blissfulqnew

Sebagai hadiah untuk ulang tahun pernikahan mereka yang kedua, Changmin mengajak Chanhee serta Minhee untuk pergi keluar. Mereka berencana untuk pergi ke pantai yang dulunya adalah tempat favorit Chanhee ketika mengandung Minhee.

Setelah memastikan keamanan Minhee di kursi bayinya yang diletakkan di jok belakang, Chanhee dan Changmin berjalan menuju kursinya masing-masing. Obat-obatan yang wajib Chanhee konsumsi sudah bertengger dengan manis di dekatnya.

Sepanjang perjalanan, Chanhee terus-menerus menatap ke arah Changmin. Yang ditatap malah tersenyum kegeeran. Melihat hal tersebut, Chanhee pura-pura membuang mukanya sambil menahan tawa.

Memasuki jalanan yang mulai berkelok, Changmin memfokuskan perhatiannya sepenuhnya di jalan raya. Firasatnya mulai tidak enak ketika melihat beberapa pengendara yang menepi di pinggir jalan karena tabrakan kecil yang terjadi.

Baik Chanhee maupun Changmin, tampak terlalu fokus pada korban tabrakan yang sedang menepi.

Membuat tak satupun dari mereka yang menyadari bahwa sebuah truk sedang melaju kencang ke arah mereka dari arah yang berlawanan.

Changmin membanting kemudinya dengan cepat, berusaha menghindari agar mobil yang dikendarainya tidak tertabrak oleh truk.

Mobil sedan berwarna putih itu lantas menerjang pembatas jalan dengan kecepatan tinggi, membuat kendaraan beroda empat beserta seluruh penumpangnya terjun bebas ke dalam jurang.

Little did Changmin knows, God has just made his wishes comes true.

Changmin, Chanhee, dan Minhee akan bersama selamanya.

Hanya saja, bukan dunialah tempatnya.

fin.

Pagi ini, Chanhee terbangun dari tidurnya karena rasa nyeri di dadanya. Tangannya bergerak menepuk-nepuk dadanya dengan keras, iringan suara batuk yang kencang turut membangunkan Changmin yang terbaring di sebelahnya.

Dengan sigap Changmin meraih gelas berisi air yang berada di meja samping tempat tidur, memberikannya pada Chanhee untuk diminumnya perlahan.

Setelah batuknya mereda, Chanhee mengalihkan pandangannya pada Changmin. Tatapan penuh rasa bersalah terpancar dari kedua orbitnya.

Changmin membuka lengannya lebar-lebar, memeluk tubuh Chanhee yang sekarang bahkan lebih kurus dari waktu sebelum kehamilannya. Tangannya mengusap surai Chanhee yang kian lama kian menipis, efek samping dari kemoterapi dan terapi radiasi yang dijalaninya.

Setelah berpelukan selama beberapa menit dalam diam, Changmin perlahan melepaskan pelukannya dan berjalan keluar dari dalam kamar dengan berjalan mundur. Chanhee menghadiahinya sebuah tatapan bingung.

Chanhee sedang membereskan ranjang mereka ketika Changmin kembali ke dalam kamar, dengan sebuah kue yang dihiasi 2 lilin yang menyala.

Chanhee terpaku di tempatnya untuk beberapa saat. Kemudian teringat bahwa hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka yang kedua.

“Happy second wedding anniversary, Hee.”

“Aku tau, aku tau kalau kamu jadi pemurung karena kamu kehilangan rasa percaya diri di depan orang lain gara-gara kankermu.”

“Aku gak bisa ngebayangin seberapa besar tekanan yang kamu hadapin selama ini..”

Ucapan Changmin terjeda sejenak.

”..tapi, aku pengen kamu tau kalau mau gimanapun rupa dan keadaanmu– rasa sayangku dan rasa cintaku ke kamu bakalan tetap sama.”

“As the day goes by, I fall deeper for you. I keep on craving for your love.”

“Kalau kamu takut, inget aja kalau aku selalu ada di sisi kamu. Aku bakalan selalu ada buat ngelindungin kamu.”

“Sekarang giliran kamu buat bikin permohonan. Ayo buat yang bagus, Hee. Nanti kita aminkan sama-sama.”

Bulir air mata mulai berkumpul di pelupuk mata Chanhee, isakan tertahan terdengar setelahnya. Changmin buru-buru menaruh kue yang dipegangnya di atas meja dan kembali menarik Chanhee ke dalam pelukannya.

“Hey.. kok nangis? Ayo buat permohonan dulu, nanti keburu mati loh lilinnya?” bisik Changmin pelan di telinga Chanhee.

Chanhee mengusap kasar wajahnya dengan punggung tangan, menampilkan senyumannya sambil memejamkan kedua matanya; bersiap untuk membuat permohonan.

Kepada Tuhan, ia berharap. Agar ia dapat bersama-sama dengan keluarganya untuk waktu yang lebih lama.

Keheningan yang memilukan menemani perjalanan pulang Chanhee dan Changmin dari rumah sakit, di gendongan Chanhee terdapat Minhee yang sedang tertidur dengan pulas.

Napas Chanhee yang memberat terdengar dengan jelas oleh Changmin. Dengan hati-hati, sebelah tangannya ia selipkan pada tangan milik suaminya itu. Netra keduanya bertabrakan untuk beberapa saat, sebelum keduanya kembali menatap ke fokus awal.

“Jangan terlalu dipikirin, Hee. Dokter kan bilang kalau peluangnya besar buat sembuh lagi.”

“Aku tau Changmin, aku tau. Aku gak lagi mikirin itu kok,” balas Chanhee sambil memaksakan senyumnya.

Lampu merah. Changmin segera memposisikan badannya agar dapat melihat Chanhee dengan leluasa, menangkup dagu Chanhee sebelum mendaratkan kecupan lembut di hidung dan bibir Chanhee.

Kali ini, senyuman tuluslah yang terpancar dari wajah Chanhee.

“Heh, sana fokus nyetir lagi. Aku gak mau ya kalau sampe nabrak trotoar!”

Changmin terkekeh mendengar suruhan Chanhee. Ia lebih menginginkan Chanheenya yang galak ketimbang Chanheenya yang terdiam sedih.

Walau bagaimanapun, wajar saja jika Chanhee termenung seperti tadi. Pasalnya, Chanhee tak menyangka bahwa dirinya akan divonis dengan penyakit yang serius.

Kanker paru-paru.

Itulah nama penyakit yang menjadi penyebab Chanhee batuk tanpa henti serta merasakan nyeri di dadanya.

Kata dokter, penyakitnya ini baru stadium awal. Dengan bantuan operasi dan terapi rutin, besar kemungkinan bagi Chanhee untuk dapat sembuh.

Namun yang terjadi pada Chanhee adalah kebalikannya. Kondisinya kian memburuk setelah operasi pertamanya. Di sisi lain, Chanhee juga menjadi seorang yang pemurung. Chanhee tak lagi membuka dirinya pada kawan-kawan lamanya.

Hingga pada suatu titik, Chanhee meminta pada Changmin agar dirinya dapat kembali tinggal di kampung halamannya. Bersama ibu dan adik-adiknya.

Dengan berat hati, Changmin melepaskan Chanhee dan Minhee. Changmin tak dapat mengikuti untuk tinggal di kampung halaman Chanhee sebab harus bekerja di ibukota guna menghidupi keluarganya.

Istana kecilnya kini terasa sepi tanpa kehadiran si belahan hati dan pangerannya.

Pertemuan pertama Chanhee dan Changmin adalah tepat sebelum Changmin melakukan sidang skripsinya.

Kala itu, Changmin sedang menunggu gilirannya di taman belakang gedung jurusannya. Membuang kalutnya sembari memperhatikan air mancur yang menjadi atraksi utama dari taman tersebut.

Changmin berdiam diri di taman sendirian hampir 1 jam lamanya, sebelum akhirnya suara langkah kaki yang mendekat membuat Changmin menolehkan kepalanya. Seolah tersihir, Changmin diam terpaku di tempat. Detik itu juga, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk dapat menjadikan sosok yang mendatanginya itu sebagai pasangan hidupnya.

Selesai sidang, Changmin berjalan keluar dari dalam ruangan dengan hati yang was-was. Betapa lega hatinya ketika sosok dengan senyum teduh itu masih setia menunggu di taman belakang. Menunggu Changmin untuk berjalan ke arahnya dan memeluknya erat seakan tak ada hari esok.

Dan dalam hitungan bulan, Changmin berhasil menunaikan janjinya.

Sosok itu kini telah berada di hadapannya, terbalut dengan tuxedo putih; kontras dengan tuxedo hitam yang Changmin kenakan. Dulunya, sosok itu bernama Choi Chanhee. Akan tetapi, setelah janji sehidup semati terucap dari keduanya- sosok itu kini bernama Ji Chanhee.

Changmin pikir, dirinya telah menyelamatkan dunia di kehidupannya yang sebelumnya.

Karena di kehidupannya yang sekarang, Changmin merasa bahwa ialah pria paling beruntung di dunia ini.

Tak butuh waktu lama hingga Chanhee mengandung anak pertama mereka. Changmin senang bukan kepalang, berkali-kali Changmin menanyakan Chanhee perihal apakah benar testpack yang dipegangnya adalah milik Chanhee atau bukan. Diperlukan waktu lebih dari 30 menit bagi Chanhee untuk dapat meyakinkan Changmin sepenuhnya bahwa di dalam rahimnya ada janin yang sedang berkembang.

Selama menjalani masa kehamilan, tak pernah sekalipun Changmin merasa bahwa kehamilan Chanhee merepotkannya. Dalam hatinya, Changmin malah berharap Chanhee akan mengidam hal-hal aneh layaknya teman Changmin yang lain.

Walaupun demikian, pengorbanan besar tetap dilakukan Chanhee demi menyelamatkan kehamilannya.

Di awal kehamilan, dokter mengatakan bahwa Chanhee terlalu kurus untuk mengandung bayi. Semenjak saat itu, Chanhee berjuang mati-matian untuk menaikkan berat badannya. Selama 9 bulan, Chanhee menggandakan porsi makannya. Susu dan suplemen untuk membantu kehamilan pun tak pernah luput Chanhee konsumsi setiap harinya.

Perubahan yang terjadi pada tubuh Chanhee menuai pro-kontra dari lingkungan mereka. Banyak dari kenalan Chanhee maupun Changmin yang menyayangkan karena Chanhee kehilangan pinggang kecil dan tubuh rampingnya yang indah.

Perkataan seperti itu tentunya membuat Changmin murka. Beruntung bagi mereka, Chanhee memilih untuk menulikan telinganya dan tidak mengindahkan kata-kata menyakitkan yang mereka lontarkan.

Kendati demikian, jerih payah Chanhee terbayarkan dengan sempurna.

Persalinannya berjalan dengan normal dan lancar, membuat buah hati mereka tiba di dunia pada hari Sabtu siang. Bayi merah yang menangis kencang dalam gendongan Changmin diberi nama Ji Minhee, yang tentunya merupakan gabungan dari nama Changmin dan Chanhee.

Pasca melahirkan, Chanhee memutuskan untuk berhenti menjadi model- melepaskan pekerjaannya. Chanhee kemudian mendedikasikan hari-harinya sepenuhnya untuk membesarkan Minhee bersama Changmin di istana milik keluarga kecil mereka.

Crop top hitam sleeveless yang dipadukan dengan leather skinny jeans berwarna senada adalah pilihan pakaian Chanhee pada malam itu. Meski hawa dingin menusuk tulang terus-menerus menghampirinya, Chanhee masih menunggu dengan sabar di depan pintu.

Tepat setelah Chanhee membunyikan bel untuk ketiga kalinya, pintu itu pun akhirnya terbuka. Menampilkan sosok Juyeon yang terkejut. Juyeon hendak membuka mulutnya untuk bertanya kenapa Chanhee berada di depan pintu rumahnya, namun niatnya ia urungkan ketika Chanhee mendorongnya masuk ke dalam rumah sambil menyunggingkan senyuman manis kepadanya.

Jari-jemari lentik milik Chanhee menari dengan sensual di bagian kulitnya yang terekspos; Juyeon menggigit bibir bawahnya dengan keras- menghasilkan geraman dengan nada rendah.

Jari telunjuk Chanhee kemudian berhenti di belah bibir Juyeon, mengusapnya perlahan sebelum bibir mungil milik Chanhee menggantikan posisi telunjuknya.

Chanhee bukanlah pencium amatir dan Juyeon tahu betul mengenai hal itu. Ritme yang Chanhee buat selalu berhasil membuat dirinya hilang akal, terlena oleh kelihaian Chanhee memainkan lidahnya di gua hangat milik Juyeon.

Entah sejak kapan Juyeon sudah berada di atas kasurnya, dengan posisi Chanhee yang berbaring di atasnya.

Merasa pasukan oksigennya sudah mulai menipis, Juyeon mendorong Chanhee perlahan untuk menjauh; untaian benang saliva terbentuk setelahnya.

Sayangnya, Chanhee tidak mengizinkan Juyeon untuk bernapas dengan bebas. Bibirnya kembali meraup kasar bibir Juyeon, menciumnya seolah Juyeon adalah hidangan utamanya.

Kemudian secara tiba-tiba, Chanhee menghentikan permainannya. Juyeon menatap bingung pada lelaki yang berada di atasnya itu. Sepersekian detik berikutnya, Juyeon dapat merasakan cairan hangat mengalir di tubuh bagian bawahnya.

Bersamaan dengan Chanhee yang melompat turun dari atasnya, Juyeon mendudukkan dirinya di atas kasur. Erangan penuh kesakitan meluncur cepat dari mulutnya.

Terlihat jelas oleh Juyeon bahwa genangan berwarna merah pekat yang kental itu telah mengotori sprei putihnya.

Mual, perih, dan pusing menyerang Juyeon secara bersamaan pada detik itu juga.

Netranya beralih cepat pada Chanhee yang berdiri di dekat ujung kasur dengan pisau berlumur darah dalam genggamannya, ekspresi dingin tanpa emosi adalah hal terakhir yang Juyeon ingat dari Chanhee sebelum kegelapan menyapanya.

Seringai puas tercetak di wajah Chanhee. Dengan langkah riang, Chanhee berjalan keluar. Senyumnya kian mengembang tatkala indra penglihatannya menangkap sosok yang dirindukannya.

Sosok yang membuat Chanhee gila ketika ditinggalkan olehnya.

Sosok yang membuat Chanhee rela membuang akal sehatnya.

Dan sosok itu pula lah yang menyuruh Chanhee untuk menghabisi Juyeon.

Sosok itu, Ji Changmin.

Changmin berdiri di seberang jalan sambil bersender pada mobilnya, kedua tangannya ia silangkan di depan dadanya. Chanhee berjalan cepat ke arah Changmin, menatapnya dengan penuh pemujaan.

Changmin mengulurkan tangannya untuk membersihkan tangan Chanhee yang bersimbah darah. Tangannya kemudian tergerak untuk mengusap pipi Chanhee dengan halus.

“Great job, Kitten.”

“Shall I reward you with something nice, now?”

fin.

Setelah memberikan martabak manis serta martabak telur pada Mama Choi untuk mempermudah perizinan, Changmin segera mengemudikan mobilnya menuju jalan raya. Di sebelahnya, Chanhee masih sibuk merapikan rambutnya sambil mengoleskan pelembap bibir.

Sudah seminggu terlewati semenjak mereka berdua berpacaran, tapi Changmin masih belum percaya bahwa Chanhee sudah menjadi miliknya. Merasa bahwa Changmin terus-terusan melirik ke arahnya, Chanhee langsung menghentikan kegiatannya.

“Apaan sih, Min? Kalau mau liat ya liat aja, gak usah curi-curi pandang gitu.”

Changmin terkekeh mendengar gerutuan Chanhee. Semakin lama mereka berdua mengenal satu sama lain, semakin Chanhee-nya ini terlihat menggemaskan di matanya.

Sesampainya mereka di tempat tujuan, Changmin segera turun dari mobil untuk membukakan pintu Chanhee. Keduanya lantas berjalan beriringan menuju lantai paling atas, melangkahkan kakinya menuju bioskop.

Dari awal kakinya menjejaki bioskop, Chanhee sudah merasa tidak enak. Firasatnya terbukti benar ketika dilihatnya Changmin memesan 2 tiket untuk pemutaran film The Conjuring.

Chanhee menghela napasnya pasrah. Di saat seperti ini, Chanhee terkadang menyesal mengapa ia memutuskan untuk menjadi kekasih seorang Ji Changmin yang merupakan penggemar berat hal-hal horor.

Tempat duduk yang dipilih oleh Changmin terletak di pojok kanan atas teater. Chanhee buru-buru memilih untuk duduk di kursi yang berada di paling pojok, merasa sedikit lebih aman dengan adanya dinding di sebelahnya.

Changmin hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Chanhee.

Tak terhitung berapa kali sudah Chanhee bergerak heboh di kursinya karena jumpscare yang ada di film. Changmin sengaja memilih tempat duduk yang paling pojok karena sudah menduga Chanhee akan bereaksi seperti ini.

Tepat di jumpscare berikutnya, Chanhee menelusupkan kepalanya ke ceruk leher Changmin; sebuah refleks yang ia lakukan karena tak ingin melihat hantu yang tiba-tiba muncul.

Changmin menggigit bibirnya sendiri untuk menahan tawa, sebelah tangannya kemudian tergerak untuk menepuk pucuk kepala Chanhee.

“Hee.. serem banget ya filmnya? Mau keluar aja?”

Yang dipanggil mengangkat kepalanya perlahan, bibirnya melengkung ke bawah dengan sorot mata yang sedih.

“Enggak mau.. aku gapapa kok!”

Changmin memperhatikan wajah Chanhee lekat-lekat dengan penyinaran cahaya yang minim dari layar. Meskipun di dalam kegelapan, wajah cantik kekasihnya itu masih tak ada tandingannya bagi Changmin.

Changmin kemudian memajukan wajahnya perlahan, mengecup pelan bibir Chanhee untuk beberapa detik lalu kembali menatap Chanhee yang kaget dengan perlakuan mendadaknya.

“Nanti tiap kamu takut, aku bakalan cium kamu sekali kayak barusan. Biar kamu takutnya gak lama-lama,” jelas Changmin.

“Oooooh.”

Sekilas, Changmin bersumpah dapat melihat kilatan nakal di kedua netra milik Chanhee.

“Tapi aku takut terus-terusan, jadi mana cium terus-terusannya?”

Seringai kemenangan tercetak di wajah Changmin.

Film The Conjuring masih terputar di layar, namun kini atensinya tertuju penuh pada Chanhee.

Masa bodoh dengan film yang berlalu dengan begitu saja di hadapan mereka.

Bagi Changmin, bibir ranum nan mengkilat milik Chanhee tampak lebih menarik dari apapun untuk malam itu.

Jadi jangan salahkan Changmin jika nanti saat lampu teater telah dinyalakan kembali, Chanhee harus menutupi bibir bengkaknya dari penonton lainnya.

Senin, 19 April 2021.

Genap 3 hari sudah semenjak peristiwa kecupan spontan Chanhee yang didaratkan di pipi Changmin. Seharian ini, Chanhee banyak melamun. Memikirkan berbagai kemungkinan buruk yang ada karena ulahnya sendiri, sebab Changmin tak kunjung mengiriminya pesan semenjak malam itu.

Lamunannya terhenti ketika sebuah tangan mendarat di bahunya. Chanhee memutar badannya, menghadap ke arah orang yang mendatanginya.

“Ada yang nungguin di luar tuh, Hee.”

Buru-buru Chanhee berdiri dan merapikan rambutnya, jantungnya mendadak berdebar tak karuan. Chanhee berjalan cepat ke arah pintu, mendorongnya dan melihat seorang lelaki sedang berdiri memunggunginya.

“Loh..”

“Hai, Chanhee.”

Kebingungan sarat pada wajah Chanhee. Kenapa malah Juyeon yang ingin bertemu dengannya?

“Halo, Juy. Ada apa tiba-tiba kesini?”

Bukan jawaban yang Chanhee dapatkan atas pertanyaannya, melainkan sebuah senyuman penuh arti. Juyeon lalu memberikan isyarat pada Chanhee untuk mengikutinya, hingga sampailah mereka tepat di depan ayunan.

“Juy.. ada apa sih?”

“Pasti lo bingung ya kenapa malah gue yang ada disini dan bukannya Changmin?”

Nama yang terselip dalam kalimat Juyeon membuat Chanhee diam membisu.

“Sebenernya.. alasan gue ada di posisi ini tuh, karena Changmin gak bisa ada disini.”

Kedua alis Chanhee menukik dengan cepat, mulai bingung dengan arah percakapan mereka.

“Changmin nyuruh gue buat gantiin posisi dia.”

Pikiran Chanhee mulai berlarian kesana-kemari. Berbagai firasat buruk mati-matian ditepisnya.

“Soalnya Changmin sekarang..”

Juyeon menghentikan kalimatnya untuk beberapa saat, netranya menatap Chanhee dalam-dalam.

”..lagi berdiri di belakang lo.”

Kurang dari satu detik, Chanhee sudah membalikkan badannya. Melihat Changmin yang sedang bertekuk lutut di hadapannya sambil mengacungkan sebuah buket bunga matahari dengan kedua tangannya.

“Kakak Cantik, pacaran yuk?”

“Hah.”

Hanya kata itu yang keluar dari mulut Chanhee sebelum Chanhee terdiam total untuk satu menit lamanya. Keringat dingin mulai tercetak di dahi Changmin, sedang Juyeon sudah menggigiti kuku jarinya panik.

Changmin kemudian bangkit dari posisinya perlahan, buket bunganya ia genggam dengan satu tangan. Tangan yang lainnya Changmin gunakan untuk mengguncang bahu Chanhee pelan-pelan.

“Chanhee..?”

Napas Changmin tercekat ketika bulir air mata jatuh di pipi Chanhee. Cepat-cepat Changmin menangkup pipi Chanhee dengan kedua tangannya.

Tangisan Chanhee pecah tiba-tiba. Sambil meraung, belasan pukulan Chanhee berikan pada Changmin. Membuat Changmin berjalan mundur sambil mengaduh kesakitan. Juyeon masih terpaku di tempatnya, bingung dengan perubahan suasana yang tak diduga-duga.

“Aduh! Hee, stop-stop! Kok malah dipukulin gini akunya?” Changmin kembali membuka suara sambil melindungi dirinya dari pukulan Chanhee.

“Ya kamu jelek banget! Apaan sih pake nyuruh Juyeon begini-begitu! Aku kira kamu kenapa-napa tau, Changmin!” balas Chanhee sambil terisak.

Mulai lelah dengan pukulan yang terus-menerus Chanhee berikan, Changmin akhirnya bergerak maju untuk mendekap Chanhee. Ajaib, Chanhee langsung terdiam dibuatnya.

“Hehehe. Maafin aku ya, Hee. Aku kira kamu gak akan sampe nangis kayak gini.. rencananya kan aku mau ngasih kamu kejutan aja,” jelas Changmin sambil mengelus punggung Chanhee.

Setelah tangisan Chanhee mereda, Changmin melepaskan pelukan mereka untuk kembali menatap Chanhee dengan seksama.

“Jadi, mana jawaban buat aku?”

Chanhee mengedipkan matanya dua kali, masih memproses perkataan Changmin. Semburat merah muda muncul di kedua pipinya, Chanhee akhirnya menggerakkan kepalanya untuk mengangguk pada Changmin.

Baru saja Changmin hendak memiringkan kepalanya untuk mengikis jarak di antara mereka, sebuah bola pantai karet melayang tepat ke arah wajah Changmin.

Pelakunya adalah Kevin. Entah sejak kapan Kevin sudah berada disana, bertolak pinggang dengan amarah di mukanya.

Changmin hendak melayangkan protes pada Kevin, tapi keinginannya terpaksa ditahan ketika melihat Sunwoo dan Eric yang juga berdiri disana bersama belasan anak kecil lainnya. Ketakutan terpancar dengan jelas dari raut wajah mereka.

“IIIIH! KAKAK CANTIK MAU DIMAKAN WAJAHNYA SAMA ABANG!!”

“TEMEN-TEMEN, AYO SELAMETIN KAKAK CANTIK!!”

Tuhan.. bolehkah kalau Changmin meminta adiknya diganti pada detik itu juga?

Setelah beberapa jam mereka habiskan di mall, tibalah waktunya untuk pulang.

Di bangku belakang, Eric dan Sunwoo asik mengobrol tentang teman-teman mereka di day care. Hiasan kepala berbentuk tanduk unicorn dan telinga rakun menghiasi kepala mereka berdua.

Sebelum kembali ke mobil tadi, Sunwoo merengek pada Changmin karena meminta dibelikan hiasan kepala yang terpampang di etalase toko. Seakan belum cukup menguras kantong Changmin di hari itu, Sunwoo juga memaksa Changmin untuk membelikan hiasan kepala untuk Eric serta Chanhee, dan juga untuk Changmin sendiri.

Sunwoo lalu memberikan hiasan kepala berbentuk telinga penguin untuk Chanhee. Sedang untuk Changmin, pilihannya jatuh kepada hiasan kepala berbentuk telinga tupai.

Dengan perasaan campur aduk, akhirnya keempatnya berjalan menuju mobil dengan hiasan kepala yang berbeda di kepala masing-masing.

Keramaian di bangku belakang hanya bertahan untuk beberapa menit. Chanhee membalikkan badannya untuk mengecek keadaan di belakang, terlihatlah pemandangan Eric yang menyenderkan kepalanya di bahu Sunwoo. Keduanya memejamkan mata dengan tangan yang saling bertautan.

Kesempatan ini tentunya tak dapat Changmin lewatkan begitu saja.

“Hee,” panggil Changmin.

“Mhm? Kenapa, Changmin?”

“Aku.. mau minta maaf soal kejadian di hari Minggu dan juga kejadian sehari setelahnya.”

Saking gugupnya, Changmin mulai merasakan mual karena tak kunjung mendapatkan balasan dari Chanhee setelah 1 menit lamanya.

Akan tetapi, sirna sudah rasa gugupnya ketika tangan Chanhee meremat pelan tangan kirinya yang bebas.

“It's okay, Min. Kamu gaperlu minta maaf kok. Malahan aku yang perlu minta maaf, harusnya aku maklum kalau kebiasaan orang di rumah kan emang.. unik-unik.”

Changmin dapat merasakan pipinya memanas. Chanhee bilang, kebiasaannya memakai boxer saat tidur itu unik?

Aduh.

Setelahnya, keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Chanhee kembali memandang jalanan dari jendela di sebelahnya. Bibirnya menyenandungkan alunan lagu yang terputar dari radio.

Changmin memperhatikan Chanhee dari sudut matanya, senyumannya awet di wajahnya setelah mendengar suara Chanhee.

Mobil milik Changmin akhirnya tiba di depan rumah Chanhee. Changmin segera keluar dan membuka pintu belakang, menggendong Eric yang masih terlelap dengan hati-hati.

Chanhee pun membukakan pintu rumahnya dengan cepat, meminta Changmin untuk membaringkan Eric di sofa ruang tamu.

Sadar bahwa adiknya sendiri sedang tertidur di dalam mobil, Changmin pun segera berpamitan pada Chanhee.

Baru beberapa langkah Changmin bergerak, tangannya mendadak ditarik dari belakang.

Chanhee mengambil satu langkah mendekat pada Changmin, mencium pipinya sekilas lalu mendorong Changmin yang masih membeku menuju mobilnya.

Kini, walau mobilnya sudah bergerak jauh meninggalkan rumah Chanhee, sebelah tangan Changmin masih menempel pada pipinya sendiri.

Tak percaya bahwa bibir tipis Chanhee baru saja menandai pipinya.

Tempat yang dipilih Changmin hari ini adalah sebuah mall di pusat kota. Segera setelah melangkah masuk ke dalam mall, Sunwoo dan Eric berteriak kegirangan ketika mata keduanya menangkap kilatan cahaya dari tempat bermain dengan logo bertuliskan “Game Master”.

Melihat Chanhee yang kewalahan dengan Eric dan Sunwoo di tangan kanan dan kirinya, Changmin menjulurkan tangannya pada Eric untuk digenggam karena tidak ada satu pun yang bisa menghentikan Ji Sunwoo dari memonopoli tangan seorang Choi Chanhee.

Awalnya, Eric menggenggam tangan Changmin dengan malu-malu. Akan tetapi, ketika dilihatnya Sunwoo sudah terlebih dahulu berjalan cepat mendahuluinya sambil menarik tangan Chanhee, Eric segera berlari menyusul keduanya dengan Changmin yang mengekor di belakangnya.

Belasan permainan dicoba oleh Eric dan Sunwoo secara bergantian. Tawa bahagia diselipi kekehan renyah terdengar bersahutan dari keempat insan manusia itu, membuat perhatian beberapa pengunjung lain tertuju ke arah mereka.

Contohnya adalah seperti sekarang ini, Changmin dan Chanhee sedang berdiri berdampingan di depan permainan kereta api yang sedang dinaiki oleh Sunwoo dan Eric. Melihat Sunwoo dan Eric yang begitu gembira, sepasang senyuman turut merekah di wajah mereka masing-masing.

“Itu yang disana anak-anaknya ya, Mas?”

Changmin dan Chanhee segera menoleh ke sumber suara.

“Mas-masnya ini sama kayak saya ya? Saya juga kebetulan nikah muda nih, hehehe.”

Bingung. Baik Changmin maupun Chanhee, belum ada yang membuka mulut untuk bersuara dan menanggapi perkataan seorang pemuda yang tiba-tiba menghampiri mereka.

“Anak-anak itu lagi lucu-lucunya kalau belum masuk SD ya, Mas. Sekalinya udah masuk SD, duh– yang ada tiap hari dibikin pusing kepala saya,” lanjut pemuda asing itu lagi.

Baru saja Changmin hendak menanggapi pemuda asing tersebut, seorang pemuda lainnya yang berbadan lebih tinggi datang menghampiri mereka.

“Sayang, Haknyeon dimana?” tanya sang pemuda yang baru datang.

“Loh? Tadi kan Haknyeon lagi sama kamu, yang?” balas si pemuda yang satunya.

Yang baru datang mengusap wajahnya dengan emosi yang ditahan mati-matian.

“Lee Jaehyun! Jelas-jelas tadi aku titipin Haknyeon ke kamu soalnya aku mau ke toilet, gimana sih kamu?!”

“Lah, kapan kamu ngomong gitu yang? Perasaan kamu gak bilang apa-apa daritadi?”

“Demi Tuhan. Kalau sampai Haknyeon hilang lagi kayak waktu itu, gak ada jatah buat kamu ya malam ini!”

Setelahnya, si pemuda yang lebih tinggi membalikkan badannya. Berjalan menjauh dengan langkah kaki yang menghentak.

“Eh?! Lee Younghoon, jangan bawa-bawa soal jatah dong! Masa kamu tega aku main sendirian?!”

Changmin dan Chanhee membisu di tempat, cukup terkejut dengan yang baru saja terjadi di depan mereka. Keduanya secara tak sengaja lakukan kontak mata, terdiam untuk beberapa saat sebelum tertawa bersamaan.

“Kamu disebut nikah muda tuh sama mas-mas yang tadi,” ledek Chanhee pada Changmin.

“Kalau nikah mudanya sama kamu, ya aku gak bakalan nolak sih.”

Mendengar balasan Changmin yang sebegitu gombal, Chanhee mendecakkan lidahnya sambil membuang muka.

Sunwoo dan Eric kemudian menghampiri mereka beberapa saat kemudian, kedua anak kecil tersebut mengeluhkan perut mereka yang sudah bernyanyi sedari tadi.

Keempatnya kemudian memutuskan untuk mengisi perut mereka di restoran pizza yang terletak di seberang tempat bermain. Betapa terkejutnya Chanhee ketika mengetahui bahwa mereka berempat menyukai pilihan topping pizza yang sama.

Setelah pizza yang mereka pesan tersaji di atas meja, Chanhee mengajak mereka untuk berdoa bersama sebelum mulai santap sore mereka. Selesai berdoa, Chanhee membagikan piring untuk tiga orang lainnya.

“Mm, abang Changmin?”

Changmin menoleh ke arah Eric, memiringkan kepalanya sambil menunggu kelanjutan ucapannya.

“Abang Changmin boleh suapin Ewic?”

Bibir Changmin membulat untuk beberapa saat, mengangguk dan mengusap pucuk kepala Eric setelahnya.

“Boleh, Eric. Ayo sini buka mulutnya?”

Chanhee menekan bibirnya kuat-kuat. Tidak ingin senyuman bahagianya ketara oleh Changmin.

Mendadak, dirasakannya bajunya yang ditarik oleh sosok di sebelahnya. Chanhee segera mengalihkan atensinya pada Sunwoo.

“Nunu juga mau disuapin sama Kakak Cantik! Mau! Mau! Mau!”

Pada akhirnya, Chanhee dan Changmin disibukkan untuk menyuapi kedua anak kecil tersebut.

Menyajikan potret keluarga bahagia bagi orang awam di sekeling mereka.

Changmin terbangun dari tidurnya dengan mata yang sembab. Pikirannya menerawang jauh tentang apa yang terjadi padanya di malam sebelumnya.

Kepalanya mendadak terasa pening ketika ingatannya sudah kembali sepenuhnya. Changmin menghela napasnya kasar. Kekalutan melanda hatinya, sebab takut bahwa Chanhee akan menjauhinya setelah melihat trauma yang dimilikinya.

Sebuah tendangan dari kaki kecil mendadak Changmin rasakan di punggungnya. Changmin segera membalikkan badannya, bingung karena Sunwoo juga berada di kasurnya.

Setelah membetulkan selimut yang menutupi tubuh Sunwoo, Changmin meregangkan tubuhnya seraya berjalan ke arah pintu kamar. Dibukanya pintu kamar sambil menguap lebar-lebar.

Suara teriakan yang berasal dari kamar yang berada di seberangnya membuat mata Changmin melebar.

Di depannya terlihat Chanhee yang sibuk menutupi wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya.

Changmin lantas menggerakkan lehernya untuk menatap ke bawah, menatap horor pada dirinya sendiri karena ia hanya mengenakan boxer pendek di atas lutut tanpa mengenakan atasan apapun.

Buru-buru, Changmin membanting pintu kamarnya. Air mata malu dengan senyum penuh penyesalan melukisi wajah Changmin pagi itu.

Setelah mandi dan berpakaian lengkap, Changmin turun ke bawah untuk makan pagi. Tepat dibelakangnya, Chanhee juga baru saja turun ke bawah.

Tanpa basa-basi, Chanhee segera berpamitan untuk pulang karena ada kelas pagi yang harus ia hadiri.

Bunda Ji lantas menyuruh Changmin untuk mengantarkan Chanhee dengan motornya agar Chanhee dapat tiba lebih cepat. Chanhee sedikit terkesiap ketika mendengarnya, rasanya ia ingin menolak tawaran tersebut tapi Chanhee tak sampai hati untuk membuat Bunda Ji sedih karenanya.

Perjalanan menuju rumah Chanhee kembali dipenuhi dengan keheningan, dejavu merupakan kata yang pas untuk menggambarkan keadaan itu. Bedanya, kali ini luapan kecanggungan adalah penyebab dari keheningan tersebut.

Sesampainya di rumah, Chanhee segera turun dari motor Changmin. Saking buru-burunya, Chanhee setengah melompat ketika melakukannya.

Ucapan terimakasih diberikan Chanhee untuk Changmin. Suara pintu rumah yang ditutup terlampau kencang membuat Changmin tersadar bahwa kejadian tadi pagi tampaknya akan susah untuk dilupakan.