17 Again ✔️

Lee Juyeon, Go Younjung, Lee Sangyeon, Kevin Moon, Park Hyungsik, Yun Hajeong, Shin Seulki, Kim Jungwoo

“Selamat yah Kak Karen!!”

“Bajunya kelihatan cocok banget di pakai sama kamu, Ren.”

“Nanti yang make up in biar aku aja yah!”

“Gue udah nyium bau-bau kemenangan nih.”

Kalimat-kalimat pujian itu tidak ada hentinya di lontarkan teman-teman di club Karen hari ini, hari pengumuman siswa terpilih dari club paskibra sudah di umumkan, dan Karen terpilih menjadi pasukan pengibar bendera. Banyak harapan yang sekolah dan pelatihnya taruh pada pundak Karen untuk bisa menang.

Seperti yang sudah Karen duga, Kania tidak terpilih menjadi salah satunya.u Hari ini gadis itu juga datang ke sekolah dengan kaki yang sedikit pincang, Karen dengar Kania jatuh semalam di rumahnya. Seingatnya, hal ini tidak ada. Kania enggak pernah jatuh namun Kania hanya tidak terpilih saja.

Itu berarti ada hal yang berubah setelah ia berhasil mengubah sesuatu, apa artinya akan ada hal-hal yang berubah lainnya di masa depan?

“Baju yang Mas kasih pas kan, Ren?” tanya Mas Satya.

Karen berbalik, ia tadi sedang melamun memperhatikan Kania yang duduk di depan lemari tempat seragam berada.

“Pas kok, Mas.”

Begitu Karen menoleh, Mas Satya langsung tersenyum. Sesuai dugaannya jika Karen sangat pantas memakai seragam itu, rambutnya yang tergerai panjang juga ia ikat belum sempat di rapihkan karena mereka hanya fitting bajunya saja.

“Kamu cantik banget, Ren.” gumam Mas Satya, meski kecil namun Karen dapat mendengarnya.

Karen tidak menjawab, ia hanya mengangguk kecil saja.

“Tapi ada kendala, Sat. Pantofel punya Karen rusak nih. Kayanya harus di sol dulu, tapi kelihatan udah parah banget juga,” ucap Dito sembari memberikan pantofel milik Karen pada Satya.

“Kita beli yang baru aja yah, setelah ini kamu ikut saya ke toko sepatu.”

“Gak minjem aja, Mas? Karen bisa minjam punya—”

“Gak usah, beli aja. Saya yang beliin buat kamu, biar bisa di pakai buat latihan juga. Ya?”

Karen melirik Mas Dito yang berada di belakang Mas Satya, laki-laki itu menyuruhnya untuk mengangguk saja. Untuk setuju pada ajakan Mas Satya, tapi rasanya sungkan sekali Karen menerima nya.

Namun apa boleh buat, Mas Satya itu tipekal orang yang susah menerima penolakan atas pemberiannya, lagi pula Mas Dito benar. Pantofel punya Karen sudah mengenaskan sekali kondisinya, apalagi ia akan sering menggunakannya nanti hingga hari H.

“Ya..udah deh, Mas.” jawab Karen pada akhirnya.

“Ihhh enak banget Kak Karen di beliin sepatu sama Mas Satya, Cindy mau juga dong!” pekik Cindy, dia ini siswi kelas 10.

“Khusus Kak Karen aja itu mah, soalnya dia janjiin kemenangan buat Orion.” sambung yang lainya.

“Heh apa sih! Gak yah, kalo menang nanti Kak Karen pasti ganti uang sepatunya ke Mas Satya,” jelas Karen, dia gak ingin orang lain salah sangka sama tindakan Mas Satya.

“Gak, Ren. Itu saya kasih buat kamu sebagai hadiah,” sangkal Mas Satya. “Ya Udah, lanjut latihan lagi yah.”

Setelahnya Mas Satya kembali merapihkan beberapa atribut lainya, sementara Karen? Ia terus menerima ledekan dari beberapa teman seangkatan dan adik kelasnya. Pasalnya, Mas Satya enggak pernah sebaik dan seramah itu pada yang lainya.

Hanya dengan Karen saja perlakuannya beda, Karen sangat ingat jika rumor mengenai dirinya dan Mas Satya. Waktu itu Kania yang menyebarkannya, meski tidak memiliki bukti, tapi Karen tahu jika itu adalah Kania. Waktu itu rumor mengenai Karen yang selingkuh dengan Mas Satya tersebar ke seluruh penjuru sekolahan.

Ada fotonya dengan Mas Satya yang tengah jalan berdua di sebuah mall tersebar di akun twitter sekolah, Karen masih ingat waktu itu mereka habis mengadakan party kecil-kecilan karena SMA Orion menang. Waktu itu, Karen pulang lebih dulu sebelum acaranya selesai, namun Mas Satya ngotot mengantar Karen dengan alasan rumah mereka searah.

Diam-diam ternyata ada seseorang yang memotret mereka dari belakang, bahkan bukan cuma itu saja. Ada fotonya dan Mas Satya yang tengah membantu Karen memakai atribut tersebar. Waktu itu rumor ini sampai ke telinga Juna, sampai akhirnya Juna percaya dengan rumor itu dan hubungan mereka kandas.

Itu artinya, mulai detik ini Karen harus mencegah itu semua kan? Ia tidak boleh berduaan saja dengan Mas Satya mulai detik ini. Maka dari itu, Karen buru-buru melepas seragam untuk nya lomba dan segala atributnya. Ia berlari ke ruang club musik untuk menemui Kevin, Kevin bilang dia menunggu Karen di sana.

“Kev!” pekik Karen, gadis itu sedikit ngos-ngosan saat sampai di ruangan club musik.

“Karen? Kenapa kamu lari-lari?” tanya Kevin, cowok itu langsung menarik kursi untuk Karen duduk di sana. Ternyata ada Hadi dan Fajri juga.

“Kita enggak langsung pulang, temenin aku dulu nanti yah.”

“Kemana?”

“Pantofel ku rusak, Mas Satya bilang mau beliin aku pantofel sehabis pulang latihan, kamu ikut yah?”

“Terus motorku gimana?” tanya Kevin.

“Kita berdua naik motor kamu.”

“Maksudnya iring-iringan sama Mas Satya kaya ondel-ondel?”

Karen mengangguk, “yah, Kev. please..

“Yaudah deh kalo gitu, lagian kenapa kamu ngajak aku sih, Ren? Aku kan gak begitu kenal sama Mas Satya.”

“Kalo aku berduaan aja sama Mas Satya, aku takut Juna salah paham nantinya.”

“Ya ampun, Ren. Juna gak se cemburuan gitu kali lagian dia kan tau Mas Satya itu pelatih di club kalian?” Hadi menimpali.

“Siapa tau ada orang yang gak suka sama gue terus nyebarin rumor enggak benar, makanya gue ngajak Kevin. Lagi pula gue sama Kevin harus balik bareng.”

“Emang siapa yang bakalan nyebarin rumor murahan gitu deh?” tanya Fajri.

“Siapa aja,” jawab Karen. “Yaudah, deh. Pokoknya nanti aku tunggu di parkiran yah, Kev.”

Setelah mengatakan itu, Karen kembali lagi ke ruangan club dan berlatih untuk lomba. Waktunya sudah sangat mepet, tinggal beberapa hari lagi dan Karen harus berlatih dengan keras.


“Aduh sorry yah, Ni. Gue sama Syarif belum bisa gantiin uang lo,” ucap Selvi.

Kania hari ini enggak ikut latihan, karena ia tidak terpilih sebagai murid yang akan mengikuti lomba, maka dari itu ia bisa langsung pulang setelah pengumuman. Kania mengajak Selvi dan Syarif pacarnya untuk makan di restoran ayam sebentar, Kania merasa sedih dan butuh hiburan setelah mendapatkan sebuah penolakan.

“Ya gapapa, Vi. Lagian itu juga bukan uang pribadi gue kok,” jawab Kania.

“Tapi tetap aja gue gak enak.”

“Atau kalo lo butuh bantuan, gue sama Selvi siap deh bantu lo,” sambung Syarif.

Kania terkekeh, ia meminum bubble miliknya sembari tersenyum. Memikirkan apa yang bisa Syarif dan Selvi lakukan untuk membantunya. Sampai akhirnya Kania kepikiran sesuatu.

“Ada sih, tapi kalian berdua gapapa nih gue suruh-suruh begini?” tanya Kania.

“Ya gapapa, gila kali gue sama Syarif gak mau. Lo udah bantuin gue sama Syarif masa gue gak mau bantuin lo balik.”

“Rif, lo bawa motor kan?” tanya Kania.

Syarif mengangguk, “bawa, kenapa emangnya?”

“Hari ini, Karen sama Mas Satya mau pergi ke toko sepatu berdua.”

“HAH?! MAS SATYA?” pekik Selvi kaget.

“Iya, serius gue. Sepatu Karen itu rusak, terus Mas Satya mau beliin. Dan mereka pergi berduaan.”

“Ni, lo gapapa?” tanya Selvi, pasalnya ia tahu persis bagaimana perasaan Kania pada Mas Satya.

“Gue cemburu banget, bohong gue gak cemburu. Lagian yah, Karen kan udah punya Juna. Bisa-bisanya dia masih mau di ajak jalan sama Mas Satya berdua, gimana perasaan Juna kalo tau hal ini coba. Apalagi, gue dengar dari Agung kalo Ino kepilih jadi kapten basket, terus Juna juga katanya gak tau bakalan bisa main basket lagi enggak setelah operasi. Kan gila banget, kalo ternyata Karen sampe selingkuh sama Mas Satya,” jelas Kania.

“Gila yah, gue gak nyangka Karen semurahan itu cuma karena sepatu? Lagian yah, dia kepilih dari seleksi itu padahal udah 5 kali enggak ikut latihan, kok bisa sih?” tanya Selvi tidak menyangka.

“Ya apalagi kalo bukan karena Mas Satya itu suka sama dia, Karen tuh kalo di club genit banget, Vi. Makanya Mas Satya bisa sampe kepincut, terus bujuk Pak Yasir biar Karen bisa lolos.”

Selvi menggeleng-gelengkan kepalanya tidak menyangka. Dia sama sekali enggak nyangka kalau Karen seperti itu, Karen memang dekat dengan teman laki-laki yang lainya. Namun bukan bermaksud untuk merayu, pertemanan mereka normal seperti pertemanan pada umumnya.

“Terus lo nyuruh gue sama Selvi ngapain, Ni?” tanya Syarif.

“Ikutin Karen sama Mas Satya, kalo perlu kalian foto mereka pas lagi berduaan. Gue yakin mereka tuh ada apa-apanya.”

“Maksudnya mata-matain?”

Kania mengangguk, “gue gak masalah deh lo gak usah bayar uang gue, yang penting kalau lo berdua gue suruh buat lakuin sesuatu kalian mau. Gimana?”

Selvi dan Syarif saling melempar pandangan mereka satu sama lain, sampai akhirnya keduanya mengangguk, menyetujui perintah yang Kania berikan pada keduanya.

“Sabar yah, Ni. Parah banget deh si Karen ini, dia tau lo sering ceritain Mas Satya kenapa dia tega jalan berduaan sama Mas Satya, dia beneran gak menghargai perasaan lo banget.”

Setelah selesai latihan, Mas Satya langsung menunggu Karen di parkiran motor. Tadi Karen bilang dia ada urusan sebentar, begitu Karen menyusulnya, betapa bingungnya Mas Satya waktu Karen kembali sembari menyeret Kevin kembaranya.

“Hai, Kev?” sapa Mas Satya.

Kevin hanya mengangguk pelan sembari tersenyum kikuk. Cowok itu masih berusaha melepaskan tangan Karen yang memegangi hoodie yang Kevin pakai.

“Mas, kita perginya sama Kevin juga yah. Saya ajak dia boleh kan? Soalnya Mas Kara bilang kami harus pulang berdua,” ucap Karen.

Mas Satya awalnya ragu, namun akhirnya ia mengangguk pelan. “Oh, gapapa dong. Ajak aja.”

Karen tersenyum, saat Mas Satya ingin memberikan helm miliknya pada Karen. Gadis itu sudah memakai helm yang di berikan Kevin padanya.

“Saya sama Kevin aja yah, Mas? Gapapa kan?” Karen mengigit bibir terdalamnya, sejujurnya dia juga enggak enak sama Mas Satya. Tapi Karen harus melakukan ini, ini semua demi kebaikan mereka bersama. Karena rumor itu bukan hanya tentang Karen, tapi ada Mas Satya juga yang terkena imbasnya.

“Um,” Mas Satya mengangguk, ia langsung memakai helm miliknya dan menaiki motornya.

Mereka pun pergi dengan beriring-iringan, motor Mas Satya yang melaju lebih dulu dan Kevin mengikutinya dari belakang.

“Kamu tuh enggak sopan tau, Ren. Kaya gitu ke Mas Satya, dia tuh kelihatan gak nyaman karna aku ikut,” ucap Kevin saat di perjalanan.

“Aku cuma gak mau ada yang salah paham, Kev.”

“Siapa sih yang bakalan salah paham memangnya?” Kevin melirik Karen dari kaca spion miliknya.

“Juna?” tebaknya.

“Udah lah, kalo aku cerita juga kamu enggak akan percaya.”

“Ren, kamu cerita aja belum.”

“Masalahnya kalau aku cerita kamu pasti bilang ini semua enggak masuk akal.”

Kevin mendengus, Karen dan Kevin itu jarang sekali berdebat seperti ini. Mereka kebanyakan selalu kompak dalam hal apapun itu.

“Aku aja sering jalan berdua buat urusan club sama Ayu, tapi Alifia gak cemburu karena dia percaya sama aku,” ucap Kevin lagi.

“Karena urusanku enggak semudah kamu dan Alifia, Kev.” andai ia bisa cerita semuanya pada Kevin tentang masa depan, apa Kevin akan percaya? Atau Kevin akan menganggap Karen ini ngibul? Rasanya memendam rahasia ini sendirian membuat Karen sedikit gila.

“Kamu jadi aneh tau, Ren. Sejak kejadian kepalamu kena bola.”

“Aneh gimana?“dahi Karen mengkerut.

“Alifia cerita, kamu udah gak pernah main lagi sama teman-temanmu, Kania, Selvi, Selo sama Muthia. Kamu juga jadi sering ngelamun di kelas, kemana-mana juga sendirian.”

Karen mengulum bibirnya sendiri, jujur saja ia memang menjauhi ke empat teman-temannya itu. Karen lebih sering kemana-mana sendirian, ini semua karena ia sembari memikirkan hal-hal yang terjadi dan mencari cara untuk menghindarinya.

“Apalagi waktu kamu bilang Mas Kara sakit usus buntu, aku gak ngerti gimana caranya kamu bisa tau.”

“Aku cuma baca-baca buku aja ciri-ciri orang terkena usus buntu.”

Sedetik kemudian Kevin hanya mendengus, mereka pun akhirnya sampai di sebuah toko sepatu. Masih seperti saat di sekolah, Karen masih menggandeng tangan Kevin agar Kevin tidak berjalan jauh darinya, sesekali Karen juga mengedarkan pandanganya. Memastikan tidak akan ada yang mengikutinya diam-diam.

“Ini bagus, Ren. Mau coba yang ini gak?” tanya Mas Satya, matanya tertuju pada pantofel hitam yang bahanya tidak begitu kaku. Ia yakin sepatu itu akan terlihat nyaman saat di pakai Karen.

“Boleh,” Karen mengangguk, ia mengambil sepatu itu dan memakainya.

“Sempit yah?” tanya Mas Satya, ia mendongak karena laki-laki itu berjongkok di depan Karen yang duduk di kursi.

“Kayanya 1 nomer lagi deh, Mas.”

“Aku minta ke staff nya dulu yah,” Mas Satya mengambil sepatu itu kembali dan menghampiri staff nya untuk meminta nomer sepatu lebih besar.

“Ren, lepasin tanganku ah, aku gak akan kabur juga,” keluh Kevin, sungguh Kevin lama-lama kesal karena sikap aneh Karen ini.

please cuma sampai di toko sepatu aja, Kev.”

“Ya ada apa sih emangnya? Kamu mau di culik? Mas Satya mau nyulik kamu sampe kamu nempel-nempel sama aku terus?”

“Ck!” Karen berdecak, ia akhirnya melepaskan pautan tangan mereka karena Kevin begitu rewel.

Tidak lama kemudian, Mas Satya kembali. Membawakan sepasang sepatu pantofel untuk Karen.

“Coba pakai dulu, Ren.” ucapnya.

Karen memakai sepatu itu kembali, dan ternyata sangat nyaman di kenakan. Tidak seperti pantofel lamanya yang bahan dasarnya agak kaku, kaki Karen sering sekali lecet dengan sepatunya dulu.

“Bagus, Mas. Pas juga di kaki aku.”

“Suka?” tanya Mas Satya, senyum di wajahnya tidak pernah luput saat menatap Karen yang terlihat bahagia itu.

“Suka!!”

“Kita ambil yang ini yah.”

Setelah selesai membayar sepatu milik Karen, Mas Satya langsung memberikan paper bag berisi sepatu milik Karen itu padanya.

“Makasih sekali lagi yah, Mas Satya. Karen janji gak akan bikin Mas Satya kecewa buat lomba ini,” ucap Karen.

“Saya percaya sama kamu, Ren.” Mas Satya tersenyum, “ah iya, karena udah disini gimana kalau sekalian aja kita makan? Kebetulan saya udah ngelewatin jam makan siang, kalian juga belum makan kan?”

“Belum, Mas.” ucap Kevin semangat. Namun tidak lama kemudian ia meringis karena Karen mencubit lengannya. “Sakit tau, Ren!!”

“Gak..gak usah, Mas. Kita langsung pulang aja, lagi pula Mas Kara belum masuk kerja, pasti dia masak kok,” alibi Karen.

“Gapapa, Ren. Nanti kita bawain sekalian buat Mas Kara, ya? Temenin saya makan, Kevin juga kasian, udah nemenin kamu tapi gak saya beliin apa-apa.”

“Beneran, Mas. Gak usah ngerepotin.”

Mas Satya terkekeh, “Karen, saya enggak ngerasa di repotin. Sebentar yah, sehabis makan kita langsung pulang.”

Kevin yang berdiri di sebelah Karen itu menyenggol lengan Karen, memberi isyarat pada Kakak kembarnya itu untuk mengiyakan saja ajakan Mas Satya. Dan akhirnya Karen pun mengangguk.

Mereka akhirnya masuk ke mall yang tidak jauh dari ruko-ruko tempat toko sepatu tadi berada, Sembari mencari restoran yang tidak begitu ramai, sesekali mata Karen menelisik ke beberapa tempat. Setakut itu Karen di mata-matai seseorang.

kayanya enggak ada yang mencurigakan, tapi gue harus tetap hati-hati kan?

“Ren? Karen?” panggil Mas Satya, Karen melamun saat Mas Satya bertanya ia ingin makan apa. Mereka sudah berada di sebuah restoran ayam hainan yang terkenal enak di kota itu, kadang antreannya sampai keluar dari restoran. Tapi beruntung sore ini restorannya tidak terlalu ramai.

“I..iya kenapa, Mas?” jawabnya gelagapan.

“Kamu mau makan apa?”

Karen melihat-lihat menu di atas meja mereka, tapi tiba-tiba ekor matanya menangkap sosok yang agak sedikit ia kenali. Apalagi saat dua orang itu mengarahkan kamera ponselnya ke arah kursi Karen, Mas Satya dan Kevin.

“Sama aja kaya yang Kevin pesan, Mas.” ucapnya pada akhirnya. Karen sudah tidak fokus pada menu yang ada di depannya.

“Oke biar saya pesanin dulu yah.”

kemana mereka?” mata Karen kembali berpendar ke sudut-sudut restoran, Karen enggak menemuka dua orang mencurigakan yang tadi dia cari.

apa mereka udah keluar?

“Ma..Mas Satya, Karen izin ke toilet dulu yah. Mau buang air kecil sebentar,” alibi Karen, padahal dia mau keluar restoran sebentar untuk mencari dua orang mencurigakan tadi.

“Oh ya udah, Ren.”

Begitu ia keluar dari restoran Karen langsung mengedarkan pandanganya, sampai akhirnya ia mendapatkan dua orang mencurigakan tadi berjalan ke arah eskalator untuk turun ke lantai 3. Karen enggak mungkin bisa mengejarnya dari eskalator yang sama, akhirnya ia turun lewat jalan lain dengan sedikit berlari.

Karen harus sampai lebih dulu dari 2 orang tadi ke lantai 3, tapi, kalau di lihat lagi mereka memang siswa dari SMA Orion. Terlihat dari seragam yang mereka kenakan, meskipun Karen enggak tahu mereka siapa karena keduanya memakai masker dan topi.

Dan begitu sampai di lantai 3, Karen langsung menghampiri keduanya dan menjegal jalan mereka. Keduanya pun kaget saat melihat Karen ada di depan mereka, ternyata itu adalah Syarif dan Selvi, Karen bisa mengenali keduanya dari mata mereka.

“Karen?” pekik Syarif saat melihat Karen di depan mereka.

“Lo berdua ngikutin gue?” ucap Karen to the point.

“Gak ada! Gue sama Syarif lagi jalan berdua kok, kita mau nonton,” sangkal Selvi.

“Bohong!! Gue liat kalian berdua ada di restoran ayam hainan. Kalian foto ke arah meja gue kan?”

“Dih apaan sih lo, Ren.”

“Itu apa?” dagu Karen menunjuk ke arah ponsel Syarif, cowok itu pun langsung menyembunyikan ponselnya.

“Orang gue lagi liat-liat jadwal film dari HP,” ucap Syarif.

“Bohong!! Coba gue liat.” Karen ingin mengambil ponsel Syarid namun tanganya di tepis kasar oleh Selvi.

“Ren, lo apa-apaan sih?” karena kesal, Selvi sampai mendorong bahu Karen.

“Kalo kalian berdua enggak ngefoto dan ngikutin gue, harusnya kalian gak perlu takut kan?” ucap Karen tegas, dia sama sekali enggak terintimidasi sama tatapan tajam mata Selvi. jadi selama ini dia mata-mata dari Kania? pikir Karen.

Karena kesal Syarif tidak memberikan ponselnya, Karen merebut ponsel itu dengan cepat. Dan benar saja, Syarif sedang melihat galeri yang menampakan foto-fotonya dan Mas Satya. Mereka bahkan memotong bagian Kevin, membuat seolah-olah hanya ada Karen dan Mas Satya di sana.

Ada video Mas Satya yang tengah tersenyum ke arah Karen saat Karen terlihat senang memakai sepatu barunya juga.

“Kalian ngikutin dan foto-foto gue?!” sentak Karen.

“Iya, kenapa? Lo tuh benar-benar gak tau diri yah, Ren. Lo tau kalo Kania suka sama Mas Satya tapi lo mau aja jalan sama dia. Centil yah lo, gak cukup apa lo sama Juna sampe harus godain Mas Satya?” hardik Selvi, karena sudah ketangkap basah sekalian saja Selvi menyadarkan Karen.

“Gue gak pernah godain Mas Satya, gue sama Mas Satya cuma beli sepatu buat kepentingan lomba. Dan kenapa,” Karen menunjukan foto, dimana Kevin di potong bagiannya. “Kenapa kalian harus crop Kevin? Biar gue sama Mas Satya seolah-olah jalan berdua, iya kan?”

“Iya!! Biar Juna tau kalo ceweknya ini kegatelan!”

Tangan Karen bergetar, ia benar-benar marah dan kesal mendengarnya. Sebelum memberikan ponsel itu kembali pada Syarif, Karen memformat ponsel cowok itu dulu hingga tidak tersisa sedikit pun foto di galeri ponselnya.

“Bajingan!! Karen lo apain HP gue?!” teriak Syarif berusaha mengambil ponselnya.

Setelah memastikan tidak ada fotonya dan Mas Satya di ponsel itu, Karen mengembalikan ponsel nya pada Syarif.

“Gue akan pastiin kalo Juna gak akan pernah salah paham soal ini, dan satu lagi. Gue gak pernah kecentilan sama Mas Satya, gue bahkan gak tau kalo Kania suka sama Mas Satya.” setelah mengatakan itu, Karen langsung bergegas pergi. Ia tidak kembali ke restoran ayam hainan lagi, Karen pergi ke toilet dan menangis menyesakan di sana.

Setelah kembali ke masa lalu, Selvi yang ia pikir lebih netral dari dugaanya ternyata adalah mata-mata Kania. Dulu, Karen sempat berpikir jika Selvi berada di tengah-tengah dirinya dan Kania. Kalau Karen cerita tentang Kania, dulu Selvi selalu mendengarkannya dan berusaha untuk terlihat netral.

Selvi akan mengatakan Karen salah jika ia benar-benar salah, begitu pun sebaliknya. Selvi tidak akan membela Kania jika Kania benar-benar salah. Karena tidak sanggup lagi menghadapi Mas Satya, akhirnya Karen menelfon Kevin.

Ren, kamu dimana?” nada suara Kevin terdengar khawatir di sebrang sana.

“Kev, bisa gak kalo kamu langsung pamit aja sama Mas Satya dan kita langsung pulang?”

Ren, kenapa sih? Ada apa? Kamu dimana sekarang?

“Aku di toilet dekat supermarket, please, Kev. Jemput aku disini dan pamit sama Mas Satya.”

iy..iya iya ya udah, kamu tunggu di sana yah. Aku ke sana sekarang.

To Be Continue

Pagi ini Juna di antar Bapak untuk kembali ke sekolahnya, ini hari pertama Juna masuk setelah hampir 3 minggu ia tidak masuk sekolah. Juna masih belum dalam suasana hati yang baik, tapi setidaknya ia bisa sedikit terhibur karena di sekolah ia bisa bertemu dengan Karen.

Semalam, Karen menelponnya dan memberi tahu jika ia terpilih menjadi perwakilan club. Karen juga bercerita jika kemarin ia pergi bersama Mas Satya dan Kevin untuk membeli sepatu pantofel nya.

Di depan pagar sekolah, beberapa siswa menyapa Juna saking sudah lamanya ia tidak datang ke sekolah. Apalagi Juna datang dengan penyanggah kakinya, membuat beberapa Adik kelasnya di club basket membantunya untuk menaiki tangga menuju ke kelasnya begitu melihatnya kesulitan.

“Juna!! Gila akhirnya balik juga luu,” pekik Hadi saat cowok itu melihat Juna masuk ke kelas mereka.

Hadi yang tadi sedang menghapus tulisan di papan tulis langsung membantu Juna untuk duduk di kursinya. Hadi itu duduk sama Arino, dan kursi keduanya sering sekali kosonh karena pemiliknya sibuk berlatih di lapangan dulu.

“Udah kangen gue sama ceramahan dari Pak Deden,” jawab Juna nyeleneh.

“Gaya amat luh, tapi sumpah sih. Selama elu gak ada Pak Deden juga nanyain lu mulu, mungkin karena gak ada yang bisa di omelin kali yah, habis itu di ajak curhat soal burung-burungnya yang mahal.”

Pak Deden itu wali kelas Juna, Pak Deden sering sekali memarahi Juna kalau Juna di kelas terlihat tidak konsen, atau kalau Juna tidak mengerti pertanyaan yang beliau tanyakan. Walau begitu, Pak Deden juga perhatian sama Juna tidak jarang mereka tampak akrab saat membicarakan burung-burung mahal yang bisa mengikuti kompetisi kicau.

Tentu saja Juna paham soal burung, orang Bapak juga melihara banyak burung kicau di rumah. Bahkan perawatanya enggak main-main, sampai Bapak rela menggocek puluhan juta demi burungnya.

Sedang asik tertawa membicarakan soal Pak Deden, tiba-tiba saja di ambang pintu kelas muncul seorang laki-laki jangkung yang tersenyum begitu melihat siapa yang menempati kursi sebelah miliknya.

“Juna!! Anjrit, gila akhirnya balik juga lo ke sekolah, Jun.. Jun, gue pikir elu mau godain perawat di rumah sakit terus aja,” ucap Arino begitu ia sampai di kelas, dia langsung berhambur memeluk Juna.

“Tai, mana ada gue godain perawat di rumah sakit. Yang ada tiap mereka masuk ke ruangan rawat, gue sering jiper,” jawab Juna sembari ketawa-ketawa, badan Juna itu bongsor, tinggi dan berisi tapi dia takut sekali dengan jarum infus dan jarum suntik.

Teman-temanya itu berkerubung di kursinya. melihat Arino, Juna jadi ingat kalau kemarin cowok itu baru saja resmi menerima jabatan sebagai kapten tim basket SMA Orion. Juna ngerasa dia harus setidaknya memberi selamat pada temannya itu.

by the way, No. congrats ya, gila akhirnya jadi juga lo nyandang gelar kapten,” ucap Juna.

“Aduh gue di selametin gini jadi pengen nyombong-nyombongin diri,” Ino terkekeh cowok itu memang senang sekali bercanda. Dan Juna paham dengan tabiat sahabatnya itu.

“YEEEEEEEE,” hardik Juna dan Hadi bersamaan.

“Eh tapi, Jun. Gimana sama perkembangan kaki lo pasca operasi? coach kemarin sempet nanya ke gue,” tanya Arino.

“Gini-gini aja deh, No. Gak nambah kaki gue masih 2 jumlahnya.” mereka berdua memang sama saja nyelenehnya.

“Bukan gitu tai, gue juga tau kaki lo 2,” ujar Arino emosi, “maksud gue udah mendingan?”

Juna terkekeh, menurutnya Ino kalo nyolot itu lucu banget. “Lumayan, tapi gue masih harus pake kruk buat jalan.”

“Tapi lo masih bisa basket kalo udah pulih kan, Jun?” tanya Hadi yang berhasil membuat Juna sedikit terdiam di kursinya.

Hatinya meringis, pertanyaan yang sangat Juna hindari itu justru terlontar pertama kali dari bibir sahabatnya sendiri. Tapi enggak apa, toh Hadi memang hanya ingi tahu saja, tidak ada sedikipun niatnya untuk membuat Juna tersinggung.

“Gue belum tau, tapi yang jelas Dokter gak menyarankan gue buat balik basket. riskan, No, Di. Gue bakalan punya resiko kalo ligament gue balik robek kalo tetap maksa.”

Hadi jadi tidak enak sendiri membahas soal kelanjutan karir basket Juna, apalagi saat menyadari air wajah cowok itu sedikit muram. Hadi tau, pasti tidak mudah bagi Juna untuk bisa menerima keadaanya, jika ia kemungkinan besar tidak akan bisa kembali ke lapangan.

Karena Hadi sendiri merasakannya jika sesuatu ia gemari saat ini tidak bisa ia lakukan lagi. Hadi itu mengalami cidera pita suara, tapi ia merahasiakan ini dari teman-temannya karena ia tidak ingin di kasihani. Itu lah alasan kenapa Hadi bilang dia tidak akan bernyanyi lagi dan memutuskan untuk keluar dari club musik dulu. Menurutnya ia masih bisa bicara saja sudah sesuatu yang harus ia syukuri saat ini.

“Gapapa lah, Jun. Yang penting kaki lo gak sakit lagi, lagian basket bukan akhir dari segalanya meski basket juga dunia elo, gue yakin kok, elo bisa makin gede meski bukan dari basket,” Ino menepuk pundak Juna, berusaha untuk membuat Juna tabah akan keadaanya.

“Iya, No. Karen juga bilang gitu.”

Tidak lama kemudian bel masuk jam pelajaran pertama pun di mulai, pagi ini ada pelajaran bahasa Indonesia di jam pertama. Dan mata pelajaran itu di ajar oleh Bu Rosa, begitu masuk ke kelas 11 IIS 4. mata Bu Rosa langsung tertuju pada seragam yang di kenakan oleh Juna.

“Arjunandra, kenapa seragam kamu kaya gitu? Kemana dasi, name tag kamu dan rompinya?” tanya Bu Rosa.

Juna baru sadar jika ia tidak memakai dasi, saking seringnya Juna ke sekolah dengan seragam club basketnya, Juna jadi hampir jarang memakai seragam sekolah dengan lengkap, seperti dasi, name tag, dan rompi.

“Lupa, Buk.. Anu ketinggalan.”

“Hari ini saya maafkan, awas aja kamu besok masih gak pakai seragam lengkap. Kamu sudah bukan atlet sekolah, jadi pakai seragamu yang lengkap!” ucap Bu Rosa tegas.

Di SMA Orion ada sedikit kelonggaran untuk mereka yang menjadi atlet sekolah, biasanya Juna hanya datang ke sekolah dengan seragam club nya saja, Seperti jaket dan celana training saja.

Begitu Bu Rosa mengatakan itu, semua teman-teman Juna dan siswa-siswi lainya menoleh ke arah Juna. Juna memang belum memberikan surat pengunduran diri ke club secara resmi, tapi Bapak sudah menelpon coach kemarin dan mengatakan Juna akan mengundurkan diri dari club karena cedera kakinya.


“Masih sakit yah, Jun. Kaki kamu?” tanya Karen.

Ini sudah jam istirahat, Karen dan Juna memutuskan untuk menghindari keramaian di kantin. Selain Juna malas untuk di tanya-tanyai soal pengunduran dirinya, Juna juga takut kakinya keseggol siswa lain yang memadati kantin.

Jadi di jam istirahat pertama mereka lebih memilih taman sekolah menjadi tempat mereka untuk menghabiskan jam istirahat.

“Agak nyeri, Sayang. Tapi udah gapapa kok, eh ini, roti bakar kamu kok enggak di makan? malah aku yang makan,” Juna terkekeh, Karen memang membawa bekal ke sekolah. Gadis nya itu memang agaj malas makan di kantin di jam istirahat pertama, karena akan sangat padat dan berebut, Karen baru akan jajan di kantin saat istirahat kedua.

“Aku masih kenyang, tadi Mas Kara bikin nasi kari buat sarapan.” Karen duduk di sebelah Juna, ia tersenyum dan sedikit menyingkirkan rambut tebal Juna yang menutupi kening cowok itu.

“*kaya apa kamu di masa depan, Jun? Apa kamu udah menikah? Apa hidup kamu baik-baik aja?” ucap Karen dalam hati saat memperhatikan Juna yang sedang makan.

“Balik nanti kamu latihan lagi dong, Sayang?”

“Um,” Karen mengangguk. “Bakalan makin padat karena tinggal dua hari lagi.”

“Pacarku keren banget sih!” karena gemas, Juna menjawil hidung mancung pacarnya itu. “Nanti aku datang yah? Kata Kevin bakalan ada pertunjukanya juga?”

Karen mengangguk, “Kamu bareng Kevin sama Alifia aja, dia juga mau nonton kok.”

“Boleh,” Juna tersenyum. “Ren?”

“Hm?” Karen menoleh ke arah Juna, Juna bisa melihat bagaimana cerahnya gadis itu saat dirinya sudah kembali ke sekolah.

“Tadi Bu Rosa yang ngomong ke anak-anak di depan kelas kalo aku udah bukan atlet sekolah lagi,” ucap Juna lirih.

“Kok Bu Rosa bisa bilang gitu?” tanya Karen, itu pasti menyakiti Juna sekali walau kenyataanya memang seperti itu.

“Karena aku gak pakai seragam lengkap, saking seringnya aku pakai seragam club. Sampai lupa kalo lagi KBM aku harus pakai seragam asli sekolah,” Juna terkekeh, menertawakan kemalanganya hari ini.

“Di lokernya Kevin, ada rompi sama dasi nya. Kayanya muat sama kamu, aku ambilin yah?”

Juna menggeleng dan menahan tangan Karen agar gadis itu tidak pergi meninggalkanya, menurut Juna percuma juga. Sudah banyak guru yang menegurnya perihal seragam, Juna juga sudah terbiasa di tegur untuk hari ini.

“Gausah, Ren. Punyaku masih ada di rumah. Aku cuma lupa aja kalo aku udah gak akan latihan, makanya pakai seragam asal-asalan kaya gini.”

Kedua bahu Karen merosot, ia memandangi wajah Juna yang tampak redup itu. Ia merasa ada awan mendung di sana, dan Karen benci awan mendung dan hujan.

“Besok pagi aku telfon kamu yah, aku ingetin supaya pake seragam lengkap.”

Juna menoleh ke arah Karen, ia tertawa mendengarnya. Juna tau niat Karen baik, tapi ia juga belum sepikun itu, Juna hanya belum terbiasa saja.

“Aku belum sepikun itu Karenku sayang,” Juna mencubit pipi Karen dengan gemas.

“Ihhh, Jun. Tangan kamu kotor tau abis makan!” hardik Karen, ia cemberut sembari membersihkan wajahnya dengan tissue yang selalu ia bawa.

“Habisnya gemes aku sih sama kamu, aku emang bodoh. Tapi ingatan aku tuh bagus tau,” ucap Juna menyombongkan dirinya.

“Ih sombong banget awas aja kamu habis ngomong gini nanti jadi pikun kaya kakek-kakek,” Karen terkekeh pelan.

“Jangan dong, emang kamu mau punya pacar kaya kakek-kakek? Nanti kalo aku pikun, terus lupa sama kamu gimana?”

“Aku cari pacar lagi!!”

“Ih sembarangan kamu!” pekik Juna, ia kembali mencubit pipi Karen dengan gemas lagi.

Saat sedang asik bercanda sembari mengobrol, Juna tidak sengaja melihat ada memar di punggung tangan Karen. Sudah hampir pudar, tapi tetap saja terlihat karena kulit Karen itu putih.

“Ren, tangan kamu kenapa?” Juna mengambil tangan Karen dan mengusap memar yang ada di punggung tanganya.

“Ak...aku gak tau, Jun. Udah beberapa hari kaya gitu, waktu aku bangun tiba-tiba aja udah memar kaya gitu.”

“Kamu kecapekan? Atau kepentok?”

Karen menggeleng, ia ingin bercerita tentang suara Juna yang ia dengar tempo hari. Namun Karen mengurungkan niatnya, ia takut ini semua masih berhubungan dengan dirinya yang tiba-tiba saja kembali ke masa lalu.

“Besok aku bawain salep yah, biar memar nya cepat hilang—” Juna diam sebentar, ia jadi teringat jika ia juga memiliki memar seperti itu, maka dari itu Juna memeriksa ke punggung tanganya sendiri.

Juna ingat ia mendapatkan memar itu karena bekas infusan di tanganya, Juna memperhatikan kembali memar yang berada di tangan Karen. Dan memar itu sama seperti miliknya ada bekas lingkaran kecil persis seperti bekas jarum infus yang di cabut.

“Ren, memar kamu kaya memar di tanganku,” ucap Karen.

“Masa sih, Jun?”

Juna menunjukan memar bekas infusan miliknya pada Karen, dan Karen baru menyadari jika memar itu sama seperti miliknya.

“Memar ini aku dapat karena bekas infusan, kamu gak di infus kan?” tanya Juna.

Karen hanya menggeleng pelan, namun raut wajahnya terlihat kalut.

“Tapi di lipatan tanganku juga ada, Jun.”

“Mana? Coba aku lihat.”

Karen menggulung seragam miliknya hingga lipatan tanganya terlihat, memar-memarnya masih ada dan terlihat sangat jelas yang di lipatan tangan.

“Kaya bekas di ambil darah,” ucap Juna.

Mendengar ucapan Juna, membuat Karen terteguh di tempatnya. Ia bingung sebenarnya apa yang telah terjadi pada dirinya hingga memar-memar ini muncul secara tiba-tiba.

Hari ini semua nampak hectic karena hari perlombaan club paskibraka akan segera di mulai, hari ini, semua pengurus club paskibra nampak sibuk membantu tim yang akan berlomba untuk memakai atribut mereka masing-masing. Penampilan yang akan di tampilkan dan di perlombakan oleh SMA Orion kali ini adalah Lomba Formasi Pengibaran Bendera (LFPB) dan juga Lomba Ketangkasan Baris Berbaris (LKBB).

Di ruang tunggu, Karen nampak sedikit cemas saat pembawa acara akan segera memanggil SMA selanjutnya, Pak Yasir bilang kalau sebentar lagi SMA Orion yang akan tampil. Karen bukan enggak percaya diri sama sekali akan penampilanya bersama tim nya hari ini, toh dia sudah tahu hasilnya karena ini adalah hidup keduanya di tahun 2016.

Hanya saja Karen sedikit cemas karena takut ada hal yang jauh dari dugaanya, karena berhasil mengubah takdir yang terjadi. Karen takut itu juga akan berdampak pada kisahnya di tahun ini.

Oh iya, ngomong-ngomong, Kevin, Juna, Alifia dan beberapa teman-temannya yang lain juga datang untuk mendukung Karen dan tim paskibraka SMA Orion. Karen tadi sempat bertemu Juna sebentar, Juna bilang dia sudah menyiapkan sesuatu untuknya nanti bagaimana pun hasilnya.

“Udah siap kan, Ren?” tanya Mas Satya, cowok itu masuk ke ruangan lagi untuk memeriksa tim nya.

Karen mengangguk pelan, “cuma agak sedikit gugup aja sih, Mas.”

“Gugup kenapa?”

“Penampilan dari SMA lain keren-keren banget.”

“Kalau gitu, kita jauh lebih keren dari pada mereka.” Mas Satya tersenyum, ia berusaha menenangkan Karen agar gadis itu tidak gugup.

Begitu nama SMA Orion di panggil, tim langsung bergegas masuk ke lapangan dan menunggu aba-aba dari pemimpin mereka. Dalam hati, Karen enggak ada hentinya merapalkan doa demi kelancaran penampilannya.

Begitu SMA Orion mulai menunjukan penampilan mereka, dari arah kursi penonton semua bertepuk tangan. Karen dapat merasakan euforia pendukung dari sekolahnya begitu heboh dan itu menambah kepercayaan dirinya.

Namun lain halnya di kursi kiri sebelah Juna duduk, di sana ada Kania dan teman-temannya memperhatikan Karen dan tim paskibraka mereka tampil. Wajah Kania nampak masam, dan sesekali ia mendengus saat melihat Karen.

“Biasa aja penampilannya, kayanya masih bagusan SMA Pelita Bangsa deh,” ucap Muthia yang langsung terdengar oleh Juna. Pasalnya suara gadis itu cukup keras hingga Juna bisa mendengar hingga ke kursinya.

sorry, Mut. Lo kok malah dukung SMA lain? Lo kan sekolah di Orion,” Juna memperingati.

“Ya emang iya kok, gue dukung SMA kita tapi gue gak objektif kalo soal penampilan SMA kita emang kurang. Apalagi penampilannya Karen, kurang banget.”

“Kurang dimana nya? Perasaan bagus-bagus aja.”

“Karen itu gak kompak kakinya sama yang lainya. Gue bisa liat dia juga kelihatan ragu-ragu pas ngelangkah, aneh banget.”

“Udah-udah malah ribut lo berdua,” ucap Kania menengahi, “lagian yang di bilang Muthia bener kok, Jun. Karen emang kelihatan ragu-ragu. Lagian yah, lo masa gak tau kalo cewek lo sempet gak ikut latihan 5 kali? Posisi yang dia ambil juga itu posisi formasi gue, yang ikut latihan lengkapnya tuh kan gue jadi gue yang paham.”

“Gue tau kok Karen emang sempat gak latihan 5 kali, dia selalu cerita semua ke gue. Tapi gue juga tau usaha dia latihan keras buat mengimbangi penampilannya hari ini, kalo Karen gak bisa ngimbangin, dia gak mungkin lolos seleksinya sampe bisa wakili club buat ikut lomba ini.”

Kania menggeleng-gelengkan kepalanya, “Juna.. Juna.. Anak-anak club juga udah tau yah, kalo Karen itu anak emas di club, apalagi dia dekat banget sama Mas Satya. Lo gak tau sih, kalo Mas Satya yang maksa-maksa Pak Yasir supaya Pak Yasir bikin Karen lolos seleksinya.”

“Maksud lo?” Juna mengerutkan dahinya heran.

“Mas Satya tuh suka sama Karen, Jun. Makanya Mas Satya gencar banget bagus-bagusin Karen depan Pak Yasir meski dia udah bolos latihan 5 kali. Lo gak tau yah, kalo Karen sempat jalan berduaan sama Mas Satya?”

“Jalan berdua?” tanya Juna yang di jawab anggukan kecil oleh Kania.

Gadis itu langsung mengeluarkan ponselnya dan menunjukan foto-foto Mas Satya dan Karen di toko sepatu. Mereka memang nampak berduaan saja di sana.

“Ini waktu Karen beli sepatu kan? Karen cerita ke gue kok. Mereka juga enggak berdua ada Kevin di sana.”

“Mana? Kok disini gak ada Kevin nya? Lo nih, mau aja di kibulin Karen.”

Juna hanya diam saja, dia terlalu malas menanggapi celotehan Kania. Tapi dari yang Juna tahu. Kania, Muthia, Selvi dan Selo adalah teman dekat Karen. Lalu kenapa mereka semua tampak menjelek-jelekan Karen seperti ini? Juna enggak percaya sama yang di bilang Kania, dia lebih percaya sama Karen. Apalagi Karen sempat mengiriminya foto selfie bersama Kevin dan sepatu baru nya.

Setelah SMA Orion tampil, ada beberapa pertunjukan dari SMA lainya. Semua tampak bersemangat menyemangati SMA masing-masing sampai akhirnya acara akhir pun tiba, dimana semua peserta dan pendukung SMA mereka masing-masing nampak tegang saat pembawa acara akan mengumumkan pemenang dari lomba ini.

“Saatnya yang di tunggu-tunggu, kita sama-sama tahu kalau penampilan semuanya hari ini bagus-bagus, namun ada penilaian sendiri dari juri yang memutuskan untuk memilih SMA ini menjadi SMA yang berhasil membawa pulang piala bergilir.”

“Dan SMA yang berhasil memenangkan piala bergilir kementrian pendidikan Indonesia adalah SMA Orion!!!”

Begitu mendengar nama SMA Orion di sebut Karen langsung menitihkan air mata di ruang tunggu, di sambut dengan gelak kegembiraan tim mereka dan juga murid yang turut hadir mendukung paskibra SMA Orion.

“Karen, kamu berhasil bawa kembali piala bergilir nya, Ren!” pekik Mas Satya. Wajah cowok itu yang nampak selalu terlihat dingin, kini berubah menjadi lebih hangat karena sudut bibir itu melengkung membentuk sebuah senyuman.

“Jantung Karen udah hampir lompat dari tempatnya, Mas.”

Karena terlalu excited Mas Satya tidak sengaja mengusap pucuk kepala Karen, dan itu juga sontak membuat senyum di wajah Karen memudar.

“Karen, Satya!! Ayo ke depan, kita harus memberikan speech,” ucap Pak Yasir pada Karen dan Mas Satya.

Keduanya langsung keluar dari ruang tunggu menuju lapangan, mereka berbaris seperti formasi semula dan memperkenalkan asal SMA mereka. Selanjutnya di susul oleh pidato kemenangan dari Pak Yasir selaku pelatih sekaligus pembina dari club paskibraka.

Di barisannya Karen sudah nampak sedikit pusing, matanya sedikit berkunang-kunang dan pendengarannya mulai samar. Namun gadis itu berusaha sebisa mungkin untuk tetap berdiri tegap di tempatnya.

gue kenapa? Kenapa pusing banget?

Karen menarik nafasnya pelan, ia juga sempat memejamkan matanya sebentar. Piala yang mereka dapatkan sudah di pegang oleh Pak Yasir, dan kini ada sesi foto bersama piala kemenangan dan juga mentri pendidikan yang turut hadir.

Namun belum sampai sesi foto tersebut selesai, tubuh Karen mulai limbung, ketika pendengarannya berdenging nyaring dan pandanganya mengabur, lalu semuanya berjalan begitu cepat hingga matanya hanya menangkap warna hitam di ikuti tubuhnya yang kian lunglai mendarat pada aspal, pendengaran Karen samar-samar masih berdenging, namun ia bisa mendengar orang-orang panik memanggil namanya.

“Karen pingsan!!” pekik seseorang.

Mas Satya yang melihat Karen pingsan langsung panik dan segera menggendong gadis itu untuk menuju UKS, tubuh Karen benar-benar dingin dan berkeringat hebat, bukan hanya tim paskibra saja yang panik. Di kursi penonton Kevin dan Juna juga sama paniknya.

Kedua laki-laki itu langsung melesat dari kursi mereka dan berlari menuju UKS untuk melihat kondisi gadis itu. Namun saat kedua tiba di UKS, dokter yang berjaga menyuruh semuanya menunggu di depan hingga pemeriksaan selesai.

“Mas, Karen kenapa?” tanya Kevin panik pada Mas Satya.

“Saya juga gak tau, Kev. Tiba-tiba aja dia pingsan padahal tadi baik-baik aja,” jelas Mas Satya.

Tangan Kevin sedikit gemetar, cowok itu memang mudah panik. “Tapi kalo Karen sakit, seharusnya gue juga sakit kan?” gumamnya.

“Gue telfon Mas Kara dulu, Kev. Lo duduk dulu disini yah,” ucap Juna, ia menyuruh Kevin untuk duduk di kursi sementara ia menelfon Mas Kara.

Beruntung saat Juna menelfon Mas Kara, Alifia, Ayu dan Safira datang untuk menenangkan Kevin.

“Hallo, Mas. Ini Juna, Mas Kara dimana?”

ada apa, Jun? Mas lagi di resto nih, ada apa?

“Karen pingsan, Mas. Kayanya kecapekan deh. Mas Kara bisa datang buat jemput Karen, Mas? Nanti Juna kasih alamatnya.”

astaga, oke kirimin alamatnya segera yah, Jun. Tapi sekarang keadaan Karen gimana?” tanya Mas Kara dengan nada bicara yang tampak khawatir.

“Karen masih di periksa, Mas.”

yasudah, Mas izin sama supervisior Mas dulu yah, kabari Mas terus, Jun.

“Oke, Mas.”

Ah, Jun. Tapi Kevin gimana?

Juna menoleh ke arah Kevin, cowok itu nampak baik-baik saja meski wajahnya sedikit pucat. Namun Kevin nampak sehat, pucat di wajahnya karena cowok itu terlalu panik mengkhawatirkan kondisi Karen.

“Kevin baik-baik aja, Mas. Dia lagi di temani Alifia.”

Setelah mengabari Mas Kara, kebetulan sekali Dokter yang memeriksa Karen keluar dari ruang pemeriksaan.

“Wali nya Karen?”

“Saya, Dok.” ucap Juna dan Satya bersamaan. Kedua laki-laki itu saling menoleh hingga pandangan keduanya bertabrakan.

“Saya pelatihnya, dok. Gimana kondisi Karen?” tanya Mas Satya menekankan posisinya.

“Saturasi oksigen Karen menurun, dia sepertinya mengalami dehidrasi berat. Kita harus segera membawanya ke rumah sakit.”

To Be Continue

Karen di hadapkan dengan situasi cukup membingungkan, dimana kini ia mendengar suara-suara memanggil namanya. Dalam mimpinya, ia berada di sebuah padang ilalang yang cukup membuat tubuhnya tenggelam, ilalangnya cukup tinggi. Namun udara di sini cukup bersih dan langit senja menampakan warna orange yang sangat cantik. Karen belum pernah melihat pemandangan ini sebelumnya.

“Karen..”

Karen menoleh, ia mencari dari mana sumber suara itu. Suara Juna yang selalu ia dengar tiap kali Karen merasa tersesat, Karen berusaha menapaki setiap jalan, mencoba menghalau ilalang yang melebihi tinggi badannya.

“Karen bangun...”

“Ayo kita rayain kemenangan kamu, Ren.”

“Aku udah siapin semuanya.”

“Aku minta maaf karena udah salah paham.”

“Juna..” gumam Karen, hatinya terenyuh. Karen bingung. Ia masih terus berjalan setengah berlari untuk keluar dari halauan ilalang itu.

“KAREN DISINI!!!”

Karen menoleh, ia mendengar suara Kevin tapi tidak mendapati Kevin dimana pun. kemana mereka? Karen tidak ingin menyerah, ia kembali berjalan sampai kakinya tiba di sebuah lorong rumah sakit yang cukup gelap dan tidak ada orang lain di sana selain dirinya.

ini aneh.. Kenapa tiba-tiba di rumah sakit?

Karen hanya mencoba mengikuti kakinya melangkah, sambil dalam hati ia mencoba berharap menemukan seseorang di sana. Karen masuk ke sebuah ruangan yang cukup membuat bulu kuduknya merinding, ruangan dingin dengan bau obat-obatan menyeruak hingga ke tenggorokannya.

Matanya membulat ketika mendapati dirinya di sana, terbaring lemah dengan berbagai alat mengerikan menempel pada tubuhnya.

“Kenapa gue di sana?” ucap Karen bingung.

Tidak lama kemudian pintu ruangan dingin itu terbuka, menampakan Juna di sana yang masuk tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya. Seolah-olah keberadaanya tidak ada di sana, raut wajah Juna sedih, matanya berkantung dan ia duduk di sebelah ranjang tempat tubuh Karen berbaring.

Juna hanya diam, namun tangannya menggenggam erat jemari Karen yang tidak terhalang oleh selang apapun. Bibir Juna bergetar, seolah ada kata-kata yang tertahan atau ia hendak menangis.

“Juna...” Karen menghampiri Juna, mengusap bahu pemuda itu yang nampak bergetar, Juna menangis?

“Aku disini, Jun. Ayo kita pergi, aku gak suka disini.”

Namun ucapan Karen tidak di gubris oleh Juna, ia masih bergeming dan terus mengusap punggung tangan Karen. Berharap gadisnya itu akan membuka kedua matanya suatu saat nanti.

“Karen!!” panggil seseorang, Karen menoleh ke arah pintu dan mendapati Juna yang lain dengan seragam sekolah tersenyum ke arahnya.

“Juna?”

“Kamu ngapain disitu? Sini!” tangannya melambai, senyum di wajah Juna tidak pudar saat menyuruh Karen menghampirinya.

Ada 2 Juna dan 2 dirinya, Juna yang sedang menangis nampak jauh lebih dewasa. Mengenakan kemeja biru muda dengan celana bahan berwarna hitam, ada arloji di tangan sebelah kirinya. Juna juga mengenakan kaca mata, perawakannya seperti laki-laki dewasa berusia 25 tahun.

Sementara Juna yang memanggilnya seperti Juna yang terakhir ia temui, mengenakan seragam SMA Orion yang tidak ia masukan kemeja putihnya ke dalam celana, nampak seperti Juna muda yang berusia 17 tahun.

“Ren, ayo pulang! Katanya mau makan ayam buatan Ibu?”

“Jun,” Karen menghampiri Juna, ia nampak bingung namun Juna tersenyum dan menggandeng tangannya.

“Kita mampir ke resto Ibu dulu yah, Bapak bikinin makanan buat kita sama yang lain.”

Karen tidak menyahut ia hanya menuruti Juna dan mengikuti setiap langkahnya, sampai akhirnya mereka masuk ke sebuah terowongan yang cukup panjang dan menyilaukan matanya. Karen merasa Juna melepaskan pautan tangan mereka, Karen juga tidak merasakan kehadiran Juna lagi di sana sampai akhirnya Karen keluar dari terowongan panjang itu.

Matanya terbuka, Karen telah sadar dan mendapati Juna, Kevin dan Mas Kara berada di depannya. Ketiga laki-laki itu nampak memandangnya penuh khawatir, Karen ingin bangun namun tubuhnya begitu lemas.

“Ren.. Syukurlah, akhirnya kamu bangun juga, Dek.” Mas Kara mengusap pucuk kepala Karen, sementara Karen masih menelah apa yang sedang terjadi sebenarnya?

“Kok aku disini?” itu kalimat pertama yang keluar dari bibir Karen.

“Ren, kamu pingsan waktu habis lomba, kata Dokter kamu dehidrasi berat dan tekanan darah kamu juga turun,” jelas Juna.

“Kamu sih latihannya di forsir, Ren.” hardik Kevin.

Karen hanya diam, tapi matanya terus memandang Juna. Juna yang tadi menjemputnya, Juna juga mengenakan seragam sekolah persis seperti di mimpi Karen.

“2 hari kamu gak bangun-bangun, Ren.” ucap Mas Kara.

Karen masih bergeming, ia cukup bingung mimpi apa yang sebenarnya ia lihat tadi.

“Mas Kara enggak kerja? Kevin sama Juna enggak sekolah?”

“Gimana Mas mau kerja kalau kamu belum bangun, Mas cuti seminggu sampai kamu pulih.”

Juna tersenyum, “aku udah pulang, Ren. Tiap abis pulang sekolah aku sama Kevin selalu ke sini jenguk kamu.”

Karen hanya mengangguk, setelah merasa lebih baik dan tubuhnya tidak begitu lemas. Karen menyuruh Mas Kara untuk pulang, ternyata Mas Kara belum pulang sejak Karen di pindahkan ke rumah sakit. Mas Kara juga belum mandi sampai-sampai wajahnya lengket dengan minyak.

Kevin juga sedang membeli makan untuk Juna dan menjemput Alifia yang akan menjenguk Karen, dan sekarang hanya ada Juna saja yang menemani Karen sembari mengupas jeruk untuk Karen makan.

“Jun?”

“Hm?” Juna mendongak, ia memberikan 1 jeruk yang sudah ia kupas ke tangan Karen.

“Aku mimpi panjang dan bikin badan aku capek,” ucap Karen.

“Mimpi apa, sayang?”

Karen diam sebentar, matanya menelisik wajah Juna yang kini menatapnya lembut. Apa Juna dewasa di dalam mimpinya adalah gambaran Juna dewasa di tahun 2023? Lalu bagaimana dengan dirinya yang terbaring di ranjang rumah sakit?

Karen menggeleng pelan, lidahnya terlalu keluh untuk mengatakan tentang mimpi yang menyita pikirannya.

“Lupa.”

Juna terkekeh, “mimpiin apa gitu kamu gak ingat? Atau ingatan pacarku ini kaya ikan?”

Karen hanya diam, ia kembali memakan jeruk yang Juna kupas tadi. Karen baru ingat, di tahun 2015 setelah Karen menang dari lomba itu. Ia tidak masuk rumah sakit, ia justru merayakannya di restoran ayam kalasan milik orang tua Juna kemudian berlanjut ke tempat karaokean.

Itu artinya takdirnya berubah di hidupnya yang kedua di tahun ini?

“katanya kamu mau kasih aku hadiah, aku menang kan?”

“Kamu nih, baru siuman udah minta hadiah. Ingat aja lagi,” Juna terkekeh, ia menyuapi Karen jeruk yang sudah ia kupas bersih tadi. “Ada, udah aku siapin. Tapi kamu sembuh dulu deh.”

“Apa, apa hadiahnya Jun?”

“Rahasia lah. Enak aja aku kasih tau sekarang, sembuh dulu baru aku kasih tau.”

Karen cemberut, “dasar pelit.”

“Biarin, ini hukuman bikin kamu penasaran karena gak bangun 2 hari. bikin aku, Mas Kara dan Kevin khawatir. Eng...gak sih, semua orang khawatir waktu kamu pingsan.”

Karen menahan tangan Juna, cowok itu berhenti mengupas jeruk dan kini menatap Karen. Mata teduh yang selalu membuat hati Karen menghangat itu kini menatapnya, sungguh, Karen sangat penasaran seperti apa keadaan Juna sekarang.

“Makasih udah antar aku bangun yah, Jun.”

“Anterin kamu ke rumah sakit maksudnya?”

Karen menggeleng, “aku bisa bangun karena di mimpi aku, kamu anterin aku pulang.”

Juna terkekeh, ia menjawil hidung Karen dengan gemas. “Kamu yah, tidur 2 hari aja masih bisa mimpiin aku.”

“Aku selalu mimpiin kamu tiap tidur, Jun.”

“Gombal yah kamu?” pekik Juna, kupingnya sudah merah seperti tomat, Juna salah tingkah banget. Karen enggak gombal, dia mengatakan hal yang sebenarnya.

“Serius.”

“Gombal ah, tapi kamu bangun-bangun kenapa jadi gombal gini sih?”

“Aku gak gombal.”

“Gombal itu pasti, pokoknya kamu gombal.”

“Enggak.”

“Gombal.”

“Enggak.”

“Gombal, gombal, gombal.”

Karen mendengus, ia mencubit pipi Juna kencang karena kesal. “Enggak!!”

“Gombal itu, aaahhh lepasin, Ren. Sakit tau nanti pipi aku melar gimana?” Juna sudah setengah berdiri karena pipinya di tarik.

Karena tidak tega akhirnya Karen melepaskannya, namun kedua nya baru sadar jika jarak mereka sedekat ini. Apalagi tangan kiri Juna kini bertumpu pada ranjang Karen, membuat wajah cowok itu berada di atas wajah Karen.

“Ren?”

“Hm?”

Jemari Juna kini mengusap wajah Karen dengan lembut dan penuh kasih sayang, tangannya besar dan selalu hangat, itu yang selalu Karen ingat tentang Juna.

“Jangan sakit lagi yah.”

Karen hanya mengangguk, namun kedua tangannya menangkup wajah Juna semakin mendekat ke arahnya. Keduanya saling memejamkan mata, dan memiringkan kepala mereka berlawanan arah. Sampai akhirnya Karen bisa merasakan bibir Juna mendarat di atas bibirnya.

Tidak ada lumatan, hanya kecupan kecil penuh kehati-hatian namun sangat membuat Karen mendamba. Karen ingat ciuman pertamanya memang di curi oleh Juna, tapi bukan di rumah sakit, melainkan di taman saat Karen merasa kecewa waktu Mas Kara merahasiakan sakitnya pada Karen dan Kevin.

Bibir Juna masih mengecup, Karen juga turut mengecup bibir Juna sembari meremas blazer yang di pakai laki-laki itu.

Tanpa keduanya sadari, Kevin dan Alifia sudah berada di depan pintu ruang rawat Karen. Termenung di sana tanpa berani membuka pintunya ketika keduanya melihat Karen dan Juna tengah berciuman.

“Aku gak nyangka Juna seberani itu...” gumam Karen.

“Ck,” Kevin berdecak. “Kita masuknya nanti aja, dari pada ganggu.”

Kevin melangkah menjauh dari ruang rawat Karen, kemudian langkahnya disusul oleh Alifia yang nampak bingung, namun penasaran bagaimana Juna dan Karen bisa memulai ciuman mereka, Alifia belum pernah mendapatkan ciuman pertama, bahkan setelah satu tahun berpacaran dengan Kevin.

“Ihhh, Kev. Mau kemana sih?”

“Beli es krim.”

“Ihhh... Aku gak mau es, maunya ciuman.”

“Nanti aku kasih, tapi enggak di rumah sakit.”

“Ih beneran yah, Kev.” gadis itu mensejajarkan langkahnya dengan Kevin, sementara itu Kevin justru salah tingkah sendiri dengan ucapannya barusan.

memangnya dia berani mencium Alifia? Kevin memang bucin banget sama Alifia, tapi batas pacaran mereka hanya sampai berpelukan dan gandengan saja, walau sering kali Alifia bilang dia ingin merasakan ciuman pertamanya.

“UNTUK KEMENANGAN CLUB PASKIBRAKA SMA ORION!!!!” pekik Hadi, di barengi oleh Juna, Karen, Ayu, Kevin, Alifia, Safira, Agung, Fajri, Ino yang mengangkat gelas berisi cola tinggi-tinggi.

Setelah mengadu gelas masing-masing, barulah mereka menenggak gelas berisi cola itu. Hari ini, Juna mengadakan pesta kemenangan untuk club paskibraka SMA Orion di restaurant ayam kalasan milik orang tua nya.

Karen sudah pulang dari rumah sakit setelah 5 hari di rawat, kondisinya saat kini sudah membaik. Ngomong-ngomong soal club, Karen sudah mengundurkan diri dari paskibraka. Sesuai janjinya setelah mengembalikan piala bergilir itu ia akan segera mengundurkan diri, meski Pak Yasir, Mas Dito dan Mas Satya sempat menahan Karen. Namun keputusan Karen sudah bulat saat ini.

“Enak gak sayang?” tanya Juna.

Karen mengangguk, ayam kalasan Ibu nya Juna enggak pernah salah. Malahan rasanya jauh lebih enak karena Karen benar-benar merindukan ayam buatannya, sejak putus dari Juna, Karen enggak pernah lagi datang ke restaurant orang tua nya Juna. Sekalipun ia merindukan ayam gorengnya, Karen akan menahanya dan lebih memilih makan ayam goreng yang lain.

Bahkan dulu Kevin pernah memesan ayam goreng dari restaurant orang tua Juna lewat jasa pesan antar, namun Karen enggan memakannya.

Di masa depan Karen berusaha melupakan Juna bagaimana pun caranya meskipun perasaanya pada Juna tidak berubah sedikitpun, bahkan di hari ia bunuh dirinya, Karen masih membawa perasaan sayangnya untuk Juna. Juna itu cinta pertama Karen, dan mereka putus karena kesalahpahaman yang tidak Karen luruskan, putus dari Juna adalah penyesalan terberatnya.

“Enak, selalu enak, Jun. Malah jauh lebih enak lagi sekarang,” ucap Karen dengan mata yang berkaca-kaca.

Juna tersenyum, ia mengambil beberapa potong ayam lagi dan menaruhnya di piring Karen. “Makan yang banyak yah, nanti kalau kurang aku bilang sama Ibu lagi.”

Karen mengangguk, ngomong-ngomong 2 hari lagi adalah hari keberangkatan mereka ke Dieng dan Jogja. Karen sudah melunasi biayah keberangkatanya dan Kevin, berserta perbekalan untuk mereka disana. Itu semua berkat hadiah dari ketua yayasan karena tim paskibraka berhasil membawa kemenangan.

“Eh, eh, eh gila sumpah ini beneran?!” pekik Fajri saat ia melihat ke arah ponselnya, tadi cowok itu sempat merekam momen mereka untuk ia abadikan di sosial medianya. Fajri itu selegram, yah walau jumlah pengikutnya belum sebanyak itu.

“Kenapa sih lu? Lebay bener!” hardik Ayu, ia kemudian bergeser ke sebelah Fajri supaya bisa melihat apa yang tengah di lihat cowok itu.

“EH GILAAAAAA!!” lanjutnya.

“Ada apa sih?” sambung Hadi.

“Kak Jeremy sama Megan,” ucap Ayu.

“Kenapa sih?” karena penasaran Alifia jadi ikut mendekat ke arah Ayu. “Hah? Megan di keluarin dari sekolah?”

“Eh kenapa? Ngomong-ngomong, ini Megan yang IIS 2 itu kan?” tanya Kevin.

“Iya, sumpah yah kasian banget..” ucap Hadi.

“Ada apa sih?” karena ikut penasaran akhirnya Karen bertanya.

“Ini, Ren. Megan di keluarin dari sekolah, kayanya rumor itu beneran deh.”

“Rumor apa?” tanya Juna.

“Soal Megan hamil. Makanya dia di keluarin, terus Kak Jeremy juga jadi lebih pendiem. Kaya nya sengaja Pak Purba gak ngeluarin Kak Jeremy karena dia udah kelas 12, terus juga marga mereka sama. Mungkin atas dasar kekeluargaan kali yah? Tapi tetap aja ini gak adil buat Megan,” jelas Ayu.

“Ihhh kok lo diem-diem biang gosip sih, Yu?” pekik Ino, dari tadi cowok itu sibuk memakan ayam.

“Ih bukan gue yang biang gosip, masalahnya tuh rumor ini udah nyebar kemana-mana.”

tunggu, rumor?” ucap Karen dalam hati.

“Lagian yah, kayanya Megan gak mungkin pacaran sejauh itu deh, gue satu SMP sama dia. Dia dari dulu emang serinh ganti-ganti pacar, tapi gue tau banget Megan anaknya bisa jaga diri.” Safira membela Megan. Sejujurnya Karen juga setuju dengan ucapan Safira.

Karen jadi ingat, dulu Kania pernah membicarakan soal rumor tentang Megan dan Kak Jeremy saat mereka latihan dulu. Kania memang pernah membicarakan kalau Megan hamil hanya karena Megan muntah-muntah saat sedang latihan, Karen juga melihatnya. Tapi Karen pikir itu karena Megan sakit, mereka pernah satu kelas saat di kelas 10 dan Megan punya asam lambung yang sudah kronis.

Bahkan saking mengkhawatirkanya, Megan enggak bisa makan banyak-banyak atau pun minum kopi dan makan-makanan pedas.

“Rumor itu datangnya dari siapa?” tanya Karen.

“Mana ada yang tau, Ren. Namanya juga rumor, tiba-tiba nyebar gitu aja kan,” timpal Agung.

Kalau benar ini semua karena Kania, ia harus membantu Megan juga kan? Bagaimana kalau Megan tidak hamil? Seingatnya Megan memang akhirnya pindah ke Bandung dan melanjutkan sekolahnya. Bahkan Karen masih ingat, Megan jauh lebih bahagia saat pindah ke Bandung. Gadis itu bahkan berkuliah dan menikah setelah lulus, Megan enggak hamil. Dan itu semua hanya rumor enggak berdasar.

Kalau benar begitu adanya, setidaknya Karen harus membantu Megan membersihkan nama baiknya.

“Liat ini deh!” ucap Fajri, ia memberi lihat ponselnya yang menampakan video, video itu di ambil di ruang guru. Dimana ada seorang laki-laki mengamuk tidak terima karena Megan di keluarkan, itu adalah Kakaknya Megan.

“Itu Mas Jingga, Kakaknya Megan. Dia kalau enggak salah guru deh, dia marah banget.”

“Gimana kalau seadainya Megan gak hamil? Gimana kalau dia gak salah dan cuma korban dari rumor gak berdasar itu?” ucap Karen.

“Kalo beneran gitu, kacau banget sih, sayang. Pembuat rumor itu harus tanggung jawab,” jawab Juna.

“Tapi masalahnya siapa?”

Tidak ada yang menjawab lagi, sampai akhirnya Kevin mengubah topik obrolan mereka soal vokalis band nya yang sampai hari ini belum mereka temukan. Saking pasrahnya, Hadi bahkan mengubah penampilan mereka menjadi penampilan solo para member.

“Ren?” panggil Juna.

“Hm?” Karen menoleh. “Kenapa?”

“Aku boleh tanya sesuatu gak?” sejak Kania mengatakan jika Karen pergi ke toko sepatu hanya berdua dengan Mas Satya, Juna selalu ingin bertanya meskipun ia percaya pada Karen, Juna hanya ingin memastikanya saja.

“Tanya apa?”

“Kamu ke toko sepatunya gak berduaan aja sama Satya kan?”

Karen terkekeh, “Juna, kan aku kirim selfie aku berdua sama Kevin. Sama sepatuku juga, apa itu gak cukup bikin kamu percaya?”

“Enggak, Ren. Bukan gitu, aku cuma penasaran aja sama mau mastiin sesuatu.”

“Mastiin?” Karen mengerutkan dahinya. “Mastiin apa?”

“Kania bilang ke aku kalo kalian cuma pergi berdua. Dia bahkan punya foto kamu sama Satya berduaan di toko sepatu.”

Karen mendengus, ternyata Syarif dan Selvi sudah memberikan foto-foto itu pada Kania sebelum ia format ponselnya. Karen akhirnya mengeluarkan ponselnya, dan menunjukan video mini vlog yang Kevin buat saat mereka sedang makan di restoran ayam hainan pada Juna.

“Kevin sempat bikin video waktu kita mau makan sehabis beli sepatu,” jelas Karen.

Video berdurasi 10 menit itu menunjukan Karen yang sedang memilih makanan dari menu, Mas Satya yang sedang duduk sembari menunggu Karen memilih makanan yang akan mereka pesan dan juga suasana di restoran itu.

“Aku gak pergi berduaan aja, Jun.”

“Sayang, maaf yah. Aku.. Cuma mau mastiin aja.” sejak Kania bilang kalau Mas Satya suka sama Karen, Juna jadi sedikit khawatir jika mereka terlalu sering berdua di banyak kesempatan. Tapi sekarang Juna ngerasa gak perlu mengkhawatirkan hal itu karena Karen sudah tidak berada di club lagi.

“Jun, apapun yang di bilang Kania tentang aku semua itu gak benar, Jun. Aku gak ngerti kenapa dia lakuin ini semua ke aku.”

“Lakuin apa, Ren?” tanya Juna.

“Dia nyuruh Selvi sama Syarif ikutin aku sama Mas Satya ke toko sepatu, dia videoin dan foto-fotoin aku sama Mas Satya dengan memotong bagian Kevin yang juga di sana supaya kelihatan seolah-olah aku berduaan aja sama Mas Satya.”

“Selvi? Sama Syarif pacarnya? Mereka buntutin kamu?”

Karen mengangguk, “aku berhasil mergokin mereka waktu ngikutin aku dan hapus semua data di HP nya Syarif supaya foto-foto itu gak sampai ke kamu dan buat kamu salah paham, tapi ternyata itu semua udah sampai ke Kania duluan.”

“Itu alasannya kenapa Kevin nemuin kamu nangis di depan toilet?” tanya Juna.

“Kevin cerita ke kamu?”

Juna mengangguk, “waktu kamu di rumah sakit, Ren, harusnya kamu ngomong ke aku, biar aku bisa negur Syarif.”

Karen menggeleng kepalanya cepat, “gausah, Jun. Aku udah beresin ini semua, aku juga gak mau kamu keseret-seret.”

“Dia udah kurang ajar banget tau gak ngikutin kamu kaya gitu. Karen juga, kenapa dia tega ngomong hal yang enggak-enggak ke kamu, padahal kamu temannya.”

“Jun—”

“GUYS!!! KITA KARAUKEAN HAYUUU!!” pekik Agung, yang berhasil membuat atensi Karen dan Juna teralihkan.

“Eh iya bener, Karaukean, Yuk. Gue traktir deh!” sambung Hadi.

“Beneran?” tanya Ayu.

“Iya, sejam pertama gue yang traktir.”

“JALAN GUYSSSSS!! AYO KITA POROTIN HADI!” pekik Kevin yang di ikuti oleh yang lainya.

Mereka pun berpindah ke tempat karaukean, Kevin sempat merekam teman-temanya untuk ia masukan ke dalam daily vlog nya. Kevin gak ada niatan buat jadi vloger atau semacamnya kok, dia cuma iseng aja dan mau melatih skill editing nya. Ngomong-ngomong, di masa depan Kevin akhirnya bekerja di sebuah rumah produksi sebagai seorang editor dari hasil bekerjanya, Kevin juga berhasil melanjutkan kuliah.

Mereka semua bergantian bernyanyi dan menari, apalagi Fajri dan Ino yang paling heboh waktu Agung bernyanyi lagu dangdut. Kalau Juna sih, hanya diam saja sembari sesekali melempari teman-temanya itu dengan pop corn yang mereka pesan dari tempat karauke.

Juna enggak pandai bernyanyi, tapi Juna cukup pandai bermain gitar. Cowok itu pernah belajar main gitar dari Hadi, awalnya hanya untuk menyatakan perasaanya pada Karen, makanya Juna belajar. Tapi siapa sangka lama kelamaan Jun jadi hobi bermain gitar, apalagi kalau sedang berkumpul dengan teman-temannya.

“Ren, nyanyi dong!!” ucap Safira.

“Eh iya yah, Karen bisa nyanyi gue sampe lupa saking jarangnya dia nyanyi,” kata Kevin.

“Iya, sayang. Nyanyi dong, kamu udah lama gak nyanyi.”

Karen menggeleng pelan, “enggak, ah. Aku malu.”

“Yaelah, Ren. Malu ama siapa coba, lo gak liat apa Fajri, Hadi sama Ino lebih malu-maluin waktu nyanyi dangdut?” samber Ayu.

“Nyanyi! Nyanyi! Nyanyi!”

“Gak mau pulang sebelum Karen nyanyi!!” ucap Ino dan Fajri bersamaan.

Karen terkekeh pelan, akhirnya ia berdiri dan mengambil hand mic yang di pegang oleh Kevin. Karen menyanyikan lagu Tanpamu yang di popularkan oleh Vierratale saat itu.

Mungkin ini semua harus ku lalui Mungkin ini semua harus ku jalani Aku relaa takkan berpaling Kini aku akan menjalani hidupku Tanpamu

Hidupku tanpa kamu Memang tak ada rasanya Mapi bagaimanapun juga aku harus bertahan Aku harus meninggalkan Dirimu yang tak mungkin, menjadi milikku lagi

Saat sudah selesai menyanyikan lagunya, semuanya bertepuk tangan bahkan Juna sangat terpukau pada Karen sampai ia tidak berhenti menatap gadisnya itu di tempatnya.

“Eh sumpah, gimana kalo Karen aja yang jadi vokalis The Gifted? Warna vokalnya masuk ke lagu-lagu kita!” pekik Ayu.

“Iya juga yah.. Kok gue gak kepikiran?” gumam Hadi.

“Ini si Kevin lebih bego lagi, bisa-bisa nya dia gk kepikiran kalau saudara kembarnya bisa nyanyi.” karena kesal, Fajri memukul bahu Kevin.

“Gue mana inget, Karen jarang banget nyanyi gitu,” Kevin membela diri.

“Eh apa sih, gak ah. Gue gak mau, gue gak pede nyanyi depan anak-anak yang lain ama guru-guru.”

Karen memang pemalu, itu sebabnya dia jarang bernyanyi walau suaranya memang sebagus itu. Dulu, Kevin juga mengajak Karen masuk ke club nya, tapi Karen menolak dengan alasan dia malu kalau harus tampil di depan banyak orang.

Club musik terbilang sering berpartisipasi di pensi sekolah, bahkan The Gifted pernah di undang untuk mengisi acara pensi di sekolah lain.

“Yah, Ren. please kita butuh banget vokalis ini,” ucap Kevin memohon.

“Kev...” bahu Karen merosot.

“Ayolah, Ren. Bantu The Gifted sekali ini aja, reputasi kita di pertaruhkan nih di study tour ini,” Hadi mengatupkan tanganya di depan dada.

Karen menatap Juna, cowok itu hanya tersenyum dan mengayunkan telapak tanganya ke arah Karen, memberi isyarat jika semua keputusan itu ada di tangan Karen.

“Sekali ini aja yah?” tanya Karen.

“JADI MAU? BENERAN MAU KAN, REN?” pekik Ayu semangat.

Karen mengangguk, di ikuti oleh sorakan teman-temannya yang lain. Bahkan saking kerasnya mereka bersorak, suara nya sampai terdengar keluar.

“Akhirnya yah, band karbitan kalian gak jadi bubar,” ucap Ini meldek.

“YEEEEEEE SEMBARANGAN LO!!” karena tidak terima Ayu, Kevin, Hadi dan Fajri melempari Ino dengan sisa pop corn yang ada di atas meja.

To Be Continue

Setelah latihan berdua dengan Kevin untuk penampilanya di Jogja, Karen masuk ke dalam kamarnya. Dia mikirin rencana nya untuk membantu Megan membersihkan nama baiknya di SMA Orion, tidak apa jika Megan pindah, setidaknya orang tidak boleh menganggapnya sebagai perempuan yang hamil di luar nikah, padahal kenyataanya tidak.

Karen mondar mandir di depan meja belajarnya, menatap ponselnya yang tercantum nama Megan tanpa sempat ia telfon. Karen masih menyiapkan nyalinya, bukan apa-apa, Megan ini tahu kalau Karen berteman dengan Kania dan yang lainya. Karen hanya takut Megan tidak mempercayainya.

“Tapi harus gue telfon mau enggak mau, atau gue ajak Megan ketemuan aja?” gumam Karen, ia melihat jam di meja belajarnya yang kini sudah menunjukkan pukul 9.

“Gak gak ini udah malam dan jam 6 gue harus udah sampai di sekolah.”

Karen mengigit bibir terdalamnya, sembari menimang-nimang ponselnya, Karen sembari memikirkan rencananya membongkar rumor tentang Megan yang di sebarkam oleh Kania.

“Gue harus telfon sekarang, waktunya gak banyak!”

Akhirnya Karen menekan nomer Megan dan menempelkan ponselnya di telinga, sembari menunggu Megan menjawab telfon dari Karen sesekali ia mengetuk-etukan pulpen pada meja belajarnya.

halo?

“Halo, Megan? Ini gue Karen.”

ada apa, Ren?

Karen mengulum bibirnya sebentar, ia tidak pandai berbasa basi, jadi Karen akan langsung berterus terang saja tentang apa yang akan dia katakan.

“Ada yang mau gue bicarain sebenarnya, serius banget.”

tentang apa, Ren?

“Soal, rumor lo yang di keluarin dari sekolah.”

Karen bisa mendengar helaan nafas Megan di seberang telfon sana, ini pasti akan membuatnya risih dan terkesan is ingin tahu.

sorry, Ren. Kalau lo cuma mau tau soal itu gue gak punya waktu buat—

“Gue tau lo gak hamil, Gan. Ini semua cuma rumor bikinan orang, dan gue tau siapa orangnya.”

Megan terdiam sebentar, ia kaget kenapa Karen bisa tau soal orang di balik rumornya ini.

kok lo bisa tau? Maksud lo apa sih, Ren. Lo mau ngancam gue juga?

“Ngancam?” Karen mengerutkan keningnya. “Gan, enggak gitu. Maksud gue, lo gak mau coba ngelurusin masalah ini? Oke gue tau lo udah di keluarin, tapi setidaknya lo harus bersihin nama baik lo di SMA Orion.”

buat apa, Ren? Toh gak akan ada yang percaya sama gue. Mereka udah kenal gue sebagai cewek nakal sekarang.

“Kania, dia yang nyebarin rumor nya kan? Dia orang pertama yang bilang elo hamil, Gan.”

El...lo tau dari mana?

“Karena gue ada di sana waktu Kania ngomongin lo hamil, sama yang lainya.”

“Gan, lo harus jelasin semuanya pakai bukti.”

Gue gak bisa, Ren. Gue tetap salah, Kania punya senjata buat memperkuat rumor yang dia sebar.

apa ini sebabnya Megan berpikir gue mau ngancam dia juga?

Megan sempat diam sebentar, Karen bisa mendengar beberapa kali gadis itu menarik nafasnya dengan kasar. Seperti Megan tengah mempertimbangkan hal yang akan ia katakan.

“Ada apa sebenarnya, Gan?”

“Ren, Kania sempat mergokin gue lagi ciuman sama Jeremy dan dia foto diam-diam. Di auditorium, dia sempat nyuruh gue buat godain Juna dan bikin hubungan lo sama Juna berantakan. Dengan ngancam dia bakalan nyebarin foto-foto itu ke mading sekolah.”

Juna memang sempat menyukai Megan saat kelas 10, saat mereka OSPEK dulu. Tapi tidak lama, karena setelahnya Megan berpacaran dengan Kakak kelas dan Juna mulai beralih menyukai Karen, itu sebabnya Kania menyuruh Megan untuk menggoda Juna. Dengan harapan, Juna bisa goyah dan berakhir memutuskan hubunganya dengan Karen.

Gue takut, gue berniat buat lakuin apa yang dia suruh. Tapi belum sempat gue deketin Juna, dia malah masuk rumah sakit. Di situ gue berubah pikiran, gue gak mau ngerusakin hubungan kalian. Gue nolak semua yang Kania suruh dan bilang kalau gue enggak takut sama ancamanya. Dan lo bisa liat sendiri kan, Kania benar-benar nyingkirin gue sekarang.

Ren, gue enggak tau kenapa Kania sepengen itu ngehancurin lo padahal dia teman lo sendiri.

Karen merasa dada nya sesak, seperti ada jutaan belati menghunusnya saat ini. Jadi ini semua alasan di balik Megan dulu di keluarkan dari sekolah? Ini semua adalah rencana Kania.

“Lo gak bisa diam aja, Gan.”

posisi gue serba salah, Ren. Gue bingung, gue sayang sama Jeremy gue gak mau dia yang di keluarin.

“Gue udah gak anggap Kania teman gue lagi, itu sebabnya gue udah jarang banget kelihatan main bareng sama mereka. Gan, lo mau bantu gue kan?”

bantu apa, Ren?

Setelah menjelaskan semua rencana nya pada Megan, Karen baru bisa bernafas lega. Ia kembali mengemas barang-barang bawaanya dan membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Karen menatap langit-langit kamarnya dengan perasaan gusar.

“Kenapa mereka tega banget sama gue?” gumam Karen lirih.

Karen enggak nyangka Kania akan bertidak sejauh itu, hanya karena kembencianya terhadap Karen sampai-sampai harus melibatkan orang lain untuk membuatnya jatuh, Sebenarnya apa yang Kania inginkan dari Karen? Apa yang membuatnya tidak menyukainya? Padahal Karen tulus berteman dengan Kania.

Karena kesal sekaligus sedih setelah mendengar penjelasan dari Megan, Karen menangis ia merasa tidak enak dengan Megan dan juga merasa sedih kenapa ada seseorang yang membencinya seperti ini.


“Pagi, anak-anak. Sebelum kita memulai perjalanan. Bapak akan membagikan teman sekamar kalian di hotel Jogja dan teman se rumah kalian selama berada di guest house Dieng. Ini juga berlaku sebagai kelompok kalian dalam mengerjakan proyek yang sudah Bapak bagikan ke kalian minggu kemarin.”

Karena study tour ini adalah acara milik kelas 11, maka dari itu tidak ada sekat antara jurusan MIPA dan IIS mereka semua berbaur menjadi satu. Mereka juga harus mengerjakan proyek bersama seperti mewawancarai turis asing, menjelaskan tentang budaya Dieng termasuk anak rambut gimbal dan juga sejarahnya.

“Selanjutnya, kelompok 5 ada Kania, Karen, Selo, Zara, Laurine dan Chika.”

Karen baru ingat jika ia satu kamar di hotel dan guest house dengan Kania, itu artinya, Kania juga akan mencuri daftar pertanyaanya untuk mewawancarai turis, kemudian Kania akan membuat kelompok sendiri dan menyingkirkan Karen.

“Pak,” Karen mengangkat tangan. Membuat anak-anak yang lain menoleh ke arah Karen.

“Saya mau pindah kelompok bisa gak?”

“Ren, kenapa?” bisik Selo yang berdiri tepat di sebelah Karen.

“Ada apa Karen sama kelompokmu?” tanya Pak Rusli.

“Gapapa.. Pak. Saya cuman—”

“Enggak ada pindah-pindah kelompok yah, Ren. Repot, kami udah membagi kelompok ini dari jauh-jauh hari, memang kamu mau sekelompok sama siapa? Sama Arjunandra?” selak Bu Rosa.

“JIAAAAAHHHHHH.”

Karena ucapan Bu Rosa barusan, murid-murid yang lain jadi menyoraki Karen dan Juna. Sampai-sampai guru-guru yang lain nya tertawa, guru-guru sudah tau kalau Karen dan Juna memang berpacaran. Ini semua karena Juna enggak sengaja mengirimi Karen puisi ke club radio dan meminta Siska yang sedang siaran untuk membacakan puisinya untuk Karen.

Waktu itu Karen sedang marah karena Juna lupa kalau mereka ada kencan di bioskop, Juna terlambat karena ia harus menghadiri acara party atas kemenangan di club nya.

“Nikahin aja, Bu. Nikahin!!” teriak Beni dari kelas MIPA.

Dan ucapan Beni itu juga mengundang gelak tawa murid lainya, Karen hanya bisa diam di tempatnya sembari memandang Kania yang ikut tersenyum penuh kemenangan karena Karen berhasil di permalukan.

“Sudah-sudah!!” teriak Pak Rusli yang sontak membuat tawa dan ledekan itu berhenti.

“Karen, kamu tetap di kelompok yang sudah kami buat. Suka tidak suka, kamu harus mengerjakan proyeknya bersama kelompokmu. Paham?”

Karen hanya mengangguk pasrah, setelah pembagian kelompok dan berdoa bersama mereka masuk ke bus masing-masing. Beruntung Karen satu bus dengan Juna dan Kevin, kursi mereka pun depan belakang. Karen duduk dengan Juna sementara Kevin dengan Alifia.

Di perjalanan semuanya berjalan lancar, bahkan mereka sempat bernyanyi dengan Ryan yang memainkan gitar. Bahkan di kursi belakang, murid-murid lain sempat bermain kartu.

Di kursinya Karen hanya diam saja, sembari sesekali menoleh ke jendela memperhatikan jalanan. Sedangkan Juna terkadang sibuk mengobrol dengan Kevin dan teman-temannya yang lain.

“Mau gak sayang? Enak deh,” Juna memberikan cemilan rasa jagung milik Ino yang di makan bersama-sama di bus.

“Enggak, Jun.”

“Kamu kenapa sih, diem terus dari tadi,” Juna memiringkan kepalanya demi bisa melihat wajah Karen dari dekat.

“BT yah di ledekin kaya tadi?” lanjutnya.

“Sedikit, tapi bukan itu masalahnya.”

“Kenapa?”

“Aku gak suka sekamar sama Kania.”

Juna mengangguk pelan, “di guest hose nanti kan kita se rumah. Nanti kamu tidur sama Emily dan Safira aja. Ada anak dari kelas MIPA yang gak ikut.”

“Emang boleh yah kaya gitu?”

“Enggak,” Juna tersenyum. “Tapi dari pada kamu gak nyaman? Lagian cuma tidur doang gini. Nanti subuh-subuh kamu pindah lagi ke kamar kamu.”

Karen akhirnya mengangguk pelan, “yaudah, deh.”

“Jangan BT BT gitu dong.”

Karen akhirnya tersenyum, setidaknya ia bisa mengikuti saran Juna selama berada di Dieng. Kini langit mulai gelap, tapi enggak surut sedikit pun semangat mereka untuk terus bernyanyi selama di perjalanan. Apalagi Arino yang selalu membuat suasana di dalam bus terus ramai, cowok itu bahkan bernyanyi lagu dangdut andalanya bersama guru-guru.

Fajri juga ikut meramaikan suasana dengan stand up comedy nya nya. Dan itu mengundang gelak tawa seluruh penumpang di dalam bus.

“Eh iya, dengar-dengar band kelas 11 punya vokalis baru yah? Bisa kenalin gak vokalis barunya?” ucap Tasha anak kelas 11 MIPA, Tasha ini udah kaya MC dari tadi.

“Nanti aja sekalian buat surprise,” teriak Kevin.

“Ihhh Kevin gak seru, kenalin aja udah kan kita udah terlanjur penasaran ini. Setuju gak kalian kalo misalnya vokalis barunya The Gifted harus di kenalin sekarang?”

“SETUJU!!!” teriak yang lainya sembari menepuk tangan.

“Kenalin!”

“Kenalin!!”

Kevin menoleh ke arah kursi Karen yang berada di belakangnya. Sementara itu Karen gugup setengah mati, Karen takut di soraki lagi seperti saat mau berangkat tadi.

“ayo, Ren. Kenalan aja gapapa, bilang aja lo vokalis sementara,” jelas Hadi.

Mau enggak mau Karen akhirnya mengangguk, ia pun akhirnya berdiri dan berjalan ke kursi paling depan bus. Banyak murid-murid yang cukup kaget saat mereka tahu kalau Karen vokalis The Gifted yang baru.

“Wahhhh Karen ternyata vokalis The Gifted yang baru guys!! Kita test vokalnya dulu gak sih?!” ucap Tasha yang langsung di setujui oleh murid lainya.

“Gue cuma vokalis sementaranya The Gifted,” jelas Karen.

“Gapapa, kita kan mau dengar suara lo juga. Nyanyi yah please.” Tasha mengatupkan tanganya di depan dada.

Karen menarik nafasnya pelan, sampai akhirnya ia mengangguk. Karen sempat menyanyikan beberapa lagu dengan Juna yang memainkan gitar di sana. Iya Juna, ini semua ide nya Tasha biar Karen di ledekin lagi. Tasha itu jahil, dia suka banget liat teman-teman yang pacaran di ledekin.

“Tepuk tangan dong buat Karen!! Sumpah yah siapa sih yang gak kaget kalo ternyata Karen ini bisa nyanyi!!” ucap Tasha begitu Karen selesai bernyanyi, murid-murid dan guru-guru yang lain juga bertepuk tangan. Karen bahkan mendapatkan pujian karena suaranya.

Di kursi depan Mas Satya dan Mas Dito yang turut ikut untuk mengawasi kelas 11 juga ikut kaget karena Karen yang tiba-tiba saja bernyanyi. Apalagi Mas Satya yang gak berhenti memandangi Karen saat gadis itu bernyanyi, bahkan Juna sudah sering berdeham agar laki-laki itu sadar. Namun nampaknya Mas Satya tidak menyadarinya.

“Gue udah boleh duduk kan?” tanya Karen pada Tasha.

“Iya udah boleh kok.”

Begitu Karen ingin kembali ke kursinya, tiba-tiba saja bus ngerem mendadak dan membuat tubuh Karen oleng hingga nyaris saja jatuh jika Mas Satya tidak menahanya. Sebenarnya Juna juga ingin menahan Karen agar tidak jatuh, namun karena posisinya ia berada di depan Karen, Juna jadi kalah cepat dengan Mas Satya yang berdiri di belakang Karen. Apalagi posisinya Karen akan terjatuh ke belakang.

“Hati-hati, Ren.” ucap Mas Satya.

“Makasih, Mas.”

Juna yang melihat itu buru-buru menukar posisi Karen menjadi berada di depannya. Juna juga menatap Mas Satya dengan sinis.

“Makasih udah nolongin pacar saya,” ucap Juna ketus.

Mas Satya tidak membalas kata-kata itu, laki-laki itu hanya terus memperhatikan Juna sampai Juna dan Karen duduk di kursi mereka.

Jujur saja, ikut study tour dengan siswa kelas 11 bukan hal yang baik. Mas Satya banyak menahan perasaan cemburunya karena melihat Karen dan Juna yang sering berduaan.

Mereka akhirnya tiba di guest house Dieng, mereka sampai di jam 10 malam dan langsung pembagian guest house dan kamar. Enggak ada acara apa-apa lagi, mereka juga sudah makan malam sebelum menuju ke guest house. begitu sampai Karen langsung membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Meski udara di Dieng sedang dingin-dinginnya, tapi tetap saja selama perjalanan Karen keringatan.

Karen masih berada di kamarnya bersama Kania dan yang lainya, begitu Karen keluar dari kamar mandi. Ada Selo yang sedang sibuk foto-foto di kamar, di pojok kamar di ranjang kedua juga ada anak-anak dari kelas IPA yang tengah memakai sheet mask sebelum tidur, sementara Kania, gadis itu sedang mendengarkan lagu di kasur.

Tapi begitu melihat Karen keluar dari kamar mandi, Kania langsung melepaskan earphone nya dari telinga.

“Udah selesai, Ren?” tanyanya yang hanya di balas anggukan kecil oleh Karen.

“Gue mau mandi,” lanjutnya dengan cengiran.

Karen duduk di depan meja rias untuk mengeringkan rambutnya dan memakai pelembab wajah, di kursinya Karen sibuk mengingat-ingat apa hal yang akan terjadi selanjutnya.

“Ren,” panggil Selo, gadis itu menghampiri Karen dan duduk di kursi sebelahnya.

“Kenapa?”

“Gue mau curhat deh.”

curhat? Ah, benar juga. Selo sempat curhat soal hubungannya dengan Kak Anwar.

“Kenapa sih?” tanya Karen.

“Lo selama pacaran sama Juna pernah ngerasa di cuekin gak sih?”

“Cuekin gimana? Pas lagi berantem maksudnya?” Karen mengerutkan keningnya bingung.

“Ya, gak berantem juga sih. Lagi baik-baik aja, tapi tiba-tiba berhari-hari gak di kasih kabar, setiap ketemu di sekolah juga kaya di hindari gitu.”

Karen diam sebentar, ia ingat. Selo memang sempat di acuhkan oleh pacarnya dan meminta saran Karen apa yang harus di lakukan pada pacarnya itu. Karen sempat memberi saran untuk Selo agar bicara langsung pada Kak Anwar, tapi jika Kak Anwar masih tetap diam. Lebih baik akhiri hubungan saja karena itu artinya Selo sudah tidak di hargai lagi.

Selo sempat sedih berhari-hari sampai akhirnya Selo menganggap Karen penyebab ia dan Kak Anwar putus, waktu itu Karen memang sempat bertemu Kak Anwar karena cowok itu ingin memberikan hadiah pada Selo. Rumah Karen dan Kak Anwar juga searah, makanya mereka bertemu di jalan. Dan Kak Anwar tau kalau Karen adalah teman Selo. Dan momen itu di manfaatkan Kania dengan menuduh Karen mendekati Kak Anwar hingga Selo salah paham.

“Ren?” panggil Selo sembari menepuk lengan Karen. “Ihhh gimana? Kok malah ngelamun?”

“Ah, eh, Iya tadi gimana? sorry gue agak ngantuk,” Karen tersenyum.

“Iya itu, Kak Anwar tuh kaya ngehindarin gue, padahal kita lagi gak berantem, Ren.”

“Hhmm.. Coba aja lo tanya sama Kak Anwar langsung, mungkin dia lagi ada masalah?” ucap Karen hati-hati, dia gak ingin salah bicara yang nantinya akan mengulang kejadian dulu.

“Tiap ketemu di sekolah aja dia kaya ngehindarin gue, gimana mau ngomongnya coba?” bahu Selo merosot dan wajahnya nampak gusar.

Karen hanya meringis kemudian menyelesaikan skincare routine nya dengan cepat.

“Lo, sorry yah gue enggak bisa bantu, gue sama Juna gak pernah ngalamin hal kaya gitu.”

benar, ini jawaban yang tepat. Gue enggak mau ikut campur ke hubungan kalian.

“Iya juga sih, tapi seenggaknya kasih tau gue harus gimana kek, Ren. Gue tuh sayang banget sama Kak Anwar tapi gue juga bingung hubungan gue—”

“Ah, Lo. sorry yah, gue di telfon Kevin.” Karen menunjukan ponselnya yang menampakan nama Kevin di sana.

“Kayanya dia mau ngajak latihan atau mau bicarain soal penampilan besok..”

“Yaudah deh,” Selo mengangguk dan membiarkan Karen pergi keluar dari kamar mereka.

Begitu Karen pergi tidak lama kemudian Kania keluar dari kamar mandi dengan rambut yang di lilitkan ke handuk. Gadis itu memendarkan pandanganya ke penjuru kamar untuk mencari Karen.

“Lah, Karen kemana?” tanya Kania.

“Keluar, di telfon Kevin. Ck,” Selo berdecak. “Ni, lo ngerasa gak sih Karen kaya ngejauhin kita?”

Kania mengangguk, “ngerasa lah, dia emang jadi aneh sih. Karen sekarang jadi lebih dekat sama Ayu juga, apa jangan-jangan dia mau jadi anak nakal?”

“Kok dia temannya sama cewek nakal gitu sih? Tapi, Ni. Serius lo kalo Karen kepilih seleksi itu karena Mas Satya suka sama dia?” tanya Selo, Kania memang sempat menceritakan hal ini pada Selo, Selvi dan Muthia.

“Iya serius, gue tuh bisa liat gimana mata Mas Satya kalo lagi liatin Karen, Lo. Beda banget deh, mana waktu Karen pingsan di lapangan Mas Satya juga yang gendong. Kaya cari perhatian banget gak sih?”

“Lo gapapa, Ni?” Selo mengerengit, memastikan perasaan temannya itu.

“Gak baik-baik aja, tapi seharusnya kalo Karen anggap gue temannya dia tuh gak gitu gak sih? Maksudnya, gak ladenin Mas Satya, toh dia juga udah punya Juna.”

“Nge ladenin?”

“Lo gak tau yah kalo Karen sempet jalan bareng sama Mas Satya? Waktu tim kami menang anak-anak club juga liat kalo Mas Satya sempet mengusap kepala Karen, dan Karen diam aja kaya menikmati, Sumpah yah, gue gak habis pikir sama dia.” Kania melempar handuk yang ada di kepalanya ke kasur dan menghempaskan tubuhnya ke sana.

“Serius, Ni? Ih kok Karen gitu sih?”

“Dia tuh, centil banget. Udah ngambil posisi gue yang harusnya lolos seleksi, nyari perhatian Mas Satya, abis ini tuh apalagi?” nada bicara Kania bergetar, dia ingin menangis agar Selo menganggap ia adalah korbannya.

“Ni.. Ihh jangan nangis dong,” Selo yang tidak tega akhirnya memeluk Kania.

“Gue tuh suka banget sama Mas Satya, Lo. Tapi dia gak pernah liat usaha gue dan malah nanggapin caper nya Karen. Apa-apa Karen, dikit-dikit Karen.”

“Ihhh udah ah jangan nangis, gue di pihak lo kok, gue yakin nanti Mas Satya bisa liat lo, bisa tau kalo lo tuh sayang sama dia,” ucap Selo, yang langsung membuat Kania tersenyum puas.

Rencana Kania memang membuat Karen terlihat buruk di mata teman-temannya, dan membuat dirinya adalah korban dari keserakahan Karen.


Setelah selesai latihan yang terakhir untuk besok tampil, Karen dan Juna enggak langsung kembali ke kamar mereka. Juna mengajak Karen untuk duduk di taman dulu sebentar sembari menikmati kopi yang tadi Juna bikin.

Di depan guest house mereka ada taman kecil untuk bersantai, ada ayunan dan kursi taman. Tapi Karen dan Juna lebih memilih untuk duduk di kursi taman saja.

Beberapa kali Karen mengusapkan tangannya kemudian menempelkannya ke wajahnya, saking dinginnya mereka bicara pun sampai keluar asap dari mulut. Karen juga sudah memakai sarung tangan dan jaket tebal namun masih terasa dingin baginya, Karen itu enggak kuat dingin. Kalau dingin, hidungnya akan otomatis pilek.

“Dingin banget sayang?” tanya Juna.

Karen mengangguk, “kamu gak kedinginan?”

“Dingin tapi yah biasa aja. Mau pake jaket aku lagi atau mau masuk ke dalam? Kayanya anak-anak masih pada ngobrol juga deh.” Juna mengintip ke arah jendela, Kevin, Alifia, Ayu, Fajri, Ryan dan Hadi masih mengobrol di ruang tamu.

“Disini aja, Jun.”

“Yaudah,” Juna tersenyum, cowok kemudian menggosok-gosokan tanganya dengan cepat kemudian ia tempelkan ke wajah Karen hingga wajah gadis itu nyaris tenggelam karena telapak tanganya yang besar.

“Jun, mukaku ketutupan sama tangan kamu.”

“Biarin, tapi jadi gak dingin kan?”

Karen mengangguk, ia tersenyum menatap kedua mata Juna yang teduh itu. Tangan yang diam-diam selalu ia rindukan di masa depan.

“Jun?”

“Hm?”

“Maaf yah, soal yang di bus,” cicit Karen, ia tahu Juna sempat cemburu karena itu. Juna sempat diam aja beberapa saat, setelah mereka akan makan siang di rest area barulah Juna mengajak Karen bicara kembali.

“Gapapa, sayang. Bukan salah kamu, salah aku juga sih karena gak cepat-cepat nangkap kamu, atau biarin kamu jalan duluan. Tapi yang penting kamu enggak jatuh, karena itu bahaya banget.”

“Gapapa, kita semua gak ada yang ngira kalau bus nya bakalan ngerem mendadak.”

Juna mengangguk, “ah, Iya. Soal kamu sama Kania, aku sempat ngobrol sama Syarif.”

Juna pagi ini datang lebih dulu ke sekolah, ia kemudian bertemu dengan Syarif yang juga datang lebih pagi. Juna sempat mengajak Syarif bicara berdua di minimarket sebrang sekolah, dan Syarif jujur soal alasannya menguntit Karen.

“Ngobrol apa?”

“Aku cuma nanya ke dia kenapa dia ikutin kamu, aku enggak berantem kok. Aku juga ngomong baik-baik, dan ternyata dia sama Selvi ngikutin kamu atas suruhan Kania.”

Karen mengangguk, “iya, emang suruhan Kania.”

“Tapi Syarif sama Selvi lakuin itu terpaksa, Ren. Karena mereka punya hutang sama Kania dan belum bisa lunasi hutangnya.”

Karen mengerutkan keningnya, dia kaget bukan main. “Hutang? Maksudnya?”

Juna memendarkan pandanganya, memastikan di taman itu hanya ada dia dan Karen saja. Syarif sudah jujur, dia gak ingin orang lain tahu rahasia ini, Juna sangat menghargai kejujuran Syarif.

“Syarif sama Selvi minjam uang beasiswa nya Kania waktu Syarif gak sengaja nyerempet mobil orang.”

“Hah?” pekik Karen. “Uang beasiswa?”

Juna mengangguk, “syarif belum bisa kembaliin uang itu, makanya dia mau ngelakuin apa aja yang Kania suruh.”

Kania memang mendapat beasiswa dari pemerintah setiap 3 bulan sekali, Karen juga mendapatkannya. Biasanya uang beasiswa akan di transfer ke rekening mereka untuk kebutuhan sekolah dan uang saku. Tapi Kania justru menyalahgunakan uang beasiswa itu.

Karen terdiam, jadi ini alasan Selvi dan Syarif mau melakukan hal ini? Karen baru tau semua alasan itu setelah kembali lagi ke tahun 2015.

“Aku gak ngerti kenapa Kania bisa lakuin hal ini sampai ngomong yang enggak-enggak tentang kamu ke aku tapi, Ren. Aku akan selalu ada di pihak kamu.”

Karen terdiam, seharusnya ia jujur semuanya pada Juna dari awal. Seandainya ia tidak menutupi segalanya dulu, Juna pasti akan berada di pihaknya seperti sekarang ini. Mungkin juga kalau Karen menjelaskan semuanya, hubungannya dengan Juna tidak akan berakhir.

Tanpa Karen sadari, kedua mata gadis itu meneteskan air mata. Karen menangis dan menyesali tindakannya dulu.

“Sayang? Kok nangis?” Juna melepas sarung tangannya, ia mengusap wajah Karen dengan ibu jarinya.

“Seharusnya aku jujur dari awal sama kamu yah, Jun?”

“Gapapa, kalau ada sesuatu yang Kania lakuin ke kamu lagi, kamu bisa cerita sama aku.”

Karen mengangguk, ia tidak merasa sendirian lagi sekarang. Karena masih terus menangis, Juna membawa Karen ke pelukannya dan mengusap-usap punggung kecil gadis itu.

Di sisi lain, Mas Satya dan Pak Rusli yang sedang berkeliling untuk memastikan anak-anak kelas 11 tidak ada yang keluar itu melihat Juna dan Karen yang sedang berpelukan, hanya Mas Satya yang melihat. Sementara Pak Rusli sedang memeriksa guest house kelompok lain.

Mas Satya terdiam, dia tadinya berniat untuk menghampiri keduanya dan menyuruhnya masuk. Namun dari kejauhan Mas Satya melihat Karen sedang menangis dan Juna yang terlihat sedang menenangkannya, Akhirnya ia urungkan niatnya itu.

“Tinggal guest house sebelah,” ucap Pak Rusli hendak akan berjalan ke guest house selanjutnya.

“Ah, Pak. Sebelah udah saya periksa, anak-anak sudah di dalam semua kok. Memang belum pada tidur, tapi mereka enggak ada yang keluar kok,” ucap Mas Satya untuk mengalihkan Pak Rusli agar tidak memeriksa guest house yang di tempati Karen.

“Ohh gitu, udah di cek semua tapi kan, Sat?”

“Beres, Pak. Aman kok. Kita bisa langsung balik buat istirahat.”

To Be Continue

Pagi ini Satya bangun lebih dulu bersama guru-guru yang lain untuk menyiapkan sarapan pagi untuk murid-murid kelas 11, semalaman Satya sulit tidur. selain karena berada di tempat asing, pikirannya itu juga tersita karena semalam ia melihat Karen dan Juna berduaan.

Setelah sarapan pagi ini mereka akan melanjutkan perjalanan ke tempat-tempat wisata berikutnya. Semalam, Satya sempat mempertimbangkan keputusannya untuk menyatakan perasaanya pada Karen, Satya tau ini gila karena Karen sudah memiliki pacar. Tapi setidaknya, untuk bisa lapang dada dan segera melupakan perasaanya, Satya harus mengaku pada Karen soal perasaanya.

Yang terpenting baginya adalah Karen tahu soal perasaanya, persetan nantinya Karen akan menjauhinya. Ia hanya ingin mengungkapkan apa yang selama ini ia pendam. Satya berharap dengan begitu ia bisa melanjutkan hidupnya tanpa bayang-bayang Karen di dalamnya.

“Sat, yehh.. Malah ngelamun lo, itu ambil air di dus sebelah sana tuh,” ucap Ditto menyenggol lengan Satya.

Satya enggak banyak ngomong, dia langsung mengambil air mineral kemasan di dalam dus dan membukanya untuk kemudian ia susun di meja. Kebetulan murid-murid sudah mulai mengambil sarapan pagi mereka, ada Karen juga yang hendak mengambil minumannya.

Karena Karen semakin mendekat, Satya berinsiatif untuk mengambil minuman yang ia susun untuk Karen, tapi belum sempat Karen mengambilnya, minuman di tangannya itu justru di ambil lebih dulu oleh Juna.

Satya sempat saling adu tatap dengan Juna yang kini memandangnya nyalang, Karen yang berada di belakang Juna sampai salah tingkah sendiri. Karen paham kalau Juna tampak tidak suka dengan perlakuan Satya.

“Jun, kita duduk di sebelah sana aja yuk.” Karen menunjuk sofa yang ada di dekat jendela aula, kemudian menarik jaket yang Juna pakai agar pacarnya itu mengikutinya.

“Kenapa tuh bocah?” tanya Dito yang sedari tadi juga memperhatikan Satya dan Juna.

“Gue cuma mau ngasih minuman ke Karen.”

“Ah lu, mah..” bahu Ditto merosot, ia memandang Satya sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kan udah gue bilang, Sat. Udah lah berhenti, si Karen itu udah punya cowok.”

“To, kayanya buat bikin gue berhenti cuma dengan gue nyatain perasaan gue ke Karen deh.”

“Bego!! Ini lebih sinting lagi, Sat. Udahlah, gue tau lo ngebet banget sama Karen, tapi itu cewek udah punya cowok. Di kampus lo gak ada apa cewek yang menarik sampe harus ngejar-ngejar bocah SMA?” ucap Dito putus asa.

“Gue gak minta dia jadi cewek gue, To. Gue cuma mau Karen tau perasaan gue, Setelah itu gue bakalan lupain dia.”

“Sat..” Dito menarik nafas putus asanya, sungguh ia bingung harus bagaimana lagi menasihati Satya. “Lu mah.. Udah lah.”

“Buat yang terakhir kalinya, To. Gue yakin setelah ini gue bisa lupain perasaan gue sama Karen sepenuhnya. Gue juga bakalan jaga jarak sama dia.”

Dito menggaruk kepalanya dengan putus asa, kepalanya sebentar lagi seperti akan meledak hanya karena menghadapi Satya yang keras kepalanya melebihi batu.

“Terserah lo aja deh, kalo ada apa-apa gue enggak mau ikutan, gue lepas tangan.” Dito mengangkat kedua tangannya dan kembali melanjutkan pekerjaannya lagi.

Disisi lain Juna masih terus menatap Satya dari kejauhan penuh dengan rasa kesal, bahkan sarapan pagi di piringnya itu sudah tidak terlihat menggiurkan lagi sekarang.

“Jun?” panggil Karen.

Juna akhirnya menoleh, ia tersenyum kikuk pada gadis di sebelahnya itu. “Aku jadi gak laper deh.”

“Karena tadi?”

Juna hanya meringis.

“Aku gak bela Mas Satya, tapi dia kan cuma ambilin minum. Kamu liat sendiri kan dia juga belum selesai nyusun botol air minumnya.”

“Kayanya aku aja yang terlalu cemburu,” Juna tersenyum. “Kita makan lagi ya, maaf kalo suasana tadi bikin kamu enggak nyaman.”

Karen mengangguk, tidak lama kemudian Fajri, Ryan, Hadi dan Emily bergabung di meja tempat Juna dan Karen makan. Sementara di meja lainnya ada Kevin, Alifia, Ayu, Safira dan Ino.

“Habis ini kita ke Telaga Warna yah?” tanya Hadi pada Emily.

Gadis itu mengangguk, Emily itu ketua kelas 11 IIS 2 sedangkan Hadi ketua kelas 11 IIS 4 mereka juga membagikan kertas yang berisi proyek yang harus mereka kerjakan selama perjalanan wisata.

“Iya, habis itu ke Dieng Theater. Proyek kita paling banyak disini nih, kalau di Telaga Warna kita cuma jelasin asal usulnya aja sama di foto deh,” jelas Emily.

“Habis dari Theater kita ke mana lagi, Mil?” tanya Karen.

“Ke Candi Arjuna, Ren. Habis itu baru deh makan siang. Ah iya, proyeknya semua tuh bakalan di bikin power point.”

Karen mengangguk, “Mil, kalo semisalnya gue kerjain proyek wawancara sendiri gapapa kali yah?”

“Emangnya kenapa, Ren?”

Karen hanya menggeleng kepalanya.

“Eh iya, gue liat-liat lo udah jarang kumpul sama teman-teman lo yah, Ren? Berantem kalian?” tanya Fajri.

Juna tahu Karen enggak nyaman sama pertanyaan Fajri, maka dari itu Juna yang akan menjawab pertanyaannya.

“Karen tuh sekarang lebih berbaur, Jri. Lagi pula sekarang Karen udah jadi bagian dari The Gifted otomatis waktunya juga lebih banyak sama mereka.”

“Iya juga sih, eh tapi serius deh, Ren. Gue suka banget sama suara lo. Kelihatan masuk banget waktu kita latihan dan bawain lagu-lagu yang di tulis Kevin. Tau gitu dari awal mah vokalisnya elo aja yah.”

“Bener, Ren. Aku juga suka sama suara kamu. Hadi sempat ngajak aku gabung sama The Gifted, tapi ternyata warna vokalku gak cocok bawain lagu-lagu kalian,” jelas Emily, yang membuat Fajri dan Ryan menoleh ke arah cowok itu. Mereka gak nyangka Hadi bakalan nyamperin Emily langsung untuk mengajaknya bergabung.

“Sumpah yah lo, Di. Beneran di ajak gabung si Emily?” pekik Ryan.

“Hehe,” Hadi nyengir. “Gue udah putus asa banget kita enggak dapet vokalis, makanya gue beraniin diri buat ngomong sendiri ke Emily.”

Emily yang berada di tengah-tengah Hadi dan Ryan itu kelihatan sedikit bingung sama yang kedua cowok itu katakan.

“Ada apa sih emangnya?”

“Ini loh, Hadi sempat kepikiran ngajak lo buat gabung bareng The Gifted. Tapi Ayu enggak yakin lo bakalan mau ikut, selama ini lo kan fokus sama akademik dan OSIS makanya waktu Hadi nyaranin Ayu buat deketin lo biar bisa gabung ke kita, Ayu nolak, udah skeptis duluan dia elo bakalan mau,” jelas Fajri.

“Hhmm..” Emily mengangguk-angguk. “Sebenarnya gue kepengen kok gabung ke club musik, tapi sayangnya orang tua gue ngelarang,” Emily meringis, itu membuat Karen merasa sedikit kasihan dengan ketua kelasnya itu.

“Tapi kalo sesekali nyanyi mau kan, Mil? Gimana kalo buat acara nanti malam gue sama Emily nyanyi berdua? Jadi special perfomance dari Emily bareng The Gifted gimana?” usul Karen.

“Eh boleh juga tuh, gila gak kebayang sih bakalan sepecah apa!” pekik Hadi.

Beruntungnya Emily juga langsung setuju pada usul Karen. Gadis itu sebenarnya sudah lama ingin menunjukan penampilannya dalam bernyanyi selain di gereja. Ah, enggak. Lebih tepatnya Emily ingin semua orang tahu kalau ia bisa bernyanyi. Emily ingin sekali menjadi seorang penyanyi.


Ini sudah jam 11 siang dan rombongan kelas 11 masih berada di Candi Arjuna, mereka sesekali mencatat tentang sejarah tentang Candi Arjuna yang di jelaskan oleh guide yang mengantar mereka.

Karen bersama Kevin, Juna, Ayu, Emily dan Alifia berada di barisan belakang rombongan mereka. Meski enggak sekelompok dengan Juna, Karen berbagi tugas dengan cowok itu. Seperti Karen akan mencatat bagian-bagian penting dari informasi yang di berikan, sementara Juna memotret Candi yang ada di sekitar mereka.

Kadang dengan jahilnya Juna suka memotret Karen secara candid, selain menyukai basket sebenarnya Juna menyukai photografi juga. Hasil bidikan cowok itu lumayan bagus, sebenarnya dulu Juna ingin masuk club photografi tapi kala itu pilihanya lebih condong ke basket.

“Jun, ih jangan foto aku terus. Tadi kamu denger gak aku suruh foto apa aja?” tanya Karen, dia gak mau Juna meremehkan proyek ini hanya karena tugas yang di beri lebih mudah.

“Ih dengerin aku mah, ini udah selesai aku foto tau. Lagian, banyak yang foto-foto juga, kamu gak mau foto-foto apa?”

Karen hanya menggeleng seperlunya saja, ia sibuk memilah informasi mana saja yang akan ia masukan ke dalam proyeknya dan juga proyek Juna.

“Kenapa sih kamu gak suka di foto? Padahal cantik tau.”

Karen menghela nafasnya berat, Karen itu merasa cantik jika di depan cermin saja. Tapi enggak jika di foto atau depan kamera, kepercayaan dirinya langsung terjun bebas. Karen bahkan enggak menemukan angle foto yang cocok untuknya. Makanya kadang dirinya di lihat langsung dan di foto itu suka berbeda.

“Aku tuh enggak photogenic,” jelas Karen

Juna yang mendengar itu langsung mengerutkan keningnya bingung, Juna baru mendengar istilah itu.

“Apaan tuh photogenic aku kok baru dengar?”

“Masa kamu gak tau sih, Jun?” satu detik berikutnya Karen terdiam, dia baru sadar jika istilah itu baru di kenal di tahun 2019, jadi pantas saja jika Juna tidak tahu.

“Apa sih? Kok diem kamu?”

“Mmh...”

Tidak lama kemudian Kevin datang sembari menepuk pundak Juna yang lebih tinggi darinya, wajahnya sedikit panik.

“Jun, anterin gue ke toilet yuk,” ucap Kevin, kedua kakinya mengapit seperti ia sedang menahan sesuatu.

“Gak mau ah, ke toilet aja ngajak-ngajak lo. Sendiri aja sana, manja banget heran,” keluh Juna.

“Aahhh jauh toiletnya, please ayo temenin gue udah gak tahan banget, udah di ujung tanduk ini.” Kevin menarik-narik jaket yang di kenakan Juna.

“Udah anterin dulu, Jun. Kasian Kevin nanti gak lucu kalo dia ngompol disini,” ucap Karen demi mengalihkan perhatian Juna.

“Ihhhh, yaudah deh. Ayo buruan!”

Juna jalan lebih dulu kemudian di susul Kevin yang berjalan sembari mengapit kedua kakinya. Sementara itu Karen baru bisa bernafas lega, teman-temannya yang lain sedang sibuk berfoto di dekat Candi, Karen enggak tertarik buat foto-foto. Dia justru lebih tertarik liat hasil bidikan Juna yang ada di kamera.

Karen duduk di sebuah gazebo sembari sesekali ia mencoba memotret teman-temannya atau pemandangan asri sekitar, namun saat kedua matanya terfokus pada objek di depannya. Tiba-tiba saja ada seseorang yang menghalanginya hingga membuat Karen meletakan Kameranya.

“Mas Satya?” ucap Karen.

“Aku boleh duduk disini, Ren?” tanya Mas Satya.

Karen hanya mengangguk pelan, mau melarang pun ini tempat umum. Karen enggak punya hak buat melarang Mas Satya duduk di mana ia mau.

“Saya boleh ngomong sesuatu sama kamu gak, Ren?”

“Soal apa, Mas?” Karen enggak natap Mas Satya. Ia memilih pura-pura sibuk dengan note book yang ia bawa.

“Saya gak bisa ngomong sekarang, nanti malam. Setelah penampilan kamu sama The Gifted, tolong temuin saya di taman belakang guest house yah.”

“Gak bisa sekarang aja yah, Mas?” tanya Karen.

Mas Satya hanya tersenyum sembari menggelengkan kepalanya pelan.

“Ya Udah deh kalau gitu.”

“Saya janji gak akan lama, Ren. Mungkin untuk yang terakhir kalinya kita ngobrol berdua kaya gitu.”

Ucapan Mas Satya barusan berhasil mengalihkan atensi Karen, kini gadis itu menatap laki-laki di sebelahnya.

“Saya gak bisa kasih tau sekarang, maka dari itu kamu temuin saya nanti malam yah,” jelas Mas Satya.

Genggam tanganku bersandar kepadaku Inginku berada di sampingmu sepanjang hidupku Rasa ini hanya ada saat bersamamu Bahagia ku dengar canda tawamu terangi hatiku

Inilah duniaku Untuk bersamamu

Dan walau waktu berjalan Ku akan terus bertahan Pelukku yang akan selalu menghangatkanmu Dan tak kan ada yang bisa melepasmu dariku Pelukku yang akan selalu menjagamu

Setelah menyelesaikan penampilan terakhirnya bersama The Gifted dan Emily, semua tepukkan tangan di berikan oleh murid-murid kelas 11. Karen tersenyum, begitu juga dengan Emily yang merasa puas dengan penampilannya malam ini. Mereka hanya latihan 2 kali saja sebelum penampilan, tapi lagu-lagu dan suara mereka benar-benar menakjubkan.

Penampilan mereka enggak mengecewakan, bahkan guru-guru yang turut menyaksikan juga merasa terhibur dengan penampilan mereka.

“Lagiii dong lagiiii!!!” teriak murid-murid lain yang merasa belum cukup dengan penampilan The Gifted yang hanya membawakan 3 lagu.

“Apa sih, penampilannya biasa aja kaya gitu,” ucap Muthia. Ia merasa risih melihat Karen di puji-puji seperti itu. Baginya enggak ada yang special dari penampilan The Gifted.

“Yeee sirik aja lo dasar gendut, kaya bisa nyanyi aja lo,” ucap Elang, Elang ini anak IIS 3 dan memang anggota club musik dulunya meski ia sudah keluar.

“Eh kok lo malah body shaming?” Muthia gak terima Elang mengejek tubuhnya, menurutnya penampilan The Gifted dan Emily memang enggak menarik di matanya.

“Ya lo ngatain-ngatain penampilan orang, lo bisa gak kaya mereka?”

“Ehhh udah-udah apaan sih kok malah jadi ribut.” Selvi menengahi, Elang itu terkenal nakal dan Muthia itu keras kepala kalo keduanya sampai adu mulut lebih dari ini bisa kacau acara.

“Jangan pada kaya bocah kenapa sih? Gini aja ribut.”

Setelah penampilan band sekolah, dari club lain juga ingin menunjukan penampilan mereka seperti dari club tari modern. Karen cukup menikmati malam ini, malam di mana banyak orang yang mengapresiasinya lagi. Saking seringnya di marahi saat bekerja, Karen sampai lupa bagaimana rasanya di puji.

Karen jadi penasaran, bagaimana nasibnya di tahun 2023 apakah banyak yang berubah? Awalnya Karen masih berpikir jika kembali ke masa lalu seperti ini hanya ada di dalam drama dan cerita fiksi saja, sampai akhirnya ia sendiri yang mengalaminya.

Sedang menikmati penampilan teman-temannya yang lain. Tiba-tiba saja ponsel Karen bergetar, ada pesan masuk dari Mas Satya yang menyuruhnya untuk segera ke taman belakang guest house. saking asiknya acara malam ini, Karen sampai lupa dengan janjinya.

Sebelum meninggalkan kursinya, Karen sempat menoleh ke belakang. Lebih tepatnya ke kursi Juna dan teman-temannya, cowok itu sedang asik bercanda sembari menikmati penampilan stand up comedy yang sedang di bawakan oleh Fajri.

Karen akhirnya berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah taman belakang guest house, ternyata benar. Mas Satya sudah menunggu nya di sana, laki-laki itu duduk di ayunan seorang diri sembari sesekali mengusapkan kedua tangannya karena udara Dieng yang cukup dingin. Suhunya jika malam mencapai 12°c.

Mas Satya menoleh ke arah Karen waktu Karen datang dan duduk di ayunan yang berada di sebelahnya. Laki-laki tersenyum penuh kelegaan, Mas Satya sempat berpikir kalau Karen enggak akan datang.

“Maaf yah bikin Mas Satya nunggu,” ucap Karen memecah keheningan di antara mereka.

“Gapapa, Ren. Saya juga belum lama kok.”

“Mas mau ngomong apa?”

Kini, degup jantung Satya semakin menggila. Udara 12°c yang bisa membuat mulutnya mengeluarkan asap kalau bicara itu kini terasa sedikit hangat, Satya sangat gugup saat akan menyatakan perasaanya dengan Karen. Jadi, alih-alih to the point Satya justru memilih mengalihkan pembicaraan yang lain dulu.

“Penampilan kamu tadi keren banget,” pujinya, Satya cukup menikmati penampilan Karen apalagi saat bernyanyi bersama Emily.

“Terima kasih, Mas. Karen juga gak nyangka banyak yang suka sama penampilan The Gifted dan Emily.”

Mas Satya mengangguk, “kamu mau serius di band ini yah, Ren? Makanya milih ninggalin club kita?”

Karena sudah mengetahui vokalis baru The Gifted, Satya jadi mikir kalau alasan Karen keluar dari club itu karena ia mau menekuni musik dan band nya alih-alih fokus pada akademik, ini hanya firasat Satya saja sih. Tapi siapa, tahu alasan untuk fokus pada akademik hanya alibi Karen saja.

“Enggak, Mas. Karen cuma vokalis sementara The Gifted kok, aku gak kepikiran buat seriusin band ini. Aku cuma bantu Kevin sama yang lainnya,” jelas Karen. Dia emang gak ada niatan buat memperserius kemampuannya dalam bernyanyi, apalagi harus jadi vokalis tetap nya The Gifted.

“Hhmm..” Mas Satya mengangguk, kini saatnya untuk menyatakan perasaanya. “Ren?”

“Iya, Mas Satya?”

“Saya tau mungkin kalau saya ngomong kaya gini kamu bakalan nilai saya sebagai laki-laki enggak tahu malu, tapi saya rasa saya baru bisa berdamai kalau kamu udah tau hal ini.”

Karen menoleh ke arah Mas Satya, tatapan laki-laki itu lebih serius lagi dari pada biasanya. sebenarnya apa yang ingin Mas Satya katakan?

“Mas Satya mau ngomong apa?”

Satya berdiri, begitu juga dengan Karen yang ikut berdiri. Kini keduanya saling berhadapan dengan Satya yang sesekali memilin ujung jaketnya sendiri. Ia sudah siap menerima kekecewaan, ia siap menerima konsekuensinya apapun itu, termasuk jika Karen akan membenci atau menjauhinya.

“Saya suka sama kamu, Ren. Saya sayang sama kamu,” Satya menarik nafasnya pelan, hidungnya terasa sedikit perih karena udara yang begitu dingin kini sudah tidak terasa lagi.

“Saya tau ini konyol karena kamu udah punya pacar, tapi saya ngerasa saya harus jujur. Setidaknya kamu harus tau, saya gak minta kamu jadi pacar saya, Ren. Saya cuma mau kamu tau, saya ingin berdamai sama keadaan dan ini cara saya supaya bisa berdamai”

“Saya udah suka sama kamu, dari awal kamu daftar masuk ke club kita. Saya suka karena kamu perempuan yang penuh ambisi dan baik. Berkali-kali saya meyakinkan diri saya kalau ini hanya perasaan kagum, tapi hati saya justru mengatakan sebaliknya. Saya sayang sama kamu.”

Satya memang menyukai Karen saat gadis itu pertama kali daftar masuk ke club, Karen yang datang seorang diri dengan penuh percaya diri untuk masuk ke club paskibraka. Karen yang selalu semangat untuk latihan meski panas begitu terik, Karen yang tidak gentar dengan didikan tegas dari pelatih dan seniornya dulu. Membuat Satya menilai Karen adalah gadis yang tangguh dan penuh ambisi.

Sampai akhirnya Satya mengenal Karen lebih dalam lagi, dengan segala pikiran dan tindakannya yang lebih dewasa dari anak seusianya. Satya semakin kagum lagi, waktu mengetahui Karen bisa sekuat itu tanpa kedua orang tua nya. Dari situ, Satya semakin sayang dan ingin melindungi Karen. Tapi sayangnya, nyalinya enggak sebesar itu untuk menyatakan perasaanya pada Karen.

Sampai akhirnya Satya mengetahui kabar jika Karen sudah memiliki pacar, awalnya Satya mencoba untuk melupakan perasaanya pada Karen. Tapi semuanya terasa sulit karena mereka terlalu sering bersama club.

“Saya berencana untuk mengundurkan diri dari club dan fokus sama kuliah saya, Ren. Setelah menyatakan perasaan saya sama kamu.”

Karen cukup terkejut dengan penjelasan Mas Satya tentang perasaanya barusan, meski Karen sudah sering mendengar desas desus jika Mas Satya memang menyukainya. Tapi Karen enggak nyangka jika Mas Satya sudah memendam perasaanya selama itu.

“Mas keluar karena saya?”

Satya meringis, “saya ngerasa kalau masih berada di sekeliling kamu, saya makin susah melupakan kamu, Ren.”


“Aaaahhh aduh, ihhh sakit!” Alifia memukul bahu Kevin karena cowok itu menekan pergelangan kakinya agak kencang. “Pelan-pelan ih!”

“Ini juga pelan-pelan, babe. Kamu pikir aku bakalan nyiksa kamu apa?” sangkal Kevin, dia kembali fokus mengurut kaki Alifia.

Alifia tadi sedang ke toilet dan tiba-tiba saja jatuh saat menuju aula, kebetulan jalan menuju aula nya memang agak sedikit licin dan menurun, Untung saja Selo dan Selvi sedang berada di sana dan buru-buru memanggil Kevin dan yang lainya untuk menggendong Alifia.

“Ihh malah ribut lo berdua, minyak urut nya kurang kali, Kev. Ini tambahin lagi nih.” Selo memberikan minyak urut yang ia pinjam dari Pak Rusli untuk mengobati kaki Alifia.

“Ihhh gak mau itu bau kakek-kakek!!” pekik Alifia.

“Kamu mau sembuh gak sih babe? Kamu mau di tinggal di guest house sendirian karena gak bisa jalan besok?” ancam Kevin, besok mereka memang masih ada perjalanan selanjutnya. Masih di sekitaran Dieng memang, setelah itu sore nya baru mereka akan melanjutkan perjalanan ke Jogja.

“Ihhh kan bisa kamu gendong!”

Selo dan Selvie mendengus, Kevin sama Alifia ini memang pasangan paling ikonik di sekolah. Mereka sering berduaan di kantin, bahkan Kevin juga rajin mengantar dan menjemput Alifia biarpun di ledeki guru-guru sekalipun.

“Pusing gue liat prahara rumah tangga ini,” Selo mendengus.

“Urus deh tuh Istri lo, Kev. Pusing gue Alifia nawar mulu.”

“Eh, tapi thanks yah, Vi, Lo. Udah bantu Alifia pas jatuh,” kata Kevin, Kevin gak bisa bayangin kalau Selo sama Selvi gak ada di sana, mungkin Alifia sudah menangis lebih kencang dari pada bocah yang merengek minta di belikan mainan.

“Iya sama-sama, gue balik ke aula dulu deh.”

Selo dan Selvi akhirnya kembali ke aula, namun saat akan masuk ke dalam aula keduanya justru berpapasan dengan Juna yang sedang terlihat kebingungan.

“Ih, kenapa lo, Jun?” tanya Selo.

“Lo berdua liat Karen gak? Karen gak ada di dalam.”

“Karen? Enggak ah, gue gak liat. Ini gue habis dari toilet juga dia enggak ada di sana, mungkin balik ke guest house kali,” jelas Selvi.

“Masa sih?” Juna masih mencoba menghubungi nomer Karen, tapi sialnya sinyal di ponselnya tidak ada. Tempat mereka tinggal memang agak sulit terjangkau sinyal untuk provider yang Juna pakai. “Ya Udah deh, gue ke depan dulu kalo gitu, siapa tau dia ada di depan.”

Baru beberapa langkah kakinya keluar dari aula, Juna justru bertemu dengan Kania, entah gadis itu habis dari mana. Namun senyum di wajahnya begitu merekah waktu dia melihat Juna.

I guess lo pasti lagi nyariin Karen yah?” tebak Kania yang langsung mendapat anggukan dari Juna. “Cewek lo, lagi di taman belakang guest house tuh, lagi berduaan sama Mas Satya.”

“Lo kalo ngomong jangan ngaco yah!” hardik Juna, Juna tau kalau Kania sedang membuat hatinya panas saat ini, tapi sayangnya Juna enggak akan percaya sama ucapannya itu.

“Dih, gue kasih tau yang benar juga. Kalo enggak percaya liat aja sendiri sana.”

Kania menyeringai, gadis itu kemudian berjalan dengan santainya masuk ke dalam aula. Meninggalkan Juna yang masih kebingungan mencari keberadaan Karen, Juna enggak percaya sama ucapan Kania, tapi rasanya tidak ada salahnya juga mencari Karen ke taman belakang. Siapa tau Karen benar-benar ada di sana.

Akhirnya Juna menunju ke taman belakang dengan sedikit berlari, namun langkanya terhenti ketika ia melihat Karen dan Satya memang sedang berduaan di sana. Satya bahkan sedang berlutut di depan Karen yang duduk di atas ayunan.

“Brengsek!” gumam Juna, ia langsung menghampiri Satya dan memberikan bogem mentah di wajah laki-laki itu hingga Satya tersungkur. “Bajingan!! Maksud lo apa ngajak cewek gue berduaan kaya gini hah!” hardik Juna.

“Jun..” Karen berusaha untuk bangun dan melerai keduanya, karena nampaknya Satya tidak terima wajahnya di pukul dan hendak bangun untuk memberikan balasan pada Juna.

“Karen udah punya gue! Gak bisa lo berhenti deket-deket sama dia hah?! Cowok gak tau malu!” teriak Juna, Karen sudah berhasil memegangi jaket yang Juna kenakan, dan menempatkan dirinya di depan Juna agar Mas Satya tidak mendekat ke arah Juna.

“Emosian yah lo! Gue cuma nolongin Karen karena tadi dia sesak nafas!” yang di katakan Satya memang benar kok, waktu mereka hendak berpisah. Karen tiba-tiba saja terjatuh dan sesak nafas, makanya Satya membawa Karen duduk di ayunan untuk ia periksa kondisinya.

“Alasan! Ini peringatan terakhir dari gue, sampe lo deket-deket sama Karen lagi gue bakalan—”

brukk

Belum sempat Juna meneruskan ucapannya, Karen sudah tergeletak pingsan dan membuat keduanya begitu panik. Satya juga ingin menolong Karen, namun tangannya di tepis dengan kasar oleh Juna.

“Ren..Karen?” Karena tubuh Karen begitu dingin, akhirnya Juna menggendong Karen dan membawanya kembali ke guest house. sementara itu Satya masih berdiri di taman dengan perasaan bersalahnya. Bisa jadi Karen shock melihat Juna yang tiba-tiba saja datang menghajarnya.

Sebelum kembali ke penginapannya, Satya sempat menelfon Dito untuk membawakan obat-obatan. Pasalnya ujung bibirnya berdarah, Satya harus mengobatinya dulu sebelum mengundang banyak pertanyaan dari guru-guru jika melihatnya babak belur.

To Be Continue