KLM

Jeong Yuno, Go Younjung, Lee Juyeon

(Kue Nagasari adalah kudapan tradisional asal Indonesia yang sangat terkenal dalam masyarakat Jawa. Terbuat dari tepung beras yang di dalamnya berisi pisang.)

Jakarta, 2025.

Tangan Kirana meraba ranjangnya, mencari benda pipih yang sedari tadi terus berbunyi. Ini menandakan jika sudah memasuki waktu subuh, setelah benda itu ketemu langsung ia tekan tombol di ponselnya untuk menghentikan bunyi bisingnya. Matanya masih sedikit pedih karena masih mengantuk, namun adzan subuh sudah berkumandang dari mesjid yang tak jauh dari rumahnya berada.

Kirana bangun dari ranjangnya, jika kemarin-kemarin ia masih kesulitan untuk bangun dari tiduranya, kali ini Kirana sudah dapat melakukan aktifitas sederhana sendiri tanpa bantuan Ibu. Ia juga sudah bisa beribadah walau dalam keadaan duduk, lututnya masih terlalu ngilu untuk melakukan gerakan sujud.

Masih duduk di ranjangnya, Kirana teringat akan mimpinya semalam. Ia masih bermimpi itu lagi. Mimpi yang terus berlanjut seperti ia tengah menamatkan sebuah film, ia jadi teringat akhir dari mimpinya. Pria kolonial itu memberikan kue nagasari pada pria bernama Adi.

“Kue nagasari,” gumam Kirana. Seperti ada sesuatu yang janggal, seperti ia pernah mendengar seseorang mengatakan kue kesukaanya ini.

Begitu terlintas wajah pria kolonial itu, ia jadi teringat akan Raga yang tempo hari bertemu dengannya dan mengatakan ia sangat menyukai kue nagasari.

“Pak Raga dan kue nagasari?”

Lagi-lagi Kirana merasa jika ini semua sebuah kebetulan, terlalu banyak kebetulan-kebetulan yang bersangkutan dengan mimpi-mimpinya. Seperti ada benang merah, namun Kirana sendiri masih merasa bingung dengan semua ini.

Mengabaikan rasa gundah yang selalu merambatinya tiap kali terbangun dari tidur malamnya, Kirana melakukan ibadah pagi itu. Setelahnya ia pun membuka satu persatu jendela kamarnya agar udara segar dapat masuk ke kamarnya, rumah Kirana itu bisa terhitung besar.

Itu adalah rumah peninggalan Bapaknya, hanya satu-satunya rumah itu yang bisa Ibu dan Kirana pertahankan. Apapun caranya Kirana harus tetap mempertahankan rumah yang di penuhi kenangan kedua orang tua nya dan masa kecilnya itu.

Sedang menikmati udara pagi, ponsel yang Kirana pangku itu bergetar. Ternyata itu adalah panggilan dari Bagas, pria itu sudah berada di Surabaya untuk memantau proyek pembangunan rumah sakit disana. Bagas selalu menepati janjinya untuk menelfonnya jika ia memiliki waktu luang, mereka juga selalu mengingatkan satu sama lain untuk hal-hal seperti tidak melupakan ibadah dan tidak melewatkan jam makan.

Hai, sayang. Udah sholat subuh?” tanya Bagas di sebrang telfon sana.

“Udah, kamu gimana?”

baru selesai, kamu lagi ngapain?

“Lagi liatin ke taman depan kamar aja, habis ini mau bantu Ibu bikin sarapan.”

makan yang banyak sayangku, kemarin kamu check up kan? Gimana kata dokter? Maaf yah, aku enggak bisa nganterin karena harus ke Surabaya.

Kirana menunduk, memperhatikan cincin yang berada di jari manisnya. Cincin pemberian dari Bagas untuk hadiah ulang tahunnya yang ke 26 tahun lalu, cincin dengan design sederhana pilihan Bagas. Kirana berharap suatu hari nanti ia dan Bagas bisa memakai cincin yang sama. Cincin yang mengikat mereka satu sama lain.

“Gapapa, kata dokter seminggu lagi aku udah bisa lepas gips di tanganku, terus kemarin aku ketemu Pak Raga di rumah sakit.”

syukurlah.” Bagas bernapas dengan lega. “oh ya, ngapain dia?

“Bilangnya mau periksa mata gitu,” Kirana jadi ingat mimpinya semalam untuk kesekian kalinya, dia enggak bisa bercerita secara gamblang pada Bagas seperti apa mimpinya.

Obrolan mereka sempat hening sebentar karena di sebrang sana Bagas sedang menyeruput teh miliknya, Bagas itu enggak suka kopi. Perutnya mudah kembung, yah paling-paling kalau nongkrong di cafe ia hanya pesan capucino saja, itu pun tidak habis kadang.

“Bagas?”

Ya, sayang?

“Aku kok masih mimpi hal itu, Kenapa yah? Aku benar-benar enggak nyaman, mimpinya kaya film yang terus berlanjut setiap kali aku tidur.” keluh Kirana, mimpi-mimpi itu benar-benar menganggunya.

sayang, setelah aku pikir-pikir mungkin mimpi ini salah satu tanda kalau kamu mengalamin trauma?” Bagas mikir kaya gini karna sebelumnya Kirana enggak pernah bermimpi macam-macam.

Setiap kali Kirana bercerita tentang mimpinya, Bagas selalu membaca banyak jurnal tentang trauma. dan menurut Bagas mimpi yang Kirana alami mungkin salah satu tanda jika wanitanya itu mengalami trauma psikis yang terjadi karena kecelakaan yang ia alami.

“Maksud kamu?”

gini loh, sayang. Maksudku, mungkin karena kamu habis mengalami kecelakaan, makanya kamu mimpi kaya gitu yang di sebabkan sama trauma kamu. Aku sempat baca-baca soal trauma, aku memang bukan psikolog atau psikiatri, makanya aku mau ajak kamu konsul ke psikiatri, aku cuma khawatir kamu trauma,” jelas Bagas.

Sejak Kirana kecelakaan, Bagas jadi merasa punya tanggung jawab lebih atas Kirana. Bagas masih merasa bersalah karena kecelakaan itu, meski itu semua bukan di sebabkan karena dirinya, Bagas ngerasa andai dia mengantar Kirana pulang mungkin saja kecelakaan itu tidak pernah terjadi.

gimana? Kamu mau coba?

Kirana terdiam, penjelasan Bagas masuk akal. Bisa saja ini respon tubuhnya karena ia memiliki trauma tanpa ia sadari, tidak ada salahnya mencoba ke psikiatri kan? Setidaknya ia bisa berkonsultasi dengan ahlinya, walau mungkin dari lubuk hati Kirana ia merasa mimpi ini seperti memiliki benang merah dengan hidupnya saat ini. Biarlah nanti ia sembari mencari tahunnya sendiri.

“Boleh, nanti aku coba bilang sama Ibu.”

aku antar aja yah, setelah aku pulang dari Surabaya aku antar kamu ke psikiatri.


Kedua mata Raga menatap penuh keseriusan pada layar monitor milik Satya yang menampakan file sketch up. Raga memang meminta Satya untuk membuka file sketch up miliknya, keadaan kantor sedang sepi. Bagas dan Satya masih berada di Surabaya, sedangkan Kirana belum juga masuk bekerja.

Jadi di ruangan itu hanya ada Raga dan Almira saja dengan keadaan yang cukup canggung bagi Almira, bagaimana tidak ia seperti sedang di awasi oleh Raga. Walau Raga tidak mengintimidasi tetapi tetap saja mulut atasannya itu gemar sekali berkomentar tentang apa yang sedang ia kerjakan.

“Jangan liatin saya mulu Almira, naksir kamu nanti.” gumam Raga tanpa melihat ke arah Almira, bola matanya seperti ada 4 saja. Padahal sedari tadi pandangannya tak bergeser satu inci pun dari layar monitor milik Satya itu.

“Engg..gak, Pak. Orang saya lagi ngerekap dokumentasi mingguan.” Almira memejamkan matanya, mati dia. Ternyata Raga mengetahuinya.

Sebenarnya Almira canggung bukan hanya takut pekerjaanya di komentari pedas oleh mulut Raga, ia agaknya gerogi karena wajah tampan dari atasannya itu. Walau kadang Almira mengakui jika sikap Raga sangatlah absurd.

Kaya akhir-akhir ini, pria itu sering sekali memakan kue nagasari. Enggak ada lagi kue cubit rasa pistachio yang selalu ia pesan dari ojek online, apa selera Raga sekarang berpindah pada makanan-makanan tradisional? Pikir Almira kepo.

“Bapak makan itu mulu gak bosen?” Almira memecahkan hening, gak ada salahnya dia ajak Raga mengobrol. Dari pada berduaan dalam satu ruangan yang cukup membuatnya canggung begini.

“Enggak, merhatiin aja saya makan ini terus. Ngomong-ngomong kue ini namanya kue nagasari, Al.” jelas Raga sembari membuka kue nagasari yang di bungkus dengan daun pisang itu.

Akhir-akhir ini memang Raga sering kali membeli kue nagasari ini dari pedagang di depan restoran padang waktu itu, pria itu belum bosan-bosannya memakan kudapan manis itu. Sampai-sampai pedagangnya sudah hapal berapa kue nagasari yang akan di beli Raga setiap harinya.

“Ih tau saya kok, Papi saya kan suka beli kue itu. Emang nya Bapak enggak bosan? Udah gak langganan kue cubit rasa pistachio lagi?”

“Sudah bosan, Al. Yah, hitung-hitung memajukan UMKM makanya saya borong terus, kamu kalau mau masih ada di kulkas tuh.”

Almira menggeleng pelan, Almira enggak terlalu suka pisang. Biasanya kalau makan kue nagasari itu Almira hanya memakan bagian luarnya saja.

“Terima kasih, Pak. Di lanjut, Pak. Saya mau bikin kopi dulu.”

Almira menyingkir dari kursinya, dia ngerasa sedikit mengantuk. Berbicara dengan atasannya itu agak sedikit boring, biasanya kalau siang-siang begini jika ada Kirana, Almira suka membicarakan idol-idol kpop favorite nya. Kirana memang tidak paham karena ia hanya menikmati lagu-lagunya saja tanpa mengikuti lika liku perjalanan penyanyinya.

Karena merasa sedikit rindu akan kehadiran Kirana di kantor, akhirnya Almira menghubungi Kirana. Ia melakukan panggilan video dengan wanita itu. Dan beruntungnya Kirana mengangkat panggilannya itu dengan cepat.

“Mbak...” rengek Almira pada Kirana, wajahnya masam sembari sesekali menyeruput kopi yang ada di tangannya.

kenapa itu muka di tekuk?

“Aku bosen ihhhh kangen ghibahin artis Kpop sama, Mbak.”

Di sebrang sana Kirana terkekeh, lucu sekali melihat Almira merengek seperti itu. Terkadang Kirana merasa Almira seperti adiknya sendiri, karena enggak punya saudara kandung. Kirana sering kali memanjakan Almira dan memperlakukannya seperti seorang adik alih-alih rekan kerja.

Sabar yah, bulan depan aku udah masuk kok. Aku juga gak betah lama-lama gak kerja, eh by the way, kok di pantry? Sendirian apa gimana?

“Iya sendirian, kan Mas Bagas sama Bang Satya masih di Surabaya. Terus aku berduaan doang sama Pak Raga, mana dia duduk di mejanya Bang Satya. Lagi ngecek sketch up punyanya Bang Satya, berasa di awasin tau gak sih aku tuh.” Almira malah jadi curcol.

Kirana semakin terkekeh, sungguh rasanya Kirana bisa merasakan setertekan apa Almira hanya saja dari raut wajahnya. “waduh, selamat menikmati deh yah kalau begitu. Ajak ngobrol dong Pak Raga nya, masa atasan di anggurin gitu.

“Ih udah, tapi canggung banget. Mana dia anteng banget lagi disitu sambil makan kue nagasari.”

Ucapan Almira barusan membuat senyum di wajah Kirana pudar, nama kue itu dan Raga benar-benar mengingatkannya pada mimpinya semalam. “*Pak Raga lagi sering makan kue itu yah, Ra?”

“Kok kamu tau, Mbak?*”

cuma nebak aja, kemarin sempat ketemu beliau di rumah sakit terus ngomongin soal kue nagasari.

Almira di sebrang sana terkekeh, masih menjadi pemandangan asing baginya melihat atasannya itu memakan makanan tradisional. “Sumpah, Mbak. Aneh banget liat dia makan jajanan pasar, dia sampe stop jajan kue cubit hijaunya itu lagi loh.”

Kamu gak nanya kenapa dia sering makan itu, Ra?

“Ihh ngapain, Mbak? Males banget ah, palingan juga dia lagi FOMO aja.”

Kirana mengangguk pelan, pada obrolan selanjutnya ia hanya mendengarkan Almira merengek saja. Tentang pekerjaanya, tentang harinya yang membosankan di kantor tanpa Kirana, dan tentang kelakuan-kelakuan ajaib Satya dan Raga di kantor. Kirana hanya menyimak sembari sesekali menimpali sekenanya saja. Raga dan kue nagasari terlalu menyita pikirannya.

Setelah mengobrol dengan Kirana, Almira kembali lagi ke ruang kerjanya. Ternyata Raga tidak ada di meja Satya, namun monitor dari komputer milik Satya itu masih menyala dan menunjukan sebuah artikel yang sepertinya memang Raga sedang baca.

Karena Almira terlanjur penasaran, akhirnya ia membaca artikel itu. Artikel berisi tentang biografi singkat seorang Asisten Residen pada masa kolonial Belanda di tahun 1898, bernama Jayden Van Den Dijk. Almira enggak mengerti kenapa atasannya itu membaca sebuah artikel biografi seseorang, entah apa yang sedang dicarinya.

“Hayo, ngapain kamu disitu.”

“HAH?!” pekik Almira, ia kaget setengah mati ketika Raga tiba-tiba berada tepat di belakangnya. Mau copot jantungnya saking kagetnya, Almira hanya bisa menyumpah serapahi atasannya itu dalam hati sembari mengusap-usap dadanya.

“Bapak, saya kaget tau. Kalo saya kena serangan jantung gimana?”

“Tapi enggak kena kan? Cuma kaget aja kan?” tanya Raga dengan wajah datar menyebalkannya itu.

“Ya enggak sih,” cicit Almira pelan.

“Ngapain kamu baca-baca? Minggir, kepo banget.” Raga menaruh kantung berisi kopi dan ayam geprek yang ia pesan dari aplikasi ojek online, tadi dia sedang mengambil pesanananya itu ke loby.

“Gak sengaja, Pak.” jawab Almira, ia melirik makanan dan kopi yang di bawa atasannya itu sembari berjalan ke mejanya.

“Heh, siapa yang suruh kamu duduk?” Raga yang masih berdiri di meja Satya itu melambaikan tanganya pada Almira.

“Saya mau bikin laporan lagi, Pak.”

“Saya beliin makanan, ambil nih. Saya beli ayam geprek.”

“Tumben,” gumam Almira, anak ini memang agak sedikit ceplas ceplos. Tapi terlepas dari sikap ceplas ceplosnya, Raga ini memang tipe atasan yang santai pada bawahan-bawahannya.

“Kita cuma berdua doang di ruangan ini, gak enak dong kalo saya makan sendiri, lagian lumayan tuh uang makan siang kamu bisa di simpan buat nonton konser.”

“Tau aja si Bapak.” Almira menghampiri meja Satya dan mengambil kantung makanan berisi ayam geprek dari brand ayam terkenal. “Besok-besok lagi yah, Pak.”

“Jangan tiap hari dong, tekor saya.” Raga menjawab tanpa memalingkan wajahnya dari monitor komputer milik Satya itu.

“Terima kasih, Pak.” setelah membungkukan sedikit badannya, Almira kembali ke mejanya. Waktu jam makan siang tinggal 10 menit lagi, jadi ia masih ingin melanjutkan pekerjaanya dulu.

“Almira,” panggil Raga.

“Kenapa, Pak?”

“Kamu percaya sama konsep reinkarnasi?” tanya Raga yang di luar dugaan Almira.

Wanita itu mengerutkan keningnya bingung, Almira sempat berpikir atasannya itu sedang mencari topik obrolan dengannya, tapi kenapa harus membicarakan konsep reinkarnasi?

“Percaya aja sih, Pak. Di agama saya juga percaya sama konsep reinkarnasi, manusia bisa terlahir kembali jadi manusia lagi, hewan, tumbuhan atau bahkan makhluk lain. Itu semua tergantung perbuatan manusia itu sendiri di kehidupan sebelumnya,” jelas Almira. Ia menelisik wajah atasannya itu yang masih serius melihat layar monitor di depannya.

“Kenapa nanya-nanya soal reinkarnasi, Pak?”

“Gapapa, tanya saja.”

Almira mengangguk-angguk, “kalo Bapak percaya?”

“Di agama saya gak ada yang namanya reinkarnasi, saya gak percaya. Tapi banyak kasus yang nunjukin kalo reinkarnasi itu ada.”

“Jadi?” Almira jadi penasaran sendiri.

“Jadi saya mau makan dulu, sudah jam makan siang. Kamu makan sana, kalo ngoceh terus nanti saya ambil lagi ayam gepreknya.”

Di kursinya Almira memejamkan matanya, dia sebisa mungkin menahan dirinya buat enggak ngata-ngatain Raga atau melempar atasannya itu dengan pulpen yang ada di depannya. Sungguh menyebalkan bukan kelakuannya? Apalagi muka tanpa ekspresi nya itu.

Bersambung...

Soerabaja, 1898.

Tak ada bedannya terik matahari di Samarang dan Soerabaja siang itu, kereta api uap yang di tumpangi oleh Jayden berhenti tepat di stasiun kereta api Soerabaja. Ia akan di jemput oleh seorang anak Bupati Soerabaja siang itu, langkah kakinya yang panjang-panjang itu melangkah keluar dari dalam stasiun.

Berpendar kedua netra legam dengan warna kecoklatan itu, sampai akhirnya ia menemukan seorang bangsawan pribumi yang melambaikan tangan padanya. Pria itu lebih tua satu tahun darinya, tampak lebih mencolok mengendarai sebuah kendaraan serupa dengan mobil tapi juga tidak berbeda jauh dengan dokar.

Orang-orang sering menyebutnya 'Kreta Setan' namun benda itu bukanlah sebuah dokar, itu adalah sebuah mobil bernama Benz Phaeton yang harganya sangatlah fantastis. Bahkan Jayden sendiri tidak berniat untuk membelinya.

Je zag er verward uit toen je in Soerabaja aankwam, Jayden?” pria itu terkekeh. (Kau begitu kebingungan begitu tiba di Soerabaja, Jayden?)

Pria dengan wajah tegas itu tersenyum pada Jayden, tersirat sebuah keangkuhan disana ketika para pribumi lain dan tentara kolonial yang berada di sekitar, memperhatikan kendaraan yang ia tumpangi, kendaraan itu terlalu mencolok jika berjejer dengan dokar-dokar yang berada di sana.

nogal een vermoeiende reis, heb je een nieuwe auto?” Jayden menjabat uluran tangan si pria pribumi itu. (Perjalanan yang cukup melelahkan, kau memiliki mobil baru?)

ja, Benz Phaeton. Romoku membeli nya dengan harga 10.000 gulden. Naiklah, akan aku antar kau ke kediamanku.”

(visualiasai kreta setan/ mobil Benz Phaeton ini bentuknya belum menyerupai mobil di zaman sekarang. Bentuknya masih seperti kereta kuda—terbuka, beratapkan kanopi—dan hanya bisa berjalan maju. Karena memiliki bentuk seperti kereta kuda tetapi bisa bergerak sendiri, Benz Phaeton terkenal dengan sebutan kreta setan, yang berarti kereta hantu.)

Jayden menaiki mobil pertama milik putra sang Bupati itu, dia adalah Dimas Bagus Dhinangkara. Seorang anak Bupati Soerabaja yang tengah menjabat saat ini, Dimas memang di kenal pandai berbahasa Belanda karena ia lebih banyak bergaul dengan para eropa ketimbang pribumi itu sendiri.

“Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kita bertemu bukan? 7 bulan yang lalu kalau tidak salah?” ucap Dimas, ia melirik Jayden yang duduk di sebelahnya. Mata pria yang lebih muda itu berpendar melihat-lihat keramaian Soerabaja siang itu.

“7 bulan itu belumlah lama, Dimas. Ah, ngomong-ngomong bagaimana kabarmu?”

“Baik, hanya saja aku agak sedikit sibuk akhir-akhir ini. Dan..” Dimas memelankan ucapannya sedikit. “Ada sedikit kabar baik dariku.”

“Apa?”

“Aku akan di jodohkan dengan anak dari kenalan Romoku, seorang gadis yang sangat cantik dari daerahmu!” Dimas tersenyum, ia sudah di beritahu soal perjodohan ini oleh Romo nya.

Mereka akan segera bertemu sang gadis ke Samarang untuk saling di kenalkan, waktu pertama kali melihat foto gadis itu. Dimas sangat tertarik dan sangat ingin bertemunya, sebenarnya mereka sudah pernah bertemu. Namun kala itu Dimas sedang berkencan dengan seorang gadis eropa, namun tak lama setelah Romo nya di angkat sebagai Bupati Soerabaja, hubungan mereka harus kandas karna sang wanita telah kembali ke Belanda.

“Samarang?” Jayden menoleh pada Dimas.

Pria itu tersenyum dan mengangguk, wajah angkuhnya itu berkonsentrasi mengendarai kendaraan yang di bawanya. Meski begitu bisa Jayden lihat ada rona kebahagiaan yang terpancar di wajah pria yang lebih tua darinya itu.

ja, Volgende maand zal ik hem ontmoeten. misschien stel ik hem ook wel aan jou voor.” (aku akan menemuinya bulan depan. mungkin aku akan memperkenalkannya padamu juga.)

Jayden mengangguk, ia juga ingin mengenalkan kekasihnya pada orang terdekatnya. Saat ini tidak ada orang yang tahu jika seorang asisten residen Samarang ini mengencani seorang siswa HBS, terlebih wanita itu adalah seorang anak priyai.

Jayden yakin bukan hanya keluarganya saja yang menentangnya, keluarga dari pihak Ayu pun akan menentang hubungannya. Berpikir semalaman dan selama perjalanan menggunakan kereta api uap ke Soerabaja, membuat Jayden berpikir jika ia ingin bertemu dengan saudagar Gumilar, ia ingin mengenalkan dirinya sendiri sebagai kekasih nya.

Bahkan dengan gila nya Jayden berpikir jika ia ingin melamar Ayu, menunggunya hingga lulus dari HBS tidaklah lama. Hanya beberapa bulan lagi, Ayu akan lulus dari HBS. dengan begitu ia bisa menikahi Ayu, mungkin saja dengan ia bertemu dan berbicara dengan saudagar Gumilar, keputusannya untuk menjodohkan Ayu dengan seseorang akan sirna.

Begitu sampai di kediaman keluarga Dhinangkara itu, Jayden di sambut hangat. Ia di tunjukan kamar yang akan ia tempati selama beberapa hari ini di Soerabaja oleh Dimas. Mereka juga sempat meminum teh di depan teras sembari menikmati pemandangan Soerabaja di kala senja.

“Malam nanti, aku akan pergi ke sociëteit¹, kau mau ikut?” Dimas mengepulkan asap yang berasal dari mulutnya itu, kemudian ia hisap lagi cerutu yang bertengger di tangan kirinya itu.

“Kau masih hobi berjudi rupanya?” Jayden sudah mengenal Dimas cukup lama, mereka dulu adalah kawan baik. Terlebih Ayah Jayden juga mengenal keluarga Dhinangkara dengan baik sewaktu masih menjabat sebagai residen di Soerabaja.

Dan kebiasaan berjudi Dimas sudah Jayden ketahui dari dulu, Jayden pikir Dimas sudah berubah, ternyata pria yang lebih tua darinya itu masih sama. Masih menggilai judi dan tentunya mabuk-mabukan.

“Tentu, apa kau tidak pernah melakukannya sekali saja dalam seumur hidupmu, Jayden?”

Jayden mengangguk, sebagai seorang kolonial yang terhitung ia sendiri juga dari kalangan kaya. Ia pernah di ajak sesekali ke sociëteit untuk berjudi oleh teman-teman eropannya, namun menurut Jayden sendiri berjudi bukanlah hidupnya. Ia hanya coba-coba saja, walau bisa terbilang untuk seorang pemula ia benar-benar beruntung. Ia memenangkan banyak permainan malam itu, dan uang dari hasilnya berjudi ia pakai untuk mentraktir teman-temannya.

“Pernah, sudah sangat lama. Tapi aku tidak pernah melakukan itu lagi,” jelas Jayden. Ia menyesap teh melati yang di buatkan oleh seorang pembantu wanita tadi.

“Mengapa?”

“Aku tidak terlalu menyukainya. Aku hanya mencoba peruntunganku saja kala itu.”

Dimas terkekeh, setelah cerutu di tangannya itu mulai mengecil. Dimas keluarkan kembali cerutu yang berada di sakunya, kemudian ia jentikan lagi korek yang selalu ia bawa kemana-mana itu. Bahkan Jayden pernah berpikir jika harum dari tubuh Dimas itu identik dengan tembakau.


Setelah menyelesaikan beberapa pekerjaanya di kantor keresidenan Soerabaja, Jayden di jemput kembali oleh Dimas. Lelaki itu tidak memiliki kegiatan lain selain menemani Jayden selama berada di Soerabaja, Dimas memang tidak berkerja dengan siapa-siapa. Ia hanya mengelola peternakan milik Ayahnya, itu pun ia jarang sekali mengunjunginya.

Dimas lebih senang bermain dengan teman-temannya, hari ini kedua pria itu berkeliling kota, mereka juga sempat mengunjungi Kasteel Brdige atau jembatan Kasteel. Jembatan itu menjadi titik penting distribusi barang, ramainya sama seperti pasar Djohar yang juga menjadi tempat berkumpulnya para pedagang dari berbagai macam etnis, selain itu pasar Djohar juga menjadi pusat dari perdagangan rempah-rempah di Jawa Tengah.

“Kasteel Brdige ini sudah berdiri saat Ayahmu masih menjabat sebagai Residen bukan, Jayden?” ucap Dimas, kedua pria itu melihat hirup piruk keramaian disana.

“Iya, saat itu aku juga sempat tinggal disini.”

“Kau lebih betah tinggal di mana?” Dimas menoleh pada pria yang lebih muda di sebelahnya itu.

“Samarang,” jawab Jayden singkat.

Ia terlalu menikmati suasana perjalanan mereka. Sembari kepalanya berpikir untuk mencari cincin yang ingin ia berikan pada Ayu, keduanya memang berencana untuk datang ke sebuah toko yang menjual perhiasan.

“Sudah ku duga, itu karna kau mengencani seseorang di sana kan?”

Jayden mengangguk, mengajak Dimas untuk di antarkan ke toko perhiasan milik kawan Ayahnya itu mengundang banyak pertanyaan untuk Jayden. Termasuk tebakan pria itu jika Jayden mengencani seorang wanita.

“Aku ingin melamarnya, Dimas.”

“Segerakan, beri tahu aku siapa orangnya? Seorang wanita eropa?” Dimas melirik ke arah Jayden, pandangannya menelisik dan menuntut jawaban dari si yang lebih muda.

“Aku ingin melamar seorang pribumi.”

Kreta setan yang di kendarai oleh Dimas itu berhenti, kedua mata pria pribumi itu membulat menatap Jayden dengan pandangan menusuk. Tidak habis pikir dengan pria Belanda di sebelahnya itu, Jayden mengatakannya dengan sangat santai. Seolah-olah kalimat yang baru saja keluar dari mulutnya bukanlah suatu hal yang aneh.

Ik denk dat je gek bent, Jayden” Dimas menggeleng-gelengkan kepalanya. (Aku pikir kamu gila, Jayden.)

“Kau akan menjadikannya peliharaanmu? Ma..maksudku, Jayden. Ini bukanlah perkara mudah, kau tau? Ayahmu pasti menentang hal ini. Ia pasti berpikir wanita itu tidak sepadan untuk pria Eropa sepertimu.”

“Aku akan menikahinya secara resmi, Dimas. Aku ingin dia menjadi Istriku, bukan peliharaan, bukan gundik, bukan selir atau sebutan sialan apapun itu,” jelas Jayden.

Berbicara dengan pria yang lebih muda darinya itu membuat kepala Dimas sedikit berdenyut, Jayden sangat kekanakan dan gegabah menurutnya, di usianya yang tidak bisa di anggap muda lagi. Harusnya pria kolonial itu tahu betul seperti apa para eropa memperlakukan pribumi, terlebih keluarga Jayden adalah salah satu pejabat VOC. Jayden akan sulit untuk kembali ke negaranya jika masa tugasnya akan habis.

“Kau berani melamarnya? Sudah kau bicarakan ini pada Ayahmu? Ah, tidak-tidak pada Roosevelt, kau tau Kakakmu sangat membenci wanita pribumi. Aku yakin ia yang akan menjadi orang pertama yang menentangmu.”

Dimas sudah mengetahui bagaimana Roosevelt membenci pribumi khususnya wanita. Tidak habis pikir jika Jayden tetap nekat menikahi wanita yang ia kencani itu, bisa menjadi bulan-bulanan keluarganya kelak.

“Aku sudah memikirkan konsekuensinya, Dimas. Aku lebih baik kehilangan apa yang telah aku miliki saat ini ketimbang kehilangannya.”

“Wahh...” Dimas menggeleng-geleng, ia memegangi kepalanya yang terasa semakin pening itu. “Dia wanita biasa? Seorang babu? atau bahkan anak seorang priyai?”

“Dia anak seorang priyai. Akan ku kenalkan jika kau mengunjungi wanita yang akan di jodohkan denganmu nanti.” ucap Jayden penuh percaya diri.

Tibalah mereka di sebuah toko perhiasan yang cukup terkenal di Soerabaja kala itu, Jayden masih memilih-milih di sana. Sementara Dimas sibuk berbicapa pada si pemilik toko, ia terlalu terpaku pada beberapa cincin permata yang berada di depannya saat ini.

Jayden tidak pernah mengukur jari manis Ayu, bahkan bergandengan tangan pun tidak pernah. Jayden hanya pernah sekali membantu Ayu mengikat rambut panjangnya dan menaruh melati yang jatuh dari surai legam nya itu.

“Saya ingin cincin dengan permata putih ini, boleh saya melihatnya dulu?” tanya Jayden sopan pada pria Indo-Eropa itu.

“Saya akan ambilkan, Meneer.

Pria itu mengambilkan cincin yang di tunjuk oleh Jayden dan memberikannya pada pria di depannya itu. Jayden tersenyum, menimang cincin permata putih nan cantik itu, sembari membayangkan ia akan memakaikan cincin ini pada jari manis Ayu.

“Kawanku ini ingin melamar kekasihnya, Tuan.” Dimas memberi tahu pria di depannya itu, ia pikir siapa tahu si pemilik toko perhiasan itu dapat membantu Jayden memilih perhiasan untuk wanitannya.

“Benarkah itu, Meneer? seperti apa dia? Saya bisa bantu pilihkan jika anda berkenan.” pria itu menawarkan diri membantu Jayden, namun Jayden menggeleng. Ia ingin memilih perhiasan itu dengan menyesuaikannya dengan diri Ayu.

“Tidak perlu, Tuan. Aku ingin memilihkannya sendiri untuknya.”

Pria si pemilik toko itu terkekeh, ia bisa menangkap sepasang netra kecoklatan milik Jayden itu berkilau. Sepasang netra itu seperti telah mengatakan betapa Jayden itu mencintai wanitannya, tak lekang kedua binar matanya itu dari pandangan cincin dengan permata putih di tangannya.

“Saya sudah sering melihat kedua mata dengan binar seperti itu pada pelanggan tokoku.” pria itu masih menatap Jayden sampai akhirnya kedua mata mereka bertemu.

“Saat melihat perhiasan?” tebak Dimas.

Pria itu menggeleng pelan, “bukan, tapi saat membayangkan kekasihnya kelak akan memakai perhiasan yang di berinya.”

“Ahh, kau ini bisa saja. Kau memanglah Kimpoidra²” Dimas ikut terkekeh, dalam hati ia hanya berdecap jika sang pemilik toko sangatlah berlebihan.

“Saya menginginkan cincin ini.” Jayden memberikan cincin itu untuk ia beli.

“Akan saya siapkan, Meneer.

Selagi pria pemiliki toko itu menyiapkan cincin pesanan Jayden, Dimas dan Jayden menunggu di kursi yang di sediakan disana. Dimas menjadi semakin penasaran, wanita pribumi mana yang berhasil meluluhlantahkan hati seorang Jayden yang di kenal kaku dan tak mudah jatuh hati pada wanita.

“Aku jadi penasaran, wanita seperti apa yang kau kencani, apakah dia elok?”

Jayden mengangguk, ia tidak naif untuk tidak mengatakan jika ia mencintai Ayu hanya karena kebaikan hatinya. Wajah Ayu memanglah elok, parasnya lah yang membuat Jayden jatuh hati sebelum akhirnya ia semakin jatuh karena hatinya yang putih.

“Dia sangat cantik, wanita yang baik dan begitu lugu.”

“Lugu?” Dimas terkekeh. “Kau mengencani bocah?”

“Dia masih siswa, dia bersekolah di HBS.”

Mendengar ucapan Jayden selanjutnya membuat Dimas yang sedang menyeruput kopi ireng itu mendadak terbatuk-batuk. Ucapan Jayden hari ini benar-benar membuatnya pening.

Ik denk dat je echt heel erg gek bent, Jayden.” (aku pikir kamu benar-benar gila, Jayden.)


Hari-hari setelah ia dapat kembali bersekolah enggak semenyenangkan dulu lagi bagi Ayu, Romo nya jadi sangat mengawasinya dengan ketat, ia harus sampai di rumah begitu selesai sekolah. Hari-hari membosankan di rumah, Ayu menepisnya dengan menunggui Adi bekerja di ladang, kemudian memetik bunga melati yang berada tak jauh dari rumah Adi.

Tak lupa kadang Ayu juga belajar memasak dan menjahit, namun tetap saja kegiatan-kegiatan sederhana itu tak berhasil menghalau rasa bosannya. Terkadang kala malam mulai datang, kala senyap di bilik kamarnya mendera. Ia kembali merindukan Jayden, pria itu masih di Soerabaja.

Dan Adi sudah menyampaikan pesan Jayden padanya untuk bertemu di taman terakhir mereka bertemu. Dan hari itu akan datang besok, Ayu masih menimang alasan apa yang akan ia pakai untuk mendapatkan izin pada Romo nya agar ia bisa keluar sebentar menemui Jayden.

Ayu menghela nafasnya, ia sudah selesai mengepang rambutnya dan kesulitan untuk menghias rambutnya itu dengan melati yang sudah Adi petikkan untuknya tadi.

“Mas Adi!!” teriak Ayu, membuat pria yang tengah sibuk memunguti ranting dan daun kering dari ladang milik Tuan Gumilar itu menoleh.

dalem, Raden Ayu?”

“Tolong pakaikan melati ini di rambutku!” pekik Ayu, ia mengambil satu bunga putih dengan harum semerbak itu dan menunjukkanya pada Adi.

Debaran jantung Adi semakin tak karuan, selalu seperti itu kerap kali Ayu meminta tolong di hiaskan rambut olehnya. Karena Ayu, Adi jadi banyak belajar caranya mengikat rambut dan mengepangnya. Itu semua demi Ayu, dengan sigap Adi mengesampingkan debaran menggila itu dan membersihkan tangannya yang kotor karena tanah.

Kemudian kaki telanjang dan panjangnya itu melangkah mendekat ke Ayu yang tengah duduk di amben, kaki mungilnya itu mengayun-ayun seperti seorang anak kecil. Begitu dekat, Adi tidak duduk di samping Ayu. Ia berdiri dan langsung memasangkan bunga-bunga melati itu pada rambut panjang milik Ayu.

“Aku harus mengelabuhi Romo bagaimana yah? Aku ingin sekali menemui Sir Jayden,” gumam Ayu.

Adi sendiri tidak tahu bagaimana caranya, ia ingin sekali menolong Ayu. Namun mengkhianati kepercayaan Tuan Gumilar hanya akan mendatangkan petaka baginya, ia bisa di pecat dan keluarganya bisa di perlakukan seenaknya lagi oleh para Belanda itu.

“Saya juga tidak tahu, Raden Ayu.”

“Bagaimana jika aku tidak datang ke sekolah besok?”

Ayu menoleh pada Adi dengan binar mata yang begitu menyala, ide itu seperti secercah cahaya, harapan untuknya bertemu dengan Jayden. Walau terbilang gila, Ayu tidak pernah senekat itu hanya untuk menemui seseorang. Terlebih, meski sering sekali tidak hadir di sekolah karena masalah kesehatannya, Ayu adalah murid berprestasi di HBS.

“Kalau ketahuan dengan Tuan Gumilar bagaimana?”

“Romo tidak akan tahu, lagi pula hanya untuk kali ini saja Mas Adi.” Ayu memejamkan matanya, rautnya seperti membuat permohonan pada Adi.

“Saya tidak berani, Raden Ayu.” sungguh Adi ingin membantu Ayu, namun rasa takutnya itu lebih besar.

“Hanya kali ini saja, Mas Adi. Aku tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa selain Mas Adi.” Ayu menarik tangan Adi, tangan kecil itu menggenggam telapak tangan pria yang lebih besar darinya.

“Romo tidak akan tahu jika Mas Adi tidak mengatakan jika Ayu tidak pergi ke sekolah. Beliau begitu percaya dengan Mas Adi.”

Di buat bimbang Adi rasanya, apalagi saat Ayu mengenggam tangannya. Debaran menggila yang selalu Adi rasakan itu kembali meletup-letup, kali ini di barengi dengan jutaan kupu-kupu yang sama menggilanya berterbangan di perutnya.

Tidak pernah Adi katakan dari mulutnya, ia pendam dan kubur pada dasar hatinya, namun ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri jika ia mencintai Ayu. Genggaman tangan kecil itu seakan menghipnotisnya, walau dengan rengekan seperti seorang Adik kecil di mata Adi. Namun tetap saja rasa cintanya tidak sama dengan cara ia memandang Ayu saat ini.

Kepala Adi pun mengangguk, “baik, Raden Ayu.”

“Benarkah?! matur suwun Mas Adi.”

Bersambung...

sociëteit : gedung yang digunakan sebagai tempat hiburan dan berkumpul, terutama bagi orang kaya dan orang asing, dan juga menjadi tempat perjudian.

Kimpoidra : rajanya pujangga.

(Dimas Bagus Dhinangkara)

Raga tengah bersiap untuk melakukan konsulnya kembali pagi ini, sudah sekitar dua bulan ini Raga selalu rajin melakukan terapi dan konsul dengan seorang psikiater di rumah sakit. Itu semua bukan karena Raga memiliki gangguan mental pada dirinya, ia melakukan ini untuk mencari tahu tentang mimpi beruntut yang selalu ia alami selama ia tidur 3 bulan belakangan ini.

Setelah memastikan dirinya sudah terlihat rapih dengan setelan kaus polo dan juga celana jeans, ia termenung kembali pada cermin di depannya yang menampakan dirinya sendiri. Teringat kembali akan mimpinya, tentang pria berusia seumuran dengannya, pria kolonial bernama Jayden Van den Dijk.

Raga sudah mencari tahu tentang Jayden akhir-akhir ini, dan ia telah menemui titik terang jika pria itu adalah nyata. Pria yang berada dalam mimpinya bukan berasal dari memori pendek yang ada di kepalanya. Melainkan pria masa lalu yang pernah tinggal di Indonesia yang dulu bernama Hindia Belanda.

Dari yang Raga tahu tentang rasa penasarannya pada mimpinya itu adalah, wajahnya mirip sekali dengannya. Pria itu juga memiliki tanggal dan bulan lahir yang sama dengan Raga. Raga sempat berpikir konyol jika dirinya adalah reinkarnasi pria bernama Jayden itu.

“Aga....”

Pintu kamarnya di ketuk dari luar, terdengar suara seorang wanita dari luar kamarnya memanggil nama Raga. Itu adalah Adelia Herlina Suhartono, Kakak Raga yang biasa ia panggil dengan sebutan 'Mbak Adel.'

“Apa, Mbak?”

Memecahkan lamunannya, Raga berjalan ke pintu kamarnya dan membukakan pintu kamarnya itu untuk Adel. Kakaknya itu berdiri di depan pintu kamarnya, menggandeng seorang anak kecil berumur 5 tahun. Itu adalah putrinya namanya Safira.

“Udah jam 10, jadi gue temenin konsul gak?” tanya Adel pada adiknya itu.

“Jadi, Mbak buru-buru? Kalo buru-buru gue naik taksi aja deh.”

“Ihhh ngambek! Enggak kok, tapi anterin Fira ke day care dulu yah. Gue ada janjian sama agen properti jam 12.”

Raga mengangguk, ia kemudian menutup pintunya. Beralih menggandeng Safira, Raga dan Adel menuruni tangga rumah mereka. Kedua orang tua Raga dan Adel itu enggak tinggal di Jakarta, mereka tinggal di Surakarta. Menikmati masa tua mereka di sana, sementara Adel yang sudah menikah dengan Suaminya itu menetap di Jakarta namun di rumah yang berbeda dari yang Raga tinggali.

Adel kebetulan sedang menjenguk adiknya itu saja, dan kebetulan Raga memang minta di antar ke rumah sakit tempatnya konsultasi karena mobilnya sedang berada di bengkel.

“Terus kemarin aku juga liat pertunjukan lumba-lumba, Om. Keren sekali!! Lumba-lumbanya bisa main bola,” celoteh Safira di pangkuan Raga Mereka sudah dalam perjalanan menuju day care.

“Keren banget dong, terus kamu foto gak sama lumba-lumba nya?”

“Foto!! Tapi fotonya ada di HP nya Daddy. Jadi Fira gak bisa tunjukin ke Om deh.” bocah itu cemberut.

“Kapan-kapan tunjukkin ke om yah!”

Bocah 5 tahun di pangkuan Raga itu mengangguk, Safira itu suka sekali bercerita apapun kegiatan yang ia lakukan di day care atau saat jalan-jalan dengan kedua orang tua nya, selalu di ceritakan pada Raga. Mereka sangat dekat, kalau pun Raga sedang dinas di luar kota pun orang pertama yang ia ingat untuk di belikan oleh-oleh adalah Safira.

“Mas Ethan masih di Samarinda, Mbak?” tanya Raga, Kakak ipar nya itu seorang arsitek juga. Mas Ethan ini bekerja di Clyton partners sebuah perusahaan konsultan arsitektur yang terkenal di Indonesia.

Kantor tempat Kakak Ipar Raga bekerja itu jauh lebih berpengalaman dari pada kantor konsultan tempat Raga bekerja, sebenarnya Ethan sudah sering menawari Raga untuk pindah ke tempatnya bekerja. Mengingat kemampuan Raga sebagai Team Leader di kantor nya saat ini sangat baik, rasanya tidak mungkin Raga di tolak untuk bekerja di kantor tempat Ethan bekerja. Apalagi atas rekomendasi dari Ethan sendiri.

“Masih, mungkin minggu depan pulang.”

Adelia menghentikan mobilnya di depan sebuah day care, Adelia tidak keluar dari mobilnya Safira di temani masuk ke dalam day care oleh Raga, setelah itu keduanya langsung melesat ke rumah sakit tempat Raga konsul.

“Mbak, keluarga kita tuh ada keturunan Eropa gak sih?” tanya Raga yang nyaris saja membuat Adelia terbahak-bahak. Pertanyaan yang jauh di luar dugaan Adel.

“Ck, malah ketawa lagi lu, gue serius ini nanyanya.” Raga enggak terima.

“Kenapa sih nanya kaya gitu?”

“Yah gapapa, kayanya gue gak hapal betul silsilah keluarga Papa deh.” Raga bertanya seperti ini untuk memastikan, apakah ia masih ada hubungannya dengan pria bernama Jayden dalam mimpinya atau tidak.

“Hhhmm... Kayanya ada deh, gue pernah di ceritain sama Papa kalo buyut nya itu orang Belanda. Aduh yang jelas jauh banget deh, Ga.”

Adel itu lebih dekat ke Papa mereka karena mempunya kebiasaan yang sama. Bermain golf tentunya, dahulu sewaktu kedua orang tua mereka masih berada di Jakarta. Adelia sering menemani Papa nya itu bermain golf, di sela-sela permainan kadang Papa suka bercerita pada Adelia, tentang apapun itu termasuk asal usul keluarga dari pihak Papa.

“Serius lo, Mbak?” Raga mengubah posisinya menjadi sedikit berhadapan dengan Adel yang sedang menyetir itu.

“Gue lupa gimana ceritanya, Ga. Gue gak begitu nyimak banget waktu Papa cerita, yang gue inget tuh Papa bilang kayanya buyutnya Papa itu orang Belanda. Duh lo tanya sendiri deh ke Papa, emang kenapa sih lo nanya kaya gitu?”

Pertanyaan dari Adiknya itu agak sedikit berbeda dari biasanya, kalau sedang jalan berdua dengan Raga atau sedang ngobrol dengan Adiknya itu. Obrolan mereka itu enggak jauh-jauh dari kegiatan sehari-hari, tentang bisnis roti yang di bangun oleh Adel, tentang Safira, orang tua mereka atau bahkan Ethan. Walau kadang Adel suka menyelingi obrolan mereka dengan candaan kapan Raga akan segera mengenalkan kekasihnya pada Adel dan Ethan.

Padahal boro-boro Raga punya kekasih, dekat dengan wanita saja dia enggak. Kalau di bilang Raga itu tampan jelas dia tampan, Raga itu sangat karismatik, ia bahkan mahasiwa yang popular di kampusnya dulu apalagi setelah menyabet jabatan sebagai presiden mahasiswa. Tapi tetap saja, ia tidak pernah tertarik untuk menjalin sebuah hubungan. Kalau naksir-naksir teman wanitanya sewaktu kuliah dulu sih pernah, tapi Raga enggak pernah memintanya menjadi pacar.

“Lo masih ingat mimpi yang bikin gue harus ke psikiater kan, Mbak?” tanya Raga yang di balas anggukan oleh Adel.

“Inget, kenapa emangnya? Lo udah dapat diagnosis dari dokter lo?”

Meski sudah berjalan 2 bulan Raga konsul dengan psikiter, Raga belum juga mendapatkan diagnosis tentang apa yang ia alaminya. Jadi untuk sementara ini dokter hanya mengatakan itu adalah gangguan tidur biasa.

Raga menggeleng. “Kemarin gue iseng nyari tau soal Jayden Van Den Dijk. Ini beneran gue iseng aja, dan gue nemuin sesuatu.” Raga menunjukkan ponselnya pada Kakaknya itu.

Karena di rasa obrolan Raga ini serius, Adel akhirnya memberhentikan mobilnya di depan minimarket, bukan untuk membeli sesuatu. Tapi untuk melihat apa yang ingin Raga tunjukan di ponselnya pada Adel, di ambil alihnya ponsel milik Adiknya itu dan ia baca sebuah artikel tentang Jayden Van Den Dijk di sana, laki-laki yang ada di dalam mimpi Raga. Ah, lebih tepatnya Raga di dalam mimpi itu yang menjadi Jayden Van Den Dijk.

“Dia beneran ada?” gumam Adel, “menjabat sebagai Asisten Residen di Semarang tahun 1898, sekitar 127 tahun yang lalu..”

Adel memperhatikan Raga, lebih tepatnya pahatan wajah adiknya itu dan dia bandingkan dengan wajah Jayden yang ada di artikel itu. Raga benar, wajah mereka benar-benar mirip bahkan letak tahi lalat yang ada di wajah Raga juga sama persis seperti tahi lalat yang ada di wajah Jayden. Perbedaan mereka hanya pada warna rambutnya saja, karna Jayden pria Eropa maka warna rambutnya pirang berbeda dengan Raga yang memang pria Asia.

“Muka lo mirip banget sama dia.” Adel benar-benar terdiam, seumur hidupnya dia baru mengalami hal seperti ini. Adel itu penggemar film atau drama-drama supranatural, ia mengetahui banyak tentang reinkarnasi. Tapi Adel hanya menganggapnya angin lalu, dia gak pernah percaya hal-hal seperti itu ada di dunia nyata.

“Mbak, makanya gue tanya sama lo. Apa kita benar-benar ada keturunan Eropa? Gue cuma mau mastiin, apa yang gue alamin sekarang itu ada sangkut pautnya sama Jayden.”

“Gue bakalan cari tau, semalam lo masih mimpi?” tanya Adel, ia ingin tahu apa yang selanjutnya terjadi pada pria bernama Jayden itu dalam mimpi Raga.

Terakhir yang Adel ingat adalah Jayden berkencan dengan seorang gadis bangsawan di Semarang bernama Ayu. Kemudian gadis itu di jodohkan oleh Ayahnya dengan seorang anak Bupati dari Surabaya.

“Masih,” Raga mengangguk.

“Apa mimpi selanjutnya?”

Di tanya seperti itu Raga terdiam, dia hanya mengulum bibirnya sendiri. Mimpinya semalam enggak begitu baik tentang Jayden, waktu Raga bangun pun dadanya terasa sesak dan seluruh tubuhnya sakit. Itu lah kenapa hari ini dia bangun terlambat.


Kirana mengepal tangannya dengan cemas di ruang tunggu pendaftaran rumah sakit, hari ini dia kembali ke rumah sakit bukan untuk melakukan check up rutin pada kaki dan tangannya. Ia di temani oleh Bagas akan bertemu dengan seorang psikiatri, dari semalam Kirana menahan kantuknya agar ia tidak bermimpi hal itu lagi. Walau pada akhirnya, di jam 2 malam ia tertidur di sofa ruang tamunya dan kembali melanjutkan mimpi yang sama.

“Gugup yah?” Bagas duduk di sebelah Kirana, menggengam tangan Kirana yang dingin karena menahan rasa tidak nyamannya itu.

Kirana mengangguk, “aku baru pertama kali ke psikiater.”

“Jangan gugup yah, relax aja sayang. Kamu datang ke ahlinya, aku janji setiap kali kamu konsul aku akan usahain buat temenin kamu.” Bagas mengusap tangan Kirana itu, berusaha membuat wanitanya tenang.

Mata teduh pria yang sangat di sayangi Kirana itu mengingatkan Kirana akan Adi di mimpinya semalam, Adi menatap Ayu juga dengan tatapan seperti itu. Seperti Bagas menatapnya saat ini, pandangan teduh dan lembut itu seperti menghangatkan hatinya, mata yang selalu berhasil menenangkan Kirana kala ia merasa gugup atau pun sedih.

“Makasih ya, Sayang.” ucap Kirana, dia beruntung sekali di pertemukan dengan Bagas di dunianya yang jungkir balik pasca peninggalan Bapaknya itu.

“Sama-sama, Sayang.” Bagas mengusap kepala Kirana. “Ngomong-ngomong kamu masih mimpi hal yang sama semalam?”

Kirana mengangguk, “um.. Walau sebenarnya pas bangun kepala aku agak pening, seenggaknya mimpi semalam gak merubah suasana hatikku.”

“Oh yah?” Bagas senyum, “emangnya kelanjutan mimpinya apa?”

Bagas jadi penasaran sama mimpi berkelanjutan yang di alami oleh Kirana itu, karena menurutnya mimpi yang di alami Kirana itu menarik, mimpi itu terus berlanjut bagai sebuah series di setiap episode nya. Sejujurnya Bagas selalu ingin tahu cerita lengkap dan kelanjutannya, namun setiap kali Kirana cerita, Cerita dari mimpinya itu enggak pernah runtun dan lengkap, selalu saja Kirana putus di tengah jalan.

Bagas mau bertanya terus menerus tentang kelanjutannya pun enggak enak, karena Kirana selalu bilang kalau mimpi itu membuatnya tidak nyaman setiap kali dia bangun dari tidurnya. Makanya Bagas enggak mau tanya-tanya, kecuali Kirana sendiri yang memang mau bercerita.

“Ada kamu di mimpiku.”

“Aku?” Bagas menunjuk dirinya sendiri, “aku yang namanya Adi di mimpi kamu?”

“Um, enggak panjang memang, karena aku ketiduran mungkin sekitar jam 2 malam aku baru tidur. Di mimpi itu, kamu lagi kerja di kebun dan aku nungguin kamu kerja. Terus aku bikin ide gila buat bolos sekolah, udah itu aja.”

Kirana enggak cerita spesifik mimpinya seperti apa, apalagi di mimpi itu Kirana yang bernama Ayu di mimpinya memiliki ide gila untuk bolos sekolah hanya untuk bertemu Jayden, yang saat itu menjadi kekasihnya. Sungguh, Kirana hanya tidak ingin Bagas cemburu.

“Nakal yah kamu tuh.” Bagas menyentil hidung Kirana dengan gemas. “Kenapa harus bolos emangnya? Jadi kamu tuh di mimpi itu masih sekolah, Sayang?”

Kirana mengangguk, “umurku 19 tahun, di sana namaku Ayu. Aku sakit, mungkin karena sakit itu di umur 19 tahun aku masih sekolah. Kalau di mimpikku, aku panggil kamu Mas Adi karna kamu 2 tahun lebih tua dari aku.”

“Oh yah?” Bagas senyum, baru kali ini Kirana bercerita lebih banyak tentang mimpi yang selalu membuat Bagas penasaran. “Berarti aku udah lulus yah?”

Mendengar pertanyaan dari Bagas itu, Kirana yang tadinya tersenyum kini menarik senyum itu dari wajah cantikknya. Jika mengingat kehidupan Adi di dalam mimpinya, sungguh pria itu adalah pria yang menyedihkan. Adi jarang sekali tersenyum, tidak seperti Bagas.

“Sayang? Kenapa?” melihat perubahan wajah Kirana, membuat Bagas berpikir jika Kirana mungkin enggak nyaman saat ia bertanya-tanya lebih jauh tentang mimpinya.

“Sayang?”

“Di mimpi aku, kamu enggak sekolah. Adi, hidup sebagai pribumi miskin. Ayah dan Ibu nya bekerja di rumahku, Adi tanpa Ayu. Hanya pria menyedihkan yang tidak bisa membaca, menulis dan berbahasa Belanda,” jelas Kirana.

Bagas yang mendengar tentang apa yang di alami pria bernama Adi di mimpi Kirana itu termenung, senyumnya juga hilang seperti Kirana. Apa itu sebabnya Kirana enggak pernah mau cerita tentang mimpinya? Pikir Bagas, karena enggak ingin membuat Kirana kepikiran akhirnya Bagas terkekeh, tawa yang ia paksakan.

“itu cuma mimpi, Sayang. Tapi Ayu itu baik banget yah, mau ngajarin Adi itu semua. Hubungan mereka pasti baik yah?”

“Sangat baik, Ayu sangat mempercayai Adi, Sayang. Dan Adi sangat menghormati dan melindungi Ayu.”

“Selain aku, apa ada orang lain yang ada di mimpi kamu? Kalau di mimpi kamu ada aku sebagai Adi orang yang kamu kenal, apa ada orang lain yang kamu kenal juga?”

Kedua mata Bagas dan Kirana bertemu, mereka saling bertatapan untuk beberapa saat, seperti saling berkomunikasi dengan tatapan itu. Namun beberapa detik kemudian Kirana menghindari tatapan mata Bagas, sejujurnya setiap kali Kirana bermimpi sedang berduaan dengan pria bernama Jayden itu. Setiap bangun tidur atau ketika ia sedang bersama Bagas seperti ini, rasanya seperti ia habis melakukan perselingkuhan. Padahal jelas-jelas Kirana hanya bermimpi, ia tidak melakukan apapun.

“Sayang, maaf ya aku gak bisa cerita selanjutnya. Karena ingatan aku juga enggak banyak di mimpi itu, ada beberapa orang yang muka nya enggak aku kenali. Bahkan enggak aku ingat.” alibi Kirana.

Bagas tersenyum, menurutnya itu wajar. “Gapapa, kenapa minta maaf sih?”

Bagas mencubit pipi Kirana dengan gemas, wajah bersalah milik wanitanya itu terkadang membuatnya gemas. Tidak lama kemudian, nama Kirana di panggil. Ia melakukan beberapa pemeriksaan seperti memeriksa tensi, suhu tubuh dan detak jantung nya. Semua normal, perawat juga memberikan selembar kertas berisi beberapa pertanyaan yang harus Kirana isi.

Ruang tunggu dengan ruang pemeriksaan dan pengisian kertas dari poli kejiwaan itu berbeda, tidak jauh memang hanya saja di batasi oleh kaca tebal. Ketika hendak memberikan kembali lembar pertanyaan pada perawat, Kirana menangkap sosok Raga berada tepat di depan ruang konseling. Raga pun juga melihatnya, keduanya sama-sama terkejut. Namun Kirana masih bisa mengkondisikan ekspresi wajahnya.

Karena sudah terlanjur tertangkap basah, mau tidak mau Kirana menghampiri Raga biar bagaimana pun Raga masih menjadi atasannya walau saat ini Kirana masih dalam masa cuti nya.

“Bapak konsul?” tanya Kirana,

Raga nampak bingung ingin menjawab apa. Netranya tidak menatap Kirana namun berpendar seperti ia tengah kebingungan untuk mencari jawaban.

“Itu.. Lagi—”

“Jagaraga Suhartono.”

Seorang perawat dari ruang konsul memanggil nama Raga, bagi Kirana itu adalah sebuah jawaban tanpa Raga perlu menjawabnya, namun bagi Raga kelak ia harus memberi penjelasan tentang apa yang tengah dia lakukan saat ini, padahal semua sudah jelas kan?

“Ki.. Kirana saya masuk dulu yah.” Raga gugup, ia mengangguk kecil pada Kirana kemudian masuk ke ruang konsul yang sudah di tunjukan oleh seorang perawat.

Kirana hanya mengangguk kecil, ia mencari kursi kosong untuknya tempati walau dalam hati ia juga bertanya-tanya. Ada apa Raga sampai harus melakukan konseling dengan seorang psikiatri. Apa atasannya itu juga memiliki gangguan? Padahal selama ini, Raga tidak menunjukan gelagat aneh. Atau memang atasannya itu sengaja menyembunyikannya.

Sekitar 1 jam Kirana menunggu namanya di panggil akhirnya seorang perawat yang keluar dari ruang konsul tempat Raga konsul tadi keluar, perawat itu juga keluar dari ruangan itu bersama dengan Raga yang mengekori di belakangnya. Tidak lupa, perawat itu juga memberikan resep yang harus Raga tebus di bagian farmasi nantinya.

Kedua mata mereka bertemu lagi, kalau biasanya Kirana terlihat santai saat bertemu atasannya itu. Kali ini rasanya terasa berbeda setelah mimpi yang ia alaminya, ada desiran ketidaknyamanan yang seperti mengingatkan Kirana akan gadis bernama Ayu dan Jayden di mimpinya.

“Kirana, sa..saya bisa jelasin kenapa saya ke sini,” ucap Raga terbata-bata, mulut dan otaknya tidak sejalan. Kepalanya mengatakan jika ia tidak harus menjelaskan pada Kirana tentang apa yang ia lakukan saat ini, namun mulutnya justru berkata sebaliknya.

“Konsul kan, Pak?”

Raga mengangguk kikuk, “i..iya memang, tapi saya enggak kaya apa yang kamu pikirkan, Kirana.”

Kirana terkekeh, “emangnya Bapak bisa baca pikiran saya?”

“Bu..kan begitu, saya takut kamu mengira saya ini punya gangguan kepribadian, mental atau ya semacamnya, saya kesini cuma mau konsul tentang gangguan tidur yang saya alami.”

Senyum di wajah Kirana itu sirna, dia tidak salah dengar. Raga benar-benar mengatakan jika ia mengalami gangguan tidur. Apa gangguan yang ia maksud adalah mimpi? Pikir Kirana.

“Gangg..guan tidur?” gumam Kirana yang di jawab anggukan oleh Raga.

“Diajeng Sekar Kirana?” seorang perawat kembali memanggil nama Kirana lagi.

“Iy..iya.” Kirana menyahut, ia harus segera masuk ke ruang konsul. “Ka..kalau gitu saya masuk dulu, Pak. Cepat sembuh yah, Pak.”

Kirana mengangguk, begitu pun juga dengan Raga. Keduanya sama-sama terlihat kikuk, di dalam ruang konsultasi pun pikiran Kirana mengawang tentang apa yang Raga katakan, jika perawat tadi tidak memanggil namanya. Mungkin ia akan bertanya gangguan tidur seperti apa yang Raga alami.


Setelah selesai konsul di rumah sakit, Bagas dan Kirana menyempatkan untuk jalan-jalan sebentar. Ini pertama kali mereka kencan lagi sejak Kirana pulang dari rumah sakit, mereka sempat mengitari taman di sekitaran hutan kota, makan nasi bebek kesukaan Kirana, yang pedagangnya sudah hapal menu yang biasa Kirana dan Bagas pesan saking sering nya mereka datang tiap kali pulang bekerja.

Begitu hari makin gelap, Bagas mengajak Kirana ke sebuah gedung yang di bagian paling atasnya terdapat landasan helikopter. Mereka menikmati pemandangan gemerlap malam kota Jakarta dari atas sana, sembari sesekali keduanya menyesap kopi dan keripik kentang yang sempat mereka beli sebelum pergi ke rumah sakit.

“Dingin gak, Sayang?” tanya Bagas, Kirana hanya memakai kaus di balut dengan cardigan tipis berwarna merah jambu. Sedangkan Bagas memang memakai hoodie dan kaus sebagai bagian dalam nya.

“Enggak kok, malah enak disini banyak angin. Tapi rambutku, aduh.” Kirana terkekeh, “jadi berantakan ini ketiup-tiup angin.”

Karena mereka berada di gedung paling atas, angin yang berhembus pun lumayan kencang. Membuat rambut sebahu Kirana itu berterbangan, Bagas yang melihat itu langsung menarik tali dari tudung hoodie yang ia pakai. Kirana tidak membawa ikat rambut sepertinya.

“Aku ikat pakai tali ini yah?” Bagas menunjukkan tali itu pada Kirana, membuat wanita itu tersenyum dan mengangguk.

“Emangnya kamu bisa?”

“Kamu ngeremehin aku nih? Dari dulu kan yang suka ngikat rambutnya Kanes tuh aku.”

“Eh, iya yah aku lupa. Kamu dulu suka cerita kalo Kanes suka banget minta tolong kamu buat di kepangin rambutnya.”

Kirana tersenyum, walau seorang pria. Bagas itu pandai sekali mengikat rambut, Bagas sering sekali bercerita bagaimana ia memperlakukan Adik perempuannya itu. Bagas adalah Kakak yang hangat, kadang Kirana juga ingin mempunyai seorang saudara. Sebagai tempatnya bercerita atau bahkan bercanda, hidup sebagai anak tunggal itu kadang membuatnya kesepian.

Bagas berpindah ke belakang Kirana, merapihkan rambut wanita itu kemudian mengumpulkannya jadi satu sebelum akhirnya ia ikat menggunakan tali dari hoodie yang ada di tangannya.

“Kamu tau gak, Sayang? Adi di dalam mimpikku itu pintar sekali merias rambutnya Ayu pakai bunga melati loh.” di ikat rambutnya seperti ini membuat Kirana teringat akan Adi.

“Oh yah? Kaya aku yah? Tapi kenapa pakai bunga melati?”

“Karena Ayu suka banget sama bunga melati.”

Begitu sudah selesai mengikat rambut Kirana, Bagas berpindah kembali duduk di samping Ayu. Memperhatikan wajah cantik yang ia sayangi itu berpadu pada lampu-lampu kota di bawah sana, angin yang berhembus seakan menjadi saksi bagaimana Bagas selalu menatap Kirana yang selalu indah di matanya itu.

“Beda yah sama kamu, kalau kamu lebih suka bunga mawar sama lily.”

“Um.” Kirana mengangguk. “Kamu tau gak, sayang. Setiap kali aku bangun dari mimpiku sebagai Kirana, aku selalu ngerasa sedih kalau ingat bagaimana di mimpi, aku berperan sebagai Ayu.”

“Kenapa?”

Bagas mulai kembali penasaran seperti apa Ayu dalam mimpi Kirana itu, karna setiap kali Kirana membicarakan Ayu. Kedua netra legam nya itu selalu nampak sedih, apa hidup anak bangsawan dalam mimpinya itu menyedihkan? Pikir Bagas.

“Karena Ayu sama seperti aku, sama-sama anak tunggal. Romo nya tegas dan keras, Ibu nya halus tapi enggak punya kekuatan buat melindungi Ayu. Ayu itu periang, bukan gadis yang lebih banyak diam dan tertutup kaya aku. Tapi sakit yang di deritannya serta kekangan dari Romo nya buat gadis kecil itu jarang banget senyum.”

Kirana ingat, bagaimana di mimpi Ayu sakit berhari-hari. Muntah darah yang di derita gadis ringkih itu membuat dada Kirana juga ikut sesak setiap kali ia bangun tidur, Kirana menduga jika Ayu di mimpinya menderita TBC. Pada zaman itu, pengobatan tentang penyakit itu belum semudah sekarang.

“Pasti dia kesepian yah?” gumam Bagas. “Apa kamu kesepian juga sama seperti Ayu?”

Bagas ingin memastikan apa yang di rasakan Kirana sebagai anak tunggal, mengingat selama ini hidup menjadi seorang Kirana pun tidak mudah. Apalagi setelah kepeninggalan Bapaknya, hidup Kirana benar-benar jungkir balik. Kirana yang memang pemalu dan pendiam itu semakin menutup dirinya.

“dulu. Tapi waktu aku kenal kamu udah enggak lagi, apalagi sekarang udah ada Bang Satya, Almira dan Kanes.”

Bagas tersenyum, menyelipkan anak rambut Kirana ke belakang telingannya. “Aku gak akan biarin kamu kesepian.”

“Bagas?”

“Hm?”

“Jangan tinggalin aku yah. Mungkin akan ada banyak orang yang keberatan sama hubungan kita, tapi aku gak bisa bayangin gimana kalau aku harus kehilangan kamu.”

Katakan Kirana sudah terlalu bersandar pada Bagas dan mengandalkannya, pria itu selama ini yang menjadi sandaran untuknya. Hari-hari sejak ia mendapat penolakan dari keluarga Bagas membuat Kirana terkadang sesak, ia takut jika suatu hari Bagas akan meninggalaknnya karena mereka terhalang restu.

“Sayang, tolong bersabar sedikit lagi yah. Aku sedang berusaha membuat orang tuaku mengerti hubungan kita seperti apa.”

Kedua anak manusia itu saling melempar pandangan satu sama lain, mata Kirana berkaca-kaca. Sungguh ia sangat mencintai Bagas, ia bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya tanpa pria itu. Melihat Kirana menangis, membuat hati Bagas rasanya di sayat-sayat. Ia rengkuh tubuh itu dan ia bawa ke dalam pelukannya.

“Aku sayang kamu Kirana, maafin keluargakku yah. Maaf mereka udah kasar ke kamu,” bisik Bagas di telinga wanitanya itu.

Bersambung..

(Adelia Herlina Suhartono)

Samarang, 1898.

Tak ada hentinya wajah dahayu mengulas senyum kala ia melihat sang pria datang menemuinya dengan surjan buatannya, tubuh Jayden begitu tampak gagah dalam balutan surjan dan kain sebagai pengganti celana yang biasa ia kenakan. Pagi itu, Jayden tidak datang bersama kusir pribadi yang selalu mengantarnya tiap kali ia berpergian. Ia membawa dokar itu sendiri, tersenyum ketika hendak turun dan melihat Ayu duduk di amben yang tak jauh dari taman mereka bertemu.

Beberapa hari mereka tidak bertemu membuat Jayden merasa ada beberapa perubahan dari tubuh ringkih wanitannya itu, wajah Ayu yang sudah tirus kecil semakin tirus. Mungkin efek karena sakit saat terakhir kali mereka bertemu, walau merasa lara melihat wanitanya seperti itu Jayden berusaha mengulas senyum nya. Ia ingin meramu senyum pada wajah dahayu nya itu.

“Terlihat sangat cocok di pakai olehku bukan?” ucap Jayden begitu ia menghampiri Ayu. Karena lupa memakai blangkon, Jayden tetap memakai topi fedora nya namun begitu turun dari dokar, ia buka topi itu.

“Sir Jayden sangat tampan. Cocok sekali, saya sempat khawatir tidak pas pada tubuhmu karena saya tidak mengukur nya dengan benar. Saya hanya menerka, dan mencoba mengukur tubuh seseorang yang mirip denganmu. Syukurlah jika surjan nya muat.”

Ayu tersenyum, Jayden sungguh memakai pemberiannya. Pria itu bertambah tampan mengenakan surjan buatan Ayu, meski tidak bisa Ayu pungkiri jika wajah pria itu memanglah sudah tampan meski mengenakan pakaian eropa sehari-harinya. Tapi hari ini ketampanan itu rasanya bertambah sepuluh kali lipat dari biasanya.

“Terima kasih, Raden Ayu.”

“Sama-sama.”

“Jika begitu, bisa kita pergi sekarang? Matahari mulai meninggi jika kita terlalu lama disini.”

Arca wajah milik Ayu sedikit mengapit, ia pikir Jayden hanya ingin berbicara sesuatu padanya di taman ini. Sama sekali tidak terpikir jika pria itu akan mengajaknya pergi.

“Kita akan pergi kemana, Sir?” tanya Ayu.

“Aku ingin mengajakmu jalan-jalan, ada banyak hal yang ingin aku bicarakan.” Jayden mengambil kedua tangan Ayu, membawanya pada tangan besar miliknya dan menggenggamnya.

“Aku ingin melipur rindu padamu, kau mau?”

Ayu terdiam ia tampak berpikir sejenak, ia sangat ingin bersama Jayden lebih lama dari sekedar bertemu di taman lalu berbicara. Ia ingin menghabiskan waktunya bersama pria itu, di liriknya Adi yang berdiri tak jauh dari dokar miliknya. Wajah pria itu datar, namun tatapannya seperti ia menyerahkan semua jawaban pada Ayu.

“sejujurnya, saya tidak datang ke sekolah. Hanya untuk bertemu Sir Jayden.”

“Romomu mengekangmu akhir-akhir ini?”

Agak sedikit tercengang pada ucapan Jayden, dari mana pria itu bisa tahu? Namun pada akhirnya Ayu mengangguk.

“Maafkan aku, kau rela tidak datang ke sekolah hanya untuk bertemu denganku.”

“Sir Jayden, ini keinginan yang saya buat sendiri. Ada hal yang ingin saya katakan juga sebenarnya.”

Jayden mengangguk. “Kita bicara disini saja kalau begitu.”

Ada raut kepanikan pada wajah Ayu, ia ingin mengatakan jika ia juga mau ikut jalan-jalan dengan Jayden. Ia hanya berpikir sebentar tadi namun Jayden terlampau cepat mengubah pikirannya.

“Ki..kita tak jadi pergi?”

Jayden terkekeh, “kau mau? aku pikir kau menolak ajakkanku. Aku pun merasa sungkan Raden Ayu telah membuatmu tidak datang ke sekolah.”

“M..mau, sesekali saya pikir tidak akan menjadi masalah. Hanya sebentar, bukan?”

“Iya, hanya sebentar.” Jayden tersenyum, ia kemudian menoleh pada Adi yang berdiri tak jauh dari amben tempat Ayu duduk.

“Aku sama sekali tidak keberatan jika kau ikut dengan kami, Adi.” Jayden sungkan meninggalkan Adi di dekat taman seperti ini, meski sejujurnya ia sangat ingin menghabiskan waktu berdua dengan Ayu tanpa ada Adi yang selau mengikuti mereka di belakang.

“Saya menunggu disini saja, Sir Jayden. Saya rasa, Raden Ayu dan Sir Jayden membutuhkan waktu untuk bicara.”

Ayu tersenyum, Adi sungguh mengertinya. Tidak bisa Ayu bayangkan jika yang menjaganya bukan Adi, sudah bisa Ayu pastikan ia sudah di laporkan berkali-kali pada Romo nya. Adi sungguh pengertian, terkadang Ayu berpikir jika Adi sudah seperti sosok Kakak laki-laki untuknya.

“Kau tidak keberatan?” Jayden memastikan, ia hanya tidak enak pada Adi dan berpikir mungkin Adi sungkan.

“Sungguh tidak keberatan, Sir Jayden. Asalkan Sir Jayden bisa membawa Raden Ayu pada saya tepat jam 2 siang.”

“Baiklah, aku akan segera membawanya tepat jam 2 siang.”

Keduanya harus bergerak dengan cepat karna mereka hanya memiliki waktu sekitar 3 jam lagi, membukakan pintu dokarnya, Jayden merangkul pinggang Ayu dan membantu wanita itu untuk naik ke dalam dokar. Keduanya pun langsung pergi dari taman itu, sentuhan tangan lembut Jayden pada pingganya itu membuat senyum di wajah dahayu itu tak lekang-lekang.

Ayu benar-bebar bahagia, mereka jarang sekali bersentuhan. Hanya pegangan tangan saja karena Jayden sangat sungkan untuk menyentuh Ayu, di tariknya kuda putih itu dan dokar pribadi milik Jayden itu berjalan meninggalkan taman. Keduanya sempat terdiam beberapa saat, di kepala Jayden hanya ada bising untaian kalimat bagaimana ia akan menyatakan pinganya pada Ayu dan juga kedua orang tua nya.

Sedangkan Ayu, ia terdiam sembari sesekali melirik pada wajah tampan milik sang pria di sebelahnya. Jayden tampak gagah hanya dengan menarik tali pada kuda putih yang ada pada genggamannya.

“Kau sudah pernah naik kapal pesiar, Ayu?” tanya Jayden tiba-tiba. Jayden berpikir jika ia di terima oleh keluarga Ayu dan di beri restu untuk menikahkannya, Jayden ingin sekali membawa Ayu berobat ke negaranya.

“Belum, saya tidak pernah berpergian sejauh itu sampai harus menaiki kapal pesiar, Sir Jayden.”

“Kau ingin?”

“Memangnya mau kemana?”

Jayden tersenyum, ia sempat menoleh untuk melihat wajah dahayu itu. “Mengajakmu berkeliling ke tempat-tempat yang indah setelah perang ini usai.”

Jayden tidak munafik untuk tidak mengakui jika ia adalah bagian dari komplotan para Belanda yang memijak bumi Hindia Belanda ini, memerangi rakyat pribumi meski ia tak ikut berperang. Namun tetap saja, di mata pribumi ia pria yang jahat meski ia tidak melakukan apapun. Apalagi ia seorang petinggi dan darah dari para petinggi VOC masih mengalir dalam darah Jayden.

“Lebih indah dari desaku?” kedua mata Ayu berkedip, sorotnya seperti seorang anak kecil yang di janjikan sebuah makanan. Sangat lucu dan lugu di mata Jayden.

“Lebih indah, tapi tidak bisa menandingi indahnya wajahmu.”

Ayu tak lagi menjawab, ia justru menyembunyikan wajahnya dengan duduk sedikit bergeser agar Jayden tidak bisa melihat senyum konyolnya. Ayu salah tingkah, ia kikuk. Bingung bagaimana menanggapi ucapan Jayden bak pujangga. Dokar yang di kendarai Jayden itu berhenti di sebuah geraja di sana, itu adalah Gereja Blenduk yang sangat terkenal di Samarang.

“Kau mau turun? Ada pedagang bakpau tak jauh dari sini, rasanya enak. Aku kenal dengan pedagangnya. Kau mau?”

Ayu mengangguk, jantungnya masih berdegup tidak karuan saat melihat Jayden. Pria tinggi itu turun dari dokar lebih dulu, kemudian membantu Ayu turun dan menggandeng tangan wanita itu mengelilingi Gereja.

“Aku pernah masuk ke dalam Gereja ini. Kau pernah kesini?” tanya Jayden saat mereka melewati bangunan itu.

Ayu menggeleng, “Romo sering bercerita tentang Gereja ini, namun tidak pernah membawaku kesini. Ini pertama kalinya aku melihat Gereja ini.”

Kedua netra Ayu menatap kagum pada bangunan di depannya, sungguh sepanjang jalan ia hanya berdoa jika waktu berbaik hati untuk berputar lebih lambat dari biasanya. Ia sangat ingin menghabiskan banyak waktu dengan Jayden ke banyak tempat.

“Nanti akan ku ajak masuk ke dalam Gereja itu jika kita bertemu lagi ya?”

Ayu mengangguk, beberapa orang menyapa Jayden dengan ramah. Ayu bahkan sering lupa jika ia berkencan dengan seorang asisten Residen, yang tentunya Jayden sangatlah mudah di kenali orang-orang. Keduanya berhenti di sebuah toko kecil penjual bakpau, wanginya bahkan sudah tercium hingga ke depan gang sempit yang mereka lewati.

“Saya ingin 4 bakpau nya yah, Pak.”

“Sebentar ya, meneer akan saya ambilkan dulu.” ucap pedagang itu ramah pada Jayden.

Ayu tersenyum kali ini bukan karna melihat Jayden, tapi melihat kecil yang sedang bermain disana. Sungguh, anak-anak itu pasti tidak pernah merasakan kesepian sepertinya. Ayu sama sekali tidak memiliki teman, ia tidak pandai bergaul.

“Kau tersenyum melihat anak-anak itu?”

“Um.” Ayu mengangguk. “mereka punya teman.”

“Memangnya kau tidak memiliki teman?”

Ayu menggeleng, “saya tidak punya teman, Romo sering melarang saya keluar rumah bahkan hanya untuk bermain. Katanya, takut saya di culik.”

“Oleh Londho?” tebak Jayden.

Ayu tidak menjawab, meski yang di lontarkan oleh Jayden adalah sebuah kebenaran, entah dari mana Jayden bisa mengetahui hal itu. Ayu menunduk merasa tidak enak pada Jayden meski kata-kata itu bukan terlontar dari bibirnya.

Liefje, aku tau hal itu karena pernah mendengar seorang Ibu memperingati anaknya dengan ucapan seperti itu.”

“Apa Ibu itu berucap seperti itu pada Sir Jayden?” tanya Ayu, ia beranikan menatap sang pria yang selalu tersenyum lembut padanya.

“Pada pengawalku. Aku hanya melewati sebuah desa kecil, sudah sangat lama. Aku di kawal karena sewaktu itu aku berpergian dengan Ayahku yang seorang Residen.”

Tidak lama kemudian sang penjual bakpau itu kembali dan memberikan sekantung bakpau yang masih hangat, bahkan asap nya sampai mengepul keluar. Menebarkan aroma harum dari makanan manis itu.

Keduanya memutuskan untuk duduk di depan toko penjual bakpau itu sebentar, menikmati semilir angin sembari memakan bakpau yang masih hangat. Jayden meniupkan bakpau itu, setelah sudah dingin barulah ia berikan pada Ayu. Pria itu tidak ingin makanan panas menyakiti lidah kekasihnya.

“Sir Jayden benar, bakpau ini memang enak di makan selagi masih hangat.” Ayu tersenyum, dengan mulut yang sedikit penuh karena bakpau yang ia makan.

“Jika itu soal makanan, kau selalu bisa mempercayai seleraku.”

Ayu mengangguk, “Sir Jayden pernah makan getuk?”

“Tentu, salah satu makanan kesukaanku.”

“Saya bisa membuatnya, kapan-kapan akan saya buatkan getuk untuk Sir Jayden yah.”

Setelah menghabiskan empat bakpau yang Jayden pesan, sepasang insan itu kembali berjalan. Keduanya melewati Jembatan Berok yang tak jauh dari Gereja Blenduk barusan. Di sana cukup ramai, banyak sekali perahu-perahu kecil yang singgah.

(Jembatan Berok sekitar tahun 1897. Jembatan Berok dibangun oleh Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada 1705. Nama aslinya adalah Gouvernementsbrug, nama Berok di ambil dari kata Burg. Yang kemudian di lafalkan Berok/Mberok oleh pribumi.)

Jayden sempat mengajak Ayu duduk tak jauh dari sana, karena nampaknya nafas Ayu sedikit tersengal. Wanita itu sedikit kelelahan, karena tidak memiliki paru-paru yang cukup baik. Ayu sering sekali kelelahan meski hanya berjalan sebentar saja.

“Raden Ayu pernah berkuda?” tanya Jayden tiba-tiba.

Ayu menoleh kemudian menggeleng pelan, ia sering naik dokar namun tidak pernah berkuda. Tidak ada yang mengajarinya walau Romo nya sendiri sangat pandai berkuda, Ayu itu tidak dekat dengan Romo.

“Belum pernah, Sir Jayden pernah berkuda?”

“Aku lumayan pandai dalam berkuda, apakah kau mau berkuda denganku?”

“Saya takut.” Ayu mengulum bibir bawahnya, ia pernah melihat kuda yang pertama kali di beli oleh Romo mengamuk.

“Kuda putih miliku itu namanya Jefro. Dia kuda yang baik, kau tidak perlu takut dengannya karna dia sangat jinak padaku.”

Ayu sempat menimang-nimang tawaran dari kekasihnya itu, ia memang sangat penasaran seperti apa rasanya berkuda, apalagi kuda putih jantan milik Jayden sangatlah gagah. Sama dengan pemiliknya, pada akhirnya pun Ayu mengangguk kecil.

“Tunggu disini sebentar yah, aku akan menjemput Jefro dahulu. Kita akan berkeliling melewati jembatan Gouvernementsbrug bersama Jefro.” Jayden berpamitan, kemudian ia sedikit berlari kecil. Menjemput Jefro yang sempat ia tinggal di dekat toko penjual bakpau dekat Gereja.

Sementara itu Ayu menunggunya, menikmati pemandangan dari atas jembatan Gouvernementsbrug yang ramai siang itu. Jembatan Gouvernementsbrug menjadi infrastruktur transportasi penting dari pesisir pantai utara menuju darat, sekaligus simbol yang memisahkan antara si kaya dan si miskin.

Tidak lama kemudian, Jayden datang kembali bersama kuda putihnya. Pria itu turun dan menghampiri Ayu, ia membuka tangan kanannya untuk membantu Ayu menaiki kuda putih miliknya itu.

“Aku akan membantumu naik, percayalah. Jefro adalah kuda yang baik.” suara lembut itu bagai menghipnotisnya, menaruh seluruh kepercayaanya pada pria di depannya itu. Ayu memberikan tangan kananya pada Jayden.

Jayden membantu Ayu lebih dulu, setelah Ayu naik barulah ia naik dan duduk di belakang wanita itu. Walau awalnya Ayu sempat kesulitan untuk duduk karena ia memakai kain. Kedua insan itu menunggangi kuda melewati jembatan Berok, sungguh ini adalah pengalaman baru bagi Ayu dalam berkuda.

Tak ada hentinya ulas senyum menghiasi wajahnya. Raganya sangatlah dekat dengan pria yang ia cintai, apalagi kala Jayden menarik tali pada kuda nya. Tubuh gagahnya itu seperti separuh memeluk Ayu, membuat desiran hangat mengalir pada tubuh keduanya.

“Pernah berjalan-jalan kesini sebelumnya?” keduanya melewati bangunan besar yang sangatlah sibuk hanya dari depannya saja.

“Belum, Sir Jayden. Ini untuk pertama kalinya.”

Jayden tersenyum, “ini adalah Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), lahan ini menjadi kantor pusat kereta api swasta. Bangunan ini untuk mengakomodir jalur kereta api yang menghubungkan Samarang-Soerakarta-Djokjakarta sepanjang 206 km oleh NIS.”

“Soerakarta dan Djokjakarta?” gumam Ayu, ia sedikit menoleh kebelakang demi melihat wajah tampan kesayanganya itu, hidung mancung milik pria kolonial itu nyaris saja bertabrakan dengan hidung mungil miliknya.

“Um. Kau pernah ke sana?”

Ayu hanya menggeleng kecil, “saya hanya pernah meninggalkan Samarang hanya untuk berkunjung ke Soerabaja. Saat kita bertemu di kediaman Bupati barunya.”

“Suatu hari, aku akan mengajakmu ke Djokjakarta.”

“Sir Jayden mengapa ingin sekali membawa saya ke banyak tempat?”

Memberhentikan kuda putihnya itu, Jayden merasa gugup hanya untuk menjawab pertanyaan sederhana dari kekasihnya itu. Ingin sekali ia lontarkan kalimat manis bak pujangga seperti yang selalu ia lakukan pada wanitanya itu, namun saat ini mulutnya terasa terkunci.

“Aku ingin sekali mengeggamu dan membawamu ke banyak tempat indah, menghabiskan waktu hanya untuk berdua Raden Ayu.”

Keduanya sempat hening, Jayden merangkai kata lamarannya untuk Ayu pada kepalanya. Sementara Ayu seperti tertampar oleh kenyataan jika ia akan segera di jodohkan, bagaimana ia harus mengatakan hal menyakitkan itu pada pria nya?

“Bisakah kita turun sebentar? Ada yang ingin aku katakan pada Raden Ayu.”

Ayu tidak menjawab, ia hanya mengangguk. Membiarkan Jayden turun lebih dahulu, kemudian membiarkan Jayden menangkap tubuh kurusnya itu ketika ia turun dari atas kuda putihnya.

“Sir Jayden ingin mengatakan apa?”

“Adi sudah mengatakan padaku soal apa yang di rencanakan oleh Romomu.”

“Soal apa?” arca wajah Ayu mengkerut. apa yang di katakan Adi?

“Soal perjodohan Raden Ayu.”

Mendengar itu Ayu diam, ia menunduk. Ia tidak tahu jika Adi sudah mengetahui ini, pasalnya Ayu sendiri belum bercerita. Entahlah dari siapa Adi tahu mengenai hal ini.

“Bolehkan aku temui Romo mu? Malam ini. Aku ingin meminangmu Raden Ayu.” Jayden mengataknnya dengan sungguh-sungguh, ketulusan hatinya ia pertaruhkan. Berusaha sekuat mungkin membuat Ayah dari kekasihnya itu mempercayainya jika ia bisa menjaga Ayu.

Jayden mengeluarkan cicin dari saku surjan miliknya, cincin yang tempo hari ia beli di Soerabaja bersama dengan Dimas. Ia pasangkan cincin itu pada jari manis Ayu, siapa sangka jika terkaan Jayden kala itu benar. Cincin itu nampak pas dan terlihat indah pada jari manisnya.

“Saya takut, Sir Jayden. Romo pasti akan marah besar.”

“Aku akan mengatakanya baik-baik, aku juga akan menunggumu hingga kau tamat bersekolah. Aku sangat mencintaimu, Liefje.

Mendengar ucapan itu, Ayu justru menangis. Ia juga sangat mencintai Jayden, ia hanya ingin menikah dengan pria itu. Namun melihat kenyataan jika mendapat restu dari Romo nya tidaklah muda, membuat Ayu mengurungkan segalanya. Termasuk berandai-andai jika suatu hari ia bisa menikah dengan Jayden.

Melihat Ayu yang menangis, tangan Jayden sedikit gemetar. Ia meragu untuk membawa wanitanya itu pada dekapnya, namun tak tega rasanya jika ia membiarkan Ayu menangis tersedu-sedu seperti itu. Jadi, Jayden ulurkan tangannya, menarik pinggang kecil itu dan membawa tubuh kurus Ayu pada dekapnya.

“Tolong percaya padaku kalau kita akan melewatinya.”


Di tempat mereka berpisah, Adi menunggu kedatangan Ayu dan Jayden dengan harap-harap cemas. Sudah satu jam lebih keduanya melewati jam yang sudah mereka sepakati, kalau begini caranya sudah pasti Adi yang akan di marahi habis-habisan oleh Tuan Gumilar.

“Bagaimana ini..” gumam Adi.

Tak lama kemudian, saat Adi hendak naik ke dokarnya untuk mencari Jayden dan Ayu. Dokar milik Jayden terlihat di ujung jalan sana, Adi urungkan niatnya itu untuk mencari keduanya. Ia akhirnya menunggu hingga dokar Jayden mendekat, sungguh Adi ingin marah jika ia tidak ingat bahwa Ayu adalah anak dari majikannya.

Begitu dokar Jayden mendekat, Adi langsung turun dari dokarnya. Ia menghampiri Ayu yang sedang di bantu turun dari dokar oleh Jayden. Wajah keduanya berseri walau ada seliwet kekhawatiran tergambar jelas pada wajah Ayu.

“Adi maaf aku terlambat mengatar Ayu kembali,” Jayden tidak enak, apalagi saat menangkap raut ketakutan pada wajah pribumi itu.

“Saya bukan takut di marahi Tuan Gumilar, Sir Jayden. Saya hanya memikirkan Raden Ayu, takut kalau-kalau penjagaanya di perkuat karena hal ini.” pasalnya Tuan Gumilar sudah memberi ultimatum pada Adi jika Adi melanggar janjinya pada Tuan Gumilar, maka Adi tidak akan menjadi pengawal pribadi Ayu lagi. Akan di gantikan dengan orang lain yang bisa lebih tegas dalam menjaga Ayu.

Di tempatnya Ayu hanya diam, dia memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi jika Jayden benar-benar ingin ikut pulang ke rumahnya, dan kemudian berbicara dengan Romo nya untuk meminangnya malam ini juga.

“Biar nanti aku yang akan bicara dengan Tuanmu. kalau begitu, Ayo kita antarkan Ayu pulang.”

Arca wajah Adi mengkerut, nampak sebuah kebingungan tergambar di wajahnya. Ia melirik Ayu yang tampak tertunduk dan enggan memberikan jawaban. “Maksud Sir Jayden apakah anda akan ikut mengantar Raden Ayu? Ke rumahnya?”

Jayden mengangguk mantap, pilihannya sudah bulat untuk datang ke rumah Saudagar Gumilar dan membicarakan perihal pinanganya pada putri satu-satunya itu.

“Benar, ada hal yang harus aku bicarakan pada Saudagar Gumilar alih-alih bicara untuk jangan memarahimu.”

Adi menelan saliva nya susah payah, dokar yang di kendarai keduanya pun membelah desa hari itu. Beberapa pasang mata dari para pribumi sekitar juga turut menyoroti kedatangan Jayden seorang diri tanpa pengawal dan kusir yang mengantarnya, dengan tatapan ada kepentingan apa seorang petinggi Samarang datang ke desa mereka.

Sesampainya di kediaman Ayu, Tuan Gumilar sudah menunggu kepulangan putri satu-satunya itu. Wajah bangsawan angkuh itu tampak bingung saat satu dokar di belakang dokar yang di bawa Adi itu tampak seorang Belanda yang datang dengan setelan surjannya.

“Bukankah itu asisten residen Samarang yang baru, Pak?” gumam istrinya yang berdiri di sebelahnya itu.

Begitu turun dari dokar miliknya, Jayden membuka topi fedoranya. Tersenyum ramah pada Saudagar Gumilar yang sudah berdiri tegap di depan teras rumahnya, dengan keberanian yang ia miliki, di tautkannya jemari kokoh miliknya pada jemari kecil milik Ayu.

Ayu hanya diam, menunduk enggan menampakan wajahnya di depan kedua orang tuanya. Tubuh kecilnya itu agak gemetar menahan takut, sungguh. Ia takut meski dalam hati ia terus berdoa agar mereka mendapatkan restu.

Seorang petinggi Belanda dengan seorang inlander memang terdengar sedikit tidak mungkin, meski Ayu sendiri berasal dari keluarga bangsawan. Namun Ayahnya yang sangatlah tau tabiat para kolonial itu, yang selalu menganggap pribumi terutama wanita itu adalah budak yang derajatnya jauh di bawah mereka, bersama wanita pribumi pun mereka tak akan di anggap lebih sebagai gundik.

Membuat Ayah dari Ayu itu selalu mengingatkan pada Ayu agar tidak bergaul apalagi berkencan dengan seorang Belanda. Apalagi, Ayu adalah putri mereka satu-satunya. Tentunya Ayahnya itu ingin Ayu menikah dengan bangsawan dari kalangan pribumi juga.

Sugeng sonten, Saudagar Gumilar.” Sapa Jayden dengan senyum ramahnya, tangan kananya enggan melepaskan Ayu.

Ayah dari Ayu itu mengangguk kecil, “ada apa gerangan seorang petinggi Belanda datang ke rumahku? Silahkan masuk, meneer.

Tuan Gumilar mempersilahkan Jayden untuk masuk ke rumahnya, biar pun tidak suka dengan para kolonial. Tuan Gumilar tetap menghormati para petingginya, apalagi mereka sudah terikat kerja sama terutama dalam hal perdagangan. Ini menyangkut usaha yang ia bangun juga.

Jayden masuk ke dalam rumah Ayu, namun Ayu meminta tautan tangan mereka di lepas karena ia sudah mendapat tatapan tajam yang berasal dari Ayahnya. Keduanya duduk di atas kursi yang sama, bersebelahan dan bersebrangan dengan kedua orang tua Ayu.

Sempat mereka berbincang mengenai kabar dan kelanjutan usaha yang di bangun keluarga Ayu sampai akhirnya Jayden mendapatkan waktu yang tepat untuk mengatakan hal yang sedari tadi ia tahan.

“Tuan Gumilar, maksud dari kedatangan saya ke rumah anda adalah. Saya ingin meminang Raden Ayu, untuk menjadi istri sah saya.” Jayden pertegas pada bagian istri sah, yah. Dia ingin menikah dengan Ayu yang sah di mata hukum. Bukan menjadikan wanita itu sebagai gundik seperti yang di lakukan oleh para kolonial yang lain.

Tentu ucapan Jayden yang terdengar lugas itu mendatangkan raut bingung dan keterkejutan pada sepasang suami istri itu, terutama pada sang suami yang kini menatap putrinya itu yang terus menunduk.

“Kenapa harus Ayu, meneer?

“Karena saya sangat mencintai putri anda, Tuan Gumilar.”

Tuan Gumilar sempat menimang jawaban untuk di berikan pada sang asisten Residen itu, keputusannya sudah bulat untuk menjodohkan Ayu dengan putra dari temannya. Ayu harus menikah dengan bangsawan pribumi juga.

“Pulanglah dahulu, meneer. saya akan memberikan jawaban pada anda melalui surat, yang akan pelayan saya kirimkan ke kediaman anda.”

Jayden terdiam, ia menatap Ayu yang kini menatapnya juga. Mata ketakutan itu seperti menyayat hatinya, terkadang ada waktu-waktu dimana Jayden berpikir bagaimana Saudagar Gumilar memperlakukan putrinya itu? Sampai-sampai sering kali Ayu merasa ketakutan hanya untuk bicara dengan Ayahnya saja.

“Aku pulang dulu yah.”

Ayu tidak menjawab, ia hanya mengangguk kecil sebagai jawaban. Setelahnya Jayden langsung berpamitan kepada pasangan suami istri itu.

Bersambung...

Samarang, 1898.

“Benar-benar membuat malu keluarga, kamu berkencan dengan pria Belanda itu, Ayu?”

Teriakan dari Romo nya itu menggelegar memenuhi indra pendengaran Ayu, Ayu hanya bisa menangis, memangku wajahnya pada pangkuan sang Ibu. Sungguh sesak dadanya mendengar Romo memarahinya habis-habisan. Bahkan cincin pemberian dari Jayden tadi siang di renggut paksa dan di buang entah kemana.

uwis Pak, Mesakne Ayu.” Sang Ibu menengahi, tidak tega melihat putrinya menangis tersedu-sedu seperti itu.

“Minggu depan, calon suamimu akan datang ke Samarang. Romo akan mempercepat pernikahan kalian, tidak akan Romo biarkan kamu keluar dari rumah meski itu bersekolah sekalipun.”

Ayu tidak menjawab, ia hanya terus menangis. Melawan Romo nya pun Ayu tidak sanggup, ia takut. Setelah Romo pergi dari kamar Ayu. Barulah Ayu berani mengangkat kepalanya dan memeluk Ibu. Kedua wanita itu menangis, nasib Ayu tidak berbeda jauh seperti dirinya dahulu.

“Buk, Ayu harus bagaimana? Ayu sangat mencintai Sir Jayden. Dia bukan pria Belanda yang jahat, dia pria yang baik.” Ayu merengek seperti anak kecil, memohon pada sang Ibu yang selalu berada di pihaknya.

“Ibu tau, nduk. bertemu dulu saja dengan calon suamimu yah. Ibu saja tidak bisa melawan Romo.”

Tangis Ayu semakin menyesakkan, ia melepaskan pelukan pada tubuh Ibu nya itu dan menidurkan dirinya di ranjang. Menangis sejadi-jadinya, memikirkan kelak ia akan segera menikah dengan pria yang tidak ia cintai.


Jakarta, 2025.

Kirana terbangun pagi itu dengan dada yang cukup sesak, ia menyadari jika ia menangis, bahkan bantal yang ia pakai itu basah oleh air matanya sendiri. Mimpinya semalam bukan hanya membuat perasaanya tidak nyaman, ia juga menangis bahkan merasakan sesak. Seperti ada yang menibani dadanya hingga nafasnya pun sedikit tersenggal.

Kirana enggak tahu kenapa, tapi pagi itu setelah bangun dari tidur ia merasa sedih. Ia menangis sama seperti Ayu yang ada di dalam mimpinya, sampai akhirnya ponsel nya berdering dan menampakan nama Bagas di sana. Ayu buru-buru menghapus air matanya itu.

“Hallo, sayang?”

sayang, aku udah jalan yah, kamu udah siap kan?

Kirana melihat jam yang ada di atas dinding tempat tidurnya, saat ini sudah jam 6:30 dan hari ini adalah hari pertama Kirana kembali ke kantor setelah mengalami kecelakaan. Dan ia nyaris saja terlambat karena mimpi menyedihkan itu.

“Sayang, ak..aku kesiangan. Belum mandi, baru banget bangun. Ibu juga enggak bangunin, kayanya udah ke pasar duluan deh. Gimana yah? Kamu jalan duluan aja gapapa, kamu ada meeting kan?”

meetingnya masih jam 10 kok, gapapa. Aku juga udah dekat rumah kamu. Mandi dulu aja yah, gak usah sarapan. Aku beliin kamu sarapan kok.

“Beneran?”

iya sayangku, sana mandi.

“Yaudah, aku mandi dulu yah.”

Setelah panggilan itu berakhir, Kirana menyibak rambut panjangnya. Jantungnya masih berdebar mengingat mimpi mirisnya semalam, namun buru-buru ia singkirkan itu. Tidak ada cukup waktu untuk memikirkan mimpi sialan yang menganggunya setiap malam itu. Ia harus segera mandi dan siap-siap ke kantor sebelum Bagas datang.

Di perjalanan menuju kantor, Kirana lebih banyak terdiam. Dia masih memikirkan mimpinya semalam, bahkan celotehan Bagas saja terdengar samar-samar di telinga Kirana. Kepalanya terlalu bising dengan tangisan Ayu, pinangan Jayden dan kemarahan Romo dalam mimpinya.

“Sayang?” panggil Bagas, mobilnya berhenti karena di depan sana ada sedikit kemacetan, ah ini lumrah karena mereka tinggal di Jakarta.

“Hm?” Kirana menoleh, tersenyum kikuk pada Bagas. Kayanya Bagas sadar dari tadi Kirana cuma diam saja. “Kenapa, sayang?”

“Kamu kenapa? Gak enak badan?”

Kirana menggeleng, “enggak kok.”

“Terus kenapa diem aja, hm?”

“Gapapa, badan aku cuma pegal-pegal aja.”

“Kamu belum sehat banget? Ak..aku anterin pulang aja kalau gitu yah?”

“Oh.. Enggak-enggak, ma..ksud aku. Badan aku tuh pegal-pegal kayanya karna aku semalem tidur gak ngubah posisi deh, sayang. Gapapa kok, nanti di pakein minyak angin juga ilang.” alibi Kirana, dia gak mau cerita soal mimpinya pada Bagas, enggak bercerita dan hanya memikirkannya sendiri saja membuat seluruh energinya rasanya terkuras.

“Beneran?” Bagas menelisik wajah Kirana, khawatir jika Kirana memang kurang sehat tapi wanita itu menyembunyikannya.

Kirana mengangguk, “i'm fine, sayang. Aku justru seneng banget bisa balik ke kantor lagi.”

Kirana senyum, dia benar-benar senang bisa kembali bekerja lagi. Selain karena bosan di rumah saja, Kirana juga harus segera bekerja karena ia masih harus melunasi seluruh hutang Bapaknya di bank. Tanggung jawabnya sebesar itu, untung saja di kantor tempatnya bekerja Kirana memiliki teman-teman serta atasan yang selalu mendukung dan baik padanya.

Begitu sampai di kantor, nyaris semua karyawan yang mengenal Kirana menyapa nya. Mereka bersyukur Kirana dapat kembali bekerja, dan yang paling terlihat bahagia tak lain dan tak bukan adalah Almira. Waktu Kirana mengabari jika ia akan kembali bekerja besok saja, Almira sudah kegirangan. Bahkan wanita itu rela masak agak banyak untuk bekal makan siangnya yang akan ia bagi juga ke Kirana.

“Mbakkkk....” pekik Almira, wanita itu baru datang 10 menit setelah Kirana datang. Kebiasaan Almira tuh sebelum masuk kantor selalu mampir ke cafe buat beli kopi.

Almira langsug menghampiri meja kerja Kirana dan memeluk wanita itu, ia bahkan memberikan gelas kopinya pada Satya yang datang bersamanya. Untung saja Satya adalah senior yang santai sama junior-juniornya. Pria itu cuma geleng-geleng kepala berjalan ke meja nya dan menaruh kopi milik Almira di meja wanita itu.

“Aku seneng banget Mbak udah kerja lagi!! Pokoknya gak boleh sakit-sakit lagi loh!” Ancam Almira, memangnya siapa yang mau sakit?

“Iya enggak, gak enak juga sakit. Di rumah mulu, enakan kerja.” Kirana terkekeh.

“Kerja mah enak pas gajian doang, Na.” Samber Satya sembari menyalakan komputer miliknya.

“Sama pas bonus cair, Bang. Jangan lupa. Oh sama outing deh.” Bagas ikut menimpali, mereka memang satu ruangan. Meja mereka hanya berjarak sedikit saja.

Posisinya seperti ini, Almira, Kirana, Satya. Sedangkan di depan meja Almira ada meja milik Bagas, dan dua karyawan lain nya yang berhadapan dengan Satya dan Almira. Di dekat ruangan mereka ada ruangan Raga yang hanya di batasi oleh kaca tebal, jadi apapun yang di lakukan oleh mereka dapat selalu di awasi oleh Raga di dalam ruangannya.

“Udah mendingan banget kan, Mbak?”

Kirana mengangguk, “udah kok, oiya kamu bawa apa? Katanya masak buat makan siang kita berdua? Repot-repot banget sih.”

“Oh iya, aku tuh bikin—”

“Kirana?”

Belum saja Almira menjawab, Raga sudah datang menghampiri meja Kirana. Membuat Almira yang tadinya menggeser kursi miliknya ke dekat Kirana itu, jadi mengembalikannya ke tempat semula. Satya dan Bagas juga langsung mulai sibuk dengan berkas-berkas yang ada di meja mereka.

“Ya, Pak?”

“Sudah masuk, sudah sehat kamu?”

Kirana enggak menjawab, dia justru menatap Raga lekat. Teringat akan mimpinya semalam, Jayden yang sangat mirip dengan Raga itu meminangnya, sebelumnya bahkan mereka berkencan dan datang ke banyak tempat.

“Kirana?” Raga melambaikan tangannya di depan wajah Kirana, memecah lamun wanita itu yang terus menatap Raga lekat.

“Ya, Pak?”

“Sudah sehat?”

Kirana mengangguk kikuk, ia ketahuan melamun. Sial, mimpinya semalam membuat hari pertamanya bekerja kacau. “Sudah, Pak.”

“Syukurlah kalau begitu, pelan-pelan saja kerja nya. Saya juga enggak akan menunggaskan kamu buat ngecek proyek, untuk sementara kamu stay di kantor saja, ya.”

“Terima kasih, Pak.”

Selepas kepergian Raga, Satya dan Almira terkekeh pelan. Raga memang baik, tapi bahasanya yang kaku itu kerap kali membuat mereka semua cekikikan. Apalagi soal lelucon yang kadang suka di lontarkan pria itu, benar-benar mirip jokes Bapak-Bapak kalau kata Almira.

“Pelan-pelan saja kerjanya Kirana~” ucap Satya meniru ucapan Raga.

Kirana terkekeh, “apaan sih lo, Bang.”

“Pak Raga tuh kalau sama Mbak Kirana emang lembut banget kaya lagi ngomong sama bayi.” selama Almira bekerja di kantor kontruksi ini, Raga memang ramah pada semua bawahannya tapi berbeda jika sudah berbicara pada Kirana. Almira sih mikirnya karna mereka satu almamater, sama Bagas pun lebih santai.

“Heh! Kaya bayi kaya bayi, Kirana bayi nya gue.” Bagas cemburu.

“Apasih Mas Bagas orang cuma bercanda,” Almira merengut, ia kembali memeriksa laporan hariannya kembali.


“Jadi kegiatan kamu akhir-akhir ini lagi sibuk ngurus butik aja ya, Asri?”

Asri mengangguk pelan, “iya, Tante. Ya kadang masih bantu-bantu buat audit di toko punya Papa juga sih.”

Ibu dari Bagas itu tersenyum, menatap Asri dengan bangga. Hari ini orang tua Bagas mengundang Asri ke rumah mereka, Ibu nya Bagas minta di bantu untuk menyiapkan pesta ulang tahunnya yang akan di adakan minggu depan. Asri yang kebetulan tidak sibuk tentu saja mau, apalagi orang tua Bagas itu juga membeli beberapa baju dari butiknya.

“Hebat kamu, Yah. Masih muda, sudah berani buat bisnis sendiri, masih bantu-bantu orang tua pula. Salut loh Tante sama kamu, Sri.”

Asri tersenyum kikuk, dia enggan terbiasa dengan pujian seperti itu. Pasalnya ia pun banyak di bantu oleh orang tua nya, tidak semerta-merta ia membangun bisnis nya dari nol. Makanya Asri belum bisa bangga pada dirinya sendiri meski orang lain memujinya.

“Iya, Tante. Tapi kan tetap aja, Asri bisa bangun bisnis seperti ini karna Papa juga.”

“Ya gapapa dong, itu artinya kamu memanfaatkan fasilitas yang mereka kasih dengan baik. Tante benar-benar bangga sama kamu!” Ibu nya Bagas itu menjawil hidung Asri dengan gemas.

Dari dulu orang tua Bagas itu memang sudah menyukai Asri, anak itu memang terlihat sedikit pendiam. Reputasi keluarganya yang baik dan memang berkerabat dekat dengan kedua orang tua nya. Menjadikan kedua orang tua Bagas ingin sekali menjodohkan Asri dengan Bagas.

Tidak lama kemudian, mobil milik Bagas itu memasuki pekarangan rumah. Membuat senyum di wajah Ibu nya Bagas itu merekah, pasalnya memang itulah rencananya mendatangkan Asri di jam pulang kantor agar wanita itu bisa berbicara lebih banyak pada putra nya.

“Tuh, Bagas pulang,” ucap Ibunya Bagas.

Di kursinya Asri agak sedikit salah tingkah, dia bukan tidak nyaman dengan Bagas hanya saja ia tidak tahu harus seperti apa. Dulu memang mereka dekat, namun setelah Bagas pindah mereka putus komunikasi begitu saja.

Begitu Bagas masuk, kedua mata mereka bertemu. Namun Bagas buru-buru melihat ke arah Ibunya. “Ada tamu.”

“Kok tamu sih, Gas. Ini Asri loh.” Ibu melambaikan tangannya, menepuk pada tengah sofa yang berada di sampingnya, menyuruh Bagas untuk duduk di sana.

Sejujurnya Bagas lelah, namun mau tak mau ia menuruti keinginan Ibunya. Berdebat dengan Ibu jauh lebih melelahkan dari pada ia harus menghadapi kemacetan kota Jakarta di setiap sore nya.

“Ba..baru pulang, Gas?” Sapa Asri canggung, Bagas hanya mengangguk kecil.

“Asri ini Ibu suruh datang ke rumah, Gas. Ibu minta bantuan dia buat urus pesta ulang tahun Ibu.”

“Uumm..” Bagas mengangguk-angguk, ia sudah tau mengenai pesta itu.

“Kok gitu doang?”

Bagas menghela nafasnya pelan, “ya, Bagas harus apa, Buk?”

“Ck!” Ibu berdecak, suasana hatinya berubah karena respon dari putra sulungnya itu. “Besok kan, weekend Ibu mau minta tolong sama kamu buat nemenin Asri.”

“Buk... Besok Bagas ada janji.”

“Janji sama siapa sih? Ibu kan baru kali ini minta tolong kamu, Bagas.”

“Iya, Buk. Bagas tau tapi kan—”

“Ehm.. Tante, gapapa. Mungkin janji yang di bikin Bagas gak bisa di cancel Asri gak masalah kok kalo harus pesan kue sendiri.” Asri kembali menengahi, tidak enak Bagas jadi berdebat dengan Ibunya hanya perkara tidak ingin mengatarnya.

“Enggak, Bagas tetap harus nemenin kamu, Sri. Itu jauh loh.”

Bagas menghela nafasnya pelan, “yaudah, Bagas temenin, jam berapa ke toko kue nya?”

“Jam 10 pagi, Gas. Kalo kamu gak bisa gapapa aku bisa pergi sendiri—”

“Gapapa-gapapa, gue temenin aja ya, tapi gue gak bisa lama-lama.” besok Bagas sudah janji dengan Kirana akan mengantar wanitanya itu untuk kembali konsul kedua dengan psikiaternya. Mungkin setelah mengantar Asri, Bagas bisa langsung menemani Kirana.

“Iya, gapapa.”

Di sisi lain, sang Ibu tersenyum. Rencana nya untuk membuat Asri dan Bagas dekat berhasil, Ibu dan Ayahnya Bagas hanya bisa berharap Bagas akan jatuh cinta dengan Asri karena sering sekali bersama.

Bersambung...

Jakarta, 2025.

“Setelah itu apa yang kamu lakukan saat Romo mulai melarang kamu untuk tetap di rumah?”

Dalam pejam kedua matanya, Kirana melihat Ayu hanya berdiam diri di kamar. Namun sesekali ia membuka jendela kamarnya ketika Adi mengetuk jendela kamarnya itu. Wanita itu selalu memangis, bahkan Adi pun bersusah payah menemui Ayu karena kini pria itu di larang untuk dekat-dekat dengan Ayu. Romo menilai Ayu sekongkol dengan Jayden.

“Hanya diam di kamar, duduk, menunggu Adi.”

Wanita yang duduk tak jauh dari sofa bed Kirana berada itu mengangguk, ia mencatat detail mimpi yang di ucapkan oleh Kirana saat hypnoterapi nya sudah di mulai. Ini adalah konsul kedua Kirana, hari ini dia datang sendiri karena Bagas enggak bisa menemaninya. Bagas bilang kalau ia ada urusan mendadak, Bagas enggak bilang itu apa. Dan Kirana pun enggak bertanya, biasanya pun Bagas akan bercerita langsung jika mereka bertemu nanti.

“Apa Ayu sudah bertemu dengan calon Suami yang di jodohkan Romo nya?”

Kirana menggeleng, “belum.”

“Baik, kalau begitu Kirana dengar saya?”

“Um..”

“Kamu bisa buka mata kamu perlahan-lahan ya.”

Perlahan-lahan Kirana membuka kelopak matanya itu, sorot matahari pagi yang masuk ke ruangan konsulnya itu langsung menelisik indra pengelihatannya. Kirana mengerjap, ia mengubah posisinya dari yang tadinya tiduran menjadi duduk menghadap dokter Annelies.

“Butuh tissue?” dokter Annelies mengambil sekotak tissue dan memberikannya pada Kirana, wanita itu menitihkan air matanya.

“Terima kasih, Dok.”

Setelah mengusap kedua matanya dengan tissue, Kirana juga meminum teh jasmine yang tadi di sediakan oleh asisten dokter Annelies. Meski masih merasa tidak nyaman akan mimpinya semalam, setidaknya setiap kali ia konsul ia bisa merasa lega. Entah ini hanya sugestinya saja atau memang kenyataanya seperti itu.

“Mimpinya masih terus berlanjut yah, Kirana?”

Kirana mengangguk, “kali ini lebih mengganggu, Dok. Setiap kali saya bangun, dada saya sesak. Dan saya pasti menangis.”

“Itu karena kamu merasakan kesedihan yang di alami oleh tokoh Ayu di dalam mimpimu. Saya paham, rasanya pasti tidak nyaman buat kamu.”

Kirana mengangguk, ia ingin sekali berhenti bermimpi hal seperti itu. Tapi disisi lain, ada segelintir perasaan penasaran akan apa yang terjadi pada Ayu dan Jayden? Apakah mereka akan tetap bersama?

“Untuk saat ini obat yang saya berikan masih sama, saya hanya menaikan sedikit dosis nya ya, dan untuk saran saya. Sebelum kamu tidur, kamu bisa mendengarkan musik klasik? Atau lagu-lagu yang kamu suka. Dengan harapan agar ketika kamu bangun nanti, suasana hati kamu jauh lebih baik,” jelas Dokter Annelies.

Walau terbilang masuk akal apa yang di katakan dokter Annelies dari sudut pandang medis, tetap saja rasanya ada yang mengganjal. Kirana seperti ingin mencari second opinion dari mimpinya, tapi dia sendiri enggak tahu harus berkonsultasi dengan siapa.

“Dokter, sebelumnya apa dokter punya pasien yang mengalami gangguan tidur seperti saya?” Kirana hanya penasaran, siapa tahu ia bukan satu-satunya orang di dunia ini yang mengalami mimpi berkelanjutan seperti ini.

Dokter Annelies mengangguk, “tentu, biasanya hal seperti ini bisa terjadi karena trauma pasca kecelakaan atau gangguan kecemasan.”

“Lalu apa mereka bisa sembuh? Ah, mak..maksud saya, apa mimpinya berakhir dan mereka bisa tidur dengan normal tanpa bermimpi macam-macam?”

“Tentu bisa Kirana, saya harap kamu juga bisa kembali tidur dengan nyaman.”

Setelah konsultasi dengan dokter Annelies, Kirana berjalan gontai menuju farmasi. Sebenarnya tempatnya berkonsultasi dengan seorang psikiter itu bisa di bilang bukanlah rumah sakit, melainkan klinik yang buka dari hari senin sampai sabtu. Dan kirana sepakat untuk konsultasi setiap sabtu.

“Kirana?”

Suara itu membuyarkan lamunan Kirana, ia menoleh pada sumber suara itu. Ternyata itu adalah Raga, ia duduk di kursi ruang tanggu farmasi. Mungkin sedang menunggu giliran namanya di panggil di bagian penyerahan obat.

“Pak Raga? Konsul lagi, Pak?” Kirana duduk di sebelah Raga, kebetulan kursinya juga kosong.

Raga mengangguk, “iya, kamu datang sendiri?”

“Iya sendiri. Bagas lagi enggak bisa antar, lagi ada urusan.”

Raga mengangguk-angguk, “konsul kedua ya?”

Kirana mengangguk, “iya, Pak.”

Ia jadi teringat akan ucapan terakhir Raga di klinik tempo hari mengenai gangguan tidurnya, kebetulan sekali mereka bertemu lagi di klinik ini. Kirana menimang-nimang pikirannya untuk bertanya mengenai gangguan tidur yang di alami oleh Raga, siapa tahu Raga bisa memberikan second opinion atas apa yang di alami oleh Kirana.

“Pak?”

“Ya?” Raga menoleh, membuat kedua mata mereka bertemu. Kirana jadi teringat akan Jayden dalam mimpinya, cara kedua pria itu saat menatapnya sangat sama persis.

“Sa..saya boleh tanya sesuatu sama Bapak?”

“Boleh, tanya apa, Na?”

Kirana mengulum bibirnya sendiri, “soal gangguan tidur Bapak.”

Kirana dapat merasakan raut perubahan di wajah Raga, wajah itu agak sedikit tegang saat Kirana bertanya akan gangguan tidurnya. Kirana takut pria itu tidak nyaman.

“Boleh, ada apa? Apa yang mau kamu tanya?” dalam hati Kirana merasa bersyukur saat Raga mengatakan hal itu, pria itu tampak tidak keberatan sama sekali.

“Hhm.. Gangguan tidur Bapak seperti apa? Karena saya juga ngalamin gangguan tidur.”

Raga terdiam, matanya bahkan tidak berkedip saat Kirana berbicara seperti itu. Apa Kirana juga mengalami mimpi yang sama sepertinya? Pikir Raga. Dan lamunan itu buyar seketika ketika seorang apoteker memanggil nama Raga dari speaker farmasi.

“Jagaraga Suhartono.”

“Se..sebentar, saya ambil obat saya dulu. Nanti saya akan jelasin ke kamu.”

Kirana mengangguk, tetap pada tempatnya dan membiarkan Raga mengambil obat miliknya dahulu. Karena antrean farmasi semakin banyak dan kursi yang di tempati oleh Raga sudah di isi oleh orang lain, Raga mengirim pesan ke ponsel Kirana jika ia menunggu Kirana di parkiran rumah sakit.

Setelah selesai dengan pengambilan obat miliknya, Kirana berjalan menuju parkiran. Ternyata atasannya itu benar-benar menunggunya, Kirana langsung menghampiri Raga yang menunggunya tepat di depan mobil miliknya.

“Kamu sudah makan siang Kirana?” tanya Raga.

Kirana menggeleng pelan, “belum, Pak.”

“Bagaimana kalau kita ngobrol soal gangguan tidur saya sambil makan siang? Kamu enggak sibuk kan?”

Kirana ngerasa itu jauh lebih baik dari pada mereka harus berbicara di rumah sakit, lagi pula dia benar-benar butuh second opinion dari orang lain, yah sukur-sukur jika Raga memiliki gangguan tidur yang sama dengannya.

“Boleh.”

Keduanya pun langsung masuk ke dalam mobil Raga, Raga memilih restoran yang tidak jauh dari klinik mereka konsul. Kebetulan restoran itu juga enggak begitu ramai, mungkin karna sudah lewat jam makan siang juga.

“Jadi kita mau mulai dari mana nih?” tanya Raga begitu makanan mereka telah selesai di antar oleh pelayan restoran.

“Dari Bapak dulu aja.”

“Soal gangguan tidur saya ya?”

Kirana mengangguk.

“Oke.” Raga mengangguk-angguk kecil, “sebenarnya enggak bisa di bilang gangguan tidur juga sih, saya sama sekali enggak kesulitan buat tidur atau kebanyakan tidur. Ini lebih ke, mimpi yang sering saya alami.”

Mendengar separuh dari penjelasan Raga itu membuat seluruh bulu kuduk Kirana rasanya berdiri, apa jangan-jangan Raga juga mengalami mimpi yang sama sepertinya? Atau bahkan mimpi mereka saling berhubungan? Mengingat Raga juga ada di dalam mimpi itu sebagai Jayden.

“Mimpi?” Kirana mengulangi ucapan Raga.

“Iya mimpi, udah sekitar 3 bulan ini saya mimpi panjang terus-terusan setiap malam,” Raga terkekeh. “Anehnya mimpi itu terus berlanjut kaya sebuah series. Aneh pokoknya.”

Kirana mengulum bibirnya sendiri, ternyata benar, Raga mengalami mimpi yang sama dengannya. Mimpi berulang dan berlanjut bak film yang terus berlanjut setiap episode nya.

“Mimpi seperti apa, Pak?”

Sebelum menjawab, Raga menatap lekat pada kedua netra legam milik Kirana. Wajah wanita itu mengingatkannya akan Ayu, wanita yang di kencani dirinya kala ia menjadi tokoh Jayden di dalam mimpinya. Raga menyadari jika ada desiran halus di relung hatinya, mungkin ini karena mimpi sialan itu, pikirnya.

“Saya ada di tahun 1898, Na. Sulit jelasin soal mimpi saya ke kamu. Yang jelas di dalam mimpi itu konfliknya rumit, saya seperti kembali ke masa lalu,” jelas Raga, meski sudah bercerita sama Mbak Adel tetap saja Raga sungkan menjelaskannya pada Kirana. Ia takut di lebeli atasan aneh oleh bawahannya itu, meski Raga tahu Kirana enggak akan berpikir seperti itu.

Jantung Kirana semakin enggak karuan apalagi kala ia mendengar kalau Raga juga bermimpi di tahun yang sama dengannya, itu artinya mimpinya dan mimpi Raga bisa saja saling berhubungan.

“Ap..apa di dalam mimpi itu Bapak menjadi seorang Asisten Residen di Semarang bernama Jayden Van Den Dijk?” Tanya Kirana hati-hati.

Mendengar pertanyaan itu tubuh Raga membeku, dia sama sekali tidak salah dengar jika Kirana menyebutkan nama tokoh dalam mimpinya itu. Apa itu artinya Kirana juga mengalami mimpi yang sama dengannya dan berperan sebagai Ayu? Pikir Raga.

“Ka..mu bermimpi yang sama, Na?” Raga memelankan suaranya, tubuhnya maju beberapa senti agar suaranya terdengar oleh Kirana. Musik dari restoran yang tenang itu tetap saja agak sedikit menganggu pembicaraan keduanya.

Kirana mengangguk, “iya, Pak. Hampir dua bulan ini saya mimpi hal itu. Awalnya saya kira saya mengidap PTSD karena kecelakaan yang saya alami, karena setelah sadar dari kritis. Setiap malam saya selalu mimpi hal itu.”

Berbeda dengan Ayu yang mengalami kecelakaan kemudian bermimpi seperti ia kembali ke masa lalu, lain hal nya dengan Raga yang bermula dari ia demam tinggi. Sejak saat itu Raga mulai bermimpi tentang Jayden dan kisah cintanya yang pelik.

Raga pun sempat denial mengenai mimpinya, ia mengira itu hanya bunga tidur biasa yang ia alami kala demam. Namun semakin hari cerita dalam mimpinya itu kian berlanjut, membuat Raga tidak nyaman kala ia tidur. Sampai akhirnya ia memberanikan diri untuk pergi berkonsultasi oleh psikiter, ia pikir mungkin dengan berkonsultasi ia bisa mendapatkan alasan kenapa ia bermimpi hal itu.

“Kayanya bukan karena PTSD, Na. Karena saya mimpi hal itu pun bermula karena saya sakit, waktu saya demam. Sampai saat ini pun saya ngerasa penjelasan medis dokter Annelies tentang mimpi yang saya alami itu gak membuat saya puas.” Raga ngerasa pasti ada hal yang tidak bisa di jelaskan secara medis kenapa ia bermimpi hal itu, dan kali ini kenyataan bahwa Kirana mengalami hal yang sama memperkuat dugaanya.

“Jadi menurut Bapak karena apa?”

“Kamu tau reinkarnasi?”

Kirana mengangguk.

“Saya awalnya enggak percaya sama hal itu, di agama kita pun gak ada hal seperti itu. Tapi saya coba cari tahu tentang Jayden dalam mimpi saya.” Raga merogoh sakunya, mengambil ponsel miliknya dan memperlihatkan artikel tentang Jayden lengkap dengan biografi nya pada Kirana.

“Jayden ada di dunia ini, Na. Beliau pernah hidup. Itu artinya Ayu dalam mimpi kita juga ada.”

Membaca utas mengenai Jayden semakin membuat Kirana bergetar, ia gak pernah menyangka akan mengalami hal di luar nalar seperti ini. Jika reinkarnasi yang di maksud Raga itu ada, apa mungkin ia dan Raga adalah reinkarnasi dari Ayu dan juga Jayden? Pikir Kirana.

Kirana mengembalikan ponsel milik Raga itu, ia mengusap wajahnya gusar. Hatinya tenang karena telah mendapatkan second opinion dari orang lain tentang mimpinya, tapi disisi lain ada hal yang membuatnya tidak tenang. Jika benar ia dan Raga adalah reinkarnasi dari Ayu dan Jayden apa itu artinya ada kisah yang belum selesai.

“Apa Bapak berpikir kita adalah reinkarnasi dari Jayden dan Ayu?” Kirana menelan saliva nya susah payah.

Raga tidak bisa menjawab, jika kenyataanya seperti itu ia sendiri tidak tahu harus melakukan apa dan apa yang belum selesai tentang kisah dua anak manusia di masa lalu itu.

“Kamu sudah bermimpi sampai mana, Na?” Tanya Raga mengalihkan pembicaraan.

“Sampai Ayu di pingit orang tua nya setelah Jayden melamarnya, Pak.” Ayu memang di pingit oleh orang tua nya, Bahkan wanita itu berhenti sekolah dan sedang menunggu pria dari Surabaya itu melamarnya. Miris memang nasib Ayu, meski anak seorang priyai. Ayu tetap di perlakukan sama seperti perempuan Jawa lainya oleh orang tuanya, yang menganggap jika anak perempuan tidak boleh keluar rumah dan tidak perlu menganyam pendidikan.

“Sudah sejauh itu rupanya,” Raga mengangguk-angguk. “Jayden dalam mimpi saya, dia baru—”

“Bagas?” Kirana yang tadinya sedang mendengarkan Raga bercerita itu tiba-tiba saja berdiri dari kursinya. Arah matanya menuju ke belakang Raga.

Raga akhirnya pun menoleh ke belakangnya, ternyata ada Bagas dengan seorang wanita yang sepertinya seusia denganya. Bukan hanya Kirana yang kaget, Bagas dan Raga pun sama kagetnya mereka sama sekali tidak menyangka akan bertemu di restoran ini.

“Kamu sama Pak Raga?” tanya Bagas.

Kirana mengangguk, ada sedikit kekecewaan di hatinya kala ia melihat Bagas justru pergi dengan wanita lain yang Kirana sendiri bahkan tidak mengenalnya. Wanita itu berdiri di belakang Bagas dengan gesture tidak nyamannya.

“Saya tadi bertemu Kirana di klinik, Gas. Kebetulan ada hal yang mau saya tanyain ke Kirana, jadi sekalian saja saya ajak dia makan siang.” Raga berusaha menjelaskan pada Bagas agar tidak ada kesalahpahaman di antara mereka, walau dalam hati Raga pun bertanya-tanya kenapa Bagas datang dengan wanita lain.

“Ahh..” Bagas mengangguk-angguk, “kalo gitu Kirana biar pulang sama saya aja, Pak.”

“Aku belum selesai bicara sama Pak Raga, Gas. Lagi pula kayanya kamu enggak pergi sendiri.”

Bagas salah tingkah, ia seperti sedang ketahuan selingkuh meski kenyataanya tidak begitu. “In..ini Astri, dia temanku, Na. Ibu nyuruh aku anterin dia buat ambil pesanan kue.”

“Yaudah selesain dulu aja tugas yang di suruh Ibu kamu, Gas.” Tidak ada nada ketus dalam nada bicara Kirana, itu hanya terdengar tegas.

Bagas terdiam, suasana di sekitar mereka seketika menjadi canggung. Bahkan Raga pun sudah tidak nafsu lagi dengan bebek goreng di depannya yang terlihat menggiurkan itu.

“Gapapa, Gas. Biar Kirana nanti saya antar pulang, dia juga kesini kan sama saya. Kamu selesaikan saja dulu urusan kamu.” Raga berusaha menengahi, tidak berniat untuk menambah suasana menjadi canggung kok.

Bagas mengangguk, “yaudah, saya titip Kirana ya, Pak. Terima kasih banyak.”

Raga mengangguk, “sama-sama, Gas.”

“Na, di lanjut lagi ngobrolnya.” Setelah mengatakan hal itu Bagas pergi meninggalkan meja Kirana dan Raga, bahkan wanita yang tadi datang bersama nya hanya mengangguk canggung pada Kirana dan Raga, kemudian berlari kecil mengekori Bagas kembali.

Kirana kembali duduk, perasaanya benar-benar campur aduk sekarang ini. Dia kesal karena Bagas enggak jujur dengannya kalau ia pergi bersama wanita lain meski tadi Bagas mengenalkan wanita itu sebagai temannya, di sisi lain ia juga menikirkan kata-kata Raga soal reinkarnasi Ayu dan Jayden. Jika ucapannya benar, itu artinya ada cerita yang harus mereka berdua selesaikan bukan? Pikir Kirana.

Bersambung..

Di dalam mobil saat perjalanan pulang hanya ada hening tercipta di antara Bagas dan Asri, sejak mereka berdua pergi bersama atas keinginan orang tua Bagas, sejujurnya Asri tidak terlalu nyaman. Dia senang bisa bersama Bagas, namun disisi lain ia sendiri tidak tahan dengan sikap dingin laki-laki itu.

Asri paham dan sadar diri jika Bagas berusaha menjaga hati pasangannya dengan menjaga jarak dengan Asri, ia memaklumi itu. Namun tetap saja rasanya sedikit menyakitkan ketika ia seperti di abaikan begitu saja, bahkan sejak mereka berangkat pun hanya Asri yang mencari topik obrolan.

Di liriknya pria di sebelah kanannya itu, Bagas masih bungkam, Matanya terus memandang ke depan jalan sana yang agak sedikit padat, seolah-olah tidak ada orang lain di sebelahnya. Asri sungguh tidak nyaman dengan situasi seperti ini.

“Bagas?” Panggilnya, membuat pria itu menoleh tanpa ekspresi apapun, mungkin di kepalanya ia tengah meramu kata untuk meyakinkan pada wanita bernama Kirana tadi bahwa mereka hanyalah teman.

“Tadi, pacarmu?”

Bagas mengangguk, “iya, namanya Kirana.”

“Um..” Asri mengangguk-angguk, benar-benar pertanyaan basa basi meski sejujurnya ia sudah tau. “Cantik, sudah berapa lama sama dia?”

“6 tahun, dari kami masih kuliah.” Bagas menekan klakson mobilnya dengan sedikit kencang, membuat Asri memejamkan matanya karena sedikit terkejut. Sepertinya Bagas sedang kesal namun hanya bisa diam, marahnya memang seperti itu.

“Lama juga yah, nanti pas ulang tahun Ibumu dia datang kan?” jujur saja Asri benar-benar hanya basa basi, dia benci suasana hening dan canggung seperti tadi. Dalam hati ia berdoa agar Bagas tidak menjawabnya dengan nada ketus karena ia terus bertanya.

“Gue undang dia kok.”

“Kata Ibu, kalian satu kantor juga ya?”

Kali ini Bagas menoleh pada Asri, kedua mata mereka pun bertemu. Sebenarnya di kepala Bagas saat ini adalah ia penasaran kenapa Asri terus bertanya-tanya tentang Kirana, apa wanita itu akan mengadu pada Ibunya jika tadi mereka bertemu dengan Kirana di restoran? Pikir Bagas.

“Iya, satu kantor. Sri?”

“Ya, Bagas?”

“Ibu tuh suka ngomongin soal Kirana ke lo gak?” Bagas cuma penasaran aja, mungkin saja Ibu sudah menjelaskan perihal Kirana pada Asri. Mengingat saat pertama kali mereka bertemu Bagas sempat menolak perjodohan mereka.

“Enggak kok, Gas. Ibu lebih sering ceritain soal kamu.” Jauh dari kenyataan, Asri sedikit banyaknya sudah tahu tentang Kirana dari Ibunya Bagas, tentu saja dari sudut pandang wanita itu menilai Kirana.

Yang Asri tahu adalah Kirana bukan perempuan yang berasal dari keluarga yang baik, reputasi keluarganya buruk karena korupsi yang mengakibatkan perusahaan lampu yang di dirikan oleh mendiang Bapaknya Kirana itu terpaksa gulung tikar, Bapaknya Kirana kemudian mengalami depresi berat hingga mengakhiri hidupnya.

Setelah itu, banyak barang-barang di rumah Kirana yang di jual untuk melunasi hutang-hutang perusahaan, bahkan sampai saat ini pun hutang-hutang itu belum lunas. Dan Ibu nya Bagas enggak setuju putranya itu menjalin hubungan dengan wanita yang bukan berasal dari keluarga baik-baik.

Kira-kira seperti itu yang Asri tahu dari Ibunya Bagas, bahkan Ibunya Bagas pernah berpikir jika Kirana memacari Bagas hanya untuk membantunya melunasi hutang-hutang keluarganya. Tapi saat Asri bertemu dengan Kirana, wanita itu cukup tegas. Asri enggak bisa menilai hanya dalam sekali pertemuan, namun ia yakin Bagas tidaklah mungkin mengencani Kirana jika wanita itu tidak baik. Apalagi hubungan mereka sudah bertahan selama 6 tahun, itu tidaklah mudah.

“Serius?” tanya Bagas sekali lagi meyakinkan.

“iya serius, Gas.”

“Bagus deh kalau begitu.”

Begitu sampai di rumah, Ibu langsung menyambut Bagas dan Asri dengan gembira. Sungguh, wajahnya berbunga-bunga seperti menyambut anak dan menantunya yang baru saja pulang bulan madu.

“Maaf yah Buk lama, tadi restonya penuh. Terus juga ada kue yang kurang, jadi kita nunggu dulu sampai selesai di packing,” jelas Asri.

Bagas menuruni satu persatu dus berisi kue-kue yang baru saja mereka ambil barusan dan menaruhnya di meja makan, setelah itu dia memeriksa ponselnya, mengirimi Kirana pesan, bertanya pada wanitanya itu sudah pulang ke rumah atau belum. Bagas resah, Kirana mungkin saja salah paham padanya dan Asri dan ia harus segera menjelaskannya.

“Bagas, main HP terus kamu. Ini loh Asri di ajak ngobrol dulu, Ibu kan lagi repot.” Ibu memperingati.

“Buk, harus Bagas banget yang nemenin ngobrol Asri? Dia juga lagi ngobrol sama Kanes di ruang tamu kan?” Bagas ngerasa Ibu kaya terus menerus cari cara supaya ia dan Asri bisa dekat, Bagas enggak suka sama hal itu. Bagas tidak membenci Asri, ia hanya tidak suka di paksa melakukan hal yang tidak dia inginkan.

“Kanes mau Ibu suruh bantuin Ibu di dapur. Kamu ngapain sih main HP terus?”

“Buk, tadi waktu di restoran, Bagas ketemu sama Kirana. Dia liat Bagas sama Asri, Buk. Bagas takut Kirana salah paham. Bagas mau jelasin ke Kirana kalo Bagas sama Asri gak ada apa-apa.”

“Halah perempuan itu lagi,” Ibu mendengus. “Seharusnya bagus kalau dia lihat, biar dia bisa ngaca kalo ada perempuan yang jauh lebih baik dari pada dia. Lagian cepat atau lambat Asri itu bakalan jadi Istri kamu.”

“Yang mau nikah itu siapa sih, Buk? Yang bakalan menjalani rumah tangga itu siapa? Bagas kan? Bagas sayang sama Kirana, Buk. Bukan sama Asri.”

“Kamu pikir Ibu dan Ayah akan merestui kamu dan Kirana? Enggak, Gas. Sampai kapanpun enggak akan. Jangan berharap kamu!” Hardik Ibu dengan nada bicara yang sedikit meninggi.

Sepeninggalan Ibu, Bagas mengusap wajahnya gusar. Ia duduk di kursi meja makan di sana sembari memandangi bubble chat nya dengan Kirana yang belum mendapatkan balasan.

Tidak lama kemudian Bagas merasa ada kedua tangan menepuk bahunya lembut, ia dongakkan kepalanya. Ternyata itu Kanes adiknya, ia menarik kursi di samping Bagas dan duduk di sana.

“Mas berantem lagi sama Ibu?” Tanya Kanes, dia membuka satu persatu kotak berisi jajanan pasar yang tadi Bagas taruh.

“Iya,” jawab Bagas sekena nya.

“Soal Mbak Kirana?” Tebak Kanes.

Bagas mengangguk, “besok pas ulang tahun Ibu, Mas ngajak Mbak Kirana kesini. Kamu temenin dia yah, Nes.”

Awalnya Bagas enggak mau ngajak Kirana ke rumahnya dalam rangka acara ulang tahun Ibu, tapi Kirana memaksa. Wanita itu bilang justru di saat-saat seperti itulah Kirana harus hadir agar dapat merebut hati Ibunya, Bagas pikir ada benarnya juga, walau sedikit takut jika Kirana akan mendapatkan perlakuan yang buruk. Pada akhirnua Bagas menyetujui hal itu.

Makanya dia nyuruh Kanes buat nemenin Kirana besok jika wanita itu datang ke pesta ulang tahun Ibunya, ia tidak ingin Kirana sendirian dan merasa di asingkan terlebih besok ada Asri. Ibu pasti akan lebih sering bersama Asri.

Kanes senyum, tentu saja Kanes akan dengan senang hati menemani Kirana. “Iya tenang aja, ntar aku temenin kok. Terus kenapa muka Mas kusut kaya gitu? Kaya kemeja belum di setrika tau gak?”

“Kirana liat Mas sama Asri di restoran waktu kami lagi ambil pesanan.” Bagas menggeleng, “Mas juga enggak tau kenapa dia bisa ada di sana sih, sama atasan Mas di kantor pula. Tapi yah, buat saat ini yang Mas takutin tuh cuma Kirana salah paham aja sama Mas.”

Kanes yang lagi makan risol yang dia ambil itu langsung menyenggol kaki kakak nya itu dari bawah meja. “Samperin lah, Mas. Jelasin, ntar keburu Mbak Kirana salah paham. Sana buru samperin.”

“Ibu nyuruh Mas nemenin Asri ngobrol,” Bagas sedikit berbisik, takut Ibu ataupun Asri yang sedang memeriksa barang-barang mereka beli di ruang tamu dengar.

“Mbak Asri biar aku yang nemenin, udah sekarang Mas pergi aja ketemu sama Mbak Kirana dulu.”

“Beneran?” tanya Bagas sekali lagi, Adiknya itu memanglah pengertian. Kanes adalah satu-satunya orang yang mendukungnya dengan Kirana.

“Iya beneran, kalo nanti Ibu nanya, aku bilangnya Mas Bagas pergi sama Mas Satya.”

Bagas tersenyum, tangan besarnya itu terulur mengusap pucuk kepala Kanes dengan gemas. Enggak menyangka Adik kecil yang selalu ia lindungi itu kini sudah bisa di ajak kongkalikong dengannya.

“Baik banget sih! Yaudah Mas pergi dulu yah.” baru saja Bagas menyambar kunci mobilnya kembali, tangan kirinya langsung di tahan oleh Kanes.

“Pulangnya beliin roti bakar yah.” Kanes menatapnya dengan mata yang berbinar-binar, persis anak kecil yang di janjikan makanan manis.

“Iya, ntar Mas beliin.”


“Sekali lagi terima kasih, Pak.” Kirana membuka seatbelt miliknya.

“Sama-sama, Na.”

“Kalo gitu, saya masuk ya, Pak. Bapak hati-hati di jalan.” Kirana hendak membuka pintu mobil milik Raga, namun pria itu menahan tas miliknya.

Kirana menoleh kembali, kedua mata mereka saling bertemu tapi kali ini Raga terlihat kikuk. Dengan cepat ia menarik tangannya dari tas milik Kirana.

“Ada apa, Pak?”

“Na, kalau ada sesuatu yang kamu mau tanyakan.” Raga berhenti sebentar, dia sendiri enggak mengerti kenapa rasanya canggung dan degup jantungnya menggila saat Kirana menatapnya.

“Soal mimpi kita,”

“Ya?” Kirana mengangguk, menunggu kalimat Raga seterusnya. Ia yakin ada kata-kata lanjutan yang ingin Raga ucapkan padanya.

“Mak..maksud saya, kita bisa cari tahu ini sama-sama. Tentang, Ayu, Jayden atau soal reinkarnasi,” lanjut Raga.

Kirana mengangguk, tentu saja ia akan sering-sering bertanya pada Raga mengenai mimpinya. Karena Raga satu-satunya orang yang bisa mengerti dirinya saat ini, maksudnya karena mereka mengalami hal yang sama Raga jauh pasti lebih mengerti kan? Pikir Kirana.

“Iya, Pak. Saya pasti tanya sama Bapak.”

“Maaf kalo terdengar gak masuk akal soal apa yang saya cari tau, Na.”

Menurut Raga begitu, bahkan Mbak Adel saja yang ia ceritai lebih dulu mengenai mimpinya, Jayden dan reinkarnasi saja tidak semerta-merta percaya. Walau pada akhirnya Mbak Adel sedikit percaya sama penjelasan Raga, itu pun Raga harus mengumpulkan bukti-buktinya tentang seseorang yang bisa saja reinkarnasi dari tokoh di masa lalu. Raga bersusah payah mengumpulkan jurnal-jurnal hanya untuk membuktinya sendiri, jika mimpinya adalah israyat kehidupannya di masa lalu.

“Seenggaknya saya lebih percaya sama yang Bapak bicarain, kalau gitu saya masuk yah, Pak.” Kirana berpamitan, sejujurnya ia ingin membicarakan hal ini lebih banyak namun suasana hatinya belum membaik pasca ia melihat Bagas bersama wanita lain. Bagas hutang penjelasan padanya.

“Iya, silahkan.”

Kirana menunduk dengan sopan, kemudian membuka pintu mobil Raga dan berlalu dari sana. Kirana enggak langsung masuk ke dalam rumahnya kok, dia menunggu hingga mobil yang Raga kendarai keluar dari pekarangan rumahnya. Setelah itu, barulah ia masuk ke dalam rumah.

Namun belum sampai ia menutup pintu rumahnya, mobil milik Bagas bergantian memasuki pekarangan rumahnya. Kirana jadi mengurungkan niatnya dan berjalan kembali ke teras, Bagas keluar dari dalam mobilnya dengan wajah penuh bersalah khas miliknya. Pria itu juga berlari kecil agar cepat sampai di teras rumah Kirana.

“Sayang, baru pulang?” Tanyanya.

“Duduk.” Kirana melirik ke arah kursi yang ada di teras rumahnya, memberi isyarat pada Bagas agar mereka bicara sambil duduk di sana.

“Aku baru sampai rumah, Gas.” Jawabnya, ketika ia dan Bagas sudah duduk.

“Sama Pak Raga?”

Kirana mengangguk, “um.”

“Sayang, aku mau jelasin soal perempuan yang di resto tadi.” Dada Bagas sedikit naik turun, ia perlahan mengatur nafasnya. Mungkin karena tadi ia sedikit berlari saat hendak menghampiri Kirana.

Ah iya, rumah Kirana cukup luas. Satu-satunya peninggalan dari Bapak yang hanya bisa Kirana dan Ibu pertahankan. Meski tidak banyak barang-barang di dalamnya, hampir semuanya ludes di jual oleh Ibu dan Kirana untuk membayar hutang.

Rumah Kirana itu ada 2 lantai, 4 kamar tidur yang terletak di lantai 1 dan 2, terdapat taman yang cukup luas juga di depannya. Terlebih rumah Kirana itu di penuhi pepohonan yang menjadikan rumah itu sendiri terlihat sejuk. Ibu suka sekali menanam tanaman apa saja, mulai dari tanaman hias hingga herbal.

(Visualisasi rumah Kirana.)

Kalau kata Almira yang sudah pernah ke rumah Kirana tuh, rumahnya Kirana mirip rumah Indis, dasar-dasarnya seperti rumah arsitektur Eropa hanya saja ruangnya lebih tinggi dan jendela nya lebih banyak untuk menyesuaikan pada iklim tropis. Ya, tapi memang seperti itu adanya. Rumah ini Bapak sendiri yang mengusung konsepnya bahkan mendesainya sendiri, walau terbilang sarjana arsitektur, Bapaknya Kirana justru terjun ke dunia bisnis yang sama sekali bukan ranahnya, entah apa alasannya hanya Bapak yang tahu.

“Dia teman kamu kan, kan kamu udah jelasin ke aku tadi,” jawab Kirana santai, seolah-olah hal itu bukan gangguan baginya meski dalam hati dia sendiri menuntut Bagas untuk segera menjelaskan. Kirana memang begitu.

“Iya temanku, maaf aku gak bilang kalau aku di suruh Ibu buat nemenin dia ambil snack di resto,” jelas Bagas.

“Iya, gapapa. Tapi kan sekarang kamu udah bilang.”

“Kamu marah yah?”

Kirana menggeleng, “enggak marah, Gas. Cuma jadi gak mood aja buat aku kenapa kamu gak bilang dari awal.”

Kedua bahu Bagas merosot, memang ini semua salahnya. Harusnya dia bisa bicarakan ini dari awal agar Kirana enggak berpikiran macam-macam, ya walau siapa sangka justru mereka bertemu di sana.

“Maafin aku, aku sama Asri gak ada apa-apa. Bahkan kami enggak dekat, dia cuma teman SMP ku aja dulu. Yang kebetulan orang tua nya memang kenal sama orang tuaku.”

Kirana terkekeh, meski suasana hatinya belum kunjung membaik. Setidaknya Bagas sudah menjelaskan perihal Asri padanya, ia yakin Bagas jujur dan Kirana percaya dengannya. Kirana itu dewasa dan enggak mau ambil pusing persoalan, yang terpenting baginya Bagas jujur dan ia akan percaya. Dia gak mau memperumit persoalan.

“Iya sayang, iya.”

“Udah gak marah kan?”

“Loh dari tadi aku gak marah, aku kan cuma bilang kalo gak mood aja. Bukan berarti marah kan?” Kirana menaikan satu alisnya.

“Iy..iya, tapi aku jadi enggak enak sama kamu.” wajah bersalah Bagas masih terukir disana, membuat Kirana berdiri dari kursinya dan mengajak pria itu untuk masuk ke dalam rumahnya.

“Jangan di bahas lagi yah, aku bikinin teh apel mau? Tadi aku di beliin pie susu sama Pak Raga.” Kirana terkekeh, ia mengeluarkan paper bag berisi pie susu yang Raga belikan untuknya, Raga membeli pie susu awalnya untuk keponakannya namun siapa sangka jika pria itu juga membelikan Kirana.

“Kamu tadi bisa ketemu dia di klinik gimana ceritanya, sayang?” Bagas duduk di meja pantry, memperhatikan Kirana menata pie susu itu di atas piring.

“Dia pasiennya dokter Annelies juga.”

“Hah?! Serius?” pekik Bagas kaget bukan main.

Kirana mengangguk, “iya, serius. Udah dua kali aku ketemu sama dia, kebetulan hari dan jam konsul kita selalu sama.”

“Dia sakit?” Bagas menggeleng kepalanya, merasa kalimat itu kurang tepat. “Ma..maksud aku, dia ada masalah sama psikisnya juga?”

Kirana yang sedang membuatkan teh apel untuk Bagas itu berhenti, dia ingin bercerita mengenai mimpinya dan Raga yang sama dan segala hal tentang reinkarnasi yang Raga cari tahu sendiri. Tapi mungkin topik ini akan sangat sensitif bagi Bagas, mengingat Ayu dan Jayden di dalam mimpinya dan Raga adalah sepasang kekasih.

“Ak..aku kurang paham kenapa. Aku enggak tanya-tanya ke dia.”

Bagas mengangguk kecil, “hhmm.. Terus tadi kamu ke resto sama dia ngomongin apa? Kerjaan?”

Kirana mengulum bibirnya, kepalanya memutar otak bagaimana membuat alibi pada Bagas. Ia tidak mungkin mengatakan yang sejujurnya mengenai apa saja yang ia bicarakan pada Raga di sana, selain terdengar tidak masuk akal itu mungkin akan membuat Bagas cemburu.

“Soal efek dari obat yang dokter Annelies kasih ke aku, ak..aku cuma tanya-tanya soal obatnya aja. Sama soal proyek yang di pegang Bang Satya.”

“Yang di Surabaya itu?”

“Um,” Kirana mengangguk.

“Aku kira apa.” Bagas tersenyum, ia kemudian menyesap teh yang sudah Kirana buatkan untuknya.

Bersambung...

Kanesa Kamala Sura

Samarang, 1898.

Pagi itu cuitan dari burung yang hinggap di jendela kamar Ayu, serta kokokan ayam milik Romo seperti sebuah suara ternyaman bagi Ayu dari pada suara celoteh dan kekehan yang memenuhi penjuru ruang tamu rumahnya. Di temani oleh Ibu nya Adi, Ayu di dandani secantik mungkin dengan riasan sederhana yang tampak anggun di wajah dahayunya.

Rambut panjang itu di kepang, di hiasi melati-melati yang Ibu nya Adi ambil dari kebun tak jauh dari rumahnya. Tak ada senyum pada wajah dahayu itu, wajahnya temaram bagai malam yang hanya di sinari oleh sedikit cahaya dari rembulan.

Di depan sana ada keluarga dari pria yang akan melamar Ayu, anaknya Bupati Soerabaja yang bernama Dimas. Ayu agak sedikit lupa pada parasnya karena mereka hanya bertemu sekilas saat pengangkatan bupati dulu, sudah seminggu ini ia tak dapati kabar Jayden sedikit pun. Bahkan untuk bertemu dengan Adi pun sulit.

Romo melarang Adi bertemu dengan Ayu karena Adi di anggap sekongkol dengan Jayden. Pria itu di pindah kerjakan oleh Romo nya untuk berjaga di ladang yang jauh dari rumah Ayu berada, hanya sekali Ayu bertemu dengan Adi ketika malam hari. Adi hanya mengatakan jika ia baru saja di beri tugas untuk mengantarkan surat ke kediaman Asisten Residen, ya, kediaman Jayden.

Namun Adi tidak tahu apa isi surat itu, ia hanya di tugaskan untuk mengantar oleh Tuan Gumilar kemudian kembali ke ladang tanpa di perbolehkan berbincang banyak oleh Jayden.

sampun rampung, Raden Ayu,” ucap Ibu nya Adi setelah riasan pada rambut Ayu tertata dengan rapih.

Ayu mengangguk kecil, “matur suwun, Buk.”

Bisa terlihat dari raut wajah Ayu yang tidak ada senyum sedikitpun, Ibu dari Adi itu ingin sekali menyematkan kata penenang pada wanita muda yang malang itu. Namun sayangnya, Ibu dari Ayu sudah datang. Masuk ke kamar Ayu untuk menjemput Ayu dan di perkenalkan pada pihak dari keluarga laki-laki.

Wis rampung, nduk?” panggil Ibu.

Ayu tidak menjawab, hanya mengangguk kecil kemudian berdiri dan menghampiri Ibu. Sungguh pasrah dirinya, mau memberontakpun bisa apa ia? Ia hanya seorang wanita, terlebih Ayu tidak tangguh karena sakit yang di deritanya. Ayu tidak dapat hidup sendiri tanpa kedua orang tua nya jika ia memberontak.

Ayu di bawa Ibu keluar dari kamarnya, di genggam tangan kurus itu dan di pamerkan ia di depan keluarga Dimas. Ayu melirik sekilas pada wajah pria yang kelak akan menjadi Suaminya, wajahnya memanglah tampan, namun entah mengapa seperti ada yang mengganjal baginya.

“Duduk di sebelah sana, nduk.” Ibu menyuruh Ayu untuk duduk di sebelah Dimas.

Ayu menurut, ia duduk di sebelah pria itu dengan wajah menunduk tanpa senyuman. Hanya Ayu dan Ibu yang tidak tersenyum di ruangan itu.

“Cantik,” bisik Dimas tepat di sebelah Ayu. Walau Ayu tetap bergeming.

“Jadi kita segerakan saja acara pernikahannya,” ucap Ayah Dimas, dia adalah Bajradaka Dhinakara seorang Bupati Soerabaja sekaligus saudagar, ya Ayah dari Dimas itu memiliki toko kopi yang besar di Soerabaja.

“Bulan depan adalah bulan yang baik untuk menikahkan keduanya, menurut perhitungan saya rezeki mereka akan lancar jika menikah di tanggal 12, Bagaimana?” Tanya Romo.

Sungguh, Ayu rasanya ingin menangis. Matanya sudah memanas dan yang bisa ia lakukan hanyalah meremat kain yang ia pakai. Ia tidak ingin menikah dengan pria yang tidak ia cintai.

“Kau mau menemaniku melihat-lihat kebun milik Romo mu, Ayu?” Tanya Bagas. Ia menyerahkan begitu saja perihal pernikahan kepada kedua orang tua mereka.

Karena tidak tahan ingin sekali menangis, Ayu akhirnya mengangguk kecil. Setelah Dimas berpamitan kepada kedua orang tua mereka, keduanya berjalan di kebun milik orang tua Ayu.

“Kau tampak tak begitu nyaman berada di tengah obrolan orang tua kita ya?” Ucap Dimas tanpa aba-aba. Ayu berjalan di belakangnya, sementara Dimas berjalan di depan sembari kedua tangannya memangku di belakang.

“Sedikit,” cicit Ayu.

Ucapan Ayu itu membuat Dimas berhenti berjalan dan menoleh ke arah Ayu, dan ini untuk pertama kalinya kedua netra milik pasangan pribumi itu saling pandang. Dimas sudah jatuh cinta pada saat Ibu nya Ayu membawa wanita itu keluar dari kamarnya.

“Cantik, kau benar-benar cantik. Suaramu lembut, tak salah aku mau di jodohkan dengamu,” gumamnya sembari tersenyum.

“Jika aku tidaklah cantik, apa kau akan tetap mau di jodohkan denganku?” Yang Ayu nilai dari Dimas adalah, Dimas selalu memuji parasnya hanya itu. Tak ada hal lain yang Dimas puji darinya.

“Tergantung, tapi mungkin tidak. Aku tidak mau di jodohkan dengan pribumi jika tidak memiliki paras cantik. Lebih baik aku menikah dengan wanita Eropa.”

Mendengar hal itu, Ayu hanya bisa menggelengkan kepalanya tidak menyangka. Dimas begitu arogan, mungkin ini alasan kenapa sedari tadi Ayu merasa ada yang mengganjal saat ia pertama kali melihat Dimas di ruang tamu.

Ayu tidak lagi mengikuti langkah kaki Dimas yang masih sibuk menyusuri kebun milik Romonya, ia justru terdiam saat kakinya tak sengaja menginjak sesuatu. Melihat Dimas yang semakin jauh, Ayu justru beringsut untuk berjongkok dan mengambil benda yang ia injak barusan.

Itu adalah sebuah cincin, cincin yang di berikan Jayden tempo hari. Yang di buang oleh Romo nya dan Ayu menemukannya di kebun ini. Di ambil nya cincin itu dan Ayu bersihkan, hatinya sedikit lega karena telah menemukan benda pemberian Jayden kembali. Saking bahagianya telah menemukan kembali cincin itu, Ayu menitihkan air mata. Ia peluk cincin itu dalam genggam jemarinya.

“Kau kenapa bersimpuh, apa yang kau lakukan Ayu?”

Ayu yang masih terisak itu beringsut mendongakkan kepalanya. Itu Dimas ternyata, ia buru-buru bangun dan menyembunyikan cincin itu di belakang tubuhnya. Masih ia genggam erat cincin itu, akan ia simpan dengan baik.

“Bukan apa-apa, Mas.”

“Kau menangis? Apa yang kau sembunyikan dariku?” arca wajahnya menyatu, kening itu mengkerut menatap Ayu dengan bingung. Dimas maju selangkah, rasa penasarannya itu membuatnya membalikan tubuh Ayu, ia ingin tahu apa yang Ayu sembunyikan darinya.

“apa yang kau sembunyikan?!”

“Bukan apa-apa, Mas.” Ayu masih bersikeras untuk menyembunyikan cincin itu. Meski Dimas masih terus berusaha mengambil cincin itu darinya.

“Kalau bukan apa-apa, biarkan aku melihatnya,” ujarnya teguh pada pendiriannya.

Ayu menggeleng, karena sedikit jengkel dengan cepat Dimas menarik Ayu membalikan tubuh wanita kurus itu dan mengambil cincin yang ada pada genggaman Ayu. Tenaga Dimas itu besar, Ayu yang tidak sekuat itu langsung kalah darinya.

“Mas, kembalikan!” Ayu berusaha menggapai cincin itu dari tangan Dimas.

“Cincin ini?” Dimas seperti mengenali cincin itu, tidak asing baginya seperti ia pernah melihat seseorang membeli cincin itu. “Jayden?”

Mendengar nama Jayden di sebut, Ayu terdiam. Tangannya tak lagi berusaha meraih cincin yang ada pada genggaman Dimas lagi, kedua matanya membulat. Ia tidak salah dengar, Dimas benar-benar menyebut nama Jayden bukan?

“Kau kenal Jayden?” tanya Dimas.

Ayu tidak menjawab, bibirnya bergetar. Seharusnya ia tidak sekaget itu ketika Dimas menyebut nama Jayden. Biar bagaimana pun orang tua Dimas adalah Bupati Soerabaja dan Jayden turut di undang dalam rangka hari pengakatannya. Tentu saja harusnya mereka saling mengenal.

“Kembalikan cincin miliku, Mas.” Ayu memegang lengan Dimas, memohon pada calon Suaminya itu agar di kembalikannya cincin miliknya itu.

“Kau kekasihnya Jayden?” ucap Dimas tanpa di sangka-sangka, ada seringai jahil di sudut bibirnya.


Sudah dua hari ini pria Belanda itu masih termenung ketika selesai dengan pekerjaanya, memandangi surat yang di tulis tangan oleh orang tua dari wanita yang ia cintai. Otaknya membeku mendapati penolakan, padahal harusnya ia sudah siap jika mendapatkan penolakan.

Karna pada dasarnya tidaklah mudah menikahi pribumi dari kalangan bangsawan, bahkan jika keluarga besarnya tahu pun Jayden bisa menebak ia pasti akan mendapatkan penolakan. Bahkan ia pun bisa di pulangkan ke negaranya.

Jayden kembali menarik laci di meja kerjanya, menyimpan surat itu di sana kemudian menguncinya. Tubuh tegap nan tinggi itu menelusuri lorong kantor keresidenan, ia hendak pulang ke kediamannya. Kalau ingatannya tidak salah, hari ini seharusnya Jacob kembali untuk memeriksa bibit-bibit bunga melati yang di tanam di taman samping kediamannya.

“Kita kembali ke rumah, meneer?” tanya kusir pribadinya ketika Jayden keluar dari kantor keresidenanya. Pria yang hanya berbeda 5 tahun darinya itu sudah menjadi kusir yang setia bagi Jayden.

“Iya, Pak. Langsung kembali ke rumah saja,” jawabnya lesu.

Di bukakan pintu dokar itu dan Jayden masuk ke dalamnya, begitu dokar itu hendak akan meninggalkan kantor keresidenan Samarang. Ada dokar lain yang berlawanan arah dengannya, kusir yang mengendarai dokar milik Jayden itu menarik tali kuda miliknya agar dokar itu berhenti.

wonten menapa, Pak?” tanya Jayden dengan sopan sewaktu dokar mereka berhenti.

“*Nguwun pangapunten, meneer. ada dokar lain yang berhenti di depan kita.”

Jaydan tak menanggapi lagi ucapan kusir nya itu, ia membuka pintu dokarnya dan keluar dari dalam dokar mewah yang ia tunggangi. Ternyata dokar yang berhenti di depan dokarnya adalah dokar milik Dimas, kawan Jayden sekaligus anak Bupati Soerabaja itu sudah tiba di Samarang rupannya.

Ik wilde je eigenlijk op kantoor ontmoeten, maar blijkbaar hebben we elkaar hier ontmoet.” (aku sebenarnya ingin menemuimu di kantor, tapi kita malah bertemu disini.) Dimas tersenyum pada Jayden, wajah khas angkuhnya itu menatap Jayden penuh percaya diri.

“Kau sudah di Samarang rupanya,” ucap Jayden.

Dimas mengangguk, “sejak kemarin. Mungkin besok aku akan segera kembali ke Soerabaja untuk mengurus pernikahanku.”

“Kapan kau akan menikah?”

Dimas menyeringai, “bulan depan, akan ku pastikan kau datang. Ah, tunggu sebentar ada seseorang yang ingin aku kenalkan padamu.” Dimas menunjuk dokarnya sendiri.

Jayden memang melihat ada siluwet wanita dengan kebaya berwarna putih duduk di kursi dokar Dimas, wajahnya menunduk jadi Jayden tidak bisa melihat jelas siapa wanita yang duduk dengan tidak nyaman disana.

“calon istrimu?” Jayden menaikan satu arca wajahnya dan menebak.

“benar,” Dimas menjentikkan tangannya, ia taruh satu telunjuknya itu tepat di dada Jayden. “Kau pasti akan terkejut saat tahu siapa calon Istriku, meneer.

Tak ada pikiran apapun dalam kepala Jayden, seluruh pemikirannya sudah tersita bagaimana ia bisa mendapatkan hati orang tua Ayu dan dapat menikahi wanita itu. Ia bahkan tidak berminat menebak siapa wanita yang di jodohkan oleh orang tua Dimas itu.

Pria pribumi angkuh itu menjauh dari Jayden, membuka pintu dokar miliknya dan menarik tangan wanita yang ia bilang akan menjadi calon Istrinya itu. Dan betapa terkejutnya Jayden ketika ia melihat siapa wanita yang keluar dari dalam dokar itu, matanya membulat dan kedua kakinya begitu saja melangkah mendekat ke arah wanita itu.

“Raden Ayu?” gumam Jayden.

Namun belum sempat Jayden mendekat ke arah Ayu, Dimas sudah langsung menempatkan Ayu tepat di belakang tubuhnya. Menghalangi Jayden dan Ayu untuk saling bertatapan secara langsung.

“Wah.. Kalian langsung saling mengenal?” Dimas geleng-geleng kepala. “Is hij jouw minnaar?” (apakah dia kekasihmu?)

Jayden tidak menjawab, kedua bahu tegapnya itu naik turun menahan amarahnya. Ia bukan marah dengan Ayu tapi dengan keadaan yang sungguh tak adil baginya, Jayden bukan merasa pria yang lebih baik dari pada Dimas. Tapi setidaknya ia bukan penjudi, pemabuk dan perokok berat.

Dan lagi pula, Jayden mengenal betul bagaimana Dimas memperlakukan seorang wanita. Ia tidak bisa bayangkan seperti apa nanti jika Ayu akan menikah dengan pria pribumi angkuh itu.

“Dia kekasihku,” ucap Jayden penuh penekanan.

Dimas terkekeh, ia menatap Jayden dan Ayu yang masih terus menunduk secara bergantian. “Kau kekasihnya, Ayu?”

Ayu hanya diam, ia masih bergeming. Ia menahan dirinya untuk tidak menangis atau berlari ke pelukan Jayden. Ah, tidak. Menatap pria Belanda itu pun Ayu tidak sanggup. Jayden pasti sudah membaca isi surat penolakan peninanganya yang Romo tulis.

“Dimas, biarkan Aku dan Raden Ayu berbicara sebentar saja,” Jayden memohon. Ia ingin sekali bicara sebentar dengan Ayu, mengatakan pada wanita itu jika Ayu hanya perlu bersabar dan Jayden akan mengusahakan segala cara agar mereka bisa bersama.

“Biarkan aku dan Sir Jayden bicara sebentar, Mas.” gumam Ayu.

Dimas menoleh ke arah wanita itu, karena sudah di jodohkan dan hendak menikah dalam waktu dekat, Dimas merasa Ayu adalah miliknya. Ada rasa egois dan desiran kecemburuan ketika ia mengetahui jika kekasih yang di maksud Jayden adalah Ayu. Niatnya pun datang menemui Jayden dengan membawa Ayu adalah untuk memamerkan Ayu pada Jayden, bahwa ia menang atas wanita pribumi yang di cintai pria Belanda itu.

Kalau boleh jujur, Dimas tidaklah begitu tulus berteman dengan Jayden. Terkadang ada saat-saat dimana ia membenci sikap Jayden yang menurutnya naif dan sok ramah terhadap pribumi, dan saat ini adalah saat yang paling tepat menurut Dimas untuk bisa melihat Jayden terluka atas miliknya yang Dimas rebut.

“Bicaralah di belakang dokar ini. Aku tidak mengizinkan kalian bicara terlalu lama.”


Jakarta, 2025.

Raga mengerjapkan matanya, masih terasa mengantuk namun alarm yang sudah ia atur di ponselnya itu terus berdering. Setelah mematikan alarm miliknya, pria itu bangkit dari ranjangnya. Raga menghela nafas, mimpinya semalam menggantung karena alarm yang sudah berdering.

“Apa Kirana juga mimpi di tempat yang sama?” gumam Raga, maksudnya adalah apakah Ayu dalam mimpi Kirana juga bertemu dengan Jayden di kantor keresidenan.

Pria itu mengusap wajahnya gusar, ia bangun dari ranjangnya dan segera bergegas ke kamar mandi. Ada meeting hari ini dengan para petinggi untuk membicarakan proyek besar yang akan di garap oleh kantor tempat Raga bekerja.

Setelah selesai dengan sarapannya pagi ini, Raga langsung bergegas menuju kantor nya. Untung nya pagi ini jalanan tidak begitu padat, maklum saja kantor tempat Raga bekerja dengan rumahnya adalah kawasan perkantoran jadi Raga sudah tidak kaget jika ia kerap kali terjebak kepadatan Jakarta di jam masuk kerja dan pulang kerja.

“Pagi, Pak.”

“Pagi.” sapa Raga pada bawahan yang tidak sengaja berpapasan dengannya. Ia sedang menunggu lift untuk sampai ke ruangannya berada.

“Pagi Pak Raga!” sapa Almira, Bagas dan Kirana bersamaan. Membuat Bagas yang sedang melihat surel yang masuk di ponselnya itu menoleh.

“pagi,” Raga menoleh ke arah bawahan-bawahannya, tidak sengaja netra nya bertemu dengan Kirana yang juga tengah menatapnya. “Kirana?”

“Ya, Pak?”

“Bisa bicara sebentar?” bukan hanya Kirana saja yang bingung, Bagas dan Almira pun sama bingungnya.

Kirana menoleh, “bisa, Pak.”

Raga mengangguk pelan, kebetulan sekali lift terbuka bersamaan dengan karyawan-karyawan lain yang juga keluar dari dalam lift. “Bagas, Almira. Saya pinjam Kirana sebentar yah, kalian naik duluan saja.”

Bagas mengangguk kecil, meski dalam hati ia sangat penasaran apa yang akan Raga bicarakan dengan wanitanya itu. Bagas bukan cemburu kok, hanya saja dia penasaran. Begitu Kirana mengikuti langkah kaki Raga menuju loby kantor mata Bagas masih terus menatap punggung keduanya, di kepalanya terus bertanya-tanya tentang apa yang keduanya bicarakan.

Bahkan saat lift nya hampir tertutup pun Bagas sempat mengeluarkan sedikit kepalanya, membuat Almira harus menarik pria itu agar kepalanya tidak terjepit pintu lift.

“Udah gak usah cemburu gitu ah, sama Pak Raga doang. Paling juga ngomongin kerjaan, Mas,” ucap Almira menenangkan hati Bagas. Ya siapa tahu saja seniornya itu cemburu kan.

“Dih, siapa yang cemburu. Justru gue kepo mereka tuh mau ngomongin apa sampe harus ngomong di luar gak di kantor gitu.” Bagas memang gak cemburu, dia cuma heran aja kenapa Raga harus membawa Kirana untuk bicara di luar kantor. Bicara mengenai apa? Personal kah? Atau urusan pekerjaan? Pikir Bagas campur aduk.

“Yah paling urusan kantor, kan Mbak Kirana sekarang tuh lagi bantu handle proyek yang di Surabaya juga. Yah emang di pegang sama Bang Satya sih, tapi kan itu proyek aslinya di pegang Mbak Kirana.”

“Ck, Bukan gitu, Ra.” Bagas berdecak, Almira ini enggak mengerti menurutnya. Ya memang bisa saja mereka membicarakan urusan proyek, tapi kenapa harus di luar kantor?

“Terus apa?”

Bersamaan dengan pertanyaan Almira, pintu lift terbuka. Mereka buru-buru keluar dari sana dan berjalan ke meja mereka bersamaan, kebetulan Bang Satya juga belum datang jadi keduanya bisa berdiskusi soal Raga dan Kirana.

“Mereka tuh sempat ngobrol juga di luar jam kantor, Kirana bilang alasannya juga ngomongin proyek yang di Surabaya sih. Tapi maksud gue kenapa harus di luar jam kerja dan pas weekend? dan sekarang mereka kaya lagi meeting berdua.”

“Ck ck ck ck,” Almira berdecak, wanita itu juga menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia udah bisa baca kalau seniornya itu benar-benar cemburu buta, tapi yang bikin Almira enggak nyangka tuh kenapa cemburunya harus sama atasan merereka?

“Lo tuh cemburu boleh-boleh aja, Mas. Kata gue tapi liat-liat orangnya juga lah. Masa iya sama Pak Raga sih? Gila banget.”

“Astaga, Almira Kusuma Djayanti berapa kali gue bilang gue gak cemburu,” Bagas mengoreksi.

“Cemburu itu pasti cemburu.”

“Terserah lu dah bocil.” Bagas menghela nafasnya putus asa, ia buru-buru menyalakan monitor miliknya. Ada file yang harus ia kirim pagi ini ke TL nya yang baru.

“Mas, serius deh. Mbak Kirana tuh sayang banget tau sama lo, lo jangan curiga-curiga gitu ah gak baik,” Almira menasihati.

“Udah tau, udah kerja bocil. Dikit lagi Pak boss dateng,” Bagas masih fokus pada deretan file di monitor miliknya tanpa menoleh ke arah Almira, wanita itu lagi mencatok rambutnya. Kebiasaan Almira setiap pagi.

“Ih serius gue ini mah, tau gak semalam Mbak Kirana tuh telfon gue tau.”

“Paling lo curhat kan sama dia? Tentang cowok dari hasil main Tinder lo itu ya?” Tebak Bagas acuh tak acuh.

“Sok tau!!” Almira mendengus. “Dia tuh tanya enakan bikin brownies atau bikin blackforest buat di bawa ke pesta ulang tahun Ibu nya Mas Bagas.”

Ucapan dari Almira itu berhasil membuat atensi Bagas yang tadinya fokus pada layar monitornya kini berpindah pada Almira yang masih sibuk berkaca sembari mencatok rambutnya.

“Serius?”

Almira mengangguk kecil, “dia bilang dia tuh udah nyiapin hadiah buat Ibu lo juga, terus mau bikin kue sendiri karna dia ngerasa ini tuh buat orang yang spesial. Jadi harus di buat sendiri, effort banget kan dia tuh demi calon mertua.”

Di kursinya Bagas tersenyum kecil, Kirana benar-benar sedang berusaha mempertahankan hubungan mereka. Mengambil hati orang tuanya agar mereka mendapatkan restu.

Bersambung...

Raga dan Kirana akhirnya sepakat untuk bicara berdua di rooftop kantor, untungnya di sana cukup sepi hanya ada mereka berdua saja. Karena karyawan-karyawan yang berada di gedung ini memang di sibukan di pagi hari di ruang kerja mereka masing-masing. Waktu mereka berdua tidaklah banyak, karena setelah ini Raga harus meeting dengan para petinggi kantor.

Setelah itu pun ia masih harus memantau proyek yang berada di daerah Tanggerang, makanya waktunya untuk bertemu dengan Kirana hanya di pagi hari ini saja. Keduanya berdiri menatap gedung-gedung tinggi perkantoran sembari di temani udara yang masih cukup sejuk untuk kota Jakarta pagi itu, semilir angin seperti menjadi saksi bisu keduanya membahas sisa masa lalu dari isyrat mimpi yang keduanya alami.

“Mimpimu sudah sampai mana, Na?” Tanya Raga to the point memang itu yang ingin ia tanyakan sedari tadi.

“Bapak ajak saya ke sini untuk bertanya kelanjutan mimpi kita dan mencocokannya?”

Raga mengangguk.

Kirana menghela nafas, memang itu kesepakatan mereka. Memecahkan misteri mimpi yang mereka berdua alami, “semalam saya bermimpi Ayu bertemu dengan calon Suaminya.”

“Anak dari Bupati Surabaya itu?” Tebak Raga.

Kirana mengangguk, wajahnya berubah menjadi sendu. Teringat akan wajah pria dalam mimpinya, pria pribumi angkuh yang akan segera menikahi Ayu. Mengingatnya saja membuat Kirana bergedik, memikirkan nasib Ayu kelak jika menikah dengan pria yang lebih banyak main-main seperti itu.

“Dimas namanya, Pak.”

“Mereka akan menikah bulan depan, Bukan?”

“Bapak tahu?”

Raga menghela nafasnya, “Kirana, di mimpi saya kamu dan Dimas datang ke kantor Residen. Dimas memamerkan kamu sebagai calon Istrinya, apa kamu juga sudah mimpi sejauh itu?”

“Iya, dalam mimpi saya pun saya bertemu Bapak.” Kirana masih ingat jika Dimas membawa Ayu ke kantor Residen dengan sedikit paksaan, bahkan pria itu tidak segan-segan menyeret Ayu.

“Kalau begitu kita berada di bagian mimpi yang sama, Pak,” lanjut Kirana.

“Kamu sudah cari tahu tentang Ayu?”

Mendengar pertanyaan Raga, Kirana justru terdiam. Ia meremat tali tas yang ia kenakan, mengingat semalaman suntuk ia mencari tahu tentang Ayu. Meskipun agak sedikit sulit tapi setidaknya Kirana menemukan titik terang tentang Djenar Ayu Astutiningtyas.

Ayu bukanlah tokoh penting di negeri ini, jadi tidak banyak orang yang membuat biografi mengenainya dan membahasnya. ia hanya di kenal sebagai Istri dari anak Bupati Surabaya dan anak dari seorang saudagar pemilik toko distribusi roti pada zaman kolonial.

“Tapi enggak banyak yang bahas mengenai Ayu, Pak. Karena dia bukan tokoh penting di negeri ini, enggak seperti Jayden.”

“Apa yang kamu tahu tentang dia, Na?” Raga hanya ingin mencocokannya dengan hal-hal yang ia temukan tentang Jayden. Ia pikir itu adalah satu-satunya cara agar mereka tahu isyarat tentang mimpi mereka.

“Yang saya tahu, Ayu hanya anak dari saudagar pemilik toko yang mendistribusikan roti untuk para tentara Kolonial. Dan Istri dari Dimas, waktu itu Dimas di gadang-gadang akan menggantikan posisi Ayahnya. Hanya itu saja,” jelas Kirana.

“Yakin cuma itu aja, Na?”

Kirana menunduk, ia mengulum bibirnya. Ada hal lain yang membuatnya ingin bercerita tentang Ayu pada Raga. Namun entah kenapa rasanya dadanya bergemuruh, merasakan sedikit sesak tentang apa yang ia ketahui akhir dari kehidupan wanita bernama Ayu di masa lampaunya.

“Na?” Panggil Raga sekali lagi, waktu mereka tidak banyak dan Kirana seperti sedang mengulur waktu mereka berdua, Raga yakin Kirana menemukan sesuatu tentang Ayu yang membuatnya enggan bicara.

“Pernikahannya dengan Dimas tidak bertahan lama, Pak. Karna satu tahun kemudian Ayu meninggal. Di artikel itu juga enggak di ceritakan Ayu meninggal karena apa, tapi bisa jadi karna sakit yang dia derita dari kecil,” ucap Ayu pada akhirnya.

“TBC..” gumam Raga yang di jawab anggukan oleh Kirana. Ayu memang menderita penyakit itu.

Kedua bahu Raga turun, Dan ia pun sudah mengetahui akhir dari hidup Jayden, setelah ini Raga akan mencari tahu apa yang membuat mereka bermimpi tentang kehidupan sebelumnya. Ya anggap saja begitu sekarang meski itu tidak terbukti.

“Pak, apa Bapak juga tahu kalau Adi—”

Raga mengangguk kecil, “iya saya tahu, Bagas kan?”

Kirana mengangguk, “selain Bagas apa ada orang lain di masa lalu kita yang hadir di kehidupan sekarang ini?”

“Kakak saya, Na. Mbak Adel, Jayden punya Kakak perempuan bernama Roosevelt Van Den Dijk. Dan Mbak Adel adalah reinkarnasi dari Roosevelt, tapi dia pun enggak bermimpi apa-apa, mungkin sama hal nya dengan Bagas yang juga gak bermimpi apa-apa.”

Kalau begitu kemungkinan besar ada orang lain dari masa lalu mereka yang kemungkinan ada di kehidupan mereka yang sekarang, orang tua Kirana saat ini bukanlah orang tua dari Ayu di masa lalu. Kirana dan Ayu lahir dari orang tua yang tidak reinkarnasi di masa lalu.

“Itu artinya Jayden dan Ayu benar-benar tidak menikah di kehidupan itu, Na.”

“Saya baca-baca sedikit tentang kehidupan di zaman itu, menikah bagi bangsa kolonial dan pribumi itu sulit, Pak. Kita masih harus menunggu kelanjutan cerita mereka kalau kita mau cari tahu apa maksud dari mimpi yang kita berdua alami,” jelas Kirana, menurutnya memang begitu karena mimpi mereka berdua masih sangat menggantung.

“Kamu jangan segan-segan untuk bertanya kelanjutanya pada saya, Na. Termasuk hal-hal yang kamu cari tahu. Sekecil apapun itu mungkin bisa jadi pentunjuk.”


“Disini aja, Pak.”

Taksi online yang Kirana tumpangi itu berhenti di belakang mobil yang terparkir di depan rumahnya Bagas, ternyata acara ulang tahun Ibu nya Bagas itu lumayan meriah juga. Kirana sempat berpikir mungkin hanya syukuran biasa saja tadinya, sebelum turun dari mobil. Dia memastikan dulu rambut dan riasan rambutnya masih rapih. Setelah itu barulah ia turun membawa kotak berisi brownies dan juga puding cokelat yang ia buat sendiri.

Bagas bilang dia enggak bisa menjemput Kirana karena ia harus membantu acaranya di rumah, tentu saja Kirana sama sekali tidak keberatan dengan hal itu. Begitu Kirana masuk ia langsung di sambut dengan senyuman hangat oleh Kanes Adiknya Bagas.

“Mbak Kirana..” sapa Kanes, wanita itu memeluk Kirana dengan hangat.

“Hai, Nes. Apa kabar?”

“Baik, Mbak. Ya ampun, Mbak. Maaf yah waktu Mbak sakit aku gak sempat jenguk karena lagi sibuk banget kuliah.” Kanes jadi merasa bersalah kalau ingat ia tidak bisa menjenguk Kirana di rumah sakit waktu wanita itu kecelakaan, Kanes itu kuliah kedokteran yang mana kegiatan di kampusnya tentu banyak menyita waktu bahkan untuk sedikit bersantai sekalipun.

“Iya gapapa, Bagas udah cerita kalau kamu lagi hectic banget di kampus.”

Kanes mengangguk, sedikit lega karena Kirana cukup mengerti dirinya. “Oh yah, masuk yuk, Mbak. Mas Bagas, Ibu sama Ayah ada di dalam.”

“Hhmm, Nes. Tapi make up aku gak berlebihan kan?” Kirana jadi enggak percaya diri tiba-tiba, apalagi sedari tadi banyak pasang mata yang melirik ke arahnya. Kirana sadar, warna dusty pink yang ia pakai sebagai dresscode yang di tentukan itu agak sedikit berbeda dengan yang tamu lain pakai.

“Kamu tuh cantik, Mbak. Udah yuk masuk.” Kanes menggandeng tangan Kirana yang bebas dari kotak berisi kue itu.

Begitu melihat Bagas yang sedang sibuk berbicara dengan tamu dari keluarganya, Kirana tersenyum apalagi Bagas juga dengan sigap langsung menghampirinya. Pacarnya itu tampak semakin tampan dengan kemeja dusty pink yang ia pakai, rambutnya pun di bentuk hair coma style yang membuat Bagas terlihat semakin kharismatik.

“Tuh udah ada Mas Bagas, aku ambilin Mbak minum dulu yah,” kata Kanes, ia berpamitan pada Kirana untuk mengambilkan wanita itu minum.

“Iya, makasih yah, Nes.”

Begitu Kanes pergi, Bagas langsung mengajak Kirana ke dalam rumahnya. Ibunya ada di dalam, sedang menjamu teman-temannya dan ada beberapa sanak saudara yang datang dari Surakarta.

“Buk, ada Kirana,” ucap Bagas.

Kirana berusaha menyunggingkan senyum terbaiknya, walau ada desiran ketidaknyamanan saat calon mertuanya itu menatapnya dengan tatapan sedikit sinis. Tidak, Kirana tidak terlalu perasa. Bagi siapapun yang melihatnya pasti akan langsung berpikiran sama dengannya.

happy birthday, Buk.” Kirana menyalami tangan Ibunya Bagas, walau uluran salaman itu di sambut dengan rasa acuh tak acuh.

“Iya, terima kasih yah, Kirana.”

Kirana mengangguk pelan, “Kirana bawain Ibu brownies sama puding cokelat yang Kirana bikin sendiri, Buk. Cobain ya.”

“Repot-repot kamu bikin, tapi nanti saja yah. Saya sudah kenyang, tadi habis nyobain lapis legit yang di buat sama Asri.”

Bagas menggeleng kepalanya samar, sungguh kecewa bukan main ia melihat perlakuan Ibu nya itu pada Kirana. Namun Bagas hanya bungkam, ia tidak ingin merusak suasana apalagi di keramaian seperti ini dan di hari ulang tahun Ibunya.

“Iya gapapa, Buk.”

“Bi, bawa kue-kue nya ke belakang ya.” Ibu nya Bagas itu memanggil pekerja yang berkerja di rumahnya, menyuruh mereka membawa kotak berisi kue-kue itu untuk di bawa ke dapur tanpa di suguhkan disana.

Kirana menunduk, dalam hati ia meringis. Namun ia merasa tidak bisa menyerah begitu saja, ia masih mencoba untuk berpikir positif jika mungkin saja brownies dan pudingnya tidak di suguhkan untuk tamu melainkan untuk mereka makan sendiri, Ia sangat mencintai Bagas, dan ia juga ingin dapat cinta dari keluarga laki-laki itu juga.

“Kita ke depan yuk?” bisik Bagas, ia tidak tega melihat Kirana di acuhkan oleh Ibunya. Ibu bahkan tidak mengajak Kirana bicara lagi dan sibuk berbicara dengan teman-temannya.

“Aku belum ngobrol banyak sama Ibu..” bisik Kirana, ia pikir ia harus lebih banyak bicara sama Ibunya Bagas. Dengan begitu mereka bisa mengenal lebih dalam satu sama lain bukan, yah siapa tahu saja di saat-saat seperti ini hati orang tua Bagas itu luluh.

“Yakin?” Bagas cuma mau memastikan aja, dia gak mau Kirana berada di situasi yang tidak membuat wanita itu nyaman.

“Iya sayang, sana kamu ke depan aja. Nanti kalau udah selesai ngobrol sama Ibu, aku susul kamu ke depan.”

“Beneran yah?”

Kirana mengangguk.

“Yaudah aku ke depan yah, nanti kalau aku lihat Kanes. Aku suruh dia nemenin kamu.”

Selepas kepergian Bagas, Kirana berusaha untuk berbicara dengan Ibunya Bagas meski hanya mendapatkan balasan sekedarnya saja. Kirana enggak mau menyerah, apalagi saat wanita bernama Asri itu datang. Kalau dari yang Kirana lihat, Ibu benar-benar menyukai Asri bahkan Asri yang di kenalkan ke saudara-saudara Bagas dan juga teman-teman Ibu yang datang.

“Ohhh.. Asri ini temannya Bagas waktu SMP? Yang rumahnya dulu sebelahan sama rumahmu di Surakarta itu bukan, Jeng?”

“Betul,” Ibu nya Bagas itu tersenyum. “Cantik kan, calon menantu idaman sekali dia ini. Bahkan Asri yang milih warna yang cocok untuk dresscode ulang tahun saya loh.”

Mendengar hal itu, Kirana menunduk. Jadi Asri lah yang banyak membantu untuk acara ulang tahun Ibu. Meski hatinya sedikit perih, Kirana masih terus berusaha tersenyum ramah, Kirana enggak minder sama sekali sama Asri meski ia pun tidak menangkis jika wanita itu benar-benar cantik dan memiliki selera yang bagus.

“Kalau yang di sebelah sana siapa, Jeng?” Teman dari Ibunya Bagas itu melirik Kirana yang duduk tak jauh dari tempat Asri duduk, Asri duduk benar-benar bersebelahan dengan Ibunya Bagas sedangkan Kirana agak sedikit berjarak beberapa senti.

“Ahh... Itu Kirana, pacarnya Bagas,” cicit Ibu pelan.

Asri menoleh ke arah Kirana, wanita itu tersenyum dan melambaikan tangannya memberi isyarat pada Kirana untuk duduk di dekatnya saja. “Sini, Na!”

Begitu Kirana mendekat, Ibu yang tadinya sedang duduk di sofa itu berdiri dan menghampiri Kirana. Kirana yang melihat itu sudah senang apalagi Ibu tersenyum ke arahnya, ada sirat kepercayaan diri yang membuncah di dadanya jika ia akan di kenalkan sebagai calon menantu di keluarga itu. Namun itu semua hanya ada dalam benak kepala Kirana tanpa terwujud jadi nyata, karena Ibu justru mengatakan hal di luar dugaanya.

“Na, kamu mau bantuin Ibu gak?” tanya Ibu.

Tentu saja Kirana dengan senang hati akan membantunya, baginya ini adalah kesempatan. “Mau, Buk. Apa yang Kirana bisa bantu?”

“Ini, Na. Si bibi kan kayanya kerepotan cuci piring di belakang, yah. Maklum lah udah tua juga, kamu bantu-bantu yah. Dari pada kamu di sini enggak ngapa-ngapain juga kan.”

Mendengar ucapan itu, senyum di wajah Kirana sedikit memudar. Ia hanya di minta bantuan untuk mencuci piring ternyata, walau agak sedikit kecewa tetapi Kirana mengangguk, ia suguhkan senyum manisnya itu. Ia hanya berpikir mungkin dengan cara seperti ini hati orang tua Bagas itu bisa luluh dan bisa menerima nya.

“Iya, Buk. Kalo gitu Kirana ke belakang yah,” pamitnya, setelah mendapatkan anggukan kecil dari Ibunya Bagas, cepat-cepat ia ke dapur rumah keluarga itu.

Kirana pikir bibi yang bekerja di rumah Bagas itu hanya satu orang, ternyata ada dua orang dengan rentang umur yang sama. Keduanya sedang menikmati brownies yang Kirana bawa, Kirana sendiri gak tau kenapa makanan yang ia bawa justru pekerja di rumah Bagas yang memakannya. Ia hanya berpikir itu semua pasti sudah mendapatkan izin dari sang pemilik rumah.

Ia bukan tidak senang makananya itu di makan orang lain selain Ibunya Bagas, hanya saja ia buatkan itu semua khusus untuk Ibunya Bagas di hari ulang tahunnya.

“Eh, neng Kirana. Mau ngapain, Neng?” tanya Bibi yang berbadan gempal itu, wanita paruh baya itu tersenyum.

“Mau bantu-bantu, Bi.”

“Ih udah, gak usah ini kan udah jadi kerjaan Bibi.”

Kirana menggeleng pelan, “gapapa, Bi. Biar cepat selesai.”

Kirana mengambil kain lap untuk mengeringkan beberapa piring yang sudah selesai di cuci, Bibi yang sedang makan brownies buatan Kirana tadi tampaknya agak sedikit tidak enak. Terlihat dari gelagatnya yang canggung dan langsung menghentikan makannya begitu Kirana datang.

“Brownies buatan Neng Kirana enak banget,” ucapnya tiba-tiba.

“Oh ya?” Kirana menoleh, ia tersenyum. Senang rasanya mendapatkan pujian jika brownies buatannya enak meski itu bukan berasal dari Ibunya Bagas. “Kemanisan gak, Bi?”

Bibi gempal itu menggeleng, “enggak, Neng. Rasanya pas, manisnya pas enggak amis juga enak pokoknya mah.”

“Syukur deh kalau begitu.”

Kirana lega, meski sedikit sedih namun itu bukan masalah untuknya. Setidaknya makanan yang ia bawa tidak di buang saja rasanya Kirana sudah bersyukur. Sementara itu di teras rumah Bagas yang masih di padati banyak tamu, Raga menikmati setiap hidangan yang di sediakan di sana. Ia datang bersama Satya.

Bagas memang mengundang Raga dan Satya untuk datang ke acara pesta ulang tahun Ibunya, mereka sempat berbincang sebentar. Bagas juga sempat mengenalkan Kanes pada dua temannya itu, Almira bukan tidak Bagas undang hanya saja wanita itu sudah memiliki janji lain dengan teman kencan butanya itu, Almira hanya menitipkan kado untuk Ibunya Bagas oada Satya.

“Gas, toilet dimana ya?” tanya Raga.

“Kebelet, Pak?” tanya Satya cengengesan.

“Enggak!” jawab Raga dengan ekspresi wajah yang bad mood. “ya iyalah pake nanya lagi.”

Bagas yang mendengar itu sedikit terkekeh, “di belakang, Pak. Lewat samping aja, dekat dapur kok lurus aja.”

“Yaudah, saya ke belakang dulu yah.” Raga buru-buru meninggalkan Bagas dan Satya yang masih asik berbincang di taman rumah Bagas.

Ia masuk ke dalam rumah Bagas lewat pintu samping yang kata Bagas nantinya akan langsung menuju ke dapur kotor rumahnya, di sana ada toilet khusus untuk tamu. Begitu Raga ingin masuk ke dalam toiletnya, tidak sengaja netranya menangkap seorang wanita yang tengah sibuk mencuci piring di dapur.

Wanita itu berambut panjang dan memakai dresscode yang sama dengan tamu lainnya meski tone nya agak sedikit berbeda, Raga mengerutkan keningnya. Dan begitu wanita itu memperlihatkan wajahnya dari samping, Raga langsung mengenalinya. Itu adalah Kirana, kenapa ia justru malah sibuk mencuci piring di dapur? Itu adalah pertanyaan yang terlintas di kepala Raga saat ini.

“Na?” Panggil Raga, ia mengurungkan niatnya untuk menyelesaikan urusannya di kamar mandi.

Kirana menoleh, ia sedikit terkejut karena Raga justru turut di undang dalam pesta ulang tahun Ibu nya Bagas. Kirana pikir Bagas hanya mengundang Satya dan Almira saja.

“Pak Raga?” Ucap Kirana kaget, ia membasuh tangannya yang kotor karena sabun cuci piring kemudian menghampiri Raga. “Bapak ngapain disini?”

“Saya yang harusnya tanya, kamu ngapain cuci piring? Kamu itu tamu, Na.” Kedua bahu Raga naik turun, entah kenapa rasanya ada perasaan tidak nyaman melihat Kirana mencuci piring sendirian di dapur.

“Sa..saya cuma bantu-bantu Ibu nya Bagas aja, Pak.”

“Gak gitu, Na. Kamu ini tamu. Kalau kamu mau membantu bisa dengan hal lain,” ucap Raga sedikit kesal. “Bagas tahu kamu cuci piring?”

Kirana menggeleng, “ini saya yang mau kok, Pak.”

Raga enggak menjawab ucapan Kirana lagi, ia hanya menatap wanita itu dengan sorot mata yang menunjukkan kekecewaan sekaligus sedih melihat Kirana di perlakukan seperti itu. Raga enggak paham kenapa Kirana mau dengan sukarela nya mengerjakan setumpuk cucian piring yang tidak ada hentinya masuk ke dapur, mengingat tamu yang di undang oleh Ibunya Bagas cukup banyak.

“Kalau gitu, saya lanjutin cuci piringnya, Pak.” Kirana mengangguk sopan, ia kembali dengan tumpukan cucian piring yang baru saja tiba. Bibi yang bekerja di rumah Bagas juga turut membantunya.

Niat Raga untuk buang air kecil ia urungkan, alih-alih masuk ke dalam toilet. Ia justru keluar dari sana dengan langkah besar-besar menuju taman rumah Bagas, ternyata pria itu masih di sana asik berbincang dengan Satya dan juga rekan kantor mereka yang lain.

“Gas, lo nyuruh Kirana cuci piring di dapur?” Tanya Raga to the point bahkan ia melupakan panggilan 'kamu dan saya' yang biasa ia gunakan ketikan hendak berbicara dengan bawahannya itu.

“Hah? Maksud, Bapak?” Bagas mengerutkan keningnya bingung, karna setahunya Kirana sedang asik berbincang dengan Ibu dan juga Asri di ruang tamu rumahnya. “Cuci piring gimana, Pak.”

“Mending lo liat sendiri dia lagi ngapain di dapur kotor lo itu,” ucap Raga tegas.

Bagas akhirnya menuruti ucapan Raga, ia buru-buru berlari kecil menuju dapur kotor rumahnya dari samping taman depan seperti yang di lakukan Raga barusan, ternyata benar, Kirana benar-benar sedang mencuci piring, bahkan baju bagian bawah nya sudah basah karena terciprat air saking banyaknya piring yang ia cuci.

“Sayang, kamu ngapain?” Tanya Bagas, ia menghampiri Kirana dan mematikan keran yang masih terus menyala di washtaffel dapurnya.

“Sayang, aku cuma mau bantu-bantu Ibu kamu aja.”

“Gak gini, Na. Kamu di suruh Ibu?”

Kirana sempat meragu untuk mengatakan jika ia memang di suruh oleh Ibunya Bagas, ia justru menggeleng kecil. “Enggak, Sayang. Ini insiatif aku sendiri, aku benar-benar mau bantu-bantu acara ulang tahun Ibu kamu.”

“Enggak, aku gak mau liat kamu cuci piring.” Bagas menarik pergelangan tangan Kirana, membawa wanita itu keluar dari dapur rumahnya.

Kebetulan sekali mereka berpapasan dengan Kanes yang juga hendak ke dapur, ia mau mengambil beberapa makanan untuk mengisi piring snack yang kosong di ruang tamu. Wanita itu juga sama kagetnya seperti Bagas barusan, apalagi saat melihat baju bagian bawah Kirana basah dan sedikit terkena noda dari piring kotor yang ia cuci.

“Mas, Mbak Kirana kenapa?” Tanya Kanes kaget.

“Nes, kamu pinjemin baju kamu dulu ya, nanti Mas ceritain. Kamu bawa Mbak Kirana ke kamar kamu dulu ya.”

“Iya-iya,” Kanes mengangguk-angguk, wanita itu menggandeng tangan Kirana menuju lantai 2 dan mengajaknya masuk ke dalam kamar Kanes.

Sementara itu Bagas buru-buru menghampiri Ibu nya, kebetulan sekali Ibu tidak sedang menerima tamu. Ibu sedang asik mencicipi cake yang di bawa tamunya bersama dengan Asri.

“Buk, Ibu suruh Kirana cuci piring di dapur?” Tanya Bagas.

Ibu yang tadinya sedang menikmati cake itu langsung menaruh piring yang berisi cake yang ada di pangkuannya ke atas meja, wanita itu berdiri dan menatap Bagas tak kalah nyalangnya dengan si sulungnya itu.

“Perempuan itu mengadu sama kamu, Bagas?” Hardik Ibu.

“Kirana gak ngadu, Buk. Bagas yang lihat sendiri Kirana cuci piring, kenapa Ibu tega banget sih, Buk?”

“Biar dia lebih berguna sedikit, dari pada dia harus duduk disini sama Ibu lebih baik Ibu suruh dia cuci piring kan? Toh dia juga mau kok.” Ibu kembali duduk, seolah-olah hal yang tengah di bicarakan Bagas bukanlah persoalan yang penting.

“Kirana itu tamu, Buk. Pacarnya Bagas, calon Istrinya Bagas, Buk. Tolong perlakuin dia lebih baik. Bagas sangat di terima baik di keluarganya, Buk.”

“Gak ada calon istri, Bagas. Ibu dan Ayah enggak akan pernah merestui hubungan kalian! Sampai mati sekalipun, calon istri kamu itu cuma Asri! Kamu di terima baik di keluarganya karena perempuan itu dan keluarganya cuma mau memanfaatkan kamu untuk membayar hutang-hutang keluarga mereka!”

“Kata siapa, Buk? Kirana gak pernah punya niat kaya gitu ke Bagas.”

Sekarang anak dan Ibu itu saling bicara dengan nada tinggi, bahkan tamu-tamu yang ada di sana sampai sedikit menoleh. Sementara Asri hanya terdiam di tempatnya, ia bingung harus melakukan apa. Keduanya sama-sama tengah di landa kemarahan.

“Kata Ibu, mungkin sekarang belum terbukti tapi suatu saat kamu akan sadar itu, Bagas.”

Tanpa Bagas sadari, Kirana dan Kanes sudah selesai berganti pakaian dan turun ke lantai satu. Bahkan Kirana mendengar semua ucapan menyakitkan dari orang tua Bagas lagi, hatinya sudah tidak kuat, ia tak masalah di hina jika ia tidak pantas bersama Bagas tapi tidak dengan keluarganya, Ibunya Bagas bahkan enggak tahu bagaimana perjuangan Kirana dan Ibu untuk menbayar hutang-hutang itu tanpa mengandalkan orang lain.

“Kirana..” Setelahnya Bagas barulah sadar jika Kirana mendengar semua perdebatannya dengan Ibu.

Tanpa berpamitan pada Ibu dan keluarga Bagas yang lain, Kirana langsung keluar dari rumah Bagas dengan sedikit berlari. Ia abaikan beberapa pasang mata yang memperhatikannya berlari sembari di ikuti Bagas di belakangnya.

“Na..Na.. Tunggu sebentar,” Bagas berhasil meraih tangan Kirana, namun wanita itu menghentakkannya sedikit keras hingga tangan Bagas terlepas dari pergelangan tangannya.

“Lepas!!” Kedua bahu Kirana naik turun, ia menangis. Hatinya sungguh sakit. “Aku gak pernah ngadalin kamu buat bantu keluargaku bayar hutang, Gas. Gak pernah.”

“Iya Kirana iya, aku tau. Maafin Ibuku yah.” Bagas hendak memeluk Kirana, namun wanita itu buru-buru mendorongnya menjauh.

“Kamu di jodohin sama Asri, Gas? Iya?”

Bagas yang di tanya seperti itu tidak menjawab, ia hanya diam menunduk. Ia tidak ingin sebuah kejujuran menyakiti hati Kirana lagi. Hari ini sudah cukup wanitanya itu tersakiti karena ucapan Ibu.

“JAWAB AKU BAGAS!!” Kirana sedikit berteriak.

“Iya, iya aku di jodohin sama Asri, tapi aku gak mau, Na. Aku cuma mau nikah sama kamu, aku cuma mau bertahan sama hubungan kita karna aku sayang kamu, Na.”

Kedua tangan Kirana itu menutupi wajahnya, isaknya itu semakin menyesakan ketika sebuah kejujuran dari bibir Bagas lagi-lagi menyakitinya. Ia bingung harus bagaimana menyikapi hal ini, Kirana pikir ia hanya perlu di beri waktu sendiri. Jadi, buru-buru ia berhentikan ojek yang kebetulan melintas di depan rumah Bagas.

“Na.. Kamu mau kemana? Biar aku antar, Na.” Bagas menahan pergelangan tangan Kirana agar wanita itu tidak pergi meninggalkannya.

“Lepasin, Bagas. Aku butuh waktu sendiri.”

“Aku anterin.”

Perlahan-lahan, Kirana memegang tangan Bagas yang menahan pergelangan tangannya ia lepaskan tautan mereka dan menggeleng pelan. “Aku mau sendiri, tolong..” Ucapnya lirih.

Tak ada yang bisa Bagas lakukan, ia pada akhirnya membiarkan Kirana pergi dengan ojek yang tadi ia berhentikan. Membiarkan punggung kecil itu semakin menjauh, Bagas bingung, hatinya juga sakit dan pikirannya kacau. Jika di suruh memilih, ia sendiri juga bingung. Bagimana pun orang tuanya dan Kirana sama pentingnya dan memilih salah satu dari mereka bukanlah sebuah jawaban.

Bersambung...

Dalam perjalanan dari rumah Bagas yang Kirana lakukan hanyalah menangis, dadanya sampai sesak semakin ia tahan tangisnya. Ucapan dari mulut orang tua Bagas itu terus terngiang di telinganya, hatinya sakit bukan main apalagi saat ia mengetahui jika Bagas sudah di jodohkan dengan wanita lain.

Yang Kirana pikirkan saat ini adalah bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Ia sudah banyak melalui berbagai hal dengan Bagas, melepas Bagas pun tidak mudah baginya. Bagas selalu menjadi obat untuknya bahkan di hari ia kehilangan Bapaknya.

Tetapi untuk melangkah maju melanjutkan hubungan mereka pun rasanya Kirana enggak sanggup, ia sudah mendapatkan penolakan dari keluarga Bagas dan Kirana enggak terima harga diri dan keluarganya di injak-injak seperti itu. Isak dari bibir tipisnya itu semakin menyesakkan, Kirana enggak perduli jika supir ojek yang ia tumpangi itu bertanya-tanya kenapa Kirana terus menangis.

Tidak lama kemudian, ojek yang di tumpangi Kirana itu menepi di bahu jalan. Entah kenapa, Kirana juga tidak paham. Buru-buru ia elap wajahnya dengan tangannya itu, Kirana udah gak perduli pada make up nya yang sudah luntur, bergeser atau oksidasi sekalipun. Ia hanya memikirkan perasaanya saja hari ini.

“Kenapa, Pak?” tanya Kirana begitu motor yang ia tumpangi itu berhenti.

“Maaf, Mbak. Motor saja baterai nya habis, mana tempat tukar baterai nya masih jauh lagi, Mbak nya pesan ojek online yang lain saja ya?” kata Bapak itu.

Kirana mengangguk kecil, ia melepas helm yang ia pakai dan turun dari motor ojek online yang ia berhentikan secara random tadi di depan rumah Bagas.

“Gapapa, Pak.” Kirana merogoh saku nya dan memberikan uang untuk ia bayar, biarpun tidak sampai di tujuan, Bapak itu setidaknya sudah menyelamatkan Kirana untuk secepatnya pergi dari rumah Bagas. “Uangnya, Pak.”

“Gak usah, Mbak. Kan belum sampai tujuan.”

“Gapapa, Pak. Ambil aja.” Kirana tetap memberikan uang itu, ia merasa tidak enak jika tidak membayarnya.

“Makasih yah, Mbak.”

Kirana hanya mengangguk kecil, ia akhirnya berjalan untuk sampai di halte bus, mungkin ia akan menaiki bus saja untuk sampai di rumahnya. Bukan Kirana tidak sadar jika sedari tadi saku celana nya terus bergetar, getaran itu berasal dari ponselnya. Ia yakin jika Bagas yang menelfonnya tiada henti.

Kirana gak tahu apa yang harus ia ceritakan pada Ibu jika Ibu bertanya nanti, Ibu tahu persis bagaimana Kirana menyiapkan brownies dan puding untuk orang tua Bagas itu. Selama ini pun, Kirana hanya bercerita yang baik-baik tentang keluarganya Bagas. Kirana enggak pernah bercerita dengan jujur bagaimana keluarga Bagas memperlakukannya. Kirana enggak ingin Ibu sedih, dan terlebih ia tidak ingin sikap Ibu berubah dengan Bagas.

Kirana telah sampai di halte bus tak jauh dari tempat ia berhenti tadi, ia duduk di halte itu. Termenung melihat lampu-lampu kota yang mulai menyala dan lampu-lampu yang berasal dari kendaraan, bunyi bising dari klakson sore itu seperti satu-satunya teman untuk mengisi hampa dan sedih di hatinya.

Kepalanya sedikit pening karena terlalu banyak menangis, namun rasanya air matanya tak kunjung ingin berhenti menetes dari pelupuknya. Kirana masih ingin terus menangisi harinya saat ini, entah sampai kapan air matanya itu bisa berhenti dengan sendirinya.

Sedang tertunduk meratapi dirinya, sebuah mobil Hyundai Ioniq 5 N itu berhenti di depan halte tempat Kirana berpijak, pengendaranya keluar dari sana dan menghampiri Kirana yang bahkan belum sadar akan kehadirannya.

“Kirana?” panggil orang itu yang membuat Kirana menoleh tanpa menghapus air mata yang masih menetes dari pelupuk matanya.

“Pa..pak Raga?” gumamnya, Kirana buru-buru menghapus jejak air matanya itu dan berdiri.

“Kamu ngapain disini?”

“Saya mau pulang, Pak. Lagi nunggu bus.”

“Saya antar kamu pulang aja ya?” Raga tidak tega melihat Kirana menunggu bus sendirian, apalagi wanita itu juga sepertinya sedang tidak baik-baik saja. Entah kenapa melihat Kirana menangis, rasanya ada separuh dalam dirinya yang tidak terima. Ia ingin menghajar orang yang membuat wanita itu menangis di jalan seperti ini.

“Gausah, Pak. Gapapa saya naik bus aja.” Kirana takut merepotkan Raga, selain itu ia juga sungkan dan sedikit malu. mungkin saja Raga melihat bagaimana ia dan Bagas bertengkar di pesta ulang tahun barusan.

“Saya mau minta bantuan kamu kebetulan, lagi enggak sibuk kan?” ini hanya alibi Raga saja agar Kirana mau ikut dengannya.

Kirana seperti menimang-nimang permintaan itu dari Raga, Raga atasannya dan pria itu baik. Tidak ada salahnya jika Kirana membantu Raga sebentar, lagi pula rasanya ia belum siap pulang jika air matanya belum kunjung berhenti dan suasana hatinya belum membaik. Ia takut menangis saat Ibu bertanya nanti.

Kirana akhirnya mengangguk, “boleh, Pak.”

“Yaudah, sekarang masuk ke mobil saya yah.” Raga memberi jalan untuk Kirana, membiarkan wanita itu masuk ke mobilnya lebih dulu baru setelah itu ia masuk ke mobil miliknya.

Di perjalanan Raga juga enggak tanya-tanya apapun itu sama Kirana, dia cukup paham jika suasana hati wanita di sebelahnya itu enggak cukup baik. Hanya ada suara dari radio yang terdengar, sang penyiar yang sedang saling berbincang mengenai berita di negeri mereka yang mulai carut marut itu. Tentang eksploitasi alam dan beberapa pulau di Sumatra yang di beritakan akan di jual.

Mobil yang di kendarai Raga itu berhenti di sebuah deretan pedagang kaki lima, berhenti di sebuah tenda yang menjual martabak manis dan martabak telur. Raga dan keluarganya sudah biasa datang kesana untuk membeli martabaknya.

“Kok kesini, Pak?” Kirana menoleh, seingatnya Raga kan butuh bantuannya.

“Iya saya mau minta tolong sama kamu pilihin martabak.” Raga melepas seatbelt nya dan mematikan mesin mobilnya itu.

“Apa?!” pekik Kirana, agak sedikit kaget karena kelakuan konyol atasannya itu. “Serius?”

“Kamu mau turun dan kehabisan nafas di mobil apa mau ikut saya liatin Mamang nya bikin martabak?”

Tentu saja opsi pertama adalah pilihan yang buruk, Kirana memang sedang gundah gulana tapi kehabisan nafas di dalam mobil atasannya itu bukan ide yang baik ia pikir. Jadi cepat-cepat ia buka seatbelt yang terpasang di tubuhnya dan ikut keluar dari mobil mengekori Raga.

Pria itu berdiri di depan menu yang di tempel di gerobak besar tukang martabak itu, dan Kirana ikut berdiri di belakangnya sambil membaca menu nya juga. Ternyata untuk ukuran martabak pinggir jalan, harga martabak tempat Raga berhenti ini harganya lumayan mahal juga menurut Kirana.

Tapi dia pikir bisa saja mahal karena bahan-bahan yang di pakai adalah bahan dengan kualitas terbaik, bisa Kirana rasakan sendiri jika wangi yang di sebarkan dari aroma martabak manis yang sedang di panggang itu begitu harum.

“Menurut kamu lebih enak martabak coklat kacang atau martabak telur bebek tapi telurnya 4, Na?” tanya Raga.

Kirana melirik Raga sebentar, jadi yang di maksud meminta bantuannya adalah untuk memilihkan martabak manis atau martabak telur? Pikir Kirana. Wanita itu jadi terkekeh pelan, gak nyangka kalau permintaan tolong Raga akan seabsurd ini.

“Jadi Bapak minta tolong saya pilihin martabak?”

Raga mengangguk, “kalau soal martabak saya enggak bisa milih, susah. Karna dua-dua nya enak.”

“Kenapa gak beli dua-dua nya aja?”

“Saya cuma mau beli satu macam,” jawab Raga enteng.

Kirana mengangguk-angguk, setidaknya ajakan konyol dari atasannya itu bisa sedikit membuat gundah gulana hatinya sedikit terlupakan walau mungkin hanya sebentar.

“Martabak telur aja gimana?” Kirana tertarik aja sama telur bebek nya, apalagi daging giling yang sedari tadi di depannya itu sebagai toping martabak benar-benar harum. Kirana udah bisa bayangin akan setebal apa martabak nya jika memakai empat telur bebek.

“Boleh,” Raga mengangguk. “Kamu duduk dulu saja, saya mau pesan dulu.”

Kirana tersenyum kecil, kemudian menarik kursi yang ada di sana. Menunggu Raga memesan martabak miliknya sembari sesekali ia melihat atraksi masak dari pedagang yang sedang membuat kulit martabak telur menjadi ukuran besar. Kirana benar-benar takjub rasanya, dari ukuran kecil bisa menjadi besar dengan ketebalan yang sempurna dan tidak sobek sedikipun.

Tidak lama kemudian Raga menyusul Kirana, duduk di samping wanita itu sembari menyaksikan pedagang itu membuat pesanan mereka. Di liriknya Kirana, Raga sedikit lega karena sorot sendu itu sudah sedikit sirna. Setidaknya Kirana sudah tidak menangis lagi.

“Bakpau yang saya kasih waktu kamu sakit itu.” Raga terkekeh, mengingat kelakuan konyolnya yang membelikan Kirana banyak bakpau.

“Ya?” Kirana menoleh. “Kenapa, Pak?”

“Kamu suka bakpau nya?”

Mengingat bakpau yang di beli Raga waktu itu Kirana jadi terkekeh, pasalnya pria itu membelinya lumayan banyak. Sampai Kirana membaginya pada pasien-pasien lain yang satu kamar dengannya.

“Suka kok.”

Raga tersenyum, ada desiran hangat di hatinya mendengar Kirana menyukai bakpau yang ia belikan. “Bagus deh kalau kamu suka, kamu ingat waktu Ayu dan Jayden kencan gak?”

Kirana mengerutkan keningnya, tentu saja ia ingat. Mimpi kencan bersama Jayden sembari berkuda dengan pria itu membuat perasaan Kirana di pagi hari membaik. Pria Belanda itu benar-benar romantis dan sangat melindungi Ayu di dalam mimpinya, mana mungkin ia bisa lupa.

“Ingat, mereka makan bakpau kan?” ucap Kirana dengan kekehan dari bibir mungilnya.

“Benar.”

“Jadi itu sebab nya Bapak tanya saya ya, lebih suka bakpau atau onde-onde?” tebak Kirana, karena Raga bermimpi lebih dulu tentang pasangan itu bisa saja saat Raga menawarinya bakpau. Raga sudah bermimpi Ayu dan Jayden berkencan.

“Iya,” Raga terkekeh. “Saya juga gak nyangka kalau kamu bakalan milih bakpau.”

Kirana mengangguk-angguk kecil, mengesampingkan Ayu dan Jayden. Ia jadi ingat bagaimana tatapan Raga saat melihatnya mencuci piring di rumah Bagas barusan, mungkin saja Raga yang memberi tahu Bagas jika ia melihatnya mencuci piring.

“Pak?”

“Ya, Kirana?” Raga menoleh, ia tadi sedang membuka botol air mineral yang ada di meja tempat mereka duduk.

“Soal kejadian di rumah Bagas barusan.”

“Ya?”

“Bapak yang bilang ke Bagas ya kalau saya nyuci piring?” Kirana berbicara dengan nada penuh kehati-hatian, takut sekali pertanyaanya itu terdengar seperti tuduhan dan membuat hati atasannya itu tersinggung.

“Iya, memang saya, Na. Saya yang menegur Bagas kenapa dia membiarkan kamu mencuci piring di rumahnya.”

Kirana mengangguk kecil, sesuai dugaanya. Tapi jika Raga tidak memberi tahu pun. Kirana pasti akan tetap di hina oleh orang tua Bagas, semua sama saja. Bahkan jika Raga tidak memberi tahu Bagas, mungkin ia tidak akan tahu kebenaran jika Asri adalah wanita yang di jodohkan orang tua Bagas untuk putra mereka.

“Maaf yah, Na. Kalau kesannya saya ikut campur urusan pribadi kamu dan Bagas.” Raga ngerasa dia harus minta maaf, biar bagaimana pun ia sudah seperti mencampuri urusan keduannya. Meskipun di mata Raga, Bagas dan keluarganya tidak cukup baik memperlakukan Kirana dengan membiarkan wanita itu mencuci banyak piring bekas tamu di rumahnya.

“Gapapa, Pak. Saya juga udah capek banget sebenarnya, jadi bisa langsung pulang deh walau cucian piringnya belum selesai.” Kirana terkekeh pelan, meski hatinya sakit. Ia berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja di depan atasannya itu.

Setelah martabak pesanan Raga selesai di buat, Raga langsung mengantar Kirana pulang. Hari sudah semakin larut, Raga memaksa untuk tetap mengantar Kirana pulang meski Kirana awalnya meminta di turunkan di halte bus saja. Untung saja wanita itu pada akhirnya setuju.

“Ini buat Ibu kamu, Na.” Raga mengambil 3 kotak martabak dari 4 yang ia beli barusan.

“Hah? Kok jadi buat Ibu saya, Pak?” Tanya Kirana bingung.

“Iya, saya emang beli buat kamu sama Ibu kamu.”

“Ma..makasih, Pak. Tapi ini banyak banget.” Kirana menganga melihat tiga kotak martabak telur itu. Dia hanya berdua dengan Ibu bagaimana caranya menghabiskan makanan sebanyak itu.

“Kamu kasih ke tetangga kamu juga gapapa sisa nya.”

Kirana menggeleng kepalanya pelan, ia benar-benar di buat heran oleh kelakuan atasannya itu. “Terima kasih sekali lagi yah, Pak.”

“Sama-sama Kirana.”

“Saya turun dulu kalau gitu, Bapak hati-hati di jalan.” Kirana melepas seatbelt nya dan hendak membuka pintu mobil Raga sampai akhirnya gerakannya itu tertahan karena Raga memanggilnya.

“Kirana?”

“Ya, Pak?” Ia kembali menoleh.

“Jangan nangis di pinggir jalan lagi,” ucap Raga tak di sangka-sangka.


Samarang, 1898.

Dimas dan Ayu melangsungkan pernikahan yang di gelar begitu mewah di Samarang, ada banyak tamu dari para petinggi pribumi, saudagar dan juga para petinggi kolonial yang juga datang untuk memberi ucapan selamat pada keduanya. Meskipun begitu, Ayu tak mengizinkan Jayden datang untuk menemuinya di pesta pernikahannya ia tidak akan sanggup melihat kedua netra kecoklatan itu menampakan sebuah kesedihan.

Pesta yang di gelar hingga malam itu membuat Ayu sedikit kelelahan, ia lebih banyak diam dan jarang sekali tersenyum jika Romo tidak menegurnya. Terkadang, Dimas mengajaknya untuk ikut menari bersama para penari yang memang di panggil untuk menghibur para tamu undangan.

Ketika Dimas sedang sibuk berbicara dengan teman-temannya, Adi yang sedari tadi berdiri lumayan jauh dari tempat mempelai itu akhirnya menghampiri Ayu. Membuat Ayu yang sedang duduk bersandar itu menoleh pada Adi yang tiba-tiba saja datang menghampirinya.

“Raden Ayu?” panggil Adi, mata pria itu juga menampakan kesenduhan.

Sehari sebelum pesta pernikahan itu di gelar, Ayu sempat bercerita pada Adi jika ia sama sekali tidak menginginkan sebuah pernikahan bersama Dimas. Bahkan ada kala nya Ayu berpikiran nekat untuk meminta Adi membawanya pergi ke kediaman Jayden berada.

“Mas Adi? Ada apa?” tanya Ayu, ia sontak berdiri.

“Sir Jayden datang, ia menunggu Raden Ayu di kebun belakang,” bisik Adi, dekat telinga Ayu namun tetap ia beri jarak. Adi masih tahu diri untuk tidak terlalu dekat jika berbicara dengan Ayu.

Mendengar ucapan Adi, hati Ayu seperti di buat gundah gulana. Ia memendarkan pandangannya ke sekitarnya, berharap tidak ada orang lain yang menyadari jika ia meninggalkan kursinya sebentar saja demi bertemu Jayden. Ia tidak bisa membiarkan Jayden dan Dimas berhadapan lagi seperti kemarin.

Karena nyatanya, setelah ia berbicara sebentar dengan Jayden. Dimas langsung menuturkan ucapan yang membuat Jayden tersinggung, menurut pria itu, Dimas telah merendahkan Ayu sebagai seorang wanita dan Jayden tidak terima, mereka nyaris saja berkelahi jika Ayu tidak segera menengahi dengan kedua tangan yang bergetar bukan main.

“Antarkan Ayu pada Sir Jayden, Mas Adi.”

Adi mengangguk, ia memberikan tangannya untuk Ayu pegang. Sebagai tumpuhan agar Ayu bisa mengikuti langkahnya menuju tempat Jayden berada. Beruntungnya, keramaian yang ada membuat Adi dan Ayu dengan cepat keluar dari tempat pesta itu berada, para tamu dan keluarga yang datang sedang sibuk menonton para penari. Dan itu di jadikan kesempatan bagi Adi untuk membawa Ayu pergi.

Langkah kaki Adi yang panjang-panjang itu membuat Ayu sedikit kelimpungan, ia hampir saja oleng jika saja Adi tidak menggenggam tangannya dengan erat. Nafasnya juga sedikit tersenggal karena Ayu benar-benar kelelahan.

“Mas Adi, Mlayune alon-alon,” keluh Ayu dengan nafas yang tersenggal-senggal.

Adi berhenti sebentar, ia menoleh ke belakang untuk melihat kondisi Ayu yang tangannya ia genggam. Wanita itu berkeringat, jika tidak mengenakan riasan mungkin wajah Ayu sudah pucat. Nafasnya juga tersenggal-senggal terlihat dari dua bahu kecil itu naik turun.

“Jika Raden Ayu mengizinkan, saya bisa menggendong Raden Ayu.” Adi menawarkan Ayu untuk ia gendong, ia tidak tega melihat Ayu seperti kehabisan oksigen seperti itu.

Ayu yang sudah sedikit lemas itu mengangguk, membiarkan Adi bersimpuh membelakanginya. Membiarkan tubuh kurusnya itu jatuh dalam punggung lebarnya, Ayu memeluk leher Adi. Ia benar-benar sudah pasrah Adi akan membawanya kemana, ia percayakan saja pada pria itu.

Bagi Adi, Ayu tidaklah berat. Jadi ia bisa sedikit berlari agar bisa sampai pada kebun belakang yang sedikit lagi sampai itu. Di ujung sana ada sebuah gubuk kecil dengan penerangan minim, cahaya itu berasal dari obor yang di pegang oleh seseorang pria disana. Itu adalah Jayden, dengan raut wajah penuh kekhawatiran melihat dari ujung tempatnya berdiri, seorang pria menggendong wanita yang tampak tidak begitu berdaya di punggungnya.

Begitu pria itu mendekat, barulah Jayden tahu jika mereka adalah Adi dan Ayu. Adi menurunkan Ayu di atas amben yang ada di gubuk kecil itu, setelah memastikan jika Ayu duduk disana, Adi sedikit menjauh dari pasangan itu. Membiarkan Jayden dan Ayu berbicara meski waktu keduanya tidaklah banyak.

“Ayu..” Gumam Jayden, matanya berbinar dengan sedikit genangan air mata di pelupuk matanya.

Jayden kagum karena Ayu dan riasan sederhana nya itu membuat wajah yang sudah dahayu itu semakin indah, sedangkan genangan air mata yang tertahan di pelupuk matanya itu menginsyaratkan sebuah kehancuran di hati Jayden. Dua minggu sudah perjuangannya untuk mendapatkan restu dari keluarganya dan Ayu tidak mendapatkan hasil.

Saat berbicara jujur jika ia mengencani seorang pribumi yang mana adalah seorang anak priyai, Jayden tentu saja mendapat penolakan dari orang tua nya di Belanda. Bahkan dari Kakak perempuannya, bahkan Jayden kerap di ancam jika jabatannya sebagai Asiten Residen Samarang akan di berhentikan dan memulangkannya ke Belanda jika tetap nekat menikahi Ayu.

Ayu yang sudah lemas itu tidak menjawab, ia hanya berdiri dan berhambur ke pelukan pria yang sangat ia rindukan itu. Ayu tidak perduli statusnya saat ini sudah menjadi istri dari pria lain.

“Bawa aku bersamamu, Sir Jayden,” ucap Ayu dalam isaknya.

Di rengkuhnya tubuh mungil itu, berkali-kali Jayden mengecupi kepala Ayu, mengusap punggung kecilnya demi meredam tangis itu.

“Aku tidak akan kemana-mana, liefj. aku akan tetap di tanah Samarang ini meski tidak bersamamu.”

Ayu sudah tahu perihal ancaman keluarga Jayden pada pria itu, Jayden menitipkan surat melalui Adi untuk di baca Ayu.

“Mas Dimas akan membawaku ke Soerabaja, jika aku pergi ke sana. Kita akan sulit bertemu, ini kesempatan terakhir yang kita miliki jadi aku mohon padamu bawaku pergi sekarang.” ucapan Ayu itu terdengar seperti sebuah permohonan.

Jayden tahu Ayu sedang tidak berpikir jernih, jabatan Jayden sebagai asisten Residen dan keluarga Ayu yang berasal dari keluarga terpandang itu akan menyulitkan keduanya untuk melarikan diri. Akan ada seyembara nantinya jika mereka berdua kabur.

“Kau mau berjanji satu hal padaku, sayang?” Jayden merenggangkan pelukan itu, sedikit memberi jarak pada Ayu demi bisa menghapus jejak air matanya itu.

“Ap..apa?”

“Berjanjilah untuk terlahir kembali, aku akan berusaha menemukanmu dan mengusahakan kita untuk bisa bersama jika di kehidupan saat ini kita benar-benar tidak berjodoh.”

Bersambung...