Dunia Kami 01
Pagi itu kediaman Yuno dan Ara tidak di sibukkan dengan rutinitas seperti biasanya, jika pagi hari biasanya Yuno akan menemani Hana untuk sarapan kemudian mengantar anak itu ke sekolahnya. Atau Yuno yang bersiap untuk segera praktiknya dan bergegas mengantar sang Istri ke rumah sakit untuk praktik, minggu ini ketiganya di sibukkan dengan menata barang dan menghias kamar yang akan di isi kelak oleh anak kedua mereka.
1 minggu yang lalu, Yuno dan Ara sibuk berbelanja perlengkapan bayi. Mulai dari ranjang kayu yang belum di rakit, baju bayi, hiasan dinding, lemari dan berserta kelengkapan lainya. Sepasang suami istri yang sudah menikah 4 tahun itu nampak excited menyambut kelahiran putra mereka.
Yup, anak Yuno dan Ara berjenis kelamin laki-laki. Ara sudah hamil sekitar 26 minggu, begitu mengetahui jenis kelamin bayi mereka. Keduanya langsung bergegas membeli perlengkapan bayi. Ada banyak hadiah juga dari kedua orang tua mereka, terutama dari keluarga Yuno. Waktu mengetahui Ara mengandung cucu laki-laki, Papa senang bukan main. Tak jarang Papa mengirim snack dan buah-buahan hanya untuk Ara.
“Papa baca dulu intruksinya yah, Hana bantuin Ibu lipatin baju Adik bayi dulu gih,” ucap Yuno pada putri sulungnya itu.
Namanya Hana, Ayura Hana Putri Wijaya. Usianya 4 tahun. Yuno dan Ara menikah di awal tahun 2021 saat Yuno berusia 23 dan Ara 22, waktu itu Yuno menyempatkan pulang ke Jakarta di tengah kesibukanya bersiap untuk coas. mereka hanya menikah saja, tanpa perayaan apapun. Setelah itu, sebulan kemudian Yuno kembali ke Jerman untuk coas nya. Sementara Ara di sibukan untuk melanjutkan kuliah psikologi nya.
Waktu itu Ara memberi kabar jika ia hamil, Yuno senang bukan main. Bahkan ia semangat untuk menjalankan coas nya yang waktu itu cukup berat. Namun disisi lain Yuno sedikit merasa bersalah karena Ara justru lebih banyak di jaga oleh kedua orang tua mereka dan terkadang Gita dan Arial.
Makanya saat di kehamilan kedua ini, Yuno mau menebus semua itu. Dia mau selalu ada untuk Ara di setiap apapun yang wanita itu butuhkan. Yuno ingin menjadi yang pertama, mendengar Ara merajuk, mengadu dan meminta banyak hal dengan alasan ngidam. Tapi sayangnya sejak semester awal kehamilan Ara enggak pernah meminta apa-apa darinya.
“Pinter Kakak yah.” Ara tersenyum, Hana dengan mudah di ajari cara melipat baju bayi. Anak itu pintar, dewasa dan sangat cantik. Hana lebih dominan ke Yuno dari pada dirinya, apalagi lesung pipinya. Sangat menggambarkan jika dirinya anak Aryuno sekali.
“Gampang soalnya, Buk.”
“Habis ini Kakak bantu Ibu pegangin kertas wallpaper nya yah. Kita pasang wallpaper gambar Winnie The Pooh nya yang pilihan Kakak itu loh.”
Hana mengangguk, anak itu semangat sekali malah lebih semangat dari pada kedua orang tua nya.
“Biar aku aja nanti yang pasang, sayang. Nanti Ibu sama Hana kecapekan gimana?” samber Yuno, ia masih sibuk merakit ranjang bayi itu yang sepertinya masih salah susunannya. Jadi beberapa kali Yuno kembali membongkarnya lagi.
“Gapapa, Mas. Aku bisa kok, waktu bikin kamar Hana dulu juga aku—”
“Sayang... Sekarang kan ada aku,” Yuno cemberut, gemas sekali sungguh. Ara jadi terkekeh dan tanpa sadar mengangguk.
“Ya udah, ya udah. Habis ini Ibu sama Hana mau nyusun-nyusun perlengkapan mandinya aja.”
Mendengar ucapan itu Yuno langsung mengambil alih pekerjaan yang tadinya mau di kerjakan istrinya itu, sepertinya merakit ranjang bayi terlalu sulit baginya.
“Loh, ranjang bayi nya, Mas?” tanya Ara. Yuno malah memasukan kembali kayu-kayu itu ke dalam tempatnya lagi.
“Belum selesai itu, sayang. Nanti aja deh nunggu aku libur lagi, susah banget. aku pikir gampang kalau liat instruksinya.”
“Makanya tadi kan aku suruh beli yang udah jadi aja, Mas. Gitu tuh kalau gak mau dengerin omongan Istri.”
“Aku tuh mau ngerakit sendiri, biar di setiap rakitannya Nathan bisa ngerasain ada cinta dari Papa nya. Jadi bobo nya makin nyaman deh,” ucap Yuno. Dia jujur kok, Yuno gak mau kehilangan banyak momen lagi seperti dulu Hana lahir.
Ara yang mendengar itu hanya tertawa saja, ia kembali menyusun perlengkapan bayi bersama dengan Hana. Saat hampir rampung, ia keluar dari kamar itu untuk membuat cemilan. Di dapur ternyata ada Budhe Ani yang masih sibuk memasak, Budhe Ani ini adalah Budhe yang bekerja di rumah Yuno dan Ara.
Beliau sudah berusia 50 tahun, sudah bekerja sejak Yuno dan Ara menempati rumah baru mereka. Sekitar 2 tahun yang lalu, Budhe Ani gak sendiri. Biasanya tiap pagi ada Mbak Ulfa yang selalu datang untuk menjaga Hana, Ara itu masih aktif menjadi psikolog di rumah sakit. Makanya Hana di rumah di jaga oleh Budhe Ani dan Mbak Ul.
“sudah selesai masaknya Budhe?” tanya Ara begitu ia sampai ke dapur.
“Ah, Ibu. Kaget saya kirain siapa,” Budhe Ani nyengir tadi ia sedang bersenandung. “Udah, Buk. Tinggal rapih-rapih aja, Ibu mau masak apa? Biar Budhe yang bantu, Ibu kan gak boleh capek-capek sama Eyang putri.”
Yang di maksud Eyang putri itu adalah Mama nya Yuno, setiap 2 minggu sekali beliau rajin menjenguk Ara demi memastikan kondisi menantu dan cucu nya baik-baik saja. Sungguh, jika di gambarkan saat ini. Hidup Ara nyaris sempurna, menikah dengan cinta pertamanya, memiliki Suami yang baik, tampan, pintar, setia dan seorang dokter. Kemudian memiliki mertua yang baik, perhatian dan sudah menganggapnya seperti anaknya sendiri. Serta memiliki seorang putri yang benar-benar perpaduan dirinya dan Yuno.
Jika di tanya Ara minta apa lagi di hidupnya, ia rasa ini semua sudah cukup. Tuhan begitu baik dalam menulis lembaran hidupnya.
“Gapapa, Budhe. Saya cuma mau bikin cloud bread kesukaannya Kakak, tadi sebelum menghias kamar dia sempat minta cloud bread. habis ini Budhe istirahat aja gapapa.”
“Beneran ini, Buk?”
Ara mengangguk, ia mulai mengocok putih telur yang tadi dia pecahkan untuk membuat cloud bread kesukaan Hana.
“Iya, Budhe. Nanti kalau saya atau Bapak butuh apa-apa pasti Budhe saya panggil.”
“Aduh, makasih banyak, Buk. Habis ini Budhe mau mandi dulu, gerah soalnya habis dari pasar langsung masak, hehe.”
Ara hanya tersenyum, dia berkonsentrasi penuh membuat cloud bread untuk anaknya itu. Setelah memberi warna pada adonan cloud bread nya, Ara langsung menaruh adonan itu di loyang dan membentuknya dengan bentuk hati dan kepala kucing.
Setelah itu barulah ia masukan ke dalam oven yang sebelumnya sudah ia panaskan, gak cuma buat cloud bread Ara juga akan membuat soft cookies untuk cemilan Suaminya itu. Yuno itu suka sekali dengan cemilan yang manis, kalau Ara justru kebalikannya. Ia lebih menyukai cemilan yang gurih ketimbang manis.
Sedang asik membuat adonan soft cookies nya. Tiba-tiba saja sepasang lengan melingkari pinggang hingga perut buncitnya, membuat Ara tersenyum menikmati sentuhan itu. Yuno menumpukan dagu nya di bahunya dan mengecupnya beberapa kali.
“Mau aku bantuin?” tanyanya.
“Kamu tuh kalau peluk-peluk gini namanya ngerecokin tau bukan bantuin.”
Yuno terkekeh, “tapi senang gak aku peluk-peluk gini?”
Ara hanya mengangguk, meski sedikit menganggu pekerjaannya. Tapi sentuhan dari tangan Yuno memang membuatnya begitu nyaman. Apalagi aroma parfum bercampur aroma tubuh Yuno yang khas, membuatnya candu mencium aroma itu lama-lama.
“Kakak kemana? Kok Papa nya malah ngerecokin Ibu disini?”
“Kakak lagi coloring tugas sekolahnya, tadi aku sempat bantu dia tapi katanya dia bisa sendiri.”
Ara hanya tersenyum, usia Hana memang baru 4 tahun. Tapi anak itu sudah di masukan ke pre school oleh Yuno dan Ara, Hana juga sangat suka sekolah, anak itu pandai sekali bergaul dengan anak sebaya nya.
“Besok kamu shift apa hm?”
Yuno melepaskan pelukannya, mencuci tangannya kemudian membantu Istrinya itu mencetak beberapa soft cookies agar cepat selesai dan mereka bisa beristirahat.
Yuno bukan hanya pandai menyelamatkan nyawa orang lain, tapi laki-laki itu juga pandai dalam urusan dapur. Makanya Ara enggak meragukan lagi kalau Yuno bilang dia mau membantunya di dapur.
“shift siang, mungkin sekitar jam 12an aku sampai rumah. Tapi kalau enggak ada dokter jaga di UGD yah terpaksa aku lanjut sampai pagi,” jelas nya.
Yuno memang masih dokter umum, makanya dia lebih sering di tempatkan di UGD dari pada di poli. Papa sudah berkali-kali mengingatkan Yuno untuk segera melanjutkan studi kedokterannya dan mengambil gelar spesialis jantung, namun Yuno bilang dia belum siap.
Yuno bahkan kepikiran untuk tetap menjadi dokter umum dan pindah ke klinik yang jam kerjanya lebih pendek ketimbang bekerja di rumah sakit. Ini semua agar Yuno bisa memiliki banyak waktu bersama Istri dan anaknya, Yuno enggak mau Hana dan Nathan nanti seperti kekurangan sosok Ayah di hidup mereka. Seperti Yuno dulu yang sering kali merasakan kesepian.
“Mau di bawain bekal apa besok, Mas?”
“Gausah sayang, nanti aku bisa makan di kantin rumah sakit. Besok kamu juga kan praktik? Ada pasien kan besok di hari terakhir?”
Ara mengangguk, “ada sekitar 5 pasien yang konsul, selebihnya mungkin aku mau bikin farewell party sama teman-teman di rumah sakit, boleh?”
“sure hari terakhir kamu bekerja, kalau perlu traktir teman-teman kamu yah.”
Ara memang akan segera mengundurkan diri, beberapa kali ia mengalami tekanan darah tinggi dan membuatnya harus lebih sering istirahat. Makanya Ara memutuskan untuk resign dan akan kembali praktik setelah Nathan lahir.
“Ah iya, Mas. Lusa, teman-teman kosan aku mau ngadain reuni. Ada Gita sama Mas Iyal juga sih, kamu mau ikut?”
Yuno tampak mengingat-ingat jadwal prakteknya dulu, setelah ingat ia ada jadwal praktek di poli umum. Kedua bahu laki-laki itu merosot, pupus sudah harapannya untuk menemani Istrinya itu ke acara reuni bersama teman-teman kosannya.
“Gak bisa, Sayang. Aku ada jadwal praktik di poli. Aku titip salam buat mereka aja yah.”
Ara mengangguk, ia cukup mengerti kesibukan Suaminya itu. Toh baginya pergi ke reuni sendiri juga tidak masalah, ini bukan reuni angkatan fakultas mereka. Tapi hanya acara kumpul-kumpul anak kosan Abah dulu.
Hari ini Yuno kembali di sibukan dengan jadwal praktiknya, ia di tugaskan di UGD kembali. Ada 2 pasien yang sudah selesai ia tangani, Yuno hanya tinggal menunggu hasil test darahnya keluar dari lab. Kemudian akan menyerahkannya pada dokter spesialis yang sudah ia hubungi.
Sedang berkonsentrasi pada setumpukan rekam medis pasiennya, tiba-tiba saja telefon di UGD berbunyi dan Yuno segera mengangkatnya, takut-takut itu telfon dari lab atau dari dokter spesialis yang berada di poli saat ini.
“Ada Dokter Aryuno?“
“Saya sendiri, Pak? Ada apa?”
Itu suara Papa nya, Papa Yuno itu seorang direktur rumah sakit. Meski rumah sakit tempatnya bekerja adalah rumah sakit swasta milik keluarganya, Papa enggak ingin memanjakan Yuno dengan memberinya jabatan begitu saja secara cuma-cuma hanya karena Yuno adalah anaknya, Papa mau Yuno merintis karir dokternya dari titik awal, dimulai dari menjadi dokter di UGD seperti kebanyakan dokter umum.
“Yuno, kamu sedang ada pasien?“
“Ada sih, Pah. Tapi lagi nunggu hasil lab keluar baru setelah itu Yuno bisa kasih hasilnya ke dokter spesialis penyakit dalam, pasiennya juga sudah dapat kamar. Tinggal nunggu di pindahkan aja, ada apa, Pah?” tanyanya.
“ada yang mau Papa bicarakan sama kamu, ada dokter lain di sana selain kamu?“
“Dokter Alice, Pah.”
“Ke ruangan Papa sekarang, biar Dokter Alice yang menggantikan kamu sebentar. Papa tunggu, Yuno.“
Setelahnya yang terdengar hanya sambungan telefon yang di putus sepihak saja oleh Papanya, Yuno hanya bisa menghela nafasnya pelan. Ia kemudian menyelesaikan pekerjaannya sebentar, kemudian izin dengan Dokter Alice untuk menemui Papa nya dulu.
“Ada apa, Pah?” tanya Yuno begitu ia sampai di ruangan Papanya.
Tidak lama kemudian Papa mengambil map, map berwarna merah itu adalah map dari sebuah universitas kedokteran terbaik di Depok. Yuno sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan ini kelak.
“Papa sudah daftarkan kamu untuk melanjutkan studi kedokteran kamu, Yuno. Spesialis jantung. Kamu sudah bisa aktif sebagai mahasiswa di sana bulan depan.”
Yuno kaget, sungguh. Ini seperti ada petir di siang bolong baginya. Bagaimana bisa Papa mendaftarkannya ke sebuah universitas kedokteran tanpa seizinnya dulu? Yuno bahkan harus menyesuaikan jadwal praktiknya, dia enggak mau menyusahkan teman sejawatnya yang lain.
“Pah, kenapa semendadak ini? Papa kan tahu Ara lagi hamil. Kalau Yuno ngejar studi lagi dan sambil praktik, Papa bisa bayangin gak bagaimana sibuknya Yuno? Yuno gak mau ninggal-ninggal Ara terlalu sering, Pah.”
“Yuno, urusan Ara itu biar jadi urusan Papa dan Mama. Toh waktu kamu coas kami yang menjaga Ara kan?”
Yuno menunduk, sejatinya ia ingin sekali memberontak. ia sudah lelah mengikuti keinginan orang tuanya, tapi disisi lain juga Yuno tidak ingin mengecewakan mereka, hanya ia satu-satunya harapan keluarga. jika bukan Yuno yang melanjutkan profesi ini, siapa lagi yang akan meneruskanya?
Yuno sudah berencana untuk menghentikan kutukan ini, kutukan menjadi dokter harus berhenti pada dirinya. ia tidak ingin anak-anaknya tertekan demi meneruskan profesi ini. ia ingin anak-anaknya menjadi dirinya sendiri, mengambil jalan yang mereka inginkan alih-alih menjadi thropy kedua orang tua nya.
“Yuno mau ada buat Ara, Pah. setidaknya sampai Nathan lahir.”
“sampai kapan Yuno? sudah terlalu lama, Papa tidak ingin kamu berada di zona nyaman terus. apa kamu tidak malu, cucu dari pemilik Harta Wijaya hospital hanya seorang dokter umum?”
Papa menghela nafasnya pelan, Yuno itu seperti thropy untuknya. Yuno akan selalu Papanya pamerkan kepada kolega nya sebagai anak tunggal, satu-satunya pemimpin Harta Wijaya hospital setelah kepemimpinanya berakhir.
“lagi pula, dekan di kampus itu kolega Papa. Papa kenal sama beliau, kamu gak perlu takut Yuno. kamu hanya perlu fokus pada studi dan karirmu.”
Yuno meremas tanganya, tidak ada kata bantahan keluar dari mulutnya. setelah bicara mengenai studi nya, Yuno kembali melanjutkan pekerjaanya. jam praktiknya masih panjang, biar urusan itu ia pikirkan nanti di rumah.