awnyaii

Saat menelfon Grace, Mevin berusaha tahan tangisnya tapi tidak bisa lagi. Emosinya tidak bisa ia kendalikan lagi, ia berada di dasar jurang luka dan kesakitan paling palung saat ini. Mevin tengah berada di kamarnya, ia duduk di lantai dan bersandar di tempat tidurnya, ia meraih vas bunga yang ada di nakas yang ada di sebelahnya yang masih terjangkau tangannya lalu ia banting keras-keras di depannya. “Arghhhhh! Brengseekkk!!” jerit Mevin saat itu, lalu ia juga menarik sprei serta bed covernya hingga membuat kamarnya berantakan, barang-barang di dekatnya yang sekiranya masih terjangkau tangannya ia banting dan serakkan begitu saja, ia kesusahan dan tidak bisa menggerakkan bagian tubuhnya dari pinggang hingga kakinya. Mevin pukuli bagian pahanya dan lututnya, ia menangis disana sejadinya, tumpahkan semua perasaannya.

Perasaan dimana ia tidak bisa menerima dirinya sendiri sekarang. Mevin yang selama ini berusaha menjaga senyumnya dan Grace agar tetap utuh, kini, bak seakan perlahan dibunuh kenyataan dan kesakitan yang menggerogoti jiwanya. Suara bising dari kamar Mevin ternyata membuat Lea dan Jeremy bergegas ke sana.

Malam itu, untuk pertama kalinya, Lea dan Jeremy melihat kehancuran anak mereka. Lea dan Jeremy sebenarnya baru saja menelfon Jovian untuk memberitahukan keadaan Mevin sekarang karena sampai saat ini pun Mevin belum memberitahu keadaannya kepada Papa kandungnya itu. Jovian shock bukan main, panik dan khawatir tapi Lea dan Jeremy berusaha meyakinkan bahwa sebisa mungkin mereka akan mendampingi Mevin, bahkan Jeremy juga mengingatkan Jovian kalau sekiranya ia bisa berkunjung dari Australia, Jeremy berharap Jovian bisa datang dan menengok keadaan Mevin.

Baru saja Jeremy dan Lea hendak beritakan kabar itu kepada Mevin tapi yang mereka lihat adalah Mevin yang tengah hancur. Lea dan Jeremy kaget bukan main saat membuka pintu kamar Mevin. Bahkan kini Mevin tengah menyeret tubuhnya sekuat tenaga tapi beberapa tetes darah terlihat di lantai.

“Mevin!” Jeremy berteriak dan langsung meraih tubuh Mevin, tapi anaknya itu memberontak, beberapa pecahan kaca vas tadi mengenai kaki Mevin saat ia menyeret tubuhnya sehingga menimbulkan luka dan goresan di kulit Mevin.

“Vin, kamu ngapain?!” tanya Jeremy panik, sedangkan Lea masih berdiri disana, membeku karena tidak tega melihat keadaan Mevin saat ini. Jeremy berusaha meraih tubuh anaknya itu berniat mengangkat tubuh Mevin tapi Mevin memberontak. “Papa keluar aja sama Mama!”

“Kamu kenapa kaya gini?” tanya Jeremy sambil mencengkram kedua bahu Mevin tapi anaknya itu memalingkan wajahnya. Lea perlahan berjalan mendekati Mevin dari sisi sebelahnya, Lea tangkup pipi anaknya itu, ia bawa Mevin dengan matanya yang merah itu menatap wajah Lea.

“Anak Mama kenapa kaya gini?” tanya Lea lembut. Mevin hanya bisa menunduk, perlahan Lea raih tangan Mevin, Lea satukan jemari Mevin dan miliknya dalam satu genggaman.

“Jangan kaya gini, sayang, jangan―” Jeremy hanya bisa mengatur napasnya dan menahan air matanya yang menumpuk, ia pun beranjak mengambil obat dan kapas untuk membersihkan luka di tubuh Mevin.

“Kuat itu perlu, kan, Ma? Lemah itu bukan suatu kesalahan, kan? Kali ini Mevin kalah sama keadaan.” Mevin tertunduk lesu. Bibir Lea bergetar saat menjawab penuturan anaknya itu, “iya, nggak salah, tapi jangan sampai lukain diri sendiri, sayang.”

“Capek, Ma.” Mevin kini melepaskan genggaman tangan Mamanya itu. Lea tidak menjawab apa-apa ia langsung menarik tubuh Mevin, mencium pipi Mevin dan memeluknya erat. Pada sebuah masa, tidak pernah sekalipun Lea tega melihat anak-anaknya menangis. Saat Lauren harus menangis karena Willy, saat Jevin menangis karena merasa bersalah terhadap Letta dan Mevin, dan saat Mevin ada di titik terendahnya seperti ini.

“Ada Mama, ada Papa,” kata Lea sambil merenggangkan pelukan perlahan, Jeremy yang datang membawa kapas dan obat pun langsung mengobati goresan dan luka di kaki Mevin di beberapa titik. Mevin hanya diam dan tertunduk menahan tangisannya. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi, kini Jeremy mengangkat tubuh Mevin dan ia gendong di punggungnya dan ia baringkan Mevin di tempat tidurnya, lalu Jeremy tidak bisa berkata apa-apa, ia hanya mengelus puncak kepala Mevin sebentar lalu melenggang keluar dari sana. Lea masih disana duduk di sebelah Mevin dan menggenggam tangan anaknya.

“Temenin Mevin sampai tidur, boleh, Ma?” tanya Mevin.

“Tidur aja, Mama temenin Mevin sampai tidur.” Lea mengangguk lalu mengecup punggung tangan anaknya itu.

“Mama,” kata Mevin sambil masih menggenggam tangan Mamanya.

“Iya sayang? Kenapa?” tanya Lea sambil membelai kepala Mevin.

“Boleh Mevin minta tolong?” Lea mengangguk.

“Temenin Mevin ke Singapore ketemu Grace. Boleh?” tanya Mevin yang membuat Lea terperangah kaget.

“Kenapa? Ada apa sama Grace? Iya pasti Mama temenin.”

“Mevin harus ketemu Grace, Ma pokoknya. Boleh ya, Ma?”

“Iya, boleh, Mama temenin dan anterin Mevin, sekarang Mevin tidur dulu, oke?” ujar Lea lagi, Mevin tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Akhirnya, Mevin memejam perlahan dan Lea masih disana sampai anaknya itu benar-benar terlelap. Lea juga menyelimuti tubuh Mevin baru ia beranjak keluar dari sana.


Betapa terkejutnya Lea saat ia melangkah masuk ke kamarnya, ia melihat Jeremy yang tengah duduk di kursi di meja kerjanya, tangannya ia gunakan untuk menopang kepalanya yang agak tertunduk, tapi punggungnya bergetar. Lea berjalan mendekat tanpa kata, perlahan ia melingkarkan lengan di tubuh Jeremy. Lengan Lea melingkar di leher Jeremy dan Lea mengecup puncak kepala Jeremy.

“Jeremy―sayang, jangan nangis,” kata Lea lirih. Jeremy tidak membalas perkataan itu, melainkan kini ia menyandarkan tubuhnya kepada Lea.

“Nggak kuat lihatnya, nggak bisa, Lea―terlalu sakit.” Lea memberikan beberapa usapan berulang di pundak Jeremy, ia kehilangan kata-katanya, seketika bisu, seluruh keluarganya merasa sakit sekarang. Sejenak Lea juga terpikir oleh keadaan Grace di Singapore, lalu ia memikirkan Mevin lagi. Sungguh keadaan sedang ada di titik kacau dan kalutnya sekarang. Bahkan Jeremy menangis keras lebih keras dan menyakitkan daripada tangisan Jeremy saat hendak mengajukan surat gugatan cerai dengan Lea dulu.

Hati Grace bak dibilah belati usai melihat video singkat yang Mevin kirimkan itu. Di bawah jingga yang memudar, Grace masuk ke kamar mandi apartemennya, mencuci wajahnya lalu menatap cermin yang ada di sana. Ia belum menangis tapi dadanya sangat sesak. Bagaimana keadaan Mevin sekarang? Sesakit apa yang Mevin rasakan sekarang? Bagaimana mungkin Mevin kehilangan kemampuan menggerakkan bagian tubuhnya? Mengapa harus Mevin?

Pikiran Grace melanglangbuana dalam lamunannya yang membawanya ke antah berantah―jauh. Ia belum menemukan titik untuk dirinya kembali, ia baru saja merangkak hendak mengembalikan dirinya seperti sedia kala, tapi keadaan memaksanya jatuh lagi. Satu kenyataan pahit yang ia terima, berkas senyuman di wajah ayu Grace kini pudar. Sebuah tamparan keras untuk hidup dan dirinya seakan diberikan Sang Kuasa bertubi-tubi. Belum selesai ia dengan urusan batinnya, sekarang ditambah Mevin.

Grace menatap dirinya yang kacau dan kalut di cermin, ia ingin menangis meraung tapi tidak bisa. Sungguh, itu rasanya lebih menyiksa dari apapun. Maka Grace keluar dari kamar mandi lalu menuju tempat tidurnya, ia duduk di lantai dan bersandar pada tempat tidurnya, Grace meraih ponselnya, tangannya masih gemetar tapi ia beranikan diri untuk menelfon Mevin. Beberapa kali percobaan panggilan Mevin abaikan bahkan Mevin putus panggilan itu sepihak. Grace masih mencobanya, hingga akhirnya...

“Apa?” suara Mevin yang berat di seberang sana terdengar. Grace membeku, ia dengar suara kekasihnya sekarang, tunggu―entah keduanya masih bisa disebut sepasang kekasih atau tidak?

“You okay?” tanya Grace dengan suara gemetar. Mevin diam. Grace diam. Grace mengatur napasnya yang mulai berat, sementara Mevin terdengar gusar.

“Mevin ....” Grace sekali lagi memanggil lirih kekasihnya. Tidak ada jawaban beberapa detik hingga akhirnya Grace hanya mendengar suara isakan tangis pedih yang menyayat hati. Awalnya lirih, Grace gigit bibir bawahnya. Isakan di seberang sana terdengar lagi, isakan tangis jiwa Mevin yang rapuh pada akhirnya Grace dengar, Grace mengepalkan tangannya, jantungnya berdegup tak beraturan, sesak dan sakit.

“Aku mau sendiri,” kata Mevin di seberang sana, terdengar ia berpura-pura kuat. Tembok kokoh itu rubuh juga.

“Iya, sendiri dulu. Tapi kalau mau nangis nggak papa, jangan ditahan, jangan sendiri, jangan sakit sendiri―” Belum usai Grace dengan kalimatnya, sebuah raungan histeris dan tangisan keras terdengar jelas di telinga Grace. Maka saat itu juga air mata Grace turun tanpa komando. Dadanya sesak mendengar tangisan keras Mevin di telepon saat itu. Bibir Grace bergetar, tangan dan kakinya dingin seketika. Baru kali ini Grace mendengar Mevin sehancur ini di atas tangisannya, baru kali ini Grace merasakan sakit dan sesaknya Mevin. Sosok kuat dan berhati besar di hidup Grace itu kini juga rapuh, sakit, ada di titik terendahnya.

“Mevin―” PYARRR

Suara pecahan benda di sambungan telepon Mevin terdengar dan membuat Grace panik.

“Mevin!! Mevin!!”

“Arghhhhh!! Brengseekkk!!” jerit Mevin di sebelah sana sambil membanting barang-barang yang membuat Grace juga ketakutan. Tiba-tiba sambungan telepon itu terputus sepihak. Grace dengan tangannya yang dingin dan gemetar masih mencoba menghubungi Mevin lagi tapi Mevin menonaktifkan ponselnya. Grace kelimpungan bukan main, ia bangkit berdiri dan terus mencoba menelfon Mevin lagi tapi nihil. Saat itu juga Grace menangis, baru ia bisa menangis, ia belum pernah mendengar teriakan se depresi itu dari Mevin, ia belum pernah mendengar Mevin menangis sebegitu kerasnya. Grace bungkam mulutnya sendiri dengan telapak tangannya, ia membaringkan tubuhnya di tempat tidur dan memeluk guling dan menangis di sana seorang diri, tak ada yang bisa ia lakukan saat ini, entah berapa jam Grace menangis hingga ia tertidur di sana.

Taksi yang Mevin naiki usai pulang dari Singapore saat Mevin hendak kembali ke rumah dari bandara mengalami kecelakaan dan Mevin langsung dilarikan ke Rumah Sakit dimana tempat ia bekerja oleh orang-orang yang membantu di lokasi kejadian. Mendengar kabar dari Rumah Sakit, Lea dan Jeremy langsung panik dan bergegas ke rumah sakit. Mevin belum sadarkan diri. Tapi pihak dokter sudah mengatakan satu hal yang meremukkan hati Lea dan Jeremy.

“Mevin mengalami kelumpuhan kaki, meski sifatnya sementara, tapi belum bisa dipastikan berapa lama dan kapan akan kembali. Semua tergantung perkembangan keadaan Mevin sendiri.” Kalimat itu disampaikan oleh dokter usai menangani Mevin dan menemui Lea serta Jeremy yang masih menunggu di bangku panjang di koridor Rumah Sakit itu. Alhasil, Lea yang mendengar hal itu langsung menangis di pelukan Jeremy.

“Kenapa harus Mevin? Kenapa anak sebaik itu harus dapet banyak cobaan? Kenapa?!!” tangisnya di pelukan Jeremy sambil mengepalkan tangan dan memukul pelan dada Jeremy. Yang diberi perlakun tidak berkutik karena hati Jeremy sebagai seorang ayah juga hancur.

“Lea―”

“Harus ngomong apa ke Mevin nanti? Harus gimana?!” pekik Lea dengan nada tinggi sambil merenggangkan rengkuh, Jeremy mencoba menenangkan istrinya itu tapi Lea masih kalut. Senja ataupun siang hari selalu terasa gelap selama Lea mendapati keadaan Mevin yang belum kunjung sadar, bahkan bagaimana jadinya jika Mevin harus menerima kenyataan buruk ini setelahnya.

“Harus jujur, jangan ada yang ditutupi. Harus kita terima, sayang.”

“Silahkan kamu yang ngomong ke Mevin, aku nggak sanggup, Jeremy... Nggak sanggup!”

“Terus gimana?” Lea berbalik badan, memijit keningnya dan masih menangis, tak lama brankar rumah sakit didorong keluar, Mevin disana. Dan akhirnya Mevin dipindahkan ke ruang rawatnya, diikuti Lea dan Jeremy. Sepanjang hari itu kedua orang tua Mevin menjagai anak lelakinya itu di Rumah Sakit. Jeremy hanya memandangi Lea dari sofa. Lea masih disana memegang tangan Mevin, mengecupnya, membelai kening Mevin sesekali, lalu terisak lagi bahkan hingga Lea terlelap di sana menjaga Mevin, tiba-tiba Lea terbangun setelah lama waktu berlalu, membenamkan wajah di sebelah tangan Mevin. Lea merasakan Mevin sedikit gusar. Hal itu membuat Lea mengerjap dan mendongakkan kepalanya. Lea langsung mendekat kepada Mevin.

“Mevin... anak Mama―” kata Lea dengan suara parau.

“Jeremy, Mevin bangun, Jer!” panggil Lea yang membangunkan Jeremy yang juga terlelap di sofa.

“Mama...” ujar Mevin dengan suara beratnya dan mengerjapkan mata menatap Mamanya.

“Iya, Mama disini, nak. Ini Mama sama Papa.” Lea mendekatkan wajahnya dan mengecup kening Mevin.

“Papa..” ujar Mevin lirih juga saat melihat Papanya ada disana.

“Iya, Mevin, Papa sama Mama disini. Thank God kamu udah sadar, Nak.” Jeremy tersenyum haru. Mevin berusaha bergerak, ia ingin bangun tapi sulit rasanya. Mevin coba gerakkan kakinya, namun tidak bisa. Mevin coba sentuh kakinya dan gerakkan lagi, tapi tidak bisa.

“Ma, Pa, kaki Mevin kenapa nggak bisa gerak?” tanya Mevin sambil menatap nanar kedua orang tuanya yang kini tertunduk. Tidak ada jawaban dari Jeremy ataupun Lea. Mevin yang mulai mengerti keadaan pun mendengus lalu tersenyum pedih.

“Mama sama Papa pulang aja nggak papa. Mevin sendiri nggak papa.” Mevin berkata dengan nada tenang.

“Nggak, Mama mau disini nemenin kamu.” Lea bersikukuh ingin tetap disana.

“Mama pulang aja sama Papa. Mevin mau sendiri.”

“Nak, Papa sama Mama temenin aja,” sela Jeremy. Mevin menatap Papanya dengan tatapan tajam, “Mevin mau sendiri.” kata demi kata ia lafalkan dengan penuh penekanan.

Jeremy pun berbisik kepada Lea, “give him space, sebentar aja.” Lea sempat menepis tangan Jeremy, tapi Jeremy yang paham Mevin ingin diberi ruang sendiri, dan Jeremy yakin Mevin sudah tahu apa yang terjadi kepadanya. Jeremy dan Lea tidak sampai hati mengatakan apapun barang satu kata kepada anak mereka itu. Sulit dan kelu rasanya lidah Jeremy dan Lea. Kini Mevin memalingkan wajah dari kedua orang tuanya itu.

“Mevin mau sendiri.” Mevin berkata lalu memejamkan mata. Lea masih ingin tinggal disana, Lea sedikit terisak saat Jeremy memaksanya keluar dari sana. Tapi pada akhirnya Lea menurut saja. Jeremy dan Lea hancur hati saat menutup pintu ruangan itu. Saat Mevin memastikan kedua orang tuanya sudah meninggalkan ruangan itu, ia berusaha sekuat tenaga memaksa dirinya sedikit bangun lebih keras hingga ia ada di posisi setengah duduk dan bersandar. Mevin mengepalkan tangan sambil memukuli lututnya sendiri, menangis disana―sendirian.

“Nggak berguna!” gumamnya lirih. Matanya terasa panas, sejenak ia melihat ponselnya yang ada di atas nakas, ponselnya menyala dan berdering, nama Grace terpampang disana. Mevin menundukkan kepalanya, kini matanya tidak bisa lagi menahan antrean air mata yang hendak tumpah ruah. Ia terisak disana, mengabaikan panggilan Grace, bahkan ia meraih ponselnya dan membantingnya ke lantai keras-keras.

Arghhhh!” teriak Mevin saat itu juga sambil melepas paksa dengan gerakan kasar infus yang terpasang di punggung tangannya, dadanya sesak, Mevin memaksakan diri bergerak memaksa kakinya untuk bergerak, ia layangkan beberapa pukulan ke kakinya sendiri, benar-benar Mevin tidak bisa menggerakkan kakinya kali ini.

Mevin menyerakkan bantal dan selimutnya hingga ia ikut terjatuh tersungkur ke lantai, hal itu membuat Jeremy dan Lea yang sebenarnya masih menunggu di luar di balik pintu langsung masuk dan mendapati Mevin menangis di lantai dengan keadaan kacau.

“Mevin!”

“Nak!” Pekik Jeremy dan Lea hampir bersamaan lalu berlutut langsung menghampiri Mevin.

“Mevin!” Jeremy memegang kedua pundak Mevin tapi anaknya itu memberontak.

“Lepasin Mevin!” teriak Mevin nyaring.

“Nak, jangan kaya gini, Mevin... anak Mama...” Lea kini mencoba memeluk Mevin dari belakang dan menyandarkan tubuh Mevin di tubuhnya. Mevin juga masih memberontak, bahkan sekarang tangisan Mevin mengeras.

“Dunia Mevin―Grace, udah hancur, dunia Mevin sendiri juga hancur!” Teriak Mevin histeris.

“Everything’s gonna be okay, Mevin!” sela Jeremy.

“Apa yang mau diharapin dari Mevin yang nggak bisa apa-apa lagi ini? Mevin nggak bisa jalan, nggak berguna, nggak bisa apa-apa!”

“Mevin... jangan gitu, anak Mama....” Lea menyandarkan tubuh Mevin di tubuhnya dan mendekap anaknya itu serta mengecup puncak kepala Mevin beberapa kali berharap Mevin sedikit tenang.

Mevin memukuli kakinya sendiri lagi, tapi Jeremy mencegahnya, Mevin malah mendorong tubuh Papanya itu, Jeremy sekarang menjadi bisu, segala perasaannya diberingkus oleh rasa sakit yang melanda hatinya. Melihat anaknya yang paling kuat dan ikhlas harus mengalami hal seperti ini.

“Anak Mama, nggak ada yang nggak berguna, Mevin hebat, Tuhan nggak akan biarin Mevin jatuh, Mevin special, Mevin bisa, ya ... yang kuat sayang, ada Mama sama Papa. Mama yakin Grace juga akan ngerti keadaan.”

“Mevin nggak mau Grace tahu!” kata Mevin nyaring.

“Kenapa?” tanya Jeremy dengan nada lesu.

“Grace nggak boleh tahu!” balas Mevin mendelik menatap ayahnya itu, Jeremy hanya bisa diam dan menundukkan wajahnya menahan rasa pilu.

“Iya sayang, iya. Kalau itu maunya Mevin, iya, nggak boleh Grace tahu. Tapi Mevin jangan kaya gini, Mama sedih. Mama, Papa, semua keluarga bakalan ada buat Mevin.” kata Lea. Setelahnya, Mevin sedikit tenang setelah mendengar perkataan Lea, lalu Mevin bersandar di tubuh Lea, kini Mevin juga memegang erat lengan Lea yang melingkar di tubuhnya. Mevin masih menangis tapi tidak sekeras tadi. Napasnya terasa berat seketika.

“Kuat sayang, kuat―” Lea mengecup puncak kepala anaknya itu. Jeremy melihat anaknya itu terpejam dan wajahnya memucat. Perlahan pegangan tangan Mevin terhadap tangan Lea terlepas, “Mevin!” pekik Jeremy panik saat mendapati Mevin terkulai lemas tidak sadarkan diri.

Taksi yang Mevin naiki usai pulang dari Singapore saat Mevin hendak kembali ke rumah dari bandara mengalami kecelakaan dan Mevin langsung dilarikan ke Rumah Sakit dimana tempat ia bekerja oleh orang-orang yang membantu di lokasi kejadian. Mendengar kabar dari Rumah Sakit, Lea dan Jeremy langsung panik dan bergegas ke rumah sakit. Mevin belum sadarkan diri. Tapi pihak dokter sudah mengatakan satu hal yang meremukkan hati Lea dan Jeremy.

“Mevin mengalami kelumpuhan kaki, meski sifatnya sementara, tapi belum bisa dipastikan berapa lama dan kapan akan kembali. Semua tergantung perkembangan keadaan Mevin sendiri.” Kalimat itu disampaikan oleh dokter usai menangani Mevin dan menemui Lea serta Jeremy yang masih menunggu di bangku panjang di koridor Rumah Sakit itu. Alhasil, Lea yang mendengar hal itu langsung menangis di pelukan Jeremy.

“Kenapa harus Mevin? Kenapa anak sebaik itu harus dapet banyak cobaan? Kenapa?!!” tangisnya di pelukan Jeremy sambil mengepalkan tangan dan memukul pelan dada Jeremy. Yang diberi perlakun tidak berkutik karena hati Jeremy sebagai seorang ayah juga hancur.

“Lea―”

“Harus ngomong apa ke Mevin nanti? Harus gimana?!” pekik Lea dengan nada tinggi sambil merenggangkan rengkuh, Jeremy mencoba menenangkan istrinya itu tapi Lea masih kalut. Senja ataupun siang hari selalu terasa gelap selama Lea mendapati keadaan Mevin yang belum kunjung sadar, bahkan bagaimana jadinya jika Mevin harus menerima kenyataan buruk ini setelahnya.

“Harus jujur, jangan ada yang ditutupi. Harus kita terima, sayang.”

“Silahkan kamu yang ngomong ke Mevin, aku nggak sanggup, Jeremy... Nggak sanggup!”

“Terus gimana?” Lea berbalik badan, memijit keningnya dan masih menangis, tak lama brankar rumah sakit didorong keluar, Mevin disana. Dan akhirnya Mevin dipindahkan ke ruang rawatnya, diikuti Lea dan Jeremy. Sepanjang hari itu kedua orang tua Mevin menjagai anak lelakinya itu di Rumah Sakit. Jeremy hanya memandangi Lea dari sofa.

Lea masih disana memegang tangan Mevin, mengecupnya, membelai kening Mevin sesekali, lalu terisak lagi bahkan hingga Lea terlelap di sana menjaga Mevin, tiba-tiba Lea terbangun setelah lama waktu berlalu, membenamkan wajah di sebelah tangan Mevin. Lea merasakan Mevin sedikit gusar. Hal itu membuat Lea mengerjap dan mendongakkan kepalanya. Lea langsung mendekat kepada Mevin.

“Mevin... anak Mama―” kata Lea dengan suara parau.

“Jeremy, Mevin bangun, Jer!” panggil Lea yang membangunkan Jeremy yang juga terlelap di sofa.

“Mama...” ujar Mevin dengan suara beratnya dan mengerjapkan mata menatap Mamanya.

“Iya, Mama disini, nak. Ini Mama sama Papa.” Lea mendekatkan wajahnya dan mengecup kening Mevin.

“Papa..” ujar Mevin lirih juga saat melihat Papanya ada disana.

“Iya, Mevin, Papa sama Mama disini. Thank God kamu udah sadar, Nak.” Jeremy tersenyum haru. Mevin berusaha bergerak, ia ingin bangun tapi sulit rasanya. Mevin coba gerakkan kakinya, namun tidak bisa. Mevin coba sentuh kakinya dan gerakkan lagi, tapi tidak bisa.

“Ma, Pa, kaki Mevin kenapa nggak bisa gerak?” tanya Mevin sambil menatap nanar kedua orang tuanya yang kini tertunduk. Tidak ada jawaban dari Jeremy ataupun Lea. Mevin yang mulai mengerti keadaan pun mendengus lalu tersenyum pedih.

“Mama sama Papa pulang aja nggak papa. Mevin sendiri nggak papa.” Mevin berkata dengan nada tenang.

“Nggak, Mama mau disini nemenin kamu.” Lea bersikukuh ingin tetap disana.

“Mama pulang aja sama Papa. Mevin mau sendiri.”

“Nak, Papa sama Mama temenin aja,” sela Jeremy. Mevin menatap Papanya dengan tatapan tajam, “Mevin mau sendiri.” kata demi kata ia lafalkan dengan penuh penekanan. Jeremy pun berbisik kepada Lea, “give him space, sebentar aja.” Lea sempat menepis tangan Jeremy, tapi Jeremy yang paham Mevin ingin diberi ruang sendiri, dan Jeremy yakin Mevin sudah tahu apa yang terjadi kepadanya. Jeremy dan Lea tidak sampai hati mengatakan apapun barang satu kata kepada anak mereka itu. Sulit dan kelu rasanya lidah Jeremy dan Lea. Kini Mevin memalingkan wajah dari kedua orang tuanya itu.

“Mevin mau sendiri.” Mevin berkata lalu memejamkan mata. Lea masih ingin tinggal disana, Lea sedikit terisak saat Jeremy memaksanya keluar dari sana. Tapi pada akhirnya Lea menurut saja. Jeremy dan Lea hancur hati saat menutup pintu ruangan itu.

Saat Mevin memastikan kedua orang tuanya sudah meninggalkan ruangan itu, ia berusaha sekuat tenaga memaksa dirinya sedikit bangun lebih keras hingga ia ada di posisi setengah duduk dan bersandar. Mevin mengepalkan tangan sambil memukuli lututnya sendiri, menangis disana―sendirian.

“Nggak berguna!” gumamnya lirih. Matanya terasa panas, sejenak ia melihat ponselnya yang ada di atas nakas, ponselnya menyala dan berdering, nama Grace terpampang disana. Mevin menundukkan kepalanya, kini matanya tidak bisa lagi menahan antrean air mata yang hendak tumpah ruah. Ia terisak disana, mengabaikan panggilan Grace, bahkan ia meraih ponselnya dan membantingnya ke lantai keras-keras.

Arghhhh!” teriak Mevin saat itu juga sambil melepas paksa dengan gerakan kasar infus yang terpasang di punggung tangannya, dadanya sesak, Mevin memaksakan diri bergerak memaksa kakinya untuk bergerak, ia layangkan beberapa pukulan ke kakinya sendiri, benar-benar Mevin tidak bisa menggerakkan kakinya kali ini. Mevin menyerakkan bantal dan selimutnya hingga ia ikut terjatuh tersungkur ke lantai, hal itu membuat Jeremy dan Lea yang sebenarnya masih menunggu di luar di balik pintu langsung masuk dan mendapati Mevin menangis di lantai dengan keadaan kacau.

“Mevin!”

“Nak!” Pekik Jeremy dan Lea hampir bersamaan lalu berlutut langsung menghampiri Mevin.

“Mevin!” Jeremy memegang kedua pundak Mevin tapi anaknya itu memberontak.

“Lepasin Mevin!” teriak Mevin nyaring.

“Nak, jangan kaya gini, Mevin... anak Mama...” Lea kini mencoba memeluk Mevin dari belakang dan menyandarkan tubuh Mevin di tubuhnya. Mevin juga masih memberontak, bahkan sekarang tangisan Mevin mengeras.

“Dunia Mevin―Grace, udah hancur, dunia Mevin sendiri juga hancur!” Teriak Mevin histeris.

“Everything’s gonna be okay, Mevin!” sela Jeremy.

“Apa yang mau diharapin dari Mevin yang nggak bisa apa-apa lagi ini? Mevin nggak bisa jalan, nggak berguna, nggak bisa apa-apa!”

“Mevin... jangan gitu, anak Mama....” Lea menyandarkan tubuh Mevin di tubuhnya dan mendekap anaknya itu serta mengecup puncak kepala Mevin beberapa kali berharap Mevin sedikit tenang. Mevin memukuli kakinya sendiri lagi, tapi Jeremy mencegahnya, Mevin malah mendorong tubuh Papanya itu, Jeremy sekarang menjadi bisu, segala perasaannya diberingkus oleh rasa sakit yang melanda hatinya. Melihat anaknya yang paling kuat dan ikhlas harus mengalami hal seperti ini.

“Anak Mama, nggak ada yang nggak berguna, Mevin hebat, Tuhan nggak akan biarin Mevin jatuh, Mevin special, Mevin bisa, ya ... yang kuat sayang, ada Mama sama Papa. Mama yakin Grace juga akan ngerti keadaan.”

“Mevin nggak mau Grace tahu!” kata Mevin nyaring.

“Kenapa?” tanya Jeremy dengan nada lesu.

“Grace nggak boleh tahu!” balas Mevin mendelik menatap ayahnya itu, Jeremy hanya bisa diam dan menundukkan wajahnya menahan rasa pilu.

“Iya sayang, iya. Kalau itu maunya Mevin, iya, nggak boleh Grace tahu. Tapi Mevin jangan kaya gini, Mama sedih. Mama, Papa, semua keluarga bakalan ada buat Mevin.” kata Lea. Setelahnya, Mevin sedikit tenang setelah mendengar perkataan Lea, lalu Mevin bersandar di tubuh Lea, kini Mevin juga memegang erat lengan Lea yang melingkar di tubuhnya. Mevin masih menangis tapi tidak sekeras tadi. Napasnya terasa berat seketika.

“Kuat sayang, kuat―” Lea mengecup puncak kepala anaknya itu. Jeremy melihat anaknya itu terpejam dan wajahnya memucat. Perlahan pegangan tangan Mevin terhadap tangan Lea terlepas,

“Mevin!” pekik Jeremy panik saat mendapati Mevin terkulai lemas tidak sadarkan diri.

Letta―adalah nama yang sudah Jevin sematkan seluruh isi perasaannya untuk berlabuh, delapan tahun perjuangan dan perjalanan mereka hingga bisa sematkan sebutan suami dan istri dalam naungan pernikahan.

Jevin juga adalah nama yang selalu Letta sebutkan setiap ia memejamkan mata dalam remang dan Jevin adalah orang yang Letta ingin selalu lihat saat ia membuka dan hendak menutup mata.

Jika dikisahkan, perjalanan mereka panjang dan tidak mudah. Banyak kehilangan dan kepergian yang harus mereka hadapi. Kepergian tanpa salam perpisahan, teriakan ironi serta tangisan yang menyayat hati setiap kepergian yang dihadapi.

Terakhir kali, hubungan Jevin dan Letta sedang tidak baik. Suatu kesalahpahaman terjadi di antara mereka. Kali ini, Letta dan Jevin tengah menunggu kedatangan Clarynta, seorang wanita yang membuat hubungan Jevin dan Letta runyam.

Keduanya tengah berada di ruangan kantor Jevin, keduanya duduk di sofa yang bersebelahan tapi bak ada sebuah sekat yang membatasi Jevin dan Letta. Beberapa kali Jevin hendak meraih tangan Letta tapi ditepis Letta kasar. Hati wanita mana yang tidak sakit melihat suaminya ada di apartemen wanita lain? “Letta, sampai kapan diemin aku?” tanya Jevin lembut.

“Sampai semua jelas.” Letta berkata dengan nada ketus.

Hingga akhirnya sebuah ketukan pintu membuyarkan mereka berdua, Jevin dan Letta bangkit berdiri saat melihat Clarynta ada di sana. Letta dengan langkahnya yang terburu langsung menghampiri Clarynta dan menamparnya.

Plak! Satu tamparan mendarat di pipi Clarynta dari Letta.

“Sayang!” pekik Jevin panik sambil berusaha menengahi mereka berdua.

“Lo apaan, sih?!” balas Clarynta tidak kalah nyolot.

“Lo ngapain sama suami gue?!” kata Letta dengan nada nyaring.

“Clar! Tell her the truth! Jangan bikin gue sama Letta ribut!” bentak Jevin.

“Jevin ke apartemen gue,” kata Clarynta singkat lalu membuang pandangan sambil menyilangkan tangan di depan dada.

“Terus?” tanya Letta menantang.

“Clar! Ngomong jujur atau gue bisa cut off lo dari kerjaan!” kata Jevin.

“Oke! Jevin sama Jordy ke apartemen gue waktu itu karena laptop gue ketinggalan dan ada banyak file yang harus diolah datanya, sekalian kita kerjain kerjaan itu di apartemen gue, Jevin ngeluh pusing terus dia sempat cuci muka di kamar mandi yang ada di kamar gue, I took his picture and send it to you, Cuma itu.” Clarynta nampak kesal padahal dia yang membuat masalah. Bibir Letta sudah kelu.

“Itu yang terjadi, aku nggak ngapa-ngapain, aku berani sumpah!” kata Jevin.

Clear, kan? Puas?” kata Clarynta angkuh lalu pergi dari sana, saat Clarynta hendak keluar dari ruangan itu Letta sudah bergegas hendak menjambak wanita itu tapi Jevin langsung menahan langkah Letta dan memeluknya sementara Clarynta keluar dari sana sambil membanting pintu.

“Udah, Lett! Udah!” Jevin masih terus menahan istrinya itu. Letta pun melepas paksa pelukan Jevin, pipi Letta seketika basah karena tangis yang pecah.

“Harus banget mampir ke apart dia? Kan bisa di kantor, kalau sampai beneran kamu selingkuh, Jev ... yang kamu kecewain itu aku sama Eve!” Letta berkata dengan nyaring dan memberi penekanan di setiap kalimatnya diiringi linangan air mata.

Letta memukul dada Jevin beberapa kali, kaki Letta sudah bergetar, sementara Jevin tertunduk dan matanya panas, dadanya sesak mendengar satu nama yang Letta ucapkan.

“Setiap kamu nyakitin aku, ada dua hati yang sakit! Setiap kamu bikin aku tersiksa, ada dua hati yang terluka, Jevin!” Letta semakin pecah dalam tangis, maka Jevin menjatuhkan dirinya hingga berlutut di depan Letta yang menangis keras.

“Nggak akan ada toleransi untuk perselingkuhan, Jevin.”

“Maafin aku, tapi aku beneran nggak selingkuh, kamu denger semua tadi, kan? Aku nggak mau nyakitin kamu, aku nggak akan pernah bisa nyakitin kamu karena aku sadar juga akan hal itu, aku minta maaf ... sayang, maaf ....” Jevin berkata penuh sesal sambil mengatur napasnya yang berderu, juga suaranya yang berat dan bergetar menahan tangis. Sungguh, Jevin tidak akan pernah bisa menyakiti Letta. Yang ia genggam tidak akan ia biarkan merenggang. Riuh suasana mencekam terasa di sana, hanya ada tangisan dari dua insan yang menggema.

“Maafin aku,” kata Jevin terisak sambil menunduk.

“Aku nggak akan pernah nyakitin kamu, Eve tahu kalau aku nyakitin kamu pasti. Aku nggak akan nyakitin kamu, aku nggak akan biarin ada celah di hubungan kita, aku nggak mau bikin Eve kecewa, maafin aku ... Letta maafin aku ....” usai Jevin mengatakan kalimatnya ia terisak bukan main. Maka Letta mulai terenyuh, hatinya juga sesak melihat suaminya menangis seperti ini, maka Letta perlahan berlutut juga di depan Jevin hingga keduanya saling berhadapan lalu Letta memeluk suaminya itu, Jevin langsung membalas pelukan itu erat dan menangis terisak bukan main di pelukan Letta sambil meremas baju Letta.

“Maafin aku, jangan tinggalin aku, jangan ... aku nggak bisa hadapin kehilangan lagi, semuanya gelap kalau nggak ada kamu, aku nggak mau hancurin hati wanita yang aku sayang untuk kesekian kali,” ucap Jevin penuh sesal. Nada yang tercipta saat itu adalah nada sendu karena dua hati pilu menangis bersamaan, meleburkan semua perasaan yang ada.

Sejatinya, sebuah hubungan pasti selalu ada titik dimana kita menghadapi rasa kecewa, merasa hampa, merasa terluka hingga kita akan menemukan makna dari itu semua. Kadang dalam hubungan tidak berjalan sebagaimana mestinya atau tidak berjalan sebagaimana diinginkan, tapi semua berjalan sesuai kendali Sang Kuasa.

“Aku nggak mau kehilangan kamu! Maafin aku!” nada bicara Jevin meninggi seketika. Lalu ia mendongakkan kepala menatap Letta.

“Jangan pergi, jangan tinggalin aku. Apa aku hidup cuma buat ditinggalin?” kata Jevin sambil tersenyum pedih.

Letta pun merenggangkan pelukan, menghapus jejak air mata yang ada di wajah Jevin. Sementara Jevin masih diam dan mengatur napasnya yang masih memburu di dalam dada, ia tidak melihat ke arah Letta, pandangannya kosong ke depan. Namun, pipi Jevin masih basah oleh linang kristal bening yang mengalir dari matanya.

“Jangan pergi, jangan tinggalin aku, rasanya kayak mau nyusul Eve aja kalau ada yang pergi dari hidupku,” kata Jevin selanjutnya sembari mengarahkan pandangannya perlahan ke arah Letta.

“Jevin! Jangan ngomong gitu!”

“Aku nggak kuat kalau harus hadapin perpisahan lagi, jangan ... aku mohon ...” Jevin berkata dengan suaranya yang bergetar, Letta menggeleng beberapa kali sambil masih memeluk kekasihnya dan menangis. Hal itu membuat Jevin pecah juga dalam tangis yang menyayat dan menyeruak memecah hening malam itu. Maka, berbalaslah dekap yang diberikan Letta, bersatulah dua anak adam yang dipertemukan karena luka itu. Berhenti mempunyai keinginan mengakhiri hidup, coba kita lihat ke sekeliling, setidaknya akan ada satu orang yang ingin kita untuk tetap bertahan dan melanjutkan kehidupan sampai sang empunya berkata “Pulang” pada waktu-Nya.


Kebersamaan Mevin dan Kenzie memang bukan sebentar, bahkan Mevin sudah menganggap Kenzie adiknya sendiri. Hari ini, adalah hari keberangkatan Mevin ke Australia untuk tinggal bersama Jovian selama beberapa tahun, guna menempuh pendidikan.

Seluruh keluarga Adrian sudah berkumpul di rumah untuk mengantarkan Mevin ke bandara. Ada Jevin, Lauren, Lea dan Jeremy. Mereka masih menunggu kedatangan keluarga Hazel, bagaimana bisa hal sepenting ini tidak ada Kenzie di dalamnya, apalagi menyangkut Mevin.

Tak perlu lama menunggu, karena sudah ada suara mobil yang berhenti di depan rumah Jeremy dan Lea, maka Lauren mengintip dari balik jendela, benar saja, “Om Azel, Tante Shasha sama Kenzie!” seru Lauren girang yang langsung membuka pintu. Mevin yang tengah memainkan ponselnya pun mematikan ponselnya dan menyimpannya ke dalam kantong jaketnya. Ia bangkit berdiri dan berjalan menuju ambang pintu. Di sana terlihat Azel yang langsung menghampiri dan memeluk Mevin.

“Gimana nih, malah jadi TKI ke Aussie, ck.” Azel berdecak lalu mengacak rambut Mevin sejenak.

“Tuntutan negara, Om,” kekeh Mevin. Maka Azel hanya tertawa lalu masuk ke rumah itu untuk menemui Jeremy dan Lea.

Mevin melihat Kenzie dan Mamanya yang masih ada di depan mobil, wajah Kenzie seakan kesal, tapi bisa Mevin lihat jelas Kenzie menangis. Maka Lauren yang berdiri di belakang Mevin pun membisikkan, “samperin, pacar lo nangis mau LDR itu,” goda Lauren.

Mevin hanya geleng-geleng kepala dan tersenyum. Setelahnya, Mevin berjalan perlahan menghampiri Shasha dan Kenzie, “halo, Tante,” sapa Mevin. Shasha yang mendengar suara Mevin pun berbalik badan, Mevin memberi salam dan mencium tangan Shasha sopan.

“Gimana ini, Adrian fams berkurang satu personil, tante sedih.” Shasha mengelus pundak Mevin beberapa kali.

“Demi cita-cita, Tan.” Mevin tersenyum setelahnya.

“Tuh, nangis mau ditinggal Koko Mevin. Bujukin coba, tante ajak masuk nggak mau. Kenzo masih ada kegiatan di sekolah jadi nggak bisa ikut, tapi dia titip salam sama kamu,” bisik Shasha kepada Mevin.

“Tante masuk aja, Kenzie biar sama aku, ditunggu Mama sama Papa di dalam. Siap, nggak papa, nanti Mevin bisa telfon Kenzo,” balas Mevin. Shasha pun mengangguk dan tersenyum lalu berjalan masuk ke rumah itu.

Maka saat sampai di hadapan Kenzie yang masih membuang muka enggan menatap Mevin. Tapi, Mevin berlutut di depan Kenzie dan memegangi kedua pundak Kenzie sehingga anak perempuan itu menatap Mevin. Matanya merah dan berkaca-kaca.

“Kenapa Enzi nggak mau masuk?” tanya Mevin lembut.

Kenzie hanya menggeleng dan menundukkan kepalanya.

“Enzi nggak mau anterin Ko Mevin ke bandara?” tanya Mevin lagi.

“Lihat, Enzi sama Mevin udah lebih sedih adegannya daripada adegan aku mau cerai sama Jeremy waktu itu,” kata Lea sambil menyenggol lengan Shasha yang mengamati kedua anak mereka dari dalam rumah.

“Kak, jangan gelap joke nya, haha, dari semalem nangis mau ditinggal Mevin bertahun-tahun, katanya nanti siapa yang ajak Enzi main, mau sama Koko Mevin bukan Koko Jevin, ampun deh kak,” balas Shasha yang disambut gelak tawa Lea.

“Kak Jer, udah beneran siap?” tanya Azel kepada Jeremy yang keduanya tengah duduk di sofa ruang tamu.

“Mau nggak mau, masa iya ditahan disini, kan disana juga sama Papa kandungnya, gue bisa apa? Nggak siap, gue gendong dia dari lahir dan rawat dia sekarang mau pergi bertahun-tahun walaupun buat pendidikan tetep berat, tapi semua kan demi kebaikan Mevin.” Jeremy membalas dengan senyum penuh rasa ikhlas.

Kenzie masih mematung di depan Mevin, tapi ia memalingkan wajah ke kanan dan kiri karena enggan menatap Mevin. “Enzi,” panggil Mevin sekali lagi.

Sepertinya Enzi adalah orang pertama yang menangis sebelum ke bandara. Tidak ada kata-kata yang Mevin ucapkan, ia hanya langsung memeluk gadis kecil itu. Benar saja, Kenzie langsung terisak dan menangis di pelukan Mevin.

“Koko jangan pergi! Enzi nggak mau! Nggak mau! Ko Mevin ....” tangis Enzi yang pecah saat itu.

“Anak kamu, tuh, Sha. Ditinggal Mevin nangis kejer, udah kayak pacarnya aja,” ucap Azel yang masih ada di dalam rumah.

“Kalau bahasa gaulnya tuh couple of the year, Om,” sambung Jevin yang membuat semuanya tertawa.

“Bukan lagi,” balas Shasha.

“Kok nangis? Jangan nangis, dong.” Mevin masih berusaha menenangkan Kenzie tapi gadis kecil itu menangis sambil menghentak-hentakkan kakinya kesal tapi Mevin malah menggendongnya.

Mevin membuat jarak antara wajahnya dan Kenzie, ditatapnya wajah gadis mungil yang menangis itu, lalu Mevin hapus jejak air mata di wajah Kenzie dengan ibu jarinya.

“Kan Koko cuma sebentar, nanti Ko Mevin pulang lagi,” kata Mevin.

“Tapi Australia itu jauh, Zi nggak bisa minta Papa anterin buat ketemu Koko kayak sekarang,” kata Enzi di sela tangisnya.

“Kan masih bisa video call, ya?”

“Nggak bisa digendong ko... ko ....”

“Kan bisa telfonan.”

“Nggak bisa lihat koko ... Me ... vin ....”

Keduanya hanya saling menatap hingga Mevin berikan senyum yang membuat matanya menyipit tapi hal itu membuat Kenzie semakin menangis, Mevin memeluknya lagi.

“Jangan nangis, Koko punya hadiah buat kamu, kalau nangis nggak Koko kasih,” bisik Mevin. Kenzie mengalungkan tangannya di leher Mevin, memberi jarak wajahnya dan Mevin, “hadiah apa?” tanya Kenzie.

“Diem dulu nangisnya nanti koko kasih,” kata Mevin sambil mengecup pipi Kenzie. Maka perlahan Kenzie mulai tenang dan mengatur napasnya.

Mevin pun menggendong Kenzie masuk ke rumahnya, saat keduanya sampai di ruang tamu, “Zi jangan nangis, Kokonya nggak kemana-mana,” celetuk Jeremy.

“Koko Mevin ke Australia, Uncle! So far,” kata Kenzie sambil mengerucutkan bibirnya.

“Oh iya, ya? Jangan nangis, nanti Ko Mevin pulang kamu dibawain koala,” kata Jevin yang dibalas Kenzie dengan juluran lidah.

“Musuh banget kalau sama Jevin, heran, haha,” kata Azel.

Mevin hanya terkekeh lalu mengajak Kenzie ke kamarnya, Mevin dudukkan Kenzie di tepi tempat tidurnya dan Mevin berjalan mengambil sebuah kotak yang ada di meja belajarnya lalu kembali berlutut di depan Kenzie dan memberikan kotak itu untuk Kenzie.

“Buka ini nanti di rumah, ya? Bilang Papa atau Mama biar disimpen dulu, oke?” kata Mevin. Kenzie meraih kotak itu sambil menggerak-gerakkannya dan menggoyangkannya di dekat telinganya.

“Nanti, di rumah?” tanya Kenzie, Mevin mengangguk.

“Jangan nangis lagi, nanti Ko Mevin ikutan nangis, sekarang kita ke bandara, ya?” kata Mevin, Kenzie tersenyum tipis lalu memeluk Mevin lagi.

Xie xie Koko Mevin, Enzi will miss you,” kata Kenzie dengan nada sedih.

Koko will miss you too, Zi.” Mevin membalas pelukan itu erat dan mengecup puncak kepala Kenzie.

Akhirnya hari itu, semua mengantar Mevin ke bandara. Kenzie tidak mau ada satu mobil bersama Hazel dan Shasha, akhirnya Lauren dan Jevin yang ada di mobil Shasha dan Hazel. Mevin dan Kenzie bersama Lea dan Jeremy. Selama di mobil juga Kenzie ada di pangkuan Mevin, bermain, bercanda, bersenandung lagu-lagu Sunday school lirih dan terbahak bersama.

“Asik banget sama Koko Mevin, Zi,” kata Lea yang ada di bangku depan dan menoleh ke belakang.

“Karena Zi sayang Koko Mevin,” balas Kenzie dengan nada girang sambil memeluk Mevin.

“Aduh, aduh, nanti di doain Koko Mevinnya kalau Kenzie berdoa ya, biar Koko Mevin sehat terus dan cepet pulang, oke?” tambah Jeremy yang masih fokus menyetir.

Yas, Uncle!” kata Kenzie girang dengan gemas yang membuat Mevin menghujam pipi Kenzie dengan kecupan sembari menggelitiki pinggang Kenzie membuat gadis kecil itu terbahak yang mengundang Mevin untuk tertawa juga, tapi pada akhirnya Mevin peluk lagi tubuh mungil Kenzie dengan penuh kehangatan. Siapapun bisa merasakan ketulusan hati Mevin juga Kenzie, semua juga merasa sedih atas keberangkatan Mevin ke Australia kali ini, hati Mevin yang tulus kepada siapapun membuat setiap orang yang ada di sekelilingnya juga merasa sedih dan kehilangan.

Langit sore kala itu menemani keberangkatan Mevin ke Australia untuk tinggal bersama Jovian, Ayah kandungnya juga untuk melanjutkan pendidikan dokter yang Mevin ambil. Pada awalnya sebelum Mevin menuju gate keberangkatan, semua menghadirkan suasana penuh tawa dan keceriaan. Hingga setelah itu, saat Mevin mulai berpamitan, air mata tak terhindarkan dari Jeremy, Lea, Lauren, Jevin, Azel, Shasha bahkan Kenzie. Nanti Mevin akan kembali lagi, nanti Mevin akan pulang lagi kalau sudah waktunya, nanti semuanya akan tersenyum dan bisa merengkuh Mevin lagi dalam peluk.


Sesampainya di rumah, Shasha menemani Kenzie kecil untuk membuka kado yang Mevin berikan. Malam itu, hujan turun dengan derasnya, Kenzie membuka kotak itu dengan raut wajah murung. Hingga akhirnya setelah Shasha membantu anaknya membukanya, Kenzie bisa melihat sebuah boneka winnie the pooh, beberapa polaroid fotonya dan Mevin ada di sana dan sepucuk surat.

“Pooh!” seru Kenzie girang.

“Wih, lucu banget, seneng nggak?” tanya Shasha, Kenzie mengangguk antusias.

“Ini foto Zi sama Koko Mevin nanti dipasang di figura ya, Ma,” pinta Kenzie.

“Iya nanti Mama kasih di figura terus dipasang di kamar kamu, ya?”

“Yay!” Lalu tangan Kenzie bergerak mengambil surat yang Mevin tulis. Diiringi rintik hujan di luar sana, Kenzie melafalkan kalimatnya

**Dear Aletta Kenzie Halo Kenzie cantik, Koko Mevin pergi dulu sebentar, ya. Nanti Koko pulang lagi, nanti kita main lagi ke timezone dan kita nanti bisa nonton cocomelon lagi bareng, Kenzie harus nurut sama Mama sama Papa, dan Kak Kenzo. Jangan bolos Sunday Schoolnya, nanti kita masih bisa video call kok, nanti kalau koko pulang ajarin koko lagu Sunday School yang baru, okay? Zi, kalau ada PR harus selalu dikerjakan, oke? Zi harus jaga kesehatan juga, kalau Mama sama Papa nasehatin Zi harus dengerin, kalau mau tidur jangan lupa berdoa sama sikat gigi, ya? Zi masih bisa main sama Koko Jevin sama Cici Lauren kok, nanti kalau Koko pulang Koko mau lihat rapot kamu, oke? Kalau miss di sekolah atau laoshi kasih tugas, harus selalu dikerjakan. Zi nggak boleh main hujan, jangan lupa minum vitamin. Kalau Zi ulang tahun nanti Koko bakalan selalu kasih kado! See you Kenzie cantik! **

Usai membaca surat dari Mevin itu Kenzie memeluk boneka pooh yang Mevin berikan lalu menyandarkan tubuhnya kepada Mamanya. “Tuh, Ko Mevin bilang apa? Diinget semua kata-kata Ko Mevinnya, oke?” kata Shasha.

“Iya, Ma.”

“Boneka poohnya bagus, ya? Zi suka?”

“Suka banget, boneka dari Koko Mevin, bikin Zi inget Koko Mevin,” kata Kenzie.

“Ya udah dipeluk dulu bonekanya dibawa tidur nggak papa.”

“Ma,” Kenzie mendongak menatap Shasha, “Koko Mevin kok bisa punya Papa dua, sih? Kan Mama sama Papanya Ko Mevin itu Uncle Jeremy sama Aunty Lea, tadi di bandara Mama sama Papa bilang kalau Koko Mevin harus baik-baik di Australia sama Papa Jovian, kenapa Papanya Koko Mevin ada dua?” tanya Kenzie. Shasha tidak menyangka Kenzie akan menanyakan hal itu, ia pun memeluk anaknya dan mengecup puncak kepala Kenzie lalu menangkup pipi Kenzie.

“Nanti kalau udah besar Kenzie bakalan ngerti, sekarang sikat gigi, cuci muka, terus berdoa, tidur karena besok sekolah, oke?” Kenzie hanya memanyunkan bibirnya namun mengangguk setelahnya. Shasha pun memeluk anaknya itu, menatap foto Kenzie dan Mevin sesaat.

“Mevin you are so special, nak,” batin Shasha.

Kebersamaan Mevin dan Kenzie memang bukan sebentar, bahkan Mevin sudah menganggap Kenzie adiknya sendiri. Hari ini, adalah hari keberangkatan Mevin ke Australia untuk tinggal bersama Jovian selama beberapa tahun, guna menempuh pendidikan.

Seluruh keluarga Adrian sudah berkumpul di rumah untuk mengantarkan Mevin ke bandara. Ada Jevin, Lauren, Lea dan Jeremy. Mereka masih menunggu kedatangan keluarga Hazel, bagaimana bisa hal sepenting ini tidak ada Kenzie di dalamnya, apalagi menyangkut Mevin.

Tak perlu lama menunggu, karena sudah ada suara mobil yang berhenti di depan rumah Jeremy dan Lea, maka Lauren mengintip dari balik jendela, benar saja, “Om Azel, Tante Shasha sama Kenzie!” seru Lauren girang yang langsung membuka pintu. Mevin yang tengah memainkan ponselnya pun mematikan ponselnya dan menyimpannya ke dalam kantong jaketnya. Ia bangkit berdiri dan berjalan menuju ambang pintu. Di sana terlihat Azel yang langsung menghampiri dan memeluk Mevin.

“Gimana nih, malah jadi TKI ke Aussie, ck.” Azel berdecak lalu mengacak rambut Mevin sejenak.

“Tuntutan negara, Om,” kekeh Mevin. Maka Azel hanya tertawa lalu masuk ke rumah itu untuk menemui Jeremy dan Lea.

Mevin melihat Kenzie dan Mamanya yang masih ada di depan mobil, wajah Kenzie seakan kesal, tapi bisa Mevin lihat jelas Kenzie menangis. Maka Lauren yang berdiri di belakang Mevin pun membisikkan, “samperin, pacar lo nangis mau LDR itu,” goda Lauren.

Mevin hanya geleng-geleng kepala dan tersenyum. Setelahnya, Mevin berjalan perlahan menghampiri Shasha dan Kenzie, “halo, Tante,” sapa Mevin. Shasha yang mendengar suara Mevin pun berbalik badan, Mevin memberi salam dan mencium tangan Shasha sopan.

“Gimana ini, Adrian fams berkurang satu personil, tante sedih.” Shasha mengelus pundak Mevin beberapa kali.

“Demi cita-cita, Tan.” Mevin tersenyum setelahnya.

“Tuh, nangis mau ditinggal Koko Mevin. Bujukin coba, tante ajak masuk nggak mau. Kenzo masih ada kegiatan di sekolah jadi nggak bisa ikut, tapi dia titip salam sama kamu,” bisik Shasha kepada Mevin.

“Tante masuk aja, Kenzie biar sama aku, ditunggu Mama sama Papa di dalam. Siap, nggak papa, nanti Mevin bisa telfon Kenzo,” balas Mevin. Shasha pun mengangguk dan tersenyum lalu berjalan masuk ke rumah itu.

Maka saat sampai di hadapan Kenzie yang masih membuang muka enggan menatap Mevin. Tapi, Mevin berlutut di depan Kenzie dan memegangi kedua pundak Kenzie sehingga anak perempuan itu menatap Mevin. Matanya merah dan berkaca-kaca.

“Kenapa Enzi nggak mau masuk?” tanya Mevin lembut.

Kenzie hanya menggeleng dan menundukkan kepalanya.

“Enzi nggak mau anterin Ko Mevin ke bandara?” tanya Mevin lagi.

“Lihat, Enzi sama Mevin udah lebih sedih adegannya daripada adegan aku mau cerai sama Jeremy waktu itu,” kata Lea sambil menyenggol lengan Shasha yang mengamati kedua anak mereka dari dalam rumah.

“Kak, jangan gelap joke nya, haha, dari semalem nangis mau ditinggal Mevin bertahun-tahun, katanya nanti siapa yang ajak Enzi main, mau sama Koko Mevin bukan Koko Jevin, ampun deh kak,” balas Shasha yang disambut gelak tawa Lea.

“Kak Jer, udah beneran siap?” tanya Azel kepada Jeremy yang keduanya tengah duduk di sofa ruang tamu.

“Mau nggak mau, masa iya ditahan disini, kan disana juga sama Papa kandungnya, gue bisa apa? Nggak siap, gue gendong dia dari lahir dan rawat dia sekarang mau pergi bertahun-tahun walaupun buat pendidikan tetep berat, tapi semua kan demi kebaikan Mevin.” Jeremy membalas dengan senyum penuh rasa ikhlas.

Kenzie masih mematung di depan Mevin, tapi ia memalingkan wajah ke kanan dan kiri karena enggan menatap Mevin. “Enzi,” panggil Mevin sekali lagi.

Sepertinya Enzi adalah orang pertama yang menangis sebelum ke bandara. Tidak ada kata-kata yang Mevin ucapkan, ia hanya langsung memeluk gadis kecil itu. Benar saja, Kenzie langsung terisak dan menangis di pelukan Mevin.

“Koko jangan pergi! Enzi nggak mau! Nggak mau! Ko Mevin ....” tangis Enzi yang pecah saat itu.

“Anak kamu, tuh, Sha. Ditinggal Mevin nangis kejer, udah kayak pacarnya aja,” ucap Azel yang masih ada di dalam rumah.

“Kalau bahasa gaulnya tuh couple of the year, Om,” sambung Jevin yang membuat semuanya tertawa.

“Bukan lagi,” balas Shasha.

“Kok nangis? Jangan nangis, dong.” Mevin masih berusaha menenangkan Kenzie tapi gadis kecil itu menangis sambil menghentak-hentakkan kakinya kesal tapi Mevin malah menggendongnya.

Mevin membuat jarak antara wajahnya dan Kenzie, ditatapnya wajah gadis mungil yang menangis itu, lalu Mevin hapus jejak air mata di wajah Kenzie dengan ibu jarinya.

“Kan Koko cuma sebentar, nanti Ko Mevin pulang lagi,” kata Mevin.

“Tapi Australia itu jauh, Zi nggak bisa minta Papa anterin buat ketemu Koko kayak sekarang,” kata Enzi di sela tangisnya.

“Kan masih bisa video call, ya?”

“Nggak bisa digendong ko... ko ....”

“Kan bisa telfonan.”

“Nggak bisa lihat koko ... Me ... vin ....”

Keduanya hanya saling menatap hingga Mevin berikan senyum yang membuat matanya menyipit tapi hal itu membuat Kenzie semakin menangis, Mevin memeluknya lagi.

“Jangan nangis, Koko punya hadiah buat kamu, kalau nangis nggak Koko kasih,” bisik Mevin. Kenzie mengalungkan tangannya di leher Mevin, memberi jarak wajahnya dan Mevin, “hadiah apa?” tanya Kenzie.

“Diem dulu nangisnya nanti koko kasih,” kata Mevin sambil mengecup pipi Kenzie. Maka perlahan Kenzie mulai tenang dan mengatur napasnya.

Mevin pun menggendong Kenzie masuk ke rumahnya, saat keduanya sampai di ruang tamu, “Zi jangan nangis, Kokonya nggak kemana-mana,” celetuk Jeremy.

“Koko Mevin ke Australia, Uncle! So far,” kata Kenzie sambil mengerucutkan bibirnya.

“Oh iya, ya? Jangan nangis, nanti Ko Mevin pulang kamu dibawain koala,” kata Jevin yang dibalas Kenzie dengan juluran lidah.

“Musuh banget kalau sama Jevin, heran, haha,” kata Azel.

Mevin hanya terkekeh lalu mengajak Kenzie ke kamarnya, Mevin dudukkan Kenzie di tepi tempat tidurnya dan Mevin berjalan mengambil sebuah kotak yang ada di meja belajarnya lalu kembali berlutut di depan Kenzie dan memberikan kotak itu untuk Kenzie.

“Buka ini nanti di rumah, ya? Bilang Papa atau Mama biar disimpen dulu, oke?” kata Mevin. Kenzie meraih kotak itu sambil menggerak-gerakkannya dan menggoyangkannya di dekat telinganya.

“Nanti, di rumah?” tanya Kenzie, Mevin mengangguk.

“Jangan nangis lagi, nanti Ko Mevin ikutan nangis, sekarang kita ke bandara, ya?” kata Mevin, Kenzie tersenyum tipis lalu memeluk Mevin lagi.

Xie xie Koko Mevin, Enzi will miss you,” kata Kenzie dengan nada sedih.

Koko will miss you too, Zi.” Mevin membalas pelukan itu erat dan mengecup puncak kepala Kenzie.

Akhirnya hari itu, semua mengantar Mevin ke bandara. Kenzie tidak mau ada satu mobil bersama Hazel dan Shasha, akhirnya Lauren dan Jevin yang ada di mobil Shasha dan Hazel. Mevin dan Kenzie bersama Lea dan Jeremy. Selama di mobil juga Kenzie ada di pangkuan Mevin, bermain, bercanda, bersenandung lagu-lagu Sunday school lirih dan terbahak bersama.

“Asik banget sama Koko Mevin, Zi,” kata Lea yang ada di bangku depan dan menoleh ke belakang.

“Karena Zi sayang Koko Mevin,” balas Kenzie dengan nada girang sambil memeluk Mevin.

“Aduh, aduh, nanti di doain Koko Mevinnya kalau Kenzie berdoa ya, biar Koko Mevin sehat terus dan cepet pulang, oke?” tambah Jeremy yang masih fokus menyetir.

Yas, Uncle!” kata Kenzie girang dengan gemas yang membuat Mevin menghujam pipi Kenzie dengan kecupan sembari menggelitiki pinggang Kenzie membuat gadis kecil itu terbahak yang mengundang Mevin untuk tertawa juga, tapi pada akhirnya Mevin peluk lagi tubuh mungil Kenzie dengan penuh kehangatan. Siapapun bisa merasakan ketulusan hati Mevin juga Kenzie, semua juga merasa sedih atas keberangkatan Mevin ke Australia kali ini, hati Mevin yang tulus kepada siapapun membuat setiap orang yang ada di sekelilingnya juga merasa sedih dan kehilangan.

Langit sore kala itu menemani keberangkatan Mevin ke Australia untuk tinggal bersama Jovian, Ayah kandungnya juga untuk melanjutkan pendidikan dokter yang Mevin ambil. Pada awalnya sebelum Mevin menuju gate keberangkatan, semua menghadirkan suasana penuh tawa dan keceriaan. Hingga setelah itu, saat Mevin mulai berpamitan, air mata tak terhindarkan dari Jeremy, Lea, Lauren, Jevin, Azel, Shasha bahkan Kenzie. Nanti Mevin akan kembali lagi, nanti Mevin akan pulang lagi kalau sudah waktunya, nanti semuanya akan tersenyum dan bisa merengkuh Mevin lagi dalam peluk.


Sesampainya di rumah, Shasha menemani Kenzie kecil untuk membuka kado yang Mevin berikan. Malam itu, hujan turun dengan derasnya, Kenzie membuka kotak itu dengan raut wajah murung. Hingga akhirnya setelah Shasha membantu anaknya membukanya, Kenzie bisa melihat sebuah boneka winnie the pooh, beberapa polaroid fotonya dan Mevin ada di sana dan sepucuk surat.

“Pooh!” seru Kenzie girang.

“Wih, lucu banget, seneng nggak?” tanya Shasha, Kenzie mengangguk antusias.

“Ini foto Zi sama Koko Mevin nanti dipasang di figura ya, Ma,” pinta Kenzie.

“Iya nanti Mama kasih di figura terus dipasang di kamar kamu, ya?”

“Yay!” Lalu tangan Kenzie bergerak mengambil surat yang Mevin tulis. Diiringi rintik hujan di luar sana, Kenzie melafalkan kalimatnya

**Dear Aletta Kenzie Halo Kenzie cantik, Koko Mevin pergi dulu sebentar, ya. Nanti Koko pulang lagi, nanti kita main lagi ke timezone dan kita nanti bisa nonton cocomelon lagi bareng, Kenzie harus nurut sama Mama sama Papa, dan Kak Kenzo. Jangan bolos Sunday Schoolnya, nanti kita masih bisa video call kok, nanti kalau koko pulang ajarin koko lagu Sunday School yang baru, okay? Zi, kalau ada PR harus selalu dikerjakan, oke? Zi harus jaga kesehatan juga, kalau Mama sama Papa nasehatin Zi harus dengerin, kalau mau tidur jangan lupa berdoa sama sikat gigi, ya? Zi masih bisa main sama Koko Jevin sama Cici Lauren kok, nanti kalau Koko pulang Koko mau lihat rapot kamu, oke? Kalau miss di sekolah atau laoshi kasih tugas, harus selalu dikerjakan. Zi nggak boleh main hujan, jangan lupa minum vitamin. Kalau Zi ulang tahun nanti Koko bakalan selalu kasih kado! See you Kenzie cantik! **

Usai membaca surat dari Mevin itu Kenzie memeluk boneka pooh yang Mevin berikan lalu menyandarkan tubuhnya kepada Mamanya. “Tuh, Ko Mevin bilang apa? Diinget semua kata-kata Ko Mevinnya, oke?” kata Shasha.

“Iya, Ma.”

“Boneka poohnya bagus, ya? Zi suka?”

“Suka banget, boneka dari Koko Mevin, bikin Zi inget Koko Mevin,” kata Kenzie.

“Ya udah dipeluk dulu bonekanya dibawa tidur nggak papa.”

“Ma,” Kenzie mendongak menatap Shasha, “Koko Mevin kok bisa punya Papa dua, sih? Kan Mama sama Papanya Ko Mevin itu Uncle Jeremy sama Aunty Lea, tadi di bandara Mama sama Papa bilang kalau Koko Mevin harus baik-baik di Australia sama Papa Jovian, kenapa Papanya Koko Mevin ada dua?” tanya Kenzie. Shasha tidak menyangka Kenzie akan menanyakan hal itu, ia pun memeluk anaknya dan mengecup puncak kepala Kenzie lalu menangkup pipi Kenzie.

“Nanti kalau udah besar Kenzie bakalan ngerti, sekarang sikat gigi, cuci muka, terus berdoa, tidur karena besok sekolah, oke?” Kenzie hanya memanyunkan bibirnya namun mengangguk setelahnya. Shasha pun memeluk anaknya itu, menatap foto Kenzie dan Mevin sesaat.

“Mevin you are so special, nak,” batin Shasha.

Kali ini rintik gerimis setelah hujan deras mengalun merdu mengiringi perjalanan Lea, Jeremy, dan Mevin. Hari ini Lea dan Jeremy sengaja mengajak Mevin pergi ke suatu tempat tanpa Mevin tahu rencana apa yang akan kedua orang tuanya lakukan.

“Pa, Ma, mau ke mana, sih?” tanya Mevin yang duduk di jok belakang mobil.

Lea dan Jeremy saling menatap kikuk. Lea menoleh ke arah anaknya dan berkata, “Ketemu seseorang,” katanya.

Mevin dibiarkan tenggelam dalam tanya. Ia membuka kaca jendela mobil untuk melihat sapuan warna hijau sepanjang jalan dan bau khas setelah hujan. Langit keabuan mulai pudar, semua pemandangan indah memanjakan mata Mevin dan membawa sebuah perasaan hangat di hati Mevin. Tak lama mereka tiba di suatu Villa.

“Sebentar, ya, Nak,” ucap Jeremy sembari melepas sabuk pengamannya, diikuti oleh Lea. Mevin masih heran. “Kita mau staycation? Cici sama Jevin gimana?”

“Enggak, Sayang, nggak staycation. Mevin tunggu di sini, ya. Mevin lihat-lihat di situ dulu, nanti kalau Mama udah telepon, Mevin baru Mevin masuk, ya?” Perintah Lea tidak seperti biasanya. Mevin merasa aneh, tetapi ia tidak terlalu banyak bertanya.

“Ya udah, Mevin lihat-lihat di depan situ dulu ya.”

“Iya, Sayang. Handphone jangan off, ya!” Lea mengingatkan.
Mendengar hal itu, Mevin bergegas keluar dari Mobil. Mevin sempat terperangah melihat keadaan sekitarnya yang asri.

Sebuah private villa di daerah puncak dengan halaman luas dikelilingi pemandangan indah dengan hawa sejuk. Tidak begitu mewah, tetapi bergaya klasik ini mempunyai tiga lantai. Dengan nuansa warna putih, sebuah kolam ikan di halaman depan. Mevin tidak sabar ingin melihat lebih detail lagi vila ini walaupun Mevin masih belum mengerti maksud dan tujuan kedua orang tuanya membawanya ke sini.

Jeremy dan Lea sudah masuk ke dalam villa itu disambut seorang pekerja dari vila tersebut. Mevin masih di luar dan mengabadikan pemandangan yang ia lihat, mengirimkan foto-foto indah yang ia ambil dengan ponselnya kepada Jevin dan Lauren.

Sekitar sepuluh menit berlalu, tiba-tiba Mevin menyadari ponselnya bergetar, sebuah pesan dari Lea bertuliskan “Mevin, masuk sini, Nak.” Tidak dibalas Mevin, tetapi ia langsung melangkah masuk ke dalam villa tersebut. Pintu masuk yang terbuka lebar membawa Mevin masuk ke dalamnya. Suasana agak sunyi, tetapi dengan cahaya lampu terang yang ada membuat beberapa koleksi perabotan antik dan furniture yang modern tampak jelas di sana. Beberapa koleksi vinyl terpajang dibingkai yang ditempelkan di dinding. Mevin terperangah kagum bukan main.

Mata Mevin tertuju pada sebuah jalan menuju halaman belakang yang menyediakan pemandangan kolam renang dan hamparan halaman yang hijau rindang. Tampak Jeremy dan Lea sedang berbincang dengan seorang pria di sana, tetapi Mevin tidak bisa melihat wajah pria itu. Dengan langkah pasti, Mevin melangkah ke sana.

“Eh, Sayang, sini lihat siapa yang mau ketemu kamu!” seru Lea sambil tersenyum sumringah, ia melambaikan tangan kepada Mevin.

Mevin berjalan dengan langkah pasti menghampiri kedua orang tuanya. Cahaya yang datang taklukan silau yang menghampiri, hati memekik terjamah rasa teduh saat netra bersua. Langkah Mevin yang terpijak berjalan menghampiri papa dan mamanya, terhenti sesaat kala sampai di sana, seorang pria menoleh memandang Mevin.

Langkahnya terhenti bersamaan dengan detak jantung yang tidak karuan saat melihat seseorang menyambutnya.

“Mevin,” kata pria itu yang membawa wajahnya memandang Mevin dan bangkit berdiri.

Selanjutnya Mevin maju satu langkah walaupun dengan sedikit gemetar. Mevin seakan tak percaya, sosok itu Mevin temui lagi tapi dengan perasaan yang berbeda kali ini. Mevin mengerjapkan matanya menahan air mata, matanya terasa panas, maka Mevin berkata, “Pa ... Papa Jovian?” Suara Mevin terdengar gemetar.

Sebuah senyum hangat menyambut Mevin. Benar saja, Jovian―ayah kandung Mevin ada di sana. Jovian menatap senyuman yang terlihat di depannya, air matanya seakan ingin tumpah saat ia merapalkan kalimat, “Mevin? Kamu panggil apa tadi, Nak?” kata Jovian sambil berjalan mendekati Mevin. Sekarang, keduanya sudah saling berhadapan.

“Papa Jovian,” lafal anak lelaki itu lirih sekali lagi. Jovian memandang Mevin tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia menahan air mata bahagianya dan memegang kedua sisi bahu Mevin. Anak lelaki itu malah langsung memeluk Jovian.

Hati Jovian berdesir haru, penuh sesak dengan rasa bahagia.

“Papa,” ujar Mevin sekali lagi.

“Iya, Nak, ini Papa, ini Papa,” kata Jovian, ia membalas erat pelukan Mevin.

Mevin juga tidak bisa membendung beberapa butiran kristal yang sudah tumpah tanpa komando begitu memeluk ayah kandungnya. Jeremy dan Lea pun merasa terharu menyaksikan pertemuan keduanya merengkuh nestapa karena lama tak bersua, melebur dalam satu peluk bersama. Hanya air mata yang berbicara.

Air mata lolos juga dari pelupuk mata Lea, ia berada di dalam rangkulan Jeremy dan berusaha menahan tangisnya dengan membenamkan wajah di dada bidang Jeremy, tetapi akhirnya terisak juga.

Hujan belasan tahun lalu membawa sosok yang melahirkan Mevin pergi selamanya, tetapi hujan kali ini membawa Mevin ke pelukan ayah kandungnya. Pada binar mata Jovian tersirat kerinduan dan kasih sayang seorang ayah yang lebur dalam dekap dan derai air mata.

Sepenuh-penuhnya cinta yang Lea dan Jeremy berikan tak bisa dipungkiri cinta dari Jovian sebagai ayah kandung Mevin juga tak terhingga. Kehidupan Jovian semakin bernyawa setelah pertemuan dengan anak lelakinya ini. Hari itu, Jovian bertemu anak kandungnya yang sudah genap berusia tujuh belas tahun, Elleandru Mevinio Adrian.

—-

Jeremy dan Lea membiarkan Mevin dan Jovian untuk tinggal di sana selama beberapa jam. Hari ini adalah hari terakhir Jovian ada di sini sebelum ia bergegas esok hari ke Bali untuk mengurus bisnisnya. Nanti malam Jeremy dan Lea akan kembali menjemput Mevin kembali.

Jovian dan Mevin menghabiskan waktu yang ada dengan kegiatan sederhana, tetapi berkesan untuk keduanya. Membeli makanan di restoran cepat saji kesukaan Mevin serta berbelanja sepatu dan baju untuk Mevin lalu kembali lagi ke Villa.

Keduanya kini sedang duduk berdua. Kala hari kembali menemui malam berhias rembulan dan hawa dingin yang menyeruak, Mevin dan Jovian duduk bersebelahan di bangku tepi kolam renang di vila. Mevin menunjukkan kepiawaiannya memetik gitar yang menghasilkan melodi indah yang membuat sebuah lengkung senyum tergambar di wajah Jovian.

“Pa, mau denger lagu pertama yang Papa Jeremy ajarin ke Mevin waktu awal belajar gitar?” tanya Mevin. Pertanyaan itu disambut anggukan cepat dari sang ayah.

Tangan Mevin kembali memetik senar gitar yang mengalunkan melodi sebuah lagu. Suara merdu Mevin mulai mendominasi keheningan. Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya, Ku terus berjanji tak kan khianati pintanya Ayah dengarlah.. betapa sesungguhnya ku mencintaimu Kan ku buktikan ku mampu penuhi maumu Andaikan detik itu kan bergulir kembali Ku rindukan suasana basuh jiwaku Membahagiakan aku yang haus akan kasih dan sayangmu ‘Tuk wujudkan segala sesuatu yang pernah terlewati

Mata Jovian terasa panas mendengar lantunan lagu yang menyentuh hatinya itu. Jovian menyadari anak lelakinya itu tumbuh dengan baik, bahkan sangat baik. Salah satu hal besar dalam hidup Jovian, bayi mungilnya yang hanya bisa ia timang sebentar belasan tahun yang lalu, dibesarkan oleh sosok orang tua yang mendidik Mevin dengan baik.

Pilihan Petra memang tidak pernah salah. Kalau saja kala itu Mevin dibesarkan oleh Jovian, mungkin Mevin tidak tumbuh sebaik ini. Selepas kepergian mantan istrinya, Jovian mengalami keterpurukan finansial dan keterpurukan untuk hatinya sendiri. Hidup tidak terarah, butuh beberapa tahun untuk mengembalikan kehidupannya seperti semula. Tangan Jovian menyentuh puncak kepala Mevin dan membelainya beberapa kali. Mevin tersenyum sumringah. Ia berkata, “Cita-cita Mevin apa?” tanya Jovian.

Mevin memutar bola matanya dan tampak berpikir sejenak, ia menaruh gitar di sebelahnya dan mengikis jarak antara ia dan ayahnya. “Dokter, Pa.”

Jovian tersenyum dan menghela napas. “Mama kamu dulu dokter. Dia dokter yang hebat, dia dokter yang menangani mama Lea waktu mama Lea sakit. Janji sama Papa Jo, kalau kamu bakalan jadi dokter yang hebat, ya, Nak?”

Mevin berhenti berucap sebentar, ia masih menelaah perkataan ayahnya, keinginannya menjadi dokter muncul beberapa tahun lalu. Entah hasrat apa yang menggerakkannya ingin menjadi dokter. Tanpa disadari, ternyata itu adalah profesi mendiang mamanya, Mevin terharu.

“Pa, terima kasih, ya, udah berkorban buat kebahagiaan Mevin. Terima kasih, ya, Pa. Mevin nggak tahu apa yang terjadi antara Papa Jo dan mama Lea di masa lalu. Tapi, Mevin beruntung punya dua papa dan dua mama yang semuanya sayang sama Mevin walaupun Mevin belum sempat ketemu mama kandung Mevin. Kata Mama Lea, malaikat baik yang melahirkan Mevin itu cantik dan hebat, bahkan sekalipun nyawa mama terenggut, semua itu bagian supaya mama Lea selamat.” Mevin mendaratkan pernyataan yang menyentuh hati Jovian lagi.

“Nak, terima kasih, ya, sudah jadi anak yang baik. Please be a good son for mama Lea sama papa Jeremy. Papa sayang sama Mevin.” Pandangan mata Jovian belum berpindah dari paras anak lelakinya. Ia belum beranjak.

“Papa mau pindah ke Bali?”

“Mungkin menetap di sana dan balik ke sini untuk beberapa urusan aja. Mevin kalau main ke Bali kabarin Papa, ya? Di sana Papa tinggal sama keluarga baru papa, sama istri dan satu anak perempuan papa, anak tunggal. Kapan-kapan Mevin kenalan, ya?”

“Oh, iya, Pa? Live your happy family, ya, Pa!” Mevin memberikan senyum terbaiknya setelah berucap. Jovian mengangguk. Sejuk dan tenangnya pembicaraan kala itu menyuarakan kebahagiaan di hati masing-masing dari Mevin dan Jovian.

Mevin merogoh saku jaketnya, ia mengeluarkan sebuah kotak lalu memberikannya kepada Jovian.

“Ini apa, Vin?” Jovian mengernyitkan dahinya seraya tangannya menerima pemberian Mevin itu. Mevin hanya mengangkat kedua bahunya dan tersenyum, ia memberi isyarat agar Jovian membuka kotak tersebut. Jovian mulai bergerak membuka kotak kecil itu, wajahnya berbinar kala melihat sebuah jam tangan ada di sana dengan secarik kertas.

“Papa Jo, selama ini hari ayah berkali-kali Mevin nggak bisa ucapin ke Papa Jo. Now let me paid it all, this is a small gift from me. Happy fathers day, sorry for realized all things lately but I never regret it.” Mevin berkata mengiringi ayahnya yang memasang jam tangan itu di pergelangan kirinya.

“The more I know you, the more I feel how great and how thankful I am to be your son. Thanks for being a great person who always encourage me to do my best in everthing. I know you still care with mama Lea and of course you love mama Petra so much. I never imagine that someone who was once a stranger to me could have a vey big impact in my life. I love you, thank you for being my father. Papa Jo!” Mevin menyelesaikan kalimat yang sangat ingin ia ucapkan kepada ayahnya itu selama belasan tahun yang tertahan.

“What a great message, son! As a father, my heart so proud. I can’t say anything, Boy. Papa bangga sama Mevin.” Tanpa ada kecanggungan lagi dan untuk sekali lagi Jovian memeluk Mevin erat. Keduanya merasa terharu, bahkan rasanya seperti mimpi pertemuan kali ini.

Tiba-tiba terdengar suara kaki yang melangkah mendekati mereka bersamaan dengan Mevin serta Jovian yang merenggangkan rengkuh. Benar saja, itu adalah Jeremy dan Lea.

“Wih, asyik banget, nih, habis pada main gitar, ya?” seru Jeremy yang berjalan mendekat sembari merangkul Lea. Mevin tersenyum sambil menggaruk kepalanya.

“Iya, Mevin hebat banget main gitarnya. Petikannya mantap. Papa Jeremy yang ajarin, katanya,” sahut Jovian. Jeremy terkekeh pelan. “Cuma ngajarin dikit aja, selebihnya Mevin otodidak YouTube.”

“Ya udah, yuk, pulang dulu udah malam. Besok papa Jo juga mau flight pagi, biar papa Jo istirahat. Besok kalau papa Jo ke sini lagi, kita mampir. Kalau kita ke Bali kita kabarin papa Jo, oke, Nak? Atau Mevin mau ikut Papa Jo besok?” ujar Lea sambil membelai rambut Mevin.

Anak lelaki itu hanya tersenyum, “kapan-kapan aja ikut Papa Jo, tadi Mevin udah janji sama Papa Jo juga.”

“Ya udah, pamit dulu sama papa Jovian,” perintah Jeremy. Mevin mencium tangan dan langsung memeluk ayahnya.

“Pa, safe fligt for tommorow. Kita harus ketemu lagi, ya.”

Sure, we have to meet again after this. Baik-baik sama mama Lea dan papa Jeremy. Yang nurut, ya, nak.” Jovian mengecup puncak kepala anaknya dan memeluk Mevin sekali lagi lebih lama.

Mevin pun bangkit berdiri sambil menenteng beberapa paper bag belanjaannya, tepatnya hadiah dari Jovian.

“Wih, banyak banget itu. Dari kamu, Jov?” tanya Lea. Jovian mengangguk. “Rapelan hadiah ulang tahun Mevin. Anggap aja begitu.” Jeremy dan Lea tersenyum.

“Banyak, ya, Nak. Bisa, nih, buka toko di rumah, sama cici sama Jevin?” goda Lea. Mereka semua terkekeh sejenak.

“Ya udah Jov, thank you. Saya sama Lea pulang dulu. Kabarin kalau pulang lagi ke sini,” kata Jeremy, ia mengulurkan tangan dan keduanya berjabat tangan dan saling merangkul sejenak.

“Pasti, Jer,” balas Jovian. Akhirnya, Jeremy dan Mevin berlalu dari sana. Kini hanya tinggal Lea dan Jovian.

“Jov.” “Lea.” Keduanya merapalkan nama masing-masing secara bersamaan.

“Kamu duluan aja,” kata Jovian dengan nada teduh. Lea tidak memberikan penuturan panjang. “Terima kasih, Jov, untuk semuanya. Aku nggak akan pernah larang kamu ketemu Mevin, kok. Kapan aja kamu mau, just let me know and I pray the best for your family.”

Mevin deserve all those love from you and Jeremy. Aku bersyukur sama Tuhan setelah kehancuran yang aku kasih dulu, balasan kebahagiaan buat kamu sampai sekarang tergambar jelas. Terima kasih juga kamu sudah jadi sosok ibu hebat dan istri yang hebat. Aku beruntung pernah jadi bagian dari perjalanan kamu. Perpisahan kita kala itu membawa kamu menemukan rumah. Iya, kan? Jeremy sebenar-benarnya rumah buat kamu.”

“Jov, semua yang pernah terjadi antara kita atau pun antara kamu dan siapa pun yang pernah hadir di hidup kamu, anggap itu sebuah berkat. Sekali pun itu kepergian atau luka karna kalau nggak ada itu semua, sulit untuk kita pulang dan menemukan rumah. Aku pamit, Jov.”

“Terima kasih, Lea. Titip Mevin, ya? Kamu hebat.” Perasaan sendu mengiba untuk ditiadakan. Lea mengangguk, ia tersenyum lalu berbalik badan, melangkah pergi dari sana sambil menyeka air matanya yang tumpah sesaat setelah membelakangi Jovian.


“Cici! Jevin! Mama, Papa sama Mevin pulang, nih!” seru Lea sambil melangkahkan kaki masuk ke rumahnya diikuti oleh Jeremy dan Mevin. Lea menenteng beberapa paper bag berisi makanan. Tak butuh waktu lama, Jevin dan Lauren muncul dari ruang tengah. Jevin langsung berlari dan menubrukkan dirinya memeluk Mevin.

“Apaan tiba-tiba nemplok aja?” tanya Mevin yang membiarkan dirinya dipeluk Jevin.

“Gue kira lo nggak balik, sumpah, gue takut!” balas Jevin sambil merenggangkan pelukan lalu sesaat kemudian memeluk Mevin lagi.

“Dih, apaan, haha! Kenapa nggak balik?” tanya Mevin

“Kata Papa sama Mama, lo mau ketemu sama papa Jo. Gue takut lo dibawa terus nggak pulang,” gumam Jevin. Jeremy dan Lea tersenyum melihat tingkah kedua anaknya itu. Lauren membantu Lea membereskan dan menata beberapa box makanan yang Lea bawa di meja makan.

“Anak bujang Papa, bener-bener.” Jeremy dengan kedua tangannya mengacak rambut Jevin dan Mevin bergantian.

“Ma, Mevin nggak akan pergi, kan? Nggak akan ikut papa Jo, kan?” tanya Lauren lirih sambil mengerucutkan bibirnya menatap Lea.

“Cici takut, ya, Mevin pergi dari rumah ini?” Lauren mengangguk. Lea bisa melihat jelas betapa anak-anaknya saling menyayangi satu sama lain walaupun saat bersama lebih banyak keributan yang muncul.

“Mevin nggak akan pergi, Sayang. Tapi, kalau Mevin mau ketemu papa Jo, Mama nggak bisa larang. Bahkan kalau Mevin ikut Papa Jo nya juga Mama nggak bisa larang,” jelas Lea pada putrinya.

Lauren menghela napas. Lea dan anak perempuannya itu tersenyum saat melayangkan pandangan melihat Jevin, Mevin, dan sang ayah yang tengah bercanda di ruang tamu.

Lea bisa melihat jelas senyum dan tawa dari keluarga kecilnya itu. Tak ada yang pergi dan tak ada yang berubah meskipun kebenaran tentang Mevin sudah terungkap. Yang ada hanyalah rasa sayang satu sama lain yang makin terasa di tengah mereka.

Yang mereka tahu, Tuhan ikut campur tangan dalam keluarga mereka, dalam perceraian yang tidak jadi terjadi di antara Jeremy dan Lea. Bagaimana Sang Kuasa membalikkan keadaan saat Lea harus mengandung Lauren dan menerima cacian dari sekitar hingga akhirnya setelah Lauren lahir, semua memberikan rasa sayang dan perhatian untuk Lea dan Lauren dan masih banyak lagi.

Rumah bukan hanya dalam wujud bangunan utuh tempat tinggal, tapi rumah juga bisa kita artikan tempat pulang untuk raga dan jiwa kita. Ke mana kita pergi, sejauh apa pun kaki melangkah, maka kita akan pulang ke rumah. Jika menyelami waktu, sudah belasan tahun rumah tangga ini terbina. Jika ditulis pada secarik kertas, tidak akan cukup menjelaskan bagaimana rumah tangga Lea dan Jeremy bertahan selama ini.

Salam hangat,

Keluarga Adrian (Jeremy, Lea, Lauren, si kembar Jevin dan Mevin)

Pada binar mata Mevin yang Lea tatap selalu muncul bayangan Jovian. Hubungan Lea dan Jovian memang saat itu harus berakhir saat Jovian dijodohkan oleh orang tuanya oleh seorang wanita bernama Petra yang sebenarnya tidak berkenan juga dengan perjodohan itu meski ia juga memiliki perasaan kepada Jovian. Lea yang baru saja kehilangan kedua orang tuanya karena kecelakaan yang menewaskan mereka. Lantas Jovian tidak bisa menolak permintaan ayahnya untuk menikaah dengan Petra, alasan lain juga karena Ayah Jovian tidak menyukai hubungan Lea dan Jovian. Lagi dan lagi karena personal appearance Lea yang bertatto. Petra sudah berkali-kali menolak hingga akhirnya pernikahan tetap dilaksanakan dan Jovian memutuskan hubungannya dengan Lea dan Jovian menikah dengan Petra. Tidak ada yang jahat antara Petra ataupun Lea. Keduanya sama-sama terluka, Lea terluka karena ditinggalkan dan Petra terluka karena menjalani pernikahan yang tidak dilandasi cinta. Lea tidak membenci Petra begitu juga sebaliknya, mereka malah saling mendoakan kebahagiaan satu sama lain.

Selama pernikahan Jovian dan Petra juga mengalami banyak naik turun hingga singkatnya setelah lama waktu berlalu, Jovian mencintai Petra seutuhnya, seluruhnya. Tapi waktu kejam mengambil Petra pulang ke rumah abadi untuk selamanya setelah melahirkan buah hati mereka. Jovian tertekan dan depresi, sempat tidak mengakui anak itu hingga akhirnya suatu insiden terjadi kepada Petra dan Lea yang harus melahirkan secara darurat, hal itu terjadi karena Petra dan Lea hampir celaka di saat yang bersamaan. Lea yang mengandung anak kembar harus kehilangan salah satu dari anak kembarnya. Sedangkan Petra melahirkan bayi laki-laki. Begitu kira-kira, hingga akhirnya bayi mungil yang Petra lahirkan dirawat oleh Jeremy dan Lea hingga sekarang, Petra pergi selamanya setelah melahirkan bayi mungil yang sekarang diberi nama Elleandru Mevinio Adrian itu. Jovian sempat menghilang beberapa tahun hingga akhirnya kembali ke hadapan Lea dan Jeremy memastikan keadaan anak kandungnya baik-baik saja.

Jeremy dan Lea tidak membatasi Jovian jika ingin bertemu Mevin. Tapi Jovian membiarkan Mevin diasuh mereka hingga berusia tujuh belas tahun saat ini, Mevin tumbuh di keluarga Adrian tanpa tahu siapa Ayah kandungnya. Mevin tumbuh dan seluruh keluarga Adrian menganggap Mevin dan Jevin adalah kembar. Apapun yang terjadi Mevin dan Jevin adalah anak kembar keluarga Adrian. Lauren anak pertama Jeremy dan Lea serta Jevin juga tidak mengetahui kalau Mevin bukan saudara kandung mereka. Bagaimanapun juga paras Mevin sangat mewarisi perawakan Jovian. Setiap kali Lea memandang Mevin, ia selalu mendapatkan bayangan paras Petra dan Jovian bergantian. Setiap malam Lea selalu menitipkan doa dan harap lewat doa untuk ketiga anaknya dan keutuhan keluarganya. Malam ini angin sungkan menerpa wajah Mevin. Jeremy yang melihat anaknya itu duduk sendiri di halaman belakang pun menghampiri Mevin, kedua netra bersua antara ayah dan anak itu. “Anak Papa ngapain sendirian di sini?” tanya Jeremy sambil mendudukkan dirinya di bangku panjang di sebelah Mevin.

Anak Jeremy itu menghela napas panjang, matanya bergerak memandang sosok ayahnya. “Pa, Mevin boleh nanya?” Kalimat Mevin dan raut wajah sendu dari Mevin membuat Jeremy sedikit berdebar.

“Boleh, Nak. Mau nanya apa?” tanya Jeremy. Mevin beranikan diri memberikan sebuah kotak yang sedari tadi ia pegang. Tangan Jeremy menerimanya dan perlahan membukanya. Sekarang beberapa lembar surat ada di tangannya, beberapa foto masa kecil Mevin juga ada di sana. Jari telunjuk Mevin menunjuk salah satu surat yang Jeremy pegang, mengisyaratkan ayahnya itu untuk membacanya. Bola mata Jeremy bergerak membaca kalimat demi kalimat yang tertulis di sana.

“Selamat ulang tahun anak hebat! Selamat bertambah usia. Terima kasih sudah lahir ke dunia, harapan terbaik selalu disampaikan lewat doa untuk Mevin. Enam belas tahun Mevin sudah hidup bahagia bersama keluarga Papa Jeremy dan Mama Lea, right? Semoga Mevin selalu bahagia dan akan terus menjadi kebanggaan Papa Jeremy dan Mama Lea, ya? Kamu tumbuh dengan baik, Proud of you! God Bless You Mevin, once again Happy Blessed Day!

Mata Jeremy mendelik membaca surat tersebut, ditambah ada foto masa kecil Mevin di mana Jeremy sangat tahu yang mengambil foto itu adalah Jovian. Jeremy langsung menengok ke kanan dan ke kiri membuang pandangan, sementara Mevin meraih lengan papanya itu.

“Pa.”

Jeremy menoleh, menatap anak lelakinya.

“Pa, maaf, ya, Mevin baru ngomong sekarang. Papa mungkin kenal sama yang ngirim semua ini, Om Jovian.”

“Mevin ketemu Om Jovian?” Mevin mengangguk. “Beberapa kali Om Jovian dateng ke sekolah. Nggak lama, hanya beberapa kali. Maaf, ya, Pa, Mevin nggak pernah jujur ke Papa. Tahun kemarin Om itu datang ke sekolah sebelum Papa jemput Mevin, Om Jovian kasih Mevin ini.” Ketika mendengar Mevin berbicara, Jeremy mencoba memahami keadaan yang ada.

“Pa, Om Jovian sebenernya siapa?” Kalimat itu dirapalkan anak lelaki Jeremy itu, sedangkan Jeremy hanya menoleh sesaat lalu menunduk lesu. “Papa nggak jawab Mevin?”

“Nak,” ucap Jeremy sambil menepuk pundak Mevin, tetapi Mevin malah menepis tangan ayahnya.

“Nak, biar Papa jelasin, ya?”

“Aku bukan anak Papa dan bukan anak Mama Lea?”

“Vin.” Jeremy masih mencoba mengatur napasnya tapi Mevin tidak menggubris ayahnya, ia melengang masuk ke dalam rumah. Jeremy buru-buru menyusul anaknya, ia sedikit berlari untuk mengejar Mevin. Pandangan seluruh orang yang ada di rumah tertuju kepada Mevin dan Jeremy. Lauren, Lea, dan Jevin pun mengikuti Jeremy dan Mevin ke kamar anak lelaki itu.

“Nak,” seru Jeremy yang sedikit terengah lalu menghampiri Mevin yang duduk di tepi tempat tidurnya. Jeremy berlutut di depan Mevin, “Pa ….” panggil Mevin lirih. Jeremy meraih pundak Mevin dan mengangkat wajahnya untuk memandang wajah anaknya itu.

Let me explain. Peristiwa itu sudah lama, Vin. Papa kira nggak akan ada apa-apa dan Papa sudah bahagia sama keluarga kita. Tapi, terlepas dari semua yang terjadi, Papa minta maaf, ya. Papa minta maaf sama Mevin. Selama ini Papa juga lost contact sama Jovian setelah dia pindah ke Bali, bahkan kepulangannya ke sini pun Papa nggak pernah tahu.”

Mevin yang sedari tadi menundukkan kepala kini menoleh dan memaksakan satu senyuman dengan mendengus, menatap papanya. “Terus, intinya apa, Pa? Langsung ke intinya aja, ya?” tanya Mevin sambil mengangkat alisnya, tetapi bisa Jeremy lihat dengan jelas mata anaknya itu memerah.

Tenggorokan Jeremy tercekat, ia tidak tahu harus berkata apa. Ia sudah bersimpuh di depan anaknya. “Maafin Papa. Papa nggak pernah menyalahkan kehadiran kamu, justru Papa bersyukur dengan kehadiran kamu di keluarga ini. Mevin, Papa, dan Mama Lea merawat kamu sejak kamu lahir―”

“Om Jovian pernah nemuin Mevin dan peluk Mevin sebelum Om Jovian pamit, dia panggil Mevin dengan sebutan, Nak. Pelukannya sama hangatnya kayak pelukan Papa.” Mendengar kalimat anaknya itu, seketika air mata Jeremy tumpah. “Mevin, Nak. Om Jovian ... dia ...” Jeremy terbata-bata, sedangkan yang bersangkutan masih menunjukkan wajah lesu dan kecewa. Jeremy mengambil napas panjang lalu membuangnya, ia merangkul pundak Mevin dan berkata, “Om Jovian papa kandung kamu.”

Mendengar ucapan papanya itu, seketika Mevin pun terdiam. Sorot matanya lurus menatap iris cokelat papanya. Tenggorokan Mevin tercekat, seketika Jeremy sudah terisak di sana. Punggung Jeremy bergetar, ia terisak sambil membenamkan wajahnya di lutut anaknya yang terlipat.

Sementara Mevin masih terdiam mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. “Om Jovian yang berhak kamu panggil Papa. Your mom passed away when you were born at that time. Ini permintaan mama kamu buat menyerahkan kamu sama Papa dan Mama Lea. Ada hal-hal yang nggak bisa dijelaskan tentang Jovian dan mendiang mama kamu.”

“Mevin bukan anak Papa Jeremy sama Mama Lea?” suara Mevin terdengar parau.

“Iya, Mevin anak kandung Papa Jovian, tapi Mevin tetap anak Papa Jeremy sama Mama Lea, Mevin tetap keluarga Adrian.” Jeremy memegang pundak Mevin erat.

“Jadi yang temen-temen Mevin bilang kalau Jevin sama Mevin nggak mirip, bukan kembar, salah satu dari kami pasti bukan anak kandung itu bener, ya?”

“Mevin ....” Mevin terkekeh di atas tangisnya, “jadi merasa bersalah sama Jevin karena dia suka belain Mevin bahkan sampai berantem sama anak-anak di sekolah.”

“Mevin, kamu tahu? Papa juga bukan anak kandung opa dan oma kamu, loh.” Kalimat itu terhenti sesaat kala Mevin menatap papanya seakan tidak percaya.

“Papa bukan anak opa dan oma kamu. Papa diambil dari panti asuhan juga, bahkan Papa tahu itu semua sebelum menikah sama Mama Lea. Papa marah dan kecewa, tapi Papa kembali mikir, untuk apa marah? Seharusnya Papa marah kalau opa dan oma adopsi Papa dan tidak memperlakukan papa dengan baik. Tapi, Papa dirawat dari bayi sampai dewasa. Rasa itu cenderung ke kecewa dan kaget. Kecewa karena title anak angkat membuat kita seperti berjarak dengan orang tua. Kaget sudah pasti, sedih? Iya.” Jeremy mengatakan sebuah fakta yang mungkin juga Mevin baru ketahui.

“Karena Papa nggak pernah tahu siapa orang tua kandung Papa, tapi yang papa tahu dan papa ingat sejak kecil bayangan orang tua itu hanya opa dan oma kamu. Papa bersyukur dirawat opa dan oma kamu sejak kecil sejak ingatan masa kecil itu belum terbentuk,” lanjut Jeremy lagi.

Mevin masih terdiam, matanya terasa panas mendengar penuturan papanya. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Semuanya seperti mimpi. “Sekarang Papa nggak akan bosan minta maaf sama Mevin, sampai Mevin maafin Papa. Vin, Papa berharap juga ingatan masa kecil Mevin hanya ada Papa dan mama Lea. Mama dan Papa rawat kamu sejak lahir. Papa nggak memaksa kamu buat maafin Papa, itu hak kamu. Tapi, Papa mau memaksa kamu buat tetap jadi anak Papa dan Mama. Walaupun kamu dan Jevin bukan kembar yang asli, di mata Papa dan Mama kalian tetap anak kembar kami. Adiknya Lauren, anaknya ... Papa Jeremy.” Suara Jeremy menjadi bergetar.

Jeremy mengelus pelan rambut anaknya itu sebelum angkat bicara lagi. “Mevin, terima kasih sudah tumbuh dengan baik dan jadi anak yang baik dan membanggakan. Maafin Papa belum sempurna jadi sosok ayah. Papa nggak akan melarang Mevin ketemu Papa Jovian, Jovian berhak Mevin panggil dengan sebutan papa, bahkan dia yang paling berhak dan kalau Mevin pada akhirnya memutuskan tinggal sama Papa Jovian nggak papa.” Jeremy memaksakan senyumnya. Mevin terdiam, tetapi ia mendengar rapalan cerita papanya, mencerna setiap kalimat yang menyayat itu.

“Mevin anak Papa dan Mama Lea, Mevin juga anak Papa Jovian dan Mama Petra.” Jeremy sesekali mengerjapkan mata dan mengatur napasnya. Walaupun paras malaikat cantik yang melahirkan Mevin tidak pernah ia lihat secara langsung, tetapi yang ada di ingatan Mevin hanyalah sosok Lea yang sudah mewakilinya, seorang penyayang dengan cinta yang murni.

“Pa―” bisik Mevin lirih.

“Waktu kecil, Papa dan Mama selalu beliin kamu sama Jevin mainan dan baju kembar. Papa sama Mama selalu beliin kalian segala sesuatu yang kembar. Lauren suka banget gigit tangan kamu, waktu kecil kamu lebih gemuk daripada Jevin, cici suka gemes sendiri terus gigit tangan kamu sampai kamu nangis. Kalau kamu sakit, cici kadang nangis juga, kayak bisa ngerasain.” Jeremy bertutur diatas air mata yang masih mengalir.

Segala memori tentang masa kecil Mevin ingat dan benar memang hanya ada kenangan indah di keluarga ini. “Mevin, jangan benci Papa, ya. Maafin Papa, Nak ... maaf ....” Jeremy tertunduk lesu. Air matanya mengalir membasahi pipinya, sesekali ia menyekanya.

Mevin bergeming. Dalam sepersekian detik punggungnya bergetar lagi, tangisannya terdengar. Mevin merasa hatinya sakit, baru kali ini ia mendengar papanya menangis. Pandangan Mevin sedikit kabur karena bulir air mata yang mengantre di pelupuk matanya. Mevin menangis tanpa suara. “Maafin papa, Vin ....” Kalimat itu terdengar sangat pilu di telinga Mevin.

Ceklek

Pintu kamar tiba-tiba terbuka, Mevin menoleh dan buru-buru menghapus air matanya. Dilihatnya mamanya sudah berdiri diambang pintu, diikuti Jevin dan Lauren. Lea pun perlahan berjalan mendekat ke arah Mevin. Jeremy yang menyadari kehadiran istrinya kaget dan mendongakkan kepalanya lalu pandangannya mengikuti pergerakan Lea yang berlutut juga di depan Mevin sambil menangkup kedua sisi pipi anaknya.

“Anak Mama.” Suara Lea parau, tetapi ia paksakan untuk tersenyum.

“Ma ....”

“Elleandru Mevinio Adrian, kamu anak Mama Lea, Papa Jeremy, dan ... Papa Jovian.” Digenggamnya tangan anak lelakinya itu erat.

Mevin bergantian memandang kedua orang tuanya yang sekarang tengah duduk bersimpuh di depannya.

“Mevin marah, ya, sama Mama dan Papa?” Lea melafal lirih, anaknya masih belum menjawab. Dilihatnya Mevin hanya mengerjap. “Nak, kalau marah sama Papa sama Mama, boleh. Tapi, coba lihat dari sisi lain, Mevin punya dua papa dan dua mama yang sayang banget sama Mevin dengan tulus. Mungkin waktunya yang bikin Mevin marah tapi―”

“Mevin nggak tahu harus bereaksi seperti apa,” sela Mevin. “Ma, Pa, terima kasih udah merawat Mevin dari kecil. Terima kasih udah membesarkan Mevin tanpa balas jasa atau tanpa batasan dan perbedaan walaupun Mevin bukan anak kandung Papa sama Mama.” Mevin menatap kedua orang tuanya dengan mata yang sudah basah.

Hati Lea berdesir nyeri. Lea dan Jeremy langsung berpindah posisi di sebelah kanan dan kiri Mevin lalu memeluk anak mereka. Hening sesaat.

“Mevin sayang Papa sama Mama.” Mevin terisak, seketika tangisannya pecah menyeruak memecah hening.

Lea dan Jeremy memeluk Mevin semakin erat. “Terima kasih ya, Nak, udah hadir di dunia,” kata Lea, ia merangkul anaknya itu, menempelkan hidungnya di pipi Mevin. Suasana haru memenuhi ruangan itu.

“You don’t need to say thanks. Mevin yang terima kasih sama Mama dan Papa karena udah menerima Mevin. Aku harap Mama Papa tetap sayang Mevin seperti kemarin-kemarin, terlepas dari segala yang terjadi di masa lalu.” Jemari Mevin meraih satu tangan mamanya dan satu tangan papanya lalu menyatukan dalam satu genggam.

“Mevin, ingat satu hal, ya, Nak, sampai kapan pun Mama dan Papa tetap dan akan menjadi orang tua kamu. Mama Papa nggak akan larang Mevin ketemu Papa Jovian.” Jeremy tersenyum penuh haru. Lea dan Jeremy saling menatap, bibir mereka seakan terkunci, emosi hadir dalam tatapan mata keduanya.

“Kapan aja Mevin mau ketemu Papa Jovian, just let me know.” tutur Lea,

“Kok kita nggak diajak, sih!” pekik Lauren sambil menangis yang datang bersamaan dengan Jevin.

Jevin duduk di sebelah Lea, sedangkan Lauren duduk di sebelah Jeremy. Lea mengecup pipi Jevin dan Mevin bergantian. Mereka saling memeluk hangat satu sama lain.

“Ini udah kayak teletubies,” gurau Jevin di tengah suasana haru itu. Semuanya terkekeh sesaat.

“Mevin, Jevin, dan Lauren itu anak anak kebanggaan Papa sama Mama, ngerti? Sejauh apa pun kalian pergi, tempat kalian pulang, ya, keluarga. Seburuk apa pun Mama dan Papa di mata kalian, kami tetap orang tua kalian dan kalian bertiga tetap anak kesayangan Mama dan Papa tanpa terkecuali,” kata Jeremy sambil bergantian menatap anak-anaknya serta Lea.

“Anak-anak Mama, mungkin Mama nggak sempurna jadi ibu buat kalian. Dengan semua keterbatasan Mama, apalagi masalah fisik, Mama minta maaf, ya. Kalian pasti through a lot of hard time because of me, maaf kalian harus punya Mama dengan latar belakang seperti Mama Lea kalian ini. Tapi, asal kalian tahu, Mama nggak pernah menghendaki kalian mengalami kesulitan seperti Mama.”

“Mevin anak Mama, Lauren anak Mama, Jevin anak Mama. Maaf buat semua hal yang harus kalian tanggung karena Mama, tapi kalian nggak pernah ngomong. Nak, Mama itu ngerasa. Hal apa pun yang ganggu pikiran kalian, please share ke Mama karena kebahagiaan kalian itu prioritas Mama dan Papa supaya tugas Mama sebagai seorang ibu bisa berguna. Nggak ada kata-kata yang bisa menggambarkan bersyukurnya Mama punya keluarga ini,” tutur Lea yang membuat mata ketiga anaknya langsung berkaca-kaca.

“Papa juga, apa pun yang terjadi, ke depannya kalian semakin dewasa, Papa kadang sedih. Papa sudah lakuin apa buat kalian? Lea, aku bersyukur juga punya kamu. Asal kalian tahu, Mama kalian ini wanita paling hebat di dunia buat Papa. Jadi, jangan bikin Mama sedih, ya?” tambah Jeremy. Tanpa kata mereka memeluk satu sama lain. Mevin menjadi sedikit lega, ia bisa menerima dengan lapang dada sebuah kenyataan yang tidak akan berdampak apa-apa dalam hidupnya kelak karena yang Mevin tahu ia dibesarkan di keluarga ini. Mungkin ini sebuah proses dari pendewasaan bagi Lauren, Jevin, dan Mevin serta kerikil tajam rumah tangga bagi Jeremy dan Lea.

“Sekali lagi terima kasih, ya Ma, Pa udah nemuin Mevin, udah ngerawat dan membesarkan Mevin,” bisik Mevin lirih di pelukan mamanya. Lea menangis, mengecup puncak kepala Mevin. Malam itu tangis haru tumpah ruah di keluarga Adrian.


Beberapa hari terakhir Cathlyn kehilangan 2 angka dari berat badannya pasca putus dengan Dominic, rencananya membina hubungan lebih serius hanya menjadi angan belaka. Kehilangan berat badan karena tertekan perihal keadaan sudah menjadi hal yang biasa di kalangan kawula muda. Kehilangan barang barang juga kadang karena kita lupa meletakkan dimana, ditempat yang seharusnya atau tidak seharusnya. Cathlyn sudah meletakkan kepercayaannya di tempat yang ia anggap SEHARUSNYA. Untuk pertama kali Cathlyn tidak bergairah melakukan apapun selain menatap danau buatan di depannya, taman ini kosong langit mendung, hanya ada Cathlyn dan motor yang ia parkirkan tak jauh darinya. Ia mencabut rerumputan di tempat ia duduk sekarang lalu membuangnya ke sembarang arah.

Ia mengambil beberapa kerikil dan melemparkannya ke air danau yang tenang itu. Sampai saat ini Dominic memang masih terus menghubungi Cathlyn namun ia membiarkannya, tidak menggubris pesan dan panggilan dari Dominic. Kosong―hampa, penuh sesal dan sesak. Cinta tulusnya selama ini dibayar dengan pengkhianatan dari orang yang sudah menjanjikan kehidupan pernikahan untuknya. Namun, hati gadis ini belum pulih sepenuhnya. Dominic orang yang membuatnya jatuh cinta dengan sangat dalam dan menggoreskan luka yang amat dalam juga. Keadaan sore ini sempat gerimis, Cathlyn masih bertahan disana membiarkan tubuhnya dihujam rinai dari langit. Rindu dan penyesalan berkecamuk dalam hatinya kala mengingat Dominic.

Rinai yang berjatuhan semakin bertambah sedikit deras, tubuh gadis itu sudah setengah kuyup. Sampai ia merasakan ada seseorang yang memayunginya, ia mendongakkan kepala, tangan seorang lelaki yang ia kenal sudah mengulur memayunginya dan lelaki itu membiarkan tubuhnya dibasahi hujan.

“Theo,” kata Cathlyn lalu bangkit berdiri,

“Hujan, pulang yuk?” ajak Theo sambil menarik tangan Cathlyn pelan.

“Lo kenapa tahu gue disini?”

“Jangan tanya kenapa gue bisa tahu tapi tanya kenapa gue mau tahu.” Cathlyn menatap heran mendengar perkataan Theo.

“Udah nggak usah heran, pulang yuk? Hujan, nih.”

“Nggak mau.” Tolak Cathlyn.

“Mau disini?” Gadis itu mengangguk, lalu menjauh dari Theo yang memayunginya.

“Biarin gue basah aja udah terlanjur basah payungnya lo aja yang pakai,” kata Cathlyn kembali duduk di tepi danau itu. Namun Theo membuang payung itu ke sebelahnya lalu ia duduk bersebelahan dengan Cathlyn.

“Kenapa ikut basah basahan sama gue? Pakai payungnya sana,” gerutu Cathlyn

“Biar kalau lo sakit gue juga sakit.” senyum simpul terbentuk di wajah Theo.

“Apaan sih,”

“Lo yang apaan kaya bocah aja nyiksa diri sendiri, sakit oon kalau hujan hujanan gini. Dominic peduli emangnya kalau lo sakit?”

“Theo ....” gadis itu menatap Theo nanar seakan tersirat keputusasaan di sorot matanya.

“Kenapa lo yang selalu ada kenapa lo yang selalu dateng saat gue butuh Dominic?”

“Karena gue mau.”

“Kenapa lo mau?” pertanyaan demi pertanyaan keluar dari mulut Cathlyn. Dengan lugas Theo selalu menjawabnya,

“Karena gue suka.”

“Suka apa?” tanya Cathlyn lagi.

“Lo,” jawab Theo singkat lalu menoleh, keduanya saling beradu tatap, “Tapi suka sama lo peduli sama lo itu urusan gue,” lanjut Theo.

Cathlyn tidak bergeming, keduanya hanyut dalam tatap sorot mata Cathlyn penuh tanya. “Gue udah terperangkap di perasaan ini lima tahun, nggak enak rasanya. Lo nggak usah mikirin gue, pikirin dulu luka lo yang baru itu, kalau gue bisa bantu sembuhin, gue bakalan lakuin. Setiap gue coba tepis malah hati gue yang makin keiris. Nggak lucu kan gue confess disaat kaya gini? Sorry ya, Lyn, gue cuma―”

“Theo, gue―”

“Nggak perlu dijawab, cukup tahu aja ya Lyn. Gue berharap juga lo akan berakhir di kata Lupa sama pengakuan gue ini, gue cuma nggak mau lihat lo terpuruk terus Lyn.”

Diantara turunnya hujan, terlihat jelas mata Cathlyn yang berkaca kaca meski ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

“Theo ... sakit, Theo,” kata Cathlyn dengan suaranya yang parau. Theo meraih tubuh gadis di sebelahnya, menariknya kedalam pelukannya, gadis itu langsung terisak punggungnya bergetar kala tiba di pelukan Theo.

“Nangis aja sepuas lo, luapin semua kebencian lo sama Dominic di pelukan gue, Lyn.”

Cathlyn membenamkan wajahnya di sela leher Theo, dan ia terisak keras di sana.

“Maafin gue yo maafin gue nggak tahu apa apa tentang lo selama ini.”

“Gue nggak minta lo tahu apa apa tentang gue Lyn, you don’t need to say sorry.”

Sebuah perasaan bersalah dan risalah menyelinap di hati Cathlyn, bagaimana bisa ia mendapat pengakuan dari Theo disaat ia tersakiti oleh Dominic dan kecewa namun juga semua ingatan tentang Theo yang selalu ada selama ini berseliweran di kepala Cathlyn.

“Sakit banget rasanya, udah booking semuanya ... udah sebar undangan ....” mendengar ucapan itu ada desiran nyeri di hati Theo, orang yang ia jaga dan ia kagumi merasakan sakit yang amat dalam karena perlakuan Dominic sahabatnya sendiri. Tangan Theo menepuk pelan punggung Cathlyn.

“Lyn, setiap lo ngerasa sakit dateng ke gue ya Lyn. Kapanpun lo ngerasa sakit dan sedih.”

Cathlyn merenggangkan pelukan, Theo menggenggam jemari Cathlyn dalam genggamannya, dilihatnya gadis di depannya masih terisak dan tersedu-sedu. “Dominic jahat, Yo. Kadang gue Cuma minta waktunya yang sedikit tapi yang dia kasih malah pengkhianatan nggak berujung. Dan secara nggak langsung gue juga nyakitin lo.”

“Gue nggak ngerasa disakitin, Lyn. Gue Cuma ngerasa lagi lewatin proses, entah ujungnya ngelepasin lo atau gimana yang gue tahu pasti gue lagi ngelewatin proses. Gue juga nggak mau jadi perantara antara lo sama Dominic.” Cathlyn mendongakkan kepalanya menatap lelaki di depannya ini, satu tangannya mengusap pipi Theo.

“Dengan siapapun lo bahagia nantinya lo berperan besar dalam hidup gue Theo. Thanks juga you know me better than Domi.” langit abu yang menggulung menyaksikan dua insan itu kembali memeluk satu sama lain. Cathlyn tidak menuntut sebuah penerimaan kembali oleh Dominic bahkan ia sudah jelas jelas diabaikan dengan cara main Dominic yang begitu rapih selama ini.

Tak peduli berapa kali Dominic memohon agar Cathlyn tetap tinggal, gadis itu tetap pada pendiriannya untuk tidak kembali ke luka yang sama. Diluar sana banyak orang yang memilih tetap tinggal dengan berbagai luka yang ditorehkan, memang itu kehendak bebas setiap insan. Ada pula diantara mereka yang memilih pergi dan menemukan lembaran baru tak peduli sudah sekian lama mereka mengukir cerita, mereka relakan karena sadar jika dipertahankan hanya menyiksa. Penerimaan, merelakan, melepaskan serta mengikhlaskan berjalan seiringan dengan setiap goresan luka yang kita terima.

“Boleh, Lyn gue jagain lo untuk ke depannya? Jangan mikirin apa-apa dulu, gue cuma mau lihat lo senyum, nggak ada seorang pun yang nyakitin. Gue nggak minta lo bales perasaan gue, anggep gue Theo yang sebagaimana lo kenal. Boleh, Lyn?”

Sebuah anggukan diberikan Cathlyn, maka Theo tersenyum dan menyeka air mata di pipi Cathlyn dan keduanya tersenyum sesaat, Theo masih sibuk menyelami iris mata Cathlyn dan sampaikan harap agar sang puan pujaannya selalu dilingkupi kebahagiaan untuk kehidupan ke depannya.