Bab 9. Mencari Jawaban
Raga tengah bersiap untuk melakukan konsulnya kembali pagi ini, sudah sekitar dua bulan ini Raga selalu rajin melakukan terapi dan konsul dengan seorang psikiater di rumah sakit. Itu semua bukan karena Raga memiliki gangguan mental pada dirinya, ia melakukan ini untuk mencari tahu tentang mimpi beruntut yang selalu ia alami selama ia tidur 3 bulan belakangan ini.
Setelah memastikan dirinya sudah terlihat rapih dengan setelan kaus polo dan juga celana jeans, ia termenung kembali pada cermin di depannya yang menampakan dirinya sendiri. Teringat kembali akan mimpinya, tentang pria berusia seumuran dengannya, pria kolonial bernama Jayden Van den Dijk.
Raga sudah mencari tahu tentang Jayden akhir-akhir ini, dan ia telah menemui titik terang jika pria itu adalah nyata. Pria yang berada dalam mimpinya bukan berasal dari memori pendek yang ada di kepalanya. Melainkan pria masa lalu yang pernah tinggal di Indonesia yang dulu bernama Hindia Belanda.
Dari yang Raga tahu tentang rasa penasarannya pada mimpinya itu adalah, wajahnya mirip sekali dengannya. Pria itu juga memiliki tanggal dan bulan lahir yang sama dengan Raga. Raga sempat berpikir konyol jika dirinya adalah reinkarnasi pria bernama Jayden itu.
“Aga....”
Pintu kamarnya di ketuk dari luar, terdengar suara seorang wanita dari luar kamarnya memanggil nama Raga. Itu adalah Adelia Herlina Suhartono, Kakak Raga yang biasa ia panggil dengan sebutan 'Mbak Adel.'
“Apa, Mbak?”
Memecahkan lamunannya, Raga berjalan ke pintu kamarnya dan membukakan pintu kamarnya itu untuk Adel. Kakaknya itu berdiri di depan pintu kamarnya, menggandeng seorang anak kecil berumur 5 tahun. Itu adalah putrinya namanya Safira.
“Udah jam 10, jadi gue temenin konsul gak?” tanya Adel pada adiknya itu.
“Jadi, Mbak buru-buru? Kalo buru-buru gue naik taksi aja deh.”
“Ihhh ngambek! Enggak kok, tapi anterin Fira ke day care dulu yah. Gue ada janjian sama agen properti jam 12.”
Raga mengangguk, ia kemudian menutup pintunya. Beralih menggandeng Safira, Raga dan Adel menuruni tangga rumah mereka. Kedua orang tua Raga dan Adel itu enggak tinggal di Jakarta, mereka tinggal di Surakarta. Menikmati masa tua mereka di sana, sementara Adel yang sudah menikah dengan Suaminya itu menetap di Jakarta namun di rumah yang berbeda dari yang Raga tinggali.
Adel kebetulan sedang menjenguk adiknya itu saja, dan kebetulan Raga memang minta di antar ke rumah sakit tempatnya konsultasi karena mobilnya sedang berada di bengkel.
“Terus kemarin aku juga liat pertunjukan lumba-lumba, Om. Keren sekali!! Lumba-lumbanya bisa main bola,” celoteh Safira di pangkuan Raga Mereka sudah dalam perjalanan menuju day care.
“Keren banget dong, terus kamu foto gak sama lumba-lumba nya?”
“Foto!! Tapi fotonya ada di HP nya Daddy. Jadi Fira gak bisa tunjukin ke Om deh.” bocah itu cemberut.
“Kapan-kapan tunjukkin ke om yah!”
Bocah 5 tahun di pangkuan Raga itu mengangguk, Safira itu suka sekali bercerita apapun kegiatan yang ia lakukan di day care atau saat jalan-jalan dengan kedua orang tua nya, selalu di ceritakan pada Raga. Mereka sangat dekat, kalau pun Raga sedang dinas di luar kota pun orang pertama yang ia ingat untuk di belikan oleh-oleh adalah Safira.
“Mas Ethan masih di Samarinda, Mbak?” tanya Raga, Kakak ipar nya itu seorang arsitek juga. Mas Ethan ini bekerja di Clyton partners sebuah perusahaan konsultan arsitektur yang terkenal di Indonesia.
Kantor tempat Kakak Ipar Raga bekerja itu jauh lebih berpengalaman dari pada kantor konsultan tempat Raga bekerja, sebenarnya Ethan sudah sering menawari Raga untuk pindah ke tempatnya bekerja. Mengingat kemampuan Raga sebagai Team Leader di kantor nya saat ini sangat baik, rasanya tidak mungkin Raga di tolak untuk bekerja di kantor tempat Ethan bekerja. Apalagi atas rekomendasi dari Ethan sendiri.
“Masih, mungkin minggu depan pulang.”
Adelia menghentikan mobilnya di depan sebuah day care, Adelia tidak keluar dari mobilnya Safira di temani masuk ke dalam day care oleh Raga, setelah itu keduanya langsung melesat ke rumah sakit tempat Raga konsul.
“Mbak, keluarga kita tuh ada keturunan Eropa gak sih?” tanya Raga yang nyaris saja membuat Adelia terbahak-bahak. Pertanyaan yang jauh di luar dugaan Adel.
“Ck, malah ketawa lagi lu, gue serius ini nanyanya.” Raga enggak terima.
“Kenapa sih nanya kaya gitu?”
“Yah gapapa, kayanya gue gak hapal betul silsilah keluarga Papa deh.” Raga bertanya seperti ini untuk memastikan, apakah ia masih ada hubungannya dengan pria bernama Jayden dalam mimpinya atau tidak.
“Hhhmm... Kayanya ada deh, gue pernah di ceritain sama Papa kalo buyut nya itu orang Belanda. Aduh yang jelas jauh banget deh, Ga.”
Adel itu lebih dekat ke Papa mereka karena mempunya kebiasaan yang sama. Bermain golf tentunya, dahulu sewaktu kedua orang tua mereka masih berada di Jakarta. Adelia sering menemani Papa nya itu bermain golf, di sela-sela permainan kadang Papa suka bercerita pada Adelia, tentang apapun itu termasuk asal usul keluarga dari pihak Papa.
“Serius lo, Mbak?” Raga mengubah posisinya menjadi sedikit berhadapan dengan Adel yang sedang menyetir itu.
“Gue lupa gimana ceritanya, Ga. Gue gak begitu nyimak banget waktu Papa cerita, yang gue inget tuh Papa bilang kayanya buyutnya Papa itu orang Belanda. Duh lo tanya sendiri deh ke Papa, emang kenapa sih lo nanya kaya gitu?”
Pertanyaan dari Adiknya itu agak sedikit berbeda dari biasanya, kalau sedang jalan berdua dengan Raga atau sedang ngobrol dengan Adiknya itu. Obrolan mereka itu enggak jauh-jauh dari kegiatan sehari-hari, tentang bisnis roti yang di bangun oleh Adel, tentang Safira, orang tua mereka atau bahkan Ethan. Walau kadang Adel suka menyelingi obrolan mereka dengan candaan kapan Raga akan segera mengenalkan kekasihnya pada Adel dan Ethan.
Padahal boro-boro Raga punya kekasih, dekat dengan wanita saja dia enggak. Kalau di bilang Raga itu tampan jelas dia tampan, Raga itu sangat karismatik, ia bahkan mahasiwa yang popular di kampusnya dulu apalagi setelah menyabet jabatan sebagai presiden mahasiswa. Tapi tetap saja, ia tidak pernah tertarik untuk menjalin sebuah hubungan. Kalau naksir-naksir teman wanitanya sewaktu kuliah dulu sih pernah, tapi Raga enggak pernah memintanya menjadi pacar.
“Lo masih ingat mimpi yang bikin gue harus ke psikiater kan, Mbak?” tanya Raga yang di balas anggukan oleh Adel.
“Inget, kenapa emangnya? Lo udah dapat diagnosis dari dokter lo?”
Meski sudah berjalan 2 bulan Raga konsul dengan psikiter, Raga belum juga mendapatkan diagnosis tentang apa yang ia alaminya. Jadi untuk sementara ini dokter hanya mengatakan itu adalah gangguan tidur biasa.
Raga menggeleng. “Kemarin gue iseng nyari tau soal Jayden Van Den Dijk. Ini beneran gue iseng aja, dan gue nemuin sesuatu.” Raga menunjukkan ponselnya pada Kakaknya itu.
Karena di rasa obrolan Raga ini serius, Adel akhirnya memberhentikan mobilnya di depan minimarket, bukan untuk membeli sesuatu. Tapi untuk melihat apa yang ingin Raga tunjukan di ponselnya pada Adel, di ambil alihnya ponsel milik Adiknya itu dan ia baca sebuah artikel tentang Jayden Van Den Dijk di sana, laki-laki yang ada di dalam mimpi Raga. Ah, lebih tepatnya Raga di dalam mimpi itu yang menjadi Jayden Van Den Dijk.
“Dia beneran ada?” gumam Adel, “menjabat sebagai Asisten Residen di Semarang tahun 1898, sekitar 127 tahun yang lalu..”
Adel memperhatikan Raga, lebih tepatnya pahatan wajah adiknya itu dan dia bandingkan dengan wajah Jayden yang ada di artikel itu. Raga benar, wajah mereka benar-benar mirip bahkan letak tahi lalat yang ada di wajah Raga juga sama persis seperti tahi lalat yang ada di wajah Jayden. Perbedaan mereka hanya pada warna rambutnya saja, karna Jayden pria Eropa maka warna rambutnya pirang berbeda dengan Raga yang memang pria Asia.
“Muka lo mirip banget sama dia.” Adel benar-benar terdiam, seumur hidupnya dia baru mengalami hal seperti ini. Adel itu penggemar film atau drama-drama supranatural, ia mengetahui banyak tentang reinkarnasi. Tapi Adel hanya menganggapnya angin lalu, dia gak pernah percaya hal-hal seperti itu ada di dunia nyata.
“Mbak, makanya gue tanya sama lo. Apa kita benar-benar ada keturunan Eropa? Gue cuma mau mastiin, apa yang gue alamin sekarang itu ada sangkut pautnya sama Jayden.”
“Gue bakalan cari tau, semalam lo masih mimpi?” tanya Adel, ia ingin tahu apa yang selanjutnya terjadi pada pria bernama Jayden itu dalam mimpi Raga.
Terakhir yang Adel ingat adalah Jayden berkencan dengan seorang gadis bangsawan di Semarang bernama Ayu. Kemudian gadis itu di jodohkan oleh Ayahnya dengan seorang anak Bupati dari Surabaya.
“Masih,” Raga mengangguk.
“Apa mimpi selanjutnya?”
Di tanya seperti itu Raga terdiam, dia hanya mengulum bibirnya sendiri. Mimpinya semalam enggak begitu baik tentang Jayden, waktu Raga bangun pun dadanya terasa sesak dan seluruh tubuhnya sakit. Itu lah kenapa hari ini dia bangun terlambat.
Kirana mengepal tangannya dengan cemas di ruang tunggu pendaftaran rumah sakit, hari ini dia kembali ke rumah sakit bukan untuk melakukan check up rutin pada kaki dan tangannya. Ia di temani oleh Bagas akan bertemu dengan seorang psikiatri, dari semalam Kirana menahan kantuknya agar ia tidak bermimpi hal itu lagi. Walau pada akhirnya, di jam 2 malam ia tertidur di sofa ruang tamunya dan kembali melanjutkan mimpi yang sama.
“Gugup yah?” Bagas duduk di sebelah Kirana, menggengam tangan Kirana yang dingin karena menahan rasa tidak nyamannya itu.
Kirana mengangguk, “aku baru pertama kali ke psikiater.”
“Jangan gugup yah, relax aja sayang. Kamu datang ke ahlinya, aku janji setiap kali kamu konsul aku akan usahain buat temenin kamu.” Bagas mengusap tangan Kirana itu, berusaha membuat wanitanya tenang.
Mata teduh pria yang sangat di sayangi Kirana itu mengingatkan Kirana akan Adi di mimpinya semalam, Adi menatap Ayu juga dengan tatapan seperti itu. Seperti Bagas menatapnya saat ini, pandangan teduh dan lembut itu seperti menghangatkan hatinya, mata yang selalu berhasil menenangkan Kirana kala ia merasa gugup atau pun sedih.
“Makasih ya, Sayang.” ucap Kirana, dia beruntung sekali di pertemukan dengan Bagas di dunianya yang jungkir balik pasca peninggalan Bapaknya itu.
“Sama-sama, Sayang.” Bagas mengusap kepala Kirana. “Ngomong-ngomong kamu masih mimpi hal yang sama semalam?”
Kirana mengangguk, “um.. Walau sebenarnya pas bangun kepala aku agak pening, seenggaknya mimpi semalam gak merubah suasana hatikku.”
“Oh yah?” Bagas senyum, “emangnya kelanjutan mimpinya apa?”
Bagas jadi penasaran sama mimpi berkelanjutan yang di alami oleh Kirana itu, karena menurutnya mimpi yang di alami Kirana itu menarik, mimpi itu terus berlanjut bagai sebuah series di setiap episode nya. Sejujurnya Bagas selalu ingin tahu cerita lengkap dan kelanjutannya, namun setiap kali Kirana cerita, Cerita dari mimpinya itu enggak pernah runtun dan lengkap, selalu saja Kirana putus di tengah jalan.
Bagas mau bertanya terus menerus tentang kelanjutannya pun enggak enak, karena Kirana selalu bilang kalau mimpi itu membuatnya tidak nyaman setiap kali dia bangun dari tidurnya. Makanya Bagas enggak mau tanya-tanya, kecuali Kirana sendiri yang memang mau bercerita.
“Ada kamu di mimpiku.”
“Aku?” Bagas menunjuk dirinya sendiri, “aku yang namanya Adi di mimpi kamu?”
“Um, enggak panjang memang, karena aku ketiduran mungkin sekitar jam 2 malam aku baru tidur. Di mimpi itu, kamu lagi kerja di kebun dan aku nungguin kamu kerja. Terus aku bikin ide gila buat bolos sekolah, udah itu aja.”
Kirana enggak cerita spesifik mimpinya seperti apa, apalagi di mimpi itu Kirana yang bernama Ayu di mimpinya memiliki ide gila untuk bolos sekolah hanya untuk bertemu Jayden, yang saat itu menjadi kekasihnya. Sungguh, Kirana hanya tidak ingin Bagas cemburu.
“Nakal yah kamu tuh.” Bagas menyentil hidung Kirana dengan gemas. “Kenapa harus bolos emangnya? Jadi kamu tuh di mimpi itu masih sekolah, Sayang?”
Kirana mengangguk, “umurku 19 tahun, di sana namaku Ayu. Aku sakit, mungkin karena sakit itu di umur 19 tahun aku masih sekolah. Kalau di mimpikku, aku panggil kamu Mas Adi karna kamu 2 tahun lebih tua dari aku.”
“Oh yah?” Bagas senyum, baru kali ini Kirana bercerita lebih banyak tentang mimpi yang selalu membuat Bagas penasaran. “Berarti aku udah lulus yah?”
Mendengar pertanyaan dari Bagas itu, Kirana yang tadinya tersenyum kini menarik senyum itu dari wajah cantikknya. Jika mengingat kehidupan Adi di dalam mimpinya, sungguh pria itu adalah pria yang menyedihkan. Adi jarang sekali tersenyum, tidak seperti Bagas.
“Sayang? Kenapa?” melihat perubahan wajah Kirana, membuat Bagas berpikir jika Kirana mungkin enggak nyaman saat ia bertanya-tanya lebih jauh tentang mimpinya.
“Sayang?”
“Di mimpi aku, kamu enggak sekolah. Adi, hidup sebagai pribumi miskin. Ayah dan Ibu nya bekerja di rumahku, Adi tanpa Ayu. Hanya pria menyedihkan yang tidak bisa membaca, menulis dan berbahasa Belanda,” jelas Kirana.
Bagas yang mendengar tentang apa yang di alami pria bernama Adi di mimpi Kirana itu termenung, senyumnya juga hilang seperti Kirana. Apa itu sebabnya Kirana enggak pernah mau cerita tentang mimpinya? Pikir Bagas, karena enggak ingin membuat Kirana kepikiran akhirnya Bagas terkekeh, tawa yang ia paksakan.
“itu cuma mimpi, Sayang. Tapi Ayu itu baik banget yah, mau ngajarin Adi itu semua. Hubungan mereka pasti baik yah?”
“Sangat baik, Ayu sangat mempercayai Adi, Sayang. Dan Adi sangat menghormati dan melindungi Ayu.”
“Selain aku, apa ada orang lain yang ada di mimpi kamu? Kalau di mimpi kamu ada aku sebagai Adi orang yang kamu kenal, apa ada orang lain yang kamu kenal juga?”
Kedua mata Bagas dan Kirana bertemu, mereka saling bertatapan untuk beberapa saat, seperti saling berkomunikasi dengan tatapan itu. Namun beberapa detik kemudian Kirana menghindari tatapan mata Bagas, sejujurnya setiap kali Kirana bermimpi sedang berduaan dengan pria bernama Jayden itu. Setiap bangun tidur atau ketika ia sedang bersama Bagas seperti ini, rasanya seperti ia habis melakukan perselingkuhan. Padahal jelas-jelas Kirana hanya bermimpi, ia tidak melakukan apapun.
“Sayang, maaf ya aku gak bisa cerita selanjutnya. Karena ingatan aku juga enggak banyak di mimpi itu, ada beberapa orang yang muka nya enggak aku kenali. Bahkan enggak aku ingat.” alibi Kirana.
Bagas tersenyum, menurutnya itu wajar. “Gapapa, kenapa minta maaf sih?”
Bagas mencubit pipi Kirana dengan gemas, wajah bersalah milik wanitanya itu terkadang membuatnya gemas. Tidak lama kemudian, nama Kirana di panggil. Ia melakukan beberapa pemeriksaan seperti memeriksa tensi, suhu tubuh dan detak jantung nya. Semua normal, perawat juga memberikan selembar kertas berisi beberapa pertanyaan yang harus Kirana isi.
Ruang tunggu dengan ruang pemeriksaan dan pengisian kertas dari poli kejiwaan itu berbeda, tidak jauh memang hanya saja di batasi oleh kaca tebal. Ketika hendak memberikan kembali lembar pertanyaan pada perawat, Kirana menangkap sosok Raga berada tepat di depan ruang konseling. Raga pun juga melihatnya, keduanya sama-sama terkejut. Namun Kirana masih bisa mengkondisikan ekspresi wajahnya.
Karena sudah terlanjur tertangkap basah, mau tidak mau Kirana menghampiri Raga biar bagaimana pun Raga masih menjadi atasannya walau saat ini Kirana masih dalam masa cuti nya.
“Bapak konsul?” tanya Kirana,
Raga nampak bingung ingin menjawab apa. Netranya tidak menatap Kirana namun berpendar seperti ia tengah kebingungan untuk mencari jawaban.
“Itu.. Lagi—”
“Jagaraga Suhartono.”
Seorang perawat dari ruang konsul memanggil nama Raga, bagi Kirana itu adalah sebuah jawaban tanpa Raga perlu menjawabnya, namun bagi Raga kelak ia harus memberi penjelasan tentang apa yang tengah dia lakukan saat ini, padahal semua sudah jelas kan?
“Ki.. Kirana saya masuk dulu yah.” Raga gugup, ia mengangguk kecil pada Kirana kemudian masuk ke ruang konsul yang sudah di tunjukan oleh seorang perawat.
Kirana hanya mengangguk kecil, ia mencari kursi kosong untuknya tempati walau dalam hati ia juga bertanya-tanya. Ada apa Raga sampai harus melakukan konseling dengan seorang psikiatri. Apa atasannya itu juga memiliki gangguan? Padahal selama ini, Raga tidak menunjukan gelagat aneh. Atau memang atasannya itu sengaja menyembunyikannya.
Sekitar 1 jam Kirana menunggu namanya di panggil akhirnya seorang perawat yang keluar dari ruang konsul tempat Raga konsul tadi keluar, perawat itu juga keluar dari ruangan itu bersama dengan Raga yang mengekori di belakangnya. Tidak lupa, perawat itu juga memberikan resep yang harus Raga tebus di bagian farmasi nantinya.
Kedua mata mereka bertemu lagi, kalau biasanya Kirana terlihat santai saat bertemu atasannya itu. Kali ini rasanya terasa berbeda setelah mimpi yang ia alaminya, ada desiran ketidaknyamanan yang seperti mengingatkan Kirana akan gadis bernama Ayu dan Jayden di mimpinya.
“Kirana, sa..saya bisa jelasin kenapa saya ke sini,” ucap Raga terbata-bata, mulut dan otaknya tidak sejalan. Kepalanya mengatakan jika ia tidak harus menjelaskan pada Kirana tentang apa yang ia lakukan saat ini, namun mulutnya justru berkata sebaliknya.
“Konsul kan, Pak?”
Raga mengangguk kikuk, “i..iya memang, tapi saya enggak kaya apa yang kamu pikirkan, Kirana.”
Kirana terkekeh, “emangnya Bapak bisa baca pikiran saya?”
“Bu..kan begitu, saya takut kamu mengira saya ini punya gangguan kepribadian, mental atau ya semacamnya, saya kesini cuma mau konsul tentang gangguan tidur yang saya alami.”
Senyum di wajah Kirana itu sirna, dia tidak salah dengar. Raga benar-benar mengatakan jika ia mengalami gangguan tidur. Apa gangguan yang ia maksud adalah mimpi? Pikir Kirana.
“Gangg..guan tidur?” gumam Kirana yang di jawab anggukan oleh Raga.
“Diajeng Sekar Kirana?” seorang perawat kembali memanggil nama Kirana lagi.
“Iy..iya.” Kirana menyahut, ia harus segera masuk ke ruang konsul. “Ka..kalau gitu saya masuk dulu, Pak. Cepat sembuh yah, Pak.”
Kirana mengangguk, begitu pun juga dengan Raga. Keduanya sama-sama terlihat kikuk, di dalam ruang konsultasi pun pikiran Kirana mengawang tentang apa yang Raga katakan, jika perawat tadi tidak memanggil namanya. Mungkin ia akan bertanya gangguan tidur seperti apa yang Raga alami.
Setelah selesai konsul di rumah sakit, Bagas dan Kirana menyempatkan untuk jalan-jalan sebentar. Ini pertama kali mereka kencan lagi sejak Kirana pulang dari rumah sakit, mereka sempat mengitari taman di sekitaran hutan kota, makan nasi bebek kesukaan Kirana, yang pedagangnya sudah hapal menu yang biasa Kirana dan Bagas pesan saking sering nya mereka datang tiap kali pulang bekerja.
Begitu hari makin gelap, Bagas mengajak Kirana ke sebuah gedung yang di bagian paling atasnya terdapat landasan helikopter. Mereka menikmati pemandangan gemerlap malam kota Jakarta dari atas sana, sembari sesekali keduanya menyesap kopi dan keripik kentang yang sempat mereka beli sebelum pergi ke rumah sakit.
“Dingin gak, Sayang?” tanya Bagas, Kirana hanya memakai kaus di balut dengan cardigan tipis berwarna merah jambu. Sedangkan Bagas memang memakai hoodie dan kaus sebagai bagian dalam nya.
“Enggak kok, malah enak disini banyak angin. Tapi rambutku, aduh.” Kirana terkekeh, “jadi berantakan ini ketiup-tiup angin.”
Karena mereka berada di gedung paling atas, angin yang berhembus pun lumayan kencang. Membuat rambut sebahu Kirana itu berterbangan, Bagas yang melihat itu langsung menarik tali dari tudung hoodie yang ia pakai. Kirana tidak membawa ikat rambut sepertinya.
“Aku ikat pakai tali ini yah?” Bagas menunjukkan tali itu pada Kirana, membuat wanita itu tersenyum dan mengangguk.
“Emangnya kamu bisa?”
“Kamu ngeremehin aku nih? Dari dulu kan yang suka ngikat rambutnya Kanes tuh aku.”
“Eh, iya yah aku lupa. Kamu dulu suka cerita kalo Kanes suka banget minta tolong kamu buat di kepangin rambutnya.”
Kirana tersenyum, walau seorang pria. Bagas itu pandai sekali mengikat rambut, Bagas sering sekali bercerita bagaimana ia memperlakukan Adik perempuannya itu. Bagas adalah Kakak yang hangat, kadang Kirana juga ingin mempunyai seorang saudara. Sebagai tempatnya bercerita atau bahkan bercanda, hidup sebagai anak tunggal itu kadang membuatnya kesepian.
Bagas berpindah ke belakang Kirana, merapihkan rambut wanita itu kemudian mengumpulkannya jadi satu sebelum akhirnya ia ikat menggunakan tali dari hoodie yang ada di tangannya.
“Kamu tau gak, Sayang? Adi di dalam mimpikku itu pintar sekali merias rambutnya Ayu pakai bunga melati loh.” di ikat rambutnya seperti ini membuat Kirana teringat akan Adi.
“Oh yah? Kaya aku yah? Tapi kenapa pakai bunga melati?”
“Karena Ayu suka banget sama bunga melati.”
Begitu sudah selesai mengikat rambut Kirana, Bagas berpindah kembali duduk di samping Ayu. Memperhatikan wajah cantik yang ia sayangi itu berpadu pada lampu-lampu kota di bawah sana, angin yang berhembus seakan menjadi saksi bagaimana Bagas selalu menatap Kirana yang selalu indah di matanya itu.
“Beda yah sama kamu, kalau kamu lebih suka bunga mawar sama lily.”
“Um.” Kirana mengangguk. “Kamu tau gak, sayang. Setiap kali aku bangun dari mimpiku sebagai Kirana, aku selalu ngerasa sedih kalau ingat bagaimana di mimpi, aku berperan sebagai Ayu.”
“Kenapa?”
Bagas mulai kembali penasaran seperti apa Ayu dalam mimpi Kirana itu, karna setiap kali Kirana membicarakan Ayu. Kedua netra legam nya itu selalu nampak sedih, apa hidup anak bangsawan dalam mimpinya itu menyedihkan? Pikir Bagas.
“Karena Ayu sama seperti aku, sama-sama anak tunggal. Romo nya tegas dan keras, Ibu nya halus tapi enggak punya kekuatan buat melindungi Ayu. Ayu itu periang, bukan gadis yang lebih banyak diam dan tertutup kaya aku. Tapi sakit yang di deritannya serta kekangan dari Romo nya buat gadis kecil itu jarang banget senyum.”
Kirana ingat, bagaimana di mimpi Ayu sakit berhari-hari. Muntah darah yang di derita gadis ringkih itu membuat dada Kirana juga ikut sesak setiap kali ia bangun tidur, Kirana menduga jika Ayu di mimpinya menderita TBC. Pada zaman itu, pengobatan tentang penyakit itu belum semudah sekarang.
“Pasti dia kesepian yah?” gumam Bagas. “Apa kamu kesepian juga sama seperti Ayu?”
Bagas ingin memastikan apa yang di rasakan Kirana sebagai anak tunggal, mengingat selama ini hidup menjadi seorang Kirana pun tidak mudah. Apalagi setelah kepeninggalan Bapaknya, hidup Kirana benar-benar jungkir balik. Kirana yang memang pemalu dan pendiam itu semakin menutup dirinya.
“dulu. Tapi waktu aku kenal kamu udah enggak lagi, apalagi sekarang udah ada Bang Satya, Almira dan Kanes.”
Bagas tersenyum, menyelipkan anak rambut Kirana ke belakang telingannya. “Aku gak akan biarin kamu kesepian.”
“Bagas?”
“Hm?”
“Jangan tinggalin aku yah. Mungkin akan ada banyak orang yang keberatan sama hubungan kita, tapi aku gak bisa bayangin gimana kalau aku harus kehilangan kamu.”
Katakan Kirana sudah terlalu bersandar pada Bagas dan mengandalkannya, pria itu selama ini yang menjadi sandaran untuknya. Hari-hari sejak ia mendapat penolakan dari keluarga Bagas membuat Kirana terkadang sesak, ia takut jika suatu hari Bagas akan meninggalaknnya karena mereka terhalang restu.
“Sayang, tolong bersabar sedikit lagi yah. Aku sedang berusaha membuat orang tuaku mengerti hubungan kita seperti apa.”
Kedua anak manusia itu saling melempar pandangan satu sama lain, mata Kirana berkaca-kaca. Sungguh ia sangat mencintai Bagas, ia bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya tanpa pria itu. Melihat Kirana menangis, membuat hati Bagas rasanya di sayat-sayat. Ia rengkuh tubuh itu dan ia bawa ke dalam pelukannya.
“Aku sayang kamu Kirana, maafin keluargakku yah. Maaf mereka udah kasar ke kamu,” bisik Bagas di telinga wanitanya itu.
Bersambung..