empatangka

Reihan sedang diselimuti perasaan cemas. Dia panik setengah mati saat mendapati Nahdan pergi keluar kantin setelah melihat dirinya dicium oleh salah satu siswa dari kelas Yahya. Memang pernah Yahya berkata anak yang menciumnya tadi menyukainya, namun Reihan memilih tidak peduli.

Berawal dari dia yang baru memasuki kantin, tiba-tiba dihampiri Adhi; buaya kelas kakap yang sudah diakui satu angkatan. Reihan pernah sekelas dengannya, jadi tidak ada yang aneh jika berbincang sebentar. Adhi bertanya tentang bagaimana rasanya menjadi ketua kelas lagi dan apa susahnya masih sama seperti tahun lalu. Reihan sekedar menjawab sama saja, karena mayoritas penghuni kelas masih penghuni yang lama.

Sebenarnya Reihan tidak pernah mau menjadi ketua, tapi teman-temannya yang tidak suka direpotkan malah mempromosikann dirinya pada wali kelas. Katanya jika Reihan yang jadi ketua, kelas bisa mendapat banyak pujian. Reihan tidak mau sombong, tapi itu memang benar adanya.

Setelah mereka hampir sampai di meja yang sudah ditempati Yahya, Adhi malah menahan lengan Reihan—membuat yang ditahan menoleh. Lalu dalam waktu dua detik pipi Reihan sudah dicium sampai membuat sang empu terbelalak. Orang-orang di kantin yang tidak sengaja melihat langsung bersorak heboh. Yahya menganga karena kaget, lalu matanya melihat Nahdan yang batal menyuap makan siang karena sama-sama terkejut.

“Gua suka sama lu, Rei.” Adhi bergumam setelah bibirnya berjarak dengan pipi Reihan.

“Hah?” Reihan menarik tubuhnya menjauh. Dia segera melihat sekeliling untuk mencari sosok Nahdan. Jantungnya sudah berpacu cepat, takut bila teman sekamarnya melihat dan salah paham. Benar saja, orang yang dicari sudah berjalan keluar dari kantin. Reihan tepis lengan pemuda yang menahannya, lalu berlari keluar kantin untuk mengejar Nahdan.

Jika diingat-ingat lagi, anak itu pasti sudah banyak salah paham padanya. Bila ia tidak segera mengutarakan perasaan, mungkin Nahdan bisa menjauh dan tidak mau melihatnya lagi.

Langkah Reihan berhenti di pertigaan lorong sekolah. Dia melihat sekitar untuk mengira-ngira kemana Nahdan pergi. Belum sempat dia memutuskan hendak masuk ke lorong yang mana, ponselnya sudah bergetar duluan. Ia lihat pesan yang dikirim Yahya yang membuat perasaannya makin tidak tenang.

Duh, Reii... tenang, oke? Tenang...” Reihan mengatur nafas untuk beberapa saat.

Setelahnya Yahya, Norman, dan Jenaka datang dari arah kantin. Reihan merasa tengah dikuliti oleh tatapan dua orang yang bersama Yahya, tapi ia tidak peduli. Sekarang yang lebih penting kemana Nahdan pergi.

“Nahdan biasanya kemana kalau lagi kesel?” Yahya bertanya duluan pada Norman dan Jenaka.

“Biasanya ke warnet, tapi mana boleh keluar kalau masih jam sekolah.” Jenaka yang menjawab. Setelahnya dia melirik Norman yang baru membuka ponsel untuk menghubungi Nahdan.

“Kira-kira suka ke taman sekolah atau taman asrama, nggak?” Yahya bertanya lagi.

“Bisa jadi.” Kali ini Norman yang menjawab.

“Dichat nggak bisa ya?” Reihan bertanya. Suaranya bergetar.

Norman dan Jenaka saling lihat dulu, sebelum Norman menjawab, “Nggak bisa. Dia kalau kesel nggak bakal mau buka hp.”

“Gini aja. Reihan pergi ke asrama, terus gua ke perpus, sedangkan Yahya dengan Norman ke taman.”

“Oke.” Tiga orang yang lain menyetujui ide Jenaka.

“Nggak usah nangis, Rei.” Yahya menepuk pundak Reihan, melirik jahil pada temannya.

“Gua nggak nangis.” Reihan mendelik. Namun tidak bisa dipungkiri, dia memang bisa menangis detik itu juga bila tidak ditahan.

Yahya tertawa sebelum membiarkan temannya itu berjalan cepat ke salah satu lorong. Selama di jalan Reihan berharap semoga dia yang duluan menemukan Nahdan.

Setelah di depan pintu kamar, Reihan rasakan jantungnya berdebar sangat cepat ketika tahu pintu itu tidak terkunci. Setelah dibuka, benar saja ada Nahdan di dalam. Nahdan tersentak karena melihat pintu dibuka. Dia terlihat baru saja mengganti seragam dengan baju biasa.

“Eh? Ngapain? Ada yang ketinggalan? Gua lagi nggak enak badan, jadi izin balik ke asrama.” Nahdan terkekeh sembari mengusap tengkuknya. Tidak ada tanda-tanda lelaki itu baru saja menangis atau sedang marah.

Nahdan dibuat heran oleh Reihan yang termenung di pintu kamar. Mata si ketua kelas juga memerah seolah menahan tangis, dan nampak makin jelas ketika Reihan melangkah masuk lalu menutup pintu.

Dia menatap Nahdan lagi. “Lu nggak marah?” Tanyanya setelah berhasil menetralkan nafas yang sempat memburu.

“Marah? Kenapa?”

“Karena yang di kantin tadi.”

Hahaha, enggak. Buat apa?” Nahdan tertawa di akhir kalimat. Dia berbalik untuk mencari kursi lalu duduk di atasnya. Nahdan tersenyum melihat Reihan yang masih menatapnya. Buat tatapan yang tengah berdiri menyendu.

Senyum Nahdan pudar saat pemuda di depan sana duduk di lantai, bersimpuh tepat di depannya. “Lu ngapain, anjing?”

“Gua mau minta maaf.”

“Hah? Apa sih?” Nahdan menjauhkan lututnya yang hampir disentuh Reihan. Dia menatap sebal. “Lu aneh banget. Gua marah buat apa coba?”

Reihan masih setia duduk di bawah, dia sengaja menatap Nahdan dengan wajah memelas. Buat yang ditatap makin kesal.

“Lu ngarep gua cemburu? Ha? Kagak! Gua nggak cemburu. Suka-suka lu mau ngegebet siapa aja, bukan urusan gua.”

“Jadi sebenernya lu emang marah, kan?”

Nahdan tidak langsung menjawab. Kalimatnya seolah tertahan di tenggorokan dan dadanya sesak sekali. Mungkin ia bisa langsung menangis walau hanya satu kata saja yang diucap. Reihan masih melihat ke arahnya, lelaki itu bergeser mendekat dan menyentuh kedua lutut Nahdan.

“Ndan.” panggilnya.

Daripada menyahut, Nahdan lebih memilih menunduk. Dia tidak mau menatap Reihan.

“Ndan?” Reihan berusaha melihat wajah Nahdan yang semakin tertunduk.

Nahdan menggeleng. “Gua nggak marah.” katanya dengan kepala masih tertunduk.

Reihan diam memperhatikan lelaki di depan sana, menunggu kalimat lanjutan yang akan diucapkannya.

“Gua... gua nggak kenapa-napa.” Nahdan mulai memainkan ujung bajunya. Sudah jadi kebiasaannya jika sedang bingung. Reihan sendiri juga bingung harus membalas dengan kalimat apa.

Keduanya tidak ada yang berbicara sampai satu menit kemudian. Nahdan sudah berhasil menetralkan sesak di dadanya dan berani menatap mata Reihan. “Lu nggak mau balik ke sekolah?”

Reihan menggeleng, “Nggak.”

Nahdan tersenyum, tangannya terulur untuk mengusap pipi Reihan yang masih duduk di bawah. “Tumben. Emang tadi udah izin?” Dia alihkan tangannya untuk menyisir helaian rambut Reihan ke belakang.

“Udah, kok.”

“Hmm, terus? Sekarang mau ngapain?” Nahdan kembali menarik tangannya. Namun Reihan menahan, dia genggam tangan yang tadi menyentuh kepalanya lalu mengecup jemari Nahdan.

Reihan menggeleng lagi, “Nggak tahu, gua cuma mau disini.” Selanjutnya ia merebahkan kepala di paha Nahdan sembari meletakkan tangan yang bersangkutan di atas kepalanya. Nahdan yang mengerti pun mengusap kepala si ketua kelas.

Lima belas detik berlalu, Nahdan sibuk berdebat dengan dirinya sendiri tentang kejadian di kantin tadi. Saat Reihan masuk ke kantin, dia tahu Adhi; siswa dari kelas sebelah yang juga pernah sekelas dengannya itu yang menghampiri Reihan duluan. Orang itu sengaja bertingkah sok dekat dengan Reihannya.

Nahdan akui, tadi dia sempat marah dan ingin memaki Reihan karena terlihat menikmati tingkah sok akrab si Adhi. Namun setelahnya dia merasa bersalah ketika melihat Reihan membuka pintu kamar. Pemuda itu nampak habis berlari, dilihat dari nafasnya yang memburu dan bulir-bulir keringat di dahinya.

Satu pertanyaan muncul di benak Nahdan. Apa mereka masih berteman?

“Rei.”

“Hm?” Yang dipanggil menyahut.

Nahdan menggigit bibir bawahnya sekilas, coba menetralkan detak jantung yang tiap detiknya makin menggebu. “Kita masih temenan ya?”

Reihan mengangguk setelah mengangkat kepala dari paha Nahdan. “Iya, masih.” Dilihatnya Nahdan tersenyum.

Nahdan kembali mengulurkan tangan untuk menangkup kedua pipi Reihan, membuatnya bisa lebih leluasa memandangi wajah rupawan tersebut. Ibu jarinya mengusap lembut pipi yang dipandangi. Sedangkan Reihan balas menyentuh pergelangan tangan Nahdan, mengusapnya pelan.

“Tapi gua nggak bisa jadi temen lu, Rei.” Nahdan tersenyum walau hatinya nelangsa. “Gua suka sama lu, gua nggak mau cuma jadi temen. Gua mau lebih!”

“Ndan,”

“Tapi kalau lu nggak bisa bikin gua jadi pacar lu, gua nyerah aja. Gua minta maaf, tapi gua nggak bisa jadi partner ciuman lu terus-terusan.”

Reihan mengubah posisi bersimpuhnya jadi berlutut, dia jauhkan tangan Nahdan dari pipi. “Ndan, gua—”

“Iya! Gua tahu lu pasti bakal ngelaporin gua yang jualan rokok. Nggak masalah, laporin aja. Dari awal emang harusnya gua dihukum.” Nahdan perlahan menarik tangannya dari pegangan Reihan. “Tapi makasih loh, lu udah ngasih hukuman yang lebih sakit dari hukuman yang ada di sekolah.” Nahdan tertawa pelan, dia menunduk untuk mengusap mata yang berair.

Sesak di dadanya makin menjadi-jadi karena membayangkan Reihan akan meninggalkannya setelah ini. Nahdan bisa lihat dari sudut pandangnya, Reihan berdiri. Dia rasa akan menangis kencang jika laki-laki itu beranjak keluar kamar.

Grep.

Nahdan sempat menahan nafas sekitar lima detik setelah Reihan menariknya ke dalam pelukan. Bisa dia dengar lelaki itu tertawa pelan sembari mengusak gemas rambutnya.

Di sela-sela tangis, Nahdan mengumpat, “Si bangsat, ngapain ketawa?” Walau kesal setengah mati, tapi Nahdan lebih memilih balas memeluk Reihan daripada mendorongnya.

“Udah, udah. Jangan nangis. Sini gua mau lihat muka nangisnya.”

Nahdan menggeleng kuat saat merasa Reihan mendorong pelan pundaknya. Dia eratkan pelukan lalu menenggelamkan wajah di perut Reihan. Membuat yang dipeluk makin tertawa.

“Lucunyaa.” Reihan kecup kepala Nahdan berkali-kali, sebelum mengusaknya lagi. “Gua juga suka sama lu, Ndan. Malah gua yang duluan suka, jauuuhh sebelum kita masuk sekolah ini.”

Nahdan tidak merespon, dia masih menenggelamkan wajah di perut Reihan.

“Lu inget nggak? Waktu masih SMP lu pernah minjemin komputer yang udah lu sewa buat gua ngerjain tugas.” Ada jeda sebentar, Reihan mengusap rambut Nahdan. “Waktu itu hampir tengah malam, tapi warnet masih rame. Gua disuruh nunggu, karena semua komputer penuh. Terus lu dengan baik hatinya logout dari game, lu bilang tugas gua lebih penting.”

Nahdan mulai melonggarkan pelukannya guna fokuskan diri dengan cerita Reihan. Dia masih ingat, saat itu dia kasihan melihat anak seumurannya menunggu hampir satu jam di kursi warnet.

“Gua masih inget, lu dateng ke gua buat nawarin komputer yang lu pake. Terus habis gua selesai, gua mau ganti biaya waktu yang gua pake tapi lu bilang nggak usah. Lu manis banget waktu itu, Ndan. Di mata gua lu udah kaya malaikat, karena kalau gua nggak pulang cepet bisa-bisa kena marah Mama.”

Nahdan menjauhkan kepala dari tubuh Reihan, dia mendongak untuk melihat wajah pemuda yang beberapa hari ini sukses membuat moodnya naik turun. Reihan tersenyum, “inget, kan?”

Nahdan mengangguk, “Iya, inget. Tapi gua nggak inget muka lu.”

“Ya iyalah nggak inget, kita cuma ketemu sebentar.”

“Tapi kok lu inget?”

Reihan menggedikkan bahu, “Entah. Kenapa ya? Gua juga nggak paham.”

Nahdan merengut, tidak puas dengan jawaban Reihan. Membuat yang lebih tua beberapa bulan tertawa gemas. Reihan kembali memeluk Nahdan, kali ini sangat erat sampai membuat calon kekasihnya mengerang protes.

“Utututu lucunyaa.” Bukannya melepas pelukan, Reihan malah menghujani Nahdan dengan kecupan-kecupan sayang. Setelah Nahdan pasrah karena lelah berteriak barulah dia berhenti.

“Hari ini hari pertama kita ya?” Nahdan bertanya setelah bebas dari pelukan Reihan. Dilihatnya lelaki itu berpikir dulu sebelum mengangguk.

“Ayo. Tapi nggak apa-apa?” Reihan sedikit tidak enak. Takut kalau hari ini kurang berkesan untuk Nahdan.

“Ya, nggak apa-apa. Perlu banget yang romantis?”

“Engga, sih.”

“Ya udah. Ayo ciuman.” Nahdan memposisikan tangannya di tengkuk Reihan.

“Hah?”

“Oh? Lu nggak mau nyium gua?” Nahdan menaikkan suaranya, tidak lupa memasang ekspresi marah untuk menakut-nakuti orang yang barusan resmi menjadi pacarnya.

“Mau, kok. Mau banget sayang.”

Setelahnya mereka berciuman. Menikmati hari pertama mereka dengan suka cita. Sedangkan tiga orang yang belum dikabari tentang keberadaan Nahdan sudah kembali ke dalam kelas.

“Kita tunggu aja, bentar lagi paling si Nahdan ngetweet.” Jenaka berucap setelah mendengar Norman berdecak untuk ke sekian kalinya.

Lima menit sebelum jam delapan malam Nahdan sudah berdebar-debar duluan. Dia tidak bisa tenang sampai terus mondar-mandir di dalam kamar. Berkali-kali ia memeriksa ponsel untuk melihat apa Reihan mengirim pesan baru atau tidak.

Dia mengoceh sendiri setiap merasa Reihan terlalu lama. Kadang Nahdan juga menebak-nebak ada dimana sekarang si Reihan itu. Rasanya ingin bertanya, namun gengsi. Bisa-bisa Reihan gede rasa dan terus menggodanya.

Tadi sebelum Reihan mengirim pesan tentang membutuhkan Nahdan, sebenarnya Nahdan sudah siap dengan baju yang akan dipakai pergi bersama Zidan. Dan kini baju itu sudah berganti dengan kaos oblong dan celana training yang biasa ia kenakan untuk tidur.

Tepat jam delapan lewat delapan belas menit, Reihan pulang. Tapi Nahdan bertingkah seolah-olah dia tidak menunggu kedatangan pemuda itu. Reihan melihat teman sekamarnya yang sedang duduk di kasur sambil main game mobile, hendak menghampiri namun dia harus mandi. Jadi Reihan memutar langkah ke arah lemari lalu masuk ke kamar mandi.

Nahdan mengalihkan fokus dari ponsel untuk melihat ke arah pintu kamar mandi yang baru ditutup Reihan. Jantungnya berpacu makin cepat kala membayangkan tampilan Reihan yang menurut Nahdan sangat seksi tiap habis mandi. Tidak sampai sepuluh menit, Reihan sudah keluar dengan keadaan rambut yang basah. Juga Nahdan sudah kembali berpura-pura fokus dengan ponselnya.

Reihan mengeringkan rambut menggunakan handuk untuk beberapa saat. Dia terus curi-curi pandang ke arah Nahdan, hendak mengatakan sesuatu tapi selalu ia urungkan. Setelah merasa rambutnya tidak sebasah sebelumnya, Reihan kembali ke kamar mandi untuk menggantung handuk. Nahdan sempat melirik sebentar sebelum kepala Reihan muncul dari balik pintu.

Pelan-pelan Reihan melangkah ke arah kasur yang Nahdan tempati. Dia hampir mendudukan diri jika Nahdan tidak langsung turun dari kasur dan berdiri berhadapan dengannya. Dahi Reihan berkerut sebentar, namun selanjutnya dia mendekat untuk memeluk Nahdan. Dimana pergerakan tersebut membuat Nahdan Mengira Reihan hendak menciumnya. Setelah mendapati Reihan hanya memberi pelukan, Nahdan jadi sedikit malu.

“Cape banget, Ndan. Semuanya dibebanin ke gua.” Reihan bergumam sembari mengusel ke perpotongan leher Nahdan. Dia eratkan pelukan di tubuh pemuda itu hingga tangan Nahdan ikut melingkar di tubuhnya.

Reihan mengecup leher Nahdan sekali sebelum ia lanjut mengeluh. “Mereka kaya nggak ngehargain gua. Di mata mereka gua nggak pernah ngapa-ngapain gitu, padahal ya gua usahain terus apa yang mereka mau.”

Nahdan tidak tahu konteks dari yang disampaikan Reihan, tapi sepertinya itu keluhan si teman sebagai anak pertama dari lima bersaudara. Nahdan yang anak tunggal sejak lahir tidak akan paham dengan posisi Reihan. Tapi dia tetap ingin menghibur.

“Itu tandanya lu emang kuat dan hebat, Rei. Mereka tahu lu bisa lebih dari yang sekarang.” Nahdan berucap, nyaris berbisik karena posisi bibirnya lumayan dekat dengan telinga Reihan.

Kalimat Nahdan membuat Reihan terkekeh, “Masa sih? Menurut lu gua begitu ya?”

Nahdan mengangguk, “Iya.”

Pelukan dilepas oleh Reihan, membuat yang dipeluk menahan helaan nafas kecewa karena kehilangan kehangatan. Padahal tubuh Reihan sangat pas di pelukannya, pasti akan lebih menyenangkan jika bisa memeluk Reihan sepanjang malam.

“Mau tidur sekasur nggak?”

Nahdan hampir mencubit dirinya sendiri karena telah melontarkan pertanyaan aneh barusan. Dia semakin malu setelah melihat ekspresi Reihan yang nampak kaget, namun untungnya kini lelaki itu tersenyum. Tidak disangka-sangka Reihan akan mengangguk, membuat dua anak adam itu berbaring di kasur yang sama. Karena lebar kasur yang tidak terlalu luas; sangat pas-pasan jika ditiduri dua orang membuat bagian tubuh keduanya saling menempel.

Reihan duluan yang melakukan pergerakan ketika Nahdan ditelan rasa canggung. Dia menarik teman sekamarnya untuk tidur berpelukan. Tidak lupa Reihan mengusap rambut dan punggung Nahdan, juga memberi kecupan-kecupan singkat di pelipis.

Nahdan temenung beberapa detik. Selanjutnya dia mendongak untuk memberi jatah ciuman kepada Reihan. Nahdan hanya mengecup lalu Reihan yang lanjut melumat, menghisap, mengulum, dan menjilati bibir manis nan kenyal tersebut. Dia sangat suka sampai tanpa sadar tangannya sudah menahan kepala bagian belakang Nahdan. Kakinya juga naik melingkar di pinggang pemuda itu, memeluknya bagai bantal guling.

Keduanya mengatur nafas setelah ciuman mereka dilepas. Reihan bisa lihat bibir Nahdan membengkak karena ia hisap terlalu kuat, itu membuatnya makin bernafsu untuk melahap si bibir. Nahdan pejamkan mata ketika Reihan mulai mengecupi wajahnya. Entah kenapa perut Nahdan dibuat geli tiap kali Reihan melakukan itu, dia merasa disayang.

Setelah membuka mata, tatapan teduh Reihan yang pertama kali menyapanya. Jantung Nahdan mungkin sudah keluar melalui mulut dan kedua matanya sudah berbentuk hati jika ia berada di dalam kartun. Dalam artian dia benar-benar jatuh hati dengan Reihan, si ketua galak yang terlalu patuh aturan.

Siapa sangka ketikan asal Nahdan yang mengatakan Reihan itu tidak terlalu jahat dan pendiam memang ada benarnya. Mungkin juga karena faktor anak pertama, Reihan seolah sangat ahli dalam memanjakan orang lain. Nahdan sampai merasa mau selalu berada di dekat Reihan, mau setiap saat bisa memeluk laki-laki itu.

Jemari Reihan tiba di pipi Nahdan, mengusapnya perlahan sebelum mendaratkan kecupan di hidung sang empu. Nahdan bergumam, lalu menguselkan wajahnya di leher Reihan. Itu membuat si pelaku terkekeh.

“Lucunyaa.”

Nahdan tidak merespon. Dia lebih memilih mengeratkan pelukan.

“Padahal gua yang butuh dikelonin, kan gua yang sedih.” Reihan berguman di sela-sela mengusap rambut Nahdan.

Mengerti apa maksud dari ucapan Reihan, Nahdan menjauhkan wajah lalu mendongak. Dia tertawa dulu sebelum bergeser posisi agar kepala Reihan sejajar dengan lehernya. Tanpa basa-basi Reihan langsung menenggelamkan wajah disana, menghirup aroma menyegarkan dari tubuh Nahdan.

Nahdan mematung di depan pintu kamar. Pemandangan di dalam kamar begitu horror untuknya. Disana Reihan, teman sekamarnya sedang duduk di kursi yang sengaja pemuda itu posisikan berhadapan langsung dengan pintu masuk. Mungkin Reihan memang mau membuat jantung Nahdan serasa copot setelah membuka pintu kamar. Reihan dengan tatapan menyebalkannya tersenyum, dia goyang-goyangkan sebungkus kotak rokok yang mungkin tercecer saat Nahdan membereskannya tadi—sebelum pergi main.

“Masuk dulu dong, ngapain di depan situ kaya rentenir nagih hutang?” Reihan terkekeh di akhir kalimat. Nahdan tahu betul itu bukan jenis kekehan yang memberi tanda bagus, bulu kuduknya sampai merinding.

Demi ocehan Norman yang tidak pernah tuntas, Nahdan sama sekali tidak punya firasat buruk saat bermain tadi. Dia cenderung merasa hari-harinya akan indah sampai esok hari. Mau tidak mau Nahdan melangkah masuk. Dalam pikirannya sudah mulai mengumpulkan cerita karangan yang pas untuk menjawab pertanyaan Reihan. Tidak lupa ia menutup pintu, supaya tidak ada saksi mata di kejadian yang akan berlangsung.

Nahdan meneguk ludah ketika sudah tepat di depan Reihan. Pemuda itu menyilangkan kaki sembari meletakkan kotak rokok ke atas paha, selanjutnya Reihan menatap wajah Nahdan—mendongak karena posisinya masih duduk.

“Jadi, lu ngebawa rokok ke asrama?”

'Ya menurut lu gimana?' Sayangnya kalimat itu hanya bersarang di dalam kepala Nahdan. Dia lebih memilih mengangguk pelan sambil berucap, “Iya, bener.”

Reihan nampak mengangguk-angguk pelan, terdengar gumaman sebelum ia lanjut bicara. “Yahh, gua nggak masalah sih.” Mata Reihan melirik ke arah lain sebelum kembali melihat Nahdan.

Nahdan yakin sekali Reihan baru saja menatapnya remeh, walau hanya sekitar beberapa detik karena selanjutnya lelaki itu berdiri sambil melihat ke arah pintu masuk.

“Tapi gimana yaa...” Reihan maju selangkah untuk memotong jarak diantara mereka, tidak lupa memperhatikan ekspresi yang ditampilkan teman sekamarnya. “Kalau guru-guru tahu murid mereka yang nggak pernah kena kasus aneh-aneh ternyata penyedia rokok untuk siswa-siswa bermasalah?” Reihan tersenyum karena melihat raut wajah laki-laki di depannya berubah panik.

“Jangan.” Nahdan berujar, dia bahkan menahan lengan Reihan yang tengah menggenggam kotak rokok.

Pikiran Nahdan mendadak kosong. Dia tidak bisa menemukan jalan keluar dari situasi ini. Satu sisi dia tahu Reihan bukan orang yang mudah dibujuk, dia terlalu tegas dan patuh dengan peraturan. Namun di sisi lain dia butuh untuk membujuk Reihan. Jika tidak, Norman dan Jenaka sudah pasti akan terkena getah dari kesalahannya.

Sebelumnya ia yakin rokok-rokok itu sudah disimpan rapi dan tidak mungkin tercecer. Tidak mungkin kan, Reihan sengaja memeriksa lemari Nahdan itu menemukan satu bungkus rokok.

Reihan menatap bingung, “Kenapa? Takut?”

Mendengar suara Reihan membuat Nahdan kembali ke realita, dia menatap wajah ketua kelasnya tersebut yang jaraknya mungkin cuma sejengkal dari wajahnya. Tatapan Nahdan turun ke arah bibir Reihan, mendadak teringat solusi bodoh yang asal diketiknya pada Jenaka. Bagaimana jika ternyata cara itu ampuh?

Reihan yang sadar dengan arah tatapan Nahdan berdecak kuat. Membuat yang tertangkap basah kembali fokus menatap matanya. Reihan mengangkat lengannya yang masih mengenggam kotak rokok, juga masih digenggam oleh Nahdan.

“Jangan dikaduin.” Nahdan berucap duluan sebelum Reihan bicara.

“Nggak bisa. Kalau ntar ketahuan sama orang lain, pasti gua juga ikutan kena.”

Jawaban Reihan membuat lutut Nahdan lemas, namun dia tidak menyerah dan tetap menahan Reihan supaya tidak keluar kamar.

“Gua janji nggak bakal ketahuan. Please, Rei.”

Reihan tidak langsung merespon. Dia lumayan kaget saat mendapati Nahdan memelas kepadanya. Sedangkan Nahdan yang berbuat, rasanya sudah mau mengubur diri karena malu.

“Gua bukan emak lu, Ndan. Muka anak anjing kelaparan nggak bakal mempan.”

Sialan. Nahdan tahu Reihan akan merespon begitu, tapi dia tetap kesal.

Masih belum menyerah, Nahdan kembali memohon. Kini sampai menggenggam erat tangan Reihan, sesekali berusaha untuk menelusupkan jemarinya guna merebut kotak rokok. Jika benda itu berhasil dirampas, dia pasti aman. Reihan tidak akan punya bukti lain jika Nahdan menyembunyikan semua rokok-rokoknya setelah ini.

“Reihan, pleasee... gua mohon banget. Gua begini buat nambah jajan, Reii...” Nahdan terus berucap melas di sela-sela aksi tersembunyinya.

Namun Reihan tetap Reihan. Dia tidak luluh sedikitpun. Bahkan dia malah menggenggam erat kotak rokok tadi, sampai benda itu remuk dan batang rokok di dalamnya tidak bisa digunakan lagi. Nahdan meringis, dia rugi sekitar dua puluh lima ribu.

“Gua nggak peduli. Masih banyak cara lain daripada jualan rokok. Minggir, Ndan.”

“Nggak mauu!” Nahdan beralih menahan dua pundak Reihan, menahan anak itu untuk tidak beranjak dari depannya. “Reihan, pleasee... gua tahu lu masih punya hati.”

“Iya, gua juga masih punya otak. Minggir!”

Habis sudah kesabaran Nahdan. Dia mendorong Reihan ke atas ranjang yang memang tepat dibelakangi pemuda itu. Reihan terkejut, begitu juga dengan si pelaku yang bergerak mengikuti instingnya. Dia menahan kedua tangan Reihan agar tidak memberontak, lalu pejamkan mata dan mendekatkan wajah untuk mengecup bibir teman sekamarnya itu.

Ternyata tidak sesulit yang Nahdan kira. Mungkin karena Reihan yang masih kaget, jadi dia tidak sempat untuk terlalu berontak. Tapi masalahnya, Nahdan tidak tahu apa yang harus dilakukan saat berciuman. Dengan penuh keraguan dia melumat bibir Reihan. Rasanya kering karena bibir pemuda di bawahnya memang pecah-pecah. Nahdan mencoba menjilati belahan bibir Reihan agar lebih mudah dilumat.

Satu menit berlalu dan Reihan masih diam saja. Perasaan ragu yang sempat Nahdan tepis kembali hadir. Dia mengangkat wajahnya, melihat Reihan yang ternyata tidak memejamkan mata sama sekali. Tatapannya bahkan terlalu biasa saja untuk orang yang barusan dicium mendadak. Otak Nahdan langsung mengirim sinyal bahaya, dia harus kabur.

Namun belum sempat ia berdiri, kaki Reihan lebih dulu melingkar di pinggangnya. Reihan tarik kuat kerah baju Nahdan setelah genggaman di tangannya melonggar, membuat pemuda yang sedikit lebih tinggi darinya tertarik ke atas kasur. Reihan memutar posisi sampai dia yang menindih Nahdan. Tidak lupa menahan kedua tangan yang baru saja membatasi ruang geraknya.

Sshh, diem.”

Nahdan menatap horror pada Reihan yang kini berada di atasnya. Tangan kiri pemuda itu mencengkram rahang Nahdan, sedangkan tangan kanannya menahan dua tangan Nahdan. Tidak sampai lima detik, bibir keduanya sudah kembali bertemu. Kali ini Reihan yang menutup mata sedangkan Nahdan terbelalak, masih belum lepas dari rasa kaget.

Kedua belah bibirnya terasa dilumat dengan tempo beraturan. Hisapan-hisapan pelan tidak lupa dibubuhi Reihan guna sedikit menjahili Nahdan. Selanjutnya yang dicium melenguh kencang ketika bibir bawahnya dihisap kuat. Reihan telusupkan tangannya diantara kasur dan kepala Nahdan guna menahan kepala temannya itu agar tidak menjauh. Tangan kanan yang tadinya untuk menahan kedua tangan Nahdan ikut berpindah untuk menahan beban tubuhnya.

Nahdan pening. Dia termenung setelah ciuman mereka dilepas oleh Reihan. Pemuda itu tertawa pelan sebelum kembali mendaratkan kecupan di bibir Nahdan yang basah oleh saliva. Reihan menyingkir dari atas tubuh temannya, dia biarkan juga Nahdan berlari keluar kamar.

tw // violence, abusive , sexual harassment , mention of blood , mention of sex , mention of murder , pedophilia , gengster , mention of death .

Jupiter Pov

Panti Asuhan Teratai Mekar, disana tempat tinggalku. Berada di daerah Selatan, lumayan dekat dengan perbatasan Selatan-Timur. Di panti kami, anak-anak yang berprestasi dan anak yang biasa-biasa saja ditempatkan terpisah. Aku anak nakal yang bodoh. Seharusnya aku tidak bisa mendapat fasilitas bagus dari panti asuhan jika tidak punya bakat dalam olahraga.

Pengasuh bilang, itu dilakukan supaya kami—anak-anak pintar bisa fokus belajar dan berlatih. Diantara kami tahu anak-anak yang biasa saja akan disuruh berkerja. Kadang kami merasa kasihan saat bertemu dengan mereka di luar panti. Ada yang menjualkan barang di pasar, ada yang saat malam hari harus bantu mengangkat sayuran yang akan dikirim ke kota lain. Namun karena selalu dipuji spesial, kami jadi tidak peduli dan lebih memilih bangga dengan diri sendiri.

Biasanya anak-anak di tempatku lebih cepat diadopsi daripada anak yang biasa saja. Brian sempat hampir diadopsi, tapi entah kenapa calon orang tua angkatnya berubah pikiran dan mengadopsi anak lain. Untungnya Brian tidak terlalu sedih, dia bilang lebih nyaman jika berada di panti bersamaku.

Seperti manusia pada umumnya, aku memiliki rasa ingin tahu yang besar. Ketika teman-temanku berkumpul di sudut kelas untuk menonton video yang kata mereka bagus dan panas, aku ikut duduk di antara mereka. Mengabaikan kemungkinan Brian akan mengomel karena aku tidak ikut ke kantin.

Aku sangat terkejut saat menonton. Darahku mengalir cepat seiring detak jantung yang meningkat. Rasanya aneh melihat dua manusia berbeda jenis kelamin melakukan sesuatu seperti di dalam video. Namun di sisi lain aku merasa penasaran dan ingin menontonnya sampai selesai.

Sejak hari itu aku mencari tahu apa yang dilakukan dua orang di dalam video kemarin. Ternyata nama kegiatan itu adalah seks. Pasangan suami istri biasa melakukannya untuk membuat keturunan. Tapi teman-temanku lebih sering menyebutnya ngentot dan ngewe.

Aku dan anak-anak panti lain—terutama Brian sepertinya tidak ada yang paham dengan hal seperti itu. Kami tidak memiliki ponsel, juga akses internet sangat dibatasi. Izin untuk keluar panti juga susah didapat. Sedikit banyak aku merasa senang karena mengetahui sesuatu yang mereka tidak ketahui.

Tapi rasa senangku harus berakhir ketika salah satu pengasuh memintaku untuk ke kamarnya. Dia membuka pakaian satu persatu setelah memintaku duduk di kasur. Aku jelas saja kaget, aku tahu maksud dari membantu yang pengasuh itu katakan.

“Jupiter mau kan bantuin Bunda? Kamu anak baik, Bunda sayang sama kamu.”

Aku merinding tiap kali mengingat bagaimana ekspresi dan suara Bunda Aya—si pengasuh waktu itu.

“Maaf, Bunda. Tapi Jupiter nggak bisa bantu.”

Aku menolak dengan baik-baik awalnya. Tapi karena terus dipaksa, aku jadi tidak sengaja berbuat kasar dengan mendorong Bunda. Aku berlari keluar kamar dan langsung masuk ke kamarku yang juga dihuni lima anak panti yang lain. Brian terlihat sedang membuat perkerjaan rumah.

Dia menatapku heran, “Kenapa?” tanyanya.

Aku menggeleng. Tidak memberi kalimat apa-apa dan langsung tidur di kasurku. Bayang-bayang kejadian beberapa menit lalu masih amat segar di kepalaku. Bagaimana mungkin orang yang sudah kuanggap seperti orang tua sendiri berbuat seperti itu?

Besoknya aku dipanggil ke ruangan pengasuh. Perasaanku tidak enak, apalagi setelah mendapat tatapan aneh dari beberapa pengurus. Disana aku dimarahi habis-habisan. Mereka mengoceh tentang sopan santun dan sebagainya. Bukannya merasa bersalah, aku malah kesal dan menjawab pernyataan mereka—Niatku untuk membela diri.

“Tapi itu nggak wajar, Bunda. Aku tahu sesuatu yang seperti itu nggak boleh sembarangan dilakukan. Lagian aku masih di bawah umur.”

Tapi tiba-tiba Bunda Aya menamparku. Sangat kuat sampai pipiku terasa sangat nyeri; sudah pasti kulitnya memerah. Aku menatap tidak percaya. Di ruangan ada sekitar tiga pengasuh dan mereka masing-masing memukulku beberapa kali. Bukan dengan tangan kosong, tapi juga dengan tangkai sapu dan rotan.

Aku gemetar ketakutan. Secara impulsif aku meringkuk seolah bersujud pada mereka.

“Maaf Bunda, Jupiter salah. Jupiter udah sok tahu, tolong maafin Jupiter.”

Begitu permohonan maafku saat itu. Aku memang dibebaskan setelahnya, tapi dengan syarat tidak memberi tahu siapa-siapa, juga harus menyembunyikan luka-lukaku. Untungnya yang dipukul cuman bagian badan yang tertutup baju.

Setelah seminggu, aku melihat Brian dipanggil oleh Bunda Aya. Aku mengikuti mereka. Firasatku mengatakan, Brian akan menurut karena dia sama sekali tidak paham. Benar saja, aku mendengar kegiatan mereka dari depan pintu. Brian banyak bertanya kenapa mereka harus melakukan itu dan Bunda Aya dengan santainya menjawab, “Ini karena Bunda sayang sama kamu.” Aku menggeleng dan segera beranjak pergi sebelum ketahuan oleh pengasuh lain.

Tiap kali diajak melakukan seks, aku selalu menolak. Aku tidak nyaman dan rasanya mual tiap kali membayangkan aku melakukannya bersama pengasuhku sendiri. Akibatnya aku selalu dipukuli, kadang sampai tubuhku berdarah lalu pingsan karena kesakitan. Setelah bangun, aku akan langsung pergi ke kamar. Tidak lupa membasuh lukaku tanpa memberinya obat.

Orang pertama yang curiga adalah Bang Jaya—salah satu teman sekamarku. Dia jarang ada di panti. Aku baru selesai mandi dan sedang mengeringkan rambut menggunakan handuk. Bang Jaya masuk ke dalam kamar, dia berganti pakaian. Biasanya dia tidak peduli dengan apa yang kami lakukan, tapi hari itu Bang Jaya langsung menanyaiku. Mungkin karena dia melihat aku seperti sedang menahan sakit.

“Kamu kenapa?”

Walaupun kaget mendengar suaranya, aku tetap tersenyum. “Nggak apa-apa. Kecapean habis latihan.” Jawabanku mungkin tidak memuaskan, karena dia langsung menatapku dari atas sampai bawah. Bang Jaya mendekat sampai jarak kami tinggal satu langkah. Tiba-tiba tangannya terulur untuk menyentuh perutku, tepat di bekas pukulan pengasuh. Mau tidak mau aku meringis.

“Kamu luka?”

Aku mengangguk, “Iya, kena bola.” Tidak lupa terkekeh di akhir kalimat. Kukira dia akan merespon seperti, 'oohh.' tapi yang kulihat malah ekspresi khawatir di wajah Bang Jaya makin menjadi.

“Udah dikompres? Lebam nggak?”

Dia hampir mengangkat pakaianku jika aku tidak langsung mengelak. Bang Jaya menatapku curiga, dia hampir bicara lagi jika Brian tidak datang dengan kerusuhannya.

“Gila! Hari ini cape bangeettt.”

Kami langsung menoleh ke pintu masuk. Brian sedang meregangkan tubuh sambil mendorong pintu kamar menggunakan kaki. Bang Jaya beranjak dari tempatku untuk memukul kepala Brian.

“Berisik. Bukan kamu aja yang cape.”

Brian merengut lalu balas memukul lengan Bang Jaya. “Dih! Kan nggak ada salahnya ngeluh.”

Selanjutnya mereka mulai mendebatkan tentang penting atau tidak pentingnya mengeluh. Aku lebih memilih tidur daripada mendengar Brian berceloteh. Malam itu aku terbangun jam tiga dini hari. Aku tidak sengaja melihat Bang Jaya bersiap keluar panti.

“Abang mau kemana?”

Bang Jaya tersentak, tapi selanjutnya menghela nafas setelah melihatku. “Ohh, Abang mau pergi latihan. Hari ini masuknya lebih pagi.”

Aku mengangguk, percaya dengan ucapannya. Karena memang beberapa bulan lagi dia ada kegiatan lomba. Aku kembali tidur setelah Bang Jaya pergi. Malam-malam selanjutnya juga Bang Jaya selalu berangkat pagi dan pulang larut malam.

Beberapa hari kemudian, sehabis mandi aku baru sadar salah memilih baju. Biasanya aku memang langsung membawa pakaian ke kamar mandi supaya luka-luka di badanku tidak ketahuan.

Setelah melihat sekeliling kamar dan memastikan tidak ada orang di dalam, barulah aku membuka kemeja putih dan menggantinya dengan kemeja batik. Tapi sayang sekali, belum sempat bagian lengan yang lain dari kemeja terpasang di tanganku, Brian sudah lebih dulu masuk. Dia kaget mendapati tubuhku yang penuh luka. Aku langsung buru-buru memasang kemeja tadi. Brian juga langsung menutup pintu dan menghalangiku agar tidak menyingkir dari kasur.

“Nggak Bri! Aku nggak kenapa-napa. Ini luka gara-gara latihan.”

Aku berusaha supaya dia tidak menarik kemejaku, tapi tenaga Brian yang sedang emosi ternyata tidak bisa diremehkan. Dia membuka paksa kancing kemeja yang tadi kupasang buru-buru. Membuka lebar kemejaku sampai semua luka dan lebam terpampang jelas.

“Jup, ini nggak mungkin karena latihan!” Brian menggeleng, dia melangkah mundur tapi matanya tetap memperhatikan tubuhku.

Tatapan Brian membuatku merasa sangat kecil, semua perasaan negatif yang kupendam seolah meluap. Air mataku keluar sendiri tanpa mampu kutahan. Brian bergeming di depan sana, dan itu membuatku bersyukur karena tidak langsung ditanyai.


Brian Pov

Waktu itu aku membatu, tidak tahu apa yang harus kulakukan ketika melihat Jupiter menangis. Luka-luka di tubuhnya sangat banyak. Tanganku yang tadi membuka paksa kemeja Jupi bergetar hebat. Apa yang terjadi?

Aku tahu Jupiter seorang atlet basket terbaik di sekolah, tapi memangnya atlet bisa memiliki luka seperti ini? Ada banyak luka pukulan, bahkan ada yang seperti sayatan dari benda tajam. Luka-luka ini sangat tidak wajar jika dimiliki siswa SMP seperti kami.

“Siapa Jup?”

Mataku mulai berkaca-kaca setelah bertanya. Reaksi tubuh Jupiter sungguh membuat hatiku tersayat. Dia gemetar hebat dan makin terisak.

“Jup! Siapa? Kenapa badan kamu jadi begini?”

Aku yang tidak sabar menarik lengan Jupiter sebelum dia menutup wajahnya. Kutatap matanya, coba meyakinkan dia untuk bercerita.

“Jup, kita saudara, kan? Kamu percaya sama aku, kan?”

Jupiter tidak menjawab. Tangisnya malah makin menjadi-jadi. Aku dengar pintu kamar dibuka, bulu kudukku merinding karena takut jika yang membuka adalah para Bunda—pengasuh panti. Aku merasa masalah yang dialami Jupiter akan semakin besar bila reaksi pengasuh tidak bagus. Namun karena melihat wajah Jupiter yang tidak terlihat takut, aku jadi menoleh ke belakang—tempat pintu kamar berada.

Pintu dibuka oleh Bang Jaya, Dia tiga tahun lebih tua dari kami dan lebih dulu berada di panti.

“Bang.” Jupi menyapa di sela-sela tangisnya.

“Bang Jaya?” Aku bukan ikut menyapa, lebih ke memastikan apa pemuda itu baik-baik saja. Wajahnya pucat pasi, nafasnya nampak tersengal dan keringat sebesar biji jagung menetes turun melewati pelipis menuju pipinya. Bang Jaya habis lari?

Dia cepat-cepat menutup pintu. Tangannya menyisir helaian rambut ke belakang, dapat kulihat tangan itu bergetar. Dahiku berkerut semakin dalam setelah Bang Jaya duduk di tepi kasurnya sambil menggigiti jari.

“Bang? Abang kenapa?”

Bang Jaya melihat ke arahku, tatapannya tidak fokus. Selanjutnya dia melihat Jupiter, cukup lama karena sepertinya dia kaget melihat kondisi Jupi.

“Jup? Kamu juga korban?”

Aku refleks melihat ke arah Jupiter, dia mengangguk, seolah paham dengan maksud korban yang disebut Bang Jaya. Lalu kepalaku kembali menoleh ke arah Bang Jaya, dia juga melihat ke arahku.

“Kamu pasti juga korban.” ucapnya padaku.

“Ha?”

“Kamu nggak sadar?”

Aku menggeleng, “Sadar apa?”

Bang Jaya berdiri untuk pindah duduk di kasur yang kami duduki—kasur Jupiter. Bang Jaya terlihat menghela nafas. Dia diam sebentar seolah sedang berfikir. Matanya menatapku kasihan.

“Bunda Aya pernah megang badan kamu?”

Dahiku masih berkerut. “Yaa, pernahlah?”

Bang Jaya menggeleng, “Bukan. Bukan megang biasa. Bunda Aya pernah megang di bagian yang ga harusnya nggak sembarangan orang pegang? Coba inget-inget.”

Tiba-tiba satu peristiwa berputar di kepalaku. Saat itu aku baru pulang sekolah, Bunda Aya—salah satu pengasuh kami memintaku untuk menemuinya di kamar. Setelah itu...

“Ohh, iya pernah. Bunda Aya pernah minta tolong buat—”

“Nggak usah dilanjut.” Bang Jaya melihat ke arah Jupiter, dia usap kepala Jupi untuk menenangkannya. “Abang dulu juga pernah, tapi sejak masuk SMA Abang sengaja nyibukin diri sampe nggak pulang beberapa hari. Abang takut, takut banget.”

Aku tidak mengerti. Kenapa Bang Jaya harus takut? Bukannya tidak apa-apa jika Bunda Aya meminta bantuan kita? Dia kan sudah mengurus kita dari kecil. Walau sebenarnya aku memang merasa ada yang salah. Aku hendak bertanya sebelum suara serak Jupi ikut serta dalam obrolan kami.

“Aku,” Suara Jupiter tercekat, dia mengatur nafas sebelum lanjut bicara, “Aku nolak waktu diminta buat begitu, terus Bunda Aya marah. Aku dipukul sama pengasuh lain juga, sering banget sampai rasanya mau mati.” Jupiter berusaha menahan isakannya walau air mata tetap keluar mengaliri pipi. “Mereka bilang aku nggak berbakti.” Suaranya makin parau di akhir kalimat.

Aku menarik Jupiter ke dalam pelukan. Mengusap kepala sampai punggungnya. Mataku melihat Bang Jaya dengan tatapan bingung.

“Bunda panti Jahat..” Jupiter terus terisak di dalam pelukanku.

Bang Jaya ikut mengusap punggung Jupiter. Kami bertatapan seolah tengah bertukar pikiran masing-masing. Aku memberi kode bahwa aku belum paham dengan yang terjadi, lalu Bang Jaya menatapku seperti sedang berkata, “Nanti abang jelasin.”

Setelah Jupiter berhenti menangis, Bang Jaya meminta kami untuk tetap bertingkah seperti biasa. Aku dan Jupiter pergi ke sekolah. Seharian aku tidak melepas pengawasan dari Jupiter, takut dia kenapa-napa.

Pulang sekolah kami bertemu Bunda Nia. Dia salah satu pengasuh yang sangat pendiam, bahkan kami merasa tidak dekat dengannya. Aku tersenyum pada Bunda Nia, dan dia balas tersenyum. Bunda Nia menitipkan plastik berisikan obat padaku, membuat aku menatapnya heran.

“Untuk teman sekamar kamu.”

Bunda Nia tersenyum lagi, selanjutnya dia menunduk dan pergi keluar. Bunda Nia memang lebih sering berada di gedung panti yang lain, tempat anak-anak yang katanya tidak pintar. Saat aku masuk ke dalam kamar, barulah aku sadar sesuatu. Kenapa Bunda Nia bisa tahu dengan kondisi Jupiter? Semalam Jupiter bilang cuman tiga pengasuh yang tahu tentang luka-lukanya.

Aku buru-buru menutup pintu dan berlari ke kasur Jupiter. “Jup! Jup! Bunda Nia emang tahu ya kalau kamu luka?”

“Ha? Enggalah.”

“Lah, terus? Kok dia ngasih obat?” Aku mengulurkan tangan, memberi obat yang tadi diberi Bunda Nia.

Jupiter melihat ke tanganku sebentar, selanjutnya menggeleng. “Nggak tahu.”

Aku menarik tangan Jupiter karena dia sama sekali tidak berniat akan menerima obat tadi. “Yaudahlah, ambil aja.”

Jupiter nampak termenung menatap obat tadi. “Kalau ini bukan obat gimana?”

Pertanyaan Jupiter membuatku semakin heran. Mana mungkin itu bukan obat. “Maksudnya?”

Setelah diam sebentar, Jupiter menggeleng dan menyimpan obat tadi di atas meja belajar. Dia menarik tanganku untuk duduk di atas kasur, tatapannya membuatku merasa tidak enak. Dia seperti putus asa sekaligus kasihan kepadaku.

“Kita nggak bisa percaya dengan orang-orang di panti, Bri.” Katanya.


Normal pov.

Tidak sampai seminggu, Jaya kembali dengan rencana yang sudah dia susun matang. Mengumpulkan anak-anak panti yang juga sudah tidak tahan. Ada sekitar sepuluh anak, tujuh orang yang lain itu berasal dari panti anak-anak biasa saja.

Mereka dibantu Bunda Nia mencari jalan yang aman keluar panti. Dia juga memberi satu ponsel dan uang saku supaya anak-anak itu bisa makan di jalan. Jupiter tidak sepenuhnya percaya dengan Bunda Nia, namun melihat senyum wanita itu yang begitu tulus, dan dia menangis melepas kepergian anak-anak asuhnya.

“Jaga diri kalian, jangan kasih tahu siapa-siapa kalau kalian dari Panti Teratai Mekar, ya?”

“Iya Bunda, kami pamit ya. Terima kasih banyak.” Bang Jaya pamit mewakili anak-anak lain.

Perjalan pergi dari panti betul-betul tidak mudah. Tiap kali mereka mampir untuk makan, ada saja orang-orang yang bertanya darimana mereka berasal. Mungkin akan terkesan wajar saja, namun di mata Jaya itu sama sekali tidak wajar. Tiap kali dia menjawab seadanya, orang-orang itu langsung kembali melontarkan pertanyaan seolah sedang menggali sesuatu.

Tiap malam dia tanamkan pesan ke adik-adiknya untuk tidak memberi informasi apa-apa jika ditanyai. Mereka semua setuju, tapi Jaya tetap khawatir dengan satu anak. Anak itu berumur sepuluh tahun, paling kecil di rombongan. Jaya selalu memastikan anak itu berada di dekatnya.

Namun tetap saja, kemalangan itu sekejap mata. Saat mereka sedang makan malam di depan ruko kosong, Jaya pamit pada yang lain untuk ke toilet. Setelah ia selesai buang air dan hendak kembali, di jalan dia bertemu Brian yang sudah pucat pasi. Dia berjalan cepat ke arah Jaya, menarik pemuda itu untuk segera menjauh dari tempat mereka makan.

“Bang lari!” Brian berteriak karena Jaya malah terdiam. Jaya bingung.

“Tunggu dul—”

Belum sempat kalimat Jaya selesai, di depan matanya nampak Jupiter tengah berlari mendekat, nafasnya memburu. “Mereka udah dibawa.” katanya.

“Dibawa?”

Suara mesin mobil tiba-tiba memenuhi pendengaran Jaya. Sekujur tubuhnya meremang setelah otaknya mencerna apa yang terjadi.

“Iya, cepet!”

Brian dan Jupiter menarik Jaya bersamaan. Mereka masuk ke semak-semak belukar. Berlari secepat yang mereka bisa. Saking takutnya Jupiter sampai tidak menoleh ke belakang sedetikpun. Dia sudah menangis dengan banyak bayang-bayang kejadian seram di kepalanya.

“Aku nggak mau balik ke panti. Aku nggak mau! Huaaa!”

Brian langsung menarik tangan Jupiter supaya lelaki itu tidak berlari terlalu cepat. “Udah, Jup. Kita udah aman.” katanya.

Jaya setuju. Orang-orang dari panti tidak mungkin mengejar mereka sampai sini. Kini mereka berada di hutan kecil yang akan menembus ke daerah Timur.

Sampai di Timur, mereka merasa seperti masuk ke dalam dunia lain. Orang-orang disini terlalu brutal dan tidak ramah kepada pendatang. Belum lagi penampilan Jaya, Brian, dan Jupiter yang kumuh. Membuat orang-orang berprasangka buruk duluan saat melihat mereka. Di Timur banyak jenis modus penipuan, salah satunya dengan membuat penampilan seperti pengemis untuk merampok.

Beberapa kali mereka hampir dipukuli preman. Untungnya Jaya bisa membujuk para preman agar melepaskan mereka. Lagipula tidak ada untungnya bagi si preman jika tetap mengganggu, anak-anak itu tidak punya harta benda.

Mereka tidur di depan toko orang benama Hardi, beralas kardus dan koran. Untuk uang makan Jaya yang akan berkerja membantu pemilik toko. Tapi setelah pemilik toko tahu Jaya dan adik-adiknya tidak punya rumah, barulah dia menyediakan kamar untuk mereka.

Hari-hari berlalu damai. Sampai suruhan Gentala datang saat dini hari, menagih uang sewa toko. Rombongan Gentala sekitar lima orang menggedor pintu, beberapa dari mereka juga membawa pemukul. Jaya meminta adik-adiknya untuk tidak keluar, sedangkan dia bersama Pak Hardi yang membujuk para Gentala.

Pak Hardi sebatang kara. Istrinya sudah meninggal dan dia tidak mempunyai anak. Toko yang dia tempati adalah tempat paling berharga karena memiliki kenangan bersama istrinya. Namun sejak Gentala menguasai wilayah timur, banyak dari pemilik bangunan menjual tempat mereka pada Gentala. Pemilik bangunan toko yang ditempati Pak Hardi salah satunya, dia menjual tempat karena lelah diteror. Membuat Pak Hardi mau tidak mau berurusan dengan Gentala.

“Saya janji, Mas. Minggu depan pasti saya bayar uang sewanya.”

“Halah!” Pemimpin dari rombongan Gentala itu memukul tembok. “Bapak udah telat bayar hampir tiga bulaaan. Kami nggak bisa ngasih keringanan terus, Pak.” Pria itu terlihat sangat emosi. Kantung matanya menghitam pertanda berhari-hari tidak tidur.

Brian dan Jupiter mengintip dari pintu kamar. Mereka lihat dari lima orang itu ada satu yang juga tidak membawa apa-apa seperti pemimpinnya. Ekspresinya juga terlihat kasihan dengan Pak Hardi. Tawar menawar mereka tetap berlanjut, Pak Hardi meminta untuk diberi keringanan.

“Saya bukannya nggak mau, Pak. Tapi kami juga kerja sama orang, Bos kami nggak bakal mau tahu dengan kesusahan Bapak.” Pemimpin kelompok itu menjelaskan bahwa mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa.

Pak Hardi sudah menangis dan Jaya angkat bicara untuk memohon.

“Mas, tolong yaa, satu minggu lagi akan kami lunasi.”

Si ketua hendak mengatakan sesuatu, tapi satu anggota Gentala yang sejak tadi menahan emosi hampir menghancurkan etalase. Untungnya laki-laki yang tidak membawa senjata tadi langsung menghalangi.

“Goblok!” Pemuda itu menonjok wajah rekannya. “Kalau lu hancurin gimana si Bapak bakal bayar uang sewa? Mikir dong, anjing! Otot doang lu gedein.” Suaranya menggelegar sampai ke seisi toko. Dia mendorong teman-temannya untuk mundur lalu berdiri memunggungi Pak Hardi.

Jaya terkesima, sedangkan ketua rombongan Gentala tadi memijat dahinya. Laki-laki yang baru saja membela Pak Hardi jelas masih seumuran dengan Jaya. Bukan kejadian pertama pemuda itu melawan, dia memang berani menentang rekan-rekannya yang jelas jauh lebih tua dan lebih kekar.

Anggota Gentala yang tadi mau menghancurkan etalase mendapat tatapan tajam dari pimpinan kelompok mereka.

“Oke, kami tunggu seminggu lagi ya, Pak. Kalau belum bayar juga terpaksa kami usir, karena penyewa yang baru udah bayar uang muka ke Bos.”

“Iya, Mas. Saya pasti bayar minggu depan, terima kasih banyak, Mas.”

Pria itu tidak merespon kalimat Pak Hardi, dia langsung meminta kacung-kacungnya untuk pergi. “Udah, ayo ke tempat lain.”

Tiga Gentala yang lain bersorak protes, namun tetap mengikuti pemimpin mereka. Laki-laki yang tadi membela Pak Hardi berbalik, dia pamit pergi dan berpesan agar segera membayar uang sewa karena dia tidak bisa membantu.

Pak Hardi mengangguk dalam, “Iya, nak. Terima kasih banyaak, kalau nggak ada kamu mungkin dagangan bapak sudah hancur.” Pak Hardi sampai mengambil tangan pemuda itu untuk menepuk-nepuknya pelan. Si pemuda tersenyum.

“Nakula!”

Terdengar suara dari pemimpin Gentala, buat pemuda yang bernama Nakula tersentak.

“Iya, sabar!” Nakula menyahut dan langsung berlari keluar. Dapat didengar suara perdebatan Nakula dan orang-orang di rombongannya, pemuda itu dimarahi habis-habisan namun dia tetap melawan.

“Kalau bukan kesayangan Bos udah gua bunuh lu!” Bentak salah satu pria.

“Bunuh sekarang kalau bisa!” Terdengar suara Nakula meninggi. Mungkin akan terjadi baku hantam jika tidak ada yang melerai mereka.

Jaya kembali ke kamar untuk melihat adik-adiknya. Dia peluk Brian dan Jupiter yang terlihat hampir menangis, “Nggak apa-apa, Abang disini bareng kalian. Nggak perlu takut, ya.”

tw // violence , mention of violence

Nakula menghela nafas, dia lelah menghadapi Deo. Anak itu daritadi ribut mau membeli ponsel baru. Padahal sebelumnya Nakula sedang menikmati waktu santai, ditemani secangkir kopi tubruk dan beberapa batang rokok.

“Emang kenapa sih, kalau speakernya rusak? Kan masih bisa lewat chat aja, nggak perlu telponan atau VN.”

“Gua perlu buat nonton youtube!”

Wah, lihat anak kurang ajar itu. Berani-beraninya dia meninggikan suara pada Nakula.

“Gua kaduin ke Kak Juna lu ya? Mati lu di tangan dia.” Nakula tunjuk wajah Deo sekilas, membuat tangannya menjadi fokus utama yang lebih muda.

Setelahnya Deo menggeram, alisnya menukik tajam sembari menatap lurus pada Nakula. Ia jalan mendekat ke arah lawan bicaranya—Nakula duduk di tikar. Lalu Deo duduk bersimpuh. Perlahan wajahnya dibuat memelas.

“Kak Nakulaa, please~” Ia memohon setelah menyatukan kedua telapak tangan di depan dada.

Nakula buang muka ke samping, kembali menghisap rokok yang sempat terabaikan. “Nggak boleh!” tegasnya.

Wajah memelas Deo kembali mengeras. “Ya udah! Gua pergi sendiri.”

“Loh?”

Belum sempat Nakula menahan lengan Deo, pemuda itu sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian. Ia ambil sejumlah uang dari dalam ranselnya, lalu melengos melewati Nakula yang sudah berada di pintu kamar.

“Anjiing.” Nakula mengumpat sebelum ikut keluar rumah.


Selain takut kaki Deo kenapa-napa, sebenarnya Nakula juga takut dengan sinar matahari. Jidatnya pegal karena selalu mengerut tiap matanya menyipit untuk menghalau cahaya berlebih.

“Hati-hati nyimpen duitnya.” Ucap Nakula sembari menyamai langkah dengan Deo. Pemuda itu masih merajuk atas penolakan tadi.

“Iyaa.” Deo berdecak pelan sebelum menjawab.

Benar-benar, anak itu sangat menguji kesabaran Nakul. Jika bukan karena Kak Juna, mungkin Deo sudah ia tendang.

“Jangan di saku belakang.” Nakula tahan tangan Deo yang berniat memasukan beberapa lembar uang di saku belakang celana. “Kemalangan sekejap mata, jangan lu remehin.”

“Iya, iyaa.” Deo menarik tangannya agar lepas dari genggaman Nakul.

Bukan karena kesal, tapi karena dia takut tangannya dibuat patah. Walau Nakula sudah sangat baik padanya, Deo masih sering takut. Apalagi ketika Lelaki itu sudah memarahi Brian, suaranya bisa menembus langit saking kerasnya.

“Pelan-pelan jalannya.”

Suara ketus Nakula kembali menyapa indera pendengar Deo. “Iyaa.” sahutnya lagi.

Nakula sesekali curi pandang ke arah kaki Deo, memperhatikan ada yang aneh dari langkah lelaki itu atau tidak. Dia lihat salah satu warung soto milik salah satu mutualnya di twitter—Riel. Sedikit was-was bertemu, karena gadis itu sering kali menjahilinya.

“Nakula!”

Mungkin keberuntungan tidak berpihak pada Nakula. Langkahnya langsung berhenti, diikuti Deo—dia menoleh cepat walau bukan namanya yang dipanggil. Suara barusan berasal dari Riel. Dia segera keluar dari warung setelah menyapa.

“Hahaha, haii jagoan! Udah makan belum? Soto bapak gua enak, nih.” Senyum merekah Riel tunjukan setelah berada di depan Nakula dan Deo. Suara riangnya hampir terdengar ke sepanjang jalan saking kerasnya.

“Nggak dulu. Gua mau nemenin Deo.” Nakula menunjuk Deo yang sedang menatap heran.

Wajah Riel beralih menghadap Deo. “Oh, Deo? Haloo! Salam kenal.” Dia ulurkan tangan dan langsung disambut Deo.

“Eh, iyaa. Kenalin, Deo.”

“Gua Riel. Kapan-kapan makan disini ya, gratis kalau buat Atharwa.” Riel berucap sembari mengedipkan sebelah matanya.

Sedangkan Deo tersenyum canggung lalu mengangguk, “iyaa, terima kasih.”

“Dah! Dah!” Nakula menarik pundak Deo agar menjauh dari Riel. Gadis itu jika dibiarkan berdekatan dengan orang yang baru dia kenal, pasti akan mengoceh panjang lebar untuk mengakrabkan diri.

“Kami pamit ya.” Selanjutnya Nakula menarik lengan Riel agar dia menyingkir dari depan. Perempuan itu nampak merengut dan hendak menendang Nakula, namun si Nakul mengelak duluan.

Tidak lupa Nakula meledek tendangan Riel yang asal-asalan.

“EH, SEBENTAR!” Riel berteriak ketika baru mengingat pesan ayahnya tadi. Ada makan siang untuk Juna dan Yandra yang belum diantar ke Toko Atharwa.

“Paan?”

“Sini dulu, gua kasih titipan Kak Juna.”

Nakula menghela nafas sebelum masuk ke dalam warung. Deo tidak ikut karena sepertinya Nakula tidak akan lama. Dia melihat-lihat banner yang dipajang di depan warung. Membaca menu-menu yang tertulis disana. Ternyata bukan cuma soto, ada beberapa makanan khas lain.

Asik memperhatikan banner, Deo tidak sengaja menyenggol orang yang lewat. Sebenarnya Deo yang ditabrak, tapi ia rasa karena tanpa sadar mengambil langkah mundur jadi orang itu tidak sengaja menabraknya.

“Maaf.”

Tidak ada respon dari orang tadi. Dia berlalu saja meninggalkan Deo yang tidak enak hati. Sebelum kembali melihat ke dalan warung, Deo tersadar ada yang aneh dengan tubuhnya. Seolah ada yang kurang.

Dia meraba-raba saku celananya lalu tersadar ternyata tidak ada lagi uang di dalam sana. Deo menoleh, lihat punggung pria yang menyenggolnya tadi.

“Mas!”

Pria itu langsung lari setelah mendengar panggilan dari Deo. Membuat Deo tanpa pikir panjang langsung berlari mengejar. Di saat yang sama Nakula dan Riel sudah keluar dari warung.

Nakula melongo mendapati Deo yang tiba-tiba berlari, sedang Riel mencondongkan badan untuk melihat ke arah mana Deo pergi.

“Kayanya dicopet.” Riel melirik ke arah Nakula. “Gimana, nih?”

“Gua bantu kejar dulu.” Nakula menyerahkan kantong plastik berisikan soto pada Riel, “Pegang bentar.”

“Oke.”


Deo berlari sekuat tenaga, mengejar copet yang kini berjarak beberapa meter di depannya. Si copet nampak masuk ke dalam jalanan sempit, dihimpit dua bangunan ruko. Ketika ikut masuk ke dalam, penciuman Deo disambut bau lembab.

Terlihat beberapa ekor ayam bertengger di atas tempat sampah, di ujung jalan sebelum akhir dari dua bangunan ruko. Pencopet yang berupa lelaki berjaket hitam menendang tempat sampah itu hingga ayam berterbangan. Sebab sampah yang berserakan, Deo makin sulit untuk mengimbangi jarak. Belum lagi dia yang tidak hafal setiap jalur yang ada di daerah sini.

Sambil terus mengejar, Deo memutar otak. Matanya melirik cepat ke segala arah, coba mencari sesuatu yang bisa menambah laju larinya. Sesekali Deo meringis karena merasa jari kaki yang terluka nyeri. Setelah melewati barisan ruko, mereka tembus ke jalanan pasar yang cukup padat.

Deo mati-matian mengingat gambar pakaian di bagian punggung si pencopet agar tidak kehilangan jejak. Jantung dan paru-parunya berkerja keras untuk berdesakan di kerumunan orang. Jauh di depan, Deo lihat pencopet tadi seperti masuk ke celah kecil— lagi.

Mungkin ini yang dinamakan karma. Deo mencuri uang itu dari ayahnya, lalu sekarang uang itu dicuri lagi entah oleh siapa. Langkah kakinya sudah nyaris putus asa. Beberapa detik setelah berlari masuk ke dalam celah tadi, terlihat si pencopet terduduk melihat Nakula tengah berdiri di atas atap salah satu toko.

“Kak Nakula?”

Pencopet tadi menoleh, wajahnya pucat pasi setelah mendengar kata 'kak' dari mulut Deo. Sedang Nakula yang sedang berdiri di atas ruko pelan-pelan mengambil langkah sebelum turun.

Ia melompat ke bawah, tepat di hadapan lelaki berjaket hitam tadi. Kerah si pencopet ditarik kasar, ia memohon ampun lalu dengan sukarela mengembalikan uang Deo. Nakula ambil uang tadi sebelum memberikannya pada Deo.

Deo sendiri belum sadar dari kagetnya.

Sejak kapan Nakula mengikuti mereka? Bukannya tadi Nakula masih bersama Riel?

Plak.

Deo tersentak. Satu tamparan mendarat di pipi si pencopet. Saking kerasnya pukulan tadi, tubuh laki-laki itu mungkin bisa tersungkur jika kerahnya tidak ditahan Nakula.

Deo beranikan diri untuk melihat wajah Nakula. Lelaki itu benar-benar marah. Walau Nakula memang selalu marah, tapi sebenarnya dia tidak pernah betul-betul marah. Deo tahu karena dia selalu memperhatikan ekspresi yang dikeluarkan Nakula. Wajah Nakula yang seperti ini persis dengan wajah Nakula saat pertama kali bertemu dengannya.

“Gua nggak paham, kita ketemu udah yang ketiga kali, kan?

Plak.

Tamparan kembali mendarat. Laki-laki itu meringis diiringi air mata yang keluar dari sisi yang sama dengan pipi yang ditampar. Deo membeku, dia merasa deja vu. Kini matanya hanya tertuju pada tangan Nakula yang sudah siaga untuk menampar lagi.

“Katanya mau berubah!”

Plak.

“Tapi tetep aja lu nyuri buat judi, kan?”

Plak.

“Padahal emak lu di rumah sakit-sakitan.”

Darah mulai menetes dari bibir yang dipukul. Deo menutup mata sebelum satu tamparan lagi mendarat.

Plak.

“Nggak tahu diri!”

Plak.

Plak.

Plak.

Nakula melepas genggaman di kerah si pencopet, biarkan tubuh berisi tersebut terjatuh di atas tanah. Ringisan dari si pencopet membuat Deo membuka mata. Dia lihat Nakula tengah mengatur nafas, wajah pria itu memerah. Entah karena kepanasan atau karena emosi, mungkin karena keduanya.

Nakula hampir mendaratkan satu tendangan jika Deo tidak segera melerai.

“Kak Nakula! Udah.” Deo cepat menahan lengan Nakula. Dia menarik lelaki itu menjauh dari tempat itu, biarkan pencopet tadi meringkuk sendiri di dalam lorong.

Deo melihat ke belakang sebentar. Hatinya tersayat ketika tahu ada seorang ibu yang menderita di balik perbuatan pencopet tadi. Ia lihat wajah Nakula dari samping, rahangnya masih mengeras. Deo lepaskan pegangannya di tangan Nakula sembari lanjut melangkah mengimbangi.

Lima menit berlalu, baik Nakula maupun Deo tidak bersuara. Mereka sudah di bagian luar pasar. Diam-diam Deo bernafas lega karena tidak perlu berdesakan. Sebelum naik ke trotoar jalan, Nakula menarik Deo agar berjalan di sebelahnya.

“Jangan jauh-jauh, ntar dicopet lagi.”

“Iyaa.”

Deo sedikit tidak enak, tapi sempat tersentuh dengan perlakuan Nakula. Ia menurut dengan berjalan di sebelah si jagoan yang katanya dulu suka berbuat onar. Tidak heran, melihat bagaimana reaksi pencopet tadi saat melihat Nakula. Deo jadi merasa perlu menjaga sikap pada lelaki di sebelahnya, walau Kak Juna menjamin keselamatan Deo.

Tanpa sengaja Deo malah menjaga jarak dan kembali ditarik Nakula.

“Nggak usah bandel. Tadi lu dicopet karena nggak mau dengerin gua, sekarang jangan diulang lagi.”

Deo melihat Nakula sekilas, jantungnya hampir copot karena kaget. Nakula bermain ponsel menggunakan tangan kanannya, sedang tangan kiri memegang lengan Deo. Bukan jenis genggaman yang mesra dan hangat, lebih seperti seorang ayah yang menarik paksa anaknya pulang ke rumah setelah seharian main. Genggaman Nakula juga tidak lembut. Bisa dipastikan lengan Deo akan memerah setelah ini.

Tapi sebenarnya Nakula tetap memiliki sisi lembut, walau tidak sampai sepuluh persen karena sifat kasarnya sudah jelas mendominasi sekitar sembilan puluh persen. Deo menunduk, memperhatikan langkah kakinya. Matanya menangkap bungkusan perban yang menutup beberapa jari kaki. Tiba-tiba ia merasa sedih, harusnya Deo menurut saja waktu Nakula melarangnya keluar.

Setelah mengetik beberapa pesan pada Riel—tentang titipan Kak Juna yang tidak bisa dia antar, ponsel kembali dimasukan ke dalam saku. Nakula melihat Deo yang seolah menunduk sembari menekuk wajah. Ternyata Deo yang ia sangka mandiri bisa memasang wajah merajuk seperti itu. Nakula tertawa di dalam hati, sebelum melepas genggaman dan beralih merangkul Deo.

“Nggak usah ngambek. Ntar kita cari smartphone bagus yang speakernya anti rusak, oke?”

Deo masih cemberut, namun dia mengangguk sembari bergumam.

“Senyumnya mana jagoan? Udah hebat nih tadi, berhasil ngejar pencopet sampe pasar.” Nakula berucap, menyemangati Deo.

Yang disemangati menoleh sebentar untuk menyetor senyum yang Nakula minta. Terdengar sorakan meledek dari yang bersangkutan.

“Lain kali nurut ya. Disini nggak sama dengan tempat tinggal lu sebelumnya.” Nakula tersenyum setelah Deo mengangguk. “Pinter.”

tw // violence , begal

Pukul tiga dini hari, Dewa baru saja terbangun dan tidak bisa tidur lagi. Ia memilih keluar rumah untuk berjalan sebentar. Matanya mengedar pandang ke sepanjang jalan perumahan yang ditanam pohon dengan jarak tertentu.

Beberapa menit berlalu, hanya ada suara langkah kaki dan nafasnya sendiri. Sesekali terdengar suara kalelawar yang terbang dari satu pohon ke pohon lain. Setelah setengah jam berjalan, suara ribut mesin motor terdengar dari ujung jalan di belakangnya.

Dewa yang penasaran menoleh ke belakang. Sekitar empat motor dikendarai orang-orang bertopeng—mendekat dengan kecepatan sedang. Bulu kuduk Dewa meremang, instingnya berkata dia harus kabur. Namun empat motor itu lebih dulu mengepungnya.

Tawa melengking terdengar dari salah satu orang. Topengnya yang paling mencolok diantara tiga orang lagi. Topeng itu berwarna merah dengan garis horizontal hitam, di bagian bawah mata topeng tertulis angka romawi VI (enam). Ekspresi topeng yang ia kenakan nampak tersenyum lebar—menampilkan gigi-gigi tajam.

Sedang yang lain hanya terlihat seperti topeng badut yang biasanya ada di sirkus maupun televisi.

Dewa yang ketakutan melangkah mundur, namun satu orang di belakangnya menarik gas untuk menghentikan langkah Dewa. Selanjutnya empat orang itu tertawa bersama sebelum turun dari motor.

“Kalian mau apa?” tanya Dewa, gemetar.

Si Nomor Enam tersenyum di balik topengnya. Palu besar yang ia bawa diangkat untuk disandarkan ke pundak.

“Perkenalkan, kami pemburu tikus. Biasanya selalu ada tikus yang berkeliaran untuk mencari makan saat dini hari.”

Suara pria itu tidak jernih. Terdengar terlalu berat dan bergetar.

Dewa awalnya tidak mengerti apa yang dimaksud si Nomor Enam. Sampai otak pintarnya selesai mencerna maksud kata tikus dari kalimat itu. Sudah pasti tikus yang dimaksud adalah dirinya sendiri.

Nomor Enam memiringkan kepala, heran. Mangsanya tidak merespon sama sekali—hanya mematung dengan wajah pucat. Kebanyakan orang pasti langsung terduduk sambil memohon untuk tidak dihabisi walau hanya sekedar berhadapan dengannya.

“Ternyata kau anak yang berani. Sayang sekali, karena tikus pemberani adalah favoritku, hehehe.” Enam berucap setelah mengangkat palu dari pundaknya.

Tidak sampai lima detik setelah kalimat itu selesai. Tiga orang bertopeng yang sejak tadi diam langsung bergerak memegangi tubuh Dewa. Palu besar itu terangkat tinggi dan Dewa menatap ngeri. Ia memberontak kuat sebelum palu menghantam kepalanya.


Drrtt... drrtt..

Nomor Enam mengeluarkan ponsel dari saku celana. Tertera nama kontak yang sudah sangat dia kenal.

“Ya, Bos?”

Si Enam melihat ke arah tiga temannya sembari mendengarkan apa yang dikatakan oleh Bos.

“Oke, kami pulang.”

Setelahnya empat orang tadi langsung naik ke atas motor masing-masing. Melaju cepat membelah aspal—menuju tempat yang cukup jauh dari permukiman. Gedung tidak terawat terlihat setelah sampai di ujung jalan tak beraspal.

Tidak sampai sepuluh menit, tiga rombongan lagi sampai di depan gedung. Nomor Enam memberi tos pada Nomor Tiga—ekspresi topengnya cemberut dengan corak acak seperti akar pohon. Ada setetes air mata di bawah mata kiri topengnya.

Empat rombongan tadi berjalan masuk ke dalam gedung. Tidak seperti yang terlihat di luar, di dalam sangat nyaman dan terawat. Di beberapa meja bundar tersaji banyak makanan berupa pizza, ayam goreng, pasta, dan kentang goreng.

Woaahhh~ bos ulang tahun, ya?” Si Nomor Lima berdecak kagum. Pas sekali dia belum makan malam dan baru saja menghabisi sekelompok begal yang meresahkan warga beberapa hari ini.

“Heh! Ulang tahun bos masih lama.” Nomor Empat menyahut cepat.

Sahutannya memancing tawa pria yang duduk di salah satu kursi di samping meja. Dia adalah si Bos. Topengnya putih polos bertulis angka romawi I (satu).

“Memangnya kamu tahu tanggal ulang tahun saya?”

Pertanyaan si Bos langsung mengundang tawa orang-orang yang berada di ruang makan. Jangankan tanggal ulang tahun Bos, nama dan wajahnya saja mereka tidak tahu.

“Hahaha, saya bercanda Bos.” Si Empat tertawa canggung.

Bos tersenyum. Dia adalah pemimpin dari grup yang dinamai Scorpion. Berbeda dengan Athrwa dan Gentala, mereka tidak punya wilayah. Scorpion juga tidak seterkenal mereka, karena yang orang-orang tahu mereka hanya geng motor biasa. Terkadang juga mereka dipanggil clown karena mayoritas anggota memakai topeng badut.

Scorpion juga sangat menjaga privasi. Mereka selalu menggunakan topeng dan kadang ada beberapa anggota yang merubah suara mereka—seperti Nomor Enam. Hanya Bos yang tahu siapa yang berada di balik topeng.

Yang tahu pasti berapa anggota resmi Scorpion cuma Bos dan orang-orang yang memiliki nomor. Bos sendiri bernomor satu dan orang yang paling bos percaya ada di nomor dua. Si ahli strategi ada di nomor tiga. Lalu nomor empat, lima, enam adalah orang-orang yang bos akui kemampuan bertarungnya.

“Nomor Dua yang memberi kalian makan malam. Tapi dia berhalangan hadir, jadi meminta saya untuk menyampaikan pesan. Silahkan duduk dulu.”

Semua orang yang bernomor duduk di kursi yang satu meja dengan bos. Sedangkan yang tidak, duduk di kursi yang berada di meja lain.

“Mungkin beberapa kalian sudah tahu. Dua malam yang lalu ada satu anggota Scorpion yang ditangkap Gentala. Sampai sekarang saya belum tahu bagaimana kabarnya, tapi Dua sudah berusaha untuk mendapatkan anggota kita kembali.”

Orang-orang yang hadir langsung heboh. Beberapa dari mereka berbisik satu sama lain, beberapa lagi bersorak heboh.

Bos lanjut bicara dengan suara yang lebih lantang, “Dua berpesan agar kalian tidak gegabah saat menjalankan tugas. Jangan sampai ada orang yang tahu dengan identitas kalian, bahkan dengan sesama anggota. Scorpion tidak akan bertanggung jawab jika kalian tertangkap polisi.”

“Kalian juga dilarang membuka mulut pada siapapun jika ditanyai tentang Scorpion. Jika satu saja informasi Scorpion diketahui orang-orang luar, maka detik itu juga Scorpion bubar.”

Seluruh anggota terdiam. Mereka melihat satu sama lain sebelum kembali fokus dengan yang dikatakan Bos.

“Kalian boleh pulang setelah makan malam selesai. Tapi untuk Nomor Enam, kamu tinggal dulu karena ada yang perlu kita bicarakan.”

Enam mengangguk, “Siap, Bos.”

tw // violence , mention of blood

Brian tadi bertukar pesan dengan Jenan. Berarti jika ia langsung menyusul ke warung Buk Mirna—pemilik warung yang berada di sebelah sekolah—Brian bisa bertemu dengan Wisnu.

Tangannya sudah mengepal kuat selama berjalan. Emosinya sudah sampai di ubun-ubun bahkan sebelum melihat Wisnu di depan matanya.

“Wisnu!” Suara penuh emosi Brian segera memenuhi warung. Semua siswa yang berada disana menoleh, termasuk orang yang dipanggil.

Wisnu sedang mengunyah jajanan yang baru saja dia beli. Seringai muncul di wajahnya yang masih sedikit lebam karena dipukul Jupiter kemarin. “Wah, padahal baru aja kacung lo pergi. Sekarang lo udah sampe disini.”

Brian tahu yang dimaksud Wisnu kacung itu adalah Jenan.

“Ikut gua sekarang kalau nggak mau rahasia lo kebongkar di depan kepala sekolah.”

Ekspresi wajah Wisnu langsung tidak bersahabat. “Ha? Gimana maksudnya?”

“Ikut gua kalau mau tahu. Tapi itupun kalau lo nggak takut, sih.” Brian mengulas senyum tipis sebelum beranjak pergi menjauhi warung. Dia membawa Wisnu ke belakang deretan ruko yang belum disewa.

Sesuai dugaan, Aldo juga mengikuti walau hanya Wisnu yang ditantang. Tipe anjing yang setia.

“Ternyata lo punya nyali, ya. Padahal gua Brian Gibson, loh.” Brian sengaja membuat nada menyebalkan untuk memancing emosi lawan yang ada di depan sana.

Wisnu meludah, “cuih! Jangankan elu, Nakula pun masih belum apa-apanya buat gua.”

Brian mengulum bibirnya, hendak tertawa. Sampai saat ini dugaan Brian tentang orang yang bisa menandingi Nakula cuman tiga besar Gentala. Dia bahkan belum pernah sekalipun menang melawan kakaknya yang paling menyebalkan itu. Apalagi Wisnu yang melawan Jupiter saja sudah kewalahan.

“Ya udah kalau nggak takut. Sini serang gua.” Brian menggerakan jari seolah meminta Wisnu mendekat.

Pemuda di depan sana meraung kesal. Dia belari sambil mengayunkan tangan hendak menonjok Brian.

Lihat, awalannya saja sudah terlalu banyak celah.

Brian mengelak ke bawah setelah pukulan Wisnu sudah mendekati pipinya. Dia memeluk pinggang anak itu lalu mendorongnya ke depan. Membuat punggung Wisnu membentur tanah berbatu.

“Akh!”

Selanjutnya Brian menarik kerah Wisnu, hendak mencekik. Namun sudut matanya berhasil menangkap pergerakan Aldo yang mengayunkan kayu ke arahnya.

Brian menghindar ke sisi lain tubuh Wisnu. Anak itu mungkin butuh waktu untuk berdiri. Aldo kembali mengayunkan kayu—yang merupakan patahan kaki meja—untuk memukul. Brian kembali mengelak sembari membenarkan posisi berdirinya.

“Nggak usah sombong, anjing! Lo kalau dikeroyok juga pasti bakal kalah.” Aldo berteriak.

Brian kembali mengelak dari pukulan. Kali ini dia langsung merebut pemukul dan menghantam wajah Aldo menggunakan siku. Pemuda itu terhuyung sambil melangkah mundur. Dia memegang hidungnya yang mengucurkan darah.

Wisnu sudah selesai dari istirahatnya. Dia mengambil batu dan langsung menyerang Brian dari belakang. Batu itu hampir menghantam kepala bagian belakang Brian jika pemiliknya tidak berbalik untuk balas menghantam kepala Wisnu.

Pukulan itu membuat Wisnu terkapar sebentar. Kepalanya mulai berdarah, tapi dia tetap berdiri dan mulai menyerang lagi. Brian dengan senang hati memukul anggota tubuh yang lain. Perut, lengan, punggung, dan kaki.

Aldo tidak berani mendekat. Dia hanya ketakutan melihat ketuanya dipukuli habis-habisan.

Sampai beberapa menit berlalu. Wisnu sudah tidak bisa berdiri lagi. Tanah yang mereka injak sudah dipenuhi bercak darah. Brian melepas kaki meja tadi sebelum menoleh ke arah Aldo. Pemuda itu langsung berlari, tapi Brian tidak akan melepaskannya.

Belum sampai Aldo keluar dari wilayah di belakang ruko tapi tubuhnya sudah tersungkur karena Brian menerjang dari belakang. Kini tubuh tinggi pemuda itu tengah menduduki punggungnya.

“Masa tikus mau lari dari kucing.” Brian berbisik di telinga mangsanya. Membuat Aldo ngeri.

Brian menarik rambut Aldo sebelum beranjak dari atas tubuh anak itu. Dia arahkan Aldo untuk berlutut lalu memukul wajah anak itu berkali-kali. Brian tidak puas jika Aldo cuman menangis, dia ingin Aldo memohon ampun mewakili kedua temannya yang lain.

“A- ampwuun..”

Buagh.

Setelah mendaratkan satu pukulan terakhir. Brian menarik kerah Aldo. “Apa tadi? Ampun?”

Aldo mengangguk cepat. Matanya sudah tidak bisa melihat dengan jelas karena wajahnya membengkak.

Plak.

“Kurang ajar. Memang kalian langsung berhenti waktu anak-anak yang kalian pukul minta ampun?”

Plak.

“Jawab!”

Bugh.

Aldo gemetar. Air matanya mengalir deras, “ampwun! Ampwun... K-kwami salaahh.”

Plak.

Tamparan terakhir Brian daratkan. Dia langsung berdiri membiarkan Aldo terduduk sambil terisak-isak. Anak itu merunduk seolah sedang sujud di hadapan Brian.

“Ampwuni kwamii.. jangan pwukul lagi—hiks.”

Brian tidak menjawab. Dia mengusap wajahnya lalu pergi meninggalkan Aldo yang sedang menangis. Gemuruh di dadanya tidak berhenti walaupun amarahnya sudah terlampiaskan. Brian sama sekali tidak lega.

Langkahnya terasa berat seiring suara tangis Aldo yang menghilang dari indera pendengarnya.

Dia tidak salah.

Tidak perlu merasa bersalah.

Orang-orang yang dia pukuli adalah orang jahat, tidak perlu merasa bersalah.

Tapi bagaimanapun caranya, Brian tidak mampu meyakinkan diri sendiri. Dia juga jahat. Membuat anak seumurannya menangis sampai memohon ampun seperti tadi.

Bukannya ini sama saja dengan kekerasan yang dilakukan Wisnu pada Chandra?

Atau berbeda karena tujuan Brian untuk membela korban?

Brian tidak tahu. Dia tidak bisa menghilangkan rasa bersalahnya seperti yang dilakukan Bang Na tiap kali selesai menghabisi musuh.

“Kalau nggak dibikin sampai hampir mampus, mereka pasti bakal balik lagi buat bales dendam. Lo harus bisa bikin lawan takut bahkan cuman buat denger suara langkah lo.”

Itu kalimat Nakula setelah mengajari Brian bagaimana cara menang melawan preman di pasar. Saat itu Brian ragu untuk membuat lawannya pingsan. Tapi sekarang dia bahkan tidak ragu lagi walau lawannya pingsan, menangis tersedu-sedu, bahkan memohon-mohon seperti tadi.

Tetapi rasa bersalahnya tidak pernah hilang.

tw // bullying , mention of violence , post traumatic

Brian melihat ponsel untuk ke sekian kalinya. Sudah lebih dari lima menit dia menunggu. Brian tidak suka menunggu. Kalau bukan karena demi Jupiter dia pasti sudah kembali ke kelas dan membatalkan pertemuan dengan Chandra.

Setelahnya Brian menghela nafas, tubuh disandarkan ke dinding bangunan olahraga. Dia melihat langit biru yang hanya dihias beberapa awan. Siang ini sangat terik, jemuran di rumah pasti kering. Walaupun yang mencuci baju itu tugas Yandra, tapi Brian tetap membantu saat melipat pakaian. Jadi biasanya dia senang kalau baju kering sesuai jadwal, karena tidak perlu menambah lipatan di hari berikutnya.

“B-brian?”

Merasa terpanggil, Brian langsung menoleh. Dia melihat Chandra berdiri sekitar satu meter di sebelahnya. Anak itu menunduk setelah bertemu pandang, tangannya juga langsung menyentuh ujung bajunya.

“Iya, duduk sini.” Brian menepuk kursi kayu yang ia sediakan untuk Chandra.

Pemuda yang baru datang mengangguk ragu, lalu duduk di atas kursi. Tangannya masih sibuk memilin-milin ujung seragamnya. Brian baru tahu kalau anak ini ternyata sangat pemalu, jadi untuk mencairkan suasana dia berinisiatif menyentuh pundak Chandra.

Di luar dugaan, anak itu tersentak dan langsung menjaga jarak. Dahi Brian berkerut dalam. Reaksi barusan jelas bukan karena Chandra anak yang pemalu. Anak itu menjauh karena takut. Lihat tangannya yang gemetar itu, juga kepala yang semakin tertunduk.

“Chandra?”

“Ya?” Chandra menoleh sedikit.

“Kenapa takut?”

“Eh? Engga kok.” Dia menggeleng kuat lalu tersenyum setelah sendikit mengangkat kepala.

Brian balas tersenyum. Dia harus fokus dengan masalah Jupiter, jangan sampai menemukan masalah baru hanya karena dia bersimpati dengan Chandra.

“Aku mau tanya-tanya soal Jupiter, boleh?”

Chandra mengangguk, “iya, boleh. Mau tanya apa?”

Brian baru saja membuka mulut, tapi tidak jadi karena dari balik kerah baju Chandra yang terbuka dia bisa melihat ruam kebiruan.

Anak ini dipukuli?

Setelah diperhatikan lagi, pakaian Chandra memang lebih tertutup dari seragam biasa. Dia memakai lengan panjang yang bahkan hampir menutupi telapak tangannya. Kerahnya pun mungkin terbuka karena dia melonggarkan dasi.

“Sebentar.” Brian menarik tangan Chandra lalu langsung membuka kancing lengan anak itu untuk menggulungnya hingga siku. Empunya sempat melawan, tapi Brian menahan.

Benar saja dugaannya. Di sepanjang lengan Chandra ada ruam biru keunguan juga bekas luka yang masih baru. Brian melihat wajah Chandra yang kini memerah, seperti menahan tangis.

“Siapa yang bikin lo sampe begini?”

Chandra menggeleng. Jika dia sampai memberitahu, bisa-bisa di hari selanjutnya dia tidak sanggup hidup lagi.

“Ng-nggak ada. Ini jatoh dari tangga.”

“Jangan bohong. Jelas-jelas ini bekas dipukul.”

Air mata Chandra mulai menumpuk. Dia tidak mau memberitahu, tapi dia takut Brian marah. Dari yang pernah Chandra dengar, Brian itu paling menyeramkan saat marah.

“Bukan kok.” Chandra perlahan menarik tangannya lalu kembali menurunkan lengan baju.

Brian menghela nafas. Dia bisa saja mengabaikan Chandra, tapi dia tidak bisa kalau sampai tidak tidur karena kepikiran. Jadi dia berdiri di depan pemuda itu, lalu menarik kerahnya.

“Ngapain?”

Chandra cemas. Dia menahan tangan Brian yang berada di kerah. Sorot mata lelaki di depan sana begitu menyeramkan, seolah Brian bisa kapan saja menerkam bila ia melawan.

Brian membuka kemeja Chandra untuk memastikan lebam yang berada di leher anak itu. Tapi ternyata luka yang Chandra miliki jauh dari perkiraan Brian.

Itu benar-benar ada di sekujur tubuh. Walaupun Chandra memakai singlet, tapi Brian tahu di balik kain putih itu masih ada lebam-lebam yang lain.

Mendadak perut Brian melilit. Dia mau muntah sebab detak jantungnya meningkat pesat. Bayang-bayang saat di panti dulu juga langsung menyapa kepalanya.

Awal mula dia tahu alasan kenapa bisa hidup enak di panti. Padahal anak-anak lain harus susah payah kerja untuk sekedar mendapat makan. Alasan pemilik panti begitu memuja-muja paras tampannya. Alasan kenapa Dia perlu menjaga pola makan dan rajin olahraga.

Brian pusing. Dia kembalikan kemeja milik Chandra lalu duduk di tempatnya lagi. Kedua siku dia tumpu di paha sambil telapak tangannya mengusap wajah.

“Siapa pelakunya?”

Chandra tidak menjawab.

Brak.

Brian yang geram menendang rongsokan kursi bekas yang berada di sebelah kanannya.

“Jawab, Ndra. Gua paling nggak suka didiemin.” Brian melirik Chandra.

Anak itu gemetar hebat. Dia takut.

Brian menghela nafas. Ini seperti saat pertama kali dia tahu ternyata pemilik panti sering memukuli Jupiter.

“Jangan takut. Gua bakal ngelindungin lo.” Brian raih kedua pundak Chandra. Ia usap lalu menepuk-nepuknya pelan. “Jupiter juga bilang gitu, kan? Jadi kasih tahu gua, biar orangnya nggak berani ngeliat muka lo lagi.”

Chandra menangis. Selama tiga hari ini kehidupan sekolahnya seperti di neraka. Dia tidak bisa mengadu ke orang tuanya karena pihak sekolah hanya akan memberi hukuman seadanya pada pelaku kekerasan di sekolah. Tubuhnya semakin gemetar, membuat Brian tidak tega dan segera memeluknya.

“Nggak apa-apa. Nangis aja dulu, tapi ntar harus kasih tahu ke gua siapa yang bikin lo sampe kaya gini.” Brian mengusap punggung gemetar Chandra. Dia juga mengusap rambut pemuda itu.

Ini persis seperti saat pertama kali Jupiter menangis di pelukannya.

“Bunda panti jahat.” adu Jupiter saat itu.

Brian biarkan kemeja sekolahnya basah karena air mata atau mungkin ingus? Dia tidak peduli.

Brian tahu bagaimana tersiksanya anak ini. Hidup Brian mungkin memang jauh lebih keras, tapi dia punya tiga orang kakak yang siap menghapus semua penjahat yang berani melukainya.

Tapi Chandra seolah tidak punya yang seperti itu. Tidak punya tempat mengadu yang akan melindunginya. Dia kelilingi banyak orang, tapi tetap merasa sendirian.

“W-wisnu—hiks.”

Alis Brian naik. Oh, ternyata Wisnu. Orang yang memprovokasinya saat berada di ruang BK. Ternyata anak itu jauh lebih sampah dari yang terlihat.

“Selain dia ada siapa lagi?”

Chandra sesegukan. Dia berusaha bernafas sebelum menjawab pertanyaan Brian. “Ada Revi sama Aldo.”

“Oohh, oke. Makasih karena udah berani ngasih tahu. Hari ini mereka pasti dapat balasan yang setimpal, tapi lo masuk kelas dulu ya. Hapus air matanya.”

Chandra mengangguk. Dia usap matanya yang masih berair sebelum pamit pergi. Meninggalkan Brian yang rahangnya sudah mengeras. Detik ini juga dia akan mencari dimana Wisnu.

tw // bullying , mention of violence , post traumatic

Brian melihat ponsel untuk ke sekian kalinya. Sudah lebih dari lima menit dia menunggu. Brian tidak suka menunggu. Kalau bukan karena demi Jupiter dia pasti sudah kembali ke kelas dan membatalkan pertemuan dengan Chandra.

Setelahnya Brian menghela nafas, tubuh disandarkan ke dinding bangunan olahraga. Dia melihat langit biru yang hanya dihias beberapa awan. Siang ini sangat terik, jemuran di rumah pasti kering. Walaupun yang mencuci baju itu tugas Yandra, tapi Brian tetap membantu saat melipat pakaian. Jadi biasanya dia senang kalau baju kering sesuai jadwal, karena tidak perlu menambah lipatan di hari berikutnya.

“B-brian?”

Merasa terpanggil, Brian langsung menoleh. Dia melihat Chandra berdiri sekitar satu meter di sebelahnya. Anak itu menunduk setelah bertemu pandang, tangannya juga langsung menyentuh ujung bajunya.

“Iya, duduk sini.” Brian menepuk kursi kayu yang ia sediakan untuk Chandra.

Pemuda yang baru datang mengangguk ragu, lalu duduk di atas kursi. Tangannya masih sibuk memilin-milin ujung seragamnya. Brian baru tahu kalau anak ini ternyata sangat pemalu, jadi untuk mencairkan suasana dia berinisiatif menyentuh pundak Chandra.

Di luar dugaan, anak itu tersentak dan langsung menjaga jarak. Dahi Brian berkerut dalam. Reaksi barusan jelas bukan karena Chandra anak yang pemalu. Anak itu menjauh karena takut. Lihat tangannya yang gemetar itu, juga kepala yang semakin tertunduk.

“Chandra?”

“Ya?” Chandra menoleh sedikit.

“Kenapa takut?”

“Eh? Engga kok.” Dia menggeleng kuat lalu tersenyum setelah sendikit mengangkat kepala.

Brian balas tersenyum. Dia harus fokus dengan masalah Jupiter, jangan sampai menemukan masalah baru hanya karena dia bersimpati dengan Chandra.

“Aku mau tanya-tanya soal Jupiter, boleh?”

Chandra mengangguk, “iya, boleh. Mau tanya apa?”

Brian baru saja membuka mulut, tapi tidak jadi karena dari balik kerah baju Chandra yang terbuka dia bisa melihat ruam kebiruan.

Anak ini dipukuli?

Setelah diperhatikan lagi, pakaian Chandra memang lebih tertutup dari seragam biasa. Dia memakai lengan panjang yang bahkan hampir menutupi telapak tangannya. Kerahnya pun mungkin terbuka karena dia melonggarkan dasi.

“Sebentar.” Brian menarik tangan Chandra lalu langsung membuka kancing lengan anak itu untuk menggulungnya hingga siku. Empunya sempat melawan, tapi Brian menahan.

Benar saja dugaannya. Di sepanjang lengan Chandra ada ruam biru keunguan juga bekas luka yang masih baru. Brian melihat wajah Chandra yang kini memerah, seperti menahan tangis.

“Siapa yang bikin lo sampe begini?”

Chandra menggeleng. Jika dia sampai memberitahu, bisa-bisa di hari selanjutnya dia tidak sanggup hidup lagi.

“Ng-nggak ada. Ini jatoh dari tangga.”

“Jangan bohong. Jelas-jelas ini bekas dipukul.”

Air mata Chandra mulai menumpuk. Dia tidak mau memberitahu, tapi dia takut Brian marah. Dari yang pernah Chandra dengar, Brian itu paling menyeramkan saat marah.

“Bukan kok.” Chandra perlahan menarik tangannya lalu kembali menurunkan lengan baju.

Brian menghela nafas. Dia bisa saja mengabaikan Chandra, tapi dia tidak bisa kalau sampai tidak tidur karena kepikiran. Jadi dia berdiri di depan pemuda itu, lalu menarik kerahnya.

“Ngapain?”

Chandra cemas. Dia menahan tangan Brian yang berada di kerah. Sorot mata lelaki di depan sana begitu menyeramkan, seolah Brian bisa kapan saja menerkam bila ia melawan.

Brian membuka kemeja Chandra untuk memastikan lebam yang berada di leher anak itu. Tapi ternyata luka yang Chandra miliki jauh dari perkiraan Brian.

Itu benar-benar ada di sekujur tubuh. Walaupun Chandra memakai singlet, tapi Brian tahu di balik kain putih itu masih ada lebam-lebam yang lain.

Mendadak perut Brian melilit. Dia mau muntah sebab detak jantungnya meningkat pesat. Bayang-bayang saat di panti dulu juga langsung menyapa kepalanya.

Awal mula dia tahu alasan kenapa bisa hidup enak di panti. Padahal anak-anak lain harus susah payah kerja untuk sekedar mendapat makan. Alasan pemilik panti begitu memuja-muja paras tampannya. Alasan kenapa Dia perlu menjaga pola makan dan rajin olahraga.

Brian pusing. Dia kembalikan kemeja milik Chandra lalu duduk di tempatnya lagi. Kedua siku dia tumpu di paha sambil telapak tangannya mengusap wajah.

“Siapa pelakunya?”

Chandra tidak menjawab.

Brak.

Brian yang geram menendang rongsokan kursi bekas yang berada di sebelah kanannya.

“Jawab, Ndra. Gua paling nggak suka didiemin.” Brian melirik Chandra.

Anak itu gemetar hebat. Dia takut.

Brian menghela nafas. Ini seperti saat pertama kali dia tahu ternyata pemilik panti sering memukuli Jupiter.

“Jangan takut. Gua bakal ngelindungin lo.” Brian raih kedua pundak Chandra. Ia usap lalu menepuk-nepuknya pelan. “Jupiter juga bilang gitu, kan? Jadi kasih tahu gua, biar orangnya nggak berani ngeliat muka lo lagi.”

Chandra menangis. Selama tiga hari ini kehidupan sekolahnya seperti di neraka. Dia tidak bisa mengadu ke orang tuanya karena pihak sekolah hanya akan memberi hukuman seadanya pada pelaku kekerasan di sekolah. Tubuhnya semakin gemetar, membuat Brian tidak tega dan segera memeluknya.

“Nggak apa-apa. Nangis aja dulu, tapi ntar harus kasih tahu ke gua siapa yang bikin lo sampe kaya gini.” Brian mengusap punggung gemetar Chandra. Dia juga mengusap rambut pemuda itu.

Ini persis seperti saat pertama kali Jupiter menangis di pelukannya.

“Bunda panti jahat.” adu Jupiter saat itu.

Brian biarkan kemeja sekolahnya basah karena air mata atau mungkin ingus? Dia tidak peduli.

Brian tahu bagaimana tersiksanya anak ini. Hidup Brian mungkin memang jauh lebih keras, tapi dia punya tiga orang kakak yang siap menghapus semua penjahat yang berani melukainya.

Tapi Chandra seolah tidak punya yang seperti itu. Tidak punya tempat mengadu yang akan melindunginya. Dia kelilingi banyak orang, tapi tetap merasa sendirian.

“W-wisnu—hiks.”

Alis Brian naik. Oh, ternyata Wisnu. Orang yang memprovokasinya saat berada di ruang BK. Ternyata anak itu jauh lebih sampah dari yang terlihat.

“Selain dia ada siapa lagi?”

Chandra sesegukan. Dia berusaha bernafas sebelum menjawab pertanyaan Brian. “Ada Revi sama Aldo.”

“Oohh, oke. Makasih karena udah berani ngasih tahu. Hari ini mereka pasti dapat balasan yang setimpal, tapi lo masuk kelas dulu ya. Hapus air matanya.”

Chandra mengangguk. Dia usap matanya yang masih berair sebelum pamit pergi. Meninggalkan Brian yang rahangnya sudah mengeras. Detik ini juga dia akan mencari dimana Wisnu.

tw // violence , blood , mention of blood

Laki-laki di depan sana—Jenan ingat namanya Revi—berjalan mendekat. “Gua bukan tipe orang penyabar, jadi mending lo tutup mulut atau gua hajar sampai mampus?”

“Tutup mulut dari apa? Gua udah bilang, kan, kalau gua nggak tahu apa-apa.” Jenan bergerak untuk membuka salah satu bilik wc, namun tangannya ditahan.

Revi menggeram, “gua udah bilang, kan? Kalau gua bukan orang yang sabar.”

Rahang Jenan mengeras. Ia menghela nafas lalu menarik tangannya. “Jadi lu pikir gua termasuk orang yang sabar?” Jenan menahan diri agar tetap tenang sambil melepas kaca matanya untuk disimpan ke dalam saku.

Revi tersenyum remeh, “ohh, secara nggak langsung lo bilang kalau memang denger sesuatu, ya?”

Jenan balas tersenyum sampai kedua matanya menyipit bagai bulan sabit. “Iya, gua denger.”

Buagh.

Kepala hingga sebagian tubuh atas Jenan terhuyung ke kanan. Sudut bibirnya terluka hingga membuat darah masuk ke mulut dan menyatu dengan liurnya. Ternyata pukulan si pesuruh Wisnu itu kencang juga.

Cuih.

Jenan meludah ke lantai toilet, dia kembali melihat Revi setelah kerahnya ditarik. Nafas keduanya memburu sebab emosi yang naik sampai ke ubun-ubun.

“Lu ngapain, sih?” Jenan menarik ujung bibirnya ke atas, menampilkan seringai kecil yang nampak begitu menghina di mata lawannya.

“Ni anak nggak ngerti situasi ya? Mau gua hajar sampe mampus?”

Jenan mendengus, “emang bisa?”

Duagh.

Pukulan kedua mendarat di perut Jenan. Namun pemuda itu tidak beraksi sedikit pun. Revi yakin sekali dia baru saja memukul perut, tapi kenapa bisa sekeras ini?

Dugh.

Satu pukulan kembali mendarat di perut Jenan. Empunya tetap tidak bereaksi, tubuhnya tetap tegap. Kali ini Revi tersadar, ternyata dia memilih lawan yang salah. Keringat mengalir di pelipisnya, tengkuknya merinding, dan instingnya meminta Revi untuk segera lari.

Jenan mendorong Revi hingga pemuda itu menjauh. Dia membuka kancing baju satu persatu, lalu membukanya dan menggantung kemeja di atas pintu wc.

Kini di mata Revi orang di hadapannya bukanlah anak SMA. Otot-otot di badan itu terbentuk sempurna, ada beberapa luka sayatan di beberapa tempat, lalu tato kalajengking di perut sebelah kiri. Jenan meregangkan tubuhnya sembari berjalan mendekati Revi.

Revi yang merasa terancam melangkah mundur.

“Tadi lu mukul gua tiga kali, kan?” Dia mengusap bibir yang masih ada bercak darah. “Sekarang giliran gua.” Jenan menarik kerah Revi lalu menampar pipi teman seangkatannya itu sebanyak tiga kali.

Plak.

Plak.

Plak.

Revi yakin tamparannya hanya sebanyak tiga kali, tapi pipinya terasa sangat kebas. Belum lagi pipi bagian dalamnya lecet karena membentur gigi.

“Tadi, lu juga bilang bakal ngehajar gua sampai mampus, kan?”

Plak.

Tamparan kembali mendarat. Jenan melepas cengkraman di kerah Revi, membuat anak itu terhuyung sembari melangkah mundur. Tubuhnya gemetar dan matanya yang berair menatap takut pemuda di depannya.

Jenan menyeringai, “ayo sini pukul gua. Kalau berhasil kena gua janji bakal tutup mulut.”

Revi menggeleng kuat, selanjutnya dia berlutut di depan Jenan. “A-ampun. Gua salah! Tolong maafin gua.”

Bukannya menjawab, Jenan malah menendang Revi hingga pemuda itu tersungkur ke samping. Dia jambak rambut pesuruh Wisnu itu agar kepalanya mendongak.

“Gua maafin tingkah sok lo tadi, tapi habis ini kalau Wisnu nanya kenapa bisa sampai babak belur. Lo jawab aja Jupiter yang mukul.”

Jenan menyeringai lebar, “bilang, kalau Jupiter udah tahu dan dia bakal ngehabisin kalian semua termasuk Dewa.”

Air mata Revi kembali mengalir keluar. Niat awal dia hendak menghabisi si cupu yang lancang menguping obrolan mereka, tapi kenapa sekarang malah dia yang jadi 'si cupu'. Beruntung, toilet yang berada disini jarang didatangi karena airnya selalu mati. Jadi Revi tidak perlu kehilangan muka di depan murid yang lain.

“Woi! Ngerti nggak?” Jenan hendak memukul lagi, namun Revi segera mengangguk.

“I-iya, iya, ngerti. Gua bakal sampein ke Wisnu sesuai dengan apa yang lo bilang.”

Jenan tersenyum, lalu melepas rambut Revi. “Oke, bagus.”