Melati Untuk Ayu

Jeong Yuno, Go Younjung, Lee Juyeon

Raga tengah bersiap untuk melakukan konsulnya kembali pagi ini, sudah sekitar dua bulan ini Raga selalu rajin melakukan terapi dan konsul dengan seorang psikiater di rumah sakit. Itu semua bukan karena Raga memiliki gangguan mental pada dirinya, ia melakukan ini untuk mencari tahu tentang mimpi beruntut yang selalu ia alami selama ia tidur 3 bulan belakangan ini.

Setelah memastikan dirinya sudah terlihat rapih dengan setelan kaus polo dan juga celana jeans, ia termenung kembali pada cermin di depannya yang menampakan dirinya sendiri. Teringat kembali akan mimpinya, tentang pria berusia seumuran dengannya, pria kolonial bernama Jayden Van den Dijk.

Raga sudah mencari tahu tentang Jayden akhir-akhir ini, dan ia telah menemui titik terang jika pria itu adalah nyata. Pria yang berada dalam mimpinya bukan berasal dari memori pendek yang ada di kepalanya. Melainkan pria masa lalu yang pernah tinggal di Indonesia yang dulu bernama Hindia Belanda.

Dari yang Raga tahu tentang rasa penasarannya pada mimpinya itu adalah, wajahnya mirip sekali dengannya. Pria itu juga memiliki tanggal dan bulan lahir yang sama dengan Raga. Raga sempat berpikir konyol jika dirinya adalah reinkarnasi pria bernama Jayden itu.

“Aga....”

Pintu kamarnya di ketuk dari luar, terdengar suara seorang wanita dari luar kamarnya memanggil nama Raga. Itu adalah Adelia Herlina Suhartono, Kakak Raga yang biasa ia panggil dengan sebutan 'Mbak Adel.'

“Apa, Mbak?”

Memecahkan lamunannya, Raga berjalan ke pintu kamarnya dan membukakan pintu kamarnya itu untuk Adel. Kakaknya itu berdiri di depan pintu kamarnya, menggandeng seorang anak kecil berumur 5 tahun. Itu adalah putrinya namanya Safira.

“Udah jam 10, jadi gue temenin konsul gak?” tanya Adel pada adiknya itu.

“Jadi, Mbak buru-buru? Kalo buru-buru gue naik taksi aja deh.”

“Ihhh ngambek! Enggak kok, tapi anterin Fira ke day care dulu yah. Gue ada janjian sama agen properti jam 12.”

Raga mengangguk, ia kemudian menutup pintunya. Beralih menggandeng Safira, Raga dan Adel menuruni tangga rumah mereka. Kedua orang tua Raga dan Adel itu enggak tinggal di Jakarta, mereka tinggal di Surakarta. Menikmati masa tua mereka di sana, sementara Adel yang sudah menikah dengan Suaminya itu menetap di Jakarta namun di rumah yang berbeda dari yang Raga tinggali.

Adel kebetulan sedang menjenguk adiknya itu saja, dan kebetulan Raga memang minta di antar ke rumah sakit tempatnya konsultasi karena mobilnya sedang berada di bengkel.

“Terus kemarin aku juga liat pertunjukan lumba-lumba, Om. Keren sekali!! Lumba-lumbanya bisa main bola,” celoteh Safira di pangkuan Raga Mereka sudah dalam perjalanan menuju day care.

“Keren banget dong, terus kamu foto gak sama lumba-lumba nya?”

“Foto!! Tapi fotonya ada di HP nya Daddy. Jadi Fira gak bisa tunjukin ke Om deh.” bocah itu cemberut.

“Kapan-kapan tunjukkin ke om yah!”

Bocah 5 tahun di pangkuan Raga itu mengangguk, Safira itu suka sekali bercerita apapun kegiatan yang ia lakukan di day care atau saat jalan-jalan dengan kedua orang tua nya, selalu di ceritakan pada Raga. Mereka sangat dekat, kalau pun Raga sedang dinas di luar kota pun orang pertama yang ia ingat untuk di belikan oleh-oleh adalah Safira.

“Mas Ethan masih di Samarinda, Mbak?” tanya Raga, Kakak ipar nya itu seorang arsitek juga. Mas Ethan ini bekerja di Clyton partners sebuah perusahaan konsultan arsitektur yang terkenal di Indonesia.

Kantor tempat Kakak Ipar Raga bekerja itu jauh lebih berpengalaman dari pada kantor konsultan tempat Raga bekerja, sebenarnya Ethan sudah sering menawari Raga untuk pindah ke tempatnya bekerja. Mengingat kemampuan Raga sebagai Team Leader di kantor nya saat ini sangat baik, rasanya tidak mungkin Raga di tolak untuk bekerja di kantor tempat Ethan bekerja. Apalagi atas rekomendasi dari Ethan sendiri.

“Masih, mungkin minggu depan pulang.”

Adelia menghentikan mobilnya di depan sebuah day care, Adelia tidak keluar dari mobilnya Safira di temani masuk ke dalam day care oleh Raga, setelah itu keduanya langsung melesat ke rumah sakit tempat Raga konsul.

“Mbak, keluarga kita tuh ada keturunan Eropa gak sih?” tanya Raga yang nyaris saja membuat Adelia terbahak-bahak. Pertanyaan yang jauh di luar dugaan Adel.

“Ck, malah ketawa lagi lu, gue serius ini nanyanya.” Raga enggak terima.

“Kenapa sih nanya kaya gitu?”

“Yah gapapa, kayanya gue gak hapal betul silsilah keluarga Papa deh.” Raga bertanya seperti ini untuk memastikan, apakah ia masih ada hubungannya dengan pria bernama Jayden dalam mimpinya atau tidak.

“Hhhmm... Kayanya ada deh, gue pernah di ceritain sama Papa kalo buyut nya itu orang Belanda. Aduh yang jelas jauh banget deh, Ga.”

Adel itu lebih dekat ke Papa mereka karena mempunya kebiasaan yang sama. Bermain golf tentunya, dahulu sewaktu kedua orang tua mereka masih berada di Jakarta. Adelia sering menemani Papa nya itu bermain golf, di sela-sela permainan kadang Papa suka bercerita pada Adelia, tentang apapun itu termasuk asal usul keluarga dari pihak Papa.

“Serius lo, Mbak?” Raga mengubah posisinya menjadi sedikit berhadapan dengan Adel yang sedang menyetir itu.

“Gue lupa gimana ceritanya, Ga. Gue gak begitu nyimak banget waktu Papa cerita, yang gue inget tuh Papa bilang kayanya buyutnya Papa itu orang Belanda. Duh lo tanya sendiri deh ke Papa, emang kenapa sih lo nanya kaya gitu?”

Pertanyaan dari Adiknya itu agak sedikit berbeda dari biasanya, kalau sedang jalan berdua dengan Raga atau sedang ngobrol dengan Adiknya itu. Obrolan mereka itu enggak jauh-jauh dari kegiatan sehari-hari, tentang bisnis roti yang di bangun oleh Adel, tentang Safira, orang tua mereka atau bahkan Ethan. Walau kadang Adel suka menyelingi obrolan mereka dengan candaan kapan Raga akan segera mengenalkan kekasihnya pada Adel dan Ethan.

Padahal boro-boro Raga punya kekasih, dekat dengan wanita saja dia enggak. Kalau di bilang Raga itu tampan jelas dia tampan, Raga itu sangat karismatik, ia bahkan mahasiwa yang popular di kampusnya dulu apalagi setelah menyabet jabatan sebagai presiden mahasiswa. Tapi tetap saja, ia tidak pernah tertarik untuk menjalin sebuah hubungan. Kalau naksir-naksir teman wanitanya sewaktu kuliah dulu sih pernah, tapi Raga enggak pernah memintanya menjadi pacar.

“Lo masih ingat mimpi yang bikin gue harus ke psikiater kan, Mbak?” tanya Raga yang di balas anggukan oleh Adel.

“Inget, kenapa emangnya? Lo udah dapat diagnosis dari dokter lo?”

Meski sudah berjalan 2 bulan Raga konsul dengan psikiter, Raga belum juga mendapatkan diagnosis tentang apa yang ia alaminya. Jadi untuk sementara ini dokter hanya mengatakan itu adalah gangguan tidur biasa.

Raga menggeleng. “Kemarin gue iseng nyari tau soal Jayden Van Den Dijk. Ini beneran gue iseng aja, dan gue nemuin sesuatu.” Raga menunjukkan ponselnya pada Kakaknya itu.

Karena di rasa obrolan Raga ini serius, Adel akhirnya memberhentikan mobilnya di depan minimarket, bukan untuk membeli sesuatu. Tapi untuk melihat apa yang ingin Raga tunjukan di ponselnya pada Adel, di ambil alihnya ponsel milik Adiknya itu dan ia baca sebuah artikel tentang Jayden Van Den Dijk di sana, laki-laki yang ada di dalam mimpi Raga. Ah, lebih tepatnya Raga di dalam mimpi itu yang menjadi Jayden Van Den Dijk.

“Dia beneran ada?” gumam Adel, “menjabat sebagai Asisten Residen di Semarang tahun 1898, sekitar 127 tahun yang lalu..”

Adel memperhatikan Raga, lebih tepatnya pahatan wajah adiknya itu dan dia bandingkan dengan wajah Jayden yang ada di artikel itu. Raga benar, wajah mereka benar-benar mirip bahkan letak tahi lalat yang ada di wajah Raga juga sama persis seperti tahi lalat yang ada di wajah Jayden. Perbedaan mereka hanya pada warna rambutnya saja, karna Jayden pria Eropa maka warna rambutnya pirang berbeda dengan Raga yang memang pria Asia.

“Muka lo mirip banget sama dia.” Adel benar-benar terdiam, seumur hidupnya dia baru mengalami hal seperti ini. Adel itu penggemar film atau drama-drama supranatural, ia mengetahui banyak tentang reinkarnasi. Tapi Adel hanya menganggapnya angin lalu, dia gak pernah percaya hal-hal seperti itu ada di dunia nyata.

“Mbak, makanya gue tanya sama lo. Apa kita benar-benar ada keturunan Eropa? Gue cuma mau mastiin, apa yang gue alamin sekarang itu ada sangkut pautnya sama Jayden.”

“Gue bakalan cari tau, semalam lo masih mimpi?” tanya Adel, ia ingin tahu apa yang selanjutnya terjadi pada pria bernama Jayden itu dalam mimpi Raga.

Terakhir yang Adel ingat adalah Jayden berkencan dengan seorang gadis bangsawan di Semarang bernama Ayu. Kemudian gadis itu di jodohkan oleh Ayahnya dengan seorang anak Bupati dari Surabaya.

“Masih,” Raga mengangguk.

“Apa mimpi selanjutnya?”

Di tanya seperti itu Raga terdiam, dia hanya mengulum bibirnya sendiri. Mimpinya semalam enggak begitu baik tentang Jayden, waktu Raga bangun pun dadanya terasa sesak dan seluruh tubuhnya sakit. Itu lah kenapa hari ini dia bangun terlambat.


Kirana mengepal tangannya dengan cemas di ruang tunggu pendaftaran rumah sakit, hari ini dia kembali ke rumah sakit bukan untuk melakukan check up rutin pada kaki dan tangannya. Ia di temani oleh Bagas akan bertemu dengan seorang psikiatri, dari semalam Kirana menahan kantuknya agar ia tidak bermimpi hal itu lagi. Walau pada akhirnya, di jam 2 malam ia tertidur di sofa ruang tamunya dan kembali melanjutkan mimpi yang sama.

“Gugup yah?” Bagas duduk di sebelah Kirana, menggengam tangan Kirana yang dingin karena menahan rasa tidak nyamannya itu.

Kirana mengangguk, “aku baru pertama kali ke psikiater.”

“Jangan gugup yah, relax aja sayang. Kamu datang ke ahlinya, aku janji setiap kali kamu konsul aku akan usahain buat temenin kamu.” Bagas mengusap tangan Kirana itu, berusaha membuat wanitanya tenang.

Mata teduh pria yang sangat di sayangi Kirana itu mengingatkan Kirana akan Adi di mimpinya semalam, Adi menatap Ayu juga dengan tatapan seperti itu. Seperti Bagas menatapnya saat ini, pandangan teduh dan lembut itu seperti menghangatkan hatinya, mata yang selalu berhasil menenangkan Kirana kala ia merasa gugup atau pun sedih.

“Makasih ya, Sayang.” ucap Kirana, dia beruntung sekali di pertemukan dengan Bagas di dunianya yang jungkir balik pasca peninggalan Bapaknya itu.

“Sama-sama, Sayang.” Bagas mengusap kepala Kirana. “Ngomong-ngomong kamu masih mimpi hal yang sama semalam?”

Kirana mengangguk, “um.. Walau sebenarnya pas bangun kepala aku agak pening, seenggaknya mimpi semalam gak merubah suasana hatikku.”

“Oh yah?” Bagas senyum, “emangnya kelanjutan mimpinya apa?”

Bagas jadi penasaran sama mimpi berkelanjutan yang di alami oleh Kirana itu, karena menurutnya mimpi yang di alami Kirana itu menarik, mimpi itu terus berlanjut bagai sebuah series di setiap episode nya. Sejujurnya Bagas selalu ingin tahu cerita lengkap dan kelanjutannya, namun setiap kali Kirana cerita, Cerita dari mimpinya itu enggak pernah runtun dan lengkap, selalu saja Kirana putus di tengah jalan.

Bagas mau bertanya terus menerus tentang kelanjutannya pun enggak enak, karena Kirana selalu bilang kalau mimpi itu membuatnya tidak nyaman setiap kali dia bangun dari tidurnya. Makanya Bagas enggak mau tanya-tanya, kecuali Kirana sendiri yang memang mau bercerita.

“Ada kamu di mimpiku.”

“Aku?” Bagas menunjuk dirinya sendiri, “aku yang namanya Adi di mimpi kamu?”

“Um, enggak panjang memang, karena aku ketiduran mungkin sekitar jam 2 malam aku baru tidur. Di mimpi itu, kamu lagi kerja di kebun dan aku nungguin kamu kerja. Terus aku bikin ide gila buat bolos sekolah, udah itu aja.”

Kirana enggak cerita spesifik mimpinya seperti apa, apalagi di mimpi itu Kirana yang bernama Ayu di mimpinya memiliki ide gila untuk bolos sekolah hanya untuk bertemu Jayden, yang saat itu menjadi kekasihnya. Sungguh, Kirana hanya tidak ingin Bagas cemburu.

“Nakal yah kamu tuh.” Bagas menyentil hidung Kirana dengan gemas. “Kenapa harus bolos emangnya? Jadi kamu tuh di mimpi itu masih sekolah, Sayang?”

Kirana mengangguk, “umurku 19 tahun, di sana namaku Ayu. Aku sakit, mungkin karena sakit itu di umur 19 tahun aku masih sekolah. Kalau di mimpikku, aku panggil kamu Mas Adi karna kamu 2 tahun lebih tua dari aku.”

“Oh yah?” Bagas senyum, baru kali ini Kirana bercerita lebih banyak tentang mimpi yang selalu membuat Bagas penasaran. “Berarti aku udah lulus yah?”

Mendengar pertanyaan dari Bagas itu, Kirana yang tadinya tersenyum kini menarik senyum itu dari wajah cantikknya. Jika mengingat kehidupan Adi di dalam mimpinya, sungguh pria itu adalah pria yang menyedihkan. Adi jarang sekali tersenyum, tidak seperti Bagas.

“Sayang? Kenapa?” melihat perubahan wajah Kirana, membuat Bagas berpikir jika Kirana mungkin enggak nyaman saat ia bertanya-tanya lebih jauh tentang mimpinya.

“Sayang?”

“Di mimpi aku, kamu enggak sekolah. Adi, hidup sebagai pribumi miskin. Ayah dan Ibu nya bekerja di rumahku, Adi tanpa Ayu. Hanya pria menyedihkan yang tidak bisa membaca, menulis dan berbahasa Belanda,” jelas Kirana.

Bagas yang mendengar tentang apa yang di alami pria bernama Adi di mimpi Kirana itu termenung, senyumnya juga hilang seperti Kirana. Apa itu sebabnya Kirana enggak pernah mau cerita tentang mimpinya? Pikir Bagas, karena enggak ingin membuat Kirana kepikiran akhirnya Bagas terkekeh, tawa yang ia paksakan.

“itu cuma mimpi, Sayang. Tapi Ayu itu baik banget yah, mau ngajarin Adi itu semua. Hubungan mereka pasti baik yah?”

“Sangat baik, Ayu sangat mempercayai Adi, Sayang. Dan Adi sangat menghormati dan melindungi Ayu.”

“Selain aku, apa ada orang lain yang ada di mimpi kamu? Kalau di mimpi kamu ada aku sebagai Adi orang yang kamu kenal, apa ada orang lain yang kamu kenal juga?”

Kedua mata Bagas dan Kirana bertemu, mereka saling bertatapan untuk beberapa saat, seperti saling berkomunikasi dengan tatapan itu. Namun beberapa detik kemudian Kirana menghindari tatapan mata Bagas, sejujurnya setiap kali Kirana bermimpi sedang berduaan dengan pria bernama Jayden itu. Setiap bangun tidur atau ketika ia sedang bersama Bagas seperti ini, rasanya seperti ia habis melakukan perselingkuhan. Padahal jelas-jelas Kirana hanya bermimpi, ia tidak melakukan apapun.

“Sayang, maaf ya aku gak bisa cerita selanjutnya. Karena ingatan aku juga enggak banyak di mimpi itu, ada beberapa orang yang muka nya enggak aku kenali. Bahkan enggak aku ingat.” alibi Kirana.

Bagas tersenyum, menurutnya itu wajar. “Gapapa, kenapa minta maaf sih?”

Bagas mencubit pipi Kirana dengan gemas, wajah bersalah milik wanitanya itu terkadang membuatnya gemas. Tidak lama kemudian, nama Kirana di panggil. Ia melakukan beberapa pemeriksaan seperti memeriksa tensi, suhu tubuh dan detak jantung nya. Semua normal, perawat juga memberikan selembar kertas berisi beberapa pertanyaan yang harus Kirana isi.

Ruang tunggu dengan ruang pemeriksaan dan pengisian kertas dari poli kejiwaan itu berbeda, tidak jauh memang hanya saja di batasi oleh kaca tebal. Ketika hendak memberikan kembali lembar pertanyaan pada perawat, Kirana menangkap sosok Raga berada tepat di depan ruang konseling. Raga pun juga melihatnya, keduanya sama-sama terkejut. Namun Kirana masih bisa mengkondisikan ekspresi wajahnya.

Karena sudah terlanjur tertangkap basah, mau tidak mau Kirana menghampiri Raga biar bagaimana pun Raga masih menjadi atasannya walau saat ini Kirana masih dalam masa cuti nya.

“Bapak konsul?” tanya Kirana,

Raga nampak bingung ingin menjawab apa. Netranya tidak menatap Kirana namun berpendar seperti ia tengah kebingungan untuk mencari jawaban.

“Itu.. Lagi—”

“Jagaraga Suhartono.”

Seorang perawat dari ruang konsul memanggil nama Raga, bagi Kirana itu adalah sebuah jawaban tanpa Raga perlu menjawabnya, namun bagi Raga kelak ia harus memberi penjelasan tentang apa yang tengah dia lakukan saat ini, padahal semua sudah jelas kan?

“Ki.. Kirana saya masuk dulu yah.” Raga gugup, ia mengangguk kecil pada Kirana kemudian masuk ke ruang konsul yang sudah di tunjukan oleh seorang perawat.

Kirana hanya mengangguk kecil, ia mencari kursi kosong untuknya tempati walau dalam hati ia juga bertanya-tanya. Ada apa Raga sampai harus melakukan konseling dengan seorang psikiatri. Apa atasannya itu juga memiliki gangguan? Padahal selama ini, Raga tidak menunjukan gelagat aneh. Atau memang atasannya itu sengaja menyembunyikannya.

Sekitar 1 jam Kirana menunggu namanya di panggil akhirnya seorang perawat yang keluar dari ruang konsul tempat Raga konsul tadi keluar, perawat itu juga keluar dari ruangan itu bersama dengan Raga yang mengekori di belakangnya. Tidak lupa, perawat itu juga memberikan resep yang harus Raga tebus di bagian farmasi nantinya.

Kedua mata mereka bertemu lagi, kalau biasanya Kirana terlihat santai saat bertemu atasannya itu. Kali ini rasanya terasa berbeda setelah mimpi yang ia alaminya, ada desiran ketidaknyamanan yang seperti mengingatkan Kirana akan gadis bernama Ayu dan Jayden di mimpinya.

“Kirana, sa..saya bisa jelasin kenapa saya ke sini,” ucap Raga terbata-bata, mulut dan otaknya tidak sejalan. Kepalanya mengatakan jika ia tidak harus menjelaskan pada Kirana tentang apa yang ia lakukan saat ini, namun mulutnya justru berkata sebaliknya.

“Konsul kan, Pak?”

Raga mengangguk kikuk, “i..iya memang, tapi saya enggak kaya apa yang kamu pikirkan, Kirana.”

Kirana terkekeh, “emangnya Bapak bisa baca pikiran saya?”

“Bu..kan begitu, saya takut kamu mengira saya ini punya gangguan kepribadian, mental atau ya semacamnya, saya kesini cuma mau konsul tentang gangguan tidur yang saya alami.”

Senyum di wajah Kirana itu sirna, dia tidak salah dengar. Raga benar-benar mengatakan jika ia mengalami gangguan tidur. Apa gangguan yang ia maksud adalah mimpi? Pikir Kirana.

“Gangg..guan tidur?” gumam Kirana yang di jawab anggukan oleh Raga.

“Diajeng Sekar Kirana?” seorang perawat kembali memanggil nama Kirana lagi.

“Iy..iya.” Kirana menyahut, ia harus segera masuk ke ruang konsul. “Ka..kalau gitu saya masuk dulu, Pak. Cepat sembuh yah, Pak.”

Kirana mengangguk, begitu pun juga dengan Raga. Keduanya sama-sama terlihat kikuk, di dalam ruang konsultasi pun pikiran Kirana mengawang tentang apa yang Raga katakan, jika perawat tadi tidak memanggil namanya. Mungkin ia akan bertanya gangguan tidur seperti apa yang Raga alami.


Setelah selesai konsul di rumah sakit, Bagas dan Kirana menyempatkan untuk jalan-jalan sebentar. Ini pertama kali mereka kencan lagi sejak Kirana pulang dari rumah sakit, mereka sempat mengitari taman di sekitaran hutan kota, makan nasi bebek kesukaan Kirana, yang pedagangnya sudah hapal menu yang biasa Kirana dan Bagas pesan saking sering nya mereka datang tiap kali pulang bekerja.

Begitu hari makin gelap, Bagas mengajak Kirana ke sebuah gedung yang di bagian paling atasnya terdapat landasan helikopter. Mereka menikmati pemandangan gemerlap malam kota Jakarta dari atas sana, sembari sesekali keduanya menyesap kopi dan keripik kentang yang sempat mereka beli sebelum pergi ke rumah sakit.

“Dingin gak, Sayang?” tanya Bagas, Kirana hanya memakai kaus di balut dengan cardigan tipis berwarna merah jambu. Sedangkan Bagas memang memakai hoodie dan kaus sebagai bagian dalam nya.

“Enggak kok, malah enak disini banyak angin. Tapi rambutku, aduh.” Kirana terkekeh, “jadi berantakan ini ketiup-tiup angin.”

Karena mereka berada di gedung paling atas, angin yang berhembus pun lumayan kencang. Membuat rambut sebahu Kirana itu berterbangan, Bagas yang melihat itu langsung menarik tali dari tudung hoodie yang ia pakai. Kirana tidak membawa ikat rambut sepertinya.

“Aku ikat pakai tali ini yah?” Bagas menunjukkan tali itu pada Kirana, membuat wanita itu tersenyum dan mengangguk.

“Emangnya kamu bisa?”

“Kamu ngeremehin aku nih? Dari dulu kan yang suka ngikat rambutnya Kanes tuh aku.”

“Eh, iya yah aku lupa. Kamu dulu suka cerita kalo Kanes suka banget minta tolong kamu buat di kepangin rambutnya.”

Kirana tersenyum, walau seorang pria. Bagas itu pandai sekali mengikat rambut, Bagas sering sekali bercerita bagaimana ia memperlakukan Adik perempuannya itu. Bagas adalah Kakak yang hangat, kadang Kirana juga ingin mempunyai seorang saudara. Sebagai tempatnya bercerita atau bahkan bercanda, hidup sebagai anak tunggal itu kadang membuatnya kesepian.

Bagas berpindah ke belakang Kirana, merapihkan rambut wanita itu kemudian mengumpulkannya jadi satu sebelum akhirnya ia ikat menggunakan tali dari hoodie yang ada di tangannya.

“Kamu tau gak, Sayang? Adi di dalam mimpikku itu pintar sekali merias rambutnya Ayu pakai bunga melati loh.” di ikat rambutnya seperti ini membuat Kirana teringat akan Adi.

“Oh yah? Kaya aku yah? Tapi kenapa pakai bunga melati?”

“Karena Ayu suka banget sama bunga melati.”

Begitu sudah selesai mengikat rambut Kirana, Bagas berpindah kembali duduk di samping Ayu. Memperhatikan wajah cantik yang ia sayangi itu berpadu pada lampu-lampu kota di bawah sana, angin yang berhembus seakan menjadi saksi bagaimana Bagas selalu menatap Kirana yang selalu indah di matanya itu.

“Beda yah sama kamu, kalau kamu lebih suka bunga mawar sama lily.”

“Um.” Kirana mengangguk. “Kamu tau gak, sayang. Setiap kali aku bangun dari mimpiku sebagai Kirana, aku selalu ngerasa sedih kalau ingat bagaimana di mimpi, aku berperan sebagai Ayu.”

“Kenapa?”

Bagas mulai kembali penasaran seperti apa Ayu dalam mimpi Kirana itu, karna setiap kali Kirana membicarakan Ayu. Kedua netra legam nya itu selalu nampak sedih, apa hidup anak bangsawan dalam mimpinya itu menyedihkan? Pikir Bagas.

“Karena Ayu sama seperti aku, sama-sama anak tunggal. Romo nya tegas dan keras, Ibu nya halus tapi enggak punya kekuatan buat melindungi Ayu. Ayu itu periang, bukan gadis yang lebih banyak diam dan tertutup kaya aku. Tapi sakit yang di deritannya serta kekangan dari Romo nya buat gadis kecil itu jarang banget senyum.”

Kirana ingat, bagaimana di mimpi Ayu sakit berhari-hari. Muntah darah yang di derita gadis ringkih itu membuat dada Kirana juga ikut sesak setiap kali ia bangun tidur, Kirana menduga jika Ayu di mimpinya menderita TBC. Pada zaman itu, pengobatan tentang penyakit itu belum semudah sekarang.

“Pasti dia kesepian yah?” gumam Bagas. “Apa kamu kesepian juga sama seperti Ayu?”

Bagas ingin memastikan apa yang di rasakan Kirana sebagai anak tunggal, mengingat selama ini hidup menjadi seorang Kirana pun tidak mudah. Apalagi setelah kepeninggalan Bapaknya, hidup Kirana benar-benar jungkir balik. Kirana yang memang pemalu dan pendiam itu semakin menutup dirinya.

“dulu. Tapi waktu aku kenal kamu udah enggak lagi, apalagi sekarang udah ada Bang Satya, Almira dan Kanes.”

Bagas tersenyum, menyelipkan anak rambut Kirana ke belakang telingannya. “Aku gak akan biarin kamu kesepian.”

“Bagas?”

“Hm?”

“Jangan tinggalin aku yah. Mungkin akan ada banyak orang yang keberatan sama hubungan kita, tapi aku gak bisa bayangin gimana kalau aku harus kehilangan kamu.”

Katakan Kirana sudah terlalu bersandar pada Bagas dan mengandalkannya, pria itu selama ini yang menjadi sandaran untuknya. Hari-hari sejak ia mendapat penolakan dari keluarga Bagas membuat Kirana terkadang sesak, ia takut jika suatu hari Bagas akan meninggalaknnya karena mereka terhalang restu.

“Sayang, tolong bersabar sedikit lagi yah. Aku sedang berusaha membuat orang tuaku mengerti hubungan kita seperti apa.”

Kedua anak manusia itu saling melempar pandangan satu sama lain, mata Kirana berkaca-kaca. Sungguh ia sangat mencintai Bagas, ia bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya tanpa pria itu. Melihat Kirana menangis, membuat hati Bagas rasanya di sayat-sayat. Ia rengkuh tubuh itu dan ia bawa ke dalam pelukannya.

“Aku sayang kamu Kirana, maafin keluargakku yah. Maaf mereka udah kasar ke kamu,” bisik Bagas di telinga wanitanya itu.

Bersambung..

Soerabaja, 1898.

Tak ada bedannya terik matahari di Samarang dan Soerabaja siang itu, kereta api uap yang di tumpangi oleh Jayden berhenti tepat di stasiun kereta api Soerabaja. Ia akan di jemput oleh seorang anak Bupati Soerabaja siang itu, langkah kakinya yang panjang-panjang itu melangkah keluar dari dalam stasiun.

Berpendar kedua netra legam dengan warna kecoklatan itu, sampai akhirnya ia menemukan seorang bangsawan pribumi yang melambaikan tangan padanya. Pria itu lebih tua satu tahun darinya, tampak lebih mencolok mengendarai sebuah kendaraan serupa dengan mobil tapi juga tidak berbeda jauh dengan dokar.

Orang-orang sering menyebutnya 'Kreta Setan' namun benda itu bukanlah sebuah dokar, itu adalah sebuah mobil bernama Benz Phaeton yang harganya sangatlah fantastis. Bahkan Jayden sendiri tidak berniat untuk membelinya.

Je zag er verward uit toen je in Soerabaja aankwam, Jayden?” pria itu terkekeh. (Kau begitu kebingungan begitu tiba di Soerabaja, Jayden?)

Pria dengan wajah tegas itu tersenyum pada Jayden, tersirat sebuah keangkuhan disana ketika para pribumi lain dan tentara kolonial yang berada di sekitar, memperhatikan kendaraan yang ia tumpangi, kendaraan itu terlalu mencolok jika berjejer dengan dokar-dokar yang berada di sana.

nogal een vermoeiende reis, heb je een nieuwe auto?” Jayden menjabat uluran tangan si pria pribumi itu. (Perjalanan yang cukup melelahkan, kau memiliki mobil baru?)

ja, Benz Phaeton. Romoku membeli nya dengan harga 10.000 gulden. Naiklah, akan aku antar kau ke kediamanku.”

(visualiasai kreta setan/ mobil Benz Phaeton ini bentuknya belum menyerupai mobil di zaman sekarang. Bentuknya masih seperti kereta kuda—terbuka, beratapkan kanopi—dan hanya bisa berjalan maju. Karena memiliki bentuk seperti kereta kuda tetapi bisa bergerak sendiri, Benz Phaeton terkenal dengan sebutan kreta setan, yang berarti kereta hantu.)

Jayden menaiki mobil pertama milik putra sang Bupati itu, dia adalah Dimas Bagus Dhinangkara. Seorang anak Bupati Soerabaja yang tengah menjabat saat ini, Dimas memang di kenal pandai berbahasa Belanda karena ia lebih banyak bergaul dengan para eropa ketimbang pribumi itu sendiri.

“Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kita bertemu bukan? 7 bulan yang lalu kalau tidak salah?” ucap Dimas, ia melirik Jayden yang duduk di sebelahnya. Mata pria yang lebih muda itu berpendar melihat-lihat keramaian Soerabaja siang itu.

“7 bulan itu belumlah lama, Dimas. Ah, ngomong-ngomong bagaimana kabarmu?”

“Baik, hanya saja aku agak sedikit sibuk akhir-akhir ini. Dan..” Dimas memelankan ucapannya sedikit. “Ada sedikit kabar baik dariku.”

“Apa?”

“Aku akan di jodohkan dengan anak dari kenalan Romoku, seorang gadis yang sangat cantik dari daerahmu!” Dimas tersenyum, ia sudah di beritahu soal perjodohan ini oleh Romo nya.

Mereka akan segera bertemu sang gadis ke Samarang untuk saling di kenalkan, waktu pertama kali melihat foto gadis itu. Dimas sangat tertarik dan sangat ingin bertemunya, sebenarnya mereka sudah pernah bertemu. Namun kala itu Dimas sedang berkencan dengan seorang gadis eropa, namun tak lama setelah Romo nya di angkat sebagai Bupati Soerabaja, hubungan mereka harus kandas karna sang wanita telah kembali ke Belanda.

“Samarang?” Jayden menoleh pada Dimas.

Pria itu tersenyum dan mengangguk, wajah angkuhnya itu berkonsentrasi mengendarai kendaraan yang di bawanya. Meski begitu bisa Jayden lihat ada rona kebahagiaan yang terpancar di wajah pria yang lebih tua darinya itu.

ja, Volgende maand zal ik hem ontmoeten. misschien stel ik hem ook wel aan jou voor.” (aku akan menemuinya bulan depan. mungkin aku akan memperkenalkannya padamu juga.)

Jayden mengangguk, ia juga ingin mengenalkan kekasihnya pada orang terdekatnya. Saat ini tidak ada orang yang tahu jika seorang asisten residen Samarang ini mengencani seorang siswa HBS, terlebih wanita itu adalah seorang anak priyai.

Jayden yakin bukan hanya keluarganya saja yang menentangnya, keluarga dari pihak Ayu pun akan menentang hubungannya. Berpikir semalaman dan selama perjalanan menggunakan kereta api uap ke Soerabaja, membuat Jayden berpikir jika ia ingin bertemu dengan saudagar Gumilar, ia ingin mengenalkan dirinya sendiri sebagai kekasih nya.

Bahkan dengan gila nya Jayden berpikir jika ia ingin melamar Ayu, menunggunya hingga lulus dari HBS tidaklah lama. Hanya beberapa bulan lagi, Ayu akan lulus dari HBS. dengan begitu ia bisa menikahi Ayu, mungkin saja dengan ia bertemu dan berbicara dengan saudagar Gumilar, keputusannya untuk menjodohkan Ayu dengan seseorang akan sirna.

Begitu sampai di kediaman keluarga Dhinangkara itu, Jayden di sambut hangat. Ia di tunjukan kamar yang akan ia tempati selama beberapa hari ini di Soerabaja oleh Dimas. Mereka juga sempat meminum teh di depan teras sembari menikmati pemandangan Soerabaja di kala senja.

“Malam nanti, aku akan pergi ke sociëteit¹, kau mau ikut?” Dimas mengepulkan asap yang berasal dari mulutnya itu, kemudian ia hisap lagi cerutu yang bertengger di tangan kirinya itu.

“Kau masih hobi berjudi rupanya?” Jayden sudah mengenal Dimas cukup lama, mereka dulu adalah kawan baik. Terlebih Ayah Jayden juga mengenal keluarga Dhinangkara dengan baik sewaktu masih menjabat sebagai residen di Soerabaja.

Dan kebiasaan berjudi Dimas sudah Jayden ketahui dari dulu, Jayden pikir Dimas sudah berubah, ternyata pria yang lebih tua darinya itu masih sama. Masih menggilai judi dan tentunya mabuk-mabukan.

“Tentu, apa kau tidak pernah melakukannya sekali saja dalam seumur hidupmu, Jayden?”

Jayden mengangguk, sebagai seorang kolonial yang terhitung ia sendiri juga dari kalangan kaya. Ia pernah di ajak sesekali ke sociëteit untuk berjudi oleh teman-teman eropannya, namun menurut Jayden sendiri berjudi bukanlah hidupnya. Ia hanya coba-coba saja, walau bisa terbilang untuk seorang pemula ia benar-benar beruntung. Ia memenangkan banyak permainan malam itu, dan uang dari hasilnya berjudi ia pakai untuk mentraktir teman-temannya.

“Pernah, sudah sangat lama. Tapi aku tidak pernah melakukan itu lagi,” jelas Jayden. Ia menyesap teh melati yang di buatkan oleh seorang pembantu wanita tadi.

“Mengapa?”

“Aku tidak terlalu menyukainya. Aku hanya mencoba peruntunganku saja kala itu.”

Dimas terkekeh, setelah cerutu di tangannya itu mulai mengecil. Dimas keluarkan kembali cerutu yang berada di sakunya, kemudian ia jentikan lagi korek yang selalu ia bawa kemana-mana itu. Bahkan Jayden pernah berpikir jika harum dari tubuh Dimas itu identik dengan tembakau.


Setelah menyelesaikan beberapa pekerjaanya di kantor keresidenan Soerabaja, Jayden di jemput kembali oleh Dimas. Lelaki itu tidak memiliki kegiatan lain selain menemani Jayden selama berada di Soerabaja, Dimas memang tidak berkerja dengan siapa-siapa. Ia hanya mengelola peternakan milik Ayahnya, itu pun ia jarang sekali mengunjunginya.

Dimas lebih senang bermain dengan teman-temannya, hari ini kedua pria itu berkeliling kota, mereka juga sempat mengunjungi Kasteel Brdige atau jembatan Kasteel. Jembatan itu menjadi titik penting distribusi barang, ramainya sama seperti pasar Djohar yang juga menjadi tempat berkumpulnya para pedagang dari berbagai macam etnis, selain itu pasar Djohar juga menjadi pusat dari perdagangan rempah-rempah di Jawa Tengah.

“Kasteel Brdige ini sudah berdiri saat Ayahmu masih menjabat sebagai Residen bukan, Jayden?” ucap Dimas, kedua pria itu melihat hirup piruk keramaian disana.

“Iya, saat itu aku juga sempat tinggal disini.”

“Kau lebih betah tinggal di mana?” Dimas menoleh pada pria yang lebih muda di sebelahnya itu.

“Samarang,” jawab Jayden singkat.

Ia terlalu menikmati suasana perjalanan mereka. Sembari kepalanya berpikir untuk mencari cincin yang ingin ia berikan pada Ayu, keduanya memang berencana untuk datang ke sebuah toko yang menjual perhiasan.

“Sudah ku duga, itu karna kau mengencani seseorang di sana kan?”

Jayden mengangguk, mengajak Dimas untuk di antarkan ke toko perhiasan milik kawan Ayahnya itu mengundang banyak pertanyaan untuk Jayden. Termasuk tebakan pria itu jika Jayden mengencani seorang wanita.

“Aku ingin melamarnya, Dimas.”

“Segerakan, beri tahu aku siapa orangnya? Seorang wanita eropa?” Dimas melirik ke arah Jayden, pandangannya menelisik dan menuntut jawaban dari si yang lebih muda.

“Aku ingin melamar seorang pribumi.”

Kreta setan yang di kendarai oleh Dimas itu berhenti, kedua mata pria pribumi itu membulat menatap Jayden dengan pandangan menusuk. Tidak habis pikir dengan pria Belanda di sebelahnya itu, Jayden mengatakannya dengan sangat santai. Seolah-olah kalimat yang baru saja keluar dari mulutnya bukanlah suatu hal yang aneh.

Ik denk dat je gek bent, Jayden” Dimas menggeleng-gelengkan kepalanya. (Aku pikir kamu gila, Jayden.)

“Kau akan menjadikannya peliharaanmu? Ma..maksudku, Jayden. Ini bukanlah perkara mudah, kau tau? Ayahmu pasti menentang hal ini. Ia pasti berpikir wanita itu tidak sepadan untuk pria Eropa sepertimu.”

“Aku akan menikahinya secara resmi, Dimas. Aku ingin dia menjadi Istriku, bukan peliharaan, bukan gundik, bukan selir atau sebutan sialan apapun itu,” jelas Jayden.

Berbicara dengan pria yang lebih muda darinya itu membuat kepala Dimas sedikit berdenyut, Jayden sangat kekanakan dan gegabah menurutnya, di usianya yang tidak bisa di anggap muda lagi. Harusnya pria kolonial itu tahu betul seperti apa para eropa memperlakukan pribumi, terlebih keluarga Jayden adalah salah satu pejabat VOC. Jayden akan sulit untuk kembali ke negaranya jika masa tugasnya akan habis.

“Kau berani melamarnya? Sudah kau bicarakan ini pada Ayahmu? Ah, tidak-tidak pada Roosevelt, kau tau Kakakmu sangat membenci wanita pribumi. Aku yakin ia yang akan menjadi orang pertama yang menentangmu.”

Dimas sudah mengetahui bagaimana Roosevelt membenci pribumi khususnya wanita. Tidak habis pikir jika Jayden tetap nekat menikahi wanita yang ia kencani itu, bisa menjadi bulan-bulanan keluarganya kelak.

“Aku sudah memikirkan konsekuensinya, Dimas. Aku lebih baik kehilangan apa yang telah aku miliki saat ini ketimbang kehilangannya.”

“Wahh...” Dimas menggeleng-geleng, ia memegangi kepalanya yang terasa semakin pening itu. “Dia wanita biasa? Seorang babu? atau bahkan anak seorang priyai?”

“Dia anak seorang priyai. Akan ku kenalkan jika kau mengunjungi wanita yang akan di jodohkan denganmu nanti.” ucap Jayden penuh percaya diri.

Tibalah mereka di sebuah toko perhiasan yang cukup terkenal di Soerabaja kala itu, Jayden masih memilih-milih di sana. Sementara Dimas sibuk berbicapa pada si pemilik toko, ia terlalu terpaku pada beberapa cincin permata yang berada di depannya saat ini.

Jayden tidak pernah mengukur jari manis Ayu, bahkan bergandengan tangan pun tidak pernah. Jayden hanya pernah sekali membantu Ayu mengikat rambut panjangnya dan menaruh melati yang jatuh dari surai legam nya itu.

“Saya ingin cincin dengan permata putih ini, boleh saya melihatnya dulu?” tanya Jayden sopan pada pria Indo-Eropa itu.

“Saya akan ambilkan, Meneer.

Pria itu mengambilkan cincin yang di tunjuk oleh Jayden dan memberikannya pada pria di depannya itu. Jayden tersenyum, menimang cincin permata putih nan cantik itu, sembari membayangkan ia akan memakaikan cincin ini pada jari manis Ayu.

“Kawanku ini ingin melamar kekasihnya, Tuan.” Dimas memberi tahu pria di depannya itu, ia pikir siapa tahu si pemilik toko perhiasan itu dapat membantu Jayden memilih perhiasan untuk wanitannya.

“Benarkah itu, Meneer? seperti apa dia? Saya bisa bantu pilihkan jika anda berkenan.” pria itu menawarkan diri membantu Jayden, namun Jayden menggeleng. Ia ingin memilih perhiasan itu dengan menyesuaikannya dengan diri Ayu.

“Tidak perlu, Tuan. Aku ingin memilihkannya sendiri untuknya.”

Pria si pemilik toko itu terkekeh, ia bisa menangkap sepasang netra kecoklatan milik Jayden itu berkilau. Sepasang netra itu seperti telah mengatakan betapa Jayden itu mencintai wanitannya, tak lekang kedua binar matanya itu dari pandangan cincin dengan permata putih di tangannya.

“Saya sudah sering melihat kedua mata dengan binar seperti itu pada pelanggan tokoku.” pria itu masih menatap Jayden sampai akhirnya kedua mata mereka bertemu.

“Saat melihat perhiasan?” tebak Dimas.

Pria itu menggeleng pelan, “bukan, tapi saat membayangkan kekasihnya kelak akan memakai perhiasan yang di berinya.”

“Ahh, kau ini bisa saja. Kau memanglah Kimpoidra²” Dimas ikut terkekeh, dalam hati ia hanya berdecap jika sang pemilik toko sangatlah berlebihan.

“Saya menginginkan cincin ini.” Jayden memberikan cincin itu untuk ia beli.

“Akan saya siapkan, Meneer.

Selagi pria pemiliki toko itu menyiapkan cincin pesanan Jayden, Dimas dan Jayden menunggu di kursi yang di sediakan disana. Dimas menjadi semakin penasaran, wanita pribumi mana yang berhasil meluluhlantahkan hati seorang Jayden yang di kenal kaku dan tak mudah jatuh hati pada wanita.

“Aku jadi penasaran, wanita seperti apa yang kau kencani, apakah dia elok?”

Jayden mengangguk, ia tidak naif untuk tidak mengatakan jika ia mencintai Ayu hanya karena kebaikan hatinya. Wajah Ayu memanglah elok, parasnya lah yang membuat Jayden jatuh hati sebelum akhirnya ia semakin jatuh karena hatinya yang putih.

“Dia sangat cantik, wanita yang baik dan begitu lugu.”

“Lugu?” Dimas terkekeh. “Kau mengencani bocah?”

“Dia masih siswa, dia bersekolah di HBS.”

Mendengar ucapan Jayden selanjutnya membuat Dimas yang sedang menyeruput kopi ireng itu mendadak terbatuk-batuk. Ucapan Jayden hari ini benar-benar membuatnya pening.

Ik denk dat je echt heel erg gek bent, Jayden.” (aku pikir kamu benar-benar gila, Jayden.)


Hari-hari setelah ia dapat kembali bersekolah enggak semenyenangkan dulu lagi bagi Ayu, Romo nya jadi sangat mengawasinya dengan ketat, ia harus sampai di rumah begitu selesai sekolah. Hari-hari membosankan di rumah, Ayu menepisnya dengan menunggui Adi bekerja di ladang, kemudian memetik bunga melati yang berada tak jauh dari rumah Adi.

Tak lupa kadang Ayu juga belajar memasak dan menjahit, namun tetap saja kegiatan-kegiatan sederhana itu tak berhasil menghalau rasa bosannya. Terkadang kala malam mulai datang, kala senyap di bilik kamarnya mendera. Ia kembali merindukan Jayden, pria itu masih di Soerabaja.

Dan Adi sudah menyampaikan pesan Jayden padanya untuk bertemu di taman terakhir mereka bertemu. Dan hari itu akan datang besok, Ayu masih menimang alasan apa yang akan ia pakai untuk mendapatkan izin pada Romo nya agar ia bisa keluar sebentar menemui Jayden.

Ayu menghela nafasnya, ia sudah selesai mengepang rambutnya dan kesulitan untuk menghias rambutnya itu dengan melati yang sudah Adi petikkan untuknya tadi.

“Mas Adi!!” teriak Ayu, membuat pria yang tengah sibuk memunguti ranting dan daun kering dari ladang milik Tuan Gumilar itu menoleh.

dalem, Raden Ayu?”

“Tolong pakaikan melati ini di rambutku!” pekik Ayu, ia mengambil satu bunga putih dengan harum semerbak itu dan menunjukkanya pada Adi.

Debaran jantung Adi semakin tak karuan, selalu seperti itu kerap kali Ayu meminta tolong di hiaskan rambut olehnya. Karena Ayu, Adi jadi banyak belajar caranya mengikat rambut dan mengepangnya. Itu semua demi Ayu, dengan sigap Adi mengesampingkan debaran menggila itu dan membersihkan tangannya yang kotor karena tanah.

Kemudian kaki telanjang dan panjangnya itu melangkah mendekat ke Ayu yang tengah duduk di amben, kaki mungilnya itu mengayun-ayun seperti seorang anak kecil. Begitu dekat, Adi tidak duduk di samping Ayu. Ia berdiri dan langsung memasangkan bunga-bunga melati itu pada rambut panjang milik Ayu.

“Aku harus mengelabuhi Romo bagaimana yah? Aku ingin sekali menemui Sir Jayden,” gumam Ayu.

Adi sendiri tidak tahu bagaimana caranya, ia ingin sekali menolong Ayu. Namun mengkhianati kepercayaan Tuan Gumilar hanya akan mendatangkan petaka baginya, ia bisa di pecat dan keluarganya bisa di perlakukan seenaknya lagi oleh para Belanda itu.

“Saya juga tidak tahu, Raden Ayu.”

“Bagaimana jika aku tidak datang ke sekolah besok?”

Ayu menoleh pada Adi dengan binar mata yang begitu menyala, ide itu seperti secercah cahaya, harapan untuknya bertemu dengan Jayden. Walau terbilang gila, Ayu tidak pernah senekat itu hanya untuk menemui seseorang. Terlebih, meski sering sekali tidak hadir di sekolah karena masalah kesehatannya, Ayu adalah murid berprestasi di HBS.

“Kalau ketahuan dengan Tuan Gumilar bagaimana?”

“Romo tidak akan tahu, lagi pula hanya untuk kali ini saja Mas Adi.” Ayu memejamkan matanya, rautnya seperti membuat permohonan pada Adi.

“Saya tidak berani, Raden Ayu.” sungguh Adi ingin membantu Ayu, namun rasa takutnya itu lebih besar.

“Hanya kali ini saja, Mas Adi. Aku tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa selain Mas Adi.” Ayu menarik tangan Adi, tangan kecil itu menggenggam telapak tangan pria yang lebih besar darinya.

“Romo tidak akan tahu jika Mas Adi tidak mengatakan jika Ayu tidak pergi ke sekolah. Beliau begitu percaya dengan Mas Adi.”

Di buat bimbang Adi rasanya, apalagi saat Ayu mengenggam tangannya. Debaran menggila yang selalu Adi rasakan itu kembali meletup-letup, kali ini di barengi dengan jutaan kupu-kupu yang sama menggilanya berterbangan di perutnya.

Tidak pernah Adi katakan dari mulutnya, ia pendam dan kubur pada dasar hatinya, namun ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri jika ia mencintai Ayu. Genggaman tangan kecil itu seakan menghipnotisnya, walau dengan rengekan seperti seorang Adik kecil di mata Adi. Namun tetap saja rasa cintanya tidak sama dengan cara ia memandang Ayu saat ini.

Kepala Adi pun mengangguk, “baik, Raden Ayu.”

“Benarkah?! matur suwun Mas Adi.”

Bersambung...

sociëteit : gedung yang digunakan sebagai tempat hiburan dan berkumpul, terutama bagi orang kaya dan orang asing, dan juga menjadi tempat perjudian.

Kimpoidra : rajanya pujangga.

(Kue Nagasari adalah kudapan tradisional asal Indonesia yang sangat terkenal dalam masyarakat Jawa. Terbuat dari tepung beras yang di dalamnya berisi pisang.)

Jakarta, 2025.

Tangan Kirana meraba ranjangnya, mencari benda pipih yang sedari tadi terus berbunyi. Ini menandakan jika sudah memasuki waktu subuh, setelah benda itu ketemu langsung ia tekan tombol di ponselnya untuk menghentikan bunyi bisingnya. Matanya masih sedikit pedih karena masih mengantuk, namun adzan subuh sudah berkumandang dari mesjid yang tak jauh dari rumahnya berada.

Kirana bangun dari ranjangnya, jika kemarin-kemarin ia masih kesulitan untuk bangun dari tiduranya, kali ini Kirana sudah dapat melakukan aktifitas sederhana sendiri tanpa bantuan Ibu. Ia juga sudah bisa beribadah walau dalam keadaan duduk, lututnya masih terlalu ngilu untuk melakukan gerakan sujud.

Masih duduk di ranjangnya, Kirana teringat akan mimpinya semalam. Ia masih bermimpi itu lagi. Mimpi yang terus berlanjut seperti ia tengah menamatkan sebuah film, ia jadi teringat akhir dari mimpinya. Pria kolonial itu memberikan kue nagasari pada pria bernama Adi.

“Kue nagasari,” gumam Kirana. Seperti ada sesuatu yang janggal, seperti ia pernah mendengar seseorang mengatakan kue kesukaanya ini.

Begitu terlintas wajah pria kolonial itu, ia jadi teringat akan Raga yang tempo hari bertemu dengannya dan mengatakan ia sangat menyukai kue nagasari.

“Pak Raga dan kue nagasari?”

Lagi-lagi Kirana merasa jika ini semua sebuah kebetulan, terlalu banyak kebetulan-kebetulan yang bersangkutan dengan mimpi-mimpinya. Seperti ada benang merah, namun Kirana sendiri masih merasa bingung dengan semua ini.

Mengabaikan rasa gundah yang selalu merambatinya tiap kali terbangun dari tidur malamnya, Kirana melakukan ibadah pagi itu. Setelahnya ia pun membuka satu persatu jendela kamarnya agar udara segar dapat masuk ke kamarnya, rumah Kirana itu bisa terhitung besar.

Itu adalah rumah peninggalan Bapaknya, hanya satu-satunya rumah itu yang bisa Ibu dan Kirana pertahankan. Apapun caranya Kirana harus tetap mempertahankan rumah yang di penuhi kenangan kedua orang tua nya dan masa kecilnya itu.

Sedang menikmati udara pagi, ponsel yang Kirana pangku itu bergetar. Ternyata itu adalah panggilan dari Bagas, pria itu sudah berada di Surabaya untuk memantau proyek pembangunan rumah sakit disana. Bagas selalu menepati janjinya untuk menelfonnya jika ia memiliki waktu luang, mereka juga selalu mengingatkan satu sama lain untuk hal-hal seperti tidak melupakan ibadah dan tidak melewatkan jam makan.

Hai, sayang. Udah sholat subuh?” tanya Bagas di sebrang telfon sana.

“Udah, kamu gimana?”

baru selesai, kamu lagi ngapain?

“Lagi liatin ke taman depan kamar aja, habis ini mau bantu Ibu bikin sarapan.”

makan yang banyak sayangku, kemarin kamu check up kan? Gimana kata dokter? Maaf yah, aku enggak bisa nganterin karena harus ke Surabaya.

Kirana menunduk, memperhatikan cincin yang berada di jari manisnya. Cincin pemberian dari Bagas untuk hadiah ulang tahunnya yang ke 26 tahun lalu, cincin dengan design sederhana pilihan Bagas. Kirana berharap suatu hari nanti ia dan Bagas bisa memakai cincin yang sama. Cincin yang mengikat mereka satu sama lain.

“Gapapa, kata dokter seminggu lagi aku udah bisa lepas gips di tanganku, terus kemarin aku ketemu Pak Raga di rumah sakit.”

syukurlah.” Bagas bernapas dengan lega. “oh ya, ngapain dia?

“Bilangnya mau periksa mata gitu,” Kirana jadi ingat mimpinya semalam untuk kesekian kalinya, dia enggak bisa bercerita secara gamblang pada Bagas seperti apa mimpinya.

Obrolan mereka sempat hening sebentar karena di sebrang sana Bagas sedang menyeruput teh miliknya, Bagas itu enggak suka kopi. Perutnya mudah kembung, yah paling-paling kalau nongkrong di cafe ia hanya pesan capucino saja, itu pun tidak habis kadang.

“Bagas?”

Ya, sayang?

“Aku kok masih mimpi hal itu, Kenapa yah? Aku benar-benar enggak nyaman, mimpinya kaya film yang terus berlanjut setiap kali aku tidur.” keluh Kirana, mimpi-mimpi itu benar-benar menganggunya.

sayang, setelah aku pikir-pikir mungkin mimpi ini salah satu tanda kalau kamu mengalamin trauma?” Bagas mikir kaya gini karna sebelumnya Kirana enggak pernah bermimpi macam-macam.

Setiap kali Kirana bercerita tentang mimpinya, Bagas selalu membaca banyak jurnal tentang trauma. dan menurut Bagas mimpi yang Kirana alami mungkin salah satu tanda jika wanitanya itu mengalami trauma psikis yang terjadi karena kecelakaan yang ia alami.

“Maksud kamu?”

gini loh, sayang. Maksudku, mungkin karena kamu habis mengalami kecelakaan, makanya kamu mimpi kaya gitu yang di sebabkan sama trauma kamu. Aku sempat baca-baca soal trauma, aku memang bukan psikolog atau psikiatri, makanya aku mau ajak kamu konsul ke psikiatri, aku cuma khawatir kamu trauma,” jelas Bagas.

Sejak Kirana kecelakaan, Bagas jadi merasa punya tanggung jawab lebih atas Kirana. Bagas masih merasa bersalah karena kecelakaan itu, meski itu semua bukan di sebabkan karena dirinya, Bagas ngerasa andai dia mengantar Kirana pulang mungkin saja kecelakaan itu tidak pernah terjadi.

gimana? Kamu mau coba?

Kirana terdiam, penjelasan Bagas masuk akal. Bisa saja ini respon tubuhnya karena ia memiliki trauma tanpa ia sadari, tidak ada salahnya mencoba ke psikiatri kan? Setidaknya ia bisa berkonsultasi dengan ahlinya, walau mungkin dari lubuk hati Kirana ia merasa mimpi ini seperti memiliki benang merah dengan hidupnya saat ini. Biarlah nanti ia sembari mencari tahunnya sendiri.

“Boleh, nanti aku coba bilang sama Ibu.”

aku antar aja yah, setelah aku pulang dari Surabaya aku antar kamu ke psikiatri.


Kedua mata Raga menatap penuh keseriusan pada layar monitor milik Satya yang menampakan file sketch up. Raga memang meminta Satya untuk membuka file sketch up miliknya, keadaan kantor sedang sepi. Bagas dan Satya masih berada di Surabaya, sedangkan Kirana belum juga masuk bekerja.

Jadi di ruangan itu hanya ada Raga dan Almira saja dengan keadaan yang cukup canggung bagi Almira, bagaimana tidak ia seperti sedang di awasi oleh Raga. Walau Raga tidak mengintimidasi tetapi tetap saja mulut atasannya itu gemar sekali berkomentar tentang apa yang sedang ia kerjakan.

“Jangan liatin saya mulu Almira, naksir kamu nanti.” gumam Raga tanpa melihat ke arah Almira, bola matanya seperti ada 4 saja. Padahal sedari tadi pandangannya tak bergeser satu inci pun dari layar monitor milik Satya itu.

“Engg..gak, Pak. Orang saya lagi ngerekap dokumentasi mingguan.” Almira memejamkan matanya, mati dia. Ternyata Raga mengetahuinya.

Sebenarnya Almira canggung bukan hanya takut pekerjaanya di komentari pedas oleh mulut Raga, ia agaknya gerogi karena wajah tampan dari atasannya itu. Walau kadang Almira mengakui jika sikap Raga sangatlah absurd.

Kaya akhir-akhir ini, pria itu sering sekali memakan kue nagasari. Enggak ada lagi kue cubit rasa pistachio yang selalu ia pesan dari ojek online, apa selera Raga sekarang berpindah pada makanan-makanan tradisional? Pikir Almira kepo.

“Bapak makan itu mulu gak bosen?” Almira memecahkan hening, gak ada salahnya dia ajak Raga mengobrol. Dari pada berduaan dalam satu ruangan yang cukup membuatnya canggung begini.

“Enggak, merhatiin aja saya makan ini terus. Ngomong-ngomong kue ini namanya kue nagasari, Al.” jelas Raga sembari membuka kue nagasari yang di bungkus dengan daun pisang itu.

Akhir-akhir ini memang Raga sering kali membeli kue nagasari ini dari pedagang di depan restoran padang waktu itu, pria itu belum bosan-bosannya memakan kudapan manis itu. Sampai-sampai pedagangnya sudah hapal berapa kue nagasari yang akan di beli Raga setiap harinya.

“Ih tau saya kok, Papi saya kan suka beli kue itu. Emang nya Bapak enggak bosan? Udah gak langganan kue cubit rasa pistachio lagi?”

“Sudah bosan, Al. Yah, hitung-hitung memajukan UMKM makanya saya borong terus, kamu kalau mau masih ada di kulkas tuh.”

Almira menggeleng pelan, Almira enggak terlalu suka pisang. Biasanya kalau makan kue nagasari itu Almira hanya memakan bagian luarnya saja.

“Terima kasih, Pak. Di lanjut, Pak. Saya mau bikin kopi dulu.”

Almira menyingkir dari kursinya, dia ngerasa sedikit mengantuk. Berbicara dengan atasannya itu agak sedikit boring, biasanya kalau siang-siang begini jika ada Kirana, Almira suka membicarakan idol-idol kpop favorite nya. Kirana memang tidak paham karena ia hanya menikmati lagu-lagunya saja tanpa mengikuti lika liku perjalanan penyanyinya.

Karena merasa sedikit rindu akan kehadiran Kirana di kantor, akhirnya Almira menghubungi Kirana. Ia melakukan panggilan video dengan wanita itu. Dan beruntungnya Kirana mengangkat panggilannya itu dengan cepat.

“Mbak...” rengek Almira pada Kirana, wajahnya masam sembari sesekali menyeruput kopi yang ada di tangannya.

kenapa itu muka di tekuk?

“Aku bosen ihhhh kangen ghibahin artis Kpop sama, Mbak.”

Di sebrang sana Kirana terkekeh, lucu sekali melihat Almira merengek seperti itu. Terkadang Kirana merasa Almira seperti adiknya sendiri, karena enggak punya saudara kandung. Kirana sering kali memanjakan Almira dan memperlakukannya seperti seorang adik alih-alih rekan kerja.

Sabar yah, bulan depan aku udah masuk kok. Aku juga gak betah lama-lama gak kerja, eh by the way, kok di pantry? Sendirian apa gimana?

“Iya sendirian, kan Mas Bagas sama Bang Satya masih di Surabaya. Terus aku berduaan doang sama Pak Raga, mana dia duduk di mejanya Bang Satya. Lagi ngecek sketch up punyanya Bang Satya, berasa di awasin tau gak sih aku tuh.” Almira malah jadi curcol.

Kirana semakin terkekeh, sungguh rasanya Kirana bisa merasakan setertekan apa Almira hanya saja dari raut wajahnya. “waduh, selamat menikmati deh yah kalau begitu. Ajak ngobrol dong Pak Raga nya, masa atasan di anggurin gitu.

“Ih udah, tapi canggung banget. Mana dia anteng banget lagi disitu sambil makan kue nagasari.”

Ucapan Almira barusan membuat senyum di wajah Kirana pudar, nama kue itu dan Raga benar-benar mengingatkannya pada mimpinya semalam. “*Pak Raga lagi sering makan kue itu yah, Ra?”

“Kok kamu tau, Mbak?*”

cuma nebak aja, kemarin sempat ketemu beliau di rumah sakit terus ngomongin soal kue nagasari.

Almira di sebrang sana terkekeh, masih menjadi pemandangan asing baginya melihat atasannya itu memakan makanan tradisional. “Sumpah, Mbak. Aneh banget liat dia makan jajanan pasar, dia sampe stop jajan kue cubit hijaunya itu lagi loh.”

Kamu gak nanya kenapa dia sering makan itu, Ra?

“Ihh ngapain, Mbak? Males banget ah, palingan juga dia lagi FOMO aja.”

Kirana mengangguk pelan, pada obrolan selanjutnya ia hanya mendengarkan Almira merengek saja. Tentang pekerjaanya, tentang harinya yang membosankan di kantor tanpa Kirana, dan tentang kelakuan-kelakuan ajaib Satya dan Raga di kantor. Kirana hanya menyimak sembari sesekali menimpali sekenanya saja. Raga dan kue nagasari terlalu menyita pikirannya.

Setelah mengobrol dengan Kirana, Almira kembali lagi ke ruang kerjanya. Ternyata Raga tidak ada di meja Satya, namun monitor dari komputer milik Satya itu masih menyala dan menunjukan sebuah artikel yang sepertinya memang Raga sedang baca.

Karena Almira terlanjur penasaran, akhirnya ia membaca artikel itu. Artikel berisi tentang biografi singkat seorang Asisten Residen pada masa kolonial Belanda di tahun 1898, bernama Jayden Van Den Dijk. Almira enggak mengerti kenapa atasannya itu membaca sebuah artikel biografi seseorang, entah apa yang sedang dicarinya.

“Hayo, ngapain kamu disitu.”

“HAH?!” pekik Almira, ia kaget setengah mati ketika Raga tiba-tiba berada tepat di belakangnya. Mau copot jantungnya saking kagetnya, Almira hanya bisa menyumpah serapahi atasannya itu dalam hati sembari mengusap-usap dadanya.

“Bapak, saya kaget tau. Kalo saya kena serangan jantung gimana?”

“Tapi enggak kena kan? Cuma kaget aja kan?” tanya Raga dengan wajah datar menyebalkannya itu.

“Ya enggak sih,” cicit Almira pelan.

“Ngapain kamu baca-baca? Minggir, kepo banget.” Raga menaruh kantung berisi kopi dan ayam geprek yang ia pesan dari aplikasi ojek online, tadi dia sedang mengambil pesanananya itu ke loby.

“Gak sengaja, Pak.” jawab Almira, ia melirik makanan dan kopi yang di bawa atasannya itu sembari berjalan ke mejanya.

“Heh, siapa yang suruh kamu duduk?” Raga yang masih berdiri di meja Satya itu melambaikan tanganya pada Almira.

“Saya mau bikin laporan lagi, Pak.”

“Saya beliin makanan, ambil nih. Saya beli ayam geprek.”

“Tumben,” gumam Almira, anak ini memang agak sedikit ceplas ceplos. Tapi terlepas dari sikap ceplas ceplosnya, Raga ini memang tipe atasan yang santai pada bawahan-bawahannya.

“Kita cuma berdua doang di ruangan ini, gak enak dong kalo saya makan sendiri, lagian lumayan tuh uang makan siang kamu bisa di simpan buat nonton konser.”

“Tau aja si Bapak.” Almira menghampiri meja Satya dan mengambil kantung makanan berisi ayam geprek dari brand ayam terkenal. “Besok-besok lagi yah, Pak.”

“Jangan tiap hari dong, tekor saya.” Raga menjawab tanpa memalingkan wajahnya dari monitor komputer milik Satya itu.

“Terima kasih, Pak.” setelah membungkukan sedikit badannya, Almira kembali ke mejanya. Waktu jam makan siang tinggal 10 menit lagi, jadi ia masih ingin melanjutkan pekerjaanya dulu.

“Almira,” panggil Raga.

“Kenapa, Pak?”

“Kamu percaya sama konsep reinkarnasi?” tanya Raga yang di luar dugaan Almira.

Wanita itu mengerutkan keningnya bingung, Almira sempat berpikir atasannya itu sedang mencari topik obrolan dengannya, tapi kenapa harus membicarakan konsep reinkarnasi?

“Percaya aja sih, Pak. Di agama saya juga percaya sama konsep reinkarnasi, manusia bisa terlahir kembali jadi manusia lagi, hewan, tumbuhan atau bahkan makhluk lain. Itu semua tergantung perbuatan manusia itu sendiri di kehidupan sebelumnya,” jelas Almira. Ia menelisik wajah atasannya itu yang masih serius melihat layar monitor di depannya.

“Kenapa nanya-nanya soal reinkarnasi, Pak?”

“Gapapa, tanya saja.”

Almira mengangguk-angguk, “kalo Bapak percaya?”

“Di agama saya gak ada yang namanya reinkarnasi, saya gak percaya. Tapi banyak kasus yang nunjukin kalo reinkarnasi itu ada.”

“Jadi?” Almira jadi penasaran sendiri.

“Jadi saya mau makan dulu, sudah jam makan siang. Kamu makan sana, kalo ngoceh terus nanti saya ambil lagi ayam gepreknya.”

Di kursinya Almira memejamkan matanya, dia sebisa mungkin menahan dirinya buat enggak ngata-ngatain Raga atau melempar atasannya itu dengan pulpen yang ada di depannya. Sungguh menyebalkan bukan kelakuannya? Apalagi muka tanpa ekspresi nya itu.

Bersambung...

Samarang, 1898

(rumah Adi, hanya gubuk biasa yang terbuat dari bilik. Adi tinggal di dekat kebun dan persawahan.)

Pria berumur 21 tahun itu meringkuk di atas dipan beralaskan kain-kain yang Ibu nya tumpuk agar Adi nyaman saat tidur. Sudah 6 hari ini pria itu sakit, badannya demam jika menjelang malam hari. Awalnya Adi ingin tetap pergi ke ladang milik Tuan Gumilar seperti biasanya, namun Bapak melarangnya. Bapak tidak tega melihat Adi yang sudah pucat itu harus memaksakan diri ke ladang.

Pintu dari kayu rumahnya itu terbuka, menapakan cahaya dari matahari yang masuk dari sela-sela nya dan membuat Adi yang sedang tidur itu mengerjapkan matanya. Itu Ibu ternyata, ia membawakan sisa makanan dari rumah Tuan Gumilar yang tidak habis di makan.

Terkadang Ibu nya Ayu itu suka memperbolehkan Ibu nyq Adi membawa sisa-sisa makanan di rumah mereka yang tidak habis. Seperti nasi, sayur, tahu dan tempe atau bahkan ayam sekalipun. Walau tentunya ini tidak terjadi setiao harinya, Adi dan kedua orang tuanya lebih sering memakan singkong dan ubi.

Sih loro to kowe, Le?” Ibu memegang kening Adi dengan telapak tanganya. Demam nya sudah sedikit turun ternyata.

Sampun mendingan, Buk.” pria itu bangun dari tidurnya dan duduk, tidak sopan rasanya berbicara dengan Ibu sambil tiduran walau ia sedang sakit.

Maem sek yo, tak gawake makanan.” Ibu membuka bungkus dari daun pisang itu yang berisi makanan, ada sedikit nasi dan sayur yang Ibu bawa dari rumah Tuan Gumilar.

Ibu juga membawa singkong dan ubi rebus yang Ibu beli dari pasar. Bapak, Ibu dan Adi jarang sekali memakan nasi, kalaupun makan. Itu adalah nasi sisa tidak habis dari rumah Tuan Gumilar. Mereka lebih sering memakan singkong dan ubi, atau olahan singkong seperti getuk. Itu pun tidak di bumbui apapun, semua rasa yang di dapat alami dari makanan itu sendiri.

Raden Ayu tasih sakit ta buk?” meski sakit, yang Adi sering pikirkan justru keadaan Ayu. Ia merasa bertanggung jawab atas gadis ringkih itu, ia yang membawa Ayu hujan-hujanan.

Uwis mendingan, Le. Tapu durung melbu sekolah, jare Bapakmu deknen goleki kowe.

Terus Bapak sanjang nopo, Buk?” Adi menghentikan makananya.

Ya, ngomong nek kowe loro. Akhir-akhir iki Den Ayu sering sedih, ndeweki neng kamare, Le.” air wajah Ibu nya juga berubah menjadi sendu ketika sedang menceritakan kondisi Ayu akhir-akhir ini.

Ayu memang mengurung diri di kamarnya, bahkan wanita itu hanya keluar jika ingin ke kamar mandi saja. Mbok Kahiyang selaku pelayan di rumahnya pun tidak berani bertanya-tanya pada Ayu, hanya saja Mbok menjawab ketika Ayu menanyakan Adi.

Kenopo, Buk?

Ibu yang tadinya sedang menaruh ubi dan singkong di atas meja itu sekarang menghampiri Adi, Ibu tahu kalau Adi sangat perhatian dengan Ayu, Ibu pun sama. Ibu sudah menganggap Ayu seperti keponakannya sendiri karna kebaikan keluarga Tuan Gumilar.

Apalagi mengingat Ayu yang dengan baiknya mau mengajari Adi membaca, menulis hingga belajar bahasa Belanda. Ibu bahkan selalu memikirkan cara bagaimana suatu hari Ibu dapat membalas kebaikan wanita itu.

Ayu, arep dijodohke, Le” jawab Ibu pada akhirnya.

Dijodohkan Buk? Kalih sinten?

Ibu menggeleng pelan, Ibu pun tidak sengaja mendengar oborlan Tuan Gumilar dengan tamunya saat Ibu sedang mengantarkan teh untuk keduanya minum. Setelah itu Ibu langsung kembali ke dapur, enggan rasanya menguping, rasanya sangat tidak sopan meski Ibu tidak bisa memungkiri jika beliau juga penasaran dengan laki-laki yang akan menjadi Suami Ayu kelak.

Ibuk ora ngerti

Sakniki dinten nopo, Buk” tanya Adi, ia sedikit panik.

Dino Jumat, kenopo Le?

Kedua netranya membulat, Adi baru ingat jika Ayu sudah membuat janji dengan Sir Jayden kekasihnya, bahwa mereka akan segera bertemu kembali di pasar Djohar. Tanpa memperdulikan badannya yang masih agak demam, Adi buru-buru mengambil baju bagian luar nya yang berbahan kain lurik itu.

“Mau kemana, Di?” Ibu terlihat bingung, Putra nya itu tampak panik ketika Ibu mengatakan jika hari ini adalah hari jumat.

“Adi sudah janji sama Raden Ayu, Buk. Adi mau antarkan dia bertemu dengan teman hari ini.”

“Temannya?” arca wajah Ibu mengerut, tidak bertanya lagi pada putranya itu karena setelahnya Adi buru-buru berlari dengan bertelanjang kaki.

Di perjalanan, Adi mengambil jalan pintas yang mengitari persawahan agar nanti ia sampai di ladang yang menuju rumah Tuan Gumilar. Namun sayangnya di perjalanan menuju rumah Ayu, langkah kaki telanjangnya itu berhenti kala melihat kepiluhan seorang wanita yang tengah di hadiahi pukulan di wajahnya oleh seorang Belanda.

Adi berhenti, ia sembunyi di antara pohon pisang. Ingin ia bantu wanita yang tengah menangis itu, namun ia sendiri sebagai seorang pribumi biasa tidak memiliki kekuatan untuk melawan para Belanda itu.

wat een domme vrouw!” (wanita bodoh dasar!) Pria Belanda itu menampar wajah wanita yang bersimpuh di hadapannya itu sekali lagi, ia berjongkok mengambil jeruk yang tumpah dari bakul yang di bawa wanita itu.

“Maafkan saya, meneer. maafkan saya.”

“Monyet sialan, kau punguti jeruk-jeruku dengan mulut mu sekarang!” teriak pria Belanda itu.

Kedua tangan Adi mengepal, ia ingin sekali menolong wanita itu dan menghajar Belanda sialan yang melecehkannya seperti itu. Wanita muda itu memunguti satu persatu jeruk yang tumpah ke tanah dan menaruhnya kembali ke bakul dengan mulutnya.

Sedangkan si Belanda tadi hanya meliriknya sekilas lalu kembali berjalan, ia sepertinya tengah memantau kebun sekitar. Beberapa perkebunan dekat rumah Adi memang milik para Belanda itu, ketika kaki pria jangkung itu semakin menjauh. Adi menghampiri wanita itu dan membantunya memunguti satu persatu jeruk yang ada di tanah.

“Sudah tidak ada dia, jangan kamu punguti dengan mulutmu, ini kotor sekali.”

“Terima kasih, Mas. Sebaiknya Mas segera pergi, meneer Jhoseph tidak akan mengampuni siapapun yang membantuku.”

Adi berhenti, ia menatap wajah wanita itu yang di ujung bibirnya mengeluarkan darah. Air wajahnya tampak ketakutan, kebaya yang ia kenakan compang camping dengan robekan dimana-mana. Entah apa yang terjadi dengan wanita ini sebelumnya.

“Kebaya mu rusak?” tanya Adi.

Melihat Adi yang melirik ke arah kebaya lusuh yang ia pakai, wanita itu buru-buru menutupi lengannya. Ia dengan sigap berdiri dan menggendong bakul itu kembali di pinggangnya.

matur suwun, Mas.” wanita itu pergi begitu saja setelah mengucapkan terima kasih.

Adi hanya termenung di tempatnya, menatap punggung wanita dengan kebaya lusuh tadi dengan miris. Sebagai seorang pribumi yang hidup miskin, Adi sering sekali melihat teman-teman bahkan tetangga di sekitar rumahnya mendapatkan perlakuan buruk dari para Belanda.

Mulai bekerja di ladang mereka dengan bayaran rendah, mendapatkan kekerasan, bahkan para Belanda tidak segan-segan memperkosa para wanita pribumi yang bekerja untuknya. Jika mengingat bagaimana hidupnya 5 tahun yang lalu, dada Adi rasanya di hujami belati yang begitu menusuk.

Ia teringat akan Mas Sagga yang mengalami penyiksaan oleh majikannya, Mas Sagga dulu bekerja dengan orang Belanda yang kejam. Saat membuat kesalahan, tak segan-segannya mereka menyiksa Mas Sagga.

Yang lebih memiluhkan lagi adalah, saat pria Belanda majikannya itu mabuk, Mas Sagga tidak sengaja menjadi korban penembakan yang di lakukan oleh majikannya sendiri. Mas Sagga di makamkan di pegunungan, lumayan jauh dari rumah Adi berada.

Sejak itu lah, Tuan Gumilar menawarkan Ibu, Bapak dan Adi untuk bekerja di rumah dan ladangnya. Dengan jaminan mereka akan aman dari para tentara kolonial, Tuan Gumilar membuat kesepakatan dengan mereka jika para tentara kolonial tidak di perbolehkan menyentuh pelayannya sedikitpun.

Sesampainya di rumah Ayu, Adi tidak masuk melewati pintu depan rumah majikannya itu. Ia mengendap-endap melewati samping rumah Ayu untuk mengetuk jendela kamar Ayu, Adi berharap semoga saja Ayu sedang berada di kamarnya. Mereka tidak memiliki banyak waktu untuk bertemu dengan Jayden.

“Raden Ayu?” panggil Adi setengah berbisik, ia juga mengetuk-etuk jendela kamar majikannya itu. “Ini saya Adi.”

“Mas Adi?” ucap Ayu dari dalam kamarnya, tidak lama kemudian Ayu membuka jendela kamarnya itu. Benar saja, Adi masih berdiri di sana dengan wajah yang masih sedikit pucat. “Mas Adi masih sakit ya?”

Adi menggeleng pelan, “sudah membaik, Raden Ayu.”

Melihat Adi, Ayu jadi menangis. Ia merasa bersalah karena terakhir kali mereka bertemu, Adi di marahi habis-habisan oleh Romo nya. Belum lagi saat Ayu mengetahui bahwa Adi sakit sampai tidak bekerja, di tambah dengan kenyataan yang sulit Ayu terima bahwa ia akan segera di jodohkan oleh anak Bupati Soerabaja.

Ayu itu anaknya tertutup, ia tidak banyak bicara dengan kedua orang tua nya, Ayu juga tidak memiliki banyak teman di sekolahnya. Teman-teman di kelas Ayu lebih banyak anak-anak dari Eropa dan etnis Tionghoa, tidak banyak pribumi yang sekolah di HBS.

Lagi pula, selama ini hanya Adi teman yang bisa Ayu percaya. Semua yang ia alami, semua kegundahannya ia luapkan pada Adi. Karena tidak memiliki saudara, terkadang Ayu merasa Adi seperti kakak nya sendiri.

“Kenapa menangis, Raden Ayu?”

Adi ingin menghapus air mata Ayu, memeluknya dan mengatakan bahwa ia bisa bercerita apapun padanya. Namun Adi tahu diri, realita dengan cepat menyadarkannya jika ia tidak pantas melakukan itu seberapa dekatnya ia dengan Ayu. Ia hanya pelayannya dan Ayu adalah anak dari majikannya.

“Mas Adi, aku tidak bisa keluar rumah, aku tidak boleh pergi kemana-mana oleh Romo. Hanya sekolah, tetapi sakitku belum begitu membaik.” Ayu masih terisak, ia menyembunyikan wajahnya dengan telapak tangannya.

“Saya ingat hari ini adalah hari Raden Ayu dan Sir Jayden bertemu. Maka dari itu saya datang menemui Raden Ayu,” Adi menjelaskan maksud kedatangannya.

“Aku boleh meminta bantuan Mas Adi?”

“Apa Raden Ayu? Saya senang kalau bisa membantu Raden Ayu.”

Adi tersenyum, apalagi saat Ayu menyeka wajahnya dan melangkah ke lemari berbahan kayu jati di dekat ranjangnya. Ayu mengeluarkan kantung plastik yang ia bungkus rapih. Entah apa isinya, kemudian ia berikan kantung itu kepada Adi.

“Ini apa Raden Ayu?”

“Itu adalah surjan buatanku untuk Sir Jayden, aku tidak bisa menemuinya. Sampaikan saja padanya jika ini adalah hadiah yang aku janjikan untuknya.”

Netra legam nan teduh itu menatap kantung yang ada di tangannya, surjan yang Ayu buat sendiri. Adi pernah beberapa kali melihatnya, Adi jugalah yang mengantar Ayu membeli bahan untuk membuat surjan ini.

“Mas Adi?” panggil Ayu, membuat kepala Adi yang tadinya menunduk memperhatikan kantung itu kini menatap wajah teduh Ayu yang terlihat begitu mendung.

“Naiklah dokar milik Romoku, jika Romo bertanya mau kemana. Katakanlah jika Mas Adi mau ke pasar untuk membeli kain atas perintahku.”

Adi mengangguk pelan, ia tidak langsung pergi dari sana. Ia yakin Ayu masih ingin mengatakan sesuatu padanya, mungkin sebuah pesan untuk ia sampaikan pada Jayden.

“Tidak ada lagi yang harus saya sampaikan pada Sir Jayden, Raden Ayu?”

Ayu menunduk, air wajahnya tersirat sebuah keraguan. Seperti ada yang ingin ia katakan namun Ayu sendiri tidak yakin akan mengatakannya. Lebih tepatnya, Ayu bingung harus mengatakannya yang mana dulu.

“Jika Sir Jayden bertanya kenapa aku tidak bisa memberikan surjan itu sendiri, katakan padanya jika aku sedang tidak ingin bertemu siapa-siapa.”

Dokar yang di kendarai oleh Adi itu melaju dengan kencang membelah ratusan orang yang berada di pasar Djohar hari itu, toko kopi seminggu yang lalu menjadi tempat Ayu dan Jayden bertemu menjadi tujuan utama bagi Adi.

Tak jauh dari toko kopi itu, Adi melihat dokar yang di kendarai oleh seorang pribumi berhenti. Itu dokar milik Jayden, Adi lantas memberhentikan dokarnya tepat di belakang dokar milik Jayden. Ia kemudian berjalan ke toko kopi itu, Jayden sudah ada di sana dengan setelan serba abu-abu yang pria itu kenakan.

Wajah cerah yang biasanya selalu terpancar dari paras eloknya itu berubah menjadi sebuah kerutan kebingungan, tidak ada Ayu yang turun dari dokar yang di kendarai oleh Adi. Hanya pria muda itu, datang menghampiri Jayden dengan kantung plastik yang ia bawa di tangannya.

“Adi, kemana Raden Ayu?” tanya Jayden tanpa basa basi.

“Maaf, Sir Jayden, saya tidak bisa membawa Raden Ayu bertemu dengan anda.”

“Kenapa?” wajah Jayden nampak bingung, suasana hatinya telah berubah. Ia tak lagi merasakan kupu-kupu yang menggila menerbangi seluru penjuru perutnya.

“Raden Ayu sedang tidak ingin bertemu dengan siapa-siapa, tetapi Raden Ayu menitipkan ini kepada saya untuk di berikan kepada Sir Jayden.” Adi memberikan kantung berisi surjan yang Ayu buat sendiri.

Surjan itu sudah berpindah tangan, namun Jayden belum ingin membukannya, ia ingin membuka hadiah dari kekasihnya itu di rumahnya. Hanya ia orang pertama yang boleh melihat pemberian dari Ayu.

“Tetapi dia baik-baik saja, Adi?”

Adi tidaklah langsung menjawab, ia menunduk. Menimang-nimang keputusannya untuk menceritakan kondisi Ayu yang sebenarnya, ia ingin membantu wanita itu.

“Apa saya boleh berbicara pada Sir Jayden lebih banyak dari ini?” tanya Adi, terkadang setiap kali berbicara dengan Jayden yang notabennya adalah orang yang teramat penting di Samarang. Adi selalu rendah diri, ia merasa tidak pantas.

“Tentu saja.”

Jayden menunjuk sebuah kursi panjang yang terletak di depan toko kopi itu, memberi isyarat pada Adi agar mereka berbicara sambil duduk disana. Ia tidak ingin orang-orang di sana menyoroti mereka, atau bahkan ada orang yang mengecapnya sedang mengintimidasi Adi.

Kedua pria yang berjarak umur kurang lebih 10 tahun itu duduk di kursi panjang depan toko kopi. Keputusan Adi adalah, menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Ayu. Urusannya nanti jika Ayu marah atau bahkan mengecapnya lancang.

“Sebenarnya ada yang ingin saya katakan pada Sir Jayden mengenai Raden Ayu dan kenapa ia tidak bisa menemui anda.”

Jayden mengangguk, “ada apa sebenarnya?”

“Raden Ayu, dia tidak boleh keluar dari rumah oleh Tuan Gumilar, hanya sekolah saja. Tapi beberapa hari ini Raden Ayu pun tidak sekolah. Dia sedang sakit, batuk darahnya kambuh.”

Hati Jayden sakit mendengarnya, Jayden tahu jika Ayu sakit. Wanitanya itu mengidap penyakit pneumonia, Ayu sering kali kambuh jika kelelahan. Makanya tubuhnya sangatlah kurus, belum ada obat yang dapat menyembuhkan wanita itu dari sakitnya.

“Apa Ayu sudah membaik sekarang, Adi?”

Adi mengangguk, “sudah jauh lebih baik, Sir Jayden. Namun bukan hanya hal itu saja yang ingin saya beri tahu pada anda.”

“Ada apa lagi?”

“Tuan Gumilar, beliau berencana untuk menjodohkan Raden Ayu.”

Mendengar hal itu, Jayden terdiam. Ia tidak menimpali apapun dari bibirnya untuk menanggapi ucapan Adi, rasanya gamang, dunianya berhenti berputar. Hatinya yang biasanya di penuhi kebahagiaan akan bertemu dengan Ayu kini sirna di gantikan gemang, daksanya lunglai. Ia kehilangan kekuatan dalam dirinya sendiri.

Setelah mengatakan itu, Adi hendak berpamitan pada Jayden. Pria itu tidak bisa lama-lama berada di pasar, Tuan Gumilar bisa mencurigainya jika ia keluar lama-lama, terlebih sebenarnya hari ini Adi belum masuk bekerja.

“Ini untuk Ayu, Di. Ini kue kesukaannya, saya belikan untuknya. Sampaikan salamku juga untuknya, beberapa hari ini saya akan ke Soerabaja. Kami tidak akan bertemu, tetapi tolong sampaikan pada Ayu. Saya akan menunggunya di taman terakhir kami bertemu lima hari lagi. Saya harus bicara padanya.”

Adi mengangguk, setelah berpamitan ia kembali ke dokarnya. Ia membiarkan Jayden pergi lebih dulu dengan dokarnya, sementara itu Adi melirik ke arah plastik yang Jayden titipkan untuk Ayu padannya. Itu adalah kue nagasari, Ayu sangat menyukai kue itu.

Bersambung...

Samarang 1898

(Kediaman asisten Residen Samarang tahun 1898-sekitar tahun 1920)

“Roosevelt, welkom.” Jayden tersenyum ketika Kakak perempuannya itu turun dari dokar.

Dia adalah Roosevelt Van Den Dijk dia Kakak kandung Jayden, wanita dengan paras tak jauh berbeda dengan Jayden itu baru saja tiba di Samarang. Roosevelt tadinya berkediaman di Batavia namun kini wanita itu memutuskan untuk menjenguk Jayden di Samarang.

“Panas sekali Samarang, Jay. Aku hampir saja meleleh jika saja dokar yang di bawa oleh jongos ini tidak melaju cepat.” Roosevelt mengekori Jayden dan duduk di teras depan.

Jayden hanya tersenyum renyah, kedua pipinya itu menampilkan bolongan indah yang semakin membuat parasnya itu tampak semakin tampan. Jayden adalah nirmala, jika tersenyum seperti itu yang melihatpun akan ikut tersenyum, senyumnya menular.

“Kau sudah pandai berbahasa melayu rupanya?” ia terkekeh, apalagi saat Roosevelt memelototinya dengan jengkel.

“7 tahun aku di Hindia Belanda, aku harus bisa berbahasa melayu meski sejujurnya aku enggan, tidak sudi rasanya berbahasa yang sama dengan para monyet-monyet itu.”

Jayden memilih tidak menanggapi ucapan menyakitkan Kakaknya itu, ia bungkam. Tidak ada gunanya menimpali ucapan menyakitkan itu atau membela para pribumi di depan kakaknya. Roosevelt terlalu congkak, ia lupa dimana ia pijakan kakinya saat ini. Menurut Jayden, para Belanda lah yang menumpang. Tidak seharusnya ia dan para kolonial lain memperlakukan pribumi semena-mena. Ini adalah tanah mereka.

“Kau akan menetap di Samarang, Roosevelt? Aku berniat mengajakmu jalan-jalan di sekitar Samarang besok.”

“Mungkin.” Roosevelt mengangguk, ia memperhatikan blankon yang Jayden pakai. Biasanya Adik laki-lakinya itu lebih sering memakai topi fedora. “Kenapa kau memakai itu di kepalamu?”

“Ah?” Jayden membuka blankon yang ada di kepalanya. “Aku mulai menyukai blankon ini, pemberian dari kawanku.”

“Pribumi?” Roosevelt melotot kaget. “Kau berteman dengan pribumi? Untuk apa? Kau mulai gila aku rasa, kedudukan mereka di bawah kita.”

“Aku tidak pernah menganggap pribumi dengan kedudukan di bawah kita, Roosevelt. Mereka sama.”

“Kau benar-benar kehilangan akal,” Roosevelt menggeleng-gelengkan kepalanya.

Jayden paham bagaimana awal mula Roosevelt membenci para pribumi itu, Roosevelt sudah menikah, ia menikah dengan pria Belanda sebelum memutuskan untuk pindah ke Hindia Belanda dan menetap di Batavia.

Suami Roosevelt memiliki kedudukan penting di Batavia, awalnya Roosevelt sama seperti Jayden. Ia menganggap Belanda dan pribumi sama, tidak pernah membeda-bedakan mereka. Namun pandangannya akan pribumi berubah ketika Pietter ketahuan memiliki gundik. Sejak itu Roosevelt sangat membenci para pribumi.

mevr, ini teh anda, silahkan dinikmati.” seorang wanita separuh baya itu menaruh secangkir teh hangat tepat di meja dekat Roosevelt duduk. Ia bersimpuh di depan Roosevelt yang duduk di atas kursi kayu demi menaruh secangkir teh itu di atas meja.

matur suwun, Mbok.” ucap Jayden sopan.

Roosevelt yang ada di sebelah Jayden itu hanya mendengus, sebelum wanita separuh baya itu pergi meninggalkan teras rumah dinas Jayden. Roosevelt menahan wanita itu dengan meletakan kakinya di atas paha pelayan wanita itu, sepatu yang ia kenakan itu ia tekan hingga pelayan wanita itu meringis kesakitan.

“Roosevelt, Wat ben je aan het doen?” (apa yang sedang kamu lakukan?) Jayden menggertakan rahangnya, ia tidak terima pelayannya di perlakukan buruk oleh Kakaknya sendiri.

Ik wil gewoon even met mijn voeten omhoog liggen, ik ben moe Jayden. Je overdrijft.” (aku hanya mengistirahatkan kakiku sebentar, Jayden. Kamu sangat berlebihan.)

Roosevelt sangat santai mengatakan hal itu, seolah-olah itu adalah hal yang biasa ia lakukan. Ia sangat tidak perduli pada wanita di hadapannya itu yang sudah meringis kesakitan, wanita itu juga sangat ketakutan enggan menatap wajah pongah Roosevelt.

zet je voet neer, hij is mijn dienaar.” (turunkan kakimu, dia adalah pelayanku.) Suara Jayden yang biasanya sangat lembut di dengar itu meninggi, rahangnya mengeras ia memang tegas. Tidak perduli jika nantinya Roosevelt mengadu pada Ayah mereka.

Setelah kaki Roosevelt menyingkir dari paha pelayan wanita itu, Jayden buru-buru memberi isyarat agar wanita itu pergi dari sana.

“Kau memang sudah gila, Jayden. Tidak heran jika suatu hari kau mengatakan kau berkencan dengan pribumi, para monyet itu sudah mengotori pikiranmu.”

Mendengar sembarang ucapan dari bibir Roosevelt itu, Jayden sedikit kaget. Jayden tau kakaknya itu hanya sembarang ucap, tapi jika Ayahnya sampai tahu ia mengecani seorang pribumi. Tidaklah mungkin Jayden di marahi habis-habisan. Hal terburuknya adalah, ia bisa di pindah tugaskan atau kembali ke Belanda.


Hari itu setelah menyelesaikan tugas-tugasnya, Jayden di undang ke rumah teman lamanya. Dia adalah Jacob De Houtman, pria satu tahun lebih muda dari Jayden itu adalah seorang Indo. Darah pribumi mengalir dalam darahnya, Ayahnya adalah seorang seniman asal Belanda.

Sedangkan Ibu nya adalah seorang penyair, tak heran jika Jacob memiliki darah seniman yang kuat. Dokar yang di kendarai oleh kusir yang biasa mengantar Jayden kemana pun ia pergi itu berhenti di sebuah rumah yang cukup sederhana, bangunanya di buat khas Belanda dengan kebun kecil berisi tanaman-tanaman hias dan juga bunga.

Meneer Jayden, welkom.” Jacob menyambangi Jayden, berjabat tangan dengan senyuman yang tampak sumringah itu. Maklum saja, kedua pria itu sudah lama tidak bertemu.

“Aku tidak menyangka jika rumahmu akan seharum ini, Jacob.” Jayden tersenyum, kedua netranya itu berpendar melihat taman kecil milik kawannya itu.

“Aku memang sengaja menanam banyak bunga dengan harum semerbak di taman kecil ini. Aku ingin tamu-tamuku merasa nyaman karena harum yang di bersumber dari bunga-bunga ini, kau tertarik melihat-lihat?” Jacob merentangkan sebelah tangannya. Pria ramah itu berniat mengajak Jayden berkeliling ke taman kecil rumahnya.

Sebenarnya tidak bisa di bilang kecil untuk ukuran taman, lumayan luas sampai-sampai Jacob sendiri bisa menanam banyak pohon di sana. Ada bunga melati, mawar, anggrek, kamboja dan juga beberapa pohon kaktus mini di sana. Sangat asri, bahkan rumah rindang itu sangat nyaman untuk sebuah hunian di tengah ramainya kota Samarang.

“Tentu, bawa aku berkeliling kalau begitu.”

Kedua pria itu berkeliling di taman kecil milik Jacob, ia menanamnya tumbuhan itu sendiri setelah membeli bibit di pasar, Jacob juga sering kali memanen hasil bunga-bunga di tamannya untuk kemudian ia ekstrak sendiri untuk di jadikan pengharum ruangan.

“Kau beli bibit bunga melati ini dimana, Jack?” Jayden memetik satu bunga melati itu dan mengirup harumnya, wewangianya semerbak hingga menelisik rongga hidung Jayden. Membuat kidung jiwa nya merasa tenang dan teringat akan wanita yang ia cintai, Ayu sangat menyukai melati putih.

“Aku ada jika kau mau menanam melati ini di rumah, meneer.

“Kau punya bibitnya?”

Jacob mengangguk, “kalau kau mau bercocok tanam sendiri, aku bisa mengajarimu.”

“Aku ingin membuat taman berisi tanaman melati ini, Jacob.”

Selayang milik si lebih muda itu bisa melihat jika wajah pria di depannya itu tampak Cerah, bahkan daun telinga pria itu memerah. Pria yang lebih muda itu tersenyum penuh arti, ia pernah memiliki mata berbinar seperti itu saat jatuh cinta dengan Istrinya dahulu.

“Kau ingin buatkan taman berisi melati ini untuk kekasihmu, meneer?” tebak Jacob.

“Kau bisa membaca pikiranku?” sungguh tersuruk rasanya Jayden di lucuti dengan pertanyaan seperti itu oleh kawannya. Apakah saat ini ia terlihat seperti sedang kasmaran?

“Aku seniman, bukan seorang cenayang. Hanya saja aku menerka, matamu mengatakan semuanya jika kau sedang jatuh cinta.”

“jadi kau mau membantuku menanam tumbuhan ini di rumahku untuknya, Jacob?”

“Tentu, wanita itu pasti begitu beruntung memilikimu.”

Jayden menggeleng, senyum di wajah ramahnya itu mengembang. Baginya ialah yang beruntung memiliki Ayu. “kali ini ucapanmu salah, Jack. Karena aku lah yang beruntung memilikinya.”


Jakarta 2025

“Atas nama Jagaraga Suhartono, di tunggu sebentar ya, Pak. dokter Annelies masih ada pasien.”

“Baik.”

Raga duduk di deretan kursi ruang tunggu rumah sakit pagi itu, sembari menunggu nama nya di panggil. Ia buka ponselnya dulu dan mengetikkan sesuatu di sana, ini soal pekerjaan. Raga bukan izin tidak masuk demi ke rumah sakit, ia hanya izin untuk datang terlambat saja.

Setelah mengetikkan pesan pada bawahannya itu, ia bersandar di kursi. Matanya berpendar ke hampir seluruh ruang tunggu pendaftaran itu. Sampai akhirnya kedua netra nya itu menangkap seseorang yang ia kenal, Raga berdiri dari kursinya dan menghampiri wanita itu.

“Kirana, sedang kontrol?” sapa Raga, ia juga mengangguk ramah pada Ibu nya Kirana.

“Pak Raga, ah. Iya, Pak. Hari ini jadwal saya kontrol. Bapak sendiri?”

Kirana sudah pulang dari rumah sakit sejak seminggu yang lalu, namun ia masih tetap harus bolak balik ke rumah sakit demi melihat perkembangan tangannya yang patah itu.

“Saya, sedang menjenguk kawan.”

“Siapa, Na?” tanya Ibu berbisik pada Kirana.

“Ah, Iya. Buk, kenalin ini Pak Raga, beliau team leader di kantor Kirana.” Kirana mengenalkan atasannya itu pada Ibunya, keduanya saling bersalaman.

“Pagi, Buk. Saya Raga, atasannya Kirana di kantor. Saya sempat menjenguk Kirana sewaktu dia di rawat, tapi Kirana bilang Ibu sedang ke kafetaria waktu itu,” jelas Raga, karena sewaktu itu ia tidak sempat bertemu Ibunya Kirana.

“Ahhh, iya, terima kasih, Pak. Sudah menjenguk Kirana, Bapak yang bawa bakpau itu yah?” Ibu ingat, Kirana dapat banyak bakpau dengan berbai isian. sampai-sampai Ibu membagikannya juga pada penunggu pasien di bangsal Kirana hari itu saking banyaknya.

Raga mengangguk, “betul, Buk. Waktu itu Kirana bilang dia suka bakpau, jadi saya bawakan bakpau.”

Kirana yang mendengar Ibunya bicara seperti itu pada Raga hanya bisa tersenyum kikuk, canggung sekali rasanya. Kirana sampai harus menarik-narik lengan dari baju yang Ibu kenakan agar Ibu nya berhenti bicara melantur seperti itu. Kalau saja kakinya tidak sakit, ia mungkin sudah lari saking malunya. Ya, walau Raga terlihat biasa saja dengan ucapan Ibunya Kirana itu.

“Kalo Bapak sendiri suka nya makanan apa?” tanya Ibu basa basi tanpa memperdulikan tarikan baju yang berasal dari tangan Kirana itu.

“Ah, kalau saya akhir-akhir ini lagi suka kue nagasari. Ibu tahu?”

“Ya, tahu dong. Itu kue kesukaan Kirana juga, kapan-kapan Ibu bikinkan ya buat Pak Raga.”

Mendengar jawaban akan kue yang di gemari Raga akhir-akhir ini, membuat Kirana terdiam sejenak, ia memperhatikan wajah atasannya itu. Seperti ia pernah melihat paras yang sama dari Raga namun seseorang itu bukan Raga.

Sampai akhirnya ia mengingat tentang mimpinya semalam, kue nagasari. Itu adalah kue yang pernah di berikan pria kolonial bernama Jayden pada dirinya yang di kenal sebagai Ayu. Kedua mata Kirana membulat, ia baru menyadari jika pria Belanda di mimpinya itu mirip sekali dengan Raga.

Hanya saja, Raga memiliki rambut yang hitam pekat. Sedangkan Jayden, pria kolonial itu berambut pirang. Namun perawakan keduanya sama persis, dan apa dia bilang tadi? Dia menyukai kue nagasari? Apa arti semua ini? Pikir Kirana.

“Atas nama Jagaraga Suhartono?”

Suara yang berasal dari seorang perawat itu membuyarkan lamunan Kirana dan juga menghentikan obrolan simpang siur antara Ibu dan juga Raga, di tempatnya Raga salah tingkah. Ia melihat ke arah Ibu dan Kirana secara bergantian, seperti orang yang tertangkap basah sedang berbohong.

“Ah, ke..betulan saya juga mau ke poli mata, akhir-akhir ini agak sedikit gatal. Takut iritasi,” Alibi Raga pada Kirana dan Ibunya.

“Ahh, begitu. Cepat sembuh kalau begitu Pak Raga,” jawab Ibu.

“Terima kasih, Buk. Kirana, kamu juga cepat pulih yah, kalau gitu, Buk, Kirana saya duluan.” Raga membungkuk pada Ibu dan berlalu dari sana, mengekori seorang perawat yang mengarahkannya ke ruang rawat jalan.

Sepeninggalan Raga, Kirana termenung di kursi roda miliknya. Di mimpi itu pria kolonial yang mirip sekali dengan Raga adalah kekasihnya, bagaimana bisa ini semua kebetulan? Terlalu banyak kebetulan yang terjadi di mimpi dan dunia nyatanya.

bersambung..

Kirana dan Bagas duduk di taman rumah sakit setelah Kirana selesai konsul dengan dokternya, dokter bilang enggak ada obat dengan zat-zat tertentu yang mempengaruhi suasana hati Kirana. Tidak ada efek lain selain rasa kantuk saat meminum obat, tapi entah kenapa rasanya hati Kirana belum tenang.

Semalam ia juga masih bermimpi, tapi Kirana tetap memilih untuk tidak bercerita apapun tentang mimpinya. Anehnya adalah, mimpi itu terus berlanjut. Seperti saat Kirana tidur ia berada di alam dunia lain.

Semua terasa seperti kenyataan, ia bisa merasakan sedih ketika bangun, merasakan sentuhan ketika di mimpi itu ia bersentuhan dengan seseorang, merasa kedinginan bahkan ia bisa merasakan takut saat 'Ayah' di dalam mimpinya itu memarahinya.

“Jeruknya, Sayang.” Bagas memberikan jeruk yang sudah ia kupas ke tangan Kirana, dari tadi Kirana hanya melamun sembari melihat burung yang berterbangan di taman rumah sakit.

“Aku kok masih belum lega yah, Gas? Rasanya masih ada yang mengganjal.”

“Soal mimpi kamu lagi?” Bagas memalingkan wajahnya ke arah Kirana, tadi dia masih asik mengupas jeruk. Tapi kini ia singkirkan dulu jeruk-jeruk itu di pangkuannya.

Kirana mengangguk, “semalam mimpinya berlanjut lagi.”

“Kamu gak mau cerita ke aku mimpi kaya apa sih? Kata kamu aku ada di mimpi itu? Mimpi buruk ya?” Bagas pikir Kirana sudah tidak bermimpi lagi, karena tadi pagi Kirana enggak menunjukan gelagat aneh. Seperti ia baru saja bangun dari mimpi buruk.

“Enggak, Gas. Mimpinya bukan mimpi buruk. Mimpi biasa, tapi di dalam itu aku hidup di era kolonial. Kamu emang ada di sana, tapi nama kamu bukan Bagas.”

“Terus?”

Kirana mengulum bibirnya, dia jadi teringat akan Adi. Pria yang mirip sekali dengan Bagas di mimpinya itu, pria pribumi dengan mata teduh dan sorot mata yang selalu menunjukan kesedihan dan kekhawatiran.

“Adi.”

“Adi?” Bagas terkekeh. “Kok lucu sih? Aku ngapain aja di situ?”

“Gas, aku serius.” rengek Kirana, dia jadi kesal kalo Bagas tertawa seperti itu. Walau bukan meledek sih, tapi rasanya kaya Bagas enggak menganggap keseriusan atas mimpi yang membuat kekasihnya itu resah.

“Iya sayang iya, maaf ya. Coba ceritain dong, kan aku mau tau juga mimpi kamu kaya gimana.” Bagas mengusap-usap rambut Kirana.

“Kalo aku cerita kamu di mimpi aku sebagai apa, kamu bakalan marah gak?”

Bagas menggeleng, “cuma mimpi, emang aku sebagai apa?”

“Kamu cuma pribumi biasa, yang bekerja di rumah seorang priyai.” Kirana masih ingat, di mimpi itu Adi memanggil pria yang di panggilnya Romo itu dengan sebutan 'ndoro' Adi juga sangat santun dan melindungi nya.

“Terus kalau kamu?”

“Aku anak dari priyai itu.”

“Di mimpi itu aku macarin kamu juga?” Bagas senyum-senyum, namun air wajah Kirana berubah menjadi sendu. Mengingat di mimpinya ia justru berkencan dengan pria kolonial alih-alih bersama Adi yang mirip sekali dengan Bagas.

“Enggak, Gas.” Kirana menunduk, memakan jeruk di tangannya lagi. Dia gak mau cerita soal mimpinya lagi, dia gak mau membuat Adi cemburu jika tahu di mimpi itu ia justru berkencan dengan pria lain.

“Terus, sayang?”

“Gak usah di lanjut yah, aku juga lupa-lupa ingat.”

Bagas mengangguk-angguk, ia menurut saja. Tidak ingin membuat Kirana merasa tidak nyaman jika ia terus mencecarinya karena rasa penasarannya, ponsel yang berada di saku celana jeans Bagas itu bergetar. Itu Kanes Adiknya ternyata, namun Bagas memilih untuk tidak mengangkat panggilan itu.

“Kok enggak di angkat, sayang?” tanya Kirana. Ia takut itu telfon penting dari kantor.

“Kanes, gapapa. Nanti biar aku chat dia aja.”

Kirana jadi ingat, bagaimana keluarga Bagas memperlakukannya saat pertama kali Bagas memperkanalkan Kirana di rumahnya. Yang menyambut baik Kirana hanyalah Kanes, adik perempuan Bagas. Ibu nampak tidak suka dengan Kirana sedangkan Ayahnya tidak banyak bicara.

“Bagas, kalau kamu mau pulang. Pulang aja gapapa, sebentar lagi juga Ibuku datang kok. Aku takut Ibu kamu nyariin kamu karna enggak pulang semalam.”

“Aku udah bilang Kanes kalo aku jagain kamu di rumah sakit, Ibuku udah tahu kok. Dia enggak nyariin aku, sayang.”

Kirana mengangguk-angguk. “Salam untuk kedua orang tua kamu yah.”

“Nanti aku salamin ya.” Bagas menunduk, ia rasa ia harus mewakili orang tua nya untuk meminta maaf pada Kirana. Terutama perlakuan Ibu nya pada Kirana. “Sayang, maafin Ibuku yah. Pertama kali aku kenalin kamu ke mereka, mereka enggak menyambut kamu dengan baik.”

“Gapapa, Gas. Aku ngerti. Latar belakang keluargaku memang bukan keluarga baik-baik.” Kirana kerap kali minder dengan latar belakang keluarganya.

Dulu sewaktu mendiang Bapaknya masih ada, Kirana adalah seorang anak pengusaha distributor lampu dari Jerman bernama City Lights. Namun, usaha yang di rintis Bapaknya dari nol itu tiba-tiba mengalami collaps karena Paman nya yang bekerja sebagai divisi keuangan ketahuan korupsi.

Usaha Bapaknya terpaksa tutup dan meninggalkan hutang dimana-mana, dan dengan kejamnya justru Paman mengambil alih kantor Bapaknya. Waktu itu, Bapak setress berat. Bapak sempat di rawat di rumah sakit jiwa sampai akhirnya Ibu dan Kirana tidak sanggup membayar seluruh tagihan rumah sakit.

Bapak terpaksa di rawat di rumah dengan perawatan seadanya, saat itu Ibu dan Kirana sedang terlelap dan hari itu adalah hari terakhir Kirana melihat Bapaknya, karena Bapak menghabisi nyawanya sendiri dengan cara menggantung dirinya. Berita ini sampai tersebar waktu itu, mengingat kantor yang didirikan Bapaknya Kirana itu cukup terkenal.

Mungkin karena latar belakang keluarganya itulah Ibu nya Bagas tidak setuju, jika Bagas menjalin hubungan dengannya. Kirana bisa mengerti itu, walau ia juga sempat sedih.

“Enggak gitu, Na. Aku gak perduli latar belakang kamu kaya gimana, aku sayang kamu, Na. Ibuku cuma perlu di beri waktu buat setuju sama hubungan kita.” Bagas yakin ia bisa menyakinkan Ayah dan Ibu nya jika Kirana adalah wanita yang baik untuknya. Keduanya hanya perlu di beri waktu saja.

“Iya, Gas. Nanti kita coba yakinin orang tua kamu lagi yah kalau aku udah sembuh.” Kirana membawa tangan besar Bagas pada genggamanya.

Kirana paham posisi Bagas sangatlah sulit, Bagas mencintai Kirana namun Bagas juga kesulitan menghadapi kedua orang tua nya yang keberatan dengan hubungan mereka. Untuk saat ini, Kirana belum mau menyerah. Ia yakin bisa mengambil hati kedua orang tua Bagas.


Bagas agak sedikit bingung sewaktu sampai di rumah dan mendapati mobil lain terparkir di rumahnya, entah itu milik siapa. Sepertinya memang sedang ada tamu Ayah atau Ibu nya, Bagas melangkah masuk ke dalam rumahnya dan benar saja. Di ruang tamu ada tamu, ada seorang pria seusia dengan Ayahnya dan seorang wanita muda mengangguk sopan ketika melihat Bagas masuk.

“Bagas, salam dulu sama Om Dwika. Kamu masih ingat kan, Om Dwika ini kawan lama Ayah sewaktu kita masih tinggal di Solo,” jelas Ayah.

Bagas menyalami pria yang di kenalkan sebagai teman Ayahnya itu, Bagas belum ingat. Mereka dulu memang pernah tinggal di Solo sewaktu Bagas masih duduk di bangku SMP, setelah itu Ayah dan Ibu memutuskan untuk menjual rumah mereka di Solo untuk membuka usaha laundry dan pergi merantau ke Jakarta.

“Sudah besar yah kamu, Bagas. Tambah ganteng saja, persis sekali Ayahmu waktu masih muda.” Om Dwika basa basi, yah walau ucapannya itu benar. Bagas memang sangat mirip dengan Ayahnya sewaktu muda.

“Bagas memang terlalu meniru wajah mudaku, Wi.” Ayah tertawa, kedua bahunya itu bergetar. Bangga karena Bagas sangat mirip dengannya, bahkan jauh lebih tampan menurut Ayah.

“Nah, Gas. Kamu ingat gak dia ini?” Ibu menaruh tangannya di atas tangan wanita muda yang duduk di samping Om Dwika. Entah siapa, Bagas sama sekali tidak mengiangtnya.

“Lupa, Buk.” balas Bagas.

“Ini Asri, Gas. Calandra Asri Bentari, anak cewek yang suka kamu anter pulang sewaktu sekolah dulu. Kalian satu SMP loh, kamu ini, masa lupa?”

Bagas memperhatikan wajah wanita bernama Asri itu, ia baru mengingat jika itu Asri. Anak perempuan yang pernah ia tolong sewaktu di bully, Asri banyak berubah ternyata.

“Bagas lupa, Buk.” Bagas nyengir, ia kemudian duduk di sebelah Ibu nya. Tidak enak jika ia langsung meninggalkan ruang tamu dan masuk ke kamarnya.

Pertemuan antar keluarga itu berlangsung begitu cukup lama, sekitar 2 jam mereka berbincang simpang siur, tentang mereka dulu di Solo, tentang anak-anak mereka sampai membicarakan bisnis yang keduanya bangun. Sebenarnya Bagas ingin sekali pergi dari ruang tamu dan masuk ke dalam kamarnya, ia sudah lelah. Ingin segera merebahkan dirinya di kasur namun Ibu terus-terusan melarangnya.

“Bagas, Asri. Jadi begini, Om dan Papa mu ini memang pernah bicara omong kosong tentang perjodohan.”

Mendengar ucapan Ayahnya itu, Bagas seperti tersambar petir rasanya. Perjodohan apa? Siapa yang di jodohkan? Pikirnya.

“Perjodohan, Om?” tanya Asri sama bingungnya dengan Bagas.

“Benar, sayang. Sewaktu itu masih ada mendiang Ibumu. Kami memang pernah merencanakan perjodohan kalian saat kalian SMP. Dan sepertinya sekarang waktu yang tepat bagi kami untuk membicarakan hal ini lagi,” jelas Ibu.

“Buk, tapi Bagas sudah punya pacar, Buk. Bagas serius sama dia.”

Ucapan Bagas itu berhasil membuat Ibu, Ayah, Om Dwika dan Asri menoleh ke arah Bagas. Bagas harus menjelaskan ini pada Om Dwika dan Asri agar mereka tidak salah kaprah, Bagas tidak ingin di jodohkan, ia ingin menikah dengan Kirana bukan dengan wanita lain.

Lagi pula ia dan Asri baru bertemu lagi, mereka tidak dekat. Rasanya aneh jika tiba-tiba saja ia harus menikahi wanita asing yang baru bertemu dengannya lagi.

“Bagas!” Ayah memperingati.

Om Dwika memegang tangan Ayah, memberi peringtan pada kawannya itu bahwa ia ingin bicara dengan Bagas. “Hubunyan kalian sudah sangat jauh, Bagas? Apa kamu sudah melamar dia?”

“Saya enggak setuju sama perempuan yang di kenalkan Bagas ke saya, Mas Dwika. Perempuan itu bukan berasal dari keluarga baik-baik.” Ibu menyela, membuat kedua bahu Bagas turun.

“Buk—”

“Hhmm.. Maaf Om, Tante. Sebaiknya kita bicarakan hal ini nanti, lagi pula. Bagas dan Asri baru bertemu lagi. Kami belum banyak mengobrol, Bagas pasti bingung jika tiba-tiba pembicaraan kita langsung menuju perjodohan, Asri pun sama bingungnya seperti Bagas.” Asri menengahi, ia tidak ingin ada keributan. Meski rasanya ia merasa di permalukan oleh Bagas.

“Maafkan Bagas yah, Asri.”

Begitu Om Dwika dan Asri pulang, Ibu dan Ayah langsung memarahi Bagas habis-habisan. Ayah merasa sikap Bagas sudah kelewatan, Bagas seperti tidak menghargai Kedua orang tuanya dan juga Om Dwika.

“Kelewatan kamu, Gas. Bisa-bisa nya kamu bicara seperti itu di depan Asri?” sentak Ayah.

“Demi perempuan itu kamu sampai rela menginjak-injak harga diri kedua orang tuamu, Gas. Kamu tau? Asri ini anak yang baik, terlebih kita sudah mengenal keluarganya.”

“Buk, Yah, Bagas gak bermaksud menginjak-injak harga diri Ibu dan Ayah. Bagas hanya menjelaskan kalau Bagas sudah punya Kirana, Bagas serius sama dia, Buk, Yah. Bagas sayang sama dia,” jelas Bagas. Ia tidak ingin kedua orang tua nya itu mengambil keputusan sendiri seperti tadi, ini tentang hidup dan masa depannya.

“Perempuan itu memang sudah mencuci otakmu, Gas.” Ibu melirik Bagas sinis, benar-benar merasa muak setiap kali Bagas membangkang demi Kirana.

“Selesaikan hubunganmu dengan perempuan itu, Bagas. Ayah tidak bisa menerima dia menjadi menantu Ayah. Asri yang Ayah dan Ibu harapkan menjadi Istrimu dan menantu di keluarga kita.” Ayah mengatakan itu dengan tegas, sebelum Ayah melangkah pergi meninggalkan ruang tamu bersama dengan Ibu.

Bagas termenung, ia mengusap wajahnya gusar. Ia tidak akan menyerah, dia akan tetap mempertahankan Kirana bagaimanapun caranya, ia sendiri yakin bahwa Kirana pasti bisa mengambil hati kedua orang tua nya.


Samarang 1898

Sudah tiga hari ini Ayu tidak datang ke sekolahnya, ia juga tidak keluar dari kamarnya. Setelah hujan-hujanan kemarin badannya demam, Ayu juga kembali batuk darah seperti waktu itu. Romo nya sudah memanggil dokter dan memberikan beberapa obat-obatan herbal.

Baru hari ini Ayu memberanikan diri untuk keluar dari kamarnya, dia merasa badanya sudah jauh lebih baik walau masih saja tubuhnya begitu lemas. Ayu pikir tidak ada orang lain di ruang tamu selain Romo nya, Romo memang paling sering berada di ruang tamu. Sekedar membaca berita atau menikmati teh di sana.

Ayu bersembunyi di balik tembok dekat dapur, ketika telinganya mendengar sayu-sayup suara yang berasal dari ruang tamu, ternyata ada tamu, Ayu jadi mengurungkan niatnya untuk keluar rumah, tadinya ia ingin ke kebun untuk mencari Adi lewat pintu depan rumahnya.

Nggih saenipun Ayu dinikahaken mawon, Pak. Supados wonten ingkang jagi. Lare lare seyuswone nggih mpun sami nikah, mboten?

Kulo sampun ngerancanakaken iku, badhe kulo bekto Ayu dumateng Soerabaja, badhe kulo tepangaken kaleh yoganipun Bupati Daka. Asmanipun Dimas, kito nate rembug bab niki sederengipun. Nanging wekdal semeniko, Ayu tesih alit.

Mendengar itu tubuh Ayu gemetar, ternyata selama ini Romo nya ingin menjodohkannya dengan anak dari Bupati itu. Pantas saja Romo mengajaknya ke Soerabaja sewaktu acara pengangkatan Bupati itu. Meski harus ia syukuri, dari situlah ia bisa bertemu dengan Jayden.

Selanjutnya, Ayu tidak berani mendengarkan obrolan kedua orang tua itu. Ayu keluar dari rumahnya lewat pintu belakang, beruntung saja Ibu nya sedang tidak ada di rumah. Di kebun, beberapa orang yang bekerja menyapa Ayu, namun Ayu hanya mengangguk sekena nya.

ngapunten, Mbok, Mas Adi ten pundi?” Ayu bertanya dengan seorang wanita yang tengah merapihkan hasil panen bawang di kebun milik Romo nya. Hari ini pun Ibu dari Adi tidak datang.

mboten ndugi, Raden Ayu.”

“Kemana, Mbok?”

sampun izin ke Tuan Gumilar, bilangnya dia sakit, Raden Ayu.”

Ayu terpaku di tempatnya, dia mengangguk kecil pada pekerja Romo nya itu dan kembali ke rumahnya. Kakinya tidaklah kuat untung menyambangi Adi di rumahnya, rumah Adi lumayan jauh dari rumah Ayu dan ia masih lemas.

Begitu sampai di rumah, ada Pak Pradipta. Beliau adalah kusir Romo nya sekaligus Ayah dari Adi. Adi dan orang tua nya bekerja di rumah Ayu, Ayahnya sebagai kusir sedangkan Ibu nya sebagai pembantu rumah tangga.

Raden Ayu, kenapa mlampah-mlampah piyambak? Raden Ayu kan tesih gerah.

Pak, Mas Adi gerah?

Pak Pradipta mengangguk, “Sampun izin kalih Tuan, Raden Ayu.

Gerah nopo, Pak?

Awake benter.

Ayu menunduk dia jadi merasa bersalah karena sudah membuat Adi sakit, meski itu juga bukan kehendaknya. Andai Adi tidak melepaskan pakaianya pasti pria itu tidak akan sakit, ya mungkin saja begitu. Ayu masuk ke dalam rumahnya dengan langkah gontai. Ia masih terbayang akan perjodohan yang Romo nya rencanakan.

Ia tidak ingin di jodohkan oleh pria lain, ia hanya mencintai Jayden. Hanya Jayden yang Ayu inginkan, laki-laki itu dengan segala kerendahan hatinya. Ayu menangis di ranjangnya, menatap jendela kamarnya. Kidung jiwa nya merasa gamang, ingin rasanya Ayu lari dan menemu Jayden, mengadu pada pria itu jika ia sedang tidak baik-baik saja.

Tidak lama kemudian pintu kamarnya terbuka, itu Ibu. Mengantarkan makan siang untuk Ayu karena ia harus segera minum obat, Ayu buru-buru menghapus jejak-jejak air mata di pelupuk mata dan wajahnya.

nduk, kenapa?” Ibu duduk di sisi ranjang Ayu, sudah tahu jika Ayu menangis karena matanya sangatlah merah.

Buk, mangkeniki wonten tamunipun Romo nggih?

Ibu mengangguk. “Rencangipun saking Solo, rawuh kangge mriksani kebone Romo.

Mangkeniki Romo matur babagan polokromo, Buk.

Ibu menghela nafas, Ayu sudah tahu lebih dulu. Sejujurnya Ibu juga tidak begitu setuju jika Ayu harus di jodohkan, Ayu masih muda. Terlebih, Ibu tidak ingin Ayu menikah dengan pria yang tidak anak itu cintai seperti dirinya dahulu.

Jere sinten, nduk?

Ayu mireng piyambak, Buk. Romo badhe jodohaken Ayu kalian yoga Bupati Soerabaja niku.” Ayu memberanikan diri menggengam tangan Ibu nya, “Ayu mboten purun dijodohaken, Buk. Ayu mboten purun nikah.

Bersambung..

Samarang, 1898.

Tidak ada hentinya pria kolonial itu mengulas senyum di wajahnya, selepas makan siang kedua anak manusia itu memilih untuk duduk di taman dekat pasar, Ayu banyak sekali bercerita tentang kegiatan baru nya. Jayden hanya tersenyum, matanya tak lekang memandang sang gadis pribumi berparas dahayu itu.

Rambut panjang yang selalu ia kepang, dan hiasi dengan bunga melati yang wangi nya selalu semerbak, bunga kesukaan Ayu. Rambut nya harum karena bunga itu. Ia selalu menghiasinya dengan bunga itu.

“Ayu?” Panggil Jayden tiba-tiba, membuat si gadis pribumi itu menoleh ke arahnya.

“Iya?”

“Apa warna kesukaanmu?”

Ayu tersenyum, selama berkencan dengan Jayden. Ayu enggak banyak bertemu dengannya, berbicara banyak dengannya karena sangat sulit bertemu dengan Jayden seperti ini. Jayden sangat sibuk sebagai seorang asisten residen, sedangkan Ayu harus pandai mencuri-curi waktu untuk bertemu dengan Jayden oleh romo nya.

Keduanya bertemu dan kenal di Soerabaja, saat Romo mengajak Ayu untuk menghadiri acara peresmian Bupati di sana. Bupati itu adalah kawan Romo, dan kebetulan Jayden ada di sana. Ayahnya adalah mantan Residen di sana jadi Jayden di undang sebagai perwakilan Ayahnya. Ayahnya sedang sakit kala itu.

“Saya suka warna putih, Sir Jay.”

“Itu sebab nya kebaya yang kau pakai selalu warna putih ya?” Selama ini Jayden selalu memperhatikan kebaya-kebaya yang di pakai oleh Ayu, kebanyakan warna putih. Namun beberapa kali Jayden juga mendapati kebaya yang Ayu pakai berwarna hitam dan coklat.

“Benar, bagaimana dengan Sir Jay sendiri?”

“Sama sepertimu.” Seulas senyum hadir di wajah Jayden, ia tidak punya spesifik warna yang menjadi kesukaanya. Tapi kini berubah, apapun yang Ayu sukai. Maka Jayden akan menyukainya juga.

“Benarkah?” tanya Ayu sekali lagi. “Sejujurnya saya membuatkan sesuatu untuk Sir Jay pakai, tetapi belum selesai saya buat. Memang bukan berwarna putih seperti kesukaan kita, tapi saya yakin. Sir Jay akan tampan dan gagah jika mengenakannya.”

Kegiatan baru Ayu adalah menjahit, ia di ajari oleh penjahit pakaian keluarganya. Ayu tidak di perkenankan keluar oleh Ayahnya selain sekolah, setelahnya pun ia akan langsung pulang. Tidak banyak kegiatan di luar rumah yang di lakukan oleh Ayu. Namun, menjahit kini membuatnya merasa jauh lebih hidup.

“Kau buat apa?” ucapan Ayu membuat Jayden penasaran tentang apa yang di buat gadis muda itu.

“Datanglah ke toko kopi tadi seminggu lagi, sebelum Sir Jayden pergi ke Soerabaja. Saya akan memberikannya pada anda.”

Seusai bertemu dengan Jayden, Ayu dan Adi langsung kembali ke rumah. Hari sudah semakin sore ia yakin Romo pasti sudah mengkhawatirkannya, terlebih hari itu mendung seperti sebentar lagi Samarang akan segera di guyur hujan. Adi yang mengemudikan dokar itu melajukannya agak sedikit lebih cepat, ia tidak ingin Ayu kehujanan.

“Mas Adi?” panggil Ayu, Ayu memang memanggil Adi dengan sebutan 'Mas' Adi lebih tua 2 tahun dari nya, namun Adi sendiri melarang Ayu memanggilnya begitu, menurutnya Ayu tidak perlu memanggilnya begitu karena ia hanya seorang yang bekerja di ladang milik Romo nya.

“Iya, Raden Ayu?”

“Seminggu lagi temani aku bertemu dengan Sir Jeyden lagi ya? Aku mau memberikan surjan buatanku untuknya.” Ayu menjahit surjan itu sendiri, ia ingin melihat Jayden memakai buatan tangannya sendiri.

“Baik, Raden Ayu.”

Dokar yang di kemudikan Adi itu sudah berjalan cukup cepat, namun sayangnya hujan deras tetap mengguyur Samarang sore itu. Keduanya basah kuyup kehujanan, untung saja mereka segera menemukan sebuah gubuk tak berpenghuni tak jauh dari sana.

Adi tidak memperdulikan tubuhnya yang basah akibat hujan, ia hanya mengkhawatirkan Ayu. Gadis kecil itu tampak pucat dengan tubuh mengigil berjongkok sambil menggosokan kedua tangannya ke lengannya.

“Raden Ayu, maafkan saya. Hujannya begitu deras, maaf saya terlambat menemukan tempat untuk berteduh.” Adi bingung harus apa, ia tidak membawa kain untuk menyelimuti tubuh Ayu yang mengigil.

“Mas Adi...” tubuh kecil nan ringkih itu gemetar, melati-melati yang ada di rambut Ayu itu berjatuhan karena terkena tetesan air dari atap gubuk yang sudah tua itu. “Dingin, Ayu mau pulang..”

Adi tidak berpikir panjang lagi, hanya bisa membuka baju dari kain jarik yang ia kenakan itu untuk menyelimuti Ayu. Tidak perduli tubuh bagian atasnya itu tidak mengenakan apapun terkena angin dan hujan, yang terpenting anak majikannya itu tidak kedinginan. Adi juga senantiasa memayungi Ayu dengan telapak tangannya yang besar agar air yang menetes dari atap gubuk yang sudah tua itu, tidak mengenai kepala Ayu.

“Tahan sedikit lagi Raden Ayu, begitu hujan reda. Saya akan melajukan dokar dengan cepat agar kita cepat sampai ke rumah.”

Yang Adi khawatirkan adalah Ayu, hanya anak majikannya itu. Fisik Ayu tidaklah kuat, ia ringkih. Ayu sakit tiap kali ia kelelahan gadis kecil bertubuh kurus itu akan batuk darah, kedua orang tua nya sudah sering membawa Ayu ke dokter, memberinya obat-obatan herbal, namun belum membuahkan hasil.

Makanya walau umurnya akan menginjak 19 tahun satu bulan lagi, Ayu masih bersekolah. Ia sempat berhenti karena penyakit yang di deritanya itu. Begitu hujan sudah redah, Adi buru-buru membawa Ayu pulang. Gadis ringkih itu bersandar pada punggungnya. Ayu tertidur dengan tubuh mengigil karena kedinginan.

(visualisasi rumah Ayu di tahun 1898)

Tuan Gumilar selaku Ayah dari Ayu itu sudah berdiri di depan pintu dengan air wajah yang kurang bersahabat, beliau memang di kenal sebagai seorang saudagar yang tegas tidak hanya pada para pekerjanya, tetapi juga dengan anak sematawayangnya itu.

Seko ngendi wae koe gowo Ayu? Nopo kok iso kudanan?!” nada tinggi yang berasal dari suara Tuan Gumilar itu membuat Adi sedikit kaget.

Nyuwun Pangapunten, Ndoro.

Romo, ampun ndukani Mas Adi.” Ayu bergumam, ia sudah di selimuti oleh kain yang di bawakan oleh Ibu nya. Dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada, Ayu berusaha menjelaskan semampunya. ia tidak ingin Adi di marahi oleh Ayahnya.

“Ayu sing nyuwun dianterno Mas Adi jalan-jalan.”

Ketemu sopo koe? Lungo ning ngendi? Dolan karo konco-konco londho kui?” Romo sangat membenci ketika Ayu bermain dengan anak-anak eropa. Walau berstatus sebagai seorang siswa di HBS, romo tetap tidak mengizinkan Ayu bermain dengan para Belanda itu.

Di tempatnya Adi hanya diam, ia menunduk. Tidak berani menatap Tuan Gumilar yang tampak marah itu. Ia tidak ingin ucapannya itu membuat majikannya bertambah marah, bagi Adi. Menjadi pekerja di rumah Tuan Gumilar sudah sangat menyelamatkan hidupnya dan orang tua nya. Beberapa kali Adi dan kedua orang tua nya di sambangi oleh Tentara Kolonial, mereka juga sering kali bersikap kasar dengan keluarga Adi.

Tuan Gumilar lah yang menyelamatkan mereka, mempekerjakan mereka dan melindungi mereka. Sebagai seorang Priyai di Samarang, keluarga Ayu memiliki kedudukan yang sama dengan para Belanda. Mereka tidak bisa berbuat semena-mena dengan keluarga Ayu dan karyawan-karyawan nya.

Terlebih Ayah Ayu adalah seorang saudagar, Ayu dan keluarganya adalah distributor pemasok roti terbesar di Jawa Tengah, roti-roti itulah yang akan di kirimkan kepada orang-orang Belanda dan juga tentara Kolonial.

Nyuwun pangapunten, Romo. Ayu sampun nggawe Romo kuwatir, tapi Ayu mboten madosi sinten-sinten, Ayu namung jalan-jalan. Ayu kepingin menghirup udara segar.

Koe kui bocah wedok, pie nek ning dalan koe diculik karo londho-londho kae? Koe isone nggawe angele Romo.

Nyuwun Pangapunten e, Romo.

Seko saiki, nek mulih sekolah koe kudu ndang mulih, Romo ora peduli koe bosen. Nek pingin howo seger, mlaku mlaku ning kebon.

Ibu yang sedari tadi mengeringkan tubuh Ayu itu hanya bergeming, tidak berani melawan Suaminya itu. Setelah nya Ayu di bawa masuk oleh Ibu nya ke dalam kamarnya, meninggalkan baju Adi yang tadinya bertengger di bahu Ayu itu jatuh ke lantai. Adi yang masih bersimpuh di depan Tuan Gumilar itu hanya diam, memperhatikan baju nya yang jatuh ke lantai.


Siang itu Raga memilih makan siang di sebuah restoran makanan khas minang tak jauh dari kantor nya berada, namun sebelum masuk ke dalam restoran itu. Ada beberapa pedagang jajanan pasar yang mangkal di depan restorannya, Raga berdiri di sana sebentar, melihat kue yang di bungkus dengan daun pisang. Kue yang belum pernah ia coba sebelumnya.

“Gak masuk, Pak?” itu Satya, Raga memang makan siang bersama Satya dan karyawan-karyawan laki-laki lainnya.

Raga bukan atasan yang kaku kok meski raut wajahnya kerap kali menampilkan keseriusan, ia sangat santai. Enggak harus membicarakan pekerjaan saja dengannya, ia pandai mencari topik obrolan lain.

“Duluan aja, Sat. Saya mau beli ini dulu buat anak-anak di kantor.” Raga menepuk pundak Satya, membiarkan bawahannya itu masuk lebih dulu untuk mencari kursi.

Jagaraga berjongkok di sana, Ibu-Ibu berumur sekitar 55 tahun itu tersenyum begitu melihat Raga melihat dagangannya, maklum saja, Berjualan di area pertokoan yang di kelilingi gedung tinggi perkantoran agak sedikit sulit, kebanyakan karyawan di sana lebih gemar makan fast food atau bahkan mampir ke coffe shop. Anak-anak muda sekarang sudah jarang yang menggemari jajanan pasar.

“Ini kue apa namanya, Buk?” Raga mengambil satu kue yang di bungkus dengan daun pisang itu.

“Nagasari, Mas.”

“Nagasari?”

Ibu-Ibu itu mengangguk, Raga masih asing dengan nama kue itu. Memang belum pernah memakannya sebelumnya. “Isinya pisang, di luar nya itu tepung beras, rasanya manis. Mas nya bisa cicipi dulu kalau mau membeli.”

Lumayan lama Raga memperhatikan kue yang ada di genggaman tangannya itu, seolah-olah kue itu adalah sesuatu yang berharga berisi sebuah kenangan, si Ibu-Ibu pedagangnya saja sampai keheranan sendiri.

“Saya mau ya, Buk,” ucap Raga pada akhirnya.

Wajah si Ibu sumringah, seperti ia tengah mendapatkan lotre. Sedari tadi memang dagangannya belum laku dan Raga adalah pembeli pertamannya hari ini, meski di awal Ibu itu mungkin berpikir jika gerak gerik Raga agaklah aneh.

“Mau berapa, Mas?” si Ibu mengambil kantung plastik putih untuk mengantongi kue nagasari itu.

“Semuanya.”

Begitu selesai membayar jajanan pasar yang ia beli, Raga langsung masuk ke dalam restoran. Ia dengan mudah menemukan rekan-rekan kerjanya di sana, ia menaruh kantong plastik berisi kue nagasari yang hampir penuh itu di atas meja, membuat Satya dan Bagas saling melempar pandangan bingung.

“Beli kue nya banyak amat, Pak?” tanya Satya, Satya memanglah yang paling dekat dengan Raga. Mereka seumuran, dan Satya lah yang sudah menjadi karyawan lama di kantor kontruksi itu. Satya masuk saat Raga baru saja di angkat menjadi Team leader.

“Iya, buat cemilan saya. Ah, iya. Ngomong-ngomong kalian tau kue nagasari?” Raga menunjukan kue itu ke kedua rekannya.

Kedua nya mengangguk, tentu saja Satya dan Bagas tau. “Itu dalamnya pisang kan, Pak. Emangnya Bapak belum pernah makan?” tanya Bagas.

Raga menggeleng, “belum. Kamu suka kue ini, Gas?”

“Suka-suka aja, Ibu saya suka bikin di rumah kalau ada arisan keluarga.”

“Saya baru tau malah kalau Bapak suka kue beginian, saya kira cuma suka kue cubit rasa matcha doang.” Satya sering sekali melihat driver online mengantar pesanan Raga ke kantor, pria itu selalu memesan kue cubit berwarna hijau yang selalu Satya yakinin itu adalah rasa matcha.

“Pistachio, Sat. Saya capek banget ngasih tau kamu kalau yang hijau itu bukan cuma matcha.”

“Iya, padahal lumut juga hijau.” Samber Bagas sembari memakan rendang pesananya.

“Saya gak makan lumut, Gas. Kamu pikir saya ikan sapu-sapu,” protes Raga yang di balas dengan cengiran oleh Bagas.

Tidak lama kemudian, ponsel di saku Bagas bergetar. Pria itu buru-buru mengambil ponselnya, begitu melihat ke layar ponselnya ia tersenyum dan berpamitan pada kedua atasannya itu untuk mengangkat telfonnya di luar.

“Pak, Bang Satya, saya angkat telfon dulu ya,” pamit Bagas pada keduanya, Satya hanya mengangguk masih khidmat menikmati ayam bakar khas padang di piringnya, sementara Raga justru asik memperhatikan kue nagasari itu.

“Habis pulang kerja, saya, Bagas, sama Almira mau jenguk Kirana lagi, Pak. Bapak mau ikut?” tanya Satya yang berhasil membuyarkan lamunan Raga.

“Kayanya saya enggak bisa, Sat. Saya ada acara keluarga. Salam saja untuk dia yah, ngomong-ngomong gimana kondisi dia waktu kamu jenguk dia?”

“Udah jauh membaik, Pak. Kirana sih bilang minggu depan dia udah bisa pulang. Sebenarnya dia juga bilang ke anak-anak kalau gak perlu repot-repot jenguk dia lagi, tapi Almira ngotot banget mau jenguk, itu anak emang belum sempat jenguk Kirana.”

Almira itu teman dekat Kirana di kantor, jatuhnya lebih ke juniornya Kirana sih karena Almira anak magang di sana. Umurnya juga terpaut sekitar 3 tahun dengan Kirana, tapi keduanya sangat dekat.

“Saya boleh titip sesuatu gak ke kamu, Sat?”

“Apa, Pak?”

“Saya mau titip bakpau rasa coklat untuk Kirana.”


“Ini serius Pak Raga beliin Mbak Kirana bakpau? Random amat sih.” Almira terheran-heran waktu Satya ngeluarin bungkusan berisi bakpau dengan berbagai rasa. Enggak hanya coklat, Raga bilang. Siapa tau Kirana suka rasa yang lain.

Jangankan Almira, Satya yang di titipi oleh atasannya sendiri saja terheran-heran. Biasanya kan kalau bawa bingkisan untuk orang sakit tuh kalau enggak makanan ringan yang bisa bertahan lama ya buah. Sore ini Kirana di jenguk kembali oleh teman-teman kantor nya, ini ajakan Almira. Padahal Kirana sendiri sudah bilang ke Almira untuk menjenguknya nanti saja di rumah.

Toh minggu depan dia sudah pulang, walau tetap saja Kirana masih harus bulak balik ke rumah sakit untuk rawat jalan. Tapi Almira tetap ngotot untuk menjenguknya di rumah sakit, hari ini juga Bagas menginap di rumah sakit nemenin Kirana. Besok hari sabtu dan Bagas menyuruh Ibu nya Kirana untuk istirahat di rumah saja.

“Tadi juga random banget waktu makan siang, dia tiba-tiba beli kue nagasari banyak banget kan sampe satu kantong loh.” Bagas menimpali, dia masih heran sama kelakuan atasan mereka hari ini.

“Serius Mas Bagas? Dia suka jajanan pasar?” pekik Almira.

“Serius, Ra. Udah gitu dia cuma liatin itu kue aja.”

Kirana hanya menyimak obrolan Bagas dan teman-teman mereka saja, pikirannya masih mengawang tentang mimpinya semalam. Mimpi itu berlanjut, bahkan kali ini meninggalkan bekas ketidaknyamanan di hati Kirana. Sebenarnya ini semua apa? Pikirnya.

“Na? Diam aja? Kenapa?” Satya menyenggol bahu Kirana dari tadi Kirana hanya diam saja.

“Gapapa, Bang.” Kirana senyum. “Hhm.. Sebenarnya Pak Raga kasih gue bakpau bukan tanpa alasan sih.”

Kirana menimpali, tidak enak kalau ia banyak diam saat di jenguk. Ia harus mengesampingkan perasaan tidak nyamannya demi menjaga perasaan teman-temannya itu. Takutnya mereka berpikie Kirana tidak senang di jenguk seperti ini.

“Hah?” Pekik Almira, Bagas dan Satya bersamaan.

“Sssttt!” Kirana menaruh jari telunjuknya di bibir, bangsal rawat Kirana ini terisi 6 orang bukan VIP yang hanya Kirana sendiri saja. Kirana tidak ingin teman-temannya itu menganggu kenyamanan pasien yang lain.

“Jadi kenapa?”

“Waktu Pak Raga jenguk gue, awkward banget rasanya. Dia kaya bingung harus ngobrol apa sama gue, dia bilang dia gak mau ngobrolin kerjaan karna kesannya kaya nagih gue buat kerja. Terus dia tiba-tiba dengan gak jelasnnya nanya gue suka bakpau atau onde-onde,” jelas Kirana.

“Terus kamu pilih bakpau?” Tanya Bagas yang di jawab anggukan oleh Kirana.

“Beneran random ternyata, gak nyangka gue Pak Raga yang ganteng paripurna begitu bisa jadi laki enggak jelas, ck ck ck ck.” Almira berdecap sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

Teman-teman Kirana enggak begitu lama menjenguk Kirana, karena jam besuk kebetulan sudah habis. Setelah mengantar teman-temannya itu ke loby rumah sakit, Bagas kembali naik ke ruang rawat Kirana. Di sana wanita itu masih melamun memperhatikan jendela rumah sakit yang menampakan lampu-lampu kota yang mulai menyala karena hari mulai gelap.

“Ngalamunin apa?” Bagas memeluk wanitanya itu dari belakang, ia kemudian duduk di ranjang Kirana sembari memperhatikan lampu-lampu kota dari jendela bangsal Kirana.

“Akhir-akhir ini aku sering mimpi,” gumam Kirana.

“Mimpi?” Bagas menoleh ke Kirana. “Mimpi apa, sayang?”

“Kalo aku cerita aku mimpi yang kemarin kamu bakalan percaya sama aku, Gas?”

“Soal mimpi kamu di masa kolonial itu?”

Kirana mengangguk, setelah bangun dari tidurnya. Hati Kirana selalu di selimuti gundah, ia benar-benar seperti ada di era itu. “Mimpi itu berlanjut, bukan mimpi yang menakutkan tapi setiap kali aku bangun perasaan aku selalu enggak nyaman.”

“Kamu lagi banyak pikiran? Atau sebelum tidur kamu mikirin sesuatu?”

“Enggak, Gas. Aku gak mikirin apa-apa.” Kirana putus asa, dia mengusap wajahnya. “Aku gak mikirin apa-apa sebelum tidur.”

“Besok pagi aku temenin konsul sama dokter kamu aja yah, mungkin ada obat yang punya efek samping sampai kamu mimpi kaya gitu.” Bagas membawa kepala Kirana ke bahu nya dan mengusap lengan wanitanya itu.

“Aku takut tiap kali mau tidur.”

“Ada aku, aku jagain. Nanti sebelum tidur kita dengerin lagu dulu ya biar kamu lebih relax.”

Bersambung..

Pasar Djohar Samarang 1898

Adipati masih setia menemani majikannya itu menunggu seseorang, sudah kurang lebih dua jam mereka duduk di depan toko yang menjual berbagai macam biji kopi. Terkadang, Adi sibuk memayungi anak majikannya itu agar tidak terpapar teriknya matahari Samarang yang rasanya hanya berada sejengkal di atas kepala mereka.

Kedua netra gadis berumur 18 tahun itu berpendar pada penjuru pasar Djohar siang itu, mengabseni satu persatu orang yang nampak sibuk di sana. Terkadang, gadis bertubuh kecil dan ringkih itu membantu para pedagang dengan membeli dagangannya. Bibir kecilnya kadang-kadang berdecap ketika melihat para tentara Belanda melakukan pribumi dengan semena-mena nya.

“Raden Ayu, kita pulang saja. Sepertinya sir Jayden tidak akan datang. Sudah dua jam kita menunggu disini, tuan Gumilar pasti sudah menunggu Raden Ayu pulang.” Adi berusaha mengajak majikannya itu untuk pulang.

Ayu mendengus, tidak menggubris ajakan Adi ketika laki-laki itu mengajaknya pulang. Ia yakin Jayden akan datang, mereka sudah berjanji akan bertemu hari ini setelah Ayu pulang sekolah. Persetan jika Romo akan menunggunya, toh Romo tahunya ia sekolah. Ia bisa mencari alasan jika ia di ajak main oleh teman-teman sekolahnya.

“Kalau Sir Jay datang bagaimana? Kami sudah berjanji untuk bertemu. Kalau kamu mau pulang, pulang saja sana. Aku bisa pulang sendiri.” Ayu melipat kedua tangannya di dada. “Tapi aku tidak mau mengajarimu lagi.”

Adi tahu majikannya itu mengancam, ancaman yang selalu Ayu berikan padanya ketika Adi mengingatkannya. Namun, ancaman hanyalah ancaman. Ayu tetap dengan rendah hatinya mengajari Adi membaca bahkan berbahasa Belanda.

Nduk, cah ayu, nopo kok nesu nesu? Nenggo sinten ning kono

Bukan hanya Ayu saja yang menoleh, Adi pun juga ikut menoleh ketika pemilik toko kopi yang menjadi tempat mereka berteduh dari teriknya matahari Samarang bertanya pada Ayu, wajar saja pemiliknya bertanya, mereka sudah 2 jam duduk di sana tanpa membeli apapun.

Kulo nenggo rencang, Pak.” Ayu menjawab pertanyaan pedagang itu dengan sopan, ia tersenyum.

Oallah, lenggah ning njero mawon, lungguh ning ngarep panas. Mengko cah ayu kepanasan.

inggih, Matur suwun pak. saya disini saja.”

Adi yang dari tadi hanya berdiri di sebelah Ayu kini menoleh karena Ayu menyenggol tangannya, “ada apa Raden Ayu?”

“Bapak mu suka nya kopi apa, Di?”

Kening Adi berkerut, bingung kenapa Ayu bertanya apa kopi kesukaan Bapaknya itu. Ayu jarang sekali bertanya apa minuman kesukaan pekerja yang bekerja di rumahnya, Ayu memang baik, ramah dan sopan. Namun tidak sampai seperhatian itu.

“Kenapa Raden Ayu bertanya begitu?”

“Aku mau belikan Bapakmu kopi.”

“Jangan, Raden Ayu.”

Ayu menghela nafasnya kasar, Adi itu keras kepala sekali. Padahal Ayu hanya ingin membelikan Bapaknya kopi saja sebagai hadiah, Ayu tau kalau Adi tidak bisa ke ladang karena harus menemani nya bertemu dengan Jayden dulu. Biasanya jika Adi tidak bisa ke ladang, maka Bapaknya yang akan menggantikan pekerjaan Adi itu.

Meninggalkan Adi yang masih setia berdiri di tempatnya, Ayu berdiri dan menghampiri Bapak pemilik toko yang sedang sibuk menggiling kopi di dalam sana. Begitu melihat Ayu mendekat si pemilik toko itu meninggalkan pekerjaanya dan menyapa Ayu, Ayu perhatikan sedari tadi toko kopi itu belum memiliki pelanggan selama 2 jam Ayu menunggu Jayden.

Cah ayu madosi nopo” sapa pemilik toko kopi itu.

Pak e kalau biji kopi Sidikalang ada?” Ayu hanya ingat jenis kopi itu, karena romo nya sering meminum kopi Sidikalang.

wonten toh

“Saya mau yah, Pak e.”

“Mau bubuk atau biji saja, cah ayu?

“Bubuk saja, Pak e.

Ayu memberikan beberapa gulden untuk membayar kopi yang ia beli, sambil menunggu biji kopi Sidikalang di giling. Ayu kembali lagi duduk di tempatnya, Adi masih berdiri di sana dengan gestur salah tingkahnya.

“Saya senang nemenin Raden Ayu, seharusnya Raden Ayu tidak perlu repot-repot membelikan Bapak saya kopi.” Adi menunduk, sungkan rasanya Ayu harus repot-repot membelikan Bapaknya itu kopi.

Apalagi kopi adalah suatu minuman mewah, Adi saja belum pernah melihat Bapaknya itu meminum kopi. Bapak lebih suka meminum teh tanpa gula, gula juga menjadi salah satu barang mewah yang tidak pernah Bapak beli. Hanya kalangan bangsawan saja yang bisa menikmati gula.

“Aku tidak merasa di repotkan, Di. Asal kamu tidak bercerita sama Romo kalau kamu menemaniku bertemu Sir Jayden.”

“Baik, Raden Ayu.”

Tidak lama kemudian, sebuah dokar terlihat dari keramaian pasar Djohar siang itu. Beberapa pedagang dan pribumi menyingkir ketika melihat dokar itu membelah lautan manusia, beberapa ada yang menyapa tapi beberapa lainnya memilih untuk menyingkir. Apalagi saat melihat dokar itu membawa seorang pria Belanda.

Melihat dokar itu berhenti di depan toko kopi yang Ayu duduki, senyum di wajah khas gadis Jawa itu mengembang saat melihat pria kolonial itu turun dari dokar yang mengantarkannya. Itu Jayden, dengan senyum di wajah ramahnya menghampiri Ayu yang masih setia menunggunya di depan toko kopi.

liefje¹ maaf aku terlambat, kau pasti sudah menunggu sangat lama.” Pria kolonial itu berdiri di sebelah Ayu, menggantikan Adi.

Tubuhnya yang tinggi tegap dengan rambut pirang yang ia tata rapih serta topi fedora yang selalu ia kenakan membuat Ayu selalu terpanah. Seolah-olah yang bisa ia lihat dari ribuan orang yang berada di sana hanyalah sang pujaan hati.

“Tidak apa-apa, Sir Jeff. Anda sibuk, lagi pula saya juga tadi mampir untuk membeli sesuatu dulu.” Ayu beralasan agar Jayden tidak harus merasa tidak enak dengannya, Ayu tahu Jayden adalah orang yang sibuk. Ia adalah seorang Afdeling² di Samarang.

“Membeli apa?”

“Kopi.”

“Untuk Romo mu?

Ayu mengangguk pelan, lagi-lagi ia berbohong. Kedua anak manusia itu berjalan mengitari pasar Djohar siang itu, Ayu berjalan di samping tubuh Jayden yang tinggi menjulang menjadikannya tidak harus terkena paparan matari yang terik siang itu, sementara Adi berjalan di belakang keduanya.

Mengitari pasar, Jayden di sapa oleh beberapa pedagang yang sudah mengenalnya dan beberapa pribumi yang kebetulan lewat, kerendahan hati Jayden, jiwa nya yang tulus dan sikap nya yang lembut itu membuat hati Ayu terbuai dengannya selain paras elok pria itu.

Terlebih, Jayden bukan seorang perokok dan peminum seperti kebanyakan pria kolonial lainnya. Ia sangat menjauhi kedua hal itu, Jayden dengan gaya hidup yang sehat. Terlebih Jayden sangat menghormati wanita dan menghormati kalangan pribumi.

Kedua nya masuk ke tenda yang menjual berbagai macam jajanan pasar yang ada di sana, sementara Adi enggan masuk ke dalam tenda itu. Ia merasa tahu diri untuk tidak duduk di kursi yang sama dengan Jayden dan juga Ayu.

“Adi Ten pundi, Raden Ayu?” Jayden bertanya dengan Ayu dengan logat medhok nya, Jayden memang bisa berbahasa Jawa karena dia sudah berada lama di tanah Jawa. Sekitar 15 tahun, saat Ayahnya masih menjabat sebagai seorang residen di Soerabaja.

Ayu yang di tanya seperti itu menoleh ke kanan dan kirinya, ia tidak mendapati Adi masuk ke tenda yang sama dengannya dan Jayden.

“Adi sepertinya di luar, Sir Jayden tunggu disini sebentar yah, biar saya yang panggilkan Adi.”

Sebelum Ayu berdiri, Jayden menahan tangan kurus Ayu untuk menyuruhnya tetap duduk di kursinya. “Biar saya saja, kau duduk disini saja.”

Ayu hanya mengangguk samar, hatinya menghangat. Setiap kali pergi berkencan dengan pria kolonial itu tidak ada habisnya Ayu di buat kagum dengan kebaikan hatinya, Jayden tidak pernah membeda-bedakan manusia. Ia akan tetap menyuruh pekerjanya untuk duduk di kursi yang sama dengannya, membelikan makanan ketika ia juga hendak makan. Dan berbicara dengan sopan pada mereka.

Pak'e pecel telu dan teh telu.

nggih.


Jakarta, 30 Januari 2025.

“Untuk power plant main engineer nya elo ya, Sat.” Raga menoleh pada Satya yang duduk di sebelah kanan nya, pria itu hanya mengangguk dan mendengus sedikit pasrah. “Tetap bantu Bagas untuk tahap kontruksinya, Sat, bantu Bagas ya.”

“Oke, Pak.”

“Dua minggu lagi powet plant udah bisa berangkat ke Surabaya.”

Mendengar Surabaya di sebut kedua mata Bagas membulat, seharusnya ia tidak kaget lagi ketika Raga menyuruhnya ke Surabaya guna memantau proyek mereka. Bagas hanya tidak menyangka jika akan secepat itu saja.

“Dua minggu lagi, Pak?” Tanya Bagas memastikan, mana tau telinganya salah dengar.

Raga mengangguk, keningnya berkerut. Ia menangkap ketidaksiapan Bagas ketika ia memerintahkannya ke Surabaya untuk memantau proyek mereka di sana. Bagas dan Kirana itu bekerja di sebuah kantor konsultan yang bergerak di bidang konstruksi.

Enggak heran tiap kali mereka mendapatkan proyek di luar kota, maka Bagas atau pun Kirana harus siap memantau nya ke sana. Tapi sebenarnya lebih banyak Bagas yang mendapatkan proyek di luar kota, sementara Kirana lebih sering mendapatkan proyek di kisaran Jabodetabek saja.

“Iya, ada apa Bagas? Enggak siap?”

“Bu..kan, Pak. Cuma kaget aja, di lanjut, Pak.” Bagas tersenyum kikuk, gak ada pilihan lain selain menurut pada atasannya itu.

Sebenarnya Jagaraga termasuk atasannya yang baik, bahkan setelah dua minggu Bagas tidak bekerja. Raga masih memaafkannya dan memakluminya, walau tetap saja Raga memberikan beberapa pekerjaan tambahan untuknya.

Istirahat makan siang hari itu Bagas gunakan untuk menjenguk Kirana di rumah sakit, keadaan Kirana sudah membaik. Wanita itu belum tahu kapan bisa pulang dari rumah sakit, kata Ibu. Masih ada beberapa pemeriksaan dan terapi yang masih harus di lakukan oleh Kirana.

Waktu Bagas sampai di bangsal Kirana, wanitanya itu sedang makan sembari melamun menatap ke arah jendela kamarnya. Ibu sedang pulang sebentar untuk mengambil pakaian.

“Kamu ngalamun terus dari tadi, mikirin apa?” tanya Bagas, dia selesai memotong daging makan siang Kirana menjadi ukuran kecil-kecil.

“Bagas?”

“Ya, sayang?”

Kirana menoleh ke arahnya, perasaanya berkecamuk tentang mimpi yang ia alami semalam. Kirana bermimpi sesuatu, tentang dirinya dan pria lain. Ah, ada pria mirip Bagas juga di dalam mimpinya, tapi entah kenapa pria itu mengenalkan dirinya sebagai orang lain alih-alih Bagas.

Kirana belum pernah bermimpi seperti itu, mimpi yang menurutnya terasa nyata. Seperti Kirana benar-benar ada di masa itu, masa di mana Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Di era kolonial, saat bangun pun rasanya Kirana linglung.

“Aku semalam mimpi.”

“Mimpi apa?” Bagas menopang dagu nya, bersiap mendengarkan wanitanya itu bercerita tentang mimpinya semalam.

“Aku ada di era kolonial, ada kamu di sana. Tapi bukan sebagai Bagas yang aku kenal.” Kirana menundukan wajahnya, Kirana menimang pikirannya. Ia gamang, ingin bercerita lugas namun takut Bagas bingung karena ia sendiri pun bingung.

“Sebagai siapa?”

Kirana menggeleng, ia mencoba mengalihkan kembali perhatian Bagas dengan kembali memakan, makan siangnya yang sudah hampir dingin itu. “Lupa..”

Bagas terkekeh, “kok lupa sih? Padahal aku udah penasaran banget.”

Lebih baik ia simpan sendiri dulu, toh ini hanya mimpi biasa. Kirana memang suka bermimpi aneh-aneh sejak dulu, mungkin juga efek obat-obatan yang sedang ia konsumsi akhir-akhir ini. Semua bisa saja terjadi kan?

“Kamu di marahi Pak Raga yah, Gas?” Satya sempat bercerita pada Kirana sewaktu pria itu menjenguk Kirana kemarin sore. Mendengar itu Kirana jadi enggak enak sama Bagas, karena menunggunya di rumah sakit dia sampai harus bolos bekerja.

“Enggak, sayang. Cuma teguran kecil aja, buktinya aku sekarang di kasih proyek yang di Surabaya.”

“Bareng Bang Satya ya?”

Bagas mengangguk, “aku tinggal sebentar gapapa yah? Nanti aku rajin-rajin face time sama kamu.”

“Gapapa.”


Malamnya Kirana masih termenung di ranjangnya, dia sudah beberapa kali membulak balikan tubuhnya untuk mencari posisi yang nyaman. Tapi bukan itu masalahnya, kepalanya penuh bukan lagi tentang penolakan Ibu nya Bagas seperti kemarin-marin yang ia pikirkan. Ini soal mimpi kemarin malam yang ia rasakan begitu nyata, seperti ia benar-benar berada di era itu.

Netra berwarna coklat legam layaknya topaz itu menelisik langit-langit di bangsal rawatnya, kembali mengingat-ingat akan pria kolonial yang ada dalam mimpinya. Laki-laki itu seperti tidak asing baginya tapi ia sendiri juga tidak mengenalnya.

Dengan susah payah Kirana berusaha untuk bangun dari ranjangnya dan duduk, Ibu tidur di ranjang penunggu pasien di sebelah kiri Kirana, jadi Kirana bisa menghadap ke arah jendela untuk memikirkan mimpi itu.

nduk? kok belum tidur?”

Kirana menoleh, ternyata Ibu terbangun. Mungkin karena decitan dari ranjang Kirana saat ia bergerak untuk duduk. Ranjangnya memang sudah agak lama, namun untuk ranjang seukuran di bangsal yang berisi 6 orang ini lumayan nyaman kok.

“Belum, Buk. Enggak bisa tidur, maaf yah Kirana bangunin Ibu.” Kirana tersenyum, jadi sungkan rasanya. Tau begitu ia tetap tiduran saja.

“Enggak papa, tidur, nduk. Besok pagi kan kamu harus terapi lagi, perawat menjemputnya pagi loh, kalau mengantuk gimana?” Kirana memang masih terapi untuk memulihkan otot-otot kaki nya, kakinya sempat sulit di gerakan. Tidak ada cidera kata dokter, hanya saja sedikit kaku karena Kirana lumayan lama berbaring di ranjang.

“Iya nanti, Buk. Ibu tidur aja gapapa.”

Melihat anaknya itu duduk menghadap ke arah jendela, Ibu jadi beranjak dari ranjangnya dan duduk di samping Kirana. Mengusap-usap rambut panjang putri sematawayangnya itu, Ibu hanya berpikir ada yang Kirana pikirkan.

“Mikirin kerjaan, nduk?” biasanya Kirana memang suka bercerita tentang pekerjaanya di kantor, mungkin saja karena tidak masuk kerja lama Kirana jadi memikirkan pekerjaanya yang mangkrak.

Kirana menggeleng, “bukan, Buk.”

“Lalu?”

Kirana menoleh ke arah Ibu, Ibu dengan senyuman manis yang selalu membuat Kirana tenang. Ngomong-ngomong soal orang tua Bagas, Kirana belum cerita apa-apa sama Ibu. Ia akan pendam itu sendirian saja sambil memikirkan bagaimana hubungannya dengan Bagas.

“Mau di usap-usap aja deh punggungnya sama Ibu, siapa tau Kirana cepat ngantuk.” Kirana berbaring, dia masih menyimpan tentang mimpinya itu.

“dasar manja, sini. Ibu usap-usap punggungnya.”

Bersambung...

liefje¹ : sayangku. Afdeling² : asisten residen. (Asisten residen adalah pegawai negeri tertinggi di suatu afdeling pada masa penjajahan Belanda.)

Jakarta, 28 Januari 2025

panggil dokter, Bagas. Jari-jari Kirana bergerak!!

Kirana, ini Ibu, Nak. Ayo buka matamu.

Hiruk piruk yang terdengar di telinga Kirana begitu terus menganggu, matanya masih terpejam, tubuhnya agak sedikit kaku dan rasa kantuk masih melingkupinya. Bising yang berasal dari suara Ibu nya itu seakan-akan memaksa Kirana harus membuka matanya, dengan mata yang masih terpejam, Kirana merasakan seseorang tengah menempelkan benda di atas dada nya, dingin, benda itu berpindah-pindah seakan-akan memeriksa detak jantungnya.

Tak lama kemudian, ia merasa ada tangan besar yang menggenggam tangannya, hangat, sungguh hangat. Tapi Kirana tidak tahu itu siapa, tangan besar dan hangat itu mengusap punggung tangannya, seolah menguatkannya untuk bisa membuka matanya. Hati Kirana menghangat, ia sungguh ingin melawan berat yang seperti menindihi dirinya.

Perlahan-lahan, Kirana berusaha untuk membuka matanya, cahaya yang berasal dari lampu itu menelisik netra nya, Kirana mengerjap namun sedetik kemudian mata kecilnya terbuka, buram.. Itu yang pertama kali Kirana lihat. Ada sosok wanita di depannya dan seorang pria dengan wangi parfum yang tidak asing baginya.

“Kirana dengar saya?”

Suara seseorang mengintrusinya, Kirana tidak mengenal itu suara siapa. Tapi tidak lama kemudian matanya seperti di buka paksa dengan cahaya dari benda panjang menyorot ke matanya secara bergantian, barulah pandangannya yang kabur itu kini nampak jelas.

“Kirana, hallo? Bisa dengar saya?”

Pria yang memakai baju scrub berwarna biru itu berbicara pada Kirana, Kirana nampak bingung, ia tengah mencerna apa yang sebenarnya terjadi dengannya. Kepala nya mengangguk, kemudian wanita yang ia kenali Ibu dan pria di sebelahnya itu bernapas lega, memangnya ada apa? Pikirnya.

Pria yang berdiri di sebelah Ibu adalah Bagas, pacar Kirana. Matanya berkaca-kaca penuh haru. Seolah-olah selama ini Kirana tidak pernah bangun dari tidur nya.

“Kirana bisa di ajak bicara, Buk. Besok pagi kita akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut.” dokter yang memeriksa Kirana tadi tersenyum pada Ibu.

Sekali lagi, Kirana melihat Ibu nya itu menyalami Dokter yang memeriksanya barusan dengan wajah penuh terima kasih. Seolah-olah Kirana bangun dari tidur panjangnya karena dokter itu. Dengan pandangan kosong serta banyaknya pertanyaan di kepalanya, Kirana menatap pria di sampingnya. Bagas, pria itu duduk di kursi sebelah ranjangnya.

“Aku senang banget kamu udah bangun.” Bagas masih menggegam tangan Kirana, mengusap nya dan kali ini mengecupnya penuh syukur.

“Bagas?” Itu adalah kalimat pertama yang di ucapkan oleh Kirana, ia merasa perlu di beri penjelasan tentang apa yang terjadi pada dirinya. Ibu tadi sempat mengekori dokter yang memeriksa Kirana keluar dari ruang rawatnya.

“Ya, sayang?”

“Ak..aku kenapa?”

Senyum di wajah Bagas sedikit memudar, namun genggaman tangannya di tangan Kirana sedikit mengecang. Wajah pria dengan air wajah penuh penyesalan dan mata sedihnya itu kini menatap Kirana.

“Kamu kecelakaan,” ucap Bagas pelan. “Nanti aku ceritain kalau kamu udah pulih yah.”

Kirana mengangguk, namun kepala nya justru memaksa nya mencari ingatan tentang apa yang terjadi padanya sebelum ia bangun dari tidur panjangnya. Yang Kirana ingat, ia habis pulang dari rumah Bagas untuk makan malam, ia menaiki taksi saat hujan deras karena malam itu Bagas tidak bisa mengantarnya pulang, lalu..

“Ibu lega banget, nduk. kamu udah bangun, anak Ibu yang paling kuat..” Ingatan Kirana akan kecelakaan itu tersita ketika Ibu tiba-tiba saja datang, duduk di kursi samping kanan Kirana dan mengecupi kening Kirana penuh syukur.

“Ibu?”

“Ya, nduk?

“Maafin Kirana udah buat Ibu khawatir.” melihat Ibu dengan wajah sedih, mata berkantung serta rambut yang tidak tertata rapih itu sedikit banyakanya menyayat hati Kirana. Ibu benar-benar merana melihatnya terkapar di ranjang rumah sakit.

“Gapapa, nduk. yang penting bagi Ibu kamu sudah sadar, Matur suwun cah ayu sudah bangun untuk Ibu..” Ibu meneteskan air matanya, selama dua minggu Kirana kritis. Yang ada di kepala Ibu hanya kalimat 'seandainya'

'Seandainya Kirana tidak pernah membuka matanya.'

'Seandainya Kirana meninggalkannya.'

'Seandainya Kirana tidak pernah pergi malam itu.'

Atau

'Seandainya malam itu Bagas tetap memaksa mengantarkan Kirana pulang, apakah ini semua akan tetap terjadi?'

Bagas yang melihat adegan haru di depannya itu berjalan mundur menjauh, perasaan gelabah merasa bersalah menghampirinya. Pria berumur 27 tahun itu duduk di kursi di depan ruang rawat Kirana, mengusap wajahnya dengan gusar untuk mengusir segala rasa bersalahnya terhadap sang kekasih.

Malam yang takan pernah Bagas lupakan dalam hidupnya, malam saat ia mengundang Kirana untuk makan malam di rumahnya. Bagas dan Kirana sudah berhubungan 6 tahun, tepatnya saat mereka berkuliah dulu. Bagas dan Kirana sepakat memberi tahu hubungan mereka dan mengenalkan diri satu sama lain pada keluarga jika sudah ke arah yang lebih serius.

Bagas di terima baik oleh Ibu nya Kirana, namun lain hal nya dengan Kirana. Wanita itu di tolak oleh Ibu nya Bagas, Ibu melarang Bagas melamar Kirana dengan alasan kematian Ayahnya Kirana, dahulu yang membuat Ibu tidak setuju Kirana kelak akan menjadi menantu di keluarga mereka.

Alasan yang sama sekali tidak bisa Bagas terima, Kirana baik, sayang dengannya, mengerti Bagas lebih dari Ibu mengertinya dan yang lebih penting adalah Bagas sangat mencintai Kirana. Bagas tidak perduli dengan masa kelam keluarganya itu. Bagas hanya mau wanitanya.

“Bagas?” suara yang berasal dari Ibu nya Kirana itu mengintrupsi kesadaran Bagas, lamunan akan malam itu buyar begitu saja.

“Ya, Buk?”

“Kirana cari kamu, masuk, Nak.” Ibu menepuk pundak Bagas dan menyuruh pria itu masuk.

Begitu Bagas masuk, Kirana tersenyum kecil dengannya. Sungguh itu adalah senyuman yang sangat Bagas rindukan, senyuman yang selalu bisa meluluh lantahkan hatinya.

“Kamu kok duduk di luar?” tanya Kirana begitu Bagas duduk kembali di kursinya.

“Kasih kamu waktu buat bicara sama Ibu.”

Bagas menunduk, berkecamuk dengan perasaan dan isi kepalanya yang tampak bising. Melihat Kirana hanya menambah perasaan bersalah dan penyesalannya, jauh dari nya juga membuat penyesalannya bertambah. Bagas bingung harus bicara apa.

“Bagas?”

“Hm?”

“Pulang..”

Kening Bagas berkerut, apa katanya? Pulang? Pikirnya, kenapa Kirana memanggilnya hanya untuk menyuruhnya pulang?

“Aku masih mau nemenin kamu sama Ibu.” sudah dua minggu pula Bagas enggak meninggalkan rumah sakit, ia mengesampingkan semua pekerjaanya, panggilan dari keluarganya dan rekan-rekan kantor nya. Yang di kepalanya hanya ada Kirana saja dan perasaan bersalahnya.

“Nanti bisa kesini lagi, Ibu kamu pasti khawatir sama kamu, Gas.” Kirana sudah ingat semuanya, semua sakit saat kecelakaan, sakit nya penolakan, dan semua kata-kata menyakitkan yang Ibu nya Bagas bicarakan diam-diam di belakangnya saat Kirana hendak ke toilet.

“Kirana benar, Bagas. Orang tua kamu pasti mengkhawatirkan kamu, disini Kirana kan sama Ibu. Nanti, kamu bisa ke sini lagi.” Ibu sudah sering menyuruh Bagas untuk pulang, namun Bagas dengan keras kepala nya tetap tinggal di rumah sakit.

“Sebentar lagi yah.” pria itu membawa tangan kurus Kirana pada genggamannya, ia peluk tangan itu dan ia kecupi sekali lagi.


Mobil yang Bagas kendarai itu masuk ke pekarangan rumahnya, di depan sana ada Ibu yang sibuk dengan tanaman-tanaman hiasnya. Begitu melihat mobil Bagas, Ibu menyingkirkan monstera kesayangannya itu demi mengintrogasi si sulung.

“Dari mana aja kamu, Mas?” tanya Ibu begitu Bagas menutup pintu mobilnya, suaranya dingin. Bagas tau Ibu sudah kepalang naik pitam karena ia tidak setor muka ke rumah.

assalamualaikum, Buk.” Bagas menyalami Ibu nya, walau kalimat itu tidak mendapati jawaban.

“Dari mana?” cecar Ibu sekali lagi.

“Kirana kan sakit, Buk. Dia kecelakaan.”

“Halah, perempuan itu lagi.” mendengar nama Kirana di sebut putra nya, Ibu kembali dengan monstera yang ia taruh di meja taman kecil rumah mereka. “Ibu kan sudah bilang Ibu gak suka sama dia.”

“Tapi Bagas sayang sama dia, Buk.”

“Gas, masa lalu keluarganya itu suram, Bapaknya itu meninggal karna bunuh diri, penyakit mental itu menurun ke anaknya kamu mau menikahi dia? Ibu gak mau punya menantu dengan keluarga yang suram seperti itu!”

Bagas menghela nafasnya, tubuhnya benar-benar lelah. Ia ingin meninggalkan Ibu untuk masuk segera ke kamarnya tapi Bagas merasa itu sangat tidak sopan, seumur-umur dia enggak pernah menjadi pemberontak. Ia selalu menuruti apa perintah dan keinginan orang tua nya, Ibu dan Ayah selalu mengajari Bagas jika ia menurut pada orang tua maka hidupnya akan baik-baik saja.

Dan Bagas akui, selama ini hidupnya berjalan mulus sesuai keinginanya. Tapi sayangnya kali ini keinginan Ibu nya sangat berat untuk ia turuti, ia sangat mencintai Kirana. Bahkan seandainya ia tidak berakhir bersama Kirana, Bagas enggak tahu harus bagaimana lagi dengan hidupnya.

“Bagas ngerasa bersalah, Buk. Kirana kecelakaan itu karena Bagas.”

“Karena kamu apanya?!” nada bicara Ibu meninggi. “Perempuan itu kecelakaan bukan karena kamu, karena memang dia sial aja.”

“Buk..” Bagas memperingati, menurutnya Ibu sudah keterlaluan. “Bagas yang mengundangnya makan malam di rumah kita, harusnya Bagas juga yang antar dia pulang.”

“Menurut Ibu, otakmu sudah banyak di pengaruhi dia, Bagas. Kamu udah berani melawan Ibu.”

Bagas mengusap wajah nya gusar, ia bisa menebak, setelah ia menyalakan ponselnya kemungkinan besar ia juga akan mendapatkan rentetan pesan dan telefon dari kantor nya. Ia siap di maki, Bagas pasrah. Bahkan ocehan Ibu sedari tadi tidak Bagas tanggapi lagi, begitu Ibu berhenti memarahinya, Bagas masuk ke kamarnya, menidurkan dirinya di ranjang, menatap langit-langit kamarnya yang pagi itu nampak temaram karena tidak ia nyalakan lampunya.

Pikirannya larut pada suasana temaram di sana, kepalanya ramai, hatinya berkecamuk dan perutnya bergejolak. Ah, Bagas lupa dua minggu ini dia tidak makan dengan benar. Ia bahkan lupa jika ia belum minta maaf pada Kirana saat wanita itu membuka matanya hari ini.


Kirana tersenyum tipis mendapati atasannya itu datang berkunjung menjenguknya, pria berumur 31 tahun yang tampak cuek namun perhatian dengan karyawan nya itu kini menatap Kirana dengan kikuk. Entah kenapa, ah Kirana hampir lupa kalau Jagaraga bisa sangat menyebalkan ketika bertanya bagaimana progeress proyek mereka berjalan.

Sampai-sampai, Kirana membenci kata 'progress' jika ia di beri kesempatan, ingin ia hapus kata itu dari dunia ini saking muaknya. Raga selalu bertanya seperti itu setiap pagi, atau bahkan saat pria itu tidak datang ke kantor. Ia akan bertanya melalui pesan singkat.

“Bapak, sendiri?” Tanya Kirana memecahkan hening di antara mereka, ah tidak hening sebenarnya. Bangsal kirana di rawat itu ada beberapa pasien, sedang jam besuk jadi lumayan ada orang lain selain ia dan Raga, Ibu sedang ke kafetaria membeli makan.

“Iya, saya dengar kabar kamu sudah siuman dari Bagas, ngomong-ngomong Ibumu kemana?”

“Ke kafetaria, Pak.”

Raga mengangguk-angguk, “Kirana?”

“Ya?”

Raga menarik nafasnya pelan, ia pikir Kirana lebih membutuhkan waktu untuk istirahat, mengingat tangan wanita itu juga di gips. “Setelah sembuh nanti, kamu boleh habiskan cuti kamu selama satu tahun. Masuk ke kantor jika kamu sudah benar-benar pulih aja.”

“Enggak, Pak. Dokter bilang, gak ada yang harus di khawatirkan sama kondisi saya, semua organ vital saya baik, setelah lepas gips nanti saya juga bisa langsung kerja kok.” Kirana sungkan tidak masuk kerja selama itu, pekerjaanya pasti mangkrak, atau di ambil alih oleh Bang Satya.

“Kalau gitu ini perintah dari saya, fokus saja pada kesembuhan kamu dulu. Lagi pula ada Satya yang handle pekerjaan kamu.”

Mendengar nama Satya di sebut, Kirana terkekeh pelan. Benar dugaanya, Bang Satya memang senior nya yang paling baik. “Bapak enggak ajak Bang Satya buat jenguk saya?”

Kirana bisa bicara sesantai ini pada Raga karena Raga adalah seniornya dulu di kampus, Kirana juga baru tau dari Bagas karena kehidupan selama perkuliahannya Kirana tidak pernah mementingkan siapa senior-senior nya di sana, bahkan Kirana pernah kaget karena dulunya Ragaa adalah presiden mahasiswa di kampus mereka.

Bisa di bilang kehidupan perkuliahan Kirana sedikit membosankan, ia hanya sibuk dengan belajar, tugas kelompok, membantu Ibu jualan dan mungkin sedikit berkencan dengan Bagas. Kirana bukan mahasiswa yang berprestasi banget dan menjadi sorotan di kampus nya, dia sangat menghindari hal itu.

“Dia lagi di Surabaya, nanti bisa jenguk kamu sendiri.”

“Proyek baru, Pak?”

Raga mengangguk, “pembangunan rumah sakit. Proyek itu harusnya punyamu, tapi dia yang handle sekarang.”

Kirana agak sedikit menyayangkan kecelakaanya, jika tidak berakhir menyedihkan seperti ini dia kan bisa ke Surabaya, bekerja sambil jalan-jalan walau mungkin bagian jalan-jalannya hanya sebentar saja.

“Kamu ini, saya jenguk malah ngomongin kerjaan. Kesan nya kan saya lagi nagih kamu kerja.”

Kirana terkekeh, “kita gak banyak ngobrol, Pak. Jadi saya juga bingung mau ngobrol apa sama Bapak,” ucap Kirana to the point. memang benar adanya begitu, selama ini obrolannya dengan Raga hanya sebatas membicarakan pekerjaan, Bahkan saat sedang istirahat sekalipun.

Raga juga merasa ucapan Kirana benar, selama ini mereka hanya membicarakan pekerjaan saja. Jadi kepalanya kali ini memutar ide mencari topik pembicaraan agar ia tidak mati kutu, sungkah menjenguk karyawannya hanya sebentar. “Kamu lebih suka onde-onde atau bakpau?”

Bersambung...

“Saya ingin Raden Ayu percaya sama saya, saya janji. Akan segera bertemu dengan Ayahmu, dan meminangmu. Tolong tunggu sebentar lagi, Ik beloof het lieverd.” Sang pria tersenyum, pria kolonial dengan rambut pirang dan kulit pucat itu. Membuat janji pada Kirana.

Diajeng Sekar Kirana, enggak pernah menyangka kecelakaan besar yang menimpanya akan membuatnya bermimpi tentang kisah hidup masa lalunya, sekitar 127 tahun yang lalu. Seperti benang merah, mimpi-mimpi itu membuat Kirana awalnya tidak nyaman dan sering takut ketika dirinya hendak tidur. Ia pikir ia mengalami PTSD (Post traumatic stress disorder)

Namun, lambat laun Kirana menyadari sesuatu, jika mimpi itu adalah dirinya dari tahun 1898. Dengan segala kisah hidup dan cinta nya yang pelik, Kirana menyadari jika orang-orang yang ia temui saat ini adalah orang-orang yang ada di tahun 1898.

Kirana enggak pernah percaya sama yang namanya reinkarnasi sampai akhirnya ia sendiri yang mengalaminya.

“Apa kali ini nasib gue akan sama kaya di tahun 1898?” Gumam kirana pada dirinya sendiri.