awnyaii

Lea dan kedua anak kembarnya (yang sebenarnya tidak kembar, kalian bisa baca cerita lengkapnya sendiri, yaa...) duduk di tempat tidur Lea. Kini, Lea ada di hadapan Mevin dan Jevin. Tanpa suara, ketiganya saling menggenggam tangan satu sama lain, Jevin dan Mevin memusatkan pandang ke sosok Mama mereka itu, dan Lea bergantian menatap tajam mata kedua anaknya.

Perlahan suara music dan lagu “Dunia Tipu-Tipu” dari Yura Yunita mengalun lirih. Binar mata Lea dan iringan lagu yang ada nyatanya langsung bisa memikat dan membuat kedua anaknya itu seakan tercekat. Tak ada sekat diantara mereka bertiga. Jauh dari segala bising yang ada. Arus rasa sendu mulai mengalun pelan. Ketiganya terhanyut dalam kelana pikiran masing-masing.

Di dunia tipu-tipu Kamu tempat aku bertumpu Baik jahat abu-abu Tapi warnamu putih untukku Hanya kamu yang mengerti Gelombang kepala ini

Lea─seorang Ibu, juga seorang istri yang dulunya kehidupannya tidak semenyenangkan itu. Bak pohon dengan daun yang terus berguguran, terus gugur dikeruk kekeringan. Banyak hal yang Lea hadapi selama pernikahan bahkan setelah memiliki tiga orang anak. Juga saat ia harus kehilangan salah satu buah hatinya dan digantikan oleh kehadiran Mevn yang mengubah kehidupan seluruh keluarga Adrian.

Kelopak rasa sedih yang gugur kini dikumpulkan jadi satu menjadi sebuah tapak kehidupan setelahnya. Mengiringi langkah kehidupan keluarga Adrian ke depannya. Untuk Lea, kedua anaknya ini memang memiliki jalan kehidupannya masing-masing. Keduanya juga memang menguji ketabahan hati Lea. Luka demi luka tersimpan rapat di hati anak-anaknya tu. Lea tahu, Jevin menyimpan luka dan rasa bersalah dari masa lalu dimana Jevin pernah menyakiti dan menghancurkan hati keluarganya. Jevin pernah melakukan hal yang tidak pantas ia lakukan di usianya saat itu. Lea dan Jeremy kala itu hancur bukan main, terkadang memang sekuat apapun orang tua mendisiplinkan anaknya, pilihan itu akan ada di tangan anak itu sendiri. Untuk saat ini, Lea bersyukur anak-anaknya sudah tumbuh dewasa dan tumbuh dengan baik, tidak mengulang kesalahan yang fatal.

Keduanya sudah bekerja dan masing-masing sudah memiliki tambatan hati. Waktu bergulir, Lea menyadarinya membuat Lea merasakan matanya panas karena ia merasa ia bertambah usia. Anak-anak yang semula ia gendong kini sudah hampir melabuhkan hati dan membangun keluarganya masing-masing.

Puja puji tanpa kata Mata kita yang bicara Selalu nyaman bersama Janji takkan ke mana-mana Untuk Jevin, memandang mata Mamanya sedekat ini juga membuatnya terharu, pada suatu titik terhancur dalam hidupnya, Lea masih datang sebagai seorang ibu yang merangkulnya, bahkan Lea meminta maaf kalau Lea kurang cakap dan kurang mumpuni sehingga Jevin bisa lari ke hal-hal itu. Hancur hati Jevin, serta mengingat perjuangan Lea saat melahirkannya. Harus bertaruh nyawa dimana seseorang berencana membunuh Lea kala itu. Tapi Mamanya itu selamat dan Jevin bisa lahir ke dunia. Akal sehat Jevin tak sampai untuk menerka dan menghitung berapa banyak duka yang tersirat di kehidupan Mamanya itu. Hati Jevin juga pilu saat mengingat ia pernah berdebat hebat dengan Mevin, Jevin kala itu yang masih sulit untuk berdamai dengan keadaan dan dengan amarah yang membara dengan tidak berpikir terlebih dahulu mengatakan bahwa Mevin adalah anak pungut. Hal itu menghancurkan hati Mevin.

Genggaman tangan Jevin semakin kuat untuk keduanya, entah dalam menggenggam tangan Mamanya atau saudara kembarnya itu. Jevin tidak bisa menahan air matanya, beberapa tetes air mata jatuh ia biarkan, Lea menyadari anaknya itu menangis tapi Lea tahan dirinya, Lea hanya melipat bibirnya dan menggenggam tangan anaknya itu terus. Lea juga mengusap lembut punggung tangan Jevin dengan ibu jarinya. Seakan menenangkan Jevin dan mengatakan “jangan menangis”.

Puja puji tanpa kata Mata kita yang bicara Selalu nyaman bersama Janji takkan ke mana-mana

Sementara Mevin, menyadari saudara kembarnya itu menangis, ia juga sebenarnya sudah tidak kuat. Tapi ia coba bertahan, sejauh mana ia bisa bertahan? Mevin kembali berkelana jauh di pikirannya, hingga sampai di belantara ingatan yang membawanya kembali bagaimana Mamanya itu tersenyum dan menangis karenanya. Menangis saat melepas kepergian Mevin menuntut ilmu dan tinggal bersama ayah kandungnya, air mata Mamanya saat ia mengalami kelumpuhan dan tidak bisa berjalan, dan senyum yang selalu Mamanya berikan untuk memberi kekuatan juga kepada Mevin meski sama-sama hancur. Hati seorang ibu mana yang tidak hancur melihat anaknya berada di titik terendah? Hati anak mana yang tidak hancur juga melihat senyum palsu Mamanya dan air mata sebenar-benarnya saat sudah hilang dari pandangan?

Mata Mevin sudah berkaca-kaca hingga di akhir lagu, Mevin tahan kuat-kuat seluruh air mata yang mengantre. Sebab tak ada yang lebih Mevin syukuri di dunia ini selain setelah dilahirkan, ia dibesarkan di keluarga ini. Segala nestapa di masa lalu tentang Ayah kandungnya yang tidak mau mengakui kelahiran Mevin ditepis jauh, hilangkan seluruh dendam, karena kini Ayahnya pun sudah menerima bahkan memberikan kasih sayang penuh. Kasih sayang itu Mevin terima dari keluarga Adrian dan juga keluarga Ayah kandungnya.

Beberapa kali juga Mevin hampir kehilangan keluarganya lagi tapi, Tuhan Maha baik ia kembalikan semua dan berikan semua kebahagiaan tepat pada waktunya. Pada binar mata Mamanya, Mevin jumpai arti keikhlasan dan kekuatan yang sebenarnya. Selama ini Mevin juga Jevin sadar bahwa mereka terlalu malu mengungkapkan rasa sayang kepada Mamanya. Maka tanpa sepengetahuan Lea, hari ini Mevin dan Jevin sudah menyiapkan satu lagu lagi yang sudah mereka siapkan untuk Mamanya. Setelah lagu dunia tipu-tipu selesai mengalun, Lea kira semuanya sudah selesai.

Tapi, saat Lea melepaskan genggaman tangan, Mevin dan Jevin tetap menjaga genggaman tangan itu, Lea sedikit heran hingga akhirnya Lea mendengar alunan lagu yang lain. Sebuah lagu berjudul “Doa seorang anak”.

Di dalam doamu kau sebut namaku Di dalam harapmu kau sebut namaku D dalam segala hal namaku di hatimu Tak dapat ku balas cintamu ayahku Tak akan ku lupakan nasehatmu Ibu Hormati orang tuamu agar lanjut umurmu di bumi

Saat lagu itu mengalun, Lea tidak bisa lagi menahan air matanya, ia tertunduk sejenak di hadapan kedua anaknya itu sedikit terisak hingga isakan itu juga menyayat hati Jevin serta Mevin.

Terima kasih ayah dan ibu Kasih sayangmu padaku Pengorbananmu meneteskan peluh untuk kebahagiaanku

Tuhan lindungi ayah ibuku Dalam doa ku berseru Tetes air matamu yang kau tabur dituai bahagia...

Mevin tutupi rasa haru dengan senyuman saat Lea menatapnya. Bendungan air mata ia tahan mati-matian, begitu juga dengan Jevin. Tepat sebelum air mata Jevin turun, ia mengerjapkan mata berkali-kali agar Mamanya tidak melihatnya menangis. Saat lagu selesai mengalun, Lea langsung tertunduk, melepaskan genggaman tangan kedua anaknya karena ia gunakan telapak tangannya untuk menutup wajahnya yang basah karena air mata. Awalnya tak ada suara hingga akhirnya saat Jevin dan Mevin masing-masing mengelus pelan punggung Lea dari sebelah kanan dan kiri, Lea menangis sejadi-jadinya. Isakan tangisnya menggema, menembus rungu dan hati Mevin juga Jevin.

Akhirnya, Mevin dan Jevin memeluk Lea dari sisi kanan dan kiri, Lea langsung memeluk kedua anak kembarnya itu. Ketiganya meneteskan air mata bersamaan. Kalau harus berkisah, terlalu panjang, kalau harus bercerita terlalu sakit, kalau harus saling mendoakan biarlah itu terjadi seumur waktu. Kasih sayang yang Lea berikan tidak pernah kurang. Hingga saat merenggangkan pelukan, Jevin meraih tangan kanan Lea lalu mencium punggung tangan Mamanya itu, “Ma, mau seluruh dunia penuh dengan orang-orang yang menipu, mau seluruh dunia bilang kalau Mama bukan wanita baik-baik, mau seluruh dunia berlomba menjatuhkan Mama dan lihat keluarga kita hancur, satu hal yang harus Mama tahu. Mama Lea, Jevin bersyukur sama Tuhan karena udah lahir di keluarga ini dibesarkan Mama, kalau Mama diem-diem nangis dan di depan keluarga Mama senyum kadang Jevin tahu, Ma. Jevin mau berterima kasih sama Mama, udah rawat Jevin dari kecil sampai sekarang, sampai Jevin mau menikah. Ma, maaf kalau Jevin pernah hancurin hati Mama, maaf kalau Jevin belum sempat jadi anak yang berbakti sepenuhnya. Kebahagiaan Mama itu kebahagiaan Jevin, panjang umur ya Mama, biar bisa lihat kami anak-anak bahkan cucu Mama nanti bikin Mama bangga. Lea pun membelai kepala Jevin lembut sambil memaksakan senyum di atas tangis.

Kini giliran Mevin, ia meraih tangan Lea lalu ia kecup, “Ma ... terima kasih,” beberapa kata itu nyatanya membawa Mevin menangis, ia tidak bisa menahan lagi perasaannya. Mevin pun melanjutkan kata-katanya sambil menangis, “Mama, Mevin tahu Mevin nggak lahir dari rahim Mama, kalau bicara sosok Ibu, Cuma ada Mama di pikiran Mevin. Mama, waktu Mama sakit dan masuk ICU disitu Mevin nggak tahu harus gimana, Mevin nggak mau kehilangan sosok Mama lagi, Mevin sayang Mama, Papa, Cici Lauren bahkan Jevin. Mevin terlalu malu selama ini bilang sayang ke kalian, tapi setiap malam nama Papa, Mama, Cici dan Jevin yang Mevin bawa dalam doa. Makasih udah jadi Mama buat Mevin dan sayang sama Mevin tanpa perbedaan apapun di keluarga ini.”

Sejenak, Mevin menatap Jevin dan Jevin memberi isyarat mengangguk, kini, Mevin dan Jevin menatap tajam mata Lea, dan sebuah kalimat diucapkan Jevin serta mevin bersamaan, “kita sayang Mama Lea,” kata Jevin dan Mevin bersamaan. Lea sejenak tatap Mevin dan Jevin bergantian, Lea menggigit bibirnya lalu ucapkan kalimat yang terdengar bergetar, “Terima kasih anak-anak Mama,” kata Lea. Hal itu langsung disambut Jevin dan Mevin yang langsung memeluk Mamanya itu. Ketiganya tumpah dalam tangis bersama saat itu. Kehangatan dan kasih sayang seorang ibu kepada anak-anaknya, kasih sayang anak-anaknya kepada sosok ibu dapat mereka rasakan saat itu.

Tangan-tangan kecil Mevin dan Jevin yang Lea genggam saat mereka masih bayi kini sudah menjadi tangan gagah yang menjaga Lea dalam dekap dan peluk. Mevin dan Jevin tak henti sampaikan harap agar Tuhan memberikan panjang umur untuk Mamanya, seluruh keluarganya. Keluarga Adrian adalah bukti nyata bagaimana kasih itu ada dan diimbangi dengan keikhlasan, ketegaran, kekuatan, penerimaan, pengampunan─bukan sekedar memaafkan tapi mengampuni, didikan dari sosok Jeremy dan Lea sebagai ayah dan ibu yang selalu mengusahakan yang terbaik.

Sebagai anak, kadang kita merasa malu mengungkapkan rasa sayang kepada keluarga terlebih orang tua, tapi cobalah ambil satu waktu, katakan betapa bersyukurnya kalian, kalau masih terlalu malu, jangan lupa sebut nama setiap anggota keluarga di dalam doa.

Mevin yang baru saja usai menjalani kontrol karena tangannya yang saat itu patah karena suatu insiden diantar pulang oleh Jevin, saudara kembarnya. Mevin meninggalkan Grace di rumah bersama anak pertamanya dan ini masih dalam minggu pertama pasca Grace melahirkan. Mevin paham betul kondisi yang dialami Grace. Terlebih keadaan Mevin sendiri yang masih terbatas dalam menggerakkan sebelah tangannya karena belum benar-benar pulih. Hari ini, Jevin hanya mengantarkan Mevin pulang lalu langsung berpamitan karena masih ada banyak pekerjaan yang menantinya.

Saat memasuki rumah, Mevin melihat Grace yang duduk di sofa ruang tamu dengan memijit keningnya sendiri. Mevin pun menutup pintu perlahan, tapi hal itu tetap didengar Grace, membuat Grace mendongak, melihat suaminya datang, Grace langsung menyambutnya dengan senyum yang sebenarnya ia paksakan. Mevin masih memakai arm sling untuk tangannya dalam proses pemulihan, maka tangan kanannya bergerak membelai rambut panjang Grace.

“Gimana? Kapan bisa lepas gipsnya?” tanya Grace, keduanya sembari berjalan beriringan menuju sofa ruang tamu.

“Minggu depan, sayang.” Mevin tersenyum.

“Vin,” kata Grace sambil meraih jemari Mevin dan tertunduk.

“Kenapa? Tadi kepikiran apa? Kok sedih gitu?” tanya Mevin lembut.

“Aku beneran bisa jadi Mama yang baik buat Miracle nggak ya? Beberapa hal aku takutin, kalau nanti suatu saat Miracle tahu masa lalu Mamanya, atau dia nggak bisa nerima semua itu,” ucap Grace. Hal itu membuat Mevin meraih dagu Grace dan menariknya sehingga wajah Grace sedikit terangkat. Melihat paras Mevin seakan membelah gelap yang sedari tadi menyelubungi diri Grace. Gelap karena pikiran-pikiran yang riuh dan sebenarnya bisa ditiadakan dan belum tentu terjadi. Tapi hal itu wajar, baby blues wajar terjadi bahkan hingg minggu kedua atau ketiga pasca melahirkan.

“Yang ada Miracle akan bangga sama Mamanya, aku aja bangga, kenapa harus nggak bisa terima? Udah kejadian dan udah mendewasakan, apanya yang nggak diterima? Jauh melebihi semua itu, perjalanan itu berharga, suatu saat Miracle harus tahu gimana mamanya dan papanya saling berjuang buat sembuh dari kejauhan. Suatu saat miracle harus tahu kalau Mamanya bisa sembuh dari trauma besar itu dan survive sampai sekarang,” kata Mevin sambil mengusap pelan pipi Grace dengan ibu jarinya yang masih menempel di pipi Grace dan bergerak pelan seakan membelai pipi sang puan.

“Hal itu bukan sesuatu yang memalukan, tapi sesuatu yang patut dibanggakan. Sesuatu yang berharga, bukan tolak ukur untuk menjatuhkan atau mempermalukan kamu, bukan, sayang. Remember that I love you so much, makasih udah berjuang buat Miracle, justru aku yang agak takut, karena aku nggak ada di samping kamu waktu kamu melahirkan. Harusnya aku yang jagain kamu, kan?”

“Tapi kamu juga lagi ada insiden yang bikin tangan kamu patah, kecelakaan seperti itu bukan kemauan kita,” kata Grace sambil mengelus lengan tangan Mevin dan menatapnya.

“Nah, begitu juga dengan hal yang terjadi sama kamu, semua hal yang terjadi sama kamu di masa lalu itu bukan kemauan kamu, kan?” tanya Mevin lagi.

Grace jadi ingat, pada suatu malam, ia mencoba berbincang dengan Mevin perihal perjalanan bangkit dari keterpurukan, keduanya mengatakan bahwa saat mereka bersama memang sakit, tapi berpisah dan berjalan masing-masing malah membuat keduanya semakin merasakan sakit bukan main. Mereka sadar, biarlah sakit asal dijalani dan dilalui berdua. Nyatanya, luka yang ada jika dilewati berdua, mereka bisa saling menyembuhkan. Jemari Mevin perlahan menggenggam jemari Grace, ia bawa punggung tangan Grace untuk merasakan hangat kecup bibir Mevin sejenak.

“Mevin, aku tuh beruntung banget punya kamu. Maaf kalau aku suka bikin repot atau susah, suka overthinking gini. Keadaan memang nggak selalu baik tapi kita bisa kontrol diri kita untuk tetap merasa baik, tetep disini sama aku ya, sayang.” Kalimat itu dilafalkan Grace dengan kesungguhan namun dengan tatapan mata yang tak lepas dari suaminya itu. Mevin tersenyum, menarik lengan Grace dan menarik tubuh wanitanya ke dalam hangat pelukannya. Mevin berikan usapan-usapan lembut di punggung Grace juga.

Saat pelukan direnggangkan, Mevin tatap sang puan dalam. Mevin adalah pria yang begitu mencintai dan kalau diibaratkan menggilai Grace saja pun tak akan cukup. Bagi Mevin, Grace sudah menjadi bagian hidupnya, segalanya. Mevin selami lautan dalam tatap mata dari bola mata cokelat milik Grace.

“Makasih udah selalu calm me down, and you always be there for me no matter what happened, sejak bertahun-tahun lalu. Aku sayang kamu.” Grace menangkup kedua pipi Mevin, kini Grace yang mengikis jarak diantara mereka. Hati yang lapang dari Grace serta ketulusan yang diberikan setiap saat dari Mevin kini bersatu dalam sebuah lumatan yang diawali oleh Grace yang memagut bibir Mevin. Pada sebuah pengutaraan perasaan cinta lewat pagutan itu, satu tangan Mevin ia gunakan untuk memeluk pinggang Grace dan kedua tangan Grace memegangi kedua sisi wajah Mevin. Bergantian memiringkan kepala untuk memagut lebih dalam lagi, itulah yang mereka lakukan. Bertukar saliva juga seluruh cinta. Mevin yakinkan hari depan penuh harapan, Grace sandarkan segala kekhawatirannya. Gundah dalam hati Grace disapu perlahan digantikan keyakinan. Maka saling melumatlah mereka saat itu. Lalu saat ciuman direnggangkan, Mevin masih melingkarkan tangan kanannya di pinggang Grace lalu ia berkata, “I love you, jangan takut lagi, ya?” hal itu disambut Grace dengan senyuman yang hangat dan anggukan kepala. Maka setelah itu memeluklah lagi keduanya menyelaraskan rasa sayang dan cinta tulus yang dibagi berdua.

Ini kisah tentang bagaimana seorang anak bernama Imannuel Miracle Graviano Adrian dan hari kelahirannya ...

Tanggal dua puluh dua di bulan Desember pukul tujuh malam...

Bicara perihal pekerjaan Mevin, saat ini adalah saat yang Mevin tunggu, saat dimana ia akan pulang ke Yogyakarta untuk kembali ke pelukan istrinya yang akan melangsungkan persalinan anak pertamanya. Mevin kali ini tengah mengemasi barang-barangnya ke dalam koper. Hari ini Mevin telah memesan tiket untuk kembali ke kampung halamannya. Pengabdian masyarakat di daerah ini sudah Mevin lakukan dengan penuh tanggung jawab.

Mevin yang bekerja sebagai dokter spesialis anak terbaik di Rumah Sakit tempat ia bekerja menjadikan kehadirannya juga merupakan salah satu hal yang penting di kegiatan pengabdian masyarakat yang dilaksanakan oleh yayasan Rumah Sakit tempat ia bekerja. Di daerah ini Mevin menangani anak-anak, memperhatikan kesehatan mereka, merawat anak-anak yang memang butuh penanganan kesehatan. Mevin banyak dicintai anak-anak bahkan seluruh pasien anak-anak di daerah ini sayang dan bisa merasakan ketulusan Mevin.

Dalam setiap pekerjaan yang Mevin lakukan, ia taruh hatinya di sana, ia lakukan dengan segala ketulusan dan memberi yang terbaik di setiap pekerjaannya. Hingga akhirnya banyak anak-anak yang memandang Mevin bukan hanya sebagai seorang dokter tapi teman. Beberapa diantara mereka selalu meminta bantuan Mevin untuk belajar, atau mengerjakan tugas, beberapa dari mereka juga kadang mengajak Mevin bermain. Ada seorang anak perempuan berusia delapan tahun yang dekat dengan Mevin, anak itu bernama Mikha. Hari ini Mikha mengetahui bahwa Mevin hendak kembali ke kampung halaman, akhirnya Mikha dengan berani datang sendirian ke balai warga yang menjadi tempat para dokter tinggal selama disana.

Mikha hanya memperhatikan dari ambang pintu, karena Mevin dan rekan-rekan dokter yang lain tengah berpamitan dengan warga yang ada disana, tak jarang beberapa warga menangis memeluk mereka. Mevin kali ini ditugaskan bersama James dan Yemima juga. James adalah sahabat Mevin sejak SMA. Sedangkan Yemima adalah rekan Mevin saat menempuh pendidikan di bangku kuliah. Yemima memang sempat memiliki perasaan dan sempat dekat dengan Mevin tapi hanya sebatas sahabat, tidak lebih, Diantara keduanya tidak pernah ada deklarasi hubungan yang special.

Yemima sedari tadi memperhatikan Mikha di ambang pintu balai warga itu yang tak henti menatap Mevin dari kejauhan. Yemima pun berjalan menghampiri Mikha.

“Halo, lagi liatin apa, nak?” tanya Yemima ramah sambil mengambil posisi jongkok di depan Mikha. Anak perempuan itu hanya menunduk dan menggeleng pelan, “bapak ibu dokter pulang, ya? Hari ini, ya?” tanyanya dengan nada sedih.

Yemima pun memegangi kedua pundak Mikha yang membuat Mikha menatap Yemima dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. Akhirnya Yemima merasa tersentuh melihat binar mata anak perempuan itu lalu memeluknya, “sehat terus, ya, belajar yang rajin. Nanti bapak ibu dokter kapan-kapan kesini lagi, oke?” kata Yemima. Anak perempuan itu tidak menjawab melainkan memeluk Yemima erat dan terisak. Ternyata, dari kejauhan Mevin melihat mereka berdua. Mevin pun berjalan pelan menghampiri Yemima dan Mikha.

“Mikha? Kok nangis?” tanya Mevin, Mikha dan Yemima pun merenggangkan pelukan, Mika yang menatap Mevin langsung bergegas menghampiri Mevin dan memeluk Mevin.

“Pak dokter mau pulang hari ini, ya?” tanya Mikha, Mevin merendahkan tubuhnya berlutut agar bisa memeluk anak perempuan itu. Yemima bangkit berdiri dan tersenyum kepada Mevin sembari berjalan meninggalkan mereka di sana.

Saat Yemima kembali ke rombongan yang sedang membereskan perlengkapan bersama beberapa warga, James berbisik kepada Yemima, “dokter anak yang disayangi semua anak emang beda, ya?” Yemima hanya terkekeh dan mengangguk, “nggak bisa bohong, Mevin sesayang itu sama anak-anak.”

“Pak dokter, nanti Pak Dokter kesini lagi?” tanya Mikha yang masih memeluk Mikha.

“Iya, doakan Dokter ya biar nanti Dokter bisa kesini lagi ketemu Mikha,” kata Mevin, keduanya merenggangkan pelukan. Perlahan Mikha terisak di hadapan Mevin, “loh, kenapa? Mikha kok nangis?” tanya Mevin sambil menyeka air mata yang jatuh di pipi Mikha.

“Nanti kalau sudah besar, Mikha mau jadi dokter seperti Dokter Mevin, Mikha harus bisa obatin Mama biar Mama tidak pergi tinggalkan Mikha seperti Ayah. Katanya dulu Ayah tidak bisa diobati dokter, Papa pergi tinggalkan Mikha, kakak dan Mama. Nanti Mikha mau jadi dokter seperti Dokter Mevin yang selalu obati pasien dan disayang sama semuanya.” Hal itu diucapkan Mikha dengan derai air mata, Mevin yang mendengarnya seakan tertampar, seakan berkaca pada masa lalunya, bagaimana ia ingin menjadi seorang dokter karena kehilangan Mamanya. Bagaimana Mevin ingin menjadi dokter agar keluarganya tidak ada yang sakit, bagaimana Mevin ingin menjadi dokter agar tidak ada kepergian lagi. Mevin merasakan matanya panas, ia mengerjap beberapa kali menahan air matanya.

“Mikha, dengerin dokter. Mikha pasti bisa jadi dokter seperti dokter Mevin, bahkan lebih dari dokter Mevin, Mikha harus percaya itu. Mikha harus rajin belajar, ya?” ucap Mevin lembut sambil membelai pipi Mikha.

“Nanti kalau Mikha sakit, nggak bisa ketemu dokter Mevin, nanti yang ngajarin Mikha menggambar siapa? Tapi dokter harus bekerja lagi, Mikha mau ketemu dokter lagi pokoknya, boleh kan?”

Mevin mengangguk sambil tersenyum haru, ia memeluk Mikha lagi untuk sesaat.

“Mikha sehat terus ya dan belajar yang rajin, oke?” kata Mevin, ia rasakan anak perempuan itu mengangguk perlahan.

Saat itu, Mikha berpamitan dan hendak kembali ke rumah. Mevin sempat meminta Mikha untuk menunggu hujan reda tapi Mikha menolak, ia berkata bahwa Mamanya sendirian di rumah dan cuaca hujan kalau rumah bocor tidak ada yang membantu Mamanya. Hal itu juga membuat Mevin semakin tersentuh. Hari itu, langit juga menangis saat semua tenaga medis pamit dari sana, seluruh warga merasa kesehatan mereka banyak diperhatikan dan dibantu. Hari itu, Mikha dan Mevin saling berpamitan, Mikha berjalan dibawah derasnya hujan dan angin yang agak cukup kencang sambil memegangi payung yang menutupi dirinya. Mevin masih menunggui Mikha sampai anak itu berlalu, tapi beberapa kali Mikha selalu menoleh ke belakang dan melambaikan tangan kepada Mevin.

Angin dan hujan yang ada saat itu nyatanya membawa cuaca yang kurang baik, embusan angin terlalu kencang sehingga membuat pohon-pohon berayun sedikit mengerikan. Saat Mikha berjalan, Mevin melihat sebuah pohon di dekat Mikha seakan hendak tumbang, benar saja, pohon besar itu sudah bergoyang karena embusan angin yang agak kencang. Dahan pohon besar itu sebentar lagi akan jatuh dan Mikha ada di bawahnya, maka Mevin langsung berlari di bawah derasnya hujan dan memekik nama anak perempuan itu, “Mikhaaaa!”

Anak perempuan itu berhenti dan Mevin langsung memeluk anak itu, hingga tubuh mereka sempat berguling sesaat tapi Mikha terlepas dari pelukan Mevin dan tersungkur agak jauh dari Mevin, sedangkan Mevin jatuh terlentang dan dahan pohon besar tadi menimpa tubuh dan tangan Mevin.

“Dokter Mevinnnn!!!!!” jerit Mikha panik dan histeris yang membuat sebagian orang dan dokter di balai warga itu langsung keluar menolong Mevin dan Mikha. Mevin tidak sadarkan diri, James dan beberapa warga serta dokter yang lain langsung membantu menyingkirkan batang pohon besar yang mengenai tubuh Mevin, sedangkan Yemima langsung meraih tubuh Mikha yang masih gemetar dan memeluknya membawa Mikha ke balai warga. Mevin mendapat luka di kepalanya dan tangannya tertimpa batang pohon besar itu. Hari itu, kepulangan ditunda.


Dua puluh tiga Desember hari itu ....

Sementara keesokan harinya di Yogyakarta, ada seorang ibu yang tengah berjuang untuk melahirkan anaknya, tanpa didampingi suami. Sejak beberapa hari terakhir, kandungan Grace yang membesar dan beberapa kali Grace sudah merasakan kontraksi. Beberapa kali Grace merintih sakit juga membuat Lea panik yang akhirnya membuahkan hasil keputusan Lea dan Jeremy, mertua Grace itu pun membawa Grace ke rumah sakit. Rasa sakit di perut Grace di suatu malam tidak mau berhenti, ia sudah tidak tahan lagi. Lea yang panik pun memanggil dokter untuk ke ruangan Grace. Harusnya juga saat ini Mevin sudah tiba di sini, tapi Mevin hilang kabar, sebagai orang tua, Lea dan Jeremy merasa khawatir setengah mati. Terlebih Grace, ia sudah memimpikan bahwa saat ia melahirkan akan ada Mevin di sampingnya menemaninya, tapi saat ini ia hanya ditemani oleh kedua mertuanya.

Akhirnya malam itu seorang dokter ditemani seorang suster datang. Dokter itu memberikan suntikan perangsang pada Grace, wanita itu sudah merasa detak jantungnya tidak karuan. Grace merasa sakit dan nyeri di bagian pinggang dan perutnya, sakit bukan main. Tak lama, air ketuban Grace pecah dan Grace sudah mencapai bukaan sempurnanya.

Hari itu, pukul tujuh malam dilakukan proses persalinan. Proses persalinan berlangsung, Jeremy dan Lea hanya bisa menunggu di luar ruang bersalin.

“Jeremy, anak kita nggak ada kabar,” kata Lea dengan sedikit terisak di pelukan suaminya.

“Tenang dulu, aku coba hubungi pihak rumah sakitnya Mevin juga masih susah di sana jaringannya juga susah, aku juga nggak bisa diem aja, tapi sekarang Grace lebih butuh kita. Berdoa buat Grace dan Mevin, ya...” Jeremy memeluk Lea dan mencoba menenangkan istrinya, meski sebagai seorang ayah ia juga merasa khawatir bukan main karena Mevin yang belum juga mengirimkan kabar.

Di dalam, Grace menangis menahan sakit dan merintih kala ia merasakan tulang-tulangnya seperti dipatahkan. Dokter itu meminta Grace mengatur napasnya. Terkadang Grace kesulitan bernapas. Ia mengejan sekuat tenaga saat ia merasakan sakit yang bukan main. Grace merasakan ada sesuatu yang keluar. Dokter itu memberi arahan kepada Grace untuk lebih tenang dan mengatur napasnya. Beberapa kali Grace mengejan sekuat tenaganya sampai akhirnya usahanya yang terakhir berbuah manis, tangisan bayi mungilnya terdengar menggema di sana.

Dokter itu berkata, “Syukurlah, bayinya laki-laki. Selamat Ibu Grace.” Sang dokter menyerahkan bayinya kepada suster di sebelahnya sebelum memberikannya untuk Grace baringkan di dadanya.

Grace menangis haru kala bayi mungil itu lahir ke dunia. Grace juga menangis menahan sedikit ketakutan dan kekecewaan karena ketidakhadiran Mevin disampingnya di saat terpenting mereka kali ini. Tapi, Grace kesampingkan dulu kekecewaannya kali ini, meski sebenarnya ketakutan yang paling banyak melingkupi dirinya. Grace belum memberi nama anak itu, ia masih ingin menunggu suaminya datang memeluknya, ia ingin nama untuk anaknya juga diberikan dari Mevin. Tangisan Grace kembali pecah saat melihat wajah bayi mungilnya yang sangat mirip dengan Mevin.

“Mevin ... kamu dimana? Anak kita udah lahir,” tangis Grace dalam hati. Hati wanita mana yang tidak takut dan hati wanita mana yang bisa tenang saat suaminya sedang bertugas jauh dan berjanji akan pulang tapi sampai hari selanjutnya pun yang ditunggu tak kunjung datang. Bayi ini lahir tanpa didampingi seorang ayah, tapi sebenarnya bayi ini lahir dengan perjuangan seorang ibu setegar Grace dan ketulusan seorang Ayah yang tengah berjuang di kejauhan sana.


Dua puluh empat Desember...

Setelah kejadian hari itu, Mevin ditangani oleh tenaga medis yang ada dan dengan peralatan yang bisa digunakan. Mevin mengalami patah tulang di tangannya serta luka di kepalanya. Untuk menggerakkan tubuhnya saja Mevin sangat kesusahan, geraknya terbatas, sangat terbatas. Maka di malam natal itu, Mevin memohon kepada Yemima dan James agar bisa membantunya untuk kembali ke Yogyakarta, karena ia mendapat kabar bahwa anak pertamanya sudah lahir, Mevin menangis dalam kesendiriannya, berdoa kepada Tuhan mengucap syukur atas kelahiran anaknya, serta penyesalannya tidak bisa ada di samping Grace seperti apa yang ia janjikan.

Doa itu Mevin biarkan membumbung tinggi bersama air matanya yang jatuh. Ingin meraung dalam tangis tapi ia tahan sekuat tenaga. Ia sudah menjadi seorang ayah, ia juga membaca pesan yang Mamanya kirimkan tapi memang Mevin tidak membalasnya, malam itu akhirnya mereka semua pulang dari daerah itu. Menempuh perjalanan yang hampir memakan waktu seharian penuh dengan berbagai alat transportasi. James dan Yemima selalu menjagai Mevin dan membantu Mevin berjalan, jangan sampai Mevin terluka lagi. Semua pesan dari Grace dan keluarganya tidak dibalas Mevin, biar mereka jauh dari kata khawatir jika Mevin menceritakan kejadian apa yang ia alami.

Malam natal kali ini, Grace hanya ditemani seluruh keluarga Adrian tanpa ditemani suaminya, Mevin. Semua berkumpul di rumah sakit untuk menemani Grace, dan satu hal lagi, sebuah nama belum disematkan untuk bayi Mevin dan Grace, karena Grace masih menunggu kedatangan Mevin. Hatinya sakit, merasa dibohongi, tapi tetap saja ketakutan dan kekhawatiran terasa mencekam dalam relung hatinya. Tetap ia titipkan doa untuk keselamatan suaminya.


Akhirnya keesokan harinya tepat di hari natal, Grace dibantu Lea dan Jeremy hendak mengurus kepulangannya dari rumah sakit. Jeremy masih mengurus administrasi dan Lea yang menemani Grace untuk membereskan barang-barang. Aura sendu saat itu berkuasa, mengingat Mevin yang belum juga mengirim kabar.

“Grace pulang ke rumah Mama dulu aja, ya?” kata Lea.

Grace duduk di sofa yang ada di ruangan rawatnya itu tepat di sebelah Lea, mertuanya.

“Iya, Grace masih butuh temen, Grace butuh Mama. Tapi Mevin kemana ya, Ma? Grace takut, kecewa, semua jadi satu.” Grace berkata dengan suara yang parau, Lea meraih jemari menantunya itu lalu mengelus punggung tangan Grace.

“Sama, Mama sebagai Mamanya Mevin juga merasa hal yang sama. Mama nggak pernah bisa tidur beberapa hari ini, keinget kamu sama Mevin. Tapi cuma bisa berdoa.” Lea berkata dengan nada yang ia usahakan tenang meski ketakutan besar juga bermukim di benaknya mempertanyakan keselamatan anaknya.

“Kamu disini aja dulu, Mama nyusul Papa bentar nanti Mama balik lagi, oke?” lanjut Lea, Grace mengangguk dan duduk disana seorang diri. Ia menunduk sambil menyangga kepalanya dengan kedua tangannya. Hingga beberapa menit kemudian, ia mendengar langkah-langkah yang terpijak ke arah dekatnya. Perlahan Grace mendongakkan kepalanya saat merasa ada seseorang yang berdiri di depannya. Grace mengira itu adalah mertuanya, tapi saat Grace mendongak, ia mendapati seorang pria dengan balutan perban di kepalanya, perban di tangan dengan arm sling juga.

Grace bangkit berdiri perlahan, keduanya berkaca-kaca saat menatap satu sama lain. Keduanya saling diam sesaat, Mevin menelan ludahnya karena tenggorokannya terasa tercekat, wanita yang ia rindukan ada di depannya. Pria yang Grace tunggu kehadirannya sudah ada di depan matanya tapi dengan keadaan yang tidak Grace harapkan sebelumnya.

“Kamu kenapa? Ini kenapa? Kenapa kemarin Yemima yang ada sama kamu? Kenapa kamu nggak dateng di hari anak kita lahir? Kenapa ...” Grace mengikis jarak diantara keduanya, hingga kini keduanya berdiri berhadapan sangat dekat.

There’s an accident, maaf,” jawab Mevin sambil satu tangannya bergerak meraih pipi Grace. Sedangkan Grace menatap Mevin lamat-lamat, mengamati setiap luka yang ada di wajah Mevin, menahan tangis sekuat tenaga.

“Kamu kenapa bisa kayak gini?” tanya Grace, air matanya sudah berjatuhan. Mevin tidak menjawab, ia hanya menarik Grace ke dalam pelukannya dengan satu tangannya. Sang puan menangis di pelukan Mevin, “waktu melahirkan aku sendirian, aku takut, aku takut kamu nggak pernah kembali, aku nggak mau anak ini kehilangan ayah, aku takut Mevin, aku takut!” raungan tangis Grace tak lama terdengar di sana. Mevin juga meneteskan air mata tapi bibirnya terlalu kelu untuk berkata-kata. Grace sudah menangis histeris di pelukan Mevin. Ia menanti kedatangan suaminya dan kali ini suaminya datang dengan keadaan yang tidak baik-baik saja. Mevin juga berulang kali ucap kalimat memohon ampun dan maaf. Lebur perasaan rindu dan ketakutan keduanya dalam rengkuh dan tangis. Cukup lama mereka saling memeluk, hingga akhirnya saat merenggangkan pelukan, Lea dan Jeremy juga memasuki ruangan itu, Lea menggendong seorang bayi mungil.

“Mevin!” pekik Lea dan Jeremy hampir bersamaan. Hari kemarin adalah hari yang panjang bagi keluarga ini menanti kepulangan Mevin dan kini Mevin kembali pulang. Ketakutan akan kehilangan itu nyata adanya dan kini yang dinanti sudah kembali. Lea dan Jeremy langsung berjalan cepat menghampiri Mevin, bergantian memeluk Mevin.

“Anak Mevin sama Grace,” kata Lea sambil menyerahkan bayi mungil itu ke gendongan Grace.

Lea dan Jeremy sekali lagi memeluk anak mereka itu, tangisan Lea pecah disana. Lea dan Jeremy mendapatkan kembali anaknya dengan selamat meski dengan keadaan yang tidak baik-baik saja.

“Makasih Papa sama Mama udah jagain Grace, makasih ...” bisik Mevin di sela tangisnya saat ia dipeluk Mama dan Papanya itu bersamaan.

Saat pelukan direnggangkan, mereka mendekat ke arah Grace yang menggendong bayi itu, “anak ini belum dikasih nama, nunggu Papanya.” Grace menatap nanar ke arah Mevin.

Mevin mengelus pipi bayinya itu dengan jarinya secara lembut, Mevin tak bisa membendung air matanya.

“Imannuel Miracle Graviano Adrian,” kata Mevin.

Netra Grace dan Mevin bertatapan sejenak, hingga Mevin bergantian menatap orang tuanya dan Grace.

“Imannuel selain nama Papa Jovian, artinya juga Tuhan yang menyertai, Miracle karena anak ini wujud keajaiban dan anak ini jadi berkat buat aku dan Grace, wujud mujizat Tuhan yang nyata setelah kehilangan kemarin. Graviano, gabungan antara nama Grace dan Mevin juga kata Uno yang artinya satu karena dia anak pertama, Adrian, nama Papa Bos dan anak ini lahir ditengah keluarga Adrian.” Mevin menjelaskan arti nama yang sudah ia siapkan itu.

“Anak pertama Grace dan Mevin yang semoga selalu disertai Tuhan di setiap langkahnya, wujud nyata keajaiban dan mujizat Tuhan ditengah keluarga Adrian dan kami berdua secara pribadi.” Grace melanjutkan penuturannya. Senyum dan air mata haru bisa dilihat di wajah Lea, Jeremy, Mevin dan Grace setelah itu. Dengan keterbatasannya, Mevin belum berani menggendong anaknya itu, ia menundukkan tubuhnya, mengecup pipi bayi mungil itu lalu bisikkan kalimat singkat, “you are the best thing that happened di hidup Papa, may God bless you always, makasih udah kuat buat Mama dan Papa saat lahir, terima kasih sudah lahir ke dunia, Nak. God here I come to you with heart that full of blessings and grateful, thank you for protect and bless my son and my wife, please bless our family and may we keep our faith in You, into your mighty hands we surrender all things, Amen.”

Inilah kisah singkat bagaimana kelahiran seorang anak bernama Imannuel Miracle Graviano Adrian lahir. Perjuangan kedua orang tuanya, serta jika menilik ke belakang maka kita tidak akan pernah berhenti disuguhkan kekaguman akan perjalanan iman dan keyakinan cinta yang Mevin dan Grace renda dari awal hubungan mereka sampai Tuhan percayakan menjadi orang tua bagi bayi mungil yang disapa Miracle ini.

Embun pagi dan bau khas pagi hari Eilene nikmati bersama Raymond hari ini. Raymond pernah bilang bahwa Eilene adalah jelita, kata Eilene, Raymond adalah dunia. Raymond selalu pulang ke pelukan Eilene walaupun kadang Eilene dihantui mimpi buruk, mereka menjadi rumah bagi satu sama lain. Peluk Eilene sekarang dapat Raymond miliki selamanya, tubuhnya dan senyumnya juga milik Raymond saja.

Diantara karang yang tersapu ombak diantara pasir yang terbentang Raymond menggenggam tangan Eilene. Langkah mereka dibelai angin yang menawan, segala mimpi indah dan mimpi buruk sudah mereka bersama. Raymond berhenti sejenak dan menatapku lekat lalu memeluk Eilene.

“Aku nggak pernah salah mencintai kamu.” Sedetik kemudian birai mereka bertaut bertukar perasaan yang berulang kali luruh namun masih utuh. Dahi keduanya bertaut satu sama lain setelahnya, Raymond ucapkan sejuta kata sanjungan bagi Eilene.

“Aku sayang kamu.” “Kamu ibu yang hebat buat calon bayi kita.” “Kamu buktiin kamu nggak kalah sama sakit.” “Kamu nafasku, Eilene.” Dari jarak sedekat ini Eilene ia lihat, indah sekali sorot mata Raymond. Senyum indah itu tetap ada, senyum Raymond masih sama.

“Eilene, hidup untuk waktu yang lama, ya?” setelah Raymond mengatakan hal itu keheningan mengisi keduanya, detak jantung Eilene bertambah cepat seketika, karena saat itu juga Raymond mulai melepaskan genggaman dan berjalan meninggalkan Eilene dengan sedikit berlari, kadang berjalan mundur dan melambaikan tangan kepada Eilene. Eilene berlari kecil, mengejarnya, meski kadang ia terantuk dan hampir terjatuh, Eilene tetap melanjutkan langkahnya. Jalan yang Eilene lalui perlahan berubah menjadi sebuah jalan setapak, ia mulai bingung. Eilene terlonjak kaget, ia berbalik badan, menoleh kesana kemari, Raymond tidak ada di sana. Jalan setapak itu ia susuri dengan langkah cepat. Beberapa kali sudah terantuk namun belum terjatuh. Henti sejenak, ia lihat Raymond dari kejauhan, ia tersenyum lega.

“Hati-hati, Eilene!” seru Raymond nyaring. Eilene mempercepat langkahnya, ia tidak sabar untuk menggapai Raymond.

Eilene tersenyum senang, ia berjalan sedikit santai, sebentar lagi akan ia jumpai sang pemilik raga yang ia cinta. Senyum Raymond merekah, bahkan Raymond buka lengannya lebar agar sang puan langsung dapat ia dekap. Sedikit lagi, Eilene percepat langkahnya. Hingga akhirnya kini Eilene tiba di hadapan Raymond, mereka saling tersenyum. Saat Eilene hendak memeluk Raymond, pria itu memundurkan langkahnya.

“Kenapa?” tanya Eilene.

“Enggak bisa peluk kamu, sayang. Aku mau peluk tapi aku enggak bisa. Aku mau pergi. Kamu jaga diri, ya? Titip anak kita.” Raymond turunkan tangannya perlahan. Senyum itu masih ada diwajah Raymond, masih merekah namun ada segelintir lara yang terselip. Raymond yang gagah tampak dengan sedikit lesu dalam pilu kali ini.

“Raymond―” Eilene meremas ujung bajunya sambil menatap Raymond nanar.

“Ini pusaraku, Eilene, sayang. Kamu lupa? Aku pamit.” Usai kalimat itu selesai dirapalkan, Eilene jatuh terduduk lesu. Raymond mulai pudar oleh cahaya terang, perlahan bayangannya pergi. Perlahan bayangannya hilang. Raymond tidak disana lagi.

Yang Eilene tunggu tidak akan memberiku kecup dan peluk, yang Eilene bisa hanya meringkuk memeluk lukanya sendiri, seketika pilunya membiru dalam penantian menunggu sang penghuni rumah yang tak akan kembali. Deburan ombak membawa bayangnya selamanya, semilir angin membawa dan menghembuskan bagian terkecil kenangan Eilene dengan Raymond pergi selamanya. Sesak mendesak dalam dadanya, sebuah sayatan besar mengenai hati Eilene. Didalam sunyi hatinya tertoreh gemuruh luka, tubuh Eilene seketika lemas mengantarkan jiwaku pada sebuah kenyataan buruk.

Saat Eilene menemukannya, Eilene kehilangannya dalam sekejap saja, ia tidak akan pulang ke pelukan Eilene. Mengingatnya meremukkan hati Eilene yang sudah menjadi kepingan. Segala kenangan dan bayang Raymond kini hanya bisa Eilene genggam dan simpan dalam doa dan pejamnya. Tak akan hilang, hanya tak ada dalam rupa raga lagi.

Eilene tidak diharuskan melupa akan semua tentang Raymond. Kecelakaan beberapa waktu lalu mebawa Raymond pergi selamanya, kecelakaan yang dialami Raymond dan Eilene membuat Eilene ada di ambang hidup dan pergi. Raymond dengan segala sadarnya mendonorkan jantungnya untuk sang puan agar bisa melanjutkan kehidupannya. Sekalipun Raymond kehilangan hidupnya Eilene hanya diharuskan menerima semua kenyataan yang ada. Jika sudah berurusan dengan perpisahan abadi maka mautlah yang punya kehendak paling luas di sini. Sebuah penerimaan akan keadaan mau tidak mau harus mulai diterima dan dijalani. Hangatnya dekap Raymond dan tawa khas Raymond akan selalu teringat di hati Eilene.

Sejatinya pertemuan keduanya hanya sejauh doa. Raymond ada di dalam setiap sadar dan pejam Eilene. Kesempatan bersama Raymond hanya sebentar, kepergiannya selamanya, Raymond tidak lagi bisa Eilene miliki, walaupun ia hanya singgah namun untuk Eilene, Raymond tetaplah rumah. Harapan Eilene untuk hidup bersama dengan Raymond kini seperti uap―semakin tinggi semakin menghilang. Setidaknya Eilene selalu menyelipkan nama Raymond setiap saat, di dalam doa dan pejamnya. Eilene sentuh perutnya yang membesar, “Aku akan kuat buat anak kita, Raymond.” tangisan Eilene mengudara saat ini juga. Ia menyentuh pusara yang bertabur kelopak bunga segar itu, pejamkan mata dan sampaikan doa kepada sang Kuasa untuk sang pemilik hati, Raymond Richard Nathanael. Sampai bertemu di keabadian. Saat itu juga, Eilene merasakan ada yang merangkul tubuhnya, Hansen ada di sana, Hansen adalah mantan kekasih Eilene dimana mereka berdua menjalin hubungan saat masih di bangku SMA. Sebelum kepergian Raymond, pria itu sudah menitipkan pesan kepada Hansen yang memang masih mencintai Eilene dengan segenap hati. Benar saja, setelah kepergian Raymond, Hansen selalu disana selalu ada di samping Eilene.

“Raymond udah bahagia, sekarang aku yang jagain kamu sesuai permintaan Raymond,” kata Hansen lembut saat Eilene menatapnya sendu.

“Hansen ...”

“Anak kamu sama Raymond itu anak aku juga.” Hansen mengulas senyum tipis sambil mengusap lembut pipi Eilene. Sedetik kemudian, Eilene luluh dalam pelukan hangat bersama Hansen. Eilene yakini bahwa Raymond melihatnya dari atas sana, Eilene yakin bahwa Hansen yang ada saat ini memang sebaik-baiknya pengganti posisi Raymond dalam menjaga Eilene. Karena sejatinya Raymond dan Eilene hanya sejauh doa.

END

Perih dan pedih yang melanda hati Eilene dan penyesalan tiada henti semakin tidak menentu, dan benci yang menderu dalam hatinya akan sosok Raymond hanya bisa ia pendam, sang pembuat kebencian mendalam dan yang sudah menghancurkan hidupnya memilih untuk melepaskannya begitu saja tanpa tanggung jawab atas janin kembar yang sekarang ada di kandungan Eilene. Awalnya Raymond tidak mau mengakui bahwa bayi dalam kandungan Eilene adalah hasil perbuatannya. Hari demi hari berlalu, pagi itu langit agak mendung, awan hitam menggantung, hari itu Eilene berniat pergi ke dokter kandungan untuk sekadar kontrol ditemani Adelle, sahabatnya.

Raymond benar benar sudah tidak menghubungi Eilene lagi, keduanya berjalan masing masing tidak lagi beriringan. Eilene sudah lelah, ia seperti berlari tanpa tahu arah, seperti mengejar angin. Namun kala itu betapa terkejutnya Eilene saat ia membuka gerbang rumahnya, Raymond sudah ada disana berdiri bersandar di mobilnya sambil memainkan handphone nya. Saat menyadari Adelle dan Eilene keluar dari gerbang Raymond langsung mengantongi handphone nya dan menghampiri Adelle dan Eilene.

“Eilene!” Raymond langsung menghalangi jalan Eilene.

Eilene menghela nafas dan memalingkan wajahnya, “Apa lagi sih?! Lo mau ngapain Eilene lagi?” bentak Adelle kasar.

Tangan Raymond meraih tangan Eilene, digenggamnya kedua tangan Eilene, namun Eilene itu menepisnya kasar dan langsung memberikan tatapan tajam ke Raymond.

“Aku mau ngomong sama kamu, Eilene.”

“Nggak ada waktu!” balas Eilene ketus.

“Udah deh mending lo pergi sana! Mau apa lagi sih?” timpal Adelle.

“Please, I beg you,” pinta Raymond, kali ini ia terlihat benar-benar serius, Eilene melirik kearah Adelle memberikan kode agar Adelle menunggu di dalam. Adelle pun masuk meninggalkan Raymond dan sahabatnya disana walaupun dengan perasaan cemas.

“Mau apa?”Eilene melepaskan genggaman tangan Raymond dengan paksa. Pria itu menatap mata Eilene dalam, Eilene menyadari mata Raymond yang sembab dan merah, aneh, tidak seperti biasanya.

“Kata maafku nggak akan cukup buat bayar semua ini, semua yang udah aku lakuin. Aku tahu kamu juga nggak bakalan percaya sama aku sama sekali.” ucapan Raymond membuat Eilene sedikit kaget. Aku? Kamu?

“But let me take my responsibility of these all things that I’ve done, please. Aku serius kali ini, aku sungguh-sungguh kali ini, biarin aku tanggung jawab atas semua perbuatanku, aku udah hidup dalam penyesalan selama ini, jangan bikin aku semakin kesiksa karena nggak bisa mempertanggung jawabkan semuanya, Eilene, please.” suara Raymond menjadi sedikit bergetar.

“Kemaren kamu bilang suruh gugurin, sekarang kalau kamu kaya gini kamu pikir aku percaya?!” ditatapnya lekat lelaki di depannya itu dengan tatapan penuh kebencian.

Tiba-tiba Raymond berlutut di depan gadis yang ia sakiti berkali kali itu, tetesan air mata mulai turun seiring dengan turunnya rintik hujan dari langit yang seakan menemani tangisan penyesalan Raymond. Eilene terkejut dengan tingkah Raymond yang tidak biasanya seperti ini.

“Raymond! Apaan sih!” pekiknya.

“Aku nggak akan pergi dari sini sebelum kamu mau terima permintaan maafku dan biarin aku tanggung jawab atas ini semua.” balasnya, Raymond mendongakkan kepalanya menatap gadis di depannya, beberapa kali ia mengusap wajahnya agar bisa melihat gadis itu dengan jelas, Eilene tidak tahu harus bagaimana, sakit yang Raymond ukir sudah teramat dalam.

“Apa yang mau kamu pertanggung jawabin, Raymond? Aku udah keguguran. Aku mau ke dokter cek kondisi aku, bukan anak kamu, bukan anak kita.” ucapan Eilene itu membuat Raymond semakin kaget, ia bangkit berdiri dan langsung mencengkeram bahu Eilene, keduanya semakin basah diterpa hujan yang turun.

“Jangan bercanda!” ucap Raymond dengan nada tinggi. Eilene menatap tajam mata Raymond dengan mata yang sudah basah.

“Bercanda? Bukannya aku yang kamu buat bahan bercanda selama ini?!”balasnya. Raymond menghantamkan satu pukulan ke kaca mobilnya lalu mencengkeram bahu Eilene lagi.

“Kenapa kamu baru ngomong?!”

“Kenapa kamu baru nyari aku sekarang?!” Eilene histeris dan pecah dalam tangisnya. PLAK!

Eilene melayangkan satu tamparan di pipi Raymond, tangisan pilu Eilene terdengar di bawah hujan sepertinya semesta pun tahu bagaimana pedihnya hati Eilene sekarang. Mereka berdua masih berada di bawah hujan, saling terdiam. Raymond berusaha meraih jemari tangan Eilene.

“Apa lagi sekarang? Aku udah hancur, aku udah kehilangan semuanya! Masih kurang?” sakit yang menggebu memaksa Eilene untuk tetap tegar, kandungannya memang tidak bisa diselamatkan saat karena suatu insiden kecelakaan yang tidak Raymond ketahui. Eilene kehilangan janinnya saat ia kritis. Pendarahan hebat dan benturan keras yang mengenai perutnya merenggut semuanya dari Eilene.

“Aku malu, aku harus keluar dari kantor! I’m unvirgin and I just did that fucking things with you! I’m pregnant, Raymond. But you always push me away. Kamu selalu paksa aku menjauh setiap kali aku minta tanggung jawab kamu, aku tahu aku salah tapi anak itu nggak salah, aku udah ikhlas misal aku jadi single parents. Disaat aku ikhlas dan siap Tuhan ambil anak itu yang nggak salah apa-apa. Udah cukup hancur belum aku? Belum ya? Haha ya belum lah.” Eilene tertawa sedetik setelahnya ia terisak habis-habisan. Sungguh bukan ini yang Eilene inginkan, entah sedalam apa yang sudah Raymond goreskan kepada Eilene. Dan setelah itu Eilene meninggalkan Raymond disana, ia kembali masuk kerumahnya dan meninggalkan Raymond bersama hujan yang menemaninya.

“Eh lo kenapa? Eilene!” Adelle yang kaget melihat sahabatnya itu masuk ke kamar dengan keadaan basah pun langsung menghampiri Eilene yang langsung duduk di tepi tempat tidur, Adelle mengambil handuk dan menyelimuti punggung dan pundak Eilene dengan handuk.

“Gue nggak ngerti sama Raymond, gue nggak paham mau dia apa, sekarang dia sampe berlutut sama gue, kedengerannya tulus tapi gue masih kebayang perlakuan dia ke gue selama ini. Gue nggak tahu harus percaya apa enggak sama dia, toh juga gue udah kehilangan semuanya.” Eilene menangis terisak. Adelle merangkul sahabatnya itu.

“Kenapa nggak lo coba aja? Lihat keseriusan dia, pelan pelan ikhlasin, coba terima Raymond lo bisa tinggalin dia kalau emang dia nggak serius sama ucapannya,” kata Adelle. Tangisan Eilene langsung pecah kala sahabatnya mengatakan itu, hujan diluar pun bertambah deras. Melihat sahabatnya menangis sejadi jadinya Adelle pun memeluk Eilene.

“Gue nggak kuat,” kata Eilene di sela sela tangisannya.

“Udah lo mendingan sekarang ganti baju dulu, basah tuh nanti lo sakit,” ucap Adelle. Eilene pun menuju kamar mandi dan mengganti bajunya. Eilene membasuh wajahnya di wastafel, ia menatap cermin di depannya, menatap bayangan dirinya. Ia memegang perutnya.

“Kenapa baru sekarang? Kenapa saat anak nggak bersalah ini udah pergi, Raymond, kenapa?” tubuhnya terasa lemas, Eilene bersandar pada dinding dan menangis, perlahan tubuhnya terjatuh ke lantai. Ia meringkuk dan membenamkan wajahnya pada kedua tangannya yang memeluk kedua lututnya. Semuanya hanya menjadi rasa perih dan benci, tidak ada penawarnya. Lukanya tersayat terobek hingga mati rasa seperti mayat. Namun dalam hatinya semakin perih. Tangisannya pecah tak terperi kala itu. Namun ketukan pintu dari luar membuyarkan tangisan Eilene.

“Eilene, keluar, Eilene please!” pekik Adelle dari balik pintu. Eilene langsung bangkit berdiri lagi, membasuh wajahnya di wastafel dan keluar dari kamar mandi.

“Apa?” tanya Eilene datar pada Adelle, namun Adelle lagsung menarik tangan Eilene, membawanya kearah jendela kamar, membuka gorden kamar itu.

“See, I think he is serious dan dia bener bener ada di titik penyesalannya, why don’t you try to trust him for now?” telunjuk Adelle menggantung menunjuk Raymond yang ada di luar diterpa hujan deras sambil terus mengetuk pintu gerbang rumah Eilene dan berteriak meminta maaf. Tubuhnya basah kuyup padahal air hujan deras mengguyur, Raymond tetap di sana. Tubuhnya bergetar karena sedikit kedinginan.

“Eilene.” Adelle berbisik lirih dan menepuk pundak Eilene. Keduanya bertukar tatap, Adelle menggerakkan kepalanya seakan memberi isyarat bagi Eilene agar menghampiri Raymond.

Eilene pun langsung mengambil payung yang tergeletak di sebelah meja nya lalu keluar dari kamar, Adelle menghela nafas lega. Raymond kaget saat menyadari Eilene keluar dari gerbang dan memayunginya.

“Lo gila ya?!” kata Eilene ketus. Raymond tersenyum lembut, kali ini Eilene menatapnya tajam, mata Raymond terlihat sayu tapi senyuman kelegaan itu terlihat jelas di raut wajahnya.

“Aku serius kali ini, kamu boleh lakuin apa aja ke aku, sakitin aku atau laporin aku ke polisi sekalian kalau aku lakuin hal yang nggak berkenan lagi buat kamu Aku serius, Eilene. Aku mau tebus semua kesalahanku sama kamu dan sama anak kita yang udah bahagia di surga.”

“Sakit rasanya ngebayangin gimana kamu selama ini, itu lebih nyiksa aku, aku udah gagal, please terima aku buat nanggung semua yang aku lakuin, aku akan tulus sama kamu, kasih aku kesempatan, kamu mau nyakitin aku terus aku nggak peduli yang penting biarin aku tebus semua dosa dosa aku sama kamu,” lanjutnya, Raymond tertunduk, Eilene mendekat kearah Raymond, meraih tangan Raymond yang sudah dingin. Raymond juga memandang gadis yang di depannya ini tajam.

“Eilene, Aku akan yakinin kamu kalau semua hal yang menyakitkan itu nggak akan terulang. Pelan pelan aku akan sembuhin luka yang udah aku buat.” Raymond berkata dengan penuh ketulusan, ia menundukkan kepalanya, air hujan yang turun pun tahu bahwa air mata juga mengalir di pipi Raymond saat ini. Eilene mendekat dan mengepalkan tangannya, namun ia terhenti.

“Pukul aku sepuas kamu, pukul aku sampai bikin kamu puas luapin semuanya lewat pukulan pukulan kamu aku nggak akan ngelawan,” ucap Raymond sambil memejamkan matanya membiarkan gadis di depannya ini memukulnya.

BUG!

Satu pukulan yang tidak terlalu kencang mendarat di dada bidang Raymond. BUG! Pukulan itu semakin pelan. BUG! Terulang untuk ketiga kalinya namun semakin pelan. Dan tangan Eilene tidak beranjak dari dadanya itu. Raymond membuka matanya, dilihatnya Eilene sudah menangis terisak, tanpa aba-aba Raymond langsung menarik tangan Eilene dan mendekapnya erat, erat sekali. Eilene berusaha memberontak namun Raymond tetap menahannya dalam pelukan. Perlahan payung di genggaman Eilene jatuh, keduanya membiarkan diri mereka dibasahi oleh rinai hujan yang jatuh.

“Kenapa baru sekarang? Kenapa, Raymond?!” tangis Eilene berubah menjadi lebih kencang, tangannya masih memukul mukul dada Raymond. Ia terisak bukan main namun Raymond tetap diam membiarkan Eilene tetap memukulnya melampiaskan semuanya kepadanya.

“Maafin aku, maafin aku...” Raymond memeluk gadis itu seakan tak ingin melepaskannya lagi, kali ini menjadi turning point untuknya membahagiakan Eilene dan tidak menyakitinya lagi.

“Aku mau kamu jadi ujung ceritaku, aku pengen jadi rumah buat kamu, aku mau ada satu perempuan yang bener bener aku perjuangkan, maaf kalau menurut kamu aku jauh dari kata sempurna, bahkan jauh banget dari kata cukup. Aku bakalan sayang sama kamu sepenuhnya, enggak masalah buat kamu kalau kamu sayang sama aku seadanya. Aku akan tetep sama kamu selamanya, walaupun kamu cuma ingin sama aku sampe kemarin, aku nggak peduli seberapa benci kamu sama aku,” kata Raymond dengan nada penuh penyesalan dan ketulusan. Raymond mencium kening Eilene dan memeluknya sekali lagi. Sejak saat itu ada rasa yang tak biasa yang Raymond hadirkan, mengapa setelah Raymond menghancurkan hidupnya dan mematahkan hati Eilene ia baru kembali, kedatangan Raymond terasa lebih menyakitkan saat ini karena sikapnya yang berubah drastis.

Mengapa Raymond datang terlambat? Eilene berharap perkataan pria itu benar adanya dan akan terjadi. Tapi sampai kapanpun Eilene tidak bisa melupakan apa yang sudah Raymond perbuat kepadanya. Sialnya, Eilene menjadi membisu saat Raymond mendekapnya hangat, pelukan Raymond terasa sangat menyedihkan. Semua ini perihal waktu. Kesesakan dalam hati Eilene bertambah bertubi-tubi, seakan tak ada lagi celah untuk benci yang hinggap saat melihat Raymond. Eilene sudah terlalu letih dengan semua rasa pedih yang ia lewati selama ini.

Sesampainya di rumah sakit, Eve langsung ditangani tim medis. Pihak rumah sakit langsung menghubungi keluarga Eve dan Efraim memberitahukan kepada Jevin hal yang terjadi kepada Eve, tentu saja hal itu membuat Jevin cemas bukan main, kedua kalinya Jevin harus menerima kabar bahwa Eve kecelakaan bukanlah hal mudah.

Saat sampai di Rumah Sakit, Jevin panik dan ingin mengetahui keadaan kekasihnya itu, ia menghampiri Ayah dan Bunda Eve yang ada di ruang tunggu. Dengan langkah berat dan gontai Jevin berjalan ke sana.

“Om ... Tante ...” kata Jevin lirih dengan napas berat dan langkah kaki yang sudah terseok. Saat itu juga Jevin melihat Bunda yang sudah menangis di pelukan Efra dan Ayah Eve langsung berdiri menghampiri Jevin lalu memeluknya.

“Harusnya Om nggak bohong ke Eve, harusnya Eve pergi sama Om, bukan sendirian.” Alex berkata dengan suara berat.

“Om ... Eve mana?” tanya Jevin.

“Kondisinya masih lemah, kami nggak tega lihatnya. Jevin masuk coba temuin Eve,” balas Ayah Eve itu lalu merenggangkan pelukan.

Jevin melihat ke arah Bunda dan Efraim. Mereka mengangguk tanda memberikan kode agar Jevin masuk menemui Eve. Dengan langkah gontai, Jevin memasuki ruangan ICU. Keluarga Eve yang sudah lebih dulu menemui Eve itus hanya menunggu di luar. Perlahan Jevin memasuki ruangan itu sendirian, dilihatnya Eve tergeletak lemas. Jevin mendekati kekasihnya yang masih terkulai di tempat tidur dengan beberapa alat terpasang di tubuhnya.

Tangan Jevin yang gemetar meraih tangan kekasihnya yang disambut hangat oleh genggaman Eve. Wanita itu membuka mulut seakan ingin mengatakan sesuatu. Hal tersebut membuat Jevin mendekatkan wajahnya ke wajah kekasihnya.

Sementara semua orang yang menunggui Jevin dan Eve menunggu di luar, “Gimana keadaan Eve, Dok?” tanya Bunda. “Luka dalam dan pendarahan yang tidak bisa berhenti. Kami tidak bisa berbuat lebih banyak, Eve sudah kehilangan banyak darah. Kecelakaan berulang yang menyebabkan luka benturan keras itu membuat Eve dalam keadaan kritis. Eve pernah mengalami kecelakaan juga sebelumnya kan? Serta mengalami kerusakan beberapa organ vital.” Dokter itu berkata dengan nada pasrah lalu pergi meninggalkan mereka.

“Makasih kakak udah wujudin keinginan Eve buat punya buku sendiri.” Eve menarik kedua ujung bibirnya, matanya pun sama berkaca kaca dengan Jevin saat ini. “Iya, you deserve it, sayang. Sembuh, ya? Kuat, ya?” Jevin mengecup kening Eve.

“Kak,” kata Eve yang terhenti saat hearing aidnya terlepas begitu saja karena menoleh memandangi wajah Jevin.

Eve menggerakkan satu tangannya perlahan, menaruhnya di depan dada, lalu menyilang, dan berakhir menunjuk Jevin. Aku sayang kamu, artinya. Jevin menangis terisak saat itu juga. Sign language yang Eve berikan membuat hati Jevin hancur. Ia pun memeluk kekasihnya seakan mengatakan semua akan baik-baik saja. “Aku juga sayang kamu, sayang banget, Eve hebat, Eve baik,” ucap Jevin diiringi suaranya yang parau meski hal itu tidak akan bisa didengar Eve.

“Kak Jevin ...” Suara Eve bertambah lirih. Kalimat itu Eve rapalkan dengan napas yang semakin berat.

“Please, bertahan, ya, Ve. Kali ini aku mohon.” Jevin merasakan Eve memeluknya sedikit lebih erat.

“Kak Jevin―”

“Iya, Sayang?” tanya Jevin. Kemudian hening.

“Kenapa? Eve?” Jevin merasakan tangan Eve tidak memeluknya lagi. Perlahan Jevin merenggangkan pelukan. Dilihatnya Eve sudah menutup matanya. “Eve.” Jevin menggoyang pelan tubuh Eve, tetapi tidak ada respons. “Sayang? Ve?” Jevin menggenggam tangan kekasihnya, tangan itu mulai dingin.

“Eve!!” Jevin tidak bisa menahan isak tangis histerisnya. Ia memeluk tubuh Eve yang sudah tidak berdaya dengan sesekali menggoyangkan tubuh itu. Air mata Jevin langsung tumpah tanpa komando. Air matanya baru tumpah kali ini, melepas kepergian dermaga hatinya untuk selamanya, bersama seluruh harap dan asa yang hanya akan menjadi semu belaka. Ayah, Bunda, Efraim bahkan Letta juga yang langsung menyusul ke sana yang berada di luar ruangan terkejut mendengar teriakan Jevin lalu mereka bergegas memasuki ruangan. Letta langsung menarik tubuh Jevin.

Alex dan Anne melihat monitor di sebelah tubuh Eve menunjukkan garis lurus. Semua tidak bisa membendung air mata mereka. Alex teringat belasan tahun seakan tidak bisa menerima kehadiran Eve, memandang anaknya itu sebelah mata, Alex jelas mengingat bagaimana ia mengabaikan anak pertamanya itu. Sesal bermukim di dalam hati Alex kali ini. Anne langsung jatuh berlutut tersungkur di sebelah ranjang Eve, meraung menangis keras-keras bahkan hingga pingsan di pelukan Efraim. Sementara Alex masih berada di sana masih berlutut sambil menggenggam tangan anaknya yang sudah tak bernyawa itu.

Sementara Jevin masih histeris meneriakkan nama Eve dan meminta wanita itu untuk membuka mata. Ia mengabaikan kehadiran Letta. “Eve, nggak boleh pergi! Enggak!” Jevin masih berusaha meraih tubuh Eve, tetapi dihalangi oleh Letta yang menahannya.

“Lett! Eve pasti bangun, kan?! Gue udah janji mau serius sama dia! Iya, kan Eve bangun kan?!” Jevin semakin menjadi dalam kenyataan yang harus ia terima ini. Ia bersimpuh di dekat brankar rumah sakit sambil terus memandangi tubuh kekasihnya yang tidak akan bangun lagi. Jevin luruh dalam tangisnya kala menyaksikan dokter dan suster melepas satu persatu alat yang menempel pada tubuh Eve.

“Jev, yang ikhlas. Ikhlasin.” Letta merangkul Jevin dan menangis juga di sana. Jevin masih terus menangis memandangi tubuh kekasihnya yang sudah tidak bernyawa. Mata Eve sudah terpejam dan tidak akan pernah terbuka kembali. Tangisan Jevin dan Letta pecah di situ. Ayah, bunda dan Efra saling memeluk dan tidak bisa menahan tangis melihat Eve yang ceria sudah mengakhiri pertandingan dalam hidupnya di hari bahagia dalam hidupnya, hari yang sudah lama Eve nantikan.

Jevin merasa seperti ditusuk pisau di sekujur tubuhnya. Hanya sakit yang ia rasakan. Kebahagiaan yang selama ini ia cari harus hilang. Jevin harus kehilangan setelah ia menemukan. Harapannya pupus semua mimpinya yang sudah ia rajut dengan Eve harus terhenti di sini. Tidak ada tangan yang bisa ia genggam lagi, tidak ada tawa yang menghiasi hari-harinya lagi, tubuh yang biasa ia peluk kini sudah pergi.

Jevin harus menerima kenyataan, bahwa ia harus kehilangan seseorang yang berpengaruh dalam hidupnya, seperti ada sesuatu dari bagian hidupnya yang hilang dalam sekejap. Posisi Eve di hati Jevin dan yang lain tidak akan terganti. Semua momen kebersamaan bersama Eve terlintas dalam pikiran Jevin saat ini. Raga Jevin dan Eve tidak lagi bersama, tetapi mereka masih bisa bertemu dalam doa dan mimpi. Eve sudah mempunyai tempat tersendiri di relung hati Jevin. Kehilangan yang tiba-tiba, tidak ada yang siap menerimanya.

Jevin menyayangi Eve dalam keadaan apa pun. Namun, setiap pertemuan pasti akan menghadapi perpisahan. Tidak ada yang abadi. Jevin melepaskan pelukan Letta, ia kembali mendekat memandangi kekasihnya yang tampak seperti sedang tertidur dengan senyum yang indah. Jevin hanya manusia biasa yang tidak bisa melawan takdir walaupun ia tidak bisa menerimanya. Sekali pun Jevin menginginkan kehadiran Eve kembali, itu tidak akan bisa.

Jevin harus siap melepaskan dan merelakan. Mereka hanya sejauh doa. Hanya raga mereka yang terpisah. Bahkan, sampai napas terakhir Eve pun ia masih mencintai Jevin. Saat brankar rumah sakit itu didorong keluar dari ruangan itu oleh beberapa perawat, Jevin menghardiknya.

Tangis dan teriakan Jevin beradu kala itu. Untuk terakhir kali dengan sepenuh hati. “Sampai jumpa di keabadian, my everlasting love, Genevieve Agatha Elizabeth.” Jevin berkata lirih nyaris tak terdengar lalu mengecup punggung tangan yang sudah mulai dingin itu, luruh hancur seluruh dalam mengiring kepergian kala itu. Hati sungguh tak bisa mendustai, hancur saat itu, yang dicinta tak akan pernah kembali.

Eve masih menjadi sebaik-baiknya tujuan hati Jevin bermuara, kemanakah hati Jevin harus berlabuh setelah ini? Kepada siapa Jevin harus mengadu rengkuh? Jevin mencintai Eve dengan cara yang tak biasa, begitu juga dengan Eve yang mencintai Jevin dengan luar biasa. Napas terakhir perempuan cantik bernama Genevieve Agatha Elizabeth, berembus hari ini. Selamat jalan, Eve.

Seiring dengan kebersamaan yang telah terbentuk di antara dua anak adam yang memadu kasih, Jevin dan Eve mulai paham dan melengkapi satu sama lain. Jevin adalah pria dengan peluk paling nyaman dan senyuman paling hangat untuk Eve. Mereka sudah bersepakat untuk melabuhkan hati satu sama lain dan Jevin menjanjikan keseriusan hubungan dengan Eve.

Hari ini adalah jadwal book showcase Eve di sebuah Mall. Jevin yang sedang berada di luar kota diminta Eve untuk langsung menuju Mall itu. Sedangkan Ayah, Bunda dan Efraim berniat memberikan kejutan bagi Eve karena mereka mengatakan tidak bisa hadir padahal Ayah, bunda dan Efraim sedang menyiapkan sebuah kejutan kecil untuk Eve saat book showcase nanti.

Jevin tidak bisa mengungkapkan sebuah semangat yang ia rasakan hari ini. Hubungan yang sudah ia jalin dengan Eve sudah mendapat restu dari keluarganya maupun keluarga Eve. Perihal cintanya dengan Eve, ada dua hal yang bisa Jevin rasakan, bertahan sejak bersemi hingga membuatnya berlabuh, kekurangan Eve adalah sebuah anugerah yang Jevin syukuri karena Jevin lebih banyak belajar tentang kehidupan dari Eve. Kalau dibolehkan memutar waktu, mungkin Jevin akan meminta agar ia didekatkan dengan Eve jauh lebih cepat.

Tidak ada celah perpisahan sama sekali. Perdebatan kecil yang terjadi menjadi bumbu kebersamaan mereka berdua selama ini. Tidak ada perselingkuhan atau pihak ketiga. Keduanya bisa menjaga hati dan komitmen. Mereka berdua sudah bersepakat untuk saling melafalkan nama dalam doa dan pejam, serta menjadi seseorang yang punya makna dalam kehidupan.

Cuaca hari ini sangat cerah dan sangat mendukung Eve untuk bersemangat melakukan book showcase pertamanya. Perasaan dalam hatinya sangat campur aduk: bahagia, senang, terharu, dan masih sedikit tidak percaya ia bisa sampai di momen ini dan momen ini akan ia lalui bersama dengan Jevin. Letta juga berjanji akan datang menyusul.

Eve yang sedang berada di dalam taksi pun mengirim voice note kepada Jevin. “Kak, nanti di hall nya ya, nanti kakak harus duduk di depan biar aku bisa lihat kakak, oke? Kakak temenin aku, ya? karena Ayah, bunda sama Efra nggak bisa dateng, aku tunggu kakak. Kak Jevin hati-hati. Rasanya masih nggak percaya, sih. Tapi ... i love you sayang.” Eve mengirimkan pesan suara itu tanpa ragu.

Maka setelahnya belum ada jawaban dari Jevin, mungkin karena Jevin masih fokus menyetir. Eve tak henti melayangkan pandangannya ke jendela memandang dunia luar. Raut wajah Eve beritahukan sebuah kebahagiaan.

Tapi, saat itu, taksi yang Eve kendarai tiba-tiba berhenti mendadak karena mobil di depannya juga melakukan hal yang sama, TINNN! suara klakson keras berbunyi terdengar dari arah belakang taksi yang Eve kendarai sedangkan kendaraan di depan masih terhenti.

Saat Eve menoleh, sorot lampu sebuah truk menembus jendela taksi yang Eve kendarai dan jelas laju truk itu sangat kencang, diduga mengalami blong di bagian rem hingga akhirnya menabrak taksi yang Eve kendarai juga menyeret menghempas mobil di depannya. Bunyi tubrukan dan ringseknya beberapa kendaraan terdengar jelas kala itu. Taksi Eve dihempas kencang. Kecelakaan tragis itu terjadi saat Eve hendak melakukan book showcase pertamanya. Semua menjadi gelap bagi Eve.

Pada sore hari menuju senja di hari ke tujuh bulan tujuh, langit dengan sorot sinar jingga menemani langkah kaki seorang lelaki yang menggenggam bouquet bunga berwarna putih, sosok seorang pria berjalan dengan langkah pasti menuju sebuah pusara di kompleks peristirahatan terakhir itu. Dwinetra Jevin kini menatap lamat-lamat pusara di depannya, ia merindukan iris legam coklat gelap milik sang puan yang namanya terukir disini. Bibir Jevin mulai bergetar, ia berkata lirih, “selamat ulang tahun, sayangku. Udah bahagia ya? Udah bisa denger aku kan? Selamat ulang tahun, Eve.”

Hati Jevin porak poranda saat menaruh bouquet bunga berwarna putih itu, bulan ini punya kesan tersendiri untuk Jevin. Bulan kelahiran sosok yang sudah mengubah kehidupannya yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, bulan lahirnya Eve, wanita yang sudah membuat hati Jevin bermuara. Jevin mendongak menatap langit lalu memejamkan mata, lalu perlahan menunduk, punggungnya bergetar pelan tapi bulir air mata sudah membasahi pipinya. Sukmanya rindu, raganya ingin memeluk sang puan. Sedih tak berkesudahan harus dibalut dengan rasa ikhlas yang harus diadakan.

Jevin yang berlutut itu kini menunduk hingga dahinya menyentuh gundukan pusara itu, tangannya meremas rerumputan hijau yang tumbuh rapih di sana, “Eve ... eve ... pulang sayang, pulang ...” nyatanya rasa sakit itu masih hinggap, tangan Jevin gemetar dan dingin seketika itu juga, tangisannya meraung, langit mendadak mendung seakan tahu jika Jevin menangis. Karena sesungguhnya, kepergian Eve bersifat selamanya, bukan sementara. Memang mengundang lara dan duka, melupakan dan melepaskan tidak semudah itu. Jevin ikhlas atas kepergian Eve. Jevin tidak bisa menyangkal takdir, baik di bulan ini atau bulan yang lain teka teki kehidupan tidak pernah ada yang tahu. Kepergian, kedatangan, bahkan kelahiran.

Rintik hujan turun hingga semakin deras, sedangkan Jevin masih di sana tertunduk dan seakan memeluk pusara itu. Tak lagi Jevin rasakan dingin yang menusuk tulang, tidak Jevin rasakan bajunya dan tubuhnya yang kini basah kuyup. Tangisannya memang luntur oleh air hujan, tapi antrean air mata di pelupuk matanya terus mengalir. Kerinduan Jevin kini sudah membumbung tinggi meledak dalam tangisan. Dalam pejam tangisnya, baying Eve muncul jelas, bayangan saat ia memeluk Eve, bayangan saat ia dan Eve menyenandungkan lagu bersama di ruang recital, bayangan saat Jevin memeluk Eve kala ia menangis, bayangan saat Eve mengajarinya sign language.

Tak lama, Jevin rasakan air hujan tak lagi membasahi tubuhnya, ia mulai menegakkan posisinya dan mendongakkan kepalanya. Seorang wanita berdiri disana dengan paying yang ia gunakan untuk memayungi Jevin dan membiarkan tubuhnya diterpa hujan.

“Letta?” ucap Jevin, pandangannya mengikuti Letta yang juga akhirnya berlutut di sebelahnya serta membuang paying yang tadi ia pegang.

“Jangan nangis terus, nanti Eve sedih,” kata Letta sambil menepuk pundak Jevin.

“Gue kangen dia,” jawab Jevin.

“Gue juga,” kata Letta sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Di antara rintik hujan itu, Letta menaruh sebuah figura foto berukuran kecil di sebelah bouquet bunga yang Jevin bawa. Fotonya bersama Eve ada di sana.

“Happy birthday, Eve.” Letta tersenyum tipis setelahnya.

“Gue juga sedih tapi gue tahu, bagian penting dari hidupnya ada di gue, hati Eve juga ada di gue, Jevin. Kalau nggak ada Eve saat itu mungkin gue nggak ada disini sekarang. Eve yang selalu ada saat gue sakit, entah fisik atau hati. Dia udah kayak keluarga buat gue. Gue nggak akan bisa bernapas hari ini kalau nggak karena Eve,” lanjut Letta hingga yang tersisa hanya tangisan penuh kerinduan dari dua orang itu yang kian menggema.

“Eve pernah bilang ke gue, kalau Kak Jevin yang dia kenal sama Kak Jevin masa SMA itu sama, hanya hatinya yang beda, Eve bangga sama perubahan lo, Eve mau lo lulus dari Bussiness School dengan predikat baik, jadi ketua choir yang baik, dan jadi Jevin yang Eve kenal terus. Eve sayang banget sama lo,” kata Letta yang membuat Jevin meraung lagi sambil terus memeluk pusara itu.

Letta hanya bisa melingkarkan tangannya di punggung Jevin dan mengelus punggung Jevin berulang kali. Tangisan Letta juga tak terhindarkan, hanya tanpa suara. Raga Eve sudah terpendam, tapi jiwa Eve akan hidup selamanya. Segala asa dan harap tidak akan tenggelam dimakan waktu, meski berteman kepedihan. Kepergian tanpa pamit dan pertanda memang menghadirkan luka mungkin sepanjang usia. Yang perlu dilakukan hanyalah ikhlas. Lagipula kematian dan kepergian selamanya tidak akan mengakhiri cinta yang Jevin dan Letta punya untuk Eve. Tidak akan pernah.

Tujuh Juli kala itu Genevieve Agatha Elizabeth lahir. Tujuh Juli yang lain, Eve jatuh cinta kepada sang tuan pemilik hati. Tujuh Juli selanjutnya, Eve dan Jevin sudah saling memiliki. Di tanggal dan bulan yang lain, Eve mendapatkan kembali kasih sayang dari Ayahnya. Tujuh Juli tahun yang lain, Eve merayakan ulang tahunnya bersama orang-orang kesayangannya. Tujuh Juli yang lain, Eve sudah mewujudkan keinginannya untuk memiliki buku hasil tulisannya sendiri. Tujuh Juli hari yang lain, Eve berulang tahun lagi. Tidak akan pernah ada keriput di wajahnya, tidak akan pernah ada rambut putih di kepalanya, karena Eve kekal dalam keabadian. Selamat jalan dan terima kasih, Eve.

Perjalanan ini berakhir—

Kepada lelaki yang pernah Grace sebut kekasih, Mevin―ia tidak pernah menyesal menjatuhkan hati dan berbagi perjalanan meski hanya sesaat. Grace mendengar, melihat dan menilai serta mengingat perjuangan Mevin untuk hidup bersama, sungguh, Grace tidak akan menyesal menghabiskan waktunya selama ini dengan Mevin meski dengan ujung perpisahan.

Dahulu, Grace mengajukan banyak pertanyaan kepada Mevin, namun tidak semuanya terjawab karena Mevin membuktikannya dengan perilakunya. Tapi pada akhirnya perjuangan Mevin dan Grace harus usai saat keduanya sama-sama sakit.

Grace bahagia melihat Mevin sudah sembuh dan kembali bekerja di Rumah Sakit tempat mereka pertama kali bertemu dahulu. Grace bahagia melihat Mevin yang kembali bisa berjalan dan berkumpul bersama James dan Aveline sahabat mereka di Rumah sakit.

Hati Grace dulunya ruang dengan isi kehancuran dan kerapuhan―seluruhnya. Langkahnya yang tertatih dan penuh darah ia lewati seorang diri hingga temu kata pisah. Selanjutnya ada perjuangan yang lebih, meski sebelumnya perjuangan Grace tak pernah dapatkan lagi pelukan penuh ketenangan dari Mevin mengingat keduanya sudah bukan milik satu sama lain lagi. Ada rapalan doa dan derai tangis dalam balutan hati yang terluka yang selama ini Grace sembunyikan hingga akhirnya semua bisa Grace lalui. Grace juga sudah sembuh dari perjuangan dan traumanya, ia kembali ke Indonesia tanpa sepengetahuan Mevin.

Jangkauan tangan Mevin tak dapat sentuh hati Grace lagi selepas perpisahan, sepanjang angan dan harapan terselip sebuah amarah Grace yang menunggu untuk meledak selama ini, jika dirasa tidak sanggup maka pergilah Grace dengan keyakinan ia tidak mau menyerahkan dirinya untuk disakiti, misalnya dengan kebersamaan yang harus dipaksakan. Lebih baik saat itu berpisah dari pada sama-sama tinggal hanya untuk saling menyakiti dan jauh di dalam hati sudah menyerah.

Malam ini, Grace baru saja selesai menemui Aveline yang melakukan shift malam untuk meminta bantuan agar bisa bekerja lagi sebagai perawat. Namun, saat Grace melewati koridor demi koridor rumah sakit, berhentilah langkahnya di sana, melihat seseorang yang tidak asing untuknya. Baru saja keluar ruangan sambil melepas jas putihnya. Grace langsung menghentikan langkahnya sampai pada akhirnya Mevin melihat Grace juga yang disana lalu tersenyum tipis dan menghampiri Grace yang masih menghentikan langkahnya. Mevin datang bersama angin yang berembus dengan dinginnya malam yang membuatnya merasakan sapaan masa lalu di antara deru angin yang menderu rindu dalam hati.

Kepada yang tidak menaruh dendam, kepada yang titip doa lewat setiap pejam, sang kuasa akan dengar dan berikan sebuah kata temu pada waktu yang tepat. Karena waktu sang empunya kehidupan berbeda dengan kita, dan segala sesuatu yang diberikanNya pasti akan selalu indah pada waktunya. Termasuk pertemuan tidak terencana ini, “Grace ...” kata Mevin yang kini sudah ada di hadapan Grace. Wanita itu hanya tersenyum dan mengangguk, “apa kabar?” tanya Mevin.

“Much better than before, and how about you?” tanya Grace sambil memberikan senyum terkuatnya.

“Masih sama, menyesal sama perpisahan waktu itu, I still love you.”

“Kata James kamu mau menikah, ya?” kata Mevin sambil mencoba tersenyum.

“Belum, baru mau tunangan.”

Mevin mengerjapkan mata ke samping dan ke atas lalu mengembalikan pandangan ke arah Grace lagi, “I’m happy for you, congrats, Gracelline.

Benar saja, saat itu Grace mendengar suara ketukan pintu apartemennya, ia tidak sabar membukanya, ia sudah mengumpulkan dan memupuk banyak kerinduan kepada sang tuan pemilik hati. Grace membuka pintu perlahan, dilihatnya Mevin dan Lea ada di sana. Lea ada di belakang Mevin yang duduk di kursi roda. Grace tidak bisa lagi membendung air matanya saat ia menatap Lea dan Mevin bergantian, Lea pertama kali langsung menghampiri Grace dan memeluknya.

“Grace apa kabar, nak?” tanya Lea sambil memeluk Grace dan mengusap pundak Grace.

“Baik, harus selalu baik, Tante.” Lea merenggangkan pelukan, lalu menatap Grace sambil memegangi kedua pundak anak perempuan itu.

“Tante tinggal sama Mevin ya, nanti tante kesini lagi. Mevin minta waktu berdua sama kamu.” Grace mengangguk, Lea pun memeluk Mevin sejenak dan mengecup puncak kepala anaknya dan berkata, “Mama tinggal dulu, ya.” Mevin membalas dengan anggukan dan senyuman. Maka berlalulah Lea dari sana dan Grace langsung mendorong kursi roda Mevin untuk masuk ke apartemennya.

“Mevin,” Grace bergumam lirih, ia gigit bibirnya menahan tangis yang sebenarnya percuma karena air mata sudah membasahi pipinya, Grace kuat-kuat menyeret langkah dan berlutut di hadapan Mevin. Mevin menyambut Grace dengan lengan terbuka. Sebuah dekap ditawarkan Mevin kepada kekasihnya itu. Grace dengan kaki dan bibir yang bergetar pun langsung berlutut di depan Mevin. Grace juga langsung membenamkan wajah di pangkuan Mevin, lalu perlahan, Mevin mengusap punggung kekasihnya itu.

Dalam sekejap, menggemalah isak tangis Grace setelahnya. Pedih, menyayat hati. Grace meraung dalam tangis, sakitnya bisa dirasakan siapapun yang mendengarnya, termasuk Mevin. Ia memegangi kedua pundak Grace dan membuat Grace tegak menghadap Mevin setelahnya. Tapi Grace tidak bisa berkata-kata lagi, ia langsung menghempaskan dirinya ke dalam pelukan Mevin dan menangis disana.

“Maaf, karena kamu kesini semua jadi kejadian, harusnya kamu nggak kecelakaan, Mevin maafin aku,” kata Grace yang masih menangis di pelukan Mevin.

“Bukan salah kamu.”

“Maafin aku.” suara Grace bertambah berat. Ia membenamkan dirinya di ceruk leher Mevin, Grace tidak bisa menahan tangisnya, saat itu bulir air mata juga jatuh dari pelupuk mata Mevin.

“Grace, listen ...” Mevin merenggangkan pelukan. Kini Mevin mulai mengatur napasnya, Grace masih berlutut di depan Mevin. Maka Mevin membawa tangan Grace untuk ia genggam, Mevin mulai menyeka air mata yang jatuh di pipi Grace dan berkata, “Grace, maaf, untuk semuanya, maaf udah nggak jujur dari awal setelah aku kecelakaan, maaf udah bikin kamu nunggu. Grace... meeting you will never be my regret. But, we just can’t be together, I gave up on us. I’m sorry for all the pain. I’m tired of seeing you hurt. I really love you with everything I got. But now, all things were not good enough for us. You can’t expect anything from me right now with my condition, we’re enough ... kita putus aja, ya?” perkataan Mevin membuat Grace terperangah bukan main serta merasa sesak.

“Mevin ...”

“Sorry, I can’t believe this but I think this is the best thing for us right now, buat menerima diriku sendiri aja aku nggak bisa, gimana sekitar, kita sama-sama sakit dan butuh sembuh, fokus sama luka dan trauma masing-masing. Kita jalan masing-masing.”

Suara tangisan Grace menggema, mereka adalah sepasang yang merasakan kehilangan, kehancuran, kerapuhan serta mencandu pilu seumur perjalanan hubungan mereka. Grace tertunduk di depan Mevin, memohon berkali-kali agar Mevin menarik lagi ucapannya.

“Jangan bercanda, jangan bohong, aku nggak mau, aku terima kamu apa adanya ...” Grace mencoba meraih tangan Mevin tapi kali ini Mevin menepisnya pelan.

“Mev ....” Tangis Grace kala itu, hingga detik ini, Grace masih tak percaya dengan apa yang terjadi.

“It’s enough ... it’s enough, Grace.”

“We’re enough, Vin?” Napas Grace semakin tersengal dan dadanya sesak, jujur saja, tangannya bergetar, sekujur tubuhnya seakan mengalami henti laju darah, bibir Mevin juga ikut bergetar, Mevin meneteskan air mata juga. Diatas apapun, bahkan diatas hari kepergian seseorang, yang lebih mengerikan adalah hari setelah kepergian dan perpisahan itu sendiri.

“Kita coba bareng-bareng, ya? Bisa kok, pasti bisa,” kata Grace sambil memaksakan senyum di atas tangis.

“Nggak bisa.”

“Bisa, Mev ... bisa ...” nada Grace memelan setelahnya.

“Nggak bisa, Grace! Nggak akan pernah bisa! Aku aja nggak bisa terima keadaan diriku sendiri, we’re enough! Sampai disini, aku pamit.” Mevin langsung cepat-cepat memutar posisi kursi rodanya.

“Nggak kuat, Mevin. Nggak kuat ....” Grace berkata lirih yang hanya bisa didengar oleh Mevin dan membuat Mevin menghentikan laju kursi rodanya. Grace menghampiri Mevin dan kembali berlutut di depan Mevin lalu mengelus lutut Mevin. Mevin masih acuh hingga saat Grace memekik satu kalimat yang menyakitkan, “Mevin stop there! You said that you want to through the rest of your life together, kenapa sekarang kayak gini?! Am I a joke to you?”

“Kamu nggak ngerti, Grace!” balas Mevin tidak kalah nyaring.

“Iya, aku emang nggak ngerti sama sikap kamu yang―”

“―Aku udah nggak sayang kamu!” teriak Mevin nyaring saat memotong pembicaraan Grace. Tenggorokan Grace tercekat bukan main, air matanya tumpah tanpa komando saat itu juga.

“Udah! Kita sampai disini aja!” pekik Mevin sekali lagi. Grace terkekeh di atas tangisannya, “kamu bukan kayak Mevin yang aku kenal, kamu berubah, Vin.”

“Iya, aku bukan Mevin yang kamu kenal setelah semua insiden ini!”

Grace menghela napas panjang, memasang senyum pedihnya lalu ia berkata, “nanti akan ada saatnya kamu bisa jalan lagi, tapi kalau emang itu mau kamu, untuk pisah ... iya, aku juga sadar aku sebagai pasangan kamu juga nggak ada gunanya, kan? Apa yang mau diharepin dari aku, cewek yang dijual Papanya sendiri. Kita sampai disini, kita selesai. Selesai, Mevin,” kata Grace setelahnya lalu memaksakan diri tersenyum.

Keduanya masih saling menatap tapi mata mereka sama-sama basah oleh air mata. Dunia kita akan berubah, ada banyak hal-hal yang hilang. Tidak bisa kita jumpai lagi sosok itu, tidak bisa lagi kita sentuh raganya, kita hanya akan bisa melihat mereka dalam terawang jauh pikiran, bertemu dalam setiap pejam doa, merasakan kehangatan dan kenangan masa lalu itu sebatas saat menyebutkan namanya, tak ada lengan yang memeluk dan merengkuh, semua keadaan akan berubah, maupun dari hal kecil sekalipun. Kisah Mevin dan Grace berakhir hari ini.