By Spring Seasonnn

“Pagi, Dok.”

Ardi hanya mengangguk kecil dan berjalan terus ke ruangannya, tampaknya pagi ini beberapa rekan nya sedang membicarakan tentang pernikahan Stella dengan lelaki itu, Ardi terlalu malas menyebutkan namanya.

Stella mengundangnya, namun Ardi memilih tidak datang karna alasan ada jadwal autopsi yang harus ia kerjakan. Ia juga tidak memberikan ucapan selamat pada Stella, ia belum siap untuk itu. Ia masih ingin menyendiri. Hari ini Stella juga tidak kerja, Ardi tau kalo perempuan itu mengambil cuti untuk dua hari kedepan.

Ardi duduk di ruangannya, menghela nafasnya dengan kasar sembari mencari jawaban jika nanti Stella masuk ia harus bersikap seperti apa. Ardi enggak mungkin menghindarinya, apalagi menjauh. Itu sangat sulit karena mereka adalah rekan kerja.

“Saya pikir Dokter Ardi jadi izin,” ucap asisten nya, perempuan dengan tinggi 160cm itu menyerahkan beberapa surat permintaan autopsi untuk hari ini.

Ardi memang sempat mengajukan izin untuk tidak bekerja karena harus mengurus berkas-berkas perceraianya. Minggu depan ia juga sudah memasuki persidangan pertamanya, ia harus mengumpulkan bukti sebanyak mungkin jika istrinya memang sedang dekat dengan laki-laki lain.

Ardi ingin mendapatkan hak asuh atas putri nya, satu-satunya yang ia punya dan tersisa dari kebahagiaanya, yang saat ini sudah di hancur hanya putrinya.

“Iya, ngurus berkasnya lebih cepat dari dugaan saya. Makanya saya milih masuk aja, lagi pula satu dokter juga lagi cuti kan. Dokter Emma juga sedang di luar kota,” alibi Ardi.

“Ah iya, Dokter Stella emang ambil cuti, kemarin dia menikah. Kemarin kayanya Dokter Ardi enggak datang yah?”

Ardi menahan nafasnya sebentar, pertanyaan sederhana itu yang sangat ia hindari hari ini akhirnya ia dengar juga.

“Ia, saya sibuk, Ren.” jawab Ardi sekena nya.

“Kemarin tuh kami semua panik, Dok. Soalnya sudah waktunya akad tapi Dokter Stella dan Ipda Jelang belum juga datang, mana malamnya juga dia habis dapat penyerangan di parkiran gedung—”

“Tunggu.. Penyerangan?” tanya Ardi, ia sama sekali tidak tahu kalau Stella sempat kena musibah sebelum hari pernikahanya. “Penyerangan gimana maksudnya?”

“Loh Dokter Ardi enggak tahu?”

Ardi hanya menggeleng, dia benar-benar enggak tahu. Stella juga belum bercerita denganya, sama sekali enggak ada yang memberitahunya.

“Malam di hari sebelum Dokter Stella menikah tuh, dia masih masuk, dok. Malamnya pas dia mau pulang, tiba-tiba ada orang enggak di kenal nyerang Dokter Stella. Yah, untungnya masih bisa Dokter Stella tangani sampai polisi datang,” jelas Irene asistenya.

“Udah dapat kabar motif nya apa?”

“Kalau enggak salah, orang itu suruhan untuk kasus sindikat jual beli organ ilegal yang melibatkan tuna wisma.”

Setelah mengetahui kabar Stella yang malam itu mendapatkan penyerangan, Ardi langsung mengetikan pesan untuk Stella. Ia khawatir dengan temannya itu, Ardi tahu Stella pintar bela diri. Tapi tetap saja rasanya khawatir dari bagaimana cara Irene bercerita, itu sangat bahaya sekali.


Siang ini Jelang dan Stella berada di pusat perbelanjaan, mereka akan membeli beberapa perabotan rumah dan stok makanan untuk mengisi dapur dan kulkas mereka. Stella tampak antusias sekali begitu troli yang Jelang dorong memasuki area snack-snack.

Perabotan yang mereka beli, sudah mereka kirim ke rumah lebih dulu. Akan sangat penuh jika semuanya berada dalam mobil yang Jelang bawa.

“Lang, Lang berenti dulu gue mau ambil ciki yang ini sebentar,” ucap Stella, dia menarik lengan hoodie yang Jelang pakai hingga laki-laki itu berjalan mundur mengikuti arah tarikanya.

“La, jangan narik-narik nanti melar baju gue.”

“Makanya elu jangan main jalan-jalan aja ih!” gerutu Stella.

Begitu sudah sampai di depan deretan ciki rasa jagung itu, Stella langsung tersenyum sumringah. Ia seperti habis mendapatkan undian lotre nya. Kemudian di ambilnya beberapa ciki-ciki itu dalam ukuran besar dan ia taruh di trolly mereka yang sudah hampir penuh.

“Ih lo gak mau ambil apa gitu, Lang?” tanyanya, Stella heran. Jelang cuma ngambil kopi, teh dengan berbagai macam rasa dan aroma dan roti saja. Apa laki-laki itu enggak tertarik sama snack lainya?

“Punya lo aja udah banyak, udah lah nanti gue nebeng aja,” jawabnya enteng.

Keduanya kembali berjalan lagi walau kadang sembari jalan, tangan Stella mengambil beberapa barang yang ia rasa di butuhkan dan menaruhnya di trolly begitu saja.

“Kurang apa lagi nih?” tanya Jelang. Ini untuk pertama kalinya dia belanja bulanan begini, jadi enggak banyak yang Jelang tahu. Bahkan Jelang gak expect kalau belanjaan mereka sudah memenuhi 2 trolly sekaligus.

“Tinggal ambil deterjen aja abis itu bayar deh.”

Jelang mengangguk, “gue gak pernah tau kalo belanja bulanan sebanyak ini.” Jelang terkekeh pelan.

“Ya gimana tau, lo aja jarang pulang. tau gak, Lang. Irene tuh sampe ngira elu tuna wisma karna sering banget tidur di kantor dari pada pulang. Dia juga pernah ngeliat lo jadi tukang antar makanan.” jelas Stella sembari menaruh barang-barang yang mereka beli di meja kasir.

“Iya, waktu itu gue ada penyamaran buat kasus pencurian motor di parkiran liar terus gak sengaja ketemu dia, tapi bisa-bisa nya dia nyebut gue gelandangan. Sialan, gue punya rumah yah!” pekik Jelang enggak terima, Mbak kasir yang lagi mengemasi barang-barang mereka yang sudah di scan jadi ketawa dengernya.

“Ya karena dia lebih sering liat lo tidur di kantor sampe jarang ganti baju, dasar jorok.”

Jelang ingin menanggapi ucapan Stella, namun ponsel di saku nya itu bergetar dan membuat omelannya tertahan, Ada panggilan dari orang tua nya.

“La, Ibu nelpon. Gue angkat dulu ya sebentar.”

Stella hanya mengangguk, ia benar-benar kerepotan memindahkan barang-barang mereka ke meja kasir. Sementara itu, Jelang mengangkat telfon dan keluar dari barisan antrean.

“Halo, kenapa, Buk?”

Lang, rumahmu dekat sama Podomoro University kan?” tanya Ibu to the point.

“Iya, kenapa, Buk?”

gini, Lang. Tristan kan keterima di sana, Ibu sama Bapak nyuruh dia untuk tinggal sementara di rumah kamu. Kasian, dia kan jauh dari Ibu dan Bapaknya. Ekonomi mereka juga lagi jatuh, Tristan bisa kuliah juga berbekal beasiswa nya. Gapapa? Nanti biar Ibu juga minta izin sama Stella.

Tristan itu sepupu nya Jelang, anak dari Adiknya Ibu di Solo. Meski agak menyebalkan, tapi Tristan membuat Jelang merasa masih memiliki saudara yang harus ia jaga, setidaknya ia tidak kesepian saat Mas Angkasa sudah tidak ada. Ya meskipun jarak umur mereka jauh.

“Jelang gak masalah si, Buk. Nanti Jelang bilang sama Stella dulu yah, nanti Jelang kabari lagi. Sekarang Tristan ada di mana, Buk?”

ada di rumah ini, baru sampai.

“Nanti suruh dia ke rumah Jelang ya, Buk. Biar Jelang kenalin sama Stella.”

Setelah selesai menerima telfon dari Ibu, Jelang balik menghampiri Stella, gadis itu sudah selesai membayar, barang-barang mereka juga sudah di kemas dan sudah berada di trolly, sekarang gadis itu sedang duduk menunggu Jelang sambari memakan es krim semangka yang ada di tangannya.

Ada beberapa anak kecil, dan Stella mengajak mereka berbicara. Meskipun terlihat kuat, mandiri dan tegas. Stella itu punya hati yang lembut dan memiliki jiwa keibuan, buktinya anak kecil gampang sekali akrab dengannya.

“Udah?” tanyanya begitu Jelang sampai.

Jelang hanya mengangguk, “mau langsung pulang?”

Alih-alih menjawab, Stella justru membukakan satu bungkus es krim rasa semangka untuk Jelang. “Cobain deh ini enak banget, Lang.”

Jelang yang tiba-tiba dijejali es krim ke mulutnya itu hanya bisa menerimanya dengan pasrah, dan ekspresi wajahnya itu membuat anak kecil yang sedang bicara dengan Stella tadi terkekeh.

“Kak, itu Suami Kakak?” tanya bocah perempuan itu.

Stella hanya tersenyum sembari mengangguk pelan sebagai jawaban.

“Om nya ganteng..” ucap bocah itu lagi yang berhasil membuat Stella gemas.

Keduanya akhirnya pulang ke rumah, di perjalanan, sembari bercerita banyak hal termasuk soal Tristan. Stella menyuapi Jelang es krim yang tadi ia buka, tangan Jelang sibuk berkonsentrasi untuk menyetir.

“Tapi gue sama sekali enggak keberatan kok, Lang. Kalo semisalnya Tristan mau tinggal di rumah kita, kan masih ada satu kamar lagi.”

“Beneran?” tanya Jelang memastikan.

“Iya beneran, nanti kita rapihin lagi deh. Biar lebih nyaman. Kapan dia mau dateng?”

“Sore ini, gue mau ngenalin dia sama lo dulu.”

Stella mengangguk-angguk, melihat sela bibir Jelang yang belepotan, Stella jadi terkekeh. Ia akhirnya mengambil tissue yang ada di mobil Jelang dan membersihkan sela bibir Suaminya itu.

“Lo makanya belepotan,” gerutu Stella, seraya membersikan sisa es krim yang mengotori bibir Jelang.

“Lo nyuapinya asal-asalan ah.” jujur dalam hati Jelang ingin berteriak karena jantungnya berdegub tidak karuan, tiap kali Stella memeluknya, menatapnya atau bahkan saat sekarang ini. Apapun yang Stella lakukan untuknya, bisa membuat jantung Jelang berdegub gila-gilaan.

“Nanti gue mau masak biar kita bisa makan bareng Tristan.” ucapnya setelah ia selesai membersihkan sela bibir Jelang.

Begitu Jelang dan Stella sampai di masjid tempat kedua nya mengadakan akad nikah, Jelang dan Stella langsung di bawa ke ruang make up. Ibu marah banget sama Stella karena bisa-bisa keduanya terlambat, penghulu yang akan menikahkan keduanya juga sibuk dan masih ada jadwal menikahkan mempelai lain.

Bahkan keduanya tidak pulang ke rumah, semalam keduanya menghabiskan malam di rumah sakit, bahu Stella cidera dan butuh penanganan yang tepat. Sialnya keduanya tertidur saat Stella sudah selesai melakukan pemeriksaan dan tinggal menunggu hasil.

“Budhe, gimana ini? Penghulunya udah mepet banget. Kalo nunggu Mbak Stella di make up, penghulunya bilang mau menikahkan dulu di tempat lain nanti ke sini lagi,” ucap Bianca sepupu Stella.

“Duh, Buk. Aku gak usah make up deh, yang penting nikah dulu aja,” kata Stella, dia gak masalah menikah dengan baju yang ia pakai kemarin kerja. Yang penting penghulunya tidak terlambat, Stella gak mau menyusahkan orang lain.

“Yang bener aja kamu!!” pekik Ibu. “Bi, suruh tunggu sebentar aja dulu, Bi.”

“Duh, Budhe..”

Karena merasa tidak enak sudah membuat penghulunya menunggu, Stella akhirnya berdiri. Ia akhirnya keluar lebih dulu dan mengabaikan panggilan Ibu yang menyuruhnya untuk kembali duduk, bersamaan dengan Stella yang keluar dari ruang make up pengantin wanita, Jelang juga keluar dari ruangan pengantin pria. Laki-laki itu juga sama, masih mengenakan leather jacket berwarna hitam yang kemarin ia pakai.

“Lo gapapa gue begini aja, Lang?” tanya Stella.

Jelang hanya mengangguk, “gue aja masih pake baju kemarin,” ucapnya.

Keduanya sempat terkekeh pelan sebelum menuju ke ruang akad bersama, di sana sudah ada keluarga besar keduanya, dan beberapa rekan kerja mereka berdua. Semuanya tampak heran dengan Jelang dan Stella yang hanya mengenakan pakaian casual.

Namun, biarpun begitu akad nikah berjalan dengan lancar dan khidmat, selesai akad pun mereka sempat mengadakan foto bersama. Hari itu entah kenapa, meski mengenakan baju sehari-hari yang biasa Stella pakai kerja. Tapi di mata Jelang, Stella tampak lebih cantik dari biasanya.

“Jadi semalam Stella di serang sama orang gak di kenal? Sampai bahu nya cidera? Ya ampun, Nak. Pantes aja perasaan Ibu tuh udah enggak enak pas kamu pamitan kerja,” ucap Ibu setelah Jelang dan Stella menjelaskan kemana mereka berdua semalam.

“Kamu memang gak jemput Stella, Lang?” tanya Bapaknya Jelang.

“Jelang juga lagi dalam perjalanan, Pak. Begitu dapat laporan, Jelang langsung ke BFN kasus nya juga udah di pegang sama penyidik lain. Setelah ini Jelang pastiin Stella gak akan kenapa-kenapa,” ucap Jelang percaya diri.

Beruntungnya kedua orang tua mereka mereda setelah mendapatkan penjelasan, acara pernikahan yang sederhana itu pun masih berjalan. Kedua nya sempat makan, setelah itu Stella mengajak Jelang naik ke rooftop gedung sebelah masjid mereka mengadakan akad nikah.

Stella ingin menghindari banyak tamu, ia hanya ingin berduaan dengan Jelang dan membahas banyak hal untuk kehidupan mereka berdua setelah pernikahan ini.

“Malam ini kita langsung pindah aja ya, Lang? Lo capek gak?” tanya Stella memecahkan hening di antara mereka.

“Mana ada kenal kata capek gue, La.”

“Sombong,” Stella menyenggol lengan Jelang, kemudian menenggak sekaleng cola yang ia ambil barusan.

“Barang-barang di kamar gue sama rumah lo udah di pindahin ke rumah kita, gue gak tau bakalan sepenuh apa, gue yakin masih berantakan. Nanti kita beresin dulu.”

“Besok lo udah cuti kan?” tanya Jelang.

“Um,” Stella mengangguk. “Kenapa?”

“Mau belanja bulanan buat di rumah gak? Nanti gue temenin.”

“Lo gak kerja?”

“Gue mau istirahat sehari.”

Stella mengangguk, seulas senyum tipis menghiasi wajahnya itu ia sembunyikan agar Jelang tidak melihatnya. Meski sederhana dan di mata orang lain mungkin mereka terkesan tidak seperti niat menikah, tapi Stella sangat menghargai pernikahan ini. Ia bahagia, ini menjadi hari terbahagia dalam hidupnya.

“Lang?”

“Hm?”

Stella menghembuskan nafasnya, memperhatikan langit yang siang itu terlihat cerah. Warna nya biru dan awa putih berjalan pelan bagai kapas di atas sana dengan hembusan angin yang menerpa wajah keduanya.

“Kalau hari besok enggak pernah ada, apa yang mau lo lakuin hari ini?” tanya Stella.

Jelang urung menjawab, ia hanya memperhatikan wajah cantik perempuan yang hari ini sudah menjadi istrinya itu.

“Kenapa nanya kaya gitu?” alih-alih menjawab Jelang justru malah balik bertanya.

“Gapapa mau tau aja, lo tau kan, Lang. Kerjaan kita beresiko, kapan aja orang bisa ngancam, nikam, bahkan kita mungkin bisa di bunuh. Kita bisa mati kapan aja di tangan orang lain, Lang.”

“Semua orang bakalan mati, La.”

“Ck,” Stella berdecak. “Ya Udah, jadi apa?”

Keduanya saling melempar tatapan satu sama lain, seperti sedang menelisik dan membaca pikiran masing-masing melalui tatapan. Sampai akhirnya Jelang lebih dulu membuang pandanganya ke arah lain.

“Gue udah lakuin hal itu sekarang,” jawabnya.

“Apa?”

“Menikah,” ucapnya enteng.

“Nikah?”

Jelang mengangguk, “seenggaknya gue udah wujudin maunya orang tua gue, La. Mereka pengen banget liat gue nikah. Kalo hari besok enggak ada, setidaknya mereka udah bahagia karena gue hari ini.”

“Lo sendiri?” kini Jelang balik bertanya. Dia mau tau apa yang ingin Stella lakukan hari ini jika hari besok tidak ada.

“Setidaknya, gue udah punya rumah sendiri. Gue udah tinggal di rumah yang kita beli,” jawab Stella sembari menoleh ke arah Jelang.

Stella kemudian berbalik dan kembali menatap langit dan menikmati semilir angin siang itu. Setelah acara pernikahan keduanya selesai, Jelang dan Stella sempat berpamitan dengan kedua orang tua mereka, mereka akan segera menempati rumah baru mereka.

Di perjalanan, Stella sesekali bergumam menceritakan makanan-makanan ringan yang akan ia beli besok, membuat daftar belanja untuk mengisi rumah mereka. Dan Jelang yang saat itu sedang menyetir hanya bisa mengangguk, sambil sesekali menimpali kebutuhannya juga yang harus ia masukan ke dalam daftar belanjaan tersebut.

Begitu sampai di rumah mereka, keduanya langsung menata barang-barang mereka di kamar dan sebagian di ruang tamu. Jauh dari perkiraan Stella, barang-barang milik mereka enggak banyak ternyata, bahkan kamar mereka berdua hanya terisi oleh ranjang, lemari dan meja rias.

Sedangkan kamar kedua hanya terisi kasur kecil milik Jelang, rak sepatu yang belum mereka tata dan lemari kayu yang tadinya itu milik Stella. Sementara di ruang tamu, hanya terisi sofa baru dan meja TV yang belum ada TV nya saja.

“Rumah kita lowong banget, gue pikir barang-barang kita udah banyak,” ucap Stella, ia memberikan segelas air ke Jelang setelah mereka selesai merapihkan barang-barang.

“Nanti kita isi sama barang-barang lagi, pelan-pelan aja, La.”

“Lang?”

“Hm?”

“Kita kayanya harus cetak foto pernikahan kita berdua deh, terus di taruh di ruang tamu.” Stella ngerasa dinding rumah mereka terlalu kosong, ada beberapa piala penghargaan milik Jelang dan miliknya juga, namun piala-piala itu belum Stella susun, masih ada di dalam kardus.

“Maksudnya foto nikah kita yang pake baju casual itu?” tanya Jelang yang di jawab anggukan kecil oleh Stella.

“Lang, itu foto punya sejarah panjang buat kita. Orang-orang yang bertamu harus liat sih.”

Jelang hanya terkekeh sembari menggeleng kepalanya pelan, lelah karena menata barang-barangnya malam ini hilang begitu saja ketika melihat Stella tersenyum. Besok pagi, ia akan membawa foto mereka ke studio foto untuk mencetaknya dalam ukuran besar.

Malamnya keduanya tidur di kamar yang sama, tidak seranjang karena jika mereka tidur seranjang akan sempit. Ranjang yang di pakai kebetulan ranjang dari kamar Stella yang berbentuk 2 in 1, ada dua ranjang yang bisa di tarik dari bawah. Stella tidur di ranjang atas sementara Jelang di bawah.

Kamar mereka juga belum ada korden, mereka hanya menutupi jendela itu dengan selimut panjang milik Jelang. Dan kini keduanya berbaring di ranjang mereka masing-masing.

sembari menatap kosong langit-langit kamar mereka yang sudah gelap karena lampu yang sudah di matikan. Satu-satunya cahaya kecil yang masuk ke kamar itu hanya cahaya dari lampu taman kecil rumah mereka.

Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing tentang apa yang sudah mereka lalui, dan lakuin bersama hari ini.

“La?”

“Um?”

“Lo tau gak alasan kenapa gue mau jadi polisi?” tanya Jelang tanpa menoleh ke arah Stella.

“Kenapa?”

“Bapak gue itu sebenarnya bukan Bapak kandung gue, La. Bapak gue udah lama meninggal, bareng sama Mas Angkasa,” gumam Jelang.

“Lo punya Abang, Lang?” tanya Stella, ia menoleh ke bawah dan melihat Jelang mengangguk, cowok itu masih melihat ke arah langit-langit kamar mereka. Seolah-olah di atas sana ada sebuah cerita yang akan ia ceritakan untuk Stella.

“Dulu waktu gue umur tujuh tahun, Ibu lagi keluar, La. Jagain nenek gue yang sakit, sementara gue, Mas Angkasa sama Bapak di rumah. Waktu itu, gue sama Mas Angkasa tidur. Tapi gak lama kami dengar ada bunyi-bunyi aneh dari luar, Mas Angkasa akhirnya meriksa, begitu dia balik ke kamar. Mukanya panik, dia nangis ketakutan, La. Dia suruh gue ngumpet di lemari kayu dan ngunciin gue di sana,” Jelang masih ingat jelas kejadian yang membuatnya takut dengan lemari kayu kala itu.

“Gue ngintip dari lubang kecil di sana, gak lama. Gue liat dua orang laki-laki masuk ke kamar gue sama Mas Angkasa, Mas Angkasa di tarik, La. Dia di pukuli padahal waktu itu umurnya masih sembilan tahun, sampai akhirnya gue liat orang itu nikam Mas Angkasa berkali-kali sampe dia meninggal,”

“Dua bulan, La. Polisi masih nyari orang yang udah bunuh Bapak sama Mas Angkasa. Sampai akhirnya, gue liat orang itu di deket sekolah gue. Gue gemetar, gue takut. Tapi gak lama gue liat ada polisi yang ngejar orang itu, beliau yang udah menangkap perampok sekaligus orang yang bunuh Bapak sama Mas Angkasa, meskipun dia sendiri jadi korban akhirnya, Laki-laki itu bikin perlawanan sebelum akhirnya di tangkap, La. Sejak itu gue kepengen jadi polisi.”

Stella enggak tahu kalau keinginan Jelang buat jadi polisi memiliki cerita tragis, waktu bercerita, mata laki-laki itu juga berkaca-kaca, Jelang seperti ingin menangis namun ia tahan.

“Lo mau gantiin polisi itu, Lang?” tebak Stella, yang di jawab anggukan oleh Jelang.

“Namanya Pak Juna, beliau polisi yang tangguh, La. Udah nangkap banyak penjahat, dan waktu itu rekan kerjanya banyak banget yang kehilangan beliau. Waktu gue nangis pas beliau minta gue cerita soal kejadian yang gue alami, Pak Juna janji ke gue kalau dia enggak akan biarin pelakunya tidur dengan tenang. Dan dia tepati janji itu, La. Pelaku enggak pernah bisa tidur tenang waktu tau vonis hakim ngasih dia hukuman mati.”

Jujur, hati Stella sakit mendengarnya. Mungkin itu semua juga alasan di balik kenapa Jelang tidur lebih sebentar dan libur lebih sebentar dari orang-orang lain, Jelang lebih sibuk bekerja dan menangkap penjahat di luar sana, meski kadang beberapa kali ia pulang dalam keadaan terluka.

Tangan Stella terulur ke bawah, mengusap surai legam milik Suaminya itu dengan penuh kasih sayang.

“La, kalau suatu hari nanti gue luka parah, apa yang bakalan lo lakuin?”

Stella tampak berpikir sebentar, ia tidak bisa membayangkan melihat Jelang terluka parah, Ia tidak ingin itu terjadi.

“Tangkap penjahat sejauh apapun mereka berlari, Lang. Gue berharap lo gak akan pulang dengan luka, tapi kalau pun lo terluka. Gue bakalan datang buat sembuhin luka-luka itu.”

Jawaban itu membuat Jelang tersenyum, malam yang biasanya ia lalui dengan rasa kesepian dan penuh takut itu berubah menjadi malam yang indah hanya karena pancaran mata Stella yang menatapnya hangat. Di tariknya tangan Istrinya itu, dan ia ciumi punggungnya. Malam itu, mereka habiskan separuhnya untuk saling bercerita sampai akhirnya mereka tertidur.

To Be Continue

“Iya, Buk. Sebentar lagi Stella pulang,” ucap Stella, sembari menerima panggilan Ibu nya, ia sembari membereskan meja nya.

Ini sudah jam sebelas malam, dan besok adalah acara akad nikah Jelang dengan Stella. Dan hari ini kedua calon pengantin itu masih bekerja, Stella sudah akan pulang. Tapi Jelang masih berada di lapangan untuk penyelidikan.

Kamu nih sama Jelang niat nikah gak sih, La. Besok pagi loh udah akad kalian, tapi masih bisa-bisa nya kerja,” omel Ibu sepanjang telfon.

“Iya, Ibu ini Stella udah mau pulang beneran, kalo Stella jawab Ibu terus Stella gimana nyetirnya? Stella tadi juga udah telfon Jelang kok, dia juga udah perjalanan pulang.”

yaudah, hati-hati kalo begitu. Ibu tunggu di rumah ya, La.

“Hhmm.. Dah Ibu.”

Setelahnya Stella menyimpan ponselnya di saku celananya, dan bergegas untuk keluar dari gedung BFN. Gedung sudah tampak sepi, rencananya Stella ingin memakai jatah cutinya selama dua hari setelah akad nanti, makanya hari ini ia harus lembur demi menyelesaikan beberapa visum et repertum nya.

Tidak ada yang mencurigakan malam itu sampai akhirnya Stella melihat bayangan laki-laki di kaca mobilnya, alih-alih langsung membuka pintunya Stella berusaha tenang. Ia pun akhirnya berbalik, dan menghindar saat lelaki yang di tutupi wajahnya dengan masker, topi dan pakaian serba hitam itu menyerangnya lebih dulu.

Karena dulu ingin menjadi polisi, Stella ini banyak di bekali ilmu bela diri yang lumayan. Begitu berhasil menghindar, Stella memberikan serangan pada laki-laki itu dengan kakinya. Ia menendang bagian terlemah seperti perut dan juga bagian belakang kakinya, agar laki-laki itu tumbang. laki-laki itu sempat terjatuh, Namun tidak lama karna ia kembali menyerang Stella.

Laki-laki itu menendang bahu Stella dengan kencang sampai ia mundur beberapa langkah dari tempatnya berdiri, jujur, bahunya terasa ngilu namun Stella masih bisa menahannya.

“Arghhhh brengsekkk siapa lo!!” pekik Stella, laki-laki itu lumayan tangguh, tapi Stella jauh lebih unggul.

Pada serangan ketiga yang ia beri pada uluh hati dan membanting lawan ke tanah, ia berhasil membuat lawannya tumbang dan mengunci kedua lengan lawan ke belakang tubuhnya. Tidak lupa, Stella juga menindihi laki-laki itu dengan duduk di atasnya.

Laki-laki itu masih diam, karena tidak mendapatkan jawaban, Stella akhirnya membuka topi dan masker yang menutupi wajah laki-laki yang menyerangnya. Laki-laki yang tidak Stella kenali sama sekali, tapi Stella punya feeling jika laki-laki itu adalah preman bayaran yang di pakai untuk menyerangnya.

“Lo di bayar sama siapa? Jawab!!” sentak Stella.

“Ampun, Mbak. Lepasin Mbak, saya bisa jelasin.” rintih laki-laki itu pada Stella.

Stella tidak ingin lengah, untungnya ia sempat menaruh beberapa kabel ties di kantung bajunya. Jadi ia ikat kedua tangan laki-laki itu dengan kabel ties dan masih menahannya tepat di depan mobilnya. Stella juga menelfon polisi untuk membuat laporan bahwa ia di serang.

“Jawab, siapa yang nyuruh lo brengsek!!” Stella teriak dan menarik kerah baju yang laki-laki itu pakai.

“Tangan kanan nya Pa...Pak Gatot,” jawab laki-laki itu dengan suara yang bergetar.

Stella menghela nafasnya pelan, sesuai dengannya. Stella memang sedang menangani kasus yang meresahkan akhir-akhir ini.

Dua minggu yang lalu, Stella sempat mengautopsi jasad anak-anak yang di duga gelandangan, karena tidak memiliki identitas dan tidak memiliki keluarga sama sekali. Ada sekitar lima belas jasad yang Stella dan tim forensik autopsi, dan yang lebih mengejutkannya lagi, beberapa organ tubuh mereka ada yang hilang.

Kebanyakan yang di ambil adalah ginjal dan yang kedua adalah jantung, ini adalah sindikat penjualan organ tubuh ilegal yang melibatkan gelandangan sebagai target utama mereka mendapatkan organ.

“Bilang sama bos lo, gue pastiin dia bakalan dapat hukuman berlipat ganda setelah lakuin hal ini ke gue!” ancam Stella.

Tidak lama kemudian mobil polisi pun tiba, sesuai dugaan Stella. Ada Jelang dan Davin juga di sana. Jelang tampak khawatir berlari ke arah Stella yang kini duduk di depan pintu masuk gedung BFN.

“Lo gapapa, La? Ada yang luka gak?” tanya Jelang, ia memeriksa tangan dan leher Stella. Namun semuanya baik-baik saja, tidak ada luka sedikit pun.

“Gue gapapa, Lang. Lo tuh harusnya khawatir sama yang nyerang gue, karna dia babak belur banget,” jawab Stella dengan kekehannya.

“Brengsek!! Tunggu disini sebentar.”

Setelah mengatakan itu, Jelang pergi sebentar dan menahan Davin yang tengah memborgol laki-laki yang menyerang Stella. Emosi Jelang sudah di ujung kepalanya apalagi masalah ini menyangkut keselamatan Stella.

“BRENGSEKKK!!!”

BUG

Jelang memberikan bogem mentah pada lelaki itu tepat di wajahnya hingga darah segar mengalir di sekitar bibir dan hidungnya. Sebelum Jelang semakin naik pitam, akhirnya Stella berlari ke arah Jelang dan menahan tangan cowok itu. Sementara Davin dan polisi lainya berusaha melindungi laki-laki tadi dari serangan Jelang.

Biar bagaimana pun juga, tersangka harus tetap di lindungi dan di adili di pengadilan.

“Lang, Lang. Udah, biar ini semua di proses secara hukum aja,” kata Stella, tangannya masih menahan lengan Jelang.

“Dia udah hampir bikin lo celaka, La! Heh!! Ingat lo, lo bakal ketemu gue lagi di ruang interogasi!!” teriak Jelang.

“Bang, udah, Bang. Ini biar jadi urusan gue, lo fokus aja buat besok yah.” kata Davin menimpali, setelah laki-laki tadi di bawa masuk ke mobil.

“Dok, mending sekarang lo ajak Bang Jelang balik deh, dia udah capek banget kayanya,” lanjut Davin.

Stella mengangguk pelan, “thanks ya, Vin.”

Begitu mobil polisi dan mobil yang membawa laki-laki tadi meninggalkan gedung BFN, barulah Stella menggandeng Jelang untuk masuk ke dalam mobilnya. Nafas cowok itu masih memburu, Stella tahu Jelang masih berusaha mengontrol emosinya. Terlihat dari bagaimana kedua tangan itu mengepal hingga buku-bukunya memutih.

“Lang?” panggil Stella. Cowok itu tidak menjawab tapi Jelang menoleh ke arahnya.

“Gue gapapa.” Stella berusaha menyakinkan Jelang, ia tersenyum dan menunjukan pergelangan tangannya yang sedikit memerah. “Cuma punggung tangan gue aja yang lecet dikit, kayanya nghajarnya kekencangan.”

“Lo lagi megang kasus apa sih, La?” tanya Jelang tegas.

Stella hanya menghela nafasnya pelan, ini bukan kejadian yang pertama. Tapi sudah lima kali Stella mendapatkan serangan seperti ini. Kadang dia merasa beruntung, karena Tuhan masih melindunginya di tengah pekerjaannya yang sangat berisiko..

“Sindikat penjualan organ manusia ilegal, korban nya kebanyakan tuna wisma yang gak punya keluarga, targetnya anak-anak, remaja sampai orang usia 40an.”

“Siapa yang megang kasusnya?”

“Lang..”

“Siapa, La?”

“Ipda Hema,” jawab Stella. “Lang, udahlah. Gue juga gapapa kok.”

Jelang baru bisa mengendalikan emosinya, setelah memperhatikan wajah Stella lamat-lamat. Ia akhirnya mengangguk, dia lega Stella gak kenapa-kenapa. Demi membuat Jelang jauh lebih lega, akhirnya Stella memeluk cowok itu, ia merangkul Jelang dan menepuk-nepuk punggungnya.

“Gue gapapa, Lang. Makasih udah datang yah..”

“Gue datang terlambat, La..”

Stella hanya tersenyum, begitu Jelang memeluk pinggangnya dan membuat jarak diantara mereka semakin terkikis, barulah Stella merasakan nyeri yang menjalar di bahunya.

“Aw.. Lang, sakit..” rintih Stella yang membuat Jelang melepaskan pelukan mereka.

“Kenapa, La?”

“Bahu gue, kayanya cidera. Gue sempet di tendang sama laki-laki tadi.”

“Ke rumah sakit yah, gue gak mau itu makin parah.”

Lelaki jangkung itu memasuki ruangannya setelah selesai melakukan autopsi siang ini, masih ada 2 autopsi lagi yang menunggu, namun ini sudah memasuki jam makan siang dan perutnya juga terasa keroncongan. Jadi ia memutuskan untuk makan siang lebih dulu.

Sebelum bergegas keluar untuk ke kafetaria, ia duduk dulu di kursinya. Ponsel yang ia taruh di meja nya itu bergetar dan menampakan nama orang terkasihnya di sana. Itu dari Istrinya, Istri yang sudah 6 bulan ini tidak tinggal bersama nya.

Setelah membaca sederet pesan itu, ia menyandarkan punggungnya di kursi. Sembari memejamkan matanya sebentar, namanya Galuh Patih Ardi, dia adalah dokter forensik yang bekerja di BFN. Ardi sudah menikah dan memiliki 1 orang anak perempuan berumur 3 tahun.

Namun sayang, sepertinya pernikahan yang baru ia jalin selama 4 tahun itu harus kandas sebentar lagi, barusan Istrinya mengirimkan file berisi gugatan perceraian mereka. Ardi sudah tidak kaget lagi dengan itu, ia sudah tahu dan sudah membicarakan ini semua dari awal.

Ardi pikir hidup dalam pernikahan yang tidak di restui oleh kedua belah pihak keluarga tidak akan serumit ini, ternyata ia salah. Ini jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan, awal nya Ardi masih gigih untuk bertahan apalagi dengan makian orang tua dari Istrinya. Namun lama kelamaan, ia merasa lelah.

Belum lagi Ardi yang akhirnya tahu jika setelah anak mereka lahir, Istrinya itu dekat dengan laki-laki lain. Itu menambah pikiran dan hatinya yang mulai goyah, sampai akhirnya Ardi meninggalkan rumah dan putri kecil mereka.

“dokter Ardi gak makan siang?” tanya Seorang asisten forensik yang kebetulan masuk ke ruanganya.

“Ini mau makan siang, ah iya, ngomong-ngomong dokter Stella kemana? Saya enggak liat dia hari ini.”

“dokter Stella lagi keluar, Dok. Katanya ada urusan sebentar, nanti setelah jam makan siang dia balik kok.”

Ardi mengangguk, akhirnya ia memutuskan untuk makan siang lebih dulu. Kafetaria yang ada di BFN hari ini agak sedikit ramai, tapi Ardi lebih memilih untuk makan sendirian di pojok kafetaria alih-alih bergabung dengan rekan-rekanya yang lain. Ia harus menenangkan hatinya dulu.

Biasanya saat sedang resah seperti ini, Ardi akan bercerita dengan Stella. Mungkin nanti Ardi akan menceritakan itu dengan Stella. Setelah badai rumah tangga yang di laluinya, ia mengenal Stella. Perempuan yang tangguh yang selalu menjadi pelipur lara nya akhir-akhir ini.

Katakan ia memang perasa, karena merasa Stella selalu ada untuknya. Perasaan untuk gadis itu tumbuh begitu saja, rencananya setelah perceraiannya dengan mantan Istrinya itu selesai, Ardi berniat ingin menyatakan perasaanya dengan Stella.

Urusan nanti jika Stella menolaknya, pernah dulu Ardi tanya apa Stella pernah memiliki hubungan dengan orang lain sebelumnya, dan Stella menjawab jika ia tidak punya hubungan sebelumnya. Hidup Stella hanya di sibukan dengan belajar dan bekerja keras selama ini.

Sedang asik memikirkan perempuan yang ia sukai, tidak di sangka jika sosok itu muncul di hadapanya. Stella dengan rambut panjangnya yang selalu ia ikat, Stella cantik namun tidak begitu memperdulikan penampilanya.

“Parah-parah, pada makan gue gak di tungguin,” Stella menggelengkan kepalanya, seolah-olah ia kecewa karena Ardi makan lebih dulu tanpa menunggu dirinya.

Ardi hanya terkekeh, apalagi melihat nampan dengan isian lauk dan nasi yang lebih banyak dari porsi dirinya. Stella memang makan lebih banyak, dia bilang kalau pekerjaan mereka lebih membutuhkan banyak pikiran dan itu sangat menguras energinya sehingga membuat dirinya jadi mudah lapar.

“Lo abis dari mana aja emang? Kita ada autopsi juga.” timpal Ardi.

“Gue abis survey rumah.”

“Rumah? Mau pindah lo?”

Stella hanya mengangguk sembari sesekali tersenyum saat makanan masuk ke dalam mulutnya, kadang Ardi berpikir jika Stella cocok menjadi pembawa acara kuliner ketimbang bekerja di forensik. Ardi ingin mengambil ikan goreng miliknya dan menaruhnya di piring Stella, namun gerakanya itu tertahan ketika Stella menatapnya dengan wajah berbinar.

“Di, gue mau nikah,” ucapnya tiba-tiba.

Ardi akhirnya mengurungkan niatnya itu, tenggorokanya tercekat waktu dengar Stella bilang ia akan menikah. Rasanya ia ingin menyangkal, berharap ia salah mendengar, ah tapi tidak, itu terlalu jelas karena Stella berada di depanya.

“Um, sama siapa?”

“Lo kenal Jelang kan?”

Jelang? Laki-laki tengil, emosian dan semaunya sendiri itu? Apa ia tidak salah dengar? Pikir Ardi.

Bagaimana ia tidak kenal dengan Jelang, si Penyidik yang sudah meragukan kemampuanya sampai-sampai ia dan tim forensik lainya harus membuat percobaan demi meyakinkan peryataanya. Percobaan itu memerlukan waktu seharian sampai akhirnya Jelang menyaksikan sendiri dan yakin atas ucapanya.

“Si Polisi rese itu? Lo yakin sama dia, La?”

Rasanya nafsu makan Ardi siang ini sudah lenyap begitu saja, baginya siang ini ia terus mendapat kabar buruk. Oh, bukan cuma nafsu makannya saja yang lenyap. Tapi semangat untuk melanjutkan pekerjaannya hari ini juga ikut lenyap.

“Jelang tuh temen gue dari SMA, Di. Dia baik, ya kalo di pikir-pikir cowok yang deket sama gue ya cuma dia. Makanya pas dia ngajak nikah, ya langsung gue iyain aja,” jelasnya dengan mata berbinar. Stella menjelaskanya terlalu gamblang dengan bagaimana laki-laki itu mengajaknya menikah.

Raut wajah dan matanya tidak bisa berbohong jika Stella bahagia dan jatuh cinta. Setelah makan siang, Ardi enggak melanjutkan pekerjaanya. Dia justru keluar dari gedung BFN untuk menenangkan pikiranya lebih dulu. Ardi berjalan ke coffee shop yang berada di sebrangnya, memesan kopi sembari melamun melihat ramainya lalu lintas siang itu.


“Hubungan Gladis sama Ibu nya baik kok, Pak. Yah memang, Gladis anak yang enggak terlalu banyak ngomong, anak itu pendiam. Sewaktu ada acara di hari Ibu, Gladis dan Ibu nya juga sangat kompak mengikuti lomba,” jelas wali kelas Gladis di SD tempatnya sekolah.

Jelang masih menyelidiki kasus tabrak lari yang saat ini ia curigai sebagai kasus penyiksaan anak, Jelang yakin ada motif di balik ini semua dan Jelang masih terus mencari tahunya.

“Di kelas ada CCTV kan, Buk? Bisa saya lihat CCTV di hari perlombaan itu?”

Wali kelas Gladis itu mengangguk, wanita itu akhirnya mencari file rekaman CCTV di hari perlombaan. Pada rekaman itu, tampak jelas Gladis menyuapi Ibu nya dengan mata yang di tutup kain. Gladis dan Ibu nya tampak akur dan dekat, tidak ada yang mencurigakan hari itu.

Jelang mengangguk pelan, setelah melihat rekaman itu. Ia akhirnya bergegas ke alamat kantor tempat Ibu korban bekerja. ia harus tahu pendapat tetangga dan rekan kerja Ibu korban, tadi pagi sebelum dari SD tempat korban sekolah, Jelang sempat mampir ke daerah rumah korban untuk memintai keterangan dari tetangga sekitar.

“Bu Dina sedang izin, Pak. Sudah 3 hari ini enggak masuk, katanya anaknya kecelakaan lagi. Tapi kemarin dia sempat ke kantor buat klaim asuransi,” jelas rekan kerja Ibu korban.

Kening Jelang mengernyit, “klaim asuransi? Asuransi apa?”

“Jadi kantor memfasilitasi asuransi kecelakaan untuk pegawai dan anaknya, kebetulan asuransi nya Gladis di klaim kemarin dari hasil rekam medisnya katanya luka dan cidera nya lumayan parah sampai harus operasi. Makanya kantor lagi proses pencairannya secepatnya.”

Dan bagai menemui titik terang, Jelang akhirnya bisa tahu motif dari Ibu korban. Kini semua bukti yang ia kumpulkan tinggal ia beberkan semua saat di ruang interogasi nanti.

Setelah menelfon Davin untuk membawa Ibu korban ke ruang interogasi, Jelang menjelaskan sandiwara yang nantinya akan membuat Ibu korban mengaku dengan sendirinya.

Sementara itu, Jelang menuju ke kantor polisi tempatnya bekerja, di perjalanan ia sempat mendengarkan percakapan antara Davin dan Ibu korban melalui earphone nya. Ibu korban terus beralibi padahal Davin sudah memberikan peryataan yang membuatnya mau mengaku.

Begitu sampai di kantor, ia mengumpukan semua bukti-buktinya dan ia bawa ke ruang interogasi. Itu semua adalah bukti rontgen, rekaman CCTV yang sudah di perjelas Hellen jika itu adalah Ibu korban yang menaruh korban di pinggir jalan, membuat sandiwara seolah-olah itu adalah kecelakaan.

Jelang juga sudah punya saksi jika pada malam sebelum jam yang di akui sebagai kecelakaan, tetangga korban sempat mendengar Gladis berteriak kesakitan dan menangis.

“Acting yang sangat bagus, tapi sayang. Ibu gak selamanya bisa terus beracting,” ucap Jelang begitu dia masuk ruang interogasi.

Ia duduk di kursi yang tadinya di pakai Davin, kemudian membuka amplop berlogo rumah sakit yang berisi foto rontgen Gladis.

“Sayangnya, itu bukan kasus tabrak lari seperti yang Ibu bicarakan. Ini penyiksaan anak.” Jelang memberikan foto rontgen itu.

“Bapak itu gak punya bukti, itu jelas-jelas kecelakaan!” sentaknya.

“Gladis dan foto-foto ini adalah buktinya, ah,” Jelang terkekeh “sebenarnya masih ada lagi.”

Tatapan mata yang tajam itu, menatap pelaku dengan tegas dengan rahang yang mengeras. “Ini, ada 16 patahan tulang yang sama. Patahan tulang ini bernilai jutaan, Ibu bisa pakai kecelakaan—ah maksud saya alibi kecelakaan ini sebagai klaim asuransi.”

Penjelasan Jelang barusan membuat pelaku terdiam, tidak ada penyangkalan lagi seperti tadi saat Davin menginterogasinya.

“Pa...Pak..ini semua salah paham, Gladis itu anak yang aktif, sampai-sampai dia sering jatuh dari sepeda dan beberapa kali terserempet motor. Apa saya salah kalau saya mau mengambil uang asuransi cideranya?”

Jelang mengangguk, “lalu gimana dengan ini?”

Davin memutar rekaman CCTV yang di ambil dari dashboard mobil ekspedisi yang sudah di perjelas oleh Hellen. Pelaku mulai ketakutan, terlihat dari bagaimana ia meremas tangannya sendiri di atas meja.

“Anda memukuli Gladis di malam sebelum jam yang anda akui kecelakaan, kemudian membawa Gladis ke tempat yang sepi tanpa CCTV dan menelfon polisi jika ada kecelakaan di daerah itu. Sepanjang acting yang Ibu lakukan, cuma ada 1 hal yang tulus. Menangis memohon pada dokter untuk menyelamatkan Gladis,” Jelang berhenti sebentar, ia menyeringai merasa puas melihat pelaku terintimidasi olehnya.

“Tapi sayangnya itu semua bukan untuk Gladis, tapi untuk pencairan uang asuransi kan?”

Dan tidak lama kemudian Davin mendapat telfon yang membuat raut wajahnya nampak sedih, setelah itu Davin membisikan sesuatu ke Jelang yang membuat Jelang menghela nafasnya berat dan semakin geram dengan Ibu korban.

“Tapi sayangnya uang asuransi itu tidak akan pernah cair, karena Gladis.”

Pelaku menatap Jelang dengan pandangan penuh khawatir, ia sudah ketahuan dan kalah telak dengan semua bukti-bukti yang di kumpulkan oleh penyidik.

“Ada apa sama Gladis?”

“Anak itu meninggal.” lanjut Jelang.

Di kursinya, Pelaku menangis dan beberapa kali menjerit saat mengetahui anak yang ia siksa demi asuransi itu meninggal dunia. Kasus ini pun memberatkan pelaku dan menambah hukumannya, setelah selesai melakukan interogasi. Jelang keluar dari sana, ia melajukan mobilnya menuju rumah sakit tempat anak itu meninggal.

Rasanya ingatan buruk itu kembali memenuhi kepalanya, kilasan masa lalu kelam yang pernah Jelang alami, membuat dadanya sesak sampai ia harus memukulnya beberapa kali demi meredakan rasa sesak itu.

To Be Continue

Jelang memperhatikan tim forensik menelusuri TKP di sepanjang jalan yang menjadi tempat kejadian tabrak lari semalam, matanya menelisik ke beberapa kendaraan yang lewat. Dia masih mencari bukti sekecil apapun itu untuk mendapatkan petunjuk dari mobil yang menabrak seorang anak kecil berusia 6 tahun.

Malam tadi, Jelang mendapatkan laporan dari seorang wanita berusia 50 tahun. Ibu dari korban yang anaknya di tabrak oleh mobil sedan berwarna hitam, korban tertabrak hingga terpental dan mengalami pendarahan di kepalanya. Jelang belum melihat korban lagi di rumah sakit karna harus fokus mencari bukti sekecil apapun itu di TKP.

Sialnya, di jalan yang menjadi kasus tabrak lari itu tidak ada CCTV sama sekali. Kawasan bekas gudang pabrik yang memang jarang di lalui orang-orang jika sudah malam. Rasanya Jelang sedang di ajak bermain teka teki dengan kasus ini.

Bukan hanya ia yang merasa bingung, tim forensik lainya juga. Karena dengan luka yang parah pada tubuh terutama kepala korban, rasanya tidak mungkin pelaku tabrak lari tidak meninggalkan bukti sedikit pun, seperti bekas selip ban di aspal, atau kaca lampu mobil bagian depan yang patah.

“Ada yang aneh,” gumam Jelang.

“Ada apa, Lang?” tanya Pak Wira si kepala penyidik.

“Ini aneh, Pak. Ibu korban mengaku ini tabrak lari, tapi sejauh ini kita gak nemu bukti apa-apa. Enggak ada tanda bekas selip ban di aspal seperti kebanyakan kecelakaan,” jelas Jelang.

“Kamu udah cek CCTV di kedua pertigaan sana, Lang?”

Jelang mengangguk, semalam dia bergegas memeriksa CCTV di pertigaan jalan sana. Namun tidak ada mobil sedan berwarna hitam yang Ibu korban ceritakan lewat. Hanya ada motor kurir pengantar makanan siap saji, dan mobil dari ekspedisi, kedua plat kendaraan itu juga sudah Jelang catat. Siapa tahu mereka sempat melihat kecelakaanb itu.

“Gak ada mobil sedan berwarna hitam lewat, Pak. Cuma ada mobil ekspedisi dan beberapa kurir delivery restoran ayam.” Jelang diam sebentar, sepertinya ia tahu harus mencari jalan keluar untuk kasus ini kemana.

Ia kemudian terburu-buru masuk ke dalam mobilnya tanpa sempat berpamitan kepada Davin yang masih sibuk bersama tim forensik dan Pak Wira yang ia tinggalkan begitu saja.

“Lang, mau kemana kamu?” teriak Pak Wira.

“Ada yang harus saya pastiin dulu, Pak.” ucapnya sebelum ia tancap gas meninggalkan TKP.

Di dalam mobil Jelang memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika kasus ini bukan kasus kecelakaan biasa. Sembari menyetir, Jelang menelfon Kirana, dia adalah perawat yang membawa korban ke rumah sakit semalam, Ia harus memastikan 2 hal sekaligus.

“Ki, gimana perkembangan korban?”

“*karena pendarahan semalam, korban mengalami kerusakan otak, Lang. Korban masih belum sadar, dokter juga bilang kalau korban harus segera di operasi, tapi ada yang aneh sama hasil rontgen nya.*”

“Aneh?” kening Jelang mengernyit “aneh gimana?”

“Iya aneh, karena beberapa tulang jari kaki dan tangan patah. Adanya tanda-tanda kalus tulang¹, osteogenesis², subperiosteal³—

“Ki, Ki. Bisa gak jelasin yang singkat aja?” belum sempat Kirana menjelaskan keseluruhannya, Jelang sudah menyela ucapannya. Kesamaan Kirana dan Stella adalah mereka suka berbicara hal medis yang Jelang tidak tahu jika tidak di beri penjelasan.

massa sel yang tidak terorganisir yang terbentuk pada jaringan luka. Kalus lebih kaku dari gumpalan darah, tapi tidak sekuat tulang. Jadi kalau kalus bergerak, maka bisa pecah dan penyembuhan patah tulang bisa lebih lama. Dengan kata lain, cedera ini terjadi karena adanya gaya geser benda tumpul. Tapi kenapa harus di jari-jari tangan dan kakinya? Ini lebih mirip sama luka yang di alami sama kasus penyiksaan anak tempo hari

Jelang menghela nafasnya pelan, “ada lagi keanehan lainya?”

Ada luka lebam di paha, dan kakinya, kalau ini akibat kecelakaan semalam, seharunya belum sepudar itu.

“Oke, nanti gue kabarin lagi, Ki. thanks buat info nya.” setelah mengatakan itu Jelang langsung melajukan mobilnya ke sebuah kantor ekspedisi terdekat dari lokasi kecelakaan.

Jelang ingin sudah meminta Hellen untuk melacak plat nomer mobil yang melintasi tempat terjadinya kecelakaan semalam, Masih ada banyak hal yang harus ia pastikan sendiri. Beruntungnya Hellen cepat tanggap, tidak lama kemudian ia di beri alamat lengkap di mana kantor ekspedisi itu berada.

Jelang ingin memastikan kecelakaan itu melalui dasboard mobil yang lewat semalam, sekarang ini, itu hanya menjadi satu-satunya titik terang agar ia bisa mengungkap semuanya.

“Saya semalam memang lewat sana, tapi enggak lihat kalau ada kecelakaan. Ah sebentar,” supir itu kemudian mencabut SD card yang ada di dasboard mobil yang semalam ia bawa.

“Kita bisa lihat disini,” ucapnya lagi, Jelang kemudian mengikuti langkah supir itu untuk memeriksa rekaman semalam. Dan benar saja dugaannya, jalanan itu sepi. Namun ada sesuatu yang aneh yang membuat mata Jelang menyipit sesaat.

“Tahan sebentar, Mas.” ucap Jelang, membuat supir tadi harus menjeda rekaman itu beberapa saat.

Rekaman yang tidak terlalu jelas itu membuat Jelang berasumsi sesuatu, di rekaman itu ada seseorang yang terlihat seperti sedang menaruh sesuatu di pinggir jalan. Memang tidak terlalu jelas maka dari itu ia perlu memperjelas rekaman itu pada Hellen.

“Saya minta salinan rekaman ini.” ucap Jelang.

Setelah meminta salinan dan memberikan rekaman itu pada Hellen, Jelang langsung bergegas ke alamat yang di beri Stella. Mereka akan melakukan survey untuk rumah yang akan mereka tempati ketika sudah menikah nanti.

Stella sampai lebih dulu, ia juga sudah selesai melihat-lihat. Dan ia masih setia menunggu Jelang tiba, tadi Jelang bilang kalau ia akan segera tiba setelah memastikan sesuatu dulu.

“Lama yah?” tanya Jelang begitu ia keluar dari mobilnya.

“Lumayan, yuk. Masuk.” Stella langsung menarik lengan kemeja yang Jelang pakai dan masuk ke rumah itu bersama.

Begitu mereka masuk, mereka langsung di sambut dengan ruang tamu yang tidak terlalu besar, dan dominasi berwarna coklat, warna coklat itu di dapat dari wallpaper yang sepertinya baru di pasang oleh pemilik lama. Karena wallpaper itu juga, ruangan yang tidak terlalu besar itu menjadi terasa lebih hangat.

Jelang sudah memikirkan akan menaruh apa saja di sana agar menambah kesan elegan yang membuatnya betah berlama-lama bersantai di sana.

“Nanti gue mau isi sofa bed disini, terus TV sama rak-rak buku,” ucap Stella, ia sudah memikirkan untuk segera menata barang di rumah itu.

“Kamar yang ini bisa kita jadiin ruang belajar, gimana?” Jelang membuka kamar kedua di samping ruang tamu, warna cat nya juga masih senada dengan yang di depan tadi.

“Setuju, di jadiin tempat alat-alat gym juga gak masalah sih. Lo kan hobi ngegym.” Stella terkekeh, dan menepuk perut Jelang.

“Nanti gue pertimbangin lagi buat beli alat gym nya, gaji gue gak segede itu buat beli alat-alat gym soalnya. Ah iya, Ada yang mau lo ubah, La?”

Stella tampak berpikir sebentar, ia tidak berniat merubah apapun yang ada di rumah ini. Ia sudah jatuh cinta dengan rumah ini dan dengan bagaimana sang pemilik lama merenovasinya, semua sesuai dengan selera Stella. Ah, kecuali kompor berwarna ungu itu.

“Kayanya cuma kompor aja deh, pemilik rumahnya ngasih kompor listrik warna ungu, gue gak suka warna ungu. Gue pikir kayanya lebih bagus pake kompor gas aja. Biar kita gak terlalu mahal buat bayar listrik.”

Jelang mengangguk setuju, apapun yang di sarankan oleh Stella, Jelang hanya bisa setuju karena ia tidak terlalu paham soal perabotan rumah.

“Lampu,” Jelang menunjuk ke arah lampu yang ada di ruang tamu dan depan kamar yang akan mereka tempati. “Gue rasa ini perlu di ganti sama yang lebih terang.”

“Yang di ruang tamu jangan, Lang. Gue mau pakein lampu tumblr.”

“Tumblr?”

Stella mengangguk, “ada deh pokoknya bagus nanti gue beli kalo kita udah pindah. Terus mau gue hias-hias pakai tanaman sama aquarium ikan, lo mau kita pelihara apa?”

“Gue gak punya waktu buat melihara hewan, La.” jawabnya yang di beri anggukan oleh Stella, memang benar kan? Jelang lebih banyak menghabiskan waktu untuk melalang buana di luar, bergelut dengan TKP, penjahat dan setumpuk berkas kriminal lainya.

Jelang hanya tersenyum, ia lega melihat Stella tersenyum bahagia seperti itu. Stella itu sering tertawa, tapi Jelang jarang melihat perempuan itu tersenyum dengan tulus, maksudnya bukan dengan paksaan. Sedang asik memperhatikannya, tiba-tiba saja Stella menghampiri Jelang dan merangkul lengan cowok itu.

“Gue gak nyangka ini bakalan jadi rumah kita, Lang. Gue bisa istirahat dengan tenang kapan aja, isi kamar gue enggak banyak, nanti kita cicil perabotan baru ya,” gumamnya.

“Um,” Jelang hanya mengangguk, ia sudah tidak bisa berkonsentrasi lagi hanya karena Stella merangkul lengannya.

Setelah melakukan survey untuk rumah mereka, Stella kembali ke kantornya lagi. Kebetulan rekan-rekanya yang lain sedang makan siang, Stella juga belum makan siang, jadi ia bergegas ke kantin kantor dan bergabung dengan yang lainya.

“Parah-parah, pada makan gue gak di tungguin,” Stella menggeleng kepalanya seraya kecewa.

“Lo abis dari mana aja emang? Kita ada autopsi juga.” timpal Ardi, dia adalah dokter forensik juga sama seperti Stella. Namanya Galuh Patih Ardi, cowok tinggi yang memiliki kepribadian tenang dan kemampuan special. Yup, Ardi satu-satunya dokter di BFN yang memiliki six sense.

“Gue abis survey rumah.”

“Rumah? Mau pindah lo?”

Stella mengangguk, ia tersenyum puas sembari menyuap sesendok penuh nasi dan ikan goreng ke dalam mulutnya. Di depannya, Ardi hanya bisa menggeleng pelan dan terkekeh melihat kelakuan Stella. Perempuan itu benar-benar memiliki nafsu makan yang lebih besar dari perempuan kebanyakan yang Ardi kenal.

Apalagi jika itu menyangkut ikan dan daging, Stella suka banget sama ikan dan daging sapi, bahkan Ardi sering memarahi Stella kalau ia tidak makan sayur. Stella bukan enggak suka sayur, dia cuma gak terlalu suka sayur.

“Di?”

“Hm?”

“Gue mau nikah,” ucap Stella dengan senyum yang terus mengembang di wajahnya.

Sementara itu, Ardi terdiam. Ia menatap kosong pada nampan berisi makanan di depannya. Ia yakin tidak salah dengar, Stella akan menikah. Seharusnya ia senang kan? Tapi kenapa rasanya hatinya sakit?

“Um, sama siapa?”

Stella terkekeh, “lo kenal Jelang kan?”

Ardi mengangguk, Ardi mengenal Jelang. Meskipun tidak baik, yup, mereka berdua pernah bertengkar saat Ardi harus memeriksa korban yang di duga pembunuhan oleh Jelang. Padahal dari bukti dan hasil autopsi Ardi sudah menegaskan jika itu adalah kecelakaan.

Bahkan Ardi pernah membuat percobaan yang memerlukannya berpikir lebih untuk bisa membuktikannya dengan ilmu sains.

“Polisi rese itu? Lo yakin sama dia, La?”

Stella mengangguk, “Jelang tuh temen gue dari SMA, Di. Dia baik, ya kalo di pikir-pikir cowok yang deket sama gue ya cuma dia. Makanya pas dia ngajak nikah, ya langsung gue iyain aja.”

Di kursinya Ardi hanya melamun, nafsu makanya sudah hilang entah kemana saat Stella mengatakan ia akan segera menikah dalam waktu dekat ini.

“Ganteng anak Ibu,” ucap Ibu begitu selesai merapihkan kemeja yang di pake Jelang.

Pagi ini Ibu, Bapak dan Jelang akan datang ke rumah Stella untuk melamar Stella. Ibu dan Bapaknya begitu tampak bahagia karena kabar pernikahannya yang terlalu mendadak ini, namun dalam hati Jelang. Ia merasa sedikit bersalah, pasalnya pernikahan ini ada karena Jelang merasa tidak nyaman selalu di desak setiap hari nya.

Jika di tanya bagaimana perasaanya dengan Stella, itu hanya rahasia bagi Jelang. Enggak ada yang tahu kalau selama ini Jelang menyimpan rasa pada perempuan itu dan ia tutup rapat sendiri, Jelang hanya tahu kalau Stella hanya menganggapnya sebagai seorang teman.

“Dari dulu kali, Buk.” Jelang terkekeh, ia sempat menatap cermin nya dahulu untuk memastikan dirinya sendiri.

Kemudian ia mengambil kunci mobil dan langsung bergegas ke rumah Stella, semua di siapkan dengan cara yang sederhana. Stella dan Jelang juga sudah membicarakan soal pernikahan mereka, Stella mau pernikahan hanya di gelar untuk keluarga saja. Jelang juga sudah bilang ke Stella bahwa ia tetap ingin mengadakan resepsi, namun setelah ia menyelesaikan kasus besar yang ia pegang dulu.

“Cantik amat, tumben lo gak pake celana jeans sama jaket boomber,” cibirnya. Jujur Stella cantik sekali mengenakan kebaya dan kain dengan rambut yang di bentuk dengan gaya messy bun.

“Ya kali acara lamaran begini gue pake baju kaya gitu.” Stella melirik Jelang dengan sebal, tangannya juga diam-diam mencubit lengan Jelang dari samping sambil sesekali ia tersenyum ke kedua orang tua nya dan Jelang.

“Jadi, maksud kedatangan kami, orang tua dari Jelang Niskala ini untuk, melamar putri Ibu dan Bapak yang bernama Stella Anindya,” ucap Bapak.

Acara lamaran itu pun berlangsung cukup panjang, setelah selesai melamar, Ibu dan Bapaknya Jelang sempat berbincang tentang mereka yang juga sedikit terkejut waktu Jelang bilang mau menikah.

“Eh tapi kamu yakin, Lang, La? Mau menikah hanya akad saja dan cuma di hadiri keluarga aja?” tanya Ibunya Stella, Ibu sama sekali tidak masalah dengan pilihan putri dan calon menantunya itu. Ibu hanya ingin memastikan saja.

“Ekhem, Iya, Buk. Stella sama Jelang udah sepakat mau nunda resepsi sampai Jelang selesai sama kasus yang lagi dia pegang,” jelas Stella.

“Setelah kasusnya selesai, Jelang janji kita bisa gelar resepsi kok, Buk, Pak,” Jelang ikut menimpali.

Orang tua keduanya hanya bisa mengangguk setuju, toh anak-anak mereka sudah dewasa. Sudah tau mana yang harus di dahulukan. Orang tua Jelang dan Stella ini bukan tipe orang tua yang banyak menuntut anaknya, selama itu menjadi pilihan baik. Mereka akan ikut mendukungnya.

Lagi pula Jelang dan Stella sama-sama memegang peran penting di bidangnya, terutama Jelang. Jelang belum bisa mengambil cuti dalam waktu dekat ini karena ada banyak kasus yang menunggunya.

Orang tua keduanya masih berbincang di ruang tamu, sementara Stella mengajak Jelang keluar untuk duduk di depan toko mie ayam Ibunya.

“Es nih biar seger,” Stella memberikan satu es krim rasa semangka itu ke Jelang.

“Kemarin gimana? sorry ya, La. Gue gak bisa bantu pilih, tapi gue yakin pilihan rumah lo buat kita tinggal pasti bagus kok.”

Kemarin Stella sempat melihat-lihat rumah yang Jelang berikan fotonya ke Stella, menelfon satu persatu pemiliknya untuk menanyakan perihal detail rumah yang di jual. Stella melakukan itu sendiri karena Jelang masih bertugas di luar, Stella enggak masalah dengan itu, namun Jelang merasa bersalah.

“Santai aja kali, Lang. Ah, Iya.” Stella mengeluarkan ponselnya dan menunjukan sebuah rumah, dengan design minimalis berwarna cream itu. Masih bangunan baru karena pemiliknya baru merenovasi rumahnya sebelum di jual.

“Gue naksir yang ini, ya emang kecil sih. Cuma ada dua kamar tidur, ruang tamu, 2 kamar mandi, dapur sama laundry room ah iya,” Stella menggeser layar ponselnya dan menunjukan foto taman kecil yang terletak di belakang rumah itu. “Ada taman kecil di belakangnya.”

“Bagus,” Jelang mengangguk. “Besok kita survey bareng. Letaknya juga gak jauh dari BFN kan lo bisa lebih gampang kalo kerja.”

“Besok lo bisa?”

“Besok seharian gue di luar sama Davin. Lo gimana?”

Stella menarik nafasnya dalam lalu ia hembuskan perlahan, “setelah gue nyelesain satu autopsi bisa.”

“Besok gue jemput.”

“Gak usah, besok kita ketemuan di sana aja. Gue besok bawa mobil kok,” ucap Stella sembari menepuk pundak Jelang. Kemudian ia menumpukan lengannya di pundak itu dan melanjutkan makan es krim nya. Di tempatnya Jelang cuma bisa terkekeh sembari melihat Stella yang masih asik memakan es krim nya.


Di sebuah lapas yang siang itu tampak ramai dengan deretan mobil mewah dan pria berseragam hitam itu berjejer, sementara itu tahanan dengan nomer 1225 itu keluar di antar oleh sipir ke sebuah ruangan, di sana sudah ada pengacaranya, jaksa serta kepala lapas yang menatapnya penuh rasa hormat.

“Lagi pula, tidak rekaman CCTV di gedung itu karena rusak. Tidak ada bukti kuat untuk menahan klien saya ini, hanya karena Pak Dion adalah orang terakhir yang di temui Ibu Dianna. Soal stick golf itu, saya sudah jelaskan kalau itu stick lama dan kami sendiri enggak tahu dari mana asal noda darah itu, karena stick itu di berikan oleh rekan Pak Dion,” jelas seorang pengacara yang duduk di sebelah tahanan itu. Pengacara itu memberikan jas hitam dan memakaikannya ke klien nya itu.

“Saya paham, Pak.” jelas jaksa yang duduk tepat di depan pria berwajah angkuh itu.

Namanya Dion Wiranto, seorang pengusaha kaya dan politikus yang menjadi terdakwa pembunuhan, seorang wanita berumur 37 tahun di penthouse miliknya. Jelang bukan asal tuduh waktu itu, dari laporan yang dia dapat dari keluarga korban dan rekaman CCTV di ambil dari apartemen korban, korban memang pergi di jemput oleh pria bernama Dion itu.

Dan selanjutnya Jelang mendapat rekaman keduanya masuk ke gedung penthouse milik pria itu dari rekaman dasboard seorang penghuni gedung lainya, tidak ada rekaman dari lorong, lift hingga penthouse milik pria itu karena seseorang telah merusaknya.

Dan dugaan pembunuhan itu semakin kuat karena adanya bercak darah dari stick golf di penthouse terdakwa dan sidik jari dari tubuh korban.

Namun, terdakwa beralibi jika ia memang sempat bertemu dan bersentuhan dengan korban. Namun setelah itu mereka berpisah dan terdakwa tidak tahu korban pergi ke mana. Sementara itu tubuh korban di temukan di sebuah mobil, di basement tanpa CCTV di sebuah mall sudah dalam keadaan tidak bernyawa dengan kondisi kening berlumuran darah dan luka tusuk di pinggangnya.

Akibat dari penangkapan dan juga kasus perselingkuhan terdakwa dengan korban, istri pria itu mengajukan gugatan cerai di hari yang sama saat korban di tangkap di penthouse miliknya.

“Siapa nama penyidik yang kemarin menahan saya?” tanyanya seiring dengan kepulan asap yang ia hembuskan dari sela bibirnya.

“Jelang, Pak. Jelang Niskala. Dia memang di kenal gigih dalam menyelesaikan kasus, yah.. Meski kadang sikapnya suka gegabah dan sedikit arogan.” ucap Jaksa yang berada di depannya itu.

Pria angkuh bernama Dion itu hanya tersenyum, mengangguk-anggukan kepalanya sembari menikmati se puntung rokok di sela jarinya. Ia masih ingat sekali wajah laki-laki bernama Jelang itu, bagaimana caranya memborgol tangannya hingga menginterogasi dan membeberkan semua barang bukti di ruang interogasi.

Setelah berganti baju dari baju tahanan menjadi kemeja biru di balut dengan jas hitam, pria angkuh bernama Dion itu bergegas meninggalkan lapas yang menjadi tempat penahanannya selama dua minggu.

Di dalam mobil yang membawanya, ia membaca profil Jelang yang di dapat dari pengacara sekaligus sekretarisnya itu. Sesekali ia terkekeh meremehkan kemampuan Jelang dalam menangani kasus yang melibatkannya. Ia merasa terusik dengan adanya Jelang.

“Apa kabar terbarunya?” ucap pria itu.

“Dia akan segera menikah, Pak. Minggu depan.”

“Menikah?” pria itu menatap sekretarisnya dari kaca spion yang berada di kursi depan.

“Dengan seorang Dokter forensik yang mengautopsi Dianna.”

Pria itu menyeringai, dua orang yang mengusiknya akan segera menikah. “Awasi dia, saya tau kabar saya bebas akan sampai ke telinganya.”

“Baik, Pak.”

To Be Continue

Setelah merapalkan doa sebelum memulai autopsi, Stella sudah bisa membuka kain yang menutupi jenazah di depan nya. Pagi ini ia di minta mengautopsi seorang wanita berusia 33 tahun, yang di temukan tewas di rumahnya dengan sekujur tubuh yang lebam.

Ini bukan kasus yang di pegang Jelang, tapi kasus yang di pegang oleh penyidik lain. Dugaan kuat saat ini adalah suami korban yang sering melakukan kekerasan.

“Autopsi akan di mulai jam 09:30 pagi,” ucap Stella, ia kemudian membuka kain penutup itu untuk menelisik seluruh tubuh korban.

Sementara tim forensik lainya, bertugas untuk mencatat dan memotret keadaan tubuh korban. Stella sempat memeriksa bagian luar tubuh korban dulu, mulai dari membuka kelopak mata, membuka mulut, hidung, serta selinga korban.

Forceps.” Begitu Stella membuka bibir dalam korban, bagian dalamnya sudah berubah menjadi warna merah.

Stella di bantu oleh asistenya kemudian membalikan tubuh korban untuk memeriksa bagian belakang tubuhnya. Begitu tubuh korban di balik, Stella sedikit menyerengit. Banyak lebam kehitaman dan merah di sekujur tubuh bagian belakangnya.

“Banyak kanstusio, ini adalah pendarahan di dalam jaringan kulit,” jelas Stella, matanya melihat ke arah kaca pembatas agar penyidik mengerti ucapanya.

Sementara itu tim forensik lainya mencatat apa yang di ucapkan Stella barusan.

rigor mortis di tangan kananya, banyak material yang di temukan di bawah kuku jarinya.” Sembari memeriksa, Stella mengambil sampel dari material yang di temukan di kuku korban dan memberikanya ke asistenya yang lain.

“Pendarahan hipodermal pada bagian ke 25, 2,6cm x 6cm, vertikal.”

Setelah memeriksa bagian belakangnya, Stella menyuruh asistenya yang lain untuk melakukan CT scan direkonstruksi menjadi kerangka 3 dimensi.

Setelah siap, ia kembali untuk memeriksa kerangka jenazah melalu CT scan. Begitu mengetahui keanehan di dalam tubuh korban, Stella baru bisa melakukan pembedahan tubuh bagian depan, Terutama di bagian dada sebelah kanan.

“Retakan pada tulang rusuk ke empat bahu kirinya, pukulan itu berasal dari belakang.” Stella berhenti sebentar, ia harus memeriksa sesuatu dari asistenya. “Vel, apa kita dapat daftar obat?”

“Iya, dok,” ucap Vellin, wanita yang sedang mencatat apa yang di ucapkan Stella itu jadi berhenti sebentar.

Vellin mengambil berkas dari kepolisian, berisi daftar obat dan bukti yang di temukan di rumah korban.

Warfarin¹..” Gumam Stella, matanya kembali membaca sederatan obat yang ada di berkas itu.

Setelah memastikan obat-obatan itu, Stella mulai membuka tulang rusuk korban agar bisa memeriksa organ bagian dalamnya, Stella mengambil hati korban untuk kemudian ia timbang.

“Berat hatinya 326 gram,” ucapnya. “Korban pernah menjalani operasi katup prostetik.”

“Pisau bedah,” ucapnya lagi, tidak lama kemudian Vellin mengambil pisau bedah dan di berikanya pada Stella.

Stella ingin membuka isi lambung korban untuk mengetahui apa yang terakhir kali korban cerna, ini juga berfungsi untuk memeriksa zat beracun.

“Adanya obat-obatan, Vel, tolong setelah ini cek ini obat apa, ada indikasi beracun atau tidak.”

Setelah autopsi itu selesai dan Stella menjelaskan semua hasilnya pada penyidik barulah ia bisa bernafas lega. Sekarang tinggal ia memeriksa beberapa permintaan autopsi dari kepolisian lainya. Masih ada 2 autopsi hari ini yang harus ia pegang.

“Makan siangnya, La.” Ucap Vellin, gadis itu memberikan kotak makan siang untuk Stella yang masih sibuk di mejanya.

thanks ya, Vel.”

“Sama-sama, masih banyak permintaan autopsi hari ini?” Tanya Vellin.

“Masih ada 2 lagi.”

Vellin mengangguk pelan, kemudian kedua wanita itu sedikit tersentak karena dari luar ruangan pintu berbahan dasar kaca itu di ketuk oleh seseorang.

Itu Jelang ternyata, cowok itu datang untuk menemui Stella di sela-sela kesibukanya.

“Gue tinggal sebentar yah,” ucap Stella pada Vellin, ia kemudian langsung keluar dari sana dan mengajak Jelang untuk ke taman depan gedung Badan Forensik Nasional.

“Gimana lo udah bilang sama orang tua lo, La?” Tanya Jelang to the point.

“Belum, rencana nya nanti setelah gue balik. Lo sendiri?”

Jelang mengangguk, “mereka kaya kaget enggak kaget sih, tapi seneng banget. Ah, Iya. Mendingan gue lamar lo sekalian aja deh, bawa orang tua gue juga. Besok gimana?”

Stella terkekeh, masih menjadi lelucon baginya mendengar soal pernikahanya dengan Jelang. Pernikahan yang saling menguntungkan, Stella hanya mengidamkan sebuah rumah dan seperti keajaiban Jelang akan membantu apa yang ia inginkan hanya dengan menikah denganya.

“Lo bukanya lagi sibuk? Katanya masih nyari tau soal kasus bandar narkoba itu?”

“Masih di pantau sama Hellen, gue juga masih nunggu laporan dari Araska. Gak semudah itu mancing mereka, La. Jadi gimana?”

Stella mengangguk pelan, “oke, nanti malam gue ngomong ke orang tua gue kalo besok orang tua lo mau dateng.”

“Ahh iya, gue ada tugas buat lo.”

“Apaan lagi?”

Jelang kemudian mengeluarkan ponselnya, laki-laki itu menunjukan foto-foto rumah pada Stella. “Lo pilih mau rumah yang mana, nanti hubungin nomer nya ke sini.”

“Rumah kita?” Tanya Stella.

Saat Stella berbicara seperti itu, Jelang sempat terdiam sebentar. Bibirnya tertarik membentuk sebuah senyum tipis ketika mendengar Stella menyebut 'rumah kita' rasanya seperti dirinya dan Stella jadi satu.

“Hm,” angguknya. “Kalo lo setuju, setelah lamaran kita bisa survey. Kalo lo suka, bisa kita bayar full. Gue udah bilang sama orang kantor kalo kita mau nikah, terus Pak Hadi bilang kalo tunjangan pernikahan gue bisa cair setelah kita nikah.”

“Oke.” Stella mengangguk kecil, saat ia akan hendak membeli minuman untuknya dan Jelang, tiba-tiba saja matanya menangkap ada luka goresan di leher Jelang. Luka itu masih baru, dan sepertinya belum ia obati. Jelang sering sekali mendapat luka saat tengah menjalani tugasnya, dan sering kali ia anggap sepele luka-luka itu.

“Lang, lo luka gini gak kerasa? Mati rasa apa gimana sih sampe enggak di obatin?” Stella memegang luka itu, dan sontak membuat Jelang menyerengit.

“Belum sempet.”

“Ini kenapa?”

“Kena pisau pas gue mau bebasin anak SMA yang di culik,” jawab Jelang enteng, seolah-olah itu bukan suatu hal yang besar dan harus di khawatirkan.

Stella hanya bisa menghela nafasnya pelan. “Tunggu disini, gue obatin.”

Jelang hanya mengangguk, ia tetap duduk di tempatnya berada. Menunggu Stella kembali sembari sesekali memikirkan kehidupan mereka ketika sudah menikah nanti. Tidak lama kemudian Stella kembali, membawa kotak obat dan dua minuman kaleng untuk mereka.

“Lo tuh kalo ada luka kaya gini di obatin, kalo infeksi gimana? Nyawa lo tuh ada berapa sih?” Omel Stella, ia dengan telaten membersihkan luka itu dulu sebelum ia oleskan dengan salep dan di tutup dengan plester.

“Banyak kayanya, ini buktinya gue masih hidup walau udah sering mau di tikam,” ucap Jelang sembari terkekeh. “Aahhh anjir sakit, La.”

Tidak lama kemudian Stella menendang kaki Jelang, ia benci kalau Jelang udah tengil kaya gini.

“Awas aja yah lo sampe berakhir di meja gue!”


Malamnya Stella memberanikan diri untuk berbicara pada orang tua nya lebih dulu, di rumah hanya ada Ibu, Ibu sedang sibuk menyiapkan sayuran dan beberapa ayam untuk toko mie ayamnya itu.

“Buk,” panggil Stella, gadis itu duduk di depan Ibu nya yang sedang sibuk memilah sayuran.

“Udah makan kamu, La?”

“Udah.”

Ibu kemudian berhenti sebentar, memperhatikan wajah anak satu-satunya itu yang terlihat sedang bingung. Seperti ada sesuatu yang ingin Stella katakan namun masih ia tahan. Stella itu adalah anak perempuan yang meniru dirinya sewaktu muda, dulu, Stella ingin masuk ke kepolisian. Namun sayang nya ia tidak lolos karena ia pernah mengalami kecelakaan di kelas sepuluh yang ber akibat pada kakinya.

Ligment kaki kiri Stella robek, ia tidak bisa berlari cepat dan akan sering merasakan ngilu.

“Mau ngomong apa kamu, La?”

“Stella mau menikah, Buk.” Ucap Stella to the point.

“Nikah?”

Stella mengangguk.

“Sama siapa?”

“Sama Jelang.”

“Jelang?” Ibu menghela nafasnya pelan, sudah Ibu duga kalau putri satu-satunya itu memang menjalin hubungan dengan Jelang. Ya, walau tidak terlihat seperti pasangan kekasih pada umumnya.

“Ibu ngerestuin gak kalau Stella nikah sama Jelang?”

“Ya kamu sayang gak sama dia?”

Mendapat pertanyaan seperti itu, Stella jadi terdiam. Alih-alih menjawab, ia justru bertanya pada dirinya sendiri tentang bagaimana perasaanya pada Jelang.

“Kalau sayang, menikah. Ibu cuma gak mau kamu salah pilihan dan berakhir adu mulut terus kaya Ibu sama Bapak. Lagi pula, Ibu lihat-lihat Jelang baik kok.”

“Jadi Ibu ngerestuin?”

Ibu menatap Stella, kemudian mengangguk dan tersenyum kecil. Toh Ibu sudah mengenal Jelang, anak itu sering main ke rumahnya dulu.

“Makasih ya, Bu...” Ucap Stella, ia berdiri dan memeluk Ibunya dari samping.

“Kapan Jelang mau ke sini sama orang tua nya buat ngelamar kamu?”

“Besok. Rencananya, kami mau menikah minggu depan. Lebih cepat lebih baik, Buk.”

“Besok?!” Pekik Ibu, yang di balas anggukan kecil oleh Stella. “La, kamu gak hamil kan?”

***

warfarin¹: Warfarin merupakan senyawa antagonis vitamin K dari kelas enantiomer yang pertama kali dipasarkan sebagai bahan terapi anti-koagulan sejak tahun 1954.

Begitu mendapatkan hasil autopsi dari Stella, Jelang langsung menuju ke TKP untuk meminta salinan CCTV yang ada di sana sebagai barang bukti jika hari itu memang benar pacar korban lah orang yang terakhir keluar dari apartemen itu. Sebelumnya Jelang sudah menanyai beberapa tetangga korban, dan melihat CCTV di loby, di hari terakhir korban terlihat.

Di perjalanan Jelang fokus untuk menyetir, sembari sesekali ia meminta Hellen untuk terus memantau pergerakan tersangka melalu GPS ponselnya. Hellen ini adalah kepala digital forensik di kepolisian, Hellen pandai menggali informasi tentang para penjahat, termasuk melacak keberadaan korban bahkan meretas sekalipun..

“Gue gak habis pikir ceweknya yang bakalan ngehabisin nyawa cowoknya sendiri,” gumam Davin di sebelah Jelang.

Jujur Jelang juga tidak menyangka, di dengar dari bagaimana hubungan mereka yang sudah berjalan dua belas tahun, dan bagaimana image keduanya di mata tetangga sekitar, memang kalau di pikir rasanya mustahil jika pelaku yang melakukan ini pada korban ternyata pacarnya sendiri.

“Menurut lo, Bang. Kenapa Nona Nia bunuh pacarnya sendiri?” tanya Davin.

“Cemburu, abusive atau bahkan hal-hal sepele lainya bisa terjadi, bisa juga karena korban meras pelaku. Lo tau kan si korban enggak kerja, alis Nona Nia pacaran sama seorang pengangguran,” jelas Jelang, sudah banyak sekali kemungkinan di kepalanya, namun yang paling mendekati adalah opsi terakhir.

“Bisa jadi sih.”

Begitu lampu merah terakhir menuju gedung apartemen itu berubah menjadi hijau, Jelang langsung tancap gas untuk langsung masuk ke gedung apartemen itu. Security disana sudah tau jika Jelang seorang polisi, jadi ia tidak perlu meninggalkan kartu tanda pengenal lainya. Dan bisa langsung menuju kantor manajemen untuk meminta salinan CCTV nya.

“Bu Nia terakhir keluar di tanggal 15 november, setelah itu dia enggak pernah kembali ke unit pacarnya lagi. Pacarnya pun enggak terlihat lagi hari itu, kemudian di tanggal 1 desember. Kontrak sewa unit nya habis, Bu Nia bahkan gak bisa di hubungi, jadi kami terpaksa buka paksa pintu unit mereka,” jelas seorang staff pada Jelang dan Davin.

“Kenapa harus ngehubungi Bu Nia? Dia bukanya enggak tinggal di sana?” tanya Jelang.

“Karena unit itu di sewa atas namanya, Bu Nia juga yang membayar tagihan sewanya.”

Mata Jelang kemudian bertemu dengan Davin, semakin kuat dugaanya selama ini jika pelaku merasa di manfaatkan oleh korban.

“Saya minta salinan CCTV nya, ah iya, tadi anda sempat bilanh kalau unit itu di buka paksa oleh pihak manajemen?”

Staff itu mengangguk, “benar.”

“Masih ada barang-barang yang tersisa? Ada yang mencurigakan mungkin?”

Staff itu hanya menggeleng pelan, “enggak, bahkan unit nya masih rapih seperti semula. Cuma, barang-barang milik Pak Eru kami pindahkan ke gudang penyimpanan.”

Setelah mengatakan itu, Jelang keluar dari sana, sisa nya biar Davin yang mengurus karena ia harus tetap memantau pergerakan pelaku melalui GPS ponselnya. Saat ini pelaku masih ada di rumahnya, Jelang juga sempat mendatangi kantor tempat pelaku bekerja kemarin.

Setelah selesai mendapatkan salinan CCTV nya, Jelang juga mendapatkan surat perintah penangkapan dari atasnya. Jadi dia bisa langsung menuju ke tempat pelaku berada.

Saat di datangi pihak kepolisian, pelaku sempat mengelak, bahkan berontak. Pelaku juga menyebutkan alibi lainya, namun Jelang bersih keras untuk tetap membawa pelaku ke kantor polisi.

Sebelum meninggalkan rumah pelaku, Jelang sempat menggeledah rumah pelaku demi mencari barang bukti lainya. Dan beruntungnya Jelang dapat menemukan palu yg di duga sebagai senjata yang di pakai untuk membunuh korban, palu itu di balut oleh plastik hitam dan di taruh di bawah ranjang tidur korban.

“Kwitansi klinik, Bang.” Davin memberikan sebuah kwitansi dari klinik yang tidak jauh dari tempat pelaku tinggal.

“Gue udah suruh Hellen buat cek, klinik bilang ini kwitansi kalau Nona Nia pernah ngelakuin tindakan kuretase di sana. Dua puluh hari yang lalu sebelum dia terakhir terlihat di unit korban,” jelas Davin.

Jelang mengangguk, “bawa palu ini ke mobil.”

“Lo mau ke mana, Bang?” teriak Davin karena Jelang pergi begitu saja setelah mendapatkan penjelasan.

“Ke klinik!” teriaknya. Jelang harus bertanya pada petugas klinik tentang pelaku dan mendapatkan CCTV nya sebagai tambahan bukti.


Dan disini lah sekarang Jelang berada, di sebuah ruang introgasi bersama dengan pelaku. Hanya dengan cara Jelang melihat ke arah pelaku saja sudah bisa membuat pelaku merasa terancam.

Begitu rekaman CCTV itu sudah selesai di putar, mata pelaku menelisik ke arah lain. Jelang juga tahu jika pelaku meremas jari-jarinya sendiri di kolong meja.

“Hari itu saya putus sama Eru,” jelasnya.

Jelang hanya mengangguk, “di hari itu juga hari terakhir Eru terlihat di loby apartemen bersama anda.”

“TAPI SAYA BENAR-BENAR GAK TAU ERU DIMANA!!” pekik pelaku frustasi.

Sementara itu Jelang hanya terkekeh, ia kemudian mengeluarkan foto-foto hasil autopsi, palu, mata pisau, kwitansi klinik, serta kertas berisi keterangan sidik jari pelaku yang ada di kantong plastik hitam tempat kerangka jenazah Eru di simpan.

“Palu ini, ada sidik jari anda dan bekas darah yang sudah mengering, termasuk kantung plastik hitam ini, semua itu ada sidik jari anda.”

Pelaku terlihat seperti tidak punya alasan lain, bahu nya yang tadi terlihat tegap itu mendadak menjadi merosot begitu Jelang mengeluarkan bukti-bukti yang sudah ia kantongi.

“Sekarang bilang sama saya apa motif anda bunuh korban!!” sentak Jelang, yang berhasil mengagetkan pelaku.

“Sa...saya benci sama dia!”

Dan benar saja, hanya dalam sekali sentakan saja Jelang mampu membuat pelaku akhirnya jujur. Sebenarnya pelaku termasuk orang yang mudah Jelang taklukan, dia sudah banyak mengintrogasi penjahat jadi sudah jelas Jelang bisa membaca karakter pelaku mulai dari yang banyak mengelak, lebih memilih diam, atau bahkan melakukan perlawanan padahal sudah di dalam ruang interogasi.

“Hubungan kami enggak sehat, Eru sering banget make uang saya buat kepentingan dirinya sendiri, pakai kartu kredit saya. Bahkan yang terakhir, dia ngelakuin kekerasan ke saya sampe saya keguguran, saya benci dia, bahkan setelah saya keguguran, dia masih bisa-bisa nya nyuruh saya kerja dan ngambil kartu kredit saya lagi buat beli HP baru. Waktu saya minta putus, Eru ngancam mau nyebarin video kami berdua ke kantor tempat saya bekerja. Saya gak bisa diam aja, saya harus bikin dia diam.”

“Makanya kamu bunuh dia?”

Pelaku tidak menjawab, pelaku hanya mengangguk kecil sebagai jawaban. Pelaku juga mengaku menyesal.

“Gimana cara kamu bunuh Eru?” tanya Jelang tegas.

“Dia lagi tidur, awalnya saya gak berniat bunuh dia. Saya cuma mau kasih dia pelajaran, tapi saya ternyata enggak puas cuma bikin dia kesakitan, saya ketuk kepalanya pakai palu, dia sempat melawan dan ngejar saya, tapi saya dorong dia sampai jatuh dan saya hajar lagi kepala belakangnya pakai palu sampai dia enggak sadar,” jelasnya.

“Eru enggak langsung mati, makanya kamu terus mukul kepalanya?”

Pelaku hanya mengangguk.

Setelah selesai menginterogasi pelaku, Jelang belum langsung pulang. Ia masih berada di ruanganya untuk memeriksa beberapa laporan kasus yang ada. Ia masih memiliki kasus besar yang harus ia selesaikan.

Matanya yang masih berkonsetrasi pada sederet informasi yang ia dapat dari Hellen itu, kemudian harus terlaihkan karena ponselnya yang berdering. Ternyata Ibu nya yang menelfon, Ibu dan Bapaknya memang berada di Jakarta saat ini.

Keduanya ada di rumah yang dulu mereka tempati, setelah Jelang resmi di lantik menjadi seorang polisi. Ibu dan Bapak memutuskan untuk tinggal di desa kelahiran keduanya, di Solo. Sementara Jelang bertugas di Jakarta.

Tapi sudah dua bulan ini Bapak dan Ibu di Jakarta, mereka terus membondongi Jelang dengan pertanyaan kapan ia akan segera menikah. Ibu dan Bapak bilang mereka takut Jelang tidak menikah hanya karena asik menangkap penjahat.

“Ya, Buk?”

dimana kamu, Lang? Masih belum selesai?

“Jelang masih di kantor, Buk. Masih ada kasus yang harus Jelang pantau dulu.”

kamu loh, ada Ibu sama Bapak di Jakarta malah kabur-kaburan terus.

Jelang menjepit ponselnya di antara kepala dan bahunya, ia menghela nafasnya pelan sembari membalas beberapa pesan yang masuk dari Hellen.

“Ya, Buk. Ibu kan tau Jelang sibuk, maaf ya. Nanti kalau Jelang libur Jelang pasti temani Ibu sama Bapak, ah Iya, Jelang mau keluar kantor dulu, Buk. Nanti Jelang kabarin Ibu lagi.”

Dan tidak lama kemudian ia putus sepihak panggilan telepon itu, berkali-kali Jelang menghela nafasnya kasar. Ia sudah mencoba memberi pengertian pada kedua orang tua nya, bahwa ia masih ingin fokus bekerja. Lagi pula, dekat dengan perempuan saja enggak, bagaimana Jelang mau menikah?

Setelah memeriksa berkas-berkas itu, Jelang langsung melesat dari kantor. Jam kerjanya sudah selesai, ia memutuskan untuk tidur di kantor, namun perutnya yang sedikit lapar mengharuskanya keluar untuk mencari makanan dulu.

Jelang itu memiliki kebiasaan yang unik, ia tidak bisa makan sendirian. Harus ada orang lain yang menemaninya makan juga, Davin sudah pulang dan nama yang terlintas di kepalanya saat ini hanya Stella. Maka dari itu, sembarin menyetir ia juga menelfon Stella untuk mengajaknya makan bersama.

“Kenapa, Lang?” tanya Stella begitu cewek itu mengangkat panggilanya.

“lo di mana?”

Sunshine mart, kenapa?

“Gue kesana sekarang, tunggu disitu jangan kemana-mana.”

Tidak membutuhkan waktu lama bagi Jelang untuk sampai di toserba yang di sebutkan Stella, hanya 5 menit saja ia sampai di sana. Dan benar saja, Stella ada di sana, duduk di kursi panjang sembari menyeruput mie instan nya.

“Makan sendirian aja,” ucap Jelang begitu ia tiba di kursi Stella.

“Ini gue beliin mie, gue seduhin juga, gue beliin cola sama sosis juga kurang baik apa gue?” cibirnya tidak terima.

Jelang hanya terkekeh pelan, kemudian ikut menyantap mie instan itu dan sosis yang sudah Stella hangatkan sebelum ia datang.

“Kok makan disini lo?” tanya Jelang.

“Males, biasa di rumah ada pertunjukan.”

Kalau sudah bicara soal pertunjukan, Jelang sudah tahu apa yang Stella maksud. Di buangnya nafas keduanya secara bersamaan, kemudian keduanya juga saling melirik satu sama lain.

“Kenapa jadi barengan gini deh.”

Stella hanya menggedikan bahunya, “gimana tadi kasusnya? Udah ketangkep pelakunya?” Stella mengalihkan pembicaraan mereka berdua.

“Pacarnya sendiri, sesuai dugaan gue. Korban manfaatin pelaku buat hal-hal pribadinya. Termasuk revenge porn.

“Gila yah,” Stella menggeleng kepalanya tidak menyangka. Sejak bekerja di badan forensik nasional, ia selalu kaget dengan alasan-alasan keji pelaku membunuh korban.

“Lo habis ini mau kemana?” tanya Stella.

“Kantor lah, gue gak balik.”

“Lo udah dua minggu tidur kantor, gelandangan apa gimana sih?”

“Sembarangan mulut lo,” karena kesal, Jelang menjejali Stella dengan sosis yang ada di tanganya. “Gue lagi ngehindari orang tua gue.”

“Sama,” sela Stella. “Lo masih di suruh nikah mulu?”

Jelang hanya mengangguk, ia masih fokus menghabiskan mie instan nya.

“Lo kenapa gak pindah dan tinggal sendiri aja si, La.”

“Ngekost maksud lo?”

Jelang mengangguk.

“Duit gue bisa habis buat bayar kosan, gue ada rencana buat beli rumah sendiri. Tapi masih kurang, Bokap sama Nyokap gue masih banyak minta bantuan gue, belum lagi gue punya Mbah di panti jompo yang masih jadi tanggungan gue,” jelas Stella.

Jelang tahu selama ini Stella jadi tulang punggung keluarganya, belum lagi ia masih harus mencicil hutang biayahnya sewaktu kuliah kedokteran dulu. Ayahnya juga memiliki hutang yang Stella sendiri tidak tahu untuk apa.

Lalu terlintas ide konyol di kepala Jelang yang ia rasa ia memiliki jalan keluar untuk masalah mereka berdua.

“La?”

“Hm?”

“Gimana kalo kita nikah aja?”

Stella melirik Jelang dengan kedua matanya yang membulat, di tendangnya kaki cowok itu dari bawah meja.

“Gila kali?”

“Gue serius, La. Selama ini cewek yang deket sama gue cuma lo doang. Kalo gue nikah, urusan gue sama orang tua gue selesai. Terus lo juga bisa punya rumah sendiri, lo gak harus liat orang tua lo berantem tiap hari.”

Stella mengerutkan keningnya, Jelang emang suka asal-asalan kalo ngomong tapi dia gak nyangka kalau kali ini cowok itu juga asal-asalan berpikir.

“Nih yah coba lo pikir, lo deket sama cowok lain gak selain sama gue?”

Stella menggeleng.

“Tuh kan!”

“Tapi masa nikah si, Lang? Kita kawin kontrak maksud lo?”

“Kok kontrak sih? Serius ini, bukan nikah main-main. Kita bisa jadi teman hidup, La.”

“Lo suka sama gue?” tanya Stella to the point. dan pertanyaan itu membuat Jelang jadi salah tingkah sendiri.

“Mu..mungkin.”

Stella tidak menimpali lagi, ia hanya mengetukan jari-jari nya di meja sembari berpikir tentang tawaran yang Jelang berikan kepadanya. Kalau di pikir-pikir yang di katakan Jelang ada benarnya juga, selama ini dia enggak pernah dekat sama cowok lain selain Jelang.

Kalau mereka menikah, ia bisa beli rumah sendiri walau hasil patungan sama Jelang. Selain itu, kedua orang tua nya juga bisa ia beri pelajaran untuk hidup lebih mandiri. Stella bisa pakai alasan dia sudah menikah dan tidak bisa membantu kebutuhan mereka terus-terusan, dan Jelang juga bisa berhanti di cecar dengan pertanyaan kapan ia menikah oleh kedua orang tua nya.

“La, lo kan udah kenal gue, gue baik, pekerja keras, ganteng? Jaman SMA kita juga sering di jodohin anak-anak kelas.”

“Lo ngorok kalo tidur?”

Jelang menggeleng.

“Ngiler?”

Jelang menggeleng.

“Suka naruh handuk basah di kasur?”

Lagi-lagi Jelang menggeleng.

“Kalo tidur lampunya mati atau nyala?”

“Ck,” Jelang menghela nafasnya kasar.

“Jawab aja, Lang.”

“Mati, La. Mati.”

“Oke deal kita nikah.” ucap Stella kemudian.

To Be Continue

Hari ini ruang autopsi tampak seperti biasa, sore ini tim forensik akan bertugas untuk memeriksa kerangka jenazah yang di temukan di sebuah kamar mandi apartemen. Kerangka ini di temukan saat petugas sedang melakukan renovasi pada kamar mandi di unit 105.

Stella namanya, Stella Anindya. Seorang dokter forensik yang bekerja sama dengan kepolisian. Tatapan matanya yang tajam menelisik sebuah kantung hitam besar yang berada di meja autopsi, di depan sana ada kaca besar yang menjadi penghubung terlihatnya proses autopsi oleh kepolisian.

Sebelum memulai autopsinya, Stella melirik laki-laki yang ada di ruangan itu. Jelang dan seorang penyidik yang memegang kasus ini bersamanya, Saat laki-laki itu memberi anggukan kecil, barulah Stella berani membuka kantung besar itu.

Sudah menjadi makanan keseharianya seperti ini, Stella bukan seorang yang gentar melihat potongan tubuh, kerangka, bahkan bentuk jenazah yang sudah tidak mudah di kenali lagi. Dengan teliti ia taruh satu persatu kerangka itu di atas meja autopsinya.

Stella kemudian mengambil tulang selangka kiri, memeriksanya dengan teliti tanpa melewatkan satu bagian. Menurutnya, tulang adalah catatan hidup seseorang.

“Tulang selangka kiri, dagingnya di potong dengan benda tajam. Tulangnya di pisahkan di sepanjang sendi,” jelas Stella.

Stella memeriksanya sendiri, sementara tim forensik yang lain membagi tugasnya.

Stella kemudian mengambil tulang lainya, itu adalah tulang hasta. “Tulang hasta, ada retakan di atasnya.”

Di dalam ruangan yang di batasi kaca itu, mata laki-laki seorang penyidik tegas tak ayal berpindah menatap Stella dan kerangka itu secara bergantian. Kepalanya membuat skenario bagaimana si pelaku membunuh korban dan memotong-motong tubuhnya.

“Tulang panggul,” Stella berhenti sebentar, matanya kemudian menatap mata Jelang yang kini juga tengah menatapnya. “Tulang panggul milik laki-laki,” lanjutnya.

“Dari mana tau kalo dia laki-laki?” tanya Jelang.

“Panggul laki-laki relatif lebih tajam, karena tidak mengandung anak.”

Setelah mendapatkan penjelasan, laki-laki itu kembali menyimak berjalanya autopsi kembali. Dan sekarang Stella berpindah memeriksa kerangka kepala jenazah itu.

“Fraktur remuk di lobus temporal. Beberapa fraksi depresi pada area kepala belakang,” ucapnya tegas.

Kedua penyidik itu kembali saling melirik satu sama lain, “lo ngerti, Bang?” tanya Davin.

Jelang hanya menggeleng pelan, kemudian menarik microfon yang berada di depanya. “Stella, bisa jelasin sekalian?”

Di dalam sana Stella mengangguk, dia kadang lupa kalo Jelang gak akan paham semua ucapanya tanpa penjelasan.

“Fraksi depresi, retakan tulang tengkorak yang membuat tengkorak tertekan ke bawah. Umumnya di serang dari samping, Lobus temporal ini adalah bagian tertipis tengkorak.”

Stella kemudian kembali memeriksa tulang hasta kanan, dan sesekali beralih ke bagian tengkorak belakang yang memiliki tekanan ke bawah yang sama.

“Tulang hasta kanan retak, kemungkinan korban melawan. Dan pelaku ngasih serangan kedua di tulang hasta kanan korban.”

Di tempatnya Jelang menghela nafasnya pelan, tercetak gambaran di kepalanya bagaimana pelaku menyerang dan korban berusaha mempertahankan dirinya dari serangan pelaku.

Dalam hati Jelang berani bersumpah, ia akan segera menangkap pelaku dan mencari tahu motifnya. Sudah separuh perjalanan hidupnya ia korbankan untuk menangkap penjahat, sudah banyak risiko yang ia terima, termasuk yang mengancam nyawanya sendiri.

“Bagian belakang tengkorak memiliki tekanan yang sama, serangan terakhir. Ini lah yang membunuh korban. Senjatanya di duga benda tumpul yang memiliki ujung bulat.”

“Palu..” ucap Jelang, yang di beri anggukan kecil oleh Stella.

“Ada tanda infeksi respons inflamasi, berarti tulang yang terluka menjalani pemulihan. Itu artinya korban enggak langsung meninggal.”

Mata Stella kemudian beralih ke bagian tulang lainya, ada sebuah benda asing di sana yang tidak seharusnya ada di dalam kerangka. Ia ambil benda itu agar bisa melihatnya dengan jelas.

“Benda asing, tolong periksa ini benda apa, La.” Stella memberikan benda asing itu pada asistenya, Laila akan membawanya ke lab.

Setelah autopsinya terakhir selesai, Stella mencuci tanganya dengan bersih. Ia harus memeriksa hasilnya dan menyerahkanya sendiri pada Jelang.

“Benda asing yang gue temuin tadi ternyata mata pisau, mungkin pisau ini di pakai buat misahin daging dan tulang dan gak sengaja patah terus tertinggal di tulang.” Stella memberikan benda asing yang sudah di periksa tadi ke Jelang, itu adalah salah satu barang bukti yang harus di simpan polisi.

“Udah gue duga, gue udah ngantongin satu nama yang di duga kuat pembunuhnya. Kurang satu bukti lagi, gue udah bisa bikin surat penangkapan.”

Stella hanya tersenyum, kemudian menepuk pelan lengan Jelang. Kalau Jelang sudah bilang begitu, itu artinya pelaku tidak lama lagi akan segera tertangkap.

Stella mengenal baik Jelang, cowok yang tegas, bermata tajam dan memiliki insting yang kuat itu adalah sosok penyidik yang di hindari oleh pelaku. Jika Jelang sudah mengetahui kasus dan mengantongi nama pelaku, sekalipun pelaku menyangkal. Jelang akan mempertaruhkan apa saja agar pelaku mau mengaku dan menjebloskanya ke dalam penjara.

Autopsi tadi menjadi autopsi terakhir hari ini untuk Stella sebelum ia pulang ke rumah. Setelah mengganti bajunya kemudian mengambil barang-barang miliknya, ia langsung melesat keluar dari gedung tempatnya bekerja.

Seluruh badanya sudah pegal, dan rasanya Stella ingin langsung tidur jika sudah sampai rumah nanti. Di perjalanan pulang, ia menyalakan beberapa lagu dan bersenandung, menunggu hingga rambu lalu lintas berubah warna.

Ada banyak cetakan ingatan di kepalanya tentang jenazah-jenazah yang ia autopsi hari ini. Stella tersenyum, ia selalu bangga dengan dirinya yang sekarang. Enggak mudah baginya untuk bisa sampai di titik ini.

Banyak yang ia korbankan, termasuk masa muda dan jam tidurnya. Begitu sampai di rumah, bayangan akan beristirahat yang tenang itu sirna ketika sebuah teko melayang mengenai kakinya ketika hendak masuk.

Teriakan yang tidak asing di telinganya seperti sudah menjadi makanan keseharianya, pemandangan yang ia benci itu kembali ia lihat. Dimana kedua orang tua nya kembali bertengkar, kali ini entah karena apa.

“KAMU PIKIR SAYA ENGGAK TAHU SURYA KALAU KAMU YANG AMBIL UANGNYA? BRENGSEK KAMU YAH, KAMU KASIH LAGI UANG ITU KE PEREMPUAN SIALAN ITU?!”

“Apa buktinya? Asal tuduh aja kamu! Penghasilan saya memang kurang, tapi saya gak pernah nyuri uang toko kamu Anjani.”

Tanpa memperdulikan Stella yang berdiri di ambang pintu, kedua pasangan suami istri itu kembali berdebat. Kepala Stella sudah pening, jadi, dia abaikan keduanya begitu saja. Stella melewati keduanya dan masuk ke dalam kamar, ia menarik nafasnya dalam kemudian duduk di meja belajarnya.

“Sialan!” gumamnya.

Karena sudah tidak tahan mendengar suara itu, akhirnya Stella mengambil jaket miliknya dan pergi dari rumah. Kemana saja, asalkan jika nanti ia kembali pertengkaran itu sudah selesai dan ia bisa tidur.


Stella akhirnya memutuskan untuk singgah sebentar di sebuah toserba 24 jam, ia memakan mie instan dan menyeruput sekaleng kola di tempatnya duduk. Perutnya sedikit lapar, sembari memakan-makananya. Stella kembali memeriksa tabunganya, uang hasil kerjanya itu ia sisihkan beberapa untuk membeli rumahnya sendiri.

Stella ingin pisah dan hidup sendiri tanpa orang tuanya, ia ingin tenang. Sudah tidak sanggup rasanya Stella harus melihat pertengkarang kedua orang tua nya setiap hari.

Belum lagi Ayah nya yang selalu meminta uang denganya, Stella tidak membenci kedua orang tua nya. Ia hanya menyayangkan saja sikap kedua orang tua nya selama ini yang selalu memanfaatkanya, Stella jadi harus banting tulang untuk menghidupi dirinya dan juga kedua orang tua nya.

“Hah...” helaan nafasnya itu terdengar putus asa, uang yang ia tabung itu masih kurang. Itu artinya ia masih harus berhadapan dengan pemandangan seperti tadi sampai benerapa waktu ke depan.

Baru saja ia ingin membuang sampah makananya, perhatian Stella tertuju pada ponselnya yang bergetar. Jelang menelponya ternyata.

“Kenapa, Lang?” tanya Stella to the point.

lo di mana?

“Sunshine mart, kenapa?”

Gue kesana sekarang, tunggu disitu jangan kemana-mana.

Setelah sambungan telfonya di putus sepihak oleh Jelang, Stella hanya mengangkat bahunya pelan. Kemudian mengambil benerapa makanan lagi untuknya dan untuk Jelang.