17 Again ✔️

Lee Juyeon, Go Younjung, Lee Sangyeon, Kevin Moon, Park Hyungsik, Yun Hajeong, Shin Seulki, Kim Jungwoo

Karen pingsan lumayan lama hingga menjelang pagi, gadis itu baru bangun jam 3 pagi dengan keringat yang bercucuran dan terengah-engah. Waktu dia bangun, Karen enggak berada di kamarnya. Melainkan di kamar lain dengan Kevin yang terduduk di lantai sembari tidur di sebelahnya.

Waktu Karen bangun dengan kondisi terengah-engah dan keringat yang menetes, Kevin juga ikut terbangun. Dia khawatir banget sama Karen, apalagi saat melihat wajah Kakak kembarnya itu pucat.

“Ren, kamu udah bangun?” Kevin mengucak matanya yang terasa perih karena masih mengantuk.

Karen hanya diam, tapi kedua matanya menatap Kevin dengan pandangan bingung sekaligus khawatir. Kevin bisa melihat ekor mata Karen juga seperti bersiap mengeluarkan air mata dari sana.

“Kev? Aku tadi mimpi buruk..” ucap Karen lirih.

“Mimpi apa?”

Karena Karen nampak tidak baik-baik saja, Kevin akhirnya mengambil segelas air di meja yang tadi sudah di siapkan oleh teman-teman yang lain. Kevin sengaja gak membiarkan Juna menjaga Karen meski cowok itu ngotot ingin menjaga Karen malam ini, Kevin tahu kejadian Juna dan Mas Satya yang bertengkar.

Kevin juga menyesal karena dia gak bisa menjaga Karen dengan baik, makanya malam ini Kevin memutuskan untuk menjaga Karen. Di dalam kamar itu mereka enggak berduaan, ada Ayu, Alifia, Fajri dan juga Emily yang tertidur di ranjang.

Ngomong-ngomong soal Juna dan Mas Satya, guru-guru enggak ada yang tahu soal pemukulan ini. Kevin agak sedikit lega karena Mas Satya merahasiakanya, cowok itu hanya bilang kalau ia jatuh terpeleset hingga bibirnya terbentur saat di tanya.

Kevin enggak bisa bayangin, gimana jadinya kali masalah ini terdengar sampao ke telinga guru. Akan lebih merepotkan lagi pastinya dan melibatkan Karen di dalamnya.

“Minum dulu yah.” Kevin memberikan Karen segelas air, namun Karen hanya meminumnya sedikit.

“Mimpi apa?” tanya nya lagi, setelah ia menaruh gelas itu di meja kembali.

Alih-alih menjawab, Karen hanya diam. Matanya sibuk memandangi Kevin dan juga ke sekelilingnya. Karen bermimpi, Kevin dan Mas Kara menangis melihatnya terbujur kaku di dalam peti.

Karen melihat sendiri bagaimana tubuhnya sudah kaku dengan wajah pucat, di iringi oleh sanak saudara dan teman-teman yang datang melayatnya. Tapi yang membuat hati Karen tersayat adalah, dimana Kevin menangis sangat menyesakkan di sebelah petinya.

Berharap Karen akan bangun atau berharap itu adalah mimpi buruknya dan Kevin segera bangun. Makanya waktu Karen sadar, orang pertama yang ia pastikan keadaanya baik-baik saja adalah Kevin. Tapi nyatanya itu hanya mimpi buruk Karen, toh buktinya sekarang ia baik-baik saja.

Karen hanya menggeleng pelan, ia kemudian bersandar pada head board sembari mencoba mengatur degup jantungnya.

“Cuma mimpi buruk, aku gak bisa ceritain. Ada mitos yang bilang kalau mimpi buruk sebaiknya di simpan sendiri,” lanjutnya.

Kevin mengangguk, ia menghargai keputusan Karen buat enggak cerita soal mimpinya.

“Ren, aku minta maaf karena enggak jagain kamu. Maaf aku gak tau Juna sama Mas Satya berantem sampe bikin kamu takut dan pingsan.” Kevin menunduk, menyesali dirinya yang sudah teledor menjaga Karen, Kevin akui memang akhir-akhir ini dia kelihatan sibuk sendiri.

Melihat Adik kembarnya yang terlihat sedih, Karen justru mengusap pucuk kepala Kevin. Ia pingsan bukan karena takut melihat Juna yang tiba-tiba menghajar Mas Satya, Karen justru sudah merasa sesak dan kurang enak badan sebelum kejadian itu terjadi.

“Bukan salah Kevin, aku emang udah sesak aja kayanya karena udaranya dingin. Mas Satya cuma mau nolongin aku, tapi Juna salah paham,” jelas Karen.

“Kev sedih liat Karen sakit-sakit terus akhir-akhir ini, Karen juga gak bagi sakitnya ke Kev.” biasanya setiap kali Karen atau Kevin sakit, keduanya bisa saling merasakan satu sama lain. Tapi akhir-akhir ini, setiap Karen jatuh sakit. Kevin gak bisa ikut merasakannya juga makanya Kevin sedih dan khawatir banget. Dia jadi enggak tahu apa yang Karen rasakan.

“Karen justru senang kalo Kev gak ikutan sakit.”

“Jangan ngomong gitu!! Lebih bagus kalo tubuh kita saling terhubung satu sama lain, bukanya itu yang jadiin kita lebih istimewa dari anak kembar lainnya?” hardik Kevin, ia menyentil kening Karen pelan. Sangat pelan namun membuat Karen terkekeh karena wajah cemberutnya, Kevin sedang merajuk.

“Aku cuma kecapekan aja kayanya, Mas Kara enggak tahu kan kalo Karen pingsan?”

Kevin menggeleng, dia memang enggak ngabarin Mas Kara. Takut Kakaknya itu khawatir, pasalnya Mas Kara juga sama paniknya seperti Kevin. Kevin masih bisa menghandle nya sendiri, Kevin gak mau menganggu pekerjaan Mas Kara.

“Besok waktu di bus perjalanan ke Jogja, Karen duduk sama Kevin aja yah. Biar Kev bisa jagain terus.”

“Terus Alifia?”

“Biarin sama Juna.”

“Emang kenapa?”

“Aku mau hukum Juna karena udah bikin Karen pingsan, sama ada sih satu hal lagi yang bikin aku kesel kalo liat Juna,” Kevin mengulum bibirnya.

“Apa?”

Kevin menoleh ke arah teman-temannya, ternyata aman, Semuanya masih tidur dengan pulas nya di ranjang mereka, walau begitu tetap saja Kevin bicara setengah berbisik ke Karen.

“Juna nyium Karen di rumah sakit kan?”

Karen melotot, dia kaget setengah mati. bagaimana bisa Kevin tahu? apa dia ngeliat waktu itu?

“N..gg..ak ngaco kamu!”

“Serius, orang Kev sama Alif liat kok. Karen udah sering yah kaya gitu sama Juna? Kev bilangin ke Mas Kara nih,” godanya.

“Enggak!! Gak pernah, udah ah, kamu keluar sana aku mau tidur!” Karen menarik selimut miliknya dan menenggelamkan dirinya di dalam selimut.

“Keluar ke mana? Ini tuh kamarku.”

Di dalam selimut Karen semakin meremas bantal yang ia pakai karena malu Kevin menggodanya. jadi dia melihatnya waktu itu? sialan, bocah 17 tahun ini benar-benar mengujinya.

Pagi nya mereka kembali berkeliling ke tempat-tempat wisata di Dieng, selama perjalanan dan mengerjakan proyek. Kevin selalu mengekori Karen, bahkan cowok itu gak membiarkan Juna berduaan saja dengan Karen. Iya, Kevin berubah menjadi si paling overprotektif ke kembaranya itu. Kevin gak mau Karen sakit lagi, bahkan lauk makan siang Kevin pun Kevin bagi sebagian ke Karen. Katanya supaya Karen lebih kuat dan enggak sakit-sakit lagi.

Sama hal nya saat mereka melakukan perjalanan ke Jogja, Kevin juga menyuruh Karen untuk duduk di kursi sebelahnya menggantikan Alifia. Sementara itu, Alifia ia biarkan duduk di belakang kursinya bersama dengan Juna.

“Mau susu coklat gak, Ren? Atau mau roti? Mau coklat? Mau biskuit?” Kevin mengeluarkan semua cemilan yang ia bawa dan menaruhnya di pangkuan Karen.

“Kev, aku tuh udah kenyang. Kamu gak inget lauk kamu tadi, kamu kasih sebagian ke aku. Sekarang kamu suruh aku makan lagi?”

“Biar kamu sehat.”

Juna yang melihat itu hanya bisa geleng-geleng kepala saja, “lo mah mau bikin Karen diabetes kayanya, Kev.”

“Apasih! Diam deh, gue masih marah sama lo yah,” hardik Kevin.

“Liat itu makanan sama minuman manis semua.”

Kevin baru sadar semua yang dia tawarkan ke Karen memang makanan dan minuman manis semua, Kevin itu pecinta makanan manis sementara Karen pecinta makanan padas dan gurih. Selera mereka saling berlawanan, makanya jenis snack yang mereka beli juga sangat berbeda.

“Udah yah, simpan lagi aja. Atau kamu bagi ke teman-teman yang lain, jangan di makan sendirian,” ucap Karen, ia meletakan cemilan-cemilan itu kembali ke tas yang Kevin bawa.

“Tapi nanti kamu makan yang banyak lagi yah, Ren.”

Karen mengangguk, ia tersenyum dan menyandarkan kepalanya di jendela bus. Namun, kaca jendela yang harusnya terasa keras itu berubah menjadi lebih empuk. Membuat Karen mengangkat kepalanya kembali untuk memastikan apa yang menjadi alasnya bersandar, ternyata itu adalah tangan Juna. Tangannya masuk melalui celah kursi mereka, dan mencegah kepala Rachel menempel pada kaca jendela bus yang keras.

Juna memang duduk di pojok dekat dengan jendela, sementara Alifia duduk di kursi pinggir. Sesekali gadis itu juga jalan-jalan ke kursi lain untuk merekam atau memotret teman-temannya.

Waktu Karen menoleh ke arah kursi Juna, cowok itu tersenyum, Membuat senyuman yang Juna berikan itu menular ke Karen, ia juga tersenyum.

“Sandaran lagi di tangan aku. Biar kepala kamu enggak sakit,” ucapnya.

“Tapi nanti tangan kamu pegal.”

“Gapapa, asalkan kepala kamu enggak sakit.”

Karen terkekeh, ia kemudian mengusap tangan Juna dan kembali bersandar di sana. Sesekali Karen memejamkan matanya, menikmati usapan lembut tangan Juna di kepalanya yang membuatnya terasa nyaman.


Sesampainya di Jogja, mereka sampai sudah agak malam. Sekitar jam 9 malam mereka sampai, Karen langsung masuk ke kamarnya bersama dengan Selo, Kania dan 3 anak kelas MIPA yang lain.

Waktu Karen selesai mandi, Kania sudah menguasai ranjang bawah. Karen ingat, dulu Kania cerita ke teman-temannya yang lain kalau Karen yang menyuruh Kania tidur di ranjang bawah. Padahal saat itu Karen sudah menyuruh Kania untuk tidur di ranjang atas bersama dengannya dan Selo.

Ranjang di hotel ini cukup luas, tubuh mereka bertiga juga kurus dan tidur di ranjang bertiga enggak akan terasa sempit. Namun Kania justru memilih tidur di bawah, sejak itu teman-teman yang lain jadi menilai kalau Karen tega membiarkan Kania tidur di kasur bawah sendirian dan Karen di kenal sebagai teman yang egois saat itu.

“Ren, lo tidur di ranjang atas aja sama Selo. Gue mau di bawah,” ucapnya tanpa menoleh sedikit pun ke arah Karen, Selo juga diam saja. Gadis itu sedang sibuk dengan ponselnya.

“Kalau gitu kita tidur berdua aja di kasur bawah,” ucap Karen, itu juga berhasil membuat Kania menoleh ke arahnya.

“Ih jangan, bakalan sempit. Lo di atas aja sama Selo.”

“Oh tenang aja, gue kalo tidur enggak berubah posisi sampe bangun kok. Gue bisa tidur menyamping biar lo gak kesempitan.”

Tanpa menunggu persetujuan Kania, Karen langsung tiduran di atas kasur sembari memeriksa kembali daftar pertanyaan yang besok akan ia pakai untuk mewawancarai turis asing.

“Ren, sumpah gapapa lo di atas aja, di bawah tuh kasurnya keras,” ucap Kania lagi.

“Gapapa,” Karen tersenyum. “Gue kan gak mau lo ngerasain kasur keras ini sendirian.” karen menepuk ranjang yang mereka tiduri saat ini, kemudian kembali pada ponselnya.

Kania jadi geram sendiri, mau enggak mau akhirnya ia tidur di ranjang atas bersama dengan Selo. Padahal Kania sudah punya rencana sendiri kalau ia tidur di kasur bawah, tapi Karen justru mengacaukannya.

“Loh, Ni. Kok di atas?” tanya Karen bingung.

“Gue di atas aja. Disitu sempit kalau berdua,” jawab Kania ketus.

Karen hanya mengangguk pelan, gadis itu kemudian memasang earphone di telinganya tanpa memutar lagu. Ia ingin tahu apa yang akan Kania bicarakan bersama dengan Selo.

“Nyebelin banget!” gumam Kania.

“Eh, Ni. Kita kan belum bikin daftar wawancara buat turis asing besok,” ucap Selo.

Kania masih memandangi Karen dari ranjang atas dengan perasaan kesalnya, “liat punya kelas lain aja lah, sekalian kita bikin kelompok wawancara sendiri bareng Muthia sama Selvi.”

“Kan harus ber 5, Ni. Karen gimana?”

“Gak usah ajak dia, lo mau sekelompok sama orang problematic? Gue sih males banget, tukang bikin masalah,”

“Masukin aja Syarif ke kelompok gitu biar jadi ber 5 beres kan?” lanjutnya.

“Iya sih.. Tapi karen speaking nya pinter banget, Ni. Kita bisa suruh dia yang wawancarain abis itu kita cuma rekam sama foto aja.”

“Yaudah kalo gitu lo berdua aja sama dia!!” sentak Kania kesal.

“Ihhh, Ni. Jangan gitu, ya..yaudah deh kita sama Syarif aja. Gue masukin Syarif ke kelompok kita,” ucap Selo pada akhirnya.

Tanpa keduanya sadari, Karen masih mendengar percakapan mereka. Karen enggak masalah harus mengerjakan proyek final ini sendirian, toh sekelompok dengan mereka Karen hanya akan di manfaatkan saja.

Pagi harinya, setelah sarapan dan akan bersiap-siap memulai perjalanan ke Candi Borobudur, mereka di beri waktu bebas sekitar 30 menit. Juna sudah mengirimi pesan ke ponsel Karen untuk menemuinya di dekat kolam renang hotel, Juna ngerasa dia harus minta maaf atas perlakuannya kemarin malam yang membuat Karen terkejut hingga jatuh pingsan.

Juna benar-benar menyesali perbuatanya, dia juga heran kenapa bisa ia seringan tangan itu untuk memukul seseorang. Padahal selama ini Juna memiliki kontrol emosi yang cukup baik. Sekitar 5 menit menunggu, akhirnya Karen sampai juga di kolam renang.

Gadis itu duduk di sebelah Juna, Juna tadi duduk di kursi sembari melihat pantulan dirinya di atas air. Begitu Karen datang, cowok itu langsung menoleh dan tersenyum. Karen masih selalu sama di matanya, cantik dan menawannya sama seperti pertama kali Juna mengenalnya.

Karen tampak cantik hanya dengan mengenakan cardigan berwarna lillac dan rambut panjang yang ia gerai tanpa hiasan apapun di atasnya.

“Mau ngomong apa sih?” tanya Karen, tangan kurusnya menyingkirkan poni Juna yang terlihat menghalangi mata cowok itu. Karen pernah bilang, dia lebih suka melihat Juna memamerkan poni nya. Kening cowok itu bagus, katanya.

“Ren?”

“Hm?”

“Soal kemarin malam,” Juna menarik nafasnya pelan. “Aku rasa aku udah keterlaluan, aku harus minta maaf sama kamu.”

Karen mengangguk, “kamu emang harus minta maaf.”

“Aku minta maaf yah.”

Karen diam sebentar, matanya menelisik mata teduh milik Juna. Mata yang menyiratkan penyesalan dan berharap Karen akan segera memaafkannya. Sungguh, melihat Juna dari dekat seperti sekarang ini membuat Karen semakin penasaran seperti apa Juna di masa depan.

apakah dia baik-baik saja?

apa dia sudah menikah?

apa dia sudah memiliki seorang anak?

bagaimana dia setelah melepas mimpinya sebagai seorang atlet basket?

apa hidupnya bahagia?

Itu yang selalu Karen pikirkan setiap kali melihat Juna dari jarak sedekat ini, setelah ia nanti berhasil kembali lagi ke masa depan. Bagaimana dengan hidupnya disini? Apa dia akan menghilang? Apa Juna akan baik-baik saja? Seperti apa dia setelah menyelesaikan misi nya disini? Atau mungkin Karen sudah meninggal dan ini semua hanya bayangan nya saja yang berharap ia bisa mengubah masa depannya?

“Iya, aku maafin kamu, Jun,” Karen tersenyum. “Jangan kaya gitu lagi yah, aku benar-benar kaget dan takut.”

Juna mengangguk, wajahnya berseri kembali dan tersenyum setelah Karen memaafkannya.

“Aku janji itu untuk yang pertama dan terakhir kalinya.”

Karen mengangguk, “aku tau, kamu pasti bertanya-tanya kenapa aku sama Mas Satya bisa berduaan di sana. Aku juga akan jelasin itu sebelum kamu dapat penjelasan dari orang lain.”

Juna mengangguk samar, rencananya memang ia ingin bertanya soal itu pada Karen. Namun Karen seperti bisa membaca pikirannya dan menjelaskannya lebih dulu pada Juna.

“Jun, tapi aku mau kamu janji 1 hal sama aku kalau aku ceritain ini sama kamu.”

“Apa?”

“Janji yah gak akan marah?”

“Um, kamu udah mau cerita. Aku gak mungkin marah, aku menghargai kejujuran kamu, Ren.”

Karen tersenyum, dia lega mendengarnya.

“Mas Satya emang ngajak aku buat ngomong berdua di sana. Maaf aku gak bilang ke kamu dulu, karna aku tau kamu pasti bakalan marah. Tadinya aku juga enggak mau, tapi Mas Satya bilang di mau ngomongin hal penting”

Karen menarik nafasnya, “Mas Satya, cerita soal perasaanya ke aku.”

Karen menoleh ke arah Juna, ia tau Juna sedikit tidak nyaman. Terlihat dari bagaimana ia menggertakkan giginya, namun ketika sadar Karen melihat ke arahnya. Juna mengangguk kecil, memberi isyarat agar Karen melanjutkan ceritanya kembali.

“Dia bilang udah suka sama aku dari awal aku daftar ke club, tapi enggak berani ungkapin perasaanya ke aku. Sampai akhirnya dia dapat kabar kalo kita udah jadian, Jun. Mas Satya gak ada niat merebut aku dari kamu, dia sama sekali gak ada niat buat hancurin hubungan kita.”

“Kalau gitu kenapa dia harus ngomong gitu ke kamu?”

“Dia mau berdamai sama keadaan, caranya dengan bilang ini ke aku. Setidaknya aku harus tau, itu katanya. Mas Satya bahkan mau ngajuin surat pengunduran diri setelah ini, dia benar-benar mau melupakan perasaanya sama aku, Jun.”

Juna diam, dia sibuk melihat pantulan dirinya di atas air. Hatinya masih agak kesal setiap mendengar nama Satya, tapi Juna juga lega karena Karen mau bercerita. Setidaknya tidak ada yang di tutup-tutipi oleh pacarnya itu.

“Waktu kami mau pisah buat kembali ke aula, tiba-tiba aja aku sesak nafas. Mas Satya cuma mau nolongin aku, dan kamu datang—”

“Sambil mukul dia,” lanjut Juna.

Karen mengangguk pelan.

“Maaf yah, sayang. Pikiran aku malam itu kalut banget nyariin kamu. Aku juga sempat ketemu Kania, waktu dia bilang liat kamu berduaan sama Satya. Pikiran aku langsung kacau,” jelas Juna, waktu Kania bilang gitu, sejujurnya Juna sudah berpikiran yang tidak-tidak, seperti Satya yang mencuri-curi kesempatan untuk bisa berduaan dengan Karen. Dan Karen yang diam-diam menikmati kebersamaan mereka, makanya Juna bisa menjadi se emosi itu.

“Iya gapapa, Jun. Kamu cuma salah paham, tapi aku berharap kamu mau minta maaf sama Mas Satya karena udah mukul dia yah.” menurut Karen, Juna tetap salah karena sudah memukul Mas Satya. Beruntung guru-guru tidak ada yang melihat, Karen enggak bisa bayangin kalau guru-guru sampai tahu hal ini, Juna pasti akan di hukum dan di marahi habis-habisan.

“Harus yah, sayang?”

Karen mengangguk, “karena kamu salah.”

Juna menarik nafasnya kasar, meski begitu. Ia akan melakukanya. “Iya, nanti aku minta maaf sama Satya.

“Mas Satya, Arjunandra.” Karen mengoreksi.

“Iya Mas Satya.”

Karen tersenyum, ia kembali menyingkirkan poni Juna agar tidak menghalangi keningnya lagi. Namun siapa sangka, kalau kesempatan itu di pakai Juna untuk mengecup bibir Karen secepat kilat.

“Jun.. Ih kalau ada yang liat gimana?” pekik Karen.

Juna terkekeh pelan, “gak ada kok tadi aku udah tengok kanan kiri.”


Kevin gak pernah bayangin kalau di Candi Borobudur akan seterik ini, ia masih membantu kelompok Alifia untuk mewawancarai turis asing. Kevin yang membantunya merekam dengan kamera yang ia pinjam, Itu kamera yang Kevin pinjam dari Budhe dan Pakdhe.

Untungnya kelompok proyeknya Alifia itu cukup pengertian, mereka membelikan Kevin minuman dan snack karena sudah mau membantunya. Lumayan sekali, persediaan snack milik Kevin sudah habis. Kelompok proyeknya Alifia juga mudah di atur, hanya saja mereka sedikit kesulitan menemui turis asing yang mau di interview.

Ada turis yang tidak mau di ganggu sama sekali, ada juga yang tidak mau di rekam. Dan kebanyakan turis yang datang hari ini berasal dari Asia, seperti Jepang, Singapore, Malaysia dan Thailand. Bahkan ada beberapa turis yang enggak bisa bahasa Inggirs, jarang sekali Kevin menemui turis dari Eropa.

“Panas banget sumpah gakuat,” keluh Alifia, gadis itu mengipasi wajahnya dengan buku berisi daftar pertanyaan miliknya.

“Mau sewa payung gak babe?” tanya Kevin, matanya masih fokus merekam Safira yang sedang mewawancarai turis.

“Enggak ah, sayang. Mending uangnya buat beli oleh-oleh aja.”

Alifia duduk di tangga, sesekali ia berselfie dan memotret teman-temannya secara candid. Ini untuk kedua kalinya Alifia ke Candi Borobudur, makanya dia udah enggak se excited teman-temannya yang baru datang pertama kali.

Sedang asik melihat-lihat foto-foto di ponselnya, tiba-tiba saja Alifia kaget karena ada seseorang yang memakaikan topi di kepalanya. Alifia langsung menoleh, ternyata itu adalah Kevin. Kevin memang tadi memakai topi.

“Kev...”

“Biar pacar aku gak kepanasan,” ucapnya, Kevin duduk di sebelah Alifia dan melihat hasil rekamannya.

“Tapi nanti kamu kepanasan gimana?”

“Gapapa, yang penting kamu gak kepanasan. Lagian aku udah biasa kepanasan waktu main futsal kan.”

“Ihhh, Kev. Romantis banget sih.” Alifia langsung menggandeng lengan Kevin.

“Proyek kelompok kamu udah beres nih, nanti aku kirim file nya satu-satu kalau udah sampai Jakarta yah.”

Alifia mengangguk, “punya aku sama kamu, kita kerjain bareng aja mau gak?”

“Boleh,” Kevin tersenyum, ia mengusap-usap punggung tangan Alifia.

“Habis ini temenin aku nyari Karen yuk, babe.” Kevin masih tetap harus mengawasi Karen, dia gak mau Kakak kembarnya itu pingsan lagi.

“Karen sama Juna tadi ke arah sana,” Alifia menunjuk ke arah lain. Karen tadi memang sempat berpamitan padanya kalau mau mengerjakan proyeknya berdua dengan Juna, Karen di keluarkan dari kelompoknya.

“Kok sama Juna?” dahi Kevin mengkerut bingung, setahunya Karen itu punya kelompok untuk mengerjakan proyek ini secara bersama.

“Iya, Juna yang bantu dia ngerjain proyek final ini. Karen bilang dia di keluarin sama kelompoknya, Kania juga bikin kelompok sendiri kayanya deh. Tadi aku liat dia, Selo, Muthia, Selvi sama Syarif pergi ke atas.”

“Orang gila!” hardik Kevin, bisa-bisa nya Kania bikin kelompok sendiri dan membiarkan Karen bekerja sendiri.

babe, Kania tuh kayanya gak suka sama Karen deh,” Alifia menjeda kata-katanya sebentar. “Gak-gak, dia tuh muka dua deh. Kalo depan Karen dia kaya baik-baik aja, tapi kalau di belakang Karen, Kania sering banget jelek-jelekin Karen.”

“Di kelas dia kaya gitu?” tanya Kevin.

Alifia mengangguk, “aku suka ngumping kalo dia lagi ngobrol sama geng nya.”

“Brengsek!!” Kevin bangun, dia menyimpan kameranya dan hendak menaiki tangga untuk mencari Kania, namun Alifia mencegahnya. “Kenapa? Aku mau samperin dia!”

“Kev, gak ada gunanya juga ngomong sama Kania sekarang, mending kita cari Karen sama Juna deh.”

“Tapi dia tuh harus di kasih pelajaran, babe. dia gak bisa perlakuin Karen seenak jidatnya, Karen tuh Kakak kembarku dan aku gak terima.”

“Ck,” Alifia berdecak. “Iya, Kev. Iya, aku tau, tapi kamu tau kan. Kania itu pinter banget nyari muka dan bikin orang-orang berpihak sama dia. Apalagi kalau udah bawa-bawa keluarganya, orang-orang pasti bakalan gak tega liatnya.”

“Kenapa bawa-bawa keluarga? Dia mau adu nasib kalo dia gak punya Ayah?” Kevin mendengus. “Aku sama Karen dari bayi gak pernah liat wajah orang tua kami bahkan, Lif. Tapi aku sama Karen enggak pernah jual cerita sedih kami ke orang-orang.”

Bagi Kevin, nasib menyedihkan yang di alaminya dan Karen. Cukup berhenti di mereka, Kevin dan Karen enggak suka di kasihani orang-orang. Apalagi di lihat dengan sorot mata iba hanya karena mereka tidak memiliki orang tua.

Bagi Kevin, Tuhan mengambil orang tua mereka namun Tuhan juga menitipkan Kakak sebaik Mas Kara, Mas Kara lebih dari cukup untuk Kevin dan Karen.

“Kev, aduh bukan gitu maksud aku.” Alifia menggaruk kepalanya, dia jadi pusing sendiri. “Pokoknya jangan sekarang, aku yakin kalo kamu labrak Kania sekarang nantinya bakalan bikin Karen kenapa-napa lagi. Udah yah, aku kan sekelas sama Karen. Aku janji bakalan jagain dia kok.”

Kevin mengepalkan tangannya kuat, kalau saja Alifia tidak menahannya. Mungkin saat ini Kevin sudah mencari Kania dan memberi gadis itu pelajaran, tapi yang di katakan Alifia ada benar nya juga. Karen pasti akan menjadi sasaran empuk lagi untuk Kania dan teman-temannya. Apalagi mereka enggak membully Karen secara terang-terangan, ini sulit. Karena Kevin harus melawan orang picik.

Keduanya akhirnya memutuskan untuk mencari Karen dan Juna, mereka berkeliling belum begitu lama. Namun sudah menemui Karen dan Juna yang sedang melihat orang mencoba memasukan tangan ke dalam Stupa berongga Candi untuk menyentuh Archa Budha.

“Eh, itu Karen sama Juna, Kev.” Alifia menunjuk ke arah Juna dan Karen yang sedang serius melihat ke arah orang yang mencoba memegang Archa Budha. “Tapi mereka lagi ngapain yah?”

“Kayanya mereka mau mencoba peruntungan buat nyentuh Archa Budha yang ada di dalam Stupa deh. Apalagi jari Arca Budha nya,” jelas Kevin.

“Hah? Biar apa?” meski sudah kali kedua Alifia ke Borobudur tapi gadis itu enggak tahu soal mitos ini.

“Mitos Kunto Bimo, katanya, siapa aja yang merogoh ke dalam stupa berongga di Candi Borobudur, terus nyentuh jari Arca Buddha yang ada di dalamnya, bakalan dapat keberuntungan atau terkabul keinginannya,” jelas Kevin.

“Ih kok aku baru tau? Kita mau coba juga gak?” Alifia excited banget, dia mau nyoba dan buat keinginan di sana.

“Boleh.”

Kevin dan Alifia menghampiri Karen dan Juna, ternyata proyek Karen sudah beres dan Juna yang membantunya. Karen juga bilang dia gak masalah di keluarkan dari kelompoknya, malahan Karen lebih nyaman mengerjakan proyek ini sendiri dari pada harus sekelompok sama Kania yang hanya akan memanfaatkannya saja.

Kali ini yang mencoba peruntungan lebih dulu adalah Alifia, tapi sayangnya tangannya enggak sampai. Alifia bahkan mencoba beberapa kali sampai akhirnya ia menyerah.

“Sekarang giliran gue,” ucap Kevin.

Ia memasukan tangannya ke dalam Stupa, bersusah payah untuk bisa menyentuh Archa Budha, Kevin awalnya berpikir itu akan mudah. Tapi nyatanya sulit sekali, Archa Budha nya berada cukup jauh dari jangkauannya. Kevin akhirnya menyerah dengan 2 kali percobaan.

“Kamu mau coba sayang?” tanya Juna, yang di balas anggukan oleh Karen.

“Doain yah.”

Juna mengangguk.

Karen memasukan tangannya untuk mencoba menyentuh Archa Budha di sana, wajahnya bahkan sampai menempel pada Stupa. Namun rasanya sulit sekali menyentuhnya, bahkan beberapa kali Karen sampai mencobanya dengan tangan kiri nya, namun akhirnya ia menyerah. Archa Budha nya terlalu jauh rasanya.

“Sekarang giliran aku,” Juna tersenyum, ia mulai memasukan tangannya ke rongga Stupa, dan ternyata enggak sesulit itu untuk Juna menyentuh jari Archa Budha di dalam Stupa. Tidak sampai 1 menit Juna berhasil menyentuhnya, itu juga yang mengundang teriakkan kaget dari Alifia.

“WAHHHH SUMPAH JUNA NYENTUH JARI ARCHA BUDHA NYA!!” pekik Alifia.

Juna tersenyum, ia kemudian memejamkan matanya untuk membuat permohonan.

gue mau hubungan gue sama Karen baik-baik aja, langgeng sampai kami memutuskan untuk menikah, gue mau Karen bahagia selalu dan semua keinginannya terkabul, gue mau restoran Bapak dan Ibu semakin ramai, dan yang terakhir. Gue mau cidera ini cepat pulih.

Setelah mengucapkan permohonan dalam hati, Juna melepaskan jarinya dari sana.

“Kamu buat permohonan apa?” tanya Karen, dia penasaran banget karna Juna kelihatan serius sekali waktu membuat permohonan.

“Rahasia!” ucapnya.

“Ihh pelit,” Karen cemberut, namun sedetik kemudian ia tersenyum ketika Juna merangkulnya dan mengajakknya untuk turun ke bawah.

To Be Continue

Setelah dari Candi Borobudur, malamnya mereka mampir ke Malioboro. Ini kesempatan guru-guru untuk membeli oleh-oleh yang akan mereka bawa pulang, tapi sebagian murid-murid yang lain juga ikut membeli oleh-oleh. Di luar agak sedikit gerimis, banyak dari mereka yang keluar mengenakan jaket untuk menutupi kepala atau bahkan membeli payung.

Namun Karen memilih untuk tetap berada di dalam bus, yang paling ia ingat dari study tour nya di masa lalu itu adalah hanya ia sendiri yang berada di dalam bus. Waktu itu Karen beralasan tidak mau turun dan berjalan-jalan di sekitaran Malioboro karna kepalanya pusing, padahal yang sebenarnya itu karena ia tidak memiliki uang lagi untuk membeli oleh-oleh.

Uang terakhirnya hanya akan cukup untuk ia pakai pulang bersama Kevin. Karen juga ingat, Juna turun bersama teman-temannya, dan kemudian kembali membawakan cilok dan juga bapia sebagai oleh-oleh untuk Mas Kara. Apa kali ini kejadiannya akan sama persis seperti itu juga?

“Sayang? Turun yuk, anak-anak yang lain pada turun,” ucap Juna, setelah cowok itu mengambil jaket miliknya yang berada di tas.

“Aku kayanya enggak turun, Jun.”

“Kenapa?”

Karen hanya diam, kalau ia beralasan kepalanya pusing, Juna pasti akan khawatir dan Kevin pasti akan tahu juga. Kevin sudah turun lebih dulu, dia enggak pergi jauh dari bus berhenti. Hanya makan bakso saja bersama Alifia. Karen enggak mau merusak suasana dengan mereka mengkhawatirkannya.

“Hujan, Jun.” alibi Karen.

“Pake jaket aku.” Juna mengeluarkan jaket miliknya. “Ini kotor, gapapa kalau di hujan-hujanin, yuk. Dari pada di bus aja.”

Karen mengulum bibirnya, ia tampak menimang-nimang ajakan Juna. Sampai akhirnya ia mengangguk mengiyakan ajakan itu, mereka akhirnya keluar dengan Juna yang menutup kepala Karen dengan jaket miliknya. Sementara Juna hanya mengenakan tudung hoodie yang ia pakai dan topi saja.

Juna juga enggak lupa menggandeng tangan Karen, mereka jalan agak sedikit jauh untuk sampai ke Malioboro. namun, sialnya hujan jadi agak sedikit kencang, membuat Juna menggandeng Karen semakin erat dan memilih berteduh di sebuah ruko yang sudah tutup.

“Kamu mau makan lagi gak sayang?” Juna menunjuk ke penjual gudeg yang tidak jauh dari tempat mereka meneduh. “Ada penjual gudeg, kamu suka gudeg gak?”

Karen hanya diam saja, sungguh. Ia juga agak sedikit lapar, tapi bagaimana mengatakan pada Juna kalau uang miliknya hanya cukup untuk ongkosnya pulang bersama Kevin.

“Dim, aku—”

“Kita makan aja yah, biar nanti di hotel kamu bisa langsung istirahat, tenang aja aku yang traktir,” sela Juna. cowok itu menarik tangan Karen dan mengajaknya ke penjual gudeg.

“Kamu duduk disini, biar aku aja yang pesan.” Juna mengambil kursi untuk Karen duduk dan satu lagi untuknya, kemudian ia mengantre.

Di kursinya, Karen memperhatikan Juna dan terkadang melihat ke sekitarnya. Ada teman-temannya yang lain juga sedang berfoto di sebrang sana, dan sebagiannya lagi ada yang sibuk membeli oleh-oleh.

Banyak yang berubah setelah Karen datang kembali ke masa lalu nya, apa kali ini takdir masa depannya akan berubah juga? Tidak lama kemudian Juna datang dengan 2 piring gudeg dan juga teh manis.

“Kita makan dulu, habis ini beli bakpia buat orang rumah yah.”

“Jun?”

“Hm?” sepertinya Juna sudah sangat lapar, ia langsung menyantap gudeg yang ia pesan dengan 1 suapan sendok penuh. Matanya juga berbinar, tanda jika makanan yang sedang ia nikmati seenak itu.

“Kenapa sayang?” tanyanya lagi. “Kok enggak di makan? Mau aku suapi?”

Karen terkekeh, ia menggeleng kepalanya pelan dan menyendok satu suapan ke dalam mulutnya.

“Ngobrolnya sambil makan yah.”

“Jun, aku boleh nanya gak?”

“Mau nanya apa sih? Pakai izin segala, kaya sama siapa aja.”

Karen menelan makanan yang sedang ia nikmati dengan susah payah, ada hal yang ingin ia tanyakan pada Juna tentang dirinya yang ia anggap payah, ya Karen selalu menilai dirinya seperti itu. Payah karena tidak bisa beradaptasi di lingkungan kerjanya, selalu merasa sendirian dan di kucilkan.

Karen melepas cita-citanya, ia hanya menjadi pegawai biasanya dan berpindah-pindah kerja. Enggak jarang, Karen sering menganggur dan hanya membantu Mas Kara mengurus anaknya saja, sampai akhirnya nanti Karen mendapatkan pekerjaan barunya.

Pernah Karen paksa untuk bertahan di tempatnya bekerja, Karen sudah tahu lingkungan kerjanya tidak sehat dan ia di kucilkan di sana. Karen mencoba untuk betah, namun pada akhirnya Karen tumbang. Psikis dan fisiknya jatuh sakit, ingatan tentang dirinya yang di kucilkan saat SMA itu kembali berputar.

Beruntungnya, Mas Kara dan Kevin sangat pengertian. Mereka enggak pernah maksa Karen untuk tetap bekerja, namun Karen merasa terus bersalah. Ia tidak ingin menjadi beban untuk saudaranya.

“Kamu malu gak, kalau di masa depan. Aku enggak jadi apa-apa?” ucap Karen, itu juga yang sontak membuat Juna menoleh ke arahnya. Cowok itu sempat menelisiknya dengan serius, namun tidak lama kemudian Juna tersenyum.

“Memangnya kamu mau jadi apa?”

Karen menggeleng, dulu. Cita-citanya sederhana, hanya berkuliah di jurusan jurnalistik, kemudian bekerja dan menabung untuk masa depannya. Namun semuanya sirna. setelah lulus sekolah, Karen harus bekerja, padahal sekolah sudah mencarikan beasiswa untuk Karen melanjutkan ke perguruan tinggi, namun Karen menolaknya karena ia takut perundungan itu akan berlanjut ke masa kuliah.

Karen juga sempat takut bersosialisasi dengan orang lain, hingga mengubah sifatnya menjadi lebih pendiam dan tidak banyak bicara, ini juga yang menjadi hambatannya dalam bekerja. Karen susah beradaptasi di lingkungan baru, dia akan lebih banyak diam seolah-olah ia sedang di kucilkan itu juga yang membuat Karen enggak memiliki teman sama sekali.

“Aku cuma tanya aja,” cicit Karen.

Juna tersenyum, makanan cowok itu sudah tandas lebih dulu dan Juna menyingkirkan piringnya dari sana. “Kalo yang kamu maksud enggak berhasil mewujudkan cita-cita kamu, bagi aku itu bukan suatu hal yang memalukan. Lagi pula, apa salahnya kalau gagal? Kita kan hidup untuk pertama kalinya. Jadi wajar aja kalau mencicipi gagal”

“Bahkan buat sampai di titik kita masih bisa bertahan sampai hari ini aja udah sesuatu yang harus kita syukuri, pasti enggak gampang buat sampai di titik sekarang. Hidup biasa-biasa aja, bukan suatu yang memalukan, Ren. Selama kita mau berusaha takdir pasti akan berubah. Habisin aja jatah gagal sampai enggak tersisa. Itu kata Bapakku, waktu ngehibur aku pas tahu aku gak bisa main basket lagi,” jelas Juna.

benarkah? Juna enggak akan malu jika ia mengetahui kalau Karen sering berganti-ganti pekerjaan karena anxiety sosial nya?

yang di katakan Juna benar, untuk sampai dan bertahan sampai di titik ini tidak mudah. Banyak hal yang berat yang telah berhasil di lalui Karen, harusnya ia bisa sedikit lagi bertahan alih-alih mengakhiri hidupnya di atas gedung.

Mendengar jawaban Juna, membuat Karen menitihkan air mata terharunya. Ia menyesal, karena sudah mengakhiri hidupnya dengan semua usaha dan pengorbanan dirinya untuk tetap bertahan sampai hari itu. Sekarang, yang Karen pikirkan adalah bagaimana keadaan Mas Kara dan Kevin di masa depan setelah mengetahui kematiannya?

Apa mimpi itu adalah gambaran dari sebuah kenyataan pahit jika dirinya memang sudah mati?

“Ren? Kok nangis sayang?” Juna buru-buru mengusap air mata Karen yang menetes dengan punggung jari nya.

“Aku cuma terharu aja dengar jawaban kamu, Jun.”

“Kamu ingat gak kalo kamu pernah bilang, kalau basket bukan jalan buat aku di masa depan. Mungkin aku punya jalan lain yang lebih baik dari pada basket.”

Karen mengangguk, “um, waktu di rumah sakit yah?”

“Kata-kata itu selalu aku ingat, sampai aku kepikiran buat menekuni bidang lain selain olahraga.”

“Apa?” Karen tersenyum, dia senang mendengarnya. Juna sudah ikhlas melepaskan impiannya di lapangan.

“aku mau menekuni bidang photografi. Siapa tahu aku bisa jadi fotografer profesional.” Juna menoleh ke arah Karen, cowok itu tersenyum dengan mata berbinar. Seperti ia telah menemukan jalan hidupnya kembali setelah terjebak di jalan buntu.

“Aku selalu mendukung kamu, Jun.”

apa saat ini, di masa depan kamu udah berhasil mewujudkan mimpi itu, Jun?

“Kita sama-sama wujudin mimpi kita yah, Ren. Kamu jadi jurnalis, aku jadi fotografer. Temenin aku yah, sampai kita ada di titik itu.”

Karen mengangguk, jika ini hanya mimpinya biarkan Karen terjebak di sini untuk waktu yang lama. Tapi jika bukan, semoga takdirnya kali ini benar-benar berubah.

Setelah selesai makan gudeg, Juna sempat mengajak Karen untuk membeli oleh-oleh. Bapaknya Juna itu suka banget sama makanan manis, jadi mereka mendatangi toko oleh-oleh yang menjual aneka macam bakpia. Andai uangnya cukup, Karen ingin membelikan bakpia setidaknya 1 kotak untuk Mas Kara.

“Kalau Mas Kara suka nya rasa apa, Ren?” tanya Juna, dia sudah memasukkan beberapa kotak untuk Bapak dan Ibu nya.

“Apanya?” tanya Karen bingung.

“Bakpia nya, sayang.”

“Aku gak beli, Jun.”

“Aku yang mau beliin untuk Mas Kara.”

“Jun, gak usah yah.” Karen meringis, dia enggak enak sama Juna. Mereka masih pelajar, otomatis uang yang Juna miliki juga ia dapat dari orang tua nya.

“Kenapa? Aku mau beliin buat Mas Kara, Ren.”

“Ga Usah, Mas Kara gak suka bakpia,” alibi Karen.

“Aku telfon dia aja yah, aku tanya sekalian aja dia sukanya apa,” Juna tersenyum, kemudian mengambil ponselnya dan menelfon Mas Kara.

Karen hanya diam saja. jujur, rasanya sungkan sekali kalau Juna terus-terusan mentraktirnya. Selama mereka berpacaran, Juna yang sering mentraktir Karen. Seperti makan, atau saat mereka pergi berkencan. Karen sudah sering sekali melarangnya, namun Juna bilang kalau bisa mentraktir Karen itu adalah kebahagiaan untuknya.

“Bohong kamu ih, Mas Kara bilang dia suka kok sama bakpia,” kata Juna saat cowok itu sudah selesai menelfon.

“Aku gak enak sama kamu, Jun. Kamu udah sering banget traktir aku.” mau enggak mau akhirnya Karen berkata jujur, dia udah malu banget ketahuan bohong perihal bakpia.

Setelah mengambil 4 kotak bakpia, Juna menghela nafasnya pelan dan menatap Karen dengan sebal.

“Kenapa gak enak sih? Aku aja senang kok bisa traktir kamu.”

“Jun, kita tuh kan masih pelajar. Uang yang kamu dapat juga dari orang tua kamu, itu buat kamu loh. Bukan buat traktir aku terus-terusan.”

“Kata siapa?” Juna mengangkat sebelah alisnya, membuat Karen mengerutkan keningnya bingung.

“Hah?”

“Karen, aku tuh beberapa kali menang olimpiade. Aku dapat uang dari situ, hadiah sih, dari ketua yayasan. Uang itu yang aku pakai buat traktir kamu, aku gak pernah pakai uang yang Bapak dan Ibu kasih buat modal pacaran kita,” jelas Juna yang membuat Karen terperangah.

Juna itu tinggi sekali, untuk ukuran anak SMA tinggi cowok itu sudah menembus 18cm, jadi cowok itu sedikit membungkuk agar wajah mereka sejajar.

“Pacar kamu ini, udah punya penghasilan. Makanya aku berani macarin kamu,” kata Juna sembari menepuk dadanya dengan bangga.

Gadis itu mengatupkan bibirnya, Karen malu banget. Dia ngerasa udah sok tahu banget. karena sudah terlanjur malu, akhirnya Karen berjalan lebih dulu keluar dari toko oleh-oleh. Sementara Juna terkekeh sembari membawa makanan-makanan yang dia beli ke kasir.

“Ren, tungguin aku!!” teriak Juna.


“Wihhh, belanja apa kamu, Ni?” tanya Bu Suri, beliau ini staf tata usaha sekaligus orang yang menyeleksi data murid yang lolos dan berhak mendapatkan beasiswa.

“Ah, cuma beli yangko sama bakpia tugu, Buk. Buat Ibu sama Nenek saya di rumah,” jawab Kania, gadis itu duduk di sebelah Buk Suri. Sementara Selo, Selvi dan Muthia kembali ke kursi mereka sembari menunggu murid-murid dan guru-guru kembali ke bus.

Bu Suri hanya mengangguk, kemudian melanjutkan kembali pekerjaannya. Beliau sedang memeriksa data murid yang sudah menyetorkan data diri serta bukti-bukti pembelanjaan kebutuhan sekolah mereka dari beasiswa. Bukti dan data diri itu yang nantinya akan Bu Suri kirimkan ke suku dinas pendidikan, untuk di evaluasi kembali.

Bisa saja jika ketahuan memiliki kejanggalan beasiswa murid akan di cabut, bukan hanya itu, nilai murid-murid yang mendapatkan beasiswa juga terus di pantau. Nilai mereka harus stabil agar beasiswa nya terus berlanjut.

“Lagi ngapain tuh, Buk?” tanya Kania.

“Ini lagi meriksa kembali nota hasil pembelanjaan beasiswa sama meriksa data diri, masih banyak yang belum lapor ulang nih. Kesel saya, lama-lama gak saya update data diri mereka biar berhenti sekalian beasiswa nya,” ucap Bu Suri kesal.

“Ih parah banget sih, eh tapi, Buk. Ada yang mencurigakan gak tuh? Jangan sampe beasiswa nya salah sasaran.”

“Sejauh ini gak ada sih, Ni. Paling ada 2 siswa yang mau saya kasih teguran, nilai mereka turun.”

Kania mengangguk, tidak lama kemudian Kevin dan Alifia masuk ke dalam bus. Kania juga enggak sengaja lihat kamera yang di bawa Kevin. Gadis itu menyeringai, begitu terlintas ide picik di kepalanya.

“Buk, Ibu tau si kembar Karen Kevin kan?”

Buk Suri mengangguk, “tahu, kenapa emang? Si Karen-karen itu sekelas sama kamu kan?”

“Benar, Buk. Ibu tau gak sih, Karen itu bisa lolos seleksi buat lomba paskibraka tempo hari tuh karena apa?”

Bu Suri menoleh ke arah Kania, Bu Suri ini emang hobi nya ngegosip, makanya begitu Kania bicara dengan nada setengah berbisik beliau langsung menoleh. Bu Suri sangat antusias dengan kelanjutan ceritanya.

“Apa?”

Kania menoleh ke kanan dan kirinya, terutama ke kursi milik Kevin dan Alifia. Keduanya sedang asik mengobrol di kursi mereka. Ini adalah saat yang tepat bagi Kania untuk menceritakan perihal Karen pada Bu Suri.

“Mas Satya itu naksir Sama Karen, makanya walau Karen bolos latihan 5 kali pun Mas Satya bikin dia masuk ke tim inti, padahal yang di gadang-gadang masuk ke tim inti itu saya, Buk. Yah kebetulan aja waktu itu kaki saya sakit, jadinya Karen yang masuk dan menggantikan formasi saya.”

“Ah, masa sih, Ni? Satya gak mungkin kaya gitu, dia gak mungkin mencampuri urusan personal dengan urusan club,” sangkal Bu Suri, Satya memang di kenal sebagai laki-laki yang tegas dan profesional.

“Dih, Ibu gak percaya saya punya buktinya nih.” Kania mengeluarkan ponselnya, dan menunjukan foto-foto Karen dan Satya di mall waktu itu untuk membeli sepatu.

“Mereka sering jalan berdua tau, Buk. Ini aja Mas Satya rela ngeluarin uang pribadinya demi beliin Karen pantofel karena pantofel punya Karen itu rusak.”

“Karen ini yang pacarnya Arjunandra kan?” tanya Bu Suri, yang di jawab anggukan oleh Kania.

“Kalau Ibu perhatiin kenapa sudut bibir Mas Satya itu luka, itu karena Juna nonjok Mas Satya kemarin waktu kita di Dieng. Waktu Karen pingsan itu loh, Buk.”

“Ah, benar juga yah. Luka di sudut bibir Satya memang mencurigakan. Kaya bukan luka karena dia jatuh.”

Kania menjentikkan jarinya, “apa saya bilang, saya tuh lihat sendiri waktu Juna nonjok Mas Satya. Tapi saya gak mau ikut campur urusan orang, Buk. Makanya saya gak samperin mereka.”

Bu Suri tampak sedikit kecewa dengan Satya dan Karen, keduanya di nilai sebagai murid berprestasi yang juga memiliki sikap dan perilaku yang baik. Karena prestasi mereka dan perilaku baik mereka, itu juga yang menjadikan mereka lolos seleksi beasiswa. Bahkan beasiswa Satya berlanjut hingga laki-laki itu berkuliah.

“Terus, Buk. Ibu merhatiin gak sih kalau Kevin punya kamera? Masa anak beasiswa punya kamera, kamera itu mahal loh, Buk.” bisik Kania.

“Ah, Iya yah. Kevin memang membawa-bawa kamera. Kenapa saya enggak kepikiran.”

Kania mencibirkan bibirnya, “makanya Ibu seleksi lagi deh benar-benar soal beasiswa Karen sama Kevin, apalagi Karen yang diam-diam tuh jadi siswa problematic di sekolah. Terus Kevin, saya mah cuma takut aja beasiswa kita di salah gunain buat kepentingan pribadi.”

Buk Suri mengangguk, wanita itu nampak percaya pada semua yang di katakan oleh Kania.

“Saya bakalan selidiki lagi ini, Ni. Terima kasih sudah ngasih tau saya soal ini yah.”

Kania mengangguk-angguk, “sama-sama, Buk. Kalau gitu, saya ke kursi saya dulu. Ah, sebentar.” Kania mengeluarkan 1 kotak bakpia original yang ia beli dan memberikannya ke Bu Suri.

“Buat Ibu, semangat kerjanya, Buk. Kalau saya nemu kejanggalan lagi, saya bakalan kasih tau Ibu,” ucap Kania sebelum ia kembali ke kursinya.

begitu Kania duduk di kursinya. Tidak lama kemudian Karen dan Juna masuk ke dalam bus, Kania melirik ke arah paper bag yang di bawa oleh Karen. Sepertinya gadis itu beli oleh-oleh lumayan banyak, padahal seingat Kania saat ia menguping pembicaraan Kevin dan Kania sebelum mereka ke Malioboro, uang yang mereka miliki hanya tersisa untuk ongkos pulang saja.

“Wah, belanja banyak nih, Ren. Beasiswa kita udah cair, langsung di jajanin yah?” ucap Kania.

Karen hanya diam, dia memperhatikan arah ekor mata Kania yang melihat ke paper bag yang ia bawa. Juna yang ada di sana juga melihat arah mata Kania, Juna tahu Karen enggak nyaman sama pertanyaan itu.

“Ini punya gue, Karen cuma gue minta tolong bawain karena gue belanja banyak,” jawab Juna.

Kania hanya terkekeh, kemudian mengangguk pelan. “Oke...”

Begitu bus yang mengarah ke rumah Karen itu melaju, Juna langsung kembali lagi masuk ke dalam sekolah. Kalau tidak salah, tadi dia melihat Satya masih berada di sekolah. Cowok itu meninggalkan motornya di parkiran sekolah.

Tidak sulit menemukan Satya ternyata, begitu kakinya menginjakan lapangan parkir sekolah. Ia sudah menemukan Satya yang sedang menaruh tas miliknya di motornya dan akan hendak pulang, buru-buru lah Juna menahan cowok itu. Seperti janjinya pada Karen, Juna akan minta maaf pada Satya karena sudah memukul cowok itu.

Waktu Juna tiba-tiba berada di depan motornya, Satya agak sedikit kaget. Dia pikir Juna sudah pulang, wajah cowok itu masam, laki-laki yang lebih tua itu mendengus dan turun dari atas motornya.

“Mau ngajak gue ribut lagi?” tanya Satya santai, dia sama sekali enggak terintimidasi sama keberadaan Juna di depan motornya.

“Gue mau ngomong sama lo, tapi enggak disini,” ucap Juna.

“Soal apa?”

“Gak disini gue bilang kan..” Juna mendengus.

Satya menghela nafasnya pelan, ia sudah lelah karena perjalanan panjang mereka dari Jogja ke Jakarta dan sekarang ia harus di hadapkan oleh Juna. Tapi pada akhirnya Satya mengikuti Juna juga, ia mengekori cowok itu ke sebuah cafe yang berada tepat di samping sekolah.

Mereka berdua duduk di pojok dekat dengan kaca besar yang memaparkan jalanan yang sibuk di pagi hari, iya. Mereka sampai Jakarta pagi hari. masih hari Jumat dan jalanan masih agak sedikit padat karena ini baru jam 8 pagi.

“Mau ngomong apa?” tanya Satya to the point.

“Gue mau minta maaf soal kemarin.” meski setengah hati, tapi Juna tetap minta maaf. Ini semua demi Karen. Karena Karen yang memintanya, sejujurnya Juna masih kesal jika mengingat Satya harus menyatakan perasaanya dengan Karen. Ia merasa tidak di hargai.

Satya mendengus, laki-laki itu meminum segelas americano yang tadi ia pesan. Kemudian menatap Juna dengan pandangan kesalnya.

“Gue gak yakin lo benar-benar ngerasa bersalah.”

Juna mengangguk, “setidaknya gue minta maaf karena udah ngelakuin kesalahan, dari pada bersikap sok benar padahal hampir ngerebut cewek orang.”

“Gue enggak pernah ngerebut Karen.”

Juna hampir saja terkekeh, bagaimana bisa Satya enggak mengakui perbuatanya? Padahal laki-laki itu sudah terang-terangan mendekati Karen, bahkan beberapa anak club sudah mengetahuinya. Satya terlalu menunjukan ketertarikannya pada Karen di saat Karen sudah memiliki pacar. Juna yakin, jika ia dan Karen putus Satya akan langsung meminta Karen menjadi pacarnya.

“Bukan enggak, tapi belum. Oh, hampir deh lebih tepatnya,” jelas Juna.

“Gue emang suka sama Karen, tapi enggak ada sedikit pun niatan gue buat ngerebut dia dari lo, Jun. Gue tau dia sayangnya cuma sama lo.”

Itu memang sebuah pengakuan dari mulut Satya, dia hanya ingin melindungi Karen. Satya tahu soal Kania yang diam-diam menjelakkan Karen di belakangnya, makanya Satya berusaha melindungi Karen.

“Terus kenapa lo masih deketin dia? Lo bahkan nyatain perasaan lo ke dia, Sat.”

“Oke, gue emang salah udah dekatin dia. Tapi soal kejadian di taman itu. Gue ngerasa emang harus ngomong itu ke Karen supaya gue bisa berdamai sama keadaan. Gue gak pernah minta dia jadi cewek gue, Jun. Setelah ini gue juga akan keluar dari sekolah supaya gue gak bisa liat dia lagi apalagi dekat-dekat sama dia,” jelas Satya. Dia bersungguh-sungguh untuk keluar dari sekolah setelah ini, bahkan besok rencananya Satya akan menyiapkan surat pengunduran dirinya.

“Gue minta maaf,” lanjut Satya. Dia ngerasa harus minta maaf juga pada Juna karena sudah mendekati Karen. “Karena udah dekatin Karen. Gue harap setelah ini kita bisa damai, gue enggak mau punya musuh, Jun.”

“Gue gak pernah menganggap lo musuh, Sat.”

Kedua nya sempat saling berdiam diri beberapa menit, seperti sibuk dengan isi pikiran masing-masing. Sampai akhirnya Satya duluan yang berbicara, memecah hening di antara mereka.

“Maaf juga, karena udah mikir kalo lo mau rebut Karen dari gue, buat balas dendam ke gue.”

Satya menggeleng pelan, “gue gak pernah berniat balas dendam sama adek gue sendiri. Gue gak pernah menilai elo dan Ibu lo salah, Jun. Kalian enggak salah.”

Juna mengangguk, lega mendengarnya. Seperti bongkahan es di antara mereka telah mencair. Satya dan Juna memang kakak beradik, ah, lebih tepatnya mereka satu Ayah. Dulu, Bapaknya Juna menikah dengan Ibu nya Satya. Satya adalah anak pertama Bapak. Namun setelah Satya lahir, Ibu nya Satya ketahuan selingkuh mereka bercerai dan Bapak menikah lagi dengan Ibu nya Juna.

Satya sempat salah mengira jika Bapak tidak mau bertanggung jawab, Ibu nya pernah bercerita kalau Bapak selingkuh dan menikah lagi. Waktu itu Satya marah banget waktu tau Bapak memiliki anak lagi, Satya yang waktu itu masih muda cemburu dengan Juna yang begitu beruntung di sayangi oleh Bapak.

Namun lambat laun, Bapak menjelaskan semua ke Satya tentang perselingkuhan Ibunya termasuk tentang nafkah yang Bapak kasih ke Ibunya untuk Satya, Ibu dulu cerita kalau Bapak enggak pernah memberi Satya nafkah sedikit pun.

Waktu itu Satya kaget, dia marah banget ke Ibu nya dan memilih tinggal bersama neneknya. Satya pernah di bawa Bapak ke rumah untuk tinggal bersama nya, tapi Satya terlanjur cemburu dengan kehadiran Juna. Juna selama ini tinggal bersama Bapak dan Ibu nya yang baik, di dalam rumah yang hangat seperti yang di idam-idamkan oleh Satya.

“Pulang, Mas. Bapak sering nanyain Mas Satya sama Juna,” ucap Juna ketika Satya berdiri dan hendak pergi dari cafe itu.

Satya sempat termenung beberapa saat, ia menunduk dan meremas tas nya. Juna berhasil menemukan ruangan yang selama ini kosong di hatinya, ia merindukan Bapak. Satya sudah enggak marah sama Bapak, tapi Satya sudah kepalang malu karena sudah menuduh Bapak berselingkuh dan tidak mau menafkahinya hanya karena cerita dari Ibunya.

Satya hanya mengangguk, “salam buat Bapak.”

Begitu mengatakan itu, Satya langsung pergi dan keluar dari cafe. Sementara Juna masih duduk dan melihat Satya berjalan kembali masuk ke gerbang sekolah untuk mengambil motornya.


“Karen!!”

Panggil seseorang yang membuat Karen dan Kevin menoleh. Ternyata itu adalah Anwar, pacarnya Selo. Rumah cowok itu memang masih satu arah dengan rumah Karen, kebetulan bus yang di tumpangi Karen dan Kevin memang berhenti di halte depan gang rumah Anwar.

Cowok itu sedikit berlari untuk menghampiri Karen, Anwar masih memakai celemek yang biasa ia kenakan saat bekerja. Keluarga Anwar itu punya kedai ice cream, dan Anwar bekerja di sana untuk tambah-tambah uang jajannya, Kebetulan saat kedai sepi Karen lewat makanya Anwar memanggilnya.

“Kak Anwar, ada apa?” tanya Karen.

“Bisa ngobrol sebentar gak?”

Karen melirik ke arah Kevin, adik kembarnya itu mengangguk dan mengambil alih tas milik Karen berserta paper bag yang ia bawa.

“Aku balik duluan yah, Ren.” Kevin pamit dan melanjutkan perjalananya ke rumah.

Sementara itu, Karen ikut mengekori Anwar masuk ke dalam kedai yang sedang di jaganya. Anwar sempat menawari Karen ice cream namun Karen menolaknya, dia mau langsung makan-makanan berat saja. Apalagi Mas Kara sudah bilang kalau ia masak nasi liwet hari ini.

“Mau ngomong apa, Kak?” tanya Karen.

“Aku ambil sesuatu dulu sebentar yah.”

Anwar meninggalkan Karen sebentar di kursinya, sementara ia masuk ke ruangan di belakang meja kasir dan kembali lagi setelahnya. Cowok itu membawa sebuah paper bag yang entah apa isinya kemudian menyerahkannya ke Karen.

“Ini untuk Selo,” ucapnya.

“Kenapa enggak di kasihin sendiri aja? Kenapa harus Karen yang kasih?” tanya Karen bingung, dia gak mau Selo salah sangka. Seingat Karen, kejadian ini tidak ada. Atau ia memang melupakan bagian ini?

“Aku sama Selo udah putus, kemarin. Selo enggak mau ngomong sama aku lagi, jadi aku gak bisa kasihin hadiah itu ke dia secara langsung. Tolong yah, Ren. Kamu kan temannya.” Selo sama Karen memang dekat mereka dari kelas 10 sudah sebangku, tapi tiba-tiba saja Selo menjauh dari Karen dan lebih dekat ke Kania. Entah karena apa, bahkan Selo juga pindah tempat duduk dan memilih duduk bersama Kania. Sementara Karen akhirnya duduk dengan Widya.

“Aku sama Selo gak bisa lanjut, Ren. Harusnya memang kita enggak pernah bersama.”

“Kenapa?” Karen cuma penasaran, kenapa Anwar mengatakan itu. Padahal dulu Anwar yang gencar mendekati Selo. Bahkan Anwar menyatakan perasaanya pada Selo di tengah lapangan saat ia sedang latihan futsal.

“Karena aku sama Selo beda keyakinan,” lanjutnya. “Aku gak mau semuanya semakin dalam dan berujung bikin luka yang lebih parah dari ini.”

Karen mengangguk paham, ternyata ini alasan di balik Selo dan Anwar akhirnya berpisah.

“Selo lupa sama kenyataan ini kayanya, dia cuma tau kalo aku selingkuh waktu liat postingan di instagram aku. Aku emang upload foto sama cewek, tapi itu sepupuku. Soal alasan ini, jangan kasih tau dia yah, Ren. Biarin dia mengingat aku sebagai mantan pacarnya yang brengsek. Aku harap dia bisa cepat lupa kalau benci sama aku.”

Waktu Selo bilang Anwar selingkuh, Anwar emang enggak melakukan pembelaan apa-apa. Dia malah jadiin kesempatan itu untuk putus sama Selo, menurutnya akan lebih baik jika Selo membencinya. Ia berharap dengan begitu Selo akan segera melupakannya, di banding Anwar harus jujur soal kenyataan kalau mereka berbeda.

*To Be Continue**

Buggg!!

“Sekali lagi lo deket-deket sama Alana, gue bisa bikin jari-jari tangan lo patah semuanya, ngerti lo!” sentak Galang, matanya yang biasanya berbinar dan bibir tebal penuh candaan itu kini berubah. Rahangnya menggertak, dengan mata yang menatap lawan di depannya dengan tajam.

Jika di gambarkan kalau Galang memiliki kekuatan super, mungkin sang lawan akan merasakan kesakitan yang cukup hebat hanya dengan tatapan cowok itu saja.

“Ini semua gak akan terjadi kalo Alana gak nolak gue.. Lo pikir gue ta—”

“AAARGHHHHH BRENGSEKK BAJINGAN SIALAN!!”

Dengan satu ayunan tangan yang terkepal itu, Galang kembali menghadiahi cowok di hadapannya itu dengan bogeman mentah kembali. Cowok itu sama sekali tidak takut, raut wajahnya yang sudah nampak babak belur itu masih bisa menyeringai, membuat Galang semakin kalap untuk menghabisinya.

Galang gak perduli dengan cowok yang memakai seragam SMP itu sudah babak belur karena bogemannya, ini tidak sebanding dengan luka dan penderitaan Alana selama ini.

“GALANG?!!” pekik seorang gadis, tidak lama kemudian tangan Galang yang masih berusaha menghajar cowok di depannya itu di tahan oleh seseorang.

“Lepas gak!! Urusan gue sama dia belum selesai!!” teriak Galang emosi.

Gadis itu berhasil menarik kerah kemeja seragam yang Galang pakai, dan menyuruh cowok yang Galang hajar tadi untuk pergi meninggalkan gang sempit yang ada di antara bengkel dan mini market.

Nafas Galang terengah-engah, keringatnya bercucuran, begitu juga dengan pedih di punggung tangannya yang sudah berlumuran darah. Emosinya masih memuncak dan seseorang menahannya, membuat Galang ingin melihat siapa yang menariknya dan menahannya untuk menghabisi bajingan yang terus menguntit Alana.

Galang menghempaskan tubuh gadis itu hingga gadis itu terjatuh menabrak dinding di antara mereka, dengan kening yang sedikit tergores hingga mengeluarkan darah.

“Aaahhh...” gadis itu meringis memegangi kepalanya.

Saat gadis itu mendongakkan kepala, Galang membulatkan matanya. Itu Karen, Kakak kelasnya di sekolah. Galang buru-buru berjongkok dan memeriksa keadaan keningnya.

“Kak, astaga. sorry-sorry gue beneran enggak tahu kalo itu elo, Kak.” ucap Galang panik.

Galang ingin mengusap kening Karen yang berdarah, namun Karen menepisnya. Tangan Galang kotor dan penuh darah juga, Karen enggak mau keningnya jadi infeksi.

“Tangan lo kotor, Lang.” ucap Karen, ia bangun dari sana sembari memegangi kepalanya yang sedikit pening akibat benturan kecil barusan.

“Kak, duh.. Sumpah gue gak enak banget, kita obati dulu yah.” Galang membantu Karen berjalan keluar dari Gang itu, menyuruh Karen untuk duduk di depan mini market 24 jam itu sementara ia membeli beberapa obat-obatan untuk Karen.

Begitu Galang kembali, Karen sedang membasuh luka di keningnya dengan sapu tangan dan air minum yang ia bawa. Cowok itu membeli obat merah, kapas dan juga plester.

“Kak gue aja yang ngobatin yah. Duh, kalo Mas Kevin tau gue bisa di pentung nih.”

Galang sama Kevin itu satu club, yup, Galang juga anggota club musik. Selain club futsal, Galang juga menekuni musik Galang bahkan punya band sendiri untuk kelas 10 dengan ia sebagai leader dan vokalisnya.

Band yang di pimpin Galang lumayan terkenal, sama besarnya seperti The Gifted yang sering di undang ke acara pensi sekolah lain. Galang yang masih terduduk memegang plastik berisi obat-obatan itu hanya menunduk, ia memperhatikan tangannya yang sudah bersih dari darah itu tadi ia sempat membersihkannya di toilet mini market. Tangannya lebam dan terdapat beberapa goresan di sana.

“Mana obatnya? Malah diem aja lagi lo,” ucap Karen ketus.

Galang langsung tersadar dan buru-buru memberikan kantung plastik itu pada Karen. “Lo harusnya gak usah nahan gue kaya tadi tau, Kak. Itu bajingan emang pantes di hajar sampe babak belur.”

Karen enggak tau apa yang cowok tadi perbuat ke Galang sampai cowok itu bisa emosi dan menghajarnya, setahu Karen, Galang itu bukan tipe anak begajulan yang suka berantem. Apalagi sama anak SMP kaya tadi. Galang emang sering keluar masuk BK tapi itu untuk perihal sepele karena ia sering bermain bola saat jam istirahat, yang menyebabkan kemeja yang ia pakai basah oleh keringatnya.

Karen yang sedang mengobati keningnya itu diam saja, begitu juga dengan Galang yang tiba-tiba diam karena Karen enggak merespon ucapannya. Setelah Karen selesai mengobati luka di keningnya, barulah gadis itu menghela nafasnya pelan.

“Tangan lo mau di obati atau gak?” tanya Karen, membuat Galang menatap Kakak kelasnya itu dengan bingung.

“Ga..gak usah, Kak.”

“Ck,” Karen berdecak. Ia menarik kursi miliknya ke depan Galang untuk mengobati luka di tangan cowok itu.

“Gue gak tahu kenapa lo ngehajar bocah tadi, Lang. Tapi dia tuh masih SMP, mukanya juga udah babak belur kaya tadi. Lo enggak takut kalo dia mati gara-gara lo pukulin kaya orang kesetanan gitu? Gimana kalo keluarganya gak terima dan laporin lo ke polisi?” ucap Karen, sembari mengobati luka di tangan Galang dengan obat merah.

“Aahhh sakit, Kak. Pelan-pelan buset kasar banget,” keluh Galang sembari meringis.

“Payah,” cibir Karen.

“Gue ngehajar dia bukan tanpa alasan, Kak. Si bajingan itu udah nguntit Adek gue, neror bahkan Adek gue hampir di perkosa sama dia,” ucap Galang menggantung.

Karen diam sebentar, ia mendongakkan wajahnya dan melihat raut wajah Galang. Wajah yang biasanya sering tersenyum dan tertawa itu kini terlihat seperti orang putus asa dan penuh kesedihan.

“Dia teman sekelasnya Alana?”

“Bukan, dia Kakak kelasnya Alana. Dia naksir sama Alana, Alana pernah di tembak sama dia. Tapi Alana tolak karena Beno emang terkenal sebagai anak yang nakal.”

“Keadaan Alana sekarang gimana?” setelah Karen selesai memasang plester di tangan Galang, gadis itu duduk kembali ke tempatnya dan menatap Galang.

“Alana gak sekolah, Kak. Gue yang larang, gue lagi berusaha bujuk orang tua gue biar mau mindahin Alana ke sekolah baru.” orang tua Galang itu tipikal orang tua yang mendidik anaknya dengan tegas, orang tua Galang enggak setuju Alana pindah untuk hal seperti itu. Menurutnya, Alana harus tegas dan berani melawan. Bukan malah lari dari masalah padahal yang di hadapkan sama Alana bukan perkara sepele.

Galang sudah menjelaskan kronologinya pada kedua orang tuanya, namun keduanya masih bersikukuh tidak memindahkan Alana dari sekolahnya sekarang. Makanya Galang se frustasi itu sampai nekat menghajar cowok yang menguntit Alana seperti tadi.

Galang sudah kehabisan akal, ia bahkan berniat untuk membunuh cowok tadi jika saja Karen tidak menahannya dan menyuruhnya pergi.

“Alana itu depresi, Kak. Dia takut banget sampai enggak berani keluar rumah. Bahkan buat liat HP nya aja dia takut.”

Karen menunduk, Karen enggak pernah berada di posisi Alana. Membayangkan di ikuti, di teror dan hampir di perkosa saja sudah mengerikan, bagaimana Alana sendiri yang mengalami, Tapi ia paham bagaimana menderitanya terkena depresi.

“Ada orang lain selain orang tua kalian yang mau dengerin penjelasan lo tentang masalah Alana gak, Lang?”

“Nenek, Kak. Nenek juga bujuk orang tua gue, tapi enggak mempan. Opsi gue cuma satu bunuh itu bajingan.”

“Gak gitu, Lang. Kalau emang lo gak bisa bikin Alana pindah sekolah. Lo harus bikin cowok tadi yang pindah.”

“Hah?” Galang mengerutkan keningnya. “Caranya?”

“Alana pasti punya bukti-bukti kalo cowok tadi udah neror dia, bikin semua orang tahu hal ini. Termasuk guru-gurunya.”

“Kalo Alana di celakain gimana, Kak?”

“kasih bukti ke orang tua nya dan bilang mau memenjarakan anak mereka kalau mereka gak bisa ngasih efek jera ke anaknya. Atau sekalian aja kalian bikin laporan ke polisi.”

“Bakalan berhasil gak yah...” gumam Galang.

“Seenggaknya kalau udah banyak orang yang tahu kejahatan yang cowok itu bikin, akan lebih banyak orang yang bersimpati sama Alana. Teman-temannya juga pasti bakalan lindungi Alana, dan terlebih. Beno bakalan dapat sanksi sosial dari orang-orang.”

Galang mengangguk, “gue bakalan coba deh, Kak.”

Galang melihat ke jam tangannya yang sudah menunjukan pukul 7, mereka sudah terlambat masuk ke sekolah. Tapi memang Galang berniat bolos hari ini sih.

“Kak, lo yakin mau tetep berangkat? Udah jam 7 kak.”

Karen yang baru memakai tas nya itu otomatis jadi merogoh sakunya, mengambil ponsel miliknya dan melihat jam di sana. Ternyata benar, ini sudah jam 7 dan gerbang sekolahan sudah di tutup. Jam pelajaran pertama juga sudah di mulai, bahkan Kevin dan Juna juga mengiriminya pesan. Keduanya menanyakan Karen dimana.

“Bakalan di omelin ini sih,” gumam Karen.

“Gue sih emang mau bolos, lo mending balik aja, Kak.”

“Balik gimana? Di rumah ada Mas gue. Kalo dia nanya kenapa gue balik gimana? Terus ini lagi, kepala gue bonyok.”

“Mau ikut gue aja? Gue mau perpus, mau ngadem sih. Abis itu siangan dikit mau ke toko buku buat beliin Alana komik.”

Karen tampak menimang-nimang ajakan Galang, sampai akhirnya ia mengangguk mengiyakan. Galang pun tersenyum waktu Karen setuju ikut dengannya, cowok itu langsung mengajak Karen ke parkiran tempatnya menaruh motornya itu. Namun Karen yang mengekori Galang itu mengerutkan keningnya waktu Galang bersiul.

Itu lagu yang sangat ia kenali, lagu milik boy grup The Boyz yang berjudul Thrill Ride lagu itu di rilis di tahun 2021 bagaimana bisa Galang menyanyikan lagu itu?

Karen kemudian berjalan cepat hingga kini dia berdiri di depan Galang yang tampak penasaran melihat wajah bingung Karen.

“Kenapa Kak?” tanyanya.

“Thrill Ride, lagu itu di rilis di tahun 2021..” ucap Karen, jauh dari bayangan Karen. Galang juga terkejut dengan ucapannya, cowok itu menarik Karen agak ke pinggir agar tidak menghalangi pejalan lain.

“Kok lo bisa tahu kak?!” pekiknya.

“Jangan-jangan.. Lo dari masa depan? 2023?” tebak Karen.

Galang mengangguk, keduanya sama-sama terkejut. Karen pikir ia satu-satunya orang dari masa depan yang kembali ke masa lalu, ternyata Galang juga sama dengannya. Tapi apa alasan Galang kembali? Apa karena Alana? Pikir Karen.

“JADI GIMANA BISA LO BALIK KE SINI???!!!” pekik Karen begitu mereka sampai di rooftop perpustakaan nasional, dia sudah menahan rasa penasarannya sejak tadi. Tapi Galang bilang mereka harus membicarakan hal ini di tempat paling aman. Karena, jika ada orang yang mendengarnya mereka bisa di sangka gila. Membicarakan hal-hal tidak masuk akal.

Di perpustakaan nasional mereka enggak ke ruangan komputer atau mencari buku bacaan, mereka lebih memilih ke rooftop setelah membeli Thai tea ke kantin perpustakaan. Karen udah kebelet banget pengen tahu gimana caranya Galang bisa kembali ke tahun 2015 juga.

“Kak, jangan teriak-teriak kenapa sih? Kuping gue pengang,” keluh Galang, cowok itu mengusap telinganya.

“Iy..iya sorry jadi gimana caranya? Gue beneran se kaget itu pas tau gue bukan satu-satunya yang balik ke tahun ini,” cecarnya.

Galang menyesap Thai tea yang ia pesan barusan, matanya menelisik awan yang pagi itu terlihat cerah. Warna nya biru, enggak seperti langit Jakarta seperti yang biasa ia temui di tahun 2023, terlihat mendung walau cuacanya panas. Itu bukan awan yang akan menjatuhkan hujan, melainkan kabut polusi. Jadi awannya tertutup sampai kelihatanya mendung.

Cowok itu menghela nafasnya pelan. Mencoba mengingat-ingat bagaimana caranya ia kembali di tahun ini. Sementara Karen di sebelahnya duduk dengan tidak sabaran.

“Waktu itu Alana meninggal, Kak. Dia bunuh diri karena overdosis obat penenang, gue telat banget buat tau kalo Beni masih suka neror Alana. Di hari ke 3 kepergian Alana, gue naik motor dan kebut-kebutan buat ngilangin rasa bersalah gue. Tapi ternyata gue kecelakaan, dan waktu gue bangun. Gue udah ada di kamar gue”

Waktu itu Galang kaget banget, apalagi saat ia membuka matanya itu karena Alana yang membangunkannya. Awalnya Galang kaget melihat Alana ada di depannya, ia pikir itu adalah mimpi atau arwah Adiknya, tapi Alana muda justru menampar wajahnya waktu Galang bilang Alana gentayangan.

Waktu itu Galang linglung banget, persis seperti anak hilang. Sampai akhirnya ia melihat kalender di tahun 2015 dan sadar kalau ia kembali ke masa lalu, kesempatan itu pun ia gunakan untuk melindungi Alana dari Beni agar Alana enggak meninggal, dengan cara yang tragis. Makanya Galang rela melakukan apa saja, meski taruhannya adalah masa depannya sendiri.

“Gue kaget banget, tapi Alana ada di depan gue. Pakai seragam sekolahnya, waktu sadar gue balik ke masa lalu. Gue gak nyangka tapi juga gue gak mau sia-siain kesempatan ini buat lindungin Alana dari orang gila bernama Beni itu, Kak.” jelas Galang.

Karen mengangguk, jadi itu cara Galang kembali ke masa lalu? Jadi cowok di sebelahnya ini mengalami kecelakaan, apa artinya Galang juga sudah meninggal sama seperti dirinya? Pikir Karen.

“Kalo lo gimana, Kak? Pasti lo balik ke sini karna punya penyesalan kan?”

“Hm..” Karen tersenyum miris, “kaya yang di lakuin Alana, Lang. Gue juga bunuh diri.”

Galang melotot, dia bahkan menutup mulutnya dengan satu tangannya karena kaget dengan apa yang Karen ceritakan. Namun akhirnya cowok itu tetap mendengarkan cerita Karen selanjutnya.

“Malam itu gue habis di marahin sama bos gue karna kinerja gue gak memuaskan, gue lompat dari atas gedung. Dan waktu gue buka mata, ternyata gue ada di lapangan sekolah kita,” Karen terkekeh.

“Kalau lo ingat waktu kepala gue kena bola karena lo? Itu adalah awal mula gue balik ke sini.”

Galang mengangguk, pantas saja waktu itu Karen terlihat sangat bingung dengan keadaan sekelilingnya. Ternyata itu alasannya.

“Gue punya penyesalan, karena gue gak pernah mengungkap kebenaran apa yang Kania lakuin ke gue, Lang.”

“Hah? Maksud nya gimana, Kak?” Galang ini emang enggak perduli sama gosip-gosip di sekolah, yang dia pedulikan cuma futsal dan bermain musik. Makanya dia enggak tahu kalo Karen di masa lalu sempat menjadi topik perbincangan murid-murid lain.

“Gue di bully sama Kania, Lang. Yah, emang bukan fisik gue yang hancur. Tapi dia ngehancurin mental gue, sampe gue sulit ngelanjutin hidup gue, gue kaya terjebak di masa SMA waktu itu. Gue menderita depresi dan Anxiety social, yang bikin gue menutup diri dari orang lain dan susah beradaptasi di dunia kerja, gue beberapa kali pindah kerja karena gak bisa survive sama lingkungannya, gue ngerasa jadi orang gagal banget, gue malu dan mutusin buat lompat dari gedung.”

“Jadi lo ke sini mau balas dendam, Kak?” tebak Galang yang di balas gelengan kepala oleh Karen.

“Gue enggak berniat balas dendam, Lang. Gue cuma mau mengubah masa depan gue aja. Gue mau lurusin kalau gue enggak bersalah, gue masuk seleksi lomba untuk wakilin sekolah kita karna gue mampu, bukan karna Mas Satya suka sama gue, gue juga bukan perusak hubungan Selo dan Kak Anwar, gue juga enggak ada niatan nyari perhatian sama Mas Satya, dan selain itu. Gue gak mau kehilangan Juna,” jelas Karen.

“Sebanyak itu tujuan lo tanpa menyelipkan balas dendam, Kak? Kania kan udah salah sama lo, dia pantes dapat balasannya.”

“Gue gak mikirin itu bahkan, Lang. Gue cuma mau semuanya berubah.” Karen menoleh ke arah Galang yang menyipitkan matanya karena pancaran sinar matahari yang berada di atas mereka.

“Hidup gue, Lang. Gue mau nasib gue berubah kalau ini memang kesempatan kedua buat gue mengubah semuanya.”

Karen sama sekali enggak kepikiran balas dendam sama sekali, dia cuma ingin mengubah masa depannya dan masih ingin bersama dengan Juna. Itu saja sudah lebih dari cukup, urusan Kania biar karma saja yang bekerja untuknya.


Setelah berpisah dengan Galang, Karen menyempatkan diri mampir ke rumah Selo untuk menyerahkan hadiah yang Anwar kasih untuknya. Tapi ternyata Selo belum pulang, di rumah baru ada Adiknya saja. Tapi walau begitu Karen tetap menunggu hingga Selo pulang.

2 jam Karen menunggu, hingga akhirnya gadis berdarah Ambon itu sampai juga. Selo menatap Karen dengan sinis, Karen enggak tahu kenapa tapi Karen tetap tersenyum dengan Selo.

“Ngapain lo disini?” tanyanya ketus.

“Gue nungguin lo balik, Lo. Ada yang mau gue bicarain dan kasih sesuatu buat lo.”

Selo nampak bingung, tapi akhirnya ia mengajak Karen ke belakang rumahnya. Selo gak ngajak Karen untuk masuk ke dalam rumahnya, Adiknya Selo itu suka menguping dan Selo enggak mau Adiknya tau apa yang mereka bicarakan.

“Mau ngomong apa?” tanyanya.

Karen mengambil hadiah yang Anwar titipkan padanya di dalam tas dan memberikan hadiah itu ke Selo, awalnya Selo nampak bingung namun Karen menyuruhnya membuka hadiah itu dan membaca surat yang ada di dalamnya.

“Dari Kak Anwar? Kok bisa sama lo?” tanya Selo, masih dengan nada yang ketus.

“Kak Anwar kasihin hadiah itu waktu kita baru balik dari Jogja, kebetulan gue lewat depan kedai ice cream nya.”

“Dia ngomong apa aja sama lo, Ren?”

Karen menghela nafasnya pelan, dia akan tetap memberi tahu Selo apa yang diamanahkan oleh Anwar tanpa melebih-lebihkan atau mengurangi kok.

“Kak Anwar tadinya mau kasih hadiah ulang tahun lo secara langsung, tapi waktu kalian putus. Lo bilang kalo enggak mau ketemu dia lagi?”

Selo mengangguk pelan, hadiah yang tadi Karen kasih ia peluk. Seolah-olah itu adalah Anwar, Selo masih sesayang itu dengan mantan pacarnya, namun rasanya tahu kalau Anwar selingkuh juga sangat menyakitinya. Saat ini Selo masih dalam proses melupakan cowok itu.

“Gue emang gak mau liat dia lagi, Ren.” kali ini nada bicara Selo berubah menjadi lebih halus, enggak seketus tadi.

“Makanya dia titipin ini ke gue, karena dia tahunya kita dekat.”

“Dia ngomong apa lagi?”

“Gak ada, setelahnya gue langsung pulang. Hari ini gue emang mau kasih itu di sekolahan, tapi pas berangkat ada kecelakaan kecil yang bikin gue malah bolos.”

Selo mengangguk, ia kemudian menyiapkan dirinya untuk sebuah permintaan maaf karena sudah bersikap ketus ke Karen barusan.

“Maafin gue yah, Ren.” ucap Selo.

“Untuk?”

“Karena udah ketus banget ke lo tadi, gue udah salah sangka.”

Karen menyipitkan matanya, dia enggak ngerti apa yang Selo bicarakan. Salah sangka? Selo salah sangka apa dengannya? Pikir Karen.

“Maksudnya gimana, Lo?”

Sebelum menjawab, Selo mengambil ponselnya yang menampakan foto Karen dan Anwar di kedai ice cream. Itu foto yang di ambil waktu Karen di beri amanah untuk memberikan hadiah pada Selo, benar-benar di ambil secara candid dan dari jarak yang agak jauh. Entah siapa yang mengambilnya, tapi itu berhasil membuat Karen berasumsi jika Selo salah sangka dengan foto ini.

“Ini Kania yang ambil dan kasih ke gue, kata dia lo diam-diam ketemu sama Kak Anwar. Kania juga bilang kalau bisa aja Kak Anwar lagi ngedeketin lo, dan Kania juga bilang kalau Kak Anwar kasih lo hadiah. Gue marah banget pas tahu, Ren. Sampe gue berniat buat ngelabrak lo hari ini di sekolah. Tapi ternyata lo gak masuk dan malah ada di rumah gue,” jelas Selo.

Karen mendengus, tangannya terkepal kuat menahan amarah yang memuncak. Apa Kania mengikutinya? Bisa-bisanya dia mengambil fotonya secara diam-diam dan mengarang cerita seperti itu.

“Gue sama sekali gak pernah ada niatan buat deketin siapapun itu, Lo. Asal lo tahu, bagi gue Juna udah lebih cukup,” ucap Karen tegas.

“Iya, Ren. Maaf yah, gue minta maaf udah mikir lo kaya gitu. Kalau bukan karena Kania yang ngomong gitu, gue juga gak akan berprasangka buruk ke lo kok.”

Karena sudah terlanjur kecewa dan sakit hati mendengar penjelasan Selo, Karen akhirnya berdiri dari tempatnya duduk dan berpamitan untuk pulang. Rasanya ia ingin berteriak kencang untuk melampiaskan kemarahannya pada Kania, namun yang ia lakukan kali ini hanya bisa meratap dan menangis sepanjang jalan.

Karen berusaha introspeksi setiap kali Kania melakukan hal-hal jahat padanya, tapi nyatanya? Karen enggak mendapati kesalahan yang ia lakukan hingga menyakiti hati Kania.

To Be Continue

“Permisi, Buk.” Ucap Kevin setelah masuk ke ruangan tata usaha.

Tadi Hadi bilang, Kevin di panggil oleh Buk Suri ke ruangan tata usaha. Ada yang ingin di sampaikan oleh Buk Suri mengenai beasiswa Kevin. Makanya begitu Hadi menyampaikannya, Kevin langsung bergegas ke ruang tata usaha.

“Ada apa, Kevin?” Tanya salah satu karyawan tata usaha di sana.

“Saya nyari Buk Suri, Buk.”

“Duduk dulu aja, Kevin. Buk Suri lagi di ruangan kepala sekolah.”

Kevin mengangguk, ia duduk di salah satu kursi di sana dan menunggu hingga Buk Suri kembali. Sebenarnya bukanya hanya Kevin yang di panggil, tapi Karen juga. Tapi berhubung Karen enggak masuk, jadi lah ia ke ruang tata usaha sendiri.

Rasanya gugup sekali jika sudah membahas beasiswa begini, Kevin takut nilai-nilai nya turun sampai-sampai di panggil begini. Namun ia yakin, ini bukan perihal nilai. Mungkin ada data nya yang kurang lengkap yang harus di kumpulkan.

5 menit Kevin menunggu akhirnya Buk Suri datang juga, wanita itu melirik Kevin dengan sinis dan memberi isyarat untuk duduk di kursi depan meja Buk Suri.

“Kembaranmu kemana?” Tanya Buk Suri, waktu Kevin baru saja menempelkan bokongnya di kursi.

“Karen enggak masuk, Buk. Lagi enggak enak badan, surat dokternya besok dia bawa kok.”

Karen tadi pagi mengabari Kevin karena gak bisa masuk, dia mengalami kecelakaan kecil katanya. Awalnya Kevin panik dan ingin pulang, namun setelah mendapat menjelaskan dari Karen kalau ia baik-baik saja dan ada urusan dengan Galang, akhirnya Kevin membatalkan niatnya untuk pulang. Biar nanti Kevin akan menginterogasi Karen setelah pulang nanti.

Buk Suri mendengus, namun akhirnya dia mengangguk pelan.

“Begini yah, Kevin. Kamu tau kan apa saja persyaratan murid yang berhak mendapatkan beasiswa? Kebetulan beasiswa yang kamu dan Karen dapat dari sekolah bukan beasiswa prestasi, yah walau kamu sama Karen cukup berprestasi.”

Kevin mengangguk, “tahu kok, Buk. Beasiswa murid yang tidak mampu.”

“Betul, saya baru saja mendapat laporan tentang kamu dan Karen. Kebetulan kalau kasus kamu, saya melihat sendiri dengan mata kepala saya waktu kita study tour. apa benar kamera yang kamu bawa itu milik kamu?”

“Yah, kebetulan saya mendapatkan laporan kalau katanya itu milik kamu. Pihak sekolah hanya ingin tahu saja demi memastikan kalau beasiswa ini enggak salah sasaran,” lanjutnya.

Jujur saja, Kevin kaget. Siapa yang memberi laporan seperti itu pada Buk Suri? Kevin memang membawa kamera, tapi itu bukan miliknya. Itu milik Budhe dan Pakdhe yang Kevin pinjam demi kepentingan tugas-tugasnya.

Lagi pula saat mau mendapatkan beasiswa dulu, Mas Kara sempat di wawancarai jika ia adalah pengganti orang tua Karen dan Kevin, bahkan pihak sekolah tau kalau Karen dan Kevin adalah yatim piatu. Dan tergolong murid tidak mampu, karena gaji bulanan yang di dapat dari Mas Kara masih tergolong kecil, untuk membayar biaya sekolah Karen dan Kevin.

“Bukan, Buk. Kamera itu memang saya bawa, tapi itu milik Pakdhe dan Budhe saya. Saya bisa kasih bukti itu, apa saya perlu bawa Budhe dan Padhe saya buat ngasih bukti dan penjelasan kalau itu memang benar-benar punya mereka?” Jelas Kevin, dia bisa membuktikan itu jika Buk Suri menyuruhnya.

Buk Suri menggeleng pelan, bisa di lihat jika wajah Kevin terkejut. Bocah itu bahkan bisa memberikan bukti jika ia memintanya, Kevin sama sekali enggak menunjukan gelagat aneh seperti terlihat mencari-cari alasan. Ia bicara dengan spontan, seperti mengungkapkan sebuah kejujuran tanpa ada yang di tutup-tutupi. Dan itu sudah cukup membuat Buk Suri percaya.

“Gak usah – gak usah, kalau itu memang bukan milik kamu, yasudah. Tapi untuk 3 bulan ke depan dan seterusnya saat kamu dan Karen naik ke kelas 12 saya dan tim penyelidik akan tetap memantau. Kalau kalian berdua terbukti tidak masuk ke kategori siswa miskin, maka maaf saya harus mencabut beasiswa kamu dan Karen.”

“Silahkan, Buk.”

“Kamu boleh kembali ke kelas kamu, tolong sampaikan panggilan saya untuk Karen besok. Sebelum jam masuk, Karen harus menghadap ke saya.”

Kevin mengangguk, namun sebelum pergi dari sana. Ia sempat berpikir siapa orang yang sudah membuat laporan mengada-ngada seperti itu, Kevin ingin tahu orangnya. Mungkin saja Buk Suri mau memberitahunya, pikir Kevin.

“Buk, saya boleh tahu gak siapa orang yang membuat laporan tentang saya dan Karen?” tanya Kevin.

“Mau kamu apakan memang orangnya?”

“Saya cuma mau tau, Buk.”

Buk Suri mendengus, kemudian menggeleng kepalanya pelan. “Gak bisa Kevin, saya dan tim penyelidik beasiswa harus merahasiakan hal ini demi kebaikan bersama.”

Kevin mengangguk, ia akhirnya keluar dari ruang tata usaha dengan tangan yang terkepal. Sungguh, jika Kevin tahu siapa orang yang membuat laporan yang mengada-ngada seperti itu. Ia akan memberikan orang itu pelajaran.


Keesokan hari nya, Selo berjalan dari lorong kelas menuju ke kelasnya dengan perasaan kesal dengan langkah kaki besar yang terburu-buru. Ia tidak sabar untuk melampiaskan kemarahannya pada Kania yang sudah membuat cerita mengada-ngada tentang Karen dan Anwar.

Kebetulan hari ini adalah jadwal piket kelas Kania, jadi gadis itu pasti datang lebih awal dari pada biasanya. Dan benar saja dugaannya kalau Kania sudah datang dan sedang menghapus papan tulis yang penuh coretan.

Begitu Selo datang, ia langsung melempar paper bag berisi hadiah dari Anwar kemarin ke depan Kania hingga gadis itu kaget dan beringsut memungut paper bag itu demi melihat apa isinya.

“Itu kan yang lo bilang Karen dapat hadiah dari Kak Anwar?” sentak Selo.

Kania masih terlihat bingung, dia masih mencerna apa yang Selo lakukan padanya. Semalam, Selo mencoba untuk menghubungi Anwar kembali demi mengatakan terima kasih pada cowok itu meski lewat telfon.

Mereka berbicara cukup lama, bahkan Selo mencoba menerima jika gadis yang bersama Anwar sekarang mungkin lebih baik dari pada dirinya. Namun, justru Anwar menjelaskan pada Selo jika gadis itu adalah sepupunya, Selo salah paham. Dia agak menyesal mendengarkan ucapan Kania jika Anwar berselingkuh hanya dari postingan sosial medianya saja, salah juga waktu itu Anwar tidak menyangkal apapun juga hingga Selo percaya pada dugaan itu.

Tapi semalam pada akhirnya Selo mendapatkan penjelasan soal kenapa Anwar bersikap acuh padanya. Ternyata ini semua karena Anwar sadar lebih dulu jika mereka berbeda, Anwar enggak ingin semakin lama hubungan mereka nantinya akan semakin susah untuk melepas satu sama lain karena perbedaan ini.

Selain itu sebenarnya dari pihak keluarga Anwar, menentang Anwar menjalin hubungan dengan gadis yang berbeda keyakinan dengan mereka. Itu lah kenapa Anwar memilih mundur, namun, meskipun begitu Anwar masih menganggap Selo adalah teman baiknya.

Mereka masih bisa berhubungan baik layaknya seorang teman meski sudah tidak terikat hubungan apa-apa. Dan Selo sepakat soal itu, meski perasaanya dengan Anwar masih utuh hingga saat ini.

“Apaan sih maksud lo, Lo? Gue enggak ngerti,” ucap Kania bingung, ia sempat menarik tangan Selo untuk keluar dari kelas dan berbicara di tempat sepi. Soalnya murid-murid kelas mereka mulai berdatangan dan kelas mulai ramai, sehingga mereka menjadi pusat perhatian di kelas.

“GUE MAU KITA NGOMONG DISINI BIAR SEMUA ORANG TAHU KALO LO TUKANG FITNAH!!” teriak Selo, ia juga menangis saking marahnya.

“SELO APAAN SIH? KOK LO BEGINI?!” pekik Selvi yang baru saja datang.

“Diem gue gak ada urusan sama lo!” sentak Selo sembari memunjuk wajah Selvi.

“Lo kok tega udah fitnah Karen sih, Ni? Lo bilang Kak Anwar deketin Karen, Kak Anwar selingkuh, Kak Anwar ngasih hadiah buat Karen dan mereka ketemu diem-diem di belakang gue waktu gue habis putus. Foto yang lo kasih ke gue itu waktu Kak Anwar ngasihin hadiah buat gue yang dia titip ke Karen!!” jelas Selo.

“Karen pasti udah cerita yang enggak-enggak ke lo kan? Dia pasti nyangkal soal ini, mana ada sih maling yang mau ngaku—”

“Kak Anwar sendiri yang bilang ke gue, dia juga jelasin kalo cewek yang di foto itu namanya Zahira. Dia sepupunya Kak Anwar, oh bukan cuma itu. Kak Anwar juga ngejelasin sikap dingin dia dan alasan kenapa dia kaya gitu!”

Kania kaget bukan main, tangannya bergetar dan keringat bercucuran dari kening hingga turun ke dagu nya. Matanya bergerak dengan gelisah, dia enggak punya pembelaan apapun tentang ucapannya kemarin.

Kania juga enggak nyangka kalau hadiah itu untuk Selo yang di titipkan oleh Anwar ke Karen, Kania hanya berasumsi saja jika Anwar memberi hadiah itu untuk Karen. Makanya dia langsung memotret mereka waktu tidak sengaja lewat kedai ice cream Anwar dan memberikan foto itu ke Selo. Memang niat Kania saja sudah jelek, dia ingin menjatuhkan Karen dan membuat Selo membenci Karen.

“Te..terus kenapa harus di titip ke Karen? Kenapa Kak Anwar gak langsung ngasih aja ke elo?” tanya Kania, dia masih berusaha menyangkal. Berpikir keras agar Karen lah yang tetap terlihat sebagai penjahatnya disini.

“Itu karena gue sempat bilang ke Kak Anwar kalo gue enggak mau ketemu dia lagi, makanya dia enggak berani kasih hadiah ini langsung ke gue.”

“Ni, benar apa yang di bilang Selo?” tanya Muthia, gadis itu terlihat bingung sekaligus enggak menyangka jika yang di ucapkan Selo adalah sebuah kebenaran. Apalagi gadis itu jarang sekali terlihat marah.

“Gak gak gini...” ucap Kania panik.

Tidak lama kemudian Karen datang, dia berdiri di depan kelas dengan wajah bingungnya. Namun saat melihat Karen, Kania langsung menghampiri gadis itu dan mendorong bahu Karen dengan membabi buta nya. Karen terjatuh, namun Juna buru-buru membantunya untuk bangun.

“LO NGOMONG APA KE TEMEN GUE SAMPE SELO KAYA GINI HAH?!” teriak Kania.

“Gue cuma jelasin apa yang Kak Anwar sampain ke gue, hadiah itu benar-benar buat Selo kok. Harusnya gue tanya ke lo, apa yang lo omongin ke Selo sampai dia bisa bilang kalau gue ketemu Kak Anwar diam-diam dan Kak Anwar deketin gue?!” sentak Karen. Tangannya bergetar, sungguh. Ini untuk pertama kalinya ia terlihat marah seperti ini.

“EMANG BENAR KAN? LO SAMA KAK ANWAR CUMA SEKONGKOL BUAT BIKIN GUE YANG KELIHATAN JAHAT DI SINI KAN? JUN LIAT, CEWEK LO INI JAHAT. DIA CEWEK CENTIL YANG MAU DEKETIN BANYAK CO—”

“Ada apa ini?! Masuk kalian semua ke kelas, enggak dengar bel jam pelajaran pertama sudah berbunyi? Budeg kuping kalian yah?!” teriak Pak Rusli, tanpa mereka sadari bel jam pelajaran pertama sudah berbunyi. Pantas saja Pak Rusli sudah datang.

Kania diam, ia bersungut-sungut berjalan menuju kursinya. Begitu juga murid-murid yang lain, mereka pun bubar begitu Pak Rusli datang.

“Karen!!” panggil Juna.

Cowok itu ngejar Karen dari parkiran motor menuju lorong sayangnya Karen enggak mendengar panggilannya, Juna pikir Karen akan langsung naik ke lantai atas menuju kelasnya. Namun gadis itu masuk ke ruang tata usaha, sementara Kevin langsung naik ke atas menuju kelasnya.

Juna sempat bingung, namun akhirnya dia memutuskan untuk menunggu Karen di depan ruang tata usaha. Lagi pula jam masuk masih agak lama, lagi pula ini bukan hari nya piket kelas. Jadi dia masih bisa menunggu Karen.

Sementara itu di dalam ruang tata usaha, Karen di suruh Buk Suri untuk duduk di depan meja nya. Buk Suri sempat mendengus beberapa kali setelah menelisik penampilan Karen dari atas sampai bawah.

“Kata Kevin kemarin kamu sakit? Sakit apa?” tanya Buk Suri membuka obrolan mereka.

“Bukan sakit yang gimana-gimana sih, Buk. Kemarin saya sempat ada kecelakaan kecil pas mau ke sekolah.” Karen menunjuk keningnya yang masih terpasang plester.

“Cuma luka kecil kok, Buk. Tapi saya bawa surat izin nya,” lanjut Karen.

“Kasihkan itu ke wali kelasmu nanti,” ucap Buk Suri, yang di jawab anggukan oleh Karen.

“Begini Karen, saya mendapat laporan tentang perilaku kamu. Dan beberapa hal yang menyangkut kamu juga, terutama di study tour kemarin.”

Begitu Buk Suri mengucapkan itu, perasaan Karen mendadak gak enak. Memangnya apa yang telah ia perbuat selama study tour? perilaku apa yang Karen lakukan sampai-sampai Buk Suri memanggilnya ke sini? Karen sudah tau soal masalah Kevin tentang kameranya.

Kevin sudah cerita soal itu, Buk Suri bahkan membicarakan soal beasiswa dan tidak ingin beasiswa murid tidak mampu ini tidak tepat sasaran. Kalau itu, Karen bisa memaklumi, tapi kali ini Buk Suri menegurnya atas perilakunya. Karen enggak merasa berbuat salah apapun, apalagi atas perilaku tidak menyenangkan. Atau kali ini dia keliru? Pikir Karen.

“Saya harap kamu menjawab ini dengan jujur yah, Karen. Apa benar kamu dekat dengan Satya? Saya bukan menyinggung permasalahan personal kamu dengan Satya, ini untuk memastikan jika Satya tidak mencampuri urusan club dengan perasaanya. Karena begini, ada rumor yang tersebar jika kamu sudah mangkir dari latihan selama 5 kali, namun Satya tetap bersikukuh untuk merekrut kamu ke tim inti.”

ah, ternyata persoalan ini. Kalau Karen boleh menebaknya, apakah si pembuat laporan ini adalah Kania?

“Pertama-tama saya mau mengakui kalau benar saya memang mangkir dari jadwal latihan di club sebelum hari perekrutan berlangsung, tapi saya punya alasannya, Buk. Itu karena saya harus merawat Kakak saya di rumah sakit yang terkena usus buntu. Waktu itu saya juga sempat bimbang, saya sempat bingung ingin fokus pada akademik saya saja waktu itu. Saya takut tidak bisa membagi waktu antara latihan paskibra dengan waktu belajar saya”

“Tapi Mas Satya meyakinkan saya harus tetap ikut latihan, dia bilang saya enggak boleh keluar begitu saja dari club. Sampai akhirnya saya yakin dan kembali ke club, saya sempat menjanjikan kemenangan untuk tim kami jika saya terpilih menjadi tim inti. Waktu itu, saya bicara langsung sama Pak Yasir, dan beliau menyetujui itu. Bahkan beliau sendiri yang masukin saya ke tim inti,” jelas Karen panjang lebar.

“Jadi kamu bicara langsung sama Pak Yasir?”

Karen mengangguk, “saya bisa minta tolong sama Pak Yasir buat bantu saya jelasin hal ini ke Ibu kalau Ibu butuh, setelah selesai perlombaan itu. Saya juga memutuskan untuk mundur dari club dan fokus sama akademik saya, Buk.”

Wajah Buk Suri yang tadinya masam saat melihat Karen itu kini nampak bingung, ucapan Karen sangat lugas. Bahkan anak itu berani meminta tolong pada Pak Yasir untuk membantunya meluruskan hal ini, Buk Suri merasa ada yang tidak beres tapi walaupun begitu ia tetap mengintrogasi Karen.

“Kalau soal masalah kamu di study tour? ada yang bilang Juna dan Satya berantem karena kamu,” Buk Suri menunjuk Karen, “saya enggak mau yah, Karen. Prestasi yang sudah kamu bangun dengan susah payah, akan hancur karena sikap kamu apalagi untuk persoalan seperti ini.”

Karen diam, kali ini dia enggak bisa menjelaskan apa-apa. Karen bahkan enggak tau Buk Suri tahu dari mana tentang persoalan ini, Karen ingin menjawabnya dengan jujur. Namun ini akan menyangkut Mas Satya, ia takut salah bicara hingga berdampak pada laki-laki itu.

“Jadi benar Karen? Kalau Satya sempat di hajar sama Juna karena memperebutkan kamu?” tanya Buk Suri sekali lagi.

“Bukan karena Karen, Buk.” ucap seseorang.

Suara itu pula yang membuat Karen dan Buk Suri menoleh ke sumber suara itu berasal, ternyata itu Juna. Cowok itu kini berdiri di belakang Karen. Karena Karen enggak kunjung keluar, Juna akhirnya masuk ke ruang tata usaha untuk mengisi spidol, tadi Hadi yang berencana mengisinya, namun Juna menjegal jalan cowok itu dan menawarkan diri agar dia yang mengisinya.

“Saya memang sempat memukul Mas Satya, tapi itu bukan karena Karen. Ada kesalahpahaman antara saya sama Mas Satya. Saya udah minta maaf soal itu,” jelas Juna.

“Jun..”

“Lanjutkan Arjuna,” ucap Buk Suri menyuruh Juna melanjutkan penjelasanya.

“Ini...” Juna mengepalkan tangannya kuat hingga buku-buku jarinya memutih. “Ini soal masalah keluarga, Buk. Yang saya enggak bisa ceritakan. Kebetulan Karen ada di lokasi kejadian saat saya memukul Mas Satya, Karen juga kaget sampai pingsan. Tapi itu bukan karena dia.”

Juna hanya beralibi saja, dia enggak ingin Karen mendapat teguran dan berdampak pada beasiswa nya. Biarlah nanti ia menjelaskan ini pada Satya, ia yakin Satya akan setuju.

Wajah Karen dan Buk Suri mendadak kaget, keduanya terkejut saat Juna mengatakan masalah keluarga. Selama ini, enggak ada yang tahu kalau Juna dan Satya adalah kakak beradik, mereka enggak pernah menceritakan ini ke siapapun.

“Kamu dan Satya—”

“Iya, Mas Satya kakak saya, Buk. Dan Karen enggak ada sangkut pautnya sama masalah saya dan Mas Satya. Dia cuma kebetulan ada di sana saja,” jelas Juna.

Setelah menjelaskan hal itu pada Buk Suri, keduanya pun keluar dari ruang tata usaha. Karen bahkan masih bingung, yang di katakan Juna itu hanya alibinya saja atau memang kenyataanya Satya adalah Kakaknya?

“Jun, kamu serius? Ma..maksud kamu yang tadi kamu jelasin ke Buk Suri?” tanya Karen waktu mereka sedang menaiki satu persatu anak tangga.

“Yang mana sayang? Yang soal masalah keluarga? Kalo itu iya itu alibi aku, tapi aku yakin Mas Satya juga gak akan marah kalau aku bohong kaya gitu.”

“Bukan!”

Juna terkekeh, sepertinya ia tahu yang di maksud Karen. “Soal aku sama Mas Satya saudaraku?”

Karen berhenti, ia mengangguk dengan hati-hati. Takut ini menjadi topik sensitif bagi Juna.

Juna tersenyum, dan ia mengangguk. “Iya, aku Adiknya Mas Satya. Tapi aku cerita soal ini ke kamu nanti aja yah?”

Karen mengangguk, “iya gapapa.”

Juna melihat jam di ponselnya, sudah hampir setengah tujuh dan sebentar lagi bel jam pelajaran pertama akan segera berbunyi. Mereka harus segera menuju ke kelas.

“Yuk, dikit lagi bel.” Juna mengusap pucuk kepala Karen, keduanya pun kembali menaiki tangga.

Baru beberapa langkah mereka menaiki tangga, tiba-tiba saja ada seorang laki-laki menjegal jalan keduanya. Itu siswa kelas 11 juga, anak MIPA namanya Anton.

“Ren, ada yang mau gue sampain ke lo,” ucapnya.

Ia menunduk sembari melihat ke sekitar memastikan tidak ada siswa lain yang berlalu lalang. Kebetulan mereka menaiki tangga kedua menuju lantai 3 kelas 11 berada, di sekolah Karen itu ada 2 tangga di pintu selatan dan utara, nah tangga yang berada di pintu utara ini lebih sedikit penggunanya. Biasanya hanya murid-murid yang kelasnya berada di sebelah utara saja, seperti kelas MIPA 4 dan 5 lalu IIS 4, 5 dan 6. Seperti kelas Juna berada.

“Ada apa, Ton?” tanya Juna.

“Gini, sorry gue enggak sengaja nguping soal Buk Suri yang negur lo barusan”

Kania memang melihat Anton berada di sana, cowok itu sedang mengisi spidol dan mengambil kertas ulangan harian di ruang tata usaha. Anton ini dulu pernah satu club dengan Karen, namun cowok itu memutuskan untuk keluar dan pindah ke club penyiaran.

“Gue tau siapa orang yang laporin lo sama Kevin,” ucap Anton yang membuat Karen dan Juna saling tatap satu sama lain.

“Kania, Ren. Waktu itu gue duduk tepat di belakang Buk Suri, Kania cerita soal Kevin yang bawa kamera dan soal lo di club sampai urusan Mas Satya yang dia bilang naksir sama lo makanya lo bisa kepilih jadi tim inti,” jelas Anton.

“Lo serius, Ton?”

Anton mengangguk dengan mantap, “gue serius, Jun. Mereka ngobrolin hal itu jelas banget di kuping gue. Sayangnya gue enggak rekam jadi gue enggak punya bukti.”

“Brengsek!!” pekik Juna. “Dia tuh udah berlebihan, Ren. Harus di kasih pelajaran, biar aku aja yang ngasih pelajaran ke dia.”

Juna menaiki tangga lebih dulu menuju kelas Karen, Karen juga berubah jadi panik. Namun ia menyempatkan diri untuk mengucapkan terima kasih pada Anton, lalu berlari mengikuti langkah kaki Juna. Namun keduanya terhenti ketika murid kelas Karen ramai-ramai berkerubung di depan pintu masuk.

Ternyata Selo dan Kania sedang berantem, ini soal Anwar kemarin. Selo juga kelihatan marah banget sama Kania. Bahkan Karen enggak pernah liat Selo semarah itu. Namun tidak lama kemudian Kania melihat ke arah Karen, mata gadis itu menyalang dan langsung menghampiri Karen dan mendorong bahu nya hingga Karen terjatuh. Untungnya Juna langsung membantu Karen, mati-matian Karen menahan tangan Juna karena cowok itu nampak ingin membalas perbuatan Kania pada Karen.

“LO NGOMONG APA KE TEMEN GUE SAMPE SELO KAYA GINI HAH?!” teriak Kania.

“Gue cuma jelasin apa yang Kak Anwar sampain ke gue, hadiah itu benar-benar buat Selo kok. Harusnya gue tanya ke lo, apa yang lo omongin ke Selo sampai dia bisa bilang kalau gue ketemu Kak Anwar diam-diam dan Kak Anwar deketin gue?!” sentak Karen. Tangannya bergetar, sungguh. Ini untuk pertama kalinya ia terlihat marah seperti ini.

“EMANG BENAR KAN? LO SAMA KAK ANWAR CUMA SEKONGKOL BUAT BIKIN GUE YANG KELIHATAN JAHAT DI SINI KAN? JUN LIAT, CEWEK LO INI JAHAT. DIA CEWEK CENTIL YANG MAU DEKETIN BANYAK CO—”

“Ada apa ini?! Masuk kalian semua ke kelas, enggak dengar bel jam pelajaran pertama sudah berbunyi? Budeg kuping kalian yah?!” teriak Pak Rusli, tanpa mereka sadari bel jam pelajaran pertama sudah berbunyi. Pantas saja Pak Rusli sudah datang.

Kania diam, ia bersungut-sungut berjalan menuju kursinya. Begitu juga murid-murid yang lain, mereka pun bubar begitu Pak Rusli datang.


Di jam istirahat pertama, seperti biasanya Karen enggak pergi ke kantin. Kali ini dia enggak sama Juna, Juna bilang dia sedang ada perlu dengan temannya dari club radio sekolah. Jadi, Karen istirahat bersama Kevin di ruangan club musik, Kevin bilang dia ingin ikut perlombaan untuk band sekolah yang hadiahnya cukup menarik. Seperti uang tunai untuk juara kedua dan juara pertama yang nanti nya berhak untuk membuat rekaman dari lagu mereka sendiri dan tanda tangan kontrak eksklusif oleh sebuah agensi hiburan.

Dari tadi Kevin sudah merengek membujuk Karen untuk setidaknya mau membantu The Gifted dalam perlombaan ini, namun Karen sudah tidak mau bernyanyi lagi. Dan keputusannya sudah bulat, enggak bisa di ganggu gugat biarpun Kevin nangis darah sekalipun.

“Ren... please aku mohon banget kali ini aja sekali lagi, Ren. Ayolah.. Kalau kita juara kedua pun hadiahnya lumayan uang tunai 10 juta, Ren. Bisa kita bagi-bagi,” rengek Kevin, cowok itu sudah duduk di lantai sembari menggoyang-goyangkan kakinya.

Kayanya Kevin udah gak perduli sekalipun kalau Alifia ilfeel dengan sikap kekanakannya begini, bahkan Ryan dan Fajri yang sedang makan nyaris muntah melihat Kevin bersikap seperti itu.

“Kev, aku udah bilang kamu mau nangis sampe air matamu kering pun aku gak mau, udah cukup, Kev. Aku cuma mau bantu kalian waktu study tour aja, lagian kalian belum nyari vokalis lagi?” tanya Karen.

“Belum, Ren. Hadi sih ngebetnya Emily, tapi lo tau sendiri kan Emily di tentang habis-habisan kalo join ke band sama keluarganya,” jawab Ryan.

“Sayang banget yah, padahal suara Emily bagus banget. Dan cocok lagi bawain lagu-lagunya kalian,” Alifia ikut menimpali.

“KARENN.....HAAA PLEASE,” Kevin masih merengek, kali ini malah aksinya sampai tiduran di lantai ruangan club.

“Eh denger ada ribut-ribut gak sih? Kayanya dari luar deh, di lapangan.” Fajri berlari meninggalkan makanannya demi mengintip dari balik korden ruangan club music yang langsung dapat melihat ke arah lapangan.

“EH SUMPAH DI DEPAN RAME BANGET KELUAR-KELUAR!!” pekik Fajri.

Mereka pun akhirnya keluar dari ruangan club, begitu juga dengan Kevin yang meninggalkan rengekannya pada Karen. Ternyata di tengah lapangan ada Megan, gadis itu membawa pengeras suara dan membuat seluruh murid berkumpul di lapangan untuk mendengar penjelasanya.

“Hari ini, gue udah cabut berkas gue dan akan pindah dari sekolah ini. Tapi sebelum itu, gue mau kalian tahu kalau gue enggak kaya yang kalian pikirkan. Soal rumor yang bilang gue hamil sampai akhirnya gue di keluarin itu enggak benar,” ucap Megan.

“Gue emang keluar karna rumor itu, tapi gue enggak hamil!!” teriaknya.

Seluruh murid langsung berbisik-bisik satu sama lain, kaget mengetahui fakta ini. Bahkan Megan membawa surat keterangan dari dokter yang membuktikan jika dirinya tidak hamil.

“Gue di fitnah, ini semua karena gue enggak mau ngikutin kemauan seseorang. Gue di ancam!!”

“Eh gila siapa yang ngacam Megan?”

“Sumpah yah stress banget ini keterlaluan.”

“Megan korban fitnah?”

Samar-samar Karen mendengar bisikan dari murid-murid lain tentang Megan di dekatnya.

“Kania!! Dia yang udah ngancam gue kalo gue gak mau nurutin kemauan dia, dia gak sengaja ngegepin gue ciuman sama cowok gue. Dia foto gue diam-diam!! Dan make foto itu buat jadi senjata, dia nyuruh gue deketin Arjunandra dan rusakin hubungan Juna sama Karen. Gue nolak hal itu, dan Kania bikin rumor kalo gue hamil sampai rumor ini sampai ke guru-guru!!”

Megan menangis saat menjelaskan itu semua, hatinya sakit, dia marah, dia di fitnah, dia korban namun kemarin orang-orang memperlakukannya seolah-olah dia lah penjahatnya.

Karen bisa melihat Kania berlari ke tengah lapangan, matanya membesar menatap Megan meski ia mendapat sorakan kencang dari murid-murid lainya.

“Lo apa-apaan?!!” pekik Kania.

Namun Megan menghampirinya, dan menampar Kania dengan kencang hingga murid lain memberikan tepukkan tangan untuk Megan karena sudah berani membuktikan jika dirinya tidak bersalah.

“Gue berharap, lo menikmati neraka yang udah gue buat ini, Ni.” ucap Megan dengan santainya, setelah itu ia pergi membawa berkas-berkas miliknya sembari melemparkan seragam sekolah ke tengah lapangan.

Karen memang sempat menyuruh Megan untuk membuktikan jika dirinya tidak hamil, menangkis rumor buruk tentangnya. Dan membersihkan nama baiknya di sekolah, tapi Karen enggak pernah menyangka Megan akan berbuat senekat ini.

Setelah Megan pergi, Kania menangis di tengah lapangan dan di soraki oleh murid-murid yang ada di sana. Bahkan ada beberapa murid yang melemparinya dengan sampah, walau akhirnya Kania di seret untuk keluar dari lapangan oleh Selvi dan juga Muthia.

To Be Continue

Dari pagar sekolah hingga Kania menyusuri lorong demi lorong kelas, enggak ada hentinya dia mendengar murid-murid lain menghina dan berbisik tepat di depannya. Bahkan Kania sempat di lempar sampah dan di senggol bahunya hingga ia limbung, belum lagi mata-mata yang seperti menelanjanginya itu, ia di perlakukan layaknya pelaku kejahatan.

Situasi yang Kania benci, ia ingin lari. Tapi tidak punya tempat tujuan. Dengan sisa rasa kepercayaan dirinya dan keberaniannya. Kania masuk ke dalam kelas, dagu nya ia angkat tinggi. Ia tidak boleh kelihatan takut. Apalagi di depan Karen. Ia harus terlihat tetap tegar dan seolah hal kemarin enggak pernah terjadi.

Saat Kania ingin duduk, di kursinya ada Eren murid laki-laki paling nakal di kelas. Ia dan teman-temannya sedang mencoret-coret meja Kania dengan tip-x dan menaruh sampah bekas bungkus makanan di atasnya.

“LO APA-APAAN NYORET-NYORET MEJA GUE!!!” sentak Kania, ia mendorong Eren dan melemparkan sampah bekas cowok makan itu ke sembarang arah.

“Kenapa? Enggak suka?” ucap Eren enteng, cowok jangkung itu berdiri dan menunjuk-nunjuk kepala kania dengan jari telunjuknya.

“LO NGERUSAK PROPERTI SEKOLAH!!!”

“Nanti gue suruh bokap gue bayar ganti rugi nya,” Eren tersenyum, kemudian pergi dari sana bersama dengan teman-temannya.

Seisi kelas hanya melihat ke arah Kania dengan pandangan menjijikan, tidak ada sorot mata iba untuk gadis itu. Mereka merasa Kania pantas mendapat perlakuan seperti itu, bahkan Emily dan Safira yang paling marah jika ada murid yang di tindas di kelas saja bungkam. Keduanya bergeming, seolah-olah tidak terjadi apa-apa di sana.

Dengan penuh rasa kesal, Kania menyeret meja nya keluar untuk membawa nya ke gudang. Ia ingin mengganti meja nya dengan meja yang baru, di depan kelas kebetulan Kania berpapasan dengan Karen. Gadis itu melihat Karen dengan tatapan kebencian, sementara Karen menatapnya tanpa ekspresi apapun.

Di tahun 2015 Karen memang di jauhi satu kelas, mereka menilai Karen adalah gadis jahat yang mengincar banyak laki-laki, tapi tidak sampai mendapat perlakuan buruk seperti yang tengah Kania dapatkan saat ini. Benar kata Megan, ia telah menciptakan neraka untuk Kania dan saat ini Kania tengah menikmati neraka itu.

“Puas lo liat gue kaya gini?! Jahat lo yah, Ren. Lo emang cewek paling jahat!” ucap Kania.

“Lo gak salah ngatain Karen jahat? Fitnah yang udah lo sebar tuh udah keterlaluan, Ni. Karen salah apa sih sama lo?” ucap Alifia.

“Diem!!” Kania menunjuk wajah Alifia, “gue enggak ada urusan sama lo!”

“Dasar cewek gila!!”

Karen tadi nya enggak ingin menghabiskan energi nya untuk meladeni Kania, namun seperti nya Kania menyulut emosinya.

“Ini neraka yang lo ciptain sendiri, Ni. Bukan gue yang jahat, ini semua akibat dari perbuatan lo.” setelah mengatakan itu, Karen langsung menggandeng Alifia dan masuk ke dalam kelas.

“Aaarghhh!!” teriak Kania, ia menendang meja yang tadi ia seret keluar hingga beberapa murid-murid lain menatap ke arahnya.

“Apa lo liat-liat?!” ucap Kania, ia sudah muak di liati seperti itu.

Tidak lama kemudian pengeras suara yang ada di kelas dan lorong kelas berdenging, pagi ini biasanya radio sekolah suka memutar lagu atau bahkan membacakan puisi. Kebetulan hari ini adalah hari kamis, jadwalnya memang seperti itu. Dan jam pelajaran pertama mundur hingga 30 menit, otomatis jam pulang dan istirahat mereka juga mundur. Hari kamis adalah jam panjang untuk SMA mereka.

pagi semua, hari ini. Gue Vanya mau membongkar fakta yang mungkin bakalan bikin kalian terkejut. Kebetulan gue udah dapat izin dari ketua club buat nyiarin rekaman ini, kalian udah siap buat dengarnya?

“Ada apa lagi yah?” tanya Alifia ke Karen.

“Sumpah dari kemarin sekolah tuh chaos banget karna kelakuanya Kania,” timpal Widya.

Karen hanya menggeleng pelan, dia sendiri juga enggak tahu club radio sekolah akan menyiarkan rekaman apa. Alih-alih mendengarkan rekaman yang akan di putar, Karen justru membaca buku geografi nya. Jam pertama nanti di kelasnya akan ada ulangan harian.

sorry kalau gue udah keterlaluan, Jun. Gue juga sebenarnya enggak mau ngikutin Karen. Awalnya Kania yang nyuruh, dia nyuruh gue sama Selvi buat ikutin Karen sama Mas Satya. Nyuruh gue rekam dan foto-foto mereka juga di sana, Kania nyuruh gue foto Karen dan Mas Satya seolah-olah mereka cuma berdua di sana.

Mendengar itu, Kania menghentikan kegiatanya. Matanya membulat, perasaanya sangat tidak nyaman saat ini. Namun Karen tahu siapa pemilik suara itu. Itu Syarif, apa Juna yang merekam percakapan mereka dan menggunakan hal ini untuk membalas perbuatan Kania padanya? Pikir Karen.

terus, kenapa lo mau?”

gue enggak enak sama Kania, gue sempat minjam uang ke dia. Uang beasiswa dia sih, cukup gede. Waktu itu gue minjam karena gue gak sengaja nyerempet mobil orang dan orang itu minta ganti rugi. Makanya gue terpaksa ikutin kemauannya Kania, Selvi juga bilang. Kalau Karen itu jahat dan gak menghargai perasaan Kania yang naksir sama Mas Satya, dengarnya gue jadi ikutan kesal padahal dia udah punya lo. Makanya gue mau nurutin keinginan Kania.

Gue mohon sama lo, Jun. Gue udah jujur dan jangan sampai ada orang lain yang tahu hal ini. Gue janji, gue sama Selvi gak akan terlibat lagi sama urusan Kania yang mau jatuhin Karen.

Bukan hanya Karen saja yang kaget, seluruh penjuru sekolah sampai guru-guru pun ikut kaget. Kini semua murid di kelas menatap Karen dengan pandangan iba, bahkan Widya sampai menepuk-nepuk pundak Karen.

Sementara Kania? Dia sudah lari ke ruang penyiaran radio, bersamaan dengan Selvi dan Syarif. Ketiganya tidak peduli semua murid di lorong sudah menyoraki mereka.

“Lo ngomong sama Juna, Rif?!” bentak Kania di depan ruang penyiaran radio, ruangannya di kunci dan mereka enggak bisa masuk karena siaran masih berlangsung.

“Juna ngancam gue, bikin gue mau gak mau ngaku, tapi gue enggak tahu kalau dia rekam ini diam-diam, Ni, Vi.” Syarif panik buka main, keringatnya bercucuran dan wajahnya pucat. Dia bahkan enggak bisa membayangkan bagaimana nasib mereka bertiga setelah ini.

“Bego!! Syarif tolol! Ini semua gara-gara lo, kalo beasiswa gue sampe di cabut. Lo orang pertama yang bakalan gue salahin!!” Kania berteriak, dia sudah kehilangan akal sehatnya saat ini.

“Aduh, Ni. Udah gausah ribut, sekarang yang perlu kita pikirin gimana caranya kita nyangkal itu semua. Mereka gak punya bukti apa-apa juga kan,” Selvi berusaha menengahi, namun ia sendiri juga panik hingga tanganya bergetar.

Kania mengigiti kuku jarinya sendiri kemudian mencoba mendobrak pintu ruang penyiaran, ia harus segera menghentikan ini semua, namun tiba-tiba saja Buk Suri dan wali kelas nya datang dari arah perpustakaan, ruang guru memang ada 2 di lantai dasar dan lantai 2.

“Kania, Syarif, Selvi. Ikut saya ke ruangan kepala sekolah!” ucap Buk Suri tegas.

Saking lemas nya, dengkul Kania sampai bergetar. Dia enggak siap menerima konsekuensi yang akan di tanggung nya karena telah menyalahgunakan beasiswa yang ia dapat, Kania bahkan enggak bisa bayangin jika kepala sekolah menyuruh Ibu nya untuk datang ke sekolahan.

Dan saat ini, ketiganya ada di ruangan kepala sekolah untuk di interogasi. Syarif mengakui semuanya jika itu memang benar-benar suaranya, ia dan Selvi juga mengaku kalau memang meminjam uang beasiswa Kania untuk mengganti rugi kerusakan kendaraan korban yang di tabrak nya, namun itu juga karena Kania yang menawarinya lebih dulu. Kepala sekolah bahkan memanggil orang tua Selvi dan Syarif, kemungkinan hukuman yang akan mereka dapatkan adalah skors dan juga membersihkan area sekolah selama 1 bulan penuh.

Kali ini giliran Kania yang di interogasi. Gadis itu sudah menangis sedari tadi, Kania sama sekali enggak merasa bersalah. Ia menangis karena takut beasiswa nya di cabut, Kania sama sekali gak menyesali perbuatanya.

“Dana beasiswa yang kamu pakai untuk kepentingan pribadi kamu sebesar 3 juta loh, Kania. Itu yang baru di akui oleh Syarif dan Selvi,” kepala sekolah menghela nafasnya dan menggelengkan kepalanya, tidak menyangka jika murid yang di anggap baik dan berprestasi akan melakukan tindakan penyalahgunaan beasiswa seperti ini.

“Saat ini Buk Suri sedang menghubungi pihak bank untuk memeriksa riwayat transaksi kamu,” jelas kepala sekolah.

“Saya minta maaf, Buk. Saya benar-benar menyesal. Ibu boleh hukum saya apa saja, asal jangan cabut beasiswa saya, Buk. Ibu tau kan Ibu saya itu janda, Bapak saya udah meninggal dari saya bayi. Saya bahkan tinggal di rumah kecil, saya cuma murid mis—”

“Seharusnya kamu bisa lebih bijak dalam bertindak dan menggunakan beasiswa yang sudah sekolah berikan untuk kamu, Kania. Saya bahkan mendapat laporan dari Buk Suri kalau kamu memfitnah Karen dan Kevin soal beasiswa, kamu enggak malu? Justru kamu sendiri lah yang menyalahgunakan beasiswa ini.”

Kania menangis semakin deras, bahkan gadis itu enggak sanggup lagi menatap kepala sekolah. Dia sudah terlanjur malu, bahkan Kania enggak bisa membayangkan bagaimana situasi di luar ruangan saat ia keluar nanti.

“Selain itu, kamu juga orang yang menyebar rumor kalau Megan hamil,” kepala sekolah menggeleng kepalanya tidak menyangka, selama ini guru-guru selalu memihak Kania mengatakan hal-hal baik tentang anak itu. Namun kenyataanya, sikap asli Kania kini terbongkar.

“Megan dan Kakaknya tidak terima atas fitnah ini, Kania. Bahkan Megan bersedia memeriksakan dirinya, membuktikan kalau dia tidak hamil dan tidak pernah melakukan sex bebas. Kalau saja guru-guru tidak menahan Megan dan Kakaknya, mungkin mereka sudah menyeret kasus ini ke hukum atas pencemaran nama baik. Bisa kamu bayangkan bagaimana di umur kamu yang semuda ini, kamu harus berurusan dengan hukum?”

Kania tiba-tiba saja bersimpuh di depan kepala sekolah, ia menangis tersedu-sedu. Berharap kepala sekolah iba dan masih memihaknya, ini harapan satu-satunya bagi Kania.

“Saya janji bakalan berubah, Buk. Ini untuk yang terakhir kalinya. Saya mohon, saya cuma siswa miskin. Maafin kelakuan kekanak-kanakan saya kemarin, Buk.” ucap Kania di sela-sela tangisnya.

Kepala sekolah sebenarnya kasihan melihat Kania, namun ini semua adalah hukuman karena gadis itu sudah menyebar fitnah yang tidak benar. Tidak bisa selamanya Kania harus di kasihani hanya karena ia tidak mampu dan tidak memiliki Ayah. Selama perbuatanya tidak benar, ia juga harus tetap di hukum. Ini semua agar Kania bisa lebih bijak lagi dalam bersikap di masa depan.

“Hukuman terberat mungkin jatuh ke kamu, Kania. Saya enggak akan mengeluarkan kamu dari sekolah, tapi saya minta kamu pindah dari sekolah ini,” ucap kepala sekolah dengan berat hati.

Bukan hanya beasiswa nya saja yang di cabut, tapi Kania juga harus membayar uang beasiswa yang telah ia salah gunakan serta di paksa pindah dari sekolah. Kepala sekolah tidak bisa mentoleransi kesalahan Kania lagi. Apalagi para komite dan donatur sekolah yang sudah membuat kesepakatan ini.

“Saya di paksa pindah?” tanya Kania.

Kepala sekolah mengangguk, “saya sudah telfon orang tua kamu. Saya akan bicarakan ini lebih lanjut dengan beliau, sekarang kamu bisa kembali ke kelas kamu.”

Alih-alih kembali ke kelasnya, Kania malah menangis semakin menyakitkan di sana. Gadis itu bahkan tidak mau keluar dari ruang kepala sekolah sampai Buk Suri membujuknya untuk keluar, Kania sudah tidak punya muka rasanya untuk menghadapi teman-temannya. Ia tidak siap menghadapi hari-hari terburuk yang akan ia jalani di sisa masa SMA nya.

Setelah kejadian itu, Kania benar-benar sendirian. Selvi, Selo dan Muthia bahkan menjauh dari Kania. Ketiganya sempat minta maaf sama Karen karena sudah salah paham, Karen memaafkan mereka namun Karen tetap menjaga jarak dengan ketiganya. Karen lebih nyaman bersama Ayu, Emily, Safira, Alifia dan Widya.

Pernah beberapa hari yang lalu Kania di kerjain habis-habisan oleh Eren dan teman-temannya. Eren itu salah satu mantan pacar Megan, keduanya masih berteman baik. Dan Eren salah satu orang yang tidak terima jika Megan di fitnah seperti itu.

Hari ini adalah ujian kenaikan kelas hari terakhir, sehabis pulang sekolah Hadi menyuruh anak-anak The Gifted dan yang lainnya berkumpul di basecamp mereka. Ah iya, The Gifted sudah punya basecamp sendiri. Fajri dan keluarganya yang menyewa sebuah studio di belakang sekolah, keluarganya Fajri ini mensupport sekali karir bermusik anaknya. Makanya waktu Fajri cerita dia mau serius bermusik, kedua orang tuanya langsung menghadiahi The Gifted sebuah studio yang bisa mereka pakai untuk latihan.

Sejak hari itu, Kania enggak pernah minta maaf sekalipun sama Karen. Karen enggak permasalahin itu, toh saat ini Kania sudah mendapatkan ganjaran atas perbuatanya. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk membalas seluruh sakit hati yang Karen rasakan, ngomong-ngomong sudah beberapa hari ini Karen enggak melihat Galang di sekolahan. Sayangnya Karen enggak tahu rumah Galang dimana, tapi menurut teman-temannya.

Galang memang beberapa hari ini tidak masuk sekolah, Karen hanya berharap cowok itu bisa menyelesaikan masalahnya disini seperti dirinya.

“Dari tadi senyum-senyum terus, sayang? Lagi senang banget hari ini?” tanya Juna, tadi cowok itu sedang memesan beberapa minuman untuk The Gifted dan yang lainnya. Tadi Juna menawari mereka minuman, jadilah kedua nya pergi untuk membeli minuman.

“Aneh yah kalau aku senyum-senyum, Jun?”

Juna terkekeh, “bukan begitu, tapi enggak kaya biasanya aja. Tapi aku suka deh, liat kamu senyum gini. Soalnya jadi makin cantik.”

“Gombal.” Karen mencubit pinggang Juna hingga cowok itu bergedik kegelian.

“Ihh tapi aku serius tau.”

Karen hanya tersenyum salah tingkah dan menggelengkan kepalanya pelan, dia sudah tidak memiliki penyesalan masalah di masa lalunya sudah selesai. Karen jadi penasaran bagaimana hidupnya setelah ini.

“Jun?”

“Iya, sayang?” Juna menoleh ke arah Karen, tadi cowok itu sedang membalas pesan dari karyawan orang tua nya yang mau mengantar ayam goreng ke studio.

“Kamu ingat gak masih punya hutang penjelasan sama aku?”

Juna terkekeh, dia hampir saja lupa menjelaskan bagaimana ia dan Satya bisa bersaudara. Karen masih memikirkan hal itu ternyata, Juna pikir gadis itu sudah lupa dengan kejadian 2 bulan yang lalu.

“Soal aku sama Mas Satya?”

Karen mengangguk.

“Aku pikir kamu udah lupa.”

“Gimana bisa lupa, aku masih kepikiran kalau kamu bohong soal itu.”

“Enak aja bohong, Mas Satya emang Kakakku.”

Karen mendengus, “kok kamu baru bilang sekarang?”

“Karna aku sama Mas Satya emang rahasiain ini dari orang-orang. Tapi waktu aku cerita ke Mas Satya kalo aku udah ngasih tau ke orang lain tentang kami, Mas Satya enggak keberatan. Apalagi waktu itu buat nyelametin kamu.” Juna memang bicara soal ia yang telah mengaku ke Buk suri dan Karen jika mereka memang bersaudara, Satya enggak keberatan soal itu. Dia justru senang ada orang yang mengetahui mereka bersaudara sekarang.

Di hari itu Satya juga pulang ke rumah, Juna dan Satya sekarang lebih akur bahkan Satya berencana untuk tinggal bersama Juna dan bekerja paruh waktu di restoran ayam milik Ibu dan Bapaknya.

“Aneh banget kalian.” Karen geleng-geleng kepala. “Tapi makasih yah, Jun. Kalau waktu itu kamu gak masuk, aku gak tahu bagaimana jadinya beasiswa ku.”

“Sama-sama, Sayang. Tapi kan aku juga terlibat di kejadian itu. Justru kamu di panggil karena aku mukul Mas Satya kan?”

“Karena Kania, Jun.” itu semua karena Kania yang melihat kejadian langsung dan menceritakan hal itu ke Buk Suri, jika Kania enggak memberitahu Buk Suri, Karen pikir Buk Suri enggak akan tahu hal itu hingga memanggil Karen.

Juna mengangguk, “um, karena itu juga.”

“Jadi?”

Juna menoleh, ia terkekeh pelan. Ia jadi lupa menjelaskan soal ia dan Mas Satya kan.

“Sampe lupa, kalau mau jelasin.” Juna terkekeh.

“Kalau itu jadi suatu hal yang rahasia, aku gak masalah kok kalau kamu gak cerita, Jun.” Karen penasaran, tapi disisi lain dia juga takut kalau Juna enggak nyaman di tanya-tanya begini. Apalagi ini menyangkut privasi keluarganya.

“Aku gak bisa jelasin semuanya, tapi yang jelas. Aku sama Mas Satya memang bersaudara meski beda Ibu, Ren.” jelas Juna, semua tentang keburukan orang tua Satya, Juna tutupi. dia ngerasa gak pantas menceritakan hal ini. Cukup ia, Ibu dan Bapak yang tahu bagaimana buruknya pola asuh Ibu nya Satya.

Karen mengangguk, ia juga paham sampai sini. Mungkin itu juga yang membuat Juna dan Satya terlihat tidak akur dulu. Tapi Karen senang hubungan keduanya sudah lebih baik sekarang ini, Juna sering bercerita kalau ia dan Mas Satya berencana mendaki gunung bersama saat liburan kenaikan kelas nanti.

Setelah memesan minuman untuk teman-teman mereka, keduanya kembali ke basecamp Hadi benar-benar ingin mengumumkan sesuatu yang penting katanya. Tapi dari tadi bahkan cowok itu hanya bicara muter-muter enggak jelas, bahkan Ayu sudah menguap saking lamanya Hadi berbicara.

“Buruan deh, Di. Lo mah kebanyakan basa basi,” ucap Ryan gerah. Dari tadi Hadi ngomong ngalor ngidul enggak jelas, membuat Karen, Juna, Alifia, Emily dan yang lainya bingung.

“Oke, sorry-sorry jadi intinya...” Hadi tersenyum, sementara yang lainya menatap Hadi penuh dengan rasa penasaran.

“EMILY, DIA DAPAT IZIN DARI ORANG TUA NYA BUAT NYANYI GUYS! EMILY BISA GABUNG SAMA KITA! THE GIFTED BISA IKUT AUDISI!!” teriak Hadi.

Membuat Kevin, Fajri, Ryan, dan Ayu kaget. Apalagi Kevin, cowok itu langsung menangis penuh haru karena keinginannya terkabul. 2 bulan belakangan ini Hadi memang gencar meyakinkan orang tua Emily, Emily sendiri se ingin itu menjadi vokalis The Gifted. Setelah melewati perjuangan yang cukup panjang, akhirnya Emily mendapat izin dari orang tua nya.

Syaratnya hanya satu, nilai akademik Emily enggak boleh turun sedikit pun. Kalau itu saja sih, Emily berani menyanggupi tanpa berpikir panjang. Toh selain bernyanyi, belajar juga menjadi salah satu hobi nya juga.

“Sumpah gue seneng banget... The Gifted sekarang punya vokalis.” Kevin memeluk Alifia, dia menangis karena terharu.

Karen juga ikut senang, Emily akhirnya bisa bergabung bersama The Gifted setelah sekian lama gadis itu banyak memendam keinginannya untuk bermusik. Mereka sempat latihan sebentar di sana, bernyanyi bahkan menonton film bersama hingga kini matahari sudah terbenam.

Sekarang sudah pukul 8 malam, Mas Kara juga sudah mengirimi Karen pesan. Bertanya keberadaan Karen dan Kevin dimana, Karen akhirnya memutuskan untuk pulang, Juna yang mengantarkannya. Sementara Kevin mengantar Alifia. Dan sisanya di antar secara bergantian karena hanya ada 2 motor di sana, milik Hadi dan milik Fajri.

Malam itu sedikit gerimis, jadi Juna memelankan motornya. Mereka enggak sempat berteduh, Karen bilang nanti pulangnya jadi semakin malam. Lagi pula, hanya gerimis kecil saja. Sampai rumah mereka bisa langsung mandi jadi keduanya memutuskan untuk menerobos hujan.

“Jun?”

“Hm?”

“Kamu beneran gak kedinginan jaketnya aku pakai?” tanya Karen.

“Enggak, Sayang. Nanti jaketnya simpen di kamu aja dulu yah.”

Karen mengangguk, ia mengeratkan pegangannya di pinggang Juna. Setengah memeluk cowok itu, dan sesekali menyandarkan kepalanya di punggung lebarnya. Mata Karen sedikit terpejam, ia nyaman dengan posisinya saat ini. Persetan dengan hujan, ia hanya ingin memeluk Juna.

Namun tidak lama kemudian mata Karen menangkap sekelibat cahaya terang hingga rasanya menusuk netra nya, Karen berusaha membuka kedua matanya namun yang ia dapati justru truck besar sedang melaju kencang ke arahnya dan Juna.

Semua terjadi begitu cepat, Karen sampai tidak sempat mengatakan pada Juna untuk menyingkir. Motor yang di kendarai Juna oleng setelah di hantam truck, mereka sempat terpental hingga keduanya tidak sadarkan diri.

To Be Continue