awnyaii

Lea melangkahkan kakinya cepat mengejar waktu sebelum Jovian boarding. Seperti apa yang Jovian katakan bahwa pria itu sudah hendak kembali ke Australia dan Lea sudah mengetahui semua yang Jovian ucapkan kepada Mevin. Jovian tidak mengetahui Lea yang akan menyusulnya jadi kali ini Jovian masih berada di sebuah coffeeshop yang ada di bandara.

Lea mencari keberadaan Jovian seorang diri, tanpa didampingi Jeremy. Jovian adalah ayah kandung Mevin, iya, anak yang dibesarkan Lea dan Jeremy sejak lahir. Pernikahan Jovian dan Petra mendiang istrinya⎯Ibu kandung Mevin memang hanya berdasarkan perjodohan sampai akhirnya hanya menemui kata pisah. Petra harus pergi selamanya setelah melahirkan Mevin, Petra yang memberi mandat kepada Jovian agar menyerahkan anak yang ia lahirkan kepada Jeremy dan Lea. Tidak ada hal lain yang bisa Jovian lakukan saat itu, persalinan darurat karena satu insiden . (Kira-kira gitu aja, selebihnya baca di novel aja hehe)

Lea menghentikan langkahnya saat melihat seorang pria yang tengah duduk di sebuah coffee shop, tangan Lea mengepal menahan emosi, Lea menelan ludah sebelum melangkahkan kakinya lagi menghampiri pria itu dengan segala emosi yang sudah berkecamuk di dalam hatinya.

Jovian menyadari kehadiran seseorang, ia yang tadinya menunduk pun perlahan mengangkat wajahnya melihat ujung kaki hingga ujung kepala orang di hadapannya. Mata Jovian membulat saat melihat Lea ada di sana.

“Lea?” Jovian bangkit berdiri.

PLAK! Satu tamparan langsung mendarat mulus di pipi Jovian dari tangan Lea.

“Ini untuk kamu yang udah jadi pecundang buat mendiang Petra!”

PLAK! Tamparan kedua mendarat, “ini untuk kamu yang nggak pantas disebut Ayah buat Mevin!”

Jovian kaget bukan main tapi ia hanya bisa memegangi pipinya, bahkan sebelum Jovian membuka mulutnya, Lea sudah terlebih dahulu mengatakan kalimatnya, “aku sekarang ngerti kenapa di masa lalu Tuhan pisahin aku sama kamu bahkan pisahin kamu sama Petra juga. Wanita sebaik mendiang Petra memang nggak pantas dapat pendamping seperti kamu! Aku nggak nyangka kamu sejahat itu sama darah daging kamu sendiri. Jangan temui Mevin lagi! Dia anakku!” Lea berkata dengan bibir yang sudah bergetar hebat dan napas yang memburu.

“Jovian, Mevin berhak dapetin kasih sayang orang tua. Seharusnya kamu bersyukur kamu masih diberi umur panjang dan bisa melihat anak kandung kamu yang udah dewasa! Bersyukur waktu itu Mevin selamat! Bukan jadi pecundang kayak gini!” pekik Lea nyaring, air matanya mengalir deras di pipinya tapi Lea sebisa mungkin menahan diri agar tidak terisak di hadapan pria pecundang di depannya ini. Jovian terdiam tidak merespon barang dengan satu kalimat pun.

“Aku nggak akan ketemu Mevin lagi apalagi ngambil dia dari kamu.” Jovian menetralkan nada bicaranya, lalu ia meraih gagang kopernya dan berbalik badan hendak meninggalkan Lea.

“Lebih baik kayak gitu untuk selamanya!” kata Lea sampai tenggorokannya tercekat. Lea juga berbalik badan lalu melangkah cepat meninggalkan Jovian dengan segala penyesalannya.

Tangan Jovian mengerat menggenggam pegangan kopernya, matanya terasa panas, ia mengatur napasnya dan memejamkan mata sesaat, Jovian masih sempat menoleh melihat wanita yang sempat mengisi relung hatinya sebelum diisi oleh Petra itu berjalan sambil menyeka air matanya. Jovian tidak bisa berpikir jernih lagi ia melangkah cepat menyeret kopernya dan berjalan menuju gate yang ia tuju.

Lea merasakan lututnya lemas, ia terhuyung dan memilih untuk duduk di sebuah bangku panjang yang ada di bandara itu, Lea menunduk dan membenamkan wajahnya di kedua telapak tangannya, dalam hitungan detik Lea menangis di sana seorang diri. Tangisannya menjadi isakan hebat sampai ia kesusahan bernapas. Lea merasa sakit bukan main dalam hatinya, sampai ia merasakan seseorang merangkulnya, mengusap punggungnya pelan. Lea menoleh mengangkat wajahnya, ia menjumpai Jeremy di sana, suaminya ada di sana.

“Jer…” bibir Lea bergetar saat memanggil lirih nama suaminya itu.

“Udah dibilang jangan pergi sendiri, nggak usah ketemu Jovian, biarin dia pergi biar aj⎯”

Lea terisak lagi tiba-tiba, hal itu membuat hati Jeremy juga sakit, Jeremy tidak melanjutkan penuturannya, ia langsung memeluk istrinya itu. Lea membalas pelukan itu erat, Lea membenamkan wajah di pelukan Jeremy, meluapkan semua tangisnya di sana.

“Udah, sayang… udah… istri aku hebat, Mevin anak kita juga hebat. Nggak akan ada yang bisa nyakitin Mevin.” Jeremy berkata sambil mengusap punggung istrinya terus menerus.

“Jovian bangsat memang!”

“Heh, nangis kok masih sempet misuh,” kata Jeremy. Tapi Lea menangis lagi, Jeremy tidak melepaskan pelukan itu. Jeremy paham bagaimana perasaan Lea. Hal ini membuat Jeremy semakin bersungguh-sungguh dalam menjaga keluarganya. Tidak ada yang boleh menyakiti siapapun di keluarganya, pun juga tidak ada yang boleh mengambil Mevin.

Saat Lea sudah sedikit lebih tenang, Jeremy menangkup kedua pipi istrinya itu lalu ia menyeka air mata Lea sambil berkata, “makasih udah jadi istri yang hebat, makasih udah jadi sosok ibu yang hebat dan kuat buat anak anak, makasih udah ada sampai saat ini. Aku sayang kamu. Aku nggak tahu harus ngomong apa lagi, nggak ada yang bisa nyakitin siapapun di keluarga kita, aku janji. Tapi lain kali jangan main pergi sendiri gitu aja, aku khawatir, ya?” kata Jeremy dengan nada teduh sambil menyingkapkan rambut Lea ke belakang telinga dan mengusap dahi Lea yang berpeluh juga.

Lea mengangguk dan menyeka air matanya, “tapi jangan bilang Mevin tentang kejadian ini ya.”

Jeremy mengangguk sambil tersenyum lalu mengecup kening Lea sejenak. Mereka memeluk lagi untuk sejenak, garis takdir memang mempertemukan Lea dengan Jovian dahulu sebelum dengan Jeremy tapi pada akhirnya Jeremy lah pemenangnya, Jeremy lah yang cakap dalam menjaga Lea dan menunjukkan betapa ia mencintai Lea dengan segala yang bisa ia lakukan. Kini, Lea dan Jeremy tidak akan membiarkan siapapun menyakiti hati anak-anaknya. Lauren, Jevin dan Mevin adalah anak Lea dan Jeremy, tanpa embel-embel apapun, mereka bertiga anak Jeremy dan Lea, selamanya.

Lea merasa heran dengan beberapa klien yang ia temui akhir-akhir ini. Kali ini permintaan Jeremy hanyalah sekadar nongkrong dan movie date di apartemennya. Namun, Jeremy bersedia membayar tiga kali lipat. Hal itu membuat Lea heran.

Lea dan Jeremy bertemu di sebuah kafe yang tak jauh dari tempat kerja Lea. One slice of red velvet cake yang dipesan Jeremy mengiringinya bercerita tentang kerumitan dunia kerjanya. One slice of tiramisu cake mengiringi cerita Lea tentang kekelaman dunia alternya beberapa tahun ini. Barisan kata dan kalimat terucap dari mulut mereka berdua tanpa henti. Gelak tawa kecil sampai gelak tawa yang membuat keduanya mengeluarkan air mata tak terhindar tatkala keduanya hanyut dalam obrolan di sebuah teras outdoor kafe.

Lea dan Jeremy bisa saling mengimbangi obrolan dalam pertemuan pertama mereka. Hembusan angin semilir berhembus menerpa surai hitam Lea yang membuatnya berulang kali merapikan rambut hitam panjangnya. Wajah ayu Lea terasa sejuk dipandang dan memberi sebuah getaran kecil di hati Jeremy. Pembicaraan tentang kehidupan perihal pekerjaan, ditinggalkan, dan luka masa lalu menghiasi malam ini.

Mata Jeremy tidak henti menatap wanita di depannya yang masih berceloteh seputar kehidupan perkuliahan sampai ia mendapat gelar Cumlaude. Namun, semua tidak berarti saat mendapati kabar kepergian kedua orang tuanya untuk selamanya. Entah angin apa yang membuat obrolan keduanya mengalir dan nyambung satu sama lain.

“Kenapa kamu sampai jadi akun alter gitu? Sampe open slot cuddlecare sama gfrent?” tanya Jeremy.

Lea menaruh garpu kecil yang ia gunakan untuk menikmati kue tiramisunya di tepi piring kecilnya.

Ia mulai angkat bicara. “The first thing, gue cuma mau bebas ajabebas berekspresi jadi diri gue sendiri. Di media sosial gue yang lain, gue cuma post gimana gue kuliah, tips and trick study in a college. Sekalinya gue nge-post sesuatu yang aneh langsung, deh, orang orang close minded jadi malaikat dadakan yang ceramahin gue dan kayak paling tau dosa-dosa gue.”

Lea menghela napas lalu bertutur lagi, “Gfrent, sih, gue sejauh ini ya cuma nemenin jalan, curhat, dibawa kondangan. Selebihnya cuddle yang bener bener cuddle, without sex. I don’t know you will believe or not but I just say the fact.”

“Terus perlakuan cowok-cowok selama ini gimana? Nggak menutup kemungkinan kamu bakalan ketemu cowok yang kurang ajar, kan, dunia kayak gini keras. Iya kan?” tanya Jeremy.

“I hit them, I kick them. Gue mantan murid taekwondo. Come on gue nggak yang nangis-nangis gimana gitu kalau ada yang kurang ajar. Dari dulu udah dilatih berani dan mandiri of course. Sebangsat-bangsatnya gue juga nggak mau, sih, having sex sama anak alter, lost in a lust doang. Kalau pun berduit, kayak sugar daddy ogah juga.” Lea melahap satu potong kecil lagi kue tiramisunya.

Jeremy hanya mengangguk sambil tersenyum yang membuat lesung pipinya tampak jelas. “Lo sendiri kenapa mau booking gue, tapi nggak ngapa-ngapain? Cuddle enggakJangankan cuddle, pegangan tangan aja enggak, tapi lo berani bayar gue mahal banget.” Lea balik bertanya.

“Awalnya coba-coba doang, apa, sih, alter? Temen pada main, kebetulan jomblo semua belum ada yang punya pacar. Eh sekali coba nemunya kamu. Ya sudah, saya juga cuma mau have fun without sex dan yang lain. Saya juga nggak mau ngerusak cewek, kecuali istri sendiri nanti. Haha.”

“Lah, lo masih jomblo, Jer?” Lea kaget.

“Iyalah, kalau udah punya pacar, nggak mungkin saya berani jalan sama kamu, Lea,” jawab Jeremy malu-malu.

“Terserah kamu mau gimana menjalani kehidupan alter ini. Pesan saya cuma, jangan sampai rugi dan menyesal aja. Kamu memang punya kehendak bebas melakukan apa saja, kata orang hidup cuma sekali, rugi kalau nggak coba hal-hal nyeleneh. Tapi, kalau hidup cuma sekali, kenapa nggak dimaksimalkan lakuin hal yang berguna dan menyenangkan, iya nggak?” Jeremy masih menyelami paras ayu Lea.

“Kamu cantik, pinter banget bahkan. Kamu nggak mau kerja di kantor saya aja?” lanjut Jeremy. Tanpa basa-basi Jeremy menawarkan pekerjaan kepada wanita alter yang tengah bersamanya kali ini.

“Tuh, kan, punya kantor sendiri. Kata lo di chat, kerjanya serabutan. Gue enggak percaya, sih, dari kapan tau juga.”

“Bukan kantor saya, kantor papi saya,” lanjut Jeremy nyengir dengan nadanya yang lembut.

Anyway, worried about tattoo and piercings? Kamu bisa pakai seragam kantor yang lengan panjang, gimana? Nanti saya sediain, saya beliin juga boleh.” Jeremy menatap wanita di sebelahnya tajam tanda serius.

Lea menghadap ke pemandangan di depannya, sebelum menunduk sedikit sambil mengaduk minumannya. Ia tersenyum simpul dan menggeleng pelan. “Hehe. Gue enjoy, kok, jadi barista nggak papa, santai. Makasih wejangannya. Anyway, lo dewasa juga.” Lea menunjukkan senyum manisnya. Hati Jeremy berdesir seketika.

“Tapi, sayang, tau, Lea. Kantor saya pun bisa nerima kamu dengan posisi yang nggak sembarangan kalau mau liat track record kamu dan semua prestasi kamu.” Jeremy belum kapok menawarkan kepada Lea.

Wanita itu tertawa kecil. “Nanti karyawan kantor lo pada heran. Nih, si Bos dapet cewek nggak bener dari mana?” sahutnya dengan nada bercanda.

“Nggaklah. Masa ngatain kamu cewek nggak bener,” sanggah Jeremy sebelum menyesap minumannya.

Lea menghela napas sebelum berkata, “Yah, belum tau, ya? Udah sering tau gue dikata-katain. Makanan sehari-hari,” jawab Lea. Lalu ia merogoh ponselnya, menyodorkan kepada Jeremy beberapa cuitan jahat dan keras yang orang-orang lontarkan kepada Lea. Bola mata Jeremy bergerak seiring membaca baris demi baris komentar jahat yang membanjiri unggahan Lea.

Ini, mah, udah ditidurin berapa orang. Pasti cewek nggak bener. Tatoan, piercings nggak punya masa depan. Ini udah dipake berapa orang ya. Fix, j a l a n g.

Jeremy geleng-geleng kepala setelah membaca beberapa komentar warganet terhadap Lea. Jeremy mengembalikan ponsel itu kepada wanita sang pemilik yang ada di sebelahnya. “Kenapa, ya, orang mudah banget buat menghakimi atas apa yang kelihatan? Toh, mereka sendiri juga belum sempurna, kok, bahkan jauh dari kata sempurna. Ketikan mereka aja mencerminkan mereka yang nggak punya masa depan kalau kayak gitu.”

Setelah mendengar ucapan Jeremy itu, Lea menoleh memandangi Jeremy yang tengah mendongak kepala memandang hamparan langit senja.

“Ah, biarin aja. Gue nggak mau jadiin itu semua beban pikiran. Hidup udah susah, jangan dibikin susah lagi gara-gara ketikan jempol nggak bertanggung jawab,” pungkasnya.

Keduanya saling menatap. Jeremy membaca lebih jauh pikiran Lea lewat kerlingan matanya. Ia paham betul, sebenarnya ada sedikit tekanan di hati Lea tatkala menerima komentar-komentar jahat tersebut. Ada rasa pilu yang Jeremy rasakan.

“Yaaa, gue juga nyesel, sih, kenapa gue kemarin stres banget sampai milih tato sama piercings. Tapi, kan, bukan berarti gue nggak bener. Lagian gue nggak tau definisi bener dan nggak bener, tuh, apa gitu, loh patokan dan standar orang. Yang jadi standar kita belum tentu sama di mata orang, sampai kapan pun nggak akan bisa imbangin.”

Jeremy menengok ke arah Lea dan bertanya balik, “Kamu sendiri ngerasa yang kamu lakuin baik atau buruk?”

“Baik buat gue. Menurut gue, bukan menurut orang,” katanya singkat.

“Ya udah, saya yakin kamu juga bijak, kok, milih hal yang harus dan enggak perlu dilakukan di usia sekarang.” Kedua tangan Jeremy saling menggenggam lalu menoleh menatap Lea sambil tersenyum.

Lea sempat terpaku sesaat. “Anyway, kenapa belum punya pacar?” tanya Lea basa-basi.

“Belumlah. Lagian saya juga nggak tau kapan bisa buka hati.” Jeremy terkikik kecil.

“Kenapa?”

“Trauma sama kepergian. Dan belum ada yang bisa aja.”

“Belum ada yang bisa? Atau emang lo yang sengaja ngebuang kunci hati lo sendiri biar nggak ada yang masuk? Itu beda, loh, kalau berharap seseorang nemuin itu kunci juga susah. Lo juga bisa bergerak. Lo bisa nyari yang pas, jangan nunggu ada yang pas dateng. Sama-sama nunggu dicari. Lucu, ya, kadang.”

Jeremy bagai rumah yang dipagari rapat dan membuang kuncinya, belum ada yang bisa menemukan dan belum ada yang bisa masuk dengan seizinnya. Pernyataan yang diajukan Lea langsung menikam hati Jeremy, “Haha. Kok, bener, sih?”

“Nggak tau, nebak aja, sih. Hehe.”

Setelah lama berbincang, mereka berdua memutuskan untuk beranjak dari sana, kini Jeremy dan Lea pun kembali ke mobil Jeremy.

Nice to know you, Elleanor.” Jeremy mengacungkan jempol kepada wanita di sebelahnya. “Mau langsung pulang kan ini?” Jeremy bertanya lagi sembari menyalakan mobil.

Lea hanya mengangguk dan memasang seat belt yang membuat dirinya sedikit kesusahan. “Lea semangat, ya. Jaga kesehatan, saya yakin kamu orang baik,” kata Jeremy sambil membantu memasangkan seat belt Lea.

Keduanya saling tersenyum dan menatap satu sama lain. Kemudian Jeremy melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang untuk mengantar Lea pulang. Tak henti Jeremy dan Lea mengobrol satu sama lain untuk mengiringi perjalanan mereka. Jeremy tak henti berdecak kagum karena argumen dan pernyataan yang Lea lontarkan perihal kehidupan terlebih di usia krusial mereka sekarang walaupun usia mereka terpaut tiga tahun jaraknya. Namun, frekuensi mereka sama dan nyaman untuk berceloteh satu sama lain.

“Lea, jangan kapok saya take slot-nya, ya. Kayaknya besok-besok saya bakalan butuh kamu buat nemenin lagi, deh,” kata Jeremy sembari menghentikan mobilnya kala lampu lalu lintas berwarna merah menyala. Lea mengangguk. “Just hit me up through chat, dan makasih udah memperlakukan gue dengan amat sangat baik, Jeremy.” balas Lea dengan tersenyum, Jeremy sadar ia membalas senyuman itu, Jeremy juga sadar jantungnya berdegup hebat saat itu juga. Tangan Jeremy pun terulur sambil mengacak rambut Lea pelan, lalu turun mengusap pipi Lea pelan, saat itu juga Lea menyadari detak jantungnya tidak seperti biasanya dan pipinya menghangat.

Malam pemilihan Ambassador selesai dilaksanakan dengan keputusan bulat bahwa Shannon dan Raymond yang terpilih. Memang, Raymond sudah memenangkan gelar Ambassador kampus, tapi masih ada hal lain yang ingin ia menangkan. Apa lagi kalau bukan hati Shannon?

Malam itu diakhiri dengan sesi foto bersama sebelum para kerabat dan teman dekat memberi ucapan secara pribadi. Begitu juga Willy dan Lauren yang sangat bangga melihat anak sematawayang mereka berhasil mengejar hal yang dicita-citakan.

“Anak Papa hebat!” Puji William sambil memeluk anaknya itu. Lauren mendekat memberikan peluk dan cium juga bagi anak perempuannya itu.

“Iya dong, I will always make Papa sama Mama proud sama Shannon.” Shannon tersenyum manis.

“Pulangnya sama siapa?” tanya Willy.

“Sama Vanes aja masih mau foto sama temen-temen, Papa sama Mama duluan nggak apa-apa.”

Akhirnya Willy dan Lauren pun pulang terlebih dahulu dan membiarkan Shannon masih berada di kampus bersama teman-temannya. Lauren dan Willy paham bagaimana anak muda dan segala euforianya di saat bahagia seperti ini. Akhirnya benar saja saat itu Vanessa, Jacob dan Xander datang menghampiri Shannon dan mengucapkan selamat bagi gadis itu.

“Selamat ya, Shan. Hebat banget!” puji Xander sambil mengacungkan dua jempolnya.

“Makasih kak Xander!” balas Shannon ramah.

“Bocah jadi Ambassador nih, congrats ya!” kata Jacob juga. Shannon mengangguk dan tersenyum.

“Bestie gue terbaik!” Vanessa merangkul sahabatnya itu.

“Eh fotoin dong,” kata Vanessa lagi. Akhirnya mereka berempat sibuk mengambil foto bersama, kadang Jacob juga mengambil foto Vanessa dan Shannon.

“Boomerang juga sayang, tolongggg!” kata Vanessa merengek. Xander dan Jacob hanya geleng-geleng saja dan Jacob juga menurutinya.

Tiba-tiba seseorang datang menghampiri mereka, seorang lelaki yang masih menggunakan setelan jas berwarna hitam dan kemeja berwarna putih. Senyum Shannon redup seketika, ia kikuk. Sementara ketiga temannya yang lain menyambut dengan senyum yang merekah.

“Yoooo!!! Our ambassador!” Xander merangkul Raymond dari sebelah kanan dan Jacob dari sebelah kiri.

“Kak Ray selamat ya!!” kata Vanessa.

“Makasih, guys!” balas Raymond.

“Kayaknya Shannon nggak jadi balik bareng lo tuh, Nes.” Xander meledek sambil melirik Raymond. Vanessa mengerti apa arti kode Xander pun sedikit terkekeh, “iya, nih. Kak Xander balik sama gue sama Jacob karena satu kompleks sama Jacob. Nah, Shannon cantik sama Kak Raymond, ya? Oke?” kata Vanessa dengan sedikit menggoda Shannon.

Mata Shannon membulat, “hah?!”

“Aku anterin, sampai depan rumah.” Raymond menyela.

“Sekalian ngomongin yang perlu diomongin,” kata Vanessa berbisik lagi di telinga Shannon. Vanessa tersenyum pada Shannon setelahnya, tapi Shannon membulatkan matanya setelahnya memberi tatapan memohon seakan tidak ingin Vanessa meninggalkannya bersama Raymond.

“Shan, jangan disimpen hal yang bikin ganjel di hati, luapin aja, maki-maki nih orang, gebuk juga nggak papa.” Xander menyenggol lengan Raymond.

“Pukul dadanya sampe bunyi intro orang pinggiran, Shan.” Jacob menambahi.

“Makasih teman-temanku yang sangat berbudi pekerti baik.” Raymond tersenyum datar sambil menjitak kepala kedua sahabatnya itu. Sementara itu kedua gadis yang ada di sana hanya tertawa. Akhirnya benar saja Vanessa, Jacob dan Xander pergi dan berpamitan dari sana. Sekarang hanya tinggal Raymond dan Shannon di sana. Keadaan masih sedikit ramai, begitu juga dengan suasana dada Raymond dan kepala Raymond yang sangat ramai, memberontak ingin mengungkapkan semuanya kepada Shannon.

Raymond pun memegang pergelangan tangan Shannon, “ikut aku, yuk?” katanya. Shannon belum menjawab tapi Raymond sudah menarik tangan gadis itu dan Shannon hanya bisa menurut mengikuti langkah kaki Raymond.

Raymond pun membawa Shannon ke sirkuit belakang kampus yang digunakan juga sebagai parkiran. Setelah menjauh dari keramaian saat itu Shannon melepaskan genggaman Raymond darinya. Keduanya kini saling berhadapan dibawah sinar lampu, rembulan dan bintang yang menggantung.

“Shan…” panggil Raymond lirih.

“Hm?” Shannon enggan menatap lelaki di depannya, ia menunduk dan mengetuk ngetukkan ujung depan heelsnya.

Raymond pun berkata, “Kalau ada yang ngajak ngomong itu⎯”

Shannon langsung mengangkat wajahnya, “harus lihat lawan bicaranya as you said before.”

Raymond menelan ludah, Shannon mengingat apa yang pernah ia katakan kepadanya saat di bar kala itu.

Now, what?” tanya Shannon.

“Maaf kalau aku suka bikin kamu kesel.”

“Sadar? Masalahnya Kak Raymond itu sekarang bikin kesel, sebentar lagi bikin seneng, gitu terus sampai adudu kepalanya trapesium nggak kotak lagi!” Shannon berkata dengan kesal tapi jujur saja, kalimatnya mengundang Raymond melipat bibirnya menahan tawa.

“Kamu mau ngelawak apa ngomel? Jangan double gitu, aku gemes.” Satu tangan Raymond mencubit pelan pipi Shannon. Gadis itu merasakan pipinya hangat.

“Mau … ma.. marah…” Shannon membuang muka sesaat.

Raymond manggut-manggut, “ya udah, silakan marahin aku.”

Shannon menatap Raymond, “aku nggak ngerti Kakak kayak gini ke aku aja atau ke cewek lain juga di luar sana. Aku nggak tahu udah berapa cewek yang kakak ajak pacaran, aku nggak tahu juga berapa cewek yang kakak deketin sekarang. Tapi, sikap kakak ke aku itu kenapa sih kayak gitu?”

“Kayak gitu?”

Shannon mengangguk cepat, sedikit cemberut tapi ia menjawab, “kasih perhatian, baik, nganterin kemanapun, nemenin sleepcall, ya… pokoknya semua yang Kak Raymond lakuin ke aku.”

“Kamu sadar nggak ada seseorang yang suka sama kamu, Shan?”

Shannon menggeleng.

He is next to you.

Shannon mengernyit lalu menoleh ke kanan, kiri dan belakang, “who?

Raymond terkekeh pelan, ia maju dua langkah mendekat ke arah Shannon, sedikit menunduk agar pandangannya sejajar dengan pandangan Shannon. Jujur, saat itu kalau boleh berteriak mungkin Shannon akan berteriak, matanya membulat dan tenggorokannya tercekat saat wajah raymond ada tepat di hadapannya.

“Kamu beneran nggak tahu atau ngetest aku?” tanya Raymond. Shannon menggeleng pelan, matanya melirik panik ke kanan dan kiri.

“Kamu udah tahu background keluarga aku, kan?” tanya Raymond lagi, Shannon mengangguk.

“Kamu masalah nggak kalau punya pendamping yang keluarganya kayak keluargaku? Nggak utuh kayak keluarga kamu.”

Shannon menggeleng pelan, lidahnya benar benar kelu. Setelahnya, Raymond menegakkan tubuhnya lagi, Shannon bernapas lega. Tapi, jantung Shannon kembali diserang bertubi-tubi karena Raymond kini menggenggam kedua tangan Shannon.

“Aku Shan, aku yang punya perasaan sama kamu. Kenapa aku lakuin itu semua ke kamu? Bukan buat mainin kamu, tapi karena aku punya perasaan ke kamu. Buat masalah Abel waktu itu aku beneran nggak tahu, dia dadakan kesini, mau pamit doang. Aku bahkan pengen ajak kamu biar dia tahu ada hati kamu yang harus aku jaga, tapi terlambat, dia mendadak kesini, dan itu yang kamu lihat. Shannon, aku nggak akan mati-matian cari kamu malem-malem setelah Vanessa bilang dia nggak lagi sama kamu. Ngapain aku sampai kayak gitu kalau nggak khawatir sama kamu? Shan, aku nggak lagi bercanda, aku nggak lagi mainin kamu. Aku bukan orang yang romantis, aku bukan orang yang datang ke wanita pujaannya dengan banyak hadiah dan puisi romantis, but… from the deepest of my heart, would you be my girlfriend, Shannon?” kata Raymond dengan sesungguh-sungguhnya perasaannya.

Kini Shannon terperangah bukan main, ia menghela napas panjang dari mulut untuk menetralkan degup jantungnya.

“Kalau kamu terima aku, cukup jawab aja, kalau kamu tolak aku, silakan tampar aku. Tapi aku grogi, aku merem dulu,” Raymond juga salah tingkah, ia memejamkan mata dan melepaskan genggaman tangannya.

Shannon merasakan pipinya semakin panas, ia pun mengangkat tangan kanannya ke udara, mendaratkannya di pipi Raymond dengan lembut.

“Mau tampar? Nggak papa, tampar aja,” kata Raymond sambil mempererat pejaman matanya.

Sudut bibir Shannon membentuk senyum tipis, tangan Shannon yang mendarat di pipi Raymond kini bergerak pelan mengusap pipi itu, Shannon sedikit berjinjit lalu berbisik tepat di telinga Raymond, “Yas, I will be yours, Kak Raymond.

Kalimat itu membuat Raymond bergidik dan kaget bukan main, Raymond langsung membuka mata, menoleh sedikit mendapati Shannon tepat di hadapannya, wajah mereka sangat dekat, sesaat terpaku sampai akhirnya Shannon tidak berjinjit lagi dan Shannon menggaruk tengkuk lehernya.

“Apa, Shan? Aku nggak salah denger kan?” tanya Raymond antusias, Shannon menahan senyumnya malu-malu sambil menoleh ke kanan dan kiri sambil mengangguk perlahan. Raymond tersenyum dan tidak menyangka, ia raih tangan gadis yang kini jadi miliknya itu lalu ia kecup di bagian punggung tangan Shannon.

I love you my princess,” ucap Raymond setelahnya.

Keduanya saling menatap, Raymond menarik pinggang Shannon mendekat, lagi dan lagi, dada dan perut Shannon seakan dipenuhi kupu-kupu, wajah mereka sedekat itu, hanya berjarak embusan napas, Shannon salah tingkah dan Raymond terlampau bahagia. Tangan Shannon melingkar di leher Raymond, lalu satu tangan Raymond menangkup pipi Shannon dan Raymond mendekatkan wajahnya, memiringkan wajahnya membuat Shannon ingin berteriak.

“Shan,” lirih Raymond.

Shannon menelan ludah, “a…apa?”

Raymond memiringkan kepalanya, Shannon langsung memejamkan matanya takut setengah mati, tapi ternyata yang Raymond lakukan adalah mendekatkan bibirnya saat berkata ke telinga Shannon, “I love you so much, Katriella Shannon Haveela.

Shannon lega, Raymond tidak melakukan hal yang aneh-aneh. Baru saja Shannon ingin merenggangkan pelukan, tapi … CUP! Satu kecupan mendarat di pipi Shannon, keduanya saling bertatapan dalam jarak dekat lagi, “pelanggaran!” protes Shannon.

“Lah, kan udah pacaran,” kata Raymond tidak mau kalah.

“Aku belum ijinin buat cium.”

“Ya udah sorry, Shannon, boleh cium nggak?” kata Raymond dengan lembut.

Shannon menggeleng, Raymond mengerucutkan bibirnya, “kenapa?” tanya Raymond sedikit merengek.

Shannon berjinjit lagi, “karena…”

Shannon mendekatkan wajahnya ke sisi wajah Raymond, lelaki itu kira Shannon akan membisikkan sesuatu, tapi … CUP! Gantian Shannon yang memberi satu kecupan di pipi Raymond. Lelaki itu gemas dengan tingkah gadisnya, setelahnya Raymond langsung mencium pipi kanan, pipi kiri dan kening Shannon lalu menggesekkan ujung hidung mereka dengan gemas. Keduanya saling menatap dan tersenyum, wajah mereka kini berjarak, tapi Shannon ucapkan kalimat, “Aku sayang Kak Raymond.” Hal itu mengundang senyum lebar di wajah Raymond, sebuah kebahagiaan besar kini bermukim di hati Shannon dan Raymond, keduanya resmi menjadi hak milik satu sama lain.

Kepulan asap rokok mengambang di udara menemani Jovian yang sudah berjanji menunggu seseorang kali ini. Kepala Jovian diisi dengan berbagai pertanyaan perihal masa depan yang membuat banyak tanya bertebaran. Hari ini Jovian berjanji bertemu dengan Lea, tepat tiga tahun setelah Jovian melepas kepergian mendiang istrinya―ibu kandung Mevin. Hari ini Lea berjanji akan menemui Jovian dan sepengetahuan Lea, ia juga membawa Mevin, sebenarnya Jeremy ikut saat itu namun Jeremy memberikan waktu bagi Lea, Jovian dan Mevin dan ia lebih memilih menunggu di mobil.

Sekitar sepuluh menit Jovian menunggu nampak seseorang berjalan ke arah Jovian sambil menggendong anak kecil yang tampak sumringah, Jovian buru-buru mematikan puntung rokok dan menggilasnya dengan kakinya. Hingga Lea sampai di hadapan Jovian dan duduk di bangku yang berhadapan dengan Jovian.

“Hei, Jov.” sapa Lea sambil duduk dan memangku anak lelaki kecil yang ia bawa.

“Lea…”

“Ini Mevin,” kata Lea to the point sambil memangku Mevin dan menyentuh pipi Mevin lalu berkata, “itu Papa Jo, Papanya Mevin.” Lea mengarahkan pandangan Mevin kepada Jovian. Netra bayi kecil itu bersinggungan dengan netra Jovian pada satu titik tumpu.

Pria bernama Jovian itu masih terdiam, anaknya sudah tumbuh baik, mata Jovian berbinar ia merasa sangat bahagia namun tidak tahu harus mengekspresikannya bagaimana. Lea menyerahkan Mevin kecil kepada Jovian. Membiarkan anak lelaki itu dipangkuan ayah kandungnya.

Jovian sangat bahagia bahkan menyentuh pipi dan tangan anaknya saja ia gemetar. Untuk beberapa saat Jovian memeluk anaknya itu dan meluapkan segala kerinduannya.

“Kenapa ngerokok lagi? Bukannya dulu udah berhenti?” kata-kata Lea membuat Jovian kikuk, memorinya kembali ke masa kuliah dulu, memang benar Lea yang membuatnya berhenti merokok dan sekarang karena keadaannya yang kacau selepas kepergian mantan istrinya ia menjadi kalut dan hidup dalam penyesalan bertubi-tubi.

“Jov, jangan sentuh rokok lagi,” ucap Lea. Jovian hanya mengangguk.

“Maaf, iya, besok nggak lagi.” kata kata itu dilontarkan dengan mata Jovian yang memerah, Jovian memeluk anaknya itu lagi.

“Jov, pertemuan antara aku dan kamu berakhir perpisahan, dan jalan hidup kita masing-masing adalah pilihan kita, sejatinya hidup kan memang begitu, tapi untuk kamu dan anak ini aku nggak akan halangi kamu kapanpun kamu mau ketemu dia.”

“Terima kasih ya, Lea, bahkan aku masih ngerasa nggak pantes nemuin Mevin setelah ini dan selanjutnya. Aku terlalu malu sama diriku sendiri karena sampai akhir hidup Mamanya aku belum sempat kasih cinta yang tulus, setiap lihat Mevin aku merasa bersalah,” tutur Jovian dengan penuh rasa sakit dan penyesalan, sebenarnya ia rindu sungguh tapi daya tidak mampu namun nalarnya berkata itu tidak akan mungkin lagi terjadi. Kepergian membawa Jovian dalam penyesalan abadi.

“Jov, apa suatu hari kamu bakalan bawa Mevin sama kamu kalau Mevin udah dewasa? Kapan Mevin harus tahu tentang kamu?” kalimat itu dirapalkan Lea dengan sedikit nyeri dalam hatinya. Namun bukankah pada hakikatnya memang Jovian berhak untuk Mevin? Bagai ditampar kenyataan kalau Lea membayangkan suatu hari ia harus melepas Mevin. Keduanya sibuk mempertanyakan, bahkan Jovian hanya tersenyum, menggelengkan kepala serta mengangkat bahu.

“Kalau sama Mevin bikin kamu bahagia aku nggak akan renggut kebahagiaan itu dari kamu, nggak akan pernah, Lea. Aku nggak mau jadi orang yang menghancurkan kebahagiaan kamu untuk kali kesekian. Aku nggak akan pisahin kamu dari Mevin. Aku nggak mau Mevin pisah dari kamu dan Jeremy―orang yang pada akhirnya memenangkan pertandingan buat menangin hati dan kepercayaan kamu.” Jauh dalam lubuk hati Jovian ia memang masih menghendaki kebahagiaan untuk Lea, terlebih saat mengingat kepalan masa lalu, Lea adalah bukti nyata kehancuran pertama yang Jovian buat. Kali ini ia tidak ingin merenggut kebahagiaan itu lagi. Sejatinya melihat Lea bahagia adalah suatu kelegaan juga untuk Jovian. Tidak ada lagi perdebatan yang terjadi kala itu. Kalau sudah tidak saling menggenggam setidaknya Jovian tidak menorehkan ruam untuk Lea lagi.

Jovian sadar ia mungkin tidak akan bisa membesarkan Mevin dengan baik saat ini, kehancuran finansial dan bisnisnya, serta kehancuran pribadi perasaannya tidak bisa menjanjikan kehidupan layak untuk Mevin. Bertemu anaknya dengan keadaan seperti ini sudah membuatnya bahagia. Melihat senyum dan tawa anak lelakinya sudah membuatnya sedikit tenang.


Saat itu Jeremy yang sedang menunggu di mobil terkejut melihat Jovian yang menggendong Mevin dan Lea yang berjalan di sebelahnya. Jeremy pun cepat-cepat keluar dari mobil. Sampai di hadapannya, Jovian tersenyum kepada Jeremy, Jovian menyerahkan Mevin ke gendongan Jeremy, persis seperti saat Mevin lahir karena saat itu juga Jovian sendiri yang menyerahkan Mevin kepada Jeremy.

Lea berpindah posisi ke sebelah Jeremy, Lea pun berkata, “kami pamit ya, Jov.”

“Jeremy, Lea, aku nggak akan ambil Mevin dari kalian. Tolong jaga Mevin dan besarkan dia seperti anak kandung kalian sendiri ya. Aku percaya kalian lebih baik dalam menjaga daripada aku.” Jovian tertunduk.

“Jov, kapanpun kamu mau ketemu Mevin, saya sama Lea nggak akan larang.” Jeremy berkata tanpa dendam.

Jovian menatap Lea dan Jeremy bergantian, “nanti aja kalau Mevin udah dewasa, biar dia tahunya kalian orang tuanya, bukan aku. Kata orang tua pun nggak pantas sepertinya buat aku,” katanya.

“Aku pamit.” Belum sempat Jeremy dan Lea membalas ucapan Jovian, pria itu lebih memilih berpamitan dari sana. Untuk sekejap, Jovian menatap mata anak lelakinya, anak kecil itu nampak sumringah di gendongan Jeremy.

“Hati-hati, Jov. Jangan sungkan kasih kabar kalau kesini,” balas Jeremy. Jovian mengangguk dan tersenyum. Mevin kecil memeluk Jeremy dan menatap Jovian lekat, Jovian melambaikan tangan yang dibalas oleh Mevin kecil, “bye….” Gumam anak kecil itu. Mata Jovian terasa sangat panas, langkahnya sangat berat, tapi ia meninggalkan Jeremy, Lea dan anaknya dengan senyum yang ia ulas di wajahnya.

“Mevin seneng ketemu Papa Jo?” tanya Lea sambil mengusap pipi Mevin yang masih ada di gendongan Jeremy.

“Papa?” Mevin kecil mengernyit, “Ini Papa…” Mevin menepuk dada Jeremy. Lea dan Jeremy saling menatap lalu tersenyum, Lea mengecup pipi anaknya itu sejenak, “iya, ini Papanya Mevin.”

Lea masih menatap Jeremy setelahnya, “Jer, makasih udah jadi suami terhebat. Sabar dan baiknya kamu nggak aku temui di pribadi siapapun yang aku kenal selama ini. Bareng bareng terus ya, Jer? I love you.”

Maka untuk sejenak Jeremy mengecup bibir istrinya itu lalu mengangguk dan tersenyum, “I love you more, Elleanor.”

Kepulan asap rokok mengambang di udara menemani Jovian yang sudah berjanji menunggu seseorang kali ini. Kepala Jovian diisi dengan berbagai pertanyaan perihal masa depan yang membuat banyak tanya bertebaran. Hari ini Jovian berjanji bertemu dengan Lea, tepat tiga tahun setelah Jovian melepas kepergian mendiang istrinya―ibu kandung Mevin. Hari ini Lea berjanji akan menemui Jovian dan sepengetahuan Lea, ia juga membawa Mevin, sebenarnya Jeremy ikut saat itu namun Jeremy memberikan waktu bagi Lea, Jovian dan Mevin dan ia lebih memilih menunggu di mobil.

Sekitar sepuluh menit Jovian menunggu nampak seseorang berjalan ke arah Jovian sambil menggendong anak kecil yang tampak sumringah, Jovian buru-buru mematikan puntung rokok dan menggilasnya dengan kakinya. Hingga Lea sampai di hadapan Jovian dan duduk di bangku yang berhadapan dengan Jovian.

“Hei, Jov.” sapa Lea sambil duduk dan memangku anak lelaki kecil yang ia bawa.

“Lea…”

“Ini Mevin,” kata Lea to the point sambil memangku Mevin dan menyentuh pipi Mevin lalu berkata, “itu Papa Jo, Papanya Mevin.” Lea mengarahkan pandangan Mevin kepada Jovian. Netra bayi kecil itu bersinggungan dengan netra Jovian pada satu titik tumpu.

Pria bernama Jovian itu masih terdiam, anaknya sudah tumbuh baik, mata Jovian berbinar ia merasa sangat bahagia namun tidak tahu harus mengekspresikannya bagaimana. Lea menyerahkan Mevin kecil kepada Jovian. Membiarkan anak lelaki itu dipangkuan ayah kandungnya.

Jovian sangat bahagia bahkan menyentuh pipi dan tangan anaknya saja ia gemetar. Untuk beberapa saat Jovian memeluk anaknya itu dan meluapkan segala kerinduannya.

“Kenapa ngerokok lagi? Bukannya dulu udah berhenti?” kata-kata Lea membuat Jovian kikuk, memorinya kembali ke masa kuliah dulu, memang benar Lea yang membuatnya berhenti merokok dan sekarang karena keadaannya yang kacau selepas kepergian mantan istrinya ia menjadi kalut dan hidup dalam penyesalan bertubi-tubi.

“Jov, jangan sentuh rokok lagi,” ucap Lea. Jovian hanya mengangguk.

“Maaf, iya, besok nggak lagi.” kata kata itu dilontarkan dengan mata Jovian yang memerah, Jovian memeluk anaknya itu lagi.

“Jov, pertemuan antara aku dan kamu berakhir perpisahan, dan jalan hidup kita masing-masing adalah pilihan kita, sejatinya hidup kan memang begitu, tapi untuk kamu dan anak ini aku nggak akan halangi kamu kapanpun kamu mau ketemu dia.”

“Terima kasih ya, Lea, bahkan aku masih ngerasa nggak pantes nemuin Mevin setelah ini dan selanjutnya. Aku terlalu malu sama diriku sendiri karena sampai akhir hidup Mamanya aku belum sempat kasih cinta yang tulus, setiap lihat Mevin aku merasa bersalah,” tutur Jovian dengan penuh rasa sakit dan penyesalan, sebenarnya ia rindu sungguh tapi daya tidak mampu namun nalarnya berkata itu tidak akan mungkin lagi terjadi. Kepergian membawa Jovian dalam penyesalan abadi.

“Jov, apa suatu hari kamu bakalan bawa Mevin sama kamu kalau Mevin udah dewasa? Kapan Mevin harus tahu tentang kamu?” kalimat itu dirapalkan Lea dengan sedikit nyeri dalam hatinya. Namun bukankah pada hakikatnya memang Jovian berhak untuk Mevin? Bagai ditampar kenyataan kalau Lea membayangkan suatu hari ia harus melepas Mevin. Keduanya sibuk mempertanyakan, bahkan Jovian hanya tersenyum, menggelengkan kepala serta mengangkat bahu.

“Kalau sama Mevin bikin kamu bahagia aku nggak akan renggut kebahagiaan itu dari kamu, nggak akan pernah, Lea. Aku nggak mau jadi orang yang menghancurkan kebahagiaan kamu untuk kali kesekian. Aku nggak akan pisahin kamu dari Mevin. Aku nggak mau Mevin pisah dari kamu dan Jeremy―orang yang pada akhirnya memenangkan pertandingan buat menangin hati dan kepercayaan kamu.” Jauh dalam lubuk hati Jovian ia memang masih menghendaki kebahagiaan untuk Lea, terlebih saat mengingat kepalan masa lalu, Lea adalah bukti nyata kehancuran pertama yang Jovian buat. Kali ini ia tidak ingin merenggut kebahagiaan itu lagi. Sejatinya melihat Lea bahagia adalah suatu kelegaan juga untuk Jovian. Tidak ada lagi perdebatan yang terjadi kala itu. Kalau sudah tidak saling menggenggam setidaknya Jovian tidak menorehkan ruam untuk Lea lagi.

Jovian sadar ia mungkin tidak akan bisa membesarkan Mevin dengan baik saat ini, kehancuran finansial dan bisnisnya, serta kehancuran pribadi perasaannya tidak bisa menjanjikan kehidupan layak untuk Mevin. Bertemu anaknya dengan keadaan seperti ini sudah membuatnya bahagia. Melihat senyum dan tawa anak lelakinya sudah membuatnya sedikit tenang.

Saat itu Jeremy yang sedang menunggu di mobil terkejut melihat Jovian yang menggendong Mevin dan Lea yang berjalan di sebelahnya. Jeremy pun cepat-cepat keluar dari mobil. Sampai di hadapannya, Jovian tersenyum kepada Jeremy, Jovian menyerahkan Mevin ke gendongan Jeremy, persis seperti saat Mevin lahir karena saat itu juga Jovian sendiri yang menyerahkan Mevin kepada Jeremy.

Lea berpindah posisi ke sebelah Jeremy, Lea pun berkata, “kami pamit ya, Jov.”

“Jeremy, Lea, aku nggak akan ambil Mevin dari kalian. Tolong jaga Mevin dan besarkan dia seperti anak kandung kalian sendiri ya. Aku percaya kalian lebih baik dalam menjaga daripada aku.” Jovian tertunduk.

“Jov, kapanpun kamu mau ketemu Mevin, saya sama Lea nggak akan larang.” Jeremy berkata tanpa dendam.

Jovian menatap Lea dan Jeremy bergantian, “nanti aja kalau Mevin udah dewasa, biar dia tahunya kalian orang tuanya, bukan aku. Kata orang tua pun nggak pantas sepertinya buat aku,” katanya.

“Aku pamit.” Belum sempat Jeremy dan Lea membalas ucapan Jovian, pria itu lebih memilih berpamitan dari sana. Untuk sekejap, Jovian menatap mata anak lelakinya, anak kecil itu nampak sumringah di gendongan Jeremy.

“Hati-hati, Jov. Jangan sungkan kasih kabar kalau kesini,” balas Jeremy. Jovian mengangguk dan tersenyum. Mevin kecil memeluk Jeremy dan menatap Jovian lekat, Jovian melambaikan tangan yang dibalas oleh Mevin kecil, “bye….” Gumam anak kecil itu. Mata Jovian terasa sangat panas, langkahnya sangat berat, tapi ia meninggalkan Jeremy, Lea dan anaknya dengan senyum yang ia ulas di wajahnya.

“Mevin seneng ketemu Papa Jo?” tanya Lea sambil mengusap pipi Mevin yang masih ada di gendongan Jeremy.

“Papa? Ini Papa…” Mevin menepuk dada Jeremy. Lea dan Jeremy saling menatap lalu tersenyum, Lea mengecup pipi anaknya itu sejenak, “iya, ini Papanya Mevin.”

Seperti apa yang dikatakan Mevin bahwa ia akan menjemput Yoel dan Axel dan langsung menuju ke bandara bersama Shallom juga. Mevin mengendarai mobilnya sedikit lebih cepat dari biasanya. Sampai di depan rumah Jevin pun Mevin sudah mendapati Yoel dan Axel yang menunggu di depan pagar, maka kedua anak lelaki itu langsung masuk ke mobil Mevin.

“Ini ke bandara atau ke rumah Sammy?” tanya Mevin menoleh kepada Axel dan Yoel yang duduk di bangku belakang.

“Rumah Sammy, Om.” Axel menjawab dengan sedikit ngos-ngosan.

“Oke, kita jalan sekarang.” Mevin pun menancap gas mobilnya. Sementara Shallom di sebelah Mevin hanya tertunduk dan menangis. Axel melihat jelas Shallom yang duduk di depannya sedang menangis. Yoel dan Axel hanya saling menatap, keduanya tahu kedekatan Sammy dan Shallom. Keduanya tahu bagaimana hancurnya hati Shallom jika setelah ini berpisah dengan Sammy.

Tak butuh waktu lama, akhirnya mereka tiba di kediaman Sammy. Shallom, Yoel dan Axel turun terlebih dahulu sementara Mevin memarkirkan mobilnya agar tidak mengganggu jalanan. Saat mereka turun, bersamaan dengan Sammy yang baru saja mengunci gerbang rumahnya.

“Sammy!” Shallom berlari terlebih dahulu menghampiri anak lelaki itu. Sammy nampak terkejut saat melihat kedatangan ketiga sahabatnya. Begitu juga Axel dan Yoel yang juga berlari menghampiri Sammy.

“Shallom? Yoel? Axel?” Sammy kaget bukan main.

“Kamu jahat!” tukas Shallom sambil memukul pelan lengan Sammy, jangan ditanya wajah Shallom memerah dan matanya masih sembab.

“Kenapa sih lo tuh? Kenapa nggak ngomong? Ini masalah perpisahan, Sam! Katanya sahabat?!” pekik Axel.

Sammy kehabisan kata-kata.

“Lo nggak mau ketemu kita lagi apa gimana?” Yoel ikut kesal.

Sunyi dan hening sesaat merambat, tidak ada suara tapi kepala Sammy terlalu berisik sampai akhirnya satu persatu kebisingan di kepalanya ia utarakan, “bukan gitu maksud gue. Susah buat ucapin selamat tinggal sama kalian, susah buat pamit, susah buat ninggalin kalian, ngerti nggak sih?! Kalian masih punya satu sama lain disini, sedangkan gue? Gue sama siapa? Gue kehilangan kalian! Bukan gue nggak mau pamit sama kalian, bukan gue nggak mau ketemu kalian. Tapi gue takut gimana kalau gue nggak bisa ketemu kalian lagi!” penekanan demi penakanan terdengar dari kalimat yang Sammy utarakan meski dengan mata yang berkaca-kaca.

Napas Sammy sesekali sesak, tapi ia melanjutkan lagi kalimatnya, “Maafin gue, Yoel, Axel… Shall…”

Saat itu juga Shallom menangis terisak, saat itu juga Axel dan Yoel meneteskan air mata tanpa suara, persahabatan mereka berempat kini akan terasa berbeda, akan ada satu yang hilang. Bukan tidak menjadi sahabat mereka lagi, tapi ini tentang kehadirannya. Ini tentang kehadiran Sammy di tengah Shallom, Axel dan Yoel.

Angin sepoi sore itu membawa Sammy memeluk Yoel, “Yoel, belajar yang bener, harus naik kelas terus. Harus sehat terus, jangan ngopi terus. Selamat udah menang menpora cup, gue yakin lo pasti masih bakalan cetak banyak prestasi ke depannya. Bareng-bareng terus sama Shallom sama Axel. Jangan pernah berantem lagi sama anak di sekolah, diemin aja, mereka nggak tahu gimana perjuangan lo sampai sekarang. Lo udah jadi Yoel yang hebat banget. Gue bangga jadi temen lo, Yoel.” Yoel tidak bisa berkata-kata, ia hanya meneteskan air mata dan memeluk Sammy erat untuk beberapa saat. Setelah ini mereka tidak akan bisa saling merangkul dan memberi semangat secara langsung seperti ini lagi, tapi akan ada yang berubah. “Lo juga, jaga diri di sana. Kita harus ketemu lagi, harus, ya?” Yoel berkata lirih sambil melepaskan pelukan, Sammy mengangguk dan tersenyum lalu melakukan high five dengan Yoel.

Sammy pun melangkah mendekat ke arah Axel, baru saja Sammy hendak membuka mulutnya tapi Axel langsung memeluk Sammy, “jaga diri, jangan lupain kita, jangan lupa tetep kabar-kabaran sama kita. Lo bagian dari kita berempat sampai kapanpun.” Axel tak kalah sedih saat memeluk Sammy. Atmosfer sore itu hanya ada haru dan pilu, tawa mereka yang biasa mereka bagi kini sirna sejenak.

“Lo juga ya, gue titip Yoel sama Shallom. Makasih udah dateng kesini dan kumpul sama gue, Yoel dan Shallom. Pastiin mereka baik-baik aja, tapi jangan lupa sama diri lo juga.” Sammy menepuk-nepuk punggung Axel. Saat mereka merenggangkan jarak, Axel menyeka air matanya dengan punggung tangannya. Axel memaksakan senyum yang terasa berat saat itu, tapi melihat Sammy begitu kuat, ia pun melebarkan senyumnya lagi.

Lalu Sammy kini berhadapan dengan Shallom, gadis yang ia kagumi selama ini dalam diam. “Shall…” panggilan lirih dari Sammy membuat Shallom mendongakkan kepalanya. Tatapan keduanya yang bertaut membuat keduanya membeku sesaat mengingat beberapa kebersamaan yang sudah terlewati bersama.

“Shall, maaf buat semua kesalahanku, maaf kalau aku bikin kamu kesel dan marah. Tapi⎯” belum selesai kalimat dilontarkan Sammy, Shallom sudah memeluk anak lelaki itu.

“Kamu akan jadi Sammy yang jahat kalau nggak pamitan sama aku, Axel sama Yoel. Kita harus ketemu lagi nantinya, kita bakalan kehilangan banget kalau kamu pergi tanpa pamit. Nggak boleh kayak gitu, jaga diri ya, Sam. Jangan pernah lupa sama kita.” Kalimat Shallom diucapkan dengan tersedu-sedu karena menangis. Hal itu juga membuat hati Yoel dan Axel tercabik juga kala melihatnya.

“Makasih udah jadi salah satu alasan aku tersenyum, Shall.” Tiba di penghujung kalimatnya, sebenarnya Sammy ingin sekali memberitahu perasaannya, tapi ia tahu mungkin saatnya tidak tepat. Akhirnya Sammy memutuskan untuk memendam lagi pengakuan yang sudah tertahan di ujung lidahnya itu. Setelah ini akan ada hari-hari yang Shallom lewati tanpa Sammy, dan begitu juga sebaliknya. Tapi, tiba-tiba Shallom memeluk Sammy terlebih dahulu, disusul Yoel yang ikut memeluk dan juga Axel. Pelukan mereka berempat disaksikan Mevin kala itu yang berjalan mendekat ke arah mereka, diam-diam juga tadi Mevin sudah sempat mengabadikan moment mereka.

“Sammy…” Suara Mevin membuat mereka melepaskan pelukan.

“Om Mevin?” Sammy tidak menyangka dengan kehadiran Mevin di sana. Ia pun memberi salam kepada Mevin.

“Sammy, hati-hati di jalan, ya? Nanti pasti bisa ketemu lagi dan kumpul lagi sama Shallom, Yoel dan Axel. Sam, jaga diri di sana, apapun keputusan Mamanya Sammy, pasti itu sudah dipikirkan baik-baik. Tuhan nggak tidur, Sam. Tuhan tahu apa yang ada di hati kamu dan keinginan kamu. Keep smile anak hebat!” kata Mevin sambil membelai puncak kepala Sammy. Nyatanya, hal itulah yang membuat Sammy akhirnya pecah dalam tangisan. Mevin pun bergerak memeluk anak lelaki itu, “makasih Om Mevin… makasih banyak,” kata Sammy menangis di pelukan Mevin.

Axel, Yoel dan Shallom melihat moment itu juga merasa terharu. Mevin pun memegang kedua pundak Sammy, lalu ia menatap mata anak lelaki itu, “Sam, yang namanya perpisahan itu memang nggak ada yang mau ngalamin, tapi kalian masih ada kesempatan ketemu di bangku kuliah nanti, kan? Kita nggak pernah tahu kemana Tuhan akan kirim kalian.” Mevin menegakkan posisinya.

“Kita nggak pernah tahu kemana Tuhan akan kirim Yoel, Axel, Sammy dan Shallom untuk kuliah nanti. Bahkan bukan suatu kemustahilan nanti kalian semua akan ketemu lagi. Iya, kan? Cukup berserah dan jalani semuanya aja, ya? God is good all the times, kok.” Mevin bergantian menatap keempat anak itu. Maka sore itu, mereka kembali saling memeluk lagi, Mevin juga mengabadikan moment mereka dengan mengambil foto Yoel, Sammy, Shallom dan Axel. Sampai akhirnya seseorang datang menjemput Sammy dengan mobil, mereka pun membantu Sammy untuk menaikkan barang bawaan Sammy ke mobil.

Untuk sekali lagi Sammy berpamitan kepada Mevin, Yoel, Axel dan Shallom. Tapi saat berpamitan terakhir kali dengan Shallom, Sammy memberikan gadis itu secarik kertas, “dibaca dirumah aja, ya?” kata Sammy lirih. Shallom menurut, ia simpan secarik kertas itu di kantongnya. Mereka pun mengantarkan Sammy naik ke mobil lalu Sammy membuka kaca jendela mobil itu, saling melambaikan tangan sampai akhirnya mobil yang Sammy tumpangi hilang dari pandangan Mevin, Yoel dan Axel.

Akhirnya Mereka pun berjalan untuk kembali ke mobil, Mevin berjalan terlebih dahulu disusul Yoel, Shallom dan Axel. Mereka bertiga berjalan beriringan.

“Shall, mau tahu sesuatu nggak?” kata Yoel.

“Apa?” tanya Shallom.

“Sammy sebenernya…” kalimat Yoel menggantung.

“Sammy suka sama kamu, Shall.” Axel memotongnya. Langkah Shallom terhenti, diikuti Axel dan Yoel.

“Dia nggak pernah berani ngomong karena dia mau pindah, takut Cuma bikin kamu sakit hati aja.” Yoel menambahkan lagi.

“Surat yang dikasih Sammy ke kamu itu sebenar-benarnya perasaan Sammy selama ini. Disimpen, ya? Jangan pernah hilang,” kata Axel sambil tersenyum membuat lesung pipinya terlihat jelas. Hati Shallom berdesir, ia mengangguk.

TIN! Mevin membunyikan klakson mobilnya memberi isyarat mereka untuk naik ke mobil. Shallom menatap Yoel dan Axel bergantian, kedua anak lelaki itu tersenyum lalu merangkul Shallom bersamaan.

“Jangan sedih lagi, nanti Sammy juga sedih.” Axel mencoba menghibur.

“Until we meet again with Sammy.” Yoel menutupnya. Shallom mengangguk lalu mereka saling tersenyum dan tidak lagi menangisi perpisahan ini.

Selama di mobil, Shallom memilih duduk di tengah di antara Yoel dan Axel, ia pun membuka surat yang diberikan Sammy tadi dan membacanya dalam hati. Sementara Yoel dan Axel sudah saling menatap memberi kode takut kalau Shallom akan menangis, kedua anak lelaki itu pun hanya membuang pandangan ke luar jendela berpura-pura tidak melihat Shallom yang tengah membaca surat itu.

Dear Shallom

Shall, kayaknya ini bukan waktu yang tepat buat ngomong kayak gini. Kamu nggak perlu jawab, kamu cuma perlu atur perasaan kamu dan perasaanku ke kamu biar aku yang atur. Shall, makasih udah jadi sahabat yang baik buat aku, sama kayak Yoel dan Axel yang selalu ada buat aku. Tapi ternyata waktuku sama kalian nggak banyak. Maaf ya Shall buat semua kesalahan aku. Sekarang aku sendiri dan kalian masih bertiga, aku nggak tahu kedepannya akan seperti apa. Aku nggak tahu gimana aku tanpa kalian semua. Tapi, ada satu hal yang aku belum pernah bilang ke kamu, aku nggak tahu apakah bilang tentang hal ini bikin kita semakin jauh atau enggak.

Tapi aku harus ambil konsekuensi, aku juga nggak bisa diem terus. Shall, I have a crush on you selama ini, aku suka sama kamu. Cara kamu senyum, cara kamu ngomong, cara kamu memperlakukan sesama teman, aku suka semua tentang kamu. Aku berterima kasih banget sama Tuhan udah kirim kamu, nggak cuma kamu yang bikin aku kagum tapi keluarga kamu. Papa sama Mama kamu yang baik dan welcome ke aku, Papa sama Mama kamu yang selalu kasih advice baik ke aku bahkan bantuin aku di saat terpurukku, bahkan Papa kamu nggak segan kasih aku peluk yang nggak pernah aku rasain lagi setelah kehilangan Ayah.

Shall, aku memang suka sama kamu, tapi nggak usah dijawab, ya? Setelah ini kalau memang kamu nggak berkenan sama pengakuanku nggak masalah. Yang penting kamu nggak boleh sedih lagi. Gonna miss our quality time banget hehe, video call buat bahas tugas, teleponan sampai ngantuk, main sama Yoel sama Axel, main ke rumah kamu, belajar di rumahku, nongkrong berempat. Setelah ini aku gimana ya? Semoga kalian nggak lupa sama aku ya. Aku juga bakalan terus berdoa biar kita dikasih Tuhan kesempatan buat ketemu lagi. Semoga disaat kita ketemu nanti nggak ada lagi air mata. Dengan siapapun nantinya kamu bahagia, tangan siapapun nantinya yang kamu genggam, aku ikut seneng. Tapi yang jelas sampai sekarang I still have a crush on you. Aku cuma mau kamu tahu, nggak berharap sesuatu yang lebih. Udah cukup, aku udah lega ngakuin semuanya. Semoga Tuhan kasih kita waktu ketemu lagi ya. Jangan sampai sakit, tetap jadi Shallom yang ceria, jangan begadang ngerjain tugas. jangan sampai lupa makan. See you again Imanuella Shannon Gravianne Adrian.

Setelah itu Shallom benar benar terisak seketika, Yoel dan Axel langsung menepuk pundak Shallom.

“Shall, kenapa?” tanya Mevin yang mengemudi saat mendengar anaknya terisak.

“Nggak apa-apa Om, masalah internal antara kita hehe,” jawab Yoel.

“Axel, kalau Yoel nakal tolong dijewer aja,” balas Mevin.

“Haha, siap om!” ujar Axel.

“Shall, udah jangan nangis..” Axel berbisik lirih.

Shallom menggeleng, anak gadis itu masih menenggelamkan wajahnya di telapak tangannya, “kenapa nggak ngomong langsung? Kenapa harus sekarang pas udah pergi, kenapa sih...” Shallom terisak. Kalau sudah begini Yoel ataupun Axel pun tidak bisa membantah dan tidak bisa berkata-kata lagi. Terkadang pengakuan yang kita tunggu harus kita dengar di saat terakhir sebelum kita berpisah dengan seseorang. Waktu kadang tidak memihak, sehingga tidak ada yang bisa kita lakukan. Kini Shallom dan Sammy terpisah jarak dan waktu, yang bisa mereka lakukan hanyalah tetap menjalani kehidupan yang terus berjalan sampai waktunya nanti jika diijinkan untuk bertemu lagi, entah dengan perasaan yang sama atau berbeda. Tapi doa mereka, tidak hanya Sammy dan Shallom tapi Yoel juga Axel adalah semoga mereka dipertemukan lagi suatu hari nanti.

Calvin keluar dari mobil dan buru-buru masuk ke dalam rumah membawa obat merah dan plester luka, ia langsung menuju ke ruang tamu dan melihat Jeremy ada di sana. Jeremy duduk di sofa dengan beberapa tisu bekas untuk mengusap darah yang bercucuran tergeletak di sekelilingnya. Calvin langsung berlutut di hadapan Jeremy, “Pak, kok bisa sampai begini?” tanya Calvin panik.

“Biasa, tadi teledor. Mecahin gelas tapi nggak lihat-lihat.” Jeremy menjawab dengan santai.

“Mau ke Rumah Sakit aja? Ke klinik?” Calvin menawarkan. Tapi tangannya bergerak meraih kaki Jeremy dan menaruhnya di atas pahanya sambil ia obati. Jeremy menggeleng, “ini cuma kegores kaca biasa kok, nggak papa, Calvin.” Calvin terlihat sangat panik, Calvin membantu membalut luka di kaki Jeremy.

“Makasih ya, Vin.” Jeremy berkata dengan nada teduh. Calvin yang usai membalut luka di kaki Jeremy itu mengangguk dan tersenyum kepada Jeremy. Tapi pandangan mata Jeremy terarah ke lengan Calvin dimana terdapat beberapa goresan dan sayatan di sana. Kepala Calvin juga seperti habis terbentur sampai ada bekas luka mengering di sana. Calvin pun bangkit berdiri hendak menyimpan barang-barang tadi ke kotak P3K. Awalnya ragu tapi akhirnya Jeremy memberanikan dirinya untuk bertanya.

“Calvin,” kata Jeremy yang membuat Calvin menghentikan langkahnya, Calvin berbalik badan, “ya, Pak?” tanya anak lelaki itu.

Jeremy menepuk bagian kosong di sofa yang ia duduki, “sini dulu,” kata Jeremy menyuruh Calvin duduk di sebelahnya. Calvin menurut saja.

Tidak ada kecurigaan dari Calvin, bahkan lengan kemeja yang ia gulung sebenarnya tidak menutup sayatan di lengannya tapi karena ia terlalu terburu-buru tadi mencarikan obat untuk Jeremy ia sampai lupa kalau ada luka yang harus ia tutup.

Jeremy meraih pergelangan tangan Calvin dan menariknya, “ini kenapa, Vin?” tanya Jeremy lirih. Tenggorokan Calvin tercekat bukan main, dadanya naik turun, kepalanya terasa pening teringat apa yang ia lakukan semalam tadi.

“Kamu kenapa, Vin? Kepala kamu juga. Jatuh atau kenapa?” tanya Jeremy. Calvin menarik tangannya perlahan, menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Ia menunduk tidak berani menatap Jeremy.

“Vin, tubuh kamu itu diciptakan berharga. Tuhan merenda kamu sejak dalam kandungan, setiap detail dari diri kamu Tuhan yang ukir, jangan dilukai, Vin. Jangan dirusak, ada apa? Cerita aja kalau nggak keberatan. Ada yang nyakitin kamu?” suara Jeremy menusuk telinga Calvin membuat Calvin hendak menangis. Jeremy tidak melanjutkan kalimatnya lagi, kini Jeremy mengusap punggung Calvin perlahan, tidak ada kata yang terucap dari keduanya.

Tapi Calvin merasa sangat tersentuh saat ia merasakan usapan lembut dari tangan Jeremy untuknya. Belum pernah rasanya ia ditenangkan seperti ini seumur waktu. Calvin semakin menunduk, tanpa disadari air mata Calvin mengalir, teringat tadi malam saat ia membenturkan kepalanya ke tembok dan menyayat lengannya sendiri agar bisa menangis. Semua karena pesan yang ia terima dari keluarganya. Ia merasa tidak pantas, ia merasa tidak seharusnya lahir di dunia ini.

“Baru kali ini ada yang bilang saya berharga. Biasanya saya Cuma dibilang worthless, I don’t deserve to be loved, bahkan katanya saya nggak pantas lahir.” Kalimat yang Calvin lontarkan itu terdengar bergetar.

“Siapa yang ngomong gitu?” Jeremy menekankan kalimatnya.

“Orang-orang yang harusnya jadi tempat saya pulang. Makanya saya nggak mau pulang, saya nggak pernah merasakan apa itu rumah. Saya nggak tahu arti rumah yang sebenarnya. Kepala saya berisik tapi nggak ada yang bisa menampung, at least dengerin saya. Curhat sama Tuhan, mungkin Tuhan udah bosen denger saya curhat sama nangis-nangis setiap malam. Tapi saya udah ada di tahap nggak bisa nangis, tapi pengin luapin semuanya. And I did it… saya tahu ini salah, maaf, Pak.”

Setelahnya yang ada adalah tangisan Calvin yang menggema, setelahnya yang ada adalah hati Jeremy yang turut merasakan sakit yang Calvin rasakan. Mendengar Calvin menangis seperti mendengar anaknya sendiri menangis. Jeremy tidak bisa membayangkan kalau posisi Calvin adalah Lauren, Jevin atau Mevin.

“Calvin, you should know that you’re so precious.” Jeremy mengucapkan kalimatnya dibubuhi senyum tipis, Calvin memberanikan diri menatap Jeremy meski dengan air mata yang sudah membasahi matanya.

“Apa.. Pak?”

You are so precious.” Jeremy tersenyum sambil membelai puncak kepala Calvin. Saat itu juga Calvin menangis lagi, ia belum pernah mendengar ucapan itu dari siapapun. Yang orang-orang katakan kepadanya selama ini hanya ujaran kebencian, hanya umpatan, hanya kata-kata kasar yang menunjukkan ketidakinginan mereka melihat Calvin ada di dunia ini, kejamnya lidah orang sekitar Calvin yang lebih tajam dari pedang bermata dua, itulah yang Calvin dengar selama ini. Tapi di sini ia mendengar bahwa ada seseorang yang memandangnya berharga.

Jeremy pun tidak sungkan memeluk Calvin, “saya kalau lihat kamu nangis gini keinget anak-anak saya, Vin. Nama kalian juga hampir sama, Jevin, Mevin, Calvin,” kata Jeremy.

Calvin merasakan hangatnya pelukan Jeremy, apakah seperti ini yang dirasakan jika memiliki figur ayah yang hangat? Siapa yang tidak ingin memiliki sosok ayah seperti Stefanus Jeremy Adrian? Memang, Jeremy pun jauh dari kata sempurna, sangat jauh, tapi untuk menyempurnakan orang sekitarnya, membuat orang sekitar merasa lebih berharga dan menghargai kehadiran orang sekitar, itu yang selalu Jeremy lakukan.

Jeremy tulus terhadap setiap orang, Jeremy tidak menghakimi dan ia paham bahwa kita semua adalah makhluk ciptaan yang seharusnya menghargai dan memanusiakan sesama. Kalau sesama keluarga saja bisa saling menyakiti sebegitunya, apakah bisa pantas disebut keluarga? Tidak masalah jika yang memanusiakan kita adalah orang lain, tidak masalah jika yang menganggap kita keluarga adalah orang lain. Keluarga bisa datang dari mana saja.

“Saya belum pernah dipeluk seperti ini sama Papa saya, belum pernah juga ada yang bilang saya berharga. Selama saya hidup di dunia, baru sekarang saya merasakan hal sekecil ini, Pak.” Calvin menangis di pelukan Jeremy.

“Sekalipun Papa kamu, orang tua kamu atau siapapun nyakitin kamu, jangan pernah lupa kalau masih ada Tuhan. Manusia terbatas, tapi yang selalu pantau kamu dan ada buat kamu dua puluh empat jam penuh itu Tuhan.”

“Tuhan ada nggak waktu saya dipukul Papa saya? Tuhan lihat nggak waktu saya dimaki keluarga saya? Tuhan juga tahu kan waktu saya berusaha dibunuh walaupun masih di dalam kandungan,” kata Calvin di sela tangisannya sambil masih memeluk Jeremy.

Saat itu juga perlahan Jeremy paham apa yang Calvin alami, saat itu juga hati Jeremy sebagai seorang ayah juga merasa sakit. Ia sebagai seorang ayah yang pernah kehilangan anaknya (kembaran Jevin yang asli) karena tidak bisa diselamatkan, dan ia adalah seorang ayah yang nyaris kehilangan anaknya juga saat Mevin dihadapkan di dua pilihan apakah Mevin akan ikut Jovian orang tua kandungnya atau Jeremy dan Lea. Hal itu melintas di pikiran Jeremy, bohong kalau Jeremy juga tidak merasa sedih. Jeremy merasa sakit mendengar penuturan Calvin. Selama ini Calvin berjalan sendirian, selama ini Calvin pendam semuanya sendirian. Jeremy tidak bisa membayangkan betapa beratnya jalan yang harus dilalui Calvin.

“Apa saya masih bisa ngerasain punya rumah ya, Pak?” suara Calvin mengalun lirih.

“Bisa, Calvin… bisa.”

Letta yang sedari tadi merasakan nyeri di perutnya hanya bisa meringkuk di tempat tidur. Yoel dan Michelle sudah tertidur, sementara Eugene belum juga pulang dan Jevin berkata sudah dalam perjalanan pulang. Hari-hari awal period yang dirasakan Letta memang biasa seperti ini. Letta pun juga sudah memakai menstrual pads untuk mengurangi rasa nyerinya.

Tak lama kemudian ia mendengar pintu kamarnya terbuka, Jevin sudah berdiri di ambang pintu itu, “sayang, belum tidur?” kata Jevin sambil berjalan masuk ke kamar lalu melonggarkan dasi yang ia kenakan dan membuka dua kancing kemejanya.

Letta pun mencoba untuk duduk dan Jevin sigap menaruh bantal di punggung Letta untuk Letta bersandar, si suami sigap, Elleandru Jevino Adrian. Jevin ikut bersandar di headboard ranjang sambil merangkul Letta. Dengan nyaman, Letta menyandarkan kepalanya di dada bidang Jevin sambil memeluknya.

“Masih sakit perutnya?” tanya Jevin sambil membelai-belai rambut Letta, istrinya itu mengangguk.

“Terus aku tuh kayak cemas, dari tadi Eugene nggak bisa di telepon. Kayak kepikiran aja, perasaanku nggak enak. Bawaannya melow gitu, ngerti nggak sih?” kata Letta sambil menyamankan tubuhnya di rengkuhan Jevin.

“Biasa, perasaan melow mommy Letta kalau lagi period, nggak apa-apa. Palingan sebentar lagi Eugene pulang, shift malam kan dia?” balas Jevin, Letta mengangguk. “Mana yang sakit?” tanya Jevin. Letta menepuk perutnya, setelahnya, Jevin menempelkan telapak tangannya di perut Letta dan menepuk mengusapnya perlahan, lembut tanpa menyakiti wanitanya, Jevin juga membubuhi beberapa kecupan di puncak kepala istrinya itu.

“Kasihan mommy, minum obat pereda nyeri nggak?” tanya Jevin lagi.

Letta menggeleng, “enggak, itu bikin ngantuk, udah pakai menstrual pads yang hangat itu,” lanjutnya.

Beberapa menit Jevin dan Letta dalam posisi itu, Jvein adalah suami yang sabar dan lemah lembut meskipun kadang kalau sedang marah juga membuat siapapun yang melihatnya bergidik merinding. Jevin memeluk Letta dan mencium Letta beberapa kali, membuat Letta merasa nyaman.

“Mau kayak gini sampai tidur,” rengek Letta bak anak kecil.

“Bayi,” ledek Jevin.

“Biarin kan sama suami sendiri ini.”

Jevin mencubit pipi Letta pelan, “kesayangan aku.”

Letta mengusap perut Jevin dari luar kemeja suaminya itu, “roti sobek, hehe,” kata Letta yang membuat Jevin terkekeh.

“Mau?” tanya Jevin menggoda.

“Jangan memberi umpan kalau tidak mau terpancing,” balas Letta sambil mendongak dan mencubit hidung mancung Jevin.

“Kan aku yang nawarin.”

“Yaudah, emang boleh?”

“Haha, boleh, tapi aku ganti baju dulu sama cuci muka, ya?”

Letta mengangguk, pelukan dilepaskan, Jevin hendak beranjak tapi Letta menarik tangan suaminya itu membuat Jevin menoleh lagi, “kenapa sayangku?” tanya Jevin.

Letta mencium punggung tangan Jevin itu lalu mengusapnya dan menatap manik mata Jevin, “makasih, sayang.” Jevin tersenyum dan mengangguk, “I love you” kata Jevin tanpa suara. Letta pun melepaskan genggamannya, membiarkan Jevin beranjak, baru saja Jevin hendak melepas kemejanya, ponsel Jevin berdering.

“Halo… iya… saya Papanya Eugene…” “Hah??” “Baik, saya kesana sekarang juga.” Obrolan di telepon terdengar serius, jantung Letta berdegup cepat terlebih saat nama anak sulungnya disebut.

Jevin kembali merapikan bajunya. “Jev, Eugene kenapa?!” tanya Letta panik.

“Pakai jaket kamu.” Jevin berkata tanpa menatap Letta, ia masih fokus ke ponselnya.

“Eugene kenapa?” tanya Letta sambil beranjak dari tempat tidur dan mengambil jaketnya.

“Kita susul Eugene sekarang.”

“Iya. Tapi, anak aku kenapa?”

Jevin tidak menjawab, Jevin keluar kamar diikuti Letta. Jevin menuju kamar Yoel dan Michelle. Jevin berlutut di sebelah ranjang Yoel dan membangunkan anak tengahnya itu perlahan.

“Pa, kenapa?” tanya Yoel sambil merentangkan tangannya lalu mengucek matanya.

“Di rumah dulu sama Michelle, pintunya kamu kunci dari dalem aja, terus kuncinya dicabut. Papa sama Mama bawa kunci, oke?” kata Jevin sambil mengusap kepala Yoel.

“Papa mau kemana?” tanya Yoel bingung.

“Nyusul Ko Eugene, sebentar.”

“Koko dimana?”

Jevin tidak menjawab, ia hanya mencium puncak kepala anaknya dan keluar dari kamar Yoel, menarik pergelangan tangan Letta. Berulang kali Letta bertanya tapi Jevin tidak menggubrisnya.

Sampai akhirnya setelah sampai di mobil, usai memasang seat belt, Jevin menatap Letta, “kita susul Eugene ke kantor polisi.”

Aliran darah Letta seakan berhenti seketika, tenggorokannya tercekat, “Eugene kenapa?!” tapi Jevin hanya memeluk istrinya itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Jevin jawab aku!” Letta memberontak tapi Jevin malah mengeratkan pelukannya.

END

Nah ini lanjutannya di novel si eugene kenapanya hehe <3 Kenalan dulu sama keluarga Jevin jangan lupa<3

Hari ini Raymond dan Shannon berjanji akan pulang bersama setelah mentoring untuk persiapan pemilihan ambassador. Shannon masih memainkan ponselnya dan menunggu di gedung yang dekat dengan parkiran mobil. Sementara Raymond belum mengirimkan pesan kepada Shannon. Beberapa teman yang lewat di depan Shannon menawari Shannon untuk pulang bersama tapi Shannon menolak dengan halus tanpa memberitahukan kalau ia akan pulang bersama Raymond. Takut jadi gosip katanya.

Akhirnya ponsel Shannon pun berdering, ia melihat nama Raymond di sana. “Shan, aku di parkiran, ya. Kamu kesini aja, maaf nggak nyamperin ke tempat kamu karena tadi habis bantuin angkat barang-barang buat geladi bersih besok.” Sebuah pesan Shannon terima, membuat Shannon mengulas senyum dan buru buru berlari kecil menuju parkiran mobil yang ada di belakang kampus. Shannon juga sudah membawa paper bag berisi dua cup minuman yang sudah ia beli untuknya dan Raymond. Bahkan Shannon sampai menanyakan rasa minuman kesukaan Raymond kepada Jacob, sahabat Raymond.

Entah mengapa Shannon begitu antusias setiap ia hendak bertemu Raymond. Tidak hanya bertemu, bahkan saat berkirim pesan pun rasanya berbeda, ada sesuatu yang aneh di dalam hati Shannon. Langkah Shannon pun hampir sampai di parkiran, tapi jarak beberapa meter sebelum tiba di dekat mobil Raymond, Shannon menghentikan langkahnya. Ia begitu tercekat dan kaget melihat Raymond tengah memeluk seorang perempuan lain.

Jantung Shannon berdegup cepat, ia memundurkan langkahnya, jelas sekali Raymond dan perempuan itu saling memeluk satu sama lain selama beberapa saat sebelum saling melepaskan pelukan dan nampak berbicara serius satu sama lain. Shannon geram, ia ingin marah tapi ia sadar, atas dasar apa Shannon marah? Tangan Shannon masih terkepal kesal, ia memutar bola matanya dan menatap langit malam menahan air mata yang sebentar lagi mungkin akan terjatuh itu.

Perlahan tangan Shannon mulai mengambil ponselnya, mengirimkan pesan kepada Raymond yang bertuliskan, “aku dijemput Papa, tiba-tiba mau pergi, aku duluan ya kak, maaf.” Shannon berbohong, ia pun berlari menjauh, berhenti di dekat tempat sampah dan membuang dua cup minuman yang sudah ia beli itu. Air mata Shannon menetes tapi ia usap dengan kasar. Lalu ia berjalan cepat dan memesan taksi online. Saat sudah di dalam taksi pun sebenarnya Raymond mengirimkan beberapa pesan kepada Shannon tapi Shannon membiarkannya tanpa membukanya sama sekali.

Mevin tiba di kediaman Jevin, melihat disana Jevin sedang duduk di sofa bersama Yoel, anak tengah Jevin. Mevin pun mengetuk pintu dan membuat Yoel serta Jevin menoleh.

“Eh, udah dateng lo,” kata Jevin.

Mevin pun mendudukkan dirinya di space kosong di sebelah Yoel sehingga kini Yoel ada di tengah Mevin dan Jevin.

“Lagi diomelin Papajev?” tanya Mevin sambil merangkul keponakannya itu.

Yoel menggeleng, “bukan diomelin tapi lagi lihat ini, hehe,” katanya sambil menunjukkan sebuah album foto yang memperlihatkan banyak foto Jevin dan Mevin di sana. Ada foto saat Mevin dan Jevin masih bayi, balita, sudah sekolah, dari SD sampai SMA.

“Kenapa? Nggak mirip ya padahal kembar?” tanya Mevin yang membuat Yoel menggaruk kepalanya kikuk, sementara itu Jevin hanya terbahak. Mata Yoel masih basah karena baru saja tadi ia melihat video pernikahan Lauren, kakak Mevin dan Jevin, tante dari Yoel dimana di video tersebut nampak Jevin memberikan speech disusul Mevin untuk sang kakak. Yoel kagum bagaimana kelembutan hati mereka dan suasana haru saat pesta pernikahan itu berlangsung.

“Lah, anaknya diem bapaknya ketawa ngakak, gimana dan?” Mevin bingung.

Jevin merangkul Yoel juga dari sisinya, Jevin sedikit membungkukkan tubuhnya agar bisa melihat Mevin, “kemarin si Yoel dari rumah Papa sama Mama, terus diceritain tentang kita. I mean… you kenapa kita kembar tapi nggak mirip, yoel knows the fact right now, Mev. Terus tadi lihat video kita di nikahan Ci Lau.” Jevin berkata sambil mengacak rambut Yoel pelan.

“Oh ya? Dikasih tahu siapa, Yo?” Mevin sedikit terkejut.

Yoel hanya tersenyum tipis dan mengangguk, “Diceritain Opa sama Oma kemarin, Om Mevin, Yoel nggak nyangka se pelik itu perjalanan keluarga ini. Yoel kadang malu masih suka berantem besar sama Ko Eugene. Yoel malu jadinya kalau nggak akur sama Ko Eugene, Om sama Papa aja dari kecil akur walaupun….” Kalimat Yoel tertahan.

“Walaupun bukan saudara kandung?” tanya Mevin lembut. Yoel mengangguk lesu.

“Kayaknya kita harus akur sama semua orang deh, Nak. Tapi Om sama Papa juga ada berantemnya kok dulu, parah, bikin Opa sama Oma nangis sama ngelus dada haha.” Mevin terkekeh membuat Jevin menyandarkan tubuhnya di sofa dan tangannya terulur menepuk pundak Mevin keras.

“Pasti Papa kan yang nakal?” kata Yoel yang disambut tawa dari Mevin dan dengusan geli dari Jevin.

“Bapaknya terus yang diroasting, Yo.” Jevin mencibir.

“Nggak selalu Papa kamu, kadang Om juga. Ya makanya Om paham banget sama kamu sama Eugene kalau ribut, ya nggak beda jauh sama Om sama Papamu.” Mevin menambahkan.

“Tapi kata Opa sama Papa masak Yoel bukan anak Mama Letta sama Papa Jevin,” ujar Yoel cemberut.

Mevin dan Jevin terkekeh bersamaan, tidak bisa menahan tawa, sementara Mevin langsung menjitak kepala Jevin dan Jevin hanya meringis.

“Jangan didengerin, ya jelas anak Papa Jevin sama Mama Letta, terus anak siapa astaga Yoel,” ujar Mevin sambil mengacak rambut keponakannya itu.

“Waktu kamu lahir aja Papa kamu nangis mulu, gimana ceritanya bukan anak Papa Jevin. Itu hidung kamu aja cetakan Papamu banget, wajah kamu tajem banget kayak Papa Jevin gitu. Kelakuan beda tipis kok ya masih bisa mikir bukan anak Papa Jevin, ampun,” kata Mevin setelahnya.

Yoel memajukan bibir bawahnya meledek Jevin sementara Jevin menjulurkan lidah meledek balik anaknya itu. Mevin hanya tertawa saja melihat tingkah Ayah dan anak ini.

“Tapi emang bener, Om. Papa nangis waktu Yoel habis lahir?” bisik Yoel kepada Mevin. Dengan pasti Mevin mengangguk tanpa ragu.

“Jev, Yoel tahu nggak kalau waktu dia⎯” Belum selesai kalimat Mevin dirapalkan sepertinya Jevin sudah bisa membaca isi pikiran Mevin dan Jevin memotongnya, “tahu dia, waktu dia lahir gue nggak bisa lihat, dia udah tahu,” kata Jevin sambil nyengir. Di saat seperti ini Jevin tetaplah Jevin, cengengesan meskipun ada sedikit rasa sendu.

“Iya Om, Yoel tahu kok itu hehe, beberapa bulan bahkan Papa nggak bisa lihat Yoel setelah lahir.” Yoel berkata dengan nada lesu.

“Papa kamu kalau Om main ke rumah, selalu nanya ‘Mev, Yoel senyum nggak?’, ‘Mev, Yoel nangis nggak?’, ‘Mev, coba dong gue mau pangku anak gue’, dan lainnya. Om juga yakin dia juga kayak gitu ke Mama kamu. Tapi buktinya Tuhan baik sama keluarga kalian, ada keajaiban, Papa kamu sembuh dan akhirnya bisa lihat langsung kamu senyum, nangis, bisa gendong kamu, Papa Jevin itu sayang banget sama kamu, Yoel.” Mevin menuturkan ceritanya dimana memang benar adanya. Jevin kini mulai terdiam, teringat masa lalunya dimana ia mengalami satu keadaan yang membuatnya merasa sedang bermimpi buruk.

“Papa kamu aja kalau kamu sakit khawatirnya nggak main-main, Yo.” Mevin berkata lagi yang membuat Yoel menoleh ke arah Papanya, Jevin tersenyum dan mengangguk.

“Yoel belajar banyak dari Om Mevin sama Papa. How to love and care with each other. Yoel sama Koko aja kadang ribut yang sampai ribut banget marah-marah kayak waktu itu yang Om Mevin pergokin. Terus juga diem-dieman di rumah, banyak deh tingkah kalau lagi ribut. Tapi sekarang Yoel mikir lagi, kalau lagi emosi sama Koko atau udah tercium bau-bau mau gelut sama Koko kayaknya mau diem aja biar nggak berkepanjangan. Lihat Om sama Papa akur-akur aja ya malu lah, hehe,” kata Yoel, anak lelaki berusia enam belas tahun itu kini tersenyum menatap Mevin dan Jevin bergantian. Sebuah tepukan di pundak Yoel dari Mevin diberikannya, tanda Mevin bangga kepada keponakannya itu.

“Cerita panjang yang Om Mevin sama Papa lewati juga ngajarin Yoel banyak hal. Sedikit banyak Yoel mulai ngerti cerita di masa lalu keluarga ini. Dan, Yoel… speechless, kenapa Papa sama Om Mevin kuat banget? Om Mevin pernah kecelakaan dan bikin Om Mevin lumpuh, Papa pernah juga nggak bisa melihat, Tante Grace harus berobat ke Singapore, Mama divonis nggak punya anak. But God still bless this family, God bless each one of you. God protect and show His way and His miracle.” Yoel menggelengkan kepalanya pelan, matanya berkaca-kaca.

Jevin menarik satu sudut bibirnya, bangga dengan penuturan anaknya yang terkenal banyak tingkah dan Gebrakan ini. “God will always bless us, Yoel. Everytime, everyday, God protect and bless us.” Jevin menambahkan sambil mengusap punggung anaknya itu.

“Yoel jadi malu, sukanya bikin ulah, bikin masalah, bikin gebrakan. Sekarang Yoel mau anteng aja, kehidupan Papa sama Om udah pelik dari dulu, jangan sampai di masa sekarang kalian juga mumet karena Yoel.” anak lelaki itu berkata sambil sedikit menggembungkan pipinya.

Mevin merangkul Yoel lalu berkata, “Be yourself, Christiano Yoel Geneva Adrian. Yang terjadi dulu ya udah, itu semua udah lewat, yang terjadi sekarang yang harus dihadapi. Gebrakan kamu juga bukan yang tingkah anak nakal, masih wajar lah, bukan yang ngelakuin hal yang merugikan orang lain. Jangan lupa selalu bersyukur dengan apa yang kamu punya. Doakan Mama sama Papa juga, oke?”

Yoel mengangguk, “Yoel berdoa kok Om, kadang Yoel sebut satu-satu anggota keluarga kita. Keluarga besar, nggak Cuma Papa, Mama, Icel sama Koko hehe…”

“Pinternya anak Papa! Tapi biar disuntik Om Mevin kalau berulah nakal!” Jevin berkata sambil mencubit pipi anaknya itu.

“Papaaa!” gerutu Yoel.

“Lo juga, ah,” kata Mevin menepuk lengan Jevin.

“Om, Papa, makasih ya pelajaran hidupnya, Yoel beneran kagum sama kalian. Pokoknya di mata Yoel, Om sama Papa tetap saudara kembar, apapun yang terjadi kembar. Anaknya Opa Jeremy yang kembar, Om Mevin sama Papa Jevin.” Yoel berkata sambil membubuhinya dengan senyum tipis. Ada senyum yang tersirat dengan rasa bangga dari Jevin maupun Mevin. Jika ditilik ke belakang memang cerita hidup semua anggota keluarga Adrian tidak ada yang mudah, tapi semua itu selalu mengajarkan suatu hal baru. Begitu juga dengan kita, pasti ada pelajaran yang terselip di setiap perjalanan yang kita lalui. Semua tergantung kita menyikapinya.