awnyaii

Tanpa ada pikiran negative tentang apa yang dilakukan Dominic di belakang Cathlyn, gadis itu pun memutuskan untuk menikmati me time nya di kedai kopi Theo. Terlebih saat pesannya diabaikan Dominic, ia semakin kesal dan memilih menikmati me time nya tanpa menunggu Dominic. Cathlyn dan Theo memang memiliki frekuensi pembicaraan dan hal-hal kecil yang sama yang mereka sukai. Theo mengetahui apa yang Domi lakukan di belakangs sahabatnya ini namun bukan ranah Theo jika mencampuri urusan mereka berdua. Cathlyn mulai kehilangan bayangan seseorang yang selalu menemaninya.

Nama yang selama ini ia jaga dan ukir harus perlahan mulai jarang hadir. Di kedai kopi Theo, Cathlyn menyalakan laptopnya dan memasang earphone serta memilih bangku agak di pojok belakang. Ia focus memainkan game AyoDance yang baru saja ia install. Theo datang membawakan segelas Latte dan toast serta french fries.

“Perasaan gue cuma pesen Latte doang kenapa jadi beranak pinak?” Tanya Cathlyn heran sambil melepaskan earphone yang menyangkut di telinganya. Theo yang duduk di depannya menutup sedikit laptop Cathlyn yang menghalanginya melihat wajah cantik gadis di depannya itu.

“Ngegame sama Overthinking itu butuh tenaga, Cantik.”

Mendengar ucapan Theo itu Cathlyn mengerucutkan bibirnya,

Pret, banget dah, nggak ada yang bilang gue cantic pereuz banget lo, Theo. Gue nih cewek jadi jadian haha.”

“Serius cantik kok, with or without make up.”

Cathlyn sedikit tertegun mendengar perkataan Theo.

“Eh anyway gimana suka nggak sama modif motor barunya? Skotlet nya kurang apa? Udah nutup semua body kan?” tanya Theo mengalihkan pembicaraan.

“Iya gue suka banget! Makasih ya, cuma lo yang ngerti gue ajak diskusi beginian!” Cathlyn mengacungkan jempol di depan Theo sambil tertawa kecil.

“Buset kenapa lucu banget kalau lagi begini,” gumam Theo dalam hati menyadari tingkah lucu gadis di depannya ini.

“Gue kudu gimana sih, Theo? Dominic tuh makin nggak jelas kan? Kaya ada sesuatu aja yang dia sembunyiin, he is still treat me like a queen but after that hilang aja susah dihubungin. Komunikasi nggak lancar tapi kalau ketemu nggak ada yang berubah, you know dia udah resign dari kampus, dia lagi daftar FA as he said before tapi entah kelanjutannya gimana. Capek bro!” Cathlyn curhat dengan nada sedikit ngomel. Theo mendengarkan gadis di depannya ini dengan seksama. Sembari Cathlyn menyesap lattenya, Theo menyandarkan tubuhnya ke kursi lalu menyilangkan tangannya di depan dada. Menatap gadis di depannya yang mulai menutup laptopnya. Cathlyn menghela nafas lalu mengambil dan menyantap beberapa kentang gorengnya,

“Enak ni, Yo,” ujar Cathlyn, ia juga mencoba toast gratisnya itu juga.

“Theo, enak nih pas banget.” Cathlyn mengacungkan jempol di depan wajah Theo.

Theo hanya terkekeh kecil melihat tingkah gadis yang sedang galau ini.

“Apa gue bilang, butuh tenaga kan? Butuh asupan konsumsi kan? Haha,” tawanya tipis.

“Dunia nggak adil, bro.” Cathlyn mengambil french fries dan menikmatinya lagi. Theo mencondongkan badannya mendekat ke meja dan menopang dagunya dengan satu tangan dan menatap Cathlyn.

“Apanya yang nggak adil, sist? Mana letak nggak adilnya?”

“Kaga adilnya adalah kenapa waktu ketemu aja dia masih jadi Dominic yang sama, kenapa kalau lagi nggak ketemu alias virtual komunikasi dia bener bener berubah? Dia aslinya dua orang apa gimana?” Cathlyn mengusap bibirnya dengan tissue lalu menyeruput Latte nya lalu melanjutkan bicaranya lagi.

Seems like I lost my support system, I miss the old of us gitu anjir bahasa gue asik bener kan bahasa gue,” kata Cathlyn yang mengundang gelak tawa Theo.

“Ya lo nggak kehilangan lah. Orang Dominic masih bisa lo lihat masih bisa ketemu yang hilang apanya? Yang hilang ya cuma suasana yang lama aja. Cinta itu nggak egois dan nggak maksain. Cinta nggak cuma perihal saling take and give. Jadi nggak bisa satu pihak give doang nggak bisa satu pihak yang take doang jadi sama sama ada take and givenya. Dominic masih ngabarin lo kan? Kalau lo ngerasa dia berubah atau dia juga bisa ngerasa lo berubah, take your own time. I mean you both, kalau lagi ada di titik jenuh ya ngomong lah baik baik berdua.” Ucapan Theo itu membuat Cathlyn terpaku dan terdiam. Seketika itu juga bayangan tentang pria bernama Dominic berseliweran di pikirannya.

“Theo, ini udah kesekian kalinya gue ngalah sama keadaan. Gue kadang sampai nanya gue ada salah apa gimana kenapa jutek banget kaya esia hidayah. Gue capek tau, Theo. Kalau lo tahu kadang gue mikir dia mau break aja apa gimana sih?” suara Cathlyn terdengar putus asa.

“Di kamus gue nggak ada kata break. Break itu apa? Ngasih space? Buat apa? Mikir mau lanjutin? Terus satu pihak benerin mikirin kelanjutan hubungan dan berusaha perbaikin, tapi brengseknya kadang satu pihak lain malah cari cadangan pengganti. Selama ini kasus break tuh kaya gitu doang, Lyn. Kelar mah kelar aja lanjut yaudah ayok, kadang orang ngajak break cari kesempatan aja biar dia waktu ngelepas udah ada gantinya.”

“Theo ....”

“Hm?”

“Gue pengen nangis deh, lo tau nggak sih Dominic pernah bilang mau ajak gue married. Tapi ajakan marriednya nggak sinkron sama sikap dia kalau di virtual bahkan in real life. You know gue blak-blak an aja ya, Yo. A few times ago, dia ajak gue cuddle gue nggak percaya cowok ngajak cuddle pure cuddle aja mungkin gue terlalu negthink tapi takut aja bablas, apalagi ngajaknya di hotel dia smoker terus suka tipsy bahkan kobam. Gue pernah sekali staycation sama Dominic, ya you know lah orang pacaran ngapain. But he want more than that we usually did. I mean, gue kaget dia kenapa bisa ngajak gue having sex segampang itu. Gue nggak mau kan, dia ngambek dia kaya langsung agak diem gitu,” tutur Cathlyn, matanya berkaca kaca.

“Serius?!” mata Theo mendelik kaget mendengar ucapan Cathlyn, ia teringat beberapa kala itu ia melihat Dominic pergi ke sebuah apartemen dan bersama dengan wanita lain. Serendah itu kelakuan Dominic kepada Cathlyn? Theo terdiam.

“Theo ...“ Cathlyn membuyarkan lamunan lelaki itu.

“Eh ... I... iya?” Theo terbata-bata.

“Gue pengen nangis deh, lo pindah sebelah gue sini dah biar gue kaga dilihat orang.” ucapan Cathlyn membuat Theo kaget dan panik. Gadis ngegas di depannya ini belum pernah mengatakan ingin menangis bahkan belum pernah Theo melihat ia menangis. Dengan cepat Theo memindah kursinya ke sebelah Cathlyn dan dilihatnya Cathlyn sudah berkaca kaca dan membenamkan wajahnya di tangan yang ia lipat di atas meja. Punggung Cathlyn bergetar menangis dengan sedikit tersedu.

“Gue terlalu capek Theo sama semuanya gue capek pura-pura fine jalanin ini semua. Mau sampai kapan? Gue takut one day dia ninggalin gue, gue udah sayang banget sama dia. Tapi kalau harus lakuin hal hal kaya gitu gue nggak bisa, Theo.” Ucapan Cathlyn ikut menggetarkan hati Theo walaupun ia menahan sedikit tawa saat mendengar “Hujan di pipi” begitulah Cathlyn dengan gayanya yang masih sedikit bercanda padahal sedang patah hati. Tangan Theo menepuk pelan pundak Cathlyn.

“Nangis aja nangis sepuas lo, hujan badai di pipi nggak masalah nanti gue kasih kopi rum buat take away,” hibur Theo. Namun Cathlyn malah semakin terisak.

“Theo, gue kudu gimana sama Dominic biasa gue peluk dia, dia peluk gue we both spend time together hug and kiss each other how can, Theo? But I can’t do something that he asked, he gave me this ring tho.” Theo mengingat cincin yang berada di jari Cathlyn yang pernah Cathlyn perlihatkan. Hatinya sedikit hancur tiap kali melihat cincin yang terpasang di jari Cathlyn pemberian Dominic itu.

Try it slowly, tolak pelan pelan. Gue nggak mau menghakimi ya Lyn, tapi sex doesn’t make someone stay entah cewek atau cowok yang minta please. You need to take a risk about that, gue yakin lo nggak segila itu. Ancem putusin aja kalau domi ajak begituan lagi!”

“Theo!!” Cathlyn semakin menangis Theo bingung dan panik.

“Buset, jangan nangis gini ah elah.”

Cathlyn perlahan mendongakkan kepalanya dan duduk bersandar di kursi, Theo reflek mengambil tissue dan mengusap air mata yang berjatuhan di pipi Cathlyn.

“Anjir, kok gue ikut sedih sih,” kata Theo.

“Cewek ngegas nggak boleh nangis, percintaan usia dua puluhan emang pelik mungkin yang lo alamin bikin semua nggak adil buat lo. Tapi please lo punya pilihan buat stay or Leave.” Kalimat Theo membuat Cathlyn sedikit berpikir.

“Susah yo buat ninggalin gitu aja apalagi buka lembaran baru sama orang yang baru, ngelupain nggak segampang jatuh cinta,” pungkas Cathlyn.

“Emang gue nyuruh lo langsung jatuh cinta? Enggak kan?” Ucapan Theo sekarang hati dan pikiran Cathlyn tidak terang dan juga tidak gelap. Terlalu banyak ketidakpastian. Bagaimana ia melepas Dominic? Bagaimana ia menjalani hari tanpa Dominic? Bagaimana jika Dominic menemukan pelabuhan cintanya sedangkan Cathlyn belum? Bagaimana Cathlyn bertahan jika harus melihat Dominic ada di pelukan orang lain? Bagaimana ia menjauhi Dominic secara perlahan? Semuanya berkecamuk dalam hati dan pikiran Cathlyn. Ternyata benar, hubungan di usia krusial kadang semenakutkan ini. Padahal Dominic masih ada dan masih bisa ia lihat dan pastikan keadaannya. Haruskah ia mulai melepas rasanya terhadap Dominic karena perubahan sikap Dominic? Cathlyn seperti kembali terisak namun Theo dengan sigap menyandarkan kepala Cathlyn di dada bidangnya membiarkan gadis itu menangis sepuasnya.

Tiba-tiba bel kedai kopi itu berbunyi nampak dua orang memasuki kedai, wajah mereka nampak tidak asing, seorang gadis dan seorang lelaki berhenti sesaat sebelum memilih pesanan mereka. Gadis itu menepuk nepuk lengan lelaki disebelahnya, jari telunjuknya menggantung menunjuk tempat duduk Theo dan Cathlyn. Celine yang kebetulan bertemu Dominic saat di parkiran pun berjalan berdua memasuki kedai kopi itu. Dominic melacak keberadaan Cathlyn lewat GPS yang ada, sedangkan Celine memang hanya sengaja ingin ke kedai kopi tersebut, lelaki bernama Dominic itu langsung menghampiri Theo. Celine mengikuti di belakangnya. Langkah kaki lelaki ini nampak seperti tidak sabaran. Mata Dominic melihat Theo memeluk Cathlyn.

“Theo?” ucapnya saat sampai di hadapan Theo dan Cathlyn. Keduanya kaget dan langsung membenarkan posisi duduk mereka, Cathlyn langsung cepat cepat mengusap air matanya dengan tissue dan bertindak seolah tidak terjadi apa apa namun mata nya tidak bisa berbohong.

“Eh, bro!” Theo bangkit berdiri.

BUG! Satu kepalan malah langsung mendarat di pipi Theo.

“Dominic!” Teriak Cathlyn dan Celine bergantian. Theo terjatuh ke lantai akibat pukulan Dominic, ia tidak membalas. Dominic mencengkeram kerah baju Theo. Sedangkan Theo hanya diam dan memegangi pipi dan rahangnya yang terkena pukulan Dominic.

“Apaan sih, Dominic!” Cathlyn menarik tubuh Theo menjauh dari Dominic. Celine mencoba menengahi Dominic dan Theo juga.

“Lo ngapain bangsat sama cewek gue? Selingkuh lo berdua?! Iya, Lyn?!” ucap Dominic emosi.

“Kamu apaan sih?! Yang selingkuh siapa?! Gila kamu ya?!” Cathlyn tidak kalah berteriak.

“Dengerin dulu, jangan emosian!” lerai Celine.

“Ya apaan pake pelukan segala, ngapain?!” Dominic menatap tajam Theo.

“Nggak semua hal kamu harus tahu sekarang!” pekik Cathlyn lalu menyerobot tasnya dan keluar dari kedai kopi itu. Dominic mengejarnya, berusaha meraih tangan Cathlyn namun Cathlyn menghempaskannya. Sampai di parkiran kedai kopi itu Dominic masih menahan Cathlyn.

“Lyn!” Dominic berhasil menarik tangan Cathlyn. Gadis itu menghentikan langkahnya, napasnya terengah engah, ia masih mengatur emosinya agar air matanya tidak tumpah lagi.

“Apa?!” kata Cathlyn dengan nada ketus.

“Kamu ngapain sama Theo? Aku salah apa?!”

Cathlyn menghempaskan tangan Dominic lagi agar tidak mencengkeramnya. “Salah kamu? Kamu bikin aku nggak ngerti kita ini apa hubungan kita ini apa, Dom. You pretend like nothing happened but something wrong with our relationship! Kamu berubah banget kalau kita nggak ketemu, kamu berubah dingin. Kalau ketemu memang you treat me like a queen, tapi semakin kesini aku nggak ngerti sama perubahan kamu dan permintaan aneh aneh kamu, Dom. Theo Cuma nemenin aku curhat aja, he told me how to control this feeling! Kamu dateng main pukul aja, kan? So, what?!”

“Terus kamu nyalahin aku kamu ngira aku sengaja?!”

“Nggak enak kan tiba-tiba dituduh? That’s what I feel right now!” mata Cathlyn menatap Dominic tajam namun mata itu mulai berair.

Dominic langsung memeluk Cathlyn erat.

“Lepasin!” Cathlyn memberontak namun Dominic menahannya.

“Kalau kamu nggak bisa lanjutin kita udah aja, Dom. Aku capek aku nggak bisa kasih hal yang kamu minta.” Cathlyn mulai menangis di pelukan Dominic. Dominic menangkup kedua sisi pipi Cathlyn dilihatnya dalam dalam mata gadis yang menangis tersedu itu. Ditatapnya tajam sampai gadis itu hanya bisa terisak menatap Dominic.

“Nggak, Lyn. Kita belum selesai!”

“Mau sampai kapan? Kamu harusnya paham setiap langkah yang kita ambil seiring sama perpisahan bukan kebahagiaan! Kelakuanmu makin kesini makin bikin aku asing!”

Dominic belum bisa melepaskan gadis ini, tapi tidak bisa terus menyiksanya dalam ketidakjelasan. Ini sudah diujung perpisahan. Perpisahan yang seharusnya terjadi diantara mereka. Yang Dominic tahu hanyalah ia mencintai Cathlyn, ia tidak ingin Cathlyn pergi, ia tidak ingin melepaskan Cathlyn namun ia tidak bisa berhenti menyukai Cathlyn. Gadis itu tersenyum diatas tangisnya menatap lelaki di depannya.

“Kita udah di puncak perpisahan, Dominic. Jadi udah, ya? Ya?” suaranya bergetar parau. Hati Dominic semakin hancur. Isak tangis hebat tidak bisa dibendung Cathlyn. Sayatan luka itu kali ini semakin perih. Mengucapkan perpisahan sepedih ini ternyata. Bagaimana dua insan yang saling menjaga saling mencintai dan berbagi suka duka harus melepas satu sama lain. Ini baru perpisahan yang masih bisa saling bertemu. Bagaimana perpisahan Cathlyn dengan Theo? Sinar bulan dan taburan bintang malam itu menjadi saksi keikhlasan Cathlyn melepas dan keegoisan Dominic mempertahankan menggenggam Cathlyn.

“Lepasin aku, ya? Aku nggak kuat sama perubahan sikap kamu, Dom.” pinta Cathlyn lirih. Dominic kembali memeluknya lagi. Lebih dalam dan hangat dari sebelumnya. Dominic merenggangkan pelukan dengan cepat.

“Say that you don’t love me anymore! Look at my eyes, Lyn!” ucapan Dominic itu membuat gadis bernama Cathlyn menggigit bibir bagian bawahnya menahan isakan tangisnya yang akan meledak.

“Lyn!” Dominic memegang kedua bahu Cathlyn dan menggoyangkannya dengan sedikit kencang. Gadis itu tertunduk pasrah.

Sementara itu di depan pintu kedai Celine terburu buru ingin menghampiri Dominic dan Cathlyn namun Theo mencegahnya.

“Nggak usah.” Pinta Theo dan memberi isyarat agar Celine diam di tempatnya. Akhirnya Theo dan Celine menunggu di dalam kedai dan memberi space untuk Cathlyn dan Dominic.

“Dominic, please!

“This time told us different stories, it takes time to understand. Takes time to realize and reflect. Things will get better, Dominic. With or without me. I Promise.” hati Dominic hancur saat itu juga mendengar ucapan Cathlyn. Terlebih Cathlyn yang harus mengatakannya dengan berat hati.

Dominic meraih jemari Cathlyn, menggenggamnya dengan kedua tangannya. Cathlyn sibuk menatap dan membuang pandangannya ke samping kanan kiri dan mengerjapkan matanya dan menghela napas untuk menahan air matanya tumpah namun tetap saja butiran kristal itu jatuh membentuk sungai kecil di pipinya.

“Lyn. “

“Dominic! Listen to me for this time, please. I beg you. Kamu sayang nggak sih sama aku? You promised me that we’re gonna getting married! Jangan kaya gini! Aku nggak bisa kasih hal yang kamu minta before marriage.”

Mendengar ucapan itu Dominic melepaskan genggaman tangannya, membingkai pipi Cathlyn dengan kedua tangannya menghadapkan wajah Cathlyn kepadanya. Menatap tajam mata Cathlyn. Jelas ia melihat masih ada cinta dan harapan bersama dari sorot mata Cathlyn. Tangan yang ia genggam pun masih hangat.

“Maafin aku. Maaf, aku selama ini cuma nyakitin kamu aku bodoh banget nggak pernah lihat kamu dan berapa banyak luka yang aku goresin, Lyn. I know, when I look into your eyes like now I see pain. When I hold your hands I can feel your fear. You hide all of your scars that I made. I’m sorry, Lyn. Tapi aku masih Dominic dengan perasaan yang sama, Lyn.” Mendengar kata kata Dominic ini, tangis Cathlyn pecah saat itu juga. Dengan sigap Dominic mendekap Cathlyn dalam pelukannya.

“Nangis Lyn sesuka kamu sepuas kamu pukul aku sampai kamu puas tapi jangan tinggalin aku, aku nggak mau pisah jangan pernah ada kata pisah, I deserve it.” ujar Dominic yang langsung dibalas pelukan erat dari Cathlyn.

“Nggak ada kata pisah ya? Aku minta maaf setelah ini aku nggak akan jadi Dominic yang berbeda menurut kamu, aku nggak akan minta hal hal bodoh itu lagi. You can keep my promise, Lyn. Aku janji aku pegang janjiku buat tetep married sama kamu! Aku janji!”kata Dominic lagi.

“Dom aku udah nggak bisa, udah ya?” Cathlyn masih terisak Dominic merenggangkan pelukan menatap gadis yang menunduk sambil menangis di depannya ini,

You can leave me if I asked you that kinds of things again, Lyn.” ujar Dominic masih menahan dan tidak membiarkan Cathlyn mengakhiri hubungan mereka.

“Dom, udah. Aku capek!” Cathlyn meraih jemarinya sendiri melepaskan cincin yang pernah Dominic pasangkan di jari manisnya. Cathlyn mengembalikan cincin itu kepada genggaman Dominic.

“Yaudah kalau capek kita break aja dulu, Lyn masih bisa kan?” Dominic malah mencengkeram bahu Cathlyn, gadis itu menepisnya kasar. Keduanya saling menatap tanpa satu kata pun, hanya air mata yang mengalir di pipi Cathlyn.

“Aku nggak bisa!” Mereka berdua bagaikan bintang dan langit malam. Yang muncul selalu berdampingan dan melengkapi satu sama lain. Tetapi malam selanjutnya akan terasa sepi, langit kesepian, seakan hari demi hari bintang indah itu pergi meninggalkan langit sendiri. Hati Dominic dan Cathlyn pun mungkin akan terasa sepi. Indahnya cinta yang menghiasi hari mereka dan hati mereka perlahan menghilang dan hanya meninggalkan sepi.

“Nggak ada kata break di kamus hubunganku!” Ucapan itu dilontarkan Cathlyn dengan keras kepada lelaki di depannya ia mengingat apa kata Theo kala di kedai tadi. Dominic terdiam terpaku mendengar ucapan Cathlyn.

“Kamu mau putus? Iya? Aku lagi apply ke flight attendant Lyn biar aku bisa punya masa depan buat kita. I do this for you and for us!”nada suara Dominic meninggi. Theo yang geram dari kejauhan melihat Dominic semakin tidak terkendali pun mendekat ke arah mereka.

“Dom santai.” Theo menengahi mereka berdua.

“Apa lo?! Nggak usah ikut campur!” bentak Dominic sambil mendorong tubuh Theo hingga Theo tersungkur ke tanah.

“Domi! Apaan sih!” Cathlyn juga panik dan membantu Theo berdiri, Theo langsung menepis lembut Cathlyn memberi tanda ia baik baik saja. Theo bangkit berdiri dan langsung menghantam Dominic dengan satu kepalan tangan BUG!

Dominic tidak mau kalah, ia membalas dua pukulan kepada Theo yang membuat Theo tersungkur lagi. Celine mendekat kearah mereka juga melerai kakaknya dan Dominic, namun tenaga dua lelaki ini lebih besar daripada Celine dan Cathlyn.

“Nggak, lo berdua kenapa sih?!” Cathlyn masih menangis, Celine yang sedikit panik berusaha menenangkan Cathlyn.

“Pukul gue sesuka lo! Tapi Cathlyn harus tahu kebrengsekan lo, Dom!” Theo emosi dan menatap Cathlyn sesaat sebelum menatap Dominic yang mencengkeram kerah bajunya sekarang.

“Apa maksud lo bangsat?!” tanya Dominic emosi,

“Turutin kemauan Cathlyn putus! Karena Cathlyn nggak pantes dapet cowok tukang selingkuh kaya lo! Kelakuan rendahan lo ngajak Cathlyn lakuin hal yang nggak seharusnya kalian lakuin udah nunjukin betapa toxic nya lo, Dom!” Cathlyn terkejut bukan main dengan ucapan Theo, BUG! BUG!

Kali ini dua pukulan mendarat lagi di pipi Theo, lelaki itu tidak membalasnya sama sekali, Dominic berkuasa atas tubuh Theo. Ia masih mencengkeram kerah baju Theo dan mendelik tajam.

“Jaga ya mulut lo jangan sembarangan!”

“Lo pikir gue nggak tahu? Lo pikir lo pantes dapetin Cathlyn?!” balas Theo

“Domi! Theo udah!”Cathlyn menarik tubuh Dominic, Celine menarik tubuh Theo menjauh dari Domi, keadaan sangat chaos.

“Awas! Lepasin Lyn!” Dominic menghempaskan Cathlyn dengan kasar,Cathlyn juga menjadi jatuh tersungkur, siku tangan yang menahan tubuhnya berdarah akibat dorongan keras dari Dominic. “Aw!” rintih Cathlyn, Dominic langsung menghampiri Cathlyn dan meminta maaf karena ketidaksengajaannya itu. Namun Cathlyn menepis tangan Dominic.

Tell me, is it true? Kamu selingkuh?!” Cathlyn bertanya dengan suara parau, luka di tangannya belum ada apa apanya dibandingkan sakit hatinya kali ini.

“Lyn ....”

“Jujur Dom!”

“Lyn aku bisa―”

“Haha, so it’s true?” Cathlyn bangkit berdiri dengan tenaganya sendiri. Theo dan Celine mendekati Cathlyn.

So, leave me, Dom. Aku udah suruh kamu bilang kan kalau kamu bosan, aku udah bilang ngomong kalau jenuh, aku nggak ada toleransi buat kebohongan besar dalam hubungan!” namun Dominic masih mengelak, Theo dan Celine masih berdiri mematung memandangi kedua sahabatnya yang tengah menyelesaikan pembicaraan pelik itu. Theo memegangi rahangnya yang terasa sakit serta ujung bibirnya yang mengeluarkan darah itu, PLAK!

Satu tamparan dilayangkan Cathlyn untuk Dominic.

Can you just stop it? We are .... enough,” ucap Cathlyn menatap Dominic sesaat lalu meninggalkan Dominic disana dan menuju mobilnya, Celine menyusul Cathlyn dan Theo berjalan mendekati Dominic.

“Udah cukup lo sakitin dia, gue akuin lo main rapi banget tapi Cathlyn amat sangat berhak bahagia!” ucap Theo sebelum berjalan pergi meninggalkan Dominic disana dengan penyesalannya.

Sesuai janji Theo, ia menyusul Cathlyn di tempat yang Cathlyn kirimkan alamatnya. Langit temaram semakin pekat karena cuaca dingin dan mendung. Sepanjang jalan ia memendam kekesalan karena teringat perlakuan rendahan Dominic di belakang Cathlyn. Ia masih menahan untuk membeberkannya kepada Cathlyn karena itu bukan ranahnya dan Dominic sendiri yang berkata akan menyelesaikannya. Theo sampai di tepi jalan, Cathlyn memarkirkan motornya di sebuah bangunan kosong yang nampak tidak berpenghuni. Theo memarkirkan motornya disebelah motor Cathlyn. Gadis itu menyambut kedatangan Theo dengan senyum manis.

“Hey, kenapa bisa mogok?” tanya Theo sembari turun dari motor dan melepas helmnya. Cathlyn menggaruk kepalanya sambil tersenyum, “nggak tahu, Theo, gue juga bingung mana ngerti gue masalah mesin tahunya cuma make motornya aja.” mendengar jawaban Cathlyn itu, Theo hanya tertawa kecil. Lantas ia mulai mengotak atik motor Cathlyn di beberapa bagian, mencoba staternya dan lain-lain. Cathlyn hanya duduk di bangku kayu panjang yang ada di teras bangunan kosong itu.

“Lo masih balapan?” tanya Theo sembari memperbaiki mesin motor Cathlyn, gadis itu berjalan mendekat lalu mengambil posisi jongkok di sebelah Theo.

“Iya, sesekali, tapi akhir akhir ini cuma ikut kumpul club nya aja nggak ikut racingnya,” ujar Cathlyn. Theo mengangguk sambil masih focus dengan apa yang ia kerjakan.

“Gimana sama Domi?” tanya Theo lagi, Cathlyn heran secepat itu topik pembicaraannya berubah.

“Hah kenapa tiba-tiba Domi?”

“Nggak papa make sure aja kalau lo berdua baik baik aja.”

“Baik kok, cuma ya gitu Dominic sibuk urus dia yang mau masuk Flight Attendant kan jadi ya gitu deh.” ucapan Cathlyn terdengar lesu.

“All the best aja deh, Lyn. Jangan sedih-sedih ya. Gue nggak mau denger lo sedih nggak bisa gue lihat atau denger lo nggak baik-baik aja, Lyn,” kata Theo lalu membersihkan tangannya seusai menyelesaikan memeriksa mesin motor Cathlyn. Lalu ia bangkit berdiri sambil mencoba menyalakan mesin motor Cathlyn serta mencoba stater serta gas motor tersebut. Cathlyn bangkit berdiri dan menatap Theo heran.

“Nah, udah beres sekarang yuk balik? Gue ikutin dari belakang,” kata Theo, Cathlyn mengangguk namun tiba-tiba hujan turun perlahan. Keduanya saling menatap bingung, Theo mengedikkan dagunya mengarah ke tempat Cathlyn duduk tadi. Maka keduanya memutuskan berteduh di sana. Saat menatap Cathlyn lelaki bernama Theo ini menyadari sudah genap lima tahun ia mengagumi Cathlyn sejak bangku kelas tiga SMA sampai tahun akhir kuliah menjelang wisuda walaupun ada di fakultas berbeda, Theo berada di fakultas kedokteran dan Cathlyn di fakultas bisnis namun berada dalam satu lingkup kampus yang sama membuat keduanya masih sering bertemu. Tidak ada kata henti untuk hubungan pertemanan mereka. Hubungan pertemanan untuk Cathlyn dan hubungan cinta dalam diam untuk Theo.

Anyway, Theo karna lo nanya soal Dominic this is from him.” Cathlyn menunjukkan cincin di jari manisnya. “Domi ngelamar lo?” tanya Theo kaget, pertanyaan itu ia utarakan sambil menunjuk cincin yang Cathlyn kenakan, gadis itu mengangguk antusias sambil menatap sesuatu yang melingkar di jari manisnya sesekali tersenyum.

“Lyn ...”

“Iya, apa?” pertanyaan theo Cathlyn jawab dengan tenang.

“Kalau Dominic nyakitin lo bilang ke gue ya, Lyn. I wish you happiness.” Theo tersenyum manis simpul yang teruntai di wajahnya seakan menyembunyikan rasa cemburunya dengan rapi. Cathlyn terdiam, lalu mengangguk sambil tersenyum. Selama hampir tiga puluh menit mereka berdua menunggu hujan deras reda. Kini tinggal rinai kecil yang turun.

“Yuk balik? Nanti kemaleman,” kata Theo, Cathlyn mengangguk. Theo bergegas membuka jok motornya lalu mengambil jas hujan yang ia bawa dan memberikannya kepada Cathlyn.

“Ngapain? Nggak usah,” tolak Cathlyn halus.

“Pakai aja, nggak usah ngeyel.”

“Tapi ini tuh nggak der―”

“Pakai aja Svetlana Cathlyn Yemima.”

“Hm, iye,” jawab Cathlyn sambil sedikit memanyunkan bibirnya yang membuat Theo terkekeh kecil lirih. Cathlyn memakai jas hujan itu, Theo mendekat lalu membantu Cathlyn mengancingkan jas hujan itu dan memasangkan helm kepada gadis pujaannya itu.

“Jangan sampai sakit. Sekarang gue kawal di belakang ya nggak usah ngebut. Oke?” kata Theo sambil mengelus pundak Cathlyn pelan. Gadis itu mengangguk sambil mengacungkan jempol dan tersenyum. Kerlingan mata Cathlyn tidak sebanding dengan apa yang Dominic lakukan di belakang, Theo takut jika suatu saat kerlingan mata Cathlyn berubah menjadi derai air mata karena ulah bodoh Dominic. Theo terlalu kehilangan banyak kesempatan di hari lalu dan di masa lalu, bahkan ia membantu Dominic mendapatkan hati Cathlyn saat sebenarnya hatinya teriris.

Theo mengabaikan dan tidak memikirkan perasaannya kala itu ia pikir perasaannya bisa hilang seiring berjalannya waktu namun ternyata ia salah. Perasaannya tidak pudar sampai tahun ke lima. Semakin bertambah, entah kapan akan pudar.tak peduli seberapa kuat ia berusaha mengikisnya bayang Cathlyn selalu hadir. Theo hanya bisa mengagumi tanpa bisa merawat dan merengkuh. Terlepas dari perasaan dibalik hatinya, tidak ada yang tahu. Perihal kesetiaan terdengar seperti omong kosong tapi perasaan Theo masih sama dan setia untuk waktu yang lama di tahun ke lima. Sedangkan sang Tuan si Puan, Dominic malah penuh dengan pengkhianatan di belakang Cathlyn.

Seorang pria yang hari ini akan menjalani pernikahan yang ia impikan selama ini sedang memandangi dirinya dalam balutan black suit di depan cermin besar. Mevin merapikan rambutnya dan mengencangkan dasi hitamnya yang menemani penampilannya dengan kemeja putih dan balutan jas formal. Mevin atur napasnya berulang kali lalu duduk menunggu kedatangan Papanya, Jovian. Tak lama, Jovian mengetuk dan memasuki ruangan itu.

“Papa!” Mevin tersenyum saat Jovian duduk di depannya. Jovian tersenyum lalu menepuk pundak Mevin sesaat.

“Anak Papa udah siap?” tanya Jovian. Mevin mengangguk mantap.

“Papa yakin kamu tidak akan mengecewakan, beda, nggak kaya Papa.”

“Pa ....”

“Mevin, kamu satu-satunya anak laki-laki yang Papa punya di dunia. Dan setelah kepergian Mama kamu, Papa hidup di dunia yang hampir runtuh, beberapa kali Papa hampir nyusul Mama, tapi Tuhan nggak kasih, Tuhan mau Papa melihat kamu tumbuh sampai dewasa. Kadang Papa mikir, kalau Papa menikah suatu saat nanti kamu gimana, doa Papa setiap malam cuma berharap biar kamu jauh lebih bahagia daripada Papa, nggak papa, nggak masalah. Karena Papa mau lihat Mevin bahagia dulu baru Papa belakangan, bukan jadi masalah. Dan Tuhan baik, Dia kirim Grace buat jadi istri Mevin sampai saat ini, kehidupan pernikahan nggak akan mudah tapi Papa yakin semua bisa kalian lewatin. Ketangguhan kalian berdua selama berjuang juga sudah jadi bukti kalau Tuhan bener-bener kasih seseorang yang kalian butuhkan satu sama lain.” Ucapan Jovian membawa Mevin pada perasaan haru.

Kini Mevin tertunduk, mencoba menahan perasaan haru yang berkecamuk. Selama kehancurannya beberapa kali, Mevin hanya tinggal dan bermukim di dalam kesepian, tapi segalanya berubah karena kedatangan Grace. Maka Mevin titipkan sebuah rasa syukur yang mendalam untuk keluarganya. Sebenar-benarnya cinta itu sekarang Mevin bisa rasakan dalam hidup keluarganya.

“Papa, Mevin kira dunia Mevin bakalan berakhir setelah kepergian Mama. Tapi Tuhan baik, Tuhan kasih waktu yang panjang buat Mevin sama Papa.” Ucapan Mevin sudah cukup menjelaskan bahwa ia hanyalah sepucuk ranting yang nyaris gugur diterpa angin sebelum saatnya Jovian datang kembali dan Grace yang datang mengubah Mevin menjadi tunas yang baru. Maka kala itu mata Jovian menyipit seiringan dengan sebilah senyum yang terpancar di wajahnya.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu, dimana disana ada Grace yang masih mengenakan dress biasa bukan wedding dress yang akan ia kenakan, rambutnya masih terurai tapi wajahnya sudah mendapat polesan make up yang terbaik. Mevin dan Jovian menoleh saat Grace memasuki ruangan itu. Mevin dan Jovian menyambut Grace dengan senyum, Grace pun duduk di sebelah Mevin.

“Om Jovian,” ucap Grace lirih.

“Sekarang kan udah jadi Papa kamu juga, panggil Papa aja, nggak papa, Grace,” kata Jovian sambil tersenyum.

“Bahagia terus sampai akhir, ya? Kalian harus saling jaga satu sama lain, Mevin nanti harus jadi suami dan ayah yang bertanggung jawab keluarga, Grace juga harus jadi istri yang juga sebagai penolong buat Mevin dalam keluarga.” Jovian menatap Mevin dan Grace bergantian.

Sejenak, Grace dan Mevin saling bertatapan, Mevin memberikan isyarat lewat anggukan. Lalu, Grace dan Mevin pun berlutut di depan Jovian. Tak Jovian sangka bahwa Mevin dan Grace benar-benar akan melakukannya.

“Mevin, Grace ....”

“Pa, terima kasih ya buat semuanya yang sudah Papa lakukan buat Mevin dan Mama Petra selama hidup. Pa, sekarang di usia saat ini Mevin mau ambil satu langkah untuk kehidupan Mevin ke depannya. Mevin mau komitmen menikah sama Grace, wanita yang udah Mevin pilih jadi pendamping hidup Mevin satu untuk selamanya. Papa, nggak banyak yang bisa Mevin kasih buat Papa dan nggak banyak waktu yang Mevin bisa lewati sama Papa. Tapi, di setiap doa Mevin, nama Papa Jovian selalu Mevin sebut. Papa, terima kasih udah mau mengakui Mevin sebagai anak lagi, Mevin tahu itu nggak mudah dan terima kasih sudah kasih Mevin yang terbaik sebagai seorang anak, Mevin nggak merasa kekurangan apapun. Semua yang Papa lakukan itu cukup, bahkan lebih dari cukup. Mevin nggak tahu seberapa sakit dan hancurnya Papa jalani hidup tanpa Mama selama ini, maafin Mevin ....” nada suara Mevin bergetar karena kini Mevin tak bisa membendung tangisnya, begitu juga dengan Jovian yang melipat bibirnya kuat-kuat dan mengerjapkan mata beberapa kali.

Jovian pun mengelus punggung Mevin, dan kini Mevin mengarahkan pandangannya lagi ke arah Jovian. Sungguh, Mevin harus menahan mati-matian tangisannya yang hampir meledak saat itu juga.

“Papa, Mevin minta doa restu dari Papa Jovian, ya. Mevin minta doa restu supaya Mevin bisa jadi pemimpin dalam rumah tangga yang baik. Doain Mevin, untuk ini Mevin minta restu Papa Jo sekali lagi, seperti yang Papa tahu, setelah pemberkatan hanya bisa sungkem sama satu pihak ayah dan ibu, Mevin nggak berhenti untuk kagum sama Papa Jovian dan kebesaran hati Papa Jovin untuk kita semua, walaupun hanya seperti ini, Mevin bener-bener ngerasain harunya seorang anak, bukan tentang siapa yang ada di dekat altar, tapi dari hati, Papa Jo ... Mevin sayang Papa,” kata Mevin sekali lagi, Mevin pun menegakkan tubuhnya dan langsung memeluk Papanya saat itu. Jovian tidak percaya, anak yang lahir dari wanita terhebat yang ia cintai dengan terlambat, kini telah dewasa dan akan menginjak dunia pernikahan dan berkeluarga. Anak yang sempat ia tidak mau akui kini telah tumbuh dewasa dengan baik. Bayi laki-laki Jovian sudah dewasa dan membanggakan jika menilik semua perlajanan dan pengalaman hidupnya.

“Anak Papa, your future just begun. You will start your new journey, I believe that God will lead your way. God will provide everything you need. Selamat memasuki dunia baru dalam kehidupan, anak Papa ....” Jovian juga mengecup puncak kepala Mevin. Keduanya merenggangkan pelukan, Jovian tatap sejenak anaknya yang sangat mewarisi paras Petra itu dan ia mengangguk lalu menyeka air matanya.

Kini giliran Grace yang ambil alih tempat Mevin, Grace bersimpuh di depan Jovian dan mulai mengatakan kalimatnya, “Papa Jovian, Papanya Mevin yang kuat seperti Mevin, Grace minta ijin dan doa restu dari Papa untuk mengarungi bahtera rumah tangga sama Mevin. Grace nggak nyangka juga bisa ada di tengah-tengah keluarga ini. Grace juga berlatar belakang yang tidak sepadan dengan Mevin dan banyak kejadian gelap yang menimpa Grace, tapi Grace bersyukur bisa diterima di keluarga ini tanpa terkecuali dengan baik. Doain Grace biar Grace bisa jadi penolong dan pendamping Mevin ya, Papa Jo. Cerita dari setiap anggota keluarga ini ngajarin Grace banyak hal. Papa Jo, terima kasih sudah mau menerima Grace apa adanya dengan semua masa lalu dan hal-hal yang mungkin tidak bisa diterima banyak orang. Grace selalu berdoa juga buat Papa Jo supaya Tuhan beri Papa Jo panjang umur dan kesehatan. Grace minta ijin dan doa Papa Jo untuk menjadi istri Mevin ....” Grace tidak kalah terharu dan menangis.

Riuh dan bising pikiran saat itu lebur karena tangis haru dari ketiganya yang tidak terhindarkan. Jovian dan Grace saling menatap dan tersenyum haru sebelum Jovian juga memeluk Grace dan benar saja, Grace terisak di pelukan Jovian.

“Grace bisa rasain apa yang Mevin rasain, kami berdua sama-sama kehilangan sosok Mama di hari penting dalam hidup kami, tapi masih ada orang-orang yang menjadi wakil Mama kami berdua, untuk itu, terima kasih Papa Jovian, terima kasih banyak,” kata Grace yang walaupun terbata-bata. Jovian memeluk Grace erat, menepuk lembut punggung Grace dan membiarkan menantunya itu menangis di sana.

“Papa Jo juga seneng kenal Grace dan Papa bahagia kalau pada akhirnya kamu sama Mevin bersatu. Kalian sama-sama yang terbaik yang Tuhan siapkan, Papa tahu perjalanan kalian yang nggak mudah, itu udah jadi bukti nyata kalau Tuhan sayang kalian. Bahagia terus, ya?” balas Jovian. Mereka merenggangkan pelukan dan Jovian menatap Mevin dan Grace bergantian, kini tangan Jovian, Mevin dan Grace bersatu di atas lutut Jovian. Sebagai seorang ayah, juga berat rasanya melepas anak laki-lakinya untuk menikah tapi ini memang harus terjadi. Sudah menjadi garis takdir kehidupan.

Rasa terima kasih Mevin panjatkan bagi sang Empunya kehidupan karena telah memberinya sosok yang hebat menjadi pendamping hidupnya. Jovian juga bersyukur karena Tuhan jawab doanya untuk mengirimkan seseorang yang memang menerima Mevin, segala kekurangan dan masa lalunya, yang bisa dipastikan akan mencintai dan menjaga Mevin seumur waktu.

Maka sekali lagi mereka bertiga saling memeluk, Jovian lantunkan doa lirih yang bisa didengar oleh Mevin dan Grace, “God, here I come to you, please bless Mevin and Grace on this wonderful day, we surrender all to you from the beginning until the end. I’m asking Your guidance my son’s wedding. Please guide them in every step of their new life so they can treasure each other presence. Let Mevin and Grace truly find love and patience for each other. Let them be good to each other and may their marriage be a shining example to others, we surrender all to You God, Amen.

Doa selesai dilafalkan, tapi sekali lagi, tangisan terdengar dari Mevin dan Grace. Jovian memejamkan matanya dan mengatur napasnya, “everything'ss gonna be okay, God bless both of you, Mevin and Grace,” kata Jovian sambil terus menepuk punggung Grace dan Mevin dengan kedua tangannya.


Papa Kevin & Grace

Grace sudah berdiri dengan balutan gaun putih memiliki bagian ekor yang agak panjang dan sedang bercermin saat ini. Ia menggenggam sebuah bouquet bunga yang berukuran medium. Grace sedikit gugup, bahkan lebih gugup daripada saat bertemu Papa Jovian tadi. Grace memejamkan matanya sesaat, berdoa di dalam hatinya, “Mama Maureen, doain Grace dari surga, ya. My wedding dream is come true after a long time has passed, Ma.”

Setelahnya, Grace menyadari bahwa ada langkah kaki yang mendekatinya. Grace menoleh, ia kembangkan senyumnya yang paling indah menyambut kedatangan Ayah sambungnya. “Papa!” seru Grace sumringah.

“Cantik banget, cantiknya anak Papa.” Kevin memuji anaknya itu tulus. Grace tersipu. Papa pun meraih jemari Grace dan digenggamnya saat itu juga.

“Grace, Papa minta maaf ya, untuk semua kesalahan Papa di masa lalu, mungkin Grace mikir kalau selama ini Papa Kevin rebut Mama Maureen dan bikin Mama Maureen fokus sama keluarga kita aja, tapi pada akhirnya Grace tahu kan gimana sayangnya Mama dan Papa ke kamu? Terima kasih untuk semuanya. Papa tahu kadang Grace juga mengesampingkan kebahagiaan Grace, kan? Sekarang, seluruh kebahagiaan pantas kamu dapatkan, Nak. Mama Maureen, Papa Kevin, Rafer dan Florence mau lihat kamu bahagia. Kebahagiaan itu pantas nak, pantas buat kamu, terima kasih Grace sudah kuat sampai sekarang.” Kevin mengucapkan kalimat itu dengan suara yang. Setiap luka pantas atas bayaran bahagia, selaksa tawa serta banyak cinta untuk Grace yang banyak menanggung luka.

“Mama kamu pasti bangga lihat perjuangan kamu, Maureen tidak salah mendidik dan membesarkan kamu, Grace. Papa bangga sama kamu. Bahagia terus keluarga kamu dan Mevin, ya, Nak?” Papa Kevin berkata sambil membelai surai hitam Grace. Tanpa bahasa, hanya air mata yang mengalir, Grace pun memeluk Ayah sambungnya itu dan meluapkan segala rasa terima kasihnya. —- 

WEDDING CEREMONY

Tuhan tahu angan serta harapan manusia tidak semua bisa menjadi nyata. Tuhan tahu semua keinginan kita tapi ia tak akan kabulkan semuanya dalam sekejap. Tapi Tuhan lebih tahu mana yang terbaik bagi kita dan yang kita butuhkan. Ketika kita terfokus kepada masa lalu dan masa kelam seseorang, maka tak akan membawa kita pada perspektif baru tentang kehidupan. Mendapat banyak kekecewaan selama hidup dan dalam naungan pernikahan sudah Grace dan Mevin lalui sepanjang waktu. Banyak kerikil yang menghalangi. Tapi mereka jadikan banyak kerikil tadi sebagai pijakan, bukan sebagai sandungan. Maka berdampinganlah kedua anak adam itu mengarungi bahtera rumah tangga.

Grace memercayakan tangannya digenggam Papa Kevin untuk memasuki tempat pemberkatan dan berjalan menuju altar, di sana sudah ada Mevin di depan altar dan seluruh tamu serta keluarga sudah mengisi bangku kosong yang ada. Pemberkatan memang dilakukan secara outdoor tapi tidak mengurangi suasana sakral yang ada. Grace berjalan memasuki tempat itu, ia tatap sejenak Papanya itu sebelum sampai di Altar. Maka setelah sampai di depan Altar, Grace melepaskan genggaman dan memeluk Papa Kevin nya itu sejenak. Lalu begitu juga dengan Mevin, pria itu memeluk Papa Kevin sebelum Mevin bersiap menawarkan sebuah genggam diterima Grace. Saat tangan Grace dan Mevin bertaut, gemuruh riuh tepuk tangan terdengar dari para tamu. Maka Kevin pun turun dari sana dan duduk di bangku yang sudah disediakan.

Mevin dan Grace berjalan menuju hadapan sang Pastor. Semua tamu sudah duduk di kursi yang sudah disiapkan. Suasana haru namun sakral sangat terasa. Jauh dari kata mewah. Mevin memilih Grace menjadi pendampingnya seumur hidup begitu jua sebaliknya, mereka pantas mendapatkan ini semua.

Permintaan Mevin selama ini tidak banyak, tapi terlalu sulit diwujudkan. Ia ingin keluarganya bahagia dan utuh, ia ingin bahagia, ia ingin cinta, untuk mencintai dan dicintai. Tapi kata menyerah ia tepis jauh-jauh selama ia berjuang menyelamatkan hubungannya dan Grace

Bukankah dua orang yang bersatu memang seharusnya diikat dalam janji abadi di hadapan Tuhan dan manusia? Sang Pastor mempersilakan Mevin dan Grace bertukar cincin. Di cincin Mevin terdapat ukiran nama Grace di dalamnya. Begitu juga dengan Grace, di dalamnya terdapat ukiran nama Mevin. Keduanya bertekuk lutut di hadapan Pastor dan melipat tangan serta kedua tangan Pastor itu ditumpangkan di atas kepala Mevin dan Grace. Sang Pastor ucap doa, Mevin terisak dalam hening, begitu juga Grace. Teringat akan perjuangan keduanya hingga bisa sampai di titik ini. Kini keduanya bangkit berdiri untuk masuk ke prosesi wedding vow.

Namun, sebelum itu, Mevin angkat bicara. “Bernadetta Gracelline Courtney, I believe that God gives you to me with a lot of reasons, kisah kita pernah hampir berhenti, bahkan di dunia kamu, aku pernah jadi seseorang yang hancurin dunia kamu. Tapi kamu tetap disana, tidak pernah pergi walaupun sebentar, aku bersyukur kamu tetap ingat aku walau sedikit, kita berdua itu luka karena keadaan, tapi dipertemukan untuk saling menyembuhkan. Today, in the presence of God and our family, I vows to you and pledging my eternal love to you. I stand in front of you to say I choose you, marry me. Today I stand in front of you to remind you that each and every day I choose you over all others. I choose you to share my happiness with. Even it is not easy. Tapi satu hal yang aku tahu, dengan kasih Tuhan aku dan kamu dipersatukan hingga maut memisahkan. I take you to be my wife, Grace. Without you I’m nothing. But with you, I’m more than myself. I vow to make my life forever yours and built my dreams around you. I take you as my wife and loving you in every moment. This is a relationship that we built together, we’re growing and nurturing it into the most beautiful love. I promise to be the man that I see now in your eyes, today, tomorrow and forever. I pledge you my faithfulness to show you the same kind of love as God showed to us. I commit my life to you. I commit my life to you. I give my hands to hold you tightly and to make you feel safe. I’ll give you all of my life and I’ll be your husband from today, this day forward until we are parted by death and God alone. God loves you... so do I, Grace..I love you.” Ucapan Mevin terhenti karena ia harus menyeka air mata yang tumpah ruah.

Begitu juga dengan Grace yang sudah menangis tersedu, air mata tidak hentinya mengalir dari pelupuk matanya karena ungkapan hati yang Mevin utarakan.

“Mevin, I appreciate you and everything that yu do. I am committed to you and God to spend more time together and obey God’s words. I like every single things from yourself. You are wonderful partner and great person for me. I’m so glad that I married you. I will trust yoou and respect you, loving you faithfully through good times and bad times, I give you my hand, my heart and my love from this day forward for as long as we both shall live. And according to the will of God and my desire, I, Grace, take you Mevin to be my husband. Leaving my father and mother, I cleave to you. I choose you at the start and finish of every single day. I need you to complete all of my limitless. God loves you so do I, Elleandru Mevinio Adrian.” Setelah kata-kata diucapkan, seluruh anggota keluarga terharu dan menitikan air mata melihat momen itu.

Sang pastor mulai berkata, “Therefore what God has joined together, Let no one separate. And this is the time for you, Mevin to kiss your wife’s forehead and open the veil,” maka tanpa kata, Mevin menurutinya, Mevin membuka veil yang menutupi wajah Grace lalu Mevin tangkup pipi Grace, ia dekatkan wajahnya kecup kening Grace. Hal itu disambut riuh tepuk tangan. Dan ini saat yang ditunggu, Mevin dan Grace menuruni altar, Mevin menggenggam tangan Grace erat dan melihat ke arah bangku tamu, ada Jovian di sana bersama Auryn dan Mikayla, Mevin sempat lakukan kontak mata dengan ketiganya dan tersenyum sebelum menuju bangku Lea dan Jeremy.

“Pa―thank you for being by my side yesterday, today and always. Before I start this journey and become a husband for Grace, I have to thank you Pa, for all you’ve done throughout my life. You raised me and protected me and taught me all you know. Papa Jeremy and Papa Jovian are the first man I ever loved.” Mevin menggenggam tangan Jeremy dan bersimpuh di hadapan Jeremy dan beradu tatap dengan Papanya untuk sesaat. Mevin tersenyum, mata Jeremy sudah berkaca-kaca. Mevin mencium tangan Jeremy dan membenamkan wajahnya di tangan Jeremy diatas lutut Jeremy lalu Mevin merasakan sebuah usapan lembut di punggungnya serta alunan lagu “Doa Seorang Anak” diiringi piano dan saxophone mengiringi momen sungkem setelah pemberkatan yang mengharukan itu.

“Anak Papa, anak Papa Jo, Papa Jeremy, Mama Lea dan Mama Petra. Selamat sudah masuk di chapter baru dalam hidup Mevin. Terima kasih udah berjuang dan bertahan sampai sekarang.” Jeremy berkata dengan suara yang parau. Mevin hanya mengangguk cepat dan tidak bisa membendung air matanya. Mevin pun mendongak melihat Jeremy membuka lebar tangannya menawarkan sebuah dekap baginya. Mevin tak bisa menahan haru, ia luruh memeluk Papanya itu. Jovian, dan seluruh keluarga yang menyaksikan peristiwa itu tidak henti mengucap syukur. Mereka semua yang mengerti bagaimana perjuangan Mevin dan Grace melawan dunia yang kejam. Memperjuangkan penerimaan, bertaruh nyawa dan nyaris berpisah tapi Tuhan tetap baik untuk keduanya.

Begitu juga dengan saat Mevin bersimpuh di hadapan Lea, keduanya tidak bisa berkata-kata lagi. Lea tidak henti menitikan air mata saat menyadari waktu bergulir begitu cepat. Bayi mungil yang diserahkan seorang wanita berhati mulia untuk Lea besarkan kini sudah mempersunting pilihan hatinya dan tambatan hatinya. Lea yang merawat dan mendidik Mevin sejak kecil merasa sangat terharu, terlebih perjuangan Mevin dan Grace yang harus mengucurkan darah serta air mata. Banyak hal yang nyaris merenggut nyawa mereka berdua dan keluarga mereka nyaris kehilangan Mevin dan Grace, tapi masih Tuhan kembalikan lagi lewat proses yang panjang.

Saat Grace bersimpuh di depan Jeremy juga Grace tidak lupa mengucapkan terima kasih karena keluarganya banyak membantu bahkan saat Grace merasa tidak memiliki siapapun, saat Grace hanya bisa berpikir tentang kematian. Ada Jeremy, Lea dan keluarga yang selalu ada untuknya, menenangkannya dan menerimanya.

Saat Grace ada di hadapan Lea, Grace menangis terisak bukan main karena Grace teringat saat ia masih melakukan self harm, pasca overdosis, setelah ia dijual oleh Papanya, sebelum berangkat ke Singapore, Lea selalu ada, menjadi ibu bagi Mevin dan juga bagi Grace saat ia merasa kecewa dengan Mamanya. Lea yang selalu merengkuh Grace saat ia sendiri dan merasa tidak pantas hidup, Lea yang merangkul dan mengajaknya berdoa kala itu dan mendoakannya meski saat Grace di Singapore, Lea selalu menelfonnya.

“Panjang umur, bahagia selalu Mama Lea, Grace sayang Mama Lea seperti Grace sayang Mama Maureen.” Grace berbisik saat memeluk Lea. Tidak bisa dipungkiri, mereka diciptakan bukan hanya untuk saling mengenal tapi saling menerima dan mendewasakan serta memanusiakan satu sama lain. Lea tidak henti meneteskan air mata, beberapa hal yang Grace alami memang pernah ia alami saat ia muda dan menjalin hubungan dengan Jeremy sebelum menikah. Lea juga merasakan bagaimana harus sendiri dan tidak memiliki siapapun untuk berbagi. Sekali lagi, Lea dan Grace saling memeluk, Lea juga mengecup pipi Grace dan tersenyum haru saat keduanya bertatapan.

Tiba saatnya untuk Papa Kevin, Mevin yang pertama berlutut di hadapan Kevin dan meminta restu untuk hidup selamanya berdua dengan Grace. “Bahagia terus, Mevin, Om percaya kamu adalah yang terbaik dari segala yang baik yang Tuhan kirimkan untuk Grace.” Kevin berkata dengan nada teduh tapi matanya sudah memerah, Mevin juga mencium tangan dan memeluk Papa sambung Grace itu. Dan saat Grace yang harus berhadapan dengan Kevin, tak ada kata yang pertama terucap karena yang pertama tumpah ruah adalah air mata dan perasaan haru.

“Mama Maureen pasti bangga sama Grace sekarang, Tuhan memberkati Grace dan Mevin seterusnya, ya ....” Kevin mengusap punggung Grace lalu memeluknya.

“Papa Kevin makasih udah menerima Grace, maaf untuk semua prasangka buruk yang pernah Grace pikirin tentang Papa. Ternyata Papa Kevin terbaik, Grace sayang Papa Kevin dan Mama Maureen, juga Rafer sama Florence.” Grace langsung luruh di pelukan Kevin.

“Grace anak pertama Papa, apapun yang terjadi Grace anak perempuan pertama, kakaknya Rafer dan Flo. Selamat menempuh hidup baru, Papa sayang Grace.”

Ada saatnya dimana kehadiran orang-orang menjadi sebuah gempita yang gembira yang kita nantikan, ada juga masanya dimana satu persatu orang sekitar kita meninggalkan kita namun akan tetap menjadi kenangan. Sebelum kembali ke tempat duduk di depan Altar yang sudah disediakan, Grace berjalan dengan menggandeng tangan Mevin, mereka resmi menjadi suami istri sekarang!

Ternyata suasana haru tidak berhenti sampai disitu, acara pemberkatan selesai dan sekarang, Jeremy berdiri saat ada seseorang memberikan mic kepadanya. Mevin yang tengah membantu merapikan gaun yang Grace kenakan saat duduk itu langsung kaget karena Jeremy sudah berdiri di sana bersama Lea. Tangan Mevin dan Grace masih bertaut dalam genggaman. Keduanya bertatapan sejenak lalu Grace dan Mevin mengarahkan pandangan mereka kepada Jeremy dan Lea.

“Selamat pagi semuanya, saya berdiri disini, ada di tempat ini sebagai pihak orang tua dari Elleandru Mevinio Adrian atas permintaan Papa kandung Mevin sendiri, Christopher Jovian Imannuel yang berbesar hati memberikan tempat yang seharusnya miliknya, tapi semua demi kebahagiaan anak kami, Mevin. Jovian, here we go, our son Mevin is married now!” Jeremy mengarahkan pandangannya kepada Jovian yang ada di bangku jemaat. Jovian mengangguk dan tersenyum sembari mengacungkan jempol bangga. Jeremy pun melanjutkan perkataannya, “untuk Mevin dan Grace, kita semua tahu dan paham perjuangan kalian tidak mudah, kami, juga orang tua Grace beberapa kali nyaris kehilangan nyawa kalian, tapi Tuhan Maha Baik, Tuhan kembalikan kalian ke pelukan kami sampai saat ini. Masih teringat jelas waktu Papa gendong Mevin pertama kali setelah Papa Jovian serahin Mevin mungil untuk Papa Jeremy gendong, kamu nangis di pelukan Papa Jeremy dan teringat jelas saat itu Papa Jeremy sama Papa Jovian ada di sana di saat-saat terakhir Mama Petra. And I believe that Petra is proud of you, she’s smiling from the most beautiful place above right now. And also thank you for Kevin and Jovian for all your help and generosity in planning the wedding. We are part of family right now. Untuk Grace, terima kasih nak, sudah berjuang untuk sembuh, terima kasih untuk bertahan sampai kembali ke Indonesia dan menjadi Grace yang baru.” Usai merapalkan kalimat itu, Jeremy memberikan mic kepada Lea, saatnya Lea angkat bicara, tapi ia menyeka air matanya yang terus menerus keluar itu. Mevin dan Grace juga masih menangis haru di sana.

Jangankan Mevin dan Grace, Kevin, Rafer, Jovian, Auryn, Lauren, Jevin, Letta bahkan Willy juga meneteskan air mata melihat momen itu.

“Untuk Mevin, satu hal yang perlu kamu tahu, sampai kapanpun kamu tetap anak laki-laki Mama Lea, Mama Petra, dan kedua Papa kamu, bahkan juga anak Mama Auryn, Mevin beruntung, diberkati dengan orang-orang yang sayang sama kamu meski kamu harus kehilangan Mama Petra. Melihat Mevin sudah ada di tahap ini bikin Mama sadar that I’m getting older, tapi hari demi hari yang berlalu banyak ajarin Mama kalau tugas jadi seorang ibu itu nggak akan pernah Mama sesali barang sekali seumur hidup. I try my best as your mother to holding you, and pusing you back up, when you walked your first step I held your finger, masih jelas gimana Mevin sebut nama Mama pertama kali saat Mevin bisa bicara. Sekarang, babak baru di kehidupan Mevin udah dimulai. Mevin and Grace please trust in your strength, have faith in your love. God bless you always Mevin and Grace!” usai Lea mengatakan dan menyelesaikan kalimatnya, gemuruh riuh tepukan tangan terdengar, Mevin dan Grace masih tidak bisa berhenti terharu, Jeremy dan Lea kembali ke tempat duduk mereka dan saling merangkul, beradu netra dengan Mevin dan Grace lalu saling mengangguk seakan memberi isyarat ucapan terima kasih.

Kini, Kevin berjalan maju dan meraih mic yang diberikan, jantung Grace berdegup kencang. Kevin menghela napas panjang sebelum memulai pembicaraannya, “Saya juga sebagai Papa kandung Grace disini mau menyampaikan pesan titipan dari mendiang Maureen, Mama kandung Grace yang belum pernah disampaikan, dan memang dia tulis ini saat perjalanan ke Singapore untuk menjemput Grace.” Saat Grace mendengar perkataan Papanya itu, tangannya langsung dingin bukan main, Mevin yang menyadarinya langsung menggenggam tangan Grace dengan kedua tangannya. Tangan Mevin bertumpuk menjaga satu tangan Grace dalam genggaman. Jantung Grace berdegup kencang sedikit nyeri dan sesak.

“Untuk Grace anakku, anak yang Mama sayangi dan Mama lahirkan dengan segala ucapan syukur kepada Tuhan karena Grace tumbuh dengan baik, maaf untuk segala hal yang harus terjadi di kehidupan Grace selama ini. Maaf kalau Grace tidak dibesarkan dalam keluarga yang utuh dan bahagia. Maaf atas segala hal yang Mama simpan sendiri selama ini, maaf atas segala kesalahan Mama yang sebenarnya tidak pantas mendapat kata maaf dari Grace sendiri. Mama melihat kesungguhan di mata Mevin, Mama bisa lihat rasa cinta tulus untuk kamu dalam binar mata Mevin. Jika suatu saat kamu dan Mevin menikah nanti, tolong janji di hadapan Tuhan itu dijaga dan dijalani seumur waktu. Kalian bukan berjanji di hadapan manusia tapi di hadapan Tuhan. Mama tidak mau melihat Grace menderita karena kegagalan dalam pernikahan seperti Mama. Grace, Mama pastikan Papa kandung kamu mendapat balasan setimpal dengan apa yang pernah beliau lakukan kepada kamu.” Kalimat Kevin terhenti karena kini Kevin terisak sampai punggungnya bergetar untuk melafalkan kalimat selanjutnya. Sedangkan Grace sudah ada di dalam rangkulan Mevin.

“Mama tidak pernah menganggap Grace apapun kecuali anak yang berharga, maaf atas segala ucapan Mama dan perlakuan saat itu, waktu itu Mama berpikir pendek karena yang Mama inginkan hanya pergi dari dunia ini dengan melihat kamu bahagia tanpa harus membebani Grace dengan hal lain seperti memikirkan sakit yang Mama derita. Mama bersyukur kalau masih diberi kesempatan untuk menjemput Grace ke Singapore. Mama yakin Grace masih mau membuka pintu maaf untuk Mama. Dan Mama yakin Mama bisa bawa kamu pulang ke Indonesia lagi. Mama sayang Grace... Bernadetta Gracelline Courtney yang selalu Mama doakan di setiap pejam Mama dan selalu Mama syukuri kehadirannya di setiap sadar Mama. Surat ini ditulis Maureen di pesawat saat akan menjemput Grace ke Singapore, saya selalu meyakinkan bahwa saya dan Maureen bisa membawa Grace pulang ke Indonesia untuk kembali berkumpul di rumah bersama Rafer dan Florence yang menjadi adik-adik Grace. Tuhan kabulkan itu, keluarga kami berkumpul lagi di Indonesia untuk pertama kali, di rumah duka saat pemakaman dan pelepasan jenazah Maureen, keinginan Maureen pulang bersama Grace sudah terpenuhi, meski kami pulang bukan hanya menjemput Grace tapi melepas Maureen pergi selamanya. Tapi jauh melampaui itu semua, Maureen korbankan dan lakukan segala yang dia bisa selama sisa waktu hidupnya untuk Grace, agar bisa melihat Grace bahagia dan menemukan kembali dirinya yang hilang. Grace .... Papa Kevin dan Mama Maureen, juga Rafer dan Florence sayang sama Grace. Kamu jadi anak Papa Kevin sampai kapanpun ....” Kevin mengakhiri kalimatnya dan ia menghela napas, menaruh mic, saat ia mengangkat kepalanya, ia melihat Grace sudah ada di sana, maka Grace langsung memeluk Papa sambungnya itu. Gemuruh riuh tepuk tangan dan tangis haru dari banyak orang di sana tidak bisa dihindari.

Kevin pun membalas pelukan Grace itu erat, keduanya tumpah ruah dalam tangis, Mevin menyeka air matanya dan menatap lagi momen haru antara istrinya dan Papanya itu. Instrumen piano yang masih mengalun menambah pekat atmosfer haru cenderung sedih saat itu. Maka, setelah usai memeluk Kevin dan Kevin dipersilakan kembali ke tempat duduk, sang Pastor meminta Grace dan Mevin berdiri di tengah lagi. Mevin dan Grace diminta berhadapan dan saling menggenggam tangan.

“Therefore what God has joined together, let no one separate, now Elleandru Mevinio Adrian and Bernadetta Gracelline Courney as husband and wife, may God bless your relationship always. And may both of you can fulfill the part of bible that says The two shall become one flesh, you both can share a kiss as a married couple now, please, Mevin and Grace ...”

Mevin pun menatap sejenak mata Grace lekat, keduanya masih berkaca-kaca, semburat senyum terukir di wajah keduanya, Mevin raih kedua pipi Grace dengan tangannya, perlahan satu tangannya turun ke pinggang Grace. Mevin pun mengucapkan I love you, tanpa suara yang hanya bisa dipahami oleh Grace yang melihat gerak bibirnya. Grace mulai melingkarkan tangan di leher Mevin, kini keduanya memejamkan mata dan Mevin mulai menyatukan bibir mereka dalam satu kecupan, tepuk tangan dari segenap yang hadir menggema, air mata lolos dari ekor mata Grace maupun Mevin saat itu, bibir Grace dilumat dan Mevin menarik pinggang Grace mendekat lagi. Pagutan dilakukan lembut. mereka berdua resmi sebagai pasangan suami istri hari ini!

Sebuah janji pernikahan jelma sebuah mantra teduh bagi Mevin dan Grace. Maka menggemalah perlahan isakan tangis haru dan sebuah helaan napas lega dari keduanya yang saling bersahutan, keduanya juga tidak percaya hal-hal pelik dalam pernikahan mereka bisa terlewati hingga pernikahan saat ini. Keduanya saling bertatapan sejenak sebelum Mevin memeluk Grace erat dan penuh rasa bahagia.

“Let’s grow old together. I love you so much, Mevin.” Pelukan Mevin bertambah erat saat mendengar penuturan Grace.

“Bahkan di kehidupan setelah ini, aku mau dipertemukan sama kamu lagi, Grace.” Kalimat penuh arti terlukis pada penuturan pria gagah itu. Entah bagaimana kisah mereka akan berakhir tapi yang pasti sampai saat ini tidak ada kata henti untuk keduanya dalam mencintai. Tidak ada kata lelah untuk keduanya dalam mencintai. Keduanya renggangkan pelukan, lalu satukan birai keduanya, memagut penuh rasa haru dan bahagia, untuk sesaat. Maka setelah itu Mevin menawarkan sebuah tangan untuk digenggam Grace, keduanya bersiap berjalan keluar dari sana untuk menuju tempat resepsi. Langkah kaki mulai terpijak, Grace dan Mevin mulai melangkah keluar dari sana, sampai di dekat tempat Jeremy dan Lea berdiri, mereka saling memeluk lagi, begitu juga dengan Kevin, dan Rafer. Mevin berjalan lagi bersama Grace tiba di dekat tempat duduk Jevin dan Letta, mereka berempat bertukar peluk dan berswafoto bersama juga, “welcome to Adrian Family, Grace!” seru Jevin dan Letta girang. Tawa bahagia menghiasi kebersamaan mereka.

Melanjutkan langkah lagi, ada Lauren, dan juga Willy yang menggendong Shannon. Lauren langsung menghampiri Mevin dan Grace dan sekaligus memeluk mereka, “gue sayang banget sama kalian. Selamat ya, Mevin, Grace, kalian hebat ada disini sekarang!” kata Lauren sambil merenggangkan pelukan. Mevin dan Grace hampir bersamaan mengucapkan terima kasih. Lauren tatap Mevin sejenak, belai pipi adiknya itu, “sampai kapanpun, lo tetep adek gue, keluarga Adrian, anak Mama Lea dan Papa Jeremy.” Lauren berkata dengan lirih, Mevin mengangguk dan tersenyum lalu memeluk kakaknya itu sekali lagi. Willy menyerahkan Shannon untuk digendong Lauren dan Willy pun memeluk Mevin dan Grace bergantian. “Babak baru dimulai, kuat ya kalian berdua, Tuhan memberkati, selalu andalkan Tuhan dalam segala apapun yang terjadi nanti.” kata Willy. Sejenak, Mevin dan Grace juga mencium Shannon yang nampak girang di gendongan Lauren.

Mevin melangkah lagi langsung dihampiri oleh James dan Aveline yang langsung bersamaan memeluk mereka berdua. Ave sudah menangis haru tidak bisa menahan air matanya, James tersenyum bangga dan matanya berkaca-kaca, mereka saling melepaskan pelukan dan James berkata, “gue adalah sahabat yang paling bangga sama kalian, gue bangga kenal kalian!” “Kalian berhak bahagia dan harus selalu bahagia, dan gue percaya Tuhan nggak tutup mata sama perjuangan kalian!” Aveline menatap Grace dan Mevin bergantian. “Thank you, tanpa kalian gue nggak akan ada disini sekarang, kalian juga berperan di proses sembuhnya gue kemarin,” kata Grace. “Tunggu kita berdua balik ke rumah sakit!” seru Mevin girang, maka mereka berempat kembali saling memeluk sebelum Grace dan Mevin melanjutkan langkah untuk keluar dari Gereja itu. Perempuan-perempuan lain yang pernah membersamai Mevin tidak pernah membuat Mevin jatuh dan memiliki perasaan sedalam ini, begitu juga sebaliknya dengan Grace. Jari bertaut, cincin sudah saling ditukar, sekarang tinggal mempersiapkan untuk perjalanan kehidupan rumah tangga setelah ini. Dan setelah ini akan ada secangkir minuman hangat yang Mevin dan Grace bagi berdua, obrolan ringan selepas kerja, lelah yang dibagi berdua, paras satu sama lain yang akan mereka lihat saat mereka membuka mata dan hendak memejam.


Dan kini semua sudah ada di pelataran Gereja, Mevin dan Grace memegang burung merpati putih dan anggota keluarga lain memegang balon berwarna putih, dalam hitungan ketiga saat instruksi dari WO terdengar, mereka semua melepaskannya bersamaan.

“Satu ... dua .... tiga ....” perintah terdengar, dan ... “Yaayyy!” sorak bahagia dari semua yang ada disana ditambah tepuk tangan pun terdengar. Burung merpati simbol kesucian dalam pernikahan itu terbang bersama angan dan harap Mevin serta Grace agar semua bahagia dan Indah pada waktu yang Tuhan tentukan. Balon-balon itu juga terbang ke angkasa seakan hendak menyampaikan permohonan kepada Sang Empunya agar memberkati hubungan Mevin dan Grace seterusnya. Grace dan Mevin saling memeluk dan menyatukan birai mereka lagi dalam sebuah ciuman yang lebih bahagia dari sebelumnya. Momen itu banyak diabadikan oleh photographer dan WO yang ada di sana. Mereka semua bersorak bahagia untuk kebahagiaan Mevin dan Grace saat itu.

Beberapa kesedihan memang sejatinya kawan dalam mengarungi kehidupan sebelum dua manusia yang saling menjatuhkan hati sudi menjadi kawan sepenanggungan. Setelah bersepakat dalam dekap bersama Mevin, Grace tidak lagi merasa seperti sampah karena ada Mevin yang menjadi anugerah. Setiap wanita berhak untuk dicintai dan mencintai. Terlepas dari apapun yang pernah terjadi. Grace berharap yang kuasa masih memberi waktu untuk membersamai Mevin sampai akhir nadi. Perasaan penuh duka keduanya rawat, menyembuhkan luka masing-masing dan menyembuhkan satu sama lain, kebersamaan terjalin mengikis keegoisan, menyatukan dua isi kepala dalam satu naungan pernikahan dan janji di hadapan Tuhan untuk saling menjaga hingga ujung usia. Perjuangan Mevin dan Grace dengan taruhan nyawa itu temui ujung cerita. Bertujuan satu arah dan menjadi utuh dalam perasaan, jumpa bahagia dan saling menuntun langkah bersama. Berjanji saling menjaga sampai tutup usia―selamanya.

Saat ini Mevin tidak sedang sendirian, rembulan musim dingin saat itu dengan hawa dingin yang sedikit menyeruak menemani Jovian, Jeremy, Lea, Grace dan Mevin saat itu di sebuah ruang makan VIP di sebuah hotel yang sudah Jovian pesan. Mentari sudah terlelap, mungkin hanya rembulan yang terjaga. Sebuah ketegangan mungkin menyelinap diantara semua yang berkumpul kala itu. Jovian mengawali pembicaraannya.

“Jovian, terima kasih udah datang sama Auryn sama Mikayla. Kaya yang kamu sendiri tahu dari Mevin, dia disini sama Grace udah bertekad untuk komitmen di satu janji pernikahan. Seperti yang kita tahu, waktu pemberkatan, pihak orang tua nggak bisa dua ayah dan dua ibu sambung. Karena kamu Ayah kandungnya Mevin, aku terima dan aku mau kamu yang putuskan gimana baiknya. Jangan pikirin kami, I mean Lea and me, tapi Mevin.” Kalimat pembuka dari Jeremy cukup membuat Mevin gugup. Mevin yang duduk bersebelahan dengan Grace dan berhadapan dengan Lea dan Jeremy pun terlihat gugup.

Beberapa kali Mevin menelan ludah dan tenggorokannya tercekat, kakinya di bawah meja resah, tangannya terlipat di bawah meja, akhirnya Grace yang merasakan kegugupan pasangannya itu bergerak meraih jemari Mevin sebelah kiri dan membawanya dalam sebuah genggam, Mevin yang merasakan itu langsung menggenggam jemari Grace erat dan menaruh genggaman itu di lututnya. Mevin merasakan ibu jari Grace juga mengusap lembut punggung tangannya. Hal itu membuat Mevin menatap Grace sejenak lalu mereka saling tersenyum.

“Jujur, aku sebagai Ayah kandungnya pun merasa jauh dari kata sempurna. Untuk hal sakral seperti ini kalau ditilik ke masa lalu, posisi itu memang hak ku tapi aku sendiri merasa berhutang banyak sama keluarga kalian, Jeremy. Kalau Grace sendiri gimana? Siapa nak yang nemenin Grace buat jadi pihak orang tua untuk sungkem setelah pemberkatan?” tanya Jovian sambil melihat ke arah Grace. Sontak Lea, Jeremy juga Mevin melihat ke arah Grace.

“Papa Kevin aja, posisi Mama nggak diisi siapa-siapa, Grace mau cuma Papa Kevin yang jadi pihak orang tua Grace. Is it okay, Om, Tante?” ucap Grace dengan nada ragu, Mevin mengeratkan genggamannya.

“Nggak dong, sayang, itu kan keputusan keluarga, dan nggak adanya pihak ibu karena kepergian memang sah saja untuk tidak diisi yang penting komitmen kalian dan penerimaan keluarga akan keputusannya.” Lea berkata dengan nada teduhnya.

“Itu sudah keputusan terbaik, Om setuju kok.” Jovian menambahkan.

“Tapi keluarga Papa Kevin sudah setuju, nak?” tanya Jeremy, Grace mengangguk dan tersenyum. Sebuah kelegaan tersirat di wajah mereka semua.

Mevin menatap sekilas Lea dan tersenyum lalu tertunduk sebentar. Ia mengangkat wajahnya menatap satu per satu orang tuanya sekarang. Semua ada disana, Mevin menghela napas perlahan.

“Papa Jovian memang pernah tanya sama Mevin, mau siapa yang jadi pihak keluarga waktu pemberkatan nanti, Papa Jovian also told me to ask God, and I did.” Mevin melantunkan kalimatnya.

“Papa Jovian, Papa Jere, Mama Lea the more I know three of you the more I feel how great and how thankful I am to be your son. Papa, Mama thanks for being a great person who always encourage me to do my best in everything. I wonder sometimes how could a person be so patient and dealing with a lot of hard condition. I know Papa Jovian you love Mama Petra so much. I would never imagine that someone who was once a stranger to me could have a vey big impact in my life. I love you, thank you, Papa Jovian. Papa Jeremy, Mama Lea mungkin Mevin nggak akan ada sampai usia saat ini kalau nggak ada Papa Jeremy dan Mama Lea. Kalau Mevin mau egois, Mevin mau semuanya jadi pihak orang tua, tapi gimanapun semua ada aturannya, karena Papa Jovian adalah Papa kandung Mevin, semua Mevin serahin ke Papa Jo.” Mevin menyelesaikan kalimat yang sangat ingin ia ucapkan kepada orang tuanya itu yang tertahan.

“Boleh Papa jawab sekarang?” balas Jovian kepada anaknya itu.

Mevin menghela napas panjang, “Mevin hargai apapun keputusan Papa, itu yang terbaik.” Jovian menatap anaknya tajam dengan jantung yang berdegup kencang, Lea memegang tangan Jeremy yang juga sangat dingin saat itu.

“Untuk posisi pihak orang tua setelah pemberkatan untuk sungkem dan speech untuk minta restu, Papa mau posisi itu diisi Papa Jeremy sama Mama Lea untuk kamu.” Jawaban itu disampaikan gamblang oleh Jovian sambil menatap Jeremy, Lea, Mevin dan Grace bergantian, sementara itu Grace merasakan tangannya digenggam Mevin dan tangan Mevin semakin dingin.

“Jo ....” Jeremy melafal lirih.

“Sebelum naik altar, setelah turun altar juga Mevin sama Grace bisa untuk minta restuku, tolong, jangan ditolak, Jeremy, Lea, aku mohon ada di sana untuk Mevin.” Suara Jovian mulai bergetar.

“Papa―” Mevin berkata dengan suara beratnya seakan tak percaya.

“Papa mau yang terbaik buat Mevin, we can have a time before the wedding, Papa juga pengen berdoa buat kamu sama Grace, we can talk and pray together before the wedding ceremony.” Jovian tersenyum namun matanya berkaca-kaca.

“Kamu aja, Jovian,” sanggah Jeremy.

“Tadi kan udah sepakat mau hargai keputusanku, tolong, Jer, Lea, untuk Mevin. Bukan untuk aku―” perkataan Jovian sukses membuat Lea menunduk dan terisak. Suasana haru dan hening sejenak menyelubungi ruangan itu, Lea nampak menyeka pipinya dengan jarinya. Jeremy masih tertunduk

“Sebagai rasa terima kasihku ke kalian berdua, Jer, Lea. Terima kasih udah rawat Mevin sejak lahir sampai sekarang. Bahkan sebenarnya yang aku lakukan sekarang juga nggak bisa membalas itu semua. Terlalu banyak yang kalian lakukan dan korbankan. Aku pernah menjadi seorang pecundang, sebagai seorang Ayah buat Mevin dan suami untuk Petra. Di hari bahagia Mevin aku mau dia punya pihak keluarga yang lengkap. Tolong, Jer, Lea. Ya? Aku mohon.” Jovian juga tidak bisa menahan air mata harunya, tapi ia paksakan untuk tersenyum. Sungguh, Grace baru kali ini merasakan perasaan seperti ini di dalam keluarga. Kehilangan orang tua memang buruk, tapi mempunyai keluarga yang lengkap juga kadang menyakitkan, ada orang tua kandung dan sambung tidak selalu membuat kita bahagia. Karena, kadang ada yang harus mengalah dan disakiti. Semua ada suka dan dukanya sendiri.

“Papa Jo, beneran, Pa?” tanya Mevin.

“Iya, Papa Jo gampang, kita bertiga mau ketemu sebelum atau setelah pemberkatan juga boleh. Keputusan Papa sudah bulat, Mevin berkenan kan?” tanya Jovian. Mevin langsung melepaskan genggaman tangan Grace lalu bangkit berdiri dan menghampiri Jovian dan memeluk ayahnya itu.

Baru kali ini, tangisan Mevin langsung pecah begitu saja saat Mevin memeluk Jovian. Hal itu membuat Lea juga menangis tanpa suara dan dirangkul oleh Jeremy. Sudah lama Jeremy dan Lea tidak mendengar dan melihat Mevin menangis tapi kali ini semuanya tumpah ruah lebur jadi satu.

“Anak Papa udah besar, udah mau berkeluarga, bahagia terus, Mevin. Mama Petra pasti lagi senyum bangga lihat perjuangan Mevin. Mama Petra past bahagia banget, you deserve all those happiness, maaf untuk semua hal sulit yang harus Mevin jalani karena sikap Papa, bahagia terus anak Papa Jo.” Jovian berbisik lirih. Mevin tidak menjawab, lidahnya terlalu kelu untuk berkata-kata. Ia hanya bisa menangis kala itu.

Mevin dan Jovian pun merenggangkan pelukan, Mevin menghampiri Jeremy dan Lea, kedua orang tuanya itu langsung memeluk Mevin bersamaan, sementara itu Jovian menghampiri Grace. Jovian duduk di bangku kosong di sebelah Grace, “bahagia terus sama Mevin, ya? Pernikahan itu nggak main-main, dan Om yakin kalau anak Om nggak pernah main-main sama kamu. Grace, kamu satu-satunya wanita yang bisa bikin Mevin jatuh cinta seperti ini dan korbankan semuanya. Janji pernikahan di hadapan Tuhan nanti semoga bisa kalian jaga selalu selamanya.” katanya. Grace sudah menangis dan ia mengangguk, dengan hangat, Jovian juga memeluk calon menantunya itu.

Malam itu, adalah sebenar-benarnya kebesaran hati Jovian diuji lagi. Tapi Jovian sudah bulat dengan keputusannya. Nama anaknya dan mendiang istrinya adalah nama yang tidak pernah lepas ia doakan di setiap pejamnya. Bersama setiap embusan napasnya ia titipkan harap agar kebahagiaan meliputi hidup Mevin, harta berharganya yang selalu mengingatkannya kepada mendiang istrinya. Melihat Mevin tumbuh dan menikah pun suatu kebahagiaan untuk Jovian, tapi biarkanlah Mevin merasakan mempunyai pihak orang tua yang lengkap saat wedding ceremony nanti.

“Kamu bisa loh, Vin, dapat wanita yang lebih jelas daripada aku, kamu bisa dapat pasangan yang lebih dari aku, di segala aspek kehidupan.” Grace berkata lirih, kepalanya ia sandarkan di pundak Mevin, keduanya berada di dalam mobil sambil menatap pemandangan dari atas bukit tempat Mevin menyatakan perasaannya dulu. Mevin tidak menjawab, malah mengecup puncak kepala Grace

“Kamu bisa dapat wanita yang sepadan sama kamu,” kata Grace lagi.

“Sekali lagi ngomong gitu aku tinggalin ya kamu disini,” balas Mevin, Grace tidak menjawab, ia malah melingkarkan lengannya di lengan Mevin dan menggeliatkan sedikit tubuhnya seakan mencari kehangatan disana.

“Keputusanku dan jawaban doaku itu kamu.” Gugusan kalimat singkat dari Mevin sudah cukup menjelaskan semuanya kepada Grace sepertinya.

Malam ini pukul sepuluh, Mevin genggam jari-jari Grace erat, keduanya saling diam dan tidak melafalkan apapun. Grace adalah candu bagi Mevin yang tak akan pernah temui kata jemu. Mevin adalah sebenar-benarnya terang yang tidak akan pernah habis dimakan mendung. Keduanya adalah rasa yang saling meraja yang tidak akan pernah habis diringkus apapun yang menghadang.

Tangan Mevin yang satu bergerak menyingkapkan rambut Grace ke belakang telinga sang puan, lalu Mevin mengecup dahi Grace dan berkata, “kita sama-sama kehilangan, kita sama-sama terluka, kita juga sama-sama berjuang. Di pernikahan kita nanti kita sama sama nggak bisa minta restu sama Mama kandung kita. Tapi aku harap, setiap momen yang akan ada di pernikahan kita nanti adalah momen yang nggak akan tergantikan oleh apapun, ya? Berat dan sakit rasanya, tapi fokus ke pihak orang tua yang ada, Mama kita pasti juga mau kita bahagia di hari itu,” kata Mevin yang sukses membuat Grace berkaca-kaca.

“Kita bisa sampai di hari itu, Vin?”

“Bisa.”

Forget about me first, kamu gimana? Siapa yang bakalan kamu pilih jadi pihak orang tua nanti waktu pemberkatan? Papa Jo atau Papa Jeremy?” tanya Grace balik.

“Belum tahu, butuh ketemu sama semuanya. Bukan tentang siapa yang aku mau tapi keputusan apa yang terbaik buat semuanya.” Mevin membuka tangannya lebar menawarkan sebuah dekap bagi Grace. Tanpa pikir panjang, Grace pun memeluk Mevin erat. Keduanya diam tanpa berkata sepatah kata pun.

Pelukan satu sama lain adalah peraduan paling sempurna. Sang tuan dan puan enggan melepaskan jika sudah bersatu dalam sebuah pelukan. Meski badai silih berganti menemani kehidupan mereka dan perjalanan mereka, sebentar lagi keduanya akan bermuara. Mengisi hari-hari satu sama lain dengan kehadiran masing-masing.

Keduanya merenggangkan pelukan, Mevin kecup dahi Grace sekali lagi, “believe in God and surrender all of our plans to Him?” tanya Mevin. Grace mengangguk dan menaikkan kedua sudut bibirnya sehingga membentuk sebuah simpul.

Mevin lega mendengarnya, perlahan Mevin tangkup dan pegang rahang Grace dengan satu tangannya, ia tatap setiap inchi wajah Grace lamat-lamat. Mevin juga membelai pipi Grace sesaat, Mevin tersenyum lalu berkata lirih, “Can I kiss you for a while?

Just kiss me as long as you want,” balas Grace, maka balasan itu disambut gempita dari hati Mevin yang membuat Mevin langsung menyambar lembut bibir Grace saat itu, balasan lumatan pelan dari Grace juga Mevin rasakan.

Luka masa lalu mereka perlahan sembuh, bersama mereka patah dan mereka berusaha saling membasuh pilu. Kepada kenyataan dan dunia yang terus berjalan dan berputar, Mevin dan Grace sematkan ucapan terima kasih karena mereka ada disini saat ini dengan perjalanan yang panjang. Dalam setiap lumatan yang diberikan terselip sebuah asa agar seterusnya hanya birai satu sama lain yang mereka cecap dan pagut. Dalam setiap rengkuh yang semakin erat ada harap agar untuk hari-hari selanjutnya hanya mereka berdua yang berbagi suka dan duka.

Mevin menekan tengkuk leher Grace sedikit memperdalam ciumannya, Dengan sukarela Grace juga melingkarkan tangan di perut Mevin, desahkan sebuah nama yang ia puja dan hanya ingin ia puja sepanjang usia. “I love you, Elleandru Mevinio Adrian.”

Malam ini usai kejadian romantis di pinggir pantai tadi, suasana makan malam keluarga di hotel menjadi bertambah hangat, mengingat malam ini juga malam terakhir sebelum mereka semua meninggalkan kota Yogyakarta dan semua ceritanya. Interpretasi tentang “Bahagia” kini bertambah luas jika menilik ke belakang mengingat perjalanan mereka berdua yang tidak mudah.

Formasi lengkap, Jeremy, Lea, Willy dan Lauren serta anak mereka Shannon yang tertidur pulas di pangkuan Lauren, Jevin dan Letta serta Mevin juga Grace. Jika diterka rasanya mustahil Mevin dan Grace bisa mengarungi hubungan mereka dan segala perjalanan yang melelahkan dengan segala cobaan yang menderu. Bukan tanpa alasan, Mevin mempersiapkan segala sesuatu untuk Grace. Memberikan sebuah pernikahan yang akan dibicarakan setelah mereka pulang dari Yogyakarta.

“Pulang dari sini, kita ke rumah Grace, ya. Buat ngobrol sama Papa kamu ke depannya gimana. Tapi .... Ini, tante punya sesuatu buat Grace.” Lea berkata sambil mengeluarkan sebuah kotak dan menyerahkannya untuk Grace.

“Iya, nanti Grace juga bakalan kasih tahu Papa Kevin. Tapi, apa ini, tante?” tanya Grace bingung sambil menerimanya. Lea hanya tersenyum, dan Grace membuka isi kotak tersebut. Semua bersorak dan mata Grace berbinar saat mengeluarkan sebuah gaun hadiah dari calon mertuanya itu, yang sengaja dipesan khusus oleh Lea dan dibuatkan oleh temannya yang memang seorang designer.

Lea adalah sosok pegganti Mama Grace yang mungkin sekarang sedang tersenyum bangga dari surga melihat kebahagiaan ini. Lea juga mengajarkan arti bertahan dan ikhlas serta kuat. Meyakinkan Grace bahwa sebuah penerimaan akan diterima suatu saat. Atmosfer haru mengudara meliputi mereka semua saat itu. Tak ada hati yang retak, yang ada hanya desir bahagia serta haru yang meraja di hati semua orang yang ada di sana.

Grace perlahan berkaca-kaca dan bergantian menatap anggota keluarga Mevin. Pandangan Grace bertumpu di Willy dan Lauren, mereka tersenyum haru, Grace ingat jelas bagaimana Willy juga ikut menyelamatkannya saat kejadian ia diperkosa dan dicelakai oleh Brandon. Lalu pandangan Grace tertuju kepada Jevin, Letta, Jeremy dan Lea. Semuanya tersenyum dan bertepuk tangan pelan. Lalu pandangan Grace bermuara kepada Mevin yang kini membelai surai hitam Grace, sepasang mata itu menjadi hulu bagi Grace.

Menenggelamkan Grace pada rasa yang tidak pernah ingin ia bagi kepada siapapun, isakan tangis haru dari Grace menuntun Mevin menggenggam tangan Grace lalu mengecup punggung tangan Grace. Sepatah sajak penuh cinta Mevin lantunkan teduh, “Your wedding dream is come true, lengkap dengan semua keluarga. Let’s make this moment wonderful,” kata Mevin. Lalu desir haru semakin menyelinap saat Mevin membawa Grace ke dalam pelukan. Makna Rumah yang sebenarnya kini mereka pahami.

“Bahagia selalu kalian!” ucap Jeremy saat itu.

“Om, terima kasih,” kata Grace sambil menyeka air matanya.

I love you,” kata Mevin tanpa suara, hanya bibirnya yang bergerak tapi Grace bisa membacanya.

“Grace, ini buat kamu juga,” kata Willy sambil berjalan menyerahkan sebuah paper bag kepada Grace lalu kembali ke tempat duduknya, “dari aku sama Lauren,” lanjut Willy. Grace menerimanya dengan tatapan bingung.

“Ini apa lagi Ko Will, Ci Lauren?”

“Dibuka aja,” balas Lauren sambil menarik ujung bibirnya. Tangan Grace perlahan mengeluarkan benda yang ada di dalam paper bag itu, sepasang sepatu high heels yang nampak mewah dan mahal. Grace menatap Mevin yang hanya tersenyum lalu membawa pandangannya ke arah Willy dan Lauren.

“Ko Will, Ci Lauren, thank you so much, nggak tahu lagi harus bilang apa,” kata Grace terharu.

“Sama-sama, Grace!” balas Willy dan Lauren hampir bersamaan.

“Gue sama Letta nggak bisa kasih apa-apa juga, tapi masalah Pre Wedding nggak usah khawatir, kalian mau konsep apa bilang aja, kita udah takeover semua urusan, kalian pilih tema sama konsep aja, gue sama Letta udah booking fotografer sama crewnya buat kalian berdua,” kata Jevin yang membuat Mevin dan seluruh anggota keluarga yang ada di sana kaget. Jevin dan Letta tersenyum kikuk malu-malu.

Oh my God! Letta, Jevin thank you so much, itu nggak pernah aku bayangin sebelumnya, nggak nyangka, once again, thank you so much semuanya.” Suara Grace bergetar menahan tangis haru. Mevin bawa jemari Grace untuk ia genggam di bawah meja, perlahan Mevin tatap satu per satu anggota keluarganya, tertunduk lalu memberanikan diri menatap dengan mata yang berkaca-kaca.

Thank you so much Papa, Mama, Ko Will, Ci Lauren, Jevin also Letta. Nggak pernah bayangin bisa ada di tengah keluarga ini, nggak pernah bayangin bisa dapet cinta dan kasih sayang juga perhatian sebanyak ini. Tuhan yang balas kebaikan kalian dan memberkati kalian,” ujar Mevin.

Suasana malam itu terasa lebih haru daripada malam sebelumnya, dan malam itu adalah bukti nyata keluarga Adrian yang memang menerima Grace apa adanya bahkan disaat terpuruknya Grace. Setelah ini akan ada perjalanan baru yang harus Grace dan Mevin arungi, berkat Tuhan tidak hanya datang lewat materi, tapi orang-orang yang Dia hadirkan di sekitar kita juga.

Teduhnya langit Yogyakarta serta debur ombak di pantai ujung Yogyakarta yang berpasir putih ini menjadi saksi keluarga Adrian yang tengah menikmati liburan akhir tahun mereka. Ditambah kehadiran Grace saat itu yang ikut meramaikan liburan keluarga mereka. Suasana menjelang sore hari dan langit yang bersahabat, serta suasana pantai yang sepi menemani Lauren yang tengah berpose bersama anak pertamanya yang berusia beberapa bulan itu yang tengah diabadikan oleh Willy. Letta dan Jevin yang tengah menaiki canoe, atau Jeremy dan Lea yang sedang berada di kedai tepi pantai untuk memilih menu makan siang.

Teman-teman Mevin pernah bercerita bahwa Yogyakarta mempunyai kesan tersendiri bagi insan-insan yang diraja cinta. Yogyakarta dan segala ceritanya menemani Mevin dan Grace beberapa hari ini. Mevin dan Grace tengah berjalan beriringan bersama di tepi pantai, membiarkan debur ombak menerpa kaki keduanya. Grace terlihat sangat sumringah dan bahagia, keduanya kadang saling mengejar, tak jarang juga Mevin menggendong Grace dan membiarkan tubuh keduanya diterpa ombak.

“Mevin, aku berat enggak?” tanya Grace yang tengah Mevin gendong di punggungnya itu.

“Berat banget, lah!” balas Mevin meledek.

“Ya udah, bagus! Aku enggak mau turun,” kata Grace sambil mengeratkan kaitan lengannya di leher Mevin dan menaruh dagunya di bahu Mevin.

“Haha, dasar, enggak berat ini mah nggak ada apa-apanya,” kata Mevin lalu berputar beberapa kali sambil masih menggendong Grace.

“Mevin!” pekik Grace.

Mevin sendiri tidak menghiraukan ocehan kekasihnya, ia sedikit berlari sambil masih menggendong Grace di punggungnya. Jeremy dan Lea yang melihat tingkah mereka hanya bisa tertawa sambil menggelengkan kepala.

“Mevin persiapan banget mau ajak Grace tunangan, dulu aku langsung ajak nikah, mana kabur ke Singapore, ck.” Jeremy berdecak sambil mengacak pelan rambut Lea. Wanita itu terkekeh sambil menepuk pelan lengan Jeremy.

“Itu lah bedanya kita sama Mevin, biar dalam satu keluarga ada cerita yang berbeda,” balas Lea. Kini, seluruh keluarga Mevin sudah mengerti bahwa Mevin akan melakukan sesuatu untuk Grace dan kelanjutan hubungan mereka. Mevin jatuh cinta kepada Grace bukan karena ketidaksengajaan, tapi cinta itu hadir karena dipupuk sejak lama selama kebersamaan yang terjalin.


Kini, Jeremy, Lea, Lauren, Willy yang tengah menggendong Shannon, Letta, Jevin, Grace serta Mevin tengah mengambil foto keluarga di tepi pantai dengan bantuan seorang fotografer. Beberapa pose diabadikan dengan suasana ceria dan hangat. Jauh dalam lubuk hati Grace, memiliki keluarga seperti ini adalah impiannya. Sedikit ringis haru dari Grace saat ia merasakan kehangatan di keluarga yang menerimanya apa adanya ini.

Saat sesi foto selesai, tidak ada yang beranjak dari sana. Semua memasang raut wajah yang menahan senyum, berbeda dengan Grace yang merasa tidak ada apa-apa. Maka, Lea berjalan mendekati Grace dan memegang kedua pundak Grace lalu merangkul anak perempuan itu.

“Grace, kamu suka nggak liburan kali ini?” tanya Lea.

“Suka, suka banget, Tante!” jawab Grace dengan nada bersemangat.

“Grace suka nggak kalau jadi bagian keluarga kita?” tanya Jeremy yang mendekat juga ke arah Grace. Sedangkan Mevin melangkah minggir dari sebelah Grace dan menghampiri Lauren seakan menerima sesuatu dari Lauren diam-diam.

“Eh, gimana, Om?” tanya Grace bingung.

“Jadi bagian keluarga Adrian, lah,” timpal Jevin sambil tersenyum lebar dan merangkul Letta yang tersenyum di sebelahnya.

“Udah, jangan dibikin bingung, waktunya Mevin ngomong, diem kalian semua jangan ganggu adeknya, oke?” kata Lea sambil melangkah minggir dari sana, Mevin berjalan mendekat. Dengan langkah pasti, Mevin meraih jemari Grace dan membawanya dalam genggaman.

“Grace, I know it is crazy, but this is from the deepest of my heart, aku bingung harus mulai dari mana,” kata Mevin sambil menghela napas, sementara Grace mendelik kaget, lidahnya kelu. Angin yang berembus, langit yang menyaksikan, serta banyak pasang mata orang terdekat Mevin dan Grace jadi saksi bagaimana Mevin sebentar lagi akan membuat perasaannya bermuara.

“Bernadetta Gracelline Courtney, I can’t promise I can supply everything that you want, but if you give me a chance, I’ll be everything that you need. I can’t ptomise that we’ll be together forever in this world, but I can promise that I’ll always love you that long. Grace, I can’t promise that you will always be happy, but I can promise that I’ll do anything to see you smile. I want in all my good and bad phases in this life, morning and night, you’re mine and will always be mine. It isn’t easy being so in love with you and ot being able to see you everyday. Every day without you reminds me of the joy you add to my life. Semua perjalanan kita selama ini yang nggak perlu aku jelasin satu-satu, itu semua bukti nyata kasih Tuhan buat aku dan kamu. Nggak peduli berapa kali aku ataupun kamu di ambang kehidupan atau kepergian tapi Tuhan kasih kesempatan buat kita. Aku nggak mau kesempatan itu sia-sia,” ucapan Mevin membuat Grace ditelan keheningan, tidak ada suara dari Grace namun matanya sedari tadi mengalirkan butiran kristal.

Begitu juga dengan Letta yang ada di rangkulan Jevin, keduanya terharu, Lea di pelukan Jeremy yang bangga serta tersenyum haru melihat Mevin dan Grace. Willy yang menggendong Shannon dan merangkul Lauren juga tersenyum mengiringi apa yang Mevin lakukan saat itu.

We share an understanding, we share hopes and goals together. I wanna marry you because you’re the first person I wanna look at when I wake up and the only one I wanna kiss at night. I know, sometimes I mss up, I don’t even care, trust me that you’re my world. No matter how many times w fight, I’m never going to stop loving you. I will keep my promise and never give up on us. So, on this day I vow to be completely yours forever. I love you Bernadetta Gracelline Courtney, will you marry me?” tanya Mevin sekali lagi. Grace menatap semua anggota keluarga Adrian bergantian yang tak jauh dari mereka dengan mata yang basah karena air mata haru. Semuanya bergantian tersenyum dan mengangguk.

“Mevin, terima kasih buat semuanya, semua hal yang udah kamu lakukan untuk aku, semua hal yang udah kamu korbankan. Bahkan keluarga ini yang ada disampingku saat aku bener-bener merasa nggak punya keluarga sama sekali saat itu. Ada disini dan bisa mengenal keluarga ini adalah berkat Tuhan yang nggak ternilai. Terutama Mevin, dua kali, Vin .... dua kali kamu ada saat aku OD, di pelukan kamu, setiap saat aku inget hal itu aku mikir, aku sama kamu bisa nggak ya berlabuh, bisa nggak ya aku sama kamu bermuara, bisa nggak ya aku sama kamu ada di satu naungan janji suci. Aku doa setiap hari biar Tuhan tunjukin jalan. Kalau memang bukan aku jodohnya kamu, biar Tuhan tunjukin jalan lain dan rencanaNya yang lain buat aku ataupun kamu. Tapi sekarang aku paham, ini jawaban dari semua hal yang aku pertanyakan.” Grace berkata dengan suara yang bergetar. Mevin perlahan menghapus jejak air mata di pipi Grace lalu tersenyum kecil.

So, the answer is?” tanya Mevin lagi.

Yes, I will!” ucap Grace dengan suara bergetar, “I want you, I want you to be my husband.” Grace berkata dengan pasti dan penuh penekanan dalam setiap kata yang ia lontarkan dengan yakin.

Letta, dan Jevin berteriak girang dengan refleks, Lauren juga berteriak bahagia dan langsung memeluk Willy yang tengah menggendong Shannon, Lauren menghujam pipi Shannon dengan kecupan. Bayi mungil berusia satu tahun itu seakan mengerti euforia kebahagiaan yang tengah ada di sana, tangannya bergerak-gerak dan Shannon tertawa.

“Yes! Syukuran!” pekik Willy yang mengundang gelak tawa keluarganya. Mevin tidak bisa membendung matanya yang panas, ia berlutut dan ia ambil cincin di kotak di sakunya, mengerjapkan mata beberapa kali lalu memasangkan cincin itu di jari manis Grace.

Lalu, Mevin bangkit berdiri dan langsung membawa Grace dalam hangat dekapannya, ia juga mengecup kening Grace untuk beberapa saat. Langit Yogyakarta hari ini menjadi saksi bagaimana perjuangan Mevin dan Grace. Langit Yogyakarta menaungi janji yang Grace dan Mevin buat saat ini dan berharap akan terjaga selamanya. Kehadiran jarak dalam hubungan mereka menjadi pelengkap. Mereka yang hampir dijemput maut, mereka yang sempat dipaksa berpisah keadaan kini melabuhkan hati.

Sekarang sajak rumpang yang Grace senandungkan selama bersama kini dapat Mevin rampungkan dengan sempurna pada akhirnya. Tuhan menciptakan kepingan hati untuk dipadupadankan dengan kepingan yang tepat. Akan selalu ada obat untuk setiap hati yang patah, akan selalu ada penawar bagi hati yang tersayat―butuh waktu agar semuanya sembuh tepat pada waktunya.  

Mevin dan Grace tengah berada di balkon kamar Grace untuk menatap langit senja. Mendung diusir senja yang indah, udara tidak begitu panas dan tidak begitu dingin tapi cukup hangat karena kini Mevin melingkarkan lengan di perut Grace dan menaruh dagunya di pundak Grace.

Mata mereka berdua memandang hamparan langit jingga, mengedarkan pandang ke seluruh hal yang dapat mereka jangkau dengan netra mereka. “Mevin,” ucap Grace lirih sambil mengelus lengan yang melingkar di tubuhnya.

“Ya?” jawab Mevin sambil memberi sebuah kecupan di pipi Grace.

“Yakin mau seterusnya sama aku?” Mevin memutar tubuh Grace untuk menghadapnya, diusapnya lembut pipi Grace sebelum Mevin memegang wajah Grace untuk dikecup di bagian kening dan pipi serta ujung hidungnya lalu Mevin cubit kedua sisi pipi Grace sedikit keras hingga sang puan meringis kesakitan.

“Sakit!” pekik Grace sambil berusaha melepaskan tangan Mevin dari pipinya.

“Lagian, nanya begituan ngapain sih?”

“Ya namanya juga overthinking.”

Mevin menarik pinggang Grace lebih dekat kepadanya lalu menatap lekat wanita di depannya, “kalau nggak yakin aku sekarang udah sama orang lain,” jawabnya.

Grace tersenyum puas lalu ia berjinjit sedikit untuk mengecup kening Mevin yang lebih tinggi darinya itu, “I love you, dokter Mevin.” Mevin langsung mendekap erat Grace membuat gadis itu sedikit kesusahan bergerak dan terkekeh.

Maka Mevin langsung gendong tubuh Grace ala bridal style dan bawa sang puan masuk ke kamar Grace dengan beberapa kali mengecup bibir Grace. Sementara itu Grace mengalungkan tangannya di leher Mevin.

“Mau ngapain?” tanya Grace sambil memicingkan mata.

“Nggak ngapa-ngapain.” Mevin menyeringai, Grace mengernyitkan dahinya.

Can I have you, me and bed, now?” tanya Mevin tiba-tiba. Maka setelahnya tubuh Grace direbahkan di ranjang perlahan. Mevin langsung mengukung tubuh Grace dan berada tepat di atas wanita itu, menopang beban tubuhnya dengan kedua tangannya.

Mata Grace membulat dan jantungnya berdebar.

What?” tanya Grace kikuk.

I get what I want, all those things, you and me, and this bed.”

So?” Maka Mevin memberikan kecupan singkat di bibir Grace dua kali sebelum merebahkan dirinya di sebelah Grace lalu memeluknya erat, Mevin menciumi puncak kepala Grace, sementara itu Grace juga membalas pelukan Mevin erat.

“Nanti, sebentar lagi kita bisa kaya gini setiap pulang kerja, bisa sama ngomongin besok masak apa, tagihan listrik sama air yang melonjak tinggi, ngomongin anak mau dikasih nama siapa, banyak deh pokoknya, just wait a little bit longer, okay?

“Terus kita bisa lakuin apa lagi?” tanya Grace. Maka Mevin bersandar pada headboard ranjang itu dan meminta Grace duduk di pangkuannya. Grace menurutinya, iris legam Mevin nyatanya membawa Grace pada sebuah senyum yang terutai di wajahnya tanpa ia sadari. Mevin masih disana memeluk pinggang ramping itu.

“Terus habis itu aku bisa pakai semua gombalan aku buat mancing kamu.”

“Contohnya?”

Roses are red, violets are blue, I’m up for head or we could screw,” jawab Mevin sambil menunggingkan senyum smirk yang membuat Grace terbahak.

Grace memutar bola matanya sebelum membawanya kembali ke tumpuan netra Mevin, “aku juga punya.”

“Apa? Try to flirt me leggo!” ucapan Mevin terdengar bersemangat lalu ia menyilangkan tangan di depan dadanya dan mengangkat satu alisnya.

Ujung jari telunjuk Grace begerak dari dahi dan turun hingga ke hidung Mevin lalu turun hingga mengusap bibir Mevin, “Sometimes if you said that you’re in your room and me too, I feel like one of us in a wrong place,

“Haha, so we should together in one room?

On the same bed, exactly.” Grace mengangkat kedua alisnya seakan bangga dengan apa yang ia katakan karena saat itu juga Mevin terbahak dan mengangguk-angguk mengakui kehebatan Grace dalam melawan flirting yang ia berikan.

Lalu Grace mengusap lembut pipi Mevin dan berhenti di dagu Mevin lalu membuat dagu Mevin sedikit terangkat.

I’m not horse but―

But you don’t mind at all if I ride you, right?” Mevin menyambar ucapan Grace sebelum Grace menyelesaikan kalimatnya. Grace terbahak lalu mencubit keras perut Mevin. “Kan aku mau selesaiin kalimatnya!!” ucapnya kesal, Mevin hanya terkekeh lalu memeluk sang puan lagi.

“Jangan dilanjutin apalagi sama godain gitu, aku takut, nggak kuat, sayang.” Mevin berbisik di teliga Grace lalu mengecupi leher dan pundak Grace.

“Mevin kalau kamu kaya gitu malah lebih parah, stop it, huh,” kata Grace sambil berusaha melepaskan pelukan tapi Mevin masih menahannya.

Okay, fine, udah semua, udah tahu sama-sama nggak kuat, jadi udah, ya? Okay?” Mevin merenggangkan pelukan lalu menangkup kedua pipi Grace.

“Nah, yaudah!”

But for the last can I borrow something from you?” tanya Mevin.

“Iya, apa?”

Can I borrow your kiss? I promise I’ll give it back―”

“Nakal, ah kamu,” kata Grace.

Sekarang Mevin menyambar pelan bibir Grace dengan kecupan singkat. Mevin terdiam lalu tersenyum, saat kecupan direnggangkan, Mevin memberikan lagi tiga kecupan berturut-turut kepada Grace. Maka Grace membulatkan matanya lalu keduanya saling menangkup pipi pasangan mereka, disaat yang bersamaan keduanya menyatukan belah bibir mereka bersamaan.

Seringai muncul dari wajah keduanya namun tetap mereka lanjutkan kecupan tanpa melumat itu. Saat kecupan direnggangkan, Grace menatap Mevin dan saling tersenyum satu sama lain, masih tidak percaya keduanya menjalin hubungan sejauh ini. Setelahnya, Mevin dan Grace saling berbagi pelukan lagi.

“Ya udah, ayo berangkat, kalau gini nggak jadi berangkat terus,” bisik Grace tapi Mevin masih memeluk Grace dan malah menyelusupkan wajahnya di ceruk leher Grace yang membuat Grace geli.

“Aku sayang sama kamu, sayang banget, nggak pernah aku jatuh cinta sejatuh ini, serius.” Nada bicara Mevin memelan dan melemas, Grace tidak berkutik, ia hanya mengusap punggung kekasihnya dan beri kecupana di pipi Mevin.

“Aku juga, dan aku cuma mau jatuh cinta seperti ini sama kamu, bukan orang lain. Walaupun di kehidupan selanjutnya.”

Kalau saja waktu itu jarak membuat keduanya berakhir dalam sebuah kata “usai” pastilah mereka tidak saling merengkuh saat ini. Nada sumbang dalam hidup mereka saling disambung jadi satu, nada rumpang saling diisi sehingga semuanya―rampung.


Selalu ada alasan mengapa manusia bertahan, selalu ada alasan mengapa Tuhan belum memanggil anakNya untuk pulang. Ada banyak alasan mengapa kita masih diberi kehidupan sampai sekarang. Pun dengan kisah yang dirangkaikan. Satu minggu setelah kepergian Mamanya, Grace mulai membiasakan diri dengan luka yang ada.

Meski untuk saat ini ia masih sering berkunjung ke pusara Mamanya ditemani Mevin, hal itu tidak mengganggunya. Kehidupan baru akan ia sambut setelah ini. Grace dan Mevin tengah berada di kosan Grace untuk mengemasi barang-barang dan membawanya ke rumah Papa Kevin, Grace akan tinggal di sana bersama kedua adiknya dan Papanya itu.

Meski bukan orang tua kandung, Grace merasa kasih sayang yang Kevin berikan itu tulus, ia juga bisa melihat dari bagaimana Rafer dan Florence dibesarkan selama ini. Begitulah fase kehidupan yang tidak selamanya menjumpai kebahagiaan, seiringan dengan kepergian dan penerimaan akan banyak hal.

Tangan Mevin bergerak memindahkan dan menumpuk barang lalu mengangkatnya dan memasukkan ke dalam mobilnya. Grace masih membereskan baju-bajunya dan ia masukkan ke dalam koper, sebentar lagi ia akan tinggal di rumah bersama dengan orang-orang yang pantas ia sebut keluarga.

Saat Grace tengah duduk di tepi ranjangnya, ia mengedarkan pandangannya ke seluruh isi ruangan itu. Ruangan yang menemaninya selama beberapa tahun belakangan ini, menjadi saksi bagaimana perjuangannya seorang diri. Mevin yang baru saja masuk dari membereskan barang-barang di mobilnya tersenyum melihat raut wajah Grace yang nampak sedikit murung, ada sisi gemas tersendiri yang Mevin rasakan.

Ia pun berjalan mendekat dan duduk di sebelah Grace lalu mengacak pelan rambut Grace.

“Kenapa? Kok sedih?” tanya Mevin.

“Sedih aja, aku disini udah bertahun-tahun, tempat tidur ini jadi saksi gimana aku sering nangis sendiri, pulang kerja langsung rebahan sampai belum ganti seragam. Lantainya jadi saksi waktu aku nangis sendirian sama makan pop mie karena nggak ada uang buat beli makan, mau minta orang tua udah malu dan males duluan.” Kalimat itu sempat menusuk hati Mevin.

“Sampai kaya gitu? Kenapa ya kita nggak ketemu lebih cepet, sorry to hear that, kesayanganku kuat banget, ya? Hebat, anak baik, anak kuat.” Mevin menarik wajah Grace lalu mengecup kening kekasihnya itu. Grace tersenyum lebar yang membuat matanya menyipit.

“Biasa itu mah, kadang kalau udah krisis banget, dan lagi berantem sama Mama atau Mama nggak kirim uang gitu dan awal-awal kerja belum bisa manage uang gitu pernah satu hari aku sampai beli biskuit aja sama susu, pas aku lagi makan sama nonton gitu Ave dateng. Dia ajak aku makan di luar, suka tiba-tiba banget, deh. Kalau di Rumah Sakit baru makan sama Ave, nanti aku ganti. Tapi nggak lama sih kaya gitu, itu waktu awal ngekos harus beli perabotan gitu kan. Setelahnya ada Ave yang ngasih, aku udah bilang aku ganti dia nggak mau. Tapi se parah apapun keadaan kita tuh, Tuhan nggak pernah biarin yang sampai kelaparan nggak makan sama sekali. Ya, itu pengalaman kehidupan, hehe.” Grace dan penuturan panjangnya membuat Mevin kagum.

Hal seperti itu tidak akan mungkin terlupakan karena merupakan bagian perjalanan dari kehidupannya yang mendewasakan.

“Sayang, setelah ini mau keadaan sulit atau enggak, kita bareng terus, ya?” Mevin menggenggam tangan Grace, “kamu juga harus bersyukur ada Papa Kevin, Rafer sama Florence. Kamu nggak akan rasain kesepian itu lagi,” lanjutnya.

“Kamu juga, jangan bosen sama aku yang hidupnya banyak dilumuri masalah, kalau dilumuri gula halus aku jadi donat nanti, hehe,” kata Grace. Mevin terkekeh lalu memeluk Grace dengan gemas dan erat.

“Kalau dilumuri wijen kamu nanti jadi onde-onde,” kata Mevin sambil menghujam pipi Grace dengan kecupan bertubi-tubi. Grace terkekeh geli, ia menggeliatkan badannya mencoba melepas pelukan Mevin tapi ia malah terjatuh terlentang di tempat tidurnya. Saat ia hendak bangun, Mevin malah merebahkan dirinya di sebelah Grace dan memeluk Grace.

“Ini dalam rangka apa kaya gini, tuh?” tanya Grace sambil sedikit mendongak menatap Mevin yang memeluknya. Tangan Mevin melingkar di perut Grace, merangkul pinggang Grace dan mendekatkan tubuh Grace kepadanya. Mevin menyangga kepalanya dengan satu tangannya, ia bisa mengamati jelas wanita dalam pelukannya.

“Dalam rangka aku masih nggak percaya kita barengan lagi setelah perjalanan panjang,” segudang kalimat ingin Mevin katakan sebenarnya, tapi tidak bisa ia ungkapkan segalanya.

Hitungan hari makin berlalu, balasan rasa keduanya semakin menunjukkan bahwa keduanya akan mencintai sampai akhir nanti. Jarak yang membentang luas serta menjelma tembok pemisah kini dirubuhkan keduanya hingga mereka bisa saling merengkuh satu sama lain lagi.

“Kalau dipikir, kita gila juga,” kata Grace.

“Gila kenapa lagi? Kamu tuh ada-ada aja kata-katanya,” balas Mevin terkikik.

Tangan Grace membelai lembut pipi Mevin, “gila juga perjalanannya, kalau aku flashback suka nangis sendiri, waktu aku di Singapore tanpa kamu, sekalinya hubungin kamu aku dicuekin, berantem hebat, minta putus diiyain, minta break diiyain, ternyata kamu sakit, nggak bisa dijelasin sakitnya.” Grace berkata dengan nada lesu dan ia mengerucutkan bibirnya.

“Aduh, aduh, maaf buat waktu itu, nggak tahu sayang, aku pun nggak bisa berpikir apa-apa. Aku nggak mau ada siapapun di deketku waktu itu.” Mevin memberi satu kecupan lagi di kening Grace dan Grace pun menyelusupkan wajahnya di dada Mevin, menghirup aroma khas parfum dari kekasihnya itu dan memberi pelukan juga.

“Udah, udah lewat, Tuhan juga mau kita balik lagi, right?” kata Mevin. Grace mengangguk. Keduanya saling memeluk saja dan hening untuk beberapa saat. Mevin juga mengusap punggung Grace dan menciumi puncak kepala Grace beberapa kali. Tak ada kalimat yang dibagi karena keduanya hanya ingin berbagi perasaan dan keadaan.

“Sampai akhir sama aku, ya?” bisik Mevin dengan suara beratnya. Grace mengangguk. Mevin pun menjadikan lengannya sebagai bantalan Grace, maka keduanya saling bertatapan dan tersenyum.

Let me love you, forever, Bernadetta Gracelline Courtney.” Mevin tersenyum setelah mengucapkan kalimatnya. Asa Grace semakin menyeruak untuk hidup lebih lama bersama Mevin. Harap bersatu terpancar dengan binar mata Grace saat menatap kekasihnya itu, ia mengangguk, “I love you, Elleandru Mevinio Adrian, with all my heart,” balasnya. Mereka beradu tatap cukup lama sebelum Grace memantapkan hatinya, melawan semua pikiran buruk yang mengambil alih.

Wanita itu mengangguk yang membuat Mevin langsung menarik wanita itu ke dalam dekapannya. Keduanya sangat bahagia, semua perasaan lebur jadi satu. Rindu yang tak acuh kini jelma muara hati tempat keduanya berlabuh. Semua perasaan cinta saling beradu, segenap perasaan bahagia berpadu di antara mereka berdua.

Can I?” tanya Mevin sambil mengusap lembut dagu Grace.

What?” tanya Grace bingung.

Taste your lips, my lips miss yours.”

You don’t need any permission, I’m yours,” balas Grace dan saat Grace mengangguk ada senyum lebar dan cerah di wajah keduanya.

Mevin mengecup kening wanita itu sesaat. Keduanya saling menatap. Mevin menatap Grace lekat, Grace menyeringai lalu menutup matanya. Perlahan bibir Mevin mulai menyentuh bibir Grace, sentuhan lembut yang Mevin berikan membuat Grace merasa nyaman. Bibir keduanya saling menempel dan menyapa setelah untuk waktu yang lama berpisah.

Cerita keduanya mulai dibuai nikmat, membaca rasa yang ada diantara keduanya, yang dieja kini bukan duka tapi sorot rasa bahagia. Mevin mengunci kaki Grace dengan kakinya dan berkuasa atas birai Grace. Kini, lidah mereka saling bertaut. Grace membalas ciuman itu lalu Mevin menarik Grace lebih dekat ke pelukannya dan memperdalam ciumannya.

Tangan Grace bermain di antara surai hitam Mevin seiringan dengan tempo ciuman yang Mevin berikan. Mevin kembali mencium bibir Grace, kali ini dengan sedikit lebih dalam dari sebelumnya. Lagi, ia melumat bibir Grace lembut dan mesra, membiarkan Grace menguasai permainan dengan membiarkan Grace berada di atasnya. Tangan Mevin juga bergerak masuk ke dalam kaos Grace dan mengelus pelan bagian pinggang Grace.

Nghh―Mevin, geli ....” Grace melenguh sesaat. Tapi Mevin berikan lagi usapan bahkan dengan ujung jarinya ia menyentuh pinggang Grace perlahan.

Mevin juga sesekali mencubit pinggang ramping kekasihnya itu, maka melenguhlah Grace di sana dan membuat Mevin semakin terpancing. Mevin mengikuti tempo yang Grace mainkan saat ia harus mencium dengan sedikit brutal atau dengan lembut. Tak jarang Grace menggigit sedikit bibir bawah Mevin yang membuat pria itu meringis dan tertawa kecil.

“Jangan nakal,” celetuk Mevin yang membuat Grace tertawa kecil.

“Kalau kamu boleh, aku nggak boleh,” gerutu Grace tapi malah membuat Mevin gemas. Mevin pun memeluk tubuh Grace erat, ia gemas hingga memutar posisi dan berguling sesaat membuat Grace kini ada di bawahnya dan ia mengukung tubuh Grace sekarang. Hambar disingkap dihilangkan digantikan sebuah debar yang tak biasa.

Ribuan tanya terjawab mengapa mereka dipertemukan lagi. Karena memang keduanya diciptakan untuk melengkapi sama lain. Keduanya menyatukan belah bibir lagi meredam gemuruh yang sempat menggelegar dan mereka gantikan dengan bahagia yang setelah ini akan mereka jemput bersama. Kini Grace melingkarkan tangan di leher Mevin dan mencumbu Mevin sedikit lebih panas.

Grace juga memainkan lidahnya di dalam rongga mulut Mevin. Ciuman Grace mulai turun ke leher Mevin yang membuat Mevin juga hanyut dalam suasana penuh kenikmatan itu. Sesekali mereka merenggangkan ciuman mereka untuk mengambil napas sebelum akhirnya melanjutkan pagutan mereka.

Keduanya hanyut dalam permainan mereka yang pertama kali sekaligus tanda mereka resmi memiliki satu sama lain. Dari Grace, Mevin belajar banyak hal perihal kehidupan yang keras.

Mevin tidak bosan menghadapi dan menunggu Grace sampai ia pulang ke Indonesia. Rindu yang awalnya menyiksanya kini terasa sangat indah saat sudah terbayarkan. Kenyataan yang sempat membuat keduanya bersimpuh dan memohon kepada Tuhan dalam pejam doa serta tangis itu kini sudah bermuara dan temukan ujung jawabannya.

Senyuman Grace menjadi milik Mevin secara utuh, senyum itu yang akan menemani Mevin ke depannya. Semua rasanya terbalaskan. Banyak wanita di luar sana, tetapi tidak ada yang seunik, sekuat dan cara Grace membuat Mevin jatuh cinta berbeda dari kebanyakan wanita. Banyak pria di luar sana tetapi tidak ada yang setulus Mevin dan setabah Mevin menghadapi banyak hal yang menerpa.

“Capek, ah,” ujar Grace sambil merenggangkan ciuman dan mengambil napas. Ia membaringkan tubuhnya di samping Mevin menjadikan lengan pria itu sebagai bantalnya lagi. Mevin mendekap wanita itu erat dan hangat, “aku sayang Grace, aku sayang Grace, sayang banget!” kata Mevin bersemangat dan ia menggesekkan ujung hidungnya dengan Grace berkali-kali. Grace pun terkikik dan merasa geli, ia menggerakkan jarinya menggelitiki pinggang Mevin, hal itu dibalas Mevin dengan menggenggam pergelangan tangan Grace sehingga Grace tidak bisa menggelitiki Mevin lagi.

Satu tangan Mevin mengunci kedua pergelangan tangan Grace dan satu tangan lagi Mevin gunakan untuk menggelitiki pinggang Grace. Wanitanya itu terbahak dan meringis minta ampun, Mevin tertawa melihat tingkah kekasihnya itu.

“Ampun nggak?” tanya Mevin mencobai dan sambil tertawa.

“Ampun Mevin, koko Mevin yang baik, haha!” balas Grace sambil terus tertawa.

“Ampun, daddy, gitu,” kata Mevin yang langsung membuat Grace membulatkan matanya. Keduanya terdiam, Mevin melipat bibirnya menahan tawa.

“Siapa yang ngajarin kaya gitu?!” Grace melepaskan tangannya dan mencubit lengan Mevin keras.

“Aduh! Sakit! Bercanda, sayang!” rintih Mevin lalu ia menegakkan posisinya menjadi duduk.

Grace ikut duduk di sebelah Mevin lalu menyilangkan tangannya di depan dada, “kamu yang nakal, Mevin!” kata Grace ketus. Mevin malah mencubit kedua sisi pipi Grace pelan dan menggoyangkannya.

“Bercanda, mommy!” goda Mevin lagi.

“Mevinio Adrian!” Grace memekik nyaring dan mendelik. Mevin masih terkekeh kecil lalu ia merangkul Grace lagi dengan satu tangannya lalu seakan hendak menidurkan Grace di pahanya, tapi ia kecupi pipi Grace berkali-kali.

“Ngambek, ayo, aku suka,” goda Mevin. Grace hanya diam dan pasrah dengan perlakuan gemas kekasihnya itu.

Saat Mevin masih sibuk menghujam pipi Grace dengan kecupan, Grace menoleh membuat bibir Mevin berhasil mendarat di bibirnya sesaat.

“Kena, deh!” tawa Grace sambil terbahak lalu merenggangkan rangkulan Mevin dan bangkit berdiri.

“Ayok, aku mau pulang ke rumah Papa!” ujar Grace bersemangat sambil mengepalkan kedua tangannya dan tersenyum lebar bak anak kecil. Mevin terkekeh, ia bangkit berdiri lalu memegang kedua pundak Grace.

“Janji, jadi anak Papa Kevin yang baik, jadi kakak yang baik buat Rafer sama Florence, ya?” kata Mevin sambil mengacungkan jari kelingkingnya. Grace pun menautkan jemarinya dengan Mevin dan mengangguk.

“Janji!”

Mevin mengecup bibir Grace sesaat lalu mengangguk, “Good girl!” katanya.

Detik selanjutnya pelukan yang mereka bagi sesaat terasa lebih hangat dari sebelumnya. Dua pelayar dalam perahu yang berbeda yang berlayar bersama dan sempat terpisah kini bertemu di satu dermaga lagi, berlabuh dan berdua menjadi utuh.

Kalau pun harus dipisahkan dan dijauhkan, nyatanya, keduaya kembali bisa menjalin ikatan. Kata cinta mereka sematkan satu sama lain sepanjang usia. Sepenggal kisah baru akan mulai terukir lagi, setelah perpisahan karena keadaan dan jarak, serta sakit yang memperantarai keduanya, kini keduanya berlabuh lagi, utuh, menjadi satu. Mevin dan Grace menjatuhkan hati secara bersamaan lagi kali ini dan berharap selamanya.

Bahkan, untuk Mevin, ia tidak tahu sudah kali ke berapa ia menjatuhkan hati kepada Grace. Saat kebersamaan keduanya adalah yang paling dinanti. Manusia berdalih semuanya diatur oleh takdir. Hubungan keduanya dipertemukan dengan segala perbedaan dan dalam arus pendewasaan lewat kejamnya kenyataan dan keadaan yang membungkam.

Keduanya menjadi kekasih yang bisa menjelma sebagai teman, kawan, sahabat serta support system bagi satu sama lain. Selagi berdua, Mevin menatap Grace lebih lama, lebih lekat kala mereka lebih dekat dalam sebuah dekap. Kata terkadang tak perlu diucap, dua raga yang bersama hanyut dalam hening tanpa kata. Rasa di antara mereka tumbuh tak terarah dan semakin merekah.

Keselarasan semakin mengiringi perjalanan. Kalimat-kalimat yang melegakan, bersenandung lagu kesukaan saat bersamaan, saling berusaha untuk sama-sama memantaskan. Harap dan asa untuk bersama semakin menyeruak saling menyempurnakan, bukan berlomba untuk menjadi sempurna.

“Udah siap ke rumah Papa Kevin?” tanya Mevin, Grace mengangguk, keduanya berjalan bersama beriringan, Grace menyeret kopernya dan Mevin membantu membawakan sisa barang Grace. Pintu kos penuh kenangan itu ditutup. Selamat datang rumah baru!


“Grace,” panggil Mevin lirih usai memarkirkan mobilnya di depan rumah Papa Kevin.

“Apa?” tanya Grace.

“Kering,” kata Mevin dengan suara beratnya sambil menunggingkan senyum.

“Apanya? Dompet?” tanya Grace sambil melepas seat beltnya. Mevin pun meraih jemari Grace lalu membawanya dalam genggaman dan ia melanjutkan penuturannya.

My lips.”

“Terus? Tadi kan udah,” cicit Grace, Mevin terkekeh, ia hanya ingin menggoda Grace sebenarnya.

Tanpa perkataan apapun saat itu juga Mevin melepaskan genggaman tangannya lalu menarik tubuh Grace dan mendekapnya erat.

“Nggak papa, peluk dulu, sini.” Mevin menyalurkan kehangatan lewat pelukannya sesaat lalu merenggangkannya. Saat Mevin hendak membuka pintu mobil, Grace menarik tangan Mevin hingga wajah keduanya berhadapan sangat dekat.

“Kenapa?” tanya Mevin dengan senyum manisnya.

“Katanya kering.” Grace menjulurkan lidahnya sesaat. Mevin mengangguk hingga akhirnya Mevin memegangi bagian rahang Grace dan mendekatkan wajahnya, Mevin memiringkan wajahnya lalu memberanikan diri mengecup pipi dan bibir Grace. Hingga kini bibir Mevin bermuara di birai Grace, lumatan lembut berangsur menjadi sesuatu yang berkuasa diantara mereka, hingga pagutan lembut berubah menjadi pagutan yang enggan dilepaskan.

Ciuman direnggangkan, Grace gantian menangkup wajah Mevin dengan kedua tangannya, ditariknya lagi wajah sang tuan, ia berikan kecupan singkat di bibir dua kali. Mevin terkekeh, kini Mevin menangkup pipi Grace juga lalu tarik wajah sang puan dan berikan beberapa kecupan singkat di bibir Grace.

“Mevin.” suara Grace tidak membuat Mevin menghentikan kegiatannya. Belah bibir Mevin seakan enggan hengkang dari tempat ternyamannya. Bibir ranum Grace adalah sebenar-benarnya tempat mengadu perasaan yang sesungguhnya.

Hingga detik selanjutnya Grace sedikit menahan dada Mevin, menghentikan kegiatan mereka.

“Bayangin, lagi begitu ada Papa,” katanya.

“Udah, yok keluar sekarang daripada digrebek.” Mevin membuka pintu mobil, Grace geleng-geleng dan sedikit merasa gemas dengan Mevin. Maka, saat Mevin membuka mobilnya, Rafer juga keluar dari rumah itu dan langsung berseru kegirangan, “Koko Mevin! Cece!” Rafer langsung menghampiri Mevin dan Grace memberi salam. Anak baik dan sopan itu senang bahwa Grace sudah ada di sana. Seseorang yang ia tunggu sejak tadi. “Sini aku bantu,” katanya menawarkan diri.

“Florence mana, dek?” tanya Grace.

“Tidur,” balas Rafer sambil meringis, Grace mengangguk-angguk paham.

“Bawain ini yang di dalam sini aja, yang di belakang biar koko yang bawa, oke?” ucap Mevin yang diiyakan oleh Rafer. Grace tersenyum melihat kerjasama orang-orang yang ia sayang itu. Rafer langsung menunjukkan dan mengarahkan agar Grace serta Mevin membawa barang-barang Grace ke kamar yang sudah disediakan untuk Grace. Satu kamar yang sangat berbeda dari kamar kos Grace. Kamar itu bahkan sudah memiliki foto Grace di figura yang tergantung di dindingnya.

“Dek, kok udah ada foto aku disini?” tanya Grace sambil menaruh kopernya di lantai, Rafer yang masih mengangkat kardus yang ia bawa mendekat ke arah Grace, “Mama Maureen yang pasang, kamar ini udah lama disiapin buat Cece sebenernya.” Maka kalimat Rafer itu membawa Grace menatap Rafer, sedikit sendu tatapan Grace saat itu, Rafer tersenyum dan berlalu, ia melanjutkan kegiatannya membantu Mevin. Grace mendekat ke figura yang tergantung itu, ada dua figura di sana.

Satu foto saat Grace sudah dewasa, foto yang sempat Grace upload di media sosialnya ternyata dicetak oleh Mamanya.

Satu foto masa kecil Grace juga ada di sana, tunggu .... ada dua foto sebenarnya. Satu foto Grace saat berusia dua tahun dan di bawahnya ada foto kecil yang ditempelkan juga di sana, foto saat Mama Grace menggendong bayi kecil Grace. Jemari tangan Grace menyentuhnya perlahan.

Ia kembali teringat saat keluarganya masih utuh, Grace meneteskan air matanya, sungguh jika bisa bersimpuh di kaki Mamanya mungkin akan ia lakukan saat ini. Grace yang tadinya mengira tidak pantas mendapatkan cinta dari orang tua, kini sadar bahwa Mamanya punya cinta dan kasih seorang ibu yang besar untuknya. Perlahan Grace menyeka air matanya tapi ia terus terisak. Cukup lama Grace berdiri mematung di depan figura itu dan mengenang dalam ingatannya tentang sosok mendiang Mamanya. Hingga sebuah pekikan kecil yang memanggil nama Grace membuyarkannya. Florence yang terbangun dari tidurnya ada di ambang pintu kamar Grace dan berdiri di sana sambil mengucek matanya.

“Cece!” katanya. Grace pun menoleh dan buru-buru menyeka air matanya, Florence berlari kecil menghampiri Grace, saat itu juga Grace merendahkan tubuhnya dan membuka dekap menyambut Florence dengan dekapan. Gadis kecil itu langsung menubrukkan dirinya dan memeluk Grace. “Adiknya Cece, kebangun ya?”

“Cece pulang? Cece disini terus kan? Nanti malem Flo boleh tidur disini? Flo mau sama Cece,” Florence berkata sambil merenggangkan pelukan dan menatap Grace penuh harap.

“Boleh banget!” Grace membelai rambut Florence. Grace mengamati lamat-lamat wajah Florence, memang garis wajah Mamanya diwarisi Florence, mata indah Florence berbinar saat keduanya bersinggungan dalam tatap sekali lagi.

“Eh, udah bangun adek?” ucap Rafer yang memasuki kamar Grace dengan menenteng beberapa bawaan diikuti Mevin. Florence mengangguk dan tersenyum, gadis kecil itu melihat Mevin di belakang Rafer, raut wajah sumringah Florence tidak terhindarkan. “Koko Mevin?” katanya dengan malu-malu. Mevin tersenyum, pria itu menaruh kotak yang ia bawa di lantai lalu menghampiri Grace dan Florence, bahkan Mevin langsung menggendong Florence. Grace tersenyum sambil merangkul Rafer yang melihat kedekatan Mevin dan Florence yang terjalin sejak di rumah duka beberapa waktu lalu. Aura dokter spesialis anak nyatanya memang membuat Mevin memang menyukai anak-anak. Jadi jangan heran kalau Enzi bahkan Florence sekalipun merasa betah berada di dekat Mevin.

“Nyariin Koko?” tanya Mevin kepada Florence, gadis kecil itu mengangguk antusias.

“Besok mau nggak main sama Koko nanti Ko Mevin kenalin sama temen Florence namanya Enzi, mau? Nanti kita ke timezone bareng,” kata Mevin.

“Oh, iya! Aku juga mau ketemu Enzi, ajak Flo sekalian aja ya sayang?” tanya Grace.

“Sama Rafer aja sekalian, mau nggak dek?” tanya Mevin sambil mengarahkan pandangannya kepada Rafer.

“Yah, besok nggak bisa, udah janji mau makan-makan ada temen ulang tahun. Aku ikut next aja, deh,” kata Rafer nyengir. Grace tersenyum dan mengangguk, “oke deh.” katanya.

Grace bisa tersenyum bahagia melihat kebersamaan orang-orang terdekatnya saat ini, masih seperti mimpi bahwa ia bisa benar-benar pulang ke tempat yang bisa ia sebut RUMAH. Nyatanya, rumah ini adalah tempat di mana segala kenangan tentang Mamanya terukir, semburat senyum kini merekah di wajah Grace saat melihat Rafer, Flo dan Mevin bercengkrama dan bercanda. Ia berharap hal seperti ini dapat ia rasakan sampai akhir waktunya.


Mevin masih di sana hingga Om Kevin pulang ke rumah. Benar saja, Om Kevin sudah membeli banyak makanan untuknya, Grace, Rafer, Flo dan Mevin makan malam bersama. Suasana bertambah hangat saat semuanya duduk di ruang makan dan menikmati family dinner bersama yang sudah disiapkan Kevin malam ini.

“Mevin, terima kasih sudah bantu Grace selama ini sampai saat ini. Terlebih waktu di rumah duka kemarin, kamu juga pasti kurang istirahat. Sekali lagi terima kasih atas kebaikan kamu sekeluarga, ya.” kalimat pembuka dilontarkan Kevin usai menikmati makanan. Mevin mengangguk, ia tersenyum.

“Sama-sama, Om, dengan senang hati,” kata Mevin.

“Grace juga, terima kasih sudah mau tinggal di rumah ini, kamu tanggung jawab Papa sekarang, oke?” Kevin tersenyum kepada Grace.

“Karena Cece tanggung jawabnya Papa mulai sekarang, jadi Ko Mevin harus minta ijin ke Papa Kevin kalau mau lamar Cece Grace,” kata Rafer sambil sedikit tertawa.

Grace yang tengah meneguk minuman tiba-tiba tersedak mendengar ucapan Rafer. “Grogi, salting, ya, Ce?” cibir Rafer yang disambut tawa Kevin dan Mevin. Sedangkan Florence kecil masih asyik menikmati makanannya tanpa menghiraukan obrolan orang dewasa di sana.

“Iya, Om. Nanti ada saatnya saya minta ijin ke Om untuk meminang Grace disaat saya sudah pantas dan waktunya tepat.” Mevin berkata dengan lugas.

Grace hanya melotot ke arah Mevin dan menahan malu. “Om tunggu, ya,” kata Kevin sambil tersenyum.

“Siap, om! Semoga saat itu Grace juga siap.” balas Mevin semangat.

“Siap apa?” tanya Grace bisik-bisik.

“Jadi istri aku, hidup sama aku selamanya,” balas Mevin berbisik, Grace yang duduk bersebelahan dengan Mevin hanya tersipu malu, namun perlahan Grace rasakan Mevin meraih sebelah tangannya, jemarinya diraih lembut dan mesra. Keduanya saling bertatapan sesaat sebelum diam-diam menautkan jemari mereka satu sama lain dan bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa lalu melanjutkan obrolan dengan keluarga Grace itu. Mevin semakin erat menggenggam tangan Grace seiringan dengan semakin eratnya ia menggenggam hati sang puan untuk selamanya.

Rumah Duka

Malam ini rumah duka di tanah air langsung dipersiapkan untuk ibadah penghiburan atas kepergian Mama Grace. Sudah ada banyak orang berkumpul di sana. Hiruk pikuk dan suasana sedih serta mencekam sangat terasa. Om Kevin ada di sana menyalami dan duduk bersama para tamu yang melayat, tak jarang beberapa orang juga datang menyalami dan memberikan kata-kata penguatan bagi Kevin, anaknya dan Grace.

Di peti berwarna putih itu sudah terbaring Mama Grace yang tidak bisa lagi melihat indahnya dunia, tidak bisa melihat suaminya serta ketiga anaknya berkumpul. Ini momen pertama Grace berkumpul dengan Rafer, anak laki-laki Om Kevin yang berarti adiknya, serta Florence, gadis kecil berusia lima tahun, anak Om Kevin dan Mamanya.

Florence sangat mewarisi perawakan Mamanya, senyum, binar mata serta garis wajah, semua persis dengan mendiang Mamanya. Rafer yang baru saja lulus SMA juga sangat terpukul, untuk Rafer dan Om Kevin, ini kehilangan untuk kedua kalinya. Sungguh, tak bisa dibayangkan betapa hancur hati mereka semua mendapati rasa kehilangan lagi.

Memang, bahwasanya pertemuan mendekatkan kita kepada perpisahan. Tapi kita sebagai manusia juga tidak berhak mengatur garis takdir kapan harus bertemu dan kapan harus berpisah. Memang, sekarang keluarga Grace berkumpul untuk pertama kalinya, Om Kevin, Rafer dan Florence berkumpul, di hari kepergian Mama mereka selamanya. Grace duduk sambil memangku Florence yang tertidur di pangkuannya, terlalu lama Florence menangis hingga tertidur. Anak lelaki di sebelah Grace juga ia genggam tangannya.

Rafer baru kali ini bertemu Grace, Rafer juga merasa kehilangan karena selama ini, Mama Grace bisa menjadi sosok Mama juga untuk Rafer. Grace menggenggam tangan Rafer dengan tangan kirinya erat, tangan kanannya ia gunakan untuk menjaga tubuh mungil Florence di tubuhnya. Saat Grace mengusap tangan Rafer dengan ibu jarinya, anak lelaki itu terisak dan tertunduk.

“Aku seneng bisa kumpul sama Cece, Mama Maureen sering cerita tentang Cece. Aku selalu pengen punya kakak karena selama ini aku sendiri dan aku jadi kakak, aku seneng kita semua bisa kumpul tapi kenapa di hari kita berpisah sama Mama Maureen selamanya.” Rafer mengucapkan kata demi kata dengan napas yang berat. Segenap air matanya tertumpah saat itu, hati Grace sangat pedih mendengarnya. Maureen adalah nama Mama Grace, malaikat yang melahirkannya dan melakukan segala sesuatu untuk menyelamatkan Grace walaupun sempat dengan cara yang salah.

“Ce, habis ini mau tinggal di rumah? Sama Papa, sama aku, sama Flo?” tanya Rafer sambil membawa pandangannya kepada Grace. Hati Grace berdesir, dadanya sesak bukan main. Ia mengangguk dan tersenyum tanpa ragu, mata sembabnya semakin jelas saat ia mencoba tersenyum.

“Iya, setelah ini Cece tinggal sama kalian, ya?” ucap Grace lembut lalu merangkul Rafer. Grace pernah berpikir bahwa sebutan “IBU” untuk Mamanya tidaklah pantas, tapi sekarang tidak ada kata yang bisa menggambarkan betapa Grace mencintai Mamanya. Segala hal yang Mamanya lakukan semata-mata untuk kebaikan Grace.

Segenap kekuatan Grace kumpulkan, saat netranya memandang Om Kevin yang berusaha tegar dan menyalami satu per satu tamu yang datang serta keluarga yang datang. Sebagian besar bahkan seluruhnya adalah keluarga Mamanya dan keluarga Om Kevin. Keluarga Papanya yang menghujat dan sejak kejadian itu menginjak-injak harga diri Mama Grace tidak terlihat sama sekali. Justru keluarga Om Kevin menerima dan sangat menyayangi Mama Grace.

Beberapa keluarga yang datang dan baru melihat Grace pun tak canggung untuk memeluk dan mencium Grace karena Om Kevin sering bercerita tentang Grace, Om Kevin menceritakan bahwa Grace sudah mandiri dan pekerja keras, oleh karena itu, Grace memilih tinggal sendiri agar dekat dengan tempat kerjanya. Hal yang sempat terjadi kepada Grace juga diceritakan Kevin kepada keluarganya. Tapi hal itu tidak menimbulkan judgment, melainkan simpati yang keluarga Kevin berikan.

Grace mengarahkan pandangannya kepada Mamanya yang sudah terbaring tak bernyawa. Cantik, Mamanya memejam tapi raut wajahnya bak tersenyum. Cantik dengan dress yang Grace belikan serta polesan make up yang Grace lakukan sendiri.

“Mama Maureen cantik, makasih Cece udah bikin Mama cantik, Mama pulang ke rumah abadi cantik banget. Ini kedua kalinya aku anterin sosok Mama pulang ke rumah abadi. Kaya mimpi, Ce. Tapi Tuhan kan Maha Baik. Makasih ya, Ce.” Kalimat dari Rafer membuat Grace memeluk Rafer sejenak dan air mata Grace tumpah lagi.

Florence di pangkuan Grace perlahan terbangun, tangannya terulur menyentuh tepian peti putih itu, Grace memajukan kursinya membiarkan Florence menaruh dagunya di tepi peti itu memandangi wajah Mamanya. Grace ikut mengamati lamat-lamat wajah Mamanya untuk saat-saat terakhir.

“Mama cantik nggak, Flo?” tanya Grace.

“Cantik, kaya Flo dan Cece.” Florence menoleh menatap Grace sesaat. Grace mengecup puncak kepala Florence sesaat lalu memeluknya. Grace juga menempelkan pipinya dengan kepala Florence dan Florence masih aman di pangkuan Grace.

“Mama sudah tidak bisa temenin Flo main ya, Ce? Cuma ada Cece sama Koko Rafer aja sama Papa Kevin. Flo senang ternyata Flo punya kakak selain Koko Rafer.” Gadis kecil itu tersenyum tapi matanya berkaca-kaca. Hancur bukan main hati Grace melihatnya.

“Iya, Cece temenin Flo terus, sampai Flo besar nanti selalu Cece temenin, ya?” balas Grace. Flo mengangguk lalu memusatkan perhatian lagi ke sosok Mamanya yang sudah terpejam itu. Grace seakan mendapat sedikit kekuatan saat itu. Namun, setelahnya, Grace melihat beberapa orang yang datang dan bergantian menyalami Papanya, Papa Kevin. Mata Grace berkaca-kaca saat melihat mereka.

“Rafer, Cece boleh minta tolong jaga Flo dulu? Cece mau nemuin keluarga Mevin.” Grace berkata pada Rafer. Adik laki-lakinya itu pun mengangguk dan Grace mendudukkan Flo di kursinya lalu Rafer merangkul adik kecilnya itu. Tiba di kursi para tamu, Papanya menepuk pundak Grace, “kasih salam dulu sama keluarga Mevin,” bisiknya. Grace pun memberi salam kepada Jeremy, Papa Mevin yang duduk di sebelah Papanya.

“Grace, anak baik, yang kuat ya nak, ya. Doa terbaik buat Mama dan keluarga yang ditinggalkan. Percaya rencana Tuhan nggak akan salah.” Kalimat Jeremy jujur saja membuat Grace terharu tapi Grace tahan air matanya sekuat tenaga, Grace mengangguk dan tersenyum.

Papanya dan Papa Mevin itu kembali duduk bersebelahan dan bercengkrama. Tiba saatnya Grace memberi salam dan diberi pelukan oleh Lea, Grace memeluk Lea erat, “Grace anak kuat, terima kasih udah pulang. Terima kasih juga Grace udah sembuh, Mama Grace pasti bangga banget. Jangan khawatir, hidup Grace seterusnya udah ada yang pegang. Tuhan pelihara kehidupan kamu sekeluarga.” Lea berkata sambil mengecup pipi kanan dan kiri Grace.

“Grace ....” Letta yang berdiri di sebelah Jevin memeluk Grace saat Grace berjalan menuju arahnya.

“Makasih udah pulang, aku tepati janjiku buat peluk kamu. Kata sabar mungkin nggak akan cukup buat kamu saat ini, ikhlas ya, ikhlas.” Letta berkata sambil mengusap punggung Grace pelan. Jevin yang ada di sebelahnya juga ikut mengusap punggung Grace. Pelukan direnggangkan, Jevin dan Grace bersalaman dan Jevin mengusap punggung Grace lagi, “yang kuat,” kata Jevin sambil tersenyum.

“Jevin, aku belum sempat bilang terima kasih untuk waktu itu. Terima kasih udah nyelametin aku waktu itu, maaf kamu sampai harus―”

I’m okay, I did that for you and my twins bro. That’s what brother for,” kata Jevin. Grace tidak henti berterima kasih. Kini, Grace tiba di hadapan Lauren dan Willy, Lauren yang datang dengan keadaan perut yang semakin besar itu juga memeluk Grace bahkan sempat meneteskan air mata saat memeluk Lauren.

“Yang kuat, ya. Masih ada keluarga, masih ada kita, masih ada Mevin, masih ada dan banyak yang nunggu senyum Grace balik lagi.” Willy berkata sambil mengusap pundak Grace yang tengah berada di pelukan Lauren itu.

Lauren memeluk Grace erat, “di dunia ini nggak ada yang abadi, sekalipun kebersamaan dan kehadiran keluarga, Mama udah nggak sakit, Mama udah sembuh, tetep doain Mama, ya? Ada adek-adek, aku tahu gimana rasanya harus kuat disaat kita sendiri hancur, nggak papa kamu jadi kakak kalau di rumah harus kuat nggak papa. Kalau butuh tempat cerita sebagai kakak, just let me know, Grace. I’ll be there, I will always.” Lauren berkata sambil perlahan melepaskan pelukan dan menggenggam tangan Grace.

“Makasih, Ko Willy, Ci Lauren. Makasih banyak, nanti boleh ya Grace curhat ke Ci Lauren,” kata Grace sambil memaksakan tersenyum disaat yang berat ini. Lauren mengangguk dan tersenyum, Willy juga memberikan penguatan untuk Grace sebelum Grace berjalan menuju kursi di belakangnya, Mevin di sana, berdiri menyambut Grace dengan senyuman.

Jujur saja, Mevin sudah hampir menangis tapi ia paksakan senyum terbaiknya ia berikan untuk sang kekasih. Grace sampai di hadapan Mevin dengan mata yang berkaca-kaca. Satu tngan Mevin meraih pipi Grace satu tangannya merapikan surai panjang Grace dan menyingkapkannya ke belakang telinga kekasihnya.

“Mevin―”

“Iya, aku disini.” Tangan Mevin pun bergerak turun menggenggam kedua tangan Grace yang dingin.

“Makasih udah mau maafin Mama, makasih udah mau kasih tahu aku di Singapore,” kata Grace dengan suara yang mulai bergetar.

“Sayang sama Mama? Ikhlas Mama pulang ke rumah Tuhan?” pertanyaan Mevin membawa Grace melipat bibirnya, menahan dengan sedikit menggigit belah bibirnya yang sudah bergetar itu. Grace mengangguk, tanpa aba-aba Mevin menarik Grace ke dalam dekapannya, Mevin memeluk erat kekasihnya, Grace membalas pelukan itu erat. Hingga sesaat hening karena Mevin merasakan bajunya sedikit diremas oleh Grace.

“Nangis aja, aku disini, jangan ditahan,” kata Mevin berbisik lirih. Benar saja, punggung Grace langsung bergetar hebat, perempuan itu menangis keras di pelukan Mevin, hampir seluruh pelayat dan keluarga langsung menoleh ke arah Grace dan Mevin tapi dengan tatapan sendu. Lauren menggenggam tangan Willy saat mendengar raungan tangis Grace. Letta dirangkul Jevin, Lea sudah ada dalam dekapan Jeremy. Bahkan Florence sudah meneteskan air mata tanpa suara di pelukan Rafer.

Suara tangisan Grace menggema, kali ini ia lepaskan semua duka dan kesedihan yang membelenggu. Sakit dan pedih hati Mevin, ia teringat ia juga kehilangan sosok Mamanya, bahkan sebelum ia bisa melihatnya dan merasakan kasih sayang Mamanya. Mereka adalah sepasang yang merasakan kehilangan, kehancuran, kerapuhan serta mencandu pilu seumur perjalanan kehidupan mereka. Mevin mencium pipi Grace dan membiarkan kekasihnya menangis sepuasnya dan sekeras-kerasnya di pelukannya.

“Mama .... Mama ....” Tangis Grace kala itu, hingga detik ini, Grace masih tak percaya dengan apa yang terjadi.

“Aku dandanin Mama, pertama dan terakhir kali seumur hidup. Aku beliin Mama dress pertama kali untuk kepulangan Mama selamanya ke rumah Tuhan di Surga ....”

“Mama bangga pasti sama kamu, persembahan terbaik anaknya untuk terakhir kali. Mama kamu pasti bangga, it’s enough sayang, it’s enough, Grace.”

Napas Grace semakin tersengal dan dadanya sesak, Mevin masih setia disana memeluk Grace yang masih membenamkan wajahnya di ceruk lehernya. Sesaat Mevin mengarahkan pandangannya ke peti putih di ruangan itu. Tangannya bergetar, juga kakinya, apakah seperti ini gambaran jika saat itu ia mengantarkan kepergian Mamanya? Bibir Mevin juga ikut bergetar, Mevin meneteskan air mata juga. Diatas apapun, bahkan diatas hari kepergian seseorang, yang lebih mengerikan adalah hari setelah kepergian itu sendiri.

“Nggak kuat, Mevin. Nggak kuat ....” Grace berkata lirih yang hanya bisa didengar oleh Mevin.

Dunia kita akan berubah, ada banyak hal-hal yang hilang. Tidak bisa kita jumpai lagi sosok itu, tidak bisa lagi kita sentuh raganya, kita hanya akan bisa melihat mereka dalam terawang jauh pikiran, bertemu dalam setiap pejam doa, merasakan kehangatan dan kenangan masa lalu itu sebatas saat menyebutkan namanya, tak ada lengan yang memeluk dan merengkuh.

Tak ada suara bising yang membangunkan Grace di pagi hari seperti saat ia sekolah dulu, semua keadaan akan berubah, maupun dari hal kecil sekalipun.

Mevin mempererat pelukannya tapi tiba-tiba,

BRUKKKK Tubuh lemah Grace jatuh pingsan membuat semua orang panik, tapi Mevin yang di sana langsung sigap menyangga tubuh Grace.

“Grace!” pekik Mevin panik saat itu. Mevin pun langsung membopong tubuh Grace untuk dibawa keluar ruangan.


Mevin pun membawa ke kursi panjang yang ada di luar ruangan itu, menidurkan Grace di pangkuannya. Sementara itu, Lea membantu mencarikan minum untuk Grace. Tak beberapa lama, Grace mengerjapkan matanya, tangannya digenggam Mevin, tangan Grace sangat dingin dan wajahnya pucat.

Lea yang melihat Grace perlahan mengerjapkan mata, langsung berlutut di sebelah perempuan itu dan membantu Grace untuk bersandar di dada bidang Mevin. Dengan penuh kasih, Mevin memeluk Grace dengan satu tangannya, serta satu tangannya lagi ia gunakan untuk menyeka keringat dingin yang membasahi wajah Grace. Lea pun memberikan minum kepada Grace, “diminum dulu, Nak.” kata Lea lembut. Lea pun membantu memegangi gelas itu agar Grace meminumnya.

“Makasih, Tante,” ujar Grace sambil tersenyum. Lea memegangi gelas itu dan satu tangannya ia gunakan untuk mengusap lengan Grace.

“Disini dulu biar ada udara, tenangin diri Grace dulu, ya. Biar dijagain Mevin disini. Ya?” ucap Lea yang dibalas anggukan oleh Grace. Lea memberi tatapan isyarat kepada Mevin agar tetap disitu dulu sebelum doa dan ibadah singkat dilakukan. Lea pun beranjak dari sana dan masuk ke ruangan itu lagi. Grace pun mengubah posisinya bersandar di kursi dan ia menurunkan kakinya, ia menyangga kepalanya dengan kedua tangannya yang ia gunakan untuk membenamkan wajahnya. Mevin pun merangkul Grace dari samping dan mencium puncak kepala Grace berkali-kali.

It’s okay, it’s okay,” kata Mevin lirih.

“Kaya mimpi, Mevin. Perpisahan secepat ini nggak pernah aku bayangin sebelumnya, sama sekali nggak pernah. Masih jelas banget gimana Mama nampar aku di rumah sakit waktu ada kamu,” Grace mengangkat wajahnya menatap Mevin nanar dengan air mata yang berlinang, “tapi masih jelas dan bahkan lebih jelas tergambar waktu Mama peluk aku terakhir kali di napas terakhir Mama,” katanya lagi. Mevin meraih puncak kepala Grace dan mendekatkan wajahnya lalu mengecup kening Grace.

“Biar kenangan yang baik aja yang tergambar jelas, jangan yang buruk. Sayang sama Mama?” tanya Mevin. Grace membalas dengan anggukan, maka Mevin usap lembut air mata Grace dengan ibu jarinya dan menatap setiap inchi wajah kekasihnya itu.

“Hari-hari ke depannya nggak mudah, tapi kamu nggak sendiri. Kamu punya keluarga baru, kan? Ada mereka, jadikan mereka alasan kamu kuat dan bertahan, ya?”

“Dan kamu juga.”

Saat itu keduanya saling memeluk berbagi kehangatan dan kekuatan yang sebisa mungkin mereka bagi berdua. Disayat kenyataan yang lebih tajam dari duri tidak membuat keduanya berpisah ataupun lengah.


Hari selanjutnya, ibadah pelepasan jenazah dan penutupan peti dilakukan. Mevin sudah ada di rumah duka sejak pagi, menemani Grace dan juga kadang mengobrol dengan Rafer atau membantu menunggui Florence yang juga langsung akrab dengan Mevin sejak pertama kali bertemu.

“Kalau Cece sama Koko Rafer ketemu Pak Pendeta, Flo disini dulu sama Koko Mevin ya, Papa juga sibuk, banyak yang diurus, oke?” Grace berlutut di depan Florence yang sedang duduk di pangkuan Mevin.

“Kita mau kemana, Ce?” tanya Florence.

“Anter Mama, kita mau anterin Mama.” Balasan Grace membuat Mevin memeluk Florence. Netra Mevin dan Grace bersua, Mevin mengangguk dan tersenyum, bangga kekasihnya bisa setegar ini sekarang. Grace beranjak dari sana, membantu menyiapkan bunga tabur dan lain sebagainya di depan ruang duka untuk dibawa ke pemakaman.

Mevin yang sedang memeluk Florence juga berkaca, Florence yang masih berusia lima tahun masih perlu banyak diberi pengertian. Ia berkaca kepada dirinya, bagaimana saat ia dulu ditinggalkan Petra sejak ia lahir. Tapi Mevin tumbuh dengan baik, tumbuh dengan kasih sayang dan didikan yang baik.

Saat itu semakin banyak orang berdatangan dengan pakaian nuansa putih dan hitam yang melambangkan dukacita. Keluarga Adrian datang tanpa terkecuali, Lea, Jeremy, Jevin, Letta, Lauren dan juga Willy duduk di kursi yang tak jauh dari Mevin. Mereka sempat menyapa Mevin serta Florence juga. Ibadah penutupan peti segera dimulai. Grace kembali duduk di sebelah Mevin dan memangku Florence. Rafer ada di kursi di depan Grace dan Mevin duduk di sebelah Kevin, Papanya.

Sebelum itu diberikan waktu untuk keluarga inti menyampaikan sesuatu, mulai dari Kevin, Grace dan Rafer. Mereka bertiga diberi waktu, Kevin menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua yang datang dan sudah menyampaikan rasa bela sungkawa untuk istrinya.

Untuk semua pihak yang membantu, keluarga, rekan, dan sahabat-sahabat. Kini, tiba saatnya Grace yang berbicara, Grace meraih mic dan berdiri di sebelah peti Mamanya. Peti itu masih terbuka, Grace sempat melihat ke arah Mamanya sejenak sebelum menatap seluruh pelayat yang hadir.

“Saya Grace, putri dari Ibu Maureen. Mama yang melahirkan saya ini memang orang yang hebat dan kuat. Saya mengucapkan terima kasih kepada semua yang menunjukkan kasih untuk Mama saya dan keluarga saya. Masih seperti mimpi, saya masih ingat jelas saat Mama menyusul saya ke Singapore ingin menjemput saya yang melakukan pengobatan disana. Saya bersyukur kepada Tuhan karena disaat terakhir Mama, saya ada di sana, di pelukan Mama. Saya juga paham bagaimana keluarga menyayangi Mama―Papa Kevin, Rafer, juga Florence yang masih kecil. Terima kasih saya ucapkan kepada saudara semua yang sudah menunjukkan kasih kepada Mama saya disaat terakhir seperti ini. Terima kasih atas semua penguatan yang disampaikan. Saya sadar, Tuhan mau Mama pulang ke rumah abadi karena jika Mama tinggal lebih lama akan menyiksa Mama juga, sekarang Mama sudah sembuh. Mama sudah ada di rumah abadinya dimana tidak ada lagi sakit dan ratap tangis di sana. Saya juga yakin Mama melihat saya sekarang, terima kasih Ma... Terima kasih sudah melahirkan Grace, terima kasih sudah melahirkan Grace ke dunia dan menjadi Mama Grace yang kuat,” kata Grace lalu menghela napas dan menyeka air matanya sejenak. Semua yang ada di situ hampir menangis, tidak―sekarang Letta dan Lauren sudah menangis bahkan. Begitu juga dengan kekasihnya, Mevin. Grace mendekat ke arah peti, ia pegang tepian peti itu.

“Saya percaya, semua terjadi karena Tuhan baik. Saya tidak khawatir akan kehidupan saya dan keluarga saya ke depannya karena Tuhan kirim orang-orang yang menguatkan saya dan meyakinkan bahwa pengharapan itu tidak akan hilang. Hidup saya dan keluarga saya sudah direnda dan direncanakan Tuhan sampai akhir. Tuhan akan pelihara dan jaga keluarga saya, Tuhan tidak akan biarkan kami semua kelaparan dan jatuh tersungkur. Saya juga bersyukur karena saya tidak ditinggalkan sendiri, ada Papa Kevin, Rafer dan Florence dimana setelah ini saya akan tinggal bersama mereka. Dari Mama saya belajar kekuatan, Mama sembunyikan semua sakitnya dari saya. But, God is good all the time so He takes Mama come back to everlasting home. Saya dan keluarga tidak takut menghadapi dunia ke depannya, Tuhan akan sediakan semua pada waktunya, sampai akhirnya, sampai kita semua kembali pada waktunya.” Grace menyentuh dan membelai rambut Mamanya yang ada di peti.

“Grace sayang Mama, God loves you so do I, Ma. Sampai ketemu di keabadian, Grace sayang Mama.” Kalimat terakhir Grace diucapkan dengan tenang, ia menaruh mic dan kembali duduk di sebelah Mevin, tangan Grace gemetar bukan main. Mevin langsung sentuh dan genggam, ia juga merangkul Grace, membiarkan Grace menangis di pelukannya. Meski tidak se histeris kemarin, tetap saja, itu adalah tangisan pilu.

“Makasih udah kuat, makasih, you are amazing, Grace.”

Hingga ibadah selesai, Mevin jaga tangan Grace dalam tautannya, jemari mereka bersatu tidak Mevin lepaskan meskipun sedang berdoa. Ia paham bagaimana hancurnya hati Grace, saat terakhir melihat Mamanya adalah saat ini. Saat segala tata acara pelepasan jenazah dilakukan, tiba saatnya, momen terpilu yang harus dihadapi, penutupan peti. Saat dimana kita tidak bisa melihat lagi orang yang kita cinta untuk selamanya.

Kevin ada di sebelah peti menggendong Florence yang mulai menangis, Rafer ada di sebelahnya, satu tangan Kevin merangkul Rafer. Grace ada di samping Rafer, beberapa petugas dari rumah duka tersebut membawa tutup peti dan mulai menutup peti itu, saat bagian atas hendak ditutup, Grace mencegahnya, tangannya menghalanginya.

“Grace ....” ujar Kevin lirih. Grace masih disana seakan menolak pergi.

“Sebentar, pak,” bisik Kevin kepada salah satu petugas. Sang petugas mengangguk dan menyingkir sesaat membiarkan Grace ada di sana mengamati wajah Mamanya lamat-lamat untuk terakhir kali. Grace menunduk dan terisak, sesaat, Rafer menarik Grace mundur, keduanya saling memeluk, peti ditutup, baut sudah dikencangkan. Tidak bisa lagi mereka lihat sosok Mamanya. Mereka semua yang menyaksikan hal itu juga tidak bisa memungkiri, bahwa kesedihan itu menjalar.

Mevin duduk sendiri terisak, ia teringat Petra, sosok Mamanya. Menyadari hal itu, Lea beranjak dari tempat duduknya, duduk di sebelah Mevin, langsung memeluk Mevin. Mereka berdua juga menangis saat itu. Lagu “God Can Do All Things” serta alunan keyboard lirih mengiringi momen pilu itu hingga peti tertutup sempurna. Perjalanan Mama Grace sudah selesai.

Mevin tidak berkata apa-apa. Mevin langsung memeluk Lea juga, punggung Mevin juga bergetar hebat. Tak ada kata-kata yang bisa Lea ucapkan lagi, ia salurkan lewat usapan lembut di tubuh Mevin untuk menenangkan anaknya itu.

“Mama Lea harus panjang umur, ya.” Mevin berkata lirih, hal itu justru membuat Lea juga menangis, sungguh, hatinya rapuh, Lea juga pernah mengalami kehilangan saat ia baru saja akan wisuda dan meraih gelar cumlaude. Bahkan gelar itu yang menjadi kado terakhir untuk kedua orang tuanya. Kecelakaan merenggut nyawa kedua orang tua Lea bersamaan, disaat esok harinya ia akan wisuda di universitas. Mevin yang belum pernah melihat sosok Mamanya, Petra, pun juga merasakan duka mendalam.


Funeral

Grace tidak perlu lagi membenci segala hal yang Mamanya pernah katakan dan lakukan, Grace tidak perlu lagi akan hal itu. Ia melewatkan satu hal besar, sakitnya Mamanya, lemahnya Mamanya jauh melampaui itu semua. Kini Mamanya sudah bahagia dan sembuh. Benar-benar diluar dugaan karena Grace kembali ke Indonesia untuk mengantarkan kepergian Mamanya selamanya. Siang ini, semua melepaskan kepergian wanita bernama Maureen untuk selamanya.

Tangisan nyaring terdengar dari Florence yang histeris kala peti berwarna putih itu mulai ditutup tanah perlahan. Florence masih ada di dalam gendongan Kevin, Rafer hanya menunduk mengamati hingga peti itu tidak terlihat lagi. Grace ada di dalam rangkulan Mevin, ia menyandarkan kepalanya di tubuh Mevin dan tak sekalipun Grace lepaskan pandangannya akan peristirahatan terakhir Mamanya itu.

Grace hanya tertunduk lesu, air matanya sudah habis kala mengingat semua kejadian yang terjadi. Kala peti putih sudah tertutup gundukan tanah di hadapan Grace air matanya tumpah tanpa komando, Grace terduduk di tanah saking lemasnya badannya, bohong kalau Grace baik-baik saja. Mevin tetap jaga Grace, Kevin yang berdiri dan menaburkan bunga di pusara itu sesekali membelai puncak kepala Grace. Mevin juga berulang kali menyeka air mata Grace yang membasahi pipinya.

Sungguh, dunia Grace sangat hancur saat ini. Semuanya seputar pertanyaan tentang waktu dan bagaimana seutas rasa benci terhadap Mamanya saat itu menjelma menjadi sebuah cinta yang meraja di hati seorang anak, sebuah penyesalan mengapa Grace baru mengetahui ini semua di saat terakhir Mamanya menjadi hal yang kadang masih membelenggu Grace.

Bagaimana duka memisahkan, meninggalkan luka. Grace pun menaburkan kelopak bunga segar kala itu, asa dan harapnya luruh seketika. Bagaimanapun tidak ada yang bisa melawan kekuasaan maut untuk memisahkan manusia.

“Udah, ya? Ikhlas, Mama pulang ke Surga, ikhlas?” bisik Mevin lirih, Grace masih mengulurkan tangannya meraih kelopak bunga segar yang menutupi pusara Mamanya itu, ia mengangguk di dekapan Mevin.

“Aku jahat ke Mama, ya?” Grace menatap Mevin dengan wajah pucat dan keadaan yang sudah kacau.

“Enggak, kamu ada sama Mama sampai akhir. Anak baik, kamu anak baik. Jangan bosen doain Mama, ya?”

Grace mengangguk beberapa kali lalu tangan Mevin melingar lagi di tubuh Grace. Langit mendung seketika seakan mengantarkan kepergian Mama Grace juga dengan duka. Tapi langit enggan menangis, sudah terlalu banyak air mata yang tercurah oleh orang-orang disini, melepas kepergian seseorang ternyata sepedih ini.

Rahasia kehidupan, tak akan pernah ada yang bisa menyingkap, dengan siapa kita akan bertemu, dengan siapa kita akan menjatuhkan hati, dengan siapa kita akan memiliki rasa benci, dengan siapa kita akan diselamatkan. Kita juga tidak bisa tahu kapan kita akan kecewa dan dikecewakan dan kepada siapa kita mengecewakan. Kita juga tidak akan pernah tahu kapan kita sehat dan kuat dan kapan kita sakit. Kita tidak pernah tahu duka dan sakit sehebat apa yang orang-orang sembunyikan dibalik senyuman mereka. Kita tidak pernah tahu juga kapan Tuhan akan meminta kita pulang. Apa yang sudah kita lakukan selama hidup? Hati kita sendiri yang bisa menjawabnya. – C