How To Stay ✔️

Jung Jaehyun, Ruruhaokeai, Lee Juyeon, Lee Sangyeon, Lee Naeun, Kang Hyewon

Pagi itu kediaman Yuno dan Ara tidak di sibukkan dengan rutinitas seperti biasanya, jika pagi hari biasanya Yuno akan menemani Hana untuk sarapan kemudian mengantar anak itu ke sekolahnya. Atau Yuno yang bersiap untuk segera praktiknya dan bergegas mengantar sang Istri ke rumah sakit untuk praktik, minggu ini ketiganya di sibukkan dengan menata barang dan menghias kamar yang akan di isi kelak oleh anak kedua mereka.

1 minggu yang lalu, Yuno dan Ara sibuk berbelanja perlengkapan bayi. Mulai dari ranjang kayu yang belum di rakit, baju bayi, hiasan dinding, lemari dan berserta kelengkapan lainya. Sepasang suami istri yang sudah menikah 4 tahun itu nampak excited menyambut kelahiran putra mereka.

Yup, anak Yuno dan Ara berjenis kelamin laki-laki. Ara sudah hamil sekitar 26 minggu, begitu mengetahui jenis kelamin bayi mereka. Keduanya langsung bergegas membeli perlengkapan bayi. Ada banyak hadiah juga dari kedua orang tua mereka, terutama dari keluarga Yuno. Waktu mengetahui Ara mengandung cucu laki-laki, Papa senang bukan main. Tak jarang Papa mengirim snack dan buah-buahan hanya untuk Ara.

“Papa baca dulu intruksinya yah, Hana bantuin Ibu lipatin baju Adik bayi dulu gih,” ucap Yuno pada putri sulungnya itu.

Namanya Hana, Ayura Hana Putri Wijaya. Usianya 4 tahun. Yuno dan Ara menikah di awal tahun 2021 saat Yuno berusia 23 dan Ara 22, waktu itu Yuno menyempatkan pulang ke Jakarta di tengah kesibukanya bersiap untuk coas. mereka hanya menikah saja, tanpa perayaan apapun. Setelah itu, sebulan kemudian Yuno kembali ke Jerman untuk coas nya. Sementara Ara di sibukan untuk melanjutkan kuliah psikologi nya.

Waktu itu Ara memberi kabar jika ia hamil, Yuno senang bukan main. Bahkan ia semangat untuk menjalankan coas nya yang waktu itu cukup berat. Namun disisi lain Yuno sedikit merasa bersalah karena Ara justru lebih banyak di jaga oleh kedua orang tua mereka dan terkadang Gita dan Arial.

Makanya saat di kehamilan kedua ini, Yuno mau menebus semua itu. Dia mau selalu ada untuk Ara di setiap apapun yang wanita itu butuhkan. Yuno ingin menjadi yang pertama, mendengar Ara merajuk, mengadu dan meminta banyak hal dengan alasan ngidam. Tapi sayangnya sejak semester awal kehamilan Ara enggak pernah meminta apa-apa darinya.

“Pinter Kakak yah.” Ara tersenyum, Hana dengan mudah di ajari cara melipat baju bayi. Anak itu pintar, dewasa dan sangat cantik. Hana lebih dominan ke Yuno dari pada dirinya, apalagi lesung pipinya. Sangat menggambarkan jika dirinya anak Aryuno sekali.

“Gampang soalnya, Buk.”

“Habis ini Kakak bantu Ibu pegangin kertas wallpaper nya yah. Kita pasang wallpaper gambar Winnie The Pooh nya yang pilihan Kakak itu loh.”

Hana mengangguk, anak itu semangat sekali malah lebih semangat dari pada kedua orang tua nya.

“Biar aku aja nanti yang pasang, sayang. Nanti Ibu sama Hana kecapekan gimana?” samber Yuno, ia masih sibuk merakit ranjang bayi itu yang sepertinya masih salah susunannya. Jadi beberapa kali Yuno kembali membongkarnya lagi.

“Gapapa, Mas. Aku bisa kok, waktu bikin kamar Hana dulu juga aku—”

“Sayang... Sekarang kan ada aku,” Yuno cemberut, gemas sekali sungguh. Ara jadi terkekeh dan tanpa sadar mengangguk.

“Ya udah, ya udah. Habis ini Ibu sama Hana mau nyusun-nyusun perlengkapan mandinya aja.”

Mendengar ucapan itu Yuno langsung mengambil alih pekerjaan yang tadinya mau di kerjakan istrinya itu, sepertinya merakit ranjang bayi terlalu sulit baginya.

“Loh, ranjang bayi nya, Mas?” tanya Ara. Yuno malah memasukan kembali kayu-kayu itu ke dalam tempatnya lagi.

“Belum selesai itu, sayang. Nanti aja deh nunggu aku libur lagi, susah banget. aku pikir gampang kalau liat instruksinya.”

“Makanya tadi kan aku suruh beli yang udah jadi aja, Mas. Gitu tuh kalau gak mau dengerin omongan Istri.”

“Aku tuh mau ngerakit sendiri, biar di setiap rakitannya Nathan bisa ngerasain ada cinta dari Papa nya. Jadi bobo nya makin nyaman deh,” ucap Yuno. Dia jujur kok, Yuno gak mau kehilangan banyak momen lagi seperti dulu Hana lahir.

Ara yang mendengar itu hanya tertawa saja, ia kembali menyusun perlengkapan bayi bersama dengan Hana. Saat hampir rampung, ia keluar dari kamar itu untuk membuat cemilan. Di dapur ternyata ada Budhe Ani yang masih sibuk memasak, Budhe Ani ini adalah Budhe yang bekerja di rumah Yuno dan Ara.

Beliau sudah berusia 50 tahun, sudah bekerja sejak Yuno dan Ara menempati rumah baru mereka. Sekitar 2 tahun yang lalu, Budhe Ani gak sendiri. Biasanya tiap pagi ada Mbak Ulfa yang selalu datang untuk menjaga Hana, Ara itu masih aktif menjadi psikolog di rumah sakit. Makanya Hana di rumah di jaga oleh Budhe Ani dan Mbak Ul.

“sudah selesai masaknya Budhe?” tanya Ara begitu ia sampai ke dapur.

“Ah, Ibu. Kaget saya kirain siapa,” Budhe Ani nyengir tadi ia sedang bersenandung. “Udah, Buk. Tinggal rapih-rapih aja, Ibu mau masak apa? Biar Budhe yang bantu, Ibu kan gak boleh capek-capek sama Eyang putri.”

Yang di maksud Eyang putri itu adalah Mama nya Yuno, setiap 2 minggu sekali beliau rajin menjenguk Ara demi memastikan kondisi menantu dan cucu nya baik-baik saja. Sungguh, jika di gambarkan saat ini. Hidup Ara nyaris sempurna, menikah dengan cinta pertamanya, memiliki Suami yang baik, tampan, pintar, setia dan seorang dokter. Kemudian memiliki mertua yang baik, perhatian dan sudah menganggapnya seperti anaknya sendiri. Serta memiliki seorang putri yang benar-benar perpaduan dirinya dan Yuno.

Jika di tanya Ara minta apa lagi di hidupnya, ia rasa ini semua sudah cukup. Tuhan begitu baik dalam menulis lembaran hidupnya.

“Gapapa, Budhe. Saya cuma mau bikin cloud bread kesukaannya Kakak, tadi sebelum menghias kamar dia sempat minta cloud bread. habis ini Budhe istirahat aja gapapa.”

“Beneran ini, Buk?”

Ara mengangguk, ia mulai mengocok putih telur yang tadi dia pecahkan untuk membuat cloud bread kesukaan Hana.

“Iya, Budhe. Nanti kalau saya atau Bapak butuh apa-apa pasti Budhe saya panggil.”

“Aduh, makasih banyak, Buk. Habis ini Budhe mau mandi dulu, gerah soalnya habis dari pasar langsung masak, hehe.”

Ara hanya tersenyum, dia berkonsentrasi penuh membuat cloud bread untuk anaknya itu. Setelah memberi warna pada adonan cloud bread nya, Ara langsung menaruh adonan itu di loyang dan membentuknya dengan bentuk hati dan kepala kucing.

Setelah itu barulah ia masukan ke dalam oven yang sebelumnya sudah ia panaskan, gak cuma buat cloud bread Ara juga akan membuat soft cookies untuk cemilan Suaminya itu. Yuno itu suka sekali dengan cemilan yang manis, kalau Ara justru kebalikannya. Ia lebih menyukai cemilan yang gurih ketimbang manis.

Sedang asik membuat adonan soft cookies nya. Tiba-tiba saja sepasang lengan melingkari pinggang hingga perut buncitnya, membuat Ara tersenyum menikmati sentuhan itu. Yuno menumpukan dagu nya di bahunya dan mengecupnya beberapa kali.

“Mau aku bantuin?” tanyanya.

“Kamu tuh kalau peluk-peluk gini namanya ngerecokin tau bukan bantuin.”

Yuno terkekeh, “tapi senang gak aku peluk-peluk gini?”

Ara hanya mengangguk, meski sedikit menganggu pekerjaannya. Tapi sentuhan dari tangan Yuno memang membuatnya begitu nyaman. Apalagi aroma parfum bercampur aroma tubuh Yuno yang khas, membuatnya candu mencium aroma itu lama-lama.

“Kakak kemana? Kok Papa nya malah ngerecokin Ibu disini?”

“Kakak lagi coloring tugas sekolahnya, tadi aku sempat bantu dia tapi katanya dia bisa sendiri.”

Ara hanya tersenyum, usia Hana memang baru 4 tahun. Tapi anak itu sudah di masukan ke pre school oleh Yuno dan Ara, Hana juga sangat suka sekolah, anak itu pandai sekali bergaul dengan anak sebaya nya.

“Besok kamu shift apa hm?”

Yuno melepaskan pelukannya, mencuci tangannya kemudian membantu Istrinya itu mencetak beberapa soft cookies agar cepat selesai dan mereka bisa beristirahat.

Yuno bukan hanya pandai menyelamatkan nyawa orang lain, tapi laki-laki itu juga pandai dalam urusan dapur. Makanya Ara enggak meragukan lagi kalau Yuno bilang dia mau membantunya di dapur.

shift siang, mungkin sekitar jam 12an aku sampai rumah. Tapi kalau enggak ada dokter jaga di UGD yah terpaksa aku lanjut sampai pagi,” jelas nya.

Yuno memang masih dokter umum, makanya dia lebih sering di tempatkan di UGD dari pada di poli. Papa sudah berkali-kali mengingatkan Yuno untuk segera melanjutkan studi kedokterannya dan mengambil gelar spesialis jantung, namun Yuno bilang dia belum siap.

Yuno bahkan kepikiran untuk tetap menjadi dokter umum dan pindah ke klinik yang jam kerjanya lebih pendek ketimbang bekerja di rumah sakit. Ini semua agar Yuno bisa memiliki banyak waktu bersama Istri dan anaknya, Yuno enggak mau Hana dan Nathan nanti seperti kekurangan sosok Ayah di hidup mereka. Seperti Yuno dulu yang sering kali merasakan kesepian.

“Mau di bawain bekal apa besok, Mas?”

“Gausah sayang, nanti aku bisa makan di kantin rumah sakit. Besok kamu juga kan praktik? Ada pasien kan besok di hari terakhir?”

Ara mengangguk, “ada sekitar 5 pasien yang konsul, selebihnya mungkin aku mau bikin farewell party sama teman-teman di rumah sakit, boleh?”

sure hari terakhir kamu bekerja, kalau perlu traktir teman-teman kamu yah.”

Ara memang akan segera mengundurkan diri, beberapa kali ia mengalami tekanan darah tinggi dan membuatnya harus lebih sering istirahat. Makanya Ara memutuskan untuk resign dan akan kembali praktik setelah Nathan lahir.

“Ah iya, Mas. Lusa, teman-teman kosan aku mau ngadain reuni. Ada Gita sama Mas Iyal juga sih, kamu mau ikut?”

Yuno tampak mengingat-ingat jadwal prakteknya dulu, setelah ingat ia ada jadwal praktek di poli umum. Kedua bahu laki-laki itu merosot, pupus sudah harapannya untuk menemani Istrinya itu ke acara reuni bersama teman-teman kosannya.

“Gak bisa, Sayang. Aku ada jadwal praktik di poli. Aku titip salam buat mereka aja yah.”

Ara mengangguk, ia cukup mengerti kesibukan Suaminya itu. Toh baginya pergi ke reuni sendiri juga tidak masalah, ini bukan reuni angkatan fakultas mereka. Tapi hanya acara kumpul-kumpul anak kosan Abah dulu.


Hari ini Yuno kembali di sibukan dengan jadwal praktiknya, ia di tugaskan di UGD kembali. Ada 2 pasien yang sudah selesai ia tangani, Yuno hanya tinggal menunggu hasil test darahnya keluar dari lab. Kemudian akan menyerahkannya pada dokter spesialis yang sudah ia hubungi.

Sedang berkonsentrasi pada setumpukan rekam medis pasiennya, tiba-tiba saja telefon di UGD berbunyi dan Yuno segera mengangkatnya, takut-takut itu telfon dari lab atau dari dokter spesialis yang berada di poli saat ini.

Ada Dokter Aryuno?

“Saya sendiri, Pak? Ada apa?”

Itu suara Papa nya, Papa Yuno itu seorang direktur rumah sakit. Meski rumah sakit tempatnya bekerja adalah rumah sakit swasta milik keluarganya, Papa enggak ingin memanjakan Yuno dengan memberinya jabatan begitu saja secara cuma-cuma hanya karena Yuno adalah anaknya, Papa mau Yuno merintis karir dokternya dari titik awal, dimulai dari menjadi dokter di UGD seperti kebanyakan dokter umum.

Yuno, kamu sedang ada pasien?

“Ada sih, Pah. Tapi lagi nunggu hasil lab keluar baru setelah itu Yuno bisa kasih hasilnya ke dokter spesialis penyakit dalam, pasiennya juga sudah dapat kamar. Tinggal nunggu di pindahkan aja, ada apa, Pah?” tanyanya.

ada yang mau Papa bicarakan sama kamu, ada dokter lain di sana selain kamu?

“Dokter Alice, Pah.”

Ke ruangan Papa sekarang, biar Dokter Alice yang menggantikan kamu sebentar. Papa tunggu, Yuno.

Setelahnya yang terdengar hanya sambungan telefon yang di putus sepihak saja oleh Papanya, Yuno hanya bisa menghela nafasnya pelan. Ia kemudian menyelesaikan pekerjaannya sebentar, kemudian izin dengan Dokter Alice untuk menemui Papa nya dulu.

“Ada apa, Pah?” tanya Yuno begitu ia sampai di ruangan Papanya.

Tidak lama kemudian Papa mengambil map, map berwarna merah itu adalah map dari sebuah universitas kedokteran terbaik di Depok. Yuno sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan ini kelak.

“Papa sudah daftarkan kamu untuk melanjutkan studi kedokteran kamu, Yuno. Spesialis jantung. Kamu sudah bisa aktif sebagai mahasiswa di sana bulan depan.”

Yuno kaget, sungguh. Ini seperti ada petir di siang bolong baginya. Bagaimana bisa Papa mendaftarkannya ke sebuah universitas kedokteran tanpa seizinnya dulu? Yuno bahkan harus menyesuaikan jadwal praktiknya, dia enggak mau menyusahkan teman sejawatnya yang lain.

“Pah, kenapa semendadak ini? Papa kan tahu Ara lagi hamil. Kalau Yuno ngejar studi lagi dan sambil praktik, Papa bisa bayangin gak bagaimana sibuknya Yuno? Yuno gak mau ninggal-ninggal Ara terlalu sering, Pah.”

“Yuno, urusan Ara itu biar jadi urusan Papa dan Mama. Toh waktu kamu coas kami yang menjaga Ara kan?”

Yuno menunduk, sejatinya ia ingin sekali memberontak. ia sudah lelah mengikuti keinginan orang tuanya, tapi disisi lain juga Yuno tidak ingin mengecewakan mereka, hanya ia satu-satunya harapan keluarga. jika bukan Yuno yang melanjutkan profesi ini, siapa lagi yang akan meneruskanya?

Yuno sudah berencana untuk menghentikan kutukan ini, kutukan menjadi dokter harus berhenti pada dirinya. ia tidak ingin anak-anaknya tertekan demi meneruskan profesi ini. ia ingin anak-anaknya menjadi dirinya sendiri, mengambil jalan yang mereka inginkan alih-alih menjadi thropy kedua orang tua nya.

“Yuno mau ada buat Ara, Pah. setidaknya sampai Nathan lahir.”

“sampai kapan Yuno? sudah terlalu lama, Papa tidak ingin kamu berada di zona nyaman terus. apa kamu tidak malu, cucu dari pemilik Harta Wijaya hospital hanya seorang dokter umum?”

Papa menghela nafasnya pelan, Yuno itu seperti thropy untuknya. Yuno akan selalu Papanya pamerkan kepada kolega nya sebagai anak tunggal, satu-satunya pemimpin Harta Wijaya hospital setelah kepemimpinanya berakhir.

“lagi pula, dekan di kampus itu kolega Papa. Papa kenal sama beliau, kamu gak perlu takut Yuno. kamu hanya perlu fokus pada studi dan karirmu.”

Yuno meremas tanganya, tidak ada kata bantahan keluar dari mulutnya. setelah bicara mengenai studi nya, Yuno kembali melanjutkan pekerjaanya. jam praktiknya masih panjang, biar urusan itu ia pikirkan nanti di rumah.

Setelah selesai makan siang, Ara kembali melanjutkan konsulnya yang terakhir. Seorang gadis berusia 25 tahun, Ara sudah mengenalnya karena dia sudah pernah konsul sebelumnya. Namun kali ini Ara sepertinya akan merujuknya ke psikiater karena pasiennya butuh penanganan khusus setelah 2 hari yang lalu menghubungi Ara, gadis itu mengeluhkan gangguan trauma nya semakin parah hingga menganggu keseharianya.

“Masuk,” ucap Ara setelah seseorang mengetuk ruangannya.

Tidak lama kemudian seorang gadis dengan tinggi 165cm itu muncul, gadis yang dari luar nampak baik-baik saja namun memiliki banyak ketakutan di dalam. Namanya Shanin, Shanindya Purwati.

“Siang, Mbak Ara.” sapa nya.

“Siang, Shanin. Duduk.”

Sebelum Shanin masuk tadi, Ara sempat menghubungi rekan psikiater nya di rumah sakit tempat Yuno bekerja. Kebetulan rumah sakit Harta Wijaya salah satu rumah sakit swasta dengan fasilitas kesehatan yang lengkap. Shanin juga sudah menyerahnyan semuanya ke Ara, dia percayakan pilihan psikiater yang di pilihkan olehnya.

“Bagaimana Shanin kabarnya?”

“Baik, Mbak. Tapi kaya dari yang terakhir saya cerita ke Mbak lewat telfon itu. Akhir-akhir ini saya sering mimpiin kejadian itu lagi, kadang sampai ganggu aktifitas. Dan baru beberapa hari ini saya ngerasa degup jantung saya suka berdegup kencang tiba-tiba.”

“Semacam deg deg an kaya kamu sedang gugup?” tanya Ara, sembari memperhatikan mimik wajah Shanin. Sembari ia memberikan diagnosis akhir yang nantinya akan ia serahkan pada dokter yang menanganinya.

“Beda sih, Mbak. Kaya deg deg an nya tuh sekali tapi cukup bikin badan saya bergetar,” jelasnya. Wajah gadis itu nampak gusar, ia juga terlihat tidak nyaman duduk di kursinya ketika menceritakannya.

“Tenang yah, Shanin. Tarik nafas dulu pelan-pelan. Kamu bisa ceritain ini perlahan-lahan yah.”

Shanin menarik nafasnya, mengikuti arahan yang psikolog nya itu ucapkan sampai akhirnya ia menjelaskan tentang ketakutan-ketakutan nya akhir-akhir ini. Shanin itu punya trauma dari kejadian 3 bulan lalu yang menimpanya, waktu itu Shanin pulang dari Paris. Pesawat yang di tumpanginya mengalami turbulance parah hingga ada 1 korban meninggal di udara.

Waktu itu Shanin juga mendapat beberapa luka di tubuhnya. Setelah kejadian itu, Shanin sering bermimpi buruk. Seperti ia kembali di lempar ke waktu-waktu ia berada di pesawat itu lagi. Saking pahitnya, trauma itu sampai mengangguk keseharianya.

Shanin yang seorang guru Sekolah Menengah Pertama itu mengajukan cuti demi bisa menenangkan dirinya dari trauma yang di deritanya. Awal-awal konsul dengan Ara, Shanin mulai mendapatkan ketenangan. Sampai ada 1 hari dimana dia terpaksa mengantar kedua orang tua nya ke bandara dan trauma itu kembali menghantuinya, Shanin sudah tidak tahan, Ia butuh obat atau terapi yang bisa membantunya untuk fokus pada kesehariannya.

“Saya sudah hubungi Dokter Amreiza di rumah sakit Harta Wijaya, saya sudah membuat surat rujukan untuk kamu konsul dan terapi dengan beliau besok jam 9 pagi. Nantinya kamu akan dapat terapi dan obat yang bisa membantu kamu pulih dan fokus sama keseharian kamu, semua yang kamu rasakan saat meminum obat dan sesudah terapi harus kamu ceritakan detailnya sama Dokter Amreiza, agar dia bisa terus memantau perkembangan kamu,” jelas Ara.

Shanin mengangguk, “terima kasih yah, Mbak Ara.”

“Sama-sama Shanin,” Ara tersenyum. Ia memberikan amplop berisi surat rujukan untuk Shanindya.

Gadis itu enggak langsung pulang, dia justru memberikan sebuah paper bag bertuliskan nama toko kue tempat biasa Ara belanja.

“Saya dapat kabar dari asisten Mbak Ara di depan katanya hari ini, hari terakhir Mbak Ara praktik di rumah sakit ini?” tanya Shanin.

Ara tersenyum, ini memang jadi hari terakhirnya. Semua pasienya sudah di beri tahu dari jauh-jauh hari, Ara juga sudah menyerahkan rekam medis pasiennya pada psikolog yang menggantikanya nanti.

“Iya, Shanin. Saya resign, saya mau fokus sama anak-anak saya dulu.”

“Ini buat Mbak Ara, hadiah dari saya. Saya sejujurnya nyaman banget konseling sama Mbak, tapi kayanya memang saya butuh penanganan lebih lanjut.”

Ara mengangguk, “terima kasih banyak yah, Shanin. Saya berharap kamu bisa segera pulih dari trauma ini.”

Setelah konseling terakhirnya selesai, Ara sempat mentraktir teman-teman di rumah sakit tempatnya bekerja itu makanan. Ara memang baru 3 tahun bekerja di sana, namun rasanya rekan-rekannya disana sudah seperti keluarga kedua baginya.

Beberapa dari mereka ada yang terlihat begitu sedih begitu Ara berpamitan, dan sisanya hanya bertanya kapan Ara akan kembali lagi setelah melahirkan. Sejujurnya, dia masih belum tahu kapan bisa kembali lagi. Kalau pun kembali pada karir psikolog nya, mungkin Ara akan membuka klinik sendiri. Agar ia bisa membatasi jumlah pasiennya dan memiliki banyak waktu bersama anak-anaknya.

Ara ingin semuanya seimbang dalam genggamannya. Karir, menjadi Ibu, menjadi Istri dan untuk dirinya sendiri. Ia ingin semua itu tidak ada yang jomplang, makanya sebisa mungkin Ara membagi waktunya dengan adil.


Malamnya seperti biasa, Yuno selalu pulang telat karena UGD kebetulan sedang ramai. Laki-laki itu sampai di rumah jam setengah dua pagi, Yuno enggak bisa asal meninggalkan UGD begitu saja, ia harus memastikan semua pasien di sana tertangani dengan baik. Belum lagi ia harus memberi laporan pada dokter selanjutnya yang akan berjaga.

Waktu Yuno pulang, Ara sudah tidur. Namun ia terbangun karena suaminya itu menciumnya. Begitu membuka matanya, Yuno tersenyum, wajah lelah dan kantung matanya yang semakin membesar itu membuat Ara kadang tidak tega. Maka di usapnya wajah tampan kesayangannya itu dengan ibu jarinya.

“Malam banget pulangnya, Mas?” Ara berusaha untuk duduk, perutnya yang semakin besar itu membuat geraknya sedikit terbatas. Sampai-sampai Yuno harus membantunya untuk duduk dan bersandar di head board

“UGD lagi hectic kebetulan tadi ada pasien meninggal. Jadi harus bantu urus beberapa hal dulu, makanya pulangnya sampai malam deh,” Yuno meringis. “Kamu udah makan?”

Ara mengangguk, “bareng sama Hana tadi, mandi gih. Aku hangatin makan malamnya sebentar.”

“Sayang?”

“Hm?”

Yuno menghela nafasnya pelan, jemarinya ia tautkan pada jemari Istrinya itu. Ada yang ingin Yuno bicarakan meski berat, tapi ia tetap harus memberi tahu Ara soal studinya yang tiba-tiba ini.

“Kenapa, Mas?” karena Yuno hanya menunduk, tangannya Ara terulur mengusap wajah lelah suaminya itu lagi.

“Papa..”

“Kenapa sama Papa?”

“Papa nyuruh aku lanjutin studi kedokteran aku, bahkan Papa udah daftarin nama ku di universitas di Depok. Gimana ya sayang? Aku bingung. Aku gak siap, aku udah bikin komitmen sama diri aku sendiri dan kamu, kalau aku bakalan lanjutin studi setelah Nathan lahir. Aku gak mau sering-sering ninggalin kamu kaya waktu kamu hamil Hana,” jelas Yuno.

Ara paham, Yuno memang telah berjanji kalau ia tidak akan meninggalkan Ara sendirian lagi saat hamil Nathan. Dan Ara paham bagaimana kecewanya laki-laki itu saat tahu Papa nya mendaftarkanya studi kedokteranya lagi, yang mana nantinya Yuno akan semakin sibuk dengan kuliah dan juga jadwal praktiknya.

“Papa cuma mau yang terbaik buat kamu, Mas. Papa emang salah gak rundingin ini dulu sama kamu, tapi mau gimana lagi?” Ara menaikan satu alisnya. “Nama kamu udah terdaftar di sana sebagai mahasiswa.”

“Sayang...”

“Aku bisa mengerti kamu, Mas. Toh aku kan gak sendirian. Ada Mama kamu, ada Bundaku, Gita, Reno. Aku bisa minta temenin mereka bergantian kalau kamu lagi sibuk. Di rumah juga ada Mbak Ul sama Budhe Ani yang nemenin aku terus.”

Yuno menggeleng, “tapi ini yang jadi masalah buat aku. Aku yang gak mau ninggal-ninggal kamu.”

Ara mengangguk, sejujurnya Ara enggak tega melihat Yuno terlihat tertekan seperti ini. Dari dulu hidupnya memang sudah tertata rapih mengikuti alur dari kedua orang tua nya, mereka bahkan enggak pernah bertanya apa yang Yuno inginkan.

Dan Ara enggak punya pilihan lain selain mendukung dan menyemangati Yuno agar dia tidak tertekan, Yuno itu punya kepribadian lain yang hanya muncul jika Yuno merasa tertekan. Namanya Jeff, umurnya 25 tahun. Berbeda dengan Yuno yang lembut dan penyayang, Jeff adalah sisi Yuno yang lain.

Jeff itu pintar, tapi memiliki tempramen yang cukup buruk. Jeff sulit mengelola emosinya, gak jarang Jeff kadang berbuat semaunya sendiri. Ara mengenal Jeff, dan laki-laki itu membencinya. Sudah 4 tahun belakangan ini sejak mereka menikah sosok Jeff enggak pernah datang menggantikan Yuno lagi, Ara harap akan begitu selamanya.

“Kamu mandi gih, kita ngobrolin ini nanti lagi setelah kamu mandi dan makan, yah.” ucap Ara.

Yuno menggeleng, wajah lelah yang tadinya cemberut itu kini sedikit menyeringai dengan jahil.

at least give me a kiss, aku pikir capeknya bakal cepat hilang kalau di cium,” ucapnya.

Ara hanya terkekeh, kemudian menangkup wajah Yuno dan mengecupnya. Senyum di wajahnya semakin mengembang, setelah mendapatkan 1 ciuman dan menyapa bayi dalam kandungan Ara, Yuno segera melesat ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.

Sebenarnya Yuno sudah bersih-bersih di rumah sakit, namun ia akan tetap mandi ketika pulang ke rumah.

To Be Continue

“Ibu, kita ke rumahnya siapa sih?” tanya Hana.

Ara memberhentikan mobilnya di depan pagar rumah Kevin dan Yves. Mereka memang berkumpul di rumah Kevin, di depan mobil Ara sudah terparkir mobil Arial dan Gita yang sudah datang lebih dulu.

Tadi Arial sempat menelepon, menanyakan apa Ara mau di jemput atau tidak. Kebetulan rumah Gita dan Arial searah dengan mereka, tapi Ara bilang dia akan datang sendiri bersama Hana. Ara memang datang sedikit terlambat dari jam yang di tentukan, tadi dia harus menjemput Hana dulu di kolam renang.

“Ini rumahnya teman Ibu, sayang. Namanya uncle Kevin sama Aunty Yves, teman Ibu waktu sekolah dulu.” Ara membuka seatbelt pada tubuh Hana dan sedikit menyisir rambut anaknya itu. Rambut Hana itu panjang dan tebal, anak itu juga senang sekali dengan rambut panjangnya.

Ara mengambil bando berwarna pink dengan hiasan manik-manik di atasnya, kemudian memakaikan anak itu bando yang ia bawa dari rumah.

“Ada uncle Iyal sama Aunty Gita juga yah, Buk?” Hana menunjuk mobil milik Arial di depan mobil mereka.

“Iya, kakak. Ada Kak Eloise sama Kakak Elios juga, nanti Ibu kenalin sama anak-anak yang lain yah.”

Hana hanya mengangguk, setelah memastikan Hana sudah rapih. Barulah keduanya turun, benar saja di rumah Kevin dan Yves sudah sangat ramai. Anak-anak kosan Abah itu sudah hampir semuanya berkeluarga Kevin dan Yves menikah 3 tahun yang lalu. Mereka baru memiliki 1 anak, namanya Leiv, anak mereka masih kecil. Umurnya baru mau menginjak 2 tahun jadi masih harus di awasi kalau bermain.

“Ara... Ya ampun kangen banget,” sambut Yves. Wanita dengan paras cantik dan anggun itu menghampiri Ara dan memeluknya erat.

“Sama, kamu apa kabar?” tanya Ara.

“Baik, kamu sendiri? Mas Yuno gak di ajak, Ra?”

Ara menggeleng pelan, “i'm fine ah, iya. kebetulan Mas Yuno ada jadwal praktik, dia juga tambah sibuk sekarang karna lanjut studi spesialis nya. Makanya aku datang sendiri deh.”

“Gapapa, astaga. Sampai kelupaan aku belum nyapa si cantik ini. Ini Hana kan? Kok udah besar banget sekarang sih.” Yves jongkok, mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan tubuh Hana. Dulu Yves dan Kevin sempat menjenguk Ara waktu Hana baru lahir dulu, dan sekarang ia baru melihat anak itu lagi. Karena tahun kemarin Kevin dan Yves enggak ikut kumpul-kumpul.

“Salam dulu sama Aunty Yves, sayang.”

Hana menyalami Yves, senyum anak itu mengembang. Apalagi saat Leiv menghampiri Yves dan menyapa Hana, namun begitu melihat sepupunya menghampiri. Hana langsung lari ke taman belakang bersama Elios, Eloise dan anak-anak lainya, sementara Ara dan Yves berkumpul di ruang tengah.

Selain Kevin dan Yves yang sudah menikah. Ada Januar dan Elara juga yang sudah menikah, mereka juga sudah memiliki 1 anak laki-laki. Namanya Raja, umurnya sama seperti anaknya Kevin dan Yves. Kalau Chaka dan Kak Niken anak mereka masih sangat kecil, namanya Kanaya umurnya itu baru 6 bulan, Mereka menikah 2 tahun yang lalu.

“Kayanya tahun depan kita kudu kumpul kaya gini lagi gak sih? Enaknya di rumah siapa yah?” tanya Chaka.

“Tahun kemarin di rumah Bang Ril sama Gita, di rumah Ara sama Bang Yuno lah. Rumah baru belum di pakai buat ngumpul-ngumpul, sekalian kita acak-acak rumahnya!!” pekik Januar, sontak itu juga langsung mendapat cubitan di pinggangnya dari Elara.

“Elu yah, rumah orang di berantak-berantakin. Lu pikir gak capek apa beresinnya Janu!!” hardik Elara. Pasangan ini emang agak bar-bar, tapi Janu dan Elara akan berubah menjadi orang tua yang manis jika sudah di depan anak mereka.

“Sakit banget anjir!! Maksud aku kan yang berantakin anak-anak, yah mana tau Raja udah punya Adek lagi, terus Chaka sama Kak Niken udah nambah anak lagi yakan! Jadi pasukan krucil tambah rame.”

“Enak aja lu anak gue di sebut krucil!” samber Kevin tidak terima.

Ara hanya menggeleng kepalanya saja, teman-temannya semua masih sama. Enggak ada yang berubah meski sudah menjadi orang tua sekarang. Mereka masih sering bertukar kabar dan kadang hang out bareng jika ada waktu luang.

“Boleh kok, gue malahan seneng banget kalo bisa kumpul di rumah gue sama Mas Yuno.”

“Nanti gue bantuin bikin cemilannya deh, tahun depan tuh Ara juga udah punya baby lagi, pasti tambah repot,” ucap Gita, tahun kemarin saat berkumpul di rumah Gita dan Arial. Gita menyiapkan semuanya sendiri, wanita itu enggak beli cemilan di luar. Padahal Arial sudah menawarkan untuk membeli cemilan di luar atau catering saja, tapi Gita lebih suka menyiapkan semuanya sendiri.

“Kalo ngumpul gini, tiba-tiba jadi keinget waktu kita jalan-jalan ke Korea gak sih?” celetuk Arial, topik ini enggak pernah di skip saat sedang kumpul bersama. Bahkan Yves dan Niken yang enggak ikut aja sampai hapal mereka ngapain aja selama di Korea.

“Gila sih, di Korea tuh beneran se seru itu, terutama di bagian Chaka sama Janu mau di culik Suzy KW,” samber Kevin.

Kemudian yang lainya tertawa, dulu Chaka sama Januar memang pernah bicara sama orang asing. Perempuan asli Korea, cantik banget dan sayangnya perempuan itu bukan perempuan baik-baik. Alih-alih berteman, Chaka dan Januar nyaris mau di ajak masuk ke dalam komunitas.

Sebuah komunitas yang mengajarkan cara mereka untuk jauh lebih tenang dari hiruk piruk duniawi, dan lebih dekat dengan sang pencipta. Entah lah itu komunitas apa, tapi yang jelas. Hal ini sudah menjadi rahasia umum di Korea sana.

Untungnya saat itu Gita datang dan membawa Chaka dan Januar menjauh dari perempuan itu. Dan kejadian itu selalu Arial dan Kevin ungkit-ungkit setiap mereka kumpul, karena menurut mereka itu adalah bagian memalukan tapi juga lucu untuk selalu di ceritakan.

“Malu-maluin banget sumpah lu Janu!” Elara lagi-lagi menepuk pundak Suaminya itu.

“Tapi sumpah, El. Ceweknya tuh cantik banget, mulus dan mukanya setipe Suzy gitu,” Bela Chaka.

“Yah logikanya aja di pakai dong, Mas. Masa Bae Suzy mau nyamperin kamu sih,” sambung Niken, biarpun lebih tua Niken dari pada Chaka. Tapi semenjak menikah Niken tetap memanggil Chaka dengan sebutan Mas.

“Kacau banget elu berdua, gue gak bisa bayangin mereka berdua di culik Bae Suzy KW. Gak bakal lahir kayanya Kanaya sama si Raja.” untungnya waktu itu Gita lumayan bisa berbahasa Korea, alibinya waktu itu berhasil membuat gadis yang akan membawa Chaka dan Janu akhirnya melepaskan mereka.

“Nanti Bigos nya rombongan kosan Abah sama Dukun nya gak ada lagi,” ucap Ara.

Tidak lama kemudian bel rumah Kevin berbunyi, Kevin juga izin membukakan pintu dulu sementara yang lainnya tetap berada di ruang tengah menikmati beberapa cemilan yang Yves suguhkan di sana.

“Ini dia nih tamu yang paling susah di ajak kumpul dan di hubungin,” ucap Kevin. Laki-laki itu datang dengan seseorang yang mengekorinya.

Itu Julian, waktu Julian masuk ke ruang tengah. Matanya langsung bertemu mata Ara, dan itu juga sontak yang membuat cowok itu merasa enggak nyaman. Begitu juga dengan Ara, ia menunduk dan sesekali menoleh ke arah taman belakang untuk melihat Hana.

“Gue enggak bisa lama-lama yah,” ucap Julian.

“Yaelah, Jul. Baru juga nyampe lu udah bilang gak bisa lama-lama aja. Tahun kemarin aja lu gak dateng, parah banget sumpah. Ini orang habis wisuda udah kaya ilang di telen bumi!” Chaka ceramah, udah terlanjur kesel banget karna menghubungi Julian sesulit itu. Jika di ajak bertemu ada saja alasan agar ia tidak hadir.

“Beneran gue, Ka. Abis ini ada meeting juga.”

“Iyul apa kabar?” sapa Gita, Gita masih suka banget manggil Julian pake sebutan Iyul.

“Gini-gini aja, Git. Lo gimana sama Bang Ril?”

“Gue udah punya anak 2, lo gak mau kenalan dulu sama anak-anak gue? Susah-susah si Kevin ngajak lo ke sini, udah gatel aja itu kaki mau pulang,” hardik Gita yang membuat Julian nyengir dan menggaruk belakang kepalanya.

Sedikit Ara pahami bahwa Julian benar-benar canggung, apalagi laki-laki itu sempat berbisik ke Kevin mengatakan bahwa dia gak bisa lama-lama, Hubungan Julian dan Ara memang menjadi canggung sejak Julian menyatakan perasaanya, waktu itu mereka habis pulang dari Malang. Julian bilang kalau dia menyukai Ara dari awal mereka bertemu.

Ara dan Julian memang sempat dekat waktu itu, anak-anak fakultas dan kosan juga sering menjodoh-jodohkan mereka berdua. Julian juga lah yang banyak menemaninya waktu Ara masih dalam proses melupakan Yuno, yup. Ara dan Yuno sempat putus saat Yuno memutuskan untuk kuliah di Jerman.

Tapi sayangnya perasaan Ara ke Julian hanya sebatas teman, ia menyayangi Julian seperti ia menyayangi teman-temannya yang lain. Waktu itu Julian masih nampak ikhlas dengan keputusan Ara menolaknya, sampai akhirnya Ara memberi kabar bahwa ia kembali bersama Yuno dan akan segera menikah. Julian seperti menjauhinya, bukan hanya Ara. Tapi Julian juga seperti menarik dirinya dari teman-teman yang lain.

“Guys, sorry yah. Gue enggak bisa lama-lama, barusan dapat pesan kalo Mama mau dateng ke rumah jenguk Hana,” Ara pamit, ia berdiri dan mengambil kunci mobilnya. Alibinya saja, sebenarnya Mama Lastri itu masih di Bogor untuk acara seminar.

“Mama Lastri mau ke rumah lo, Ra? Udah pulang dari Bogor yah?” tanya Gita yang di jawab anggukan oleh Ara.

“Yah, Ra.. Bentar banget masa sih?” ucap Niken.

“Nanti gampang, kita bisa kumpul-kumpul lagi.”

Setelah berpamitan dengan teman-temannya, Ara langsung pulang. Sebenarnya hanya alibi saja bahwa mertua nya akan datang ke rumah menjenguk Hana. Ia ingin Julian bisa sedikit bersantai menikmati waktu-waktu bersama teman-temannya yang lain tanpa rasa canggung karena dirinya.

“Ibu?” panggil Hana, mereka sudah berada di perjalanan pulang.

“Ya, Kak?”

When are we going to play at Uncle Kevin's house again?” kedua mata anak itu berkedip memperhatikan Ibu nya yang masih fokus menyetir.

“Kenapa, sayang? Kakak suka main di sana?”

“Kakak senang main sama Leiv, sama Raja juga. Tadi Kakak juga berani pangku Adik Naya, dia lucu deh, Buk. Masa tadi rambut Kakak di tarik-tarik.”

“Oh, Ya? Yang naruh Adik Naya di pangkuan Kakak Tante Niken, sayang?”

“Um!” Hana mengangguk, “Naya is really beautiful, her eyes are round, her cheeks are chubby and her voice is cute. Kakak jadi enggak sabar mau mangku Adik Nathan.”

“Sabar yah, sayang. Sekarang karena Nathan belum lahir, tugas Kakak cuma berdoa supaya Ibu sama Nathan sehat-sehat terus yah.”

“Aamiin.”


“Se canggung itu lo sama Ara, Jul? Belum bisa move on apa gimana sih?” tanya Janu.

Setelah Ara pulang, Julian baru bisa sedikit menikmati acara kumpul-kumpul ini. Tadinya waktu Ara masih ada di sana, Julian selalu sibuk memeriksa jam dan beberapa kali berpamitan pulang ke Kevin. Namun Kevin menahannya sampai kunci mobil yang Julian bawa itu di sita agar Julian enggak bisa kabur gitu aja.

move on, Jul. Lo mau nunggu janda nya Ara apa gimana sih? Dosa loh masih ngarepin bini orang.”

Mendengar Chaka bicara seperti itu, Gita langsung menendang kaki Chaka sekuat tenaga. Apa maksudnya bilang begitu? Chaka emang suka asbun kalau bicara.

“Janda-janda, lo nyumpahin Kak Yuno meninggal apa gimana sih?” pekik Gita.

“Gak gitu, nyil. Biar sadar aja ini si Ijul, abisnya mau sampe kapan dia galauin bini orang mulu?” jelas Chaka.

“Gue maunya juga lupain Ara, tapi gimana. Susah banget, bahkan gue enggak kepikiran deket sama cewek lagi,” Julian itu emang gak pernah deket cewek dari dulu. Cewek pertama yang Julian dekati itu cuma Ara. Dan saat Julian yakin perasaanya dan Ara sama, harapannya justru pupus karena Ara justru menganggapnya hanya sebagai teman dekat saja.

Waktu itu Julian bisa menerima keputusan Ara soal perasaanya, tapi waktu tahu Ara kembali dengan laki-laki yang membuatnya patah hati. Julian justru marah dan kecewa, pikirnya waktu itu adalah. Dia yang menjaga Ara dan mengobati hatinya, namun Ara justru membuat semua itu sia-sia karena Ara kembali bersama laki-laki yang menyakitinya dulu. Julian pernah berpikir, jika Ara enggak berakhir bersama Yuno. Mungkin Julian akan lebih bisa menerimanya.

“Yah gimana, Jul. Namanya juga enggak jodoh yah mau di apain, Ara juga udah bahagia banget sama Yuno. Gue yakin, Ara juga berharap lo bisa berdamai dan hidup bahagia sama pilihan lo,” ucap Arial.

“Gue jodohin aja mau gak, Jul? Sama anaknya temen bokap gue, cantik sih. Gue ada kontaknya nih,” usul Kevin.

“Oh, jadi setelah dulu Kevin si bandar miras, sekarang jadi Kevin si bandar cewek?” ucap Yves yang membuat Kevin meringis, tahu dari mana dia dulu Kevin bandar miras nya kosan?

“Kok kamu tau sama sebutan itu?”

“Dari Janu.”

“Ember ye lu kampretttt!!” hardik Kevin, ia melempar Janu dengan cushion yang tadi ada di pangkuannya.

Julian hanya menggeleng saja dan menenggak habis lemon tea yang ada di meja, melihat Ara kembali setelah sekian lama. Rasa sakitnya masih sama, Julian pikir seiring berjalannya waktu rasa sakit itu akan memudar.

Alasan Julian mau untuk datang ke rumah Kevin adalah, Kevin bilang Ara tidak datang maka dari itu Julian akhirnya memutuskan untuk datang, tapi siapa sangka jika Ara datang bersama anaknya.

“Baik, Mah. Hana juga udah tidur kok.”

Setiap kali Mama mertuanya itu tidak bisa menjenguk Ara dan Hana di rumah, Mama Lastri pasti selalu rutin menelfon Ara di sela-sela kesibukannya, yang Mama Lastri tanyakan selalu sama. Keadaan Ara, Hana, Yuno dan juga bayi dalam kandungan Ara.

Sore tadi, Ara baru saja mendapatkan kiriman vitamin dan beberapa buah dari Papa mertua nya. Padahal vitamin yang bulan kemarin di kirimkan itu masih ada, enggak cuma buat Ara. Papa juga mengirimkan untuk Yuno dan Hana.

“Mama gimana kabarnya? Sehat kan?” tanya Ara.

sehat, Sayang. Besok Mama sudah pulang dari Bogor kok. Besok kamu ada jadwal check up kan? Mama antar yah.

Ara tersenyum, Mama mertuanya itu bahkan ingat jadwal Ara memeriksakan kandungannya. Berbeda dengan Mama nya Yuno, Bunda justru menelfon Ara setiap hari. Dulu waktu Ara baru melahirkan Hana, Bunda juga yang mengurus Hana seperti memandikannya, menjemur dan merawat Ara pasca melahirkan.

Tapi sekarang waktu Bunda harus di bagi bukan dengan Ara saja, cucu Mama sekarang sudah ada 3 dari Mas Yuda. Si kembar punya Adik laki-laki, dan kadang Mas Yuda suka menitipkan anak-anaknya sama Bunda.

Kalau Reno, cowok itu masih sibuk dengan karirnya. Reno bekerja di sebuah stasiun TV swasta, Reno masih bersama Karina. Dan rencananya tahun depan mereka akan segera menikah.

“Iya, Mah. Tapi kalau Mama capek, Ara bisa pergi sendiri kok. Atau nanti Ara minta antar sama Bunda, Bunda juga kebetulan lagi gak sibuk sama urusan catering nya. Jadi bisa antar Ara ke dokter.”

gapapa, nak. Mama kan juga mau tau kondisi Nathan sama Ara. Besok kamu check up jam berapa?

“Sekitar jam 3 sore, Mah. Ara udah buat appointment sama Dokter Bagas jam segitu.”

Di sebrang sana Mama mengangguk, sebenarnya Mama sudah menawarkan Ara untuk melakukan check up rutin di rumah sakit Harta Wijaya saja. Tapi jarak dari rumah sakit milik keluarga Yuno itu lumayan jauh, jadi Ara memilih rumah sakit yang jaraknya dekat dari rumahnya saja. Toh Ara sudah nyaman dengan Obgyn nya saat ini.

Yasudah, besok Mama kabari lagi ya, Sayang. Sekarang kamu istirahat yah, salam untuk Hana dan Yuno. Mama tutup yah, Nak.

Setelah melakukan panggilan video dengan Mama mertuanya itu, Ara kembali memeriksa kamar Hana. Tadi dia memang baru saja selesai menidurkan Hana, Hana itu sudah terbiasa tidur sendiri dari umur 2 tahun. Kamarnya ada di samping kamar Yuno dan Ara, begitu memastikan Hana sudah tertidur pulas Barulah Ara kembali ke kamarnya.

Yuno belum pulang, tadi Suaminya itu bilang masih di jalan. Jadi Ara mau menunggu sebentar lagi sampai Yuno pulang. Biasanya yang di lakukan Ara sebelum tidur atau ketika menunggu Yuno pulang itu adalah membaca buku.

Di kamar Yuno dan Ara itu ada meja belajar dan beberapa rak buku tentang kesehatan, psikologi, novel dan beberapa buku filsafat. Tapi untuk kali ini Ara ingin bacaan yang ringan-ringan saja, jadi dia pilih sebuah novel dari rak bukunya.

Itu hanya sebuah novel remaja dengan alur cerita ringan, tentang gadis bernama Melan dengan keberaniannya untuk pergi merantau di negeri lain demi meraih cita-citanya. Saat Ara sedang asik membaca, tiba-tiba saja gerakan halus ia rasakan di dalam perutnya. Nathan bergerak di dalam sana, membuat senyum di wajah keibuan Ara itu merekah. Hatinya menghangat merasakan respon dari kaki kecil buah hatinya.

“Nathan udah ngantuk sayang? Hm?” ucapnya, suara Ara pelan nyaris berbisik. Ia menaruh novel itu dan mengusap-usap perutnya penuh kasih sayang.

“Kita tunggu Papa sebentar lagi yah. Papa sudah di jalan mau pulang, Nathan gak sabar mau dengar suara Papa yah?”

Tidak lama kemudian Ara mendengar suara mobil Yuno memasuki pekarangan rumah mereka. Senyum di wajahnya semakin mengembang, buru-buru ia taruh novel yang tadi ia baca dan keluar dari kamar demi menyambut Suaminya pulang.

“Kok belum tidur sayang?” tanya Yuno begitu laki-laki itu masuk ke dalam rumah.

“Nunggu Mas pulang. Tapi belum ngantuk juga sih,” Ara terkekeh. “Sini aku bawain tas nya.”

Baru saja Ara ingin mengambil tas yang Yuno bawa, tapi Suaminya itu langsung menghalau tangannya. “Ga Usah, sayang. Berat, biar aku bawa sendiri aja. Hm, ngomong-ngomong kamu masak apa?”

Yuno menggandeng Istrinya itu ke arah meja makan, menarik kursi untuk Ara di sana dan menyuruhnya duduk. Sementara ia menaruh tas yang tadi di bawa, kemudian jongkok di depan Istrinya itu.

“Ada ikan bakar sama sayur asam.”

Yuno menggeleng, tangannya mengusap-usap punggung tangan Ara. Yuno masih sibuk dengan jadwal praktiknya, belum lagi ada beberapa dokumen yang harus ia urus untuk kepentingan studinya lagi minggu depan.

“Kenapa, Mas?” tanya Ara, tangannya yang lain mengusap kepala Yuno hingga turun ke pipi tirusnya.

“Besok check up aku gak bisa nemenin lagi,” ucapnya meringis. “Kamu pergi sama siapa?”

“Sama Mama, sayang. Tadi mama video call aku. Mama masih di Bogor buat acara seminar, tapi besok pagi pulang dan sore nya antar aku ke dokter. Aku udah bilang sih, kalau aku bisa ke dokter sendiri atau sama Bunda. Tapi Mama bilang mau tau kondisi Nathan,” jelas Ara.

“Aku juga mau tau kondisi Nathan..”

“Nanti hasil USG nya aku send ke kamu, yah?”

Yuno mengangguk, laki-laki itu sempat berganti baju, kemudian memeriksa Hana di kamarnya dan lanjut makan malam. Ara masih setia menemani Yuno hingga Suaminya itu selesai makan, setelah itu mereka memutuskan untuk bertukar cerita di ranjang. Sembari Yuno memeluk Ara dan mengusap-usap punggung nya.

“Tadi gimana di rumah sakit, Mas?” tanya Ara, ia sedikit mendongak demi bisa melihat wajah tampan kesayangannya itu.

“Kaya biasanya aja, sayang. Selalu rame, UGD tadi agak sedikit chaos karena ada kecelakaan kerja.”

“Oh ya?”

“Um,” Yuno mengangguk. “Buruh pabrik, tangannya kena alat gitu. Ada beberapa luka yang harus di jahit juga, dan gak lama pihak keluarganya datang marah-marah nuntut pertanggung jawaban dari perusahaanya.”

“Pasti capek yah, Mas?”

Yuno tersenyum, memang lelah. Tapi semuanya sudah luruh hanya karena memeluk Istrinya saja. Ara dan Hana benar-benar menjadi alasan Yuno untuk tetap bertahan dari sulitnya menjadi seorang dokter, Yuno bisa kuat dari segala tuntutan yang orang tua nya berikan juga berkat Ara yang selalu sabar menemaninya.

“Tapi capeknya udah hilang kalau di peluk kamu.”

“Gombal,” Ara mencubit pinggang Suaminya itu dan terkekeh pelan. “Tapi, Mas. Kamu tuh udah jadi dokter yang hebat banget. Pasti gak mudah kan buat sampai di titik ini, banyak yang kamu korbanin, makannya aku tuh bangga banget sama kamu.”

“Banyak, banyak banget. Termasuk waktuku sama kamu dan Hana.”

Ara mengangguk, “gapapa, aku sama Hana selalu mendukung kamu. Jangan pernah merasa bersalah cuma karena waktu sama aku dan Hana gak banyak, jangan yah, Mas. Aku sama sekali enggak keberatan dengan itu.”

Jujur Ara lebih sering menahan rindunya dengan Yuno, Ara jauh lebih dewasa setelah menikah. Apalagi perkara waktu, sebisa mungkin ia tidak ingin banyak menuntut pada Yuno. Ara enggak ingin membuat Suaminya tertekan dengan keadaan.

Mendengar ucapan Istrinya itu Yuno hanya mengangguk, ia masih merasa tidak enak karena sering meninggalkan Ara saat wanita itu membutuhkannya. Tapi tahu kalau Ara selalu berada di pihaknya juga membuat Yuno tenang, ia merasa tidak berjuang sendirian.

Yuno mensejajarkan wajahnya dengan Ara, mengusap pipi wanita itu penuh kasih sayang. Dan perlahan menarik dagu wanitanya untuk ia layangkan sebuah ciuman di bibir ranum Istrinya. Kedua mata sepasang Suami Istri itu saling terpejam, Yuno mengecupi bibir Istrinya itu dengan gerakan sepelan mungkin, membawa keduanya dalam suasana yang khidmat, baik Ara maupun Yuno melepas ciuman mereka sebentar, kemudian saling melempar pandangan mereka.

“Aku sayang kamu, Mas.” bisik Ara.

“Aku lebih sayang kamu.”

Lalu tanpa aba-aba, Ara memulainya lagi lebih dulu. Dengan kedua tangan ia taruh di pundak Yuno dan perlahan turun ke dada bidang Suaminya itu, dia menjatuhkan bibirnya begitu saja di atas bibir Yuno. Membuat keduanya saling kembali berciuman, kembali mencecapi rasa hangat, basah dan deru suara nafas yang saling beradu.

Ciuman mereka sarat akan kerinduan dan kasih sayang, enggak ada gerakan terburu-buru seperti pasangan pada umumnya yang tengah menuntaskan hasrat. Bahkan Ara masih sempat-sempatnya tersenyum, dan mengigit kecil bibir bawah Suaminya itu. Kedua tangan Yuno yang semula menopang tubuhnya itu, kini beralih membuka satu persatu kancing piyama yang Istrinya itu kenakan.

Sebelum semua kancing itu tanggal, Ara menahan tangan Yuno dulu dan melepaskan ciuman mereka. Menatap Suaminya itu kemudian tersenyum kecil.

“Aku boleh jenguk Nathan?” bisik Yuno lembut.

“Kamu gak capek?” tanya Ara yang hanya di balas gelengan kecil sama Yuno.

Ketika Yuno ingin memulainya lebih, pintu kamar keduanya terbuka. Membuat Ara sedikit mendorong Suaminya itu dari atas tubuhnya dan sedikit memberi jarak karena Hana terbangun dari tidurnya, mereka lupa mengunci pintu.

“Papa.. Hana mau pipis..” ucap bocah itu, matanya masih terpejam di depan pintu sembari ia kucak karena gatal.

“Papa anterin yah,” Yuno bergegas bangun. “Aku antar Hana ke kamar mandi dulu, sayang.”

Ara hanya mengangguk, begitu pintu kamar mereka tertutup. Ia tersenyum kecil, hatinya menghangat hanya karena mengingat apa yang mereka lakukan barusan.


“Posisinya normal, beratnya juga bertambah. Gak ada yang perlu di khawatirkan, bayi nya sehat kok,” jelas Dokter Bagas.

Mata Ara masih tertuju pada monitor yang menampakan posisi bayi di dalam kandungannya. Bayi nya sehat, dan wajahnya semakin terlihat jelas.

“Gak ada keluhan apa-apa kan yah, Ra?”

“Gak ada, Dok. Paling nafsu makan nya aja sih yang kayanya bertambah,” Ara terkekeh. Makannya akhir-akhir ini memang semakin banyak, apalagi jika menyangkut makanan yang pedas dan gurih.

Ara pergi ke Dokter kandungan sendiri, Mama mertuanya itu enggak bisa mengantarnya karena ada urusan mendadak. Ara bisa paham itu, toh jarak rumah sakit dan rumahnya enggak begitu jauh.

“Tapi perlu di ingat yah, Ra. Kurangin makanan yang gurih-gurih. Dari yang kita tahu, kamu sendiri ada riwayat hyper tensi waktu kehamilan pertama kan?”

Ara mengangguk, setelah seorang suster membersihkan sisa-sisa gel di perutnya. Ia merapihkan bajunya dan turun dari ranjang di bantu suster, Ara duduk di depan meja Dokter Bagas dan mendengarkan penjelasanya. Dokter Bagas ini senior nya Yuno di kampusnya dulu, Dokter Bagas juga melanjutkan studinya hingga mendapatkan gelar spesialis obgyn di Jerman. Berbeda dengan Yuno yang pulang lebih dulu setelah wisuda dan sumpah dokternya selesai.

Dan Ara sangat nyaman di periksa sama Dokter Bagas, mereka juga cukup dekat layaknya seorang teman. Apalagi beberapa kali Dokter Bagas pernah merekomendasikan beberapa kenalannya untuk konseling dengan Ara, jadi enggak ada lagi tuh yang namanya canggung di antara mereka.

“Ingat kok, dok. Saya masih bisa kontrol makanan yang gurih-gurih dengan baik, karena saya udah resign juga. Mungkin mulai besok mau olahraga sedikit-sedikit.”

“Bagus,” Dokter Bagas tersenyum, ia sempat menuliskan beberapa vitamin untuk Ara dan juga hasil USG wanita itu.

“Yuno gimana, Ra? Baik kan? Kok dia gak antar kamu?”

Karena sudah selesai dengan jadwal praktiknya, Dokter Bagas langsung bergegas untuk segera pulang. Makanya mereka masih mengobrol dalam perjalanan ke parkiran mobil.

“Lagi ada jadwal praktik, dok. Makanya enggak bisa anterin.”

“Salam buat dia yah.”

“Nanti pasti saya salamin, dok.”

Dokter Bagas mengangguk, keduanya telah sampai di depan parkiran mobil. Kebetulan juga mobil Dokter Bagas terparkir di sebelah mobil Ara.

“Kebetulan banget mobil kita sebelahan, yasudah kalau gitu saya duluan yah, Ra. Mau istirahat karena capek banget habis ada operasi tadi sebelum praktik disini.” pamitnya.

“Makasih, dok. Hati-hati.”

Sebelum melajukan mobilnya, Ara sempat mengirimi Yuno foto dan hasil pemeriksaanya hari ini. Yuno belum membalas pesannya, namun Ara sudah tersenyum membayangkan reaksi Suaminya itu.

To Be Continue

Ini untuk kedua kalinya Shanindya ke psikiater, semalaman ini dia enggak bisa tidur, Shanin sudah paksakan dirinya untuk setidaknya tidur minimal 1 jam. Tapi apa daya jika kepalanya terus memutar isi kejadian mengerikan itu terus berulang kali, sementara mata dan tubuhnya sudah sangat lelah.

Pagi menjelang siang ini Shanin baru saja selesai dengan konselingnya, psikiater pilihan Mbak Ara benar-benar membuatnya nyaman, beliau berhasil membuat Shanin setidaknya lebih tenang dari pada saat ia belum konseling tadi. Setelah mendapatkan resep obat dan jadwal konsul selanjutnya, Shanin pergi ke bagian farmasi untuk menunggu obatnya.

Tadinya Shanin tidak ingin ke rumah sakit sendirian, ia belum tidur dan takut tidak fokus menyetir. Namun Vera sahabatnya bilang kalau ia tidak bisa mengantar Shanin karena ada meeting mendadak dengan klien nya pagi ini.

Kedua orang tua Shanin itu tinggal di Solo. Sementara Shanin merantau sendiri ke Jakarta, Shanin sudah terbiasa sendiri. Shanin juga enggak cerita soal traumanya ini ke orang tua nya. Dia enggak ingin kedua orang tua nya yang sudah berumur itu memikirkan kondisinya disini, mungkin kalau Ibu dan Bapaknya tahu. Shanin pasti akan disuruh pulang ke Solo.

Shanin saat ini memang mengajukan cuti di sekolahnya, Yup. Ia seorang guru bahasa Prancis di sebuah Sekolah Menengah Pertama internasional di Jakarta. Sejauh ini Shanin hanya mengambil project-project kecil seperti menjadi translator orang asing di perusahaan tempat Vera bekerja.

Bagaimanapun juga, Shanin masih butuh penghasilan apalagi biaya konsul dengan psikiater itu enggak murah. Sedang asik melamun sambil sesekali melihat TV yang berada di atas dinding, Tiba-tiba nomer antrean nya di panggil. Shanin bangun dan menuju ke meja apotekernya untuk mengambil obat-obatan yang harus ia konsumsi.

“Yang ini 1 kali sehari, di minum saat mau tidur aja yah, Mbak.”

Shanin mengangguk, “makasih, yah, Mbak.”

Setelah selesai mengantre, Shanin langsung berjalan menuju parkiran mobil. Ia berencana untuk membeli beberapa makanan dulu sebelum pulang, di dalam mobil Shanin beberapa kali menarik nafasnya agar ia jauh lebih tenang. Shanin bukan enggak mau milih naik taksi saja, masalahnya ia lagi menekan pengeluarannya. Makanya ia paksakan dirinya menyetir meski urung tidur.

“Habis ini gue harus benar-benar tidur, gak boleh buka kerjaan apapun itu. Bisa yuk, gue harus tidur. Badan gue udah capek banget,” ucapnya sebelum menyalakan mobil.

Saat Shanin ingin mengeluarkan mobilnya dari parkiran, tiba-tiba saja ia tersentak ketika ada mobil lain menabraknya dari depan. Shanin panik bukan main, jadi ia buru-buru keluar dari sana. Saat itu yang Shanin khawatirkan bukan mobilnya yang baret atau bahkan penyok, tapi mobil milik seseorang yang ia tabrak.

Ini memang salahnya karena salah menginjak gas, Shanin memang belum lama mendapatkan SIM nya. Dia juga baru ganti mobil setelah tadinya ia menggunakan mobil matic, makanya kadang Shanin masih suka kagok.

“Mampus gue,” pekiknya. “Penyok parah ini gimana dong..”

Tiba-tiba saja pemilik mobil yang ia tabrak barusan keluar, Shanin panik bukan main waktu laki-laki itu juga memeriksa keadaan mobilnya. Tapi laki-laki itu nampak tenang, bahkan ekspresi wajahnya enggak menggambarkan apa-apa. Hanya datar, seolah-olah kejadian tadi bukan sesuatu yang mengkhawatirkan.

“Mas, maaf saya benar-benar enggak sengaja. Tadi kayanya saya enggak fokus terus malah nginjak gas nya,” jelas Shanin. Dia merogoh isi dompetnya dan mengeluarkan kartu namanya.

“Ini kartu nama saya, saya yang bayar ganti rugi mobil Mas nya aja gapapa. Saya benar-benar lagi enggak fokus,” Shanin memberikan kartu namanya itu pada laki-laki yang ada di depannya.

Dia berniat untuk tanggung jawab, tapi Shanin enggak bisa membawa mobil laki-laki itu ke bengkel hari ini. Shanin benar-benar bisa melakukan itu besok, hari ini ia tidak fokus dengan banyak hal karena tubuhnya sudah lelah karena sulit tidur.

Laki-laki itu menghela nafasnya pelan dan memijat pelipisnya. “Saya aja yang ganti, tadi saya emang gak liat mobil Mbak keluar kok.”

Salahnya juga, saat Shanin ingin keluar dari parkiran ia memang sedang memeriksa ponselnya. Jadi dia gak tau kalau ada mobil lain mau keluar dari parkiran, jadi intinya keduanya memang sama-sama salah karena enggak fokus.

“Hah?” Shanin bengong, dia bingung bukan main.

Laki-laki itu mengangguk, “kita mau ke bengkel sekarang? Atau mungkin Mbak nya lagi buru-buru?”

“Ah, sa..saya enggak lagi buru-buru sih, tapi bisa gak kita selesain ini besok aja, Mas? Saya beneran lagi enggak fokus. Kurang tidur juga kayaknya.”

“Sama, kalau gitu simpan nomer saya aja yah. Besok kita ketemuan di luar, nanti saya kabari kita ketemu di bengkel mana.” laki-laki yang belum Shanin ketahui namanya itu mengeluarkan ponselnya, menekan satu persatu nomer yang ada di kartu nama milik Shanin dan menelfon ke ponsel Shanin.

“Itu nomer saya, nama saya Jeff.” ucapnya mengenalkan diri.

“Mas kerja disini?” setelah menyimpan nomer laki-laki bernama Jeff itu, Shanin menyimpan ponselnya.

“Iya, saya dokter disini. Kalau gitu saya duluan ya.” setelah mengatakan itu, laki-laki itu masuk kembali ke dalam mobilnya dan pergi lebih dulu.

Sementara Shanin masih terdiam di dalam mobilnya, dia masih sedikit kaget karena menabrak mobil seorang dokter. Belum lagi Shanin harus mikirin ganti rugi, memang sih laki-laki bernama Jeff tadi bilang kalau dia yang mau ganti rugi semuanya. Tapi tetap saja Shanin merasa enggak enak, disini posisinya memang dia yang salah karena sudah menginjak gas.

Di perjalanan Shanin lebih fokus lagi, kebetulan sekali Vera menelfon jadilah ia angkat panggilan itu dengan memakai earphone di telinganya. Ia bisa bicara dengan Vera sampai setidaknya dekat dengan daerah rumahnya berada.

Nin, gimana tadi konseling lo? Duh.. Sorry banget gue gak bisa anterin yah.

“Gapapa kok, Ver. i'm good yah cuma tadi ada sedikit kecelakaan kecil aja sih.”

what?! Kecelakaan apa? Terus sekarang lo dimana?

Jalanan di depan sana agak sedikit padat, jadi Shanin bisa sedikit menyandarkan tubuhnya sebentar di kursi mobil.

“Gue tadi nabrak mobil di parkiran, yah mobil gue penyok bagian depannya. Lampu nya juga pecah, kalau mobil yang gue tabrak lecet di bagian samping sama ada penyok gitu sih, untung orangnya baik banget dan malah dia yang mau gantiin semua ini,” jelas Shanin.

hah? Serius, eh tapi malah bagus gak sih? Lo jadi gak keluar uang.

“Iya sih tapi tetap aja gue enggak enak, posisi nya gue yang salah kok emang. by the way besok lo sibuk gak? Temenin gue ke bengkel yuk.”

gak kok, besok gue free. Eh tapi yang lo tabrak mobilnya tuh cewek apa cowok? Kok kedengarannya baik banget gak pake acara marah-marah.

Shanin kembali melajukan mobilnya setelah lampu rambu lalu lintas berubah menjadi hijau, kali ini dia menjalankan mobilnya dengan pelan. Shanin harus benar-benar fokus, apalagi matanya sudah sedikit mengantuk saat ini.

“Cowok, Ver. Kalo cewek sih gue enggak mungkin ngajak lo, gak akan canggung juga. Yah besok temenin please.

iya, iya. Ya Udah, lo balik langsung istirahat deh yah, nanti text aja yah kita ke bengkel jam berapa.


“PAPAAAAA....”

Begitu melihat Papa nya pulang, Hana berlari ke arah Yuno. Yuno juga menyambutnya dengan rentangan tangan dan menangkap putri kecilnya itu kemudian menggendongnya.

“Waduhhhh, princess nya Papa udah wangi banget sih, udah sarapan sayang hm?” Jeff mencium pipi Hana, kemudian berjalan ke ruang tengah dan duduk di sofa bersama Hana di sana.

Bocah itu mengangguk, “Yes, Hana has had breakfast, Hana really miss Papa. Papa besok libur kan?”

Papa also misses Hana, yup. Besok Papa Libur, why princess, hm? Cantik nya Papa mau ngajak Papa kemana?”

“Kita berenang yuk, Pah?”

At home? hm?”

Hana menggeleng, ia menunjukan foto dirinya di kolam berenang bersama Kenzo temannya. Beberapa hari yang lalu, Hana memang di ajak oleh Kenzo dan kedua orang tua nya untuk berenang. Hana banyak bercerita sama Ara soal kolam renang dan wahana permainan air yang banyak di sana, makanya Hana ingin mengajak Papa dan Ibu nya ke kolam renang itu lagi.

no, Papa, kemarin kan Hana di ajak sama Daddy and Mommy nya Kenzo, ke kolam renang yang luas... Sekali, banyak permainan nya. Hana mau ke sana lagi sama Papa dan Ibu..”

Jeff tersenyum, tanpa berpikir panjang ia langsung mengangguk. “Besok kita berdua aja yah? Biar Ibu istirahat di rumah, hm?”

Jeff sengaja mengajak Hana saja tanpa mengajak Ara, dia gak suka sama keberadaan wanita itu. Yang Jeff sayang hanya Hana karena Jeff berpikir Hana adalah anaknya juga, tapi tidak dengan Ara. Karena baginya, yang menikah dengan Ara itu Yuno bukan dirinya. Toh Ara juga tidak pernah menganggap Jeff ada, yang Jeff pikirkan tentang wanita itu adalah. Ara menganggapnya seperti parasit yang hanya bisa menumpang pada tubuh Suaminya.

Hana mengangguk.

Ara masih sibuk di dapur, dia sedang membuatkan teh hangat untuk Yuno dan menyiapkan sarapan untuk Suaminya itu. Yuno itu semalam berjaga di UGD dia enggak pulang ke rumah, dan baru pulang pagi hari setelah shift nya selesai. Ara tahu banget Yuno pasti lelah, jadi setelah selesai menyiapkan sarapan untuk Suaminya itu. Ia beringsut menghampiri Yuno dan Hana.

“Kakak, biarin Papa mandi terus sarapan dulu sayang. Papa kan capek habis pulang kerja, Kakak sama Ibu dulu sini,” Ara duduk di samping Yuno setelah selesai menyiapkan sarapan untuk Suaminya itu.

Hana itu penurut sekali, setelah Ibu nya berucap seperti itu. Hana langsung kembali menonton TV sembari mewarnai lagi, selain gemar berenang. Hana itu gemar sekali mewarnai, bahkan anak itu memiliki buku bergambar yang banyak. Apalagi Gita dan Arial sering banget ngirimin buku bergambar dan krayon dengan warna lengkap untuk Hana.

“mandi dulu, Mas.” ucap Ara, jika biasanya Yuno akan mengecup keningnya setelah pulang bekerja. Tapi kali ini laki-laki itu langsung beringsut bangun, laki-laki yang Ara tahu itu adalah Yuno bahkan enggak menyapa Ara sedikit pun.

Ara hanya berpikir jika Yuno mungkin lelah, jadi dia berinsiatif untuk menyiapkan baju untuk Suaminya pakai nanti. Jadilah Ara membuntuti Yuno ke kamar mereka.

“Capek banget yah, Mas? Habis sarapan mau aku kupasin bua—”

“Gue mau langsung istirahat aja, sarapannya lo aja yang makan. Atau suruh pembantu di bawah yang makan, itu makanan kesukaan Yuno semua.”

Ara terdiam, sungguh rasanya seperti ia tengah berdiri di tepi jurang dan ada seseorang yang mendorongnya jatuh. Itu bukan Yuno suaminya, tapi itu Jeff. Kepribadian lain yang di miliki Yuno, itu artinya Yuno sedang sangat tertekan sampai-sampai Jeff muncul menggantikannya.

Sebelum Jeff masuk ke kamar mandi, Ara beringsut menahan tangan Suaminya itu. Ia cuma mau tahu apa yang telah terjadi sama Yuno sampai-sampai Jeff harus menggantikannya.

“Jeff, Mas Yuno kenapa?” tanya Ara.

Jeff menghela nafasnya dengan kasar, kedua mata Yuno yang biasanya menatapnya dengan hangat itu kini melihatnya penuh dengan kebencian. Jeff itu emang enggak suka sama Ara, menurut Jeff, Ara itu cewek yang manja, karena Ara juga Yuno jadi enggak pernah merasa sendirian lagi sampai-sampai Jeff sulit untuk menunjukan keberadaanya.

Jeff juga lah alasan Ara dan Yuno putus dulu, Yuno yang memutuskan hubungan mereka karena Yuno takut Jeff menyakiti Ara. Waktu itu Yuno benar-benar tertekan karena paksaan orang tua nya yang menyuruhnya mengambil fakultas kedokteran di Jerman, makanya Jeff bisa muncul. Yuno dan Jeff membuat kesepakatan agar mereka berdua bisa menjadi seorang dokter, makanya Jeff bilang kalau Yuno harus mengakhiri hubungannya dengan Ara dulu agar kesepakatan itu bisa berjalan.

“Lo kan bini nya, lo sendiri enggak tahu keadaan Yuno gimana?” ucap Jeff dingin.

Perlahan Ara melepaskan tangannya dari tangan Yuno, “Jeff, Mas Yuno emang lagi tertekan dia baru aja ambil studi nya lagi.”

“Bagus kalau lo tau. minggir, gue mau mandi.”

“Jeff.” Ara menahan tangan Yuno kembali.

“Apaan lagi sih?”

“Aku mohon kalau di depan Hana, tolong bersikap selayaknya Mas Yuno.” Ara enggak mau Hana bingung, akan sangat susah menjelaskan tentang siapa Jeff pada Hana. Ara berencana akan memberitahu soal ini jika Hana sudah besar nanti, setidaknya sampai Hana paham apa yang di derita Papa nya.

“Gini yah, Ra. Hana itu emang anaknya Yuno, tapi kalau lo lupa. Gue sama Yuno itu sebuah satu, dia adalah gue dan gue adalah dia. Hana itu juga anak gue, gue tau kok harus bersikap kaya apa di depan dia.”

“Jeff..”

“Udah ah, minggir. Gue mau mandi!!” Jeff menyingkirkan tangan Ara dengan kasar, kemudian masuk ke dalam kamar mandi dengan sedikit membanting pintunya.

Sementara Ara masih terpaku di tempatnya berdiri, ia menarik nafasnya pelan, kemudian duduk di ranjang. Semalam yang ia temui masih Yuno Suaminya, lalu pagi ini sosok Yuno itu di gantikan oleh Jeff. Apa yang sebenarnya terjadi sama Suaminya itu?

Pertama kali saat Ara membuka mata di pagi hari adalah, meraba ranjangnya tempat Yuno dan ia tidur. Semalam, setelah membuat mie instan, Jeff langsung tidur di kamar Yuno dan Ara. Setelah menidurkan Hana dulu, barulah Ara masuk ke dalam kamar mereka dan tidur di ranjang yang sama. Jeff enggak mau makan masakan Ara, makanya dia lebih memilih masak mie instan sendiri. Berbeda dengan Yuno yang pandai untuk urusan dapur, Jeff itu sama sekali enggak pandai memasak. Bahkan untuk menggoreng telur sekalipun.

Itu memang bukan Yuno Suaminya, tapi tetap saja tubuh itu milik Yuno seutuhnya. Jeff hanya kepribadian yang Yuno sembunyikan dari orang-orang, bagi Ara mereka tetap sama. Yuno adalah Jeff dan Jeff adalah Yuno.

Kedua matanya terbuka setelah Ara tidak mendapati Jeff tidur di sebelahnya, Ara buru-buru melihat jam di meja kecil sebelahnya. Ternyata ini sudah jam 10 pagi, Ara ingat kalau hari ini Jeff sudah janji dengan Hana akan pergi berenang. Apa mereka sudah pergi? Ara memang terlambat bangun, semalam pinggangnya sedikit sakit dan ia jadi sulit untuk tidur.

Dengan agak terburu-buru, Ara memeriksa kamar mandi lebih dulu. Siapa tahu Jeff sedang mandi, tapi di kamar mandi tidak ada siapa-siapa. Lalu Ara keluar dari kamar dan turun ke dari lantai 2.

“Mas? Hana?” panggil Ara, ia sempat memeriksa kamar Hana. Tapi anak nya itu tidak ada, entah kenapa tiba-tiba saja perasaan Ara enggak enak.

“Hana?”

Ara kemudian menyusuri taman yang berada di depan rumah, Hana tidak ada di sana. Mobil Yuno juga tidak terparkir di halaman rumah, Ara semakin panik. Ia kemudian menyusuri taman belakang. Dan ia dapati Hana di sana bersama Mbak Ulfa sedang bermain. Tapi Ara enggak mendapati Jeff di sana.

“Ibuuuuuu!!” pekik Hana, bocah itu sudah mandi. Sudah rapih akan bersiap untuk pergi, ia lari menghampiri Ara dan memeluk Ibu nya itu.

“Kakak lagi apa sayang? Tadi Ibu cariin Kakak.”

“Kakak, playing with dolls, maaf yah, Bu. Hana enggak dengar Ibu panggil,” ucapnya. Membuat Ara tersenyum dan mengangguk kecil.

“Gapapa, sayang. Um, Papa kemana?” tanya Ara.

“Tadi pagi Papa bilang, Papa mau ke bengkel dulu.”

“Bapak tadi pamit ke bengkel, Buk. Katanya kemarin di rumah sakit mobilnya sempat nyerempet mobil lain. Jadi mau benerin dulu baru nanti antar Hana ke kolam renang,” jelas Mbak Ul.

“Bapak pergi jam berapa yah, Mbak?”

“Sekitar jam 8 pagi, Buk.”

Ara terdiam sebentar, Jeff enggak cerita soal mobil Yuno yang menabrak mobil lain di rumah sakit. Jeff juga enggak cerita bagaimana bisa Jeff mengambil alih Yuno, kepala Ara rasanya berkedut. Ia takut Jeff membuat masalah di luar, ia duduk di kursi taman sembari mencoba menghubungi ponsel Suaminya itu.

“Kakak main lagi yah, Ibu mau telfon Papa dulu.”

“Okey!!”

Beberapa kali Ara mencoba untuk menelpon ke ponsel Yuno, tapi Jeff sama sekali enggak mengangkatnya. Bahkan kali ini panggilannya di tolak oleh Jeff, karena Jeff tidak kunjung mengangkat telfonnya akhirnya Ara mengirimi pesan ke ponsel Suaminya itu.

Setelah perdebatan dengan Jeff melalui pesan, Ara kembali mencoba menelfon laki-laki itu lagi. Kali ini ia agak menjauh dari Hana, kebetulan Hana juga sedang asik bermain dengan boneka-bonekanya.

kenapa lagi?” ucap Jeff di sebrang telfon sana.

“Kamu di mana? Biar nanti aku jemput kamu, Jeff. Aku gak mau Hana kecewa, biar urusan mobil aku bisa minta tolong sama Ren—”

lo kenapa keras kepala banget sih? Apa susahnya cuma bujuk Hana supaya mau berenang di rumah!! Hana itu masih kecil, Ra. Dia gampang di kelabuhi, lagian Hana bukan tipikal bocah tantrum yang kalau keinginannya gak kesampaian dia bakalan ngamuk kok. Dia juga pasti ngertiin Papa nya,” jelas Jeff.

Ara menghela nafasnya pelan, ia mengusap wajahnya dengan gusar. Ia tidak ingin Hana kecewa, Hana memang pengertian, tapi Ara tahu betapa inginya Hana mengajak Yuno ke kolam renang itu. Bahkan anak itu sudah sering menceritakan keinginannya itu pada Ara, dan sekarang Jeff tega membatalkan janjinya begitu saja.

“Ya Udah, nanti aku coba bujuk Hana.” Ara mencoba menenangkan dirinya sebentar, “Jeff, Hati-hati yah, tolong kabarin aku kalau udah selesai.”

Tidak ada sahutan di sana dari Jeff, Jeff langsung mematikan sambungan teleponnya. Membuat Ara hanya bisa meringis, Ara gak ingin memancing amarah Jeff. Karena itu akan membuat Jeff semakin lama mengambil alih Yuno.

Karena ini sudah hampir siang, Ara akhirnya menghampiri Hana. Mencoba bicara pada anaknya itu jika Papa nya enggak bisa memenuhi janjinya kali ini, Ara hanya berharap Hana enggak ngambek jika Jeff pulang nanti.

“Kakak?” panggil Ara, anak itu menoleh dan menghampiri Ibu nya.

“Kenapa, Bu?”

Ara duduk di kursi taman, memegang kedua tangan kecil putrinya itu dan menatapnya. “Ibu tadi telfon Papa, Papa bilang, Papa enggak bisa antar Hana renang hari ini, sayang.”

Wajah bocah itu langsung mendadak mendung, Hana enggak bisa menyembunyikan kekecewaannya itu. Dan Ara langsung buru-buru menarik tangannya pelan dan memangku putri kecilnya itu.

“Tapi kan Papa udah janji mau berenang sama Hana, Bu. Kok malah enggak bisa antar, Hana kan nunggu Papa libur lama,” ucap Hana, membuat Ara tidak tega sendiri melihatnya.

“Papa masih di bengkel, sayang. Ada sedikit problem sama mobil yang di pakai Papa.”

Hana diam saja, dia enggak menjawab apa-apa lagi. Hana hanya memperhatikan jemari Ibu nya yang dari tadi ia genggam.

“Kakak...”

“Hana mau berenang, Bu..” rajuknya.

“Berenang sama Ibu aja di rumah yah? Mau hm? Nanti habis Hana berenang Ibu bikin cloud bread lagi, kan Hana suka cloud bread.

Bocah itu memperhatikan wajah Ibu nya, kemudian mengangguk kecil. Hana memang mudah di bujuk, tapi wajah anak itu masih menampakan kekecewaan.

kiss Ibu dulu, um?”

Walau separuh hati, Hana tetap mencium Ibu nya. Anak itu juga memeluk Ara dengan erat, Ara tau Hana ingin menangis karena kecewa, tapi anak itu kepalang janji pada Ara dan Yuno untuk bersikap lebih dewasa lagi karena akan menjadi seorang Kakak.

“Kita siap-siap yah, Ibu ambil handuk Kakak dulu.”


“Lo kenapa gak bilang kalau mobil yang lo tabrak Mas-Mas nya seganteng ini anjirt Shanin,” pekik Vera tertahan.

Keduanya masih berada di bengkel mobil yang di tunjuk Jeff sebagai bengkel langganannya, Shanin enggak datang sendiri. Dia sama Vera, dan sekarang Vera sedang menahan teriakannya hanya karena melihat pesona dari wajah tampan laki-laki yang mereka kenal dengan nama Jeff.

“Lo jangan bikin malu gue deh, Ver.” bisik Shanin.

“Sumpah, Nin. Kalo gini caranya gue juga mau sih mobil gue di tabrak, udah ganteng, gentle men, terus tadi dia bilang kalau dia dokter? oh god, please.

Shanin hanya menghela nafasnya pelan, dari tadi dia juga memperhatikan Jeff yang sedang menelpon seseorang. Entah apa yang sedang di bicarakan, tapi beberapa kali Shanin lihat raut wajah Jeff sedikit enggak bersahabat. Nada bicaranya juga agak sedikit kencang sampai Shanin bisa mendengarnya samar-samar.

Tidak lama kemudian Jeff kembali memeriksa mobilnya lebih dulu, mobil Jeff di kerjakan lebih dulu dan sudah selesai. Sementara mobil Shanin masih dalam proses perbaikan, malah baru berjalan setengahnya.

“Ini udah jam makan siang, kalian berdua mau makan siang dulu atau mau disini—”

“Kita berdua mau makan siang, Mas Jeff mau barengan aja?” Vera yang semangat banget menyela ucapan Jeff lebih dulu, cewek itu benar-benar terpesona sama Jeff.

“Iya, saya mau makan siang dulu. Mau ngajak bareng sih, gimana? Kebetulan di sebrang sana ada restoran ayam hainan. Mau makan siang di sana?”

“Eng..gak usah deh, Mas Jeff. Nanti saya bisa delivery makanan aja,” ucap Shanin, jujur saja Shanin canggung banget sama Jeff. Cowok itu memang baik, tapi Jeff itu cenderung serius dan enggak asik di ajak bicara.

“Saya serius, kalau mau bareng gapapa. Kalian mau makan di bengkel? Tempat ini kotor.”

“Tau lu, Nin. Udah deh ikut Mas Jeff aja please gue udah laper ini,” keluh Vera.

Akhirnya Shanin setuju, mereka pun makan di restoran ayam hainan yang tidak jauh dari bengkel. Dari tadi saat mereka makan, yang mendominasi obrolan itu selalu Vera. Vera bahkan menceritakan tentang project-project yang sedang ia jalankan bersama tim nya.

Kalau Shanin hanya diam saja menikmati makanan, yah meskipun sesekali ia sedikit melirik ke arah Jeff. Walau ketika mata mereka bertemu, Shanin akan segera membuang pandanganya ke arah lain.

“Kalau Shanin kerja dimana?” tanya Jeff, kebetulan mata mereka bertemu. Dari tadi Shanin juga diam saja, enggak bicara apa-apa atau menceritakan tentang dirinya.

“Hm, kalau saya guru, Mas. Di Jakarta Internasional School,” jelas Shanin.

“Oh ya? Ngajar apa?”

“Bahasa Prancis, belum lama juga sih ngajarnya. Baru sekitar 3 tahunan, terus kebetulan sekarang lagi cuti dan cuma ambil project kecil di kantornya Vera jadi translator.”

Jeff mengangguk, kebetulan Jeff juga bisa sedikit-sedikit bahasa Prancis. Jeff yang bisa, bukan Yuno. Jeff itu jenius, bukan hanya dalam bidang akademik tapi juga menguasai macam bahasa. Dulu, waktu Yuno masih sekolah bahasa, Jeff yang banyak menggantikan laki-laki itu agar ada peningkatan dan bisa segera lulus dari sekolah bahasanya. Yah, meskipun Yuno juga bekerja keras untuk itu.

“Saya juga lumayan bisa bahasa Prancis, udah agak sedikit lupa pelafalannya sih. Tapi not bad lah.”

Shanin mengangguk, “Mas Jeff praktik apa di rumah sakit Harta Wijaya?”

“Saya masih dokter umum, baru mulai studi lagi ambil spesialis jantung. Agak telat sih memang, bodoh banget saya juga. Malah berpikir lebih nyaman jadi dokter umum.” Jeff bukan mencela dirinya sendiri, tapi mencela Yuno yang ia anggap bodoh karena tidak cepat-cepat melanjutkan studinya.

“Hebat, pasti sibuk banget yah, Mas?” tanya Vera antusias.

“Lumayan, karena masih sering di taruh UGD makanya jam kerjanya juga lebih panjang.”

“Berarti Mas Jeff kenal Dokter Amreiza dong yah?” kali ini Shanin yang bertanya.

Jeff mengangguk, menyingkirkan piring bekasnya makan dan kembali menyimak pertanyaan dari Shanin. Menurutnya Shanin memang agak canggung, tapi lama kelamaan gadis itu asik di ajak bicara.

“Kenal, dia senior saya. Spesialis kejiwaan kan, kamu pasiennya?” sebenarnya Jeff enggak mengenal Dokter Amreiza, yang kenal itu Yuno. Dan Jeff tidak sengaja melihat nama dan fotonya di ruang absen dokter dan perawat. Di sana ada mading berisi foto dokter, poli dan posisi yang di pegang di rumah sakit.

“Iya, saya baru mulai konsul sama Dokter Amreiza. Buat ngobatin trauma saya.”

Jeff mengangguk, dia enggak mau nanya-nanya soal trauma yang di derita Shanin. Karena Jeff juga enggak suka sama psikiater, dia enggak suka dirinya atau pun Yuno di pandang lain oleh mereka. Menurut Jeff ia dan Yuno sama seperti orang-orang normal lainnya.

To Be Continue

Pagi ini Ara bangun lebih dulu, Hana akan sekolah pagi ini. Ngomong-ngomong soal Hana yang kecewa kemarin, anak itu udah enggak marah lagi, walau waktu Jeff pulang Hana sempat enggak mau di ajak bicara, tapi Jeff pandai mengambil hati anak itu.

Persis seperti yang suka Yuno lakukan, Hana itu akan mudah di bujuk sama Papa nya apalagi kalau Yuno sudah berjanji akan membelikan buku dongeng dan membacakannya. Selain itu, Hana juga senang sekali kalau Yuno membuatkan makanan kesukaanya.

Waktu Ara bangun, Jeff masih tidur di sofa kamar mereka. Ara tidur lebih dulu semalam dan Jeff enggan tidur seranjang dengannya, laki-laki itu lebih memilih untuk tidur di sofa meski mungkin badanya akan terasa pegal saat bangun nanti. Ara enggak bangunin Jeff dulu, dia justru keluar kamar dan bangunin Hana lebih dulu di kamarnya.

“Sayang?” tangannya mengusap pucuk kepala putri kecilnya itu dan menciumi keningnya.

“Bangun yuk, kan hari ini Kakak sekolah.”

Preschool tempat Hana sekolah enggak masuk setiap hari kaya sekolah pada umumnya, hanya 4 kali dalam seminggu setiap hari senin sampai kamis saja. Jam belajarnya pun pendek, dari jam 8 pagi sampai jam 11 saja. Kedua mata anak itu mengerjap, Hana tersenyum ketika Ibu nya juga tersenyum ke arahnya.

“Bangun, yah. Kakak mandi sama Mbak Ul, Ibu mau bangunin Papa dulu. Katanya Kakak minta di antar Papa pagi ini kan?”

“Um,” Hana mengangguk.

“Bangun yah.”

“Ibu?”

“Apa sayang?”

kiss?” ucapnya, membuat Ara tersenyum dan mengecup pipi anak itu. “good morning.

morning too, princess.

Setelah membangunkan Hana dan memastikan anak itu mandi bersama Mbak Ulfa, Ara kembali ke kamarnya dan Yuno. Jeff masih tidur di sofa, selimut yang dia pakai sudah jatuh ke lantai bersamaan dengan kaki panjang laki-laki itu yang juga sudah menyentuh lantai.

Baru beberapa hari Jeff menggantikan Yuno, tapi rasanya Ara sudah sangat merindukan Suaminya itu. Apalagi senyuman yang selalu Yuno layangkan ketika ia membangunkannya di pagi hari, kecupan laki-laki itu, usapan tangan hangatnya dan masakan yang biasa Yuno buatkan ketika Ara sedang merasa sakit pinggang.

Ara mendekat ke arah Jeff setelah melipat selimut yang laki-laki itu pakai semalam, jika Jeff tengah mengambil alih diri Yuno seutuhnya. Cara tidur keduanya memang berbeda, Jeff itu tidur dengan mata sedikit terbuka. Sementara Yuno, kedua mata laki-laki itu tertutup rapat dengan dengkuran kecil seperti anak kucing.

Ara mengusap wajah Suaminya itu, “Jeff...” bisiknya.

Jeff masih tertidur, alih-alih bangun. Laki-laki itu justru mengubah posisi tidurnya jadi membelakangi Ara.

“Jeff?”

“Hm?”

“Bangun, yuk. Udah pagi, kamu janji sama Hana mau antar dia ke sekolah kan?” Ara mengusap punggung Suaminya itu, berharap Yuno bisa secepatnya kembali.

Tanpa menjawab, Jeff bangun. Laki-laki itu duduk di sofa dengan mata yang masih terlihat mengantuk. Sementara Ara masih setia berdiri di depannya, dengan senyuman hangat. Ara selalu berharap setidaknya Jeff bisa menerima dirinya. Ara juga gak ingin terus-terusan di benci oleh Jeff, Ia juga ingin di terima oleh sisi Yuno yang lain.

“Kamu mau sarapan apa?” tanya Ara.

Jeff hanya mendengus, kemudian menggelengkan kepalanya. “Lo gak usah berusaha jadi Istri yang baik lah, gue bukan Yuno. Gue bukan laki lo.”

“Tapi tubuh yang kamu pakai ini tubuhnya Mas Yuno, Jeff.”

Ucapan Ara itu berhasil memancing amarah Jeff, Jeff merasa lagi-lagi Ara seperti melabelinya dengan benalu yang hanya bisa menumpang pada tubuh Yuno, Jeff benci di labeli seperti itu.

“Sampai kapan pun lo emang gak akan pernah bisa nerima gue dan Yuno dengan baik, Ra. Gak akan pernah bisa! Lo gak pernah bisa nerima Yuno apa adanya!” nada bicara Jeff agak sedikit meninggi, membuat Ara agak sedikit tersentak. Yuno itu enggak pernah bicara dengan nada tinggi dengannya, sedang semarah apapun laki-laki itu.

“Jeff.. Maksud aku bukan kaya gitu,” Ara ingin mengambil tangan Jeff namun Jeff menepisnya dengan sangat kasar.

“Yuno cuma di butain sama cinta-cintaan klise ini, dia gak pernah buka matanya lebar-lebar kalau Istrinya ini enggak tulus menerima dia.”

“Enggak gitu, Jeff. Enggak kaya gitu, maksud aku—”

Jeff menunjuk wajah Ara, rahangnya mengeras. Mungkin jika Ara adalah laki-laki yang sepadan dengan nya, Jeff pasti sudah melayangkan bogem mentah padanya.

“Diem!! Gue gak mau dengar lo ngomong lagi.” ucapnya tegas, setelah mengatakan itu Jeff langsung bergegas ke kamar mandi.

Ara sudah tidak tahan lagi, air matanya yang sedari tadi ia tahan sudah tidak bisa ia bendung. Cairan bening itu jatuh dari pelupuk matanya dan membasahi kedua pipinya, ia duduk di pinggir ranjang sembari memegangi dadanya yang terasa sesak.

Namun ketika pintu kamarnya terbuka, Ara buru-buru mengusap air matanya dengan cepat. Itu pasti Hana, anak itu sudah mandi dan sudah siap dengan seragam sekolahnya. Biasanya, Hana akan masuk ke kamar kedua orang tua nya untuk minta di ikatkan rambutnya dengan bentuk yang lucu-lucu oleh Ibunya.

“Ibu..” sapa anak itu. Membuat Ara langsung menunjukan senyumnya, berusaha terlihat baik-baik saja di depan Hana.

“Sini, Ibu kepang rambutnya.” Ara menepuk ranjang di depannya, menyuruh Hana untuk duduk di sana agar ia bisa mengikatkan rambut anak itu.

“Nanti yang jemput Hana siapa, Buk?”

“Ibu, sayang. Kan Papa harus belajar, Papa kan sekolah lagi. Sama seperti Hana.”

Hana mengangguk, wajahnya sedikit murung. Sebenarnya tadi Hana enggak sengaja mendengar pertengkaran kecil kedua orang tuanya, itu untuk pertama kali bagi Hana mendengar Papa nya bicara dengan nada tinggi seperti itu dengan Ibu nya.

Setelah Hana siap, Jeff turun ke lantai 1. Dia enggak sarapan, padahal Ara sudah menyiapkan roti bakar dengan selai kacang coklat kesukaan Jeff. Tapi laki-laki itu enggan menyentuhnya.

“Kakak udah siap?” tanya Jeff pada Hana.

Anak itu hanya mengangguk pelan, Jeff yang sadar Hana enggak seceria biasanya itu jadi berjongkok untuk memastikan apa yang sedang Hana rasakan.

princess kok enggak semangat gini, hm? What is it? princess nya Papa enggak sakit kan?” tanya Jeff.

Hana hanya menggeleng, ia menatap Ibu nya yang berdiri di belakang Papa nya sembari membawakan kotak bekal miliknya.

“Kenapa, Kak?” tanya Ara.

Papa and Ibu fight? kok Papa bentak-bentak Ibu?” tanya Hana, kedua matanya berkedip menatap Jeff dan Ara secara bergantian.

Jeff yang mendengar itu hanya menunduk, Hana mendengar ucapannya ternyata. “just a small problem, an adult problem. Papa was wrong, Papa will apologize to Ibu later, okay?

“Kenapa nanti, Pah?”

Jeff menghela nafasnya pelan, ia berdiri dan menghadap Ara yang ada di belakangnya. Wanita itu masih menunduk, Ara enggak berani melihat wajah Yuno dengan tatapan dingin seperti itu.

“Aku minta maaf, Sa...” Yuno menahan nafasnya sebentar. “Sayang,” lanjutnya.

“Iya,” Ara mengangguk, hatinya masih sakit. Tapi dia enggak ingin membuat Hana cemas. Apalagi sampai membenci Papa nya, “go, udah hampir jam 8 nanti Hana telat.”

Setelah melihat kedua orang tua nya berbaikan, Hana tersenyum. Ia berjalan keluar rumah dengan riang. Sementara Ara dan Jeff masih berada dalam suasana canggung.

bye, Ibu!!!” pekik Hana dari dalam mobil, tangan anak itu melambai-lambai.

bye, Kak. have fun ya sayang.”

Setelah Jeff dan Hana pergi, Ara langsung bergegas mandi. Hari ini dia enggak ada kegiatan di luar apa-apa, tapi semalam Bunda mengabarinya kalau pagi ini Bunda mau main ke rumah Ara. Bunda di antar Reno sebelum anak itu berangkat bekerja, kebetulan kantor tempat Reno bekerja itu satu arah dengan rumah Ara dan Yuno.

Setelah selesai mandi dan sarapannya, Ara sempat duduk di taman belakang. Dia ngerasa harus cerita tentang masalah Jeff pada seseorang, mungkin dengan Gita. Selain kedua orang tua Yuno yang tau soal Jeff, ada Gita dan Arial juga yang tahu tentang Jeff. Jeff bahkan dekat dengan Gita.

Ara cuma berpikir mungkin Gita bisa bicara dengan caranya sendiri dengan Jeff, toh selama ini Jeff lebih mendengarkan ucapan Gita dari pada siapapun itu. Ara sengaja gak bicara soal ini ke kedua orang tua Yuno, mereka enggak lebih baik dalam bicara sama Jeff.

Setelah bercerita dengan Gita melalui pesan singkat, Ara mencoba untuk membuat dirinya jauh lebih tenang dengan merajut. Baru-baru ini dia belajar merajut, Ara udah bisa membuat topi. Dan kali ini dia ingin mencoba membuat jaket untuk bayinya nanti.

“Kakak sayang??”

Sedang berkonsentrasi untuk merajut, tiba-tiba saja atensinya teralihkan karena sapaan seseorang, itu Bunda. Yang memanggilnya dengan sebutan Kakak hanya Papa dan Bunda. Ternyata Bunda sudah datang, Bunda datang sendiri Reno enggak sempat turun karena takut terjebak macet di jalan.

Dulu, yang biasa nganter jemput Bunda tiap pergi itu Mas Yuda. Tapi sekarang Mas Yuda tinggal di Surabaya bersama dengan Istrinya. Mas Yuda membantu Istrinya menjalankan usaha keluarga mereka di sana, makanya Mas Yuda jarang banget pulang ke Jakarta.

“Bunda...” Ara menghampiri Bunda nya dan memeluk wanita itu. “Kakak kangen banget sama Bunda.”

“Sama, sayang. Maaf yah, Bunda baru sempat jenguk kamu ke sini.”

Ara mengangguk, melepas pelukan itu dan menyuruh Bunda untuk masuk dan duduk di ruang TV saja alih-alih di taman belakang.

“Gapapa, Bun. Kakak paham Bunda kan sibuk.” Akhir-akhir ini selain sibuk mengurus catering, Bunda juga sibuk mempersiapkan pernikahan Reno dan Karina. Makanya baru sempat menjenguk Ara sekarang.

“Kakak sehat kan?” Tanya Bunda.

“Yup, Kakak sehat, Mas Yuno sehat, Hana juga sehat.”

Bunda tersenyum, lega rasanya mengetahui putrinya dan keluarga kecilnya itu baik-baik saja. Ara juga terlihat lebih bahagia setelah menikah, dari awal, Bunda itu udah yakin sekali Yuno bisa menjaga putri sematawayangnya itu.

“Papa sehat kan, Bun?”

“Papa sehat, Nak. Reno juga baik-baik aja, dia bilang tadi salam untuk Kakak. Maaf belum sempat mampir buat jenguk keponakan-keponakannya.”

Ara mengangguk dan tersenyum kecil, “gapapa. Ah iya, Bunda udah sarapan?”

“Udah kok, tapi Bunda bawain makanan kesukaan Kakak.”

“Sushi?” Tebak Ara, Bunda menggeleng karena tebakan Ara itu salah.

“Kakak kan lagi hamil sayang, mana mungkin Bunda bawain sushi atau sashimi.”

Ara terkekeh, biasanya Bunda memang suka membawakan Ara sushi atau sashimi sebelum Ara hamil Nathan. Dari dulu Ara itu suka banget sama sushi, selain sushi dan sashimi. Dia juga suka banget sama ikan gurame asam pedas buatan Bunda.

“Ikan gurame asam pedas yah?” Tebaknya lagi.

“Benar, mau makan lagi sayang?”

Ara mengangguk, kedua nya sempat makan bersama di meja makan. Ara juga sempat bercerita kesibukannya, Yuno dan Hana akhir-akhir ini. Begitu juga dengan Bunda, Bunda cerita kalau Papa akhir-akhir ini mau membuka bisnis coffee shop kecil-kecilan. Papa nya itu memang gemar meminum kopi dari dulu, dan ide dalam membuat bisnis coffee shop kecil-kecilan ini di dukung sama Mas Yuda.

Masih ada waktu 1 jam lagi sebelum Ara menjemput Hana di sekolahnya, waktu itu ia pakai untuk tiduran di paha Bunda nya. Biarpun sudah menikah, Ara masih suka melakukan hal itu. Ia suka tiduran di paha Bunda, dan Bunda akan setia mengusap-usap kepala putri satu-satunya itu.

“Bun..”

“Kenapa, Kak?”

“Bunda pernah, berantem sama Papa gak?” Tanyanya. Membuat sang Bunda tersenyum, Bunda sempat berpikir Ara dan Yuno mungkin sedang bertengkar.

“Ya pernah lah, Kak. Rumah tangga tuh gak mungkin mulus-mulus aja, pasti ada berantem-berantem kecil. Namanya juga menyatukan 2 kepala gak mungkin isinya selalu sama, Nak. Kenapa, um? Kakak lagi berantem sama Yuno?”

Ara menggeleng pelan, Bunda enggak tahu soal Jeff. Ara emang gak pernah bercerita soal kepribadian Yuno yang lain. Ara enggak mau Bunda menganggap Yuno berbeda, lagi pula Dissociative identity disorder (DID) itu masih sering kali di anggap tabu. Enggak banyak orang tahu soal gangguan ini.

“Kalau, Papa. Pernah bicara dengan nada tinggi sama Bunda waktu berantem?” Tanya Ara lagi.

Firasat orang tua itu kuat, melihat sorot mata Ara yang terlihat meredup itu membuat Bunda bertanya-tanya dalam hati ada apa sebenarnya dengan putrinya itu? Pasalnya selama ini Ara enggak pernah nanya-nanya hal seperti ini. Apa Yuno marah dengan nada tinggi dengan putrinya? Apa laki-laki itu tidak sengaja menyakiti hati putrinya? Pikir Bunda.

“Kakak baik-baik aja sama Mas Yuno kan, Kak?” Tanya Bunda, membuat Ara jadi mengubah posisi nya dari tiduran menjadi duduk.

“Ara sama Mas Yuno baik-baik aja, Bun. Ara cuma nanya aja kok, pertanyaan Ara enggak ada sangkut pautnya sama hubungan Ara dan Mas Yuno.”

“Beneran sayang?”

“Yup,” Ara mengangguk. “Mas Yuno itu Suami yang baik, Bun. Sangat.. Baik.”

Demi mengalihkan pikiran Bundanya, Ara melihat ke arah jam. Kebetulan ini sudah waktunya ia untuk menjemput Hana.

“Udah jam setengah sebelas, kita jemput Hana di sekolah yuk, Bun. Pasti dia senang banget liat Omahnya ikut jemput.”

Bukan Jeff enggak tahu bagaimana rekan kerja Yuno serta perawat di rumah sakit ini membicarakannya di belakang, ah. Lebih tepatnya bukan membicarakan Jeff, melainkan Yuno. Sudah terhitung berapa banyak mulut yang menjelekan Yuno selama Jeff menggantikan laki-laki itu.

Ini juga yang membuat Yuno tertekan selain harus mengambil studi nya lagi, yup. Mulut-mulut yang melabelinya dengan nepotisme. Mereka menganggap Yuno kurang kompeten di bidang kedokteran, ada lagi yang mengatakan Yuno anak yang ketergantungan dengan Papa nya.

Dan siang ini, Jeff mendengar ada seorang perawat yang membicarakan Yuno saat Jeff sedang berganti baju di ruang istirahat. Apalagi kalau bukan mengatainya kalau kemampuan Yuno setara dengan dokter coass. di belakang pintu ruang istirahat Jeff mengepal tangannya kuat, Jeff bisa saja meledak saat ini kalau tidak ingat ia sedang bertugas.

Bagaimana pun juga ia seorang dokter. Jeff enggak bisa serampangan menyerang orang lain di rumah sakit, seiring bertambah umurnya Yuno. Jeff juga sedikit lebih bisa mengontrol emosinya, meskipun Jeff tetaplah laki-laki berusia 25 tahun. Usianya enggak bertambah, setua apapun Yuno nanti. Jeff akan tetap pada usianya yang ke 25.

Setelah selesai berganti baju, Jeff keluar dari ruang istirahat. Kedua perawat yang tadi sedang membicarakannya itu kaget saat Jeff keluar dari ruang istirahat, mereka enggak tahu Jeff yang mereka tahu Yuno itu ada di dalam.

“Siang Dokter Yuno,” sapa salah satunya agak sedikit gugup.

Jeff enggak menunjukan ekspresi apa-apa, wajahnya datar menatap kedua perawat itu. Kemudian meninggalkan mereka dan mulai berjaga di UGD, karena sudah berganti shift Jeff melanjutkan pekerjaan yang tadi sedang di lakukan oleh dokter jaga yang lain.

Kali ini dia memeriksa seorang laki-laki berusia 18 tahun yang sudah demam lebih dari 7 hari, Jeff memeriksa suhu nya, memeriksa tubuh pasien dan juga memeriksa detak jantungnya.

“Ada muntah, batuk, atau sulit bernafas?” tanya Jeff.

“Muntah enggak ada sih, Dok. Cuma batuk udah 3 hari ini dan demamnya sudah masuk hari ke 8,” jelas wali pasien.

“Demam nya setiap jam berapa aja?” Jeff menyiapkan torniket dan tabung berwarna ungu yang berisi antikoagulan ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA) untuk pemeriksaan hematologi dan crossmatch. Jeff akan melakukan pemeriksaan darah pada pasien.

“Setiap jam 10 pagi, kemudian turun setelah di beri Paracetamol, dan kembali demam di jam 4 sore.”

Jeff mengangguk, ia memasangkan torniket pada lengan pasien dan mulai mencari vena nya. Ketika telah di temukan vena nya Jeff mengoleskan alcohol swab pada permukaannya, dengan mudah Jeff mengumpulkan darah pasien kemudian menaruhnya di tabung.

“Cek ke lab, kalau sudah keluar hasilnya langsung kasih ke saya,” ucap Jeff pada perawat yang berdiri di sebelahnya.

“Hasil pemeriksaan darahnya baru akan keluar sekitar 1 jam lagi, karena demam nya yang lumayan tinggi dan ada kemungkinan terkena demam berdarah. Mungkin anak Ibu akan di rawat inap, Ibu bisa melakukan pendaftaran dulu di depan.”

“Baik, dok.”

“Tolong pasang infusnya, saya mau menghubungi farmasi dulu buat anterin beberapa obat ke UGD,” ucap Jeff pada perawat yang tadi membantunya.

Tidak lama kemudian dari arah pintu masuk UGD datang sebuah mobil ambulan lain, itu adalah Emergency medical services (EMS) layanan darurat yang menyediakan paramedis atau bantuan pra rumah sakit.

Keadaan agak sedikit kacau, karena pasien yang datang benar-benar termasuk kategori emergency Jeff langsung bersiap untuk memeriksa pasien tersebut. Seorang gadis remaja, umurnya kisaran 16-17 tahun.

“Pasien keracunan, dengan riwayat melukai diri sendiri, kesulitan bernafas dan nyeri dada saat bernafas, nafas di paru-paru kiri menurun. Ada muntah darah sebelum di bawa ke sini, sekitar 100cc dan tenggorokannya sakit,” jelas paramedis yang membawa korban.

Jeff menyimak ucapan paramedis itu, dia langsung memeriksa suhu badan pasien serta saturasi oksigen dalam darahnya.

“Pompa perutnya!” ucap Jeff pada perawat yang berjaga. “Pasang respirator baru.”

Jeff agak menyingkir dari sana, dia harus memastikan cairan apa yang di minum oleh pasien. Dia enggak mau salah ambil langkah medis dan membahayakan nyawa pasien.

“bawa sampel cairan yang di minum?” tanya Jeff pada paramedis yang membawa pasien tadi.

Paramedis tadi memberikan sebuah botol ke Jeff dan Jeff langsung memeriksa cairan yang ada di dalamnya, pertama ia hirup dulu. Bau nya sangat menyengat, Jeff sampai mengernyit Kemudian ia tuang isinya ke di atas permukaan tangannya.

Tidak lama kemudian Jeff membulatkan matanya, ia panik bukan main. “LEPASIN OKSIGENNYA!!” teriak Jeff.

Tanpa berpikir panjang Jeff langsung menghampiri pasien yang masih sadar, gadis itu masih kesulitan bernafas dan mencoba bernafas dengan mulutnya.

“Berapa banyak yang kamu tenggak?!” sentak Jeff, membuat semua orang yang ada di sana kaget. Apalagi Dokter Alice yang sering berjaga bersama Yuno. Ia tidak pernah melihat Yuno mengeluarkan nada tinggi sepanik apapun dia.

“Aaahh.. 4 tegakan, dok..” ucap gadis itu.

Jeff menghela nafasnya pelan, ia melempar botol yang di beri paramedis tadi sembarangan. “lakukan analisis urine dan tes lab, lalu ukur kadar kreatininanya, segera siapkan irigasi!!!”

“Baik, dok.”

Setelah memerintahkan perawat tadi, Jeff kembali menginterogasi paramedis yang membawa pasien tadi.

“Berapa banyak oksigen yang kamu kasih tadi?”

“dia kesulitan bernafas. Jadi, saya memberikan 0,9 Fi02 melalui kantong reservoir dengan aliran oksigen sepuluh liter per menit selama sekitar 12 menit menuju perjalanan ke rumah sakit,” jelas paramedis tersebut.

Rahang Jeff semakin mengeras, ia kecewa dengan kinerja paramedis yang lalai. Mereka memberikan oksigen sebanyak itu untuk pasien yang menelan racun paraquat atau bahan kimia beracun yang banyak digunakan sebagai herbisida (pembunuh tanaman), terutama untuk pengendalian gulma dan rumput, biasa di sebut juga dengan pestisida.

Perawat yang Jeff perintah tadi memberikan hasil urine pasien pada Jeff dan itu menambah kemarahannya pada paramedis.

“Kamu gila?!” sentak Jeff. “kadar konsetrasi urine nya sangat tinggi, hal ini bisa terjadi kalau mengkonsumsi paraquat, organnya mulai berhenti berfungsi.” jelasnya.

“Ma..maksudnya dia menelan paraquat?”

“Ceroboh!! Kamu gak cek dulu apa itu cairannya!!” matanya membulat, sungguh sore itu rumah sakit menjadi kacau. Perawat yang berjaga juga enggak nyangka Yuno yang mereka kenal sangat ramah akan memaki paramedis seperti ini.

“kadar kreatininanya 5,5 dan P02nya 67. Dia mengkonsumsi 60cc larutan itu, itu lima kali dosis mematikan. Gejalanya memang langsung muntah, tapi saat menghirup oksigen fibrosis paru pun dimulai dan orang akan kesulitan bernafas. Selain itu, dia di beri oksigen tingkat tinggi dalam perjalanan ke rumah sakit, oksigen ini proses tercepat perusakan paru-parunya!” jelas Jeff.

“Dokter Yuno, saturasi oksigen pasien menurun,” ucap salah satu perawat pada Jeff. Hal itu juga yang membuat atensi Jeff berpindah dari paramedis ke pasien.

Jeff periksa kondisi pasien tadi, bibirnya membiru dan tubuhnya mulai dingin. Bahkan gadis itu terlihat benar-benar kesulitan bernafas.

“Dok, cepat kasih respirator!!” ucap perawat yang lain.

“Gak!! Jangan ngaco kamu, makin banyak dia dapat oksigen makin cepat paru-paru nya memburuk. Sus, berikan dia bikarbonat untuk melawan asidosis.”

Namun sayangnya detak jantung pasien berhenti, Jeff dengan cepat melakukan CPR dan syukurnya detak jantung pasien kembali normal. Namun belum ada beberapa menit detak jantungnya menghilang kembali, pasien kembali mengalami gagal jantung. Membuat Jeff dan perawat di sana bergerak semakin cepat untuk menyiapkan

“Kasih dia epinefrina!!” teriak Jeff. Ia kemudian beralih mengambil AED untuk melakukan kejut jantung pada pasien.

“Isi sampai 150 joule!!” pekik Jeff. Ia kemudian melakukan kejut jantung pada gadis tadi, namun sayangnya tidak terjadi reaksi apa-apa. “200 joule!!”

Sore itu Jeff harus kehilangan pasiennya, gadis itu meninggal. Kondisinya parah karena telah mendapatkan oksigen dengan jumlah banyak saat perjalanan ke rumah sakit tadi.

“Nona Aulia meninggal pada pukul 17.47,” ucap Jeff.

Setelah kekacauan di UGD tadi, malamnya Jeff istirahat. Dia enggak kemana-mana, hanya di taman rumah sakit saja. Meminum kopi sembari membaca isi pesan singkat Yuno dengan Ara Istrinya. Jika itu Yuno, biasanya ia akan istirahat bersama dokter yang sedang berjaga juga. Sembari sesekali menelfon Istrinya, memastikan jika Ara baik-baik saja di rumah.

“Masih belum selesai shift nya yah? Saya pikir Dokter Jeff udah pulang,” ucap seseorang. Membuat Jeff menoleh ke arah suara itu dan menemukan Shanin tersenyum ke arahnya dan duduk di sebelahnya.

“Shanin? Kamu kok disini?” tanya Jeff.

“Saya tadi ke sini bareng sama petugas emergency tadi.”

Jeff menyipitkan matanya, “kamu keluarganya Nona Aulia?”

nope” Shanin menggeleng, “saya cuma tetangganya, kebetulan Aulia itu emang nunjukin gelagat aneh sejak pagi. Terus waktu saya lewat depan rumahnya, pintu rumahnya kebuka dan dia udah tergeletak pingsan di ruang tamu. Jadinya saya cepat-cepat telfon EMS buat minta pertolongan,” jelas Shanin.

Jeff mengangguk, dia pikir Shanin adalah keluarga pasiennya. “Saya pikir kamu keluarganya,” Jeff terkekeh.

“Tapi sayang banget, paramedis nya ceroboh. Mereka enggak meriksa apa cairan yang di telan sama pasien.”

Shanin hanya bisa mengangguk, dia tadi sempat membeli roti dari cafetaria yang ada di rumah sakit. Karena Shanin adalah pelapor pertama, Shanin masih harus menunggu sampai kelurga Aulia datang menjemput jasadnya. Aulia tinggal sendiri di rumahnya, kedua orang tua nya bercerai dan ia memutuskan untuk tinggal sendirian.

“Buat dokter,” Shanin memberikan kantung berisi roti yang tadi ia beli.

“Saya udah makan.”

“Simpan aja buat di rumah, terima kasih karena udah berusaha nolong Aulia tadi.”

Jeff memperhatikan kantung berisi roti dengan berbagai macam rasa itu tanpa berniat mengambilnya, karena Jeff hanya diam. Shanin akhirnya menarik tangan Jeff dan memberikan kantung itu pada genggaman tangannya.

“kalau gitu saya pulang dulu, semangat jaganya, dok.” ucap Shanin sebelum perempuan itu pergi dari sana.

Setelah sepeninggalan Shanin, Jeff memperhatikan roti itu. Dari 4 roti yang Shanin berikan, ada 2 varian roti yang menjadi kesukaan Jeff. Itu adalah rasa tuna dan coklat kacang, Ia mengambil roti itu dan memakannya.

Jeff pernah memakan roti dengan isi tuna ini, rasanya hampir mirip seperti yang ia makan dulu di Jerman. Tidak lama kemudian ponsel milik Yuno itu menyala, menampakan notifikasi dari Gita di sana. Jeff tersenyum, sudah 4 tahun ini Jeff enggak bicara sama Gita. Apa kabarnya wanita itu? Pikir Jeff.

To Be Continue

“Dan, harimau itu akhirnya gak sendirian lagi tinggal di dalam hutan, ada tupai, singa dan burung yang baik hati menjadi temannya..”

Ini sudah jam 9 malam, seperti yang biasa Ara lakukan. Jika Yuno belum pulang dari rumah sakit, Ara memang yang akan menggantikan Yuno untuk membacakan dongeng untuk Hana. Hana itu enggak pernah absen buat mendengarkan dongeng dari kedua orang tua nya.

Biasanya kalau Yuno sudah pulang atau ketika sedang libur bekerja, yang akan mendongengkan Hana itu Yuno. Ketimbang Ara, Yuno lebih pandai dalam membacakan dongeng. Bahkan saking pintar pembawaannya dalam membacakan dongeng anak-anak, terkadang Hana suka di minta bacakan dongeng lebih dari 1 buku. Tapi karena malam itu Jeff belum pulang, akhirnya Ara lah yang membacakan dongengnya.

Wanita itu menutup buku dongengnya, menyimpannya di meja samping ranjang Hana berada. Ia pikir Hana sudah tidur, tapi ternyata anaknya itu belum tidur. Hana masih melamun, seperti sedang memikirkan sesuatu.

“Sayang? Kok belum tidur hm? Ibu niruin suara hewannya gak bagus yah?” Ara mengusap kening anaknya itu.

“Ibu?”

“Kenapa, Kak?”

Bocah itu berbalik, melihat wajah lelah Ibunya itu dan memeluknya. Malam itu suasana hati Ara memang sedang tidak baik-baik saja, malam ini juga Ara berencana untuk tidur bersama Hana. Dia masih belum siap menghadapi Jeff, bayangan ketika Jeff membentaknya itu masih teringat di kepalanya. Meski itu Jeff, tapi tetap saja tubuh itu milik Yuno. Dan kepala Ara selalu membayangkan jika Yuno lah yang sedang membentaknya.

“Ibu bacain dongengnya enggak sebagus Papa yah?” tanya Ara, ia memainkan rambut panjang milik Hana.

“Papa akhir-akhir ini sibuk sekali yah, Bu?” Hana mendongakkan kepalanya, matanya berkedip memandang wajah Ibu nya. Saat ini, jika Ara merindukan Yuno hanya Hana lah yang bisa ia peluk erat-erat.

“Mungkin, di rumah sakit pasien nya Papa banyak sayang?” Ara menaikan satu alisnya. “Selain itu, kan sekarang Papa sekolah lagi. Biar jadi dokter yang hebat.”

Hana menghela nafasnya pelan, entah apa yang anak itu pikirkan. Tapi Ara selalu tahu jika setiap anak selalu menangkap vibrasi dari kedua orang tua nya, dengan kata lain. Apa yang tengah terjadi pada kedua orang tua nya Hana juga bisa ikut merasakannya.

“Kakak kangen Papa yah?”

Hana mengangguk, “Hana berharap, kalau Papa libur nanti. Papa bisa di rumah sama Hana, Hana janji enggak akan minta berenang lagi. Hana maunya Papa di rumah aja, nonton TV sama Hana dan Ibu.”

Ara meringis, andai ada hal yang bisa Ara lakukan untuk membuat Yuno kembali. Ara pasti akan melakukanya sekarang ini, kadang ketika Jeff sedang mengambil alih Yuno seperti ini. Ara memikirkan apa yang tengah Yuno lakukan saat ini, setelah memastikan Hana tidur. Ara mencoba menghubungi Jeff, seharusnya laki-laki itu sudah pulang tapi nyatanya ini sudah hampir jam 3 pagi dan Jeff belum pulang juga.

Beberapa kali Ara keluar dari kamar Hana untuk melihat ke depan rumah mereka, memastikan mobil milik Suaminya itu sudah terparkir di halaman rumah. Tapi nyatanya Jeff belum pulang juga, Ara ingin menghubungi rekan sesama dokternya Yuno. Tapi ini masih subuh, Ara takut menganggu mereka apalagi Ara enggak tahu siapa saja yang satu shift dengan Yuno.

Karena tubuhnya juga sudah sedikit lelah, Ara akhirnya masuk ke kamar Hana. Memperhatikan putri kecilnya itu tidur, matanya yang terpejam itu benar-benar mirip sekali dengan Yuno jika sedang tidur. Membuat Ara semakin merindukan Yuno.

Tanpa Ara sadari air matanya kembali jatuh ke atas pipinya, ia benar-benar merindukan Yuno. Setiap hari saat Jeff mengambil alih Yuno adalah, Ara yang selalu bertanya-tanya kapan Yuno akan kembali. Apa yang harus ia lakukan untuk membuat Suaminya itu kembali, dan apakah ia bisa bertahan sampai Yuno kembali? Pikirnya.

Gerakan kecil di atas permukaan perutnya itu semakin membuat hatinya hancur, kenyataan bahwa bukan hanya dirinya saja yang merindukan Yuno. Tapi ada sosok kecil di dalamnya yang juga merindukan Ayahnya.

“Nathan kangen Papa yah?” Ara mengusap perutnya, Nathan juga mungkin sama lelahnya dengan Ara. Seharian ini Ara memang kurang istirahat dan malamnya ia malah tidak bisa tidur karena Jeff kemungkinan enggak pulang ke rumah.

“Kita bobo yah? Maaf yah, Ibu ajak Nathan jalan terus.”

Ara berusaha menenangkan dirinya, ia harus istirahat. Dia enggak boleh egois memikirkan perasaanya sendiri yang sedang carut marut, Ara enggak mau membahayakan Nathan. Di jam 4 pagi hari itu, Ara mencoba untuk tidur. Ia memeluk Hana di ranjangnya. Memejamkan matanya, berharap ketika ia bangun nanti yang ia jumpai adalah Yuno Suaminya alih-alih Jeff.


Sementara itu, Jeff yang enggak pulang ke rumah memilih mengitari kota hingga berakhir di sebuah laut yang ada di pinggiran kota malam itu. Jeff ingin menenangkan dirinya setelah gagal menyelamatkan pasiennya, meski terlihat tegar dan tampak kasar di luar. Jeff juga masih memiliki perasaan, ia pernah merasakan gagal. Seperti yang di alaminya kali ini.

Jeff tahu itu bukan kesalahannya, andai ada cara untuk menyelamatkan pasiennya tadi. Mungkin Jeff akan melakukan cara itu, di pinggir laut Jeff memejamkan matanya. Merasakan sapuan angin laut yang sedikit kencang itu menyapu wajahnya.

Hisapan demi hisapan rokok yang ia beli di minimarket tadi sudah hampir tandas 1 bungkus, menurut Jeff. Ini adalah pelampiasan terbaik dari pada dia harus mencari keributan demi melampiaskan emosinya.

Pada hisapan rokok terakhir, Jeff membuang putung rokok itu sembarangan. Ia kembali memeriksa ponsel Yuno, melihat satu persatu foto yang ada di galeri ponselnya. 4 tahun belakangan ini, sejak terakhir kali Jeff mengambil alih laki-laki itu. Jeff baru tahu kalau selama ini Yuno hidup bahagia dengan keluarga kecilnya.

Di foto itu, ada foto pernikahan Yuno dan Ara yang di langsungkan secara sederhana. Sangat sederhana untuk ukuran anak orang kaya dan putra satu-satunya, Yuno dan Ara hanya melangsungkan akad nikah di sebuah mesjid. Kemudian mengadakan resepsi di garden party yang hanya di hadiri kerabat dekat Yuno dan Ara.

Bahkan Jeff berpikir tidak ada satu pun kolega Papa Yuno di sana. Benar-benar hanya keluarga dan teman-teman dekat yang datang, pada slide selanjutnya, Jeff melihat foto hasil USG 4 tahun yang lalu. Itu foto USG waktu Ara mengandung Hana.

Jeff bisa tahu Yuno dan Ara menikah akhirnya karena Yuno yang menulisnya sendiri, Yuno dan Jeff itu punya 1 buku yang menghubungkan mereka. Jika Jeff yang sedang mengambil alih, kejadian apapun yang terjadi selama ia berada di tubuh Yuno. Jeff akan menuliskannya di sana, begitu juga dengan Yuno. Karena Jeff dan Yuno enggak bisa mengingat kejadian apa yang mereka alami jika salah satunya sedang memegang kendali.

Seperti yang banyak terjadi pada orang-orang yang memiliki kepribadian ganda, Yuno juga sering lupa. Makanya Yuno sering mencatat hal-hal penting atau pun remeh.

slide selanjutnya adalah foto Ara dan Hana yang berada di sebuah aquarium besar, Yuno yang memotretnya secara candid keduanya membelakangi kamera, melihat ke arah ikan yang kebetulan sedang berada di depan mereka.

Jeff tersenyum, bukan senyum tulus. Melainkan senyum miris. Jeff iri, Yuno selama ini mendapatkan cinta dari Istri dan anaknya. Jeff juga ingin merasakan apa yang Yuno rasakan.

“Pantesan selama ini lo enggak biarin gue muncul, dasar bego!” gumam Jeff.

Kemarin, Jeff muncul karena Yuno merasa benar-benar marah. Yuno tahu soal rekan kerjanya yang tidak menyukainya di belakang, Yuno tahu selama ini orang-orang melabelinya seperti apa. Selain itu, Yuno juga harus di hadapkan dengan beratnya studi yang tengah ia jalani. Serta dorongan dari Papa nya kalau suatu hari nanti Yuno yang harus menggantikan posisinya untuk memimpin rumah sakit.

Saat itu lah Jeff muncul, Jeff yang akan mewakilkan Yuno untuk semua amarahnya. Setelah menyesap 1 kaleng kopi yang ia beli, Jeff pergi meninggalkan tempat itu. Ini sudah pagi, dan dia harus segera pergi untuk menemui Gita. Wanita itu bilang, ada yang ingin ia bicarakan dengannya, ah. Bukan dengannya, dengan Yuno lebih tepatnya.

Saat Jeff sedang perjalanan menuju tempatnya dan Gita bertemu, Ara kembali lagi meneleponnya. Sudah terhitung 20 panggilan tidak terjawab dan pesan singkat yang Jeff enggan membacanya.

Jeff tahu yang Ara khawatirkan hanya Yuno suaminya, bukan Jeff. Wanita itu hanya mencintai Yuno, bukan dirinya. Sampai kapanpun Ara akan tetap sama. Tidak akan pernah bisa menerima dirinya. Jeff sudah terbiasa dengan penolakan, toh selama ini yang benar-benar bisa menerima dirinya hanya Gita saja.

Ini juga yang menjadi alasan Jeff enggak mau pura-pura jadi Yuno lagi, waktu berkenalan dengan Shanin dan Vera. Jeff mengenalkan dirinya sebagai Jeff, bukan sebagai Yuno. Ia mau ada orang lain yang mengenal dirinya juga. Ia mau di lihat sebagai Jeff, alih-alih Yuno.

Tidak membutuhkan waktu lama bagi Jeff untuk menemukan Gita, saat ia membuka pintu cafe itu. Matanya langsung menemukan Gita yang sedang menikmati minuman yang ia pesan di pojok cafe. Jeff langsung menghampiri wanita yang kini tampak lebih keibuan itu.

Tok tok

Jeff mengetuk meja tempat Gita duduk di sana, wanita itu langsung mendongak, tersenyum pada Jeff dan bangun dari kursinya untuk beringsut memeluk Jeff.

“Ini serius lo, Jeff?” ucap Gita. Gita masih enggak menyangka kalau ia bisa bertemu dengan Jeff lagi.

Jika itu Yuno, Yuno pasti akan melepaskan pelukannya. Tapi ini Jeff, jadi ia peluk juga tubuh mungil itu dan menarik ujung rambut panjangnya hingga Gita sedikit mengaduh.

“Kok elu masih ngeselin aja sih?” pekik Gita, enggak terima rambutnya di tarik seperti itu. Jeff enggak tahu aja, seberapa besar upaya Gita untuk menata rambutnya itu.

Keduanya duduk, Jeff enggak perlu repot-repot memesan minuman. Gita sudah memesankan minuman kesukaan Jeff,

“Gue pikir lo sama si bajingan itu,” ucap Jeff.

Yang di maksud Jeff itu adalah Arial, sebelum Gita dan Arial menikah. Sempat ada kejadian yang membuat Jeff kecewa dengan Arial dan membenci laki-laki itu. Tapi ketika Gita memutuskan untuk menikah dengan Arial karena Gita mencintainya, Jeff juga enggak bisa melarangnya. Gita terlihat sangat bahagia dengan Arial, dan laki-laki itu juga berjanji akan menjaga Gita.

“Suami gue tuh namanya Arial, Jeff. Dia udah enggak brengsek kok, Arial udah jadi Suami dan Ayah yang baik.”

“Bagus deh kalo begitu, awas aja dia jadi bajingan lagi.”

Gita terkekeh, ia memperhatikan wajah Kakak sepupunya itu. “Lo sejak kapan disini, Jeff? Kok gak ngabarin gue?”

Gita sudah tahu sejak kapan Jeff mengambil alih Yuno. Tapi Gita juga ingin tahu dari Jeff, Gita ingin Jeff menceritakan apa yang sedang terjadi pada Yuno sampai ia bisa datang untuk menggantikannya.

“Udah mau 5 hari ini, kenapa?” Jeff menaikan satu alisnya.

“Gapapa, gue seneng bisa ketemu lo lagi,” Gita tersenyum. “Udah ketemu Ara dan Hana?”

Jeff menghela nafasnya pelan, ia menyandarkan punggungnya di kursi sembari menatap keluar cafe. Seperti mengisi kekosongan di hatinya melihat jalanan pagi itu yang cukup sibuk.

Jeff mengangguk, “kehidupan yang sempurna, pantes aja selama ini si payah itu gak biarin gue muncul.”

“Tapi sekarang Kak Yuno kasih kesempatan itu buat lo kan?”

“Itu karena dia lagi marah. Si bodoh itu malah nyembunyiin marahnya sampe akhirnya gue muncul.” Jeff menegakkan tubuhnya, menatap ke arah Gita dengan pandangan serius.

“Gue yang bakalan beresin semua kekacauan ini.” lanjutnya.

“Apa yang kacau, Jeff? Emang Kak Yuno kenapa?” sebenarnya cukup mudah bagi Gita untuk memancing Jeff cerita, Jeff itu terbuka banget sama Gita. Kadang, jalan pikiran mereka suka sejalan. Mungkin ini juga yang menjadi alasan Gita dan Jeff sangat dekat.

“Orang-orang di rumah sakit itu munafik, Git. Terutama orang-orang di UGD, gak ada yang suka sama Yuno. Semuanya ngeremehin Yuno, gue benci mereka. Gue mau buktiin kalo Yuno enggak yang kaya mereka pikirin.”

Nada bicara Jeff benar-benar serius, ada isyarat kemarahan yang ia gambarkan di sana. Jeff benci orang-orang merendahkan Yuno, dan Yuno yang hanya bisa diam saja tanpa membela dirinya.

“Gue percaya sama lo, Jeff. Lo enggak berencana balas mereka pake emosi kan?”

Gita cuma enggak mau Jeff bersikap kelewatan sampai orang-orang menyadari kalau Yuno memiliki 2 karakter yang berbeda. Gita tahu sejak Yuno resmi menjadi seorang dokter, Yuno dan Jeff membuat perjanjian. Jeff harus tetap berpura-pura menjadi Yuno sampai tugasnya selesai.

Dan Jeff juga setuju, ia berpikir jika ada orang lain yang tahu keberadaan dirinya di tubuh Yuno. Yuno pasti akan di bawa kembali ke psikiater, selain itu. Izin praktik dokter Yuno juga akan di cabut dan kredibilitas nya sebagai dokter akan di pertanyakan.

“Gue berencana buat bikin mereka setidaknya segan sama Yuno sebagai dirinya sendiri, Git. Bukan sebagai anak dari pemilik Harta Wijaya hospital.”

Gita mengangguk, ia lega mendengarnya. Setidaknya Gita gak perlu mengkhawatirkan soal itu, sekarang yang harus Gita pikirkan adalah sikap Jeff ke Ara. Jeff mungkin kasar, tapi Gita tahu laki-laki itu selalu menetapi janji dan ucapannya.

“Ara udah tahu soal ini?”

Jeff terkekeh, “gue pikir lo ngehubungin Yuno karena bini nya ngadu ke lo soal gue yang ambil alih Yuno.”

Gita menggeleng, ia menyembunyikan fakta ini karena Gita enggak ingin Jeff marah. “Ara belum cerita apa-apa sama gue, Jeff.”

Laki-laki itu mengangguk, dan menyesap americano yang Gita pesankan untuknya tadi.

“Dia udah tau kalo ini gue, gue yang kasih tau ke dia kok.”

“Jeff?”

“Apaan?”

“Tolong bersikap baik ke Ara, Kak Yuno itu sayang banget sama dia.”

“Gue tau kok.”

“Pelan-pelan.Ara udah bisa nerima keberadaan lo, Jeff.”

“Belum, Git. Dia gak akan pernah bisa nerima gue. Yang dia khawatirin itu cuma Yuno,” Gita bisa melihat ada sirat kekecewaan di kedua mata Yuno. Itu Jeff yang menunjukkannya.

“Kalau Yuno bisa punya kehidupan yang bahagia, gimana sama gue, Git? Gue juga mau rasain kaya apa yang dia rasain.”

“Jeff..”

“Lo mau bilang juga kalau tubuh ini punya Yuno?”

Gita menggeleng, “maksud gue bukan kaya gitu.”

Jeff mendengus, ia menggelengkan kepalanya pelan. Enggan melihat Gita yang kali ini seperti nampak bingung menghadapinya.

“Terus lo sekarang mau apa? Mau nyari bahagia lo juga?”

“Belum tahu.” Jeff menggedikkan bahunya.

Gita menghela nafasnya pelan, ini lebih rumit dari yang ia bayangkan. “Jeff, gue tau mungkin lo belum bisa nerima Ara di hidup Kak Yuno. Tapi tolong jangan sakitin Ara atau pun Hana, Hana itu sayang banget sama Papa nya Jeff. Lo bisa bayangin gak, gimana kalau ada sikap lo yang bikin dia kecewa sama Papa nya?”

“Gue tau, Git. Hana juga anak gue, lo pikir gue enggak sayang sama dia?”

Gita dan Jeff sempat saling berdiam diri, Jeff memikirkan banyak hal di kepalanya. Begitu pula dengan Gita, dia pikir bicara dengan Jeff kali ini akan sama. Ternyata jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan, Jeff mengimpikan kehidupan sendiri seperti yang Yuno miliki.

“Gue suka sama seseorang, Git.” ucap Jeff, ucapan itu berhasil membuat kedua mata Gita membulat.

apa dia bilang?

“Jeff.. come on,

“Udah gue duga reaksi lo bakalan kaya gitu,” Jeff mendengus.

Setelah enggak pulang ke rumah sejak kemarin, hari ini akhirnya Jeff kembali ke rumah. Setelah bertemu Gita kemarin, Jeff langsung pergi ke kampus. ada mata kuliah yang harus ia ikuti. Setelah itu, sore nya ia langsung bergegas ke rumah sakit.

Dan pagi ini, Jeff baru sempat pulang. Tubuhnya benar-benar lelah. Jeff hanya bisa tidur kurang dari 2 jam dengan jadwal yang se padat itu, rencananya setelah mandi Jeff ingin istirahat. Namun baru saja keluar dari kamar mandi, Jeff justru melihat Ara duduk di depan meja belajar sembari membaca isi pesan Jeff dan juga Shanin.

Dengan langkah besar-besar yang ia ambil, Jeff merebut ponsel Yuno dari tangan Ara. Membuat wanita itu menoleh ke arahnya, wajahnya sedikit pucat. Namun raut kekecewaan di wajahnya tergambar dengan sangat jelas.

“Kamu ngajak perempuan lain buat nonton konser Jeff?” tanya Ara, dia berdiri dan mendekat ke arah Jeff.

“Lancang yah lo baca-baca isi pesan orang lain? Gue kan udah bilang berapa kali kalau gue bukan Yuno!” ucap Jeff tegas.

Jeff memang sempat mengirimi Shanin pesan, Jeff enggak sengaja lihat status Shanin soal tiket konser penyanyi kesukaan Jeff. Kebetulan selera musik Jeff dan Shanin sama, dari situ mereka banyak bicara soal band, musik dan beberapa penyanyi dunia favorite keduanya.

Shanin memang akan menonton konser band indie, dan kebetulan Jeff sempat kepikiran untuk menghadiri konser itu juga. Sayangnya Jeff enggak kebagian tiket, alhasil Shanin menawarkan bantuan padanya, Shanin bilang dia akan mengusahakan tiket konser itu untuk Jeff. Kira-kira seperti itu isi pesannya.

“Aku tau kamu bukan Mas Yuno, Jeff. Tapi dengan kamu ngajak perempuan lain jalan. Dia bisa salah paham sama semuanya,” jelas Ara.

Jeff menyeringai, rasanya kenapa semua orang hanya memikirkan perasaan Yuno. “Yuno punya kehidupan sendiri, dia bahagia sama hidupnya. Kenapa gue enggak boleh lakuin hal yang sama?”

“Karna kamu cuma gantiin Mas Yuno, Jeff. Kamu enggak selamanya disini, kamu mikir gak gimana dia nanti kalau kamu pergi? Dia bakalan bingung, Jeff. Dia bakalan nyangka Mas Yuno itu adalah kamu!!” Ara sudah lelah, kesabarannya semakin menipis menghadapi Jeff. Dia gak sengaja meninggikan suaranya, membuat emosi Jeff juga ikut ke sulut.

“kalo gitu, gue bakalan disini selamanya!! Gue pastiin Yuno gak akan pernah kembali!!” teriak Jeff.

Ara hanya diam, dia berusaha mengatur nafasnya. Di sebelah kamarnya dan Yuno itu kamar Hana, dia gak mau Hana dengar pertengkarannya dengan Jeff. Kali ini Ara mengalah, dia duduk di pinggir ranjang sembari menenangkan hatinya. Jujur saja, kepalanya sedikit berdenyut nyeri. Namun ketika Jeff ingin keluar dari kamar mereka, Ara menghalangi jalannya cowok itu membawa tas. Seperti Jeff hendak pergi meninggalkannya lagi.

“Kamu mau kemana?” Ara cuma khawatir apa yang akan Jeff lakukan, pasalnya dia belum tidur sama sekali. Ara takut Jeff atau pun Yuno sakit.

“Minggir!”

Kali ini Ara memberanikan dirinya, air mata yang sedari tadi ia tahan sudah membanjiri pipinya. Kedua tangannya ia taruh di bahu Jeff, Ara ingin mencoba bicara dengan Jeff dari hati ke hati.

“Jangan pergi, jangan tinggalin aku, Jeff..” Suara parau itu lebih terdengar seperti sebuah permohonan alih-alih permintaan.

Ara pikir Jeff akan berontak, atau akan menghempaskan tangannya dengan kasar lagi. Tapi justru di luar dugaannya, laki-laki itu diam mematung memperhatikan Ara yang menangis di depannya dengan kedua tangan yang masih berada turun berpindah ke lengannya saat ini.

“Kamu belum istirahat sama sekali.. Aku gak mau kamu atau pun Mas Yuno sakit..”

Jeff merasakan ada yang aneh dalam dirinya, suara lirih yang berasal dari bibir Ara itu mampu membuat hatinya perih. Ada sebagian dari dalam dirinya yang ikut merasakan sedih melihat wanita itu menangis, pertahannya seperti akan runtuh Jeff merasa ini sedikit menyiksanya.

Apalagi saat kedua mata sayu itu menatapnya, Ara tersenyum samar. Kemudian tangan kanannya berpindah membelai wajah Jeff penuh kasih sayang, Jeff enggak pernah merasa di sentuh seperti itu oleh orang lain.

“Aku gak akan larang kamu buat bahagia, aku menerima kamu Jeff. Aku juga sayang sama kamu, jangan pergi yah. Hana butuh Ayahnya.”

Setelah mengatakan itu, Ara berusaha untuk jalan sembari memegangi benda di sekitarnya untuk duduk di ranjang mereka. Keseimbanganya agak sedikit terganggu karena kepalanya yang nyeri, Jeff masih mematung, ia masih bingung dengan dirinya sendiri. Namun saat melihat Ara terduduk di ranjang sembari memegangi kepalanya, Jeff buru-buru menghampiri wanita itu.

Wajah Ara pucat, tangannya dingin saat Jeff menyentuhnya, Keringat juga membasahi keningnya hingga membuat Jeff khawatir bukan main.

“Ra? Badan lo dingin banget,” ucap Jeff.

Ara hanya menggeleng pelan, “aku gapapa..” wanita itu menepuk ranjang di sebelahnya. “Istirahat, Jeff..”

“Gapapa gimana?! Ini dingin banget..”

Jeff yang tadi nya luluh jadi sedikit agak kesal karena Ara menganggap remeh apa yang ia rasakan saat ini, dengan sigap ia mengambil beberapa peralatan untuk memeriksa Ara. Jeff enggak mau Ara dan bayi nya kenapa-kenapa, dari sini Jeff berpikir. Jika ini mungkin hanya instingnya sebagai seorang dokter bukan benar-benar perduli dengan Ara.

“Tiduran, gue periksa dulu,” perintah Jeff.

“Ga Usah, Jeff. Aku cuma—”

“Tiduran atau gue pergi dan gak akan pernah pulang!”

Ara hanya mengangguk, ia membaringkan dirinya. Membiarkan Jeff melakukan tugasnya sebagai seorang dokter.

“Tekanan darah lo tinggi, makan apa sih? Lo makan sembarangan yah?” ucap Jeff setelah memeriksa keadaan Ara.

Ara hanya diam, ia memejamkan matanya untuk menahan rasa sakit di kepalanya. Ia sudah enggak sanggup meladeni ucapan Jeff, selama hamil, Ara itu selalu menjaga pola makannya. Yuno juga selalu mengingatkan soal makanan apa saja yang boleh ia makan dan tidak. Kondisi tubuhnya menurun karena Ara terlalu banyak pikiran, selain itu. Ia juga kurang istirahat.

“Tolong temenin Hana dulu yah dia kangen banget sama kamu, aku mau tidur sebentar, boleh?”

Jeff hanya mengangguk, ia menaruh kembali ponsel milik Yuno. Kemudian beringsut menyelimuti tubuh Ara. Setelah memastikan Ara benar-benar tidur, Jeff keluar dari kamar mereka untuk memeriksa Hana di kamarnya.

Ternyata Hana enggak ada di kamarnya, akhirnya Jeff turun ke lantai 1 dan mendapati bocah itu sedang menonton TV di ruang tengah. Jadi Jeff berinisiatif untuk menghampiri Hana, seharian ini dia belum mengajak anak itu bicara.

Hana enggak nonton TV sendirian, di sana ada Mbak Ulfa yang menemani Hana. Tapi begitu wanita itu melihat Jeff, Jeff langsung memberikan isyarat pada pengasuh Hana itu untuk meninggalkannya dan Hana berdua.

princess nya Papa...” Jeff duduk di sebelah Hana, mengusap pucuk kepala bocah itu hingga Hana menoleh ke arahnya.

“Kok gak jawab sapaan Papa sayang, um? Kenapa?”

Hana hanya menggeleng, ia menjauhkan jarak duduknya dengan Jeff dan kembali menonton TV yang sedang menayangkan kartun anak-anak.

“Hana marah sama Papa yah?”

Jeff baru sadar kalau wajah Hana terlihat murung, enggak seperti biasanya saat bocah itu melihatnya. Di pelupuk matanya, ada bekas sisa-sisa air mata. Setahu Jeff, Hana enggak menangis, bahkan kalau Hana menangis suara tangisannya juga tidak terdengar. Jeff mencoba bicara lagi pada Hana, ia mendekat ke arah anak itu meski Hana menjauh kembali darinya.

“Hana, do you want to tell me why you are so quit today?

Alih-alih menjawab, Hana justru menggeleng kepalanya. Perhatiannya sudah tidak lagi pada TV yang masih menayangkan kartun anak-anak, tapi kali ini perhatian Hana teralihkan pada boneka Teddy Bear yang ia pangku sedari tadi.

“Um.. Biar papa tebak, Are you upset about something? Do you want to tell me something?

Kali ini Jeff berhasil mengalihkan perhatian Hana, anak itu melihat ke arah nya dengan sorot mata yang sangat sendu. Membuat Jeff meringis dalam hati, apa ada sesuatu yang Hana rasakan yang tidak Jeff ketahui?

“Papa?”

“Ya, sayang?”

“Kenapa Papa enggak pulang ke rumah kemarin?”

Jeff tersenyum, ternyata Hana hanya mencarinya. Jeff akui jika ia memang kurang memperhatikan Hana akhir-akhir ini. Anak itu hanya merindukannya, dan itu cukup membuat Jeff merasa bersalah.

“Maaf yah, Papa kemarin-kemarin sibuk. Ada banyak pasien di rumah sakit yang harus Papa sembuhin.” Jeff mendekat ke Hana, ia mencoba memangku anak itu dan memeluknya.

“Ibu udah cerita ke Hana belum kalau Papa sekolah lagi? Sama kaya Hana.”

Hana mengangguk, ia memperhatikan ibu jari Jeff yang sedang mengusap-usap punggung tangannya.

“maaf yah, maaf kalau Papa jadi jarang ada di rumah.” Hana masih diam, anak itu menunduk. Hana enggan melihat ke arah Jeff lagi.

“Um, You know what? I have a mission for you, Hana. The mission is that should take care of Ibu. kan Hana udah besar, udah bisa jaga Ibu dan Adik bayi selama Papa enggak ada di rumah. Bisa sayang?”

Hana mengangguk, ia baru mau menoleh ke arah Jeff. Meski masih dengan sorot mata yang sendu, tapi setidaknya Jeff tahu apa yang Hana rasakan saat ini.

“Kemarin, Hana nungguin Papa pulang sama Ibu sampai Hana ketiduran. Tapi Ibu masih nungguin Papa, waktu Hana bobo. Hana dengar suara Ibu nangis, Ibu bilang kalau Ibu kangen sama Papa dan mau Papa kembali. Memangnya Ibu sama Papa berantem lagi yah?”

Jeff menggeleng, Hana masih mengira ia dan Ara berantem. Meski itu kenyataanya, Jeff enggak ingin membuat anak itu kepikiran. Belum saatnya Hana mengetahui apa yang terjadi pada ia dan Ara. Bahkan untuk seukuran orang dewasa pun, situasi seperti ini masih sulit untuk di mengerti dan di terima.

no, sayang. Ibu sama Papa enggak berantem. Mungkin, Ibu cuma kangen aja sama Papa. Kan akhir-akhir ini Papa sibuk, sama kaya apa yang Hana rasain. Ibu juga kangen sama Papa.” Alibi Jeff.

“Papa jangan pergi lama-lama lagi yah, pulang ke rumah juga. Hana janji gak akan minta jalan-jalan lagi, tapi Papa di sini aja sama Hana dan Ibu..”

Sungguh, hati Jeff rasanya sakit mendengar permintaan sederhana dari bibir mungil Hana. Anak itu benar-benar merindukan Papa nya, meski enggak bisa di pungkiri jika Jeff juga cemburu dengan kehidupan Yuno yang begitu di cintai keluarganya.

To Be Continue