Bab 10. Pelipur Rindu
Samarang, 1898.
Tak ada hentinya wajah dahayu mengulas senyum kala ia melihat sang pria datang menemuinya dengan surjan buatannya, tubuh Jayden begitu tampak gagah dalam balutan surjan dan kain sebagai pengganti celana yang biasa ia kenakan. Pagi itu, Jayden tidak datang bersama kusir pribadi yang selalu mengantarnya tiap kali ia berpergian. Ia membawa dokar itu sendiri, tersenyum ketika hendak turun dan melihat Ayu duduk di amben yang tak jauh dari taman mereka bertemu.
Beberapa hari mereka tidak bertemu membuat Jayden merasa ada beberapa perubahan dari tubuh ringkih wanitannya itu, wajah Ayu yang sudah tirus kecil semakin tirus. Mungkin efek karena sakit saat terakhir kali mereka bertemu, walau merasa lara melihat wanitanya seperti itu Jayden berusaha mengulas senyum nya. Ia ingin meramu senyum pada wajah dahayu nya itu.
“Terlihat sangat cocok di pakai olehku bukan?” ucap Jayden begitu ia menghampiri Ayu. Karena lupa memakai blangkon, Jayden tetap memakai topi fedora nya namun begitu turun dari dokar, ia buka topi itu.
“Sir Jayden sangat tampan. Cocok sekali, saya sempat khawatir tidak pas pada tubuhmu karena saya tidak mengukur nya dengan benar. Saya hanya menerka, dan mencoba mengukur tubuh seseorang yang mirip denganmu. Syukurlah jika surjan nya muat.”
Ayu tersenyum, Jayden sungguh memakai pemberiannya. Pria itu bertambah tampan mengenakan surjan buatan Ayu, meski tidak bisa Ayu pungkiri jika wajah pria itu memanglah sudah tampan meski mengenakan pakaian eropa sehari-harinya. Tapi hari ini ketampanan itu rasanya bertambah sepuluh kali lipat dari biasanya.
“Terima kasih, Raden Ayu.”
“Sama-sama.”
“Jika begitu, bisa kita pergi sekarang? Matahari mulai meninggi jika kita terlalu lama disini.”
Arca wajah milik Ayu sedikit mengapit, ia pikir Jayden hanya ingin berbicara sesuatu padanya di taman ini. Sama sekali tidak terpikir jika pria itu akan mengajaknya pergi.
“Kita akan pergi kemana, Sir?” tanya Ayu.
“Aku ingin mengajakmu jalan-jalan, ada banyak hal yang ingin aku bicarakan.” Jayden mengambil kedua tangan Ayu, membawanya pada tangan besar miliknya dan menggenggamnya.
“Aku ingin melipur rindu padamu, kau mau?”
Ayu terdiam ia tampak berpikir sejenak, ia sangat ingin bersama Jayden lebih lama dari sekedar bertemu di taman lalu berbicara. Ia ingin menghabiskan waktunya bersama pria itu, di liriknya Adi yang berdiri tak jauh dari dokar miliknya. Wajah pria itu datar, namun tatapannya seperti ia menyerahkan semua jawaban pada Ayu.
“sejujurnya, saya tidak datang ke sekolah. Hanya untuk bertemu Sir Jayden.”
“Romomu mengekangmu akhir-akhir ini?”
Agak sedikit tercengang pada ucapan Jayden, dari mana pria itu bisa tahu? Namun pada akhirnya Ayu mengangguk.
“Maafkan aku, kau rela tidak datang ke sekolah hanya untuk bertemu denganku.”
“Sir Jayden, ini keinginan yang saya buat sendiri. Ada hal yang ingin saya katakan juga sebenarnya.”
Jayden mengangguk. “Kita bicara disini saja kalau begitu.”
Ada raut kepanikan pada wajah Ayu, ia ingin mengatakan jika ia juga mau ikut jalan-jalan dengan Jayden. Ia hanya berpikir sebentar tadi namun Jayden terlampau cepat mengubah pikirannya.
“Ki..kita tak jadi pergi?”
Jayden terkekeh, “kau mau? aku pikir kau menolak ajakkanku. Aku pun merasa sungkan Raden Ayu telah membuatmu tidak datang ke sekolah.”
“M..mau, sesekali saya pikir tidak akan menjadi masalah. Hanya sebentar, bukan?”
“Iya, hanya sebentar.” Jayden tersenyum, ia kemudian menoleh pada Adi yang berdiri tak jauh dari amben tempat Ayu duduk.
“Aku sama sekali tidak keberatan jika kau ikut dengan kami, Adi.” Jayden sungkan meninggalkan Adi di dekat taman seperti ini, meski sejujurnya ia sangat ingin menghabiskan waktu berdua dengan Ayu tanpa ada Adi yang selau mengikuti mereka di belakang.
“Saya menunggu disini saja, Sir Jayden. Saya rasa, Raden Ayu dan Sir Jayden membutuhkan waktu untuk bicara.”
Ayu tersenyum, Adi sungguh mengertinya. Tidak bisa Ayu bayangkan jika yang menjaganya bukan Adi, sudah bisa Ayu pastikan ia sudah di laporkan berkali-kali pada Romo nya. Adi sungguh pengertian, terkadang Ayu berpikir jika Adi sudah seperti sosok Kakak laki-laki untuknya.
“Kau tidak keberatan?” Jayden memastikan, ia hanya tidak enak pada Adi dan berpikir mungkin Adi sungkan.
“Sungguh tidak keberatan, Sir Jayden. Asalkan Sir Jayden bisa membawa Raden Ayu pada saya tepat jam 2 siang.”
“Baiklah, aku akan segera membawanya tepat jam 2 siang.”
Keduanya harus bergerak dengan cepat karna mereka hanya memiliki waktu sekitar 3 jam lagi, membukakan pintu dokarnya, Jayden merangkul pinggang Ayu dan membantu wanita itu untuk naik ke dalam dokar. Keduanya pun langsung pergi dari taman itu, sentuhan tangan lembut Jayden pada pingganya itu membuat senyum di wajah dahayu itu tak lekang-lekang.
Ayu benar-bebar bahagia, mereka jarang sekali bersentuhan. Hanya pegangan tangan saja karena Jayden sangat sungkan untuk menyentuh Ayu, di tariknya kuda putih itu dan dokar pribadi milik Jayden itu berjalan meninggalkan taman. Keduanya sempat terdiam beberapa saat, di kepala Jayden hanya ada bising untaian kalimat bagaimana ia akan menyatakan pinganya pada Ayu dan juga kedua orang tua nya.
Sedangkan Ayu, ia terdiam sembari sesekali melirik pada wajah tampan milik sang pria di sebelahnya. Jayden tampak gagah hanya dengan menarik tali pada kuda putih yang ada pada genggamannya.
“Kau sudah pernah naik kapal pesiar, Ayu?” tanya Jayden tiba-tiba. Jayden berpikir jika ia di terima oleh keluarga Ayu dan di beri restu untuk menikahkannya, Jayden ingin sekali membawa Ayu berobat ke negaranya.
“Belum, saya tidak pernah berpergian sejauh itu sampai harus menaiki kapal pesiar, Sir Jayden.”
“Kau ingin?”
“Memangnya mau kemana?”
Jayden tersenyum, ia sempat menoleh untuk melihat wajah dahayu itu. “Mengajakmu berkeliling ke tempat-tempat yang indah setelah perang ini usai.”
Jayden tidak munafik untuk tidak mengakui jika ia adalah bagian dari komplotan para Belanda yang memijak bumi Hindia Belanda ini, memerangi rakyat pribumi meski ia tak ikut berperang. Namun tetap saja, di mata pribumi ia pria yang jahat meski ia tidak melakukan apapun. Apalagi ia seorang petinggi dan darah dari para petinggi VOC masih mengalir dalam darah Jayden.
“Lebih indah dari desaku?” kedua mata Ayu berkedip, sorotnya seperti seorang anak kecil yang di janjikan sebuah makanan. Sangat lucu dan lugu di mata Jayden.
“Lebih indah, tapi tidak bisa menandingi indahnya wajahmu.”
Ayu tak lagi menjawab, ia justru menyembunyikan wajahnya dengan duduk sedikit bergeser agar Jayden tidak bisa melihat senyum konyolnya. Ayu salah tingkah, ia kikuk. Bingung bagaimana menanggapi ucapan Jayden bak pujangga. Dokar yang di kendarai Jayden itu berhenti di sebuah geraja di sana, itu adalah Gereja Blenduk yang sangat terkenal di Samarang.
“Kau mau turun? Ada pedagang bakpau tak jauh dari sini, rasanya enak. Aku kenal dengan pedagangnya. Kau mau?”
Ayu mengangguk, jantungnya masih berdegup tidak karuan saat melihat Jayden. Pria tinggi itu turun dari dokar lebih dulu, kemudian membantu Ayu turun dan menggandeng tangan wanita itu mengelilingi Gereja.
“Aku pernah masuk ke dalam Gereja ini. Kau pernah kesini?” tanya Jayden saat mereka melewati bangunan itu.
Ayu menggeleng, “Romo sering bercerita tentang Gereja ini, namun tidak pernah membawaku kesini. Ini pertama kalinya aku melihat Gereja ini.”
Kedua netra Ayu menatap kagum pada bangunan di depannya, sungguh sepanjang jalan ia hanya berdoa jika waktu berbaik hati untuk berputar lebih lambat dari biasanya. Ia sangat ingin menghabiskan banyak waktu dengan Jayden ke banyak tempat.
“Nanti akan ku ajak masuk ke dalam Gereja itu jika kita bertemu lagi ya?”
Ayu mengangguk, beberapa orang menyapa Jayden dengan ramah. Ayu bahkan sering lupa jika ia berkencan dengan seorang asisten Residen, yang tentunya Jayden sangatlah mudah di kenali orang-orang. Keduanya berhenti di sebuah toko kecil penjual bakpau, wanginya bahkan sudah tercium hingga ke depan gang sempit yang mereka lewati.
“Saya ingin 4 bakpau nya yah, Pak.”
“Sebentar ya, meneer akan saya ambilkan dulu.” ucap pedagang itu ramah pada Jayden.
Ayu tersenyum kali ini bukan karna melihat Jayden, tapi melihat kecil yang sedang bermain disana. Sungguh, anak-anak itu pasti tidak pernah merasakan kesepian sepertinya. Ayu sama sekali tidak memiliki teman, ia tidak pandai bergaul.
“Kau tersenyum melihat anak-anak itu?”
“Um.” Ayu mengangguk. “mereka punya teman.”
“Memangnya kau tidak memiliki teman?”
Ayu menggeleng, “saya tidak punya teman, Romo sering melarang saya keluar rumah bahkan hanya untuk bermain. Katanya, takut saya di culik.”
“Oleh Londho?” tebak Jayden.
Ayu tidak menjawab, meski yang di lontarkan oleh Jayden adalah sebuah kebenaran, entah dari mana Jayden bisa mengetahui hal itu. Ayu menunduk merasa tidak enak pada Jayden meski kata-kata itu bukan terlontar dari bibirnya.
“Liefje, aku tau hal itu karena pernah mendengar seorang Ibu memperingati anaknya dengan ucapan seperti itu.”
“Apa Ibu itu berucap seperti itu pada Sir Jayden?” tanya Ayu, ia beranikan menatap sang pria yang selalu tersenyum lembut padanya.
“Pada pengawalku. Aku hanya melewati sebuah desa kecil, sudah sangat lama. Aku di kawal karena sewaktu itu aku berpergian dengan Ayahku yang seorang Residen.”
Tidak lama kemudian sang penjual bakpau itu kembali dan memberikan sekantung bakpau yang masih hangat, bahkan asap nya sampai mengepul keluar. Menebarkan aroma harum dari makanan manis itu.
Keduanya memutuskan untuk duduk di depan toko penjual bakpau itu sebentar, menikmati semilir angin sembari memakan bakpau yang masih hangat. Jayden meniupkan bakpau itu, setelah sudah dingin barulah ia berikan pada Ayu. Pria itu tidak ingin makanan panas menyakiti lidah kekasihnya.
“Sir Jayden benar, bakpau ini memang enak di makan selagi masih hangat.” Ayu tersenyum, dengan mulut yang sedikit penuh karena bakpau yang ia makan.
“Jika itu soal makanan, kau selalu bisa mempercayai seleraku.”
Ayu mengangguk, “Sir Jayden pernah makan getuk?”
“Tentu, salah satu makanan kesukaanku.”
“Saya bisa membuatnya, kapan-kapan akan saya buatkan getuk untuk Sir Jayden yah.”
Setelah menghabiskan empat bakpau yang Jayden pesan, sepasang insan itu kembali berjalan. Keduanya melewati Jembatan Berok yang tak jauh dari Gereja Blenduk barusan. Di sana cukup ramai, banyak sekali perahu-perahu kecil yang singgah.
(Jembatan Berok sekitar tahun 1897. Jembatan Berok dibangun oleh Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada 1705. Nama aslinya adalah Gouvernementsbrug, nama Berok di ambil dari kata Burg. Yang kemudian di lafalkan Berok/Mberok oleh pribumi.)
Jayden sempat mengajak Ayu duduk tak jauh dari sana, karena nampaknya nafas Ayu sedikit tersengal. Wanita itu sedikit kelelahan, karena tidak memiliki paru-paru yang cukup baik. Ayu sering sekali kelelahan meski hanya berjalan sebentar saja.
“Raden Ayu pernah berkuda?” tanya Jayden tiba-tiba.
Ayu menoleh kemudian menggeleng pelan, ia sering naik dokar namun tidak pernah berkuda. Tidak ada yang mengajarinya walau Romo nya sendiri sangat pandai berkuda, Ayu itu tidak dekat dengan Romo.
“Belum pernah, Sir Jayden pernah berkuda?”
“Aku lumayan pandai dalam berkuda, apakah kau mau berkuda denganku?”
“Saya takut.” Ayu mengulum bibir bawahnya, ia pernah melihat kuda yang pertama kali di beli oleh Romo mengamuk.
“Kuda putih miliku itu namanya Jefro. Dia kuda yang baik, kau tidak perlu takut dengannya karna dia sangat jinak padaku.”
Ayu sempat menimang-nimang tawaran dari kekasihnya itu, ia memang sangat penasaran seperti apa rasanya berkuda, apalagi kuda putih jantan milik Jayden sangatlah gagah. Sama dengan pemiliknya, pada akhirnya pun Ayu mengangguk kecil.
“Tunggu disini sebentar yah, aku akan menjemput Jefro dahulu. Kita akan berkeliling melewati jembatan Gouvernementsbrug bersama Jefro.” Jayden berpamitan, kemudian ia sedikit berlari kecil. Menjemput Jefro yang sempat ia tinggal di dekat toko penjual bakpau dekat Gereja.
Sementara itu Ayu menunggunya, menikmati pemandangan dari atas jembatan Gouvernementsbrug yang ramai siang itu. Jembatan Gouvernementsbrug menjadi infrastruktur transportasi penting dari pesisir pantai utara menuju darat, sekaligus simbol yang memisahkan antara si kaya dan si miskin.
Tidak lama kemudian, Jayden datang kembali bersama kuda putihnya. Pria itu turun dan menghampiri Ayu, ia membuka tangan kanannya untuk membantu Ayu menaiki kuda putih miliknya itu.
“Aku akan membantumu naik, percayalah. Jefro adalah kuda yang baik.” suara lembut itu bagai menghipnotisnya, menaruh seluruh kepercayaanya pada pria di depannya itu. Ayu memberikan tangan kananya pada Jayden.
Jayden membantu Ayu lebih dulu, setelah Ayu naik barulah ia naik dan duduk di belakang wanita itu. Walau awalnya Ayu sempat kesulitan untuk duduk karena ia memakai kain. Kedua insan itu menunggangi kuda melewati jembatan Berok, sungguh ini adalah pengalaman baru bagi Ayu dalam berkuda.
Tak ada hentinya ulas senyum menghiasi wajahnya. Raganya sangatlah dekat dengan pria yang ia cintai, apalagi kala Jayden menarik tali pada kuda nya. Tubuh gagahnya itu seperti separuh memeluk Ayu, membuat desiran hangat mengalir pada tubuh keduanya.
“Pernah berjalan-jalan kesini sebelumnya?” keduanya melewati bangunan besar yang sangatlah sibuk hanya dari depannya saja.
“Belum, Sir Jayden. Ini untuk pertama kalinya.”
Jayden tersenyum, “ini adalah Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), lahan ini menjadi kantor pusat kereta api swasta. Bangunan ini untuk mengakomodir jalur kereta api yang menghubungkan Samarang-Soerakarta-Djokjakarta sepanjang 206 km oleh NIS.”
“Soerakarta dan Djokjakarta?” gumam Ayu, ia sedikit menoleh kebelakang demi melihat wajah tampan kesayanganya itu, hidung mancung milik pria kolonial itu nyaris saja bertabrakan dengan hidung mungil miliknya.
“Um. Kau pernah ke sana?”
Ayu hanya menggeleng kecil, “saya hanya pernah meninggalkan Samarang hanya untuk berkunjung ke Soerabaja. Saat kita bertemu di kediaman Bupati barunya.”
“Suatu hari, aku akan mengajakmu ke Djokjakarta.”
“Sir Jayden mengapa ingin sekali membawa saya ke banyak tempat?”
Memberhentikan kuda putihnya itu, Jayden merasa gugup hanya untuk menjawab pertanyaan sederhana dari kekasihnya itu. Ingin sekali ia lontarkan kalimat manis bak pujangga seperti yang selalu ia lakukan pada wanitanya itu, namun saat ini mulutnya terasa terkunci.
“Aku ingin sekali mengeggamu dan membawamu ke banyak tempat indah, menghabiskan waktu hanya untuk berdua Raden Ayu.”
Keduanya sempat hening, Jayden merangkai kata lamarannya untuk Ayu pada kepalanya. Sementara Ayu seperti tertampar oleh kenyataan jika ia akan segera di jodohkan, bagaimana ia harus mengatakan hal menyakitkan itu pada pria nya?
“Bisakah kita turun sebentar? Ada yang ingin aku katakan pada Raden Ayu.”
Ayu tidak menjawab, ia hanya mengangguk. Membiarkan Jayden turun lebih dahulu, kemudian membiarkan Jayden menangkap tubuh kurusnya itu ketika ia turun dari atas kuda putihnya.
“Sir Jayden ingin mengatakan apa?”
“Adi sudah mengatakan padaku soal apa yang di rencanakan oleh Romomu.”
“Soal apa?” arca wajah Ayu mengkerut. apa yang di katakan Adi?
“Soal perjodohan Raden Ayu.”
Mendengar itu Ayu diam, ia menunduk. Ia tidak tahu jika Adi sudah mengetahui ini, pasalnya Ayu sendiri belum bercerita. Entahlah dari siapa Adi tahu mengenai hal ini.
“Bolehkan aku temui Romo mu? Malam ini. Aku ingin meminangmu Raden Ayu.” Jayden mengataknnya dengan sungguh-sungguh, ketulusan hatinya ia pertaruhkan. Berusaha sekuat mungkin membuat Ayah dari kekasihnya itu mempercayainya jika ia bisa menjaga Ayu.
Jayden mengeluarkan cicin dari saku surjan miliknya, cincin yang tempo hari ia beli di Soerabaja bersama dengan Dimas. Ia pasangkan cincin itu pada jari manis Ayu, siapa sangka jika terkaan Jayden kala itu benar. Cincin itu nampak pas dan terlihat indah pada jari manisnya.
“Saya takut, Sir Jayden. Romo pasti akan marah besar.”
“Aku akan mengatakanya baik-baik, aku juga akan menunggumu hingga kau tamat bersekolah. Aku sangat mencintaimu, Liefje.“
Mendengar ucapan itu, Ayu justru menangis. Ia juga sangat mencintai Jayden, ia hanya ingin menikah dengan pria itu. Namun melihat kenyataan jika mendapat restu dari Romo nya tidaklah muda, membuat Ayu mengurungkan segalanya. Termasuk berandai-andai jika suatu hari ia bisa menikah dengan Jayden.
Melihat Ayu yang menangis, tangan Jayden sedikit gemetar. Ia meragu untuk membawa wanitanya itu pada dekapnya, namun tak tega rasanya jika ia membiarkan Ayu menangis tersedu-sedu seperti itu. Jadi, Jayden ulurkan tangannya, menarik pinggang kecil itu dan membawa tubuh kurus Ayu pada dekapnya.
“Tolong percaya padaku kalau kita akan melewatinya.”
Di tempat mereka berpisah, Adi menunggu kedatangan Ayu dan Jayden dengan harap-harap cemas. Sudah satu jam lebih keduanya melewati jam yang sudah mereka sepakati, kalau begini caranya sudah pasti Adi yang akan di marahi habis-habisan oleh Tuan Gumilar.
“Bagaimana ini..” gumam Adi.
Tak lama kemudian, saat Adi hendak naik ke dokarnya untuk mencari Jayden dan Ayu. Dokar milik Jayden terlihat di ujung jalan sana, Adi urungkan niatnya itu untuk mencari keduanya. Ia akhirnya menunggu hingga dokar Jayden mendekat, sungguh Adi ingin marah jika ia tidak ingat bahwa Ayu adalah anak dari majikannya.
Begitu dokar Jayden mendekat, Adi langsung turun dari dokarnya. Ia menghampiri Ayu yang sedang di bantu turun dari dokar oleh Jayden. Wajah keduanya berseri walau ada seliwet kekhawatiran tergambar jelas pada wajah Ayu.
“Adi maaf aku terlambat mengatar Ayu kembali,” Jayden tidak enak, apalagi saat menangkap raut ketakutan pada wajah pribumi itu.
“Saya bukan takut di marahi Tuan Gumilar, Sir Jayden. Saya hanya memikirkan Raden Ayu, takut kalau-kalau penjagaanya di perkuat karena hal ini.” pasalnya Tuan Gumilar sudah memberi ultimatum pada Adi jika Adi melanggar janjinya pada Tuan Gumilar, maka Adi tidak akan menjadi pengawal pribadi Ayu lagi. Akan di gantikan dengan orang lain yang bisa lebih tegas dalam menjaga Ayu.
Di tempatnya Ayu hanya diam, dia memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi jika Jayden benar-benar ingin ikut pulang ke rumahnya, dan kemudian berbicara dengan Romo nya untuk meminangnya malam ini juga.
“Biar nanti aku yang akan bicara dengan Tuanmu. kalau begitu, Ayo kita antarkan Ayu pulang.”
Arca wajah Adi mengkerut, nampak sebuah kebingungan tergambar di wajahnya. Ia melirik Ayu yang tampak tertunduk dan enggan memberikan jawaban. “Maksud Sir Jayden apakah anda akan ikut mengantar Raden Ayu? Ke rumahnya?”
Jayden mengangguk mantap, pilihannya sudah bulat untuk datang ke rumah Saudagar Gumilar dan membicarakan perihal pinanganya pada putri satu-satunya itu.
“Benar, ada hal yang harus aku bicarakan pada Saudagar Gumilar alih-alih bicara untuk jangan memarahimu.”
Adi menelan saliva nya susah payah, dokar yang di kendarai keduanya pun membelah desa hari itu. Beberapa pasang mata dari para pribumi sekitar juga turut menyoroti kedatangan Jayden seorang diri tanpa pengawal dan kusir yang mengantarnya, dengan tatapan ada kepentingan apa seorang petinggi Samarang datang ke desa mereka.
Sesampainya di kediaman Ayu, Tuan Gumilar sudah menunggu kepulangan putri satu-satunya itu. Wajah bangsawan angkuh itu tampak bingung saat satu dokar di belakang dokar yang di bawa Adi itu tampak seorang Belanda yang datang dengan setelan surjannya.
“Bukankah itu asisten residen Samarang yang baru, Pak?” gumam istrinya yang berdiri di sebelahnya itu.
Begitu turun dari dokar miliknya, Jayden membuka topi fedoranya. Tersenyum ramah pada Saudagar Gumilar yang sudah berdiri tegap di depan teras rumahnya, dengan keberanian yang ia miliki, di tautkannya jemari kokoh miliknya pada jemari kecil milik Ayu.
Ayu hanya diam, menunduk enggan menampakan wajahnya di depan kedua orang tuanya. Tubuh kecilnya itu agak gemetar menahan takut, sungguh. Ia takut meski dalam hati ia terus berdoa agar mereka mendapatkan restu.
Seorang petinggi Belanda dengan seorang inlander memang terdengar sedikit tidak mungkin, meski Ayu sendiri berasal dari keluarga bangsawan. Namun Ayahnya yang sangatlah tau tabiat para kolonial itu, yang selalu menganggap pribumi terutama wanita itu adalah budak yang derajatnya jauh di bawah mereka, bersama wanita pribumi pun mereka tak akan di anggap lebih sebagai gundik.
Membuat Ayah dari Ayu itu selalu mengingatkan pada Ayu agar tidak bergaul apalagi berkencan dengan seorang Belanda. Apalagi, Ayu adalah putri mereka satu-satunya. Tentunya Ayahnya itu ingin Ayu menikah dengan bangsawan dari kalangan pribumi juga.
“Sugeng sonten, Saudagar Gumilar.” Sapa Jayden dengan senyum ramahnya, tangan kananya enggan melepaskan Ayu.
Ayah dari Ayu itu mengangguk kecil, “ada apa gerangan seorang petinggi Belanda datang ke rumahku? Silahkan masuk, meneer.“
Tuan Gumilar mempersilahkan Jayden untuk masuk ke rumahnya, biar pun tidak suka dengan para kolonial. Tuan Gumilar tetap menghormati para petingginya, apalagi mereka sudah terikat kerja sama terutama dalam hal perdagangan. Ini menyangkut usaha yang ia bangun juga.
Jayden masuk ke dalam rumah Ayu, namun Ayu meminta tautan tangan mereka di lepas karena ia sudah mendapat tatapan tajam yang berasal dari Ayahnya. Keduanya duduk di atas kursi yang sama, bersebelahan dan bersebrangan dengan kedua orang tua Ayu.
Sempat mereka berbincang mengenai kabar dan kelanjutan usaha yang di bangun keluarga Ayu sampai akhirnya Jayden mendapatkan waktu yang tepat untuk mengatakan hal yang sedari tadi ia tahan.
“Tuan Gumilar, maksud dari kedatangan saya ke rumah anda adalah. Saya ingin meminang Raden Ayu, untuk menjadi istri sah saya.” Jayden pertegas pada bagian istri sah, yah. Dia ingin menikah dengan Ayu yang sah di mata hukum. Bukan menjadikan wanita itu sebagai gundik seperti yang di lakukan oleh para kolonial yang lain.
Tentu ucapan Jayden yang terdengar lugas itu mendatangkan raut bingung dan keterkejutan pada sepasang suami istri itu, terutama pada sang suami yang kini menatap putrinya itu yang terus menunduk.
“Kenapa harus Ayu, meneer?“
“Karena saya sangat mencintai putri anda, Tuan Gumilar.”
Tuan Gumilar sempat menimang jawaban untuk di berikan pada sang asisten Residen itu, keputusannya sudah bulat untuk menjodohkan Ayu dengan putra dari temannya. Ayu harus menikah dengan bangsawan pribumi juga.
“Pulanglah dahulu, meneer. saya akan memberikan jawaban pada anda melalui surat, yang akan pelayan saya kirimkan ke kediaman anda.”
Jayden terdiam, ia menatap Ayu yang kini menatapnya juga. Mata ketakutan itu seperti menyayat hatinya, terkadang ada waktu-waktu dimana Jayden berpikir bagaimana Saudagar Gumilar memperlakukan putrinya itu? Sampai-sampai sering kali Ayu merasa ketakutan hanya untuk bicara dengan Ayahnya saja.
“Aku pulang dulu yah.”
Ayu tidak menjawab, ia hanya mengangguk kecil sebagai jawaban. Setelahnya Jayden langsung berpamitan kepada pasangan suami istri itu.
Bersambung...