KLM

Jeong Yuno, Go Younjung, Lee Juyeon

Di dalam mobil saat perjalanan pulang hanya ada hening tercipta di antara Bagas dan Asri, sejak mereka berdua pergi bersama atas keinginan orang tua Bagas, sejujurnya Asri tidak terlalu nyaman. Dia senang bisa bersama Bagas, namun disisi lain ia sendiri tidak tahan dengan sikap dingin laki-laki itu.

Asri paham dan sadar diri jika Bagas berusaha menjaga hati pasangannya dengan menjaga jarak dengan Asri, ia memaklumi itu. Namun tetap saja rasanya sedikit menyakitkan ketika ia seperti di abaikan begitu saja, bahkan sejak mereka berangkat pun hanya Asri yang mencari topik obrolan.

Di liriknya pria di sebelah kanannya itu, Bagas masih bungkam, Matanya terus memandang ke depan jalan sana yang agak sedikit padat, seolah-olah tidak ada orang lain di sebelahnya. Asri sungguh tidak nyaman dengan situasi seperti ini.

“Bagas?” Panggilnya, membuat pria itu menoleh tanpa ekspresi apapun, mungkin di kepalanya ia tengah meramu kata untuk meyakinkan pada wanita bernama Kirana tadi bahwa mereka hanyalah teman.

“Tadi, pacarmu?”

Bagas mengangguk, “iya, namanya Kirana.”

“Um..” Asri mengangguk-angguk, benar-benar pertanyaan basa basi meski sejujurnya ia sudah tau. “Cantik, sudah berapa lama sama dia?”

“6 tahun, dari kami masih kuliah.” Bagas menekan klakson mobilnya dengan sedikit kencang, membuat Asri memejamkan matanya karena sedikit terkejut. Sepertinya Bagas sedang kesal namun hanya bisa diam, marahnya memang seperti itu.

“Lama juga yah, nanti pas ulang tahun Ibumu dia datang kan?” jujur saja Asri benar-benar hanya basa basi, dia benci suasana hening dan canggung seperti tadi. Dalam hati ia berdoa agar Bagas tidak menjawabnya dengan nada ketus karena ia terus bertanya.

“Gue undang dia kok.”

“Kata Ibu, kalian satu kantor juga ya?”

Kali ini Bagas menoleh pada Asri, kedua mata mereka pun bertemu. Sebenarnya di kepala Bagas saat ini adalah ia penasaran kenapa Asri terus bertanya-tanya tentang Kirana, apa wanita itu akan mengadu pada Ibunya jika tadi mereka bertemu dengan Kirana di restoran? Pikir Bagas.

“Iya, satu kantor. Sri?”

“Ya, Bagas?”

“Ibu tuh suka ngomongin soal Kirana ke lo gak?” Bagas cuma penasaran aja, mungkin saja Ibu sudah menjelaskan perihal Kirana pada Asri. Mengingat saat pertama kali mereka bertemu Bagas sempat menolak perjodohan mereka.

“Enggak kok, Gas. Ibu lebih sering ceritain soal kamu.” Jauh dari kenyataan, Asri sedikit banyaknya sudah tahu tentang Kirana dari Ibunya Bagas, tentu saja dari sudut pandang wanita itu menilai Kirana.

Yang Asri tahu adalah Kirana bukan perempuan yang berasal dari keluarga yang baik, reputasi keluarganya buruk karena korupsi yang mengakibatkan perusahaan lampu yang di dirikan oleh mendiang Bapaknya Kirana itu terpaksa gulung tikar, Bapaknya Kirana kemudian mengalami depresi berat hingga mengakhiri hidupnya.

Setelah itu, banyak barang-barang di rumah Kirana yang di jual untuk melunasi hutang-hutang perusahaan, bahkan sampai saat ini pun hutang-hutang itu belum lunas. Dan Ibu nya Bagas enggak setuju putranya itu menjalin hubungan dengan wanita yang bukan berasal dari keluarga baik-baik.

Kira-kira seperti itu yang Asri tahu dari Ibunya Bagas, bahkan Ibunya Bagas pernah berpikir jika Kirana memacari Bagas hanya untuk membantunya melunasi hutang-hutang keluarganya. Tapi saat Asri bertemu dengan Kirana, wanita itu cukup tegas. Asri enggak bisa menilai hanya dalam sekali pertemuan, namun ia yakin Bagas tidaklah mungkin mengencani Kirana jika wanita itu tidak baik. Apalagi hubungan mereka sudah bertahan selama 6 tahun, itu tidaklah mudah.

“Serius?” tanya Bagas sekali lagi meyakinkan.

“iya serius, Gas.”

“Bagus deh kalau begitu.”

Begitu sampai di rumah, Ibu langsung menyambut Bagas dan Asri dengan gembira. Sungguh, wajahnya berbunga-bunga seperti menyambut anak dan menantunya yang baru saja pulang bulan madu.

“Maaf yah Buk lama, tadi restonya penuh. Terus juga ada kue yang kurang, jadi kita nunggu dulu sampai selesai di packing,” jelas Asri.

Bagas menuruni satu persatu dus berisi kue-kue yang baru saja mereka ambil barusan dan menaruhnya di meja makan, setelah itu dia memeriksa ponselnya, mengirimi Kirana pesan, bertanya pada wanitanya itu sudah pulang ke rumah atau belum. Bagas resah, Kirana mungkin saja salah paham padanya dan Asri dan ia harus segera menjelaskannya.

“Bagas, main HP terus kamu. Ini loh Asri di ajak ngobrol dulu, Ibu kan lagi repot.” Ibu memperingati.

“Buk, harus Bagas banget yang nemenin ngobrol Asri? Dia juga lagi ngobrol sama Kanes di ruang tamu kan?” Bagas ngerasa Ibu kaya terus menerus cari cara supaya ia dan Asri bisa dekat, Bagas enggak suka sama hal itu. Bagas tidak membenci Asri, ia hanya tidak suka di paksa melakukan hal yang tidak dia inginkan.

“Kanes mau Ibu suruh bantuin Ibu di dapur. Kamu ngapain sih main HP terus?”

“Buk, tadi waktu di restoran, Bagas ketemu sama Kirana. Dia liat Bagas sama Asri, Buk. Bagas takut Kirana salah paham. Bagas mau jelasin ke Kirana kalo Bagas sama Asri gak ada apa-apa.”

“Halah perempuan itu lagi,” Ibu mendengus. “Seharusnya bagus kalau dia lihat, biar dia bisa ngaca kalo ada perempuan yang jauh lebih baik dari pada dia. Lagian cepat atau lambat Asri itu bakalan jadi Istri kamu.”

“Yang mau nikah itu siapa sih, Buk? Yang bakalan menjalani rumah tangga itu siapa? Bagas kan? Bagas sayang sama Kirana, Buk. Bukan sama Asri.”

“Kamu pikir Ibu dan Ayah akan merestui kamu dan Kirana? Enggak, Gas. Sampai kapanpun enggak akan. Jangan berharap kamu!” Hardik Ibu dengan nada bicara yang sedikit meninggi.

Sepeninggalan Ibu, Bagas mengusap wajahnya gusar. Ia duduk di kursi meja makan di sana sembari memandangi bubble chat nya dengan Kirana yang belum mendapatkan balasan.

Tidak lama kemudian Bagas merasa ada kedua tangan menepuk bahunya lembut, ia dongakkan kepalanya. Ternyata itu Kanes adiknya, ia menarik kursi di samping Bagas dan duduk di sana.

“Mas berantem lagi sama Ibu?” Tanya Kanes, dia membuka satu persatu kotak berisi jajanan pasar yang tadi Bagas taruh.

“Iya,” jawab Bagas sekena nya.

“Soal Mbak Kirana?” Tebak Kanes.

Bagas mengangguk, “besok pas ulang tahun Ibu, Mas ngajak Mbak Kirana kesini. Kamu temenin dia yah, Nes.”

Awalnya Bagas enggak mau ngajak Kirana ke rumahnya dalam rangka acara ulang tahun Ibu, tapi Kirana memaksa. Wanita itu bilang justru di saat-saat seperti itulah Kirana harus hadir agar dapat merebut hati Ibunya, Bagas pikir ada benarnya juga, walau sedikit takut jika Kirana akan mendapatkan perlakuan yang buruk. Pada akhirnua Bagas menyetujui hal itu.

Makanya dia nyuruh Kanes buat nemenin Kirana besok jika wanita itu datang ke pesta ulang tahun Ibunya, ia tidak ingin Kirana sendirian dan merasa di asingkan terlebih besok ada Asri. Ibu pasti akan lebih sering bersama Asri.

Kanes senyum, tentu saja Kanes akan dengan senang hati menemani Kirana. “Iya tenang aja, ntar aku temenin kok. Terus kenapa muka Mas kusut kaya gitu? Kaya kemeja belum di setrika tau gak?”

“Kirana liat Mas sama Asri di restoran waktu kami lagi ambil pesanan.” Bagas menggeleng, “Mas juga enggak tau kenapa dia bisa ada di sana sih, sama atasan Mas di kantor pula. Tapi yah, buat saat ini yang Mas takutin tuh cuma Kirana salah paham aja sama Mas.”

Kanes yang lagi makan risol yang dia ambil itu langsung menyenggol kaki kakak nya itu dari bawah meja. “Samperin lah, Mas. Jelasin, ntar keburu Mbak Kirana salah paham. Sana buru samperin.”

“Ibu nyuruh Mas nemenin Asri ngobrol,” Bagas sedikit berbisik, takut Ibu ataupun Asri yang sedang memeriksa barang-barang mereka beli di ruang tamu dengar.

“Mbak Asri biar aku yang nemenin, udah sekarang Mas pergi aja ketemu sama Mbak Kirana dulu.”

“Beneran?” tanya Bagas sekali lagi, Adiknya itu memanglah pengertian. Kanes adalah satu-satunya orang yang mendukungnya dengan Kirana.

“Iya beneran, kalo nanti Ibu nanya, aku bilangnya Mas Bagas pergi sama Mas Satya.”

Bagas tersenyum, tangan besarnya itu terulur mengusap pucuk kepala Kanes dengan gemas. Enggak menyangka Adik kecil yang selalu ia lindungi itu kini sudah bisa di ajak kongkalikong dengannya.

“Baik banget sih! Yaudah Mas pergi dulu yah.” baru saja Bagas menyambar kunci mobilnya kembali, tangan kirinya langsung di tahan oleh Kanes.

“Pulangnya beliin roti bakar yah.” Kanes menatapnya dengan mata yang berbinar-binar, persis anak kecil yang di janjikan makanan manis.

“Iya, ntar Mas beliin.”


“Sekali lagi terima kasih, Pak.” Kirana membuka seatbelt miliknya.

“Sama-sama, Na.”

“Kalo gitu, saya masuk ya, Pak. Bapak hati-hati di jalan.” Kirana hendak membuka pintu mobil milik Raga, namun pria itu menahan tas miliknya.

Kirana menoleh kembali, kedua mata mereka saling bertemu tapi kali ini Raga terlihat kikuk. Dengan cepat ia menarik tangannya dari tas milik Kirana.

“Ada apa, Pak?”

“Na, kalau ada sesuatu yang kamu mau tanyakan.” Raga berhenti sebentar, dia sendiri enggak mengerti kenapa rasanya canggung dan degup jantungnya menggila saat Kirana menatapnya.

“Soal mimpi kita,”

“Ya?” Kirana mengangguk, menunggu kalimat Raga seterusnya. Ia yakin ada kata-kata lanjutan yang ingin Raga ucapkan padanya.

“Mak..maksud saya, kita bisa cari tahu ini sama-sama. Tentang, Ayu, Jayden atau soal reinkarnasi,” lanjut Raga.

Kirana mengangguk, tentu saja ia akan sering-sering bertanya pada Raga mengenai mimpinya. Karena Raga satu-satunya orang yang bisa mengerti dirinya saat ini, maksudnya karena mereka mengalami hal yang sama Raga jauh pasti lebih mengerti kan? Pikir Kirana.

“Iya, Pak. Saya pasti tanya sama Bapak.”

“Maaf kalo terdengar gak masuk akal soal apa yang saya cari tau, Na.”

Menurut Raga begitu, bahkan Mbak Adel saja yang ia ceritai lebih dulu mengenai mimpinya, Jayden dan reinkarnasi saja tidak semerta-merta percaya. Walau pada akhirnya Mbak Adel sedikit percaya sama penjelasan Raga, itu pun Raga harus mengumpulkan bukti-buktinya tentang seseorang yang bisa saja reinkarnasi dari tokoh di masa lalu. Raga bersusah payah mengumpulkan jurnal-jurnal hanya untuk membuktinya sendiri, jika mimpinya adalah israyat kehidupannya di masa lalu.

“Seenggaknya saya lebih percaya sama yang Bapak bicarain, kalau gitu saya masuk yah, Pak.” Kirana berpamitan, sejujurnya ia ingin membicarakan hal ini lebih banyak namun suasana hatinya belum membaik pasca ia melihat Bagas bersama wanita lain. Bagas hutang penjelasan padanya.

“Iya, silahkan.”

Kirana menunduk dengan sopan, kemudian membuka pintu mobil Raga dan berlalu dari sana. Kirana enggak langsung masuk ke dalam rumahnya kok, dia menunggu hingga mobil yang Raga kendarai keluar dari pekarangan rumahnya. Setelah itu, barulah ia masuk ke dalam rumah.

Namun belum sampai ia menutup pintu rumahnya, mobil milik Bagas bergantian memasuki pekarangan rumahnya. Kirana jadi mengurungkan niatnya dan berjalan kembali ke teras, Bagas keluar dari dalam mobilnya dengan wajah penuh bersalah khas miliknya. Pria itu juga berlari kecil agar cepat sampai di teras rumah Kirana.

“Sayang, baru pulang?” Tanyanya.

“Duduk.” Kirana melirik ke arah kursi yang ada di teras rumahnya, memberi isyarat pada Bagas agar mereka bicara sambil duduk di sana.

“Aku baru sampai rumah, Gas.” Jawabnya, ketika ia dan Bagas sudah duduk.

“Sama Pak Raga?”

Kirana mengangguk, “um.”

“Sayang, aku mau jelasin soal perempuan yang di resto tadi.” Dada Bagas sedikit naik turun, ia perlahan mengatur nafasnya. Mungkin karena tadi ia sedikit berlari saat hendak menghampiri Kirana.

Ah iya, rumah Kirana cukup luas. Satu-satunya peninggalan dari Bapak yang hanya bisa Kirana dan Ibu pertahankan. Meski tidak banyak barang-barang di dalamnya, hampir semuanya ludes di jual oleh Ibu dan Kirana untuk membayar hutang.

Rumah Kirana itu ada 2 lantai, 4 kamar tidur yang terletak di lantai 1 dan 2, terdapat taman yang cukup luas juga di depannya. Terlebih rumah Kirana itu di penuhi pepohonan yang menjadikan rumah itu sendiri terlihat sejuk. Ibu suka sekali menanam tanaman apa saja, mulai dari tanaman hias hingga herbal.

(Visualisasi rumah Kirana.)

Kalau kata Almira yang sudah pernah ke rumah Kirana tuh, rumahnya Kirana mirip rumah Indis, dasar-dasarnya seperti rumah arsitektur Eropa hanya saja ruangnya lebih tinggi dan jendela nya lebih banyak untuk menyesuaikan pada iklim tropis. Ya, tapi memang seperti itu adanya. Rumah ini Bapak sendiri yang mengusung konsepnya bahkan mendesainya sendiri, walau terbilang sarjana arsitektur, Bapaknya Kirana justru terjun ke dunia bisnis yang sama sekali bukan ranahnya, entah apa alasannya hanya Bapak yang tahu.

“Dia teman kamu kan, kan kamu udah jelasin ke aku tadi,” jawab Kirana santai, seolah-olah hal itu bukan gangguan baginya meski dalam hati dia sendiri menuntut Bagas untuk segera menjelaskan. Kirana memang begitu.

“Iya temanku, maaf aku gak bilang kalau aku di suruh Ibu buat nemenin dia ambil snack di resto,” jelas Bagas.

“Iya, gapapa. Tapi kan sekarang kamu udah bilang.”

“Kamu marah yah?”

Kirana menggeleng, “enggak marah, Gas. Cuma jadi gak mood aja buat aku kenapa kamu gak bilang dari awal.”

Kedua bahu Bagas merosot, memang ini semua salahnya. Harusnya dia bisa bicarakan ini dari awal agar Kirana enggak berpikiran macam-macam, ya walau siapa sangka justru mereka bertemu di sana.

“Maafin aku, aku sama Asri gak ada apa-apa. Bahkan kami enggak dekat, dia cuma teman SMP ku aja dulu. Yang kebetulan orang tua nya memang kenal sama orang tuaku.”

Kirana terkekeh, meski suasana hatinya belum kunjung membaik. Setidaknya Bagas sudah menjelaskan perihal Asri padanya, ia yakin Bagas jujur dan Kirana percaya dengannya. Kirana itu dewasa dan enggak mau ambil pusing persoalan, yang terpenting baginya Bagas jujur dan ia akan percaya. Dia gak mau memperumit persoalan.

“Iya sayang, iya.”

“Udah gak marah kan?”

“Loh dari tadi aku gak marah, aku kan cuma bilang kalo gak mood aja. Bukan berarti marah kan?” Kirana menaikan satu alisnya.

“Iy..iya, tapi aku jadi enggak enak sama kamu.” wajah bersalah Bagas masih terukir disana, membuat Kirana berdiri dari kursinya dan mengajak pria itu untuk masuk ke dalam rumahnya.

“Jangan di bahas lagi yah, aku bikinin teh apel mau? Tadi aku di beliin pie susu sama Pak Raga.” Kirana terkekeh, ia mengeluarkan paper bag berisi pie susu yang Raga belikan untuknya, Raga membeli pie susu awalnya untuk keponakannya namun siapa sangka jika pria itu juga membelikan Kirana.

“Kamu tadi bisa ketemu dia di klinik gimana ceritanya, sayang?” Bagas duduk di meja pantry, memperhatikan Kirana menata pie susu itu di atas piring.

“Dia pasiennya dokter Annelies juga.”

“Hah?! Serius?” pekik Bagas kaget bukan main.

Kirana mengangguk, “iya, serius. Udah dua kali aku ketemu sama dia, kebetulan hari dan jam konsul kita selalu sama.”

“Dia sakit?” Bagas menggeleng kepalanya, merasa kalimat itu kurang tepat. “Ma..maksud aku, dia ada masalah sama psikisnya juga?”

Kirana yang sedang membuatkan teh apel untuk Bagas itu berhenti, dia ingin bercerita mengenai mimpinya dan Raga yang sama dan segala hal tentang reinkarnasi yang Raga cari tahu sendiri. Tapi mungkin topik ini akan sangat sensitif bagi Bagas, mengingat Ayu dan Jayden di dalam mimpinya dan Raga adalah sepasang kekasih.

“Ak..aku kurang paham kenapa. Aku enggak tanya-tanya ke dia.”

Bagas mengangguk kecil, “hhmm.. Terus tadi kamu ke resto sama dia ngomongin apa? Kerjaan?”

Kirana mengulum bibirnya, kepalanya memutar otak bagaimana membuat alibi pada Bagas. Ia tidak mungkin mengatakan yang sejujurnya mengenai apa saja yang ia bicarakan pada Raga di sana, selain terdengar tidak masuk akal itu mungkin akan membuat Bagas cemburu.

“Soal efek dari obat yang dokter Annelies kasih ke aku, ak..aku cuma tanya-tanya soal obatnya aja. Sama soal proyek yang di pegang Bang Satya.”

“Yang di Surabaya itu?”

“Um,” Kirana mengangguk.

“Aku kira apa.” Bagas tersenyum, ia kemudian menyesap teh yang sudah Kirana buatkan untuknya.

Bersambung...

Kanesa Kamala Sura

Samarang, 1898.

Pagi itu cuitan dari burung yang hinggap di jendela kamar Ayu, serta kokokan ayam milik Romo seperti sebuah suara ternyaman bagi Ayu dari pada suara celoteh dan kekehan yang memenuhi penjuru ruang tamu rumahnya. Di temani oleh Ibu nya Adi, Ayu di dandani secantik mungkin dengan riasan sederhana yang tampak anggun di wajah dahayunya.

Rambut panjang itu di kepang, di hiasi melati-melati yang Ibu nya Adi ambil dari kebun tak jauh dari rumahnya. Tak ada senyum pada wajah dahayu itu, wajahnya temaram bagai malam yang hanya di sinari oleh sedikit cahaya dari rembulan.

Di depan sana ada keluarga dari pria yang akan melamar Ayu, anaknya Bupati Soerabaja yang bernama Dimas. Ayu agak sedikit lupa pada parasnya karena mereka hanya bertemu sekilas saat pengangkatan bupati dulu, sudah seminggu ini ia tak dapati kabar Jayden sedikit pun. Bahkan untuk bertemu dengan Adi pun sulit.

Romo melarang Adi bertemu dengan Ayu karena Adi di anggap sekongkol dengan Jayden. Pria itu di pindah kerjakan oleh Romo nya untuk berjaga di ladang yang jauh dari rumah Ayu berada, hanya sekali Ayu bertemu dengan Adi ketika malam hari. Adi hanya mengatakan jika ia baru saja di beri tugas untuk mengantarkan surat ke kediaman Asisten Residen, ya, kediaman Jayden.

Namun Adi tidak tahu apa isi surat itu, ia hanya di tugaskan untuk mengantar oleh Tuan Gumilar kemudian kembali ke ladang tanpa di perbolehkan berbincang banyak oleh Jayden.

sampun rampung, Raden Ayu,” ucap Ibu nya Adi setelah riasan pada rambut Ayu tertata dengan rapih.

Ayu mengangguk kecil, “matur suwun, Buk.”

Bisa terlihat dari raut wajah Ayu yang tidak ada senyum sedikitpun, Ibu dari Adi itu ingin sekali menyematkan kata penenang pada wanita muda yang malang itu. Namun sayangnya, Ibu dari Ayu sudah datang. Masuk ke kamar Ayu untuk menjemput Ayu dan di perkenalkan pada pihak dari keluarga laki-laki.

Wis rampung, nduk?” panggil Ibu.

Ayu tidak menjawab, hanya mengangguk kecil kemudian berdiri dan menghampiri Ibu. Sungguh pasrah dirinya, mau memberontakpun bisa apa ia? Ia hanya seorang wanita, terlebih Ayu tidak tangguh karena sakit yang di deritanya. Ayu tidak dapat hidup sendiri tanpa kedua orang tua nya jika ia memberontak.

Ayu di bawa Ibu keluar dari kamarnya, di genggam tangan kurus itu dan di pamerkan ia di depan keluarga Dimas. Ayu melirik sekilas pada wajah pria yang kelak akan menjadi Suaminya, wajahnya memanglah tampan, namun entah mengapa seperti ada yang mengganjal baginya.

“Duduk di sebelah sana, nduk.” Ibu menyuruh Ayu untuk duduk di sebelah Dimas.

Ayu menurut, ia duduk di sebelah pria itu dengan wajah menunduk tanpa senyuman. Hanya Ayu dan Ibu yang tidak tersenyum di ruangan itu.

“Cantik,” bisik Dimas tepat di sebelah Ayu. Walau Ayu tetap bergeming.

“Jadi kita segerakan saja acara pernikahannya,” ucap Ayah Dimas, dia adalah Bajradaka Dhinakara seorang Bupati Soerabaja sekaligus saudagar, ya Ayah dari Dimas itu memiliki toko kopi yang besar di Soerabaja.

“Bulan depan adalah bulan yang baik untuk menikahkan keduanya, menurut perhitungan saya rezeki mereka akan lancar jika menikah di tanggal 12, Bagaimana?” Tanya Romo.

Sungguh, Ayu rasanya ingin menangis. Matanya sudah memanas dan yang bisa ia lakukan hanyalah meremat kain yang ia pakai. Ia tidak ingin menikah dengan pria yang tidak ia cintai.

“Kau mau menemaniku melihat-lihat kebun milik Romo mu, Ayu?” Tanya Bagas. Ia menyerahkan begitu saja perihal pernikahan kepada kedua orang tua mereka.

Karena tidak tahan ingin sekali menangis, Ayu akhirnya mengangguk kecil. Setelah Dimas berpamitan kepada kedua orang tua mereka, keduanya berjalan di kebun milik orang tua Ayu.

“Kau tampak tak begitu nyaman berada di tengah obrolan orang tua kita ya?” Ucap Dimas tanpa aba-aba. Ayu berjalan di belakangnya, sementara Dimas berjalan di depan sembari kedua tangannya memangku di belakang.

“Sedikit,” cicit Ayu.

Ucapan Ayu itu membuat Dimas berhenti berjalan dan menoleh ke arah Ayu, dan ini untuk pertama kalinya kedua netra milik pasangan pribumi itu saling pandang. Dimas sudah jatuh cinta pada saat Ibu nya Ayu membawa wanita itu keluar dari kamarnya.

“Cantik, kau benar-benar cantik. Suaramu lembut, tak salah aku mau di jodohkan dengamu,” gumamnya sembari tersenyum.

“Jika aku tidaklah cantik, apa kau akan tetap mau di jodohkan denganku?” Yang Ayu nilai dari Dimas adalah, Dimas selalu memuji parasnya hanya itu. Tak ada hal lain yang Dimas puji darinya.

“Tergantung, tapi mungkin tidak. Aku tidak mau di jodohkan dengan pribumi jika tidak memiliki paras cantik. Lebih baik aku menikah dengan wanita Eropa.”

Mendengar hal itu, Ayu hanya bisa menggelengkan kepalanya tidak menyangka. Dimas begitu arogan, mungkin ini alasan kenapa sedari tadi Ayu merasa ada yang mengganjal saat ia pertama kali melihat Dimas di ruang tamu.

Ayu tidak lagi mengikuti langkah kaki Dimas yang masih sibuk menyusuri kebun milik Romonya, ia justru terdiam saat kakinya tak sengaja menginjak sesuatu. Melihat Dimas yang semakin jauh, Ayu justru beringsut untuk berjongkok dan mengambil benda yang ia injak barusan.

Itu adalah sebuah cincin, cincin yang di berikan Jayden tempo hari. Yang di buang oleh Romo nya dan Ayu menemukannya di kebun ini. Di ambil nya cincin itu dan Ayu bersihkan, hatinya sedikit lega karena telah menemukan benda pemberian Jayden kembali. Saking bahagianya telah menemukan kembali cincin itu, Ayu menitihkan air mata. Ia peluk cincin itu dalam genggam jemarinya.

“Kau kenapa bersimpuh, apa yang kau lakukan Ayu?”

Ayu yang masih terisak itu beringsut mendongakkan kepalanya. Itu Dimas ternyata, ia buru-buru bangun dan menyembunyikan cincin itu di belakang tubuhnya. Masih ia genggam erat cincin itu, akan ia simpan dengan baik.

“Bukan apa-apa, Mas.”

“Kau menangis? Apa yang kau sembunyikan dariku?” arca wajahnya menyatu, kening itu mengkerut menatap Ayu dengan bingung. Dimas maju selangkah, rasa penasarannya itu membuatnya membalikan tubuh Ayu, ia ingin tahu apa yang Ayu sembunyikan darinya.

“apa yang kau sembunyikan?!”

“Bukan apa-apa, Mas.” Ayu masih bersikeras untuk menyembunyikan cincin itu. Meski Dimas masih terus berusaha mengambil cincin itu darinya.

“Kalau bukan apa-apa, biarkan aku melihatnya,” ujarnya teguh pada pendiriannya.

Ayu menggeleng, karena sedikit jengkel dengan cepat Dimas menarik Ayu membalikan tubuh wanita kurus itu dan mengambil cincin yang ada pada genggaman Ayu. Tenaga Dimas itu besar, Ayu yang tidak sekuat itu langsung kalah darinya.

“Mas, kembalikan!” Ayu berusaha menggapai cincin itu dari tangan Dimas.

“Cincin ini?” Dimas seperti mengenali cincin itu, tidak asing baginya seperti ia pernah melihat seseorang membeli cincin itu. “Jayden?”

Mendengar nama Jayden di sebut, Ayu terdiam. Tangannya tak lagi berusaha meraih cincin yang ada pada genggaman Dimas lagi, kedua matanya membulat. Ia tidak salah dengar, Dimas benar-benar menyebut nama Jayden bukan?

“Kau kenal Jayden?” tanya Dimas.

Ayu tidak menjawab, bibirnya bergetar. Seharusnya ia tidak sekaget itu ketika Dimas menyebut nama Jayden. Biar bagaimana pun orang tua Dimas adalah Bupati Soerabaja dan Jayden turut di undang dalam rangka hari pengakatannya. Tentu saja harusnya mereka saling mengenal.

“Kembalikan cincin miliku, Mas.” Ayu memegang lengan Dimas, memohon pada calon Suaminya itu agar di kembalikannya cincin miliknya itu.

“Kau kekasihnya Jayden?” ucap Dimas tanpa di sangka-sangka, ada seringai jahil di sudut bibirnya.


Sudah dua hari ini pria Belanda itu masih termenung ketika selesai dengan pekerjaanya, memandangi surat yang di tulis tangan oleh orang tua dari wanita yang ia cintai. Otaknya membeku mendapati penolakan, padahal harusnya ia sudah siap jika mendapatkan penolakan.

Karna pada dasarnya tidaklah mudah menikahi pribumi dari kalangan bangsawan, bahkan jika keluarga besarnya tahu pun Jayden bisa menebak ia pasti akan mendapatkan penolakan. Bahkan ia pun bisa di pulangkan ke negaranya.

Jayden kembali menarik laci di meja kerjanya, menyimpan surat itu di sana kemudian menguncinya. Tubuh tegap nan tinggi itu menelusuri lorong kantor keresidenan, ia hendak pulang ke kediamannya. Kalau ingatannya tidak salah, hari ini seharusnya Jacob kembali untuk memeriksa bibit-bibit bunga melati yang di tanam di taman samping kediamannya.

“Kita kembali ke rumah, meneer?” tanya kusir pribadinya ketika Jayden keluar dari kantor keresidenanya. Pria yang hanya berbeda 5 tahun darinya itu sudah menjadi kusir yang setia bagi Jayden.

“Iya, Pak. Langsung kembali ke rumah saja,” jawabnya lesu.

Di bukakan pintu dokar itu dan Jayden masuk ke dalamnya, begitu dokar itu hendak akan meninggalkan kantor keresidenan Samarang. Ada dokar lain yang berlawanan arah dengannya, kusir yang mengendarai dokar milik Jayden itu menarik tali kuda miliknya agar dokar itu berhenti.

wonten menapa, Pak?” tanya Jayden dengan sopan sewaktu dokar mereka berhenti.

“*Nguwun pangapunten, meneer. ada dokar lain yang berhenti di depan kita.”

Jaydan tak menanggapi lagi ucapan kusir nya itu, ia membuka pintu dokarnya dan keluar dari dalam dokar mewah yang ia tunggangi. Ternyata dokar yang berhenti di depan dokarnya adalah dokar milik Dimas, kawan Jayden sekaligus anak Bupati Soerabaja itu sudah tiba di Samarang rupannya.

Ik wilde je eigenlijk op kantoor ontmoeten, maar blijkbaar hebben we elkaar hier ontmoet.” (aku sebenarnya ingin menemuimu di kantor, tapi kita malah bertemu disini.) Dimas tersenyum pada Jayden, wajah khas angkuhnya itu menatap Jayden penuh percaya diri.

“Kau sudah di Samarang rupanya,” ucap Jayden.

Dimas mengangguk, “sejak kemarin. Mungkin besok aku akan segera kembali ke Soerabaja untuk mengurus pernikahanku.”

“Kapan kau akan menikah?”

Dimas menyeringai, “bulan depan, akan ku pastikan kau datang. Ah, tunggu sebentar ada seseorang yang ingin aku kenalkan padamu.” Dimas menunjuk dokarnya sendiri.

Jayden memang melihat ada siluwet wanita dengan kebaya berwarna putih duduk di kursi dokar Dimas, wajahnya menunduk jadi Jayden tidak bisa melihat jelas siapa wanita yang duduk dengan tidak nyaman disana.

“calon istrimu?” Jayden menaikan satu arca wajahnya dan menebak.

“benar,” Dimas menjentikkan tangannya, ia taruh satu telunjuknya itu tepat di dada Jayden. “Kau pasti akan terkejut saat tahu siapa calon Istriku, meneer.

Tak ada pikiran apapun dalam kepala Jayden, seluruh pemikirannya sudah tersita bagaimana ia bisa mendapatkan hati orang tua Ayu dan dapat menikahi wanita itu. Ia bahkan tidak berminat menebak siapa wanita yang di jodohkan oleh orang tua Dimas itu.

Pria pribumi angkuh itu menjauh dari Jayden, membuka pintu dokar miliknya dan menarik tangan wanita yang ia bilang akan menjadi calon Istrinya itu. Dan betapa terkejutnya Jayden ketika ia melihat siapa wanita yang keluar dari dalam dokar itu, matanya membulat dan kedua kakinya begitu saja melangkah mendekat ke arah wanita itu.

“Raden Ayu?” gumam Jayden.

Namun belum sempat Jayden mendekat ke arah Ayu, Dimas sudah langsung menempatkan Ayu tepat di belakang tubuhnya. Menghalangi Jayden dan Ayu untuk saling bertatapan secara langsung.

“Wah.. Kalian langsung saling mengenal?” Dimas geleng-geleng kepala. “Is hij jouw minnaar?” (apakah dia kekasihmu?)

Jayden tidak menjawab, kedua bahu tegapnya itu naik turun menahan amarahnya. Ia bukan marah dengan Ayu tapi dengan keadaan yang sungguh tak adil baginya, Jayden bukan merasa pria yang lebih baik dari pada Dimas. Tapi setidaknya ia bukan penjudi, pemabuk dan perokok berat.

Dan lagi pula, Jayden mengenal betul bagaimana Dimas memperlakukan seorang wanita. Ia tidak bisa bayangkan seperti apa nanti jika Ayu akan menikah dengan pria pribumi angkuh itu.

“Dia kekasihku,” ucap Jayden penuh penekanan.

Dimas terkekeh, ia menatap Jayden dan Ayu yang masih terus menunduk secara bergantian. “Kau kekasihnya, Ayu?”

Ayu hanya diam, ia masih bergeming. Ia menahan dirinya untuk tidak menangis atau berlari ke pelukan Jayden. Ah, tidak. Menatap pria Belanda itu pun Ayu tidak sanggup. Jayden pasti sudah membaca isi surat penolakan peninanganya yang Romo tulis.

“Dimas, biarkan Aku dan Raden Ayu berbicara sebentar saja,” Jayden memohon. Ia ingin sekali bicara sebentar dengan Ayu, mengatakan pada wanita itu jika Ayu hanya perlu bersabar dan Jayden akan mengusahakan segala cara agar mereka bisa bersama.

“Biarkan aku dan Sir Jayden bicara sebentar, Mas.” gumam Ayu.

Dimas menoleh ke arah wanita itu, karena sudah di jodohkan dan hendak menikah dalam waktu dekat, Dimas merasa Ayu adalah miliknya. Ada rasa egois dan desiran kecemburuan ketika ia mengetahui jika kekasih yang di maksud Jayden adalah Ayu. Niatnya pun datang menemui Jayden dengan membawa Ayu adalah untuk memamerkan Ayu pada Jayden, bahwa ia menang atas wanita pribumi yang di cintai pria Belanda itu.

Kalau boleh jujur, Dimas tidaklah begitu tulus berteman dengan Jayden. Terkadang ada saat-saat dimana ia membenci sikap Jayden yang menurutnya naif dan sok ramah terhadap pribumi, dan saat ini adalah saat yang paling tepat menurut Dimas untuk bisa melihat Jayden terluka atas miliknya yang Dimas rebut.

“Bicaralah di belakang dokar ini. Aku tidak mengizinkan kalian bicara terlalu lama.”


Jakarta, 2025.

Raga mengerjapkan matanya, masih terasa mengantuk namun alarm yang sudah ia atur di ponselnya itu terus berdering. Setelah mematikan alarm miliknya, pria itu bangkit dari ranjangnya. Raga menghela nafas, mimpinya semalam menggantung karena alarm yang sudah berdering.

“Apa Kirana juga mimpi di tempat yang sama?” gumam Raga, maksudnya adalah apakah Ayu dalam mimpi Kirana juga bertemu dengan Jayden di kantor keresidenan.

Pria itu mengusap wajahnya gusar, ia bangun dari ranjangnya dan segera bergegas ke kamar mandi. Ada meeting hari ini dengan para petinggi untuk membicarakan proyek besar yang akan di garap oleh kantor tempat Raga bekerja.

Setelah selesai dengan sarapannya pagi ini, Raga langsung bergegas menuju kantor nya. Untung nya pagi ini jalanan tidak begitu padat, maklum saja kantor tempat Raga bekerja dengan rumahnya adalah kawasan perkantoran jadi Raga sudah tidak kaget jika ia kerap kali terjebak kepadatan Jakarta di jam masuk kerja dan pulang kerja.

“Pagi, Pak.”

“Pagi.” sapa Raga pada bawahan yang tidak sengaja berpapasan dengannya. Ia sedang menunggu lift untuk sampai ke ruangannya berada.

“Pagi Pak Raga!” sapa Almira, Bagas dan Kirana bersamaan. Membuat Bagas yang sedang melihat surel yang masuk di ponselnya itu menoleh.

“pagi,” Raga menoleh ke arah bawahan-bawahannya, tidak sengaja netra nya bertemu dengan Kirana yang juga tengah menatapnya. “Kirana?”

“Ya, Pak?”

“Bisa bicara sebentar?” bukan hanya Kirana saja yang bingung, Bagas dan Almira pun sama bingungnya.

Kirana menoleh, “bisa, Pak.”

Raga mengangguk pelan, kebetulan sekali lift terbuka bersamaan dengan karyawan-karyawan lain yang juga keluar dari dalam lift. “Bagas, Almira. Saya pinjam Kirana sebentar yah, kalian naik duluan saja.”

Bagas mengangguk kecil, meski dalam hati ia sangat penasaran apa yang akan Raga bicarakan dengan wanitanya itu. Bagas bukan cemburu kok, hanya saja dia penasaran. Begitu Kirana mengikuti langkah kaki Raga menuju loby kantor mata Bagas masih terus menatap punggung keduanya, di kepalanya terus bertanya-tanya tentang apa yang keduanya bicarakan.

Bahkan saat lift nya hampir tertutup pun Bagas sempat mengeluarkan sedikit kepalanya, membuat Almira harus menarik pria itu agar kepalanya tidak terjepit pintu lift.

“Udah gak usah cemburu gitu ah, sama Pak Raga doang. Paling juga ngomongin kerjaan, Mas,” ucap Almira menenangkan hati Bagas. Ya siapa tahu saja seniornya itu cemburu kan.

“Dih, siapa yang cemburu. Justru gue kepo mereka tuh mau ngomongin apa sampe harus ngomong di luar gak di kantor gitu.” Bagas memang gak cemburu, dia cuma heran aja kenapa Raga harus membawa Kirana untuk bicara di luar kantor. Bicara mengenai apa? Personal kah? Atau urusan pekerjaan? Pikir Bagas campur aduk.

“Yah paling urusan kantor, kan Mbak Kirana sekarang tuh lagi bantu handle proyek yang di Surabaya juga. Yah emang di pegang sama Bang Satya sih, tapi kan itu proyek aslinya di pegang Mbak Kirana.”

“Ck, Bukan gitu, Ra.” Bagas berdecak, Almira ini enggak mengerti menurutnya. Ya memang bisa saja mereka membicarakan urusan proyek, tapi kenapa harus di luar kantor?

“Terus apa?”

Bersamaan dengan pertanyaan Almira, pintu lift terbuka. Mereka buru-buru keluar dari sana dan berjalan ke meja mereka bersamaan, kebetulan Bang Satya juga belum datang jadi keduanya bisa berdiskusi soal Raga dan Kirana.

“Mereka tuh sempat ngobrol juga di luar jam kantor, Kirana bilang alasannya juga ngomongin proyek yang di Surabaya sih. Tapi maksud gue kenapa harus di luar jam kerja dan pas weekend? dan sekarang mereka kaya lagi meeting berdua.”

“Ck ck ck ck,” Almira berdecak, wanita itu juga menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia udah bisa baca kalau seniornya itu benar-benar cemburu buta, tapi yang bikin Almira enggak nyangka tuh kenapa cemburunya harus sama atasan merereka?

“Lo tuh cemburu boleh-boleh aja, Mas. Kata gue tapi liat-liat orangnya juga lah. Masa iya sama Pak Raga sih? Gila banget.”

“Astaga, Almira Kusuma Djayanti berapa kali gue bilang gue gak cemburu,” Bagas mengoreksi.

“Cemburu itu pasti cemburu.”

“Terserah lu dah bocil.” Bagas menghela nafasnya putus asa, ia buru-buru menyalakan monitor miliknya. Ada file yang harus ia kirim pagi ini ke TL nya yang baru.

“Mas, serius deh. Mbak Kirana tuh sayang banget tau sama lo, lo jangan curiga-curiga gitu ah gak baik,” Almira menasihati.

“Udah tau, udah kerja bocil. Dikit lagi Pak boss dateng,” Bagas masih fokus pada deretan file di monitor miliknya tanpa menoleh ke arah Almira, wanita itu lagi mencatok rambutnya. Kebiasaan Almira setiap pagi.

“Ih serius gue ini mah, tau gak semalam Mbak Kirana tuh telfon gue tau.”

“Paling lo curhat kan sama dia? Tentang cowok dari hasil main Tinder lo itu ya?” Tebak Bagas acuh tak acuh.

“Sok tau!!” Almira mendengus. “Dia tuh tanya enakan bikin brownies atau bikin blackforest buat di bawa ke pesta ulang tahun Ibu nya Mas Bagas.”

Ucapan dari Almira itu berhasil membuat atensi Bagas yang tadinya fokus pada layar monitornya kini berpindah pada Almira yang masih sibuk berkaca sembari mencatok rambutnya.

“Serius?”

Almira mengangguk kecil, “dia bilang dia tuh udah nyiapin hadiah buat Ibu lo juga, terus mau bikin kue sendiri karna dia ngerasa ini tuh buat orang yang spesial. Jadi harus di buat sendiri, effort banget kan dia tuh demi calon mertua.”

Di kursinya Bagas tersenyum kecil, Kirana benar-benar sedang berusaha mempertahankan hubungan mereka. Mengambil hati orang tuanya agar mereka mendapatkan restu.

Bersambung...

Raga dan Kirana akhirnya sepakat untuk bicara berdua di rooftop kantor, untungnya di sana cukup sepi hanya ada mereka berdua saja. Karena karyawan-karyawan yang berada di gedung ini memang di sibukan di pagi hari di ruang kerja mereka masing-masing. Waktu mereka berdua tidaklah banyak, karena setelah ini Raga harus meeting dengan para petinggi kantor.

Setelah itu pun ia masih harus memantau proyek yang berada di daerah Tanggerang, makanya waktunya untuk bertemu dengan Kirana hanya di pagi hari ini saja. Keduanya berdiri menatap gedung-gedung tinggi perkantoran sembari di temani udara yang masih cukup sejuk untuk kota Jakarta pagi itu, semilir angin seperti menjadi saksi bisu keduanya membahas sisa masa lalu dari isyrat mimpi yang keduanya alami.

“Mimpimu sudah sampai mana, Na?” Tanya Raga to the point memang itu yang ingin ia tanyakan sedari tadi.

“Bapak ajak saya ke sini untuk bertanya kelanjutan mimpi kita dan mencocokannya?”

Raga mengangguk.

Kirana menghela nafas, memang itu kesepakatan mereka. Memecahkan misteri mimpi yang mereka berdua alami, “semalam saya bermimpi Ayu bertemu dengan calon Suaminya.”

“Anak dari Bupati Surabaya itu?” Tebak Raga.

Kirana mengangguk, wajahnya berubah menjadi sendu. Teringat akan wajah pria dalam mimpinya, pria pribumi angkuh yang akan segera menikahi Ayu. Mengingatnya saja membuat Kirana bergedik, memikirkan nasib Ayu kelak jika menikah dengan pria yang lebih banyak main-main seperti itu.

“Dimas namanya, Pak.”

“Mereka akan menikah bulan depan, Bukan?”

“Bapak tahu?”

Raga menghela nafasnya, “Kirana, di mimpi saya kamu dan Dimas datang ke kantor Residen. Dimas memamerkan kamu sebagai calon Istrinya, apa kamu juga sudah mimpi sejauh itu?”

“Iya, dalam mimpi saya pun saya bertemu Bapak.” Kirana masih ingat jika Dimas membawa Ayu ke kantor Residen dengan sedikit paksaan, bahkan pria itu tidak segan-segan menyeret Ayu.

“Kalau begitu kita berada di bagian mimpi yang sama, Pak,” lanjut Kirana.

“Kamu sudah cari tahu tentang Ayu?”

Mendengar pertanyaan Raga, Kirana justru terdiam. Ia meremat tali tas yang ia kenakan, mengingat semalaman suntuk ia mencari tahu tentang Ayu. Meskipun agak sedikit sulit tapi setidaknya Kirana menemukan titik terang tentang Djenar Ayu Astutiningtyas.

Ayu bukanlah tokoh penting di negeri ini, jadi tidak banyak orang yang membuat biografi mengenainya dan membahasnya. ia hanya di kenal sebagai Istri dari anak Bupati Surabaya dan anak dari seorang saudagar pemilik toko distribusi roti pada zaman kolonial.

“Tapi enggak banyak yang bahas mengenai Ayu, Pak. Karena dia bukan tokoh penting di negeri ini, enggak seperti Jayden.”

“Apa yang kamu tahu tentang dia, Na?” Raga hanya ingin mencocokannya dengan hal-hal yang ia temukan tentang Jayden. Ia pikir itu adalah satu-satunya cara agar mereka tahu isyarat tentang mimpi mereka.

“Yang saya tahu, Ayu hanya anak dari saudagar pemilik toko yang mendistribusikan roti untuk para tentara Kolonial. Dan Istri dari Dimas, waktu itu Dimas di gadang-gadang akan menggantikan posisi Ayahnya. Hanya itu saja,” jelas Kirana.

“Yakin cuma itu aja, Na?”

Kirana menunduk, ia mengulum bibirnya. Ada hal lain yang membuatnya ingin bercerita tentang Ayu pada Raga. Namun entah kenapa rasanya dadanya bergemuruh, merasakan sedikit sesak tentang apa yang ia ketahui akhir dari kehidupan wanita bernama Ayu di masa lampaunya.

“Na?” Panggil Raga sekali lagi, waktu mereka tidak banyak dan Kirana seperti sedang mengulur waktu mereka berdua, Raga yakin Kirana menemukan sesuatu tentang Ayu yang membuatnya enggan bicara.

“Pernikahannya dengan Dimas tidak bertahan lama, Pak. Karna satu tahun kemudian Ayu meninggal. Di artikel itu juga enggak di ceritakan Ayu meninggal karena apa, tapi bisa jadi karna sakit yang dia derita dari kecil,” ucap Ayu pada akhirnya.

“TBC..” gumam Raga yang di jawab anggukan oleh Kirana. Ayu memang menderita penyakit itu.

Kedua bahu Raga turun, Dan ia pun sudah mengetahui akhir dari hidup Jayden, setelah ini Raga akan mencari tahu apa yang membuat mereka bermimpi tentang kehidupan sebelumnya. Ya anggap saja begitu sekarang meski itu tidak terbukti.

“Pak, apa Bapak juga tahu kalau Adi—”

Raga mengangguk kecil, “iya saya tahu, Bagas kan?”

Kirana mengangguk, “selain Bagas apa ada orang lain di masa lalu kita yang hadir di kehidupan sekarang ini?”

“Kakak saya, Na. Mbak Adel, Jayden punya Kakak perempuan bernama Roosevelt Van Den Dijk. Dan Mbak Adel adalah reinkarnasi dari Roosevelt, tapi dia pun enggak bermimpi apa-apa, mungkin sama hal nya dengan Bagas yang juga gak bermimpi apa-apa.”

Kalau begitu kemungkinan besar ada orang lain dari masa lalu mereka yang kemungkinan ada di kehidupan mereka yang sekarang, orang tua Kirana saat ini bukanlah orang tua dari Ayu di masa lalu. Kirana dan Ayu lahir dari orang tua yang tidak reinkarnasi di masa lalu.

“Itu artinya Jayden dan Ayu benar-benar tidak menikah di kehidupan itu, Na.”

“Saya baca-baca sedikit tentang kehidupan di zaman itu, menikah bagi bangsa kolonial dan pribumi itu sulit, Pak. Kita masih harus menunggu kelanjutan cerita mereka kalau kita mau cari tahu apa maksud dari mimpi yang kita berdua alami,” jelas Kirana, menurutnya memang begitu karena mimpi mereka berdua masih sangat menggantung.

“Kamu jangan segan-segan untuk bertanya kelanjutanya pada saya, Na. Termasuk hal-hal yang kamu cari tahu. Sekecil apapun itu mungkin bisa jadi pentunjuk.”


“Disini aja, Pak.”

Taksi online yang Kirana tumpangi itu berhenti di belakang mobil yang terparkir di depan rumahnya Bagas, ternyata acara ulang tahun Ibu nya Bagas itu lumayan meriah juga. Kirana sempat berpikir mungkin hanya syukuran biasa saja tadinya, sebelum turun dari mobil. Dia memastikan dulu rambut dan riasan rambutnya masih rapih. Setelah itu barulah ia turun membawa kotak berisi brownies dan juga puding cokelat yang ia buat sendiri.

Bagas bilang dia enggak bisa menjemput Kirana karena ia harus membantu acaranya di rumah, tentu saja Kirana sama sekali tidak keberatan dengan hal itu. Begitu Kirana masuk ia langsung di sambut dengan senyuman hangat oleh Kanes Adiknya Bagas.

“Mbak Kirana..” sapa Kanes, wanita itu memeluk Kirana dengan hangat.

“Hai, Nes. Apa kabar?”

“Baik, Mbak. Ya ampun, Mbak. Maaf yah waktu Mbak sakit aku gak sempat jenguk karena lagi sibuk banget kuliah.” Kanes jadi merasa bersalah kalau ingat ia tidak bisa menjenguk Kirana di rumah sakit waktu wanita itu kecelakaan, Kanes itu kuliah kedokteran yang mana kegiatan di kampusnya tentu banyak menyita waktu bahkan untuk sedikit bersantai sekalipun.

“Iya gapapa, Bagas udah cerita kalau kamu lagi hectic banget di kampus.”

Kanes mengangguk, sedikit lega karena Kirana cukup mengerti dirinya. “Oh yah, masuk yuk, Mbak. Mas Bagas, Ibu sama Ayah ada di dalam.”

“Hhmm, Nes. Tapi make up aku gak berlebihan kan?” Kirana jadi enggak percaya diri tiba-tiba, apalagi sedari tadi banyak pasang mata yang melirik ke arahnya. Kirana sadar, warna dusty pink yang ia pakai sebagai dresscode yang di tentukan itu agak sedikit berbeda dengan yang tamu lain pakai.

“Kamu tuh cantik, Mbak. Udah yuk masuk.” Kanes menggandeng tangan Kirana yang bebas dari kotak berisi kue itu.

Begitu melihat Bagas yang sedang sibuk berbicara dengan tamu dari keluarganya, Kirana tersenyum apalagi Bagas juga dengan sigap langsung menghampirinya. Pacarnya itu tampak semakin tampan dengan kemeja dusty pink yang ia pakai, rambutnya pun di bentuk hair coma style yang membuat Bagas terlihat semakin kharismatik.

“Tuh udah ada Mas Bagas, aku ambilin Mbak minum dulu yah,” kata Kanes, ia berpamitan pada Kirana untuk mengambilkan wanita itu minum.

“Iya, makasih yah, Nes.”

Begitu Kanes pergi, Bagas langsung mengajak Kirana ke dalam rumahnya. Ibunya ada di dalam, sedang menjamu teman-temannya dan ada beberapa sanak saudara yang datang dari Surakarta.

“Buk, ada Kirana,” ucap Bagas.

Kirana berusaha menyunggingkan senyum terbaiknya, walau ada desiran ketidaknyamanan saat calon mertuanya itu menatapnya dengan tatapan sedikit sinis. Tidak, Kirana tidak terlalu perasa. Bagi siapapun yang melihatnya pasti akan langsung berpikiran sama dengannya.

happy birthday, Buk.” Kirana menyalami tangan Ibunya Bagas, walau uluran salaman itu di sambut dengan rasa acuh tak acuh.

“Iya, terima kasih yah, Kirana.”

Kirana mengangguk pelan, “Kirana bawain Ibu brownies sama puding cokelat yang Kirana bikin sendiri, Buk. Cobain ya.”

“Repot-repot kamu bikin, tapi nanti saja yah. Saya sudah kenyang, tadi habis nyobain lapis legit yang di buat sama Asri.”

Bagas menggeleng kepalanya samar, sungguh kecewa bukan main ia melihat perlakuan Ibu nya itu pada Kirana. Namun Bagas hanya bungkam, ia tidak ingin merusak suasana apalagi di keramaian seperti ini dan di hari ulang tahun Ibunya.

“Iya gapapa, Buk.”

“Bi, bawa kue-kue nya ke belakang ya.” Ibu nya Bagas itu memanggil pekerja yang berkerja di rumahnya, menyuruh mereka membawa kotak berisi kue-kue itu untuk di bawa ke dapur tanpa di suguhkan disana.

Kirana menunduk, dalam hati ia meringis. Namun ia merasa tidak bisa menyerah begitu saja, ia masih mencoba untuk berpikir positif jika mungkin saja brownies dan pudingnya tidak di suguhkan untuk tamu melainkan untuk mereka makan sendiri, Ia sangat mencintai Bagas, dan ia juga ingin dapat cinta dari keluarga laki-laki itu juga.

“Kita ke depan yuk?” bisik Bagas, ia tidak tega melihat Kirana di acuhkan oleh Ibunya. Ibu bahkan tidak mengajak Kirana bicara lagi dan sibuk berbicara dengan teman-temannya.

“Aku belum ngobrol banyak sama Ibu..” bisik Kirana, ia pikir ia harus lebih banyak bicara sama Ibunya Bagas. Dengan begitu mereka bisa mengenal lebih dalam satu sama lain bukan, yah siapa tahu saja di saat-saat seperti ini hati orang tua Bagas itu luluh.

“Yakin?” Bagas cuma mau memastikan aja, dia gak mau Kirana berada di situasi yang tidak membuat wanita itu nyaman.

“Iya sayang, sana kamu ke depan aja. Nanti kalau udah selesai ngobrol sama Ibu, aku susul kamu ke depan.”

“Beneran yah?”

Kirana mengangguk.

“Yaudah aku ke depan yah, nanti kalau aku lihat Kanes. Aku suruh dia nemenin kamu.”

Selepas kepergian Bagas, Kirana berusaha untuk berbicara dengan Ibunya Bagas meski hanya mendapatkan balasan sekedarnya saja. Kirana enggak mau menyerah, apalagi saat wanita bernama Asri itu datang. Kalau dari yang Kirana lihat, Ibu benar-benar menyukai Asri bahkan Asri yang di kenalkan ke saudara-saudara Bagas dan juga teman-teman Ibu yang datang.

“Ohhh.. Asri ini temannya Bagas waktu SMP? Yang rumahnya dulu sebelahan sama rumahmu di Surakarta itu bukan, Jeng?”

“Betul,” Ibu nya Bagas itu tersenyum. “Cantik kan, calon menantu idaman sekali dia ini. Bahkan Asri yang milih warna yang cocok untuk dresscode ulang tahun saya loh.”

Mendengar hal itu, Kirana menunduk. Jadi Asri lah yang banyak membantu untuk acara ulang tahun Ibu. Meski hatinya sedikit perih, Kirana masih terus berusaha tersenyum ramah, Kirana enggak minder sama sekali sama Asri meski ia pun tidak menangkis jika wanita itu benar-benar cantik dan memiliki selera yang bagus.

“Kalau yang di sebelah sana siapa, Jeng?” Teman dari Ibunya Bagas itu melirik Kirana yang duduk tak jauh dari tempat Asri duduk, Asri duduk benar-benar bersebelahan dengan Ibunya Bagas sedangkan Kirana agak sedikit berjarak beberapa senti.

“Ahh... Itu Kirana, pacarnya Bagas,” cicit Ibu pelan.

Asri menoleh ke arah Kirana, wanita itu tersenyum dan melambaikan tangannya memberi isyarat pada Kirana untuk duduk di dekatnya saja. “Sini, Na!”

Begitu Kirana mendekat, Ibu yang tadinya sedang duduk di sofa itu berdiri dan menghampiri Kirana. Kirana yang melihat itu sudah senang apalagi Ibu tersenyum ke arahnya, ada sirat kepercayaan diri yang membuncah di dadanya jika ia akan di kenalkan sebagai calon menantu di keluarga itu. Namun itu semua hanya ada dalam benak kepala Kirana tanpa terwujud jadi nyata, karena Ibu justru mengatakan hal di luar dugaanya.

“Na, kamu mau bantuin Ibu gak?” tanya Ibu.

Tentu saja Kirana dengan senang hati akan membantunya, baginya ini adalah kesempatan. “Mau, Buk. Apa yang Kirana bisa bantu?”

“Ini, Na. Si bibi kan kayanya kerepotan cuci piring di belakang, yah. Maklum lah udah tua juga, kamu bantu-bantu yah. Dari pada kamu di sini enggak ngapa-ngapain juga kan.”

Mendengar ucapan itu, senyum di wajah Kirana sedikit memudar. Ia hanya di minta bantuan untuk mencuci piring ternyata, walau agak sedikit kecewa tetapi Kirana mengangguk, ia suguhkan senyum manisnya itu. Ia hanya berpikir mungkin dengan cara seperti ini hati orang tua Bagas itu bisa luluh dan bisa menerima nya.

“Iya, Buk. Kalo gitu Kirana ke belakang yah,” pamitnya, setelah mendapatkan anggukan kecil dari Ibunya Bagas, cepat-cepat ia ke dapur rumah keluarga itu.

Kirana pikir bibi yang bekerja di rumah Bagas itu hanya satu orang, ternyata ada dua orang dengan rentang umur yang sama. Keduanya sedang menikmati brownies yang Kirana bawa, Kirana sendiri gak tau kenapa makanan yang ia bawa justru pekerja di rumah Bagas yang memakannya. Ia hanya berpikir itu semua pasti sudah mendapatkan izin dari sang pemilik rumah.

Ia bukan tidak senang makananya itu di makan orang lain selain Ibunya Bagas, hanya saja ia buatkan itu semua khusus untuk Ibunya Bagas di hari ulang tahunnya.

“Eh, neng Kirana. Mau ngapain, Neng?” tanya Bibi yang berbadan gempal itu, wanita paruh baya itu tersenyum.

“Mau bantu-bantu, Bi.”

“Ih udah, gak usah ini kan udah jadi kerjaan Bibi.”

Kirana menggeleng pelan, “gapapa, Bi. Biar cepat selesai.”

Kirana mengambil kain lap untuk mengeringkan beberapa piring yang sudah selesai di cuci, Bibi yang sedang makan brownies buatan Kirana tadi tampaknya agak sedikit tidak enak. Terlihat dari gelagatnya yang canggung dan langsung menghentikan makannya begitu Kirana datang.

“Brownies buatan Neng Kirana enak banget,” ucapnya tiba-tiba.

“Oh ya?” Kirana menoleh, ia tersenyum. Senang rasanya mendapatkan pujian jika brownies buatannya enak meski itu bukan berasal dari Ibunya Bagas. “Kemanisan gak, Bi?”

Bibi gempal itu menggeleng, “enggak, Neng. Rasanya pas, manisnya pas enggak amis juga enak pokoknya mah.”

“Syukur deh kalau begitu.”

Kirana lega, meski sedikit sedih namun itu bukan masalah untuknya. Setidaknya makanan yang ia bawa tidak di buang saja rasanya Kirana sudah bersyukur. Sementara itu di teras rumah Bagas yang masih di padati banyak tamu, Raga menikmati setiap hidangan yang di sediakan di sana. Ia datang bersama Satya.

Bagas memang mengundang Raga dan Satya untuk datang ke acara pesta ulang tahun Ibunya, mereka sempat berbincang sebentar. Bagas juga sempat mengenalkan Kanes pada dua temannya itu, Almira bukan tidak Bagas undang hanya saja wanita itu sudah memiliki janji lain dengan teman kencan butanya itu, Almira hanya menitipkan kado untuk Ibunya Bagas oada Satya.

“Gas, toilet dimana ya?” tanya Raga.

“Kebelet, Pak?” tanya Satya cengengesan.

“Enggak!” jawab Raga dengan ekspresi wajah yang bad mood. “ya iyalah pake nanya lagi.”

Bagas yang mendengar itu sedikit terkekeh, “di belakang, Pak. Lewat samping aja, dekat dapur kok lurus aja.”

“Yaudah, saya ke belakang dulu yah.” Raga buru-buru meninggalkan Bagas dan Satya yang masih asik berbincang di taman rumah Bagas.

Ia masuk ke dalam rumah Bagas lewat pintu samping yang kata Bagas nantinya akan langsung menuju ke dapur kotor rumahnya, di sana ada toilet khusus untuk tamu. Begitu Raga ingin masuk ke dalam toiletnya, tidak sengaja netranya menangkap seorang wanita yang tengah sibuk mencuci piring di dapur.

Wanita itu berambut panjang dan memakai dresscode yang sama dengan tamu lainnya meski tone nya agak sedikit berbeda, Raga mengerutkan keningnya. Dan begitu wanita itu memperlihatkan wajahnya dari samping, Raga langsung mengenalinya. Itu adalah Kirana, kenapa ia justru malah sibuk mencuci piring di dapur? Itu adalah pertanyaan yang terlintas di kepala Raga saat ini.

“Na?” Panggil Raga, ia mengurungkan niatnya untuk menyelesaikan urusannya di kamar mandi.

Kirana menoleh, ia sedikit terkejut karena Raga justru turut di undang dalam pesta ulang tahun Ibu nya Bagas. Kirana pikir Bagas hanya mengundang Satya dan Almira saja.

“Pak Raga?” Ucap Kirana kaget, ia membasuh tangannya yang kotor karena sabun cuci piring kemudian menghampiri Raga. “Bapak ngapain disini?”

“Saya yang harusnya tanya, kamu ngapain cuci piring? Kamu itu tamu, Na.” Kedua bahu Raga naik turun, entah kenapa rasanya ada perasaan tidak nyaman melihat Kirana mencuci piring sendirian di dapur.

“Sa..saya cuma bantu-bantu Ibu nya Bagas aja, Pak.”

“Gak gitu, Na. Kamu ini tamu. Kalau kamu mau membantu bisa dengan hal lain,” ucap Raga sedikit kesal. “Bagas tahu kamu cuci piring?”

Kirana menggeleng, “ini saya yang mau kok, Pak.”

Raga enggak menjawab ucapan Kirana lagi, ia hanya menatap wanita itu dengan sorot mata yang menunjukkan kekecewaan sekaligus sedih melihat Kirana di perlakukan seperti itu. Raga enggak paham kenapa Kirana mau dengan sukarela nya mengerjakan setumpuk cucian piring yang tidak ada hentinya masuk ke dapur, mengingat tamu yang di undang oleh Ibunya Bagas cukup banyak.

“Kalau gitu, saya lanjutin cuci piringnya, Pak.” Kirana mengangguk sopan, ia kembali dengan tumpukan cucian piring yang baru saja tiba. Bibi yang bekerja di rumah Bagas juga turut membantunya.

Niat Raga untuk buang air kecil ia urungkan, alih-alih masuk ke dalam toilet. Ia justru keluar dari sana dengan langkah besar-besar menuju taman rumah Bagas, ternyata pria itu masih di sana asik berbincang dengan Satya dan juga rekan kantor mereka yang lain.

“Gas, lo nyuruh Kirana cuci piring di dapur?” Tanya Raga to the point bahkan ia melupakan panggilan 'kamu dan saya' yang biasa ia gunakan ketikan hendak berbicara dengan bawahannya itu.

“Hah? Maksud, Bapak?” Bagas mengerutkan keningnya bingung, karna setahunya Kirana sedang asik berbincang dengan Ibu dan juga Asri di ruang tamu rumahnya. “Cuci piring gimana, Pak.”

“Mending lo liat sendiri dia lagi ngapain di dapur kotor lo itu,” ucap Raga tegas.

Bagas akhirnya menuruti ucapan Raga, ia buru-buru berlari kecil menuju dapur kotor rumahnya dari samping taman depan seperti yang di lakukan Raga barusan, ternyata benar, Kirana benar-benar sedang mencuci piring, bahkan baju bagian bawah nya sudah basah karena terciprat air saking banyaknya piring yang ia cuci.

“Sayang, kamu ngapain?” Tanya Bagas, ia menghampiri Kirana dan mematikan keran yang masih terus menyala di washtaffel dapurnya.

“Sayang, aku cuma mau bantu-bantu Ibu kamu aja.”

“Gak gini, Na. Kamu di suruh Ibu?”

Kirana sempat meragu untuk mengatakan jika ia memang di suruh oleh Ibunya Bagas, ia justru menggeleng kecil. “Enggak, Sayang. Ini insiatif aku sendiri, aku benar-benar mau bantu-bantu acara ulang tahun Ibu kamu.”

“Enggak, aku gak mau liat kamu cuci piring.” Bagas menarik pergelangan tangan Kirana, membawa wanita itu keluar dari dapur rumahnya.

Kebetulan sekali mereka berpapasan dengan Kanes yang juga hendak ke dapur, ia mau mengambil beberapa makanan untuk mengisi piring snack yang kosong di ruang tamu. Wanita itu juga sama kagetnya seperti Bagas barusan, apalagi saat melihat baju bagian bawah Kirana basah dan sedikit terkena noda dari piring kotor yang ia cuci.

“Mas, Mbak Kirana kenapa?” Tanya Kanes kaget.

“Nes, kamu pinjemin baju kamu dulu ya, nanti Mas ceritain. Kamu bawa Mbak Kirana ke kamar kamu dulu ya.”

“Iya-iya,” Kanes mengangguk-angguk, wanita itu menggandeng tangan Kirana menuju lantai 2 dan mengajaknya masuk ke dalam kamar Kanes.

Sementara itu Bagas buru-buru menghampiri Ibu nya, kebetulan sekali Ibu tidak sedang menerima tamu. Ibu sedang asik mencicipi cake yang di bawa tamunya bersama dengan Asri.

“Buk, Ibu suruh Kirana cuci piring di dapur?” Tanya Bagas.

Ibu yang tadinya sedang menikmati cake itu langsung menaruh piring yang berisi cake yang ada di pangkuannya ke atas meja, wanita itu berdiri dan menatap Bagas tak kalah nyalangnya dengan si sulungnya itu.

“Perempuan itu mengadu sama kamu, Bagas?” Hardik Ibu.

“Kirana gak ngadu, Buk. Bagas yang lihat sendiri Kirana cuci piring, kenapa Ibu tega banget sih, Buk?”

“Biar dia lebih berguna sedikit, dari pada dia harus duduk disini sama Ibu lebih baik Ibu suruh dia cuci piring kan? Toh dia juga mau kok.” Ibu kembali duduk, seolah-olah hal yang tengah di bicarakan Bagas bukanlah persoalan yang penting.

“Kirana itu tamu, Buk. Pacarnya Bagas, calon Istrinya Bagas, Buk. Tolong perlakuin dia lebih baik. Bagas sangat di terima baik di keluarganya, Buk.”

“Gak ada calon istri, Bagas. Ibu dan Ayah enggak akan pernah merestui hubungan kalian! Sampai mati sekalipun, calon istri kamu itu cuma Asri! Kamu di terima baik di keluarganya karena perempuan itu dan keluarganya cuma mau memanfaatkan kamu untuk membayar hutang-hutang keluarga mereka!”

“Kata siapa, Buk? Kirana gak pernah punya niat kaya gitu ke Bagas.”

Sekarang anak dan Ibu itu saling bicara dengan nada tinggi, bahkan tamu-tamu yang ada di sana sampai sedikit menoleh. Sementara Asri hanya terdiam di tempatnya, ia bingung harus melakukan apa. Keduanya sama-sama tengah di landa kemarahan.

“Kata Ibu, mungkin sekarang belum terbukti tapi suatu saat kamu akan sadar itu, Bagas.”

Tanpa Bagas sadari, Kirana dan Kanes sudah selesai berganti pakaian dan turun ke lantai satu. Bahkan Kirana mendengar semua ucapan menyakitkan dari orang tua Bagas lagi, hatinya sudah tidak kuat, ia tak masalah di hina jika ia tidak pantas bersama Bagas tapi tidak dengan keluarganya, Ibunya Bagas bahkan enggak tahu bagaimana perjuangan Kirana dan Ibu untuk menbayar hutang-hutang itu tanpa mengandalkan orang lain.

“Kirana..” Setelahnya Bagas barulah sadar jika Kirana mendengar semua perdebatannya dengan Ibu.

Tanpa berpamitan pada Ibu dan keluarga Bagas yang lain, Kirana langsung keluar dari rumah Bagas dengan sedikit berlari. Ia abaikan beberapa pasang mata yang memperhatikannya berlari sembari di ikuti Bagas di belakangnya.

“Na..Na.. Tunggu sebentar,” Bagas berhasil meraih tangan Kirana, namun wanita itu menghentakkannya sedikit keras hingga tangan Bagas terlepas dari pergelangan tangannya.

“Lepas!!” Kedua bahu Kirana naik turun, ia menangis. Hatinya sungguh sakit. “Aku gak pernah ngadalin kamu buat bantu keluargaku bayar hutang, Gas. Gak pernah.”

“Iya Kirana iya, aku tau. Maafin Ibuku yah.” Bagas hendak memeluk Kirana, namun wanita itu buru-buru mendorongnya menjauh.

“Kamu di jodohin sama Asri, Gas? Iya?”

Bagas yang di tanya seperti itu tidak menjawab, ia hanya diam menunduk. Ia tidak ingin sebuah kejujuran menyakiti hati Kirana lagi. Hari ini sudah cukup wanitanya itu tersakiti karena ucapan Ibu.

“JAWAB AKU BAGAS!!” Kirana sedikit berteriak.

“Iya, iya aku di jodohin sama Asri, tapi aku gak mau, Na. Aku cuma mau nikah sama kamu, aku cuma mau bertahan sama hubungan kita karna aku sayang kamu, Na.”

Kedua tangan Kirana itu menutupi wajahnya, isaknya itu semakin menyesakan ketika sebuah kejujuran dari bibir Bagas lagi-lagi menyakitinya. Ia bingung harus bagaimana menyikapi hal ini, Kirana pikir ia hanya perlu di beri waktu sendiri. Jadi, buru-buru ia berhentikan ojek yang kebetulan melintas di depan rumah Bagas.

“Na.. Kamu mau kemana? Biar aku antar, Na.” Bagas menahan pergelangan tangan Kirana agar wanita itu tidak pergi meninggalkannya.

“Lepasin, Bagas. Aku butuh waktu sendiri.”

“Aku anterin.”

Perlahan-lahan, Kirana memegang tangan Bagas yang menahan pergelangan tangannya ia lepaskan tautan mereka dan menggeleng pelan. “Aku mau sendiri, tolong..” Ucapnya lirih.

Tak ada yang bisa Bagas lakukan, ia pada akhirnya membiarkan Kirana pergi dengan ojek yang tadi ia berhentikan. Membiarkan punggung kecil itu semakin menjauh, Bagas bingung, hatinya juga sakit dan pikirannya kacau. Jika di suruh memilih, ia sendiri juga bingung. Bagimana pun orang tuanya dan Kirana sama pentingnya dan memilih salah satu dari mereka bukanlah sebuah jawaban.

Bersambung...

Dalam perjalanan dari rumah Bagas yang Kirana lakukan hanyalah menangis, dadanya sampai sesak semakin ia tahan tangisnya. Ucapan dari mulut orang tua Bagas itu terus terngiang di telinganya, hatinya sakit bukan main apalagi saat ia mengetahui jika Bagas sudah di jodohkan dengan wanita lain.

Yang Kirana pikirkan saat ini adalah bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Ia sudah banyak melalui berbagai hal dengan Bagas, melepas Bagas pun tidak mudah baginya. Bagas selalu menjadi obat untuknya bahkan di hari ia kehilangan Bapaknya.

Tetapi untuk melangkah maju melanjutkan hubungan mereka pun rasanya Kirana enggak sanggup, ia sudah mendapatkan penolakan dari keluarga Bagas dan Kirana enggak terima harga diri dan keluarganya di injak-injak seperti itu. Isak dari bibir tipisnya itu semakin menyesakkan, Kirana enggak perduli jika supir ojek yang ia tumpangi itu bertanya-tanya kenapa Kirana terus menangis.

Tidak lama kemudian, ojek yang di tumpangi Kirana itu menepi di bahu jalan. Entah kenapa, Kirana juga tidak paham. Buru-buru ia elap wajahnya dengan tangannya itu, Kirana udah gak perduli pada make up nya yang sudah luntur, bergeser atau oksidasi sekalipun. Ia hanya memikirkan perasaanya saja hari ini.

“Kenapa, Pak?” tanya Kirana begitu motor yang ia tumpangi itu berhenti.

“Maaf, Mbak. Motor saja baterai nya habis, mana tempat tukar baterai nya masih jauh lagi, Mbak nya pesan ojek online yang lain saja ya?” kata Bapak itu.

Kirana mengangguk kecil, ia melepas helm yang ia pakai dan turun dari motor ojek online yang ia berhentikan secara random tadi di depan rumah Bagas.

“Gapapa, Pak.” Kirana merogoh saku nya dan memberikan uang untuk ia bayar, biarpun tidak sampai di tujuan, Bapak itu setidaknya sudah menyelamatkan Kirana untuk secepatnya pergi dari rumah Bagas. “Uangnya, Pak.”

“Gak usah, Mbak. Kan belum sampai tujuan.”

“Gapapa, Pak. Ambil aja.” Kirana tetap memberikan uang itu, ia merasa tidak enak jika tidak membayarnya.

“Makasih yah, Mbak.”

Kirana hanya mengangguk kecil, ia akhirnya berjalan untuk sampai di halte bus, mungkin ia akan menaiki bus saja untuk sampai di rumahnya. Bukan Kirana tidak sadar jika sedari tadi saku celana nya terus bergetar, getaran itu berasal dari ponselnya. Ia yakin jika Bagas yang menelfonnya tiada henti.

Kirana gak tahu apa yang harus ia ceritakan pada Ibu jika Ibu bertanya nanti, Ibu tahu persis bagaimana Kirana menyiapkan brownies dan puding untuk orang tua Bagas itu. Selama ini pun, Kirana hanya bercerita yang baik-baik tentang keluarganya Bagas. Kirana enggak pernah bercerita dengan jujur bagaimana keluarga Bagas memperlakukannya. Kirana enggak ingin Ibu sedih, dan terlebih ia tidak ingin sikap Ibu berubah dengan Bagas.

Kirana telah sampai di halte bus tak jauh dari tempat ia berhenti tadi, ia duduk di halte itu. Termenung melihat lampu-lampu kota yang mulai menyala dan lampu-lampu yang berasal dari kendaraan, bunyi bising dari klakson sore itu seperti satu-satunya teman untuk mengisi hampa dan sedih di hatinya.

Kepalanya sedikit pening karena terlalu banyak menangis, namun rasanya air matanya tak kunjung ingin berhenti menetes dari pelupuknya. Kirana masih ingin terus menangisi harinya saat ini, entah sampai kapan air matanya itu bisa berhenti dengan sendirinya.

Sedang tertunduk meratapi dirinya, sebuah mobil Hyundai Ioniq 5 N itu berhenti di depan halte tempat Kirana berpijak, pengendaranya keluar dari sana dan menghampiri Kirana yang bahkan belum sadar akan kehadirannya.

“Kirana?” panggil orang itu yang membuat Kirana menoleh tanpa menghapus air mata yang masih menetes dari pelupuk matanya.

“Pa..pak Raga?” gumamnya, Kirana buru-buru menghapus jejak air matanya itu dan berdiri.

“Kamu ngapain disini?”

“Saya mau pulang, Pak. Lagi nunggu bus.”

“Saya antar kamu pulang aja ya?” Raga tidak tega melihat Kirana menunggu bus sendirian, apalagi wanita itu juga sepertinya sedang tidak baik-baik saja. Entah kenapa melihat Kirana menangis, rasanya ada separuh dalam dirinya yang tidak terima. Ia ingin menghajar orang yang membuat wanita itu menangis di jalan seperti ini.

“Gausah, Pak. Gapapa saya naik bus aja.” Kirana takut merepotkan Raga, selain itu ia juga sungkan dan sedikit malu. mungkin saja Raga melihat bagaimana ia dan Bagas bertengkar di pesta ulang tahun barusan.

“Saya mau minta bantuan kamu kebetulan, lagi enggak sibuk kan?” ini hanya alibi Raga saja agar Kirana mau ikut dengannya.

Kirana seperti menimang-nimang permintaan itu dari Raga, Raga atasannya dan pria itu baik. Tidak ada salahnya jika Kirana membantu Raga sebentar, lagi pula rasanya ia belum siap pulang jika air matanya belum kunjung berhenti dan suasana hatinya belum membaik. Ia takut menangis saat Ibu bertanya nanti.

Kirana akhirnya mengangguk, “boleh, Pak.”

“Yaudah, sekarang masuk ke mobil saya yah.” Raga memberi jalan untuk Kirana, membiarkan wanita itu masuk ke mobilnya lebih dulu baru setelah itu ia masuk ke mobil miliknya.

Di perjalanan Raga juga enggak tanya-tanya apapun itu sama Kirana, dia cukup paham jika suasana hati wanita di sebelahnya itu enggak cukup baik. Hanya ada suara dari radio yang terdengar, sang penyiar yang sedang saling berbincang mengenai berita di negeri mereka yang mulai carut marut itu. Tentang eksploitasi alam dan beberapa pulau di Sumatra yang di beritakan akan di jual.

Mobil yang di kendarai Raga itu berhenti di sebuah deretan pedagang kaki lima, berhenti di sebuah tenda yang menjual martabak manis dan martabak telur. Raga dan keluarganya sudah biasa datang kesana untuk membeli martabaknya.

“Kok kesini, Pak?” Kirana menoleh, seingatnya Raga kan butuh bantuannya.

“Iya saya mau minta tolong sama kamu pilihin martabak.” Raga melepas seatbelt nya dan mematikan mesin mobilnya itu.

“Apa?!” pekik Kirana, agak sedikit kaget karena kelakuan konyol atasannya itu. “Serius?”

“Kamu mau turun dan kehabisan nafas di mobil apa mau ikut saya liatin Mamang nya bikin martabak?”

Tentu saja opsi pertama adalah pilihan yang buruk, Kirana memang sedang gundah gulana tapi kehabisan nafas di dalam mobil atasannya itu bukan ide yang baik ia pikir. Jadi cepat-cepat ia buka seatbelt yang terpasang di tubuhnya dan ikut keluar dari mobil mengekori Raga.

Pria itu berdiri di depan menu yang di tempel di gerobak besar tukang martabak itu, dan Kirana ikut berdiri di belakangnya sambil membaca menu nya juga. Ternyata untuk ukuran martabak pinggir jalan, harga martabak tempat Raga berhenti ini harganya lumayan mahal juga menurut Kirana.

Tapi dia pikir bisa saja mahal karena bahan-bahan yang di pakai adalah bahan dengan kualitas terbaik, bisa Kirana rasakan sendiri jika wangi yang di sebarkan dari aroma martabak manis yang sedang di panggang itu begitu harum.

“Menurut kamu lebih enak martabak coklat kacang atau martabak telur bebek tapi telurnya 4, Na?” tanya Raga.

Kirana melirik Raga sebentar, jadi yang di maksud meminta bantuannya adalah untuk memilihkan martabak manis atau martabak telur? Pikir Kirana. Wanita itu jadi terkekeh pelan, gak nyangka kalau permintaan tolong Raga akan seabsurd ini.

“Jadi Bapak minta tolong saya pilihin martabak?”

Raga mengangguk, “kalau soal martabak saya enggak bisa milih, susah. Karna dua-dua nya enak.”

“Kenapa gak beli dua-dua nya aja?”

“Saya cuma mau beli satu macam,” jawab Raga enteng.

Kirana mengangguk-angguk, setidaknya ajakan konyol dari atasannya itu bisa sedikit membuat gundah gulana hatinya sedikit terlupakan walau mungkin hanya sebentar.

“Martabak telur aja gimana?” Kirana tertarik aja sama telur bebek nya, apalagi daging giling yang sedari tadi di depannya itu sebagai toping martabak benar-benar harum. Kirana udah bisa bayangin akan setebal apa martabak nya jika memakai empat telur bebek.

“Boleh,” Raga mengangguk. “Kamu duduk dulu saja, saya mau pesan dulu.”

Kirana tersenyum kecil, kemudian menarik kursi yang ada di sana. Menunggu Raga memesan martabak miliknya sembari sesekali ia melihat atraksi masak dari pedagang yang sedang membuat kulit martabak telur menjadi ukuran besar. Kirana benar-benar takjub rasanya, dari ukuran kecil bisa menjadi besar dengan ketebalan yang sempurna dan tidak sobek sedikipun.

Tidak lama kemudian Raga menyusul Kirana, duduk di samping wanita itu sembari menyaksikan pedagang itu membuat pesanan mereka. Di liriknya Kirana, Raga sedikit lega karena sorot sendu itu sudah sedikit sirna. Setidaknya Kirana sudah tidak menangis lagi.

“Bakpau yang saya kasih waktu kamu sakit itu.” Raga terkekeh, mengingat kelakuan konyolnya yang membelikan Kirana banyak bakpau.

“Ya?” Kirana menoleh. “Kenapa, Pak?”

“Kamu suka bakpau nya?”

Mengingat bakpau yang di beli Raga waktu itu Kirana jadi terkekeh, pasalnya pria itu membelinya lumayan banyak. Sampai Kirana membaginya pada pasien-pasien lain yang satu kamar dengannya.

“Suka kok.”

Raga tersenyum, ada desiran hangat di hatinya mendengar Kirana menyukai bakpau yang ia belikan. “Bagus deh kalau kamu suka, kamu ingat waktu Ayu dan Jayden kencan gak?”

Kirana mengerutkan keningnya, tentu saja ia ingat. Mimpi kencan bersama Jayden sembari berkuda dengan pria itu membuat perasaan Kirana di pagi hari membaik. Pria Belanda itu benar-benar romantis dan sangat melindungi Ayu di dalam mimpinya, mana mungkin ia bisa lupa.

“Ingat, mereka makan bakpau kan?” ucap Kirana dengan kekehan dari bibir mungilnya.

“Benar.”

“Jadi itu sebab nya Bapak tanya saya ya, lebih suka bakpau atau onde-onde?” tebak Kirana, karena Raga bermimpi lebih dulu tentang pasangan itu bisa saja saat Raga menawarinya bakpau. Raga sudah bermimpi Ayu dan Jayden berkencan.

“Iya,” Raga terkekeh. “Saya juga gak nyangka kalau kamu bakalan milih bakpau.”

Kirana mengangguk-angguk kecil, mengesampingkan Ayu dan Jayden. Ia jadi ingat bagaimana tatapan Raga saat melihatnya mencuci piring di rumah Bagas barusan, mungkin saja Raga yang memberi tahu Bagas jika ia melihatnya mencuci piring.

“Pak?”

“Ya, Kirana?” Raga menoleh, ia tadi sedang membuka botol air mineral yang ada di meja tempat mereka duduk.

“Soal kejadian di rumah Bagas barusan.”

“Ya?”

“Bapak yang bilang ke Bagas ya kalau saya nyuci piring?” Kirana berbicara dengan nada penuh kehati-hatian, takut sekali pertanyaanya itu terdengar seperti tuduhan dan membuat hati atasannya itu tersinggung.

“Iya, memang saya, Na. Saya yang menegur Bagas kenapa dia membiarkan kamu mencuci piring di rumahnya.”

Kirana mengangguk kecil, sesuai dugaanya. Tapi jika Raga tidak memberi tahu pun. Kirana pasti akan tetap di hina oleh orang tua Bagas, semua sama saja. Bahkan jika Raga tidak memberi tahu Bagas, mungkin ia tidak akan tahu kebenaran jika Asri adalah wanita yang di jodohkan orang tua Bagas untuk putra mereka.

“Maaf yah, Na. Kalau kesannya saya ikut campur urusan pribadi kamu dan Bagas.” Raga ngerasa dia harus minta maaf, biar bagaimana pun ia sudah seperti mencampuri urusan keduannya. Meskipun di mata Raga, Bagas dan keluarganya tidak cukup baik memperlakukan Kirana dengan membiarkan wanita itu mencuci banyak piring bekas tamu di rumahnya.

“Gapapa, Pak. Saya juga udah capek banget sebenarnya, jadi bisa langsung pulang deh walau cucian piringnya belum selesai.” Kirana terkekeh pelan, meski hatinya sakit. Ia berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja di depan atasannya itu.

Setelah martabak pesanan Raga selesai di buat, Raga langsung mengantar Kirana pulang. Hari sudah semakin larut, Raga memaksa untuk tetap mengantar Kirana pulang meski Kirana awalnya meminta di turunkan di halte bus saja. Untung saja wanita itu pada akhirnya setuju.

“Ini buat Ibu kamu, Na.” Raga mengambil 3 kotak martabak dari 4 yang ia beli barusan.

“Hah? Kok jadi buat Ibu saya, Pak?” Tanya Kirana bingung.

“Iya, saya emang beli buat kamu sama Ibu kamu.”

“Ma..makasih, Pak. Tapi ini banyak banget.” Kirana menganga melihat tiga kotak martabak telur itu. Dia hanya berdua dengan Ibu bagaimana caranya menghabiskan makanan sebanyak itu.

“Kamu kasih ke tetangga kamu juga gapapa sisa nya.”

Kirana menggeleng kepalanya pelan, ia benar-benar di buat heran oleh kelakuan atasannya itu. “Terima kasih sekali lagi yah, Pak.”

“Sama-sama Kirana.”

“Saya turun dulu kalau gitu, Bapak hati-hati di jalan.” Kirana melepas seatbelt nya dan hendak membuka pintu mobil Raga sampai akhirnya gerakannya itu tertahan karena Raga memanggilnya.

“Kirana?”

“Ya, Pak?” Ia kembali menoleh.

“Jangan nangis di pinggir jalan lagi,” ucap Raga tak di sangka-sangka.


Samarang, 1898.

Dimas dan Ayu melangsungkan pernikahan yang di gelar begitu mewah di Samarang, ada banyak tamu dari para petinggi pribumi, saudagar dan juga para petinggi kolonial yang juga datang untuk memberi ucapan selamat pada keduanya. Meskipun begitu, Ayu tak mengizinkan Jayden datang untuk menemuinya di pesta pernikahannya ia tidak akan sanggup melihat kedua netra kecoklatan itu menampakan sebuah kesedihan.

Pesta yang di gelar hingga malam itu membuat Ayu sedikit kelelahan, ia lebih banyak diam dan jarang sekali tersenyum jika Romo tidak menegurnya. Terkadang, Dimas mengajaknya untuk ikut menari bersama para penari yang memang di panggil untuk menghibur para tamu undangan.

Ketika Dimas sedang sibuk berbicara dengan teman-temannya, Adi yang sedari tadi berdiri lumayan jauh dari tempat mempelai itu akhirnya menghampiri Ayu. Membuat Ayu yang sedang duduk bersandar itu menoleh pada Adi yang tiba-tiba saja datang menghampirinya.

“Raden Ayu?” panggil Adi, mata pria itu juga menampakan kesenduhan.

Sehari sebelum pesta pernikahan itu di gelar, Ayu sempat bercerita pada Adi jika ia sama sekali tidak menginginkan sebuah pernikahan bersama Dimas. Bahkan ada kala nya Ayu berpikiran nekat untuk meminta Adi membawanya pergi ke kediaman Jayden berada.

“Mas Adi? Ada apa?” tanya Ayu, ia sontak berdiri.

“Sir Jayden datang, ia menunggu Raden Ayu di kebun belakang,” bisik Adi, dekat telinga Ayu namun tetap ia beri jarak. Adi masih tahu diri untuk tidak terlalu dekat jika berbicara dengan Ayu.

Mendengar ucapan Adi, hati Ayu seperti di buat gundah gulana. Ia memendarkan pandangannya ke sekitarnya, berharap tidak ada orang lain yang menyadari jika ia meninggalkan kursinya sebentar saja demi bertemu Jayden. Ia tidak bisa membiarkan Jayden dan Dimas berhadapan lagi seperti kemarin.

Karena nyatanya, setelah ia berbicara sebentar dengan Jayden. Dimas langsung menuturkan ucapan yang membuat Jayden tersinggung, menurut pria itu, Dimas telah merendahkan Ayu sebagai seorang wanita dan Jayden tidak terima, mereka nyaris saja berkelahi jika Ayu tidak segera menengahi dengan kedua tangan yang bergetar bukan main.

“Antarkan Ayu pada Sir Jayden, Mas Adi.”

Adi mengangguk, ia memberikan tangannya untuk Ayu pegang. Sebagai tumpuhan agar Ayu bisa mengikuti langkahnya menuju tempat Jayden berada. Beruntungnya, keramaian yang ada membuat Adi dan Ayu dengan cepat keluar dari tempat pesta itu berada, para tamu dan keluarga yang datang sedang sibuk menonton para penari. Dan itu di jadikan kesempatan bagi Adi untuk membawa Ayu pergi.

Langkah kaki Adi yang panjang-panjang itu membuat Ayu sedikit kelimpungan, ia hampir saja oleng jika saja Adi tidak menggenggam tangannya dengan erat. Nafasnya juga sedikit tersenggal karena Ayu benar-benar kelelahan.

“Mas Adi, Mlayune alon-alon,” keluh Ayu dengan nafas yang tersenggal-senggal.

Adi berhenti sebentar, ia menoleh ke belakang untuk melihat kondisi Ayu yang tangannya ia genggam. Wanita itu berkeringat, jika tidak mengenakan riasan mungkin wajah Ayu sudah pucat. Nafasnya juga tersenggal-senggal terlihat dari dua bahu kecil itu naik turun.

“Jika Raden Ayu mengizinkan, saya bisa menggendong Raden Ayu.” Adi menawarkan Ayu untuk ia gendong, ia tidak tega melihat Ayu seperti kehabisan oksigen seperti itu.

Ayu yang sudah sedikit lemas itu mengangguk, membiarkan Adi bersimpuh membelakanginya. Membiarkan tubuh kurusnya itu jatuh dalam punggung lebarnya, Ayu memeluk leher Adi. Ia benar-benar sudah pasrah Adi akan membawanya kemana, ia percayakan saja pada pria itu.

Bagi Adi, Ayu tidaklah berat. Jadi ia bisa sedikit berlari agar bisa sampai pada kebun belakang yang sedikit lagi sampai itu. Di ujung sana ada sebuah gubuk kecil dengan penerangan minim, cahaya itu berasal dari obor yang di pegang oleh seseorang pria disana. Itu adalah Jayden, dengan raut wajah penuh kekhawatiran melihat dari ujung tempatnya berdiri, seorang pria menggendong wanita yang tampak tidak begitu berdaya di punggungnya.

Begitu pria itu mendekat, barulah Jayden tahu jika mereka adalah Adi dan Ayu. Adi menurunkan Ayu di atas amben yang ada di gubuk kecil itu, setelah memastikan jika Ayu duduk disana, Adi sedikit menjauh dari pasangan itu. Membiarkan Jayden dan Ayu berbicara meski waktu keduanya tidaklah banyak.

“Ayu..” Gumam Jayden, matanya berbinar dengan sedikit genangan air mata di pelupuk matanya.

Jayden kagum karena Ayu dan riasan sederhana nya itu membuat wajah yang sudah dahayu itu semakin indah, sedangkan genangan air mata yang tertahan di pelupuk matanya itu menginsyaratkan sebuah kehancuran di hati Jayden. Dua minggu sudah perjuangannya untuk mendapatkan restu dari keluarganya dan Ayu tidak mendapatkan hasil.

Saat berbicara jujur jika ia mengencani seorang pribumi yang mana adalah seorang anak priyai, Jayden tentu saja mendapat penolakan dari orang tua nya di Belanda. Bahkan dari Kakak perempuannya, bahkan Jayden kerap di ancam jika jabatannya sebagai Asiten Residen Samarang akan di berhentikan dan memulangkannya ke Belanda jika tetap nekat menikahi Ayu.

Ayu yang sudah lemas itu tidak menjawab, ia hanya berdiri dan berhambur ke pelukan pria yang sangat ia rindukan itu. Ayu tidak perduli statusnya saat ini sudah menjadi istri dari pria lain.

“Bawa aku bersamamu, Sir Jayden,” ucap Ayu dalam isaknya.

Di rengkuhnya tubuh mungil itu, berkali-kali Jayden mengecupi kepala Ayu, mengusap punggung kecilnya demi meredam tangis itu.

“Aku tidak akan kemana-mana, liefj. aku akan tetap di tanah Samarang ini meski tidak bersamamu.”

Ayu sudah tahu perihal ancaman keluarga Jayden pada pria itu, Jayden menitipkan surat melalui Adi untuk di baca Ayu.

“Mas Dimas akan membawaku ke Soerabaja, jika aku pergi ke sana. Kita akan sulit bertemu, ini kesempatan terakhir yang kita miliki jadi aku mohon padamu bawaku pergi sekarang.” ucapan Ayu itu terdengar seperti sebuah permohonan.

Jayden tahu Ayu sedang tidak berpikir jernih, jabatan Jayden sebagai asisten Residen dan keluarga Ayu yang berasal dari keluarga terpandang itu akan menyulitkan keduanya untuk melarikan diri. Akan ada seyembara nantinya jika mereka berdua kabur.

“Kau mau berjanji satu hal padaku, sayang?” Jayden merenggangkan pelukan itu, sedikit memberi jarak pada Ayu demi bisa menghapus jejak air matanya itu.

“Ap..apa?”

“Berjanjilah untuk terlahir kembali, aku akan berusaha menemukanmu dan mengusahakan kita untuk bisa bersama jika di kehidupan saat ini kita benar-benar tidak berjodoh.”

Bersambung...

Hingga pagi pun Bagas belum berbicara dengan Ibu nya, sarapan pagi di meja makan hari itu pun rasanya sangat dingin tanpa obrolan. Hanya Kanes saja terkadang yang berceloteh tentang kehidupan di kampus nya itu, Sesekali Bagas menimpali dengan anggukan atau bahkan menanggapi seperlunya saja.

Bagas tahu Adiknya itu ingin mencairkan suasana, namun sayangnya suasana hati Bagas urung membaik jika Kirana tak juga mengangkat panggilan darinya. Setelah pertengkaran kemarin, suasana pesta pun jadi tidak nyaman. banyak tamu-tamu bertanya apa yang terjadi pada Ibunya Bagas dan juga Bagas sampai harus adu mulut seperti itu.

Ayah tentu saja marah bukan main, bahkan tak segan-segan pria yang sangat Bagas hormati itu menampar sisi wajah Bagas demi menyadarkan putranya jika sikapnya itu sudah keterlaluan.

“Setelah pulang kantor, Ayah harap kamu segera pulang, Bagas,” ucap Ayah memecahkan hening ketika Kanes kembali fokus pada makananya itu.

“Bagas masih harus memantau proyek di daerah Tanggerang, Yah.” Ini hanya alibi Bagas saja, tak ada proyek yang harus ia pantau karna proyek yang ia pegang pun berada di Surabaya.

“Izin saja dulu, Ayah sudah buat janji dengan kedua orang tua Asri untuk membicarakan pertunangan kalian.”

Bagas menghela nafasnya, memejamkan keduanya matanya untuk menahan segala amarah yang sepertinya sebentar lagi akan segera membucah itu. Apa penjelasannya mengenai penolakan perjodohan itu kurang jelas di telinga orang tua nya?

“Apa Ayah dan Ibu enggak bisa membiarkan Bagas tetap pada pilihan Bagas?” Tanya Bagas pada kedua orang tua nya itu, ia abaikan saja tendangan kecil yang berasal dari kaki Kanes di bawah meja sana. Adiknya itu seperti memberi kode padanya untuk tidak berdebat di meja makan, apalagi ini masih pagi.

“Ayah dan Ibu tidak akan menentang pilihan kamu jika pilihan kamu itu baik untukmu, Bagas.”

“Yang tahu baik dan enggaknya itu Bagas, Yah. Apa Ayah dan Ibu mau bertanggung jawab kalau kalian tetap memaksa Bagas menikah dengan Asri, kehidupan pernikahan Bagas dan Asri enggak bahagia?” tanya Bagas tegas, menurutnya memaksakan kehendak kelak tidak akan mendatangkan bahagia untuk ia maupun Asri. Asri wanita baik, dan ia layak mendapatkan pria yang juga mencintainya.

“Apa kalau kamu bersama perempuan itu kamu sudah pasti bahagia? Bagaimana kalau kamu cuma di jadikan sapi perah, Bagas?” Ibu membalikan ucapan Bagas itu.

“Itu kan cuma asumsi Ibu aja.”

“Menilai perempuan itu dan keluarganya baik juga cuma asumsimu saja, bagaimana kalau selama ini mereka cuma pura-pura baik agar kamu mau menikahi anaknya?”

Bagas berdiri, ia sudah cukup sabar mendengar kedua orang tua nya selalu memaksakan kehendak mereka. Bagas tidak tahan, ia hanya ingin bersama Kirana. Bukan di paksa menikah dengan wanita yang tidak ia cintai. Menikah itu selamanya, jika bukan dengan orang yang ia sayang Bagas tidak yakin ia bisa bahagia. Ia juga tidak ingin menyakiti Asri jika ia tidak bisa membahagiakannya karena tidak ada cinta yang tumbuh untuk wanita itu.

“Perempuan itu punya nama, Buk. Kalau Ibu dan Ayah tetap tidak merestui Bagas dan Kirana untuk menikah. Bagas sudah siap untuk meninggalkan keluarga ini,” ucap Bagas penuh penekanan. Ia sudah naik pitam, tidak menghiraukan ucapan Ibunya lagi. ia ambil tas kerjanya dan melangkah dengan cepat keluar dari rumah.

Begitu sampai di kantor barulah hati Bagas sedikit lega ketika melihat Kirana tengah mengobrol dengan Almira, sepertinya suasana hati wanita itu sudah sedikit membaik atau ini hanya cara Kirana untuk tetap profesional saja? Pikir Bagas. Begitu melihat Bagas datang, Kirana tersenyum seperti seolah-olah tidak terjadi apapun di antara mereka kemarin.

“Kamu bawa apa?” tanya Bagas, ia menghampiri meja Kirana.

“Martabak telur sisa semalam, kamu mau?” Kirana membuka kotak bekal miliknya dan memberikannya ke Bagas.

Terlihat ada beberapa potong martabak telur yang tebal dengan isi daging yang beberapa keluar dari kulit martabaknya, ada cabai rawit dan acar ketimun di atasnya juga. Terlihat menggoda walau Bagas belum memiliki selera makan sejak perdebatan tadi pagi.

“Nanti aja, aku udah sarapan.” Bagas tersenyum. “Ikut aku sebentar yuk?”

“Kemana?” Kirana sedikit mendongak, posisinya ia duduk di kursi dan Bagas berdiri. Bagas itu tinggi, tingginya bahkan menyentuh 181cm sangat tinggi untuk ukuran orang Indonesia.

“Ihhhh Mas Bagas, gak bisa. Gue mau minta bantuin Mbak Kirana buat cek laporan gue. Nanti aja pas jam istirahat sih, lagian dikit lagi Pak Raga dateng. Dia lagi ngomel-ngomel tau di grup gara-gara Bang Satya gak setoran progress proyeknya,” sela Almira memperingati.

“Nanti aja yah, aku mau bantuin Almira dulu.” Kirana tersenyum, ia mengambil tangan Bagas dan mengusap punggung tangan itu dengan Ibu jarinya. Berkomunikasi dengan sentuhan itu seakan ia mengatakan jika ia sudah baik-baik saja.

Bagas mengangguk, ia mengusap pucuk kepala Kirana dan kembali ke kursinya. Mungkin setelah pulang bekerja nanti ia harus meminta bantuan Satya untuk di carikan kontrakan, kosan atau apartemen sekalian untuknya tinggal.

Keputusannya untuk meninggalkan rumah dan keluarganya itu sudah mantap. Ia adalah pria dewasa berusia 27 tahun, dan Bagas tidak ingin hidupnya terus di setir oleh kedua orang tua nya. Apalagi ini menyangkut masa depannya.

Bagi Bagas, menunggu hingga jam makan siang tiba rasanya sangat lama. Ia ingin sekali cepat-cepat mengajak Kirana ke atap kantor mereka untuk berbicara sekaligus meluruskan kekacauan kemarin. Pria itu melirik Kirana yang masih fokus pada layar monitor komputernya.

Bagas benar-benar tidak bisa fokus bekerja hari ini rasanya. Namun tidak bekerja pun dia bingung harus kemana, yang ada nanti semuanya tambah kacau. Mengingat ia sudah pernah mendapatkan teguran karena absen terlalu banyak di kantor ketika Kirana sedang kritis beberapa waktu lalu. Tak lama kemudian Raga keluar dari ruangannya, seperti sedang menelfon seseorang namun tak lama kemudian pria itu menyimpan kembali ponselnya di saku.

“Bagas, progress minggu ini bagaimana?” Tanya Raga yang membuat Bagas terkesiap. Ia buru-buru membuka laman mengenai progress proyek yang ada di layar monitor PC nya.

“Agak jauh dari rencana, Pak. Mereka kekurangan personel,” jelas Bagas agak sedikit gagap. Siapa yang enggak kaget di tanya seperti itu saat sedang melamun?

“Sudah buat berita acara untuk menambah personel ke kontraktor?”

Bagas mengerjap, ia baru ingat kalau belum membuat berita acara yang seharusnya ia segera serahkan ke kontraktor agar sesegara mungkin menambah personel demi mempercepat proses pembangunan. Salahnya sendiri, akhir-akhir ini Bagas memang tidak fokus bekerja. Ia pun meruntuki kebodohannya sendiri.

“Saya akan buat, Pak.”

“Kenapa baru di buat sekarang?” Tanya Raga tegas, membuat Satya, Almira dan Kirana pun saling lirik satu sama lain.

Raga memang tegas meski terbilang santai sebagai seorang atasan, ia tidak akan segan menegur bawahannya langsung jika memang salah. Dan ketegasan itu terdengar dari bagaimana ia bicara.

“Maaf, Pak.”

“Saya tanya kenapa, bukan menyuruh kamu minta maaf, Bagas.” Raga memijat pelipisnya, akhir-akhir ini urusan kantor membuat kepalanya sedikit pening. “Oke, untuk urusan interior bagaimana? Sudah berapa persen?”

“Dua puluh persen, Pak. Saya baru saja insert beberapa gambar ke laporan.”

Raga mengangguk, “oke, apapun yang kamu butuhkan minta ke Satya langsung ya, jangan masukan apapun yang enggak mereka minta, begitu juga sebaliknya.”

“Baik, Pak.”

Begitu Raga masuk kembali ke ruangannya Satya langsung memberi kode pada Bagas hingga mata keduanya bertemu. Wajah Bagas benar-benar kusut saat ini.

“Gimana sih lu,” bisik Satya walau masih bisa terdengar oleh Kirana dan Almira disana.

Bagas hanya diam saja sembari menghela nafasnya pelan, begitu jam makan siang ia langsung mengajak Kirana untuk berbicara di atap kantor. Kebetulan Kirana juga membawa bekal makan siang, jadi mereka bisa makan siang di atap saja ketimbang keluar dari kantor. Baru saja akan menekan lift menuju atap, keduanya berpapasan dengan Raga yang juga ingin keluar makan siang.

“Kirana, setelah makan siang. Kamu bisa ikut saya?” Tanya Raga, membuat Bagas yang berada di samping Kirana itu melirik kekasihnya.

“Kemana, Pak?”

“Kita mengawasi pekerja pelat untuk proyek di Tanggerang, bisa?”

Mau tidak mau Kirana mengangguk, toh ini memang pekerjaanya. Siapa yang bisa menolak? Pikirnya. “Bisa, Pak.”

“Oke, saya tunggu jam 1 ya.”

“Baik, Pak.”

Setelah mengatakan hal itu, Raga langsung berlalu dari sana dengan menepuk pundak Bagas. Keduanya pun langsung masuk ke dalam lift untuk menuju lantai paling atas gedung perkantoran mereka.

“Jangan lupa pakai APD nanti ya,” Bagas memperingati Kirana untuk setiap hal-hal kecil. Meski ia sendiri yakin kalau Kirana pasti sudah tau.

Wanita itu mengangguk kecil, begitu lift terbuka keduanya langsung berjalan menuju atap kantor. Untung saja tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa anak magang saja yang ada di sana. Itu pun sedang menelfon dan berada cukup jauh dari tempat mereka duduk.

“Kamu masih marah sama aku yah, Na?” Tanya Bagas to the point.

Kirana bingung harus menjawab apa, Bagas enggak salah sebenarnya. Yang salah hanya kedua orang tua nya, Kirana masih bisa sedikit memaklumi kenapa Bagas belum cerita atau bahkan enggak ingin cerita ke Kirana soal perjodohan itu.

“Kamu gak salah apa-apa kan, kenapa aku harus marah? Justru aku yang harusnya tanya, kamu sama Ibumu gimana?” semalaman sebelum tidur Kirana sempat memikirkan hubungan Bagas dengan Ibu nya, Bagas sangat membela Kirana di depan Ibu nya bahkan sampai menaikan nada bicaranya. Kirana jadi enggak enak, dia gak mau Bagas jadi pembangkang hanya demi membela nya.

Bagas menggeleng, “belum membaik. Na, soal aku dan Asri.”

Kedua mata mereka saling pertemu, hati Kirana seperti di remas dari dalam waktu Bagas menyebutkan nama wanita itu rasanya. Kirana masih ingat wajah Asri, wanita itu baik, cantik dan tentunya memiliki selera yang bagus hingga di sukai oleh kedua orang tua Bagas.

“Asri memang teman SMP aku, Na. Aku sendiri enggak tahu kalau aku di jodohin sama dia, bahkan Asri sendiri pun gak tau. Tiba-tiba aja dia ke rumah aku sama Papa nya dan orang tua kami ngomongin perjodohan, aku gak diam aja, Na. Aku jelasin ke Asri dan orang tua nya kalau aku punya kamu.”

Bagas menoleh ke arah Kirana, wanita itu sudah tidak lagi memakan bekal makan siangnya. Ia hanya memperhatikan gedung-gedung tinggi di depan mereka sembari menyimak ucapan Bagas di sebelahnya.

“Apa kalau kejadian kemarin gak ada, kamu tetap bakalan rahasian ini dari aku, Gas?” Kirana menoleh ke arah pria itu, mereka saling pandang. Menelisik netra masing-masing seperti tengah mencari jawaban.

“Aku gak ada niatan rahasiain ini sama kamu, aku cuma gak mau kalau aku cerita itu bakalan nyakitin kamu, Na. Mungkin memang keputusan yang aku ambil ini salah, aku minta maaf ya.”

Mata Kirana mulai memanas, mata teduh milik Bagas itu selalu menjadi tempat terlamahnya, menjadi titik dimana Kirana bisa menangis hanya dengan melihat kedua netra legam dan teduh itu. Kirana menangis, ia bingung harus bagaimana. Ia sangat mencintai Bagas sampai enggak tahu bagaimana jadinya jika mereka tidak berakhir bersama.

Sudah banyak hari, bulan dan tahun yang mereka lalui bersama. Suka dan duka mereka lalui berdua bahkan semua susunan rencana masa depan mereka sudah mereka tata sedemikian rupa, lalu untuk apa mereka menghabiskan waktu selama itu jika semesta tidak membiarkannya bersama?

“Sayang..” Bagas membawa Kirana ke dalam pelukannya, hatinya juga sakit. Ia juga bingung, anggaplah ia egois. Bagas akan memilih Kirana dan meninggalkan keluarganya. Tidak masalah tidak memiliki keluarga, toh pada nantinya ia akan membangun keluarga bersama Kirana.

“Aku bingung harus gimana, Gas. Aku gak mau kamu jadi pembangkang, aku mau tetap sama kamu, tapi aku ngerasa aku gak sanggup sama cara keluarga kamu memperlakukan aku, aku gak seburuk yang mereka pikirkan. Gak ada sedikitpun niat aku buat manfaatin kamu untuk beresin hutang-hutang Bapakku.”

Dalam isaknya di pelukan Bagas, Kirana berusaha menjelaskan pada pria itu apa yang ia rasakan, termasuk tentang tuduhan kedua orang tua Bagas ia tidak ingin Bagas juga memikirkan hal yang sama tentangnya.

“iya, Na. Iya, aku yang lebih kenal kamu, aku gak pernah mikir macam-macam tentang kamu.” Bagas mengecupi kepala Kirana, berharap tangis wanitanya itu reda.

Setelah di rasa hatinya sudah sedikit lega dan tangis nya pun sudah mereda, Kirana mengurai pelukan Bagas. Ia juga membiarkan Bagas mengusap wajah dan bagian bawah matanya yang basah karena air matanya itu.

“Jangan nangis lagi ya, maafin kedua orang tuaku ya, Na. Apapun yang mereka bilang, aku tetap di pihak kamu. Kamu masih mau bertahan sama hubungan kita kan?”

Kirana mengangguk, tentu saja Kirana belum ingin menyerah.

“Dengan ataupun tanpa restu dari kedua orang tua aku, aku akan tetap menikah sama kamu, Na.”

Mendengar ucapan Bagas itu, Kirana jadi kembali terisak. Bagas selalu berada di pihaknya, menjadi sumber kekuatannya selain Ibu. Bahkan pria itu tetap membela nya dan berada di pihaknya meski ia harus menentang keluarganya sendiri. Kirana bingung, ia gamang pada pilihannya. ia tidak ingin membuat Bagas jauh dari keluarganya tapi ia juga tidak akan pernah siap kehilangan laki-laki itu.

Setelah berbicara dengan Bagas di atap kantor, Kirana langsung pergi keluar kantor untuk memantau proyek yang berada di Tanggerang bersama dengan Raga. Hanya berdua saja memang dan itu sudah menjadi hal yang biasa, di perjalanan pun Raga enggak banyak bicara seperti kemarin-kemarin dengan Kirana.

Walau kadang Kirana berusaha mencari topik obrolan, sepertinya suasana hati Raga memang kurang baik. Urusan kantor memang sedang hectic beberapa proyek juga mengalami proses yang terlambat karena kekurangan personel, membuat Raga pastinya mendapatkan tekanan dari atasannya di kantor.

Begitu sampai, keduanya langsung memakai APD. Raga berpamitan pada Kirana untuk berbicara sebentar pada inspektor lapangan proyek tersebut sedangkan Kirana memantau proses pengecoran yang di lakukan di lantai 3.

“Pak Asepnya mana, Mbak?” Tanya seorang mandor yang bertugas.

“Lagi ngobrol sama Pak Raga di bawah, Pak.”

Mandor itu mengangguk, sementara Kirana masih memantau proses pengecoran sembari melihat gambar yang di pegangnya dan menandai beberapa lokasi yang di lakukan pengecoran hari ini.

“Hasilbatching plant nya oke.” Kirana benar-benar puas dengan pekerjaan yang di lakukan para pekerja disana.

“Agak mahal, Mbak. Atas permintaan team leader, Mbak. Loh, kemarin Bapak ke sini marah-marah minta di ganti batching plant.

Kirana tersenyum, sudah terbiasa mendengar orang-orang lapangan berbicara seperti itu mengenai Raga. Pria itu memang tegas, jika ada yang tidak sesuai menurutnya ia tidak akan segan-segan berkomentar pedas. Setelah selesai mengawas pun, Raga langsung mengajak Kirana kembali ke kantor.

“Saya mau beli kopi dulu, Na. Kamu mau?” Raga menghentikan mobil yang ia kemudikan itu di sebuah cofe shop.

“Gak usah, Pak.” Kirana emang jarang

“Tunggu disini sebentar ya.” Raga melepas seatbelt miliknya kemudian keluar dari dalam mobil.

Di dalam mobil Kirana hanya memperhatiakan Raga dari dalam, bagaimana punggung pria itu menjauh dan hilang di balik pintu cofe shop. Ia jadi teringat mimpinya semalam, sebenarnya ada yang ingin Kirana katakan pada Raga mengenai mimpinya, tentang teka teki yang seperti benang merah kenapa mereka bisa bermimpi hal yang sama.

Dalam mimpi Kirana, Jayden dan Ayu berjanji akan terlahir kembali jika di kehidupan mereka dahulu mereka benar-benar tidak bisa bersama. Jika ia dan Raga adalah reinkarnasi dari keduanya, apa itu artinya ia dan Raga akan bersama sebagaimana janji Jayden dan Ayu dahulu? Pikir Kirana.

Wanita itu mengerjapkan matanya, menghalau pikiran anehnya itu. Ia harus sadar jika ia sudah memiliki Bagas, lagi pula itu hanya asumsi nya saja, bisa saja bukan itu arti dari mimpinya dan Raga kan? Pikir Kirana berusaha meyakinkan dirinya.

“Maaf ya, Na. Lama antre banget soalnya di dalam.” Raga kembali, membawa kopi miliknya dan kantung berisi makanan ringan. Mungkin itu roti atau pastry karna wangi sekali butter nya.

“Gapapa, Pak.”

Raga enggak langsung melajukan mobilnya, ia justru memperhatikan kepulan asap dari kopi yang baru saja ia beli. Hati-hati Kirana melirik atasannya itu, Raga seperti tampak sedang melamun. Entah apa yang pria itu pikirkan, Kirana hanya bisa menebak mungkin ada sesuatu yang ingin Raga tanyakan padanya namun ia sungkan?

“Pak?” panggil Kirana memecahkan lamunan pria yang lebih tua itu.

“Eh—sorry saya ngalamun.” Raga menaruh gelas kopi miliknya, kemudian menoleh ke arah Kirana. “Mim..mimpi kamu semalam bagaimana, Na?”

tuh kan benar dugaanya..

“Ayu dan.. Dimas sudah menikah, Pak.”

Raga mengangguk-angguk, “Jayden meminta bantuan Adi untuk membawa Ayu?”

Kali ini Kirana yang mengangguk, “Bapak tau kan janji yang mereka buat?”

Raga terdiam, ia menghela nafasnya pelan kemudian mengangguk kecil. “Kamu kepikiran soal jawaban dari mimpi kita itu adalah janji mereka, Na?”

Pertanyaan sederhana itu membuat bibir Kirana terasa kaku, Raga seperti bisa membaca pikirannya. Atau Raga juga berpikiran hal yang sama dengannya?

“Sejujurnya iya, Pak. Tapi kita masih harus nunggu kelanjutanya saya pikir, karna rasanya semua masih menggantung.”

“Saya pikir juga begitu.”

Bersambung...

Kau mengalir dari setiap tetes darahku, mengarungi rongga-rongga jantungku. Aku tidak pernah mengizinkanmu kapan kamu boleh pergi, dan jangan sekali-sekalinya bertanya seperti itu. Jangan seenaknya melupakan kisah kita dan janji yang kita buat, sampai akhir tulisan ini. Kamu yang akan tetap aku inginkan, kamu yang tetap bertanggung jawab atas setiap air mataku.

begini lah aku jadinya, di tinggal kau aku merangkak, mendengar bising kutukan yang di tujukan padaku. Aku dengan pasrah membiarkanmu pergi, tanpa pernah menahanmu untuk melihat apa yang aku buat, sesuatu yang indah yang sangat kau sukai. Biar aku yang tetap memeliharanya hingga jadi rangka.

Referensi: Tak Sepadan, Chairil Anwar

Samarang, 1898.

Malam di malam pernikahan Dimas dan Ayu.

Setelah berpisah dengan Jayden, Adi kembali mengantar Ayu kembali ke acara pernikahannya. Mereka hanya bertemu kira-kira sepuluh menit, Adi tidak bisa lama-lama membawa Ayu pergi sebelum keluarga Ayu sadar jika mempelai wanitanya tidak berada di tempat.

Ayu masih berada di belakang punggung Adi, wanita itu terlalu lemas untuk sedikit berlari apalagi melewati kebun-kebun yang luas dan gelap di malam hari. Dari punggung Adi, Ayu bisa merasakan deru nafas pria itu yang tampak kelelahan berlari sembari membawanya di punggung.

“Mas Adi?” Panggil Ayu sayup-sayup.

dalem Raden Ayu?”

Adi masih terus berjalan, tapi ia pasang telinganya itu baik-baik agar bisa mendengar ucapan Ayu dari suaranya yang halus itu.

“Kalau nanti Ayu sudah tinggal di Soerabaja, Mas Adi belajar dengan siapa?”

Adi tersenyum miris, di saat-saat seperti ini Ayu masih memikirkan dirinya. Selama ini memang Ayu yang mengajarinya membaca, menulis dan berbahasa Belanda, berhitung apapun yang Ayu dapatkan di sekolahnya akan ia ajarkan pada Adi. Waktu itu Adi pernah bertanya kenapa Ayu mau mengajarinya, wanita itu hanya menjawab jika ia ingin sekali menjadi seorang guru.

“Saya kan sudah bisa membaca, Raden Ayu tidak perlu khawatirkan saya lagi.” Yang terkadang Adi pikirkan saat ini adalah kebahagiaan Ayu, hanya itu saja.

Sebut Adi pecundang atau umpatan lainnya karena dengan beraninya menyukai anak dari majikannya sendiri. Baru-baru ini setelah mengetahui Ayu akan menikah, Adi menyadari kalau ia sangat mencintai Ayu. Adi tentu saja sangat tahu diri dengan posisinya saat ini yang hanyalah pembantu di kebun orang tua Ayu. Maka dari itu, Adi baru bisa bernafas lega dan merasa tenang jika Ayu menikah dengan Jayden.

Meski pria itu adalah pria Belanda, Adi sangat yakin jika Jayden benar-benar mencintai Ayu. Pria itu juga ramah, dan Ayu pun juga mencintai pria itu. Namun sayangnya Ayu justru di jodohkan dengan kedua orang tua nya oleh bangsawan pribumi dari Soerabaja, pria pribumi yang angkuh itu, Adi tidak menyukainya.

“Kalau Ayu kembali ke Samarang nanti, Ayu akan ajarkan Mas Adi lagi ya.”

Adi tidak menjawab, ia bungkam untuk menahan tangisnya yang nyaris saja meledak. Ia percepat langkah kakinya itu untuk sampai, begitu sampai benar saja keluarga Ayu dan juga pria yang menikahinya itu langsung menyoroti Adi. Ada Bapak dan Ibu nya juga yang bersimpuh di tanah, seperti sedang di maki.

“Oh.. Jadi jongos ini yang membawa Istriku pergi?” Teriak Dimas begitu Adi tiba.

Ayu yang berada di punggung Adi itu sedikit bergerak, ia minta untuk segera di turunkan. Dimas tampak begitu marah, Ayu tidak ingin Adi menjadi sasaran kemarahannya atau pun dari pihak keluarganya.

“Mas Adi.. Tidak membawa—”

“DIAM!” teriak Dimas pada Ayu, Ayu tentu saja kaget. Tubuhnya itu sampai bergetar saking kagetnya, meski pun Romo sudah terbiasa bicara dengan nada tinggi tiap kali marah, Ayu tetap saja tidak terbiasa dengan hal itu.

“Maafkan saya Tuan, saya tidak bermaksud untuk membawa Raden Ayu pergi saya hanya—”

“Kau bawa kemana dia?” Dimas mendekat, menelisik wajah Adi dari dekat. Seperti tengah mengintimidasi sosok pria tak berdaya di depannya itu. “Kau bawa dia pada pria Belanda itu?”

Ayu menggeleng, ia berjalan mendekat pada Dimas dan menarik pelan lengan pria yang sudah menjadi Suaminya itu. “Mas, sudah. Ini bukan salah Mas Adi.”

“Aku tidak sedang bertanya denganmu Ayu. Atau kau juga menyukai jongos ini iya?”

“Mas..”

Ayu heran dari sekian banyaknya keluarganya dan keluarga Dimas disana, kenapa tidak ada yang coba untuk melerai Dimas yang sepertinya sangat marah itu. Bahkan saat Ayu melirik Ibunya itu, wanita itu hanya terdiam sembari menggelengkan kepalanya. Seperti mencegah Ayu untuk melerai.

“Ikut aku!” sentak Dimas, ia menyeret Adi menjauh dari pesta pernikahan itu dan Adi hanya pasrah saja.

Sementara itu, Ayu yang tadinya ingin mengikuti dua pria itu justru di tahan oleh Ibu mertuanya. Ayu sudah menangis, ia tidak ingin Adi di apa-apakan oleh Dimas. Karena sepertinya Dimas benar-benar marah.

“Tolong tahan Mas Dimas, Buk. Dia marah sekali Ayu mohon..”

“Dimas marah, karena kamu pergi tiba-tiba dengan pria lain Ayu.”

Ayu terdiam, ia memperhatikan wajah Ibu mertuanya itu. Sungguh Ayu tidak mengerti keluarga itu seperti apa, katakan jika ia memanglah salah. Tapi apa pantas Dimas berbuat arogan seperti itu di depan keluarga dan tamu-tamu mereka.

Sementara itu, Dimas membawa Adi ke kebun yang berada di samping rumah Ayu itu. Begitu tiba di sana, ia langsung menghajar Adi dengan membabi butanya, padahal Adi hanya diam menerima setiap pukulan bahkan tendangan yang pria itu berikan padanya.

Dalam sakit dan hujaman yang ia dapatkan dari Dimas, Adi bisa menilai jika pria yang dinikahi Ayu itu bukanlah pria baik. Dimas kasar dan tidak bisa mengontrol emosinya dengan baik.

“BAJINGAN!! Pria tidak tahu diri!”

nguwun pangapunten, Tuan. Ampuni saya,” lirih Adi.

BUGH

Pada tendangan sekali lagi di wajah Adi hingga mengenai telinganya, ia benar-benar kehilangan kesadarannya. Dan Dimas sama sekali tidak merasa panik ataupun merasa bersalah. Ia justru meninggalkan Adi begitu saja di sana, berjalan santai ke pesta pernikahannya itu.

Dimas menghampiri Ayu yang masih terduduk lemas di kursi pengantin mereka, matanya sendu dan ada bekas genangan air mata di sana. Namun Dimas justru beringsut duduk di sebelah wanitanya, merangkul pinggang Ayu untuk semakin dekat dengannya.

“Kamu apakan Mas Adi, Mas?” Ucap Ayu lirih.

“Aku bisa saja membunuhnya Ayu jika aku mau, aku hanya memberinya sedikit pelajaran karena telah lancang membawa Istriku ini pergi.”

Ayu menatap kedua netra pria pribuminya itu, bukan tatapan teduh seperti yang ia lihat pada netra milik Jayden. Justru tatapan itu tampak mengerikan dengan seringaian di ujung bibirnya.


Sudah sekitar tiga hari ini Jayden sakit, kulitnya yang sudah pucat itu semakin memucat, badannya demam. Ia meriang, malam nya pun tak pernah tenang seperti malam-malam sebelumnya. Tiada henti bibirnya bergerak mengucap nama Ayu di sana, memanggil wanita itu dan menyuruhnya untuk kembali. Sudah dua dokter yang menangani Jayden namun pria itu tak kunjung sembuh juga.

Bahkan Roosevelt pun kebingungan sendiri, ia lelah dengan sakit yang di derita Adiknya itu. Ada kalanya ia mengajak Jayden untuk meninggalkan Samarang dan mencari dokter yang lebih baik di Batavia, atau mereka kembali ke Belanda saja namun Jayden bersikeras menolak. Ia tidak ingin meninggalkan Samarang.

Pagi itu Jacob kembali ke kediaman Jayden, ia masih sering bolak balik untuk merawat melati-melati yang ada di kebun milik Jayden. Melati-melati itu sudah tumbuh dengan begitu suburnya karena di tanam dari benih yang bagus.

“Belum membaik kah kesehatan meneer?” Jacob bertanya pada Roosevelt yang baru saja keluar dari kamar Jayden.

“Makin memburuk ku rasa, kau kenal wanita yang di kencaninya?” Roosevelt pikir ia ingin menemui Ayu, menyuruh wanita pribumi itu untuk setidaknya menjenguk Jayden. Mungkin saja sakitnya itu karena Jayden benar-benar merindukan Ayu.

Jacob menggeleng, “meneer Jayden tidak pernah bercerita siapa wanita yang ia kencani dengan saya.”

Verdomme¹” Roosevelt memijat pelipisnya. “Kau mungkin bisa berbicara dan membujuknya agar bisa memberitahu siapa wanita yang ia kencani, Jacob?”

“Biar saya coba.”

Jacob membungkuk dengan sopan dan kemudian masuk ke kamar asisten residen itu, di dalam kamarnya Jayden sedang terbaring lemah. Tubuh jangkungnya itu terlihat sedikit lebih kurus dari yang terakhir Jacob lihat, sungguh merana pria itu. Entah apa yang terjadi pada hubungannya dengan Ayu sampai membuat Jayden yang tangguh itu menjadi seperti ini.

“Jacob..” Sapa Jayden, ia tersenyum lemah begitu mendapati pria Indo itu yang mengurus kebun melatinya.

“Bagaimana kabarmu, meener?

“Tidak begitu baik, bagaimana dengan kabar kebunku? Apakah melatinya tumbuh dengan subur?” Jayden belum sempat membawa Ayu untuk melihat kebun melati miliknya, karena waktu itu melati-melati itu belum mekar. Dan ketika melati itu bermekaran, justru Ayu lah yang pergi meninggalkan Samarang.

“Kebun melatimu aman di tanganku, meneer. lebih baik kau pikirkan kesehatanmu dahulu.”

Jayden mengangguk kecil, “boleh aku minta bantuanmu sekali lagi, Jacob?”

“Apa?”

“Jika melati-melati itu sudah bermekaran dan siap panen, tolong rangkaikan melati-melatiku menjadi hiasan rambut yang cantik. Dan kirimkan itu ke Soerabaja bersama sajak-sajak yang aku tulis.”

“Untuk kekasihmu, meneer?

Jayden tidak menjawab, ia hanya tersenyum lemah. Masih bisakah ia menyebut Ayu sebagai kekasihnya di saat Ayu kini sudah menjadi istri dari pria lain?


Tepat satu bulan Ayu meninggalkan Samarang, Jayden sudah mulai pulih dari sakitnya. Meski tidak bisa di pungkiri jika di malam-malamnya ia masih sering memikirkan wanita itu, sajak-sajak yang ia kirimkan pada Ayu tak ada balasan. Meskipun begitu, tumbuhnya melati-mati yang begitu subur di kebun miliknya itu menjadi sumber pelipur lara nya.

Melihat bunga berwarna putih dan berwangi menyegarkan itu membuat perasaanya lebih baik, meski tidak bisa ia tepis bunga itu juga mengingatkannya pada Ayu. Bahkan, beberapa bunga ia suruh Jacob mengekstraknya untuk di jadikan wewangian di kamarnya, sebagian ia berikan juga pada residen dan jajaran pegawai di kantor keresidenanya.

Sore itu selepas dengan pekerjaanya, Jayden menyuruh kusirnya itu untuk mengantarnya ke kebun tempat Adi bekerja. Ada yang ingin ia katakan pada Adi, mungkin juga itu sebagai permintaan tolong yang terakhir kalinya pada pria pribumi malang itu.

Dokar pribadi miliknya itu berhenti di sebuah kebun milik orang tua Ayu yang Adi rawat, kebun nya begitu luas di tanami pohon cabai dan juga jagung dan itu semua Adi dan Bapaknya yang mengurus.

“Permisi, Pak. Adi ten pundi?” tanya Jayden sopan pada Bapak-Bapak tua di sana yang tengah memberikan pupuk pada tanaman-tanaman itu.

Bapak tua itu tertunduk, Jayden hanya mengira Bapak tua itu mengira nya adalah pria Belanda yang jahat. Terlihat dari gestur tubuhnya yang merasa terintimidasi oleh kehadiran Jayden di sana. Jayden membacanya sebagai trauma, tidak satu dua pribumi yang mengalami perlakuan buruk oleh tentara kolonial hingga mengalami trauma.

“Biar saya panggilkan dulu, meneer.” Bapak itu sedikit berjalan cepat, sementara Jayden menunggu di tempatnya.

Tak lama kemudian Adi datang, pria pribumi yang terakhir ia lihat satu bulan lalu saat pernikahan Ayu itu nampak berbeda. Wajah Adi pucat, tubuhnya sedikit kurus. Bahkan Jayden sendiri sampai kaget melihat perubahan pada Adi.

“Adi?” Gumam Jayden.

Pria itu bergeming, namun kepalanya mengangguk. Jayden lantas membawanya untuk masuk ke dalam dokar pribadi miliknya, lebih baik mereka bicara di dalam dokar itu saja.

“Ada apa denganmu, Di?” Tanya Jayden, sungguh miris melihat Adi dalam kondisi memprihatinkan seperti ini.

Nguwun pangapunten, Sir Jayden. telinga saya tidak bisa mendengar lagi, lebih baik Sir Jayden tulis saja jika ingin berbicara dengan saya, saya bisa membacanya,” ucap Adi sopan.

Bahkan jawaban dari Adi membuat kedua bola mata Jayden itu membulat, jadi Adi tidak bisa mendengar lagi? Apa yang membuat Adi tidak bisa mendengar lagi? Semua pertanyaan itu terus berputar di kepalanya. Jayden mengambil kertas yang ada di dalam tas nya, menuliskan sesuatu dengan pena di sana dan memberikannya pada Adi.

“Kebun melati?” Gumam Adi, di kertas yang Jayden tulis pria itu mengatakan. Jika Ayu kembali ke Samarang, Jayden meminta tolong pada Adi untuk memberi tahu tentang kebun melati yang Jayden buatkan untuk wanita itu.

Jayden mengangguk kecil, ia kemudian menuliskan sesuatu lagi di kertas itu. Ia memberi tata letak kebun melati di kediamannya pada Adi, Adi pernah berkunjung ke kediaman Jayden saat kedua orang tua Ayu menyuruhnya memberikan surat berisi penolakan pinanganya pada Ayu untuknya. Jadi Adi pasti sudah sedikit paham, tidak sulit menemukan kebun melati itu.

“Sir Jayden, bolehkah saya bertanya sesuatu?”

Jayden menjawab pertanyaan Adi itu dengan kembali menuliskan pada kertas yang berada di pangkuannya. Jayden menulis, “ingin bertanya apa?

“Apa alasan Sir Jayden membuat kebun melati itu untuk Raden Ayu? Apa karena ia sangat menyukai melati?”

Jayden tersenyum, senyum hangat namun tersirat kemirisan di sana. Karena pada dasarnya ia membuat kebun itu memang karena Ayu yang sangat menyukai bunga melati, selain itu kebun itu juga ia hadiahkan untuk Ayu sebagai hadiah pernikahan mereka nantinya. Namun sayang, semesta tidak merestui mereka untuk bersama.

Membaca alasan yang Jayden tulis, Adi merasa ikut sedih melihat kisah cinta pasangan itu. Hatinya pun sampai saat ini tidaklah tenang jika memikirkan Ayu, setiap malam atau setiap ia beristirahat di kebun. Ia selalu bertanya-tanya bagaimana kabar Ayu, apakah Soerabaja membuatnya nyaman? Apa Suaminya itu berlaku baik padanya?

Jayden kemudian kembali menulis pertanyaan yang harus di jawab oleh Adi, namun Adi hanya membacanya dan menjawabnya dengan menggelengkan kepalanya pelan.

Jayden bertanya, “kenapa kamu bisa seperti ini, Adi? Siapa yang melakukan ini padamu?”

Verdomme¹ : sialan

Bersambung...

“Kirana? nduk?

Mendengar suara Ibunya itu, Kirana langsung membuka kedua matanya. Nyawanya itu terasa di tarik dari dunia mimpinya untuk kembali sadar secepat mungkin. Nafasnya terengah-engah, keringat di kening Kirana itu sedikit bercucuran dan yang membuat Kirana kaget adalah. Dia menangis, bahkan sampai melihat Ibu yang duduk di sisi ranjangnya pun Kirana langsung bangkit dan memeluk Ibu.

Mimpi yang Kirana alami semalam benar-benar membuat perasaanya tidak nyaman. Begitu sadar yang di pikirkannya pertama kali adalah Bagas, ya Pria itu. Karna Adi di dalam mimpinya benar-benar mengenaskan.

“Kenapa, nduk?” tanya Ibu khawatir, Ibu berpikir mungkin Kirana hanya mimpi buruk saja. Tapi bermimpi seperti apa hingga anak satu-satunya itu menangis, bahkan ketika ia sudah bangun sekalipun.

“Kirana mimpi buruk, Buk.” Kirana masih memeluk Ibunya, tak lama kemudian ia urai pelukan itu dan mengusap wajahnya dengan gusar.

“Mimpi apa?”

Kirana terdiam, dia hanya menelisik wajah Ibu itu. Dari awal ia bermimpi tentang Ayu pun Kirana enggak pernah cerita ke Ibu, Kirana hanya cerita pada Bagas dan Raga. Bahkan Ibu sendiri enggak tahu kalau Kirana pernah berkonsultasi dengan seorang psikiater. Kirana hanya tidak ingin membebani pikiran Ibunya itu saja.

“Mimpi buruk, Buk. Gak enak pokoknya.”

“Baca doa gak sebelum tidur,nduk? atau kamu sedang banyak pikiran ya?”

Kirana senyum, walau hatinya gusar ia benci membuat Ibu khawatir. “Kayanya lupa baca doa tidur, Buk. Makanya mimpi buruk.”

Ibu menggelengkan kepalanya, di usapnya kepala putri satu-satunya itu. “Baca doa nduk kalau mau tidur. Mandi gih, sudah jam enam. Ibu sudah buatkan sarapan, Ibu pergi ke toko duluan ya.”

Kirana mengangguk, “makasih yah, Buk.”

Ibu nya Kirana itu bekerja di sebuah toko yang menjual jajanan pasar sebagai pembuat kue basah, toko itu milik temannya Ibu. Padahal Kirana sudah sering menyuruh Ibu untuk berhenti bekerja dan di rumah saja, Kirana masih sanggup untuk menanggung hidup Ibu nya.

Tapi Ibu selalu bilang kalau ia sering kali merasa bosan di rumah jika Kirana bekerja, tapi Kirana selalu bersyukur Ibu bisa bekerja di toko milik temannya itu. Ibunya kelihatan jauh lebih hidup selepas kepergian Bapak. Jadi Kirana pikir itu bukanlah ide yang buruk.

Setelah selesai bersiap-siap, Kirana mengunci pintu rumahnya. Hari ini Bagas menjemputnya, begitu ia masuk ke dalam mobil pria itu hal pertama yang di lakukan Kirana adalah memeluk erat kekasihnya itu. Bagas sendiri sampai bingung ada apa dengan Kirana, karena enggak biasanya Kirana datang dan langsung memeluknya seperti itu.

“Sayang? Kenapa?” Bagas tersenyum, dia senang Kirana memeluknya. Bagas pun membalas pelukan itu walau terselip rasa penasaran di kepalanya.

“Aku semalam mimpi buruk..” Suara Kirana berubah menjadi lirih, ia menangis. Dan memeluk Bagas semakin erat.

“Mimpi apa hm? Kamu udah gak mimpiin Ayu lagi?”

Kirana enggak menjawab, ia masih terisak dalam tangis nya setelah hatinya di rasa cukup tenang. Ia baru mengurai pelukan Bagas itu, matanya sedikit terpejam ketika Bagas menghapus jejak-jejak air mata yang ada di pelupuk mata Kirana.

“Mimpi apa, sayang?” Tanya Bagas sekali lagi.

“Adi..”

Bagas terdiam, ia memperhatikan wajah penuh kekhawatiran Kirana itu bercampur dengan ketakutan. Mimpi seperti apa yang di alami oleh wanita itu? Pikir Bagas.

“Semalam aku bermimpi Adi di pukuli sampai—” Kirana enggak bisa melanjutkan kata-katanya lagi, ia kembali terisak. Dan jatuh pada pelukan Bagas lagi.

Yang Bagas lakukan adalah memeluk Kirana erat, mengusap-usap punggung kecilnya yang bergetar itu. Berusaha menenangkan Kirana tanpa ada kata yang keluar sedikit pun dari mulutnya, ia yakin Kirana belum selesai bicara dan ia tidak ingin memotong ucapannya.

“Adi sampai enggak bisa dengar lagi, Gas. Dia gak bisa dengar karena di pukuli.”

“Itu cuma mimpi, sayang. Yang di alami Adi enggak akan terjadi sama aku, aku baik-baik aja kan. Aku masih bisa dengar suara kamu nih.”

Kirana mengurai pelukannya, menatap Bagas namun masih teringat akan bayang-bayang Adi seperti dalam mimpinya. Bagas benar, dia baik-baik saja. Tidak ada lebam di wajahnya, telinganya juga masih bisa mendengar suaranya dengan baik. Yang ia tangisi hanya Adi, perasaanya masih hanyut dalam mimpi sebagai dirinya yang bernama Ayu.

“Gak ada yang luka kan, Gas?” Kirana memeriksa wajah Bagas, lengan pria itu hingga telinganya.

Bagas menggeleng pelan, ia senyum untuk menenangkan hati Kirana dan memastikan dirinya baik-baik saja. “Aku baik-baik aja, Sayang.”

Setelah memastikan Bagas baik-baik saja, Kirana baru bisa bernafas lega. Ia kembali duduk dengan benar di kursi samping kemudi sambil menyandarkan punggungnya.

“Kamu masih ada konsul sama dokter Annelies minggu ini kan? Aku antar ya?” Tanya Bagas.

Kirana menoleh ke arah Bagas itu, dia sudah tidak lagi membuat janji pada dokter Annelies untuk konsultasi mengenai mimpinya itu sejak ia dan Raga mulai saling bertukar cerita tentang mimpi mereka. Kirana pikir berdiskusi dengan Raga sudah cukup dan ia yakin bisa memecahkan arti dari mimpi yang mereka alami.

“Aku belum buat janji sama dokter Annelies, sayang. Aku ngerasa gak ada yang berubah waktu konsul,” jelas Kirana.

“Kan kamu konsul juga baru empat kali loh.”

Kirana menggeleng, “i'm fine, aku pikir, mimpi itu udah gak terlalu aku pikirin kok.”

“Gak di pikirin gimana kalau tadi kamu nangis-nangis kaya gitu?” Bagas pikir mimpi yang di alami Kirana itu sudah cukup menganggu keseharian wanitanya, Kirana benar-benar nampak kacau saat baru masuk ke dalam mobil tadi.

“Gapapa yah, aku beneran gapapa. Cuma mimpi buruk kecil aja kok, kemarin-kemarin juga enggak.” Kirana mengusap lengan Bagas, memastikan ia baik-baik saja. Kirana enggak ingin menghabiskan waktu untuk berkonsultasi dengan psikiater kalau nyatanya mimpi itu tidak sama sekali berkaitan dengan kondisi kejiwaanya.

“Yakin?”

“Yup!!” Kirana senyum.

“Yaudah kalau gitu.” Tangan Bagas yang besar itu mengusap pucuk kepala Kirana.

Di perjalanan mereka sempat berdiskusi soal proyek yang mereka kerjakan masing-masing, Kirana juga sempat bercerita kejadian sewaktu ia dan Raga sama-sama mengawasi pengecoran minggu lalu.

“Nanti malam kamu kosong kan?” Tanya Bagas, ia ingin mengajak Kirana ke rumah yang barusaha ia sewa.

Bagas sudah pindah dari rumah kedua orang tua nya, ia juga tidak memberitahu orang tua nya ataupun Kanes dimana ia tinggal. Tentunya enggak serta merta mudah bagi Bagas meninggalkan rumah itu begitu saja, tentu saja ada drama adu argumen dahulu yang terjadi pada Ibu dan Ayahnya.

Tapi keputusan Bagas sudah bulat, ia ingin hidup mandiri berpisah dengan kedua orang tua nya. Ia sudah menentukan untuk meninggalkan keluarga yang tidak bisa menghargai pilihannya itu. Bagas juga sudah bilang dengan kedua orang tua nya, bahwa ia akan kembali setelah kedua orang tua nya itu bisa menghargai keputusannya.

“Kosong kenapa, sayang?”

“Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat.”

Kirana terkekeh pelan, “ih apa sih? Suatu tempat segala. Mau kemana emangnya?”

“Ada deh. Kan masih jadi rahasia.”

“Mau ngajak aku kencan?” Kirana menaikan satu alisnya penasaran.

“Termasuk!” Bagas menjentikkan jarinya. “Tapi bukan itu point nya.”

“Terus?”

“Ada deh, penasaran ya?” Bagas melirik Kirana di kursi sebelahnya.

“Iyalah, kamu ngomongnya sok misterius gitu,” pekik Kirana tidak terima, dia sudah kepalang penasaran dan Bagas malah menggodanya.

“Sukurin!!”

“Ihhhhh Bagass!!” Karena kesal, Kirana nyubit pipi Bagas dengan gemas sampai pria itu mengaduh. Pagi itu benar-benar hanya ada tawa saja untuk keduanya, pergi bekerja pun terasa lebih menyenangkan walau mereka benar-benar sedang bekerja dalam tekanan.

Sesampainya di kantor pun keduanya masih memasang wajah cerah, kadang ada saja celotehan dari mulut Bagas yang membuat Kirana tertawa. Sebelum masuk ke kantor pun mereka sempat mampir ke mini market, membeli cemilan untuk mereka makan di atap saat jam istirahat nanti.

“Cie cie cie sumringah banget nih di liat-liat dua sejoli ini, bikin iri aja!” goda Almira saat melihat Bagas dan Kirana yang sedang menunggu pintu lift terbuka.

“Makanya punya pacar, jangan ngehalu sama Oppa Korea lo terus, Mir.” ledek Bagas, Kirana sampai ikut terkekeh.

“Dih, asal lo tau yah nih Mas Bagas, gue gak punya cowok tuh bukan karena gak ada yang naksir. Tapi karena lagi menyeleksi,” jawab Almira ngeles, sebenarnya enggak ngeles juga. Itu adalah sebuah fakta karna memang nyatanya yang naksir sama Almira tuh banyak, sayangnya wanita itu sangat pemilih dan mudah sekali ilfeel dengan cowok-cowok yang ngejar dia.

“Gaya amat bocil pake seleksi-seleksi segala!” Satya yang baru saja tiba ikut menimpali, pria itu ikut terkekeh.

“Dih ini juga lagi Bang Satya bukannya belain gue. Emang yah yang sayang sama gue tuh cuma Mbak Kirana,” Almira merengut.

Kirana yang di bilang seperti itu cuma terkekeh pelan, “udah-udah nanti nangis adek gue.”

Begitu pintu lift terbuka, tawa mereka sedikit mereda ketika melihat siapa yang berada di dalam lift. Itu adalah Raga, tatapan mata itu sempat bertemu dengan Kirana. Sebelum akhirnya Bagas, Almira dan Satya menyapa atasan mereka itu. Hanya Kirana saja yang diam, namun pada akhirnya dia mengangguk kecil dan tersenyum pada Raga.

“Pagi, Pak.” gumam Kirana.

“Pagi,” jawab Raga.

Di dalam lift pun tidak ada obrolan sama sekali, apalagi saat pintu lift terbuka di setiap lantai karena ada karyawan lain yang juga ingin menggunakan lift. Dan sialnya, posisi Kirana saat ini terhimpit, ia jadi berdiri sangat dekat dengan Raga sampai-sampai rasanya Kirana enggan menatap Raga saking sungkan nya.

“Kirana?” bisik Raga, yang membuat Kirana mendongak demi bisa melihat wajah atasannya itu.

Bagas berada sedikit jauh dari keduannya, Bagas terhalang oleh karyawan-karyawan lain di sisi kiri. Sementara Kirana dan Raga ada di sisi kanan dan di pojok belakang.

“Ada apa, Pak?”

“Soal mimpi kamu..”

“Mungkin setelah jam makan siang, Pak. Saya baru bisa bicarakan soal itu sama Bapak.”

Raga mengangguk, “saya tunggu Kirana.”


Setelah selesai dengan jam makan siang, Kirana dan Bagas langsung bergegas kembali ke ruang bekerja mereka. Kirana juga mulai menyalakan PC nya lagi sambil sesekali ia melirik ke ruangan Raga, masih ada tamu nya ternyata, jadi Kirana mengurungkan niatnya untuk berbicara dengan Raga.

“Mbak, nanti malam free gak?” bisik Almira.

“Aku ada janji, Mir.”

“Yah...” kedua bahu Almira merosot. “Padahal aku tuh pengen minta temenin.”

“Kemana?” sambil menyelesaikan laporannya, Kirana sembari menimpali ucapan Almira itu.

“Beli baju,” jawabnya dengan cengiran, setelah itu wanita itu menggeser kursinya menjadi lebih dekat dengan Kirana. “Aku mau ngedate sama PDKTan ku tau, Mbak.”

Ucapan dari Almira itu juga yang membuat Kirana menoleh, dia senang banget dengarnya kalau Almira bisa mulai dekat sama pria lagi. Selama ini tuh Almira benar-benar menyeleksi pria mana yang bisa mengajaknya berkencan, itu artinya pria yang sedang dekat dengannya ini bisa lulus seleksinya.

“Aduhhh, pengen banget nemenin. Tapi aku tuh beneran gak bisa, video call aja nanti ya.” Kirana senyum-senyum menggoda Almira.

“Beneran? Yes!!” pekiknya girang. “Mau kemana sih emang, Mbak?”

Almira tidak menjawab, ia hanya memberi isyarat dengan sedikit memajukan dagunya ke arah Bagas yang sedang sibuk itu.

“Mau pacaran?” tebak Almira yang langsung di jawab dengan anggukan oleh Kirana. “Tunggu ya, Mbak. Nanti ada agenda dimana kita double date kok.”

Obrolan kecil Kirana dan Almira itu terhenti ketika pintu ruangan Raga terbuka, pria itu keluar bersama dengan dua pria lainnya. Raga mengantar keduanya sampai keluar dari ruangan, setelah itu ia kembali lagi.

“Aku ke ruangan Pak Raga dulu ya.” Kirana bangun dari duduknya.

“Mau ngapain, Mbak?”

“Ngasih laporan,” alibi Kirana, ia mengambil map di atas mejanya secara random kemudian masuk ke dalam ruangan Raga.

“Siang, Pak.” sapa Kirana begitu ia masuk ke dalam ruangan Raga.

“Siang, Na. Duduk.”

Kirana mengangguk, ia menarik kursi di depan meja Raga kemudian duduk di sana. Satu hal yang Kirana sadari jika berbicara dengan Raga di dalam kantor dan di luar kantor, jika berada di kantor dengan Raga rasanya sangat canggung. Tapi berbeda dengan di luar kantor rasanya ia lebih nyaman untuk bicara banyak hal dengan pria itu.

“Kita mau mulai dari mana dulu, Pak?” tanya Kiran sedikit canggung.

“Dari kamu saja dulu, mungkin ada hal yang saya tidak tahu.”

Kirana mengangguk, “semalam saya masih bermimpi di pesta pernikahan Ayu dan Dimas.”

Raga mengangguk, ternyata mimpi Raga sudah berada satu bulan setelah pesta pernikahan itu berlangsung.

“Dan Adi..”

“Adi tidak bisa mendengar lagi?” tanya Raga, yang membuat Kirana mengangguk. Raga sempat melirik ke arah luar ruangannya, melihat Bagas yang sedang fokus pada pekerjaanya. “Ayu tahu kenapa Adi bisa jadi seperti itu, Na?”

“Dimas, Pak. Dimas yang memukuli Adi sampai tidak bisa mendengar lagi.”

Raga tidak menjawab, ia menunduk. Tapi pikirannya langsung terlintas kenapa hanya ia dan Kirana yang bermimpi hal-hal semacam itu tetapi Bagas tidak Mbak Adel pun juga tidak bermimpi hal yang sama. Padahal kedua orang itu adalah wujud yang sama dari Roosevelt dan Adi pada 127 tahun yang lalu.

“Gimana sama, Bapak? Sudah sejauh apa mimpinya, Pak?” Kirana balik bertanya, ia ingin mencocokan dengan mimpinya.

“Mimpi saya sudah satu bulan setelah pesta pernikahan itu, Na. Jayden menemui Adi dan menitipkan pesan pada dia jika Ayu kembali ke Semarang.”

“Pesan apa?”

“Kebun melati yang di buat Jayden khusus untuk Ayu.”

“Kebun melati?” tanya Kirana.

Raga mengangguk, ia mengeluarkan ponselnya dan menunjukannya itu pada Kirana. Sebuah perkebunan melati yang cukup luas di daerah Semarang. Tentu saja Kirana tahu, karena letak perkebunan itu tak jauh dari desa tempat tinggal Mbahnya dulu.

“kebun melati ini masih ada sampai sekarang, Na.”

Kirana tidak menyahut lagi, dia juga enggak tanya-tanya sama Raga bagaimana bisa Raga tahu jika kebun melati yang ia tunjukan di ponselnya itu sama dengan kebun melati yang di buat Jayden untuk Ayu. Ia terlalu terpaku pada kenyataan jika kebun itu dahulu adalah milik keluarga dari Ibu nya.

Kebun melati itu di jual oleh Mbah untuk membantu Ibu melunasi separuh dari hutang-hutang Bapak. Pikiran Ayu kini hanya tersita bagaimana bisa kebun yang di persembahkan untuk Ayu itu bisa menjadi kebun milik Mbah nya? Pikir Kirana.

Bersambung...

Mobil yang di kendarai Bagas itu berhenti di sebuah rumah yang tidak terlalu besar, halamannya pun tidak ada hanya ada teras yang di isi oleh satu kursi dan satu meja untuk sekedar bersantai, Itu lebih bisa di sebut kontrakan, entah apa maksud Bagas mengajak Kirana ke sana karena sampai saat ini pun pria itu belum mengatakan apa-apa.

“Ini rumah siapa, sayang?” tanya Kirana bingung, kedua matanya menelisik pada bangunan di depan mereka itu.

Rumah yang bisa di sebut kontrakan itu memang bangunan baru, struktur rumahnya juga terbilang modern, ada 2 jendela yang menghadap ke jalan dengan pintu yang sepertinya sudah mengenakan smartdoor Kirana bahkan sudah bisa mengira-ngira berapa harga dari rumah yang di kontrakan itu.

“Rumah siapa ya?” gumam Bagas, tak lama kemudian ia terkekeh sembari mengambil kantung belanja di kursi belakang yang berisi makanan-makanan yang mereka beli barusan.

“Ihh kamu mah, rumah siapa sih?”

“Turun aja dulu yuk, dari pada penasaran.” Bagas keluar lebih dulu, sengaja membuat Kirana terus bertanya-tanya.

Tak lama setelahnya Kirana ikut turun, mengekori Bagas sembari melihat-lihat kesekeliling lingkungan rumah itu. Terlihat sangat nyaman, banyak pepohonan juga di sekeliling rumahnya meski terlihat enggak di rawat dengan baik.

Tapi tetap saja membuat lingkungan dan rumah itu tampak lebih sejuk, menurut Kirana sangat nyaman untuk di tinggali apalagi lingkunganya pun tidak berisik. Walau enggak bisa di sebut komplek juga, karena posisi rumah itu pun masuk kedalam gapura.

assalamualaikum,” ucap Bagas begitu ia membuka pintu rumahnya.

Kirana masih terpaku di depan pintu, sampai akhirnya Bagas menggandeng tangan kecilnya itu dan mengajaknya masuk ke dalam rumah yang Bagas sewa itu. Sudah sekitar 2 malam Bagas tidur di rumah itu, dia sengaja mengajak Kirana ke rumahnya sekarang karena dia baru rampung membereskan barang-barangnya.

Rumah itu terdiri dari satu ruang tamu, dapur dan satu kamar tidur. Ada dua kamar mandi juga di dalam kamar dan di dekat ruang tamu. Tidak terlalu besar namun cukup nyaman bagi Bagas, hanya ada ketenangan di rumah itu. Tidak ada ucapan menyakitkan dari orang tua nya atau paksaan melakukan hal-hal yang tidak Bagas sukai.

“Ini rumahku, sayang.” ucap Bagas tiba-tiba, membuat kebingungan di kepala Kirana itu sedikit terjawab.

“Rumah? Ka..kamu beli rumah ini?”

Bagas menggeleng dan terkekeh pelan, “belum, aku cuma sewa, sayang. Untuk sementara aku tinggal disini.”

Kening Kirana mengekerut, Bagas punya rumah sendiri bersama orang tua nya. Lalu kenapa pria itu harus menyewa rumah? Pikir Kirana. “Ka..kamu pindah ke sini? Terus orang tua kamu?”

Bagas mengajak Kirana untuk duduk di sofa yang ada di ruang tamu, ia akan menjelaskan pada Kirana tentang mengapa ia memutuskan untuk keluar dari rumah kedua orang tua nya itu.

“Aku cuma mau belajar hidup lebih mandiri aja, sayang. Aku ngerasa aku udah cukup bisa bertanggung jawab sama hidup aku sendiri.”

“Emangnya kalau masih tinggal di rumah orang tua kamu, kamu ngerasa gak bisa mandiri?”

Bagas terkekeh, “bukan begitu maksudku.”

“Terus?”

“Kita ini kan udah 27 tahun, selama ini setiap aku pulang kerja semua kebutuhan aku udah di siapin sama Bibi yang bekerja di rumah, kaya makan malam, baju yang udah rapih dan bersih. Aku cuma ngerasa mau lebih mandiri aja, biar jadi lebih dewasa sebelum kita berumah tangga.”

Kirana senyum, walau jawaban dari Bagas itu rasanya masih ada yang mengganjal bagi Kirana. Entah kenapa Kirana cuma kepikiran kalau hubungan Bagas dan orang tua nya belum membaik, jujur saja sempat terlintas di kepala Kirana kalau Bagas mungkin di usir oleh kedua orang tua nya.

“Kamu enggak di usir sama orang tua kamu kan, sayang?” tanya Kirana hati-hati, ia tidak ingin menyinggung perasaan Bagas.

Namun pertanyaan Kirana itu justru mengundang tawa bagi Bagas, meski bukan di usir oleh kedua orang tua nya. Melainkan ia yang memang memilih pergi dari rumah, tapi bisa-bisa nya Kirana kepikiran kalau ia di usir.

“Sayang, aku nanya serius loh. Aku khawatir sama hubungan kamu dan orang tua kamu.” Kirana cuma enggak mau hubungan Bagas dan orang tua nya renggang hanya karena Bagas membela dirinya. Dia gak mau merebut Bagas dari orang tua nya.

Bagas mengambil kedua tangan Kirana, Bagas paham kekhawatiran itu. Dia sendiri ingin mengatakan bagaimana hubungannya dengan orang tua nya pada Kirana. Walau ada perasaan ragu, Bagas hanya takut Kirana merasa ia menjadi penyebab retaknya hubungan Bagas dengan kedua orang tua nya.

“Hubungan aku sama orang tua ku emang belum membaik, sayang. Tapi aku tinggal sendiri itu udah jadi pilihan aku, aku udah dewasa. Aku berhak menentukan hidup aku harus kaya gimana kan?” ucap Bagas meyakinkan Kirana.

“Orang tua kamu setuju kamu pidah dari rumah?”

Bagas menggeleng, “awalnya memang enggak, aku tetap maksa buat pindah. Aku pikir, dengan aku pindah orang tua aku bisa mulai sadar kalau aku ini bukan anak kecil lagi, aku cuma mau mereka menghargai keputusan aku.”

Kirana diam, jawaban Bagas sama sekali tidak salah. Umur mereka memang sudah matang dan cukup dewasa untuk mengambil sebuah keputusan, bukannya cukup aneh jika di usia mereka yang sekarang. Orang tua masih ikut campur dalam menentukan hidup anaknya?

“Aku cuma bisa dukung apapun yang menurut kamu baik. Tapi tolong jangan jauhin orang tua kamu ya.”

Bagas menggeleng, “gak akan, sayang. Aku masih sayang mereka, mereka masih orang tuaku.”

Sore menjelang malam itu mereka menghabiskan waktu bersama dengan memanggang daging, menonton film bersama sampai rasanya Bagas dan Kirana ingin menghentikan waktu sebentar. Sudah lama sekali keduanya tidak berkencan seperti ini sejak Kirana kecelakaan. Kirana enggak ada rencana menginap kok, dia juga enggak mungkin membiarkan Ibu nya tidur sendirian di rumah. Enggak tega, dan Ibu pasti khawatir.

Dadu yang di keluarkan dari tangan Kirana itu menujukan enam titik hitam di atasnya, ia kemudian menjalankan kerucut miliknya. Mereka sedang bermain ular tangga, dan sialnya kerucut milik Kirana itu justru harus kembali turun ke nomer bawah, padahal hanya delapan langkah lagi dia akan berhasil menang melawan Bagas.

“Hahahaha, kebawah lagi dia kasian banget,” ledek Bagas yang membuat Kirana semakin jengkel.

“Awas aja nanti juga ujung-ujungnya aku yang menang,” gerutunya.

“Kita liat aja nanti.” Kini giliran Bagas yang jalan, ia memasuk dadu itu ke tangannya dan mengocok dadu itu. Setelahnya ia keluarkan, Bagas mendapati titik lima di dadu itu. Dan alhasil kerucut miliknya sudah tiba di garis finish.

Ini untuk ketiga kalinya Bagas menang melawan Kirana, mereka sudah bermain lima ronde dan Kirana baru menang dua kali melawan Bagas. Ya, dia anggap sih Bagas malam ini sedang beruntung saja. Karena biasanya Kirana lebih jago bermain ular tangga.

“CURANG!!” pekik Kirana enggak terima.

“Mana ada curang, kamu kan liat sendiri dadu aku lima tadi.”

“Masa mukaku lagi sih yang di coret,” rengek Kirana.

Karena tidak ingin wajahnya itu di coret dengan tepung yang sudah mereka larutkan dengan air. Kirana akhirnya berlari, namun Bagas tidak diam saja. Ia mengejar Kirana yang mulai berlari mengelilingi ruang tamu itu.

“Heh, yang curang tuh kamu. Udah kalah gak mau di coret mukanya!”

“Coretan di mukaku udah banyak ih, kamu tuh kalo nyoret tebal-tebal yah!” Kirana ngeles.

“Kamu gak liat kamu nyoret muka aku pake lima jari?!” Pekik Bagas tidak mau kalah, dan ucapannya itu membuat Kirana terkekeh.

Wanita kembali berlari, namun sayangnya Bagas lebih sigap menangkap tangannya, Kirana nyaris oleng dan tersandung kakinya sendiri, karena tidak menyangka Kirana akan tersandung Bagas pun kaget, dia tidak siap dan membuat keduanya jatuh di atas sofa bed ruang tamu dengan posisi Kirana berada di bawah Bagas.

Keduanya sama-sama terkekeh pelan, sebelah tangan Bagas menahan bobot tubuhnya sendiri agar tidak menindihi tubuh Kirana sepenuhnya. Sementara itu, tangannya yang lain mengusap wajah cantik kesayangannya itu. Enggak pernah bosan rasanya ia hanya dengan menatap wajah Kirana, ia selalu mengimpikan suatu hari ia akan terbangun dan Kirana lah orang pertama yang akan ia lihat di sampingnya.

“Aku sayang kamu, Na,” bisik Bagas.

“Aku juga..”

“Juga apa?”

“Sayang Kirana,” ledek Kirana dan Bagas terkekeh pelan. Sampai akhirnya hening tercipta, hanya ada deru nafas keduanya yang saling beradu dan tatapan mata yang saling menelisik itu.

Keduanya saling memejam, Bagas perlahan-lahan memajukan wajahnya hingga ia Kirana bisa merasakan hembusan nafas Bagas menyapu wajahnya. Degup jantung Kirana menggila rasanya, ini bukan pertama kali baginya berciuman dengan Bagas. Namun setiap kali Bagas menciumnya, rasanya selalu sama. Seperti saat pertama kali Bagas mencuri ciuman pertamanya dulu.

Bibir milik Bagas itu bergerak mengecupi bibir Kirana, melumatnya kecil hingga mengigitnya. Kirana itu kaku, ia terbiasa menerima apa yang Bagas lakukan pada bibir ranumnya. Tapi malam itu ia beranikan dirinya untuk menaruh kedua tanganya di bahu pria itu, mengecup bibir pria yang sangat ia sayangi itu dengan seduktif.

Bagi Bagas tidak ada yang lebih adiktif dari pada Kirana, kedua anak manusia itu saling mengecup. Mengutarakan perasaan sayang satu sama lain melalui kecupan-kecupan kecil itu yang terkadang bergerak lamban dan terbata-bata. Sampai pada akhirnya, bunyi dari ponsel milik Kirana itu menyadarkan keduanya. Kirana sedikit mendorong dada Bagas, ponselnya berbunyi ia harus segera mengangkatnya.

“Ada telfon, sayang,” ucap Kirana.

Bagas bangkit dari atas tubuh wanitanya itu, berjalan mengambil ponsel milik Kirana yang ia taruh di meja ruang TV. Ternyata itu adalah panggilan dari Ibu nya Kirana, dan Bagas baru sadar kalau saat ini sudah jam sebelas malam.

“Ibu, sayang. Kayanya aku kemalaman mulangin kamu nih sampai Ibu telfon.” Bagas memberikan ponsel Kirana itu pada pemiliknya.

“Aku angkat dulu ya.”


Samarang, 1899.

Banyak-banyak Jayden hirup aroma yang berasal dari wewangian yang Jacob buatkan dari ekstrak bunga melati itu, hari ini Jayden menaruhnya di ruang kerjanya di kantor keresidenan. Mungkin hanya kebahagiaan kecil itu yang tersisa dari Ayu, Jayden hanya bisa menghirup aroma melati yang selalu mengingatkannya akan wanita itu.

Sajak-sajak masih ia tulis, namun tak pernah Jayden kirimi sajak-sajak itu ke Soerabaja. Ia tidak ingin membuat Ayu tersiksa karena tulisan-tulisannya, namun doa dan harapan akan kebahagiaan wanita itu tak pernah sekalipun terputus untuknya.

Sajak-sajak yang ia tulis, bersamaan dengan rangkaian bunga-bunga melati kering yang menghiasi kertas itu. Ia simpan di dalam laci meja kerjanya, biar ia sendiri yang membacanya. Atau jika orang lain membacanya, biarkan orang itu yang menjadi saksi betapa ia mencintai wanita pribuminya itu.

Tak lama kemudian, derap langkah kaki yang terburu-buru itu terdengar dari penjuru lorong. Membuat atensi Jayden teralihkan, ia keluar dari ruang kerjanya dan mendapati para pegawai kantor sedang berlari dengan wajah paniknya.

“Ada apa?” tanya Jayden.

meneer para pribumi sialan itu menyerang kantor kita! Mereka melakukan pemberontakan!” pekik pegawai lainnya dengan panik.

Belum sempat Jayden mencerna apa yang sedang di jelaskan oleh pegawai lainnya, tiba-tiba saja pasukan pribumi yang memberontak itu berhasil memasuki kantor keresidenan. Beberapa ada yang tumbang karena tentara kolonial menembaki mereka, namun tak sedikit juga para tentara yang menjadi korban dan berakhir tewas. Mereka menyerang menggunakan clurit dan beberapa melempari gedung dengan batu.

“Lari!! Lari!!” teriak yang lainnya.

Jayden tak ingin sembunyi, ia tak ingin menjadi pengecut ia ingin tahu apa yang membuat para pribumi itu menjadi pemberontak. Ia berusaha keluar dari dalam ruanganya meski banyak sekali pegawai lain berlari berlawanan arah dengannya.

meneer lari!” ucap Max, dia adalah salah satu pegawai disana yang cukup dekat dengan Jayden.

“Ada apa sebenarnya, Max? Kenapa mereka menyerang kantor keresidenan?”

Max tak mungkin menjelaskannya di antara kerumunan seperti ini, apalagi beberapa pribumi sudah berhasil mengambil alih senjata milik tentara kolonial yang tewas dan menyerang para Belanda itu. Jadi, Max tarik tangan Jayden dan ia cari tempat persembunyian untuk mereka.

Jayden hanya mengikuti saja, ia butuh penjelasan untuk setidaknya mengerti posisi para pribumi saat ini. Selain Jayden, Max juga orang Belanda yang banyak memihak pribumi. Ia pernah mengecani seorang tawanan dan memiliki anak dari wanita pribumi itu, meski hubungan mereka berakhir mengenaskan karena sang wanita berakhir di bunuh. Max membesarkan anak itu sendiri.

“Mereka memberontak karena merasa tertindas, bukan hanya kantor keresidenan saja yang di serang, meneer, jelas Max terengah-engah.

“Dari kalangan mana mereka?”

“Buruh.”

Terdengar suara tembakan yang begitu kencang dari lantai dua tempat Jayden dan Max bersembunyi, terdengar rintihan pula di sana dari seorang wanita entah siapa itu. Jayden ingin keluar namun Max menahannya, Jayden hanya merasa mereka tidak bisa menjadi pecundang seperti ini.

“Kita harus pergi meneer.” Max berjalan ke arah jendela, ternyata jarak dari lantai dua untuk turun ke lantai satu lumayan jauh. Jika mereka memaksa melompat, bisa saja kaki mereka berakhir patah.

“Kau mau melompat? Kau gila?” pekik Jayden.

“Kau mau mati di tembaki membabi buta oleh para pribumi itu?”

“Aku hanya merasa kita harus berbicara pada mereka, Max. Kita pejabatnya disini.”

“Itu bisa kita lakukan nanti jika mereka berhenti menyerang, mereka tengah di landa kemarahan. Dan bicara dengan dengan orang yang tengah di landa kemarahan hanya sia-sia, meneer.

Sedang berdebat dengan Max, tiba-tiba saja pintu ruangan tempat mereka bersembunyi di paksa terbuka oleh seseorang. Pintu itu di dobrak dengan kasar, membuat Max begitu panik.

“Turun lebih dulu, Max. Aku akan menyusulmu,” perintah Jayden.

“Tidak, meneer. kau yang lebih dulu turun.”

Jayden menggeleng pelan, “turunlah, kembali pulang ke rumahmu. Anakmu pasti khawatir.”

Yang Jayden pikurkan saat itu adalah hanya menyelamatkan Max, pria itu harus kembali pada anaknya. Jika Max mati di tangan para pribumi itu, anaknya akan menjadi seorang yatim piatu. Jayden tidak ingin itu terjadi yang di punya dari putri kecilnya itu hanya Max, Ayahnya.

Max seperti menimang-nimang ucapan dari atasannya itu, dengan penuh keraguan ia mulai mencoba turun dari jendela lantai dua. Kakinya gemetar karena takut akan ketinggian dan juga memikirkan nasib Jayden. Sebagai seorang bawahaan, ia yang harusnya melindungi Jayden bukan malah sebaliknya.

meneer..

“Pergi, Max!!” pekik Jayden. Ia sedikit mendorong bahu Max agar segera menjatuhkan dirinya ke bawah karena pintu ruangan itu akan segera terbuka.

Max akhirnya dengan cepat keluar dari jendela, ia langsung lompat begitu saja dan jatuh di semak-semak. Kakinya terkilir, sangat sakit dan membuatnya tidak bisa begitu saja berlari. Max bersembunyi di sana, ia tak berani keluar dari semak-semak. Namun yang membuat hatinya pilu adalah, suara tembakan yang berasal dari lantai dua. Dimana ruangan ia dan Jayden bersembunyi barusan.

Max menangis ketakutan, kemungkinan terburuk adalah Jayden tewas di tembak para pemberontak itu. Dalam hati Max bersumpah, tak akan pernah ia lupakan apa yang di lakukan Jayden untuknya.

Di ruangan yang menjadi saksi bisu akhir perjalanan hidupnya, Jayden yang sedang di ambang kematian karena dua peluru yang mendarat di perut dan dada sebelah kanan nya itu tersenyum dalam sakit yang ia rasakan. Dalam bayangan yang sudah tampak samar dan bau anyir dari darah yang mengalir dari dalam tubuhnya, ia bisa melihat Ayu berdiri di depannya.

Mengulurkan tangan dengan senyum manisnya, wanita itu mengenakan kebaya terbaiknya dengan rambut panjang yang di hiasi oleh melati-melati. Jayden ingin sekali mengucapkan salam perpisahan, namun lidahnya keluh. Tubuhnya seperti tercabik-cabik dan nyawanya perlahan terasa seperti di tarik.

Malaikat maut mungkin sedang menjemputnya, di akhir nafasnya itu Jayden tersenyum. seseorang yang menjemputnya pergi ke sebuah lorong penuh cahaya itu adalah Ayu. Wanita itu mengenggam tangannya, tersenyum namun tidak berbicara. Dan ini adalah akhir dari perjalanan hidup seorang Jayden Van Den Dijk.

Pagi buta itu Raga bangun dengan terengah-engah, keringat di sekujur tubuhnya itu berjatuhan, perasaanya tidak karuan dan bagian dada serta perutnya terasa begitu ngilu. Ia seperti bisa merasakan apa yang di rasakan oleh Jayden yang tewas dalam mimpinya itu.

“Aaarghh....” erangnya.

Raga meraba sisi ranjangnya untuk mencari ponselnya itu, dengan nafas yang tersenggal-senggal ia berusaha mencari nama Adel di sana namun Jayden sadar jika kakak perempuannya tidak sedang berada di Jakarta. Mbak Adel sedang liburan bersama dengan anak dan Suaminya ke Bali.

“Aaahhh...” Raga meremas dadanya sendiri, rasanya semakin sakit dan nafasnya juga semakin sesak.

Pada akhirnya ia menekan asal kontak yang ada di ponselnya itu untuk meminta bantuan, ia benar-benar tidak kuat menahan sakitnya. Raga sendiri juga tidak tahu kenapa ia bisa merasakan sakit seperti yang Jayden rasakan di dalam mimpinya.

hallo, ada apa, Pak?

Dari ponselnya, Raga bisa mendengar suara Kirana. “Na, tolong saya..”

ada apa, Pak? Bapak kenapa?” suara Kirana itu berubah menjadi panik ketika ia mendengar suara Raga yang sedikit parau itu seperti tengah merintih.

“Tolong.. Bawa saya ke rumah sakit.. Arrrhghhh—”

Raga tidak sempat menjelaskan kondisinya, ia kehilangan kesadarannya dengan sambungan telefon yang masih terhubung ke Kirana. Di sebrang sana, di jam tiga pagi Kirana panik bukan main. Ia langsung bersiap-siap untuk pergi ke rumah Raga dengan memesan taksi online setelah Raga tak lagi menjawab ucapannya.

Bersambung...

Begitu sampai di rumah Raga, Kirana begitu panik, apalagi saat Raga tidak menjawab panggilannya dan tidak membukakanya pintu. Kirana sempat meminta bantuan pada satpam kompleks tempat Raga tinggal untuk membantunya membuka pintu rumah Raga.

Begitu pintu itu terbuka, Raga sudah tergeletak di samping ranjangnya, wajahnya pucat dan pria itu berkeringat cukup banyak. Kirana langsung membawa Bagas ke rumah sakit, dari hasil pemeriksaan dokter bilang kalau Raga terkena Gerd. Beruntungnya Kirana langsung segera datang dan membawa Raga ke rumah sakit.

Raga belum di pindahkan ke kamar rawat inap, administrasinya sudah selesai namun dokter masih menunggu hasil pemeriksaan darah Raga keluar. Selama Raga belum sadar, Kirana masih setia menemani pria itu di sebelah ranjangnya. Memperhatikan Raga yang masih terlelap dengan wajah pucat pasinya itu.

Kirana enggak tahu keluarga Raga seperti apa, pria itu hanya tinggal sendiri dan saat sakit pun Kirana orang pertama yang ia hubungi. Padahal, kalau di bilang hubungan mereka cukup dekat pun enggak. Mereka hanya saling bertukar cerita mengenai mimpi yang mereka alami saja, justru Raga lebih banyak tahu tentang Kirana dari pada Kirana sendiri yang mengetahui tentang Raga.

Sedang larut memperhatikan wajah Raga, tiba-tiba saja kedua kelopak mata itu terbuka perlahan-lahan. Keningnya mengekerut bingung, namun kebingungan itu terjawab dengan hadirnya Kirana di sana.

“Pak?” tanya Kirana.

“Kamu bawa saya ke rumah sakit, Na?” Raga bertanya balik, ia sedikit lupa apa yang terjadi padanya sampai-sampai Kirana harus membawanya ke rumah sakit.

Kirana mengangguk kecil, “Bapak pingsan, Bapak telfon saya sambil ngerintih, gimana saya enggak khawatir coba?”

Raga tersenyum lemah, ia baru ingat apa yang terjadi padanya. “Maaf ya ngerepotin kamu. Saya enggak tahu harus telfon siapa lagi, karena Mbak saya lagi di luar kota.”

Kirana mengangguk kecil, dia baru ingat kalau Raga mempunyai Kakak perempuan. Kakak perempuannya itu kalau tidak salah ada di dalam mimpinya Raga, ya, Raga pernah bercerita kalau ada orang lain yang ada di masa lalunya yang ia temui juga di saat ini.

“Gapapa, Pak. Maaf, Pak. Bapak punya gerd?” tanya Kirana hati-hati.

“Kata dokter seperti itu?”

Kirana mengangguk.

“Punya, tapi memang sudah lama tidak pernah kambuh. Padahal akhir-akhir ini saya jaga pola makan saya, udah enggak minum kopi juga.”

“Banyak pikiran juga bisa menjadi pemicunya, Pak.”

Raga menoleh ke arah Kirana, ia melihat wanita itu dengan baju tidur dan cardigan berwarna kuning yang ia kenakan. Rambut panjangnya juga hanya di ikat asal-asalan, Kirana benar-benar datang saat ia menelfonnya tadi pagi.

“Mungkin mimpi itu jadi penyebabnya gerd saya kambuh juga, Na.”

Raga baru ingat tentang mimpi akhir dari perjalanan hidup Jayden, pria Belanda itu di tembak dua kali di bagian dada sebelah kanan dan perutnya. Pemberontakan kaum pribumi itu banyak menewaskan para kolonial dan pihak pribumi juga, bahkan saat Raga bangun pun ia bisa merasakan sakit di bagian yang tertembus peluru itu. Entah kenapa ia bisa merasakan sakitnya juga.

Dan itu semua berujung ia harus opname di rumah sakit karena gerd yang di deritanya, agak sedikit tidak masuk akal bagi Raga karena sebelum tidur pun ia sehat-sehat saja.

“Soal Jayden, Pak?” tanya Kirana hati-hati dan Raga menjawabnya dengan anggukan.

“Dia udah tewas, Na. Dan saya tau bagaimana itu semua berakhir,” jawab Raga dengan nada yang mengambang.

Mendengar ucapan Raga itu, Kirana menunduk. entah kenapa perasaanya menjadi tidak karuan mengetahui Jayden sudah tewas. Meski Kirana sendiri enggak tahu bagaimana akhir hidup dari pria Belanda itu karena Raga belum bercerita dan ia sendiri pun belum bermimpi, semalam setelah pulang dari rumah Bagas.

Kirana enggak langsung tidur, ada beberapa laporan yang harus ia revisi dahulu. Setelah itu, ia menemani Almira melakukan panggilan video karena wanita itu ingin bercerita banyak mengenai kencan nya.

“Jayden sakit, Pak?”

Raga menggeleng pelan, “dia di tembak, Na.”

“Di tembak?”

Baru saja Raga ingin menjelaskan seperti apa mimpinya, tiba-tiba saja seorang perawat membuka korden yang menjadi pemisah antara ranjang yang di tempati oleh Raga dengan pasien lain.

“Selamat pagi Bapak Raga, kita pindah ke ruang rawatnya dulu ya. Setelah itu nanti ada staff yang mengatar sarapan pagi, jangan lupa sarapannya di habiskan.”


“Mbak Kirana kemana, Mas?” Tanya Almira pada Bagas sewaktu pria itu baru saja tiba di kantor.

Melihat kursi Kirana yang masih kosong, Bagas juga terlihat bingung. Pasalnya telfon dan pesan singkat darinya itu juga belum mendapatkan balasan dari Kirana. Mereka memang tidak janjian untuk berangkat bersama ke kantor karena Bagas hari ini harus bekerja di luar kantor dahulu.

Bagas pikir Kirana mungkin hanya terlambat saja dan belum sempat memeriksa ponselnya, tapi siapa sangka jika wanita itu tidak masuk bekerja.

“Dia gak masuk?”

“Ih kok lo malah nanya balik sih, Mas. Gue aja bingung ini kenapa Mbak Kirana gak ada kabar, HP nya juga enggak aktif.” Almira menunjukan layar ponselnya yang menampakan beberapa panggilan keluar dari nya tidak terjawab oleh Kirana.

Bagas tidak menjawab pertanyaan Almira lagi, dia hanya menaruh tas kerja miliknya di kursinya kemudian mencoba menghubungi Kirana lagi. Bahkan mencoba untuk menelfon ke nomer telfon rumah Kirana, tapi sama seperti yang di dapati Almira. Ia pun tak mendapatkan jawaban. Sebenarnya kemana Kirana? Pikir Bagas.

“Gak di angkat juga..” Gumam Bagas.

“Semalam tuh gue sempat video call sama dia, Mas. Sampai jam 2 pagi malahan.”

“Terus?” Bagas mengubah posisi duduknya jadi menghadap ke arah Almira.

“Ya yaudah, habis itu gue pamit tidur karena udah ngantuk. Maksud gue, gak ada yang aneh sama Mbak Kirana. Tapi kenapa tiba-tiba paginya dia enggak datang,” ucap Kirana masih bertanya-tanya.

Hampir seharian ini Bagas bekerja dengan suasana hati yang tidak karuan dan pikiran yang tidak tenang karena memikirkan Kirana. Hari itu juga Bagas lumayan sibuk, ia tidak sempat keluar kantor lagi setelah nya karena harus mengerjakan laporan dan meeting dengan mandor proyeknya.

Bagas baru bisa tenang pada akhirnya setelah jam kerja berakhir, ia langsung buru-buru pergi ke rumah Kirana. Namun saat ia tiba di sana, Bagas justru terlihat semakin bingung ketika Kirana baru saja turun dari taksi dan masih mengenakan baju tidurnya. Begitu melihat Kirana, Bagas langsung keluar dari mobil miliknya.

“Kamu habis dari mana, Na?” Tanya Bagas tiba-tiba, Kirana pun kaget karena saat ia ingin membuka pagar rumahnya Bagas justru datang tiba-tiba dan menahan tangannya.

“Bagas...”

“Habis dari mana, Na? Aku telfon kamu gak di angkat habis itu HP kamu mati. Kamu juga gak kerja, kamu kemana?”

Kirana merhatiin wajah pria di depannya itu, Bagas nampak gusar dan khawatir padanya. Salahnya sendiri yang tidak mencoba memberi kabar pada Bagas sampai-sampai ia harus ke rumahnya demi memastikan dirinya baik-baik saja, sebenarnya saat Raga sudah di pindahkan ke ruang rawat Kirana sudah bisa pulang.

Namun Raga menahannya sebentar, pria itu minta di temani hingga kedua orang tua nya yang berada di luar kota itu datang. Dan saat mereka datang, Kirana justru kembali di tahan. Mereka banyak mengajak Kirana mengobrol. Jujur saja, Kirana sempat merasa terharu dengan kedua orang tua Raga yang menyambutnya hangat dan memperlakukkanya dengan baik.

Bahkan keduanya sempat mengira jika dirinya adalah wanita yang di kencani Raga, namun pada akhirnya Raga menjelaskan semuanya. Setelah itu Kirana sempat di ajak makan di kafetaria rumah sakit sampai akhirnya dia berpamitan untuk pulang, saat di perjalanan pun Kirana baru sadar kalau ia tidak membawa ponselnya.

“Masuk dulu ya? Aku jelasin di dalam aja.” Kirana membuka pagar rumahnya sedikit lebih lebar agar Bagas bisa memarkirkan mobilnya di dalam.

Keduanya masuk ke dalam rumah Kirana, malam itu Ibu belum pulang, Ibu memang baru akan pulang setelah menutup toko milik temannya itu. Agak sedikit malam, sekitar jam delapan malam biasanya Ibu baru saja tiba di rumah.

“Maaf ya, aku jadi bikin kamu khawatir.” Kirana ngerasa bersalah banget rasanya, karena jika posisi nya ia adalah Bagas ia pasti akan khawatir juga.

“Habis dari mana, Na? Kenapa kamu masih pakai baju tidur?” Bagas masih terus mencecarnya dengan pertanyaan.

“Aku habis nolongin Pak Raga, Gas.”

Wajah khawatir Bagas itu berubah menjadi datar, ia baru sadar kalau hari ini Raga tidak datang ke kantor. Padahal pria itu pun harusnya hadir dalam meeting bersama dengan mandor proyek yang Bagas pegang.

“Kenapa dia?” tanya Bagas.

“Pagi-pagi banget dia telfon aku, suaranya kaya dia tuh lagi ngerintih. Setelah itu gak ada suara lagi, tapi telfon nya juga enggak dia matiin. Aku panik banget, aku mikir apa Pak Raga kerampokan. Jadi aku datang ke rumahnya waktu aku datang pun dia gak jawab panggilan aku sampai akhirnya aku minta bantuan satpam komplek nya buat bantu buka pintu rumahnya.”

“Terus?”

“Dia pingsan, Gas. Aku sama satpam komplek itu bawa dia ke rumah sakit. Udah itu aja.”

Bagas mengusap wajahnya gusar, ia juga menyandarkan punggungnya ke sofa yang ia duduki, katakan Bagas kekanakan. Tapi ia benar-benar ingin marah, rasanya cemburu tengah melanda Bagas saat ini. Namun, satu hal yang Bagas hargai dari Kirana. Wanitanya itu mau berbicara jujur dengannya meski pada akhirnya ia cemburu.

“Sayang, maafin aku..” ucap Kirana.

“Aku gak ngerti ya, Na. Kenapa dia harus telfon kamu.”

“Dia udah berusaha hubungin nomer Kakak nya, tapi dia sadar Kakaknya di luar kota. Aku juga gak ngerti kenapa dia tiba-tiba hubungin aku.”

“Enggak.. Maksud aku, dia kan bukan cuma kenal kamu. Dia bisa hubungin aku atau Bang Satya. Kenapa harus kamu?”

“Kamu cemburu?” tanya Kirana hati-hati.

“Iya aku cemburu, akhir-akhir ini aku gak suka liat kamu sama dia, Na. Tapi aku coba buat mengesampingkan itu semua karna aku pikir setiap kalian berdiskusi berdua itu cuma ngobrolin kerjaan. Tapi sekarang, dia bahkan minta tolong sama kamu buat hal di luar kerjaan.”

Kirana hanya diam, Bagas itu jarang sekali marah. Selama 7 tahun mereka berpacaran, bisa terhitung jari masalah yang datang ke hubungan mereka sampai-sampai buat Bagas marah kaya sekarang. Kirana enggak denial, dia mengakui kalau dia salah dan memaklumi kemarahan Bagas.

Tapi entah kenapa, rasanya pagi itu dia benar-benar mengkhawatirkan Raga. Dia takut terjadi sesuatu pada pria itu, apalagi setelah mendengar cerita dari Raga tentang bagaimana akhir dari hidup Jayden. Rasanya seperti ada cubitan kecil di hati Kirana, yang saat itu hanya ingin memastikan bahwa Raga baik-baik saja.

“Dia tau kamu punyaku loh, Na..”

Kirana membawa tangan Bagas pada genggamannya, “aku minta maaf ya, aku bakalan jaga jarak sama dia.”

Bagas terdiam, emosinya tadi yang memuncak itu sedikit luluh. Enggak bisa dia lihat wajah Kirana merasa bersalah seperti itu, enggak pernah tega. Bagi Bagas, Kirana mengaku salah dan meminta maaf saja itu sudah cukup. Selama ini yang membuat hubungan mereka bertahan lama karena keduanya saling mengakui kesalahan dan tidak segan meminta maaf.

Bagas membawa Kirana pada pelukannya, dia khawatir setengah mati. Dia pejamkan matanya dan hirup aroma dari rambut panjang kesayangannya itu. “Maaf ya, maaf aku jadi marah banget kaya tadi. Aku cuma cemburu Kirana.”

“Gapapa, maaf udah bikin kamu enggak nyaman..”


Samarang, 1899.

Sudah lima bulan sejak kepergian Jayden sampai hari ini pun Ayu masih belum mengetahuinya, kabar tentang wanita itu di Soerabaja cukup baik meski tak sebaik itu. Ayu masih suka memikirkan Jayden saat hari-hari kosongnya.

Sejak menjadi istri Dimas, yang Ayu lakukan sehari-hari hanya berada di rumah. Memasak, menunggu Dimas pulang dan sesekali ia belajar merajut. Kabar baiknya adalah Ayu kini tengah mengandung, usia kehamilannya sudah memasuki bulan ke enam.

Sejak mengetahui ia hamil, Ayu tidak pernah merasakan kesepian lagi ketika Dimas sedang tidak ada di rumah. Ia merasa ada yang menemani, katakanlah cinta itu belum tumbuh untuk Dimas. Tapi bagi Ayu, bayi yang di kandungnya itu tetap anaknya. Dimas memang bukan suami yang baik, ia terkadang kasar jika sedang marah.

Dimas juga enggan membantunya dalam urusan rumah, namun satu hal yang membuat Ayu bisa menghormati Dimas sebagai seorang suami. Dimas selalu berterima kasih ketika Ayu melayaninya seperti mengambilkan makanan, memasakinya makanan kesukaanya dan ketika Ayu membangunkannya di pagi hari.

Malam itu Ayu tertidur sedikit pulas dari biasanya, perutnya yang semakin besar itu terkadang membuatnya kesulitan hanya untuk sekedar tidur dengan nyaman. Sampai-sampai, Ayu tidak dengar jika Dimas mengetuk pintu rumah mereka untuk segera di bukakan pintu.

Malam itu Dimas sedikit mabuk, setelah menikah Dimas di beri kepercayaan oleh Ayahnya untuk mengelola perternakan. Namun malam itu Dimas bukan pulang bekerja, melainkan ia habis pulang berjudi. Pintu rumah itu di dobrak paksa oleh Dimas, membuat Ayu terkesiap karena terkejut. Wanita itu buru-buru bangkit dari tidurnya untuk melihat siapa yang datang.

“Ya ampun, Mas. Kamu mabuk lagi?” Ayu buru-buru menghampiri Dimas, memapah Suaminya itu dan membantunya untuk tidur di kamar mereka.

“Kau tidur? Tidak dengar aku mengetuk pintu dan memanggilmu berkali-kali?” Dimas meracau.

Nguwun pangapunten sanget, Mas. Aku tertidur.”

Ayu membuka sepatu yang di pakai oleh Dimas itu, menaruhnya kembali ke depan pintu rumah mereka dan menutup pintu itu kembali. Setelahnya, Ayu membuka lemari baju mereka. Mengambil salah satu baju untuk ia gantikan baju yang tengah di pakai suaminya itu.

“Ayu?” panggil Dimas, membuat Ayu menoleh ke arah Suaminya itu.

nggih, Mas?” Ayu segera menghampiri Dimas, duduk di sebelah Suaminya itu. Dimas kebetulan bangkit dari tidurnya dan duduk di sisi ranjang mereka.

Pria itu tersenyum, bukan seringaian yang biasa Dimas berikan untuk Ayu. Melainkan senyum konyol khas orang mabuk, tanganya itu kemudian beralih mengusap perut Ayu yang sudah terlibat membesar itu.

“Ini anakku kan? Bukan anak pria Belanda sialan itu!!”

Mendengar ucapan Dimas itu, entah kenapa selalu berhasil melukai perasaan Ayu. Dimas sudah sering mengatakan hal itu, meragukannya jika anak yang ia kandung adalah darah dagingnya.

“Ini anak kita..” ucap Ayu terisak.

“Kau menangis?”

Ayu tidak menjawab, ia hanya diam sembari mengusap wajahnya yang sudah basah dengan air mata nya sendiri.

“Mas istirahat saja ya, biar Ayu bantukan berganti pakaian.”

“Jawab dulu pertanyaan suamimu, Ayu.”

“Tidak menangis, Mas..” jawab Ayu lirih.

Dimas terkekeh, “aku berharap pria Belanda munafik yang kau cintai itu segera mati. Mungkin dengan begitu, kau bisa mencintaiku.”

Setelah menggantikan baju Dimas, Ayu tidak bisa kembali tidur. Ia hanya bisa menangis di ranjang mereka, ia sangat merindukan Jayden, sungguh. Sudah beberapa hari ini ia mengimpikan pria itu. Mendengar ucapan Suaminya barusan, membuat keraguan Ayu untuk bisa belajar mencintai Dimas itu pupus rasanya.

Wanita itu bangun dari ranjangnya, ia berjalan ke laci meja riasnya itu dan mengambil secarik surat berisi tulisan Jayden. Sajak yang pria itu tulis berserta hiasan kepala untuknya dari bunga melati yang sudah menghitam dan layu itu.

Dua benda dari Jayden untuknya, jika merindukan pria itu. Hanya kertas itulah yang bisa Ayu peluk erat, ia ingin sekali kembali ke Samarang hanya untuk sekedar menjenguk Ibu dan Romo nya. Namun Dimas melarangnya, Ayu tidak di izinkan kembali ke Samarang jika Dimas tidak ikut bersamanya.

Tapi tak lama kemudian Ayu terkejut ketika tiba-tiba surat yang di tulis Jayden itu di renggut paksa begitu saja oleh Dimas, Suaminya itu bangun dan tampak marah saat melihat Ayu tengah membaca kembali sajak itu.

“Kau masih menyimpan tulisan sialan ini, iya?!” sentak Dimas, membuat Ayu kaget setengah mati.

“Mas.. Kembalikan, Mas.”

“ARRGHH!” Dimas merobek kertas itu hingga berkeping-keping. Dan ketika Dimas ingin mengambil hiasan kepala yang dikirimkan oleh Jayden bersamaan dengan sajak itu.

Ayu berusaha untuk merebutnya, hiasan kepala berbentuk bando itu rusak, melatinya berjatuhan dan kawat kecil yang di gunakan untuk merangkainya pun rusak hingga mengenai telapak tangan Ayu, kedua anak manusia itu masih saling berebut benda itu hingga akhirnya Dimas mengerahkan seluruh tenaga nya untuk merebutnya seutuhnya dari Ayu. Namun na'as nya adalah, Ayu justru jatuh tersungkur di lantai.

“Pria bajingan!! Brengsek, akan aku bunuh dia!!” Dimas menginjak-injak bando itu bersamaan dengan melati yang gugur.

“Mas...” Ayu sudah tidak memperdulikan lagi bando dari Jayden yang sudah rusak itu, kini yang ia rasakan adalah nyeri di perutnya. Bersamaan dengan darah segar yang mengalir dari pangkal paha hingga merembas ke kakinya.

“Mas tolong...” Ayu memegangi perutnya.

Begitu Dimas menoleh, pria itu kaget bukan main. Ia langsung membawa Ayu ke ranjang mereka tanpa memperdulikan kaki istrinya itu yang terus mengeluarkan darah.

“Sebelah mana yang sakit, Yu? Sebelah mana?” tanya Dimas panik.

“Aahhh..” Ayu tidak menjawab, nafasnya tersenggal dan perutnya semakin sakit. Ayu mengalami pendarahan karena benturan keras barusan, sampai akhirnya wanita itu tak sadarkan diri.

*Bersambung...

Hari itu Asri berkunjung ke rumah kedua orang tua Bagas, kemarin Ibu nya Bagas menelfon Asri dan menyuruhnya untuk datang ke rumah mereka. Ibu ingin bercerita sekaligus meminta maaf pada Asri karena Bagas tidak datang di acara keluarga mereka.

Siang itu Asri membawa cheese cake yang sempat ia beli dulu di jalan, Ibu nya Bagas bilang kalau beliau sempat sakit memikirkan anak sulung nya itu yang pergi meninggalkan rumah. Bahkan Bagas tidak memberi tahu orang tua dan Adiknya dimana ia tinggal.

“Kata Ibu langsung ke kamar aja, Non.”

Asri mengangguk, “oke, makasih ya, Bi. Ini cake nya saya taruh disini tolong di potong ya.”

Asri menaruh kotak berisi cake itu di meja makan agar Bibi yang bekerja di rumah Bagas itu memotong nya, kemudian wanita itu naik ke lantai dua menuju ke kamar orang tua Bagas. Asri sempat mengetuk pintu kamarnya dulu sampai akhirnya orang tua Bagas yang membukakan pintu kamar itu.

“Ibu gimana kabarnya?” tanya Asri setelah ia bersalaman dengan Ibu nya Bagas, wanita berusia 50an itu tampak sedikit pucat.

“Tensi Ibu sudah turun, Sri. Berkat minuman dari kamu itu. Tapi masih belum enakan badannya.”

Kedua wanita yang berbeda usia itu duduk di sofa bed yang ada di kamar itu, Asri tampak tidak tega melihat Ibu nya Bagas yang sakit dan mengkhawatirkan anaknya. Ibu mana yang tidak sakit melihat anaknya berani melawannya dan lebih memilih orang lain, pikir Asri.

“Masih kepikiran Bagas ya, Buk?”

Ibu mengangguk, “kamu sudah coba hubungi dia, Sri?”

“Sudah, Buk. Tapi buat di ajak ketemu Bagas belum bisa, dia bilang sibuk. Minggu ini juga harus ke Surabaya katanya.”

Ibu menghela nafasnya pelan, wanita itu bersandar sembari menopang kepalanya sendiri dengan satu tangannya. Hari-hari nya pusing memikirkan cara agar Bagas kembali ke rumah.

“Ibu tuh bingung sama Bagas, Sri. Kenapa dia jadi seperti ini? Kenapa dia enggak memihak Ibu nya dan malah memihak perempuan itu.” dulu, Bagas sangat penurut sekali pada orang tua nya. Ibu merasa sejak Bagas bersama dengan Kirana, Bagas banyak sekali berubah. Terutama perubahan sikap pada kedua orang tua nya. Ibu cuma merasa Kirana lah yang memberi dampak buruk itu pada Bagas.

“Nanti Asri coba bicarain sama Bagas ya, Buk.” Asri memegang tangan wanita di depannya itu, mengenggamnya agar Ibu jauh lebih tenang. Ia ingin mencoba bicara dengan Bagas, ya sukur-sukur pria itu mau mendengarkannya. Ah, setidaknya Bagas mau pulang sebentar untuk menjenguk Ibu nya yang sedang sakit.

“Makasih ya, Sri. Maafin Bagas ya, dia udah bikin kamu sama Bapakmu bingung karena enggak hadir di acara rencana pertunangan kalian.”

Asri mengangguk, baginya itu bukan masalah. Walau tetap saja Asri merasa tidak di hargai oleh Bagas, tapi disisi lain Asri bisa memahami kenapa Bagas bersikap seperti itu. “Gapapa, Buk. Ibu sekarang fokus sama kesembuhan Ibu dulu saja ya.”

“Iya, makasih ya sayang. Ibu tuh benar-benar suka banget sama kamu. Anak baik, manis, pintar, mandiri. Ingin sekali Ibu melihat kamu menikah sama Bagas.”

Asri tersenyum, jika di tanya ia ingin menikah atau tidak dengan Bagas, Asri akan menjawab dengan jujur bahwa ia juga ingin Bagas menikahinya. Bagas adalah cinta pertama Asri meski sampai hari ini Bagas enggak pernah mengetahui jika Asri menyukainya.

“Doain aja ya, Buk.”

Setelah menjenguk Ibu nya Bagas, Asri langsung pulang ke rumahnya. Dia udah enggak ada kegiatan lagi di butik hari ini, baru saja akan turun dari mobilnya untuk membuka pintu gerbang rumahnya. Kedua mata Asri membulat ketika mengetahui ada mobil lain yang terparkir di depan gerbang rumahnya.

Asri sangat mengenali mobil itu, terlebih sang pemilik mobil itu berdiri tepat di samping mobilnya dengan kedua tangan di lipat di depan dada dan kini tengah memperhatikan Asri dari dalam mobil.

“Ck, mau ngapain lagi sih dia?” gerutu Asri, ia keluar dari mobilnya untuk bicara dengan pria itu agar menyingkirkan mobilnya yang menghalangi jalan masuk.

“Kamu ngapain lagi sih?” tanya Asri sedikit sewot.

“Ngapain? Asal kamu tau ya, aku gak akan kesini kalo kamu jawab telfon dari aku,” ucap pria itu tak kala sewot nya dengan Asri.

“Ada apa lagi sih, Raka? Aku rasa hubungan kita juga udah selesai ya.”

Reiraka Indra Soerja, pria berusia 33 tahun itu menatap Asri dengan pandangan tidak menyangka nya, kecewa sekaligus marah dengan wanita yang dulu ia cintai habis-habisan itu.

“Eh, denger ya. Hubungan kita emang udah selesai, tapi kamu mikir gak kalau kita masih punya Saka? Dia nyariin Ibu nya!!” Bentak Raka naik pitam.

Tidak ada sama sekali hati Asri tersentuh mendengar nama anak yang sudah ia tinggalkan itu, ia justru membuang pandanganya ke arah lain. Asri dan Raka memang pernah menikah dulu, mereka memiliki satu orang anak laki-laki bernama Reisaka Bumi Soerja.

Dulu, memang hubungan mereka di landasi cinta. Reisaka juga hadir karena Asri dan Raka saling mencintai, mereka menikah pun karena kehadiran Saka. Meski tidak di dapati restu dari keluarga Asri, setelah Saka lahir Keduanya berpisah, Asri memilih pindah ke Jakarta bersama Bapaknya dan meninggalkan Raka dan Saka.

Raka sama sekali tidak keberatan dengan hal itu, pria itu hanya mau Asri tidak melupakan kewajibannya sebagai Ibu dari Saka. Setidaknya Asri masih mau menjenguk Saka hanya untuk tahu kabar bocah itu, tapi yang di lakukan Asri justru sebaliknya. Wanita itu tampak tidak perduli dan bahkan bersikap seolah-oalah ia tidak pernah memiliki anak.

“Aku belum ada waktu buat jenguk dia, mending sekarang kamu minggirin mobil kamu deh, sebelum Bapakku tau kamu disini.”

Mendengar ucapan Asri itu, membuat alarm yang berada di kepala Raka rasanya menyala. Pria itu menunjuk wajah Asri dengan rahang yang mengeras, mungkin jika Asri bukan seorang wanita. Ia pasti sudah menghajarnya.

“Aku tau ya kamu berencana menikah lagi sama laki-laki yang jadi cinta pertama kamu itu kan? Kalau sampai besok kamu enggak nemuin Saka, aku gak akan segan-segan ngasih tau keluarganya kalau kamu punya anak dan pernah menikah!” Ancam Raka, ia hanya terpikirkan cara itu agar Asri mau menjenguk anak mereka yang saat ini sedang sakit.

Dan terbukti wajah wanita itu terlihat tegang, Asri kelihatan ketakutan bukan main saat Raka berbicara seperti itu. Imej yang ia bangun selama ini setelah berpisah dengan Raka memang lah baik, tidak banyak orang yang tahu ia pernah menikah bahkan memiliki anak. Karena pernikahannya dahulu memang di lakukan secara tertutup.

“Bajingan kamu, Raka!” Pekik Asri.

“Kamu juga brengsek, Ibu gak bertanggung jawab. Perempuan enggak tahu malu!” Setelah mengatakan itu, Raka langsung mendorong Asri minggir dari samping mobilnya. Pria itu langsung bergegas pergi dari sana, meninggalkan Asri yang berdiri dengan kaki bergetar sembari berpegangan pada bagian depan mobilnya.

“Gak ada yang boleh tau!” Gumam Asri, tanganya bergetar bukan main.


Sudah dua hari Mama dan Papa nya menemani Raga di rumah sakit, Adel dan Ethan yang sudah selesai berlibur juga turut menjenguk Raga. Raga masih belum di perbolehkan untuk pulang dengan dokter, padahal Raga sendiri sudah merasa jika kondisinya sudah membaik.

Sejak Mama dan Papa nya melihat Kirana, mulai hari itu juga Raga sering sekali di ledeki jika Kirana adalah kekasih Raga. Padahal sudah berkali-kali Raga jelaskan jika Kirana hanya bawahannya saja di kantor dan Kirana sudah memiliki kekasih. Tapi tetap saja keduanya beranggapan jika Raga hanya malu saja dan masih menutup-nutupi hubungan mereka.

“Serius loh, Del. Anaknya cantik sekali, baik, suaranya halus, sopan. Tapi Adikmu itu loh pakai segala bilang kalau dia bukan pacarnya, padahal kalau pacarnya juga gapapa yah, Pah. Malahan kami senang,” celoteh Mama pada Adel.

Raga di ranjangnya hanya menggeleng pelan saja, sepertinya kedua orang tua nya itu benar-benar menyukai Kirana. Jika sudah seperti ini, sudah bisa Raga pastikan ia akan terus di jadikan bahan guyonan. Karena ini pertama kalinya Mama dan Papa melihat Raga bersama seorang wanita.

Katakan lah Raga memang cupu, kurang pergaulan atau apapun itu. Tapi memang selama 31 tahun ia hidup, Raga belum pernah memiliki kekasih. Jaman kuliahpun sebenarnya Raga cukup di gandrungi oleh teman-teman yang pernah satu kelas dengannya, di kalangan senior nya pun Raga pernah beberapa kali menjadi bahan omongan.

Ah tidak, bahkan jauh dari itu. Wajahnya dulu pernah masuk televisi karena mewakili kampus nya untuk orasi di depan gedung pemerintahan. Sejak itu sosial media Raga di banjiri oleh permintaan pertemanan oleh orang-orang tidak di kenalnya, rata-rata wanita yang ingin menjadi pengikutnya.

Tapi entah kenapa, Raga tidak pernah tertarik untuk memulai suatu hubungan. Ia juga tidak memiliki trauma apapun sampai-sampai enggan menjalin hubungan, semuanya normal. Malahan Raga kadang merasa hidupnya sedikit membosankan.

“Siapa sih namanya, Mah? Jadi penasaran, sayang banget Adel gak di Jakarta jadi enggak bisa lihat.” Adel melirik Adiknya itu wajah Raga sudah masam karena Mama terus berceloteh mengenai Kirana.

“Kirana, Del. Ih cantik pokoknya deh.”

“Cantik-cantik juga udah punya pacar, Mah.” samber Raga.

“Yah, masa naksir cewek orang, Ga,” Ethan yang sedang duduk di dekat Papa itu terkekeh pelan ikut meledek.

“Siapa yang naksir sih, Mas. Mama tuh yang udah ngarep, orang di bilang Kirana udah punya cowok juga.”

Papa yang sedari tadi menyimak itu tersenyum, agak kasihan lihat Raga sedari tadi terus di cecar. “Wajar Mama mu berharap, Ga. Ini pertama kalinya loh kami melihat kamu dengan perempuan. Umurmu tuh sudah 31 tahun, Papa dan Mama ini sejujurnya sudah ingin sekali melihat kamu mengenalkan calonmu.”

Raga mendengus, Raga paham. Tapi bagaimana jika ia juga belum menemukannya? Enggak mungkin kan Raga merebut Kirana dari Bagas hanya karena kedua orang tua nya menyukai wanita itu, ia tidak segila itu untuk merebut kebahagiaan orang lain.

“Doain lah, Mah, Pah. Raga kan lagi usaha juga ya, Ga?” Adel menyenggol bahu Raga, namun Adiknya itu hanya bergeming.

“Kalau memang kamu berjodoh dengan Kirana, Mama tuh bakalan bahagia banget, Ga. Enggak tahu kenapa Mama senang dan suka sekali melihat dia.”

Bagi Mama, Kirana adalah wanita yang baik. Kalau untuk urusan paras, Kirana itu enggak perlu diragukan lagi. Meski pertama kali bertemu hanya mengenakan piyama tidurnya dan cardigan kuning, wajah dahayunya itu tidak sirna.

Terlebih wanita itu sangat sopan, Mama sangat nyambung sekali berbicara dengan Kirana. Rasanya nyaman, seperti mereka berdua sudah kenal lama, akrab sekali. Dan enggak bisa Raga pungkiri jika ia juga bahagia melihat Mama dan Kirana berbicara berdua, berbicara mengenai banyak hal. Rasanya waktu itu seperti ada jutaan kupu-kupu yang terbang di perutnya.

Menjelang malam, Ethan mengajak kedua orang tua Raga untuk makan malam di restaurant tak jauh dari rumah sakit. Sementara Adel menjaga Raga, Adel hanya meminta di bungkusi saja.

“Kirana itu yang waktu itu lo ceritain ada dalam mimpi lo bukan sih, Gas? Ayu?” Tanya Adel setelah kedua orang tua mereka dan juga Ethan pergi.

Raga mengangguk, Adel masih ingat ternyata. “Iya yang itu, Mbak.”

“Kok bisa dia ada disini? Kata Mama dia yang bawa lo ke rumah sakit?” Adel menaruh jeruk-jeruk yang sudah ia kupas itu di atas piring, Raga suka sekali jeruk makanya Adel membelikannya saat perjalanan menuju ke rumah sakit.

“Gue tadinya mau telfon lo, terus inget kalau lo lagi di Bali liburan sama Mas Ethan. Gak tau kenapa di kepala gue waktu itu cuma kepikiran Kirana.”

“Terus dia datang?”

Raga mengangguk seraya memasukan 2 jeruk ke dalam mulutnya. “Dia bahkan enggak ke kantor demi nungguin Papa sama Mama datang, ya tentu aja gue yang minta.”

Adel menghela nafasnya pelan, dia cuma kepikiran takut kalau Raga terbawa perasaan karena mimpinya. Maksudnya, di mimpi itu kan Jayden dan Ayu adalah sepasang kekasih. Sedangkan di dunia nyata ini Kirana sudah memiliki kekasih enggak mungkin kan Adel mendukung Adiknya itu untuk merebut kekasih orang lain.

“Lo gak baper gara-gara mimpi itu kan?” Tanya Adel hati-hati.

“Gila kali, ya enggak lah.” Raga agak sedikit gugup ketika menjawabnya. Menurutnya saat ini ia hanya kagum dengan Kirana. “Gue cuma bangga atau kagum aja sama dia, Mbak.”

“Bangga dan kagum?” Adel mengerutkan keningnya bingung. “Kenapa emangnya?”

“Pokoknya ada alasan kenapa gue bangga dan kagum banget liat dia, hatinya lapang. Dan dia bukan perempuan lemah menurut gue.”

“Ck.” Adel berdecak sebal, penasaran sama alasan Raga bisa kagum dengan wanita itu. “Ya kenapa Jagaraga kan pasti ada alasannya, gue ini ngeri lo baper deh sama dia. Ya gue bukan nya enggak suka ya lo naksir cewek, tapi lo tau sendiri kan kalau Kirana udah punya cowok?”

“Gue paham, Mbak. Emang menurut lo, kalau gue kagum dan bangga sama dia itu berarti gue naksir sama dia? Kan enggak.”

“Oke terus?” Adel menaikan satu alisnya.

“Dia itu hidup berdua sama Ibunya, Mbak. Lo tau perusahaan distributor lampu CityLight yang sekarang udah tutup?” Tanya Raga, Adel enggak mungkin enggak tahu. Pengetahuannya tentang perusahaan-perusahaan besar di Indonesia itu cukup luas.

“Tau, yang kalau enggak salah ownernya itu meninggal karena.. suicide?

“Itu bokap nya Kirana, Mbak.”

Adel membulatkan matanya kaget, “serius lo?!”

Raga mengangguk, “dia berusaha bangkit setelah kepergian Bapaknya, kerja mati-matian buat bantu Ibunya bayarin hutan Bapaknya. Gue cukup tau bagaimana dia struggle selama ini karena beberapa kali dia ngajuin pinjaman ke kantor. Kerjaanya bagus, Mbak. Dia bukan perempuan yang pantang menyerah sama keadaan.”

Adel mengangguk-angguk, bisa sedikit ia pahami mengapa Raga bisa kagum dan bangga sekali dengan Kirana, terlebih Mama juga sangat menyukai wanita itu. Adel sendiri jadi penasaran seperti apa Kirana ini jika ia bertemu dengannya langsung.

“Tapi sayang aja.”

“Kenapa?”

“Keluarga cowoknya enggak memperlakukan dia dengan baik, ah udah lah kok jadi ngomongin orang gini sih,” Raga terkekeh pelan.

“Gak ngomongin dong, kan kita juga gak ngomongin yang jelek-jelek. Gue cuma penasaran aja.” Adel mengulum bibirnya itu, “kapan-kapan kenalin ke gue ya, Ga.”

Bersambung...