KLM

Jeong Yuno, Go Younjung, Lee Juyeon

Samarang, 1898.

Tidak ada hentinya pria kolonial itu mengulas senyum di wajahnya, selepas makan siang kedua anak manusia itu memilih untuk duduk di taman dekat pasar, Ayu banyak sekali bercerita tentang kegiatan baru nya. Jayden hanya tersenyum, matanya tak lekang memandang sang gadis pribumi berparas dahayu itu.

Rambut panjang yang selalu ia kepang, dan hiasi dengan bunga melati yang wangi nya selalu semerbak, bunga kesukaan Ayu. Rambut nya harum karena bunga itu. Ia selalu menghiasinya dengan bunga itu.

“Ayu?” Panggil Jayden tiba-tiba, membuat si gadis pribumi itu menoleh ke arahnya.

“Iya?”

“Apa warna kesukaanmu?”

Ayu tersenyum, selama berkencan dengan Jayden. Ayu enggak banyak bertemu dengannya, berbicara banyak dengannya karena sangat sulit bertemu dengan Jayden seperti ini. Jayden sangat sibuk sebagai seorang asisten residen, sedangkan Ayu harus pandai mencuri-curi waktu untuk bertemu dengan Jayden oleh romo nya.

Keduanya bertemu dan kenal di Soerabaja, saat Romo mengajak Ayu untuk menghadiri acara peresmian Bupati di sana. Bupati itu adalah kawan Romo, dan kebetulan Jayden ada di sana. Ayahnya adalah mantan Residen di sana jadi Jayden di undang sebagai perwakilan Ayahnya. Ayahnya sedang sakit kala itu.

“Saya suka warna putih, Sir Jay.”

“Itu sebab nya kebaya yang kau pakai selalu warna putih ya?” Selama ini Jayden selalu memperhatikan kebaya-kebaya yang di pakai oleh Ayu, kebanyakan warna putih. Namun beberapa kali Jayden juga mendapati kebaya yang Ayu pakai berwarna hitam dan coklat.

“Benar, bagaimana dengan Sir Jay sendiri?”

“Sama sepertimu.” Seulas senyum hadir di wajah Jayden, ia tidak punya spesifik warna yang menjadi kesukaanya. Tapi kini berubah, apapun yang Ayu sukai. Maka Jayden akan menyukainya juga.

“Benarkah?” tanya Ayu sekali lagi. “Sejujurnya saya membuatkan sesuatu untuk Sir Jay pakai, tetapi belum selesai saya buat. Memang bukan berwarna putih seperti kesukaan kita, tapi saya yakin. Sir Jay akan tampan dan gagah jika mengenakannya.”

Kegiatan baru Ayu adalah menjahit, ia di ajari oleh penjahit pakaian keluarganya. Ayu tidak di perkenankan keluar oleh Ayahnya selain sekolah, setelahnya pun ia akan langsung pulang. Tidak banyak kegiatan di luar rumah yang di lakukan oleh Ayu. Namun, menjahit kini membuatnya merasa jauh lebih hidup.

“Kau buat apa?” ucapan Ayu membuat Jayden penasaran tentang apa yang di buat gadis muda itu.

“Datanglah ke toko kopi tadi seminggu lagi, sebelum Sir Jayden pergi ke Soerabaja. Saya akan memberikannya pada anda.”

Seusai bertemu dengan Jayden, Ayu dan Adi langsung kembali ke rumah. Hari sudah semakin sore ia yakin Romo pasti sudah mengkhawatirkannya, terlebih hari itu mendung seperti sebentar lagi Samarang akan segera di guyur hujan. Adi yang mengemudikan dokar itu melajukannya agak sedikit lebih cepat, ia tidak ingin Ayu kehujanan.

“Mas Adi?” panggil Ayu, Ayu memang memanggil Adi dengan sebutan 'Mas' Adi lebih tua 2 tahun dari nya, namun Adi sendiri melarang Ayu memanggilnya begitu, menurutnya Ayu tidak perlu memanggilnya begitu karena ia hanya seorang yang bekerja di ladang milik Romo nya.

“Iya, Raden Ayu?”

“Seminggu lagi temani aku bertemu dengan Sir Jeyden lagi ya? Aku mau memberikan surjan buatanku untuknya.” Ayu menjahit surjan itu sendiri, ia ingin melihat Jayden memakai buatan tangannya sendiri.

“Baik, Raden Ayu.”

Dokar yang di kemudikan Adi itu sudah berjalan cukup cepat, namun sayangnya hujan deras tetap mengguyur Samarang sore itu. Keduanya basah kuyup kehujanan, untung saja mereka segera menemukan sebuah gubuk tak berpenghuni tak jauh dari sana.

Adi tidak memperdulikan tubuhnya yang basah akibat hujan, ia hanya mengkhawatirkan Ayu. Gadis kecil itu tampak pucat dengan tubuh mengigil berjongkok sambil menggosokan kedua tangannya ke lengannya.

“Raden Ayu, maafkan saya. Hujannya begitu deras, maaf saya terlambat menemukan tempat untuk berteduh.” Adi bingung harus apa, ia tidak membawa kain untuk menyelimuti tubuh Ayu yang mengigil.

“Mas Adi...” tubuh kecil nan ringkih itu gemetar, melati-melati yang ada di rambut Ayu itu berjatuhan karena terkena tetesan air dari atap gubuk yang sudah tua itu. “Dingin, Ayu mau pulang..”

Adi tidak berpikir panjang lagi, hanya bisa membuka baju dari kain jarik yang ia kenakan itu untuk menyelimuti Ayu. Tidak perduli tubuh bagian atasnya itu tidak mengenakan apapun terkena angin dan hujan, yang terpenting anak majikannya itu tidak kedinginan. Adi juga senantiasa memayungi Ayu dengan telapak tangannya yang besar agar air yang menetes dari atap gubuk yang sudah tua itu, tidak mengenai kepala Ayu.

“Tahan sedikit lagi Raden Ayu, begitu hujan reda. Saya akan melajukan dokar dengan cepat agar kita cepat sampai ke rumah.”

Yang Adi khawatirkan adalah Ayu, hanya anak majikannya itu. Fisik Ayu tidaklah kuat, ia ringkih. Ayu sakit tiap kali ia kelelahan gadis kecil bertubuh kurus itu akan batuk darah, kedua orang tua nya sudah sering membawa Ayu ke dokter, memberinya obat-obatan herbal, namun belum membuahkan hasil.

Makanya walau umurnya akan menginjak 19 tahun satu bulan lagi, Ayu masih bersekolah. Ia sempat berhenti karena penyakit yang di deritanya itu. Begitu hujan sudah redah, Adi buru-buru membawa Ayu pulang. Gadis ringkih itu bersandar pada punggungnya. Ayu tertidur dengan tubuh mengigil karena kedinginan.

(visualisasi rumah Ayu di tahun 1898)

Tuan Gumilar selaku Ayah dari Ayu itu sudah berdiri di depan pintu dengan air wajah yang kurang bersahabat, beliau memang di kenal sebagai seorang saudagar yang tegas tidak hanya pada para pekerjanya, tetapi juga dengan anak sematawayangnya itu.

Seko ngendi wae koe gowo Ayu? Nopo kok iso kudanan?!” nada tinggi yang berasal dari suara Tuan Gumilar itu membuat Adi sedikit kaget.

Nyuwun Pangapunten, Ndoro.

Romo, ampun ndukani Mas Adi.” Ayu bergumam, ia sudah di selimuti oleh kain yang di bawakan oleh Ibu nya. Dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada, Ayu berusaha menjelaskan semampunya. ia tidak ingin Adi di marahi oleh Ayahnya.

“Ayu sing nyuwun dianterno Mas Adi jalan-jalan.”

Ketemu sopo koe? Lungo ning ngendi? Dolan karo konco-konco londho kui?” Romo sangat membenci ketika Ayu bermain dengan anak-anak eropa. Walau berstatus sebagai seorang siswa di HBS, romo tetap tidak mengizinkan Ayu bermain dengan para Belanda itu.

Di tempatnya Adi hanya diam, ia menunduk. Tidak berani menatap Tuan Gumilar yang tampak marah itu. Ia tidak ingin ucapannya itu membuat majikannya bertambah marah, bagi Adi. Menjadi pekerja di rumah Tuan Gumilar sudah sangat menyelamatkan hidupnya dan orang tua nya. Beberapa kali Adi dan kedua orang tua nya di sambangi oleh Tentara Kolonial, mereka juga sering kali bersikap kasar dengan keluarga Adi.

Tuan Gumilar lah yang menyelamatkan mereka, mempekerjakan mereka dan melindungi mereka. Sebagai seorang Priyai di Samarang, keluarga Ayu memiliki kedudukan yang sama dengan para Belanda. Mereka tidak bisa berbuat semena-mena dengan keluarga Ayu dan karyawan-karyawan nya.

Terlebih Ayah Ayu adalah seorang saudagar, Ayu dan keluarganya adalah distributor pemasok roti terbesar di Jawa Tengah, roti-roti itulah yang akan di kirimkan kepada orang-orang Belanda dan juga tentara Kolonial.

Nyuwun pangapunten, Romo. Ayu sampun nggawe Romo kuwatir, tapi Ayu mboten madosi sinten-sinten, Ayu namung jalan-jalan. Ayu kepingin menghirup udara segar.

Koe kui bocah wedok, pie nek ning dalan koe diculik karo londho-londho kae? Koe isone nggawe angele Romo.

Nyuwun Pangapunten e, Romo.

Seko saiki, nek mulih sekolah koe kudu ndang mulih, Romo ora peduli koe bosen. Nek pingin howo seger, mlaku mlaku ning kebon.

Ibu yang sedari tadi mengeringkan tubuh Ayu itu hanya bergeming, tidak berani melawan Suaminya itu. Setelah nya Ayu di bawa masuk oleh Ibu nya ke dalam kamarnya, meninggalkan baju Adi yang tadinya bertengger di bahu Ayu itu jatuh ke lantai. Adi yang masih bersimpuh di depan Tuan Gumilar itu hanya diam, memperhatikan baju nya yang jatuh ke lantai.


Siang itu Raga memilih makan siang di sebuah restoran makanan khas minang tak jauh dari kantor nya berada, namun sebelum masuk ke dalam restoran itu. Ada beberapa pedagang jajanan pasar yang mangkal di depan restorannya, Raga berdiri di sana sebentar, melihat kue yang di bungkus dengan daun pisang. Kue yang belum pernah ia coba sebelumnya.

“Gak masuk, Pak?” itu Satya, Raga memang makan siang bersama Satya dan karyawan-karyawan laki-laki lainnya.

Raga bukan atasan yang kaku kok meski raut wajahnya kerap kali menampilkan keseriusan, ia sangat santai. Enggak harus membicarakan pekerjaan saja dengannya, ia pandai mencari topik obrolan lain.

“Duluan aja, Sat. Saya mau beli ini dulu buat anak-anak di kantor.” Raga menepuk pundak Satya, membiarkan bawahannya itu masuk lebih dulu untuk mencari kursi.

Jagaraga berjongkok di sana, Ibu-Ibu berumur sekitar 55 tahun itu tersenyum begitu melihat Raga melihat dagangannya, maklum saja, Berjualan di area pertokoan yang di kelilingi gedung tinggi perkantoran agak sedikit sulit, kebanyakan karyawan di sana lebih gemar makan fast food atau bahkan mampir ke coffe shop. Anak-anak muda sekarang sudah jarang yang menggemari jajanan pasar.

“Ini kue apa namanya, Buk?” Raga mengambil satu kue yang di bungkus dengan daun pisang itu.

“Nagasari, Mas.”

“Nagasari?”

Ibu-Ibu itu mengangguk, Raga masih asing dengan nama kue itu. Memang belum pernah memakannya sebelumnya. “Isinya pisang, di luar nya itu tepung beras, rasanya manis. Mas nya bisa cicipi dulu kalau mau membeli.”

Lumayan lama Raga memperhatikan kue yang ada di genggaman tangannya itu, seolah-olah kue itu adalah sesuatu yang berharga berisi sebuah kenangan, si Ibu-Ibu pedagangnya saja sampai keheranan sendiri.

“Saya mau ya, Buk,” ucap Raga pada akhirnya.

Wajah si Ibu sumringah, seperti ia tengah mendapatkan lotre. Sedari tadi memang dagangannya belum laku dan Raga adalah pembeli pertamannya hari ini, meski di awal Ibu itu mungkin berpikir jika gerak gerik Raga agaklah aneh.

“Mau berapa, Mas?” si Ibu mengambil kantung plastik putih untuk mengantongi kue nagasari itu.

“Semuanya.”

Begitu selesai membayar jajanan pasar yang ia beli, Raga langsung masuk ke dalam restoran. Ia dengan mudah menemukan rekan-rekan kerjanya di sana, ia menaruh kantong plastik berisi kue nagasari yang hampir penuh itu di atas meja, membuat Satya dan Bagas saling melempar pandangan bingung.

“Beli kue nya banyak amat, Pak?” tanya Satya, Satya memanglah yang paling dekat dengan Raga. Mereka seumuran, dan Satya lah yang sudah menjadi karyawan lama di kantor kontruksi itu. Satya masuk saat Raga baru saja di angkat menjadi Team leader.

“Iya, buat cemilan saya. Ah, iya. Ngomong-ngomong kalian tau kue nagasari?” Raga menunjukan kue itu ke kedua rekannya.

Kedua nya mengangguk, tentu saja Satya dan Bagas tau. “Itu dalamnya pisang kan, Pak. Emangnya Bapak belum pernah makan?” tanya Bagas.

Raga menggeleng, “belum. Kamu suka kue ini, Gas?”

“Suka-suka aja, Ibu saya suka bikin di rumah kalau ada arisan keluarga.”

“Saya baru tau malah kalau Bapak suka kue beginian, saya kira cuma suka kue cubit rasa matcha doang.” Satya sering sekali melihat driver online mengantar pesanan Raga ke kantor, pria itu selalu memesan kue cubit berwarna hijau yang selalu Satya yakinin itu adalah rasa matcha.

“Pistachio, Sat. Saya capek banget ngasih tau kamu kalau yang hijau itu bukan cuma matcha.”

“Iya, padahal lumut juga hijau.” Samber Bagas sembari memakan rendang pesananya.

“Saya gak makan lumut, Gas. Kamu pikir saya ikan sapu-sapu,” protes Raga yang di balas dengan cengiran oleh Bagas.

Tidak lama kemudian, ponsel di saku Bagas bergetar. Pria itu buru-buru mengambil ponselnya, begitu melihat ke layar ponselnya ia tersenyum dan berpamitan pada kedua atasannya itu untuk mengangkat telfonnya di luar.

“Pak, Bang Satya, saya angkat telfon dulu ya,” pamit Bagas pada keduanya, Satya hanya mengangguk masih khidmat menikmati ayam bakar khas padang di piringnya, sementara Raga justru asik memperhatikan kue nagasari itu.

“Habis pulang kerja, saya, Bagas, sama Almira mau jenguk Kirana lagi, Pak. Bapak mau ikut?” tanya Satya yang berhasil membuyarkan lamunan Raga.

“Kayanya saya enggak bisa, Sat. Saya ada acara keluarga. Salam saja untuk dia yah, ngomong-ngomong gimana kondisi dia waktu kamu jenguk dia?”

“Udah jauh membaik, Pak. Kirana sih bilang minggu depan dia udah bisa pulang. Sebenarnya dia juga bilang ke anak-anak kalau gak perlu repot-repot jenguk dia lagi, tapi Almira ngotot banget mau jenguk, itu anak emang belum sempat jenguk Kirana.”

Almira itu teman dekat Kirana di kantor, jatuhnya lebih ke juniornya Kirana sih karena Almira anak magang di sana. Umurnya juga terpaut sekitar 3 tahun dengan Kirana, tapi keduanya sangat dekat.

“Saya boleh titip sesuatu gak ke kamu, Sat?”

“Apa, Pak?”

“Saya mau titip bakpau rasa coklat untuk Kirana.”


“Ini serius Pak Raga beliin Mbak Kirana bakpau? Random amat sih.” Almira terheran-heran waktu Satya ngeluarin bungkusan berisi bakpau dengan berbagai rasa. Enggak hanya coklat, Raga bilang. Siapa tau Kirana suka rasa yang lain.

Jangankan Almira, Satya yang di titipi oleh atasannya sendiri saja terheran-heran. Biasanya kan kalau bawa bingkisan untuk orang sakit tuh kalau enggak makanan ringan yang bisa bertahan lama ya buah. Sore ini Kirana di jenguk kembali oleh teman-teman kantor nya, ini ajakan Almira. Padahal Kirana sendiri sudah bilang ke Almira untuk menjenguknya nanti saja di rumah.

Toh minggu depan dia sudah pulang, walau tetap saja Kirana masih harus bulak balik ke rumah sakit untuk rawat jalan. Tapi Almira tetap ngotot untuk menjenguknya di rumah sakit, hari ini juga Bagas menginap di rumah sakit nemenin Kirana. Besok hari sabtu dan Bagas menyuruh Ibu nya Kirana untuk istirahat di rumah saja.

“Tadi juga random banget waktu makan siang, dia tiba-tiba beli kue nagasari banyak banget kan sampe satu kantong loh.” Bagas menimpali, dia masih heran sama kelakuan atasan mereka hari ini.

“Serius Mas Bagas? Dia suka jajanan pasar?” pekik Almira.

“Serius, Ra. Udah gitu dia cuma liatin itu kue aja.”

Kirana hanya menyimak obrolan Bagas dan teman-teman mereka saja, pikirannya masih mengawang tentang mimpinya semalam. Mimpi itu berlanjut, bahkan kali ini meninggalkan bekas ketidaknyamanan di hati Kirana. Sebenarnya ini semua apa? Pikirnya.

“Na? Diam aja? Kenapa?” Satya menyenggol bahu Kirana dari tadi Kirana hanya diam saja.

“Gapapa, Bang.” Kirana senyum. “Hhm.. Sebenarnya Pak Raga kasih gue bakpau bukan tanpa alasan sih.”

Kirana menimpali, tidak enak kalau ia banyak diam saat di jenguk. Ia harus mengesampingkan perasaan tidak nyamannya demi menjaga perasaan teman-temannya itu. Takutnya mereka berpikie Kirana tidak senang di jenguk seperti ini.

“Hah?” Pekik Almira, Bagas dan Satya bersamaan.

“Sssttt!” Kirana menaruh jari telunjuknya di bibir, bangsal rawat Kirana ini terisi 6 orang bukan VIP yang hanya Kirana sendiri saja. Kirana tidak ingin teman-temannya itu menganggu kenyamanan pasien yang lain.

“Jadi kenapa?”

“Waktu Pak Raga jenguk gue, awkward banget rasanya. Dia kaya bingung harus ngobrol apa sama gue, dia bilang dia gak mau ngobrolin kerjaan karna kesannya kaya nagih gue buat kerja. Terus dia tiba-tiba dengan gak jelasnnya nanya gue suka bakpau atau onde-onde,” jelas Kirana.

“Terus kamu pilih bakpau?” Tanya Bagas yang di jawab anggukan oleh Kirana.

“Beneran random ternyata, gak nyangka gue Pak Raga yang ganteng paripurna begitu bisa jadi laki enggak jelas, ck ck ck ck.” Almira berdecap sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

Teman-teman Kirana enggak begitu lama menjenguk Kirana, karena jam besuk kebetulan sudah habis. Setelah mengantar teman-temannya itu ke loby rumah sakit, Bagas kembali naik ke ruang rawat Kirana. Di sana wanita itu masih melamun memperhatikan jendela rumah sakit yang menampakan lampu-lampu kota yang mulai menyala karena hari mulai gelap.

“Ngalamunin apa?” Bagas memeluk wanitanya itu dari belakang, ia kemudian duduk di ranjang Kirana sembari memperhatikan lampu-lampu kota dari jendela bangsal Kirana.

“Akhir-akhir ini aku sering mimpi,” gumam Kirana.

“Mimpi?” Bagas menoleh ke Kirana. “Mimpi apa, sayang?”

“Kalo aku cerita aku mimpi yang kemarin kamu bakalan percaya sama aku, Gas?”

“Soal mimpi kamu di masa kolonial itu?”

Kirana mengangguk, setelah bangun dari tidurnya. Hati Kirana selalu di selimuti gundah, ia benar-benar seperti ada di era itu. “Mimpi itu berlanjut, bukan mimpi yang menakutkan tapi setiap kali aku bangun perasaan aku selalu enggak nyaman.”

“Kamu lagi banyak pikiran? Atau sebelum tidur kamu mikirin sesuatu?”

“Enggak, Gas. Aku gak mikirin apa-apa.” Kirana putus asa, dia mengusap wajahnya. “Aku gak mikirin apa-apa sebelum tidur.”

“Besok pagi aku temenin konsul sama dokter kamu aja yah, mungkin ada obat yang punya efek samping sampai kamu mimpi kaya gitu.” Bagas membawa kepala Kirana ke bahu nya dan mengusap lengan wanitanya itu.

“Aku takut tiap kali mau tidur.”

“Ada aku, aku jagain. Nanti sebelum tidur kita dengerin lagu dulu ya biar kamu lebih relax.”

Bersambung..

(Satya Haris Wardana)

(Almira Kusuma Djayanti)

Kirana dan Bagas duduk di taman rumah sakit setelah Kirana selesai konsul dengan dokternya, dokter bilang enggak ada obat dengan zat-zat tertentu yang mempengaruhi suasana hati Kirana. Tidak ada efek lain selain rasa kantuk saat meminum obat, tapi entah kenapa rasanya hati Kirana belum tenang.

Semalam ia juga masih bermimpi, tapi Kirana tetap memilih untuk tidak bercerita apapun tentang mimpinya. Anehnya adalah, mimpi itu terus berlanjut. Seperti saat Kirana tidur ia berada di alam dunia lain.

Semua terasa seperti kenyataan, ia bisa merasakan sedih ketika bangun, merasakan sentuhan ketika di mimpi itu ia bersentuhan dengan seseorang, merasa kedinginan bahkan ia bisa merasakan takut saat 'Ayah' di dalam mimpinya itu memarahinya.

“Jeruknya, Sayang.” Bagas memberikan jeruk yang sudah ia kupas ke tangan Kirana, dari tadi Kirana hanya melamun sembari melihat burung yang berterbangan di taman rumah sakit.

“Aku kok masih belum lega yah, Gas? Rasanya masih ada yang mengganjal.”

“Soal mimpi kamu lagi?” Bagas memalingkan wajahnya ke arah Kirana, tadi dia masih asik mengupas jeruk. Tapi kini ia singkirkan dulu jeruk-jeruk itu di pangkuannya.

Kirana mengangguk, “semalam mimpinya berlanjut lagi.”

“Kamu gak mau cerita ke aku mimpi kaya apa sih? Kata kamu aku ada di mimpi itu? Mimpi buruk ya?” Bagas pikir Kirana sudah tidak bermimpi lagi, karena tadi pagi Kirana enggak menunjukan gelagat aneh. Seperti ia baru saja bangun dari mimpi buruk.

“Enggak, Gas. Mimpinya bukan mimpi buruk. Mimpi biasa, tapi di dalam itu aku hidup di era kolonial. Kamu emang ada di sana, tapi nama kamu bukan Bagas.”

“Terus?”

Kirana mengulum bibirnya, dia jadi teringat akan Adi. Pria yang mirip sekali dengan Bagas di mimpinya itu, pria pribumi dengan mata teduh dan sorot mata yang selalu menunjukan kesedihan dan kekhawatiran.

“Adi.”

“Adi?” Bagas terkekeh. “Kok lucu sih? Aku ngapain aja di situ?”

“Gas, aku serius.” rengek Kirana, dia jadi kesal kalo Bagas tertawa seperti itu. Walau bukan meledek sih, tapi rasanya kaya Bagas enggak menganggap keseriusan atas mimpi yang membuat kekasihnya itu resah.

“Iya sayang iya, maaf ya. Coba ceritain dong, kan aku mau tau juga mimpi kamu kaya gimana.” Bagas mengusap-usap rambut Kirana.

“Kalo aku cerita kamu di mimpi aku sebagai apa, kamu bakalan marah gak?”

Bagas menggeleng, “cuma mimpi, emang aku sebagai apa?”

“Kamu cuma pribumi biasa, yang bekerja di rumah seorang priyai.” Kirana masih ingat, di mimpi itu Adi memanggil pria yang di panggilnya Romo itu dengan sebutan 'ndoro' Adi juga sangat santun dan melindungi nya.

“Terus kalau kamu?”

“Aku anak dari priyai itu.”

“Di mimpi itu aku macarin kamu juga?” Bagas senyum-senyum, namun air wajah Kirana berubah menjadi sendu. Mengingat di mimpinya ia justru berkencan dengan pria kolonial alih-alih bersama Adi yang mirip sekali dengan Bagas.

“Enggak, Gas.” Kirana menunduk, memakan jeruk di tangannya lagi. Dia gak mau cerita soal mimpinya lagi, dia gak mau membuat Adi cemburu jika tahu di mimpi itu ia justru berkencan dengan pria lain.

“Terus, sayang?”

“Gak usah di lanjut yah, aku juga lupa-lupa ingat.”

Bagas mengangguk-angguk, ia menurut saja. Tidak ingin membuat Kirana merasa tidak nyaman jika ia terus mencecarinya karena rasa penasarannya, ponsel yang berada di saku celana jeans Bagas itu bergetar. Itu Kanes Adiknya ternyata, namun Bagas memilih untuk tidak mengangkat panggilan itu.

“Kok enggak di angkat, sayang?” tanya Kirana. Ia takut itu telfon penting dari kantor.

“Kanes, gapapa. Nanti biar aku chat dia aja.”

Kirana jadi ingat, bagaimana keluarga Bagas memperlakukannya saat pertama kali Bagas memperkanalkan Kirana di rumahnya. Yang menyambut baik Kirana hanyalah Kanes, adik perempuan Bagas. Ibu nampak tidak suka dengan Kirana sedangkan Ayahnya tidak banyak bicara.

“Bagas, kalau kamu mau pulang. Pulang aja gapapa, sebentar lagi juga Ibuku datang kok. Aku takut Ibu kamu nyariin kamu karna enggak pulang semalam.”

“Aku udah bilang Kanes kalo aku jagain kamu di rumah sakit, Ibuku udah tahu kok. Dia enggak nyariin aku, sayang.”

Kirana mengangguk-angguk. “Salam untuk kedua orang tua kamu yah.”

“Nanti aku salamin ya.” Bagas menunduk, ia rasa ia harus mewakili orang tua nya untuk meminta maaf pada Kirana. Terutama perlakuan Ibu nya pada Kirana. “Sayang, maafin Ibuku yah. Pertama kali aku kenalin kamu ke mereka, mereka enggak menyambut kamu dengan baik.”

“Gapapa, Gas. Aku ngerti. Latar belakang keluargaku memang bukan keluarga baik-baik.” Kirana kerap kali minder dengan latar belakang keluarganya.

Dulu sewaktu mendiang Bapaknya masih ada, Kirana adalah seorang anak pengusaha distributor lampu dari Jerman bernama City Lights. Namun, usaha yang di rintis Bapaknya dari nol itu tiba-tiba mengalami collaps karena Paman nya yang bekerja sebagai divisi keuangan ketahuan korupsi.

Usaha Bapaknya terpaksa tutup dan meninggalkan hutang dimana-mana, dan dengan kejamnya justru Paman mengambil alih kantor Bapaknya. Waktu itu, Bapak setress berat. Bapak sempat di rawat di rumah sakit jiwa sampai akhirnya Ibu dan Kirana tidak sanggup membayar seluruh tagihan rumah sakit.

Bapak terpaksa di rawat di rumah dengan perawatan seadanya, saat itu Ibu dan Kirana sedang terlelap dan hari itu adalah hari terakhir Kirana melihat Bapaknya, karena Bapak menghabisi nyawanya sendiri dengan cara menggantung dirinya. Berita ini sampai tersebar waktu itu, mengingat kantor yang didirikan Bapaknya Kirana itu cukup terkenal.

Mungkin karena latar belakang keluarganya itulah Ibu nya Bagas tidak setuju, jika Bagas menjalin hubungan dengannya. Kirana bisa mengerti itu, walau ia juga sempat sedih.

“Enggak gitu, Na. Aku gak perduli latar belakang kamu kaya gimana, aku sayang kamu, Na. Ibuku cuma perlu di beri waktu buat setuju sama hubungan kita.” Bagas yakin ia bisa menyakinkan Ayah dan Ibu nya jika Kirana adalah wanita yang baik untuknya. Keduanya hanya perlu di beri waktu saja.

“Iya, Gas. Nanti kita coba yakinin orang tua kamu lagi yah kalau aku udah sembuh.” Kirana membawa tangan besar Bagas pada genggamanya.

Kirana paham posisi Bagas sangatlah sulit, Bagas mencintai Kirana namun Bagas juga kesulitan menghadapi kedua orang tua nya yang keberatan dengan hubungan mereka. Untuk saat ini, Kirana belum mau menyerah. Ia yakin bisa mengambil hati kedua orang tua Bagas.


Bagas agak sedikit bingung sewaktu sampai di rumah dan mendapati mobil lain terparkir di rumahnya, entah itu milik siapa. Sepertinya memang sedang ada tamu Ayah atau Ibu nya, Bagas melangkah masuk ke dalam rumahnya dan benar saja. Di ruang tamu ada tamu, ada seorang pria seusia dengan Ayahnya dan seorang wanita muda mengangguk sopan ketika melihat Bagas masuk.

“Bagas, salam dulu sama Om Dwika. Kamu masih ingat kan, Om Dwika ini kawan lama Ayah sewaktu kita masih tinggal di Solo,” jelas Ayah.

Bagas menyalami pria yang di kenalkan sebagai teman Ayahnya itu, Bagas belum ingat. Mereka dulu memang pernah tinggal di Solo sewaktu Bagas masih duduk di bangku SMP, setelah itu Ayah dan Ibu memutuskan untuk menjual rumah mereka di Solo untuk membuka usaha laundry dan pergi merantau ke Jakarta.

“Sudah besar yah kamu, Bagas. Tambah ganteng saja, persis sekali Ayahmu waktu masih muda.” Om Dwika basa basi, yah walau ucapannya itu benar. Bagas memang sangat mirip dengan Ayahnya sewaktu muda.

“Bagas memang terlalu meniru wajah mudaku, Wi.” Ayah tertawa, kedua bahunya itu bergetar. Bangga karena Bagas sangat mirip dengannya, bahkan jauh lebih tampan menurut Ayah.

“Nah, Gas. Kamu ingat gak dia ini?” Ibu menaruh tangannya di atas tangan wanita muda yang duduk di samping Om Dwika. Entah siapa, Bagas sama sekali tidak mengiangtnya.

“Lupa, Buk.” balas Bagas.

“Ini Asri, Gas. Calandra Asri Bentari, anak cewek yang suka kamu anter pulang sewaktu sekolah dulu. Kalian satu SMP loh, kamu ini, masa lupa?”

Bagas memperhatikan wajah wanita bernama Asri itu, ia baru mengingat jika itu Asri. Anak perempuan yang pernah ia tolong sewaktu di bully, Asri banyak berubah ternyata.

“Bagas lupa, Buk.” Bagas nyengir, ia kemudian duduk di sebelah Ibu nya. Tidak enak jika ia langsung meninggalkan ruang tamu dan masuk ke kamarnya.

Pertemuan antar keluarga itu berlangsung begitu cukup lama, sekitar 2 jam mereka berbincang simpang siur, tentang mereka dulu di Solo, tentang anak-anak mereka sampai membicarakan bisnis yang keduanya bangun. Sebenarnya Bagas ingin sekali pergi dari ruang tamu dan masuk ke dalam kamarnya, ia sudah lelah. Ingin segera merebahkan dirinya di kasur namun Ibu terus-terusan melarangnya.

“Bagas, Asri. Jadi begini, Om dan Papa mu ini memang pernah bicara omong kosong tentang perjodohan.”

Mendengar ucapan Ayahnya itu, Bagas seperti tersambar petir rasanya. Perjodohan apa? Siapa yang di jodohkan? Pikirnya.

“Perjodohan, Om?” tanya Asri sama bingungnya dengan Bagas.

“Benar, sayang. Sewaktu itu masih ada mendiang Ibumu. Kami memang pernah merencanakan perjodohan kalian saat kalian SMP. Dan sepertinya sekarang waktu yang tepat bagi kami untuk membicarakan hal ini lagi,” jelas Ibu.

“Buk, tapi Bagas sudah punya pacar, Buk. Bagas serius sama dia.”

Ucapan Bagas itu berhasil membuat Ibu, Ayah, Om Dwika dan Asri menoleh ke arah Bagas. Bagas harus menjelaskan ini pada Om Dwika dan Asri agar mereka tidak salah kaprah, Bagas tidak ingin di jodohkan, ia ingin menikah dengan Kirana bukan dengan wanita lain.

Lagi pula ia dan Asri baru bertemu lagi, mereka tidak dekat. Rasanya aneh jika tiba-tiba saja ia harus menikahi wanita asing yang baru bertemu dengannya lagi.

“Bagas!” Ayah memperingati.

Om Dwika memegang tangan Ayah, memberi peringtan pada kawannya itu bahwa ia ingin bicara dengan Bagas. “Hubunyan kalian sudah sangat jauh, Bagas? Apa kamu sudah melamar dia?”

“Saya enggak setuju sama perempuan yang di kenalkan Bagas ke saya, Mas Dwika. Perempuan itu bukan berasal dari keluarga baik-baik.” Ibu menyela, membuat kedua bahu Bagas turun.

“Buk—”

“Hhmm.. Maaf Om, Tante. Sebaiknya kita bicarakan hal ini nanti, lagi pula. Bagas dan Asri baru bertemu lagi. Kami belum banyak mengobrol, Bagas pasti bingung jika tiba-tiba pembicaraan kita langsung menuju perjodohan, Asri pun sama bingungnya seperti Bagas.” Asri menengahi, ia tidak ingin ada keributan. Meski rasanya ia merasa di permalukan oleh Bagas.

“Maafkan Bagas yah, Asri.”

Begitu Om Dwika dan Asri pulang, Ibu dan Ayah langsung memarahi Bagas habis-habisan. Ayah merasa sikap Bagas sudah kelewatan, Bagas seperti tidak menghargai Kedua orang tuanya dan juga Om Dwika.

“Kelewatan kamu, Gas. Bisa-bisa nya kamu bicara seperti itu di depan Asri?” sentak Ayah.

“Demi perempuan itu kamu sampai rela menginjak-injak harga diri kedua orang tuamu, Gas. Kamu tau? Asri ini anak yang baik, terlebih kita sudah mengenal keluarganya.”

“Buk, Yah, Bagas gak bermaksud menginjak-injak harga diri Ibu dan Ayah. Bagas hanya menjelaskan kalau Bagas sudah punya Kirana, Bagas serius sama dia, Buk, Yah. Bagas sayang sama dia,” jelas Bagas. Ia tidak ingin kedua orang tua nya itu mengambil keputusan sendiri seperti tadi, ini tentang hidup dan masa depannya.

“Perempuan itu memang sudah mencuci otakmu, Gas.” Ibu melirik Bagas sinis, benar-benar merasa muak setiap kali Bagas membangkang demi Kirana.

“Selesaikan hubunganmu dengan perempuan itu, Bagas. Ayah tidak bisa menerima dia menjadi menantu Ayah. Asri yang Ayah dan Ibu harapkan menjadi Istrimu dan menantu di keluarga kita.” Ayah mengatakan itu dengan tegas, sebelum Ayah melangkah pergi meninggalkan ruang tamu bersama dengan Ibu.

Bagas termenung, ia mengusap wajahnya gusar. Ia tidak akan menyerah, dia akan tetap mempertahankan Kirana bagaimanapun caranya, ia sendiri yakin bahwa Kirana pasti bisa mengambil hati kedua orang tua nya.


Samarang 1898

Sudah tiga hari ini Ayu tidak datang ke sekolahnya, ia juga tidak keluar dari kamarnya. Setelah hujan-hujanan kemarin badannya demam, Ayu juga kembali batuk darah seperti waktu itu. Romo nya sudah memanggil dokter dan memberikan beberapa obat-obatan herbal.

Baru hari ini Ayu memberanikan diri untuk keluar dari kamarnya, dia merasa badanya sudah jauh lebih baik walau masih saja tubuhnya begitu lemas. Ayu pikir tidak ada orang lain di ruang tamu selain Romo nya, Romo memang paling sering berada di ruang tamu. Sekedar membaca berita atau menikmati teh di sana.

Ayu bersembunyi di balik tembok dekat dapur, ketika telinganya mendengar sayu-sayup suara yang berasal dari ruang tamu, ternyata ada tamu, Ayu jadi mengurungkan niatnya untuk keluar rumah, tadinya ia ingin ke kebun untuk mencari Adi lewat pintu depan rumahnya.

Nggih saenipun Ayu dinikahaken mawon, Pak. Supados wonten ingkang jagi. Lare lare seyuswone nggih mpun sami nikah, mboten?

Kulo sampun ngerancanakaken iku, badhe kulo bekto Ayu dumateng Soerabaja, badhe kulo tepangaken kaleh yoganipun Bupati Daka. Asmanipun Dimas, kito nate rembug bab niki sederengipun. Nanging wekdal semeniko, Ayu tesih alit.

Mendengar itu tubuh Ayu gemetar, ternyata selama ini Romo nya ingin menjodohkannya dengan anak dari Bupati itu. Pantas saja Romo mengajaknya ke Soerabaja sewaktu acara pengangkatan Bupati itu. Meski harus ia syukuri, dari situlah ia bisa bertemu dengan Jayden.

Selanjutnya, Ayu tidak berani mendengarkan obrolan kedua orang tua itu. Ayu keluar dari rumahnya lewat pintu belakang, beruntung saja Ibu nya sedang tidak ada di rumah. Di kebun, beberapa orang yang bekerja menyapa Ayu, namun Ayu hanya mengangguk sekena nya.

ngapunten, Mbok, Mas Adi ten pundi?” Ayu bertanya dengan seorang wanita yang tengah merapihkan hasil panen bawang di kebun milik Romo nya. Hari ini pun Ibu dari Adi tidak datang.

mboten ndugi, Raden Ayu.”

“Kemana, Mbok?”

sampun izin ke Tuan Gumilar, bilangnya dia sakit, Raden Ayu.”

Ayu terpaku di tempatnya, dia mengangguk kecil pada pekerja Romo nya itu dan kembali ke rumahnya. Kakinya tidaklah kuat untung menyambangi Adi di rumahnya, rumah Adi lumayan jauh dari rumah Ayu dan ia masih lemas.

Begitu sampai di rumah, ada Pak Pradipta. Beliau adalah kusir Romo nya sekaligus Ayah dari Adi. Adi dan orang tua nya bekerja di rumah Ayu, Ayahnya sebagai kusir sedangkan Ibu nya sebagai pembantu rumah tangga.

Raden Ayu, kenapa mlampah-mlampah piyambak? Raden Ayu kan tesih gerah.

Pak, Mas Adi gerah?

Pak Pradipta mengangguk, “Sampun izin kalih Tuan, Raden Ayu.

Gerah nopo, Pak?

Awake benter.

Ayu menunduk dia jadi merasa bersalah karena sudah membuat Adi sakit, meski itu juga bukan kehendaknya. Andai Adi tidak melepaskan pakaianya pasti pria itu tidak akan sakit, ya mungkin saja begitu. Ayu masuk ke dalam rumahnya dengan langkah gontai. Ia masih terbayang akan perjodohan yang Romo nya rencanakan.

Ia tidak ingin di jodohkan oleh pria lain, ia hanya mencintai Jayden. Hanya Jayden yang Ayu inginkan, laki-laki itu dengan segala kerendahan hatinya. Ayu menangis di ranjangnya, menatap jendela kamarnya. Kidung jiwa nya merasa gamang, ingin rasanya Ayu lari dan menemu Jayden, mengadu pada pria itu jika ia sedang tidak baik-baik saja.

Tidak lama kemudian pintu kamarnya terbuka, itu Ibu. Mengantarkan makan siang untuk Ayu karena ia harus segera minum obat, Ayu buru-buru menghapus jejak-jejak air mata di pelupuk mata dan wajahnya.

nduk, kenapa?” Ibu duduk di sisi ranjang Ayu, sudah tahu jika Ayu menangis karena matanya sangatlah merah.

Buk, mangkeniki wonten tamunipun Romo nggih?

Ibu mengangguk. “Rencangipun saking Solo, rawuh kangge mriksani kebone Romo.

Mangkeniki Romo matur babagan polokromo, Buk.

Ibu menghela nafas, Ayu sudah tahu lebih dulu. Sejujurnya Ibu juga tidak begitu setuju jika Ayu harus di jodohkan, Ayu masih muda. Terlebih, Ibu tidak ingin Ayu menikah dengan pria yang tidak anak itu cintai seperti dirinya dahulu.

Jere sinten, nduk?

Ayu mireng piyambak, Buk. Romo badhe jodohaken Ayu kalian yoga Bupati Soerabaja niku.” Ayu memberanikan diri menggengam tangan Ibu nya, “Ayu mboten purun dijodohaken, Buk. Ayu mboten purun nikah.

Bersambung..

(Calandra Asri Bentari)

Samarang 1898

(Kediaman asisten Residen Samarang tahun 1898-sekitar tahun 1920)

“Roosevelt, welkom.” Jayden tersenyum ketika Kakak perempuannya itu turun dari dokar.

Dia adalah Roosevelt Van Den Dijk dia Kakak kandung Jayden, wanita dengan paras tak jauh berbeda dengan Jayden itu baru saja tiba di Samarang. Roosevelt tadinya berkediaman di Batavia namun kini wanita itu memutuskan untuk menjenguk Jayden di Samarang.

“Panas sekali Samarang, Jay. Aku hampir saja meleleh jika saja dokar yang di bawa oleh jongos ini tidak melaju cepat.” Roosevelt mengekori Jayden dan duduk di teras depan.

Jayden hanya tersenyum renyah, kedua pipinya itu menampilkan bolongan indah yang semakin membuat parasnya itu tampak semakin tampan. Jayden adalah nirmala, jika tersenyum seperti itu yang melihatpun akan ikut tersenyum, senyumnya menular.

“Kau sudah pandai berbahasa melayu rupanya?” ia terkekeh, apalagi saat Roosevelt memelototinya dengan jengkel.

“7 tahun aku di Hindia Belanda, aku harus bisa berbahasa melayu meski sejujurnya aku enggan, tidak sudi rasanya berbahasa yang sama dengan para monyet-monyet itu.”

Jayden memilih tidak menanggapi ucapan menyakitkan Kakaknya itu, ia bungkam. Tidak ada gunanya menimpali ucapan menyakitkan itu atau membela para pribumi di depan kakaknya. Roosevelt terlalu congkak, ia lupa dimana ia pijakan kakinya saat ini. Menurut Jayden, para Belanda lah yang menumpang. Tidak seharusnya ia dan para kolonial lain memperlakukan pribumi semena-mena. Ini adalah tanah mereka.

“Kau akan menetap di Samarang, Roosevelt? Aku berniat mengajakmu jalan-jalan di sekitar Samarang besok.”

“Mungkin.” Roosevelt mengangguk, ia memperhatikan blankon yang Jayden pakai. Biasanya Adik laki-lakinya itu lebih sering memakai topi fedora. “Kenapa kau memakai itu di kepalamu?”

“Ah?” Jayden membuka blankon yang ada di kepalanya. “Aku mulai menyukai blankon ini, pemberian dari kawanku.”

“Pribumi?” Roosevelt melotot kaget. “Kau berteman dengan pribumi? Untuk apa? Kau mulai gila aku rasa, kedudukan mereka di bawah kita.”

“Aku tidak pernah menganggap pribumi dengan kedudukan di bawah kita, Roosevelt. Mereka sama.”

“Kau benar-benar kehilangan akal,” Roosevelt menggeleng-gelengkan kepalanya.

Jayden paham bagaimana awal mula Roosevelt membenci para pribumi itu, Roosevelt sudah menikah, ia menikah dengan pria Belanda sebelum memutuskan untuk pindah ke Hindia Belanda dan menetap di Batavia.

Suami Roosevelt memiliki kedudukan penting di Batavia, awalnya Roosevelt sama seperti Jayden. Ia menganggap Belanda dan pribumi sama, tidak pernah membeda-bedakan mereka. Namun pandangannya akan pribumi berubah ketika Pietter ketahuan memiliki gundik. Sejak itu Roosevelt sangat membenci para pribumi.

mevr, ini teh anda, silahkan dinikmati.” seorang wanita separuh baya itu menaruh secangkir teh hangat tepat di meja dekat Roosevelt duduk. Ia bersimpuh di depan Roosevelt yang duduk di atas kursi kayu demi menaruh secangkir teh itu di atas meja.

matur suwun, Mbok.” ucap Jayden sopan.

Roosevelt yang ada di sebelah Jayden itu hanya mendengus, sebelum wanita separuh baya itu pergi meninggalkan teras rumah dinas Jayden. Roosevelt menahan wanita itu dengan meletakan kakinya di atas paha pelayan wanita itu, sepatu yang ia kenakan itu ia tekan hingga pelayan wanita itu meringis kesakitan.

“Roosevelt, Wat ben je aan het doen?” (apa yang sedang kamu lakukan?) Jayden menggertakan rahangnya, ia tidak terima pelayannya di perlakukan buruk oleh Kakaknya sendiri.

Ik wil gewoon even met mijn voeten omhoog liggen, ik ben moe Jayden. Je overdrijft.” (aku hanya mengistirahatkan kakiku sebentar, Jayden. Kamu sangat berlebihan.)

Roosevelt sangat santai mengatakan hal itu, seolah-olah itu adalah hal yang biasa ia lakukan. Ia sangat tidak perduli pada wanita di hadapannya itu yang sudah meringis kesakitan, wanita itu juga sangat ketakutan enggan menatap wajah pongah Roosevelt.

zet je voet neer, hij is mijn dienaar.” (turunkan kakimu, dia adalah pelayanku.) Suara Jayden yang biasanya sangat lembut di dengar itu meninggi, rahangnya mengeras ia memang tegas. Tidak perduli jika nantinya Roosevelt mengadu pada Ayah mereka.

Setelah kaki Roosevelt menyingkir dari paha pelayan wanita itu, Jayden buru-buru memberi isyarat agar wanita itu pergi dari sana.

“Kau memang sudah gila, Jayden. Tidak heran jika suatu hari kau mengatakan kau berkencan dengan pribumi, para monyet itu sudah mengotori pikiranmu.”

Mendengar sembarang ucapan dari bibir Roosevelt itu, Jayden sedikit kaget. Jayden tau kakaknya itu hanya sembarang ucap, tapi jika Ayahnya sampai tahu ia mengecani seorang pribumi. Tidaklah mungkin Jayden di marahi habis-habisan. Hal terburuknya adalah, ia bisa di pindah tugaskan atau kembali ke Belanda.


Hari itu setelah menyelesaikan tugas-tugasnya, Jayden di undang ke rumah teman lamanya. Dia adalah Jacob De Houtman, pria satu tahun lebih muda dari Jayden itu adalah seorang Indo. Darah pribumi mengalir dalam darahnya, Ayahnya adalah seorang seniman asal Belanda.

Sedangkan Ibu nya adalah seorang penyair, tak heran jika Jacob memiliki darah seniman yang kuat. Dokar yang di kendarai oleh kusir yang biasa mengantar Jayden kemana pun ia pergi itu berhenti di sebuah rumah yang cukup sederhana, bangunanya di buat khas Belanda dengan kebun kecil berisi tanaman-tanaman hias dan juga bunga.

Meneer Jayden, welkom.” Jacob menyambangi Jayden, berjabat tangan dengan senyuman yang tampak sumringah itu. Maklum saja, kedua pria itu sudah lama tidak bertemu.

“Aku tidak menyangka jika rumahmu akan seharum ini, Jacob.” Jayden tersenyum, kedua netranya itu berpendar melihat taman kecil milik kawannya itu.

“Aku memang sengaja menanam banyak bunga dengan harum semerbak di taman kecil ini. Aku ingin tamu-tamuku merasa nyaman karena harum yang di bersumber dari bunga-bunga ini, kau tertarik melihat-lihat?” Jacob merentangkan sebelah tangannya. Pria ramah itu berniat mengajak Jayden berkeliling ke taman kecil rumahnya.

Sebenarnya tidak bisa di bilang kecil untuk ukuran taman, lumayan luas sampai-sampai Jacob sendiri bisa menanam banyak pohon di sana. Ada bunga melati, mawar, anggrek, kamboja dan juga beberapa pohon kaktus mini di sana. Sangat asri, bahkan rumah rindang itu sangat nyaman untuk sebuah hunian di tengah ramainya kota Samarang.

“Tentu, bawa aku berkeliling kalau begitu.”

Kedua pria itu berkeliling di taman kecil milik Jacob, ia menanamnya tumbuhan itu sendiri setelah membeli bibit di pasar, Jacob juga sering kali memanen hasil bunga-bunga di tamannya untuk kemudian ia ekstrak sendiri untuk di jadikan pengharum ruangan.

“Kau beli bibit bunga melati ini dimana, Jack?” Jayden memetik satu bunga melati itu dan mengirup harumnya, wewangianya semerbak hingga menelisik rongga hidung Jayden. Membuat kidung jiwa nya merasa tenang dan teringat akan wanita yang ia cintai, Ayu sangat menyukai melati putih.

“Aku ada jika kau mau menanam melati ini di rumah, meneer.

“Kau punya bibitnya?”

Jacob mengangguk, “kalau kau mau bercocok tanam sendiri, aku bisa mengajarimu.”

“Aku ingin membuat taman berisi tanaman melati ini, Jacob.”

Selayang milik si lebih muda itu bisa melihat jika wajah pria di depannya itu tampak Cerah, bahkan daun telinga pria itu memerah. Pria yang lebih muda itu tersenyum penuh arti, ia pernah memiliki mata berbinar seperti itu saat jatuh cinta dengan Istrinya dahulu.

“Kau ingin buatkan taman berisi melati ini untuk kekasihmu, meneer?” tebak Jacob.

“Kau bisa membaca pikiranku?” sungguh tersuruk rasanya Jayden di lucuti dengan pertanyaan seperti itu oleh kawannya. Apakah saat ini ia terlihat seperti sedang kasmaran?

“Aku seniman, bukan seorang cenayang. Hanya saja aku menerka, matamu mengatakan semuanya jika kau sedang jatuh cinta.”

“jadi kau mau membantuku menanam tumbuhan ini di rumahku untuknya, Jacob?”

“Tentu, wanita itu pasti begitu beruntung memilikimu.”

Jayden menggeleng, senyum di wajah ramahnya itu mengembang. Baginya ialah yang beruntung memiliki Ayu. “kali ini ucapanmu salah, Jack. Karena aku lah yang beruntung memilikinya.”


Jakarta 2025

“Atas nama Jagaraga Suhartono, di tunggu sebentar ya, Pak. dokter Annelies masih ada pasien.”

“Baik.”

Raga duduk di deretan kursi ruang tunggu rumah sakit pagi itu, sembari menunggu nama nya di panggil. Ia buka ponselnya dulu dan mengetikkan sesuatu di sana, ini soal pekerjaan. Raga bukan izin tidak masuk demi ke rumah sakit, ia hanya izin untuk datang terlambat saja.

Setelah mengetikkan pesan pada bawahannya itu, ia bersandar di kursi. Matanya berpendar ke hampir seluruh ruang tunggu pendaftaran itu. Sampai akhirnya kedua netra nya itu menangkap seseorang yang ia kenal, Raga berdiri dari kursinya dan menghampiri wanita itu.

“Kirana, sedang kontrol?” sapa Raga, ia juga mengangguk ramah pada Ibu nya Kirana.

“Pak Raga, ah. Iya, Pak. Hari ini jadwal saya kontrol. Bapak sendiri?”

Kirana sudah pulang dari rumah sakit sejak seminggu yang lalu, namun ia masih tetap harus bolak balik ke rumah sakit demi melihat perkembangan tangannya yang patah itu.

“Saya, sedang menjenguk kawan.”

“Siapa, Na?” tanya Ibu berbisik pada Kirana.

“Ah, Iya. Buk, kenalin ini Pak Raga, beliau team leader di kantor Kirana.” Kirana mengenalkan atasannya itu pada Ibunya, keduanya saling bersalaman.

“Pagi, Buk. Saya Raga, atasannya Kirana di kantor. Saya sempat menjenguk Kirana sewaktu dia di rawat, tapi Kirana bilang Ibu sedang ke kafetaria waktu itu,” jelas Raga, karena sewaktu itu ia tidak sempat bertemu Ibunya Kirana.

“Ahhh, iya, terima kasih, Pak. Sudah menjenguk Kirana, Bapak yang bawa bakpau itu yah?” Ibu ingat, Kirana dapat banyak bakpau dengan berbai isian. sampai-sampai Ibu membagikannya juga pada penunggu pasien di bangsal Kirana hari itu saking banyaknya.

Raga mengangguk, “betul, Buk. Waktu itu Kirana bilang dia suka bakpau, jadi saya bawakan bakpau.”

Kirana yang mendengar Ibunya bicara seperti itu pada Raga hanya bisa tersenyum kikuk, canggung sekali rasanya. Kirana sampai harus menarik-narik lengan dari baju yang Ibu kenakan agar Ibu nya berhenti bicara melantur seperti itu. Kalau saja kakinya tidak sakit, ia mungkin sudah lari saking malunya. Ya, walau Raga terlihat biasa saja dengan ucapan Ibunya Kirana itu.

“Kalo Bapak sendiri suka nya makanan apa?” tanya Ibu basa basi tanpa memperdulikan tarikan baju yang berasal dari tangan Kirana itu.

“Ah, kalau saya akhir-akhir ini lagi suka kue nagasari. Ibu tahu?”

“Ya, tahu dong. Itu kue kesukaan Kirana juga, kapan-kapan Ibu bikinkan ya buat Pak Raga.”

Mendengar jawaban akan kue yang di gemari Raga akhir-akhir ini, membuat Kirana terdiam sejenak, ia memperhatikan wajah atasannya itu. Seperti ia pernah melihat paras yang sama dari Raga namun seseorang itu bukan Raga.

Sampai akhirnya ia mengingat tentang mimpinya semalam, kue nagasari. Itu adalah kue yang pernah di berikan pria kolonial bernama Jayden pada dirinya yang di kenal sebagai Ayu. Kedua mata Kirana membulat, ia baru menyadari jika pria Belanda di mimpinya itu mirip sekali dengan Raga.

Hanya saja, Raga memiliki rambut yang hitam pekat. Sedangkan Jayden, pria kolonial itu berambut pirang. Namun perawakan keduanya sama persis, dan apa dia bilang tadi? Dia menyukai kue nagasari? Apa arti semua ini? Pikir Kirana.

“Atas nama Jagaraga Suhartono?”

Suara yang berasal dari seorang perawat itu membuyarkan lamunan Kirana dan juga menghentikan obrolan simpang siur antara Ibu dan juga Raga, di tempatnya Raga salah tingkah. Ia melihat ke arah Ibu dan Kirana secara bergantian, seperti orang yang tertangkap basah sedang berbohong.

“Ah, ke..betulan saya juga mau ke poli mata, akhir-akhir ini agak sedikit gatal. Takut iritasi,” Alibi Raga pada Kirana dan Ibunya.

“Ahh, begitu. Cepat sembuh kalau begitu Pak Raga,” jawab Ibu.

“Terima kasih, Buk. Kirana, kamu juga cepat pulih yah, kalau gitu, Buk, Kirana saya duluan.” Raga membungkuk pada Ibu dan berlalu dari sana, mengekori seorang perawat yang mengarahkannya ke ruang rawat jalan.

Sepeninggalan Raga, Kirana termenung di kursi roda miliknya. Di mimpi itu pria kolonial yang mirip sekali dengan Raga adalah kekasihnya, bagaimana bisa ini semua kebetulan? Terlalu banyak kebetulan yang terjadi di mimpi dan dunia nyatanya.

bersambung..

(Roosevelt Van Den Dijk)

(Jacob Suhoorf)

Samarang, 1898

(rumah Adi, hanya gubuk biasa yang terbuat dari bilik. Adi tinggal di dekat kebun dan persawahan.)

Pria berumur 21 tahun itu meringkuk di atas dipan beralaskan kain-kain yang Ibu nya tumpuk agar Adi nyaman saat tidur. Sudah 6 hari ini pria itu sakit, badannya demam jika menjelang malam hari. Awalnya Adi ingin tetap pergi ke ladang milik Tuan Gumilar seperti biasanya, namun Bapak melarangnya. Bapak tidak tega melihat Adi yang sudah pucat itu harus memaksakan diri ke ladang.

Pintu dari kayu rumahnya itu terbuka, menapakan cahaya dari matahari yang masuk dari sela-sela nya dan membuat Adi yang sedang tidur itu mengerjapkan matanya. Itu Ibu ternyata, ia membawakan sisa makanan dari rumah Tuan Gumilar yang tidak habis di makan.

Terkadang Ibu nya Ayu itu suka memperbolehkan Ibu nyq Adi membawa sisa-sisa makanan di rumah mereka yang tidak habis. Seperti nasi, sayur, tahu dan tempe atau bahkan ayam sekalipun. Walau tentunya ini tidak terjadi setiao harinya, Adi dan kedua orang tuanya lebih sering memakan singkong dan ubi.

Sih loro to kowe, Le?” Ibu memegang kening Adi dengan telapak tanganya. Demam nya sudah sedikit turun ternyata.

Sampun mendingan, Buk.” pria itu bangun dari tidurnya dan duduk, tidak sopan rasanya berbicara dengan Ibu sambil tiduran walau ia sedang sakit.

Maem sek yo, tak gawake makanan.” Ibu membuka bungkus dari daun pisang itu yang berisi makanan, ada sedikit nasi dan sayur yang Ibu bawa dari rumah Tuan Gumilar.

Ibu juga membawa singkong dan ubi rebus yang Ibu beli dari pasar. Bapak, Ibu dan Adi jarang sekali memakan nasi, kalaupun makan. Itu adalah nasi sisa tidak habis dari rumah Tuan Gumilar. Mereka lebih sering memakan singkong dan ubi, atau olahan singkong seperti getuk. Itu pun tidak di bumbui apapun, semua rasa yang di dapat alami dari makanan itu sendiri.

Raden Ayu tasih sakit ta buk?” meski sakit, yang Adi sering pikirkan justru keadaan Ayu. Ia merasa bertanggung jawab atas gadis ringkih itu, ia yang membawa Ayu hujan-hujanan.

Uwis mendingan, Le. Tapu durung melbu sekolah, jare Bapakmu deknen goleki kowe.

Terus Bapak sanjang nopo, Buk?” Adi menghentikan makananya.

Ya, ngomong nek kowe loro. Akhir-akhir iki Den Ayu sering sedih, ndeweki neng kamare, Le.” air wajah Ibu nya juga berubah menjadi sendu ketika sedang menceritakan kondisi Ayu akhir-akhir ini.

Ayu memang mengurung diri di kamarnya, bahkan wanita itu hanya keluar jika ingin ke kamar mandi saja. Mbok Kahiyang selaku pelayan di rumahnya pun tidak berani bertanya-tanya pada Ayu, hanya saja Mbok menjawab ketika Ayu menanyakan Adi.

Kenopo, Buk?

Ibu yang tadinya sedang menaruh ubi dan singkong di atas meja itu sekarang menghampiri Adi, Ibu tahu kalau Adi sangat perhatian dengan Ayu, Ibu pun sama. Ibu sudah menganggap Ayu seperti keponakannya sendiri karna kebaikan keluarga Tuan Gumilar.

Apalagi mengingat Ayu yang dengan baiknya mau mengajari Adi membaca, menulis hingga belajar bahasa Belanda. Ibu bahkan selalu memikirkan cara bagaimana suatu hari Ibu dapat membalas kebaikan wanita itu.

Ayu, arep dijodohke, Le” jawab Ibu pada akhirnya.

Dijodohkan Buk? Kalih sinten?

Ibu menggeleng pelan, Ibu pun tidak sengaja mendengar oborlan Tuan Gumilar dengan tamunya saat Ibu sedang mengantarkan teh untuk keduanya minum. Setelah itu Ibu langsung kembali ke dapur, enggan rasanya menguping, rasanya sangat tidak sopan meski Ibu tidak bisa memungkiri jika beliau juga penasaran dengan laki-laki yang akan menjadi Suami Ayu kelak.

Ibuk ora ngerti

Sakniki dinten nopo, Buk” tanya Adi, ia sedikit panik.

Dino Jumat, kenopo Le?

Kedua netranya membulat, Adi baru ingat jika Ayu sudah membuat janji dengan Sir Jayden kekasihnya, bahwa mereka akan segera bertemu kembali di pasar Djohar. Tanpa memperdulikan badannya yang masih agak demam, Adi buru-buru mengambil baju bagian luar nya yang berbahan kain lurik itu.

“Mau kemana, Di?” Ibu terlihat bingung, Putra nya itu tampak panik ketika Ibu mengatakan jika hari ini adalah hari jumat.

“Adi sudah janji sama Raden Ayu, Buk. Adi mau antarkan dia bertemu dengan teman hari ini.”

“Temannya?” arca wajah Ibu mengerut, tidak bertanya lagi pada putranya itu karena setelahnya Adi buru-buru berlari dengan bertelanjang kaki.

Di perjalanan, Adi mengambil jalan pintas yang mengitari persawahan agar nanti ia sampai di ladang yang menuju rumah Tuan Gumilar. Namun sayangnya di perjalanan menuju rumah Ayu, langkah kaki telanjangnya itu berhenti kala melihat kepiluhan seorang wanita yang tengah di hadiahi pukulan di wajahnya oleh seorang Belanda.

Adi berhenti, ia sembunyi di antara pohon pisang. Ingin ia bantu wanita yang tengah menangis itu, namun ia sendiri sebagai seorang pribumi biasa tidak memiliki kekuatan untuk melawan para Belanda itu.

wat een domme vrouw!” (wanita bodoh dasar!) Pria Belanda itu menampar wajah wanita yang bersimpuh di hadapannya itu sekali lagi, ia berjongkok mengambil jeruk yang tumpah dari bakul yang di bawa wanita itu.

“Maafkan saya, meneer. maafkan saya.”

“Monyet sialan, kau punguti jeruk-jeruku dengan mulut mu sekarang!” teriak pria Belanda itu.

Kedua tangan Adi mengepal, ia ingin sekali menolong wanita itu dan menghajar Belanda sialan yang melecehkannya seperti itu. Wanita muda itu memunguti satu persatu jeruk yang tumpah ke tanah dan menaruhnya kembali ke bakul dengan mulutnya.

Sedangkan si Belanda tadi hanya meliriknya sekilas lalu kembali berjalan, ia sepertinya tengah memantau kebun sekitar. Beberapa perkebunan dekat rumah Adi memang milik para Belanda itu, ketika kaki pria jangkung itu semakin menjauh. Adi menghampiri wanita itu dan membantunya memunguti satu persatu jeruk yang ada di tanah.

“Sudah tidak ada dia, jangan kamu punguti dengan mulutmu, ini kotor sekali.”

“Terima kasih, Mas. Sebaiknya Mas segera pergi, meneer Jhoseph tidak akan mengampuni siapapun yang membantuku.”

Adi berhenti, ia menatap wajah wanita itu yang di ujung bibirnya mengeluarkan darah. Air wajahnya tampak ketakutan, kebaya yang ia kenakan compang camping dengan robekan dimana-mana. Entah apa yang terjadi dengan wanita ini sebelumnya.

“Kebaya mu rusak?” tanya Adi.

Melihat Adi yang melirik ke arah kebaya lusuh yang ia pakai, wanita itu buru-buru menutupi lengannya. Ia dengan sigap berdiri dan menggendong bakul itu kembali di pinggangnya.

matur suwun, Mas.” wanita itu pergi begitu saja setelah mengucapkan terima kasih.

Adi hanya termenung di tempatnya, menatap punggung wanita dengan kebaya lusuh tadi dengan miris. Sebagai seorang pribumi yang hidup miskin, Adi sering sekali melihat teman-teman bahkan tetangga di sekitar rumahnya mendapatkan perlakuan buruk dari para Belanda.

Mulai bekerja di ladang mereka dengan bayaran rendah, mendapatkan kekerasan, bahkan para Belanda tidak segan-segan memperkosa para wanita pribumi yang bekerja untuknya. Jika mengingat bagaimana hidupnya 5 tahun yang lalu, dada Adi rasanya di hujami belati yang begitu menusuk.

Ia teringat akan Mas Sagga yang mengalami penyiksaan oleh majikannya, Mas Sagga dulu bekerja dengan orang Belanda yang kejam. Saat membuat kesalahan, tak segan-segannya mereka menyiksa Mas Sagga.

Yang lebih memiluhkan lagi adalah, saat pria Belanda majikannya itu mabuk, Mas Sagga tidak sengaja menjadi korban penembakan yang di lakukan oleh majikannya sendiri. Mas Sagga di makamkan di pegunungan, lumayan jauh dari rumah Adi berada.

Sejak itu lah, Tuan Gumilar menawarkan Ibu, Bapak dan Adi untuk bekerja di rumah dan ladangnya. Dengan jaminan mereka akan aman dari para tentara kolonial, Tuan Gumilar membuat kesepakatan dengan mereka jika para tentara kolonial tidak di perbolehkan menyentuh pelayannya sedikitpun.

Sesampainya di rumah Ayu, Adi tidak masuk melewati pintu depan rumah majikannya itu. Ia mengendap-endap melewati samping rumah Ayu untuk mengetuk jendela kamar Ayu, Adi berharap semoga saja Ayu sedang berada di kamarnya. Mereka tidak memiliki banyak waktu untuk bertemu dengan Jayden.

“Raden Ayu?” panggil Adi setengah berbisik, ia juga mengetuk-etuk jendela kamar majikannya itu. “Ini saya Adi.”

“Mas Adi?” ucap Ayu dari dalam kamarnya, tidak lama kemudian Ayu membuka jendela kamarnya itu. Benar saja, Adi masih berdiri di sana dengan wajah yang masih sedikit pucat. “Mas Adi masih sakit ya?”

Adi menggeleng pelan, “sudah membaik, Raden Ayu.”

Melihat Adi, Ayu jadi menangis. Ia merasa bersalah karena terakhir kali mereka bertemu, Adi di marahi habis-habisan oleh Romo nya. Belum lagi saat Ayu mengetahui bahwa Adi sakit sampai tidak bekerja, di tambah dengan kenyataan yang sulit Ayu terima bahwa ia akan segera di jodohkan oleh anak Bupati Soerabaja.

Ayu itu anaknya tertutup, ia tidak banyak bicara dengan kedua orang tua nya, Ayu juga tidak memiliki banyak teman di sekolahnya. Teman-teman di kelas Ayu lebih banyak anak-anak dari Eropa dan etnis Tionghoa, tidak banyak pribumi yang sekolah di HBS.

Lagi pula, selama ini hanya Adi teman yang bisa Ayu percaya. Semua yang ia alami, semua kegundahannya ia luapkan pada Adi. Karena tidak memiliki saudara, terkadang Ayu merasa Adi seperti kakak nya sendiri.

“Kenapa menangis, Raden Ayu?”

Adi ingin menghapus air mata Ayu, memeluknya dan mengatakan bahwa ia bisa bercerita apapun padanya. Namun Adi tahu diri, realita dengan cepat menyadarkannya jika ia tidak pantas melakukan itu seberapa dekatnya ia dengan Ayu. Ia hanya pelayannya dan Ayu adalah anak dari majikannya.

“Mas Adi, aku tidak bisa keluar rumah, aku tidak boleh pergi kemana-mana oleh Romo. Hanya sekolah, tetapi sakitku belum begitu membaik.” Ayu masih terisak, ia menyembunyikan wajahnya dengan telapak tangannya.

“Saya ingat hari ini adalah hari Raden Ayu dan Sir Jayden bertemu. Maka dari itu saya datang menemui Raden Ayu,” Adi menjelaskan maksud kedatangannya.

“Aku boleh meminta bantuan Mas Adi?”

“Apa Raden Ayu? Saya senang kalau bisa membantu Raden Ayu.”

Adi tersenyum, apalagi saat Ayu menyeka wajahnya dan melangkah ke lemari berbahan kayu jati di dekat ranjangnya. Ayu mengeluarkan kantung plastik yang ia bungkus rapih. Entah apa isinya, kemudian ia berikan kantung itu kepada Adi.

“Ini apa Raden Ayu?”

“Itu adalah surjan buatanku untuk Sir Jayden, aku tidak bisa menemuinya. Sampaikan saja padanya jika ini adalah hadiah yang aku janjikan untuknya.”

Netra legam nan teduh itu menatap kantung yang ada di tangannya, surjan yang Ayu buat sendiri. Adi pernah beberapa kali melihatnya, Adi jugalah yang mengantar Ayu membeli bahan untuk membuat surjan ini.

“Mas Adi?” panggil Ayu, membuat kepala Adi yang tadinya menunduk memperhatikan kantung itu kini menatap wajah teduh Ayu yang terlihat begitu mendung.

“Naiklah dokar milik Romoku, jika Romo bertanya mau kemana. Katakanlah jika Mas Adi mau ke pasar untuk membeli kain atas perintahku.”

Adi mengangguk pelan, ia tidak langsung pergi dari sana. Ia yakin Ayu masih ingin mengatakan sesuatu padanya, mungkin sebuah pesan untuk ia sampaikan pada Jayden.

“Tidak ada lagi yang harus saya sampaikan pada Sir Jayden, Raden Ayu?”

Ayu menunduk, air wajahnya tersirat sebuah keraguan. Seperti ada yang ingin ia katakan namun Ayu sendiri tidak yakin akan mengatakannya. Lebih tepatnya, Ayu bingung harus mengatakannya yang mana dulu.

“Jika Sir Jayden bertanya kenapa aku tidak bisa memberikan surjan itu sendiri, katakan padanya jika aku sedang tidak ingin bertemu siapa-siapa.”

Dokar yang di kendarai oleh Adi itu melaju dengan kencang membelah ratusan orang yang berada di pasar Djohar hari itu, toko kopi seminggu yang lalu menjadi tempat Ayu dan Jayden bertemu menjadi tujuan utama bagi Adi.

Tak jauh dari toko kopi itu, Adi melihat dokar yang di kendarai oleh seorang pribumi berhenti. Itu dokar milik Jayden, Adi lantas memberhentikan dokarnya tepat di belakang dokar milik Jayden. Ia kemudian berjalan ke toko kopi itu, Jayden sudah ada di sana dengan setelan serba abu-abu yang pria itu kenakan.

Wajah cerah yang biasanya selalu terpancar dari paras eloknya itu berubah menjadi sebuah kerutan kebingungan, tidak ada Ayu yang turun dari dokar yang di kendarai oleh Adi. Hanya pria muda itu, datang menghampiri Jayden dengan kantung plastik yang ia bawa di tangannya.

“Adi, kemana Raden Ayu?” tanya Jayden tanpa basa basi.

“Maaf, Sir Jayden, saya tidak bisa membawa Raden Ayu bertemu dengan anda.”

“Kenapa?” wajah Jayden nampak bingung, suasana hatinya telah berubah. Ia tak lagi merasakan kupu-kupu yang menggila menerbangi seluru penjuru perutnya.

“Raden Ayu sedang tidak ingin bertemu dengan siapa-siapa, tetapi Raden Ayu menitipkan ini kepada saya untuk di berikan kepada Sir Jayden.” Adi memberikan kantung berisi surjan yang Ayu buat sendiri.

Surjan itu sudah berpindah tangan, namun Jayden belum ingin membukannya, ia ingin membuka hadiah dari kekasihnya itu di rumahnya. Hanya ia orang pertama yang boleh melihat pemberian dari Ayu.

“Tetapi dia baik-baik saja, Adi?”

Adi tidaklah langsung menjawab, ia menunduk. Menimang-nimang keputusannya untuk menceritakan kondisi Ayu yang sebenarnya, ia ingin membantu wanita itu.

“Apa saya boleh berbicara pada Sir Jayden lebih banyak dari ini?” tanya Adi, terkadang setiap kali berbicara dengan Jayden yang notabennya adalah orang yang teramat penting di Samarang. Adi selalu rendah diri, ia merasa tidak pantas.

“Tentu saja.”

Jayden menunjuk sebuah kursi panjang yang terletak di depan toko kopi itu, memberi isyarat pada Adi agar mereka berbicara sambil duduk disana. Ia tidak ingin orang-orang di sana menyoroti mereka, atau bahkan ada orang yang mengecapnya sedang mengintimidasi Adi.

Kedua pria yang berjarak umur kurang lebih 10 tahun itu duduk di kursi panjang depan toko kopi. Keputusan Adi adalah, menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Ayu. Urusannya nanti jika Ayu marah atau bahkan mengecapnya lancang.

“Sebenarnya ada yang ingin saya katakan pada Sir Jayden mengenai Raden Ayu dan kenapa ia tidak bisa menemui anda.”

Jayden mengangguk, “ada apa sebenarnya?”

“Raden Ayu, dia tidak boleh keluar dari rumah oleh Tuan Gumilar, hanya sekolah saja. Tapi beberapa hari ini Raden Ayu pun tidak sekolah. Dia sedang sakit, batuk darahnya kambuh.”

Hati Jayden sakit mendengarnya, Jayden tahu jika Ayu sakit. Wanitanya itu mengidap penyakit pneumonia, Ayu sering kali kambuh jika kelelahan. Makanya tubuhnya sangatlah kurus, belum ada obat yang dapat menyembuhkan wanita itu dari sakitnya.

“Apa Ayu sudah membaik sekarang, Adi?”

Adi mengangguk, “sudah jauh lebih baik, Sir Jayden. Namun bukan hanya hal itu saja yang ingin saya beri tahu pada anda.”

“Ada apa lagi?”

“Tuan Gumilar, beliau berencana untuk menjodohkan Raden Ayu.”

Mendengar hal itu, Jayden terdiam. Ia tidak menimpali apapun dari bibirnya untuk menanggapi ucapan Adi, rasanya gamang, dunianya berhenti berputar. Hatinya yang biasanya di penuhi kebahagiaan akan bertemu dengan Ayu kini sirna di gantikan gemang, daksanya lunglai. Ia kehilangan kekuatan dalam dirinya sendiri.

Setelah mengatakan itu, Adi hendak berpamitan pada Jayden. Pria itu tidak bisa lama-lama berada di pasar, Tuan Gumilar bisa mencurigainya jika ia keluar lama-lama, terlebih sebenarnya hari ini Adi belum masuk bekerja.

“Ini untuk Ayu, Di. Ini kue kesukaannya, saya belikan untuknya. Sampaikan salamku juga untuknya, beberapa hari ini saya akan ke Soerabaja. Kami tidak akan bertemu, tetapi tolong sampaikan pada Ayu. Saya akan menunggunya di taman terakhir kami bertemu lima hari lagi. Saya harus bicara padanya.”

Adi mengangguk, setelah berpamitan ia kembali ke dokarnya. Ia membiarkan Jayden pergi lebih dulu dengan dokarnya, sementara itu Adi melirik ke arah plastik yang Jayden titipkan untuk Ayu padannya. Itu adalah kue nagasari, Ayu sangat menyukai kue itu.

Bersambung...

(Kue Nagasari adalah kudapan tradisional asal Indonesia yang sangat terkenal dalam masyarakat Jawa. Terbuat dari tepung beras yang di dalamnya berisi pisang.)

Jakarta, 2025.

Tangan Kirana meraba ranjangnya, mencari benda pipih yang sedari tadi terus berbunyi. Ini menandakan jika sudah memasuki waktu subuh, setelah benda itu ketemu langsung ia tekan tombol di ponselnya untuk menghentikan bunyi bisingnya. Matanya masih sedikit pedih karena masih mengantuk, namun adzan subuh sudah berkumandang dari mesjid yang tak jauh dari rumahnya berada.

Kirana bangun dari ranjangnya, jika kemarin-kemarin ia masih kesulitan untuk bangun dari tiduranya, kali ini Kirana sudah dapat melakukan aktifitas sederhana sendiri tanpa bantuan Ibu. Ia juga sudah bisa beribadah walau dalam keadaan duduk, lututnya masih terlalu ngilu untuk melakukan gerakan sujud.

Masih duduk di ranjangnya, Kirana teringat akan mimpinya semalam. Ia masih bermimpi itu lagi. Mimpi yang terus berlanjut seperti ia tengah menamatkan sebuah film, ia jadi teringat akhir dari mimpinya. Pria kolonial itu memberikan kue nagasari pada pria bernama Adi.

“Kue nagasari,” gumam Kirana. Seperti ada sesuatu yang janggal, seperti ia pernah mendengar seseorang mengatakan kue kesukaanya ini.

Begitu terlintas wajah pria kolonial itu, ia jadi teringat akan Raga yang tempo hari bertemu dengannya dan mengatakan ia sangat menyukai kue nagasari.

“Pak Raga dan kue nagasari?”

Lagi-lagi Kirana merasa jika ini semua sebuah kebetulan, terlalu banyak kebetulan-kebetulan yang bersangkutan dengan mimpi-mimpinya. Seperti ada benang merah, namun Kirana sendiri masih merasa bingung dengan semua ini.

Mengabaikan rasa gundah yang selalu merambatinya tiap kali terbangun dari tidur malamnya, Kirana melakukan ibadah pagi itu. Setelahnya ia pun membuka satu persatu jendela kamarnya agar udara segar dapat masuk ke kamarnya, rumah Kirana itu bisa terhitung besar.

Itu adalah rumah peninggalan Bapaknya, hanya satu-satunya rumah itu yang bisa Ibu dan Kirana pertahankan. Apapun caranya Kirana harus tetap mempertahankan rumah yang di penuhi kenangan kedua orang tua nya dan masa kecilnya itu.

Sedang menikmati udara pagi, ponsel yang Kirana pangku itu bergetar. Ternyata itu adalah panggilan dari Bagas, pria itu sudah berada di Surabaya untuk memantau proyek pembangunan rumah sakit disana. Bagas selalu menepati janjinya untuk menelfonnya jika ia memiliki waktu luang, mereka juga selalu mengingatkan satu sama lain untuk hal-hal seperti tidak melupakan ibadah dan tidak melewatkan jam makan.

Hai, sayang. Udah sholat subuh?” tanya Bagas di sebrang telfon sana.

“Udah, kamu gimana?”

baru selesai, kamu lagi ngapain?

“Lagi liatin ke taman depan kamar aja, habis ini mau bantu Ibu bikin sarapan.”

makan yang banyak sayangku, kemarin kamu check up kan? Gimana kata dokter? Maaf yah, aku enggak bisa nganterin karena harus ke Surabaya.

Kirana menunduk, memperhatikan cincin yang berada di jari manisnya. Cincin pemberian dari Bagas untuk hadiah ulang tahunnya yang ke 26 tahun lalu, cincin dengan design sederhana pilihan Bagas. Kirana berharap suatu hari nanti ia dan Bagas bisa memakai cincin yang sama. Cincin yang mengikat mereka satu sama lain.

“Gapapa, kata dokter seminggu lagi aku udah bisa lepas gips di tanganku, terus kemarin aku ketemu Pak Raga di rumah sakit.”

syukurlah.” Bagas bernapas dengan lega. “oh ya, ngapain dia?

“Bilangnya mau periksa mata gitu,” Kirana jadi ingat mimpinya semalam untuk kesekian kalinya, dia enggak bisa bercerita secara gamblang pada Bagas seperti apa mimpinya.

Obrolan mereka sempat hening sebentar karena di sebrang sana Bagas sedang menyeruput teh miliknya, Bagas itu enggak suka kopi. Perutnya mudah kembung, yah paling-paling kalau nongkrong di cafe ia hanya pesan capucino saja, itu pun tidak habis kadang.

“Bagas?”

Ya, sayang?

“Aku kok masih mimpi hal itu, Kenapa yah? Aku benar-benar enggak nyaman, mimpinya kaya film yang terus berlanjut setiap kali aku tidur.” keluh Kirana, mimpi-mimpi itu benar-benar menganggunya.

sayang, setelah aku pikir-pikir mungkin mimpi ini salah satu tanda kalau kamu mengalamin trauma?” Bagas mikir kaya gini karna sebelumnya Kirana enggak pernah bermimpi macam-macam.

Setiap kali Kirana bercerita tentang mimpinya, Bagas selalu membaca banyak jurnal tentang trauma. dan menurut Bagas mimpi yang Kirana alami mungkin salah satu tanda jika wanitanya itu mengalami trauma psikis yang terjadi karena kecelakaan yang ia alami.

“Maksud kamu?”

gini loh, sayang. Maksudku, mungkin karena kamu habis mengalami kecelakaan, makanya kamu mimpi kaya gitu yang di sebabkan sama trauma kamu. Aku sempat baca-baca soal trauma, aku memang bukan psikolog atau psikiatri, makanya aku mau ajak kamu konsul ke psikiatri, aku cuma khawatir kamu trauma,” jelas Bagas.

Sejak Kirana kecelakaan, Bagas jadi merasa punya tanggung jawab lebih atas Kirana. Bagas masih merasa bersalah karena kecelakaan itu, meski itu semua bukan di sebabkan karena dirinya, Bagas ngerasa andai dia mengantar Kirana pulang mungkin saja kecelakaan itu tidak pernah terjadi.

gimana? Kamu mau coba?

Kirana terdiam, penjelasan Bagas masuk akal. Bisa saja ini respon tubuhnya karena ia memiliki trauma tanpa ia sadari, tidak ada salahnya mencoba ke psikiatri kan? Setidaknya ia bisa berkonsultasi dengan ahlinya, walau mungkin dari lubuk hati Kirana ia merasa mimpi ini seperti memiliki benang merah dengan hidupnya saat ini. Biarlah nanti ia sembari mencari tahunnya sendiri.

“Boleh, nanti aku coba bilang sama Ibu.”

aku antar aja yah, setelah aku pulang dari Surabaya aku antar kamu ke psikiatri.


Kedua mata Raga menatap penuh keseriusan pada layar monitor milik Satya yang menampakan file sketch up. Raga memang meminta Satya untuk membuka file sketch up miliknya, keadaan kantor sedang sepi. Bagas dan Satya masih berada di Surabaya, sedangkan Kirana belum juga masuk bekerja.

Jadi di ruangan itu hanya ada Raga dan Almira saja dengan keadaan yang cukup canggung bagi Almira, bagaimana tidak ia seperti sedang di awasi oleh Raga. Walau Raga tidak mengintimidasi tetapi tetap saja mulut atasannya itu gemar sekali berkomentar tentang apa yang sedang ia kerjakan.

“Jangan liatin saya mulu Almira, naksir kamu nanti.” gumam Raga tanpa melihat ke arah Almira, bola matanya seperti ada 4 saja. Padahal sedari tadi pandangannya tak bergeser satu inci pun dari layar monitor milik Satya itu.

“Engg..gak, Pak. Orang saya lagi ngerekap dokumentasi mingguan.” Almira memejamkan matanya, mati dia. Ternyata Raga mengetahuinya.

Sebenarnya Almira canggung bukan hanya takut pekerjaanya di komentari pedas oleh mulut Raga, ia agaknya gerogi karena wajah tampan dari atasannya itu. Walau kadang Almira mengakui jika sikap Raga sangatlah absurd.

Kaya akhir-akhir ini, pria itu sering sekali memakan kue nagasari. Enggak ada lagi kue cubit rasa pistachio yang selalu ia pesan dari ojek online, apa selera Raga sekarang berpindah pada makanan-makanan tradisional? Pikir Almira kepo.

“Bapak makan itu mulu gak bosen?” Almira memecahkan hening, gak ada salahnya dia ajak Raga mengobrol. Dari pada berduaan dalam satu ruangan yang cukup membuatnya canggung begini.

“Enggak, merhatiin aja saya makan ini terus. Ngomong-ngomong kue ini namanya kue nagasari, Al.” jelas Raga sembari membuka kue nagasari yang di bungkus dengan daun pisang itu.

Akhir-akhir ini memang Raga sering kali membeli kue nagasari ini dari pedagang di depan restoran padang waktu itu, pria itu belum bosan-bosannya memakan kudapan manis itu. Sampai-sampai pedagangnya sudah hapal berapa kue nagasari yang akan di beli Raga setiap harinya.

“Ih tau saya kok, Papi saya kan suka beli kue itu. Emang nya Bapak enggak bosan? Udah gak langganan kue cubit rasa pistachio lagi?”

“Sudah bosan, Al. Yah, hitung-hitung memajukan UMKM makanya saya borong terus, kamu kalau mau masih ada di kulkas tuh.”

Almira menggeleng pelan, Almira enggak terlalu suka pisang. Biasanya kalau makan kue nagasari itu Almira hanya memakan bagian luarnya saja.

“Terima kasih, Pak. Di lanjut, Pak. Saya mau bikin kopi dulu.”

Almira menyingkir dari kursinya, dia ngerasa sedikit mengantuk. Berbicara dengan atasannya itu agak sedikit boring, biasanya kalau siang-siang begini jika ada Kirana, Almira suka membicarakan idol-idol kpop favorite nya. Kirana memang tidak paham karena ia hanya menikmati lagu-lagunya saja tanpa mengikuti lika liku perjalanan penyanyinya.

Karena merasa sedikit rindu akan kehadiran Kirana di kantor, akhirnya Almira menghubungi Kirana. Ia melakukan panggilan video dengan wanita itu. Dan beruntungnya Kirana mengangkat panggilannya itu dengan cepat.

“Mbak...” rengek Almira pada Kirana, wajahnya masam sembari sesekali menyeruput kopi yang ada di tangannya.

kenapa itu muka di tekuk?

“Aku bosen ihhhh kangen ghibahin artis Kpop sama, Mbak.”

Di sebrang sana Kirana terkekeh, lucu sekali melihat Almira merengek seperti itu. Terkadang Kirana merasa Almira seperti adiknya sendiri, karena enggak punya saudara kandung. Kirana sering kali memanjakan Almira dan memperlakukannya seperti seorang adik alih-alih rekan kerja.

Sabar yah, bulan depan aku udah masuk kok. Aku juga gak betah lama-lama gak kerja, eh by the way, kok di pantry? Sendirian apa gimana?

“Iya sendirian, kan Mas Bagas sama Bang Satya masih di Surabaya. Terus aku berduaan doang sama Pak Raga, mana dia duduk di mejanya Bang Satya. Lagi ngecek sketch up punyanya Bang Satya, berasa di awasin tau gak sih aku tuh.” Almira malah jadi curcol.

Kirana semakin terkekeh, sungguh rasanya Kirana bisa merasakan setertekan apa Almira hanya saja dari raut wajahnya. “waduh, selamat menikmati deh yah kalau begitu. Ajak ngobrol dong Pak Raga nya, masa atasan di anggurin gitu.

“Ih udah, tapi canggung banget. Mana dia anteng banget lagi disitu sambil makan kue nagasari.”

Ucapan Almira barusan membuat senyum di wajah Kirana pudar, nama kue itu dan Raga benar-benar mengingatkannya pada mimpinya semalam. “*Pak Raga lagi sering makan kue itu yah, Ra?”

“Kok kamu tau, Mbak?*”

cuma nebak aja, kemarin sempat ketemu beliau di rumah sakit terus ngomongin soal kue nagasari.

Almira di sebrang sana terkekeh, masih menjadi pemandangan asing baginya melihat atasannya itu memakan makanan tradisional. “Sumpah, Mbak. Aneh banget liat dia makan jajanan pasar, dia sampe stop jajan kue cubit hijaunya itu lagi loh.”

Kamu gak nanya kenapa dia sering makan itu, Ra?

“Ihh ngapain, Mbak? Males banget ah, palingan juga dia lagi FOMO aja.”

Kirana mengangguk pelan, pada obrolan selanjutnya ia hanya mendengarkan Almira merengek saja. Tentang pekerjaanya, tentang harinya yang membosankan di kantor tanpa Kirana, dan tentang kelakuan-kelakuan ajaib Satya dan Raga di kantor. Kirana hanya menyimak sembari sesekali menimpali sekenanya saja. Raga dan kue nagasari terlalu menyita pikirannya.

Setelah mengobrol dengan Kirana, Almira kembali lagi ke ruang kerjanya. Ternyata Raga tidak ada di meja Satya, namun monitor dari komputer milik Satya itu masih menyala dan menunjukan sebuah artikel yang sepertinya memang Raga sedang baca.

Karena Almira terlanjur penasaran, akhirnya ia membaca artikel itu. Artikel berisi tentang biografi singkat seorang Asisten Residen pada masa kolonial Belanda di tahun 1898, bernama Jayden Van Den Dijk. Almira enggak mengerti kenapa atasannya itu membaca sebuah artikel biografi seseorang, entah apa yang sedang dicarinya.

“Hayo, ngapain kamu disitu.”

“HAH?!” pekik Almira, ia kaget setengah mati ketika Raga tiba-tiba berada tepat di belakangnya. Mau copot jantungnya saking kagetnya, Almira hanya bisa menyumpah serapahi atasannya itu dalam hati sembari mengusap-usap dadanya.

“Bapak, saya kaget tau. Kalo saya kena serangan jantung gimana?”

“Tapi enggak kena kan? Cuma kaget aja kan?” tanya Raga dengan wajah datar menyebalkannya itu.

“Ya enggak sih,” cicit Almira pelan.

“Ngapain kamu baca-baca? Minggir, kepo banget.” Raga menaruh kantung berisi kopi dan ayam geprek yang ia pesan dari aplikasi ojek online, tadi dia sedang mengambil pesanananya itu ke loby.

“Gak sengaja, Pak.” jawab Almira, ia melirik makanan dan kopi yang di bawa atasannya itu sembari berjalan ke mejanya.

“Heh, siapa yang suruh kamu duduk?” Raga yang masih berdiri di meja Satya itu melambaikan tanganya pada Almira.

“Saya mau bikin laporan lagi, Pak.”

“Saya beliin makanan, ambil nih. Saya beli ayam geprek.”

“Tumben,” gumam Almira, anak ini memang agak sedikit ceplas ceplos. Tapi terlepas dari sikap ceplas ceplosnya, Raga ini memang tipe atasan yang santai pada bawahan-bawahannya.

“Kita cuma berdua doang di ruangan ini, gak enak dong kalo saya makan sendiri, lagian lumayan tuh uang makan siang kamu bisa di simpan buat nonton konser.”

“Tau aja si Bapak.” Almira menghampiri meja Satya dan mengambil kantung makanan berisi ayam geprek dari brand ayam terkenal. “Besok-besok lagi yah, Pak.”

“Jangan tiap hari dong, tekor saya.” Raga menjawab tanpa memalingkan wajahnya dari monitor komputer milik Satya itu.

“Terima kasih, Pak.” setelah membungkukan sedikit badannya, Almira kembali ke mejanya. Waktu jam makan siang tinggal 10 menit lagi, jadi ia masih ingin melanjutkan pekerjaanya dulu.

“Almira,” panggil Raga.

“Kenapa, Pak?”

“Kamu percaya sama konsep reinkarnasi?” tanya Raga yang di luar dugaan Almira.

Wanita itu mengerutkan keningnya bingung, Almira sempat berpikir atasannya itu sedang mencari topik obrolan dengannya, tapi kenapa harus membicarakan konsep reinkarnasi?

“Percaya aja sih, Pak. Di agama saya juga percaya sama konsep reinkarnasi, manusia bisa terlahir kembali jadi manusia lagi, hewan, tumbuhan atau bahkan makhluk lain. Itu semua tergantung perbuatan manusia itu sendiri di kehidupan sebelumnya,” jelas Almira. Ia menelisik wajah atasannya itu yang masih serius melihat layar monitor di depannya.

“Kenapa nanya-nanya soal reinkarnasi, Pak?”

“Gapapa, tanya saja.”

Almira mengangguk-angguk, “kalo Bapak percaya?”

“Di agama saya gak ada yang namanya reinkarnasi, saya gak percaya. Tapi banyak kasus yang nunjukin kalo reinkarnasi itu ada.”

“Jadi?” Almira jadi penasaran sendiri.

“Jadi saya mau makan dulu, sudah jam makan siang. Kamu makan sana, kalo ngoceh terus nanti saya ambil lagi ayam gepreknya.”

Di kursinya Almira memejamkan matanya, dia sebisa mungkin menahan dirinya buat enggak ngata-ngatain Raga atau melempar atasannya itu dengan pulpen yang ada di depannya. Sungguh menyebalkan bukan kelakuannya? Apalagi muka tanpa ekspresi nya itu.

Bersambung...

Soerabaja, 1898.

Tak ada bedannya terik matahari di Samarang dan Soerabaja siang itu, kereta api uap yang di tumpangi oleh Jayden berhenti tepat di stasiun kereta api Soerabaja. Ia akan di jemput oleh seorang anak Bupati Soerabaja siang itu, langkah kakinya yang panjang-panjang itu melangkah keluar dari dalam stasiun.

Berpendar kedua netra legam dengan warna kecoklatan itu, sampai akhirnya ia menemukan seorang bangsawan pribumi yang melambaikan tangan padanya. Pria itu lebih tua satu tahun darinya, tampak lebih mencolok mengendarai sebuah kendaraan serupa dengan mobil tapi juga tidak berbeda jauh dengan dokar.

Orang-orang sering menyebutnya 'Kreta Setan' namun benda itu bukanlah sebuah dokar, itu adalah sebuah mobil bernama Benz Phaeton yang harganya sangatlah fantastis. Bahkan Jayden sendiri tidak berniat untuk membelinya.

Je zag er verward uit toen je in Soerabaja aankwam, Jayden?” pria itu terkekeh. (Kau begitu kebingungan begitu tiba di Soerabaja, Jayden?)

Pria dengan wajah tegas itu tersenyum pada Jayden, tersirat sebuah keangkuhan disana ketika para pribumi lain dan tentara kolonial yang berada di sekitar, memperhatikan kendaraan yang ia tumpangi, kendaraan itu terlalu mencolok jika berjejer dengan dokar-dokar yang berada di sana.

nogal een vermoeiende reis, heb je een nieuwe auto?” Jayden menjabat uluran tangan si pria pribumi itu. (Perjalanan yang cukup melelahkan, kau memiliki mobil baru?)

ja, Benz Phaeton. Romoku membeli nya dengan harga 10.000 gulden. Naiklah, akan aku antar kau ke kediamanku.”

(visualiasai kreta setan/ mobil Benz Phaeton ini bentuknya belum menyerupai mobil di zaman sekarang. Bentuknya masih seperti kereta kuda—terbuka, beratapkan kanopi—dan hanya bisa berjalan maju. Karena memiliki bentuk seperti kereta kuda tetapi bisa bergerak sendiri, Benz Phaeton terkenal dengan sebutan kreta setan, yang berarti kereta hantu.)

Jayden menaiki mobil pertama milik putra sang Bupati itu, dia adalah Dimas Bagus Dhinangkara. Seorang anak Bupati Soerabaja yang tengah menjabat saat ini, Dimas memang di kenal pandai berbahasa Belanda karena ia lebih banyak bergaul dengan para eropa ketimbang pribumi itu sendiri.

“Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kita bertemu bukan? 7 bulan yang lalu kalau tidak salah?” ucap Dimas, ia melirik Jayden yang duduk di sebelahnya. Mata pria yang lebih muda itu berpendar melihat-lihat keramaian Soerabaja siang itu.

“7 bulan itu belumlah lama, Dimas. Ah, ngomong-ngomong bagaimana kabarmu?”

“Baik, hanya saja aku agak sedikit sibuk akhir-akhir ini. Dan..” Dimas memelankan ucapannya sedikit. “Ada sedikit kabar baik dariku.”

“Apa?”

“Aku akan di jodohkan dengan anak dari kenalan Romoku, seorang gadis yang sangat cantik dari daerahmu!” Dimas tersenyum, ia sudah di beritahu soal perjodohan ini oleh Romo nya.

Mereka akan segera bertemu sang gadis ke Samarang untuk saling di kenalkan, waktu pertama kali melihat foto gadis itu. Dimas sangat tertarik dan sangat ingin bertemunya, sebenarnya mereka sudah pernah bertemu. Namun kala itu Dimas sedang berkencan dengan seorang gadis eropa, namun tak lama setelah Romo nya di angkat sebagai Bupati Soerabaja, hubungan mereka harus kandas karna sang wanita telah kembali ke Belanda.

“Samarang?” Jayden menoleh pada Dimas.

Pria itu tersenyum dan mengangguk, wajah angkuhnya itu berkonsentrasi mengendarai kendaraan yang di bawanya. Meski begitu bisa Jayden lihat ada rona kebahagiaan yang terpancar di wajah pria yang lebih tua darinya itu.

ja, Volgende maand zal ik hem ontmoeten. misschien stel ik hem ook wel aan jou voor.” (aku akan menemuinya bulan depan. mungkin aku akan memperkenalkannya padamu juga.)

Jayden mengangguk, ia juga ingin mengenalkan kekasihnya pada orang terdekatnya. Saat ini tidak ada orang yang tahu jika seorang asisten residen Samarang ini mengencani seorang siswa HBS, terlebih wanita itu adalah seorang anak priyai.

Jayden yakin bukan hanya keluarganya saja yang menentangnya, keluarga dari pihak Ayu pun akan menentang hubungannya. Berpikir semalaman dan selama perjalanan menggunakan kereta api uap ke Soerabaja, membuat Jayden berpikir jika ia ingin bertemu dengan saudagar Gumilar, ia ingin mengenalkan dirinya sendiri sebagai kekasih nya.

Bahkan dengan gila nya Jayden berpikir jika ia ingin melamar Ayu, menunggunya hingga lulus dari HBS tidaklah lama. Hanya beberapa bulan lagi, Ayu akan lulus dari HBS. dengan begitu ia bisa menikahi Ayu, mungkin saja dengan ia bertemu dan berbicara dengan saudagar Gumilar, keputusannya untuk menjodohkan Ayu dengan seseorang akan sirna.

Begitu sampai di kediaman keluarga Dhinangkara itu, Jayden di sambut hangat. Ia di tunjukan kamar yang akan ia tempati selama beberapa hari ini di Soerabaja oleh Dimas. Mereka juga sempat meminum teh di depan teras sembari menikmati pemandangan Soerabaja di kala senja.

“Malam nanti, aku akan pergi ke sociëteit¹, kau mau ikut?” Dimas mengepulkan asap yang berasal dari mulutnya itu, kemudian ia hisap lagi cerutu yang bertengger di tangan kirinya itu.

“Kau masih hobi berjudi rupanya?” Jayden sudah mengenal Dimas cukup lama, mereka dulu adalah kawan baik. Terlebih Ayah Jayden juga mengenal keluarga Dhinangkara dengan baik sewaktu masih menjabat sebagai residen di Soerabaja.

Dan kebiasaan berjudi Dimas sudah Jayden ketahui dari dulu, Jayden pikir Dimas sudah berubah, ternyata pria yang lebih tua darinya itu masih sama. Masih menggilai judi dan tentunya mabuk-mabukan.

“Tentu, apa kau tidak pernah melakukannya sekali saja dalam seumur hidupmu, Jayden?”

Jayden mengangguk, sebagai seorang kolonial yang terhitung ia sendiri juga dari kalangan kaya. Ia pernah di ajak sesekali ke sociëteit untuk berjudi oleh teman-teman eropannya, namun menurut Jayden sendiri berjudi bukanlah hidupnya. Ia hanya coba-coba saja, walau bisa terbilang untuk seorang pemula ia benar-benar beruntung. Ia memenangkan banyak permainan malam itu, dan uang dari hasilnya berjudi ia pakai untuk mentraktir teman-temannya.

“Pernah, sudah sangat lama. Tapi aku tidak pernah melakukan itu lagi,” jelas Jayden. Ia menyesap teh melati yang di buatkan oleh seorang pembantu wanita tadi.

“Mengapa?”

“Aku tidak terlalu menyukainya. Aku hanya mencoba peruntunganku saja kala itu.”

Dimas terkekeh, setelah cerutu di tangannya itu mulai mengecil. Dimas keluarkan kembali cerutu yang berada di sakunya, kemudian ia jentikan lagi korek yang selalu ia bawa kemana-mana itu. Bahkan Jayden pernah berpikir jika harum dari tubuh Dimas itu identik dengan tembakau.


Setelah menyelesaikan beberapa pekerjaanya di kantor keresidenan Soerabaja, Jayden di jemput kembali oleh Dimas. Lelaki itu tidak memiliki kegiatan lain selain menemani Jayden selama berada di Soerabaja, Dimas memang tidak berkerja dengan siapa-siapa. Ia hanya mengelola peternakan milik Ayahnya, itu pun ia jarang sekali mengunjunginya.

Dimas lebih senang bermain dengan teman-temannya, hari ini kedua pria itu berkeliling kota, mereka juga sempat mengunjungi Kasteel Brdige atau jembatan Kasteel. Jembatan itu menjadi titik penting distribusi barang, ramainya sama seperti pasar Djohar yang juga menjadi tempat berkumpulnya para pedagang dari berbagai macam etnis, selain itu pasar Djohar juga menjadi pusat dari perdagangan rempah-rempah di Jawa Tengah.

“Kasteel Brdige ini sudah berdiri saat Ayahmu masih menjabat sebagai Residen bukan, Jayden?” ucap Dimas, kedua pria itu melihat hirup piruk keramaian disana.

“Iya, saat itu aku juga sempat tinggal disini.”

“Kau lebih betah tinggal di mana?” Dimas menoleh pada pria yang lebih muda di sebelahnya itu.

“Samarang,” jawab Jayden singkat.

Ia terlalu menikmati suasana perjalanan mereka. Sembari kepalanya berpikir untuk mencari cincin yang ingin ia berikan pada Ayu, keduanya memang berencana untuk datang ke sebuah toko yang menjual perhiasan.

“Sudah ku duga, itu karna kau mengencani seseorang di sana kan?”

Jayden mengangguk, mengajak Dimas untuk di antarkan ke toko perhiasan milik kawan Ayahnya itu mengundang banyak pertanyaan untuk Jayden. Termasuk tebakan pria itu jika Jayden mengencani seorang wanita.

“Aku ingin melamarnya, Dimas.”

“Segerakan, beri tahu aku siapa orangnya? Seorang wanita eropa?” Dimas melirik ke arah Jayden, pandangannya menelisik dan menuntut jawaban dari si yang lebih muda.

“Aku ingin melamar seorang pribumi.”

Kreta setan yang di kendarai oleh Dimas itu berhenti, kedua mata pria pribumi itu membulat menatap Jayden dengan pandangan menusuk. Tidak habis pikir dengan pria Belanda di sebelahnya itu, Jayden mengatakannya dengan sangat santai. Seolah-olah kalimat yang baru saja keluar dari mulutnya bukanlah suatu hal yang aneh.

Ik denk dat je gek bent, Jayden” Dimas menggeleng-gelengkan kepalanya. (Aku pikir kamu gila, Jayden.)

“Kau akan menjadikannya peliharaanmu? Ma..maksudku, Jayden. Ini bukanlah perkara mudah, kau tau? Ayahmu pasti menentang hal ini. Ia pasti berpikir wanita itu tidak sepadan untuk pria Eropa sepertimu.”

“Aku akan menikahinya secara resmi, Dimas. Aku ingin dia menjadi Istriku, bukan peliharaan, bukan gundik, bukan selir atau sebutan sialan apapun itu,” jelas Jayden.

Berbicara dengan pria yang lebih muda darinya itu membuat kepala Dimas sedikit berdenyut, Jayden sangat kekanakan dan gegabah menurutnya, di usianya yang tidak bisa di anggap muda lagi. Harusnya pria kolonial itu tahu betul seperti apa para eropa memperlakukan pribumi, terlebih keluarga Jayden adalah salah satu pejabat VOC. Jayden akan sulit untuk kembali ke negaranya jika masa tugasnya akan habis.

“Kau berani melamarnya? Sudah kau bicarakan ini pada Ayahmu? Ah, tidak-tidak pada Roosevelt, kau tau Kakakmu sangat membenci wanita pribumi. Aku yakin ia yang akan menjadi orang pertama yang menentangmu.”

Dimas sudah mengetahui bagaimana Roosevelt membenci pribumi khususnya wanita. Tidak habis pikir jika Jayden tetap nekat menikahi wanita yang ia kencani itu, bisa menjadi bulan-bulanan keluarganya kelak.

“Aku sudah memikirkan konsekuensinya, Dimas. Aku lebih baik kehilangan apa yang telah aku miliki saat ini ketimbang kehilangannya.”

“Wahh...” Dimas menggeleng-geleng, ia memegangi kepalanya yang terasa semakin pening itu. “Dia wanita biasa? Seorang babu? atau bahkan anak seorang priyai?”

“Dia anak seorang priyai. Akan ku kenalkan jika kau mengunjungi wanita yang akan di jodohkan denganmu nanti.” ucap Jayden penuh percaya diri.

Tibalah mereka di sebuah toko perhiasan yang cukup terkenal di Soerabaja kala itu, Jayden masih memilih-milih di sana. Sementara Dimas sibuk berbicapa pada si pemilik toko, ia terlalu terpaku pada beberapa cincin permata yang berada di depannya saat ini.

Jayden tidak pernah mengukur jari manis Ayu, bahkan bergandengan tangan pun tidak pernah. Jayden hanya pernah sekali membantu Ayu mengikat rambut panjangnya dan menaruh melati yang jatuh dari surai legam nya itu.

“Saya ingin cincin dengan permata putih ini, boleh saya melihatnya dulu?” tanya Jayden sopan pada pria Indo-Eropa itu.

“Saya akan ambilkan, Meneer.

Pria itu mengambilkan cincin yang di tunjuk oleh Jayden dan memberikannya pada pria di depannya itu. Jayden tersenyum, menimang cincin permata putih nan cantik itu, sembari membayangkan ia akan memakaikan cincin ini pada jari manis Ayu.

“Kawanku ini ingin melamar kekasihnya, Tuan.” Dimas memberi tahu pria di depannya itu, ia pikir siapa tahu si pemilik toko perhiasan itu dapat membantu Jayden memilih perhiasan untuk wanitannya.

“Benarkah itu, Meneer? seperti apa dia? Saya bisa bantu pilihkan jika anda berkenan.” pria itu menawarkan diri membantu Jayden, namun Jayden menggeleng. Ia ingin memilih perhiasan itu dengan menyesuaikannya dengan diri Ayu.

“Tidak perlu, Tuan. Aku ingin memilihkannya sendiri untuknya.”

Pria si pemilik toko itu terkekeh, ia bisa menangkap sepasang netra kecoklatan milik Jayden itu berkilau. Sepasang netra itu seperti telah mengatakan betapa Jayden itu mencintai wanitannya, tak lekang kedua binar matanya itu dari pandangan cincin dengan permata putih di tangannya.

“Saya sudah sering melihat kedua mata dengan binar seperti itu pada pelanggan tokoku.” pria itu masih menatap Jayden sampai akhirnya kedua mata mereka bertemu.

“Saat melihat perhiasan?” tebak Dimas.

Pria itu menggeleng pelan, “bukan, tapi saat membayangkan kekasihnya kelak akan memakai perhiasan yang di berinya.”

“Ahh, kau ini bisa saja. Kau memanglah Kimpoidra²” Dimas ikut terkekeh, dalam hati ia hanya berdecap jika sang pemilik toko sangatlah berlebihan.

“Saya menginginkan cincin ini.” Jayden memberikan cincin itu untuk ia beli.

“Akan saya siapkan, Meneer.

Selagi pria pemiliki toko itu menyiapkan cincin pesanan Jayden, Dimas dan Jayden menunggu di kursi yang di sediakan disana. Dimas menjadi semakin penasaran, wanita pribumi mana yang berhasil meluluhlantahkan hati seorang Jayden yang di kenal kaku dan tak mudah jatuh hati pada wanita.

“Aku jadi penasaran, wanita seperti apa yang kau kencani, apakah dia elok?”

Jayden mengangguk, ia tidak naif untuk tidak mengatakan jika ia mencintai Ayu hanya karena kebaikan hatinya. Wajah Ayu memanglah elok, parasnya lah yang membuat Jayden jatuh hati sebelum akhirnya ia semakin jatuh karena hatinya yang putih.

“Dia sangat cantik, wanita yang baik dan begitu lugu.”

“Lugu?” Dimas terkekeh. “Kau mengencani bocah?”

“Dia masih siswa, dia bersekolah di HBS.”

Mendengar ucapan Jayden selanjutnya membuat Dimas yang sedang menyeruput kopi ireng itu mendadak terbatuk-batuk. Ucapan Jayden hari ini benar-benar membuatnya pening.

Ik denk dat je echt heel erg gek bent, Jayden.” (aku pikir kamu benar-benar gila, Jayden.)


Hari-hari setelah ia dapat kembali bersekolah enggak semenyenangkan dulu lagi bagi Ayu, Romo nya jadi sangat mengawasinya dengan ketat, ia harus sampai di rumah begitu selesai sekolah. Hari-hari membosankan di rumah, Ayu menepisnya dengan menunggui Adi bekerja di ladang, kemudian memetik bunga melati yang berada tak jauh dari rumah Adi.

Tak lupa kadang Ayu juga belajar memasak dan menjahit, namun tetap saja kegiatan-kegiatan sederhana itu tak berhasil menghalau rasa bosannya. Terkadang kala malam mulai datang, kala senyap di bilik kamarnya mendera. Ia kembali merindukan Jayden, pria itu masih di Soerabaja.

Dan Adi sudah menyampaikan pesan Jayden padanya untuk bertemu di taman terakhir mereka bertemu. Dan hari itu akan datang besok, Ayu masih menimang alasan apa yang akan ia pakai untuk mendapatkan izin pada Romo nya agar ia bisa keluar sebentar menemui Jayden.

Ayu menghela nafasnya, ia sudah selesai mengepang rambutnya dan kesulitan untuk menghias rambutnya itu dengan melati yang sudah Adi petikkan untuknya tadi.

“Mas Adi!!” teriak Ayu, membuat pria yang tengah sibuk memunguti ranting dan daun kering dari ladang milik Tuan Gumilar itu menoleh.

dalem, Raden Ayu?”

“Tolong pakaikan melati ini di rambutku!” pekik Ayu, ia mengambil satu bunga putih dengan harum semerbak itu dan menunjukkanya pada Adi.

Debaran jantung Adi semakin tak karuan, selalu seperti itu kerap kali Ayu meminta tolong di hiaskan rambut olehnya. Karena Ayu, Adi jadi banyak belajar caranya mengikat rambut dan mengepangnya. Itu semua demi Ayu, dengan sigap Adi mengesampingkan debaran menggila itu dan membersihkan tangannya yang kotor karena tanah.

Kemudian kaki telanjang dan panjangnya itu melangkah mendekat ke Ayu yang tengah duduk di amben, kaki mungilnya itu mengayun-ayun seperti seorang anak kecil. Begitu dekat, Adi tidak duduk di samping Ayu. Ia berdiri dan langsung memasangkan bunga-bunga melati itu pada rambut panjang milik Ayu.

“Aku harus mengelabuhi Romo bagaimana yah? Aku ingin sekali menemui Sir Jayden,” gumam Ayu.

Adi sendiri tidak tahu bagaimana caranya, ia ingin sekali menolong Ayu. Namun mengkhianati kepercayaan Tuan Gumilar hanya akan mendatangkan petaka baginya, ia bisa di pecat dan keluarganya bisa di perlakukan seenaknya lagi oleh para Belanda itu.

“Saya juga tidak tahu, Raden Ayu.”

“Bagaimana jika aku tidak datang ke sekolah besok?”

Ayu menoleh pada Adi dengan binar mata yang begitu menyala, ide itu seperti secercah cahaya, harapan untuknya bertemu dengan Jayden. Walau terbilang gila, Ayu tidak pernah senekat itu hanya untuk menemui seseorang. Terlebih, meski sering sekali tidak hadir di sekolah karena masalah kesehatannya, Ayu adalah murid berprestasi di HBS.

“Kalau ketahuan dengan Tuan Gumilar bagaimana?”

“Romo tidak akan tahu, lagi pula hanya untuk kali ini saja Mas Adi.” Ayu memejamkan matanya, rautnya seperti membuat permohonan pada Adi.

“Saya tidak berani, Raden Ayu.” sungguh Adi ingin membantu Ayu, namun rasa takutnya itu lebih besar.

“Hanya kali ini saja, Mas Adi. Aku tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa selain Mas Adi.” Ayu menarik tangan Adi, tangan kecil itu menggenggam telapak tangan pria yang lebih besar darinya.

“Romo tidak akan tahu jika Mas Adi tidak mengatakan jika Ayu tidak pergi ke sekolah. Beliau begitu percaya dengan Mas Adi.”

Di buat bimbang Adi rasanya, apalagi saat Ayu mengenggam tangannya. Debaran menggila yang selalu Adi rasakan itu kembali meletup-letup, kali ini di barengi dengan jutaan kupu-kupu yang sama menggilanya berterbangan di perutnya.

Tidak pernah Adi katakan dari mulutnya, ia pendam dan kubur pada dasar hatinya, namun ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri jika ia mencintai Ayu. Genggaman tangan kecil itu seakan menghipnotisnya, walau dengan rengekan seperti seorang Adik kecil di mata Adi. Namun tetap saja rasa cintanya tidak sama dengan cara ia memandang Ayu saat ini.

Kepala Adi pun mengangguk, “baik, Raden Ayu.”

“Benarkah?! matur suwun Mas Adi.”

Bersambung...

sociëteit : gedung yang digunakan sebagai tempat hiburan dan berkumpul, terutama bagi orang kaya dan orang asing, dan juga menjadi tempat perjudian.

Kimpoidra : rajanya pujangga.

(Dimas Bagus Dhinangkara)

Raga tengah bersiap untuk melakukan konsulnya kembali pagi ini, sudah sekitar dua bulan ini Raga selalu rajin melakukan terapi dan konsul dengan seorang psikiater di rumah sakit. Itu semua bukan karena Raga memiliki gangguan mental pada dirinya, ia melakukan ini untuk mencari tahu tentang mimpi beruntut yang selalu ia alami selama ia tidur 3 bulan belakangan ini.

Setelah memastikan dirinya sudah terlihat rapih dengan setelan kaus polo dan juga celana jeans, ia termenung kembali pada cermin di depannya yang menampakan dirinya sendiri. Teringat kembali akan mimpinya, tentang pria berusia seumuran dengannya, pria kolonial bernama Jayden Van den Dijk.

Raga sudah mencari tahu tentang Jayden akhir-akhir ini, dan ia telah menemui titik terang jika pria itu adalah nyata. Pria yang berada dalam mimpinya bukan berasal dari memori pendek yang ada di kepalanya. Melainkan pria masa lalu yang pernah tinggal di Indonesia yang dulu bernama Hindia Belanda.

Dari yang Raga tahu tentang rasa penasarannya pada mimpinya itu adalah, wajahnya mirip sekali dengannya. Pria itu juga memiliki tanggal dan bulan lahir yang sama dengan Raga. Raga sempat berpikir konyol jika dirinya adalah reinkarnasi pria bernama Jayden itu.

“Aga....”

Pintu kamarnya di ketuk dari luar, terdengar suara seorang wanita dari luar kamarnya memanggil nama Raga. Itu adalah Adelia Herlina Suhartono, Kakak Raga yang biasa ia panggil dengan sebutan 'Mbak Adel.'

“Apa, Mbak?”

Memecahkan lamunannya, Raga berjalan ke pintu kamarnya dan membukakan pintu kamarnya itu untuk Adel. Kakaknya itu berdiri di depan pintu kamarnya, menggandeng seorang anak kecil berumur 5 tahun. Itu adalah putrinya namanya Safira.

“Udah jam 10, jadi gue temenin konsul gak?” tanya Adel pada adiknya itu.

“Jadi, Mbak buru-buru? Kalo buru-buru gue naik taksi aja deh.”

“Ihhh ngambek! Enggak kok, tapi anterin Fira ke day care dulu yah. Gue ada janjian sama agen properti jam 12.”

Raga mengangguk, ia kemudian menutup pintunya. Beralih menggandeng Safira, Raga dan Adel menuruni tangga rumah mereka. Kedua orang tua Raga dan Adel itu enggak tinggal di Jakarta, mereka tinggal di Surakarta. Menikmati masa tua mereka di sana, sementara Adel yang sudah menikah dengan Suaminya itu menetap di Jakarta namun di rumah yang berbeda dari yang Raga tinggali.

Adel kebetulan sedang menjenguk adiknya itu saja, dan kebetulan Raga memang minta di antar ke rumah sakit tempatnya konsultasi karena mobilnya sedang berada di bengkel.

“Terus kemarin aku juga liat pertunjukan lumba-lumba, Om. Keren sekali!! Lumba-lumbanya bisa main bola,” celoteh Safira di pangkuan Raga Mereka sudah dalam perjalanan menuju day care.

“Keren banget dong, terus kamu foto gak sama lumba-lumba nya?”

“Foto!! Tapi fotonya ada di HP nya Daddy. Jadi Fira gak bisa tunjukin ke Om deh.” bocah itu cemberut.

“Kapan-kapan tunjukkin ke om yah!”

Bocah 5 tahun di pangkuan Raga itu mengangguk, Safira itu suka sekali bercerita apapun kegiatan yang ia lakukan di day care atau saat jalan-jalan dengan kedua orang tua nya, selalu di ceritakan pada Raga. Mereka sangat dekat, kalau pun Raga sedang dinas di luar kota pun orang pertama yang ia ingat untuk di belikan oleh-oleh adalah Safira.

“Mas Ethan masih di Samarinda, Mbak?” tanya Raga, Kakak ipar nya itu seorang arsitek juga. Mas Ethan ini bekerja di Clyton partners sebuah perusahaan konsultan arsitektur yang terkenal di Indonesia.

Kantor tempat Kakak Ipar Raga bekerja itu jauh lebih berpengalaman dari pada kantor konsultan tempat Raga bekerja, sebenarnya Ethan sudah sering menawari Raga untuk pindah ke tempatnya bekerja. Mengingat kemampuan Raga sebagai Team Leader di kantor nya saat ini sangat baik, rasanya tidak mungkin Raga di tolak untuk bekerja di kantor tempat Ethan bekerja. Apalagi atas rekomendasi dari Ethan sendiri.

“Masih, mungkin minggu depan pulang.”

Adelia menghentikan mobilnya di depan sebuah day care, Adelia tidak keluar dari mobilnya Safira di temani masuk ke dalam day care oleh Raga, setelah itu keduanya langsung melesat ke rumah sakit tempat Raga konsul.

“Mbak, keluarga kita tuh ada keturunan Eropa gak sih?” tanya Raga yang nyaris saja membuat Adelia terbahak-bahak. Pertanyaan yang jauh di luar dugaan Adel.

“Ck, malah ketawa lagi lu, gue serius ini nanyanya.” Raga enggak terima.

“Kenapa sih nanya kaya gitu?”

“Yah gapapa, kayanya gue gak hapal betul silsilah keluarga Papa deh.” Raga bertanya seperti ini untuk memastikan, apakah ia masih ada hubungannya dengan pria bernama Jayden dalam mimpinya atau tidak.

“Hhhmm... Kayanya ada deh, gue pernah di ceritain sama Papa kalo buyut nya itu orang Belanda. Aduh yang jelas jauh banget deh, Ga.”

Adel itu lebih dekat ke Papa mereka karena mempunya kebiasaan yang sama. Bermain golf tentunya, dahulu sewaktu kedua orang tua mereka masih berada di Jakarta. Adelia sering menemani Papa nya itu bermain golf, di sela-sela permainan kadang Papa suka bercerita pada Adelia, tentang apapun itu termasuk asal usul keluarga dari pihak Papa.

“Serius lo, Mbak?” Raga mengubah posisinya menjadi sedikit berhadapan dengan Adel yang sedang menyetir itu.

“Gue lupa gimana ceritanya, Ga. Gue gak begitu nyimak banget waktu Papa cerita, yang gue inget tuh Papa bilang kayanya buyutnya Papa itu orang Belanda. Duh lo tanya sendiri deh ke Papa, emang kenapa sih lo nanya kaya gitu?”

Pertanyaan dari Adiknya itu agak sedikit berbeda dari biasanya, kalau sedang jalan berdua dengan Raga atau sedang ngobrol dengan Adiknya itu. Obrolan mereka itu enggak jauh-jauh dari kegiatan sehari-hari, tentang bisnis roti yang di bangun oleh Adel, tentang Safira, orang tua mereka atau bahkan Ethan. Walau kadang Adel suka menyelingi obrolan mereka dengan candaan kapan Raga akan segera mengenalkan kekasihnya pada Adel dan Ethan.

Padahal boro-boro Raga punya kekasih, dekat dengan wanita saja dia enggak. Kalau di bilang Raga itu tampan jelas dia tampan, Raga itu sangat karismatik, ia bahkan mahasiwa yang popular di kampusnya dulu apalagi setelah menyabet jabatan sebagai presiden mahasiswa. Tapi tetap saja, ia tidak pernah tertarik untuk menjalin sebuah hubungan. Kalau naksir-naksir teman wanitanya sewaktu kuliah dulu sih pernah, tapi Raga enggak pernah memintanya menjadi pacar.

“Lo masih ingat mimpi yang bikin gue harus ke psikiater kan, Mbak?” tanya Raga yang di balas anggukan oleh Adel.

“Inget, kenapa emangnya? Lo udah dapat diagnosis dari dokter lo?”

Meski sudah berjalan 2 bulan Raga konsul dengan psikiter, Raga belum juga mendapatkan diagnosis tentang apa yang ia alaminya. Jadi untuk sementara ini dokter hanya mengatakan itu adalah gangguan tidur biasa.

Raga menggeleng. “Kemarin gue iseng nyari tau soal Jayden Van Den Dijk. Ini beneran gue iseng aja, dan gue nemuin sesuatu.” Raga menunjukkan ponselnya pada Kakaknya itu.

Karena di rasa obrolan Raga ini serius, Adel akhirnya memberhentikan mobilnya di depan minimarket, bukan untuk membeli sesuatu. Tapi untuk melihat apa yang ingin Raga tunjukan di ponselnya pada Adel, di ambil alihnya ponsel milik Adiknya itu dan ia baca sebuah artikel tentang Jayden Van Den Dijk di sana, laki-laki yang ada di dalam mimpi Raga. Ah, lebih tepatnya Raga di dalam mimpi itu yang menjadi Jayden Van Den Dijk.

“Dia beneran ada?” gumam Adel, “menjabat sebagai Asisten Residen di Semarang tahun 1898, sekitar 127 tahun yang lalu..”

Adel memperhatikan Raga, lebih tepatnya pahatan wajah adiknya itu dan dia bandingkan dengan wajah Jayden yang ada di artikel itu. Raga benar, wajah mereka benar-benar mirip bahkan letak tahi lalat yang ada di wajah Raga juga sama persis seperti tahi lalat yang ada di wajah Jayden. Perbedaan mereka hanya pada warna rambutnya saja, karna Jayden pria Eropa maka warna rambutnya pirang berbeda dengan Raga yang memang pria Asia.

“Muka lo mirip banget sama dia.” Adel benar-benar terdiam, seumur hidupnya dia baru mengalami hal seperti ini. Adel itu penggemar film atau drama-drama supranatural, ia mengetahui banyak tentang reinkarnasi. Tapi Adel hanya menganggapnya angin lalu, dia gak pernah percaya hal-hal seperti itu ada di dunia nyata.

“Mbak, makanya gue tanya sama lo. Apa kita benar-benar ada keturunan Eropa? Gue cuma mau mastiin, apa yang gue alamin sekarang itu ada sangkut pautnya sama Jayden.”

“Gue bakalan cari tau, semalam lo masih mimpi?” tanya Adel, ia ingin tahu apa yang selanjutnya terjadi pada pria bernama Jayden itu dalam mimpi Raga.

Terakhir yang Adel ingat adalah Jayden berkencan dengan seorang gadis bangsawan di Semarang bernama Ayu. Kemudian gadis itu di jodohkan oleh Ayahnya dengan seorang anak Bupati dari Surabaya.

“Masih,” Raga mengangguk.

“Apa mimpi selanjutnya?”

Di tanya seperti itu Raga terdiam, dia hanya mengulum bibirnya sendiri. Mimpinya semalam enggak begitu baik tentang Jayden, waktu Raga bangun pun dadanya terasa sesak dan seluruh tubuhnya sakit. Itu lah kenapa hari ini dia bangun terlambat.


Kirana mengepal tangannya dengan cemas di ruang tunggu pendaftaran rumah sakit, hari ini dia kembali ke rumah sakit bukan untuk melakukan check up rutin pada kaki dan tangannya. Ia di temani oleh Bagas akan bertemu dengan seorang psikiatri, dari semalam Kirana menahan kantuknya agar ia tidak bermimpi hal itu lagi. Walau pada akhirnya, di jam 2 malam ia tertidur di sofa ruang tamunya dan kembali melanjutkan mimpi yang sama.

“Gugup yah?” Bagas duduk di sebelah Kirana, menggengam tangan Kirana yang dingin karena menahan rasa tidak nyamannya itu.

Kirana mengangguk, “aku baru pertama kali ke psikiater.”

“Jangan gugup yah, relax aja sayang. Kamu datang ke ahlinya, aku janji setiap kali kamu konsul aku akan usahain buat temenin kamu.” Bagas mengusap tangan Kirana itu, berusaha membuat wanitanya tenang.

Mata teduh pria yang sangat di sayangi Kirana itu mengingatkan Kirana akan Adi di mimpinya semalam, Adi menatap Ayu juga dengan tatapan seperti itu. Seperti Bagas menatapnya saat ini, pandangan teduh dan lembut itu seperti menghangatkan hatinya, mata yang selalu berhasil menenangkan Kirana kala ia merasa gugup atau pun sedih.

“Makasih ya, Sayang.” ucap Kirana, dia beruntung sekali di pertemukan dengan Bagas di dunianya yang jungkir balik pasca peninggalan Bapaknya itu.

“Sama-sama, Sayang.” Bagas mengusap kepala Kirana. “Ngomong-ngomong kamu masih mimpi hal yang sama semalam?”

Kirana mengangguk, “um.. Walau sebenarnya pas bangun kepala aku agak pening, seenggaknya mimpi semalam gak merubah suasana hatikku.”

“Oh yah?” Bagas senyum, “emangnya kelanjutan mimpinya apa?”

Bagas jadi penasaran sama mimpi berkelanjutan yang di alami oleh Kirana itu, karena menurutnya mimpi yang di alami Kirana itu menarik, mimpi itu terus berlanjut bagai sebuah series di setiap episode nya. Sejujurnya Bagas selalu ingin tahu cerita lengkap dan kelanjutannya, namun setiap kali Kirana cerita, Cerita dari mimpinya itu enggak pernah runtun dan lengkap, selalu saja Kirana putus di tengah jalan.

Bagas mau bertanya terus menerus tentang kelanjutannya pun enggak enak, karena Kirana selalu bilang kalau mimpi itu membuatnya tidak nyaman setiap kali dia bangun dari tidurnya. Makanya Bagas enggak mau tanya-tanya, kecuali Kirana sendiri yang memang mau bercerita.

“Ada kamu di mimpiku.”

“Aku?” Bagas menunjuk dirinya sendiri, “aku yang namanya Adi di mimpi kamu?”

“Um, enggak panjang memang, karena aku ketiduran mungkin sekitar jam 2 malam aku baru tidur. Di mimpi itu, kamu lagi kerja di kebun dan aku nungguin kamu kerja. Terus aku bikin ide gila buat bolos sekolah, udah itu aja.”

Kirana enggak cerita spesifik mimpinya seperti apa, apalagi di mimpi itu Kirana yang bernama Ayu di mimpinya memiliki ide gila untuk bolos sekolah hanya untuk bertemu Jayden, yang saat itu menjadi kekasihnya. Sungguh, Kirana hanya tidak ingin Bagas cemburu.

“Nakal yah kamu tuh.” Bagas menyentil hidung Kirana dengan gemas. “Kenapa harus bolos emangnya? Jadi kamu tuh di mimpi itu masih sekolah, Sayang?”

Kirana mengangguk, “umurku 19 tahun, di sana namaku Ayu. Aku sakit, mungkin karena sakit itu di umur 19 tahun aku masih sekolah. Kalau di mimpikku, aku panggil kamu Mas Adi karna kamu 2 tahun lebih tua dari aku.”

“Oh yah?” Bagas senyum, baru kali ini Kirana bercerita lebih banyak tentang mimpi yang selalu membuat Bagas penasaran. “Berarti aku udah lulus yah?”

Mendengar pertanyaan dari Bagas itu, Kirana yang tadinya tersenyum kini menarik senyum itu dari wajah cantikknya. Jika mengingat kehidupan Adi di dalam mimpinya, sungguh pria itu adalah pria yang menyedihkan. Adi jarang sekali tersenyum, tidak seperti Bagas.

“Sayang? Kenapa?” melihat perubahan wajah Kirana, membuat Bagas berpikir jika Kirana mungkin enggak nyaman saat ia bertanya-tanya lebih jauh tentang mimpinya.

“Sayang?”

“Di mimpi aku, kamu enggak sekolah. Adi, hidup sebagai pribumi miskin. Ayah dan Ibu nya bekerja di rumahku, Adi tanpa Ayu. Hanya pria menyedihkan yang tidak bisa membaca, menulis dan berbahasa Belanda,” jelas Kirana.

Bagas yang mendengar tentang apa yang di alami pria bernama Adi di mimpi Kirana itu termenung, senyumnya juga hilang seperti Kirana. Apa itu sebabnya Kirana enggak pernah mau cerita tentang mimpinya? Pikir Bagas, karena enggak ingin membuat Kirana kepikiran akhirnya Bagas terkekeh, tawa yang ia paksakan.

“itu cuma mimpi, Sayang. Tapi Ayu itu baik banget yah, mau ngajarin Adi itu semua. Hubungan mereka pasti baik yah?”

“Sangat baik, Ayu sangat mempercayai Adi, Sayang. Dan Adi sangat menghormati dan melindungi Ayu.”

“Selain aku, apa ada orang lain yang ada di mimpi kamu? Kalau di mimpi kamu ada aku sebagai Adi orang yang kamu kenal, apa ada orang lain yang kamu kenal juga?”

Kedua mata Bagas dan Kirana bertemu, mereka saling bertatapan untuk beberapa saat, seperti saling berkomunikasi dengan tatapan itu. Namun beberapa detik kemudian Kirana menghindari tatapan mata Bagas, sejujurnya setiap kali Kirana bermimpi sedang berduaan dengan pria bernama Jayden itu. Setiap bangun tidur atau ketika ia sedang bersama Bagas seperti ini, rasanya seperti ia habis melakukan perselingkuhan. Padahal jelas-jelas Kirana hanya bermimpi, ia tidak melakukan apapun.

“Sayang, maaf ya aku gak bisa cerita selanjutnya. Karena ingatan aku juga enggak banyak di mimpi itu, ada beberapa orang yang muka nya enggak aku kenali. Bahkan enggak aku ingat.” alibi Kirana.

Bagas tersenyum, menurutnya itu wajar. “Gapapa, kenapa minta maaf sih?”

Bagas mencubit pipi Kirana dengan gemas, wajah bersalah milik wanitanya itu terkadang membuatnya gemas. Tidak lama kemudian, nama Kirana di panggil. Ia melakukan beberapa pemeriksaan seperti memeriksa tensi, suhu tubuh dan detak jantung nya. Semua normal, perawat juga memberikan selembar kertas berisi beberapa pertanyaan yang harus Kirana isi.

Ruang tunggu dengan ruang pemeriksaan dan pengisian kertas dari poli kejiwaan itu berbeda, tidak jauh memang hanya saja di batasi oleh kaca tebal. Ketika hendak memberikan kembali lembar pertanyaan pada perawat, Kirana menangkap sosok Raga berada tepat di depan ruang konseling. Raga pun juga melihatnya, keduanya sama-sama terkejut. Namun Kirana masih bisa mengkondisikan ekspresi wajahnya.

Karena sudah terlanjur tertangkap basah, mau tidak mau Kirana menghampiri Raga biar bagaimana pun Raga masih menjadi atasannya walau saat ini Kirana masih dalam masa cuti nya.

“Bapak konsul?” tanya Kirana,

Raga nampak bingung ingin menjawab apa. Netranya tidak menatap Kirana namun berpendar seperti ia tengah kebingungan untuk mencari jawaban.

“Itu.. Lagi—”

“Jagaraga Suhartono.”

Seorang perawat dari ruang konsul memanggil nama Raga, bagi Kirana itu adalah sebuah jawaban tanpa Raga perlu menjawabnya, namun bagi Raga kelak ia harus memberi penjelasan tentang apa yang tengah dia lakukan saat ini, padahal semua sudah jelas kan?

“Ki.. Kirana saya masuk dulu yah.” Raga gugup, ia mengangguk kecil pada Kirana kemudian masuk ke ruang konsul yang sudah di tunjukan oleh seorang perawat.

Kirana hanya mengangguk kecil, ia mencari kursi kosong untuknya tempati walau dalam hati ia juga bertanya-tanya. Ada apa Raga sampai harus melakukan konseling dengan seorang psikiatri. Apa atasannya itu juga memiliki gangguan? Padahal selama ini, Raga tidak menunjukan gelagat aneh. Atau memang atasannya itu sengaja menyembunyikannya.

Sekitar 1 jam Kirana menunggu namanya di panggil akhirnya seorang perawat yang keluar dari ruang konsul tempat Raga konsul tadi keluar, perawat itu juga keluar dari ruangan itu bersama dengan Raga yang mengekori di belakangnya. Tidak lupa, perawat itu juga memberikan resep yang harus Raga tebus di bagian farmasi nantinya.

Kedua mata mereka bertemu lagi, kalau biasanya Kirana terlihat santai saat bertemu atasannya itu. Kali ini rasanya terasa berbeda setelah mimpi yang ia alaminya, ada desiran ketidaknyamanan yang seperti mengingatkan Kirana akan gadis bernama Ayu dan Jayden di mimpinya.

“Kirana, sa..saya bisa jelasin kenapa saya ke sini,” ucap Raga terbata-bata, mulut dan otaknya tidak sejalan. Kepalanya mengatakan jika ia tidak harus menjelaskan pada Kirana tentang apa yang ia lakukan saat ini, namun mulutnya justru berkata sebaliknya.

“Konsul kan, Pak?”

Raga mengangguk kikuk, “i..iya memang, tapi saya enggak kaya apa yang kamu pikirkan, Kirana.”

Kirana terkekeh, “emangnya Bapak bisa baca pikiran saya?”

“Bu..kan begitu, saya takut kamu mengira saya ini punya gangguan kepribadian, mental atau ya semacamnya, saya kesini cuma mau konsul tentang gangguan tidur yang saya alami.”

Senyum di wajah Kirana itu sirna, dia tidak salah dengar. Raga benar-benar mengatakan jika ia mengalami gangguan tidur. Apa gangguan yang ia maksud adalah mimpi? Pikir Kirana.

“Gangg..guan tidur?” gumam Kirana yang di jawab anggukan oleh Raga.

“Diajeng Sekar Kirana?” seorang perawat kembali memanggil nama Kirana lagi.

“Iy..iya.” Kirana menyahut, ia harus segera masuk ke ruang konsul. “Ka..kalau gitu saya masuk dulu, Pak. Cepat sembuh yah, Pak.”

Kirana mengangguk, begitu pun juga dengan Raga. Keduanya sama-sama terlihat kikuk, di dalam ruang konsultasi pun pikiran Kirana mengawang tentang apa yang Raga katakan, jika perawat tadi tidak memanggil namanya. Mungkin ia akan bertanya gangguan tidur seperti apa yang Raga alami.


Setelah selesai konsul di rumah sakit, Bagas dan Kirana menyempatkan untuk jalan-jalan sebentar. Ini pertama kali mereka kencan lagi sejak Kirana pulang dari rumah sakit, mereka sempat mengitari taman di sekitaran hutan kota, makan nasi bebek kesukaan Kirana, yang pedagangnya sudah hapal menu yang biasa Kirana dan Bagas pesan saking sering nya mereka datang tiap kali pulang bekerja.

Begitu hari makin gelap, Bagas mengajak Kirana ke sebuah gedung yang di bagian paling atasnya terdapat landasan helikopter. Mereka menikmati pemandangan gemerlap malam kota Jakarta dari atas sana, sembari sesekali keduanya menyesap kopi dan keripik kentang yang sempat mereka beli sebelum pergi ke rumah sakit.

“Dingin gak, Sayang?” tanya Bagas, Kirana hanya memakai kaus di balut dengan cardigan tipis berwarna merah jambu. Sedangkan Bagas memang memakai hoodie dan kaus sebagai bagian dalam nya.

“Enggak kok, malah enak disini banyak angin. Tapi rambutku, aduh.” Kirana terkekeh, “jadi berantakan ini ketiup-tiup angin.”

Karena mereka berada di gedung paling atas, angin yang berhembus pun lumayan kencang. Membuat rambut sebahu Kirana itu berterbangan, Bagas yang melihat itu langsung menarik tali dari tudung hoodie yang ia pakai. Kirana tidak membawa ikat rambut sepertinya.

“Aku ikat pakai tali ini yah?” Bagas menunjukkan tali itu pada Kirana, membuat wanita itu tersenyum dan mengangguk.

“Emangnya kamu bisa?”

“Kamu ngeremehin aku nih? Dari dulu kan yang suka ngikat rambutnya Kanes tuh aku.”

“Eh, iya yah aku lupa. Kamu dulu suka cerita kalo Kanes suka banget minta tolong kamu buat di kepangin rambutnya.”

Kirana tersenyum, walau seorang pria. Bagas itu pandai sekali mengikat rambut, Bagas sering sekali bercerita bagaimana ia memperlakukan Adik perempuannya itu. Bagas adalah Kakak yang hangat, kadang Kirana juga ingin mempunyai seorang saudara. Sebagai tempatnya bercerita atau bahkan bercanda, hidup sebagai anak tunggal itu kadang membuatnya kesepian.

Bagas berpindah ke belakang Kirana, merapihkan rambut wanita itu kemudian mengumpulkannya jadi satu sebelum akhirnya ia ikat menggunakan tali dari hoodie yang ada di tangannya.

“Kamu tau gak, Sayang? Adi di dalam mimpikku itu pintar sekali merias rambutnya Ayu pakai bunga melati loh.” di ikat rambutnya seperti ini membuat Kirana teringat akan Adi.

“Oh yah? Kaya aku yah? Tapi kenapa pakai bunga melati?”

“Karena Ayu suka banget sama bunga melati.”

Begitu sudah selesai mengikat rambut Kirana, Bagas berpindah kembali duduk di samping Ayu. Memperhatikan wajah cantik yang ia sayangi itu berpadu pada lampu-lampu kota di bawah sana, angin yang berhembus seakan menjadi saksi bagaimana Bagas selalu menatap Kirana yang selalu indah di matanya itu.

“Beda yah sama kamu, kalau kamu lebih suka bunga mawar sama lily.”

“Um.” Kirana mengangguk. “Kamu tau gak, sayang. Setiap kali aku bangun dari mimpiku sebagai Kirana, aku selalu ngerasa sedih kalau ingat bagaimana di mimpi, aku berperan sebagai Ayu.”

“Kenapa?”

Bagas mulai kembali penasaran seperti apa Ayu dalam mimpi Kirana itu, karna setiap kali Kirana membicarakan Ayu. Kedua netra legam nya itu selalu nampak sedih, apa hidup anak bangsawan dalam mimpinya itu menyedihkan? Pikir Bagas.

“Karena Ayu sama seperti aku, sama-sama anak tunggal. Romo nya tegas dan keras, Ibu nya halus tapi enggak punya kekuatan buat melindungi Ayu. Ayu itu periang, bukan gadis yang lebih banyak diam dan tertutup kaya aku. Tapi sakit yang di deritannya serta kekangan dari Romo nya buat gadis kecil itu jarang banget senyum.”

Kirana ingat, bagaimana di mimpi Ayu sakit berhari-hari. Muntah darah yang di derita gadis ringkih itu membuat dada Kirana juga ikut sesak setiap kali ia bangun tidur, Kirana menduga jika Ayu di mimpinya menderita TBC. Pada zaman itu, pengobatan tentang penyakit itu belum semudah sekarang.

“Pasti dia kesepian yah?” gumam Bagas. “Apa kamu kesepian juga sama seperti Ayu?”

Bagas ingin memastikan apa yang di rasakan Kirana sebagai anak tunggal, mengingat selama ini hidup menjadi seorang Kirana pun tidak mudah. Apalagi setelah kepeninggalan Bapaknya, hidup Kirana benar-benar jungkir balik. Kirana yang memang pemalu dan pendiam itu semakin menutup dirinya.

“dulu. Tapi waktu aku kenal kamu udah enggak lagi, apalagi sekarang udah ada Bang Satya, Almira dan Kanes.”

Bagas tersenyum, menyelipkan anak rambut Kirana ke belakang telingannya. “Aku gak akan biarin kamu kesepian.”

“Bagas?”

“Hm?”

“Jangan tinggalin aku yah. Mungkin akan ada banyak orang yang keberatan sama hubungan kita, tapi aku gak bisa bayangin gimana kalau aku harus kehilangan kamu.”

Katakan Kirana sudah terlalu bersandar pada Bagas dan mengandalkannya, pria itu selama ini yang menjadi sandaran untuknya. Hari-hari sejak ia mendapat penolakan dari keluarga Bagas membuat Kirana terkadang sesak, ia takut jika suatu hari Bagas akan meninggalaknnya karena mereka terhalang restu.

“Sayang, tolong bersabar sedikit lagi yah. Aku sedang berusaha membuat orang tuaku mengerti hubungan kita seperti apa.”

Kedua anak manusia itu saling melempar pandangan satu sama lain, mata Kirana berkaca-kaca. Sungguh ia sangat mencintai Bagas, ia bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya tanpa pria itu. Melihat Kirana menangis, membuat hati Bagas rasanya di sayat-sayat. Ia rengkuh tubuh itu dan ia bawa ke dalam pelukannya.

“Aku sayang kamu Kirana, maafin keluargakku yah. Maaf mereka udah kasar ke kamu,” bisik Bagas di telinga wanitanya itu.

Bersambung..

(Adelia Herlina Suhartono)

Samarang, 1898.

Tak ada hentinya wajah dahayu mengulas senyum kala ia melihat sang pria datang menemuinya dengan surjan buatannya, tubuh Jayden begitu tampak gagah dalam balutan surjan dan kain sebagai pengganti celana yang biasa ia kenakan. Pagi itu, Jayden tidak datang bersama kusir pribadi yang selalu mengantarnya tiap kali ia berpergian. Ia membawa dokar itu sendiri, tersenyum ketika hendak turun dan melihat Ayu duduk di amben yang tak jauh dari taman mereka bertemu.

Beberapa hari mereka tidak bertemu membuat Jayden merasa ada beberapa perubahan dari tubuh ringkih wanitannya itu, wajah Ayu yang sudah tirus kecil semakin tirus. Mungkin efek karena sakit saat terakhir kali mereka bertemu, walau merasa lara melihat wanitanya seperti itu Jayden berusaha mengulas senyum nya. Ia ingin meramu senyum pada wajah dahayu nya itu.

“Terlihat sangat cocok di pakai olehku bukan?” ucap Jayden begitu ia menghampiri Ayu. Karena lupa memakai blangkon, Jayden tetap memakai topi fedora nya namun begitu turun dari dokar, ia buka topi itu.

“Sir Jayden sangat tampan. Cocok sekali, saya sempat khawatir tidak pas pada tubuhmu karena saya tidak mengukur nya dengan benar. Saya hanya menerka, dan mencoba mengukur tubuh seseorang yang mirip denganmu. Syukurlah jika surjan nya muat.”

Ayu tersenyum, Jayden sungguh memakai pemberiannya. Pria itu bertambah tampan mengenakan surjan buatan Ayu, meski tidak bisa Ayu pungkiri jika wajah pria itu memanglah sudah tampan meski mengenakan pakaian eropa sehari-harinya. Tapi hari ini ketampanan itu rasanya bertambah sepuluh kali lipat dari biasanya.

“Terima kasih, Raden Ayu.”

“Sama-sama.”

“Jika begitu, bisa kita pergi sekarang? Matahari mulai meninggi jika kita terlalu lama disini.”

Arca wajah milik Ayu sedikit mengapit, ia pikir Jayden hanya ingin berbicara sesuatu padanya di taman ini. Sama sekali tidak terpikir jika pria itu akan mengajaknya pergi.

“Kita akan pergi kemana, Sir?” tanya Ayu.

“Aku ingin mengajakmu jalan-jalan, ada banyak hal yang ingin aku bicarakan.” Jayden mengambil kedua tangan Ayu, membawanya pada tangan besar miliknya dan menggenggamnya.

“Aku ingin melipur rindu padamu, kau mau?”

Ayu terdiam ia tampak berpikir sejenak, ia sangat ingin bersama Jayden lebih lama dari sekedar bertemu di taman lalu berbicara. Ia ingin menghabiskan waktunya bersama pria itu, di liriknya Adi yang berdiri tak jauh dari dokar miliknya. Wajah pria itu datar, namun tatapannya seperti ia menyerahkan semua jawaban pada Ayu.

“sejujurnya, saya tidak datang ke sekolah. Hanya untuk bertemu Sir Jayden.”

“Romomu mengekangmu akhir-akhir ini?”

Agak sedikit tercengang pada ucapan Jayden, dari mana pria itu bisa tahu? Namun pada akhirnya Ayu mengangguk.

“Maafkan aku, kau rela tidak datang ke sekolah hanya untuk bertemu denganku.”

“Sir Jayden, ini keinginan yang saya buat sendiri. Ada hal yang ingin saya katakan juga sebenarnya.”

Jayden mengangguk. “Kita bicara disini saja kalau begitu.”

Ada raut kepanikan pada wajah Ayu, ia ingin mengatakan jika ia juga mau ikut jalan-jalan dengan Jayden. Ia hanya berpikir sebentar tadi namun Jayden terlampau cepat mengubah pikirannya.

“Ki..kita tak jadi pergi?”

Jayden terkekeh, “kau mau? aku pikir kau menolak ajakkanku. Aku pun merasa sungkan Raden Ayu telah membuatmu tidak datang ke sekolah.”

“M..mau, sesekali saya pikir tidak akan menjadi masalah. Hanya sebentar, bukan?”

“Iya, hanya sebentar.” Jayden tersenyum, ia kemudian menoleh pada Adi yang berdiri tak jauh dari amben tempat Ayu duduk.

“Aku sama sekali tidak keberatan jika kau ikut dengan kami, Adi.” Jayden sungkan meninggalkan Adi di dekat taman seperti ini, meski sejujurnya ia sangat ingin menghabiskan waktu berdua dengan Ayu tanpa ada Adi yang selau mengikuti mereka di belakang.

“Saya menunggu disini saja, Sir Jayden. Saya rasa, Raden Ayu dan Sir Jayden membutuhkan waktu untuk bicara.”

Ayu tersenyum, Adi sungguh mengertinya. Tidak bisa Ayu bayangkan jika yang menjaganya bukan Adi, sudah bisa Ayu pastikan ia sudah di laporkan berkali-kali pada Romo nya. Adi sungguh pengertian, terkadang Ayu berpikir jika Adi sudah seperti sosok Kakak laki-laki untuknya.

“Kau tidak keberatan?” Jayden memastikan, ia hanya tidak enak pada Adi dan berpikir mungkin Adi sungkan.

“Sungguh tidak keberatan, Sir Jayden. Asalkan Sir Jayden bisa membawa Raden Ayu pada saya tepat jam 2 siang.”

“Baiklah, aku akan segera membawanya tepat jam 2 siang.”

Keduanya harus bergerak dengan cepat karna mereka hanya memiliki waktu sekitar 3 jam lagi, membukakan pintu dokarnya, Jayden merangkul pinggang Ayu dan membantu wanita itu untuk naik ke dalam dokar. Keduanya pun langsung pergi dari taman itu, sentuhan tangan lembut Jayden pada pingganya itu membuat senyum di wajah dahayu itu tak lekang-lekang.

Ayu benar-bebar bahagia, mereka jarang sekali bersentuhan. Hanya pegangan tangan saja karena Jayden sangat sungkan untuk menyentuh Ayu, di tariknya kuda putih itu dan dokar pribadi milik Jayden itu berjalan meninggalkan taman. Keduanya sempat terdiam beberapa saat, di kepala Jayden hanya ada bising untaian kalimat bagaimana ia akan menyatakan pinganya pada Ayu dan juga kedua orang tua nya.

Sedangkan Ayu, ia terdiam sembari sesekali melirik pada wajah tampan milik sang pria di sebelahnya. Jayden tampak gagah hanya dengan menarik tali pada kuda putih yang ada pada genggamannya.

“Kau sudah pernah naik kapal pesiar, Ayu?” tanya Jayden tiba-tiba. Jayden berpikir jika ia di terima oleh keluarga Ayu dan di beri restu untuk menikahkannya, Jayden ingin sekali membawa Ayu berobat ke negaranya.

“Belum, saya tidak pernah berpergian sejauh itu sampai harus menaiki kapal pesiar, Sir Jayden.”

“Kau ingin?”

“Memangnya mau kemana?”

Jayden tersenyum, ia sempat menoleh untuk melihat wajah dahayu itu. “Mengajakmu berkeliling ke tempat-tempat yang indah setelah perang ini usai.”

Jayden tidak munafik untuk tidak mengakui jika ia adalah bagian dari komplotan para Belanda yang memijak bumi Hindia Belanda ini, memerangi rakyat pribumi meski ia tak ikut berperang. Namun tetap saja, di mata pribumi ia pria yang jahat meski ia tidak melakukan apapun. Apalagi ia seorang petinggi dan darah dari para petinggi VOC masih mengalir dalam darah Jayden.

“Lebih indah dari desaku?” kedua mata Ayu berkedip, sorotnya seperti seorang anak kecil yang di janjikan sebuah makanan. Sangat lucu dan lugu di mata Jayden.

“Lebih indah, tapi tidak bisa menandingi indahnya wajahmu.”

Ayu tak lagi menjawab, ia justru menyembunyikan wajahnya dengan duduk sedikit bergeser agar Jayden tidak bisa melihat senyum konyolnya. Ayu salah tingkah, ia kikuk. Bingung bagaimana menanggapi ucapan Jayden bak pujangga. Dokar yang di kendarai Jayden itu berhenti di sebuah geraja di sana, itu adalah Gereja Blenduk yang sangat terkenal di Samarang.

“Kau mau turun? Ada pedagang bakpau tak jauh dari sini, rasanya enak. Aku kenal dengan pedagangnya. Kau mau?”

Ayu mengangguk, jantungnya masih berdegup tidak karuan saat melihat Jayden. Pria tinggi itu turun dari dokar lebih dulu, kemudian membantu Ayu turun dan menggandeng tangan wanita itu mengelilingi Gereja.

“Aku pernah masuk ke dalam Gereja ini. Kau pernah kesini?” tanya Jayden saat mereka melewati bangunan itu.

Ayu menggeleng, “Romo sering bercerita tentang Gereja ini, namun tidak pernah membawaku kesini. Ini pertama kalinya aku melihat Gereja ini.”

Kedua netra Ayu menatap kagum pada bangunan di depannya, sungguh sepanjang jalan ia hanya berdoa jika waktu berbaik hati untuk berputar lebih lambat dari biasanya. Ia sangat ingin menghabiskan banyak waktu dengan Jayden ke banyak tempat.

“Nanti akan ku ajak masuk ke dalam Gereja itu jika kita bertemu lagi ya?”

Ayu mengangguk, beberapa orang menyapa Jayden dengan ramah. Ayu bahkan sering lupa jika ia berkencan dengan seorang asisten Residen, yang tentunya Jayden sangatlah mudah di kenali orang-orang. Keduanya berhenti di sebuah toko kecil penjual bakpau, wanginya bahkan sudah tercium hingga ke depan gang sempit yang mereka lewati.

“Saya ingin 4 bakpau nya yah, Pak.”

“Sebentar ya, meneer akan saya ambilkan dulu.” ucap pedagang itu ramah pada Jayden.

Ayu tersenyum kali ini bukan karna melihat Jayden, tapi melihat kecil yang sedang bermain disana. Sungguh, anak-anak itu pasti tidak pernah merasakan kesepian sepertinya. Ayu sama sekali tidak memiliki teman, ia tidak pandai bergaul.

“Kau tersenyum melihat anak-anak itu?”

“Um.” Ayu mengangguk. “mereka punya teman.”

“Memangnya kau tidak memiliki teman?”

Ayu menggeleng, “saya tidak punya teman, Romo sering melarang saya keluar rumah bahkan hanya untuk bermain. Katanya, takut saya di culik.”

“Oleh Londho?” tebak Jayden.

Ayu tidak menjawab, meski yang di lontarkan oleh Jayden adalah sebuah kebenaran, entah dari mana Jayden bisa mengetahui hal itu. Ayu menunduk merasa tidak enak pada Jayden meski kata-kata itu bukan terlontar dari bibirnya.

Liefje, aku tau hal itu karena pernah mendengar seorang Ibu memperingati anaknya dengan ucapan seperti itu.”

“Apa Ibu itu berucap seperti itu pada Sir Jayden?” tanya Ayu, ia beranikan menatap sang pria yang selalu tersenyum lembut padanya.

“Pada pengawalku. Aku hanya melewati sebuah desa kecil, sudah sangat lama. Aku di kawal karena sewaktu itu aku berpergian dengan Ayahku yang seorang Residen.”

Tidak lama kemudian sang penjual bakpau itu kembali dan memberikan sekantung bakpau yang masih hangat, bahkan asap nya sampai mengepul keluar. Menebarkan aroma harum dari makanan manis itu.

Keduanya memutuskan untuk duduk di depan toko penjual bakpau itu sebentar, menikmati semilir angin sembari memakan bakpau yang masih hangat. Jayden meniupkan bakpau itu, setelah sudah dingin barulah ia berikan pada Ayu. Pria itu tidak ingin makanan panas menyakiti lidah kekasihnya.

“Sir Jayden benar, bakpau ini memang enak di makan selagi masih hangat.” Ayu tersenyum, dengan mulut yang sedikit penuh karena bakpau yang ia makan.

“Jika itu soal makanan, kau selalu bisa mempercayai seleraku.”

Ayu mengangguk, “Sir Jayden pernah makan getuk?”

“Tentu, salah satu makanan kesukaanku.”

“Saya bisa membuatnya, kapan-kapan akan saya buatkan getuk untuk Sir Jayden yah.”

Setelah menghabiskan empat bakpau yang Jayden pesan, sepasang insan itu kembali berjalan. Keduanya melewati Jembatan Berok yang tak jauh dari Gereja Blenduk barusan. Di sana cukup ramai, banyak sekali perahu-perahu kecil yang singgah.

(Jembatan Berok sekitar tahun 1897. Jembatan Berok dibangun oleh Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada 1705. Nama aslinya adalah Gouvernementsbrug, nama Berok di ambil dari kata Burg. Yang kemudian di lafalkan Berok/Mberok oleh pribumi.)

Jayden sempat mengajak Ayu duduk tak jauh dari sana, karena nampaknya nafas Ayu sedikit tersengal. Wanita itu sedikit kelelahan, karena tidak memiliki paru-paru yang cukup baik. Ayu sering sekali kelelahan meski hanya berjalan sebentar saja.

“Raden Ayu pernah berkuda?” tanya Jayden tiba-tiba.

Ayu menoleh kemudian menggeleng pelan, ia sering naik dokar namun tidak pernah berkuda. Tidak ada yang mengajarinya walau Romo nya sendiri sangat pandai berkuda, Ayu itu tidak dekat dengan Romo.

“Belum pernah, Sir Jayden pernah berkuda?”

“Aku lumayan pandai dalam berkuda, apakah kau mau berkuda denganku?”

“Saya takut.” Ayu mengulum bibir bawahnya, ia pernah melihat kuda yang pertama kali di beli oleh Romo mengamuk.

“Kuda putih miliku itu namanya Jefro. Dia kuda yang baik, kau tidak perlu takut dengannya karna dia sangat jinak padaku.”

Ayu sempat menimang-nimang tawaran dari kekasihnya itu, ia memang sangat penasaran seperti apa rasanya berkuda, apalagi kuda putih jantan milik Jayden sangatlah gagah. Sama dengan pemiliknya, pada akhirnya pun Ayu mengangguk kecil.

“Tunggu disini sebentar yah, aku akan menjemput Jefro dahulu. Kita akan berkeliling melewati jembatan Gouvernementsbrug bersama Jefro.” Jayden berpamitan, kemudian ia sedikit berlari kecil. Menjemput Jefro yang sempat ia tinggal di dekat toko penjual bakpau dekat Gereja.

Sementara itu Ayu menunggunya, menikmati pemandangan dari atas jembatan Gouvernementsbrug yang ramai siang itu. Jembatan Gouvernementsbrug menjadi infrastruktur transportasi penting dari pesisir pantai utara menuju darat, sekaligus simbol yang memisahkan antara si kaya dan si miskin.

Tidak lama kemudian, Jayden datang kembali bersama kuda putihnya. Pria itu turun dan menghampiri Ayu, ia membuka tangan kanannya untuk membantu Ayu menaiki kuda putih miliknya itu.

“Aku akan membantumu naik, percayalah. Jefro adalah kuda yang baik.” suara lembut itu bagai menghipnotisnya, menaruh seluruh kepercayaanya pada pria di depannya itu. Ayu memberikan tangan kananya pada Jayden.

Jayden membantu Ayu lebih dulu, setelah Ayu naik barulah ia naik dan duduk di belakang wanita itu. Walau awalnya Ayu sempat kesulitan untuk duduk karena ia memakai kain. Kedua insan itu menunggangi kuda melewati jembatan Berok, sungguh ini adalah pengalaman baru bagi Ayu dalam berkuda.

Tak ada hentinya ulas senyum menghiasi wajahnya. Raganya sangatlah dekat dengan pria yang ia cintai, apalagi kala Jayden menarik tali pada kuda nya. Tubuh gagahnya itu seperti separuh memeluk Ayu, membuat desiran hangat mengalir pada tubuh keduanya.

“Pernah berjalan-jalan kesini sebelumnya?” keduanya melewati bangunan besar yang sangatlah sibuk hanya dari depannya saja.

“Belum, Sir Jayden. Ini untuk pertama kalinya.”

Jayden tersenyum, “ini adalah Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), lahan ini menjadi kantor pusat kereta api swasta. Bangunan ini untuk mengakomodir jalur kereta api yang menghubungkan Samarang-Soerakarta-Djokjakarta sepanjang 206 km oleh NIS.”

“Soerakarta dan Djokjakarta?” gumam Ayu, ia sedikit menoleh kebelakang demi melihat wajah tampan kesayanganya itu, hidung mancung milik pria kolonial itu nyaris saja bertabrakan dengan hidung mungil miliknya.

“Um. Kau pernah ke sana?”

Ayu hanya menggeleng kecil, “saya hanya pernah meninggalkan Samarang hanya untuk berkunjung ke Soerabaja. Saat kita bertemu di kediaman Bupati barunya.”

“Suatu hari, aku akan mengajakmu ke Djokjakarta.”

“Sir Jayden mengapa ingin sekali membawa saya ke banyak tempat?”

Memberhentikan kuda putihnya itu, Jayden merasa gugup hanya untuk menjawab pertanyaan sederhana dari kekasihnya itu. Ingin sekali ia lontarkan kalimat manis bak pujangga seperti yang selalu ia lakukan pada wanitanya itu, namun saat ini mulutnya terasa terkunci.

“Aku ingin sekali mengeggamu dan membawamu ke banyak tempat indah, menghabiskan waktu hanya untuk berdua Raden Ayu.”

Keduanya sempat hening, Jayden merangkai kata lamarannya untuk Ayu pada kepalanya. Sementara Ayu seperti tertampar oleh kenyataan jika ia akan segera di jodohkan, bagaimana ia harus mengatakan hal menyakitkan itu pada pria nya?

“Bisakah kita turun sebentar? Ada yang ingin aku katakan pada Raden Ayu.”

Ayu tidak menjawab, ia hanya mengangguk. Membiarkan Jayden turun lebih dahulu, kemudian membiarkan Jayden menangkap tubuh kurusnya itu ketika ia turun dari atas kuda putihnya.

“Sir Jayden ingin mengatakan apa?”

“Adi sudah mengatakan padaku soal apa yang di rencanakan oleh Romomu.”

“Soal apa?” arca wajah Ayu mengkerut. apa yang di katakan Adi?

“Soal perjodohan Raden Ayu.”

Mendengar itu Ayu diam, ia menunduk. Ia tidak tahu jika Adi sudah mengetahui ini, pasalnya Ayu sendiri belum bercerita. Entahlah dari siapa Adi tahu mengenai hal ini.

“Bolehkan aku temui Romo mu? Malam ini. Aku ingin meminangmu Raden Ayu.” Jayden mengataknnya dengan sungguh-sungguh, ketulusan hatinya ia pertaruhkan. Berusaha sekuat mungkin membuat Ayah dari kekasihnya itu mempercayainya jika ia bisa menjaga Ayu.

Jayden mengeluarkan cicin dari saku surjan miliknya, cincin yang tempo hari ia beli di Soerabaja bersama dengan Dimas. Ia pasangkan cincin itu pada jari manis Ayu, siapa sangka jika terkaan Jayden kala itu benar. Cincin itu nampak pas dan terlihat indah pada jari manisnya.

“Saya takut, Sir Jayden. Romo pasti akan marah besar.”

“Aku akan mengatakanya baik-baik, aku juga akan menunggumu hingga kau tamat bersekolah. Aku sangat mencintaimu, Liefje.

Mendengar ucapan itu, Ayu justru menangis. Ia juga sangat mencintai Jayden, ia hanya ingin menikah dengan pria itu. Namun melihat kenyataan jika mendapat restu dari Romo nya tidaklah muda, membuat Ayu mengurungkan segalanya. Termasuk berandai-andai jika suatu hari ia bisa menikah dengan Jayden.

Melihat Ayu yang menangis, tangan Jayden sedikit gemetar. Ia meragu untuk membawa wanitanya itu pada dekapnya, namun tak tega rasanya jika ia membiarkan Ayu menangis tersedu-sedu seperti itu. Jadi, Jayden ulurkan tangannya, menarik pinggang kecil itu dan membawa tubuh kurus Ayu pada dekapnya.

“Tolong percaya padaku kalau kita akan melewatinya.”


Di tempat mereka berpisah, Adi menunggu kedatangan Ayu dan Jayden dengan harap-harap cemas. Sudah satu jam lebih keduanya melewati jam yang sudah mereka sepakati, kalau begini caranya sudah pasti Adi yang akan di marahi habis-habisan oleh Tuan Gumilar.

“Bagaimana ini..” gumam Adi.

Tak lama kemudian, saat Adi hendak naik ke dokarnya untuk mencari Jayden dan Ayu. Dokar milik Jayden terlihat di ujung jalan sana, Adi urungkan niatnya itu untuk mencari keduanya. Ia akhirnya menunggu hingga dokar Jayden mendekat, sungguh Adi ingin marah jika ia tidak ingat bahwa Ayu adalah anak dari majikannya.

Begitu dokar Jayden mendekat, Adi langsung turun dari dokarnya. Ia menghampiri Ayu yang sedang di bantu turun dari dokar oleh Jayden. Wajah keduanya berseri walau ada seliwet kekhawatiran tergambar jelas pada wajah Ayu.

“Adi maaf aku terlambat mengatar Ayu kembali,” Jayden tidak enak, apalagi saat menangkap raut ketakutan pada wajah pribumi itu.

“Saya bukan takut di marahi Tuan Gumilar, Sir Jayden. Saya hanya memikirkan Raden Ayu, takut kalau-kalau penjagaanya di perkuat karena hal ini.” pasalnya Tuan Gumilar sudah memberi ultimatum pada Adi jika Adi melanggar janjinya pada Tuan Gumilar, maka Adi tidak akan menjadi pengawal pribadi Ayu lagi. Akan di gantikan dengan orang lain yang bisa lebih tegas dalam menjaga Ayu.

Di tempatnya Ayu hanya diam, dia memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi jika Jayden benar-benar ingin ikut pulang ke rumahnya, dan kemudian berbicara dengan Romo nya untuk meminangnya malam ini juga.

“Biar nanti aku yang akan bicara dengan Tuanmu. kalau begitu, Ayo kita antarkan Ayu pulang.”

Arca wajah Adi mengkerut, nampak sebuah kebingungan tergambar di wajahnya. Ia melirik Ayu yang tampak tertunduk dan enggan memberikan jawaban. “Maksud Sir Jayden apakah anda akan ikut mengantar Raden Ayu? Ke rumahnya?”

Jayden mengangguk mantap, pilihannya sudah bulat untuk datang ke rumah Saudagar Gumilar dan membicarakan perihal pinanganya pada putri satu-satunya itu.

“Benar, ada hal yang harus aku bicarakan pada Saudagar Gumilar alih-alih bicara untuk jangan memarahimu.”

Adi menelan saliva nya susah payah, dokar yang di kendarai keduanya pun membelah desa hari itu. Beberapa pasang mata dari para pribumi sekitar juga turut menyoroti kedatangan Jayden seorang diri tanpa pengawal dan kusir yang mengantarnya, dengan tatapan ada kepentingan apa seorang petinggi Samarang datang ke desa mereka.

Sesampainya di kediaman Ayu, Tuan Gumilar sudah menunggu kepulangan putri satu-satunya itu. Wajah bangsawan angkuh itu tampak bingung saat satu dokar di belakang dokar yang di bawa Adi itu tampak seorang Belanda yang datang dengan setelan surjannya.

“Bukankah itu asisten residen Samarang yang baru, Pak?” gumam istrinya yang berdiri di sebelahnya itu.

Begitu turun dari dokar miliknya, Jayden membuka topi fedoranya. Tersenyum ramah pada Saudagar Gumilar yang sudah berdiri tegap di depan teras rumahnya, dengan keberanian yang ia miliki, di tautkannya jemari kokoh miliknya pada jemari kecil milik Ayu.

Ayu hanya diam, menunduk enggan menampakan wajahnya di depan kedua orang tuanya. Tubuh kecilnya itu agak gemetar menahan takut, sungguh. Ia takut meski dalam hati ia terus berdoa agar mereka mendapatkan restu.

Seorang petinggi Belanda dengan seorang inlander memang terdengar sedikit tidak mungkin, meski Ayu sendiri berasal dari keluarga bangsawan. Namun Ayahnya yang sangatlah tau tabiat para kolonial itu, yang selalu menganggap pribumi terutama wanita itu adalah budak yang derajatnya jauh di bawah mereka, bersama wanita pribumi pun mereka tak akan di anggap lebih sebagai gundik.

Membuat Ayah dari Ayu itu selalu mengingatkan pada Ayu agar tidak bergaul apalagi berkencan dengan seorang Belanda. Apalagi, Ayu adalah putri mereka satu-satunya. Tentunya Ayahnya itu ingin Ayu menikah dengan bangsawan dari kalangan pribumi juga.

Sugeng sonten, Saudagar Gumilar.” Sapa Jayden dengan senyum ramahnya, tangan kananya enggan melepaskan Ayu.

Ayah dari Ayu itu mengangguk kecil, “ada apa gerangan seorang petinggi Belanda datang ke rumahku? Silahkan masuk, meneer.

Tuan Gumilar mempersilahkan Jayden untuk masuk ke rumahnya, biar pun tidak suka dengan para kolonial. Tuan Gumilar tetap menghormati para petingginya, apalagi mereka sudah terikat kerja sama terutama dalam hal perdagangan. Ini menyangkut usaha yang ia bangun juga.

Jayden masuk ke dalam rumah Ayu, namun Ayu meminta tautan tangan mereka di lepas karena ia sudah mendapat tatapan tajam yang berasal dari Ayahnya. Keduanya duduk di atas kursi yang sama, bersebelahan dan bersebrangan dengan kedua orang tua Ayu.

Sempat mereka berbincang mengenai kabar dan kelanjutan usaha yang di bangun keluarga Ayu sampai akhirnya Jayden mendapatkan waktu yang tepat untuk mengatakan hal yang sedari tadi ia tahan.

“Tuan Gumilar, maksud dari kedatangan saya ke rumah anda adalah. Saya ingin meminang Raden Ayu, untuk menjadi istri sah saya.” Jayden pertegas pada bagian istri sah, yah. Dia ingin menikah dengan Ayu yang sah di mata hukum. Bukan menjadikan wanita itu sebagai gundik seperti yang di lakukan oleh para kolonial yang lain.

Tentu ucapan Jayden yang terdengar lugas itu mendatangkan raut bingung dan keterkejutan pada sepasang suami istri itu, terutama pada sang suami yang kini menatap putrinya itu yang terus menunduk.

“Kenapa harus Ayu, meneer?

“Karena saya sangat mencintai putri anda, Tuan Gumilar.”

Tuan Gumilar sempat menimang jawaban untuk di berikan pada sang asisten Residen itu, keputusannya sudah bulat untuk menjodohkan Ayu dengan putra dari temannya. Ayu harus menikah dengan bangsawan pribumi juga.

“Pulanglah dahulu, meneer. saya akan memberikan jawaban pada anda melalui surat, yang akan pelayan saya kirimkan ke kediaman anda.”

Jayden terdiam, ia menatap Ayu yang kini menatapnya juga. Mata ketakutan itu seperti menyayat hatinya, terkadang ada waktu-waktu dimana Jayden berpikir bagaimana Saudagar Gumilar memperlakukan putrinya itu? Sampai-sampai sering kali Ayu merasa ketakutan hanya untuk bicara dengan Ayahnya saja.

“Aku pulang dulu yah.”

Ayu tidak menjawab, ia hanya mengangguk kecil sebagai jawaban. Setelahnya Jayden langsung berpamitan kepada pasangan suami istri itu.

Bersambung...

Samarang, 1898.

“Benar-benar membuat malu keluarga, kamu berkencan dengan pria Belanda itu, Ayu?”

Teriakan dari Romo nya itu menggelegar memenuhi indra pendengaran Ayu, Ayu hanya bisa menangis, memangku wajahnya pada pangkuan sang Ibu. Sungguh sesak dadanya mendengar Romo memarahinya habis-habisan. Bahkan cincin pemberian dari Jayden tadi siang di renggut paksa dan di buang entah kemana.

uwis Pak, Mesakne Ayu.” Sang Ibu menengahi, tidak tega melihat putrinya menangis tersedu-sedu seperti itu.

“Minggu depan, calon suamimu akan datang ke Samarang. Romo akan mempercepat pernikahan kalian, tidak akan Romo biarkan kamu keluar dari rumah meski itu bersekolah sekalipun.”

Ayu tidak menjawab, ia hanya terus menangis. Melawan Romo nya pun Ayu tidak sanggup, ia takut. Setelah Romo pergi dari kamar Ayu. Barulah Ayu berani mengangkat kepalanya dan memeluk Ibu. Kedua wanita itu menangis, nasib Ayu tidak berbeda jauh seperti dirinya dahulu.

“Buk, Ayu harus bagaimana? Ayu sangat mencintai Sir Jayden. Dia bukan pria Belanda yang jahat, dia pria yang baik.” Ayu merengek seperti anak kecil, memohon pada sang Ibu yang selalu berada di pihaknya.

“Ibu tau, nduk. bertemu dulu saja dengan calon suamimu yah. Ibu saja tidak bisa melawan Romo.”

Tangis Ayu semakin menyesakkan, ia melepaskan pelukan pada tubuh Ibu nya itu dan menidurkan dirinya di ranjang. Menangis sejadi-jadinya, memikirkan kelak ia akan segera menikah dengan pria yang tidak ia cintai.


Jakarta, 2025.

Kirana terbangun pagi itu dengan dada yang cukup sesak, ia menyadari jika ia menangis, bahkan bantal yang ia pakai itu basah oleh air matanya sendiri. Mimpinya semalam bukan hanya membuat perasaanya tidak nyaman, ia juga menangis bahkan merasakan sesak. Seperti ada yang menibani dadanya hingga nafasnya pun sedikit tersenggal.

Kirana enggak tahu kenapa, tapi pagi itu setelah bangun dari tidur ia merasa sedih. Ia menangis sama seperti Ayu yang ada di dalam mimpinya, sampai akhirnya ponsel nya berdering dan menampakan nama Bagas di sana. Ayu buru-buru menghapus air matanya itu.

“Hallo, sayang?”

sayang, aku udah jalan yah, kamu udah siap kan?

Kirana melihat jam yang ada di atas dinding tempat tidurnya, saat ini sudah jam 6:30 dan hari ini adalah hari pertama Kirana kembali ke kantor setelah mengalami kecelakaan. Dan ia nyaris saja terlambat karena mimpi menyedihkan itu.

“Sayang, ak..aku kesiangan. Belum mandi, baru banget bangun. Ibu juga enggak bangunin, kayanya udah ke pasar duluan deh. Gimana yah? Kamu jalan duluan aja gapapa, kamu ada meeting kan?”

meetingnya masih jam 10 kok, gapapa. Aku juga udah dekat rumah kamu. Mandi dulu aja yah, gak usah sarapan. Aku beliin kamu sarapan kok.

“Beneran?”

iya sayangku, sana mandi.

“Yaudah, aku mandi dulu yah.”

Setelah panggilan itu berakhir, Kirana menyibak rambut panjangnya. Jantungnya masih berdebar mengingat mimpi mirisnya semalam, namun buru-buru ia singkirkan itu. Tidak ada cukup waktu untuk memikirkan mimpi sialan yang menganggunya setiap malam itu. Ia harus segera mandi dan siap-siap ke kantor sebelum Bagas datang.

Di perjalanan menuju kantor, Kirana lebih banyak terdiam. Dia masih memikirkan mimpinya semalam, bahkan celotehan Bagas saja terdengar samar-samar di telinga Kirana. Kepalanya terlalu bising dengan tangisan Ayu, pinangan Jayden dan kemarahan Romo dalam mimpinya.

“Sayang?” panggil Bagas, mobilnya berhenti karena di depan sana ada sedikit kemacetan, ah ini lumrah karena mereka tinggal di Jakarta.

“Hm?” Kirana menoleh, tersenyum kikuk pada Bagas. Kayanya Bagas sadar dari tadi Kirana cuma diam saja. “Kenapa, sayang?”

“Kamu kenapa? Gak enak badan?”

Kirana menggeleng, “enggak kok.”

“Terus kenapa diem aja, hm?”

“Gapapa, badan aku cuma pegal-pegal aja.”

“Kamu belum sehat banget? Ak..aku anterin pulang aja kalau gitu yah?”

“Oh.. Enggak-enggak, ma..ksud aku. Badan aku tuh pegal-pegal kayanya karna aku semalem tidur gak ngubah posisi deh, sayang. Gapapa kok, nanti di pakein minyak angin juga ilang.” alibi Kirana, dia gak mau cerita soal mimpinya pada Bagas, enggak bercerita dan hanya memikirkannya sendiri saja membuat seluruh energinya rasanya terkuras.

“Beneran?” Bagas menelisik wajah Kirana, khawatir jika Kirana memang kurang sehat tapi wanita itu menyembunyikannya.

Kirana mengangguk, “i'm fine, sayang. Aku justru seneng banget bisa balik ke kantor lagi.”

Kirana senyum, dia benar-benar senang bisa kembali bekerja lagi. Selain karena bosan di rumah saja, Kirana juga harus segera bekerja karena ia masih harus melunasi seluruh hutang Bapaknya di bank. Tanggung jawabnya sebesar itu, untung saja di kantor tempatnya bekerja Kirana memiliki teman-teman serta atasan yang selalu mendukung dan baik padanya.

Begitu sampai di kantor, nyaris semua karyawan yang mengenal Kirana menyapa nya. Mereka bersyukur Kirana dapat kembali bekerja, dan yang paling terlihat bahagia tak lain dan tak bukan adalah Almira. Waktu Kirana mengabari jika ia akan kembali bekerja besok saja, Almira sudah kegirangan. Bahkan wanita itu rela masak agak banyak untuk bekal makan siangnya yang akan ia bagi juga ke Kirana.

“Mbakkkk....” pekik Almira, wanita itu baru datang 10 menit setelah Kirana datang. Kebiasaan Almira tuh sebelum masuk kantor selalu mampir ke cafe buat beli kopi.

Almira langsug menghampiri meja kerja Kirana dan memeluk wanita itu, ia bahkan memberikan gelas kopinya pada Satya yang datang bersamanya. Untung saja Satya adalah senior yang santai sama junior-juniornya. Pria itu cuma geleng-geleng kepala berjalan ke meja nya dan menaruh kopi milik Almira di meja wanita itu.

“Aku seneng banget Mbak udah kerja lagi!! Pokoknya gak boleh sakit-sakit lagi loh!” Ancam Almira, memangnya siapa yang mau sakit?

“Iya enggak, gak enak juga sakit. Di rumah mulu, enakan kerja.” Kirana terkekeh.

“Kerja mah enak pas gajian doang, Na.” Samber Satya sembari menyalakan komputer miliknya.

“Sama pas bonus cair, Bang. Jangan lupa. Oh sama outing deh.” Bagas ikut menimpali, mereka memang satu ruangan. Meja mereka hanya berjarak sedikit saja.

Posisinya seperti ini, Almira, Kirana, Satya. Sedangkan di depan meja Almira ada meja milik Bagas, dan dua karyawan lain nya yang berhadapan dengan Satya dan Almira. Di dekat ruangan mereka ada ruangan Raga yang hanya di batasi oleh kaca tebal, jadi apapun yang di lakukan oleh mereka dapat selalu di awasi oleh Raga di dalam ruangannya.

“Udah mendingan banget kan, Mbak?”

Kirana mengangguk, “udah kok, oiya kamu bawa apa? Katanya masak buat makan siang kita berdua? Repot-repot banget sih.”

“Oh iya, aku tuh bikin—”

“Kirana?”

Belum saja Almira menjawab, Raga sudah datang menghampiri meja Kirana. Membuat Almira yang tadinya menggeser kursi miliknya ke dekat Kirana itu, jadi mengembalikannya ke tempat semula. Satya dan Bagas juga langsung mulai sibuk dengan berkas-berkas yang ada di meja mereka.

“Ya, Pak?”

“Sudah masuk, sudah sehat kamu?”

Kirana enggak menjawab, dia justru menatap Raga lekat. Teringat akan mimpinya semalam, Jayden yang sangat mirip dengan Raga itu meminangnya, sebelumnya bahkan mereka berkencan dan datang ke banyak tempat.

“Kirana?” Raga melambaikan tangannya di depan wajah Kirana, memecah lamun wanita itu yang terus menatap Raga lekat.

“Ya, Pak?”

“Sudah sehat?”

Kirana mengangguk kikuk, ia ketahuan melamun. Sial, mimpinya semalam membuat hari pertamanya bekerja kacau. “Sudah, Pak.”

“Syukurlah kalau begitu, pelan-pelan saja kerja nya. Saya juga enggak akan menunggaskan kamu buat ngecek proyek, untuk sementara kamu stay di kantor saja, ya.”

“Terima kasih, Pak.”

Selepas kepergian Raga, Satya dan Almira terkekeh pelan. Raga memang baik, tapi bahasanya yang kaku itu kerap kali membuat mereka semua cekikikan. Apalagi soal lelucon yang kadang suka di lontarkan pria itu, benar-benar mirip jokes Bapak-Bapak kalau kata Almira.

“Pelan-pelan saja kerjanya Kirana~” ucap Satya meniru ucapan Raga.

Kirana terkekeh, “apaan sih lo, Bang.”

“Pak Raga tuh kalau sama Mbak Kirana emang lembut banget kaya lagi ngomong sama bayi.” selama Almira bekerja di kantor kontruksi ini, Raga memang ramah pada semua bawahannya tapi berbeda jika sudah berbicara pada Kirana. Almira sih mikirnya karna mereka satu almamater, sama Bagas pun lebih santai.

“Heh! Kaya bayi kaya bayi, Kirana bayi nya gue.” Bagas cemburu.

“Apasih Mas Bagas orang cuma bercanda,” Almira merengut, ia kembali memeriksa laporan hariannya kembali.


“Jadi kegiatan kamu akhir-akhir ini lagi sibuk ngurus butik aja ya, Asri?”

Asri mengangguk pelan, “iya, Tante. Ya kadang masih bantu-bantu buat audit di toko punya Papa juga sih.”

Ibu dari Bagas itu tersenyum, menatap Asri dengan bangga. Hari ini orang tua Bagas mengundang Asri ke rumah mereka, Ibu nya Bagas minta di bantu untuk menyiapkan pesta ulang tahunnya yang akan di adakan minggu depan. Asri yang kebetulan tidak sibuk tentu saja mau, apalagi orang tua Bagas itu juga membeli beberapa baju dari butiknya.

“Hebat kamu, Yah. Masih muda, sudah berani buat bisnis sendiri, masih bantu-bantu orang tua pula. Salut loh Tante sama kamu, Sri.”

Asri tersenyum kikuk, dia enggan terbiasa dengan pujian seperti itu. Pasalnya ia pun banyak di bantu oleh orang tua nya, tidak semerta-merta ia membangun bisnis nya dari nol. Makanya Asri belum bisa bangga pada dirinya sendiri meski orang lain memujinya.

“Iya, Tante. Tapi kan tetap aja, Asri bisa bangun bisnis seperti ini karna Papa juga.”

“Ya gapapa dong, itu artinya kamu memanfaatkan fasilitas yang mereka kasih dengan baik. Tante benar-benar bangga sama kamu!” Ibu nya Bagas itu menjawil hidung Asri dengan gemas.

Dari dulu orang tua Bagas itu memang sudah menyukai Asri, anak itu memang terlihat sedikit pendiam. Reputasi keluarganya yang baik dan memang berkerabat dekat dengan kedua orang tua nya. Menjadikan kedua orang tua Bagas ingin sekali menjodohkan Asri dengan Bagas.

Tidak lama kemudian, mobil milik Bagas itu memasuki pekarangan rumah. Membuat senyum di wajah Ibu nya Bagas itu merekah, pasalnya memang itulah rencananya mendatangkan Asri di jam pulang kantor agar wanita itu bisa berbicara lebih banyak pada putra nya.

“Tuh, Bagas pulang,” ucap Ibunya Bagas.

Di kursinya Asri agak sedikit salah tingkah, dia bukan tidak nyaman dengan Bagas hanya saja ia tidak tahu harus seperti apa. Dulu memang mereka dekat, namun setelah Bagas pindah mereka putus komunikasi begitu saja.

Begitu Bagas masuk, kedua mata mereka bertemu. Namun Bagas buru-buru melihat ke arah Ibunya. “Ada tamu.”

“Kok tamu sih, Gas. Ini Asri loh.” Ibu melambaikan tangannya, menepuk pada tengah sofa yang berada di sampingnya, menyuruh Bagas untuk duduk di sana.

Sejujurnya Bagas lelah, namun mau tak mau ia menuruti keinginan Ibunya. Berdebat dengan Ibu jauh lebih melelahkan dari pada ia harus menghadapi kemacetan kota Jakarta di setiap sore nya.

“Ba..baru pulang, Gas?” Sapa Asri canggung, Bagas hanya mengangguk kecil.

“Asri ini Ibu suruh datang ke rumah, Gas. Ibu minta bantuan dia buat urus pesta ulang tahun Ibu.”

“Uumm..” Bagas mengangguk-angguk, ia sudah tau mengenai pesta itu.

“Kok gitu doang?”

Bagas menghela nafasnya pelan, “ya, Bagas harus apa, Buk?”

“Ck!” Ibu berdecak, suasana hatinya berubah karena respon dari putra sulungnya itu. “Besok kan, weekend Ibu mau minta tolong sama kamu buat nemenin Asri.”

“Buk... Besok Bagas ada janji.”

“Janji sama siapa sih? Ibu kan baru kali ini minta tolong kamu, Bagas.”

“Iya, Buk. Bagas tau tapi kan—”

“Ehm.. Tante, gapapa. Mungkin janji yang di bikin Bagas gak bisa di cancel Asri gak masalah kok kalo harus pesan kue sendiri.” Asri kembali menengahi, tidak enak Bagas jadi berdebat dengan Ibunya hanya perkara tidak ingin mengatarnya.

“Enggak, Bagas tetap harus nemenin kamu, Sri. Itu jauh loh.”

Bagas menghela nafasnya pelan, “yaudah, Bagas temenin, jam berapa ke toko kue nya?”

“Jam 10 pagi, Gas. Kalo kamu gak bisa gapapa aku bisa pergi sendiri—”

“Gapapa-gapapa, gue temenin aja ya, tapi gue gak bisa lama-lama.” besok Bagas sudah janji dengan Kirana akan mengantar wanitanya itu untuk kembali konsul kedua dengan psikiaternya. Mungkin setelah mengantar Asri, Bagas bisa langsung menemani Kirana.

“Iya, gapapa.”

Di sisi lain, sang Ibu tersenyum. Rencana nya untuk membuat Asri dan Bagas dekat berhasil, Ibu dan Ayahnya Bagas hanya bisa berharap Bagas akan jatuh cinta dengan Asri karena sering sekali bersama.

Bersambung...

Jakarta, 2025.

“Setelah itu apa yang kamu lakukan saat Romo mulai melarang kamu untuk tetap di rumah?”

Dalam pejam kedua matanya, Kirana melihat Ayu hanya berdiam diri di kamar. Namun sesekali ia membuka jendela kamarnya ketika Adi mengetuk jendela kamarnya itu. Wanita itu selalu memangis, bahkan Adi pun bersusah payah menemui Ayu karena kini pria itu di larang untuk dekat-dekat dengan Ayu. Romo menilai Ayu sekongkol dengan Jayden.

“Hanya diam di kamar, duduk, menunggu Adi.”

Wanita yang duduk tak jauh dari sofa bed Kirana berada itu mengangguk, ia mencatat detail mimpi yang di ucapkan oleh Kirana saat hypnoterapi nya sudah di mulai. Ini adalah konsul kedua Kirana, hari ini dia datang sendiri karena Bagas enggak bisa menemaninya. Bagas bilang kalau ia ada urusan mendadak, Bagas enggak bilang itu apa. Dan Kirana pun enggak bertanya, biasanya pun Bagas akan bercerita langsung jika mereka bertemu nanti.

“Apa Ayu sudah bertemu dengan calon Suami yang di jodohkan Romo nya?”

Kirana menggeleng, “belum.”

“Baik, kalau begitu Kirana dengar saya?”

“Um..”

“Kamu bisa buka mata kamu perlahan-lahan ya.”

Perlahan-lahan Kirana membuka kelopak matanya itu, sorot matahari pagi yang masuk ke ruangan konsulnya itu langsung menelisik indra pengelihatannya. Kirana mengerjap, ia mengubah posisinya dari yang tadinya tiduran menjadi duduk menghadap dokter Annelies.

“Butuh tissue?” dokter Annelies mengambil sekotak tissue dan memberikannya pada Kirana, wanita itu menitihkan air matanya.

“Terima kasih, Dok.”

Setelah mengusap kedua matanya dengan tissue, Kirana juga meminum teh jasmine yang tadi di sediakan oleh asisten dokter Annelies. Meski masih merasa tidak nyaman akan mimpinya semalam, setidaknya setiap kali ia konsul ia bisa merasa lega. Entah ini hanya sugestinya saja atau memang kenyataanya seperti itu.

“Mimpinya masih terus berlanjut yah, Kirana?”

Kirana mengangguk, “kali ini lebih mengganggu, Dok. Setiap kali saya bangun, dada saya sesak. Dan saya pasti menangis.”

“Itu karena kamu merasakan kesedihan yang di alami oleh tokoh Ayu di dalam mimpimu. Saya paham, rasanya pasti tidak nyaman buat kamu.”

Kirana mengangguk, ia ingin sekali berhenti bermimpi hal seperti itu. Tapi disisi lain, ada segelintir perasaan penasaran akan apa yang terjadi pada Ayu dan Jayden? Apakah mereka akan tetap bersama?

“Untuk saat ini obat yang saya berikan masih sama, saya hanya menaikan sedikit dosis nya ya, dan untuk saran saya. Sebelum kamu tidur, kamu bisa mendengarkan musik klasik? Atau lagu-lagu yang kamu suka. Dengan harapan agar ketika kamu bangun nanti, suasana hati kamu jauh lebih baik,” jelas Dokter Annelies.

Walau terbilang masuk akal apa yang di katakan dokter Annelies dari sudut pandang medis, tetap saja rasanya ada yang mengganjal. Kirana seperti ingin mencari second opinion dari mimpinya, tapi dia sendiri enggak tahu harus berkonsultasi dengan siapa.

“Dokter, sebelumnya apa dokter punya pasien yang mengalami gangguan tidur seperti saya?” Kirana hanya penasaran, siapa tahu ia bukan satu-satunya orang di dunia ini yang mengalami mimpi berkelanjutan seperti ini.

Dokter Annelies mengangguk, “tentu, biasanya hal seperti ini bisa terjadi karena trauma pasca kecelakaan atau gangguan kecemasan.”

“Lalu apa mereka bisa sembuh? Ah, mak..maksud saya, apa mimpinya berakhir dan mereka bisa tidur dengan normal tanpa bermimpi macam-macam?”

“Tentu bisa Kirana, saya harap kamu juga bisa kembali tidur dengan nyaman.”

Setelah konsultasi dengan dokter Annelies, Kirana berjalan gontai menuju farmasi. Sebenarnya tempatnya berkonsultasi dengan seorang psikiter itu bisa di bilang bukanlah rumah sakit, melainkan klinik yang buka dari hari senin sampai sabtu. Dan kirana sepakat untuk konsultasi setiap sabtu.

“Kirana?”

Suara itu membuyarkan lamunan Kirana, ia menoleh pada sumber suara itu. Ternyata itu adalah Raga, ia duduk di kursi ruang tanggu farmasi. Mungkin sedang menunggu giliran namanya di panggil di bagian penyerahan obat.

“Pak Raga? Konsul lagi, Pak?” Kirana duduk di sebelah Raga, kebetulan kursinya juga kosong.

Raga mengangguk, “iya, kamu datang sendiri?”

“Iya sendiri. Bagas lagi enggak bisa antar, lagi ada urusan.”

Raga mengangguk-angguk, “konsul kedua ya?”

Kirana mengangguk, “iya, Pak.”

Ia jadi teringat akan ucapan terakhir Raga di klinik tempo hari mengenai gangguan tidurnya, kebetulan sekali mereka bertemu lagi di klinik ini. Kirana menimang-nimang pikirannya untuk bertanya mengenai gangguan tidur yang di alami oleh Raga, siapa tahu Raga bisa memberikan second opinion atas apa yang di alami oleh Kirana.

“Pak?”

“Ya?” Raga menoleh, membuat kedua mata mereka bertemu. Kirana jadi teringat akan Jayden dalam mimpinya, cara kedua pria itu saat menatapnya sangat sama persis.

“Sa..saya boleh tanya sesuatu sama Bapak?”

“Boleh, tanya apa, Na?”

Kirana mengulum bibirnya sendiri, “soal gangguan tidur Bapak.”

Kirana dapat merasakan raut perubahan di wajah Raga, wajah itu agak sedikit tegang saat Kirana bertanya akan gangguan tidurnya. Kirana takut pria itu tidak nyaman.

“Boleh, ada apa? Apa yang mau kamu tanya?” dalam hati Kirana merasa bersyukur saat Raga mengatakan hal itu, pria itu tampak tidak keberatan sama sekali.

“Hhm.. Gangguan tidur Bapak seperti apa? Karena saya juga ngalamin gangguan tidur.”

Raga terdiam, matanya bahkan tidak berkedip saat Kirana berbicara seperti itu. Apa Kirana juga mengalami mimpi yang sama sepertinya? Pikir Raga. Dan lamunan itu buyar seketika ketika seorang apoteker memanggil nama Raga dari speaker farmasi.

“Jagaraga Suhartono.”

“Se..sebentar, saya ambil obat saya dulu. Nanti saya akan jelasin ke kamu.”

Kirana mengangguk, tetap pada tempatnya dan membiarkan Raga mengambil obat miliknya dahulu. Karena antrean farmasi semakin banyak dan kursi yang di tempati oleh Raga sudah di isi oleh orang lain, Raga mengirim pesan ke ponsel Kirana jika ia menunggu Kirana di parkiran rumah sakit.

Setelah selesai dengan pengambilan obat miliknya, Kirana berjalan menuju parkiran. Ternyata atasannya itu benar-benar menunggunya, Kirana langsung menghampiri Raga yang menunggunya tepat di depan mobil miliknya.

“Kamu sudah makan siang Kirana?” tanya Raga.

Kirana menggeleng pelan, “belum, Pak.”

“Bagaimana kalau kita ngobrol soal gangguan tidur saya sambil makan siang? Kamu enggak sibuk kan?”

Kirana ngerasa itu jauh lebih baik dari pada mereka harus berbicara di rumah sakit, lagi pula dia benar-benar butuh second opinion dari orang lain, yah sukur-sukur jika Raga memiliki gangguan tidur yang sama dengannya.

“Boleh.”

Keduanya pun langsung masuk ke dalam mobil Raga, Raga memilih restoran yang tidak jauh dari klinik mereka konsul. Kebetulan restoran itu juga enggak begitu ramai, mungkin karna sudah lewat jam makan siang juga.

“Jadi kita mau mulai dari mana nih?” tanya Raga begitu makanan mereka telah selesai di antar oleh pelayan restoran.

“Dari Bapak dulu aja.”

“Soal gangguan tidur saya ya?”

Kirana mengangguk.

“Oke.” Raga mengangguk-angguk kecil, “sebenarnya enggak bisa di bilang gangguan tidur juga sih, saya sama sekali enggak kesulitan buat tidur atau kebanyakan tidur. Ini lebih ke, mimpi yang sering saya alami.”

Mendengar separuh dari penjelasan Raga itu membuat seluruh bulu kuduk Kirana rasanya berdiri, apa jangan-jangan Raga juga mengalami mimpi yang sama sepertinya? Atau bahkan mimpi mereka saling berhubungan? Mengingat Raga juga ada di dalam mimpi itu sebagai Jayden.

“Mimpi?” Kirana mengulangi ucapan Raga.

“Iya mimpi, udah sekitar 3 bulan ini saya mimpi panjang terus-terusan setiap malam,” Raga terkekeh. “Anehnya mimpi itu terus berlanjut kaya sebuah series. Aneh pokoknya.”

Kirana mengulum bibirnya sendiri, ternyata benar, Raga mengalami mimpi yang sama dengannya. Mimpi berulang dan berlanjut bak film yang terus berlanjut setiap episode nya.

“Mimpi seperti apa, Pak?”

Sebelum menjawab, Raga menatap lekat pada kedua netra legam milik Kirana. Wajah wanita itu mengingatkannya akan Ayu, wanita yang di kencani dirinya kala ia menjadi tokoh Jayden di dalam mimpinya. Raga menyadari jika ada desiran halus di relung hatinya, mungkin ini karena mimpi sialan itu, pikirnya.

“Saya ada di tahun 1898, Na. Sulit jelasin soal mimpi saya ke kamu. Yang jelas di dalam mimpi itu konfliknya rumit, saya seperti kembali ke masa lalu,” jelas Raga, meski sudah bercerita sama Mbak Adel tetap saja Raga sungkan menjelaskannya pada Kirana. Ia takut di lebeli atasan aneh oleh bawahannya itu, meski Raga tahu Kirana enggak akan berpikir seperti itu.

Jantung Kirana semakin enggak karuan apalagi kala ia mendengar kalau Raga juga bermimpi di tahun yang sama dengannya, itu artinya mimpinya dan mimpi Raga bisa saja saling berhubungan.

“Ap..apa di dalam mimpi itu Bapak menjadi seorang Asisten Residen di Semarang bernama Jayden Van Den Dijk?” Tanya Kirana hati-hati.

Mendengar pertanyaan itu tubuh Raga membeku, dia sama sekali tidak salah dengar jika Kirana menyebutkan nama tokoh dalam mimpinya itu. Apa itu artinya Kirana juga mengalami mimpi yang sama dengannya dan berperan sebagai Ayu? Pikir Raga.

“Ka..mu bermimpi yang sama, Na?” Raga memelankan suaranya, tubuhnya maju beberapa senti agar suaranya terdengar oleh Kirana. Musik dari restoran yang tenang itu tetap saja agak sedikit menganggu pembicaraan keduanya.

Kirana mengangguk, “iya, Pak. Hampir dua bulan ini saya mimpi hal itu. Awalnya saya kira saya mengidap PTSD karena kecelakaan yang saya alami, karena setelah sadar dari kritis. Setiap malam saya selalu mimpi hal itu.”

Berbeda dengan Ayu yang mengalami kecelakaan kemudian bermimpi seperti ia kembali ke masa lalu, lain hal nya dengan Raga yang bermula dari ia demam tinggi. Sejak saat itu Raga mulai bermimpi tentang Jayden dan kisah cintanya yang pelik.

Raga pun sempat denial mengenai mimpinya, ia mengira itu hanya bunga tidur biasa yang ia alami kala demam. Namun semakin hari cerita dalam mimpinya itu kian berlanjut, membuat Raga tidak nyaman kala ia tidur. Sampai akhirnya ia memberanikan diri untuk pergi berkonsultasi oleh psikiter, ia pikir mungkin dengan berkonsultasi ia bisa mendapatkan alasan kenapa ia bermimpi hal itu.

“Kayanya bukan karena PTSD, Na. Karena saya mimpi hal itu pun bermula karena saya sakit, waktu saya demam. Sampai saat ini pun saya ngerasa penjelasan medis dokter Annelies tentang mimpi yang saya alami itu gak membuat saya puas.” Raga ngerasa pasti ada hal yang tidak bisa di jelaskan secara medis kenapa ia bermimpi hal itu, dan kali ini kenyataan bahwa Kirana mengalami hal yang sama memperkuat dugaanya.

“Jadi menurut Bapak karena apa?”

“Kamu tau reinkarnasi?”

Kirana mengangguk.

“Saya awalnya enggak percaya sama hal itu, di agama kita pun gak ada hal seperti itu. Tapi saya coba cari tahu tentang Jayden dalam mimpi saya.” Raga merogoh sakunya, mengambil ponsel miliknya dan memperlihatkan artikel tentang Jayden lengkap dengan biografi nya pada Kirana.

“Jayden ada di dunia ini, Na. Beliau pernah hidup. Itu artinya Ayu dalam mimpi kita juga ada.”

Membaca utas mengenai Jayden semakin membuat Kirana bergetar, ia gak pernah menyangka akan mengalami hal di luar nalar seperti ini. Jika reinkarnasi yang di maksud Raga itu ada, apa mungkin ia dan Raga adalah reinkarnasi dari Ayu dan juga Jayden? Pikir Kirana.

Kirana mengembalikan ponsel milik Raga itu, ia mengusap wajahnya gusar. Hatinya tenang karena telah mendapatkan second opinion dari orang lain tentang mimpinya, tapi disisi lain ada hal yang membuatnya tidak tenang. Jika benar ia dan Raga adalah reinkarnasi dari Ayu dan Jayden apa itu artinya ada kisah yang belum selesai.

“Apa Bapak berpikir kita adalah reinkarnasi dari Jayden dan Ayu?” Kirana menelan saliva nya susah payah.

Raga tidak bisa menjawab, jika kenyataanya seperti itu ia sendiri tidak tahu harus melakukan apa dan apa yang belum selesai tentang kisah dua anak manusia di masa lalu itu.

“Kamu sudah bermimpi sampai mana, Na?” Tanya Raga mengalihkan pembicaraan.

“Sampai Ayu di pingit orang tua nya setelah Jayden melamarnya, Pak.” Ayu memang di pingit oleh orang tua nya, Bahkan wanita itu berhenti sekolah dan sedang menunggu pria dari Surabaya itu melamarnya. Miris memang nasib Ayu, meski anak seorang priyai. Ayu tetap di perlakukan sama seperti perempuan Jawa lainya oleh orang tuanya, yang menganggap jika anak perempuan tidak boleh keluar rumah dan tidak perlu menganyam pendidikan.

“Sudah sejauh itu rupanya,” Raga mengangguk-angguk. “Jayden dalam mimpi saya, dia baru—”

“Bagas?” Kirana yang tadinya sedang mendengarkan Raga bercerita itu tiba-tiba saja berdiri dari kursinya. Arah matanya menuju ke belakang Raga.

Raga akhirnya pun menoleh ke belakangnya, ternyata ada Bagas dengan seorang wanita yang sepertinya seusia denganya. Bukan hanya Kirana yang kaget, Bagas dan Raga pun sama kagetnya mereka sama sekali tidak menyangka akan bertemu di restoran ini.

“Kamu sama Pak Raga?” tanya Bagas.

Kirana mengangguk, ada sedikit kekecewaan di hatinya kala ia melihat Bagas justru pergi dengan wanita lain yang Kirana sendiri bahkan tidak mengenalnya. Wanita itu berdiri di belakang Bagas dengan gesture tidak nyamannya.

“Saya tadi bertemu Kirana di klinik, Gas. Kebetulan ada hal yang mau saya tanyain ke Kirana, jadi sekalian saja saya ajak dia makan siang.” Raga berusaha menjelaskan pada Bagas agar tidak ada kesalahpahaman di antara mereka, walau dalam hati Raga pun bertanya-tanya kenapa Bagas datang dengan wanita lain.

“Ahh..” Bagas mengangguk-angguk, “kalo gitu Kirana biar pulang sama saya aja, Pak.”

“Aku belum selesai bicara sama Pak Raga, Gas. Lagi pula kayanya kamu enggak pergi sendiri.”

Bagas salah tingkah, ia seperti sedang ketahuan selingkuh meski kenyataanya tidak begitu. “In..ini Astri, dia temanku, Na. Ibu nyuruh aku anterin dia buat ambil pesanan kue.”

“Yaudah selesain dulu aja tugas yang di suruh Ibu kamu, Gas.” Tidak ada nada ketus dalam nada bicara Kirana, itu hanya terdengar tegas.

Bagas terdiam, suasana di sekitar mereka seketika menjadi canggung. Bahkan Raga pun sudah tidak nafsu lagi dengan bebek goreng di depannya yang terlihat menggiurkan itu.

“Gapapa, Gas. Biar Kirana nanti saya antar pulang, dia juga kesini kan sama saya. Kamu selesaikan saja dulu urusan kamu.” Raga berusaha menengahi, tidak berniat untuk menambah suasana menjadi canggung kok.

Bagas mengangguk, “yaudah, saya titip Kirana ya, Pak. Terima kasih banyak.”

Raga mengangguk, “sama-sama, Gas.”

“Na, di lanjut lagi ngobrolnya.” Setelah mengatakan hal itu Bagas pergi meninggalkan meja Kirana dan Raga, bahkan wanita yang tadi datang bersama nya hanya mengangguk canggung pada Kirana dan Raga, kemudian berlari kecil mengekori Bagas kembali.

Kirana kembali duduk, perasaanya benar-benar campur aduk sekarang ini. Dia kesal karena Bagas enggak jujur dengannya kalau ia pergi bersama wanita lain meski tadi Bagas mengenalkan wanita itu sebagai temannya, di sisi lain ia juga menikirkan kata-kata Raga soal reinkarnasi Ayu dan Jayden. Jika ucapannya benar, itu artinya ada cerita yang harus mereka berdua selesaikan bukan? Pikir Kirana.

Bersambung..