Melati Untuk Ayu

Jeong Yuno, Go Younjung, Lee Juyeon

Samarang, 1898.

Tak ada hentinya wajah dahayu mengulas senyum kala ia melihat sang pria datang menemuinya dengan surjan buatannya, tubuh Jayden begitu tampak gagah dalam balutan surjan dan kain sebagai pengganti celana yang biasa ia kenakan. Pagi itu, Jayden tidak datang bersama kusir pribadi yang selalu mengantarnya tiap kali ia berpergian. Ia membawa dokar itu sendiri, tersenyum ketika hendak turun dan melihat Ayu duduk di amben yang tak jauh dari taman mereka bertemu.

Beberapa hari mereka tidak bertemu membuat Jayden merasa ada beberapa perubahan dari tubuh ringkih wanitannya itu, wajah Ayu yang sudah tirus kecil semakin tirus. Mungkin efek karena sakit saat terakhir kali mereka bertemu, walau merasa lara melihat wanitanya seperti itu Jayden berusaha mengulas senyum nya. Ia ingin meramu senyum pada wajah dahayu nya itu.

“Terlihat sangat cocok di pakai olehku bukan?” ucap Jayden begitu ia menghampiri Ayu. Karena lupa memakai blangkon, Jayden tetap memakai topi fedora nya namun begitu turun dari dokar, ia buka topi itu.

“Sir Jayden sangat tampan. Cocok sekali, saya sempat khawatir tidak pas pada tubuhmu karena saya tidak mengukur nya dengan benar. Saya hanya menerka, dan mencoba mengukur tubuh seseorang yang mirip denganmu. Syukurlah jika surjan nya muat.”

Ayu tersenyum, Jayden sungguh memakai pemberiannya. Pria itu bertambah tampan mengenakan surjan buatan Ayu, meski tidak bisa Ayu pungkiri jika wajah pria itu memanglah sudah tampan meski mengenakan pakaian eropa sehari-harinya. Tapi hari ini ketampanan itu rasanya bertambah sepuluh kali lipat dari biasanya.

“Terima kasih, Raden Ayu.”

“Sama-sama.”

“Jika begitu, bisa kita pergi sekarang? Matahari mulai meninggi jika kita terlalu lama disini.”

Arca wajah milik Ayu sedikit mengapit, ia pikir Jayden hanya ingin berbicara sesuatu padanya di taman ini. Sama sekali tidak terpikir jika pria itu akan mengajaknya pergi.

“Kita akan pergi kemana, Sir?” tanya Ayu.

“Aku ingin mengajakmu jalan-jalan, ada banyak hal yang ingin aku bicarakan.” Jayden mengambil kedua tangan Ayu, membawanya pada tangan besar miliknya dan menggenggamnya.

“Aku ingin melipur rindu padamu, kau mau?”

Ayu terdiam ia tampak berpikir sejenak, ia sangat ingin bersama Jayden lebih lama dari sekedar bertemu di taman lalu berbicara. Ia ingin menghabiskan waktunya bersama pria itu, di liriknya Adi yang berdiri tak jauh dari dokar miliknya. Wajah pria itu datar, namun tatapannya seperti ia menyerahkan semua jawaban pada Ayu.

“sejujurnya, saya tidak datang ke sekolah. Hanya untuk bertemu Sir Jayden.”

“Romomu mengekangmu akhir-akhir ini?”

Agak sedikit tercengang pada ucapan Jayden, dari mana pria itu bisa tahu? Namun pada akhirnya Ayu mengangguk.

“Maafkan aku, kau rela tidak datang ke sekolah hanya untuk bertemu denganku.”

“Sir Jayden, ini keinginan yang saya buat sendiri. Ada hal yang ingin saya katakan juga sebenarnya.”

Jayden mengangguk. “Kita bicara disini saja kalau begitu.”

Ada raut kepanikan pada wajah Ayu, ia ingin mengatakan jika ia juga mau ikut jalan-jalan dengan Jayden. Ia hanya berpikir sebentar tadi namun Jayden terlampau cepat mengubah pikirannya.

“Ki..kita tak jadi pergi?”

Jayden terkekeh, “kau mau? aku pikir kau menolak ajakkanku. Aku pun merasa sungkan Raden Ayu telah membuatmu tidak datang ke sekolah.”

“M..mau, sesekali saya pikir tidak akan menjadi masalah. Hanya sebentar, bukan?”

“Iya, hanya sebentar.” Jayden tersenyum, ia kemudian menoleh pada Adi yang berdiri tak jauh dari amben tempat Ayu duduk.

“Aku sama sekali tidak keberatan jika kau ikut dengan kami, Adi.” Jayden sungkan meninggalkan Adi di dekat taman seperti ini, meski sejujurnya ia sangat ingin menghabiskan waktu berdua dengan Ayu tanpa ada Adi yang selau mengikuti mereka di belakang.

“Saya menunggu disini saja, Sir Jayden. Saya rasa, Raden Ayu dan Sir Jayden membutuhkan waktu untuk bicara.”

Ayu tersenyum, Adi sungguh mengertinya. Tidak bisa Ayu bayangkan jika yang menjaganya bukan Adi, sudah bisa Ayu pastikan ia sudah di laporkan berkali-kali pada Romo nya. Adi sungguh pengertian, terkadang Ayu berpikir jika Adi sudah seperti sosok Kakak laki-laki untuknya.

“Kau tidak keberatan?” Jayden memastikan, ia hanya tidak enak pada Adi dan berpikir mungkin Adi sungkan.

“Sungguh tidak keberatan, Sir Jayden. Asalkan Sir Jayden bisa membawa Raden Ayu pada saya tepat jam 2 siang.”

“Baiklah, aku akan segera membawanya tepat jam 2 siang.”

Keduanya harus bergerak dengan cepat karna mereka hanya memiliki waktu sekitar 3 jam lagi, membukakan pintu dokarnya, Jayden merangkul pinggang Ayu dan membantu wanita itu untuk naik ke dalam dokar. Keduanya pun langsung pergi dari taman itu, sentuhan tangan lembut Jayden pada pingganya itu membuat senyum di wajah dahayu itu tak lekang-lekang.

Ayu benar-bebar bahagia, mereka jarang sekali bersentuhan. Hanya pegangan tangan saja karena Jayden sangat sungkan untuk menyentuh Ayu, di tariknya kuda putih itu dan dokar pribadi milik Jayden itu berjalan meninggalkan taman. Keduanya sempat terdiam beberapa saat, di kepala Jayden hanya ada bising untaian kalimat bagaimana ia akan menyatakan pinganya pada Ayu dan juga kedua orang tua nya.

Sedangkan Ayu, ia terdiam sembari sesekali melirik pada wajah tampan milik sang pria di sebelahnya. Jayden tampak gagah hanya dengan menarik tali pada kuda putih yang ada pada genggamannya.

“Kau sudah pernah naik kapal pesiar, Ayu?” tanya Jayden tiba-tiba. Jayden berpikir jika ia di terima oleh keluarga Ayu dan di beri restu untuk menikahkannya, Jayden ingin sekali membawa Ayu berobat ke negaranya.

“Belum, saya tidak pernah berpergian sejauh itu sampai harus menaiki kapal pesiar, Sir Jayden.”

“Kau ingin?”

“Memangnya mau kemana?”

Jayden tersenyum, ia sempat menoleh untuk melihat wajah dahayu itu. “Mengajakmu berkeliling ke tempat-tempat yang indah setelah perang ini usai.”

Jayden tidak munafik untuk tidak mengakui jika ia adalah bagian dari komplotan para Belanda yang memijak bumi Hindia Belanda ini, memerangi rakyat pribumi meski ia tak ikut berperang. Namun tetap saja, di mata pribumi ia pria yang jahat meski ia tidak melakukan apapun. Apalagi ia seorang petinggi dan darah dari para petinggi VOC masih mengalir dalam darah Jayden.

“Lebih indah dari desaku?” kedua mata Ayu berkedip, sorotnya seperti seorang anak kecil yang di janjikan sebuah makanan. Sangat lucu dan lugu di mata Jayden.

“Lebih indah, tapi tidak bisa menandingi indahnya wajahmu.”

Ayu tak lagi menjawab, ia justru menyembunyikan wajahnya dengan duduk sedikit bergeser agar Jayden tidak bisa melihat senyum konyolnya. Ayu salah tingkah, ia kikuk. Bingung bagaimana menanggapi ucapan Jayden bak pujangga. Dokar yang di kendarai Jayden itu berhenti di sebuah geraja di sana, itu adalah Gereja Blenduk yang sangat terkenal di Samarang.

“Kau mau turun? Ada pedagang bakpau tak jauh dari sini, rasanya enak. Aku kenal dengan pedagangnya. Kau mau?”

Ayu mengangguk, jantungnya masih berdegup tidak karuan saat melihat Jayden. Pria tinggi itu turun dari dokar lebih dulu, kemudian membantu Ayu turun dan menggandeng tangan wanita itu mengelilingi Gereja.

“Aku pernah masuk ke dalam Gereja ini. Kau pernah kesini?” tanya Jayden saat mereka melewati bangunan itu.

Ayu menggeleng, “Romo sering bercerita tentang Gereja ini, namun tidak pernah membawaku kesini. Ini pertama kalinya aku melihat Gereja ini.”

Kedua netra Ayu menatap kagum pada bangunan di depannya, sungguh sepanjang jalan ia hanya berdoa jika waktu berbaik hati untuk berputar lebih lambat dari biasanya. Ia sangat ingin menghabiskan banyak waktu dengan Jayden ke banyak tempat.

“Nanti akan ku ajak masuk ke dalam Gereja itu jika kita bertemu lagi ya?”

Ayu mengangguk, beberapa orang menyapa Jayden dengan ramah. Ayu bahkan sering lupa jika ia berkencan dengan seorang asisten Residen, yang tentunya Jayden sangatlah mudah di kenali orang-orang. Keduanya berhenti di sebuah toko kecil penjual bakpau, wanginya bahkan sudah tercium hingga ke depan gang sempit yang mereka lewati.

“Saya ingin 4 bakpau nya yah, Pak.”

“Sebentar ya, meneer akan saya ambilkan dulu.” ucap pedagang itu ramah pada Jayden.

Ayu tersenyum kali ini bukan karna melihat Jayden, tapi melihat kecil yang sedang bermain disana. Sungguh, anak-anak itu pasti tidak pernah merasakan kesepian sepertinya. Ayu sama sekali tidak memiliki teman, ia tidak pandai bergaul.

“Kau tersenyum melihat anak-anak itu?”

“Um.” Ayu mengangguk. “mereka punya teman.”

“Memangnya kau tidak memiliki teman?”

Ayu menggeleng, “saya tidak punya teman, Romo sering melarang saya keluar rumah bahkan hanya untuk bermain. Katanya, takut saya di culik.”

“Oleh Londho?” tebak Jayden.

Ayu tidak menjawab, meski yang di lontarkan oleh Jayden adalah sebuah kebenaran, entah dari mana Jayden bisa mengetahui hal itu. Ayu menunduk merasa tidak enak pada Jayden meski kata-kata itu bukan terlontar dari bibirnya.

Liefje, aku tau hal itu karena pernah mendengar seorang Ibu memperingati anaknya dengan ucapan seperti itu.”

“Apa Ibu itu berucap seperti itu pada Sir Jayden?” tanya Ayu, ia beranikan menatap sang pria yang selalu tersenyum lembut padanya.

“Pada pengawalku. Aku hanya melewati sebuah desa kecil, sudah sangat lama. Aku di kawal karena sewaktu itu aku berpergian dengan Ayahku yang seorang Residen.”

Tidak lama kemudian sang penjual bakpau itu kembali dan memberikan sekantung bakpau yang masih hangat, bahkan asap nya sampai mengepul keluar. Menebarkan aroma harum dari makanan manis itu.

Keduanya memutuskan untuk duduk di depan toko penjual bakpau itu sebentar, menikmati semilir angin sembari memakan bakpau yang masih hangat. Jayden meniupkan bakpau itu, setelah sudah dingin barulah ia berikan pada Ayu. Pria itu tidak ingin makanan panas menyakiti lidah kekasihnya.

“Sir Jayden benar, bakpau ini memang enak di makan selagi masih hangat.” Ayu tersenyum, dengan mulut yang sedikit penuh karena bakpau yang ia makan.

“Jika itu soal makanan, kau selalu bisa mempercayai seleraku.”

Ayu mengangguk, “Sir Jayden pernah makan getuk?”

“Tentu, salah satu makanan kesukaanku.”

“Saya bisa membuatnya, kapan-kapan akan saya buatkan getuk untuk Sir Jayden yah.”

Setelah menghabiskan empat bakpau yang Jayden pesan, sepasang insan itu kembali berjalan. Keduanya melewati Jembatan Berok yang tak jauh dari Gereja Blenduk barusan. Di sana cukup ramai, banyak sekali perahu-perahu kecil yang singgah.

(Jembatan Berok sekitar tahun 1897. Jembatan Berok dibangun oleh Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada 1705. Nama aslinya adalah Gouvernementsbrug, nama Berok di ambil dari kata Burg. Yang kemudian di lafalkan Berok/Mberok oleh pribumi.)

Jayden sempat mengajak Ayu duduk tak jauh dari sana, karena nampaknya nafas Ayu sedikit tersengal. Wanita itu sedikit kelelahan, karena tidak memiliki paru-paru yang cukup baik. Ayu sering sekali kelelahan meski hanya berjalan sebentar saja.

“Raden Ayu pernah berkuda?” tanya Jayden tiba-tiba.

Ayu menoleh kemudian menggeleng pelan, ia sering naik dokar namun tidak pernah berkuda. Tidak ada yang mengajarinya walau Romo nya sendiri sangat pandai berkuda, Ayu itu tidak dekat dengan Romo.

“Belum pernah, Sir Jayden pernah berkuda?”

“Aku lumayan pandai dalam berkuda, apakah kau mau berkuda denganku?”

“Saya takut.” Ayu mengulum bibir bawahnya, ia pernah melihat kuda yang pertama kali di beli oleh Romo mengamuk.

“Kuda putih miliku itu namanya Jefro. Dia kuda yang baik, kau tidak perlu takut dengannya karna dia sangat jinak padaku.”

Ayu sempat menimang-nimang tawaran dari kekasihnya itu, ia memang sangat penasaran seperti apa rasanya berkuda, apalagi kuda putih jantan milik Jayden sangatlah gagah. Sama dengan pemiliknya, pada akhirnya pun Ayu mengangguk kecil.

“Tunggu disini sebentar yah, aku akan menjemput Jefro dahulu. Kita akan berkeliling melewati jembatan Gouvernementsbrug bersama Jefro.” Jayden berpamitan, kemudian ia sedikit berlari kecil. Menjemput Jefro yang sempat ia tinggal di dekat toko penjual bakpau dekat Gereja.

Sementara itu Ayu menunggunya, menikmati pemandangan dari atas jembatan Gouvernementsbrug yang ramai siang itu. Jembatan Gouvernementsbrug menjadi infrastruktur transportasi penting dari pesisir pantai utara menuju darat, sekaligus simbol yang memisahkan antara si kaya dan si miskin.

Tidak lama kemudian, Jayden datang kembali bersama kuda putihnya. Pria itu turun dan menghampiri Ayu, ia membuka tangan kanannya untuk membantu Ayu menaiki kuda putih miliknya itu.

“Aku akan membantumu naik, percayalah. Jefro adalah kuda yang baik.” suara lembut itu bagai menghipnotisnya, menaruh seluruh kepercayaanya pada pria di depannya itu. Ayu memberikan tangan kananya pada Jayden.

Jayden membantu Ayu lebih dulu, setelah Ayu naik barulah ia naik dan duduk di belakang wanita itu. Walau awalnya Ayu sempat kesulitan untuk duduk karena ia memakai kain. Kedua insan itu menunggangi kuda melewati jembatan Berok, sungguh ini adalah pengalaman baru bagi Ayu dalam berkuda.

Tak ada hentinya ulas senyum menghiasi wajahnya. Raganya sangatlah dekat dengan pria yang ia cintai, apalagi kala Jayden menarik tali pada kuda nya. Tubuh gagahnya itu seperti separuh memeluk Ayu, membuat desiran hangat mengalir pada tubuh keduanya.

“Pernah berjalan-jalan kesini sebelumnya?” keduanya melewati bangunan besar yang sangatlah sibuk hanya dari depannya saja.

“Belum, Sir Jayden. Ini untuk pertama kalinya.”

Jayden tersenyum, “ini adalah Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), lahan ini menjadi kantor pusat kereta api swasta. Bangunan ini untuk mengakomodir jalur kereta api yang menghubungkan Samarang-Soerakarta-Djokjakarta sepanjang 206 km oleh NIS.”

“Soerakarta dan Djokjakarta?” gumam Ayu, ia sedikit menoleh kebelakang demi melihat wajah tampan kesayanganya itu, hidung mancung milik pria kolonial itu nyaris saja bertabrakan dengan hidung mungil miliknya.

“Um. Kau pernah ke sana?”

Ayu hanya menggeleng kecil, “saya hanya pernah meninggalkan Samarang hanya untuk berkunjung ke Soerabaja. Saat kita bertemu di kediaman Bupati barunya.”

“Suatu hari, aku akan mengajakmu ke Djokjakarta.”

“Sir Jayden mengapa ingin sekali membawa saya ke banyak tempat?”

Memberhentikan kuda putihnya itu, Jayden merasa gugup hanya untuk menjawab pertanyaan sederhana dari kekasihnya itu. Ingin sekali ia lontarkan kalimat manis bak pujangga seperti yang selalu ia lakukan pada wanitanya itu, namun saat ini mulutnya terasa terkunci.

“Aku ingin sekali mengeggamu dan membawamu ke banyak tempat indah, menghabiskan waktu hanya untuk berdua Raden Ayu.”

Keduanya sempat hening, Jayden merangkai kata lamarannya untuk Ayu pada kepalanya. Sementara Ayu seperti tertampar oleh kenyataan jika ia akan segera di jodohkan, bagaimana ia harus mengatakan hal menyakitkan itu pada pria nya?

“Bisakah kita turun sebentar? Ada yang ingin aku katakan pada Raden Ayu.”

Ayu tidak menjawab, ia hanya mengangguk. Membiarkan Jayden turun lebih dahulu, kemudian membiarkan Jayden menangkap tubuh kurusnya itu ketika ia turun dari atas kuda putihnya.

“Sir Jayden ingin mengatakan apa?”

“Adi sudah mengatakan padaku soal apa yang di rencanakan oleh Romomu.”

“Soal apa?” arca wajah Ayu mengkerut. apa yang di katakan Adi?

“Soal perjodohan Raden Ayu.”

Mendengar itu Ayu diam, ia menunduk. Ia tidak tahu jika Adi sudah mengetahui ini, pasalnya Ayu sendiri belum bercerita. Entahlah dari siapa Adi tahu mengenai hal ini.

“Bolehkan aku temui Romo mu? Malam ini. Aku ingin meminangmu Raden Ayu.” Jayden mengataknnya dengan sungguh-sungguh, ketulusan hatinya ia pertaruhkan. Berusaha sekuat mungkin membuat Ayah dari kekasihnya itu mempercayainya jika ia bisa menjaga Ayu.

Jayden mengeluarkan cicin dari saku surjan miliknya, cincin yang tempo hari ia beli di Soerabaja bersama dengan Dimas. Ia pasangkan cincin itu pada jari manis Ayu, siapa sangka jika terkaan Jayden kala itu benar. Cincin itu nampak pas dan terlihat indah pada jari manisnya.

“Saya takut, Sir Jayden. Romo pasti akan marah besar.”

“Aku akan mengatakanya baik-baik, aku juga akan menunggumu hingga kau tamat bersekolah. Aku sangat mencintaimu, Liefje.

Mendengar ucapan itu, Ayu justru menangis. Ia juga sangat mencintai Jayden, ia hanya ingin menikah dengan pria itu. Namun melihat kenyataan jika mendapat restu dari Romo nya tidaklah muda, membuat Ayu mengurungkan segalanya. Termasuk berandai-andai jika suatu hari ia bisa menikah dengan Jayden.

Melihat Ayu yang menangis, tangan Jayden sedikit gemetar. Ia meragu untuk membawa wanitanya itu pada dekapnya, namun tak tega rasanya jika ia membiarkan Ayu menangis tersedu-sedu seperti itu. Jadi, Jayden ulurkan tangannya, menarik pinggang kecil itu dan membawa tubuh kurus Ayu pada dekapnya.

“Tolong percaya padaku kalau kita akan melewatinya.”


Di tempat mereka berpisah, Adi menunggu kedatangan Ayu dan Jayden dengan harap-harap cemas. Sudah satu jam lebih keduanya melewati jam yang sudah mereka sepakati, kalau begini caranya sudah pasti Adi yang akan di marahi habis-habisan oleh Tuan Gumilar.

“Bagaimana ini..” gumam Adi.

Tak lama kemudian, saat Adi hendak naik ke dokarnya untuk mencari Jayden dan Ayu. Dokar milik Jayden terlihat di ujung jalan sana, Adi urungkan niatnya itu untuk mencari keduanya. Ia akhirnya menunggu hingga dokar Jayden mendekat, sungguh Adi ingin marah jika ia tidak ingat bahwa Ayu adalah anak dari majikannya.

Begitu dokar Jayden mendekat, Adi langsung turun dari dokarnya. Ia menghampiri Ayu yang sedang di bantu turun dari dokar oleh Jayden. Wajah keduanya berseri walau ada seliwet kekhawatiran tergambar jelas pada wajah Ayu.

“Adi maaf aku terlambat mengatar Ayu kembali,” Jayden tidak enak, apalagi saat menangkap raut ketakutan pada wajah pribumi itu.

“Saya bukan takut di marahi Tuan Gumilar, Sir Jayden. Saya hanya memikirkan Raden Ayu, takut kalau-kalau penjagaanya di perkuat karena hal ini.” pasalnya Tuan Gumilar sudah memberi ultimatum pada Adi jika Adi melanggar janjinya pada Tuan Gumilar, maka Adi tidak akan menjadi pengawal pribadi Ayu lagi. Akan di gantikan dengan orang lain yang bisa lebih tegas dalam menjaga Ayu.

Di tempatnya Ayu hanya diam, dia memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi jika Jayden benar-benar ingin ikut pulang ke rumahnya, dan kemudian berbicara dengan Romo nya untuk meminangnya malam ini juga.

“Biar nanti aku yang akan bicara dengan Tuanmu. kalau begitu, Ayo kita antarkan Ayu pulang.”

Arca wajah Adi mengkerut, nampak sebuah kebingungan tergambar di wajahnya. Ia melirik Ayu yang tampak tertunduk dan enggan memberikan jawaban. “Maksud Sir Jayden apakah anda akan ikut mengantar Raden Ayu? Ke rumahnya?”

Jayden mengangguk mantap, pilihannya sudah bulat untuk datang ke rumah Saudagar Gumilar dan membicarakan perihal pinanganya pada putri satu-satunya itu.

“Benar, ada hal yang harus aku bicarakan pada Saudagar Gumilar alih-alih bicara untuk jangan memarahimu.”

Adi menelan saliva nya susah payah, dokar yang di kendarai keduanya pun membelah desa hari itu. Beberapa pasang mata dari para pribumi sekitar juga turut menyoroti kedatangan Jayden seorang diri tanpa pengawal dan kusir yang mengantarnya, dengan tatapan ada kepentingan apa seorang petinggi Samarang datang ke desa mereka.

Sesampainya di kediaman Ayu, Tuan Gumilar sudah menunggu kepulangan putri satu-satunya itu. Wajah bangsawan angkuh itu tampak bingung saat satu dokar di belakang dokar yang di bawa Adi itu tampak seorang Belanda yang datang dengan setelan surjannya.

“Bukankah itu asisten residen Samarang yang baru, Pak?” gumam istrinya yang berdiri di sebelahnya itu.

Begitu turun dari dokar miliknya, Jayden membuka topi fedoranya. Tersenyum ramah pada Saudagar Gumilar yang sudah berdiri tegap di depan teras rumahnya, dengan keberanian yang ia miliki, di tautkannya jemari kokoh miliknya pada jemari kecil milik Ayu.

Ayu hanya diam, menunduk enggan menampakan wajahnya di depan kedua orang tuanya. Tubuh kecilnya itu agak gemetar menahan takut, sungguh. Ia takut meski dalam hati ia terus berdoa agar mereka mendapatkan restu.

Seorang petinggi Belanda dengan seorang inlander memang terdengar sedikit tidak mungkin, meski Ayu sendiri berasal dari keluarga bangsawan. Namun Ayahnya yang sangatlah tau tabiat para kolonial itu, yang selalu menganggap pribumi terutama wanita itu adalah budak yang derajatnya jauh di bawah mereka, bersama wanita pribumi pun mereka tak akan di anggap lebih sebagai gundik.

Membuat Ayah dari Ayu itu selalu mengingatkan pada Ayu agar tidak bergaul apalagi berkencan dengan seorang Belanda. Apalagi, Ayu adalah putri mereka satu-satunya. Tentunya Ayahnya itu ingin Ayu menikah dengan bangsawan dari kalangan pribumi juga.

Sugeng sonten, Saudagar Gumilar.” Sapa Jayden dengan senyum ramahnya, tangan kananya enggan melepaskan Ayu.

Ayah dari Ayu itu mengangguk kecil, “ada apa gerangan seorang petinggi Belanda datang ke rumahku? Silahkan masuk, meneer.

Tuan Gumilar mempersilahkan Jayden untuk masuk ke rumahnya, biar pun tidak suka dengan para kolonial. Tuan Gumilar tetap menghormati para petingginya, apalagi mereka sudah terikat kerja sama terutama dalam hal perdagangan. Ini menyangkut usaha yang ia bangun juga.

Jayden masuk ke dalam rumah Ayu, namun Ayu meminta tautan tangan mereka di lepas karena ia sudah mendapat tatapan tajam yang berasal dari Ayahnya. Keduanya duduk di atas kursi yang sama, bersebelahan dan bersebrangan dengan kedua orang tua Ayu.

Sempat mereka berbincang mengenai kabar dan kelanjutan usaha yang di bangun keluarga Ayu sampai akhirnya Jayden mendapatkan waktu yang tepat untuk mengatakan hal yang sedari tadi ia tahan.

“Tuan Gumilar, maksud dari kedatangan saya ke rumah anda adalah. Saya ingin meminang Raden Ayu, untuk menjadi istri sah saya.” Jayden pertegas pada bagian istri sah, yah. Dia ingin menikah dengan Ayu yang sah di mata hukum. Bukan menjadikan wanita itu sebagai gundik seperti yang di lakukan oleh para kolonial yang lain.

Tentu ucapan Jayden yang terdengar lugas itu mendatangkan raut bingung dan keterkejutan pada sepasang suami istri itu, terutama pada sang suami yang kini menatap putrinya itu yang terus menunduk.

“Kenapa harus Ayu, meneer?

“Karena saya sangat mencintai putri anda, Tuan Gumilar.”

Tuan Gumilar sempat menimang jawaban untuk di berikan pada sang asisten Residen itu, keputusannya sudah bulat untuk menjodohkan Ayu dengan putra dari temannya. Ayu harus menikah dengan bangsawan pribumi juga.

“Pulanglah dahulu, meneer. saya akan memberikan jawaban pada anda melalui surat, yang akan pelayan saya kirimkan ke kediaman anda.”

Jayden terdiam, ia menatap Ayu yang kini menatapnya juga. Mata ketakutan itu seperti menyayat hatinya, terkadang ada waktu-waktu dimana Jayden berpikir bagaimana Saudagar Gumilar memperlakukan putrinya itu? Sampai-sampai sering kali Ayu merasa ketakutan hanya untuk bicara dengan Ayahnya saja.

“Aku pulang dulu yah.”

Ayu tidak menjawab, ia hanya mengangguk kecil sebagai jawaban. Setelahnya Jayden langsung berpamitan kepada pasangan suami istri itu.

Bersambung...

Samarang, 1898.

“Benar-benar membuat malu keluarga, kamu berkencan dengan pria Belanda itu, Ayu?”

Teriakan dari Romo nya itu menggelegar memenuhi indra pendengaran Ayu, Ayu hanya bisa menangis, memangku wajahnya pada pangkuan sang Ibu. Sungguh sesak dadanya mendengar Romo memarahinya habis-habisan. Bahkan cincin pemberian dari Jayden tadi siang di renggut paksa dan di buang entah kemana.

uwis Pak, Mesakne Ayu.” Sang Ibu menengahi, tidak tega melihat putrinya menangis tersedu-sedu seperti itu.

“Minggu depan, calon suamimu akan datang ke Samarang. Romo akan mempercepat pernikahan kalian, tidak akan Romo biarkan kamu keluar dari rumah meski itu bersekolah sekalipun.”

Ayu tidak menjawab, ia hanya terus menangis. Melawan Romo nya pun Ayu tidak sanggup, ia takut. Setelah Romo pergi dari kamar Ayu. Barulah Ayu berani mengangkat kepalanya dan memeluk Ibu. Kedua wanita itu menangis, nasib Ayu tidak berbeda jauh seperti dirinya dahulu.

“Buk, Ayu harus bagaimana? Ayu sangat mencintai Sir Jayden. Dia bukan pria Belanda yang jahat, dia pria yang baik.” Ayu merengek seperti anak kecil, memohon pada sang Ibu yang selalu berada di pihaknya.

“Ibu tau, nduk. bertemu dulu saja dengan calon suamimu yah. Ibu saja tidak bisa melawan Romo.”

Tangis Ayu semakin menyesakkan, ia melepaskan pelukan pada tubuh Ibu nya itu dan menidurkan dirinya di ranjang. Menangis sejadi-jadinya, memikirkan kelak ia akan segera menikah dengan pria yang tidak ia cintai.


Jakarta, 2025.

Kirana terbangun pagi itu dengan dada yang cukup sesak, ia menyadari jika ia menangis, bahkan bantal yang ia pakai itu basah oleh air matanya sendiri. Mimpinya semalam bukan hanya membuat perasaanya tidak nyaman, ia juga menangis bahkan merasakan sesak. Seperti ada yang menibani dadanya hingga nafasnya pun sedikit tersenggal.

Kirana enggak tahu kenapa, tapi pagi itu setelah bangun dari tidur ia merasa sedih. Ia menangis sama seperti Ayu yang ada di dalam mimpinya, sampai akhirnya ponsel nya berdering dan menampakan nama Bagas di sana. Ayu buru-buru menghapus air matanya itu.

“Hallo, sayang?”

sayang, aku udah jalan yah, kamu udah siap kan?

Kirana melihat jam yang ada di atas dinding tempat tidurnya, saat ini sudah jam 6:30 dan hari ini adalah hari pertama Kirana kembali ke kantor setelah mengalami kecelakaan. Dan ia nyaris saja terlambat karena mimpi menyedihkan itu.

“Sayang, ak..aku kesiangan. Belum mandi, baru banget bangun. Ibu juga enggak bangunin, kayanya udah ke pasar duluan deh. Gimana yah? Kamu jalan duluan aja gapapa, kamu ada meeting kan?”

meetingnya masih jam 10 kok, gapapa. Aku juga udah dekat rumah kamu. Mandi dulu aja yah, gak usah sarapan. Aku beliin kamu sarapan kok.

“Beneran?”

iya sayangku, sana mandi.

“Yaudah, aku mandi dulu yah.”

Setelah panggilan itu berakhir, Kirana menyibak rambut panjangnya. Jantungnya masih berdebar mengingat mimpi mirisnya semalam, namun buru-buru ia singkirkan itu. Tidak ada cukup waktu untuk memikirkan mimpi sialan yang menganggunya setiap malam itu. Ia harus segera mandi dan siap-siap ke kantor sebelum Bagas datang.

Di perjalanan menuju kantor, Kirana lebih banyak terdiam. Dia masih memikirkan mimpinya semalam, bahkan celotehan Bagas saja terdengar samar-samar di telinga Kirana. Kepalanya terlalu bising dengan tangisan Ayu, pinangan Jayden dan kemarahan Romo dalam mimpinya.

“Sayang?” panggil Bagas, mobilnya berhenti karena di depan sana ada sedikit kemacetan, ah ini lumrah karena mereka tinggal di Jakarta.

“Hm?” Kirana menoleh, tersenyum kikuk pada Bagas. Kayanya Bagas sadar dari tadi Kirana cuma diam saja. “Kenapa, sayang?”

“Kamu kenapa? Gak enak badan?”

Kirana menggeleng, “enggak kok.”

“Terus kenapa diem aja, hm?”

“Gapapa, badan aku cuma pegal-pegal aja.”

“Kamu belum sehat banget? Ak..aku anterin pulang aja kalau gitu yah?”

“Oh.. Enggak-enggak, ma..ksud aku. Badan aku tuh pegal-pegal kayanya karna aku semalem tidur gak ngubah posisi deh, sayang. Gapapa kok, nanti di pakein minyak angin juga ilang.” alibi Kirana, dia gak mau cerita soal mimpinya pada Bagas, enggak bercerita dan hanya memikirkannya sendiri saja membuat seluruh energinya rasanya terkuras.

“Beneran?” Bagas menelisik wajah Kirana, khawatir jika Kirana memang kurang sehat tapi wanita itu menyembunyikannya.

Kirana mengangguk, “i'm fine, sayang. Aku justru seneng banget bisa balik ke kantor lagi.”

Kirana senyum, dia benar-benar senang bisa kembali bekerja lagi. Selain karena bosan di rumah saja, Kirana juga harus segera bekerja karena ia masih harus melunasi seluruh hutang Bapaknya di bank. Tanggung jawabnya sebesar itu, untung saja di kantor tempatnya bekerja Kirana memiliki teman-teman serta atasan yang selalu mendukung dan baik padanya.

Begitu sampai di kantor, nyaris semua karyawan yang mengenal Kirana menyapa nya. Mereka bersyukur Kirana dapat kembali bekerja, dan yang paling terlihat bahagia tak lain dan tak bukan adalah Almira. Waktu Kirana mengabari jika ia akan kembali bekerja besok saja, Almira sudah kegirangan. Bahkan wanita itu rela masak agak banyak untuk bekal makan siangnya yang akan ia bagi juga ke Kirana.

“Mbakkkk....” pekik Almira, wanita itu baru datang 10 menit setelah Kirana datang. Kebiasaan Almira tuh sebelum masuk kantor selalu mampir ke cafe buat beli kopi.

Almira langsug menghampiri meja kerja Kirana dan memeluk wanita itu, ia bahkan memberikan gelas kopinya pada Satya yang datang bersamanya. Untung saja Satya adalah senior yang santai sama junior-juniornya. Pria itu cuma geleng-geleng kepala berjalan ke meja nya dan menaruh kopi milik Almira di meja wanita itu.

“Aku seneng banget Mbak udah kerja lagi!! Pokoknya gak boleh sakit-sakit lagi loh!” Ancam Almira, memangnya siapa yang mau sakit?

“Iya enggak, gak enak juga sakit. Di rumah mulu, enakan kerja.” Kirana terkekeh.

“Kerja mah enak pas gajian doang, Na.” Samber Satya sembari menyalakan komputer miliknya.

“Sama pas bonus cair, Bang. Jangan lupa. Oh sama outing deh.” Bagas ikut menimpali, mereka memang satu ruangan. Meja mereka hanya berjarak sedikit saja.

Posisinya seperti ini, Almira, Kirana, Satya. Sedangkan di depan meja Almira ada meja milik Bagas, dan dua karyawan lain nya yang berhadapan dengan Satya dan Almira. Di dekat ruangan mereka ada ruangan Raga yang hanya di batasi oleh kaca tebal, jadi apapun yang di lakukan oleh mereka dapat selalu di awasi oleh Raga di dalam ruangannya.

“Udah mendingan banget kan, Mbak?”

Kirana mengangguk, “udah kok, oiya kamu bawa apa? Katanya masak buat makan siang kita berdua? Repot-repot banget sih.”

“Oh iya, aku tuh bikin—”

“Kirana?”

Belum saja Almira menjawab, Raga sudah datang menghampiri meja Kirana. Membuat Almira yang tadinya menggeser kursi miliknya ke dekat Kirana itu, jadi mengembalikannya ke tempat semula. Satya dan Bagas juga langsung mulai sibuk dengan berkas-berkas yang ada di meja mereka.

“Ya, Pak?”

“Sudah masuk, sudah sehat kamu?”

Kirana enggak menjawab, dia justru menatap Raga lekat. Teringat akan mimpinya semalam, Jayden yang sangat mirip dengan Raga itu meminangnya, sebelumnya bahkan mereka berkencan dan datang ke banyak tempat.

“Kirana?” Raga melambaikan tangannya di depan wajah Kirana, memecah lamun wanita itu yang terus menatap Raga lekat.

“Ya, Pak?”

“Sudah sehat?”

Kirana mengangguk kikuk, ia ketahuan melamun. Sial, mimpinya semalam membuat hari pertamanya bekerja kacau. “Sudah, Pak.”

“Syukurlah kalau begitu, pelan-pelan saja kerja nya. Saya juga enggak akan menunggaskan kamu buat ngecek proyek, untuk sementara kamu stay di kantor saja, ya.”

“Terima kasih, Pak.”

Selepas kepergian Raga, Satya dan Almira terkekeh pelan. Raga memang baik, tapi bahasanya yang kaku itu kerap kali membuat mereka semua cekikikan. Apalagi soal lelucon yang kadang suka di lontarkan pria itu, benar-benar mirip jokes Bapak-Bapak kalau kata Almira.

“Pelan-pelan saja kerjanya Kirana~” ucap Satya meniru ucapan Raga.

Kirana terkekeh, “apaan sih lo, Bang.”

“Pak Raga tuh kalau sama Mbak Kirana emang lembut banget kaya lagi ngomong sama bayi.” selama Almira bekerja di kantor kontruksi ini, Raga memang ramah pada semua bawahannya tapi berbeda jika sudah berbicara pada Kirana. Almira sih mikirnya karna mereka satu almamater, sama Bagas pun lebih santai.

“Heh! Kaya bayi kaya bayi, Kirana bayi nya gue.” Bagas cemburu.

“Apasih Mas Bagas orang cuma bercanda,” Almira merengut, ia kembali memeriksa laporan hariannya kembali.


“Jadi kegiatan kamu akhir-akhir ini lagi sibuk ngurus butik aja ya, Asri?”

Asri mengangguk pelan, “iya, Tante. Ya kadang masih bantu-bantu buat audit di toko punya Papa juga sih.”

Ibu dari Bagas itu tersenyum, menatap Asri dengan bangga. Hari ini orang tua Bagas mengundang Asri ke rumah mereka, Ibu nya Bagas minta di bantu untuk menyiapkan pesta ulang tahunnya yang akan di adakan minggu depan. Asri yang kebetulan tidak sibuk tentu saja mau, apalagi orang tua Bagas itu juga membeli beberapa baju dari butiknya.

“Hebat kamu, Yah. Masih muda, sudah berani buat bisnis sendiri, masih bantu-bantu orang tua pula. Salut loh Tante sama kamu, Sri.”

Asri tersenyum kikuk, dia enggan terbiasa dengan pujian seperti itu. Pasalnya ia pun banyak di bantu oleh orang tua nya, tidak semerta-merta ia membangun bisnis nya dari nol. Makanya Asri belum bisa bangga pada dirinya sendiri meski orang lain memujinya.

“Iya, Tante. Tapi kan tetap aja, Asri bisa bangun bisnis seperti ini karna Papa juga.”

“Ya gapapa dong, itu artinya kamu memanfaatkan fasilitas yang mereka kasih dengan baik. Tante benar-benar bangga sama kamu!” Ibu nya Bagas itu menjawil hidung Asri dengan gemas.

Dari dulu orang tua Bagas itu memang sudah menyukai Asri, anak itu memang terlihat sedikit pendiam. Reputasi keluarganya yang baik dan memang berkerabat dekat dengan kedua orang tua nya. Menjadikan kedua orang tua Bagas ingin sekali menjodohkan Asri dengan Bagas.

Tidak lama kemudian, mobil milik Bagas itu memasuki pekarangan rumah. Membuat senyum di wajah Ibu nya Bagas itu merekah, pasalnya memang itulah rencananya mendatangkan Asri di jam pulang kantor agar wanita itu bisa berbicara lebih banyak pada putra nya.

“Tuh, Bagas pulang,” ucap Ibunya Bagas.

Di kursinya Asri agak sedikit salah tingkah, dia bukan tidak nyaman dengan Bagas hanya saja ia tidak tahu harus seperti apa. Dulu memang mereka dekat, namun setelah Bagas pindah mereka putus komunikasi begitu saja.

Begitu Bagas masuk, kedua mata mereka bertemu. Namun Bagas buru-buru melihat ke arah Ibunya. “Ada tamu.”

“Kok tamu sih, Gas. Ini Asri loh.” Ibu melambaikan tangannya, menepuk pada tengah sofa yang berada di sampingnya, menyuruh Bagas untuk duduk di sana.

Sejujurnya Bagas lelah, namun mau tak mau ia menuruti keinginan Ibunya. Berdebat dengan Ibu jauh lebih melelahkan dari pada ia harus menghadapi kemacetan kota Jakarta di setiap sore nya.

“Ba..baru pulang, Gas?” Sapa Asri canggung, Bagas hanya mengangguk kecil.

“Asri ini Ibu suruh datang ke rumah, Gas. Ibu minta bantuan dia buat urus pesta ulang tahun Ibu.”

“Uumm..” Bagas mengangguk-angguk, ia sudah tau mengenai pesta itu.

“Kok gitu doang?”

Bagas menghela nafasnya pelan, “ya, Bagas harus apa, Buk?”

“Ck!” Ibu berdecak, suasana hatinya berubah karena respon dari putra sulungnya itu. “Besok kan, weekend Ibu mau minta tolong sama kamu buat nemenin Asri.”

“Buk... Besok Bagas ada janji.”

“Janji sama siapa sih? Ibu kan baru kali ini minta tolong kamu, Bagas.”

“Iya, Buk. Bagas tau tapi kan—”

“Ehm.. Tante, gapapa. Mungkin janji yang di bikin Bagas gak bisa di cancel Asri gak masalah kok kalo harus pesan kue sendiri.” Asri kembali menengahi, tidak enak Bagas jadi berdebat dengan Ibunya hanya perkara tidak ingin mengatarnya.

“Enggak, Bagas tetap harus nemenin kamu, Sri. Itu jauh loh.”

Bagas menghela nafasnya pelan, “yaudah, Bagas temenin, jam berapa ke toko kue nya?”

“Jam 10 pagi, Gas. Kalo kamu gak bisa gapapa aku bisa pergi sendiri—”

“Gapapa-gapapa, gue temenin aja ya, tapi gue gak bisa lama-lama.” besok Bagas sudah janji dengan Kirana akan mengantar wanitanya itu untuk kembali konsul kedua dengan psikiaternya. Mungkin setelah mengantar Asri, Bagas bisa langsung menemani Kirana.

“Iya, gapapa.”

Di sisi lain, sang Ibu tersenyum. Rencana nya untuk membuat Asri dan Bagas dekat berhasil, Ibu dan Ayahnya Bagas hanya bisa berharap Bagas akan jatuh cinta dengan Asri karena sering sekali bersama.

Bersambung...

Jakarta, 2025.

“Setelah itu apa yang kamu lakukan saat Romo mulai melarang kamu untuk tetap di rumah?”

Dalam pejam kedua matanya, Kirana melihat Ayu hanya berdiam diri di kamar. Namun sesekali ia membuka jendela kamarnya ketika Adi mengetuk jendela kamarnya itu. Wanita itu selalu memangis, bahkan Adi pun bersusah payah menemui Ayu karena kini pria itu di larang untuk dekat-dekat dengan Ayu. Romo menilai Ayu sekongkol dengan Jayden.

“Hanya diam di kamar, duduk, menunggu Adi.”

Wanita yang duduk tak jauh dari sofa bed Kirana berada itu mengangguk, ia mencatat detail mimpi yang di ucapkan oleh Kirana saat hypnoterapi nya sudah di mulai. Ini adalah konsul kedua Kirana, hari ini dia datang sendiri karena Bagas enggak bisa menemaninya. Bagas bilang kalau ia ada urusan mendadak, Bagas enggak bilang itu apa. Dan Kirana pun enggak bertanya, biasanya pun Bagas akan bercerita langsung jika mereka bertemu nanti.

“Apa Ayu sudah bertemu dengan calon Suami yang di jodohkan Romo nya?”

Kirana menggeleng, “belum.”

“Baik, kalau begitu Kirana dengar saya?”

“Um..”

“Kamu bisa buka mata kamu perlahan-lahan ya.”

Perlahan-lahan Kirana membuka kelopak matanya itu, sorot matahari pagi yang masuk ke ruangan konsulnya itu langsung menelisik indra pengelihatannya. Kirana mengerjap, ia mengubah posisinya dari yang tadinya tiduran menjadi duduk menghadap dokter Annelies.

“Butuh tissue?” dokter Annelies mengambil sekotak tissue dan memberikannya pada Kirana, wanita itu menitihkan air matanya.

“Terima kasih, Dok.”

Setelah mengusap kedua matanya dengan tissue, Kirana juga meminum teh jasmine yang tadi di sediakan oleh asisten dokter Annelies. Meski masih merasa tidak nyaman akan mimpinya semalam, setidaknya setiap kali ia konsul ia bisa merasa lega. Entah ini hanya sugestinya saja atau memang kenyataanya seperti itu.

“Mimpinya masih terus berlanjut yah, Kirana?”

Kirana mengangguk, “kali ini lebih mengganggu, Dok. Setiap kali saya bangun, dada saya sesak. Dan saya pasti menangis.”

“Itu karena kamu merasakan kesedihan yang di alami oleh tokoh Ayu di dalam mimpimu. Saya paham, rasanya pasti tidak nyaman buat kamu.”

Kirana mengangguk, ia ingin sekali berhenti bermimpi hal seperti itu. Tapi disisi lain, ada segelintir perasaan penasaran akan apa yang terjadi pada Ayu dan Jayden? Apakah mereka akan tetap bersama?

“Untuk saat ini obat yang saya berikan masih sama, saya hanya menaikan sedikit dosis nya ya, dan untuk saran saya. Sebelum kamu tidur, kamu bisa mendengarkan musik klasik? Atau lagu-lagu yang kamu suka. Dengan harapan agar ketika kamu bangun nanti, suasana hati kamu jauh lebih baik,” jelas Dokter Annelies.

Walau terbilang masuk akal apa yang di katakan dokter Annelies dari sudut pandang medis, tetap saja rasanya ada yang mengganjal. Kirana seperti ingin mencari second opinion dari mimpinya, tapi dia sendiri enggak tahu harus berkonsultasi dengan siapa.

“Dokter, sebelumnya apa dokter punya pasien yang mengalami gangguan tidur seperti saya?” Kirana hanya penasaran, siapa tahu ia bukan satu-satunya orang di dunia ini yang mengalami mimpi berkelanjutan seperti ini.

Dokter Annelies mengangguk, “tentu, biasanya hal seperti ini bisa terjadi karena trauma pasca kecelakaan atau gangguan kecemasan.”

“Lalu apa mereka bisa sembuh? Ah, mak..maksud saya, apa mimpinya berakhir dan mereka bisa tidur dengan normal tanpa bermimpi macam-macam?”

“Tentu bisa Kirana, saya harap kamu juga bisa kembali tidur dengan nyaman.”

Setelah konsultasi dengan dokter Annelies, Kirana berjalan gontai menuju farmasi. Sebenarnya tempatnya berkonsultasi dengan seorang psikiter itu bisa di bilang bukanlah rumah sakit, melainkan klinik yang buka dari hari senin sampai sabtu. Dan kirana sepakat untuk konsultasi setiap sabtu.

“Kirana?”

Suara itu membuyarkan lamunan Kirana, ia menoleh pada sumber suara itu. Ternyata itu adalah Raga, ia duduk di kursi ruang tanggu farmasi. Mungkin sedang menunggu giliran namanya di panggil di bagian penyerahan obat.

“Pak Raga? Konsul lagi, Pak?” Kirana duduk di sebelah Raga, kebetulan kursinya juga kosong.

Raga mengangguk, “iya, kamu datang sendiri?”

“Iya sendiri. Bagas lagi enggak bisa antar, lagi ada urusan.”

Raga mengangguk-angguk, “konsul kedua ya?”

Kirana mengangguk, “iya, Pak.”

Ia jadi teringat akan ucapan terakhir Raga di klinik tempo hari mengenai gangguan tidurnya, kebetulan sekali mereka bertemu lagi di klinik ini. Kirana menimang-nimang pikirannya untuk bertanya mengenai gangguan tidur yang di alami oleh Raga, siapa tahu Raga bisa memberikan second opinion atas apa yang di alami oleh Kirana.

“Pak?”

“Ya?” Raga menoleh, membuat kedua mata mereka bertemu. Kirana jadi teringat akan Jayden dalam mimpinya, cara kedua pria itu saat menatapnya sangat sama persis.

“Sa..saya boleh tanya sesuatu sama Bapak?”

“Boleh, tanya apa, Na?”

Kirana mengulum bibirnya sendiri, “soal gangguan tidur Bapak.”

Kirana dapat merasakan raut perubahan di wajah Raga, wajah itu agak sedikit tegang saat Kirana bertanya akan gangguan tidurnya. Kirana takut pria itu tidak nyaman.

“Boleh, ada apa? Apa yang mau kamu tanya?” dalam hati Kirana merasa bersyukur saat Raga mengatakan hal itu, pria itu tampak tidak keberatan sama sekali.

“Hhm.. Gangguan tidur Bapak seperti apa? Karena saya juga ngalamin gangguan tidur.”

Raga terdiam, matanya bahkan tidak berkedip saat Kirana berbicara seperti itu. Apa Kirana juga mengalami mimpi yang sama sepertinya? Pikir Raga. Dan lamunan itu buyar seketika ketika seorang apoteker memanggil nama Raga dari speaker farmasi.

“Jagaraga Suhartono.”

“Se..sebentar, saya ambil obat saya dulu. Nanti saya akan jelasin ke kamu.”

Kirana mengangguk, tetap pada tempatnya dan membiarkan Raga mengambil obat miliknya dahulu. Karena antrean farmasi semakin banyak dan kursi yang di tempati oleh Raga sudah di isi oleh orang lain, Raga mengirim pesan ke ponsel Kirana jika ia menunggu Kirana di parkiran rumah sakit.

Setelah selesai dengan pengambilan obat miliknya, Kirana berjalan menuju parkiran. Ternyata atasannya itu benar-benar menunggunya, Kirana langsung menghampiri Raga yang menunggunya tepat di depan mobil miliknya.

“Kamu sudah makan siang Kirana?” tanya Raga.

Kirana menggeleng pelan, “belum, Pak.”

“Bagaimana kalau kita ngobrol soal gangguan tidur saya sambil makan siang? Kamu enggak sibuk kan?”

Kirana ngerasa itu jauh lebih baik dari pada mereka harus berbicara di rumah sakit, lagi pula dia benar-benar butuh second opinion dari orang lain, yah sukur-sukur jika Raga memiliki gangguan tidur yang sama dengannya.

“Boleh.”

Keduanya pun langsung masuk ke dalam mobil Raga, Raga memilih restoran yang tidak jauh dari klinik mereka konsul. Kebetulan restoran itu juga enggak begitu ramai, mungkin karna sudah lewat jam makan siang juga.

“Jadi kita mau mulai dari mana nih?” tanya Raga begitu makanan mereka telah selesai di antar oleh pelayan restoran.

“Dari Bapak dulu aja.”

“Soal gangguan tidur saya ya?”

Kirana mengangguk.

“Oke.” Raga mengangguk-angguk kecil, “sebenarnya enggak bisa di bilang gangguan tidur juga sih, saya sama sekali enggak kesulitan buat tidur atau kebanyakan tidur. Ini lebih ke, mimpi yang sering saya alami.”

Mendengar separuh dari penjelasan Raga itu membuat seluruh bulu kuduk Kirana rasanya berdiri, apa jangan-jangan Raga juga mengalami mimpi yang sama sepertinya? Atau bahkan mimpi mereka saling berhubungan? Mengingat Raga juga ada di dalam mimpi itu sebagai Jayden.

“Mimpi?” Kirana mengulangi ucapan Raga.

“Iya mimpi, udah sekitar 3 bulan ini saya mimpi panjang terus-terusan setiap malam,” Raga terkekeh. “Anehnya mimpi itu terus berlanjut kaya sebuah series. Aneh pokoknya.”

Kirana mengulum bibirnya sendiri, ternyata benar, Raga mengalami mimpi yang sama dengannya. Mimpi berulang dan berlanjut bak film yang terus berlanjut setiap episode nya.

“Mimpi seperti apa, Pak?”

Sebelum menjawab, Raga menatap lekat pada kedua netra legam milik Kirana. Wajah wanita itu mengingatkannya akan Ayu, wanita yang di kencani dirinya kala ia menjadi tokoh Jayden di dalam mimpinya. Raga menyadari jika ada desiran halus di relung hatinya, mungkin ini karena mimpi sialan itu, pikirnya.

“Saya ada di tahun 1898, Na. Sulit jelasin soal mimpi saya ke kamu. Yang jelas di dalam mimpi itu konfliknya rumit, saya seperti kembali ke masa lalu,” jelas Raga, meski sudah bercerita sama Mbak Adel tetap saja Raga sungkan menjelaskannya pada Kirana. Ia takut di lebeli atasan aneh oleh bawahannya itu, meski Raga tahu Kirana enggak akan berpikir seperti itu.

Jantung Kirana semakin enggak karuan apalagi kala ia mendengar kalau Raga juga bermimpi di tahun yang sama dengannya, itu artinya mimpinya dan mimpi Raga bisa saja saling berhubungan.

“Ap..apa di dalam mimpi itu Bapak menjadi seorang Asisten Residen di Semarang bernama Jayden Van Den Dijk?” Tanya Kirana hati-hati.

Mendengar pertanyaan itu tubuh Raga membeku, dia sama sekali tidak salah dengar jika Kirana menyebutkan nama tokoh dalam mimpinya itu. Apa itu artinya Kirana juga mengalami mimpi yang sama dengannya dan berperan sebagai Ayu? Pikir Raga.

“Ka..mu bermimpi yang sama, Na?” Raga memelankan suaranya, tubuhnya maju beberapa senti agar suaranya terdengar oleh Kirana. Musik dari restoran yang tenang itu tetap saja agak sedikit menganggu pembicaraan keduanya.

Kirana mengangguk, “iya, Pak. Hampir dua bulan ini saya mimpi hal itu. Awalnya saya kira saya mengidap PTSD karena kecelakaan yang saya alami, karena setelah sadar dari kritis. Setiap malam saya selalu mimpi hal itu.”

Berbeda dengan Ayu yang mengalami kecelakaan kemudian bermimpi seperti ia kembali ke masa lalu, lain hal nya dengan Raga yang bermula dari ia demam tinggi. Sejak saat itu Raga mulai bermimpi tentang Jayden dan kisah cintanya yang pelik.

Raga pun sempat denial mengenai mimpinya, ia mengira itu hanya bunga tidur biasa yang ia alami kala demam. Namun semakin hari cerita dalam mimpinya itu kian berlanjut, membuat Raga tidak nyaman kala ia tidur. Sampai akhirnya ia memberanikan diri untuk pergi berkonsultasi oleh psikiter, ia pikir mungkin dengan berkonsultasi ia bisa mendapatkan alasan kenapa ia bermimpi hal itu.

“Kayanya bukan karena PTSD, Na. Karena saya mimpi hal itu pun bermula karena saya sakit, waktu saya demam. Sampai saat ini pun saya ngerasa penjelasan medis dokter Annelies tentang mimpi yang saya alami itu gak membuat saya puas.” Raga ngerasa pasti ada hal yang tidak bisa di jelaskan secara medis kenapa ia bermimpi hal itu, dan kali ini kenyataan bahwa Kirana mengalami hal yang sama memperkuat dugaanya.

“Jadi menurut Bapak karena apa?”

“Kamu tau reinkarnasi?”

Kirana mengangguk.

“Saya awalnya enggak percaya sama hal itu, di agama kita pun gak ada hal seperti itu. Tapi saya coba cari tahu tentang Jayden dalam mimpi saya.” Raga merogoh sakunya, mengambil ponsel miliknya dan memperlihatkan artikel tentang Jayden lengkap dengan biografi nya pada Kirana.

“Jayden ada di dunia ini, Na. Beliau pernah hidup. Itu artinya Ayu dalam mimpi kita juga ada.”

Membaca utas mengenai Jayden semakin membuat Kirana bergetar, ia gak pernah menyangka akan mengalami hal di luar nalar seperti ini. Jika reinkarnasi yang di maksud Raga itu ada, apa mungkin ia dan Raga adalah reinkarnasi dari Ayu dan juga Jayden? Pikir Kirana.

Kirana mengembalikan ponsel milik Raga itu, ia mengusap wajahnya gusar. Hatinya tenang karena telah mendapatkan second opinion dari orang lain tentang mimpinya, tapi disisi lain ada hal yang membuatnya tidak tenang. Jika benar ia dan Raga adalah reinkarnasi dari Ayu dan Jayden apa itu artinya ada kisah yang belum selesai.

“Apa Bapak berpikir kita adalah reinkarnasi dari Jayden dan Ayu?” Kirana menelan saliva nya susah payah.

Raga tidak bisa menjawab, jika kenyataanya seperti itu ia sendiri tidak tahu harus melakukan apa dan apa yang belum selesai tentang kisah dua anak manusia di masa lalu itu.

“Kamu sudah bermimpi sampai mana, Na?” Tanya Raga mengalihkan pembicaraan.

“Sampai Ayu di pingit orang tua nya setelah Jayden melamarnya, Pak.” Ayu memang di pingit oleh orang tua nya, Bahkan wanita itu berhenti sekolah dan sedang menunggu pria dari Surabaya itu melamarnya. Miris memang nasib Ayu, meski anak seorang priyai. Ayu tetap di perlakukan sama seperti perempuan Jawa lainya oleh orang tuanya, yang menganggap jika anak perempuan tidak boleh keluar rumah dan tidak perlu menganyam pendidikan.

“Sudah sejauh itu rupanya,” Raga mengangguk-angguk. “Jayden dalam mimpi saya, dia baru—”

“Bagas?” Kirana yang tadinya sedang mendengarkan Raga bercerita itu tiba-tiba saja berdiri dari kursinya. Arah matanya menuju ke belakang Raga.

Raga akhirnya pun menoleh ke belakangnya, ternyata ada Bagas dengan seorang wanita yang sepertinya seusia denganya. Bukan hanya Kirana yang kaget, Bagas dan Raga pun sama kagetnya mereka sama sekali tidak menyangka akan bertemu di restoran ini.

“Kamu sama Pak Raga?” tanya Bagas.

Kirana mengangguk, ada sedikit kekecewaan di hatinya kala ia melihat Bagas justru pergi dengan wanita lain yang Kirana sendiri bahkan tidak mengenalnya. Wanita itu berdiri di belakang Bagas dengan gesture tidak nyamannya.

“Saya tadi bertemu Kirana di klinik, Gas. Kebetulan ada hal yang mau saya tanyain ke Kirana, jadi sekalian saja saya ajak dia makan siang.” Raga berusaha menjelaskan pada Bagas agar tidak ada kesalahpahaman di antara mereka, walau dalam hati Raga pun bertanya-tanya kenapa Bagas datang dengan wanita lain.

“Ahh..” Bagas mengangguk-angguk, “kalo gitu Kirana biar pulang sama saya aja, Pak.”

“Aku belum selesai bicara sama Pak Raga, Gas. Lagi pula kayanya kamu enggak pergi sendiri.”

Bagas salah tingkah, ia seperti sedang ketahuan selingkuh meski kenyataanya tidak begitu. “In..ini Astri, dia temanku, Na. Ibu nyuruh aku anterin dia buat ambil pesanan kue.”

“Yaudah selesain dulu aja tugas yang di suruh Ibu kamu, Gas.” Tidak ada nada ketus dalam nada bicara Kirana, itu hanya terdengar tegas.

Bagas terdiam, suasana di sekitar mereka seketika menjadi canggung. Bahkan Raga pun sudah tidak nafsu lagi dengan bebek goreng di depannya yang terlihat menggiurkan itu.

“Gapapa, Gas. Biar Kirana nanti saya antar pulang, dia juga kesini kan sama saya. Kamu selesaikan saja dulu urusan kamu.” Raga berusaha menengahi, tidak berniat untuk menambah suasana menjadi canggung kok.

Bagas mengangguk, “yaudah, saya titip Kirana ya, Pak. Terima kasih banyak.”

Raga mengangguk, “sama-sama, Gas.”

“Na, di lanjut lagi ngobrolnya.” Setelah mengatakan hal itu Bagas pergi meninggalkan meja Kirana dan Raga, bahkan wanita yang tadi datang bersama nya hanya mengangguk canggung pada Kirana dan Raga, kemudian berlari kecil mengekori Bagas kembali.

Kirana kembali duduk, perasaanya benar-benar campur aduk sekarang ini. Dia kesal karena Bagas enggak jujur dengannya kalau ia pergi bersama wanita lain meski tadi Bagas mengenalkan wanita itu sebagai temannya, di sisi lain ia juga menikirkan kata-kata Raga soal reinkarnasi Ayu dan Jayden. Jika ucapannya benar, itu artinya ada cerita yang harus mereka berdua selesaikan bukan? Pikir Kirana.

Bersambung..

Di dalam mobil saat perjalanan pulang hanya ada hening tercipta di antara Bagas dan Asri, sejak mereka berdua pergi bersama atas keinginan orang tua Bagas, sejujurnya Asri tidak terlalu nyaman. Dia senang bisa bersama Bagas, namun disisi lain ia sendiri tidak tahan dengan sikap dingin laki-laki itu.

Asri paham dan sadar diri jika Bagas berusaha menjaga hati pasangannya dengan menjaga jarak dengan Asri, ia memaklumi itu. Namun tetap saja rasanya sedikit menyakitkan ketika ia seperti di abaikan begitu saja, bahkan sejak mereka berangkat pun hanya Asri yang mencari topik obrolan.

Di liriknya pria di sebelah kanannya itu, Bagas masih bungkam, Matanya terus memandang ke depan jalan sana yang agak sedikit padat, seolah-olah tidak ada orang lain di sebelahnya. Asri sungguh tidak nyaman dengan situasi seperti ini.

“Bagas?” Panggilnya, membuat pria itu menoleh tanpa ekspresi apapun, mungkin di kepalanya ia tengah meramu kata untuk meyakinkan pada wanita bernama Kirana tadi bahwa mereka hanyalah teman.

“Tadi, pacarmu?”

Bagas mengangguk, “iya, namanya Kirana.”

“Um..” Asri mengangguk-angguk, benar-benar pertanyaan basa basi meski sejujurnya ia sudah tau. “Cantik, sudah berapa lama sama dia?”

“6 tahun, dari kami masih kuliah.” Bagas menekan klakson mobilnya dengan sedikit kencang, membuat Asri memejamkan matanya karena sedikit terkejut. Sepertinya Bagas sedang kesal namun hanya bisa diam, marahnya memang seperti itu.

“Lama juga yah, nanti pas ulang tahun Ibumu dia datang kan?” jujur saja Asri benar-benar hanya basa basi, dia benci suasana hening dan canggung seperti tadi. Dalam hati ia berdoa agar Bagas tidak menjawabnya dengan nada ketus karena ia terus bertanya.

“Gue undang dia kok.”

“Kata Ibu, kalian satu kantor juga ya?”

Kali ini Bagas menoleh pada Asri, kedua mata mereka pun bertemu. Sebenarnya di kepala Bagas saat ini adalah ia penasaran kenapa Asri terus bertanya-tanya tentang Kirana, apa wanita itu akan mengadu pada Ibunya jika tadi mereka bertemu dengan Kirana di restoran? Pikir Bagas.

“Iya, satu kantor. Sri?”

“Ya, Bagas?”

“Ibu tuh suka ngomongin soal Kirana ke lo gak?” Bagas cuma penasaran aja, mungkin saja Ibu sudah menjelaskan perihal Kirana pada Asri. Mengingat saat pertama kali mereka bertemu Bagas sempat menolak perjodohan mereka.

“Enggak kok, Gas. Ibu lebih sering ceritain soal kamu.” Jauh dari kenyataan, Asri sedikit banyaknya sudah tahu tentang Kirana dari Ibunya Bagas, tentu saja dari sudut pandang wanita itu menilai Kirana.

Yang Asri tahu adalah Kirana bukan perempuan yang berasal dari keluarga yang baik, reputasi keluarganya buruk karena korupsi yang mengakibatkan perusahaan lampu yang di dirikan oleh mendiang Bapaknya Kirana itu terpaksa gulung tikar, Bapaknya Kirana kemudian mengalami depresi berat hingga mengakhiri hidupnya.

Setelah itu, banyak barang-barang di rumah Kirana yang di jual untuk melunasi hutang-hutang perusahaan, bahkan sampai saat ini pun hutang-hutang itu belum lunas. Dan Ibu nya Bagas enggak setuju putranya itu menjalin hubungan dengan wanita yang bukan berasal dari keluarga baik-baik.

Kira-kira seperti itu yang Asri tahu dari Ibunya Bagas, bahkan Ibunya Bagas pernah berpikir jika Kirana memacari Bagas hanya untuk membantunya melunasi hutang-hutang keluarganya. Tapi saat Asri bertemu dengan Kirana, wanita itu cukup tegas. Asri enggak bisa menilai hanya dalam sekali pertemuan, namun ia yakin Bagas tidaklah mungkin mengencani Kirana jika wanita itu tidak baik. Apalagi hubungan mereka sudah bertahan selama 6 tahun, itu tidaklah mudah.

“Serius?” tanya Bagas sekali lagi meyakinkan.

“iya serius, Gas.”

“Bagus deh kalau begitu.”

Begitu sampai di rumah, Ibu langsung menyambut Bagas dan Asri dengan gembira. Sungguh, wajahnya berbunga-bunga seperti menyambut anak dan menantunya yang baru saja pulang bulan madu.

“Maaf yah Buk lama, tadi restonya penuh. Terus juga ada kue yang kurang, jadi kita nunggu dulu sampai selesai di packing,” jelas Asri.

Bagas menuruni satu persatu dus berisi kue-kue yang baru saja mereka ambil barusan dan menaruhnya di meja makan, setelah itu dia memeriksa ponselnya, mengirimi Kirana pesan, bertanya pada wanitanya itu sudah pulang ke rumah atau belum. Bagas resah, Kirana mungkin saja salah paham padanya dan Asri dan ia harus segera menjelaskannya.

“Bagas, main HP terus kamu. Ini loh Asri di ajak ngobrol dulu, Ibu kan lagi repot.” Ibu memperingati.

“Buk, harus Bagas banget yang nemenin ngobrol Asri? Dia juga lagi ngobrol sama Kanes di ruang tamu kan?” Bagas ngerasa Ibu kaya terus menerus cari cara supaya ia dan Asri bisa dekat, Bagas enggak suka sama hal itu. Bagas tidak membenci Asri, ia hanya tidak suka di paksa melakukan hal yang tidak dia inginkan.

“Kanes mau Ibu suruh bantuin Ibu di dapur. Kamu ngapain sih main HP terus?”

“Buk, tadi waktu di restoran, Bagas ketemu sama Kirana. Dia liat Bagas sama Asri, Buk. Bagas takut Kirana salah paham. Bagas mau jelasin ke Kirana kalo Bagas sama Asri gak ada apa-apa.”

“Halah perempuan itu lagi,” Ibu mendengus. “Seharusnya bagus kalau dia lihat, biar dia bisa ngaca kalo ada perempuan yang jauh lebih baik dari pada dia. Lagian cepat atau lambat Asri itu bakalan jadi Istri kamu.”

“Yang mau nikah itu siapa sih, Buk? Yang bakalan menjalani rumah tangga itu siapa? Bagas kan? Bagas sayang sama Kirana, Buk. Bukan sama Asri.”

“Kamu pikir Ibu dan Ayah akan merestui kamu dan Kirana? Enggak, Gas. Sampai kapanpun enggak akan. Jangan berharap kamu!” Hardik Ibu dengan nada bicara yang sedikit meninggi.

Sepeninggalan Ibu, Bagas mengusap wajahnya gusar. Ia duduk di kursi meja makan di sana sembari memandangi bubble chat nya dengan Kirana yang belum mendapatkan balasan.

Tidak lama kemudian Bagas merasa ada kedua tangan menepuk bahunya lembut, ia dongakkan kepalanya. Ternyata itu Kanes adiknya, ia menarik kursi di samping Bagas dan duduk di sana.

“Mas berantem lagi sama Ibu?” Tanya Kanes, dia membuka satu persatu kotak berisi jajanan pasar yang tadi Bagas taruh.

“Iya,” jawab Bagas sekena nya.

“Soal Mbak Kirana?” Tebak Kanes.

Bagas mengangguk, “besok pas ulang tahun Ibu, Mas ngajak Mbak Kirana kesini. Kamu temenin dia yah, Nes.”

Awalnya Bagas enggak mau ngajak Kirana ke rumahnya dalam rangka acara ulang tahun Ibu, tapi Kirana memaksa. Wanita itu bilang justru di saat-saat seperti itulah Kirana harus hadir agar dapat merebut hati Ibunya, Bagas pikir ada benarnya juga, walau sedikit takut jika Kirana akan mendapatkan perlakuan yang buruk. Pada akhirnua Bagas menyetujui hal itu.

Makanya dia nyuruh Kanes buat nemenin Kirana besok jika wanita itu datang ke pesta ulang tahun Ibunya, ia tidak ingin Kirana sendirian dan merasa di asingkan terlebih besok ada Asri. Ibu pasti akan lebih sering bersama Asri.

Kanes senyum, tentu saja Kanes akan dengan senang hati menemani Kirana. “Iya tenang aja, ntar aku temenin kok. Terus kenapa muka Mas kusut kaya gitu? Kaya kemeja belum di setrika tau gak?”

“Kirana liat Mas sama Asri di restoran waktu kami lagi ambil pesanan.” Bagas menggeleng, “Mas juga enggak tau kenapa dia bisa ada di sana sih, sama atasan Mas di kantor pula. Tapi yah, buat saat ini yang Mas takutin tuh cuma Kirana salah paham aja sama Mas.”

Kanes yang lagi makan risol yang dia ambil itu langsung menyenggol kaki kakak nya itu dari bawah meja. “Samperin lah, Mas. Jelasin, ntar keburu Mbak Kirana salah paham. Sana buru samperin.”

“Ibu nyuruh Mas nemenin Asri ngobrol,” Bagas sedikit berbisik, takut Ibu ataupun Asri yang sedang memeriksa barang-barang mereka beli di ruang tamu dengar.

“Mbak Asri biar aku yang nemenin, udah sekarang Mas pergi aja ketemu sama Mbak Kirana dulu.”

“Beneran?” tanya Bagas sekali lagi, Adiknya itu memanglah pengertian. Kanes adalah satu-satunya orang yang mendukungnya dengan Kirana.

“Iya beneran, kalo nanti Ibu nanya, aku bilangnya Mas Bagas pergi sama Mas Satya.”

Bagas tersenyum, tangan besarnya itu terulur mengusap pucuk kepala Kanes dengan gemas. Enggak menyangka Adik kecil yang selalu ia lindungi itu kini sudah bisa di ajak kongkalikong dengannya.

“Baik banget sih! Yaudah Mas pergi dulu yah.” baru saja Bagas menyambar kunci mobilnya kembali, tangan kirinya langsung di tahan oleh Kanes.

“Pulangnya beliin roti bakar yah.” Kanes menatapnya dengan mata yang berbinar-binar, persis anak kecil yang di janjikan makanan manis.

“Iya, ntar Mas beliin.”


“Sekali lagi terima kasih, Pak.” Kirana membuka seatbelt miliknya.

“Sama-sama, Na.”

“Kalo gitu, saya masuk ya, Pak. Bapak hati-hati di jalan.” Kirana hendak membuka pintu mobil milik Raga, namun pria itu menahan tas miliknya.

Kirana menoleh kembali, kedua mata mereka saling bertemu tapi kali ini Raga terlihat kikuk. Dengan cepat ia menarik tangannya dari tas milik Kirana.

“Ada apa, Pak?”

“Na, kalau ada sesuatu yang kamu mau tanyakan.” Raga berhenti sebentar, dia sendiri enggak mengerti kenapa rasanya canggung dan degup jantungnya menggila saat Kirana menatapnya.

“Soal mimpi kita,”

“Ya?” Kirana mengangguk, menunggu kalimat Raga seterusnya. Ia yakin ada kata-kata lanjutan yang ingin Raga ucapkan padanya.

“Mak..maksud saya, kita bisa cari tahu ini sama-sama. Tentang, Ayu, Jayden atau soal reinkarnasi,” lanjut Raga.

Kirana mengangguk, tentu saja ia akan sering-sering bertanya pada Raga mengenai mimpinya. Karena Raga satu-satunya orang yang bisa mengerti dirinya saat ini, maksudnya karena mereka mengalami hal yang sama Raga jauh pasti lebih mengerti kan? Pikir Kirana.

“Iya, Pak. Saya pasti tanya sama Bapak.”

“Maaf kalo terdengar gak masuk akal soal apa yang saya cari tau, Na.”

Menurut Raga begitu, bahkan Mbak Adel saja yang ia ceritai lebih dulu mengenai mimpinya, Jayden dan reinkarnasi saja tidak semerta-merta percaya. Walau pada akhirnya Mbak Adel sedikit percaya sama penjelasan Raga, itu pun Raga harus mengumpulkan bukti-buktinya tentang seseorang yang bisa saja reinkarnasi dari tokoh di masa lalu. Raga bersusah payah mengumpulkan jurnal-jurnal hanya untuk membuktinya sendiri, jika mimpinya adalah israyat kehidupannya di masa lalu.

“Seenggaknya saya lebih percaya sama yang Bapak bicarain, kalau gitu saya masuk yah, Pak.” Kirana berpamitan, sejujurnya ia ingin membicarakan hal ini lebih banyak namun suasana hatinya belum membaik pasca ia melihat Bagas bersama wanita lain. Bagas hutang penjelasan padanya.

“Iya, silahkan.”

Kirana menunduk dengan sopan, kemudian membuka pintu mobil Raga dan berlalu dari sana. Kirana enggak langsung masuk ke dalam rumahnya kok, dia menunggu hingga mobil yang Raga kendarai keluar dari pekarangan rumahnya. Setelah itu, barulah ia masuk ke dalam rumah.

Namun belum sampai ia menutup pintu rumahnya, mobil milik Bagas bergantian memasuki pekarangan rumahnya. Kirana jadi mengurungkan niatnya dan berjalan kembali ke teras, Bagas keluar dari dalam mobilnya dengan wajah penuh bersalah khas miliknya. Pria itu juga berlari kecil agar cepat sampai di teras rumah Kirana.

“Sayang, baru pulang?” Tanyanya.

“Duduk.” Kirana melirik ke arah kursi yang ada di teras rumahnya, memberi isyarat pada Bagas agar mereka bicara sambil duduk di sana.

“Aku baru sampai rumah, Gas.” Jawabnya, ketika ia dan Bagas sudah duduk.

“Sama Pak Raga?”

Kirana mengangguk, “um.”

“Sayang, aku mau jelasin soal perempuan yang di resto tadi.” Dada Bagas sedikit naik turun, ia perlahan mengatur nafasnya. Mungkin karena tadi ia sedikit berlari saat hendak menghampiri Kirana.

Ah iya, rumah Kirana cukup luas. Satu-satunya peninggalan dari Bapak yang hanya bisa Kirana dan Ibu pertahankan. Meski tidak banyak barang-barang di dalamnya, hampir semuanya ludes di jual oleh Ibu dan Kirana untuk membayar hutang.

Rumah Kirana itu ada 2 lantai, 4 kamar tidur yang terletak di lantai 1 dan 2, terdapat taman yang cukup luas juga di depannya. Terlebih rumah Kirana itu di penuhi pepohonan yang menjadikan rumah itu sendiri terlihat sejuk. Ibu suka sekali menanam tanaman apa saja, mulai dari tanaman hias hingga herbal.

(Visualisasi rumah Kirana.)

Kalau kata Almira yang sudah pernah ke rumah Kirana tuh, rumahnya Kirana mirip rumah Indis, dasar-dasarnya seperti rumah arsitektur Eropa hanya saja ruangnya lebih tinggi dan jendela nya lebih banyak untuk menyesuaikan pada iklim tropis. Ya, tapi memang seperti itu adanya. Rumah ini Bapak sendiri yang mengusung konsepnya bahkan mendesainya sendiri, walau terbilang sarjana arsitektur, Bapaknya Kirana justru terjun ke dunia bisnis yang sama sekali bukan ranahnya, entah apa alasannya hanya Bapak yang tahu.

“Dia teman kamu kan, kan kamu udah jelasin ke aku tadi,” jawab Kirana santai, seolah-olah hal itu bukan gangguan baginya meski dalam hati dia sendiri menuntut Bagas untuk segera menjelaskan. Kirana memang begitu.

“Iya temanku, maaf aku gak bilang kalau aku di suruh Ibu buat nemenin dia ambil snack di resto,” jelas Bagas.

“Iya, gapapa. Tapi kan sekarang kamu udah bilang.”

“Kamu marah yah?”

Kirana menggeleng, “enggak marah, Gas. Cuma jadi gak mood aja buat aku kenapa kamu gak bilang dari awal.”

Kedua bahu Bagas merosot, memang ini semua salahnya. Harusnya dia bisa bicarakan ini dari awal agar Kirana enggak berpikiran macam-macam, ya walau siapa sangka justru mereka bertemu di sana.

“Maafin aku, aku sama Asri gak ada apa-apa. Bahkan kami enggak dekat, dia cuma teman SMP ku aja dulu. Yang kebetulan orang tua nya memang kenal sama orang tuaku.”

Kirana terkekeh, meski suasana hatinya belum kunjung membaik. Setidaknya Bagas sudah menjelaskan perihal Asri padanya, ia yakin Bagas jujur dan Kirana percaya dengannya. Kirana itu dewasa dan enggak mau ambil pusing persoalan, yang terpenting baginya Bagas jujur dan ia akan percaya. Dia gak mau memperumit persoalan.

“Iya sayang, iya.”

“Udah gak marah kan?”

“Loh dari tadi aku gak marah, aku kan cuma bilang kalo gak mood aja. Bukan berarti marah kan?” Kirana menaikan satu alisnya.

“Iy..iya, tapi aku jadi enggak enak sama kamu.” wajah bersalah Bagas masih terukir disana, membuat Kirana berdiri dari kursinya dan mengajak pria itu untuk masuk ke dalam rumahnya.

“Jangan di bahas lagi yah, aku bikinin teh apel mau? Tadi aku di beliin pie susu sama Pak Raga.” Kirana terkekeh, ia mengeluarkan paper bag berisi pie susu yang Raga belikan untuknya, Raga membeli pie susu awalnya untuk keponakannya namun siapa sangka jika pria itu juga membelikan Kirana.

“Kamu tadi bisa ketemu dia di klinik gimana ceritanya, sayang?” Bagas duduk di meja pantry, memperhatikan Kirana menata pie susu itu di atas piring.

“Dia pasiennya dokter Annelies juga.”

“Hah?! Serius?” pekik Bagas kaget bukan main.

Kirana mengangguk, “iya, serius. Udah dua kali aku ketemu sama dia, kebetulan hari dan jam konsul kita selalu sama.”

“Dia sakit?” Bagas menggeleng kepalanya, merasa kalimat itu kurang tepat. “Ma..maksud aku, dia ada masalah sama psikisnya juga?”

Kirana yang sedang membuatkan teh apel untuk Bagas itu berhenti, dia ingin bercerita mengenai mimpinya dan Raga yang sama dan segala hal tentang reinkarnasi yang Raga cari tahu sendiri. Tapi mungkin topik ini akan sangat sensitif bagi Bagas, mengingat Ayu dan Jayden di dalam mimpinya dan Raga adalah sepasang kekasih.

“Ak..aku kurang paham kenapa. Aku enggak tanya-tanya ke dia.”

Bagas mengangguk kecil, “hhmm.. Terus tadi kamu ke resto sama dia ngomongin apa? Kerjaan?”

Kirana mengulum bibirnya, kepalanya memutar otak bagaimana membuat alibi pada Bagas. Ia tidak mungkin mengatakan yang sejujurnya mengenai apa saja yang ia bicarakan pada Raga di sana, selain terdengar tidak masuk akal itu mungkin akan membuat Bagas cemburu.

“Soal efek dari obat yang dokter Annelies kasih ke aku, ak..aku cuma tanya-tanya soal obatnya aja. Sama soal proyek yang di pegang Bang Satya.”

“Yang di Surabaya itu?”

“Um,” Kirana mengangguk.

“Aku kira apa.” Bagas tersenyum, ia kemudian menyesap teh yang sudah Kirana buatkan untuknya.

Bersambung...

Kanesa Kamala Sura

Samarang, 1898.

Pagi itu cuitan dari burung yang hinggap di jendela kamar Ayu, serta kokokan ayam milik Romo seperti sebuah suara ternyaman bagi Ayu dari pada suara celoteh dan kekehan yang memenuhi penjuru ruang tamu rumahnya. Di temani oleh Ibu nya Adi, Ayu di dandani secantik mungkin dengan riasan sederhana yang tampak anggun di wajah dahayunya.

Rambut panjang itu di kepang, di hiasi melati-melati yang Ibu nya Adi ambil dari kebun tak jauh dari rumahnya. Tak ada senyum pada wajah dahayu itu, wajahnya temaram bagai malam yang hanya di sinari oleh sedikit cahaya dari rembulan.

Di depan sana ada keluarga dari pria yang akan melamar Ayu, anaknya Bupati Soerabaja yang bernama Dimas. Ayu agak sedikit lupa pada parasnya karena mereka hanya bertemu sekilas saat pengangkatan bupati dulu, sudah seminggu ini ia tak dapati kabar Jayden sedikit pun. Bahkan untuk bertemu dengan Adi pun sulit.

Romo melarang Adi bertemu dengan Ayu karena Adi di anggap sekongkol dengan Jayden. Pria itu di pindah kerjakan oleh Romo nya untuk berjaga di ladang yang jauh dari rumah Ayu berada, hanya sekali Ayu bertemu dengan Adi ketika malam hari. Adi hanya mengatakan jika ia baru saja di beri tugas untuk mengantarkan surat ke kediaman Asisten Residen, ya, kediaman Jayden.

Namun Adi tidak tahu apa isi surat itu, ia hanya di tugaskan untuk mengantar oleh Tuan Gumilar kemudian kembali ke ladang tanpa di perbolehkan berbincang banyak oleh Jayden.

sampun rampung, Raden Ayu,” ucap Ibu nya Adi setelah riasan pada rambut Ayu tertata dengan rapih.

Ayu mengangguk kecil, “matur suwun, Buk.”

Bisa terlihat dari raut wajah Ayu yang tidak ada senyum sedikitpun, Ibu dari Adi itu ingin sekali menyematkan kata penenang pada wanita muda yang malang itu. Namun sayangnya, Ibu dari Ayu sudah datang. Masuk ke kamar Ayu untuk menjemput Ayu dan di perkenalkan pada pihak dari keluarga laki-laki.

Wis rampung, nduk?” panggil Ibu.

Ayu tidak menjawab, hanya mengangguk kecil kemudian berdiri dan menghampiri Ibu. Sungguh pasrah dirinya, mau memberontakpun bisa apa ia? Ia hanya seorang wanita, terlebih Ayu tidak tangguh karena sakit yang di deritanya. Ayu tidak dapat hidup sendiri tanpa kedua orang tua nya jika ia memberontak.

Ayu di bawa Ibu keluar dari kamarnya, di genggam tangan kurus itu dan di pamerkan ia di depan keluarga Dimas. Ayu melirik sekilas pada wajah pria yang kelak akan menjadi Suaminya, wajahnya memanglah tampan, namun entah mengapa seperti ada yang mengganjal baginya.

“Duduk di sebelah sana, nduk.” Ibu menyuruh Ayu untuk duduk di sebelah Dimas.

Ayu menurut, ia duduk di sebelah pria itu dengan wajah menunduk tanpa senyuman. Hanya Ayu dan Ibu yang tidak tersenyum di ruangan itu.

“Cantik,” bisik Dimas tepat di sebelah Ayu. Walau Ayu tetap bergeming.

“Jadi kita segerakan saja acara pernikahannya,” ucap Ayah Dimas, dia adalah Bajradaka Dhinakara seorang Bupati Soerabaja sekaligus saudagar, ya Ayah dari Dimas itu memiliki toko kopi yang besar di Soerabaja.

“Bulan depan adalah bulan yang baik untuk menikahkan keduanya, menurut perhitungan saya rezeki mereka akan lancar jika menikah di tanggal 12, Bagaimana?” Tanya Romo.

Sungguh, Ayu rasanya ingin menangis. Matanya sudah memanas dan yang bisa ia lakukan hanyalah meremat kain yang ia pakai. Ia tidak ingin menikah dengan pria yang tidak ia cintai.

“Kau mau menemaniku melihat-lihat kebun milik Romo mu, Ayu?” Tanya Bagas. Ia menyerahkan begitu saja perihal pernikahan kepada kedua orang tua mereka.

Karena tidak tahan ingin sekali menangis, Ayu akhirnya mengangguk kecil. Setelah Dimas berpamitan kepada kedua orang tua mereka, keduanya berjalan di kebun milik orang tua Ayu.

“Kau tampak tak begitu nyaman berada di tengah obrolan orang tua kita ya?” Ucap Dimas tanpa aba-aba. Ayu berjalan di belakangnya, sementara Dimas berjalan di depan sembari kedua tangannya memangku di belakang.

“Sedikit,” cicit Ayu.

Ucapan Ayu itu membuat Dimas berhenti berjalan dan menoleh ke arah Ayu, dan ini untuk pertama kalinya kedua netra milik pasangan pribumi itu saling pandang. Dimas sudah jatuh cinta pada saat Ibu nya Ayu membawa wanita itu keluar dari kamarnya.

“Cantik, kau benar-benar cantik. Suaramu lembut, tak salah aku mau di jodohkan dengamu,” gumamnya sembari tersenyum.

“Jika aku tidaklah cantik, apa kau akan tetap mau di jodohkan denganku?” Yang Ayu nilai dari Dimas adalah, Dimas selalu memuji parasnya hanya itu. Tak ada hal lain yang Dimas puji darinya.

“Tergantung, tapi mungkin tidak. Aku tidak mau di jodohkan dengan pribumi jika tidak memiliki paras cantik. Lebih baik aku menikah dengan wanita Eropa.”

Mendengar hal itu, Ayu hanya bisa menggelengkan kepalanya tidak menyangka. Dimas begitu arogan, mungkin ini alasan kenapa sedari tadi Ayu merasa ada yang mengganjal saat ia pertama kali melihat Dimas di ruang tamu.

Ayu tidak lagi mengikuti langkah kaki Dimas yang masih sibuk menyusuri kebun milik Romonya, ia justru terdiam saat kakinya tak sengaja menginjak sesuatu. Melihat Dimas yang semakin jauh, Ayu justru beringsut untuk berjongkok dan mengambil benda yang ia injak barusan.

Itu adalah sebuah cincin, cincin yang di berikan Jayden tempo hari. Yang di buang oleh Romo nya dan Ayu menemukannya di kebun ini. Di ambil nya cincin itu dan Ayu bersihkan, hatinya sedikit lega karena telah menemukan benda pemberian Jayden kembali. Saking bahagianya telah menemukan kembali cincin itu, Ayu menitihkan air mata. Ia peluk cincin itu dalam genggam jemarinya.

“Kau kenapa bersimpuh, apa yang kau lakukan Ayu?”

Ayu yang masih terisak itu beringsut mendongakkan kepalanya. Itu Dimas ternyata, ia buru-buru bangun dan menyembunyikan cincin itu di belakang tubuhnya. Masih ia genggam erat cincin itu, akan ia simpan dengan baik.

“Bukan apa-apa, Mas.”

“Kau menangis? Apa yang kau sembunyikan dariku?” arca wajahnya menyatu, kening itu mengkerut menatap Ayu dengan bingung. Dimas maju selangkah, rasa penasarannya itu membuatnya membalikan tubuh Ayu, ia ingin tahu apa yang Ayu sembunyikan darinya.

“apa yang kau sembunyikan?!”

“Bukan apa-apa, Mas.” Ayu masih bersikeras untuk menyembunyikan cincin itu. Meski Dimas masih terus berusaha mengambil cincin itu darinya.

“Kalau bukan apa-apa, biarkan aku melihatnya,” ujarnya teguh pada pendiriannya.

Ayu menggeleng, karena sedikit jengkel dengan cepat Dimas menarik Ayu membalikan tubuh wanita kurus itu dan mengambil cincin yang ada pada genggaman Ayu. Tenaga Dimas itu besar, Ayu yang tidak sekuat itu langsung kalah darinya.

“Mas, kembalikan!” Ayu berusaha menggapai cincin itu dari tangan Dimas.

“Cincin ini?” Dimas seperti mengenali cincin itu, tidak asing baginya seperti ia pernah melihat seseorang membeli cincin itu. “Jayden?”

Mendengar nama Jayden di sebut, Ayu terdiam. Tangannya tak lagi berusaha meraih cincin yang ada pada genggaman Dimas lagi, kedua matanya membulat. Ia tidak salah dengar, Dimas benar-benar menyebut nama Jayden bukan?

“Kau kenal Jayden?” tanya Dimas.

Ayu tidak menjawab, bibirnya bergetar. Seharusnya ia tidak sekaget itu ketika Dimas menyebut nama Jayden. Biar bagaimana pun orang tua Dimas adalah Bupati Soerabaja dan Jayden turut di undang dalam rangka hari pengakatannya. Tentu saja harusnya mereka saling mengenal.

“Kembalikan cincin miliku, Mas.” Ayu memegang lengan Dimas, memohon pada calon Suaminya itu agar di kembalikannya cincin miliknya itu.

“Kau kekasihnya Jayden?” ucap Dimas tanpa di sangka-sangka, ada seringai jahil di sudut bibirnya.


Sudah dua hari ini pria Belanda itu masih termenung ketika selesai dengan pekerjaanya, memandangi surat yang di tulis tangan oleh orang tua dari wanita yang ia cintai. Otaknya membeku mendapati penolakan, padahal harusnya ia sudah siap jika mendapatkan penolakan.

Karna pada dasarnya tidaklah mudah menikahi pribumi dari kalangan bangsawan, bahkan jika keluarga besarnya tahu pun Jayden bisa menebak ia pasti akan mendapatkan penolakan. Bahkan ia pun bisa di pulangkan ke negaranya.

Jayden kembali menarik laci di meja kerjanya, menyimpan surat itu di sana kemudian menguncinya. Tubuh tegap nan tinggi itu menelusuri lorong kantor keresidenan, ia hendak pulang ke kediamannya. Kalau ingatannya tidak salah, hari ini seharusnya Jacob kembali untuk memeriksa bibit-bibit bunga melati yang di tanam di taman samping kediamannya.

“Kita kembali ke rumah, meneer?” tanya kusir pribadinya ketika Jayden keluar dari kantor keresidenanya. Pria yang hanya berbeda 5 tahun darinya itu sudah menjadi kusir yang setia bagi Jayden.

“Iya, Pak. Langsung kembali ke rumah saja,” jawabnya lesu.

Di bukakan pintu dokar itu dan Jayden masuk ke dalamnya, begitu dokar itu hendak akan meninggalkan kantor keresidenan Samarang. Ada dokar lain yang berlawanan arah dengannya, kusir yang mengendarai dokar milik Jayden itu menarik tali kuda miliknya agar dokar itu berhenti.

wonten menapa, Pak?” tanya Jayden dengan sopan sewaktu dokar mereka berhenti.

“*Nguwun pangapunten, meneer. ada dokar lain yang berhenti di depan kita.”

Jaydan tak menanggapi lagi ucapan kusir nya itu, ia membuka pintu dokarnya dan keluar dari dalam dokar mewah yang ia tunggangi. Ternyata dokar yang berhenti di depan dokarnya adalah dokar milik Dimas, kawan Jayden sekaligus anak Bupati Soerabaja itu sudah tiba di Samarang rupannya.

Ik wilde je eigenlijk op kantoor ontmoeten, maar blijkbaar hebben we elkaar hier ontmoet.” (aku sebenarnya ingin menemuimu di kantor, tapi kita malah bertemu disini.) Dimas tersenyum pada Jayden, wajah khas angkuhnya itu menatap Jayden penuh percaya diri.

“Kau sudah di Samarang rupanya,” ucap Jayden.

Dimas mengangguk, “sejak kemarin. Mungkin besok aku akan segera kembali ke Soerabaja untuk mengurus pernikahanku.”

“Kapan kau akan menikah?”

Dimas menyeringai, “bulan depan, akan ku pastikan kau datang. Ah, tunggu sebentar ada seseorang yang ingin aku kenalkan padamu.” Dimas menunjuk dokarnya sendiri.

Jayden memang melihat ada siluwet wanita dengan kebaya berwarna putih duduk di kursi dokar Dimas, wajahnya menunduk jadi Jayden tidak bisa melihat jelas siapa wanita yang duduk dengan tidak nyaman disana.

“calon istrimu?” Jayden menaikan satu arca wajahnya dan menebak.

“benar,” Dimas menjentikkan tangannya, ia taruh satu telunjuknya itu tepat di dada Jayden. “Kau pasti akan terkejut saat tahu siapa calon Istriku, meneer.

Tak ada pikiran apapun dalam kepala Jayden, seluruh pemikirannya sudah tersita bagaimana ia bisa mendapatkan hati orang tua Ayu dan dapat menikahi wanita itu. Ia bahkan tidak berminat menebak siapa wanita yang di jodohkan oleh orang tua Dimas itu.

Pria pribumi angkuh itu menjauh dari Jayden, membuka pintu dokar miliknya dan menarik tangan wanita yang ia bilang akan menjadi calon Istrinya itu. Dan betapa terkejutnya Jayden ketika ia melihat siapa wanita yang keluar dari dalam dokar itu, matanya membulat dan kedua kakinya begitu saja melangkah mendekat ke arah wanita itu.

“Raden Ayu?” gumam Jayden.

Namun belum sempat Jayden mendekat ke arah Ayu, Dimas sudah langsung menempatkan Ayu tepat di belakang tubuhnya. Menghalangi Jayden dan Ayu untuk saling bertatapan secara langsung.

“Wah.. Kalian langsung saling mengenal?” Dimas geleng-geleng kepala. “Is hij jouw minnaar?” (apakah dia kekasihmu?)

Jayden tidak menjawab, kedua bahu tegapnya itu naik turun menahan amarahnya. Ia bukan marah dengan Ayu tapi dengan keadaan yang sungguh tak adil baginya, Jayden bukan merasa pria yang lebih baik dari pada Dimas. Tapi setidaknya ia bukan penjudi, pemabuk dan perokok berat.

Dan lagi pula, Jayden mengenal betul bagaimana Dimas memperlakukan seorang wanita. Ia tidak bisa bayangkan seperti apa nanti jika Ayu akan menikah dengan pria pribumi angkuh itu.

“Dia kekasihku,” ucap Jayden penuh penekanan.

Dimas terkekeh, ia menatap Jayden dan Ayu yang masih terus menunduk secara bergantian. “Kau kekasihnya, Ayu?”

Ayu hanya diam, ia masih bergeming. Ia menahan dirinya untuk tidak menangis atau berlari ke pelukan Jayden. Ah, tidak. Menatap pria Belanda itu pun Ayu tidak sanggup. Jayden pasti sudah membaca isi surat penolakan peninanganya yang Romo tulis.

“Dimas, biarkan Aku dan Raden Ayu berbicara sebentar saja,” Jayden memohon. Ia ingin sekali bicara sebentar dengan Ayu, mengatakan pada wanita itu jika Ayu hanya perlu bersabar dan Jayden akan mengusahakan segala cara agar mereka bisa bersama.

“Biarkan aku dan Sir Jayden bicara sebentar, Mas.” gumam Ayu.

Dimas menoleh ke arah wanita itu, karena sudah di jodohkan dan hendak menikah dalam waktu dekat, Dimas merasa Ayu adalah miliknya. Ada rasa egois dan desiran kecemburuan ketika ia mengetahui jika kekasih yang di maksud Jayden adalah Ayu. Niatnya pun datang menemui Jayden dengan membawa Ayu adalah untuk memamerkan Ayu pada Jayden, bahwa ia menang atas wanita pribumi yang di cintai pria Belanda itu.

Kalau boleh jujur, Dimas tidaklah begitu tulus berteman dengan Jayden. Terkadang ada saat-saat dimana ia membenci sikap Jayden yang menurutnya naif dan sok ramah terhadap pribumi, dan saat ini adalah saat yang paling tepat menurut Dimas untuk bisa melihat Jayden terluka atas miliknya yang Dimas rebut.

“Bicaralah di belakang dokar ini. Aku tidak mengizinkan kalian bicara terlalu lama.”


Jakarta, 2025.

Raga mengerjapkan matanya, masih terasa mengantuk namun alarm yang sudah ia atur di ponselnya itu terus berdering. Setelah mematikan alarm miliknya, pria itu bangkit dari ranjangnya. Raga menghela nafas, mimpinya semalam menggantung karena alarm yang sudah berdering.

“Apa Kirana juga mimpi di tempat yang sama?” gumam Raga, maksudnya adalah apakah Ayu dalam mimpi Kirana juga bertemu dengan Jayden di kantor keresidenan.

Pria itu mengusap wajahnya gusar, ia bangun dari ranjangnya dan segera bergegas ke kamar mandi. Ada meeting hari ini dengan para petinggi untuk membicarakan proyek besar yang akan di garap oleh kantor tempat Raga bekerja.

Setelah selesai dengan sarapannya pagi ini, Raga langsung bergegas menuju kantor nya. Untung nya pagi ini jalanan tidak begitu padat, maklum saja kantor tempat Raga bekerja dengan rumahnya adalah kawasan perkantoran jadi Raga sudah tidak kaget jika ia kerap kali terjebak kepadatan Jakarta di jam masuk kerja dan pulang kerja.

“Pagi, Pak.”

“Pagi.” sapa Raga pada bawahan yang tidak sengaja berpapasan dengannya. Ia sedang menunggu lift untuk sampai ke ruangannya berada.

“Pagi Pak Raga!” sapa Almira, Bagas dan Kirana bersamaan. Membuat Bagas yang sedang melihat surel yang masuk di ponselnya itu menoleh.

“pagi,” Raga menoleh ke arah bawahan-bawahannya, tidak sengaja netra nya bertemu dengan Kirana yang juga tengah menatapnya. “Kirana?”

“Ya, Pak?”

“Bisa bicara sebentar?” bukan hanya Kirana saja yang bingung, Bagas dan Almira pun sama bingungnya.

Kirana menoleh, “bisa, Pak.”

Raga mengangguk pelan, kebetulan sekali lift terbuka bersamaan dengan karyawan-karyawan lain yang juga keluar dari dalam lift. “Bagas, Almira. Saya pinjam Kirana sebentar yah, kalian naik duluan saja.”

Bagas mengangguk kecil, meski dalam hati ia sangat penasaran apa yang akan Raga bicarakan dengan wanitanya itu. Bagas bukan cemburu kok, hanya saja dia penasaran. Begitu Kirana mengikuti langkah kaki Raga menuju loby kantor mata Bagas masih terus menatap punggung keduanya, di kepalanya terus bertanya-tanya tentang apa yang keduanya bicarakan.

Bahkan saat lift nya hampir tertutup pun Bagas sempat mengeluarkan sedikit kepalanya, membuat Almira harus menarik pria itu agar kepalanya tidak terjepit pintu lift.

“Udah gak usah cemburu gitu ah, sama Pak Raga doang. Paling juga ngomongin kerjaan, Mas,” ucap Almira menenangkan hati Bagas. Ya siapa tahu saja seniornya itu cemburu kan.

“Dih, siapa yang cemburu. Justru gue kepo mereka tuh mau ngomongin apa sampe harus ngomong di luar gak di kantor gitu.” Bagas memang gak cemburu, dia cuma heran aja kenapa Raga harus membawa Kirana untuk bicara di luar kantor. Bicara mengenai apa? Personal kah? Atau urusan pekerjaan? Pikir Bagas campur aduk.

“Yah paling urusan kantor, kan Mbak Kirana sekarang tuh lagi bantu handle proyek yang di Surabaya juga. Yah emang di pegang sama Bang Satya sih, tapi kan itu proyek aslinya di pegang Mbak Kirana.”

“Ck, Bukan gitu, Ra.” Bagas berdecak, Almira ini enggak mengerti menurutnya. Ya memang bisa saja mereka membicarakan urusan proyek, tapi kenapa harus di luar kantor?

“Terus apa?”

Bersamaan dengan pertanyaan Almira, pintu lift terbuka. Mereka buru-buru keluar dari sana dan berjalan ke meja mereka bersamaan, kebetulan Bang Satya juga belum datang jadi keduanya bisa berdiskusi soal Raga dan Kirana.

“Mereka tuh sempat ngobrol juga di luar jam kantor, Kirana bilang alasannya juga ngomongin proyek yang di Surabaya sih. Tapi maksud gue kenapa harus di luar jam kerja dan pas weekend? dan sekarang mereka kaya lagi meeting berdua.”

“Ck ck ck ck,” Almira berdecak, wanita itu juga menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia udah bisa baca kalau seniornya itu benar-benar cemburu buta, tapi yang bikin Almira enggak nyangka tuh kenapa cemburunya harus sama atasan merereka?

“Lo tuh cemburu boleh-boleh aja, Mas. Kata gue tapi liat-liat orangnya juga lah. Masa iya sama Pak Raga sih? Gila banget.”

“Astaga, Almira Kusuma Djayanti berapa kali gue bilang gue gak cemburu,” Bagas mengoreksi.

“Cemburu itu pasti cemburu.”

“Terserah lu dah bocil.” Bagas menghela nafasnya putus asa, ia buru-buru menyalakan monitor miliknya. Ada file yang harus ia kirim pagi ini ke TL nya yang baru.

“Mas, serius deh. Mbak Kirana tuh sayang banget tau sama lo, lo jangan curiga-curiga gitu ah gak baik,” Almira menasihati.

“Udah tau, udah kerja bocil. Dikit lagi Pak boss dateng,” Bagas masih fokus pada deretan file di monitor miliknya tanpa menoleh ke arah Almira, wanita itu lagi mencatok rambutnya. Kebiasaan Almira setiap pagi.

“Ih serius gue ini mah, tau gak semalam Mbak Kirana tuh telfon gue tau.”

“Paling lo curhat kan sama dia? Tentang cowok dari hasil main Tinder lo itu ya?” Tebak Bagas acuh tak acuh.

“Sok tau!!” Almira mendengus. “Dia tuh tanya enakan bikin brownies atau bikin blackforest buat di bawa ke pesta ulang tahun Ibu nya Mas Bagas.”

Ucapan dari Almira itu berhasil membuat atensi Bagas yang tadinya fokus pada layar monitornya kini berpindah pada Almira yang masih sibuk berkaca sembari mencatok rambutnya.

“Serius?”

Almira mengangguk kecil, “dia bilang dia tuh udah nyiapin hadiah buat Ibu lo juga, terus mau bikin kue sendiri karna dia ngerasa ini tuh buat orang yang spesial. Jadi harus di buat sendiri, effort banget kan dia tuh demi calon mertua.”

Di kursinya Bagas tersenyum kecil, Kirana benar-benar sedang berusaha mempertahankan hubungan mereka. Mengambil hati orang tuanya agar mereka mendapatkan restu.

Bersambung...

Raga dan Kirana akhirnya sepakat untuk bicara berdua di rooftop kantor, untungnya di sana cukup sepi hanya ada mereka berdua saja. Karena karyawan-karyawan yang berada di gedung ini memang di sibukan di pagi hari di ruang kerja mereka masing-masing. Waktu mereka berdua tidaklah banyak, karena setelah ini Raga harus meeting dengan para petinggi kantor.

Setelah itu pun ia masih harus memantau proyek yang berada di daerah Tanggerang, makanya waktunya untuk bertemu dengan Kirana hanya di pagi hari ini saja. Keduanya berdiri menatap gedung-gedung tinggi perkantoran sembari di temani udara yang masih cukup sejuk untuk kota Jakarta pagi itu, semilir angin seperti menjadi saksi bisu keduanya membahas sisa masa lalu dari isyrat mimpi yang keduanya alami.

“Mimpimu sudah sampai mana, Na?” Tanya Raga to the point memang itu yang ingin ia tanyakan sedari tadi.

“Bapak ajak saya ke sini untuk bertanya kelanjutan mimpi kita dan mencocokannya?”

Raga mengangguk.

Kirana menghela nafas, memang itu kesepakatan mereka. Memecahkan misteri mimpi yang mereka berdua alami, “semalam saya bermimpi Ayu bertemu dengan calon Suaminya.”

“Anak dari Bupati Surabaya itu?” Tebak Raga.

Kirana mengangguk, wajahnya berubah menjadi sendu. Teringat akan wajah pria dalam mimpinya, pria pribumi angkuh yang akan segera menikahi Ayu. Mengingatnya saja membuat Kirana bergedik, memikirkan nasib Ayu kelak jika menikah dengan pria yang lebih banyak main-main seperti itu.

“Dimas namanya, Pak.”

“Mereka akan menikah bulan depan, Bukan?”

“Bapak tahu?”

Raga menghela nafasnya, “Kirana, di mimpi saya kamu dan Dimas datang ke kantor Residen. Dimas memamerkan kamu sebagai calon Istrinya, apa kamu juga sudah mimpi sejauh itu?”

“Iya, dalam mimpi saya pun saya bertemu Bapak.” Kirana masih ingat jika Dimas membawa Ayu ke kantor Residen dengan sedikit paksaan, bahkan pria itu tidak segan-segan menyeret Ayu.

“Kalau begitu kita berada di bagian mimpi yang sama, Pak,” lanjut Kirana.

“Kamu sudah cari tahu tentang Ayu?”

Mendengar pertanyaan Raga, Kirana justru terdiam. Ia meremat tali tas yang ia kenakan, mengingat semalaman suntuk ia mencari tahu tentang Ayu. Meskipun agak sedikit sulit tapi setidaknya Kirana menemukan titik terang tentang Djenar Ayu Astutiningtyas.

Ayu bukanlah tokoh penting di negeri ini, jadi tidak banyak orang yang membuat biografi mengenainya dan membahasnya. ia hanya di kenal sebagai Istri dari anak Bupati Surabaya dan anak dari seorang saudagar pemilik toko distribusi roti pada zaman kolonial.

“Tapi enggak banyak yang bahas mengenai Ayu, Pak. Karena dia bukan tokoh penting di negeri ini, enggak seperti Jayden.”

“Apa yang kamu tahu tentang dia, Na?” Raga hanya ingin mencocokannya dengan hal-hal yang ia temukan tentang Jayden. Ia pikir itu adalah satu-satunya cara agar mereka tahu isyarat tentang mimpi mereka.

“Yang saya tahu, Ayu hanya anak dari saudagar pemilik toko yang mendistribusikan roti untuk para tentara Kolonial. Dan Istri dari Dimas, waktu itu Dimas di gadang-gadang akan menggantikan posisi Ayahnya. Hanya itu saja,” jelas Kirana.

“Yakin cuma itu aja, Na?”

Kirana menunduk, ia mengulum bibirnya. Ada hal lain yang membuatnya ingin bercerita tentang Ayu pada Raga. Namun entah kenapa rasanya dadanya bergemuruh, merasakan sedikit sesak tentang apa yang ia ketahui akhir dari kehidupan wanita bernama Ayu di masa lampaunya.

“Na?” Panggil Raga sekali lagi, waktu mereka tidak banyak dan Kirana seperti sedang mengulur waktu mereka berdua, Raga yakin Kirana menemukan sesuatu tentang Ayu yang membuatnya enggan bicara.

“Pernikahannya dengan Dimas tidak bertahan lama, Pak. Karna satu tahun kemudian Ayu meninggal. Di artikel itu juga enggak di ceritakan Ayu meninggal karena apa, tapi bisa jadi karna sakit yang dia derita dari kecil,” ucap Ayu pada akhirnya.

“TBC..” gumam Raga yang di jawab anggukan oleh Kirana. Ayu memang menderita penyakit itu.

Kedua bahu Raga turun, Dan ia pun sudah mengetahui akhir dari hidup Jayden, setelah ini Raga akan mencari tahu apa yang membuat mereka bermimpi tentang kehidupan sebelumnya. Ya anggap saja begitu sekarang meski itu tidak terbukti.

“Pak, apa Bapak juga tahu kalau Adi—”

Raga mengangguk kecil, “iya saya tahu, Bagas kan?”

Kirana mengangguk, “selain Bagas apa ada orang lain di masa lalu kita yang hadir di kehidupan sekarang ini?”

“Kakak saya, Na. Mbak Adel, Jayden punya Kakak perempuan bernama Roosevelt Van Den Dijk. Dan Mbak Adel adalah reinkarnasi dari Roosevelt, tapi dia pun enggak bermimpi apa-apa, mungkin sama hal nya dengan Bagas yang juga gak bermimpi apa-apa.”

Kalau begitu kemungkinan besar ada orang lain dari masa lalu mereka yang kemungkinan ada di kehidupan mereka yang sekarang, orang tua Kirana saat ini bukanlah orang tua dari Ayu di masa lalu. Kirana dan Ayu lahir dari orang tua yang tidak reinkarnasi di masa lalu.

“Itu artinya Jayden dan Ayu benar-benar tidak menikah di kehidupan itu, Na.”

“Saya baca-baca sedikit tentang kehidupan di zaman itu, menikah bagi bangsa kolonial dan pribumi itu sulit, Pak. Kita masih harus menunggu kelanjutan cerita mereka kalau kita mau cari tahu apa maksud dari mimpi yang kita berdua alami,” jelas Kirana, menurutnya memang begitu karena mimpi mereka berdua masih sangat menggantung.

“Kamu jangan segan-segan untuk bertanya kelanjutanya pada saya, Na. Termasuk hal-hal yang kamu cari tahu. Sekecil apapun itu mungkin bisa jadi pentunjuk.”


“Disini aja, Pak.”

Taksi online yang Kirana tumpangi itu berhenti di belakang mobil yang terparkir di depan rumahnya Bagas, ternyata acara ulang tahun Ibu nya Bagas itu lumayan meriah juga. Kirana sempat berpikir mungkin hanya syukuran biasa saja tadinya, sebelum turun dari mobil. Dia memastikan dulu rambut dan riasan rambutnya masih rapih. Setelah itu barulah ia turun membawa kotak berisi brownies dan juga puding cokelat yang ia buat sendiri.

Bagas bilang dia enggak bisa menjemput Kirana karena ia harus membantu acaranya di rumah, tentu saja Kirana sama sekali tidak keberatan dengan hal itu. Begitu Kirana masuk ia langsung di sambut dengan senyuman hangat oleh Kanes Adiknya Bagas.

“Mbak Kirana..” sapa Kanes, wanita itu memeluk Kirana dengan hangat.

“Hai, Nes. Apa kabar?”

“Baik, Mbak. Ya ampun, Mbak. Maaf yah waktu Mbak sakit aku gak sempat jenguk karena lagi sibuk banget kuliah.” Kanes jadi merasa bersalah kalau ingat ia tidak bisa menjenguk Kirana di rumah sakit waktu wanita itu kecelakaan, Kanes itu kuliah kedokteran yang mana kegiatan di kampusnya tentu banyak menyita waktu bahkan untuk sedikit bersantai sekalipun.

“Iya gapapa, Bagas udah cerita kalau kamu lagi hectic banget di kampus.”

Kanes mengangguk, sedikit lega karena Kirana cukup mengerti dirinya. “Oh yah, masuk yuk, Mbak. Mas Bagas, Ibu sama Ayah ada di dalam.”

“Hhmm, Nes. Tapi make up aku gak berlebihan kan?” Kirana jadi enggak percaya diri tiba-tiba, apalagi sedari tadi banyak pasang mata yang melirik ke arahnya. Kirana sadar, warna dusty pink yang ia pakai sebagai dresscode yang di tentukan itu agak sedikit berbeda dengan yang tamu lain pakai.

“Kamu tuh cantik, Mbak. Udah yuk masuk.” Kanes menggandeng tangan Kirana yang bebas dari kotak berisi kue itu.

Begitu melihat Bagas yang sedang sibuk berbicara dengan tamu dari keluarganya, Kirana tersenyum apalagi Bagas juga dengan sigap langsung menghampirinya. Pacarnya itu tampak semakin tampan dengan kemeja dusty pink yang ia pakai, rambutnya pun di bentuk hair coma style yang membuat Bagas terlihat semakin kharismatik.

“Tuh udah ada Mas Bagas, aku ambilin Mbak minum dulu yah,” kata Kanes, ia berpamitan pada Kirana untuk mengambilkan wanita itu minum.

“Iya, makasih yah, Nes.”

Begitu Kanes pergi, Bagas langsung mengajak Kirana ke dalam rumahnya. Ibunya ada di dalam, sedang menjamu teman-temannya dan ada beberapa sanak saudara yang datang dari Surakarta.

“Buk, ada Kirana,” ucap Bagas.

Kirana berusaha menyunggingkan senyum terbaiknya, walau ada desiran ketidaknyamanan saat calon mertuanya itu menatapnya dengan tatapan sedikit sinis. Tidak, Kirana tidak terlalu perasa. Bagi siapapun yang melihatnya pasti akan langsung berpikiran sama dengannya.

happy birthday, Buk.” Kirana menyalami tangan Ibunya Bagas, walau uluran salaman itu di sambut dengan rasa acuh tak acuh.

“Iya, terima kasih yah, Kirana.”

Kirana mengangguk pelan, “Kirana bawain Ibu brownies sama puding cokelat yang Kirana bikin sendiri, Buk. Cobain ya.”

“Repot-repot kamu bikin, tapi nanti saja yah. Saya sudah kenyang, tadi habis nyobain lapis legit yang di buat sama Asri.”

Bagas menggeleng kepalanya samar, sungguh kecewa bukan main ia melihat perlakuan Ibu nya itu pada Kirana. Namun Bagas hanya bungkam, ia tidak ingin merusak suasana apalagi di keramaian seperti ini dan di hari ulang tahun Ibunya.

“Iya gapapa, Buk.”

“Bi, bawa kue-kue nya ke belakang ya.” Ibu nya Bagas itu memanggil pekerja yang berkerja di rumahnya, menyuruh mereka membawa kotak berisi kue-kue itu untuk di bawa ke dapur tanpa di suguhkan disana.

Kirana menunduk, dalam hati ia meringis. Namun ia merasa tidak bisa menyerah begitu saja, ia masih mencoba untuk berpikir positif jika mungkin saja brownies dan pudingnya tidak di suguhkan untuk tamu melainkan untuk mereka makan sendiri, Ia sangat mencintai Bagas, dan ia juga ingin dapat cinta dari keluarga laki-laki itu juga.

“Kita ke depan yuk?” bisik Bagas, ia tidak tega melihat Kirana di acuhkan oleh Ibunya. Ibu bahkan tidak mengajak Kirana bicara lagi dan sibuk berbicara dengan teman-temannya.

“Aku belum ngobrol banyak sama Ibu..” bisik Kirana, ia pikir ia harus lebih banyak bicara sama Ibunya Bagas. Dengan begitu mereka bisa mengenal lebih dalam satu sama lain bukan, yah siapa tahu saja di saat-saat seperti ini hati orang tua Bagas itu luluh.

“Yakin?” Bagas cuma mau memastikan aja, dia gak mau Kirana berada di situasi yang tidak membuat wanita itu nyaman.

“Iya sayang, sana kamu ke depan aja. Nanti kalau udah selesai ngobrol sama Ibu, aku susul kamu ke depan.”

“Beneran yah?”

Kirana mengangguk.

“Yaudah aku ke depan yah, nanti kalau aku lihat Kanes. Aku suruh dia nemenin kamu.”

Selepas kepergian Bagas, Kirana berusaha untuk berbicara dengan Ibunya Bagas meski hanya mendapatkan balasan sekedarnya saja. Kirana enggak mau menyerah, apalagi saat wanita bernama Asri itu datang. Kalau dari yang Kirana lihat, Ibu benar-benar menyukai Asri bahkan Asri yang di kenalkan ke saudara-saudara Bagas dan juga teman-teman Ibu yang datang.

“Ohhh.. Asri ini temannya Bagas waktu SMP? Yang rumahnya dulu sebelahan sama rumahmu di Surakarta itu bukan, Jeng?”

“Betul,” Ibu nya Bagas itu tersenyum. “Cantik kan, calon menantu idaman sekali dia ini. Bahkan Asri yang milih warna yang cocok untuk dresscode ulang tahun saya loh.”

Mendengar hal itu, Kirana menunduk. Jadi Asri lah yang banyak membantu untuk acara ulang tahun Ibu. Meski hatinya sedikit perih, Kirana masih terus berusaha tersenyum ramah, Kirana enggak minder sama sekali sama Asri meski ia pun tidak menangkis jika wanita itu benar-benar cantik dan memiliki selera yang bagus.

“Kalau yang di sebelah sana siapa, Jeng?” Teman dari Ibunya Bagas itu melirik Kirana yang duduk tak jauh dari tempat Asri duduk, Asri duduk benar-benar bersebelahan dengan Ibunya Bagas sedangkan Kirana agak sedikit berjarak beberapa senti.

“Ahh... Itu Kirana, pacarnya Bagas,” cicit Ibu pelan.

Asri menoleh ke arah Kirana, wanita itu tersenyum dan melambaikan tangannya memberi isyarat pada Kirana untuk duduk di dekatnya saja. “Sini, Na!”

Begitu Kirana mendekat, Ibu yang tadinya sedang duduk di sofa itu berdiri dan menghampiri Kirana. Kirana yang melihat itu sudah senang apalagi Ibu tersenyum ke arahnya, ada sirat kepercayaan diri yang membuncah di dadanya jika ia akan di kenalkan sebagai calon menantu di keluarga itu. Namun itu semua hanya ada dalam benak kepala Kirana tanpa terwujud jadi nyata, karena Ibu justru mengatakan hal di luar dugaanya.

“Na, kamu mau bantuin Ibu gak?” tanya Ibu.

Tentu saja Kirana dengan senang hati akan membantunya, baginya ini adalah kesempatan. “Mau, Buk. Apa yang Kirana bisa bantu?”

“Ini, Na. Si bibi kan kayanya kerepotan cuci piring di belakang, yah. Maklum lah udah tua juga, kamu bantu-bantu yah. Dari pada kamu di sini enggak ngapa-ngapain juga kan.”

Mendengar ucapan itu, senyum di wajah Kirana sedikit memudar. Ia hanya di minta bantuan untuk mencuci piring ternyata, walau agak sedikit kecewa tetapi Kirana mengangguk, ia suguhkan senyum manisnya itu. Ia hanya berpikir mungkin dengan cara seperti ini hati orang tua Bagas itu bisa luluh dan bisa menerima nya.

“Iya, Buk. Kalo gitu Kirana ke belakang yah,” pamitnya, setelah mendapatkan anggukan kecil dari Ibunya Bagas, cepat-cepat ia ke dapur rumah keluarga itu.

Kirana pikir bibi yang bekerja di rumah Bagas itu hanya satu orang, ternyata ada dua orang dengan rentang umur yang sama. Keduanya sedang menikmati brownies yang Kirana bawa, Kirana sendiri gak tau kenapa makanan yang ia bawa justru pekerja di rumah Bagas yang memakannya. Ia hanya berpikir itu semua pasti sudah mendapatkan izin dari sang pemilik rumah.

Ia bukan tidak senang makananya itu di makan orang lain selain Ibunya Bagas, hanya saja ia buatkan itu semua khusus untuk Ibunya Bagas di hari ulang tahunnya.

“Eh, neng Kirana. Mau ngapain, Neng?” tanya Bibi yang berbadan gempal itu, wanita paruh baya itu tersenyum.

“Mau bantu-bantu, Bi.”

“Ih udah, gak usah ini kan udah jadi kerjaan Bibi.”

Kirana menggeleng pelan, “gapapa, Bi. Biar cepat selesai.”

Kirana mengambil kain lap untuk mengeringkan beberapa piring yang sudah selesai di cuci, Bibi yang sedang makan brownies buatan Kirana tadi tampaknya agak sedikit tidak enak. Terlihat dari gelagatnya yang canggung dan langsung menghentikan makannya begitu Kirana datang.

“Brownies buatan Neng Kirana enak banget,” ucapnya tiba-tiba.

“Oh ya?” Kirana menoleh, ia tersenyum. Senang rasanya mendapatkan pujian jika brownies buatannya enak meski itu bukan berasal dari Ibunya Bagas. “Kemanisan gak, Bi?”

Bibi gempal itu menggeleng, “enggak, Neng. Rasanya pas, manisnya pas enggak amis juga enak pokoknya mah.”

“Syukur deh kalau begitu.”

Kirana lega, meski sedikit sedih namun itu bukan masalah untuknya. Setidaknya makanan yang ia bawa tidak di buang saja rasanya Kirana sudah bersyukur. Sementara itu di teras rumah Bagas yang masih di padati banyak tamu, Raga menikmati setiap hidangan yang di sediakan di sana. Ia datang bersama Satya.

Bagas memang mengundang Raga dan Satya untuk datang ke acara pesta ulang tahun Ibunya, mereka sempat berbincang sebentar. Bagas juga sempat mengenalkan Kanes pada dua temannya itu, Almira bukan tidak Bagas undang hanya saja wanita itu sudah memiliki janji lain dengan teman kencan butanya itu, Almira hanya menitipkan kado untuk Ibunya Bagas oada Satya.

“Gas, toilet dimana ya?” tanya Raga.

“Kebelet, Pak?” tanya Satya cengengesan.

“Enggak!” jawab Raga dengan ekspresi wajah yang bad mood. “ya iyalah pake nanya lagi.”

Bagas yang mendengar itu sedikit terkekeh, “di belakang, Pak. Lewat samping aja, dekat dapur kok lurus aja.”

“Yaudah, saya ke belakang dulu yah.” Raga buru-buru meninggalkan Bagas dan Satya yang masih asik berbincang di taman rumah Bagas.

Ia masuk ke dalam rumah Bagas lewat pintu samping yang kata Bagas nantinya akan langsung menuju ke dapur kotor rumahnya, di sana ada toilet khusus untuk tamu. Begitu Raga ingin masuk ke dalam toiletnya, tidak sengaja netranya menangkap seorang wanita yang tengah sibuk mencuci piring di dapur.

Wanita itu berambut panjang dan memakai dresscode yang sama dengan tamu lainnya meski tone nya agak sedikit berbeda, Raga mengerutkan keningnya. Dan begitu wanita itu memperlihatkan wajahnya dari samping, Raga langsung mengenalinya. Itu adalah Kirana, kenapa ia justru malah sibuk mencuci piring di dapur? Itu adalah pertanyaan yang terlintas di kepala Raga saat ini.

“Na?” Panggil Raga, ia mengurungkan niatnya untuk menyelesaikan urusannya di kamar mandi.

Kirana menoleh, ia sedikit terkejut karena Raga justru turut di undang dalam pesta ulang tahun Ibu nya Bagas. Kirana pikir Bagas hanya mengundang Satya dan Almira saja.

“Pak Raga?” Ucap Kirana kaget, ia membasuh tangannya yang kotor karena sabun cuci piring kemudian menghampiri Raga. “Bapak ngapain disini?”

“Saya yang harusnya tanya, kamu ngapain cuci piring? Kamu itu tamu, Na.” Kedua bahu Raga naik turun, entah kenapa rasanya ada perasaan tidak nyaman melihat Kirana mencuci piring sendirian di dapur.

“Sa..saya cuma bantu-bantu Ibu nya Bagas aja, Pak.”

“Gak gitu, Na. Kamu ini tamu. Kalau kamu mau membantu bisa dengan hal lain,” ucap Raga sedikit kesal. “Bagas tahu kamu cuci piring?”

Kirana menggeleng, “ini saya yang mau kok, Pak.”

Raga enggak menjawab ucapan Kirana lagi, ia hanya menatap wanita itu dengan sorot mata yang menunjukkan kekecewaan sekaligus sedih melihat Kirana di perlakukan seperti itu. Raga enggak paham kenapa Kirana mau dengan sukarela nya mengerjakan setumpuk cucian piring yang tidak ada hentinya masuk ke dapur, mengingat tamu yang di undang oleh Ibunya Bagas cukup banyak.

“Kalau gitu, saya lanjutin cuci piringnya, Pak.” Kirana mengangguk sopan, ia kembali dengan tumpukan cucian piring yang baru saja tiba. Bibi yang bekerja di rumah Bagas juga turut membantunya.

Niat Raga untuk buang air kecil ia urungkan, alih-alih masuk ke dalam toilet. Ia justru keluar dari sana dengan langkah besar-besar menuju taman rumah Bagas, ternyata pria itu masih di sana asik berbincang dengan Satya dan juga rekan kantor mereka yang lain.

“Gas, lo nyuruh Kirana cuci piring di dapur?” Tanya Raga to the point bahkan ia melupakan panggilan 'kamu dan saya' yang biasa ia gunakan ketikan hendak berbicara dengan bawahannya itu.

“Hah? Maksud, Bapak?” Bagas mengerutkan keningnya bingung, karna setahunya Kirana sedang asik berbincang dengan Ibu dan juga Asri di ruang tamu rumahnya. “Cuci piring gimana, Pak.”

“Mending lo liat sendiri dia lagi ngapain di dapur kotor lo itu,” ucap Raga tegas.

Bagas akhirnya menuruti ucapan Raga, ia buru-buru berlari kecil menuju dapur kotor rumahnya dari samping taman depan seperti yang di lakukan Raga barusan, ternyata benar, Kirana benar-benar sedang mencuci piring, bahkan baju bagian bawah nya sudah basah karena terciprat air saking banyaknya piring yang ia cuci.

“Sayang, kamu ngapain?” Tanya Bagas, ia menghampiri Kirana dan mematikan keran yang masih terus menyala di washtaffel dapurnya.

“Sayang, aku cuma mau bantu-bantu Ibu kamu aja.”

“Gak gini, Na. Kamu di suruh Ibu?”

Kirana sempat meragu untuk mengatakan jika ia memang di suruh oleh Ibunya Bagas, ia justru menggeleng kecil. “Enggak, Sayang. Ini insiatif aku sendiri, aku benar-benar mau bantu-bantu acara ulang tahun Ibu kamu.”

“Enggak, aku gak mau liat kamu cuci piring.” Bagas menarik pergelangan tangan Kirana, membawa wanita itu keluar dari dapur rumahnya.

Kebetulan sekali mereka berpapasan dengan Kanes yang juga hendak ke dapur, ia mau mengambil beberapa makanan untuk mengisi piring snack yang kosong di ruang tamu. Wanita itu juga sama kagetnya seperti Bagas barusan, apalagi saat melihat baju bagian bawah Kirana basah dan sedikit terkena noda dari piring kotor yang ia cuci.

“Mas, Mbak Kirana kenapa?” Tanya Kanes kaget.

“Nes, kamu pinjemin baju kamu dulu ya, nanti Mas ceritain. Kamu bawa Mbak Kirana ke kamar kamu dulu ya.”

“Iya-iya,” Kanes mengangguk-angguk, wanita itu menggandeng tangan Kirana menuju lantai 2 dan mengajaknya masuk ke dalam kamar Kanes.

Sementara itu Bagas buru-buru menghampiri Ibu nya, kebetulan sekali Ibu tidak sedang menerima tamu. Ibu sedang asik mencicipi cake yang di bawa tamunya bersama dengan Asri.

“Buk, Ibu suruh Kirana cuci piring di dapur?” Tanya Bagas.

Ibu yang tadinya sedang menikmati cake itu langsung menaruh piring yang berisi cake yang ada di pangkuannya ke atas meja, wanita itu berdiri dan menatap Bagas tak kalah nyalangnya dengan si sulungnya itu.

“Perempuan itu mengadu sama kamu, Bagas?” Hardik Ibu.

“Kirana gak ngadu, Buk. Bagas yang lihat sendiri Kirana cuci piring, kenapa Ibu tega banget sih, Buk?”

“Biar dia lebih berguna sedikit, dari pada dia harus duduk disini sama Ibu lebih baik Ibu suruh dia cuci piring kan? Toh dia juga mau kok.” Ibu kembali duduk, seolah-olah hal yang tengah di bicarakan Bagas bukanlah persoalan yang penting.

“Kirana itu tamu, Buk. Pacarnya Bagas, calon Istrinya Bagas, Buk. Tolong perlakuin dia lebih baik. Bagas sangat di terima baik di keluarganya, Buk.”

“Gak ada calon istri, Bagas. Ibu dan Ayah enggak akan pernah merestui hubungan kalian! Sampai mati sekalipun, calon istri kamu itu cuma Asri! Kamu di terima baik di keluarganya karena perempuan itu dan keluarganya cuma mau memanfaatkan kamu untuk membayar hutang-hutang keluarga mereka!”

“Kata siapa, Buk? Kirana gak pernah punya niat kaya gitu ke Bagas.”

Sekarang anak dan Ibu itu saling bicara dengan nada tinggi, bahkan tamu-tamu yang ada di sana sampai sedikit menoleh. Sementara Asri hanya terdiam di tempatnya, ia bingung harus melakukan apa. Keduanya sama-sama tengah di landa kemarahan.

“Kata Ibu, mungkin sekarang belum terbukti tapi suatu saat kamu akan sadar itu, Bagas.”

Tanpa Bagas sadari, Kirana dan Kanes sudah selesai berganti pakaian dan turun ke lantai satu. Bahkan Kirana mendengar semua ucapan menyakitkan dari orang tua Bagas lagi, hatinya sudah tidak kuat, ia tak masalah di hina jika ia tidak pantas bersama Bagas tapi tidak dengan keluarganya, Ibunya Bagas bahkan enggak tahu bagaimana perjuangan Kirana dan Ibu untuk menbayar hutang-hutang itu tanpa mengandalkan orang lain.

“Kirana..” Setelahnya Bagas barulah sadar jika Kirana mendengar semua perdebatannya dengan Ibu.

Tanpa berpamitan pada Ibu dan keluarga Bagas yang lain, Kirana langsung keluar dari rumah Bagas dengan sedikit berlari. Ia abaikan beberapa pasang mata yang memperhatikannya berlari sembari di ikuti Bagas di belakangnya.

“Na..Na.. Tunggu sebentar,” Bagas berhasil meraih tangan Kirana, namun wanita itu menghentakkannya sedikit keras hingga tangan Bagas terlepas dari pergelangan tangannya.

“Lepas!!” Kedua bahu Kirana naik turun, ia menangis. Hatinya sungguh sakit. “Aku gak pernah ngadalin kamu buat bantu keluargaku bayar hutang, Gas. Gak pernah.”

“Iya Kirana iya, aku tau. Maafin Ibuku yah.” Bagas hendak memeluk Kirana, namun wanita itu buru-buru mendorongnya menjauh.

“Kamu di jodohin sama Asri, Gas? Iya?”

Bagas yang di tanya seperti itu tidak menjawab, ia hanya diam menunduk. Ia tidak ingin sebuah kejujuran menyakiti hati Kirana lagi. Hari ini sudah cukup wanitanya itu tersakiti karena ucapan Ibu.

“JAWAB AKU BAGAS!!” Kirana sedikit berteriak.

“Iya, iya aku di jodohin sama Asri, tapi aku gak mau, Na. Aku cuma mau nikah sama kamu, aku cuma mau bertahan sama hubungan kita karna aku sayang kamu, Na.”

Kedua tangan Kirana itu menutupi wajahnya, isaknya itu semakin menyesakan ketika sebuah kejujuran dari bibir Bagas lagi-lagi menyakitinya. Ia bingung harus bagaimana menyikapi hal ini, Kirana pikir ia hanya perlu di beri waktu sendiri. Jadi, buru-buru ia berhentikan ojek yang kebetulan melintas di depan rumah Bagas.

“Na.. Kamu mau kemana? Biar aku antar, Na.” Bagas menahan pergelangan tangan Kirana agar wanita itu tidak pergi meninggalkannya.

“Lepasin, Bagas. Aku butuh waktu sendiri.”

“Aku anterin.”

Perlahan-lahan, Kirana memegang tangan Bagas yang menahan pergelangan tangannya ia lepaskan tautan mereka dan menggeleng pelan. “Aku mau sendiri, tolong..” Ucapnya lirih.

Tak ada yang bisa Bagas lakukan, ia pada akhirnya membiarkan Kirana pergi dengan ojek yang tadi ia berhentikan. Membiarkan punggung kecil itu semakin menjauh, Bagas bingung, hatinya juga sakit dan pikirannya kacau. Jika di suruh memilih, ia sendiri juga bingung. Bagimana pun orang tuanya dan Kirana sama pentingnya dan memilih salah satu dari mereka bukanlah sebuah jawaban.

Bersambung...

Dalam perjalanan dari rumah Bagas yang Kirana lakukan hanyalah menangis, dadanya sampai sesak semakin ia tahan tangisnya. Ucapan dari mulut orang tua Bagas itu terus terngiang di telinganya, hatinya sakit bukan main apalagi saat ia mengetahui jika Bagas sudah di jodohkan dengan wanita lain.

Yang Kirana pikirkan saat ini adalah bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Ia sudah banyak melalui berbagai hal dengan Bagas, melepas Bagas pun tidak mudah baginya. Bagas selalu menjadi obat untuknya bahkan di hari ia kehilangan Bapaknya.

Tetapi untuk melangkah maju melanjutkan hubungan mereka pun rasanya Kirana enggak sanggup, ia sudah mendapatkan penolakan dari keluarga Bagas dan Kirana enggak terima harga diri dan keluarganya di injak-injak seperti itu. Isak dari bibir tipisnya itu semakin menyesakkan, Kirana enggak perduli jika supir ojek yang ia tumpangi itu bertanya-tanya kenapa Kirana terus menangis.

Tidak lama kemudian, ojek yang di tumpangi Kirana itu menepi di bahu jalan. Entah kenapa, Kirana juga tidak paham. Buru-buru ia elap wajahnya dengan tangannya itu, Kirana udah gak perduli pada make up nya yang sudah luntur, bergeser atau oksidasi sekalipun. Ia hanya memikirkan perasaanya saja hari ini.

“Kenapa, Pak?” tanya Kirana begitu motor yang ia tumpangi itu berhenti.

“Maaf, Mbak. Motor saja baterai nya habis, mana tempat tukar baterai nya masih jauh lagi, Mbak nya pesan ojek online yang lain saja ya?” kata Bapak itu.

Kirana mengangguk kecil, ia melepas helm yang ia pakai dan turun dari motor ojek online yang ia berhentikan secara random tadi di depan rumah Bagas.

“Gapapa, Pak.” Kirana merogoh saku nya dan memberikan uang untuk ia bayar, biarpun tidak sampai di tujuan, Bapak itu setidaknya sudah menyelamatkan Kirana untuk secepatnya pergi dari rumah Bagas. “Uangnya, Pak.”

“Gak usah, Mbak. Kan belum sampai tujuan.”

“Gapapa, Pak. Ambil aja.” Kirana tetap memberikan uang itu, ia merasa tidak enak jika tidak membayarnya.

“Makasih yah, Mbak.”

Kirana hanya mengangguk kecil, ia akhirnya berjalan untuk sampai di halte bus, mungkin ia akan menaiki bus saja untuk sampai di rumahnya. Bukan Kirana tidak sadar jika sedari tadi saku celana nya terus bergetar, getaran itu berasal dari ponselnya. Ia yakin jika Bagas yang menelfonnya tiada henti.

Kirana gak tahu apa yang harus ia ceritakan pada Ibu jika Ibu bertanya nanti, Ibu tahu persis bagaimana Kirana menyiapkan brownies dan puding untuk orang tua Bagas itu. Selama ini pun, Kirana hanya bercerita yang baik-baik tentang keluarganya Bagas. Kirana enggak pernah bercerita dengan jujur bagaimana keluarga Bagas memperlakukannya. Kirana enggak ingin Ibu sedih, dan terlebih ia tidak ingin sikap Ibu berubah dengan Bagas.

Kirana telah sampai di halte bus tak jauh dari tempat ia berhenti tadi, ia duduk di halte itu. Termenung melihat lampu-lampu kota yang mulai menyala dan lampu-lampu yang berasal dari kendaraan, bunyi bising dari klakson sore itu seperti satu-satunya teman untuk mengisi hampa dan sedih di hatinya.

Kepalanya sedikit pening karena terlalu banyak menangis, namun rasanya air matanya tak kunjung ingin berhenti menetes dari pelupuknya. Kirana masih ingin terus menangisi harinya saat ini, entah sampai kapan air matanya itu bisa berhenti dengan sendirinya.

Sedang tertunduk meratapi dirinya, sebuah mobil Hyundai Ioniq 5 N itu berhenti di depan halte tempat Kirana berpijak, pengendaranya keluar dari sana dan menghampiri Kirana yang bahkan belum sadar akan kehadirannya.

“Kirana?” panggil orang itu yang membuat Kirana menoleh tanpa menghapus air mata yang masih menetes dari pelupuk matanya.

“Pa..pak Raga?” gumamnya, Kirana buru-buru menghapus jejak air matanya itu dan berdiri.

“Kamu ngapain disini?”

“Saya mau pulang, Pak. Lagi nunggu bus.”

“Saya antar kamu pulang aja ya?” Raga tidak tega melihat Kirana menunggu bus sendirian, apalagi wanita itu juga sepertinya sedang tidak baik-baik saja. Entah kenapa melihat Kirana menangis, rasanya ada separuh dalam dirinya yang tidak terima. Ia ingin menghajar orang yang membuat wanita itu menangis di jalan seperti ini.

“Gausah, Pak. Gapapa saya naik bus aja.” Kirana takut merepotkan Raga, selain itu ia juga sungkan dan sedikit malu. mungkin saja Raga melihat bagaimana ia dan Bagas bertengkar di pesta ulang tahun barusan.

“Saya mau minta bantuan kamu kebetulan, lagi enggak sibuk kan?” ini hanya alibi Raga saja agar Kirana mau ikut dengannya.

Kirana seperti menimang-nimang permintaan itu dari Raga, Raga atasannya dan pria itu baik. Tidak ada salahnya jika Kirana membantu Raga sebentar, lagi pula rasanya ia belum siap pulang jika air matanya belum kunjung berhenti dan suasana hatinya belum membaik. Ia takut menangis saat Ibu bertanya nanti.

Kirana akhirnya mengangguk, “boleh, Pak.”

“Yaudah, sekarang masuk ke mobil saya yah.” Raga memberi jalan untuk Kirana, membiarkan wanita itu masuk ke mobilnya lebih dulu baru setelah itu ia masuk ke mobil miliknya.

Di perjalanan Raga juga enggak tanya-tanya apapun itu sama Kirana, dia cukup paham jika suasana hati wanita di sebelahnya itu enggak cukup baik. Hanya ada suara dari radio yang terdengar, sang penyiar yang sedang saling berbincang mengenai berita di negeri mereka yang mulai carut marut itu. Tentang eksploitasi alam dan beberapa pulau di Sumatra yang di beritakan akan di jual.

Mobil yang di kendarai Raga itu berhenti di sebuah deretan pedagang kaki lima, berhenti di sebuah tenda yang menjual martabak manis dan martabak telur. Raga dan keluarganya sudah biasa datang kesana untuk membeli martabaknya.

“Kok kesini, Pak?” Kirana menoleh, seingatnya Raga kan butuh bantuannya.

“Iya saya mau minta tolong sama kamu pilihin martabak.” Raga melepas seatbelt nya dan mematikan mesin mobilnya itu.

“Apa?!” pekik Kirana, agak sedikit kaget karena kelakuan konyol atasannya itu. “Serius?”

“Kamu mau turun dan kehabisan nafas di mobil apa mau ikut saya liatin Mamang nya bikin martabak?”

Tentu saja opsi pertama adalah pilihan yang buruk, Kirana memang sedang gundah gulana tapi kehabisan nafas di dalam mobil atasannya itu bukan ide yang baik ia pikir. Jadi cepat-cepat ia buka seatbelt yang terpasang di tubuhnya dan ikut keluar dari mobil mengekori Raga.

Pria itu berdiri di depan menu yang di tempel di gerobak besar tukang martabak itu, dan Kirana ikut berdiri di belakangnya sambil membaca menu nya juga. Ternyata untuk ukuran martabak pinggir jalan, harga martabak tempat Raga berhenti ini harganya lumayan mahal juga menurut Kirana.

Tapi dia pikir bisa saja mahal karena bahan-bahan yang di pakai adalah bahan dengan kualitas terbaik, bisa Kirana rasakan sendiri jika wangi yang di sebarkan dari aroma martabak manis yang sedang di panggang itu begitu harum.

“Menurut kamu lebih enak martabak coklat kacang atau martabak telur bebek tapi telurnya 4, Na?” tanya Raga.

Kirana melirik Raga sebentar, jadi yang di maksud meminta bantuannya adalah untuk memilihkan martabak manis atau martabak telur? Pikir Kirana. Wanita itu jadi terkekeh pelan, gak nyangka kalau permintaan tolong Raga akan seabsurd ini.

“Jadi Bapak minta tolong saya pilihin martabak?”

Raga mengangguk, “kalau soal martabak saya enggak bisa milih, susah. Karna dua-dua nya enak.”

“Kenapa gak beli dua-dua nya aja?”

“Saya cuma mau beli satu macam,” jawab Raga enteng.

Kirana mengangguk-angguk, setidaknya ajakan konyol dari atasannya itu bisa sedikit membuat gundah gulana hatinya sedikit terlupakan walau mungkin hanya sebentar.

“Martabak telur aja gimana?” Kirana tertarik aja sama telur bebek nya, apalagi daging giling yang sedari tadi di depannya itu sebagai toping martabak benar-benar harum. Kirana udah bisa bayangin akan setebal apa martabak nya jika memakai empat telur bebek.

“Boleh,” Raga mengangguk. “Kamu duduk dulu saja, saya mau pesan dulu.”

Kirana tersenyum kecil, kemudian menarik kursi yang ada di sana. Menunggu Raga memesan martabak miliknya sembari sesekali ia melihat atraksi masak dari pedagang yang sedang membuat kulit martabak telur menjadi ukuran besar. Kirana benar-benar takjub rasanya, dari ukuran kecil bisa menjadi besar dengan ketebalan yang sempurna dan tidak sobek sedikipun.

Tidak lama kemudian Raga menyusul Kirana, duduk di samping wanita itu sembari menyaksikan pedagang itu membuat pesanan mereka. Di liriknya Kirana, Raga sedikit lega karena sorot sendu itu sudah sedikit sirna. Setidaknya Kirana sudah tidak menangis lagi.

“Bakpau yang saya kasih waktu kamu sakit itu.” Raga terkekeh, mengingat kelakuan konyolnya yang membelikan Kirana banyak bakpau.

“Ya?” Kirana menoleh. “Kenapa, Pak?”

“Kamu suka bakpau nya?”

Mengingat bakpau yang di beli Raga waktu itu Kirana jadi terkekeh, pasalnya pria itu membelinya lumayan banyak. Sampai Kirana membaginya pada pasien-pasien lain yang satu kamar dengannya.

“Suka kok.”

Raga tersenyum, ada desiran hangat di hatinya mendengar Kirana menyukai bakpau yang ia belikan. “Bagus deh kalau kamu suka, kamu ingat waktu Ayu dan Jayden kencan gak?”

Kirana mengerutkan keningnya, tentu saja ia ingat. Mimpi kencan bersama Jayden sembari berkuda dengan pria itu membuat perasaan Kirana di pagi hari membaik. Pria Belanda itu benar-benar romantis dan sangat melindungi Ayu di dalam mimpinya, mana mungkin ia bisa lupa.

“Ingat, mereka makan bakpau kan?” ucap Kirana dengan kekehan dari bibir mungilnya.

“Benar.”

“Jadi itu sebab nya Bapak tanya saya ya, lebih suka bakpau atau onde-onde?” tebak Kirana, karena Raga bermimpi lebih dulu tentang pasangan itu bisa saja saat Raga menawarinya bakpau. Raga sudah bermimpi Ayu dan Jayden berkencan.

“Iya,” Raga terkekeh. “Saya juga gak nyangka kalau kamu bakalan milih bakpau.”

Kirana mengangguk-angguk kecil, mengesampingkan Ayu dan Jayden. Ia jadi ingat bagaimana tatapan Raga saat melihatnya mencuci piring di rumah Bagas barusan, mungkin saja Raga yang memberi tahu Bagas jika ia melihatnya mencuci piring.

“Pak?”

“Ya, Kirana?” Raga menoleh, ia tadi sedang membuka botol air mineral yang ada di meja tempat mereka duduk.

“Soal kejadian di rumah Bagas barusan.”

“Ya?”

“Bapak yang bilang ke Bagas ya kalau saya nyuci piring?” Kirana berbicara dengan nada penuh kehati-hatian, takut sekali pertanyaanya itu terdengar seperti tuduhan dan membuat hati atasannya itu tersinggung.

“Iya, memang saya, Na. Saya yang menegur Bagas kenapa dia membiarkan kamu mencuci piring di rumahnya.”

Kirana mengangguk kecil, sesuai dugaanya. Tapi jika Raga tidak memberi tahu pun. Kirana pasti akan tetap di hina oleh orang tua Bagas, semua sama saja. Bahkan jika Raga tidak memberi tahu Bagas, mungkin ia tidak akan tahu kebenaran jika Asri adalah wanita yang di jodohkan orang tua Bagas untuk putra mereka.

“Maaf yah, Na. Kalau kesannya saya ikut campur urusan pribadi kamu dan Bagas.” Raga ngerasa dia harus minta maaf, biar bagaimana pun ia sudah seperti mencampuri urusan keduannya. Meskipun di mata Raga, Bagas dan keluarganya tidak cukup baik memperlakukan Kirana dengan membiarkan wanita itu mencuci banyak piring bekas tamu di rumahnya.

“Gapapa, Pak. Saya juga udah capek banget sebenarnya, jadi bisa langsung pulang deh walau cucian piringnya belum selesai.” Kirana terkekeh pelan, meski hatinya sakit. Ia berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja di depan atasannya itu.

Setelah martabak pesanan Raga selesai di buat, Raga langsung mengantar Kirana pulang. Hari sudah semakin larut, Raga memaksa untuk tetap mengantar Kirana pulang meski Kirana awalnya meminta di turunkan di halte bus saja. Untung saja wanita itu pada akhirnya setuju.

“Ini buat Ibu kamu, Na.” Raga mengambil 3 kotak martabak dari 4 yang ia beli barusan.

“Hah? Kok jadi buat Ibu saya, Pak?” Tanya Kirana bingung.

“Iya, saya emang beli buat kamu sama Ibu kamu.”

“Ma..makasih, Pak. Tapi ini banyak banget.” Kirana menganga melihat tiga kotak martabak telur itu. Dia hanya berdua dengan Ibu bagaimana caranya menghabiskan makanan sebanyak itu.

“Kamu kasih ke tetangga kamu juga gapapa sisa nya.”

Kirana menggeleng kepalanya pelan, ia benar-benar di buat heran oleh kelakuan atasannya itu. “Terima kasih sekali lagi yah, Pak.”

“Sama-sama Kirana.”

“Saya turun dulu kalau gitu, Bapak hati-hati di jalan.” Kirana melepas seatbelt nya dan hendak membuka pintu mobil Raga sampai akhirnya gerakannya itu tertahan karena Raga memanggilnya.

“Kirana?”

“Ya, Pak?” Ia kembali menoleh.

“Jangan nangis di pinggir jalan lagi,” ucap Raga tak di sangka-sangka.


Samarang, 1898.

Dimas dan Ayu melangsungkan pernikahan yang di gelar begitu mewah di Samarang, ada banyak tamu dari para petinggi pribumi, saudagar dan juga para petinggi kolonial yang juga datang untuk memberi ucapan selamat pada keduanya. Meskipun begitu, Ayu tak mengizinkan Jayden datang untuk menemuinya di pesta pernikahannya ia tidak akan sanggup melihat kedua netra kecoklatan itu menampakan sebuah kesedihan.

Pesta yang di gelar hingga malam itu membuat Ayu sedikit kelelahan, ia lebih banyak diam dan jarang sekali tersenyum jika Romo tidak menegurnya. Terkadang, Dimas mengajaknya untuk ikut menari bersama para penari yang memang di panggil untuk menghibur para tamu undangan.

Ketika Dimas sedang sibuk berbicara dengan teman-temannya, Adi yang sedari tadi berdiri lumayan jauh dari tempat mempelai itu akhirnya menghampiri Ayu. Membuat Ayu yang sedang duduk bersandar itu menoleh pada Adi yang tiba-tiba saja datang menghampirinya.

“Raden Ayu?” panggil Adi, mata pria itu juga menampakan kesenduhan.

Sehari sebelum pesta pernikahan itu di gelar, Ayu sempat bercerita pada Adi jika ia sama sekali tidak menginginkan sebuah pernikahan bersama Dimas. Bahkan ada kala nya Ayu berpikiran nekat untuk meminta Adi membawanya pergi ke kediaman Jayden berada.

“Mas Adi? Ada apa?” tanya Ayu, ia sontak berdiri.

“Sir Jayden datang, ia menunggu Raden Ayu di kebun belakang,” bisik Adi, dekat telinga Ayu namun tetap ia beri jarak. Adi masih tahu diri untuk tidak terlalu dekat jika berbicara dengan Ayu.

Mendengar ucapan Adi, hati Ayu seperti di buat gundah gulana. Ia memendarkan pandangannya ke sekitarnya, berharap tidak ada orang lain yang menyadari jika ia meninggalkan kursinya sebentar saja demi bertemu Jayden. Ia tidak bisa membiarkan Jayden dan Dimas berhadapan lagi seperti kemarin.

Karena nyatanya, setelah ia berbicara sebentar dengan Jayden. Dimas langsung menuturkan ucapan yang membuat Jayden tersinggung, menurut pria itu, Dimas telah merendahkan Ayu sebagai seorang wanita dan Jayden tidak terima, mereka nyaris saja berkelahi jika Ayu tidak segera menengahi dengan kedua tangan yang bergetar bukan main.

“Antarkan Ayu pada Sir Jayden, Mas Adi.”

Adi mengangguk, ia memberikan tangannya untuk Ayu pegang. Sebagai tumpuhan agar Ayu bisa mengikuti langkahnya menuju tempat Jayden berada. Beruntungnya, keramaian yang ada membuat Adi dan Ayu dengan cepat keluar dari tempat pesta itu berada, para tamu dan keluarga yang datang sedang sibuk menonton para penari. Dan itu di jadikan kesempatan bagi Adi untuk membawa Ayu pergi.

Langkah kaki Adi yang panjang-panjang itu membuat Ayu sedikit kelimpungan, ia hampir saja oleng jika saja Adi tidak menggenggam tangannya dengan erat. Nafasnya juga sedikit tersenggal karena Ayu benar-benar kelelahan.

“Mas Adi, Mlayune alon-alon,” keluh Ayu dengan nafas yang tersenggal-senggal.

Adi berhenti sebentar, ia menoleh ke belakang untuk melihat kondisi Ayu yang tangannya ia genggam. Wanita itu berkeringat, jika tidak mengenakan riasan mungkin wajah Ayu sudah pucat. Nafasnya juga tersenggal-senggal terlihat dari dua bahu kecil itu naik turun.

“Jika Raden Ayu mengizinkan, saya bisa menggendong Raden Ayu.” Adi menawarkan Ayu untuk ia gendong, ia tidak tega melihat Ayu seperti kehabisan oksigen seperti itu.

Ayu yang sudah sedikit lemas itu mengangguk, membiarkan Adi bersimpuh membelakanginya. Membiarkan tubuh kurusnya itu jatuh dalam punggung lebarnya, Ayu memeluk leher Adi. Ia benar-benar sudah pasrah Adi akan membawanya kemana, ia percayakan saja pada pria itu.

Bagi Adi, Ayu tidaklah berat. Jadi ia bisa sedikit berlari agar bisa sampai pada kebun belakang yang sedikit lagi sampai itu. Di ujung sana ada sebuah gubuk kecil dengan penerangan minim, cahaya itu berasal dari obor yang di pegang oleh seseorang pria disana. Itu adalah Jayden, dengan raut wajah penuh kekhawatiran melihat dari ujung tempatnya berdiri, seorang pria menggendong wanita yang tampak tidak begitu berdaya di punggungnya.

Begitu pria itu mendekat, barulah Jayden tahu jika mereka adalah Adi dan Ayu. Adi menurunkan Ayu di atas amben yang ada di gubuk kecil itu, setelah memastikan jika Ayu duduk disana, Adi sedikit menjauh dari pasangan itu. Membiarkan Jayden dan Ayu berbicara meski waktu keduanya tidaklah banyak.

“Ayu..” Gumam Jayden, matanya berbinar dengan sedikit genangan air mata di pelupuk matanya.

Jayden kagum karena Ayu dan riasan sederhana nya itu membuat wajah yang sudah dahayu itu semakin indah, sedangkan genangan air mata yang tertahan di pelupuk matanya itu menginsyaratkan sebuah kehancuran di hati Jayden. Dua minggu sudah perjuangannya untuk mendapatkan restu dari keluarganya dan Ayu tidak mendapatkan hasil.

Saat berbicara jujur jika ia mengencani seorang pribumi yang mana adalah seorang anak priyai, Jayden tentu saja mendapat penolakan dari orang tua nya di Belanda. Bahkan dari Kakak perempuannya, bahkan Jayden kerap di ancam jika jabatannya sebagai Asiten Residen Samarang akan di berhentikan dan memulangkannya ke Belanda jika tetap nekat menikahi Ayu.

Ayu yang sudah lemas itu tidak menjawab, ia hanya berdiri dan berhambur ke pelukan pria yang sangat ia rindukan itu. Ayu tidak perduli statusnya saat ini sudah menjadi istri dari pria lain.

“Bawa aku bersamamu, Sir Jayden,” ucap Ayu dalam isaknya.

Di rengkuhnya tubuh mungil itu, berkali-kali Jayden mengecupi kepala Ayu, mengusap punggung kecilnya demi meredam tangis itu.

“Aku tidak akan kemana-mana, liefj. aku akan tetap di tanah Samarang ini meski tidak bersamamu.”

Ayu sudah tahu perihal ancaman keluarga Jayden pada pria itu, Jayden menitipkan surat melalui Adi untuk di baca Ayu.

“Mas Dimas akan membawaku ke Soerabaja, jika aku pergi ke sana. Kita akan sulit bertemu, ini kesempatan terakhir yang kita miliki jadi aku mohon padamu bawaku pergi sekarang.” ucapan Ayu itu terdengar seperti sebuah permohonan.

Jayden tahu Ayu sedang tidak berpikir jernih, jabatan Jayden sebagai asisten Residen dan keluarga Ayu yang berasal dari keluarga terpandang itu akan menyulitkan keduanya untuk melarikan diri. Akan ada seyembara nantinya jika mereka berdua kabur.

“Kau mau berjanji satu hal padaku, sayang?” Jayden merenggangkan pelukan itu, sedikit memberi jarak pada Ayu demi bisa menghapus jejak air matanya itu.

“Ap..apa?”

“Berjanjilah untuk terlahir kembali, aku akan berusaha menemukanmu dan mengusahakan kita untuk bisa bersama jika di kehidupan saat ini kita benar-benar tidak berjodoh.”

Bersambung...

Hingga pagi pun Bagas belum berbicara dengan Ibu nya, sarapan pagi di meja makan hari itu pun rasanya sangat dingin tanpa obrolan. Hanya Kanes saja terkadang yang berceloteh tentang kehidupan di kampus nya itu, Sesekali Bagas menimpali dengan anggukan atau bahkan menanggapi seperlunya saja.

Bagas tahu Adiknya itu ingin mencairkan suasana, namun sayangnya suasana hati Bagas urung membaik jika Kirana tak juga mengangkat panggilan darinya. Setelah pertengkaran kemarin, suasana pesta pun jadi tidak nyaman. banyak tamu-tamu bertanya apa yang terjadi pada Ibunya Bagas dan juga Bagas sampai harus adu mulut seperti itu.

Ayah tentu saja marah bukan main, bahkan tak segan-segan pria yang sangat Bagas hormati itu menampar sisi wajah Bagas demi menyadarkan putranya jika sikapnya itu sudah keterlaluan.

“Setelah pulang kantor, Ayah harap kamu segera pulang, Bagas,” ucap Ayah memecahkan hening ketika Kanes kembali fokus pada makananya itu.

“Bagas masih harus memantau proyek di daerah Tanggerang, Yah.” Ini hanya alibi Bagas saja, tak ada proyek yang harus ia pantau karna proyek yang ia pegang pun berada di Surabaya.

“Izin saja dulu, Ayah sudah buat janji dengan kedua orang tua Asri untuk membicarakan pertunangan kalian.”

Bagas menghela nafasnya, memejamkan keduanya matanya untuk menahan segala amarah yang sepertinya sebentar lagi akan segera membucah itu. Apa penjelasannya mengenai penolakan perjodohan itu kurang jelas di telinga orang tua nya?

“Apa Ayah dan Ibu enggak bisa membiarkan Bagas tetap pada pilihan Bagas?” Tanya Bagas pada kedua orang tua nya itu, ia abaikan saja tendangan kecil yang berasal dari kaki Kanes di bawah meja sana. Adiknya itu seperti memberi kode padanya untuk tidak berdebat di meja makan, apalagi ini masih pagi.

“Ayah dan Ibu tidak akan menentang pilihan kamu jika pilihan kamu itu baik untukmu, Bagas.”

“Yang tahu baik dan enggaknya itu Bagas, Yah. Apa Ayah dan Ibu mau bertanggung jawab kalau kalian tetap memaksa Bagas menikah dengan Asri, kehidupan pernikahan Bagas dan Asri enggak bahagia?” tanya Bagas tegas, menurutnya memaksakan kehendak kelak tidak akan mendatangkan bahagia untuk ia maupun Asri. Asri wanita baik, dan ia layak mendapatkan pria yang juga mencintainya.

“Apa kalau kamu bersama perempuan itu kamu sudah pasti bahagia? Bagaimana kalau kamu cuma di jadikan sapi perah, Bagas?” Ibu membalikan ucapan Bagas itu.

“Itu kan cuma asumsi Ibu aja.”

“Menilai perempuan itu dan keluarganya baik juga cuma asumsimu saja, bagaimana kalau selama ini mereka cuma pura-pura baik agar kamu mau menikahi anaknya?”

Bagas berdiri, ia sudah cukup sabar mendengar kedua orang tua nya selalu memaksakan kehendak mereka. Bagas tidak tahan, ia hanya ingin bersama Kirana. Bukan di paksa menikah dengan wanita yang tidak ia cintai. Menikah itu selamanya, jika bukan dengan orang yang ia sayang Bagas tidak yakin ia bisa bahagia. Ia juga tidak ingin menyakiti Asri jika ia tidak bisa membahagiakannya karena tidak ada cinta yang tumbuh untuk wanita itu.

“Perempuan itu punya nama, Buk. Kalau Ibu dan Ayah tetap tidak merestui Bagas dan Kirana untuk menikah. Bagas sudah siap untuk meninggalkan keluarga ini,” ucap Bagas penuh penekanan. Ia sudah naik pitam, tidak menghiraukan ucapan Ibunya lagi. ia ambil tas kerjanya dan melangkah dengan cepat keluar dari rumah.

Begitu sampai di kantor barulah hati Bagas sedikit lega ketika melihat Kirana tengah mengobrol dengan Almira, sepertinya suasana hati wanita itu sudah sedikit membaik atau ini hanya cara Kirana untuk tetap profesional saja? Pikir Bagas. Begitu melihat Bagas datang, Kirana tersenyum seperti seolah-olah tidak terjadi apapun di antara mereka kemarin.

“Kamu bawa apa?” tanya Bagas, ia menghampiri meja Kirana.

“Martabak telur sisa semalam, kamu mau?” Kirana membuka kotak bekal miliknya dan memberikannya ke Bagas.

Terlihat ada beberapa potong martabak telur yang tebal dengan isi daging yang beberapa keluar dari kulit martabaknya, ada cabai rawit dan acar ketimun di atasnya juga. Terlihat menggoda walau Bagas belum memiliki selera makan sejak perdebatan tadi pagi.

“Nanti aja, aku udah sarapan.” Bagas tersenyum. “Ikut aku sebentar yuk?”

“Kemana?” Kirana sedikit mendongak, posisinya ia duduk di kursi dan Bagas berdiri. Bagas itu tinggi, tingginya bahkan menyentuh 181cm sangat tinggi untuk ukuran orang Indonesia.

“Ihhhh Mas Bagas, gak bisa. Gue mau minta bantuin Mbak Kirana buat cek laporan gue. Nanti aja pas jam istirahat sih, lagian dikit lagi Pak Raga dateng. Dia lagi ngomel-ngomel tau di grup gara-gara Bang Satya gak setoran progress proyeknya,” sela Almira memperingati.

“Nanti aja yah, aku mau bantuin Almira dulu.” Kirana tersenyum, ia mengambil tangan Bagas dan mengusap punggung tangan itu dengan Ibu jarinya. Berkomunikasi dengan sentuhan itu seakan ia mengatakan jika ia sudah baik-baik saja.

Bagas mengangguk, ia mengusap pucuk kepala Kirana dan kembali ke kursinya. Mungkin setelah pulang bekerja nanti ia harus meminta bantuan Satya untuk di carikan kontrakan, kosan atau apartemen sekalian untuknya tinggal.

Keputusannya untuk meninggalkan rumah dan keluarganya itu sudah mantap. Ia adalah pria dewasa berusia 27 tahun, dan Bagas tidak ingin hidupnya terus di setir oleh kedua orang tua nya. Apalagi ini menyangkut masa depannya.

Bagi Bagas, menunggu hingga jam makan siang tiba rasanya sangat lama. Ia ingin sekali cepat-cepat mengajak Kirana ke atap kantor mereka untuk berbicara sekaligus meluruskan kekacauan kemarin. Pria itu melirik Kirana yang masih fokus pada layar monitor komputernya.

Bagas benar-benar tidak bisa fokus bekerja hari ini rasanya. Namun tidak bekerja pun dia bingung harus kemana, yang ada nanti semuanya tambah kacau. Mengingat ia sudah pernah mendapatkan teguran karena absen terlalu banyak di kantor ketika Kirana sedang kritis beberapa waktu lalu. Tak lama kemudian Raga keluar dari ruangannya, seperti sedang menelfon seseorang namun tak lama kemudian pria itu menyimpan kembali ponselnya di saku.

“Bagas, progress minggu ini bagaimana?” Tanya Raga yang membuat Bagas terkesiap. Ia buru-buru membuka laman mengenai progress proyek yang ada di layar monitor PC nya.

“Agak jauh dari rencana, Pak. Mereka kekurangan personel,” jelas Bagas agak sedikit gagap. Siapa yang enggak kaget di tanya seperti itu saat sedang melamun?

“Sudah buat berita acara untuk menambah personel ke kontraktor?”

Bagas mengerjap, ia baru ingat kalau belum membuat berita acara yang seharusnya ia segera serahkan ke kontraktor agar sesegara mungkin menambah personel demi mempercepat proses pembangunan. Salahnya sendiri, akhir-akhir ini Bagas memang tidak fokus bekerja. Ia pun meruntuki kebodohannya sendiri.

“Saya akan buat, Pak.”

“Kenapa baru di buat sekarang?” Tanya Raga tegas, membuat Satya, Almira dan Kirana pun saling lirik satu sama lain.

Raga memang tegas meski terbilang santai sebagai seorang atasan, ia tidak akan segan menegur bawahannya langsung jika memang salah. Dan ketegasan itu terdengar dari bagaimana ia bicara.

“Maaf, Pak.”

“Saya tanya kenapa, bukan menyuruh kamu minta maaf, Bagas.” Raga memijat pelipisnya, akhir-akhir ini urusan kantor membuat kepalanya sedikit pening. “Oke, untuk urusan interior bagaimana? Sudah berapa persen?”

“Dua puluh persen, Pak. Saya baru saja insert beberapa gambar ke laporan.”

Raga mengangguk, “oke, apapun yang kamu butuhkan minta ke Satya langsung ya, jangan masukan apapun yang enggak mereka minta, begitu juga sebaliknya.”

“Baik, Pak.”

Begitu Raga masuk kembali ke ruangannya Satya langsung memberi kode pada Bagas hingga mata keduanya bertemu. Wajah Bagas benar-benar kusut saat ini.

“Gimana sih lu,” bisik Satya walau masih bisa terdengar oleh Kirana dan Almira disana.

Bagas hanya diam saja sembari menghela nafasnya pelan, begitu jam makan siang ia langsung mengajak Kirana untuk berbicara di atap kantor. Kebetulan Kirana juga membawa bekal makan siang, jadi mereka bisa makan siang di atap saja ketimbang keluar dari kantor. Baru saja akan menekan lift menuju atap, keduanya berpapasan dengan Raga yang juga ingin keluar makan siang.

“Kirana, setelah makan siang. Kamu bisa ikut saya?” Tanya Raga, membuat Bagas yang berada di samping Kirana itu melirik kekasihnya.

“Kemana, Pak?”

“Kita mengawasi pekerja pelat untuk proyek di Tanggerang, bisa?”

Mau tidak mau Kirana mengangguk, toh ini memang pekerjaanya. Siapa yang bisa menolak? Pikirnya. “Bisa, Pak.”

“Oke, saya tunggu jam 1 ya.”

“Baik, Pak.”

Setelah mengatakan hal itu, Raga langsung berlalu dari sana dengan menepuk pundak Bagas. Keduanya pun langsung masuk ke dalam lift untuk menuju lantai paling atas gedung perkantoran mereka.

“Jangan lupa pakai APD nanti ya,” Bagas memperingati Kirana untuk setiap hal-hal kecil. Meski ia sendiri yakin kalau Kirana pasti sudah tau.

Wanita itu mengangguk kecil, begitu lift terbuka keduanya langsung berjalan menuju atap kantor. Untung saja tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa anak magang saja yang ada di sana. Itu pun sedang menelfon dan berada cukup jauh dari tempat mereka duduk.

“Kamu masih marah sama aku yah, Na?” Tanya Bagas to the point.

Kirana bingung harus menjawab apa, Bagas enggak salah sebenarnya. Yang salah hanya kedua orang tua nya, Kirana masih bisa sedikit memaklumi kenapa Bagas belum cerita atau bahkan enggak ingin cerita ke Kirana soal perjodohan itu.

“Kamu gak salah apa-apa kan, kenapa aku harus marah? Justru aku yang harusnya tanya, kamu sama Ibumu gimana?” semalaman sebelum tidur Kirana sempat memikirkan hubungan Bagas dengan Ibu nya, Bagas sangat membela Kirana di depan Ibu nya bahkan sampai menaikan nada bicaranya. Kirana jadi enggak enak, dia gak mau Bagas jadi pembangkang hanya demi membela nya.

Bagas menggeleng, “belum membaik. Na, soal aku dan Asri.”

Kedua mata mereka saling pertemu, hati Kirana seperti di remas dari dalam waktu Bagas menyebutkan nama wanita itu rasanya. Kirana masih ingat wajah Asri, wanita itu baik, cantik dan tentunya memiliki selera yang bagus hingga di sukai oleh kedua orang tua Bagas.

“Asri memang teman SMP aku, Na. Aku sendiri enggak tahu kalau aku di jodohin sama dia, bahkan Asri sendiri pun gak tau. Tiba-tiba aja dia ke rumah aku sama Papa nya dan orang tua kami ngomongin perjodohan, aku gak diam aja, Na. Aku jelasin ke Asri dan orang tua nya kalau aku punya kamu.”

Bagas menoleh ke arah Kirana, wanita itu sudah tidak lagi memakan bekal makan siangnya. Ia hanya memperhatikan gedung-gedung tinggi di depan mereka sembari menyimak ucapan Bagas di sebelahnya.

“Apa kalau kejadian kemarin gak ada, kamu tetap bakalan rahasian ini dari aku, Gas?” Kirana menoleh ke arah pria itu, mereka saling pandang. Menelisik netra masing-masing seperti tengah mencari jawaban.

“Aku gak ada niatan rahasiain ini sama kamu, aku cuma gak mau kalau aku cerita itu bakalan nyakitin kamu, Na. Mungkin memang keputusan yang aku ambil ini salah, aku minta maaf ya.”

Mata Kirana mulai memanas, mata teduh milik Bagas itu selalu menjadi tempat terlamahnya, menjadi titik dimana Kirana bisa menangis hanya dengan melihat kedua netra legam dan teduh itu. Kirana menangis, ia bingung harus bagaimana. Ia sangat mencintai Bagas sampai enggak tahu bagaimana jadinya jika mereka tidak berakhir bersama.

Sudah banyak hari, bulan dan tahun yang mereka lalui bersama. Suka dan duka mereka lalui berdua bahkan semua susunan rencana masa depan mereka sudah mereka tata sedemikian rupa, lalu untuk apa mereka menghabiskan waktu selama itu jika semesta tidak membiarkannya bersama?

“Sayang..” Bagas membawa Kirana ke dalam pelukannya, hatinya juga sakit. Ia juga bingung, anggaplah ia egois. Bagas akan memilih Kirana dan meninggalkan keluarganya. Tidak masalah tidak memiliki keluarga, toh pada nantinya ia akan membangun keluarga bersama Kirana.

“Aku bingung harus gimana, Gas. Aku gak mau kamu jadi pembangkang, aku mau tetap sama kamu, tapi aku ngerasa aku gak sanggup sama cara keluarga kamu memperlakukan aku, aku gak seburuk yang mereka pikirkan. Gak ada sedikitpun niat aku buat manfaatin kamu untuk beresin hutang-hutang Bapakku.”

Dalam isaknya di pelukan Bagas, Kirana berusaha menjelaskan pada pria itu apa yang ia rasakan, termasuk tentang tuduhan kedua orang tua Bagas ia tidak ingin Bagas juga memikirkan hal yang sama tentangnya.

“iya, Na. Iya, aku yang lebih kenal kamu, aku gak pernah mikir macam-macam tentang kamu.” Bagas mengecupi kepala Kirana, berharap tangis wanitanya itu reda.

Setelah di rasa hatinya sudah sedikit lega dan tangis nya pun sudah mereda, Kirana mengurai pelukan Bagas. Ia juga membiarkan Bagas mengusap wajah dan bagian bawah matanya yang basah karena air matanya itu.

“Jangan nangis lagi ya, maafin kedua orang tuaku ya, Na. Apapun yang mereka bilang, aku tetap di pihak kamu. Kamu masih mau bertahan sama hubungan kita kan?”

Kirana mengangguk, tentu saja Kirana belum ingin menyerah.

“Dengan ataupun tanpa restu dari kedua orang tua aku, aku akan tetap menikah sama kamu, Na.”

Mendengar ucapan Bagas itu, Kirana jadi kembali terisak. Bagas selalu berada di pihaknya, menjadi sumber kekuatannya selain Ibu. Bahkan pria itu tetap membela nya dan berada di pihaknya meski ia harus menentang keluarganya sendiri. Kirana bingung, ia gamang pada pilihannya. ia tidak ingin membuat Bagas jauh dari keluarganya tapi ia juga tidak akan pernah siap kehilangan laki-laki itu.

Setelah berbicara dengan Bagas di atap kantor, Kirana langsung pergi keluar kantor untuk memantau proyek yang berada di Tanggerang bersama dengan Raga. Hanya berdua saja memang dan itu sudah menjadi hal yang biasa, di perjalanan pun Raga enggak banyak bicara seperti kemarin-kemarin dengan Kirana.

Walau kadang Kirana berusaha mencari topik obrolan, sepertinya suasana hati Raga memang kurang baik. Urusan kantor memang sedang hectic beberapa proyek juga mengalami proses yang terlambat karena kekurangan personel, membuat Raga pastinya mendapatkan tekanan dari atasannya di kantor.

Begitu sampai, keduanya langsung memakai APD. Raga berpamitan pada Kirana untuk berbicara sebentar pada inspektor lapangan proyek tersebut sedangkan Kirana memantau proses pengecoran yang di lakukan di lantai 3.

“Pak Asepnya mana, Mbak?” Tanya seorang mandor yang bertugas.

“Lagi ngobrol sama Pak Raga di bawah, Pak.”

Mandor itu mengangguk, sementara Kirana masih memantau proses pengecoran sembari melihat gambar yang di pegangnya dan menandai beberapa lokasi yang di lakukan pengecoran hari ini.

“Hasilbatching plant nya oke.” Kirana benar-benar puas dengan pekerjaan yang di lakukan para pekerja disana.

“Agak mahal, Mbak. Atas permintaan team leader, Mbak. Loh, kemarin Bapak ke sini marah-marah minta di ganti batching plant.

Kirana tersenyum, sudah terbiasa mendengar orang-orang lapangan berbicara seperti itu mengenai Raga. Pria itu memang tegas, jika ada yang tidak sesuai menurutnya ia tidak akan segan-segan berkomentar pedas. Setelah selesai mengawas pun, Raga langsung mengajak Kirana kembali ke kantor.

“Saya mau beli kopi dulu, Na. Kamu mau?” Raga menghentikan mobil yang ia kemudikan itu di sebuah cofe shop.

“Gak usah, Pak.” Kirana emang jarang

“Tunggu disini sebentar ya.” Raga melepas seatbelt miliknya kemudian keluar dari dalam mobil.

Di dalam mobil Kirana hanya memperhatiakan Raga dari dalam, bagaimana punggung pria itu menjauh dan hilang di balik pintu cofe shop. Ia jadi teringat mimpinya semalam, sebenarnya ada yang ingin Kirana katakan pada Raga mengenai mimpinya, tentang teka teki yang seperti benang merah kenapa mereka bisa bermimpi hal yang sama.

Dalam mimpi Kirana, Jayden dan Ayu berjanji akan terlahir kembali jika di kehidupan mereka dahulu mereka benar-benar tidak bisa bersama. Jika ia dan Raga adalah reinkarnasi dari keduanya, apa itu artinya ia dan Raga akan bersama sebagaimana janji Jayden dan Ayu dahulu? Pikir Kirana.

Wanita itu mengerjapkan matanya, menghalau pikiran anehnya itu. Ia harus sadar jika ia sudah memiliki Bagas, lagi pula itu hanya asumsi nya saja, bisa saja bukan itu arti dari mimpinya dan Raga kan? Pikir Kirana berusaha meyakinkan dirinya.

“Maaf ya, Na. Lama antre banget soalnya di dalam.” Raga kembali, membawa kopi miliknya dan kantung berisi makanan ringan. Mungkin itu roti atau pastry karna wangi sekali butter nya.

“Gapapa, Pak.”

Raga enggak langsung melajukan mobilnya, ia justru memperhatikan kepulan asap dari kopi yang baru saja ia beli. Hati-hati Kirana melirik atasannya itu, Raga seperti tampak sedang melamun. Entah apa yang pria itu pikirkan, Kirana hanya bisa menebak mungkin ada sesuatu yang ingin Raga tanyakan padanya namun ia sungkan?

“Pak?” panggil Kirana memecahkan lamunan pria yang lebih tua itu.

“Eh—sorry saya ngalamun.” Raga menaruh gelas kopi miliknya, kemudian menoleh ke arah Kirana. “Mim..mimpi kamu semalam bagaimana, Na?”

tuh kan benar dugaanya..

“Ayu dan.. Dimas sudah menikah, Pak.”

Raga mengangguk-angguk, “Jayden meminta bantuan Adi untuk membawa Ayu?”

Kali ini Kirana yang mengangguk, “Bapak tau kan janji yang mereka buat?”

Raga terdiam, ia menghela nafasnya pelan kemudian mengangguk kecil. “Kamu kepikiran soal jawaban dari mimpi kita itu adalah janji mereka, Na?”

Pertanyaan sederhana itu membuat bibir Kirana terasa kaku, Raga seperti bisa membaca pikirannya. Atau Raga juga berpikiran hal yang sama dengannya?

“Sejujurnya iya, Pak. Tapi kita masih harus nunggu kelanjutanya saya pikir, karna rasanya semua masih menggantung.”

“Saya pikir juga begitu.”

Bersambung...

Kau mengalir dari setiap tetes darahku, mengarungi rongga-rongga jantungku. Aku tidak pernah mengizinkanmu kapan kamu boleh pergi, dan jangan sekali-sekalinya bertanya seperti itu. Jangan seenaknya melupakan kisah kita dan janji yang kita buat, sampai akhir tulisan ini. Kamu yang akan tetap aku inginkan, kamu yang tetap bertanggung jawab atas setiap air mataku.

begini lah aku jadinya, di tinggal kau aku merangkak, mendengar bising kutukan yang di tujukan padaku. Aku dengan pasrah membiarkanmu pergi, tanpa pernah menahanmu untuk melihat apa yang aku buat, sesuatu yang indah yang sangat kau sukai. Biar aku yang tetap memeliharanya hingga jadi rangka.

Referensi: Tak Sepadan, Chairil Anwar

Samarang, 1898.

Malam di malam pernikahan Dimas dan Ayu.

Setelah berpisah dengan Jayden, Adi kembali mengantar Ayu kembali ke acara pernikahannya. Mereka hanya bertemu kira-kira sepuluh menit, Adi tidak bisa lama-lama membawa Ayu pergi sebelum keluarga Ayu sadar jika mempelai wanitanya tidak berada di tempat.

Ayu masih berada di belakang punggung Adi, wanita itu terlalu lemas untuk sedikit berlari apalagi melewati kebun-kebun yang luas dan gelap di malam hari. Dari punggung Adi, Ayu bisa merasakan deru nafas pria itu yang tampak kelelahan berlari sembari membawanya di punggung.

“Mas Adi?” Panggil Ayu sayup-sayup.

dalem Raden Ayu?”

Adi masih terus berjalan, tapi ia pasang telinganya itu baik-baik agar bisa mendengar ucapan Ayu dari suaranya yang halus itu.

“Kalau nanti Ayu sudah tinggal di Soerabaja, Mas Adi belajar dengan siapa?”

Adi tersenyum miris, di saat-saat seperti ini Ayu masih memikirkan dirinya. Selama ini memang Ayu yang mengajarinya membaca, menulis dan berbahasa Belanda, berhitung apapun yang Ayu dapatkan di sekolahnya akan ia ajarkan pada Adi. Waktu itu Adi pernah bertanya kenapa Ayu mau mengajarinya, wanita itu hanya menjawab jika ia ingin sekali menjadi seorang guru.

“Saya kan sudah bisa membaca, Raden Ayu tidak perlu khawatirkan saya lagi.” Yang terkadang Adi pikirkan saat ini adalah kebahagiaan Ayu, hanya itu saja.

Sebut Adi pecundang atau umpatan lainnya karena dengan beraninya menyukai anak dari majikannya sendiri. Baru-baru ini setelah mengetahui Ayu akan menikah, Adi menyadari kalau ia sangat mencintai Ayu. Adi tentu saja sangat tahu diri dengan posisinya saat ini yang hanyalah pembantu di kebun orang tua Ayu. Maka dari itu, Adi baru bisa bernafas lega dan merasa tenang jika Ayu menikah dengan Jayden.

Meski pria itu adalah pria Belanda, Adi sangat yakin jika Jayden benar-benar mencintai Ayu. Pria itu juga ramah, dan Ayu pun juga mencintai pria itu. Namun sayangnya Ayu justru di jodohkan dengan kedua orang tua nya oleh bangsawan pribumi dari Soerabaja, pria pribumi yang angkuh itu, Adi tidak menyukainya.

“Kalau Ayu kembali ke Samarang nanti, Ayu akan ajarkan Mas Adi lagi ya.”

Adi tidak menjawab, ia bungkam untuk menahan tangisnya yang nyaris saja meledak. Ia percepat langkah kakinya itu untuk sampai, begitu sampai benar saja keluarga Ayu dan juga pria yang menikahinya itu langsung menyoroti Adi. Ada Bapak dan Ibu nya juga yang bersimpuh di tanah, seperti sedang di maki.

“Oh.. Jadi jongos ini yang membawa Istriku pergi?” Teriak Dimas begitu Adi tiba.

Ayu yang berada di punggung Adi itu sedikit bergerak, ia minta untuk segera di turunkan. Dimas tampak begitu marah, Ayu tidak ingin Adi menjadi sasaran kemarahannya atau pun dari pihak keluarganya.

“Mas Adi.. Tidak membawa—”

“DIAM!” teriak Dimas pada Ayu, Ayu tentu saja kaget. Tubuhnya itu sampai bergetar saking kagetnya, meski pun Romo sudah terbiasa bicara dengan nada tinggi tiap kali marah, Ayu tetap saja tidak terbiasa dengan hal itu.

“Maafkan saya Tuan, saya tidak bermaksud untuk membawa Raden Ayu pergi saya hanya—”

“Kau bawa kemana dia?” Dimas mendekat, menelisik wajah Adi dari dekat. Seperti tengah mengintimidasi sosok pria tak berdaya di depannya itu. “Kau bawa dia pada pria Belanda itu?”

Ayu menggeleng, ia berjalan mendekat pada Dimas dan menarik pelan lengan pria yang sudah menjadi Suaminya itu. “Mas, sudah. Ini bukan salah Mas Adi.”

“Aku tidak sedang bertanya denganmu Ayu. Atau kau juga menyukai jongos ini iya?”

“Mas..”

Ayu heran dari sekian banyaknya keluarganya dan keluarga Dimas disana, kenapa tidak ada yang coba untuk melerai Dimas yang sepertinya sangat marah itu. Bahkan saat Ayu melirik Ibunya itu, wanita itu hanya terdiam sembari menggelengkan kepalanya. Seperti mencegah Ayu untuk melerai.

“Ikut aku!” sentak Dimas, ia menyeret Adi menjauh dari pesta pernikahan itu dan Adi hanya pasrah saja.

Sementara itu, Ayu yang tadinya ingin mengikuti dua pria itu justru di tahan oleh Ibu mertuanya. Ayu sudah menangis, ia tidak ingin Adi di apa-apakan oleh Dimas. Karena sepertinya Dimas benar-benar marah.

“Tolong tahan Mas Dimas, Buk. Dia marah sekali Ayu mohon..”

“Dimas marah, karena kamu pergi tiba-tiba dengan pria lain Ayu.”

Ayu terdiam, ia memperhatikan wajah Ibu mertuanya itu. Sungguh Ayu tidak mengerti keluarga itu seperti apa, katakan jika ia memanglah salah. Tapi apa pantas Dimas berbuat arogan seperti itu di depan keluarga dan tamu-tamu mereka.

Sementara itu, Dimas membawa Adi ke kebun yang berada di samping rumah Ayu itu. Begitu tiba di sana, ia langsung menghajar Adi dengan membabi butanya, padahal Adi hanya diam menerima setiap pukulan bahkan tendangan yang pria itu berikan padanya.

Dalam sakit dan hujaman yang ia dapatkan dari Dimas, Adi bisa menilai jika pria yang dinikahi Ayu itu bukanlah pria baik. Dimas kasar dan tidak bisa mengontrol emosinya dengan baik.

“BAJINGAN!! Pria tidak tahu diri!”

nguwun pangapunten, Tuan. Ampuni saya,” lirih Adi.

BUGH

Pada tendangan sekali lagi di wajah Adi hingga mengenai telinganya, ia benar-benar kehilangan kesadarannya. Dan Dimas sama sekali tidak merasa panik ataupun merasa bersalah. Ia justru meninggalkan Adi begitu saja di sana, berjalan santai ke pesta pernikahannya itu.

Dimas menghampiri Ayu yang masih terduduk lemas di kursi pengantin mereka, matanya sendu dan ada bekas genangan air mata di sana. Namun Dimas justru beringsut duduk di sebelah wanitanya, merangkul pinggang Ayu untuk semakin dekat dengannya.

“Kamu apakan Mas Adi, Mas?” Ucap Ayu lirih.

“Aku bisa saja membunuhnya Ayu jika aku mau, aku hanya memberinya sedikit pelajaran karena telah lancang membawa Istriku ini pergi.”

Ayu menatap kedua netra pria pribuminya itu, bukan tatapan teduh seperti yang ia lihat pada netra milik Jayden. Justru tatapan itu tampak mengerikan dengan seringaian di ujung bibirnya.


Sudah sekitar tiga hari ini Jayden sakit, kulitnya yang sudah pucat itu semakin memucat, badannya demam. Ia meriang, malam nya pun tak pernah tenang seperti malam-malam sebelumnya. Tiada henti bibirnya bergerak mengucap nama Ayu di sana, memanggil wanita itu dan menyuruhnya untuk kembali. Sudah dua dokter yang menangani Jayden namun pria itu tak kunjung sembuh juga.

Bahkan Roosevelt pun kebingungan sendiri, ia lelah dengan sakit yang di derita Adiknya itu. Ada kalanya ia mengajak Jayden untuk meninggalkan Samarang dan mencari dokter yang lebih baik di Batavia, atau mereka kembali ke Belanda saja namun Jayden bersikeras menolak. Ia tidak ingin meninggalkan Samarang.

Pagi itu Jacob kembali ke kediaman Jayden, ia masih sering bolak balik untuk merawat melati-melati yang ada di kebun milik Jayden. Melati-melati itu sudah tumbuh dengan begitu suburnya karena di tanam dari benih yang bagus.

“Belum membaik kah kesehatan meneer?” Jacob bertanya pada Roosevelt yang baru saja keluar dari kamar Jayden.

“Makin memburuk ku rasa, kau kenal wanita yang di kencaninya?” Roosevelt pikir ia ingin menemui Ayu, menyuruh wanita pribumi itu untuk setidaknya menjenguk Jayden. Mungkin saja sakitnya itu karena Jayden benar-benar merindukan Ayu.

Jacob menggeleng, “meneer Jayden tidak pernah bercerita siapa wanita yang ia kencani dengan saya.”

Verdomme¹” Roosevelt memijat pelipisnya. “Kau mungkin bisa berbicara dan membujuknya agar bisa memberitahu siapa wanita yang ia kencani, Jacob?”

“Biar saya coba.”

Jacob membungkuk dengan sopan dan kemudian masuk ke kamar asisten residen itu, di dalam kamarnya Jayden sedang terbaring lemah. Tubuh jangkungnya itu terlihat sedikit lebih kurus dari yang terakhir Jacob lihat, sungguh merana pria itu. Entah apa yang terjadi pada hubungannya dengan Ayu sampai membuat Jayden yang tangguh itu menjadi seperti ini.

“Jacob..” Sapa Jayden, ia tersenyum lemah begitu mendapati pria Indo itu yang mengurus kebun melatinya.

“Bagaimana kabarmu, meener?

“Tidak begitu baik, bagaimana dengan kabar kebunku? Apakah melatinya tumbuh dengan subur?” Jayden belum sempat membawa Ayu untuk melihat kebun melati miliknya, karena waktu itu melati-melati itu belum mekar. Dan ketika melati itu bermekaran, justru Ayu lah yang pergi meninggalkan Samarang.

“Kebun melatimu aman di tanganku, meneer. lebih baik kau pikirkan kesehatanmu dahulu.”

Jayden mengangguk kecil, “boleh aku minta bantuanmu sekali lagi, Jacob?”

“Apa?”

“Jika melati-melati itu sudah bermekaran dan siap panen, tolong rangkaikan melati-melatiku menjadi hiasan rambut yang cantik. Dan kirimkan itu ke Soerabaja bersama sajak-sajak yang aku tulis.”

“Untuk kekasihmu, meneer?

Jayden tidak menjawab, ia hanya tersenyum lemah. Masih bisakah ia menyebut Ayu sebagai kekasihnya di saat Ayu kini sudah menjadi istri dari pria lain?


Tepat satu bulan Ayu meninggalkan Samarang, Jayden sudah mulai pulih dari sakitnya. Meski tidak bisa di pungkiri jika di malam-malamnya ia masih sering memikirkan wanita itu, sajak-sajak yang ia kirimkan pada Ayu tak ada balasan. Meskipun begitu, tumbuhnya melati-mati yang begitu subur di kebun miliknya itu menjadi sumber pelipur lara nya.

Melihat bunga berwarna putih dan berwangi menyegarkan itu membuat perasaanya lebih baik, meski tidak bisa ia tepis bunga itu juga mengingatkannya pada Ayu. Bahkan, beberapa bunga ia suruh Jacob mengekstraknya untuk di jadikan wewangian di kamarnya, sebagian ia berikan juga pada residen dan jajaran pegawai di kantor keresidenanya.

Sore itu selepas dengan pekerjaanya, Jayden menyuruh kusirnya itu untuk mengantarnya ke kebun tempat Adi bekerja. Ada yang ingin ia katakan pada Adi, mungkin juga itu sebagai permintaan tolong yang terakhir kalinya pada pria pribumi malang itu.

Dokar pribadi miliknya itu berhenti di sebuah kebun milik orang tua Ayu yang Adi rawat, kebun nya begitu luas di tanami pohon cabai dan juga jagung dan itu semua Adi dan Bapaknya yang mengurus.

“Permisi, Pak. Adi ten pundi?” tanya Jayden sopan pada Bapak-Bapak tua di sana yang tengah memberikan pupuk pada tanaman-tanaman itu.

Bapak tua itu tertunduk, Jayden hanya mengira Bapak tua itu mengira nya adalah pria Belanda yang jahat. Terlihat dari gestur tubuhnya yang merasa terintimidasi oleh kehadiran Jayden di sana. Jayden membacanya sebagai trauma, tidak satu dua pribumi yang mengalami perlakuan buruk oleh tentara kolonial hingga mengalami trauma.

“Biar saya panggilkan dulu, meneer.” Bapak itu sedikit berjalan cepat, sementara Jayden menunggu di tempatnya.

Tak lama kemudian Adi datang, pria pribumi yang terakhir ia lihat satu bulan lalu saat pernikahan Ayu itu nampak berbeda. Wajah Adi pucat, tubuhnya sedikit kurus. Bahkan Jayden sendiri sampai kaget melihat perubahan pada Adi.

“Adi?” Gumam Jayden.

Pria itu bergeming, namun kepalanya mengangguk. Jayden lantas membawanya untuk masuk ke dalam dokar pribadi miliknya, lebih baik mereka bicara di dalam dokar itu saja.

“Ada apa denganmu, Di?” Tanya Jayden, sungguh miris melihat Adi dalam kondisi memprihatinkan seperti ini.

Nguwun pangapunten, Sir Jayden. telinga saya tidak bisa mendengar lagi, lebih baik Sir Jayden tulis saja jika ingin berbicara dengan saya, saya bisa membacanya,” ucap Adi sopan.

Bahkan jawaban dari Adi membuat kedua bola mata Jayden itu membulat, jadi Adi tidak bisa mendengar lagi? Apa yang membuat Adi tidak bisa mendengar lagi? Semua pertanyaan itu terus berputar di kepalanya. Jayden mengambil kertas yang ada di dalam tas nya, menuliskan sesuatu dengan pena di sana dan memberikannya pada Adi.

“Kebun melati?” Gumam Adi, di kertas yang Jayden tulis pria itu mengatakan. Jika Ayu kembali ke Samarang, Jayden meminta tolong pada Adi untuk memberi tahu tentang kebun melati yang Jayden buatkan untuk wanita itu.

Jayden mengangguk kecil, ia kemudian menuliskan sesuatu lagi di kertas itu. Ia memberi tata letak kebun melati di kediamannya pada Adi, Adi pernah berkunjung ke kediaman Jayden saat kedua orang tua Ayu menyuruhnya memberikan surat berisi penolakan pinanganya pada Ayu untuknya. Jadi Adi pasti sudah sedikit paham, tidak sulit menemukan kebun melati itu.

“Sir Jayden, bolehkah saya bertanya sesuatu?”

Jayden menjawab pertanyaan Adi itu dengan kembali menuliskan pada kertas yang berada di pangkuannya. Jayden menulis, “ingin bertanya apa?

“Apa alasan Sir Jayden membuat kebun melati itu untuk Raden Ayu? Apa karena ia sangat menyukai melati?”

Jayden tersenyum, senyum hangat namun tersirat kemirisan di sana. Karena pada dasarnya ia membuat kebun itu memang karena Ayu yang sangat menyukai bunga melati, selain itu kebun itu juga ia hadiahkan untuk Ayu sebagai hadiah pernikahan mereka nantinya. Namun sayang, semesta tidak merestui mereka untuk bersama.

Membaca alasan yang Jayden tulis, Adi merasa ikut sedih melihat kisah cinta pasangan itu. Hatinya pun sampai saat ini tidaklah tenang jika memikirkan Ayu, setiap malam atau setiap ia beristirahat di kebun. Ia selalu bertanya-tanya bagaimana kabar Ayu, apakah Soerabaja membuatnya nyaman? Apa Suaminya itu berlaku baik padanya?

Jayden kemudian kembali menulis pertanyaan yang harus di jawab oleh Adi, namun Adi hanya membacanya dan menjawabnya dengan menggelengkan kepalanya pelan.

Jayden bertanya, “kenapa kamu bisa seperti ini, Adi? Siapa yang melakukan ini padamu?”

Verdomme¹ : sialan

Bersambung...