Apa Mungkin Aku Bisa Bertahan 06
Hari ini Ara mengajak Hana untuk menemaninya belanja bulanan di supermarket, biasanya hal ini dia lakukan berdua sama Yuno. Apalagi kebutuhan yang mereka beli itu lumayan banyak, biasanya Yuno yang akan mendorong troli dan Hana yang Ara gandeng. Yuno setia mengikuti langkah Ara menyusuri lorong demi lorong di supermarket demi membeli kebutuhan mereka.
Tapi hari ini Ara justru sendirian, ia menyusuri lorong demi lorong hanya bersama dengan Hana. Kadang Ara merasa beruntung memiliki putri yang jauh lebih dewasa dari anak seusianya, Hana enggak banyak minta ini itu kaya anak-anak lain kalau di supermarket. Anak itu hanya bertanya untuk hal yang ia lihat dan tidak ia ketahui.
Seperti saat ini, Ara sedang memilih deterjen yang ada di rak lorong detergen dan sabun-sabun. Hana di gandengannya itu memperhatikan Ibu nya membaca satu persatu kelebihan detergen di sana, dan membandingkan aroma nya.
“Ibu lagi milih apa sih?” mata bocah itu berkedip penuh rasa ingin tahu, membuat Ara tersenyum menahan rasa gemasnya itu.
“Ini detergen, sayang.”
“Detergen itu apa, Buk?”
“Untuk cuci baju, biar baju Hana wangi terus lembut dan nyaman di pakai.” Ara mengambil 3 detergen cair ukuran besar dan menaruhnya di troli yang sudah hampir penuh itu.
“Semacam sabun yah, Buk?”
“Ya fungsinya sama kaya sabun.” Ara menggandeng tangan Hana lagi, satu tangannya ia pakai untuk mendorong troli belanjaannya.
“Hana mau jajan apa lagi sayang? Mau beli susu coklat, um? Atau mau rasa strawberry? Kan susu kotak Hana di rumah udah mau habis.”
Keduanya beralih menyusuri lorong snack-snack, biasanya setiap menonton TV atau belajar. Yuno itu suka banget ngemil, Hana juga. Jadi Ara mengambil beberapa cemilan kesukaan Suami dan anaknya itu dan menaruhnya ke dalam troli.
“Hana mau susu strawberry aja nanti, Buk.” bocah itu kemudian berjalan ke rak berisi berbagai macam coklat, ia kemudian mengambil 1 batang coklat di sana dan melihat ke arah Ibu nya dengan wajah penuh harapan.
“Ambil, Kak. Kalau Kakak mau, Ibu gak larang. Ambil secukupnya yah.”
Hana mengangguk, wajahnya ceria sekali saat Ibu nya mengizinkannya mengambil coklat. “Makasih, Buk.”
Setelah memastikan semua kebutuhannya sudah masuk ke dalam troli, Ara kemudian menuju ke kasir. Kebetulan hari itu supermarket agak sedikit ramai, bahkan antreannya sampai ke lorong bagian daging beku dan ikan segar.
Saat sedang mengantre, sesekali Ara menimpali cerita Hana tentang temannya yang memiliki kucing yang baru saja melahirkan, tapi lama kelamaan Ara menyadari kepalanya sedikit berdenyut dan peluh membanjiri keningnya. Ara ngerasa sekelilingnya berputar, tapi dia enggak mau menunjukan apa yang sedang ia rasakan karena takut Hana khawatir.
“Sayang? Kita duduk di sebelah sana sebentar yuk, Ibu agak sedikit capek.” Ara menggandeng Hana ke kursi yang kebetulan ada di dekat counter kosmetik. Ada staff yang berjaga juga di sana dan petugas kasir yang memang di tugaskan untuk berjaga di counter kosmetik.
“Ibu kok keringetan?” tanya Hana, bocah itu mengusap keringat di kening Ibu nya dengan tangannya.
“Ibu agak sedikit capek, kan Ibu sambil bawa adik Nathan,” alibi Ara.
“Oh, iya. Hana lupa,” ia terkekeh, kemudian duduk di sebelah Ibu nya. Tangannya enggak melepaskan gandengan Ibu nya itu.
“Hana cerita lagi soal kucingnya Brian dong, Sayang. Ibu kan belum dengar semuanya tadi, Kakak kan belum selesai cerita.” Ara mau mengalihkan pikiran Hana, dia gak mau Hana curiga kalau ia sakit. Sembari mendengarkan Hana cerita, Ara mencoba menghubungi Jeff ke ponsel Yuno. Ara berharap Jeff mengangkatnya dan setidaknya menjemputnya ke supermarket.
“Iya, Buk. Terus anak kucingnya ada 4 warna nya sama kaya induknya, kata Brian kalau kucingnya sudah bisa jalan. Brian mau kasih anak kucingnya ke Kakak 1, Hana boleh rawat anak kucingnya gak, Buk?”
Ara gak menjawab pertanyaan Hana itu, ia sibuk memejamkan mata karena tidak tahan dengan sekelilingnya yang tampak berputar, peluh di keningnya juga terus menetes hingga ke leher dan membasahi baju yang Ara kenakan.
Hana yang sadar tidak ada sahutan dari bibir Ibu nya itu menoleh ke arah Ibu nya, Ara sudah memejamkan matanya dan merintih kesakitan.
“Ibu? Ibu kenapa?” tanya Hana, bocah itu berdiri dan menepuk-nepuk pipi Ibu nya dengan wajah yang tampak khawatir.
“Ibu... Ibu kenapa..” Hana mulai panik, apalagi saat Ibu nya enggak menjawab pertanyaannya. Hana mulai menangis, ia mencoba mencari bantuan orang dewasa yang melewatinya untuk membantu Ibu nya.
“Tolong... Om, Tante. Tolongin Ibu nya aku... Hiks.. Tolongin Ibu, Ibu pingsan..” ucap Hana.
Beruntungnya orang-orang yang ada di sekitar sana langsung menolong Hana, beberapa orang berkerubung. Ada yang mencoba untuk memeriksa kondisi Ara dengan memberikan minyak angin, dan sebagian lagi menenangkan Hana yang masih menangis.
“Mbak?? Telfon Suaminya, Mbak. Biar saya yang bicara,” ucap salah satu Ibu-Ibu yang memakaikan Ara minyak angin, Ara belum membuka matanya. Tapi dia juga enggak pingsan, setiap kali Ara membuka matanya. Semua yang ada di depannya selalu nampak berputar, membuat kepalanya semakin pusing dan perutnya mual.
“Tolong tenangin anak saya, Buk..” bisiknya lirih. Samar-samar Ara mendengar Hana menangis, ia ingin membuka matanya namun kepalanya masih terasa berputar.
“Permisi, bisa minggir sebentar, maaf.” ucap seseorang di sana. “Loh, Ara?” pekiknya, laki-laki itu langsung memeriksa kondisi Ara. Memeriksa denyut nadi nya untuk memastikan kondisi wanita itu.
“Mas? Mas nya kenal?” tanya salah satu Bapak-Bapak di sana.
“Saya dokter, wanita ini pasien saya, saya dokter obgyn nya.” jelas laki-laki itu, itu adalah Dokter Bagas. Kebetulan Dokter Bagas juga sedang membeli beberapa kebutuhan di supermarket, begitu ia ingin membayar belanjaannya. Ia justru mendapati kerubungan orang yang kelihatan nampak panik, ternyata ada wanita hamil pingsan. Dokter Bagas yang seorang dokter itu tergerak untuk memeriksa kondisi wanita itu, dan siapa sangka jika wanita itu adalah Ara pasiennya.
“Bu, tolong bantu saya bawain barang-barangnya, Mbak Ara. Saya yang akan bawa dia ke rumah sakit, kebetulan Suaminya dokter. Mungkin beliau sedang sibuk makanya telfon dari Istrinya enggak di angkat.”
Ara akhirnya di bawa ke rumah sakit oleh Dokter Bagas ke rumah sakit terdekat, sesampainya di rumah sakit pun Dokter Bagas yang menjadi wali untuk Ara dan sampai Ara di tangani oleh dokter pun Yuno tidak menjawab panggilan dari Istrinya itu.
Ada rasa marah ketika Bagas mencoba menelfon Yuno dengan ponselnya namun berakhir dengan penolakan, yup. Yuno menolak panggilan darinya. Saat Bagas mencoba mengiriminya pesan pun, Yuno enggak membaca pesan darinya. Di kursi ruang tunggu Bagas bertanya-tanya sesibuk apa laki-laki itu sampai mengabaikan panggilan sebegitu banyak dari Istrinya?
Selama Ara di tangani di UGD, Bagas juga menemani Hana. Bocah itu sudah tidak menangis, tapi wajahnya masih terlihat cemas memikirkan Ibu nya, membuat Bagas jadi enggak tega sendiri melihatnya.
“Hallo, putri cantik ini namanya siapa? Om belum kenalan sama putri cantik ini.” Bagas jongkok di depan Hana, mengusap jejak-jejak air mata bocah itu dengan sapu tangan yang selalu ia bawa di saku nya.
“Hana, Om.” cicit Hana, ia masih menunduk memegangi ponsel Ibu nya itu. Berharap sang Papa menghubunginya dan menjemputnya di rumah sakit.
“Namanya bagus, Hana tau gak arti dari namanya Hana itu apa?”
Hana hanya menggeleng, Bagas berhasil mengalihkan perhatian Hana. Wajahnya juga sudah tidak terlihat begitu cemas, malahan kali ini hanya terlihat sirat ingin tahu dari kedua matanya yang bulat.
“Hana itu artinya kebahagiaan dan berkat, kalau dalam bahas Korea artinya satu. Namanya bagus, Hana anak pertama yang membawa kebahagiaan.” Dokter Bagas jelas tahu Hana adalah anak pertama Yuno dan Ara, karena dulu Dokter Bagas yang menangani langsung proses persalinannya.
“Kalau Om namanya siapa?”
“Nama Om?” Bagas menunjuk dirinya sendiri, kemudian Hana mengangguk. “Nama Om, Bagas. Panggil Om Bagas aja yah, Hana gak perlu takut. Om ini temannya Papa dan dokternya Ibu.”
“Tapi Hana khawatir sama Ibu, Hana takut Ibu sama Adik bayi sakit.” wajah anak itu kembali murung, membuat Bagas juga ikut sedih melihatnya.
“Hana, hey. Gapapa, Sayang. it's okey wajar Hana khawatir kalau Ibu dan Adik bayi kenapa-kenapa, itu kan artinya Hana sayang sama mereka, tapi Sayang, Ibu dan Adik bayi pasti baik-baik aja. Kan ada dokter di dalam yang lagi periksa Ibu. Tugas Hana di sini berdoa supaya Ibu cepat membaik, Yah.” Bagas mengusap pucuk kepala Hana.
Tidak lama kemudian dokter yang memeriksa Ara keluar dari UGD, Bagas langsung menghampiri dokter tersebut untuk menanyakan kondisi Ara, sementara Hana, Bagas memintanya untuk tetap menunggu di kursi ruang tunggu. Karena anak di bawa umur di larang masuk ke dalam UGD.
“Gimana sama keadaan Ara, dok? Hyper tensi nya kambuh yah?” tanya Bagas.
Dokter itu mengangguk, “tekanan darahnya 170/100. Cukup tinggi, saya sudah berikan obat karena tadi pasien sempat mengeluh terkena vertigo. Sepertinya pasien sedang banyak pikiran atau melakukan kegiatan berat, saya yakin Dokter Bagas pasti paham kemungkinan terburuk dari hyper tensi ini apa.”
“Preeklamsia, kaki nya juga ada pembengkakan,” sambung Bagas.
Dokter itu mengangguk, “kondisi pasien saat ini sudah cukup stabil, saya bisa berikan resep dan Mbak Ara bisa istirahat di rumah.”
Setelah kondisi Ara cukup membaik, Bagas mengantar Ara dan Hana pulang ke rumah. Di mobil Ara gak ada hentinya berterima kasih sama Bagas atas bantuannya, begitu mobil yang Bagas kendarai sampai di pekarangan rumah Ara. Kebetulan juga Jeff baru saja turun dari mobilnya, laki-laki itu baru pulang dan dia sedikit terkejut karena Ara pulang di antar oleh Bagas.
“Kamu habis dari mana?” tanya Jeff begitu Ara turun dari mobil.
Ara bungkam, dia justru memanggil Budhe Ani yang tadi baru saja membukakan pagar rumah untuk mobil Jeff masuk ke halaman rumah, dan menyuruh Budhe Ani untuk membawa Hana masuk ke dalam rumah lebih dulu.
“Aku habis belanja bulanan, tapi sempat drop dan di bawa ke rumah sakit. Untung ada Dokter Bagas yang bawa aku ke rumah sakit,” jawab Ara begitu Hana sudah masuk ke dalam rumah bersama Budhe Ani.
“Belanja bulanan?” Jeff mendengus, ia menggelengkan kepalanya pelan. “Kemarin kamu masih hyper tensi, Ra. Darah kamu tuh tekanannya masih tinggi dan bisa-bisa nya hari ini kamu malah belanja bulanan?”
“sorry, No. Ara baru aja drop, dia sempat ngehubungin lo buat minta jemput karena dia kena vertigo, tapi lo gak jawab panggilannya dan malah marah-marahin dia? Lo khawatir gak sih sebenernya sama Istri lo?” ucap Bagas menyela obrolan antara Jeff dan Ara.
“Diem, gue gak lagi ngomong sama lo, gue lagi ngomong sama Istri gue!” sentak Jeff, ia juga menunjuk wajah Bagas. Membuat laki-laki itu sedikit kaget dengan sikap Yuno yang enggak terlihat seperti biasanya.
Meski enggak berteman dekat, Yuno dan Bagas itu saling kenal. Yuno adalah juniornya di kampus dulu waktu mereka masih berkuliah di Jerman, dan Yuno sangat menghargai Bagas sebagai seniornya. Makanya Bagas kaget banget sama sikap Yuno yang berubah drastis, tapi disini Bagas berpikir karna mungkin ini menyangkut masalah personalnya, Makanya Yuno bisa berubah sedrastis ini.
“Mas, jangan gitu. Kalo gak ada Dokter Bagas, pasti aku tadi udah—”
“Masuk, aku minta kamu masuk sekarang!” ucap Jeff tegas.
Ara yang gak ingin memperkeruh keadaan akhirnya menurut, setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih sekali lagi pada Dokter Bagas, ia masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamarnya, Hana ada di lantai bawah kebetulan. Ara juga sempat meminta Budhe Ani untuk menemani Hana sebentar karena ada hal yang harus Ara bicarakan dengan Jeff.
“Gue peringati sama lo, buat enggak deket-deket sama Istri gue. Paham?” Jeff ngerasa ini aneh, dia marah banget waktu tahu Ara pulang di antar bagas. Tapi disini Jeff masih berpikir jika ia hanya membela Yuno, mewakilkan rasa cemburu laki-laki itu karena Istrinya di antar oleh laki-laki lain.
“No, siapa yang deketin Istri lo? Gue cuma nolongin Ara, lo bisa bayangin gak kalo gue gak ada di sana? Gimana nasib Ara sekarang dan Hana? Yang harusnya gue tanya itu lo, kemana lo waktu Ara ngehubungin lo buat ngasih tau kalo dia sakit?” ucap Bagas tegas, kedua rahangnya itu mengeras.
Dia gak nyangka kalau Yuno sekasar ini sama Istrinya sendiri. Padahal dari yang terakhir Bagas temui saat Yuno mengantar Ara, Yuno itu terlihat seperti Suami yang siaga. Yuno juga terlihat sangat sayang dan menjadi sosok suami yang lembut dan baik pada Istrinya, sampai Bagas pernah berpikir jika hidup Yuno begitu sempurna. Kehidupan karir, pendidikan dan rumah tangganya berjalan beriringan.
Berbeda dengan Bagas yang memiliki kisah percintaan yang rumit, sampai-sampai saking frustasinya Bagas. Ia akhirnya memutuskan untuk menata karirnya sebaik mungkin dan menomor duakan tentang pernikahan.
“Oh, terima kasih kalau gitu. Sekarang udah ada gue yang jagain Ara, lo bisa pulang kalau gitu!” ucap Jeff tegas, laki-laki itu langsung masuk ke dalam rumahnya.
Begitu masuk ke dalam kamar Yuno dan Ara, Jeff langsung melempar tas yang tadi ia bawa ke atas kasur. Matanya menyalang menatap Ara penuh kemarahan, ada sirat kecemburuan juga di sana. Ah, mungkin itu milik Yuno. Sirat kecemburuan itu, Jeff yang mewakilkannya.
“Gue udah bilang kemarin buat tetap di rumah, kenapa lo gak mau dengerin omongan gue?!” bentak Jeff.
“Jeff..” Ara menarik nafasnya pelan. “Kebutuhan rumah udah hampir habis, aku harus keluar. Aku juga gak kepikiran kalau aku bakalan drop kaya tadi.”
“Gak kepikiran?” Jeff tertawa. Jeff pikir Ara adalah wanita pintar yang paham kondisi tubuhnya, Jeff yakin Ara enggak akan membahayakan diri dan kandungannya dengan nekat keluar rumah di saat tekanan darahnya belum stabil.
“Gue udah peringati lo, Ra!! Karena gue tahu kondisi lo kaya gimana, dasar bodoh. Bisa-bisa nya lo egois dengan mentingin belanja, ini bisa bahayain lo dan bayi lo!!”
Kali ini emosi Ara kesulut, dia enggak lagi nangis. Ia yang tadi duduk di ranjang itu kini bangun dan menghampiri Jeff. “Terus aku harus diam aja di rumah liat kebutuhan rumah udah hampir habis? Kamu pernah mikir gak kalo aku drop kaya gini karena ulah siapa? Itu karena kamu! Kemana kamu waktu aku telfon tadi?”
“Lo pikir gue cuma ngeladenin lo aja? Lo pikir gak, apa yang gue lakuin sekarang buat Yuno? Gue yang beresin semua kekacauannya. Gue yang bantuin laki lo supaya dia bisa cepat nyelesain studi nya!! Lo tau gak Yuno di rumah sakit dia perlakuin kaya gimana? Enggak kan? Itu karena Yuno enggak mau Istrinya yang manja ini kepikiran!”
“Semua ini gak akan terjadi kalo lo dengerin apa kata gue!! Oh, atau karena gue bukan Yuno. Makanya lo jadi seenaknya sendiri kaya gini? Iya?!”
“STOP!!” sentak Ara, nafasnya tersengal-sengal karena menahan amarahnya, Ara berusaha buat enggak meledak saat ini. Dia gak mau membuat Hana takut dan semakin membahayakan dirinya.
“Ak..aku salah, Jeff. Aku minta maaf..” ucap nya lirih, pertahannya benar-benar runtuh. Ara menahan isaknya yang menyesakan, biarkan kali ini ia kembali mengalah. Dia gak ingin teriakan Jeff terdengar sampai bawah dan membuat Hana takut apalagi sampai membenci Papa nya.
“Puas lo, Ra? Puas bikin Bagas mikir kalau Yuno enggak bisa jagain lo!”
“Aku minta maaf, Jeff. please berhenti. Maaf, karena aku egois, maaf karena aku gak tahu apa yang terjadi sama Mas Yuno. Aku minta maaf..” ucap nya lirih, Ara masih menangis sembari memegangi dadanya yang terasa sesak itu.
Setelah dirinya jauh lebih tenang, Ara keluar dari kamarnya. Ia masuk ke kamar Hana dan mendapati anak itu sedang meringkuk di tempat tidurnya sembari memeluk boneka Teddy Bear kesayangannya.
“Kakak, belum tidur, Nak?” tanya Ara, dia duduk di ranjang Hana dan mengusap-usap kepala putri kecilnya itu.
Hana hanya menggeleng pelan, kemudian berbalik dan memeluk Ibunya.
“Ibu gapapa, Kak. Ibu udah baik-baik aja, Kakak mau Ibu dongengin gak, Um? Papa kayanya lagi capek banget, jadi enggak bisa dongengin Kakak.”
“Hana mau bobo di peluk Ibu aja,” rengeknya.
Ara mengangguk, ia memposisikan dirinya tidur menyamping sembari memeluk Hana. Ia usapi kepala anaknya itu berharap Hana sedikit tenang dan tertidur, Ara tahu Hana mungkin masih shock karena kejadian di supermarket tadi.