padanya. Namun sayangnya Julian tidak bisa melakukannya.

Waktu sadar ada tangan yang mengusap bahunya, Ara menengadahkan kepalanya. Ia melihat Julian di sampingnya dengan mata yang memerah seperti sedang menahan tangis.

“Jul..” ucap Ara.

“Maaf aku ngikutin kamu, Ra.” ucap Julian. “Aku lagi lewat sini, gak sengaja liat kamu lari masuk ke pemakaman. Aku khawatir, makannya aku ikutin kamu.”

Ara mengangguk, ia menghapus air mata yang ada di wajah dan matanya. Namun Ara tidak menyadari jika kedua tangannya sedikit kotor terkena tanah, jadi ada sedikit tanah menempel di wajahnya.

Julian enggak tahu apa yang terjadi pada Ara, tapi satu hal yang ia tahu dari ucapan Ara barusan adalah, bayi yang di kandungnya meninggal. Julian yang melihat wajah Ara belepotan dengan tanah itu mengambil sapu tangan miliknya, dan membersihkan wajah wanita yang ia cintai itu dengan sapu tangan miliknya.

“Nathan udah gak ada, Jul...” ucap Ara, nada bicaranya seperti wanita itu tengah mengadu.

“Iya, Ra.. Iya.. Aku tau.”

“Nathan ninggalin aku..”

Julian enggak menjawab, laki-laki itu hanya mengangguk kecil saja. Tangannya masih sibuk membersihkan wajah Ara dari sisa-sisa tanah.

“Kenapa hidup aku jadi kaya begini yah, Jul.. Kenapa semuanya hancur.”

“Kamu kuat, Ra. Kamu gak sendirian.” Julian masih setia di sana meski hari semakin gelap, mengusap-usap kedua bahu Ara, berharap itu bisa menjadi sedikit kekuatan untuk wanita itu.

“Kalo aku gak bisa kuat gimana, Jul? Aku mau ikut Nathan aja, Jul..” Ara luruh, dia yang tadinya berjongkok itu kini jadi duduk. Celana yang di pakainya juga kotor dengan tanah, Julian baru sadar kalau sendal yang Ara pakai bahkan hanya sebelah saja, sendal itu terlepas saat Ara hendak berlari menuju blok tempat Nathan dimakamkan.

Setelah menenangkan Ara, Julian membawa wanita itu ke mobilnya. Julian akan mengantar Ara pulang. Tapi sebelum itu, Julian belikan Ara sendal baru. Sendal berwana biru bergambar ikan lumba-lumba di depannya, laki-laki itu juga yang memasangkan sendalnya setelah kedua kaki Ara yang lecet itu sudah selesai ia obati.

“Aku anterin kamu pulang yah? Bang Yuno pasti nyariin kamu,” ucap Julian.

Ara kini jauh lebih tenang, pandanganya juga tidak kosong lagi. Meski merasa sedih, tapi ini jauh lebih baik dari pada perasaan mati rasa seperti kemarin.

“makasih yah, Jul.”

“Um,” Julian mengangguk, “sama-sama, Ra.”

Begitu sampai di rumahnya, Ara langsung di bawa Budhe Ani dan Mbak Ulfa masuk. Untungnya Hana belum pulang, Julian gak bisa membayangkan bagaimana perasaan Hana jika melihat Ibu nya sehancur itu. Waktu Julian antar Ara pulang, ada Jeff di sana yang nampak panik mencari kemana Istrinya itu pergi.

Di perjalanan Julian sempat menghubungi laki-laki itu, memberi tahu Yuno kalau Ara bersamanya. Makanya Yuno langsung pulang begitu Julian bilang ia akan mengantarkan Ara.

“Gue gak ngerti lo sama Ara kenapa, Bang. Tapi gue bisa ambil kesimpulan kalau Ara benar-benar sekacau itu, bukan cuma karena kehilangan bayi nya aja,” ucap Julian sebelum ia pergi dari rumah Ara.

“Lo gak perlu tahu, Jul. Ara emang lagi enggak baik-baik aja,” ucap Jeff dengan nada dinginnya. “thanks udah nganterin Istri gue pulang.”

Jeff itu pencemburu, ia cemburu dengan semua laki-laki yang pernah dekat dengan Ara. Dan Jeff tahu jika dulu Ara sempat dekat dengan Julian. Bahkan Julian memiliki perasaan dengan Ara, mungkin hingga kini.

Julian hanya menyeringai, “kalau gak bisa jaga, dari awal harusnya lo gak pernah minta Ara buat jadi Istri lo.”

Jeff tertawa, ia menertawakan ke pecundangan Julian yang ternyata sampai saat ini masih mencintai Ara dalam diamnya.

why don't you just admit that you're still in love with her, am i right?

“Kita sama-sama tahu kalau hal ini.” Julian menjawabnya dengan tenang, Julian tahu Yuno memiliki kepribadian lain. Tapi Julian gak tahu kepribadian Yuno yang lain itu seperti apa, jadi Julian tidak tahu saat ini dia sedang berhadapan dengan Yuno atau kepribadiannya yang lain.

yes, i do love her. gue udah cukup melepas Ara untuk memilih hidup bahagia sama laki-laki yang dia cintai, gue cukup menghargai keputusannya.” Julian menyeringai, dia mendekat ke arah Yuno dan berbisik ke telinganya.

and it looks like her chose the wrong,” Julian tersenyum, “tapi gapapa, walau begitu “I will still love her.

Setelah mengatakan itu Julian pergi meninggalkan Jeff yang masih diam mematung di depan pagar rumahnya, Jeff enggak bisa membalas perkataan Julian. Pikirannya saat ini sudah tersita karena kondisi Ara, jadi setelah Julian pulang. Ia masuk ke dalam rumah dan langsung naik ke lantai 2.

Ternyata Ara baru selesai membersihkan tubuhnya, waktu Jeff masuk ke kamar. Ia sedang duduk sembari memperhatikan plester di kaki nya, Ara gak menoleh ke arah Jeff waktu laki-laki itu masuk. Jadi Jeff memutuskan untuk kembali berjongkok di depan wanita itu.

“Kamu kok ke makam Nathan sendirian? Kenapa gak bilang sama aku? Kan bisa aku antar,” tanya Jeff.

Ara hanya diam, namun wanita itu berbaring di ranjangnya dan meringkuk. “Jeff?”

“A..apa?”

“Tolong bawa pulang Mas Yuno.. Aku butuh dia.”

Jeff mengangguk mengiyakan, ada rasa cemburu dan sakit bercampur aduk menjadi satu.

“Aku janji Yuno pasti kembali, kamu istirahat yah.”

To Be Continue